Anda di halaman 1dari 103

1

Kue Bugis Kanre Jawa: kumpulan catatan

Achmad Sunjayadi, 2010


Pengantar: Dr. Roger Tol

Kue Bugis Kanre Jawa: kumpulan catatan


Pengantar Roger Tol (Direktur KITLV-Jakarta) ............................................... 5
Pengantar Penulis ........................................................ 6
1. Satu Jam Bedanya ...................................................... 7
2. Wisma Rambo ............................................................. 9
3. Ayam Jalan Berkotek .......................................................... 12
4. Si Petpet .......................................................................... 14
5. Mikiji, Tawwa! .................................................................. 17
6. Benteng Penyu ................................................................ 24
7. Makassar Mall ................................................................. 27
8. Tamalanrea Friendship .................................................... 29
9. Kue Bugis, Kanre Jawa ................................................... 32
10. Ikan Pinggang ................................................................. 34
11. Tour de Makassar ............................................................... 37
12. Cinta Raja Kera .............................................................. 40
13. Balada Bissu ..............................................................

42

14. Tak Kelar ................................................................... 44


15. Tator

..........................................................................

46

16. Cap Tikus .................................................................... 49


17. Rindu Tempe ............................................................. 52
18. Misteri Hitam ................................................................

54

19. Memahami Kembali Siri Sebagai Unsur Kekuatan Dalam Strategi Kebudayaan Sulawesi
Selatan (Mengenang Profesor Dr. Mattulada) ..............58
20. Bukan Perempuan Biasa .........................................70
21. Cerah Bergairah ..........................................................73
3

22. Tradisi Tulis di Sulawesi Selatan di Masa Lalu dalam Tradisi Tulis Dunia ..............................76
23. Raskin ...........................................................................79
24. Peta Kuno , Kolonialisme dan Karaeng Pattingalloang ..........................82
25. Payung Luwu di Bumi Sawerigading .......................................85
26. A2DCDS? ................................................................................89
27. Romeo Must Die ...........................................................91
28. Aksi Pagi Ini ..................................................................93
29. Batas Pantai ..................................................................96
30. Datang Dijemput, Pulang Diantar ................................ 98
31. Epilog: Kacamata ......................................................... 100
Tentang Penulis ........................................................................................................................103

Kata pengantar

Selalu menarik untuk membaca tulisan mengenai budaya dan kehidupan orang melalui kacamata

asing. Kan, kadang-kadang pandangan asing itu justru diperlukan untuk memahami dan melihat diri
sendiri, karena mata kita agak jereng atau sudah terdapat gejala katarak. Pokoknya penglihatannya
mulai kabur sehingga tidak bisa tahu lagi mana yang nyata dan mana yang khayalan. Dalam buku ini
pun seorang pengamat asing menyajikan pandangannya tentang masyarakat dan budaya di Sulawesi
Selatan, meskipun ia bukan seorang asing bule seperti saya, tetapi seorang asing domestik dari Jawa.
Bagi saya hal itu lebih menarik lagi dengan pertanyaan adakah perbedaan persepsi antara
kedua jenis orang asing ini terhadap kehidupan di Sulawesi Selatan? Ternyata ada, tapi sebetulnya
tidak begitu banyak. Yang mencolok mata justru adalah persamaan persepsi dan pengalaman. Jelaslah
bahwa kami berdua merasa tertarik pada dan krasan di tanah Bugis dan Makassar dengan sejarah
yang menarik, kesusastraan yang agung, dan kebudayaannya yang unik.
Sebenarnya kesamaan itu bisa saja disebabkan kami mempunyai latar belakang yang mirip.
Achmad Sunjayadi sebagai orang Jawa mempelajari bahasa Belanda dan saya sebagai orang Belanda
pernah studi bahasa Indonesia. Lalu kami berdua berlayar ke Makassar dengan bekal kemahiran
bahasa Belanda yang berarti mempunyai akses pada kepustakaan dan kearsipan yang luar biasa
kayanya tentang segala aspek Indonesia, termasuk Bugis dan Makassar. Rasanya pada kesempatan
ini tepat sekali saya mempromosikan kekayaan koleksi dokumen tentang Indonesia yang ditulis dalam
bahasa Belanda dan yang terdapat tidak saja di Belanda, tetapi juga di Indonesia di lembaga-lembaga
seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Pada hemat
saya setiap sejarawan yang ingin membahas sejarah Indonesia secara serius mau tak mau harus
memahami bahasa Belanda, paling tidak secara tertulis. Kalau kita membaca tulisan Achmad
Sunjayadi dalam buku ini, manfaat pengetahuan seperti itu langsung menjadi kentara.
Tulisan-tulisan dalam buku ini sangat bervariasi, baik dari segi topik maupun bahasannya. Ada
yang sangat mudah dicerna, nyaris seperti obrolan saja, ada juga yang bersifat serius sekali dan ilmiah.
Mungkin ada pembaca yang kurang senang dengan isi dan gaya yang bervariasi ini; bagi saya pribadi
hal itu tidak menjadi masalah, bahkan justru menyenangkan. Bukankah kehidupan itu beraneka
ragam?
Sebagian besar tulisannya merupakan pengalaman pribadi Achmad Sunjayadi sebagai
participant observer di masyarakat Sulawesi Selatan dan kehidupan kampus Universitas Hasanuddin.
Sambil membaca dengan sendirinya kita diperkenalkan dengan aspek-aspek budaya yang dari dahulu
kala telah menarik perhatian para pengunjung dan pengamat: konsep siriq, karya sastra La Galigo,
para bissu, dan kecerdasan Karaeng Pattingaloang. Namun ada juga topik yang belum begitu terkenal
seperti cerita kereta api di Takelar. Tinjauan-tinjauan Achmad Sunjayadi seperti itu bersifat informatif
dan didasarkan studi pustaka yang memadai. Kemudian ada beberapa tulisan bersifat istimewa yaitu
sejumlah bahasan tentang masalah perut yang jelas-jelas merupakan kesenangan penulisnya,
sebagaimana nampak pula dari judul buku ini. Sampai mendetil Achmad Sunjayadi bercerita tentang
haute cuisine di Sulawesi Selatan: jalangkote, bikangdoang, songkolo begadang, dan
(non)pengalamannya dengan minuman keras seperti balloq. Meskipun ia mengakui tetap kangen pada
makanan tempe, buku berikutnya hampir pasti merupakan buku masakan Makassar dan Bugis.

Dr. Roger Tol


Direktur KITLV-Jakarta

Pengantar penulis
Tabee,

Kehidupan merupakan proses belajar kita. Sebagai suatu proses tentu memerlukan waktu dan
tidak seketika jadi. Dalam menjalani proses itu kita pasti menemukan, mengenal lingkungan dan orangorangnya yang kita anggap menyenangkan maupun tidak.
Suatu proses untuk memaknai hidup dapat kita temukan di mana saja. Seperti halnya ketika
saya berkesempatan mengunjungi Leiden, Belanda saya menjumpai elong/syair Bugis anonim dari
abad ke-19 di tepi kanal dekat perpustakaan KITLV. Elong itu dapat kita nikmati dari seberang kanal di
Wittesingel. Sayang, saya tidak dapat membaca aksara Bugis tersebut. Tetapi saya akhirnya dapat
menemukan artinya, kurang lebih begini: Aku sudah berkelana kemanapun, namun tak pernah
kujumpai kearifan yang lebih banyak daripada di sini.
Suatu ungkapan yang membuat saya merenungi makna elong itu dalam-dalam. Ternyata
kearifan, kebijaksanaan itu dapat kita temukan bila memang kita mencarinya dan mampu merasakan
untuk memaknai kehidupan itu di mana saja.
Tahun 1999, tawaran untuk mengajar ke Makassar (waktu itu Ujung Pandang ) saya terima
walaupun sempat ada kebimbangan dan perasaan ragu. Jujur saja, saat itu di kepala saya yang
muncul hanyalah stereotip buatan bangsa asing. Begitupula pengalaman-pengalaman teman-teman
yang nyaris menciutkan semangat. Namun, perasaan ingin tahu dan minat berpetualang mengalahkan
semua keraguan. Kapan lagi bisa memadukan antara pekerjaan dan hobi.
Proses memaknai kehidupan telah saya jalani selama empat tahun (1999-2003). Banyak suka
dan duka yang saya temui. Ya, bagi saya masa empat tahun tidak ada yang sia-sia. Baik itu suka
maupun duka jadi merupakan proses belajar. Semakin saya mengetahui sesuatu, semakin sadarlah
saya terhadap kekurangan saya.
Dalam kurun waktu tujuh tahun, dari 2003 hingga 2010 tentu banyak perubahan di kota tempat
saya pernah tinggal. Perubahan tersebut tentu disadari, dilihat dan diperhatikan oleh mereka yang
tinggal di sana. Saya sendiri telah berjarak dengan kota tersebut sehingga banyak hal yang mungkin
saat ini telah berubah. Banyak hal pula yang luput dalam penuturan pengalaman saya ini sehingga
catatan ini memiliki kekurangan.
Sebagai ungkapan terima kasih, dengan penuh cinta saya persembahkan kenang-kenangan
berupa catatan proses kehidupan yang saya jalani dari suatu episode kehidupan. ini kepada semua
pihak yang secara langsung dan tidak langsung membantu dan mendukung saya selama ini. Dengan
harapan dapat menjadi sumbangan kecil dalam mencapai kebijaksanaan, kearifan itu. Walaupun
mungkin ungkapan terima kasih ini tidak senilai dengan bantuan dan dukungan yang telah mereka
berikan selama ini.
Ucapan terima kasih, saya haturkan kepada Nederlandse Taal Unie, Erasmus Taalcentrum
Jakarta, Dr. Kees Groeneboer, Ibu Margriet M.Lappia M.S, Mw M.Hukom, Mw Lies Radjawane, Mw
Alice, Ibu Sumarwati Poli, Yannie Surawiredja, Ellie, Rektor Unhas (1999-2003), Dekan Fakultas Sastra
Unhas dan staf, Ketua Program D3 Pariwisata Unhas dan staf, rekan-rekan Pusat Bahasa Unhas (Bu
Etty, Bu Anjar dkk.), Salma, Adil, para mahasiswa D3 Pariwisata konsentrasi Belanda angkatan 97, 98,
99, 2000, 2001, dr. Cahyono, Bung M. Latief, Horst Liebner, Sensei Hasebe, alumni wisma Rambo
(Pak Lik Triweda Raharjo, Om brur Jon Waromi, Pak Teras Dayut, Joni Agustaf, Stevenson Koloay,
Stefly Mudaso, Pak Rustam, Pak Parno), Pengurus wisma Rambo (Pak M.Amin dan keluarga), rekanrekan di Erasmus Taalcentrum Jakarta, Dr. Roger Tol (KITLV-Jakarta), Ayahanda Soedjadi
(almarhum), Ibunda Endang Aswaty, adik-adik (Yuli & dr. Windu, Yudi & Ari Timi, Dito & Rina), istriku
tercinta A. Andinie dan buah hati kami, Danish Fikri Sunjayadi, Naila Nadja Meuthia.
Marikidi
Achmad Sunjayadi

1. Satu Jam Bedanya


Bingung. Itulah kesan pertama sewaktu tahu bahwa saya akan ditugaskan di luar kota. Bukan
sekedar luar kota, melainkan luar Jawa, tepatnya Ujung Pandang (sekarang Makassar, pen.).
Lingkungan yang berbeda, suasana yang berbeda bahkan waktu yang berbeda. Satu jam lebih awal
dibanding di Jawa. Padahal masih dalam satu negara. Inilah hebatnya negara kita.
Hanya seminggu waktu untuk berpikir. Bersedia atau tidak, itulah pilihannya. Saya yang
berasal dari keluarga Jawa tentu tidak dapat segera mengambil keputusan. Saya harus meminta
pertimbangan keluarga terlebih dahulu. Dari pihak keluarga beragam reaksi yang muncul. Dari saransaran yang masuk, nyaris tidak ada yang positif. Rata-rata memberikan kesan yang negatif. Yang
inilah, itulah, kalau di sana jangan begini, jangan begitu, awas ini, awas itu. Saya curiga, jangan-jangan
mereka sendiri belum pernah ke sana. Jadi usaha ask the audience malahan membuat saya bingung.
Mau fifty-fifty, ya memang hanya dua jawabannya. Bersedia atau tidak.
Akhirnya kata bersedia yang diambil, diiringi Basmallah. Saat itu saya dipasangkan dengan
Nienk (Belanda 93), adik kelas saya untuk bertugas di Ujung Pandang. Sebagai catatan, Nienk ini
langsung setuju ketika tawaran ini diberikan padahal ia adalah seorang perempuan. Pasti ada
alasannya, pikir saya tetapi saya tak ambil pusing. Seminggu kemudian saya memberikan jawaban.
Kami akhirnya berangkat ke medan juang.
Hari keberangkatan pun tiba. Saya sempat panik dan nyaris terlambat karena kopor saya
dibawa mobil yang lain (ada tiga mobil yang mengantarkan saya). Ketika kopor tiba, saya langsung
menuju pesawat untuk boarding. Akibatnya saya lupa berpamitan dengan keluarga yang mengantar di
bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Ketika saya duduk di kabin pesawat, saya baru teringat kalau
belum berpamitan dengan dengan mereka..
Dari sebuah buku yang sempat saya baca di pesawat disebutkan bahwa nama Ujung Pandang
diambil dari sejenis tumbuhan berdaun yang panjang. Tumbuhan itu berguna untuk obat jamu dan tali
pemintal. Ujung Pandang kemudian dipergunakan sebagai nama benteng yang oleh Cornelis
Speelman diubah menjadi Fort Rotterdam. Sekedar untuk mengenang kampung kelahirannya di tanah
Belanda sana. Persis seperti J.P. Coen yang ngebet ingin menamai kota di Jawa yang direbutnya dari
pasukan Jayakarta dengan Nieuwe Hoorn.
Gambar seorang gadis yang tersenyum dalam balutan pakaian khas yang disebut Baju Bodo
menarik perhatian saya. Di atas gambar itu tertera judul Gateway to the East. Saya lanjutkan
membaca. Ada beberapa kelompok etnik yang terdapat di Sulawesi Selatan. Kelompok yang terbesar
yaitu Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Menarik juga karena saya sebelumnya hanya mengenal
Bugis-Makassar.
7

Berikutnya saya melihat gambar deretan perahu phinisi yang terkenal telah mengarungi
samudera hingga ke benua Afrika. Saya jadi teringat pada deretan perahu berlayar khas yang berlabuh
di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta yang sarat dengan muatan.
Lalu mata saya tertumbuk pada sederet tulisan: restoran terpanjang di Asia. Apa maksudnya
ini?, pikir saya. Di sini anda dapat menikmati beragam masakan dan minuman lezat, tulis buku itu.
Saya mencoba menebak. Itu pasti Pantai Losari yang terkenal itu. jangan lupa menikmati aneka
hidangan laut yang lezat, coto Makassar dan pisang epe, hidangan khas dari pisang yang dipanggang
dengan saus gula beraroma durian. Halaman demi halaman saya sibak hingga saya
menemukan:Toraja, dengan kemistikan dan pemandangannya yang indah.

Saya jadi semakin

penasaran.
Rupanya banyak hal yang menarik tentang Sulawesi dan sama sekali belum saya ketahui.
Itulah, ada pepatah bijak yang mengatakan: semakin kita merasa banyak tahu, maka semakin banyak
pula yang tidak kita ketahui. Seperti minum air laut saja. Laut? Mengingat laut, pandangan kuarahkan
ke arah bawah. Rupanya, kita terbang berada di atas laut. Laut membiru dengan kapal-kapalnya,
seolah menyambut kedatangan saya di negeri baru.
Pesawat terbang merendah mendekati daratan yang menghijau. Atap-atap rumah, jalanan dan
mobil-mobil tampak begitu kecil. Tak lama kemudian terdengar suara merdu pramugari: Bapak-bapak
dan ibu-ibu, beberapa saat lagi kita akan mendarat di Bandara Hasanuddin. Perbedaan waktu dengan
Jakarta satu jam. Terima kasih atas kepercayaan Anda terbang bersama kami. Sampai jumpa.
Beberapa menit lagi, saya akan menginjak tanah baru, lingkungan baru, suasana baru.
Akhirnya Garuda, sang burung besi yang mengantarkan saya dari Jakarta mendarat mulus, tanpa
goncangan. Saya pandangi teman saya. Sepertinya ia dapat menebak pikiran saya: Apa yang akan
kita alami di sini?
Sambil mengangkat ransel saya berkata lirih: Selamat datang. Tanah Sulawesi pun saya
injak untuk pertama kali.

2. Wisma Rambo
Setelah sejenak berkeliling menikmati malam di kota Anging Mamiri bersama Bu Margriet dan
Bu Poli yang menjemput kami di bandara, saya kemudian dititipkan di Wisma Hasanuddin di Jalan
Sunu. Mungkin karena lelah, setelah membongkar isi kopor saya langsung tertidur. Padahal saat itu
masih sore, baru pukul 20.30 WIB tapi di sini sudah pukul 21.30 WITA. Saya sudah tak peduli dengan
nyamuk-nyamuk yang tampaknya senang dapat menikmati darah segar dari Jawa. Begitu tubuh
menyentuh kasur, mata langsung terpejam.
Tiba-tiba saya dikejutkan suara-suara keras orang berdebat dan seperti mau berkelahi. Saya
segera bangun, keluar ke ruang tamu. Tak ada perkelahian. Hanya ada beberapa orang yang sedang
duduk-duduk santai. Saya kembali ke kamar. Dari luar masih terdengar suara-suara keras itu. Orangorang yang mengobrol. Nah, rupanya beginilah gaya bicara orang di sini dan saya sebagai tamu harus
membiasakan diri. Lucu juga kalau saya mencoba gaya bicara keras seperti itu di Jawa. Bisa copot
jantung ibu saya.
Seminggu sudah saya menginap di Wisma Hasanuddin hingga akhirnya saya minta untuk
dipindahkan dekat kampus. Terus terang, kalau berangkat di pagi hari saya agak repot karena petepete, angkutan umum yang menuju kampus rupanya agak sulit didapat. Daripada terlambat, lebih baik
pindah saja. Syukurlah, saya mendapat kamar di Wisma Tamalanrea yang berada dalam kampus. Hari
Minggu pagi, Nienk dan Ibu Margriet datang menjemput. Sebelumnya saya sudah berkemas. Jadi,
begitu mereka datang kami langsung berangkat.
Kamar yang saya tempati ini lumayan luas, meskipun kamar mandinya berada di luar. Tidak
seperti kamar di Wisma Hasanuddin yang dilengkapi kamar mandi di dalamnya. Yang penting saya
bisa menghemat waktu, dan jendelanya bisa dibuka.
Setelah makan siang dan mengantar Nienk serta Ibu Margriet pulang saya kembali
membongkar peralatan tempur saya dari kopor. Ketika saya sedang asyik membongkar terdengar
suara: Orang baru, ya?. Saya menengok ke arah pintu. Dua orang berada di ambang pintu. Yang satu
bertampang seperti orang dari Indonesia Timur dan satu bertampang Jawa. Ya! sahut saya singkat
sambil memasukkan pakaian dalam lemari. Mereka pun pergi.
Sedikit cerita mengenai wisma yang saya tempati ini. Dulu terkenal dengan nama Wisma
Rambo. Nama Rambo mengingatkan kita pada Slyvester Stallone yang berperan sebagai John Rambo,
veteran perang Vietnam yang pede sekali berperang melawan musuh sendirian. Gilanya, ia sanggup
perang sampai Rambo IV. Rambo di sini rupanya singkatan dari Asrama Bone. Konon, di tahun 80-an,

wisma ini ditempati oleh mahasiswa asal Bone, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan. Gedungnya
termasuk bangunan pertama di kompleks kampus Unhas Tamalanrea.
Menurut cerita Pak Amin, pengelola Wisma Tamalanrea ini, sebelum dikelola dengan baik,
kondisi wisma berlantai dua ini kacau balau seperti sarang penyamun. Jumlah kamarnya lebih banyak
dibanding wisma di Jalan Sunu. Kalau tidak salah ada enam belas kamar tidur dan dua belas kamar
mandi. Salah seorang penghuni senior wisma ini mengatakan bahwa di lantai atas pernah ditemukan
salah seorang penghuni kamar yang meninggal karena sakit. Tak jelas apakah cerita itu benar. Atau
cerita tentang seorang suster yang gantung diri di lantai bawah, dekat tangga di depan kamar saya.
Letak wisma ini persis di belakang rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo karena itu mungkin saja
salah seorang penghuni wisma menjalin hubungan khusus dengan salah seorang suster dari rumah
sakit tersebut.
Uniknya lagi, Wisma Tamalanrea terletak di dekat Bagian Anak dan Ruang Bersalin.
Terkadang kalau kami sedang iseng berjalan-jalan mencari angin, kami mendengar suara calon ibu
yang berjuang melahirkan sang anak. Ada yang berteriak-teriak dan menjerit histeris. Lalu terdengar
suara tangis bayi. Terkadang terdengar juga suara tangis sang ayah, yang mungkin harus kehilangan
salah satu di antara dua orang yang ia cintai.
Tampaknya, wisma ini ideal buat saya. Tidak hanya dekat dengan kantor, udaranya pun tidak
sepanas di kota karena masih banyak pepohonan. Hal terpenting lainnya adalah saya bisa jogging
keliling kampus menjaga kebugaran tubuh.
Di malam pertama saya tidur di wisma Rambo ini sepertinya saya harus siap tempur bak
Rambo karena musuh yang saya hadapi adalah nyamuk yang merupakan musuh yang tak kenal
kompromi. Lucunya, sebagai musuh mereka justru malah kita obati. Tentunya dengan obat anti
nyamuk. Sebenarnya bukan nyamuk yang saya takuti tapi teman-temannya itu. Tetapi syukurlah saya
sudah siap sedia dengan peralatan tempur lengkap. Bukan M-16 atau bazooka, melainkan sarung cap
gajah bersila alias berselimutkan sarung.
Banyak pengalaman unik yang saya alami di wisma ini, misalnya ketika seluruh kompleks
kampus listrik padam. Kalau satu atau dua hari listrik padam, itu no problemo. Tetapi ketika itu, listrik
padam hampir lima hari maka ya problemo. Kami yang mengandalkan pompa air mesin tentunya
kelabakan karena air merupakan sarana vital terutama untuk mandi dan buang air. Memang di samping
wisma ada danau tapi apa pantas kita mandi di situ. Kalau meminjam ungkapan Nagabonar: Apa kata
dunia?. Situasi wisma lumayan heboh, apalagi saat itu penghuni wisma sedang full.
Awalnya kami berbondong-bondong menenteng ember mengambil air dari sumur di belakang
wisma. Tapi lama-lama kami kesal juga karena saat itu musim hujan dan tanah di belakang cukup
becek. Akhirnya penghuni wisma yang lain meminta bantuan mobil tangki yang biasa digunakan
10

menyiram tanaman di sekeliling kampus untuk menyuplai air ke kamar mandi. Cukup dua kali antar,
bak-bak mandi di wisma penuh.
Biasanya listrik mati kalau ada orang baru, kata saya pada Stefly yang baru saja datang dari
Manado. Kebetulan pada waktu ia datang listrik padam dan kami sedang menikmati makan malam
diterangi lilin dan lampu teplok.
Benar begitu, Bang?, tanyanya tak percaya sambil menelan nasi. Wajahnya tampak lucu.
Saya mengangguk.
Buktinya, sekarang mati, kata saya.
Kelihatannya ia masih kaget.
Selamat datang di Wisma Rambo part V, ujar saya.

11

3. Ayam Jalan Berkotek


Udara panas menyengat. Angin bertiup dari sela-sela jendela kelas. Beberapa mahasiswa
terkantuk-kantuk mengerjakan tugas yang saya berikan. Tiba-tiba terdengar teriakan memecah
kesunyian siang itu.
Jalaaang kotejalaaaang kotejalaaaang kote!
Seorang bocah laki-laki menyembulkan wajahnya dari balik pintu dan segera disambut gelak
tawa mahasiswa. Tanpa berdosa bocah itu berkata: Jalangkote?
Saya tak mengerti apa maksudnya. Seorang mahasiswa segera mengusir bocah itu, Hei,
sedang kuliahji, sana moko! Bocah itu pun beranjak pergi sambil mengayunkan keranjangnya.
Jalaaangkotejalaangkotejalaaaang!
Teriakan itu yang menimbulkan rasa penasaran saya. Apa sebenarnya yang bocah itu jual.
Beberapa hari kemudian dalam perjalanan menuju kantor di kampus, saya kembali
berpapasan dengan beberapa bocah. Mereka mengepit keranjang di tangan kanan sedangkan tangan
kirinya memegang tali plastik yang mengikat beberapa botol plastik bekas air mineral berisi cairan
berwarna kemerahan. Mereka berteriak: Jalangkotejalaaaangkote!
Beberapa mahasiswa yang sedang duduk-duduk di depan perpustakaan memanggil bocahbocah itu. Bocah-bocah itu mendekat dengan penuh semangat. Salah seorang bocah membuka
keranjang plastiknya. Dari dalam keranjang tersembul sejenis kue yang sepertinya saya kenal.
O, pastel, gumam saya dalam hati.
Saya pun sengaja menghentikan langkah dan mengamati mereka. Para mahasiswa itu asyik
memilih jalangkote dari keranjang. Lalu, botol plastik berpindah ketangan para mahasiswa itu.
Jalangkote yang telah mereka ambil, mereka potong jadi dua. Cairan kemerahan yang encer dari botol
plastik itu dituangkan sedikit demi sedikit di atas jalangkote. Rupanya, cairan kemerahan itu bumbunya.
Bagaimana pula dengan rasanya?
Separuh rasa penasaran saya telah terpuaskan tapi saya masih penasaran dengan rasa
jalangkote itu. Akhirnya rasa penasaran itu terpuaskan juga. Di suatu waktu saya disarankan untuk
pergi ke sebuah kios di Jalan Lasinrang. Nama kios itu Kios Lasinrang yang khusus menjual risoles,
bikangdoang (bakwan), lumpia dan jalangkote. Siang itu lumayan ramai. Beberapa pengunjung
memesan lumpia dan jalangkote berganti-ganti.
Setelah saya amati, jalangkote rupanya sejenis kue yang mirip pastel. Bedanya, kalau kulit
pastel itu tebal dan empuk, kulit jalangkote lebih tipis. Adonan Kulit jalangkote tampaknya terbuat dari
bahan dasar terigu, telur, mentega, santan, garam dan dibuat agak tipis. Pada umumnya sejak dulu isi
12

jalangkote terdiri dari wortel, kentang yang dipotong berbentuk dadu ukuran kecil, tauge dan soun
(laksa). Sayur-sayuran itu ditumis dengan merica, bawang merah, bawang putih. Kalaupun ada yang
berbeda isinya, tampaknya hanya ditambahkan telur rebus hingga bagian atau daging cincang.
Jalangkote ini akan nikmat jika dimakan dengan saus yang lebih encer dari saus sambal biasa.
Kalau dirasakan, saus itu terbuat dari tumisan cabai, bawang merah, bawang putih yang dicampur
larutan garam, gula pasir, cuka dan air. Rasanya menjadi asam-manis dan pedas. Memang cocok bila
dinikmati dengan jalangkote yang garing dan gurih. Harganya pun bervariasi. Mulai dari Rp 500 hingga
Rp 2000 per buah.tergantung besar-kecil serta isinya.
Yang jelas jalangkote menjadi makanan khas Makassar dan kerapkali digunakan sebagai oleholeh khas dari kota ini disamping oleh-oleh lainnya. Tidak hanya itu, jalangkote sering dihidangkan
sebagai makanan selingan dalam acara resmi, setengah resmi hingga santai. Bahkan, sewaktu saya
asyik bengong di pantai menikmati suasana, seorang anak kecil menawari jalangkote dari keranjang
yang ditentengnya.
Ada beberapa kios di Makassar yang menjual jalangkote yaitu yang terletak di Jalan Lasinrang
dan Jalan Rusa. Khusus kios di Jalan Lasinrang tidak hanya menjual jalangkote, mereka juga menjual
risoles, bikangdoang (bakwan) dan lumpia. Kios itu selalu dipenuhi pengunjung yang memesan
jalangkote dan lumpia untuk dijadikan oleh-oleh khas dari Makassar setelah berwisata keliling
Makassar.
Soal nama jalangkote dan kapan munculnya di kota Makassar, tidak ada yang mampu
menjelaskannya. Ada yang berseloroh, nama jalangkote dikaitkan dengan suara kotek ayam. Orang
Bugis dan Makassar menyebut kotek dengan kote. Sementara itu dilihat dari bentuk sisi jalangkote
dipilin sedemikian rupa hingga menyerupai jambul ayam. Biasanya, penganan ini dijajakan oleh anakanak kecil dengan keranjang sambil berjalan. Maka jadilah jalangkote, ayam berkotek yang berjalan.
Sebenarnya, jalangkote bukan makanan khas tradisional Makassar atau Sulawesi Selatan.
Saya menduga ini adalah peninggalan jaman kolonial dan diadaptasi dari hidangan pastei dengan
bahan dasar sama namun lebih sering berisi daging cincang. Hidangan asal Perancis ini kita kenal
dengan nama pastel yang dikembangkan serta diperkenalkan oleh mevrouw-mevrouw Belanda tempo
doeloe. Di Menado, kita juga mengenal panada yang mirip pastel dan jalangkote. Dan seperti dalam
sejarah kuliner Nusantara lainnya, saya menduga (lagi), makanan jalangkote ini dihasilkan dari
eksperimen oleh saudara Tionghoa kita hingga dapat dinikmati dalam bentuknya yang sekarang.
Namun, tampaknya perlu penelitian lebih jauh untuk membuktikan tesis ini. Untuk sementara: Mariki
nikmati jalangkote selagi hangat.

13

4. Si Petpet
Ujung Pandang akhirnya secara resmi diganti menjadi Makassar. Hal ini sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.86 tanggal 13 Oktober 1999 yang ditandatangani oleh
Presiden RI Prof.Dr. Ing. B.J.Habibie. Sebenarnya nama Makassar pernah digunakan di masa lalu.
Jadi, menurut saya istilah yang tepat bukan diganti melainkan kembali-menjadi.
Hari-hari pertama di kota Anging Mamiri, demikian julukan untuk Makassar, saya habiskan
untuk orientasi di keliling kota. Sekedar untuk mengenal lingkungan, dan menambah pengetahuan
geografis. Bila menyebut Makassar sebagai kota besar menurut saya sebenarnya tidak juga. Tentu
saja jika dibandingkan dengan Jakarta, kota yang tidak pernah tidur dan selalu macet. Macet?
Pertanyaan ini yang segera saya ajukan.
Di sini tidak semacet Jakarta, ujar Ibu Margriet, Koordinator Bahasa Belanda, Program D3
Pariwisata dan Ibu Poli, Pudek I Fakultas Sastra Unhas yang menjemput kami di bandara. Kecuali ada
demo, di dekat pasar atau di terminal, tambah Ibu Poli.
Untuk bepergian di Makassar, kita bisa menggunakan sarana transportasi yang sering dijumpai
di kota-kota di Indonesia. Dan untuk transportasi dalam kota, di sini digunakan sejenis angkutan umum
berwarna biru telur asin yang dikenal dengan nama pete-pete. Unik juga namanya. Ongkosnya pun
murah meriah. Jauh-dekat, lima ratus rupiah. Dari satu sudut kota ke sudut kota lainnya.
Ada pula pete-pete yang memiliki rute ke kampus tempat saya bekerja. Pete-pete ini disebut
pete-pete kampus. Si pet-pet ini masuk ke dalam kampus yang cukup luas. Bahkan kalau kita minta, si
pet-pet ini dapat sampai masuk ke fakultas yang dituju.
Transportasi lainnya adalah taksi dan bis kota Damri. Kalau kantong lagi tebal, boleh juga pilih
taksi. Lumayan menghindari panas menyengat dengan berdingin-dingin sejenak dalam taksi. Tentu,
taksi yang ada AC-nya. Lain ceritanya kalau taksi yang Full Aseeh, angin sepoi-sepoi alias buka
jendela. Khusus bis kota, tampaknya jumlahnya tidak begitu banyak. Hanya ada beberapa buah yang
saya lihat. Itu pun keadaannya sudah menyedihkan. Sukar dibayangkan berapa lama waktu yang
dihabiskan bila saya menggunakan bis itu. Biar ongkosnya murah yaitu hanya tiga ratus rupiah, tetapi
saya pikir-pikir dulu bila harus menggunakan bis.
Sementara itu, khusus transportasi yang satu ini saya angkat tangan. Menyerah. Entah
mengapa kalau diminta untuk naik transportasi ini (biasanya terpaksa), saya akan memejamkan mata.
Bukannya menikmati perjalanan tetapi ngeri! Memangnya transportasi apa ? Transportasi itu adalah
transportasi roda tiga yang bermodalkan tenaga manusia. Coba anda tebak? Ya, benar itu becak.

14

Melihat ukurannya yang kecil, agak ceper dan sempit, membuat saya agak ragu menaikinya.
Apalagi, sewaktu melihat bagaimana si daeng becak beraksi mengemudikannya, menerobos zig-zag di
sela-sela kendaraan bermotor. Pernah suatu waktu saya berdua dengan Nienk, my friend in crime, naik
becak. Bukan perasaan sensasi yang muncul tapi jantung rasanya mau copot. Becak itu meliuk-liuk di
antara Kijang, Kuda, Panther dan si pet-pet. Terkadang ia menyalip dengan kecepatan tinggi. Saya
tidak akan naik becak lagi. Kapok. Het is levensgevaarlijk (membahayakan nyawa). Tapi si Nienk, tetap
enjoy. Bahkan sempat bergaya pula dengan kaca mata hitamnya. Persis artis ibukota. Asyik, euy!,
seru Nienk sambil tertawa.
Ada lagi cerita seorang rekan dari Jakarta yang pertama kali datang ke kota ini. Suatu malam
ia iseng ingin berplesir naik becak. Tanpa negoisasi harga, langsung saja ia duduk di jok becak. Dari
pantai, ia diajak putar-putar kota sampai Jalan S. Saddang. Setelah puas, becak kembali ke hotel yang
berada dekat Losari. Daeng becak pun menagih ongkos becak tanpa argo itu dengan nilai nominal
yang membuat mata melotot, kaget. Bayangkan saja, daeng becak itu minta 100.000 rupiah. Setelah
lama saling ngotot, 75.000 rupiah pun terpaksa melayang untuk around the city at night with becak.
Sial, gara-gara tukang becak itu manggil gue bos, gue harus keluar 75 ribu! umpatnya ketika
menceritakan pengalaman buruknya.
Wah, bisa enggak narik seminggu deh si daeng becak, sahut saya menahan geli.
Kalau kita menengok kebelakang, konon becak di Makassar sudah ada sejak tahun 30-an.
Bahkan boleh dikatakan sebagai kota pertama di Indonesia yang menggunakan transportasi ini.
Dibanding becak-becak di kota-kota lain di Indonesia, becak di Makassar berukuran lebih kecil. Tidak
mengherankan bila seorang anak kecil mampu mengemudikannya.
Yang menyebalkan lagi, bila kita ditawari becak lalu kita tidak menjawab dengan gelengan
kepala atau isyarat tangan, mereka akan marah dan mengumpat. Saya tidak mengerti, memangnya
orang harus naik becak. Bahkan, dari koran lokal yang saya baca, pernah ada daeng becak dan
seorang calon penumpang yang berkelahi. Gara-garanya, calon penumpang itu tidak mau naik
becaknya. Mungkin ini disebabkan banyaknya becak di Makassar.
Mau keluar kota? Jangan khawatir di Terminal Panaikang, tersedia beragam angkutan umum.
Ada bis berukuran besar, sedang, full AC maupun Aseeh. Nah, bila anda memiliki jantung yang kuat
dan gemar berpetualang tersedia transportasi yang lain. Di sini dikenal dengan nama panter (dari nama
merek mobil). Yang sering dipelesetkan menjadi panggilan terakhir. Aneka mobil kendaraan niaga
keluaran terbaru, mulai Toyota Kijang kapsul, Isuzu Panther full injection, sampai Mitsubishi Kuda bisa
digunakan. Sayang tidak ada Jeep Cherokee, Opel Blazer, Land Cruiser, Pajero atau Nissan Terrano,
favorit saya. Kalau ada saya mau mencoba.

15

Soal kenyamanan transportasi panter itu, tidak dijamin. Kelihatannya Full Aseeh sekali. Itu
dapat dilihat dari kaca jendela mobil yang dibuka lebar-lebar.
Saya pernah melihat para penumpang yang menunggu di terminal, di antaranya ada seorang
bule yang sibuk berkipas-kipas karena kepanasan menanti calon penumpang lain. Di antara
penumpang mungkin tidak saling kenal tapi bisa saja kenal kalau kita SKSD (sok kenal sok dekat)
saling mengakrabkan diri karena sama-sama seperjalanan. Siapa tahu ada yang berjodoh.
Saya sebenarnya belum pernah mencoba transportasi ini. Terbersit rasa khawatir melihat
bekas dempulan dan sisi mobil yang lecet. Saya yakin pasti bekas menabrak atau ditabrak. Dari situ
anda bisa membayangkan kecepatan yang digeber supir. Apalagi seorang teman di Jakarta yang
pernah mencobanya sewaktu plesir ke sini mewanti-wanti untuk memperkuat saraf sekuat baja bila
ingin mencobanya. Maka terbayanglah aksi Vin Dissel di Fast and Furios. Are u ready? Hieeeha, here
we go!! Wuuus, wuuswuus. Ciiiiiiiiiiit..braaaak!

16

5. Mikiji, Tawwa!
Beberapa bulan menjelang keberangkatan ke Makassar, saya sempat bercakap-cakap dengan
seorang mahasiswa Unhas yang sedang mengikuti kursus di Erasmus Taalcentrum, Jakarta. Saya
menanyakan situasi di sana karena jika hanya mengandalkan informasi dari buku tentu banyak
biasnya. Bahkan bisa jauh dari kenyataan sebenarnya.
Nantilah Pak, di sana akan mendengar mikiji, ujarnya seraya tersenyum.
Apa itu sejenis makanan khas sana? tanya saya penasaran.
Ia tak menjawab dan hanya tersenyum. Maka bertambahlah rasa penasaran saya.
Beberapa detik, menit, jam, hari serta bulan setelah menginjak bumi Mangkasara ini,
percakapan dengan mahasiswa itu teringat kembali. Hampir di setiap kesempatan, telinga saya
menangkap bunyi-bunyian yang mengacu pada percakapan saya tempo hari di Jakarta. Sesuatu yang
menarik dan kedengaran di telinga saya, mirip alunan musik yang eksotis. Sangat berbeda dengan apa
yang saya dengar selama ini.
Ya, dalam mempelajari suatu bahasa, mendengar bunyi dan membedakan lagunya merupakan
hal yang efektif. Misalnya ketika mempelajari bahasa Mandarin kita harus mampu membedakan bunyibunyi yang berbeda. Akhirnya misteri mikiji itupun mulai terkuak.
Mikiji yang dimaksud bukanlah makanan yang berhubungan dengan mi, baik mi goreng atau mi
kuah (mi rebus). Melainkan semacam partikel yang dalam bahasa Indonesia digunakan di setiap frasa
yang mereka ucapkan. Ada juga berupa frasa yang utuh semacam kata afektif yang mengungkapkan
seruan (interjeksi) dan tidak memiliki arti khusus. Yang terakhir ini berkaitan dengan emosi si penutur
atau pembicara.
Dari hasil pendengaran selama berinteraksi dengan para penutur asli tercatat beberapa
partikel itu seperti: mi, ma, mo, ki, ka, ko, ji, pi, ces, toh, di, ta, tonji, bede(ng), beng, bela, edede,
tawwa, awwah, kodong, cececece, pale.
Supaya tidak penasaran, berikut penjelasan partikel dan frasa itu beserta contoh kalimatnya.
Bagian yang terdiri dari satu suku kata :
-

mi ( sufiks / partikel ajakan; seperti lah )

ji ( sufiks / partikel penegas ; seperti dong )

di ? ( sufiks/partikel penegas; formil bila menanyakan sesuatu )

ki ? ki ! ( dari kata kita = Anda )

ko ! ( kau = kamu )

17

mo! ( sufiks/partikel mengajak/perintah )

pi ( sesudah; kata belum, unsur bilabial )

nah ( sufiks/partikel penegas )

ta ( dari kita = Anda )

ka ( sufiks/partikel penegas)

toh ( sufiks/partikel penegas )

Bagian yang terdiri dari dua suku kata dan lebih :

kodong (digunakan untuk menyatakan turut merasa menderita, iba, kasihan)

bedeng (digunakan untuk menceritakan kembali kepada orang lain. Arti :


katanya/menurutnya)

bela

awwa ( interjeksi, berupa keluhan/terkejut)

edede (sesuatu yang tidak sesuai dengan hati)

cececece (sesuatu yang mengejutkan)

ya tawwa

tonji

pale

Berikut contoh penggunaannya dalam kalimat yang diambil dari sebuah surat kabar di
Makassar:
ki
Saya heran dengan pacar saya yang memancing ke hal-hal negatif alias seks.
Padahal aku sangat mentabukan itu. Terpaksa ku putuskan ki
kadang-kadang kesal ki juga kalau mama lagi cerewet...
Selain jadi melek harga, mace kan bisa mengirit tidak perlu mengasih tip buat
yang membantu bawa belanjaan. Biar rasa ki
ka
Ndak suka betul ka sama cowok ember
Sibuk sekali kaini

18

Waduh! Kalau aku takut memang ka melawan ortu, takut kualat dan durhaka
Sudah bosan ka dimarahi terus, tiap hari pasti kena
Belum pernah ka terima surat cinta
Malas ka ....dengar lagu dangdut. Mau ka muntah...
Tidak ah..tidak berminat ka punya pacar yang rambutnya gondrong
Apes sekali ka waktu itu
ko
Nanti yang lain balas, ultah kamu sepi kado dan sepi makanan baru tahu rasa ko...
Oalah...kalau sudah besar mau jadi apa ko
Kenapa ko doyan sama nasi kuning?
mi
sudah mi, terlanjur. Mereka ini yang tanggung dosanya
dan yang punya niat bikin film kayak begitu lebih baik batalkan mi saja daripada berurusan
sama polisi
...mereka mau melakukan apa saja itukan hak mereka jangan mi ditanya perbuatan seperti itu
pun ada yang lebih gila lagi
tapi rokok itu sulit sekali saya hilangkan. Ndak tau mi kalau ada mi istriku dan dia melarang
Keluargaku juga banyak miyang menetap di Makassar seperti nenek, ortu serta sanak
saudara lainnya
cuek mi saja deh. Namanya hubungan dua manusia atau lebih pasti saja ada
kesalahpahaman
wuih kagetku karena saya kira hilang mi berkasku
Mirip sama aku, sudah dipotong uang jajan tidak dibelikan mi lagi coklat sama mama
jangan mi gondrong deh, kalau tidak tahu urus rambut
Jangan mi gengsi lah
Waduh...kayanya tidak ada mi orang yang bakal bilang kalau guru itu tidak penting
Nah...kita dengar mi saja kisah roman dua sejoli yang sekelas ini
Udah ah...tidak usah mi dipikirkan biarkan saja. Yang mau pacaran silahkan yang tidak mau
yah diam saja
Aduh Malas ah...cinlok-cinlok gitu. Bayangkan mi saja, gimana rasanya tiap hari ketemu di
kelas ...kan bosan

19

dulu sih aku takut sekali bela kalau pulang malam, paceku mi terutama suka marah. Ndak baik
kibede perempuan pulang malam-malam
ma
ortu diam saja, abis sudah duluan ma pamit
ji
Jadi tidak ada ji ruginya, makanya saya mengaji hampir setiap hari walau sebentar ji
...yang kebetulan juga biasanya seluruh keluargaku pada berkumpul ji di sini...
saya tidak malu ji bersaing dengan sahabat sendiri
Yah acaranya biasa-biasa saja , ndak terlalu istimewa ji
Ndak masalah ji, toh itu bukan momen yang wajib dilakukan
Waktu itu aku pikir cuma dimarahi ji saja...
Hehehe...kayaknya terlalu berlebihan yah, tapi ndak apa-apa ji toh...
Biasanya apa yang disampaikan, ndak sesuai dengan kenyataan. Baik ji kalau dia yang
membuat suratnya,...
Bukan cuma pacar saja. Betul ji toh ?
Tapi ada ji cara mengatasi cowok pemalu, terutama yang suka malu kalau bersua dengan
kaum cewek
Sebenarnya memilih pakaian untuk cowok yang berbody kurus ndak terlalu susah ji
Yah apalagi kalau kita sudah punya doi, bisa-bisa malah berantem ji,...
na
Norak sekali, jelek na deh
Gabungan : ka , ki , mi ,ma, ji, na, bela, kodong, di, ces, tawwa, bede, toh, pi
Sering ka batuk-batuk. Rusak mi mungkin paru-paruku
Lama sekali ka ndak pulang kampung. Buat aku kangen berat sama masakan ibu
Aku beda sama ibunya teman-teman. Kalau mamaku diktator sekali ki. Itu menurut
perasaanku, makanya saya jarang bersenda gurau dengan mama. Takut kasalah-salah
ngomong dan bikin mama marah. Tapi sebenarnya pengen sekali ka ngobrol sama mama
seperti teman-temanku yang lain. Tapi aku yakin saja, semua yang mama lakukan itu buat
kebaikanku ji juga nantinya
Belum berani bilang terus terang. Malah nanti na ketawa ji
20

Memilih kadonya pun bingung, banyak sekali yang bagus-bagus bela. Tapi dapat mi juga kado
yang tepat buat dia
Yah mau bagaimana lagi, pusing ka deh! Terutama mace ndak bisa mengerti bela
Kuakui bahwa itu suatu cara ortu mendidik anaknya. Tapi na bikin bingung ka juga, rasa malas
itu susah kayak melekat sekali mi didiriku
Tidak kampungan ji kodong karyaku
Kalau aku sih malas bela. Malas ka deh pergi bioskop apalagi kalau mengantri mi, wee.. kapok
ka deh...capek bela
...para muda metro Makassar punya pacar yang usianya lebih tua, bagaimana di gaya
pacarannya? Pasti penasaran ki, ces? Oke mi, baca saja komentar na tawwa..
Intinya pacaran tuh sama saja, ada suka dan dewasa sekali bela, jadi suka malu ka jadinya
Tidak suka ka...liat cowok gondrong. Rasanya ki, kesannya seperti preman
Bayangkan mi saja, 60% dari 100 orang bilang mau dapat pacar cowok berambut panjang.
Asal terawat dan tidak nakal ji bede
Ndak gondrong ma sekarang ces. sudah kupotong atas permintaan sang kekasih, terpaksa
mi...
Belum lagi kalau kejadian ini sudah berkali-kali kamu alami. Duh, beratnya kodong. tapi mau
mi diapa
Sudah mi deh bos. Baginya besok pagi mi saja, tunggu di koran
Dua-duanya menarik tawwa...Bagus juga, jadi ndak bentrok ki
Iya nih, aku suka dimarahi sama guru, nakal ka juga di !
Pernah ka juga bikin menangis guruku, sampai-sampai aku dipanggil ke ruang kepala
sekolah
Wuih..stress ki bela
Ya, manusia kan tak bisa lepas dari keinginan. Jadi wajar-wajar ji toh
baca terus di...mau ki ujian ?
Mending bolos ka deh, daripada aku dihukum . Makanya jangan heran nilai di raport cuma
pas-pasan saja bela
Padahal tadinya aku mau pulang saja tapi na dapatka guru
Sempat ka memang cinlok, awal-awalnya ji itu enak. Lama-lama bosan ka karena bayangkan
tiap hari ketemu. Tidak enak, mana kalau ada PR pasti dia suruh ka kerjakan PR nya. Kapok
deh, tidak mau ka cinlok lagi!
Sekali , dua kali lama-lama jadi keseringan karena komunitas juga mulai terbentuk. Walhasil
akhirnya tumbuh mi benih cinta
21

Ih edede uh seramnya kodong. Mudah-mudahan tidak pernah ma lihat lagijelek


Ya, kalau sudah mi pacarta mo mi diapa, hitung-hitung senasib sepenanggungan
Ini mo dulu nah, selebihnya di belakang pi
Buktinya banyak ji tidak bisa dibuktikan kebenarannya hanya dari mulut ke mulut. Belum pi
ditambah-tambahi
Baru-baru dikasih ki pisang ijo. Nyamanna tawwa
Kalau siang, ededemelilit ki perut
Pengalamanku toh, sukaka lemas di kampus. Soalnya kalau ndak sarapan, itu perut bunyibunyi bela
ibunya tiap pagi pasti membuatkan sarapan buatnya. Asyik na tawwa
Ibu kostku bawel sekalisemua mau diatur, urusan pacaran mau juga na atur. Ededebete
ka jadinya. Karena ndak betah diatur-atur terus aku pindah kost saja. Daripada stresku lihat ki
ibu kost yang reseh!
ces
sorry ces, bukumu tadi sudah saya pegang, tapi tertinggal di kursi tamu
Enak sekali ces, kalau dinikmati saat berbuka
bela
Bahaya juga dekat cowok ember bela. Bisa-bisa segala privacy kita ketahuan sama orang lain
Wuih ceria sekali bela
Dia begitu menjiwai lagu yang dibawakannya, terus Ikke tuh cantik sekali bela
Lagian cowokku itu mukanya manis dan imut bela , cocok sekali dengan gondrongnya
Cowok gondrong !! Aduh suka sekali ka lihat cowok gondrong
Dia bilang filmnya top sekali dan bikin nangis bela
Mau menghitung, rasanya malas sekali karena banyak sekali bela...
Saya bolos karena saya lagi suntuk bela
panas sekali bela
di
Wah, aneh juga di kalau kita lagi naksir cewek
Enaknya di kalau sarapan sudah tersedia

22

edede
Sama dong dengan aku...tidak suka sekali ka...musik dangdut apalagi lagu India...Ede..de
bikin sakit kepala
bede
Asyik-asyik saja bede pacaran sama cewek yang usianya lebih tua darinya
tawwa
Dunia kan tidak selebar daun kelor. Masih banyak cewek yang lebih muda, Betul tawwa?
Tapi memang tawwa, rata-rata responden cewek kita kali ini mengungkapkan keinginannya
untuk mendapat pacar yang gondrong
Gila..bagus sekali tawwa..
kita
Memang kita mahasiswa apa ?
tonji
Menyerah saja atau buka puasa. Ditahan-tahan dan alhamdullilah bisa tonji
beng
Anu, beng itu surat yang kemarin belum ditandatangani
Bagaimana? Anda paham dengan maksud kalimat-kalimat tersebut? Tampaknya tidak terlalu
sulit. Ini baru sebagian contoh-contoh kalimat yang menggunakan partikel dan interjeksi tersebut yang
berhasil saya catat.
Menariknya, kalimat tersebut dilagukan dengan intonasi tertentu dan ini berpengaruh pada
reaksi pendengar kita. Sebagai contoh, pengalaman yang dituturkan teman saya, Nienk. Ketika itu ia
hendak minta bantuan pada salah seorang pembantu di rumah tantenya untuk membeli sesuatu di
warung. Awalnya, ia menggunakan intonasi perintah yang biasa ia lakukan di Jawa. Sang pendengar
tidak memberikan reaksi dan mungkin bingung. Akhirnya, Nienk menggunakan intonasi penutur yang
biasa digunakan di sini. Hasilnya, sang pendengar memberikan reaksi positif dan memenuhi
permintaan Nienk. Namun, akibatnya Nienk terkadang menggunakan intonasi itu bila bercakap-cakap
dengan saya. Nah, ganti saya yang bingung.

23

6. Benteng Penyu
Kalau batu-batu tua dapat berbicara tentu banyak kisah yang dapat diungkapkan. Tumpukantumpukan batu kokoh itu membentuk sebuah bangunan. Tegak berdiri, membisu dalam hitungan abad.
Setelah usai fungsi utamanya melindungi dan bertahan dari serangan dan gempuran musuh, tinggallah
lapisan humus lumut bak karpet beludru yang menyelimutinya. Ketuaannya menorehkan sejarah. Bukti
peninggalan keperkasaan masa lalu. Bangunan tersebut adalah benteng.
Kerajaan Gowa merupakan kerajaan yang sangat kuat di Sulawesi pada abad ke-17. Dilihat
dari arah laut, Kerajaan Gowa adalah wilayah yang dilengkapi dengan perbentengan. Tercatat ada 13
benteng yang melindungi ibukota dan daerah sekitarnya yaitu benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung
Pandang, Baro Boso, Mariso, Somba Opu, Garassi, Panakkukang, Barombong, Kalegowa, Ana gowa,
Galesong, Sanrabone. Posisi benteng yang strategis ini memperlihatkan kehebatan kerajaan Gowa
dalam mengatur strategi militernya.
Tahun 1667 ketika Gowa berhasil dikalahkan oleh Belanda semua benteng dimusnahkan
kecuali Benteng Ujung Pandang. Dua tahun kemudian giliran benteng Somba Opu yang dihancurleburkan oleh Belanda.
Sambil menelusuri batuan yang membisu, kepingan-kepingan sejarah muncul membentuk
kesaksian di kepala saya. Benteng Ujung Pandang dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa X
Imarigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung yang terkenal dengan nama Tunipalangga Ulaweng. Diberi
nama Benteng Jumpandang karena letaknya di Tanjung ujung dimana banyak dijumpai pohon pandan
berukuran besar. Kampung ini dikenal juga dengan nama Jourpardan (Juppandang). Wilayah
Jourpardan ini dihuni oleh pribumi, bersisian dengan Vlaardingen yang dihuni oleh campuran orangorang Tionghoa dan penduduk asli beragama Kristen di sebelah timur lautnya.
Ada cerita menarik tentang Jourpardan. Menurut cerita, untuk memangkas pohon-pohon
pandan berukuran besar yang penuh duri itu, Belanda menembakkan uang logam bergambar Ratu
Belanda ke arah tumbuhan pandan itu. Segera saja, anak-anak pribumi memangkas pohon pandan itu,
tanpa mempedulikan duri-duri runcingnya untuk mencari uang logam tersebut. Dalam sekejap,
perlombaan mencari uang logam itu sekaligus menjadi lomba memangkas pohon pandan. Dalam
sekejap pula pohon pandan yang penuh duri itu ludes dan anak-anak itu mendapatkan uang logam
bergambar ratu.
Benteng yang terletak di tepi pantai Losari kemudian jatuh ketangan Belanda melalui perjanjian
Bongaya tahun 1667, usai Perang Makassar yang banyak memakan korban. Lalu oleh Cornelis
Speelman dibangun kembali dan dinamai Fort Rotterdam, tempat kelahirannya di Belanda. Pada masa

24

itulah benteng ini menjadi pusat pemerintahan dan perniagaan. Nama Fort Rotterdam tetap dipakai
hingga sekarang. Nama lain benteng ini adalah, kotayya karena fungsinya sebagai pusat pemerintahan
dan kota.
Benteng yang berbentuk dasar segi empat dan bergaya arsitektur Portugis, berbahan dasar
dari tanah liat. Modelnya mirip dengan benteng sejenis di Eropa pada abad ke-16 dan ke -17. Dengan
tambahan tonjolan keluar, melekat pada bentuk dasar benteng, bastion.
bangunan ini berbentuk seperti penyu.

Bila dilihat dari atas,

Menurut beberapa sumber, bentuk penyu yang seolah

merangkak ke arah laut menggambarkan bentuk kerajaan Gowa sebagai kerajaan pelaut (tinggal di
darat , mencari rezeki di laut) dan benteng pelindung ibukota ( kulit/ rumah penyu yang keras ). Hingga
benteng tersebut dinamakan Benteng Panyua (penyu).
Saya menelusuri dinding benteng dengan ketebalan 2 meter dan tinggi 7 meter ini. Ada lima
bastion pada tiap sudut yang menurut tradisi diberi nama sesuai dengan daerah atau pulau di Hindia
Timur yaitu bastion Bacan, Bone, Amboina, Butung, Mandarsyah. Di lantai bawah di sebelah barat
daya benteng terdapat penjara bawah tanah. Pangeran Diponegoro adalah salah satu penghuninya
hingga wafat tahun 1855. Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar pada tahun 1845, setelah
sebelumnya ia dibuang ke Manado.
Menurut salah seorang petugas, pintu masuk penjara Pangeran Diponegoro sengaja dibuat
rendah, maksudnya jika ia masuk ke dalam sel, ia harus membungkuk, menghormat (Belanda). Dari
cerita petugas , sebenarnya Pangeran Diponegoro tidak selalu berada dalam sel. Terkadang ia keluar
dan mengadakan pengajian dengan para pengikutnya. Mungkin ini perlakuan khusus para penguasa
VOC di Makassar terhadap dirinya.
Selama dalam benteng Fort Rotterdam, Pangeran Diponegoro mendalami tasawuf dan menulis
Al Quran dengan tangannya sendiri. Bahkan ketika di Manado ia sempat menyusun memoar dalam
bahasa Jawa yang sebenarnya disusun oleh salah seorang pembantunya. Memoar itu diberi judul
Babad Diponegoro. Menurut kabar, Pangeran Diponegorolah yang mula-mula mengajar orang-orang
Bugis di Maros mengolah sawah dan empang.
Pada kesempatan lain saya mengunjungi sisa-sisa Benteng Somba Opu. Benteng ini
berbatasan dengan Kota Makassar dan Sungai Tallo di sebelah utara, dengan Selat Makassar di
sebelah barat dan dengan Sungai Jeneberang di sebelah selatan. Letaknya sekarang di desa Bontoala
dan masuk dalam wilayah kabupaten Gowa.
Untuk memperkuat kekuasaan dan kewibawaannya, Sultan Tumaparisi Kallonna, Raja Gowa
IX yang bertahta mulai tahun 1510 membangun benteng Somba Opu di pesisir Sulawesi Selatan.
Benteng Somba Opu dikelilingi tembok batu bata dengan bentuk empat persegi panjang seluas
113.590 meter persegi dengan ketebalan 3,648 meter dan tinggi rata-rata 7 meter.
25

Dari benteng ini, semua perintah dikeluarkan ke seluruh negeri kerajaan. Sebagai pelindung
Benteng Somba Opu dibangun Benteng Ujung Pandang di bagian utara dan Benteng Panakukkang di
bagian Selatan. Dengan demikian Somba Opu dan sekitarnya menjadi tempat pemukiman yang aman
bagi Suku Makassar, dan dalam waktu singkat tempat yang disebut Makassar menjadi ibukota yang
termasyhur dari Kerajaan Gowa. Penduduk Gowa pada abad ke-16 hingga ke-17 menurut Ong Hok
Ham sudah mencapai 160.000 jiwa. Bandingkan dengan penduduk Napoli dan Paris yang baru
100.000 jiwa pada masa yang sama.
Para sejarawan menulis bahwa Benteng Somba Opu adalah lambang kebesaran Kerajaan
Gowa. Tidak mengherankan jika benteng ini dilengkapi dengan alat pertahanan yang kokoh seperti
meriam dan senjata yang sangat ditakuti oleh Belanda. Tentu saja, Belanda harus memutar otak
mencari cara menyerang dan menggempur benteng ini. Konon, Belanda harus mengerahkan kekuatan
militernya dari seluruh Nusantara.
Menurut catatan, perang tanggal 15 hingga 17 Juni 1669 menewaskan 50 orang dan 68 lukaluka di pihak Belanda. Hasilnya, mereka hanya mampu meruntuhkan bagian depan dinding benteng
saja. Baru pada tanggal 19 Juni, Belanda berhasil mengibarkan bendera, bersamaan dengan rusaknya
Meriam Anak Makassar berikut 272 pucuk meriam lainnya. Belanda membutuhkan tujuh hari untuk
menghancurkan Benteng Somba Opu. Benteng ini memang kokoh, saya sempat melihat sendiri
tebalnya dinding pertahanan benteng.
H.D. Mangemba menuliskan bahwa Sultan Hasanuddin mempersenjatai dengan lengkap
benteng-benteng pertahanan atas nasehat Karaeng Pattingaloang. Tembok pertahanan diperkuat dari
tanah menjadi batu. Oleh karena ketika itu belum ada semen, maka kuning telur dijadikan bahan
perekat. Walaupun menurut Mangemba yang lebih masuk akal adalah sejenis buah-buahan yang
dijadikan bahan perekat.
Bahan perekat itu menyatukan batu merah, batu karang satu persatu. Sudut batu-batu itu tidak
membundar dan simetris sehingga ada anggapan bahwa situs benteng yang ditemukan sekarang
bukanlah inti benteng. Dinding benteng Somba Opu diperkuat dengan empat bastion. Di dalam
benteng itulah istana Raja Gowa dengan tiang penyanggah yang tinggi. Sebuah jembatan kayu menuju
raja dapat dilalui dengan kuda. Sedangkan tembok di sekelilingnya dibangun miring sehingga sulit
ditembus peluru. Nah, ini mungkin rahasianya. Tentu kita bisa menebak, tentunya ini adalah ide sang
perdana menteri Karaeng Pattiongaloang.
Sambil berdiri di atas reruntuhan dinding benteng yang berbatasan dengan Selat Makassar
ingatan saya melayang ke abad-abad silam. Dentuman meriam dan teriakan terngiang ditingkahi
deburan ombak. Dalam hati saya bertanya: sampai kapan reruntuhan ini masih mampu menentang
sang masa dan menjadi saksi kisah masa lalu ?
26

7. Makassar Mall
Saat itu saya baru beberapa minggu di Ujung Pandang. Mendengar nama mall, saya berpikir
suatu bangunan megah, berpendingin ruangan dan nyaman. Paling tidak seperti Pondok Indah Mall-lah
atau Atrium Senen. Saya menumpang pete-pete yang di depannya terpampang trayek Daya-Makassar
Mall. Hebat juga langsung ke tujuan. Bayangan bangunan berpendingin tiba-tiba lenyap ketika tiba di
sana.
Maaf pak, mana mallnya? tanya saya pada supir pete-pete. Ia tampak bingung lalu
menjawab.
Ini, pak. Pasar Sentral,
Mall nya dimana? saya masih kebingungan tapi akhirnya saya turun juga. Bangunan di
depan saya bukan seperti yang saya bayangkan. Lebih mirip pasar Tanah Abang atau Pasar Senen.
Saya mencoba masuk. Mungkin mallnya ada di dalam pikir saya. Saya semakin bingung karena di
dalam saya tidak menjumpai bangunan mall. Hanya ada penjual kelontong, makanan, mainan anakanak, kaset, sepatu dan dipenuhi penjual kaki lima yang agak memaksa sewaktu menawarkan
dagangannya. Tapi dimana mallnya?
Mungkin konsep mall yang ada di kepala saya berbeda dengan konsep mall di sini tapi itu tidak
membuat saya merasa puas. Saya mencoba mencari riwayat Makassar Mall ini.
Wilayah ini dahulu merupakan lokasi pekuburan Cina. Banyak cerita unik dan misterius di
daerah ini. Pekuburan ini akhirnya digusur dan dipindahkan ke lokasi lain. Tahun 60-an, pekuburan
Cina yang dikenal dengan nama jera tappampang dipindahkan ke daerah Panaikang. Lalu pada akhir
80-an dipindahkan lagi ke daerah Gowa.
Pekuburan jera tappampang ini dahulu membentang kurang lebih satu kilo meter di sebelah
utara lapangan Karebosi. Cerita-cerita yang beredar di daerah ini adalah munculnya roh yang
bergentayangan atau para pemburu harta karun yang menyatroni makam khas Cina menggali harta
para warga Cina kaya yang ikut dikubur.
Tahun 60-an, di atas lahan bekas pekuburan ini dibangun sebuah pasar yang dikenal dengan
nama Pasar Sentral. Awalnya hanya terdiri dari lima unit loods, yang terbagi atas beberapa petak untuk
berjualan. Letaknya yang strategis membuat orang tak peduli, pasar itu dibangun diatas puing-puing
bekas kuburan Cina. Mereka berebutan mendapatkan lokasi dagang di sana untuk meraih untung.
Tahun 1994 akhirnya dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang megah karena melihat Pasar
Sentral tidak lagi mampu menjadi pusat perbelanjaan yang sehat. Niatnya tentu ingin membangun
sebuah pasar berkonsep modern. Tapi kenyataannya yang terjadi sangat jauh sekali. Konsep modern
27

yang diimpikan tidak saya temukan. Malah kelihatannya semakin semrawut. Saya kembali lagi
mempertanyakan nama Makassar Mall itu.
Akhirnya daripada pusing memikirkan istilah mall yang sudah telanjur menempel di kepala,
saya pulang ke wisma. Sebelumnya saya menyempatkan diri menikmati coto dan konro di salah satu
pojok. Tak lupa saya membeli dua tandan pisang yang harganya lumayan murah di luar mall. Oleh
karena itu bagi Anda yang sudah memiliki konsep mall, jangan terkecoh dengan Makassar Mall.

28

8. Tamalanrea Friendship
Menurut salah seorang anak Pak Amin yang juga mengelola wisma, tamalanrea berarti tanah
yang luas. Kompleks Kampus Tamalanrea ini cukup luas juga. Ada satu lapangan bola, satu kolam
renang yang konon salah seorang pembangunnya adalah senior saya di UI, serta satu mesjid yang
besar.
Hampir setiap pagi kecuali pada waktu hujan, saya lari atau berjalan mengelilingi kampus.
Kalau beruntung bisa berpapasan dengan kerbau atau sapi. Ternyata lumayan juga suasana kampus
di pagi hari. Di luar kompleks kampus, ada beberapa tempat kost untuk mahasiswa. Selain berupa
bangunan rumah biasa, ada juga yang berupa bangunan rumah panggung. Harga sewanya cukup
murah tetapi kalau saya harus tinggal di sana, saya akan berpikir beberapa kali.
Sebelum mengenal lingkungan sekitar, saya mencoba bersosialisasi dengan penghuni wisma
Rambo lainnya. Ketika saya masuk menjadi penghuni wisma, saat itu ada peserta kursus keuangan
daerah yang berasal dari berbagai daerah, khususnya Indonesia Timur. Tentunya saya akan sulit
mengingat mereka satu persatu. Belum lagi, peserta kursus-kursus lainnya. Ada beberapa orang yang
cukup dekat dengan saya. Terutama yang tinggal di wisma itu dalam hitungan tahun bukan sekedar
bulan.
Saya akan membagi persahabatan Tamalanrea ini dalam beberapa gelombang. Alasannya,
tidak semua sahabat-sahabat saya itu tetap bersama selama empat tahun yang saya tinggal di sana.
Hampir semua adalah mahasiswa pasca sarjana.
Gelombang pertama adalah Om Brur John Waromi yang berasal dari Papua tapi sangat fasih
berbahasa Sunda. Bahkan kalau kita tidak melihat tampangnya dan hanya mendengar suaranya, bisa
keliru, mengira ia berasal dari Tanah Pasundan. Maklum saja beliau ini besar di Jawa dan
menghabiskan masa remajanya di Jakarta dan Bandung. Lalu, ada Paklik Triweda Raharjo. Beliau
dari Kediri tapi merantau hingga Papua. Nah, pada saat ia melanjutkan sekolah di Unhas ini dia masih
menjadi PNS (pegawai negeri sipil) di Papua. Begitu pula dengan Om Brur Jon yang juga PNS di
Papua.
Gelombang berikutnya, masih ada Om Brur Jon, ditambah Pak Bos Teras Dayut dari
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Pak Kapten Joni (saya lupa nama belakangnya mungkin
Agustaf?), Stefly manager logistik Modaso dan Stevenson Koloay. Ketiganya asal Manado.
Di gelombang terakhir ada beberapa nama tambahan seperti Pak Rustam dan Pak Parno dari
Aceh. Aceh? Pasti Anda heran, mengapa mereka dari nun jauh di ujung Barat sana, kuliah di Unhas.
Alasan dari mereka pun membuat saya tersenyum: Kapan lagi melihat negeri sendiri, kata Pak
29

Rustam ketika saya tanya alasannya kuliah di Unhas. Saya jadi teringat Imagined Community-nya Ben
Anderson. Mungkin Pak Rustam ini perlu juga membacanya.
Berikutnya, ada Michael dari Manado dan Awing dari Lombok, teman berdiskusi di saat listrik
padam. Sahabat-sahabat inilah yang menemani saya hingga tugas saya berakhir.
Kegiatan yang kami lakukan sebagai orang rantauan juga menarik. Di masa gelombang
pertama, biasanya setiap pagi, saya, Paklik Tri dan Om Brur John jalan-jalan pagi keliling kampus
atau menjelajah hingga ke perumahan dosen di seberang Jalan Perintis Kemerdekaan. Kalau malam
hari, usai makan malam kami ngobrol, main gitar, main pingpong atau main kartu (kalau tidak 41 [forty
one], ya, cangkulan saja). Terkadang kami juga plesir, jalan-jalan ke Pulau Kayangan atau sekedar
belanja ke kota. Di gelombang ini, Nienk ikut bergabung karena ia juga pindah dan tinggal di wisma.
Di gelombang kedua, lain lagi kegiatannya. Setiap pagi, tepat pukul 5, Pak Bos Teras yang
tidur di lantai atas, turun mengetok pintu kamar saya, Stefly, dan Steven yang berada di lantai bawah
sambil meneriakkan nama kami. Presis seperti komandan. Bergegas kami keluar. Siap dengan
peralatan tempur. Lucu juga kalau melihat tampang Stefly yang masih beraroma bantal lantaran nonton
sepakbola sampai pagi di tv. Pernah, suatu waktu, suara khas Pak Bos dan gedorannya tidak
kedengaran di pagi hari. Kami, sebagai warga bawah yang sudah bangun bingung. Kami segera
menjemputnya ke atas dan menggedor kamarnya. Rupanya, Pak Bos terlambat bangun karena
mengerjakan tugas sampai pagi.
Biasanya kami jogging keliling kampus. Istilah saya lari dari kenyataan. Setelah itu senam
atau main pingpong. Kami bertemu lagi usai makan malam. Kalau tidak menonton tv di lantai atas,
kami pergi ke pintu dua, mencari koran edisi pagi atau majalah yang disewakan dengan harga murah.
Pokoknya supaya tidak ketinggalan informasi. Pulang dari sana, kami berkumpul sejenak, berdiskusi
soal politik, olahraga, gosip artis atau pejabat. Sesekali membicarakan tesis mereka sambil makan kue.
Di gelombang terakhir, pada pagi hari saya masih melakukan rutinitas keliling kampus tetapi
sendirian. Baru pada malam hari, saya sesekali ngobrol dengan teman-teman dari Aceh, Lombok atau
Menado atau nonton tv di lantai atas. Maklum saja, pekerjaan di gelombang terakhir ini lumayan
banyak. Apalagi menjelang tugas berakhir. Di gelombang terakhir ini kami pernah kedatangan
mahasiswa/i AKPER (Akademi Keperawatan) dari Kendari. Bagi para warga atas tentu saja,
kesempatan itu tak disia-siakan. Mereka dengan rela tebar pesona pada para mahasiswi. Masingmasing mencoba cari pasangan.
Ada kejadian lucu di saat gelombang kedua. Saat itu supply makanan kami sehari-hari berasal
dari catering. Saya, Stefly dan Steven menggunakan catering yang sama. Mulai dari sarapan hingga
makan malam. Di wisma, tepatnya di belakang tinggal Bahtiar, seorang pria tulen tetapi berperilaku
feminin dan ia pun lebih senang dipanggil Tiara. Ia selalu mengenakan pakaian tank top dan celana
30

pendek ketat. Tugasnya membantu memasak atau mengantarkan rantang catering. Suatu pagi, usai
mandi saya berkemas untuk mengajar. Tiba-tiba terdengar suara yang dihalus-haluskan sambil
mengetok-ngetok pintu di luar:
Pihpih.. ini sarapanta, sayang!
Saya tidak dapat menahan tawa. Pasti itu suara Bahtiar eh Tiara. Saya segera membuka pintu.
Kebetulan pada saat yang bersamaan Stefly juga membuka pintu sambil menerima rantang dari Tiara.
Saya langsung berkomentar:
Wah, Stef, sudah jadi papih, mamih nih!
Stefly yang tampak masih mengantuk hanya tersenyum.
Iya nih, bukan begitu sayang, katanya sambil mencolek Tiara. Tiara melengos. Kelihatannya
antara senang dan sebal. Setelah Tiara menjauh, Stefly mendekati saya sambil berbisik:
Begitulah, Bang. Niatnya kepingin jadi Naomi Campbel eh malah seperti Sol Campbel.
Saya tertawa terbahak. Naomi Campbel adalah top model top yang bertubuh langsing
sedangkan Sol Campbel adalah bek andalan Inggris alias pemain bola.
Pengalaman menarik lainnya adalah ketika salah seorang penghuni wisma asal Papua lainnya
yaitu Pak Tet membawa oleh-oleh sagu yang disebut papeda dan ikan asap dari Danau Sentani. Kami
semua diundang menikmati oleh-oleh itu. Terus terang baru kali itu saya menikmati sagu asli Papua.
Agak sulit juga menelannya, perlu waktu untuk menikmati sagu dan ikan dari danau Sentani.
Tambah lagi, Pak. Papedanya! kata Pak Tet.
Iyo bang, jangan malu-malu, timpal Stefly sambil mengambil ikan.
Terima kasih pak. Ini saja rasanya tidak habis-habis, jawab saya sambil berusaha menelan
papeda.
Semua tertawa ketika melihat saya bersusah payah menikmati hidangan dari wilayah
Indonesia paling timur. Ah, persahabatan Tamalanrea, kenangan indah yang tak akan terlupakan.

31

9. Kue Bugis, Kanre Jawa


Urusan perut, merupakan urusan yang tidak bisa ditawar lagi. Ada orang yang menjadi
beringas lantaran urusan perut. Yang jelas, urusan perut erat kaitannya dengan makanan. Di
Makassar, bagi yang belum terbiasa dengan kuliner daerah ini dibutuhkan waktu beberapa saat untuk
menyesuaikan diri. Meskipun terasa cocok dengan lidah, belum tentu perut mau menerima. Kalau tidak
cocok, perut akan berdemonstrasi, berontak. Lantas, bisa celakalah kita.
Bagaimanapun, wisata kuliner de Macassart tak akan pernah terlupakan. Ada hal yang
menarik berkaitan dengan kuliner Makassar ini. Aneka macam makanan dengan beraneka rasa dan
warna dapat kita jumpai dan cicipi.
Budayawan nasional, Umar Kayam yang pernah bertugas di Makassar berseloroh bahwa
orang Bugis-Makassar merupakan masyarakat yang rendah hati. Alasannya meskipun pembuat kuekue adalah orang Makassar, Bugis, Mandar atau Toraja, kue-kue itu tetap disebut Kanre Jawa. Suatu
penghormatan bagi orang Jawa. Sebaliknya di Jawa, kita mengenal Kue Bugis. Sejenis kue yang
terbuat dari tepung ketan yang berisi gula merah dan kelapa lalu dibungkus daun pisang muda. Suatu
hal yang menarik.
Tidak hanya makanan kecil seperti jalangkote, aneka macam penganan dari pisang pun dapat
kita nikmati, seperti: barongko berupa pisang yang dilumatkan hingga seperti bubur , dicampur adonan
telur lalu dibungkus dengan daun pisang. Biasanya disajikan dalam keadaan dingin. Pisang Epe yaitu
pisang yang dipanggang tapi sebelumnya dipres hingga gepeng lalu diberi saus gula merah, terkadang
diberi aroma durian. Pisang Ijo yaitu pisang yang dibungkus adonan terigu dan daun pandan hingga
berwarna hijau lalu diberi saus putih dari kelapa.
Selain itu ada pula umba-umba yang di Jawa dikenal dengan nama klepon. Di Makassar ada
pula yang menyebutnya onde-onde yaitu kue dari tepung beras dengan gula merah di dalamnya dan
dilumuri parutan kelapa. Biasanya kue ini khusus disajikan pada saat menempati rumah baru atau
dalam upacara pembuatan perahu. Penganan lain adalah sengkolo, sejenis ketan urap dengan bahan
ketan putih atau ketan hitam. Seringkali kita jumpai warung yang menjual songkolo begadang. Disebut
demikian karena dijual pada malam hingga pagi hari. Biasanya dinikmati hangat-hangat dengan telur
asin dan sambal. Lucu juga bila kita menawari turis asing: Would you like to try an overnight songkolo,
Sir?
Lalu gogos sejenis lemper, cucuru bayao, cucuru golla mera sejenis kue cucur, roko-roko unti
(Makassar) atau doko-doko unti (Bugis), kopelangi, es pallu butung, bikangdoang (bakwan), lumpia,
bolu peca, bolu cappe, putu menangis/cangkir, katiri sala/putri mandi, sanggara Belanda, putri hijau,
32

sero-sero, sikaporo, taripang, tarajong, baje, dangke. Khusus untuk dangke ini saya masih penasaran
karena makanan ini merupakan makanan olahan seperti keju dengan bahan baku susu kerbau. Cukup
menarik karena bagi masyarakat Asia Tenggara, pengolahan makanan dari susu merupakan hal yang
jarang sekali. Dangke ini dijumpai di daerah Enrekang.
Untuk minuman khas disamping ballo (tuak dari nira), ada minuman khas, sarabba yang nikmat
diminum malam hari. Minuman ini mirip bandrek dengan rasa agak pedas.
Tidak lengkap bila kita tidak menikmati hidangan utama dalam wisata kuliner kali ini. Dimulai
dengan pallu basa dari daging, pallu kaloa daging dengan bumbu kluwek, pallu cela, sejenis ikan
pindang, pallu mara, dan pallu kaci. Selain itu yang saya rasa sudah cukup terkenal seperti coto
Makassar, sop konro, sop saudara. Coto dan konro memang berbahan baku daging tetapi khusus
konro terbuat dari daging kerbau atau sapi dan disajikan masih dengan tulangnya. Sedangkan coto
terbuat dari daging sapi bahkan ada yang dari daging kuda. Kata orang coto kuda dapat menambah
tenaga. Maksudnya biar seperti kuda, begitu?
Lalu ada bajabu, kadu bullo dengan komposisi beras ketan dalam bambu tanpa isi, diberi daun
pandan dan dibungkus daun pisang, kapurung (masakan Pallopo) dengan bahan sagu, sayur, ikan,
asam patikala, ikan parede yang terbuat dari ikan bandeng yang dimasak dengan asam patikala,
barobbo/ barobo (bubur), bassang (bubur jagung), burasa (lontong berbentuk persegi panjang) dan
masih banyak lagi. Rasanya perut ini tak sanggup lagi menikmati aneka hidangan dalam wisata kuliner
de Macassart.

33

10.Ikan Pinggang
Tiap bangsa memiliki cara tertentu dalam mengolah dan menyiapkan makanan.
Keanekaragaman tersebut membuat kita dapat leluasa memilih sesuai selera kita. Orang Rusia, seperti
kata M. Sobary dalam kolomnya di Kompas juga gemar makan ikan. Begitupula dengan orang Jepang.
Tapi orang Rusia tidak mau disamakan dengan orang Jepang. Kami tidak makan ikan mentah, ujar
orang Rusia.
Di Belanda, negara di tepi Laut Utara ada cara unik dalam menikmati ikan. Ikan haring (Clupea
harengrat) mentah setelah diberi bumbu ala kadarnya langsung dinikmati. Caranya kepala kita agak
ditengadahkan lalu ikan kita masukkan ke dalam mulut dan ikan itu sedikit demi sedikit melewati
tenggorokan. Rasanya? Bagi yang tidak terbiasa tidak disarankan untuk mencobanya. Biasanya, ikan
haring ini disajikan dengan bir.
Ikan haring memang banyak terdapat di laut-laut Eropa barat dan utara. Mereka hidup dalam
kelompok yang jumlahnya puluhan ribu, menyusuri pantai Inggris, Perancis Utara, Belgia, Belanda, dan
Denmark. Bagi nelayan dari negara-negara tersebut menangkap ikan haring merupakan sumber mata
pencaharian mereka.
Menurut para ahli lebih dari 50 persen ikan di seluruh dunia hidup dalam kelompok hingga
ribuan jumlahnya. Diantaranya 10 30 km dari pantai. Pada musim-musim tertentu, kawanan ikan tadi
bahkan lebih mendekati pantai dan masuk ke dalam teluk-teluk untuk mencari air tenang dan di sana
mereka bertelur.
Beragam dan melimpahnya hasil ikan di Asia Tenggara pada umumnya dan wilayah Nusantara
pada khususnya sejak dulu mengagumkan pengunjung-pengunjung asing. Marcopolo yang melakukan
ekspedisi ke Asia menyatakan: ikan di sini merupakan ikan terbaik di dunia. Begitupula menurut
Laksamana Cheng Ho , dalam ekspedisinya di abad lima belas. Walaupun ia menggerutu tentang
langka dan mahalnya beras, daging, serta sayuran di beberapa pelabuhan Asia Tenggara, ikan
disebutkan berharga murah dan melimpah di mana-mana.
Dalam laporannya, Ma Huan seorang penjelajah Cina menyatakan di Malaka dan Campa
penangkapan ikan merupakan pekerjaan utama kaum pria, jauh di atas pertanian. Dari teknik
penangkapan ikan pada masa lalu, John Crawfurd dalam History of the Indian Archipelago, 1820
menyebutkan cara mereka menangkap ikan sebagai seni yang benar-benar telah mereka
sempurnakan.
Indonesia yang sebagian besar wilayahnya meliputi lautan terkenal juga sebagai negara
pengkonsumsi ikan. Di perairan sekitar pantai kepulauan Nusantara bagian barat, kawanan ikan

34

kembung (Scomber kanagurta) menyusuri pantai tersebut. Sedangkan di sekitar pantai kepulauan
Nusantara bagian timur kita jumpai misalnya ikan cakalang (Katsowanis pelamis). Tidak mengherankan
bila mulai dari ujung barat wilayah Indonesia hingga timur, kita mengenal berbagai macam hidangan
yang diolah dari ikan.
Cara pengolahan dan memasak ikan perairan laut ini biasanya dibakar atau dipanggang. Cara
ini sudah ada sejak dulu, sejak orang mulai mencari ikan dan menemukan cara membuat api. Sampai
sekarang, cara ini tetap digunakan orang dalam mengolah ikan. Hanya sekarang sudah ditambah
dengan bumbu-bumbu untuk menambah selera.
Hidangan-hidangan yang berasal ikan laut mendapat nama-nama yang bermacam-macam.
Setiap daerah di Indonesia mempunyai nama-nama yang berbeda. Misalnya, colo-colo, hidangan ikan
dari Maluku, pallu mara dari Makassar, gulai kepala ikan dari Sumatera dan pesmol dari Jakarta.
Di Sulawesi Selatan, hidangan ikan ini menjadi menu sehari-hari. Hampir di setiap sudut, kita
akan jumpai rumah makan yang menyajikan hidangan ikan. Hidangan laut atau yang dikenal dengan
seafood menjadi menu makanan khas. Luasnya laut, jenis ikan dan komoditas laut yang beraneka
ragam di perairan Sulawesi Selatan membuat aneka makanan dari hasil laut dapat diperoleh dengan
mudah dan mura. Jadi, tidak salah bila daerah ini oleh penggemar makanan laut disebut sebagai the
paradise of seafood.
Hidangan laut ini tidak hanya mampu menggoyang lidah para penikmatnya, tapi juga jauh dari
kolesterol apabila dimasak dengan tepat. Bagi yang khawatir dengan berat badan tidak perlu khawatir
karena mengkonsumsi ikan tidak membuat berat badan melonjak. Malahan hidangan ikan
mengandung protein yang cukup tinggi.
Pemerintah daerah, dalam hal ini dinas perikanan laut Sulawesi Selatan memproyeksikan
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Sulawesi Selatan. Pangkalan tersebut tidak hanya berfungsi
secara ekonomis, tapi diharapkan dapat menjadi salah satu obyek wisata potensial. Salah satunya di
Paotere, konsep obyek pariwisata ikan bakar laut ini mulai digarap.
Tercatat ada empat belas Pangkalan Pendaratan Ikan lainnya yang diharapkan dapat
menyusul, seperti PPI Boccia, PPI Paribinga, PPI Tanga-tanga, PPI Selayar, PPI Bulukumba Kajang ,
PPI Lappa, PPI Wajo, PPI Luwu Palopo, PPI Lonrae Bone, PPI Paju Kukang, PPI.S Binangae, PPI
Lakassi, PPI Ujung Lero Pinrang, dan PPI Lamba Majene.
Bila proyek ini berjalan lancar tidak mustahil Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) tersebut akan
menjadi obyek wisata baru yaitu wisata kuliner. Memang kelihatannya begitu sederhana dan tidak ada
artinya karena sehari-hari kita menjumpainya. Tapi bagi para wisatawan baik domestik maupun asing,
wisata kuliner merupakan sajian wisata yang menarik. Mereka tidak hanya disuguhi obyek-obyek
wisata yang sama.
35

Seperti halnya wisata kuliner di Singapura atau Hongkong yang terkenal dengan masakan
Tionghoanya. Cara mengolah masakan yang begitu unik dari para juru masak juga menjadi atraksi
tersendiri walaupun hanya di kaki lima. Mungkin di Sulawesi Selatan, hal yang menarik yaitu pada saat
ikan-ikan itu dibawa dari laut ke Pangkalan Pendaratan Ikan. Kemudian ikan-ikan yang masih segar itu
diolah dan siap disajikan.
Faktor yang dapat menjadi kendala yaitu masalah kebersihan tempat obyek wisata kuliner ikan
bakar ini. Tidak dipungkiri, masyarakat kita masih sangat kurang kesadarannya dalam hal kebersihan.
Padahal, faktor kebersihan ini sangat berpengaruh bagi kelangsungan suatu obyek pariwisata. Tentu
kita tidak mengharapkan, setelah para wisatawan menikmati sajian wisata kuliner ini mereka
berbondong-bondong berwisata ke rumah sakit lantaran sakit.
Tidak mengherankan bila para turis mancanegara sangat berhati-hati bila menyangkut
makanan. Mereka akan menjadi sangat cerewet dalam hal kebersihan, baik makanan dan tempatnya.
Hal tersebut tercantum di setiap buku panduan wisata untuk selalu berhati-hati.
Kita tentu mengharapkan kesadaran masyarakat dan pemerintah dalam upaya mendukung
dan mengembangkan obyek wisata kuliner ini dengan turut berperan serta menjaga kebersihan sebaikbaiknya. Masyarakat diminta untuk dapat memelihara kebersihan dengan baik sedangkan pemerintah
dapat mengupayakan membuat suatu undang-undang mengenai sanksi-sanksi tegas bila ada
masyarakat yang melanggar.
Tidak mustahil bila kondisi nyaman ini dapat kita wujudkan, wisata kuliner ikan bakar ini
menjadi obyek wisata baru yang akan menarik para wisatawan dan akan menjadi sumber pemasukan
masyarakat sekitar.
Saya mencatat cumi-cumi, udang, kepiting, ikan sunu, baronang, ikan merah, dan masih
banyak lagi untuk disebutkan telah menjadi santapan saya sehari-hari. Salah satu ikan yang juga
sering dikonsumsi adalah ikan Bandeng, ikan air tawar dan laut yang di sini dikenal dengan nama ikan
bolu. Pun beragam olahan masakan dari bahan ikan ini selalu mewarnai kehidupan saya seperti otakotak ikan yang tidak kalah lezatnya dan mampu menggoyang lidah. Tak sadar saya sudah
menghabiskan sepuluh otak-otak. Bosan? Tidak juga. Rasanya kata puas lebih tepat untuk
mengungkapkannya. Hmm
Sewaktu saya menuliskan kabar pada teman-teman seperjuangan di Jawa, saya berkelakar
bahwa hampir semua jenis ikan telah saya cicipi. Hanya ikan pinggang (maksudnya ikat pinggang) dan
Ikang Fauzi saja yang belum.

36

11. Tour de Makassar


Antrian orang memanjang hingga melewati jembatan di atas kanal. Padahal saat itu sedang
musim dingin yang terkadang disertai turunnya salju. Pemandangan di sebuah negara kecil di Eropa
setahun lalu itu masih terekam di benak saya. Antrian panjang orang yang menanti dibukanya pintu
sebuah museum.
Saya ingat beberapa bulan sebelumnya saya sempat mengunjungi museum itu. Kebetulan,
selama tiga bulan, museum itu memamerkan kebudayaan Mesir Kuno beserta muminya. Museum itu
sendiri sebenarnya berisi peninggalan-peninggalan masa lalu peradaban Eropa. Sewaktu saya
berkunjung kesana tampak beberapa bagian sedang direnovasi sehingga tak banyak yang bisa dilihat.
Saya tak menduga beberapa bulan kemudian antrian panjang sudah menunggu di pintu. Terus terang,
saya belum pernah menyaksikan antrian semacam itu di tanah air. Antrian panjang orang yang ingin
mengunjungi sebuah museum.
Lalu, saya sengaja mengikuti sebuah tur singkat mengelilingi kota tempat saya belajar. Tak
disangka, bangunan-bangunan kuno yang saya lewati setiap hari menuju kampus ternyata memiliki
sejarah dan cerita tersendiri. Mulai dari rumah tempat kelahiran pelukis terkenal, Rembrandt, bangunan
pabrik kain Laken, rumah Snouck Hurgronje seorang orientalis yang terkenal dalam perang Aceh,
hingga cerita seram mengenai bangunan bekas penjara yang memiliki sudut hukuman gantung.
Ilustrasi di atas merupakan bagian kecil dari ribuan museum dan bangunan kuno yang dimiliki
oleh negara tersebut. Dibandingkan dengan Indonesia, dan Sulawesi Selatan khususnya, negeri kita
pun sebenarnya tidak kalah. Bahkan dapat dikatakan lebih kaya dan bervariasi.
Dilihat dari jenis obyek wisata, museum dikategorikan sebagai wisata sejarah dan budaya.
Jujur saja, untuk obyek wisata ini, kita kalah. Para pengunjung museum di Indonesia dapat dihitung
dengan jari. Hal ini yang sering kita dengar dari para pengelola museum. Walaupun sebenarnya biaya
yang dikutip tidak terlalu besar. Apakah ini suatu indikasi bangsa kita tidak menghargai sejarah dan
budayanya ?
Saya sempat memperhatikan tingkah laku orang Indonesia setelah mendengar beberapa cerita
teman. Bila orang Indonesia berkesempatan ke luar negeri, mereka enggan mengunjungi museum atau
tempat-tempat bersejarah. Tempat favorit mereka yaitu pusat perbelanjaan atau pasar. Kalaupun
mereka berkunjung ke museum, yang mereka cari atau lihat bukan benda-benda yang dipamerkan
melainkan toko yang menjual suvenir.
Penghargaan terhadap bangunanbangunan kuno pun sangat kurang. Padahal bangunanbangunan kuno ini dapat dijadikan obyek wisata yang tidak kalah menariknya. Seperti beberapa

37

pelestarian bangunan-bangunan kuno di negeri tetangga, Singapura. Alasan pembangunan dan tidak
perlu terlampau sentimentil mengenang masa lampau agaknya harus mulai kita tepis.
Di masa lampau, Makassar yang pernah menjadi pusat perniagaan dan salah satu bandar
penting di Nusantara memiliki bangunan-bangunan klasik yang indah. Mulai bangunan peninggalan
abad ke-17 hingga bangunan-bangunan kolonial. Seperti Emprees Hotel di jalan Kajoalaliddo
(sekarang Perguruan Islam Athirah), Grand Hotel di Jalan Ahmad Yani (sekarang kantor BRI ), Gedung
Esconto Bank di Jalan Nusantara (sekarang menjadi areal peti kemas), Gedung Bijeenkorf, asrama
Belanda di Jalan Usman Gaffar (sekarang menjadi ruko).Bangunan-bangunan tersebut hanya sempat
saya nikmati lewat foto-foto masa lalu. Sama nasibnya, dengan bangunan-bangunan kuno di kota-kota
besar di Indonesia, bangunan-bangunan itu tidak berdiri lagi. Hanya kenangan yang tertinggal.
Sisa bangunan-bangunan kolonial yang masih ada hanyalah Kantor Balaikota (eks kantor
gubernur) di Jalan Ahmad Yani, Museum Kota (eks Balaikota) di Jalan Balaikota, Gedung Societeit de
Harmonie di jalan Riburane, Gedung Pengadilan Negeri Makassar di jalan Kartini dan rumah jabatan
walikota di Pantai Losari .
Selain itu bangunan berusia ratusan tahun, Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) dan
Benteng Somba Opu dapat lebih dioptimalkan menjadi tujuan wisata yang potensial. Museum La
Galigo pun yang berada dalam kompleks benteng Ujung Pandang sebaiknya perlu diperhatikan.
Banyak koleksinya yang berkesan tidak terurus dengan baik.
Demikian halnya dengan Taman Miniatur Sulawesi dan Museum Karaeng Pattingaloang yang
berada dalam kawasan benteng Somba Opu. Banyak bangunan rumah adat dalam kawasan ini yang
tak terawat. Begitupula keluhan para pengurus masing-masing rumah adat karena kurangnya perhatian
pemerintah menjadi masalah yang sangat serius.
Masuknya obyek wisata ini dibawah pengawasan pemerintahan Gowa diharapkan dapat
menjadi obyek wisata sejarah dan budaya yang mampu menarik calon wisatawan. Terutama para
wisatawan yang tidak sempat mengunjungi tempat-tempat lain di Sulawesi Selatan.
Tujuan wisata menarik lainnya yaitu bangunan peninggalan tradisional, seperti Istana Raja
Gowa (Balla Lompoa) di Sungguminasa. Bangunan tersebut tidak hanya memiliki arsitektur yang indah
tetapi juga memiliki koleksi perhiasan kerajaan dan pusaka yang tersimpan, sewaktu-waktu dapat
dipamerkan untuk umum .
Hal yang patut menjadi perhatian adalah potensi wisata sejarah yang bernuansa religius.
Potensi yang menjanjikan adalah calon wisatawan mancanegara dari kawasan Asia Tenggara, Timur
Tengah serta wisatawan domestik.
Makam Syekh Yusuf, ulama besar Sulawesi Selatan serta Masjid Katangka, masjid tertua di
Sulawesi Selatan yang dibangun tahun 1605 oleh Sultan Alauddin merupakan obyek wisata sejarah
38

bernuansa religius. Tempat lain yang dapat juga dikunjungi yaitu Masjid Al-Markaz Al-Islami, masjid
kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan dan Makassar pada khususnya. Masjid megah berlantai tiga
ini mampu menampung 7000 hingga 10.000 jemaah. Pemasangan tiang pancang pertama masjid yang
arsitekturnya merupakan pengembangan Masjid Katangka dikerjakan pada 8 Mei 1994.
Industri pariwisata merupakan industri jasa. Tanpa adanya wisatawan, baik dari Mancanegara
maupun domestik , industri pariwisata tidak akan berjalan. Untuk dapat menarik calon wisatawan
tentunya diperlukan promosi. Namun, usaha untuk mempromosikan obyek-obyek wisata tersebut
bukan hanya tanggung jawab para pelaku industri pariwisata belaka. Dukungan pemerintah serta
masyarakat juga memegang peranan yang penting.
Seringkali terjadi, para pelaku jasa industri telah melakukan promosi besar-besaran dan
memakan biaya cukup besar. Tapi usaha tersebut menjadi sia-sia karena tidak didukung dengan
sarana dan prasarana yang baik seperti jalan-jalan menuju obyek wisata yang rusak, tak terawatnya
obyek wisata, koleksi-koleksi yang hilang, kebersihan yang tidak terjaga. Maka usaha yang telah
dilakukan menjadi tidak ada artinya.
Bayangan di benak para calon wisatawan mengenai obyek wisata yang akan dikunjungi
ternyata tidak sesuai dengan harapan ketika mereka kunjungi. Hal itu membuat mereka enggan datang
kembali. Sehingga mereka memberikan penilaian dan referensi yang negatif pada kerabat , teman atau
kenalan untuk tidak mengunjungi obyek wisata tersebut. Padahal promosi yang paling efektif adalah
promosi dari mulut ke mulut.
Kesan baik inilah yang harus mulai kita bangun dan kembangkan. Caranya dengan
meningkatkan kualitas pelayanan dan membenahi sarana-sarana pendukung, tanpa meninggalkan
kepribadian bangsa dan nilai-nilai luhur tradisi.
Hanya daerah-daerah dan obyek-obyek wisata tertentu yang memiliki pelayanan baik akan
mampu bersaing dan meraih kesempatan di dunia industri pariwisata.

Tulisan ini pernah dimuat dalam harian Ujung Pandang Ekspress, 6 Desember 2001 dengan judul Wisata Sejarah di Kota
Makassar dan Sekitarnya

39

12.Cinta Raja Kera


Menurut teori evolusi Charles Darwin, manusia diturunkan dari kera setelah melewati missing link,
rantai yang terputus. Teori yang menyebabkan dirinya senasib dengan Galileo, dimusuhi gereja.
Silakan saja, jika ada yang mempercayai teori mengenai suatu gagasan terhadap waktu yang fana
tersebut.
Namun, sejarah peradaban manusia memang tidak terlepas dari salah satu mahluk ciptaan
Tuhan ini. Pada masa India kuno kera dianggap hewan suci, seperti pemujaan pada dewa kera,
Hanoman. Dalam Epos Ramayana, Hanoman merupakan penolong dan menteri Rama. Ia merupakan
simbol kekuatan, kepercayaan dan pengorbanan. Meskipun para petani India menderita karena kerakera itu menjadi hama, mereka tetap merayakan pesta Hanomandjayanti. Hari kelahiran Hanoman.
Begitupula di Cina, kera sangat dihormati. Di Cina Selatan dan Tibet, orang merasa bangga
dengan asal-usul keluarganya yang masih ada hubungan dengan kera sebagai nenek moyang. Anda
tentu ingat legenda Sun Wo Kong (Sun Go Kong), si kera sakti yang mendampingi perjalanan suci
sang Budha Hsuan-tsang ke India.
Di kebudayaan Meksiko kuno, kera dianggap sebagai dewa tari dan disimbolkan sebagai hari
kesebelas (Aztek= Ozomatu, Maya=Batz). Dan barangsiapa yang lahir pada hari itu diharapkan akan
menjadi seniman, penari dan penyanyi.
Tapi di sini kita tak akan memperdebatkan teori serta bermacam-macam kisah mengenai kera
lebih jauh . Ingatan tentang teori dan kisah mengenai kera muncul pada saat saya melintasi sebuah
patung kera raksasa ketika memasuki kawasan obyek wisata , Bantimurung. Obyek wisata ini terletak
kurang lebih 30 kilometer di luar kota Makassar. Sambutan kera raksasa itulah yang menggelitik.
Mengapa diletakkan patung kera raksasa di kawasan wisata yang terkenal dengan air terjun, gua-gua
alam serta kupu-kupu indah? Pasti ada legenda atau cerita yang dapat dijadikan alasan.
Menurut cerita, obyek wisata Bantimurung menyimpan legenda yang hanya diketahui oleh
masyarakat setempat secara turun menurun. Dan legenda tersebut berkaitan dengan patung kera
raksasa yang menyambut kedatangan para wisatawan.
Konon, Bantimurung yang berada di kawasan cagar alam Karaenta, dahulu menjadi pusat
kerajaan kera yang dipimpin Raja Towakala. Raja kera tak berekor ini sebenarnya merupakan
penjelmaan manusia yang mendapat kutukan. Ia dikutuk menjadi kera karena telah melakukan
kesalahan. Tak dijelaskan apa kesalahannya.
Di masa menjalani kutukan, Raja Towakala jatuh cinta pada Bissu Daeng, perempuan cantik
putri raja Maros. Raja Towakala lalu nekat meminang putri itu. Ia mungkin tak sadar bahwa ujud
40

dirinya bukan manusia lagi. Tentu saja, sang putri yang lebih mementingkan keindahan fisik menolak
mentah-mentah lamaran tersebut. Bissu Daeng menganggap Raja Towakala tidak cocok dan pantas
mendampingi dirinya.
Raja Towakala tidak kehabisan akal. Cinta ditolak, ia pun bertindak. Tanpa pikir panjang, ia lalu
menculik Bissu Daeng pada saat putri raja itu sedang mencuci muka di sumur Jamala, milik sang Raja
Kera. Raja Towakala pun berhasil memperistri putri tersebut walau dengan cara paksa.
Meskipun Bissu Daeng telah menjadi istrinya, Raja Towakala tetap tak bisa mendapatkan cinta
Bissu Daeng. Biar kau dapat diriku tapi takkan kau dapat cintaku, demikian prinsip sang putri. Selama
ia menjadi istri Raja Towakala, Bissu Daeng menjadi pemurung. Raja Towakala tampaknya sudah
kehabisan akal. Segala macam cara telah diupayakan untuk menghibur sang istri. Tapi tetap saja tak
ada yang berhasil. Bagaimana akan berhasil, hiburannya tentu bukan grup Sheila On 7 atau Dewa,
melainkan tarian-tarian yang dimainkan oleh para kera, rakyatnya. Sang putri jelas bertambah sebal.
Suatu ketika, Raja kera meninggalkan kerajaannya untuk suatu urusan. Diam-diam Bissu
Daeng mempunyai rencana untuk membalas dendam. Semua kera-kera yang ada di kerajaan
dibunuhnya dengan menggunakan perangkap lubang. Ia mungkin sebal dengan kera-kera yang pernah
mencoba menghiburnya tetapi tak berhasil. Lalu dihabisilah semua kera itu.
Begitu Raja Towakala kembali ke kerajaannya, ia sangat terpukul melihat rakyatnya mati. Tapi
ia tidak marah pada Bissu Daeng. Rasa cintanya tetap tak tergoyahkan.
Keteguhan cinta sang raja membuat hati Bissu Daeng luluh, akhirnya, ia pun rela mencintai
raja kera tak berekor itu. Tanpa syarat. Pada saat bersamaan, kutukan terhadap Raja Towakala juga
berakhir. Ia berubah kembali pada ujud semula, menjadi seorang raja yang tampan. Tentu saja Bissu
Daeng sangat gembira meskipun sebenarnya ia sudah ikhlas bila ia harus bersuamikan seekor kera.
Kedua pasangan itu akhirnya hidup bahagia, walaupun anak-anak mereka semuanya berujud kera.
Legenda inilah yang mempertahankan kehadiran kera-kera di sekitar obyek wisata
Bantimurung. Kera-kera yang banyak berkeliaran itu diyakini sebagai keturunan Raja Towakala dan
Bissu Daeng sehingga masyarakat setempat tidak berani menganggu apalagi membunuhnya.
Dari kisah itu pula, air dari sumur Jamala diyakini memiliki nilai magis. Siapa saja yang
mencuci muka dengan air Jamala, konon mudah menarik perhatian orang lain. Tidak mengherankan
bila banyak anak-anak muda, terutama yang masih lajang datang ke Bantimurung dan selalu
menyempatkan diri mencuci muka di air Jamala. Saya pun sewaktu berkesempatan mengunjungi air
Jamala itu tidak hanya mencuci muka tapi langsung nyebur, mandi kungkum. Hasilnya, ya saya sempat
digila-gilai oleh para wanita alias mereka mengatakan: Gilagilaaku tergila-gila padamu!. Mau
mencoba?

41

13. Balada Bissu


Musik kecapi mengalun lirih ditingkahi gendang. Seiring waktu, iramanya semakin cepat dan
bunyinya semakin keras. Sementara itu semakin kencang pula para penari waria kebal itu. Mereka
menusukkan badannya dengan sebilah badik, keris Sulawesi Selatan. Tak ada darah keluar setetes
pun pada saat mereka mencapai titik ekstasinya. Festival dan Seminar Internasional La Galigo dimulai.
Para penari yang seperti kerasukan itu adalah para bissu, pendeta agama Bugis kuna praIslam. Ketua para bissu adalah seorang yang yang diberi gelar Puang Matowa atau Puang Towa.
Seorang figur feminin dengan wajah licin bak kasim di kekaisaran Cina yang bebas masuk keputren.
Para bissu sebenarnya lelaki yang keadaan jasmaninya normal. Tradisi lelaki yang berperan
sebagai perempuan ini sudah ada sejak lama di Nusantara. Misalnya ahli etnologi terkemuka George
Alexander Wilken pada 1912 mengamati tentang tradisi ini di kalangan masyarakat Dayak. Atau dokter
Julius Jacob yang mengunjungi Bali pada 1880-an mengamati banyak tarian yang dipentaskan oleh
remaja lelaki yang didandani sebagaimana perempuan.
Bissu sudah ada di tanah Bugis sejak ratusan tahun lalu. Naskah La Galigo pun banyak
mengungkap keberadaan bissu. Dalam kebudayaan Bugis, bissu konon sebagai pendamping dan
pelengkap kedatangan para tokoh utama dari langit dan bumi. Sebagai penghubung, bissu membantu
hubungan Batara Guru dengan We Nyili Timo termasuk para dewa dan roh. Hadiah dan anugerah para
dewa yang memberikan kesuburan bumi pada manusia dapat diperoleh melalui perantaraan bissu
melalui upacara-upacara keagamaan dengan saat meriah.
Para bissu memperoleh norma, konsep kehidupan bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi
orang Bugis dalam La Galigo secara lisan atau tertulis dari guru-guru pendahulu mereka yang telah
wafat. Pengetahuan warisan bugis kuno itu mereka pertahankan dan terapkan dalam kehidupan seharihari dan upacara adat baik sebagai individu maupun masyarakat.
Bahasa bissu merupakan bahasa dewa. Bahasa yang digunakan para bissu untuk
berkomunikasi dengan dewa dan sesamanya adalah bahasa Torilangi, bahasa suci. Mereka
menganggap bahasa tersebut diturunkan dari surga melalui dewata. Kata-kata dewa ini banyak dimuat
dalam naskah La Galigo.
Bissu berperan sebagai penasehat raja beserta seluruh keluarganya. Mereka mengabdi dan
menjaga Arajang, benda pusaka keramat kerajaan. Mustika-mustika bertuah ini memiliki keistimewaan
karena cara menemukan dan bentuknya yang tidak lazim. Benda pusaka ini dirawat dalam tempat
khusus di ruang istana dan tempat persembahan. Upacara khusus diadakan untuk benda pusaka yang
diberi nama khusus dan diperlakukan lebih dari sekedar lambang.
42

Saat ini sangat jarang kita jumpai upacara-upacara kaum bissu. Banyak faktor yang
menyebabkan upacara-upacara kaum bissu mengalami pergeseran. Baik faktor eksternal dan internal
komunitas bissu. Faktor eksternal, perubahan sistem kenegaraan, dari sistem kerajaan menjadi negara
kesatuan. Peranan raja telah tergantikan oleh camat. Selain itu memudarnya peranan-peranan
lembaga adat. Sedangkan faktor internal, faktor kepemimpinan dan regenerasi.
Dalam masyarakat muncul doktrin, bila mereka melihat bissu atau wandu, maka mereka konon
akan tertimpa sial. Tidak akan mendapatkan rezeki selama 40 hari 40 malam. Selain itu, seluruh amal
baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan. Karena itu jika
melihat bissu maka ia harus diusir jauh-jauh. Dan jika dulu para bissu dihormati, kini menjadi sasaran
lemparan dan olok-olok.
Pada masa Kahar Muzakkar, kegiatan para bissu dilarang. Sebab mereka dianggap
menyembah berhala dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ratusan perlengkapan upacara dibakar
atau ditenggelamkan di laut. Banyak sanro (dukun) dan bissu dibunuh atau dipaksa menjadi pria yang
harus bekerja keras. Pun pada tahun 60-an mereka pernah dituduh sebagai anggota Partai Komunis
Indonesia.
Pada masa Orde Baru, mereka dianggap tidak beragama dan menganut ajaran animisme,
karena mengeramatkan arajang (bajak yang dikeramatkan). Di antara mereka yang tertangkap harus
memilih antara mati dibunuh atau masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Oleh
karena itu para bissu mulai bersembunyi dari ancaman maut.
Di Segeri, Pangkep, upacara-upacara Mappalili mengalami kemunduran dan upacara-upacara
bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Padahal, masyarakat percaya bila tak
dilakukan maka akan datang petaka. Misalnya, hasil panen padi menjadi kurang memuaskan.
Dewasa ini mulai muncul kesadaran bahwa bissu tetap diperlukan , masyarakat mulai berani
menyembunyikan para bissu agar mereka bisa melakukan upacara Mappalili lagi. Bissu-bissu yang
selamat itulah yang ada sekarang ini dan yang tersisa tinggal 20 orang. Mereka adalah generasi
terakhir yang mewarisi kejayaan tradisi Bugis klasik.

43

14.Tak Kelar
Ada satu hal yang saya rasakan kurang ketika pertama kali menginjakkan kaki di bumi
Sulawesi ini yaitu kereta api. Padahal menurut sebuah majalah berbahasa Belanda (saya lupa
judulnya), zee en rail (laut dan rel) merupakan satu kesatuan. Laut dan rel itulah memegang peranan
penting dalam perdagangan. Kita tahu bahwa pelabuhan Makassar merupakan pelabuhan besar di
Indonesia Timur. Dan untuk menyalurkan barang-barang ke tempat-tempat lain di Sulawesi
memerlukan kereta api. Namun sepertinya ini tak berlaku di Sulawesi.
Menurut salah seorang rekan, susunan geologis Sulawesi yang sering bergoyang tidak
memungkinkan dibangunnya rel kereta. Apa benar demikian, tanya saya dalam hati. Namun,
kenyataannya di awal abad ke-20, di Sulawesi pernah ada rel kereta. Hal ini diberitahukan oleh
mevrouw Hukom, salah seorang pengajar senior konsentrasi bahasa Belanda di Unhas. Saya jadi
penasaran.
Ternyata hal itu benar. Sewaktu kami mengadakan perjalanan ke Tanjung Bira, saya melihat
bekas-bekas rel di daerah Takalar. Oleh karena di daerah itu rel kereta belum sempat diselesaikan,
maka daerah itu dinamakan Tak Kelar (tidak selesai), kata mevrouw Hukom bergurau. Ada-ada saja,
pikir saya.
Memang rupanya pada awal abad ke-20 pernah dibangun jalur kereta api dari Makassar yang
rencananya sampai Menado. Adalah Firma de Groot, salah satu perusahaan kontraktor yang
memenangkan tender membangun pelabuhan di Makassar pada tahun 1912. Sebelum bekerja
tentunya telah diadakan uji kelayakan, mulai dari cara kerja, sistem keuangan, serta mempersiapkan
peralatan berat. Semua itu menghasilkan semacam buku panduan. Dalam buku panduan itulah ada
sebuah judul Waar Ocean en Rail elkaar ontmoeten (dimana laut dan rel bertemu). Salah satunya
adalah rencana membangun rel Makassar-Menado.
Pembangunan rel kereta api di Makassar terganggu setelah meletus Perang Dunia I. Padahal
sebuah stasiun kecil ke arah utara, kira-kira ke arah Pare-Pare dan rel kereta api sudah dibangun,. Rel
itu kelak akan dipergunakan oleh gerbong-gerbong yang mengangkut barang-barang dari pelabuhan
Makassar. Beberapa lokomotif pun akan diangkut secara khusus dengan kapal KPM dari Jawa.
Ketika rel yang dibangun itu sampai di desa Takalar tahun 1920-1922, hantu malaise mulai
menyerang. Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, D. Fock melihat biaya pembangunan rel kereta
di Sulawesi cukup tinggi. Maka rencana meneruskan pembangunan rel kereta sampai Menado
terpaksa dipetieskan. Apalagi melihat bahwa penggunaan vrachtauto (truk) untuk mengangkut barang
lebih vlug, veilig, goedkoop (cepat, aman, murah).
44

Jalur kereta Makassar-Takalar tampaknya seperti hidup segan mati tak mau. Namun, TakalarExpress dibawah pimpinan seorang insinyur Staatsspoor (SS) tetap setia bertugas dengan jam-jam
yang pasti sesuai jadwal. Terkadang terlihat rangkaian gerbong barang dengan gerbong penumpang
yang kosong. Tapi itu cerita lain. Kalau Anda diburu waktu lebih baik naik bis saja daripada menunggu
kereta yang tidak jelas jadwalnya.
Menurut cerita pada tahun 1927, kereta memang berangkat tepat pukul enam, tapi
kenyataannya kereta berangkat pukul enam lebih banyak. Kalau ada orang yang mengkritik
keterlambatan itu, maka sang insinyur dengan tenang menjawab: Anda keliru tuan, kami memang
berangkat selalu tepat waktu sesuai dengan jam di stasiun. Tapi sayangnya, jam di stasiun selalu
terlambat. katanya sambil menunjuk ke arah jam di stasiun. Lalu sang insinyur menawarkan untuk
kongkow dulu di warung sambil menikmati kopi tubruk menunggu dimuatnya barang-barang di gerbong
dan tanda berangkat. Takalar Express memang kereta pagi yang berangkat tetep poekoel anam pagi
menoeroet boekoe-dienst. Ah, Takalar, tak kelar!

45

15.Tator
Banyak cerita tentang Tana Toraja yang sering disingkat Tator. Rasanya belum sah kalau pergi
ke Sulawesi tapi tidak mengunjungi Tana Toraja. Terlalu indah untuk dituliskan tapi perlu untuk
diceritakan.
Tiga bulan sudah saya bertugas di Makassar dan kesempatan berkunjung ke Tator pun
kesampaian. Dari beberapa buku yang saya baca, suku Toraja termasuk suku Proto-Melayu seperti
juga orang Batak dan Nias di Sumatra Utara, Dayak di Kalimantan. Nenek moyang orang Toraja yang
tinggal di daerah Kamboja meninggalkan Indocina menggunakan perahu sekitar 2000 SM lantaran
perang yang terjadi di India, Asia Tenggara.
Menurut legenda, perahu-perahu yang ditumpangi nenek moyang orang Toraja mengalami
kecelakaan di Laut Utara karena angin ribut. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, mereka akhirnya
mencapai pulau Sulawesi sambil menarik reruntuhan perahunya ke darat. Mereka menggunakan
perahunya sebagai atap rumah. Generasi berikutnya secara turun menurun tak pernah berlayar lagi.
Seperti halnya pembuatan kapal Bugis yang tak menggunakan paku atau sekrup,
pembangunan rumah Toraja juga demikian. Semua dibuat dari bahan kayu, batang kelapa atau bambu.
Rumah-rumah itu selalu menghadap arah utara, arah darimana nenek moyang mereka datang. Setiap
rumah adat mempunyai lumbung padi. Apalagi rumah-rumah keluarga kaya. Mereka memiliki beberapa
lumbung padi.
Perjalanan ke Tator membutuhkan waktu kurang lebih delapan jam yang ditempuh melalui
darat. Jarak Makassar-Tana Toraja kurang lebih 300 kilometer. Sebenarnya bisa juga menggunakan
pesawat tapi saat itu pesawat tidak beroperasi. Sudahlah, yang penting saya bisa ke Tator.
Saya beruntung, perjalanan ke Tator menggunakan bis ber-AC sehingga rasa penat dan lelah
tak begitu terasa. Kami berangkat pukul 9 pagi dari Kampus Tamalanrea. Lalu kami menuju utara
melewati Maros, Pangkep dan Barru tempat kami istirahat makan siang. Perjalanan lalu dilanjutkan
menuju Pare-Pare, Rappang, Enrekang. Sepanjang perjalanan dari Makassar hingga Pare-Pare, saya
disuguhi pemandangan laut. Barulah ketika memasuki Enrekang, latar belakang pemandangan laut
berubah menjadi pemandangan pegunungan. Pemandangan itu mengingatkan saya pada
pemandangan di Puncak. Udaranya pun terasa sejuk. Kami sejenak berhenti di Bambapuang, ditemani
segelas teh manis sambil menikmati pemandangan. Menurut Pak Sarifudin, salah seorang dosen yang
juga ikut, pegunungan di situ dikenal dengan gunungnya yang eksotis dan dikenal dengan nama Batu
Kabobong. Yang konon bentuknya (maaf) mirip dengan alat kelamin wanita. Saya mencari dimana
keeksotisannya. Sayang, tidak ketemu.
46

Kami tiba di Tator sekitar jam lima sore dan disambut rinai gerimis. Kami langsung menuju
tempat menginap di Rantepao. Masih ada dua hari menikmati keindahan Tator walaupun sebenarnya
kurang. Besok pagi acara cukup padat.
Saya tertarik pada ukiran-ukiran yang menghiasi dinding rumah-rumah Toraja atau hiasan
lainnya. Semua ukiran diwarnai warna hitam, putih, kuning, dan merah. Warna-warna tersebut
dikombinasikan dengan baik. Warna itu adalah warna asli yang tahan lama dan diambil dari tanah liat,
kecuali warna hitam yang dihasilkan dari getah batang pisang muda.
Salah satu motif yang menarik adalah ukiran ayam jantan yang disebut Pamanuk Lomdong.
Ukiran ayam jantan itu memiliki arti lambang hukum adat. Ayam jantan merupakan harta benda yang
tinggi nilainya. Jika ayam itu dipelihara dengan baik dan ketika diadu selalu menang, maka pemiliknya
akan beruntung. Motif lain adalah bundaran matahari dan bulan yang memiliki makna ketuhanan.
Simbol ini terlihat paling banyak karena melambangkan sumber kehidupan. Lain halnya dengan motif
kerbau. Kekayaan dan kewibawaan suatu keluarga dicerminkan dari jumlah kerbau yang dimilikinya.
Oleh karena itu motif kepala kerbau melambangkan kemakmuran. Sedangkan motif di lumbung padi
dihiasi dengan ukiran tanaman sawah. Motif ukiran lainnya adalah swastika yang melambangkan
adanya kekuatan magis yang dapat memberikan pengaruh baik dan buruk dalam kehidupan.
Bicara tentang Toraja tentu tak lepas dengan kopi Toraja. Kopi Toraja termasuk hasil ekspor
penting di Indonesia. Kopi yang ditanam di Tana Toraja termasuk jenis kopi yang berasal dari Afrika
yang dinamakan kopi Liberia dan Robusta. Sayang, saya bukan penikmat kopi jadi soal rasanya tidak
bisa saya jelaskan. Konon, menurut penikmat kopi, rasanya keras.
Kesan saya tentang Tana Toraja adalah tentang kehidupan kekal. Maksudnya, beberapa
tempat yang sempat saya kunjungi tidak jauh dari makam, kuburan dan upacara kematian. Misalnya di
Lemo, tebing batu yang berisi tau-tau (patung kayu seukuran manusia) dan berfungsi sebagai makam.
Patung tau-tau itu bukan melambangkan orang yang telah meninggal tapi hanya menunjukkan jenis
kelamin. Lalu di Londa, berupa makam di sebuah pohon tinggi khusus bagi bayi. Bayi yang meninggal
dimasukkan dalam lubang pohon yang dikenal dengan pohon liang. Atau perjalanan memasuki gua
yang lagi-lagi berupa makam. Gua yang saya masuki berisi peti-peti mati yang diletakkan berdesakan.
Sesekali saya harus merangkak karena ruangan gua yang sempit dan langit-langit yang rendah.
Sejenak saya merasa seperti Indiana Jones. Kesampaian juga jadi Indiana Jones, gumam saya.
Selain peti mati kayu ada pula onggokan tengkorak-tengkorak. Suasana seram memang terasa tapi
anehnya bagi saya biasa saja.
Di sana terdapat pula dua pasang tengkorak yang diletakkan berdekatan. Menurut cerita salah
seorang pemandu, itu tengkorak sepasang sejoli yang tak terpisahkan hingga akhir hayatnya. Sang

47

pria berasal dari golongan berada dan yang perempuan dari golongan budak. Bisa ditebak apa yang
mereka lakukan. Mereka dilarang menikah dan akibatnya mereka bunuh diri.
Pengalaman menarik lainnya adalah menghadiri upacara pemakaman/kematian. Dari semua
upacara yang banyak dilakukan di Tana Toraja, upacara kematianlah yang paling besar dan penting.
Meskipun menurut Pak Sarifudin, upacara kali itu tidak terlalu besar. Namun, ketika itu saya melihat
rombongan orang yang menarik kerbau untuk dibawa ke tempat upacara. Kerbau itu rupanya untuk
diberikan pada keluarga yang sedang berpesta. Uniknya pemberian itu diumumkan melalui pengeras
suara. Berapa jumlah hewan yang diberikan. Khusus kerbau, apabila kerbau itu berkulit belang alis
tedong bulo maka semakin bergengsilah sang tuan rumah. Karena harga seekor kerbau belang itu
cukup mahal bahkan hingga jutaan rupiah. Di sini, gengsi demi harga diri kembali bermain.

48

16.Cap Tikus
Sebagai orang barat yang melawat ke timur banyak hal yang dapat saya ketahui. Tidak
hanya hal yang baik-baik saja, hal-hal yang agak menyerempet setidaknya saya ketahui juga. Namun,
untuk yang satu ini saya tak akan pernah mencobanya meskipun dibayar berapa pun. Salah satunya
adalah perkenalan saya dengan minuman Cap Tikus. Anda jangan salah sangka dulu, lalu mengira
saya juga ikut mencicipinya. Saya punya komitmen untuk urusan ini.
Minuman Cap Tikus ini dibawa salah seorang teman penghuni wisma dari Menado. Minuman
beralkohol hasil sulingan industri rumah tangga ini rupanya banyak dikonsumsi di Menado. Kandungan
alkoholnya pun cukup tinggi. Tak jarang orang yang menemui ajalnya setelah menenggak minuman ini
lantaran terlalu tinggi kandungan alkoholnya. Menurut Stefly, teman saya dari Menado yang sesekali
meneguk cete (cap tikus) itu, dalam setiap pesta di Menado minuman ini selalu disajikan. Bahkan,
menurut Stefly, wajah yang memerah karena cete, minuman ini dinikmati anak muda Menado sambil
menikmati kucing bakar. Saya tak langsung percaya dengan omongannya mengenai kucing bakar ini.
Kalau mengkonsumsi anjing alias erwe saya percaya karena ada buktinya. Tapi kalau kucing? Apa ada
orang yang tega memakannya?
Terus terang, kalau sekedar mencicipi minuman beralkohol, wine, whisky dan bir Jerman (saya
lupa mereknya) pernah saya coba meski tak sampai ketagihan atau mabuk. Itu pun karena terpaksa
dan saya mencicipinya tidak di Indonesia. Saat ini saya tidak pernah dan tidak ingin mencicipi minuman
beralkohol. Minuman beralkohol lokal yang sempat saya teguk adalah brem Bali milik bapak saya. Itu
pun saya cicipi sembari sembunyi-sembunyi dari kulkas di rumah ketika saya masih kecil.
Di Makassar dikenal pula jenis minuman beralkohol lokal yang disebut ballo. Minuman seperti
tuak ini kerapkali dijadikan alasan penyebab keributan yang berujung tewasnya seseorang.
Sebenarnya, kalau boleh dirunut ke belakang, minuman beralkohol lokal ini dibuat bukan untuk mabuk
hingga hilang kesadaran. Tetapi sekedar untuk menghangatkan tubuh, mengusir hawa dingin persis
seperti penuturan salah seorang penghuni Wisma Tamalanrea dari Polmas (Polewali Mamasa) yang
menceritakan kebiasaan ayahnya yang rutin menenggak ballo sebelum ke ladang. Penuturannya
mengingatkan saya pada pengalaman seorang teman asal Belgia ketika berkunjung ke Eslandia yang
berbagi vodka untuk menghangatkan tubuh. Berarti di sini ada perubahan atau penyalahgunaan fungsi
dari minuman beralkohol lokal ini. Masalahnya, banyak orang yang mengkonsumsi minuman ini hingga
mabuk, memancing keributan dan baku bunuh. Dilihat dari segi hukum pun akan sulit menghukum
orang yang mabuk.

49

Bila kita telusuri, Denys Lombard pernah menyebutkan bahwa usaha penyulingan minuman
beralkohol yang dikenal dengan nama arak ini dikuasai oleh orang Cina. Pada tahun 1611 di Batavia
ditemukan sebuah kampung Pecinan tempat arak-branderijen (pabrik arak) yang menyuling minuman
dari beras dan tebu. Teknik penyulingan arak ini, menurut Lombard, berkembang di Cina sejak zaman
Dinasti Tang tetapi teknik penyulingannya disebarluaskan sejak zaman Dinasti Yuan.
Arak ini dalam bahasa Cina disebut jiu, berwarna jernih dan berkadar alkohol tinggi. Ada tiga
macam bahan utama arak yaitu beras yang difermentasi, tetes tebu dan tuak yang dibuat dari nira (air
kelapa). Pada masa VOC dikenal arak api kepala yaitu arak yang mengandung 60 % alkohol. Arak ini
dijual ke kompeni untuk dikirim ke Belanda.
Sementara itu minuman keras impor ternyata juga masuk ke negara kita. Hal ini dapat
diketahui dari iklan-iklan minuman beralkohol yang dimuat dalam surat kabar De Nieuwe
Vorstenlanden, Soerabaiasch Handelsblad dan De Locomotief pada abad ke-19.

Kebanyakan

minuman keras jenis anggur, cognag atau whisky yang diimpor dari Paris, Perancis. Ada yang menarik,
karena begitu populernya merk Jenever untuk produk minuman beralkohol jenis whisky yang masuk ke
sini, masyarakat pribumi (khususnya Jawa) selalu menyebut jenis minuman lainnya dengan sebutan
jenewer.
Tata cara meminum minuman keras pun masuk dalam kalangan istana bangsawan Jawa. John
Pemberton dalam On the Subject of Java (1994) menyebutkan ketika upacara perkawinan antara
Susuhunan Paku Buwana IX dengan permaisuri R.A. Koestijah diadakan toast minuman keras
sebanyak tujuh kali sebagai pembuka seluruh rangkaian acara. Menurut Pemberton, toast tersebut
merupakan simbol kepatuhan terhadap kekuasaan politik kolonial Belanda. Menariknya, tulis Darsiti
Soeratman dalam Kehidupan Kraton Surakarta 1830-1939, berbagai jenis minuman keras yang juga
tersaji dalam daftar menu pesta tersebut mendapatkan nama khusus yaitu Ratu Mas Drink.
Diskusi seputar minuman beralkohol ini semakin ramai ketika salah seorang pegawai
universitas yang biasa bertugas membawa mobil tangki air penyiram di kampus Unhas ikut urun suara.
Ia menuturkan kegemarannya mengkonsumsi ballo tetapi ia menikmatinya sendirian. Kalaupun mabuk,
ia akan segera tidur. Sebisa mungkin tidak menganggu orang lain, tuturnya dengan logat Makassar.
Cerita lain mengenai penikmat minuman ballo adalah pengalaman saya dengan salah seorang
yang juga bekerja di Kampus Unhas (bukan pegawai). Kami memanggilnya Daeng Sanu. Orangnya
berperawakan kurus, kecil, berkulit hitam, dan sebagian giginya ompong. Saya menaksir usianya
sekitar 40-an tapi mungkin saja kurang dari itu karena penampilan tidak menjamin usia seseorang.
Pekerjaannya membersihkan jalan di depan wisma dan sebagian jalan dalam kampus. Ia juga
menyiangi rumput, memotong serta mengatur tanaman di tepi jalan sambil bertelanjang kaki. Dapat
dikatakan ia perancang landskap Kampus Unhas.
50

Suatu malam, kami penghuni wisma dikejutkan dengan suara keras Daeng Sanu dari arah
pintu masuk wisma. Rupanya ia mabuk. Ia mengoceh tak keruan. Dari ucapannya terlontar keluhan
dan cacian. Tak ada yang berani mendekat dan hanya berusaha menutup untuk mengunci pintu
wisma. Lantaran kamar saya dekat dengan pintu masuk wisma, suaranya masih terdengar. Tampaknya
ia baru pulang menyaksikan pertandingan sepak bola di Matoangging dan ia kesal dengan supir petepete yang meminta bayaran.
Siapa di Tamalanrea ini yang tak kenal aku? teriaknya lantang. Lalu ia mengucapkan katakata yang tidak saya pahami. Saya tak tahu berapa lama ia berada di depan pintu wisma karena usai
mempersiapkan pekerjaan untuk besok, saya tertidur. Sayup-sayup masih terdengar caciannya.

51

17.Rindu Tempe
Sederet tulisan dengan kapur di sebuah pintu kelas kampus mengusik saya. Isinya: Jawa
pulang ko!. Tulisan itu mengingatkan saya pada tulisan Dutch Go Home! pada tahun 40-an usai
Proklamasi Kemerdekaan. Saya yang memang dari Jawa merasa menjadi mirip penjajah meskipun
kedatangan saya ke Sulawesi bukan kehendak saya. Mungkin perasaan ini yang berkecamuk di
sebagian dada prajurit muda Belanda ketika terpaksa datang ke bumi Nusantara lantaran terkena wajib
militer.
Tulisan dengan kapur itu bukannya tanpa alasan. Ketika itu sedang ramai-ramainya upaya
menurunkan Habibie dari tampuk kepresidenan. Beberapa mahasiswa mendatangi Tugu Mandala dan
mengibarkan bendera Sulawesi Merdeka. Mereka tidak ingin Habibie turun dari kursi presiden.
Perasaan saya menjadi semakin tak enak. Mungkin karena saya merasa berasal dari Jawa. Kalau
memang saya harus pulang ke Jawa, yah pulanglah saya meskipun baru beberapa bulan saya di sini.
Masalah tulisan tersebut rupanya juga menarik perhatian ibu Margriet. Menurut beliau, mana
mungkin mereka mengusir orang Jawa karena membuat tempe saja tidak bisa. Maksudnya mungkin
pembuat tempe di sini berasal dari Jawa. Ah, tempe! Sudah berapa lama saya tidak menikmatinya?
Sejak tinggal di sini belum pernah saya menikmati tempe walaupun sekedar tempe goreng. Saya jadi
rindu tempe. Apalagi keripik tempe.
Bicara mengenai tempe, sepertinya kita langsung menghubungkan dengan orang Jawa.
Alasannya seperti yang diungkapkan sejarawan Ong Hok Ham, masakan tempe hanya dijumpai dalam
kuliner Jawa. Sedangkan masakan Padang, Bali, Menado apalagi Makassar tidak mengenal tempe.
Dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indi (1922) disebutkan bahwa tempe yang terbuat
dari kacang kedelai merupakan hasil fermentasi dan merupakan makanan sehari-hari penduduk.
Mungkin sebaiknya kata penduduk, menurut Pak Ong, dapat ditambahkan, menjadi penduduk Jawa.
Pada tahun 80-an saya pernah membaca di sebuah majalah wanita ibukota bahwa tempe
dapat dijadikan alternatif makanan para vegetarian. Hidangan alternatif yang disajikan itu berupa
burger tempe. Dengan demikian kita memiliki variasi hidangan tempe yang lain selain digoreng,
dipanggang atau disayur.
Pembuatan tempe pun biasanya merupakan industri rumahan dan menggunakan tenaga
manusia. Rasanya akan lebih enak jika tempe itu dibuat dengan tenaga manusia lalu dibungkus
dengan daun pisang dibanding dengan buatan mesin serta dibungkus plastik seperti sekarang.
Tempe memang makanan rakyat yang murah meriah. Hidangan yang tidak pandang pangkat
dan usia serta dapat dinikmati dalam keadaan hangat maupun dingin. Presiden Soekarno pun

52

menggemari tempe. Ironisnya, presiden Soekarno pernah mengatakan agar rakyat tidak menjadi
generasi tempe. Suatu hal yang merendahkan tempe. Mungkin saja maksudnya tempe yang lembek
atau tempe bongkrek yang berasal dari ampasnya tempe.
Untungnya, rasa khawatir akan saya dipulangkan ke Jawa tidak menjadi kenyataan. Tulisan di
pintu kelas itu hanya ulah tangan iseng dan dapat dihapus dengan mudah. Saya pun masih dapat
mengajar di Makassar meskipun saya harus memendam perasaan rindu menikmati tempe.

53

18.Misteri Hitam
Tak ada kematian di sini. Tak ada seorang pun yang sedang berkabung. Namun, kami harus
mengenakan pakaian serba hitam di tengah hari yang panas. Suasana magis memenuhi benak seolah
melontarkan kami ke masa silam. Masa animisme dan dinamisme. Masa nenek moyang kita.
Siang itu tak ada satu pun dalam rombongan kami yang protes ketika diminta berpakaian
hitam. Tak ada pilihan lain. Kami sudah telanjur berada di sini. Rasa penasaran diikuti khawatir terus
menggoda. Rasa khawatir yang lebur dalam penasaran. Saya pun khawatir jika tidak dapat turut serta
dalam kesempatan ini karena tak sempat membawa pakaian hitam. Warna hitam yang melekat di
tubuh saya hanya rambut dan sehelai celana jeans hitam yang belel keabuan.
Beruntung, di rumah kepala desa, kami dapat meminjam pakaian. Saya mendapat pakaian
model safari yang kekecilan. Entah, keringat siapa yang pernah melekat di situ. Yang penting tertutup
hitam.
Berjalan di atas bebatuan yang ditancapkan begitu saja, tanpa alas kaki, merupakan
pengalaman unik bagi kami orang kota yang mengaku modern. Kaki-kaki telanjang bersatu dengan
alam. Sedikit berjingkat menghindari panas. Kami pun terus berjalan di antara pepohonan rindang.
Kamera yang saya selundupkan dari balik baju mulai bekerja. Sebelumnya, saya sempat diwanti-wanti
untuk berhati-hati dengan kamera yang saya bawa. Belakangan, kekhawatiran itu tak terbukti.
Kampung yang kami masuki terletak di desa Tanah Toa, kecamatan Kajang, berjarak 56 km
dari ibukota kabupaten Bulukumba (153 km dari Makassar), Sulawesi Selatan dengan luas 182 km
persegi. Masyarakat Kajang merupakan sub etnik dari etnik Makassar yang berdiam di suatu wilayah
khusus. Daerah dengan penduduk yang berjumlah kurang lebih 5000 jiwa itu agak terisolasi dari dunia
luar dan modernisasi.
Kehidupan mereka yang harmonis dengan alam menyebabkan kita tidak akan menjumpai alat
transportasi modern seperti mobil atau sepeda motor di kawasan tersebut karena alat transportasi
modern tersebut tidak diizinkan memasuki kawasan Kajang . Alat transportasi yang mereka gunakan
adalah kuda yang merupakan salah satu hewan peliharaan mereka disamping sapi, kambing, ayam,
dan bebek.
Di sebuah sungai kecil, berasal dari mata air yang memancar melalui bebatuan, sekelompok
wanita sedang memandikan anak dan mengambil air. Sementar itu seorang anak kecil memandikan
kuda. Kami mulai memasuki kampung suku Kajang!
Suasana asri menyambut kami. Dari sebuah sumber yang pernah saya baca ternyata
masyarakat Kajang masih teguh memegang pesan-pesan leluhur yang disebut Pasanganga Ri Kajang

54

dimana keaslian budaya dan hanya alam yang tetap bertahan dan terjaga. Mereka pun tetap patuh
pada peraturan adat serta tetap menjalankan pola kehidupan yang sangat sederhana. Hal tersebut
tercermin dari pakaian hitam yang menjadi pakaian sehari-hari mereka. Begitupula dengan bangunan
rumah mereka yang seragam menghadap utara berbentuk rumah-rumah kayu panggung seperti
lazimnya model rumah-rumah pedesaan di Sulawesi. Letak dapurnya tepat berada di depan di sisi
ruang tamu sehingga tamu dapat mengetahui apa yang sedang dimasak tuan rumah. Menurut salah
seorang penduduk setempat, itu menandakan masyarakat Kajang yang selalu terbuka bagi tamu.
Ada cerita-cerita aneh tentang orang Kajang yang tinggal di perbukitan, di kaki gunung
Lompobatang. Konon, beberapa orang Kajang memiliki daya sihir. Berkali-kali orang asing kehilangan
gigi setelah ditatap oleh penduduk Kajang. Selain itu, di saat mabuk, orang Kajang mampu memegang
besi berapi tanpa luka. Cerita ini saya dengar sebelum berkunjung ke sini dan membuat nyali semakin
ciut.
Bagaimana mereka mendapatkan daerah kehidupan yang luasnya 182 km persegi ini? Berikut
ceritanya. Zaman dahulu kala, ketika raja-raja Gowa masih berkuasa, terjadilah peristiwa yang amat
mengerikan yaitu munculnya ribuan ular di istana. Ketika itu, kebetulan Sang Raja sedang bepergian.
Pada saat itu putera-puteri raja dan beberapa penjaga sedang berada di istana. Mereka memang
diperintahkan untuk tidak meninggalkan istana selama raja bepergian, demi keselamatan mereka.
Putera-puteri raja itu sangat ketakutan melihat seluruh lantai dipenuhi ular. Para penjaga itu pun dibuat
sibuk. Mereka berusaha memukul dan membunuh ular-ular tersebut dengan pedang. Tapi tiap seekor
ular dipotong, malahan hidup menjadi dua ekor ular baru. Akhirnya seluruh istana dikuasai ular.
Ketika raja pulang, ia terkejut. Segera dipanggillah empat tukang sihir. Mereka berasal dari
kerajaan Gowa, Palopo, Bone, dan Kajang. Ketiga tukang sihir pertama tidak dapat memusnahkan
kumpulan ular itu. Tetapi tukang sihir dari Kajang langsung berhasil, setelah menyebarkan bulir-bulir
beras berwarna putih, hitam dan merah. Ular-ular itu lari dan tak pernah kelihatan lagi. Sebagai
imbalan, tukang sihir yang tertarik akan emas, batu permata dan perhiasan akhirnya setuju dengan
hadiah sebuah daerah dari kerajaan yaitu tanah. Sejak saat itu orang Kajang memiliki tanah sendiri.
Masyarakat yang menggunakan bahasa Konjo ini memiliki kepala suku yang disebut Ama Toa.
Masyarakat Kajang menganggap Ama Toa sebagai orang suci. Siapa saja yang hendak bertemu
dengannya harus memakai kemeja dan sarung hitam serta sebaiknya tanpa alas kaki seperti layaknya
masyarakat Kajang. Ama Toa merupakan pemimpin adat dan masa kepemimpinannya seumur hidup.
Seorang Ama Toa tidaklah dapat dikatakan sebagai pemimpin jika tidak mampu bertindak
bijaksana terhadap warganya. Karena itu supaya Ama Toa dapat melaksanakan tugas dengan sebaikbaiknya maka kepadanya dibekali aturan sebagai pegangan yang disebut Pasang. Pasang berisi pesan
dari Turiek Akrakna kepada Ama Toa yang tidak dapat diubah, ditambah dan dikurangi. Itu harus
55

dijalankan oleh Ama Toa dengan tujuan agar kehidupan dunia dapat berjalan secara normal. Ama Toa
itulah yang menjadi tujuan kami.
Ama Toa sangat dihormati dan dipercaya, terutama untuk menjaga Pasangnga Ri Kajang yang
merupakan pesan leluhur mereka. Salah satu kepercayaan terpenting adalah menjaga kelestarian
hutan. Alasannya, hutan merupakan jiwa dan kehidupan warga Kajang.
Menjadi seorang Ama Toa tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan besar. Ia adalah
orang terakhir yang merasakan kemakmuran bila penduduk Tana Toa mengalami kemakmuran tetapi
ia menjadi orang pertama yang akan merasakan kemiskinan.
Jabatan Ama Toa juga merupakan jabatan seumur hidup. Pengangkatannya pun melalui
beberapa ritual khusus. Upacaranya disebut Panganro. Ketika para penduduk memilih beberapa calon
untuk menjadi Ama Toa, para calon Ama Toa tadi berjalan masuk ke hutan. Tak seorang pun yang
mengetahui apa yang terjadi di dalam hutan. Konon, hanya calon yang terpilihlah yang mampu masuk
ke dalam hutan dan kembali dengan selamat. Penduduk percaya bahwa Ama Toa dipih sendiri oleh
Turiak Rakna atau Tuhan oleh karena itu ia diberikan kemampuan untuk menjaga kelestarian hutan
dan berkomunikasi dengan para leluhur penjaga hutan. Apabila seorang Ama Toa meninggal, maka
pejabat adat baru akan ditunjuk untuk memimpin selama tiga tahun. Setelah itu seorang Ama Toa baru
dapat dipilih penduduk.
Di dalam sebuah rumah panggung kayu, di antara cahaya remang-remang yang mengintip dari
sela-sela papan, kami duduk bersila mengelilingi ruangan. Rumah panggung kayu tersebut milik Ama
Toa, orang yang dituakan sekaligus dihormati. Ama Toa sendiri tidak ikut duduk bersama kami. Ia
berada di ruangan lain. Hanya para pemuka adat dan beberapa tetua yang duduk bersama kami.
Komunikasi dilakukan dengan bahasa Konjo. Salah seorang mahasiswa dari salah satu
universitas swasta di Makassar yang sedang kuliah kerja nyata (KKN) bertindak sebagai penerjemah.
Bergantian kami diperkenankan mengajukan pertanyaan. Saya ajukan pertanyaan apakah mereka
mengenal suku Baduy di Banten. Mereka menjawab kenal dan ternyata mereka pernah berkunjung ke
sana. Sesaat terlintas pertanyaan, bagaimana caranya mereka dapat ke sana. Apakah dengan berjalan
kaki karena mereka menabukan modernitas.
Terbang!, jawabnya singkat. Maksudnya menggunakan pesawat. Rupanya teknologi sudah
mereka kenal. Pertanyaan yang menyerempet tentang politik dijawab pula. Namun, mereka tidak peduli
pada siapa yang akan menjadi presiden atau yang berkuasa sekarang. Jawaban itu kuiyakan dalam
hati. Sikap itu tampak jelas ketika saya melihat dalam satu rumah penduduk yang sempat saya
masuki. Di dalamnya terpampang foto lama presiden RI pertama, Soekarno. Dialog-dialog itu pun
berakhir. Kami lalu memberikan uang sekedarnya yang langsung diletakkan di balik tikar pandan. Saya

56

sempat melirik, ada pecahan-pecahan uang kertas lama dari balik tikar pandan lusuh. Uang tak ada
artinya di sini, pikir saya. Tapi entah dikemudian hari.
Waktu tak terasa terus bergulir. Kami pun harus pulang. Sebelum pulang, kami diizinkan untuk
melihat sang Ama Toa. Konon, tak sembarang orang dapat melihatnya. Sayang, salah seorang dari
kami tidak diizinkan melihat. Alasannya karena ia bukan bagian dari kami alias orang asing. Memang
saat itu seorang dosen tamu dari Belanda, Alice van Kalsbeek ikut bersama kami. Bila larangan itu
dilanggar, maka resiko ditanggung sendiri. Di sini berarti resiko rombongan. Ada terbersit kekecewaan
di wajahnya. Tapi siapa yang mau menanggung resiko rombongan.
Perasaan berkecamuk muncul lagi pada saat giliran saya tiba. Kulongokkan kepala ke dalam
kamar gelap yang bertirai kusam. Di dalamnya kulihat di sebelah kiri pintu sekumpulan orang duduk.
Laki-laki dan perempuan. Seseorang lelaki tua berkulit pucat dengan sorot mata berwibawa tersenyum
sambil mengangguk. Kulemparkan senyum dan balas mengangguk. Dialah Ama Toa. Entah, kapan lagi
kesempatan itu berulang.

57

19. Memahami Kembali Siri Sebagai Unsur Kekuatan Dalam Strategi


Kebudayaan Sulawesi Selatan
(Mengenang Prof. Dr. Mattulada)
Suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan tidak terbatas pada suku Bugis dan Makassar saja.
Walau kenyataannya kedua suku ini merupakan suku mayoritas. Pun kita harus memperhitungkan
suku-suku lainnya, seperti Mandar, Toraja, serta suku-suku lain yang berada di wilayah Sulawesi
Selatan.
Begitu pula bila kita berbicara mengenai kebudayaan Sulawesi Selatan. Terasa tidak adil bila
tidak menyertakan kebudayaan suku-suku lainnya. Namun dengan tidak bermaksud mengecilkan
eksistensi suku-suku lainnya di Sulawesi Selatan, tulisan ini dibatasi hanya membicarakan dua suku
mayoritas, Bugis dan Makassar.
Upaya mengenal diri suku Bugis dan Makassar sebagian besar masih merupakan pendapat
orang asing. Namun kemungkinan besar mereka tidak begitu mengenal suku-suku tersebut dengan
baik sehingga pendapat-pendapat itu terkadang tidak terbukti kebenarannya. Mereka pun membentuk
stereotip untuk suku tersebut yang kemudian melekat kuat. Ironisnya stereotip tersebut digunakan oleh
suku-suku lain sebagai bahan penilaian. Akibatnya, tidak jarang timbul kesalahpahaman di antara
mereka.
Seringkali kita temukan dalam buku-buku karangan bangsa Barat yang menyatakan bahwa
suku Bugis dan Makassar memiliki stereotip lekas naik darah, agresif, dan sukar dikendalikan. Perilaku
yang menjadi stereotip ini sebenarnya perlu dikaji lebih lanjut. Terutama yang berkaitan dengan Siri
yang belakangan ini mengalami pergeseran nilai dan penyempitan makna. Sehingga Siri seolah-olah
merupakan pembenaran dari stereotip yang dibuat oleh bangsa asing itu.
Dalam artikel ini akan diuraikan latar belakang dibentuknya stereotip oleh bangsa Barat
terhadap bangsa Timur, khususnya masyarakat Bugis-Makassar. Selanjutnya saya akan menguraikan
konsep Siri dalam masyarakat Bugis-Makassar. Lalu akan diuraikan faktor-faktor sebagai penyebab
terbentuknya watak masyarakat Bugis-Makassar yang mengakibatkan menempelnya stereotip tersebut
dan penyempitan makna Siri dalam masyarakat.
Dalam kaitannya dengan strategi kebudayaan Sulawesi Selatan sangatlah perlu untuk
meninjau ulang stereotip tersebut. Dengan harapan kita mampu untuk mengubah stereotip itu menjadi
kekuatan sebagai strategi untuk menghadapi masa depan dengan lebih baik.

58

Stereotip Barat terhadap Timur : stereotip Bugis-Makassar


Disadari atau tidak, kita sering tidak menyadari keberadaan diri kita sendiri. Sehingga
diperlukan orang lain untuk dapat menilainya. Seorang filsuf eksistensialis, Gabriel Marcel dalam
karyanya The Mystery of Being menulis tentang peranan orang lain dalam upaya memahami diri kita.
Dengan kata lain kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain.
Hampir semua suku di Nusantara memperoleh stereotip dari bangsa asing yang pernah
berkunjung. Hal ini dapat kita ketahui dari karya-karya para petualang pada abad enam belas dan tujuh
belas. Di antara para ekspansionis yang datang menginjakkan kaki di bumi Nusantara terdapat para
rohaniwan, ilmuwan dan serdadu yang membuat catatan-catatan. Kelak, catatan-catatan itu diterbitkan
di negaranya dalam bentuk buku catatan atau teks perjalanan.
Buku-buku yang berisi petualangan itu ternyata cukup laris dan bahkan dijadikan buku
pegangan generasi berikutnya sebelum mereka datang ke Nusantara. Dengan modal pandangan
mata dari buku-buku itu mereka berangkat ke tempat yang eksotis demikian ulasan Frances Gouda
dalam Dutch Culture Overseas, colonial practices in the Netherlands Indies 1900-1942. Tentu saja
pandangan mereka menjadi bias dan terkadang tidak lagi jelas.
Seperti diuraikan sebelumnya meskipun buku-buku itu diminati, tidak semua hal yang ditulis
benar bahkan mungkin terlalu berlebihan. Rana Kabbani yang menganalisa ciri-ciri khusus cerita-cerita
Eropa mengenai dunia Timur dalam bukunya Europese mythen over de Orient menemukan bahwa
cerita-cerita tersebut menitikberatkan pada sifat bangsa Timur yang berbeda dengan bangsa Eropa.
Dalam cerita perjalanan ada dua tema yang sering muncul yaitu Timur dicirikan sebagai sumber
kenikmatan tanpa batas dan kekerasan yang berakar kuat (Kabbani 1991:19). Pendapat yang sama
juga pernah diungkapkan Edward Said (1979) dalam bukunya Orientalism.
Dengan kata lain semua sifat buruk dan negatif dimiliki oleh bangsa Timur. Sedangkan bangsa
Barat adalah bangsa yang beradab, berkebudayaan tinggi dan mereka memiliki tugas untuk berusaha
membuat bangsa Timur beradab. Ini merupakan cikal bakal kolonialisme yang kelak dijadikan alasan
dalam konteks white mans burden (tugas suci bangsa kulit putih)
Sebagai contoh yaitu pendapat John Crawfurd yang menyatakan bahwa masyarakat Sulawesi
Selatan dahulu less civilized dan barbarous (Crawfurd 1820: vol II, 379). Pandangan ini harus dilihat
dari titik mana ia menilainya sebab sudut pandang bangsa Barat dengan segala imaji yang telah
dibentuk sejak lama tentu memiliki ukuran sendiri. Ukuran civilized (beradab) dan barbarous (barbar)
mereka tentu berbeda dengan kita.
Alasan lain yang dapat dikemukakan adalah faktor ekonomi. Setelah penemuan benua
Amerika oleh Columbus dan penemuan peta jalur navigasi ke Timur, bangsa Eropa saling bersaing

59

untuk menguasai daerah-daerah penghasil rempah-rempah di Timur. Pada masa itu rempah-rempah
merupakan komoditi yang sangat mahal dan bergengsi
Karena bangsa Barat (Eropa) tidak mampu bersaing secara sehat maka mereka berusaha
menghancurkan sistem perdagangan bebas lewat kekuatan bersenjata dan kemudian menggantinya
dengan sistem monopoli. Bersamaan dengan itu para kolonialis yang sebelumnya adalah juga
pedagang menyebut para pedagang dan penduduk pribumi sebagai bangsa pemalas.
Stereotipe lain yang muncul seperti dalam uraian Koloniale Jaarboeken tahun 1862 yang
mendefinisikan orang Bugis dan Makassar sebagai orang yang gemar membunuh, sukar dikendalikan
serta bajak laut yang ditakuti. Istilah bajak laut itu tentu istilah yang dibuat oleh bangsa Eropa karena
merasa kepentingannya di bidang ekonomi diganggu.
Konsep Siri dalam masyarakat Bugis-Makassar
Siri enni ri-onroang ri-lino,

( Hanya untuk siri kita hidup di dunia

Utettong ri adeE,

aku setia kepada ade

Najagainnami sirita

karena dijaganya siri kita

Naia sirie sunge naranreng

adapun siri jiwa ganjarannya

Nyawa na kira-kira

nyawa rekaannya )

( Matullada,1995:64,65)
Stereotipe yang dibentuk olah bangsa Barat terhadap masyarakat Bugis dan Makassar yaitu
orang yang cepat merasa tersinggung, lekas mempergunakan kekerasan dan membalas dendam
dengan pembunuhan (Mattulada 1995:62). Semua praktek-praktek yang erat kaitannya dengan unsur
kekerasan tersebut merupakan perwujudan dari Siri. Tapi Siri yang dimaksud menurut hemat saya
masih perlu kita perdebatkan.
Kata Siri sendiri meliputi banyak segi dari segala aspek kehidupan masyarakat dan
kebudayaan Bugis-Makassar. Sementara itu para peneliti terdahulu telah membuat pengertian
mengenai Siri baik secara harfiah dan leksikal. Mereka meninjau dari sudut pandang masing-masing
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Seperti Matthes dalam kamusnya menggambarkan Siri sebagai schande, beschaamd,
schroomvalig, verlegen, schaamte, dan eergevoel (Matthes 1872:583). Bila kita uraikan satu persatu ;
schande = aib, beschaamd = amat malu, schroomvalig = malu (rasa), verlegen = malu, schaamte =
perasaan malu, eergevoel = (pe) rasa (an) harga diri. Dari penggambaran ini tampak makna Siri tidak
begitu jelas maknanya dan tampaknya berkisar antara perasaan malu, aib dan harga diri.
60

Orang Bugis-Makassar menghayati Siri sebagai panggilan mendalam dalam diri pribadinya
untuk mempertahankan nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya
memiliki arti penting baik bagi diri maupun kelompoknya (Mattulada 1995:62)
Berbagai ungkapan dalam bahasa Bugis yang terwujud dalam kesusastraan, pasng
(kumpulan amanat keluarga atau orang-orang bijaksana) dan amanat dari leluhur dapat pula dijadikan
petunjuk tentang Siri seperti :
1. Siriemmi ri onroang ri lino = hanya untuk Siri itu sajalah kita hidup di dunia.
Dalam ungkapan ini Siri bermakna sebagai hal yang memberikan identitas sosial dan martabat
kepada seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri , hidup ada artinya.
2. Materi sirina = mati dalam Siri. Ungkapan ini bermakna mati dalam menegakkan martabat atau
harga diri yang dianggap sebagai suatu hal terhormat.
3. Mate siri = orang yang sudah hilang harga dirinya, tak lebih dari bangkai hidup.
Disamping ungkapan dalam bahasa Bugis, terdapat pula ungkapan dalam bahasa Makassar
mengenai Siri yaitu lapa nanikana Tau punna niag siriqna yang berarti barulah ia disebut manusia
kalau ada siriqna. Dengan demikian manusia adalah Siri itu sendiri (Manyambeang 2000:105).
Sementara itu Shelly Errington (1977) berpendapat bahwa hubungan seseorang dengan
keluarganya dalam masyarakat Bugis-Makassar tidak hanya dihubungkan dengan hubungan
genealogis atau biologis saja melainkan juga dihubungkan dengan Siri. Hubungan dengan genealogis
dalam masyarakat yang bersifat kekeluargaan bilateral menghubungkan seseorang dengan hampir
seluruh masyarakat tidak terbatas. Sebaliknya hubungan Siri lebih terbatas. Maka terbentuklah
kelompok-kelompok (rapu-rapu) yang pada dasarnya adalah hubungan darah yang dibatasi oleh
perasaan Siri yang dikatakan Masedi siri . Mereka akan selalu saling menjaga harga diri dan rasa
solider satu sama lain atau siassiriki siappassei, sipassiriki sipappacei.
Situasi Siri muncul bila seseorang merasa kedudukan status sosialnya dalam masyarakat,
harga diri atau kehormatannya telah dicemarkan pihak lain secara terbuka. Bila sekali saja seseorang
dibuat Siri (dipermalukan) maka oleh masyarakat ia dituntut untuk menebus dirinya dengan
menyingkirkan penyebab malu yang tidak adil itu. Sehingga ia berarti memulihkan Sirinya baik di
matanya sendiri maupun di mata masyarakat.
Hal ini disebabkan lebih baik mati mempertahankan diri (mate ri sirina) daripada hidup tanpa
harga diri (mate siri). Mati mempertahankan siri adalah menjalani kematian yang bergula dan
bersantan (mate rigollai, mate risantangngi) dengan kata lain menjalani kematian yang manis (Andaya
1983:147-148)
Namun mate siri ini sering disalahartikan dan biasanya orang Bugis-Makassar yang merasa
mate siri akan melakukan jallo (amuk). Banyak terjadi dalam masyarakat Bugis-Makassar, baik di
61

dalam maupun di luar wilayah, mereka peristiwa saling membunuh dengan jalan jallo berlatar belakang
Siri (Mattulada 1995:63) Di samping membunuh dengan melakukan jallo, pemberontakan,
pembangkangan merupakan praktek-praktek yang berlatar belakang Siri.
Hal ini menyebabkan seolah-olah orang Bugis-Makassar yang merasa Sirinya terusik sanggup
membunuh atau dibunuh. Mereka melakukan sesuatu yang berakibat fatal hanya karena masalah atau
alasan-alasan yang mungkin bagi orang luar dianggap sepele.
Kemungkinan perilaku-perilaku yang menurut mereka didasari Siri ini pada masa lalu
disaksikan oleh bangsa asing lalu mereka mencatatnya sebagai watak yang dimiliki oleh orang BugisMakassar.
Sebuah kisah dari Buya Hamka almarhum pada saat beliau menjadi guru Muhammadiyah di
Makassar pada 1930-an bisa menjelaskan hal tersebut. Seorang guru Muhammadiyah meninggal
mendadak. Penyebabnya karena ia difitnah korupsi. Sebagai orang Makassar yang dibesarkan dalam
tradisi Siri yang ketat, ia seharusnya membunuh si pemfitnah. Namun di sisi lain ia seorang Islam serta
seorang guru yang harus digugu dan ditiru. Semestinyalah kalau ia memaafkan orang itu. Kedua sisi
kemanusiaan inilah yang berperang dalam dirinya. Akhirnya seperti itulah, ia rubuh dan kalah.
Keluarganya menemukan tubuhnya terbujur kaku sepulang dari sekolah. Ia bunuh diri.
Faktor pembentuk watak dan karakter Bugis-Makassar
a. Latar belakang sejarah
Apabila kita menelaah ke masa lalu dan mencoba menghubungkan pengalaman sejarah pahit
yang telah dilalui oleh suku Bugis-Makassar, kiranya akan menjadi lebih jelas lagi makna dan peranan
siri yang melatar-belakangi watak dan sikap orang Bugis-Makassar.
Sepanjang sejarahnya tiap kerajaan Bugis-Makassar selalu diliputi oleh perang saudara yang
tak ada hentinya. Peperangan itu melahirkan persekutuan perdamaian seperti Lamumpatue ri
Timurung (penanaman batu di Timurung) yang merupakan ikatan persekutuan antara raja-raja dari
kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo pada 1582 (Abidin 1985:8). Persekutuan itu dimaksudkan untuk
menghadapi ekspansi kerajaan Gowa. Persekutuan-persekutuan lainnya pun dicatat dalam lontaralontara yang merupakan kronik sejarah masyarakat Sulawesi Selatan. Lontara-lontara tersebut
melukiskan peperangan dan persekutuan perang yang berlangsung terus menerus sejak abad XVI
untuk memperebutkan hegemoni di Sulawesi Selatan.
Datangnya bangsa asing, khususnya VOC Belanda membuat keadaan semakin kacau.
Bahkan kedatangan VOC tersebut tidak dijadikan momentum untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan
yang saling berperang untuk memerangi, mengusir kompeni atau menjadikan kompeni Belanda musuh

62

bersama. Justru yang seharusnya dijadikan musuh bersama itu (kompeni Belanda) malah dijadikan
sengketa antar kerajaan sebagai alat untuk menaklukan wilayah ini.
Politik devide et impera digunakan oleh kompeni dengan mempergunakan salah satu atau
beberapa kerajaan sebagai sekutu untuk mengalahkan yang lain. Sebagai contoh Arung Palakka dari
kerajaan Bone yang bersekutu dengan VOC untuk mengalahkan kerajaan Gowa. Kasus Arung Palakka
ini ada kaitannya dengan perasaan Siri dalam dirinya setelah menyaksikan perlakuan penguasa
kerajaan Gowa terhadap ayah, kakek dan para pekerjanya. Konon, ayah dan kakeknya terbunuh
dengan cara mengerikan di hadapan Sultan Hasanuddin (Andi Muhammad Ali 1989:23)
Sekutu kompeni tertua di Sulawesi adalah kerajaan Bone dan setelah perjanjian Bungaya
(1667) menjadi kerajaan paling berpengaruh di antara kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan. Kerajaan
Bone dimanfaatkan oleh kompeni sebagai pemelihara perimbangan kekuatan di antara kerajaankerajaan di Sulawesi Selatan sehingga kompeni dapat mengontrol keadaan. Hal ini sangat penting
mengingat situasi dan suhu politik pada saat itu masih tetap panas. Belanda khawatir situasi tersebut
sewaktu-waktu dapat meledak dan menimbulkan peperangan baik melawan Belanda maupun di antara
kerajaan-kerajaan tersebut (Matullada 1985:462)
Sejak bulan November 1846 sesuai penetapan Raja Belanda, seluruh Sulawesi dinyatakan
berada di bawah kedaulatan kerajaan Belanda dan mulai saat itu Gouverneur van Makassar disebut
Gouverneur van Celebes en Onderhorigheden (Gubernur Sulawesi dan daerah-daerah bawahan; Arsip
Nasional RI 1973:264). Gubernur Belanda tersebut berkedudukan di Makassar yang ditetapkan
sebagai ibukota.
Di tiap-tiap kerajaan yang dijadikan sekutu Belanda seperti Bone, Gowa, Luwu dan lainnya
ditempatkan sebuah gubernemen yang diisi oleh pejabat-pejabat Belanda. Mereka bertindak sebagai
penasehat (raadsman) bagi kerajaan-kerajaan itu. Di kalangan masyarakat penasehat itu dikenal
dengan sebutan Tuan Petoro.1
Namun seiring meningkatnya pengaruh Belanda dimana-mana mengakibatkan semakin keras
pula rasa tidak puas di kalangan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar. Ketegangan yang seperti api
dalam sekam mulai membara. Akhirnya menjelma jadi perlawanan bersenjata. Kerajaan Bone dan
Gowa kembali memaklumkan perang pada 1905-1906.
Belanda pun tak tinggal diam. Mereka melakukan Zuid-Celebes expeditie pada 1906 yang
merupakan pukulan mematikan bagi Bone, Gowa dan Wajo. Sejak saat itu dua buah kerajaan BugisMakassar yaitu Bone dan Gowa tidak memiliki raja lagi.

lihat novel De Raadsman (1959) karya H.J.Friedericy yang melukiskan kehidupan seorang
penasehat di Sulawesi Selatan
63

Dalam perang 1905-1906 inilah kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar mempertaruhkan


segalanya. Sehingga kekalahan mereka menjadi penanda secara de facto bahwa Sulawesi Selatan
telah dikuasai oleh Belanda. Semua benda-benda kebesaran kerajaan dirampas Belanda dan para
bangsawan diasingkan ke luar Sulawesi Selatan.
Barulah pada 1930 setelah Gowa dan Bone dijadikan daerah zelfbestuur (pemerintahan
sendiri), benda-benda kebesaran kerajaan dikembalikan begitupula hak untuk mengangkat rajanya.
Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia memberikan nuansa yang lain lagi.
Pada masa itu kita menghadapi masalah kehadiran tentara sekutu dan Belanda serta berbagai usaha
untuk menguasai kembali Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan Belanda adalah pembentukan
negara-negara boneka yaitu Negara Indonesia Timur(1946), Negera Sumatera Timur (1947), Negara
Pasundan (1948), Negara Jawa Timur (1948) dan Negara Madura (1948). Negara-negara boneka ini
dibentuk dalam rangka persiapan membentuk Negara Indonesia Serikat.
Sulawesi Selatan pada masa revolusi ini cukup menonjol karena menjadi tempat perlawanan
terhadap kembalinya pemerintahan Belanda di luar Republik. Sementara itu untuk menegakkan
pemerintah Negara Indonesia Timur, Belanda melancarkan tindakan-tindakan militer dari Desember
1946 hingga Maret 1947.
Prakteknya setelah dikeluarkan dag order (perintah harian) oleh Panglima Perang Hindia
Belanda Letnan Jenderal Spoor dan di lapangan dilaksanakan oleh Kapten Westerling upaya
mengakhiri perlawanan bersenjata di Sulawesi Selatan berhasil. Pada masa ini kebanyakan
masyarakat Sulawesi Selatan mengalami perlakuan yang kejam dan mengalami penderitaan.
Pada tahun 1950-1965 di Sulawesi Selatan muncul gerakan Darul Islam Tentara Islam
Indonesia (DI-TII) pimpinan Kahar Muzakkar. Gerakan ini menurut Barbara Sillars Harvey (1989)
bermula dari adanya perasaan diperlakukan tidak adil , tidak dihargai oleh pemerintah pusat. Mereka
menganggap orang-orang di pusat kurang memahami aspirasi daerah sehingga dilakukanlah
pemberontakan sebagai wujud dari mate siri.
Keadaan yang tidak pernah tenang akibat peperangan dan berwujud kekacauan berlarut-larut
menciptakan keadaan psikologis yang langsung membentuk watak untuk senantiasa siap siaga. Hal
tersebut mendorong kepada situasi dan sikap mental yang selalu peka, sensitif serta menanggapi
keadaan dengan penuh rasa curiga. Sikap tak mudah percaya pada suatu yang baru atau sesuatu
yang datang dari luar lingkungan terkadang menjelma menjadi lebih tajam dari sekedar mencurigai.
Terkadang bisa dalam bentuk perlawanan atas apa saja.
Sikap jiwa yang peka tersebut pada satu saat bisa menjadi sangat agresif dan pada saat
tertentu bisa menjadi sangat apatis. Akibatnya tak peduli dengan apapun yang mendatanginya.

64

Menurut Mattulada keadaan seperti itu sebagai akibat dari desakan ketakutan terus menerus yang
dapat mendorong kepada tidak adanya pertimbangan yang lebih matang (Mattulada1995:487).
b.Tradisi maritim
Faktor latar belakang sejarah ini mungkin menjadi sebagian dari beberapa faktor lain yang
mempengaruhi watak atau karakter orang Bugis-Makassar. Karakter keras dari suku Bugis-Makassar
menurut Budayawan Profesor Zainal Abidin Farid di samping latar belakang sejarah akibat penjajahan
yang cukup lama juga dipengaruhi oleh tradisi maritim.
Dengan berbekal perahu phinisi suku Bugis-Makassar telah melayari hampir seluruh lautan ,
menyinggahi banyak daratan kemudian menyatu dengan penduduk lokal. Hampir setiap pulau di
Indonesia, akan kita jumpai masyarakat Bugis-Makassar.
Tradisi maritim merupakan tradisi nenek moyang mereka To Luwu yang berarti pelaut.
Kehidupan di laut yang keras karena harus bertarung menghadapi kekuatan alam menempa mereka
hingga mempengaruhi watak. Konon sejak abad pertama orang Bugis-Makassar telah berlayar hingga
Afrika.
Namun, anggapan bahwa orang Bugis merupakan pelaut yang ulung dibantah oleh Christian
Pelras penulis The Bugis (1996). Menurutnya, orang Bugis sebenarnya adalah pedagang. Laut dan
kapal hanyalah media atau sarana yang digunakan untuk memperlancar aktivitas perdagangan
mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung, maka yang paling tepat adalah orang Mandar.
c. Tradisi kompetisi
Faktor berikutnya, menurut Profesor Zainal Abidin yang dikutip Munanshar (1996) adalah
tradisi berkompetisi. Tradisi ini mengingatkan saya pada tradisi bangsa Amerika yang tidak mengenal
isitilah nomor dua. Dalam setiap kompetisi mereka selalu berusaha supaya meraih nomor satu sebagai
yang terbaik. Bila mereka hanya mampu meraih nomor dua, itu sama dengan kalah.
Demikian pula dengan suku Bugis-Makassar .Mereka senantiasa hidup dalam suasana penuh
persaingan. Bahkan dengan saudara sendiri. Mereka yang kalah banyak yang pergi merantau. Di
perantauan, mereka pantang menjadi anak buah meskipun hanya menjadi pemimpin kecil. Banyak di
antara mereka yang memperoleh jabatan strategis bahkan menjadi raja seperti di Johor, Pahang,
Selangor, Pontianak dan Kutai (Munanshar 1996)
Penyempitan makna Siri di masyarakat Bugis-Makassar saat ini
Kita adalah apa yang telah kita lakukan secara berulang-ulang, demikian Aristoles
berpendapat. Kelakuan buruk akan menjadi hantu buruk yang menakutkan. Hal inilah yang juga kita
65

hadapi sekarang. Pergeseran nilai-nilai yang terkandung pada budaya Siri seperti juga diungkapkan
Profesor Mattulada:
[siri] mengalami degenerasi dalam manifestasinya, menjadi sikap-sikap:
1. Cepat tersinggung karena perbuatan pihak lain,
2. Merasa melakukan sesuatu yang berharga bagi kaumnya apabila ia dapat melenyapkan
mereka yang telah menyebabkan siri nya terganggu. (Matullada 1995:489)
Oleh karena itu pergeseran nilai Siri mengakibatkan stereotip yang dilekatkan oleh bangsa
asing pada masyarakat Bugis-Makassar terus menerus ada dan semakin mengukuhkan stereotip
tersebut. Kelakuan negatif tersebut berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi dengan
alasan sudah menjadi watak dan tak mungkin diubah.
Yang cukup memprihatinkan, menurut Profesor Mattulada, watak orang Bugis-Makassar saat
ini tidak lagi murni karena Siri. Sebab Siri harus didasarkan pada accapki nawa-nawa na malempu,
barani magetteng (pandai mempertimbangkan dan jujur, berani dan teguh pendirian). Sedangkan
sekarang sifat ini sudah luntur baik pada kalangan atas maupun pada kalangan bawah (Munanshar,
1996).
Hal senada juga diungkapkan Profesor Zainal Abidin Farid mengenai menurunnya nilai-nilai
Siri pada masyarakat Bugis-Makassar. Menurutnya di kalangan orang Bugis-Makassar diajarkan
bahwa kalah dalam persaingan adalah Siri. Anak-anak diajar agar tidak menyerah, berani dan tidak
boleh kalah dalam berkelahi.
Apabila di Madura kita mengenal tradisi carok, di kalangan orang Bugis-Makassar dikenal
sitobo. Hal tersebut merupakan alternatif jika masalah Siri tidak dapat diselesaikan dengan cara yang
lebih baik. Kedua pihak saling menikam atau duel dengan badik dalam sarung.
Saat ini memang duel itu (sitobo) semakin jarang terdengar. Namun, kasus-kasus
pembunuhan semakin banyak bermula dari masalah Siri. Akan tetapi, Siri yang lebih ringan yang dulu
bisa diselesaikan dengan cara baik -maksudnya tanpa harus membunuh- sekarang malah tidak.
Sebagai ilustrasi saya pernah mendengar percakapan dua mahasiswi mengenai peristiwa ditusuknya
salah seorang teman lelaki mereka pada saat ia mengantar teman gadisnya. Alasannya karena ia
meludah di depan sekelompok pemuda. Mungkin karena dianggap menghina sekelompok pemuda itu,
teman lelaki mereka itu akhirnya harus menemui ajalnya. Tewas diujung badik.
Sebaliknya ada Siri besar yang cenderung diselesaikan dengan cara ringan. Pelaku kawin lari
(silariang) misalnya (banyak disebabkan karena biaya perkawinan yang sangat mahal) akan dikenai
hukum adat di-paoppangi tanah (dianggap bukan keluarga atau sudah mati). Keluarganya bisa mencari
lalu membunuh pelakunya. Sekarang kasus seperti itu lebih banyak diselesaikan dengan cara damai .

66

Padahal itu termasuk Siri lompo (Siri besar) dimana bisa saja diselesaikan dengan saling memaafkan
walaupun kemungkinan itu sangat kecil.(Munanshar,1996).
Penyempitan makna dan bertambah kaburnya aplikasi Siri di masyarakat semakin nyata.
Akibatnya, Siri kadang juga dilupakan dan dikesampingkan dalam soal-soal pelayanan publik saat ini.
Hal ini menimbulkan bertambahnya pelaku kejahatan korupsi seperti yang dilakukan para oknum
pejabat. Penyebabnya karena Siri hanya diidentikkan selalu dengan pertumpahan darah. Padahal,
dengan menghindari kelakuan yang oleh masyarakat dipandang buruk - seperti korupsi itu juga
merupakan implementasi Siri sebagai perlambang tegaknya sebuah harga diri. 2
Hal serupa juga sempat dikeluhkan oleh Mochtar Pabottingi dalam satu artikelnya Hak-hak
Individu dan Sosial di Indonesia. Menurutnya, kelompok etnis Bugis-Makassar masih banyak tertinggal
dalam perlombaan akal budi dan harus belajar dari kelompok etnis Jawa dan Minang. Misalnya dari
sistem nilai Jawa diharapkan bisa mendewasakan prinsip Siri dengan tidak semata-mata terkungkung
pada masalah-masalah sempit kekeluargaan dan hal-hal sepele. Namun menjangkau penuh hal-hal
yang lebih penting, lebih mulia dan lebih besar artinya bagi bangsa kita.
Dari sistem nilai Jawa, tulis Mochtar juga diharapkan orang Bugis-Makassar dapat belajar lebih
banyak tentang relativisme nilai-nilai dan tentang internalisasi serta preservasi (perlindungan) kekuatan
di dalam kalbu. Dengan demikian prinsip Siri (kehormatan) yang kesediaan berkorbannya luar biasa
bisa dibebaskan dari tradisi aksi tanpa konteplasi, dan bisa disalurkan pada hal-hal yang lebih
bermanfaat bagi kehidupan bangsa kita.
Lalu dari kelompok etnis Minang, orang Bugis-Makassar dapat belajar banyak tentang prinsip
musyawarah. Kami terlalu terbiasa menyelesaikan persoalan secara kaku, lewat ancang-ancang yang
patah berubah, sebab Siri seperti suatu pemenuhan seketika (instantaneous gratification), lanjut
Mochtar Pabottinggi. Rata-rata orang Bugis-Makassar merasa bahwa hanya merekalah yang memiliki
Siri, orang lain tidak. Tidak mengherankan jika untuk menyelesaikan persoalan orang Bugis-Makassar
sangat sering menempuh jalan kekerasan yang seringkali berakhir tragis.
Sebaliknya kelompok etnis Jawa dan Minang dapat belajar dari sistem nilai Bugis-Makassar.
Mereka mungkin dapat belajar darinya dalam hal penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang BugisMakassar tidak suka melebih-lebihkan atau memanipulasi kata. Sebagaimana pernah ditulis oleh
Profesor Noorduyn, ucapan akkanaka (saya berkata) mempunyai bobot yang sangat matter-of-fact
dalam tradisi historiografi Bugis-Makassar. Itulah sebabnya mengapa peninggalan-peninggalan tertulis
mereka memiliki kadar historisitas yang jauh lebih kuat, khususnya dibanding dengan babad-babad dari
Tanah Jawa (Pabottingi, 1994)

lihat Jusuf, M (eds). Korupsi, Konspirasi dan Budaya Siri (Makassar: Elsim, 2000)
67

Pemahaman kembali Siri sebagai unsur kekuatan dalam strategi kebudayaan Sulawesi Selatan
Penyempitan makna Siri dan semakin menurunnya nilai-nilai Siri pada masyarakat BugisMakassar seharusnya mendapat perhatian khusus. Hal tersebut tidak hanya dengan berusaha
menghapus citra buruk atau streotip masyarakat Bugis-Makassar tetapi juga memikirkan cara untuk
mengubah pandangan masyarakat mengenai Siri sehingga tidak hanya terkungkung pada nilai-nilai
yang sempit.
Menurut hemat saya masalahnya terletak pada pendidikan, baik secara formal (institusi
pendidikan) maupun informal (keluarga dan lingkungan). Sebenarnya hal ini juga disinggung oleh
Profesor Mattulada:
Pada hemat kami jalan yang paling jitu untuk meredakan pemunculan watak-

watak ekstrim atas nama siri itu ialah memecahkan tiap-tiap isolasi di kalangan
mereka dan memberikannya pendidikan umum yang lebih intensif (Mattulada

1995:490)

Namun peran yang sangat penting ada di pendidikan informal (keluarga dan lingkungan)
karena sebelum individu-individu tersebut menuju pendidikan formal tentunya mereka di bawah
bimbingan keluarga dan lingkungan untuk memberikan pemahaman mengenai budaya Siri.
Pendidikan yang terpenting adalah pendidikan sedini mungkin. Pada usia itu kita mulai
tanamkan nilai-nilai Siri sebenarnya karena segala perbuatan yang konsisten dilakukan sejak usia
muda akan membentuk suatu karakter. Penelitian empiris dalam psikologi menunjukkan bahwa sifat
atau karakter seseorang mulai mengeras pada usia empat puluh tahun. Akan beruntunglah kita bila kita
sempat melakukan perubahan atas sifat/karakter yang dianggap kurang menguntungkan dan tidak baik
pada usia muda. Sehingga karakter/sifat yang buruk itu tidak sampai mengeras dan diturunkan kembali
pada keturunan kita kelak.
Dengan adanya pemahaman kembali budaya Siri diharapkan pemahaman yang selama ini
mengalami penyempitan makna dan semakin kabur dapat berubah. Sehingga Siri yang telah lama
dipegang teguh oleh orang-orang Bugis-Makassar dan merupakan inti kebudayaan Sulawesi Selatan
bisa menjadi inspirasi, motor penggerak setiap langkah orang-orang Bugis-Makassar dalam bertingkah
laku dan pergaulan sehari-hari kapan dan di manapun ia berada.
Siri sebagai inti kebudayaan Sulawesi Selatan juga diharapkan dapat menjadi kekuatan dalam
strategi kebudayaan Sulawesi Selatan untuk menghadapi tantangan masa depan. Yang tidak hanya
membutuhkan kekuatan otot tapi juga kekuatan otak.

68

Di samping itu, Siri dapat dijadikan sebagai jiwa untuk mengadaptasi budaya-budaya asing
yang tidak semuanya jelek atau bagus. Ini erat kaitannya dengan masalah moral karena Siri
merupakan hal yang melekat dengan martabat manusia dan menyangkut nilai-nilai terdalam.
Kita boleh saja mengatakan bahwa di masa lalu nenek moyang kita memiliki kebudayaan yang
tinggi atau yang sering disebut kebudayaan adiluhung. Tapi bila kebudayaan itu ternyata mengalami
penyempitan makna seperti budaya Siri ini tentu sudah sepantasnya dikritisi, diperdebatkan. Karena
budaya bukanlah sesuatu yang bersifat statis, diam di tempat. Kebudayaan selalu bergerak dinamis
tergantung masa dan situasi dimana kebudayaan itu berada. Dengan demikian kita tidak selalu terbuai
dan terjebak dengan kejayaan masa lalu.
Memang pada awalnya akan terasa berat bagi kita untuk memulai sesuatu apalagi untuk
mengubah sesuatu yang telah cukup lama ada. Caranya, kita harus berani memulai dan mau
mengubah serta tak takut untuk tetap mengkritisinya.
Sebagai penutup tulisan ini saya kutipkan satu pesan di kalangan orang Bugis-Makassar untuk
memelihara rasa bangga dan mempertahankan suatu sikap moral yang sangat dimuliakan dengan
menghargai Siri.

ikkng ugi mangkasae


ri-alai toddopuli
si- posirie nnnia
si-appsseie

(Bugis)

ikambe bugisi-mangkasaraka
niallei toddopuli
sipassirikia siagang
sipappacceia

(Makassar)

Artinya :
Kita orang Bugis-Makassar
Telah kita jadikan toddopuli (pasak tak tergoyah)
Saling menghargai siri
Saling bersetia-kawan

(Mattulada, 1995:386)

69

20. Bukan Perempuan Biasa


Bangsa Indonesia tidaklah sebodoh yang pernah dituliskan oleh bangsa Barat dalam catatancatatan mereka. Ini dapat dibuktikan dari kemampuan baca tulis pada abad ke-17. Meskipun mereka
hanya mampu membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri.
Seperti catatan Rijklof van Goens, pemimpin /utusan lima perjalanan resmi dari Batavia ke
istana Mataram antara tahun 1648-1654. Ia menyimpulkan bahwa mayoritas orang Jawa mampu
membaca dan menulis (Van Goens 1648-1654). Bukti berikutnya dalam catatan Zollinger (1847;532)
yang menulis tentang Lombok tahun 1840-an: hampir semua orang Bali mampu membaca dan
menulis dalam bahasa mereka, termasuk kalangan penduduknya yang paling miskin, begitupula
mayoritas kaum perempuannya. Lalu di Bali, seperti tulis Jacobs (1883;216): hampir semua orang
Bali dewasa mampu membaca dan menulis. Sebagian besar perempuan dari kalangan atas
masyarakat Bali juga telah menguasai kepandaian ini.
Bukti-bukti tersebut setidaknya memperlihatkan kemampuan baca tulis yang hampir
menyeluruh dan cukup mengejutkan. Apalagi jika dilihat dari sisi masyarakat pra-industri yang tidak
memiliki tradisi cetak-mencetak serta sistem pendidikan formal. Namun, kita harus juga menyangsikan
bukti-bukti ini mengingat catatan-catatan awal para pengunjung Eropa tersebut mungkin
menggeneralisasikan keluarga-keluarga elite (golongan atas) yang jumlahnya sangat kecil dan
dianggap mewakili seluruh jumlah penduduk.
Begitupula bila ukurannya adalah bahasa Melayu atau Belanda dengan huruf latin seperti yang
diungkapkan dari hasil-hasil sensus kolonial. Tentu tolak ukurnya sangat berbeda dan dicatat sebagai
daerah yang sangat rendah kemampuan baca tulisnya. Hal ini tampak pada daerah-daerah seperti
Jawa, Bali, dan Sulawesi bagian Selatan dimana kemampuan baca tulis tradisional dilakukan dalam
bahasa serta tulisan yang tidak diajarkan di sekolah.
Menurut sensus yang diadakan di Hindia Belanda pada tahun 1930, tingkat kemampuan bacatulis di Indonesia justru tidak ditemukan pada provinsi-provinsi yang sistem pendidikan modernnya
paling tersebar luas (seperti Sulawesi Utara dan Ambon ), melainkan di distrik Lampung di Sumatera
bagian selatan. Dilihat dari jumlah presentase keseluruhan, tercatat hanya 45 persen pria dewasa dan
34 persen wanita dewasa yang dapat menulis.
Bertentangan dengan pola modern yang biasa, kelompok usia yang lebih tua mempunyai
kemampuan baca-tulis yang lebih tinggi dibanding yang lebih muda. Kelompok ini dapat menulis bukan
dalam huruf latin seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah, juga bukan dalam tulisan Arab
yang dipelajari untuk membaca Al-Quran, melainkan dalam huruf ka-ga-nga dari Indonesia lama.

70

Sulawesi Selatan dan Sumbawa yang berada di bawah pengaruhnya mempunyai daerah
ketiga yang tulisan ka-ga nga nya serumpun dengan tulisan yang berlaku di Sumatera dan Filipina.
Tulisan ini muncul dua atau tiga abad sebelum daerah ini memeluk Islam pada awal abad tujuh belas.
Sistem tulisan ini digunakan dalam hal silsilah, sejarah , kesusastraan dan buku-buku sejarah.
Anak laki-laki Makassar mempelajari bahasa Arab untuk menilai dan menerangkan Al-Quran
serta membaca dan menulis dalam huruf Arab sedangkan anak perempuan tetap tinggal di rumah.
Mereka diajari oleh ibu-ibu mereka untuk membaca dan menulis. Inilah ilustrasi pada abad ke-17 di
Makassar.
Satu setengah abad kemudian, ketika seorang sarjana misionaris bangsa Belanda mengelilingi
Sulawesi Selatan dalam usahanya mengumpulkan naskah-naskah Bugis dan Makassar, ternyata kaum
perempuanlah yang lebih sanggup menolongnya. Pada umumnya wanita bumiputera, terutama wanitawanita kepala, jauh lebih ahli dalam kesusastraan Bugis daripada kaum priaAkhirnya saya tidak lagi
menoleh kepada guru ( agama) melainkan hanya kepada pasura, yakni mereka yang mengkhususkan
diri membaca sura atau tulisan-tulisan Kita dapat menemukan orang-orang tersebut hanya pada
wanita wanita kepala, dan wanita wanita yang sama tuanya , yang telah lama mempunyai hubungan
dengan istana. ( Matthes 1856: 184-185)
Satu nama yang memiliki peranan besar yaitu Colliq Pujie. Ia adalah seorang wanita
bangsawan dari kerajaan Tanete yang hidup antara tahun 1812-1876. Tak banyak orang yang
mengetahui nama ini, terutama dari kalangan generasi baru. Ia pula yang membantu Dr BF Mathes,
seorang sarjana misionaris Belanda. Jauh sebelum kedatangan Mathes, ia sudah jatuh bangun
menghimpun dan mengumpulkan lembaran-lembaran daun lontar yang berisikan naskah epos La
Galigo.
Arung Pancana Toa atau Colliq Pujie tak sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran daun. Ia
sekaligus menyelamatkan harta yang ternilai harganya. Di sini kita dapat menilai bahwa hanya yang
berkeahlian dan memiliki pemahaman bahasa yang cukup tinggi yang dapat melakukan pekerjaan
tersebut.
Ada 12 jilid naskah yang berhasil diselamatkannya. Itu pun baru sepertiga dari keseluruhan
cerita. Tapi setidak-tidaknya ia sudah merintis jalan menyelamatkan seluruh warisan naskah berharga
karena ringkasannya sudah diselesaikan sebelumnya.
Menurut catatan sejarah, Colliq Pujie tidak saja menguasai bahasa Bugis dan Makassar serta
bahasa Melayu dengan baik, ia juga menguasai banyak bahasa daerah kuno, seperti bahasa Galigo
dan kedaton Bone. Tidak mengherankan bila beberapa ahli dari Belanda menjadikannya nara sumber
serta menganggapnya guru sekaligus ahli bahasa dan sastra.

71

Enam tahun sebelum ia meninggal, sejumlah ahli dari luar negeri mendatanginya untuk
menjadikannya nara sumber. Misalnya A Ligtvoet yang pada saat itu akan melakukan penulisan kamus
tentang sejarah Sulawesi Selatan pada tahun 1870. Ia beberapa kali mendatangi Colliq Pujie untuk
dijadikan tempat bertanya.
Kemampuannya menguasai banyak bahasa saat itu merupakan bukti kecerdasannya
menguasai banyak karya sastra dari berbagai pelosok. Pikiran-pikirannya pun sudah begitu maju. Ia
bahkan sudah banyak menciptakan huruf-huruf pada masa itu.
Apresiasinya terhadap karya sastra mendapat banyak pujian. Ia banyak menghasilkan elongelong dan pau-pau yang menjadi sumber inspirasi para peneliti asing. Berdasarkan sumber dari
Mathes, yang kerap kali menyebutnya sebagai orang yang sangat berjasa atas karya-karyanya, Colliq
Pujie meninggalkan banyak karya. Bahkan bisa jadi banyak yang masih belum diangkat ke permukaan.
Sebagai perempuan berdarah bangsawan, ia masih menjunjung tinggi simbol-simbol adat
kerajaan, yang bisa jadi bertentangan dengan keinginan untuk mendalami karya sastra dan adat.
Namun putri Larumpang Megga ini dapat menjalani keduanya meskipun ada perbedaan paham dengan
anaknya sendiri, We Tenri Olle, yang ketika itu menjadi Raja Tanete.
Ia berani memilih hidup sederhana di luar istana dengan alasan di luar istana ia mungkin lebih
leluasa mengembangkan karya-karyanya. Berbagai cobaan pun ia hadapi. Tidak hanya konflik dengan
anaknya. Rumahnya pernah terbakar dan mengakibatkan banyak naskah-naskah simpanannya ikut
terbakar,
Kehidupannya saat banyak orang belajar pada dirinya, sangat jauh dari gemerlap istana. Untuk
hidup saja ia diberikan tunjangan sebanyak 20 gulden dan beras dua pikul setiap bulan. Matthes
menggambarkan kondisi rumah Colliq Pujie dengan tumpukan karya-karyanya tak lebih dari sebuah
kandang babi. Satu keadaan yang mengenaskan bagiseorang perempuan yang memiliki kelebihan
luar biasa.

72

21. Cerah Bergairah


Saya agak geli ketika Nienk memperlihatkan selembar foto pada saya. Dalam foto itu, ia
bersama-sama teman se-ganknya di Makassar berpose mengenakan pakaian tradisional.
Buat kenang-kenangan! katanya sambil menyimpan foto itu.
Lalu saya teringat pada Mas Guruh Soekarno Putra yang kerapkali menggunakan pakaianpakaian berwarna-warni itu dalam setiap perhelatan acaranya. Mungkin ada alasan khusus hingga ia
selalu mendandani anak buahnya dengan pakaian tradisional ini.
Bahkan almarhum Umar Kayam, budayawan nasional ketika bertugas di Makassar begitu
terpesona dengan gadis-gadis yang mengenakan baju bodo beraneka warna. Pakaian dengan warnawarna yang begitu cerah bergairah.
Hari pertama di sini, saya melihat pakaian yang dikenakan oleh dua orang pengendara sepeda
motor. Pengemudinya seorang pria mengenakan pakaian biasa, sedangkan perempuan di
belakangnya mengenakan pakaian tradisional. Baju bodo lengkap dengan kainnya. Mulanya saya pikir
mereka hendak pergi ke pesta. Dengan cepat Ibu Margriet yang menjemput saya menjelaskan bahwa
mereka adalah pengantar surat undangan pernikahan. Untuk prianya, mereka mengenakan jas tutup,
songkok dan sarung. Menarik juga.
Segera saya teringat laporan Pendeta Francois Valentijn yang menyebutkan pada pesta
perkawinan orang Sulawesi Selatan di abad kesembilan belas, pengantin pria tetap bertelanjang dada,
sedangkan pengantin wanita dan gadis-gadis pengiringinya memakai baju (jubah) yang begitu tembus
pandang sehingga sama sekali tidak menghalangi pandangan mata. Pada masa itu tentu bukan hal
yang tabu dan dianggap porno seperti sekarang. Mungkin inilah yang merupakan cikal bakal baju bodo
yang kita kenal sekarang.
Baju bodo yang dipakai di daerah Bugis ini merupakan baju tertua dibanding baju-baju adat
lainnya. Menurut orang Bugis baju bodo berarti baju berlengan pendek. Baju itu berupa sehelai bahan
berbentuk segi panjang yang dilipat dua. Kemudian diberi bagian untuk leher dan tangan. Bagian
lengannya lebar dan melembung.
Sebagai asesoris digunakan perhiasan yang terdiri dari serabut emas dan keping-kepingan
emas yang dicetak dalam bentuk anting-anting, kalung-kalung, sepasang pembalut pergelangan emas
yang lebarnya kira-kira tiga belas sentimeter yang menutupi sebagian besar dari lengan bawah dan
sepasang gelang lengan atas.
Baju bodo terbuat dari bahan yang tipis. Biasanya terbuat dari benang serat nanas yang
dicelup dalam bahan warna tertentu. Warna dan panjangnya baju bodo menunjukkan status
73

perkawinan atau kedudukan si pemakai. Perempuan yang telah bersuami mengenakan baju yang
panjang dan berwarna merah tua, sementara untuk puteri kerajaan mengenakan baju yang pendek
atau panjang berwarna merah muda. Gadis-gadis lainnya di dalam lingkungan istana mengenakan baju
berwarna hijau muda yang pendek. Baju ini diberi kanji atau sagu tapioka supaya tetap kaku dan tidak
disetrika. Menyimpannya dengan cara digantung, tidak dilipat.
Salah seorang rekan bercerita pada saya, dahulu di lingkungan istana kerajaan Gowa baju
bodo berwarna putih dipakai oleh wanita yang menyusui anak-anak raja dan anak-anak dari para selir
raja. Selama ibu susu itu menyusui anak-anak raja, dia harus tetap mengenakan baju bodo putih
hingga anak tersebut tidak lagi menyusu.
Di masa modern ini, baju bodo yang dikenakan juga mengikuti perkembangan zaman. Baju
bodo modern dibuat dari kain organdi yang tipis dan transparan. Untuk mengenakannya dilengkapi
dengan kain dalaman seperti kemben.
Untuk kelengkapan baju ini dipakai kain tenunan Bugis, terbuat dari sutera asli yang biasanya
diberi ragam hias ikat pakan. Motif dari kain ikat maupun tenun songketnya berbentuk ragam hias
pohon dan bunga-bungaan. Menurut kesaksian Arthus dalam Verhoeff mengenai penduduk Makassar
pada 1609 dikatakan bahwa mereka berpakaian sangat sederhana, hanya untuk menutupi kemaluan
mereka, tetapi terselubung semacam kantong yang longgar dan menutupi seluruh badan dari kaki
sampai ujung kepala. Yang dimaksud tentunya adalah sarung yang sampai sekarang masih ada.
Kain tenun Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi terkenal di Kepulauan Nusantara, mulai
menjadi barang ekspor. Antonio de Paiva (dari Portugis), orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi
Selatan tahun 1542-1543, menyebutnya sejenis kain putih. Namun, di sekitar tahun 1600, tenunan
sutera sudah menjadikan daerah itu terkenal. Kebangkitan ini diperkuat oleh berhasilnya Makassar
dalam menjadikan dirinya sebagai titik pusat bagi para pedagang rempah-rempah selain Belanda yang
ingin berlayar ke Maluku, Sumbawa serta Selayar. Pujian memang harus diberikan orang Makassar
dengan semangat pembaruannya yang membuat Makassar terkenal pada abad ketujuh belas.
Begitupula terhadap orang Bugis pada abad kedelapan belas karena pakaian mereka mencapai
reputasi istimewa. Dengan tenunannya yang halus, kuat serta motif dan warna-warnanya yang cerah,
terutama motif kotak-kotak yang disenangi oleh kaum muslim seperti yang diungkapkan Rouffaer pada
1904 dalam Voornaemste industrien de inlandsche bevolking dan laporan Thomas Forrest tahun
1729.
Kain sarung Bugis ini memiliki kekhususan. Ada kain sarung yang benangnya terbuat dari serat
pohon anggrek atau sejenis pohon pisang hutan. Sementara itu, untuk motif kain selain dihias dengan
motif bunga atau tanaman, ada pula yang memiliki motif dasar berupa kotak-kotak besar saja. Kain
sarung yang terbuat dari sutera asli begitu ringan sehingga dapat dilipat sampai kecil dan dapat
74

dimasukkan ke dalam botol. Namun, tidak semua kain sarung dalam pakaian adat di Sulawesi Selatan
dibuat dari tenunan sutera asli. Ada juga yang memakai benang sutera dari Thailand atau kain sutera
India yang diimpor. Kain-kain itu sendiri memiliki warna merah bougenville, merah muda, biru merak,
hijau cerah, hijau muda, kuning muda. Pendek kata memiliki warna cerah yang khas.
Menyesal juga ketika saya tidak bisa ikut rombongan tante saya yang berkunjung ke Bone
lantaran pesawat saya dari Jakarta mengalami keterlambatan. Apalagi menurut penuturan saudara
sepupu saya, mereka sempat bertemu dengan Puang Andi Mapassissi, salah seorang tokoh yang
dihormati. Dan menurut Gilbert Hamonic, peneliti dari Perancis, penulis Le langage des dieux (basa
dewata), Puang Andi Mapassissi merupakan narasumber yang baik dan mungkin bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya mengenai makna filosofis pakaian ini.

75

22. Tradisi Tulis di Sulawesi Selatan di Masa Lalu dalam Tradisi Tulis
Dunia
Sebuah cerita dari 23 abad yang lalu. Di samping tembok Athena, di bawah rindangnya pohon
di tepi sungai, Socrates bercerita pada seorang anak muda, Phaedrus. Alkisah, Dewa Thoth dari Mesir
mengunjungi Raja Mesir. Thoth menawarkan Raja Mesir beberapa penemuan untuk diberikan pada
rakyat Mesir. Temuan itu adalah angka, dadu, geometri, astronomi, dan tulisan.
Sang Raja dan Thoth menimbang keuntungan dan kerugian temuan-temuan tersebut ,
demikian tulis Alberto Manguel dalam A History of Reading ( 1996 ). Pada saat sampai pada
penemuan yang berupa tulisan, Thoth berkata: Ini adalah cabang pengetahuan yang akan
meningkatkan daya ingat rakyatmu. Selain itu akan pula meningkatkan kebijaksanaan. Sayangnya,
Sang Raja tak tertarik. Menurutnya jika rakyat belajar tulisan, itu akan menumbuhkan daya lupa pada
jiwa mereka. Mereka akan berhenti belajar mengingat-ingat karena akan bergantung pada apa yang
tertulis.
Socrates pun enggan mempercayakan buah pikirannya pada kulit sapi yang mati (sarana
menulis pada saat itu), bukan pada manusia yang memiliki hati dan perasaan. Memang, Socrates
hidup di masa tulisan belum berkembang. Di masa pengetahuan masih disimpan dalam ingatan dan
kemampuan itu sangat dihargai. Penyampaian ingatan pun turun-menurun dilakukan secara lisan.
Alfabet Latin sendiri yang berjumlah 26 alfabet, sejak ditemukan oleh orang Phoenecia sekitar
1050 SM , memerlukan waktu ribuan tahun sebelum digunakan secara luas di seluruh dunia. Dan dari
10.000 bahasa di dunia, sebagian besar tak memiliki aksara sendiri dan kini menggunakan alfabet
Latin, tulis Joel Swerelow dalam artikelnya The Power of Writing (1999). Ia menambahkan, selain
merekam dan menyebarluaskan pengetahuan, manusia juga memanfaatkan temuan ini untuk
meluapkan emosi. Seperti pendapat Aristoteles, tulisan adalah satu cara untuk mengekspresikan kasih
sayang jiwa.
Demikian halnya dengan saluran utama dan budaya lokal kita di Nusantara seperti yang
diuraikan Taufik Abdullah dalam sebuah makalahnya Dari Tradisi Lisan ke Leserevolution dan
Kembali ?- adalah orality atau lisan, bukan kata yang tertulis. Ingatan kolektif, pengetahuan, informasi
ditransmisikan secara lisan baik antar generasi maupun antarsektor-sektor (Kompas 4 Mei 2001).
Hingga bentuknya dapat bermacam-macam, seperti pantun, syair, seloka, cerita, dan lain-lain.
Dalam masyarakat kita, di samping tradisi lisan, tradisi tulisan pun mulai kita kenal sebagai
salah unsur budaya. Masuknya pengaruh asing ke Nusantara memberi andil yang cukup besar dalam
perkembangan budaya tulis. Walaupun sebelumnya, bangsa kita telah mengenal tradisi ini. Hal ini
76

dibuktikan dengan adanya naskah karya sastra terpanjang di dunia, kitab La Galigo (Kern, 1939 :1).
Panjang manuskrip naskah ini lebih dari 300.000 baris. Sementara Epos Mahabarata dan Ramayana
hanya 160.000-200.000 baris (Koolhof, La Galigo, 1995 : 1). Karya terbesar di dunia itu, tidak hanya
bernilai sastra melainkan juga mengandung nilai sejarah karena berisi silsilah raja-raja Luwu yang
merupakan cikal bakal berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan.
Pada masa lalu istana merupakan pusat. Istana-istana merupakan peniru dan pembaharu
dalam bidang kesusastraan dan bidang-bidang lainnya. Tercatat, sejumlah raja yang juga penulis
catatan, seperti Raja Narai (1656-1688) dan Sultan Agung (1613-1646). Penulis utama lainnya yang
sering tampil adalah menteri-menteri dalam bidang perdagangan serta pemimpin agama. Di Makassar,
kita mengenal Karaeng Patttingaloang yang menurut catatan Alexandres de Rhodes dalam Rhodes of
Vietnam : The Travels and Missions of Father Alexander de Rhodes in China and Other Kingdoms of
the Orient (1653 ) telah membaca secara seksama semua kronik mengenai raja-raja di Eropa (dan)
selalu memegang buku di tangannya, khususnya yang bersangkut-paut dengan ilmu pasti.
Setelah karya sastra terbesar di dunia, La Galigo, pengaruh asing seperti Arab dan Portugis
masuk membawa aksara baru. Aksara Latin dan Arab tersebut memperkaya naskah-naskah bahasa
setempat yang telah ada lebih dahulu.
Dipengaruhi oleh contoh-contoh sastra Melayu maupun Portugis, orang Makassar mulai
menuliskan tarikh yang berhubungan dengan fakta dan merinci pesatnya perkembangan Makassar.
Tujuan tarikh tersebut seperti dalam uraian Sejarah Goa : semata-mata agar raja-raja ini tidak
dilupakan oleh anak-anaknya, cucu-cucunya, dan keturunannya. Karena ada dua bahaya kebodohan ;
kalau-kalau kita merasa diri semuanya raja-raja besar, atau orang lain menganggap kita orang-orang
tak berarti
Tradisi kokoh untuk mencatat masa lampau tampaknya didorong oleh bakat luar biasa dari
Karaeng Pattingalloang. Sebagai menteri utama kerajaan Makassar, ia membuat pembaharuanpembaharuan istimewa dalam urusan pemetaan, catatan istana, dan penerjemahan naskah-naskah
kemiliteran ke dalam bahasa Makassar dari bahasa Portugis, Turki, dan Melayu (Reid 1981 : 22-23).
Catatan sejarah Makassar (Lontara-bilang Gowa) menorehkan kelahiran, perkawinan, dan
perceraian dalam keluarga raja, kedatangan kapal-kapal dan utusan-utusan, pembangunan benteng
dan istana serta berjangkitnya wabah. Catatan tersebut menggunakan sistem penanggalan ganda
hitungan Masehi serta Hijriah. Kebiasaan ini, menurut Cense dalam Old Buginese and Makassarese
Diaries (1966) tidak tertandingi oleh negeri lainnya, dalam hal kepadatan dan ketelitiannya.
Kelemahan dari sumber-sumber tertulis ini adalah mereka hanya mencatat kejadian-kejadian
dan kehidupan-kehidupan orang-orang besar. Catatan-catatan tersebut menitikberatkan pada kejadian

77

perang, perjanjian, pelebaran kekuasaan, masalah dinasti dan segi-segi politik lainnya. Hal ini tidak
berbeda dengan apa yang dilakukan di Eropa pada masa yang sama.
Sebaliknya naskah-naskah mengenai keadaan masyarakat, jalannya roda perekonomian, halhal kecil kehidupan sehari-hari, adat kebiasaan dan mentalitas penduduk sulit untuk didapati. Satusatunya sumber yang dapat menerangkan hal-hal tersebut di atas, mungkin hanya beberapa catatan
harian yang di buat di istana-istana raja. Naskah-naskah yng membicarakan peristiwa-peristiwa dan
perilaku sehari-hari itu pun masih harus diterbitkan, diterjemahkan dan diteliti lebih dahulu.
Demikian tradisi tulis di Makassar masa lalu, walaupun dapat dikatakan tidak sekuat tradisi
lisan. Namun setidak-tidaknya memberikan suatu petunjuk bahwa pada masa itu, bangsa kita telah
menggunakan nalarnya untuk menghasilkan buah pikir. Tidak semata-mata mengandalkan otot dan
tenaga.
Ketelitian dan ketekunan para penulis pendahulu tersebut dapat pula kita jadikan bahan
perenungan bahwa sebenarnya kita dapat berbuat yang sama dengan mereka serta berpikir lebih kritis.
Tidak hanya sekedar mengenangnya lalu membiarkannya menghilang dimakan zaman.
Sebagai penutup, saya kutipkan tulisan salah seorang penulis istana Makassar, Enci Amin,
yang memotretkan dirinya dengan sangat menarik dalam puisi epos besarnya, Syair Perang
Mengkasar (1670:9)

Setelah sudah putus musyawarat


Enci Amin dipanggil membuat surat
Bunyinya baik tiada yang ghalat ;
Kalam mukhtasar tiada dibuat
Enci Amin itu orang yang bijak
Tubuhnya sedang sederhana pandak
Memakai minyak dengan kelembak
Baunya harum amat semerbak
Enci Amin itu jangan disayu
Nisab Mengkasar anak Melayu
Lemah lembut badannya ayu;
Laksana taruk angsoka layu.

78

23. Raskin
Ini tak ada hubungannya dengan seorang pelopor pembaruan puisi Rusia pada abad ke- 19.
Seorang sastrawan terkenal berdarah biru yang berani menentang sensor Tsar. Ini memang bukan
cerita tentang Alexander Sergeyevich Pushkin. Ini cerita tentang perut; cerita tentang raskin. Beras
untuk keluarga miskin. Istilah yang muncul pasca krisis di Indonesia dan berlangsung hingga saat ini.
Kalau dulu orang meributkan beras jatah bagi para abdi negara yang konon tidak memuaskan
dan tak layak dimakan. Hingga ramai-ramai mereka menukarkannya dengan uang untuk mendapat
beras yang lebih layak makan. Kini, orang meributkan mutu beras pembagian yang buruk untuk rakyat
berekonomi lemah.
Di Asia Tenggara, beras merupakan bahan makanan dan hasil bumi yang paling pokok. Sejak
abad lima belas padi sudah menjadi tanaman yang disukai karena bisa tumbuh dengan baik dimana
saja.
Konon, kemiskinan suatu masyarakat dapat diukur dengan apakah dia makan beras atau tidak.
Paradigma ini sudah ada sejak dulu. Orang-orang kaya selalu lebih suka makan nasi. Maka
ketergantungan pada jenis-jenis makanan pokok lainnya selalu dipandang rendah. Ini terbukti dari
ejekan, yang dilontarkan orang Makassar, seperti yang diungkapkan pujangga kerajaan Enci Amin dari
Kerajaan Makassar pada abad ke-17, untuk merendahkan musuh-musuh mereka sebagai
menyangkan jagung dan menyangkan ubi.
Di Maros, wilayah utara yang menjadi taklukan Makassar pada tahun 1590, sudah mampu
menjadi pengekspor beras. Tanah di sana, dibagi menjadi desa-desa serta petak-petak di antara
tanah milik kaum bangsawan Makassar yang masing-masing telah mengembangkan pertaniannya di
sini serta mampu menyediakan bahan pangan bagi rakyatnya setiap tahun, demikian catatan Cornelis
Speelman pada 1670 yang pernah bercokol di Makassar.
Karaeng Matoaya, Raja Makassar di Tallo, pada 1690-an melihat kemungkinan untuk
mengembangkan surplus beras secara teratur yang dapat dijual di Maluku. Hasilnya kemudian
digunakan untuk membeli rempah-rempah yang mahal. Dikabarkan pada tahun 1606: di setiap kota
dan pasar di seluruh negeri, ia telah mendirikan lumbung-lumbung kukuh penuh beras, yang baru boleh
dijual setelah hasil panen baru masuk, agar tidak terjadi kekurangan pangan di saat-saat paceklik. Ia
sangat rajin mengimbau perdagangan ke negerinya.
Untuk itulah, seperti yang dilaporkan Van der Hagen pada 1607, ia menempatkan seorang
agen di Banda yang setiap tahun dikirimi beras, pakaian dan segala sesuatu yang diperlukan di sana
79

demi memasukkan sebanyak mungkin pala ke Tallo, dan dengan demikian mendekatkan para
saudagar kepadanya.
Raja yang bijak ini merupakan salah seorang penjual beras utama kepada para pedagang
Eropa yang bertolak ke Maluku (West 1617:63). Anak didiknya, Raja Gowa, juga berkecimpung dalam
perdagangan beras, dan di sini terdapat raja-raja lain yang saya harap akan menyediakan (beras) kita
(Throgmorton 1617:226). Dengan kata lain, beberapa di antara bangsawan Makassar menggunakan
persawahannya di Maros untuk menghasilkan surplus beras untuk ekspor. Orang Inggris dalam satu
bulan membeli sekitar 190 koyang (450 ton) beras (Staverton 1618:19). Maka pada masa-masa
puncak, jumlah keseluruhan yang diekspor mencapai lebih dari 1000 ton per tahun, kendati jumlah ini
merosot pesat dengan bertambahnya penduduk kota (Daghregister 1625:179, Speelman 1670 III:67).
Pun Hikayat Banjar meriwayatkan beberapa bahan pangan pokok yang membuat suatu negeri
menjadi makmur: Hanja jang patut ditanam didjadikan sungguh-sungguh itu; padi, djagung, hubi,
gumbili, kaladi, pisangsupaja makmur nagri saraba murah. (Hikayat Banjar:374)
Dan terbukti negeri kita tak pernah kekurangan sedikit pun : tatapi baras-banih, buah-buahan,
sirih-pinang, gula, njiur dihulu tiada kurang itu jang tiada: hasam, bawang hasam, bawang putih, raragi,
atjan: tiada itu. (Hikayat Banjar:414)
Bisa dikatakan aneh tapi nyata. Dulu, orang dianggap miskin bila sehari-hari tidak
mengkonsumsi beras. Sekarang justru tersedia beras khusus untuk masyarakat miskin. Satu
pergeseran nilai dalam mengkonsumsi beras. Apakah memang ada keterkaitan antara kemiskinan
dengan beras. Sebenarnya, bukan stok beras yang berkurang, melainkan masyarakat yang tidak
mampu membeli atau berkurangnya daya beli. Ditambah lagi kesulitan para petani akibat harga pupuk
yang terus naik. Sehingga tidak mustahil ada rakyat yang tidak mampu lagi membeli beras untuk
sehari-hari.
Ketika di beberapa daerah lain di Sulawesi mengalami kegagalan panen, kabupaten Barru
justru tetap menuai panen. Daerah Barru masih setia mengikuti jadwal penanaman serta menjalankan
tradisi ritual Mappalili yang sudah jarang dilakukan oleh daerah lain. Di kalangan petani muncul
anggapan bahwa menanam padi tidak mendatangkan keuntungan (harga beras yang tidak pernah
naik) hingga mereka cenderung menanam cokelat. Inilah penyebab kerugian produktivitas pangan
yang dialami petani.
Seperti lagu-lagu lama, penyaluran beras untuk keluarga miskin tak berjalan lancar karena
jatah beras yang disiapkan Dolog, tidak sebanding dengan jumlah keluarga miskin yang ada di Sulsel.
Berdasarkan data BKKBN, jumlah keluarga miskin di Sulawesi Selatan mencapai 168.207 kepala
keluarga. Sementara Dolog hanya menyiapkan jatah raskin sebanyak 40 ribu ton.

80

Ditambah lagi adanya keluhan dari masyarakat penerima raskin tentang mutu beras yang jelek
(berulat). Keluhan ini segera ditanggapi pemerintah dan instansi terkait dengan mengatakan bahwa
sistem penyaluran bukan menjadi tanggung jawab mereka.
Sehubungan dengan masalah kemiskinan ada sinyalemen bahwa situasi sekarang ini
disebabkan oleh para politisi. Merekalah yang membuat bingung masyarakat dengan pernyataanpernyataan mereka sehingga menyebabkan masyarakat yang menengah menjadi miskin, yang miskin
menjadi melarat, yang melarat menjadi nekat.
Pada masa pemerintahan kita sebelumnya, pernah diusahakan pemanfaatan bahan pokok lain
pengganti beras. Tapi dalam benak masyarakat sudah tertanam anggapan: belum kenyang bila belum
makan nasi yang masih berlaku hingga sekarang.
Nasi ini masih saya kunyah dan mudah-mudahan masih sepulen dulu. Dan esok masih bisa
makan nasi.

81

24. Peta Kuno , Kolonialisme dan Karaeng Pattingalloang


Apa jadinya jika para kolonialis tidak pernah menginjakkan kaki di daratan Nusantara?
Pertanyaan iseng ini tiba-tiba muncul di benak pada saat menyaksikan koleksi peta-peta kuno milik
perpustakaan Universiteit Antwerpen, Belgia awal Agustus 2002 lalu.
Koleksi peta-peta kuno milik Claudius Ptolemeus, Plantijn, Mercator (abad ke-16) , Blaeu (abad
ke-17) , Johan Niehofs serta Philips Vandermoelen (abad ke-19) khusus diperlihatkan pada rombongan
kami, para dosen dari Indonesia yang menurut kepala perpustakaan, peta-peta itu merupakan koleksi
kebanggaan mereka. Bahkan salah seorang ahli peta kuno yang selama sepuluh tahun lebih meneliti
peta-peta kuno untuk meraih gelar doktornya dipanggil untuk menjelaskan pada kami.
Apa hubungannya peta dan kolonialisme? Bila kita kaji, kolonialisme ternyata dimulai dari
sebuah gulungan gambar penuh simbol dan arah navigasi yang kita kenal sebagai peta. Tanpa peta
mustahil para (calon) kolonialis sampai di Nusantara tercinta ini. Sebab sesuai dengan fungsinya
menurut Thomas Suarez, penulis Early Mapping of Southeast Asia, peta-peta itulah yang membantu
mempercepat masuknya bangsa Eropa ke wilayah Asia.
Pada abad ke-15 dan 17 peta kuno memegang peranan penting dalam sejarah penaklukan
suatu wilayah. Pada masa itu para petualang Eropa saling bersaing mencari daerah yang
menghasilkan rempah-rempah, komoditi bergengsi yang harganya di Eropa sangat mahal. Begitu
mahalnya rempah-rempah itu hingga di Belanda muncul istilah peperduur untuk mengungkapkan
sesuatu yang sangat mahal (pepper = lada/rempah, duur = mahal).
Negara-negara Eropa, Belanda, Portugis, Spanyol, Italia, dan Jerman berusaha
mempersiapkan diri sebaik mungkin. Para pelaut berpengalaman dan ahli peta (kartografi) dikerahkan.
Semua biaya ditanggung oleh negara. Tak mengherankan jika para ahli peta muncul dari negaranegara tersebut yang berusaha memetakan wilayah Nusantara seakurat mungkin (Tempo, 3
September 2000)
Bagi negara yang berhasil memetakan suatu wilayah di Asia, peta-peta itu disimpan bak
dokumen rahasia dan dijaga dengan ketat supaya tidak jatuh ke tangan para negara saingan.
Lalu ingatan melayang pada satu nama, Jan Huygen van Linschoten. Nama itu pernah disebutsebut oleh dosen mata kuliah Negeri Belanda Sebelum Abad ke-19 saya di Universiteit Leiden sebagai
salah seorang pembuat peta yang handal pada abad ke-16.
Dalam sebuah misi rahasia Jan Huygen berusaha masuk dan menyamar menjadi sekretaris
biarawan di Gowa, India. Tujuannya untuk mendapatkan informasi rahasia mengenai jalur ke Timur.
Pada abad ke-16, Gowa merupakan pangkalan kapal-kapal Portugis dan kantor pusat daerah jajahan
82

Portugal. Saat itu hanya Portugal yang mengetahui rute ke Gowa (India) dan daerah timur sekitar Asia
(Malaka). Portugal juga menutup semua pelabuhannya bagi Belanda.
Jan Huygen dengan taruhan nyawanya akhirnya berhasil mendapatkan informasi tentang arah
menuju Asia . Hasil jerih payahnya diterbitkan dalam Itinerario, Voyage ofte Schipvaert naer Oost ofte
Portugaels Indiens.
Dengan peta buatan Jan Huygen van Linschoten itu, Cornelis Houtman mengetahui adanya
selat yang merupakan jalan pintas menuju pulau Jawa. Selat itu kelak bernama Selat Sunda. Dan pada
tahun 1596, orang Belanda pertama menapakkan kakinya di Banten. Ini yang disebut cikal bakal
kolonialisme di Nusantara. Bagaimana bila mission imposible van Linschoten itu gagal? Mungkin akan
lain ceritanya.
Di masa VOC ada pembuat peta yang sangat terkenal, Willem Janszoon Blaeu serta kedua
anaknya Johannes Blaeu dan Cornelius Blaeu. Semula, ayah dan anak ini berkecimpung dalam usaha
pembuatan globe dan alat-alat pengetahuan seperti teropong bintang. Lalu mereka juga merintis usaha
pembuatan peta yang dianggap mempunyai prospek bagus.
Pada 1608 Willem Janszoon Blaeu membuat empat buah jilid peta dalam Het Licht der zee
Vaert. Lalu pada 1635 Blaeu menerbitkan peta Asia Tenggara berjudul India qua Orientalis Dicturet
Insulae Adiacentes. Pemerintah Belanda pun mengangkat keluarga Blaeu sebagai kepala pemetaan
VOC. Merekalah yang membuat peta wilayah Nusantara pada 1630-1670.
Nama Blaeu kembali mengingatkan pada nama seorang bangsawan di Makassar, Karaeng
Pattingalloang. Beliau adalah perdana menteri dan penasehat utama Sultan Muhammad Said (16391653). Bangsawan ini telah belajar bahasa Latin, Spanyol dan Portugis serta memiliki sebuah
perpustakaan yang luar biasa, dengan koleksi buku dan atlas Eropa, tulis Denys Lombard dalam Le
Carrefour Javanais. .
Karaeng Pattingalloang pada 1644 pernah meminta dikirimkan dua bola dunia terbuat dari
kayu atau tembaga yang kelilingnya 157 hingga 160 inci, sebuah peta dunia yang besar dengan
keterangan dalam bahasa Spanyol, Portugis atau Latin, sebuah atlas yang melukiskan seluruh dunia
dengan peta-peta yang keterangannya ditulis dalam bahasa Latin, Spanyol atau Portugis, dua buah
teropong berkualitas terbaik serta beberapa alat peraga lainnya. Pada tanggal 15 November 1650,
bola dunia yang dibuat oleh Blaeu baru tiba di Batavia dan dikirimkan ke Makassar pada 13 Februari
tahun berikutnya.
Karaeng Pattingalloang terkenal karena ketinggian intelektualitasnya. Pada saat itu ia banyak
membaca buku-buku ilmu pengetahuan terbitan Eropa. Minatnya pada ilmu pengetahuan cukup tinggi.
Suatu hal yang bahkan jarang ditemukan pada generasi muda kita saat ini. Mengenai nasib globe itu

83

selanjutnya tak ada yang tahu. Pada waktu terjadi perang dengan Belanda, globe itu turut lenyap. Tak
jelas nasibnya.
Kisah tentang Karaeng Pattingalloang ini saya ceritakan disela-sela penjelasan sang doktor
dari Belgia itu yang ternyata menghabiskan waktu sepuluh tahun meneliti peta-peta tua. Sebelum kami
meninggalkan ruangan tempat koleksi-koleksi peta kuno dipamerkan, saya sempat bertanya pada sang
doktor apakah ia sudah pernah ke Indonesia. Sambil tersenyum ia menggeleng. Sepuluh tahun
menggeluti peta-peta kuno tapi belum pernah menginjakkan kaki di Nusantara, gumam saya.

84

25. Payung Luwu di Bumi Sawerigading


Jemari Mpu Prapanca menari di atas daun lontar. Ia rangkai dengan tekun bait demi bait,
pupuh demi pupuh. Pada pupuh ke 14, bait 4 dan 5 ia torehkan;
muwah tanah I Bantayan pramuka Bantayan le Luwuk tentang Udamaktrayadhi nikonang
sanusaspupul Ikangsakasanusanusa Makasar Butun Banggawi Kuni Craliyao mwangi (ng) Selaya
Sumba (...) ( Pigeaud, 1962).
Tulisan Jawa Kuna, karya seorang pujangga keraton Majapahit akhirnya menjadi sebuah kitab.
Nagarakrtagama. Saat itu kolofon menunjuk 1365. Pupuh ke 14 kakawin ini berisi nama-nama tempat
di daerah Sulawesi Selatan. Bantayan (Bantaeng ), Makasar (Makassar), Butun (Buton), Banggawi
(Banggai), Selaya (Selayar ). Lalu, ada kata Luwuk . Dimanakah tempat yang dimaksud dengan
Luwuk dalam sumber Jawa Kuna tersebut? Ada dua tempat yang mempunyai nama sama yakni
Luwu (Sulawesi Selatan ) dan Luwuk (Sulawesi Tengah). Bila kita melihat lokasi-lokasi sebelumnya
yang berada di daerah Sulawesi Selatan maka Luwu yang berada di Sulsel-lah yang dimaksud.
Bila menyimak lebih jauh, kaitan dituliskannya nama Luwuk dalam kitab Nagarakrtagama
adalah Luwuk sebagai tempat sumber bahan baku logam besi berkualitas baik. Pada masa itu Jawa
terkenal dengan kerajinan besi olahan tangan-tangan terampil para mpu. Mereka menghasilkan keriskeris. Bahkan, karena keindahannya keris-keris itu diekspor ke India. Namun, belum ada bukti bahwa
bahan baku besinya diperoleh dari Jawa. Hampir dapat dipastikan, Kalimantan dan Sulawesi (Luwu )
sebagai pemasok kebutuhan besi tersebut.
Selain itu seorang sejarawan Perancis, Dr Christian Pelras melihat alasan lain, Luwu tertulis
dalam Negarakrtagama karena antara Majapahit dan Luwu terjalin hubungan yang khusus dan unik.
Hal ini dikaitkan dengan letak Kedatuan Luwu yang di bagian kepala Teluk Bone yang melesak
membelah dua semenanjung selatan dan tenggara.
Secara politik boleh dikatakan Majapahit memiliki kepentingan terhadap Luwu. Ekspansi politik
Majapahit hingga Laut Cina Selatan memerlukan daerah pertahanan guna menahan ekspansi Mongol
yang sebelumnya di masa Singasari bertekad menyerang Jawa.
Eksistensi Luwu juga diriwayatkan dalam Sure I La Galigo. Di dalam karya sastra terpanjang
di dunia yang terdiri dari 300.000 baris itu pada tahapan waktu yang disebut Periode Galigo
(hemelingen period) yang berlangsung pada abad ke-11 hingga abad ke-13 atau mungkin lebih awal
lagi, Luwu membuka lembaran sejarahnya.

85

Sure I La Galigo menunjukkan Luwu sebagai kerajaan Bugis tertua yang pada suatu masa,
paling berpengaruh di antara kerajaan-kerajaan Bugis lainnya di Sulsel.
Batas-batas kekuasaan Luwu Sebelum abad ke-16 tidak dapat ditelusuri dengan hanya
mengandalkan naskah Sure La Galigo dan naskah lainnya. Menurut teks-teks Lontara, kerajaan ini
diperkirakan telah mendominasi beberapa kawasan, terutama wilayah-wilayah di Teluk Bone,
Malangke, Malili serta terus ke arah tenggara. Menurut Prof. Mattulada kekuasaan Kedatuan Luwu
pada abad ke 15-17, di bagian barat berbatasan dengan Kerajaan Bone, di utara meliputi sebagian
wilayah Sulawesi Tengah, di sebelah timur meliputi wilayah jazirah Sulawesi Tenggara.
Kitab epik La Galigo tidak hanya bernilai sastra melainkan juga mengandung nilai sejarah
karena berisi silsilah raja-raja Luwu yang merupakan cikal bakal berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan.
Teks-teks awal I La Galigo memperkenalkan tokoh sentral, Batara Guru anak Patotoe yang
memiliki kemampuan di atas manusia biasa dan kelak memperoleh legitimasi menjadi penguasa di
bumi. Ketika turun di Luwu, Batara Guru segera berpuasa dan bertapa. Kemudian ikutlah hambahamba, para permaisuri, rakyat, bahkan istananya. Semua diturunkan dari dunia atas. Itulah sebabnya
kata Luwu menurut masyarakatnya berarti ulo atau dalam bahasa Indonesia berarti diulurkan.
Maksudnya raja beserta permaisuri, para pemangku adat pemerintahan dan seluruh rakyat, asalnya
diulurkan atau diturunkan dari Botting Langi ( Kayangan ).
Islam kemudian masuk Luwu. La Pattiware Daeng Parrebbung menerima Islam sebagai
agama kerajaan. Sebelum Islam masuk ke kedatuan, konsep pemikiran tentang ketuhanan telah ada.
Masyarakat Luwu percaya bahwa Dewata Seuwae sebagai dewa tunggal, tak berwujud, (dewatangna),
tidak makan-minum, tidak berayah-ibu, tak diketahui tempatnya, tetapi mempunyai banyak pembantu.
Sinkretisme antara konsep kepercayaan lama dan agama Islam terlihat pada konsep-konsep
panteon Bugis; Dewata Seuwae (Dewa yang tunggal), Topalanroe (Khaliq), Patotoe (penentu nasib).
Hingga dapat dipahami bila usaha Islamisasi berlangsung dengan cepat.
Islam masuk ke wilayah Bugis-Makassar dibawa tiga orang mubaligh dari Minangkabau. Abdul
Jawad Khatib Bungsu bergelar Datori Tiro, Abdul Makmur Khatib Tunggal bergelar Datori Bandang,
dan Sulaiman Khatib Sulung bergelar Dato Patimmang yang datang ke Luwu melalui Teluk Bone.
Beliaulah yang mengislamkan Datu Luwu, La Pattiware Daeng Parrebbung sekitar 1603. Kedatuan
Luwu memang merupakan target awal Islamisasi di antara komunitas Bugis-Makassar
Kebijakan-kebijakan baru muncul seiring keputusan raja Luwu yang kemudian bergelar Sultan
Muhammad (Matinroe ri Ware ). Kebijakan itu menentukan arah perjalanan sejarah Luwu. Pada
periode ini terjadi perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat, antara lain ; penerimaan
Islam sebagai agama resmi kerajaan, perpindahan ibukota dari Pattimang ke Ware (Palopo), pendirian
masjid kubah yang disebut Lokkoe, dan masuknya imam sebagai aparatur pemerintah kerajaan.
86

Tetapi ajaran Sawerigading, tokoh dalam Galigo tidak dapat dihapus. Bahkan, unsur-unsur
ajaran Sawerigading berupa lempu (jujur ), tengeng (benar), getteng (tegas dan teguh hati ), dan adele
(adil) dianggap sama dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Unsur-unsur ini
pula yang menjadi syarat untuk diangkat menjadi pemuka adat.
Hal itu pula yang sampai kini masih tampak dan terasa. Bila kita melangkahkan kaki memasuki
wilayah Kabupaten Luwu, terpampang tulisan: Selamat Datang di Bumi Sawerigading. Di kota Palopo
terdapat sebuah monumen yang bertuliskan semboyan toddopuli temmalara (kokoh di tempat tidak
bergeser) yang berdampingan dengan monumen sebilah badik, bermakna keberanian sejati anak
Luwu.
Tahun 2002 ini, Luwu memasuki usia ke 734. Suatu perjalanan waktu yang penuh dinamika.
Wija To Luwu (masyarakat Luwu ) saat ini tengah berjuang untuk membentuk suatu provinsi Tana
Luwu yang secara administratif terpisah dari provinsi induknya, Sulawesi Selatan.
Keinginan ini terilhami oleh tekad ikhlas mewujudkan Luwu (Luwu dan Luwu Utara) sebagai
Wanua Mappatuo Naewai Alena (negeri mandiri) sehingga kesempatan untuk mengembangkan dan
memanfaatkan sumber daya alam serta manusia menjadi lebih optimal.
Tetapi di tengah perjuangan mereka timbul konflik antar kelompok di Padang Sappa, Sabbang
dan beberapa wilayah lain yang rawan konflik horizontal. Tentu saja ini akan menjadi masalah yang
cukup serius.
Apakah konflik antar warga Luwu ini menandakan telah koyaknya Payung Luwu di sana-sini
dan masih adakah kekerabatan yang menyejarah dan mengagumkan itu? Padahal jika kita tengok
sejarah Luwu, kawasan pesisir Teluk Bone ini telah menjadi tempat pemukiman bagi berbagai
kelompok identitas multikultur, baik komunitas lokal maupun pendatang.
Saatnyalah buat masyarakat Luwu bekerja keras bukan beradu keras. Pemimpin Luwu harus
meresapi konsep Raja Luwu yang diberi gelar pajung. Sebuah payung berwarna merah yang tak dapat
dibuat sembarang orang. Payung inilah yang menaungi dan menyelimuti masyarakat Luwu, memberi
kedamaian dan ketentraman dimana saja mereka berada. Hingga ada ungkapan yang
menggambarkan kebersamaan itu dengan Payunga ri Luwu, orang Luwu itu menyatu seperti berada di
bawah payung. Siapa saja akan terayomi, terlindungi sehingga tenang dan tentram setiap jiwa yang
berada di bawahnya.
Dan bukankah kitab I La Galigo juga telah memberikan sejarah sebagai contoh, yakni periode
Lontara, sekitar abad ke-13. Periode tersebut dimulai dengan suatu peristiwa kekacauan dan perang
saudara selama kurang lebih tujuh pariama (tujuh generasi atau tujuh puluh tujuh tahun ). Konflik yang
berlarut-larut membuat masyarakat sadar akan pentingnya suatu perdamaian.

87

Pelajaran sejarah perlulah diresapi, namun semua memerlukan kerja keras. Dan terngianglah
syair Bugis yang populer di tengah-tengah masyarakat Luwu :
resopa na teng mangingngi, malomo naletei pammase Dewata Secara bebas dapat diartikan hanya
melalui kerja keras dan usaha tak kenal lelah yang seringkali mendatangkan rahmat Yang Maha
Kuasa.
Tulisan ini pernah dimuat dalam majalah KITA SAMA KITA, Juli 2002

88

26. A2DCDS?
Sebuah berita lewat e-mail saya terima dari teman di Jakarta. Bulan April nanti Sitor
Situmorang, penyair besar Indonesia akan datang ke Makassar dan akan menginap di Hotel Sedona.
Kedatangannya untuk berpartisipasi dalam Festival Puisi Internasional Indonesia yang juga dihadiri
oleh penyair mancanegara. Entah, karena publikasi yang kurang atau saya yang memang tidak begitu
menyimak berita belakangan ini, peristiwa besar ini seolah luput dari perhatian.
Saya pun akhirnya menemui Sitor dan istrinya Barbara Brouwer di Hotel Sedona. Sebelumnya,
saya menelepon mereka. Sambil menikmati sarapan, Sitor memberikan kumpulan puisinya yang
diterjemahkan dalam bahasa Perancis, Paris La Nuit. Kami pun berbincang-bincang. Rupanya, Sitor
baru kali pertama datang ke Makassar. Rencananya selama beberapa hari, ia dan istrinya akan pergi
ke Tanjung Bira. Saya berjanji akan datang di penampilannya yang kebetulan diadakan di Baruga
A.P.Petta Rani, Kampus Unhas. Barbara berpesan untuk membawa mahasiswa saya menyaksikan
festival itu. Saya sanggupi pesannya.
Sesuai dengan jadwal penampilan para penyair yang akan membawakan karya-karya mereka,
Sitor tampil pada hari Jumat 5 April 2002. Saya pun mengajak mahasiswa saya menyaksikan festival
puisi itu. Kebetulan hari Jumat merupakan hari terakhir sekaligus penutupan perhelatan besar ini.
Tampaknya festival puisi ini selalu dipenuhi penonton, terutama kalangan mahasiswa. Suatu
hal langka yang bahkan jarang terjadi. Walaupun sebelumnya panitia sempat khawatir. Takut kalau
sepi penonton. Tapi ini tidak terbukti. Penonton selalu membludak. Mungkin saja ini terjadi karena
meledaknya film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang dipenuhi puisi-puisi. Sehingga tampaknya
mereka masih diharu biru dalam suasana film tersebut. Jujur saja, saya sendiri senang dengan film itu
bukan karena puisi-puisinya, para pemain utama atau adegan percintaannya melainkan karena ikut dishootingnya tempat-tempat nongkrong saya bahkan tempat saya ketiduran hingga diusir petugasnya
lantaran mau tutup. Ya, tempat itu adalah perpustakaan fakultas dimana saya kuliah dulu. Lalu lokasi
berikutnya, daerah Kwitang tempat buku-buku bekas dimana tokoh Rangga nge-date dengan tokoh
Cinta.
Penampilan Sitor pun cukup memukau. Ia membacakan puisi lamanya, Lagu Gadis Itali yang
bergaya pantun. Lelaki gaek yang telah berkelana ke mancanegara ini tampak masih memiliki daya
magisnya. Ia juga membacakan karya terbarunya seperti yang telah saya duga Angin Laut yang
dibuatnya ketika mengunjungi Tanjung Bira, pantai pasir putih di Bulukumba. Pesta pun ditutup dengan

89

duet Rendra dan Ken Zuraeda yang membacakan puisi cinta, meskipun sebenarnya ini tidak masuk
daftar. Suasana romantis, penuh damai dan cinta menyudahi festival besar. Pesta usai.
Keesokan paginya, saya melenggang ke kantor. Hari ini saya memang tidak ada kelas tetapi
sengaja datang untuk menyiapkan pekerjaan untuk hari Senin. Pandangan saya tertumbuk pada kaca
nako kantor yang bolong. Pecah. Di atas meja kerja dan kursi saya berserakan pecahan-pecahan kaca
dan sebongkah batu besar. Saya punguti satu persatu pecahan kaca itu, sambil menduga-duga apa
yang telah terjadi.
Tak lama kemudian, Nienk, rekan saya datang dan mulai bercerita. Rupanya, kemarin ada
perselisihan antar mahasiswa yang mengakibatkan mereka mengamuk. Fasilitas umum yang tak
berdosa menjadi sasaran nafsu amarah purba mereka. Saat itu, Nienk yang kemarin bersama sama
menyaksikan Festival Puisi tidak langsung pulang tetapi kembali ke kantor untuk mengetik di ruang
komputer sementara saya langsung ke mesjid untuk shalat Jumat. Ketika sedang asyik bekerja, tibatiba ia dikejutkan dengan teriakan dan suara kaca yang dipecahkan. Nienk yang malang terjebak dalam
ruang komputer yang sempit. Ia ketakutan dan panik. Saya tak dapat membayangkan suasana yang
dialaminya. Sial sekali kamu, Nienk!
Di gerbang kampus, spanduk Festival Puisi Internasional belum lagi diturunkan. Spanduk
bertuliskan: Cinta, kemanusiaan dan perdamaian melambai lesu menjadi sekedar simbol tak bersuara.
Terbayang Love, Humanity and Peace yang ikut terbang melayang dihancurkan simbol kemarahan
yang menghasilkan pecahan-pecahan kaca jendela. Ah, Ada Apa Dengan Cinta Di Sini?

90

27. Romeo Must Die


Siang itu udara cukup panas. Untunglah satu mata kuliah telah saya selesaikan. Masih ada
satu mata kuliah sejam lagi. Saya merasa agak suntuk juga karena itu selera humor jadi melayang.
Saya menaiki tangga kembali ke kantor. Lumayan sekedar mendinginkan kepala. Sejak Nienk pergi
semester lalu karena kontraknya habis, rasa bosan makin menjadi-jadi. Maklum, sebagai partner in
crime dan teman diskusi yang baik, saya jadi merasa kehilangan. Kadang-kadang dalam suasana
seperti ini, persis suasana deadlock di sidang parlemen, ide gila bisa kita munculkan. Sampai-sampai
ia berkomentar: Dasar lu, Met!
Suasana kantor lumayan sepi. Tidak seramai kantor kelurahan seperti biasanya. Mahasiswa
yang biasanya hilir mudik tak nampak. Pak Hakim, ketua jurusan juga belum kembali dari mengajar.
Sementara itu Sensei Hasebe, dosen tamu dari Jepang duduk tenang di sudut di balik lemari. Di
hadapannya, di kursi tamu duduk seorang mahasiswi. Mungkin salah satu mahasiswinya.
Saya buka notebook, ada artikel yang harus saya selesaikan dan deadlinenya besok. Seorang
mahasiswa berambut gondrong berkaus hitam masuk ruangan.
Permisi, Pak. Ibu Margriet ada? tanyanya sopan.
Sepertinya belum datang. Mungkin agak siang, jawab saya.
Apa hari ini beliau tidak ada kuliah? tanyanya lagi.
Ada, tapi nanti siang. Kalau ingin menunggu, silakan! ujar saya
Ia pun duduk. Saya kembali sibuk dengan artikel. Suasana kembali sepi.
Mahasiswi pariwisata ya? tanya si gondrong pada mahasiswi itu. Rupanya ia tak tahan
suasana sepi.
Ya, jawab si mahasiswi dengan suara pelan.
Kok, gak pernah kelihatan ya. Padahal saya sering lewat sini. Jurusan apa? si gondrong
bertanya lagi
Jepang.
Kalau saya sejarah. Pernah lihat saya enggak?
Waduh, pede sekali cowok ini, pikir saya.
Saya suka ngisi acara di kampus lho. I have a band and I am the vocalist, cerocosnya.
Mahasiswi itu hanya mengangguk.
Yeah, I like to use English althought I am history student, cerocosnya lagi.
Sensei Hasebe berdehem. Kelihatannya ia agak terganggu.

91

I like Axl Rose and Guns n Roses. Do you know him? si gondrong terus bicara tidak peduli
deheman sensei Hasebe. Sedangkan mahasiswi itu menggeleng.
He is vocalist of Guns n Roses. You know? I like their song because I like the expression of
their song. So as a vocalist I can express my expression. I like also see MTV.
Tutup mulutmu, batin saya. Saya tidak bisa berpikir. Konsentrasi buyar.
Suka nonton MTV gak? Itu yang ada acara Hang Out. Ya biar saya ndak ngerti karena
Inggrisnya aneh tapi tetap saya tonton.
Mahasiswi itu tetap menggeleng.
Lho, memangnya gak punya TV ya? Di kost saya ada TV,
O, God. Saya benar-benar tidak bisa berpikir.
Si gondrong terus saja berbicara.
You know, mahasiswi-mahasiswi pariwisata cantik-cantik ya! Its beautiful
Here we go, pikir saya dan saya sudah bisa menebak arah pembicaraan si gondrong.
You are beautiful also. Kamu cantik juga, ya? Mahasiswi itu hanya menunduk sambil menulis
sesuatu. Nah, betul tidak? Si gondrong mulai beraksi.
Wajah kamu manis. Would you like to be my girlfriend?
Saya melirik. Wah, betul-betul nekad pejuang kita ini. Mahasiswi itu semakin menunduk. Entah,
tidak tahan atau merasa tersanjung.
Kalau kamu bersedia jadi my girlfriend, mulai saat ini saya akan selalu membela kamu kalau
ada cowok yang menganggu. Apa yang kamu mau akan saya turuti. Saya akan bahagiakan kamu.
Saya akan selalu berada di sisimu. Saya akan
Hmdasar playboy cap botol, gumam saya sambil mencoba konsentrasi ke layar notebook.
Bagaimana, mau tidak?
Oalah, Bung! Nembak cewek kok begitu. Seperti nembak pakai M-16 saja.
Tiba-tiba Sensei Hasebe mengucapkan sesuatu dalam bahasa Jepang. Sepertinya ia tidak
suka dan merasa terganggu dengan si gondrong. Ia mengatakan sesuatu kepada si mahasiswi. Si
mahasiswi menyahut sambil menggelengkan kepala.
Karo mau obrol jangan di sini. Di sini kantor. Pusing. Terganggu! kata Sensei Hasebe dengan
bahasa Indonesia yang terpatah-patah.
Nah , Si gondrong rupanya kena batunya.
Itu dosenmu ya. Kok mau saja sudah merdeka, kamu masih dijajah.
Kelihatannya si gondrong kesal sekali. Ia menoleh pada saya yang tersenyum menahan geli.
Untung ia tidak sempat melihat.
Masih lama pak, Ibu Margriet? tanyanya mengalihkan masalah.
92

Kurang tahu ya. Biasanya sih jam segini sudah sampai. Mungkin langsung ke kelas, jawab
saya sambil menahan geli.
Akhirnya si gondrong keluar kantor sambil mengumpat perlahan: Sudah merdeka, kok masih
mau dijajah!
Rupanya perjuangan pejuang kita, sang Romeo mendapatkan kekasih gagal total karena Juliet
menolak cintanya. Memang Romeo must die kalau ketemu samurai Jepang. Haik sensei!

93

28. Aksi Pagi Ini


Senin pagi. Jalanan mulai sibuk. Orang-orang mulai melakukan rutinitas mereka. Kembali
bekerja, pergi ke sekolah dan ke kampus setelah kemarin berlibur. Hari ini saya ada kelas pagi karena
itu terpaksa diantar oleh supir ke kampus. Seperti biasa, setiap akhir pekan saya menginap di rumah
paman di kota. Sekedar rutinitas kalau-kalau ibu saya menelepon dari Jakarta.
Kami melalui jalan tol lalu mengambil arah kota. Menjelang pintu dua, jalan masuk menuju
Rumah Sakit Dr. Wahidin, jalan mulai tersendat. Pete-pete menumpuk di pintu masuk dan banyak
orang yang berjalan kaki. Saya pun akhirnya turun di pintu masuk karena mobil tampaknya tak bisa
masuk. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Cukup mengherankan karena orang-orang itu seolah-olah sedang menunggu sesuatu.
Kebanyakan dari mereka, para mahasiswa dan tampaknya akan ujian pertengahan semester. Saya
berjalan menuju rumah sakit. Maksudnya ingin memotong jalan lewat pintu belakang wisma. Di depan
pintu masuk, kerumunan orang semakin banyak. Rupanya ada beberapa mahasiswa yang menutup
pintu masuk dengan bambu dan kayu-kayu. Memang tampaknya ada yang tidak beres.
Mahasiswa-mahasiswa yang menutup pintu masuk itu mulai berteriak dan melarang siapa saja
yang mencoba memasuki kampus dan rumah sakit. Beberapa mahasiswa yang nekad masuk, dikejar
dan dipukuli dengan kayu. Suasana agak tegang. Saya lirik arloji di pergelangan tangan, hampir jam
delapan dan saya harus menguji.
Saya mencoba memasuki halaman rumah sakit ketika mahasiswa-mahasiswa yang berjaga di
barikade lengah karena beberapa temannya sibuk mengejar beberapa mahasiswa yang mencoba
masuk ke kampus. Tampaknya salah seorang dari mereka melihat saya dan balik mengejar. Saya
mencoba mempercepat langkah dan masuk ke poliklinik. Beberapa pasien tampak terkejut melihat
adegan kejar-kejaran itu. Mudah-mudahan tidak bertambah parah penyakit mereka, batin saya.
Saya tidak tahu ke arah mana saya harus berlari. Saya berlari berbelok ke kanan ke kiri di
antara lorong-lorong rumah sakit. Yang saya khawatirkan kalau saja saya terjebak di lorong yang
buntu. Bila itu terjadi maka habislah saya. Saya sempat berpikir untuk mencari dr. Syafri, kepala bagian
gawat darurat, suami dr. Yuni, dosen FK Unhas yang pernah satu apartemen di Leiden.
Saya terus berlari melewati kamar-kamar perawatan. Tampaknya pengejar saya tetap gigih
mengejar. Beberapa perawat menjulurkan kepala mereka dari jendela mendengar kegaduhan.
Akhirnya saya melewati bagian anak-anak, berarti sudah dekat dengan wisma tempat saya tinggal.
Wah, lega rasanya. Tetapi bagaimana caranya keluar dari rumah sakit ini karena setahu saya di

94

belakang rumah sakit ini tidak ada jalan tembus. Matilah kau!, umpatku dalam hati sambil mengatur
nafas.
Satu-satunya jalan saya harus memanjat pagar dekat tempat parkir. Tidak ada jalan lain. Saya
menengok ke belakang rupanya pengejar saya kehilangan jejak. Mungkin sewaktu melewati bagian
anak-anak tadi, ia tidak membelok ke tempat parkir. Tapi tetap saja saya masih was-was, kalau-kalau
dia juga berhasil mencapai tempat parkir.
Pagar itu terpaksa saya panjat. Hup, saya berhasil mendarat dengan mulus dan saya langsung
berlari menuju ke arah wisma. Alhamdulillah, selamat. Saya bergegas mengganti pakaian dan menuju
kampus yang tampak lenggang. Benar-benar tak ada aktivitas sedikit pun. Beberapa mahasiswa saya
yang berhasil lolos masuk bertanya:
Tak jadi ujian, Meneer?.
Saya menggeleng.
Kita undur saja, kata saya sambil menghela nafas.
Di wisma, Pak Amin, pengelola wisma mengatakan kalau para mahasiswa yang mengadakan
aksi itu karena hanya ingin masuk televisi. Memang, kami sempat melihat aksi mereka pagi tadi
muncul di berita siang itu. Saya tidak mengerti alasan mereka melakukan itu apalagi ketika Pak Amin
mengatakan:
Mereka itu demo sambil mabuk!
Saya semakin tidak mengerti.

95

29. Batas Pantai


Di atas pasir putih pantai Tanjung Bira, saya pandangi matahari di balik kaca mata hitam.
Beberapa jam lagi ia akan terbenam. Terletak di Selat Makassar, Selat Flores dan Laut Banda serta
merupakan tempat pertemuan angin Barat dan Timur, karenanya perairan di sini sangat menjanjikan
sebagai tempat snorkeling. Dan itu telah saya buktikan.
Namun, kita harus berhati-hati jangan sampai terseret arus. Seperti cerita penduduk sekitar
mengenai nasib naas seorang ilmuwan Jepang yang terseret arus ketika menyelam hingga tak
diketahui nasibnya.
Begitu saya menjejakkan kaki di bibir pantai tanpa ragu saya melepaskan T-shirt dan sepatu.
Dengan hanya menggunakan celana pendek saya masuk ke dalam laut yang hangat. Rasanya nikmat
sekali.
Pasir pantai ini pun halus bak tepung serta berada di dekat perkampungan orang Kajang dan
tempat pembuatan perahu phinisi di Tana Beru. Tidak mustahil tempat ini kelak menjadi tempat wisata
potensial. Sayang, penginapan-penginapan dibangun terlalu dekat dengan pantai sehingga
mengurangi keindahan pemandangan. Apalagi ancaman bahaya abrasi yang dapat merusak
lingkungan.
Saya masih duduk menatap matahari yang perlahan mulai turun di horison sambil
membayangkan Jakarta yang pada saat seperti ini sedang macet-macetnya.
Mengapa matahari di Jakarta besar sekali, ya kak? seorang mahasiswi bertanya. Saya yang
tidak menyadari kehadirannya terkejut sekaligus bingung dengan pertanyaannya.
Maksudnya?, saya balas bertanya.
Itu, kenapa matahari di Jakarta besar sekali. Jadi panas, ia menjelaskan.
Saya mengira matahari yang ia maksud toko serba ada yang memang tersebar di Jakarta dan
memang cukup besar. Rupanya matahari yang dimaksud adalah matahari, sumber kehidupan manusia
yang terbit di pagi dan terbenam di senja hari.
Entahlah, jawab saya.
Matahari pun terbenam. Indah sekali.
Sejak saat itu rasanya pantai, laut, matahari terbenam menjadi bagian dari kehidupan saya.
Baik dalam suasana senang maupun sedih. Ada ketenangan yang tak mampu saya ungkapkan. Suatu
perasaan menyenangkan tak terkira.

96

Usai membilas badan dan makan malam, kami kembali menaiki bis menuju penginapan di
Bulukumba. Di atas bis, saya mencoba menyusun perasaan yang masih tersisa dalam coretan di atas
kertas:
Mengeja kehidupan
Satu persatu
Bak jejak kita
Di atas pasir putih pantai
Tampak jelas
Lalu sekejap menghilang
Terhapus
Gulungan ombak
Waktu seolah memburu
Membiaskan ragu
Kebimbangan adalah kehampaan
Mengombang-ambingkan kehidupan
Di sini ada batas
Antara hasrat
Lewati waktu
Yang kian hilang

(Bira beach sunset 1999, Sulawesi Selatan)

97

30. Datang Dijemput, Pulang Diantar


Untung, saya bukan jelangkung yang datang tak dijemput, pulang tak diantar. Sewaktu
pertama kali datang ke kota ini, saya mendapat kehormatan dijemput dan pada saat harus kembali ke
Jakarta, saya diantar. Kali ini oleh rekan saya Eli dan beberapa mahasiswa. Tak ada isak tangis. Hanya
lambaian perpisahan.
Di atas pesawat saya pandangi daratan Sulawesi dan lautnya yang semakin menjauh. Entah
kapan saya bisa melihat dan menginjaknya lagi. Pesawat pun mulai meninggi menembus awan.
Banyak hal yang bermunculan di kepala. seolah-olah bagai potongan-potongan film yang diputar
membentuk mozaik kenangan. Seperti ungkapan Kahlil Gibran Setiap kenangan adalah suatu
pertemuan.
Pun saya teringat pada masa awal saya bertugas. Belum genap dua bulan saya di Makassar,
saya dan Nienk diminta untuk menjadi pembicara sebuah workshop peer-teaching yang
diselenggarakan Fakultas Sastra. Ada satu pertanyaan seorang professor yang cukup menggelitik.
Bagaimana menurut Anda mahasiswa di sini?
Waduh, pertanyaan yang sulit dijawab, mengingat kami berdua belum lama di sini. Pertanyaan itu
akhirnya dijawab dengan jawaban diplomatis.
Maaf, Prof, saat ini kami belum bisa memberikan jawaban karena kami belum begitu lama di
sini, jawab saya.
Ya, jawaban diplomatis yang dimaklumi sang professor sambil manggut-manggut.
Waktu terus berjalan tanpa terasa. Pertanyaan yang sama akhirnya muncul lagi di saat-saat
terakhir masa tugas saya. Kali ini hanya saya sendiri karena Nienk, dua semester lebih dahulu
mengakhiri tugasnya. Namun, pertanyaannya bukan dari sang professor melainkan dari para
mahasiswa.
Menurut Meneer, kita ini bagaimana, malas atau apa?
Pertanyaan yang saya jawab dengan spontan:
Unik.
Jawaban yang banyak mengandung arti. Unik yang dapat memiliki arti berbeda. Lain daripada yang
lain dan memiliki kekhususan yang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Jelas, setiap daerah memiliki
kekhasannya masing-masing. Apalagi saya termasuk orang yang tidak suka keseragaman. Kesannya
seperti dipaksakan. Biarkan semuanya berwarna. Justru itu yang semakin membuat sesuatu menjadi
indah karena semua tak sama. Betul tidak?
98

Bicara mengenai malas tentu semua orang memiliki sifat buruk ini. Walaupun sebenarnya kata
malas ini dapat diartikan bermacam-macam. Ada yang diartikan belum giat, tidak terlalu rajin, masih
ogah-ogahan, atau masih perlu dorongan. Saya cenderung menyebut malas sebagai penyakit yang
sebenarnya dijadikan stereotip oleh bangsa Barat terhadap kita, bangsa Melayu. Satu taktik kuno di
masa persaingan perdagangan.
Pesawat menembus awan. Pertanyaan-pertanyaan dari professor dan mahasiswa itu masih
ada di benak sebagai kenangan yang tak terlupakan.

99

31. Epilog: Kacamata


Sulawesi Selatan merupakan salah satu wilayah Indonesia yang menjadi tema berbagai kajian
seperti sejarah, antropologi, politik, dan bahasa. Tercatat banyak ilmuwan mancanegara dari berbagai
disiplin ilmu memilih Sulawesi Selatan sebagai obyek kajian mereka. Hal ini membuktikan bahwa
Sulawesi Selatan memiliki daya tarik untuk diteliti.
Ketertarikan para ilmuwan pada Sulawesi Selatan telah berlangsung selama berabad-abad.
Salah satu penggambaran yang tertua tentang Sulawesi Selatan, khususnya kerajaan Makassar
diberikan oleh Nicolas Gervaise. Hasil pengamatannya Description historique du Royaume de Macasar
diterbitkan di Prancis tahun 1688 dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris tahun 1701.
Sebenarnya, pada abad sebelumnya yaitu abad ke-16 orang Portugis telah membuat catatan
mengenai Sulawesi Selatan ini. Di antara sejumlah catatan orang-orang Portugis itu ada dua orang
Portugis yang dianggap paling penting, yaitu Antonio de Paiva dan Manuel Pinto.
Memasuki abad ke-17, sumber-sumber catatan tersebut masih ada yang ditulis oleh orang
Portugis seperti Diego do Couto dalam Decades. Di samping itu diperoleh juga catatan dari orangorang Belanda seperti Arthus, Cornelis Matelief, Van Soldt, dan Wybrant van Waerwijk.
Pada abad-abad berikutnya terdapat nama-nama seperti Franois Valentijn dan A.R. Wallace.
Demikian pula di tahun dan abad berikutnya para ilmuwan yang meneliti Sulawesi Selatan terus
bergulir silih berganti. Tercatat nama R.A. Kern, Benjamin Frederik Matthes, A. Ligtvoet, V.E. Korn, F.W
Stapel, H.J. Friedericy, C. Nooteboom, A.A. Cense, J. Noorduyn, Leonard Y Andaya, Heather
Sutherland, Anthony Reid, Barbara S. Harvey, Gilbert Hamonic, Ch. Pelras, Horst Liebner, H.Th.
Chabot, Roger Tol, Sirtjo Koolhof.
Ketika pertama kali menerima tugas di Makassar (dahulu Ujung Pandang) dan sesaat sebelum
saya menginjakkan kaki di bumi Sulawesi ini pada tahun 1999 saya berupaya menggali informasi
sebanyak-banyaknya tentang Sulawesi, khususnya Makassar. Caranya dengan membaca buku-buku
karya peneliti dan penulis yang disebutkan di atas.
Dengan demikian secara tidak langsung saya berguru pada mereka. Meskipun sepertinya
tidak seimbang karena seharusnya saya juga berguru pada para peneliti dan penulis dari dalam
negeri. Yang tentu lebih paham dan menguasai dengan baik ilmu negeri sendiri. Namun, menurut
saya untuk dapat menilai diri sendiri, kita juga memerlukan bantuan orang lain. Kita perlu melihat dari
kacamata orang lain. Serta harus juga tetap bersikap kritis.
Beruntung, saya sempat mengontak Gilbert Hamonic melalui e-mail untuk mengajukan
beberapa pertanyaan dan berdiskusi sejenak dengan Horst Liebner di rumah Mandar nya di kawasan
benteng Somba Opu. Horst Liebner ini ternyata tidak hanya seorang peneliti, ia juga mengajar di
100

Universitas Hasanuddin. Ada sebersit kekaguman, sekaligus rasa malu ketika berdiskusi dengannya.
Pria Jerman ini kelihatan begitu bersemangat menerangkan ilmunya kepada para mahasiswa saya.
Padahal ia adalah seorang pria asing yang berasal dari negeri yang berjarak ribuan kilometer dari sini.
Namun ia begitu fasih menjelaskan perihal negeri lain. Terlintas dalam pikiran saya apa yang akan
terjadi dengan negeri ini puluhan tahun kemudian setelah diskusi itu.
Guru lain yang sempat saya temui adalah Roger Tol. Ketika itu, tahun 2002 saya dan dosendosen luar Jakarta yang tergabung dalam Comned (Comunicatief Nederlands) Groep berkunjung ke
KITLV Leiden dan Roger Tol yang ketua KITLV-Leiden menyambut kami. Saya teringat pada satu
tulisannya dalam Excursie in Celebes, sebuah buku untuk mengenang J. Noorduyn. Ia menulis sebuah
artikel tentang bertemakan uang dan gadis cantik yang merupakan tema favorit Ang Bang Tjiong,
penulis Pantoen Melajoe-Makkassar. Salah satu pantunnya berbunyi begini:
Gilang goemilang Malino kota,

kota Malino yang gemilang

Ibarat sorga pang mantanganta

seperti surga tempat kami

Idoeng mantjoen na badji tatta,

hidung mancung memiliki bentuksempurna

Menarik hari angmeso mata

menarik hatiku dan membuat mata pusing

Pantun yang lain:


Tjinta itoe sutji na boeta

Cinta itu suci dan buta

Orangnja sadja toeling mangrki,

Membuat orang ingin saling berdekatan

Saling memandang aroeppa mata,

Kita saling memandang, mata kita bertemu

Mata beradoe si-kaeroki

Mata ketemu mata, kita jatuh cinta

Menarik juga tulisan Roger Tol tentang pantun Melayu-Makassar karya Ang Bang Tjiong yang
populer di tahun 30-an ini. Seingat saya Roger Tol juga menulis buku Een Haan in Oorlog, tentang
syair-syair kepahlawanan Bugis. Namun, saya belum sempat membaca bukunya itu.
Sebenarnya, masih ada guru lain yang ingin saya hubungi yaitu Heather Sutherland.
Sayangnya, hingga kini saya belum memiliki kesempatan menghubungi beliau meskipun alamat emailnya sudah saya miliki. Untuk sementara saya berguru melalui tulisan-tulisannya. Mudah-mudahan
di kesempatan lain saya dapat berguru langsung dengan mereka untuk menimba ilmu.
Kacamata-kacamata itu akan tetap saya bersihkan dengan penuh semangat supaya tak
berdebu dan dapat melihat lebih jelas ke negeri sendiri, negeri tercinta. Tak lupa juga saya

101

membersihkan kacamata sendiri supaya tak terhalang pandangan sempit yang membutakan.
Semoga.

102

Tentang Penulis
Achmad Sunjayadi, lahir di Jakarta, 11 Mei. Menyelesaikan S1 program Studi Belanda, Fakultas
Sastra Universitas Indonesia pada 1996. Mengikuti kuliah di Dutch Studies, Faculteit der Letteren
Universiteit Leiden 2000-2001. Mengikuti training jurnalistik di Indonesia dan Belanda, training pengajar
bahasa Belanda di Universiteit Leiden, Universiteit Antwerpen, Katholieke Universiteit Leuven, serta
seminarium di Amsterdam. Menyelesaikan S2 Sejarah di Universitas Indonesia (2006) tentang awal
turisme modern di Jawa (1908-1942). Ia pernah bekerja sebagai pengajar tidak tetap bahasa Belanda
Fakultas Hukum UI (1996-1999), Program D3 Pariwisata Universitas Hasanuddin (1999-2003).
Sekarang bekerja sebagai pengajar tetap di Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erasmus Taal Centrum Jakarta, peneliti FIB UI
serta penerjemah lepas.

103

Anda mungkin juga menyukai