Anda di halaman 1dari 6

MAKASSAR, KOMPAS.

com - Sebuah pulau kecil terdapat di tengah Kota Makassar, tepatnya di


Kecamatan Tallo, seperti tersembunyi dari pandangan umum. Pulau Lakkang, namanya, memiliki
cerita tersendiri sejak sejarah penjajahan Belanda hingga kini. Pulau Lakkang yang memiliki luas
sekitar 300 hektar ini diapit oleh tiga sungai, yakni Sungai Tallo, Sungai Pampang, dan Sungai
Universitas Hasanuddin (Unhas). Ketiga sungai ini membuat Pulau Lakkang terkesan tak terlihat
dan jarang diketahui oleh masyarakat umum Kota Makassar. Untuk sampai di Pulau Lakkang,
pengunjung bisa memilih memulai perjalanan di beberapa dermaga, yaitu dermaga belakang
kampus Unhas, dermaga samping Tol IR Sutami, dermaga di Kelurahan Pampang dan dermaga di
Kelurahan Tallo. Pengunjung bisa menumpang perahu yang dapat memuat sekitar 20 orang dan 5
unit motor. Tarifnya pun terbilang murah dengan harga Rp 3.000 per kepala dan tarif angkut motor
Rp 5.000. Lama tempuh perjalanan adalah 15 menit-30 menit menelusuri sungai besar dengan
hutan-hutan bakau dan nipa-nipa. Setibanya di Pulau Lakkang yang sudah dinyatakan sebagai
kelurahan di Kecamatan Tallo ini, pengunjung disambut rumah asli penduduk berbentuk rumah
panggung. Pulau ini berpenduduk sekitar 300 kepala keluarga. Warga setempat juga sangat ramah
dengan para pendatang. Saat ditanyakan lokasi bungker peninggalan Jepang, warga langsung
menunjukkan suatu tempat yang terletak di tengah pulau. Suasananya adalah hutan pohon bambu.
bungker peninggalan Jepang itu pun tak terawat. Bagian atasnya terdapat banyak tumpukan
sampah. Tak ada pagar mengelilingi lokasi bungker, tak ada pula papan bicara sebagai situs
sejarah. Saat ditanyakan lokasi bungker lain, ternyata diketahui ada beberapa buah bungker besar
yang tidak terawat dan bahkan sudah rusak. Ada bungker besar yang berada di samping rumah
penduduk yang di atasnya dipenuhi gundukan sampah, ada pula bungker yang berada di belakang
rumah warga yang sempat dijadikan tempat pembuangan tinja (septictank). Beberapa bungker yang
sempat dikunjungi pun sudah dalam keadaan rusak karena sebagian warga mengaku sengaja
ditutup atau ditimbun agar tidak berbahaya bagi anak-anak di Pulau Lakkang. Berusia puluhan
tahun Seorang kakek bernama Haji Dorahi (56) mengungkapkan, bungker tersebut telah ada sejak
dia masih kecil. Saat itu, menurut dia, Jepang membuat bungker tersebut sebagai tempat
persembunyian bersama warga Lakkang dari gempuran tentara penjajah Belanda dari udara.
"Waktu kecil, biasa saya bersama warga Pulau Lakkang dibawa masuk ke dalam bungker itu oleh
Jepang untuk bersembunyi. Ada banyak bungker besar di sini yang katanya saling menyambung,"
ungkapnya. Saat ditanya berapa jumlah bungker di Pulau Lakkang, Haji Dohari mengaku tidak
mengetahui pasti. Namun dia menuturkan, ada sebagian bungker yang sudah ditutup oleh warga
karena takut dijadikan tempat bersarang ular besar. "Masih ada yang belum ditutup dan ada juga
yang sudah ditutup atau ditimbun warga. Karena takut anak-anak mereka masuk ke dalam bungker
bermain dan tidak diketahui apa yang ada di dalamnya. Jangan sampai ada ular besar di dalam
bungker bersarang," ungkapnya. Hal senada disampaikan Daeng Mariati (60). bungker peninggalan
Jepang tidak terawat karena masyarakat Pulau Lakkang sebagian besar tidak mengetahuinya.
Menurut dia, ada sebagian warga yang menjadikannya sebagai septictank dan ada pula yang
menjadikannya sebagai tempat pembuangan sampah. "Masyarakat di sini mana tahu itu apa yang
dimaksud bungker. Jelas orang sini tahunya itu tempat persembunyian waktu zaman perang dulu.
bungker itu dibuat oleh Jepang untuk tempat berlindung bersama warga. Warga tidak tahu kalau itu
bungker situs sejarah yang dilindungi," tuturnya. Tak terawat Menurut Mariati, warga tidak tahu
lantaran tak ada satu pun edukasi yang diberikan Pemerintah Provinsi Sulsel, Pemerintah Kota
Makassar maupun Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Tak ada pula tanda atau pagar yang
dipasang. "Tidak ada yang pernah datang pemerintah meninjau itu bungker. Kami tahu itu bungker
barang dilindungi setelah ada kunjungan TNI ke Pulau Lakkang. Pernah dipasangi pagar bambu,
tapi sudah dirusak oleh ternak sapi warga," tuturnya. Salah satu warga Pulau Lakkang, Rudiyanto
Lallo, yang terpilih jadi anggota DPRD Kota Makassar menuturkan, sebelumnya pihak Lantamal VI
Makassar datang membersihkan, mengeruk bungker tersebut. Dia pun mengungkapkan bahwa
warga sudah mengetahui soal keberadaan bungker. "Sebenarnya warga sudah tahu soal
keberadaan bungker itu dan tahu peninggalan bersejarah zaman Jepang. Karena saya saja sejak
kecil main-main di situ. Hanya saja dulu belum massif. Nanti datang anggota Lantamal VI Makassar
baru masif dilakukan pembersihan. Tapi itulah, meski tiap sudah dibersihkan tertimbun lagi karena
terabaikan warga," ungkapnya. Saat ditanya berapa jumlah bungker di kampung halamannya itu,
Rudiyanto mengaku tidak mengetahui pasti jumlah detailnya. Dia pun berharap, pemerintah
menjaga dan melestarikan bungker tersebut dan dijadikan salah satu situs sejarah dan cagar
budaya yang bisa dikunjungi masyarakat. "Hampir semua orang luar yang datang berkunjung ke
Pulau Lakkang ingin menikmati kuliner seperti udang, kepiting, pasti bungker itu yang dikunjungi,"
tuturnya. Rudiyanto mengaku, berkali-kali dirinya telah mengangkat pembahasan soal bungker di
Pulau Lakkang. Namun baru tahun 2018 ini dia akan fokus membahas soal bungker bersama pihak
pariwisata. "Intinya memang pemerintah dan masyarakat setempat harus bersinergi karena
contohnya sudah pernah ada pihak yang coba memagari bungker itu tapi rusak dan diabaikan oleh
warga. Padahal kalau dirawat, keberadaan bungker itu bisa mendatangkan nilai ekonomis bagi
warga," ungkapnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Makassar Syamsul Rizal yang
dikonfirmasi mengatakan, dia pun baru mengetahui banyak bungker di Pulau Lakkang. Pihaknya
pun telah meminta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala untuk meneliti bungker tersebut. "Saya
sudah sampaikan ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Apakah itu bungker masuk dalam
situs sejara atau cagar budaya belum saya tahu. Kita tunggu hasil dari penelitian. Jika masuk dalam
situs sejarah atau cagar budaya, wajib kita lestarikan," tambahnya. Konon menurut sejarah
setempat, sebelum disebut Pulau Lakkang atau Kelurahan Lakkang, pulau di tengah Kota Makassar
ini bernama Pulau Bonto Mallangere' pada abad ke-14. Bonto Mallangere' memiliki arti pendengaran
yang tajam dan jeli. Pulau inilah dijadikan Jepang sebagai tempat persembunyian dari tentara
Belanda. Kisah itu pun melekat bahwa masyarakat di Pulau Lakkang dulunya memiliki kelebihan
dengan mampu mendengar hingga berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Seluruh penduduk pulau
Lakkang mampu mendengar berbagai aktivitas yang berada kota Makassar. Bahkan mampu
mendengar berbagai siasat perang untuk menyerang warga pulau

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Lakkang, Pulau Tersembunyi di Makassar
dengan Bungker Berusia Puluhan
Tahun", https://regional.kompas.com/read/2018/04/06/07000061/lakkang-pulau-tersembunyi-di-
makassar-dengan-bungker-berusia-puluhan-tahun?page=all.
Penulis : Kontributor Makassar, Hendra Cipto
Editor : Caroline Damanik

MAKASSAR, RAKYATSULSEL.COM – SEHARI-hari bergelut dengan


pekerjaan, tentu membuat anda penat. Terlebih, kondisi Kota Makassar
yang selalu diwarnai kemacetan dari waktu ke waktu.

Tentu, terbersit keinginan untuk merasakan suasana yang berbeda dari


kondisi kota. Namun, terkadang keinginan untuk menghilangkan kepenatan,
terkendala oleh terbatasanya waktu yang dimiliki.
So, jangan kuatir, lokasi wisata yang satu ini, sangat pas dengan anda yang
menginginkan suasana berbeda dengan waktu yang terbatas.

Adalah Kampung Lakkang, sebuah perkampungan yang terletak di antara


Sungan Tallo dan Sungai Pampang. Lakkang adalah daratan yang kerap
disebut delta, terbentuk karena berkumpulnya sedimentasi dalam kurun
waktu tertentu.

Secara administrasi, Lakkang masih masuk dalam wilayah Kota Makassar,


tepatnya di Kecamatan Tallo. Meski begitu, kehidupan di Lakkang adalah
kehidupan sebuah desa. Dengan jalan-jalan kecil dan setapak, rumah
panggung di antara kerimbunan pohon, kebun, dan tambak.

Luas daratannya sekitar 195 hektare dan dihuni oleh sekira 300 kepala
keluarga. Kebanyakan mereka bekerja sebagai petambak dan nelayan.
Sebagian kecil juga menghidupi diri dari sawah yang tidak seberapa luas di
dalam wilayah Lakkang.

Sebelum menjadi Lakkang, dahulunya kampung tersebut bernama Bonto


Mallangngere. “Artinya mendengar kabar dari semua penjuru. Lakkang
sendiri artinya tidak terpisahkan,” ujar Ruslan salah satu tokoh pemuda
masyarakat Lakkang.

Berkunjung ke Lakkang, akan membuat anda sejenak lupa akan kehidupan


perkotaan. Anda akan dibawa seolah-olah beratus kilometer dari Makassar,
meski pada kenyataannya letaknya tak lebih dari 30 menit perjalanan.

Tiga Akses Menuju Lakkang


BERKUNJUNG ke Lakkang, anda tidak bisa melalui jalanan atau jembatang
penghubung. Masyarakat luar yang ingin menuju ke sana harus
menggunakan perahu. Perahu merupakan alat transportasi utama yang
menghubungkan Lakkang dengan daratan besar Kota Makassar.

Ada tiga jalur akses untuk menuju kampung Lakkang, yaitu melalui dermaga
Kerakera di Kecamatan Tamalanrea, dermaga di tepi Jl Tol Ir Sutami, dan
dermaga yang dinamakan Tekkolo yang letaknya tidak jauh dari dermaga di
tepi Jl Tol Ir Sutami.
Untuk dermaga Kerakera, masyarakat yang ingin berkunjung harus
memasuki kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) Tamalanrea melalui
pintu satu.

Anda harus menyusuri jalan lingkar kampus sampai menemukan gedung


Pascasarjana, dari sini anda akan menemukan pertigaan, nah ambil jalur kirinya. Jalur
tersebut akan membawa anda ke Kampung Kerakera, sebuah perkampungan di
pinggiran kampus Unhas. Di ujung kampung Kerakera, di tepi sungai Tallo kita akan
melihat sebuah bangunan sederhana terbuat dari rangkaian papan dan balok.

Dari dermaga sederhana inilah petualangan di kampung Lakkang dimulai, dengan


sarana perahu penyeberangan berupa perahu tradisional yang biasa disebut
Katinting.

Perahu penyeberangan menuju Lakkang, umumnya mampu memuat lebih dari 20


orang ditambah 5 sampai 7 motor bahkan ada yang memuat sampai 12 unit motor.

Untuk satu kali penyeberangan penumpang hanya dikenakan biaya sewa sebesar
Rp2 ribu per orang dan Rp3 ribu untuk motor dengan jarak tempuh sekitar 25 menit.

Untuk dermaga yang berada di tepi Jl Tol Ir Sutami. Biaya penyeberangan hanya
berkisar Rp1.000 per orang dan Rp2 ribu per motor dengan jarak tempuh sekira 5
menit.
Sementara, untuk dermaga Tekkolo bagi yang ingin menyeberangkan sepeda motor
hanya Rp4 ribu.

Sensasi Lakkang, sudah bisa dirasakan sejak dari atas perahu. Pasalnya, jalur
menuju Lakkang sendiri akan menyusuri sungai sambil menyaksikan pemandangan
yang indah dengan pohon-pohon nipah dan mangrove yang berjejer rapi di sepanjang
tepi sungai.

Dari Wisata Sejarah Hingga Kuliner


PERKAMPUNGAN yang masih asri, tentu bukan menjadi satu-satunya hal yang bisa
dinikmati di Lakkang. Di sana, anda juga bisa berwisata sejarah dengan mengunjungi
sejumlah bunker peninggalan Jepang.

Dahulu, Lakkang merupakan tempat bersembunyi tentara Jepang pada saat Jepang
menguasai Makassar. “Tentara Jepang pernah mendiami kampung dan memberikan
nama Delta Tello. Tentara Jepang memilih kampung Lakkang karena kampung ini
sangat strategis menghalau serangan musuh,” ujar Ruslan.

Di Lakkang sendiri, keseluruhan ada tujuh bunker. Namun, yang masih bisa dilihat
wujudnya tinggal tiga bunker. Sisanya, banyak yang sudah tertimbun tanah.

Sayangnya, tiga bunker yang tersisa, juga tidak mendapat perhatian yang baik dari
pemerintah. Salah satu bunker yang ada, bahkan dijadikan tempat pembungan
sampah oleh masyarakat.

Selain mengunjungi bunker, anda juga bisa berwisata bahari dengan mengelilingi
Lakkang dengan menggunakan perahu pincara sambil menikmati makanan khas
Lakkang yakni pallu unti-unti dan pallu kacci serta bisa menikmati secangkir kopi
diatas perahu.

Pemerintah Kota Makassar berencana menjadikan Lakkang sebagai Kawasan


Penelitian Terpadu. Pada tahun 2014 ini, Pemkot Makassar juga berjanji akan
menjadikan Lakkang sebagai salah satu penunjang Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
Makassar.

Anda mungkin juga menyukai