Anda di halaman 1dari 8

NAMA : ENDAH SULISTYANING AINI

KELAS : PERTANIAN II A
NIRM : 07.1.2.17.2253
MATA KULIAH : BAHASA INDONESIA
DOSEN PENGAMPU : Moh. Sazali Harun, SST, MM

1. PANTUN

Mencari emas mencari berlian


Yang ditemukan semua murni
Di STPP dapat ilmu pertanian
Jangan lupa diamalkan untuk petani

2. PUISI

PAJALE
Oleh : Endah Sulistyaning Aini

Indonesia
Yang katanya negara agraris
Yang katanya memiliki hektaran sawah
Nyatanya?

Indonesia
Kini kementerian pertanian
Mencanangkan program
Sebuah program terbaik untuk negeri

PAJALE
Padi jagung kedele
Itu lah dia
Sebuah program terbaik untuk negeri
3. MAJAS

1. Majas perbandingan
 Litotes : Mari mampir ke gubuk kecilku.
2. Majas sindiran
 Ironi : Larinya kencang seperti jalannya siput.
3. Majas penegasan
 Pleonasme : Saya sudah mencarinya, hingga naik ke atas
menggunakan lift.
4. Majas pertentangan
 Kontradiksi interminus : Semua bisa mengerjakan soal ini, kecuali
mahasiswa kedokteran.

4. RETORIKA

Assalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatu


Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua.

Yang terhormat bapak Moh. Sazali Harun, SST, MM


Yang saya sayangi rekan rekan pertanian II A

Puji syukur marilah kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmad
dan Hidayahnya kepada kita, dan tak lupa pula mengucapkan Do’a beserta Salam
kepada Nabi Junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari alam yang tak berpendidikan kealam yang berpendidikan, seperti yang kita
rasakan saat sekarang ini.

Hadirin yang saya banggakan,


Perbaikan kualitas bangsa harus ditempuh dan terutama melalui pendidikan.
Pendidikan itu proses yang panjang, yang tak henti-hentinya untuk mencapai satu
tujuan dan terbuka untuk menerima ide-ide dan konsep-konsep baru. Itu makna
pendidikan, sehingga suatu saat hasil dari pendidikan itulah yang akan menumbuhkan
budaya baru dengan manusia yang cerdas.

Selama manusianya cerdas maka ia mempunyai kebijakan dalam jiwanya. Barulah


setelah itu dia mampu menguasai sains dan teknologi. Budaya baru itulah yang
menjadi kontra budaya yang kemudian masuk ke dalam tatanan menjadi masyarakat
(budaya) alternatif yang akan dipilih oleh bangsa ini.

Semuanya melalui pendidikan yang tertata rapi: pendidikan yang mampu


mencerdaskan, mampu menumbuhkan jiwa yang bajik, dan menguasai sains dan
teknologi. Itulah nanti yang akan mengubah bangsa Indonesia menjadi Indonesia
baru.
Hal ini tampaknya akan menjadi ”momok” bagi pendidikan di Indonesia. Belum lagi
persoalan kekurangan tenaga pendidikbelum terselesaikan, masalah sarana pendidikan
yang tidak memadai muncul, dan menyusul persoalan mahalnya biaya pendidikan.

Kita masih merasa sebagai bangsa yang tertinggal dalam berbagai hal dibandingkan
dengan bangsa lain. Oleh karena itu satu-satunya jalan untuk mencerdaskan bangsa
adalah dengan meningkatkan pendidikan demi untuk menjadikan bangsa yang cerdas
melalui sistem pendidikan nasional yang menyeluruh dan terencana.

Namun untuk menuju ke arah itu, jalan yang ditempuh sangat panjang dan berliku
karena persoalan pendidikan sangat terkait dengan faktor lain, termasuk masalah
ekonomi, keamanan dan masalah sosial lainnya. Para guru pun diharapkan mulai
mengubah cara belajar kepada siswa. Para guru pun tidak boleh lagi memberikan
tekanan kepada siswa seperti pelajaran menghafal dan memberikan soal pilihan ganda
(multiple choice) karena bisa berdampak pada pembentukan kepribadian.

Peran pendidikan, sebagai sarana pemberdayaan, harus secara sadar menyiapkan


peserta didik dalam kehidupan masyarakat baik sebagai individu maupun anggota
masyarakat. Pemberdayaan hanya mempunyai makna jika proses pemberdayaan
menjadi bagian dan fungsi dari kebudayaan.

Oleh karena itu, pendidikan harus menumbuhkan jiwa independensi, menggerakkan


pernyataan diri dan para pendidik mengajar siswa untuk hidup dalam harmoni dengan
menghargai adanya perbedaan.
Ke depannya, sistem pendidikan harus berubah dari instruksional menjadi
motivasional berprestasi, berkreasi, dan berbudi pekerti.

Mungkin itu saja pidato singkat yang biasa saya sampaikan pada saat ini, nanti di
kesempatan selanjutnya akan di bahas lebih dalam lagi sehingga kita dapat
mengetahui cara bagaimana menjalankan system pendidikan yang lebih bermutu dan
terutama mencerdaskan kehidupan bangsa yang lebih menyeluruh.

Mohon maaf apabila ada salah kata, terimakasih atas perhatiannya.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu


5. CERPEN

PULAU TERSEMBUNYI
Oleh : Endah Sulistyaning Aini

Saat sang rembulan berganti sang mentari, aku memulai hari baru di SMA Citra
Bangsa. Disini aku mulai menari bersama rerumputan, bernyanyi bersama burung, berjalan
diatas paving segi lima, dan tak lupa tertawa bagai tak mengenal muka kusut layaknya koran
bekas. Oiya, aku Elmira Shanum, panggil saja aku Mira. Mulai hari ini, aku duduk di bangku
kembang gula, emmm mengapa aku menyebut “kembang gula?” karena kelasku duduk di
kursi “bos”, yakni kursi empuk yang umumnya diduduki oleh para bos petinggi bangsa.
Memulai hari ini, aku pergi ke karpet hijau. Tsaah karpet hijau, apaan? Maksudnya
lapangan sepak bola, niatnya kesini aku mencari Eka, teman SMPku dulu. Tak bertemu Eka,
aku malah bertemu dengan Sandi teman bau kencurku dulu.
“Hai, Mir!,”
“Ohya, hai Ka!,” sapaku tanpa melihat siapa orang yang menyapaku.
“Ka? Kau lupa denganku nampaknya Mir?” bingungnya.
“Ya Ampun! Aku kira kamu Eka, habis aku janjian dengannya disini subuh tadi,
ehm… bentar deh bentar, kamu Sandi kan? Anak blok B yang sering main petak umpet
sampai blok I di perumahan ujung jalan?” kejarku.
“Ooh, masih ingat rupanya kau denganku.”
“Tentu, aku rindu dengan kau, lama tak jumpa kita San.”
“Haha, kita memang sudah lama tak bertemu, kayaknya kita sekelas deh, gimana
kalau ngobrol sambil otw kelas aja.”
“Oh yasudah,iya.”
Benar saja, takdir memang tak pernah salah, orang yang ku rindukan selama ini
akhirnya kembali. Sandi! Iya Sandi! Teman akrabku semasa bau kencur, iya semasa masih
ingusan gitu. Tak lama berselang dari pembicaraanku bersama Sandi, Eka dan Mila muncul
menuju karpet hijau dari tempat teduh sepeda.
“Mir!”
“Hai! Aku sudah menunggu kalian lama.”
“Maaf, kami habis dari kelas meletakkan tas dulu. Oh ya Mir! Ini siapa?”.
“Ini Sandi Nugroho, panggil aja Sandi. Dia ini temanku waktu masih bocah ingusan.”
“Hai Sandi! Aku Mila, dan ini Eka.”
“Hai! Aku Eka.”
Teeeeet… bel masukpun berbunyi.
“Masuk tuh! Yuk masuk aja!” Ajak Sandi.
Setelah lama kami menunggu, akhirnya tiba saat bel tua itu berdering, ini yang kami
tunggu, iya bel pulang. Kami mengidolakan suara bel pulang. Setelah bersiap pulang, kami
berempat bergegas pergi dari kelas dan mampir sebentar ke lobby. Kami sengaja mampir ke
lobby untuk sebentar saja memanjakan mata untuk menengok mading ekstrakulikuler disini.
Benar saja ekstrakulikuler yang aku idamkan ada di SMA ini.
“Wohooo… Aku mau masuk ekskul ini aja deh!”
“Kamu mau masuk apa Mir? PMR? Pramuka? Atau jangan jangan PASKIBRA? Itu
kan ekskul yang lumayan trend disini!”
“Bukan, pasti kamu mau masuk futsal cewek kan Mir?”
“Apasih kalian! Bukanlah, tau sendiri kan aku orangnya nggak suka sama semua yang
kalian sebutin tadi!,” jawabku jengkel.
“Aku tau dan ini pasti benar, dari dulu kamu suka banget sama alam, kamu mau
masuk PA kan?” Sandi menebak.
“Hmm, iya deh. Kamu selalu hebat nebak apapun San!”
“Gimana kalau kita berempat masuk PA aja?” ajak Sandi.
“Iya tuh boleh juga” jawab kita bersama.
Akhirnya kami memutuskan untuk bersama di ekstrakulikuler PA. Apa sih PA itu?
PA itu Pecinta Alam, ya kerjaannya main terus. Eits, kalau PA di sekolah kami ada misinya
lho, misinya adalah membantu lingkungan menjadi baik dan lebih baik lagi.

Keesokan harinya di sekolah


Aku merasa aneh. Entah, mengapa aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang.
Tapi, ketika aku berbalik badan tak ada seorangpun dibelakang leherku. “Ah yasudahlah.”
kataku dalam hati. Terkejut aku, ketika berbalik badan ada dua orang yang berada di depan
mataku. Benar saja ada yang mengikutiku sejak tadi. Siapa lagi kalau bukan Fandi dan Nina,
mereka seringkali menjahili kami bertiga semasa SMP.
“Tumben sendirian!” bentak Mila.
“Apasih kalian? Nggak usah ngikutin aku deh.”
“Hello! Ngikutin? Kami disini juga bayar, serah kita dong mau lewat mana.”
“Iya deh iya, terserah kalian aja deh.” Sambil berlalu meninggalkan mereka.
“Eh, dasar ya! Belagu lu!”
Jam istirahat hari ini, aku sempatkan pergi ke ksekertariatan PA untuk melihat info
tentang liburan musim ini. Ketika sudah memijakkan telapak kaki di lantai es milik
ksekertariatan PA, aku melihat sesosok Sandi yang berdiri di bagian sisi kiriku. “Ngapain
disini San?” “Aku, aku lagi liat jadwal liburan musim ini. Kamu sendiri ngapain?” “Ngapain
lagi kalau nggak lihat jadwal juga.” Seusai pembicaraan singkat, kami memutuskan untuk
pergi ke kantin bersama, dan di kantin kami bertemu Eka dan Mila yang kelihatan sedang
asyik berduaan membicarakan hal jenaka bersama.
“Woy! Asyiknya kalian!”
“Iyalah, anak keren ya gini. Btw darimana kalian?”
“Kami dari ruang PA, jadwal liburan musim ini, kita punya misi ke Pulau
Tersembunyi!’
“Serius kamu San? Asik dong!” Eka terlihat gembira.
“Iya, beneran Ka. Eh tadi pagi aku ketemu Fandi sama Nina, denger denger dia juga
ikut PA.”
“Apa? Wah kayaknya lebih asyik nih, setelah SMP kita sering dibully, kita harus
balik bully mereka.” Tawa jahat Mila.
“Aku nggak tahu sih, kalian bicarain apa dan siapa, tapi ingat dong misi utama kita
juga buat lingkungan.”
“Nah! Ini nih! Ini! Misi kita.”
Sedang asyik mengobrol, benar saja Fandi dan Mila mengacaukan kami lagi.
“Heh! Geng udik!”
“Apaan sih? Kurang kerjaan kamu mau bully kami.”
“Lihat aja, persahabatan kalian akan hancur sebentar lagi!”
“Nggak, nggak mungkin kita bakal pecah, kami punya keyakinan persahabatan, dan
kami nggak akan ngebiarin persahabatan kita pecah!” bentakku.
“Percaya nggak percaya, buktikan sebentar lagi.”

Tiga bulan kemudian


Musim liburan yang kami tunggu-tunggupun datang, liburan hari ke-tiga kami
berangkat ke Pulau Tersembunyi itu. Ah yang benar saja, si Fandi dan Nina ikut bersama
rombongan. Ketika sesampainya di Pelabuhan, kami naik persahu dan menikmati sensasi
selama perjalanan. Tak terasa pulau tersembunyipun sudah kelihatan aroma wanginya. Ketika
kami menikmati, Fandi dan Nina memulai aksi jahilnya. Dengan sengaja mereka meletakkan
surat di ranselku dan milik Sandi. Sesampainya di lautan pasir, kami mulai membangun
rumah kedua untuk berteduh beberapa hari ini, di saat istirahat Sandi membuka tasnya
melihat suratnya dan membaca isi suratnya “San, sebenarnya aku merindukanmu bukan
untuk arti sahabat kita, aku rindu padamu karena adanya rasa haus cintamu, sejak dulu kita
bersama dan kau selalu menjagaku, ketika kita kembali bersama beberapa bulan ini, mungkin
aku tak lagi merasakan bahwa aku menyayangimu hanya sebagai sahabat, aku
menyayangimu lebih dari itu San, aku harap kau mengerti dan faham apa maksudku. Salam
sayang, Mira”
“Mira? Apa benar ini Mira? Apa dia benar-benar begitu? Aku tak begitu paham, tapi
aku sudah menganggapnya sebagai adikku sendiri, ah yasudahlah.”
Tak selang lama aku beristirahat untuk meredakan lelahku, ketika aku membuka
ransel, ku temukan sepucuk surat. Dan aku juga membacanya perlahan “Mir, apa kamu nggak
tahu? Kalau kami sudah nggak kuat sahabatan sama kamu! Kami udah putusin kalau kita
bakal misah dari kamu, setelah Sandi ada disekitar kita, kamu juga berubah! Kami yang
kesal, Eka dan Mila”
“Apa maksud mereka? Aku sayang sama mereka juga sama kayak aku sayang ke
Sandi bagai Sahabat. Ada apa ini? Pasti ini ada salah paham, Oh God!”
Mila dan aku berbeda tenda, jadi kami tak tahu masing-masing sedang apa. Aku
mencoba menghubunginya, tapi tak ada sinyal disini. Aku pasrah, aku hanya bisa berdoa agar
kami tetap bisa bersama dalam ikatan persahabatan. Entah itu aku dengan Sandi ataupun aku
dengan Mila dan Eka.
Di rintangan pertama aku, Sandi, Mila dan Eka berada di satu tim. Aneh, Sandi makin
dekat denganku, sementara aku memikirkan hati Eka dan Mila. Akhirnya aku melampaui
jalan panjang hanya dengan Sandi karena tak kuasanya aku melihat Mila dan Eka karena
surat itu. Sudah dua hari kami tidak berbincang-bincang.
Di balik pohon besar, Mila dan Eka bertemu. Mereka bersama membicarakan aku
yang tak pernah ngobrol degan mereka. Mereka merasa janggal.
“Ada apa ya dengan Mira? Sudah lama aku tidak ngobrol dengannya.”
“Dia sekarang jadi dekat sekali dengan Sandi. Apa karna itu ya Mil?”
“Entahlah, aku bingung. Tapi aku merasa Mira itu dipengaruhi sama Sandi.”
“Aku juga ngerasa gitu sih. Dia bawa pengaruh jelek ke Mira. Kita harus ngobrol
sama Mira tentang masalah ini.”
“Iyaudah nanti aku ajak dia ngobrol.”
Disaat senggang aku dipanggil Mila dari kejauhan. Ada perlu katanya.
“Ada apa Mil? Kamu udah nggak marah sama aku?”
“Loh? Kok aku sih? Bukannya kamu yang nggak mau ngobrol sama aku dan Eka?”
“Nggak, sini deh aku tunjukin surat! Ini kamu kan yang ngirim ke aku?”
Sebelum pembicaraanku dengan Eka dan Mila selesai, tiba-tiba Sandi datang dengan
Fandi dan Nina yang sudah terpengaruh akalnya dengan banyak duri kejahatan.
“Sudah kuduga hari ini akan terjadi! Sekarang persahabatan kalian hancur kan?” ejek
Nina.
“Heh! Kalian apakan Mira, sehingga Mira setiap hari menangis dihadapanku karena
ulah kalian!”
“Kami? Tanya saja Mila mengapa kami begini San! Jangan asal tuduh kamu!”
“Sudah-sudah, aku nggak apa apa kok teman-teman, mungkin ini hanya salah paham,
sebenarnya aku tau Nina dan Fandi yang melakukan ini semua.”
“Bagaimana kamu bisa menuduhku dan Nina, sementara kamu aja nggak ada bukti!”
“Adak kok! Ini (menunjukkan surat)! Ini apa kamu yang nulis Ka? Mil? Bukankan?
Aku percaya ini bukan kalian.”
“Tunggu tunggu ini tulisannya sama dengan tulisan yang ada di suratku dari kamu
Mir! Katanya kamu selama ini sayang sama aku lebih dari sahabat!”
“Hah? Jadi sebenarnya ada apa? Kenapa kalian membuat kami bingung?”
“Sudah! Jangan percaya omongan mereka Mil, Ka! Mereka itu hanya bersekongkol
agar mereka bisa pacaran atas nama sahabat!”
“Aku tahu sekarang! Kepercayaan kami sebagai sahabat tak akan pernah pudar! Aku
mengerti, benar Fandi dan Nina yang menancapkan duri luka diantara kita San, Mil, Ka!”
“Dan aku juga tahu, kalau kamu nggak mungkin punya ada perasaan kayak gitu ke
aku Mir. Sekarang kamu Fan, Nin. Nggak usah ganggu persahabatan kami!”
“Ya, kalian memang rekat sekali. Kami minta maaf karena kami sudah berbuat salah
kepada kalian.”
Setelah kami memafkan mereka, kami bergegas pergi untuk menyiapkan peralatan
menjelajah esok hari. Sebenarnya inti dari Pulau Tersembunyi itu bukan di pulau dimana
kami menjelajah, tapi tentang isi surat yang tersembunyi di tasku dan Sandi yang akhirnya
membuktikan bahwa kami itu sahabat yang mempunyai rasa keyakinan yang tinggi terhadap
satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai