Disusun oleh:
Nama :Nurul Azizah Chaniago
NIM: 13030120140093
Alhamdulillah hirobbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala
karunia nikmat-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Atas
rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul proses Gerakan
Sosial Rakyat Aceh Dalam Mempertahankan Tanah Kedudukannya Terhadap Belanda tahun
1873-1904. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ibu Dr. Endah Sri Hartatik, M.Hum.
pada mata kuliah Sejarah Indonesia Sampai Abad 19. Selain itu, saya juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Gerakan Sosial Rakyat Aceh.
Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Endah Sri Hartatik, M.Hum.
selaku dosen Sejarah Indonesia Sampai Abad 19. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang saya tekuni. saya juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya terima demi kesempurnaan makalah ini. Demikian yang dapat
saya sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari makalah
ini.
Dalam menghadapi penjajah Belanda, masyarakat Indonesia memiliki banyak cara untuk
melawan. Selain dengan kekuatan militer besar-besaran yang umumnya dimotori oleh
pemimpin kerajaan, masyarakat desa biasanya mengadakan gerakan sosial sebagai bentuk
protes. Gerakan-gerakan sosial ini sering dianggap bersifat arkais, karena organisasi, program,
serta strateginya masih sangat sederhana. Oleh pemerintah kolonial, bahkan munculnya aksi
gerakan sosial digolongkan dalam peristiwa kerusuhan yang kebanyakan tidak termasuk
kategori perang besar seperti Perang Aceh.
Sekalipun pemberontakan dalam bentuk gerakan sosial biasanya dapat ditumpas dengan
mudah, peristiwa ini tetap membuat pemerintah kolonial Belanda kerepotan. Selama abad ke-
19 dan ke-20, hampir setiap daerah di Jawa mengenal masa-masa pergolakan yang tercermin
dalam bentuk gerakan sosial. Pada abad ke-19 di Nusantara telah terjadi eksploitasi kolonial
yang menyebabkan terciptanya suatu kondisi yang dapat mendorong rakyat untuk melakukan
berbagai macam gerakan sosial yang di dominasi oleh keadaan ekonomi, budaya, maupun
politik.
Aceh pada abad ke-19 menjadi saksi dari banyaknya pergolakan atau pergerakan yang terjadi.
Salah satunya yaitu adanya Perang Aceh yang berlangsung kurang lebih selama 31 tahun
lamanya. Perang ini terjadi pada tahun 1873 dan berakhir pada 8 Februari 1904. Pada akhirnya,
Belanda berhasil menguasai Aceh sepenuhnya pada 1904 dengan pembubaran Kesultanan
Aceh. Belanda juga membentuk Karesidenan Aceh sebagai wujud kontrol kolonial terhadap
Tanah Rencong itu.
Jauh sebelum Indonesia merdeka Aceh merupakan sebuah kerajaan yang sangat dominan, hal
ini dibuktikan oleh kekuatan ekspedisi-ekspedisinya di Selat Malaka. Pada tahun 1575 armada
Portugis dihancurkan oleh angkatan laut Kerajaan Aceh yang digambarkan sebagai kabut
hitam yang menutupi Selat Malaka. Pertengahan abad ke 19 terjadi suatu evolusi kolonialisme
imperialisme yang sangat pesat yang dilakukan oleh kaum penjajah negaranegara di Eropa
Barat yang ditandai dengan ekplanasi geografi dan persaingan kolonialial.
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan adanya Traktat Sumatera, Bangsa Belanda beranggapan mereka bebas bergerak.
Sudah lama mereka mengincar kesultanan Secara tegas golongan bangsawan yang berkuasa
di kesultanan dengan dukungan rakyat Aceh dan ulama menolak kedatangan Belanda.
Akibatnya perang Aceh pecah. Selama puluhan tahun perang silih berganti dengan para
tokoh yang memimpinnnya.
Pasukan Belanda dalam agresi I berhasil dihancurlumatkan Angkatan Perang Aceh yang
gagah berani.Sehingga setelah 18 hari perlawanan, sisa p asukan Belanda lari terengah-
engah ke kapal-kapalnva, dengan meninggalkan begitu banyak bangkai serdadunya vang
mati konyol sementara bangkai panglimanya Mavor Jendral J.H.R. Kohier pada tanggal 15
April 1873 masih sempat dilarikan ke kapal. Keberhasilan pasukan Aceh dalam
mempertahankan wilayahnya mengakibatkan Belanda kewalahan dan memutuskan untuk
menghentikan serangan ini sembari menghimpun kekuatan maupun strategi baru.
2. Perang Aceh Kedua (1874-1880).
Setelah gagal dalam penyerangan I yang di pimpin Kohler, Belanda melanjutkan upayanya
untuk menaklukan Aceh melalui ekspedisi Aceh II oleh Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan
van Swieten. Pasukan Belanda memang berhasil menguasai istana Kesultanan Aceh
Darussalam. Akan tetapi, itu terjadi karena pasukan Aceh telah pergi keraton dan
bergerilya. Oleh karena itu, sama seperti periode sebelumnya, pasukan Belanda tetap
kewalahan dalam menghadapi pasukan Aceh di perang fase kedua yang dipimpin oleh
Tuanku Muhammad Dawood.
1. TAKTIK ACEH
Perang Aceh yang dipimpin oleh para pahlawan menggunakan taktik perang gerilya. Perang
gerilya adalah taktik yang dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, cepat, dan lewat
sabotase. Dalam Perang Aceh, taktik perang gerilya dilakukan mulai 1881 dan terus
berlanjut hingga 1903. Pada 1881, pasukan Aceh dipimpin oleh Teuku Umar bersama
dengan Panglima Polim dan Sultan melawan Belanda dengan cara bergerilya.Teuku Umar
pada saat itu berpura-pura bekerja sama dengan Belanda agar bisa mendapatkan senjata
mereka.
Tidak hanya itu, dikabarkan juga bahwa seluruh senjata dan perlengkapan tentara Belanda
telah dirampas oleh Teuku Umar. Setelah persenjataan terkumpul, Teuku Umar
membagikan hasil rampasannya kepada para pejuang Aceh dan bersiap melawan Belanda.
Menghadapi kekuatan perlawanan Teuku Umar dan pasukannya, Belanda pun mulai
kewalahan. Belanda sendiri berusaha menghadapi tentara Aceh dengan menerapkan strategi
konsentrasi stelsel, yakni memusatkan pasukan supaya bisa lebih terkumpul.
2. TAKTIK BELANDA
Kegagalan Belanda pada invasi pertama, Belanda merasa menanggung malu yang amat
besar di hadapan dunia. Dengan begitu, Belanda berniat akan membalaskan dendam.
Belanda mulai menerapkan beberapa strategi untuk mengalahkan Aceh. Pada invasinya
yang kedua, Belanda menugaskan G. Lavino untuk mengacaubalaukan Panitia Delapan
agar tidak akan ada bantuan dan pembangunan kontraksi terhadap Belanda pada saat
perang. Belanda menyusupkan pegawai dinas rahasia yang disebut sersan santri, sebagi
pedagang yang masuk dari penang ke Lhoseumawe untuk mencari informasi tentang Aceh
secara terinci untuk kebutuhan penyerangan.
Setelah menerima informasi yang dibutuhkan barulah rencana invasi kedua di rancang
dengan sasaran menguasai pusat kekuatan Aceh yaitu Dalam atau Istana kesultanan Aceh.
Strategi ini berhasil membawa Belanda dapat menguasai Istana (dalam), yang telah
ditinggalkan oleh seluruh rakyat Aceh sebagi sebuah strategi perang yang dilakukan.
Hingga pada akhirnya kedatangan Snouck Hurgronje dengan membawa siasat penyerangan
dari dalam mulai dilakukan. Hurgronje berpendapat bahwa Perang Aceh bukan perang antar
kelas, tetapi perang rakyat karena itu perang Aceh tidak akan berakhir jika masih ada rakyat
yang melakukan perlawan dan semua rakyat yang melakukan perlawan harus dimusnahkan
sampai tuntas.
Hurgronje berpendapat bahwa sultan tidak memiliki wewenang yang kuat untuk melakukan
negosiasi dengan Belanda karena sultan sangat tergantung pada empat pembesar Kerajaan
Aceh Darussalam. Rekomendasi lain Snouck Hurgronje untuk menangatasi perang Aceh
bahwa perang yang dilandasi oleh agama hanya dapat dihadapi dengan superioritas
kemampuan militer Belanda. Selain itu Snouck Hurgronje merekomendasikan agar
melakukan penyanderaan kepada sultan-sultan termasuk istri-istrinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Aceh pada abad ke-19 menjadi saksi dari banyaknya pergolakan atau pergerakan yang
terjadi. Salah satunya yaitu adanya Perang Aceh yang berlangsung kurang lebih selama 31
tahun lamanya. Perang ini terjadi pada tahun 1873 dan berakhir pada 8 Februari 1904. Aceh
awalnya bukan dan tidak boleh dimasuki oleh Belanda. Dunia internasional zaman itu
sudah mengakui Kesultanan Aceh sebagai negara merdeka. Perang Aceh yang terjadi dapat
di golongkan dalam sebab umum dan sebab yang khusus.
Sebab umum terjadinya perang antara kesultanan Aceh dengan Belanda yaitu; (1) Belanda
memduduki Siak dan melakukan perjanjian Siak (1858) dimana sultan Ismail harus
menyerahkan Deli, Langkat, Asahan dan Serdang (2). Berakhirnya Traktat London yang
berisi batas wilayah kekuasaan antara Belanda dan Inggris (3). Perisitiwa dibukanya
terusan Suez oleh Ferdinand De Lessep berdampak wilayah laut Aceh menjadi sangat
penting dalam jalur perdagangan dunia. (4). Perjanjian Sumatera yang berlangsung tahun
1871 yang berisi hak keleluasaan dan kedaulatan belanda mengambil tindakan di Aceh
yang membuat belanda menjadi semena-mena.
Selain sebab umum yang telah dijabarkan, perang Aceh terjadi adanya sebab khusus yaitu;
Tuntutan Belanda terhadap Aceh agar tunduk kepada pemerintah Belanda. Petisi yang
disampaikan Belanda di tolak sepenuhnya dengan tegas oleh Sultan Mahmud Syah.
Penolakan tersebut dijawab oleh Belanda dengan deklarasi perang terhadap Aceh pada
tanggal 26 Maret 1873. Belanda melakukan penyerangan terhadap Aceh yang dipimpin
oleh Mayjen J.H. Kohler yang mendaratkan lebih dari 3.000 pasukan KNIL di pante
Ceureumen.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Perlu kami sampaikan juga bahwa
dalam penyusunan makalah ini, masih banyak dijumpai kekurangan dan bagian-bagian
terpenting yang belum sempat dimasukkan. Oleh karena itu, kami membutuhkan, masukkan
berupa saran dan kritik, dalam rangka pengupayakan perbaikan dari isi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adryamarthanino, V. apa taktik perang yang digunakan pejuang Aceh dalam melawan
Belanda. Kompas. from https://www.kompas.com/apa-taktik-perang-yang-
digunakan-pejuang-aceh-dalam-melawan-belanda Accessed March 5, 2022,
Parinduri, A. (2021). Sejarah Perang Aceh: Kapan, Penyebab, Proses, Tokoh, & Akhir -
Tirto.ID., from https://tirto.id/sejarah-perang-aceh-kapan-penyebab-proses-tokoh-
akhir-gaiC. Accessed 6 Mar. 2023.
Siahaan, Sotardodo, Afrizal Hendra, and I. Wayan Midhio. "Strategi Perang Semesta dalam
Perang Aceh (1873-1912)." Jurnal Inovasi Penelitian 1.11 (2021): 2537-2548.
Braithwaite, John, et al. “Aceh.” Anomie and Violence: Non-Truth and Reconciliation in
Indonesian Peacebuilding, ANU Press, 2010, pp. 343–428. JSTOR,
http://www.jstor.org/stable/j.ctt24hf62.12. Accessed 6 Mar. 2023.
Abdullah, Imran T. (2012). Ulama Dan Hikayat Perang Sabil Dalam Perang Blanda Di
Aceh. Humaniora, 12(3), 239–252.