Anda di halaman 1dari 10

CORAK KEHIDUPAN MASYARAKAT PRASEJARAH INDONESIA

Kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Masyarakat dapat bertahan hidup karena menghasilkan kebudayaan, kebudayaan itu ada
karena dihasilkan oleh masyarakat. Dan melalui kebudayaanlah segala corak kehidupan
masyarakat dapat diketahui.
Dengan demikian dari hasil-hasil kebudayaan material seperti yang Anda pelajari pada
kegiatan belajar 1 dapat dikaji dan dipelajari corak kehidupan masyarakat prasejarah
Indonesia, seperti yang akan diuraikan pada uraian materi berikut ini.

1. Pola Hunian

Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah)
atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat
tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal, manusia
mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang
binatang ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada zaman praaksara terdiri atas dua macam,
yaitu :
1. Nomaden
Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-pindah atau
menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan mobilitas tinggi di suatu
tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan mengumpulkan makanan dari alam (Food
Gathering).

2. Sedenter
Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah terorganisir
dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya bercocok tanam serta
sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :
(a) Kedekatan dengan Sumber Air
Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air pada
suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu
pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.
(b) Kehidupan di Alam Terbuka
Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai.
Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan sekat tempat
istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan pola hidup manusia
purba di alam terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan
yang tersedia, termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak
memungkin untuk menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan
sumber air dan bahan makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi
lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs
purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil , ngawi, dan
ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir sungai. Manusia
purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari
daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup.
Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air
yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu
kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan
danau merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di
sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya
dapat dimakan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di
suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula yang

tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat
tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan
apabila sumber makanan di sekitarnya habis.
Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa
dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche, yaitu merupakan
hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang
ditemukan adalah ujung panah, flake, batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari
tanduk rusa. KebudayaanAbris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga
di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan.
Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai sejumlah besar
sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.
Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat
tumpukan

atau

timbunan

sampah

kulit

kerang

dan

siput

yang

disebut kjokkenmoddinger (kjokken = dapur ,modding = sampah) . Tahun 1925 Von Stein
Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan jenis kapak
genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu, ditemukan juga berupa anak
panah atau mata tombak yang diguankan untuk menangkap ikan.
2. Sistem Kehidupan
A. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana: Budaya
Paleolithik

Sebagaimana diungkapkan The Cambridge Encyclopedia of Hunter Gatherers:


berburu dan mengumpulkan makanan (meramu) merupakan bentuk adaptasi pertama manusia

yang paling sukses, serta mencakup 90 persen dari sejarah manusia. Sampai 12.000 tahun
yang lalu, semua manusia hidup dengan cara ini.
Makanan manusia purba pada masa ini bergantung sepenuhnya pada alam dengan
berburu dan mengumpulkan makanan. Itu karena pada masa ini, hewan dan tumbuhtumbuhan telah hidup merata di bumi. Kala Pleistosen sampai Holosen merupakan masa
puncak perkembangan hewan menyusu (mamalia). Maka, berburu hewan menjadi aktivitas
pokok untuk bertahan hidup. Hewan-hewan yang diburu antara lain: rusa, kuda, babi hutan,
kijang, kerbau, kera, gajah, kuda nil, dan sebagainya.
Karena berburu menjadi sarana utama untuk bertahan hidup, kehidupan manusia
purba Indonesia pada masa ini, sejak Pithecanthropus sampai Homo sapiens, bersifat
nomaden atau berpindah-pindah mengikuti gerak binatang buruan serta sumber air.
Kehidupan menetap (sedenter) belum dikenal.
Migrasi (perpindahan) hewan buruan itu umumnya dipengaruhi beberapa faktor utama
sebagai berikut.
1) adanya perubahan iklim yang ekstrem, misalnya kemarau panjang yang membuat banyak
padang rumput dan sumber air menjadi kering, atau musim hujan berkepanjangan yang
membuat suhu lingkungan menjadi sangat dingin;
2) bencana alam, yang juga ikut membuat manusia bermigrasi;
3) ancaman dari sesame hewan, yaitu hewan karnivora;
4) gangguan manusia;
5) tumbuh-tumbuhan biasanya lebih mudah tumbuh dan berkembang di daerah-daerah
beriklim lebih panas, yangmembuat hewan-hewan pemakan tumbuhan (herbivora) ikut
bermigrasi, mengikuti migrasi tumbuh-tumbuhan itu. Migrasi hewan-hewan herbivore
ini dengan sendirinya membuat hewan-hewan karnivora ikut bermigrasi juga.

B. Masa Beburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut: Budaya Mesolithik

Corak kehidupan manusia purba pada masa ini tetap sama seperti pada masa
sebelumnya, yaitu berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Bedanya, selain alat-alat
dari batu, pada masa ini mereka juga mampu membuat alat-alat dari tulang dan kulit kerang.
Mereka mengenal pembagian kerja: laki-laki berburu, sedangkan perempuan
mengumpulkan makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan kecil, memasak atau
memelihara api, dan membimbing anak.
Hal itu jugalah yang membuat mereka mengenal kebiasaan bertempat tinggal secara
tidak tetap (semi-sedenter), terutama di gua-gua payung (abris sous roche). Mereka memilih
gua-gua yang tidak jauh dari sumber mata air atau sungai yang terdapat sumber makanan
seperti ikan, kerang, dan siput.
Selain bertempat tinggal di gua-gua, ada juga kelompok manusia lain yang bertempat
tinggal di tepi pantai, yang hidupnya lebih tergantung pada bahan-bahan makanan yang
terdapat di laut. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kulit kerang dan siput dalam
jumlah banyak selain tulang-tulang manusia dan alat-alatnya di dalam timbunan kulit kerang
(remis) dan siput yang membukit yang disebut dengan kjokkenmoddinger. Kenyataan ini juga
menunjukkan bahwa mereka telah mengenal pencarian dan pengumpulan makanan di laut.
Selama bertempat tinggal di gua-gua, selain mengerjakan alat-alat, mereka juga mulai
mengenal tradisi melukis di dinding-dinding gua atau dinding karang. Sumber inspirasi dari
lukisan ini adalah cara hidup mereka yang serba tergantung pada alam. Lukisan-lukisan itu
menggambarkan suatu pengalaman, perjuangan, harapan hidup, dan bahkan kepercayaan
mereka.
Selain itu, agar terhindar dari binatang buas, manusia purba memilih untuk
membangun rumah di atas pohon. Begitu juga segala aktifitas yang mereka lakukan di atas
pohon. Terutama kegiatan makan yang menyebabkan sisa makanan yang di buang ke bawah
lama-lama menjadi bukit fosil yang kemudian juga dapat disebut kjokkenmoddinger.
Pada masa ini pula, untuk pertama kalinya manusia purba menemukan api. Penemuan
api tidak terlepas dari perkembangan otak mereka sebagai akibat dari tuntutan menyesuaikan
diri dengan perkembangan alam dan lingkungan. Secara khusus, api berperan penting dalam
kehidupan gua, seperti menghangatkan tubuh, menghalau binnatang buas pada malam hari ,
serta memasak makanan.
Di tahap akhir masa ini, mereka telah mengenal bercocok tanam yang sangat
sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut kondisi kesuburan tanah. Hutan

yang dijadikan tanah pertanian dibakar terlebih dahulu dan dibersihkan (slash and burn). Di
sana mereka menanam umbi-umbian seperti keladi.
C. Masa Bercocok Tanam: Budaya Neolithik

Cara hidup berburu dan mengumpulkan makanan perlahan-lahan ditinggalkan.


Seiring dengan itu, masyarakat memelihara hewan-hewan tertentu (pastoralisme). Sebagian
kecil penduduk yang tinggal di tepi pantai memproduksi garam dan mencari ikan.
Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan menebang dan membakar pohon-pohon
dan belukar (slash and burn) sehingga terciptalah ladang-ladang yang memberikan hasil-hasil
pertanian, meskipun sifatnya masih sederhana. Tanaman yang dikembangkan di antaranya
keladi, pisang, kelapa, salak, rambutan, sukun, dan duku; sedangkan jenis hewan yang
diternakkan di antaranya ayam, kerbau, anjing, dan babi.
Sebagai konsekuensi dari tradisi baru itu (bercocok tanam), mereka sudah tinggal
menetap (sedenter). Perkampungan terdiri atas tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami
secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Bangunan tempat tinggal dibuat dari kayu atau
bambu.
Gotong royong juga telah menjadi bagian dari corak kehidupan masyarakat.
Menebang hutan, membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil, membuat
gerabah, kegiatan tukar-menukar, berburu dan menangkap ikan dilakukan secara gotong
royong.
Mereka juga mengenal pembagian kerja antara kaum wanita dengan laki-laki.
Misalnya, pekerjaan berburu yang menghabiskan tenaga banyak dilakukan oleh para lelaki.
Menangkap ikan yang dekat dengan tempat tinggal (sungai, rawa, atau tempat-tempat yang
dangkal di danau-danau) dapat dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak, sedangkan
menangkap ikan di laut lepas pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki. Selain itu, ada

anggota masyarakat yang membuat beliung kasar di tempat yang disebut atelier, ada yang
bertugas menghaluskan, dan sebagainya.
D. Masa Perundagian: Budaya Megalithik dan Budaya Logam

Masa ini disebut masa perundagian yaitu dari kata undagi yang berarti terampil
karena pada masa ini muncul golongan undagi atau golongan yang terampil melakukan suatu
jenis usaha tertentu, seperti membuat alat-alat dari logam, rumah kayu, gerabah, perhiasan,
dan sebagainya. Munculnya kemampuan membuat alat-alat dari logam tersebut tidak
menggantikan mata pencarian pokok: bercocok tanam.
Dalam perkembangannya, alat-alat dari logam itu juga dipakai untuk tujuan ritual
keagamaan, seiring dengan semakin berkembangnya sistem kepercayaan mereka dalam
bentuk animism dan dinamisme.
Sementara itu, penduduk Nusantara hidup secara menetap di desa-desa di daerah
pegunungan, dataran rendah, dan di tepi pantai dalam tata kehidupan yang makin teratur dan
terpimpin.
3. Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan masyarakat prasejarah diperkirakan mulai tumbuh pada masa
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau disebut dengan masa bermukim dan
berladang yang terjadi pada zaman Mesolithikum. Bukti lain yang turut memperkuat adanya
corak kepercayaan pada zaman prasejarah adalah ditemukannya lukisan perahu pada nekara.
Lukisan tersebut menggambarkan kendaraan yang akan mengantarkan roh nenek moyang ke
alam baka. Hal ini berarti pada masa tersebut sudah mempercayai akan adanya
roh.Kepercayaan terhadap roh terus berkembang pada zaman prasejarah hal ini tampak dari
kompleksnya bentuk-bentuk upacara penghormatan, penguburan dan pemberian sesajen.
Kepercayaan terhadap roh inilah dikenal dengan istilah Aninisme.Aninisme berasal dari kata

Anima artinya jiwa atau roh, sedangkan isme artinya paham atau kepercayaan. Di samping
adanya kepercayaan animisme, juga terdapat kepercayaan Dinamisme. Dinamisme adalah
kepercayaan terhadap benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Contohnya yaitu kapak yang dibuat dari batu chalcedon (batu indah) dianggap memiliki
kekuatan. Untuk contoh-contoh yang lain dapat Anda baca kembali uraian materi kegiatan
belajar 1 modul ini. Dengan demikian kepercayaan masyarakat prasejarah adalah Animisme
dan Dinamisme. Apakah dari uraian ini Anda sudah paham? Kalau sudah paham simak
uraian materi berikutnya.
4. Budaya Masa Pra-Sejarah Indonesia
Berbicara perkara kehidupan manusia, khususnya dalam arena prasejarah, tentu tidak
akan terlepas dari perkara yang lain yaitu lingkungan alam dan budaya. Aspek lingkungan ini
merupakan salah satu unsur penting pembentuk suatu budaya masyarakat. Manusia masa
prasejarah masih sangat menggantungkan hidupnya pada alarn, oleh karena itu hubungan
yang begitu dekat antara manusia dengan lingkungan membawa konsekuensi bahwa manusia
hams senantiasa beradaptasi dengan lingkungan yang ditempati, salah satunya tercermin dari
hasil budaya. Untuk mendapatkan penjelasan tentang kehidupan manusia masa prasejarah
maka perlu mengintegrasikan antara tinggalan manusia, tinggalan budaya, dan lingkungan
alamnya. Dengan demikian studi tentang hubungan antara manusia, budaya, dan lingkungan
alam masa prasejarah merupakan topik yang tetap aktual menarik, dan perlu dikembangkan
dalam disiplin ilmu arkeologi. Nilai-nilai budaya masa prasejarah artinya, konsep-konsep
umum tentang masalah-masalah dasar yang sangat penting dan bernilai bagi kehidupan
masyarakat prasejarah di Indonesia. Konsep-konsep umum dan penting itu hingga kini masih
tersebar luas di kalangan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai budaya masa prasejarah Indonesia
itu masih terlihat dalam bentuk kegiatan-kegiatan berikut:
1. Mengenal Astronomi
Pengetahuan tentang astronomi sangat penting dalam kehidupan mereka terutama pada saat
berlayar waktu malam hari. Astronomi juga, penting artinya dalam menentukan musim untuk
keperluan pertanian.
2. Mengatur Masyarakat
Dalam kehidupan kelompok masyarakat yang sudah menetap diperlukan adanya aturanaturan dalam masyarakat. Pada masyarakat dari desa-desa kuno di Indonesia telah memiliki
aturan kehidupan yang demokratis. Hal ini dapat ditunjukkan dalam musyawarah dan

mufakat memilih seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang dipilih itu diharapkan dapat
melindungi masyarakat dari gangguan masyarakat luar maupun roh jahat dan dapat mengatur
masyarakat dengan baik. Bila seorang pemimpin meninggal, makamnya dipuja oleh
penduduk daerah itu.
3. Sistem Macapat
Sistem macapat ini merupakan salah satu butir dari 10 butir penelitian J.L.A. Brandes tentang
keadaan Indonesia menjelang berakhirnya zaman prasejarah. Sistem macapat merupakan
suatu tatacara yang didasarkan pada jumlah empat dan pusat pemerintah terletak di tengahtengah wilayah yang dikuasainya. Pada pusat pemerintahan terdapat tanah lapang (alun-alun)
dan di empat penjuru terdapat bangunan-bangunan yang penting seperti keraton, tempat
pemujaan, pasar, penjara. Susunan seperti itu masih banyak ditemukan pada kota-kota lama.
4. Kesenian Wayang
Munculnya kesenian wayang berpangkal pada pemujaan roh nenek moyang. Jenis wayang
yang dipertunjukkan adalah wayang kulit, wayang orang dan wayang golek (boneka). Cerita
dalam pertunjukkan wayang mengambil tema tentang kehidupan pada masa itu dan setelah
mendapat pengaruh bangsa Hindu muncul cerita Mahabarata dan Ramayana.
5. Seni Gamelan
Seni gamelan digunakan untuk mengiringi pertunjukkan wayang dan dapat mengiringi
pelaksanaan upacara.
6. Seni Membatik
Seni membatik merupakan kerajinan untuk menghiasi kain dengan menggunakan alat yang
disebut canting. Hiasan gambar yang diambil sebagian besar berasal dari alam lingkungan
tempat tinggalnya. Di samping itu ada seni menenun dengan beraneka ragam corak.
7. Seni Logam
Seni membuat barang-barang dari logam menggunakan teknik a Cire Perdue. Teknik a Cire
Perdueadalah cara membuat barangbarang dari logam dengan terlebih dulu membentuk
tempat untuk mencetak logam sesuai dengan benda yang dibutuhkan. Tempat untuk mencetak
logam sesuai dengan benda yang dibutuhkan. Tempat untuk mencetak logam itu ada yang
terbuat dari batu, tanah liat, dan sebagainya. Pada tempat cetakan itu dituang logam yang

sudah dicairkan dan setelah dingin cetakan itu dipecahkan, sehingga terbentuk benda yang
dibutuhkannya. Barang-barang logam yang ditemukan sebagian besar terbuat dari perunggu.
Peninggalan masa prasejarah
Peninggalan

masa

prasejarah

Nusantara

diketahui

dari

berbagai

temuan-temuan

coretan/lukisan di dinding gua atau ceruk di tebing-tebing serta dari penggalian-penggalian


pada situs-situs purbakala.
Beberapa lokasi penemuan sisa-sisa prasejarah Nusantara:

Situs Gua Putri, Baturaja, Sumatera Selatan;

Lembah Sangiran, sekarang menjadi Taman Purbakala Sangiran;

Situs Purbakala Wajak, Tulungagung;

Liang Bua, Pulau Flores;

Gua Leang-leang, Sulawesi;

Situs Gua Perbukitan Sangkulirang, Kutai Timur;

Situs Pasemah di Lampung;

Situs Cipari, Kuningan, Jawa Barat;

Situs Goa Pawon, Bandung, Jawa Barat;

Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat;

Situs Gilimanuk, Jembrana, Bali;

Situs Gua-gua Biak, Papua (40.000-30.000 SM);

Situs Lukisan tepi pantai di Raja Ampat, Papua Barat;

Situs Tutari, Kabupaten Jayapura, (periode Megalitikum);

Gua Babi di Gunung Batu Buli, desa Randu, Muara Uya, Tabalon.

Anda mungkin juga menyukai