Anda di halaman 1dari 110

Tiga dari Galigo 

Tiga dari Galigo

Drs. H. Mumammad Salim

Yayasan Bali Purnati


Pemerintah Kota Makassar
 Drs. H. Muhammad Salim

Tiga dari Galigo


Drs. H. Muhammad Salim

© Drs. H. Muhammad Salim

Penyunting: Yusi Avianto Pareanom


Cover: Tim Banana

Cetakan pertama, April 2011

Buku ini terbit berkat kerjasama Pemerintah Kota Makassar dan


Yayasan Bali Purnati

Yayasan Bali Purnati


Jalan Gunung Abang, Br. Penataran, Negara Batuan, Sukawati, Gianyar, Bali.
Phone + 62.361.294590 Fax + 62.361.294591
Email: info@balipurnati.com | http://www.balipurnati.com

104 hlm, 14.5 x 21 cm


ISBN: 978-979-1079-24-2
Tiga dari Galigo 

Drs. H. Muhammad Salim


4 Mei 1936 – 27 Maret 2011
 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 

Sambutan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

Saya menyampaikan penghargaan kepada almarhum Saudara Drs. H.


Muhammad Salim atas prakarsanya menyusun dan menerbitkan buku Tiga
dari Galigo. Melalui buku ini, saya berharap makin banyak masyarakat yang
mengenal dan memberi perhatian kembali kepada Sureq Galigo. Seperti kita
ketahui, naskah Bugis Kuno ini sudah diakui sebagai salah satu karya sastra
terpanjang di dunia. Isinya pun penuh dengan ajaran luhur, kearifan, dan
keindahan.
Saudara H. Muhammad Salim telah membaktikan hidupnya merawat,
mengembangkan, dan menyebarkan Sureq Galigo kepada masyarakat. Ia
juga berperan penting dalam produksi teater inernasional I La Galigo
sehingga nama karya ini makin mendunia. Sayang sekali ia tak sempat
melihat langsung penerbitan buku ini. Kepulangan Bapak Muhammad
Salim akan menjadi lecutan bagi kita semua untuk meneruskan apa yang
sudah ia kerjakan selama ini. Semoga pula buku ini menjadi pendorong
makin banyaknya penerbitan buku-buku serupa yang mengangkat
kekayaan budaya Indonesia.
Akhir kata, saya menucapkan selamat atas diterbitkannya Tiga dari
Galigo, semoga memberi dampak positif bagi bangsa dan negara Indonesia
yang kita cintai.

Jakarta, 10 April 2011

Jero Wacik
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 

Selamat Jalan Mahaguru

Buku Tiga dari Galigo hadir pada saat yang luar biasa. Sebelum
pementasan Teater I La Galigo di Benteng Rotterdam, Makassar, pada
23-24 April 2011, dan setelah berpulangnya Drs. H. Muhammad
Salim pada 27 Maret 2011 yang lalu. Kita benar-benar kehilangan
beliau, seorang maestro kesusastraan Bugis yang sumbangsihnya
kepada kesusastraan dunia tak perlu diragukan lagi.
Pak Salim adalah perpustakaan berjalan untuk Sureq Galigo.
Kerja keras, pengabdian, dan kecintaannya sepanjang hidup kepada
naskah-naskah kuno Sulawesi Selatan layak diteladani dan menjadi
inspirasi.
Sekalipun semasa hidupnya Pak Salim tak sempat melihat
seluruh karyanya diterbitkan, semoga Tiga dari Galigo ini mengawali
bangkitnya minat masyarakat yang lebih luas kepada Sureq Galigo
dan kekayaan budaya nasional lainnya. Selamat jalan Mahaguru,
kami akan merawat dan mengembangkan warisanmu.

31 Maret 2011

Ilham Arief Sirajuddin


Walikota Makassar
 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 

Daftar Isi

Sambutan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 5

Sambutan Walikota Makassar 7

1. Sawérigading dalam Sureq Galigo 11

2. Nilai-nilai Pengembaraan Sawérigading yang 37


Termaktub dalam Sureq Galigo

3. Karena I Wé Cudai Magaligali Parukkuseng 75


Maka Namaku I La Galigo
10 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 11

1
Sawérigading dalam
12 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 13

Pendahuluan

Sureq Galigo
Daerah Bugis di Sulawesi Selatan dikenal memiliki aneka ragam
nilai budaya dan adat istiadat. Meskipun kekayaan itu telah digali
oleh beberapa ahli, masih banyak yang belum terungkapkan. Di
sinilah dirasakan perlunya peneliti-peneliti yang mampu menggali
lebih jauh. Dengan demikian akan dapat lebih dikenal wajah dan
watak orang Bugis, khususnya yang ada di Sulawesi Selatan.
Salah satu di antara nilai budaya spesifik orang Bugis yang
dapat dipergunakan melacak khasanah budaya zaman lampau ialah
naskah tua, yaitu Sureq Galigo (Sureq Salleyang) dan Lontarak. Yang
akan kita percakapkan dalam buku ini ialah Galigo karena naskah
inilah yang paling banyak menyebut nama Sawérigading.
14 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 15

Sureq Galigo

1. Sureq Galigo di daerah Bugis

Bagi orang Bugis, sureq-sureq Galigo mempunyai banyak


fungsi.

a. Sebagai bacaan hiburan


Seorang perempuan tua suatu kali datang membaca
Sureq Galigo di rumah kami. Dia membaca sejak pukul delapan
sampai dua belas malam tanpa istirahat ataupun meninggalkan
tempat duduknya. Dia membaca berlagu sambil melenggak-
lenggokkan badannya. Setelah ia selesai, kami menanyakan apa
daya tarik yang menyebabkannya bisa asyik membaca seperti
itu. Spontan dia menjawab bahwa kalau membaca Sureq Galigo
itu sama halnya dengan menonton film India. Salah seorang
kawan yang lain juga pernah menjelaskan kepada kami bahwa
buku Galigo itu penyajian ceritanya sama dengan komik
sehingga sangat menghibur pembacanya.

b. Sebagai buku bacaan upacara


Masih ada beberapa kelompok masyarakat di daerah Wajo
16 Drs. H. Muhammad Salim

yang mengadakan pembacaan Sureq Galigo pada waktu malam


upacara perkawinan. Sureq ini dibaca secara bergiliran seperti
halnya Barzanji. Bedanya, jika Barzanji dibaca secara bergilir
dan bersambung oleh pembaca khusus, Sureq Galigo dibaca
bergilir oleh laki-laki maupun perempuan baik, tua dan muda,
sambil berselle (dilagukan). Biasanya, setiap orang membaca
buku bawaannya sendiri sehingga begitu mereka dapat lancar
membacanya. Cara melagu yang terkenal adalah cara orang
Wajo yang disebut Laowang To Wajo.

c. Sebagai buku mitos tuntunan hidup


Sekelompok masyarakat di daerah Sidenreng Rappang
masih menganut kepercayaan tradisi leluhur. Kelompok
masyarakat ini disebut Towani Tolotang. Mereka meyakini
bahwa Sawérigading adalah cucu Patotoé (penguasa segala-
galanya di atas dunia ini). Ajaran Sawérigading yang diwarisi
oleh Patotoé dilanjutkan oleh La Panaungi (leluhur masyarakat
Towani Tolotang). Sureq Galigo yang memuat mitos Sawérigading
adalah kitab mulia sumber tuntunan hidup bagi orang Towani
Tolotang sehingga membacanya—disertai pembakaran dupa—
menjadi salah satu unsur pengabdian.

2. Sureq Galigo sebagai naskah tua

Di daerah Bugis masih banyak didapati naskah Galigo di tengah-


tengah masyarakat. Ada yang disimpan hanya sebagai warisan atau
dianggap barang antik, ada pula yang selalu dibaca pemiliknya dan
ditukarpinjamkan kepada orang lain. Bentuk dan isi naskah-naskah
ini juga berbeda-beda.

a. Sebagai naskah tua


Sebelum Perang Dunia II, Sureq Galigo banyak tersebar
dan dimiliki oleh masyarakat. Karena banyak diperjualbelikan
di kampung-kampung, penulisan dan penyalinan merupakan
Tiga dari Galigo 17

sumber mata pencaharian pada waktu itu. Pada umumnya tulisan


yang didapat belum begitu teratur dan masih sederhana karena
kebanyakan penulisnya tak memiliki pendidikan formal.
Setelah Perang Dunia II, penulisan berkurang karena di
samping sempat menghilangnya kertas di peredaran, pengajaran
huruf lontarak di sekolah pun tidak digalakkan lagi. Maraknya
kekacauan-kekacauan gerombolan di pedalaman pada 1950-an
menjadikan banyak naskah Sureq Galigo tidak sempurna lagi.

b. Sebagai naskah salinan


Di perpustakaan Yayasan Kebudayaan masih terdapat
sepuluh koleksi naskah salinan Galigo yang pernah dibuat atas
pesanan pemerintah Belanda sekitar 1934. Hurufnya bagus,
sudah teratur, dan mudah dibaca. Di perpustakaan ini juga ada
transkrip seribu halaman transliterasi dan terjemahan naskah
Galigo yang didapatkan melalui proyek Pemda Provinsi Sulawesi
Selatan sejak 1983 dan proyek sejenis oleh perguruan tinggi.

c. Tereng (jilid) naskah Galigo di tengah-tengah


masyarakat
Naskah-naskah Galigo yang ada di Sulawesi Selatan terdiri
atas sejumlah jilid atau juz. Drs. M. Johan Nyompa menyebut
dalam bukunya bahwa naskah Galigo di negeri Belanda (Catalogus
I La Galigo) terdiri atas tiga puluh enam jilid. Beliau menyebutkan
satu persatu nama tema tiap jilid itu. Di daerah Bugis tema jilid-
jilid itu disebut tereng. Yang terkenal antara lain adalah Tereng
Mula Tauwe, Tereng Riulona Batara Guru, Tereng Ritebbana
Walenrengnge, Tereng Sompe’na Sawérigading Lao ri Cina, Tereng
Jajinna I La Galigo, dan Tereng Ripaléténa Ipinrakati.
Aneka ragam Sureq Galigo yang disebutkan di atas
merupakan bacaan orang Bugis sejak dulu. Hanya saja, pada
saat ini peminatnya sudah menurun. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti naskah sudah tua dan tidak sempurna,
bahasanya klasik sedangkan bahasa daerah yang hurufnya
18 Drs. H. Muhammad Salim

lontarak tidak lagi menjadi mata pelajaran pokok di sekolah,


di samping banyaknya buku bacaan lain yang lebih menarik
minat masyarakat.
3. Isi Sureq Galigo

Isi Sureq Galigo yang berjilid-jilid itu meriwayatkan keadaan


perkembangan kehidupan nenek Sawérigading sampai kepada cucu-
cucunya.

a. Sawérigading dan keluarganya


Yang dimaksud dengan keluarga di sini adalah semua
keturunan dan sepupu Patotoé, baik yang ada di Boting Langi,
di muka bumi, maupun di Pérétiwi (dunia bawah). Mereka
adalah pelaku dalam mitos Galigo.
Nama-nama tokoh dalam buku Galigo banyak sekali.
Hanya saja, perlu diketahui bahwa satu orang kadang bisa
memiliki beberapa nama karena nama-nama yang berbeda ini
berfungsi sebagai nama khusus, gelar, atau panggilan. Dalam
Sureq Galigo, dijelaskan perbedaan nama-nama itu (assena,
patellarenna, pappasawena). Ada kalanya pula nama itu hanya
dipakai pada suatu daerah atau masa.

Contoh:
Patotoé
Lapatigana asena Datu Patoto pattellarena Sangku
Ruwira Tuppue Batu Riwiring Langi pappasawena. (Lapatigana
namanya Datu Patoto, Sangkuru Wira Tuppue Batu gelarnya,
Riwiring Langi panggilannya). Biasanya disingkat Lapatigana
Datu Patoto Sangkuruwira Tuppue Batu Riwiring Langi biasa
juga disebut Topalanroe, Batara Unru, Paddampu Rampue,
atau Datu Dewata.

Sawérigading
Dinamai juga Toapanyompa, Lamaddukelleng,
Tiga dari Galigo 19

Dukelleng, Lawe, Langi Paewang, Pamadeng Lette, Latappu,


Sawe Risompa, Lapura Elo, Laoro Kelling, Ladatu Lolo, Lateri
Tappu, dan Opunna Warek.
Datu Patoto bersaudara dengan Sinaung Toja. Daru Patoto
memperistri Datu Palinge, sedangkan Guru Riselleng yang
bersaudara kandung dengan Datu Palinge memperistri Sinaung
Toja. Datu Patoto berkedudukan di Boting Langi sedang Sinaung
Toja berkedudukan di Pérétiwi (dunia bawah). Penghuni Boting
Langi disebut dewa sedang penghuni Pérétiwi disebut sangiang.
Penghuni Boting Langi yang diturunkan ke bumi untuk
memerintah disebut tomanurung sementara penghuni Pérétiwi
yang dimunculkan ke bumi untuk menjadi raja disebut totompo.
Menurut cerita, pada zaman dahulu ada tiga tempat yang
ditempati tomanurung yaitu Luwu, Tompo Tikka, dan Gima.
Sesudah itu bermunculanlah tomanurung-tomanurung lain
yang tidak resmi. Jika Tomanurung yang resmi turun ke bumi,
akan muncul petir, guntur, dan kilat yang bersambung dan
berbalasan.
Keturunan tomanurung yang masih belum berdarah
campuran disebut maddara takku (berdarah putih/murni).
Nilai kebangsawanan setiap tomanurung tidak sama. Yang
turun di Luwu dan Topo Tikka nilainya tinggi, keramat, dan
dimuliakan sehingga para tomanurung lain harus tunduk di
bawah perintahnya.
Sebelum Datu Patoto memerintahkan anak sulungnya
yang bernama Batara Guru menjadi tomanurung, Bumi
masih kosong. Hal ini diketahui oleh Datu Patoto melalui
laporan abdinya empat bersaudara yang bernama Rukelleng
Poba, Ruma Makompong, Sangian Paju, dan Balasa Riwu.
Setelah mendengar ucapan Rukelleng Poba, Datu Patoto
mengadakan musyawarah untuk memilih salah seorang dari
sembilan anaknya yang masing-masing bernama Latoge Langi
Batara Guru, Lamega Aji, Aji Palallo, Aji Palureng, Aji Tellino,
Sangian Kapa, Dettia Unru, Aji Pawewang dan Batara Unru
20 Drs. H. Muhammad Salim

Aji Mangkau.
Akhirnya, diputuskan Latoge Langi Batara Guru yang
diturunkan. Menyusul akan diturunkan pula pendamping
perempuan yang bernama Welele Ellung, Wesaung Riwu, dan
Aoung Talaga yang kelak menjadi selir-selirnya. Diturunkan
pula inang pengasuh yang bernama Talaga Unru dan Welom
Pabare. Bissu Puang Rilaelae ditempatkan di lereng Gunung
Latimojong, sementara I Wéasalareng dan Weampalangi
di Letenriwu. Diberikan pula kepada Batara Guru tujuh oro
(orang berkulit hitam legam) beserta kapaknya, istana yang
lengkap dengan peralatannya, serta para pelayan.
Batara Guru tinggal tentram di dalam istananya. Para
selirnya sudah melahirkan beberapa anak. Kelak anak-anak dan
turunannya inilah yang menjadi tulang punggung Sawérigading
dalam kehidupannya. Batara Guru kemudian mempunyai
permaisuri bernama Wé Nyilik Timo yang melahirkan anak
laki-laki bernama Batara Lettu, atau lengkapnya Batara Lettu
Ri Yale Luwu I Latiwuleng Ri Watampare.
Setelah Batara Guru turun dari Boting Langi, turun pula
Laurumpessi (anak Lamakkarodda/Wemallagenni) dan Wé
Padauleng (anak Sangka Malewa/ Wemaragellung). Keduanya
hidup sebagai suami istri dan menjadi manurungnge di Tompo
Tikka. Pasangan ini kemudian mempunyai kembar perak yang
bernama Wé Datu Sengngeng dan Wé Adi Luwu. Kembar
perak ini sempat menjadi kembar tiga di dalam rahim Wé
Padauleng. Hal ini terjadi karena Laurumpessi memungut
dan memasukkan janin Wé Tenriabang ke rahim istrinya saat
Wé Tenriabang dan plasentanya sedang meninggalkan balubu
ibunya menuju pemmassareng (alam arwah). Tapi, akhirnya
tidak jadi lahir kembar tiga karena sebelum lahir janin Wé
Tenriabang kemudian diberikan kepada saudaranya bernama
Sekkajo Tikka karena sudah lama tidak mempunyai anak.
Meskipun demikian, Wé Tenriabang tetap dianggap sebagai
anak kandung oleh Wé Padauleng.
Tiga dari Galigo 21

Kelahiran Wé Datu Sengngeng dan Wé Adi Luwu


menggembirakan kedua orang tuanya. Oleh karena itu,
Laurumpessi dan Wé Padauleng kemudian mengadakan upacara
besar sebagaimana yang sudah diadatkan bagi bayi keturunan
tomanurung. Namun, setelah pesta pasangan Laurumpessi dan
Wé Padauleng meninggal dunia karena hukuman Patotoé.
Mereka dianggap telah melampaui batas, membuang semua
persediaan makanan yang diperuntukkan bagi tamu yang tidak
datang.
Selanjutnya, Wé Adi Luwu diperistri oleh I Laji Ruwu
sedangkan Datu Sengngeng diperistri oleh Batara Lettu.
Perkawinan Datu Sengngeng dan Batara Lettu kemudian
melahirkan kembar emas, yang laki-laki diberi nama
Sawérigading dan yang perempuan dinamai Wé Tenriabeng.
Tersebutlah dalam beberapa cerita rakyat bahwa bagi
orang Bugis kembar emas merupakan sesuatu yang keramat
sehingga kedua bayi harus dipisahkan, bahkan kalau perlu
salah satunya harus dibuang. Demikian pula yang terjadi pada
Sawérigading dan Wé Tenriabeng. Setelah lahir keduanya
dipisahkan meskipun akhirnya tetap besar dalam satu istana.

b. Sawérigading mencari Wé Tenri Rawe


Pada suatu waktu di Tompo Tikka terjadi keresahan
karena anak Wé Adi Luwu yang bernama Pallawa Gau ingin
mengawini saudara kandungnya yang bernama Wé Tenri
Rawe. Hal yang demikian ini tidak boleh dilaksanakan karena
merupakan pantangan tanah dan sumber malapetaka kerajaan.
Musyawarah digelar, hasilnya Wé Tenri Rawe harus dibuang.
Setelah Sawérigading mengetahui kabar sepupu
sekalinya itu, dengan segera ia berlayar mengikuti Wé Tenri
Rawe. Namun, karena tak mengerti tempat pembuangan,
Sawérigading mesti bertanya sebelum akhirnya mendapatkan
keterangan bahwa Wé Tenri Rawe berada di Negeri Wadeng.
Di pelabuhan Negeri Wadeng, Sawérigading dijemput oleh
22 Drs. H. Muhammad Salim

Wé Tenri Rawe dan suaminya, Latenripeppang, Raja Negeri


Wadeng. Latenripeppang sedemikian cinta kepada Wé Tenri
Rawe sehingga sembilan puluh sembilan istrinya yang lain
ia ceraikan semua. Pada kesempatan itu, Wé Tenri Rawe
menyampaikan kepada Sawérigading bahwa keinginan
sepupunya itu memperistrinya tidak mungkin ia kabulkan
karena statusnya, apalagi ia juga sudah melahirkan anak laki-
laki. Sawérigading kemudian mengharap agar anak itu diberi
nama Lamappanyompa.

c. Sawérigading ingin mengawini saudaranya


Sawérigading menanyakan kepada orang tuanya
tentang saudara kembarnya. Akhirnya dia menemukan Wé
Tenriabeng duduk diapit oleh dayang-dayang dan pelayan
istana. Kecantikan adiknya membuat Sawérigading mabuk
kepayang dan ingin mengawininya. Orang tuanya terkejut
dan menasihatinya mengurungkan niatnya karena merupakan
pantangan tanah dan sumber malapetaka kerajaan. Sembilan
hari sembilan malam Sawérigading membungkus diri, kaki
sampai kepala tertutup rapat, dan terus-menerus mencucurkan air
mata memikirkan nasibnya.
Wé Tenriabeng sendiri datang membujuk saudaranya
dengan perkataan yang lemah lembut. Namun, Sawérigading
tetap meminta kepada Wé Tenriabeng agar mengabulkan
permintaannya, tidak usah mempedulikan apakah hal itu
merupakan pantangan. Ia ingin pantangan itu dilanggar sekalipun
orang Ware dan Luwu tidak menyetujuinya. Sawérigading berjanji
akan membuatkan istana seratus petak, membawanya ke Wadeng
Tompo Tikka, Gima, Pujananti, atau sekaligus ke Boting Langi.
Wé Tenriabeng menjawab bahwa perkataan yang
demikian jangan diulang karena merupakan pamali tanah
pantangan negeri, Sang Hiyang Sri (tanaman padi) tak akan
menjadi sehingga tak ada yang bisa dimakan.Bahkan semua
penghuni kolong langit dan makhluk bumi juga menista
Tiga dari Galigo 23

perkawinan antara dua orang bersaudara.


Wé Tenriabeng juga memberitahukan bahwa jika hanya
bentuk tubuhnya yang selalu dikenang, wajahnya yang
diingini, di Cina ada seorang bangsawan tinggi yang bernama
I Wé Cudai, panggilannya Daéng Risompa, yang mewarisi
payung kebesaran. Bentuk tubuhnya persis sama, saat berdiri
sama tinggi, kala duduk sama rendah. Lebih baik itulah yang
dilamar. Agar kakak kembarnya tak ragu bisa membawa
pulang I Wé Cudai, Wé Tenriabeng membekalinya sebuah
gelang dan cincin. Kata Wé Tenriabeng, kalau kemudian I Wé
Cudai tidak berkenan di hati Sawérigading, kakaknya itu boleh
segera kembali ke Luwu: pantangan tanah, pemali Luwu, adat
istiadat istana tidak usah dihiraukan lagi.

d. Ditebangnya pohon Welenreng


Pelayaran ke Cina memerlukan perahu besar sementara
di Luwu tak ada perahu yang seperti itu. Satu-satunya yang
bisa dipakai membuat perahu yang besar dan sempurna adalah
pohon Welenreng yang tegak berdiri di Possi Tana. Lingkaran
batang pohon ini tujuh ribu depa, tingginya tiga ribu depa, dan
puncaknya dapat dilihat dari Jawa.
Dengan gembira Sawérigading bersama rombongannya
menuju hutan Mangkuttu tempat pohon Welenreng. Sebelum
penebangan, upacara adat pun dilakukan oleh para dukun dari
Luwu, Ware, Latimojong, dan Coppo Melu. Air suci dipercikkan,
obor dinyalakan, sirih lelat dihamburkan bersama bertihnya,
aneka ragam bunyi-bunyian dimunculkan mengiringi doa dan
mantra. Genderang dipukul dan orang-orang pun menari. Orang
Buleng meniup serulingnya mengiringi lagu-lagu keramat yang
dinyanyikan.
Penebangan pun dimulai. Dengan segera tukang tebang
melingkari batang Welenreng sambil mengayunkan kapak
tajam mereka. Tapi, kulit Welenreng tidak mempan dimakan
kapak, bahkan tergores pun tidak. Mata kapak para tukang
24 Drs. H. Muhammad Salim

pecah, tangkai mereka patah, dan tangan penebang kesakitan.


Wé Tenriabeng segera mengirim kapak manurung dari
Boting Langi setelah mengetahui hal itu. Kapak ini hanya bisa
dipakai oleh keturunan Boting Langi atau Pérétiwi. Setelah kapak
sakti tiba, upacara baru pun digelar sebagaimana mestinya. La
Pananrang dan La Pangoriseng kemudian memegang kapak
dan memulai menebang pohon itu. Kapak sakti ini membuat
pohon raksasa itu bagaikan batang pisang saja. Setelah mereka
berdua, raja-raja yang lain bergantian memakainya. Setelah
tiga hari penebangan, tumbanglah pohon besar itu. Sedemikian
besarnya pohon itu sehingga sebuah gunung terpotong dua
karena tertimpa beratnya sementara beberapa kampung
tenggelam oleh pecahnya ribuan telur burung yang bersarang
di pohon ini.
Selain menimbulkan ketakutan kepada penghuni hutan,
gemuruh tumbang pohon Welenreng juga terdengar di Boting
Langi dan Pérétiwi. Dahannya yang patah beterbangan di
pinggir langit, salah satu dahannya jatuh masuk ke Istana Raja
Cina dan mengejutkan penghuninya. Raja Cina memanggil
dukun untuk menerka maknanya. Dukun berkata bahwa dahan
itu berasal dari pohon besar yang sekarang sudah ditebang
untuk dijadikan perahu yang akan dipakai berlayar melamar
I Wé Cudai.
Sementara itu, tanpa dinyana pohon Welenreng yang telah
berhasil ditebang meluncur masuk ke dalam laut. Semua orang
yang menyaksikan keheranan. Sawérigading hampir pingsan,
bahkan ia hendak bunuh diri karena harapannya melamar I
Wé Cudai tak ada lagi. Mengetahui hal ini, Batara Lettu segera
menyusul pohon Welenreng turun ke Pérétiwi. Sinaung Toja
memberitahu kepada Batara Lettu bahwa ia sendiri yang akan
menyelesaikan perahu itu karena tidak ada penghuni bumi yang
sanggup. Kelak, perahu akan dimunculkan ke atas air lengkap
dengan segala isi dan pengiringnya. Sawérigading yang bersedih
pun menjadi gembira sekali mendengar berita ini.
Tiga dari Galigo 25

Pada suatu hari, tiba-tiba langit gelap gulita, kilat


sambung-menyambung, petir dan guntur bersahutan, orang
terkejut semuanya. Setelah reda, terlihalah tujuh buah perahu
berjejer di pelabuhan lengkap dengan segala peralatannya. Yang
besar bernama La Welenreng sedang pengiringnya yang enam
buah bernama Rakka-rakkae, Bonanongnge, Lasarampekke,
La Siang Langi, Lapalutturi Liweng ri Cina dan Angin Laloe.

e. Sawérigading berlayar ke Cina


Setelah lengkap bekal pelayaran, hari baik keberangkatan
pun mulai dicari. Dukun menjelaskan kalau berangkat hari
Ahad, hari kesepuluh bulan itu, Sawérigading akan sampai di
Tana Ugi dengan selamat tak kurang sesuatu apa, lamaran akan
diterima dengan baik tetapi biasanya ada korban. Kalau berangkat
hari Rabu, hari ketujuh, Sawérigading akan menghadapi
musuh sebanyak tujuh kali tetapi ia akan memenangkan semua
pertempuran, sementara itu lamaran akan diterima tetapi
ditolak kembali sehingga timbul perang yang akan dimenangi
Sawérigading. Selain itu, Sawérigading akan mendapatkan
seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan.
Sawérigading memilih yang kedua. Sebelum berangkat,
ia bersumpah bahwa ia tidak akan kembali ke Luwu. Jika ia
melanggar, ia dan keturunannya akan hancur, padam bak
pelita, dan pecah berantakan bagai tungku tanah. Kedua orang
tuanya dan para pengiring dan yang mendengar menangis
semuanya.
Setelah beberapa hari berlayar ke Cina, Sawérigading
dicegat bajak laut Bannyak Paguling dari Mancapai. Untuk
menghindari peperangan, Sawérigading menawari perompak itu
apa saja yang ia minta atau mengadu ayam. Namun, Bannyak
Paguling hanya mengingini perang. Perang pun berkecamuk.
Panrita Ugi akhirnya berhasil menombak pinggang Bannyak
Paguling. Kepala bajak laut itu kemudian dipenggal dan
dijadikan hiasan perahu di geladak La Welenreng. Pasukan
26 Drs. H. Muhammad Salim

Sawérigading yang mati dihidupkan kembali.


Setelah dua puluh hari berlayar, rombongan ini bertemu
dengan bajak laut La Tuppu Solo yang orang tuanya (La Daéng
Lebbi) dahulu pernah bersumpah sewaktu kalah perang bahwa
tidak akan melawan lagi keturunan Patotoé. Sumpahnya,
keturunannya akan pupus laksana unggun api dan padam
seperti pelita jika melawan raja dari Luwu. Sekalipun sudah
diingatkan, La Tuppu Solo tidak hirau dan bahkan mulai
mengangkat senjata. Akhirnya, Lamassaguni menombak dada
La Tuppu Solo dan kemudian memotong kepalanya dijadikan
hiasan perahu.
Pada suatu malam, rombongan Sawérigading bertemu
lagi dengan pasukan bajak laut, kali ini pimpinan La Tuppu
Gellang Jawa Riaja. Dalam peperangan ini Lamassaguni dapat
membunuhnya, sedang Toapemanu memotong kepalanya.
Rombongan bajak laut keempat ialah pasukan La Toge Tana
yang dibunuh oleh Lamassaguni. Semua perahu bajak laut yang
dikalahkan menjadi milik Sawérigading. Bajak laut kelima yang
dihadapi ialah kelompok La Tenripula. Pasukan La Tenripula
pun dapat dikalahkan dengan mudah sedangkan si kepala
lanun dibunuh oleh Toappemanu.
Pada malam keenam puluh lima, mereka bertemu lagi
dengan bajak laut, kali ini La Tenrinyiwi Langi Risonmpa.
Sebelum berperang, mereka menyabung ayam. Namun, setelah
ayamnya tewas, La Tenrinyiwi membunuh ayam Toappemanu
sehingga yang bersangkutan sangat marah. La Tenrinyiwi
dilempar bangkai ayam. Peperangan tidak dapat dihindarkan.
Perang hebat berkecamuk selama tujuh hari tujuh malam. La
Tenrinyiwi memerintahkan Mita Ri Lau pergi meminta bantuan
kepada Sangiang Kiki. Bantuan dari Datu Pakiki berhasil
menenggelamkan beberapa perahu rombongan La Welenreng.
Sawérigading lalu mengirim berita kepada Wé Tenriabeng
di Boting Langi agar turut memberikan bantuan. Pada mulanya
pasukan Remmang dari Boting Langi sempat mundur terdesak
Tiga dari Galigo 27

oleh pasukan Tenrinyiwi, tapi setelah Remmang Rilangi


menebarkan jelatang (penyebab gatal-gatal), pasukan La
Tenrinyiwi pun tak kuasa mengayunkan senjata lagi. Akhirnya,
La Pananrang dengan mudah dapat membunuh La Tenrinyiwi,
dan seperti biasa kepala perompak yang ini pun dijadikan hiasan
sementara badannya dibuang ke laut.
Pasukan Sawérigading yang tewas dikumpulkan semua.
Mereka kemudian didupai, dimantrai, dan diperintahkan
bangun semua. Serentak mereka hidup dan bangun mencari
senjata dan musuh. Namun, setelah mengetahui musuh sudah
kalah semua, mereka bersorak-sorak kegembiraan. Pasukan
bantuan dari Boting Langi pimpinan Remmang Rilangi pun
minta izin pulang.
Lima belas hari pelayaran sesudahnya, Sawérigading
bertemu dengan pasukan Settia Bonga (tunangan I Wé Cudai)
yang dapat diperdayai, seolah-olah Sawérigading sudah diterima
lamarannya oleh I Wé Cudai sementara pertunang Settia
Bonga sendiri sudah dibatalkan. Setelah tiga hari berperang,
Settia Bonga menyerah dan bersumpah tidak akan berperang
lagi dengan keturunan Opunna Luwu. Ia juga menyerahkan
orang kepercayaannya yang bernama La Bolongtiu agar kelak
menjadi bukti di Cina bahwa Settia Bonga telah ditundukkan
oleh Sawérigading.
Dalam pelayaran berikutnya, iring-iringan perahu
singgah di Tana Tekko yang berada di wilayah Kerajaan Tejjo
Risompa, sepupu sekali Wé Nyilik Timo (istri Batara Guru).
Sambil membuang ingusnya, Sawérigading menceritakan
bahwa pelayarannya sesungguhnya terjadi karena kebodohan
perasaan dan keinginan hatinya. Sebagai kembar emas, ia sampai
hati mencintai adik perempuannya sekalipun ditentang orang
tuanya dan rakyat Luwu serta Warek. Itulah sebabnya ia marah
membuang diri dan ingin melamar I Wé Cudai di negeri Cina.
Tejjo Risompa menyatakan bahwa mengawini saudara
sekandung memang pantangan. Andaikata lamaran
28 Drs. H. Muhammad Salim

Sawérigading diterima oleh I Wé Cudai, Tejjo Risompa sendiri


yang akan menanggung maharnya sekalipun mahar itu
sebanyak angkutan selama tiga atau lima bulan.
Sawérigading melanjutkan pelayaran sampai berlabuh di
negeri Cina. Untuk melihat wajah I Wé Cudai, ia menyamar
sebagai oro (orang berkulit hitam legam) penjaja. Apa yang
pernah disampaikan oleh Wé Tenriabeng mengenai I Wé Cudai
tepat semuanya. Baik perawakan, kecantikan, maupun jenis
perhiasan yang dikenakannya.

f. Sawérigading mengajukan lamaran


Pada suatu hari La Pananrang dan Lamassaguni
diperintahkan oleh Sawérigading pergi melamar I Wé Cudai
dengan pesan bahwa apa saja persyaratan yang diminta akan ia
penuhi semua.
Utusan menyampaikan lamaran dengan ucapan:

“Iyaro mai dattuna Cina, nasurowangnga datu anrikku


nalessorie pajumpulaweng ri watampare, mammana puwang anrikku
Sawérigading tappingi mula jajareng, pasessukiwi sompa toselli
jajareng pengeng masagaleé ri Latanété. Muakkamase garepong ratu
muppaddeppei datu anrikku murampeangngi pangngala tana ri ale
Cina. Ade pangngala lolangngenge ri Tana Ugi.”

Tujuan kedatangan kami, wahai Raja Cina, yakni harapan


dari adikku raja yang bertakhta di Watampare. Dengan penuh
harapan, wahai Tuanku, supaya adikku Sawérigading menempel
sebagai kuncup keluarga baru untuk mempersatukan jalinan yang
kuat dengan permata hati Istana Latanété ini. Dia mengharap belas
kasihan Tuan agar sudi kiranya menerima, ia menyanggupi mas
kawin yang sudah diadatkan di Cina serta menjadi kebiasaan di
lingkungan Tana Ugi.

Lamaran ini dijawab oleh I Da Palilu dan I Da Pasawe


Tiga dari Galigo 29

dengan perkataan bahwa yang mana yang diinginkan oleh


Sawérigading karena masih ada dua gadis di Istana Latanété
yang menunggu jodoh. La Pananrang membalas bahwa berapa
pun gadis yang menunggu jodoh di Cina, yang menjadi
tumpuan harapan pelayaran jauh ini tak lain hanyalah I Wé
Cudai Daéng Risompa Punna Bolae Ri Latanété.
Setelah melalui musyawarah yang panjang, I Da Palilu
dan I Da Pasawe berkata bahwa I Wé Cudai mempunyai seekor
kucing dan sebatang pohon asam. Sebanyak bulu kucing dan
daun pohon asam itulah jumlah mas kawin untuk I Wé Cudai
yang harus dibawa. La Pananrang dan Lamassaguni sangat
kaget mendengarnya. Untung La Sattumpogi, ayah I Wé Cudai,
menyampaikan bahwa omongan wanita jangan terlalu didengar.
La Tenripadang pun kemudian menjelaskan bahwa ketentuan
yang berlaku di Cina, adat kebiasaan di Tana Ugi, sompa atau
mahar harus diangkut selama tiga bulan terus-menerus kecuali
pada waktu malam. Andaikan lamaran dibatalkan oleh pihak
perempuan, harta itu akan dikembalikan kepada pihak laki-laki
dua pertiganya, dan andaikan pihak laki-laki yang membatalkan,
harta itu hanya akan kembali sepertiga.
Mendengar lamarannya diterima, Sawérigading dan
rombongan mengadakan pesta pora di pantai. Yang bertugas menjaga
perahu adalah Lagongkona, seorang juru batu yang berjanggut
tujuh depa panjangnya, bermuka satu hasta lebarnya sehingga jarak
antara kedua matanya satu jengkal, berbulu dada sangat bagaikan
hutan belantara, dan air liurnya sanggup memadamkan api.
Sewaktu pesta itu, seorang oro (orang berkulit hitam
legam) duduk di geladak dinaungi payung kerajaan. Oro
itu sedang digoda oleh teman-temannya. Kebetulan sekali
peristiwa ini dilihat oleh beberapa dayang-dayang I Wé Cudai
yang akan mandi di sungai.
Para dayang-dayang ini bersigegas kembali ke istana dan
ramai membicarakan bahwa calon suami I Wé Cudai hanya
demikian keadaannya. Begitu mendengarnya, I Wé Cudai
30 Drs. H. Muhammad Salim

segera membatalkan lamaran Sawérigading dan memerintahkan


pengembalian mahar. Ia tidak mau mendengar lagi nasihat
saudara-saudara dan orang tuanya.
Sawérigading yang terkejut dengan pembatalan kemudian
menjadi sangat marah setelah mengetahui bahwa mas kawin
yang dikembalikan masih jauh dari jumlah yang semestinya.
Sudah begitu, utusannya pun dimaki-maki pula dengan kata-
kata sangat kasar, seperti batang hidung Lamassaguni bakal
dijadikan tempat pelita dan kepala La Pananrang akan dijadikan
tempat duduk oleh ayah I Wé Cudai.
Maka perang hebat pun pecah. Akhirnya, saudara laki-laki
I Wé Cudai tewas semuanya, kerajaan Cina dibumihanguskan,
dan La Sattumpogi menyerah tanpa syarat. Ia memohon sekiranya
anak-anaknya yang mati dapat dihidupkan kembali. Bukan itu
saja. Sambil menunggu jawaban I Wé Cudai yang pikirannya
belum lurus kembali, ia menawari Sawérigading memperistri I
Wé Cimpau (salah seorang bangsawan putri Cina) terlebih dahulu.
Permintaan ini dikabulkan oleh Sawérigading. Perkawinan
Sawérigading dan I Wé Cimpau Datunna Lempa melahirkan
seorang anak perempuan yang bernama Wé Makkawaru.
Sementara itu, dengan bantuan Wé Tenri Abeng dari
Boting Langi, Sawérigading dapat mengunjungi I Wé Cudai
beberapa kali di tengah malam sekalipun I Wé Cudai tinggal
dalam bilik bersusun dan tidur dengan kelambu dan sarung
yang belapis-lapis. Hal ini dilakukan sampai lahirnya anak
pertama mereka yang bernama I La Galigo. Selama hubungan
yang sedemikian ini, I Wé Cudai belum pernah satu kali pun
melihat wajah Sawérigading.
Ketika I La Galigo lahir, ibunya ingin membuangnya
ke sungai karena tidak sudi melihat anak oro dari Luwu
menjadi penghuni Istana Latanété. Oleh karenanya, Sawérigading
membawanya ke Lempa untuk diasuh oleh I Wé Cimpau bersama
dengan kakaknya Wé Makkawaru. Setelah I La Galigo besar, ia
bersama ayahnya pergi menyabung ayam ke Cina dengan segala
Tiga dari Galigo 31

pakaian adat kebesaran dan pengiringnya. Pada acara sabung ayam


inilah I Wé Cudai baru mengetahui bagaimana wajah suaminya
dan keindahan paras wajah anaknya. Ia lalu menyuruh seorang
pelayan pergi membujuk I La Galigo naik ke istana dengan janji
akan diberi segala macam permainan anak-anak.

g. Sawérigading sebelum dan sesudah tinrellek (gaib)


Pada suatu waktu, I La Galigo diutus oleh ayahnya
mengambil ‘genderang manurung’. Karena menurut dukun,
penyakit Wé Tenridio tidak akan sembuh kalau tidak digelar
upacara adat dengan alat itu. Kedatangan I La Galigo di
Luwu menggembirakan kakek-nenek dan seluruh masyarakat.
Segala macam upacara dan kegiatan masyarakat yang tadinya
dibekukan karena kepergian Sawérigading dan Wé Tenriabeng
digelar kembali. Pelabuhan dibuka, masa berkabung dicabut,
dan sabung ayam pun ramai di mana-mana.
I La Galigo kembali ke Cina membawa alat-alat bissu
Wé Tenriabeng beserta genderang emasnya. Ia dipesan oleh
neneknya agar kembali ke Luwu beserta kedua orang tua dan
adik-adiknya setelah si sakit sembuh.
Pesan ini disampaikan I La Galigo kepada orang tuanya
setelah kembali ke Cina. Ketika Sawérigading berencana
pulang ke Luwu, kebetulan datang pula undangan dari Datu
Patoto untuk pesta agung yang akan diadakan di Luwu. Semua
keturunan Datu Patoto harus hadir, tidak ada yang boleh
mangkir. Yang abai akan dikutuk oleh Datu Patoto menerima
nasib “tidak akan dilalui nasi kerongkongannya”.
Wé Tenriabeng di Boting Langi bergembira karena ada
kesempatan dapat bertemu dengan seluruh keluarga dan
kemenakannya.
Sebelum waktu yang ditentukan, rombongan Sawérigading
dari Cina dan rombongan Wé Tenriabeng dari Boting Langi
tiba lebih awal. Segala macam adat dan punggawa kerajaan,
baik bissu dan peralatannya, maupun dayang-dayang dan inang
32 Drs. H. Muhammad Salim

pengasuhnya ikut serta semua.


Selanjutnya, pertemuan keluarga disertai upacara agung
yang digelar berkesan sekali bagi pengunjungnya. Dewa-dewa
dari Boting Langi, para sangiang dari Pérétiwi, dan raja-raja
di bumi turut menyabung ayam memeriahkan pesta besar ini.
Setelah acara selesai, tetamu pulang ke negeri mereka masing-
masing. Rombongan Sawérigading pun kembali ke Cina tanpa
perahu La Welenreng karena perahu ini sudah gaib di pelabuhan
akibat sumpah Sawérigading dahulu.
Tetamu yang masih bertahan di Luwu adalah dua
bersaudara Datu Patotoé dari Boting Langi dan Sinaung Toja
dari Pérétiwi. Keduanya bermusyawarah untuk menggaibkan
Sawérigading di tengah laut (ussu) dan ditempatkan di
Pérétiwi. Memang sudah menjadi ketentuan sejak Batara Guru
diturunkan ke Bumi bahwa apabila garisnya sudah sampai
mempunyai keturunan kedelapan, raja-raja keturunan Boting
Langi akan ditarik kembali dan kekuasaan diserahkan kepada
raja-raja tomanurung generasi kedua.
Setelah perahu Sawérigading gaib di laut, Sinaung Toja
membawa cicitnya itu ke Pérétiwi. Sawérigading tinggal menetap
di Pérétiwi sedang Wé Tenriabeng berada di Boting Langi (di lain
naskah sebaliknya), masing-masing mempunyai anak dua orang
lagi. Kedua-duanya dikawinkan dengan sepupu sekalinya.

h. Sawérigading leluhur raja-raja Luwu


Tertulis di dalam naskah bahwa setelah Sawérigading
tinrellek (gaib) di laut, ia ditempatkan di Pérétiwi bersama
seluruh keluarganya. Selama berada di Pérétiwi ia mempunyai
dua anak. Yang laki-laki bernama Simpurusia, yang perempuan
bernama Sinpuru Toja. Begitu pula Wé Tenriabeng, setelah
tinrellek-nya Sawérigading, ia masih melahirkan dua orang anak,
yang laki-laki bernama Lette Pareppa dan yang perempuan
bernama Pateyang Jala (di lain naskah sebaliknya).
Tujuh abad lamanya manusia tidak mempunyai raja lagi.
Tiga dari Galigo 33

Setelah Sawérigading gaib, kekacauan merajalela. Demikian


lamanya manusia meminta kepada dewa agar dapat diturunkan
seorang raja pemersatu rakyat. Maka diturunkanlah Lette
Pareppa dengan Simpuru Toja, suami istri ke dunia, tetapi
keduanya cepat kembali lagi karena tak tahan mencium bau
manusia. Sawérigading membujuk anaknya yang satu lagi yaitu
Simpurusia agar sudi turun ke dunia mempersatukan manusia
yang sudah kocar-kacir.
Setelah Simpurusia diturunkan di Luwu, diturunkan pula
seorang perempuan di Ware yang bernama Patteyang Jala (dua
kali diturunkan). Waktu diturunkan di Cina pertama kalinya ia
bernama Dala Akuna. Kedua suami istri inilah yang mula-mula
menjadi payung (penguasa) di Luwu. Setelah anak perempuan
itu besar, datang bersamaan dua orang anak tomanurung
melamarnya.
Kedua orang itu diterima oleh Pateyang Jala dengan alasan
bahwa kedua orang itu adalah kemenakannya sendiri. Marah
sekali Simpurusia kepada istrinya. Ia memberitahukan istrinya
bahwa hal yang demikian itu merupakan sumber kehancuran.
Anak hanya seorang tetapi menerima lamaran dua orang.
Simpurusia membakar dupa dewanya kemudian pergi
ke pembaringan. Tidak lama kemudian dia gaib dan tiba di
Boting Langi di hadapan Patotoé. Patotoé menanyakan apakah
plasenta anaknya masih disimpan, kalau masih ada, kembali
sajalah ke bumi. Ambil anaknya dan plasentanya, kemudian
kurung keduanya dengan Sang Karuda, setelah tiga hari tiga
malam, baru kurungan dibuka. Dengan segera Simpurusia
turun ke bumi dan melaksanakan nasihat Patotoé. Setelah tiga
hari kurungan Sang Karuda dibuka dan tampaklah dua orang
perempuan yang sama wajah dan kecantikannya.
Anak laki-laki Simpurusia yang bernama Anakaji
memperistri Wétappa Cina anak La Malalaé, manurung
di Mancapai. Perkawinan Anakaji dengan Wétappa Cina
melahirkan anak yang bernama Wé Mattengnga Émpong.
34 Drs. H. Muhammad Salim

Pernah suatu waktu ketika Wé Mattengnga Émpong menangis,


neneknya menyanyi seperti ini:

Anak Wemanedara Anak Wemanedara
Riuloé ri awo pettung Diturunkan di bambu betung
Maddeppaé ri lappa telling meretas di ruas bambu telang
lau ri lappi tana yang berbaring di muka tanah
Lalibatina Asemmu Lalibatina namamu
Wijanna Sellamalama Keturunan Sellamalama
manurungngé ri awo pettung manurung di bambu betuing
tompoé ri busa émpong muncul di busa air
tenri ulonapa lagi tak diturunkan lagi
tallopié napolaleng bukan perahu yang ditumpangi
létté ri wénnang silampa tapi benang seutas yang dititi
sutara ri até unyi sutra berwarna kuning
pasoro dengeng pasoro dengeng
mainra-inra asu panting gesit bagaikan anjing jadi-jadian
ajana ranu narua jangan sampai muncul dijamah
siléjja tennau ulle setapak kaki pun tak sanggup
dé’é tana si tékkena tak ada tanah sebungkalnya
dé’é cangkuli kettena
dé’é tai marakkona tak ada kotoran keringnya.

Marah Wétappacina mendengarkan nyanyian mertuanya


itu. Segera ia membakar dupa-dupanya dan gaib menuju
Mancapai melalui benang suteranya. Anak Aji segera
mengikutinya pergi ke Mancapai. Setelah melalui proses
diplomasi yang seru dengan mertuanya, barulah ia kembali
bersama ke Luwu dengan istrinya itu. Anak cucu Simpurusia
inilah yang kelak menjadi raja-raja di Luwu dan Cina.

i. Sawérigading dalam silsilah


Pada waktu La Pananrang pergi melamar I Wé Cudai, Ida
Palilu menanyakan asal-usul Sawérigading. La Pananrang pun
Tiga dari Galigo 35

menjawab bahwa setelah Aji Patoto yang bertakhta di Boting


Langi menikahi Sangkuruwira Datu Palinge, lahirlah Batara
Guru yang diturunkan di bambu betung dan menetas di bulu
emas. Adapun dari pihak sebelahnya, setelah La Ureriu menikahi
Wé Lompareng di Pérétiwi, lahirlah Wé Nyilik Timo. Setelah
Batara Guru menikah dengan Wé Nyilik Timo, lahirlah Batara
Lettu. Dari pihak sebelah, Wé Linrung Toja yang bertakhta di
Todang Toja menikahi Wé Mallagenniopu Sanuda, lalu lahirlah
Wépada Uleng yang muncul di Sewa Mega. Kemudian,
Wépada Uleng menikahi Laurumpessi, lalu lahirlah Wé Datu
Sengngeng. Yang disebut terakhir ini kemudian menikah
dengan Batara Lettu, merekalah inilah yang kemudian menjadi
orang tua Sawérigading.

Penutup

Apa yang telah diuraikan hanyalah sebagian kecil dari isi naskah
Galigo yang berbeda-beda versinya di Sulawesi Selatan. Berikut tiga
kesimpulan:

1. Naskah I La Galigo masih banyak didapati di daerah Sulawesi


Selatan
2. Naskah I La Galigo mengandung mitos Sawérigading dan
hubungan keluarganya
3. Naskah I La Galigo merupakan cerita rakyat yang menarik,
baik sebagai bacaan hiburan maupun sebagai sumber data ilmu
pengetahuan bahasa.
36 Drs. H. Muhammad Salim

Daftar Pustaka

B.F. Matthes, Dr., Boigincehe Cirristomathie, Leiden, 1872


M. Johan Nyompa, Drs., dkk., Terjemahan Sure’Galigo dan Sinrili di
Sulawesi Selatan, Unhas Ujung Pandang, 1981
M. Johan Nyompa, Drs., dkk., Sawérigading ke Cina, Kantor Gubernur
Tk. I Sulawesi Selatan, 1982/1983.
Laporan penelitian Lapangan IAIN Alauddin, “Menelusuri Jejak I La
Galigo”, Ujung Pandang, 1985.
Lontarak Akkarungeng Luwu, milik Kantor Bidang Jarahnitra Kanwil
Depdikbud Provinsi Sulawesi Selatan.
Lontarak Silsilah, H. Paewa, Pinrang
Lontarak Silsilah, H. La Side, Ujung Pandang
Lontarak Silsilah, M. Salim, Ujung Pandang
Lontarak Silsilah, Borra dg. Massikki, Barru
Buku Galigo, H. Paewa, Pinrang
Buku Galigo, Magga Tatong, Sidrap
Buku Galigo, La Padenrengi, Soppeng
Buku Galigo, Kasi Kebudayaan Kabupaten Wajo
Buku Galigo, No. 2955, 2963, 2964, 2966, 2967, 2972, 2973, 2987,
2988, 2989, Yayasan Kebudayaan Benteng Ujung Pandang.
Buku Galigo, Drs. M.T. Azis Syah, Ujung Pandang
Buku Galigo, Drs. Muh. Salim, Ujung Pandang
Klipping Surat Kabar Harian Fajar
Naskah Laporan Kasi Kebudayaan Kabupaten Luwu Maros, Bone,
Wajo, Sidrap, Polmas, Soppeng.
Lontarak Simpurusia (NBG. Leiden)
Tiga dari Galigo 37

2
Nilai-nilai Pengembaraan
Sawérigading yang Termaktub
dalam Sureq Galigo
38 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 39

Pengantar

Kehidupan dan pengembaraan Sawérigading—mulai masa


kecilnya, perjalanannya ke Boting Langi, perantauannya ke negara-
negara tetangga, kunjungannya ke alam arwah, kepergiannya ke
Cina untuk mengawini I Wé Cudai, pertemuan besar keluarga di
Luwu, sampai tenggelamnya perahu Wélenrennge—termaktub di
dalam Sureq Galigo. Naskah ini dijadikan bacaan mulia serta tuntunan
hidup oleh sebagian masyarakat Bugis yang menghayatinya karena
mengandung nilai-nilai luhur. Keberadaannya adalah potensi dan
sumber kekayaan yang dapat dikembangkan menjadi kebudayaan
nasional.
Makalah ini ditulis untuk Festival Galigo dan Seminar
Internasional Sawérigading di Masamba, Kabupaten Luwu Utara.

Makassar, 10 Oktober 2003

Drs. H. Muhammad Salim


40 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 41

Dalam makalah ini akan disampaikan siapakah Sawérigading,


kapan namanya mulai disebut-sebut dalam cerita lisan dan tulisan,
bagaimana riwayat hidupnya, serta adakah manfaat yang bisa diambil
dari kisah pengembaraannya.

Sawérigading dalam sastra lisan dan tulisan



Sawérigading dalam sastra lisan
Seminar cerita rakyat Sawérigading yang diadakan di Universitas
Tadulako Palu, 7- 10 Agustus 1987, berhasil mengumpulkan
makalah sebanyak 25 buah. Kesemua makalah ini kemudian dicetak
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta pada 1990
dengan judul Sawérigading. Tim penulis dan pengkajinya adalah
Mattulada dkk. Makalah-makalah ini pada umumnya bersumber
pada berbagai cerita lisan di beberapa tempat, beberapa daerah, dan
suku bangsa, termasuk Malaysia. Isi dan penjelasan ceritanya berbeda-
beda, walaupun kadang-kadang dijumpai persamaan cerita karena
sebagian penulis makalah mengutip I La Galigo, buku berbahasa
Belanda karya R.A. Kern yang merupakan ringkasan 39 buah naskah
Sureq Galigo—ataupun edisi terjemahan bahasa Indonesianya yang
42 Drs. H. Muhammad Salim

dikerjakan oleh La Side dan Sagimun M. D.


Beberapa perbedaan yang bisa dijumpai: penulisan nama
Sawérigading (Savitigadé), silsilah keluarga dan tempat kemunculan,
asal usul, kehidupan dan pengembaraan, serta bahasanya yang
mengandung nilai berbeda. Dr. Cornelis Salombe, misalnya, sebagai
orang Toraja menjuduli makalahnya “Sawérigading dalam Perbedaan
Suku Toraja”.
Berikut beberapa bunyi perbedaan tersebut:

Makalah Abdul Rahman Alhamidi yang dikutib dari Tuhfat Al-


Nafis menyatakan:

“Bermula adalah asal raja-raja Bugis yang mengembara ke


sebelah barat dari pada pihak tanah sebelah Bugis, adalah asalnya
seorang raja perempuan nama negerinya Luwu. Namun raja itu Sitti
Malangkit….
Syahdan adalah Sitti Malangkit itu menjadi raja di Selangi.
Maka ialah bersuamikan raja Bugis yang besarnya sekali di negeri
Luwu. Maka Sitti Malangkit inilah beranakkan Datuk Palingik
inilah beranakkan Patotok, beranakkan Batara Guru, beranakkan
Batara Lattuk, beranakkan paduka Sawérigading.” (Sawérigading,
h.20)

Makalah Tim Keluarga Besar Labuan:

Ule (ular) kembar yang turun dari langit setelah nodorupa manusia,
ternyata sepasang suami istri yang bernama La Jini dan Togelele. Pada
suatu ketika Togolele hamil dan melahirkan dua anak kembar yang
bernama Keleketi dan Yabecina. Sejak lahirnya Keleketi dan Yabecina
dipelihara di suatu rumah di Kerajaan Toposo di dalam dua kamar
yang terpisah….Ketika Koleketi dewasa dia mendapat gelar Savirigadi.
(Sawérigading, h. 489)

Makalah Cornelis Salombe:


Tiga dari Galigo 43

Dalam tradisi setempat, Puang Parranan dikatakan permaisuri


Puang Sawérigading yang pertama, seorang dari beberapa saudara
sepupu sekalinya yang dijadikan permaisurinya. Permaisuri menjadi
batu keramat dan disimpan sampai kini di tengah-tengah desa di
kaki bukit Kandora (Sawérigading, h.386).

Sawérigading dalam sastra tulisan


Suatu hari Batara Guru naik ke langit menghadap kepada
orang tuanya (Patotoé) memohon kiranya anaknya (Batara Lattuk)
dapat diberi putra tunas pengganti karena ia telah berumur, sudah
lama kawin tapi belum punya anak. Permohonannya kepada Patotoé
itu dikabulkan. Patotoé berkata:

“Nawajuanna mua najaji céro datué teng sangkalangeng. Naia


ritu orowené aseng ngi sia Sawérigading, lé mutellai La Maddukelleng.
La Tenritappu akessingenna, nasekko pajung ri Luwu.” (N. B 188.
II. 181)

Artinya:

“Semoga bayi-bayi itu lahir dengan selamat, yang laki-laki beri


nama Sawérigading dan beri gelar La Maddukelleng, La Tenritappu
kegagahannya, ia akan dinaungi payung di Luwu.”

Sawérigading mempunyai beberapa nama, antara lain


Toappanyompa, La Maddukelleng, La Tenritappu, Opunna Warek,
Langi Paéwang, Lawé Pamadeng Letté, dan Sangaji Wéro. Adapun
silsilah Sawérigading diketahui melalui pernyataan La Pananrang
sewaktu pergi melamar I Wé Cudai. Ketika ditanya oleh keluarga
I Wé Cudai tentang silsilah keturunan Sawérigading, La Pananrang
menjawab:

“Narékkjo to riolona Opunna Warek mupoutana, tuling ni matuk


44 Drs. H. Muhammad Salim

wukka timukku urampéang ko. I La Patoto sia asenna ri Boting Langi,


lé nasiala Muttia Unru Datu Pallingé ri Senrijawa ncanjianngénngi
Batara Guru, riuloé ri awo pettung, maddeppak é ri lappa tellang,
to ritaroé tunek ri lino, cakerrak tana nawo pettang notimpak tajang
nagorok liu nalebbong bulu, pallebba lompok mpuju tanété nalekko
salo curik walenna, napassanrang salinrung samudda, taroanngenng
i pakkarusama to linoé, lé sia laé Wé Nyilik Timo lé tompoé ri busa
émpong sola sinrangeng lakko, nadulung wélompalajong, najajiang
ngi Batara Lattuk sialaé Wé Datu Senngeng, ncajianngénngi
Sawérigading.” (N. B 188. IX. 176)

Artinya:

“Kalau leluhur Opunna Warek yang engkau tanyakan,


dengarkanlah ucapanku kepadamu. I La Patoto yang bertakhta di Boting
Langi kawin dengan Muttia Unru Datu Palingé dari Senrijawa, lalu
lahirlah Batara Guru yang diturunkan melalui bambu betung, yang
meretas di ruas bambu telang, yang dijadikan tunas di dunia,yang
mengonggok tanah, yang menurunkan gelap, yang membuka cahaya,
yang menggali lubang, yang membentuk gunung, yang menghamparkan
lembah, yang memanjangkan dataran tinggi, yang membengkokkan
sungai, yang menoreh sungai besar, yang menebarkan pusaran air
samudra, yang memberikan penghidupan, yang kemudian kawin dengan
Wé Nyilik Timo yang muncul di busa air bersama dengan usungan
keemasan diiringi gelombang, lalu lahirlah Batara Lattuk yang kawin
dengan Wé Datu Senngeng, lalu lahirlah Sawérigading.”

Pengembaraan Sawérigading

Sawérigading ke Boting Langi


Sawérigading sejak kecil dididik dan diasuh oleh orang tua,
paman, dan inangnya. Setelah beranjak dewasa ia dipanggil oleh
Patotoé naik ke Boting Langi untuk dididik serta diperkenalkan
dengan cara pemerintahan di Batara. Pangilan itu sampaikan oleh
Tiga dari Galigo 45

Batara Lattuk kepada anaknya:

Napura mota La Maddukelleng, nainnappana Batara Lattuk


kiling makkeda, “Rini lontarak anak La Tappu dénrék manurung,
napolé teppa ri wakkangekku, le kulukkai. Na ia sia lé napoada lontarak
é, naélorang ko ménrék ri langi datu puatta Patotoé nyilik pangara lé ri
Batara, mita déwata anak sangiong. (N. B 188 III. 240)
Natarakkna La Maddukelleng massappo siseng nasinrang
aluk, napatarakka Letté pareppak, pada mattoncéng ri tarawué, lebbi
tellué massapo siseng. Nariwatak na lé tarawué nasinrang guttu,
napatarakka Letté pareppak. Ala maressak lé mérak é natakkadapi
ri tennga mégga,
…natakkadapi tuppu addénéng oling naénrék, majjolékkai
panape ilek, lejjak palapa lé remmang-remmang lalo muttama liweng
alawa téma rakilek. Takkadapi ni Opunna Warek ri jajarenna To
Palanroé.” (N. B 188 III. 246)

Artinya:

Selesai La Maddukelleng menyirih, menolehlah Batara Lattuk sambil


berkata, “Ada surat tadi turun, wahai anak La Tappu, surat itu jatuh di
pangkuanku, lalu aku membukanya. Bunyinya, engkau diperintahkan naik
ke langit oleh yang dipertuan Sri Baginda Patotoé untuk melihat cara-cara
pemerintahan di Batara dan melihat anak sangiang.
Berangkatlah La Maddukelleng bersepupu sekali, disertai
oleh tata upacara, diberangkatkan oleh kilat petir. Masing-masing
berpegangan pada pelangi, keempat bersepupu sekali itu. Diangkatlah
pelangi itu, diangkat oleh guntur, diberangkatkan oleh kilat petir.
Tiada berapa lamanya sudah berada di tengah awan,
….sudah sampailah menginjak tangga kilat lalu naik,
melangkahi ambang pintu mengkilat, menginjak lantai kemilau, lalu
terus masuk melewati sekat pintu kemilau. Sudah sampailah Opunna
Warek di ruangan To Palanroé.”
46 Drs. H. Muhammad Salim

Sawérigading ke luar negeri


Tidak berapa lama setelah kembali dari Boting Langi dan
kemudian mengawini beberapa sepupu sekalinya, Sawérigading
menghadap orang tuanya memohon izin merantau menghadiri
sabung ayam di negeri seberang, berlayar jauh menyusuri daerah-
daerah kekuasaan ayahnya, serta menyaksikan negeri yang diperintah
oleh paman-pamannya. Gembira sekali Batara Lattuk mendengar
permohonan anaknya itu, ia berkata:

“Madécéng ritu ri madiméngmu lémpo ri Dusung, rimaélomu


lirak-lirak i palilibessi ritunruanna ri Aléluwuk, mulattui wi lipu
malaka to rigaukna ama tania ncajianngékko. Tiwi maneng ngi gauk
sangiang paralukkaluk to ri rilangimu.” (N. B 188. IV. 22)

Artinya:

“Baik sekali maksudmu pergi ke negeri Dusung, keinginanmu


menelusuri daerah kekuasaan Aléluwuk, engkau akan sampai
di negeri makmur yang diperintah oleh paman-pamanmu. Bawa
semua peralatan sangiang, alat upacara kehiyanganmu dan segala
perlengkapan kemuliaanmu.”

Berangkatlah Sawérigading. Mula-mula yang disinggahinya


adalah Siwa, kemudian Lompok, seterusnya Sama, Waliono, Bulu,
Dusung, Buakaja, Baebunta, Pompessi, Matana dan Takkebiro.
Suatu waktu To Sulolipu da To Palennareng mengajak
Sawérigading pergi lagi menelusuri negeri, melihat-lihat cara
pemerintahan raja sesamanya, belajar tarian Maloku lenggang orang
Sama. Sawérigading pun menghadap orang tuanya untuk diizinkan
ke luar negeri melihat cara pemerintahan raja sesamanya dan juga
ke Marapettang (alam arwah di akhirat), negeri makmur di bawah
perintah La Wajolangi I To Sinampé. Permohonannya dikabulkan
oleh Batara Lattuk yang berkata:
Tiga dari Galigo 47

“Lé uwéloreng tongeng mua o anak Lawé sompek mallaja


mallipu-lipuk palélé winru tannga pangara, lirak-lirak i alebbirenna
padammu datu, pémaggai jajareng ri cokkongenna sekkarajamu. Lé
riniamma lisek sinrangeng pattuppubatu natadaggai anré matammu,
natattawengi banappatimmu, nataralai parukkusemmu, muparola i
mai ri Luwuk, kuduppai wi sajo lésangeng kupasessuk i lé ri menrawé
lakko muttama ri Watamparek.” ( N. B 188. IV. 69)

Artinya:

“Aku izinkan engkau, wahai anak Lawé, merantau menelusuri


negeri-negeri, melihat-lihat keadaan negeri, menelusuri cara
pemerintahan sesamamu, melihat-lihat kerajaan tempat tinggal
raja sesamamu. Kalau ada gadis kerajaan yang cocok dengan
pandanganmu, sesuai dengan keinginanmu, engkau cocok berjodohan,
bawalah kemari di Luwuk mengikutimu, aku jemput dengan tarian
Bissu, kusambut dengan pancangan bambu berhias keemasan saat
memasuki Watamparek.”

Berangkatlah Sawérigading. Mula-mula yang disinggahinya


adalah Tompo Tikka kemudian Singkiwéro, seterusnya Sawang
Megga, Wadeng, Malatunrung, Sama Timur, Kelling, Tessililu,
Mettoanging dan Ternaté.

Sawérigading menuju ke Pammasareng (alam arwah)


Tiga bulan lamanya Sawérigading tinggal di Ternate
mempersiapkan bekal ke alam arwah. Setelah berlayar tiga bulan
lamanya tibalah ia di tempat yang bernama Asabureng Pallojannge,
air terjun yang mnjadi pintu masuk ke alam arwah. Rombongan
Sawérigading diterpa angin ribut tak putus. Sudah banyak perahu
yang tenggelam oleh arus yang berpapasan dengan pusaran angin.
Segera saja Sawérigading berpakaian sangiang lalu berteriak
memperkenalkan diri bahwa yang datang adalah rombongan
Sawérigading keturunan Patotoé di Boting Langi. Bala bencana
48 Drs. H. Muhammad Salim

itu berhenti dan muncullah Oddang Pareppak, si penguasa laut,


menyapa Sawérigading:

“Io ga palék La Maddukelleng, lalo wakkamu teng kuissengko.


Aga makkatta teng paratu o ri lolangengmu ttudang ri Luwu. Kasi gao
béla ri angkaukang, teng panyiwik go awanna langi, teng pasessuk go
ménéna tana.” (N. B 188. V. 61)
...Sompa makkeda Sawérigading, “Le teng kapapa wak puang
kusompek. Pannyiwik mui awana langi datu puangku. Pasessuk mui
ménéena tana ncajianngénngak. Sompek mua wak puang ponratu
mallipu-lipu, palélé winru tannga pangara ri senratukku.” (N. B.
188. V. 62)

Artinya:

“Rupanya engkau La Maddukelleng yang sedang meninggalkan


wangkangmu, aku tak mengetahuinya, Apakah maksudmu
meninggalkan negerimu Luwu? Apakah engkau miskin dalam
kedudukanmu, tidak memerintah negeri di kolong langit, atau tak
berkuasa di permukaan bumi?”
… Sambil menyembah Sawérigading berkata, “Aku merantau
bukan karena miskin, Tuanku. Orang tuaku memerintah di kolong
langit. Aku merantau berlayar, Tuanku, karena ingin melihat-lihat
cara memerintah raja sesamaku.”

Setelah Sawérigading meneruskan perjalanannya, tiada berapa


lama tibalah di Marapettang menginjak kampung Ale Sunra yang
berada di alam arwah. Bertanyalah Opunna Sunra:

“Aga makkatta anri paralakkati ri Luwu patuanriwu ri


Watamparek, léba pannyiwik awana langi, datu pasessu, ménéna tana
musompek mai longengi tasik ri mabélaé?” Mabbali ada La Tenritappu,
“Tenrek majeppu kakak kutaro ri nawa-nawa. Sompek mua wak palélé
winru tannga pangara ri senratukku ulettuk to mai ri Sunra. Madiméng
Tiga dari Galigo 49

toak nyilik moneng ngi winru pangala tana ri Sunra paralukkaluk lipu
ri Majée.” (N. B 188. V. 67)

Artinya:

“Apakah maksudmu, wahai adikku raja penguasa di Luwuk,


yang dipertuan di Watanmaparek, yang menguasai kolong langit,
raja yang memerintah di permukaan bumi, berlayar dari jauh
kemari mengarungi laut?” Menjawab La Tenritappu, “Tidak ada
yang kupikirkan dalam hatiku, aku hanya pergi berlayar melihat
keadaan dan menyaksikan cara pemerintahan raja sesamaku, maka
aku juga sampai di Sunra, mau melihat tata cara pemerintahan di
Majé (akhirat).”

Maka diantarlah Sawérigading oleh La Wajolangi, Raja Sunra,


melihat-lihat orang menerima ganjaran atas perbuatannya sewaktu
masih hidup di dunia. Ada tiga puluh dua macam ganjaran yang
dapat disaksikan oleh Sawérigading, di antaranya adalah:

1. Kua adanna to mappaméné wara-waraé ri Watamparek, “Na


to mara ga sia kuwaé Datunna Sunra, tudanngé mua ri séré laleng, lé
naritoddok bessi ingekna, tattowé-towé mua lilana ripaorongi api malluwak?”
Mabbali ada La Wajolangi, “Ia na ro Opunna Warek, anré gurué ttudang
ri lino namakékékla ri waramparang, teng silolongeng pappaggurunna.” (N.
B 188. V. 78)

Artinya:

Berkata penguasa di Watamparek, “Orang apakah ini Raja


Sunra, yang duduk di pinggir jalan, hidungnya ditusuk dengan besi,
lidahnya terjulur, disuapkan api ke dalam mulutnya?” Menjawab
La Wajolangi, “ Itulah Opunna Warek, penghulu yang sewaktu hidup
tamak pada harta dan tak karuan cara mengajarnya.”
50 Drs. H. Muhammad Salim

2. “Na to mara na sia kuwaé La Wajolangi, tudanngé mua


lé ri wiringpallojanngé, nairi anging natappok bajé, na wellang tikka
palek-palek i pallingkajona?” Mabbali ada Opunna Sunra, “Ia na ro
Opunna Warek, to sugié tudang ri lino namacirinna ri waraparang,
teng namadiméng mua na sia lé mpéréang ngi to nabettué masé-masé.”
(N. B 188. V. 79)

Artinya:

“La Wajolangi, orang apakah ini yang duduk di pinggir laut


diembus angin diterpa bayu, disinari matahari sambil memegang
pakaiannya?” Menjawab Opunna Sunra, “Opunna Warek, itulah
orang yang kaya di dunia, kerjanya hanya selalu mengumpulkan
harta, tak ada belas kasihan kepada orang miskin.”

Selanjutnya Sawérigading melihat orang yang selalu dipukul


kepalanya dengan kuningan, tiada henti dipukul. Hal ini terjadi
karena orang itu tak punya rasa malu sewaktu masih hidup di dunia,
suka mengambil harta yang bukan haknya.
Sawérigading kemudian melihat orang yang badannya separuh
telungkup separuh telentang sambil memukuli dadanya yang lebar,
sementara mulutnya disumbat bara api, ujung lidahnya diikat, dan
air matanya tak berhenti mengalir. Inilah siksaan yang ditimpakan
pada orang yang durhaka kepada orang tuanya sewaktu masih hidup
di dunia. Selanjutnya Sawérigading menyaksikan siksaan orang yang
plinplan dan pendusta. Ada yang digantung kepalanya sementara
darah keluar dari mulutnya, ada yang dikerumuni lipan perutnya,
dan lain-lain sebagainya. Sawérigading berjanji akan menyampaikan
kepada rakyatnya hal yang dilihatnya di alam arwah ini kalau sudah
kembali ke Luwu.
Pengembaraan Sawérigading mulai masa kecilnya, perjalanannya
ke Boting Langi, pelayarannya menelusuri negeri tetangga,
kunjungannya ke alam arwah, kepergiannya ke Cina, sampai pada
pertemuan besar di Luwu dan tenggelamnya perahu Wélenrennge
Tiga dari Galigo 51

inilah yang termaktub dalam sekumpulan naskah Sureq Galigo


setebal lebih kurang enam ribu halaman.

Sureq Galigo
Sebelum agama dianut merata oleh penduduk Sulawesi Selatan,
sebagian masyarakat Bugis menggunakan Sureq Galigo sebagai
tuntunan. Dengan menghayati isi naskah, orang akan mendapatkan
panduan menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat.
Kandungan isi Sureq Galigo dapat diketahui dari adanya penuturan
leluhur atau melalui warisan budaya seperti peninggalan sejarah,
sastra budaya, dan lain-lain.
Petunjuk dan warisan budaya itu diperoleh secara turun
temurun sehingga tidak ada jawaban pasti kapan mulainya. Tapi,
gejala perilaku adat istiadat dan ilmunya bersifat abadi dan dapat
disaksikan berkembang hingga sekarang ini. Misalnya, sikap
kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dipilih berdasarkan petunjuk
naskah tua yang disebut lontarak dan sureq-sureq.

Nilai-nilai
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan
bahwa nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna
bagi kemanusiaan. Nilai budaya adalah konsep abstrak mengenai
masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan
manusia. Nilai keagamaan adalah konsep penghargaan tinggi
yang diberikan oleh masyarakat kepada beberapa masalah pokok
kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga nilai ini menjadi
pedoman perilaku keagamaan masyarakat yang bersangkutan.
Berikut nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam Sureq Galigo.

1. Nilai kasih
Rasa kasih sayang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-
hari, utamanya dalam lingkungan keluarga.

1.1. Rasa kasih istri kepada madunya


52 Drs. H. Muhammad Salim

Pada waktu I Wé Cudai sakit keras karena bayinya tidak


mau keluar dari kandungan, datanglah madunya yang bernama I
Wé Ciampau berdoa dan bernazar kepada dewa agar bayi itu lahir
dengan selamat:

Natijjang ronnang I Wé Cimpau mamporang mpali wenno ul


aweng to Boting Langi, parépésoda to Senrijawa, sompa manai ri
Rualletté madduwappalek ri Péréttiwi. Kua adanna datunna Lémpa,
“Addampeng nao Puang Palinge lé ri atammu Daéng Risompa.
Akkamasé no Puang Patoto, muwamaingek ri wukka timu teng
madécénna Punna Bolaé ri Latanété, nanré mua sangianngé tédong
ncamara manaja ratu lé ri watakku, mattanruk kati, lé narisappang
patola wuleng natettongi awo nasangka. Teng kuasengeng tikka
wamajik esso madécéng, upaléssoi samaja ratu jawi sangekna datu
puakku I Wé Cudai lé naleppereng lempu siwakkang rijajianna.”

Artinya:

Berdirilah I Wé Ciampau menaburkan bertih emas orang Boting


Langi, beras aneka warna orang Senrijawa, menyembah ke atas Boting
Langi dan memohon ke Péréttiwi. Berkata Raja Lémpa,“Tuhan Palingé,
berilah ampun kepada hambamu Daéng Risompa. Tuhan Patoto, berilah
rahmat serta maafkan ucapan tak baiknya Punna Bolaé ri Latanété ini,
kepada Sang Hiyang aku akan persembahkan kerbau cemara ratusan
ekor yang bertanduk emas, yang ditambatkan ke tiang bambu dengan
tali kain bercorak bulan. Aku tak akan melewatkan hari atau waktu
demi menunaikan segera nazar pembeli jiwa raja-tuanku I Wé Cudai,
supaya ia bisa memangku anaknya lahir selamat.”

Ini adalah suatu contoh yang wajib ditiru oleh orang yang
mempunyai istri lebih dari satu orang.

1.2. Rasa kasih ibu tiri kepada anak tirinya.


Suatu kali I La Galigo menceritakan kebaikan ibu tirinya kepada
Tiga dari Galigo 53

orang lain dengan ucapan:

Ia muaré uwojék tuo, inaku tmua I Wé Cimpau dua puakku


Opunna Warek maddojai wi décéng léwuku. Ia mua teng karibuang
ri samuddaé napoinanré balé mawekkek, puakku mua Opunna Warek
maressé jiwa lé natiwi kak lémpo alau lé miri Mario. Inaku tona I Wé
Cimpau mamaséang ngak napaddeppékak ri caré-caré patola wareng
napacabbénngak ri babuanna. Aga nasurudatu inaku I Wé Cimpau
teng nrebba lusé ning wenni tikka, maddojai wi décéng léwuku. Namau
mua nacabbéngi teri matejjo rijajianna utéa llésso ri wakkangenn,
teng nasailé rijajianna.” (N. B 188. XI. 350)

Artinya:

Aku dapat hidup karena ibuku I Wé Cimpau, berdua dengan


Opunna Warek, selalu menjaga keselamatanku. Sebabnya aku
tak dibuang ke laut dan dimakan oleh ikan besar, hanya karena
Tuanku, Opunna Warek, merasa kasih, dia membawaku ke timur ke
Mario. Ibuku I Wé Cimpau yang mengasihani dan memeliharaku di
pangkuannya sendiri. Ibuku I Wé Cimpau sampai bagaikan seorang
pelayan raja, tak tidur siang malam mengawasiku. Biarpun anaknya
sendiri menangis meronta- ronta, kalau aku tak mau turun dari
pangkuannya, anaknya itu tak dihiraukan.”

1.3. Rasa kasih anak tiri kepada ibu tirinya


Suatu kali I Wé Cudai marah sekali karena menyesali diri.
Dia menyesal menolak kehadiran Sawérigading di istananya dan
membiarkan suaminya itu kawin dulu dengan raja bawahannya yang
bernama I Wé Cimpau. Masa remaja Sawérigading dinikmati oleh
I Wé Cimpau sedangkan ia sendiri hanya menikmati masa tuanya,
setelah I La Galigo besar dan berkumpul di Istana Lataneté. Maka
dipanggillah I Wé Cimpau ke Istana Lataneté untuk dibunuh.
Sewaktu pisau untuk membunuh I Wé Cimpau sudah dihunus, I La
Galigo marah sekali dan menantang ibu kandungnya. Ia berkata:
54 Drs. H. Muhammad Salim

“Teng kué lorang mua na sia ripalaloang gelli maserro datu inaku
I Wé Cimpau, naérékkua teng mapaddenngi banapatikku. “Natallo
bacciku I La Galigo, Natijjang ronnang nawarekkenngi pabbessorenna
ncajianngenngi Tenriawaru. Napasibolong miccu makkeda To Botoé,
“Tarakka nao kino ponratu talémpo sia ri lolangetta. Téa wak tudang
ri langkanana datu masomméng teng missennge mpukka timunna. (N.
B 188. IX. 350)
Naérékkua lé to Cinaé mupotéa i teng kuturuna palalo gelli
datu puammu, ola wak mai tapulli-puli ri tennga padang. Muaseng
paé sitennga-tennga ininnawakku tinrosiang ngi sinrangeng lakko
ripolalenna datu inaku I Wé Cimpau lété ri Majé madditennga ri
Pammasareng.” (N. B 188. XI. 351)

Artinya:

“Aku tak membiarkan ditimpakan kemarahan besar kepada


ibuku I Wé Cimpau, kalau aku belum mati.” Marah sekali I La
Galigo. Dia berdiri sambil memegang pangkal lengan Tenriawaru
(I Wé Cimpau). Sambil meludah To Boto (I La Galigo) berkata,
“Wahai ibuku raja, mari kita pulang ke kampung kita. Aku tidak
mau tinggal di istana raja yang sombong yang tak tahu mengeluarkan
ucapan ini. Kalaupun kalian merasa keberatan aku menantang
kemarahan tuanmu raja, karena bagaimanapun kalian orang Cina,
aku tak peduli. Ayo ikuti aku, kita bertarung mati-matian di tengah
padang. Jangan kalian sangka aku setengah hati menjaga nama besar
ibuku I Wé Cimpau.”

Ucapan I La Galigo tersebut di atas menjelaskan bahwa anak


tiri bersedia membela, bahkan rela mati, andaikata pasukan ibu
kandungnya mau menyerang di medan pertempuran.

2. Nilai moral
Menurut KBBI, moral adalah ajaran baik-buruk yang diterima
Tiga dari Galigo 55

umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban akhlak, budi pekerti, susila;


serta ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Dalam Sureq
Galigo banyak sekali ditemukan ajaran moral kesusilaan, antara lain:
2.1. Patuh kepada orang tua
Pada waktu Sawérigading mendapat panggilan dari Patotoé
untuk naik ke Boting Langi, orang tuanya berpesan kepadanya agar
jangan tinggal di sana walaupun Patotoé menjanjikan jabatan raja
yang dipertuan di Boting Langi. Jika diminta kawin dengan anak
dewa yang cantik, minta maaflah kepadanya. Pesan orang tua kepada
anaknya itu:

“Naérékkua anak Dukelleng, lé maélo i datu puatta panyiliki


o lisék sirangeng lakko mawajik to Boting Langi, ajak Lawé anak
nawedding ininnawammu nyilik muttia lamming makessing to Ruall
etté, apak maéga ritu maria anak Dukelleng lisék sinrangeng anak
sangiang lé ri Batara, palallo kessing, palennek-lennek awajikenna.
Ukapang ritu anak Dukelleng takkadapi ko lé ri Batara lé napacinnai
no matti datu puatta muttia lamming anak déwata.. Ajak muwedding
anak Dukelleng kamata-mata, kacinna-cinna lé ri angkaukeng anak
ri langi. Ponrenrengeng sia ana Lawé. Rékkua palék anak Lawé
makékéklai datu puatta I La Patoto taro ko ttudang anak mangkauk
datu sangiang teng nataro no nonno paimeng mai ri lino, naélorang
no mapparukkuseng lé ri Batara, assimangi lé ri puatta Patotoé
paléngempali wi palk limammu lé ri puatta Pqatotoe mallaibiné.” (N.
B 188 III. 172)

Artinya:

Anak Dukelleng, andaikata Sri Baginda menghendaki dan


memperlihatkan kepadamu orang cantik, menampakkan kepadamu
perempuan Boting Langi yang cantik, jangan sampai anak Lawé
tergoda mengawini orang Ruallette. Anak Dukelleng, banyak sekali
di Batara perempuan Sang Hiyang, terlalu cantik serta menawan
parasnya. Anak Dukelleng, aku kira kalau engkau sudah sampai
56 Drs. H. Muhammad Salim

di Batara, engkau nanti diperlihatkan oleh Sri Baginda mutiara


pelaminan anak dewa. Jangan sampai engkau anak Dukelleng
mencintainya, serta mengingini kedudukan di langit. Anak Lawé,
andaikata Sri Baginda I La Patoto sangat mengharapkan engkau
tinggal menjadi raja Sang Hiyang, tidak mengizinkan lagi engkau
turun di dunia, menyuruh engkau berjodohan di Batara, meminta
maaflah engkau, anak Lawé, dengan menengadahkan kedua belah
tanganmu kepada Sri Baginda Patotoé suami istri.”

Betul saja. Setelah Sawérigading berada di Batara, Datu Patoto


menyuruh Sawérigading tinggal di Batara menjadi raja dan memilih
salah seorang sepupunya yang cantik menjadi permaisurinya,
Sawérigading pun memohon kepada Patotoé:

“Ajak ro mai puang tapotassittak ininnawa i, tapotall aWék


banappati wi, utéato puang ponratu tapalaloi samudda perri
usumpalakna wukka timutta mallaibiné. Ennéng éloku sia lapuang
tudang mangkauk datu sangiang. Diméngku to puang ponratu
mapparukkuseng datu déwata. Ia mi puang ponratu mapparukkseng
datu déwata. Ia mi puang teng palalo i riélotaé, anak tungkekku
puang mapeddeng ri babuana Wé Datu Senngeng. Tenrek duaku lé
najajiang Batara Lattuk.
Ia na ro puang ponratu upaléngeng ngi wali palekku ajak lapuang
kubusung ngi teng kuturuna wukka timummu. Lé massimang ngak
puang ponratu ttudang ri langi. Teng mélokak puang mangkauk datu
déwata. Rékkua puang lé mamaséo lé ri atammu, kua nak sia puang
tataro puang mangkauk datu to lino. Na ia puang le madiméngmu
patarala i parukkusekku mai ri langi ajak mua nang puang ponratu
le ukapapa kusumpalakna wukka tumutta. Kerru jiwana ritu anrikku
ala iaé teng riporio. Cabbéng sumangek to rilangina lé sapposiseng
mpékkaduaku ala iaé teng riporennu. Naia mua sangkalengeng ngi
lémanasatta, teng mpeddinngénngak massarak lao ri allingéreng to
Rilangiku.” (N. B 188 III. 178)
Tiga dari Galigo 57

Artinya:

“Tuanku Sri Baginda, janganlah hendaknya sampai tersentak


hati, kecil perasaan hati, karena aku juga tidak mau menerima hukuman
setelah menolak ucapan Tuanku suami istri. Aku ingin sekali, Tuanku,
menjadi raja Sang Hiyang. Wahai Tuanku Sri Baginda, aku juga ingin
tinggal dan berjodohan dengan ratu dewa. Hanya saja, aku tak bisa
meluluskan kemauan Tuanku karena aku adalah anak tunggal dari rahim
Wé Datu Senngeng. Tak ada duaku yang dilahirkan oleh Batara Lattuk.
Itulah wahai Sri Baginda, Tuanku, aku tak bisa tinggal di langit. Aku
tak mau, Tuanku, menjadi raja dewa. Sekiranya Sri Baginda, Tuanku,
merahmati hambamu, tempatkan saja aku, Tuanku, menjadi raja di bumi.
Tuanku, adapun tentang keinginanmu menjodohkanku di langit, janganlah
aku dianggap durhaka karena menolak ucapanmu. Kur jiwa adikku yang
hendak engkau jodohkan memang patut diterima dengan gembira. Semoga
sepupu tiga kaliku itu tetap dilimpahi semangat kehiyangan. Hanya saja,
yang menghambat maksud Tuanku adalah karena aku benar-benar tak
dapat berpisah dengan orang tua kehiyanganku.”

Permohonan maaf dengan bahasa yang santun ini diucapkan


Sawérigading di hadapan Patotoé untuk menolak dengan hormat
jabatan menjadi raja-dewa serta tawaran mengawini anak dewa
yang cantik. Kepatuhannya pada pesan dan nasihat orang tua patut
menjadi warisan di dalam kehidupan kita semua.

2.2. Menjunjung tinggi harkat dan martabat keluarga


Menjaga derajat kemuliaan dan harga diri keluarga harus selalu
diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada waktu Sawérigading
melamar I Wé Cudai, keluarga I Wé Cudai meminta mahar
perkawinan sebanyak tiga bulan angkutan barang, setiap harinya
barang mesti diangkut dari terbit sampai terbenamnya matahari. Para
laki-laki pemikul dan perempuan penjunjungnya juga diambil. Tapi,
setelah I Wé Cudai membatalkan lamaran, mahar dikembalikan.
Baru satu hari diantar balik, pengangkutan sudah dihentikan dengan
58 Drs. H. Muhammad Salim

alasan sudah kembali semua.


Sawérigadingpun marah, menyerang, dan membakar habis
kerajaan Cina. Yang tersisa hanyalah Istana Lataneté. Pasukan
Opunna menyerah tanpa syarat. Orang dekat Sawérigading meminta
izin kepadanya untuk naik ke Istana Lataneté menjemput I Wé Cudai
yang menjadi sumber malapetaka itu. Sawérigading menasihati
pengawalnya itu:

“Téa wak pélolongi wi ri tenngélona I Wé Cudai. Teng


kuélorang iuna biritta Punna Bolaé ri Latanété. Tuna biritta aré i
sia rijajiakku béla, rékkua naiyoang ngak langi, natongeng nawa-
nawkku kuwakkang anak lé ri wanuwa tappalirekku. Lé makkedai
matti taué poléang mpessi datu inana, anjak pasoreng ncajianngénngi ,
suru maténa pabbaranié, tangkek sungekna to maégae. Naiakkennéng
masuwak é kakak, nawinru to mangémpuru makékéklaé taro panguja
ri senratunna.” (N. B 188. X. 97)

Artinya:

“Aku tidak mau memaksakan kehendak kepada I Wé Cudai. Aku


tak menghendaki penghuni Istana Lataneté dihina. Tentu kelak akan
menjadi hina juga keturunanku kalau aku mendapatkan kemujuran
terkabul cita-citaku (merebut I Wé Cudai) dan mendapatkan keturunan
di negeri buanganku. Tentu orang nanti akan mengatakan ibu anak
itu hanyalah perempuan pampasan perang, sementara pertarungan
tombak yang melahirkan anakku. Wahai Kakak, sekalipun ia
didapat dari tewasnya para pemberani yang bertempur untuk orang
banyak, yang akan lebih sering terdengar nantinya adalah cercaan
para pendengki.”

Maksud ucapan Sawérigading di atas adalah ingin


mempertahankan kemuliaan harkat dan martabat keluarga I
Wé Cudai dengan cara mengawininya dengan baik sebagaimana
perkawinan bangsawan keturunan dewa karena I Wé Cudai adalah
Tiga dari Galigo 59

keturunan dewa juga. Suatu contoh bahwa orang arif itu walaupun
sudah punya kemampuan, kesempatan, dan waktu yang baik untuk
melaksanakan kemauannya, masih tetap memikirkan akibat yang
boleh jadi akan menurunkan harkat dan martabat keluarganya.

2.3. Menerima pandangan orang lain


Sewaktu asmara Sawérigading memuncak untuk mengawini
saudara kembarnya, ia memanggil seluruh penduduk Luwuk dan
Warek untuk didengar pendapatnya. Hasilnya, tidak ada yang
membenarkan keinginan raja muda itu. Ada satu orang yang tidak
bisa hadir, ia tak mampu berdiri dan mendengar lagi karena tuanya.
Opunna Luwuk pun menyuruh laki-laki itu dijemput dengan
usungan. Sawérigading mengharap mudah-mudahan orang tua
itulah nanti yang dapat memberikan keterangan yang sesuai dengan
keinginannya.
Setelah orang tua yang bernama Rajeng Maddopek itu datang,
maka ditanyakanlah kepadanya, apakah pernah mendengar orang yang
bersaudara kawin pada zaman dahulu. Rajeng Maddopek menjawab:

“Masuwak puang kuéngkalinga ritu kuwaé. Ia mua na puang


ponratu tanawa-nawa, wékkapitu ni sippo isikku ri Toddattoja,
kuwékkapitu tona maddopek, napitu tona tekkeng mpessi lé kupuppuri
kuinnappa ménrek ri lino. Nawékkapitu wéggang mua si sippo isikku
ri atawareng, kuwékkapitu tosi maddopek, napitu tosi tekkeng mpessi
upuppurié lélino, masuwak sia uéngkalinga tau siala massélingéreng,
teng makkabang ni ala rinié kutuju mata. Siseng mua i lagi-péaré, lé
teng kunyilik, rirampé mui teng kupémagga tau siala massélingérebg,
siama mui teng séina. Cérak i sia makkunraté, senngenngi sia orowané,
tekkua toi ttudang ri Luwuk kua mua i lé ri tappinna lolangenngé.
Napiti ttaung lé teng muttama sangianngé, teng jikki asé to mallipué,
jaji atobang ngi lé bataé mancaji padappadang ngi sia sangiyang serri,
mancaji lapa-lapa i sia wettenngé, mancaji batu sia lamé, jaji uwaé
lé tawaroé, selluk ri lappi tana i puang pallojanngé. Naléléi ni ropok
lipué. Napitu ttaung tikka lelling. Ripoada ni meppek tinio, téa mua
60 Drs. H. Muhammad Salim

ni llao polé. Maté sitepa-teppa tawé. Naia mana garék nanggangka


puang ponratu pakkaroddana To Palanroé, nalao polé riasenngé meppek
tinio, ripali mani orowané ri labu tikka, lé na rilabu makkunraté ri
Tompotikka le nainannappana lé pole jiwa lolangenngé.”

Artinya:

“Tidak pernah aku dengar yang demikian, Tuanku. Pikirkan


saja, Tuanku, sudah tujuh kali rontok gigiku, Tuanku di Toddattoja,
sudah tujuh kali pula berganti kulit, sudah tujuh kali pula tongkat
besi yang kuauskan, barulah aku muncul di dunia. Sudah tujuh
kali lagi rontok gigiku di dunia, tujuh kali juga berganti kulit,
tujuh batang tongkat besi lagi yang kuauskan juga di dunia, belum
pernah aku dengar orang yang bersaudara kawin, apalagi yang aku
saksikan langsung. Pernah satu kali tetapi tak kusaksikan. Disebut-
sebut saja tetapi tak kulihat orang yang bersaudara kawin. Hanya
sebapak tetapi tak seibu. Perempuan itu hanya bangsawan biasa, yang
laki-laki berderajat tinggi. Tidak tinggal di Luwuk tetapi di ujung
negeri. Akibatnya, sampai tujuh tahun tanaman tak menjadi, orang
kampung tak memanen padi. Tanaman jagung menjadi gelagah,
Sang Hyang Sri menjadi ilalang, jawawut menjadi gabah hampa,
ubi-ubian menjadi batu, sagu menjadi air, mata air mengalir di
lapisan tanah dan negeri ditimpa kehancuran. Tujuh tahun lamanya
kemarau panjang. Disebut-sebut pula makanan tidak mau menjadi
lagi. Manusia mati bertindihan. Kabarnya, Tuanku, setelah berhenti
kemarahan To Palanroé, barulah makanan mulai menjadi lagi, setelah
laki-laki itu dibuang di ujung barat dan si perempuan dibenamkan di
ufuk timur, barulah pulih kembali semangat kampung itu.

Walaupun menjengkelkan perasaan Sawérigading, pandangan


ini adalah salah satu yang dapat membatalkan maksud Sawérigading
mengawini saudaranya.

3. Nilai seni
Tiga dari Galigo 61

Seni adalah kesanggupan akal menciptakan sesuatu yang


bernilai tinggi. Nilai seni adalah unsur nilai budaya yang diukur
dengan rasa senang yang ditimbulkan oleh berbagai hal, antara lain
bahasa, suara, bunyi, bangunan, dan gerak. Dari seluruh hasil cipta
yang dirasa menyenangkan itu timbul bentuk-bentuk seni, seperti
seni sastra, seni suara, seni musik, seni tari. Di dalam Sureq Galigo
ditemukan unsur-unsur seni sebagai berikut:

3.1. Seni suara


Pada waktu-waktu yang senggang pada malam hari dalam
pelayaran biasanya anak perahu menyanyikan lagu pelipur lara. Di
bawah ini dituliskan nyanyian yang dibawakan oleh:

a. La Pananrang:

“Makkeda ronnang lao sikekku


arék lo lilu cinna masséngek
arék mebbéré tinro mawajik
arék pasau nyameng mpabuwa
arék paddaga raga uddani
arék mawaru limongeng sobbu. (N. B 188. VI. 171)

Artinya:

“Demikian ini bunyi syairku


apa gerangan yang menenangkan hati mengenang
apa gerangan yang menenangkan tidur nyenyak
apa gerangan yang memuaskan hati nurani
apa gerangan penghibur hati merindu
apa gerangan memelihara kegusaran tersembunyi.”

b. Jammuricina:

“Tuling ngi matuk anak datué rudu sikekku


62 Drs. H. Muhammad Salim

Déwata ttaro to siporio sumangek lolang


Déwata ttaro doko mellinrung
Déwata taro limongeng sobbu
Lé mapancaji manasa wali ri memmengenna.” (N. B 188. VI. 172)

Artinya:

“Dengarkanlah, wahai anak raja, syairku


Dewalah yang menciptakan kehendak manusia
Dewa yang menciptakan cinta kasih
Dewa juga yang menciptakan saling mencinta dalam
perasaannya.”

c. Toappemanuk:

“Tuling ngi matu tobo sikekku


Anak mappajung mpuLawénnge
Makkeda sia rudu sikekku
Magi lapuang kupada nasampo langi
To siawaru nawa-nawakku
To siparéwek banapatikku
Lé teng kupudu-pudu sinyilik.” (N. B 188. VI. 172)

Artinya:

“Dengarkanlah syairku
Wahai anak yang berpayung emas
Demikianlah bunyi syairku
Mengapakah, wahai Tuhan, aku terus saja dinaungi langit
Orang yang saling mendamba dalam hatiku
Orang yang saling mengenang dalam hatiku
Tetapi tak segera saja aku saling memandang.”

Nyanyian seperti ini dibawakan berganti-ganti diiringi dengan


Tiga dari Galigo 63

tepuk tangan dan teriakan.

3.2. Seni tari


Sewaktu Sawérigading naik ke Boting Langi, anak dewa
mengadakan keramaian untuk menghibur Sawérigading. Sureq
Galigo menyebutkan:

Narini tona Sawérigading massappo siseng, lé maccinaga culé


sangiang, lé maggurui séré déwata, paincak kincak tettincarinna.
Tanggemmu maneng mua mappuji, anak déwata lé nabalié macéulé.
Ala paja ga Sawérigading meddék teppaja sisullé-sullé massappo siseng,
lé maccinaga culé-déwata, lé réa-réa datu-sangiang. Namanganngisi
séré mabbali anak déwata sompung lolona Sawérigading, sawé si
ronnang tudang maccokkong. Lé na watanna maccinagari lé uni
genrang anak déwata, létették gong datu-sangiang. Tenrek sérupa
naccinagari lé céulé-céulé mai ri langi.” (N. B 188. III. 181)

Artinya:

“Datang pula Sawérigading bersepupu sekali, mempelajari


permainan Sang Hyang, belajar tari dewa, memencak-mencakkan
jari tangannya. Bergumam semua sambil memuji para anak dewa
yang ditemani bermain. Tiada berhentinya Sawérigading bersepupu
sekali berdiri berganti-ganti belajar permainan dewa, tarian-tarian
raja Sang Hyang. Kalau sudah jenuh menari anak dewa, keluarga
Sawérigading pergi lagi duduk istirahat. Dia sendiri belajar
membunyikan gendang anak dewa, memukul gong raja Sang Hyang.
Banyak sekali permainan orang di langit yang dipelajari.

Di lain tempat dalam Sureq Galigo, disebut-sebut juga bahwa


Sawérigading pergi belajar tari di Maloku lenggang orang Sama.
Disebut-sebut juga Tari Baenrong di Buton, Tari Bunane di Toraja.
64 Drs. H. Muhammad Salim

3.3. Seni musik


Disebut-sebut dalam Sureq Galigo bahwa setiap upacara, baik
perkawinan, penjemputan, dan iring-iringan selalu disertai dengan
bunyi-bunyian alat musik seperti contoh ini:

Naritettékna genrang mpuLawéng manurunngé ri Alé Luwuk.


Ripalélé ni titincawaé nabénra gong napanawoang sara Malaju.
Narikebbina talinroara mala-malaé, ripassadani, lé mongeng-mongeng
rawungrawué. Riseno toni gamarusoda mala-malaé. Ripacellikni
tulali kati maddatué. Lao ri olo La Orokelling, La Taubuleng, La
Taupancék, La Kénikéni, La Kabinneseng sijjakaé wekkek tanréna,
situncuk é baba arona, makkawié lé teng nabbaju, lé mabbajue lé
teng nakkawi, nonnoriéngngi anré tekkoé, terreénngénngi cinagorié,
kadangiengngi wunga malilu massampek é ri parelleseng lawang saoé.
Makkajaki ni lé Luwuk é, mabbaénronni lé Butunngé, mabbunané ni
le Torajaé, masséngo-séngo Laiyodaé.” (N. B 188. XI. 276)

Artinya:

Ditabuhlah gendang menurung di Aléluwuk. Ditiuplah


tititncawa disertai gong musik melayu. Dipetiklah talinroara yang
indah, dibunyikan juga mongeng-mongeng yang meraung-raung,
ditiuplah ratusan buah tulalikati. Berada di depan, La Orokelling,
La Taubuleng, La Taupancék, La Kénikéni dan La Kabenniseng yang
tingginya sejengkal dan dadanya hanya selebar jari, orang-orang
yang bersarung tapi tak berbaju, orang-orang yang berbaju tapi tak
bersarung, yang menurunkan hasil bajakan, yang menebarkan rumpun
selaguri dengan kakinya di sela-sela bangunan rumah. Menari kajaki
orang Luwuk, menari baénrong orang Buton, menari bunané orang
Toraja dan menari séngo-séngo orang Laiyoda.

4. Nilai keagamaan
Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk
mencapai sesuatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada
Tiga dari Galigo 65

kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh, dewa,


dan sebagainya yang menempati alam (Koencaraningrat 1987: 54)
Dalam Sureq Galigo kita dapat membaca nilai yang ada
hubungannya dengan keagamaan dan kepercayaan, antara lain:

4.1. Takdir
Takdir berarti ketetapan Tuhan. Dalam agama Islam, takdir
merupakan cabang iman. Dalam Sureq Galigo kita dapat membaca
perjalanan kehidupan Sawérigading yang telah ditentukan oleh
Patotoé bahkan sebelum Sawérigading berada dalam kandungan.
Di antara nasib yang telah ditetapkan itu disampaikan oleh Patotoé
kepada Batara Guru. Cerita-ceritanya sebagai berikut.
Pada suatu hari Batara Guru dan La Sattumpungi bersamaan
naik ke istana Patotoé di Boting Langi. Batara Guru memohon
diberikan cucu karena Batara Lattuk belum mempunyai anak, sedang
La Sattumpungi meminta seorang anak perempuan yang cantik.
Permohonan keduanya diterima. Patotoé menjanjikan bahwa kelak
Batara Guru mendapat cucu yang bernama Sawérigading dan La
Sattumpungi mendapat anak perempuan yang bernama I Wé Cudai.
Pada saat itu Patotoé memasukkan lembaga kedua anak itu ke dalam
guci kemilau lalu menyempurnakan perjodohan dan perkawinannya.
Sesudah itu Patotoé berbisik kepada Batara Guru:

“Nawajuanna mua najaji céro datué teng sangkalangeng. Naia


ritu orowané aseng ngi sia Sawérigading, lé mutellai La Maddukelleng….
Nariapasompek La Maddukelleng mapparukkuseng ri Tana Ugi, le nasiala I
Wé Cudai, nasicokkongeng Daéng Risompa Punna Bolaé ri Lataneté, nasekkoe
pajung ri Cina.” (N. B 188. II. 181)

Artinya:

“Semoga selamat bayi itu lahir, yang laki-laki beri nama


Sawérigading dan beri gelar La Maddukelleng.…Kelak La
Maddukelleng akan diperintahkan merantau dan mencari jodoh di
66 Drs. H. Muhammad Salim

Tana Ugi mengawini I Wé Cudai, menikahi Daéng Risompa Punna


Bolaé ri Latanété yang dinaungi payung di Cina.”

Kalau kita menghayati ketentuan yang diberikan Patotoé


kepada Sawérigading, kita dapat mengetahui bahwa segala
kesusahan, penderitaan, dan kesengsaraan orang tua Sawérigading
dan masyarakat Luwu pada waktu Sawérigading dilanda asmara dan
ingin mengawini Wé Tenriabeng pun adalah liku-liku kehidupan yang
harus dialami. Semuanya termasuk dalam takdir yang ditetapkan
oleh Patotoé untuk Sawérigading sebelum ia bertemu dengan I Wé
Cudai di Istana Latanété.

4.2. Permohonan/doa
Permohonan kepada Tuhan/dewa berarti harapan, permintaan,
dan pujian kepadanya. Ucapan permohonan biasa dilakukan juga
kalau sesuatu maksud dalam keadaan biasa sudah dianggap sukar
dijangkau dan didapatkan. Sewaktu Wé Datu Senngeng hamil
dan mengidam rusa berkepala dua di Boting Langi, nangka harum
di Gima, pauh bajenggi di ujung samudra, langsat Makassar di
Sunra timur, dan padi cendana di Labu Tikka, kelompok burung
ladunrungsereng dengan mudah mendapatkan untuknya. Namun,
setelah ia mengidamkan lagi cumi lalume di Uriliu yang bersirip
gergaji, berekorkan kipas gemerlap, bersisik emas, bergigi keris,
bermata bintang, berlendirkan minyak harum, memuntahkan dupa
harum, bertaikan emas bubuk, berkemihkan minyak Sang Hyang, dan
sekali saja ekornya bergerak tujuh kali petir terdengar di dunia dan
lain-lainnya, burung ladunrungsereng tidak dapat menjumpainya.
Maka, bermohonlah Wé Datu Tompo:

“ Ranginngi matuk teng majéttara Déwi Maoro, Wé Sangiang


ri talagaé, lé denra datu Wiratalallo ri Toddattoja patiriénngak.
Tamménngi matuk lé suniaku, muwidéri wi lajanrésaku, teng marukelleng
lé pamanamu, lé maningoé ri simpemmu. Talinré tokko to mallangkana
wara-waraé ri saokuta pareppak é, musélitangka riléworemmu,
Tiga dari Galigo 67

talinréngi wi ripowélloku, passumpurang ngi mai sangiang riposalareng


teng majjiténa cumiring déwi ripowelloku.” (N. B 188. III. 9)

Artinya:

“Wahai Déwi Maoro, jangan timpakan kemarahan; I Wé


Sang Hyang di air, si Denradatu Wiratalallo di Toddattoja yang
melahirkan, terimalah nanti permintaanku, kabulkan nanti
mantraku. Tak hilang pusakamu yang tinggal di bilikmu. Bangkitlah
wahai orang yang beristana gemerlap di Saokuta Agung, pergilah ke
kampungmu, kabulkan kemauanku. Hubungi Sang Hyang agar anak
dewi kecintaanku bisa lahir dengan selamat.”

Berdoa agar dapat mengatasi sesuatu hal yang sangat berat


adalah penting kita ingat selalu. Jangan sampai kita menjadi orang
yang putus asa.

4.3. Dermawan
Dalam Sureq Galigo disebutkan bahwa sewaktu kembali dari
lawatannya ke alam arwah di akhirat, Sawérigading menceritakan
bahwa semua perbuatan manusia di Alelino, baik yang benar maupun
yang salah, akan dibalas di akhirat. Ketika orang tuanya menanyakan
amal apakah yang paling baik di dunia, Sawérigading menjawab,
“Wahai Tuanku Raja, yang paling baik adalah mengumpulkan di
istana kita orang miskin sekeliling Luwuk, sekitar Watamparek,
sampai negeri yang diperintah, kemudian kita berikan harta benda,
sebab alangkah baik rupa orang yang merahmati orang yang ditimpa
kesusahan di akhirat.”

Watanna mua Wé Opu Senngeng, malaibiné tellu maranak


mappampeang ngi warampparangna, ri to nabettue mase-mase ttudang
ri lino. Gennek maneng ni lé waramparang to nabettue le masé-masé,
nawéreang si anakarung maddanrenngé nainappasi to maégaé. Ala
rini ga napassangadi sining rinié ri langkanae. Napokasi ni lé ratué
68 Drs. H. Muhammad Salim

mua baku datu. Sugi siikka to nabettué le masé-masé ttudang ri lino.


Natarakkana to maégaé ronnang mattoddang napada nréwek ri
lolangenna. Pada natallo maneng rio to nabettué le masé-masé pada
makkeda, natuo barék to marajaé lé namalampé sungek pannyiwik
awana langilé napasessu ménéna tana. (N. B 188. V. 163)

Artinya:

Wé Opung Senngeng sendiri, suami istri tiga beranak,


menyerahkan harta mereka kepada orang yang ditimpa kesusahan
hidup di dunia. Setelah membagi banyak harta benda kepada orang
miskin, raja memberikan lagi harta kepada punggawa kerajaan dan
orang banyak. Tiada yang dikecualikan, semua orang yang berada
di istana mendapat bagian. Hampir seratus bakul-datu dikeluarkan.
Dalam sehari, orang yang kesusahan hidup di dunia menjadi kaya.
Selanjutnya, orang banyak itu pulang ke kampung mereka. Gembira
semua orang, mereka berujar mudah-mudahan hidup terus orang besar
itu. Panjang umur orang yang menguasai kolong langit memerintah
permukaan bumi.

5. Nilai kepemimpinan
Di dalam Sureq Galigo terbaca bahwa kekuasaan berada di tangan
seorang penguasa atau pemimpin biasa bergelar Opu atau Datu.
Sawérigading bergelar Opunna Warek yang berarti Yang Dipertuan di
Warek. Dalam kepemimpinannya, Sawérigading sebagai putra mahkota
dan pemimpin tertinggi dalam pelayaran banyak menampilkan hal yang
layak sekali diteladani seorang pemimpin, antara lain:

5.1. Ikut aktif menghadapi permasalahan


Sewaktu perang di Posi Tana, pasukan Sawérigading terdesak
mundur. Sudah banyak tentara dan pendampingnya yang tewas
karena musuh mereka adalah keturunan dewa juga yang mahir
berperang, bahkan mendapat bantuan dari Boting Langi. Turunlah
Sawérigading dari usungannya, ia tak mau dipayungi dengan
Tiga dari Galigo 69

payung emas. Dia sendiri menyerang langsung ke tengah-tengah


musuh yang berlapis-lapis. Rebah bergelimpangan yang ia tetak,
ada yang luka parah, ada pula kepala manusia terpotong-potong.
Segera berdatangan La Sinilele, La Pananrang, menjunjung adiknya,
sang raja, dan menaikkan kembali ke tandunya sambil berkata,
“Kasihanilah aku, wahai adikku raja, naik kembali ke usunganmu.
Nanti saja engkau menyerang kalau sudah tewas semua sepupu
sekalimu, sudah mampus semua para pengawal di samping payung
emasmu.” Sawérigading menangis sambil berkata:

“Amaséang ngak mennang la béla, muséllésawak nasekko pajung


lakko manurukku, kutijjang sia mappasipopo kanna ulaweng pasi
wuno i anak datué, muitasawak mappuli-puli manurunngé. Soro gi
sia béla belloé ri tennga padang, atompongeng gik makkawa cempa
masagalaé ri Aléluwuk, ri tompo Tikka.” (N. B 188. VI. 130)

Artinya:

“Kasihanilah aku dahulu, engkau saja yang menggantikanku


dinaungi payung emas manurungku. Aku sajalah yang berdiri
mengayunkan perisai, memimpin anak raja menyerang, dan engkau
melihatku bertarung dengan manurunnge itu. Apakah aku yang gugur
di medan perang ataukah kelak bertambah rombongan di gelanggang
yang ramai di Aléluwuk, di Tompo Tikka.”

Ucapan Sawérigading di atas menunjukkan bahwa dia bukan


pemimpin perang yang hanya bisa memberi komando, melainkan
yang sanggup turun sendiri berperang bersama pasukannya
menghadapi musuh.

5.2. Rasa kebersamaan


Pada waktu Toappémanuk tenggelam bersama dengan
perahunya karena ditelan oleh pusaran air laut, Sawérigading juga
mau melompat dari perahunya, menyusul sepupunya itu masuk ke
70 Drs. H. Muhammad Salim

laut. Sawérigading berkata:

“Pamolé sai Daéng Mallureng amarakaja wélong lajukku


kuwola sai ronnang kakauk ri Toddattoja, Lapuraélo, Lamellekcita.
Mellekna mua ininnawanna lao mpokori wi datu anrinna ri tennga
tasik.” Terri makkeda Lo Tenriwerru, “Ajak Dukelleng, ajak Lawé,
ajak pannyiwik awana langi, ajak pasessuk ménéna tana muolai wi
Toappémanuk. Teng maté ritu tunek wijanna Manurunngé ri Aléluwuk
ri Watarampek. Naérékkua muolai wi lalo mattodang ri Péréttiwi,
pada tijjanngi matuk ponratu pattupu batu riparolamu buwang aléna
ri samuddaé.” (N. B 188. VI. 195)

Artinya:

“Tolong bukakan, wahai Daéng Mallureng, ikat pinggangku,


aku menyusul kakakku si Toddattoja. Sampai hati ia pergi
meninggalkan adiknya, sang raja, di tengah laut”. Menangis sambil
berkata La Tenriweérru, “Jangan wahai Lawé, jangan Dukelleng,
jangan wahai yang disembah di kolong langit, jangan wahai yang
dipertuan di bumi, jangan engkau mengikuti Toappémanuk. Bisa
mati semua keturunan manurung di Aléluwuk di Watamparek. Kalau
engkau turun menyusulnya ke Péréttiwi, nanti semua punggawa
kerajaan mengikutimu menjatuhkan diri juga ke dalam laut.”

Memperhatikan hal tersebut di atas, kita dapat menarik


kesimpulan bahwa nilai kebersamaan Sawérigading dan pengikutnya
sangat kuat. Ketika temannya ditimpa kesusahan, mati ditimpa
kecelakaan, Sawérigading dan semua pengikutnya bersedia terjun
masuk ke dalam laut. Salah satu contoh yang baik dicontoh oleh
seorang pemimpin.

5.3. Musyawarah menghadapi persoalan


Pada waktu I Wé Cudai sudah kalah perang dan permintaannya
menghidupkan kembali pasukannya sudah terlaksana, maka ia pun
Tiga dari Galigo 71

bersedia dikawini dengan syarat, antara lain kawin tanpa upacara,


Sawérigading hanya boleh datang pada waktu malam, dinding bilik
tempat tidurnya tujuh lapis dengan pintu yang kokoh lagi dijaga
oleh penghuni istana, kelambu dan pakaiannya juga tujuh susun yang
sudah dijahit rapat. Sawérigading pun bermusyawarah dan bertanya
kepada La Pananrang:

“Aga na waé kakak La Nanrang béla uraga tapouraga nalalo


sia pakkawarutta taénrék sia ri Latanété ?” Mabbali ada ronnang
La Pananrang makkeda, nia gak palék anri Dukelleng ri marajamu,
maraja toi abonngoremmu. Ri masakkamu masakka toi akannaremmu,
teng mattemmupa palek sipali nawa-nawamu. Ri Boting Langi
kénnéng muléjjak, ri Péréttiwi mulirak-lirak, nata pasi langkana,
lakko tolino mua pappusaénngi nawa-nawamu. Mutéa ménrék le ri
anritta Bissurilangi lé nawatanna Daéng Manottek mupawakkangi
alé naia pouraga i.” (N. B 188. X. 105)

Artinya:

“Apakah yang harus kita usahakan kakak La Nanrang


supaya terkabul juga kehendak kita dapat pergi ke Latanété ?”
La Pananrang menjawab, “Rupanya setelah engkau besar adikku
Dukelleng, besar juga kedunguanmu. Engkau sudah berbadan lebar,
lebar juga kebodohanmu. Sedangkan Boting Langi engkau injak,
sedang Péréttiwi engkau jelajahi, masa istana keemasan manusia
saja masih membingungkan hatimu? Mengapa engkau tak naik saja
ke Rualetté bertemu adik kita Bissurilangi, nanti Daéng Manottek
sendiri engkau serahi dan dialah nanti yang mengusahakannya.”

Percakapan tersebut di atas menjelaskan bahwa seseorang


pemimpin tidak tinggal diam atau hanya pasrah menerima persoalan
yang dihadapinya, tetapi juga sudi berendah hati bertanya kepada
bawahannya karena mungkin saja ada di antara mereka ada yang
punya pemikiran mengatasi masalah itu.
72 Drs. H. Muhammad Salim

Orang Bugis mempunyai aneka nilai yang terdapat di dalam


cerita lisan dan yang termaktub di dalam Sureq Galigo. Pemilihan
nilai-nilai disini disebabkan keterbatasan saja. Masih banyak nilai
utama yang belum sempat kami paparkan, antara lain keperwiraan,
sipatuo, dan sipakatau.
Bila kita perhatikan dan hayati aneka nilai yang sudah dipaparkan,
dapat diketahui bahwa Sureq Galigo memuat catatan jaringan sistem
nilai budaya yang telah berkembang dan mendapatkan dukungan
dari sebagian warga masyarakat Sulawesi Selatan. Melalui Sureq
Galigo, nilai-nilai budaya zaman silam dapat diwariskan dari generasi
ke generasi. Invetarisasi berbagai nilai budaya Sulawesi Selatan juga
dapat ditumbuhkembangkan, terutama untuk memperkaya nilai-
nilai luhur budaya bangsa. Sureq Galigo, satu di antara hasil cipta
dan karsa orang Bugis di Sulawesi Selatan, memiliki spesifikasi
dan keunikan tersendiri sehingga menjadi peninggalan sejarah dan
peradaban masa silam yang dapat dibanggakan hingga sekarang.
Tiga dari Galigo 73

Daftar Pustaka

Mattulada dkk, 1990: Sawérigading, Dirjen Kebudayaan Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan
Salim Muhammad, 1987/1988: Sawérigading dalam Naskah, Yayasan
Kebudayaan Sulawesi
….., 1995: I La Galigo, Jilid I, Jambatan Jakarta
….., 2000: La Galigo, Jilid II, Lembaga Penerbitan Universitas
Hasanuddin Makassar
…., 1989/1993: Konsep Transliterasi dan Terjemah Surek Galigo N. B
188 dari Jilid I Sampai Jilid XII
N. B No. 188: Nederlandsch Bijbel No. Perpustakaan 188 jilid I sampai
jilid XII, milik perpustakaan di Leiden, Belanda (karya Arung
Pancana Toa yang diberikan kepada Dr. B. F. Mathes)
Tim Penyusun Kamus: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Perum Balai Pustaka
Wiwik Pertiwi dkk, 1998: Mapalina Sawérigading ri Wirillangi,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, CV Piala Mas
Permai.
74 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 75

3
Karena I Wé Cudai
Magaligali Parukkuseng
Maka Namaku I La Galigo
76 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 77

Pengantar

Tulisan ini dibuat untuk Seminar Internasional La Galigo yang


diadakan di Kabupaten Barru pada 15-18 Maret 2002. Terima kasih
atas minat pembaca yang memungkinkan tulisan ini menjadi salah
satu upaya pelestarian dan peningkatan nilai budaya masyarakat,
utamanya masyarakat Sulawesi Selatan.
Emas tidak ditambang di dalam beras dan gula pasir, ada
kalanya di tengah sampah dan kotoran. Ambillah emasnya, buang
kotorannya.

Makassar, 12 Februari 2002

Drs. H. Muhammad Salim


78 Drs. H. Muhammad Salim
Tiga dari Galigo 79

Sureq Galigo, biasa juga disebut Sureq Selleang adalah buku


mitos orang Bugis yang menceritakan kehidupan Datu Patoto,
Batara Guru, keluarga dan keturunannya. Menurut pendapat para
ahli pernaskahan, Sureq Galigo adalah hasil kesusastraan yang tebal di
dunia. Terdiri atas sejumlah episode atau téreng. Téreng yang terkenal
antara lain perkawinan Sawérigading dan I Wé Cudai serta kelahiran
anak mereka yang bernama I La Galigo.
Para tokoh dalam Sureq Galigo pada umumnya mempunyai
beberapa nama yang silih berganti disebut. Nama lain Sawérigading
antara lain adalah Opunna Warek dan Toappanyompa. Nama lain
I Wé Cudai adalah Daéng Risompa dan Punna bolaé Rilatanété.
Sedang I La Galigo biasa disebut To Boto, To Padamani, dan I La
Sémagga.
Dalam tulisan ini akan disampaikan keunikan perikehidupan
Opunna Warek, I Wé Cudai dan I La Galigo. Hanya perlu diketahui
bahwa kata I La Galigo mempunyai dua pengertian yaitu:
1. I La Galigo adalah nama orang, anak Sawérigading dari istrinya
yang bernama I Wé Cudai.
2. I La Galigo adalah nama buku; baik kumpulan ringkasan Sureq
Galigo oleh R. A. Kern, terjemahannya yang dikerjakan oleh La
Side dan Sagimun M.D., serta transliterasi dan terjemahan dari
buku pustaka N.B. no. 188 yang ada di Leiden Belanda, pemberian
Arung Pancana Toa kepada Dr. B. F. Matthes.

Kata I La Galigo berasal dari kata Galigo yang mendapat awalan


La sebagai pangkal nama bagi nama laki-laki, sedang awalan I adalah
pelengkap untuk mencukupkan suatu kata menjadi berhuruf lima
(huruf lontarak) sebagai salah satu ciri khas bahasa Sureq Galigo.
Sama halnya umpama nama La Bacoci menjadi I La Bacoci, La
Sinampé menjadi I La Sinampé, Wé Cimpau menjadi I Wé Cimpau.
80 Drs. H. Muhammad Salim

Ulah nakal I Wé Cudai dan upaya mengatasinya


Wé Duppa Sugi, orang dalam I Wé Cudai, dan teman-
temannya terperanjat sekali sewaktu pergi mandi di sungai dekat
tempat berlabuhnya perahu Wélenrénngé. Pasalnya, mereka melihat
hamba Jawa Opunna Warek yang bernama Ancek Kuliba sedang
duduk dikelilingi juak (punggawa) berpontoh emas berkilau dan
dilekati keris emas. Mereka tak jadi mandi dan duduk saja di bawah
pohon majempangi di sela-sela pohon atapancawa yang berjejer.
Kebetulan sekali orang wangkang itu naik ke darat dan ikut mengaso
di naungan pohon majempangi itu dengan dinaungi payung emas.
Wé Duppa Sugi dan teman-temannya segera kembali ke
Alécina dengan hati yang tersentak-sentak. Sesampai di istana,
mereka menceritakan kepada yang lain apa yang mereka lihat di
muara. Tampang laki-laki yang dilihat dayang-dayang I Wé Cudai
itu sungguh menegakkan bulu roma dan membuat badan mengigil:
bulu kumisnya diikat dan bulu dadanya sedemikian panjang sehingga
cukup dijadikan bahan bakar.
Panjang sekali pembicaraan mereka. Ada yang mengatakan
bahwa celaka nanti adik mereka yang dipertuan jika dimiliki oleh
orang Luwu dan dibaringi oleh orang Bajo. Padahal semenjak
diterimanya mahar yang banyak itu sudah sekian pula lamanya I Wé
Cudai merawat diri dan tak lepas cermin dari tangannya.
Kebetulan sekali bisik-bisik itu didengar I Wé Cudai. Segera ia
masuk ke dalam biliknya dan menghempaskan diri lalu membungkus
kepala dan kaki. Sudah tiga hari mencucurkan air mata tanpa makan
dan minum. Tertegun hati Wé Tenriabang, ibu I Wé Cudai, melihat
anaknya kurus dan pucat seperti bunga layu. Setelah ibunya bertanya,
sesuai bunyi Sureq Galigo anaknya menuturkan:

Menangis sambil berkata I Wé Cudai, “Aku akan jujur, Tuanku!


Aku tak sudi dimiliki Luwu atau dibaringi Bajo, disesarungkan yang
bukan senegeriku, si Méttang, si Ménrokoli, dan Selayar itu. Orang
yang badannya berbulu, bulu kumisnya diikat, bulu badannya cukup
untuk bahan bakar, ucapannya putus-putus dan tak bisa dimengerti,
Tiga dari Galigo 81

tak teratur waktu makannya, tak ditenun sarung pakaiannya, tak


dilihat asap apinya, tak disaksikan tanah tempat tinggalnya, hanya
makan ular di kampungnya.” (X.39)
Terkejut sekali Wé Tenriabang dan La Sattumpugi
mendengarkan ucapan putrinya. Mereka berkata bahwa kabar buruk
tentang Sawérigading adalah omongan orang-orang yang cemburu
saja kepadanya. Tapi, I Wé Cudai menyatakan kalau dia masih
disuruh berjodohan dengan orang Luwu itu, dia lebih suka dibuang
ke tempat yang jauh atau dibunuh saja sekalian. Juga I Wé Cudai
menyampaikan kepada saudara-saudara yang menasihatinya bahwa
kalau mereka mengingini orang Luwu itu, sebaiknya mereka bercerai
dengan suaminya lalu kabur bersama, atau mereka memilih waktu
untuk bergantian menemani suami mereka dan orang wangkang itu.
Setelah mendengarkan kerasnya penolakan I Wé Cudai dan
pertimbangan dari yang lainnya, maka Raja Cina pun menyampaikan
kepada istrinya:

“Jangan engkau Tenriabang memaksakan kemauanmu kepada


anakku itu karena ia bukanlah pelayan atau pembantu yang boleh
dipaksa-paksa. Kalau ia terus mengurung diri di biliknya, tak mau
lagi memakan nasinya, lalu sakit serta menderita, kemudian tak sudi
menerima lagi ratusan nazar, ribuan persembahan, bisa meninggal
dunia anakku itu.” Maka Toanakaji pun memanggil orang banyak
untuk mengembalikan harta lamaran Opunna Warek, mahar orang
Selli, pemberian orang wangkang. (X.42)

La Tenriranreng dan La Makkasau menyampaikan kepada


bapaknya bahwa mengembalikan harta orang wangkang itu amat
dipantangkan, perang besar nanti pada akhirnya dan kehancuran
negeri nanti akibatnya. Sebab kalau harta benda orang wangkang
itu dikembalikan, pasti orang Luwu mengangkat senjata. Walaupun
hanya tersentuh angin gagang tombak orang Warek, kematian
juga yang datang. Ucapan anaknya itu dijawab oleh orang tuanya
bahwa kalau mereka berdua tidak mau berperang melawan orang
82 Drs. H. Muhammad Salim

wangkang, keluarlah saja membantu orang Warek. Dia sendiri besok


akan mengangkat kapak membelah-belah perahu, mengikat orang
wangkang itu.
Sementara itu, Opunna Warek seperti orang yang kehilangan
semangat setelah mengetahui harta lamarannya dikembalikan. Beberapa
kali La Pananrang disuruh pergi menanyakan masalahnya. Kedatangan
La Pananrang yang terakhir menanyakan mengapa harta mahar
sebanyak tiga bulan pengangkutan (pada malam hari saja pengantaran
berhenti) hanya dikembalikan dalam jumlah sehari angkut kemudian
dinyatakan telah selesai dikembalikan semuanya. Bahkan dikatakan tak
ada selembar benang pun tak ada yang tersisa di Tana Ugi.
Keesokan harinya dipukullah genderang manurung dan gong
emas warisan negeri Luwu sebagai maklumat perang. Riuh kedengaran
ucapan ikrar sumpah perang yang menyatakan akan berperang sekuat
tenaga dan rela mati demi kemenangan tuannya. Bagaikan hutan
lebat banyaknya panji perang orang Luwu. Perang pun berkecamuk,
silih berganti maju mundur. Akhirnya saudara-saudara I Wé Cudai
menyerah, panji perang mereka membelot semuanya. Panglima
perang Alécina sudah bergelimpangan, begitu juga kedua pengasuh
I Wé Cudai dan bala tentaranya. Pembakaran rumah terjadi merata.
Di mana-mana asap mengepul tinggi mengangkasa, bahkan mulai
mendekati Istana Latanété. Wé Tenriesang, saudara I Wé Cudai,
memanggil dan menasihati adiknya supaya keluar membuka jendela
dan menyaksikan api yang dikobarkan orang Luwu, orang Warek.
Percakapan antara lain:

“Wahai Daéng Risompa, apakah aku membangunkanmu yang


sedang tidur? Kalau engkau terjaga, bangunlah kemari, saksikan
naiknya asap api. Sudah mengepul di mahligai tempat tinggal orang
tua kita. Api sedang menyala besar. Sudah kalah perang semua para
pengikut andalan orang tua kita. Bagaikan banjir datangnya orang
kalah, mengalir masuk ke pekarangan. Sudah datang juga saudara
kita La Tenriranreng dan La Makkasau yang menggabungkan
panji perang mereka dengan orang wangkang itu. Dialah juga yang
Tiga dari Galigo 83

memulai membongkar benteng penghalang di Alécina. Tidak ada lagi


saudara kita. Semua saudara kita sudah mengikut panji perangnya.
Bangunlah kemari, adik Cudai, supaya engkau saksikan sendiri.
Tiada lagi tempat yang tidak diduduki oleh lawan yang ribuan
jumlahnya, termasuk rumah-rumah kecil yang ditempati orang
kampung di Alécina. Sudah tewas panglima perang kerajaan kita.
Itulah sebabnya, wahai Daéng Risompa, engkau harus bangun kemari,
wahai adikku raja. Tenangkan hatimu, wahai adikku, sudilah engkau
tunduk dikawini oleh yang berperahu emas itu. Mudah-mudahan
Opunna Warek mengampuni kita dan menghentikan kobaran apinya,
menenangkan para pemberaninya.”
Marah sekali Daéng Risompa, ia lalu berkata, “Biar mampus
semua orang Ugi, wahai Wé Tenriesang, dan habis semua orang Cina.
Biar terbakar habis Tana Ugi, biar habis riwayat negeri Alécina ini,
tidak akan berubah penolakanku, tak akan beralih juga keenggananku
dibaringi Luwuk, diselimuti yang bukan sesamaku.”
Menyilangkan tangan, Wé Tenriesang berkata, “Rupanya
engkau celaka, Cudai! Semaunya sendiri menuruti hati. Engkau
sendiri rupanya yang ingin dijadikan rampasan dan tawanan perang,
engkau ingin dijadikan pelayan makanan dan pengatur tempat tidur.
Engkau akan dibawa berlayar oleh yang berperahu emas itu, langsung
dibawa ke negerinya.”
Berkata lagi I Wé Cudai, “Dengarkanlah ucapanku, Wé
Tenriesang! Kalau engkau sendiri mengingini orang Luwuk itu, kawin
sajalah engkau dengan si Méttang dan Ménrokoli itu. Kalau sudah
baik rumah tanggamu, ceraikanlah saja suamimu itu. Kalau engkau
sudah baik pada perkawinanmu, pilihlah malam tertentu engkau
pindah ke tempat orang wangkang itu. Kalau engkau menginginkan
harta benda yang banyak, jangan aku ini yang engkau susahkan.”
(X.75.76)

Pasukan Opunna Warek sudah mendekati Cina Timur untuk


menyerbu benteng. Saling bertarung para pemberani. Saling
mengadu keris yang biasa diperlagakan. Saling bergumul beradu
84 Drs. H. Muhammad Salim

dada para remaja dan saling menggulingkan dengan lengkungan


keris. Bagaikan kerbau bertandukkan perisai emas perlindungan
para juak-juak. Rebah bergelimpangan orang yang tertetak dan
yang luka parah. Menyilaukan mata darah yang membanjir. Lari
tunggang-langgang orang Ugi. Tidak ada lagi orang Cina yang dapat
bertahan karena sudah terlanjur lari mundur, diburu terus masuk ke
kampungnya. La Pananrang sudah menjinjing kepala musuh. Cina
Timur sudah dibakar. Dibakar terus supaya apinya pindah ke Istana
Latanété, agar keluar semua penghuni istana raja Cina, anak-anak La
Sattumpugi, dan yang lebih diharapkan sudah dapat menyaksikan
wajah I Wé Cudai. Sambil berpaling berkata Opunna Warek,

“Hati-hati To Sulolipu, jangan sampai api itu pindah ke


Istana Latanété dan mengejutkan Daéng Risompa sampai dia sakit.
Jangan sampai dia meninggal dan berangkat menuju ke alam baka.
Kalau begitu, tiada lagi gunanya, wahai kakak La Nanrang, kita
meninggalkan tanah di Luwu sampai kita meyatimkan orang tua
kita. Kita meninggalkan kekuasaan besar kita, ketinggian derajat
kita. Semoga yang bernama I Wé Cudai dapat hidup terus. Orang
yang bernama Daéng Risompa tidak menjadi permasalahan, wahai
kakak La Nanrang, kapan saja baru ia mau menerima pandangan
dan mendengar nasihat.” (X.91)

Berkecamuk lagi peperangan di dalam pekarangan. Saling


berburuan para pemberani. Bagaikan langit runtuh bunyi lontaran
layangan tombak kedua pihak. Bagaikan kilat sambung-menyambung
hunusan pedang dan kelewang yang ditetakkan oleh para juak
pengikut yang banyak itu. Berteriak La Pananrang meminta Daéng
Risompa keluar membuka jendela menyaksikan orang Luwu dan
orang Warek, orang yang diikat bulu kumisnya serta dapat dijadikan
bahan bakar bulu dada dan badannya. Supaya keluar yang selalu
menghina yang berperahu emas dengan mengatakan bahwa hanya
makan pada waktu malam (seperti kalong) dan hanya makan ular di
kampungnya. Berpaling sambil berkata Wé Tenriabang,
Tiga dari Galigo 85

“Bangunlah ke mari nak Cudai, bukalah jendela keemasan


dan jenguklah, engkau saksikan darah membanjir. Mengalir
bagaikan arus masuknya di bawah Istana Latanété. Engkau juga
lihat, wahai Daéng Risompa, berbaring bergelimpangan bangkai
juakmu di pekarangan serta para pengasuhmu. Sudah ditewaskan
juga La Tuppu Gellang, sudah tertetak juga La Tuppu Cina orang
tua pengasuhmu. Tidak ada lagi yang menjadi sandaran. Sudah
mati semua punggawamu. Sudah hancur raja-raja pengikutmu.
Hasil perbuatanmu itulah, anak Cudai, kelakuan tak terhinggamu
itulah, wahai Daéng Risompa. Engkau tak mendengarkan nasihat.
Yang engkau dengar, anak Cudai, hanya orang yang memberitahumu
dari luar. Engkau dengarkan semua ucapan mulut para pembantu
itu, yang memang adalah orang yang merasa cemburu. Kedunguanmu
itulah, anak Cudai. Kebodohanmu itulah, Daéng Risompa, semaumu
sendiri menuruti hati. Andaikata engkau tunduk saja kepada orang
Luwu untuk menyempurnakan pertunanganmu dengan orang Warek,
Alécina tak diserang, Tana Ugi tak terbakar habis.” (X.93)

Ucapan Wé Tenriabang ini tidak dihiraukan sedikit pun oleh


anaknya. I Wé Cudai tak bergerak dan tak mengeluarkan sepatah
kata pun menjawab orang tuanya. Seluruh penghuni Istana Latanété
yang masih pingitan dan tak pernah melewati sekat tengah bersamaan
menangis semuanya, tidak dapat menahan cucuran air matanya.
Bersamaan semua berdiri putri-putri raja Cina yang sepuluh orang
itu, masuk ke dalam bilik Daéng Risompa. Datang berdiri menunjuki
wajah saudaranya itu. Bersamaan berkata semua bersaudara itu:

“Turunlah engkau Cudai ke gelanggang, angkatlah perisai


hunuslah kelewang, berperanglah dengan orang wangkang itu. Engkau
juga bertarung kelewang dengan orang Luwu itu. Orang yang berbulu
dadanya, yang diikat bulu kumisnya, sebab hanya engkau yang
menyebut dirimu raja yang disembah, yang disujudi, yang berdarah
murni, yang dibusungi, demikian juga kekuasaan besarmu, kedudukan
86 Drs. H. Muhammad Salim

tinggi derajatmu, tidak mau menyempurnakan pertunangan dengan


yang berperahu emas itu. Engkau jadikan semua sangat celaka,
menjadi debu negeri makmur tempat kita semua.” (X.95)
Daéng Risompa tiada menjawab sepatah kata pun kepada
saudaranya. Bersamaan menangis semua penghuni istana besar
tempat tinggal I Wé Cudai itu.
Sudah ribut semua orang di dalam istana mendesak Wé
Tenriabang, ibu I Wé Cudai, agar mau mengulurkan persembahan
dan harta kepada orang Luwu sebagai pembeli tanah di Alécina, sebab
dialah yang selalu menuruti kehendak anaknya yang mengakibatkan
Tana Ugi hancur binasa tak bernilai lagi. Wé Tenriabang pun sudah
datang menghadap kepada Opunna Warek supaya mengambil harta
sebagai imbalan dihentikannya pembakaran serta pengunduran
pasukan. Ratu ini juga menyatakan bahwa Cina sudah menyerah
kalah, Tana Ugi sudah tunduk, mengikut panji perangnya dan
tunduk dalam segala hal tanpa syarat. Sesudah itu Opunna Warek
meminta pandangan To Sulolipu:

“Bagaimana pemikiranmu To Sulolipu, aku tidak mau


memaksakan kehendak kepada I Wé Cudai. Aku tak menghendaki
penghuni Istana Lataneté dihina. Tentu kelak akan menjadi hina juga
keturunanku kalau aku mendapatkan kemujuran terkabul cita-citaku
(merebut I Wé Cudai) dan mendapatkan keturunan di negeri buanganku.
Tentu orang nanti akan mengatakan ibu anak itu hanyalah perempuan
pampasan perang, sementara pertarungan tombak yang melahirkan
anakku. Wahai Kakak, sekalipun ia didapat dari tewasnya para
pemberani yang bertempur untuk orang banyak, yang akan lebih sering
terdengar nantinya adalah cercaan para pendengki.” (X.97)

Sepakatlah Opunna Warek menyuruh La Tenriranreng dan La


Makkasau, saudara laki-laki Daéng Risompa, supaya naik ke istana
menasihati saudaranya, mudah-mudahan saja I Wé Cudai mau
mendengarkan dan menerima perkawinan dengan Opunna Warek.
Belum selesai permintaan, La Pananrang berdua segera berangkat.
Tiga dari Galigo 87

Sambil mengetuk bilik berkatalah La Tenrianreng dan


La Makkasau,“Apakah engkau tidur, adik Cudai, apakah aku
membangunkanmu? Kalau engkau dengar dan sadar, bangunlah
kemari. Opunna Warek mengutusku.”
Menjawab Daéng Risompa, “Biarpun aku berbaring aku
mendengarnya juga. Keluarkanlah ucapanmu, kakak La Ranreng.”
La Tenriranreng dan La Makkasau berkata, “Berpikir
baiklah, Daéng Risompa, berhati benarlah, adik Cudai, mengenai
masalahmu. Engkau akan dibawa berlayar ke Luwu menjadi pelayan,
pengatur tempat tidur, atau engkau sudah bersedia menyempurnakan
perkawinan dengan orang wangkang itu.”
Sambil menangis berkata Daéng Risompa, “Wahai kakakku,
aku akan mengiyakan perkawinan dengan Opunna Warek kalau
kedua pengasuhku La Tuppu Cina dan La Tuppu Gellang dihidupkan
kembali. Hidupkan juga semua pasukan andalan orang tuaku.”
(X.98)

Marah sekali kedua saudaranya mendengarkan ucapan I Wé


Cudai yang tidak masuk akal itu, sambil meludah mereka mengatakan
bahwa I Wé Cudai ini betul-betul mau hancur, dahulunya berkuasa
tetapi kelak bakal menjadi budak saja. Keduanya kembali dan
melaporkan hal ini kepada Opunna Warek, yang menyuruh mereka
sekali lagi pergi untuk menanyakan apakah permintaan itu sudah
pasti atau akan ditambah-tambahi lagi kalau sudah dikabulkan.
Kembali keduanya menanyakan hal tersebut kepada I Wé Cudai. I
Wé Cudai menjawab,

“Dengarkanlah ucapan mulutku, kakak La Ranreng dan


La Makkasau. Hanya pada waktu malamlah yang berperahu
emas itu boleh datang. Tidak boleh tinggal sampai siang. Kawin
tidak diadakan upacara besar. Tengah malam baru boleh naik, obor
dipadamkan, pelita tak dinyalakan, tak diiringi bunyi alat upacara
kerajaan, tak dituntun dengan alat lawolo, tak disambut oleh Puang
88 Drs. H. Muhammad Salim

Matoa, tak menjeputkan tangannya pada tempayan emas (kawin


resmi). Tujuh susun dinding bilik yang kutempati, ditutup mati
semua palangnya….dijaga ketat oleh pelayan pembantu. Tujuh lapis
juga kelambu yang mengelilingiku, sudah terjahit bagian bawahnya.
Semua ujung sarung, penutup kepala, serta baju diikat tujuh lapis
pula.” (X.100)

Kembali lagi La Tenriranreng dan La Makkasau melaporkan


bahwa tak ada selesai-selesainya masalah yang diusulkan oleh
pemilik rumah di Latanété itu. Perkataannya melangit tak bisa
diatasi. Hal ini diserahkan saja kepada Opunna Warek untuk
menyelesaikannya. Opunna Warek memerintahkan Panritaugi dan
Jemmuricina mengumpulkan dan menghidupkan kembali mayat-
mayat pasukan dan pengasuh I Wé Cudai lalu mereka kembali ke
perahu. Toappemanuk dan Panritaugi merasa kurang senang dan
menyatakan bahwa tidak pernah terjadi seperti ini sebelumnya.
Mereka bilang bahwa mereka yang menang tetapi justru menjadi
yang kalah dan yang menyerah.
Opunna Warek berkata apa yang harus ia usahakan supaya
kehendaknya terkabul dan dapat pergi lagi ke Latanété. La
Pananrang mengusulkan supaya berangkat saja ke Boting Langi
dan menyerahkan masalah ini kepada adiknya yang bernama Wé
Tenriabeng. Nanti dialah yang mengatasinya.
Opunna Warek naik ke Boting Langi mengadukan masalahnya
kepada adiknya. Setelah laporan selesai, Wé Tenriabeng menyuruh
kakak kembarnya turun ke bumi, kelak menyusul petunjuk cara
penyelesaian. Pada waktu Opunna Warek ke Boting Langi, I Wé
Cudai sudah menyuruh membuat dinding tujuh lapis lengkap dengan
palang yang kuat di Istana Latanété.
Suatu malam Opunna Warek sedang tidur nyenyak, datanglah
angin menarik-narik ujung sarungnya dan membangunkannya.
Berkata angin berhembus itu,

“Berangkatlah Adik Opunna Warek, aku menuntunmu menuju


Tiga dari Galigo 89

pergi ke Latanété.” Berangkatlah Opunna Warek diantar oleh angin,


berjalan terus menuju ke layangan puncak istana dan mendatangi
si kucing Mikomiko yang ekornya bagaikan sebuah obor. Berkata si
Mikomiko, “Apakah engkau yang bernama Opunna Warek?” Sambil
menangis Sawérigading berkata, “Opunna Warek dan si Celaka
namaku, si Nasib Buruk gelarku, yang meninggalkan kekuasaan
besarnya, ketinggian derajat mulianya, yang selalu saja terhalang
pelaksanaan perkawinannya di Latanété.” Sambil menyembah sambil
berkata kucing belang Meompalo, bersamaan berkata pula dengan
si kucing Mikomiko, “Kur jiwamu, Tuanku Raja. Semoga tetap
semangat kehiyanganmu, tunas dewa yang turun di Alécina. Sayalah
yang akan mengantarmu masuk ke bilik Daéng Risompa.” Berkata
lagi si kucing Meompalo, “Berangkatlah, Tuanku, aku menuntunmu
masuk ke dalam bilik Daéng Risompa, perempuan yang engkau idam-
idamkan.” Berkata lagi kucing Meompalo, “Kalau aku belok, engkau
juga belok. Kalau aku menjauh, engkau juga menjauh, Tuanku.”
Berangkatlah Opunna Warek lalu turun melangkahi cinaga-gading
tiba sampai pada ruang tamu. Kucing Mikomiko berjalan di depan,
kucing Meompalo berjalan di belakang. Berangkatlah Sawérigading
melalui sela-sela orang yang sedang tidur bergelimpangan. Bagaikan
obor besar ekor kucing Meompalo itu, menyinari bilik menerangi kamar,
menerangi seluruh ruangan itu. Kalau Meompalo menjauh, menjauh
juga Sawérigading. Berbelok-belok Mikomiko, berbelok-belok Opunna
Warek sampai tiba di bilik Daéng Risompa. … berpalinglah Opunna
Warek menekan badan Daéng Risompa menelusuri ujung sarung I Wé
Cudai, mendapati sudah dijahit kedua ujungnya.
Berpaling sambil berkata pemilik rumah di Latanété, “Siapakah
lagi pelayan pembantu yang sangat sombong, tak menyayangi
nyawanya, dan berani berbaring mencari kehangatan bersamaku di
atas tikar keemasan?” … “Bukan pelayan, Adikku. Aku adalah
kakakmu Opunna Warek.” ….Sambil berpaling membelakangi, I Wé
Cudai berkata, “Bagaimanakah wajah orang yang ingin sesarung
dengan orang lain, si Méttang, Ménrokoli, dan Selayar. Orang yang
diikat bulu kumisnya, yang panjang bulu badannya, yang cukup
90 Drs. H. Muhammad Salim

dipakai untuk memasak bulu-bulunya, yang kasar sekali ucapan


mulutnya, dan tak dimengerti percakapannya?” …. Kecuali I Wé
Cudai yang lain, pasti akan tunduk bersesarung dengan engkau.
Kalau I Wé Cudai yang ada di Cina ini, yang dilahirkan oleh Wé
Tenriabeng, keturunan La Sanumpugi, biar seratus kali dari itu,
tidak akan tunduk untuk menjadikannya teman sesarung. Pergilah ke
perahumu wahai orang wangkang, jangan engkau tinggal di dalam
istanaku sampai siang dilihat oleh orang lain, disaksikan orang
luar. Tak akan berubah keenggananku. Tak lain juga penolakanku
bersesarung dengan orang lain, si Méttang, Ménrokoli, orang yang
diikat bulu kumisnya, orang yang panjang berjumbai bulu badannya,
tak diketahui asap apinya, tak dimengerti di mana tempat tinggalnya
dan tempat dia dilahirkan. Tak ditenun sarung pakaiannya, waktu
makannya hanya pada waktu malam, orang yang hanya makan ular
di kampungnya.” (X.116)

Sudah semalam Opunna Warek menghadiahkan harta


yang banyak kepada perempuan yang dilayarinya itu, bahkan
menghabiskan seluruh hartanya, tetap saja I Wé Cudai tak mau
tunduk. Padahal, aneka macam yang dia janjikan, antara lain bakul-
datu yang penuh berisi aneka macam barang yang besarnya tidak
dapat diangkat oleh tiga ratus orang. Daéng Risompa tidak peduli
dengan hadiah-hadiah itu..
Pagi-pagi sekali datang La Sulolipu dengan iringan upacara
kebesaran Opunna Warek di Istana Latanété. La Sulolipu
menyampaikan kepada orang tua I Wé Cudai bahwa Opunna Warek
ada di istana ini dibawa oleh angin ke dalam bilik I Wé Cudai.
Tuannya itulah yang akan dijemput kembali ke perahu. Sebelumnya,
Sawérigading memang telah menyampaikan pesan supaya dijemput
dengan upacara kebesarannya pada pagi harinya.
Tujuh malam lamanya Opunna Warek diantar oleh angin,
bersama pergi melaksanakan perkawinan-angin (botting ranenring).
Habis pemberian, habis hadiah, badannya tak bersentuhan, juga tak
menampak roman muka.
Tiga dari Galigo 91

Setelah Wé Tenriabeng atau nama lain Bissu Rilangi mengetahui


hal ini, ia menurunkan untuk kakaknya sebuah istana yang bernama
Mallimongen lengkap dengan peralatan dan isinya mengingat
perahu-perahu Sawérigading sudah tak layak lagi ditempati barang
yang banyak. Setelah istana ini datang, Opunna Warek pun kawin
dengan I Wé Cimpau atas saran orang tua I Wé Cudai. Sejak itu
tinggallah Opunna Warek di Istana Mallimongeng dengan istri dan
pengikut-pengikutnya. Suatu waktu seorang pembantu I Wé Cudai
berbicara dengan temannya,

“Sejak mereka meninggalkan Latanété (kawin dengan I


Wé Cimpau), sudah sekian lama ia tak pernah hadir di ruangan
pemilik rumah di Latanété, tak memasuki bilik besar tempat tidur
Daéng Risompa. Tak dipikir-pikirkan lagi bilik agung tempat tidur
I Wé Cudai.” Kebetulan sekali percakapan itu didengar oleh Daéng
Risompa. I Wé Cudai pun marah dan berkata, “Jangan berkata begitu,
wahai kakakku raja, jangan kalian mengulang-ulang ucapanmu.
Aku tak ingin lagi mendengar keturunan orang Luwu itu. Jangan
sampai dibawa angin, didengar oleh orang wangkang itu. Nanti
dia mengatakan hanya orang Luwu yang selalu diperbincangkan di
Latanété.” (X.120)

Pada suatu malam yang kelam datang lagi angin membangunkan


Opunna Warek. Angin itu bertanya sekiranya Opunna Warek sedang
tidur. Kalau sadar, bangunlah. Seterusnya angin menyampaikan
ada pesan saudara kembarnya yang bertanya mengapakah terlalu
nyenyak tidur Sawérigading padahal yang ditemani sesarung
bukanlah istri yang menyebabkannya berlayar. Mengapakah hanya
I Wé Cimpau yang ditemani, padahal bukan perempuan itu yang
menyebabkannya meninggalkan Luwu sampai meyatimkan orang
tuanya. Disampaikan lagi bahwa sekarang Daéng Risompa sedang
tidur sendirian, tak menghiraukan lagi kelambu dan palang pintu.
Setelah mendengar bisikan angin itu segera saja Opunna Warek
membangunkan La Pananrang kemudian berangkat Latanété, terus
92 Drs. H. Muhammad Salim

masuk ke dalam bilik I Wé Cudai tanpa diketahui oleh orang lain.

Sambil berpaling berkata I Wé Cudai, “Siapa lagi pelayan yang


tak menyayangi jiwanya ingin mencari kehangatan berbaring satu
selimut dengan aku?” Menjawab La Maddukelleng, “Bukan pelayan,
waha, adikku, aku ini pemeliharamu.” (X. 187)

Semalam lamanya Opunna Warek menjanjikan hadiah. Habis


pemberiannya, habis semua hartanya, habis semua akalnya, masih
tak tenang juga pikirannya sehingga ia merasa tak karuan. Terakhir,
Opunna Warek berujar akan memberikan kepada I Wé Cudai Orasada
yang berkepala dua yang bertolak belakang ujung dahinya. Orosada
ini pandai sekali berbahasa Ugi, cerdik dan cendekia sekali berbahasa
Jawa, ahli berbahasa Keling, dan istimewa sekali dalam memutuskan
perkara. Kalau Orosada itu menengahi perselisihan mulut antara
anak raja di gelanggang, kembalilah semuanya berbaikan. Janji ini
mulai membuka pembicaraan antara keduanya. Sangat geli perasaan
I Wé Cudai mendengar janji itu, ia pun berkata,

“Biarpun engkau bawa kemari kekuasaanmu dari Luwu,


engkau bawa Watamparek ke Cina ini, aku tak akan malu bilang
bahwa jelas aku tak memercayai ucapanmu. Di manakah diambil
Orosada yang dua kepalanya.” Gembira sekali Pamadellette, sambil
melilitkan lengannya ke badan istri kesayangannya, ia berkata,
“Bukan dusta kusampaikan kepadamu, wahai adikku.” (X.192)
Baru I Wé Cudai setengah berpaling saja, Opunna Warek sudah
gembira sekali. Segera ia melilit bagaikan pontoh pada pinggang
Daéng Risompa. La Maddukelleng bagaikan orang yang menikmati
rasa madu di dalam hati, satu sarung kain daratikelling dengan
istri yang disayanginya. Bagi I Wé Cudai, rasa nikmat menyentuh
badan Pamadellette bagaikan kain sutra, pakaian yang tak lusuh
warna. Berkatalah di dalam hatinya, “Celaka sekali aku ini sudah
didustai besar orang yang cemburu dan menginginkan cercaan.”
Pada waktu itulah I Wé Cudai dijala dengan sarung, dimasukkan
Tiga dari Galigo 93

ke dalam kepitan, dan ia menerima kegembiraan serta mengiyakan


keinginan. Opunna Warek bagai orang yang menang ayam mulianya,
mengadakan pesta di dalam kelambu, saling menggelepar di dalam
bilik. Bagaikan poci bertutup yang pas dengan tutupnya.
Gembira sekali Opunna Warek berbaring dengan hanya
selembar sarung berdua dengan istri yang menjadi idamannya itu.
Dia mendekapnya di dadanya lebar, diperbantalkan pada lengan atas
mulusnya, saling mengalirkan keringat dingin waktu tidur, tidak
mau lagi tertidur mata Opunna Warek mengusap-usap terus istrinya.
Nyenyak sekali tidur Daéng Risompa. Pada waktu dinihari yang
tenang, I Wé Cudai sadar dari tidurnya. (X.193) Sambil berpaling
berkata Daéng Risompa, “Kasihanilah aku wahai Opunna Warek,
engkau turun dahulu menuju ke tempat I Wé Cimpau. Jangan engkau
sampai siang di tempatku ini. … nanti pada waktu yang baik barulah
engkau menampakkan diri di Latanété dan orang boleh tahu engkau
berada di ruangan tempat tinggalku.”

Sudah hampir dua bulan Opunna Warek berbuat bagaikan


suami orang Senrijawa (suami dewa), berangkat malam kembali juga
malam. Setiap malam berangkat ke Latanété. Sawérigading berjalan
terus masuk ke dalam bilik Daéng Risompa. La Pananrang tetap
menjaga di luar pintu bilik. Ia bagai orang yang menikmati rasa madu
di dalam hati menyaksikan istrinya. Segera saja ia memegang istri
kesayangannya itu, kemudian mengangkat dan menyerudukkannya
ke dalam kelambu, membaringkan di atas tikar.

Sudah pandai sekali I Wé Cudai mengadakan pesta di dalam


kelambu. Sudah mahir juga Daéng Risompa menggelepar di bawah
kolong kelambu. Sudah tak canggung lagi pemilik rumah di Latanété
itu mempersegera kegembiraan, menuruti keinginan di dalam sarung
kain daratikelling. Dalam hati Opunna Warek berkata, “Sudah ahli
benar I Wé Cudai. Sudah mengerti sekali meladeni keinginan pemain
judi cinta penyabung. Tidak canggung lagi menggelepar berkali-
kali di dalam sarung kain daratikelling. Tidak mau lagi raja itu
94 Drs. H. Muhammad Salim

memisahkan badan dari istri yang selalu dipikirkannya. Gembira


sekali Sawérigading mendekapkan istri pada dada lebarnya, dia
mengusap-usapnya bagaikan ayam sabungan. Dilompat-lompatkannya
bagaikan burung, mengepitnya dengan paha mulus. Melilitkannya
bagai ikat pinggang, didekatkannya bagaikan gayung.”

Suatu malam Opunna Warek meminta agar bisa tinggal terus


di Latanété supaya disaksikan oleh orang banyak atas kehadirannya
sebagai suami. Permintaan ini dijawab oleh Daéng Risompa,

“Karena rasa maluku itulah, wahai Lawé, disebabkan oleh hinanya


ucapanku, wahai Opunna Warek, ucapan angkuhku yang keterlaluan yang
tak mengizinkanmu tinggal menetap di tempatku. Karena selalu saja aku
mengatakan bahwa aku tak mau didekati orang Luwu atau dibaringi
orang Bajo, disesarungkan yang bukan setanahku, orang yang berbulu
panjang, yang diikat bulu kumisnya, tak dimengerti ucapan mulutnya,
makanannya hanya ular, tak ditenun sarung pakaiannya, hanya makan
pada waktu malam , I Wé Cudai lain sajalah yang dikawini si orang
Méttang dan Ménrokoli itu. Kalau anak Wé Tenriabang yang bernama
I Wé Cudai, keturunan La Sattumpugi dan seluruh karib kerabatnya,
tidak ada yang mau dikawini oleh orang Luwu itu. Kalau semua
saudaraku datang berkumpul dengan sepupu sekaliku, mereka berkata
kepadaku mengapa engkau adik Cudai tidak mau tunduk (X.204)
dikawini oleh yang berperahu emas itu. Kalau orang tampan yang engkau
tunggu, Opunna Warek adalah orang yang paling tampan dan gagah.
Kalau orang Boting Langi yang dicari, keturunan orang Toddattoja
yang muncul, sudah dipastikan bahwa Opunna Warek itu keturunan
orang Rualetté yang turun, tunas orang Péréttiwi yang muncul menjelma,
raja yang kaya. Aku selalu menjawab perkataan sepupuku dengan
ini, ‘Saudaraku, kalau engkau memang mencintai orang Luwu itu,
engkau sajalah yang bercerai, pisahlah dari suamimu, engkau kawin
dengan si Méttang, Ménrokoli itu. Kecuali kalau engkau cinta kepada
suamimu, tentukanlah ada suatu malam engkau pindah bermalam.
Tujuh malam lamanya dengan orang Luwu itu.’ Dengarkanlah halku
Tiga dari Galigo 95

itu, wahai Opunna Warek, ucapan mulut angkuhku. Itulah yang tak
mengizinkanmu tinggal di tempatku. Memang dapat mematikan rasa
malu itu. Tak mengizinkan bergaul kata-kata angkuh itu. (X.205)
….Kasihanilah aku Tuanku, engkau turun saja dengan segera pergi
ke tempat I Wé Cimpau. Jangan engkau tinggal sampai siang dalam
bilikku ini. Kalau engkau tak mau mendengarkan ucapanku ini,
akan sama halnya lagi seperti dahulu pada waktu kau tak muncul di
tempatku ini.” (X.206)

Suatu malam Opunna Warek mendapati bahwa I Wé Cimpau


mulai hamil. Opunna Warek tidak pergi ke Latanété sebagaimana
biasanya karena ingin tinggal menghibur hati I Wé Cimpau yang
sedang mengidam. Sudah puluhan malam Opunna Warek tak pergi
ke Latanété. I Wé Cimpau mendesaknya supaya yang Dipertuan Raja
Kolong Langit yang berkuasa di permukaan bumi itu pergi dulu ke
Latanété karena sudah puluhan malam lamanya tak mendatangi lagi
bilik mulia tempat tidur Daéng Risompa. I Wé Cimpau takut kalau
I Wé Cudai merasa marah dan mau membunuhnya karena dia adalah
raja bawahan I Wé Cudai. Opunna Warek mengatakan kepadanya
bahwa hal itu akan dia atasi, kalau perlu, kalau I Wé Cimpau takut
tinggal di Cina, ia akan menyuruh La Pananrang mengantarkannya
ke Aléluwu, tentu gembira sekali Sri Paduka melihatnya.
Lain halnya di Istana Latanété, sejak Opunna Warek berada
puluhan hari di Istana Mallimongeng, I Wé Cudai tinggal di kamar
saja tak dapat makan karena merasa sakit. Setelah ditanya oleh
ibunya, I Wé Cudai menangis sambil berkata kepada ibunya,

“Rasanya tak mau lagi masuk dengan lancar makanan pada


kerongkonganku.” Menjawab Opunna Cina. “Apalagi, wahai si
Celaka, yang engkau pikirkan di dalam hatimu, sebutkanlah supaya
didengar.” Menjawab I Wé Cudai. “Jambu sereng, nangka harum
yang kuingini. Bunga tanri yang berakar di Boting Langi yang
jumbai daunnya di Toddattoja yang selalu dicari oleh nelayan di laut.
Daeko madu, mangga manis seramai, pauh bajenggi (pao jengki)
96 Drs. H. Muhammad Salim

yang tumbuh di pinggir langit, hati agas di Uriliu, perut nyamuk


di Toddatoja, ikan besar di Toddatoja, dan padi angsana di Boting
Langi. Itulah yang menjadi keinginan di dalam hatiku.” (X.110)
Wé Tenriabang, ibu I Wé Cudai, segera pergi menemui
Sawérigading di Istana Mallimongeng, sambil mengingatkan bahwa
mereka datang karena ditimpa kesusahan. Tidak ada laki-laki masuk
ke istana, tapi mengapa Daéng Risompa tidak datang bulan lagi.
Ucapan itu didengar Opunna Warek, sambil tertawa ia kemudian
bercerita tentang semua perihal dengan I Wé Cudai. Kemudian
mempertanyakan apa-apa kebutuhan I Wé Cudai sekarang ini.
Setelah disampaikan semuanya, Opunna Warek pun memerintahkan
Ladunrung Sereng dengan kelompok burung lainnya menuju ke
tempat-tempat istimewa untuk mengambil buah-buahan keperluan
I Wé Cudai itu. Landunrung Sereng ditugaskan mengambil pauh
bajenggi di pinggir langit. Matangkiluwuk mengambil mangga
sakenni-saramai di negeri Kelling dan daeko canik yang berjejer di
Sawammegga. Bekak Maloku mengambil nangka harum di Tompa
Tikka, Putteng Solok mengambil bunga palallo yang menyemak
di Mettoanging, Alobiraja Mancapai mengambil padi angsana di
Boting Langi, Cuwi Manikek mengambil hati agas di Wawoempong.
Arakkarak Wolio mengambil ikan besar di Péréttiwi, Laweddaijek
mengambil jambu sereng di Gima.
Dengan ancaman akan dipatahkan leher dan sayapnya kalau
kalah cepat datangnya dari kecepatan angin, burung-burung itu pun
datang semua membawa aneka macam buah-buahan itu. Padahal, ibu
I Wé Cudai masih berkeliling di Istana Mallimongeng yang luar biasa
perlengkapan dan isinya itu sambil menyumpahi kebodohan anaknya.
Kembalilah Wé Tenriabang dengan membawa aneka macam
buah-buahan yang langka itu dengan alasan baru jalan-jalan dari
pinggir pantai dan kebetulan sekali ada pedagang yang sedang
menjajakannya. Dalam perjalanan pulang itu ia tiada henti-hentinya
menyumpah-nyumpahi anaknya yang sangat bodoh, celaka, dan suka
menuruti keinginannya sendiri itu. Pada suatu malam menangislah I
Wé Cudai sambil berkata,
Tiga dari Galigo 97

“Entah apa sebabnya, wahai Kakak, sampai merasa tak enak


perasaanku, merasa kejang semua persendian tulangku. Rasanya,
bagaikan terbelah dua badanku ini, dan sangat sakit sekali perutku.
Itulah sebabnya aku membangunkanmu.” (X.133)

Sakit sekali perut I Wé Cudai. Menangis terus karena tak dapat


menahan sakit perut yang dideritanya. Segera diperiksa oleh Puang
Matoa. Saudara-saudara dan para sepupunya juga sudah datang
semua. Membalik ke kanan dan ke kiri bagaikan sudah lupa bernapas
lagi, ia akhirnya berkata,

“Kasihanilah aku, wahai Tuanku, bunuh saja aku dengan


keris emas, supaya aku tidak terus menderita.… Aku akan mati,
wahai Tuanku, biarlah aku mati, aku tak tahan lagi perutku sakit.
Bagaikan remuk semua tulangku.” (XI. 38)

Opunna Cina pun menyabarkan anaknya serta menyatakan kur


jiwa anak Cudainya, semoga saja tetap semangat kehiyangannya. Ia
berujar, kalau rambut anaknya terjatuh akan ditanam dan kalau rambut
indahnya itu putus akan disambung juga. Ia juga mengharapkan agar
ucapan anaknya itu jangan diulang lagi. Sedang ibunya menyabarkan
anaknya dengan ucapan kur jiwa si hiasan istana. Memang demikian
nasib perempuan. Sudah menjadi warisan perempuan yang ada di kolong
langit di permukaan bumi menderita penyakit yang demikian. Itulah
harus hati-hati menjaga ucapan mulut dan hati-hati dalam pembicaraan,
sebab bukan manusia yang berkehendak, bukan juga berkuasa. Ada
Sang Hyang memperhamba kita. Dalam waktu yang gawat itu, dukun
kerajaan mendengar bisikan suara dari langit bahwa untuk mengatasi
hal ini, I Wé Cudai harus meminta maaf kepada Sawérigading dan I
Wé Cimpau. Kedua orang itulah yang harus memohonkan ampun
atas kesalahan I Wé Cudai. Karena agak marah semua dewa, raja
nenek Sawérigading di Boting Langi, di Toddattoja, di Rualletté dan
di Péréttiwi atas kesombongan dan keangkuhan I Wé Cudai yang tak
98 Drs. H. Muhammad Salim

pantang menghina dewata, memburukkan cucu kesayangan manurung.


Kalau keduanya tak datang, akan mati I Wé Cudai bersama anaknya,
hancur binasa Alécina, mati mampus penghuni kampung Tana Ugi.
Dengan usul ini, Sawérigading dan I Wé Cimpau datang dengan
segala peralatan kerajaannya serta dukunnya yang ada hubungannya
dengan kelahiran anaknya itu. Sawérigading pun datang terus memangku
kepala istrinya sambil menangis. I Wé Cimpau pun berdiri menaburkan
bertih emas orang Boting Langi, beras beraneka warna orang Senrijawa,
menyembah ke atas di Botillang, ke Péréttiwi, dan berucap,

“Tuhan Palingé, berilah ampun kepada hambamu Daéng


Risompa. Tuhan Patoto, berilah rahmat serta maafkan ucapan tak
baiknya Punna Bolaé ri Latanété ini, kepada Sang Hiyang aku akan
persembahkan kerbau cemara ratusan ekor yang bertanduk emas, yang
ditambatkan ke tiang bambu dengan tali kain bercorak bulan. Aku
tak akan melewatkan hari atau waktu demi menunaikan segera nazar
pembeli jiwa raja-tuanku I Wé Cudai, supaya ia bisa memangku
anaknya lahir selamat.”” (XI.58)

Segera Sawérigading mengganti pakaiannya dengan pakaian


orang Rualletté (dewa), kemudian memegang alat pacoda lakko lalu
menyembah ke Boting Langi menengadahkan tangan, ke Péréttiwi
menyatakan kerendahan dirinya, memohon ampun kalau ada di antara
neneknya yang empat jalur ke atas itu marah atas ucapan mulut I Wé
Cudai yang dungu itu, janganlah hendaknya didengar. Kiranya dapat
memaafkan agar hidup selamat ibu dan anaknya untuk dijadikan
penghibur di negeri tempat buangannya. Semua saudara dan sepupu I
Wé Cudai bahkan penghuni istana mengucapkan nazar juga.
Tak terlihat I Wé Cudai mengejan, tahu-tahu sudah meluncur
keluar bayi raja di atas tikar keemasan, dijemput dan dipangku
dukun kerajaan. Daéng Risompa menghempaskan diri, berbaring,
lau mencucurkan air matanya. Ia membungkus kepala dan kaki
dengan sarung. Dengan kepala terbungkus I Wé Cudai bersoal jawab
dengan dukun kerajaan sebagai berikut,
Tiga dari Galigo 99

Berkata dukun raja itu, “Apakah yang dipakai memotong


tembuni raja itu?” Menjawab I Wé Cudai, “Potonglah dengan buluh
dengan berlandaskan keramik tanah. Engkau ruakkan lubang besar
lalu turunkan di tanah. Engkau panggilkan anjing orang Cina,
supaya datang semua anjing orang Ugi untuk memakan anak-
anak itu, anak orang Luwu, Méttang dan Ménrokoli, yang tergesa-
gesa ucapan mulutnya, tak dimengerti kata-kata pembicaraannya.
Orang yang hanya makan ular di kampungnya, tidak ditenun kain
sarungnya, hanya makan pada malam hari.” Berkatalah Puang ri
Cina, “Apalagi yang mesti dilakukan dengan tembuni raja itu?”
Menjawab I Wé Cudai, “Masukkan ke dalam belanga pecah dan
tutup dengan daun teratai danau, simpan anak dengan tembuninya
pada rakit, lalu engkau hanyutkan di sungai yang ada di luar, agar
hanyut bersama air mengalir, biar dibenamkan oleh penghuni laut dan
menjadi makanan ikan-ikan besar, biar disantap oleh lumba-lumba
sehingga mengenyangkan penghuni laut.” (XI.72)

Marah sekali Raja Tempe dan meludah Wé Tenrijeka


mendengarnya. Mereka berkata tiada henti-hentinya I Wé Cudai
memperlihatkan kedunguan dengan ucapannya. Ibunya pun
menyumpah-nyumpahinya dengan ucapan tak tahu malu I Wé
Cudai yang berani menghina Sang Hyang, yang tak jera atas
kedurhakaan, yang rupanya tak merasa tobat kena kutukan langit
yang menyiksanya. Dalam keadaan terbungkus kain, I Wé Cudai
menjawab,

“Apakah aku kena kutuk atau menjadi hina, tetap saja aku tak
mau melihat keturunan orang Luwu, putra orang Selayar, yang hanya
makan ular di kampungnya. … … … Mengapa engkau, wahai
Teppéréna, tidak mau berdiri mengangkat anak itu. Buatlah lubang
besar, lalu jatuhkanlah. Engkau panggilkan anjing orang Sabbang,
supaya datang anjing pemburu orang Cina memakannya. … Untuk
apa dijadikan putra mahkota keturunan orang Luwu, Selayar.
100 Drs. H. Muhammad Salim

Turunkan saja anak itu dari mahligai. Jangan tinggal di Istana


Latanété ini, memekakkan telinga. Aku tidak mau melihat anak
orang Méttang, tak mau juga serumah anak Ménrokoli.” (XI.76)
Bagaikan bara menyala wajah La Sattumpugi mendengarkan
ucapan anaknya. Sambil meludah, ia mengatakan bahwa saudara-
saudara dan sepupu sekalinya ternyata dianggap oleh I Wé Cudai
sebagai hamba penyapu kolong istana tempat tinggalnya. Anak
itu tiada menghiraukan nasihatnya, bahkan disebutkan bahwa dari
sepuluh anaknya, hanya dialah yang menjadikan hina keagungannya.
Bersamaan berkata Opunna Cina suami istri,

“Ambillah, Opunna Warek, anakmu itu, bawalah ke timur ke


Mario, biar diselimuti kain patilagajang oleh I Wé Cimpau datunna
Lempa. Terserah I Wé Cudai mau mati, Daéng Risompa mampus, asal
saja hidup terus cucuku itu.” (XI.80)

Bayi itu pun diangkut dengan usungan emas menuju ke Mario.


Hanya sepengunyahan sirih rombongan sudah sampai di Mario,
dijemput dengan ucapan kur semangat oleh seluruh penghuni istana.
Berganti-ganti semua inang pengasuh menyusuinya tetapi si bayi tak
mau juga. Hal ini disebabkan ada utusan dari langit, utusan andalan
Wé Tenriabeng yang menjaga kemenakannya. Ia tak mengizinkan
bayi itu disusui oleh inang pengasuh yang bukan murni sekali
keturunannya. Berangkatlah Panritaugi ke barat menyampaikan
kepada Raja Cina bahwa cucunya bermanja-manja tidak mau
menyusu kalau bukan inang pengasuh kerajaan.
Opunna Cina lantas memanggil Raja Jampu untuk menjadi
inang pengasuh. Utusan itu diberitahu bahwa kalau Raja Jampu
mengatakan tidak ada keturunannya yang menjadi inang pengasuh,
sampaikan kepadanya bahwa seluruh Cina sekarang ini menjadi
kekuasaan Opunna Warek. Tidak ada yang boleh menentangnya.
Bahkan Opunna Cina berkata,

“Walaupun erat kekeluargaan orang Cina, Opunna Warek


Tiga dari Galigo 101

jika menghendakinya bisa dipisahkanikatan itu, diberceraikan orang


perkawinannya. Tidak akan selamat kerongkongannya, orang yang
mencoba-coba menantang keinginan orang besar itu. Walaupun orang
Cina bahagia dalam kekeluargaannya, tak retak suami istrinya,
bila orang besar menghendakinya, harus terpisah dalam keluarganya
itu, bercerai juga mereka dengan suami istrinya. Tak akan selamat
kehidupannya yang ingin merasa angkuh menantang pada payung
itu.” (XI.94)

Setelah menyelesaikan semuanya, Wé Tenriabang pun kembali


ke Cina dengan rombongannya. Setelah mereka sampai di istana, I
Wé Cudai datang menanyai orang tuanya. Setelah dijawab oleh orang
tuanya bahwa dia dari Mario mencarikan inang pengasuh anaknya,
berkatalah Daéng Risompa,

“Rupanya memang engkau hargai dengan baik anak orang


Méttang, Ménrokoli. Apakah engkau tak malu, Tuanku, berputra
mahkota raja yang tidak diketahui asap apinya. Suruhlah orang
wangkang itu kembali ke kampungnya dan membawa juga anaknya
itu. Jangan sampai tinggal di Cina ini, memekakkan telinga
keributannya.” (XI.100)

I La Galigo makin hari makin besar, sudah mahir pula


mengembara diiringi pengasuhnya. Sudah berumur lima tahun
I La Galigo sejak dilahirkan di atas tikar emas dijemput dukun
dipangku dukun kerajaan. La Pananrang dan La Massaguni mengajar
kemenakannya memasang gayung melilit pembulang. Diajar juga
cara menangkap ayam sabungan, naik mengadu ayam sabungan
pada sabungan emas. Berganti-ganti dengan temannya mengasah
taji. Sudah ahli I La Galigo mengenakan gayung melilit pembulang
dan menangkap ayam. Setelah upacara naik raga-raga I La Galigo,
diundanglah seluruh keluarga, baik yang ada di daratan maupun di
seberang lautan, untuk datang meramaikan upacara itu. Ada yang
datang dari Wadeng, ada yang dari Tompo Tikka. Banyak macam
102 Drs. H. Muhammad Salim

hadiah didapat oleh I La Galigo. Raja-raja di Cina kagum melihat


kebesaran raja-raja tamu famili Sawérigading. Apalagi setelah
mendengarkan semua bercerita tentang pengalaman masing-masing.
Tidak ketinggalan Sawérigading memperdengarkan ceritanya mulai
jatuh cinta kepada saudara perempuannya sendiri yang sekarang ada
di Boting Langi, sampai ulah kenakalan perjodohannya dengan I Wé
Cudai Daéng Risompa.
Setelah tiba hari yang ditentukan dinaikkanlah raga-raga I
La Galigo, diperinjakkan pada Tana Menroja, dipertumpukan pada
Umpa Sekati, dirimbunkanlah daun kayunya. Tata cara perbissuanpun
dilaksanakan dengan upacara Sang Hyang kehiyangan I La Galigo.
Bagaikan mau runtuh Sabballowang, mau terbelah Mario, disebabkan
teriakan orang banyak. I La Galigo bagai anak dewa yang turun di
bumi.
Selesai upacara dimulailah sabung ayam. Penyabung pertama
adalah I La Galigo dan Pallawaganuk, sepupu sekali Sawérigading
dari Tompo Tikka. Segera berdiri I La Galigo bersamaan dengan
pamannya naik ke panggung emas. Masing-masing mengasah
taji, mengenakan gayung lalu membulang. Berada di panggung
dinaungi payung kemilau, keduanya mengagungkan ayamnya.
Rupanya tak canggung I La Galigo mengadu ayam, ia sudah mahir
di gelanggang. Tiga kali saja saling menggelepar ayam-ayam itu, lari
terengah-engahlah ayam mulia Pallawagauk. Berdirilah I La Galigo
menangkap ayamnya membuka benang pembulang kuningnya, lalu
memberikan kepada penjaga ayam mulianya, kemudian menyentak
destar andalannya, menarikan destarnya, menggoyang-goyangkan
lengannya, memencak-mencakkan jari tangannya, menggeliatkan
pangkal lengan tempat bertumpuknya gelang tuangan di lengannya.
Bagaikan mau patah lengannya. Bagaikan mau bertemu ujung
sikunya, hampir saja tersangkut destarnya pada tangkai pohon lonra
yang paling bawah. Terkipas-kipas rambut tebal indahnya, terserak
kalung kemilau yang ada pada dadanya. Riuh bagaikan burung nuri
berkelahi kedengarannya gelang tuangan yang ada pada lengannya,
gelang emas yang ada pada kakinya.
Tiga dari Galigo 103

Berteriak-teriak orang banyak di gelanggang. Bagaikan suara


guntur teriakan laki-laki sebayanya itu. Gembira sekali Pallawagauk
melihat kemanakannya saling bergandengan tangan turun dari
mahligai. Bagaikan orang yang menikmati rasa madu di dalam hati
Opunna Warek menyaksikan putranya.
Setelah saudara I Wé Cudai kembali dari Mario, apa yang ia
dengar, lihat, dan saksikan, ia ceritakan kepada orang tuanya. Baik
keagungan raja-raja famili Sawérigading dari seberang lautan, semua
cerita yang didengar, kehebatan upacara kehiyangan naik raga-raga
I La Galigo, kemolekan dan kecendekiawan La Galigo, maupun
pemberian-pemberian sepupu Sawérigading diceritakan semua.
Utamanya, keadaan I La Galigo yang bagaikan anak dewa yang turun
dari khayangan. I Wé Cudai Daéng Risompa turut mendengarnya
dengan penuh perhatian sambil menelan air liur. Lebih terpukul lagi
I Wé Cudai setelah La Tenriranreng dan La Makkasau mengatakan
kepada ayahnya bahwa celaka sekali adiknya I Wé Cudai yang sudah
semaunya sendiri mencela orang tak ada tandingannya di dunia.
Tidak mungkin didapatkan orang yang sama dengan Opunna Warek
di kolong langit ini.
Suatu waktu, saat berdua-duaan dengan kakaknya yang
bernama Wé Teppéréna, berkatalah Daéng Risompa,

“Bagaimana pemikiranmu I Da Sarebba, sebab tidak mau lagi


tidur mataku saat berbaring. Tidak mau juga badanku berbaring
disentuh tikar bantal memikirkan anakku itu, mengingat-ingat
putraku saat mendengarkan beritanya. Kata orang, anak remaja itu
terlalu cantik, agak sombong menurut beritanya, tak menghiraukan
raja sesamanya, lagi cendekia mengeluarkan ucapan melebihi cara
bicara pamannya. Terlalu ingin rasanya perasaanku melihat keadaan
anakku itu. Aku juga ingin mendengarkan putraku berbicara,
tetapi aku terlalu malu mengingat-ingat ucapan angkuhku tentang
ketakmauanku pada orang Luwu. Aku tak putus-putusnya mencela
orang Warek itu.” (XI. 242)
104 Drs. H. Muhammad Salim

Oleh Wé Teppéréna, keinginan adiknya itu dijawab dengan


berkata bahwa salah satu cara untuk melihat anaknya itu dengan
tidak mencurigakan adalah menggelar sabungan di Cina. Disuruh
berkumpul semua orang sekitar Cina, seputar Sabbang, dan yang
berbatasan dengan Tana Ugi. Tidak ada yang boleh mencoba-coba
tidak datang di Cina. Akan celaka kehidupan punggawa kerajaan
para penyabung yang hanya tinggal di rumahnya. Keesokan harinya
dipanggillah rakyat sekitar Cina, seputar Sabbang, berkumpul masuk
berjudi di Alécina. Mereka membawa ayam-ayam andalan masing-
masing. Tidak ada yang boleh tinggal di istana para punggawa
kerajaan yang sudah berpengalaman di panggung dan sudah
dibesarkan dengan asahan taji. Lima ratus ayam berbunuhan sehari.
Gemuruh suara orang banyak terdengar di Tana Ugi.
I La Galigo mendesak orang tuanya datang menyabung di
Alécina. Opunna Warek masih ragu pergi karena berbagai alasan,
tapi I La Galigo mendesak terus dengan bermacam alasan pula.
Akhirnya Opunna Warek mengiyakan kehendak I La Galigo. Setelah
persiapan rampung, berangkatlah mereka semua ke Alécina diiringi
dengan upacara kerajaan.
Maka, lengkaplah semua Opu penyabung datang membawa
semua ayam mulia mereka. Mereka berbaris memanjang di depan
kurungan ayam andalan, mereka membanjir masuk ke gelanggang.
Orang-orang bergeser saat usungan Opunna Warek dan I La Galigo
lewat. Opunna Warek bersama putranya naik ke atas di mahligai
diapit-apit oleh punggawa kerajaan, diramaikan oleh juak pengawal
berpontoh emas, berikat pinggang kemilau, dilekati keris emas,
dipersilakan duduk oleh saudara Daéng Risompa.
Pertarungan ayam Opunna Warek dengan ayam Simpuang
Letté dimulai. I La Galigo memencak-mencakkan jemari mendukung
ayamnya. Tujuh kali saja saling menggelepar, terbunuhlah ayam
Simpuang Letté dari Wawolonrong. Berdirilah I La Galigo sambil
mengayunkan destar bunga matahari andalannya, melenggang
lenggokkan pangkal lenganya yang dilingkari gelang tuangan,
memencak-mencakkan jari tangannya. Gemerincing gelang tuangan
Tiga dari Galigo 105

yang ada di tangannya, terkipas-kipas ujung rambut indahnya.


Gemuruhlah suara orang Mario dan Luwu. Bagaikan suara pohon
radda yang berpatahan bunyi jendela-jendela indah yang membuka
di atas Latanété. Berjejerlah wajah cantik pada jendela yang indah.
Bak bintang terbit jejeran wajah-wajah itu.
Tidak ada lagi gadis pingitan yang tenang di tempatnya. Keluar
semua membuka jendela lalu menjenguk, menyaksikan pemain judi
menyabung ayam. Saling bercubitan mengatakan bahwa alangkah
dungunya tuan kita, semaunya sendiri menuruti hati, mencela si bulan
purnama itu. Celaka sekali adik kita Daéng Risompa, mendengar
omongan, cercaan dari orang luar. I Wé Cimpaulah manusia yang
paling mujur, yang kawin dengan Opunna Warek, bersesarung
dengan orang yang sukar dicari, yang demikian elok di Alélino.
I Wé Cudai yang mendengarkan ucapan pembantunya itu
langsung ke jendela dan menyaksikan Sawérigading berpayung emas
disertai I La Galigo yang sedang menari Maloku mengayun-ayunkan
destarnya, melenggang lenggokkan pangkal lengannya, memencak-
mencakkan jari tangannya.
Daéng Risompa menyuruh pembantunya membawa olahan sirih
pinang pada talam emas, sebagai jemputan penghormatan kepada
Sawérigading, agar anaknya itu bisa naik ke istana. Tapi, sirih pinang
itu dikembalikan dengan alasan anaknya itu bukan keturunan orang
Ugi. Beberapa kali utusan itu pergi-pulang meminta agar anak itu
bisa datang di istana tetapi selalu ditolak oleh Sawérigading dengan
alasan yang bermacam-macam pula. Bahkan I La Galigo sendiri
menyampaikan kepada utusan itu agar mengatakan bahwa ia takut
sekali memasuki ruangan Istana Latanété. Ia hanyalah raja muda
sementara pengundangnya adalah perempuan yang belum kawin.
Disampaikan juga agar utusan itu mengatakan bahwa ia tak boleh
dinaikkan ke istana karena ia keturunan orang yang dapat diikat
bulu kumisnya, cukup untuk dijadikan kayu bakar bulu dadanya.
Bahkan dianggap lebih baik dinaikkan di rakit lalu dihanyutkan di
samudera ditumpu arus mengalir, dibuatkan lubang untuk dibuang,
dipanggilkan anjing orang Sabbang. Kalau tinggal di situ hanya akan
106 Drs. H. Muhammad Salim

menyakitkan kepala. Apakah Sri Paduka tidak malu mengundang


di ruangannya putra seorang Warek Méttang dan Ménrokoli, yang
tidak dimengerti perkataannya, tak ditenun kain sarungnya, tak
melihat matahari ketika makan, orang yang hanya makan ular di
kampungnya.
Sangat geli hati Opunna Cina mendengarkan ucapan utusan
menyampaikan hal itu kepada I Wé Cudai. Tertawa terbahak pelayan
pembantu, terkekeh-kekeh penghuni rumah, tersenyum masam saja
Daéng Risompa mendengarkan ucapan I Da Palilu, I Da Sarebba si
utusan itu. I Wé Cudai pu lalu berkata,

“Aku dibikin celaka karena anak itu mengenang ucapanku, tak


mendiamkan ucapan keterlaluanku pada orang Luwu.” Menyembah
sambil berkata I Wé Cudai kepada ayahnya, “Kasihanilah aku,
Tuanku, engkau pikirkan supaya naik ke mari di istana cucumu itu.”
Tunduk sambil meludah Wé Tenriabang, marah-marah saja ucapan
mulutnya mengatakan, “Itulah sebabnya Cudai, maka ditimbang
dulu pemikiran, ditenangkan dulu ingatan, dengarkan kata nasihat
dari orang tua. Anakmu sendiri yang mengingatkanmu akan ucapan
sombongmu yang keterlaluan kepada orang Luwu itu.” (XI.306)

Setelah berbicara dengan Opunna Warek, berangkatlah Opunna


Cina menggendong cucunya, berangkat diiringi inang pengasuh,
punggawa kerajaan, dan upacara kebesarannya. Daéng Risompa
sendiri menaburinya dengan bertih emas, menjemput dengan alat
kur semangat. Berkatalah pemilik rumah di Latanété,

“Kur jiwamu anak Galigo, semoga tetap semangat kehiyanganmu


raja yang berpayung emas yang memerintah Tana Ugi. Naiklah ke
mari To Boto ke istanamu, pergilah keruanganmu.” (XI.308)

Kebetulan sekali Opunna Warek dapat melihat Daéng Risompa


tunduk menjemput putranya lalu menggendong pada pinggangnya.
Dilihatnya terulur lengannya bagaikan mau bertemu ujung sikunya.
Tiga dari Galigo 107

Tertegun di dalam hati Sawérigading, diserapi kebaikan dipusingi


kecantikan menyaksikan Daéng Risompa. Banyak sekali pertanyaan
diajukan kepada I La Galigo. Di antara pertanyaan itu adalah, “NIGA
ASEMMU?” yang dijawab oleh I La Galigo,

“I La Galigo puwang asekku,


To Tessioja pattellarekku,
To Tessémagga pappasawekku,
Apak ia na kuriaseng I La Galigo, magali-gali
garek parukkusenna ncajianngénngak.
Naia muwa kuriaseng To Tessémagga, tessita
turunrupa i datu puwakku kutudang cero.
Naia muwaré kuriaseng To tessiwoja, lé tessiwoja
turunrupa i datu puwakku kutudang cero.”

Artinya

“I La Galigo namaku tuanku,


To Tessiwoja gelarku,
To Tessémagga panggilanku.
Sebabnya aku diberi nama I La Galigo, rumit sekali jodoh
pertunangan yang melahirkanku.
Adapun aku dipanggil To Tessémagga, karena tak saling
menampak wajah raja tuanku hingga aku jadi janin.
Adapun aku digelar To Tessiwoja, karena tak saling mengenal
wajah tuanku aku jadi janin.”
(XI.311)

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita tarik dalam cerita mitos ini antara
lain adalah:

1. Membenarkan berita buruk tanpa diperiksa kebenarannya dapat


menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri dan orang lain.
108 Drs. H. Muhammad Salim

2. Pemimpin yang curang dapat menjatuhkan martabat dan


menimbulkan penderitaan bagi orang banyak.
3. Orang yang bijak tidak akan memaksakan kehendak pada
seseorang, walaupun sudah punya kekuasaan, kemampuan, dan
kesempatan.
4. Orang yang arif dapat menjaga nama baik keturunan dari berita
kehinaan, walaupun harus berhadapan dengan kenyataan yang
pahit.
5. Pemimpin yang baik selalu meminta nasihat atau pendapat dari
orang lain.
6. Ucapan mulut yang terlanjur dapat mengakibatkan penyesalan
dan rasa malu yang besar yang dapat mengalahkan tuntunan baik
dari hati nurani sendiri.
7. Kesabaran menghadapi tantangan dan rintangan biasa berakhir
dengan kesuksesan atau hasil yang sangat memuaskan.
8. Di antara sifat perempuan yang patut diteladani adalah perempuan
yang memohonkan doa madu dan anak tirinya sewaktu menghadapi
kesusahan, dan merawat anak tirinya sebagai anaknya.
Tiga dari Galigo 109

Muhammad Salim dan Robert Wilson, sutradara I La Galigo,


di Makassar 5 Januari 2011 (foto: Fendi Siregar)
110 Drs. H. Muhammad Salim

Drs. H. Muhammad Salim lahir di Sidenreng Rappang (Sidrap),


Sulawesi Selatan, pada 4 Mei 1936. Sejak kecil ia sudah akrab dengan
huruf lontarak yang dipakai untuk penulisan Sureq Galigo. Kemampuan
ini makin terasah setelah ia masuk pesantren di Allakuang, Sidrap,
karena para murid di sini mendapat tugas menerjemahkan naskah
berbahasa Arab ke dalam bahasa Bugis dengan huruf lontarak. Salim
kemudian menempuh pendidikan guru sekolah lanjutan jurusan
bahasa Bugis. Ia antara lain pernah bekerja sebagai Kepala Dinas
Kebudayaan Sidrap, staf Dinas Permuseuman dan Kepurbakalaan,
dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, dan peneliti di
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Karya yang sudah lahir dari tangannya adalah transliterasi
dan terjemahan 12 Jilid Sureq Galigo karya Arung Pancana Toa,
Lontarak Sidenreng, Lontarak Soppeng/Luwu, Budhistihara, Pappaseng,
dan Lontarak Enrekang (sedang dikerjakan).
Salim juga berperan penting sebagai penasihat teks untuk
produksi teater internasional I La Galigo yang pentas di beberapa
negara. Sedianya, Salim akan tampil sebagai pembicara dalam seminar
untuk rangkaian acara pementasan I La Galigo di Makassar pada 23
dan 24 April 2011. Namun, pada 27 Maret 2011, ia meninggal dunia
di rumahnya di Makassar.
Buku Tiga dari Galigo adalah penerbitan pertama kumpulan
makalahnya.

Anda mungkin juga menyukai