La Galigo menyebar dengan dua cara: tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama
dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan
Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis hanya dilakukan oleh
masyarakat Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya konvensi bahasa (yaitu
bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis Kuno),
sastra, metrum (guru lagu dan guru wilangan), dan alur. Misalnya, satu bait pasti
terdiri dari lima baris dan nama tokohnya pasti terdiri dari lima suku kata:
Sawerigading, I La Galigo, I We Cudaiq, dan seterusnya.
La Tiuleng sendiri lalu mendapatkan dua orang anak kembar bernama Lawe
atau Sawerigading dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua
anak kembar tersebut tidak dibesarkan bersama-sama sehingga pada suatu saat
Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng akibat ketidaktahuannya bahwa
mereka masih bersaudara. Ketika ia mengetahui hal tersebut, ia lantas
meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Sawerigading
lantas melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Tiongkok. Selama perjalanan ia
mengalahkan beberapa pahlawan termasuk pemerintah Jawa Wolio yakni Setia
Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia lantas menikahi putri Tiongkok bernama We
Cudai. Sawerigading sendiri digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang
perkasa.