ii
iii
Ucapan Terimakasih
Civitas akademika di kampus tempat aku pernah kuliah: Institut Pertanian
Bogor, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Widyagama
Malang.
Kawan-kawan di HMI baik Bogor maupun Malang, Fosmib, BPM Fapet
IPB, IMM, PMII, MCW Malang, Formah PHM Malang, LPM Aspirasi dan
Konsiderah, dan kawan diorganisasi lainnya yang telah membangun
komunikasi yang baik dan telah mnembelajarkan aku tentang dunia aktivis.
Drs. Sinyo Haris Sarundajang (Gubernur Sulawesi Utara), Syachrial
Damopolii (Mantan Ketua DPRD Sulawesi Utara), Aditya Anugerah Moha
(anggota FPG DPR RI), Yasti Soeprojo (Anggota FPAN DPR RI), Vanda
Sarundajang (anggota FPDIP DPR RI), Olly Dodokambey (anggota FPDIP
DPR RI), anggot RPIBM Jakarta, Drs Hi Djelantik Mokodompit (Walikota
Kotamobagu), Ir Tatong Bara (Wakil Walikota Kotamobagu), Ny. Hj.
Marlina Moha Siahaan (Bupati Bolaang Mongondow), Sehan Mokoapa
Mokoagow MSi (Wakil Bupati Bolaang Mongondow), Hamdan Datunsolang
(Bupati Bolmut), Defri Pontoh (Wakil Bupati Bolmut), Arudji Mongilong
(PPS Bupati Bolsel), Kandoli Mokodongan (PPS Bupati Boltim), dr. Elly
Lasut (Bupati Talaud), Winsulangi Salindeho (Bupati Sangihe), Stevanus
Vreke Runtu (Bupati Minahasa), Ramoy Luntungan (Bupati Minsel), Telly
Tjanggulung (Bupati Mitra), Tonny Supit (Bupati Sitaro).
Kawan-kawan wartawan Malang Post, Koran Pendidikan (Malang),
Tribun Manado, Manado Post, Posko, Radar Manado, Radar Totabuan,
Media Sulut, Reportase, Koran Manado, Swara Kita.
Herson Mayulu, Syamir Badu, Yusuf Ruchban, Roby Mokodongan, Haris
iv
Kata Pengantar
Perubahan nyaris seluruhnya digagas oleh kelompok kecil warga yang kita
sebus saja aktivis. Rata-rata mereka kritis melihat kondisi yang ada dan tanpa
tendensi apapun selain untuk memperbaiki kehidupan seluruh warga. Tak
sekadar meniliai, tak jarang mereka berontak/ Reformasi juga tak lepas dari
peran para aktivis. Beberapa saat menjelang reformasi, kelompok-kelompok
study yang ktitis menganalisis kehidupan berbangsa dan bernegra menjamur.
Bahkan ada yang mendirikan kelompok garis keras dengan gagasan yang
revolusioner, Dipandangan saya, aktivis memang berperan besar dalam
menggagas reformasi. Namun mewujudkan gagasan itu melibatkan banyak
pihak.
Sungguh luar biasa ketika kita menyimak proses bergulirnya reformasi. Dia
diawali dari diskusi di forum-forum yang oleh penguasa forum-forum ini
disebut OTB alias Organisasi Tanpa Bentuk., kemudian ada yang membentuk
organisasi berbentuk tapi tetap dipandang sebagai OTB, bahkan ada yang
membentuk partai. Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) dan Partai Rakyat
Demokrat (PRD) adalah dua partai yang mengemuka waktu itu. Dari diskusi
ini, beberapa melanjutkan ke aksi kecil-kecila karena memang masih sedikit
yang mau mengambil peran. Waktu awal, jangankan mengajak rakyat untuk
aksi, mengajak sesama mahasiswa sangatlah susah. Pasca insiden Trosakti
yang menimbulkan empat korban, gerakan membesar dan meluas sampai ke
masyarakat. Gerakan besar dan luas ini yang memaksa lengser Soeharto.
Seperti membendung laut yang kemudian berlubang-lubang sehingga airnya
menetes dan semakin membesar yang kemudian merusak bendungan itu.
Mungkin demikian proses hasil dari gagasan para aktivis.
Sesungguhnya kita tak tahu alasan pasti mengapa Soeharti yang telah
memegang kekuasaan selan 32 tahun susah memanfaatkan alat kelengkapan
negara padahal MPR telah memeberika kekuasaan padanya untuk itu. Di
masa sebelumnya, aksi selalu dapat dipadamkan padahal beliau tidak diberi
kekuasaan apa-apa oleh Lembaga Tertinggi Negara ini. Juga jika
dibandingkan dengan tragedi Trisakti, korbannya lebih besar.
Masih banyak lagi misteri reformasi yang kurasa tak diketahui oleh temanteman yang bergerak waktu itu. Para aktivis bergerak benar-benar hanya
karena nurani, bahkan bisa dikatakan tak terkonsep. Selain perbaikan harga
sembako, lengsernya Soeharto, yang diinginkan teman teman dalam setiap
aksinya.
vi
Menurut saya, para aktivis sesungguhnya tak tahu apa yang terjadi pada saat
mereka beraksi. Benturan dengan aparat maupun masyarakat berada diluar
setingan mereka. Demikian juga rusuh ketika aksi. Mungkin ada pihal lain
yang lebih tahu. Mereka yang di dunia kelamkah? Di novel ini jelas Anda akan
temukan bahwa mereka yang di dunia kelam yang lebih tahu dibandingkan
aktivis. Mereka dibayar untuk berbuat sehingga targetnya jelas. Ini yang
membuat mereka lebih banyak tahu.
Novel ini memang didasarkan pada asumsi tersebut. Walau demikian dia
tetap fiksi. Saya tak tahu apa memang ada kejadian seperti di novel ini.
Andaipun ada baik sudut nama maupun tempat maka patut saya nyatakan
bahwa itu rekaan semata.
Akhirnya, sejujurnya kita harus mengakui bahwa kita baru dalam tahap
membuka pintu reformasi sedangkan reformasi yang sesungguhnya belum
kita capai. Semoga novel ini dapat kembali mengingatkan kita pada tujuan
reformasi serta meluruskan arah reformasi.
vii
Daftar Isi
1. Biang Masalah
2. Pertemuan
16
26
4. Bantuan Pendi
41
5. Masalah Amin
51
6. Reformasi
67
7. Isu
76
8. Sang Pengelana
82
9. Terculik
90
10. Kaget
98
103
112
122
138
153
16. Akhir
158
viii
BiangMasalah
1
Biang Masalah
Keluarga terbaik menyatu dalam suka dan duka
Kalau tidak maka dia hanya hubungan darah yang tak punya arti apa-apa
(Ansy)
AKU masih terpaku di luar rumah itu. Rumah kecil yang belum rampung
nampaknya akan roboh sebelum selesai. Kenyataan bahwa rumah itu milik
salah satu adiknya Ibuku membuat hatiku miris. Namun bukan itu yang
membawaku ke sini.
Bagian depan ruang tamu yang belum didinding membuatku bebas
memperhatikan apa yang terjadi di dalam sana. Kulihat dua orang tak
kukenal berdiri di sana, keduanya berdebat dengan Oom Adam tapi sama
sekali tak berani mendekat. Ramli menyelempangkan parang di dada,
dibelakangnya ada orangtuanya yang ketakutan.
Pendi benar-benar sialan!
Aku aktif di kampung dan sekolah, aku pengurus Remaja Masjid dan
Ketua OSIS. Aku memang masih sangat hijau, aktifitaskupun belum
seberapa, namun mengurusi dunia kejahatan tetap saja membuatku segan.
Dan di sinilah aku, memikirkan cara yang jitu agar kedua orang tak kukenal,
yang kuduga polisi berpakaian preman, tidak pergi tapi tetap sopan.
***
1
BiangMasalah
BiangMasalah
BiangMasalah
Telepon ditutup. Aku termangu. Lihat, betapa hebat dirimu, Yo. Baru
saja kau jadi tempat bergantung kawan-kawan, sekarang kau jadi tempat
bergantung keluarga.
Ah, apa yang harus kulakukan?
Ada apa? Harnum mengagetkan.
Tidaktidak apa-apa. Aku gugup. Bagaimanapun Harnum anak
petinggi militer, bukan hanya dia yang tidak senang berteman dengan orang
yang sepupunya pembunuh tapi juga orang tuanya, mereka pasti akan
membenciku.
Harnum tak bicara. Dia terus memandangku yang membuat-ku jengah.
Oke, kataku tak tahan. Maka kuulang apa kata Mama.
Harnum berpikir sesaat. Pulanglah dan sibukan mereka, katanya
dengan nada memerintah.
Sibukan?
Ya, sibukan. Tanya ini-itu, ajak berdebatkau kan jago berdebat. Kalau
kau sulit membuka mulut, ajak bersilat!
Dalam kondisi normal, tentu aku akan terbahak. Kali ini, tersenyumpun
aku tak sanggup.
Apalagi yang kau tunggu? Kalau Papa Ramli sudah ditangan polisi, sulit
bagi Papaku untuk membebaskan! bentak Harnum.
Apa Oom mau membantu? tanyaku ragu. Aku tak begitu yakin Papa
Harnum akan menolong.
4
BiangMasalah
Harnum menatapku. Pergilah. Jangan kau usir mereka walau kau bisa.
Tahanlah mereka sampai Papa tiba, kata Harnum pelan.
Jika begini, tak ada lagi yang perlu kuragukan. Aku segera menemui
teman-teman. Mereka diam semua. Mungkin mereka tahu aku punya
masalah. Aku berusaha tersenyum.
Rom, tolong antar saya, kataku. Teman-teman hanya menatapku tanpa
berani bertanya. Disepanjang jalan aku diam, Romi juga.
Ada yang bisa saya bantu, Yo? tanya Romi begitu kami sampai.
Kutahu bantuan apa yang bisa Romi berikan. Dia belajar karate. Namun
aku tak butuh jagoan sekarang. Kau akan kuhubungi kalau aku butuh
bantuan, kataku.
Setelah ganti baju, aku ke rumah Pendi.
***
Aku masih bingung.
Masih kulihat Oom Adam terus berkata-kata sambil menunjuk dua orang
di hadapannya yang kuduga polisi berpakaian preman, Ramli diam tapi dia
siap dengan parang, dibelakang Ramli berlindung orang tuanya. Ramli tak
senakal Pendi, namun aku yakin parang itu akan menebas siapapun yang
menyentuh orang yang dicintainya. Mama di sana juga, diam, bingung apa
yang mesti dilakukan.
Dua orang di hadapan Oom Adam terlihat pucat. Aku tak tahu caci maki
Oom Adam atau parang Ramli yang mereka takutkan.
5
BiangMasalah
BiangMasalah
BiangMasalah
yang ditentengnya.
Pendi sudah ditemukan? tanya Papa Harnum. Dia sama sekali tidak
mengacuhkan kedua kedua polisi yang berpakaian preman itu.
Belum, Oom. Aku sengaja menekankan pada kata oom, ekor mataku
melirik sekilas ke dua oknum polisi yang semakin menciut. Kami sudah
mencarinya ke mana-mana, kami juga sudah menanyakan pada banyak
orang. Tapi tak ada yang tahu di mana Pendi.
Kalau Pendi ditemukan, sudah meninggalpun, tolong beritahu kami agar
dapat dikebumikan. Dia punya orang tua, Pak. Punya adik, punya kakak. Dia
punya keluarga, Papa Ramli menghiba, suaranya bergetar.
Jangan takut, Pak. Pendi tak akan mati. Kalau ada yang macam-macam,
kami akan tindak. Termasuk kalau ada yang menakut-nakuti kalian, katakan
saja pada kami. Aparat untuk melayani masyarakat, bukan untuk
menakutnakuti.
Oom Adam ingin bicara namun aku menahannya. Aku tahu dia akan
melaporkan dua polisi ini namun menurutku tak perlu. Harnum sudah
mengatakan semua pada Papanya.
Kupandangi dua polisi itu, seakan sedang mempertimbangkan untuk
melapor. Wajah keduanya pucat bagai mayat.
Terimakasih, Oom. Akan kami laporkan segera kalau ada yang macam
macam.
Ya, sudah. Tolong beritahu saya kalau kalian menemukan Pendi!
BiangMasalah
BiangMasalah
Sialan Pendi. Karena dia, aku tak ikut ke Bali. Untung Mama Harnum
mau memaklumi sehingga teman-teman bisa tetap ikut.
Saat Mama Harnum dan teman-teman ke Bali, aku dan Oom Adam harus
mengelilingi Bolaang Mongondow, siapa tahu dia sembunyi di salah satu
kerabat. Kokait, walau fam baru namun terkait dengan fam lain. Ini
benarbenar
melelahkan.
Suatu hari, ketika kami baru kembali dari Kotabunan, kutemukan Oom
Iman sudah di rumah.
Hebat Pendi. Dia telah mempromosikan Kokait, kata Oom Iman sambil
melemparkan koran ke meja.
Aku bisa merasakan getaran tanganku ketika membaca. Judulnya
memang tidak mencolok, POLISI TEWAS DI TANGAN NINJA. Tapi
begitu membacanya, tak disangsikan lagi berita itu mempromosikan fam
Kokait. Siapa dan bagaimana kehidupan Effendi Kokait diulas tuntas, di
sana juga ada foto Pendi dan di bawah foto itu tertulis nama Pendi. Berita itu
juga dikaitkan dengan kebengalan Papa Saleh yang di masa muda bernama
lengkap Umarudin Kokait yang menjadi guru dari Effendi Kokait.
Ikut aku, kata Oom Iman.
Aku hanya menghela napas. Aku masih capek. Tapi aku harus ikut.
Sekarang aku baru tahu bahwa Pendi telah bergabung dengan kelompok
Ninja pimpinan Antoni. Kami ke rumah Antoni. Melihat rumah Antoni
10
BiangMasalah
yang megah dan mewah, aku tak tahu Pendi anak buahnya atau sekadar
jongos atau Antoni punya usaha lain di mana Pendi tak mendapat bagian.
Rumah mereka terlalu kontras.
Antoni berumur awal tiga puluh. Dengan kekayaannya, Antoni tetap
preman kampung. Tato naga menyembul di punggungnya yang memakai
singlet. Kalung di lehernya lebih mirip rantai anjing. Aku belum pernah
melihat mucikari, namun mungkin seperti dia penampilan mereka. Ditambah
rambut ikal panjang tak terawat, aku tak takut padanya, malah jijik.
Ditambah kenyataan dia telah menjebak Pendi, aku berubah muak.
Pertemuan Oom Iman dan Antoni seperti pertemuan dua sahabat. Bahkan
pakai pelukan segala. Sejenak mereka bergurau. Namun wajah Antoni
langsung mengeras ketika Oom Iman menanyakan Pendi.
Aku tak kenal Pendi, katanya tak acuh.
Oom Iman memandangi Antoni. Pendi keponakanku, Ton
Keponakanmu? tanyanya kaget.
Iya. Dia anak kakakku. Dan aku harus tahu apa yang terjadi.
Antoni mencibir. Kalian memang sama. Sama-sama keras!
Apa yang terjadi? Oom Iman tak mempedulikan cibiran Antoni.
Kau tak akan pernah bilang ini dariku, kan?
Oom Iman terkekeh. Siapa yang kau takutkan?
Dan jangan pernah bilang kita pernah bertemu!
Ceritakanlah.
11
BiangMasalah
BiangMasalah
BiangMasalah
bingung. Bagaimana berangkat dengan hasil yang belum pasti? Tapi Oom
Iman yakin aku akan lulus.
Terpaksa aku menurut. Jelas aku tak akan mengikuti acara perpisahan.
Sebagai ketua OSIS, aku tak bisa mengucapkan pidato perpisahan. Harnum
dan kawan-kawan belum kembali dari Bali, tentu mereka akan marah besar.
Ah, biarlah Harnum marah dan sekali ini dia harus berpidato. Setelah
menjadi pengurus OSIS, Harnum telah banyak membantu namun tak mau
tampil.
Berita melegakan datang. Papa Harnum bilang, dari penyelidikan internal
ditemukan bahwa Kopral Sarbini merupakan beking kelompok ninja yang
telah merampok kelompok Antoni di mana Pendi bergabung. Memang tidak
otomatis melepaskan Pendi dari jerat hukum, namun memperkuat alasan
pembelaan diri yang membuat dia bisa bebas dari hukuman. Namun, di mana
Pendi?
Seperti layaknya orang yang akan bepergian jauh, diadakan mintahang
untuk mendoakan agar aku selamat sampai di tanah seberang. Sangadi,
Imang dan para jiow, serta beberapa orang penting kampung datang. Begitu
juga tetangga kanan-kiri.
Mohon bacakan juga doa untuk Pendi, Imang, kata Papa.
Imang agak ragu. Bagaimanapun Pendi buronan yang telah membunuh
polisi. Pantaskah didoakan?
Sangadi batuk kemudian bicara. Sudara-sudara, seperti apa pun dia,
14
BiangMasalah
Pendi adalah cucu, anak, kakak, dan adik kita. Apalagi polisi bilang bahwa
yang dibunuh telah merampoknya. Apa yang akan kita lakukan kalau kita
dirampok? Semua terdiam. Di belakang terdengar isakan kemudian
mengeras jadi dengungan. Mama Ramli menangis. Papa Ramli diam tapi air
matanya mengalir. Saya rasa yang Pendi lakukan hanya membela diri.
Karena itu, kumohon Imang berkenan membacakan doa, lanjut Papa Wati.
Tanpa ragu lagi Imang membacakan doa. Asap kemenyan membumbung
ke angkasa, entah sampai pada Pendi yang tak diketahui rimbanya, bahkan
masih hidup atau sudah matikah dia. Doa harus selalu baik untuk sesuatu
yang belum pasti!
15
Pertemuan
2
Pertemuan
Masyarakat terbiasa Mencaci penjahat dan memuji kemuliaan karena mereka
yang membuat penjahat dan orang mulia
(Ansy)
Kapal yang kutumpangi melebihi pasar, penumpang bertebaran di
manamana
di lorong, di bawah tangga, di ruangan-ruangan. Ranjang panjang
yang ditiduri lebih sepuluh orang sudah penuh dengan penumpang dari
Ternate atau sudah dipesan orang walau belum ditempati. Sulit mendapat
tempat. Aku baru mendapat tempat di ranjang panjang itu ketika ada yang
turun di Pantoloan.
Akhirnya sampai juga. Dari anjungan, angkuhnya hutan Jakarta terlihat.
Aku tak kagum, apalagi bangga. Melihat ibu kota Negara yang sangat
berbeda dengan Kotamobagu, ibu kota kabupatenku, aku bisa membenarkan
Permesta. Pembangunan di Negara beragam ini memang timpang.
Kualihkan pandangan ke bawah. Mana Amin? Dia janji akan menjemput
tapi sosoknya tak terlihat.
Hei, kau, kembalikan!
Aku kaget dan berbalik, seorang yang sudah agak tua dicengkeram
kerahnya oleh seorang anak muda. Dari pakaiannya, jelas mereka buruh
pengangkut barang penumpang.
16
Pertemuan
Ayo, kembalikan!
Wajah yang tua digampar yang muda. Aku baru sadar ketika orang itu
mengembalikan dompetku.
Ke mana kau? Ayo minta maaf! bentak yang muda.
E, maaf, Bang, yang tua memelas padaku.
Aku bengong, aku belum sadar betul apa yang terjadi di depanku. Lagi
pula, sepertinya ada yang aneh dengan suara anak muda ini.
Sekarang, kau turunkan barang abang ini. Awas kalau kau minta
bayaran! yang muda masih galak.
Tapi, Bang
Siapa suruh lu nyolong!
Eh, sebentar, eh, Bang, terbata aku mencegah yang muda itu pergi.
Eh, siapa namamu?
Orang itu menatapku sebentar, tertunduk, kemudian marah pada
temannya: Apa lagi yang kau tunggu? Tanya pada abang ini barangnya dan
turunkan. Cepat!
Setelah itu dia buru-buru pergi. Aku tak bisa mencegah. Aku bengong.
Hei, Bang, di mana barang-barangmu? Ayo cepat, gua harus nyetor!
Sialan!
E, begini, Nyong
Nyong? Memangnya mulut gua monyong? Gua Somat. Ingat: S-o-m-at!
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Nyong sebenarnya panggilan
17
Pertemuan
untuk pemuda Sulawesi Utara, sama dengan abang, tapi di rantau begini bisa
menimbulkan salah pengertian.
Saya Salman tapi biasa dipanggil Uyo.
Ucok?
Aku orang Mongondow, Mat, jadi dipanggil Uyo, kalau Ucok untuk
orang Sumatera, aku menjelaskan.
Mongondow?
Itu suku di Sulawesi Utara. Ah, sudahlah. Siapa temanmu tadi? aku
kelabakan.
Itu bos gua.
Maksudku, namanya. Awas, jangan bohong. Akan kuadukan kalau
kamu bohong.
Kami diminta memanggilnya Antong, Somat ragu-ragu.
Aku tersenyum. Walau dipelarian namun Pendi masih meninggalkan
jejak. Antong merupakan legenda dalam masyarakat Bolaang Mongondow.
Antong adalah Bogani yang kuat dan tampan, sampai-sampai putri Spanyol
senang padanya dan membawanya ke negeri Andalusia itu untuk dinikahi di
hadapan raja/ratunya.
Barang kami turunkan. Somat kuat luar biasa. Dari semua barang, aku
hanya menjinjing koper pakaian.
Berapa semua, Mat? tanyaku.
Bang Antong kan sudah bilang gratis, kata Somat tak senang.
18
Pertemuan
Pertemuan
berusaha lari dari hukuman, apa masih ada pilihan lain selain bergerilya?
Tentu Kak Uyo bukan ingin jadi buruh pelabuhan, kan? Pendi
mengalihkan pembicaraan.
Aku tersenyum. Aku disuruh Papa kuliah. Katanya Amin mau
menjemput tapi sampai sekarang belum datang juga.
Mungkin di tengah penjemput tapi tak usah dicari. Malam ini Kak Uyo
harus tidur di tempatku. Kak Uyo punya nomor telepon Amin, Kan?
Aku mengangguk.
Kalau begitu ditelepon saja, katakan padanya kakak diminta menginap
di rumah teman sekapal. Besok Kak Uyo akan saya antar. Kita perlu bicara
banyak, Kak.
Aku kembali melihat kesedihan di raut muka Pendi. Aku ikut saja.
Aku menelepon Amin tapi kata yang menerima Amin sedang keluar. Aku
hanya menitipkan pesan.
Kak Uyo mau menginap di mana? di kosanku yang sempit atau di
rumah bosku? Di sana luas, Kak. Rumahnya juga megah. Namanya juga
rumah bos! kata Pendi, ada senyum hambar saat mengatakan semua itu.
Kamu masih punya bos juga? aku tertarik.
Masih, Kak. Dia juga punya bos, bosnya punya bos, dan seterusnya.
Dunia yang kumasuki ini penuh bos.
Aku tersenyum. Di kosanmu saja. Baru bertemu anak buahmu aku sudah
menggigil, apalagi dengan bosmu.
20
Pertemuan
Pendi terkekeh.
Alah, Somat itu ndak ada apa-apanya, Kak, cuma menang digertak.
Kalau dia sendirian dan digertak balik, dia pasti lari.
Kosan Pendi sempit dan pengap. Tak jauh dari pelabuhan. Di sana hanya
ada kamar mandi tapi wc tak ada. Aku harus antri di wc umum untuk buang
air besar.
Sehari semalam Pendi menceritakan kisahnya. Mulai dari perkelahian
dengan kelompok penambang liar lain yang dibekingi Kopral Sarbini di
Doloduo, ke Jawa lewat kapal barang, jadi buruh kapal barang, dan akhirnya
jadi buruh di kapal penumpang. Pendi juga menceritakan perkelahiannya
dengan bos para buruh kapal penumpang yang akhirnya membuat dia jadi
bos.
Aku terdiam mendengar kisah Pendi. Luar biasa. Di usianya yang masih
belia Pendi sudah jadi bos di pelabuhan Tanjung Periuk, bagaimana
besarnya?
Sebaiknya kamu pulang, Nding. Polisi tak akan mencarimu karena
setelah diselidiki ternyata polisi itu menjadi beking kelompok ninja yang
merampok kelompokmu. Terbunuhnya dia bisa dianggap pembelaan diri.
Kau bisa bebas.
Dunia nyata aneh, Kak. Lain kata, lain perbuatan. Sarbini bilang kami
bisa menambang bebas sepanjang kami berbagi dengannya. Tapi dia ingin
lebih. Akhirnya dia mampus. Mungkin aku akan menyusulnya kalau pulang.
21
Pertemuan
Pertemuan
mengadakan harua. Sejak Sarbini mampus, aku sudah jadi mayat hidup. Di
sana nyawaku digenggaman teman-teman Sarbini dan teman-temanku
juga
Teman-temanmu yang mana? aku kaget.
Antoni dan kawan-kawan, kelompok ninja di mana aku bergabung.
Begitukah? aku belum mengerti.
Darah sudah mengalir, Kak. Dan kawan-kawan Sarbini ingin darah juga
atau Antoni harus membayar mahal. Antoni harus memilih, membunuhku
dan harga nyawa Sarbini agak diturunkan atau aku hidup tapi mereka harus
membayar penuh. Untung Antoni tak begitu percaya pada polisi. Dia yakin,
walau aku mati, mereka akan tetap ditangkap atau membayar lebih
siapapun tahu bukan hanya aku yang menghabisi Sarbini.
Di luar terdengar suara genit perempuan murahan menjajakan diri.
Aku mayat hidup, Kak. Di sana, semua orang mengincar nyawaku. Di
sini juga begitu. Aku tak tahu siapa yang diberi kehormatan Tuhan. Aku
pasrah pada takdir, tapi aku tak akan menyerah pada mereka!
Aku menarik napas dalam-dalam. Di dunia Pendi, kawan benar-benar tak
ada.
Kamu bisa keluar dari duniamu ini, Nding. Duniamu iniah, entah aku
harus mengatakan apa.
Biarlah begini untuk saat ini, Kak. Semoga Kak Uyo menjadi orang dan
bisa melindungiku dari musuh-musuhku. Tentu bukan melindungiku kalau
23
Pertemuan
Pertemuan
25
LangkahyangSalah
3
Langkah yang Salah
Akan ada saat-saat dalam hidup Ketika kita harus menelan kepahitan, Karena
mengalami
kemunduran Seperti kita mengalami kemajuan Di masa lalu
(Rousseau)
Kawan-kawan di kostan Hendra merupakan tipe orang-orang kuliahan,
bukan mahasiswa yang penuh dinamika. Awalnya aku bosan, terlebih
Tak terasa sudah sepuluh hari aku di Bogor. Belum ada kabar dari
kampung. Aku hampir putus asa. Karena itu aku menyetujui usul Hendra
untuk mengunjungi kebun raya, sekadar untuk refresing. Di kosan tanpa tahu
apa yang akan dilakukan membuatku stres.
Ketika kami hendak berangkat, telepon berdering. Hendra berlari. Dia
sudah janjian dengan teman perempuannya, yang menurutku akan menjadi
korban asmara Hendra berikutnya.
Yo, untukmu, teriak Hendra lesu.
Wah, nampaknya kali ini play boy cap kutu ini tak berhasil. Aku
tersenyum padanya yang disambut cibiran.
Hei, kau mau menghindari siraman dan coretan, ya? Awas, nanti
kuceburkan di kali Ciliwung.
Aku kaget mendapat omelan begitu. Ternyata Harnum dan beberapa saat
26
LangkahyangSalah
dia terus mengomel. Kubiarkan saja, kalau dilawan bisa parah. Bisa-bisa
tinju Harnum muncul di gagang telepon seperti di film kartun.
Khas Harnum, karena tak dilawan, akhirnya dia capek sendiri. Akhirnya
dia memberitahukan hasil EBTANAS. NEM-ku tertinggi, dia kedua.
Berulang kali dia bilang terimakasih dalam bahasa Mongondow berlogat
aneh. Menurutnya, dia berhasilan karenaku. Aku tak tahu dari sisi mana
telah membantu, tapi aku membiarkan saja.
Malamnya, jam delapanberarti jam sembilan di tempatku, Oom Iman
menghubungiku dengan berita yang sama. Oom Iman mencoba
mempermainkan perasaanku. Aku hanya tersenyum. Mau buat kejutan kok
menunggu harga pulsa murah!
Gaji SP3 Oom Iman tak dapat mengalahkan kecepatan Harnum dalam
memberikan kejutan.
Setelah pasti lulus, aku mulai menyemangati diri untuk belajar.
Bagaimanapun aku harus lolos UMPTN. Aku percaya diri. Kenyataan bahwa
aku juara pertama sejak sekolah dasar mempertinggi rasa percaya diriku.
Tapi, ini Jawa, Bung! Pulau yang tidak hanya diberatkan dengan kepadatan
penduduknya tapi juga dengan persaingan kepintaran. Manusia pintar dari
segala penjuru Nusantara berkumpul di sini.
Aku tak bisa berdiam diri dengan mengandalkan kehebatan masa lalu.
Aku harus belajar. Kehebatan masa lalu justru membuatku tenggelam dalam
buku-buku. Bagaimanapun sang juara daerah tak boleh kalah. Malu kalau
27
LangkahyangSalah
LangkahyangSalah
LangkahyangSalah
akurat.
Menurut Ali, joki akan meningkatkan peluang lolos dari nol koma sekian
persen menjadi sembilan puluh sembilan persen.
Yang satu persen kuasa Tuhan, bualnya. Tapi, semua itu memerlukan
biaya. Hanya lima juta, kamu bisa masuk kampus bergengsi: UI, UGM,
ITB, IPBdan beberapa yang lainnya. Sedang kampus yang kelasnya lebih
rendah, cukup tiga juta. Tapi, untuk orang seperti kau, kampus bergengsi
yang cocok.
Aku tertarik. Kuliah di PTN bergengsi siapa yang tak mau? Apalagi ada
jaminan diterima sembilan puluh sembilan persen!
Sekarang, uang masalah. Aku hanya punya dua juta lebih, itu termasuk
uang pemberian orang kampung. Dan, aku tak ingin membayar untuk PTN
nomor dua. Aku tetap ingin yang bergengsi.
Setelah tawar menawar dengan Ali, akhirnya harga PTN bergengsi turun
menjadi empat juta. Ali mengiyakan tawaranku dibarengi pesan agar aku
merahasiakan semua ini, termasuk pada Hendra.
Ini tak legal, Man. Melanggar hukum! Kalau ada yang tahu, kita bisa
celaka. Kau tentu tak mau masuk penjara, kan? Orang tuamu tak akan
menerimamu jika terjadi. Nama baik mereka akan tercoreng! tegas Ali.
Aku kurang mengerti apa itu legal dan tak legal. Tapi mendengar kata
penjara, kutahu persoalannya gawat. Aku ingin membatalkan.
Kau tidak bisa membatalkan, Man. Harga sudah disesuaikan dengan
30
LangkahyangSalah
LangkahyangSalah
LangkahyangSalah
LangkahyangSalah
pemarahnya.
Kami duduk di rumput. Di depan kolam berhiaskan teratai. Di se-keliling
kolam banyak orang seperti kami, ada yang dua-duaan, ada juga dengan
keluarganya. Kebun Raya memang selalu menjadi tempat bersantai yang
menyenangkan.
Menurut kepercayaan orang-orang, kebun raya tidak baik untuk pacaran.
Pasti akan bubar. Pasangan yang sudah bertunangan pun akan bubar,
apalagi hanya pacaran. Aku tidak cemas. Aku tidak pacaran, apalagi
bertunangan.
Berpikir untuk pacaranpun belum. Lagi pula, sesuai yang kusaksikan saat
pertama ke sini, ternyata Kebun Raya dipergunakan lebih dari pacaran.
Waktu itu, aku mutar-mutar dan mendatangi pohon-pohon besar dengan akar
menjulang. Kupikir di sanalah film-film kuno dibuat. Alangkah kagetnya
aku menyaksikan film tanpa sutradara itu. Dua orang berlainan jenis tengah
berpelukan dan berciuman di balik akar. Keduanya kaget dan memakiku.
Aku lari terbirit-birit.
Kau pilih kampus mana? tanyanya.
IPB. Aku ingin jadi petani berdasi.
Harnum terkekeh. Petani tak pernah berdasi, Yo. Kalau yang berdasi,
juragan namanya. Juragan tanah dan tanaman.
Aku ikut tertawa. Harnum mungkin benar juga. Kamu pasti memilih
UI? kataku, yakin.
34
LangkahyangSalah
LangkahyangSalah
Aku melihatnya. Dia serius dengan kata-kata itu. Maka aku serius juga.
Pilihan orang tua tak ada yang jelek, Nu. Tak ada yang inginkan kejelekan
bagi anaknya. Lagi pula, kamu memang pantas di sana. Uang ada,
kecerdasan punya. Jadi sangat beralasan kalau orang tuamu memilih
menyekolahkanmu keluar. Di sini, kamu sulit berkembang.
Senyum Harnum kembali muncul. Aku ini apa, Yo. Kamu bisa
menilaiku saat di sekolah.
Aku tertawa, kenangan saat di SMA kembali membayang. Masalah-mu
bukan di otak. Otakmu encer. Kamu sangat cerdas
Buktinya tidak begitu. Kalau bukan karenamu, aku pasti tak akan lulus.
Terimakasih.
Bukan. Bukan karena aku. Aku risih. Kamu memang punya sedikit
masalah. Tapi hanya masalah teknis.
Maksudnya?
Mungkin disikap. Kalau sejak awal kamu bersikap manis begini, aku
yakin aku akan kalah sehingga bukannya aku yang mendorongmu maju, tapi
sebaliknya.
Buredongka. Harnum mengayunkan tinju ke lenganku.
Wah, ini pukulan bergurau. Bagaimana kalau pukulan marah? guyonku
diiringi ringisan.
Mau tambah
E, tidak, tidak, potongku ngeri melihat tangan Harnum yang mengepal.
36
LangkahyangSalah
LangkahyangSalah
LangkahyangSalah
LangkahyangSalah
melindungi dari hukum yang tidak memihak. Selain itu, kau tak mungkin
lupa yang terjadi pada Papa Ramli, juga pada nenekmu. Kita tak bisa berbuat
apa-apa karena tak mengerti hukum.
Politik? Warisan? Aku tak punya obsesi menjadi bupati. Aku juga tak
begitu peduli pada rebutan warisan nenekku dengan Laki Gali. Tapi kejadian
yang menimpa Papa Ramli masih terekam di benakku. Betapa tak
berdayanya aku waktu itu. Juga Pendi. Aku yakin hukum yang tidak
ditegakan dengan benar membuat Pendi jadi penjahat.
Baiklah, tak masalah, tapi aku ingin di Bogor. Itu sudah tekadku. Gagal
di satu tempat maka harus mampu membuktikan keberadaan di tempat itu.
Pindah perbuatan pengecut. Maka kutolak permintaan teman-teman Yogya
untuk kuliah di sana. Juga kutolak keinginan Kak Juanda untuk kuliah di
Jakarta.
40
BantuanPendi
4
Bantuan Pendi
Beda baik dan buruk memang jelas dan tegas
Tapi baik bisa menyebabkan buruk, begitu juga sebaliknya
(Ansy)
Aku ingin terlahir kembali. Aku ingin punya semangat baru. Kenangan
buruk berusaha kuhapus. Karena itu, kostan Hendra kutinggalkan. Aku
pindah ke Baranangsiang. Kebetulan kostan yang kutempati adalah markas
aktivis dari segala organisasi. Kostan ini jadi kantor Forum Studi Mahasiswa
Bogor yang disingkat Fosmib. Fosmib tidak praktis. Dia semacam kelompok
kajian masalah aktual, juga wadah bagi anggotanya melatih diri. Seminggu
dua kali dilakukan diskusi non formal di sana. Malam Kamis, penyajinya
dari internal Fosmib. Malam Senin, didatangkan nara sumber. Di sana, aku
mulai berlatih menulis, menganalisis, dan bicara.
Walau masih baru namun karena sedikitnya mahasiswa hukum di Bogor
maka aku diminta teman-teman untuk mengelola Divisi Hukum Fosmib.
Selain di Fosmib, aku menenggelamkan diri dalam berbagai kegiatan.
Walau belum terdaftar di satu organisasipun namun aku sudah ditarik-tarik
para aktivis. Tak apa-apa, memang ini yang kuharap.
Aku tak membeda-bedakan ekstra dan intra. Bagiku, kegiatan di dalam
41
BantuanPendi
dan di luar kampus sama saja, begitu juga dengan organisasinya. Samasama
tempat belajar, sama-sama tempat mengubur kekelaman.
Man, tadi ada telepon dari Australi. Dia nyari Ucok. Kubilang nggak ada
orang Medan di sini tapi dia ngotot, katanya bukan Ucok dari Medan tapi
dari Momondow di Sulawesi. Memang ada Momondow di Sulawesi?
Memang orang Sulawesi dipanggil Ucok juga? berondong Kang Asep
begitu aku.
Aku memandangnya sejenak ke-mudian terlibat dalam penjelasan
panjang-lebar. Tentang beda Uco dan Uyo, bukan momondow tapi
Mongondow karena momondow ber-arti berteriak dalam bahasa Mongondow,
letak Mongondow di Sulawesi Utara, kuduga itu dari Harnum dan
mungkin dia ngaku sebagai Nanu maka kujelaskan arti Nanu.
Kang Asep biasanya banyak tanya tapi terdiam sesaat. Pacarmu, ya?
Aku tersenyum. Tapi jangan bilang orang-orang karena ini hanya
mongabo, kataku, membuat jedah sedikit kemudian cepat-cepat
menambahkan ketika kulihat dia mau bertanya: Ada pesan?
Iya, kamu disuruh nunggu. E
Kang Asep masih ingin bertanya tapi aku sudah lari ke kamar. Aku tahu
yang dia tanyakan, pasti tentang mongabo. Mongabo sama dengan
ngakungaku,
aku sumpah tak akan pernah bilang padanya.
42
BantuanPendi
43
BantuanPendi
BantuanPendi
BantuanPendi
Hidup sama dengan roda pedati, Yo. Kadang di atas, kadang di bawah.
Kalau kamu ingin di atas terus maka hentikanlah pedati itu saat engkau di
atas. Tapi harus kamu ingat, kalau engkau melakukannya maka pedati yang
lain sudah mendahuluimu.
Aku tersenyum. Mungkin dia menyemangatiku agar kembali meraih
puncak setelah terpuruk di UMPTN. Ya, seperti roda pedati.
Dampak membayar joki baru terasa sebulan setelah kuliah. Aku benarbenar
terkena kanker alias kantong kering. Aku juga baru sadar bahwa uang
bulanan sangat kurang. Uang bulanan ternyata hanya cukup untuk makan
sekadarnya. Untuk copy, buku, makalah, beraktivitas, dan lainnya tidak
mampu. Sempat terpikir untuk minta tambahan tapi aku sadar orang tuaku
membiayai empat anak. Lagi pula, aku sudah melakukan kesalahan dan
segala yang menimpaku sekarang merupakan hukuman. Aku harus
menerima!
Sekali lagi kugunakan kecerdasan dan kemampuan bergaul. Tugas
kelompok kukerjakan, pengetikan dan penggandaan kuserahkan pada
temanteman.
Aku membuka diri untuk penyelesaian tugas individu, untuk itu aku
mendapat lima sampai sepuluh ribudisebut uang rokok. Di setiap kegiatan
aku aktif, di sana aku dapat makan gratis.
Sebagai anak rantau yang dianggap telah siap lahir batin, sebenarnya aku
sungkan juga. Aku telah jadi peminta-minta. Namun, mau apa lagi? Aku tak
46
BantuanPendi
punya pilihan!
Karena kemahiran bergaul, aku dekat dengan teman-teman kaya. Tapi
Susan yang paling dekat.
Susan cerdas dan kaya. Sebenarnya tak ada untungnya bergaul denganku.
Tapi begitulah alam mengatur. Tidak selamanya kaya dan fakir dikontraskan,
seperti juga orang baik-baik dan penjahat tak perlu dibuat
jurang. Semua manusia!
Tiap hari Susan mengantar-jemputku dengan mobil mewahnya. Setiap
saat kami mendiskusikan berbagai persoalan. Susan sering curhat padaku.
Dia WNI Keturunan, begitu Negara menyebut warganya yang bermata
sipit; masyarakat lebih bijak dengan menyebutnya non prisebenarnya
tidak benar juga karena yang ber-mata lebar dan berhidung mancung tetap
dikatakan pribumi. Kerusuhan yang terjadi dipenghujung 1996 menjadi
keluh kesah Susan.
Apa Cina terlalu jahat sehingga dimusuhi terus, Man? gugatnya.
Bukan! Tapi generalisasi terjadi. Masyarakat memandang semua orang
Cina sama dengan Edi Tansil yang korup, majikan penganiaya pembantu,
Cina gila yang merobek al-Quran dan membunuh anak-anak, serta tak mau
bergaul. Padahal yang menyimpang hanya oknum.
Kalau Edi Tansil memang oknum, Man. Juga penganiaya pembantu,
Cina gila pembunuh, dan tidak peduli pada orang tidak mampu. Tapi, yang
eksklusif bukan oknum lagi. Kami punya kawasan pecinaan seperti di luar
47
BantuanPendi
BantuanPendi
Pendi terbahak, seolah aku murid play group yang baru kenal dunia.
Di mata pemerintah, kalian dan penjahat sama, Kak. Sama-sama
berbahaya. Bahkan mungkin lebih berbahaya kalian daripada kami. Aku
hanya mengganggu ketentram-an masyarakat, sedang kalian meng-ganggu
kedudukan mereka. Di dunia kami saja kalau ada yang membangkang akan
dilenyapkan apalagi di dunia politik.
Begitu? aku ngeri juga.
Pendi tidak tertawa.
Ini serius, Kak. Pemerintah curiga pada setiap kegiatan mahasiswa. Intel
mengawasi mereka terus. Kabarnya, kalau ada yang macam-macam akan
diculik.
Kamu kok lebih tahu dari aku? aku tak tahan dengan keterbatasan
pengetahuanku.
Penjahat dan penguasa tak selamanya bermusuhan. Terkadang kami
harus melebur untuk menyingkirkan penghalang.
Intinya, kalian jadi tukang pukul penguasa?
Kasarnya begitu. Pendi berubah serius. Sebaiknya Kak Uyo pindah!
Sekarang aku yang tertawa. Pindah ke tempatmu?
Ya,tidak, Kak, Pendi tersinggung.
Nding, aku tak punya uang.
Akan kubiayai.
Kutarik napas. Tidak perlu, Utat. Kalau saya diculik, itu risiko.
49
BantuanPendi
Pendi terdiam, dia sangat tahu siapa sepupunya. Kalau begitu, berikan
nomor rekeningmu.
Untuk apa? Kamu mau nyumbang.
Siapa tahu bisa membantu.
Kuberikan nomor rekeningku agar Pendi tak tersinggung. Ternyata hanya
itu yang dia minta. Setelah putar-putar, aku dipulangkan.
Besoknya, karena penasaran kulihat tabungan. Luar biasa, tabunganku
yang tak sampai sepuluh ribu sudah bertambah sejuta lebih. Ini transfer
pertama ke rekeningku karena orang tuaku mengirimkan uang bulanan lewat
paket. Aku tak tahu dari mana uang yang dikirim Pendi dan aku tak ingin
tahu.
50
MasalahAmin
5
Masalah Amin
Orang yang dibutuhkan dalam hidup Adalah orang yang menganjurkan apa
yang bisa kita
kerjakan
(Emerson)
Cina terus jadi sasaran saat kerusuhan di tahun 1996 ini walau penyebab
kerusuhan sebenarnya bukan dari mereka. Bulan Maret, Tasikmalaya rusuh
gara-gara politik tapi toko dan kios orang Cina yang babak belur.
Ini benar-benar edan, Man. Negara ini sudah jadi Negara bar-bar. Dan
lagi-lagi yang sepisik denganku yang jadi korban. Aku sudah tak tahan
berada di Negara biadab ini, kata Susan.
Kalau kau tak tahan di sini, lalu mau ke mana?
Bumi Tuhan luas. Aku bisa ke mana saja, bahkan aku bisa kembali ke
negeri leluhurku.
Orang di negeri leluhurmu juga ingin ke luar. Mereka mencari swaka di
Negara kapitalis karena tak tahan diperlakukan tidak manusiawi di
negaranya sendiri. Kau pilih mana, disiksa di Negara orang atau dianggap
tidak ada di negeri moyangmu?
Masih banyak Negara lain yang tak seperti Negara ini dan Negara
leluhurku. Aku akan ke sana.
51
MasalahAmin
MasalahAmin
tentang. Walau anggota Omek tapi dia tak ingin diikat. Dia berbuat menurut
standar kebenar-annya sendiri. Kau pasti tahu yang seperti ini tak akan
bertahan lama, Man. Kalau aku jadi kau, dia akan kunasehati untuk menjadi
air. Sekarang belum saatnya jadi besi. Arus masih terlalu kuat untuk
ditentang, kata Mahmud.
Aku tersenyum. Kata kias untuk orang yang pro kemapanan. Lagi pula,
aku merasa lebih tahu tentang Amin daripada Mahmud. Selama di kampung,
Amin dikerangkeng papanya. Di sini, Amin bebas. Aku merasa tak punya
hak untuk memasukannya dalam belenggu.
Kamu kenal Juanda? tanya Bedu, ketua Fosmib.
Kenal. Memang kenapa? kataku tak acuh. Kenal Kak Juanda saja kok
heboh!
Kalau bisa, tolong diusahakan dia bicara di Fosmib. Kita butuh
informasi yang banyak dari dia.
Kalau dia tidak sibuk. Aktivis lebih sibuk daripada pejabat, Bos.
Bedu terkekeh.
Eh, tadi ada telepon dari Juanda. Katanya penting.
Penting? Ada apa lagi? Aku sudah setengah jalan kuliah, tak mungkin
pindah ke Jakarta. Aku segera menghubungi Kak Juanda.
Amin ada masalah, Yo. Kalau bisa kamu ke Jakarta, kata Kak Juanda
di telepon.
Ada apa?, aku panik.
53
MasalahAmin
MasalahAmin
55
MasalahAmin
Memasuki semester tiga aku kuliah, semakin aku sadar bahwa hukum tak
bisa diandalkan. Anda dapat masalah, jangan lari ke hukum tapi carilah
beking! Aku ingat Papa Harnum. Sebagai tentara yang berpangkat dan
bersenjata, aku yakin Papa Harnum dapat dijadikan beking untuk kasus
Pendi. Untuk masalah Amin, mungkin lebih bisa lagi. Amin bukan pelaku
tindak kriminal seperti Pendi. Tapi, Papa Harnum masih di Bolaang
Mongondow. Mungkin suaranya punya pengaruh, tapi lemah tanpa pisik.
Lalu, siapa yang bisa?
Kau kenal Mahmud? tanyaku setelah cerita Amin berakhir.
Amin menyeringai. Dia kusingkirkan saat perebutan kursi senat fakultas.
Orangnya serakah. Sudah mendapat tempat di Omek, masih ingin juga di
intra. Sekarang dia jadi staf di pusat.
Iya. Dia sering ke Bogor. Entah apa yang dia cari.
Pasti terkait dengan kongres. Biasa, minta dukungan agar calonnya
menang. Kalau calonnya menang, posisinya akan naik jadi staf ketua.
Katakata
Amin begitu sinis.
Mungkin saja. Tapi bukan itu maksudku, kataku. Menurutku, dia bisa
menekan rektormu untuk menarik surat keputusan ini.
Amin terkekeh. Biar Kak Ju yang melakukan, katanya.
Aku mengangkat bahu. Rupanya Amin yakin Kak Juanda dapat memberi
solusi. Aku sendiri ragu. Kalau Kak Juanda bisa, mengapa aku dipanggil?
56
MasalahAmin
MasalahAmin
Kami tertawa.
Kak Juanda datang. Aku di salami, berulang kali meminta maaf karena
tak sempat ke Bogor.
Rektormu kuat, Min. Jaringan alumni digenggamannya. Orang-orang
yang kuhubungi tak bisa membantu, katanya kemudian.
Omek bagaimana, Kak? Mahmud bisa kuhubungi! kataku.
Apalagi Mahmud! Kak Juanda berpikir sebentar. Oh ya, kamu kenal
Kolonel Arif Pambudi, Yo?
Kolonel Arif Pambudi? aku tak mengerti.
Mertuamu! Masak ndak tahu?
Amin kaget, dia terbelalak. Kamu sudah menikah, Yo? Kenapa aku
tidak kau undang?
Papa Harnum memang sudah di sini? tanyaku.
Sudah!
Punya nomor teleponnya?
Bagaimana ini? Mertuamu kok kamu tak tahu nomor teleponnya?
Amin masih bergurau.
Kak Juanda mengangsurkan buku alamat. Sebentar, Kak Ju. Kita harus
minta persetujuan Amin karena nampaknya dia kurang sepakat. Katanya,
cara kita terlalu politis, aku membalas.
Kamu, Yo. Omongan anak Fisip memang selalu begitu. Sudah, kamu
hubungi sana!
58
MasalahAmin
MasalahAmin
Juanda.
Aku dan Amin bangkit, juga Mama Harnum. Kami diajak mengelilingi
rumah. Rumah orang tua Harnum besar. Bagian rumah utama terdiri dari dua
lantai yang berkamar lima, kamar orang tua Harnum dan kamar Harnum ada
di lantai dasar. Di lantai atas, ada dua kamar tamu, dan
Ini kamarmu, Yo. Kamar ini sudah disiapkan tapi kamu tak pernah ke
sini.
Sepupuku ini memang aneh, Bu. Dia tidak mau kalau belum resmi,
sambung Amin.
Aku meninju Amin.
Begitu, ya? Kurang resmi apa kami memintamu, Yo? Apa harus
dipanggil penghulu? Sekarang, kamu harus tidur di sini walau cuma satu
malam, kata Mama Harnum.
Aku kaget. Berarti aku tak diperkenankan ke mana-mana.
Kamar itu luas, tempat tidurnya gabus tebal. Di samping tempat tidur ada
rak gantung dengan buku berderet.
Nanu yang menyuruh. Dia tahu kamu kutu buku. Makanya buku di
kamarnya dipindah ke sini.
Aku hanya mengangguk. Harnum sudah mengenaliku, walau belum
terlalu kenal.
Tour dilanjutkan. Di belakang ada kamar pembantu, juga lima kamar
berderet. Menurut Mama Harnum, kamar itu untuk orang daerah yang ke
60
MasalahAmin
Jakarta, entah dari Sumatera atau Bolaang Mongondow. Tapi, saat ini
kosong. Beberapa waktu yang lalu ada rombongan dari Bolaang
Mongondow yang datang.
Sepanjang jalan, Mama Harnum terus bercerita tentang bagaimana daerah
setelah aku dan Amin tinggalkan. Tentang pembangunan, tentang keamanan,
dan lainnya. Kata Mama Harnum, kasus Pendi jadi pelajaran berharga bagi
aparat keamanan. Sekarang, aparat keamanan yang membekingi penambang
liar sudah berkurang.
Tour selesai. Kami kembali ke ruang tamu, bergabung dengan Papa
Harnum dan Kak Juanda yang berbincang serius.
Setelah bicara lama, Kak Juanda pamit. Amin ingin pamit tapi ditahan.
Masalah Amin biar saya coba urus, kata Papa Harnum pada Kak
Juanda.
Sampai tengah malam aku dan Amin dipaksa mengobrol dengan orang
tua Harnum. Orang tua Harnum hanya punya satu anak. Mereka sangat
senang kalau ada teman Harnum yang bertamu. Apalagi Harnum ada di
Australia.
Aku terpaksa meninggalkan segala aktivitas. Amin harus kutemani.
Nampaknya dia terpukul berat setelah usaha Kak Juanda gagal.
Paginya Mama Harnum minta ditemani ke mall. Dia sempat mengguyoni
pakaian Amin yang bau. Setelah membeli baju, kami belanja keperluan
dapur.
61
MasalahAmin
62
MasalahAmin
MasalahAmin
MasalahAmin
Menurutku masuk UI hanya untuk memenuhi ego papa. Aku tak ingin
dibelenggu lagi olehnya, Yo. Makanya aku tak ikut. Tapi papa
membelengguku dengan cara lain. Uang bulananku pas-pasan. Masak bodoh.
Aku bisa makan dari tulisan. Tapi sekarang, tulisanku tidak laku. Katanya
terlalu keras.
Aku berpikir sesaat. Sempat terpikir meminta bantuan Pendi tapi
menurutku akan lebih baik kalau uang orang tua Amin yang dikuras.
Keterlaluan kalau orang tua Amin tak mau. Mereka cukup kaya!
Aku akan menghubungi orang tuamu. Akan kubeberkan pada mereka,
semuanya.
Apa mereka mau mendengar?
Baiklah, aku tak sabar. Akan kukatakan pada papa. Kau tahu, orang
tuamu akan mendengar kalau papa yang bicara.
Aku tahu, Amin tahu kata-kata papaku sulit ditolak di keluarga Sampaka.
Papa Amin dan Papa Rusman akan bersatu kalau berhadapan dengan
papaku
walau papa anak bungsu. Ini senjata pamungkasku, aku yakin Amin tak
dapat mendebat.
Amin menarik napas. Sudahlah, Utat. Kamu harus masuk besok, aku tak
ingin kuliahmu berantakan karena mengurusku. Ingat, ujian sudah dekat.
Mauku juga begitu. Kamu akan bersamaku, siapa tahu kamu tertarik
kuliah di kampusku!
65
MasalahAmin
Bogor terlalu sejuk bagiku. Aku ingin di kampus lain. Yang penting,
besok kamu harus ke Bogor. Tak usah mencemaskanku!
Terserahlah!
Besoknya, aku pamit pada orang tua Harnum. Keduanya berusaha
menahan tapi langsung sadar ketika kubilang harus kuliah. Amin juga pamit,
katanya ingin melihat-lihat kampus yang tepat.
Sorenya, dari Bogor, aku menghubungi orang tua Harnum, menanyakan
kampus pilihan Amin. Ternyata Amin belum pulang. Aku menghubungi Kak
Juanda, Amin tidak di sana. Dua hari kemudian, jawabannya masih sama.
Aku cemas. Jujur aku cemas Amin melakukan perbuatan yang tak masuk
akal. Diam-diam aku ke kostan Pendi. Kusuruh Pendi mencari Amin. Pendi
lebih tahu sisi-sisi Jakarta.
66
Reformasi
6
Reformasi
Perubahan merupakan keharusan
Karena merupakan kesempatan bagi orang-orang teraniaya untuk
menuntut balas
(Ansy)
Krisis moneter Juli 1997 telah jadi krisis pangan. Bukan karena
kebutuhan pokok tak ada. Ada, tapi harganya melonjak. PHK besar-besaran
terjadi yang memper-banyak jumlah masyarakat miskin. Sejak Negara
didirikan, pasal 34fakir miskin dan anak terlantar dipelihara Negaratak
pernah dilaksanakan, namun baru sekarang Negara benar-benar punya
alasan. Negara di ambang kehancuran.
Mulanya mahasiswa menanggapi dengan demonstrasi kecil-kecilan.
Kemudian, di awal 1998, aksi membesar. Sebagai mahasiswa hukum, aku
tergabung dalam divisi advokasi. Bentrok dengan aparat hampir selalu
terjadi dalam setiap demonstrasi. Banyak mahasiswa ditahan. Tugas divisiku
mendata yang luka, juga mengeluarkan yang ditahan. Merepotkan juga
negosiasi dengan aparat yang kesal.
Hari itu massa bisa ditahan hanya demonstrasi di dalam kampus. Walau
diluar aparat manyun dengan helm ala tentara Nipon, tameng, dan tongkat,
berjaga dengan hati panas, namun mereka tak masuk. Agak lucu juga
67
Reformasi
Reformasi
Reformasi
memutuskan.
Pendi mengangkat bahu, meniru film-film tapi lucu.
Sekarang, kakak bermalam di mana. Di tempat Juanda atau Papa
Harnum?
Kau tahu dari mana Papa Harnum di Jakarta? aku tak tahan menahan
rasa penasaran.
Penjahat punya informasi banyak, Kak. Karena itu penjahat sulit
ditangkap.
Buredongka, aku mengumpat.
Jadi, kakak menginap di mana?
Di tempatmu saja.
Ayo kita berangkat.
Aku bingung ketika Pendi membawaku ke Tanah Abang. Pangkatku
sudah naik, Kak. Aku bukan kuli lagi. Sekarang aku jadi penjahat Tanah
Abang, katanya.
Aku trenyuh. Kapan Pendi sadar? Namun Aku yang harus sadar. Manusia
berhak memilih jalan hidup. Orang seperti Pendi, percuma dinasehati. Butuh
sesuatu yang luar biasa untuk menyadarkannya.
Di sepanjang jalan sampai kontrakan, Pendi menceritakan apa yang dia
lakukan. Dia perampok sekarang. Tapi, sepanjang korban patuh, Pendi
pantang menyakiti. Incarannya orang-orang kaya. Dia melarang anak
buahnya mencuri yang miskin. Dia pernah berkelahi dengan anak buahnya
70
Reformasi
karena yang diincar orang miskin. Juga tak boleh memperkosa. Kalau ada
yang berani memperkosa akan dibunuh.
Dibunuh? Aku benar-benar ngeri. Tapi, seperti inilah dunia Pendi. Nyawa
adalah taruhan!
Di kostnya, Pendi membuka baju dan melemparkan begitu saja ke kursi.
Tubuhnya kekar, lebih kekar dia daripada aku. Dan mulus, tidak bertato
seperti umumnya penjahat, juga tak ada bekas luka.
Kelompokmu tak punya tanda? tanyaku.
Mengapa melakukan perbuatan bodoh itu? Selain tak menghargai Tuhan
yang telah mengaruniai kulit bersih, juga mempermudah polisi melacak. Di
duniaku, menyembunyi-kan identitas sangat penting, Kak.
Aku mengangguk-anggu. Kalau aku polisi, penjahat seperti Pendi yang
kujadikan target utama. Dia sulit dilacak. Dapat dilacakpun akan sulit
membuktikan bahwa dia penjahat. Ini yang terjadi pada penjahat-penjahat
berdasi.
Kak, ini benar-benar serius. Sebaiknya Kak Uyo pindah kost dan tak
ikut demonstrasi. Risikonya besar! kata Pendi setelah bosan menceritakan
dirinya.
Risikonya lebih besar mana dari merampok? kataku tak acuh.
Sama. Sama-sama mati. Tapi Kak Uyo tidak seperti saya. Lulus SD
saja tidak, membunuh polisi lagi. Papa sudah siap melakukan harua. Sedang
Kak Uyo, bukan hanya Tua yang menunggu tapi masyarakat. Masyarakat
71
Reformasi
butuh Kak Uyo dalam keadaan hidup dan punya pengetahuan tinggi.
Sebaiknya Kak Uyo belajar saja.
Tua adalah panggilan sepupu-sepupuku untuk orang tuaku karena mama
anak tertua di keluarga Kokait.
Demonstrasi pelajaran juga, Nding. Pelajaran di luar kampus. Tak ada
nilai karena dasarnya nurani kita. Kalau kita tulus, nilainya akan tinggi. Mati
tak masalah!
Masyarakat tidak butuh demo. Masyarakat butuh sembako murah.
Kenapa kalian tidak mengadakan pasar murah saja? Itu lebih dirasakan
rakyat!
Aku kaget melihat cara Pendi ber-debat. Pendi begitu bersemangat.
Guratan di dahinya sampai terlihat. Tapi aku tak mau menyerah. Egoku
bangkit. Aku mahasiswa. Pendi, ah, hanya perampok muda!
Dan aku temukan lawan debat yang lebih tahu realitas. Kami berdebat
sampai kantuk datang.
Kontrakan Pendi lebih nyaman dari kostnya di Periuk. Tapi tubuhku yang
terbiasa dengan hawa Bogor tetap gerah. Mana nyamuknya ganas membuat
aku sulit memejamkan mata tanpa bersilat.
Di rumah mertua lebih enak, eh malah memilih tidur di tempat
penjahat, gurau Pendi.
Jarak kami dekat. Aku dapat leluasa melihat. Untung yang dilihat sedang
sibuk melayani pembeli.
72
Reformasi
Reformasi
Reformasi
75
Isu
7
Isu
Hati-hatilah dalam berbicara karena dindingpun bertelinga
(Ansy)
Demonstrasi berlangsung di mana-mana. Kenaikan harga sembako, PHK,
dan lainnya masih menjadi isu sentral. Namun desmonstrasi itu berserak,
dalam jumlah yang kecil-kecil. Para anak kuliahan, begitu mahasiswa
yang hanya terlibat dalam perkuliahan disebut, tak mau ikut padahal jumlah
mereka berlipat banyaknya dibandingkan para aktivis. Bahkan banyak
aktivis yang masih bersikap with and see.
Demonstrasi jadi tak bertaring. Liputan media agak kurang membuat
beberapa aktivis selebritis mulai kehilangan giroh. Kontras sekali dengan
penangkapan pasca demonstrasi yang hampir selalu terjadi.
Bogor punya sedikit mahasiswa hukum, lebih sedikit lagi yang bergabung
dengan dunia aktivis. Merepotkan karena hampir disetiap demonstrasi yang
bermasalah selalu meminta bantuan Divisi Advokasi Fosmib jika ada
demonstrasi bermasalah. Karena itu kuajukan pertemuan dengan semua
organisasi mahasiswa aik di intra maupun ekstra, OKP, dan lainnya.
Antusias juga rupanya teman-teman. Hampir semua organisasi
mengirimkan utusan. Ruang tamu di markas Fosmib penuh sesak. Bahkan
dua organisasi yang selama ini bertentangan, organisasi garis keras yang
76
Isu
77
Isu
Isu
Isu
Isu
81
SangPengelana
8
Sang Pengelana
Berpindah-pindah profesi kalau bukan untuk mencari jati diri pasti untuk
menyembunyikan diri
(Ansy)
Institut Pertanian Bogor mempunyai tradisi yang aneh. Beberapa waktu
yang lalu terjadi tauran antar Fakultas saat lomba basket yang ricuh. Tim
independen dan lainnya telah dibentuk namun tak menyelesaikan persoalan.
Kerusuhan ini terselesaikan justru dengan mengabaikan persoalan.
Mereka telah merancang aksi bersama lintas Fakultas, yang dijadikan target
bukan siapa-siapa melainkan diri mereka sendiri. Kampus dinilai ikut
bertanggung jawab atas krisis pangan yang telah menimpa negara agraris
nan subur ini.
Walau masih ngantuk dan pusing karena peristiwa semalam, aku
mengharuskan diriku untuk hadir. Syukurlah peristiwa semalam belum
banyak diketahui teman-teman sehingga aku tak sibuk menjelaskan.
Kami berjalan mengelilingi kampus Darmaga, mendatangi Fakultasfakultas.
Long march berakhir di depan Rektorat. Rektor diminta untuk hadir
dan beliau memang cukup gentle, tak ada raut kecemasan begitu melihat
mahasiswanya sendiri mendemo.
Rektor harus bertanggung jawab atas krisis pangan yang terjadi karena
82
SangPengelana
ternyata kampus yang mengkhususkan diri ke pertanian ini tak bisa berbuat
apa-apa, kata Isar, anak Fakultas Perikanan.
Saya hanya Rektor, Bung, sementara yang Anda ungkapkan terkait
dengan kebijakan. Karena itu doakan saja ada orang pertanian yang menjadi
pemimpin negara di masa yang akan datang, jawab Rektor yang disambut
sorakan.
Dari Dramaga, aku sengaja menunggu angkutan. Tawaran teman-teman
untuk mengantar aku tolak. Mengingat kondisiku yang kurang tidur, aku
takut akan celaka kalau dibonceng motor. Lagi pula, agendaku menumpuk.
Aku ingin istirahat di angkutan.
Mobil itu berhenti persis di depanku. Kaca sopir diturunkan sedikit dan
nampaklah Somat. Pas sekali. Aku memang ingin bertemu Pendi.
Aku melangkah ke mobil. Pintu dibuka dan aku masuk. Pendi berpakaian
rapi sekarang. Kemejanya pakai dimasukan segala.
Wah, aku yang mahasiswa kalah, gurauku.
Jelaslah, kalian yang aktivis memang selalu berpakaian kumal. Katanya
ingin menyatu dengan rakyat padahal rakyat sama sekali tak ingin memakai
pakaian kumal begitu. Kalian ini mempertahankan status quo orang miskin
di Indonesia, balasnya.
Walau bisa kubenarkan argumen Pendi namun aku diam. Orang seperti
Pendi akan selalu menilai apa yang tersurat tapi tak pernah mempedulikan
apa yang tersirat.
83
SangPengelana
Aku lebih tertarik memperhatikan mobilnya. Aku tak tahu mobil ini
mobilnya sendiri, dari rental atau hasil rampokan. Yang jelas sangat empuk
sehingga membawaku segera ke alam mimpi.
Aku terbangun ketika sampai. Rumah yang akmi datangi kali ini jauh
lebih bagus dari kostan Pendi di Periuk maupun rumah di Tanah Abang.
Rumah ini terdiri dari dua lantai, di depan ada taman dengan beraneka bunga
dan hiasan lainnya. Sayang rumah ini tertutup. Tak ada orang luar yang
mengetahui apa yang terjadi di dalam.
Ini benar-benar rumahmu atau hanya ngontrak? tanyaku penasaran.
Bukan rumah Efendi Kokait atau yang biasa dipanggil Ending, Kak.
Rumah ini milik dari Antong. Dan sebaiknya mulai saat ini Kakak jangan
lagi memanggilku Ending tapi panggil Antong, jelasnya.
Baiklah, Antong. Tapi apa nama ini tak terlalu berat padamu?
Pendi terkekeh. Di kampungku, pemberian nama harus diperhatikan betul
karena bisa membuat orang sial atau selalu sakit. Menurut kepercayaan
orang-orang, nama tersebut tak sanggup dipikul oleh yang diberi nama.
Aku sadar apa yang kulakukan salah, Kak. Tapi aku juga sadar bahwa
aku belum bisa keluar dari duniaku. Karena itu, aku berusaha melindungi
keluarga dan daerahku dari perbuatanku yang salah. Aku tak ingin Kokait
tercemar.
Nah, apa arti sebuah nama, kata William Shakspeare. Tapi ternyata nama
sangat berarti. Menurut agama, nama adalah doa. Menurut orang di
84
SangPengelana
kampungku, nama sesuai dengan daya pikul yang diberi nama. Dan bagi
Pendi, nama adalah tempat berlindung.
Terserah padamu, kataku. Apa boleh kita masuk?
Oh iya, silahkan, di melebarkan tangan seperti penjemput tamu. Apa
Kak Uyo tak melanjutkan tidur dulu? Aku yakin Kakak butuh istirahat yang
banyak karena semalam sangat sibuk.
Aku memandanginya.
Dia tertawa. Kalian kan sudah kuperingatkan tadi malam, kenapa kalian
tidak cepat keluar dan cari tempat istirahat?
Siapa yang melaporkan? tanyaku penasaran.
Tawanya semakin melebar. Tak ada yang melaporkan, Kak. Kalian
bermain di tempat terbuka, ya jelas saja akan jadi buruan empuk yang
mudah. Ingat, Kak, sekarang ini dindingpun bertelinga.
Aku menggeleng, masih belum percaya. Aku meyakini Awal yang
melapor.
Kak, kalau kalian curiga ada yang melaporkan berarti kalian telah masuk
perangkap mereka. Kalian diadu domba sehingga tak bisa menyatukan
massa. Walau terbagi dibanyak titik namun masih lebih mudah
mengendalikannya dibandingkan kalian menyatu dan banyak karena akan
sulit ditekan.
Aku merenung. Benar juga. Tapi
Kalian tak pernah berpikir kenapa kalian diinterogasi di tempat?
85
SangPengelana
tanyanya. Aku menggeleng. Ya, agar kalian saling curiga. Kalau dibawa ke
pos maka akan jelas terlihat kalian ditangkap sehingga terbangun soliditas,
tapi kalau kalian hanya diinterogasi di tempat dan lepas justru yang
terbangun sebaliknya. Jadi, saat ini bukan hanya kalian yang curiga
melainkan orang-orang di luar kalian. Kloplah, kalian akan susah
membangun komunikasi.
Gila! tak sengaja kata itu terungkap.
Dia menyeringai. Kakak baru tahu bahwa dunia yang kakak lalui benarbenar
gila? Kakak akan lebih paham kegilaan ini kalau kakak percaya bahwa
saya dan kelompok saya diminta untuk bersiap-siap ikut andil dalam
dinamika politik ini.
Aku tertegun beberapa jenak. Kurasa aku shok. Apa yang kalian
lakukan? tanyaku benar-benar tak percaya.
Kak Uyo masih ingat kasus 27 Juli tahun lalu? tanyanya.
Jadi kalian akan menyerang kami? serangku.
Lebih dari itu, Kak. Kami akan membuat berbagai hal untuk tujuan
tertentu, bahkan kami bisa bersama-sama kalian tapi tujuannya lain.
Di pihak mana kalian?
Tentu di pihak yang membayar kami, katanya enteng. Tapi
nampaknya kali ini agak berbeda. Kami juga akan melihat kearah mana
dinamika ini akan dibawa. Kami bisa saja di pihak kalian, bisa juga akan
berlawanan dengan kalian.
86
SangPengelana
SangPengelana
SangPengelana
menggunakannya kalau uangku tak cukup. Andai uang itu tak aku pakai,
anggaplah kau menabung sehingga bisa menjadi modal ketika kau keluar
dari duniamu.
Dia mengangguk dan mengucapkan terimakasi berulang-ulang.
Kami membicarakan banyak hal tentang duniaku karena dia ternyata tahu
lebih banyak hal yang terselubung di duniaku. Dia menyarankan agar aku
berhati-hati, mahasiswa sangat rentan sehingga bisa ditekan entah dengan
kekuasaan maupun uang.
Apakah diantara teman-temanku ada yang jadi mata dan telinga
penguasa?
89
Terculik
9
Terculik
Dunia memang panggung sandiwara
(Ansy)
Aksi meningkat seiring meningkatnya isu. Tadinya hanya isu sem-bako,
sekarang turunkan Suharto. Massa yang bertambah besar semakin brutal.
Senjata aparat tak dihitung. Arifin yang singa podium berteriak
menggelegar: Maju terus, tima panas jangan membuat kita undur. Kita
banyak!
Jakarta menelepon. Kak Juanda memintaku undur tapi tak bisa bicara
ketika aku bertanya apa dia mundur juga. Papa Harnum memerintahkanku
mengungsi. Aku tak peduli. Kami akan menang, mengapa bersembunyi?
Kemudian tersiar kabar ada aktivis diculik. Terpaksa markas Fosmib
berpindah-pindah tempat. Sekali kubawa teman-temanku ke tempat Hendra.
Hendra bukan aktivis. Dia hanya mahasiswa kebanyakan yang sibuk dengan
kuliah, makan, dan pacaran. Jelas terlihat dia tidak senang tapi tak berani
mengusir.
Kita harus membawa bendera. FKMIJ sudah lama berkibar, Formaci,
FKMY, Forkot, dan lainnya. Fosmib belum terlihat. Sebentar lagi Soeharto
out. Ini momentum. Kapan lagi kita punya momentum sebagus ini? kata
Bedu.
90
Terculik
Terculik
92
Terculik
Terculik
Kami tak begitu peduli pada mobil yang berjalan lambat itu. Kami
terkaget ketika tiba-tiba empat orang keluar dari mobil dan langsung
menyerang. Dua temanku berhasil menghindari pukulan dan lari. Satunya
lagi kena hantam di dagu dan langsung terkapar. Tinggalah aku dalam
kepungan empat orang berambut cepak, berbadan tegap nan besar.
Ini penculikan, pikiranku langsung berjalan. Targetnya jelas aku karena
teman-temanku tak dipedulikan. Mengapa aku? Memangnya siapa aku?
Dibandingkan tiga temanku, aku bukanlah apa-apa dan siapa-siapa. Aku
hanya artis figuran yang numpang lewat dalam satu adegan.
Ribuan tanya dalam kepalaku namun aku tak bisa mencari jawaban. Silat
kampung kusiapkan dan langsung menyerang orang di depanku. Entah ingin
merasakan kakiku atau kaget, dia tak menghindar. Kakiku mengenai
perutnya yang membuatnya terhuyung.
Orang di belakangku melompat. Tangannya yang kekar dilingkarkan ke
dadaku membuatku sesak napas. Aku terus berontak sekuat tenaga. Orang di
sampingku membekapkan sapu tangan ke hidungku yang entah mengapa
membuatku langsung lemas. Maka mudahlah mereka memasukanku ke
mobil.
Rupanya sapu tangan itu mengandung bius dan benda keparat itu selalu
dihirupkan padaku beberapa saat setelah aku siuman dan terasa kuat untuk
berontak. Kurasa aku bisa berontak dan berhasil seandainya bau keparat itu
tak dipaksa untuk kuhirup.
94
Terculik
Terculik
Terculik
kampung. Jelas mereka akan mengetahui info itu. Mereka pasti gundah.
97
Kaget
10
Kaget
Semua tergantung pada tujuan dan perbuatan belum tentu jadi cerminan
(Ansy)
Aku tak sempat lagi memikirkan duniaku, dunia aktivis. Walau
nampaknya kami sudah akan berpesta namun aku tak bisa ikut serta. Kakek
telah menjeratku di pulau terpencil ini dengan berbagai kesenangannya. Di
saat kawan-kawan beserta masyarakat menuntut dengan menggelar aksi
demo besar-besaran sampai menghasilkan kerusuhan, aku berada di laut
tenang dengan pancing di tangan. Aku seperti orang-orang kaya, dengan topi
di kepala, kaos dan celana pendek tapi tanpa cerutu. Tangkapanku cukup
besar kali ini, bahkan satu nyaris lepas saking besarnya. Aku sudah tahu
caranya. Begitu tertangkap, tarik ulurlah sampai dia lelah dan tarik.
Kapal kecil itu melaju mendekati kami. Si Kakek berteriak girang
membuatku terkejut. Dadaku bergemuru, sudah inikah eksekutornya? Aku
ketakutan, pancing yang sudah termakan umpan dan kurasa besar terlepas,
ikan membawanya ke tengah laut tanpa aku sadar. Terlebih si Kakek terus
menunjukku ke orang-orang di perahu kecil itu.
Sialan! Di balik kepolosannya ternyata si Kakek ini pembunuh berdarah
dingin juga.
Kapal kecil itu semakin mendekat. Aku ingin membawa lari perahu yang
98
Kaget
kutumpangi namun aku tak tahu caranya. Ini kelemahanku. Selama bersama
si Kakek, ini yang tak kupelajari darinya dan dia tak menawarkan untuk
menjadi guru di soal yang satu ini.
Ada empat orang di kapal kecil yang cepat itu, berpakaian hitam-hitam di
siang yang terik ini dengan kacamata hitam menghias mata. Ketika sampai,
mereka merapatkan kapalnya ke perahu kami dan melompat.
Punu, kau datang akhirnya, teriak si Kakek. Setengah berlari di
menyambut anak muda berambut cepak itu. Mereka berangkulan. Aku hanya
memperhatikan.
Punu? Aku merasa tak asing dengan nama itu. Dia memandangiku,
kurasa tulang-tulangku mulai lolos dari tubuh.
Kaget
kita punya kuasa untuk merubah citra, kenapa kita tidak lakukan?
Bangsat, kataku. Kuayunkan tinjuku tepat mengenai perutnya. Pendi
mengaduh. Beberapa begundalnya mendekat tapi Pendi menahan dengan
isyarat tangan. Aku belum puas. Tinjuku bersarang di dagunya membuatnya
terjengkang. Aku memukulnya habis-habisan tapi Pendi tidak melawan.
Guru kami sama, paman kami, Umarudin Kokait. Tapi Pendi senantiasa
mengasah diri, bahkan dia telah membunuh polisi. Jelas kalau dia melawan
aku pasti akan kalah. Namun dia dipukuli diam saja sampai aku menyerah
karena lelah. Aku tergeletak di sampingnya dalam napas yang ngos-ngosan.
Kau gila, kataku.
Dunia memang sudah gila, Kak, sahutnya.
Hei kalian, teriaknya pada orang-orang. Ini kakakku. Aku tak
melawan karena yakin tak akan menang. Kalau sudah mengalah begini pasti
akan diampuni. Kalian jangan macam-macam padanya.
Mau tak mau aku tertawa juga.
Kami menghabiskan siang itu dengan memancing. Ajakan Pendi untuk
secepatnya balik ke Bogor aku tolak. Aku memang ingin ke Bogor, tapi
bukan untuk menjemput kepahwananku. Jadi untuk apa buru-buru?
Kalian pasti menang, Kak. Rakyat pasti akan turun jalan bersama
kalian. Kalau sudah bersama rakyat, kuyakin rezim tak akan bisa berbuat
apa-apa. Bahkan bagian-bagian dari diri mereka akan mendukung, kata
Pendi yakin, dia membolak balik ikan hasil tangkapan yang kami baker.
100
Kaget
Kau kok bisa yakin begitu? aku tak yakin. Sejak jadi mahasiswa aku
aktif dan bergerak, sesama mahasiswa saja susah diajak, apalagi rakyat.
Saya dapat info yang kurasa valid, akan ada peristiwa besar yang bisa
membuat semua tameng penguasa diturunkan, bahkan mereka akan
mengawal kalian.
Rezim memegang Tap MPR yang memungkinkannya mengerahkan
semua usaha jika terjadi kekacauan.
Dia tersenyum. Susah, Kak. Memangnya siapa yang akan melaksanakan
Tap MPR itu? Apa bisa dirinya sendiri? Semua bagian dari tubuh rezim akan
melepaskan diri satu persatu, Kak.
Yang aktivis itu aku atau kau? tanyaku gusar.
Sekarang Pendi terbahak. Aktivisnya tentu Kakak, tapi aku yang punya
lebih banyak informasi. Dan menurut informasi yang kudapat, Kakak adalah
pahlawan Reformasi yang hidup.
Aku memandanginya.
Sabar, Kak. Kakak harus tahu bahwa orang lain juga melakukannya.
Bohong orang yang mengatakan saat ini pahlawan lahir karena alam.
Pahlawan yang ada sekarang semua dibentuk.
Aku mengangkat bahu. Tapi aku bukan mereka.
Kami saling diam lama. Kupungut seekor ikan baker yang telah matang
dan mulai menyantap. Lezatnya, kelezatan ini tak pernah kunikmati ketika
berada di dunia aktivis.
101
Kaget
Kau punya banyak harta di sini, akan bagaimana kalau ada yang terjadi
padamu? aku mengalihkan pembicaraan.
Kuhibahkan pada mereka, Kak. Atau Kakak
Lebih baik kau hibahkan, potongku, yang dia simpan di rekeningku
sudah cukup banyak dan memusingkanku. Aku tak mau ditambah dengan
ini.
Padaku, Pendi bilang bahwa pulau itu menjadi tempatnya menyepi
setelah melakukan beberapa tugas dan ingin istirahat. Di sini dia membaca
buku, memancing dan melakukan kegiatan lain yang membuatnya fresh lagi.
Aku kaget ketika dia bilang bahwa pulau ini sebenarnya tak jauh. Dia
salah satu dari Kepulauan Seribu, Jakarta.
102
TakMauEuforia
11
Tak Mau Euforia
Terkadang kita perlu menjadi abdi dengan menyiapkan semua hidangan
tapi tidak untuk memakan
(Ansy)
Kemunculanku telah menjadikanku. Semua teman tak mempedulikan aku
dari mana melainkan aku tidak apa-apa, bahkan ada yang meminta aku
diperiksa dokter segala. Jelas tak ada apa pun yang akan didapatkan dokter,
Sebenarnya Pendi sempat memikirkan beberapa pukulan yang tidak terlalu
sakit tapi bisa meninggalkan bekas namun kutolak. Cukuplah. Aku mungkin
bisa membohongi semua orang namun aku tak bisa membohongi diri sendiri.
Wartawanpun mengerubungiku dan melontarkan pertanyaannya. Semua
kujawab dengan diam.
Seharusnya mereka curiga dengan diamku. Seharusnya mereka
menyelidik dengan intens. Kepahlawananku jelas terancam. Namun aku
muncul disaat yang sibuk,.peristiwa begitu cepat berubah, hitungannya
hanya detik.
Kami sibuk luar biasa. Kesibukan yang melupakan kehadiranku sebagai
pihak yang diculik. Teman-teman tak mencurigaiku, mungkin juga karena
aku turun aksi seperti singa yang mengamuk.
Selasa malam, 12 Mei, beredar kabar demonstrasi di Trisakti menelan
103
TakMauEuforia
TakMauEuforia
besar.
Mengapa cucunya yang dijadikan korban? Mahasiswa yang turun jalan
jumlahnya ribuan, juga cucunya sang Jendral sebenarnya tak begitu dikenal.
Mengapa dia yang dijadikan korban?
Aku pernah membaca peristiwa 1966 yang menjadikan Arif Rahman
Hakin sebagai tumbal yang membangkitkan kemarahan mahasiswa dan
massa, membuat tentara berada di garis depan dalam membela mahasiswa.
Apakah ini targetan dari meninggalnya cucu sang Jendral?
Tap MPR yang memberikan kuasa pada rezim untuk mempergunakan
seluruh alat pelengkapan negara, ini yang kami takutkan. Kami yakin akan
terjadi bentrok besar dengan tentara yang menjadi alat negara kalau
kerusuhan terjadi di mana-mana. Korban pasti akan melimpah. Tianmen
bukanlah apa-apa.
Demonstrasi terus berlangsung. Semakin panas. Seminggu setelah tragedi
Trisakti, mahasiswa mulai memusatkan perhatian untuk menduduki symbol.
Berduyun-duyun mereka ke gedung DPR. Aku tidak ikut. Kuputuskan,
sekarang saatnya berhenti!
Banyak alasannya. Aku yakin Suharto akan berakhir. Mahasiswa Cina
memang tak bisa merubah system walau darah sudah mengalir di Lapangan
Tiananmen. Tapi aku tahu Indonesia bukan Cina. ABRI tak mungkin
mengusir dengan berondongan peluru sehingga jasad berserakan. kurasa,
mereka sudah merasa bersalah dengan gugurnya empat mahasiswa Trisakti.
105
TakMauEuforia
Mereka tak akan menambah korban lagi. Jika mahasiswa tidak diusir dari
gedung DPR, berarti kekuasaan Suharto tamat. Menghilangnya Susan, juga
membuatku terpukul. Aku merasa perlu menyepi dan merenung. Selain itu,
mahasiswa yang ogah demonstrasi sekarang berada di garis depan. Mereka
mengumpat, mereka melaknat. Orang-orang itu ingin pesta, biarkanlah
mereka berpesta. Pengabdi terbaik adalah menyediakan hidangan kemudian
ke belakang saat pesta digelar.
Awalnya aku berniat ke kontrakan Kak Juanda. Kemudian aku sadar,
sebagai pimpinan organisasi pemuda pendukung reformasi, Kak Juanda pasti
sedang sibuk. Konyol kalau dia ongkang kaki di kontrak-an. Kulihkan kaki
ke rumah orang tua Harnum.
Mama Harnum kaget melihatku. Awalnya seperti melihat hantu.
Kemudian memelukku erat-erat.
Uyo, Uyo. Ke mana saja kamu, Nak? Orang tuamu cemas. Katanya
mereka menghubungi kostanmu tapi tak ada yang menjawab. Mereka
nelepon ke sini. Oommu mencari tapi tak ada kabar. Kata orang, kamu
muncul saat demo, kemudian menghilang. Ke mana saja kamu, to?
berondong Mama Harnum.
Aku punya banyak rumah, Tante, gurauku.
Mama Harnum melepaskan pelukan, memegang bahuku kencang. Mulai
hari ini, kamu di sini. Tak boleh ke mana-mana! katanya tegas.
Aku hanya tersenyum.
106
TakMauEuforia
Ketika Papa Harnum datang, lain lagi tanggapannya. Payah kau, mental
jongos. Mau bersusah payah menyiapkan pesta kemudian pergi setelah pesta
dimulai. Apa kau tidak iri kawan-kawanmu di DPR sedang pesta. Makanan
dan rokok melimpah di sana. Mereka juga didatangi para artis.
Huss. Uyo tetap di sini, dia tak boleh pergi. Siapa tahu anak buahmu
yang tidak terlatih menembak salah bidik, kata Mama Harnum setengah
membentak.
Walau keinginanku namun aku seperti jadi tahanan rumah. Aku tak bisa
keluar. Perkembangan ku-pantau hanya lewat televisi besar di ruang
keluarga. Aku terkekeh ketika melihat Hendra di televisi. Dia begitu
semangat menyambut pekikan orator tapi begitu tahu dia disorot kamera, dia
menyempatkan bergaya. Mahasiswa selebritis!
Tinggal di rumah orang tua Harnum seperti tuan besar, tak ada yang
kukerjakan. Selama itu, yang ku-lakukan hanya membaca buku-buku
peninggalan Harnum. Buku itu terdiri dari buku-buku pengetahuan umum,
komikmayoritas komik silat dan kuduga dari sini Harnum menemukan
ketomboyannyajuga novel.
Ada novel yang nampaknya hanya print out dan dikemas sendiri namun
kisahnya cukup menarik. Tentang seorang gadis dari keluarga berada. Si
gadis sangat badung karena yakin orang tuanya punya kuasa. Tapi, seorang
lelaki melawan si gadis. Sang gadis menganggap-nya sebagai
pemberontakan. Endingnya, si lelaki ini justru yang menyadarkan si gadis
107
TakMauEuforia
akan perilakunya yang tak benar. Si gadis jatuh cinta pada si lelaki tapi dia
bingung mengungkapkannya.
Novel ini tanpa nama pengarang, juga tanpa keterangan penerbit. Aku
sudah beberapa kali membacanya, tapi novel itu tetap menarik untuk dibaca.
Aku merasa aku membaca kembali kisahku dengan Harnum.
Ternyata tak sampai sebulan aku jadi tahanan rumah. Bukan karena orang
tua Harnum berbaik hati tapi telah rezim berganti. Di televisi kusaksikan
kawan-kawan yang menginap di gedung rakyat melonjak kegirangan seakan
yang berkumpul di sana mengimpikannya sejak lama. Tak apalah, pikirku,
aku memang tak bisa ikut pesta tapi punya cerita.
Ketika melihat mahasiswa mulai diusir dari gedung rakyat, aku ikut pamit
pada orang tua Harnum. Aku sempat ke kontrakan Kak Juanda sebelum ke
Bogor. Kak Juanda berteriak melihatku kemudian memeluk erat seakan hari
raya.
Di Bogor, telingaku sampai sakit karena harus mendengarkan cerita
penguasaan gedung rakyat.
Rugi kau tidak ikut, kata teman-teman.
Seorang kurir datang. Dia bukan kurir dari perusahaan pengantar barang
manapun. dia mengantar seperangkat komputer lengkap dengan printer dan
surat padaku. Aku tak perlu menandatangani apa pun untuk kiriman itu.
Setelah membaca surat, kutahu itu dari Pendi. Aku tak tahu Pendi
membeli atau mencuri, aku juga tak tahu mengapa bukan Pendi yang
108
TakMauEuforia
TakMauEuforia
Aku tersenyum. Ego Amin memang tetap ada, tapi dia telah minta
pertimbanganku. Ini luar biasa! Memang kamu mau menuntut apa?
Pertama, rehabilitasi nama dan penggantian semester yang hilang.
Kedua, kampus dan Pak Burhan secara pribadi minta maaf. Ketiga, Pak
Burhan diberhentikan dari jabatannya secara tidak terhormat, kalau perlu
dikeluarkan dari kampus
Sudah, aku menghentikan. Begini saja. Aku punya dosen yang
merangkap pengacara. Kamu bisa katakan semua padanya.
Amin setuju. Kami ke Bogor.
Bang Komang, begitu biasa kami memanggil Komang Wiraatmaja SH,
MLC, dosenku, tertarik luar biasa. Dia lebih bersemangat dibanding Amin.
Dia tambahkan sejumlah tuntutan, termasuk ganti rugi materil dan moril
yang jumlahnya luar biasa besar. Aku yang diikutkan menangani kasus
hanya menggeleng. Bang Komang seperti bukan pengajar saja.
Rupanya birokrat di kampus Amin cemas luar biasa. Aku tak pernah
melihat wajah Pak Burhan, rektor yang telah mengeluarkan Amin, karena
masalah itu langsung ditangani yayasan. Setelah berunding beberapa kali
dan Bang Komang beberapa kali mengancam akan membawa kasus itu ke
pengadilan dan membocorkannya pada wartawan, akhirnya pihak yayasan
menyerah. Amin diberi hak istimewa untuk ikut ujian akhir semester dan
ujian skripsi, mendapat permintaan maaf dalam bentuk surat keputusan
rektor yang baru, dan kuliah S2 gratis serta menjadi dosen di kampus itu
110
TakMauEuforia
setelah selesai S1. Selain itu, pihak yayasan harus membayar pengacara
Amin. Aku mendapat persenan dari Bang Komang. Ini gaji pertamaku
sebagai orang yang tahu hukum walau sebenarnya aku hanya diam,
mendengar dan mencatat.
111
RubahHaluan
12
Rubah Haluan
Terkadang hidup terlalu membosankan
Ketika kita hanya pergunakan untuk mengerjakan satu hal
(Ansy)
Reformasi memberi peluang bagi pahlawan. Fosmib, memang tidak
terang-terangan muncul kepermukaan namun banyak tokoh yang tahu
kamilah dalang. Mereka menawarkan kami kegiatan yang menjanjikan masa
depan. Semua tertarik. Ada yang ikut mendirikan partai, ada yang bergabung
di lembaga kajian yang berbiaya besar, ada yang ikut LSM dengan donatur
dari luar. Hanya aku yang menolak. Bahkan kutolak ajakan Kak Juanda
untuk mempersiapkan salah satu partai baru. Ini membuat teman-teman
heran.
Baiklah, kata mereka. Kau kan masih muda, kuasailah intra atau
ekstra. Kami siap membantu!
Aku tahu mereka tulus. Namun aku merasa sudah terlalu tua di intra
maupun ekstra. Aku sudah belajar banyak tentang dunia aktivis. Lagi pula,
pengalaman Soeharto dan Amin memberiku sinyal: BERHENTILAH
SELAGI DI PUNCAK AGAR KEBAIKANMU YANG DIKENANG.
Dan ngomong-ngomong tentang pengalaman Amin, jujur kukatakan ini
yang membuatku merubah haluan. Jujur, selama ini aku tak pernah
112
RubahHaluan
RubahHaluan
begini, aku kenal beberapa kantor hukum besar. Kau kurekom saja ke sana.
Tak perlu, Bang. Sekarang aku belum terlalu butuh uang. Jujur aku lebih
butuh nilai.
Dia terbahak. Dia tahu itu lelucon. Di mata kuliah yang diasuhnya hanya
aku yang dapat nilai A. Ini membuat kawan-kawan yang iri protes, mereka
bilang dia pilih kasih.
Tapi dia tetap ngotot. Dia bilang, mempekerjakanku tanpa menggaji
merupakan penghinaan terhadap profesi. Aku dinilai terlalu berharga untuk
jadi sukarelawan. Maka dia bilang aku akan dapat 20% dari berapapun nilai
perkara yang dia dapat. Juga aku diminta tinggal di rumahnya yang
merangkap kantor agar tak perlu membayar kost dan makan. Dan karena
Fosmib tak ada aktivitas lagi maka aku ikhlas untuk pindah markas. Sedih
juga meninggalkan tempat yang sudah menempaku ini. Kang Asep
benarbenar
menangis ketika aku pergi.
Markas baruku kuberitahukan pada orang tuaku dan orang tua Harnum.
Aku ingin memberitahu Pendi tapi dia sudah pindah. Dan secepatnya aku
sadar bahwa dia yang akan menemukanku, bukan sebaliknya.
Rumah Bang Komang di Tajur. Dikontrak tahunan. Terbagi dalam empat
kamar, awalnya hanya satu yang dijadikan kantor namun karena Bang
Komang ingin privasi saat bicara dengan klien maka kamar kedua dijadikan
kantorku dan arsipdua kamar lagi jadi tempat tidur kami. Juga ada gudang,
114
RubahHaluan
RubahHaluan
musim. Walau sudah lama membuka rekening namun orang tuaku tetap
mengirimkan uang bulanan lewat paket. Tak apa-apa, toh memang paket itu
yang kuharapkan.
Namun, bulan ini entah mengapa paket terlambat terlalu lama sampai
akhirnya dipastikan tak akan pernah datang oleh Papa. Kami belum bisa
menyediakan uang bulananmu, Yo. Nek Ija di UGD, Kesehatannya sangat
menurun. Coba kamu minta tolong pada Papa Harnum. Beliau sudah pesan
agar kamu ke sana kalau ada masalah. Jangan cemas. Insya Allah panen
kelapa bulan depan cukup untuk mengganti. Kalau kamu sungkan, biar Papa
yang menghubungi beliau, kata Papa di telepon.
Tak usah cemaskan saya. Obati dulu Nenek Ija. Bilang pada Nenek Ija,
tahun depan aku pasti selesai, Insya Allah. Dia harus sehat ketika aku di
sana!
Iya, akan Papa katakan. Doakan saja biar dia cepat sembuh.
Aku mengurut dada, tertunduk dan berdoa. Nenek Ija pengasuhku. Aku
kehilangan kalau orang tua cacat tapi berhati mulia itu meninggal. Aku
teringat kata Nenek Ija waktu merangkulku dengan erat: Mungkin ini
terakhir kali kita bertemu
Rupanya Omek belum ingin aku pensiun. Aku masih diminta jadi
pemateri di Diklat Dasar maupun follow up-nya. Juga masih diminta hadir
dibeberapa kegiatan. Aku tak mengeluh, tapi aku menolak keras ketika aku
diminta maju ke depan. Sudah bukan zamanku!
116
RubahHaluan
Dan siang itu aku diminta mengisi Diklat di Komisariat Perikanan IPB, di
Darmaga. Panitia datang menjemput.
Dalam segala hal, IPB merupakan ukuran. Begitu juga di Omek.
Mayoritas dosen di sini alumni Omek yang termasuk militan dan fanatik.
Mungkin karena mereka benar-benar terlibat dalam usaha mempertahankan
Omek dari serangan lawan pada tahun 60-an. Kurasa, mereka benar-benar
ingin membantu Omek karena mereka tak ingin organisasi tempat
bernostalgia ini mati.
Diklat diadakan di ruang rapat salah satu jurusan. Peserta tak banyak,
hanya belasan. Saat aku Diklat, pesertanya sampai lebih dari tiga puluh.
Penurunan ini cukup drastis. Kekurangterlibatan Omek secara organisasi saat
reformasi disangka sebagai salah satu penyebab turunannya minat
mahasiswa. Terlebih Omek dipandang sebagai peletak dan pelindung rezim
Orde Baru yang baru dipaksa lengser. Dan sekarang aku harus menjelaskan
semua itu.
Sejarah Organisasi memang enak dibawakan saat kita berada dipuncak.
Namun, sekarang organisasi sedang terpuruk. Aku mendapat pertanyaan
gencar. Dan di sinilah jurus-jurus pengacara kugunakan.
Setelah dua jam penuh berdebat, aku capek. Sebagian capek di nurani.
Aku tak mau lagi menunggu makan siang, juga tak mau menunggu orang
yang akan mengantar. Aku jalan santai ke gerbang sambil melihat kampus
yang pernah kukagumi ini.
117
RubahHaluan
RubahHaluan
RubahHaluan
Jam empat lebih sedikit aku terbangun dan tak bisa tidur lagi. Setelah
azan subuh terdengar, kulangkahkan kaki untuk berwudu. Alam seolah
tenang dan damai. Kedamaian terbawa ketika aku melakukan sholat subuh.
Aku belum pernah merasakan kedamaian yang benar-benar damai seperti
itu.
Setelah sholat, kucoba memejamkan mata tapi mataku hanya terpejam
saja sedang angan terus melayang ke kampung halaman. Aku merasakan
pongoibuketerkenangan yang amat sangat. Sepertinya aku berada di
kampung halaman, melihat rumah, rumah oom dan tante, juga rumah nenek.
Apa ini? tanyaku dalam hati.
Pagi masih lama. Aku mencoba mencari kantuk dengan membaca buku.
Tapi pikiranku terus menerawang. Kampung kembali membayang. Aku
didera pongoibu.
Hampir jam lima. Telepon berdering. Aku beranjak.
Bisa bicara dengan Salman?
Itu suara Papa. Ada apa Papa menelepon sepagi ini? Ini saya, Papa.
Nenekmu sudah tak ada, ujar Papa dengan nada sedih.
Siapa? tanyaku kaget.
Nenek Ija.
Inalillahi wainaillahi rajiun. Aku benar-benar kaget. Jam berapa
meninggalnya?
Sekitar jam empat.
120
RubahHaluan
121
PesanPendi
13
Pesan Pendi
Kejahatan tak selamanya jahat
Tergantung dari mana kita melihatnya
(Ansy)
Awalnya proposal skripsi yang diseminarkan, targetnya agar pembuat
skripsi mendapat masukan yang cukup. Namun mayoritas peserta seminar
para mahasiswalebih bersemangat membantai dari pada memberi
masukan. Akhirnya system dirubah. Tetap ada seminar, bahkan peserta dari
manapundari fakultas manapun dan dari kampus manapunkarena
disiplin hukum dipandang tidak berdiri sendiri. Tapi bukan proposal yang
diseminarkan melainkan hasil. Dan karena mahasiswa hukum dipandang
disiapkan untuk mempertahankan argumentasi maka seminar juga dijadikan
sebagai ujian.
Karena berbagai pertimbangan, salah satunya agar tidak mempermalukan
didepan orang banyak, maka pembimbing akan berlama-lama
dalam menyiapkan anak bimbing. Namun padaku tidak. Pembimbingku, DR.
Abdul Razak, SH, MH, bilang aku siap ke ladang pembantaian besok.
Aku tak tahu sejauh mana aku siap. Adu argumen telah jadi menu
harianku. Dengan nilai mayoritas A, tersisip B, tanpa C, apalagi D dan E,
indeks prestasiku rata-rata nyaris empat dan aku adalah terbaik di kelas.
122
PesanPendi
Dengan nilai begitu, lucu juga kan kalau skripsiku di bawah B? Tidak, aku
harus dapat A!
Namun aku terlalu popular. Aku aktivis yang benar-benar aktif dan dalam
3,5 tahun akan lulus. Ini di luar kebiasaan. Apalagi para dosen senang
menjadikanku sebagai sosok aktivis teladan yang sukses luar-dalam. Dan ini
membuat mahasiswa di kampusku berminat luar biasa mengikuti seminarku.
Pergaulanku luas dan kawan-kawan di luar kampus sudah mengisyaratkan
untuk hadir. Aku tak tahu apa yang hendak dikatakan orang-orang non
hukum itu. Yang jelas, aku takut!
Maka kupacu diriku untuk belajar.
Kasus ditangani Bang Komang, yang kutahu hanya kasus insidentil.
Kebanyakan ditangani dengan menggertak atau negosiasi. Sangat jarang
yang muncul di pengadilan sehingga tak begitu menyibukan.
Namun akhir-akhir ini Bang Komang benar-benar sibuk dan secara
spesifik bilang bahwa kesibukan itu untuk mengurusi kasus besar. Malam ini
dia menelepon, bilang dia tak akan pulang tapi berjanji akan hadir
diseminarku. Aku tak memusingkan. Aku punya kesibukan sendiri yang
harus kupusingkan. Bahkan aku terganggu dengan teleponnya. Kuharap juga
tak ada razia atau penjahat kecil yang tahu nomor kami yang ditangkap.
Kalau ada, aku akan mengabaikan. Aku tak ingin diganggu!
Jam satu lebih sedikit datang gangguan lagi. Di pintu depan ter-dengar
gedoran pelan. Tadi, di telepon Bang Komang bilang agar aku mengunci
123
PesanPendi
semua pintu dan waspada pada perampok. Antara marah dan takut, kuambil
belati. Belati ini sengaja kupesan pada Laki Sali, penempa besi di kampung.
Aku belum pernah mengeluarkan, bah-kan mungkin tak ada yang tahu aku
punya barang tajam. Kali ini, kalau memang ini perampok, aku jamin belati
ini akan bermandi darah.
Kak Uyo
Sekarang gedoran itu diselingi panggilan halus, nyaris berbisik. Aku
seperti mendengar suara hantu. Hantunya Pendi. Cepat-cepat kuambil kunci
dan melangkah pelan ke pintu. Lampu tak kunyalakan. Pasti ada sesuatu
yang patut disembunyikan kalau Pendi ke sini tengah malam begini.
Benar. Itu Pendi. Dia memapah seseorang. Dan dalam keremangan
kulihat wajah Somat yang memucat.
Ada apa? Aku ingin bertanya tapi Pendi menempelkan telunjuk di bibir.
Dia masuk tanpa bicara. Dengan isyarat dia menyuruhku mengunci pintu dan
melarang menghidupkan lampu.
Awalnya dia ingin membawa ke kamar depan. Aku segera menuntun ke
kamarku.
Sekarang jelas kulihat wajah Somat yang membiru. Dia terbatuk-batuk
tapi tidak membuka mata. Sepatunya penuh lumpur, celananya kotor, dia
memakai jaket. Kusangka dia dibacok, ditikam, atau entah apa. Tapi tak
kulihat tanda itu.
Dia tertembak, bisik Pendi, dengan pelan menelungkupkan Somat ke
124
PesanPendi
ranjang. Dia membuka jaket Somat, sekarang baru aku lihat ada lubang di
kaos di punggung sebelah kanan, Somat memakai baju hitam namun
disekitar lubang itu basah yang kuduga itu darah.
Somat terbatuk-batuk.
Kami punya dokter, tapi tak bisa dihubungi. Rumahnya diawasi. Kakak
kenal dokter yang bisa merahasiakan semua ini?
Aku terdiam. Dokter umumnya sibuk dan supercuek. Namun, selama
demonstrasi, ada juga yang mau membantu. Aku tak tahu mereka mau
menolong penjahat, mungkin juga mereka pernah Pendi rampok. Aku
menggeleng dan menatap masgul ke Somat. Dia terbatuk-batuk lagi.
Pendi mondar-mandir. Tolong belikan anti biotik tabur, Kak. Atau
apapun yang bisa mengeringkan luka dan mencegah infeksi. Tanya saja ke
petugas apotik.
Tengah malam begini?
Banyak apotik buka 24 jam. Kalau tak ada, ke rumah sakit saja.
Cepatlah. Biar kutangani pelurunya.
Walau bingung namun aku berangkat juga. Jujur, aku ngeri
membayangkan Pendi akan menangani peluru yang bersarang di pundak
Somat.
Untuk operasionalku, Bang Komang membelikan motor. Dan motor itu
kupacu.
Membeli anti biotik tengah malam, tentu harus ada alasan. Dan
125
PesanPendi
kukemukakan alasan yang membuat lelaki ingin tahu itu bingung. Kenapa
tak ke rumah sakit? Nanti! kataku marah. Dia memberikannya dan
memandangiku pergi, masih dengan keingintahuan yang besar.
Sampai di rumah, peluru itu sudah keluar. Untung hanya satu, kata Pendi.
Tak jarang ada juga yang proyektilnya pecah sampai dua. Juga peluru itu
hanya kena daging dan tidak menancap lebih dalam.
Aku melihat luka di punggung Somat. Sebuah lubang kecil menganga.
Pendi melumurinya dengan anti biotik.
Maaf, kunjungannya seperti ini.
Tidak apa-apa, kataku tulus.
Aku pening. Ayo kita lihat kantormu
Pendi ingin melihat kantor pengacara? Ini lucu. Tapi, kurasa dia ingin
menyampaikan sesuatu. Kubawa dia ke kantorku.
Dia memandang ke atas, ke foto Bang Komang yang berukuran besar.
Dia bosmu? tanyanya.
Aku mengangguk. Kurasa tak perlu kuperkenalkan, gurauku.
Pendi mencibir. Mengambil rokok dan menyulut. Sang Konselor, begitu
kami biasa menyebut dia. Dia menangani kasus kami. Kebanyakan menego
besar setoran atau lama hukuman kalau kami tertangkap. Anak buahku
belum pernah dia bantu karena kami cukup hati-hati. Tapi di bagian lain
sering.
126
PesanPendi
Maksudnya?
Perampokan hanya bagian dari usaha Bos, Kak. Masih ada yang lain.
Pelacuran, kasino, narkoba, rentenir, dan entah apalagi. Beberapa bahkan
halal. Kami tak pernah membuat masalah, tapi yang lain cukup sering
membuat repot Sang Konselor.
Aku menganggukan kepala.
Tapi, untuk Bos, lebih dari itu yang dilakukan Sang Konselor. Bersama
Bos, dia memikirkan hal-hal yang membuat usaha tetap aman. Yang kutahu,
ada dua hal yang membuat kami aman. Selain menyetor uang, juga menyetor
orang.
Maksudnya?
Ya, kami diharuskan menyetor setiap bulan agar aman dari polisi. Tapi
polisi juga butuh aman dari pandangan masyarakat. Masak begitu banyak
kejahatan tapi tak ada yang menangani? Di mana polisi? Jadi, sekali-sekali
dibuat skenario di mana kami ditangkap padahal sebenarnya kami
menyerahkan diri. Biasanya hal ini juga dilakukan agar polisi yang jadi
beking kami naik pangkat.
Aku menggeleng. Teori ini sudah banyak dibahas tapi sekarang ini bukan
lagi hanya teori.
Nah, sejak dua bulan lalu ada perwira polisi yang ingin naik pangkat.
Dia perlu tangkapan besar. Di bagian narkoba ada yang mulai main-main.
Setorannya tidak cukup menurut Bos. Dan Bos menyarankan orang ini. Di
127
PesanPendi
dorpun tak masalah. Matipun tak apa-apa. Tapi Sang Konselor berpikir lain.
Menurut-nya, sudah terlalu banyak penang-kapan narkoba sehingga tidak
punya arti. Juga, korban narkoba hanya orang-orang tertentu.
Penangkapannya tak akan memunculkan simpati masyarakat. Justru
penangkapan perampok yang sejak reformasi jadi marak yang diinginkan
masyarakat.
Bosmu setuju?
Tidak! Justru kusarankan pada beliau agar tak usah berdebat dengan
Sang Konselor.
Itu sindiran dan aku tak ingin menanggapi. Jadi, kau ingin menyerahkan
diri?
Iya, tentu dengan syarat penangkapan dilakukan diam-diam. Aku belum
siap mempopulerkan fam Kokait di Jakarta.
Mau tak mau aku tersenyum juga. Jadi tak ada yang tahu namamu
sebenarnya?
Somat hanya tahu aku Ending karena kakak selalu memanggil begitu.
Mungkin bos tahu. Tapi bos tidak pernah bertanya. Kawan-kawan sering
mengumbar kejahatan yang mereka lakukan tapi aku tak pernah. Mereka tak
tahu siapa aku, Kak. Bahkan mereka bingung aku dari Sulawesi atau dari
Sumatera.
Dengan berkata begitu sebenarnya Pendi ingin bilang bahwa dia tak akan
mencemarkan namaku. Kenapa dia tertembak? kualihkan pembicaraan.
128
PesanPendi
PesanPendi
Kami mengobrolkan yang lain. Kubilang Nenek Ija sudah meninggal. Dia
terhenyak dan cepat-cepat bilang inalillahi wainaillahi rajiun. Kubilang apa
yang dikatakan Nenek Ija menjelang keberangkatanku ke Jawa dan Pendi
menangis. Penjahat menangis!
Telepon berdering. Siapa yang menelepon menjelang jam 3 dini hari ini?
Aku mengangkatnya. Kalau itu dari pelacur yang kena razia atau dari
penjahat kecil yang tertangkap, akan kubentak dia.
Kau belum tidur?
Itu suara Bang Komang dan ini membuatku gugup. Nampaknya dia
curiga. Untung Pendi diam. Seminar besok menakutkanku, Bang. Aku
susah tidur!
Kau dengan siapa?
Itu bukan pertanyaan tapi sudah tuduhan. Kenapa Bang Komang begitu
peduli dengan siapa aku sekarang? Dengan buku-buku. Kenapa?
Sesaat terdiam namun tak ada tawa di ujung sana. Antong apa artinya?
Pertanyaan itu membuatku semakin gugup. Bang Komang tahu aku tahu.
Antong? kuulangi pertanyaannya dan Pendi terpaku dikursinya. Itu di
mata kuliah apa?
Tak ada kekehan dari seberang. Maksudku, apa arti antong di bahasa
daerahmu? Ayolah, Yo, aku tahu kau tahu!
Apa yang terjadi diseberang sana? Sepertinya Bang Komang sedang
membuktikan sesuatu. Entahlah.
130
PesanPendi
Ayolah
Sudah!
Sambungan diputus. Aku masih termangu. Pendi benar. Bang Komang
memang terlibat. Kata sudah bukan dari Bang Komang. Entah mengapa,
kurasa Bang Komang ketakutan. Apa yang terjadi?
Apa yang terjadi? kubentak Pendi.
Pendi mengambil lagi rokoknya dan menyulut dengan tangan gemetar.
Sangat nampak dia juga tegang. Aku tak tahu pasti, Kak. Namun, kukira,
penyergapan kami tanpa sepengetahuan Bos. Sekarang Bos tahu dan Sang
Konselor dipanggilatau mungkin saja Sang Konselor sedang dengan Bos
untuk menutupi penyergapan namun sekarang Bos tahu. Pendi menyedot
rokoknya. Alasan satu-satunya untuk membenarkan penyergapan adalah
identitasku sudah diketahui. Namun bertanya ke sana-kemari tak seorangpun
yang tahu. Akhirnya dia menelepon kakak.
Sekarang Pendi memandangiku, langsung ke mataku. Andai kakak
bilang tahu Antong, berarti nyawaku sudah tak tertolong. Yang mengejarku
bukan hanya polisi yang dengan mudah disogok, tapi juga Bos. Nyawa
kakak juga dalam bahaya. Mungkin Bos tahu Salman Farizi Sampaka alias
Uyo adalah kakak saya. Ini membuat kakak terlindung. Tapi kalau saya
mati atau lari dengan identitas yang sudah diketahui?
Kenapa Bosmu begitu peduli padaku? gugatku.
Karena bisa saja Bos mengira kuceritakan rahasia kami ke kakak
131
PesanPendi
PesanPendi
PesanPendi
PesanPendi
PesanPendi
forum dan membiarkan mereka bicara tanpa interupsi. Walhasil, dalam satu
jam baru tiga orang di forum yang bertanya.
Saat aku menjawab pertanyaan penanya terakhir, seorang dosen maju dan
membisikan sesuatu ke Dekan. Dekan memanggil Marsa dan berbisik
padanya.
Marsa terdiam agak lama setelah aku selesai. Kukira ini trik. Seminar ini
menarik. Namun, sebelum lanjut, ada yang hendak Dekan sampaikan.
Silahkan, Pak, katanya.
Dekan tak langsung bicara. Ini membuatku penasaran. Aku cemas
seminarku dianggap gagal sehingga harus diulang. Aku bertanya pada Marsa
tapi dia diam.
Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anakku sekalian, akhirnya Dekan bicara.
Kita kehilangan orang besar pagi ini, seorang pendidik dan pelindung
masyarakat kecil. Inalillahi wainaillahi rajiun. Komang Wiraatmaja
kepalaku langsung pening.
Meninggalnya Komang Wiraatmaja telah menginterupsi telenovela di
salah satu tv swasta. Mobilnya melaju terlalu kencang dan menggesek
pembatas tol sejauh dua puluh meter. Dia diduga teler saat mengemudi.
Bang Komang teler? Selama bekerja dan tinggal di rumahnya belum
pernah kulihat Bang Komang menyentuh barang haram itu.
Kuingat telepon Bang Komang tadi malam. Kuingat apa yang Pendi
bilang. Dan sekarang aku yakin Bang Komang memang terlibat dalam
136
PesanPendi
sejumlah persoalan.
Walau begitu, tetap kudoakan dia. Seperti apa pun dia, Bang Komang
tetap bosku. Dia tak pernah menyakitiku. Minimal belum pernah
137
PertemuanJodoh
14
Pertemuan Jodoh
Jodoh itu aneh, terkadang dia berada dihadapan kita tapi kita seperti tak
merasa
(Ansy)
Sesuai instruksi Pendi, aku ke rumah orang tua Harnum. Sebelumnya aku
sempat singgah untuk memberitahu Bi Ona nomor telepon orang tua
Harnum, siapa tahu ada yang mencariku. Jujur, sebenarnya aku agak cemas
polisi mengira aku lari kalau kematian Bang Komang dilakukan
penyelidikan. Juga, kusangka keluarga Bang Komang akan datang
mengambil barang-barang dan mungkin ingin bicara denganku.
Bi Ona dan suaminya benar-benar terpukul. Berulang kali mereka bilang
tak pernah melihat Bang Komang minum. Juga Bang Komang begitu baik.
Ya, memang Bang Komang orang baik, setidaknya aku tak pernah melihat
dia jahat.
Mama Harnum memelukku dan menyatakan turut belasungkawa. Papa
Harnum menawarkan pekerjaan di sebuah kantor hukum di Jakarta, sesuatu
yang benar-benar kantor hukum dengan sejumlah pengacara di dalamnya
dan banyak kasus besar yang ditangani. Aku bilang terimakasih tapi aku
belum ingin dipusingkan dengan persoalan apapun sebelum aku diwisuda.
Mama Harnum sangat setuju denganku.
138
PertemuanJodoh
PertemuanJodoh
PertemuanJodoh
Jakarta. Tentu saja sang bulan kalah. Dia hanya bisa menerangi
tempattempat
gelap di sudut-sudut Jakarta. Kami memilih teras rumah di lantai dua
untuk menikmati indahnya bulan. Harnum telah berganti pakaian namun
modelnya tetap sama dengan tadi, jilbab dengan daster longgar panjang. Aku
merasakan jarak kami yang jauh, apalagi kami duduk berdua dengan dibatasi
meja yang agak panjang. Anehnya, aku merasa damai walau ada jarak yang
memisahkan kami.
Entah berapa lama kami hanya berdiam diri.
Purnama di Kotamobagu rasanya lebih besar dan indah, Yo. Kenapa?
tanya Harnum.
Ya, mungkin di sana lebih gelap, Nu. Itulah mengapa bulan itu lebih
berfungsi dari matahari.
Kenapa?
Karena matahari bersinar siang, padahal siang itu kan terang. Aku
mengutip Nasrudin.
Saya sudah membaca bukunya, sahut Harnum. Tapi menurutku bukan
itu yang membuat bulan menjadi tak indah di sini. Melainkan Bulan kalah
bersaing.
Benar juga, kataku.
Lama kami terpaku menatap rembulan.
Bulan telah ada sejak manusia pertama dibumikan. Seharusnya dia lebih
141
PertemuanJodoh
berharga bagi manusia. Ternyata tidak. Lampu ciptaan manusia yang hadir
berjuta tahun kemudian malah lebih mendapat tempat. Aneh, ya? kata
Harnum. Pandangannya tetap ke bulan.
Ya, begitulah manusia. Dia lebih menghargai ciptaannya daripada yang
Mahapencipta hadirkan. Inilah uniknya ego. Padahal, yang manusia lakukan
hanya berkarya. Manusia merangkai ciptaan Sang Maha-pencipta, balasku.
Apa seperti itu juga manusia dalam berhubungan dengan sesamanya?
Apa yang baru akan mengalahkan yang lama?
Aku tahu Harnum menyindir tapi aku tak tahu maksudnya.
Dia memandangku. Kau kenal Susan?
O, rupanya ini yang disebut yang baru oleh Harnum. Susan, Cina itu,
kan? tanyaku memastikan.
Dia selalu bilang dia orang Indonesia namun kapok dengan Indonesia!
Aku tersenyum miris. Wajah sipit Susan kembali terbayang. Juga apa
yang dia katakan tentang Indonesia yang selalu menganggap orang yang
sepisik dengannya sebagai musuh. Kasihan dia, Nu. Bangsa kita memang
telah berbuat tidak adil padanya.
Harnum menganggukan kepala. Wajahnya menatap bulan. Dia begitu
terkesan dengan pribadimu, Yo. Bahkan dia merasa bersalah pergi tanpa
pamit padamu.
Aku tahu Harnum sengaja menggantungkan kata-kata. Dan aku
membiarkan saja.
142
PertemuanJodoh
PertemuanJodoh
PertemuanJodoh
kau beri nama Nanu, Yo. Saat berjauhan, kalian saling menelepon dan
berbalas surat. Kalian tak tahu sudah lima tahun lebih kalian akrab?
Tak ada yang mengomentari. Aku dan Harnum mirip pesakitan, hanya
tertunduk.
Dan selama itu, yang kutahu, kalian tak menjalin hubungan khusus
dengan siapapun. Kau mungkin dikelilingi perempuan, Yo. Tapi tak ada
yang kau pacari. Atau ada tapi aku tak tahu?
Mengapa aku harus mengulas masalah pribadiku di sini? Kira-kira
begitu.
Mengapa? Mama Harnum nimbrung.
Iya, mengapa? Kawan-kawanku punya pacar dari hampir setiap
demonstrasi atau tempat yang disinggahi. Mengapa aku tidak? Aku sama
sekali tak bicara. Mengapa juga aku harus bicara?
Mungkin aktivitas dan kuliah telah menyita waktumu sehingga kau tidak
sempat memikirkan hal lain? Papa Harnum bertanya.
Mungkin.
Nah, sekarang kau bukan aktivis lagi, dan kau sudah bertemu Nanu.
Adakah perempuan lain dipikiranmu selain Nanu?
Memang tidak ada. Namun aku malas untuk bicara.
Dan kau Nanu? Benar yang kau katakan bahwa kau tak punya pacar di
Australia?
Begitulah.
145
PertemuanJodoh
PertemuanJodoh
PertemuanJodoh
PertemuanJodoh
ini kali pertama kami pacaran, dan hanya dalam beberapa jam ini. Nanti
malam aku akan melamar Harnum pada orang tuanya, paling lambat dalam
seminggu ini kami akan jadi suami-isteri.
Kami memang sengaja berlama-lama pulang agar orang tua Harnum
sudah lengkap ketika kami tiba. Namun, ketika kami pulang, Papa Harnum
belum ada.
Aku mandi berlama-lama, kemudian mematut diri di depan cermin.
Memakai minyak rambut. Mengganti model bersisir. Aku sempat berpikir
akan memakai minyak wangi tapi kok rasanya berlebihan. Kemudian aku
sibuk dengan baju yang akan dipakai.
***
Ketika aku ke dapur, Harnum sedang sibuk. Masakan, entah apa saja
namanya sekarang tersaji di meja. Tak ada yang membantu. Harnum sangat
cekatan. Meja makan telah dia sulap dengan berbagai masakan, bunga,
bahkan lilin.
Tolong tambah kursinya, Yo, empat lagi, pintanya.
Mau ngundang siapa? tanyaku penasaran.
Ya, sekali-kali untuk moment yang penting, seluruh orang di rumah ini
ngumpul, katanya.
Aku mengangguk. Rupanya orang-orang yang telah membantu di rumah
Harnum yang empat orang banyaknya akan diundang makan juga. Ah, andai
Pendi bisa ditemukan. Aku sangat berharap dia akan menghadiri upacara
149
PertemuanJodoh
PertemuanJodoh
PertemuanJodoh
152
GembiradanDuka
15
Gembira dan Duka
Tuhan menciptakan kekontrasan
Malam-siang, kaya-miskin, penguasa-dikuasai, Senang-susah, sedih-gembira,
lembutmarah
Terkadang dia menghadirkannya bergantian, tak jarang dia menghadirkannya
bersamaan
Apa maksud Tuhan?
Walau bahagia, entah mengapa mimpiku buruk semalam dan aku tak bisa
tidur sesudahnya. Dalam mimpiku, kulihat gigiku ditanggalkan paksa walau
sebenarnya tidak sakit. Kata orang kampung, berarti ada keluarga yang akan
meninggal. Aku tak percaya takhyul semacam itu. Namun aku tetap susah
tidur. Badanku pegal semua.
Setelah subuh baru aku merasa mendingan. Aku ingin bercengkerama
dengan keluarga Harnum yang sekarang jadi keluargaku juga namun kantuk
tak bisa aku tahan. Aku pamit untuk tidur. Seperti biasa, mereka
mengizinkan karena memang itu sudah jadi kebiasaanku yang mereka
rasakan.
***
Ketukan di pintu mengagetkanku. Mungkin Harnum. Masuklah, tidak di
kunci, kataku.
Pintu dibuka. Astaga, ternyata bukan Harnum melainkan bapaknya.
153
GembiradanDuka
Biasanya beliau langsung mengomentari apa pun yang kulakukan. Kali ini
tidak. Wajahnya seperti tersaput mendung. Ada apa?
Apa ini terkait dengan rencanaku dan Harnum. Apa Harnum sudah
mengatakan pada beliau? Apa beliau marah dengan rencana kami untuk
membalas dendam?
Sejak kapan kau tahu Pendi merampok di Jakarta? tanyanya tanpa
menyuruhku duduk.
Aku terlalu kaget dengan pertanyaan itu. Kenapa? aku balik bertanya.
Papa Harnum tak menjawab. Dia memandangiku. Ada kemarahan dari
sorot matanya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Dengan lesu aku duduk di
kursi depan meja belajar. Kuceritakan pertemuanku dengan Pendi di
pelabuhan sampai di kantor Bang Komang, kuulang apa yang dikatakan
Pendi tentang dirinya. Tentang uang kiriman Pendi sengaja kusembunyikan.
Kupikir Papa Harnum ingin memanfaatkanku untuk menangkap Pendi
karena mungkin saja Pendi telah membuat ulah lagi yang meresahkannya.
Aku siap membujuk Pendi untuk menyerahkan diri dan uang itu biar menjadi
modalnya setelah keluar dari penjara.
Sampai seberapa jauh kau tahu tentang caranya bekerja?
Hanya itu yang dia katakan. Kupandangi Papa Harnum. Beliau
memandangi tempat lain. Dengar, Pak, kataku dengan penekanan pada
kata Pak, ini membuat dia memandangiku, rupanya keformalanku
membuatnya kaget. Aku akan membujuknya untuk menyerahkan diri. Yang
154
GembiradanDuka
penting tunjukan di mana dia berada karena itu yang aku tak tahu.
Aku tahu di mana dia. Tapi kau tak akan dapat membujuknya.
Kenapa?
Yo, ke sinilah, teriakan Mama Harnum mengagetkanku. Tanpa
mempedulikan Papa Harnum aku turun.
Aku memelototi tv yang ditunjuk Mama Harnum. Beritanya tinggal
separuh. Yang kusaksikan hanya keterangan dari Kapolres Jakarta Timur
tentang siapa Effendi Kokait alias Pendi alias Antong dengan latar belakang
rumah si Bos yang menurut keterangan itu kembali dirampok. Ketika kamera
terarah ke gumpalan darah, si reporter bilang: Perampok besar yang licin ini
sekarang telah mati
Aku hanya dapat menatap layar televisi. Berita itu tanpa gambar. Hanya
keterangan-keterangan. Aku tak yakin Pendi telah mati.
GembiradanDuka
ditutupi dengan kain putih, yang dua tidak namun tak kukenalisangat jelas
mereka korban kecelakaan.
Seakan sudah sangat kenal, salah satu polisi membuka selubung salah
satu mayat dari kepala sampai dada. Benar itu Pendi. Nampaknya mayatnya
sudah dibersihkan, tapi lubang bekas peluru di keningnya masih terlihat.
Mengapa senjata langsung diarahkan ke kening?
Tolong buka semua, Pak, kataku pada Polisi yang terus mengawasi.
Dua polisi itu saling pandang, kemudian melihat ke Papa Harnum. Papa
Harnum menyuruh menuruti dengan anggukan. Selubung Pendi dibuka.
Benar, mayat Pendi telah dibersihkan. Namun setidaknya ada empat lubang
peluru ditubuhnya.
Gila! Ini pembantaian!
Bayangan pertemuan dengan Pendi, guyonan entengnya tentang dunia
kelamnya, harapan-harapannya, segala bantuannya. Semua itu membuat air
mata jatuh tak terasa.
Mama Harnum memelukku dengan kasih sayang seorang ibu. Tak usah
ditangisi, Yo. Memang beginilah jalan hidup yang dia pilih, kata beliau.
Pilihan hidup? Siapa yang memilih jadi perampok? Namun aku terlalu
lelah untuk berkata-kata.
Benar Naisbith, dunia memang sudah seperti dilipat. Sesampai di rumah,
Oom Iman telah menunggu di seberang. Harnum yang mengangkat telepon
memberi isyarat dengan bibir. Aku segera mengambil telepon darinya.
156
GembiradanDuka
157
Akhir
Akhir
Luar biasa. Pendi penjahat namun pemakamannya melebihi pejabat.
Kapolres dan Dandim datang, juga beberapa pejabat. Mungkin ini pengaruh
dari Letnan Kolonel Arif Pambudi alias Papa Harnum. Masyarakat juga
tumpah, jelas mereka ingin melihat Effendi Kokait alias Pendi, penjahat
yang telah mempopulerkan daerah terpencil ini, Bolaang Mongondow,
sampai ke Jakarta.
Aku yakin banyak pelayat mencemooh Pendi, juga mencemooh kami,
anggota keluarga besar Kokait. Namun, ketika Papa Harnum tampil, air mata
banyak yang mengalir, isak tangis terdengar di mana-mana.
Dengan lugas beliau menguraikan perjalanan hidup Pendi. Mulai dari
kasus di pertambangan illegal Doloduo, mencari penghidupan di Jakarta
yang mencari yang haram saja susah terlebih yang halal, terlebih bagi orang
terbuang seperti Pendi. Berulang kali beliau bilang bahwa Pendi hanya salah
satu korban aparat. Pendi korban dari perilaku buruk aparat dan pandangan
negatif masyarakat, kata Papa Harnum. Tak ada yang bercita-cita jadi
penjahat namun tanpa sadar kita membuat orang jadi jahat! katanya marah.
Di sudut, diantara keluarga besar dan beberapa undangan, air mataku
mengalir.
***
Setelah pemakaman kuajak Harnum duduk di sudut.
158
Akhir
Akhir
160
161
162
163
164