untuk umum telah dibuka untuk setiap minggunya. Anda dapat mengikutinya!
Sureq Galigo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan
pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal
diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang
akibat serangga, iklim atau perusakan. [1] Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun
bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya
menjadi salah satu karya sastra terbesar. [3]
Daftar isi
[sembunyikan]
8 Pranala luar
9 Lihat pula
10 Rujukan
11 Referensi
Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. [3] Sejauh
ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang
telah diterjemahkan ke dalambahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa
Inggris yang tersedia. [1] Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan
di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en
Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini
adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi
dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai
dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia
kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading
(Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak
dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia
masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu'
dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan
beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia
menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang
dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa
Rilau' dan Jawa Ritengnga,Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja
(kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam
gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan
rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang
berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya,
adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia
mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak
pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan
dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana
kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat
pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat
Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut
pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di
kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga.
Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan
bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan
muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan
tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan
orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan
Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu.
Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia
mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah
sekeluarga.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading atau
kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai
Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah
pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip
dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan
Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We
Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-
duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama
di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi).
Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari,
Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula
kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis
Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa
pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan
ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan
oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak
orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba
di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap
di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap
di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi
gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala
Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor.
Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan
ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-
puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau
ketiga), Opu Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah
dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La
Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan
cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan
dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu
Selangi, sempena nama purba bagi pulauSulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak
terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang
sama dengan tokoh di dalam La Galigo.
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tapi mengekspresikan
diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa
Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk
karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel panggung. [2] Pertunjukan ini
menggunakan musik tradisionalSulawesi, namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi
oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan. [3][4]
Rhoda Grauer
Rahayu Supanggah
[ sunting]Pranala luar
The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and its diffusion oleh Andi
Zainal Abidin
[ sunting]Lihat pula
Bugis
Suku Bugis
Bahasa Bugis
Budaya Bugis
[ sunting]Rujukan
[ sunting]Referensi
1. ^ a b c d e Wayne Arnold. "Robert Wilson Illuminates Indonesian Creation
2008.
2008.
Halaman Utama
Perubahan terbaru
Peristiwa terkini
Halaman sembarang
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
Wikipedia
Cetak/ekspor
Peralatan
Bahasa lain
Deutsch
English
Français
Bahasa Melayu
Русский