Anda di halaman 1dari 5

Siapakah Pribumi Asli 

Nusantara?
http://history1978.wordpress.com/2010/04/07/siapakah-pribumi-asli-nusantara/

APR 7

Posted by Admin BS

Kembali ke masa prasejarah, penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan,
yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa
pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang. Berdasarkan fosil-fosil
yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta)
tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan
kebudayaan Batu Tua atau Paleolitikum seperti Meganthropus Palaeo
Javanicus,Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis. Manusia-manusia purba ini
sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli
Australia. Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia”
adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa
kebudayaan Batu Tua atau Palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah
dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian
kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari Teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh.
Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukkan bahwa induk bangsa ini
berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk tipe Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan Mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam
kelompok, sudah mengenal api, meramu, dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah
mereka genggam sekali pun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat
ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan
demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena
habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan
manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang
tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.

Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai
bahkan telah menetap. Jika kehidupan mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah
sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan
daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama
dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat
membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup
menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang
ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu.
Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi
kepemilikan siapa pun.
Hal ini berbeda dengan manusia Indonesia purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk

hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketikasampai di satu tempat yang dilakukannya adalah
mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah
atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan
ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai) walau pun
tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa
Melanesoide datang, mereka mulai menetap walau pun semi nomaden. Mereka akan pindah jika
sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas tempat-tempat yang akan ditempatinya
adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi
targetannya. Padahal, wilayah ini adalah juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan
makanannya. Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan Palaeolitikum
dengan kebudayaan Mesolitikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau chopper, alat-
alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak
pendek, dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal, yaitu:
1. penduduk asli ditumpas, atau
2. mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem
untuk melayani para pemenang perang.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan bangsa
yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia. Pendatang ini
merupakan bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras Mongoloid yang berasal dari daerah
Yunan, dekat lembah Sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang menyebabkan bangsa
Melayu Tua meninggalkan asalnya, yaitu :
1. ada desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
2. ada peperangan antarsuku;
3. ada bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya Sungai She Kiang dan sungai-sungai
lainnya di daerah tersebut.
Suku-suku dari Asia Tengah yakni bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti
memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak, meninggalkan
Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang

ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi. Kapak lonjong dan
kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua
telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah
beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food
producting). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen. Pola
menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka
juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman
mereka.
Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah
dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistem kepercayaan untuk
membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti
yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau,
melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang
lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli.
Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa
pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa
merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.
Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan
tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa
bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi,
daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran. Wilayah yang sudah mulai
ditempati oleh bangsa Melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu
Tua. Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan
modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah
ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka.
Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah
antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa
Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya
sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan
Sumatra Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Filipina, orang-
orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia. Pada gelombang migrasi kedua dari
Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan
bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan
kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah
ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan
bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai
dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda
dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak
ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, Batak pedalaman, Orang
Kubu, dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan
pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia
sekarang.
Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya
menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali
ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam
kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran.
Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-
besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi
titik pertemuan dari Ras Kuning (Mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, Ras Hitam yang
dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan Ras Putih anak benua India. Sehingga tidak ada
penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya.
Kalau pun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang
boyongan sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti
sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru.
Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.

Kepustakaan
D. G. E. Hall. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional.
Stanley. 1998. “Arus dari Utara”. Makalah. Tidak diterbitkan
Simbolon, T. Parakitri. 1995. Menjadi Indonesia I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta:
Kompas-Grasindo.
Prijohutomo & P.J. Reimer. Tentang Orang dan Kejadian Jang Besar Djilid I. Tjet.V. Djakarta-
Amnsterdam: W.Versluys N.V.
Toer, Pramoedya Ananta.1998. Hoakiau di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya.
Sumber tulisan:
http://waridjan.multiply.com/journal/item/48/Siapakah_pribumi_asli_Nusantara

 Bagikan ke :
 Facebook
 Email
 Print

Anda mungkin juga menyukai