Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH INDONEISA

“Awal Kehidupan Manusia Indonesia”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK IV KELAS X IPA

PINA APIAN DANI


WINDY AZALIAH
NURAINY
SUHEIBATUL ISLAMIYAH
RIZQAN FITRA RAMADHAN

MAN 3 SUMBAWA

TAHUN PELAJARAN 2022/2023


A. CORAK KEHIDUPAN MANUSIA ZAMAN PRA AKSARA INDONEISA

Fase Pembentukan Bumi

Pada materi Live Class, Kak Wandi juga mengulas tentang fase pembentukan bumi atau fase
geologis bumi. Berikut adalah fase pembentukan bumi:

Zaman Arkaekum

Zaman Arkaekum atau zaman Arkeozoikum merupakan masa saat belum ada tanda-tanda
kehidupan di bumi. Zaman ini berlangsung 2.500 juta tahun yang lalu. Pada zaman itu
kondisi bumi masih belum stabil, bumi masih berbentuk planet bola gas yang sangat panas,
rotasi bumi terjadi dengan sangat cepat, suhu di bumi masih sangat panas, dan kerak bumi
masih dalam proses pembentukan, sehingga tidak ada tanda-tanda kehidupan pada zaman ini.

Nah, kerak bumi baru tercipta saat terjadinya pendinginan bagian tepi dari “balon bumi” atau
yang biasa disebut juga sebagai bakalan bumi. Lempeng tektonik yang kemudian akan
menyebabkan terjadinya gempa bumi di dunia terbentuk pada masa ini, Pahamifren. Gunung-
gunung berapi yang ada di bumi juga terbentuk pada masa ini. Bukti peninggalan zaman
Arkaekum ini adalah kraton atau perisai benua yang dapat ditemukan di sejumlah bagian
dunia.

Zaman Paleozoikum

Zaman Paleozoikum merupakan masa prasejarah yang juga biasa disebut sebagai zaman
primer atau zaman kehidupan tua di bumi. Zaman ini terjadi pada 340 juta tahun yang lalu,
saat bumi masih belum stabil dan masih terus berubah. Pada zaman Paleozoikum suhu di
bumi mulai mengalami penurunan sehingga pada zaman ini mulai muncul tanda-tanda
kehidupan di bumi, berupa ikan, reptil, amfibi, mikroorganisme, dan hewan-hewan bersel
satu lainnya yang tidak bertulang.

Zaman Mesozoikum

Zaman Mesozoikum atau yang bisa disebut juga sebagai zaman pertengahan, terjadi pada 252
juta sampai 65 juta tahun yang lalu. Zaman ini disebut juga sebagai zaman reptil karena pada
zaman ini mulai muncul reptil-reptil raksasa seperti Megalosaurus, Iguanodon, Pseudosuchia,
dan Plesiosaurus.

Selain dikenal sebagai zaman reptil, zaman ini juga dikenal sebagai zaman jura, yang menjadi
zaman kejayaan dinosaurus. Pada zaman ini juga muncul beberapa makhluk hidup lain
seperti burung dan binatang menyusui, tetapi tingkat populasi mereka masih sangat rendah.
Zaman Mesozoikum diakhiri dengan kepunahan massal dinosaurus.
Zaman Neozoikum

Zaman Neozoikum seringkali disebut juga sebagai zaman Senozoikum atau zaman
Kenozoikum. Zaman yang disebut sebagai zaman kehidupan baru ini berlangsung selama
65,5 juta tahun yang lalu sampai masa sekarang. Zaman Neozoikum terbagi menjadi dua
zaman, yaitu zaman Tersier dan zaman Kwarter.

Pada zaman Tersier mulai muncul mamalia, seperti ikan paus, opossum (mamalia
berkantung), multituberculates (sejenis hewan pengerat), nenek moyang gajah, nenek moyang
kuda, dan primata. Sementara pada zaman Kwarter mulai muncul manusia.

Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Saat membahas tentang kehidupan masyarakat praaksara di Nusantara, tentu tidak bisa lepas
dari asal-usul bangsa Indonesia. Sejauh ini, ada beberapa teori yang berkembang tentang
siapa nenek moyang bangsa Indonesia. Teori tentang asal-usul nenek moyang bangsa
Indonesia yang terkenal di antaranya:

Teori Asia Tenggara (Kern & Brandes)

Dasar dari teori Asia Tenggara ini adalah penemuan kapak tua yang ditemukan di Nusantara
memiliki persamaan dengan kapak tua yang berada di wilayah Asia Tenggara, seperti di
Thailand dan Vietnam. Dari persamaan kapak tua tersebut, teori ini menyebutkan bahwa
nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Asia Tenggara yang bermigrasi ke Nusantara.

Teori Yunan (Mohammad Ali)

Teori ini menyebutkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa Yunan yang
bermigrasi ke Vietnam, kemudian ke Indonesia. Teori ini didasarkan pada temuan perahu
cadik yang digunakan untuk bermigrasi di Nusantara sama dengan perahu cadik yang ada di
Cina dan Vietnam.

Selain itu, teori ini turut didukung dengan adanya persamaan bahasa yang berkembang di
Nusantara dengan bahasa Melayu Polinesia yang ada di Kamboja. Dari persamaan bahasa ini,
teori Yunan menyimpulkan bahwa masyarakat Yunan yang bermigrasi, menyusuri Sungai
Mekong, lalu sebagian lagi melanjutkan bermigrasi sampai ke wilayah Nusantara.

Dalam teori Yunan ini juga disebutkan bahwa proses migrasi dari Yunan ke Indonesia
dilakukan dalam dua gelombang. Gelombang pertama dilakukan oleh bangsa Proto Melayu
atau yang biasa disebut sebagai Melayu Muda. Migrasi gelombang pertama dari Yunan ke
Nusantara ini dilakukan pada tahun 3.000 sampai 1.500 SM.

Ciri utama dari migrasi gelombang pertama ini adalah kebudayaan Neolitikum dan perahu
bercadik satu. Sementara gelombang kedua dilakukan oleh bangsa Deutro Melayu, yang
dilakukan sejak pada tahun 1.500 sampai 500 SM. Citri utama dari migrasi gelombang kedua
ini adalah perahu bercadik dua.
Teori Nusantara (Mohammad Yamin)

Teori Nusantara merupakan teori yang membalikkan perspektif teori Asia Tenggara dan teori
Yunan. Teori ini justru menganggap bahwa proses migrasi kehidupan masyarkaat praaksara
dimulai dari Nusantara.

Mohammad Yamin meyakini, bahwa pada zaman dahulu, Nusantara merupakan salah satu
pusat kebudayaan dunia. Jadi, dalam teori ini, nenek moyang bangsa Indonesia adalah
manusia yang tinggal di Nusantara, yang kemudian bermigrasi ke wilayah lain.

Walaupun terkesan kontroversial, Mohammad Yamin menuturkan teori ini berdasarkan


bukti-bukti yang ditemukan. Menurutnya, bukti-bukti kehidupan masyarakat praaksara
seperti perkakas batu dan logam yang ditemukan di Nusantara, adalah yang paling lengkap
dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Selain itu, fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di Nusantara juga dianggap sebagai
bukti yang menguatkan teori Nusantara ini. Menurut Kak Wandi, teori ini merupakan teori
yang Indonesiasentris.

Teori Afrika (James Watson)

Kak Wandi mengatakan kalau teori Afrika ini merupakan teori yang paling baru, tetapi
menjadi teori yang paling menarik. Pada teori ini, kehidupan masyarakat praaksara dianggap
dimulai dari Afrika, yang kemudian bermigrasi ke wilayah-wilayah lain.

Teori ini percaya bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Madagaskar, yang
dibuktikan dengan penelitian DNA yang menunjukkan bahwa orang Indonesia dan orang
Afrika (khususnya Madagaskar) memiliki banyak persamaan presentasi gen atau DNA.

Pembagian Masa Praaksara menurut Kebudayaan

Zaman Batu

Zaman Batu dibagi menjadi empat periodisasi, yaitu:

Zaman Batu Tua (Paleolitikum)

Zaman Batu Tua atau yang biasa disebut juga sebagai zaman Paleolitikum merupakan zaman
saat manusia purba menggunakan peralatan dari batu dan tulang yang masih dikerjakan
dengan kasar dan sederhana. Manusia purba pada zaman ini masih hidup nomaden dalam
kelompok kecil. Manusia purba pada masa ini hidup di sekitar tepian sungai karena sumber
makanan pada masa itu biasanya terdapat di sekitar sungai.

Mereka menggantungkan hidup mereka kepada alam dengan berburu hewan di sekitar tempat
tinggal mereka dan mengumpulkan makanan seperti buah dan umbi-umbian. Manusia purba
yang hidup pada zaman Paleolitikum ini adalah Pithecanthropus Erectus, Meganthropus
Palaeojavanicus, Homo Erectus, Homo Soloensis, dan Homo Wajakensis.
Manusia purba zaman Paleolitikum berburu dengan kapak genggam, kapak pendek, dan
kapak perimbas, kemudian memastikan hewan buruan tersebut sudah mati dengan pisau dari
tulang. Setelah itu, mereka akan menguliti hewan buruan mereka dengan alat serpih atau
flakes. Karena pada masa ini belum ditemukan api, mereka memakan mentah-mentah daging
hewan buruan mereka. Mereka tinggal di dalam gua untuk menghindari serangan hewan
buas.

Pada zaman Paleolitikum ini ada dua kebudayaan, yaitu kebudayaan Pacitan dan kebudayaan
Ngandong. Kebudayaan Pacitan ditemukan pada tahun 1935 oleh Von Koeningswald.
Perkakas yang ditemukan dari kebudayaan ini adalah kapak genggam, alat serpih, dan kapak
perimbas.

Perkakas tersebut ditemukan di Pacitan, Progo, Gombong, Sukabumi, dan Lahat. Para ahli
memperkirakan kapak genggam merupakan hasil dari kebudayaan Meganthropus, sementara
kapak perimbas diperkirakan merupakan hasil dari kebudayaan Pithecanthropus.

Nah, kalau dari kebudayaan Ngandong, perkakas yang ditemukan di Ngandong, Ngawi, jawa
Timur, adalah peralatan yang dibuat manusia purba dari tulang dan tanduk rusa. Para ahli
memperkirakan kalau tulang dan tanduk rusa tersebut digunakan sebagai alat penusuk, mata
tombak, atau belati.

Alat dari tulang atau tanduk rusa tersebut digunakan untuk mengorek ubi dan keladi dari
dalam tanah atau untuk menangkap ikan. Sementara flakes atau alat kecil yang terbuat dari
batu chalcedon digunakan untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-
buahan, serta untuk mengupas makanan.

Zaman Batu Tengah (Mesolitikum)

Zaman Batu Tengah atau yang biasa disebut Mesolitikum merupakan masa peralihan dari
zaman Paleolitikum dan zaman Neolitikum. Pada zaman ini manusia purba masih hidup
nomaden dan mengumpulkan makanan. Pembagian peran dalam kelompok dilakukan dengan
cara laki-laki berburu, sementara perempuan tinggal di gua mereka untuk memasak dan
merawat anak.

Perkakas yang digunakan manusia purba pada zaman ini nyaris sama dengan perkakas
manusia purba pada zaman Paleolitikum, yaitu berupa perkakas dari batu-batu kasar.
Pendukung kebudayaan zaman Mesolitikum ini adalah bangsa Papua-Melanosoid.

Kebudayaan pada zaman Mesolitikum ini dibagi menjadi dua, yaitu Kjokkenmoddinger dan
Abris Sous Roche. Secara etimologis, kata “kjokkenmoddinger” berasal dari bahasa
Denmark, yaitu “kjokken” yang memiliki arti dapur dan modding yang memiliki arti
“sampah”. Jadi, kjokkenmoddinger memiliki arti sampah dapur.

Sampah-sampah dapur pada zaman Mesolitikum ini adalah sampah-sampah berupa tumpukan
cangkang kerang. Sampah-sampah dapur ini ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera.
Perkakas yang dihasilkan dari zaman Mesolitikum adalah kapak genggam, kapak pendek,
kapak-kapak dari batu kali yang dibelah, dan pipisan yang digunakan untuk menggiling
makanan dan menghaluskan cat merah dari tanah merah. Cat merah dari zaman ini
diperkirakan digunakan untuk kepentingan religius dan magis.
Sementara kebudayaan Abris Sous Roche adalah kebiasaan manusia purba untuk tinggal di
gua-gua yang ada di tebing pantai. Dalam gua-gua tersebut ditemukan perkakas batu yang
sudah diasah dan peralatan dari tulang dan tanduk. Perkakas tersebut banyak ditemukan di
gua Lawa, Sampung, Ponorogo, Jawa Timur, sehingga dinamakan Sampung Bone Culture.
Selain itu, Abris Sous Roche juga ditemukan di Besuki, Bojonegoro, dan Sulawesi Selatan.

Selain itu, dari Abris Sous Roche juga ditemukan lukisan berupa cap tangan di dinding gua
yang diyakini para ahli berkaitan dengan ritual agama yang dilakukan manusia purba pada
zaman ini. Cap tangan berwarna merah diperkirakan para ahli menjadi simbol kekuatan dari
roh-roh jahat, sementara cap tangan yang jumlah jarinya tidak lengkap dianggap sebagai
bentuk ungkapan dukacita. Lukisan cap tangan ini banyak ditemukan di gua Leang-Leang,
Sulawesi Selatan.

Zaman Batu Muda (Neolitikum)

Pada zaman Batu Muda atau yang biasa disebut Neolitikum, manusia purba mulai hidup
menetap dan sudah mulai mengenal bercocok tanam dan menghasilkan makanan sendiri.
Manusia purba pendukung kebudayaan dari zaman Neolitikum ini adalah Austronesia
(Austria) dan Austro-Asia (Khamer Indocina).

Ciri khas kebudayaan manusia purba pada zaman Neolitikum ini adalah perkakas yang
mereka gunakan sudah mulai diasah dan dipoles, sehingga hasilnya lebih sempurna dan lebih
halus. Perkakas yang muncul pada zaman ini digunakan untuk pertanian dan perkebunan.
Peninggalan perkakas dari zaman Neolitikum adalah sebagai berikut:

 Kapak persegi seperti beliung, torah dan pacul yang digunakan untuk kegiatan
bersawah. Kapak ini banyak ditemukan di Jawa, Bali, Sumatera, Nusa Tenggara,
Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku.
 Kapak lonjong yang digunakan untuk menebang pohon, yang banyak ditemukan di
Indonesia bagian timur, seperti di Papua dan Minahasa.
 Perhiasan berupa gelang dan kalung yang terbuat dari batu indah, yang ditemukan di
Jawa.
 Pakaian dari kulit kayu.
 Mata tombak dan mata panah yang digunakan untuk berburu, yang banyak ditemukan
di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
 Alat pemukul kulit kayu.
 Tembikar berupa periuk belaga yang ditemukan di Jawa, Melolo (Sunda), dan
Sumatera.

Zaman Batu Besar (Megalitikum)

Manusia purba pada zaman Batu Besar atau Megalitikum sudah semakin maju, nih,
Pahamifren. Pada zaman ini, manusia purba sudah bisa menghasilkan bangunan-bangunan
dari batu besar, yang digunakan untuk kepentingan upacara keagamaan dan penguburan
jenazah. Manusia purba pendukung kebudayaan pada zaman Megalitikum ini adalah Homo
Sapiens.

Nah, menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalitikum ini menyebar di Nusantara
melalui dua gelombang, yaitu gelombang Megalitikum Tua dan gelombang Megalitikum
Muda. Gelombang Megalitikum Tua terjadi sepanjang 2.500 sampai 1.500 SM, yang dibawa
oleh manusia purba yang mendukung Kebudayaan Kapak Persegi, yaitu Proto Melayu. Hasil
bangunan kebudayaan dari gelombang Megalitikum Tua ini adalah punden berundak-undak,
menhir, dan arca-arca statis.

Sementara gelombang Megalitikum Muda terjadi sepanjang 1.000 sampai 10 SM, pada
zaman perunggu, oleh pendukung Kebudayaan Dongson, yaitu Deutro Melayu. Nah, kalau
hasil bangunan kebudayaan dari gelombang Megalitikum Muda ini adalah dolmen, waruga,
peti kubur batu, sarkofagus, dan arca-arca dinamis. Para ahli memperkirakan kebudayan
zaman Megalitikum berkebang dari zaman Neolitikum hingga zaman perunggu.

Zaman Logam

Setelah kamu mempelajari mengenai zaman Batu di Nusantara, kamu juga perlu tahu, nih,
zaman Logam di masa praaksara Nusantara dulu. Zaman Logam seringkali disebut juga
sebagai zaman Perundagian karena pada masa itu muncul golongan undagi yang mahir dalam
melakukan perkerjaan tangan.

Manusia purba pada zaman Logam mulai mengenal teknologi dan pertukangan dari logam
dengan menggunakan dua teknik, yaitu teknik cetakan batu (bivalve) dan teknik cetakan
tanah liat serta lilin (a cire perdue). Zaman logam dibagi menjadi tiga, yaitu:

Zaman Tembaga

Sesuai dengan namanya, manusia purba pada masa ini mulai mengenal logam untuk
membuat perkakas sehari-hari mereka. Tembaga merupakan bahan logam pertama yang
digunakan manusia purba sebagai bahan dasar membuat perkakas sehari-hari.

Namun, masa praaksara Nusantara tidak mengenal dan tidak terpengaruh zaman Tembaga.
Makanya peninggalan perkakas dari zaman Tembaga ini tidak ditemukan di Indonesia,
Pahamifren.

Zaman Perunggu

Nah, kalau peninggalan dari zaman Perunggu, baru deh banyak ditemukan di Indonesia.
Sesuai dengan namanya, manusia purba pada masa ini menggunakan perunggu untuk
membuat perkakas sehari-hari mereka. Peninggalan perkakas yang ditemukan di Nusantara
dari zaman Perunggu ini adalah sebagai berikut:

 Kapak corong berupa kapak sepatu, yang digunakan sebagai alat kebesaran dalam
upacara adat. Kapak corong ini banyak ditemukan di Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, dan Bali.
 Bejana perunggu yang berupa seperti periuk, tetapi gepeng dan langsing. Bejana
perunggu ini banyak ditemukan di Madura dan tepian Danau Kerinci, Sumatera. Dua
bejana yang ditemukan di Indonesia sama-sama memiliki hiasan yang sangat indah
berbentuk gambar.
 Candrasa yang serupa senjata. Para ahli memperkirakan candrasa ini digunakan
manusia purba untuk keperluan upacara dan banyak ditemukan di Bandung.
 Nekara yang berbentuk genderang besar atau tambur menyerupai dandang terbalik,
yang digunakan untuk ritual seperti ritual memanggil hujan dan sebagai pengiring
ritual kematian. Nekara ini juga digunakan sebagai genderang perang, loh. Nekara
banyak ditemukan di wilayah Jawa, Bali, Sumbawa, Sumatera, Pulau Roti, Kepulauan
Kei, dan Selayar. Nekara terbesar yang ditemukan di Indonesia adalah nekara “The
Moon of Pejeng”. Nekara tersebut berada di Bali.
 Moko, yang merupakan sejenis nekara berukuran lebih kecil. Nekara ini digunakan
oleh manusia purba sebagai benda pusaka kepala suku, yang kemudian akan
diwariskan kepada anak laki-laki kepala suku atau sebagai alat mas kawin. Moko ini
banyak ditemukan di Manggarai (Pulau Flores) dan Pulau Alor.
 Arca perunggu yang dapat berbentuk manusia atau binatang. Arca perunggu ini
biasanya berbentuk kecil dan memiliki cincin pada bagian atasnya. Cincin tersebut
berfungsi untuk menggantungkan arca karena arca perunggu juga digunakan sebagai
liontin. Arca perunggu ini banyak ditemukan di Palembang (Sulawesi Selatan),
Limbangan (Bogor), dan Bangkinang (Riau).

Zaman Besi

Pada zaman Besi, manusia purba sudah mampu membuat peralatan yang lebih sempurna
dengan menggunakan bahan baku bijih besi yang dileburkan dan dituangkan ke dalam
cetakan. Peninggalan manusia purba dari zaman Besi ini adalah mata pisau, mata sabit, mata
kapak, mata pedang, cangkul, dan lain sebagainya. Perkakas tersebut banyak ditemukan di
Bogor, Gunung Kidul (Yogyakarata), Besuki, dan Punug (Jawa Timur).

B. NILAI-NILAI BUDAYA MASA PRAAKSARA DI INDONESIA

Nilai-nilai budaya masa praaksara di Indonesia adalah suatu hal yang menjadi suri tauladan
atau hikmah pada masa tersebut sebagai pelajaran untuk masa sekarang. Masa praaksara
sendiri merupakan suatu periode dimana masyarakat belum mengenal kegiatan membaca dan
menulis. Oleh karena itu, nilai dan norma diturunkan melalui lisan dan kebiasaan yang
membentuk suatu budaya atau tradisi.

Untuk menemukan nilai yang dianut oleh sebuah masyarakat, kita bisa melihat beberapa
aspek dalam berkehidup, contohnya dari aspek religius atau kepercayaan dan aspek sosial
beserta kegiatan yang terjadi di dalamnya. Berikut nilai-nilai budaya masa praaksara di
Indonesia.

Nilai religius (kepercayaan)

Pada masa praaksara, masyarakat Indonesia mempercayai bahwa hal-hal yang terjadi dalam
kehidupan berkaitan dengan kekuatan ghaib (roh halus dan makhluk ghaib). Kekuatan ghaib
ini pula yang menciptakan fenomena alam seperti petir, hujan badai, gerhana matahari dan
gunung meletus. Agar terhindar dari malapetaka dan hal-hal buruk, masyarakat kemudian
menyembah dan memuja roh halus dan para makhluk ghaib. Kepercayaan terhadap roh halus
atau makhluk ghaib seperti ini disebut animisme.

Selain percaya pada roh halus, masyarakat praaksara juga percaya bahwa beberapa benda
seperti kapak, pohon, dan mata tombak memiliki kekuatan ghaib sehingga harus
dikeramatkan. Kepercayaan bahwa benda-benda memiliki kekuatan ghaib disebut dengan
dinamisme.

Nilai gotong royong


Nilai gotong royong di Indonesia sudah berlangsung lama dari zaman dahulu kala.
Masyarakat praaksara sudah hidup secara berkelompok. Maka dari itu, mereka hidup
bergotong royong untuk mewujudkan tujuan bersama. Sebagai contoh, bangunan-bangunan
peninggalan masa praaksara memiliki ukuran besar sehingga perlu bergotong royong untuk
membangunnya.

Nilai musyawarah

Dalam hidup berkelompok, masyarakat praaksara juga telah menerapkan nilai musyawarah,
yaitu menyelesaikan masalah melalui musyawarah. Hal tersebut tercermin dari kegiatan
pemilihan pemimpin atau sesepuh.

Setiap suku-suku selalu memiliki satu orang pemimpin di dalamnya. Pemimpin ini mengatur
masyarakat dan memberi keputusan terhadap masalah bersama. Dengan demikian, apabila
terdapat masalah atau perselisihan, mereka wajib melapor kepada sesepuh. Sesepuh akan
mengumpulkan pihak bermasalah dan mengambil keputusan berdasarkan musyawarah.

Nilai keadilan

Adil bisa memiliki arti tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang. Pada
masa praaksara keadilan tercemin dari cara masyarakat dalam membagi tugas. Masyarakat
membagi tugas sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Oleh karena itu, setiap orang
memiliki hak dan kewajiban berbeda-beda.

Contohnya, laki-laki – yang umumnya memiliki kekuatan fisik lebih kuat dari pada wanita –
banyak melakukan pekerjaan fisik berat seperti kuli, berburu, dan menjadi tentara. Sementara
itu, perempuan memiliki ketelitian dan keuletan yang lebih baik sehingga banyak di
antaranya menjadi penenun dan pengatur rumah tangga.

Tradisi bercocok tanam

Tradisi bercocok tanam berkaitan dengan mata pencaharian atau pekerjaan sehari-hari untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Para ahli menemukan banyak alat-alat pertanian dari masa
praaksara seperti beliung persegi (alat untuk mencangkul). Hal tersebut membuktikan bahwa
masyarakat saat itu sudah memiliki kebiasaan untuk bertani.

Tradisi bahari (pelayaran)

Masyarakat praaksara telah mengenal ilmu astronomi yaitu ilmu yang mempelajari benda-
benda langit. Dengan mengetahui posisi bintang, mereka bisa menentukan arah. Hal ini
sangat penting dalam menentukan posisi pulau dan juga pelayaran. Saat berlayar mereka akan
mengikuti posisi bintang sebagai arah berlayar.

Dalam berlayar, masyarakat praaksara umumnya menggunakan perahu cadik yang memiliki
bambu atau kayu di kanan-kirinya untuk mencegah perahu oleng. Perahu bercadik ini
kemudian menjadi alat transportasi utama di sungai dan laut serta menjadi angkutan penting
dalam penyebaran budaya dari satu pulau ke pulau lainnya.

C. MANUSIA PURBA DI INDONESIA

1. Meganthropus palaeojavanicus

Fosil tulang rahang bawah Meganthropus palaeojavanicus ditemukan oleh peneliti kelahiran
Jerman-Belanda bernama Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald pada 1941 di dekat Desa
Sangiran, Lembah Sungai Bengawan Solo. Meganthropus temuan von Koeningswald berasal
dari masa Pleistosen awal (lapisan bawah). Meganthropus atau kerap disebut dengan Manusia
Sangiran adalah manusia purba tertua yang ditemukan di Indonesia.

Ciri manusia purba ini yaitu memiliki badan besar, kening menonjol, dan tulang pipi
menebal. Rahang dan giginya besar. Kira-kira hampir sama ukurannya dengan rahang gorila.
Berdasarkan umur lapisan tanah tempat penemuan, diperkirakan fosil yang ditemukan itu
berumur 1.000.000–2.000.000 tahun. Meganthropus diperkirakan hidup dengan food
gathering (mengumpulkan makanan). Makanan utamanya tumbuh-tumbuhan. Sebab, mereka
belum mengenal api.

Berikut ciri-ciri Meganthropus:

 Berbadan tegap dengan tonjolan tajam di belakang kepala;


 Bertulang pipi tebal dengan tonjolan kening yang mencolok;
 Tidak berdagu;
 Otot kunyah, gigi, dan rahang besar dan kuat.

Dalam genus manusia, spesies ini dinamai Meganthropus paleojavanicus, yang berarti
manusia besar tertua yang berasal dari Jawa. Mega artinya besar, anthropus berarti manusia,
palaeo berarti tua, dan javanicus artinya Jawa. Namun, banyak juga ahli yang kemudian
mengklasifikasikannya sebagai Homo erectus paleojavanicus.

2. Pithecanthropus mojokertensis

Jenis manusia purba lainnya yang juga ditemukan di Indonesia adalah Pithecanthropus
robustus dan Pithecanthropus mojokertensis. Manusia purba ini ditemukan oleh
Tjokrohandojo atau Andojo yang bekerja di bawah Ralph von Koenigswald pada 1936 di
Lembah Sungai Brantas. Manusia purba ini merupakan generasi lebih muda dibandingkan
Meganthropus palaeojavanicus. Jenis manusia purba ini dianggap mirip kera, sehingga
disebut pithe yang artinya kera.

Andojo awalnya mengira tengkorak itu milik orang utan, sehingga dinamai Pithecanthropus
atau manusia kera. Namun, von Koeningswald mengenali fosil itu sebagai tengkorak manusia
purba. Fosil tersebut berasal dari Pleistosen awal (lapisan bawah) dan dinamai
Pithecanthropus mojokertensis. Jenis ini adalah Pithecanthropus yang tertua.

Berdasarkan umur lapisan tanah, yakni lapisan bawah dan tengah, diperkirakan
Pithecanthropus hidup antara 30.000 sampai 2.000.000 tahun lalu. Pithecanthropus hidup
secara berkelompok dan hunting and food gathering (berburu, menangkap ikan, dan
mengumpulkan makanan).

Pithecanthropus sudah menggunakan alat untuk mencari makan. Alatnya sangat sederhana,
yakni batu atau kayu yang ditemukan. Beberapa contoh alat dari batu yang digunakan
Pithecanthropus adalah kapak genggam, kapak perimbas, dan kapak penetak. Alat-alat ini
banyak ditemukan di Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Kendati sudah menggunakan
alat, mereka belum mengolah atau memasak makanan.

Penemuan yang kontroversial ini menimbulkan perdebatan soal klasifikasi manusia purba.
Von Koeningswald pun mengubah nama spesies dari Pithecanthropus mojokertensis menjadi
Homo mojokertensis.

Berikut ciri-ciri Pithecantropus mojokertensis:

 Berbadan tegak, tetapi tidak setegap Meganthropus;


 Tinggi badannya sekitar 165–180 sentimeter;
 Tulang rahang dan geraham kuat;
 Bagian kening menonjol;
 Hidung lebar dan tidak berdagu;
 Volume otak belum sempurna, kapasitasnya hanya 750–1.300 cc;
 Tulang atap tengkorak tebal dan berbentuk lonjong;
 Organ pengunyah dan otot tengkuk sudah mengecil;
 Otot kunyah tidak sekuat Meganthropus;
 Makanannya masih kasar atau mentah dengan sedikit pengolahan;
 Makanannya bervariasi, yaitu tumbuhan dan daging hewan buruan.

3. Pithecanthropus erectus

Kelompok manusia praaksara ini ditemukan oleh Eugene Dubosi pada 1890–1892 di Desa
Trinil, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Pithecanthropus erectus diketahui hidup
sekitar 1 juta sampai 600.000 tahun lalu. Berdasarkan temuan Dubosi itu, dapat diketahui
ciri-ciri manusia purba ini, yaitu:

 Berbadan tegap dengan alat pengunyah yang kuat;


 Tinggi badan berkisar 165–170 sentimeter dengan berat badan sekitar 100 kilogram;
 Berjalan tegak;
 Makanannya masih kasar dengan sedikit pengolahan;
 Mempunyai kemampuan berpikir yang masih rendah;
 Volume otak kepala masih sebesar 900 cc, sedangkan volume otak manusia modern
sudah lebih dari 1000 cc dan volume otak kera tertinggi hanya 600 cc.

4. Homo erectus soloensis

Manusia purba lainnya yang ditemukan di Indonesia adalah Homo soloensis. Seperti
namanya, fosil manusia purba ini ditemukan di sepanjang Bengawan Solo (Ngandong,
Sambungmacan, dan Sangiran) oleh C. Ter Haar, Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald,
dan W.F.F. Oppernoort pada 1931–1933. Homo soloensis diperkirakan hidup dari 900.000
sampai 200.00 tahun lalu.

Von Koenigswald di daerah tersebut banyak menemukan fosil-fosil dan artefak-artefak


prasejarah, antara lain tengkorak anak-anak, hewan menyusui, dan aneka perkakas. Dia
kemudian membagi lembah Bengawan Solo menjadi tiga lapisan, yaitu:

 Lapisan Jetis (Pleistosen Bawah), tempat ditemukannya Pithecanthropus robustus,


Homo mojokertensis, dan Meganthropus paleojavanicus;
 Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah), tempat ditemukannya Pithecanthropus erectus;
 Lapisan Ngandong (Pleistosen Atas), tempat ditemukannya Homo soloensis dan
Homo wajakensis.

Untuk Homo e. soloensis, von Koenigswald menemukan 11 fosil tengkorak. Sebagian telah
hancur, tetapi terdapat beberapa yang masih layak menjadi objek penelitian lebih lanjut,
meskipun tulang rahang dan gigi kesebelas tengkorak itu sudah tidak ada.

Powered By

Menurut von Koenigswald dan R. Weidenreich, manusia purba ini lebih tinggi tingkatannya
dibandingkan dengan Pithecanthropus erectus. Mereka bahkan telah layak disebut sebagai
homo (manusia). Diperkirakan, makhluk ini merupakan evolusi dari Pithecanthropus
mojokertensis atau Homo mojokertensis.

5. Homo wajakensis

Sementara itu, Homo wajakensis ditemukan oleh Von Rietschoten di Desa Wajak pada 1888
dan Eugene Dubois pada 1889. Manusia purba ini hidup sekitar 60.000 sampai 25.00 tahun
lalu. Manusia Wajak diduga sebagai nenek moyang bangsa asli Australia (bangsa Aborigin).
Kedua jenis manusia purba ini disebut homo karena memiliki kesamaan seperti manusia
modern saat ini. Volume otaknya juga sudah berkembang, bahkan mencapai 1300 cc.

Fosil yang ditemukan berupa tulang paha, rahang atas, rahang bawah, tulang kering, dan
fragmen tengkorak dengan volume sekitar 1.600 cc. Temuan Rietschoten ini digolongkan
sebagai Homo sapiens pertama di Asia. Fosil tersebut kemudian diteliti oleh Eugene Dubois.

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa manusia purba ini sudah bisa membuat alat dari
batu dan tulang. Tak hanya itu, Homo wajakensis juga diketahui sudah mengetahui cara
memasak.
Dari segi fisik, ciri-ciri Homo sapiens ini sebagai berikut:

 Wajah datar dan lebar;


 Hidung lebar dengan bagian mulut menonjol;
 Berat badan sekitar 30–150 kilogram;
 Tinggi badan kurang lebih 130–210 sentimeter;
 Otak sudah lebih berkembang;

Tengkorak dari Homo wajakensis diketahui mempunyai persamaan dengan tengkorak


masyarakat asli Aborigin di Australia, sehingga E. Dubois memperkirakan jenis Homo
sapiens ini dikelompokan dalam manusia modern yang masuk ras Australoide. Fosil dari
Homo wajakensis mempunyai persamaan dengan manusia Niah di Sarawak (Malaysia) dan
manusia Tabon di Palawan (Filipina).

Berbicara tentang Homo wajakensis, kita akan selalu diingatkan pula kepada Eugene Dubois,
seorang dokter asal Belanda yang memiliki keinginan keras untuk datang ke Hindia Belanda
(Indonesia) untuk membuktikan atau mencari bukti-bukti akan teori evolusi Charles Darwin
seperti yang tertuang dalam bukunya berjudul The Origin Of Species, walaupun saat itu
masih sarat akan polemik-akademik.

Dengan mendaftar sebagai tentara Belanda untuk tenaga medis, bersama istri dan anaknya,
Dubois akhirnya dikirim
ke Sumatra. Dubois selalu mencari waktu untuk melakukan “misi utamanya”, yaitu mencari
fosil dan sisa-sisa nenek moyang manusia di sela-sela waktunya bertugas sebagai dokter
tentara Belanda.

Sayangnya, ekspedisi Sumatra rupanya belum berhasil dan dia mengalihkan perhatiannya ke
Jawa. Hal ini juga dipicu adanya informasi tentang temuan fosil tulang-belulang manusia di
Desa Campurdarat, Kabupaten Tulungagung yang kemudian dikenal sebagai fosil Wajak I.
Berdasarkan data tersebut, Dubois melakukan penggalian di sekitar tempat penemuan fosil
Wajak I dan berhasil menemukan fosil manusia Wajak II.

Selain tulang-belulang dari Campurdarat di atas, temuan penting Eugene Dubois selama
penelitiannya di Jawa adalah beberapa fosil tulang hominid yang dia pastikan sebagai
makhluk nenek moyang manusia yang selama ini dicari-cari oleh para pengikut teori evolusi
Darwin. Temuan spesies hominid yang dinamakan Pithecanthropus erectus yang kemudian
disebut Homo erectus inilah missing link yang berhasil ditemukannya di Trinil, Madiun, Jawa
Timur, tidak jauh dari aliran Bengawan Solo.

Temuan yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah fosil cranium,
femur, dan gigi hominid yang dipastikan dari satu individu yang sama. Sebagai seorang ahli
anatomi, Dubois berhasil merekonstruksi dan menyimpulkan bahwa cranium, gigi, dan tulang
paha tersebut milik hominid yang telah berjalan tegak, walaupun bentuk muka menyerupai
kera. Dalam publikasinya disebutkan bahwa hominid tersebut adalah makhluk manusia kera
yang berjalan tegak.

Teuku Jacob dalam penelitiannya berjudul Evolution of Man in Southeast Asia (1977)
menjelaskan bahwa manusia Wajak yang diklasifikasikan oleh Dubois sebagai proto-
Australoid, adalah hasil campuran antara ras Australomelanesid dan ras Mongoloid.
Meskipun penanggalan absolut fosil manusia Wajak masih belum ditemukan, tetapi jika kita
mengacu kepada pernyataan Teuku Jacob tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa kedatangan
ras Mongoloid di Jawa kira-kira berlangsung setidaknya 10.000 tahun yang lalu.

Hal ini sesuai dengan hasil analisis penanggalan C-14 dari fosil fauna Wajak. Sementara itu,
berdasarkan posisi stratigrafi situs diketahui secara relatif bahwa manusia Wajak
diperhitungkan telah ada sejak antara 40.000–25.000 tahun yang lalu.

Manusia Wajak ras Australomelanesid sisa-sisanya masih ditemukan di Australia. Inilah yang
menyebabkan sampel yang digunakan untuk menelitinya adalah kepulauan Melanesia, satu
kawasan di Pasifik yang dekat dengan Benua Australia. Kepulauan Melanesia meliputi
beberapa kelompok pulau, yaitu Papua Nugini, Britania Baru, Kepulauan Bismarck, Pulau
Irlandia Baru, Kepulauan Solomon, Kepulauan Fiji, serta pulau-pulau kecil lainnya yang
seluruhnya berjumlah sekitar 341 gugusan.

Pembagian wilayah antara Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia adalah berdasarkan ciri
budaya atau kulturalnya. Secara kultural, di antara ketiga wilayah tersebut Melanesia yang
paling dekat dengan Indonesia. Oleh karena itu, di dalam mengkaji prasejarah Melanesia, kita
tidak akan lepas dari konteks proses migrasi bangsa-bangsa yang sekarang ini mendiami
beberapa wilayah seperti Asia Tenggara, Oseania, dan Australia.

6. Homo mojokertensis

Manusia purba yang ditemukan di Indonesia berikutnya yaitu Homo mojokertensis.


Kelompok manusia ini ditemukan oleh Ralph von Koenigswald pada 1936 di Mojokerto.
Fosil yang ditemukan adalah tengkorak anak-anak yang usianya di bawah lima tahun.
Penemu manusia purba ini memperkirakan fosil Homo mojokertensis sebagai fosil dari anak-
anak Pithecanthropus.

7. Homo floresiensis (Manusia Liang Bua)

Homo floresiensis ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood pada September 2003.
Manusia Liang Bua dianggap sebagai penemuan spesies baru yang kemudian diberi nama
sesuai dengan tempat ditemukannya, yaitu di Liang Bua, Flores.

Adapun ciri ciri Homo sapiens yang ditemukan di Flores sebagai berikut:

 Kepala dan badan mempunyai ukuran kecil;


 Ukuran otak juga kecil;
 Volume otak sekitar 380 cc;
 Rahang menonjol atau berdahi sempit;
 Berat badan sekitar 25 kilogram;
 Tinggi badan sekitar 1,06 meter.

Pengelompokan Homo floresensis sebagai manusia modern masih menjadi perdebatan


banyak ahli. Sebagian menyimpulkan jenis ini adalah hasil evolusi Pithecantropus, tetapi ahli
lain menduga Homo floresensis hidup berdampingan atau bahkan satu zaman dengan Homo
sapiens.

Manusia purba ini mirip hobbit, ras manusia karangan J.R.R Tolkien dalam film The Lord of
the Ring dan The Hobbit. Para ilmuwan menduga Homo floresiensis cebol karena pengaruh
lingkungan. Posisi mereka yang terkurung di Pulau Flores selama ribuan tahun membuat
keturunan mereka semakin lama semakin kecil.

Anda mungkin juga menyukai