Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

GERAKAN SOSIAL RAKYAT ACEH DALAM MEPERTAHANKAN


TANAH KEDUDUKANNYA TERHADAP BELANDA TAHUN 1873-1904

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Sejarah Indonesia Sampai Abad 19
Dosen Pengampu : Dr. Endah Sri Hartatik, M.Hum.

Disusun oleh:
Nama :Nurul Azizah Chaniago
NIM: 13030120140093

PRODI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala
karunia nikmat-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Atas
rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul proses Gerakan
Sosial Rakyat Aceh Dalam Mempertahankan Tanah Kedudukannya Terhadap Belanda tahun
1873-1904. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ibu Dr. Endah Sri Hartatik, M.Hum.
pada mata kuliah Sejarah Indonesia Sampai Abad 19. Selain itu, saya juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Gerakan Sosial Rakyat Aceh.

Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Endah Sri Hartatik, M.Hum.
selaku dosen Sejarah Indonesia Sampai Abad 19. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang saya tekuni. saya juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya terima demi kesempurnaan makalah ini. Demikian yang dapat
saya sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari makalah
ini.

Semarang 7 Maret 2023

Nurul Azizah Chaniago


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... iI


DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Latar belakang terjadinya Perang Aceh ............................................................ 2
2.2 Proses terjadinya Perang Aceh .......................................................................... 4
2.3 Persaingan Taktik Antara Belanda dan Aceh ................................................... 6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 8
3.2 Saran ............................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 9
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam menghadapi penjajah Belanda, masyarakat Indonesia memiliki banyak cara untuk
melawan. Selain dengan kekuatan militer besar-besaran yang umumnya dimotori oleh
pemimpin kerajaan, masyarakat desa biasanya mengadakan gerakan sosial sebagai bentuk
protes. Gerakan-gerakan sosial ini sering dianggap bersifat arkais, karena organisasi, program,
serta strateginya masih sangat sederhana. Oleh pemerintah kolonial, bahkan munculnya aksi
gerakan sosial digolongkan dalam peristiwa kerusuhan yang kebanyakan tidak termasuk
kategori perang besar seperti Perang Aceh.

Sekalipun pemberontakan dalam bentuk gerakan sosial biasanya dapat ditumpas dengan
mudah, peristiwa ini tetap membuat pemerintah kolonial Belanda kerepotan. Selama abad ke-
19 dan ke-20, hampir setiap daerah di Jawa mengenal masa-masa pergolakan yang tercermin
dalam bentuk gerakan sosial. Pada abad ke-19 di Nusantara telah terjadi eksploitasi kolonial
yang menyebabkan terciptanya suatu kondisi yang dapat mendorong rakyat untuk melakukan
berbagai macam gerakan sosial yang di dominasi oleh keadaan ekonomi, budaya, maupun
politik.

Aceh pada abad ke-19 menjadi saksi dari banyaknya pergolakan atau pergerakan yang terjadi.
Salah satunya yaitu adanya Perang Aceh yang berlangsung kurang lebih selama 31 tahun
lamanya. Perang ini terjadi pada tahun 1873 dan berakhir pada 8 Februari 1904. Pada akhirnya,
Belanda berhasil menguasai Aceh sepenuhnya pada 1904 dengan pembubaran Kesultanan
Aceh. Belanda juga membentuk Karesidenan Aceh sebagai wujud kontrol kolonial terhadap
Tanah Rencong itu.

Jauh sebelum Indonesia merdeka Aceh merupakan sebuah kerajaan yang sangat dominan, hal
ini dibuktikan oleh kekuatan ekspedisi-ekspedisinya di Selat Malaka. Pada tahun 1575 armada
Portugis dihancurkan oleh angkatan laut Kerajaan Aceh yang digambarkan sebagai kabut
hitam yang menutupi Selat Malaka. Pertengahan abad ke 19 terjadi suatu evolusi kolonialisme
imperialisme yang sangat pesat yang dilakukan oleh kaum penjajah negaranegara di Eropa
Barat yang ditandai dengan ekplanasi geografi dan persaingan kolonialial.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Terjadinya Perang Aceh


Tidak seperti wilayah jajahan lain di Indonesia, Aceh awalnya bukan dan tidak boleh
dimasuki oleh Belanda. Dunia internasional zaman itu sudah mengakui Kesultanan Aceh
sebagai negara merdeka. Namun ada beberapa latar belakang yang menyebabkan Belanda
menginginkan Aceh menjadi wilayahnya dan menjadi latar belakang Perang Aceh :

1. Aceh Merupakan Wilayah Strategis


Pada awal abad 19, Pulau Sumatera memang menjadi wilayah yang sangat strategis.
Wilayah ini merupakan tempat singgah pelayaran dan perdagangan internasional. Berabad
sebelumnya Kerajaan Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan nusantara dari
wilayah ini. Maka, ketika Kesultanan Aceh Berjaya, kerajaan ini menjadi penguasa wilayah
di Sumatera dan sekitarnya.Dapat dibayangkan berapa banyak keuntungan didapat dari
wilayah yang menjadi pusat pelayaran dan perdagangan. Tidak hanya keuntungan secara
meteri. Dengan menguasai wilayah pelayaran berarti juga berbagai kemudahan. Ini yang
dipikirkan oleh Bangsa Belanda. Oleh karena itu, timbul niat Bangsa Belanda untuk
meluaskan kekuasaannya sampai Kesultanan Aceh. Semua rempah dan perdagangan lain
yang dikuasai dapat mudah terangkut jika Kesultanan Aceh dikuasai.Namun sayangnya
semua rakyat dan pihak Kesultanan Aceh tidak mau menerimanya. Ini menjadi salah satu
latar belakang Perang Aceh secara tidak langsung.

2. Wilayah Sumatera lain yang Menjadi Wilayah Belanda


Selain Aceh merupakan wilayah yang sangat strategis, pada masa itu hampir seluruh
Sumatera telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Perang Padri berakhir, pada tahun 1830an,
Belanda berhasil menguasai daerah Sibolga dan Tapanuli.Padahal wilayah tersebut sejak
Sultan Iskandar Muda berkuasa di Aceh menjadi wilayah kekuasaan Aceh. Dengan
demikian kesultanan Aceh menganggap Belanda telah melanggar Traktat London yang
mengatur batas wilayah kedua negara di Asia Tenggara tersebut dengan garis lintang
Singapura. Setiap kapal Belanda yang melewati perairan Aceh ditenggelamkan
kesultananan. Diserahkannya wilayah terdekat Aceh kepada Belanda oleh Sultan Ismail
menjadikan Belanda terus menyerang Aceh yang wilayahnya sudah terdesak.
3. Dibukanya Terusan Suez
Pada tahun 1869, Terusan Suez yang mengubungkan dua benua, Asia dan Afrika resmi
dibuka oleh negara Mesir. Pembukaan jembatan penghubung tersebut membuat dunia
perdagangan dan pelayaran menjadi semakin ramai. Pulau Sumatera, khususnya Aceh
menjadi gerbang pembuka menuju Selat Malaka dan terusan Suez. Aceh menjadi satu-
satunya wilayah di Sumatera yang belum dikuasai secara penuh oleh Belanda. Tentu saja
dengan pembukaan Terusan Suez, posisi Aceh menjadi semakin strategis. Keinginan
Belanda bertambah besar untuk mneyerang Aceh dan menjadikan wilayahnya sebagai tanah
jajahan.

4. Belanda Ingin Membentuk Pax Nederlandica


Pemerintahan Hindia Belanda mulai membereskan satu demi satu masalah yang dibuat oleh
VOC. Mereka memerintah dengan lebih tegas dan kejam. Belanda melaksanakan dan ingin
membentuk Pax Nederkandica, sebuah wadah yang mewujudkan seluruh wilayah Indonesia
menjadi satu kesatuan di bawah Belanda dan ratunya.Pembentukan Pax inilah yang
mendorong Belanda ingin juga menguasai Kesultanan Aceh dengan seluruh wilayah
kerajaannya. Keinginan dan dorongan yang tentu saja bertentangan dengan keinginan
rakyat Aceh yang ingin tetap merdeka. Mereka pastinya sudah mengetahui kondisi wilayah
lain yang berada di bawah jajahan Belanda. Itu sebabnya ketika Belanda masuk dan datang
ke Aceh mereka menolaknya. Perang Aceh tidak dapat dihindari.

5. Aceh Menolak Campur Tangan Belanda


Seperti yang sudah dilakukan di berbagai wilayah Indonesia lain, Belanda menggunakan
cara adu domba untuk menguasai Indonesia. Adu domba atau politik devide et
impera biasanya dimulai dengan campur tangan atau masuknya Belanda ke wilayah yang
bukan wewenangnya. Dan yang paling awal dicampuri adalah wilayah kerajaan atau
kesultanan. Ketika mereka masuk ke dalam wilayah kesultanan, sedikit demi sedikit mereka
memasukkan pengaruhnya. Sedikit saja ada ketidakharmonisan di kalangan bangsawan atau
bangsawan dengan rakyat, maka Belanda akan memanfaatkannya.

6. Adanya Traktat Sumatera


Pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris mengumumkan Traktat Sumatera. Traktat yang
ditandatangani Inggris dan Belanda ini berisi sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa
Inggris yang saat itu menguasai Belanda tidak akan menghalangi jika Belanda
menginginkan perluasan wilayahnya sampai ke Sumatera bagian paling Barat atau
Aceh. Aceh menjadi wilayah yang masih merdeka dan menggiurkan dengan segala yang
dimilikinya. Inggris sendiri akan memperoleh keuntungan jika Belanda menguasai Aceh.

Dengan adanya Traktat Sumatera, Bangsa Belanda beranggapan mereka bebas bergerak.
Sudah lama mereka mengincar kesultanan Secara tegas golongan bangsawan yang berkuasa
di kesultanan dengan dukungan rakyat Aceh dan ulama menolak kedatangan Belanda.
Akibatnya perang Aceh pecah. Selama puluhan tahun perang silih berganti dengan para
tokoh yang memimpinnnya.

7. Hubungan Diplomatik Negara Aceh dengan Amerika, Turki, dan Italia


Ketika Traktat Sumatera diumumkan, Aceh langsung mengadakan persiapan. Awalnya
Sultan meminta bantuan pada negara Turki, Italia, dan Amerika Serikat. Namun gerakan
tersebut diketahui oleh Belanda. Belanda langsung mengambil tindakan. Di bawah
pimpinan Jenderal Kohler langsung mengultimatum Kesultanan Aceh untuk segera tunduk
pada pemerintahan Hindia Belanda. Belanda mengumumkan perang terhadap Kesultanan
Aceh, 26 Maret 1873. Persiapan yang matang dari Aceh membuat Belanda tidak mudah
menaklukan Aceh.

2.2 Proses Terjadinya Perang Aceh

1. Perang Aceh dengan Belanda Pertama (1873-1874)


Traktat Sumatera 1871 telah dinodai oleh pengingkaran Belanda, hal ini dapat dianggap
sinyal ditabuhnya genderang perang Belanda terhadap Aceh Setelah terjadi beberapa
koresponden yang tegang antara Sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Komisaris
Pemerintah Belanda Nieuwenhuijzen yang berlindung di atas kapal perang "Citadel van
Antwerpen" Perang Aceh dimulai Ketika pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor
Jenderal Kohler dengan 3.000 pasukan mendarat di Pantai Cermin Ulee Lheue pada tanggal
5 April 1873.

Pasukan Belanda dalam agresi I berhasil dihancurlumatkan Angkatan Perang Aceh yang
gagah berani.Sehingga setelah 18 hari perlawanan, sisa p asukan Belanda lari terengah-
engah ke kapal-kapalnva, dengan meninggalkan begitu banyak bangkai serdadunya vang
mati konyol sementara bangkai panglimanya Mavor Jendral J.H.R. Kohier pada tanggal 15
April 1873 masih sempat dilarikan ke kapal. Keberhasilan pasukan Aceh dalam
mempertahankan wilayahnya mengakibatkan Belanda kewalahan dan memutuskan untuk
menghentikan serangan ini sembari menghimpun kekuatan maupun strategi baru.
2. Perang Aceh Kedua (1874-1880).
Setelah gagal dalam penyerangan I yang di pimpin Kohler, Belanda melanjutkan upayanya
untuk menaklukan Aceh melalui ekspedisi Aceh II oleh Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan
van Swieten. Pasukan Belanda memang berhasil menguasai istana Kesultanan Aceh
Darussalam. Akan tetapi, itu terjadi karena pasukan Aceh telah pergi keraton dan
bergerilya. Oleh karena itu, sama seperti periode sebelumnya, pasukan Belanda tetap
kewalahan dalam menghadapi pasukan Aceh di perang fase kedua yang dipimpin oleh
Tuanku Muhammad Dawood.

3. Perang Aceh Ketiga (1881-1896)


Masih dengan semangat jihad fi sabilillah, Belanda semakin kewalahan dengan taktik dan
semangat perang dari rakyat Aceh. Pada tahun 1891, Christiaan Snouck Hurgronje yang
merupakan ahli bahasa Arab dan Islam
yang juga penasihat untuk urusan adat dari pemerintah kolonial datang ke Aceh. Sebagai
orang yang paham tentang Islam, ia mendekati para ulama. Peran Snouck Hurgronje
menjadikan pasukan Belanda lebih terbantu, karena dia menggunakan siasat menyerang
dari dalam yang nantinya hasil gemilang. Bertepatan dengan kedatangan Snouck Hurgronje,
rakyat Aceh sedang merasakan duka yang mendalam karena kematian Teuku Cik Ditiro.
Salah satu pemimpin Aceh lainnya, Teuku Umar, dikabarkan menyerah kepada Belanda.
Namun, ternyata hanya taktik semata untuk memperlemah kekuatan lawan.

4. Perang Aceh Keempat (1896-1910)


Ketiadaan Teuku Umar tidak membuat semangat rakyat Aceh padam menghadapi Belanda.
Dipimpin Cut Nyak Dien, istri Teuku Umar, dengan dibantu oleh pejuang wanita bernama
Pocut Baren, rakyat Aceh terus melakukan perlawanan. Hingga akhirnya, Teuku Umar
yang kembali bergabung dengan pasukan Aceh. Sayangnya, pada 11 Februari 1899, Teuku
Umar gugur di Meulaboh. Perjuangan pun kembali dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien
bersama Pocut Baren. Kondisi rakyat Aceh mulai melemah karena kematian dari beberapa
pemimpinnya Tahun 1905, Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan kemudian wafat pada
1910. Kematian Cut Nyak Dien pun menjadi penanda berakhirnya Perang Aceh.
2.3 Persaingan Taktik Antara Belanda dan Aceh
Dalam sebuah peperangan pastinya pihak yang berperang akan melakukan beberapa strategi
untuk memenangkan peperangan. Begitupun yang terjadi dengan Perang Aceh. Baik Kubu
Belanda maupun Aceh sudah mempersiapkan segala taktik untuk memenangkan
peperangan yang berlangsung sangat lama ini. Berikut beberapa strategi yang dilakukan
Aceh dan Belanda dalam peperangan :

1. TAKTIK ACEH

Perang Aceh yang dipimpin oleh para pahlawan menggunakan taktik perang gerilya. Perang
gerilya adalah taktik yang dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, cepat, dan lewat
sabotase. Dalam Perang Aceh, taktik perang gerilya dilakukan mulai 1881 dan terus
berlanjut hingga 1903. Pada 1881, pasukan Aceh dipimpin oleh Teuku Umar bersama
dengan Panglima Polim dan Sultan melawan Belanda dengan cara bergerilya.Teuku Umar
pada saat itu berpura-pura bekerja sama dengan Belanda agar bisa mendapatkan senjata
mereka.

Sewaktu Teuku Umar berpura-pura bekerja sama dengan Belanda, ia berhasil


menundukkan pos-pos pertahanan Belanda di Aceh. Teuku Umar terus berpura-pura demi
mendapat peran yang jauh lebih besar di hati Belanda. Dengan gaya yang sangat
meyakinkan, Umar berhasil menaklukkan Belanda. Bahkan keinginannya untuk menambah
panglima sebanyak 17 orang dan 120 prajurit dituruti oleh Belanda. Tanpa disadari, Teuku
Umar sudah berhasil mengumpulkan banyak pasukan untuk melawan Belanda. Pada 1884,
Teuku Umar berlabuh ke Aceh Barat dengan membawa 32 orang tentara Belanda, yang
kabarnya telah dibunuh di tengah laut.

Tidak hanya itu, dikabarkan juga bahwa seluruh senjata dan perlengkapan tentara Belanda
telah dirampas oleh Teuku Umar. Setelah persenjataan terkumpul, Teuku Umar
membagikan hasil rampasannya kepada para pejuang Aceh dan bersiap melawan Belanda.
Menghadapi kekuatan perlawanan Teuku Umar dan pasukannya, Belanda pun mulai
kewalahan. Belanda sendiri berusaha menghadapi tentara Aceh dengan menerapkan strategi
konsentrasi stelsel, yakni memusatkan pasukan supaya bisa lebih terkumpul.
2. TAKTIK BELANDA
Kegagalan Belanda pada invasi pertama, Belanda merasa menanggung malu yang amat
besar di hadapan dunia. Dengan begitu, Belanda berniat akan membalaskan dendam.
Belanda mulai menerapkan beberapa strategi untuk mengalahkan Aceh. Pada invasinya
yang kedua, Belanda menugaskan G. Lavino untuk mengacaubalaukan Panitia Delapan
agar tidak akan ada bantuan dan pembangunan kontraksi terhadap Belanda pada saat
perang. Belanda menyusupkan pegawai dinas rahasia yang disebut sersan santri, sebagi
pedagang yang masuk dari penang ke Lhoseumawe untuk mencari informasi tentang Aceh
secara terinci untuk kebutuhan penyerangan.

Setelah menerima informasi yang dibutuhkan barulah rencana invasi kedua di rancang
dengan sasaran menguasai pusat kekuatan Aceh yaitu Dalam atau Istana kesultanan Aceh.
Strategi ini berhasil membawa Belanda dapat menguasai Istana (dalam), yang telah
ditinggalkan oleh seluruh rakyat Aceh sebagi sebuah strategi perang yang dilakukan.
Hingga pada akhirnya kedatangan Snouck Hurgronje dengan membawa siasat penyerangan
dari dalam mulai dilakukan. Hurgronje berpendapat bahwa Perang Aceh bukan perang antar
kelas, tetapi perang rakyat karena itu perang Aceh tidak akan berakhir jika masih ada rakyat
yang melakukan perlawan dan semua rakyat yang melakukan perlawan harus dimusnahkan
sampai tuntas.

Snouck Hurgronje mengeluarkan beberapa rekomendasi bagi pemerintah Hindia Belanda


dalam menyelesaikan Aceh, antara lain: (1) Hentikan usaha mendekati sultan dan orang
dekatnya. Menurut Snouck Hurgronje, Sultan sebetulnya tidak berkuasa. Kalau dia dapat
diajak damai, tidaklah dengan sendirinya berarti bahwa yang lain-lain akan turut serta
berdamai. (2). Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif,
terutama jika mereka terdiri dari para Ulama. Sebab keyakinan merekalah yang menyuruh
mereka melawan Belanda. Terhadap mereka haruslah peluru yang bicara. (3). Rebut
kembali Aceh Besar. (4). Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan Pertanian,
Kerajinan dan Dagang. Empat hal inilah yang menjadi pokok gagasan.

Hurgronje berpendapat bahwa sultan tidak memiliki wewenang yang kuat untuk melakukan
negosiasi dengan Belanda karena sultan sangat tergantung pada empat pembesar Kerajaan
Aceh Darussalam. Rekomendasi lain Snouck Hurgronje untuk menangatasi perang Aceh
bahwa perang yang dilandasi oleh agama hanya dapat dihadapi dengan superioritas
kemampuan militer Belanda. Selain itu Snouck Hurgronje merekomendasikan agar
melakukan penyanderaan kepada sultan-sultan termasuk istri-istrinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan

Aceh pada abad ke-19 menjadi saksi dari banyaknya pergolakan atau pergerakan yang
terjadi. Salah satunya yaitu adanya Perang Aceh yang berlangsung kurang lebih selama 31
tahun lamanya. Perang ini terjadi pada tahun 1873 dan berakhir pada 8 Februari 1904. Aceh
awalnya bukan dan tidak boleh dimasuki oleh Belanda. Dunia internasional zaman itu
sudah mengakui Kesultanan Aceh sebagai negara merdeka. Perang Aceh yang terjadi dapat
di golongkan dalam sebab umum dan sebab yang khusus.

Sebab umum terjadinya perang antara kesultanan Aceh dengan Belanda yaitu; (1) Belanda
memduduki Siak dan melakukan perjanjian Siak (1858) dimana sultan Ismail harus
menyerahkan Deli, Langkat, Asahan dan Serdang (2). Berakhirnya Traktat London yang
berisi batas wilayah kekuasaan antara Belanda dan Inggris (3). Perisitiwa dibukanya
terusan Suez oleh Ferdinand De Lessep berdampak wilayah laut Aceh menjadi sangat
penting dalam jalur perdagangan dunia. (4). Perjanjian Sumatera yang berlangsung tahun
1871 yang berisi hak keleluasaan dan kedaulatan belanda mengambil tindakan di Aceh
yang membuat belanda menjadi semena-mena.

Selain sebab umum yang telah dijabarkan, perang Aceh terjadi adanya sebab khusus yaitu;
Tuntutan Belanda terhadap Aceh agar tunduk kepada pemerintah Belanda. Petisi yang
disampaikan Belanda di tolak sepenuhnya dengan tegas oleh Sultan Mahmud Syah.
Penolakan tersebut dijawab oleh Belanda dengan deklarasi perang terhadap Aceh pada
tanggal 26 Maret 1873. Belanda melakukan penyerangan terhadap Aceh yang dipimpin
oleh Mayjen J.H. Kohler yang mendaratkan lebih dari 3.000 pasukan KNIL di pante
Ceureumen.

3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Perlu kami sampaikan juga bahwa
dalam penyusunan makalah ini, masih banyak dijumpai kekurangan dan bagian-bagian
terpenting yang belum sempat dimasukkan. Oleh karena itu, kami membutuhkan, masukkan
berupa saran dan kritik, dalam rangka pengupayakan perbaikan dari isi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ningsih.W.L. (2021). Gerakan Sosial Melawan Kolonial Belanda. Kompas. From


https://www.kompas.com/gerakan-sosial-melawan-kolonial-belanda. Accessed 7
Mar.2023.

Adryamarthanino, V. apa taktik perang yang digunakan pejuang Aceh dalam melawan
Belanda. Kompas. from https://www.kompas.com/apa-taktik-perang-yang-
digunakan-pejuang-aceh-dalam-melawan-belanda Accessed March 5, 2022,

Parinduri, A. (2021). Sejarah Perang Aceh: Kapan, Penyebab, Proses, Tokoh, & Akhir -
Tirto.ID., from https://tirto.id/sejarah-perang-aceh-kapan-penyebab-proses-tokoh-
akhir-gaiC. Accessed 6 Mar. 2023.

Siahaan, Sotardodo, Afrizal Hendra, and I. Wayan Midhio. "Strategi Perang Semesta dalam
Perang Aceh (1873-1912)." Jurnal Inovasi Penelitian 1.11 (2021): 2537-2548.

Braithwaite, John, et al. “Aceh.” Anomie and Violence: Non-Truth and Reconciliation in
Indonesian Peacebuilding, ANU Press, 2010, pp. 343–428. JSTOR,
http://www.jstor.org/stable/j.ctt24hf62.12. Accessed 6 Mar. 2023.

Abdullah, Imran T. (2012). Ulama Dan Hikayat Perang Sabil Dalam Perang Blanda Di
Aceh. Humaniora, 12(3), 239–252.

Zentgraaff, H. C., & Zentgraaff, H. C. (1983). Aceh. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai