Anda di halaman 1dari 2

SEJARAH SINGKAT I LAGALIGO

Sejarah La Galigo Epos La Galigo atau biasa juga dikenal dengan I La


Galigo merupakan karya sastra (epos) yang terpanjang di dunia. La Galigo adalah
hasil karya sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Isinya
sebagian berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos ini
menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau raja langit
bernama La Patiganna. Disebutkan pula bahwa epos ini bercerita tentang
Sawerigading, seorang perantau juga pahlawan yang gagah berani. La Galigo
sebenarnya tidak tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan
mitos-mitos. Namun, epos La Galigo tetap dapat memberikan gambaran kepada
kita mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.

La Galigo menyebar dengan dua cara: tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama
dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan
Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis hanya dilakukan oleh
masyarakat Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya konvensi bahasa (yaitu
bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis Kuno),
sastra, metrum (guru lagu dan guru wilangan), dan alur. Misalnya, satu bait pasti
terdiri dari lima baris dan nama tokohnya pasti terdiri dari lima suku kata:
Sawerigading, I La Galigo, I We Cudaiq, dan seterusnya.

Kandungan La Galigo Epos bermula dengan penciptaan dunia. Ketika dunia


masih kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), raja langit, La Patiganna,
mengadakan musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa
dan Peretiwi dari alam gaib. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan
berupa pelantikan anak lelaki raja langit yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja
Alekawa (bumi) dan memakai gelar Batara Guru. Sebelum turun ke bumi, ia harus
melalui masa ujian selama 40 hari 40 malam. Tidak lama sesudah ujian tersebut,
Batara Guru kemudian turun ke bumi, di Ussu’, daerah Luwu’ yang saat ini
menjadi Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone. Di kemudian hari, La Toge’
langi’ menikahi sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, raja alam
gaib. Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai
gelar Batara Lattu’.

La Tiuleng sendiri lalu mendapatkan dua orang anak kembar bernama Lawe
atau Sawerigading dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua
anak kembar tersebut tidak dibesarkan bersama-sama sehingga pada suatu saat
Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng akibat ketidaktahuannya bahwa
mereka masih bersaudara. Ketika ia mengetahui hal tersebut, ia lantas
meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Sawerigading
lantas melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Tiongkok. Selama perjalanan ia
mengalahkan beberapa pahlawan termasuk pemerintah Jawa Wolio yakni Setia
Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia lantas menikahi putri Tiongkok bernama We
Cudai. Sawerigading sendiri digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang
perkasa.

Ia pernah mengunjungi berbagai macam tempat, seperti Taranate (Ternate di


Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga
(diduga Jawa Timur dan Jawa Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (diduga
Sunda Timur dan Sunda Barat) serta Melaka. Ia pun dikisahkan pernah
mengunjungi surga dan alam gaib. Sawerigading sendiri dikisahkan merupakan
ayah dari La Galigo yang kemudian bergelar Datunna Kelling. La Galigo juga
seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, perantau, dan pahlawan yang hebat.
Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari berbagai negara. Namun, seperti
ayahnya pula, La Galigo dikisahkan tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki La
Galigo yang bernama La Tenritatta’ lah yang dikisahkan terakhir dinobatkan
menjadi raja di Luwu’

Anda mungkin juga menyukai