Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

USAHA PEMERATAAN PEMBANGUNAN


DIDESA DAN DIKOTA

DISUSUN
OLEH

HENY ELVIANA
KELAS : XII IIS 4

SMA NEGERI 01 ANJONGAN


TAHUN AJARAN
2022/2023
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Corak Kehidupan Pada Masa Praaksara


1.      Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat awal, manusia
Indonesia saat itu hidup sangat sulit karena keadaan alam masih belum stabil.
Letusan gunung berapi masih sering terjadi, aliran sungai kadang-kadang berpindah
sejalan dengan perubahan bentuk bumi. Karena sulitnya untuk mencari makanan,
pertumbuhan populasi Manusia Indonesia sangat sedikit dan banyak yang meninggal
dan akhirnya punah.
Manusia Indonesia pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu
berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang
cukup. Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai- sungai, danau
atau sumber-sumber air yang lain, karena binatang buruan selalu berkumpul di dekat
sumber air. Di tempat-tempat yang demikian itu kelompok manusia praaksara
menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau juga merupakan
sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar
sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buahnya atau umbinya
dapat dimakan. Di danau mencari ikan dan kerang, ada pula yang memilih daerah
pedalaman. Tumpukan bekas makanan berupa kulit kerang banyak ditemukan di
pantai atau di tepi sungai. Selain di sumber-sumber air, ada juga yang memilih gua-
gua sebagai tempat sementara berdasarkan penemuan kerangka manusia yang
dikuburkan, rupanya mereka sudah mengenal semacam sistem kepercayaan. Lama
kelamaan kelompok manusia berburu dan mengumpulkan makanan menunjukkan
tanda hidup menetap, suatu perkembangan ke arah masa bercocok tanam.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjutan, mereka telah
mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat
tinggal di daerah pantai, ada pula yang memilih tempat tinggal di daerah pedalaman.
Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang dan ikan
laut. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dijumpai
sejumlah besar kulit-kulit kerang yang menyerupai bukit kulit kerang serta alat-alat
yang mereka gunakan. Sisa-sisa makanan yang berupa timbunan atau gugusan kulit
kerang itu, yang artinya sampah dapur. Ada pun sisa alat-alat yang ditemukan dalam
gugusan kulit kerang antara lain berupa anak panah atau mata tombak yang
berbentuk khusus untuk menangkap ikan.
Kelompok yang memilih bertempat tinggal di daerah pedalaman pada
umumnya memilih tempat tinggal di tepian sungai-sungai. Selain dari binatang
buruan, mereka juga hidup dari ikan di sungai. Kelompok yang bergerak lebih ke
pedalaman lagi, sisa-sisa budayanya sering ditemukan di dalam gua-gua yag mereka
singgahi dan untuk tempat tinggal sementara dalam pengembaraan mereka. Gua-gua
ini letaknya pada lereng-lereng bukit yang cukup tinggi, sehingga untuk memasuki
gua-gua itu diperlukan tangga-tangga yang dapat ditarik ke dalam gua, jika ada
bahaya yang mengancam. Untuk menghadapi berbagai ancaman, manusia itu hidup
berkelompok dan jumlahnya tidak terlalu banyak. Biasanya mereka berada agak
lama di daerah yang mengandung cukup banyak bahan makanan, terutama umbi-
umbian dan dedaunan, dekat sumber air, serta dekat dengan tempat-tempat mangkal
binatang buruan. Mereka kemudian akan melakukan pengembaraan atau berpindah
ke tempat lain. Di tempat sementara ini, kelompok berburu biasanya tersusun dari
keluarga kecil dengan jumlah kurang lebih 20 sampai 50 orang. Tugas berburu
binatang dilakukan oleh orang laki-laki sedangkan orang perempuan bertugas
mengumpulkan makanan, mengurus anak, dan mengajari anaknya dalam meramu
makanan. Ikatan kelompok pada masa ini sangat penting untuk mendukung
berlangsungnya kegiatan bersama.
2.      Bercocok Tanam
Kelompok-kelompok kecil pada masa bercocok tanam makin bertambah besar,
karena masyarakat telah mulai menetap dan hidup lebih teratur. Kelompok-
kelompok perkampungan tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar
misalnya klan, marga dan sebagainya yang menjadi dasar masyarakat Indonesia
sekarang. Kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks setelah mereka tidak
saja tinggal di goa-goa, tetapi juga memanfaatkan lahan-lahan terbuka sebagai
tempat tinggal.
Dengan bertempat tinggal menetap mereka mempunyai kesempatan yang lebih
banyak untuk mengembangkan teknologi pembuatan alat dari batu. Perubahan cara
hidup dari mengembara ke menetap akhirnya berpengaruh terhadap aspek-aspek
kehidupan lainnya. Cara hidup berburu dan meramu secara berangsur-angsur mulai
ditinggalkan. Mereka memasuki tahapan baru yaitu bercocok tanam ini merupakan
peristiwa penting dalam sejarah perkembangan dan peradaban manusia.
     Dengan penemuan-penemuan baru, mereka dapat menguasai alam, terutama yang
berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup mereka. Beragam jenis tumbuhan  mulai
dibudidayakan dan bermacam- macam binatang mulai dijinakkan. Dengan perkembangannya
cara bercocok tanam dan bertani, berarti banyak hal yang diperlukan untuk melaksanakan
kegiatan tersebut yang tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri. Kondisi inilah yang kemudian
mendorong munculnya kelompok-kelompok spesialis atau undagi, misalnya kelompok ahli
pembuatan rumah, pembuatan gerabah, dan pembuatan alat-alat logam.
Pada tahapan berikutnya, kegiatan pertanian membutuhkan satu organisasi yang lebih
luas yang berfungsi untuk mengelola dan mengatur kegiatan pertanian tersebut. Dari
organisasi itu kemudian menumbuhkan organisasi masyarakat yang bersifat chiefdoms atau
masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Dalam masyarakat yang demikian itu sudah dapat
dibedakan antara pemimpin dan yang dipimpin. Pengakuan terhadap pemimpin tidak sekadar
karena faktor keturunan, tetapi juga dianggap mempunyai kekuatan yang lebih dan
berkedudukan tinggi. Para pemimpin tersebut sesudah meninggal arwahnya tetap dihormati
karena kelebihan yang dimilikinya itu.
Untuk menghormati sang arwah, dibangunlah tempat-tempat pemujaan seperti tampak
pada peninggalan-peninggalan punden berundak. Selain dapat menunjukan tempat pemujaan
arwah, keberadaan punden berundak juga dapat menjadi bukti adanya masyarakat yang sudah
berkepemimpinan. Punden berundak merupakan bangunan tempat melakukan upacara
bersama. Dalam melaksanakan upacara itu, juga dipimpin oleh seorang pemimpin yang
disegani oleh masyarakatnya.
Pada masa itu ada kemungkinan sudah terbentuk desa-desa kecil. Pada mulanya hanya
bentuk rumah agak kecil dan berdenah melingkar dengan atap daun-daunan. Kemudian
rumah seperti itu berkembang dengan bentuk yang lebih besar yang dibangun di atas tiang
penyangga. Rumah besar ini bentuknya persegi panjang, dihuni oleh beberapa keluarga inti.
Di bawah tiang penyangga rumah digunakan untuk memelihara ternak. Apabila musim panen
tiba mereka berpindah sementara di dekat ladang-ladang dengan membangun rumah atau
gubuk- gubuk darurat. Binatang-binatang piaraan mereka juga dibawa.
Tidak menutup kemungkinan pada masa itu, mereka sudah menggunakan bahasa untuk
komunikasi. Para ahli menduga bahwa pada masa bercocok tanam menetap ini, mereka sudah
menggunakan bahasa Melayu-Polenesia atau rumpun bahasa  Austronesia. Pada masa
bercocok tanam mulai muncul kelompok-kelompok profesi, hubungan perdagangan, dan
adanya kontak-kontak budaya yang menyebabkan kegiatan masyarakat semakin kompleks.
Situasi semacam itu tidak saja telah menunjukkan adanya pelapisan masyarakat menurut
kehlian dan pekerjaannya, tapi juga mendorong perkembangan teknologi yang mereka kuasai.

3.      Masa Perundagian
Pada masa perundagian, masyarakat telah hidup di desa-desa di daerah pegunungan,
dataran rendah dan tepi pantai. Susunan masyarakatnya makin teratur dan terpimpin.
Masyarakat dipimpin oleh ketua adat yang merangkap sebagai kapala daerah. Ketua adat
dipilih oleh masyarakat, yaitu orang tua yang banyak pengetahuan dan pengalamannya
mengenai adat dan berwibawa terhadap masyarakat. Kepala daerah yang besar wibawanya
kemudian membawahi kepala-kepala daerah lainnya dan makin besar kekuasaannya. Ia
bertindak seperti seorang raja dan itulah permulaan timbulnya raja-raja di Indonesia.
Untuk menaikkan derajat dalam masyarakat, orang berusaha membuat jasa sebanyak-
banyaknya, biasanya dengan melakukan hal-hal atau perbuatan-perbuatan luar biasa dan
memperlihatkan keberaniannya sehingga mendapatkan kepercayaan untuk memperoleh
kedudukan sebagai pemimpin. Misalkan dalam perburuan binatang buas sepert harimau.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kebiasaan masyarakat pada masa perundagian yang
sering melakukan upacara khusus dalam acara penguburan mayat para pemimpin mereka,
menunjukan bahwa masyarakat pada waktu itu telah memiliki norma-norma dalam
kehidupan, terutama sikap menghargai kepemimpinan seseorang. Walau dapat kita dipastikan
bahwa masyarakat pada masa itu didasarkan atas gotong royong, namun telah berkembang
norma-norma yang mengatur hubungan antara lain yang  dipimpin dan yang memimpin.
Adanya norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pada masa
perundagian menunjukan bahwa pada masa ini terdapat hasil-hasil kebudayaan berupa
norma-norma. Bila dilihat dari hasil kebudayaan yang berwujud peraturan. Pada masa
perundagian masyarakat telah mengenal suatu peraturan yang harus ditaati oleh semuanya.
Salah satunya adalah peraturan dalam penguburan mayat di tempayan. Penguburan
dalam tempayan ini hanya dilakukan terhadap orang-orang yang berkedudukan penting dalam
masyarakat. Selain itu, terdapat juga aturan dalam penggunaan harta kekayaan. Penguasaan
dan pengambilan sumber penghidupan diatur menurut tata tertib dan kebiasaan masyarakat.
Pemakaian barang-barang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari didasarkan atas sifat
magis dari barang-barang tersebut.

Pada masa perundagian, manusia purba sangat taat kepada adat diantaranya adat gotong-
royong, tolong menolong, sambat-sinambat. Kebiasaan hidup berkelompok berkembang
menjadi lebih luas dalam kehidupan masyarakat desa secara bergotong royong. Gotong
royong merupakan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat. Hal ini dapat di lihat dalam
pembuatan alat-alat, dimana semuanya dilakukan secara bergotong royong.

Anda mungkin juga menyukai