Anda di halaman 1dari 9

Kelas menulis Wikipedia 

untuk umum telah dibuka untuk setiap minggunya. Anda dapat mengikutinya!

Sureq Galigo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Manuskrip Sureq Galigo dari abad ke-19

Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos


penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang
ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis
dalam huruf Lontara kuno Bugis. [1] Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah
asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari. [1] [2]

Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan
pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal
diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang
akibat serangga, iklim atau perusakan. [1] Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun
bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya
menjadi salah satu karya sastra terbesar. [3]

Daftar isi
 [sembunyikan]

1 Latar belakang dan usaha pelestarian

2 Isi hikayat La Galigo

3 La Galigo di Sulawesi Tengah

4 La Galigo di Sulawesi Tenggara

5 La Galigo di Gorontalo

6 La Galigo di Malaysia dan Riau

7 La Galigo dalam seni pentas

8 Pranala luar

9 Lihat pula

10 Rujukan
11 Referensi

[ sunting]Latar belakang dan usaha pelestarian


Ada dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik Mahabharata dari India. Isinya
sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan
tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.

La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa.


Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai
kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.

Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. [3] Sejauh
ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang
telah diterjemahkan ke dalambahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa
Inggris yang tersedia. [1] Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan
di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en
Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini
adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.

Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi
dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai
dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004.

[ sunting]Isi hikayat La Galigo


Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan),
Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk
Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua,
La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian
menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum
Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam.
Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilaya Luwu
Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia
kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading
(Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak
dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia
masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu'
dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan
beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia
menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang
dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa
Rilau' dan Jawa Ritengnga,Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja
(kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam
gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan
rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang
berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya,
adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia
mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak
pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.

Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan
dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana
kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat
pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat
Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut
pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di
kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga.
Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan
bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan
muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan
tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

[ sunting]La Galigo di Sulawesi Tengah


Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan
ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu'.

Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau


mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor
binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili
Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau
iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang
ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini
menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang
berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga
Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua.
Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing
hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua
tempat mereka kunjungi menjadi daratan.

Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan
orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan
Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu.
Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia
mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah
sekeluarga.

Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan


inovasi.

[ sunting]La Galigo di Sulawesi Tenggara


Ratu Wolio pertama di Butung (Butuni atau Buton) di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari
buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara
dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka.
Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.

Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading atau
kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai
Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah
pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip
dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan
Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We
Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-
duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.

Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama
di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi).
Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).

[ sunting]La Galigo di Gorontalo


Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa
negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari
negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang
dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade
mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu
bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk
Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkerissementara
Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat
ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya.
Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.

Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari,
Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula
kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis
Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.

[ sunting]La Galigo di Malaysia dan Riau


Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini
dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga
unusur Melayu dan Arab diserap sama.

Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki'


dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera
pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan beliau berniat untuk
menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.

Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa
pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan
ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan
oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak
orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba
di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap
di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap
di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi
gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.

Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala
Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor.
Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan
ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-
puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau
ketiga), Opu Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah
dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La
Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan
cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan
dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu
Selangi, sempena nama purba bagi pulauSulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak
terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang
sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

[ sunting]La Galigo dalam seni pentas


La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi
oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak
tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.

Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tapi mengekspresikan
diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa
Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk
karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel panggung. [2] Pertunjukan ini
menggunakan musik tradisionalSulawesi, namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi
oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan. [3][4]

Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya ditambahkan ke


dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga
akhirnya terdapat 70instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi. [4] Para pelaku produksi pentas ini terdiri
dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan sebagian besar
dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang
tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita. [1][3]

Bissu Puang Matoa Saidi

 

Rhoda Grauer

Rahayu Supanggah

[ sunting]Pranala luar

 The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and its diffusion oleh Andi
Zainal Abidin

 "La Galigo, Bukan Epos Biasa" Blog Bolehtau.com

[ sunting]Lihat pula

 Bugis

 Sejarah awal Bugis

 Sejarah Bugis Di Tanah Melayu

 Suku Bugis

 Bahasa Bugis

 Budaya Bugis

[ sunting]Rujukan

 Andi Zainal Abidin and C. C. Macknight (1974). "The I La Galigo Epic


Cycle of South Celebes and Its Diffusion". Indonesia 17 (April): 161–
169. doi:10.2307/3350778.

[ sunting]Referensi
1. ^ a b c d e Wayne Arnold. "Robert Wilson Illuminates Indonesian Creation

Myth", The New York Times, 7 April 2004. Diakses pada 4 September

2008.

2. ^ a b Helen Shaw. "Micromanaging Indonesia", The New York Sun, 15

Juli 2005. Diakses pada 19 Agustus 2008.

3. ^ a b c d Edward Rothstein. "A Sacred Epic and Its Gods, All Struggling to

Survive", The New York Times, 15 Juli 2005. Diakses pada 19 Agustus

2008.

4. ^ a b Carla Bianpoen. "Supanggah sets the tone in 'I La Galigo'", The

Jakarta Post, 4 April 2004. Diakses pada 26 September 2008.


[tampilkan]
l • b • s
Dongeng Nusanta
[tampilkan]

Daftar cerita rakyat di Indonesia menu

Kategori: Sastra Sulawesi | Cerita rakyat dari Sulawesi Selatan | Bugis

 Masuk log / buat akun


 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Versi terdahulu

 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Peristiwa terkini
 Halaman sembarang

Komunitas
 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan
Wikipedia
Cetak/ekspor
Peralatan
Bahasa lain
 Deutsch
 English
 Français
 Bahasa Melayu
 Русский

 Halaman ini terakhir diubah pada 01:49, 5 Juli 2011.


 Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons; ketentuan

tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai