Anda di halaman 1dari 13

PERIODISASI KEBUDAYAAN SULSEL :

PERIODE LA GALIGO

Disusun oleh :

KELOMPOK 3

Nur Fadilah (40200118012)

Yunisma Jofita (40200118013)

Muhammad Risal Hendarto (40200118018)

Risdayanti (40200118026)

Ichwan Ismail (40200118031)


KATA PENGANTAR

Segala puji hanya miliki Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang senantiasa


mencurahkan nikmat dan rahmat bagi siapapun yang mengharapkan
keridhaan-Nya. Hanya karena taufiq dan pertolongan-Nya semata, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Periodisasi Kebudayaan
Sulsel : Periode La Galigo”. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, keluarga, para
sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.

Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan memberikan sedikit pengetahuan kepada
pembaca tentang periode La Galigo. Penulis menyadari bahwa hasil makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal itu tidak lain disebabkan karena
keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Semoga dengan
terselesaikannya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Samata, 29 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................1

C. Tujuan Penulisan................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2

A. Periodisasi La Galigo..........................................................................................2

B. Cerita La Galigo.................................................................................................4

C. Nilai-Nilai Budaya pada Periodisasi La Galigo.................................................6

BAB III PENUTUP.......................................................................................................9

A. Kesimpulan.........................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

La Galigo adalah putera Sawerigading Opunna Ware, seorang tokoh


masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan We Cudai Daeng
Risompa. Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah
sebuah epik mitos atau penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan.
Dalam syair-syair La Galigo sangat berlimpah fenomema yang dapat
menjadi sumber dalam penyusunan sejarah kebudayaan Sulawesi Selatan.
Meskipun La Galigo dituliskan namun fungsinya tetap untuk dilisankan,
sehingga dapat dikatakan bahwa penyebaran La Galigo diturunkan melalui
tradisi lisan dan tradisi tulis. Kedua tradisi ini ditemukan pada masyarakat
Sulawesi Selatan dan menjadi baku karena ketertulisannya. La Galigo
merupakan cerita mitologis yang didalamnya mengandung berbagai nilai-nilai
sosial terdiri dari berbagai rangkaian cerita diberbagai daerah. Menurut
Mukhlis PaEni dan Roger Tol dalam La Galigo MoW Register, La Galigo
berisi tentang aturan normatif, etik, dan berbagai jenis upacara.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perode sejarah La Galigo?


2. Bagaimana isi cerita La Galigo?
3. Apa nilai-nilai budaya dalam periode La Galigo?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui periode sejarah La Galigo.


2. Mengetahui isi cerita La Galigo.
3. Mengetahui nilai-nilai budaya dalam periode La Galigo.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Periodisasi La Galigo

Kitab epos atau mitos La Galigo merupakan salah satu rujukan tertulis
nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat Sulawesi
Selatan, yang telah memberikan gambaran tentang masa lampau orang Bugis
sebelum abad ke-14. La Galigo merupakan tradisi lisan masyarakat Sulawesi
Selatan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Cerita tersebut disalin
dengan menggunakan aksara Bugis kuno (huruf lontarak) yang ditulis di atas
daun lontar. Meskipun La Galigo dituliskan, namun fungsinya tetap untuk
diekspresikan secara lisan sampai saat ini, sehingga dikenal oleh berbagai
suku bangsa di Sulawesi Selatan.
Cerita La Galigo yang tersebar di Sulawesi Selatan didominasi oleh
tokoh bernama Sawerigading, manusia keturunan Dewa sekaligus ayah dari I
La Galigo. Sawerigading dianggap sebagai peletak dasar munculnya kerajaan
di Sulawesi Selatan sehingga selain dilisankan, ia juga dikaitkan dengan
simbol-simbol mitologis setiap kerajaan. Oleh karenanya Sawerigading
dianggap sebagai tokoh pemersatu di Sulawesi Selatan. I La Galigo sendiri
merupakan nama seorang putera dari pernikahan Sawerigading Opunna Ware
dengan puteri We Cudai Daeng ri Sompa.
La Galigo dipilih sebagai identitas budaya Sulawesi Selatan karena La
Galigo merupakan rujukan bagi suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja di
Sulawesi Selatan untuk merasakan kesatuan diantara mereka. La Galigo
sebagai perekat suku bangsa di Sulawesi Selatan dikarenakan lima alasan.
1. I La Galigo adalah anak seorang manusia keturunan Dewa bernama
Sawerigading. Dalam berbagai cerita La Galigo, Sawerigading menjadi tokoh
utama dan menjadi perekat atau penghubung suku bangsa di Sulawesi Selatan.

2
Cerita tentang Sawerigading tidak hanya dikenal di suku Bugis, melainkan di
semua suku di Sulawesi Selatan.
2. Di beberapa di daerah di Sulawesi Selatan, Sawerigading memiliki
simbol mitologis berupa kebudayaan materi yang bersifat sakral. Dalam
tradisi lisan La Galigo, terdapat tokoh Sawerigading yang dianggap sebagai
pelaut ulung, yang pelayarannya sampai ke negeri Cina. Dalam
pengembaraannya tersebut, Ia digambarkan singgah di suatu tempat yang
memunculkan cerita-cerita yang berkaitan dengannya. Kehadirannya tersebut
selalu dikaitkan dengan asal usul raja setempat dan berdirinya daerah tersebut,
bahkan di daerah tersebut selalu terdapat benda-benda yang berhubungan
dengan Sawerigading. Contohnya di dekat Malili, terdapat Gunung Belah
(Bulupulo) yang terbelah akibat tertimpa pohon welenreng yang ditebang oleh
Sawerigading untuk dijadikan perahu di Cerekang
3. Salah satu alasan La Galigo merupakan Memory of the World
karena naskahnya diperkirakan dua kali lebih panjang dibandingkan naskah
Mahabarata dan Ramayana. Naskahnya tersebar di beberapa negara, yaitu
Indonesia (Jakarta dan makassar), Belanda (Leiden), United Kingdom
(London dan Manchester), Jerman (Berlin), dan Amerika Serikat (Washington
DC) baik sebagai koleksi pribadi maupun publik. Selain itu, La Galigo
beberapa kali dipentaskan.
4. La Galigo berisi tentang peraturan normatif yang berisi tentang etik,
tingkah laku dan tata cara kehidupan sehari-hari (peristiwa kelahiran,
perkawinan, kematian, dll). Penyebaran legenda La Galigo atau Sawerigading
terjadi melalui tradisi lisan. Tradisi lisan tersebut kemudian direkam dalam
naskah La Galigo yang dipandang sebagai rekaman nilai-nilai luhur dan
pedoman ideal dalam masyarakat. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang
tidak memiliki alat perekam tulisan, maka cerita rakyat Sawerigading tetap
berada dalam kenyataan tradisi lisan yang dipelihara dari generasi ke generasi
(Mattulada, 2003: 437-438). Hal ini menimbulkan implikasi terhadap nilai-

3
nilai yang terkandung dalam La Galigo terlihat pada prilaku masyarakat
Sulawesi Selatan.
5. Naskah La Galigo dianggap sebagai sesuatu yang disakralkan dan
dipercayai dapat menyembuhkan penyakit, membuat kebahagiaan dalam
hidup, dan mencegah bencana alam. Hal ini terlihat pada naskah-naskah
tempat menuliskan La Galigo dianggap sebagai benda yang mempunyai
kekuatan magis. Di dalamnya dianggap bersemayam para roh tokoh suci yang
terdapat dalam cerita La Galigo, baik buruknya kehidupan manusia adalah
tergantung bagaimana manusia memperlakukannya.

B. Cerita La Galigo

Dalam Sureq Galigo bermula, pada suatu kala, semesta ini terbagi
dalam tiga dunia: Botting Langi’ (dunia atas, Langit), Ale Lino/Ale Kawa
( Dunia tengah, Bumi) dan Peretiwi/Buri’ Liu (bawah, Bawah Laut). Botting
Langi’ bermakna pusat langit disanalah bertahta Patoto’e, yang menentukan
nasib.
Ale Lino adalah dunia tengah yaitu bumi manusia. Dunia tengah, yang
menjadi tempat kediaman manusia sekarang ini, digambarkan dalam keadaan
kosong, tanpa penghuni (merujuk kepada Sulawesi Selatan). Raja Di Langit,
La Patoto’e/ La Puang La Patiganna menikah dengan Mutia Unru Datu
Palinge melahirkan La Toge’ Langi’/Senge’ Ri Sompa/La Tungeng
Langi’/Batara Guru. Mendengar kabar bahwa Kerajaan Bumi hanyalah tanah
kosong yang benar-benar tak berpenghuni, Sang Dewata (Sang Patotoqe)
yang berada di Kerajaan Langit segera memutuskan bahwa Kerajaan Bumi
tidak bisa dibiarkan terlalu lama kosong. Manusia harus diturunkan untuk
menyuburkannya dan tentu saja menyembah-Nya.
Ketika kerajaan di langit mengetahui adanya wilayah bumi yang masih
kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, Patotoqe (La

4
Patiganna), mengadakan musyawarah dengan keluarga dari kerajaan langit
lainnya. Dalam pertemuan kerajaan itu, akhirnya terjadi kesepakatan agar
adanya utusan dari kerajaan langit untuk mengisi kehidupan di bumi.
Akhirnya, terpilihlah anak La Patiganna bernama La Toge’ Langi.
Musyawarah para dewa akhirnya menyetujui keputusan Sang Penentu Nasib
memilih Batara Guru untuk dijelmakan sebagai tunas manusia di Bumi.
Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus
melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia
turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilayah
Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone. Batara Guru kemudian digantikan
oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian
mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau
Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We
Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama.
Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia
masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu,
ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam
perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan
termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di
Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Para ahli La Galigo menempatkan sastra ini sebagai karya terpanjang
di dunia. Cerita itu terdiri dari beberapa episode yang dalam bahasa Bugis
disebut dengan Tereng. Tereng yang paling populer adalah perkawinan
Sawerigading dengan I We Cudai dan perkawinannya ia dianugerahi seorang
putera yang bernama La Galigo.

5
C. Nilai-Nilai Budaya pada Periodisasi La Galigo

Beberapa nilai-nilai La Galigo yang masih relevan dengan kehidupan


saat ini :

1. Siri’ dan Pesse’


Konsep siri’ diartikan sebagai rasa malu yang menyangkut
martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan yang harus
dipelihara dan ditegakkan. Siri’ juga diartikan keteguhan hati
dalam kehidupan bermasyarakat (Mattulada, 2007: 59-60).
Sementara pesse’ atau pacce adalah perasaan simpati, sakit, dan
pedih apabila sesama warga masyarakat Sulawesi Selatan ditimpa
kemalangan yang menimbulkan suatu pendorongan ke arah
solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka yang ditimpa
kemalangan. Pesse muncul spontan ketika harga diri kelompok
atau keluarga merasa dihina atau direndahkan oleh orang lain.
2. Sumangeq dan Inninawa
Semangat atau sumangeq atau sungek adalah suatu spirit yang
memberi manusia kekuatan untuk hidup. Segala sesuatu yang ada
pada manusia, tubuhnya, dan senjatanya selalu diperkuat oleh
sumangeqnya. Masyarakat Sulawesi Selatan percaya sumangeq
telah ada sejak manusia dilahirkan., sehinga harus terus dijaga agar
tidak menjauh dari tubuh (Lathief, 2004: 9). Sementara ininnawa
adalah hati nurani manusia. Sumangeq-inninawa adalah dua hal
yang menjadi kekuatan manusia untuk memanusiakan dirinya dan
merupakan dua pengikat untuk mempertahankan hidup bersama
sebagai manusia. Jika keduanya dilapisi oleh siri’ dan pesse
menjadi kekuatan utama bertahan hidup, baik individual maupun
bersama seperti yang dilukiskan dalam La Galigo.

6
3. Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan seperti yang digambarkan dalam cerita La
Galigo sebagai tradisi lisan dan didukung oleh tradisi tulis masih
digunakan pada beberapa kelompok masyarakat. Kepercayaan
tersebut mengarah kepada Dewa Tunggal, yang bernama Patoto’e
(Dia yang menentukan nasib), TopalonroE (Dia yang
menciptakan), Dewata SeuaE (Dewa yang tunggal), Tu riE A’ra’na
(kehendak yang tertinggi), dan Puang Matua (Tuhan yang
tertinggi). Selain itu ada terdapat pula Bissu atau pendeta, dukun,
dan ahli ritual trance yang dipercaya sebagai penghubung antara
umat manusia dengan Dewata.
4. Arsitektur Rumah
Pandangan kosmologi dalam naskah La Galigo menyatakan
bahwa alam raya (makrokosmos) terdiri atas tiga bagian (lapisan),
yaitu benua atas, benua tengah, dan benua bawah. Pusat ketiga
benua tersebut adalah benua atas, tampat bersemayamnya Dewa
PatotoE. Salah satu cerminan dari pandangan makrokosmos
tersebut adalah bentuk rumah panggung (rumah di atas tiang) yang
terdiri atas tiga tingkat, yaitu tingkat atas, tengah, dan bawah
(Hamid, 2008: 59) dengan fungsinya masing-masing.
5. Pemeliharaan Lingkungan
Pada cerita La Galigo dijelaskan tentang pentingnya manusia
melestarikan alam. Lingkungan dijaga untuk menjaga kestabilan
dan keharmonisan hidup menusia. Perintah dan ajaran itulah yang
harus dipahami oleh manusia agar hidupnya tentram dan harmonis.
Dalam cerita La Galigo diungkapkan mengenai tata cara
pengelolaan alam dan lingkungan sekitar melalui tanda-tanda
alam. Tanpa pemahaman tersebut, manusia akan mudah tertimpa
bencana alam, sehingga tanda alam merupakan pedoman bagi

7
manusia dalam beradaptasi dengan alam. Pemahaman tersebut
dibukukan oleh orang Sulawesi Selatan yang disebut lontarak
kutika (Bugis dan Makassar), berisi tentang tanda-tanda alam,
cara-cara memahami tanda dan cara mengatasinya.
6. Saling menghargai
Sipakatau (Bugis-Makassar), sipamandar (Mandar), Sipakaele
(Toraja) berarti saling menghargai sesama manusia. Dalam
interaksi sosial nilai sipakatau mengharuskan seseorang untuk
memperlakukan orang lain sebagai manusia dan menghargai hak-
haknya. Perilaku sipakatau yang paling tinggi adalah berupaya
memanusiakan orang yang telah terjerumus menjadi rapangrapang
tau (bukan manusia). Perwujudan nilai dasar sipakatau dikenal
dengan sipakaingek, siparengerangi (saling mengingatkan),
sipangajari (saling menasehati), dan sipaitai (saling memberikan
petunjuk). Selain itu dalam interaksi sosial dikenal istilah
sipakalebbi (saling memuliakan) dan siamasei (saling mengasihi).

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kitab epos atau mitos La Galigo merupakan salah satu rujukan tertulis
nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat Sulawesi
Selatan, yang telah memberikan gambaran tentang masa lampau orang Bugis
sebelum abad ke-14. La Galigo merupakan tradisi lisan masyarakat Sulawesi
Selatan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Cerita La Galigo yang
tersebar di Sulawesi Selatan didominasi oleh tokoh bernama Sawerigading,
manusia keturunan Dewa sekaligus ayah dari I La Galigo. Sawerigading
dianggap sebagai peletak dasar munculnya kerajaan di Sulawesi Selatan
sehingga selain dilisankan, ia juga dikaitkan dengan simbol-simbol mitologis
setiap kerajaan. Oleh karenanya Sawerigading dianggap sebagai tokoh
pemersatu di Sulawesi Selatan. I La Galigo sendiri merupakan nama seorang
putera dari pernikahan Sawerigading Opunna Ware dengan puteri We Cudai
Daeng ri Sompa.
Beberapa nilai-nilai La Galigo yang masih relevan dengan kehidupan
saat ini dan terkadang terdapat nilai yang telah berubah dan tidak sesuai
dengan nilai aslinya yaitu siri’ dan pesse’, sumangeq dan inninawa, sistem
kepercayaan yang mengarah kepada Dewa Tunggal, yang bernama Patoto’e
(Dia yang menentukan nasib). Selain itu ada terdapat pula nilai budaya pada
arsitektur rumah panggung, pemeliharaan lingkungan dan sikap saling
menghargai.

9
DAFTAR PUSTAKA

Handayani, Irda. 2015. Nilai-Nilai Kesetaraan Gender dalam Naskah Lagaligo (Studi
Naskah Lontara Bugis Luwu dan Hukum Islam). Makassar, UIN Alauddin Makassar.

Perdana, Andini. 2019. Naskah La Galigo: Identitas Budaya Sulawesi Selatan di


Museum La Galigo. Makassar, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.

10

Anda mungkin juga menyukai