Anda di halaman 1dari 17

Tanggal : 07 September 2023

Guru Mapel : Octi Avriani, S.Kom,.M.M

2. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut: Budaya Mesolitik

a. Gambaran umum: apa, kapan, dan siapa?


Penyebutan Zaman Batu Tengah/Madya atau Mesolitikum (dari bahasa Yunani mesos yang
berarti tengah dan lithos yang berarti batu) menunjukkan dua pengertian: pertama, pada periode
ini alat penunjang utama untuk berburu dan mengumpulkan makanan masih sama dengan
periode sebelumnya, yaitu terbuat dari batu yang masih kasar; kedua, periode ini merupakan
masa peralihan dari Zaman Batu Tua ke Zaman Batu Muda (Neolitikum). Sebagai masa
peralihan, periode ini menunjukkan adanya perkembangan budaya dibandingkan periode
sebelumnya.
Masa ini diperkirakan terjadi antara 10.000-2.500 tahun yang lalu atau pada masa Holosen.
Adapun manusia purba pendukung zaman ini adalah jenis Homo sapiens, yang lebih cerdas
karena otaknya mengalami perkembangan. Perkembangan otak tidak terlepas dari kondisi alam
pada masa ini yang sudah lebih stabil. Itulah sebabnya, kekhasan zaman ini dibandingkan
dengan periode sebelumnya adalah adanya perkembangan kebudayaan yang lebih tinggi. Hal
itu terlihat dari corak kehidupan sosial-ekonomis yang sudah jauh lebih berkembang dari
sebelumnnya, munculnya alat serpih- bilah yang merupakan pengembangan dari alat serpih
periode sebelumnya, serta munculnya kepercayaan akan kekuatan adiduniawi.
Akan tetapi, siapakah mereka sesungguhnya? Menurut Poesponegoro dan Notosutanto (1990),
manusia purba jenis Homo sapiens di Nusantara adalah ras pendatang baru, yaitu ras
Australomelanesoid dan ras Mongoloid.
Ras Australomelanesoid diyakini sebagai keturunan Proto Australoid yang berpindah dari
sekitar Laut Tengah dan tinggal di India. Pada saat bangsa Dravida datang ke India, sebagian
terdesak ke pegunungan, sebagian lagi menyingkir ke timur, seperti Kamboja, Tiongkok,
Semenanjung Malaya, dan Indonesia. Pandangan ini diperkuat oleh Sarasin bersaudara
sebagaimana dikutip Restu Gunawan, dkk. (2013: 54). Menurut mereka, penduduk asli
Kepulauan Indonesia, yang ciri-ciri fisik dan kemampuan otaknya sudah sama dengan manusia
modern sekarang, adalah ras bertubuh agak gelap dan kecil. Pada mulanya, mereka tinggal di
Asia bagian tenggara. Oleh Sarasin, penduduk asli Indonesia itu disebut sebagai bangsa Vedda.
Mereka mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang
Vedda yang saat ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan (termasuk India), dan Oseania.

Orang-orang Vedda atau ras Australomelanesoid ini hidup dalam budaya mesolitik. Tidak
mengherankan, hasil-hasil budaya di Indonesia pada masa ini mendapat pengaruh kuat dari
wilayah- wilayah Asia Tenggara, khususnya kebudayaan Bacson-Hòa Bình di daerah Tonkin
(Vietnam bagian utara). Ras yang masuk dalam kelompok ini adalah bangsa Hieng di Kamboja,
Miao-tse dan Yao- Jen di Tiongkok, serta Senoi di Semenanjung Malaya.
Di Indonesia, yang termasuk dalam ras ini dan keturunannya yang masih ada sampai sekarang
adalah suku bangsa Kubu atau suku Anak Dalam (Jambi), Lubu atau orang Ulu (Jambi dan
Sumatra Selatan), Talang Mamak (Riau), dan Toala di Sulawesi.
Apakah ada kaitan antara ras pendatang baru ini dan manusia purba yang hidup sebelumnya,
yaitu Homo wajakensis dan Homo soloensis? Hipotesis yang populer mengatakan, Homo
wajakensis dan Homo soloensis telah punah atau dalam proses kepunahan ketika kedua ras
pendatang baru ini tiba. Faktor utama kepunahan adalah keterbatasan kemampuan otak mereka
membuat strategi-strategi baru menyesuaikan diri dengan alam, termasuk keterbatasan
menggunakan otak untuk mengatasi berbagai penyakit yang timbul. Hal semacam ini juga
terjadi pada manusia purba sebelum mereka: Pithecanthropus dan Meganthropus.
Hipotesis lain mengatakan, manusia Solo dan manusia Wajak tidak punah, tetapi melebur
melalui proses kawin- mawin (kohabitasi) dengan ras pendatang baru. Percampuran itu
menghasilkan manusia Indonesia seperti sekarang.
Terlepas dari hal tersebut, pandangan populer mengatakan pada masa ini Nusantara dihuni
kedua ras pendatang baru itu, yaitu jenis Homo sapiens yang sudah sama persis dengan manusia
modern.
b. Corak kehidupan sosial-ekonomis

Corak kehidupan mereka tetap sama dengan masa sebelumnya, yaitu berburu dan
mengumpulkan makanan dari alam. Bedanya, selain alat-alat dari batu, pada masa ini mereka
juga mampu membuat alat-alat dari tulang dan kulit kerang.
Mereka mengenal pembagian kerja: laki-laki berburu, sedangkan perempuan mengumpulkan
makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan kecil, memasak atau memelihara api,
dan membimbing anak.
Hal itu jugalah yang membuat mereka mengenal kebiasaan bertempat tinggal secara tidak tetap
(semi-sedenter), terutama di gua-gua payung (abris sous roche). Mereka memilih gua-
Historia

Mengapa Manusia Praaksara Tinggal di Tepi Aliran Sungai?


Manusia purba lebih suka mendiami daerah tepi aliran sungai. Mengapa? Karena sungai
merupakan sumber air, sumber makanan, dan memiliki banyak gua. Tidak hanya manusia,
berbagai hewan pasti memerlukan air, termasuk hewan buruan. Nah, manusia terkadang
tidak perlu bersusah-susah mengejar hewan buruan karena hewan buruan datang sendiri ke
tepian sungai untuk minum. Sungai juga kaya makanan lain seperti ikan.
Di tepi sungai juga biasanya banyak gua yang bisa menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi
manusia purba, terutama dari ancaman hewan buas. Ketika generasi baru yang disebut Homo
sapiens tiba dan memilih menetap, tepi aliran sungai tetap menjadi pilihan tempat tinggal
karena mudah mengairi lahan pertanian.
Di Indonesia, tepi sungai yang menjadi tempat tinggal manusia purba adalah Sungai
Bengawan Solo. Banyak fosil ditemukan di wilayah sepanjang teras sungai ini, seperti
tengkorak dan tulang Homo erectus serta penemuan rangka utuh gajah purba. Wilayah-
wilayah sepanjang teras sungai ini, antara lain Sangiran, Sambungmacan, Cemeng, Trinil,
Selopuro, dan Ngandong. Penemuan fosil tengkorak di wilayah Sambungmacan, Trinil, dan
Ngandong merupakan salah satu bukti peradaban manusia di wilayah aliran sungai.

gua yang tidak jauh dari sumber air atau sungai yang terdapat sumber makanan seperti ikan,
kerang, dan siput (baca Historia).
Selain bertempat tinggal di gua-gua, ada juga kelompok manusia lain yang bertempat tinggal
di tepi pantai, yang hidupnya lebih tergantung pada bahan-bahan makanan yang terdapat di
laut. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kulit kerang dan siput dalam jumlah banyak
selain tulang-belulang manusia dan alat-alatnya di dalam timbunan kulit kerang (remis) dan
siput yang membukit yang disebut dengan kjokkenmoddinger. Kenyataan ini juga
menunjukkan bahwa mereka telah mengenal pencarian dan pengumpulan makanan di laut.
Selama bertempat tinggal di gua-gua, selain mengerjakan alat-alat mereka juga mulai mengenal
tradisi melukis di dinding-dinding gua atau dinding karang. Sumber inspirasi dari lukisan-
lukisan ini adalah cara hidup mereka yang serba bergantung pada alam. Lukisan-lukisan itu
menggambarkan suatu pengalaman, perjuangan, harapan hidup, dan bahkan kepercayaan
mereka.

Pada masa ini pula, untuk pertama kalinya manusia purba menemukan api. Penemuan api tidak
terlepas dari perkembangan otak mereka sebagai akibat dari tuntutan menyesuaikan diri dengan
perkembangan alam dan lingkungan.

Secara khusus, api berperan penting dalam kehidupan gua, seperti menghangatkan tubuh,
menghalau hewan buas di malam hari, serta memasak makanan.
Di tahap akhir masa ini, mereka telah mengenal cara bercocok tanam yang sangat sederhana
dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut kondisi kesuburan tanah. Hutan yang
dijadikan tanah pertanian dibakar terlebih dahulu dan dibersihkan (slash and burn). Di sana,
mereka menanam umbi- umbian seperti keladi.
c. Hasil-hasil budaya
Pada masa ini, berkembang tiga tradisi pokok pembuatan alat-alat di Indonesia, yaitu: tradisi
serpih-bilah, alat tulang, dan kapak genggam Sumatra. Tradisi pembuatan alat pada masa ini
mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan Bacson dan Hòa Bình (± tahun 12000-8000 SM) dari
Vietnam bagian utara, yang diduga merupakan daerah asal pendatang baru ras
Australomelanesoid itu.

1) Serpih-bilah (flakes)
Tradisi serpih terutama berlangsung dalam kehidupan di gua-gua Sulawesi Selatan, seperti di
Leang Karassa dan pulau-pulau Nusa Tenggara Timur, sedangkan di gua-gua di Jawa serpih-
bilah tidak memainkan peran penting dalam konteks tradisi tulang.
2) Alat tulang (pebble)
Alat tulang banyak ditemukan di Jawa Timur. Arkelog L.J.C. van Es berjasa menemukan alat-
alat ini. Adapun temuan alat-alat tulang yang terkenal di Jawa ialah di Gua Lawa, dekat
Sampung (Jawa Timur). Di tempat itu ditemukan juga serpih-bilah sederhana, alat-alat tulang
(dua macam bentuk sudip tulang dan semacam belati dari tanduk), mata panah batu yang
bersayap dan berpangkal konveks, hematit (besi oksida), lesung batu, serta perhiasan dari kulit
kerang.

3) Kapak genggam Sumatra (Sumatralith)


Sejumlah alat batu yang di Indonesia dikenal dengan istilah "Sumatralith" atau kapak genggam
Sumatra, berasal dari Asia Tenggara dan ditemukan di Tiongkok Selatan, Vietnam, Kamboja,
Annam, Thailand, dan di Semenanjung Malaya. Melalui daerah Semenanjung Malaya tradisi
ini menyebar ke Indonesia, dan ditemukan di daerah pantai Sumatra Utara yang berhadapan
dengan semenanjung itu.

d. Bentuk kepercayaan awal


Selama bertempat tinggal di gua-gua, mereka mulai mengenal tradisi melukis di dinding-
dinding gua.

Lukisan yang terkait dengan sistem kepercayaan awal banyak terlihat di gua-gua di Sulawesi
Selatan dan Papua. Lukisan tangan dengan latar belakang cat merah di Gua Leang-Leang
(Sulawesi Selatan), misalnya, diyakini sebagai simbol kekuatan atau lambang kekuatan
pelindung terhadap gangguan roh-roh jahat; cap-cap tangan yang jari-jarinya tidak lengkap
diperkirakan merupakan ungkapan berduka atau berkabung- sedangkan menurut etnoarkeolog
H.R. van Heekeren, cap tangan menggambarkan suatu perjalanan dari arwah mereka yang telah
meninggal, yang sedang meraba-raba menuju alam arwah.
Menurut Robert dan Galis, lukisan-lukisan gua bertalian dengan upacara-upacara
penghormatan nenek moyang, upacara kesuburan, inisiasi, dan mungkin juga untuk keperluan
ilmu dukun, untuk meminta hujan dan kesuburan, atau memperingati suatu kejadian yang
penting.
Selain lukisan-lukisan di dinding gua atau di dinding-dinding karang, alam kepercayaan
masyarakat pada masa itu juga terlihat dalam peristiwa atau upacara penguburan. Bukti-bukti
tentang penguburan ditemukan di Gua Lawa (Jawa Tengah), Gua Sodong (Jawa Tengah), dan
bukit kerang di Sumatra Utara.
Para ahli juga meyakini kebiasaan ini merupakan bentuk kepercayaan awal manusia purba akan
adanya kehidupan setelah mati, yaitu berupa roh-roh orang yang telah meninggal, dan karena
itu jasad dan roh-rohnya patut mendapatkan penghormatan atau pemujaan.

3. Masa Bercocok Tanam: Budaya Neolitik

a. Gambaran umum: apa, kapan, dan siapa?


Masa bercocok tanam ini disebut Zaman Neolitikum atau Zaman Batu Muda (dari bahasa
Yunani neo yang berarti baru dan lithos yang berarti batu). Sebagian ahli lebih suka
menyebutnya Zaman Batu Baru untuk menunjukkan lahirnya tradisi yang baru pada masa ini,
yaitu bercocok tanam. Melalui bercocok tanam, terjadi perubahan besar dalam kehidupan
manusia, yaitu dari food gathering (berburu dan mengumpulkan makanan) ke food producing
(menghasilkan makanan sendiri). Bisa dikatakan, tradisi bercocok tanam merupakan sebuah
revolusi (perubahan yang besar) dalam peradaban manusia. Selain itu, sebutan Zaman Batu
Baru juga hendak menunjukkan bahwa alat-alat dari batu untuk menunjang kegiatan bercocok
tanam semakin halus dan indah, seperti kapak persegi dan kapak lonjong.
Pada masa ini juga sudah dikenal teknologi pembuatan tembikar, perhiasan, serta peternakan.
Menurut R. Soekmono kebudayaan yang dikembangkan pada masa bercocok tanam inilah yang
menjadi dasar kebudayaan Indonesia sekarang ini.
Siapakah mereka sesungguhnya? Mereka adalah gelombang pertama bangsa Melayu
Austronesia dari ras Mongoloid yang datang ke Nusantara pada 1500 SM. Mereka lazim juga
disebut bangsa Proto-Melayu atau Melayu Tua. Jumlah mereka lebih banyak dari penduduk
asli, yaitu orang-orang dari ras Australomelanesoid dan Mongoloid dari masa berburu-meramu
tingkat lanjut. Kemungkinan juga mereka berbaur dengan penduduk asli tersebut.
Gelombang pertama ini datang dari Yunnan, wilayah Tiongkok bagian selatan (sekarang
menjadi provinsi tersendiri di Tiongkok). Mereka bermigrasi ke Indonesia melalui dua jalur,
sebagai berikut.
1) Jalur Barat, dari Yunnan menuju Thailand (Siam), Semenanjung Malaya, kemudian ke
Sumatra, Jawa, dan Flores.
2) Jalur Timur, dari Yunnan melalui Vietnam menuju Taiwan, Kepulauan Filipina, kemudian
ke Kepulauan Maluku, Sulawesi, Halmahera, dan Papua.
Keturunan Melayu Tua yang sampai sekarang masih ada di Indonesia adalah suku bangsa
Dayak, Toraja, Batak, dan Papua. Berdasarkan temuan persebaran kebudayaan Neolitikum,
bangsa Melayu Austronesia atau Proto-Melayu ini menyebar merata di seluruh Indonesia.
Mereka membawa kebudayaan baru yang disebut budaya Neolitik (budaya batu baru).
Masa ini disebut juga zaman kebudayaan kapak persegi karena banyaknya ditemukan kapak
dari batu yang sudah halus, seperti beliung, kapak corong, dan kapak lonjong.
Lahirnya tradisi bercocok tanam tidak mengherankan karena wilayah yang pertama kali
disinggahi orang-orang Yunnan ini adalah Vietnam (orang-orang Dong Son) dan Thailand
yang sejak ratusan tahun sebelumnya telah mengenal tradisi bercocok tanam. Hal itu juga
berarti migrasi orang Yunnan (atau Vietnam) yang terjadi pada masa ini menggunakan jalur
laut. Sebab, selain petani yang andal, orang-orang Dong Son yang bermigrasi dari Yunnan itu
juga dikenal sebagai pelaut-pelaut andal.
Pendatang dari Dong Son ini berbaur dengan penduduk asli dari ras Australomelanesoid.
Kedatangan mereka, yang merupakan campuran bangsa Yunnan dengan penduduk asli Dong
Son, membuat jumlah penduduk pada masa ini lebih besar dari sebelumnya. Faktor-faktor lain
bertambahnya jumlah penduduk adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan karena
pengelolaan pertanian dan peternakan yang lebih baik.
b. Corak kehidupan sosial-ekonomis
Cara hidup berburu dan mengumpulkan makanan perlahan- lahan ditinggalkan. Seiring dengan
itu, masyarakat memelihara hewan-hewan tertentu (pastoralisme). Sebagian kecil penduduk
yang tinggal di tepi pantai memproduksi garam dan mencari ikan.

Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan menebang dan membakar pohon-pohon dan
belukar (slash and burn) sehingga terciptalah ladang-ladang yang memberikan hasil- hasil
pertanian, meskipun sifatnya masih sederhana. Tanaman yang dikembangkan, di antaranya
keladi, pisang, kelapa, salak, rambutan, sukun, dan duku. Sementara itu, jenis hewan yang
diternakkan, di antaranya ayam, kerbau, anjing, dan babi.
Sebagai konsekuensi dari tradisi baru itu (bercocok tanam), mereka sudah tinggal menetap
(sedenter). Perkampungan terdiri atas tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami secara
berkelompok oleh beberapa keluarga. Bangunan tempat tinggal dibuat dari kayu atau bambu.
Gotong royong juga telah menjadi bagian dari corak kehidupan masyarakat. Menebang hutan,
membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil, membuat gerabah, kegiatan tukar-
menukar, berburu, dan menangkap ikan dilakukan secara gotong royong.
Mereka juga mengenal pembagian kerja antara kaum wanita dengan laki-laki. Contohnya,
pekerjaan berburu yang menghabiskan tenaga banyak dilakukan oleh para lelaki. Menangkap
ikan yang dekat dengan tempat tinggal (sungai, rawa, atau tempat-tempat yang dangkal di
danau-danau) dapat dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak, sedangkan menangkap ikan
di laut lepas pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki. Selain itu, ada anggota masyarakat yang
membuat beliung kasar di tempat yang disebut atelier, ada yang bertugas menghaluskannya,
dan sebagainya.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kegiatan-kegiatan dalam kehidupan


perkampungan yang terutama ditujukan untuk mencukupi kehidupan bersama mulai diatur dan
dibagi di antara anggota-anggota masyarakat. Pemimpin yang disebut primus interpares
semakin berperan penting pada masa ini.
c. Hasil-hasil budaya
Masa bercocok tanam dimulai kira-kira bersamaan dengan berkembangnya kemahiran
mengupam (menggosok dan mengilapkan) alat-alat batu serta dikenalnya pembuatan gerabah.
Dari hasil pengupaman, lahir bentuk beliung persegi, kapak, mata panah, dan tombak. Beliung
dan kapak batu tersebar di seluruh Nusantara dan sering kali dianggap sebagai petunjuk umum
tentang masa bercocok tanam di Indonesia.

1) Beliung persegi
Beliung persegi adalah alat batu paling menonjol dari masa bercocok tanam. Daerah
penemuannya meliputi hampir seluruh Kepulauan Indonesia. Umumnya, beliung persegi
berbentuk memanjang dengan penampang lintang persegi. Seluruh bagiannya diupam halus,
kecuali pada bagian pangkalnya sebagai tempat ikatan tangkai. Ukuran dan bentuknya macam-
macam, tergantung penggunaannya.
Ada beberapa variasi beliung persegi. Variasi yang paling umum ialah belincung, beliung
berpunggung tinggi.
2) Kapak lonjong

Tradisi kapak lonjong diduga lebih tua daripada tradisi beliung persegi. Bentuk umumnya
lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah
dari dua arah dan menghasilkan bentuk tajaman yang simetris. Bahan yang dipakai umumnya
batu kali yang berwarna kehitam-hitaman. Daerah penemuan kapak lonjong di Indonesia hanya
terbatas di daerah timur, yaitu Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Maluku, Leti, Tanimbar, dan
Papua.
3) Alat-alat obsidian
Alat-alat yang khusus dibuat dari batu kecubung (obsidian) berkembang sangat terbatas di
beberapa tempat saja. seperti Jambi, Leles (sekitar Danau Cangkuang dekat Garut), Leuwiliang
(Bogor), sekitar Danau Tondano (Minahasa), dan dalam jumlah sangat terbatas di Flores Barat.
4) Mata panah

Alat ini berhubungan dengan kehidupan berburu. Ada dua tempat penemuan yang penting,
yaitu Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Tempat-tempat penemuan mata panah di Jawa Timur,
yaitu Sampung (Gua Lawa), Tuban (Gua Gede dan Kandang), dan gua-gua kecil di bukit-bukit
dekat Tuban, di Besuki (Gua Petpuruh), Bojonegoro (Gua Kramat dan Lawang), Punung
(tersebar di permukaan bukit-bukit kecil di Song Agung, Sembungan, Gunung Galuh), dan
lain-lain.

5) Gerabah
Penyelidikan arkeologis membuktikan benda-benda gerabah mulai dikenal pada masa
bercocok tanam. Bukti-bukti tersebut berasal dari Kendenglembu (Banyuwangi), Klapadua
(Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minanga Sipakka (Sulawesi), sekitar bekas
Danau Bandung, dan Paso (Minahasa). Kendati demikian, dari temuan-temuan tersebut tampak
bahwa teknik pembuatan dan pola hias gerabah pada masa bercocok tanam masih sangat
sederhana: semuanya dikerjakan dengan tangan serta hanya menggunakan goretan sederhana
di lingkar luarnya.

6) Alat pemukul dari kulit kayu


Beberapa dari alat ini yang dibuat dari batu ditemukan di Kalimantan (Ampah) dan Sulawesi
Tengah (Kalumpang, Minanga Sipakka, Langkoka, dan Poso).

7) Perhiasan
Dalam masa bercocok tanam, perhiasan-perhiasan berupa gelang dari batu dan kulit kerang
telah dikenal. Perhiasan seperti ini umumnya ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

d. Sistem kepercayaan
Hal penting lain yang terjadi di Nusantara pada masa ini adalah berkembangnya sistem
kepercayaan yang disebut animisme dan dinamisme.

1) Animisme
Animisme, dari bahasa Latin anima yang berarti "roh", adalah kepercayaan bahwa segala
sesuatu yang ada di bumi ini baik hidup maupun mati (seperti kawasan tertentu, gunung, laut,
sungai, gua, pohon atau batu) memiliki roh. Manusia mesti berhubungan baik atau
menghormati roh-roh itu dengan cara melakukan acara pemujaan atau memberi sesaji.
Berhubungan baik dengan cara melakukan acara pemujaan atau memberi sesaji dimaksudkan
agar roh-roh itu bisa melindungi manusia dan bahkan membantu kehidupan manusia.
Bagian yang tak terpisahkan dari animisme adalah kepercayaan akan roh orang yang telah
meninggal. Hal itu tecermin dalam upacara penguburan dan tradisi megalitik. Orang yang
sudah meninggal dibekali bermacam-macam barang keperluan sehari-hari, seperti perhiasan
dan periuk, dan dikubur bersama-sama dengan maksud agar perjalanannya ke dunia arwah dan
kehidupan selanjutnya terjamin.
Tradisi bangunan megalitik (mega berarti besar, lithos berarti batu) didasarkan pada
kepercayaan akan adanya hubungan antara orang yang masih hidup dan yang telah meninggal,
terutama pengaruh kuat orang yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat serta
kesuburan tanaman. Jasa seorang kerabat yang telah meninggal diabadikan dengan mendirikan
bangunan batu besar (megalitik). Bangunan ini menjadi sarana penghormatan, tempat singgah,
serta lambang dari orang yang telah meninggal itu.
Bangunan dan tradisi megalitik tersebar hampir di seluruh Kepulauan Indonesia, di antaranya
Nias, Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sumbawa, Kalimantan, Toraja, Flores, dan Sumba.

Bentuk bangunannya bermacam-macam. Bangunan yang paling tua mungkin berfungsi sebagai
kuburan dengan bentuk beraneka ragam. Bentuk tempat penguburan dapat berupa dolmen, peti
kubur batu, bilik batu, sarkofagus (keranda batu), kalamba atau bejana batu, waruga, batu
kandang, dan temugelang. Di tempat-tempat penguburan seperti ini biasanya terdapat beberapa
batu besar lainnya sebagai pelengkap pemujaan, seperti menhir, patung nenek moyang, batu
saji, batu lumpang, batu lesung, batu dakon, pelinggih batu, tembok batu, atau jalan berlapis
batu.
Peninggalan megalitik di Sumatra Selatan terutama berupa menhir, dolmen, kubur berundak,
peti kubur batu, palung, lesung batu, serta patung-patung batu bergaya statis dan dinamis.
Sementara itu, monumen-monumen megalitik yang telah diteliti di Jawa Barat ialah di Kosala,
Lebaksibedug, Pasir Angin (Bogor), Leles (Garut), Kuningan, dan Kampung Muara (Bogor).
Di Jawa Tengah, bangunan megalitik banyak tersebar di wilayah-wilayah seperti Purbalingga,
kaki Gunung Slamet (tepatnya di Desa Limbasari Kecamatan Bobotsari) di mana tersebar 18
situs megalitik, serta Rembang (Situs Terjan).
Selanjutnya, di wilayah timur Indonesia seperti di Sumba terdapat situs megalitik berupa
makam di Waingapu (Sumba Barat), yang sampai sekarang masih dirawat dengan baik oleh
masyarakat setempat. Di Kepulauan Nias, masih banyak unsur dari Zaman Megalitikum yang
dipertahankan oleh masyarakat, seperti tradisi lompat batu yang merupakan bagian dari
upacara inisiasi dari ritus pendewasaan seorang anak. Tradisi penggunaan kubur batu pun
masih dipraktikkan di beberapa wilayah di tempat itu.
2) Dinamisme

Dinamisme, dari bahasa Yunani dunamos yang berarti kekuatan atau daya, adalah kepercayaan
bahwa benda- benda di sekitar manusia memiliki daya atau kekuatan gaib yang mampu
memberikan manfaat ataupun marabahaya bagi manusia. Benda-benda suci itu mempunyai
sifat yang luar biasa, baik karena kebaikan maupun karena keburukannya, sehingga dapat
memancarkan pengaruh baik atau buruk kepada manusia dan dunia sekitarnya.

Benda-benda yang dianggap suci ini, seperti pusaka, lambang kerajaan, tombak, keris, dan
gamelan akan membawa pengaruh baik bagi masyarakat, misalnya menyuburkan tanah,
mencegah wabah penyakit, menolak malapetaka, dan sebagainya.

4. Masa Bercocok Tanam Tingkat Lanjut: Budaya Megalitik


Pada masa ini, tradisi bercocok tanam semakin berkembang. Namun, ada yang khas pada masa
ini, yaitu alat-alat budaya terbuat dari dan berupa batu-batu besar. Oleh karena itu, masa ini
disebut Zaman Megalitikum (dari bahasa Yunani mega yang berarti besar dan lithos yang
berarti batu). Zaman ini berlangsung sejak berakhirnya Zaman Neolitikum sampai Zaman
Perunggu. Jadi, Zaman Megalitikum merupakan masa transisi dari Zaman Batu ke Zaman
Logam.
Siapakah pendukung zaman ini? Menurut arkeolog berkebangsaan Austria, Robert von Heine-
Geldern (1885-1968), pendukung kebudayaan megalitikum tidak lain adalah orang-orang
proto-Melayu yang sudah masuk ke Indonesia pada 1500 SM (Zaman Neolitikum). Jadi,
berakar pada Zaman Neolitikum. Oleh karena itu, kebudayaan dari batu pada masa ini disebut
juga megalit tua.
Lahirnya bangunan-bangunan besar dari batu ini tidak terlepas dari berkembangnya
kepercayaan akan roh nenek moyang pada masa ini. Sebab, bangunan-bangunan besar dari batu
itu dibuat terutama sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang. Munculnya
kepercayaan semacam ini disebabkan pengetahuan dan kesadaran mereka akan alam semesta
dan hidupnya semakin meningkat.

Kelak, pada masa perundagian (Zaman Logam), kebudayaan megalitikum ini semakin
berkembang lagi berkat kedatangan gelombang kedua bangsa Melayu Austronesia (ras
Mongoloid) dari Yunnan sekitar tahun 300 SM. Oleh karena itu, kebudayan dari batu pada
masa itu disebut juga megalit muda.
Bangunan megalitik tersebar hampir di seluruh Nusantara, seperti Nias, Sumatra Selatan, Jawa,
Bali, Sumbawa, Kalimantan, Toraja, Flores, dan Sumba. Bentuk bangunannya bermacam-
macam, seperti menhir, kubur batu, dolmen, batu lumpang, batu dakon, dan pelinggih.
a.Menhir
Menhir adalah tugu batu tegak yang sengaja ditempatkan di suatu tempat untuk memperingati
orang yang sudah meninggal. Batu tegak ini merupakan media penghormatan, sekaligus
lambang bagi orang-orang yang sudah meninggal tersebut.
b. Punden Berundak

Punden berundak merupakan bangunan yang disusun secara bertingkat-tingkat yang


dimaksudkan untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Bangunan ini kemudian
menjadi konsep dasar bangunan candi pada masa Hindu-Buddha.
c. Kubur Batu
Bentuknya mirip dengan bangunan kuburan seperti yang dapat kita lihat saat ini, umumnya
tersusun dari batu yang terdiri atas dua sisi panjang dan dua sisi lebar. Sebagian besar kubur
batu yang ditemukan terletak membujur dari arah timur ke barat. Menurut konstruksinya,
bentuk kubur batu yang tersebar di Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu
kubur dolmen, kubur peti batu, kubur bilik, tempayan batu (kalamba dan waruga), dan keranda
batu atau sarkofagus.
Waruga adalah kubur batu yang tidak memiliki tutup dan banyak ditemukan di situs Gilimanuk,
Bali.
Sarkofagus adalah sejenis kubur batu, tetapi memiliki tutup di atasnya. Biasanya, wadah dan
tutupnya berukuran sama. Pada dinding muka sarkofagus, biasanya diberi ukiran manusia atau
hewan yang dianggap memiliki kekuatan magis.
d. Dolmen
Dolmen merupakan bangunan megalitik yang memiliki banyak bentuk dan fungsi, misalnya
sebagai pelinggih roh atau tempat sesaji pada saat upacara. Dolmen biasanya diletakkan di
tempat yang dianggap keramat atau di tempat pelaksanaan upacara yang berhubungan dengan
pemujaan kepada roh leluhur.
e. Arca Batu
Arca batu banyak ditemukan di beberapa tempat di wilayah Indonesia, di antaranya adalah di
Pasemah (Sumatra Selatan) dan di Sulawesi Tenggara. Bentuk arca batu dapat menyerupai
hewan atau manusia dengan ciri negrito. Di Pasemah, ditemukan arca yang dinamakan Batu
Gajah, yaitu sebongkah batu besar berbentuk bulat dan di atasnya terdapat pahatan wajah
manusia yang mungkin merupakan perwujudan dari nenek moyang yang menjadi objek
pemujaan.
Suatu tempat yang khusus dimaksudkan untuk keperluan pemujaan semacam itu terdapat di
Pasir Angin, sebuah bukit yang terletak di dekat Leuwiliang (Jawa Barat). Di atas bukit ini,
ditemukan gerabah (polos dan berhiasan), benda-benda perunggu (kapak, perhiasan, dan
tongkat upacara), serta beberapa beliung persegi.

Benda-benda tersebut tersusun dalam deretan yang menghadap ke sebuah monolit. Berbagai
jenis manik ditemukan pula di tempat ini. Monolit di atas bukit ini merupakan pusat pemujaan.
Menurut kepercayaan, arwah nenek moyang turun pada waktu-waktu tertentu untuk dimohon
restunya. Sebagai tanda bakti, ditanamlah benda-benda tertentu di pelataran tempat pemujaan
ini.
Selain itu, orang yang telah meninggal diberikan penghormatan dan sesajian selengkap
mungkin dengan maksud mengantar arwah dengan sebaik-baiknya ke tempat tujuannya, yaitu
dunia arwah. Oleh karena itu, penguburan orang yang meninggal dilakukan dengan dua cara,
yaitu dengan cara langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder).
Pada penguburan langsung (primer), mayat langsung dikuburkan di tanah atau diletakkan
dalam suatu wadah di dalam tanah. Penguburan ini biasa dilakukan di sekitar tempat kediaman
dan sering kali mayat diletakkan mengarah ke tempat yang dipandang sebagai asal usul suatu
kelompok penduduk atau yang dianggap sebagai tempat arwah nenek moyang bersemayam.
Penguburan langsung ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi, Sumbawa, Sumba,
dan Flores. Posisi mayat yang dikubur ialah membujur atau terlipat.
Penguburan tak langsung dilakukan dengan mengubur mayat lebih dahulu dalam tanah atau
kadang-kadang dalam peti kayu yang dibuat berbentuk seperti perahu. Kuburan ini dianggap
sebagai kuburan sementara karena upacara yang terpenting dan terakhir belum dilaksanakan.
Setelah semua persiapan untuk upacara disediakan, mayat yang sudah jadi rangka itu diambil,
dibersihkan atau mungkin dicuci, dibungkus lagi, lalu dikuburkan di tempat yang disediakan.
Penguburan yang kedua ini dapat dilakukan di dalam tempayan, kubur batu, atau wadah dalam
tanah.

5. Zaman Perundagian: Zaman Logam


a. Gambaran umum: apa, kapan, dan siapa?
Zaman perundagian ini disebut juga Zaman Logam karena pada masa ini manusia sudah
mampu membuat alat-alat dari logam. Adapun orang yang membuatnya disebut kaum undagi,
yaitu golongan yang terampil atau ahli untuk melakukan pekerjaan tangan. Aslinya, kata
undagi adalah sebutan bagi arsitek tradisional di Bali.
Adanya alat-alat dari logam menjadi kekhasan zaman ini. Hal ini mencerminkan kebudayaan
manusia yang terus berkembang. Di Nusantara, sebagian besar benda logam terbuat dari
perunggu, seperti kapak, nekara, bejana, arca, dan perhiasan perunggu. Logam besi juga
ditemukan, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Meskipun demikian, alat-alat dari batu tidak
ditinggalkan sama sekali.
Siapakah pendukung zaman ini? Mereka adalah gelombang kedua dari bangsa Melayu
Austronesia dari ras Mongoloid, yang tiba di Nusantara sekitar tahun 300 SM. Mereka lazim
juga disebut bangsa Deutro-Melayu atau Melayu Muda dan langsung berbaur dengan penduduk
sebelumnya. Sebagaimana gelombang pertama, mereka juga datang dari Yunnan, wilayah
Tiongkok bagian selatan.
Bangsa Deutro-Melayu ini hidup bersama dan bahkan kawin- mawin (kohabitasi) dengan
penduduk asli dari bangsa dan ras yang sama yang jauh lebih dulu tiba di Nusantara (pada masa
bercocok tanam), yang biasa disebut dengan bangsa Proto-Melayu.
Selain melalui aktivitas perdagangan yang semakin intens pada masa ini, pembauran ini diduga
mempermudah serta mempercepat penyebaran serta pertukaran hasil-hasil budaya.

Kepercayaan kepada pengaruh arwah nenek moyang terhadap perjalanan hidup manusia serta
upacara-upacara religius yang menyertainya semakin berkembang pada masa perundagian.
Bangunan-bangunan megalitik, seperti punden berundak, menhir (batu tegak), sarkofagus
(keranda batu), dolmen, dan kubur batu semakin berkembang pada masa ini. Secara khusus,
pendatang baru ini memperkenalkan benda-benda dari logam. Oleh karena itu pula,
kebudayaan masa perundagian disebut juga kebudayaan megalitik dan kebudayaan logam.
Di Indonesia, dari hasil temuan dan analisis terhadap kerangka, benda-benda bekal kubur, serta
hasil-hasil budaya khas masa ini, manusia purba masa perundagian diketahui pernah hidup di
Anyer Lor (Jawa Barat), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali), dan Melolo (Sumba).
b. Corak kehidupan sosial-ekonomis
Masa ini disebut masa perundagian-dari kata undagi yang berarti terampil-karena pada masa
ini muncul golongan undagi atau golongan yang terampil melakukan suatu jenis usaha tertentu,
seperti membuat alat-alat dari logam, rumah kayu, gerabah, perhiasan, dan sebagainya. Kendati
demikian, dalam arti khusus, golongan undagi mengacu pada orang-orang yang ahli membuat
alat-alat dari logam. Oleh karena itu, dikenalnya logam menandai awal dari masa perundagian.
Tidak semua orang mampu membuat alat-alat tersebut. Hanya golongan terampil atau
golongan undagilah yang mampu membuatnya. Hal itu karena kegiatan tersebut membutuhkan
keterampilan khusus, dan keterampilan itu diperoleh dari latihan yang membutuhkan waktu
tertentu.
Karena membutuhkan keahlian khusus, barang logam ini, terutama di awal masa perundagian
dan kemungkinan besar selama periode pertengahan, termasuk barang mahal dan langka.
Hanya orang-orang tertentu juga yang dapat memiliki alat-alat dari logam.
Kendati demikian, alat-alat dari logam ini tidak menggantikan gerabah. Gerabah tetap
memainkan peran penting. Dapat dikatakan, munculnya alat-alat dari logam hanya mengganti
alat-alat dari batu dan tulang, dan tidak menggantikan gerabah. Pembuatan gerabah bahkan
mengalami kemajuan yang pesat: tidak lagi menggunakan tangan dan tatap batu, tetapi
menggunakan roda pemutar.

Selain itu, munculnya kemampuan membuat alat-alat dari logam tidak menggantikan mata
pencarian pokok, yakni bercocok tanam. Bahkan, keterampilan membuat alat-alat dari logam
itu justru lahir dari kebutuhan mengelola persawahan secara lebih baik.

Dalam perkembangannya, alat-alat dari logam itu juga dipakai untuk tujuan ritual keagamaan,
seiring dengan semakin berkembangnya sistem kepercayaan mereka dalam bentuk animisme
dan dinamisme.

Sementara itu, penduduk Nusantara hidup secara menetap di desa-desa di daerah pegunungan,
dataran rendah, dan di tepi pantai dalam tata kehidupan yang makin teratur dan terpimpin.
Perdagangan dilakukan antarpulau dan antara Kepulauan Indonesia dan Daratan Asia
Tenggara. Perahu bercadik memainkan peranan yang besar dalam hubungan perdagangan ini.
Perdagangan dilakukan dengan cara tukar-menukar barang-barang (barter) yang diperlukan
tiap-tiap pihak. Benda-benda tukar yang digemari adalah terutama benda-benda yang
mengandung arti magis dan bersifat khas, misalnya nekara perunggu, moko, dan benda-benda
perhiasan seperti manik-manik.

Ada dua teknik utama membuat barang-barang dari logam, yaitu a cire perdue (teknik cetak
tuang) dan bivalve (teknik dua setangkup). Berikut langkah-langkah membuat benda logam
dengan teknik cetak tuang.

1) Bentuk model benda logam yang diinginkan dengan menggunakan bahan dasar dari lilin
terlebih dahulu.
2) Model lilin dilapisi dengan tanah liat; setelah mengeras, tanah liat tersebut dipanaskan
dengan api sehingga lilin mencair melalui lubang yang telah disiapkan di bagian bawah model.
3) Dari lubang bagian atas model yang sudah disiapkan, masukkan logam cair dan biarkan
sampai cairan logam mendingin.

4) Setelah dingin, model dari tanah liat tadi dipecahkan, dan benda logam yang kita inginkan
pun sudah jadi.
Keuntungan teknik a cire perdue adalah benda yang diinginkan dapat mempunyai detail yang
sempurna. Kelemahannya adalah cetakan model hanya digunakan sekali saja.
Adapun cara pengolahan logam dengan teknik dua setangkup (bivalve) dapat dilakukan sebagai
berikut.
1) Buat cetakan model dari benda yang dikehendaki dengan bentuk yang dapat saling
ditangkupkan.
2) Selanjutnya, tuangkan logam cair ke dalam cetakan tersebut.
3) Kedua cetakan kemudian saling ditangkupkan.
4) Biarkan sampai logam dingin dan cetakan dapat dibuka.

5) Benda logam yang diinginkan sudah dapat digunakan.


Keuntungan dari teknik dua setangkup adalah cetakan dapat digunakan berulang kali;
kelemahannya adalah terdapat rongga dalam benda logam yang sudah jadi sehingga kurang
kuat.
Teknik penuangan perunggu tidak hanya menghasilkan benda-benda sederhana, seperti kapak
perunggu, gelang, dan mata tombak, tetapi juga benda-benda lain berupa patung moko, dan
benda-benda upacara lain yang diperindah dengan berbagai jenis pola hiasan geometri, topeng,
atau hewan.
Cetakan-cetakan benda perunggu di Indonesia ditemukan di Jawa Barat berupa cetakan
tangkup kapak perunggu dan gelang perunggu yang dibuat dari terakota dan cetakan nekara
tipe Pejeng dari batu padas di Manuaba (Bali).
Selanjutnya, kehadiran pemimpin semakin penting untuk menyikapi perkembangan
masyarakat yang semakin dinamis. Ketika masyarakat mempraktikkan sistem persawahan,
selain berhuma, misalnya, perlu ada gotong royong di antara mereka; dalam proses itu,
ditetapkan juga aturan (misalnya soal pengaturan air sawah), nilai, dan norma bersama.
Pemimpin diperlukan untuk memfasilitasi kerja sama serta menegakkan atau mengawasi
pelaksanaan aturan dan nilai-norma bersama itu. Hal yang sama berlaku juga untuk hubungan-
hubungan sosial yang lain, termasuk misalnya dalam hal upacara keagamaan. Pada masa
berburu-meramu dan bercocok tanam, pemimpin memang sudah dikenal (primus interpares),
tetapi tugas dan perannya tidak sekompleks pada masa perundagian.

Dalam masyarakat ini, mulai tampak pembedaan golongan- golongan tertentu, seperti
golongan pengatur upacara-upacara atau yang berhubungan dengan kepercayaan, petani,
pedagang, serta pembuat benda-benda logam (pandai logam) atau gerabah.

c. Hasil-hasil budaya
1) Alat-alat dari logam perunggu
Berdasarkan temuan-temuan arkeologis, Indonesia hanya mengenal alat-alat dari perunggu dan
dari besi. Alat- alat dari perunggu, di antaranya nekara perunggu, kapak perunggu, bejana
perunggu, dan arca-arca perunggu, sedangkan alat-alat dari besi, di antaranya mata kapak, mata
sabit, mata pisau, mata pedang, cangkul dan tongkat.

(a) Nekara dan moko


Nekara berbentuk seperti dandang terbalik dengan bagian atas yang datar dan bagian bawah
yang terbuka. Bentuk nekara umumnya tersusun atas tiga bagian, yaitu bagian atas terdiri dari
bidang pukul yang datar dan bagian bahu dengan pegangan, bagian tengah berbentuk silinder,
dan bagian bawah atau kaki yang melebar.
Mula-mula dari wilayah Dong Son, Vietnam (antara tahun 3000-2000 SM), persebaran nekara
perunggu meluas sampai ke seluruh wilayah Asia Tenggara, seperti Thailand, Indonesia.
Masyarakat Dong Son adalah masyarakat pelaut. Mereka dikenal sebagai pelaut tangguh, yang
berlayar dengan perahu yang panjang. Dengan perahu tersebut, mereka mudah berpindah-
pindah atau bergerak dari satu tempat ke tempat lain, terutama untuk berdagang, termasuk di
antara wilayah-wilayah di Asia Tenggara.
Dari hasil penggalian di berbagai tempat di Asia Tenggara, nekara memiliki beragam fungsi,
di antaranya sebagai alat upacara keagamaan, sebagai genderang perang, alat memanggil hujan,
benda tukar, wadah atau bekal kubur, penanda status, atau mas kawin. Setiap wilayah
umumnya mengambil salah satu atau dua fungsi tersebut. Di Alor, Flores, dan Rote (ketiganya
di NTT), misalnya, fungsi nekara lebih kompleks, antara lain sebagai sarana upacara, lambang
status sosial, dan sebagai mas kawin. Saat upacara, misalnya, nekara dipukul; biasanya disertai
sesaji.
Di Bali, nekara berfungsi sebagai benda pujaan (sakral) dan wadah kubur. Sebagai benda
pujaan, misalnya, nekara disimpan di tempat yang dianggap sakral, yaitu di Pura Penataran
Sasih. Melalui media nekara tersebut, masyarakat Bali Kuno memohon keselamatan, menolak
bala, meminta hujan, dan mengusir roh-roh jahat. Sementara itu, fungsi nekara sebagai wadah
kubur ditemukan di Desa Manikliyu, Kintamani.
Nekara buatan Indonesia: Nekara tipe Pejeng

Nekara khas Indonesia adalah nekara tipe Pejeng (Bali); yang berukuran kecil disebut "moko"
atau "mako". Nekara dari Pejeng yang berukuran besar memiliki tinggi 1,98 m. Pendapat
bahwa nekara tipe Pejeng merupakan produk asli Indonesia didasarkan pada temuan berupa
cetakan dari batu, yang diduga sebagai cetakan untuk membuat nekara, di Desa Manuaba
(Gianyar-Bali). Situs Manuaba sendiri diduga kuat merupakan situs perbengkelan alat-alat
logam yang ada di Bali. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lima buah fragmen cetakan
batu.
Moko
Moko banyak beredar di bagian timur Indonesia. Orang Alor menyebutnya "moko" atau
"mako", sedangkan penduduk Pulau Pentar menamakan benda ini "kendang perunggu" Bentuk
moko ini masuk dalam nekara tipe Pejeng, tetapi dengan ukuran kecil dengan hiasan-hiasan
yang lebih sederhana. Di daerah Manggarai (Flores), orang menyebut moko dengan nama
"gendang gelang" atau "tambur Di Jawa moko disebut "tambra" atau "tamra", di Leti disebut
"moko malai", yang artinya "palu besar dari Malai (Malaya)", dan di Maluku digunakan nama
"tifa guntur". Daerah-daerah persebaran moko di Indonesia terutama ialah Alor, Solor, Flores,
dan Pentar. Moko yang paling istimewa berasal dari Pulau Selayar, Sulawesi Selatan.
(b) Kapak perunggu
Berdasarkan tipenya, kapak perunggu dibagi dalam dua golongan, yaitu kapak corong (kapak
sepatu) dan kapak upacara. H.R. van Heekeren menambahkan satu tipe lagi, yaitu tembilang
atau tajak. Ada dua fungsi kapak perunggu, yaitu sebagai alat upacara atau benda pusaka, dan
sebagai perkakas atau alat untuk bekerja.
(c) Bejana perunggu
Di Indonesia ditemukan hanya dua buah bejana perunggu, yaitu di Sumatra dan Madura.

(d) Patung perunggu


Bentuk patung perunggu yang ditemukan di Indonesia bermacam-macam, seperti bentuk orang
atau hewan. Patung berbentuk orang, antara lain berupa penari-penari yang bergaya dinamis.
Patung-patung ini ditemukan di Bangkinang (Riau). Sebuah patung perunggu berbentuk hewan
(yaitu kerbau) ditemukan di Limbangan (Bogor).
(e) Gelang dan cincin perunggu

Gelang dan cincin perunggu umumnya tanpa hiasan. tetapi ada juga yang dihias dengan pola
geometris atau pola bintang. Bentuk-bentuk yang kecil mungkin hanya digunakan sebagai alat
penukar atau benda pusaka. Gelang yang berhias umumnya besar dan tebal.

2) Alat-alat dari besi


Dibandingkan perunggu, penemuan-penemuan benda- benda besi terbatas jumlahnya. Sering
ditemukan sebagai bekal kubur, misalnya di kubur-kubur di Wonosari (Jawa Tengah) dan
Besuki (Jawa Timur).
3) Gerabah
Tradisi gerabah Nusantara pada masa perundagian mendapat pengaruh dari dua tradisi gerabah
di Asia Tenggara, yaitu Tradisi Gerabah Sa-Huynh-Kalanay dan Tradisi Gerabah Bau-Malayu.
Kendati alat-alat dari logam telah dikenal luas, peranan dan penggunaan gerabah berlanjut dan
tak tergantikan. Bahkan selama masa perundagian, penggunaannya berkembang: tidak hanya
untuk keperluan sehari-hari, tetapi juga untuk kepentingan upacara penguburan, misalnya
sebagai tempayan dan bekal kubur.

Gerabah memang telah dikenal sejak masa bercocok tanam. Namun, pada masa perundagian,
pembuatan gerabah mencapai tingkat yang lebih maju. Daerah penemuannya lebih jelas serta
ragamnya lebih kaya. Hal ini menunjukkan peranan gerabah dalam kehidupan masyarakat tidak
mudah digantikan oleh alat-alat dari logam, baik perunggu maupun besi. Hal itu karena tidak
setiap orang dapat membuat apalagi memiliki alat-alat dari logam. Maka, gerabah tetap
menjadi alat yang banyak dipakai.

Pada umumnya, gerabah dibuat untuk kepentingan rumah tangga sehari-hari, misalnya sebagai
tempat air, memasak makanan, dan tempat untuk menyimpan makanan dan barang-barang lain.
Dalam upacara-upacara keagamaan gerabah digunakan pula sebagai tempayan kubur dan
sebaga Ditinjau dari daerah persebarannya, gerabah dari masa perundagian dapat digolongkan
dalam tiga kompleks tradis gerabah, yaitu kompleks gerabah Buni, kompleks gerabab
Gilimanuk, dan kompleks gerabah Kalumpang.

d. Bentuk kepercayaan
Kepercayaan kepada pengaruh arwah nenek moyang terhadap perjalanan hidup manusia serta
upacara-upacara religius yang menyertainya semakin berkembang pada masa perundagian
Sama seperti zaman sebelumnya (masa bercocok tanam tingkat lanjut/budaya megalitik), hasil
budayanya berupa bangunan- bangunan besar atau megalitik (mega berarti besar, dan litikum
atau lithos berarti batu) yang berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada roh nenek moyang,
seperti menhir, batu berundak, dolmen, kubur batu, sarkofagus, waruga, serta berbagai jenis
arca berukuran besar. Diyakini bahwa arwah nenek moyang itu akan melindungi dan menyertai
perjalanan hidupnya manusia apabila arwah-arwah itu selalu diperhatikan dan dipuaskan
melalui upacara-upacara.

Anda mungkin juga menyukai