Isinya?
La
Galigo
menceriterakan
awal
penghunian
dunia
dan
asal-‐usul
manusia.
Enam
generasi
pertama
manusia
yang
berasal
dari
dewata
di
dunia
atas,
Boting
Langiq,
dan
dunia
bawah,
Pérétiwi,
jelajahnya
di
dunia
tengah
diceritakan.
Setelah
enam
generasi
dunia
kosong
lagi,
penghuninya
kembali
ke
dunia
atas
dan
dunia
bawah.
Generasi-‐generasi
Batara
Guru,
Batara
Lattuq,
Sawérigading,
I
La
Galigo,
La
Tenritattaq
dan
Apung
ri
Toja
masing-‐masing
diceritakan
kehidupannya
di
dunia
(dan
sebagian
kecil
di
dunia
atas
dan
duna
bawah).
Dari
kehidupannya
kita
khusus
mengetahui
mengenai
kehidupan
sosial
tokoh-‐tokoh:
kelahiran,
pendidikan,
perkawinan
dan
perjuangannya.
Dan
semua
cerita
itu
dibangun
atas
silsilah
tokoh-‐tokoh.
1
'alat',misalnya:
formula,
paralelisme,
ulangan
dan
metrum.
Garis
besar
alur
cerita
menjadi
'batang'
cerita.
Selain
'writing
composer'
dapat
juga
dipastikan
naskah
dapat
disalin
dari
naskah
yang
lain.
Bagaimana
cara
itu,
tidak
begitu
jelas.
Seandainya
pada
umumnya
salinan
sangat
teliti,
seharusnya
kita
dapat
jauh
lebih
banyak
naskah
yang
lebih
bermiripan.
Tapi,
justru
variasi
antara
naskah-‐naskah
salah
satu
episode
sangat
besar.
Hal
itu
sesuatu
yang
khas
untuk
tradisi
La
Galigo:
hampir
tidak
dapat
naskah
isinya
pasti
dikopikan
dari
naskah
yang
lain.
Berarti
juga
tidak
dapat
dipastikan
ada
versi
'asli'.
Di
sini
juga
perlu
dikemukakan
bahwa
untuk
mayoritas
konsumen
cerita
La
Galigo
merupakan
tradisi
lisan:
mereka
selalu
mendengar
seorang
passureq
membacakan
ceritanya.
Buat
mereka
tidak
ada
bedanya
antara
cerita
yang
dituliskan
atau
yang
dikarang
pada
saat
performancenya.
Sebuah
naskah
biasanya
mengandung
satu
atau
dua
episode.
Jalur
cerita
utama,
yang
memuat
'semua'
episode
tidak
ada
dalam
bentuk
tertulis.
Apa
fungsi
cerita?
Sebuah
karya
(atau
koleksi
karya)
seperti
La
Galigo,
selain
mempunyai
fungsi
penghiburan
dalam
masyarakat
ada
fungsi
lain
pula.
Manusia
tidak
bisa
hidup
tanpa
cerita.
Dua
minggu
lalu
ada
buku
diterbitkan
dengan
judul:
The
Storytelling
Animal
(Binatang
yang
bercerita).
Intinya,
manusia
selalu
memerlukan
cerita
untuk
mengerti
dan
mengertikan
dunia
dan
lingkungannya.
Setiap
pengalaman
diberikan
tempat
di
dalam
sebuah
cerita.
Dan
otak
kita
hanya
dapat
memproseskan
informasi
(baik
dari
luar,
maupun
dari
dalam)
melalui
cerita.
Mungkin
ciri
khas
kemanusiaan
yang
paling
menonjol
adalah
sifat
sosial
kita.
Setiap
orang
mempunyai
jaringan
dan
hubungan
dengan
ratusan
orang
lain.
Setiap
manusia
harus
menyesuaikan
diri
dengan
orang
lain,
dan
perlu
mempunyai
ketrampilan
bergaul
dan
mencari
jalan
hidup
di
antara
masyarakat
lain
yang
harus
berbuat
begitu
juga.
Untuk
menghadapi
tantangan
yang
bermuncul
dalam
jaringan
sosial
manusia
mempunyai
bahasa.
Dengan
kata
lain:
kita
punya
budaya.
Untuk
bertahan
di
dalam
lingkungan
sosial
dan
alam
tidak
cukup
hanya
bercerita,
kita
memerlukan
pengalaman.
Dari
pengalaman
kita
belajar
dan
dapat
menangani
sebuah
situasi
yang
pernah
sebelumnya
kita
alami
lebih
baik
dan
tepat.
Namun,
tidak
mungkin
kita
dapat
mengalami
setiap
situasi
dalam
2
kenyataan.
Dan
kadang-‐kadang
lebih
baik
begitu:
banyak
situasi
terlalu
bahaya
dan
risikonya
kita
terluka
atau
malah
mati
terlalu
besar.
Kita
juga
dapat
mengalami
sesuatu
atau
sebuah
situasi
melalui
cerita.
Dan
bukan
hanya
melalui
cerita
yang
benar
atau
nyata,
tetapi
juga
melalui
fiksi,
cerita
yang
tidak
pernah
terjadi
dalam
kenyataan
tapi
muncul
dari
imajinasi
seseorang
atau
sekelompok
orang.
Pasti
kita
semua
pernah
mengalami
emosi
kita
pada
saat
lagi
menikmati
sebuah
karya
fiksi,
seperti
film,
sinetron,
novel
atau
dongeng.
Ada
yang
ketawa,
menangis,
marah,
berteriak
atau
terharu,
walaupun
kita
sudah
mengetahui
dengan
pasti
bahwa
kejadian
yang
membuat
kita
beremosi
tidak
nyata.
Hanya
fiksi.
Hal
yang
sama
terjadi
di
dalam
fiksi
yang
paling
pribadi,
yaitu
mimpi:
kita
dapat
mengalami
situasi
apa
saja,
tanpa
ada
bahaya.
Dan
itu
merupakan
pelajaran
buat
situasi
yang
nyata.
Di
mana-‐mana
dan
pada
setiap
zaman
hal
itu
yang
ternyata
paling
menarik
untuk
diceritakan.
Tidak
aneh,
karena
itu
hal
yang
paling
penting
dalam
kenyataan
kehidupan
sosial
juga.
Dari
awal
La
Galigo
pencarian
isteri
yang
cocok
untuk
Batara
Guru
menjadi
pokok
cerita,
kemudian
perkawinannya
dan
kelahiran
anak-‐anaknya.
Dan
itu
diteruskan
pada
setiap
generasi:
pencarian
isteri
Batara
Lattuq
di
Tompoq
Tikkaq,
Sawerigading
di
Cina,
I
La
Galigo
di
beberapa
negara
lain,
dan
puluhan
tokoh
lain.
Perang
sebagai
halangan
dalam
perjalanan
hidup
juga
sering
menjadi
pokok
cerita.
Baik
sebagai
halangan
dalam
pencarian
jodoh
di
mana
dua
pesaing
harus
pastikan
siapa
yang
mendapat
jodoh,
atau
sebagai
halangan
yang
harus
dihadapi
untuk
meraih
tujuan
salah
satu
tokoh.
Misalnya
Sawerigading
yang
harus
melawan
tujuh
musuh
selama
perjalanan
dari
Luwuq
ke
Cina.
Salah
satu
musuhnya
Settia
Bonga,
tunangannya
We
Cudaiq,
calon
isteri
Sawerigading.
3
La
Galigo:
sumber
atau
cermin?
Dari
karya
sastra
yang
begitu
panjang,
jelas
kita
masih
bisa
mengambil
banyak
contoh
yang
lain,
namun
tidak
mungkin
dalam
rangka
satu
presentasi.
Lebih
baik
sekarang
kita
bertanya
apakah
yang
diceritakan
dalam
La
Galigo
merupakan
contoh
yang
perlu
diikuti
oleh
masyarakat,
atau
mungkin
La
Galigo
merupakan
cermin
budaya
pada
zaman-‐zaman
naskah
ditulis?
Atau,
dan
itu
pendapat
saya,
La
Galigo
mencerminkan
imajinasi
masyarakat
mengenai
dunia
nenek-‐
moyangnya
yang
diagungkan
dan
dicocokkan
dengan
dunia
dan
budaya
mereka
sendiri?
Pada
titik
ini
kita
kembali
lagi
ke
bentuk
tradisi
La
Galigo.
Seperti
dikatakan
pada
awal
presentasi
ini,
bentuk
dan
isi
naskah
dan
tradisi
lisan
La
Galigo
tidak
tetap.
Banyak
variasi
di
antara
naskah,
dan
malah
kadang-‐kadang
ada
yang
bertentangan.
La
Galigo
berabad-‐abad
lamanya
bertumbuh:
ada
tambahan
episode,
ada
perluasan
episode
tertentu
(misalnya
ada
satu
naskah
di
mana
deskripsi
kelahiran
I
La
Galigo
sepanjang
100
halaman,
padahal
di
naskah
lain
jauh
lebih
pendek).
Salah
satu
episode
yang
mungkin
baru
ditambah
setelah
intinya
La
Galigo
sudah
terbentuk
adalah
episode
kelahiran
Sangiang
Serri
dan
asal-‐usulnya
padi.
Ada
beberapa
versi
yang
cukup
berbeda,
dan
sebenarnya
ceritanya
agak
berbeda
dengan
cerita
lain
dalam
La
Galigo.
Mungkin
episode
tersebut
baru
diciptakan
setelah
padi
dikenal
oleh
masyarakat
Bugis.
Yang
menurut
saya
agak
aneh
juga,
walaupun
daerah
Luwuq
menonjol
pada
awal
La
Galigo
setahu
saya
sama
sekali
tidak
disebut
kapurung,
makanan
khas
daerah
itu.
Berhubungan
dengan
makanan
juga
kami
bisa
pertanyakan
apakah
mungkin
babi
juga
dihilangkan
dari
tradisi
La
Galigo
setelah
agama
Islam
masuk
di
Sulawesi
Selatan?
Kemungkinan
besar
masyarakat
tidak
mau
nenek-‐moyangnya
makan
barang
yang
haram.
Sayangnya,
tidak
dapat
dipastikan
karena
tidak
ada
lagi
naskah
dari
zaman
pra-‐Islam.
Salah
satu
episode
yang
saya
sebagai
orang
Belanda
paling
suka
adalah
mengenai
asal-‐usul
orang
Belanda.
Cerita
ini
setahu
saya
hanya
ada
dalam
bentuk
lisan.
Sawerigading
bepergian
ke
dunia
arwah,
Pammessareng,
dan
di
situ
jatuh
cinta
dengan
I
Pinrakati.
Maunya,
membawa
I
Pinrakati
ke
dunia
tengah,
tapi
tidak
mungkin
karena
orang
yang
telah
meninggal
tidak
bisa
kembali
lagi.
Setelah
beberapa
bulan,
I
Pinrakati
hamil.
Datang
waktunya
Sawerigading
harus
kembali
ke
dunia
tengah.
I
Pinrakati
mengantar
Sawerigading
ke
perbatasan
dunia
bawah
dan
dunia
tengah.
Pas
tiba
di
situ
dia
melahirkan.
Karena
I
Pinrakati
sebenarnya
sudah
meninggal,
kulit
bayinya
pucat
dan
matanya
kayak
kaca.
Sawerigading
ingin
bawa
anaknya
ke
dunia
tengah
dan
setelah
dia
naik,
orang
dunia
tengah
tarik
bayinya
juga
ke
atas,
memegang
hidungnya,
sampai
hidungnya
jadi
mancung.
Berarti
orang
Belanda
juga
keturunan
Sawerigading.
Beberapa
hal
bisa
kita
lihat
dari
cerita
ini.
Pasti
baru
diciptakan
setelah
orang
Belanda
masuk
di
daerah
Sulawesi
Selatan,
abad
ke-‐17.
Namun,
mengapa
justru
orang
Belanda?
Padahal,
ada
juga
orang
Arab,
Portugis,
Inggeris
dan
lain-‐lain
yang
mulai
kunjungi
Sulawesi
pada
zaman
itu.
Saya
kira
karena
orang
Belanda
sebagai
penjajah
dan
penguasa
perannya
cukup
penting.
Daripada
dikuasai
oleh
orang
lain
dari
jauh,
lebih
baik
mengartikan
posisi
orang
Belanda
sebagai
4
saudara
yang
wibawanya
berasal
dari
sumber
yang
sama
dengan
penguasa
sendiri.
Ini
juga
sebuah
contoh
dari
fleksibilitas
tradisi
La
Galigo:
selalu
disesuaikan
dengan
situasi
baru.
Masuknya
agama
Islam
dan
integrasinya
dalam
tradisi
La
Galigo
dapat
dilihat
pada
episode
Doa-doa
I
Attaweq
yang
ada
beberapa
doa
dalam
bahasa
Arab.
Episode
Taggilinna
Sinapatie
mengandung
cerita
bagaimana
zaman
La
Galigo
berakhir
dan
Sawerigading
ke
Mekkah,
lalu
bawa
agama
Islam
ke
Sulawesi.
Dari
contoh-‐contoh
di
atas
dapat
dilihat
bahwa
La
Galigo
bukan
suatu
tradisi
yang
statis
dan
abadi.
Justru
sebaliknya.
Setiap
generasi
atau
zaman
dapat
menyesuaikan
tradisi
dengan
situasi
yang
baru,
dengan
zaman
yang
berubah.
Jelas,
banyak
hal
yang
tetap
sama
dan
tidak
atau
hampir
tidak
berubah:
silsilah
tokoh,
masalah
mencari
jodoh,
persaingan
antara
tokoh-‐tokoh
dan
sebagainya.
Mungkin
justru
karena
fleksibilitas
itu
La
Galigo
bertahan
dan
tumbuh
begitu
besar
selama
ratusan
tahun.
Apakah
tradisi
La
Galigo
juga
mampu
menyesuaikan
diri
dengan
perubahan
zaman
modern?
Budaya
moderen
bukan
hanya
membawa
perubahan
budaya
dalam
arti
yang
luas,
namun
juga
perubahan
media.
Tradisi
naskah
sudah
tidak
ada
lagi,
malah
seringkali
tulisan
tangan
ditinggalkan.
Kebanyakan
orang
tidak
menulis
lagi,
tapi
langsung
mengetik
ceritanya
di
dalam
komputer.
Untuk
hiburan
tidak
lagi
perlu
ada
passureq
yang
membacakan
atau
menceritakan.
Sekarang
bisa
nonton
TV,
dengar
radio,
membaca
novel,
atau
nonton
YouTube
di
internet.
Cerita
fiksi
yang
begitu
menarik
dan
penting
buat
manusia
dan
jaringan
sosialnya
terdapat
di
mana-‐mana.
Malah
setiap
orang
bisa
ikut
di
dalam
pengarangan
fiksi
melalui
akun
Facebook
atau
Twitternya.
Tahun-‐tahun
terakhir
juga
muncul
sejumlah
blog
di
internet
yang
topiknya
La
Galigo.
Siapa
tahu
tradisi
La
Galigo
bisa
mengadaptasi
juga
dengan
media
baru,
dan
dilanjutkan
melalui
blog,
Twitter,
film
dan/atau
sinetron.
5