Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH GEOGRAFI PERTANIAN

SISTEM LADANG

KELOMPOK 1:

ULFA AULIA SYAMSURI

RESKY NUR FAJRIALITA

CENCENG WADI

ANDI NURUL AZIZAH

NURUL AFRIANI

PROGRAM STUDI GEOGRAFI

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perladangan masih merupakan cara hidup penting bagi sebagian masyarakat

miskin dan terpencil di pedesaan. Transformasi perladangan sebagaimana yang terjadi

di Sumatra, baik ke arah positif atau negatif, terjadi juga di daerah lain. Kiranya, akan

lebih bermakna bilamana proses transisi pola perladangan secara gradual dan sistem

agroforestry yang terbentuk dalam proses evolusi tersebut dibiarkan berjalan sesuai

dengan harapan masyarakat lokal.

FAO (Food Agriculture Organisation) melihat peladang ini sebagai suatu bencana

International yang perlu segera mendapat perhatian. Hal ini terbukti dengan

diterbitkannya buku L ‘agriculture nomade pada tahun 1956 oleh G. Tondeur yang

membicarakan masalah perladangan di Congo dan Afrika Barat, kemudian 1957

diterbitkan buku yang kedua, Hanunoo agriculture di daerah Philiphina oleh H.C.

Conklin. FAO memberikan perhatian besar terhadapa persoalan ini dan telah

mengambil inisiatif untuk menggalakkan studi tentang obyek ini melalui cabang

kehutanan dan Industri Kehutannannya.

Tujuan FAO mengatasi perladangan adalah untuk mempropagandakan metode-

metode pertanian-pertanian modern yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas

produksi yang berguna dan hasil-hasil hewan yang dapat diperoleh dari tanah-tanah

yang tersedia. Keperluan utama didaerah tropik basah adalah intensifikasi pertanian

dan penambahan hasil persatuan luas. Peralihan dari pertanian tradisional ke pertanian

yang telah berkembang dengan baik seringkali amat sukar untuk dicapai, dan
penggunaan metode-metode yang intensif di dalam keadaan ini seringkali berakhir

dengan kegagalan.

Teknik-teknik perladangan sama saja dimana-dimana yakni penebangan dan

pembakaran vegetasi berkayu diikuti dengan penanaman selama satu, dua, atau tiga

tahun, kemudian tanah ditinggalkan dan kembali menjadi hutan atau tutupan belukar

selama periode yang panjang. Selain kesamaan ini, perladangan mempunyai

perbedaan-perbedaan dalam hal tipe dan kehidupan daripada peladangnya sendiri.

Kemudian para peladang sangat berbeda dari satu tempat ketempat lain dimana

perladangan tersebut tidak selalu mengarah ke kehidupan nomadik.

Di Indonesia, banyak dijumpai perladangan berpindah-pindah karena merupakan

kebiasaan yang sudah menjadi adat, sudah menjadi way of life dari penduduk yang

bersangkutan. Pandangan ini didasarkan pada pengamatan mereka, bahwa

perladangan berpindah-pindah itu dilakukan oleh orang berabad-abad lamanya tanpa

sesuatu perubahan yang berarti.

Tetapi menurut Soedarwono, Dosen Fakultas Kehutanan UGM, penyebab adanya

perladangan berpindah di Indonesia bukan karena adatnya sudah begitu. Perladangan

berpindah, sesuatu bentuk pertanian yang resultante dari pengaruh alam lingkungan

yang memaksa manusia bertindak menyesuaikan diri.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut :
1. Apa definisi dari perladangan?
2. Apa ciri-ciri dari perladangan?
3. Seperti apa masalah perladangan dan akibat yang ditimbulkan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi dari
perladangan, ciri-ciri perladangan dan masalah apa yang terjadi dari perladangan
tersebut dan apa akibat yang ditimbulkannya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perladangan
Perladangan meliputi areal yang sangat luas di atas bumi ini, terutama di
daerah tropik basah, dimana di daerah ini diketemukan di Negara-negara yang
sedang berkembang. Perladangan dapat didefinisikan sebagai suatu teknik
pertanian dengan cara adab peralatan yang masih primitive, tanpa adanya
penanaman modal dan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri dan keluarganya. Pada umumnya dilakukan di atas tanah yang cepat sekali
kehilangan kesuburannya, sehingga memaksa peladang melakukan pertanian
berpindah-pindah untuk menyambung kebutuhan mereka.
‘Berladang’ merupakan kegiatan bercocok tanam oleh sekelompok
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat erat kaitannya
dengan tradisi budaya. ‘Perladangan bergilir’ atau biasa dikenal dengan
‘perladangan berpindah’, adalah istilah lain yang menggambarkan masa tanam
dan masa bera yang berlangsung secara bergiliran. ‘Sistem tebas dan bakar’,
mengacu pada konsep ladang bergilir, yang dalam proses penyiapan lahan diawali
dengan cara ‘tebas dan bakar’. Namun demikian, cara ini seringkali dihubungkan
dengan pengrusakan atau perambahan hutan karena dilakukan dalam skala luas
oleh perkebunan besar atau petani pendatang.
Istilah seperti berladang, perladangan bergilir, sistem tebas bakar,
mengacu pada deskripsi aktivitas perladangan. Secara teknis, istilah-istilah
tersebut memiliki makna dan arti yang nyaris serupa, namun memberi langgam
dan pola yang berbeda. Perubahan praktek perladangan baik secara bertahap
maupun langsung dapat menjadi ‘solusi’ atau ‘masalah’, tergantung dari persepsi
mana kita melihatnya. Seperti halnya dengan negara lain, dewasa ini, masalah
‘perladangan’ di Indonesia dipandang dari berbagai persepsi yang berbeda dan
seringkali justru dianggap sebagai kegiatan yang melanggar hokum.
Isu pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi menambah pelik
permasalahan ‘perladangan’ yang sebenarnya sudah diterapkan oleh masyarakat
tradisional secara turun-temurun. Dalam kaitannya dengan emisi global,
penggunaan api atau aktivitas lain di areal hutan yang dianggap meng-emisi-kan
gas rumah kaca menjadi isu hangat yang dihubungkan dengan insentif ekonomi
dalam mengurangi emisi. Namun demikian, di dalam setiap pembahasan, aspirasi
rakyat seringkali terabaikan. Perladangan selalu dikaitkan dengan subsistensi dan
keterbelakangan, bukan dianggap sebagai suatu model pembangunan yang
berkelanjutan. Pandangan seperti ini sejatinya dapat mengabaikan dinamika
perladangan yang sesungguhnya.
Dalam mengkaji masalah perladangan, ada tiga pengetahuan dasar yang
harus berjalan bersama dengan harmonis, yaitu pengetahuan dan pemahaman
masyarakat lokal, perspektif ilmiah, serta kebijakan publik untuk mendukung
pembangunan Dalam rangka membahas permasalahan ‘berakhirnya kegiatan
perladangan di Negara-negara di Asia Tenggara’, pada Bulan Maret 2008 di
Hanoi, Vietnam, sekelompok ilmuwan di bidang sosial, ekonomi, dan ekologi
yang berkiprah dalam isu penggunaan lahan di kawasan hutan berkumpul
bersama. Secara umum, maksud dan tujuan konferensi tersebut adalah untuk
mengkaji perubahan kegiatan perladangan di Asia Tenggara, sehingga
kesenjangan yang muncul dalam masyarakat peladang dapat dikenali, diisi dan
segera diatasi. Secara rinci, tujuan kajian perladangan di Asia Tenggara ini adalah
sebagai berikut:
1. Menganalisis perubahan pola perladangan dan tutupan lahan dalam beberapa
tahun terakhir menggunakan peta dan data penginderaan jarak jauh;
2. Mengkaji populasi peladang menggunakan data dan kajian demografi dan
ekonomi dari beberapa negara di Asia Tenggara;
3. Menelaah dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan sosial,
khususnya pada aspek penghidupan masyarakat, ekonomi dan budaya,
berbasis pada sejumlah studi kasus dan kajian regional;
4. Menganalisis dampak perubahan pola perladangan terhadap lingkungan alam,
bentang lahan, keanekaragaman hayati, sumber daya air, dan iklim global,
berbasis pada sejumlah studi kasus dan kajian regional;
5. Menganalisis pentingnya kebijakan sebagai faktor pendorong perubahan,
meliputi pengkajian masalah ‘komodifikasi1’, perubahan skala produksi,
kebijakan ekonomi, kepemilikan lahan, infrastruktur, dan kebijakan
konservasi pada skala nasional maupun sub regional;
6. Membangun suatu forum komunikasi untuk mendapatkan perbandingan hasil
penelitian perladangan di negara-negara Asia Tenggara; dan
7. Mengembangkan ide dan konsep pengelolaan sistem perladangan sebagai
bahan pertimbangan kepada para pembuat kebijakan di beberapa negara di
Asia Tenggara.
Pertanian ladang (swidden agriculture), perladangan berpindah,
perladangan bergilir, perladangan gilir balik – merupakan sejumlah terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem penggunaan lahan yang
melibatkan ‘fase tanam atau fase produksi’ dan ‘masa bera’, yaitu masa dimana
vegetasi dibiarkan bersuksesi secara alami. Ladang atau huma didefinisikan
sebagai lahan berhutan yang dibersihkan untuk produksi tanaman pangan.
Adakalanya tanaman ini dikombinasikan dengan tanaman semusim lainnya dan
atau tanaman keras baik dalam satu kurun waktu atau dalam beberapa periode.
Tujuannya adalah untuk konsumsi pribadi maupun dijual. Pada masa bera dalam
sistem berhuma atau berladang, tanaman perintis berkayu dibiarkan tumbuh
secara alami hingga berupa hutan. Proses penumpukkan serasah daun terjadi
secara terus menerus. Tumbuhan lapisan bawah semakin jarang tumbuh. Selain
itu, pada masa bera terjadi penumpukan unsur hara pada biomasa tanaman
berkayu. Unsur hara ini dilepaskan kembali bilamana pembersihan lahan atau
‘tebas dan bakar’ dilakukan.
Karena itu, keberlanjutan proses perubahan dari pola perladangan perlu
lebih diperhatikan daripada hanya berkutat dalam perdebatan mengenai bentuk
dasar sistem perladangan. Paham mengenai proses evolusi, baik alam maupun
sosial ekonomi, seharusnya dipandang sebagai suatu proses perubahan secara
bertahap dalam merespon tekanan seleksi. Dengan demikian, orang tidak hanya
terjebak dalam pandangan bahwa perubahan selalu mengarah pada bentuk
kehidupan yang ‘lebih tinggi’ tingkatannya. Perladangan berkembang menjadi
tiga model, yaitu:
1. ‘Agroforest’, dimana tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan bisa
lebih tinggi daripada nilai tanaman pangan;
2. Sistem pastura atau padang penggembalaan, dimana lahan bera didomestikasi
untuk areal pakan ternak; atau
3. Pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian. Misalnya
penggunaan tanaman penutup tanah dari kelompok legum (kacang-kacangan)
atau tanaman penyubur, penggunaan pupuk kandang yang dihasilkan dari
padang penggembalaan, atau penggunaan pupuk kimia yang menggantikan
fungsi masa bera sebagai unsur tambahan untuk mengembalikan kesuburan
tanah. Sejumlah penelitian mengenai ‘perladangan’ difokuskan hanya pada
fase tanam dan kesuburan tanah. Fase tanam diartikan sebagai fase penurunan
kesuburan tanah, sebaliknya fase bera merupakan fase pemulihan kesuburan
tanah. Penurunan dan peningkatan kesuburan tanah berlangsung seiring
dengan produktivitas tanaman.
Penurunan dan peningkatan produksi tanaman terjadi karena adanya interaksi
fisik, kimia dan biologi tanah; dimana gulma, hama dan penyakit tidak mudah
diuraikan oleh konfigurasi tanah setempat. Perbedaan jenis tanah, ruang tumbuh
vegetasi dan kondisi iklim membuat hubungan saling mempengaruhi antar faktor
menjadi lebih kompleks. Namun demikian, model penurunan dan pemulihan
kesuburan tanah secara sederhana sebagaimana dikemukakan Trenbath (1989)
sangat bermanfaat sebagai langkah awal untuk memahami dinamika tersebut.
2.1.1 Sejarah dan konteks internasional
Sistem berladang (swidden) terdiri dari masa tanam dan masa bera
(peralihan ke tumbuhan berkayu untuk menjadi hutan sekunder). Dalam melihat
hubungan antara masa tanam dan bera, keterbatasan akses ke hutan menjadi faktor
pendorong terjadinya intensifikasi dan perpendekan masa bera. Dengan demikian,
dinamika kegiatan perladangan ini berkaitan langsung dengan sejarah munculnya
kelembagaan hutan yang mengatur akses ke hutan baik yang memiliki ataupun
tidak memiliki sejarah penggunaan lahan sebagai ladang (areal bercocok tanam).
Pada kondisi kepadatan penduduk yang rendah, lahan masih berlimpah dan
potensi produksi ditentukan oleh jumlah tenaga kerja dalam pembersihan lahan.
2.2 Perladangan Bukan Penyebab Deforestasi
Definisi hutan yang secara Internasional diakui menggabungkan
elemen vegetasi, penguasaan kelembagaan dan pemulihan pertumbuhan pohon.
Definisi yang digunakan dalam Statistik kehutanan FAO dan Protokol Kyoto
memiliki dua komponen, yang pertama memperhatikan aspek tutupan tajuk dan
ketinggian pohon, dan yang kedua mengacu pada kerangka lembaga kehutanan.
Definisi tersebut adalah:
“areas normally forming part of the forest area which are temporarily unstocked
as a result of human intervention such as harvesting or natural causes but which
are expected to revert to forest”. Areal yang pada kondisi normal tumbuh menjadi
hutan, namun pada keadaan tertentu dapat berkurang stoknya baik secara alami
maupun akibat intervensi manusia seperti pemanenan, tetapi diharapkan dapat
pulih kembali menjadi hutan.
Makna dari definisi ‘pengurangan stok pada kondisi tertentu atau
sementara’ bermaksud menunjukkan bahwa penebangan dan penanaman dapat
dilakukan sebagai pengelolaan hutan yang wajar. Definisi tersebut menyatakan
bahwa perladangan dan rotasi masa bera bukan merupakan deforestasi bilamana
pepohonan dapat mencapai tinggi dan tutupan kanopi yang telah ditentukan.
Pembukaan lahan untuk pembangunan perkebunan kayu industri dan kelapa sawit
dapat dilakukan dalam definisi hutan tersebut, namun setelah lahan dibuka,
pertumbuhan vegetasi berkayu perlu dilakukan. Anggapan perladangan sebagai
penyebab deforestasi tidak sejalan dengan definisi hutan yang telah diakui secara
internasional.
Intensifikasi lahan menyebabkan berkurangnya tutupan tajuk dan
ketinggian tanaman yang tumbuh pada masa bera. Akibatnya, areal ini tidak lagi
dikategorikan sebagai hutan meskipun lembaga kehutanan menegaskan areal
tersebut masih merupakan kawasan hutan. Pembukaan lahan dengan tebas bakar
dipandang sebagai ancaman besar oleh kepentingan ekonomi yang berkuasa.
Argumentasi lingkungan dibawa ke ranah diskusi, dan sebagai dalih, definisi yang
telah disepakati tersebut diartikan bahwa perkebunan kayu industry disebut
sebagai hutan, namun areal lain dengan berbagai tanaman keras tahunan tidak
dianggap sebagai hutan. Definisi ‘hutan’ dibuat oleh ‘orang-orang kehutanan’,
dan bukan oleh masyarakat. Pengakuan terhadap petani kecil masih kurang, dan
mereka lebih suka menyebut areal berkayu yang dimilikinya sebagai ‘kebun’
untuk menghindari konflik dengan lembaga-lembaga kehutanan. Dalam meja
perdebatan internasional tentang REDD di Negara berkembang, penting dicatat
bahwa perladangan (dalam kerangka definisi hutan yang digunakan dalam
protokol Kyoto), bukan menjadi penyebab deforestasi. Meski demikian, diakui
bahwa aktivitas perladangan dapat menyebabkan penurunan ketersediaan karbon,
sebagaimana juga perkebunan monokultur atau hutan tanaman industri.
2.3. Ciri-ciri Perladangan
Ciri-ciri ladang berpindah adalah sebagai berikut :
1. Ketergantungan petani yang tinggi terhadap lahan hutan
2. Lahan ladang (hutan) dibuka dengan cara dibabat dan dibakar
3. Peralatan yang digunakan masih sederhana, biasanya parang dan tugal
4. Tidak ada pemeliharaan terhadap tanaman
5. Lahan sempit, luasnya rata-rata tidak lebih dari 0,5 hektar
6. Lahan hanya dipakai untuk waktu yang singkat dan kemudian dibiarkan
untuk jangka waktu yang lama.
Sistem pertanian primitive subsistence farming hanya terdapat pada daerah-
daerah dengan penduduk yang masih jarang sekali. Oleh karena mayoritas
pembukaan lading dilakukan dengan cara membakar, selain menimbulkan
kebakaran hutan dan polusi asap, kegiatan ini akan merusak lapisan humus.
Walaupun demikian, keutnungannya terdapat penambahan unsur potash dalam
tanah. Tanah hutan biasanya dibuka 3 atau 2 minggu sebelum musim penghujan.
Sistem ladang berpindah ini dapat mengakibatkan dampak negative, diantaranya :
1. Mengurangi luas hutan
2. Kerusakan hutan
3. Tanah menjadi tandus / lahan kritis
4. Tanah mudah tererosi
5. Kebakaran hutan
6. Pencemaran udara
7. Banjir
2.4 Masalah Perladangan dan Akibat yang Ditimbulkan
Pedidikan masyarakat hutan yang tergolong rendah dan sulitnya mencari
mata pencaharian menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya
cukup murah dibandingkan dengan menanam atau menebang pohon karena pohon
membutuhkan jangka tumbuh yang cukup panjang dan penjualan kayu terbilang
sulit karena harus mempunyai izin penebangan. Perladangan liar ini dapat
merusak hutan karena jangka waktu rotasi perladangan yang dari waktu ke waktu
semakin kecil menyebabkan tidak optimalnya regenerasi hutan.
Para ahli menyarankan bahwa regenerasi hutan sebaiknya dilakukan dalam
periode 20 tahun. Selama peride tersebut, kondisi tanah secara alamiah dapat
diperbaiki. Dengan kondisi sudah diregenerasi, tanah tersebut dapat dimanfaatkan
lagi setelah masa regenerasi. Akan tetapi, sejalan dengan laju pertumbuhan
penduduk yang semakin cepat, kebutuhan akan lahan garapan pun semakin
mendesak. Tidak heran jika saat ini, periode regenerasi hutan dipersingkat
menjadi 6 hingga 8 tahun bahkan kurang dari itu. Selain konsekuensi penurunan
produktivitas tanah, perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan
atau degradasi lahan hutan. Definisi degradasi agak bersifat subjektif memiliki
arti yang berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat.
Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi.
Sebagian mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah
mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu
maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau
terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang
terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial
hutan tidak terpenuhi. Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin
gersangnya tanah, meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan
lainnya yang sangat mudah terbakar di musim kemarau.
Masalah lainnya adalah masih banyak petani masih menerapkan sistem
tebas bakar untuk membersihkan lahan di hutan meskipun pemerintah telah
mencanangkan program ‘zero burning’ yaitu pembersihan lahan tanpa
menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah studi yang dilakukan di
Sumatera, dilaporkan bahwa keputusan petani untuk tetap melakukan proses
pembakaran lahan disebabkan karena hal berikut:
1. Merupakan cara yang paling efektif dan cepat dalam pembukaan lahan.
2. Dapat menekan pertumbuhan gulma dan vegetasi liar lainnya, terutama pada
siklus awal setelah penanaman tanaman pangan.
3. Mengubah biomasa menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagi tanaman dan
tanah.
4. Menggemburkan tanah, bibit tanaman menjadi cepat tumbuh.
5. Merupakan cara yang efektif untuk membunuh hama dan pathogen.
Akibat sistem tebas bakar inilah maka terjadi ketidakseimbangan unsur hara
karena hara mineral hilang selama masa pertanaman dan tidak dapat dipulihkan
hanya dalam waktu yang singkat. Permasalahan mengurangi emisi dari deforestasi
dan degradasi (REDD) di negara berkembang juga semakin hangat diperdebatkan
sejak masyarakat global paham akan emisi dan perubahan iklim global. Tidak
dapat dipungkiri bahwa 20% emisi gas rumah kaca global terjadi karena pola
penggunaan lahan dan perubahan yang terjadi di beberapa wilayah tropis. Para
peladang dianggap sebagai penyebab degradasi hutan. Muncul juga kehawatiran
penerapan REDD dapat membatasi ruang gerak masyarakat terhadap sumber daya
yang mereka miliki.
Keterkaitan deforestasi, pembangunan dan kemiskinan sangat kompleks dan
bersifat spesifik. Namun demikian, penggunaan api sebagai metoda pembersihan
lahan disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya deforestasi. Meski demikian,
pada kenyataannya perubahan penggunaan lahan tanpa menggunakan api dapat
menyebabkan hilangnya persediaan karbon dalam jumlah besar. Larangan
penggunaan api dapat berdampak serius pada kehidupan masyarakat. Selain itu
perladangan berpindah dan kebakaran memiliki korelasi yang positif, karena
musim berladang umumnya pada musim kemarau. Hasil penelitian menunjukan
bahwa pada setiap musim kemarau terjadi kebakaran dimana-mana karena dipicuh
oleh aktivitas perladangan.
1. Dampak Perladangan Berpindah
Realitas memang menunjukan bahwa perladangan berpindah memiliki
korelasi yang kuat dengan kerusakan ekosistem hutan, terutama pada pulau-pulau
kecil dampaknya sangat signifikan. Beberapa dampak yang dapat dikemukakan
adalah :
1. Terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hasil
pengamatan di lapangan menunjukan bahwa hampir 100 % sungai yang
terdapat pada pulau-pulau kecil mengalami penurunan debit air yang drastis,
bahkan pada musim panas banyak sungai mengalami kekeringan. Selain itu
pada musim hujan, selalu terjadi banjir dan erosi yang mampu mengikis dan
mengangkut ribuan ton tanah permukaan ke sungai dan laut sehingga terjadi
pendangkalan sungai dan gangguan ekosistem laut.
2. Terjadi penurunan drastis kesuburan tanah. Kondisi di lapangan menunjukan
bahwa bekas-bekas areal berladang telah menjadi semak belukar ataupun
padang alang-alang. Pada pulau-pulau kecil dengan kondisi ekosistem yang
miskin vegetasi atau lahannya terbuka maka ketika musim hujan, banyak
lapisan tanah permukaan yang terkikis dan hanyut, sehingga kondisi kesuburan
tanah menjadi menurun. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi kesuburan
tanah secara umum pada daerah-daerah terbuka berbeda 40 – 60 % terhadap
lahan hutan primer.
3. Terjadi perubahan iklim dan yang paling drastis adalah kondisi iklim mikro
dimana suhu meningkat rata-rata sebesar 1 – 3 oC dengan penurunan
kelembaban relatif sebesar 5 – 10 %. Selain itu dari aspek iklim makro telah
terjadi perubahan pola musim, dimana musim hujan dan musim panas sudah
tidak konstan sesuai kalender musimnya.
4. Terjadi gangguan habitat satwa, dimana lebih disebabkan oleh perubahan
kondisi vegetasi sebagai akibat perladangan berpindah dan hal ini berpengaruh
signifikan terhadap habitat satwa. Akibatnya ekosistem hutan yang sebelumnya
merupakan tempat makan, minum, bermain dan tidur menjadi terganggu,
sehingga satwa cendrung bermigrasi ke tempat lain, ataupun memilih tetap
bertahan dengan kondisi cover yang terganggu.
5. Terjadi penurunan biodiversitas, yang secara umum disebabkan perladangan
yang dilakukan dengan cara tebang habis dan bakar sehingga banyak spesies
langka atau endemik juga ikut musnah. Sampai sejauh ini walaupun belum
diteliti dampak perladangan terhadap kepunahan spesies, namun dari
pendekatan Indeks Shannon-Wienner menunjukkan bahwa terjadi penurunan
nilai keragaman spesies pohon sebesar 10 % dibandingkan hutan primer yang
berada disekitar lokasi penebangan. Hal ini disebabkan beberapa spesies
pohon toleran (kurang butuh cahaya) cenderung menghilang dari habitatnya
sebagai akibat meningkatnya intensitas cahaya.
6. Terjadi peningkatan luas lahan Imperata cylindrica karena pembukaan hutan
untuk aktivitas perladangan. Perladangan berpindah biasanya dengan
menggunakan masa istirahat lahan (masa bera) 10 – 20 tahun. Artinya selama
periode waktu 10 – 20 tahun, lahan tersebut akan ditinggalkan dan dibiarkan
membentuk hutan sekunder (Aong). Aong biasa didominasi oleh vegetasi
berupa Macaranga spp dan terdapat juga beberapa spesies asli dari hutan yang
dibuka pada awalnya. Setelah masa bera tersebut maka lahan yang sama akan
dibuka kembali untuk berladang pada periode ke II. Setelah periode ke II,
hutan sekunder (Aong) mulai sulit untuk terbentuk karena lahan mulai
didominasi oleh alang-alang (Imperata cylindrica) sehingga secara umum jika
sistem pengulangan ini dilakukan sampai pada periode ke III biasanya lahan
sudah didominasi alang-alang.

2. Langkah-langkah penanggulangan
Mengatasi berbagai dampak yang dikemukakan, maka berikut
direkomendasikan beberapa langkah pengendalian, yaitu :
1. Harus ada kemauan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menangani
permasalahan laju perladangan berpindah terlebih dahulu, agar dapat disusun
perencanaan yang tepat dan terarah dalam rangka penanggulangannya.
Karena apapun juga pemerintah telah diperhadapkan dengan realitas kondisi
bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi kuat dengan kerusakan
ekosistem.
2. Diperlukan regulasi berupa peraturan daerah yang dapat mengatur tentang
pelaksanaan dan pengendalian laju peningkatan praktek perladangan. Hal ini
sangat penting agar para peladang dapat memahami secara jelas tentang
batasan-batasan dan prosedur praktek perladangan yang menjamin
kelestarian ekosistem. Selanjutnya sebagai konsekuensi dari adanya peraturan
daerah berarti akan diatur pula sanksi-sanksi terhadap pelanggaran-
pelanggaran yang mungkin terjadi sehingga praktek perladangan dapat
dilakukan secara terkontrol,
3. Pengembangan model agroforestry. Menurut teori bahwa perladangan
berpindah hanya dapat diatasi dengan 3 model utama, yaitu pengalihan
profesi peladang, pengembangan model pertanian menetap dan model
agroforestry. Berdasarkan ke 3 model ini, bila dikaji lebih jauh ternyata
bahwa model pengalihan profesi tidak berhasil karena persoalan budaya.
Aktivitas berladang telah dianggap sebagai budaya yang diwariskan nenek
moyang mereka. Selain itu pertanian menetap juga sulit untuk diterapkan
karena membutuhkan modal (input) yang besar bagi penerapannya.
Sementara itu model agroforestry nampaknya mudah dan sederhana untuk
diaplikasi karena membutuhkan hanya sedikit modal, tetapi hutan yang akan
terbentuk nanti selama masa bera adalah hutan yang nanti memiliki nilai
ekonomi dan konservasi yang tinggi.
4. Diperlukan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung
aplikasi ke 3 model utama pengendalian perladangan diatas. Untuk itu
pendidikan, training dan latihan bagi peladang untuk peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan sangat dibutuhkan bagi kerberhasilan
pelaksanaan dari model yang ditawarkan nanti.
Perladangan berpindah dalam realitas telah menyebabkan kerusakan
ekosistem hutan secara serius. Hal ini berdasarkan kondisi di lapangan bahwa
wilayah-wilayah hutan yang sebelumnya berada disekitar desa, saat ini letaknya
sudah mencapai radius lebih 7 Km. Bahkan pada pulau-pulau kecil tertentu,
sudah tidak dijumpai hutan. Kebanyakan hutan hanya dijumpai dalam bentuk
spot-spot hutan sekunder. Karena itu pemerintah pusat maupun daerah sudah
seharusnya mulai mengambil langkah-langkah pengendalian, agar generasi ini
tidak mewarisi lahan yang tandus bagi generasi akan datang.
Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah,
meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat
mudah terbakar di musim kemarau. Perladangan berpindah tanpa rotasi yang
cukup dan melalui cara pembakaran lahan hutan akan mengakibatkan kerusakan
keanekaragaman hayati serta sumberdaya tanah dan air (erosi, kesuburan tanah
menurun, meningkatnya air permukaan, rusaknya habitat satwa, rusaknya habitat
satwa, berubahnya ekosistem kawasan, pemadatan tanah), bencana lingkungan
(banjir, longsor, kekeringan sumber air), perubahan iklim lokal (meningkatnya
suhu, berkurangnya hujan, menurunnya kelembaban) serta pencemaran
lingkungan.
Bekas perladangan liar/areal terbuka ditandai dengan jenis-jenis vegetasi
yang ada seperti alang-alang, sirih-sirihan, jenis Euphatorium dan Tremor. Salah
satu salah bisa dilakukan untuk membuat lahan berpindah ini menjadi bisa layak
kembali sebagai hutan adalah dengan merehabilitasi lahan tersebut dengan jenis
pohon-pohon pionir setempat yang potensial untuk ditanam.
Terdapat beberapa pendekatan untuk mengatasi degradasi dan
mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery) :
a. Pendekatan pertama adalah restorasi (restoration) yang didefinisikan sebagai
upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui
penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan
tersebutsebelumnya.
b. Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan
dengan jenis asli dan jenis eksotik. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk
menrecreate ekosistem asli. Tujuannya hanyamengembalikan hutan pada
kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk
adalah campuran termasuk jenis asli.
c. Alternatif terakhir adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis eksotik
untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan.
Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodeversitas asli dari
suatu areal yang terdegradasi. Akan tetapi, masih ada kegiatan ladang berpindah
yang mendukung keseimbangan ekosistem. Salah satu contoh kegiatan sistem
perladangan berpindah yang tidak merusak hutan adalah yang dilakukan oleh
orang dayak di kalimantan memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang
hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua
belah pihak. Seperti pada sistem mereka dalam bercocok tanam dengan sistem
rotasi panjang.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Alasan dilakukannya perladangan berpindah adalah demi memenuhi
kebutuhan masyarakat sekitar hutan yang pendidikannya tergolong sehingga
menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah.
Akan tetapi, perladangan berpindah ini menyebabkan masalah yang merugikan
hutan, manusia dan juga alam antara lain penurunan produktivitas tanah,
perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan atau degradasi lahan
hutan dan meningkatkan emisi global jika pembukaan lahan dilakukan dengan
pembakaran. Cara yang dapat ditempuh jika sudah terjadi perladangan berpindah
adalah dengan meregenerasi hutan dengan menanaminya tanaman pioneer
sehingga hutan itu kembali produktif.
3.2 Saran
Masalah perladangan berpindah perlu diperhatikan oleh pemerintah. Hutan
yang terdegradasi akibat dijadikan areal ladang memang merupakan masalah
serius, tetapi itu semua tak akan terjadi jika pemerintah menyediakan lahan
khusus menanam tumbuhan produktif. Pemerintah juga seharusnya memberikan
pengetahuan kepada setiap masyarakat disekitar hutan tentang hak pemanfaatan
hutan dan pertanian sehingga terlihat batas yang jelas dan tidak membingungkan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Arkannuddin. 2008. Sistem Perladangan Orang Dayak. http://prof


arkan.blogspot.com/2012/04/sistem–perladangan–dan
kearifan_25.html. Diakses pada hari selasa 03 Oktober 2018.

Kada, zefirinus. 2008. Kelestarian Hutan


Indonesia. http://www.kabarindonesia.com/ beritaprint.php?id=20
81003033818. Diakses pada hari selasa 03 Oktober 2018.

Sultan, Sudirman. 2012. Prosedur Perlindungan Hutan.


http://pengamananhutan.blogspot.com/2012/05/kenali-prosedur
perlindungan-dan.htm. Diakses pada hari selasa 03 Oktober 2018

Utomo, Budi. 2008. Rehabilitasi Hutan. USU e-Resipotory.Medan.

Anda mungkin juga menyukai

  • Anonim
    Anonim
    Dokumen2 halaman
    Anonim
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • BENUAEUROPA
    BENUAEUROPA
    Dokumen22 halaman
    BENUAEUROPA
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Tgs 1
    Tgs 1
    Dokumen1 halaman
    Tgs 1
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan 1
    Pendahuluan 1
    Dokumen17 halaman
    Pendahuluan 1
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen16 halaman
    Bab 1
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Ipi 256767
    Ipi 256767
    Dokumen13 halaman
    Ipi 256767
    Margono Thok
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan 1
    Pendahuluan 1
    Dokumen17 halaman
    Pendahuluan 1
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Geo Sosial
    Geo Sosial
    Dokumen14 halaman
    Geo Sosial
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Genesa
    Genesa
    Dokumen2 halaman
    Genesa
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Fix Petr0 3
    Fix Petr0 3
    Dokumen34 halaman
    Fix Petr0 3
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Djauhari Noor 2011
    Djauhari Noor 2011
    Dokumen46 halaman
    Djauhari Noor 2011
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Sampul
    Sampul
    Dokumen3 halaman
    Sampul
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Djauhari Noor 2009
    Djauhari Noor 2009
    Dokumen13 halaman
    Djauhari Noor 2009
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    0% (1)
  • Pendahuluan 1
    Pendahuluan 1
    Dokumen17 halaman
    Pendahuluan 1
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Gam Ping
    Gam Ping
    Dokumen9 halaman
    Gam Ping
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • SEJARAH TERSEMBUNYI DI MAKASSAR
    SEJARAH TERSEMBUNYI DI MAKASSAR
    Dokumen6 halaman
    SEJARAH TERSEMBUNYI DI MAKASSAR
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Petunjuk Penggunaan Geolistrik
    Petunjuk Penggunaan Geolistrik
    Dokumen5 halaman
    Petunjuk Penggunaan Geolistrik
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Pendahuluan: 1. 1 Latar Belakang
    Bab 1 Pendahuluan: 1. 1 Latar Belakang
    Dokumen23 halaman
    Bab 1 Pendahuluan: 1. 1 Latar Belakang
    NN
    Belum ada peringkat
  • Bab 112
    Bab 112
    Dokumen35 halaman
    Bab 112
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Konsep Suku Ban
    Konsep Suku Ban
    Dokumen11 halaman
    Konsep Suku Ban
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 PENDAHULUAN Fix2
    BAB 1 PENDAHULUAN Fix2
    Dokumen24 halaman
    BAB 1 PENDAHULUAN Fix2
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen17 halaman
    Bab Iii
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Sampul
    Sampul
    Dokumen7 halaman
    Sampul
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Tugas Nurfa
    Tugas Nurfa
    Dokumen26 halaman
    Tugas Nurfa
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen8 halaman
    Bab 3
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Pendahuluan: 1. 1 Latar Belakang
    Bab 1 Pendahuluan: 1. 1 Latar Belakang
    Dokumen23 halaman
    Bab 1 Pendahuluan: 1. 1 Latar Belakang
    NN
    Belum ada peringkat
  • Konsep Suku Ban
    Konsep Suku Ban
    Dokumen11 halaman
    Konsep Suku Ban
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Konsep Suku Ban
    Konsep Suku Ban
    Dokumen11 halaman
    Konsep Suku Ban
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Pendahuluan
    Bab 1 Pendahuluan
    Dokumen25 halaman
    Bab 1 Pendahuluan
    Rezky Nur Fajrialita Musdar
    Belum ada peringkat