c. Pithecantropus Soloensis
Pithecantropus soloensis berarti manusia kera dari Solo. Fosil ini ditemukan di
daerah Ngandong, lembah Sungai Bengawan Solo antara tahun 1931-1934. hasil
penemuannya berupa 11 buah fosil tengkorak, tulang rahang, dan gigi. Fosil ini
diteliti oleh von Koeningswald dan Weidenreich. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa makhluk ini lebih tinggi tingkatannya dari makhluk Pithecantropus erectus.
- Homo sapien. Homo sapien adalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh
yang sama dengan manusia sekarang. Mereka dapat menggunakan akal dan memiliki
sifat seperti yang dimiliki manusia sekarang. Kehidupan mereka sangat sederhana dan
hidupnya mengembara. Mereka inilah yang menjadi nenek moyang bangsa-bangsa di
dunia. Jenis fosil Homo sapien ini juga ditemukan di daerah Indonesia, yaitu di daerah
Wajak dan fosilnya diberi nama Homo wajakensis. Fosil Homo wajakensis yang
berupa sebuah tengkorak ditemukan tahun 1889 oleh Reictshotten. Selanjutnya fosil
itu diteliti oleh Eugene Dubois. Berdasarkan hasil peralatannya itu disimpulkan bahwa
Homo wajakensis termasuk golongan bangsa Austroloid. Tetapi berdasarkan
penelitian von Koeningswald fosil ini termasuk Homo sapien. Berdasarkan penelitian
para ahli terhadap penemuan fosil manusia itu, terlihat dengan jelas perkembangannya
ke arah yang lebih sempurna, yaitu dari Pithecantrophus (manusia kera) hingga Homo
sapien (manusia) seperti sekarang. Namun apakah makhluk yang disebut
Pithecantrophus itu berproses melalui evolusi, hingga terwujud menjadi manusia
seperti sekarang ini? Atau, apakah antara manusia dengan Pithecantrophus tidak
memiliki hubungan dan berasal dari proses yang berbeda? Hal itu pun belum terjawab
oleh para ahli. Para ahli tidak berhasil menemukan mata rantai yang menghubungkan
antara Pithecantrophus dengan manusia seperti sekarang ini.
Beberapa ciri manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
Megantropus Palaejavanicus
Memiliki tulang pipi yang tebal
Memiliki otot kunyah yang kuat
Memiliki tonjolan kening yang menyolok
Memiliki tonjolan belakang yang tajam
Tidak memiliki dagu
Memiliki perawakan yang tegap
Memakan jenis tumbuh-tumbuhan
Mempunyai tempat perlekatan otot tengkuk yang besar dan kuat
Pithecantropus
Tinggi badan sekitar 165 - 180 cm
Volume otak berkisar antara 750 - 1350 cc
Bentuk tubuh dan anggota badan tegap
Alat penguyahan dan otot tengkuk sangat kuat
Bentuk geraham besar dengan rahang yang sangat kuat
Bentuk tonjolan kening tebal
Bagian belakang kepala tampak menonjol
Homo sapien
Volume otaknya antara 1000 - 1200 cc
Tinggi badan antara 130 - 210 cm
Otot tengkuk mengalami penyusutan
Muka tidak menonjol ke depan
Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna
2) Pithecanthropus
Merupakan manusia purba yang hidup pada kala Pleistoen Awal dan Tengah, dan
mungkin pula sampai kala Pleistosen Akhir. Tinggi badannya berkisar antara 165
-180 cm dengan tubuh dan anggota badan yang tegap, namun tidak setegap
Meganthropus. Pithecantropus tertua ditemukan pada kala Pleistosen bawah pada
formasi Pucangan di Kapuhklagen, sebelah utara Perning dan Mojokerto adalah
Pithecantropus Modjokertensis atau Pithecantropus Robustus. Diduga mereka
hidup kira-kira 2,5 hingga 1,25 juta tahun yang lalu, yang hampir sezaman
hidupnya dengan Meganthropus.
2. Pleistosen Tengah (Lapisan dan Fauna Trinil)
Di lapisan ini ditemukan Pithecantropus Erectus. Fosil pertama ditemukan dari
situs Trinil oleh E. Dubois pada tahun 1891. Berdasarkan temuan-temuan
tengkoraknya itu dia menciptakan nama Pithecantropus Erectus karena ditempat yang
sama dia menemukan pula tulang paha, yang menunjukkan bahwa pemiliknya
berjalan tegap. Ciri-ciri Pithecantropus Ercctus hampir sama dengan Pithecantropus
Modjokertensis. Namun, isi tengkoraknya cukup menonjol perbedaannya. Isi
tengkorak (otak) Pithecantropus Erectus mencapai 900 cc. Pithecantropus Erectus
diduga hidup antara 1 juta sampai setengah juta tahun yang lalu berdasarkan
perhitungan penanggalan Kalium-Argon batu apung yang berasal dari lapisan tempat
ditemukannya fosil tengkorak tersebut. Para ilmuwan menghubungkan makhluk ini
sebagai mising link, atau makhluk peralihan, dari kera ke manusia.
3. Pleistosen Atas atau Akhir (Lapisan dan Fauna Ngandong).
Di lapisan ini ditemukan Pithecantropus Soloensis, yang mempunyai isi
tengkorak lebih besar dibandingkan dengan Pithecantropus lainnya, yaitu sekitar 1300cc.
Pithecantropus Soloensis mempunyai banyak persamaan dengan Pithecantropus
Pekinensis yang ditemukan di Chou-kou-tien, dekat Beijing (Cina). Sisa-sisanya
ditemukan dalam formasi Kabuh di Sangiran dan Sambungmacan, Sragen serta teras
Ngandong, Blora. Bahasa dalam bentuk sederhana diduga sudah dipunyai oleh
manusia Pithecantropus, walaupun dalam penggunaannya masih dibantu dengan
isyarat dan mimik muka atau anggota badan dan tubuh. Berdasarkan penanggalan
sementara, Pithecantropus Soloensis hidupnya sekitar 900.000 dan 300.000 tahun
yang lalu. Menurut beberapa ahli Pithecantropus Soloensis termasuk Homo
Neanderthalensis. Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai Homo Sapiens sehingga
kadangkala Pithecantropus Soloensis disebut Homo Soloensis.
4. Holosen.
Di lapisan ini ditemukan fosil manusia dari jenis Homo di dekat Campurdarat,
Tulung Agung, Jawa Timur dalam rangka Wajak. Manusia purba yang ditemukan
oleh Van Rietschoten pada tahun 1889 di wilayah itu adalah Homo Sapiens, yang
mempunyai ciri-ciri sama dengan Homo Neanderthalensis, namun lebih progresif. Di
Indonesia sendiri tidak ditemukan sisa-sisa Homo Neanderthalensis. Isi tengkorak
manusia Homo sangat bervariasi 1000 - 2000cc. Tinggi badannya juga bervariasi antara
130 - 210 cm dengan berat badan antara 30 - 150 kg. Berdasarkan data-data yang berhasil
ditemukan, dapat dinyatakan bahwa manusia purba yang ditemukan di Wajak itu
mempunyai ciri-ciri Mongoloid dan Australomelanesoid. Meskipun demikin, sulit
untuk memasukkan fosil manusia Wajak ini ke dalam ras manusia yang ada sekarang
karena waktu hidup ras-ras Homo Sapiens tidak sama dengan manusia sekarang.
Mungkin saja dari ras Wajak inilah lahir subras Melayu Indonesia. Kemudian ras itu
pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid. Selain di Indonesia, ras Wajak ini
ditemukan di Nias, Serawak dan Palawan, Filipina.