Anda di halaman 1dari 172

i

ii

RELASI HITAM SANG AKTIVIS


A. Totabuan Syukur
Gerbang Pasifik- PT Evolitera
2010
A. TOTABUAN SYUKUR
Relasi Hitam Sang Aktivis
Perpustakaan Nasional; Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Copyright @Anuar Syukur
Penulis
A. Totabuan Syukur
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau
memperbanyak baik sebagian atau keseluruhan isi buku ini dengan cara apa
pun tanpa izin tertulis dari penerbit.
ISBN : 978-602-96905-0-7
Diterbitkan oleh:
Gerbang Pasifik
Jl. 19 Desember No.94 RT 07/04, Kelurahan Motoboi Kecil-Kotamobagu
Selatan, Kota Kotamobagu-Sulawesi Utara
95717
Telp: 0434-2628130
PT Evolitera
Ruko Kayuputih, Jl Kayu Putih IV D no.1
Jakarta 13260, Indonesia
Telp: +62 21 9999 3379

iii

Ucapan Terimakasih
Civitas akademika di kampus tempat aku pernah kuliah: Institut Pertanian
Bogor, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Widyagama
Malang.
Kawan-kawan di HMI baik Bogor maupun Malang, Fosmib, BPM Fapet
IPB, IMM, PMII, MCW Malang, Formah PHM Malang, LPM Aspirasi dan
Konsiderah, dan kawan diorganisasi lainnya yang telah membangun
komunikasi yang baik dan telah mnembelajarkan aku tentang dunia aktivis.
Drs. Sinyo Haris Sarundajang (Gubernur Sulawesi Utara), Syachrial
Damopolii (Mantan Ketua DPRD Sulawesi Utara), Aditya Anugerah Moha
(anggota FPG DPR RI), Yasti Soeprojo (Anggota FPAN DPR RI), Vanda
Sarundajang (anggota FPDIP DPR RI), Olly Dodokambey (anggota FPDIP
DPR RI), anggot RPIBM Jakarta, Drs Hi Djelantik Mokodompit (Walikota
Kotamobagu), Ir Tatong Bara (Wakil Walikota Kotamobagu), Ny. Hj.
Marlina Moha Siahaan (Bupati Bolaang Mongondow), Sehan Mokoapa
Mokoagow MSi (Wakil Bupati Bolaang Mongondow), Hamdan Datunsolang
(Bupati Bolmut), Defri Pontoh (Wakil Bupati Bolmut), Arudji Mongilong
(PPS Bupati Bolsel), Kandoli Mokodongan (PPS Bupati Boltim), dr. Elly
Lasut (Bupati Talaud), Winsulangi Salindeho (Bupati Sangihe), Stevanus
Vreke Runtu (Bupati Minahasa), Ramoy Luntungan (Bupati Minsel), Telly
Tjanggulung (Bupati Mitra), Tonny Supit (Bupati Sitaro).
Kawan-kawan wartawan Malang Post, Koran Pendidikan (Malang),
Tribun Manado, Manado Post, Posko, Radar Manado, Radar Totabuan,
Media Sulut, Reportase, Koran Manado, Swara Kita.
Herson Mayulu, Syamir Badu, Yusuf Ruchban, Roby Mokodongan, Haris

iv

Mokoginta, Sri Olivia Mamonto, Sri Mulyani Lalijo, Mumammad


Paputungan, Dedy Mokodompit, Yanuardi Syukur, Yayan Sopian, Ando
Lobud, Sopian HB, Sehan Ambaru, Dwi Darma, Cheny Wayong, Roy
Tandayu, Roy Bara, Baharudin Marto, Nalon Kurniawan, dan lainnya yang
tak bisa disebutkan satu persatu.
Orang tuaku Djudin Syukur (almarhum) dan Angkina Asiau, adikku
Selfiaty Syukur dan suaminya Arlian Gonibala serta ponakanku Rizki dan
Zaenal.

Kata Pengantar
Perubahan nyaris seluruhnya digagas oleh kelompok kecil warga yang kita
sebus saja aktivis. Rata-rata mereka kritis melihat kondisi yang ada dan tanpa
tendensi apapun selain untuk memperbaiki kehidupan seluruh warga. Tak
sekadar meniliai, tak jarang mereka berontak/ Reformasi juga tak lepas dari
peran para aktivis. Beberapa saat menjelang reformasi, kelompok-kelompok
study yang ktitis menganalisis kehidupan berbangsa dan bernegra menjamur.
Bahkan ada yang mendirikan kelompok garis keras dengan gagasan yang
revolusioner, Dipandangan saya, aktivis memang berperan besar dalam
menggagas reformasi. Namun mewujudkan gagasan itu melibatkan banyak
pihak.
Sungguh luar biasa ketika kita menyimak proses bergulirnya reformasi. Dia
diawali dari diskusi di forum-forum yang oleh penguasa forum-forum ini
disebut OTB alias Organisasi Tanpa Bentuk., kemudian ada yang membentuk
organisasi berbentuk tapi tetap dipandang sebagai OTB, bahkan ada yang
membentuk partai. Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) dan Partai Rakyat
Demokrat (PRD) adalah dua partai yang mengemuka waktu itu. Dari diskusi
ini, beberapa melanjutkan ke aksi kecil-kecila karena memang masih sedikit
yang mau mengambil peran. Waktu awal, jangankan mengajak rakyat untuk
aksi, mengajak sesama mahasiswa sangatlah susah. Pasca insiden Trosakti
yang menimbulkan empat korban, gerakan membesar dan meluas sampai ke
masyarakat. Gerakan besar dan luas ini yang memaksa lengser Soeharto.
Seperti membendung laut yang kemudian berlubang-lubang sehingga airnya
menetes dan semakin membesar yang kemudian merusak bendungan itu.
Mungkin demikian proses hasil dari gagasan para aktivis.
Sesungguhnya kita tak tahu alasan pasti mengapa Soeharti yang telah
memegang kekuasaan selan 32 tahun susah memanfaatkan alat kelengkapan
negara padahal MPR telah memeberika kekuasaan padanya untuk itu. Di
masa sebelumnya, aksi selalu dapat dipadamkan padahal beliau tidak diberi
kekuasaan apa-apa oleh Lembaga Tertinggi Negara ini. Juga jika
dibandingkan dengan tragedi Trisakti, korbannya lebih besar.
Masih banyak lagi misteri reformasi yang kurasa tak diketahui oleh temanteman yang bergerak waktu itu. Para aktivis bergerak benar-benar hanya
karena nurani, bahkan bisa dikatakan tak terkonsep. Selain perbaikan harga
sembako, lengsernya Soeharto, yang diinginkan teman teman dalam setiap
aksinya.

vi

Menurut saya, para aktivis sesungguhnya tak tahu apa yang terjadi pada saat
mereka beraksi. Benturan dengan aparat maupun masyarakat berada diluar
setingan mereka. Demikian juga rusuh ketika aksi. Mungkin ada pihal lain
yang lebih tahu. Mereka yang di dunia kelamkah? Di novel ini jelas Anda akan
temukan bahwa mereka yang di dunia kelam yang lebih tahu dibandingkan
aktivis. Mereka dibayar untuk berbuat sehingga targetnya jelas. Ini yang
membuat mereka lebih banyak tahu.
Novel ini memang didasarkan pada asumsi tersebut. Walau demikian dia
tetap fiksi. Saya tak tahu apa memang ada kejadian seperti di novel ini.
Andaipun ada baik sudut nama maupun tempat maka patut saya nyatakan
bahwa itu rekaan semata.
Akhirnya, sejujurnya kita harus mengakui bahwa kita baru dalam tahap
membuka pintu reformasi sedangkan reformasi yang sesungguhnya belum
kita capai. Semoga novel ini dapat kembali mengingatkan kita pada tujuan
reformasi serta meluruskan arah reformasi.

vii

Daftar Isi
1. Biang Masalah

2. Pertemuan

16

3. Langkah yang Salah

26

4. Bantuan Pendi

41

5. Masalah Amin

51

6. Reformasi

67

7. Isu

76

8. Sang Pengelana

82

9. Terculik

90

10. Kaget

98

11. Tak Mau Euforia

103

12. Rubah Haluan

112

13. Pesan Pendi

122

14. Pertemuan Jodoh

138

15. Gembira dan Duka

153

16. Akhir

158

viii

BiangMasalah

1
Biang Masalah
Keluarga terbaik menyatu dalam suka dan duka
Kalau tidak maka dia hanya hubungan darah yang tak punya arti apa-apa
(Ansy)
AKU masih terpaku di luar rumah itu. Rumah kecil yang belum rampung
nampaknya akan roboh sebelum selesai. Kenyataan bahwa rumah itu milik
salah satu adiknya Ibuku membuat hatiku miris. Namun bukan itu yang
membawaku ke sini.
Bagian depan ruang tamu yang belum didinding membuatku bebas
memperhatikan apa yang terjadi di dalam sana. Kulihat dua orang tak
kukenal berdiri di sana, keduanya berdebat dengan Oom Adam tapi sama
sekali tak berani mendekat. Ramli menyelempangkan parang di dada,
dibelakangnya ada orangtuanya yang ketakutan.
Pendi benar-benar sialan!
Aku aktif di kampung dan sekolah, aku pengurus Remaja Masjid dan
Ketua OSIS. Aku memang masih sangat hijau, aktifitaskupun belum
seberapa, namun mengurusi dunia kejahatan tetap saja membuatku segan.
Dan di sinilah aku, memikirkan cara yang jitu agar kedua orang tak kukenal,
yang kuduga polisi berpakaian preman, tidak pergi tapi tetap sopan.
***
1

BiangMasalah

Beberapa menit yang lalu, teman-teman menggantungkan harapan


padaku. Orang tua Harnum yang petinggi militer ditempatku hendak
meliburkan kami ke pulau Dewata, Bali, tapi semua tergantung padaku.
Tante tahu kalian masih pusing karena Ebtanas, karena itu Tante akan
mengajak kalian ke Bali. Tapi itu kalau Uyo mau ikut, kata Mama Harnum
yang langsung meninggalkan kami.
Aku heran. Perhatian orang tua Harnum padaku terkadang berlebihan.
Mungkin aku dianggap telah menyelamatkan anak mereka. Dulu, Harnum
nakal luar biasa. Dia dipindah dari Jakarta karena menonjok gurunya. Di
sinipun kelakukannya sama dan hanya aku yang berani melawan. Beberapa
kali kami hampir terlibat adu pisik, namun guru selalu melerai dan meminta
dengan sangat agar aku mengalah. Entah apa yang guru-guru takutkan. Aku
hampir tak tahan. Aku ingin keluar. Namun Oom Iman memberi jalan. Dia
sarankan agar Harnum dijadikan pengurus OSIS di mana aku ketuanya.
Kucoba saran Oom Iman dan ternyata dia benar. Harnum sangat aktif di
OSIS, bahkan harus kuakui bahwa kegiatan OSIS dapat berjalan berkat dia.
Kamipun akrab. Untuk menjaga keakraban, dia kupanggil Nanu walau dia
sebenarnya bukan dari Bolaang Mongondow. Dia berasal dari Sumatera.
Liburan ke Bali siapa yang tak mau? Namun aku ingin mempermainkan
teman-teman.
Aku belum sempat memberikan jawaban ketika telepon berdering.
Harnum segera bangkit.
Dari Mamamu,Yo, kata Harnum.
2

BiangMasalah

Mengapa Mama menelepon ke sini? Penasaran membuatku tak ingin


melayani godaan teman-teman
Papa Ramli mau dibawa polisi, Yo, suara Mama bergetar.
Kenapa?
Katanya, Pendi membunuh polisi di Doloduo dan Papa Ramli
menyembunyikannya!
Astaga! hanya itu yang keluar dari mulutku.
Tambang emas ilegal di Doloduo memang sumber masalah. Banyak
pemalak di sana, mereka membentuk kelompok-kelompok yang disebut
ninja dan memalak hasil kerja orang. Sering terjadi bentrok antar ninja,
akibatnya beberapa orang mati. Menjadi penambang liar di Doloduo adalah
pilihan gila. Kita harus siap membunuh atau dibunuh. Itu semua sudah
kukatakan pada Pendi sebulan yang lalu, namun Pendi nekad. Ramli akan
masuk SMA, Kak, Anisa akan ke SMP. Tentu besar biayanya. Hasil kebun
tak mungkin cukup, katanya. Aku tak tahu apa dia tergabung dalam
kelompok ninja. Yang pasti dia siap untuk membunuh atau dibunuh.
Kami bergantung padamu, Yo. Jangan sampai Papa Ramli ditahan,
bagaimanapun
Iya, Ma, potongku sebelum diuraikan panjang lebar tentang keharusan
membela keluarga. Akan kupikirkan caranya. Sekarang pulanglah, tahan
sebisa mungkin agar mereka tidak membawa Papa Ramli sebelum aku
sampai di sana.
3

BiangMasalah

Telepon ditutup. Aku termangu. Lihat, betapa hebat dirimu, Yo. Baru
saja kau jadi tempat bergantung kawan-kawan, sekarang kau jadi tempat
bergantung keluarga.
Ah, apa yang harus kulakukan?
Ada apa? Harnum mengagetkan.
Tidaktidak apa-apa. Aku gugup. Bagaimanapun Harnum anak
petinggi militer, bukan hanya dia yang tidak senang berteman dengan orang
yang sepupunya pembunuh tapi juga orang tuanya, mereka pasti akan
membenciku.
Harnum tak bicara. Dia terus memandangku yang membuat-ku jengah.
Oke, kataku tak tahan. Maka kuulang apa kata Mama.
Harnum berpikir sesaat. Pulanglah dan sibukan mereka, katanya
dengan nada memerintah.
Sibukan?
Ya, sibukan. Tanya ini-itu, ajak berdebatkau kan jago berdebat. Kalau
kau sulit membuka mulut, ajak bersilat!
Dalam kondisi normal, tentu aku akan terbahak. Kali ini, tersenyumpun
aku tak sanggup.
Apalagi yang kau tunggu? Kalau Papa Ramli sudah ditangan polisi, sulit
bagi Papaku untuk membebaskan! bentak Harnum.
Apa Oom mau membantu? tanyaku ragu. Aku tak begitu yakin Papa
Harnum akan menolong.
4

BiangMasalah

Harnum menatapku. Pergilah. Jangan kau usir mereka walau kau bisa.
Tahanlah mereka sampai Papa tiba, kata Harnum pelan.
Jika begini, tak ada lagi yang perlu kuragukan. Aku segera menemui
teman-teman. Mereka diam semua. Mungkin mereka tahu aku punya
masalah. Aku berusaha tersenyum.
Rom, tolong antar saya, kataku. Teman-teman hanya menatapku tanpa
berani bertanya. Disepanjang jalan aku diam, Romi juga.
Ada yang bisa saya bantu, Yo? tanya Romi begitu kami sampai.
Kutahu bantuan apa yang bisa Romi berikan. Dia belajar karate. Namun
aku tak butuh jagoan sekarang. Kau akan kuhubungi kalau aku butuh
bantuan, kataku.
Setelah ganti baju, aku ke rumah Pendi.
***
Aku masih bingung.
Masih kulihat Oom Adam terus berkata-kata sambil menunjuk dua orang
di hadapannya yang kuduga polisi berpakaian preman, Ramli diam tapi dia
siap dengan parang, dibelakang Ramli berlindung orang tuanya. Ramli tak
senakal Pendi, namun aku yakin parang itu akan menebas siapapun yang
menyentuh orang yang dicintainya. Mama di sana juga, diam, bingung apa
yang mesti dilakukan.
Dua orang di hadapan Oom Adam terlihat pucat. Aku tak tahu caci maki
Oom Adam atau parang Ramli yang mereka takutkan.
5

BiangMasalah

Akhirnya kulangkahkan kaki.


Ada apa ini? tanyaku.
Dua bangsat ini mau menangkap Papa Ramli, kata Oom Adam.
Maaf, kami hanya menjalankan tugas, kata yang satunya.
Kenapa? kudahului Oom Adam.
Kami menduga orang tuanya telah menyembunyikan tersangka.
Begitu? kataku lagi, kali ini mendahului Papa Ramli. Oh ya, namaku
Salman tapi biasa dipanggil Uyo, aku mengulurkan tangan. Dua orang itu
menyambut, tangan mereka dingin. Yang satu bernama Slamet, yang lain
Yakob.
Sebaiknya duduk dulu, bapak-bapak, kataku berusaha terdengar ramah.
Kedua orang ini manut. Yang lain juga duduk kecuali Ramli yang tetap
berdiri, parangnya siap mencabik siapa saja yang mencoba mengusik orang
tuanya. Kubiarkan saja agar dua polisi ini tetap sopan.
Pak Slamet tentu bukan orang Mongondow.
Iya, saya orang Jawa tapi lahir dan besar di Mopuya.
Mopuya adalah desa Transmigrasi di Dumoga, tak jauh dari Doloduo
yang merupakan tempat di mana Pendi disangka telah membunuh polisi.
Mungkin Pak Slamet bergurau, tapi kulihat mimiknya serius.
Aku juga bukan orang Mongondow. Aku orang Kota, gurauku. Kota
adalah sebutan untuk Kotamobagu, ibu kota kabupatenku. Kalau Pak
Yakob?
6

BiangMasalah

Aku dari Flores, ujarnya, matanya sesekali melihat parang Ramli.


Ah, Flores Indonesia juga, kan? gurauku lagi. Mama, tolong buatkan
kopi untuk tamu kita.
Mama langsung ke dapur. Ternyata pangkat keduanya Bintara Satu dan
Dua. Aku heran mengapa pangkat terendah yang jadi utusan polisi. Mama
datang, menyuguhkan kopi dengan tangan gemetar.
Kutanyakan apa yang terjadi. Slamet yang bicara. Dia bilang ada razia
penambang liar di Doloduo tapi Pendi melawan yang membuat Kopral
Sarbini, atasan keduanya, terbunuh. Saat ini, mereka ditugaskan untuk
memburu Pendi dan patut diduga orang tua Pendi telah menyembunyikan
anaknya..
Sebenarnya banyak hal yang aneh. Apa ada surat perintah untuk razia?
Juga surat perintah penangkapan Pendi? Berapa peletonatau apapun
istilahnyayang diterjunkan dalam razia? Sudah sejauh mana penyidikan?
Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kuhujamkan namun bisa saja
kedua bintara ini bingung dan pergi.
Aku bicara banyak tentang pentingnya menertibkan penambang liar,
berusaha mengulur waktu sampai Papa Harnum datang.
Aku nyaris kehabisan kata-kata ketika Papa Harnum datang. dalam
pakaian militer lengkappakaian dan topi hijau, pangkat melati satu di
pundak dan di topi. Kedua badut ini kaget kemudian tertunduk. Dengan
gelengan kusuruh Ramli keluar. Papa Harnum pura-pura tak melihat parang
7

BiangMasalah

yang ditentengnya.
Pendi sudah ditemukan? tanya Papa Harnum. Dia sama sekali tidak
mengacuhkan kedua kedua polisi yang berpakaian preman itu.
Belum, Oom. Aku sengaja menekankan pada kata oom, ekor mataku
melirik sekilas ke dua oknum polisi yang semakin menciut. Kami sudah
mencarinya ke mana-mana, kami juga sudah menanyakan pada banyak
orang. Tapi tak ada yang tahu di mana Pendi.
Kalau Pendi ditemukan, sudah meninggalpun, tolong beritahu kami agar
dapat dikebumikan. Dia punya orang tua, Pak. Punya adik, punya kakak. Dia
punya keluarga, Papa Ramli menghiba, suaranya bergetar.
Jangan takut, Pak. Pendi tak akan mati. Kalau ada yang macam-macam,
kami akan tindak. Termasuk kalau ada yang menakut-nakuti kalian, katakan
saja pada kami. Aparat untuk melayani masyarakat, bukan untuk
menakutnakuti.
Oom Adam ingin bicara namun aku menahannya. Aku tahu dia akan
melaporkan dua polisi ini namun menurutku tak perlu. Harnum sudah
mengatakan semua pada Papanya.
Kupandangi dua polisi itu, seakan sedang mempertimbangkan untuk
melapor. Wajah keduanya pucat bagai mayat.
Terimakasih, Oom. Akan kami laporkan segera kalau ada yang macam
macam.
Ya, sudah. Tolong beritahu saya kalau kalian menemukan Pendi!

BiangMasalah

Setelah mengucapkan itu, Papa Harnum pamit dan pergi.


Rupanya ini sudah cukup jadi sinyal pada dua badut ini. Begitu Papa
Harnum pergi, keduanya juga berlalu. Mereka sempat mengatakan
terimakasih padaku. Lucu!
Tak lama setelah kedua polisi pergi, Gandi datang. Dia baru dari
Doloduo. Dia tak lari, hanya bersembunyi. Dia lihat jelas perkelahian itu.
Tangan dan kakinya melayang ke sana-kemari, memperagakan apa yang
diperbuat Pendi.
Kami sedang asyik mendengarkan cerita Gandi ketika Harnum datang.
Dengan berbisik dia bilang Papanya ingin bicara. Belum pernah aku
dijemput seperti ini. Pasti ada persoalan gawat yang ingin beliau sampaikan.
Akupun ikut.
Efendi Kokait di mana?
Aku tak senang dengan cara Papa Harnum bertanya. Seakan aku telah
menyembunyikan Pendi. Saya tidak tahu, Oom, jawabku ketus.
Papa Harnum menarik napas. Kasus ini sedang dalam penyelidikan
internal, Yo. Kemudian Papa Harnum menjelaskan. Nampaknya mereka
yakin Kopral Sarbini, polisi yang mati itu, merupakan beking salah satu
kelompok ninja. Mereka juga yakin ada yang berpangkat lebih tinggi yang
terlibat. Ini membuat nyawa Pendi terancam. Cari dia, Yo, suruh dia
menyerahkan diri pada kami. Sudah kuperintahkan anak buahku untuk
melindunginya. Dia akan aman kalau bersama kami!
9

BiangMasalah

Sialan Pendi. Karena dia, aku tak ikut ke Bali. Untung Mama Harnum
mau memaklumi sehingga teman-teman bisa tetap ikut.
Saat Mama Harnum dan teman-teman ke Bali, aku dan Oom Adam harus
mengelilingi Bolaang Mongondow, siapa tahu dia sembunyi di salah satu
kerabat. Kokait, walau fam baru namun terkait dengan fam lain. Ini
benarbenar
melelahkan.
Suatu hari, ketika kami baru kembali dari Kotabunan, kutemukan Oom
Iman sudah di rumah.
Hebat Pendi. Dia telah mempromosikan Kokait, kata Oom Iman sambil
melemparkan koran ke meja.
Aku bisa merasakan getaran tanganku ketika membaca. Judulnya
memang tidak mencolok, POLISI TEWAS DI TANGAN NINJA. Tapi
begitu membacanya, tak disangsikan lagi berita itu mempromosikan fam
Kokait. Siapa dan bagaimana kehidupan Effendi Kokait diulas tuntas, di
sana juga ada foto Pendi dan di bawah foto itu tertulis nama Pendi. Berita itu
juga dikaitkan dengan kebengalan Papa Saleh yang di masa muda bernama
lengkap Umarudin Kokait yang menjadi guru dari Effendi Kokait.
Ikut aku, kata Oom Iman.
Aku hanya menghela napas. Aku masih capek. Tapi aku harus ikut.
Sekarang aku baru tahu bahwa Pendi telah bergabung dengan kelompok
Ninja pimpinan Antoni. Kami ke rumah Antoni. Melihat rumah Antoni
10

BiangMasalah

yang megah dan mewah, aku tak tahu Pendi anak buahnya atau sekadar
jongos atau Antoni punya usaha lain di mana Pendi tak mendapat bagian.
Rumah mereka terlalu kontras.
Antoni berumur awal tiga puluh. Dengan kekayaannya, Antoni tetap
preman kampung. Tato naga menyembul di punggungnya yang memakai
singlet. Kalung di lehernya lebih mirip rantai anjing. Aku belum pernah
melihat mucikari, namun mungkin seperti dia penampilan mereka. Ditambah
rambut ikal panjang tak terawat, aku tak takut padanya, malah jijik.
Ditambah kenyataan dia telah menjebak Pendi, aku berubah muak.
Pertemuan Oom Iman dan Antoni seperti pertemuan dua sahabat. Bahkan
pakai pelukan segala. Sejenak mereka bergurau. Namun wajah Antoni
langsung mengeras ketika Oom Iman menanyakan Pendi.
Aku tak kenal Pendi, katanya tak acuh.
Oom Iman memandangi Antoni. Pendi keponakanku, Ton
Keponakanmu? tanyanya kaget.
Iya. Dia anak kakakku. Dan aku harus tahu apa yang terjadi.
Antoni mencibir. Kalian memang sama. Sama-sama keras!
Apa yang terjadi? Oom Iman tak mempedulikan cibiran Antoni.
Kau tak akan pernah bilang ini dariku, kan?
Oom Iman terkekeh. Siapa yang kau takutkan?
Dan jangan pernah bilang kita pernah bertemu!
Ceritakanlah.
11

BiangMasalah

Akhirnya Antoni menceritakan semua. Waktu itu, kelompok ninja lain


yang dibekingi Kopral Sarbini memalak bongkahan batu mengandung emas
yang baru diangkat kelompok Antoni dari lubang. Terjadi perkelahian.
Kelompok ninja lawan lari tapi naas bagi Sarbini. Dia terkepung dan
dicincang oleh anggota kelompok Antoni. Semua mengambil bagian.
Mereka baru tahu Sarbini adalah Kopral Polisi ketika dari pistol yang tidak
sempat Sang Kopral cabut dan kartu pengenal. Mereka berembug. Mereka
yakin polisi akan membalas, kekuatan mereka tak mungkin mampu
melawan. Akhirnya semua kesalahan dilimpahkan pada Pendi. dikatakan
bahwa yang terjadi adalah duel dan Sang Kopral kalah!
Kalian menjebak Pendi, kataku, emosi.
Siapa dia? tanya Antoni tak senang sambil menunjukku dengan bibir
monyongnya.
Dia keponakanku, kata Oom Iman.
Antoni terbahak. Kalian semua sama. Sama-sama keras. Aku
memelototinya. Antoni memandangiku serius. Semua ini terpaksa, Kawan.
Pendi beruntung. Dia sudah bebas dari pemalakan. Sedangkan kami, dalam
sebulan ini harus membayar dua juta seorang, bulan berikutnya kelompok
kami harus nyetor sejuta dan itu tiap bulan. Kami harus bekerja keras.
Seremeh itukah? Aku ingin membentak namun Oom Iman mendahuluiku.
Pendi masih hidup? tanya Oom Iman kalem.
Semoga saja. Dia sudah kusuruh lari secepat dan sejauh mungkin, kata
12

BiangMasalah

Antoni, tak acuh.


Aku belum puas namun Oom Iman menyeretku keluar setelah
mengucapkan terimakasih yang membuat aku tak mengerti.
Dia teman SMP, Yo. Walau begitu dia tetap penjahat. Kelak, kalau kau
punya teman penjahat, jangan terlalu memaksa seperti tadi. Bahaya!
nasehat Oom Iman, memenuhi rasa penasaranku.
Apa Pendi masih hidup? tanyaku masih penasaran.
Semoga saja, dia mengulang Antoni.
Setelah tahu duduk perkaranya, Oom Iman menghubungi kawan
wartawannya. Selain menceritakan apa yang dia dengar, Oom Iman juga
bicara panjang lebar tentang keburukan oknum penegak hukum yang
membekingi pelanggar hukum. Karena itu Oom Iman meminta agar kasus
itu bukan hanya diselidiki dari segi penghilangan nyawa tapi juga dari
disiplin aparat.
Besoknya, wawancara dengan Oom Iman muncul tanpa diedit dengan
judul yang provokatif: IMAN KOKAIT: BANYAK OKNUM POLISI
BEKINGI PENAMBANG LIAR!
Kembali Kokait jadi perbincangan, tentu di sisi yang lain, dari sisi yang
lebih positif. Kali ini aku bersyukur.
Hasil EBTANAS belum diumumkan tapi Amin mendesakku segera ke
Jawa. UMPTN sudah dekat dan kata Amin, kalau aku ingin kuliah di Jawa
sebaiknya ikut UMPTN di sana agar kemungkinan lolos lebih besar. Aku
13

BiangMasalah

bingung. Bagaimana berangkat dengan hasil yang belum pasti? Tapi Oom
Iman yakin aku akan lulus.
Terpaksa aku menurut. Jelas aku tak akan mengikuti acara perpisahan.
Sebagai ketua OSIS, aku tak bisa mengucapkan pidato perpisahan. Harnum
dan kawan-kawan belum kembali dari Bali, tentu mereka akan marah besar.
Ah, biarlah Harnum marah dan sekali ini dia harus berpidato. Setelah
menjadi pengurus OSIS, Harnum telah banyak membantu namun tak mau
tampil.
Berita melegakan datang. Papa Harnum bilang, dari penyelidikan internal
ditemukan bahwa Kopral Sarbini merupakan beking kelompok ninja yang
telah merampok kelompok Antoni di mana Pendi bergabung. Memang tidak
otomatis melepaskan Pendi dari jerat hukum, namun memperkuat alasan
pembelaan diri yang membuat dia bisa bebas dari hukuman. Namun, di mana
Pendi?
Seperti layaknya orang yang akan bepergian jauh, diadakan mintahang
untuk mendoakan agar aku selamat sampai di tanah seberang. Sangadi,
Imang dan para jiow, serta beberapa orang penting kampung datang. Begitu
juga tetangga kanan-kiri.
Mohon bacakan juga doa untuk Pendi, Imang, kata Papa.
Imang agak ragu. Bagaimanapun Pendi buronan yang telah membunuh
polisi. Pantaskah didoakan?
Sangadi batuk kemudian bicara. Sudara-sudara, seperti apa pun dia,
14

BiangMasalah

Pendi adalah cucu, anak, kakak, dan adik kita. Apalagi polisi bilang bahwa
yang dibunuh telah merampoknya. Apa yang akan kita lakukan kalau kita
dirampok? Semua terdiam. Di belakang terdengar isakan kemudian
mengeras jadi dengungan. Mama Ramli menangis. Papa Ramli diam tapi air
matanya mengalir. Saya rasa yang Pendi lakukan hanya membela diri.
Karena itu, kumohon Imang berkenan membacakan doa, lanjut Papa Wati.
Tanpa ragu lagi Imang membacakan doa. Asap kemenyan membumbung
ke angkasa, entah sampai pada Pendi yang tak diketahui rimbanya, bahkan
masih hidup atau sudah matikah dia. Doa harus selalu baik untuk sesuatu
yang belum pasti!

15

Pertemuan

2
Pertemuan
Masyarakat terbiasa Mencaci penjahat dan memuji kemuliaan karena mereka
yang membuat penjahat dan orang mulia
(Ansy)
Kapal yang kutumpangi melebihi pasar, penumpang bertebaran di
manamana
di lorong, di bawah tangga, di ruangan-ruangan. Ranjang panjang
yang ditiduri lebih sepuluh orang sudah penuh dengan penumpang dari
Ternate atau sudah dipesan orang walau belum ditempati. Sulit mendapat
tempat. Aku baru mendapat tempat di ranjang panjang itu ketika ada yang
turun di Pantoloan.
Akhirnya sampai juga. Dari anjungan, angkuhnya hutan Jakarta terlihat.
Aku tak kagum, apalagi bangga. Melihat ibu kota Negara yang sangat
berbeda dengan Kotamobagu, ibu kota kabupatenku, aku bisa membenarkan
Permesta. Pembangunan di Negara beragam ini memang timpang.
Kualihkan pandangan ke bawah. Mana Amin? Dia janji akan menjemput
tapi sosoknya tak terlihat.
Hei, kau, kembalikan!
Aku kaget dan berbalik, seorang yang sudah agak tua dicengkeram
kerahnya oleh seorang anak muda. Dari pakaiannya, jelas mereka buruh
pengangkut barang penumpang.
16

Pertemuan

Ayo, kembalikan!
Wajah yang tua digampar yang muda. Aku baru sadar ketika orang itu
mengembalikan dompetku.
Ke mana kau? Ayo minta maaf! bentak yang muda.
E, maaf, Bang, yang tua memelas padaku.
Aku bengong, aku belum sadar betul apa yang terjadi di depanku. Lagi
pula, sepertinya ada yang aneh dengan suara anak muda ini.
Sekarang, kau turunkan barang abang ini. Awas kalau kau minta
bayaran! yang muda masih galak.
Tapi, Bang
Siapa suruh lu nyolong!
Eh, sebentar, eh, Bang, terbata aku mencegah yang muda itu pergi.
Eh, siapa namamu?
Orang itu menatapku sebentar, tertunduk, kemudian marah pada
temannya: Apa lagi yang kau tunggu? Tanya pada abang ini barangnya dan
turunkan. Cepat!
Setelah itu dia buru-buru pergi. Aku tak bisa mencegah. Aku bengong.
Hei, Bang, di mana barang-barangmu? Ayo cepat, gua harus nyetor!
Sialan!
E, begini, Nyong
Nyong? Memangnya mulut gua monyong? Gua Somat. Ingat: S-o-m-at!
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Nyong sebenarnya panggilan
17

Pertemuan

untuk pemuda Sulawesi Utara, sama dengan abang, tapi di rantau begini bisa
menimbulkan salah pengertian.
Saya Salman tapi biasa dipanggil Uyo.
Ucok?
Aku orang Mongondow, Mat, jadi dipanggil Uyo, kalau Ucok untuk
orang Sumatera, aku menjelaskan.
Mongondow?
Itu suku di Sulawesi Utara. Ah, sudahlah. Siapa temanmu tadi? aku
kelabakan.
Itu bos gua.
Maksudku, namanya. Awas, jangan bohong. Akan kuadukan kalau
kamu bohong.
Kami diminta memanggilnya Antong, Somat ragu-ragu.
Aku tersenyum. Walau dipelarian namun Pendi masih meninggalkan
jejak. Antong merupakan legenda dalam masyarakat Bolaang Mongondow.
Antong adalah Bogani yang kuat dan tampan, sampai-sampai putri Spanyol
senang padanya dan membawanya ke negeri Andalusia itu untuk dinikahi di
hadapan raja/ratunya.
Barang kami turunkan. Somat kuat luar biasa. Dari semua barang, aku
hanya menjinjing koper pakaian.
Berapa semua, Mat? tanyaku.
Bang Antong kan sudah bilang gratis, kata Somat tak senang.
18

Pertemuan

Aku akan membayarmu, tapi kamu harus memanggil Antong ke sini.


Katakan saja, Uyo yang memanggil.
Memang lu apanya, seenaknya saja menyuruh memanggil!
Lakukanlah, Mat.
Tanpa bicara lagi Somat pergi.
Aku sangat yakin Antong adalah Pendi. Kulitnya memang sudah jadi
legam tapi mimiknya masih mimik Pendi, begitu juga suaranya.
Para calo bis mengerumuniku, menanyakan ke mana tujuanku. Kubilang
masih menunggu teman tapi calo-calo itu tak mau menyerah. Yang satu
pergi, dua datang dengan pertanyaan yang sama. Aku bosan. Akhirnya aku
diam tapi mataku mengawasi barang-barang.
Agak lama juga menunggu baru Antong datang. Beberapa calo yang
mengerumuniku menyingkir begitu melihatnya.
Saya Pendi, Kak, katanya, terisak dan langsung memelukku.
Iya, Nding, saya tahu, aku terisak juga.
Setelah beberapa lama berbagi keharuan, aku melepaskan pelukan.
Kamu sudah jadi hitam sehingga sulit kukenali, kataku bergurau.
Jakarta bisa membuat kita jadi hitam, Kak.
Asal hatimu tidak! Pendi terdiam. Aku merasa bersalah telah kelepasan
omong. Aku seharusnya tahu seperti apa dunia Pendi sekarang dan aku
harus
mengerti, minimal memaklumi. Orang tak bersalah seperti Pendi tapi
19

Pertemuan

berusaha lari dari hukuman, apa masih ada pilihan lain selain bergerilya?
Tentu Kak Uyo bukan ingin jadi buruh pelabuhan, kan? Pendi
mengalihkan pembicaraan.
Aku tersenyum. Aku disuruh Papa kuliah. Katanya Amin mau
menjemput tapi sampai sekarang belum datang juga.
Mungkin di tengah penjemput tapi tak usah dicari. Malam ini Kak Uyo
harus tidur di tempatku. Kak Uyo punya nomor telepon Amin, Kan?
Aku mengangguk.
Kalau begitu ditelepon saja, katakan padanya kakak diminta menginap
di rumah teman sekapal. Besok Kak Uyo akan saya antar. Kita perlu bicara
banyak, Kak.
Aku kembali melihat kesedihan di raut muka Pendi. Aku ikut saja.
Aku menelepon Amin tapi kata yang menerima Amin sedang keluar. Aku
hanya menitipkan pesan.
Kak Uyo mau menginap di mana? di kosanku yang sempit atau di
rumah bosku? Di sana luas, Kak. Rumahnya juga megah. Namanya juga
rumah bos! kata Pendi, ada senyum hambar saat mengatakan semua itu.
Kamu masih punya bos juga? aku tertarik.
Masih, Kak. Dia juga punya bos, bosnya punya bos, dan seterusnya.
Dunia yang kumasuki ini penuh bos.
Aku tersenyum. Di kosanmu saja. Baru bertemu anak buahmu aku sudah
menggigil, apalagi dengan bosmu.
20

Pertemuan

Pendi terkekeh.
Alah, Somat itu ndak ada apa-apanya, Kak, cuma menang digertak.
Kalau dia sendirian dan digertak balik, dia pasti lari.
Kosan Pendi sempit dan pengap. Tak jauh dari pelabuhan. Di sana hanya
ada kamar mandi tapi wc tak ada. Aku harus antri di wc umum untuk buang
air besar.
Sehari semalam Pendi menceritakan kisahnya. Mulai dari perkelahian
dengan kelompok penambang liar lain yang dibekingi Kopral Sarbini di
Doloduo, ke Jawa lewat kapal barang, jadi buruh kapal barang, dan akhirnya
jadi buruh di kapal penumpang. Pendi juga menceritakan perkelahiannya
dengan bos para buruh kapal penumpang yang akhirnya membuat dia jadi
bos.
Aku terdiam mendengar kisah Pendi. Luar biasa. Di usianya yang masih
belia Pendi sudah jadi bos di pelabuhan Tanjung Periuk, bagaimana
besarnya?
Sebaiknya kamu pulang, Nding. Polisi tak akan mencarimu karena
setelah diselidiki ternyata polisi itu menjadi beking kelompok ninja yang
merampok kelompokmu. Terbunuhnya dia bisa dianggap pembelaan diri.
Kau bisa bebas.
Dunia nyata aneh, Kak. Lain kata, lain perbuatan. Sarbini bilang kami
bisa menambang bebas sepanjang kami berbagi dengannya. Tapi dia ingin
lebih. Akhirnya dia mampus. Mungkin aku akan menyusulnya kalau pulang.
21

Pertemuan

Aku tak bisa mempercayai kata-kata mereka!


Papa Harnum akan melindungimu.
Siapa dia?
Tentara. Papa temanku. Dia punya pangkat!
Pendi memandangku, menggeleng, seakan menunjukku tak mengerti tapi
sok tahu. Kalau saya pulang, agar bisa aman, beberapa orang harus saya
bunuh. Kalau tidak, pasti mereka yang akan membunuhku!
Polisi?
Ya, beberapa polisi, beberapa tentara, beberapa orang biasa seperti saya.
Sarbini teman mereka, Kak. Aku telah membunuhnya. Dalam dunia seperti
ini, darah akan berbalas darah. Lagi pula, berapa lama Papa Harnum akan
bertugas di sana? Aceh bergolak, Timor Timur, Papua. Atau, mungkin juga
Papa Harnum mendapat kenaikan pangkat dan dipindah entah ke mana.
Tentara selalu berpindah-pindah, Kak. Polisi juga. Mereka bisa melindungi
atau merampok di satu tempat, kemudian pindah. Apa peduli mereka? Toh
tetap digaji Negara. Tinggalah orang yang dilindungi kebingungan,
memikirkan cara menyelamatkan diri.
Aku terdiam. Pendi sudah merasakan pahitnya hidup di dunia nyata,
orang yang belum merasakan tak berhak bicara. Orang tuamu cemas.
Papamu bahkan minta diadakan harua, beliau mengira kamu sudah
meninggal.
Pendi tersenyum mengejek, mengejek dirinya sendiri. Bagus kalau papa
22

Pertemuan

mengadakan harua. Sejak Sarbini mampus, aku sudah jadi mayat hidup. Di
sana nyawaku digenggaman teman-teman Sarbini dan teman-temanku
juga
Teman-temanmu yang mana? aku kaget.
Antoni dan kawan-kawan, kelompok ninja di mana aku bergabung.
Begitukah? aku belum mengerti.
Darah sudah mengalir, Kak. Dan kawan-kawan Sarbini ingin darah juga
atau Antoni harus membayar mahal. Antoni harus memilih, membunuhku
dan harga nyawa Sarbini agak diturunkan atau aku hidup tapi mereka harus
membayar penuh. Untung Antoni tak begitu percaya pada polisi. Dia yakin,
walau aku mati, mereka akan tetap ditangkap atau membayar lebih
siapapun tahu bukan hanya aku yang menghabisi Sarbini.
Di luar terdengar suara genit perempuan murahan menjajakan diri.
Aku mayat hidup, Kak. Di sana, semua orang mengincar nyawaku. Di
sini juga begitu. Aku tak tahu siapa yang diberi kehormatan Tuhan. Aku
pasrah pada takdir, tapi aku tak akan menyerah pada mereka!
Aku menarik napas dalam-dalam. Di dunia Pendi, kawan benar-benar tak
ada.
Kamu bisa keluar dari duniamu ini, Nding. Duniamu iniah, entah aku
harus mengatakan apa.
Biarlah begini untuk saat ini, Kak. Semoga Kak Uyo menjadi orang dan
bisa melindungiku dari musuh-musuhku. Tentu bukan melindungiku kalau
23

Pertemuan

aku salah. Aku siap mempertanggungjawabkan perbuatanku. Aku siap


dipenjara. Tapi aku tidak siap menyerahkan nyawaku pada bajinganbajingan
itu.
Aku menganggukan kepala. Kemudian aku tersenyum. Berapa
umurmu?
Pendi menangkap lelucon dari pertanyaan itu. Anak buahku ada yang
umurnya empat puluh! katanya dan terbahak.
Besoknya aku diantar Pendi ke Amin memakai mobil pribadi yang
menurut Pendi milik bosnya. Ternyata Amin tinggal di asrama di dalam
kampus. Pendi tidak mau turun begitu kami sampai. Padaku, Pendi
memesankan agar tidak memberitahukan keberadaannya pada siapapun.
Pada siapapun berarti termasuk pada orang tuanya. Aku hanya mengangguk
tanpa bertanya. Orang yang hidup di dunia lain seperti Pendi sikapnya tak
perlu dipertanyakan.
Itu temanmu di kapal? tanya Amin, rupanya dia sudah menunggu.
Aku tersenyum, nyaris terkekeh. Yang jelas dia yang mengantarku.
Kalau tahu kamu bersenang-senang, aku tak akan menunggumu, balas
Amin.
Amin memperkenalkanku pada penghuni asrama, jenis manusia-manusia
yang sibuk dengan berbagai aktivitas. Menurut penuturannya, Amin telah
menjadi ketua senat di fakultasnya. Aku heran pada Amin. Kalau benar dia
ingin melepaskan diri dari belenggu Papanya, seharusnya dia beraktivitas di
24

Pertemuan

luar kampus. Bagaimanapun kampus tetap sama dengan sekolah, dengan


aturan yang membelenggu warganya. Bagaimana bisa bebas?
Kamu akan kuliah di mana? tanya Amin setelah kangen-kangenan dan
cerita tentang kampung bosan dibicarakan.
Di IPB, kataku.
Orang sepertimu kok masuk IPB. Ingat impian Papa Rus, Sampaka
harus ada yang jadi bupati.
Respon yang sudah kuduga, namun kalau kujawab serius akan jadi
perdebatan tanpa henti. Maka, kujawab tak acuh. Daerah kita lumbung
pertanian. Tapi lihatlah pertanian kita ketika bupatinya Sarjana Politik.
Gunung digali penambang liar dibiarkan saja padahal ada tanamannya.
Kalau kamu mau jadi Sarjana Pertanian, mengapa tak mengambil
sekolah pertanian? semprot Amin.
Masak tamatan sekolah pertanian jadi bupati?
Amin menyerah. Kalau begitu, sebaiknya kamu ke Bogor. Aku punya
teman di sana, dia yang akan membantumu masuk IPB. Tapi ingat, jangan
masuk de tiga seperti dia. Kalau tak bisa masuk IPB, ambil swasta saja.
Swasta juga tak jauh beda kualitasnya dengan negeri.
Aku ingin tertawa tapi cemas Amin tersinggung. Menurut koar orang
tuanya, Amin akan masuk Universitas Indonesia. Nyatanya Amin gagal.
Amin hanya kuliah di kampus swasta walau mentereng.

25

LangkahyangSalah

3
Langkah yang Salah
Akan ada saat-saat dalam hidup Ketika kita harus menelan kepahitan, Karena
mengalami
kemunduran Seperti kita mengalami kemajuan Di masa lalu
(Rousseau)
Kawan-kawan di kostan Hendra merupakan tipe orang-orang kuliahan,
bukan mahasiswa yang penuh dinamika. Awalnya aku bosan, terlebih
Tak terasa sudah sepuluh hari aku di Bogor. Belum ada kabar dari
kampung. Aku hampir putus asa. Karena itu aku menyetujui usul Hendra
untuk mengunjungi kebun raya, sekadar untuk refresing. Di kosan tanpa tahu
apa yang akan dilakukan membuatku stres.
Ketika kami hendak berangkat, telepon berdering. Hendra berlari. Dia
sudah janjian dengan teman perempuannya, yang menurutku akan menjadi
korban asmara Hendra berikutnya.
Yo, untukmu, teriak Hendra lesu.
Wah, nampaknya kali ini play boy cap kutu ini tak berhasil. Aku
tersenyum padanya yang disambut cibiran.
Hei, kau mau menghindari siraman dan coretan, ya? Awas, nanti
kuceburkan di kali Ciliwung.
Aku kaget mendapat omelan begitu. Ternyata Harnum dan beberapa saat

26

LangkahyangSalah

dia terus mengomel. Kubiarkan saja, kalau dilawan bisa parah. Bisa-bisa
tinju Harnum muncul di gagang telepon seperti di film kartun.
Khas Harnum, karena tak dilawan, akhirnya dia capek sendiri. Akhirnya
dia memberitahukan hasil EBTANAS. NEM-ku tertinggi, dia kedua.
Berulang kali dia bilang terimakasih dalam bahasa Mongondow berlogat
aneh. Menurutnya, dia berhasilan karenaku. Aku tak tahu dari sisi mana
telah membantu, tapi aku membiarkan saja.
Malamnya, jam delapanberarti jam sembilan di tempatku, Oom Iman
menghubungiku dengan berita yang sama. Oom Iman mencoba
mempermainkan perasaanku. Aku hanya tersenyum. Mau buat kejutan kok
menunggu harga pulsa murah!
Gaji SP3 Oom Iman tak dapat mengalahkan kecepatan Harnum dalam
memberikan kejutan.
Setelah pasti lulus, aku mulai menyemangati diri untuk belajar.
Bagaimanapun aku harus lolos UMPTN. Aku percaya diri. Kenyataan bahwa
aku juara pertama sejak sekolah dasar mempertinggi rasa percaya diriku.
Tapi, ini Jawa, Bung! Pulau yang tidak hanya diberatkan dengan kepadatan
penduduknya tapi juga dengan persaingan kepintaran. Manusia pintar dari
segala penjuru Nusantara berkumpul di sini.
Aku tak bisa berdiam diri dengan mengandalkan kehebatan masa lalu.
Aku harus belajar. Kehebatan masa lalu justru membuatku tenggelam dalam
buku-buku. Bagaimanapun sang juara daerah tak boleh kalah. Malu kalau
27

LangkahyangSalah

tak lolos UMPTN!


Kejayaan masa lalu itu terus menguntit. Satu tema yang telah menjadi
doktrin dalam diriku adalah: harus lolos UMPTN! Dan semakin dipikir, aku
semakin ragu. Tak cukup hanya mengandalkan diriku. Hanya mengandalkan
bimbingan sederet buku.
Ini Jawa, Bung!
Saran Hendra kuikuti. Seminggu dua kali aku ke lembaga pendidikan
yang tidak jauh dari kosan. Di sana, diajarkan cara memecahkan soal-soal
UMPTN beberapa tahun terakhir. Juga dipelajari beberapa soal yang
diprediksi akan muncul dalam UMPTN nanti. Tutorku cukup baik, seolah
dia panitia UMPTN yang telah mendapat bocoran soal. Sang tutor sangat
pasti. Tapi aku tak yakin sang tutor tahu sebanyak itu.
Setelah beberapa kali mengikuti kegiatan di lembaga itu, aku malah tidak
tenang. Yang ikut try out sangat banyak. Di lembaga pendidikan yang
kuikuti jumlahnya ratusan, ditambah peserta di lembaga pendidikan lain
kurasa ribuan. Padahal kursi di PTN sangat terbatas. Berarti, usahaku tak
lebih dari berjudi.
Aku gelisah. Aku sadar UMPTN tidak mudah. Pantas Amin tidak bisa
masuk Universitas Indonesia!
Di tengah kegelisahanku, datang Ali. Ali teman Hendra. Tapi,
nampaknya mereka kurang akrab. Sejak kedatangannya, Hendra sering tidak
di kostan.
28

LangkahyangSalah

Bermula dari pembicaraan soal biasa, kemudian melebar ke ambisiku.


Karena merasa Hendra mengabaikanku, aku terbuka pada Ali. Aku ingin
mendapat suntikan semangat untuk mengikuti UMPTN.
Awalnya aku tak mendapatkan apa-apa. Bahkan aku semakin tertekan.
Ali menceritakan UMPTN seperti monster yang sulit dikalahkan. Aku
empat kali ikut UMPTN, Man. Dan hasilnyanol, katanya sambil
mempertemukan ibu jari dan jari telunjuknya.
Aku tak tahu ada yang pernah mencoba sebanyak itu. Tapi Ali sudah
pernah ikuti. Dia ahlinya!
Bukan karena aku bodoh, lho. Sama sekali bukan karena aku kalah
pintar. Semua sama pintar dan sama bodohnya denganku. Bahkan ada yang
lebih goblog dariku. Jadi sama sekali bukan masalah kepintaran, Man, Ali
menegaskan. Semua karena faktor kebetulan, faktor lucky! Kepandaian
tidak selamanya menentukan. Yang ikut UMPTN banyak. Hampir sama
kemampuan otaknya.
Mendengar cerita Ali, rasa percaya diriku langsung anjlok ke titik nol.
Suatu hari Ali datang. Kali ini bukan untuk menurunkan semangat, tapi
memberi solusi. Dia sarankan jalan keluar yang simple namun menjanjikan.
Mempergunakan jasa joki. Joki?
Awalnya kukira joki itu penunggang kuda. Ternyata bukan. Joki adalah
dewa penolong peserta UMPTN. Sang joki akan memberikan
jawabanjawaban
29

LangkahyangSalah

akurat.
Menurut Ali, joki akan meningkatkan peluang lolos dari nol koma sekian
persen menjadi sembilan puluh sembilan persen.
Yang satu persen kuasa Tuhan, bualnya. Tapi, semua itu memerlukan
biaya. Hanya lima juta, kamu bisa masuk kampus bergengsi: UI, UGM,
ITB, IPBdan beberapa yang lainnya. Sedang kampus yang kelasnya lebih
rendah, cukup tiga juta. Tapi, untuk orang seperti kau, kampus bergengsi
yang cocok.
Aku tertarik. Kuliah di PTN bergengsi siapa yang tak mau? Apalagi ada
jaminan diterima sembilan puluh sembilan persen!
Sekarang, uang masalah. Aku hanya punya dua juta lebih, itu termasuk
uang pemberian orang kampung. Dan, aku tak ingin membayar untuk PTN
nomor dua. Aku tetap ingin yang bergengsi.
Setelah tawar menawar dengan Ali, akhirnya harga PTN bergengsi turun
menjadi empat juta. Ali mengiyakan tawaranku dibarengi pesan agar aku
merahasiakan semua ini, termasuk pada Hendra.
Ini tak legal, Man. Melanggar hukum! Kalau ada yang tahu, kita bisa
celaka. Kau tentu tak mau masuk penjara, kan? Orang tuamu tak akan
menerimamu jika terjadi. Nama baik mereka akan tercoreng! tegas Ali.
Aku kurang mengerti apa itu legal dan tak legal. Tapi mendengar kata
penjara, kutahu persoalannya gawat. Aku ingin membatalkan.
Kau tidak bisa membatalkan, Man. Harga sudah disesuaikan dengan
30

LangkahyangSalah

keinginanmu. Berarti kau sudah bersedia menggunakan jasa mereka. Selain


itu, harus kau ingat, ini perbuatan ilegal. Pengelola-nya orang-orang di dunia
hitam. Mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan jika ada yang
mangkir. Ingat, Man, namamu sudah di tangan mereka, juga alamatmu.
Mereka bisa datang ke sini setiap saat. Hendra tak akan mampu
menghalangi. Aku akan kena juga karena aku yang menjadi
penghubungmu! kata Ali dengan nada mengancam.
Aku bingung.
Sudahlah, Man. Mengapa harus mencari penyakit?! Apa susahnya
merahasiakan ini. Toh kalau kau berhasil, semua akan bangga. Mereka tak
akan berpikir kau menempuh cara yang illegal. Kau memang layak.
Prestasimu di sekolah sudah membuktikan! bujuk Ali.
Cukup rasional!
Kampus mana yang kau pilih? Kalau boleh kusarankan, kau pilihlah UI.
Orang butapun akan melihat ijazah UI.
Tidak. Aku akan masuk IPB. Daerahku butuh Sarjana Pertanian.
Pilihan yang bagus. Untuk itu kau ke sini, Kan? Ali terbahak.
Satu hari sebelum UMPTN, kami dikumpulkan di satu rumah. Lima belas
orang semua. Pengelola per-jokian tampangnya cukup meyakin-kan. Sangat
jauh dari tampang kriminal seperti yang Ali katakan. Dia memakai kacamata
dengan potongan rambut pendek, dan pakaian rapi. Namanya keren, Bram.
Aku tak yakin orang ini akan berbuat sesuatu yang tercela, bahkan aku tak
31

LangkahyangSalah

yakin usaha perjokian ilegal.


Bram sangat efektif. Rombongan dibagi dalam tiga kelompok. Aku di
tempatkan dengan empat orang yang lain, tiga orang perempuan yang cukup
cantik, dan seorang laki-laki yang tampangnya tak meyakinkan; aku yakin
orang yang satu ini sangat bodoh sehingga harus mempergunakan jasa joki.
Pendamping, begitu Bram mengistilahkan, kelompok kami adalah gadis
cantikrambut lurus sebahu dengan hidung mancung di mana bertengger
kaca mata minus. Dia memperkenalkan diri sebagai Kety. Kety menguraikan
berbagai pekerjaan teknis. Dia akan memberi aba-aba untuk mengirimkan
sinyal-sinyal jawaban dan kami sibuk menghapalkan sinyal-sinyal itu.
Setelah itu, acara berakhir.
Gila! Ternyata mudah! Tapi, apa Kety mampu menjawab soal UMPTN
dengan benar. Aku sangsi.
Ketika UMPTN, aku lebih sangsi lagi. Jawaban yang dikirim Kety tidak
sesuai yang kupikiran. Tapi, aku harus meyakini bahwa jawaban yang
dikirim Kety benar. Toh Kety telah tahu jawaban jauh sebelum UMPTN
dilakukan.
Setelah UMPTN, aku kembali dalam kejenuhan menunggu. Jenuh dan
deg-degan. Selama dua belas tahun sekolah, belum pernah aku secemas ini.
Di tengah kejenuhan menunggu, Harnum datang diantar sopir berambut
cepak, mungkin bawahan orang tuanya. Jelas kejutan. Aku tak pernah
memikirkan kedatangannya. UMPTN telah menyita perhatianku. Selain itu,
32

LangkahyangSalah

penampilan Harnum benar-benar telah berubah. Dia terlihat begitu feminim


dengan paduan kaos longgar dan rok panjang. Harnum paling benci dengan
pakaian begini. Menurut ceritanya, dia punya satu rok berwarna abu-abu
yang dipakainya ogah-ogahan. Rok itu hanya berfungsi saat ke sekolah, di
luar itu, jins pilihannya. Tapi, sekarangaku hampir pangling.
Saya Nanu. Anda masih mengenal saya?
Aku terbahak mendengar gurauan Harnum. Iya, namaku Salman tapi
nona bisa memanggilku Uyo, balasku.
Harnum mengajakku ke Kebun Raya. Aku sudah sekali ke sana, tapi
tidak menolak.
Aku tak bisa membedakan, mobilnya masih baru atau karena terawat
dengan baik. Yang jelas mengkilat dan menampakan kemuliaan derajat
orang berduit dan punya kedudukan. Si sopir menyetir dalam diam. Dia
menyalamiku tanpa menyebutkan nama. Harnum tak memperkenalkannya,
dan terlihat memang tak ingin memperkenalkan. Di perjalanan, aku dan
Harnum juga diam. Ada berjuta kata yang ingin kukatakan namun mulutku
terkunci.
Di Kebun Raya, Harnum menyingkirkan si sopir dengan sedikit pelototan
dan ceramah tentang privasi. Si sopir menyingkir enggan.
Seperti mata-mata dia itu. Aku paling tak senang dikuntit seperti
penjahat, kata Harnum sebal.
Aku tak menyahut. Penampilan Harnum memang berubah, tapi tidak sifat
33

LangkahyangSalah

pemarahnya.
Kami duduk di rumput. Di depan kolam berhiaskan teratai. Di se-keliling
kolam banyak orang seperti kami, ada yang dua-duaan, ada juga dengan
keluarganya. Kebun Raya memang selalu menjadi tempat bersantai yang
menyenangkan.
Menurut kepercayaan orang-orang, kebun raya tidak baik untuk pacaran.
Pasti akan bubar. Pasangan yang sudah bertunangan pun akan bubar,
apalagi hanya pacaran. Aku tidak cemas. Aku tidak pacaran, apalagi
bertunangan.
Berpikir untuk pacaranpun belum. Lagi pula, sesuai yang kusaksikan saat
pertama ke sini, ternyata Kebun Raya dipergunakan lebih dari pacaran.
Waktu itu, aku mutar-mutar dan mendatangi pohon-pohon besar dengan akar
menjulang. Kupikir di sanalah film-film kuno dibuat. Alangkah kagetnya
aku menyaksikan film tanpa sutradara itu. Dua orang berlainan jenis tengah
berpelukan dan berciuman di balik akar. Keduanya kaget dan memakiku.
Aku lari terbirit-birit.
Kau pilih kampus mana? tanyanya.
IPB. Aku ingin jadi petani berdasi.
Harnum terkekeh. Petani tak pernah berdasi, Yo. Kalau yang berdasi,
juragan namanya. Juragan tanah dan tanaman.
Aku ikut tertawa. Harnum mungkin benar juga. Kamu pasti memilih
UI? kataku, yakin.

34

LangkahyangSalah

Aku tak ikut UMPTN, bagaimana bisa masuk UI!


Tapi, kurasa tak perlu. menurut yang kudengar, tersedia kursi untuk
anak pejabat di PTN.
Orang tuaku masih pejabat rendahan, Yo. Dia belum bisa meminta
jatah untuk anaknya, kata Harnum, dia melotot padaku.
Aku terkekeh. Trisakti tak kalah dengan UI kok.
Harnum memandangku sesaat kemudian memandangi keluarga di
seberang kami. Aku akan ke Australi. Itu yang membuatku tak ikut
UMPTN.
Aku kaget. Harnum ke Australi? Namun beberapa saat kemudian
memaklumi. Untuk orang sekelas Harnum, apa pun bisa dilakukan.
Perlombaan memang tidak pada start yang sama. Bagiku, bisa masuk IPB
sudah cukup.
Bagus. Aku bisa mengoleksi perangko Australi, gurauku.
Harnum tak menanggapi gurauanku. Sebenarnya aku ingin kuliah di
sini. Terserah di mana, asal masih di Indonesia. Tapi papa ngotot aku ke
Australi. Kami berdebat, beberapa hari kami saling diam. Kemudian papa
marah besar. Aku ingin ribut tapi mama menengahi. Aku tak kuat melihat
mama menangis.
Mengapa Harnum sengotot itu? Apa alasannya? Aku sendiri sangat ingin
ke Negara Kanguru itu, sayang orang tuaku miskin.
Kamu tidak sedih? Kamu tidak marah? gugatnya.
35

LangkahyangSalah

Aku melihatnya. Dia serius dengan kata-kata itu. Maka aku serius juga.
Pilihan orang tua tak ada yang jelek, Nu. Tak ada yang inginkan kejelekan
bagi anaknya. Lagi pula, kamu memang pantas di sana. Uang ada,
kecerdasan punya. Jadi sangat beralasan kalau orang tuamu memilih
menyekolahkanmu keluar. Di sini, kamu sulit berkembang.
Senyum Harnum kembali muncul. Aku ini apa, Yo. Kamu bisa
menilaiku saat di sekolah.
Aku tertawa, kenangan saat di SMA kembali membayang. Masalah-mu
bukan di otak. Otakmu encer. Kamu sangat cerdas
Buktinya tidak begitu. Kalau bukan karenamu, aku pasti tak akan lulus.
Terimakasih.
Bukan. Bukan karena aku. Aku risih. Kamu memang punya sedikit
masalah. Tapi hanya masalah teknis.
Maksudnya?
Mungkin disikap. Kalau sejak awal kamu bersikap manis begini, aku
yakin aku akan kalah sehingga bukannya aku yang mendorongmu maju, tapi
sebaliknya.
Buredongka. Harnum mengayunkan tinju ke lenganku.
Wah, ini pukulan bergurau. Bagaimana kalau pukulan marah? guyonku
diiringi ringisan.
Mau tambah
E, tidak, tidak, potongku ngeri melihat tangan Harnum yang mengepal.
36

LangkahyangSalah

Wajah Harnum merona. Bagaimana penampilanku sekarang?


Entahlah. Yang jelas aku hampir tidak mengenalimu.
Baik atau buruk?
Baik, sangat baik. Andai kamu berpenampilan seperti ini sejak awal
Kenapa?
Mungkin aku tak akan mengenalmu.
Kok bisa?
Iya. Kalau kamu semanis ini, orang tuamu tak akan memindah-kanmu
ke sekolahku.
Harnum menunduk. Mengapa kamu tak mencegahku ke Australi?
Tak ada alasan. Kamu memang pantas ke sana.
Diam beberapa saat. Di sekeliling kami cukup ramai. Ada keluarga yang
duduk bersenda gurau. Beberapa remaja tanggung main voli dengan bola
plastik. Beberapa pasangan, mungkin tengah pacaran.
Kapan kamu berangkat?
Hari ini. Pesawat sudah menunggu.
Tiba-tiba aku merasakan suasana perpisahan. Keceriaan di sekeliling tak
menular pada kami. Si sopir datang. Saya harus berangkat, Yo. Herder
papa menjemput, Harnum mencoba bergurau.
Aku tersenyum.
Maaf, Mbak
Saya tahu. Cerewet amat, potong Harnum galak.
37

LangkahyangSalah

Si sopir cemberut tapi tak mengatakan apa-apa lagi. Kami kembali ke


mobil. Di depan gerbang Kebun Raya aku minta diturunkan.
Hati-hati di negara orang. Tetap jaga penampilanmu yang manis ini agar
otakmu yang encer lebih diperhitungkan orang, kataku.
Mobil berjalan. Aku melambaikan tangan kemudian berjalan menyusuri
trotoar. Kunjungan singkat Harnum memunculkan tanda tanya besar
dibenakku. Tapi aku tak punya kesempatan untuk menjawab. Masih ada
pertanyaan lain yang harus kujawab: hasil UMPTN!
Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Hampir sepuluh kali
kubolak-balik koran yang berisi pengumuman hasil UMPTN tapi namaku
tetap tidak ada, nomor ujianku juga tidak. Aku mencoba lagi, mungkin
namaku keliru, jadi Ucok misalnya, tapi tetap tak ada.
Sudahlah, Yo. Takdir di tangan Tuhan, kita hanya sanggup berusaha!
kata Afiq.
Aku tak dapat menerima. Kata Papa, mengkambinghitamkan takdir
karena kebodohan manusia sama saja dengan menyalahkan Tuhan. Tuhan
mungkin tidak mentakdirkan aku gagal, tapi diriku sendiri yang
penyebabnya. Andai aku tak mengikuti instruksi joki, pasti aku lolos. Aku
yakin itu! Ini salahku, bukan salah Tuhan!
KELOMPOK PENGELOLA JOKI DI TANGKAP, itu judul berita di
halaman depan koran. Di sana disebutkan, ada orang yang lapor, sumbernya
tidak disebutkan. Yang pertama kali di tangkap orang yang bernama Ali,
38

LangkahyangSalah

sahabat yang telah menjerumuskanku, kemudian merembet ke yang lain.


Aku tersenyum senang. Aku ingin sobat penipu itu dihukum lama. Namun
aku membaca dengan berdebar. Nama beberapa korban disebutkan.
Syukurlah, namaku tak ada.
Aku was-was. Aku tak cemas jadi saksi untuk memperberat hukuman
Ali. Keparat itu harus dihukum! Tapi aku cemas masuk Koran. Aku takut
nama baikku tercemar. Keluarga Sampaka terkenal karena kecerdesannya,
tak lucu kalau ada yang menggunakan joki.
Untunglah, sampai seminggu, tak ada polisi yang menghubungiku, begitu
juga wartawan. Aku sedikit aman, tapi benar-benar ingin belajar pada
pengalaman. Aku kapok!
Permasalahan selanjutnya yang rumit adalah memilih kampus, juga
fakultasnya. Sebenarnya aku ingin mencoba UMPTN tahun depan, tapi
berarti menambah beban orang tua. Aku tak ingin merepotkan mereka lagi
setelah usaha ilegalku gagal.
Awalnya aku ingin mengambil program diploma di IPB, seperti Hendra.
Tapi Amin yang menghubungiku lewat telepon tidak setuju. Amin
menyarankan agar aku mengambil hukum. Orang hukum sangat berpeluang
di politik, Yo. Presiden Amerika rata-rata orang hukum, kata Amin serius.
Oom Iman sepemikiran dengan Amin. Alasannya berbeda. Petani tak
butuh cara meningkatkan hasil pertanian, Yo. Walau sepuluh tahun kau
kuliah, kau akan kalah dengan mereka. Yang mereka butuhkan adalah cara
39

LangkahyangSalah

melindungi dari hukum yang tidak memihak. Selain itu, kau tak mungkin
lupa yang terjadi pada Papa Ramli, juga pada nenekmu. Kita tak bisa berbuat
apa-apa karena tak mengerti hukum.
Politik? Warisan? Aku tak punya obsesi menjadi bupati. Aku juga tak
begitu peduli pada rebutan warisan nenekku dengan Laki Gali. Tapi kejadian
yang menimpa Papa Ramli masih terekam di benakku. Betapa tak
berdayanya aku waktu itu. Juga Pendi. Aku yakin hukum yang tidak
ditegakan dengan benar membuat Pendi jadi penjahat.
Baiklah, tak masalah, tapi aku ingin di Bogor. Itu sudah tekadku. Gagal
di satu tempat maka harus mampu membuktikan keberadaan di tempat itu.
Pindah perbuatan pengecut. Maka kutolak permintaan teman-teman Yogya
untuk kuliah di sana. Juga kutolak keinginan Kak Juanda untuk kuliah di
Jakarta.

40

BantuanPendi

4
Bantuan Pendi
Beda baik dan buruk memang jelas dan tegas
Tapi baik bisa menyebabkan buruk, begitu juga sebaliknya
(Ansy)
Aku ingin terlahir kembali. Aku ingin punya semangat baru. Kenangan
buruk berusaha kuhapus. Karena itu, kostan Hendra kutinggalkan. Aku
pindah ke Baranangsiang. Kebetulan kostan yang kutempati adalah markas
aktivis dari segala organisasi. Kostan ini jadi kantor Forum Studi Mahasiswa
Bogor yang disingkat Fosmib. Fosmib tidak praktis. Dia semacam kelompok
kajian masalah aktual, juga wadah bagi anggotanya melatih diri. Seminggu
dua kali dilakukan diskusi non formal di sana. Malam Kamis, penyajinya
dari internal Fosmib. Malam Senin, didatangkan nara sumber. Di sana, aku
mulai berlatih menulis, menganalisis, dan bicara.
Walau masih baru namun karena sedikitnya mahasiswa hukum di Bogor
maka aku diminta teman-teman untuk mengelola Divisi Hukum Fosmib.
Selain di Fosmib, aku menenggelamkan diri dalam berbagai kegiatan.
Walau belum terdaftar di satu organisasipun namun aku sudah ditarik-tarik
para aktivis. Tak apa-apa, memang ini yang kuharap.
Aku tak membeda-bedakan ekstra dan intra. Bagiku, kegiatan di dalam

41

BantuanPendi

dan di luar kampus sama saja, begitu juga dengan organisasinya. Samasama
tempat belajar, sama-sama tempat mengubur kekelaman.
Man, tadi ada telepon dari Australi. Dia nyari Ucok. Kubilang nggak ada
orang Medan di sini tapi dia ngotot, katanya bukan Ucok dari Medan tapi
dari Momondow di Sulawesi. Memang ada Momondow di Sulawesi?
Memang orang Sulawesi dipanggil Ucok juga? berondong Kang Asep
begitu aku.
Aku memandangnya sejenak ke-mudian terlibat dalam penjelasan
panjang-lebar. Tentang beda Uco dan Uyo, bukan momondow tapi
Mongondow karena momondow ber-arti berteriak dalam bahasa Mongondow,
letak Mongondow di Sulawesi Utara, kuduga itu dari Harnum dan
mungkin dia ngaku sebagai Nanu maka kujelaskan arti Nanu.
Kang Asep biasanya banyak tanya tapi terdiam sesaat. Pacarmu, ya?
Aku tersenyum. Tapi jangan bilang orang-orang karena ini hanya
mongabo, kataku, membuat jedah sedikit kemudian cepat-cepat
menambahkan ketika kulihat dia mau bertanya: Ada pesan?
Iya, kamu disuruh nunggu. E
Kang Asep masih ingin bertanya tapi aku sudah lari ke kamar. Aku tahu
yang dia tanyakan, pasti tentang mongabo. Mongabo sama dengan
ngakungaku,
aku sumpah tak akan pernah bilang padanya.

42

BantuanPendi

Aku tersenyum. Lebih tersenyum lagi ketika menyadari Harnum telah


menyebut dirinya Nanu. Sejak pertemuan tiba-tiba dua bulan lalu, kami tak
pernah berkomunikasi.
Telepon berdering. Aku mengangkatnya.
Hallo, bisa bicara dengan Uyo dari Mongondow? Suara merdu
terdengar dari seberang.
Ini Bogor, Mbak. Bukan Mongondow. Aku menahan tawa.
Iya, ngerti. Maksudnya Uyo yang tinggal di sana tapi berasal dari
Mongondow.
Ini siapa?
Dari Nanu di Melburne. Terdengar jawaban ketus.
Perasaan Nanu hanya ada di Mongondow
Ini Uyo, ya? Terdengar orang diseberang berteriak. Sialan. Pemar.
Buredongka. Berikutnya umpatan dalam segala bahasa.
Aku terbahak. Harnum alias Nanu mengumpat.
Bagaimana Australi, Nu? aku sengaja mengatakan Australi dan bukan
Melburne karena kesulitan mengeja.
Kemudian Harnum bercerita tentang Australia. Saat ini di Australia
sedang salju.
Wah, esnya gratis, komentarku.
Iya, kalau mau masuk angin dari kepala, sahut Harnum.

43

BantuanPendi

Harnum bicara banyak. Dia cerita bagaimana hidup di negara kangguru


sana. Cukup banyak gosip.
Harnum tinggal di apartemen. Sendirian. Tetangganya bule semua tapi
mereka cukup rukun.
Orang bule ternyata baik-baik, Yo. Mereka ramah dan banyak
membantu, tapi, ya itu
Apa? tanyaku penasaran.
Di sini orang-orang hidup bebas. Semua serba free. Tetanggaku lelaki
buaya. Dia gonta-ganti pasangan, dibawa ke apartemen lagi. Dan tak ada
yang menegur. Semua urusannya selama dia ribut di apartemennya. Kalau
sampai ribut ke luar, penjaga apartemen, bahkan polisi, bisa datang
menegur.
Jadi, buaya itu sudah pernah memakan kamu atau
Yo, potong Harnum keras, aku Nanu in Bolaang Mongondow, kalau
pikiranmu begitu, lebih baik jangan panggil aku Nanu.
Sory, maaf, cuma bergurau.
Jangan ulangi. Serius. Hatiku sakit kamu katakan begitu. Aku kecewa,
Yo, ujar Harnum lantang. Nampaknya dia marah sekali.
Iya, Nanu, tak akan saya ulangi. Maafkanlah, Utat.
Akhirnya redah juga amarah Harnum. Harnum mudah marah tapi cepat
memaafkan kalau masalahnya segera diselesaikan. Kalau tidak, geretannya
akan panjang.
44

BantuanPendi

Bagaimana sekolahmu? Kau kuliah di mana? tanyaku. Dari tadi


Harnum hanya bercerita tentang Australia dan sangat terlihat tak ingin
membahas masalah kuliah.
Alhamdulillah, saya lolos walau harus bayar sendiri, kata Harnum
terdengar enggan. Kuliah di manapun sama, Yo. Di dalam-di luar, di
negeri-di swasta. Tak ada bedanya. Yang terpenting adalah semangat
mencari ilmu. Ingat, Einstein justru menjadi manusia luar biasa setelah lepas
dari pendidikan yang terinstitusikan. Edison juga. Intinya, tak usah lihat
lembaganya.
Aku tercenung. Harnum tak biasa menasehati tapi kata-katanya cukup
menghibur.
Oh ya, Papa menyuruhku membujukmu kuliah di Jakarta. Kebetulan
rumah kami tak jauh dari kampus. Swasta memang tapi bonafit. Rumah itu
kosong, Yo. Papa minta kamu tinggal di sana sambil kuliah.
Saya sudah di Bogor, ujarku.
Kamu bisa pindah. Papa akan mengatur.
Papa mengatur? Saat ini, proses tak penting karena semua bisa diatur!
Andai kuminta Papa Harnum mengatur UMPTN mungkin aku bisa lolos
seratus persen. Aku nyaris terkekeh. Aku gagal di Bogor, Nu. Di sini aku
akan bangkit!
Jelas terdengar Harnum menarik napas. Walau sempat bermusuhan
namun dia dan aku sebenarnya sama. Sama-sama punya ego besar!
45

BantuanPendi

Hidup sama dengan roda pedati, Yo. Kadang di atas, kadang di bawah.
Kalau kamu ingin di atas terus maka hentikanlah pedati itu saat engkau di
atas. Tapi harus kamu ingat, kalau engkau melakukannya maka pedati yang
lain sudah mendahuluimu.
Aku tersenyum. Mungkin dia menyemangatiku agar kembali meraih
puncak setelah terpuruk di UMPTN. Ya, seperti roda pedati.
Dampak membayar joki baru terasa sebulan setelah kuliah. Aku benarbenar
terkena kanker alias kantong kering. Aku juga baru sadar bahwa uang
bulanan sangat kurang. Uang bulanan ternyata hanya cukup untuk makan
sekadarnya. Untuk copy, buku, makalah, beraktivitas, dan lainnya tidak
mampu. Sempat terpikir untuk minta tambahan tapi aku sadar orang tuaku
membiayai empat anak. Lagi pula, aku sudah melakukan kesalahan dan
segala yang menimpaku sekarang merupakan hukuman. Aku harus
menerima!
Sekali lagi kugunakan kecerdasan dan kemampuan bergaul. Tugas
kelompok kukerjakan, pengetikan dan penggandaan kuserahkan pada
temanteman.
Aku membuka diri untuk penyelesaian tugas individu, untuk itu aku
mendapat lima sampai sepuluh ribudisebut uang rokok. Di setiap kegiatan
aku aktif, di sana aku dapat makan gratis.
Sebagai anak rantau yang dianggap telah siap lahir batin, sebenarnya aku
sungkan juga. Aku telah jadi peminta-minta. Namun, mau apa lagi? Aku tak
46

BantuanPendi

punya pilihan!
Karena kemahiran bergaul, aku dekat dengan teman-teman kaya. Tapi
Susan yang paling dekat.
Susan cerdas dan kaya. Sebenarnya tak ada untungnya bergaul denganku.
Tapi begitulah alam mengatur. Tidak selamanya kaya dan fakir dikontraskan,
seperti juga orang baik-baik dan penjahat tak perlu dibuat
jurang. Semua manusia!
Tiap hari Susan mengantar-jemputku dengan mobil mewahnya. Setiap
saat kami mendiskusikan berbagai persoalan. Susan sering curhat padaku.
Dia WNI Keturunan, begitu Negara menyebut warganya yang bermata
sipit; masyarakat lebih bijak dengan menyebutnya non prisebenarnya
tidak benar juga karena yang ber-mata lebar dan berhidung mancung tetap
dikatakan pribumi. Kerusuhan yang terjadi dipenghujung 1996 menjadi
keluh kesah Susan.
Apa Cina terlalu jahat sehingga dimusuhi terus, Man? gugatnya.
Bukan! Tapi generalisasi terjadi. Masyarakat memandang semua orang
Cina sama dengan Edi Tansil yang korup, majikan penganiaya pembantu,
Cina gila yang merobek al-Quran dan membunuh anak-anak, serta tak mau
bergaul. Padahal yang menyimpang hanya oknum.
Kalau Edi Tansil memang oknum, Man. Juga penganiaya pembantu,
Cina gila pembunuh, dan tidak peduli pada orang tidak mampu. Tapi, yang
eksklusif bukan oknum lagi. Kami punya kawasan pecinaan seperti di luar
47

BantuanPendi

negeri. Mereka ini bangsat!


Yang penting kamu tidak.
Susan tersipu.
Aku baru akan salin ketika pintu diketuk. Tumben ada tamu yang begitu
sopan mengetuk pintu. Kostanku tempat ngumpul aktivis. Tamu bebas
keluar-masuk tanpa harus mengetuk. Aku membiarkan.
Ketukan menjadi gedoran yang semakin keras. Akhirnya kubukakan juga.
Ternyata Somat, anak buah Pendi yang hampir mencopet dompetku di
pelabuhan.
Bos menunggu elu. Ikut gua!
Ada apa, Mat? aku penasaran.
Sudah, nggak usah nanya.
Sandiwara apalagi yang dimainkan Pendi? Aku ikut.
Pendi sudah menunggu di mobil. Begitu aku masuk, mobil langsung
dijalankan. Aku mengomeli Pendi.
Maaf, kakak tinggal di tempat yang diawasi intel sehingga harus begini
cara kita bertemu, kata Pendi dalam bahasa Mongondow.
Bos, jangan pake bahasa planet, dong, Somat protes.
Lu lihat jalan, jangan sampai kita mati tabrakan. Preman kok mati
ditabrak, nggak lucu.
Somat terbahak.
Kami bukan penjahat! protesku.
48

BantuanPendi

Pendi terbahak, seolah aku murid play group yang baru kenal dunia.
Di mata pemerintah, kalian dan penjahat sama, Kak. Sama-sama
berbahaya. Bahkan mungkin lebih berbahaya kalian daripada kami. Aku
hanya mengganggu ketentram-an masyarakat, sedang kalian meng-ganggu
kedudukan mereka. Di dunia kami saja kalau ada yang membangkang akan
dilenyapkan apalagi di dunia politik.
Begitu? aku ngeri juga.
Pendi tidak tertawa.
Ini serius, Kak. Pemerintah curiga pada setiap kegiatan mahasiswa. Intel
mengawasi mereka terus. Kabarnya, kalau ada yang macam-macam akan
diculik.
Kamu kok lebih tahu dari aku? aku tak tahan dengan keterbatasan
pengetahuanku.
Penjahat dan penguasa tak selamanya bermusuhan. Terkadang kami
harus melebur untuk menyingkirkan penghalang.
Intinya, kalian jadi tukang pukul penguasa?
Kasarnya begitu. Pendi berubah serius. Sebaiknya Kak Uyo pindah!
Sekarang aku yang tertawa. Pindah ke tempatmu?
Ya,tidak, Kak, Pendi tersinggung.
Nding, aku tak punya uang.
Akan kubiayai.
Kutarik napas. Tidak perlu, Utat. Kalau saya diculik, itu risiko.
49

BantuanPendi

Pendi terdiam, dia sangat tahu siapa sepupunya. Kalau begitu, berikan
nomor rekeningmu.
Untuk apa? Kamu mau nyumbang.
Siapa tahu bisa membantu.
Kuberikan nomor rekeningku agar Pendi tak tersinggung. Ternyata hanya
itu yang dia minta. Setelah putar-putar, aku dipulangkan.
Besoknya, karena penasaran kulihat tabungan. Luar biasa, tabunganku
yang tak sampai sepuluh ribu sudah bertambah sejuta lebih. Ini transfer
pertama ke rekeningku karena orang tuaku mengirimkan uang bulanan lewat
paket. Aku tak tahu dari mana uang yang dikirim Pendi dan aku tak ingin
tahu.

50

MasalahAmin

5
Masalah Amin
Orang yang dibutuhkan dalam hidup Adalah orang yang menganjurkan apa
yang bisa kita
kerjakan
(Emerson)
Cina terus jadi sasaran saat kerusuhan di tahun 1996 ini walau penyebab
kerusuhan sebenarnya bukan dari mereka. Bulan Maret, Tasikmalaya rusuh
gara-gara politik tapi toko dan kios orang Cina yang babak belur.
Ini benar-benar edan, Man. Negara ini sudah jadi Negara bar-bar. Dan
lagi-lagi yang sepisik denganku yang jadi korban. Aku sudah tak tahan
berada di Negara biadab ini, kata Susan.
Kalau kau tak tahan di sini, lalu mau ke mana?
Bumi Tuhan luas. Aku bisa ke mana saja, bahkan aku bisa kembali ke
negeri leluhurku.
Orang di negeri leluhurmu juga ingin ke luar. Mereka mencari swaka di
Negara kapitalis karena tak tahan diperlakukan tidak manusiawi di
negaranya sendiri. Kau pilih mana, disiksa di Negara orang atau dianggap
tidak ada di negeri moyangmu?
Masih banyak Negara lain yang tak seperti Negara ini dan Negara
leluhurku. Aku akan ke sana.

51

MasalahAmin

Aku merasakan keseriusan dari kata-kata Susan. Dengar, San. System


yang berpuncak pada satu orang membuat kita seperti ini. Karena itu, kita
harus berjuang merombak system. Yang terjadi saat ini, anggaplah semua
sebagai persekot. Selama kamu aman, yang lain jangan dulu dipersoalkan.
Entah karena kata-kataku atau bisikan gaib dari langit, Susan tak pernah
menggugat lagi. Malah dia bergabung di FosmibSusan salah satu donator
utama Fosmib dan satu-satunya perempuan yang aktif. Susan juga aktif di
kegiatan lain.
Kawan-kawan menyebutnya Cina yang merakyat.
Jakarta-Bogor dekat. Apalagi ada kereta yang murah. Namun aku dan
Amin seperti terpisah di dua kutub. Sudah setahun lebih aku di Bogor tapi
Amin tak pernah datang. Aku sendiri tak punya kesempatan untuk
menyambangi sepupuku itu.
Kesibukan, kata itu mungkin akan terdengar lucu bagi orang kampung.
Tapi begitu adanya. Kesibukan sebagai aktivis benar-benar mem-buat kami
lupa pada sekeliling.
Kabar Amin justru kudengar dari Mahmud, staf pimpinan pusat Omek
yang juga sekampus dengan Amin. Amin sebenarnya satu Omek dengan
Mahmud yang berarti satu Omek denganku. Tapi, seperti yang sering
dikatakan Amin, dia tak terlalu senang dengan organisasi ekstra. Saat ini dia
jadi pengurus SMPT, tahun depan dia ingin mencalonkan jadi ketuanya.
Amin bagus. Dia amanah dan lurus. Segala yang menurutnya salah dia
52

MasalahAmin

tentang. Walau anggota Omek tapi dia tak ingin diikat. Dia berbuat menurut
standar kebenar-annya sendiri. Kau pasti tahu yang seperti ini tak akan
bertahan lama, Man. Kalau aku jadi kau, dia akan kunasehati untuk menjadi
air. Sekarang belum saatnya jadi besi. Arus masih terlalu kuat untuk
ditentang, kata Mahmud.
Aku tersenyum. Kata kias untuk orang yang pro kemapanan. Lagi pula,
aku merasa lebih tahu tentang Amin daripada Mahmud. Selama di kampung,
Amin dikerangkeng papanya. Di sini, Amin bebas. Aku merasa tak punya
hak untuk memasukannya dalam belenggu.
Kamu kenal Juanda? tanya Bedu, ketua Fosmib.
Kenal. Memang kenapa? kataku tak acuh. Kenal Kak Juanda saja kok
heboh!
Kalau bisa, tolong diusahakan dia bicara di Fosmib. Kita butuh
informasi yang banyak dari dia.
Kalau dia tidak sibuk. Aktivis lebih sibuk daripada pejabat, Bos.
Bedu terkekeh.
Eh, tadi ada telepon dari Juanda. Katanya penting.
Penting? Ada apa lagi? Aku sudah setengah jalan kuliah, tak mungkin
pindah ke Jakarta. Aku segera menghubungi Kak Juanda.
Amin ada masalah, Yo. Kalau bisa kamu ke Jakarta, kata Kak Juanda
di telepon.
Ada apa?, aku panik.
53

MasalahAmin

Kamu ke Jakarta saja.


Sorenya aku ke Jakarta. Aku sempat salah alamat. Aku ke kesekretariatan
organisasi pimpinan Kak Juanda. Ternyata Kak Juanda bukan ketua lagi dan
tak tinggal di sana. Untung salah satu penghuni mau mengantarku ke
kontrakannya.
Aku bersyukur dan tertawa geli mendapatkan Amin pulas tanpa cidera
sedikitpun.
Hei, Abo, ini waktu magrib, waktunya setan merasuk ke orang yang
tidur, kataku.
Amin membuka mata tapi malas bangun. Kapan kau datang? tanyanya,
tangan dia renggangkan.
Baru saja. Bangunlah dan mandi. Kamu bau!
Amin bangun dan ke kamar. Langkahnya lesu. Aku trenyuh. Amin yang
setahun lalu tegar, bersemangat, penuh percaya diri, sekarang lunglai seperti
kembang tak pernah disiram. Luka sepupuku bukan di pisik tapi di hati.
Patah hati. Karena perempuankah? Aku penasaran tapi membiarkan. Nanti
Amin akan bercerita.
Amin lebih tua tapi dia selalu memilihku sebagai tempat curhat. Selama
di kampung, aku cukup banyak mendengar keluhannya, terutama tentang
sikap keras papanya. Sekarang aku siap mendengar keluhannya, entah
tentang apa.
Setelah magriban dan makan, Amin menggiringku ke ruang tamu.
54

MasalahAmin

Apa pendapatmu tentang ini? Amin memberikan secarik kertas.


Aku membacanya, ternyata surat keputusan yang mengeluarkan Amin
dari kampus.
Kok bisa? Kamu kan pengurus SMPT! aku belum terang benar.
Panjang ceritanya, kata Amin.
Amin menceritakan. Ternyata hanya karena Amin menentang pimpinan
SMPT yang didukung rektorat. Berulang kali Amin mengatakan system
yang mem-belenggu di kampus menyebabkan dia didepak. Aku sependapat,
hubungan dosen-mahasiswa atau guru-siswa bukan lagi hubungan antara
orang tua-anak seperti yang selama ini didengungkan tapi sudah jadi
hubungan tuan-hamba sahayaguru atau dosen sebagai tuan dan
mahasiswa
atau siswa sebagai hamba sahaya. Sebagai hamba sahaya, mahasiswa
harus
manut kepada tuan kalau tak ingin ditendang walau sebenarnya hamba
sahaya yang menggaji tuannya, terutama di kampus swasta.
Hubungan yang timpang ini diperparah dengan rezim yang otoriter. Ada
anekdot, raja ingin sebutir telur maka pengawalnya merampok semua telur
milik rakyat. Penguasa otoriter juga begitu. Di bawahnya akan jadi penindas,
ter-masuk di kampus. Agar bisa ter-lindungi harus punya pelindung yang
punya kekuatan dan kekuasa-an, kerennya disebut beking. Hukum tak bisa
diandalkan karena penegak hukum masih bagian dari rezim.

55

MasalahAmin

Memasuki semester tiga aku kuliah, semakin aku sadar bahwa hukum tak
bisa diandalkan. Anda dapat masalah, jangan lari ke hukum tapi carilah
beking! Aku ingat Papa Harnum. Sebagai tentara yang berpangkat dan
bersenjata, aku yakin Papa Harnum dapat dijadikan beking untuk kasus
Pendi. Untuk masalah Amin, mungkin lebih bisa lagi. Amin bukan pelaku
tindak kriminal seperti Pendi. Tapi, Papa Harnum masih di Bolaang
Mongondow. Mungkin suaranya punya pengaruh, tapi lemah tanpa pisik.
Lalu, siapa yang bisa?
Kau kenal Mahmud? tanyaku setelah cerita Amin berakhir.
Amin menyeringai. Dia kusingkirkan saat perebutan kursi senat fakultas.
Orangnya serakah. Sudah mendapat tempat di Omek, masih ingin juga di
intra. Sekarang dia jadi staf di pusat.
Iya. Dia sering ke Bogor. Entah apa yang dia cari.
Pasti terkait dengan kongres. Biasa, minta dukungan agar calonnya
menang. Kalau calonnya menang, posisinya akan naik jadi staf ketua.
Katakata
Amin begitu sinis.
Mungkin saja. Tapi bukan itu maksudku, kataku. Menurutku, dia bisa
menekan rektormu untuk menarik surat keputusan ini.
Amin terkekeh. Biar Kak Ju yang melakukan, katanya.
Aku mengangkat bahu. Rupanya Amin yakin Kak Juanda dapat memberi
solusi. Aku sendiri ragu. Kalau Kak Juanda bisa, mengapa aku dipanggil?
56

MasalahAmin

Aku bisa menuntut?


Menuntut atau menggugat? Dua istilah ini berbeda, Min. Menuntut
masuk kategori pidana, sedangkan menggugat termasuk perdata, aku
mengeluarkan ilmu hukumku yang masih secuil.
Terserah apa istilahnya. Yang pasti, hak asasiku dimatikan. Aku ingin
mendapatkan kembali hakku!
Bisa saja. Tapi tak secepat dan semudah kita bicara. Mau kau seret ke
pidana atau perdata sama saja. Sama-sama merepotkan. Bisa-bisa kau tak
akan pernah lulus kalau menempuh jalur hukum. Bertahun-tahun kau
menunggu, baik menang atau kalah. Kalau kau menang, kau bisa lulus di
kampusmu setelah jadi aki-aki. Kalau kalah, kampus lain akan cemas
menerimamu. Kau harus ingat, Min. Kampus sudah menjadi perusahaan.
Mereka tak akan berani menerima bahan yang akan membuat mereka rugi!
Amin menarik napas. Apa solusimu?
Itu tadi. Cari orang yang tepat untuk jadi beking. Rektormu harus
ditekan lewat orang yang punya kuasa. Kalau kau sungkan pada Mahmud,
kau bisa cari yang lain!
Amin tersenyum tapi mirip mencibir. Salah kamu masuk hukum, Yo.
Seharusnya di Fisip.
Hukum juga negosiasi, Min. Negosiasi dengan penuntut atau penggugat,
negosiasi dengan pembela, negosiasi dengan hakim. Letakan kasus di meja,
perkara beres. Tentu dengan uang!
57

MasalahAmin

Kami tertawa.
Kak Juanda datang. Aku di salami, berulang kali meminta maaf karena
tak sempat ke Bogor.
Rektormu kuat, Min. Jaringan alumni digenggamannya. Orang-orang
yang kuhubungi tak bisa membantu, katanya kemudian.
Omek bagaimana, Kak? Mahmud bisa kuhubungi! kataku.
Apalagi Mahmud! Kak Juanda berpikir sebentar. Oh ya, kamu kenal
Kolonel Arif Pambudi, Yo?
Kolonel Arif Pambudi? aku tak mengerti.
Mertuamu! Masak ndak tahu?
Amin kaget, dia terbelalak. Kamu sudah menikah, Yo? Kenapa aku
tidak kau undang?
Papa Harnum memang sudah di sini? tanyaku.
Sudah!
Punya nomor teleponnya?
Bagaimana ini? Mertuamu kok kamu tak tahu nomor teleponnya?
Amin masih bergurau.
Kak Juanda mengangsurkan buku alamat. Sebentar, Kak Ju. Kita harus
minta persetujuan Amin karena nampaknya dia kurang sepakat. Katanya,
cara kita terlalu politis, aku membalas.
Kamu, Yo. Omongan anak Fisip memang selalu begitu. Sudah, kamu
hubungi sana!
58

MasalahAmin

Mama Harnum langsung marah-marah ketika menerima teleponku. Dia


mengomel panjang-pendek dalam bahasa Mongondow yang semraut karena
tak pernah kukunjungi mereka. Dia menyuruhku dan Amin ke sana kalau
mau dibantu.
Pertemuan dengan orang tua Harnum seperti pertemuan orang tua dengan
anak yang lama berpisah. Orang tua Harnum benar-benar marah karena aku
tak pernah berkunjung.
Uyo payah, Ju, Min, suka berteman dengan anaknya tapi tak mau
dengan orang tuanya. Kusuruh Nanu minta dia kuliah dan tinggal di sini,
dia tidak mau. Bahkan dia tak pernah mengunjungi rumah ini, kata Papa
Harnum dalam bahasa Mongondow dengan logat lain.
Maaf, Pak Arif asli Mongondow? tanya Amin.
Tidak. Kami dari Sumatera. Kenapa? Tak boleh pake bahasa
Mongondow?
Bukan begitu. Harnum kok dipanggil Nanu. Agak aneh rasanya, Amin
menerangkan.
Itu pemberian Uyo. Ya, kamipun memanggil begitu. Lihatlah, dia
sampai memberi nama begitu pada anak kami. Tapi pada kami,
menengokpun tidak.
Kak Juanda dan Amin tersenyum tapi berusaha menahan tawa. Aku diam
saja.
Kamu dan Fiasal, sana, Yo, dengan tantemu. Biar saya bicara dengan
59

MasalahAmin

Juanda.
Aku dan Amin bangkit, juga Mama Harnum. Kami diajak mengelilingi
rumah. Rumah orang tua Harnum besar. Bagian rumah utama terdiri dari dua
lantai yang berkamar lima, kamar orang tua Harnum dan kamar Harnum ada
di lantai dasar. Di lantai atas, ada dua kamar tamu, dan
Ini kamarmu, Yo. Kamar ini sudah disiapkan tapi kamu tak pernah ke
sini.
Sepupuku ini memang aneh, Bu. Dia tidak mau kalau belum resmi,
sambung Amin.
Aku meninju Amin.
Begitu, ya? Kurang resmi apa kami memintamu, Yo? Apa harus
dipanggil penghulu? Sekarang, kamu harus tidur di sini walau cuma satu
malam, kata Mama Harnum.
Aku kaget. Berarti aku tak diperkenankan ke mana-mana.
Kamar itu luas, tempat tidurnya gabus tebal. Di samping tempat tidur ada
rak gantung dengan buku berderet.
Nanu yang menyuruh. Dia tahu kamu kutu buku. Makanya buku di
kamarnya dipindah ke sini.
Aku hanya mengangguk. Harnum sudah mengenaliku, walau belum
terlalu kenal.
Tour dilanjutkan. Di belakang ada kamar pembantu, juga lima kamar
berderet. Menurut Mama Harnum, kamar itu untuk orang daerah yang ke
60

MasalahAmin

Jakarta, entah dari Sumatera atau Bolaang Mongondow. Tapi, saat ini
kosong. Beberapa waktu yang lalu ada rombongan dari Bolaang
Mongondow yang datang.
Sepanjang jalan, Mama Harnum terus bercerita tentang bagaimana daerah
setelah aku dan Amin tinggalkan. Tentang pembangunan, tentang keamanan,
dan lainnya. Kata Mama Harnum, kasus Pendi jadi pelajaran berharga bagi
aparat keamanan. Sekarang, aparat keamanan yang membekingi penambang
liar sudah berkurang.
Tour selesai. Kami kembali ke ruang tamu, bergabung dengan Papa
Harnum dan Kak Juanda yang berbincang serius.
Setelah bicara lama, Kak Juanda pamit. Amin ingin pamit tapi ditahan.
Masalah Amin biar saya coba urus, kata Papa Harnum pada Kak
Juanda.
Sampai tengah malam aku dan Amin dipaksa mengobrol dengan orang
tua Harnum. Orang tua Harnum hanya punya satu anak. Mereka sangat
senang kalau ada teman Harnum yang bertamu. Apalagi Harnum ada di
Australia.
Aku terpaksa meninggalkan segala aktivitas. Amin harus kutemani.
Nampaknya dia terpukul berat setelah usaha Kak Juanda gagal.
Paginya Mama Harnum minta ditemani ke mall. Dia sempat mengguyoni
pakaian Amin yang bau. Setelah membeli baju, kami belanja keperluan
dapur.
61

MasalahAmin

Kita akan masak tinutuan, kata Mama Harnum bersemangat.


Sebenarnya sempat muncul ide untuk membuat binarundak, ilulut,
pinogiot, dan beragam masakan daerah lain tapi sulit. Biasanya
masakanmasakan
itu di masak menggunakan kayu bakar, kurang enak kalau pakai
kompor gas. Lagi pula, siapa yang akan makan. Di rumah besar ini hanya
delapan orang, orang tua Harnum, Amin dan aku serta empat pembantu.
Mama Harnum masak sambil bicara, dalam bahasa Mongondow berlogat
aneh. Pembantu yang membantu memasak hanya bengongmereka sudah
bingung dengan masakannya, juga bingung dengan bahasanya.
Papa Harnum datang setelah magrib. Beliau langsung menyantap
tinutuan dengan lahap. Setelah makan, Amin dan aku dipanggil Papa
Harnum ke teras rumah.
Rektormu tetap bertahan, Min. Dia tak mau merubah keputusan. Kamu
tetap dikeluarkan. Saya sulit memaksa. Dia punya pelindung. Sebenarnya,
kalau mau, bisa saja saya memaksa. Tapi, atasan pasti akan menegur.
Atasan
menegur, di militer, berarti ada catatan buruk yang membuat pangkat sulit
naik.
Jangan mengorbankan apa pun, Pak. Amin lemas tapi berusaha terlihat
kuat.
Atau begini saja. Saya akan berusaha agar kamu dapat surat pindah.

62

MasalahAmin

Kamu bisa transfer ke kampus lain. Bagaimana?


Amin terpekur. Saya pikir dulu, Pak, katanya lesu.
Iya. Pikirkanlah. Dan di sini berpikirnya, jangan ke tempat lain. Kamu
harus menemaninya, Yo.
Aku mengangguk. Tanpa diminta-pun aku akan menemani Amin. Belum
pernah aku melihat sepupuku selesu ini.
Kurasa tawaran Papa Harnum satu-satunya jalan keluar, Min, kataku
begitu kami di dalam kamar.
Aku benar, Yo. Pindah berarti aku mengaku salah! Amin ngotot.
Mengaku salah atau mengaku kalah? Ini bukan main kalah-menang,
Min. Masa depanmu taruhannya!
Amin tersenyum patah. Pindah-pun tak semudah itu, katanya.
Kata orang bijak, lakukan apa yang bisa kamu lakukan karena Tuhan
akan mengurus sisanya. Papa Harnum memang bukan Tuhan. Tapi,
dengannya kamu hanya menentukan kampus pilihanmu. Sisanya, dia yang
mengatur, aku mulai kesal dengan kekakuan Amin.
Aku dikeluarkan karena telah mempermalukan penguasa kampus, Yo.
Tentu rektor baruku tak ingin ini terjadi di kampusnya. Di kampus barupun
aku akan ditekan. Mungkin aku tak akan diperkenankan jadi pengurus
lembaga. Aksesku untuk bisa berkembang akan diputus.
Bisa jadi. Dan ini kiamat bagi aktivis seperti Amin. Aku bisa ikut
merasakan.
63

MasalahAmin

Papa Harnum yang menjaminmu!


Amin terkekeh. Jaminan apalagi? Buktinya untuk menembus rektorku
dia tak sanggup.
Mungkin bisa di kampus lain!
Mungkin bisa. Lalu, bagaimana dengan papa? Kau tahu papa sangat
kolot tapi aneh. Walau menentang keluarga Sampaka namun dia tak pernah
bisa menerima orang yang menentang atasan. Guru atasan di matanya,
apalagi rektor. Bagaimana aku menjelaskan padanya?
Tak perlu dijelaskan. Kau bisa mengarang cerita apa saja. Toh papamu
tidak di sini.
Uang untuk pindah dari mana?
Minta saja. Alasan bisa dibuat. Aku tersenyum dalam hati. Itu pernah
kulakukan saat minta uang jasa joki yang gagal.
Mereka tak akan memberi.
Masak begitu? Walau kutahu papamu keras tapi untuk sekolah anak, dia
tak akan tanggung-tanggung.
Katamu begitu tapi kenyataannya lain. Aku kaget mendengarnya. Aku
tak bisa berkata-kata. Orang tua Amin lebih mapan di ekonomi daripada
orang tuaku. Aku menyangka masalah uang kuliah Amin lancar. Ternyata
tidak. Semua karena aku tak bisa masuk UI. Bagaimana bisa masuk, aku ikut
UMPTN saja tidak.
Kamu bukan gagal UMPTN? aku lebih kaget lagi.
64

MasalahAmin

Menurutku masuk UI hanya untuk memenuhi ego papa. Aku tak ingin
dibelenggu lagi olehnya, Yo. Makanya aku tak ikut. Tapi papa
membelengguku dengan cara lain. Uang bulananku pas-pasan. Masak bodoh.
Aku bisa makan dari tulisan. Tapi sekarang, tulisanku tidak laku. Katanya
terlalu keras.
Aku berpikir sesaat. Sempat terpikir meminta bantuan Pendi tapi
menurutku akan lebih baik kalau uang orang tua Amin yang dikuras.
Keterlaluan kalau orang tua Amin tak mau. Mereka cukup kaya!
Aku akan menghubungi orang tuamu. Akan kubeberkan pada mereka,
semuanya.
Apa mereka mau mendengar?
Baiklah, aku tak sabar. Akan kukatakan pada papa. Kau tahu, orang
tuamu akan mendengar kalau papa yang bicara.
Aku tahu, Amin tahu kata-kata papaku sulit ditolak di keluarga Sampaka.
Papa Amin dan Papa Rusman akan bersatu kalau berhadapan dengan
papaku
walau papa anak bungsu. Ini senjata pamungkasku, aku yakin Amin tak
dapat mendebat.
Amin menarik napas. Sudahlah, Utat. Kamu harus masuk besok, aku tak
ingin kuliahmu berantakan karena mengurusku. Ingat, ujian sudah dekat.
Mauku juga begitu. Kamu akan bersamaku, siapa tahu kamu tertarik
kuliah di kampusku!
65

MasalahAmin

Bogor terlalu sejuk bagiku. Aku ingin di kampus lain. Yang penting,
besok kamu harus ke Bogor. Tak usah mencemaskanku!
Terserahlah!
Besoknya, aku pamit pada orang tua Harnum. Keduanya berusaha
menahan tapi langsung sadar ketika kubilang harus kuliah. Amin juga pamit,
katanya ingin melihat-lihat kampus yang tepat.
Sorenya, dari Bogor, aku menghubungi orang tua Harnum, menanyakan
kampus pilihan Amin. Ternyata Amin belum pulang. Aku menghubungi Kak
Juanda, Amin tidak di sana. Dua hari kemudian, jawabannya masih sama.
Aku cemas. Jujur aku cemas Amin melakukan perbuatan yang tak masuk
akal. Diam-diam aku ke kostan Pendi. Kusuruh Pendi mencari Amin. Pendi
lebih tahu sisi-sisi Jakarta.

66

Reformasi

6
Reformasi
Perubahan merupakan keharusan
Karena merupakan kesempatan bagi orang-orang teraniaya untuk
menuntut balas
(Ansy)
Krisis moneter Juli 1997 telah jadi krisis pangan. Bukan karena
kebutuhan pokok tak ada. Ada, tapi harganya melonjak. PHK besar-besaran
terjadi yang memper-banyak jumlah masyarakat miskin. Sejak Negara
didirikan, pasal 34fakir miskin dan anak terlantar dipelihara Negaratak
pernah dilaksanakan, namun baru sekarang Negara benar-benar punya
alasan. Negara di ambang kehancuran.
Mulanya mahasiswa menanggapi dengan demonstrasi kecil-kecilan.
Kemudian, di awal 1998, aksi membesar. Sebagai mahasiswa hukum, aku
tergabung dalam divisi advokasi. Bentrok dengan aparat hampir selalu
terjadi dalam setiap demonstrasi. Banyak mahasiswa ditahan. Tugas divisiku
mendata yang luka, juga mengeluarkan yang ditahan. Merepotkan juga
negosiasi dengan aparat yang kesal.
Hari itu massa bisa ditahan hanya demonstrasi di dalam kampus. Walau
diluar aparat manyun dengan helm ala tentara Nipon, tameng, dan tongkat,
berjaga dengan hati panas, namun mereka tak masuk. Agak lucu juga
67

Reformasi

melihat manusia berseragam coklat itu diledek. Terkadang aku berpikir,


wajar kalau para peledek itu digebugi. Ledekan-ledekan mereka keterlaluan.
Kok manyun? Sudah berapa hari ndak mendapat jatah dari isteri?, Dia
sih tidak mendapat jatah dari isteri, tapi dari Mince yang dia garuk tadi
malam., Pulang saja, Pak. Isterimu gatal menunggu., Pak, isterimu nanti
aku selingkuhi, lho., Hei, digaji berapa, elu? Sampai mau menjaga gua.
Makasih!
Walau sama-sama mahasiswa, aku merasa wajar mereka dihajar. Ledekan
itu sudah ke pelecehan!
Karena demonstrasi di dalam kampus, tugas divisiku tidak berat. Tak ada
mahasiswa yang dipukuli, juga tak ada yang ditahan.
Aku pulang ke kostan setelah demo bubar. Kostan sepi. Hanya Kang
Asep di sana. Kawan-kawan asyik berbincang di kampus. Dan malam nanti
perbincangan itu akan dibawa ke kostan. Fosmib akan mengkaji langkah
berikutnya. Agak aneh. Kalau dipikir-pikir, sebenar-nya Fosmib otak
demonstrasi. Tapi, sampai sekarang belum satupun dari kami yang
ditangkap.
Telepon berdering. Aku malas mengangkat. Kepala Kang Asep nongol di
pintu kamar. Siapa Sadoeh, tanyanya.
Sadohe orang pertama yang mempersatukan kekuasaan di Bolaang
Mongondow. Dia berkelana dulu sebelum dinobatkan. Kujelas-kan itu pada
Kang Asep yang punya rasa ingin tahu besar, kurasa dia cocok masuk
68

Reformasi

Antropologi, sayang dia hanya jadi pelayan di sini.


Yang jadi pertanyaan, siapa pengguna sandi ini? Aku penasaran.
Ternyata Pendi. Dia bilang Amin sudah ditemukan di pasar Senen,
membantu Dani. Dani teman sekapalnya saat ke Jawa.
Aku menggeleng. Luar biasa Pendi. Dia bisa jadi detektif. Hanya
berbekal foto, dalam seminggu dia berhasil menemukan Amin.
Aku ke sana. Tunggu di Senen.
Pembicaraan ditutup.
Hari sudah malam ketika aku sampai di stasiun Senen. Pendi sudah
menunggu. Kali ini hanya Pendi. Kata Pendi, Somat sedang bekerja.
Pekerjaan macam apa, aku tak bertanya.
Kami segera ke pasar Senen.
Kita kurang beruntung, kata Pendi begitu melihat kios yang diduga
tempat Amin berjualan sudah ditutup.
Kamu tahu tempat tinggalnya? tanyaku agak kecewa.
Tahu. Mau ke sana?
Aku berpikir sesaat. Sebenarnya aku hanya butuh kepastian bahwa yang
dilihat Pendi benar-benar Amin. Aku hanya ingin membukti-kan Amin
benar-benar masih di bumi. Aku belum yakin akan menemui Amin kalau
benar dia di sini. Amin masih traumah, butuh tempat menyepi. Kalau
diganggu, bisa-bisa dia nekad.
Besok saja. Kalau besok tak ada, kita ke tempat dia tinggal, aku
69

Reformasi

memutuskan.
Pendi mengangkat bahu, meniru film-film tapi lucu.
Sekarang, kakak bermalam di mana. Di tempat Juanda atau Papa
Harnum?
Kau tahu dari mana Papa Harnum di Jakarta? aku tak tahan menahan
rasa penasaran.
Penjahat punya informasi banyak, Kak. Karena itu penjahat sulit
ditangkap.
Buredongka, aku mengumpat.
Jadi, kakak menginap di mana?
Di tempatmu saja.
Ayo kita berangkat.
Aku bingung ketika Pendi membawaku ke Tanah Abang. Pangkatku
sudah naik, Kak. Aku bukan kuli lagi. Sekarang aku jadi penjahat Tanah
Abang, katanya.
Aku trenyuh. Kapan Pendi sadar? Namun Aku yang harus sadar. Manusia
berhak memilih jalan hidup. Orang seperti Pendi, percuma dinasehati. Butuh
sesuatu yang luar biasa untuk menyadarkannya.
Di sepanjang jalan sampai kontrakan, Pendi menceritakan apa yang dia
lakukan. Dia perampok sekarang. Tapi, sepanjang korban patuh, Pendi
pantang menyakiti. Incarannya orang-orang kaya. Dia melarang anak
buahnya mencuri yang miskin. Dia pernah berkelahi dengan anak buahnya
70

Reformasi

karena yang diincar orang miskin. Juga tak boleh memperkosa. Kalau ada
yang berani memperkosa akan dibunuh.
Dibunuh? Aku benar-benar ngeri. Tapi, seperti inilah dunia Pendi. Nyawa
adalah taruhan!
Di kostnya, Pendi membuka baju dan melemparkan begitu saja ke kursi.
Tubuhnya kekar, lebih kekar dia daripada aku. Dan mulus, tidak bertato
seperti umumnya penjahat, juga tak ada bekas luka.
Kelompokmu tak punya tanda? tanyaku.
Mengapa melakukan perbuatan bodoh itu? Selain tak menghargai Tuhan
yang telah mengaruniai kulit bersih, juga mempermudah polisi melacak. Di
duniaku, menyembunyi-kan identitas sangat penting, Kak.
Aku mengangguk-anggu. Kalau aku polisi, penjahat seperti Pendi yang
kujadikan target utama. Dia sulit dilacak. Dapat dilacakpun akan sulit
membuktikan bahwa dia penjahat. Ini yang terjadi pada penjahat-penjahat
berdasi.
Kak, ini benar-benar serius. Sebaiknya Kak Uyo pindah kost dan tak
ikut demonstrasi. Risikonya besar! kata Pendi setelah bosan menceritakan
dirinya.
Risikonya lebih besar mana dari merampok? kataku tak acuh.
Sama. Sama-sama mati. Tapi Kak Uyo tidak seperti saya. Lulus SD
saja tidak, membunuh polisi lagi. Papa sudah siap melakukan harua. Sedang
Kak Uyo, bukan hanya Tua yang menunggu tapi masyarakat. Masyarakat
71

Reformasi

butuh Kak Uyo dalam keadaan hidup dan punya pengetahuan tinggi.
Sebaiknya Kak Uyo belajar saja.
Tua adalah panggilan sepupu-sepupuku untuk orang tuaku karena mama
anak tertua di keluarga Kokait.
Demonstrasi pelajaran juga, Nding. Pelajaran di luar kampus. Tak ada
nilai karena dasarnya nurani kita. Kalau kita tulus, nilainya akan tinggi. Mati
tak masalah!
Masyarakat tidak butuh demo. Masyarakat butuh sembako murah.
Kenapa kalian tidak mengadakan pasar murah saja? Itu lebih dirasakan
rakyat!
Aku kaget melihat cara Pendi ber-debat. Pendi begitu bersemangat.
Guratan di dahinya sampai terlihat. Tapi aku tak mau menyerah. Egoku
bangkit. Aku mahasiswa. Pendi, ah, hanya perampok muda!
Dan aku temukan lawan debat yang lebih tahu realitas. Kami berdebat
sampai kantuk datang.
Kontrakan Pendi lebih nyaman dari kostnya di Periuk. Tapi tubuhku yang
terbiasa dengan hawa Bogor tetap gerah. Mana nyamuknya ganas membuat
aku sulit memejamkan mata tanpa bersilat.
Di rumah mertua lebih enak, eh malah memilih tidur di tempat
penjahat, gurau Pendi.
Jarak kami dekat. Aku dapat leluasa melihat. Untung yang dilihat sedang
sibuk melayani pembeli.
72

Reformasi

Benar! Itu Amin! Aku yakin.


Ada rasa syukur dan haru. Amin melayani pembeli dengan ramah walau
si pembeli tak ramah. Sangat nampak Amin berusaha membuang ego. Amin
dan papanya sebenarnya sama, sama-sama keras dan egois. Beda-nya,
Papa
Amin ingin menang atas nama dirinya, sedangkan Amin atas nama keluarga.
Papa Amin ingin menjadikan namanya, Abidin, sebagai fam keluarga
mereka. Amin ingin utuh sebagai Sampaka.
Didatangi saja, Kak. Diajak pulang. Masak anak Abidin berjualan
begitu, kata Pendi.
Huss, aku membentak. Kalau dia tahu kita tahu dia di sini, dia akan
pergi.
Jadi?
Biarkan saja!
Jadi hanya untuk membuktikan itu benar-benar Amin kakak ke sini?
Kakak tidak mempercayai saya?
Kadang manusia perlu pembuktian, Nding. Bukan sekadar kata orang.
Ah, gua dibayar kagak. Masih menyita waktu gua lagi. Payah!
Aku terbahak mendengar logat Betawi Pendi.
Aku patut mengasihani diri sendiri. Semalam kurang tidur, di kereta
penuh sesak, sampai di kost langsung disuruh ke kampus. Mau menolak
namun tak bisa. Terpaksa kuayunkan langkah ke kampus.
73

Reformasi

Rupanya kawan-kawanku demo keluar kampus dan bentrok.


Sembilan orang masih ditahan, Man. Kamu harus segera ke sana, kata
Buang.
Ke mana Bang Is? aku kesal.
Ismunadi atau biasa dipanggil Bang Is adalah negosiator ulung di divisi
advokasi. Dia bisa meluluhkan besi, kata kawan-kawan. Entah dengan apa
dia bisa melepaskan demonstran yang ditahan. Seperti-nya aparat manut saja
padanya.
Sesampainya di Polres, Mahdi sedang berdebat dengan petugas. Mahdi
tak bisa diandalkan untuk persoalan begini. Dia pentungan!
Ternyata yang dipermasalahkan izin. Negara menjamin kemerdeka-an
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Itu di konstitusi, Pak!
Mahdi mengutip pasal 28.
Polisi yang dari papan namanya bernama Sudjarwo, S.H tersenyum.
Anda hanya mengutip sebagian. Seharusnya Anda tambahkan dengan
ditetapkan dengan undang-undang. Dan menurut undang-undang, Anda
harus mengurus izin dulu. Kalau diizinkan baru bisa demonstrasi. Itu kata
undang-undang, lho! katanya.
Boleh saya bicara, Pak, kataku. Pak Sudjarwo menatapku. Mohon izin
bicara memang tak diatur di undang-undang, Pak. Tapi diatur tatakrama.
Jadi, boleh saya bicara?
Pak Sudjarwo terkekeh. Anda sudah bicara, katanya.
74

Reformasi

Jadi, diizinkan? aku memasang mimik serius.


Oh, silahkan, kata Pak Sudjarwo juga serius.
Kali ini kami salah, Pak. Lain kali kami akan memberitahukan Anda.
Ah, begitu baru benar.
Ah, hanya soal merendah rupa-nya. Kalau tetap memasang harga, yang
dituju tak akan kesampaian kecuali ada mukjizat.
Ternyata Susan termasuk yang diciduk. Kau ke mana saja? Aku diobokobok
polisi kau malah menghilang. Awas, akan kutuntut. Mereka telah
melecehkan
Susan terus mengomel yang ku-dengar dalam diam. Walau mengaku
orang tuanya dekat kekuasaan namun Susan selalu ikut dalam gerakan. Bisa
dikatakan dia komandan perempuan demonstran.
Kalau orang tua Susan tahu, akankah terjadi pertumpahan darah?
Mungkin tidak!
Aku teringat pada Amin yang menentang orang tuanya. Juga pada
Harnum. Ah, Nanu. Di tengah bangsa yang bergejolak, dia sedang apa?
Apakah dia memikirkan
Aku tak berani menambahkan kata ku.

75

Isu

7
Isu
Hati-hatilah dalam berbicara karena dindingpun bertelinga
(Ansy)
Demonstrasi berlangsung di mana-mana. Kenaikan harga sembako, PHK,
dan lainnya masih menjadi isu sentral. Namun desmonstrasi itu berserak,
dalam jumlah yang kecil-kecil. Para anak kuliahan, begitu mahasiswa
yang hanya terlibat dalam perkuliahan disebut, tak mau ikut padahal jumlah
mereka berlipat banyaknya dibandingkan para aktivis. Bahkan banyak
aktivis yang masih bersikap with and see.
Demonstrasi jadi tak bertaring. Liputan media agak kurang membuat
beberapa aktivis selebritis mulai kehilangan giroh. Kontras sekali dengan
penangkapan pasca demonstrasi yang hampir selalu terjadi.
Bogor punya sedikit mahasiswa hukum, lebih sedikit lagi yang bergabung
dengan dunia aktivis. Merepotkan karena hampir disetiap demonstrasi yang
bermasalah selalu meminta bantuan Divisi Advokasi Fosmib jika ada
demonstrasi bermasalah. Karena itu kuajukan pertemuan dengan semua
organisasi mahasiswa aik di intra maupun ekstra, OKP, dan lainnya.
Antusias juga rupanya teman-teman. Hampir semua organisasi
mengirimkan utusan. Ruang tamu di markas Fosmib penuh sesak. Bahkan
dua organisasi yang selama ini bertentangan, organisasi garis keras yang
76

Isu

oopuler dengan isu-isunya serta organisasi kepemudaan lindungan


pemerintah, juga hadir.
Semua sepakat kondisi negara sedang sakita parah sehingga perlu
penanganan segerah, sebuah penanganan yang menyeluruh.
Karena kita sepakat bahwa perlu ada penanganan yang menyeluruh
maka kami meminta agar isu yang diangkat sudah harus menyentuh top
leader negara
Wah, tidak bisa begitu, Awal dari OKP yang pelindungnya pemerintah
memotong Nasrun dari organisasi yang dikenal garis keras.
Saya belum selesai, Kawan Awal
Jangan kau pakai kata-kata itu, aku bukan komunis, bentak Awal.
Semua tertawa mendengarnya, Awal nampak tersinggung berat, bibirnya
manyun. Serius, aku tak ingin mendengar kata-kata itu di sini. Kalau masih
menggunakan kata-kata seperti itu, kami menarik diri, ancamnya.
Sabar dululah, bujukku. Di kampungku ada kata-kata bijak, dugupa
motaaw bahasaan
Wah, apalagi tu, jangan pake bahasa planet dong, potong Heru.
Emangnya lu bukan hidup di planet, Her?
Heru ma tinggal di Bogor atu, bukan di planet bumi, iya kan, Her?
Hahahahaha.
Heru memerah wajahnya. Dia memang telah memproklamirkan diri

77

Isu

sebagai bangsa Indonesia sehingga ogah memakai bahasa daerahnya,


bahasa
Jawa.
Jadi maksudnya, Kawan-kawan, di kampungku ada kata-kata bijak
bahwa darah yang sudah mengalir saja masih bisa dibahasakan apalagi cuma
kesalahpahaman. Karena itu, saya yakin kita bisa mencapai kesepakatan
dipertemuan ini, jelasku.
Wah, tumben kau bijak, gurau Heru.
Daerahku yang bijak, bukan aku, sungutku.
Tidak bisa begitu, Man. Carut marut kehidupan negara ini karena pucuk
pimpinan di negara kita tak becus mengelola negara sehingga bagi kami
mengaitkan top leader dengan apa yang terjadi sekarang merupakan
keharusan. Kami akan tetap bergerak dengan isu itu walau forum ini tak
menyepakati.
Banyak faktor yang harus kita perhatikan, Run, termasuk kekuatan dari
top leader kita. Saya merasa kita akan langsung menghilang seperti peristiwa
Malari kalau kita langsung bergerak dengan isu yang keras. Yang kita
butuhkan sekarang adalah meyakinkan akar rumput agar mereka bisa
bersama kita sehingga gerakan kita benar-benar menyatu dengan rakyat,
kata Iril dari Fosmib.
Kami sudah mengkonsolidasikan akar rumput, Ril, mereka siap
bergerak, tegas Nasrun.
78

Isu

Kalian masih mendapatkan keuntungan kalau dana dari luar


Kalian bukan malaikat, Wal, kalian hanya satpam penguasa
Minimal kami tak menjual negara pada pihak luar
Ini sudah penghinaan.
Perdebatan itu terus berlangsung. Kedua organisasi ini memang musuh
bobuyutan dan sekarang mereka perang. Aku tak sanggup mengendalikan
dan akhirnya aku harus memutuskan.
Saya harus bicara, kataku keras dan setegas mungkin. Perdebatan
terhenti. Teman-teman kami undang ke sini untuk menyamakan persepsi,
siapa tahu bisa melangkah bersama. Tapi melihat perdebatan yang tak
berkesudahan ini, saya merasa kita akan sepakat bahwa kita memang tidak
bisa sepakat.
Dengan begitu, berakhirlah pertemuan. Kawan-kawan dari OKP binaan
pemerintah serta kawan-kawan dari organisasi garis keras langsung pulang.
Yang lain memilih untuk bertahan.
Kami sedang asyik ngobrol ketika pintu berbunyi keras.
Awas batu, teriak seseorang, entah siapa.
Seperti dikomando kami melindungi diri. Agak lucu juga melihatnya.
Semua panik. Berbagai umpatan ditujukan pada dua organisasi yang baru
meninggalkan ruangan. Kami nyaris berantem sendiri karena saling
membela.
Kami benar-benar harus siap. Tak tahu siapa yang mengambil apa untuk
79

Isu

membela diri jika ada yang masuk. Lari, tak mungkin.


Ternyata lemparan hanya sekali itu.
Coba lihat apa yang terjadi, Man. Kamu yang mengundang jadi kamu
yang harus memastikan bahwa semua aman, kata Iril.
Aku dongkol namun kasihan juga begitu melihat Iril yang jago berkoar
ketika demonstrasi telah pucat pasi.
Mengendap aku ke depan, perlahan membuka pintu tapi tetap berusaha
berlindung. Di depan pintu ada batu yang dibalut kertas. Cepat-cepat
kuambil batu itu dan segera mengunci pintu.
Ini barang buktinya, kataku.
PERGILAH, SEBENTAR LAGI POLISI DATANG
Sialan Nasrun, dia mengadu kita dengan Awal, kata Iril yang diiyakan
teman-teman lain.
Kami sangat yakin bahwa itu perbuatan teman-teman dari organisasi garis
keras sehingga kami tak begitu memusingkan. Kami melanjutkan obrolan
sambil tiduran.
Entah berapa menit kami tertidur ketika
Bangun...bangun...
Teriakan-teriakan itu mengagetkan kami. Kami langsung terduduk.
Empat orang berambut cepak menendang yang tidur sambil berteriak-teriak.
Kami sadar telah diserang petugas, entah baju coklat atau hijau.
Interogasi di tempat langsung dilakukan. Dalam kantuk kami menjawab
80

Isu

pertanyaan-pertanyaan yang menekan. Aku heran mengapa kami


diinterogasi di tempat. Kuduga mereka hanya main-main tapi dari lencana
mereka sangat jelas mereka polisi yang berpakaian preman.
Setelah mereka pergi dengan meninggalkan beragam peringatan keras,
kami terlibat perdebatan. Nyaris semua yakin ini perbuatan Awal dari OKP
binaan pemerintah.
Aku justru heran dengan peringatan melalui batu itu. Entah mengapa
pikiranku pada Pendi.

81

SangPengelana

8
Sang Pengelana
Berpindah-pindah profesi kalau bukan untuk mencari jati diri pasti untuk
menyembunyikan diri
(Ansy)
Institut Pertanian Bogor mempunyai tradisi yang aneh. Beberapa waktu
yang lalu terjadi tauran antar Fakultas saat lomba basket yang ricuh. Tim
independen dan lainnya telah dibentuk namun tak menyelesaikan persoalan.
Kerusuhan ini terselesaikan justru dengan mengabaikan persoalan.
Mereka telah merancang aksi bersama lintas Fakultas, yang dijadikan target
bukan siapa-siapa melainkan diri mereka sendiri. Kampus dinilai ikut
bertanggung jawab atas krisis pangan yang telah menimpa negara agraris
nan subur ini.
Walau masih ngantuk dan pusing karena peristiwa semalam, aku
mengharuskan diriku untuk hadir. Syukurlah peristiwa semalam belum
banyak diketahui teman-teman sehingga aku tak sibuk menjelaskan.
Kami berjalan mengelilingi kampus Darmaga, mendatangi Fakultasfakultas.
Long march berakhir di depan Rektorat. Rektor diminta untuk hadir
dan beliau memang cukup gentle, tak ada raut kecemasan begitu melihat
mahasiswanya sendiri mendemo.
Rektor harus bertanggung jawab atas krisis pangan yang terjadi karena
82

SangPengelana

ternyata kampus yang mengkhususkan diri ke pertanian ini tak bisa berbuat
apa-apa, kata Isar, anak Fakultas Perikanan.
Saya hanya Rektor, Bung, sementara yang Anda ungkapkan terkait
dengan kebijakan. Karena itu doakan saja ada orang pertanian yang menjadi
pemimpin negara di masa yang akan datang, jawab Rektor yang disambut
sorakan.
Dari Dramaga, aku sengaja menunggu angkutan. Tawaran teman-teman
untuk mengantar aku tolak. Mengingat kondisiku yang kurang tidur, aku
takut akan celaka kalau dibonceng motor. Lagi pula, agendaku menumpuk.
Aku ingin istirahat di angkutan.
Mobil itu berhenti persis di depanku. Kaca sopir diturunkan sedikit dan
nampaklah Somat. Pas sekali. Aku memang ingin bertemu Pendi.
Aku melangkah ke mobil. Pintu dibuka dan aku masuk. Pendi berpakaian
rapi sekarang. Kemejanya pakai dimasukan segala.
Wah, aku yang mahasiswa kalah, gurauku.
Jelaslah, kalian yang aktivis memang selalu berpakaian kumal. Katanya
ingin menyatu dengan rakyat padahal rakyat sama sekali tak ingin memakai
pakaian kumal begitu. Kalian ini mempertahankan status quo orang miskin
di Indonesia, balasnya.
Walau bisa kubenarkan argumen Pendi namun aku diam. Orang seperti
Pendi akan selalu menilai apa yang tersurat tapi tak pernah mempedulikan
apa yang tersirat.
83

SangPengelana

Aku lebih tertarik memperhatikan mobilnya. Aku tak tahu mobil ini
mobilnya sendiri, dari rental atau hasil rampokan. Yang jelas sangat empuk
sehingga membawaku segera ke alam mimpi.
Aku terbangun ketika sampai. Rumah yang akmi datangi kali ini jauh
lebih bagus dari kostan Pendi di Periuk maupun rumah di Tanah Abang.
Rumah ini terdiri dari dua lantai, di depan ada taman dengan beraneka bunga
dan hiasan lainnya. Sayang rumah ini tertutup. Tak ada orang luar yang
mengetahui apa yang terjadi di dalam.
Ini benar-benar rumahmu atau hanya ngontrak? tanyaku penasaran.
Bukan rumah Efendi Kokait atau yang biasa dipanggil Ending, Kak.
Rumah ini milik dari Antong. Dan sebaiknya mulai saat ini Kakak jangan
lagi memanggilku Ending tapi panggil Antong, jelasnya.
Baiklah, Antong. Tapi apa nama ini tak terlalu berat padamu?
Pendi terkekeh. Di kampungku, pemberian nama harus diperhatikan betul
karena bisa membuat orang sial atau selalu sakit. Menurut kepercayaan
orang-orang, nama tersebut tak sanggup dipikul oleh yang diberi nama.
Aku sadar apa yang kulakukan salah, Kak. Tapi aku juga sadar bahwa
aku belum bisa keluar dari duniaku. Karena itu, aku berusaha melindungi
keluarga dan daerahku dari perbuatanku yang salah. Aku tak ingin Kokait
tercemar.
Nah, apa arti sebuah nama, kata William Shakspeare. Tapi ternyata nama
sangat berarti. Menurut agama, nama adalah doa. Menurut orang di
84

SangPengelana

kampungku, nama sesuai dengan daya pikul yang diberi nama. Dan bagi
Pendi, nama adalah tempat berlindung.
Terserah padamu, kataku. Apa boleh kita masuk?
Oh iya, silahkan, di melebarkan tangan seperti penjemput tamu. Apa
Kak Uyo tak melanjutkan tidur dulu? Aku yakin Kakak butuh istirahat yang
banyak karena semalam sangat sibuk.
Aku memandanginya.
Dia tertawa. Kalian kan sudah kuperingatkan tadi malam, kenapa kalian
tidak cepat keluar dan cari tempat istirahat?
Siapa yang melaporkan? tanyaku penasaran.
Tawanya semakin melebar. Tak ada yang melaporkan, Kak. Kalian
bermain di tempat terbuka, ya jelas saja akan jadi buruan empuk yang
mudah. Ingat, Kak, sekarang ini dindingpun bertelinga.
Aku menggeleng, masih belum percaya. Aku meyakini Awal yang
melapor.
Kak, kalau kalian curiga ada yang melaporkan berarti kalian telah masuk
perangkap mereka. Kalian diadu domba sehingga tak bisa menyatukan
massa. Walau terbagi dibanyak titik namun masih lebih mudah
mengendalikannya dibandingkan kalian menyatu dan banyak karena akan
sulit ditekan.
Aku merenung. Benar juga. Tapi
Kalian tak pernah berpikir kenapa kalian diinterogasi di tempat?
85

SangPengelana

tanyanya. Aku menggeleng. Ya, agar kalian saling curiga. Kalau dibawa ke
pos maka akan jelas terlihat kalian ditangkap sehingga terbangun soliditas,
tapi kalau kalian hanya diinterogasi di tempat dan lepas justru yang
terbangun sebaliknya. Jadi, saat ini bukan hanya kalian yang curiga
melainkan orang-orang di luar kalian. Kloplah, kalian akan susah
membangun komunikasi.
Gila! tak sengaja kata itu terungkap.
Dia menyeringai. Kakak baru tahu bahwa dunia yang kakak lalui benarbenar
gila? Kakak akan lebih paham kegilaan ini kalau kakak percaya bahwa
saya dan kelompok saya diminta untuk bersiap-siap ikut andil dalam
dinamika politik ini.
Aku tertegun beberapa jenak. Kurasa aku shok. Apa yang kalian
lakukan? tanyaku benar-benar tak percaya.
Kak Uyo masih ingat kasus 27 Juli tahun lalu? tanyanya.
Jadi kalian akan menyerang kami? serangku.
Lebih dari itu, Kak. Kami akan membuat berbagai hal untuk tujuan
tertentu, bahkan kami bisa bersama-sama kalian tapi tujuannya lain.
Di pihak mana kalian?
Tentu di pihak yang membayar kami, katanya enteng. Tapi
nampaknya kali ini agak berbeda. Kami juga akan melihat kearah mana
dinamika ini akan dibawa. Kami bisa saja di pihak kalian, bisa juga akan
berlawanan dengan kalian.
86

SangPengelana

Siapa yang membayar kalian? aku benar-benar kesal dengan


ketertutupan Pendi.
Aku juga tak tahu, Kak. Aku hanya menjalankan komando dari atas.
Aku menggeleng, benar-benar tak mengerti.
Kak, tujuan kalian memang mulia, tapi kemuliaan itu akan tetap ada
penumpang gelapnya. Kalian ini bolduser yang akan meratakan gunung
sekalipun agar bisa menjadi jalan. Namun harus kalian ingat bahwa jalan itu
bukan untuk kalian lalui karena pasti jalannya akan rusak kembali. Kalian
harus merelakan mercy untuk melewatinya, tukasnya berfilsafat.
Kami tak akan pernah rela, ketusku.
Dia memandang iba padaku. Istirahatlah, Kak, pulihkanlah tenaga
karena besok kita semua masih bekerja keras. Aku akan selalu
memberitahukan perkembangan padamu, tukasnya.
Kantukku memang sudah tak tertahan lagi. Walau kita musuh, kau tak
akan mencelakakanku sekarang, kan?
Pendi hanya tersenyum.
***
Aku tertidur pulas rupanya. Hampir tengah malam aku terbangun. Aku ke
luar. Kudapatkan Pendi sedang menerima telepon lewat hand phone. Barang
yang luar biasa besar itu, yang kalau dilemparkan ke orang bisa mematikan,
masih mahal luar biasa sehingga peredarannya hanya di kompleks orang
berduit. Sudah berduitkah Pendi? Ah, mungkin saja dia curi atau rampok!
87

SangPengelana

Gaya betul dia. Bicara sambil mondar-mandir. Kata Baik, Siap,


Oke, dia katakan berulang-ulang,
Setelah makan, kami menghabiskan malam dengan berbincang. Dia
bilang pekerjaannya sekarang kurang menantang serta tak bernurani. Lebih
baik mencopet, mencuri atau merampok karena masih bisa memilih korban
yang benar-benar layak. Sedangkan ini, dia harus berhadapan dengan
mahasiswa yang sebagian masih murni berjuang untuk rakyat. Bahkan bisa
saja saya, Salman Farizi Sampaka yang juga sepupunya dia jadikan korban.
Tapi, selain mengasyikan karena benar-benar mengadu pikiran, dia pikir
keikutsertaannya bisa menyelamatkanku. Dan menurutnya alasan itu yang
membuat dia rela direkrut.
Di proyek ini duitnya sedikit, Kak. Hanya dipenampilan yang terlihat
glamor padahal tak ada isinya karena duit diberikan ke bos saya dulu baru
turun ke saya. Memang, biasanya yang mengalir dari atas lebih sedikit
dibandingkan kita mencari sendiri walau harus nyetor. Karena itu juga,
mohon maaf jika sedikit yang saya transfer ke rekening Kak Uyo.
Kutepuk pundaknya. Aku sudah jarang melihat rekening, Antong.
Beasiswaku cukup, juga aku dapat tambahan dari beberapa kerja
sampingan.
Aku melihat mimiknya berubah.
Jangan salah mengerti, ujarku. Aku tetap akan menerima transferan
darimu kalau kau memang punya kelebihan. Juga aku akan
88

SangPengelana

menggunakannya kalau uangku tak cukup. Andai uang itu tak aku pakai,
anggaplah kau menabung sehingga bisa menjadi modal ketika kau keluar
dari duniamu.
Dia mengangguk dan mengucapkan terimakasi berulang-ulang.
Kami membicarakan banyak hal tentang duniaku karena dia ternyata tahu
lebih banyak hal yang terselubung di duniaku. Dia menyarankan agar aku
berhati-hati, mahasiswa sangat rentan sehingga bisa ditekan entah dengan
kekuasaan maupun uang.
Apakah diantara teman-temanku ada yang jadi mata dan telinga
penguasa?

89

Terculik

9
Terculik
Dunia memang panggung sandiwara
(Ansy)
Aksi meningkat seiring meningkatnya isu. Tadinya hanya isu sem-bako,
sekarang turunkan Suharto. Massa yang bertambah besar semakin brutal.
Senjata aparat tak dihitung. Arifin yang singa podium berteriak
menggelegar: Maju terus, tima panas jangan membuat kita undur. Kita
banyak!
Jakarta menelepon. Kak Juanda memintaku undur tapi tak bisa bicara
ketika aku bertanya apa dia mundur juga. Papa Harnum memerintahkanku
mengungsi. Aku tak peduli. Kami akan menang, mengapa bersembunyi?
Kemudian tersiar kabar ada aktivis diculik. Terpaksa markas Fosmib
berpindah-pindah tempat. Sekali kubawa teman-temanku ke tempat Hendra.
Hendra bukan aktivis. Dia hanya mahasiswa kebanyakan yang sibuk dengan
kuliah, makan, dan pacaran. Jelas terlihat dia tidak senang tapi tak berani
mengusir.
Kita harus membawa bendera. FKMIJ sudah lama berkibar, Formaci,
FKMY, Forkot, dan lainnya. Fosmib belum terlihat. Sebentar lagi Soeharto
out. Ini momentum. Kapan lagi kita punya momentum sebagus ini? kata
Bedu.
90

Terculik

Fosmib lahir karena kita ingin berbaur dalam keberagaman. Kalau


Fosmib muncul ke permukaan, apa bedanya dengan Omek yang hanya
mencari popularitas, kata Danang.
Aku setuju denganmu, Bed. Kita seperti genderuwo pemberi nomor
lotre. Yang memasang untung, kita buntung. Menurutku, sudah saatnya kita
menampakan wujud, kata Subran.
A-ku sa-ngat ti-dak se-tuju, Fauzi, mengeja. Fosmib berdiri karena
kita ingin mengkaji masalah kenegaraan. Karena itu kita berinama Forum
Studi Mahasiswa Bogor. Studinya digarisbawahi! Kalau untuk aksi, kenapa
tidak kita namakan forum aksi?
Ini kesempatan mengukir sejarah, Kawan. Masak kita yang susah-susah
berpikir orang lain yang dicatat sejarah. Lembaga kajian penyuport ide
seperti CIDES atau CSIS saja berbentuk, apalagi kita yang bukan lembaga
kajian organisasi manapun.
Terjadi perdebatan. Aku diam saja. Selain dua-duanya menurutku benar,
aku merasa tidak berhak ikut. Fosmib sudah ada saat aku masih di kampung.
Kau kok diam, Man. Gimana menurutmu? Bedu memberi waktu.
Menurutku, dua-duanya benar.
Huu, ndak punya pilihan, sorak mereka bersamaan.
Aku hanya menyoroti sejarah, kataku tak peduli sorakan kawan-kawan.
Menurutku, kita mengukir sejarah kalau kita melakukan, mengenang,
mencatat. Peduli amat kata orang. Saat ini, berapa banyak reformis
91

Terculik

gadungan. Awalnya menolak demo, eh sekarang paling getol. Kalau


reformasi berhasil, akan lebih banyak lagi yang ikut. Paling pro Suharto juga
akan bilang dirinya anti Suharto, bahkan mungkin mereka yang berteriak
paling lantang gantung Suharto. Jadi, peduli amat pada sejarah. Sejarah
hanya untuk diri kita. Kalau kita melakukan, mengenang, dan mencatat,
maka itu sudah cukup. Tak perlu pengakuan orang lain!
Hendra datang terengah-engah.
Kalian harus pindah. Intel telah mencium bau kalian, katanya.
Kami saling pandang. Kemudian cepat-cepat pergi lewat pintu belakang.
Akhirnya Fosmib tak pernah muncul karena kami harus terus sembunyi.
Fosmib memang tidak mengibarkan bendera sendiri namun kami sangat
aktif. Siang aksi, malam rapat, berpindah-pindah untuk menghindari
kemungkinan penculikan, sudah menjadi rutinitas harian. Menyertai itu,
kembung karena kebanyakan ngopi, magh kambuh karena makan yang tidak
teratur, dan kebiasaan buruk lainnya menyertai.
Ketika kami membunuh malam dengan membusakan bibir,
menggeleparkan beratus puntung, meneguk berceret kopi, tak jarang
kudapatkan kemunafikan hanya agar bisa dipandang sebagai pahlawan.
Semua tahu bahwa kelompok garis keras yang pertama kali meneriakan agar
isu ditingkatkan ke penggulingan rezim. Beberapa waktu lalu hampir semua
menolak, tapi sekarang mereka yang paling keras dalam bersikap.

92

Terculik

Bagaimanapun kita harus mengakui walau hanya di dalam hati.


Walau di tengah kerumunan, melihatlah ke kiri-kanan, waspada. Masa
sekarang memang masa menegangkan. Kau bersandar di pohon, di tembok,
di tiang, dan lainnya, bisa saja dia punya tangan yang akan
melumpuhkanmu.
Waspadalah!
Namun aku kurang waspada. Jam 2 malam sesungguhnya masih siang
bagi kami namun kami sudah sempoyongan. Sejak pagi kami mengitari
Bandung, Jakarta dan kembali ke Bogor. Beruntung rapat di Babakan
Doneng cepat selesai.
Kami berempat memilih jalan kaki ke Wisma Pinus. Sejak ada isu
penculikan, kami sudah berpindah-pindah tempat tapi di Wisma Pinus yang
paling lama. Sudah seminggu kami di sana dan belum memikirkan untuk
pindah. Tempat ini aman sebab berada di dalam kampus.
Jam 2 malam, Babakan Raya yang biasanya ramai sekarang sudah sepi.
Mahasiswa di kampus pertanian tertua ini cukup disiplin dalam mengatur
waktu istirahat, kecuali beberapa gelintir yang merasa terpanggil untuk
memikirkan kondisi negara. Berikanlah sepuluh pemuda maka akan
kubangun Indonesia, kata Bung Karno. Beliau benar, kta memang tak harus
mengandalkan buih.
Memikirkan mereka yang lelap di alam mimpi membuat kami rindu
bantal.
93

Terculik

Kami tak begitu peduli pada mobil yang berjalan lambat itu. Kami
terkaget ketika tiba-tiba empat orang keluar dari mobil dan langsung
menyerang. Dua temanku berhasil menghindari pukulan dan lari. Satunya
lagi kena hantam di dagu dan langsung terkapar. Tinggalah aku dalam
kepungan empat orang berambut cepak, berbadan tegap nan besar.
Ini penculikan, pikiranku langsung berjalan. Targetnya jelas aku karena
teman-temanku tak dipedulikan. Mengapa aku? Memangnya siapa aku?
Dibandingkan tiga temanku, aku bukanlah apa-apa dan siapa-siapa. Aku
hanya artis figuran yang numpang lewat dalam satu adegan.
Ribuan tanya dalam kepalaku namun aku tak bisa mencari jawaban. Silat
kampung kusiapkan dan langsung menyerang orang di depanku. Entah ingin
merasakan kakiku atau kaget, dia tak menghindar. Kakiku mengenai
perutnya yang membuatnya terhuyung.
Orang di belakangku melompat. Tangannya yang kekar dilingkarkan ke
dadaku membuatku sesak napas. Aku terus berontak sekuat tenaga. Orang di
sampingku membekapkan sapu tangan ke hidungku yang entah mengapa
membuatku langsung lemas. Maka mudahlah mereka memasukanku ke
mobil.
Rupanya sapu tangan itu mengandung bius dan benda keparat itu selalu
dihirupkan padaku beberapa saat setelah aku siuman dan terasa kuat untuk
berontak. Kurasa aku bisa berontak dan berhasil seandainya bau keparat itu
tak dipaksa untuk kuhirup.
94

Terculik

Mobil yang mengangkutku telah berganti. Sebuah mobil yang cukup


besar, joknya telah dikeluarkan, aku terbaring di kasur yang diletakan
dilantainya tanpa ikatan. Penjaganya bukan lagi orang-orang yang
meringkusku, hanya orang tua kurus dengan rambut panjang yang sudah
beruban.
Di dalam mobil ini hanya aku, dia dan sopir. Kurasa aku bisa berontak
dan lari. Tapi setiap tenagaku akan pulih, orang tua itu selalu memaksaku
memaksaku menghirung sapu tangan itu. Dia selalu mengatakan maaf
ketika melakukannya.
Entah ini jam ke berapa atau hari ke berapa penculikanku. Aku mulai
tersadar kembali. Aku memandangi sekeliling, rupanya aku bukan di mobil
lagi melainkan di satu ruangan besar berdinding putih. Tak jauh dari
ranjangku terdapat meja-kursi, di atas meja terdapat bunga. Ruangan ini
berac.
Kukira aku berada di hotel mewah entah di mana, atau mungkin aku telah
ada di surga.
Tapi di sudut lain terdapat rak buku dengan koleksi yang cukup banyak.
Andai ini hotel atau aku di surga, aku tahu orang yang punya sangat gemar
membaca.
Anda sudah bangun rupanya, kata orang tua itu. Aku mencoba untuk
bangkit tapi kepalaku masih sakit. Tenagaku seperti diloloskan. Berbaring
saja, Nak. Biar saya bawakan makanan Anda.
95

Terculik

Setelah mengatakan itu, dia ke luar, meninggalkanku sendiri dengan


berbagai tanya memenuhi pikiran. Apa benar aku diculik? Mana
interogatornya? Atau aku diculik untuk dibunuh?
Aku sering membaca orang yang disiapkan untuk dihukum mati akan
dimanjakan, segala permintaannya dipenuhi sebelum dieksekusi.
Ternyata tidak. Interogator tak pernah muncul, apalagi eksekutor yang tak
pernah membacakan hak-hak yang dieksekusi.
Aku dimanja untuk menikmati hidup. Aku berada di sebuah pulau. Orang
tua yang memintaku memanggilnya Kakek dan selalu memanggilku
dengan Anda atau Nak tak mau mengatakan pulau itu di mana.
Orang tua itu selalu melayaniku dengan baik. Bahkan dia menawarkan
kegiatan yang belum pernah aku ikuti, memancing di tengah laut, berkelana
di hutan bakau dan lainnya. Namun dia tak tertarik untuk mengetahui aku
siapa dan kenapa sampai di pulau itu. Dia juga menyembunyikan identitas
dengan hanya menyuruhku memanggilnya Kakek.
Walau terisolir di pulau itu namun informasi yang kudapat berlebih.
Koran nasional lengkap kudapat setiap hari. Bahkan kudapatkan berita
tentang diriku sendiri. PENCULIK AKTIVIS MASUK BOGOR, demikian
bunyi berita itu. Di sana Fauzi dan Subran menggambarkan bagaimana
situasi penculikan. Aku juga melihat berita itu lengkap dengan fotoku di
salah satu stasiun televisi. Fotoku terlihat selama beberapa detik.
Sekarang aku bukan mencemaskan diriku melainkan keluargaku di
96

Terculik

kampung. Jelas mereka akan mengetahui info itu. Mereka pasti gundah.

97

Kaget

10
Kaget
Semua tergantung pada tujuan dan perbuatan belum tentu jadi cerminan
(Ansy)
Aku tak sempat lagi memikirkan duniaku, dunia aktivis. Walau
nampaknya kami sudah akan berpesta namun aku tak bisa ikut serta. Kakek
telah menjeratku di pulau terpencil ini dengan berbagai kesenangannya. Di
saat kawan-kawan beserta masyarakat menuntut dengan menggelar aksi
demo besar-besaran sampai menghasilkan kerusuhan, aku berada di laut
tenang dengan pancing di tangan. Aku seperti orang-orang kaya, dengan topi
di kepala, kaos dan celana pendek tapi tanpa cerutu. Tangkapanku cukup
besar kali ini, bahkan satu nyaris lepas saking besarnya. Aku sudah tahu
caranya. Begitu tertangkap, tarik ulurlah sampai dia lelah dan tarik.
Kapal kecil itu melaju mendekati kami. Si Kakek berteriak girang
membuatku terkejut. Dadaku bergemuru, sudah inikah eksekutornya? Aku
ketakutan, pancing yang sudah termakan umpan dan kurasa besar terlepas,
ikan membawanya ke tengah laut tanpa aku sadar. Terlebih si Kakek terus
menunjukku ke orang-orang di perahu kecil itu.
Sialan! Di balik kepolosannya ternyata si Kakek ini pembunuh berdarah
dingin juga.
Kapal kecil itu semakin mendekat. Aku ingin membawa lari perahu yang
98

Kaget

kutumpangi namun aku tak tahu caranya. Ini kelemahanku. Selama bersama
si Kakek, ini yang tak kupelajari darinya dan dia tak menawarkan untuk
menjadi guru di soal yang satu ini.
Ada empat orang di kapal kecil yang cepat itu, berpakaian hitam-hitam di
siang yang terik ini dengan kacamata hitam menghias mata. Ketika sampai,
mereka merapatkan kapalnya ke perahu kami dan melompat.
Punu, kau datang akhirnya, teriak si Kakek. Setengah berlari di
menyambut anak muda berambut cepak itu. Mereka berangkulan. Aku hanya
memperhatikan.
Punu? Aku merasa tak asing dengan nama itu. Dia memandangiku,
kurasa tulang-tulangku mulai lolos dari tubuh.

Buredongka, Ending, teriakku. Ternyata itu Efendi Kokait, aku baru


mengenalinya ketika dia melepaskan kacamata.
Kami berangkulan. Panggil aku Punu di sini, Kak, bisiknya.
Kenapa kau lama sekali, Pun? Aku sudah lama menunggu, kataku
mengikuti sandiwaranya.
Aku datang untuk menjemputmu, kalian akan memenangkan
pertempuran. Kakak harus di sana sebagai pahlawan, katanya.
Aku melepaskan pelukan dan memandanginya. Jadi, kau yang
menculikku? kataku dalam bahasa Mongondow, aku marah sekali.
Untuk jadi pahlawan mahal, Kak, nyawapun jadi taruhan. Jadi, kalau
99

Kaget

kita punya kuasa untuk merubah citra, kenapa kita tidak lakukan?
Bangsat, kataku. Kuayunkan tinjuku tepat mengenai perutnya. Pendi
mengaduh. Beberapa begundalnya mendekat tapi Pendi menahan dengan
isyarat tangan. Aku belum puas. Tinjuku bersarang di dagunya membuatnya
terjengkang. Aku memukulnya habis-habisan tapi Pendi tidak melawan.
Guru kami sama, paman kami, Umarudin Kokait. Tapi Pendi senantiasa
mengasah diri, bahkan dia telah membunuh polisi. Jelas kalau dia melawan
aku pasti akan kalah. Namun dia dipukuli diam saja sampai aku menyerah
karena lelah. Aku tergeletak di sampingnya dalam napas yang ngos-ngosan.
Kau gila, kataku.
Dunia memang sudah gila, Kak, sahutnya.
Hei kalian, teriaknya pada orang-orang. Ini kakakku. Aku tak
melawan karena yakin tak akan menang. Kalau sudah mengalah begini pasti
akan diampuni. Kalian jangan macam-macam padanya.
Mau tak mau aku tertawa juga.
Kami menghabiskan siang itu dengan memancing. Ajakan Pendi untuk
secepatnya balik ke Bogor aku tolak. Aku memang ingin ke Bogor, tapi
bukan untuk menjemput kepahwananku. Jadi untuk apa buru-buru?
Kalian pasti menang, Kak. Rakyat pasti akan turun jalan bersama
kalian. Kalau sudah bersama rakyat, kuyakin rezim tak akan bisa berbuat
apa-apa. Bahkan bagian-bagian dari diri mereka akan mendukung, kata
Pendi yakin, dia membolak balik ikan hasil tangkapan yang kami baker.
100

Kaget

Kau kok bisa yakin begitu? aku tak yakin. Sejak jadi mahasiswa aku
aktif dan bergerak, sesama mahasiswa saja susah diajak, apalagi rakyat.
Saya dapat info yang kurasa valid, akan ada peristiwa besar yang bisa
membuat semua tameng penguasa diturunkan, bahkan mereka akan
mengawal kalian.
Rezim memegang Tap MPR yang memungkinkannya mengerahkan
semua usaha jika terjadi kekacauan.
Dia tersenyum. Susah, Kak. Memangnya siapa yang akan melaksanakan
Tap MPR itu? Apa bisa dirinya sendiri? Semua bagian dari tubuh rezim akan
melepaskan diri satu persatu, Kak.
Yang aktivis itu aku atau kau? tanyaku gusar.
Sekarang Pendi terbahak. Aktivisnya tentu Kakak, tapi aku yang punya
lebih banyak informasi. Dan menurut informasi yang kudapat, Kakak adalah
pahlawan Reformasi yang hidup.
Aku memandanginya.
Sabar, Kak. Kakak harus tahu bahwa orang lain juga melakukannya.
Bohong orang yang mengatakan saat ini pahlawan lahir karena alam.
Pahlawan yang ada sekarang semua dibentuk.
Aku mengangkat bahu. Tapi aku bukan mereka.
Kami saling diam lama. Kupungut seekor ikan baker yang telah matang
dan mulai menyantap. Lezatnya, kelezatan ini tak pernah kunikmati ketika
berada di dunia aktivis.
101

Kaget

Kau punya banyak harta di sini, akan bagaimana kalau ada yang terjadi
padamu? aku mengalihkan pembicaraan.
Kuhibahkan pada mereka, Kak. Atau Kakak
Lebih baik kau hibahkan, potongku, yang dia simpan di rekeningku
sudah cukup banyak dan memusingkanku. Aku tak mau ditambah dengan
ini.
Padaku, Pendi bilang bahwa pulau itu menjadi tempatnya menyepi
setelah melakukan beberapa tugas dan ingin istirahat. Di sini dia membaca
buku, memancing dan melakukan kegiatan lain yang membuatnya fresh lagi.
Aku kaget ketika dia bilang bahwa pulau ini sebenarnya tak jauh. Dia
salah satu dari Kepulauan Seribu, Jakarta.

102

TakMauEuforia

11
Tak Mau Euforia
Terkadang kita perlu menjadi abdi dengan menyiapkan semua hidangan
tapi tidak untuk memakan
(Ansy)
Kemunculanku telah menjadikanku. Semua teman tak mempedulikan aku
dari mana melainkan aku tidak apa-apa, bahkan ada yang meminta aku
diperiksa dokter segala. Jelas tak ada apa pun yang akan didapatkan dokter,
Sebenarnya Pendi sempat memikirkan beberapa pukulan yang tidak terlalu
sakit tapi bisa meninggalkan bekas namun kutolak. Cukuplah. Aku mungkin
bisa membohongi semua orang namun aku tak bisa membohongi diri sendiri.
Wartawanpun mengerubungiku dan melontarkan pertanyaannya. Semua
kujawab dengan diam.
Seharusnya mereka curiga dengan diamku. Seharusnya mereka
menyelidik dengan intens. Kepahlawananku jelas terancam. Namun aku
muncul disaat yang sibuk,.peristiwa begitu cepat berubah, hitungannya
hanya detik.
Kami sibuk luar biasa. Kesibukan yang melupakan kehadiranku sebagai
pihak yang diculik. Teman-teman tak mencurigaiku, mungkin juga karena
aku turun aksi seperti singa yang mengamuk.
Selasa malam, 12 Mei, beredar kabar demonstrasi di Trisakti menelan
103

TakMauEuforia

korban empat orang. Mahasiswa di Bogor marah, mungkin juga di daerah


lain. Kontak memang sulit kalau tak punya telepon genggam. Demonstrasi
besar disiapkan.
Besoknya dilakukan demonstrasi. Mahasiswa IPB tak mau keluar. Wajar.
Di luar telah menunggu masyarakat, entah siapa dan dari mana, dengan
membawa karung. Kampus IPB di Baranangsiang tak jauh dari pertokoan.
Sangat rentan dengan penjarahan. Rombonganku meneriaki mahasiswa IPB
banci tapi mereka tetap bertahan di dalam. Aku tak bisa menyalahkan.
Malamnya tersiar kabar telah terjadi kerusuhan besar di Jakarta. Tokotoko
dirampok kemudian dibakar, dengan orangnya sekalian.
Susan datang menemuiku.
Bangsa biadab. Kenapa selalu bangsaku yang salahkan? Aku ini apa?
Cina! Apa aku tak ikut berjuang? Susan terus berteriak histeris. Matanya
yang sipit seperti terkatup, air mata meluncur deras. Aku membiarkan saja,
aku menahan sakit ketika Susan mulai memukul.
Mungkin karena capek, pukulan Susan melemah. Dia tak bisa berkatakata.
Kemudian dia menjatuhkan badan ke pelukanku.
Itu pertama dan terakhir kali aku memeluk Susan. Setelah kejadian itu,
tak diketahui lagi keberadannya.
Ada yang menarik di peristiwa Trisakti. Salah satu dari ke empat
mahasiswa yang meninggal tertembak adalah cucu dari salah satu Jendral.
Walau sudah purnawirawan namun pengaruh sang Jenderal masih sangat
104

TakMauEuforia

besar.
Mengapa cucunya yang dijadikan korban? Mahasiswa yang turun jalan
jumlahnya ribuan, juga cucunya sang Jendral sebenarnya tak begitu dikenal.
Mengapa dia yang dijadikan korban?
Aku pernah membaca peristiwa 1966 yang menjadikan Arif Rahman
Hakin sebagai tumbal yang membangkitkan kemarahan mahasiswa dan
massa, membuat tentara berada di garis depan dalam membela mahasiswa.
Apakah ini targetan dari meninggalnya cucu sang Jendral?
Tap MPR yang memberikan kuasa pada rezim untuk mempergunakan
seluruh alat pelengkapan negara, ini yang kami takutkan. Kami yakin akan
terjadi bentrok besar dengan tentara yang menjadi alat negara kalau
kerusuhan terjadi di mana-mana. Korban pasti akan melimpah. Tianmen
bukanlah apa-apa.
Demonstrasi terus berlangsung. Semakin panas. Seminggu setelah tragedi
Trisakti, mahasiswa mulai memusatkan perhatian untuk menduduki symbol.
Berduyun-duyun mereka ke gedung DPR. Aku tidak ikut. Kuputuskan,
sekarang saatnya berhenti!
Banyak alasannya. Aku yakin Suharto akan berakhir. Mahasiswa Cina
memang tak bisa merubah system walau darah sudah mengalir di Lapangan
Tiananmen. Tapi aku tahu Indonesia bukan Cina. ABRI tak mungkin
mengusir dengan berondongan peluru sehingga jasad berserakan. kurasa,
mereka sudah merasa bersalah dengan gugurnya empat mahasiswa Trisakti.
105

TakMauEuforia

Mereka tak akan menambah korban lagi. Jika mahasiswa tidak diusir dari
gedung DPR, berarti kekuasaan Suharto tamat. Menghilangnya Susan, juga
membuatku terpukul. Aku merasa perlu menyepi dan merenung. Selain itu,
mahasiswa yang ogah demonstrasi sekarang berada di garis depan. Mereka
mengumpat, mereka melaknat. Orang-orang itu ingin pesta, biarkanlah
mereka berpesta. Pengabdi terbaik adalah menyediakan hidangan kemudian
ke belakang saat pesta digelar.
Awalnya aku berniat ke kontrakan Kak Juanda. Kemudian aku sadar,
sebagai pimpinan organisasi pemuda pendukung reformasi, Kak Juanda pasti
sedang sibuk. Konyol kalau dia ongkang kaki di kontrak-an. Kulihkan kaki
ke rumah orang tua Harnum.
Mama Harnum kaget melihatku. Awalnya seperti melihat hantu.
Kemudian memelukku erat-erat.
Uyo, Uyo. Ke mana saja kamu, Nak? Orang tuamu cemas. Katanya
mereka menghubungi kostanmu tapi tak ada yang menjawab. Mereka
nelepon ke sini. Oommu mencari tapi tak ada kabar. Kata orang, kamu
muncul saat demo, kemudian menghilang. Ke mana saja kamu, to?
berondong Mama Harnum.
Aku punya banyak rumah, Tante, gurauku.
Mama Harnum melepaskan pelukan, memegang bahuku kencang. Mulai
hari ini, kamu di sini. Tak boleh ke mana-mana! katanya tegas.
Aku hanya tersenyum.
106

TakMauEuforia

Ketika Papa Harnum datang, lain lagi tanggapannya. Payah kau, mental
jongos. Mau bersusah payah menyiapkan pesta kemudian pergi setelah pesta
dimulai. Apa kau tidak iri kawan-kawanmu di DPR sedang pesta. Makanan
dan rokok melimpah di sana. Mereka juga didatangi para artis.
Huss. Uyo tetap di sini, dia tak boleh pergi. Siapa tahu anak buahmu
yang tidak terlatih menembak salah bidik, kata Mama Harnum setengah
membentak.
Walau keinginanku namun aku seperti jadi tahanan rumah. Aku tak bisa
keluar. Perkembangan ku-pantau hanya lewat televisi besar di ruang
keluarga. Aku terkekeh ketika melihat Hendra di televisi. Dia begitu
semangat menyambut pekikan orator tapi begitu tahu dia disorot kamera, dia
menyempatkan bergaya. Mahasiswa selebritis!
Tinggal di rumah orang tua Harnum seperti tuan besar, tak ada yang
kukerjakan. Selama itu, yang ku-lakukan hanya membaca buku-buku
peninggalan Harnum. Buku itu terdiri dari buku-buku pengetahuan umum,
komikmayoritas komik silat dan kuduga dari sini Harnum menemukan
ketomboyannyajuga novel.
Ada novel yang nampaknya hanya print out dan dikemas sendiri namun
kisahnya cukup menarik. Tentang seorang gadis dari keluarga berada. Si
gadis sangat badung karena yakin orang tuanya punya kuasa. Tapi, seorang
lelaki melawan si gadis. Sang gadis menganggap-nya sebagai
pemberontakan. Endingnya, si lelaki ini justru yang menyadarkan si gadis
107

TakMauEuforia

akan perilakunya yang tak benar. Si gadis jatuh cinta pada si lelaki tapi dia
bingung mengungkapkannya.
Novel ini tanpa nama pengarang, juga tanpa keterangan penerbit. Aku
sudah beberapa kali membacanya, tapi novel itu tetap menarik untuk dibaca.
Aku merasa aku membaca kembali kisahku dengan Harnum.
Ternyata tak sampai sebulan aku jadi tahanan rumah. Bukan karena orang
tua Harnum berbaik hati tapi telah rezim berganti. Di televisi kusaksikan
kawan-kawan yang menginap di gedung rakyat melonjak kegirangan seakan
yang berkumpul di sana mengimpikannya sejak lama. Tak apalah, pikirku,
aku memang tak bisa ikut pesta tapi punya cerita.
Ketika melihat mahasiswa mulai diusir dari gedung rakyat, aku ikut pamit
pada orang tua Harnum. Aku sempat ke kontrakan Kak Juanda sebelum ke
Bogor. Kak Juanda berteriak melihatku kemudian memeluk erat seakan hari
raya.
Di Bogor, telingaku sampai sakit karena harus mendengarkan cerita
penguasaan gedung rakyat.
Rugi kau tidak ikut, kata teman-teman.
Seorang kurir datang. Dia bukan kurir dari perusahaan pengantar barang
manapun. dia mengantar seperangkat komputer lengkap dengan printer dan
surat padaku. Aku tak perlu menandatangani apa pun untuk kiriman itu.
Setelah membaca surat, kutahu itu dari Pendi. Aku tak tahu Pendi
membeli atau mencuri, aku juga tak tahu mengapa bukan Pendi yang
108

TakMauEuforia

mengantar sendirisemua itu tak perlu dipertanyakan pada orang seperti


Pendi. Surat dari Pendi, berupa coretan cakar bebek tapi jelas terbaca. Dia
menuliskan alamat tempat tinggal Amin, siapa tahu Dani tidak berdagang
lagi. Disitu juga diinstruksikan agar aku jangan mencarinya dan surat itu
segera dibakar.
Setelah kucatat tempat tinggal Amin, surat itu kubakar. Kemudian Kak
Juanda kuhubungi. Menurutku, kalau benar Rektor Amin punya beking
berarti dengan runtuhnya rezim maka bekingnya ikut hanyut. Sekarang
saatnya bagi Amin kuliah kembali di kampusnya.
Aku disuruh Kak Juanda ke Jakarta, dan aku ke sana.
Kamu tahu dari mana? tanya Kak Juanda ketika tempat tinggal Amin
kuberitahukan padanya.
Yang pasti Amin di sana, Kak. aku menyembunyikan informasi.
Kak Juanda memberi waktu sehari untuk menelepon koneksinya di
kampus Amin. Kampus siap menerimanya, kata Kak Juanda.
Kemudian kami ke tempat Amin seperti yang dikatakan Pendi di
suratnya.
Kami berpelukan, air mata mengalir.
Kamu kan mahasiswa hukum, apa menurutmu aku salah secara hukum?
Kalau tidak, apa aku boleh menuntut lebih? Aku disakiti, Yo, dan tak
tertutup kemungkinan muncul korban lain kalau Pak Burhan dan penentu
kebijakan di kampus tidak diberi pelajaran.
109

TakMauEuforia

Aku tersenyum. Ego Amin memang tetap ada, tapi dia telah minta
pertimbanganku. Ini luar biasa! Memang kamu mau menuntut apa?
Pertama, rehabilitasi nama dan penggantian semester yang hilang.
Kedua, kampus dan Pak Burhan secara pribadi minta maaf. Ketiga, Pak
Burhan diberhentikan dari jabatannya secara tidak terhormat, kalau perlu
dikeluarkan dari kampus
Sudah, aku menghentikan. Begini saja. Aku punya dosen yang
merangkap pengacara. Kamu bisa katakan semua padanya.
Amin setuju. Kami ke Bogor.
Bang Komang, begitu biasa kami memanggil Komang Wiraatmaja SH,
MLC, dosenku, tertarik luar biasa. Dia lebih bersemangat dibanding Amin.
Dia tambahkan sejumlah tuntutan, termasuk ganti rugi materil dan moril
yang jumlahnya luar biasa besar. Aku yang diikutkan menangani kasus
hanya menggeleng. Bang Komang seperti bukan pengajar saja.
Rupanya birokrat di kampus Amin cemas luar biasa. Aku tak pernah
melihat wajah Pak Burhan, rektor yang telah mengeluarkan Amin, karena
masalah itu langsung ditangani yayasan. Setelah berunding beberapa kali
dan Bang Komang beberapa kali mengancam akan membawa kasus itu ke
pengadilan dan membocorkannya pada wartawan, akhirnya pihak yayasan
menyerah. Amin diberi hak istimewa untuk ikut ujian akhir semester dan
ujian skripsi, mendapat permintaan maaf dalam bentuk surat keputusan
rektor yang baru, dan kuliah S2 gratis serta menjadi dosen di kampus itu
110

TakMauEuforia

setelah selesai S1. Selain itu, pihak yayasan harus membayar pengacara
Amin. Aku mendapat persenan dari Bang Komang. Ini gaji pertamaku
sebagai orang yang tahu hukum walau sebenarnya aku hanya diam,
mendengar dan mencatat.

111

RubahHaluan

12
Rubah Haluan
Terkadang hidup terlalu membosankan
Ketika kita hanya pergunakan untuk mengerjakan satu hal
(Ansy)
Reformasi memberi peluang bagi pahlawan. Fosmib, memang tidak
terang-terangan muncul kepermukaan namun banyak tokoh yang tahu
kamilah dalang. Mereka menawarkan kami kegiatan yang menjanjikan masa
depan. Semua tertarik. Ada yang ikut mendirikan partai, ada yang bergabung
di lembaga kajian yang berbiaya besar, ada yang ikut LSM dengan donatur
dari luar. Hanya aku yang menolak. Bahkan kutolak ajakan Kak Juanda
untuk mempersiapkan salah satu partai baru. Ini membuat teman-teman
heran.
Baiklah, kata mereka. Kau kan masih muda, kuasailah intra atau
ekstra. Kami siap membantu!
Aku tahu mereka tulus. Namun aku merasa sudah terlalu tua di intra
maupun ekstra. Aku sudah belajar banyak tentang dunia aktivis. Lagi pula,
pengalaman Soeharto dan Amin memberiku sinyal: BERHENTILAH
SELAGI DI PUNCAK AGAR KEBAIKANMU YANG DIKENANG.
Dan ngomong-ngomong tentang pengalaman Amin, jujur kukatakan ini
yang membuatku merubah haluan. Jujur, selama ini aku tak pernah
112

RubahHaluan

memandang profesi hukum. Hukum itu hanya segerombolan Polisi Jahat,


Jaksa Culas, dan Hakim Korup. Terlebih, landasan hukumUndangundang
merupakan produk politik. Seharusnya ke politiklah aku
melangkah!
Namun cara Bang Komang menangani masalah Amin membuatku takjub.
Dia membuka mataku bahwa ada profesi hukum lain, pengacara, yang
benar-benar memperhatikan korban dan sekaligus dapat meraup uang. Aku
jadi ingin belajar.
Selain itu, ada KKN Profesi, sebuah istilah baru yang diperkenalkan di
kampus kami. KKN jenis ini tak menempatkan mahasiswa dipelosok, tempat
masyarakat terbelakang tinggal, dengan 1001 permasalahan mereka. Di sini,
kita akan ditempatkan di kantor-kantor yang menjalankan profesi sesuai
dengan bidang kita. Targetannya, agar calon sarjana benar-benar siap
setelah
diwisuda. Namun aku curiga, system ini untuk menjauhkan mahasiswa dari
rakyat. Dan aku muak pada diri sendiri karena memilih KKN jenis ini.
Aku punya alasan. Karena reformasi, aku tak sempat mengambil KKN.
Sementara aku ingin lulus semester depan. Aku diburu waktu. Untuk itu, aku
bertekad, di kantor Bang Komang, KKN dan Magang akan kulakukan.
Dia gembira menyambutku. Namun dia juga jujur. Kantorku tak mampu
menggajimu, Sal. Bahkan kantorku tak mampu menggajiku. Tak mungkin
juga gajiku di kampus kubagi denganmu, kan? dia tertawa, aku juga. Atau
113

RubahHaluan

begini, aku kenal beberapa kantor hukum besar. Kau kurekom saja ke sana.
Tak perlu, Bang. Sekarang aku belum terlalu butuh uang. Jujur aku lebih
butuh nilai.
Dia terbahak. Dia tahu itu lelucon. Di mata kuliah yang diasuhnya hanya
aku yang dapat nilai A. Ini membuat kawan-kawan yang iri protes, mereka
bilang dia pilih kasih.
Tapi dia tetap ngotot. Dia bilang, mempekerjakanku tanpa menggaji
merupakan penghinaan terhadap profesi. Aku dinilai terlalu berharga untuk
jadi sukarelawan. Maka dia bilang aku akan dapat 20% dari berapapun nilai
perkara yang dia dapat. Juga aku diminta tinggal di rumahnya yang
merangkap kantor agar tak perlu membayar kost dan makan. Dan karena
Fosmib tak ada aktivitas lagi maka aku ikhlas untuk pindah markas. Sedih
juga meninggalkan tempat yang sudah menempaku ini. Kang Asep
benarbenar
menangis ketika aku pergi.
Markas baruku kuberitahukan pada orang tuaku dan orang tua Harnum.
Aku ingin memberitahu Pendi tapi dia sudah pindah. Dan secepatnya aku
sadar bahwa dia yang akan menemukanku, bukan sebaliknya.
Rumah Bang Komang di Tajur. Dikontrak tahunan. Terbagi dalam empat
kamar, awalnya hanya satu yang dijadikan kantor namun karena Bang
Komang ingin privasi saat bicara dengan klien maka kamar kedua dijadikan
kantorku dan arsipdua kamar lagi jadi tempat tidur kami. Juga ada gudang,
114

RubahHaluan

ruang makan, dan dapur. Ada pembantu, sepasang suami-isteri yang


mengurus rumah, serta memasak dan mencuci untuk kami.
Seperti yang kuduga, Bang Komang merupakan sosok idealterutama di
mata aktivis. Dia membela aktivis, juga orang kecil. Gelandangan, pengemis
dan pelacur yang kena razia akan meneleponnya dan dia langsung datang
untuk membela. Juga penjahat kecil.
Pemerintah hanya tahu pasal 33 karena dengan pasal ini mereka bisa
menjarah, kata Bang Komang marah, sedang pasal 34 yang memberi
jaminan hidup pada orang miskin dilupakan.
Pada malam kedua aku bekerja, aku diajak mendatangi WTS yang
dirazia. Berikutnya aku harus berkenalan dengan klien Bang Komang.
Bahkan aku harus mengenali waria yang menjajakan jasa di sekitar kebun
raya. Sialnya, beberapa dari mereka genit juga.
Bekerja pada Bang Komang ternyata tak seburuk yang dia gambarkan.
Setiap bulan aku selalu dapat uang, minimal dua ratus ribu, bahkan pernah
sejuta. Dia bilang itu persenan untuk kasus yang dia tangani, aku tak tahu
kasus apa, siapa kliennya, dan di mana. Dan aku tak peduli. Untuk apa
mencurigai sang bos?
Ditambah uang dari Pendi, persenan itu sebenarnya sangat cukup untuk
membiayai semua kebutuhanku. Apalagi aku tak perlu membayar makan dan
kostan. Namun dari orang tuaku tetap kuharap. Sebenarnya bukan uang
melainkan paket berisi berbagai panganan dan buah-buahan kalau sedang
115

RubahHaluan

musim. Walau sudah lama membuka rekening namun orang tuaku tetap
mengirimkan uang bulanan lewat paket. Tak apa-apa, toh memang paket itu
yang kuharapkan.
Namun, bulan ini entah mengapa paket terlambat terlalu lama sampai
akhirnya dipastikan tak akan pernah datang oleh Papa. Kami belum bisa
menyediakan uang bulananmu, Yo. Nek Ija di UGD, Kesehatannya sangat
menurun. Coba kamu minta tolong pada Papa Harnum. Beliau sudah pesan
agar kamu ke sana kalau ada masalah. Jangan cemas. Insya Allah panen
kelapa bulan depan cukup untuk mengganti. Kalau kamu sungkan, biar Papa
yang menghubungi beliau, kata Papa di telepon.
Tak usah cemaskan saya. Obati dulu Nenek Ija. Bilang pada Nenek Ija,
tahun depan aku pasti selesai, Insya Allah. Dia harus sehat ketika aku di
sana!
Iya, akan Papa katakan. Doakan saja biar dia cepat sembuh.
Aku mengurut dada, tertunduk dan berdoa. Nenek Ija pengasuhku. Aku
kehilangan kalau orang tua cacat tapi berhati mulia itu meninggal. Aku
teringat kata Nenek Ija waktu merangkulku dengan erat: Mungkin ini
terakhir kali kita bertemu
Rupanya Omek belum ingin aku pensiun. Aku masih diminta jadi
pemateri di Diklat Dasar maupun follow up-nya. Juga masih diminta hadir
dibeberapa kegiatan. Aku tak mengeluh, tapi aku menolak keras ketika aku
diminta maju ke depan. Sudah bukan zamanku!
116

RubahHaluan

Dan siang itu aku diminta mengisi Diklat di Komisariat Perikanan IPB, di
Darmaga. Panitia datang menjemput.
Dalam segala hal, IPB merupakan ukuran. Begitu juga di Omek.
Mayoritas dosen di sini alumni Omek yang termasuk militan dan fanatik.
Mungkin karena mereka benar-benar terlibat dalam usaha mempertahankan
Omek dari serangan lawan pada tahun 60-an. Kurasa, mereka benar-benar
ingin membantu Omek karena mereka tak ingin organisasi tempat
bernostalgia ini mati.
Diklat diadakan di ruang rapat salah satu jurusan. Peserta tak banyak,
hanya belasan. Saat aku Diklat, pesertanya sampai lebih dari tiga puluh.
Penurunan ini cukup drastis. Kekurangterlibatan Omek secara organisasi saat
reformasi disangka sebagai salah satu penyebab turunannya minat
mahasiswa. Terlebih Omek dipandang sebagai peletak dan pelindung rezim
Orde Baru yang baru dipaksa lengser. Dan sekarang aku harus menjelaskan
semua itu.
Sejarah Organisasi memang enak dibawakan saat kita berada dipuncak.
Namun, sekarang organisasi sedang terpuruk. Aku mendapat pertanyaan
gencar. Dan di sinilah jurus-jurus pengacara kugunakan.
Setelah dua jam penuh berdebat, aku capek. Sebagian capek di nurani.
Aku tak mau lagi menunggu makan siang, juga tak mau menunggu orang
yang akan mengantar. Aku jalan santai ke gerbang sambil melihat kampus
yang pernah kukagumi ini.
117

RubahHaluan

Mobil kijang itu berhenti di depanku, seakan telah menunggu. Ternyata


Pendi. Dia membuka pintu dan dengan isyarat menyuruhku naik. Somat
yang menyetir melambaikan tangan begitu aku naik.
Hanya dia yang kupercaya dari sekian banyak anak buahku, kata Pendi
dalam bahasa Mongondow. Aku mengangguk seakan sangat mengerti. Kami
bicara basa-basi, mobil meluncur ke arah Kota. Dia cukup gembira aku
telah jadi pengacara. Aku tersenyum. Kujelaskan aku belum jadi pengacara.
Dan aku jadi marah ketika dia mulai ikut campur. Jelas-jelas dia minta agar
aku tidak bekerja pada Komang Wiraatmaja.
Dia bukan penjahat! bentakku yang rupanya menarik minat Somat.
Lu nyetir aja! Pendi membentak Somat. Kak, ada yang aku tahu tapi
kamu tak tahu.
Uruslah urusanmu, Nding. Urusanku biar kuurus sendiri.
Pendi menghela napas. Beberapa saat kami diam. Kami baru sadar ketika
Somat tanya ke mana aku mau di antar.
Begini saja, kata Pendi. aku mendengarkan tapi tidak bicara. Kakak
bukalah rekening dibeberapa bank lagi.
Rekeningku bisa menampung berapapun yang kau kirimkan, kataku
mencemooh.
Kali ini akan sangat besar, Kak. Mungkin pihak bank akan curiga. Kita
harus hati-hati!
Sebesar apa? Selama ini kiriman Pendi ada yang sampai sepuluh juta
118

RubahHaluan

lebih sekali transfer. Kau sudah jadi perampok bank?


Pendi terkekeh. Aku bekerja dengan bos sekarang. Pekerjaannya enteng
tapi penghasilannya besar.
Pekerjaan macam apa? kejarku. Aku berniat akan mengejar terus. Aku
tak ingin lagi menjadi Musa yang hanya diam pada apa pun yang dilakukan
Khaidir.
Beberapa saat Pendi menimbang. Kemudian dia berujar: Bos punya
beberapa lawan, para bos lain yang punya kekayaan melebihi bos kami. Dia
tahu di mana orang-orang itu menyimpan harta, dan dia menyuruh kami
mengambil.
Kalau diketahui?
Selama ini lancar. Mereka memang lawan tapi bos berteman baik.
Bahkan tak jarang dia sedang minum-minum dengan korban ketika kami
merampok. Jadi tak ada yang mencurigai dia, juga anak buahnya.
Aku menggeleng. Hari itu juga kubuka rekening di beberapa bank besar.
Sorenya, nomor rekening itu diambil Somat. Besoknya kutahu di
rekeningrekening
itu telah bertambah masing-masing sepuluh juta lebih.
Malam itu badanku terasa kaku, juga sedikit panas. Aku merasa tak
bergairah keluar, membaca atau menulis. Karena itu, aku tidur cepat. Jam
delapan malam sudah pulas. Di tidurku, kampung yang damai tergambar
jelas. Aku benar-benar merasa seperti pulang kampung saja.
119

RubahHaluan

Jam empat lebih sedikit aku terbangun dan tak bisa tidur lagi. Setelah
azan subuh terdengar, kulangkahkan kaki untuk berwudu. Alam seolah
tenang dan damai. Kedamaian terbawa ketika aku melakukan sholat subuh.
Aku belum pernah merasakan kedamaian yang benar-benar damai seperti
itu.
Setelah sholat, kucoba memejamkan mata tapi mataku hanya terpejam
saja sedang angan terus melayang ke kampung halaman. Aku merasakan
pongoibuketerkenangan yang amat sangat. Sepertinya aku berada di
kampung halaman, melihat rumah, rumah oom dan tante, juga rumah nenek.
Apa ini? tanyaku dalam hati.
Pagi masih lama. Aku mencoba mencari kantuk dengan membaca buku.
Tapi pikiranku terus menerawang. Kampung kembali membayang. Aku
didera pongoibu.
Hampir jam lima. Telepon berdering. Aku beranjak.
Bisa bicara dengan Salman?
Itu suara Papa. Ada apa Papa menelepon sepagi ini? Ini saya, Papa.
Nenekmu sudah tak ada, ujar Papa dengan nada sedih.
Siapa? tanyaku kaget.
Nenek Ija.
Inalillahi wainaillahi rajiun. Aku benar-benar kaget. Jam berapa
meninggalnya?
Sekitar jam empat.
120

RubahHaluan

Aku termenung. Yang terjadi padaku ternyata pertanda.


Itu sudah yang terbaik untuknya, Yo. Beliau punya kekurangan tapi
menjalani hidup dengan tabah dan pasrah. Beliau sudah sekian tahun
mengabdi untuk keluargasekarang waktunya beliau istirahat. Papa
menguraikan begitu banyak kebaikan Nenek Ija yang membuatku
termenung.
Doakan saja, semoga arwahnya di terima di sisi-Nya, kata papa
sebelum menutup telepon.

121

PesanPendi

13
Pesan Pendi
Kejahatan tak selamanya jahat
Tergantung dari mana kita melihatnya
(Ansy)
Awalnya proposal skripsi yang diseminarkan, targetnya agar pembuat
skripsi mendapat masukan yang cukup. Namun mayoritas peserta seminar
para mahasiswalebih bersemangat membantai dari pada memberi
masukan. Akhirnya system dirubah. Tetap ada seminar, bahkan peserta dari
manapundari fakultas manapun dan dari kampus manapunkarena
disiplin hukum dipandang tidak berdiri sendiri. Tapi bukan proposal yang
diseminarkan melainkan hasil. Dan karena mahasiswa hukum dipandang
disiapkan untuk mempertahankan argumentasi maka seminar juga dijadikan
sebagai ujian.
Karena berbagai pertimbangan, salah satunya agar tidak mempermalukan
didepan orang banyak, maka pembimbing akan berlama-lama
dalam menyiapkan anak bimbing. Namun padaku tidak. Pembimbingku, DR.
Abdul Razak, SH, MH, bilang aku siap ke ladang pembantaian besok.
Aku tak tahu sejauh mana aku siap. Adu argumen telah jadi menu
harianku. Dengan nilai mayoritas A, tersisip B, tanpa C, apalagi D dan E,
indeks prestasiku rata-rata nyaris empat dan aku adalah terbaik di kelas.
122

PesanPendi

Dengan nilai begitu, lucu juga kan kalau skripsiku di bawah B? Tidak, aku
harus dapat A!
Namun aku terlalu popular. Aku aktivis yang benar-benar aktif dan dalam
3,5 tahun akan lulus. Ini di luar kebiasaan. Apalagi para dosen senang
menjadikanku sebagai sosok aktivis teladan yang sukses luar-dalam. Dan ini
membuat mahasiswa di kampusku berminat luar biasa mengikuti seminarku.
Pergaulanku luas dan kawan-kawan di luar kampus sudah mengisyaratkan
untuk hadir. Aku tak tahu apa yang hendak dikatakan orang-orang non
hukum itu. Yang jelas, aku takut!
Maka kupacu diriku untuk belajar.
Kasus ditangani Bang Komang, yang kutahu hanya kasus insidentil.
Kebanyakan ditangani dengan menggertak atau negosiasi. Sangat jarang
yang muncul di pengadilan sehingga tak begitu menyibukan.
Namun akhir-akhir ini Bang Komang benar-benar sibuk dan secara
spesifik bilang bahwa kesibukan itu untuk mengurusi kasus besar. Malam ini
dia menelepon, bilang dia tak akan pulang tapi berjanji akan hadir
diseminarku. Aku tak memusingkan. Aku punya kesibukan sendiri yang
harus kupusingkan. Bahkan aku terganggu dengan teleponnya. Kuharap juga
tak ada razia atau penjahat kecil yang tahu nomor kami yang ditangkap.
Kalau ada, aku akan mengabaikan. Aku tak ingin diganggu!
Jam satu lebih sedikit datang gangguan lagi. Di pintu depan ter-dengar
gedoran pelan. Tadi, di telepon Bang Komang bilang agar aku mengunci
123

PesanPendi

semua pintu dan waspada pada perampok. Antara marah dan takut, kuambil
belati. Belati ini sengaja kupesan pada Laki Sali, penempa besi di kampung.
Aku belum pernah mengeluarkan, bah-kan mungkin tak ada yang tahu aku
punya barang tajam. Kali ini, kalau memang ini perampok, aku jamin belati
ini akan bermandi darah.
Kak Uyo
Sekarang gedoran itu diselingi panggilan halus, nyaris berbisik. Aku
seperti mendengar suara hantu. Hantunya Pendi. Cepat-cepat kuambil kunci
dan melangkah pelan ke pintu. Lampu tak kunyalakan. Pasti ada sesuatu
yang patut disembunyikan kalau Pendi ke sini tengah malam begini.
Benar. Itu Pendi. Dia memapah seseorang. Dan dalam keremangan
kulihat wajah Somat yang memucat.
Ada apa? Aku ingin bertanya tapi Pendi menempelkan telunjuk di bibir.
Dia masuk tanpa bicara. Dengan isyarat dia menyuruhku mengunci pintu dan
melarang menghidupkan lampu.
Awalnya dia ingin membawa ke kamar depan. Aku segera menuntun ke
kamarku.
Sekarang jelas kulihat wajah Somat yang membiru. Dia terbatuk-batuk
tapi tidak membuka mata. Sepatunya penuh lumpur, celananya kotor, dia
memakai jaket. Kusangka dia dibacok, ditikam, atau entah apa. Tapi tak
kulihat tanda itu.
Dia tertembak, bisik Pendi, dengan pelan menelungkupkan Somat ke
124

PesanPendi

ranjang. Dia membuka jaket Somat, sekarang baru aku lihat ada lubang di
kaos di punggung sebelah kanan, Somat memakai baju hitam namun
disekitar lubang itu basah yang kuduga itu darah.
Somat terbatuk-batuk.
Kami punya dokter, tapi tak bisa dihubungi. Rumahnya diawasi. Kakak
kenal dokter yang bisa merahasiakan semua ini?
Aku terdiam. Dokter umumnya sibuk dan supercuek. Namun, selama
demonstrasi, ada juga yang mau membantu. Aku tak tahu mereka mau
menolong penjahat, mungkin juga mereka pernah Pendi rampok. Aku
menggeleng dan menatap masgul ke Somat. Dia terbatuk-batuk lagi.
Pendi mondar-mandir. Tolong belikan anti biotik tabur, Kak. Atau
apapun yang bisa mengeringkan luka dan mencegah infeksi. Tanya saja ke
petugas apotik.
Tengah malam begini?
Banyak apotik buka 24 jam. Kalau tak ada, ke rumah sakit saja.
Cepatlah. Biar kutangani pelurunya.
Walau bingung namun aku berangkat juga. Jujur, aku ngeri
membayangkan Pendi akan menangani peluru yang bersarang di pundak
Somat.
Untuk operasionalku, Bang Komang membelikan motor. Dan motor itu
kupacu.
Membeli anti biotik tengah malam, tentu harus ada alasan. Dan
125

PesanPendi

kukemukakan alasan yang membuat lelaki ingin tahu itu bingung. Kenapa
tak ke rumah sakit? Nanti! kataku marah. Dia memberikannya dan
memandangiku pergi, masih dengan keingintahuan yang besar.
Sampai di rumah, peluru itu sudah keluar. Untung hanya satu, kata Pendi.
Tak jarang ada juga yang proyektilnya pecah sampai dua. Juga peluru itu
hanya kena daging dan tidak menancap lebih dalam.
Aku melihat luka di punggung Somat. Sebuah lubang kecil menganga.
Pendi melumurinya dengan anti biotik.
Maaf, kunjungannya seperti ini.
Tidak apa-apa, kataku tulus.
Aku pening. Ayo kita lihat kantormu

Pendi ingin melihat kantor pengacara? Ini lucu. Tapi, kurasa dia ingin
menyampaikan sesuatu. Kubawa dia ke kantorku.
Dia memandang ke atas, ke foto Bang Komang yang berukuran besar.
Dia bosmu? tanyanya.
Aku mengangguk. Kurasa tak perlu kuperkenalkan, gurauku.
Pendi mencibir. Mengambil rokok dan menyulut. Sang Konselor, begitu
kami biasa menyebut dia. Dia menangani kasus kami. Kebanyakan menego
besar setoran atau lama hukuman kalau kami tertangkap. Anak buahku
belum pernah dia bantu karena kami cukup hati-hati. Tapi di bagian lain
sering.
126

PesanPendi

Maksudnya?
Perampokan hanya bagian dari usaha Bos, Kak. Masih ada yang lain.
Pelacuran, kasino, narkoba, rentenir, dan entah apalagi. Beberapa bahkan
halal. Kami tak pernah membuat masalah, tapi yang lain cukup sering
membuat repot Sang Konselor.
Aku menganggukan kepala.
Tapi, untuk Bos, lebih dari itu yang dilakukan Sang Konselor. Bersama
Bos, dia memikirkan hal-hal yang membuat usaha tetap aman. Yang kutahu,
ada dua hal yang membuat kami aman. Selain menyetor uang, juga menyetor
orang.
Maksudnya?
Ya, kami diharuskan menyetor setiap bulan agar aman dari polisi. Tapi
polisi juga butuh aman dari pandangan masyarakat. Masak begitu banyak
kejahatan tapi tak ada yang menangani? Di mana polisi? Jadi, sekali-sekali
dibuat skenario di mana kami ditangkap padahal sebenarnya kami
menyerahkan diri. Biasanya hal ini juga dilakukan agar polisi yang jadi
beking kami naik pangkat.
Aku menggeleng. Teori ini sudah banyak dibahas tapi sekarang ini bukan
lagi hanya teori.
Nah, sejak dua bulan lalu ada perwira polisi yang ingin naik pangkat.
Dia perlu tangkapan besar. Di bagian narkoba ada yang mulai main-main.
Setorannya tidak cukup menurut Bos. Dan Bos menyarankan orang ini. Di
127

PesanPendi

dorpun tak masalah. Matipun tak apa-apa. Tapi Sang Konselor berpikir lain.
Menurut-nya, sudah terlalu banyak penang-kapan narkoba sehingga tidak
punya arti. Juga, korban narkoba hanya orang-orang tertentu.
Penangkapannya tak akan memunculkan simpati masyarakat. Justru
penangkapan perampok yang sejak reformasi jadi marak yang diinginkan
masyarakat.
Bosmu setuju?
Tidak! Justru kusarankan pada beliau agar tak usah berdebat dengan
Sang Konselor.
Itu sindiran dan aku tak ingin menanggapi. Jadi, kau ingin menyerahkan
diri?
Iya, tentu dengan syarat penangkapan dilakukan diam-diam. Aku belum
siap mempopulerkan fam Kokait di Jakarta.
Mau tak mau aku tersenyum juga. Jadi tak ada yang tahu namamu
sebenarnya?
Somat hanya tahu aku Ending karena kakak selalu memanggil begitu.
Mungkin bos tahu. Tapi bos tidak pernah bertanya. Kawan-kawan sering
mengumbar kejahatan yang mereka lakukan tapi aku tak pernah. Mereka tak
tahu siapa aku, Kak. Bahkan mereka bingung aku dari Sulawesi atau dari
Sumatera.
Dengan berkata begitu sebenarnya Pendi ingin bilang bahwa dia tak akan
mencemarkan namaku. Kenapa dia tertembak? kualihkan pembicaraan.
128

PesanPendi

Pendi menarik napas. Kami dijebak. Kami disuruh menghadap bos.


Biasanya ada utusan khusus, tapi itu utusannya lain. Juga, biasanya hanya
aku yang disuruh menghadap. Tapi ini semua. Rombongan kami, sembilan
orang, semua harus menghadap.
Somat curiga namun kukira dia hanya takut. Akhirnya kami datang.
Kami dapatkan rumah sunyi. Somat menyarankan untuk pulang namun aku
ngotot. Ruang pertemuan ada di belakang dan kami ke sana. Kami baru mau
duduk ketika ada yang teriak: Polisi. Angkat tangan! Kami panik.
Seseorang dari kami, entah siapa, mulai menembak.
Terjadi tembak menembak. Peluru bagai hujan. Satu persatu anak
buahku rebah. Kemudian kuingat ada dinding yang jadi pintu rahasia yang
terhubung dengan garasi. Mati-matian aku dan Somat ke sana. Berhasil.
Mobil kupacu kencang. Beberapa saat kemudian, Somat bilang di kena.
Aku menggeleng. Pendi menceritakan semua itu seola hanya kejadian
biasa. Aku tak keberatan kalian ke sini. Tapi mengapa? tanyaku penasaran.
Kalau kakak mencariku, apa kakak akan mencari di rumah kakak
sendiri?
Aku menggeleng.
Nah, itu juga yang ada dipikiran Sang Konselor.
Sebenarnya Pendi ingin bilang bahwa Bang Komang penjahat
sesungguhnya. Dia yang merancang semua ini. Namun aku belum yakin
Bang Komang sejahat itu. Maka kualihkan pembicaraan.
129

PesanPendi

Kami mengobrolkan yang lain. Kubilang Nenek Ija sudah meninggal. Dia
terhenyak dan cepat-cepat bilang inalillahi wainaillahi rajiun. Kubilang apa
yang dikatakan Nenek Ija menjelang keberangkatanku ke Jawa dan Pendi
menangis. Penjahat menangis!
Telepon berdering. Siapa yang menelepon menjelang jam 3 dini hari ini?
Aku mengangkatnya. Kalau itu dari pelacur yang kena razia atau dari
penjahat kecil yang tertangkap, akan kubentak dia.
Kau belum tidur?
Itu suara Bang Komang dan ini membuatku gugup. Nampaknya dia
curiga. Untung Pendi diam. Seminar besok menakutkanku, Bang. Aku
susah tidur!
Kau dengan siapa?
Itu bukan pertanyaan tapi sudah tuduhan. Kenapa Bang Komang begitu
peduli dengan siapa aku sekarang? Dengan buku-buku. Kenapa?
Sesaat terdiam namun tak ada tawa di ujung sana. Antong apa artinya?
Pertanyaan itu membuatku semakin gugup. Bang Komang tahu aku tahu.
Antong? kuulangi pertanyaannya dan Pendi terpaku dikursinya. Itu di
mata kuliah apa?
Tak ada kekehan dari seberang. Maksudku, apa arti antong di bahasa
daerahmu? Ayolah, Yo, aku tahu kau tahu!
Apa yang terjadi diseberang sana? Sepertinya Bang Komang sedang
membuktikan sesuatu. Entahlah.
130

PesanPendi

Ayolah
Sudah!
Sambungan diputus. Aku masih termangu. Pendi benar. Bang Komang
memang terlibat. Kata sudah bukan dari Bang Komang. Entah mengapa,
kurasa Bang Komang ketakutan. Apa yang terjadi?
Apa yang terjadi? kubentak Pendi.
Pendi mengambil lagi rokoknya dan menyulut dengan tangan gemetar.
Sangat nampak dia juga tegang. Aku tak tahu pasti, Kak. Namun, kukira,
penyergapan kami tanpa sepengetahuan Bos. Sekarang Bos tahu dan Sang
Konselor dipanggilatau mungkin saja Sang Konselor sedang dengan Bos
untuk menutupi penyergapan namun sekarang Bos tahu. Pendi menyedot
rokoknya. Alasan satu-satunya untuk membenarkan penyergapan adalah
identitasku sudah diketahui. Namun bertanya ke sana-kemari tak seorangpun
yang tahu. Akhirnya dia menelepon kakak.
Sekarang Pendi memandangiku, langsung ke mataku. Andai kakak
bilang tahu Antong, berarti nyawaku sudah tak tertolong. Yang mengejarku
bukan hanya polisi yang dengan mudah disogok, tapi juga Bos. Nyawa
kakak juga dalam bahaya. Mungkin Bos tahu Salman Farizi Sampaka alias
Uyo adalah kakak saya. Ini membuat kakak terlindung. Tapi kalau saya
mati atau lari dengan identitas yang sudah diketahui?
Kenapa Bosmu begitu peduli padaku? gugatku.
Karena bisa saja Bos mengira kuceritakan rahasia kami ke kakak
131

PesanPendi

sehingga rahasia itu harus dilenyapkan bersama kakak.


Gila!
Memang!
Beberapa saat kami terdiam. Di kamar sebelah Somat mengerang.
Kau harus keluar dari kehidupan begini, Nding. Tak ada gunanya kalau
kau menjadi seperti dia. Apalagi ternyata banyak yang kau pertaruhkan,
kataku.
Pendi menghisap panjang rokoknya, menelan asap, dan menghembuskan.
Keinginanku juga begitu, Kak. Tapi kakak harus jadi orang dulu. Orangorang
yang mengincarku akan terus memburu kalau aku tak punya beking.
Ini bukan hanya untukku lho, Kak. Keluarga juga berharap begitu agar
mereka bisa terbantu. Menurutku, Kokait sebenarnya punya potensi tapi
terlalu miskin untuk dapat mengembangkan diri.
Aku mengangguk. Memang aku tak bicara. Namun aku bertekad untuk
mewujudkan impian Pendi.
Kami harus pergi, Kak. Pendi berdiri. Oh ya, kujamin kakak aman.
Tapi sebaiknya kakak tinggal dulu di rumah Papa Harnum. Dan tolong
bersihkan jejak kami. Maaf.
Aku mengangguk.
Seminarku dijadwal jam 8.30, saat di mana pesertanya masih segar.
Akupun ingin segar. Namun susah. Kejadian semalam, walau aku tidak
terlibat dalam pergulatan pisik namun membuat pikiranku kusut. Dan
132

PesanPendi

sekarang aku harus dibebani dengan membersihkan jejak Pendi.


Tentu ada alasan khusus sehingga Pendi minta jejaknya dibersihkan.
Kusangka dia yakin polisi akan mengejarnya sampai ke sini. Ini membuatku
lebih takut daripada menghadapi seminar.
Kamarku benar-benar berantakan. Sprei penuh bercak darah, kain,
bahkan beberapa baju. Kurasa Pendi mengambil begitu saja apapun yang
dapat menyerap darah ketika mengeluarkan peluru yang bersarang di pundak
Somat. Tanpa pikir panjang, semua itu aku bakar. Yang tak bernoda darah
kumasukan ke mesin cuci. Lantai aku pel. Bahkan setiap benda yang kurasa
pernah dipegangi Pendi aku lap dengan sapu tangan. Kupikir, mungkin akan
dicari sidik jari dan aku tak ingin ada sidik jari Pendi dan Somat di sini. Ini
benar-benar pekerjaan besar. Dan pekerjaan besar itu baru kuselesaikan jam
tujuh kurang.
Aku istirahat sejenak sambil memandangi hasil kerjaku. Astaga,
pekerjaanku terlalu bersih, terlalu rapi. Apa ini tak memunculkan
kecurigaan? Kurasa Bi Ona, pembantu di rumah ini, akan curiga. Ah, kurasa
aku bisa menguraikan beragam alasan padanya yang walau mungkin tak
membuat dia percaya namun akan membuat dia bingung. Namun, bagaimana
kalau polisi juga curiga? Mungkin tidak. Mungkin mereka akan datang
mudah-mudahan tidak akansetelah Bi Ona datang. Namun, bagaimana
kalau Bi Ona menceritakan kecurigaannya pada mereka? Apa aku harus
bicara dulu pada Bi Ona?
133

PesanPendi

Akhirnya kuputuskan untuk menunggu dan bicara dengan Bi Ona. Akan


kubilang agar dia tidak menjawab pertanyaan apapun dan dari siapapun
sebelum aku datang. Hukumannya berat kalau dia melanggar!
Aku masih berkutet dengan pikiranku namun waktu tak mau diinterupsi.
Dia terus berjalan. Bi Ona belum juga datang.
Aku terkejut ketika telepon berdering. Kukira dari Bang Komang, Pendi,
Polisi, atau entah siapa yang terkait dengan peristiwa semalam. Aku
menyapanya dengan hati-hati. Ternyata dari Marsa, teman yang kuminta jadi
moderator. Dia bilang ini sudah jam delapan lebih sedikit, teman-teman dan
dosen sudah menunggu, harap aku segera ke sana. Setelah Marsa
memutuskan hubungan baru aku ingat Bi Ona bilang akan datang terlambat
karena dia masih berada di rumah kakaknya yang sedang sakit. Sebingung
itulah aku!
Dengan cepat aku mandi, salin, mengumpulkan buku yang jadi referensi,
dan berangkat.
Astaga, kau kusut sekali, kata Marsa begitu aku muncul. Dia langsung
membenahi dasi dan kerah bajuku. Marsa memang sangat memperhatikanku.
Kuhadiahkan senyum manis padanya tanpa bicara. Kau ingin penanya
kubatasi?
Aku memandanginya. Kulihat dia benar-benar mencemaskanku.
Jangan, kataku.
Seminarpun di mulai. Tiga dosen penguji dan pembimbing duduk
134

PesanPendi

bersamaku, juga Marsa, sang moderator. Marsha menguraikan beberapa hal


sebelum masuk ke pokok. Dia pelan dan bertele-tele. Aku tersenyum,
nampaknya dia punya cara sendiri untuk melindungiku. Kami hanya punya
waktu 2 jam dan dia menghamburkannya.
Komang mana? bisik Dekan, Drs. Suryahadi, SH, yang duduk
disampingku.
Entah. Dia tak di rumah tadi malam tapi dia menelepon dan janji akan
datang.
Sang Dekan mengangguk.
Marsa memberiku waktu lima belas menit untuk menguraikan skripsiku.
Aku yakin dia akan mentolerir kalau aku mengulur waktu namun itu tidak
kulakukan. Aku selesai dalam sepuluh menit kurang.
Selanjutnya penguji bertanya. Pertanyaan mereka cukup ringkas dan ini
membuat Marsa kecewa. Dia mengulas kembali pertanyaan ituhanya
untuk menghabiskan waktu. Kujawab juga dengan ulasan panjang. Para
penguji belum puas namun memberi kesempatan ke forum.
Jika kau ingin diskusi lancar, kau beri kesempatan pada siapapun yang
bicara untuk mengulas sampai tuntas sehingga yang kontra punya waktu
sedikit, kemudian akhiri dengan: Wah, diskusi kita asyik, sayang waktu tak
banyak. Mungkin lain waktu akan kita sambung. Atau kata lainnya. Ini
yang kuajarkan pada Marsa. Dan nampaknya dia ingin mempraktekan.
Dia sengaja memilih orang-orang yang sangat senang bicara bertele di
135

PesanPendi

forum dan membiarkan mereka bicara tanpa interupsi. Walhasil, dalam satu
jam baru tiga orang di forum yang bertanya.
Saat aku menjawab pertanyaan penanya terakhir, seorang dosen maju dan
membisikan sesuatu ke Dekan. Dekan memanggil Marsa dan berbisik
padanya.
Marsa terdiam agak lama setelah aku selesai. Kukira ini trik. Seminar ini
menarik. Namun, sebelum lanjut, ada yang hendak Dekan sampaikan.
Silahkan, Pak, katanya.
Dekan tak langsung bicara. Ini membuatku penasaran. Aku cemas
seminarku dianggap gagal sehingga harus diulang. Aku bertanya pada Marsa
tapi dia diam.
Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anakku sekalian, akhirnya Dekan bicara.
Kita kehilangan orang besar pagi ini, seorang pendidik dan pelindung
masyarakat kecil. Inalillahi wainaillahi rajiun. Komang Wiraatmaja
kepalaku langsung pening.
Meninggalnya Komang Wiraatmaja telah menginterupsi telenovela di
salah satu tv swasta. Mobilnya melaju terlalu kencang dan menggesek
pembatas tol sejauh dua puluh meter. Dia diduga teler saat mengemudi.
Bang Komang teler? Selama bekerja dan tinggal di rumahnya belum
pernah kulihat Bang Komang menyentuh barang haram itu.
Kuingat telepon Bang Komang tadi malam. Kuingat apa yang Pendi
bilang. Dan sekarang aku yakin Bang Komang memang terlibat dalam
136

PesanPendi

sejumlah persoalan.
Walau begitu, tetap kudoakan dia. Seperti apa pun dia, Bang Komang
tetap bosku. Dia tak pernah menyakitiku. Minimal belum pernah

137

PertemuanJodoh

14
Pertemuan Jodoh
Jodoh itu aneh, terkadang dia berada dihadapan kita tapi kita seperti tak
merasa
(Ansy)
Sesuai instruksi Pendi, aku ke rumah orang tua Harnum. Sebelumnya aku
sempat singgah untuk memberitahu Bi Ona nomor telepon orang tua
Harnum, siapa tahu ada yang mencariku. Jujur, sebenarnya aku agak cemas
polisi mengira aku lari kalau kematian Bang Komang dilakukan
penyelidikan. Juga, kusangka keluarga Bang Komang akan datang
mengambil barang-barang dan mungkin ingin bicara denganku.
Bi Ona dan suaminya benar-benar terpukul. Berulang kali mereka bilang
tak pernah melihat Bang Komang minum. Juga Bang Komang begitu baik.
Ya, memang Bang Komang orang baik, setidaknya aku tak pernah melihat
dia jahat.
Mama Harnum memelukku dan menyatakan turut belasungkawa. Papa
Harnum menawarkan pekerjaan di sebuah kantor hukum di Jakarta, sesuatu
yang benar-benar kantor hukum dengan sejumlah pengacara di dalamnya
dan banyak kasus besar yang ditangani. Aku bilang terimakasih tapi aku
belum ingin dipusingkan dengan persoalan apapun sebelum aku diwisuda.
Mama Harnum sangat setuju denganku.
138

PertemuanJodoh

Malamnya, Sasra, kakak Bang Komang menelepon. Dia terdengar tegar


namun heran dengan telernya Bang Komang. Ya, aku juga heran! Dia juga
bilang, rumah plus kantor itu telah dibeli Bang Komang dan aku diminta
tinggal. Kubilang terimakasih tapi aku tak tertarik. Besoknya, aku kemasi
barang-barang di sana dan dibawa ke Jakarta.
Tak ada polisi yang menelepon. Dari Sasra aku tahu bahwa polisi yakin
kematian Bang Komang murni kecelakaan.
Seperti biasa yang kulakukan di rumah orang tua Harnum hanya makan,
tidur dan membaca. Dan tak ada yang mengganggu.
Hampir semua buku Harnum aku lahap namun hanya novel itu yang
menarik. Entah sudah berapa kali novel itu kubaca. Aku bisa melihat diriku
dari tokoh lelakinya, dan Harnum tokoh perempuannya. Aku menduga novel
ini karya Harnum.
Aku sedang asyik membaca ketika terjadi kehebohan. Kamu kok nggak
bilang-bilang kalau pulang. Terdengar teriakan Mama Harnum. Kuduga ada
keluarga orang tua Harnum yang datang. Aku segera keluar. Tak enak kalau
mereka lihat aku hanya berleha-leha.
Di tangga, aku terpaku. Seorang gadis dengan kerudung biru dan daster
longgar panjang berpelukan mesrah dengan Mama Harnum. Siapakah?
Mungkin sepupu atau saudara Harnum dari Sumatera. Aku diam saja di
tangga.
Gadis itu melepaskan pelukan. Dia menatapku. Matanya. Matanya itu.
139

PertemuanJodoh

Aku mengenalnya. Di mana? Siapa? Dia tersenyum padaku. Ya. Aku


mengenalnya. Walau kepalanya sudah dibalut jilbab dan tubuhnya terbalut
daster longgar panjang namun aku mengenalinya. Dia Harnum! Ya, dia
Nanu!
Tiga tahun lebih. Di negeri orang yang serba bebas, mengapa Harnum
memakai model pakaian yang kata orang membelenggu kewanitaan
perempuan seperti ini? Apa yang terjadi padanya?
Begitu banyak pertanyaan dibenakku. Namun aku hanya bisa termangu.
Harnum juga. Hanya mata kami yang saling menatap.
Oh, ya, Mama Harnum memecahkan kesunyian. Kami sama-sama
kaget dan melihat ke arah beliau. Uyo, kenalkan ini anak kami yang tertua.
Dia besar di daerahmu. Nanu, yang di atas sana itu Uyo. Orang Bolaang
Mongondow di tempat papamu bertugas dulu!
Aku nyaris terbahak mendapat gurauan Mama Harnum. Harnum
memerah mukanya. Aku turun perlahan. Dada berdebar. Walau kami sering
bicara lewat telepon, namun tiga tahun lebih tidak bertemu ada juga
dampaknya. Terlebih lagi Harnum datang dengan penampilannya yang sama
sekali baru. Ketomboyannya benar-benar tertutupi dengan penampilannya
itu.
Aku mengulurkan tangan. Salman Farisi Sampaka, kataku. Dia hanya
tersenyum-senyum saja.
Malam itu, bulan berebut dengan lampu jalan, berusaha menerangi
140

PertemuanJodoh

Jakarta. Tentu saja sang bulan kalah. Dia hanya bisa menerangi
tempattempat
gelap di sudut-sudut Jakarta. Kami memilih teras rumah di lantai dua
untuk menikmati indahnya bulan. Harnum telah berganti pakaian namun
modelnya tetap sama dengan tadi, jilbab dengan daster longgar panjang. Aku
merasakan jarak kami yang jauh, apalagi kami duduk berdua dengan dibatasi
meja yang agak panjang. Anehnya, aku merasa damai walau ada jarak yang
memisahkan kami.
Entah berapa lama kami hanya berdiam diri.
Purnama di Kotamobagu rasanya lebih besar dan indah, Yo. Kenapa?
tanya Harnum.
Ya, mungkin di sana lebih gelap, Nu. Itulah mengapa bulan itu lebih
berfungsi dari matahari.
Kenapa?
Karena matahari bersinar siang, padahal siang itu kan terang. Aku
mengutip Nasrudin.
Saya sudah membaca bukunya, sahut Harnum. Tapi menurutku bukan
itu yang membuat bulan menjadi tak indah di sini. Melainkan Bulan kalah
bersaing.
Benar juga, kataku.
Lama kami terpaku menatap rembulan.
Bulan telah ada sejak manusia pertama dibumikan. Seharusnya dia lebih
141

PertemuanJodoh

berharga bagi manusia. Ternyata tidak. Lampu ciptaan manusia yang hadir
berjuta tahun kemudian malah lebih mendapat tempat. Aneh, ya? kata
Harnum. Pandangannya tetap ke bulan.
Ya, begitulah manusia. Dia lebih menghargai ciptaannya daripada yang
Mahapencipta hadirkan. Inilah uniknya ego. Padahal, yang manusia lakukan
hanya berkarya. Manusia merangkai ciptaan Sang Maha-pencipta, balasku.
Apa seperti itu juga manusia dalam berhubungan dengan sesamanya?
Apa yang baru akan mengalahkan yang lama?
Aku tahu Harnum menyindir tapi aku tak tahu maksudnya.
Dia memandangku. Kau kenal Susan?
O, rupanya ini yang disebut yang baru oleh Harnum. Susan, Cina itu,
kan? tanyaku memastikan.
Dia selalu bilang dia orang Indonesia namun kapok dengan Indonesia!
Aku tersenyum miris. Wajah sipit Susan kembali terbayang. Juga apa
yang dia katakan tentang Indonesia yang selalu menganggap orang yang
sepisik dengannya sebagai musuh. Kasihan dia, Nu. Bangsa kita memang
telah berbuat tidak adil padanya.
Harnum menganggukan kepala. Wajahnya menatap bulan. Dia begitu
terkesan dengan pribadimu, Yo. Bahkan dia merasa bersalah pergi tanpa
pamit padamu.
Aku tahu Harnum sengaja menggantungkan kata-kata. Dan aku
membiarkan saja.
142

PertemuanJodoh

Bagaimana penilaianmu tentang dia? lanjutnya.


Aku menarik napas. Aku kasihan padanya. Dia telah berbuat banyak
untuk negeri ini. Bahkan dia telah mencaci orang digolongannya yang
serakah. Seharusnya kita melindunginya. Menurutku, dia adalah saudara
yang sebenarnya sebagai sesama manusia.
Benar hanya kasihan? tanya Harnum. Dia menatapku.
Kalau lebih dari itu kenapa? Ya. Hanya sebatas itu, kataku tegas.
Harnum menguap. Dia pamit.
Harnum memasak, ini berita. Maka aku ke dapur menemaninya.
Kusangka dia akan masak masakan ala Australia. Ternyata tidak. Dia hanya
mau masak nasi goreng.
Wah, kalau begini, di emperan juga ada, kataku mencibir.
Biasanya Harnum marah. Dia mengomel panjang dengan jutaan argumen
yang terkadang tidak berhubungan. Dan aku telah siap.
Untuk apa makanan dari luar kalau kau hanya di sini? katanya tanpa
emosi.
Sekadar mencicipi masak nggak boleh? aku menantang debat.
Mencicipi? katanya dengan bibir mencibir.
Aku langsung mati kutu.
Akhirnya nasi goreng dihidangkan. Cukup enak juga.
Pa, Ma, Uyo bilang dia akan melanjutkan study ke Australia, kata
Harnum setelah puas menerima pujian.
143

PertemuanJodoh

Wah, bagus itu. Mama sangat mendukung. Untuk Uyo, S2 di dalam


negeri tidak cocok. Bukan begitu, Pa? kata Mama Harnum sebelum aku
bicara.
Benar kau ingin ke sana?
Semua mata tertuju padaku. Aku tak punya biaya, kataku berdiplomasi.
Sangat sedikit orang Indonesia yang belajar hukum di sana, Yo.
Apalagi kau memang pintar. Ini membuatmu mudah mendapat beasiswa,
kata Harnum cepat.
Bagaimana dengan bahasa?
Kau akan belajar cepat kalau di sana. Lagi pula aku akan mengajarimu.
Baik. Baik, Papa Harnum menyela. Aku tak mempedulikan kau akan
kuliah di mana, Yo. Aku yakin kau bisa. Biaya kutanggung. Ini sudah jadi
komitmenku! Tapi ada permasalahan antara kalian yang harus diperjelas.
Aku dan Harnum saling pandang. Masalah apa? Harnum bertanya.
Kalian pacaran?
Ini masalah privat, Harnum membentak.
Iya. Dan orang tua termasuk bagian dari privat itu.
Tapi Uyo
Uyo calon menantu.
Harnum terdiam. Aku mencari kata-kata yang tepat namun ilmu hukum
dan dunia aktivis tak mengajariku yang seperti ini.
Terus terang Oom kesal pada kalian. Kalian akrab saat SMA. Harnum
144

PertemuanJodoh

kau beri nama Nanu, Yo. Saat berjauhan, kalian saling menelepon dan
berbalas surat. Kalian tak tahu sudah lima tahun lebih kalian akrab?
Tak ada yang mengomentari. Aku dan Harnum mirip pesakitan, hanya
tertunduk.
Dan selama itu, yang kutahu, kalian tak menjalin hubungan khusus
dengan siapapun. Kau mungkin dikelilingi perempuan, Yo. Tapi tak ada
yang kau pacari. Atau ada tapi aku tak tahu?
Mengapa aku harus mengulas masalah pribadiku di sini? Kira-kira
begitu.
Mengapa? Mama Harnum nimbrung.
Iya, mengapa? Kawan-kawanku punya pacar dari hampir setiap
demonstrasi atau tempat yang disinggahi. Mengapa aku tidak? Aku sama
sekali tak bicara. Mengapa juga aku harus bicara?
Mungkin aktivitas dan kuliah telah menyita waktumu sehingga kau tidak
sempat memikirkan hal lain? Papa Harnum bertanya.
Mungkin.
Nah, sekarang kau bukan aktivis lagi, dan kau sudah bertemu Nanu.
Adakah perempuan lain dipikiranmu selain Nanu?
Memang tidak ada. Namun aku malas untuk bicara.
Dan kau Nanu? Benar yang kau katakan bahwa kau tak punya pacar di
Australia?
Begitulah.
145

PertemuanJodoh

Nah, masalahnya sudah jelas, Papa Harnum tersenyum. Dikebiasaan


kami, perempuan yang melamar lelaki. Sebagai orang tua Harnum, Oom siap
melamarmu, Yo. Tapi, untuk menghormati demokrasi maka kuberi kalian
kesempatan untuk membicarakan masalah ini berdua. Bicarakan sambil
mengurusi semua keperluanmu ke Australia, Yo. Oom akan membantu,
apapun hasil pembicaraan kalian.
Kami melanjutkan makan dalam diam.
Setelah Papa Harnum pergi, aku dan Harnum ke Bogor. Di balik kemudi,
Harnum mengomeli kesemrautan lalulintas Jakarta.
Tak usah terlalu dipikirkan, Yo. Papa memang begitu.
Kenapa tidak dipikirkan? aku membentak.
Ya, karena Papa memang begitu. Selalu sok militer. Selalu sok kuasa.
Harnum begitu santai ketika bicara. Dan ini membuatku marah. Atau
kau memang tak ingin membicarakannya karena telah ada orang lain yang
menunggu di sana.
Harnum menatapku sejenak. Oke, kita akan bicara, katanya dan
langsung meminggirkan mobil. Ban mencicit saat dia membelok. Nah, aku
tak punya siapa-siapa di sana. Aku justru menunggumu. Apa kau akan
melamarku?
Aku menarik napas. Tak memandangnya. Baik. Aku Uyo dan akan
melamarmu, tapi aku sama sekali tak mau dilamar!
Dia diam beberapa saat. Kemudian bilang: Ya, aku Nanu. Aku tak akan
146

PertemuanJodoh

melamarmu. Tapi kuterima lamaranmu.


Perlahan kami saling pandang. Tersenyum. Tangan kami saling
menggenggam.
Sirene itu baru kami dengar setelah dekat. Harnum panik. Dia mencoba
menghidupkan mesin tapi aku tahan. Mobil polisi sudah berhenti. Si polisi
keluar dan memberi hormat.
Kubuka kaca dan langsung bilang: Maaf, Pak. Isteriku muntah. Maklum
hamil muda.
Si polisi melihat ke perut Harnum. Nampaknya dia termakan bualanku.
Sudah baikan, Bu?
Ah, iya, kata Harnum antara marah dan gugup.
Kalau begitu, silahkan jalan. Rombongan Presiden sebentar lagi akan
lewat.
Walau kuliah hukum di Australia termasuk masih baru namun Dekan
gembira dengan rencanaku. Dihadapanku dia menelepon rektor, menanyakan
apa ijazaku bisa terbit lebih awal. Tak masalah bagi rektor, yang penting aku
sudah memenuhi semua persyaratan.
Kau tentu banyak urusan. Nah, kembalilah dua jam lagi, katanya
bersemangat.
Sebenarnya aku ingin menggunakan kesempatan itu ke markas Fosmib.
Namun Fosmib tinggal sejarah. Penghuninya semua orang baru. Fosmib
terbengkalai karena aktivis Fosmib yang lama telah pindah. Juga Kang Asep.
147

PertemuanJodoh

Jujur aku sedih. Namun mau apalagi? Zaman sudah berubah!


Kualihkan langkah ke bekas kantorku. Rumah itu masih seperti dulu, tapi
papan nama di depan yang menyatakan rumah itu sekaligus kantor
pengacara telah dicabut. Bi Ona masih bekerja di sana. Dia gembira
menyambutku. Dia bilang keluarga Bang Komang belum pernah ke sana,
jadi gaji bulanannya ditransfer. Sekaya apa keluarga Bang Komang?
Harnum mencubit ketika dia kuperkenalkan sebagai calon isteri.
Dua jam kemudian kami kembali. Benar, ijazah dan transkrip sudah ada.
Hari masih siang. Ijazah itu menyemangati menyemangati kami untuk
menuntaskan segala hal yang terkait dengan keberangkatan kami ke
Australia. Kamipun kembali ke Jakarta.
Harnum memacu mobil. Saat di tol, ditempat dimana kulamar dia, mobil
sengaja diperlambat. Kami berpandangan sejenak, saling menghadiahkan
senyum. Kami sudah sepakat untuk mengatakan pada orang tua Harnum saat
makan malam nanti. Ya, mirip balas dendamlah pada Papa Harnum yang
telah mengadili kami.
Kami ke Kedutaan Australia, menanyakan persyaratan untuk pengurusan
visa dan paspor. Balik ke rumah untuk menyiapkan segala persyaratan, balik
lagi ke Kedutaan. Setelah beres, kami ke toko emas, memesan sepasang
cincin dengan ukiran nama kami di dalam hati.
Kami sengaja berlama-lama, bahkan pakai acara makan dan nonton
segala. Kami seperti anak umur belasan yang belajar pacaran. Dan memang,
148

PertemuanJodoh

ini kali pertama kami pacaran, dan hanya dalam beberapa jam ini. Nanti
malam aku akan melamar Harnum pada orang tuanya, paling lambat dalam
seminggu ini kami akan jadi suami-isteri.
Kami memang sengaja berlama-lama pulang agar orang tua Harnum
sudah lengkap ketika kami tiba. Namun, ketika kami pulang, Papa Harnum
belum ada.
Aku mandi berlama-lama, kemudian mematut diri di depan cermin.
Memakai minyak rambut. Mengganti model bersisir. Aku sempat berpikir
akan memakai minyak wangi tapi kok rasanya berlebihan. Kemudian aku
sibuk dengan baju yang akan dipakai.
***
Ketika aku ke dapur, Harnum sedang sibuk. Masakan, entah apa saja
namanya sekarang tersaji di meja. Tak ada yang membantu. Harnum sangat
cekatan. Meja makan telah dia sulap dengan berbagai masakan, bunga,
bahkan lilin.
Tolong tambah kursinya, Yo, empat lagi, pintanya.
Mau ngundang siapa? tanyaku penasaran.
Ya, sekali-kali untuk moment yang penting, seluruh orang di rumah ini
ngumpul, katanya.
Aku mengangguk. Rupanya orang-orang yang telah membantu di rumah
Harnum yang empat orang banyaknya akan diundang makan juga. Ah, andai
Pendi bisa ditemukan. Aku sangat berharap dia akan menghadiri upacara
149

PertemuanJodoh

terpenting kedua setelah wisudaku ini. Tapi, dimana dia?


Apa ini? tanya Papa dan Mama Harnum begitu masuk.
Nanti kita bicarakan setelah makan, kata Hesti dengan bibir tersenyum,
memibikin penasaran saja.
Orang tua Harnum tambah heran ketika para pembantu di rumahnya
masuk dengan pakaian yang rapih.
Acara makanpun dimulai, Mama Harnum sesekali bertanya yang dijawab
anaknya dengan menempelkan telunjuk di bibir. Aku dapat melihat rasa
penasaran di wajah ibunya.
Setelah selesai makan
Entah sudah berapa kali Harnum menyikutku, memintaku bicara. Namun
aku bingung akan mengatakan apa sehingga aku diam saja.
Jadi, Papa, Mama, Bibi, Paman Harnum berhenti yang membuat
semuanya mendelik padanya. Uyo akan mengatakan sesuatu,
sambungnya, menyikutku lagi.
Aduh, kok tetap aku juga to, keluhku. Beberapa kali aku berdehem,
mengatur posisi duduk, berdehem lagi, benar-benar sangat tidak enak.
Ternyata, memproklamirkan cinta lebih susah dibandingkan bicara berjamjam
lamanya atau menulis beratus lembar banyaknya.
Apa to, Yo, kok dari tadi batuk terus, kata Mama Harnum, beliau
melihat ke suaminya dan tersenyum.
Ejadi, Oom, Tante, Bibi, Pamaneaku dan Harnume, maksudku
150

PertemuanJodoh

Nanu, kami, e, kami sudah punya, e, hubungan khusus, kataku terbatabata.


Waduh, Mas Uyo kok seperti menteri yang sudah diganti saja, kata Bi
Prihatin, dia tertawa yang disambut tawa yang lainnya membuat wajahku
memerah.
Hubungan khusus? tanya Papa Harnum, dia sama sekali tak tersenyum.
Aku menyikut Harnum namun dia diam. Aduh
Kami ternyata saling cinta, Oom, dan kalau mendapat restu dari Oom
dan Tante maka kami ingin cinta kami tak terbatas pada perasaan tapi
sampai ke melangsungkan pernikahan. Jadi, kami memohon restunya Oom
dan Tante.
Kalau memohon restu berarti kamu menganggap kami ini orang tuamu.
Tapi mengapa kamu masih memanggil Oom dan Tante? tanya Mama
Harnum.
Maaf, Papa dan Mama, sudah tebiasa, ralatku gugup.
Apa modalmu melamar anakmu?
Pertanyaan Papa Harnum dengan mimik tak berubah itu mengagetkanku.
Kami saling cinta, Harnum setengah membentak.
Cinta tak akan membawa kalian ke mana-mana dan tak akan menjadikan
kalian apapa-apa.
Papa Harnum mengucapkan itu tanpa ekspresi. dingin.
Maaf, Pa, kemarin kami memang belum siap karena belum
membicarakan. Baru tadi ketika ke Bogor baru kami saling terbuka
151

PertemuanJodoh

Rupanya seperti ini gayamu dalam bernegosiasi


Saya bukan sedang bernegosiasi, potongku.
Iya, dan jawaban Anda bukan untuk yang saya tanyakan.
Kami saling cinta dan tetap akan menikah, entah dengan atau tanpa restu
Papa.
Ah, saya rasa tidak begitu, Nu. Sebaiknya jangan kalau tidak direstui,
kupotong bicara Harnum yang sudah mengambil keputusan pendek.
Kupandangi Papa Harnum. Kalau harta yang disebut modal, jelas saya
tak punya, Oom. Jadi biarlah, mungkin cuma cukup begini.
Aku sudah berdiri. Eh, apa yang kamu lakukan. Duduk! Papa Harnum
setengah membentak.
Apalagi? jelas saya tak memenuhi syarat, kataku dengan mimik lemas.
Payah kau ini, belum menjadi aktivis betul ternyata. Seharusnya kau
ngotot
Papa Harnum terus bicara yang terkadang membuat kami tertawa.
Ternyata beliau hanya mengujiku. Dan sekarang, bahkan beliau yang
mendesak agar kami menikah dulu sebelum kami melanjutkan study ke
Australia.

152

GembiradanDuka

15
Gembira dan Duka
Tuhan menciptakan kekontrasan
Malam-siang, kaya-miskin, penguasa-dikuasai, Senang-susah, sedih-gembira,
lembutmarah
Terkadang dia menghadirkannya bergantian, tak jarang dia menghadirkannya
bersamaan
Apa maksud Tuhan?
Walau bahagia, entah mengapa mimpiku buruk semalam dan aku tak bisa
tidur sesudahnya. Dalam mimpiku, kulihat gigiku ditanggalkan paksa walau
sebenarnya tidak sakit. Kata orang kampung, berarti ada keluarga yang akan
meninggal. Aku tak percaya takhyul semacam itu. Namun aku tetap susah
tidur. Badanku pegal semua.
Setelah subuh baru aku merasa mendingan. Aku ingin bercengkerama
dengan keluarga Harnum yang sekarang jadi keluargaku juga namun kantuk
tak bisa aku tahan. Aku pamit untuk tidur. Seperti biasa, mereka
mengizinkan karena memang itu sudah jadi kebiasaanku yang mereka
rasakan.
***
Ketukan di pintu mengagetkanku. Mungkin Harnum. Masuklah, tidak di
kunci, kataku.
Pintu dibuka. Astaga, ternyata bukan Harnum melainkan bapaknya.
153

GembiradanDuka

Biasanya beliau langsung mengomentari apa pun yang kulakukan. Kali ini
tidak. Wajahnya seperti tersaput mendung. Ada apa?
Apa ini terkait dengan rencanaku dan Harnum. Apa Harnum sudah
mengatakan pada beliau? Apa beliau marah dengan rencana kami untuk
membalas dendam?
Sejak kapan kau tahu Pendi merampok di Jakarta? tanyanya tanpa
menyuruhku duduk.
Aku terlalu kaget dengan pertanyaan itu. Kenapa? aku balik bertanya.
Papa Harnum tak menjawab. Dia memandangiku. Ada kemarahan dari
sorot matanya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Dengan lesu aku duduk di
kursi depan meja belajar. Kuceritakan pertemuanku dengan Pendi di
pelabuhan sampai di kantor Bang Komang, kuulang apa yang dikatakan
Pendi tentang dirinya. Tentang uang kiriman Pendi sengaja kusembunyikan.
Kupikir Papa Harnum ingin memanfaatkanku untuk menangkap Pendi
karena mungkin saja Pendi telah membuat ulah lagi yang meresahkannya.
Aku siap membujuk Pendi untuk menyerahkan diri dan uang itu biar menjadi
modalnya setelah keluar dari penjara.
Sampai seberapa jauh kau tahu tentang caranya bekerja?
Hanya itu yang dia katakan. Kupandangi Papa Harnum. Beliau
memandangi tempat lain. Dengar, Pak, kataku dengan penekanan pada
kata Pak, ini membuat dia memandangiku, rupanya keformalanku
membuatnya kaget. Aku akan membujuknya untuk menyerahkan diri. Yang
154

GembiradanDuka

penting tunjukan di mana dia berada karena itu yang aku tak tahu.
Aku tahu di mana dia. Tapi kau tak akan dapat membujuknya.
Kenapa?
Yo, ke sinilah, teriakan Mama Harnum mengagetkanku. Tanpa
mempedulikan Papa Harnum aku turun.
Aku memelototi tv yang ditunjuk Mama Harnum. Beritanya tinggal
separuh. Yang kusaksikan hanya keterangan dari Kapolres Jakarta Timur
tentang siapa Effendi Kokait alias Pendi alias Antong dengan latar belakang
rumah si Bos yang menurut keterangan itu kembali dirampok. Ketika kamera
terarah ke gumpalan darah, si reporter bilang: Perampok besar yang licin ini
sekarang telah mati
Aku hanya dapat menatap layar televisi. Berita itu tanpa gambar. Hanya
keterangan-keterangan. Aku tak yakin Pendi telah mati.

Awalnya Papa Harnum tak mengizinkanku melihat mayat Pendi. Kau


tak akan senang melihat kondisinya, Yo, kata beliau.
Dia adikku, Oom, kataku.
Baik, akhirnya Papa Harnum menyerah.
Kami ke salah satu rumah sakit di Jakarta Timur. Ternyata akses ke
mayat Pendi tidak mudah. Dua polisi menjaga di depan kamar mayat.
Keduanya menghormat begitu melihat Papa Harnum.
Kami memasuki kamar mayat. Ada empat mayat di sana, yang dua
155

GembiradanDuka

ditutupi dengan kain putih, yang dua tidak namun tak kukenalisangat jelas
mereka korban kecelakaan.
Seakan sudah sangat kenal, salah satu polisi membuka selubung salah
satu mayat dari kepala sampai dada. Benar itu Pendi. Nampaknya mayatnya
sudah dibersihkan, tapi lubang bekas peluru di keningnya masih terlihat.
Mengapa senjata langsung diarahkan ke kening?
Tolong buka semua, Pak, kataku pada Polisi yang terus mengawasi.
Dua polisi itu saling pandang, kemudian melihat ke Papa Harnum. Papa
Harnum menyuruh menuruti dengan anggukan. Selubung Pendi dibuka.
Benar, mayat Pendi telah dibersihkan. Namun setidaknya ada empat lubang
peluru ditubuhnya.
Gila! Ini pembantaian!
Bayangan pertemuan dengan Pendi, guyonan entengnya tentang dunia
kelamnya, harapan-harapannya, segala bantuannya. Semua itu membuat air
mata jatuh tak terasa.
Mama Harnum memelukku dengan kasih sayang seorang ibu. Tak usah
ditangisi, Yo. Memang beginilah jalan hidup yang dia pilih, kata beliau.
Pilihan hidup? Siapa yang memilih jadi perampok? Namun aku terlalu
lelah untuk berkata-kata.
Benar Naisbith, dunia memang sudah seperti dilipat. Sesampai di rumah,
Oom Iman telah menunggu di seberang. Harnum yang mengangkat telepon
memberi isyarat dengan bibir. Aku segera mengambil telepon darinya.
156

GembiradanDuka

Benar berita itu, Yo? tanya Oom Iman.


Iya, jawabku singkat. Aku sudah tahu apa yang Oom Iman maksud.
Terdiam beberapa lama. Aku tak tertarik untuk bicara banyak. Dia harus
dikubur di sini, Yo. Hanya ini yang bisa kita lakukan untuknya, terdengar
suara Oom Iman bergetar.
Sebaiknya dibicarakan dengan Papa Nanu, kataku tanpa semangat.
Gagang telepon kuberikan ke Papa Harnum. Aku duduk diam bersama
Harnum dan mamanya sementara Papa Harnum bicara di telepon.
Jenazah Pendi akan dibawa ke kampung, Yo. Aku juga akan ke sana,
kata Papa Harnum.
Karena Papa Harnum ke Bolaang Mongondow, Harnum dan ibunya juga
ikut. Mau bernostalgia, kata mereka.

157

Akhir

Akhir
Luar biasa. Pendi penjahat namun pemakamannya melebihi pejabat.
Kapolres dan Dandim datang, juga beberapa pejabat. Mungkin ini pengaruh
dari Letnan Kolonel Arif Pambudi alias Papa Harnum. Masyarakat juga
tumpah, jelas mereka ingin melihat Effendi Kokait alias Pendi, penjahat
yang telah mempopulerkan daerah terpencil ini, Bolaang Mongondow,
sampai ke Jakarta.
Aku yakin banyak pelayat mencemooh Pendi, juga mencemooh kami,
anggota keluarga besar Kokait. Namun, ketika Papa Harnum tampil, air mata
banyak yang mengalir, isak tangis terdengar di mana-mana.
Dengan lugas beliau menguraikan perjalanan hidup Pendi. Mulai dari
kasus di pertambangan illegal Doloduo, mencari penghidupan di Jakarta
yang mencari yang haram saja susah terlebih yang halal, terlebih bagi orang
terbuang seperti Pendi. Berulang kali beliau bilang bahwa Pendi hanya salah
satu korban aparat. Pendi korban dari perilaku buruk aparat dan pandangan
negatif masyarakat, kata Papa Harnum. Tak ada yang bercita-cita jadi
penjahat namun tanpa sadar kita membuat orang jadi jahat! katanya marah.
Di sudut, diantara keluarga besar dan beberapa undangan, air mataku
mengalir.
***
Setelah pemakaman kuajak Harnum duduk di sudut.

158

Akhir

Kematian Pendi menghilangkan orientasiku, Nu. Berulang kali dia


bilang jadilah orang, Kak, agar aku aman saat keluar dari duniaku. Namun
kau lihat sendiri. Pendi mati dan aku Aku terdiam lama. Kata-kata
tertahan di tenggorokan. Bayangan pertemuan dengan Pendi, guyonan
entengnya tentang dunia kelamnya, harapan-harapannya, segala bantuannya.
Semua itu membuat air mata kembali jatuh tak terasa.
Entah berapa lama aku berada di duniaku sendiri. Kemudian aku sadar.
Harnum memandangiku, kurasa dia iba, namun ini membuatku sakit. Air
mata kuhapus dengan lengan baju, tersenyum patah dan berujar padanya:
Sebaiknya kau cari calon suami lain yang tidak cengeng, Nu.
Aku manusia, Yo. Aku tak ingin calon suami robot, katanya.
Tapi aku sudah seperti mayat sekarang. Aku benar-benar kehilangan
semangat.
Wajar. Tapi kamu bukan mayat. Kamu hanya perlu menenangkan diri.
Kau ikhlas aku tak ke Australia sekarang?
Bahkan tak ke sanapun tak jadi soal. Aku kan sudah pernah
mengalami!
Ya, teman-temanterutama Harnumtelah pernah kukecewakan saat
aku tidak ikut ke Bali. Gara-gara Pendi, sekarang gara-gara dia lagi. Harnum
telah belajar tentang diriku, sekarang dia pasrah. Tentang pernikahan,
kurasa tak ada pengantin baru yang langsung terpisah begitu jauh, kataku.
Untuk yang satu ini Harnum berpikir lama. Dia menatap tajam ke
159

Akhir

mataku. Kemudian dia mengangguk.


Aku memandang ke tempat lain di mana pihak keluarga saling
berangkulan dan bertangisan.
= Tamat =
Sudimoro, Senin, 08 Nopember 2004

160

Daftar Istilah dan Singkatan


Ebtanas: Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional, sekarang Ujian
Akhir Nasional (UAN)
Fam: Nama keluarga; Marga
Laki (miring) : Kakek
Harua: Peringatan meninggal-nya seseorang
NEM: Nilai Ebtanas Murni
SP3: Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesan
UMPTN: Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
PTN: Perguruan Tinggi Negeri
Dinangoi: makanan dari sagu
Monabak: Mengolah pohon rumbia jadi sagu
Mintahang: Selamatan
Sangadi: Kepala Desa
Imang: Imam
Jiow: Pegawai syari
Permesta: Perjuangan Rakyat Semesta
Bogani: Pimpinan kelompok masyarakat saat Bolaang Mongondow
Nanu in Bolaang Mongondow : Putri Bolaang Mongondow
Utat: Saudara
PRD: Partai Rakyat Demokratik

161

SMID: Solideritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi


ALDERA: Aliansi Demokrasi Rakyat
Abo : Panggilan untuk bangsawan lelaki
Tinutuan: disebut juga bubur Manado
FKMIJ: Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta
Formaci: Forum Mahasiswa Ciputat
FKMY: Forum Komunikasi Mahasiswa Jakarta
Forkot: Forum Kota
motobatu molintak kon gogaluman : Bersatu memperjuangkan
keluarga
A. TOTABUAN SYUKUR
RELASI HITAM SANG AKTIVIS 113
Motobatu Molintak kon Totabuan : bersatu memajukan tanah
kelahiran
SPI: Sekolah Pendidikan Islam; SPI merupakan sekolah pribumi
pertama di Bolaang Mongondow

162

Sekilas tentang Penulis


A. Totabuan Syukur nama pena dari Anuar
Syukur, dilahirkan di Motoboi Kecil, Kecamatan
Kotamobagu, Bolaang Mongondow, Sulawesi
Utara pada 26 Oktober 1975 dari ayah
almarhum Djudin Syukur (seorang guru agama
SD) dan ibu Angkina Asiaw (seorang ibu rumah
tangga). SD-SMA ditempuh di Bolaang
Mongondow, tahun 1995 ke Bogor, kuliah D3
Fakultas Peternakan IPB, selesai tahun 1998.
Pada tahun yang sama mencoba mendapatkan
gelar Sarjana Peternakan di Universitas
Muhammadiah Malang tidak selesai. Tahun 2000 masuk Fakultas Hukum
Universitas Widya Gama Malang yang selesai pada awal 2005.
Sempat jadi anggota Senat Mahasiswa Fapet IPB (1996-1997), ketua komisi
D
Badan Perwakilan Mahasiswa Fapet IPB (1997-1998), staf HMI Cabang
Bogor
(1997-1998), staf ketua Forum Mahasiswa Pengkaji Hukum untuk Masyarakat
(Forma-PHM; 2000-2001), Kabid Litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Aspirasi Univ. Widya Gama, pimpinan umum majalah mahasiswa FH Uwiga

163

Konsideran (2001-2002), anggota Perhimpunan Putra Totabuan (Pinotaba).


Juga
aktif di forum-forum non formal.
Di bidang penulisan, mengawali dengan menulis artikel yang pernah muncul
di
Suara Merdeka, Suara Karya, Bernas, Wawasan, Surabaya Post, Malang
Post.
Kemudian malas menulis artikel karena dirasa kurang komunikatif tapi lebih
senang
bercerita.
Cerita pertama berjudul Sang Pionir: Permainan di Luar Sidang diterbitkan
bersambung di HU Malang Post (2002), menyusul Perjuangan Keluarga
Tertindas
yang diterbitkan Balai Pustaka Jakarta (2003), Pembela Perlawanan
Penyekar
terbit bersambung di HU Sinar Harapan Jakarta (Juni-Agustus 2005), Derita
Penyekar Mahasiswa yang akan diterbitkan LKiS Yogyakarta.

164

Anda mungkin juga menyukai