A. Pola Hunian
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum
(batu tengah) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum
mengenal tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal
tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana
yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada zaman
praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Nomaden
Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-
pindah atau menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan
mobilitas tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan
mengumpulkan makanan dari alam (Food Gathering)
2. Sedenter
Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah
terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya
bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada
kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :
(a) Kedekatan dengan Sumber Air
Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air
pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di
sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada
tanaman.
(b) Kehidupan di Alam Terbuka
Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran
sungai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap
dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu
menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga
memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di
gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni
gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan
makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi
lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-
situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil ,
ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir
sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu
berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup.
Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau
sumber air yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air.
Ditempat-tempat itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka.
Selain itu, sungai dan danau merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di
dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman
yang buah atau umbinya dapat dimakan
B. Masa Berburu
1. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana: Budaya
Paleolithik
Sebagaimana diungkapkan The Cambridge Encyclopedia of Hunter Gatherers:
berburu dan mengumpulkan makanan (meramu) merupakan bentuk adaptasi pertama
manusia yang paling sukses, serta mencakup 90 persen dari sejarah manusia. Sampai
12.000 tahun yang lalu, semua manusia hidup dengan cara ini.
Makanan manusia purba pada masa ini bergantung sepenuhnya pada alam
dengan berburu dan mengumpulkan makanan. Itu karena pada masa ini, hewan dan
tumbuh-tumbuhan telah hidup merata di bumi. Kala Pleistosen sampai Holosen
merupakan masa puncak perkembangan hewan menyusu (mamalia). Maka, berburu
hewan menjadi aktivitas pokok untuk bertahan hidup. Hewan-hewan yang diburu
antara lain: rusa, kuda, babi hutan, kijang, kerbau, kera, gajah, kuda nil, dan
sebagainya.
Karena berburu menjadi sarana utama untuk bertahan hidup, kehidupan
manusia purba Indonesia pada masa ini, sejak Pithecanthropus sampai Homo sapiens,
bersifat nomaden atau berpindah-pindah mengikuti gerak binatang buruan serta
sumber air. Kehidupan menetap (sedenter) belum dikenal.
Migrasi (perpindahan) hewan buruan itu umumnya dipengaruhi beberapa
faktor utama sebagai berikut.
1) adanya perubahan iklim yang ekstrem, misalnya kemarau panjang yang membuat
banyak padang rumput dan sumber air menjadi kering, atau musim hujan
berkepanjangan yang membuat suhu lingkungan menjadi sangat dingin;
2) bencana alam, yang juga ikut membuat manusia bermigrasi;
3) ancaman dari sesame hewan, yaitu hewan karnivora;
4) gangguan manusia;
5) tumbuh-tumbuhan biasanya lebih mudah tumbuh dan berkembang di daerah-
daerah beriklim lebih panas, yangmembuat hewan-hewan pemakan tumbuhan
(herbivora) ikut bermigrasi, mengikuti “migrasi” tumbuh-tumbuhan itu. Migrasi
hewan-hewan herbivore ini dengan sendirinya membuat hewan-hewan karnivora
ikut bermigrasi juga.