Anda di halaman 1dari 79

CORAK HIDUP MANUSIA PRA AKSARA

Diajukan untuk memenuhi tugas Sejarah Indonesia yang dibimbing Ibu Popon
Rosana.

Nama : Putri Afiani Suganda


Kelas : X IPA 8
No. Absen : 28
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini yang berjudul
“CORAK HIDUP MANUSIA PRA AKSARA”, untuk memenuhi salah satu tugas
mata pelajaran Sejarah Indonesia, yang dibimbing oleh Ibu Popon Rosana.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Popon Rosana serta pihak terkait,
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini. Saya menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan yang mendasar pada tugas ini, baik
dalam isi maupun sistematikanya. Oleh sebab itu, saya mengharapkan kritik maupun
saran untuk menyempurnakan tugas ini.
Akhir kata saya berharap semoga tugas tentang “CORAK HIDUP MANUSIA PRA
AKSARA” dapat memenuhi tugas Sejarah Indonesia.

Cimahi, 9 Oktober 2021

Penulis
A. PALEOLITHIKUM

1. CORAK HIDUP MASYARAKAT

Zaman Paleolitikum adalah zaman yang terkenal dengan kebudayaan batu tuanya.
Manusia Purba pada zaman ini menggunakan batu yang masih alami atau batu kasar
sebagai peralatan di kehidupan sehari-hari. Zaman Paleolitikum telah terjadi sekitar
600.000 tahun yang lalu atau lebih tepatnya pada masa pleistosen.

Pada zaman paleolitikum ini alat-alat yang dihasilkan masih sangat kasar dan
sederhana sekali. Pada zaman ini mata pencaharian manusia masih pada tingkat
berburu dan meramu makanan sederhana. Manusia yang berada di zaman ini adalah
Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo
Soloensis.

 Pola Hunian

Pada masa Paleolitikum manusia harus berpindah-pindah atau nomaden.

Pola hidup pada masa Paleolitikum (Zaman Batu Tua) dianggap sebagai pola paling
purba. Karena, kehidupan nomaden atau berpindah-pindah tempat, di mata
masyarakat modern, adalah kehidupan yang tidak nyaman. Namun nomaden harus
dilakukan oleh manusia pada zaman itu, karena mereka harus mencari tempat-
tempat baru yang masih penuh dengan sumber daya pangan. Pada saat itu manusia
belum mengenal dengan namanya proses pembaharuan bahan pangan lewat
bercocok tanam dan beternak.
Kehidupan nomaden sangat penting untuk perkembangan peradaban manusia
selanjutnya. Dengan itu, banyak tempat-tempat baru yang sukses dijelajahi karena
manusia pindah-pindah tempat. Pada masa itu mereka hanya mengandalkan insting
dan bantuan alam, seperti perpindahan burung-burung, arah angin, hingga konstelasi
bintang-bintang.

Beberapa contoh lokasi yang menunjukkan pola hunian masyarakat nomaden


adalah situs-situs purba disepanjang aliran Sungai Bengawan Solo (Sangiran,
Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong).

Situs-situs tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat nomaden cenderung menghuni


lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air
memberikan beragam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air
juga diperlukan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada suatu
lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup disekitarnya.
Begitu pula dengan tumbuhan-tumbuhan, air memberikan kesuburan bagi tanaman.
Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat melakukan mobilitas
dari satu tempat ke tempat lainnya.

 Kepercayaan

Seiring berjalannya waktu, kebudayaan yang dikenal oleh manusia purba pada
zaman paleolitikum perlahan membawa warna baru untuk kehidupan mereka.

Salah satunya adalah lahirnya sistrm kepercayaan yang dianut oleh manusia pada
zaman itu. Secara umum ada dua jenis kepercayaan manusia pada zaman tersebut
yaitu animism dan dinamisme.

Meskipun ada dua jenis kepercayaan yang dianut manusia purba pada zaman
tersebut, pada dasarnya kepercayaan utama mereka adalah terhadap roh nenek
moyang.

Mereka meyakini bahwa roh setiap orang yang sudah meninggal akan berangkat
menuju suatu alam atau tempat yang jauh lebih baik dari kehidupan di dunia.

Selain itu segala sesuatu yang terjadi di muka bumi selalu dikaitkan dengan nenek
moyang yang telah meninggal. Misalnya jika terjadi bencana bumi seperti gunung
Meletus, dan gempa bumi, maka itu adalah pertanda bahwa nenek moyang sedang
marah.
1) Animisme

Animisme adalah suatu sistem kepercayaan manusia yang sudah dikenal pada zaman
Paleolitikum. Sama seperti dinamisme, manusia mempercayai akan adanya roh
nenek moyang yang patut untuk dipuja.

Secara khusus, animisme adalah kepercayaan bahwa setiap benda mempunyai roh.
Salah satu bukti adanya kepercayaan ini yaitu penemuan tulang belulang manusia di
dalam gua.

Dari kepercayaan itulah, sehingga manusia purba biasa melakukan penyembahan


terhadap benda-benda kramat.

2) Dinamisme

Dinamisme merupakan suatu sistem kepercayaan yang diyakini oleh manusia purba
bahwa setiap benda memiliki kekuatan yang bersifat ghaib.

Adapun bukti bahwa kepercayaan tersebut sudah dianut oleh manusia zaman
paleolitikum yaitu adanya penemuan menhir.
 Mata Pencaharian

Kehidupan manusia di zaman paleolitikum hanya bergantung pada alam saja. Pada
saat itu manusia purba belum mengenal istilah jual beli, uang, dan lain sebagainya.
Berikut kehidupan ekonomi di Zaman Paleolitikum :

1) Barter

Karena manusia di zaman paleolitikum belum mengenal uang dan jual beli. Maka
mereka menggunakan sistem barter untuk bertahan hidup. Pekerjaan manusia di
zaman ini terbagi menjadi dua, yakni berburu makanan dan membuat kapak penetak
(chooper).

Manusia purba yang mampu membuat chooper akan memberikan alatnya kepada
manusia purba lain untuk ditukar dengan makanan. Selain makanan, mereka juga
sering menukar chooper buatannya dengan kain. Manusia purba mendapatkan
makanan atau berburu dengan menggunakan kapak penetak tersebut.

Pada masa paleolitikum tidak terdapat perkembangan ekonomi yang signifikan.


Mereka hanya mengandalkan apa yang ada di alam untuk bertahan hidup. Manusia
purba di Zaman Paleolitikum tidak mendapatkan uang, namun mendapatkan
makanan untuk hidup sehari-hari.

2) Sistem Food Gathering

Food gathering adalah kegiatan yang dilakukan manusia purba dengan cara berburu
makanan. Selain berburu makanan, pada masa ini manusia purba juga akan
mengumpulkan serta meramu makanan. Mereka juga akan menyeleksi jenis
makanan yang ingin dikumpulkan. Kegiatan ini sangat bergantung pada makanan
yang tersedia di lingkungan sekitar mereka.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, manusia purba di zaman paleolitikum akan
berburu dengan menggunakan chopper. Hasil buruan yang dikumpulkan akan
dikonsumsi dan ditukar dengan kapak penetak atau chopper.

Mereka hidup berkelompok, tinggal di gua-gua atau membuat tempat tinggal di


pohon besar. Manusia yang tinggal di gua-gua dikenal sebagai cavamen (orang gua).
Dengan demikian mereka sangat bergantung pada kebaikan alam. Mereka cenderung
pasig terhadap keadaan. Kehidupan di gua pada masa itu menghasilkan lukisan-
lukisan pada dinding-dinding gua yang kemungkinan besar menggambarkan
kehidupan sosial ekonomi mereka. Lukisan-lukisan pada dinding gua lain berupa
cap tangan, babi, dan rusa dengan panah dibagian jantungnya, gambar binatang
melata, dan gambar perahu. Lukisan dinding gua antara lain ditemukan di Sulawesi
Selatan, Irian Jaya, Kepulauan Kei, dan Pulau Seram. Keadaan kondisi alam sangat
berpengaruh terhadap sifat dan fisik makhluk hidup tanpa kecuali manusia. Pola
kehidupan manusia yang sangat primitif sangat menggantungkan hidupnya pada
ketersediaan alam, di mana daerah-daerah yang didiami harus cukup untuk
memenuhi kebutuhannya, untuk kelangsungan hidup terutama di daerah yang cukup
persediaan air.

Temuan artefak pada zaman paleolitikum menunjukkan bahwa manusia


pithecanthropus sudah mengenal perburuan dan menangkap hewan dengan cara
sederhana. Hewan yang menjadi mangsa perburuan adalah hewan yang berukuran
besar, seperti gajah, sapi, babi, atau kerbau. Saat perburuan, tentu diperlukan adanya
kerja sama antar individu yang kemudian membentuk kelompok kecil. Hasil
buruannya dibagikan kepada anggota-anggota secara rata. Adanya keterikatan satu
sama lain di dalam satu kelompok, yang laki-laki bertugas memburu hewan dan
yang perempuan mengumpulkan makanan dan mengurus anak. Satu kelompok
biasanta terdiri dari 10-15 orang. Dalam kehidupan berkelompok, satu kelompok
hanya terdiri dari satu atau dua keluarga. Pada masa ini manusia tinggal di gua-gua
yang tidak jauh dari air, tepi pantai dan tepi sungai. Penangkapan ikan menggunakan
mata panah atau ujung tombak yang berukuran kecil. Pada masa berburu dan
meramu di temukan perkakas-perkakas, antara lain kapak sumatera, mata panah,
serpih-bilah, dan lancipan tulang Muduk. Ini menunjukkan adanya perburuan
hewan-hewan kecil dan tidak membutuhkan anggota kelompok yang banyak.
Budaya dan alat yang dihasilkan mereka mulai membuat alat-alat berburu, alat
potong, penggeruk tanah, dan perkakas lainnya. Alat-alat sederhana ini di buat dari
batu, kayu, tulang yang selanjutnya berkembang dengan munculnya suatu
kepercayaan terhadap kekuatan alam. Diduga alat-alat ini diciptakan oleh manusia
pithecanthropus dari zaman Paleolitikum.

3) Nomaden

Nomaden adalah sekelompok manusia yang memutuskan untuk hidup berpindah


dari satu tempat ke tempat lain. Tujuan dari nomaden ialah untuk memperoleh
makanan. Jika ketersediaan makanan di suatu tempat telah habis, maka mereka akan
berpindah tempat.

4) Tinggal Dekat Dengan Sumber Air

Corak kehidupan ekonomi pada zaman paleolitikum yang terakhir ialah bertempat
tinggal di dekat sumber air. Tujuan tinggal dekat dengan sumber air ialah hewan
yang akan diburu banyak berkumpul di sekitar sumber air. Selain itu, sumber air
juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup lain.

2. MANUSIA PENDUKUNG

Zaman Paleolitikum diperkirakan didukung oleh jenis manusia purba yang


ditemukan di Pulau Jawa pada akhir abad ke- 19 sepanjang abad ke- 20.

Berikut beberapa manusia pendukung yang hiduo pada Zaman Paleolitikum.

 Meganthropus Paleojavanicus

Meganthropus Paleojavanicus merupakan jenis manusia purba yang pertama muncul


di Zaman Paleolitikum. Hal tersebut dikarenakan kehidupan manusia ini masih
sangat primitif serta tidak sama dengan manusia lainnya.

Pada tahun 1936 Von Koenigswald menemukan fosil rahang atas manusia purba ini.
Rahang atasnya lebih besar dan lebih kuat dibandingkan dengan Pithecanthropus
Erectus. Para ahli juga menyatakan bahwa makanan manusia purba ini berupa
tumbuhan yang tidak dimasak.

Ciri-ciri Meganthropus Paleojavanicus

- Bertahan hidup dengan mengonsumsi tumbuh-tumbuhan.

- Tidak memiliki dagu sehingga manusia purba ini lebih mirip dengan kera.
- Pada bagian kepalanya memiliki tonjolan yang tajam.

- Memiliki tulang pipi yang tebal dan memiliki tonjolan pada bagian kening yang
mencolok.

- Memiliki gigi, rahang, dan otot kunyah yang kuat.

- Memiliki postur tubuh tegap.

-
 Pithecanthropus Erectus

Penemuan Pithecanthropus Erectus menjadi yang paling umum dalam sejarah


manusia purba. Pithecanthropus merupakan manusia kera berjalan tegak yang
ditemukan oleh seseorang Bernama Eugene Dubois di daerah Trinil, Jawa Tengah
pada tahun 1891. Fosil manusia purba ini berada di dalam lapisan pleistosen tengah.

Ciri-ciri Pithecanthropus Erectus :

- Memiliki otak dengan volume 750-1350 cc yang artinya lebih besar dari
Meganthropus.

- Memiliki tinggi badan sekitar 155-180 cm.

- Memiliki postur tubuh yang tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus.

- Memiliki raham dan gigi yang sangat kuat.

- Berhidung tebal.

- Memiliki tonjolan kening yang tebal serta melintang di dahi dari satu sisi ke sisi
lainnya.

- Pada bagian belakang kepalanya juga menonjol.

- Memiliki alat tengkuk dan alat pengunyah yang sangat kuat.

 Pithecanthropus Mojokertensis

Di daerah Mojokerto juga ditemukan fosil manusia purba jenis Pithecanthropus.


Adalah Von Koenigswald yang menemukan fosil manusia purba ini pada 1939.
Penemuan pertamanya berupa fosil tengkorak manusia purba anak–anak, yang
diperkirakan berusia enam tahun.
Ciri-ciri Pithecanthropus Mojokertensis :

- Tulang pipi dan alat pengunyah kuat.

- Tulang kening tebal, menonjol, dan melebar sampai ke pelipis.

- Muka menonjol ke depan.

- Tulang kepala belakang terlihat menonjol berbadan tegap.

- Tinggi badan antara 165-180 cm.

- Otot-otot tengkuk kukuh.

- Volume otak antara 650-1.000 cc.

 Pithecanthropus Robustus

Merupakan jenis pithecanthropus dengan rahang besar yang ditemukan oleh


Weidenreich dan Von Koenigswald pada tahun 1939 di situs purbakala Sangiran
Sragen ,Jawa tengah. Berdasarkan temuan dan jenis – jenis di atas, bahwa dapat
disimpulkan pithecanthropus merupakan jenis manusia prasejarah pendukung zaman
paleolitikum dikarenakan kebudayaannya yang condong ke berburu dan
mengumpulkan makanan, hal ini didukung dengan ciri fisik dan alat bantu
kehidupannya.

Ciri-ciri Pithecanthropus Robustus

- Struktur tubuhnya tegap


- Bagian gigi dan gerahamnya kuat
- Volume otak yang dimiliki berkisar antara 750-1300 cc
- Tulang atas pada bagian tengkorak berbentuk lonjong dan tebal

 Homo Soloensis

Homo merupakan salah satu jenis manusia pendukung Zaman Paleolitikum yang
menjadi cikal bakal manusia modern pada saat ini. Sedangkan Homo Soloensis
adalah manusia purba yang diperkirakan berasal dari Solo. Fosil manusia purba ini
ditemukan di daerah Ngandong, Begawan Solo pada abad ke- 19.

Ciri-ciri manusia purba Homo Soloensis:


- Memiliki volume otak antara 1000-1300 cc yang sudah menyerupai manusia
modern.

- Bertinggi badan 130-210 cm.

- Memiliki wajah yang tidak menonjol ke depan.

- Sudah berjalan dengan tegap dengan dua kaki sehingga lebih sempurna dalam
berjalan.

- Otot tengkuk pada manusia purba Homo mengalami penyusutan.

 Homo Wajakensis

Disebut sebagai Homo Wajakensis karena fosil manusia purba ini ditemukan di
Wajak. Wajak merupakan suatu daerah yang terletak di Tulungagung, Jawa Timur.
Menurut Dr. Eugene Dubois yang merupakan penemu fosilnya, Homo Wajakensis
dapat dikategorikan ke dalam Homo Sapiens.

Ciri-ciri manusia purba Homo Wajakensis:

- Memiliki hidung yang lebar dan mulut yang menonjol.

- Wajahnya lebar dan datar.

- Tulang tengkoraknya membulat.

- Sedikit ada tonjolan pada bagian dahi yang sedikit mencolok.

3. ALAT-ALAT BUDAYA
Pada zaman paleolitikum alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum
dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:

1. Kapak Genggam

Kapak genggam adalah sebuah batu yang mirip dengan kapak, tetapi tidak
bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Kapak
genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, dalam ilmu prasejarah
disebut chopper artinya alat penetak. Kapak genggam pernah ditemukan oleh Gustav
Heinrich Ralph von Koenigswald pada 1935 di Pacitan, Jawa Timur. Batu genggam
biasanya dibuat dari batu gamping. Batu tersebut dipahat memanjang atau diserpih
sehingga berbetuk lonjong.

Menurut Von Koenigswald (1935) Berdasarkan penelitiannya, Von Koenigswald


menyatakan bahwa kapak genggam adalah sebuah kapak yang digunakan pada masa
prasejarah oleh manusia-manusia pada zaman tersebut. Beliau menyimpulkan jika
kapak genggam telah ada sejak budaya trinil atau pada masa pleistosen tengah.
Manusia yang menggunakan kapak ini yakni Pithecanthropus Erectus.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kapak genggam memiliki definisi sebagai
sebuah kapak yang digunakan dengan cara digenggam dan digunakan di zaman
paleolitikum.

KEGUNAAN KAPAK GENGGAM

 Sebagai Alat Multifungsi


 Kapak genggam dapat digunakan untuk berbagai macam kebutuhan. Ketika zaman
batu, manusia purba menggunakan kapak tersebut untuk memalu, memotong,
menusuk, menggali, dan kepentingan lainnya. Bentuknya yang hanya bisa
digenggam membuat pemakai kapak tersebut berfikir lebih luas. Sehingga
dimanfaatkan sebagai piranti dalam banyak hal.

 Sebagai Alat Memotong


 Alat memotong pada zaman dahulu belum seperti yang ada di zaman sekarang. Kini
manusia sudah semakin dipermudah dengan adanya pisau yang membuat proses
memotong sangat mudah.

 Sebagai Alat Menumbuk


 Pada masa batu tua, kapak jenis ini juga dipakai untuk menumbuk dan menggerus.
Jenis bahan yang ditumbuk biasanya berupa biji-bijian yang dimanfaatkan sebagai
bahan makanan oleh manusia purba. Tekstur kapak yang keras bisa membuat
manusia dengan mudah menumbuk biji hingga teksturnya menjadi bubuk yang
halus.

 Sebagai Alat Serpih


 Alat ini juga bisa dimanfaatkan menjadi alat serpih. Fungsi ini merupakan
perkembangan dari fungsi yang lain. Jadi, pada zaman batu tua, manusia
mempergunakan kapak tersebut untuk menciptakan alat yang lain untuk
memudahkan berbagai jenis aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.

 Sebagai Alat Berburu


 Pada zaman dahulu, manusia masih sering berburu hewan untuk menjadi menu
santapan mereka. Aktivitas berburu banyak dilakukan di sekitar hutan, sebab banyak
hewan yang hidup di sana. Kapak genggam dimanfaatkan sebagai sejenis senjata
yang dilemparkan seperti panah atau tombak untuk mendapatkan hewan buruan.
Akan tetapi, kapak yang digunakan untuk berburu sedikit berbeda dengan jenis
kapak yang biasa digunakan untuk kepentingan yang lain. Kapak yang digunakan
untuk berburu cukup sulit digenggam dan memiliki ukuran yang lebih besar.
PEMBUATAN KAPAK GENGGAM

Hasil kebudayaan Paleolitikum kapak genggam terbuat dari batu endapan.


Pembuatan kapak genggam dengan mengikis bagian sisi ujung agar memperoleh sisi
tajam. Pada awal pembuatan, batu yang utuh diperlukan tekanan yang besar untuk
membentuk sisi samping tajam. Pembentukan dilakukan dengan membenturkan
kedua batu-batu keras. Dalam pembuatan kapak genggam mata dan tangan harus
bersinergi bersama kekuatan untuk memperoleh kikisan batu. Panjang kurva dan
sudut yang berbeda, termasuk sisi tajam, ketahananan mempengaruhi hasil dalam
pembuatan kapak ini.

Berikut cara pembuatan kapak genggam, hasil budaya zaman paleolitukum:

• Menyiapkan batu seperti batuan endapan yang keras,


• Sebuah batu kedua atau kayu untuk menyerpih batuan pertama,
• Membenturkan kedua buah batu untuk membentuk sisi tajam batu pertama
hingga berulang-ulang,
• Memperhatikan karakteristik; jenis serpihan, pangkal genggam dan arah
penetakan
• Kapak genggam dari zaman paleotikum lapisan bawah atau awal zaman
paleotikum biasanya terbuat dari batu bundar dengan menyerpih menggunakan palu.

Palu ini terbuat dari batu keras, kayu atau tanduk. Palu yang lebih lunak dapat
menghasilkan sisi halus sedangakan palu keras menghasilkan serpihan besar.

PERSEBARAN KAPAK GENGGAM


Persebaran kapak yang juga disebut dengan chopper ini cukup luas,
bahkan hingga ke daratan Tiongkok. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh para ahli, didapatkan sejumlah bukti yang menunjukkan jika kapak genggam
merupakan warisan budaya dari Trinil, Pacitan. Kebudayaan tersebut merupakan
salah satu jejak peninggalan zaman Pleistosen Tengah. Di Indonesia, kapak
genggam ditemukan di daerah Pacitan Jawa Timur oleh Von Koenighswald di tahun
1935. Sedangkan di Sumatra, kapak ini ditemukan pertama kali di sekitar pantai
Sumatra Utara tepatnya Binjai dan Lhok Seumawe yang dikenal dengan sebutak
Sumatralith atau Batu Sumatra. Selain itu, alat ini juga ditemukan di wilayah yang
lain. Wilayah tersebut diantaranya yaitu Semenanjung Malaka, Tambang Sawah
(Maluku), Parigi (Jawa Timur), Nusa Tenggara, Kalianda (Lampung), Lahat
(Sumatera Selatan), Jampang Kulon, Awangbangkal (Kalimantan), Terunyan (Bali)
dan Flores.

Di tahun 1990, sebuah penelitian dan ekskavasi juga menemukan artefak


kapak di wilayah Pegunungan Seribu. Penelitian ini dilakukan oleh tim dari
Indonesia-Prancis. Oleh sebab itu, diperkirakan bahwa pegunungan tersebut adalah
salah satu wilayah penggunaan chopper. Penelitian ini juga menyimpulkan jika
kapak ini digunakan oleh salah satu manusia purba di zamannya, yakni Homo
Sapiens.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, kapak genggam ini ada pada
zaman batu tua atau paleolitikum hingga zaman neolitikum. Artinya, kapak ini
digunakan oleh Pithecantrhropus Erectus hingga homo erectus. Kapak ini digunakan
oleh manusia-manusia tersebut untuk mengolah makanan dan kebutuhan dasar
manusia seperti sandang, pangan, dan papan. Intinya adalah untuk membantu dalam
kehidupan sehari-hari manusia tersebut. Hasil dari aktivitas sehari-hari itu nantinya
adalah tumpukan sampah-sampah yang kita sekarang kenal sebagai
Kjokkenmoddinger yang kerap mengandung artefak pula.

Sampah-sampah dan artefak ini, termasuk kapak genggam banyak ditemukan


di gua-gua dan tempat tinggal manusia purba lainnya seperti Abris Sous Roche.
Meskipun berada pada zaman yang relatif mirip, kapak genggam ini kerap dianggap
sebagai kapak perimbas yang lebih modern.

2. Kapak Perimbas

Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai
senjata. Manusia kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga
ditemukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra
selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di
daerah Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut
kebudayan pacitan.

Fungsi kapak perimbas atau chopper pada masa berburu tingkat sederhana
cukup banyak, di antaranya:
 Merimbas atau memotong kayu
 Menusuk dan menguliti binatang buruan
 Memecah tulang
 Menggali tanah untuk mencari ubi-ubian

LOKASI PENEMUAN
Kapak perimbas ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu lokasi yang
kaya akan kapak perimbas adalah Punung, Pacitan. Tradisi kapak perimbas di daerah
Punung kemudian dikenal dengan nama Kebudayaan Pacitan. Penelitian di lokasi
tersebut pertama kali dilakukan oleh Von Koenigswald pada 1935. Hingga saat ini,
daerah Punung menjadi lokasi penemuan kapak perimbas terpenting di Indonesia.
Selain di Punung, kapak perimbas juga ditemukan di Lahat (Sumatera Selatan),
Kamuda (Lampung), Bali, Flores, Timor, Punung (Pacitan), Jampang Kulon
(Sukabumi), Parigi, dan Tambangsawah (Bengkulu).

Para ahli berpendapat bahwa manusia pendukung kebudayaan ini adalah


Pithecanthropus atau keturunan-keturunannya. Pendapat ini sesuai dengan umur
Kebudayaan Pacitan yang diduga dari tingkat akhir Plestosen Tengah atau
permulaan Plestosen Akhir. Selain itu, di Gua Choukoutien (China) ditemukan
sejumlah fosil manusia jenis Pithecanthropus erectus yang diberi nama Sinanthropus
pekinensis. Alat-alat batu yang ditemukan di gua tersebut mirip dengan peralatan
batu di Pacitan.

3. Alat Tulang Binatang atau Tanduk Rusa

Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang.
Alat-alat dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari
tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat
ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga
biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.

4. Flakes Batu Chalcedon

Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan
untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama
seperti alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk
berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan.alat-alat ini pada
umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan.
Berdasarkan dari bentuk dan mata pencaharian manusia purba pada zaman itu,
fungsi lainnya dan kegunaan flakes atau alat serpih dipakai sebagai pisau, alat serut,
penghalus, gurdi, penyayat, pemotong, pengikis, pengeruk, pengerik, penggores dan
sebagainya.

Peninggalan Zaman Paleolitikum

Peninggalan zaman paleolitikum beberapa hasil kebudayaan dari zaman


paleolitikum, di antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas, monofacial,alat-
alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah dikerjakan kedua sisinya.
Alat-alat ini tidak dapat digolongkan ke dalam kebudayaan batu teras maupun
golongan flake.

Alat-alat ini dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar. Bahkan,
tidak jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa hasil kebudayaan dari
zaman paleolitikum, di antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas,
monofacial,alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah dikerjakan
kedua sisinya. Alat-alat ini tidak dapat digolongkan kedalam kebudayaan batu teras
maupun golongan flake. Alat-alat ini dikerjakan secara sederhana dan masih sangat
kasar. Bahkan, tidak jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa contoh hasil
kebudayaan dari zaman paleolitikum dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Chopper merupakan salah satu jenis kapak genggam yang berfungsi sebagai alat
penetak.
Oleh karena itu, chopper sering disebut sebagai kapak penetak. Misalnya,
kalian akan memotong kayu yang basah atau tali yang besar, sementara kalian tidak
memiliki alat pemotong, maka kalian dapat mengambil pecahan batu yang tajam.
Kayu atau tali yang akan dipotong diletakan pada benda yang keras dan bagian yang
kan dipotong dipukul dengan batu, maka kayu atau tali akan putus. Itulah, cara
menggunakan kapak penetak atau chopper. Contoh hasil kebudayaan dari zaman
paleolitikum adalah flake atau alat-alat serpih. Hasil kebudayaan ini banyak
ditemukan di wilayah Indonesia, terutama di Sangiran (Jawa Tengah) dan Cebbenge
(Sulawesi Selatan). Flake memiliki fungsi yang besar,terutama untuk mengelupas
kulit umbi-umbian dan kulit hewan. Perhatikan salah satu contoh flake yang
ditemukan di Sangiran dan Cebbenge. Pada Zaman Paleolitikum, di samping
ditemukan hasilhasil kebudayaan, juga ditemukan beberapa peninggalan, seperti
tengkorak (2 buah), fragmen kecil dari rahang bawah kanan, dan tulang paha (6
buah) yang diperkirakan dari jenis manusia.

4. CIRI-CIRI ALAT BUDAYA


Peninggalan dan hasil kebudayaan Zaman Paleolitikum secara umum dibagi menjadi
Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong, karena peninggalannya banyak
ditemukan di dua wilayaah tersebut.

 Kebudayaan Pacitan

PENGERTIAN KEBUDAYAAN PACITAN


Disebut kebudayaan Pacitan karena budaya ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa
Timur. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya berbagai macam peninggalan
berupa peralatan-peralatan hidup yang terbuat dari batu.

Secara umum, alat-alat yang ditemukan memiliki bentuk yang hampir sama yaitu
dengan salah satu atau beberapa sisi yang tajam ataupun runcing.

SEJARAH KEBUDAYAAN PACITAN

Pada tahun 1935, peneliti Bernama Von Koeningwald, menemukan peninggalan


alat-alat dari batu di sungai Baksoko, Desa Punung, Pacitan, Jawa Timur. Alat yang
ditemukan berupa kapak genggam dan beberapa alat serpih yang masih kasar.

Kebudayaan pacitan ini berkembang pada zaman paleolitikum yang berlangsung


cukup lama karena saat itu alam masih liar. Cara membuat alat dari batu pun masih
sangat tradisional yaitu dengan membenturkan batu satu dengan yang lainnya.

Selain itu, manusia pendukung pada zaman ini juga menggunakan alat kayu untuk
bertahan hidup. Namun, tidak ditemukan peninggalannya karena sudah lapuk
termakan usia.
MANUSIA KEBUDAYAAN PACITAN

Pendukung kebudayaan pacitan adalah


jenis manusia purba pithecanthropus
erectus. Hal ini bisa dibuktikan dengan
peralatan kebudayaan pacitan dan
pithecanthropus erectus yang
ditemukan di lapisan yang sama yaitu
pleistosen tengah.

Pada zaman ini manusia purba masih hidup dengan cara berpindah-pindah atau
nomaden dan pola pikirnya masih sederhana. Cara mereka bertahan hidup yaitu
dengan berburu dan mengumpulkan makanan dengan alat kayu dan batu.

Makanan yang mereka konsumsi dari umbi-umbian dan buah-buahan, serta hewan
buruan seperti kerbau, rusa, banteng dan monyet.

HASIL KEBUDAYAAN PACITAN

Beberapa ahli berpendapat bahwa pacitan ini berkembang di akhir pleistosen tengah
atau permulaan pleistosen akhir. Kebudayaan Pacitan dianggap sebagai
perkembangan awal masa batu di Indonesia, karena alat-alat yang dibuatnya masih
sederhana dan kasar.

Kebudayaan ini berkembang pada zaman batu tua atau paleolitikum atau stone
culture. Hasil kebudayaannya berupa keahlian membuat alat dari batu yaitu kapak
genggam, kapak perimbas, alat serpih dan lainnya.

Selain itu, manusia pendukung pada masa itu sudah mendukung sudah mengenal api
untuk kebutuhan penerangan, memasak, dan lain sebagainya,

CIRI-CIRI KEBUDAYAAN PACITAN

Ciri khas atau karakteristik kebudayaan pacitan memiliki perbedaan dengan budaya
ngandong, berikut dibawah ini ciri-cirinya :

 Manusia pendukung yang hidup pada masa kebudayaan pacitan adalah jenis
pithecanthropus erectus.

 Ditemukan budaya alat batu dan kapak genggam yang tidak mempunyai gagang.

 Ditemukan pula kapak perimbas, pahat genggam, kapak penetak dan alat serpih.
DAERAH PERSEBARAN KEBUDAYAAN PACITAN
Kebudayaan pacitan terutama budaya kapak perimbas juga berkembang di beberapa
tempat, khususnya daerah penghasil batuan seperti berikut ini:

 Punung, Pacitan, Jawa Timur


 Cabbenge, Sulawesi Selatan
 Bengkulu dan Lahat, Sumatera Selatan
 Awang bangkang, Kalimantan Selatan
 Flores dan Timor
 Sukabumi dan Ciamis, Jawa Barat
 Parigi dan Gombong, Jawa Tengah

 Kebudayaan Ngandong
PENGERTIAN KEBUDAYAAN NGANDONG
Sesuai dengan namanya, kebudayaan Ngandong merupakan kebudayaan prasejarah
yang berkembang di Indonesia di daerah Ngandong (Kabupaten Blora, Jawa Barat).
Lokasinya berupa sebuah dusun di tepi sungai Bengawan Solo di Kecamatan
Kradenan, berdekatan dengan daerah Ngawi, Jawa Timur.

Kebudayaan ini berkembang pada zaman batu tua atau paleolitikum yang merupakan
masa paling awal sebelum muncul dan berkembang zaman-zaman lainnya. Oleh
karena itu, cara hidup manusia pendukungnya juga masih sangat sederhana.

Sejarah kebudayaan Ngandong ditemukan oleh Ter Haar pada tahun 1931 berupa
tengkorak manusia purba. Kemudian pada tahun 1993 bersama dengan Oppenoorth
dan Von Koenigswald ditemukan lebih banyak lagi peninggalan kebudayaan
Ngandong dan Pacitan.

Setelah itu, banyak ditemukan artefak berupa alat-alat pendukung kehidupan


kebudayaan Ngandong dan Pacitan.

MANUSIA KEBUDAYAAN NGANDONG


Jika dilihat dari lokasi penemuan peninggalan kebudayaan Nagndong, manusia
pendukung pada masa itu ada 2 jenis. Manusia purba tersebut di antaranya Homo
Wajakensis dan Homo Soloensis.

Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil manusia tersebut di daerah Ndirejo,
Sragen, Jawa Tengah.

Pada masa kebudayaan Ngandong, manusia purba pendukungnya lebih mampu


dalam membuat alat-alat. Hal ini dibuktikan dengan peninggalannya yang lebih
beragam dan tekstur alatnya yang lebih halus

CIRI-CIRI KEBUDAYAAN NGANDONG

Berikut ini beberapa ciri khas dari kebudayaan Ngandong yang bisa dipelajari,
antara lan:

 Kebudayaan ini berkembang di daerah Ngandong, Blora, Jawa Tengah dan dekat
dengan daerah Ngawi, Jawa Timur
 Hasil budaya yang berkembang yaitu budaya berburu, menangkap ikan dan
mengumpulkan makanan
 Manusia pendukungnya yaitu jenis Homo Wajakensis dan Homo Soloensis
 Manusia purba pada masa ini hidup dengan berpindah-pindah atau nomaden mencari
lokasi yang lebih banyak menyediakan makanan
 Peninggalan kebudayaan Ngandog berupa alat-alat dari batu, tulang, duri ikan dan
tanduk rusa

PERSEBARAN KEBUDAYAAN NGANDONG

Ternyata, kebudayaan Ngandong juga tersebar luas di beberapa daerah di Indonesia,


hal ini dibuktikan adanya penemuan sejenis di daerah lain. Beberapa daerah
persebaran kebudayaan Ngandong, antara lain:

 Sumatera
 Sulawesi
 Kalimantan
 Bali
 NTB
 NTT
 Halmahera

ARTEFAK DARI TULANG KEBUDAYAAN NGANDONG


Pada masa
berkembangnya
kebudayaan Ngandong,
banyak ditemukan
artefak dari batu, tulang
dan duri ikan pari.
seperti kapak genggam
dari batu, alat
serpih/flakes dari tulang, belati, ujung tombak dari tanduk dan duri ikan pari.

1. Flakes atau Alat Serpih


Flakes adalah alat serpih yang terbuat dari tulang binatang yang dibuat dengan cara
merunsingkan salah satu sisinya. Alat serpih ini biasanya berukuran kecil.

2. Kapak Genggam
Kapak genggam merupakan alat sejenis kapak yang terbuat dari batu, namun tidak
memiliki gagang. Bentuknya tumpul di satu sisi dan tajam di sisi lain, sisi tumpul
digunakan sebagai pegangan. Cara membuatnya cukup sangat sederhana yaitu
dengan membenturkan batu satu dengan yang lainnya.

3. Serpih Pilah
Alat ini ditemukan di dekat daerah Sangiran, berupa alat berukuran kecil yang
terbuat dari batuan yang indah. Selain di Sangiran, alat ini juga banyak ditemukan di
Cabbenge, Sulawesi Selatan, dan terbuat ari batuan indah seperti kalsedon

4. Chalcedon atau Kalsedon


Chalcedon atau disebut juga Kalsedon merupakan alat yang terbuat dari batu dan
memiliki tampilan yang indah dan menarik.

5. Alat dari Tanduk Rusa


Pada masa kebudayaan Ngandong banyak ditemukan alat dari tanduk rusa dan salah
satu sisinya diruncingkan. Alat ini digunakan untuk berburu, memotong, mengolah
makanan atau perlindungan diri.

6. Alat dari Tulang dan Duri


Banyak pula ditemukan alat-alat yang terbuat dari tulang binatang berukuran sedang
hingga besar. Cara buatnya masih sama yaitu dengan meruncingkan salah satu
sisinya.

Ada pula yang menggunakan dan memanfaatkan duri ikan pari. Alat tersebut
difungsikan sebagai belati, mata atau ujung tombak, alat penusuk, merobek daging
atau ubi dan lain sebagainya.

7. Lukisan Dinding Goa


Beberapa ahli juga mengatakan terdapat penemuan berupa lukisan di dinding Goa.
Lukisan atau gambar tersebut berbentuk seperti tapak tangan yang berwarna merah
dan babi hutan yang ditemukan di Goa Leang Pattae, Sulawesi Selatan.

5. GAMBAR ALAT BUDAYA

Gambar Nama Alat

1. Kapak Genggam

Kapak genggam banyak


ditemukan di daerah
Pacitan. Alat ini
biasanya disebut
“chopper” (alat
penetak/pemotong). Alat
ini dinamakan kapak
genggam karena alat
tersebut serupa dengan
kapak, tetapi tidak
bertangkai dan cara
mempergunakannya
dengancara
menggenggam.
Pembuatan kapak
genggam dilakukan
dengan cara memangkas
salah satu sisi batu
sampai menajam dan sisi
lainnya dibiarkan apa
adanyasebagai tempat
menggenggam. Kapak
genggam berfungsi
menggali umbi,
memotong, dan
menguliti binatang.

2, Kapak Perimbas

Kapak perimbas
berfungsi untuk
merimbas kayu,
memahat tulang dan
sebagai senjata. Manusia
kebudayan Pacitan
adalah jenis
Pithecanthropus. Alat ini
juga ditemukan di
Gombong (Jawa
Tengah), Sukabumi
(Jawa Barat), lahat,
(Sumatra selatan), dan
Goa Choukoutieen
(Beijing). Alat ini paling
banyak ditemukan di
daerah Pacitan, Jawa
Tengah sehingga oleh
Ralp Von Koenigswald
disebut kebudayan
Pacitan.

3. Alat-alat dari Tulang


Binatang atau Tanduk
Rusa

Salah satu alat


peninggalan zaman
paleolithikum yaitu alat
dari tulang binatang.
Alat-alat dari tulang ini
termasuk hasil
kebudayaan Ngandong.
Kebanyakan alat dari
tulang ini berupa alat
penusuk (belati) dan
ujung tombak bergerigi.
Fungsi dari alat ini
adalah untuk mengorek
ubi dan keladi dari dalam
tanah. Selain itu alat ini
juga biasa digunakan
sebagai alat untuk
menangkap ikan.

4. Flakes

Flakes yaitu alat-alat


kecil yang terbuat dari
batu Chalcedon, yang
dapat digunakan untuk
mengupas makanan.
Flakes termasuk hasil
kebudayaan Ngandong
sama seperti alat-alat
dari tulang binatang.
Kegunaan alat-alat ini
pada umumnya untuk
berburu, menangkap
ikan, mengumpulkan ubi
dan buah-buahan.alat-
alat ini pada umumnya
untuk berburu,
menangkap ikan,
mengumpulkan ubi dan
buah-buahan.
B. MESOLITHIKUM

Zaman mesolitikum
merupakan periode zaman
batu yang terjadi setelah
zaman paleolitikum.
Penamaan zaman
mesolitikum berasal dari
bahasa yunani
yaitu mesos yang berarti
tengah serta lithos yang
bermakna batu.
Zaman ini diperkirakan terjadi sekitar 10.000 tahun lalu tepatnya ketika masa
holosen. Pada saat ini, manusia masih menggunakan peralatan sehari-hari dari batu
yang diolah secara sederhana.

Perkembangan era mesolitikum hadir diantara zaman batu tua atau Paleolitikum
dan zaman batu muda atau Neolitikum. Oleh sebab itu, zaman ini dikenal dengan
zaman batu madya atau batu tengah.

Meskipun begitu, pada zaman ini perkembangan budaya jauh lebih maju dari
Paleolitikum.

Majunya perkembangan pada era ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama
kondisi alam yang jauh lebih tenang dan stabil sehingga manusia era mesolitikum
bisa lebih fokus mengembangkan budaya.

Faktor yang kedua yaitu didukung dengan spesies manusia homo sapiens yang pola
pikirnya jauh lebih cerdas dibanding pendahulunya.

Ciri-ciri Zaman Mesolitikum ditemukannya Kjokkenmoddinger dan abris sous roche


Masyarakatnya mencari makan dengan berburu, meramu, dan bercocok tanam hidup
semi nomaden, ditempat-tempat seperti goa atau tepi pantai alat-alat yang digunakan
didominasi dari tulang dan bebatuan kasar sudah mengenal seni melukis.

Pada periode ini, kondisi alam sudah jauh lebih stabil, sehingga manusianya dapat
mengembangkan beberapa aspek kehidupannyaa. Ciri utama peradaban pada periode
ini adalah kehidupan seni nomaden, dimana sebagian manusianya telah menetap di
goa-goa dan yang lainnya masih berpindah-pindah. Goa-goa tempat tinggal manusia
purba pada Zaman Mesolitikum disebut abris sous roche. Permukiman yang lebih
permanen cenderung dekat dengan pantai. Oleh karena itu, banyak ditemukan
peninggalan Zaman Mesolitikum di sekitar tempat-tempat tersebut, salah satunya
Kjokkenmoddinger atau tumpukan sampah dapur berupa kulit siput dan kerang.

Manusia yang hidup pada periode ini mencari makan dengan cara berburu dan
meramu atau food gathering. Selain itu, Sebagian masyarakatnya mulai mengenal
tradisi bercocok tanam. Peralatan yang digunakan periode ini masih berbentuk kasar
dan belum dihaluskan, seperti contohnya kapak genggam dan kapak pendek
berbentuk setengah lingkaran. Masyarakatnya juga telah mengenal sistem organisasi
sosial, pembagian kerja, dan kepercayaan terhadap roh nenek moyang.

1. CORAK HIDUP MASYARAKAT


Masa paraaksara disebut juga zaman prasejarah. Masa praaksara berarti masa
sebelum mengenal bentuk tulisan. Ada juga yang menyebutnya dengan sebutan
masa nirleka yaitu masa tidak ada tulisan. Manusia yang hidup pada masa ini ialah
manusia purba.

 Pola Hunian

Masa praaksara disebut juga zaman prasejarah  Masa praaksara berarti masa
sebelum manusia sebelum mengenal bentuk tulisan. Ada juga yang menyebutnya
dengan sebutan masa nirleka yaitu masa tidak ada tulisan. Manusia yang hidup pada
masa ini ialah manusia purba.

POLA HUNIAN

Di periode Mesolitikum, terjadilah transisi dari pola hidup nomaden ke


sedenter, yaitu semisedenter. Dalam pola semisedenter, manusia sudah mulai tinggal
di dalam gua (abris sous roche). Namun, mereka tidak menetap lama. Periode
mereka menetap di satu tempat bergantung pada ketersediaan sumber daya alam
yang ada atau ancaman-ancaman seperti bencana alam dan hewan liar.

Pada zaman ini, manusia sudah mulai mengenal pembagian tugas. Para lelaki
berburu, sedangkan para wanita mengumpulkan makanan. Kemudian pada tahap ini,
mereka masih hidup dan tinggal berkelompok. Dalam satu gua, tidak hanya satu
keluarga atau pasangan. Karena mereka tidak perlu mengurus administrasi semacam
Kartu Keluarga. Mereka hidup di gua-gua, tepi pantai atau sungai Pada zaman
Mesolitikum, manusia sudah ada yang menetap, sehingga kebudayaan Mesolitikum
sangat menonjol.

Selain tempat-tempat diatas, juga terdapat abris sous roche (gua sampah) di
Gua Sampung (Ponorogo, Jawa Timur), Pulau Timor, Pulau Roti dan Bojonegoro
(tempat ditemukannya alat dari tulang).

Lokasi penemuan abris sous roche

Pada jaman Mesolitikum manusia purba sudah memiliki tempat tinggal untuk
mengembangkan peradabannya. Mereka memilih gua sebagai tempat tinggal yang
disebut abris sous roche. Berikut beberapa lokasi penemuan abris sous roche di
Indonesia:

Abris sous roche Goa Lawa

Abris sous roche pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Goa
Lawa dekat Sampung, Ponorogo, pada 1928-1931. Alat-alat peninggalan manusia
purba yang ditemukan di lokasi ini cukup banyak macamnya. Seperti contohnya
alat-alat batu, ujung panah, flakes, batu-batu penggilingan, kapak dari Zaman
Neolitikum, peralatan dari tulang dan tanduk rusa, juga alat-alat dari perunggu dan
besi.

Alat-alat manusia purba yang ditemukan di lokasi ini lebih banyak


terbuat dari tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture. Dilihat dari
peninggalannya, abris sous roche ini diperkirakan digunakan sebagai tempat tinggal
dalam jangka waktu yang sangat lama. Anehnya, di Goa Lawa justru tidak
ditemukan kapak pendek yang menjadi ciri khas Zaman Mesolitikum.

Abris sous roche Besuki


Kebudayaan abris sous roche juga ditemukan oleh Van Heekeren di Besuki
(Bojonegoro). Di tempat ini ditemukan kapak pendek, ujung panah, dan alat-alat dari
tulang. Selain itu, abris sous roche di daerah Bojonegoro juga ditemukan alat-alat
dari kerang dan tulang belulang manusia jenis Papua-Melanesoide.

Abris sous roche Sulawesi Selatan

Di daerah Sulawesi Selatan cukup banyak ditemukan abris sous roche. Bahkan
menjelang akhir abad yang lalu, beberapa goa yang ada di daerah Lamoncong masih
dihuni oleh suku bangsa Toala. Saat dilakukan penyelidikan pada 1893-1896, suku
bangsa Toala diyakini sebagai keturunan langsung dari manusia zaman prasejarah
dan masih sekeluarga dengan suku bangsa Wedda. Di tempat tersebut, ditemukan
peninggalan berupa flakes dan alat-alat dari tulang. Di antara flakes tersebut banyak
ujung-ujung panah yang memiliki keistimewaan karena sisi-sisinya bergerigi.

Abris sous roche di Timor dan Rote

Abris sous roche di daerah Timor dan Rote ditemukan oleh Alfred Buhler.
Alfred juga menemukan flakes yang unik, di mana ujung-ujungnya terbuat dari batu
indah seperti chalcedon.

 Kepercayaan

Sistem kepercayaan yang ada pada zaman mesolitikum terbagi menjadi dua, yakni animisme
dan dinamisme. Pengertian animisme adalah percaya bahwa setiap benda mempunyai roh
atau kekuatan magis di dalamnya. Oleh karena itu, banyak manusia purba di zaman
mesolitikum yang menyembah atau melakukan ritual pada benda-benda.

Mereka percaya jika manusia meninggal, jiwanya akan keluar dari jasmaninya dan
berpindah tempat ke suatu benda. Selain itu, mereka juga yakin bahwa arwah leluhur juga
mempunyai tatanan sosial seperti manusia hidup. Arwah leluhur memiliki kedudukan yang
berbeda-beda, mulai dari yang paling rendah hingga paling tinggi.

Sedangkan dinamisme merupakan paham kepercayaan yang yakin bahwa pada benda
tertentu terdapat kekuatan gaib. Contoh benda yang biasa dijadikan kepercayaan dinamisme
ialah batu besar, jimat, dan pohon.

Manusia pada zaman mesolitikum percaya bahwa nenek moyang mereka memiliki kekuatan
magis. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa leluhur atau nenek moyang tidak pergi
melainkan berada di sekitar mereka.
Berikut beberapa bukti kepercayaan zaman mesolitikum:

PIPISAN

Salah satu peninggalan atau alat yang digunakan pada zaman mesolitikum ialah
pipisan. Alat ini berfungsi untuk menggiling atau menghaluskan makanan. Selain
itu, pipisan juga digunakan untuk menghaluskan cat merah. Hal tersebut dapat
menjadi bukti bahwa zaman mesolitikum memiliki kepercayaan. Cat merah yang
digiling dengan pipisan digunakan untuk melaksanakan ritual. Salah satu ritual yang
dilakukan manusia di zaman ini ialah membuat cap tangan pada gua dengan
menggunakan cat merah tersebut. Tujuan memakai warna merah ialah
melambangkan warna darah manusia.

CAP TANGAN PADA DINDING GUA


Seperti yang dijelaskan sebelumnya, manusia di zaman mesolitikum membuat cap
tangan di dinding gua. Cap tangan tersebut merupakan salah satu ritual sihir atau
agama yang dipercayai oleh manusia purba pada masa itu. Diduga cat merah
tersebut berasal dari mineral merah yang ada di sekitar gua. Baca juga: Ciri-Ciri
Kehidupan Zaman Mesolitikum

LUKISAN PADA DINDING GUA

Terdapat beberapa lukisan yang ditemukan di dinding gua tempat tinggal manusia
pada zaman mesolitikum. Lukisan tersebut menjadi bukti bahwa pada zaman ini
telah ada kepercayaan. Fungsi lukisan yang dibuat manusia purba tersebut ialah
sebagai tanda penghormatan kepada arwah leluhur.

Adanya kepercayaan pada zaman mesolitikum menandakan bahwa zaman ini sudah lebih
maju. Manusia pada zaman ini sudah bisa berpikir tentang kepercayaan apa yang harus
mereka anut. Selain itu, zaman mesolitikum juga sudah terdapat berbagai macam
kebudayaan.

 Mata Pencaharian

Zaman Mesolitikum adalah zaman batu yang berlangsung antara periode


Paleolitikum dan Neolitikum. Pada Zaman Mesolitikum Akhir, masyarakatnya mulai
mengenal tradisi bercocok tanam. Oleh karena itu, corak kehidupan pada Zaman
Mesolitikum Akhir adalah bercocok tanam dan menetap. Cara bercocok tanam yang
dikenal manusia purba pada periode ini masih dalam bentuk pertanian yang sangat
sederhana. Tumbuh-tumbuhan yang mula-mula ditanam adalah kacang-kacangan,
mentimun, umbi-umbian, dan biji-bijian. Mereka melihat biji-bijian sisa makanan
yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Pelajaran inilah yang kemudian
mendorong manusia purba untuk bercocok tanam

Cara ini masih tergolong sederhana karena tidak dilakukan pengairan dan
pembajakan lahan. Masa bercocok tanam yang kira-kira terjadi 9.000 tahun sebelum
masehi ini dianggap sebagai bentuk pertanian yang tertua di dunia. Dengan adanya
kemampuan menghasilkan makanan atau food producing, masyarakatnya sudah
hidup menetap seperti di gua-gua dekat pantai, sungai, dan tempat-tempat yang
dekat dengan sumber air.

Ketika lahan dirasakan sudah tidak subur lagi, maka lahan itu akan ditinggalkan. Hal
inilah yang mendorong mereka untuk pindah mencari tempat tinggal baru untuk
ditanami. Sistem bercocok tanam secara berpindah ini disebut juga bergumah. Pada
periode ini kegiatan berburu dan meramu masih dilakukan, tetapi tidak sesering
sebelumnya.

Pada masa berladang, sebagian manusia purba mulai menempati rumah-rumah dari
kayu yang sifatnya semi permanen. Selain itu, masyarakatnya diduga telah mengenal
sistem organisasi sosial dan pembagian kerja. Hal ini didorong oleh pertambahan
penduduk karena munculnya anggapan bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak
akan lebih menguntungkan karena dapat dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan
sehari-hari.

2. MANUSIA PENDUKUNG

Kehidupan pada zaman Mesolitikum didominasi oleh manusia dari ras Papua
Melanesoid, yang dibuktikan dengan penemuan fosil-fosil manusia Papua
Melanesoid, beserta kebudayaan tulang sampung hingga bukit-bukit kerang di
kawasan Pulau Sumatera.

Masyarakat Mesolitikum juga telah mengembangkan kebudayaan, seperti Toala


yang diperkirakan merupakan nenek moyang dari suku Toala, dan saat ini adalah
keturunan orang Vedda dari Srilanka atau Ras Weddoid.

Manusia purba pada masa mesolithikum memiliki peningkatan kecerdasan


dibandingkan dengan masa sebelumnya. Mereka memiliki kebudayaan yang lebih
maju dan tatanan sosial yang lebih tertata. Abris sous roche adalah tempat dimana
manusia purba yang tinggal di gua – gua di tebing pantai, dimana banyak ditemukan
sampah dapur pada zaman batu tengah yang menggunung hingga ketinggian 7 meter
yang disebut kjokkenmoddinger.

Manusia pendukung pada periode ini berasal dari campuran bangsa-bangsa


pendatang dari Asia. Seperti contohnya Suku Irian, Suku Sakai, Suku Atca, Suku
Aborigin, dan Suku Semang.
3. ALAT BUDAYA YANG DIGUNAKAN

a. Pebble atau Kapak Sumatera


Sesuai dengan namanya, kapak Sumatera banyak di temukan di wilayah
Sumatera. Kapak ini semacam kapak genggam, namun memiliki bentuk yang
berbeda dengan kapak pada zaman Paleothikum. Kapak ini lebih di temukan banyak
pada pesisir pantai dan berada pada tempat tinggal manusia zaman Mesolithikum.
Kapak ini sendiri bisa disebut juga cangkul pada Zaman sekarang. Sebab kegunaan-
nya bisa di pakai untuk bercocok tanam. Selain itu, pebble ini juga dapat di gunakan
untuk menghaluskan biji – bijian dan membuat bahan cat berwarna merah (Di
gunakan untuk memberi warna pada goa tempat di kuburnya jasad), membunuh
hewan buruan, menumbuk serat pada pohon pohonan, dan pastinya salah satu
senjata untuk melindungi diri mereka.

Pebble ini sendiri pastinya di bentuk dengan bahan dasar batu, lebih tepatnya
batu Gamping. Disini bentuknya sendiri memanjang, di serpih sehingga menjadi
tajam. (Bentuk dari Kapak Sumatera beragam tergantung apa kegunaannya). Jika
untuk melindungi diri dan menangkap hewan buruan, maka bentuk Kapak akan
memanjang dan runcing, sebab untuk melawan dan melukai lawan mereka. Namun,
akan sangat berbeda bentuk jika manusia mesolithikum memakai kapak tersebut
hanya untuk menghaluskan biji – bijian yang keras. Bentuknya tidak perlu hingga
runcing. Dan pastinya berbeda lagi jika digunakan untuk Bercocok tanam, kapak
tersebut akan di bentuk seperti cangkul pada Zaman sekarang.

b. Kapak Pendek (hachecourt)


Kapak pendek juga ditemukan oleh Von Stein Callenfels ketika sedang meneliti
Kjokkenmoddinger. Bentuknya lebih pendek di banding kapak Sumatera, sehingga
dinamai kapak pendek.
Kapak yang satu ini bentuknya lebih kecil dari kapak genggam. Kira – kira 1/2
dari kapak genggam. Kapak ini berbentuk setengah lingkaran, ada bagian yang
runcing dan tajam pada lengkungkannya. Kapak yang satu ini digunakan manusia
zaman Mesolithikum untuk Memotong buah, Menggali tanah guna menggambil
makanan yang berada dalam tanah (Umbi – umbian). Kapak ini sering ditemukan di
daerah pesisir Sumatera. Biasanya bersama dengan kapak genggam yang berada di
tumpukan Kjokkemoddinger.

c. Batu pipisan
Alat budaya yang digunakan pada zaman Mesolitikum selanjutnya adalah batu
pipisan. Batu pipisan jika di lihat, maka bentuknya akan lebih menyerupai Ulekan
(Alat menghancurkan, menghaluskan, dan mencampur bumbu-bumbuan). Batu
pipisan terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu;
1. Tempat yang di gunakan untuk menampung hasil dan tempat mencampur,
menghaluskan bumbu biji – bijian tersebut.
2. Alat yang di gunakan pada tangan, yang bertujuan untuk menghancurkan. Meskipun
belum ada bukti dan pernyataan secara terbuka tentang batu ini merupakan
peninggalan zaman Mesolithikum, namun ada beberapa pernyataan secara logika
yang mendukung bahwa Batu pipisan merupakan peninggalan Mesolithikum, antara
lain;

 Terbentuk dari bahan dasar Batu


 Alat penggiling (Salah satu yang di gunakan untuk membentuk jamu entah itu dari
tanaman atau biji – bijian)
 Beberapa gambaran pada dinding Goa dan juga candi yang ada, memperlihatkan
orang – orang yang sedang meramu, menumbuk.
d. Mata Panah yang Bergerigi
Seperti yang kita ketahui, pada zaman Mesolithikum ini adalah masa
perpindahan dari masa Paleolithikum ke Neolithikum, sehingga Hasil Kebudayaan
Zaman Mesolitikum masih ada dalam kebiasaan dan kebudayaannya. Salah satunya
adalah Berburu.

Mata panah adalah salah satu objek dan alat paling penting yang di gunakan
untuk para pemburu, tidak usah kita melihat zaman dulu, pada pemburu di hutan
zaman sekarang juga memerlukan ujung tombak panah yang digunakan untuk
menghentikan pergerakan target lawan (Binatang pastinya). Pada masa
Mesolithikum pun juga demikian, mereka menggunakan panah untuk berburu
mencari mangsa (Guna kelangsungan hidup untuk makan).

Tujuan adanya panah ini adalah, untuk melumpuhkan target mangsa Ciri khas
dari mata panah yang dimiliki oleh manusia Mesolithikum sendiri terdapat gerigi
pada ujungnya. Mata panah ini sendiri banyak digunakan bersama dengan Pebble
(Kapak Genggam yang banyak di temukan arkeolog pada Goa dan Sampah Pantai).

 PENINGGALAN KEBUDAYAAN LAINNYA


Di kenal dengan masa Batu Muda. Masa ini ada pada 10.000 tahun jauh
Sebelum Masehi (Sebelum masa kerajaan di di Indonesia). Dimana pada masa ini,
manusia pra-sejarah yang sebelumnya hidup dengan berpindah-pindah tempat
(Nomanden) sudah banyak yang menetap. Zaman mesolithikum ini sendiri adalah
zaman peralihan dari Paleothikum ke Neolithikum. Tidak jauh berbeda, pada masa
ini, manusia melakukan pekerjaan sehari-harinya dengan berburu dan menangkap
ikan. Seiring dengan hal baru yang mereka tetapkan, yaitu menetap pada suatu
tempat (Kebanyakan di Goa – Goa abris sous roche dan di Pantai
kjokkenmoddinger), maka mereka menemukan pekerjaan baru, yaitu bercocok
tanam. Selain itu banyak juga Peninggalan Zaman Praaksara karena banyaknya Jenis
– Jenis Manusia Purba di Indonesia.

Pada setiap masa, pasti ada beberapa Kebudayaan yang menjadi khas pada zaman
tersebut. Berikut kita akan membahas sedikit tentang kebudayaan yang merupakan
hasil dari zaman Mesolithikum, antara lain;
1. Toala
Hasil Kebudayaan Zaman Mesolitikum yang satu ini adalah kebudayaan
peninggalan zaman Mesolithikum yang melibatkan jasad mayat manusia yang sudah
meninggal. Kebudayaan ini dilakukan dengan cara mengubur manusia yang sudah
meninggal di dalam goa, jika tulang dari manusia tersebut sudah mengering, maka
akan diambil untuk di jadikan kenang-kenangan oleh pada keluarga. Selain
mengambilan tulang tersebut, adanya lukisan dan ukiran mengenai pemburuan babi
pada dinding-dinding goa. Kebudayaan ini berasal dari suku Toala yang berada di
provinsi Sulawesi Selatan.
Karena salah satu perubahan dari manusia Mesolithikum adalah menetap pada
goa dan pantai, maka banyak peninggalan yang di temukan di sekitarnya, antara lain;
 Flake atau Alat serpih bergerigih dan hitam (Ditemukan di daerah Sulawesi Selatan)
 Peralatan yang terbuat dari tulang (Tulang manusia yang meninggal tersebut)
 Gerabah
 Batu Penggiling (Digunakan untuk menggiling hasil panen)
 Kulit hewan
 Pebble
2. Arbis Sous Roche atau Tinggal dalam Goa
Seorang peneliti asal Belanda bernama Van Steil Callenfels melakukan
penelitian di daerah ponorogo tepatnya berada di Goa Lawu. Pada penelitian
tersebut, yang akhirnya dilanjutkan oleh peneliti lain pada titik lain yang berada
dalam wilayah Indonesia, penemuan tersebut tercatat menemukan banyak peralatan
yang terbuat dari tulang, yang dapat di pastikan merupakan peninggalan sejarah dari
hasil Mesolithikum. Hal ini bisa dibuktikan dari dalamnya timbunan dan usia dari
peralatan tersebut (yang terlihat dari retakan, pelapukan, dan lainnya) yang terjadi
pada peralatan tulang.

3. Gunungan Sampah Pantai atau Kjokkenmoddinger

Hasil Kebudayaan Zaman Mesolitikum selanjutnya adalah kjokkenmoddinger.


Manusia masa Mesolithikum yang tinggal pada tepian aliran air, memilih tempat
tersebut karena tanahnya yang subur dengan sumber air untuk kehidupan yang lebih
banyak. Setiap peninggalan satu masa atau satu kelompok mahkluk hidup pasti akan
meninggalkan jejak, entah itu banyak atau sedikit, pastinya ada. Pada manusia
mesolithikum yang menempati pantai sebagai tempat tinggalnya, ia meninggalkan
tumpukan cangkang kerang dan siput pada pantai. Sebuah penelitian menemukan
Kapak Genggam yang berbeda dengan kapak yang sering di gunakan pada zaman
paleolithikum, dan pada akhirnya kapak ini di berikan nama Pebble.

Selain itu ada jenis kapak lain yang di temukan pada tumpukan
Kjokkenmoddinger, antara lain; Kapak pendek dan peralatan penggilingan yang di
gunakan. Pebble sendiri terdiri dari batu kali yang telah pecah (Terlihat pada sisi
luar, untuk sisi dalamnya akan dikerjakan dan di buat sesuai dengan kebutuhan
manusia tersebut).

4. Kebudayaan Bacson – Hoabinh

Kebudayaan ini jarang di temukan di Indonesia. Asalnya sendiri dari pusat


kebudayaan Mesolithikum yang berada di kota Bacson dan Hoabinh dan kedua kota
tersebut berada di Indo-cina yang sekarang lebih di kenal dengan nama negara
Vietnam, yang tidak lama telah melakukan migrasi dan menyebar hingga di
Indonesia lebih banyak di temui di wilayah Timur Indonesia seiring dengan
berpindahnya Papua Melanoisoid ke Indonesia.
Perpindahan Papua Melanoisoid sendiri pertamanya datang ke wilayah Sumatera
dan Jawa, mereka tersingkirkan oleh manusia Ras melayu yang datang setelahnya.
Papua Melanoisoid sendiri akhirnya berpindah ke wilayah timur dari Indonesia
dimana di wilayah tersebut sedang melangsungkan kebudayaan Mesolithikum.

Kebudayaan Bacson – Hoabinh ini membentuk 1 (satu) kapak dan tanduk yang
berasal dari tulang manusia yang telah di beri tanda cat merah dan tanduk binatang
buruan yang di jadikan bahan makanan. Tulang dan tanduk tersebut di serpih
sehingga menjadi banyak bentuk, antara lain; Lonjong, Segi Empat, Segitiga, dan
berbentuk berpinggang.

5. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)

Kebudayaan ini sendiri terbentuk karena adanya penelitian seorang dari Belanda
bernama Van Steil Callenfels yang menemukan satu goa bernama Goa Lewu. Di
tempat tersebut, Van Steil Callenfels menemukan banyak sekali peralatan yang
terbentuk dari tulang – tulang manusia dengan tanda cat merah dan tanduk hewan.
Tulang – tulang dengan tanda cat merah tersebut adalah singkron dengan
kebudayaan Toala yang ada pada masa Mesolithikum, dimana setiap orang yang
meninggal akan di kubur di dalam goa (Tempat tinggal orang zaman mesolithikum)
sehingga tulang tersebut kering dan akan diambil sebagai cindera mata dan kenang –
kenangan oleh keluarga mereka. Berikut gambar dari Kebudayaan Tulang dari
Sampung..
Selain itu, dinding goa pada masa itu, dan tempat kuburan, terdapat gambar proses
pemburuan babi dan ada cap 5 jari yang berwarna merah. Merah pada zaman
tersebut berarti kesedihan, kesusahan, berduka, dan mengalami sesuati hal yang
tidak menyenangkan

4. CIRI-CIRI ALAT BUDAYA YANG DIHASILKAN

a. Pebble / Kapak Sumatera

Pebble atau Kapak Sumatra ditemukan dari penelitian ahli arkeologi Pieter Vincent
van Stein Callenfels pada tahun 1925. Saat itu, Callenfels menemukan kapak yang
berbeda dengan chopper, yaitu kapak genggam dari zaman Paleolitikum. Pebble
culture banyak ditemukan di Sumatra Utara. Pebble sendiri memiliki ciri-ciri yaitu:
 Terbuat dari batu gamping.
 Memiliki bentuk yang memanjang.
 Diserpih hingga menjadi tajam.
 Memiliki bentuk yang beragam sesuai kegunaannya.
 Bentuknya semacam kapak gengam.

b. Kapak Pendek (Hachecourt)

Kapak pendek (hache courte) adalah sejenis kapak genggam. Bentuknya setengah


lingkaran. Fungsi dari kapak pendek adalah memotong buah atau daging, membelah
kayu, dan mencukil tanah untuk dapat mengambil makanan yang berada di
tanah. Kapak pendek ditemukan di Sepanjang Pantai Timur Pulau Sumatera. Kapak
pendek memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai berikut:
 Memiliki ukuran yang lebih kecil dari kapak genggam.
 Berbentuk setengah lingkaran.
 Memiliki bagian yang runcing dan tajam pada lingkarannya.

c. Batu Pipisan

Batu pipisan adalah batu bata penggiling beserta landasannya yang di zaman kini
akan berfungsi mirip cobek. Batu pipisan berguna untuk menggiling makanan dan
menghaluskan pewarna atau cat merah. Cat tersebut diduga digunakan untuk
kegiatan yang terkait kepercayaan. Batu pipisan memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai
berikut:
 Terbentuk dari bahan dasar batu pasir kasar.
 Memiliki Panjang 31 cm dan tebal 3 cm.
 Penggiling batu pipisan berbentuk silinder.
 Permukaannya sangat halus.

d. Mata Panah yang Bergerigi

Mata panah adalah salah satu objek dan alat paling penting yang di gunakan untuk
para pemburu, tidak usah kita melihat zaman dulu, pada pemburu di hutan zaman
sekarang juga memerlukan ujung tombak panah yang digunakan untuk
menghentikan pergerakan target lawan (Binatang pastinya). Mata panah yang
bergerigi memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai berikut:
 Berukuran tipis dan kecil.
 Memiliki ujung mata panah yang tajam.
 Umumnya berbentuk segitiga.
 Bagian ujung dan tajamnya ditatah dari 2 arah.
 Berliku-liku, bergerigi dan tajam.

5. GAMBAR ALAT BUDAYA

Pebble/Kapak
Sumatera

Kapak Pendek
(Hachecourt)
Batu Pipisan

Mata Panah yang


Bergigi
C. NEOLITHIKUM

Zaman neolitikum atau kerap disebut sebagai zaman batu muda adalah periode
sejarah dimana manusia sudah memiliki teknologi dan kebudayaan yang cukup
berkembang. Pada zaman ini, manusia sudah mampu mengolah dan mengasah batu
dengan baik, mengembangkan sistem pertanian dan peternakan sederhana, serta
mulai hidup menetap. Selain itu, manusia juga sudah mulai menguasai teknik
pengolahan tanah liat untuk membuat tembikar sebagai alat penyimpanan.

Gaya hidup yang menetap dan aktivitas yang semakin beragam ini pun tentu saja
menyebabkan perubahan kebudayaan dimana manusia purba semakin dituntut untuk
berkerjasama sehingga muncul sistem sosial. Pada dasarnya, neolitikum adalah
zaman batu yang terakhir sebelum manusia masuk ke zaman perundagian yaitu
zaman besi dan zaman perunggu. Zaman megalitikum sebenarnya berada didalam
neolitikum ini, yang menjelaskan mengenai konsep bangunan-bangunan batu besar
yang dibangun oleh manusia purba pada zaman tersebut.
Sekitar 12000 tahun yang lalu, kemajuan kebudayaan, ilmu pengetahuan, serta
keterampilan manusia purba sudah mulai memungkinkan mereka untuk mengolah
batu-batuan dengan baik serta hidup menetap. Fase ini dikenal sebagai zaman batu
muda yang terjadi setelah zaman batu madya, atau mesolitikum.

Pada saat ini, manusia sudah mulai hidup menetap dalam tempat tinggal
permanen/semi-permanen. Selain itu, manusia juga mulai melakukan aktivitas
bercocok tanam serta peternakan yang sangat sederhana. Manusia purba pada zaman
ini menanam beberapa tanaman tertentu seperti keladi, labu air, padi, sukun, pisang,
serta ubi rambat.

Karena sudah melakukan proses pertanian dan peternakan sederhana, maka


kebudayaan manusia berubah dari berburu dan meramu untuk mencari makan (Food
gathering) menjadi memproduksi makanan (Food producing). Karena bersifat
sedenter atau tidak berpindah-pindah lagi, manusia pun mengembangkan teknologi
perumahan yang lebih baik, dengan rumah-rumah permanen yang dibangun untuk
melindungi dari bahaya alam.

Selain itu, manusia purba juga sudah mulai memikirkan mengenai ketahanan pangan
dengan cara membangun lumbung pangan untuk menyimpan surplus produksi
pangan. Untuk meregulasi semua hal ini, maka manusia purba pada zaman ini sudah
mengenal sistem kasta dan juga sistem tingkatan-tingkatan hierarki.

Terdapat seorang yang dianggap sebagai Primus Interpares atau yang utama dari
sesamanya. Umumnya, individu ini adalah kepala suku atau tetua adat dari
komunitas tersebut. Konsep ini pun didukung oleh masyarakat yang sudah mengenal
spiritualitas dalam bentuk animisme dan juga dinamisme. Dalam ilmu pertanian,
zaman neolitikum ini kerap dianggap sebagai revolusi pertanian pertama, atau
revolusi neolitikum dimana pertanian dan peternakan mulai menyebar ke seluruh
penjuru dunia

CIRI-CIRI ZAMAN NEOLITHIKUM

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, perkembangan teknologi dan budaya pada
zaman neolitikum sudah jauh lebih maju dari zaman-zaman sebelumnya. Selain itu,
zaman ini memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dengan periode-
periode sebelumnya yang antara lain adalah
 Sudah memiliki tempat tinggal yang bersifat permanen
 Tidak lagi bergantung kepada meramu dan berburu, tetapi sudah mulai
memproduksi makanannya sendiri
 Melakukan kegiatan bercocok tanam dan juga memelihara hewan ternak sebagai
sarana produksi bahan makanan
 Masih dilaksanakannya kegiatan berburu hewan liar.
 Sudah mampu membuat pakaian yang terbuat dari kulit kayu dan juga kulit hewan
 Sudah mulai terbentuk kasta dan juga sistem tetua
 Memiliki kepercayaan Animisme dan Dinamisme
 Peralatan yang digunakan sudah mulai diolah dengan lebih baik seperti dihaluskan
dan dipertajam
 Mulai ditemukan perhiasan-perhiasan serta kerajinan dari sampah kerang, bebatuan,
serta tanah liat/terakota

Berdasarkan penelitian sejarah yang sudah dilakukan oleh para ahli sejarah, ciri-ciri
diatas dapat digunakan untuk mendeskripsikan pola kehidupan manusia pada zaman
neolitikum.

1. CORAK HIDUP MASYARAKAT


Gaya hidup yang menetap dan aktivitas yang semakin beragam ini pun tentu saja
menyebabkan perubahan kebudayaan dimana manusia purba semakin dituntut untuk
berkerjasama sehingga muncul sistem sosial. Pada dasarnya, neolitikum adalah
zaman batu yang terakhir sebelum manusia masuk ke zaman perundagian yaitu
zaman besi dan zaman perunggu. Zaman megalitikum sebenarnya berada didalam
neolitikum ini, yang menjelaskan mengenai konsep bangunan-bangunan batu besar
yang dibangun oleh manusia purba pada zaman tersebut.

 Pola Hunian
Dalam masa Neolitikum (Zaman Batu Baru), manusia sudah mulai tahu cara
memperbarui sumber pangan dengan cara bercocok tanam dan beternak secara
sederhana.Oleh karena itu, mereka tidak perlu berpindah dari satu tempat ke tempat
lain. Di fase ini pulalah, manusia sudah dapat membuat berbagai peralatan sederhana
seperti tembikar.

Tempat-tempat yang biasa jadi permukiman adalah tempat-tempat yang dekat


dengan air, seperti pinggir sungai. Karena, tanah di sekitarnya subur, cocok untuk
bertanam. Di sungai ada berbagai macam ikan dan hewan-hewan lain yang mencari
minum. Yang pada intinya, sungai atau perairan tawar lainnya adalah sumber
penghidupan.

Karena sudah menetap dalam kurun waktu yang lama, manusia di zaman ini tidak
lagi menghuni gua. Mereka sudah bisa membangun rumah meski sederhana.
Manusia juga sudah semakin paham cara membuat alat dan sudah kenal dengan api.
Oleh karena itu, konstruksi rumah mereka pun smakin canggih, yakni dari bata
lumpur. Kelompok manusia pada zaman neolithikum sudah tidak lagi
tinggalbersama-sama, melainkan satu rumah untuk dua keluarga atau lebih dalam
satu wilayah, mengelilingi jalan. Inilah cikal bakal kota. Satu rumah hanya terdiri
dari satu ruangan. Namun, lama-kelamaan, bentuk rumah pun berkembang dengan
adanya ruang keluarga, ruang tidur, dan lain-lain.

Konsep rumah dan perkembangannya pun berbeda-beda di tiap kebudayaan. Jika di


kebudayaan Romawi dan Yunani, estetika rumahsangat diperhatikan. Oleh karena
itu, rumah-rumah disana memiliki banyak ornamen. Sementara itu, di Nusantara,
terutama yang terkena pengaruh kebudayaan Hindu, letak rumahlah yang menjadi
titik fokus. Karena, hal itu diyakini berpengaruh pada kehidupan kita.
Pada zaman ini, wilayah Indonesia sudah mengalami pembauran dengan beberapa
ras migran. Salah satunya adalah ras Malayan Mongoloid yang dikenal sebagai
Melayu Austronesia dan berasal dari Yunan, China Selatan. Ras ini datang dengan
membawa pengetahuan berupa ilmu bercocok tanam di ladang. Sementara itu
kehidupan manusia purba yang tidak lagi nomaden juga menjadi pemicu untuk
melakukan kegiatan bercocok tanam.

Meskipun begitu, cara bercocok tanam yang diterapkan sangatlah sederhana.


Kegiatan berburu pun masih biasa dilakukan. Pada masa ini manusia sudah mampu
menghasilkan makanan sendiri yang disebut food producing.

 Kepercayaan

Manusia pada zaman neolitikum juga mulai mengenal adanya dewa untuk disembah.
Tahap awal yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kepercayaan yaitu mereka
telah mengetahui tata cara menguburkan mayat serta upacara pemujaan terhadap
para leluhur dan arwah nenek moyang. Pada masa ini manusia percaya bahwa jiwa
orang yang sudah meninggal akan hidup di suatu alam yang disebut sebagai alam
roh. Roh setiap orang pada alam tersebut mempunyai tempat yang berbeda.

Hal tersebut tergantung pada amal perbuatan mereka ketika masih hidup dan
seberapa besar upacara penguburan yang dilaksanakan. Adapun leluhur yang
meninggal pada zaman neolitikum dibuatkan upacara penguburan sesuai dengan
kepercayaan mereka. Ada dua cara penguburan yang diterapkan manusia pada
zaman tersebut yaitu penguburan langsung dan penguburan tidak langsung.
1. Penguburan Langsung

Cara penguburan langsung yaitu mayat dikuburkan satu kali saja. Dalam hal ini
mayat langsung dikubur di dalam tanah atau juga bisa dengan menggunakan peti
atau wadah, lalu dikuburkan dalam tanah dengan diiringi upacara tertentu.

Peletakan mayat di dalam tanah mempunyai teknik tersendiri. Ada dua cara yang
bisa dilakukan yaitu mayat diletakkan secara membujur dan diletakkan secara
meringkuk atau terlipat. Arah mayat dibaringkan yaitu menghadap ke tempat arwah
nenek moyang dan roh bersemayam biasanya puncak gunung.
Manusia yang sudah meninggal tersebut juga diberi bekal berupa seekor anjing,
seekor unggas, dan juga manik-manik yang akan menemani menuju dunia roh.
Sistem penguburan langsung umumnya dilakukan di wilayah Anyer (Jawa Barat)
dan Plawangan (Jawa Tengah).

2. Penguburan Tidak Langsung

Berbeda dengan cara penguburan sebelumnya, teknik penguburan tidak langsung


harus melalui beberapa tahap. Pertama, mayat dikuburkan seperti cara penguburan
langsung yaitu dimakamkan di dalam tanah tanpa melalui suatu upacara tertentu.
Setelah itu akan dilanjutkan kembali ketika mayat tinggal kerangka saja.

Makan tersebut digali kembali untuk mengambil kerangka sisa mayat, lalu kerangka
tersebut dicuci, kemudian diberikan hematit pada bagian sendi-sendi tulang.
Selanjutnya kerangka tersebut diletakkan pada tempayan yang dikenal dengan
sebutan sarkofagus. Puncak dari kegiatan upacara penguburan adalah pendirian
bagunan batu berukuran besar yang disebut sebagai megalith. Metode penguburan
tidak langsung umumnya diterapkan di wilayah Lesung Batu (Sumatera Selatan),
Gilimanuk (Bali), Melolo (Sumba), dan juga Lomblen Flores (Nusa Tenggara
Timur).

 Mata Pencaharian

1. Bercocok Tanam di Ladang

Kedatangan bangsa Melayu Austronesia mengajarkan ilmu baru. Mereka membawa


dengan membawa ilmu bercocok tanam di ladang ke nusantara. Pada saat itu,
mereka bercocok tanam beberapa jenis tanaman. Layaknya keladi, labu air, sukun,
ubi rambat, padi gaga, pisang, dan kelapa.

Pada saat itu, mereka juga sudah mengenal cara bertani dan berternak. Kehidupan
dengan solidaritas tinggi untuk mengatur kehidupan juga sudah dipraktekkan.
Misalnya dalam menebang hutan, menabur atau menanam benih, membakar semak,
mendirikan rumah, memetik hasil ladang, serta menyelenggarakan upacara.

2. Terdapat Pemimpin
Pada masa ini, manusia mulai tinggal berkelompok di kampung-kampung,
melakukan kegiatan tukar-menukar, dan mulai memilih pemimpin di antara mereka.
Demi menjalani kehidupan yang teratur, pada kebudayaan neolitikum telah
mengenal pimpinan. Mereka mengangkat seseorang untuk mengatur kehidupan
bersama. Pemimpin (primus interpares atau disebut pula yang utama dari
sesamanya), itu semacam Ketua Suku/Ratu/Datuk.

Primus inter pares merupakan sebuah metode pemilihan pemimpin melalui


musyawarah diantara satu suku berdasarkan kelebihan baik itu dari segi fisik
maupun dari segi spiritual. Primus inter pares biasanya berhubungan dengan
wibawa seseorang yang mencakup kepercayaan, mutu tokoh (kemampuan
mengorganisasi, tingkat visioner, pemahaman terhadap permasalahan di dalam suku,
keadilan, pandai mendengar, pemecah masalah dan pandai mempersatukan). Cara ini
sudah digunakan sejak peradaban purba yaitu pada masa neolitikum atau yang
disebut zaman batu baru.

3. Berhasil Membuat Aneka Kerajinan

Berbagai kerajinan juga telah berhasil dibuat pada masa kebudayaan neolitikum.
Misalnya gerabah, anyam-anyaman, pakaian, perhiasan dan teknik membuat perahu.
Berikut penjelasannya.

GERABAH

Gerabah adalah salah satu hasil kerajinan tangan dimana berbahan dasar tanah liat,
pasir dan di bentuk menggunakan tangan. Tanah liat ini di tumbuk dan di aduk
hingga memiliki teksur yang padat. Kemudian hasil tersebut akan di haluskan
menggunakan batu lainnya agar berbentuk lebih rapi.
Hasil gerabah menyerupai sebuah wadah dalam bentuk kecil, biasanya hasil dari
gerabah ini di gunakan untuk alat makan dan minum sehari – hari, walaupun
hasilnya masih lebih kasar, namun ini juga menunjukan kreativitas yang semakin
berkembang pada manusia zaman batu tersebut. Selain kegunaan untuk makan dan
minum sehar – hari banyak penemuan gerabah zaman neolitikum ini sendiri
dijadikan celengan, dan berbentuk mainan. Penemuan gerabah di Indonesia sendiri
di temukan di Sulawesi, Bayuwangi, Tangerang, Bogor dan beberapa titik lainnya.

ANYAMAN

Peninggalan Zaman Neolitikum selanjutnya adalah anyam-anyaman. Pada masa ini,


mereka tidak memiliki teknologi yang memadai seperti hari ini. Anyaman yang di
buat ber bahan dasar Bambu, Rumput dan Rotan. Hasil dari anyaman tersebut adalah
wadah untuk menyimpan dan meletakan makanan. Mereka menggunakan teknik
anyaman. Di ketahui pada zaman ini sudah mengenal istilah barter. Barter ini sendiri
di lakukan dengan menukar ikan, anyaman, perhiasan, garam, hasil cocok tanam,
kerang yang indah, dan banyak lain sebagainya. Anyaman ini sendiri selain di
jadikan bahan barter, bisa di gunakan sehari – hari.

PAKAIAN

Pada masa Batu muda (Neolitikum) ini telah di kenalnya pakaian. Pakaian yang
manusia purba tersebut gunakan adalah berbahan dasar serat kayu. Mereka mulai
mengenal pakaian ini sebab mereka akan merasa dingin ketika malam telah tiba.
Mereka menggunakan kapak persegi dan kapak lonjong untuk memotong dan
menghaluskan serat kayu tersebut sehingga layak di pakai.

TEKNIK MEMBUAT PERAHU

Pada zaman Neolitikum, mereka membuat perahu dengan sangat sederhana, batang
pohon di gunakan untuk membuat badan perahu dan tiang untuk layar perahu.
Namun, karena mereka masih menganut faham Animisme dan Dinamisme, maka,
untuk pohon yang akan di gunakan untuk menjadi bahan dasar perahu tersebut di
doakan dan melakukan sebuah ibadah sebelum pemotongannya. Pembuatan perahu
di percaya di buat dengan cara membangun sisi luar dari perahu tersebut, lalu
mengerjakan sisi dalamnya. Agar perahu tidak terbalik, mereka memasang katik
sebagai penyeimbangnya. Mereka membuat layar dengan teknik membuat pakaian.
Layar di buat dengan sebutan layar sudu (Dalam Bahasa Jawa).

PERHIASAN

Manusia hidup tak luput dari yang namanya keindahan. Perhiasan adalah salah satu
cara manusia untuk mempercantik diri mereka. Tak terkecuali manusia purba,
mereka memiliki perasaan untuk memperindah diri mereka sehingga mereka
membuat perhiasan sendiri. Arkeolog yang meneliti, sering kali menemukan
perhiasan ini yang di percaya muncul pada zaman Neolitikum. Dari model
pembuatannya, bisa di perkirakan bagaimana mereka membuat perhiasan tersebut.

Dalam membuat Gelang, pertama – tama bahan dasar yang berasal dari batu tersebut
di tipiskan dengan cara di pukul – pukul. Bentuk yang di inginkan adalah bulat dan
gepeng. Mereka banyak menggunakan teknik menggosok dan mengasah. Mereka
akan berusaha membuat perhiasan tersebut mengkilap dengan cara menggosok
tersebut. Gelang dan temuan tahapan ini dapat di temukan ketika arkeolog
melakukan penelitian di daerah Tasikmalaya. Terdapat banyak sekali sisa – sisa
peninggalan perhiasan ini. Perhiasan yang berasal dari Tasikmalaya ini terdiri dari
beberapa macam batuan, antara lain; Batu Agate, Kalsedon, Jaspis dengan aneka
warna (Hitam, Kuning, Putih, Coklat, Merah, Hijau).

Penemuan tersebut tidak hanya menemukan 1 macam gelang. Namun ada beberapa
macam lainnya yang pastinya berbeda ukuran. Berdiameter 24 – 55 mm dengan
ketebalan 06 – 17 mm. Dengan ukuran yang di temukan, masih di percaya tidak
hanya gelang. Kemungkinan – kemungkinan adanya kalung, anting dan segala hal
yang lebih kecil yang mereka percaya di gunakan untuk Jimat.

2. MANUSIA PENDUKUNG
Manusia pendukung pada zaman neolitikum diketahui hidup di bagian Indonesia
timur. Ada dua ras pendukung yang dibagi berdasarkan peralatannya yaitu kapak
persegi dan kapak lonjong. Kebudayaan kapak lonjong didukung oleh manusia yang
berasal dari ras Papua Melanesoide. Melanesoid yang paling populer adalah
memiliki penampilan kulit cenderung gelap atau hitam. Persis seperti asal usul nama
Ras Melanesoid yang mengarah pada penampilan serupa. Manusia purba pendukung
kebudayaan ini adalah Homo Sapiens dari ras Mongoloid (mayoritas) dan minoritas
dari ras Austromelanosoid.

Ras Melanesoid adalah asal katanya dari dua suku kata bahasa Yunani. Ada
“melano” dengan arti hitam atau gelap. Kemudian “soid” dengan arti penampilan.
Ini mengapa ciri-ciri Ras Melanesoid demikian. Sejarah mencatat Ras Melanesoid
adalah sudah ada sejak 70 ribu tahun sebelum Masehi tepat di sebelah timur
Indonesia atau Papua. Ras Melanesoid tak hanya ada di Indonesia.

Tak hanya dari warna kulitnya, masih ada banyak ciri-ciri Ras Melanesoid yang
membuat ras ini semakin khas. Kapak persegi berasal dari ras Proto-Melayu atau
Melayu Tua. Ras ini migrasi ke Indonesia pada sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi
dengan menggunakan perahu bercadik. Adapun suku yang merupakan bagian dari
ras ini adalah Batak, Sasak, Toraja, dan Dayak.

Proto Melayu atau Melayu Tua adalah istilah untuk Melayu “gelombang” pertama
dari dua “gelombang” migrasi yang dulu diperkirakan terjadi dalam pendudukan
Nusantara oleh penutur Bahasa Austronesia. Di Malaysia, istilah Proto Melayu
masih digunakan untuk sebuah suku yang Bernama Orang Asli. Ras Proto Melayu
berasal dari Austronesia yang masuk ke wilayah Nusantara dengan melewati dua
jalur. Jalur tersebut yaitu Malaysia sampai Sumatera atau disebut jalur Barat dan
melewati Filipina sampai Sulawesi atau disebut dengan Jalur Utara.

Mengapa Ras Proto Melayu disebut dengan Melayu Tua karena kedatangan bangsa
ini lebih dulu dibandingkan dengan Ras Deutro Melayu. Dari hasil perkembangan
dan keturunan Proto Melayu saat ini dikenal dengan nama Suku Mentawai, Suku
Dayak, Suku Toraja, dan Suku Batak.

Bangsa Proto Melayu ini mempunyai suatu kebudayaan Neolithikum atau umumnya
dikenal sebutan Batu Muda. Dan, yang mana pada setiap benda dari hasil
kebudayaan pada bangs aini hampir semuanya terbuat dari batu yang sudah
dihaluskan. Contohnya kapak yang membentuk sebuah persegi dan kapak lonjong.
Ras Proto Melayu hidup di zaman batu, lebih tepatnya zaman batu muda atau
neolithikum. Oleh karena itu, peninggalan-peninggala kebudayaan Proto Melayu ini
didominasi oleh perkakas yang terdiri dari batu.

3. ALAT BUDAYA YANG DIHASILKAN


Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.

a. Pahat Segi Panjang

Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan
Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India,
selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan
Kuril dan Jepang.

b. Kapak Persegi

Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia.
Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang
lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak
persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar
lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang
ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk
mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.
Bercocok tanam sendiri adalah salah satu cara mereka untuk bertahan hidup setiap
hari. Kayu yang di pahat dan dipukul tersebut di gunakan untuk membuat baju, di
ketahui jika pakaian pada zaman tersebut terbentuk dan terbuat dari serat kayu yang
dipukul dan di pahat menggunakan kapak persegi ini.

Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu
api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya
dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak
jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku,
Sulawesi dan Kalimantan.

Diperkirakan sentra-sentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang),


Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di
Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor
juga ditemukan batu asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian.

c. Kapak Lonjong

Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman.
Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang
lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam.
Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.

Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil
dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama
dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong,
Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di
Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak
lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.

Kapak lonjong terbuat dari batu kali dengan warna kehitaman. Bentuknya
menyerupai bulat telur dengan ujung lancip yang berfungsi sebagai tempat tangkai,
sedangkan ujung yang lain dibuat setajam mungkin. Fungsi dari kapak lonjong
sendiri sama dengan kapak persegi.

Ukuran kapak lonjong bervariatif, untuk yang berukuran besar disebut sebagai
walzenbeil dan yang berukuran kecil disebut kleinbeil. Wilayah penemuan kapak
lonjong paling besar di Indonesai adalah dari Irian

Walaupun kapak lonjong memiliki kemiripan dengan kapak persegi, namun tetap
memiliki perbedaan. Perbedaannya adalah pada kapak lonjong ada salah satu sisi
bagian yang lebih meruncing dan tajam. Ketajaman ini membuat perbedaan pada
kapak persegi gimana kapak persegi memiliki semua sisi yang sama rata, tidak ada
bagian yang lebih lonjong. Kapak lonjong tidak hanya ditemukan di wilayah
Indonesia saja, namun ada di temukan di luar negeri, antara lain; Filipina, Cina,
Vietnam, dan negara asia lainnya.

d. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang
diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang
persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina
terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian
tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak
ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun
juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.

e. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)


Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang
dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai
pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan
sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga
alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk
kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.

f. Pakaian dari Kulit Kayu


Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang
sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan
pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau
pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan
dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini
menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.

g. Tembikar (Periuk belanga)


Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar
atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra,
tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun
bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar.
Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang
belulang manusia.

4. CIRI-CIRI BUDAYA YANG DIHASILKAN


Ciri-ciri alat peninggalan zaman batu baru adalah alat yang digunakan sudah diasah
dan dipoles sehinggga halus dan indah.

a. KAPAK PERSEGI
Disebut juga beliung persegi. Beliung persegi adalah alat berbentuk persegi
empat dengan permukaan memanjang. Seluruh permukaan beliung persegi telah
digosok dengan halus. Beliung persegi berukuran besar digunakan untuk
mencangkul sedangkan beliung persegi berukuran kecil berfungsi sebagai alat
mengukir atau alat pahat. Kapak persegi banyak ditemukan di daerah Sumatera,
Jawa, Nusa Tenggara dan Kalimantan. Kapak persegi memiliki ciri tersendiri yaitu:
 Berbentuk segi empat.
 Permukaannya memanjang.
 Seluruh permukaannya halus.
 Memiliki ukurang yang besar.
 Biasa digunakan untuk mengukit/memahat.

b. KAPAK LONJONG
Kapak lonjong merupakan alat bantu manusia purba yang berbentuk lonjong.
Kapak lonjong berfungsi untuk memotong kayu dan berburu. Kapak lonjong
sebagian besar ditemukan di daerah Papua. Peninggalan zaman batu baru yang
ditemukan lainnya adalah gerabah, perhiasan (gelang dan manik-manik), pakaian
dari kulit kayu dan tembikar. Dan memiliki ciri-ciri yaitu sebagai berikut:
 Memiliki bentuk yang lonjong.
 Seluruh permukaannya halus.
 Memiliki ujung yang lancip dan tajam.
 Dibuat dari batu kali.
 Memiliki warna kehitam-hitaman.
 Memiliki ukuran yang variatif.

c. KAPAK BAHU
Kapak bahu sama seperti kapak persegi, yang membedakan adalah di bagian yang
diikatkan pada tangkainya diberi leher. Kapak bahu ini hanyaa ditemukan di daerah
Minahasa. Kapak bahu memiliki ciri, yaitu sebagai berikut:
 Berbentuk segi empat.
 Permukaannya memanjang.
 Seluruh permukaannya halus.
 Memiliki ukurang yang besar.
 Hampir mirip dengan kapak persegi.
 Terdapat bagian yang diikatkan pada tangkainya.

d. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)


Perhiasan adalah salah satu cara manusia untuk mempercantik diri
mereka. Tak terkecuali manusia purba, mereka memiliki perasaan untuk
memperindah diri mereka sehingga mereka membuat perhiasan sendiri. Arkeolog
yang meneliti, sering kali menemukan perhiasan ini yang di percaya muncul pada
zaman Neolitikum. Dari model pembuatannya, bisa di perkirakan bagaimana mereka
membuat perhiasan tersebut. Pembuatannya menggunakan gurdi kayu sebagai bor
dan pasir sebagai pengikis. Dengan ukuran yang di temukan, masih di percaya tidak
hanya gelang. Kemungkinan – kemungkinan adanya kalung, anting dan segala hal
yang lebih kecil yang mereka percaya di gunakan untuk Jimat. Dan memiliki ciri-
ciri, yaitu:
 Terbuat dari batu indah.
 Ditemukan kalung yang terbuat dari bebatuan yang dicat dan batu akik.
 Biasa ditemukan di daerah Jawa.
 Gelang yang ditemukan berdiameter 24-55 mm dengan ketebalan 6-17 mm.
e. Pakaian dari Kulit Kayu
Di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa tempat lainnya ditemukan
alat pemukul kulit kayu yang biasanya dipakai untuk membuat pakaian. Dapat
diambil kesimpulan bahwa manusia dari Zaman Neolitikum sudah berpakaian.
Pakaian ini memiliki ciri-ciri, yaitu:
 Terbuat dari kulit kayu.
 Sudah diperhalus dengan sedemikian rupa.
 Dibuat menggunakan alat pemukul kayu.

f. Tembikar
Peninggalan berupa barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di
lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra. Walaupun hanya berupa pecahan-
pecahan kecil, tetapi dapat dilihat bahwa tembikar tersebut sudah dihiasi gambar-
gambar yang didapat dengan cara menekankan suatu benda ke tanah yang belum
kering. Tembikar memiliki ciri sebagai berikut:
 Tembikar yang ditemukan sudah dihias.
 Ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan kecil.
 Banyak ditemukan di bukit-bukit pasir.

5. GAMBAR ALAT BUDAYA

Kapak Persegi

Kapak Lonjong
Kapak Bahu

Perhiasan

Pakaian dari Kulit


Kayu

Tembikar
D. MEGALITHIKUM
Zaman megalitikum lebih sering dikenal sebagai zaman batu besar. Pasalnya secara
etimologis kata megalitikum sendiri berasal dari kata mega yang berarti besar dan
lithos yang berarti batu. Menurut keterangan dalam buku Ilmu Pengetahuan Sosial
Terpadu, Nana Supriatna (2008: 29), adapun ciri utama dari zaman prasejarah ini
ialah dimana manusia pendukungnya dapat menciptakan bangunan-bangunan besar
yang berbahan dasar batu.

Pada periode ini setiap bangunan yang didirikan oleh measyarakat sudah mempunyai
fungsi yang jelas. Budaya Megalitikum sendiri lebih mengarah pada sebuah
oemujaan terhadap roh leluhur.

1. CORAK HIDUP MASYARAKAT


 Pola Hunian

Pola hunian yang terdapat pada Masa Megalitikum adalah Sedenter yaitu
sudah menetap pada suatu tempat tinggal dan tak berpindah-pindah lagi.

 Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan masyarakat


praaksara dimana sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu
tempat.
 Tempat tinggal yang pertama dihuni adalag gua-gua atau ceruk peneduh (rock
shelter)
 Mata pencaharian masyarakatnya biasanya bercocok tanam (food producing)

Melalui hidup sendenter (menetap), manusia memiliki banyak waktu luang


untuk menyalurkan ide-ide nya sembari menunggu masa panen tanaman.
Salah satu ide-ide tersebut menyangkut bagaimana cara menghormati orang
yang telah meninggal dan memuja “roh-roh” disekitar tempat tinggal mereka
saat itu.

 Kepercayaan

Pada zaman Megalitikum, masyarakat telah mengenal kepercayaan, meskipun masih


dalam tingkat awal, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Masyarakatnya
percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal masih terus hidup di dunia
arwah.

Sistem kepercayaan yang dianut pada zaman tersebut secara garis besar terbagi
menjadi dua, yaitu animisme dan dinamisme.

Pengertian Animisme
Kata animisme berasal dari bahasa Latin, yaitu anima yang berarti ‘roh’. Kepercayaan
animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh. Paham animisme
mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini (seperti laut, gunung, hutan, gua, atau
tempat-tempat tertentu), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar jiwa tersebut
tidak mengganggu manusia, atau bahkan membantu mereka dalam kehidupan ini.
 
Banyak kepercayaan animisme yang berkembang di masyarakat Nusantara.
Contohnya adalah kepercayaan masyarakat Nias yang meyakini bahwa tikus yang
sering keluar masuk rumah adalah jelmaan dari roh wanita yang meninggal dalam
keadaan melahirkan. Atau, keyakinan bahwa roh orang yang sudah meninggal bisa
masuk ke dalam jasad binatang lain, seperti babi hutan dan harimau. Biasanya, roh
tersebut akan membalas dendam terhadap orang yang pernah menyakitinya ketika
hidup. 

Pengertian Dinamisme

Perkataan dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos, sedangkan dalam


bahasa Inggris berarti dynamic dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
arti kekuatan, daya, atau kekuasaan. Definisi dari dinamisme memiliki arti tentang
kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang diyakini memiliki
kekuatan ghaib.

Dalam Ensiklopedi umum, dijumpai definisi dinamisme sebagai kepercayaan


keagamaan primitif yang ada pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu di
Indonesia. Dinamisme disebut juga dengan nama preanimisme, yang mengajarkan
bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai daya dan kekuatan. Maksud dari arti
tadi adalah kesaktian dan kekuatan yang berada dalam zat suatu benda dan diyakini
mampu memberikan manfaat atau marabahaya. Kesaktian itu bisa berasal dari api,
batu-batuan, air, pepohonan, binatang, atau bahkan manusia sendiri.

Keterkaitan Sistem Kepercayaan Dengan Tradisi Bangunan Batu Besar


 
Adanya sistem kepercayaan yang diyakini oleh manusia pada saat itu telah
melahirkan adanya tradisi megalitikum yaitu membuat bangunan-bangunan besar.
Berdasarkan penemuan-penemuan arkeologis diketahui bahwa peradaban
megalitikum lebih banyak berkaitan dengan tradisi memuja roh dan arwah nenek
moyang. Bangunan-bangunan tersebut seperti menhir, dolmen, sarkofagus, dan lain-
lain adalah salah satu bentuk fisik kepercayaan animisme dan dinamisme pada zaman
prasejarah.
 
Untuk mengungkapkan rasa bersyukur atas karunia yang telah diberikan oleh alam,
mereka melakukan upacara ritual yang dipersembahkan untuk alam. Untuk itu,
mereka percaya bahwa alam beserta isinya mempunyai kekuatan yang tak bisa dicapai
oleh akal dan pikiran mereka. Untuk melaksanakan ritual atau upacara keagaman,
masyarakat pra aksara berkumpul di komplek megalithik seperti punden berundak-
undak, menhir, dolmen, sarkofagus, dan lain-lain. Bangunan batu besar ini banyak
sekali ditemukan di sepanjang wilayah Jawa Barat.
 

 
Pemujaan terhadap arwah nenek moyang dari tradisi megalithik yang dilatarbelakangi
oleh pendapat bahwa nenek moyang yang meninggal dari zaman megalitikum itu
masih hidup tetapi di dunia arwah, dan arwah tersebut pun diyakini masyarakat
setempat telah bersemayam di tempat-tempat tertentu yang dianggap suci seperti di
gunung-gunung yang tinggi. Dan hampir semua benda-benda di zaman megalitikum
ini digunakan sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada arwah nenek moyang, baik
dalam tradisi megalithik pra aksara maupun tradisi megalithik yang masih berlanjut.
 
 
megalitikum muncul untuk digunakan masyarakat yang hidup pada masa tersebut
sebagai alat peribadatan atau penguburan. Dan dari hasil penelusuran, telah diketahui
bahwa peninggalan zaman megalitikum ini tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan-
kebutuhan yang bersifat sakral, banyak sekali peninggalan yang ada hubungannya
dengan kebutuhan sehari-hari pun juga disebut sebagai peninggalam zaman
megalitikum, contohnya ada batu tegak yang berfungsi sebagai batas perkampungan,
lalu ada susunan batu-batu besar untuk persawahan, ada juga lumpang batu yang
dipergunakan untuk menumbuk biji-bijian, dan lain-lain.
 
Kepercayaan terhadap animisme telah berlangsung terus sampai sekarang dan
mengalami proses evolusi yang sangat panjang. Di beberapa suku bangsa di Indonesia
kepercayaan tersebut masih ada walaupun dengan bentuk yang berbeda-beda.
Aktivitas masyarakat di zaman sekarang pun masih ada yang terkait dengan
kepercayaan masyarakat megalitikum, contohnya:

 Upacara tertentu yang biasanya dilakukan oleh sesorang yang memiliki keahlian
khusus yang bisa menghubungkan dunia nyata dengan roh halus. Biasanya orang yang
memiliki keahlian tersebut adalah seorang yang berprofesi sebagai dukun atau kuncen
 Banyak anggota masyarakat modern yang masih percaya dengan benda yang dimiliki
oleh masing-masing personal seperti batu akik (cincin) yang diduga bisa membawa
berkah dan zaman dulu mayoritas masyarakat setempat memiliki batu cincin tersebut.

 Mata Pencaharian

Pada zaman megalitikum mata pencaharian masyarakat sekitar untuk memenuhi


kebutuhan hidupnya adalah dengan cara berburu dan meramu, setelah
memasuki masa orde baru sekarang masyarakat tersebut sudah mulai memiliki mata
pencaharian yaitu bercocok tanam.
 
Jika dulu manusia di zaman ini disebut food gathering yang artinya mengumpulkan
makanan sendiri tetapi sekarang mereka sudah memasuki taraf food producing yang
artinya sudah bisa menghasilkan makanan sendiri dengan cara bercocok tanam. Pada
masa ini manusia mulai mengenal sumber alam dan mulai menguasainya, mereka
mulai menanam tanaman dan juga berternak. Demi mendapatkan lahan untuk
menanaman tanaman tersebut mereka harus membakar pepohonan yang ada di hutan,
tanaman yang biasa mereka tanam adalah umbi-umbian. Jika lahan yang mereka
tanami kondisinya kurang baik untuk digarap, maka mereka segera mencari lahan lain
yang setidaknya dapat mereka garap dengan baik. Masyarakat megalitikum ini juga
berternak hewan seperti kerbau, sapi, dan kuda.
Hidup yang serba ketergantungan kepada alam ini membuat cara hidup mereka
bergotong-royong, dalam melakukan persembahan/penyembahan kepada arwah
leluhur maupun kekuatan alam, masyarakat ini melakukannya secara bersama-sama.
Biasanya yang memimpin upacara ini adalah masyarakat yang usianya paling tua atau
dituakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Pemimpin inilah yang mempunyai hak
untuk menentukan kapan acara “sedekah bumi” dan upacara-upacara religius lainnya
dilaksanakan. Pemimpin inilah yang juga dipercayai oleh masyarakat setempat dalam
hal mengusir roh jahat, mengobati orang sakit, dan memberikan hukuman kepada
warganya yang melanggar nilai atau hukum yang diberlakukan. Masyarakat di zaman
batu ini percaya kepada nenek moyang yang pertama kali mendirikan kampung
tempat tinggal mereka. Untuk menghormati arwah para nenek moyang tersebut maka
masyarakat mendirikan menhir yang berupa tiang atau tugu dan mereka juga
memberikan sesajen untuk arwah nenek moyang mereka dengan cara membuat
dolmen.
 

2. MANUSIA PENDUKUNG
Homo Sapiens menjadi manusia pendukung dari Zaman Megalitikum. Manusia Homo
Sapiens ini antara lain berasal dari bangsa Proto Melayu, yaitu sekitar 2000 tahun
sebelum masehi. Selain itu Homo Sapiens kebanyakan berasal dari Suku Nias, Dayak,
Sasak, Toraja.
Homo sapiens artinya manusia cerdik berasal dari zaman Holosen yang hidup sekitar
40.000 tahun yang lalu. Secara fisik, Homo sapiens telah mengalami pengecilan
kepala dan tubuh yang lain, sehingga fisiknya sudah hampir sama dengan manusia
zaman sekarang.

Homo sapiens terdiri atas sub sapiens atau ras. Jenis Homo sapiens yang sampai
sekarang masih ada adalah ras Mongoloid, ras Kaukasoid, dan ras Negroid. Ras
Mongoloid memiliki ciri berkulit kuning dan menyebar di Asia Tenggara. Ras
Kaukasoid berkulit putih berhidung mancung dan tubuhnya jangkung, Penyebarannya
di Eropa dan Asia Kecil (Timur Tengah). Ras Negroid berkulit hitam, bibir tebal,
berambut keriting, hidup menyebar di Papua, Australia dan Afrika. Selain ketiga ras
tersebut, terdapat dua ras yang penyebarannya terbatas yaitu ras Austromelanesoid
dan ras Kaukasoid. Ras Austromelanesoid terdapat di Kepulauan Pasifik dan pulau-
pulau di antara Asia dan Australia, sedangkan ras Kaukasoidatau adalah ras Indian
yang terdapat di Benua Amerika dan sekarang terdesak oleh orang kulit putih. Homo
sapiens disebut manusia pra aksara paling sempurna karena 2 faktor. Faktor pertama
adalah dari anatomi dan cara berjalan. Faktor anatomi homo sapiens sudah memiliki
punggung tegak rahang rata serta berstruktur tulang kaki panjang dan tegak, hal ini
menyerupai anatomi manusia modern saat ini.

Adapun ciri-ciri dari Homo sapiens ini adalah :

Mampu berdiri dan berjalan dengan tegak.


Mempunyai volume otak 1.650 cc.
Mempunyai bentuk muka datar dan lebar.
Mempunyai akar hidung yang lebar.
Mempunyai busur kening yang menonjol dan terlihat nyata.
Bagian mulut sedikit menonjol.
Mempunyai ciri-ciri mirip ras mongoloid dan ras austramelanosoid,
Mempunyai tinggi tubuh 1.30 m sampai 2.10 m.
Mempunyai otak lebih berkembang daripada Meganthropus dan
Pithecanthropus.
Memiliki otot kunyah, gigi, dan rahang sudah menyusut.
Mempunyai dagu.
Penyusutan pada otot dibagian tengkuk.

Berdasarkan penjelasan di atas ciri-ciri dari Homo Sapiens di antaranya adalah


sudah memiliki punggung tegak rahang rata serta berstruktur tulang kaki
panjang dan tegak selain itu Mempunyai volume otak 1.650 cc dan tinggi
tubuh 1.30 m sampai 2.10 m.

3. ALAT-ALAT HASIL KEBUDAYAAN

Perkembangan Zaman Batu Besar atau Zaman Megalitikum diperkirakan sudah ada
sejak Zaman Batu Muda hingga Zaman Logam. Kebudayaan Megalitikum merupakan
zaman dimana manusianya menghasilkan bangunan dari batu besar, pada umumnya
diperuntukan bagi tempat beribadah terhadap arwah nenek moyang dalam sistem
kepercayaan Animisme dan Dinamisme.

Bentuk peninggalan-peninggalan Zaman Megalitikum tersebut terbuat dari batu besar


yang pembentukannya sesuai dengan kepentingan upacara tertentu. Maka dari itu,
hasil kebudayaan Zaman Megalitikum memiliki maknanya masing-masing. Berikut
beberapa peninggalan hasil budaya pada Zaman Batu Besar :

1. Menhir

Menhir merupakan tugu atau tiang yang berasal dari batu. Menhir dibangun sebagai
lambang atau tanda peringatan kepada arwah nenek moyang.

Hasil budaya menhir ini memiliki banyak fungsi, di antaranya untuk sarana pemujaan
kepada arwah nenek moyang, digunakan untuk mengikat binatang korban
persembahan untuk arwah nenek moyang, tempat penampung roh-roh yang datang
dan tempat memperingati kepala suku atau seseorang yang sudah meninggal.

Menhir diletakkan pada tempat tertentu dan dapat dijumpai di Sumatera Selatan serta
Kalimantan.

2. Dolmen

Dolmen merupakan meja batu besar yang memiliki permukaan rata. Bentuk dari
dolmen seperti alas yang berbentuk lempengan batu besar dengan permukaan datar,
kemudian diberikan empat batu panjang sebagai penyangganya.

Hasil budaya dolmen ini mempunyai kegunaan untuk tempat meletakkan roh, tempat
duduk ketua suku agar memperoleh berkat magis para leluhur, dan tempat meletakkan
sesaji.

Dapat dijumpai di Jawa Timur serta Sumatera Selatan. Dan ternyata dolmen ini tidak
hanya ditemukan di Indonesia, namun juga ada di Eropa, Asia, dan Afrika, terutama
di sepanjang pesisir pantai.

3. Punden Berundak

Punden berundak merupakan bangunan bertingkat dengan tanjakan kecil yang


menyerupai anak tangga sebagai tempat memuja roh para nenek moyang. 
Punden berundak biasanya didirikan di daerah dataran rendah yang tidak
berpegunungan, maka mereka membuat bangunan tinggi semacam gunung yang
dipuncaknya bersamayam arwah nenek moyang sesuai kepercayaan Animisme. Pada
perkembangannya, punden berundak digunakan sebagai dasar pembuatan keraton,
candi dan sebagainya.

Dapat dijumpai di Jawa Barat, Kabupaten Sukabumi (Pangguyangan dan Gunung


Padang), Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Rangkasbitung,
Kabupaten Kuningan hingga daerah Banten Selatan.

4. Kubur Batu

Kubur batu merupakan peti jenazah pada zaman batu besar yang dipendam dalam
tanah. Bentuk kubur batu ini ialah persegi panjang dengan alas, sisi, dan tutupnya
yang berasal dari batu kemudian disusun menjadi sebuah peti.

Hasil budaya kubur batu ini adalah wadah penguburan mayat sebagai tempat untuk
menyimpan mayat yang terbuat dari batu. Kita dapat menjumpainya di daerah
Kuningan, Jawa Barat.

5. Waruga

Waruga merupakan kubur batu yang bentuknya bulat atau kubus dengan tutup
menyerupai atap rumah. Waruga memiliki fungsi dan bentuk yang hampir sama
dengan sarkofagus. Namun posisi mayat ditempatkan dalam keadaan jongkok terlipat.

Hasil kebudayaan Zaman Megalitikum seperti waruga ini penemuannya berada di


daerah Minahasa dan banyak ditemukan di sekitar Gilimanuk Bali.

6. Sarkofagus

Sarkofagus merupakan peti jenazah yang bentuknya menyerupai lesung, namun


memiliki tutup dibagian atasnya. Biasanya wadah dan tutupnya berukuran sama.

Sarkofagus digunakan sebagai penyimpanan atau penguburan jenazah seperti peti


mati. Mayat umumnya diposisikan lurus, terlentang, atau pun miring dengan posisi
tangan lurus atau menyilang.

Hasil kebudayaan ini ditemukan di Indonesia. Wilayah persebaran sarkofagus cukup


luas, yakni di Bali, Tapanuli, Sumba, Minahasa, Bondowoso, dan Jawa Timur.
7. Arca atau Patung

Hasil kebudayaan Zaman Batu Besar selanjutnya ialah arca atau patung. Arca atau
patung merupakan bangunan berbentuk manusia atau binatang yang terbuat dari batu
sebagai simbol pemujaan dan lambang nenek moyang.

Penemuannya terdapat di daerah pegunungan wilayah Bengkulu dan Palembang atau


lebih tepatnya di Dataran Tinggi Pasemah.

4. CIRI-CIRI ALAT BUDAYA YANG DIHASILKAN


Berikut ini adalah ciri-ciri zaman megalitikum antara lain.

 Masyarakatnya menggunakan dan meninggalkan kebudayaan yang terbuat dari


batu besar.

 Berkembang dari zaman neolitikum hingga zaman perunggu.

 Masyarakatnya mengenal kepercayaan animisme.

 Masyarakatnya mengenal teknik bercocok tanam dan beternak.

 Masyarakatnya menerapkan tradisi gotong royong.

Berikut ciri-ciri kehidupan zaman batu besar:

1. Telah mengetahui sistem pembagian kerja.

2. Telah ada pemimpin atau kepala suku.


3. Sudah memanfaatkan logam untuk dijadikan peralatan sehari-hari.

4. Sudah menerapkan sistem food producing atau bercocok tanam.

5. Sudah terdapat norma-norma yang berlaku.

6. Menggunakan sistem hukum rimba (primus interpercis), yakni memilih yang


terkuat dari yang terkuat.

5. GAMBAR ALAT BUDAYA

DOLMEN

MENHIR
PUNDEN
BERUNDAK

KUBUR BATU

SARFOKAGUS
WARUGA

ARCA ATAU
PATUNG

E. LOGAM PERUNGGU
Berdasarkan penemuan benda hasil kebudayaan manusia purba, fosil, dan artefak,
para ahli arkeologi membagi masa prasejarah ke dalam dua periode, yaitu Zaman Batu
dan Zaman Logam.

Pada Zaman Logam, manusianya tidak


hanya menggunakan peralatan sehari-
hari dari batu, tetapi juga mampu
membuat alat-alat dari logam.
Manusia yang hidup pada Zaman Logam dikatakan telah mengembangkan teknologi
yang cukup tinggi.

Sebab, logam tidak dapat dipecah dan dipahat dengan mudah sebagaimana halnya
batu.

Pada periode ini, bahan-bahan dari logam diolah dan dibentuk menjadi beraneka
ragam peralatan.

Hal itu membuktikan bahwa manusia purba telah mengenal teknik peleburan logam.
Zaman Logam juga disebut Masa Perundagian, sebab di dalam masyarakatnya muncul
golongan undagi yang terampil di bidangnya masing-masing.

Teknik pengolahan logam

Pada periode ini, masyarakatnya mengenal dua teknik pengolahan logam, yaitu:

Teknik Bivalve, atau teknik setangkup adalah cara pengolahan logam


menggunakan dua cetakan dari batu yang dirapatkan. Teknik seperti ini dapat
digunakan berkali-kali.

Teknik Cire Perdue, adalah cara pengolahan logam menggunakan cetakan


yang terbuat dari lilin dan tanah liat. Teknik ini hanya bisa dipakai sekali saja.
Pembagian zaman logam

Menurut perkembangannya, Zaman Logam dapat dibedakan menjadi tiga


periode, yaitu Zaman Tembaga, Zaman Perunggu, dan Zaman besi. Namun,
kepulauan Indonesia hanya mengalami dua zaman saja, yaitu Zaman Perunggu
dan Besi.

Zaman Perunggu (bahasa Inggris: "Bronze Age") adalah periode perkembangan suatu
peradaban yang ditandai dengan penggunaan teknik melebur tembaga dari hasil bumi
dan membikin perunggu. Secara urut, zaman ini terletak di antara Zaman Batu dan
Zaman Besi. Zaman Perunggu adalah bagian dari sistem tiga zaman untuk warga
prasejarah dan terjadi setelah Zaman Neolitikum di beberapa wilayan di alam. Di
sebagian akbar Afrika subsahara, Zaman Neolitikum langsung disertai Zaman Besi.

Sebagian akbar perkakas perunggu yang tersisa adalah alat atau senjata, meskipun ada
beberapa artefak ritual yang tersisa.
Saat dimulainya Zaman Perunggu berbeda-beda pada setiap kebudayaan, bergantung
pada perkembangan sejarah tulisan pertama. Berlandaskan bukti arkeologis, kebiasaan
di Mesir (hieroglif Mesir), Timur Dekat (kuneiform), dan Mediterania memakai
sistem penulisan yang sedang bertahan.

1. CORAK KEHIDUPAN MASYARAKAT


 Pola Hunian

Mengakhiri zaman batu di masa neolitikum mulailah zaman logam. Sebagai bentuk
masa perundagian (zaman logam). Zaman logam di Kepulauan Indonesia ini agak
berbeda bila dibandingkan dengan yang ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini
mengalami tiga fase yaitu zaman tembaga, perunggu, dan besi. Di Kepulauan
Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi. Manusia-manusia jaman
batu di Indonesia mengenal logam ini dari kebudayaan Dongson, Vietnam.

Manusia purba membuat peralatan dari logam seperti perunggu dan besi. Mereka telah
mengelola bahan tersebut menjadi beraneka macam bentuk. Hal ini membuktikan
bahwa manusia purba telah mengenal peleburan logam. Kebudayaan zaman logam ini
sering juga disebut zaman perundagian.

Pada Zaman Logam manusia di Indonesia hidup di desa-desa di daerah pegunungan,


dataran rendah, dan tepi pantai.Mereka hidup dalam perkampungan-perkampungan
yang makin teratur dan terpimpin. Mata pencaharian mereka adalah dengan
bertani dan berladang. Sejalan dengan kemajuan, maka tata susunan masyarakat
semakin kompleks. Pembuatan alat-alat dari logam mendorong adanya pembagian
kerja berdasarkan keahlian.
Pelayaran. Selain itu, mereka memiliki kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Pengetahuan manusia pada Zaman Logam dalam berbagai bidang meningkat pesat.
Ilmu tentang perbintangan (astronomi) dan iklim telah dikuasai untuk mengatur
kegiatan pertanian dan pelayaran.
Teknik pembuatan alat-alat perunggu atau besi pada zaman logam terdiri dari 2 cara yaitu:

1. Teknik a cire perdue


Caranya adalah membuat bentuk benda yang dikehendaki dengan lilin, setelah
membuat model dari lilin maka ditutup dengan menggunakan tanah, dan dibuat
lubang dari atas dan bawah. Setelah itu dibakar, sehingga lilin yang terbungkus
dengan tanah akan mencair, dan keluar melalui lubang bagian bawah. Untuk
selanjutnya melalui lubang bagian atas dimasukkan cairan perunggu, dan apabila
sudah dingin, cetakan tersebut dipecah sehingga keluarlah benda yang dikehendaki.
2. Teknik Bivalve
Caranya yaitu menggunakan cetakan yang ditangkupkan dan dapat dibuka, sehingga
setelah dingin cetakan tersebut dapat dibuka, maka keluarlah benda yang dikehendaki.
Cetakan tersebut terbuat dari batu ataupun kayu.

 Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Indonesia awal antara lain Animisme (memuja arwah nenek
moyang), Dinamisme (memuja benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib),
dan Totenisme (memuja binatang tertentu dan dianggapnya seketurunan).

1. animisme adalah kepercayaan yang menyakini bahwa benda ( baik yang hidup
maupun yang mati ) mempunyai roh atau jiwa.

2. dinamisme adalah kepercayaan yang menyakini bahwa benda-benda tertentu,


termasuk benda buatan manusia itu sendiri , mempunyai kekuatan gain yang dianggap
bersifat suci.

3. totemisme adalah kepercayaan yang menyatakan bahwa binatang - binatang


tertentu juga mempunyai roh sehingga layak dihormati dan dipuji oleh sekelompok
manusia.

Pada masyarakat ini, telah mempunyai konsep tentang apa yang terjadi pada orang
yang meninggal. Mereka percaya bahwa orang-orang yang meninggal rohnya pergi ke
suatu tempat yang Tidak jauh dari tempat tinggalnya atau roh orang yang meninggal
itu berada disekitar wilayah tempat tinggalnya, sehingga sewaktu-waktu dapat
dipanggil untuk dimintai bantuanya dalam kasus tertentu seperti menanggulangi
wabah penyakit  atau mengusir pasukan-pasukan musuh yang ingin menyerang
wilayah tempat tinggalnya.
Di Indonesia, kepercayaan dan pemujaan kepada roh nenek nenek moyang terlihat
melalui peninggalan-peninggalan megalithikum. Bangunan-bangunan megalithikum
biasanya banyak ditemukan di tempat-tempat yang tinggi yaitu di puncak-puncak
bukit, lereng-lereng gunung atau dataran tinggi. Karena tempat yang tinggi dianggap
tempat bersemayamnya roh  nenek moyang.

 Mata Pencaharian

Pada zaman ini masyarakatnya sudah dapat mengenal sistem pembagian kerja :

 Rumah yang dihuni tidak semuanya sederhana, bahkan ada juga yang
bertingkat.
 Kegiatan ekonomi sudah maju dan berkembang. Dimulai dari bidang
perikanan, pertanian, kerajinan tangan dan lainnya. Dari sinilah mereka
memulai kegiatan jual beli atau berdagang.
 Tatanan produk lebih tertata rapi, tertib, dan terpimpin.
 Sistem pada masyarakat ini sudah teratur pada masa ini. Disinilah awal mula
aturan tata tertib dan norma dimulai.
 Masyarakar pada masa ini memiliki ketertarikan berburu dan mengandalkan
makanan dari alam. Setelah alamnya berkurang, mereka akhirnya memilih
untuk bercocok tanam dan membuat sawah.
 Di zman ini sudah dapat ditemukan alat sawah seperti pisau dan bajak sawah

2. MANUSIA PENDUKUNG

Pendukung kebudayaan perunggu adalah bangsa deuteuro melayu (melayu muda)


yang bermigrasi ke Indonesia sambil membawa kebudayaan dongson. Keturunannya
adalah Jawa, Bali, Bugis, Madura, dll. Bahkan ditemukan bukti bahwa telah terjadi
pembaruan antara proto melayu dengan deuteuro melayu dan papua melaneside.

CIRI-CIRI RAS DEUTRO MELAYU

Ada beberapa ciri – ciri mendasar dari ras deutro melayu yang perlu kalian ketahui
nih, diantaranya sebagai berikut:

1. Awal kedatangan atau asal dari daerah Dongson, yaitu sebuah pusat dari adanya
kebudayaan perunggu kuno di Vietnam.
2. Mulai memasuki wilayah Nusantara sekitar tahun 500 SM.
3. Mempunyai kemampuan dalam membuat kebudayaan logam dan juga bisa membuat
berbagai peralatan dari bahan materi besi serta perunggu.
4. Bukti hasil dari keturunan alsi bangsa deutro melayu yaitu Suku Bugis, Sunda, Jawa,
Minang, dan juga Makassar.

PERSEBARAN BANGSA DEUTRO MELAYU

Persebaran bangsa deutro melayu ini datang pada gelombang kedua yang pernah
datang atas sebelumnya dari Asia Selatan.

Lalu, persebaran bangsa deutro melayu mulai memasuki wilayah Nusantara ini sejak
500 SM.

Sebelumnya, bangsa deutro melayu ini berasal dari daerah Indochina atau daerah
Vietnam, Kamboja, dan Laos bagian utara.
Ada juga Rute yang diambil atau jalur masuknya bangsa Deutro Melayu ini, yaitu
hampir sama dengan jalur yang dipakai oleh bangsa Proto Melayu.

Jalur bagian barat seperti melalui Thailand terus ke Semenanjung Malaya, sampai ke
Sumatera dan menyebar melakukan penyebaran ke seluruh wilayah Nusantara.

3. ALAT-ALAT KEBUDAYAAN YANG DIHASILKAN


Jenis-ienis atau alat yang menjadi peninggalan dari masa perundagian terbuat dari
perunggu, besi, dan tanah liat. Barang-barang peningggalan yang terbuat dari bahan
perunggu sebagai berikut :

Nekara

Nekara adalah gendering perunggu dengan membrane satu. Berdasarkan


hiasan yang terdapat dalam beberapa nekara, bend aini diduga digunakan
untuk memanggil roh para leluhur untuk turun ke dunia dan memberi berkah
serta memangil hujan. Nekara dapat juga disebut Genderang Nobat atau
Genderang Ketel karena bentuknya semacam berumbung. Terbuat dari
perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya, dan sisi atasnya tertutup.
Bagi masyarakat prasejarah, nekara dianggap sesuatu yang suci. Di daerah
asalnya, Dongson, pemilikan nekara merupakan simbol status, sehimgga
apabila pemiliknya meninggal, dibuatlah nekara tiruan yang dipakai sebagai
bekal kubur.
Kapak Corong

Kapak corong dikenal juga sebagai kapak perunggu atau kapak sepatu, yang
banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, dan Pulau Selayar.

Kapak corong juga memiliki nama lain, yaitu kapak sepatu. Disebut kapak
corong, karena memang bentuknya menyerupai corong.

Biasanya kapak ini digunakan dalam upacara adat dan merupakan sebuah
alat kebesaran pada masa itu.

Arca Perunggu

Benda ini memiliki bentuk yang cukup beragam, yang jika dikelompokkan
terdapat dua bentuk yakni hewan dan manusia.

Ukuran arca perunggu ini juga sangat bervariasi, ada yang besar seperti
manusia, ada pula yang kecil dan memiliki cincin di bagian atas arca.

Cincin itulah yang digunakan untuk arca, ketika benda ini dimanfaatkan
menjadi liontin. Benda ini ditemukan di Palembang, Limbangan, dan
Bangkinang.

Moko

Moko merupakan sebuah benda yang bentuknya juga hampir sama dengan
nekara, hanya saja ukuran moko lebih kecil daripada nekara.

Pada zaman perunggu, benda ini difungsikan menjadi salah satu benda
pusaka yang biasa dimiliki seorang kepala suku. Benda ini pada masa itu
juga selalu diwariskan keturunan laki-laki seorang kepala suku.

Tak hanya itu, moko juga digunakan sebagai mas kawin ketika akan
menikahi seorang perempuan. Di Indonesia benda banyak ditemukan di
wilayah sekitar Pulau Alor dan Pulau Flores, tepatnya di daerah Manggarai.

Candrasa

Candarasa menjadi salah satu peninggalan dari zaman perunggu. Benda ini
merupakan sejenis kapak yang bentuknya hampir mirip dengan senjata.
Namun demikian, benda tidak cocok digunakan sebagai alat pertanian
maupun alat peperangan. Hal ini disebabkan karena alat tersebut tidak cukup
kokoh dan kuat.

Peninggalan ini di Indonesia ditemukan di wilayah Bandung. Para peneliti


memperkirakan bahwa alat ini dipakai dalam kegiatan upacara yang
dilakukan oleh masyarakat pada saat itu.

Bejana Perunggu

Bentuk dari bejana perunggu ini hampir mirip dengan periuk, hanya saja
lebih pipih dan langsing.

Dari bejana yang ditemukan di berbagai tempat yang berbeda di Indonesia,


ternyata dekorasi yang digunakan masih relatif sama. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat kemiripan kebudayaan dan selera seni dekorasi.

Hiasan yang digunakan pada bejana tampak begitu indah karena memang
didesain sebagai ornamen penghias. Gambar yang digunakan umumnya
adalah berbagai bentuk geometri serta berupa pilinan yang tampak seperti
huruf J. 

Di wilayah Indonesia, peninggalan zaman perunggu ini berhasil ditemukan


pada sekitar Danau Kerinci yang ada di Sumatera dan di wilayah Madura.

4. CIRI-CIRI ALAT BUDAYA YANG DIHASILKAN


Zaman perunggu memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan zaman batu
ataupun zaman besi. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah

 Pemahaman Teknik Pengolahan Perunggu


 Sudah Mengenal Status Sosial
 Terdapat Ritual Pemakaman
 Kegiatan Ekonomi yang Maju
 Banyak Muncul Kerajinan Tangan

PEMAHAMAN TEKNIK PENGOLAHAN PERUNGGU


Senada dengan namanya, manusia pada zaman ini sudah memahami dengan baik cara
untuk membuat perunggu, melelehkannya, serta mencetaknya menjadi alat-alat sehari-
hari.

Pemahaman mengenai teknik pengolahan perunggu ini berasal dari manusia-manusia


deutro melayu yang datang dari daerah Song Hong di Vietnam.

Sekarang, mereka kita kenal sebagai manusia yang berasal dari kebudayaan Dongson.

Munculnya kelompok-kelompok dengan keterampilan khusus ini diduga disebabkan


oleh gaya hidup manusia yang mulai bersifat sedenter sehingga tidak semua orang
harus berburu.

MUNCULNYA STATUS SOSIAL

Status sosial dan kasta sudah mulai terbentuk semenjak zaman neolitikum akhir dan
semakin diperkuat dengan adanya kelompok-kelompok yang mampu menempa
logam.

Mereka kerap dianggap berstatus lebih tinggi di masyarakat karena jasa dan ilmunya
sangat dibutuhkan.

Ketika seseorang mampu menghasilkan kerajinan berbahan perunggu dalam jumlah


yang lebih besar dibandingkan yang lain, maka dirinya juga memiliki derajat yang
tinggi di masyarakat.

Selain itu, berbagai jenis kerajinan yang dihasilkan masyarakat menggunakan bahan
perunggu menyebabkan timbulnya perbedaan status sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.

Semakin banyak perhiasan yang dimiliki, maka semakin tinggi pula status sosial dari
individu tersebut.

Hal inilah yang nantinya akan mendorong spesialisasi pekerjaan, sehingga ada
pengrajin yang senantiasa mengembangkan tekniknya, hingga mampu menempa besi
pada zaman besi.

TERDAPAT RITUAL PEMAKAMAN

Di zaman perunggu, terdapat sebuah kepercayaan untuk melakukan pemujaan


terhadap orang yang sudah meninggal maupun mengadakan ritual pemakaman.
Kuburan dan proses penguburan disiapkan secara kolektif.

Pada masa itu, rata-rata manusia hidup selama 30 tahun. Jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan angka harapan hidup manusia pada zaman modern.

Adapun ritual pemakaman tersebut dibedakan pada 3 fase pada zaman perunggu.

Pada fase perunggu antik, proses penguburan dilakukan secara bersama-sama tanpa
memberikan identitas pada setiap jenazah. Kuburan tersebut letaknya tersebar, akan
tetapi paling banyak ada di sekitar sungai.
Ketika memasuki fase perunggu sedang, kuburan sudah diletakkan di tempat khusus,
bentuknya sudah berupa tumuli, dan letaknya pun jauh dari lokasi pantai.

Sedangkan di era perunggu akhir, penguburan sudah beralih menjadi teknik kremasi.

KEGIATAN EKONOMI YANG SEMAKIN MAJU

Kegiatan ekonomi di masa ini ditopang dengan adanya sentra produksi batu dan
logam, lumbung penyimpanan, serta aktivitas perdagangan yang meningkat pesat.

Peningkatan pendapatan ini disebabkan dikarenakan manusia sudah mulai


memanfaatkan tenaga binatang seperti kerbau dan kuda sebagai alat transportasi.

Hewan-hewan ini sangat memudahkan manusia dalam menempuh perjalanan jauh


ketika akan melakukan perdagangan.

Kuda tersebut berfungsi sebagai penarik gerobak, di mana gerobak tersebut berisi
barang-barang yang akan diperdagangkan kepada masyarakat luas.

Di fase ini, perdagangan gelas dan garam juga sudah mulai bermunculan, di samping
kerajinan perunggu yang cukup bervariasi.

Oleh karena itu, muncul pula kelompok sosial tertentu yaitu sebagai pedagang barang
baik di dalam komunitas, antar komunitas, hingga antar wilayah.

MUNCULNYA KERAJINAN TANGAN

Di zaman perunggu, bermunculan banyak pengrajin. Bahkan keberadaannya cukup


dianggap penting di masyarakat.

Itulah mengapa pada periode ini bermunculan banyak sekali kerajinan, perhiasan dan
muncul pula pola dekorasi yang unik pada berbagai peralatan.

Beberapa kerajinan tangan yang cukup menarik dan kerap ditemukan oleh arkeolog
antara lain adalah kendi, mangkuk, gelas, pot, maupun perkakas rumahan yang lain

5. GAMBAR ALAT BUDAYA


NEKARA

KAPAK CORONG

CANDRASA

MOKO
BEJANA PERUNGGU

ARCA PERUNGGU

Anda mungkin juga menyukai