Anda di halaman 1dari 4

Bahasa Indenesia

1. Teks Kritik

Dublin

a. Identitas novel

Judul: Dublin
Penulis: Yuli Pritania
Editor: Cicilia Prima
Desain Kover: Teguh
Desain Isi: Putri Widia Novita
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: Agustus 2016
Tebal Buku: 226 halaman
ISBN: 978-602-375-652-0

b. Sinopsis

c. Teks kritik novel “Dumlin”

Dublin adalah novel Yuli Pritania yang tergabung dalam seri Love in the City bersama lima
buku lainnya. Kelima buku tersebut yaitu San Fransisco (Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie),
Istanbul (Retni SB), Bristol (Vinca Callista), Frankfurt (Ninna Rosmina), dan Roma (Pia
Devina). Novel ini bercerita tentang kisah masa lalu yang belum selesai, tentang bagaimana
pertemuan kembali dengan seseorang dari masa lalu dapat begitu berpengaruh pada
kehidupan masa sekarang, bahkan masa yang akan datang. Meski terkesan umum dan biasa
saja, namun Dublin memiliki sisi khusus dari segi psikologis yang menjadikannya berbeda.

Bagian yang paling menonjol dan membuatnya terasa unik adalah karakter kedua tokoh
utamanya, Mia dan Ragga. Mia diceritakan sebagai seseorang yang introver, dan Ragga tak
berbeda jauh dengannya. Mereka banyak kesamaan. Pada satu waktu bisa bertukar cerita
tentang buku-buku atau film-film, atau tentang hal-hal lain yang menurut mereka menarik.
Namun pada waktu yang lain, mereka tak butuh bicara untuk mengetahui keinginan masing-
masing. Dalam hal ini, Yuli membawakannya dengan rapi dan mengalir. Aku merasa
terhanyut dalam setiap keping kisahnya.

Tokoh Mia, misalnya, digambarkan sebagai sosok yang selalu rapi dan penuh rencana.
Mungkin kita akan menganggap itu hal biasa. Toh banyak orang yang seperti itu dengan
hidup berpatok pada agenda. Tapi itu bukan hanya tentang kebiasaan. Keadaan psikis Mia
yang membuatnya berlaku demikian. Keadaan itu pula yang membuatnya menerima lamaran
Aditya, meski ia tahu hatinya masih milik Ragga. Sedangkan Ragga sendiri adalah sosok
yang tidak menuntut. Pribadi yang tahu batasnya, tahu kapan harus berjuang dan kapan
waktunya melepaskan. Kuatnya penggambaran karakter tokoh tersebut tidak hanya berlaku
pada Mia dan Ragga, tetapi juga tokoh-tokoh lain termasuk Alana dan Aditya.
Mengenai alurnya, Dublin bercerita dengan alur maju, hanya terdapat beberapa kilas balik
singkat dan kilas balik satu bab penuh tentang masa lalu Mia dan Ragga. Setiap bab diberi
judul dengan menggunakan bahasa Irlandia dan diberi terjemahan pada bagian catatan kaki.
Secara garis besar, Dublin bercerita menggunakan sudut pandang orang ketiga. Namun,
terdapat beberapa bagian yang menggunakan sudut pandang orang pertama, baik Mia
maupun Ragga.

Pergantian sudut pandang pencerita ini dicantumkan setelah judul bab, sehingga pembaca
tidak akan merasa kebingungan. Selain itu, membaca Dublin, aku seperti melakukan tour di
kota tersebut karena tempat-tempat yang dikunjungi Mia dan Ragga dijelaskan dengan rinci,
baik lewat narasi maupun dialog. Begitu pula dengan visualisasi tokoh yang digambarkan
penulis dengan sangat terperinci membuat para pembaca dapat membayangkan mereka.
Konflik-konfilik batin yang dialami oleh tokoh utama membuat para pembaca semakin
tertarik dan penasan untuk lanjut membacanya.

Disamping kelebihan dari novel ini yang begitu menarik, ternyata novel ini juga mempunyai
beberapa kelemahan. Cover dari novel ini terkesan sangat sederhana dan kurang menarik,
seharusnya dengan cover yang lebih menarik dapat memikat siapapun yang melihatnya.
Novel ini juga disayangkan dengan ukuran tulisan yang sangat kecil sehingga membuat para
pembaca kurang nyaman. Secara tersirat novel ini kelihatan hasil remake dari We Just Can’t
be a Friend karena isinya mirip di beberapa sisi.

Secara keseluruhan, novel ini begitu membekas di ingatan, sampai membacanya saja sayang
untuk diselesaikan. Ide cerita, konflik, karakter, dan setting-nya terasa menyenangkan,
menenangkan sekaligus menegangkan. Aku tidak hanya menemukan kisah perpisahan di
masa lalu yang belum usai, tetapi juga mendapat pemahaman baru tentang cara berpikir
orang-orang tertutup, orang-orang yang mencintai kesendirian yang nyaman, orang-orang
yang berpikir sederhana bahwa mereka akan memberi sebanyak mereka ingin menerima.
Dengan demikian, novel ini dari segi isi memiliki banyak manfaat untuk pembacanya karena
terdapat kata-kata motivasi sehingga dalam sisi positif dapat diterapkan oleh pembacanya
dalam kehidupan sehari-hari.

2. teks esai
Grebeg Gethuk Bukan Budaya Kuno

Prosesi Grebeg Gethuk adalah sebuah tradisi warga Magelang yang unik dan tidak ada
di daerah lain. Tradisi yang menyedot perhatian ribuan warga ini menghadirkan gethuk, yaitu
makanan berbahan singkong yang merupakan khas Kota Magelang. Tradisi ini biasanya
diselenggarakan dalam rangka puncak peringatan hari Jadi Kota Magelang. Gethuk sendiri
dipilih lantaran makanan trandisional tersebut merupakan khazanah kuliner asli Magelang
yang kini telah banyak dikenal oleh kalangan luas.

Pada dasarnya Getuk Singkong itu melambangkan kesederhanaan, nrimo ing pandum,
qona’ah, apa adanya, dan jauh dari sikap konsumerisme atau gagah-gagahan semata. Di saat-
saat bangsa sedang dilanda krisis ekonomi yang berimbas pada fluktuasi harga barang dan
sembako, dan berujung pada rendahnya daya beli masyarakat, maka rakyat diajak untuk
mengeratkan tali pinggang meskipun hanya dengan mengkonsumsi singkong. Tanaman
‘kaum alit’ ini boleh dikatakan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Bukan semata
umbinya yang bercita rasa khas, kemudian filosofi tentang singkong telah mengajarkan
kepada kita bahwa kesederhanaan dan kerendah-hatian dan dibarengi dengan berbagai
macam potensi diri yang memadai, akan menjadikan hidup kita lebih acceptable di segala
ruang dan waktu. Jadi, janganlah gengsi bersentuhan dengan singkong di tengah-tengah
modernitas.

Gepeng Nugroho sebagai salah satu penggagas grebeg gethuk, mengungkapkan bahwa
tradisi ini merupakan catatan singkat bagaimana Kota Magelang ini berdiri sejak ribuan tahun
yang lalu. Catatan itu kemudian divisualisasikan dalam wujud prosesi seni dan budaya yang
atraktif, melibatkan ratusan seninam. Prosesi diawali dengan iring-iringan Wali Kota
Magelang dan sejumlah pejabat daerah setempat dengan menaiki kereta kencana. Selanjutnya
mereka berkumpul di panggung di tengah Alun-alun bersama warga. Lalu, prosesi kirab 17
gunungan palawija dan potensi dari 17 kelurahan di Kota Magelang. Kirab ini diringi
penampilan seni tari untuk menarik dewan juri yang menilainya. Secara historis, kirab
gunungan palawija ini merupakan simbol persembahan atau upeti rakyat kepada pemimpin

Usai kirab, digelar upacara yang dipimpin langsung oleh Wali Kota Magelang.
Pesertanya adalah ratusan perwakilan warga dan pejabat yang seluruhnya mengenakan
busana adat jawa, termasuk aba-aba yang dipakai juga Bahasa Jawa. Proses dilanjutkan
dengan tarian kolosal “Babad Mahardika” oleh 200 pelajar dan seniman Magelang. Tari yang
dimainkan dengan atraktif itu menceritakan tentang sejarah Kota Magelang. Ada bermacam
tarian , yakni tari kerakyatan, ritual, rampok, dan tari prajurit.

Grebeg gethuk ini wujud suka cita atas kemajuan Kota Magelang dari generasi ke generasi.
Budaya ini menjadi tradisi setiap tahunnya dengan tujuan utama menciptakan kesadaran
kebudayaan untuk generasi sekarang. Di era modern ini melestarikan budaya sangatlah
penting agar tidak tergeser dengan budaya kekinian. Sebagai generasi muda kewajiban yang
harus kita laksanakan, yaitu mau mempelajari budaya tersebut, ikut berpartisipasi apabila ada
kegiatan dalam rangka pelestarian kebudayaan, mengajarkan kebudayaan itu pada generasi penerus
sehingga kebudayaan itu tidak musnah dan tetap dapat bertahan, mencintai budaya sendiri tanpa
merendahkan dan melecehkan budaya orang lain, dan menghilangkan perasaan gengsi ataupun
malu dengan kebudayaan yang kita miliki. Dengan demikian, Grebeg gethuk bukanlah budaya yang
jadul atau kuno, tetapi seiring berjalannya waktu semakin maju dan berkembang.

Anda mungkin juga menyukai