Anda di halaman 1dari 217

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruhnya isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Ketentuan pidana Pasal 72 UU Nomor 19 tahun 2002

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksuddalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Nico Andrianto
AUSTRALIA Dari Dekat,
Pengala man dan Tips Hidup
Nico Andrianto

Penyunting: Sinta Nisfuanna


Desain & Layout: Eka Pinsi Dintha

Perum. Depok Maharaja Blok P14 No. 4.


Pancoran Mas, Depok–Jawa Barat  021-77880581
 admin@indie-publishing.com | www. Indie-Publishing.com

Cetakan Pertama, Juni 2013


ISBN : 978-602-281-001-8

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Australia Dari Dekat; Penyunting: Sinta Nisfuanna
Depok: Indie Publishing, 2013; xii + 205 hlm; 14 x 21 cm
I. Judul II. Nico Andrianto
Nico A n dri a nto v
Persembahan

K u perse mba hka n bu ku ini kepa da:


Michaelia Rania Hayrunnisa,
ya ng terla hir di Indonesia, 16 Nove mber 2012,
ka ren a peru ba ha n renca n a di Au stralia,
ka ren a kesibu ka n ora ngtu a nya,
terma su k men uliska n bu ku ini .

vi Pe rse m ba h a n
Kata Pengantar

A
lhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT atas selesainya penulisan buku “Australia dari Dekat:
Berbagi Pengalaman dan Tips Hidup” ini. Dari beasiswa ADS, penulis
berkesempatan tinggal dan belajar di Australia, sesuatu yang tidak
setiap orang bisa merasakannya. Melalui buku ini, penulis ingin
berbagi pengalaman, suasana, dan kehidupan di Australia yang
diramu dengan latar belakangnya sebagai mahasiswa Master of
Public Policy di ANU.
Buku yang ada di tangan pembaca ini merangkum
pengalaman-pengalaman menarik tersebut. Pembaca akan
diajak penulis untuk menyelami sejarah, memahami budaya,
tata pemerintahan, menelusuri jalan-jalan dan keindahan
kota-kotanya, mendaki ke puncak ketinggian menaranya,
merasakan segar alam lingkungannya, larut dalam hiruk-pikuk
pasar sosial dan budayanya, mencicipi dunia akademisnya,
menelusuri lorong alam pikiran dan spirit warganya, menengok
komunitas muslimnya dan bahkan mengumpulkan ceceran
jejak kisah dari rubbish bin-nya.
Inspirasi buku ini berasal dari peristiwa-peristiwa
keseharian yang dirasakan sendiri oleh penulis, dari pengalaman
menjadi cleaning service dan casual work lainnya, bertemu

K at a Pe n ga nt a r vii
dan bicara dengan perdana menteri Australia, diwawancarai
Radio Australia, serta tentu saja, penjelajahan berbagai sudut
kota-kota, tempat-tempat menarik, serta interaksi budaya
yang terjadi. Warna-warni pengalaman tersebut mengusung
tema-tema Australia dari Dekat, Pengalaman di ANU, Islam di
Australia, dan tips hidup serta keunikan Australia.
Pengalaman selama hidup dan menempuh studi di negeri
kanguru tersebut penulis tuangkan dalam artikel-artikel
dengan tema yang berbeda-beda. Artikel-artikel tersebut
memperoleh sambutan yang antusias di Kompasiana,
Hidayatullah.com, Koran Fajar Australia, Majalah Potret, Buku
FLP Australia dan berbagai blog pribadi. Sebagai buku, tema-
tema tulisan tersebut sudah bisa mewakili gambaran utuh
tentang negeri koala namun dengan “resolusi pemotretan”
yang tinggi. Tak lupa penulis lampirkan juga berbagai foto
koleksi yang relevan untuk mendukung deskripsi artikel
tersebut.
Melalui buku ini penulis ingin agar pengalaman berharga
tersebut bisa dinikmati oleh sebanyak mungkin pembaca.
Komentar-komentar yang penulis terima atas berbagai tulisan
tersebut di berbagai media elektronik mendorong penulis
untuk mengumpulkannya dan menghidangkan kepada Anda.
Semoga kumpulan duapuluh delapan artikel bisa memberi
inspirasi bagi para pembaca sekalian.
Mungkin beberapa di antara Anda ingin mengunjungi,
belajar, atau bekerja di Australia suatu hari nanti. Untuk
Andalah buku ini khusus saya tulis. Bagi Anda yang tertarik
ingin mengetahui seluk-beluk berbagai negara, maka buku ini
adalah inside story dari orang yang pernah tinggal di Australia.

viii K at a Pe n ga nt a r
Semoga buku; “Australia Dari Dekat: Berbagai Pengalaman dan
Tips Hidup” ini juga bisa menjembatani perbedaan budaya
antara Indonesia dan Australia.
Melalui media ini, tak lupa saya ingin berterima kasih
kepada AUSAID atas Australian Development Scholarship-
nya, Iwan Triyuwono dan Barbara Wiechecki atas inspirasinya,
Thoso Priharnowo atas review naskah awal, Handy Asikin
dan Ade Isyanah atas supportnya, teman-teman di Crawford
School of Economics and Government Faisal Jabbar, Didik
Mulyanto, Marudut Napitupulu dan Herry Indratno atas
pengalaman bersama, Irma Handayani atas komentarnya,
Norman Abjorensen yang mengunjungi blogs saya, Wiwied
Mulyadi dan Dian Islamiati Fatwa atas bantuannya. Akhirnya,
ungkapan kasih yang dalam saya sampaikan kepada istri
tercinta Alvien Nur Amalia dan putraku, Muhammad Al Fatih
Paramayodha, yang menemani mengisi hari-hari yang penuh
warna di Australia dan dengan sabar memberi waktu saya
menuliskannya untuk Anda.

Jakarta, 04 Mei 2013

Nico Andrianto

K at a Pe n ga nt a r ix
Daftar Isi

Persembahan...................................................................... vi
Kata Pengantar.................................................................... vii
Daftar Isi.............................................................................. x 

  1. Patriotisme Australia, Pandangan Seorang Indonesia..... 1
  2. Sistem Pemerintahan Australia, Sebuah Refleksi.........` 9
  3. Australia dari Dekat: Kehidupan Sehari-hari................. 17
  4. Australia dari Dekat: Berlalu Lintas............................... 25
  5. Radio Australia............................................................. 33
  6. Etos Australia................................................................ 39
  7. Museum-Museum Australia......................................... 47
  8. Belajar dari Pengelolaan Alam Lingkungan di Australia..... 55
  9. Makanan Indo di Oz...................................................... 63
10. “Duit Ostrali”................................................................ 69
11. Melbourne, Sydney, atau Canberra,
  Terbaik untuk Kuliah?................................................... 77
12. Merasakan Kuliah di Australia...................................... 85
13. Belajar dari Kosmopolitanisme di ANU........................ 93
14. Memimpin dengan Kerendahan Hati........................... 99
15. Festival Indonesia di Canberra, Australia...................... 105
16. Pagelaran Wayang Kulit di National Gallery of Australia... 111
17. Virus Narsis dari Canberra............................................ 119
18. “Babi Halal” dan Multikulturalisme di Australia........... 127

x Daft a r Isi
19. Yarralumla Mosque, Masjid Segala Bangsa.................. 135
20. Ramadhan Ceria Muslim Canberra............................... 141
21. Protes-Protes di Negeri Kanguru.................................. 147
22. Balai Bahasa, Soft Power Indonesia.............................. 155
23. Buku dan Transmisi Ilmu di Australia............................ 161
24. Diaspora Orang-Orang Nusantara................................ 167
25. The Cleaner.................................................................. 175
26. Pelatihan Menulis di Canberra..................................... 181
27. Tips Hidup di Australia.................................................. 187
28. Yang Unik-Unik di Australia........................................... 197

Tentang Penulis.................................................................. 203


qqq

Daft a r Isi xi
Patriotisme Australia:
Pandangan Seorang Indonesia

S
etiap 25 April Australia menggelar ANZAC parade di depan
War Memorial, lima menit jalan kaki dari unit (rumah) saya
di bilangan Campbell, Canberra. Pada hari tersebut, Perdana
Menteri Australia beserta segenap veteran dari berbagai angkatan
dan generasi berkhidmad untuk sebuah peristiwa besar.
ANZAC day adalah peringatan kekalahan Australia
terhadap Turki di tahun 1915 pada pertempuran di Teluk
Gallipolli dengan korban sebanyak 8.709 pasukan. Australia
yang bertempur bersama Inggris, Perancis dan British India

Nico A n dri a nto 1


untuk menghancurkan Turki Ottoman (sekutu Jerman)
tergabung dalam ANZAC (Australian and New Zealand Army
Corps). Meskipun menderita kekalahan, peristiwa tersebut
diperingati sebagai hari kepahlawanan yang turut membentuk
entitas bangsa muda bernama Australia.
Di War Memorial dengan api abadi di pelatarannya, ditulis
nama-nama pasukan Australia yang tewas di berbagai konflik di
dunia, termasuk daftar korban dalam konfrontasi di Kalimantan
Utara. Catatan tentang para korban perang Australia juga saya
saksikan di Shrine of Remembrance, Melbourne dengan bangunan
menyerupai candi dengan tulisan “Greater Love Hath No Man” di
dalamnya yang akan tersinari cahaya Matahari dari puncak the

2
shrine pada jam 11 tanggal 11 bulan 11 (saat Jerman menyetujui
gencatan senjata pada sekutu). Jika di dalam War Memorial
dipajang berbagai peralatan perang dan memorabilia di berbagai
konflik dalam penataan yang excellent, di the shrine dipamerkan
panji-panji bendera pasukan serta berbagai bintang jasa para
pahlawan Australia.
Penghargaan terhadap tentara yang pernah berjuang dan
bertugas demi negara sangat tinggi di Australia. Mereka yang
sudah tua tetap dihormati dan diposisikan di tempat terhormat.
Anak-anak remaja berpakaian ala tentara juga terlihat mengikuti
parade pasukan dan turut dalam peserta upacara. Setelah pidato
Perdana Menteri Kevin Rudd, disusul dengan devile pasukan
dan diakhiri dengan lintasan pesawat jet tempur (FA-18) yang
menggelegar.

Australia menghargai jasa warganya yang telah rela bertaruh


nyawa demi negaranya dengan mencukupi kesejahteraannya yang
diurus oleh Department of Veterans’ Affairs. Meski kebijakan
mengirimkan tentara ke berbagai daerah konflik sejak perang
Vietnam bisa diperdebatkan dan bahkan mendapat oposisi

Nico A n dri a nto 3


di dalam negara Australia sendiri, cara pemerintah Australia
memperlakukan veterannya patut diapresiasi.
Dalam sebuah parade ANZAC day, bukan hanya para
veteran dari orang Australia yang turut serta, namun juga
diantaranya veteran dari Bangsa Vietnam dan Korea. Tak lupa
mereka didudukkan di panggung kehormatan. Terlihat jelas dari
ekspresinya, mereka merasa sangat dihargai di Australia, meski di
negeri asal mereka boleh jadi sebaliknya.
Pada tur ke dalam bangunan War Memorial saya juga melihat
orang-orang Turki turut hadir di acara ANZAC day tersebut. Entah
apa yang mereka rasakan pada hari itu. Memang, untuk mengenang
peristiwa besar tersebut didirikan masing-masing Kemal Attarturk
Memorial di Canberra, ANZAC cove di teluk Gallipoli Turki.
Pada Perang Dunia II, Australia masih menjadi anggota dari
aliansi negara-negara sekutu. Hal ini “wajar” mengingat Australia
adalah bangsa “Eropa” di kawasan Asia. Doktrin Australia sebagai
power holder di Pasifik “mengharuskan” Australia berperang
menghadapi serbuan kekuatan imperialis Jepang saat itu. “Our
first naval victory” dalam peperangan laut melawan Jepang turut

4
menaikkan kepercayaan diri Australia, yang diabadikan dalam
bentuk koleksi kapal perang, film, dan multimedia rekonstruksi
pertempuran laut yang menarik di dalam War Memorial tersebut.
Yang ingin di-framing serta ditransfer dalam museum perang
tersebut adalah “mental juara” para pendahulu.
Dalam sebuah diskusi dengan dosen di kampus, terungkap
bahwa Australia tidak akan lepas dari orbit Amerika Serikat,
karena posisi geopolitiknya yang sudah given. Ketakutan Australia
akan “bahaya kuning dari utara” masih ada, sehingga banyak
kebijakan perang dan damai Australia harus mengikuti para
aliansinya tersebut. Boleh dikata kebijakan untuk berperang
di Korea, Vietnam, Iraq, dan Afghanistan saat ini bukan semata
sebagai ekspresi ungkapan “right or wrong is my country”, namun
juga terkait erat dengan kepentingan Australia di kawasan.
Kini Australia telah menjelma menjadi negara multikultur
dengan lebih dari 8,7 persen penduduknya berlatar belakang
Asia (sensus 2006). Beberapa Perdana Menteri Australia seperti
Paul Keating dan Kevin Rudd juga menginginkan Australia lebih
dekat dengan Asia. Meski belum berhasil, upaya Australia menjadi

Nico A n dri a nto 5


Republik yang terlepas dari Monarkhi Inggris telah menjadi isu
politik penting. Australia terus berproses menjadi sebuah negara
sejak pendaratan Kapten Arthur Phillip pada 26 Januari 1788 yang
diperingati sebagai Australia day.
Pada acara ANZAC day tersebut, kami bertemu dengan
seorang mantan pasukan khusus Australia yang sudah sepuh
dengan pakaian lengkap dan bintang-bintang jasa di dada. Saat
kami memperkenalkan diri berasal dari Indonesia, beliau langsung
menyebut “RPKAD” (Kopassus) dengan rasa takzim, seolah
mengingat kembali pengalamannya bertempur menghadapi
keandalan pasukan khusus kita waktu itu di belantara Kalimantan
Utara. Beliau tak keberatan saat kami meminta untuk berfoto
bersama.
Di Australia tentara bukan diklasifikasikan sebagai lapangan
kerja, namun dianggap sebagai sebuah pengabdian kepada
negara. Canberra sebagai ibukota negara tempat kantor-kantor
pemerintah federal berada, termasuk tempat markas besar
Australian Defence Force (ADF) yang setiap pagi saya lewati saat
menuju tempat kerja cleaner di daerah Manuka. Tidak ada kesan

6
sangar melihat gedung yang merupakan “Pentagon”-nya Australia
ini. Di Canberra juga terdapat Australian Defence Force Academy
(ADFA) dimana banyak perwira TNI belajar di sana, selain di tempat
lain semacam University of Wollongong atau di ANU.
Sepertinya bangsa kita bisa mengambil pelajaran dari cara
bangsa Australia menghargai orang-orang yang telah berjasa
kepada negara. Karena saat ini negara kita seolah telah melupakan
para pejuangnya, khususnya yang telah merebut kemerdekaan
atau yang pernah bertugas dalam pembebasan Papua atau Timor-
Timur yang merupakan keputusan politik saat itu. Selain pendek
ingatannya dalam menghargai pahlawan, orang Indonesia juga
lembek dalam menghukum para pengkhianat, seperti para mafia
pajak yang menghebohkan saat ini. Di Indonesia batas antara
pahlawan dan pengkhianat sangat tipis.
Perilaku para pejabat yang suka korupsi seakan menganggap
negara kita adalah warisan “engkong”-nya sendiri. Bagaimana
semangat kepahlawanan bisa tertransfer ke generasi yang lebih
muda, kalau kesadaran bahwa keberadaan kita hari ini adalah
hasil perjuangan para pendahulu dengan pengorbanan darah dan

Nico A n dri a nto 7


air mata sudah kikis. Lalu kapan kita bisa menjadi bangsa besar
yang mampu mencapai prestasi-prestasi membanggakan dan
dihormati negara-negara lain. Di Australia saya bisa merenungkan
ucapan Bung Karno: “bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa
menghargai jasa para pahlawannya”. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

8
Sistem Pemerintahan Australia,
Sebuah Refleksi

A
da dua peristiwa yang menghubungkan saya dengan
pemerintah Australia. Pertama, saya mendapatkan beasiswa
Australian Development Scholarship, sebuah beasiswa yang
diberikan oleh pemerintah federal Australia kepada negara-negara
berkembang untuk mendorong pembangunan di negeri sasaran.
Peristiwa yang kedua, saat saya mengurus childcare benefit (CCB)
untuk anak saya di centre link di Braddon, Canberra, ACT. Kedua

Nico A n dri a nto 9


peristiwa tersebut yang mendorong saya untuk mencoba
memahami konteks dan sejarah dari sistem pemerintahan
Australia yang terdiri dari tiga cabang; eksekutif, legislative,
dan yudikatif.
Australia adalah sebuah benua berpenduduk sekitar
22 juta orang yang kebanyakan tinggal di kota tepi pantai
seperti Sydney, Melbourne, Brisbane, Adelaide, dan Perth.

10
Negara tetangga di sebelah selatan (australis: latin) kepulauan
Nusantara ini adalah bagian dari monarkhi Inggris dibawah
Ratu Elizabeth II seperti dalam coin Australia dengan Gubernur
Jenderalnya sekarang bernama Quentin Brice yang istananya ada
di Canberra.
Benua yang dulunya sering dikunjungi pencari teripang dari
Makassar dan berpenduduk asli bangsa Aborigin ini dikolonisasi
oleh Inggris sejak kedatangan Kapten Phillip Arthur pada 26
Januari 1788 di Sydney cove, meski sebenarnya banyak penjelajah
Belanda dan Eropa lainnya yang mendarat sebelumnya seperti
Williem Janszoon, William Dampier atau Captain James Cook yang
rata-rata juga sampai ke Batavia (Jakarta). Tak mengherankan
nama lama Australia adalah New Holland.
Bangsa Aborigin yang tinggal di Benua Australia sejak 40 ribu
sampai 45 ribu tahun yang lalu dengan lebih dari 250 bahasa dan
suku ini terdesak sejak kedatangan bangsa Eropa yang lebih maju
secara peradaban. Persaingan memperebutkan lahan yang tak
jarang dengan penggunaan senjata terjadi dengan menyisakan
kisah-kisah pilu serta cerita tentang “penghilangan generasi”,
upaya men-civilize-kan Bangsa Aborigin dengan mengambil paksa
anak-anak mereka untuk dibesarkan di keluarga Eropa.
Benua yang pada mulanya dijadikan tempat pembuangan
narapidana dari Inggris ini kemudian semakin ramai oleh
pendatang dan imigran sejak ditemukannya emas (gold rush) pada
awal 1850 di Ballarat, dekat Melbourne.
Kemudian bermunculan kota-kota pusat hunian yang
berkembang menjadi negara-negara tersendiri (state). Australia
terbentuk dari bergabungnya enam koloni Inggris (self governing)
pada tahun 1901 menjadi sebuah negara federal. Masing-masing

Nico A n dri a nto 11


negara bagian memiliki konstitusinya sendiri yang independen dan
akan diselesaikan oleh High Court of Australia jika ada perselisihan
diantara mereka. Federal constitutional monarchy dengan sistem
demokrasi parlementer adalah bentuk pemerintahan negara
dengan nama resmi Commonwealth of Australia ini.
Enam state yang ada di Australia adalah Victoria, New
South Wales, Western Australia, Tasmania, Queensland,
South Australia, sedangkan dua territory utama adalah
Northern Territory dan Australian Capital Territory (ACT). Jika
state memiliki kekuasaan yang bersumber dari konstitusinya
masing-masing, territory mendapatkan mandat pelimpahan
kekuasaan dari pemerintah commonwealth. State atau
territory kemudian dibagi menjadi shire, city dan town atau
yang disebut pemerintahan local (local government). Masing-
masing pemerintahan lokal ini diurus oleh council yang
anggotanya terdiri dari orang-orang yang dipilih melalui
pemilu yang disebut councilor/alderman. Selain itu, terdapat

12
wilayah-wilayah berpenghuni lain misalnya cristmas island
(sebelah selatan pulau Jawa) dan cocos island yang dijalankan
berdasarkan hukum federal.
Australia menganut bicameral parliament yang terdiri dari
Queen dan dua house, yaitu the senate beranggotakan 76 wakil
dan house of representatives beranggotakan 150 wakil. The
senate (the upper house) adalah representasi dari state dengan
masing-masing 12 orang wakil dan dari territory masing-masing
punya 2 wakil. Sedangkan, house of representatives (the lower
house) dengan 150 kursi diperebutkan oleh partai-partai politik
berdasarkan electorates/seats yang dialokasikan di berbagai
negara bagian berdasarkan banyaknya populasi. Saat ini Australia
dipimpin oleh Julia Gilard dari Labor Party yang ditunjuk oleh
Gubernur Jenderal karena memenangkan mayoritas tipis parlemen
setelah federal election pada bulan Agustus yang lalu.
Kemenangan Julia Gilard kemarin menarik, karena dukungan
anggota parlemen independen yang biasanya secara tradisional
menjadi bagian dari koalisi Liberal Party yang dipimpin Tony Abbot
bersama National Party, Australian Democrats serta Green Party.
Kemunculan Julia Gilard menggantikan Kevin Rudd (yang menurun
popularitasnya karena isu super tax) sebagai perdana menteri dua
bulan sebelum federal election dilangsungkan turut melapangkan
jalan bagi kemenangan perdana menteri perempuan pertama
Australia ini. Sedangkan, Kevin Rudd saat ini diangkat menjadi
menteri luar negeri, sebuah “turun jabatan” yang bisa dipahami
dalam konteks perpolitikan di Australia.
Federal excutive council adalah institusi yang secara resmi
mewadahi menteri-menteri dalam kabinet Australia. Di Australia
nama kementerian dalam setiap kabinet dinamis termasuk

Nico A n dri a nto 13


dibentuk, diubah, digabungkan sesuai dengan visi misi perdana
menteri terpilih. Karena berbentuk parlementer, disini terdapat
istilah kementerian portofolio dan non-portofolio, yaitu yang
memiliki suara dan tidak dalam pengambilan keputusan di
kabinet. Oposisi juga memiliki menteri bayangan sendiri yang akan
mengkritisi kinerja pemerintah terpilih.
Pada tahun 2008, Australia dibawah kabinet Kevin Rudd
secara resmi meminta maaf kepada Bangsa Aborigin atas
kesalahan di masa lalu, sesuatu yang penting mengingat
pemerintahan sebelumnya menolak untuk melakukannya. Kalau
kita datang di bandara di Australia, misalnya di Sydney biasanya
terdapat pegawai dari kalangan Aborigin. Inilah sebuah upaya
pemerintah Australia untuk mengarusutamakan orang Aborigin
dalam pemerintahan. Bendera Aborigin juga berkibar di berbagai
tempat resmi di Australia. Pengakuan terhadap eksistensi Aborigin
sebagai ancestor tanah Australia di berbagai produk perundangan
juga terjadi setelah referendum tahun 1967 dan mencuatnya kasus
Mabo versus Pemerintah Queensland di High Court of Australia
dengan penghormatan atas hak-hak ulayat mereka.
Pada tahun 1970 diperkenalkan multikulturalisme di Australia
dengan dicabutnya White Australia Policy yang membuat
para imigran dari Asia juga diperbolehkan masuk ke Australia.
Sebenarnya pada saat awal sejarah Australia juga telah terdapat
“para penunggang unta asal Afghanistan” yang membantu
mengirim logistik ke daerah pedalaman. Saat ini “orang Asia”
meliputi sekitar 8,7 persen dari populasi Australia (sensus 2006).
Dengan adanya Australia Act 1986, Australia “merdeka” dari
Inggris terkait pengambilan keputusan di parlemen Australia
sebagai undang-undang, namun gagal menjadi negara Republik

14
dengan Presiden sebagai kepala negara karena 55% warga
menolaknya dalam referendum tahun 1999.
Di Australia, parlemen negara bagian memiliki kewenangan
perundangan atas polisi dan peradilan negara bagian, urusan
sekolah, jalan, angkutan umum, dan pemerintah lokal yang tidak
diurus pemerintah federal. Di Canberra, urusan manajemen
sampah dilakukan oleh “dinas” di bawah pemerintah ACT yang
seminggu sekali mengambil sampah warga dengan mobil robot.
Pengalaman saya mengurus rego (pajak mobil) di otoritas transpor
ACT sangat efisien dan cepat, hanya membutuhkan 15 menit dari
antri sampai urusan selesai. Demikian juga urusan Tax File Number
dan childcare benefit dimana informasinya dapat dengan mudah
kita peroleh dan urusan cepat selesai jika data kita lengkap.
Di Australia sistem pelayanan pemerintah sudah terintegrasi
jaringan internet, sehingga semua informasi terkait pelayanan
pemerintahan dan transaksinya bisa diakses dari rumah. Terdapat
database yang memungkinkan seluruh data kita diakses dan
digabungkan oleh organ pemerintahan untuk kemudian diambil
sebuah keputusan. Misalnya, saat kita mengurus child care
benefit, atau baby bonus kita bisa mengisi datanya melalui form
di situs centre link pemerintah daerah (state) setempat, dan
datang ke kantor hanya untuk menyerahkan data pendukung atau
mengoreksi kesalahan pengisian data. Data kinerja pemerintahan
dan hasil audit juga bisa kita peroleh di website resmi pemerintah.
Menurut hitungan saya, Indonesia masih memerlukan 40
tahun untuk mengejar ketertinggalan pelayanan publik sekelas di
Australia. Itupun dengan syarat, korupsi bisa dihentikan hari ini
juga dan upaya untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas
publik bukan cuma retoris. Diperlukan sebuah upaya “bersejarah”

Nico A n dri a nto 15


serta terstruktur untuk mengubah mentalitas rezim baik pusat
maupun lokal (yang berlaku bak penguasa daerah jajahan) agar
bisa mengejar ketertinggalan dari negeri maju seperti Australia.
Coba kalau orang Belanda waktu itu tidak menetap di Batavia dan
yang “mampir” adalah Bangsa Inggris, mungkin kondisi kita hari
ini berbeda. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

16
Australia dari Dekat:
Kehidupan Sehari-hari

S
ore itu kami menemukan sebuah pesawat televisi tergeletak
di tempat sampah Toad Hall, asrama mahasiswa ANU. Dengan
gerakan senyap serta sebisa mungkin menghindari memberikan
jawaban yang “memalukan” kepada penghuni lain, kamipun segera
memindahkan kotak ajaib itu ke kamar dan mencobanya. Ternyata
televisi masih berfungsi dengan baik. Ternyata mitos di negara
maju banyak barang berharga dibuang adalah benar adanya.
Itulah perjumpaan budaya pertama kami dengan Australia.

Nico A n dri a nto 17


Dari layar kaca itupun perjumpaan-perjumpaan lainnya
menjadi semakin intens. “Di Australia acara televisi sama payahnya
dengan di Indonesia,” kata dosen pembimbing akademik kami
yang memang lumayan sering ke Indonesia. “Karena banyak opera
sabun dan hal remeh-temeh yang diproduksi karena motivasi
rating,” tambahnya. Namun kalau mau jujur, di sini acara sedikit
lebih bagus. Minimal banyak acara edukatif dan terdapat channel
khusus untuk anak-anak yang menumbuhkan kreativitas serta
menjauhkan mereka dari tayangan dewasa di channel lainnya.

18
Tayangan multicultural ada di salah satu channel, SBS. Selebihnya
adalah tayangan “Eropa”, “Amerika”, dan “Inggris”.
Setelah puas mengamati berbagai iklan produk di televisi
dari commercial break, kamipun harus memenuhi kebutuhan
alamiah kami, makanan. Civic shoping center di Canberra tempat
belanja terdekat menawarkan berbagai pilihan produk dengan
bermacam kualitas dan harga. Satu hal yang segera kami pelajari
dalam kondisi uang saku yang terbatas adalah, teliti harga
termurah dari berbagai macam jenis barang. Ada merek tertentu
yang menangkap peluang dari konsumen-konsumen berkantung
tipis, seperti kami para mahasiswa pendatang yang sangat
bergantung dari beasiswa ini. Tapi bagaimanapun, standar hidup
kami otomatis ikut meningkat ketika tinggal di Australia, karena
dari produk yang termurah tetap kualitasnya jauh lebih baik dan
lebih bervariasi dari kebanyakan produk sejenis di Tanah Air.
Beasiswa yang kami terima setiap dua minggu (fortnight
stipend) kalau dihitung-hitung sebanding dengan jaminan yang
diberikan kepada pengangguran di sini. Ya, orang tidak bekerja
di Australia ini diberi uang untuk kebutuhan kesehariannya.
Orang-orang yang di-PHK, misalnya karena krisis keuangan global

Nico A n dri a nto 19


kemarin, bisa mengajukan social benefit di Centre link terdekat.
Minimal untuk beberapa bulan ke depan mereka tidak akan
kelaparan dan menjadi masalah sosial.
Hal yang sama juga diberikan kepada orang cacat atau orang tua
renta yang sudah tidak produktif. Yang masih lolos dari saringan ini,
ada social worker yang biasanya dari berbagai lembaga keagamaan
memberikan makanan gratis bagi orang-orang miskin. Rekan saya
seorang mahasiswa pernah ditawari makanan jenis ini ketika lewat
di sudut city center, entah apa pertimbangan mereka. ☺
Sehingga pekerjaan mengemis adalah “tabu”, dan hanya
dilakukan oleh mereka yang pemalas atau memiliki masalah
sosial seperti pemabuk. Meski tidak banyak pengemis, namun
saya pernah jumpai sangat sedikit spesies ini di city center dengan
penampilan yang cukup mentereng untuk ukuran kita, dengan jas

20
penghangat musim dingin. Mereka hanya meminta “uang kecil”
tanpa memaksa.
“Orang kecil” lainnya yang pernah saya temui adalah Bule
lusuh pembersih kaca mobil sukarela di jalanan, yang melaksanakan
“tugas suci”-nya tersebut karena menjalani hukuman kerja sosial.
Sedangkan pengamen ataupun seniman jalanan pun di sini adalah
professional, dan hanya menyediakan tempat biola atau gitar
sebagai wadah bagi “apresiasi kecil” yang diberikan oleh penonton
yang merasa terhibur dengan penampilannya.
Sebenarnya, kalau mau sedikit peras keringat, tak akan ada
orang kelaparan di Canberra. Kerja dengan skill rendah seperti
cleaner, cashier, atau housekeeping yang banyak dijalani oleh
para mahasiswa kita memberikan dollar pemasukan yang berarti
kalau dirupiahkan. Standar gaji di sini sangat tinggi, mungkin
karena sejarah panjang peran organisasi buruh Australia yang
sampai mempunyai partai sendiri, Labor Party. Berganti-ganti
kekuasaan dengan Liberal Party yang “dikuasai” kaum usahawan,
partai buruh mendominasi jagat perpolitikan negeri kanguru

Nico A n dri a nto 21


dengan menyumbangkan nama-nama Perdana Menteri, termasuk
untuk mempertahankan sistem jaminan sosial ini ditengah
perkembangan ageing population.
Tidak semua Bule itu orang kaya. Benar, di samping gedung-
gedung megah, mobil-mobil sport terbaru di jalanan yang luas dan
mulus, masih ada orang kulit putih yang tidak beruntung. Mereka
kebanyakan imigran yang berasal dari Eropa Timur dengan latar
belakang pendidikan dan sosial lebih rendah yang tentu tak
seberuntung kebanyakan imigran dari Eropa Barat lainnya.
Tak heran, garage sale, sunday market maupun toko barang
second hand seperti di Salvos tak hanya diserbu orang-orang Asia
atau Afrika, tapi juga orang-orang bule. Pernah dengan perasaan
trenyuh kudapati pembantu toko kelontong seorang Tionghoa dari
Indonesia di sini adalah seorang Bule kurus. Beberapa kawan cleaner
akrab saya juga orang Eropa asli. Mungkin beberapa di antara mereka
pernah ke Bali sebagai wisatawan yang kita panggil “Mister”.
Dari interaksi yang intens bisa dipahami “stereotype” yang
berkembang, semisal, cleaner biasanya orang Kroasia, kasir
supermarket atau sopir taksi “hampir selalu” orang India, dan

22
toko kelontong yang menyediakan berbagai bahan makanan
Asia biasanya dikelola orang-orang Vietnam. Australia memang
menjadi multikultur dalam beberapa dekade terakhir, dengan
populasi masyarakat India maupun China yang signifikan.
Beberapa diantara mereka bahkan masuk dalam jajaran kabinet
pemerintahan seperti minister for finance and deregulation,
Penny Wong, saat ini.
Masalah etnis di negeri multiethnic ini adalah krusial.
Masyarakat berlatar belakang India, Pasifik, Libanon, Asia dan
Eropa lainnya harus dikelola untuk menghindari konflik sosial.
Ditengah gejolak ekonomi dunia yang tidak selalu bagus, sebagai
eksportir layanan pendidikan, Australia banyak belajar dari
gesekan-gesekan sosial yang terjadi. Jujur secara pribadi saya
dan keluarga tidak pernah mengalami permasalahan terkait
etnis dan kepercayaan di kota kecil pusat pemerintahan dan
diplomatik Canberra yang kosmopolitan. Namun, di kota seperti
Sydney pernah terjadi kerusuhan rasial melibatkan pelajar India
yang memberi efek pada penurunan jumlah mahasiswa dari India
untuk belajar di negeri Koala.
Australia dengan standar hidup tinggi mengundang banyak
pendatang, dari yang legal sampai illegal. Para pengungsi perahu
dari negeri-negeri yang didera konflik seperti Afganistan dan Iraq
menjadi isu politik besar di Australia yang menyebabkan banyak
menteri bahkan perdana menteri menjadi bulan-bulanan di
parlemen. Sedangkan untuk urusan Bangsa Aborigin, menjadi
tugas ministry for Families, Housing, Community Services and
Indigenous Affairs membereskannya.
Tentu tidak hanya hal-hal bagus yang ada di negeri maju
berpenduduk sekitar 22 juta orang ini, misalnya masalah

Nico A n dri a nto 23


alkoholisme serta liberaisme individu yang tidak layak untuk
ukuran budaya timur kita. Setiap negeri tentu punya permasalahan
dan solusinya sendiri. Namun bagaimanapun, banyak yang bisa
kita ambil sebagai pelajaran berharga dari kehidupan sehari-hari
negeri yang bernama Australia. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

24
Australia dari Dekat:
Berlalu-lintas

L
ain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Jika para
ekspatriat di Indonesia harus belajar kembali menyetir mobil
di jalanan kita karena “budaya” dan aturan berlalu-lintas yang
berbeda, hal yang sama aku alami saat hidup di Australia. Aku mulai
mempergunakan mobil untuk mobilitas kuliah dan kerja setelah
membelinya seharga 750 AUD (kurang lebih enam juta rupiah) dari
orang Indonesia yang pulang setelah menyelesaikan study-nya.
Mobil Toyota sedan H-Back automatic warna coklat tahun 1987
dengan road worthy yang masih oke segera dalam penguasaanku.
Setelah mengurus balik nama dan bayar rego di Road Transport
Authority ACT yang hanya membutuhkan proses 15 menit, mobil
siap kukendarai di jalanan Canberra yang seperti tol di Indonesia.

Nico A n dri a nto 25


Mengendarai mobil di Canberra sangatlah menyenangkan,
karena volume mobil yang relatif sedikit, di luar jam sibuk pagi
dan sore hari. Sebuah minibus besar perusahaan pos Australia di
depanku bertuliskan, “if you can’t see me, I can’t see you” menjadi
salam perkenalanku dengan situasi jalanan. Sebuah elektronik
board di tikungan Coranderrk Street bertuliskan, “burn fat, not
petrol” menyindir para pengendara kendaraan yang sedang
melaju. Pada akhirnya aku ketahui itu bukan sekadar slogan
kosong, karena “Pemkot” Canberra menyediakan jalur sepeda
terlengkap di dunia. Kota “terdingin” di Australia ini memang
dirancang dengan penuh perhitungan, termasuk mengantisipasi
penambahan jumlah kendaraan untuk beberapa dekade ke depan.
Dari banyak plat mobil yang melintas bisa aku baca, “Canberra,
hearth of the Nation”, “The Nation Capital”, “celebration of a
century 2013”, atau “SA, the festival state”, atau “Queensland,
sunshine state”, “The Smart State”, bahkan “Victoria, golden
state”, “The place to be”. Cukup kreatif cara Road Transport
Authority Australia membedakan tahun plat nomor kendaraan
sambil mempromosikan daya tarik masing-masing negara bagian.
Bandingkan dengan slogan Blitar Kota Patria atau Kediri bersinar
terang yang dipajang di papan reklame statis kita.

26
Hal utama dalam aturan lalu-lintas yang aku ingat adalah saat
berada di roundabout (bundaran), kita harus mendahulukan mobil
yang meluncur dari sebelah kanan kita. Perbedaan-perbedaan
“aturan” lainnya seperti kalau di Indonesia saat lampu lalu lintas
berwarna kuning berarti ngebut, di Australia kuning berarti harus
segera berhenti.
Terdapat jalur penyeberangan khusus untuk pejalan kaki
dengan tanda lampu kuning berkedip-kedip atau simbol dengan
tombol khusus di setiap lampu lalu-lintas yang harus kita
perhatikan. Kita harus segera menginjak rem, jika ada orang
yang menyeberang di jalur tersebut. Kalau tidak, maka kita harus
berbesar hati jika mobil ditendang orang seperti yang pernah saya
alami. Juga, kita jangan sampai berdiri di pinggir jalan tanpa tujuan
yang jelas, karena akan membuat bingung para pengendara mobil.

Kita harus taati aturan lalu-lintas di sini dengan kepatuhan


yang tidak boleh ditawar, seperti kewajiban menggunakan
seat belt, car seat khusus anak dan bahkan helm khusus untuk
pengendara sepeda. Meski jarang sekali saya jumpai polisi lalu-

Nico A n dri a nto 27


lintas di jalanan, semua orang terlihat taat aturan. Tak peduli
mobil sebesar lima kali gajah akan berhenti dan memberi jalan
bagi pengendara sepeda jika aturan memang menghendakinya.
Di beberapa jalur terdapat rambu khusus yang memberitahu kita
banyak Kanguru yang sering menyeberang.
Dalam urusan kecepatan, banyak kamera pemantau dipasang
di seantero kota atau polisi dengan “senjata” pemantau di sudut
jalanan yang siap mengirimkan surat tilang dengan keterangan
kapan, di mana pelanggaran terjadi disertai foto buktinya. Tak
heran, di beberapa titik seperti jembatan, secara hampir bersamaan
semua kendaraan mengurangi kecepatan pada ambang yang
diperbolehkan. Menyerobot lampu merah tilangnya lebih mahal
dari speeding, tinggal mana pilihan kita. Yang jelas, pembayaran
dengan mata uang Dollar Australia adalah sangat mahal bagi kita
para “ekspatriat” yang sangat bergantung dari beasiswa atau kerja
part time ini.
Memang, salah satu permasalahan di banyak kota Australia
ini adalah sulitnya mencari tempat parkir. Salah posisi parkir di
reserve parking, atau parkir tidak pada tempatnya, misalnya
di tempat khusus untuk mobil orang cacat bisa mengundang
surat tilang yang tidak murah. Dalam urusan lalu-lintas di sini
semua serba otomatis. Tidak ada juru parkir seperti di Indonesia,
demikian juga untuk membeli bensin kita harus self service. Di
tempat parkir di pinggir jalan atau di mal-mal, tersedia semacam
ATM parkir untuk pembayarannya.
Aturan parkir ini juga sangat strict. Pernah suatu ketika aku
salah tempat parkir, langsung surat tilang 72 dollar diletakkan di
kaca depan mobil oleh petugas. Tilang kedua aku terima hanya
karena kelupaan memasang stiker parkir di kaca depan kurang dari

28
24 jam setelah aku beli
sebelumnya. Keterangan
di belakang stiker yang
berbunyi, “it is an offence
if this permit label is not
clearly readable from
outside the vehicle” dan
gelengan kepala polisi
petugas loket tilang
memaksaku dengan berat
hati menerima denda
tilang 72 dollar, meski ada
mekanisme pengadilan
yang bisa ditempuh jika
tidak puas.
Mobil-mobil khusus dengan papan elektronik pemberitahuan
juga ditempatkan di berbagai sisi jalan untuk memberitahu
pengendara jika terdapat perbaikan jalan di depan atau aktivitas
lainnya. Di setiap lokasi perbaikan jalan atau pembangunan gedung
yang mengganggu lalu-lintas selalu disediakan petugas pengatur
lalu-lintas. Penutupan jalan, misalnya saat diselenggarakan
parade selalu disertai selebaran pemberitahuan beberapa hari
sebelumnya kepada setiap rumah yang terkena dampaknya.
Hampir semua kota besar di Australia sudah dipetakan, yang
bisa diakses melalui google map atau fasilitas GPS yang memberi
petunjuk arah, rute terdekat, jarak, dengan apa dan berapa lama
bisa ditempuh sekalian suara pemberi arahannya. Namun “bantuan
kemanusiaan universal” juga ada. Pernah suatu ketika mobil tuaku
mogok di tengah jalan yang serta merta mengundang dua pekerja

Nico A n dri a nto 29


bangunan bule menawarkan bantuan untuk meminggirkannya.
Pada akhirnya, mobil towing membantuku membawanya ke
bengkel yang berhasil mendiagnosis penyebabnya kemudian,
kehabisan bensin.
Kota-kota di Australia dirancang sangat manusiawi sedemikian
rupa sehingga orang cacat dengan kendaraan khususnya (seperti
sepeda motor roda tiga) bisa mengakses ke semua tempat tanpa
bantuan orang lain. Fasilitas untuk mereka juga diutamakan di
segala angkutan umum, sebagaimana di Busway kita. Selain mobil
sebagai transportasi utama untuk mobilitas tinggi warga kota,
sistem bus kota juga sangat efektif di Canberra.
Jadwal bus Action perusahaan satu-satunya milik Kota
memiliki jalur dengan bus stop tertentu dengan fasilitas berteduh
dan tempat duduk di berbagai titik dan jadwal tetap yang bisa
diprediksi menit-menitnya. Kita bisa mendapatkan jadwalnya dari
tempat penjualan tiket elektronik atau website, atau di platform
tempat kita menunggu kehadiran bus warna hijau atau kuning ini.

30
Di kota “pendidikan tinggi” semacam Wolongong terdapat
bus gratis yang disediakan oleh pemerintah kota dengan rute
melewati kampus-kampus, atau bus wisata gratis di Melbourne
yang memang mendeklarasikan diri sebagai kota wisata. Di
kota-kota besar seperti Sidney dan Melbourne, sistem kereta
api terintegrasi dengan subway, tram atau bus kota dengan
efektivitas yang bisa diperkirakan, hanya dengan satu tiket.
Semua serba elektronik dan otomatis. Pelanggaran atas sistem
ini menghadapi denda yang tidak murah, bahkan untuk ukuran
warga Australia. Kerugian lainnya tentu rasa malu dilihat banyak
orang tak punya tiket. Bahkan saya pernah melihat di stasiun
Sydney, seorang bule segede gajah ditindih oleh tiga polisi yang
juga sebesar Mamoot, karena berteriak-teriak mabuk atau
mungkin tidak mempunyai tiket.
Meski terkenal tertib, bukan tidak ada pelanggaran terhadap
lalu-lintas di Australia. Anak-anak muda mabuk di akhir pekan
dengan mobil sport bersuara keras kerap membuat pengendara
lain terganggu dan harus berhati-hati. Banyak kecelakaan karena
dampak alkohol yang membuat polisi melakukan kampanye,
“Don’t drink and drive”, atau “Drunk and drive is an offence” di
banyak media. Sweeping oleh polisi Australia dengan menyodorkan
ke mulut alat tiup pengukur kandungan alkohol di paru-paru
pengendara mabuk sering menjadi tontonan menarik acara televisi.
Di sisi lain, para pengemudi taksi yang kebanyakan berasal dari Asia
Selatan sering kurang menaati peraturan lalu-lintas.
BMW (Brown Mobile Wagon)-ku terus melaju, menyusuri
jalanan kota untuk mengantar istri kerja, anak ke childcare, atau
aku kuliah. Memang enak hidup di negeri maju, jalan-jalannya luas
dan mulus, peraturan lalu-lintasnya jelas, demikian juga sanksi

Nico A n dri a nto 31


atas pelanggarannya efektif yang memberi efek deterent. Saking
nyamannya hingga suatu saat tak kusadari mobil di depanku
pindah jalur dan berhenti mendadak karena menabrak mobil
di depannya di dekat lampu merah, dan …. brakkk…, tak bisa
kuhindari mobilku menabrak bagian belakangnya.
Sekali lagi, setiap tempat memiliki adat kebiasaan sendiri.
Tak ada acara marah-marahan. Keselamatan adalah nomor satu
yang mengkonfirmasi pentingnya seat belt dan car seat. Urusan
berikutnya, asuransi yang akan menanggung semuanya. Wallohu
a’lam bissawab.
qqq

32
Radio Australia

T
anggal 22 November yang lalu adalah hari bersejarah
bagiku. Jika sebelumnya hanya bisa mendekati perwakilan
Radio Australia di Canberra maupun Sydney, juga outlet ABC
yang menjual macam-macam DVD, buku dan souvenir, hari
itu aku “berhasil” mengunjungi kantor pusatnya di Southbank
dekat sungai Yarra, Melbourne.

Maklumlah, event itu telah aku nantikan lebih dari dua


puluh tahun lamanya. Karena, jauh sebelum aku mempunyai
anak, menikah, bekerja, atau kuliah, saat SMP sampai SMA
dulu tiap pagi dan sore aku mendengarkan siaran Radio
Australia berbahasa Indonesia. Aktivitas itu aku lakukan
sambil menunaikan tugas menyapu lantai atau mencuci piring
rumah, di Blitar.

Nico A n dri a nto 33


Siang itu aku bertemu dengan para penyiar legendaris
favoritku yang segera menyergap dengan keramah-tamahan.
Aku temui suara penuh wibawa Hidayat Djajamiharja. Kujumpai
flamboyannya Oska Leon Setiyana. Kudengar secara life, suara
mantab Juni Tampi yang selama ini hanya bisa aku dengarkan
melalui acara warta berita. Eny Wibowo tampil seperti dalam
bayanganku selama ini. Sayang, penyiar gaek lainnya seperti Edy
Tando dan Istas Pratomo yang nyentrik sudah pensiun.
Aku adalah pendengar Radio Australia pasca periode Ebet
Kadarusman (alm), generasi ayahku. Beberapa penyiar generasi
baru tak kalah ramah dan humble-nya. Sedangkan Dian Islamiati

34
Fatwa, sangat memahami kebahagianku hari itu yang dengan
telaten memperkenalkan kehadiranku dan menunjukkan berbagai
fasilitas siaran yang ada. Obrolan yang tercipta siang itu, tak terasa
menarik ingatanku saat masih “muda” dulu. Sederet rangkaian
acara aku nikmati dari naik turun suara radio gelombang pendek
tua milik kakekku. Tak rugi rasanya telah susah-payah kupasang
enam meter antena kabel tembaga membentang di atas genting,
atas petunjuk dari brosur yang kuterima bersama stiker dan
kalender yang bergambar para penyiar dan Kota Melbourne.
Namun, hari itu tak kutemui penyiar pujaanku. Ya, Nuim
Khayyat, pembawa acara multitalenta sedang berlayar sampai akhir
tahun ini. Dahulu, dia berhasil menjejalkan berbagai pengetahuan
ke benakku serta melebarkan wawasanku. Pak Cik Nuim, biasa
membawakan dengan kualitas yang “sama” acara Samba “Sabtu
Gembira”, perspektif; tinjauan segi-segi kejadian dunia, lensa olah
raga, ilmu pengetahuan, warta berita, muda-mudi, dan mengenal
Australia. Jalan Masjid, Gang Bengkok di Kota Medan, lagu dan syair
Melayu seakan masih terngiang di telingaku sampai hari ini. Pernah
kutanyakan tentang Gang Bengkok itu ketika sedang tugas kantor ke
Medan, tapi tidak kutemui.

Nico A n dri a nto 35


Aku merasa mendapatkan “tiket” untuk ke Radio Australia
melalui beasiswa pemerintah Australia untuk jenjang pendidikan
Master di ANU Canberra. Dalam rekaman wawancara yang secara
spontan dilakukan kemudian, jujur kukatakan bahwa keinginan
mengunjungi kantor Radio Australia di Melbourne adalah motivasi
yang mendorongku mencoba beberapa kali beasiswa ADS sampai
berhasil. Akhirnya bukan hanya beramah-tamah dan melihat-
lihat gedung serta fasilitas radio corong pemerintah Australia itu,
bahkan aku dijadikan nara sumber siaran. Serasa mimpi saja.

Bagaimanapun, Australia adalah sebuah paradoks bagi


Indonesia. Tetangga dekat, namun bisa juga jauh. Hanya berjarak
Laut Arafura, Australia memiliki budaya dan cara berpikir yang
jauh berbeda. Masyarakatnya kebanyakan terdiri dari dan
berorientasi Eropa, meski menjadi multikultur dalam beberapa
dekade terakhir. Hubungan dengan Indonesia juga naik dan turun,
sebagaimana layaknya seorang tetangga. Kisah sejarah yang
pernah kudengar dari Radio Australia mulai dari penolakan buruh
pelabuhan Sydney mengangkut barang untuk kapal Belanda di
awal kemerdekaan dulu, sampai berbagai kerumitan dalam peran
Australia terkait Timor Timur.

36
Radio Australia adalah jendela bagi alternatif sumber
berita saat Indonesia masih di bawah rezim otoriter waktu itu.
Hal itu pula yang kusampaikan saat secara mendadak dimintai
pendapat oleh pembesar media penyiaran pemerintah Australia
ini, Mike McCluskey. Sekalian kukatakan kepadanya bahwa jam
siarannya seharusnya ditambah, bukannya dikurangi. Sebab
banyak yang menarik manfaat dari siarannya di Indonesia. Bukan
hanya pelajaran Bahasa Inggris yang sangat berguna, tapi juga
wawasan internasional serta cara untuk memahami Australia
secara budaya, social, dan politik sebagai tetangga. Syukur-syukur,
kita bisa mengambil banyak sistem pemerintahan yang baik dari
negeri maju ini. Tak heran di tahun 1997-an banyak pendengar
yang mengirim surat protes, termasuk almarhum ayahku, saat
pemerintah Australia berencana mengurangi jam siaran Seksi
Indonesia.
Meski mungkin di Indonesia sekarang pers telah bebas,
namun dengan gaya khasnya Radio Australia masih dinanti banyak
pendengar setianya. Bagaimanapun, perspektif Australia juga
memiliki nilai tersendiri sebagai pembanding. Akhirnya, Radio
Australia dikombinasikan dengan beasiswa-beasiswa pendidikan
tinggi yang diberikan adalah seperangkat instrumen kebijakan
publik untuk mendekatkan dua negara yang memang banyak
memiliki perbedaan, selain juga persamaan (multikultur).
Dengan fasilitas life streaming saat ini, siaran RASI (Radio
Australia Seksi Indonesia) semakin mudah diakses. Kontennya
juga semakin beragam dan menarik. Kekuatannya ada pada
akses terhadap berbagai pihak terkait sebagai sumber
informasi, kekhasan yang harus terus dijaga, dan menjadi
berbeda dari BBC London, Radio Nederland, atau VoA. Juga,

Nico A n dri a nto 37


regenerasi penyiar yang berhasil adalah vital untuk menjaga
loyalitas pendengarnya yang telah berganti generasi.
Kembali ke Pak Cik Nuim Khaiyyat yang aku belum sempat
kesampaian bertemu muka. Hanya meja kerjanya yang dipenuhi
material bahan siaran, berbagai peralatan kantor serta sebuah
Al Quran namun dengan kursi kosong. Aku dengar dari temanku
penyiar favoritku itu sering khotbah jumat dan menjadi sesepuh
masyarakat Indonesia di Melbourne.
Selamat berlayar Pak Cik Nuim. Mungkin di lain waktu
atau lain media aku bisa berjumpa Anda. “Bersyukur dalam
kejayaan, bersabar dalam cobaan”, itulah kata-kata bijak bestari
yang masih kuingat darinya. Toh, melalui life streaming aku
masih bisa mendengarkan suaranya yang bak kicau burung
Kokkabura itu. Diam-diam anakku umur tiga tahun sudah terbiasa
mendendangkan, “Come to me Mr. Mahmud…….”. Wallahu a’lam
bissawab.
qqq

38
Etos Australia

S
apaan hangat, “hello mate”, sering saya terima saat
membersihkan sebuah residential area di pagi hari. Sedangkan
pada kesempatan lainnya, “Good day, mate”, atau “how are you
going”, dengan senyum mengembang. “Work is work, mate!”
komentar seorang tetangga flat, suatu saat, dengan muka protes
menjawab “cengir malu” saya yang barusan mengaku kerja
sebagai cleaner.

Selain itu, kebanyakan orang Australia yang saya temui


adalah suka menolong. Pernah suatu ketika saya ketinggalan
kunci di dalam rumah, dan diluar dugaan saya, para tetangga
membantu dengan senang hati mengantarkan ke agen rumah
untuk mendapatkan kunci cadangan. Pernah juga seorang ibu
berlari kecil memberikan lukisan anak saya yang terjatuh saat di
jalan. Namun, pernah juga saya ditegur, “that’s not a rubbish bin!”

Nico A n dri a nto 39


gara-gara saya buang tisu di
pot bunga childcare anak. ☺
Lihatlah perangkonya,
jika kita ingin menilai
sebuah negeri. Gambar-
gambar perangko Australia
yang saya kumpulkan
sembari mengosongkan
rubbish bin sebuah institute
of technology berbicara
tentang kehidupan sehari-
hari dan prestasi-prestasi
masyarakat Australia.
Tentang Queen Victoria Market, atlet berprestasi “pahlawan”
Australia di Olimpiade, line telepon darurat 000, binatang
kesayangan, gedung-gedung menarik, kisah kepahlawanan
tentara Australia di PD II, selain tentu saja sesekali gambar
Ratu Inggris, Putri Diana, atau Pangeran Charles.
Kalau kita berkesempatan melihat ruang pemutaran
film di dalam tiang beton jembatan Sydney Harbour, maka
akan terlihat gambar-gambar para pekerja yang berjuang
mendirikan bangunan icon kebanggaan Bangsa Australia
tersebut. Tentang berapa biayanya, tentang teknologi yang
digunakan, berapa ton besi yang digunakan, kondisi ekonomi
saat itu, berapa pekerja yang dikerahkan, termasuk berapa
yang “gugur” dalam menjalankan tugas tersebut. Bagian yang
ingin ditonjolkan bukan siapa Perdana Menteri saat jembatan
raksasa tersebut didirikan, namun bahwa bangunan raksasa
tersebut adalah hasil kerja kolektif Bangsa Australia.

40
Juga, di Australia tidak semua yang dihormati adalah tentang
kemenangan. ANZAC day yang diperingati setiap tahun dengan
devile pasukan dan lintasan jet tempur adalah tentang kekalahan
tentara Australia di Galipolli, Turki, pada Perang Dunia pertama.
Dari peristiwa kekalahan tersebut mengalir cerita-cerita herois
dan kesetiakawanan yang membangkitkan kepahlawanan negeri
yang masih “muda” dalam ukuran sejarah ini. Dan semua kisah itu
ada di War Memorial dengan berbagai koleksi memorabilia dan
tema yang dirancang serius menggunakan teknologi terkini. Dari
penjelasan di buku Makro Ekonomi yang saya pelajari, tentara

Nico A n dri a nto 41


Australia dikeluarkan dari hitungan aset produksi Negara Australia
alias bukan dianggap sebagai pekerjaan, tetapi dihargai sebagai
bentuk pengabdian kepada negara.

Satu kata yang mungkin bisa menjelaskan hal di atas adalah,


orang Australia itu logis. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi,
mereka menciptakan childcare-childcare untuk menampung anak-
anak dari wanita pekerja. Mereka bahkan harus memajumundurkan
satu jam setiap enam bulan karena pergantian posisi Matahari
yang mengubah lamanya siang dan malam. Negeri empat musim
di belahan bumi selatan ini memang bukanlah negeri “tongkat
ditancapkan jadi tanaman”. Mereka harus bekerja keras dan putar
otak untuk menumbuhkan ekonomi setelah tambang emas di
Ballarat atau tambang-tambang lainnya habis.
Kota-kota Australia seperti Melbourne, Sydney, dan Perth
adalah di pinggiran pulau karena di tengah-tengahnya adalah
padang pasir yang luas. Tanahnya yang keras dan sedikit humus tidak
bisa lama menyimpan air. Setelah hujan biasanya akan terbentuk
aliran air dan luapan sungai-sungai atau bahkan banjir bandang.
Karena air sangat langka, mereka menciptakan teknologi untuk

42
mendapatkannya,
termasuk dengan
menciptakan
danau buatan
di Canberra.
Salah kelola
sedikit di musim
panas maka
kebakaran hutan
menghadang.
Terlalu ceroboh melihat Australia dari hasil jadi sekarang ini,
tetapi merupakan hasil kerja keras dan cerdas selama ratusan
tahun sejak kedatangan Captain Cook. Bertahun-tahun negara
ini, yang banyak memiliki padang rumput, dikenal sebagai
produsen ternak domba, sapi selain juga gandum. Australia juga
tidak kebal dari dampak krisis ekonomi global. Kalau hampir
semua pelayanan publik, sistem perbankan, pendidikan sudah
terintegrasi internet, itu karena ada Minister for Broadband,
Communications and the Digital Economy, Minister Assisting the
Prime Minister on Digital Productivity.
Kreativitas di sini ditumbuhkan sejak usia dini dimulai dari
sistem pendidikan yang sangat mendukung. Acara televisi khusus
anak-anak merangsang mereka untuk kreatif dengan mengenalkan
mereka pada pembuatan sendiri berbagai mainan. Perlombaan
semacam karya ilmiah remaja sampai pada hitungan pemasaran
produk melalui mekanisme pasar, dan bukan hanya berhenti pada
penciptaan inovasi produk baru.
Hal yang agak mengherankan bagi orang luar adalah semua
alat-alat kerja merupakan bentuk mekanisasi dan otomatisasi.

Nico A n dri a nto 43


Bukan hanya semacam ATM tiket parkir yang self service, mobil
untuk mengangkut sampah di seluruh kota adalah semacam
robot “transformer” dengan lengan untuk memasukkan
sampah. Juga mobil pemotong rumput, pemotong ranting
pohon, sampai traktor kecil untuk membuat galian tanah
adalah alat mekanis. Bahkan untuk menyapu jalan, orang sini
menggunakan semacam mesin blower tangan untuk menghalau
dan mengumpulkan sampah. Saya pernah mengalami gagap
teknologi saat harus menggunakan self key access, semacam
ATM untuk mendapatkan kunci kamar di guest house ANU.
Kalau kita melihat gedung-gedung tua maupun kontemporer
di Sydney atau Melbourne, maka kita akan merasakan sentuhan
arsitektur yang cerdas sekaligus artistik. Hal yang sama juga
terjadi pada ruang publik yang menjadi bagian wewenang
pemerintah kota. Bukan hanya keterjangkauan, tetapi juga
memperhatikan fungsi dan kebutuhan stakeholder sekaligus
memfasilitasi aturan yang ingin ditegakkan. Tak heran, jalanan

44
telah dirancang sedemikian rupa dengan sangat detail dan
memudahkan pengguna jalan termasuk orang cacat.
Mungkin hal-hal di atas terjadi karena semua sudah ada
standarnya, termasuk bahwa semua keahlian disertifikasi.
Mengasuh bayi di childcare, plumbing, pekerja bangunan, listrik,
housekeeping, semua harus melalui sertifikasi di berbagai institute
of technology. Hanya program pemasangan insulasi rumah di
era Kevin Rudd sebagai upaya spontan mengatasi dampak krisis
ekonomi global serta penghematan listrik yang gagal dan banyak
terjadi kecelakaan, sering dikritik karena kurang ahlinya para
pekerja pemasang.
Di Canberra ada Institute of Sport yang berhasil mencetak
para olahragawan berprestasi sekelas olimpiade. Tahun ini, the
Socceroo berhasil masuk ke ajang Piala Dunia. Ini bukan hal
yang biasa mengingat di Australia sepak bola bukanlah olahraga
favorit, meski kebanyakan warga memiliki akar budaya Inggris.
Orang Australia yang lebih suka sepakbola gaya Australia, kriket
atau berkuda mampu melampaui prestasi negeri-negeri lain yang
bertahun-tahun dikenal lebih gila bola. Untuk hal ini sepertinya
“etos Australia” bisa dijadikan jawaban memuaskan. Wallohu
a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 45


Museum-Museum Australia

M
eski termasuk “muda” secara sejarah dan budaya, Australia
memiliki banyak sekali museum. Museum imigrasi, museum
binatang, museum maritim, museum film and archieve, museum
film dan audio, museum pencetakan uang, museum pendirian
jembatan Sydney, war memorial, dan museum Kota Canberra
untuk menyebut beberapa diantaranya. Australia seakan terus
menuliskan sejarahnya dengan membangun berbagai museum
tersebut. Kebanyakan museum milik pemerintah Australia adalah
free of charge alias gratis, tapi dengan fasilitas, koleksi, dan
pelayanan yang sangat bagus.

Penataan koleksi dilakukan secara detail dengan perencanaan


yang matang, termasuk dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi dan visualisasi tiga dimensi. Audio visual

Nico A n dri a nto 47


dirangkai dengan berbagai koleksi untuk memperkuat tema-
tema yang relevan.
Museum di Australia jauh dari kesan angker, lembab, dan
membosankan. Pada berbagai momentum, museum Australia
juga menampilkan berbagai tema-tema tertentu yang menarik
banyak pengunjung termasuk anak-anak sekolah, pensiunan,
dan khalayak umum. Selain untuk mengenal sejarah bangsanya,
datang ke museum juga berarti untuk memperoleh berbagai ilmu
pengetahuan yang berguna.

Museum Nasional Australia


Sesaat setelah masuk Museum Nasional Australia di Canberra,
kita disuguhi tiga segmen film tentang sejarah Australia dalam
studio berputar dengan tata suara dan gambar dari puluhan
televisi layar datar yang excelent. Ketiganya terdiri dari era
Aborigin, era kedatangan Bangsa Eropa sejak Captain Cook,

dan Australia kontemporer yang multikultur. Museum ini ingin


menonjolkan sebuah kebijakan publik terkait multikulturisme
dan pengarusutamaan Aborigin sebagai penghuni asli benua

48
Australia dengan berbagai hak-hak adat budaya yang melekat.
Bangsa Aborigin telah ada di Benua Australia ribuan tahun di era
Eora. Peninggalannya bisa kita temukan di Uluru, ayers rock dan
situs-situs tradisional lainnya. Suku Aborigin sangat terkait dengan
alam, berpindah-pindah, terpecah dalam berbagai sub-tribal dan
budaya. Tampil dalam kemasan ini tarian bertema alam, musik
aborigin, serta model tempat tinggal. Produk-produk budaya
yang dipamerkan diantaranya adalah boomerang, tombak, bubu
penangkap ikan, kain tenun yang seperti batik dan alat-alat hidup
Aborigin lainnya.
Berbagai artefak, lukisan tradisional, film, multimedia, dan
instalasi menggambarkan bagian ini pula. Aborigin identik pula
dengan berburu, batu, olesan tanah liat di tubuh, dan musiknya
yang khas. Ditampilkan pula dingo, kangaroo, emu, koala, harimau
yang punah, possum, wombat, kakatua dan wallabies. Semuanya
tersaji apik dalam artefak, tayangan audio visual, dan pencahayaan
yang indah.
Dengan museum ini Australia ingin menatap ke depan
sejarahnya dan membangun platform berbangsa dengan mengakui
kesalahannya di masa lampau. Kejujuran akan perlakukan kelam
terhadap Bangsa Aborigin di masa lampau, misalnya tentang
“generasi yang hilang” dan permohonan maaf Bangsa Australia,
menjadi tema-tema pentingnya. Sedangkan perlakuan yang
lebih manusiawi dan beradab ditonjolkan di bagian berikutnya,
termasuk peran Aborigin dalam barisan tentara Australia di Perang
Dunia II serta berbagai sektor kehidupan terkini.
Pada bagian berikutnya ditampilkan era kedatangan Bangsa
Eropa serta pencapaian-pencapaiannya sehingga menjadi negara
maju seperti sekarang ini. Bagian selanjutnya menonjolkan

Nico A n dri a nto 49


program multikultur Negara Australia pada beberapa dekade
terakhir. Kebijakan publik sangat kentara mempengaruhi tema
penggelaran koleksi di museum pemerintah pusat Australia ini.
Namun, meski banyak orang Australia mengetahui pernah pada
suatu masa para pelaut Bugis dan Makassar mencari teripang di
pantai Australia Barat, fakta tersebut belum dimasukkan ke dalam
tema museum yang terletak di dekat komplek Australian National
University ini.

Victoria Museum
Museum ini memberi impresi yang sangat kuat akan keinginan
negara bagian Victoria untuk membuat museum berkelas dunia.
Dengan bangunan ultra-modern, dipadu dengan koleksi yang
sangat menarik dan edukatif, menjadikan Victoria Museum tempat
yang layak untuk dikunjungi. Bisa dicapai dengan suttle bus gratis
yang disediakan pemerintah kota, museum ini menjadi salah satu
ikon kota yang digemari anak-anak dan keluarga.
Masuk ke dalam museum ini kita disuguhi berbagai kerangka
dinosaurus yang lumayan lengkap. Ukurannya yang raksasa tentu
saja menarik perhatian para pengunjung. Dinosaurus pemakan
daging, pemakan tumbuhan, dan burung purba ditampilkan di

50
bagian ini. Kerangka ikan paus raksasa juga melengkapi bagian
ini, dengan visualisasi dan reka ulang kehidupan purba pada
beberapa bagiannya.
Pada bagian selanjutnya, terpapar berbagai koleksi tentang
binatang khas Australia, beberapa diantaranya dalam keadaan
hidup. Berbagai ragam burung, serangga, ikan, invertebrate, dan
mamalia dipajang di museum ini dengan tampilan yang sangat
artistik. Interaktivitas sangat ditonjolkan di beberapa bagiannya
dengan bantuan teknologi, sehingga anak-anak bisa dengan
mudah belajar mengenali ciri-ciri, suara, sifat, dan cara hidup
binatang-binatang tersebut.
Pada bagian lainnya, berbagai binatang dari seluruh
dunia yang telah diawetkan menjadi koleksi yang artistik
sekaligus edukatif. CSIRO, atau LIPI-nya Australia banyak
menyumbangkan koleksinya di museum kota metropolitan ini,
termasuk berbagai mainan dan sarana pendidikan interaktif
berteknologi tinggi. Bukan hanya mengenal binatang, pada
bagian the human body, kita diperkenalkan dengan organ
tubuh kita. Berbagai bagian dalam tubuh kita, beserta berbagai
penjelasan ilmiahnya turut dipamerkan. Pada bagian brain kita

Nico A n dri a nto 51


diperkenalkan dengan fungsi-fungsi otak kita dengan berbagai
pengaruh psikis dan emosinya.
Di museum yang terletak di tengah Kota Melborne ini, pada
bagian dalam juga membangun hutan dengan gambaran yang
sesungguhnya. Desainnya yang sangat matang memungkinkan
kita melalui track-nya sambil mempelajari ekosistem hutan
dengan aneka pepohonan, binatang-binatang, burung-burung,
sungai, dan rawa-rawanya. Pembelajaran yang ingin disampaikan
adalah pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, mencegah
kebakaran hutan, menghargai pentingnya air, dan sebagainya.
Menghadirkan hutan di tengah metropolitan Melbourne, itulah
sensasi yang ditawarkan bagian ini.
Pada bagian terakhir disajikan IMAX, gedung bioskop dengan
layar terbesar ketiga di dunia. Bioskop ini juga bisa menampilkan
film tiga dimensi dan tata suara yang prima. Dengan bantuan
kacamata khusus, kita bisa menikmati berbagai tayangan tentang
alam semesta, peradaban-peradaban kuno, dan tentu alam
lingkungan di sekitar kita.

Museum Kota Canberra


Sebuah brosur memuat tulisan, “Canberra, Our Nation, Your
Capital” menjadi salam persahabatan dari ibukota Australia ini.
Sebagaimana di banyak negara bagian, Australian Capital Territory
(ACT) tak ketinggalan juga memiliki museumnya sendiri. Museum
ini menceritakan tentang sejarah ibukota Australia ini dalam
berbagai bentuk tampilan artefak, dan produk-produk seni.
Dipamerkan berbagai koleksi terkait perkembangan Kota
Canberra mulai awal pendiriannya sampai menjelma menjadi kota
modern saat ini. Pada beberapa bagian dipajang berbagai koleksi

52
yang merupakan sumbangan warga kota, semisal koleksi mainan
anak-anak, mobil-mobilan dengan berbagai bentuknya, sesuatu
yang mungkin hanya bisa dipahami jika kita menjadi bagian dari
kota ini. Salah satu yang ditampilkan di museum ini adalah sosok
Ned Kelly yang sangat fenomenal di negara benua ini. Penjahat
dengan berbagai sisi menarik kehidupannya ini tergambar dalam
berbagai tema lukisan.

Nico A n dri a nto 53


Di museum ini juga dipamerkan kendaraan polisi, penjara
jaman dahulu, sampai polisi sahabat anak-anak. Untuk
memperingati agar tidak terulang polisi korup, pemerintah ACT
memasukkan ke dalam museum tentang polisi yang jahat dan
korup, sebuah kejujuran untuk mengakui kesalahan masa lalu.
Mereka seolah ingin mengatakan bahwa korupsi di kepolisian
adalah bagian masa lalu yang sudah masuk museum. Sebuah kisah
yang masih relevan dengan kondisi negara kita dimana korupsi
seharusnya segera dimasukkan ke museum pula. Sebab korupsilah
yang mencegah kita mewujudkan museum-museum berkelas
dunia seperti yang ada di Australia. Wallahu a’lam bissawab.
qqq

54
Belajar dari Pengelolaan
Alam Lingkungan di Australia

S
egar dan melegakan paru-paru, begitulah udara yang saya hirup
di Canberra. Meski Matahari terik menyengat, tapi angin terasa
dingin di awal musim panas itu. Beraneka tumbuhan empat musim
menghiasi seantero kota. Beberapa jenis cemara mengeluarkan
aroma segarnya khas. Pengaturan tata ruang kota yang bagus dan
konsisten, larangan membakar sampah dan kepadatan kendaraan
yang rendah turut mendukung lingkungan yang alami tersebut.

Di pagi dan sore hari kita akan disambut koakan suara aneka
burung. Burung-burung di sini memang bebas merdeka. Bebek
(Plumed Whistling Duck) dan angsa hitam (Black Swan) datang
dan pergi dari berbagai kolam dan danau yang ada di Canberra.

Nico A n dri a nto 55


Sementara, Kakaktua putih (Sulphur-crested Cockatoo), Kakaktua
merah (Galah), gagak, Australian Magpie, jalak, merpati, maupun
aneka burung parkit yang berwarna-warni juga bebas berkeliaran.
Mereka berkelompok di taman-taman kota, rerumputan pembatas
jalanan, termasuk di halaman flat saya di bilangan Campbell.
Burung-burung itu makan dari berbagai tanaman yang
tersedia di ruang publik, seperti plum yang berbuah di musim
semi serta biji-bijian lainnya. Pada bulan Oktober-November
saat musim beranak, burung Australian Magpie terlihat sangat
protektif terhadap anak-anak mereka yang baru menetas. Mereka
sering paranoid dengan menyerang serta mengejar pengendara
sepeda yang lewat di dekat sarangnya sampai berkilo-kilometer
jauhnya demi “keselamatan” bayi mereka.
Upaya burung Australian Magpie ini tak sia-sia, karena pemerintah
Australia membantu dengan seperangkat paraturan untuk perlindungan
spesies-spesies yang berpindah tempat dengan cara terbang ini.
Sanksi hukuman denda telah menanti bagi mereka yang menembak
burung-burung, khususnya di dalam kota. Saya tidak pernah melihat
pelanggaran atas aturan tersebut, meskipun dari pemberitaan ada juga
orang yang ditangkap karena mencuri-curi kesempatan.

56
Bukan hanya di Canberra yang “ndeso”, tapi di kota-kota lain
yang pernah saya kunjungi burung-burung sejenis juga bebas
beterbangan. Di kota-kota tepian pantai semacam Melbourne,
Sydney, atau Wollongong, burung-burung laut seperti camar
bahkan masuk ke pusat kota. Di pantai, burung-burung camar
bersama bangau, pelikan dan lainnya menjadi atraksi tersendiri
saat orang-orang memberi mereka makanan. Juga, di Canberra
sudah biasa jika kita menemukan possum di luar jendela kamar,
kelinci liar, atau kangguru berlompatan di jalanan di pagi hari
tertinggal dari kawanannya.
Kalau di dalam kota pemerintah Australia biasanya membangun
botanical garden atau taman-taman kota di setiap suburb, di luar
kota mereka menetapkan dan mengelola natural reserve atau

Nico A n dri a nto 57


national park untuk menjaga eksistensi binatang dari desakan
manusia. Salah satunya adalah Tidbinbilla Natural Reserve,
tiga puluh menit dari pusat Canberra, yang mengusung konsep
konservasi lingkungan sekaligus wisata alam. Para pengunjung
bisa melakukan perjalanan dengan kendaraan atau jalan kaki
penjelajahan. Di tempat tersebut pemerintah mengedukasi para
pengunjung akan pentingnya menjaga lingkungan hidup serta
keanekaragaman flora dan fauna.
Di Tidbinbilla Natural Reserve, pengunjung bisa melihat
secara langsung habitat kanguru, koala, burung emu, serta aneka
burung lainnya, reptile, dan serangga di alam terbuka. Selain bisa
berfoto, memegang, dan berinteraksi dengan berbagai binatang di
stan yang disediakan, terdapat pula sanctuary dengan track khusus
sebagai highlight dari natural reserve tersebut. Dengan berjalan
kaki berkelok-kelok di jalur sekitar tiga kilometer, kita sudah bisa
menikmati hutan, gemericik aliran sungai, genangan rawa-rawa,
gemerisik angin menyapu semak-semak dengan berbagai hewan
liarnya serta penjelasan ilmiahnya. Akhirnya, aneka merchandise
dan souvenir juga disediakan di shop yang disediakan di dekat
pintu keluar Tidbinbilla.
Sedangkan siklus alam di kota Canberra, saat spring daun-
daun dan bunga bermekaran, acara seperti festival bunga Flouriade
ramai dikunjungi wisatawan, summer banyak binatang turun bukit
masuk ke pinggiran kota di malam hari mencari makanan, saat
autumn daun-daun berubah warna mengundang para fotografer
mencari obyek artistik, sebelum akhirnya berguguran. Sedangkan
saat winter segalanya membeku, morning frost di rerumputan dan
pepohonan, hewan-hewan bersembunyi, lalu orang-orang pergi
ke Perisher Blue untuk bermain salju.

58
Meski terdapat daerah tropis di utara, sebagian besar
Australia berada di wilayah sub-tropis dengan gurun pasir di
tengah daratannya, serta memiliki garis pantai yang sangat
panjang. Dinding perbukitan berbatu-batu yang indah di berbagai
negara bagian sering dijadikan obyek wisata untuk dinikmati
melalui helikopter. Di Canberra yang berbukit-bukit dibangun
danau-danau buatan untuk menampung air hujan, mencegah
banjir, serta menjadi sumber air minum warga kota. Teman saya
yang hobi memancing sering mendapatkan ikan besar, jenis ikan
yang diperbolehkan untuk ditangkap, di danau ini. Selain itu,
pemerintah Australia juga sangat serius melakukan penghijauan.
Pohon sejenis cemara ditanam di berbagai lahan berbatu agar
menjadi hutan di masa mendatang tempat hewan-hewan
menemukan habitatnya.
Hewan paling popular dari Australia tentu saja kanguru dan
koala, meskipun lambang negara ini adalah kangguru dan burung
emu. Binatang Australia lainnya yang mendunia adalah ikan seperti
dalam film animasi “Nemo” asal Great Barrier Reef, Queensland.
Sedangkan hiu dan buaya, burung penguins di Philip island, serta
laba-laba black widow telah lama terkenal lewat berbagai film

Nico A n dri a nto 59


dokumenter. Aneka macam satwa ini juga muncul di perangko
serta koin dollar Australia.
Selain itu, Australia juga memiliki beberapa kebun binatang
seperti Tarungga Zoo di Sydney, Canberra Zoo, juga museum-
museum sebagai media edukasi. Di Victoria museum Melbourne
dipajang aneka serangga, burung, mamalia yang diawetkan,
beberapa diantaranya berasal dari jaman prasejarah Australia
beserta segala penjelasan ilmiahnya. Di tengah punah dan
munculnya spesies-spesies baru karena perubahan iklim, Australia
seperti tak ingin kehilangan spesies berharga untuk kedua kalinya
seperti sejenis macan Australia yang telah punah beberapa puluh
tahun yang lalu. Para penyayang binatang banyak berperan dalam
upaya konservasi serta menjadi mitra pemerintah dalam upaya
memelihara kekayaan alam yang ada. Mereka mengkampanyekan
perlindungan satwa, mengedukasi masyarakat, membuat
situs-situs di internet, kampanye fotografi, serta melakukan
penggalangan dana. Tak heran, kasus pembantaian Brumbies
(kuda liar) yang dianggap hama menjadi isu nasional yang gaduh
beberapa tahun lalu, yang memaksa pemerintah Australia
menghentikan perburuannya.

60
Di perguruan-perguruan tinggi Australia seperti Crawford
School di ANU terdapat jurusan Environmental Management and
Development, yang membahas isu-isu seperti lingkungan, climate
change yang dikaitkan isu-isu pembangunan serta kependudukan.
Di Australia terdapat Ministry for Sustainability, Environment,
Water, Population and Communities, selain Ministry for Climate
Change and Energy Efficiency. Australia terkenal paling ketat
dalam mem-protect lingkungannya dari intrusi anasir asing, baik
benda maupun hewan. Tak heran, di bandara atau pelabuhan
pengecekan atas barang-barang bawaan biasanya dilakukan
secara ketat.
Australia dengan segala upaya konservasi alam lingkungannya
sepertinya telah menjalankan hadis nabi riwayat Muslim, “Seorang
Muslim tidak menanam tanaman, hingga memakan dari tanaman
itu manusia, binatang atau burung, kecuali merupakan shadaqah
baginya, hingga datang hari kiamat,” pada tataran praktis. Wallohu
a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 61


Makanan Indo di Oz

A
pa respon orang lapar saat menemukan makanan favorit,
misalnya sambal teri yang pedas atau manis gurih pada jarak
ribuan kilometer dari pembuatnya? Apalagi sambal teri tersebut
sudah terhidang di atas piring dengan nasi hangat yang pulen,
dilengkapi dengan kerupuk udang. Ada kalanya dengan aroma
jengkol kesukaan atau terasi yang sedap atau tahu tempe yang
sangat langka. Jawaban pastinya, siapapun akan melahapnya
dengan senang hati.

Begini, jika keadaannya diubah agar semakin jelas. Anda


berada di kota kecil di Australia, setiap hari makanan yang
tersedia adalah khas Eropa, atau dari sudut dunia lain. Terus
ada toko kecil menjual produk makanan Indonesia dengan
harga yang terjangkau untuk ukuran dollar meski tak murah
untuk ukuran Indonesia. Juga terdapat label halal. Tentu yang

Nico A n dri a nto 63


Anda lakukan adalah membelinya dengan gembira. Percaya
nggak, hal terkait makanan ini yang mendorong perdagangan
produk Indonesia di Australia.

Bermula dari kebutuhan alamiah “lapar”, mengalir banyak


produk makanan Indonesia di toko-toko Asia dan supermarket
di Australia ini. Bukan produk televisi, lemari es, atau sepeda
motor made in Indonesia yang saya temui di sini, tetapi sambal
terasi, bumbu gado-gado, kerupuk udang Sidoarjo, sambal pecel
Blitar, abon sapi, serta berbagai bumbu instan. Beberapa produk
Indonesia lainnya di beberapa toko Asia meliputi kecap (soy
souce), bakso, onde-onde, tahu, dan tempe “merah putih”. Untuk
diketahui, produk-produk Thailand, Malaysia, China, India sudah
lama merajai pasar bahan makanan Asia di Australia. Sedangkan
produk Indonesia paling mudah ditemukan di Oz adalah Indomie.
Jumlah masyarakat Indonesia di Australia yang lumayan
banyak menjadi pasar tersendiri bagi produk makanan Indonesia.
Distribusinya diantaranya melalui jaringan komunitas Indonesia,
seperti misalnya K*****a Sembako, sebuah “toko kelontong
kecil” yang menawarkan produk-produk makanan Indonesia.

64
“Koperasi” milik para “ekspatriat” Indonesia ini tersebar melalui
jaringan facebook dan mempunyai fasilitas antar ke rumah jika
pesan banyak, atau kenal sama pengurusnya. Sedangkan toko
bahan makanan halal/Asia yang lebih besar pernah saya temui
di Lakemba, sebuah suburb di Sydney. Kota-kota besar semacam
Sydney atau Melbourne yang banyak komunitas Indonesia
memang jalur perdagangan bahan makanan asal Indonesia.

Di Australia biaya tenaga kerja mahal, sehingga makan di


restoran juga tidaklah murah biayanya. Makanya kebanyakan
student Indonesia memilih memasak sendiri di flat atau unitnya
masing-masing. Produk bahan makanan Indonesia menjadi favorit
mereka untuk mengobati kangen tanah air sekaligus menghemat
biaya. Orang-orang yang bisa menangkap peluang usaha di bidang

Nico A n dri a nto 65


makanan Indonesia ini adalah mereka yang cerdas sekaligus
berjasa ikut memasarkan produk dan budaya Indonesia.
Setiap orang Indonesia yang bepergian ke suatu kota besar di
Australia, maka restoran makanan Indonesia adalah tempat tujuan
favorit mereka. Kata teman, banyak restoran Padang di Sydney
dan Melbourne. Saya sendiri menemukan dua restoran Indonesia
saat berlibur ke Melbourne, yaitu Nelayan: Indonesian cuisine
dan frenchise Es teller 77 di bilangan Swanston Street yang cukup
strategis (sebut merek ikut promosi lho). Menu yang ditawarkan
mulai nasi dan mie goreng, nasi uduk, pecel lele, ayam bakar, bakso,
rendang, kue klepon, donat, teh botol, es campur, dll.
Saya agak heran mengapa hanya sedikit orang Indonesia yang
membuka restoran di Australia, padahal pasarnya ada. Mungkin
karena makanan Indonesia agak rumit cara memasaknya, tidak
seperti Kebab Turky atau Pizza Italia yang telah lama mendunia.
Lalu bagaimana dengan fenomena banyaknya restoran Thailand,
Burma, Malaysia, Vietnam, Jepang, China. Mungkin jawaban
yang lebih pas, orang Indonesia tak terlalu pandai berdagang.
Padahal terbukti, kedua restoran Indonesia tersebut sangat laris
didatangi banyak konsumen. Jadi, pasar bukanlah kendala. Selain
orang-orang Australia umumnya, restoran Indonesia juga punya
pelanggan loyal para orang-orang “Indo” di Oz.
Memang, kalau sudah menyangkut makanan, orang Indonesia
pasti kangen dengan selera asal. Tak peduli apa profesinya, gajinya,
asal daerahnya, makanan Nusantara mempersatukan kami semua.
Saat di jalanan mungkin kita tidak bisa mengenali seseorang dari
tampilannya, apakah Melayu Malaysia, Tionghoa dari Thailand
atau dari Indonesia, tapi saat di dalam restoran Indonesia akan
kelihatan dari mana ia berasal. Dari celotehan mereka, akhirnya

66
bisa ditebak dari sudut Indonesia mana mereka pernah tinggal.
Hal yang lebih jelas lagi, acara-acara di KBRI yang menghidangkan
masakan Indonesia “pasti” diserbu banyak orang Indonesia seperti
acara tujuh belasan.
Makanan memang bisa menjadi penanda budaya seseorang.
Rasa makanan mak nyuss yang sering dinikmati sejak kanak-
kanak, akan membentuk selera dan mengantarkan orang pada
identifikasi budaya. Ketika banyak orang belum merasakan makan
kalau belum makan nasi, maka makanan lainnya hanyalah serasa
kudapan belaka. Makanan Nusantara, adalah salah satu produk
hybrid bangunan budaya yang bernama Indonesia. Orang boleh
bertolak belakang pandangan politik, memiliki strata sosial yang
berbeda, atau berbeda keyakinan, namun bisa bertemu dalam
kegemaran makanan yang sama.

Namun, budaya makanan masyarakat bisa berubah. Saya


pernah bertemu seorang Inggris sedang menanak nasi di Asrama
mahasiswa Toad Hall. Ketika saya tanya mengapa dia makan nasi,
justru dia merasa aneh dengan pertanyaan saya karena ternyata di

Nico A n dri a nto 67


Inggris sudah hal biasa orang bule makan nasi, karena banyak toko
Asia di UK. Australia yang menjadi multikultur juga mengubah
kebiasaan makan warganya. Juga kesimpulan lainnya, kalau selera
nusantara masih kuat maka budaya kita juga masih eksis.
Seharusnya makanan Indonesia bisa mendunia. Sudah
saatnya para frenchisor Indonesia datang ke Australia untuk
menjaring konsumen potensial sekaligus dollar. Jangan silau oleh
kesan “Barat”, Australia. Rekan-rekan restoran Asia sudah pada
datang ke Australia. Buat Cak Man bakso kota, Pak Puspo Wardoyo
Wong Solo, atau lainnya, ditunggu kehadirannya di Australia.
Wallohu a’lam bissawab.
qqq

68
“Duit Ostrali”

D
i penghujung sampai pergantian tahun (November-Januari)
kemarin nilai tukar dollar Australia (AUD) terhadap rupiah
(IDR) menguat sangat signifikan. Dari yang biasanya berkisar
Rp8.000,00 per dollar, pada periode tersebut mencapai sekitar
Rp9.000,00 per dollar. Bahkan AUD mencatat sejarah untuk
pertama kalinya melampaui nilai Dollar Amerika Serikat (USD).
Kondisi tersebut tentu saja berkah bagi para pekerja “mahasiswa”
yang mentransfer dollar hasil peras keringat selama di Australia
ke Tanah Air, yang biasanya melalui kanggaru.net milik seorang
Indonesia di Australia.

Otot-otot perekonomian Australia semakin perkasa sejak


meningkatnya permintaan atas produk-produk Australia di pasar

Nico A n dri a nto 69


dunia. Negeri seperti China dan India yang haus bahan baku dan
sumber energi untuk geliat industri mereka melakukan impor
besar-besaran atas produk-produk Australia. Lonjakan permintaan
terhadap batu bara, bahan-bahan tambang serta produk pertanian
dan peternakan (life stock) otomatis meningkatkan pula kebutuhan
dunia akan mata uang bergambar ratu Inggris tersebut.

Saya pernah mengunjungi Royal Australian Mint di bilangan


Denison Street, Canberra. Pabrik uang koin Australia ini
menghasilkan enam jenis koin pecahan 5, 10, 20, dan 50 cent, serta
1 dan 2 dollar. Koin pecahan cent berwarna keperakan, sedangkan
koin pecahan dollar berwarna keemasan. Kalau ukuran koin cent
berbanding lurus terhadap nilai nominalnya, sebaliknya koin 2
dollar lebih kecil ukurannya dari koin 1 dollar. Ukuran masing-
masing jenis koin adalah standar, mengingat koin digunakan di

70
banyak mesin pembayar (ATM) dari urusan parkir, bayar tiket bus,
sampai telepon umum. Sedangkan untuk uang kertas (bank notes)
terdapat pecahan 5, 10, 20, 50 dan 100 dollar yang semuanya
dicetak di pabrik duit di Melbourne.
Di Royal Australian Mint, pengunjung bisa melihat koin
Australia dari tahun ke tahun. Saya jadi tahu bahwa gambar di uang
koin Australia dibalik gambar Ratu Inggris adalah beraneka ragam.
Setiap tahun Australia mengeluarkan edisi koinnya, bergantung
momen dan tema yang sedang dipilih. Untuk jenis koin yang sama,
ada edisi olimpiade, edisi ilmu pengetahuan, edisi kepahlawanan,
edisi flora dan fauna, edisi luar angkasa, dll. Terdapat pula koin
edisi khusus yang diperjualbelikan sebagai cendera mata yang
dibuat dari emas dan perak.

Melalui lorong dinding kaca tembus pandang di lantai


atas, kita bisa melihat proses pembuatan uang koin, mulai dari
desain, pencetakan, pemolesan sampai pendistribusiannya.
Jika kita datang saat jam kerja, kita bisa melihat para pekerja
mengoperasikan alat-alat otomatis yang beberapa diantaranya
seperti lengan robot. Dari tempat tersebut kita juga bisa melihat

Nico A n dri a nto 71


tumpukan koin setengah jadi, yang sekilas seperti gudang koin
Paman Gober dalam cerita Donald Bebek. Di pabrik duit ini kita
juga bisa mencoba membuat uang sendiri, dengan memasukkan
koin dua dollar ke dalam mesin khusus, dan kita bisa melihat
prosesnya sampai keluar uang se-dollar serta bungkusnya sebagai
souvenir.
Dari pabrik koin ini didistribusikan cent dan dollar untuk
mengisi kebutuhan bank, mal, pasar, serta dompet orang-orang di
seantero Australia. Dengan duit dollar sebagai alat tukar tersebut
roda perekonomian Australia berputar dalam siklus usaha yang
naik dan turun, tergantung iklim ekonomi dalam negeri serta
global. Perdagangan dengan negara-negara lain di kawasan
maupun di ujung dunia pun berjalan.
Jika dilihat di berbagai mal dan market bisa dikatakan produk-
produk murah China telah merasuk begitu dalam pada struktur
perekonomian Australia. Barang mulai dari mug, t-shirt, sepatu,
tas, ATK, handphone, souvenir, makanan bahkan mungkin bendera
Australia adalah made in China, yang dipasarkan melalui toko-
toko seperti Top Bargain, Hot Dollar atau Price Attack. Banyak
pula produk mainan anak-anak didesain di Australia, tapi dibuat
di daratan China. Di Padys Market di Sydney atau Victoria Market
di Melbourne, produk pakaian dan souvenir khas Australia
dengan label made in China yang gampang dirobek sangat mudah
ditemukan.
Tak pelak, upaya Australia membendung perkembangan ini
dengan melabeli produk-produknya “Australian made” berlambang
kanguru menghadapi tantangan yang sangat berat. Juga, pada boxing
day saat toko melakukan obral besar-besaran beberapa waktu lalu,
produk China yang memang murah saya lihat tidak termasuk yang

72
dipotong harganya. Efek samping lainnya, kebanyakan barang yang
dijual di garage sale atau Sunday market juga adalah produk-produk
berkualitas rendah dari Negeri Tirai Bambu ini.

Akhirnya, gejolak fluktuasi kurs mata uang antar negara


berpengaruh pada isu-isu perdagangan bebas, daya saing produk
antar negara dan juga perbedaan purchasing power parity.
Pedang uang China begitu tajamnya sampai membuat keteteran
negeri adidaya Amerika Serikat. Sementara China berusaha
mendevaluasi “Renmimbi” atas mata uang dunia untuk menjaga
daya saing produknya agar tetap kuat. Negara seperti Amerika
Serikat berusaha menekan Negeri Tirai Bambu tersebut untuk
menaikkan nilai mata uangnya.
Kondisi yang mengarah pada “perang mata uang” menjadi
pokok bahasan yang menarik di universitas-universitas, termasuk
kampus saya, ANU College of Asia and the Pacific, dimana mata
kuliah seperti China and the World menjadi tren baru. Australia
mengamati dengan seksama geliat China, misalnya dengan
membentuk pusat-pusat kajian yang diantara produknya adalah
jurnal-jurnal ilmiah yang berpengaruh.
Bukan hanya mengundang produk-produk China,
perekonomian Australia yang prospektif juga menyerap banyak
tenaga kerja termasuk diantara para student. Karena membutuhkan
banyak tenaga kerja, khususnya untuk “pekerjaan casual” seperti

Nico A n dri a nto 73


cleaner, house keeper, loper koran, kasir toko, pemetik buah atau
jamur yang kebanyakan orang sini kurang tertarik, pemerintah
Australia mengijinkan para mahasiswa bekerja part time 20 jam per
minggu dan full time bagi spouse mereka.
Demi duit Ostrali inilah banyak di antara mahasiswa kita
bekerja. Jadi jangan heran kalau yang membersihkan gedung atau
yang menjadi security atau cashier di mal adalah para kandidat
doktor atau master di berbagai bidang keilmuan. Saya pernah
bertemu seorang mahasiswa S-3 RMIT bekerja sebagai asisten
toko di Victoria Market, Melbourne yang tugasnya membuka
dan menutup toko. Dengan rate salary tinggi yang berbeda antar
negara bagian, mereka berlomba mengumpulkan bugs demi
bugs sebagai tabungan. Dari sinilah istilah “full time work, part
time study” bermula. Kalau setelah pulang ke Tanah Air mereka
bisa membeli rumah, mobil, atau biaya menikah itu bukan karena
korupsi, tetapi dari hasil membanting tulang.

Australia juga masih membutuhkan banyak tenaga kerja


terampil, khususnya di bidang kesehatan. Karena kekurangan

74
dokter dan perawat, kalau “sakit ringan” perlu beberapa hari
appointment sebelum kita ditangani oleh dokter. Dengan cukup
pelatihan, sertifikasi keilmuan, standarisasi dan bahasa inggris
yang bagus, terbuka peluang bagi TKI kita untuk bekerja di bidang
kesehatan, selain juga perhotelan atau kerja kasar lainnya. Gaji
tinggi dengan perlindungan tenaga kerja yang lumayan bagus,
berpotensi menciptakan para “pahlawan devisa”.
Uang memang bisa membeli banyak hal, tapi bukan segalanya.
Kalau di Indonesia duit gambar Gayus sangat digemari anak-anak,
paralel dengan rupiah yang bisa digunakan untuk membeli suara
pemilih dan bahkan keadilan seperti kasus joki penjara atau
plesiran Gayus ke Bali, sebaliknya di negara maju seperti Australia
pasca krisis banyak mantan eksekutif swasta bergaji tinggi rela
bekerja di lembaga sosial dengan bayaran murah atau bahkan
tidak digaji. Tentu yang begini yang mereka cari adalah kepuasan
non material, bukan duit Ostrali. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 75


Melbourne, Sydney atau
Canberra terbaik untuk
Kuliah?

B
anyak pertimbangan sebelum seseorang memilih suatu kota
sebagai tempat kuliah, mulai dari mutu universitasnya, jurusan
studi yang tersedia, murah mahalnya biaya hidup, mudahnya
mencari akomodasi, kerja part time sampai menarik tidaknya kota
tersebut. Kalau bisa wisata sambil kuliah, eh ….. kuliah sambil
menikmati indahnya negeri yang kita datangi, tidak ada salahnya.
Saya dulu memilih Canberra dengan minim pertimbangan, tapi

Nico A n dri a nto 77


alhamdulillah cukup memuaskan. Dengan tidak mengesampingkan
kota-kota lain seperti Adelaide, Perth, Wollongong, atau Brisbane
yang sedang terkena musibah flash flooding, inilah hasil
perenungan saya.

Pertama, Sydney tempat UNSW, Sydney University, UTS,


SCU dan UWS adalah kota Australia yang wajib dikunjungi. Opera
House dan Sydney Harbour Bridge adalah dua icon Australia yang
sudah mempunyai brand name kuat di seluruh dunia. Berfoto di
depannya adalah jaminan orang akan diakui telah berkunjung ke
Australia, setidaknya bagi teman-teman facebook atau tetangga
dekat rumah. Tahun baru di Sydney adalah kejadian kelas dunia
yang menjadi tujuan wisata banyak orang, bahkan kaum selebritis.
Permainan firework yang fenomenal di jembatan Sydney Harbour
menyedot kehadiran jutaan orang dari segala penjuru dunia.
Kita bisa menjangkau seisi kota dengan bus, kereta api, tram,
taksi, perahu, helikopter atau menyewa mobil di bandara. Terdapat
bis merah bertiket untuk menjelajahinya dari tempat-tempat
wisata seperti Sydney Aquarium, Museum Maritim, Museum of
Sydney, The Australian Museum, Sydney Botanical Garden, Sydney

78
Harbour National Park, Opera House dan Sydney Harbour Bridge,
dan ANZAC Memorial. Agak keluar kota terdapat Taronga Zoo,
Luna Park, dan Bondi beach yang terkenal.
Kota kosmopolitan
Sydney dengan 4,3 juta
penduduk (sensus 2006)
membuat kita tidak kesepian
selayaknya hidup di Indonesia
yang ramai, asal tidak
larut oleh negatif hingar-
bingar kota. Kita mudah
mendapatkan aneka jenis
makanan, termasuk menu
Indonesia di sini. Komunitas
Indonesia juga ramai di
beberapa suburb kota
terbesar Australia ini seperti di Lakemba. Kita juga bisa menikmati
indahnya panorama seisi kota dari ketinggian Sydney Tower dan
skywalk tower. Kalau masih tersisa uang, kita bisa belanja oleh-
oleh di Padys Market untuk yang terkenal menjual aneka souvenir
“murah”.
Sebagai kota pelabuhan tempat bongkar muat barang-barang
import, di Sydney biaya hidup lebih murah, tapi salary kerja part
time pun lebih rendah dibanding kota semacam Canberra. Hal
yang harus diingat, mencari pekerjaan part time di Sydney lebih
sulit, karena harus bersaing dengan orang-orang lokal. Sedangkan
mencari akomodasi termasuk mudah di kota yang Central Station-
nya bisa ditempuh dengan 3 jam naik bis dari Canberra.

Nico A n dri a nto 79


Lalu, Melbourne kota tempat Melbourne University, Victoria
University, La Trobe University, RMIT, Swinburne dan Monash
University ini terkenal dengan event internasional pacuan kuda
tahunan, Melbourne Cup, Tenis Australia Open dan F-1 motor GP.
Berjalan-jalan di Melbourne terasa benar-benar di Dunia Barat.
Melbourne adalah perpaduan kota berarsitektur kuno dan modern
seperti bisa dilihat dari gedung tua Flinders Street Station dan
Southern Cross Station yang ekstra modern. Tram dengan jalur-
jalurnya yang membelah sampai ke sudut-sudut kota adalah alat
transportasi khas Melbourne yang masih berfungsi hingga kini.
Dipadu dengan bus, kereta api, taksi, helicopter, perahu, dan
sewa mobil berbayar atau suttle bus wisata dan City Circle tram
route gratis, kita bisa menjelajahi kota untuk melihat Victoria
Museum, Bioskop IMAX, Museum Imigrasi, Recital and Sound
archive, Royal Botanic Gardens Melbourne, Melbourne Zoo,
Melbourne Aquarium, National Sport Museum, Geelong Baech,
Shrine of Remembrance, melihat aneka karnaval dan art exhibition,
menyusuri Yarra river atau kita bisa menikmati pemandangan
seluruh kota dari Eureka Skydeck Tower yang memiliki 88 tingkat.
Agak keluar kota, kita bisa ke Balarat, kota wisata yang

80
dipertahankan berarsitektur kuno beserta penduduknya yang
berpakaian seperti di abad 19, atau Philiph Island untuk melihat
habitat penguins. Menjelajahi Great Ocean Road dengan tebing
dan hamparan pasir sepanjang puluhan kilometer adalah
pengalaman yang tak terlupakan. Sedangkan untuk oleh-oleh
keluarga kita di tanah air
kita bisa berbelanja di
Queen Victoria Market,
untuk membeli aneka
T-Shirt, boneka semacam
kanguru dan koala,
gantungan kunci, lampu
kristal khas Australia, serta
bumerang.
Komunitas Indonesia
dan Asia termasuk ramai
di kota yang terlihat sangat
multiethnic ini. Kantor
Radio Australia terletak
di sisi selatan kota yang

Nico A n dri a nto 81


dibelah oleh Sungai Yarra. Di kota yang bisa dijangkau dengan 8
jam naik bis dari Canberra ini mencari akomodasi relatif mudah,
sedangkan kerja part time dengan membuka tutup toko, cleaner,
menjadi security yang harus bersaing dengan resident lainnya dari
kota berpenduduk sekitar 3,7 juta jiwa ini (sensus 2006) dengan
salary lebih rendah
dibanding Canberra.
Akhirnya, Canberra
kota tempat Australia
National University,
University of Canberra,
Canberra Institute of
Technology dan Australian
Institute of Sport berada
dengan julukan Bush
Capital memiliki even
terkenal seperti festival
bunga “Flouriade”,
multicultural event dan
Balloon Fiesta. Di kota

82
dengan bunga sakura dan tulip di berbagai sudut, didesain dengan
sangat baik oleh Walter Burley Griffin dengan lingkungan yang
alami serta danau buatan di tengahnya yang sangat nyaman untuk
tempat kuliah.
Kota terdingin di Australia ini adalah tempat Parliament House
dan Perdana Menteri Australia berkantor. Juga berlokasi Museum
Nasional, Perpustakaan Nasional, War Memorial, Royal Australian
Mint, National Film and Sound Archive, Australia National Botanic
Garden, National Gallery, dan Canberra Deep Space yang gratis
dikunjungi. Sedangkan yang berbiaya ada miniatur bangunan
seluruh dunia di Cockingtong Garden, habitat Kanguru, burung
Emu dan Koala di Tidbinbilla Nature Reserve, atau taman
edutaintment Questacon. Kesemuanya bisa kita jangkau dengan
bus Action, taksi atau mobil pribadi. Di musim dingin orang-orang
bahkan dari Sydney dan Wollongong pergi ke Perisher Blue, tiga
jam dari Canberra untuk bermain salju.
Seperti di Melbourne maupun Sydney, Canberra juga memiliki
Telstra tower dari ketinggian 800 meter di atas black mountain
untuk menikmati panorama kota dengan pancaran water jet-nya
di Lake Burley Griffin. Di Canberra agak sulit mencari akomodasi,
tapi mudah mencari kerja part time dengan salary yang boleh
dikata tertinggi di Australia. Meski tidak seramai di Melbourne dan
Sydney, di Canberra yang saat ini berpenduduk sekitar 334 ribu
jiwa (sensus 2006) terdapat komunitas Indonesia yang lumayan
ramai. KBRI juga terletak di kota hasil jalan tengah persaingan
antara Melbourne dan Sydney untuk menjadi ibu kota Australia.
Sepertinya menjadi kebiasaan kita yang mempunyai kota
obyek wisata namun malah jarang menikmatinya. Kalau rekan-
rekan saya di Melbourne atau Sydney “jarang” menjelajahi

Nico A n dri a nto 83


kotanya mungkin karena terlalu sibuk belajar, banyak rekan saya
di Canberra malah melakukan konvoi tour ke beberapa kota dan
negara bagian saat liburan. Di antara mereka ada yang berkemah
di beberapa lokasi selama perjalanan yang sangat menantang,
diantaranya sampai ke Sydney, Melbourne, Gong Beach di
Wollongong dan Gold Coast di Brisbane.
Promo wisata di Australia sangat terintegrasi dengan
informasi hotel dan transportasi, dimana kalender wisata tetap
telah dirancang dengan baik yang bisa diakses dari website
wisata seperti visitvictoria.com, sydneytorguide.com.au,
Australianexplorer.com, atau dengan brosur dan buku saku di
banyak bus terminal, airport atau train station. Kalau ingin murah
bisa menginap di flat teman kita di kota tujuan.
Di Canberra tersedia bis Greyhound atau Murrays yang
dengan pemesanan online siap mengantarkan kita ke Sydney
atau Melbourne. Kalau ingin lebih cepat, kita bisa meluncur dari
Canberra airport dengan Tiger arways, Virgin Blue atau Quantas.
Dengan beberapa pertimbangan subyektif, sepertinya Canberra
tetap merupakan pilihan terbaik tempat kuliah, dengan kesadaran
bahwa tujuan kita ke Australia adalah untuk menuntut ilmu, bukan
wisata. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

84
Merasakan Kuliah di Australia

S
ungguh bukan perkara mudah bagi saya untuk memperoleh
beasiswa Australian Development Scholarship. Saat S-1
dulu saya mati-matian mencari IPK di atas 3 agar bisa melamar
beasiswa luar negeri, dan setelah dapat masih harus lima kali apply
sebelum akhirnya dipanggil. Saat wawancara saya ungkapkan
alasan kenapa saya layak dapat chance untuk merasakan bangku
kuliah di Australia karena ilmu yang saya cari terkait erat dengan
pekerjaan saya di Indonesia, serta tentu saja dengan menceritakan
perjuangan panjang saya. ☺

Mungkin yang menjadi salah satu pertimbangan yang


memberatkan keputusan panitia seleksi meloloskan adalah saya

Nico A n dri a nto 85


pernah menulis buku yang telah dikoleksi oleh Perpustakaan
Nasional Australia (NLA). Buku berjudul Good e-Government
tersebut pada akhirnya bisa saya temukan saat berada di Canberra
tempat NLA. Hal lain yang menentukan, menurut saya, adalah doa
orang tua dan banyak lainnya yang ingin saya bisa mewujudkan
mimpi saya waktu kecil untuk bisa mengunjungi Australia.
Jika Andrea Hirata dalam sekuel Laskar Pelangi mempunyai
Bu Muslimah, maka salah satu inspirator yang mendorong saya
terus berjuang agar bisa kuliah di luar negeri adalah dosen S-1
yang tak keberatan membuatkan surat referensi bagi saya. Beliau
Doktor lulusan Wollongong University Australia dengan tesis dan
desertasi tentang Akuntansi Syariah. Kuliah di negeri “Barat” tapi
tesisnya tentang Akuntansi Syariah? Itulah yang terjadi. Saat Bank
Syariah di negara kita belum berkembang seperti sekarang, Doktor
Iwan Triyuwono telah mempelajari dan meletakkan epistemology
pemikiran tentang Akuntansi yang digali dari khasanah Islam
sebagai wacana alternatif saat itu.
Hal yang saya rasa menarik dari studi di luar negeri adalah
sistem yang sangat mendukung dan lingkungan akademiknya yang

86
memungkinkan kita berkembang secara intelektual. Saya beruntung
mendapatkan bangku kuliah di ANU, yang menurut Times Educational
Supplement merupakan universitas peringkat 16 besar dunia (2009)
dan nomor satu di Australia serta bumi bagian selatan yang sekarang
dipimpin mantan Menlu, Gareth Evans. Dosen saya adalah orang-
orang yang ahli dan terkenal di bidangnya, yang selama ini saya kenal
melalui buku-buku karya mereka.
Lebih dari itu, universitas elit anggota “group of eight” di
Australia ini telah mempertemukan saya dengan orang-orang dengan
talenta dan bakat akademis yang tinggi dari seluruh dunia untuk
saling bertukar pengalaman. Di sini juga terdapat banyak pusat kajian
yang menghasilkan jurnal-jurnal ilmiah berpengaruh sebagai rujukan
para pengambil kebijakan di seluruh dunia. Satu diantaranya adalah
jurnal East Asia Forum, sebuah jurnal yang menyoroti dinamika
sosial, ekonomi, dan politik negara-negara kawasan Asia Timur yang
melesat saat ini. Berbeda dengan dunia kerja, di dunia ilmiah kita bisa
mengembangkan insting akademis kita.

Mungkin yang membuat pendidikan di Dunia Barat maju


adalah kebebasan akademik serta tradisi ilmiahnya yang hidup.

Nico A n dri a nto 87


Ketika banyak universitas melarang akses terhadap informasi sensitif
Wikileaks, ANU (almamater Julian Assange) termasuk universitas
yang membolehkannya. Beberapa kali saya juga berkesempatan
mengikuti event orasi ilmiah yang menghadirkan tokoh-tokoh besar
dunia di berbagai bidang, seperti Jozeph Stiglitz pemenang nobel
ekonomi atau Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia, ahli masalah
China atau Anwar Ibrahim untuk isu Malaysia terkini. Di Indonesia
Study Group, beberapa kali saya menghadiri diskusi dengan para
pelaku dinamika penentu kebijakan, seperti Jusuf Kalla tentang
pengalamannya sebagai wapres serta Chatib Basri, alumni Crawford
School ANU yang membahas kasus Bank Century dari kronologis
beserta segala dampak politisnya.

Kelebihan lainnya dari universitas di Australia adalah


perpustakaan sebagai jantung pendidikan. Koleksi buku, jurnal,
dan aneka terbitan, sebagai urat nadi bagi tersalurnya ilmu
pengetahuan, di perpustakaan sini sangatlah lengkap. Banyak buku
maupun terbitan tentang Indonesia dalam berbagai bahasa yang
bahkan di Indonesia pun kita kesulitan mendapatkannya. Juga, jika

88
di perpustakaan sini tidak tersedia, kita masih bisa meminjam dari
perpustakaan di universitas lain yang akan dikirimkan melalui pos.
Kita juga bisa menyarankan perpustakaan untuk membeli buku
tertentu, dengan batas peminjaman selama enam bulan, kecuali
jika sedang di-call oleh peminjam lainnya.

Kita bisa mencari daftar koleksi buku atau jurnal-jurnal


di perpustakaan dengan cara search di website kampus.
Perpustakaan juga berlangganan aneka jurnal elektronik
internasional yang bebas kita akses. Di Australia seluruh informasi
terkait perkuliahan telah terkomputerisasi secara integral,
seperti urusan rencana studi, jadwal kuliah, administrasi, nilai
ujian, email akademik, silabus, undangan even-even ilmiah,
bantuan akademik, biaya, perpustakaan, serta akun print dan
foto copy kita. Kita juga bisa mendengarkan ulang rekaman
kuliah, karena seluruh perkuliahan di kelas kita didigitalkan yang
didukung oleh pengaturan tata suara, pencahayaan, dan udara
yang excelent. Bahkan di beberapa kampus kita bisa belajar
secara online tanpa harus hadir di kelas.

Nico A n dri a nto 89


Kita bisa memilih mata kuliah yang sesuai dengan spesialisasi
dan kebutuhan kita. Kita juga dimungkinkan memilih beberapa mata
kuliah lintas jurusan. Sistem Commonwealth Register of Institutions
and Courses for Overseas Students (CRICOS) memungkinkan kita
melakukan pemilihan mata kuliah yang ditawarkan seluruh jurusan
dan universitas di Australia, beserta deskripsi, tujuan pengajaran,
serta penilaiannya. Sistem penilaian di universitas Australia sangatlah
transparan, dengan kriteria yang telah diberitahukan sejak awal
di silabus, misalnya berapa persen nilai essay, berapa persen nilai
presentasi, atau berapa ribu kata harus kita tulis.
Plagiarisme sangat diharamkan di dunia pendidikan Australia.
Segala quotation, citation dan pengambilan ide orang lain harus
melalui referencing yang caranya telah diatur termasuk styleguide-
nya. Pelanggaran atas plagiarism ini mendapatkan sanksi yang
berat, sampai diberhentikan dari universitas dan dipulangkan ke
negara asal. Di sini berlaku adagium, “lebih baik dapat nilai jelek
daripada mencuri hasil karya orang lain”. Untuk menyaringnya,
tulisan yang kita buat harus lolos melalui turnitin untuk mengecek
orisinilitasnya.

Bagi yang ingin berhasil, kita bisa memanfaatkan academic


skill adviser yang akan membantu kita dari urusan ide, ekspektasi

90
dosen, sampai soal bahasa. Selain itu para penasihat akademik,
manager program, dan tenaga administrasi sangat membantu
kita menjalani perkuliahan yang mengikuti musim, yaitu summer,
winter, spring, dan autumn session. Untuk yang telah lulus
biasanya terdapat jaringan alumni yang siap membantu, salah
satunya adalah Crawford Connection.
Para mahasiswa Indonesia di Australia juga memiliki wadah
bernama Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Australia
(PPIA). Banyak kegiatan yang dilaksanakan, diantaranya adalah
penjemputan, orientasi, dan mencarikan akomodasi bagi
mahasiswa baru, pelepasan mahasiswa yang lulus, penulisan
buku contribution matter berisi ide-ide cemerlang para anggota,
pembuatan film pendek inspiratif tentang mahasiswa Indonesia
di Australia yang diunggah di youtube oleh PPIA-Victoria, dan
juga membantu para mahasiswa kita yang menjadi korban banjir
bandang di Queensland saat ini.
Universitas Australia banyak memberikan pengalaman
berharga bagi orang-orang yang menyelami lingkungan
akademiknya, serta memunguti mutiara-mutiara ilmu yang
terserak. Tentu banyak orang yang juga menginginkannya dan
masih berjuang seperti saya dulu. Serasa mimpi, beberapa waktu
lalu saya bertemu dengan Pak Iwan Triyuwono di Canberra, kota
tempat saya sedang menempuh studi di Crawford School of
Economic and Government ANU, karena beliau adalah salah satu
inspirator bagi saya. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 91


Belajar dari Kosmopolitanisme
di ANU

H
arus jujur saya akui, saya merasa beruntung bisa merasakan
kosmopolitanisme Australian National University (ANU),
sebuah universitas dengan mahasiswa dari berbagai etnik bangsa
di dunia. Bukan karena Indonesia bukan negara multi-ethnic,
tetapi keragaman di Australia lebih kaya.

Saya tidak akan pernah melupakan saat pertama di Crawford


School of Economic and Government berjumpa teman-teman dari
berbagai negara, para mahasiswa berbakat dari berbagai sub-

Nico A n dri a nto 93


kultur Asia-Tengah, Selatan, Tenggara, Timur, Afrika, Pasifik, Eropa,
serta Australia.
Keragaman ini tergambar jelas dalam sebuah acara
multicultural event di kampus kami, di mana setiap mahasiswa
mengenakan pakaian nasionalnya masing-masing. Untuk pertama
kalinya kami mengetahui betapa eksotiknya pakaian tradisional
yang membalut tubuh dengan wajah tersenyum seorang kawan
kami dari Bhutan. Negeri kecil yang aman damai di kaki gunung
Himalaya ini ternyata merupakan satu-satunya negara di dunia
yang menerapkan Gross National Happiness untuk mengukur
kesejahteraan rakyatnya.
Keadaan yang agak kontras tergambar dari wajah rekan kami
dari Afghanistan yang terkesan murung dan loyo saat pertama
kami jumpai di kelas Policy of Government Program. Baju yang
mereka kenakan pada acara budaya itupun model barat, bukan
baju nasional kebanggaan mereka. Tampaknya, pengaruh perang
yang berkepanjangan di negara asal turut merembes ke dalam
alam pikiran bawah sadar mereka. Syukurlah, kini mereka sudah
bisa tersenyum dan satu diantaranya bahkan dikenal sebagai
mahasiswa yang cukup cerdas dan aktif dalam diskusi-diskusi di
kelas kami.
Sementara itu, teman-teman Pakistan kami rata-rata lebih
santai dan cuek dengan penampilan mereka. Saya menangkap
kesan mahasiswa dari negara tetangga Afganistan ini, senang
dengan keberadaan mereka di Negeri Kanguru untuk melepaskan
kepenatan permasalahan di negeri asal mereka. Mereka sangat
percaya diri mengungkapkan ide-ide dan tidak terkendala bahasa.
Keadaan yang tak jauh berbeda juga tergambar dari sobat-sobat
India kami yang sangat fasih berbahasa Inggris, meski tak bisa

94
mengelakkan logat khas mereka. Hanya pakaian tradisional para
wanita mereka yang memberi penanda identitas mereka sebagai
kaum dari anak benua India.
Keadaan di atas sedikit berbeda dengan penampilan kawan-
kawan kami dari China. Pakaian dan penampilan keseharian
mereka memberi impresi akan negeri mereka yang fast-developing
dan kaya baru. Kemampuan akademis mereka juga di atas rata-
rata, tapi dengan daya spontanitas dan kritisisme intelektual
yang agak lemah. Mungkin kenyataan itu bisa menggambarkan
sistem pemerintahan mereka yang masih komunis tapi dengan
penerapan ekonomi pasar sebagai “kucing pilihan yang bisa
menangkap tikus”.

Dengan berat hati dan subyektif, saya harus mengelompokkan


kolega-kolega kami dari Filiphina, Thailand, Cambodia, Vietnam,
Malaysia, Uganda, Usbekistan dalam satu grup strata akademis,
rata-rata. Keadaan yang tak jauh berbeda juga melanda sahabat-
sahabat dari kawasan Pasifik kami; Vanuatu, Marshal Island, dan
Fiji, dengan beberapa pengecualian dari sedikit di antara mereka.

Nico A n dri a nto 95


Kejutan, terus terang datang dari kawan-kawan Srilanka dan
Bangladesh kami. Di tengah pusara konflik berkepanjangan serta
kemiskinan yang melanda, ternyata muncul “mutiara-mutiara
hitam” yang sangat berharga. Meski terkesan kurang kritis di dalam
diskusi, pencapaian akademis mereka rata-rata tinggi. Beberapa
nilai ujian tulis maupun short paper mereka bahkan mencapai
high distinction, sebuah pencapaian akademis yang didambakan
oleh para mahasiswa di universitas dengan tingkat penilaian yang
sangat ketat dan merupakan salah satu terbaik di Australia ini.
Justru yang membuat saya heran adalah kondisi friends kami
dari negara semacam Australia, Hungaria, dan Inggris. Mereka tidak
begitu menonjol di ruang-ruang diskusi kelas kami. Mungkin hal ini
terjadi karena keberadaan mereka yang minoritas, sehingga kurang
bisa berkembang. Hal yang melatarbelakangi keheranan saya
adalah bukankah bahasa, budaya, pola pikir tidak menjadi kendala
di tengah banjir informasi di jaman globalisasi sekarang ini.
Lalu bagaimana dengan kondisi para mahasiswa dari Tanah
Air? Jujur saya katakan kondisi mereka secara akademis tidak
perlu dikhawatirkan. Prestasi mereka patut dibanggakan di
banyak individu dan masih masuk rata-rata passing grade untuk
selebihnya, termasuk saya. Hal yang patut dicatat, kami lumayan
mendominasi dalam berbagai topik perdebatan-perdebatan di
dalam kelas dengan kitisisme yang boleh dikatakan di atas rata-
rata. Dan kami yang mengenakan pakaian batik dalam acara
kultural tersebut, cukup menggambarkan keunikan serta unity in
diversity Bangsa Indonesia.
Perjumpaan antar budaya kami di Australia telah membuka
banyak wawasan baru. Saya berjumpa dengan kisah polisi
korup di museum Kota Canberra. Saya paham tentang kejujuran

96
sejarah kelamnya nasib Kaum Aborigin dari perkuliahan di ANU,
di mana pemerintah Australia telah resmi meminta maaf dan
Ministry of Multicultural and Indigeneous People dalam struktur
pemerintahan mengelola keragaman yang ada. Perjumpaan sosial
dan budaya di ANU seperti Kebab Turki dari Yarralumla kesukaan
saya yang merepresentasikan eksotisme Dunia Barat dan Timur.
Bisa dikata ANU bukan hanya melting pot budaya tetapi
juga pemikiran. Saya jadi tahu ternyata negara dengan tingkat
indeks kesehatan tertinggi di dunia adalah Kuba, bukan Amerika
Serikat. Negara-negara di Skandinavia sejak lama menerapkan
pajak tinggi untuk membiayai sistem jaminan sosial mereka.
Jepang dengan MITI-nya adalah negara yang memperkenalkan
sistem pembangunan terarah berstrategi dengan memanfaatkan
segala keunggulan SDM yang ada untuk membangun kembali
kehancurannya pasca kekalahan dalam Perang Dunia II.
Dalam bahasan perkuliahan yang jujur, demokrasi liberal atau
bahkan kemerdekaan teritori dan administratif sebuah bangsa
sekalipun tidak akan serta-merta menghadirkan kesejahteraan jika
tidak jelas arahnya, serta dikelola dengan baik, dan sebagainya.
Namun tak jarang, pembahasan perkuliahan merembet pada
tema-tema yang menyentuh penanda identitas masing-masing
mahasiswa. Bahasan tentang kompatibilitas agama dengan
developmentalism, neo-imperialisme negara industri baru yang
haus bahan baku dan energi, atau kemiskinan negeri-negeri
tertentu misalnya, tak jarang mengundang “protes” spontan dan
rasa nasionalisme dari beberapa mahasiswa. Sedangkan kami
dari Indonesia bisa berbangga dengan kenyataan sebagai negara
muslim demokrasi terbesar, meski harus tersenyum kecut dengan
stigma sebagai pemilik negara “terkorup” di dunia.

Nico A n dri a nto 97


Akhirnya, para mahasiswa kita bisa menilai dengan jujur
berbagai keadaan di banyak negara ketika berjarak dan dalam
lingkungan akademis yang bebas. Mungkin, kondisi semacam
ini yang dirasakan oleh para founding fathers kita saat mereka
terpikir akan bangsanya ketika mereka menuntut ilmu di negeri
manca. Meski terkesan riuh rendah, tapi ide-ide mereka sangat
berharga ketika dilandasi oleh semangat cinta tanah air. Hal yang
mungkin perlu dilakukan oleh pemerintah kita adalah mengirim
lebih banyak mahasiswa, mencegah brain drain dengan memberi
tempat, fasilitas serta dana yang cukup untuk mewujudkan ide-ide
cemerlang mereka. Dengan demikian keadaan semacam Restorasi
Meiji akan terjadi di Indonesia. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

98
Memimpin dengan
Kerendahan Hati

S
aat menghadiri pidato ilmiah di ANU, saya beruntung
berkesempatan berjabat tangan dan berbincang singkat
dengan sang pembicara tunggal, Kevin Rudd. Di luar dugaan
saya, Perdana Menteri Australia ini begitu mudah didekati,
ramah, dan jauh dari kesan protokoler seorang kepala
pemerintahan dari negara kaya berpenduduk 22 juta orang.
Meski tetap saja tergambar ketegangan di raut wajah dosen
pengantar kami, pertemuan pemimpin Australia dengan para
mahasiswa dari Indonesia berlangsung penuh bersahabat
dan benar-benar easy going.

Nico A n dri a nto 99


Ini sungguh, buktinya dia menyapa kami dengan kata
“selamat malam”, dan lalu menyebut “Surabaya?” ketika
saya mengatakan berasal dari Jawa Timur. Bukan semata
karena pengetahuannya tentang Asia yang sangat mumpuni,
sebagaimana pidato ilmiahnya tentang China malam itu
cukup presisi dan ditaburi berbagai ungkapan dalam bahasa
mandarin yang fasih. Di berbagai kesempatan pemimpin
Partai Buruh Australia ini memang dikenal cukup friendly.

Bahkan saat menangkis serangan-serangan politik


pemimpin oposisi Tony Abbott dan kawan-kawannya,
Kevin Rudd cukup dingin dan jauh dari emosional. Pada
kasus kegagalan program pemasangan insulasi rumah yang
menjadi amunisi penuh daya ledak kaum oposisi, Kevin Rudd
pasang badan membela menterinya dengan pernyataan,
“don’t blame my minister, please blame me”.
Sebagai mahasiswa Master of Public Policy, saya
beruntung berkesempatan menyaksikan langsung debat

100
terbuka di Parliament House Australia beberapa waktu lalu
yang berjalan panas, diwarnai lontaran-lontaran cemoohan
serta gerutuan khas kaum oposisi pada setiap pemaparan
oleh menteri-menteri pemerintah. Berhadap-hadapan di
depan ketua parlemen, hanya dipisahkan sebuah meja
dengan buku-buku produk perundangan dan tiga orang ahli
hukum Mahkamah Agung Australia, perdebatan berlangsung
sangat dinamis. Harus dipahami, di Australia peran oposisi
diakui secara resmi oleh undang-undang dan diberi tempat
terhormat di Parlemen.
Saya jadi mahfum, di negeri maju semacam Australia
peran seseorang sebagai pemimpin pemerintahan atau
politisi hanyalah sebuah profesi belaka sebagaimana seorang
akuntan atau cleaner. Rasionalitas sebagai perwakilan rakyat
membuat budaya politik dan pemerintahan berlangsung
wajar dan jauh dari elitisme, apalagi mitos-mitos feodalisme.
Pemimpin dan rakyatnya ibarat kawan yang akrab. Dalam
posisi yang berbeda, pemimpin Partai Liberal, Tony Abbot
dinamai oleh pendukungnya sebagai iron man karena sering
muncul di televisi dengan peran “penyeterika” baju saat
mengunjungi para pekerja garmen.
Apakah kedekatan seorang pemimpin dan rakyatnya
hanya monopoli di negara demokrasi liberal? Sepertinya
tidak. Buktinya dari sejarah kita mengenal almarhumah Sri
Sultan Hamengkubowono IX yang di jalan rela mengangkatkan
barang dan mengantarkan mbok-mbok bakul dengan mobil
yang beliau kemudikan sendiri. Si mbok baru terbengong-
bengong hampir pingsan ketika kemudian mengetahui yang
mengantarkannya ke pasar tadi adalah “Sinuwun” yang

Nico A n dri a nto 101


sangat dihormatinya. Jadi, tidak ada hubungan linier antara
feodalisme dengan “jarak” antara rakyat dan pemimpin.
Bukti lainnya, di jaman kekhalifahan Umar bin Khattab
(634-644 M), sang amirul mukminin rela memikul sendiri
sekarung gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan. Hal
tersebut dilakukannya setelah mendengar dengan telinganya
sendiri seorang janda mencela pemimpinnya, yaitu dirinya,
yang membiarkannya kelaparan karena tidak mempunyai
bahan makanan. Kedekatan seorang pemimpin dengan rakyat
ini sangatlah penting untuk mengetahui aspirasi dan kebutuhan
nyata rakyat, karena filosofinya pemimpin adalah orang yang
melayani umat/rakyat yang dipimpinnya.
Selain itu, Khalifah Umar bin Khattab juga melakukan
”penyamaran” mengunjungi berbagai wilayah secara diam-
diam guna mendengar langsung keluhan rakyat terhadap
pemerintah (tugas Muhtasib). Khalifah kemudian membentuk
Qadi al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus

102
melindungi warga masyarakat dari kesewenangan dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah (Gilling:
1998), yang menurut Dean M Gottehrer (2000) mantan
Presiden Asosiasi Ombudsman Amerika Serikat menjadi cikal
bakal dan akar ombudsman modern.
Lalu bagaimana dengan keadaan negara kita saat ini?
Demokrasi prosedural yang sedang kita jalani mensyaratkan
pencitraan yang baik seorang pemimpin di mata rakyatnya.
Oleh karena itu, tak heran di masa-masa pemilu banyak calon
pemimpin yang mengunjungi pasar tradisional sebagai sebuah
seremonial merebut hati dan pikiran rakyat. Tak ada salahnya
seremoni semacam ini, tapi yang jauh lebih penting lagi adalah
kebijakan sang pemimpin yang memihak rakyat, dan bukan
hanya menjadi kepanjangan tangan kepentingan pemilik modal
atau bahkan kekuatan asing ketika sudah terpilih.
Sepertinya kita masih jauh dari demokrasi substantif,
terbukti dari masih banyaknya korupsi dan penyalahgunaan
kewenangan oleh pengemban amanah rakyat. Pemimpin kita
masih cenderung feodal dan minta dilayani oleh rakyatnya,
bak raja-raja kecil. Pemandangan yang sudah pasti kita temui
hari-hari ini adalah kemacetan lalu-lintas saat seorang pejabat
berkunjung ke suatu tempat dengan protokoler bak seorang
presiden sebuah negara adikuasa. Padahal yang kita dambakan
adalah pemimpin sebenarnya yang bisa mendengarkan aspirasi
dan mengetahui keluhan rakyatnya, serta rela mendengarkan
suara-suara yang lemah itu dengan kerendahan hati. Wallohu
a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 103


Festival Indonesia
di Canberra, Australia

O
h, apakah Indonesia itu? Orang tentu saja boleh
mendefinisikannya secara akademis, hukum tatanegara, atau
penjelasan formal lainnya. Namun Indonesia yang saya rasakan di
Festival Indonesia, berarti lagu-lagu Dewa 19, Padi, Afghan, Andra
& the Backbone serta Chrisye. Ya, lirik mendayu-dayu mereka yang
tipikal lagu Melayu seperti Kangen, Sempurna, Mahadewi, Separuh
Nafas, Sobat, Lilin-lilin Kecil adalah Indonesia. Lagu-lagu itu bukan
saja dimainkan, tetapi juga begitu dinikmati oleh orang-orang yang
mengidentikkan dirinya sebagai orang Indonesia. Didengarkan di
Canberra, hanya orang “Indonesia” yang bisa menikmati sepenuhnya.

Nico A n dri a nto 105


Di antara mereka ada yang berkulit sawo matang, hitam, putih,
kuning, bule, bermata bulat, sipit, hitam, cokelat, biru, berambut lurus,
ikal, keriting, berkebaya, mengenakan batik, berjilbab, mengenakan
T-Shirt gaul, atau berjas. Mereka larut dalam aneka tarian tradisional
dan nyanyian sambil menikmati sate, nasi bakar, siomay, martabak,
bakso, dan aneka kue selera nusantara lainnya. Mereka bisa saling
berbagi cerita tentang daerah asalnya, keluarganya, saling menyapa,
cengengesan dan tersenyum bahkan untuk sebuah “kesalahan”. Jelas
mereka bukan tipikal orang barat yang cenderung individualistis,
dingin, dan serius pada orang yang belum dikenal dekat.
Indonesia berarti keragaman budaya, bahasa, kebiasaan,
kepercayaan, dan adat-istiadat yang kaya, keramah-tamahan,
dan saling menyapa. Indonesia juga berarti eksotisme tempat-
tempat yang indah, ribuan pulau yang memanjang di sekitar
Khatulistiwa, awan bergelayutan di punggung gunung, hutan
hujan tropis, sungai-sungai, sawah berteras, Orangutan, Komodo
serta bunga Raflesia, bangunan-bangunan bersejarah, istana raja-
raja, benteng, candi, masjid-masjid, pura, wihara, dan gereja.
Gambaran eksotis itu seperti mewujud pada motif-motif batik,
seni ukir, anyaman, lukisan, wayang, keris, dan produk kerajinan
lainnya.

106
Semua bayangan itu terhidang di acara tahunan yang berhasil
mendatangkan orang-orang Indonesia, selain juga dari berbagai
bangsa. Musim semi awal Oktober sungguh nyaman untuk sebuah
pesta rakyat. Karena jarak, mereka datang menggunakan mobil
yang memenuhi pelataran KBRI Canberra, bersama keluarga,
anak-anak, blasteran, tua, muda, yang berstatus permanent
resident, serta tentu saja para mahasiswa. Mereka larut dalam
joget, senandung, atau sekadar ketukan ritmis kaki dan tangan
saat aneka hiburan tersaji. Salah satu alasannya juga karena Pak
Dubes ikut pula menyumbangkan suara emasnya melalui dua buah
lagu. Lambang Garuda Pancasila di atas panggung menjadi simbol
betapa perbedaan-perbedaan itu justru membuat kita kaya.
Rintik hujan yang sempat menyapa pun tak mampu menyurutkan
semangat para penonton.
Mereka sejenak melupakan permasalahan bangsanya dan diri
mereka untuk sebuah pesta. Lenggak-lenggok tarian Jawa bertema
burung, lincah luwes tarian Jaipong, atau penuh tenaganya tarian Papua
seperti tahun lalu. Ibu-ibu tampil bersama pula dengan beberapa lagu
dan juga aksi narsis mereka. Dengan melupakan segala realita di Tanah
Air tentang konflik politik dan sosial antar komunitas, aneka korupsi

Nico A n dri a nto 107


kelas kakap, tidak diurusnya kesejahteraan sosial secara memadai,
penjarahan bahan-bahan tambang oleh asing, maka Indonesia masih
ada. Kalau Indonesia adalah konsep produk hybrid dari bekas koloni
Belanda pasca Perang Dunia II dalam bentuk ragam produk-produk
budaya maka saya konfirmasikan ia masih ada di Canberra.
Banyak pula di antara mereka yang tak beranjak karena
menanti aneka undian berhadiah alat-alat elektronik dan tiket ke
Indonesia yang diberikan oleh maskapai penerbangan nasional kita
dan beberapa sponsor lainnya. Berbagai stan makanan juga masih
menggelar aneka menu nusantara beberapa dengan diskon harga.
Sepertinya lebih banyak yang berupaya mengabadikan momen
itu dengan kamera foto atau video daripada yang hanya ingin
menontonnya. Anak-anak pun antusias dengan duduk bersila di
bawah terik matahari, dalam wajah yang dilukisi dari aneka motif
fauna sampai hantu drakula. Banyak pula yang berwajah ceria
tampil di panggung dengan masing-masing memegang bendera
Sang Saka.
Pesta itu terus berlanjut, seakan tak rela untuk dihentikan
karena rasa keindonesiaan yang terus menjalar. Lagu demi lagu,
sampai serak suara para penyanyi yang memang membentuk grup

108
band dadakan itu untuk sebuah sumbangsih kepada Ibu Pertiwi,
merayakan keindonesiaan mereka. Sampai beberapa Polisi
Federal Australia menampakkan diri untuk melihat-lihat, mungkin
akibat protes dari penghuni kedutaan besar sebelah yang merasa
terganggu oleh suara berisik acara yang dijadwalkan selesai
hampir satu jam sebelumnya. Orang-orang Indonesia seakan
tak mau beranjak sampai benar-benar sadar akan realita bahwa
mereka sebenarnya di Australia meski berada di dalam yurisdiksi
diplomatik Indonesia. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 109


Pagelaran Wayang Kulit
di National Gallery of
Australia

T
anggal 21 Mei yang lalu, James O. Fairfax theatre dalam
area National Gallery of Australia, Canberra menjadi host
pagelaran wayang kulit berjudul “Bima in the forest of Marta”
atau “Babad Wanamarta”. Ruangan berkapasitas 300 tempat
duduk tersebut dipenuhi oleh penonton yang bahkan rela berdiri
di sisi-sisi ruangan, di balkon, tiduran, atau duduk-duduk di bantal
di samping panggung. Serasa memindahkan suasana pedesaan
jawa tiga dekade yang lalu ke Australia, Ki puppet master Dr.

Nico A n dri a nto 111


Joko Susilo didukung Ngesti Budaya Gamelan ensemble yang di-
kendang-i oleh Soegito Hardjodikoro menjadi bintang pada acara
budaya sore itu.

Wayang versi jawa dipertunjukkan di sebuah layar


putih/“kelir” di depan sorot lampu yang ditonton di sisi sebaliknya
sehingga disebut wayang (bayang-bayang). Bersumber kisah
Mahabarata atau Ramayana, wayang jawa menceritakan Pandawa
melawan Kurawa yang merefleksikan nilai-nilai filosofi kehidupan
pertarungan antara kebenaran melawan kebathilan. Dimainkan
oleh ki dalang dalam beberapa fragmen, figur-figur wayang bisa
berdialog, bermanuver, berperang, dilengkapi dengan berbagai

112
senjata atau kendaraan. Percakapan dibuat dengan suara berbeda
antar tokoh, diselingi humor, petuah, tembang, suluk, membuat
wayang kulit sebuah hiburan populer di Jawa.
Dalam pertunjukan sore itu diceritakan upaya Pandawa
untuk mempertahankan eksistensi mereka akibat perseteruannya
dengan Kurawa. Karena kehilangan kerajaan dalam sebuah
perjudian akibat bujukan Kurawa, Bima bermaksud membuka
wilayah baru Pandawa di Hutan Marta. Upaya itu banyak menemui
rintangan, melewati gunung, hutan, sungai, goa-goa, dan terutama
tantangan dari kalangan para raksasa penghuni Hutan Marta.
Sesaat setibanya di Hutan Marta, dua tokoh antagonis, raksasa
dan Togog menghalangi upaya Bima itu dan terjadilah percakapan:
Raksasa : “Good, day mate. How are you?”
Bima : “I am Bima. And You?”
Raksasa : “My Name is Muhammad Umam, from the
Indonesian Embassy in Canberra.”
Bim : “And you at the back, what is your name?”
Togog : “Are you talking to me?” (penonton: hahahaha),
My name is Gatot Subroto, (penonton: hahahaha) also from the
Indonesian embassy” Oh, lot of staff in here.
Raksasa : “Look, listen Mate, you can’t do that”, “What
do you think you are, what do you think you’re doing?”, This is
a conservation forest, so by the name it is an animal place and
you just cut all the trees. Well, Julia Gillard will upset to you”.
(penonton: hahahaha)
Bima : “I just want to make a home for my family”.
Togog : “Nnnooo, you can’t do that, body. You can’t. Go
back to your country. Go back where you from, Mate. Hehehe,
Where is your passport (penonton: hahahaha), have you got a

Nico A n dri a nto 113


visa? (penonton: hahahaha), you speak English?, you must speak
English if you came to the English speaking country. (penonton:
hahahaha)
Raksasa : You are just like John Howard. (penonton:
hahahaha)
Bima : Well, I have to pay my job, clean up this forest and
build up for my family.
Togog : If you do not stop what you’re doing right now,
you will become our dinner. (penonton: hahahaha). I will put your
body, man, put view sauce, and skin you and make sure paid tend
your meat, and put a sauce, pepper, and soup …. and ehh. Ooh,
look at that, You are like a Rugby player”.
Raksasa : If you do not stop, you will meet your death.
Bima : Bring, it on. (penonton: hahahahahahaha)
Penonton terbius oleh pertunjukan langka ini. Mereka
tak beranjak dari tempat duduknya selama lebih dari 2,5
jam, bahkan standing ovation meledak selama lebih lima
menit. Banyak di antara mereka berhamburan ke panggung
dan menanyakan berbagai hal mengenai wayang kepada ki
dalang dan para penabuh gamelan yang beberapa diantaranya

114
juga bule Australia. Mereka menanyakan bagaimana cara
memainkan gamelan, bertanya tentang figur-fugur wayang
atau sekadar ingin berfoto bersama dengan latar belakang
“kelir” wayang.

Selain beberapa pegawai KBRI, beberapa bule ikut menjadi


“nayaga” atau penabuh gamelan yang terdiri dari saron,
rebab, gong, kendang, bonang, dan kenong. Salah satunya
adalah Pak Bill, seorang bule keturunan Belanda kelahiran
Indonesia yang berimigrasi ke Australia. Dari pengakuannya,
mereka berlatih selama dua minggu untuk mempersiapkan
pentas kali ini. Beberapa kesulitan berhasil diatasi dalam sesi
latihan, meskipun diakuinya tidak ada sinden. Pertunjukan kali
ini dipersiapkan dengan sangat baik, seperti adanya script di
bawah kelir yang dibaca ki puppet master.
Gamelan dan wayang yang dipakai berasal dari KBRI di
Canberra, sehingga tidak perlu mendatangkan dari Indonesia.
Membawa wayang ke Australia tentu tidak mudah secara imigrasi
karena wayang adalah produk olahan dari kulit binatang. Kelir
pertunjukan berukuran lebih kecil dari ukuran normal. Karena

Nico A n dri a nto 115


keterbatasan pula terpaksa wayang-wayang itu ditancapkan di
stereoform, bukan pelepah pisang. Tentu tak ada blencong dari
nyala api atau pawang hujan, karena pagelaran diadakan di dalam
gedung dengan tata cahaya dan suara yang excellent.
Bagi orang Indonesia di Canberra, pertunjukan wayang
tersebut adalah sebuah nostalgia masa kecil, sementara
bagi warga Australia adalah eksotisme budaya timur yang
kaya dan penuh filosofis. Pertunjukan sore itu benar-benar
berubah menjadi duta kebudayaan Indonesia dalam cara yang
menghibur, sebuah keberhasilan soft diplomasi Indonesia.
Peristiwa itu seperti mengulangi keberhasilan Sunan Kalijogo
menggunakan wayang sebagai sarana dakwah, menyampaikan
pesan-pesan Islam kepada masyarakat jawa beberapa abad
yang lalu.
Dalang bisa menyelami budaya Australia dan membuat
penonton terkesima dengan humor-humor khas Australia-nya.
Suaranya merdu seperti Ki Anom Suroto, sementara sabetannya
mirip Ki Manteb Sudarsono. Dialog menggunakan bahasa
inggris yang dimengerti oleh audien Australia, meskipun suluk

116
dan tembang masih dalam bahasa Jawa. Karena terbatasnya
waktu, tentu pertunjukan kali ini tidak persis pertunjukan
wayang semalam suntuk. Pakem wayang misalnya goro-
goro tetap hadir meskipun dipersingkat. Dalam situsnya, ki
dalang jebolan STSI Solo yang menetap di New Zealand ini
berpengalaman membuat wayang Karetao negeri Kiwi, wayang
Cuchulain, Skotlandia dan juga beberapa pertunjukan serta
kolaborasi seni di Amerika Serikat, Inggris, New Zealand dan
Australia.
Terdengar di tengah pertunjukan beberapa anak kecil
menangis disindir ki dalang akan dimakan oleh raksasa yang
suka makan anak-anak yang berisik. Sepertinya banyak publik
Australia sudah familiar dengan wayang. Pernah penulis
melihat wayang di musem nasional Australia dimana beberapa
anak bule mencoba memainkan gamelannya. Anak-anak bule
serta orangtuanya banyak mengenakan batik atau kebaya Jawa
dalam pertunjukan itu sepertinya menunjukkan kecintaan
mereka akan budaya Indonesia. Pertunjukan wayang kali

Nico A n dri a nto 117


ini adalah sebentuk diplomasi budaya yang cukup berhasil.
Wallohu a’lam bissawab.
qqq

118
Virus Narsis dari Canberra

S
elama menempuh studi di
ANU saya berkesempatan
bertemu banyak orang-orang
top, baik dalam skala Australia,
Indonesia, maupun Dunia. Hal
itu bermula karena kampus
saya banyak menyelenggarakan
pusat kajian, acara orasi
ilmiah dan public lecture
lainnya. Sebagai kampus elit
di Australia, ANU memiliki
brand name tersendiri sehingga
sanggup menghadirkan orang-orang penting di berbagai bidang
tersebut untuk berbicara di depan para civitas academica. Nama-
nama seperti Joseph Stiglitz sang peraih nobel atau Anwar Ibrahim
mantan menteri Malaysia adalah tamu-tamu kampus ANU. Tanda
tangan Joseph Stiglitz di buku adalah awal mula virus narsis yang
menjangkiti saya.
Pengalaman pertama saya berfoto dengan orang terkenal
adalah saat Kevin Rudd melakukan orasi ilmiah di kampus
almamaternya saat pembukaan pusat kajian China. Pada sesi rehat
minum kopi, secara tak disangka-sangka saya berkesempatan
berbincang singkat dan berfoto bersama. Di acara yang

Nico A n dri a nto 119


undangannya mendadak itu, saya ibarat “kejatuhan bulan” bisa
berbincang singkat dengan Perdana Menteri Australia (waktu
itu) dalam suasana yang santai. Pertemuan kedua dengan Pak
Rudd adalah saat beliau mengunjungi restoran Kebab di bilangan
Yarralumla. Kali ini istri saya yang meminta berfoto bersama dengan
Mr. Rudd yang sudah berganti posisi menjadi Menteri Luar Negeri.
Saat itu saya merasa agak nervous karena permintaan spontan itu,
meski yang saya tahu para pemimpin Australia memang rata-rata
rendah hati dan “merakyat”.
Flashback, sebenarnya saya agak anti berfoto bersama
dengan orang terkenal. Pernah suatu saat waktu di Malang saya
diajak teman berkunjung ke rumah seseorang dimana Cak Nun
singgah. Di sela obrolan santai dengan Kyai Mbeling itu beberapa
orang meminta berfoto bersama. Saya yang masih mahasiswa
waktu itu merasa “tak sudi” berfoto dengan beliau, walau
sebenarnya terbersit pula keinginan untuk berfoto bersama, dan
kawan saya yang “orang dekat” Emha Ainun Nadjib itu juga sudah
menawari saya. Namun rasa gengsi bercampur rasa, “ngapain juga
kayak kurang kerjaan”, mencegah saya untuk melakukan tindakan
“rendah” itu.

120
Di Indonesia banyak pengusaha menampilkan foto bersama
dengan jenderal atau pejabat tertentu untuk berbagai tujuan, mulai
dari menjaga keamanan bisnisnya sampai agar diakui kedekatan
dengan para petinggi negeri. Hal ini berbeda dengan di negeri
rasional egaliter semacam Australia. Kalau di Indonesia orang
kebanyakan ingin muncul di televisi dengan menampil-nampilkan
diri di belakang presenter yang sedang siaran di lapangan, di
Australia hal semacam itu jarang terjadi. Ketika presenter siaran
langsung, terlihat orang Australia yang sedang lewat di belakangnya
tidak tertarik ikut di-shooting untuk numpang beken masuk televisi.
Mereka rata-rata cuek dan menjalankan aktivitasnya secara wajar.

Nico A n dri a nto 121


Justru di Canberra tempat kampus ANU kenarsisan saya
tumbuh subur. Datangnya orang-orang besar dan aktor-aktor
penting “sejarah” Indonesia kontemporer turut memupuknya.
Beberapa event di kampus menampilkan pembicara para
pengambil kebijakan tertinggi di Tanah Air. Beberapa diantaranya
saya ikuti karena mereka adalah inspirator atau orang-orang yang
saya hormati. Mereka itu diantaranya adalah Pak Jusuf Kalla yang
berbicara tentang pengalamannya saat menjadi wapres serta Sri
Mulyani yang saat ini menjabat Managing Director World Bank.
Bertemu mereka dari dekat membuat saya seolah mendapatkan
energi positif yang bisa dimanfaatkan di masa depan, baik dalam
konteks pribadi maupun profesi. Menghargai achievement mereka
bisa menerbitkan motivasi sekaligus mengasah kepercayaan diri.
Tidak selalu mudah menarik perhatian mereka, sehingga saya
bisa berfoto bersama. Keberuntungan adalah kata kunci ketika saya
bisa berfoto dengan Pak Jusuf Kalla. Karena orang yang energik dan
pemimpin bertipe risk taker itu memang mudah didekati dan easy
going. Mungkin karena menganggap kita elit terdidik di Australia
dari Indonesia, beliau merasa nyaman dekat dengan rakyatnya ini.
Sebaliknya, pada saat event orasi ilmiah Sri Mulyani, terus
terang saya memang berniat sejak awal untuk mengambil gambar

122
kami bersama. Kesempatan itu hampir saja menguap karena
begitu banyaknya mahasiswa/i yang antusias untuk bersalaman,
meminta tandatangan atau berfoto bersama. Setelah pengawal
memberi isyarat untuk meninggalkan ruangan orasi, saya merasa
sudah kehilangan moment berharga untuk berbicara secara “dekat”
dengan salah satu inspirator saya di bidang good governance itu.
Namun ternyata dewi fortuna masih berpihak kepada saya.
Tanpa diduga, kandidat Presiden dari partai SRI itu masih melayani
antusiasme para mahasiswa, yang memang kebanyakan berasal
dari Indonesia, di luar ruangan orasi. Saat itulah saya berhasil
mendapatkan moment berharga itu dengan cara menghadiahkan
dua buku karangan saya kepada beliau. Saya katakan; “Bu Sri, saya
mau menghadiahkan dua buku kepada anda. Buku ini saya tulis
salah satunya karena inspirasi dari anda”, yang ditanggapi antusias
oleh beliau. Jadilah buku saya serahkan, dan dengan berpose
memegang dua buku itu disamping Sri Mulyani saya dijepret oleh
teman yang kebetulan sudah siap dengan kamera handphone.
Keinginan dalam hati untuk berfoto bersama sebenarnya tak
selalu terkait dengan orang terkenal. Pernah suatu saat saya terkesima
dengan semangat dan penampilan bule Australia yang menjadi
penabuh gamelan di suatu acara pertunjukan wayang kulit di the
National Gallery of Australia. Pak Bill namanya, seorang Belanda
pecinta wayang dan gamelan kelahiran Indonesia yang berimigrasi ke
Australia sesaat setelah kemerdekaan Indonesia. Di kesempatan lain
saya berkesempatan berfoto bersama Kang Abik pada acara pelatihan
menulis di KBRI Canberra. Juga bertemu Riri Riza saat pemutaran film
Sang Pemimpi di ANU. Kemudian, di kesempatan setelah sholat Iedul
Fitri tahun ini saya berkesempatan berfoto dengan imam sholat yang
juga merupakan imam Yarralumla mosque kelahiran tanah terjajah,

Nico A n dri a nto 123


Palestina. Berfoto bersama mereka seakan menyerap daya hidup dan
kesetiaan terhadap “profesi”, nilai kemanusiaan, dan perjuangan.
Pada kesempatan lainnya saya berkesempatan untuk
mengunjungi kantor Radio Australia di daerah Southbank Sungai Yarra
yang membelah kota Melbourne. Berfoto dengan Hidayat Djajamiharja,
Oska Leon Setiyana, Juni Tampi, Ira Wibowo adalah mimpi masa
remaja yang terbayar lunas. Saat itu di malam-malam dan paginya
saya terbang dengan imajinasi yang keluar dari suara radio gelombang
pendek yang menceritakan keeksotisan negeri di sebelah selatan
Kepulauan Nusantara. Siaran Radio Australia pernah menumbuhkan
mimpi-mimpi saya untuk berkunjung ke Negeri Kanguru suatu hari
kelak. Dan saya telah menginjak tanah Australia saat ini. Sayangnya,
pada saat itu saya tidak bisa berfoto bersama dengan penyiar pujaan
saya, Nuim Khaiyyat yang sedang berlayar akhir tahun.

Pada kesempatan lainnya saya berkesempatan untuk berfoto


bersama dosen saya yang sedang berkunjung ke Canberra untuk
suatu kunjungan ke University of Canberra. Moment foto bersama
itu selain bermakna reuni, juga menyalurkan semangat untuk maju
dan terus berkarya. Pak Iwan Tri Yuwono, dosen saya waktu S-1

124
di Kampus Unibraw itu telah memompakan inspirasi kepada saya
untuk gigih berusaha agar bisa kuliah di luar negeri. Beliau yang
merupakan alumni University of Wollongong itu telah berkenan
memberikan surat rekomendasi, yang meski akhirnya tak saya
pakai namun tetap menyalakan semangat saya.
Yang jelas saya juga banyak berfoto dengan teman-teman
saya di kampus yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia dan
“dunia”. Virus narsis yang menjangkiti saya di Canberra, adalah
jejak-jejak kehidupan masa lalu, sekarang, dan mungkin masa
depan saya. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 125


“Babi Halal” dan
Multikulturalisme
di Australia

K
uliner adalah representasi paling orisinil atas karakteristik
dari kelompok sosial yang dinamakan bangsa. Karena
keragaman di dunia ini adalah sebuah keniscayaan, maka saling
mengenalkan makanan bisa menjadi pintu masuk bagi upaya
pemahaman budaya yang lebih luas dan intens. Tanggal 12 sampai
13 Februari yang lalu, di Canberra digelar acara tahunan National
Multicultural Festival 2011 yang diisi stan makanan dan budaya
dari lebih seratusan negara di dunia. Acara yang digelar di city

Nico A n dri a nto 127


walk, city center ini dibagi ke dalam lima zona, yaitu Asia, Afrika,
Eropa, Amerika serta Australia.
“You are, what you eat”, demikian bunyi pepatah terkenal.
Sebagai warga dunia di kota pusat diplomatik Canberra, kita
didorong untuk saling mengenal dengan komunitas dari seluruh
penjuru dunia melalui acara ini. Tanpa harus kehilangan identitas
masing-masing, kita seolah diberikan ruang untuk memuaskan
keingintahuan kita. Bagi muslim mungkin kita bisa mencoba “babi
halal” di restoran vegetarian Vietnam misalnya, sebab semua
makanan menyerupai udang, ayam, babi, sapi yang berakar pada
budaya Budha tersebut murni terbuat dan diolah dari bahan
tetumbuhan. Soy beef satay souce, soy chicken on hot plate atau
bahkan roast soy pork dengan kuahnya yang khas yang dimakan
menggunakan sumpit tersebut semuanya terbuat dari bahan soy
protein.
Di acara yang selalu ramai oleh pengunjung tersebut kita
bukan hanya disuguhi mondial culinary seperti pizza Italia, Kebab
Turki, mie China atau aneka junk food model Amerika, tetapi
hampir seluruh jenis makanan dari lima benua dan ratusan
negara di dunia tersedia. Kalau di Indonesia kita belum merasa

128
kenyang kalau belum makan nasi, di acara ini kita diperkenalkan
dengan “konsep kenyang” dari tiap bangsa di dunia. Acara ini
memang khusus diselenggarakan oleh ministry of indigenous and
multicultural affairs ACT untuk warga Canberra yang beraneka
ragam warna kulit dan budayanya.
Bermula dari mengenal budaya yang berbeda ini diharapkan
tercipta saling memahami perbedaan yang ada. Kalau bisa terjadi
saling memberi, membentuk budaya hybrid, seperti pasangan
temanten Betawi yang mana laki-lakinya berpenampilan Arab,
wanitanya berpenampilan China, dan acaranya dilengkapi dengan
hadrah dan petasan serta tanjidor.
Poin yang diharapkan pemerintah Australia dari pameran
makanan-makanan tersebut adalah penyerapan intisari budaya serupa
konsep Lumpia dari Semarang, Bakpia dari Jogjakarta atau Tahu Taqwa
dari Kediri, produk yang sudah dianggap khas lokal padahal berakar
pada budaya asing (China). Paling tidak masing-masing komunitas
budaya mengetahui kekhasan perbedaan yang ada.
Di setiap zona di acara budaya ini sekaligus menjadi sentral
bagi penampilan tari, teater, lagu serta puisi masing-masing
benua. Selain memiliki stan budaya dan pariwisata, negara-negara

Nico A n dri a nto 129


yang memiliki kantor perwakilan di Australia menampilkan seni
pertunjukan khasnya masing-masing seperti “tari Bollywood”
India, dansa Latino, tarian sufi Turki, Barongsai China, tarian dari
Kepulauan Pasifik, termasuk kuda lumping dari Indonesia.
Beberapa pertunjukan mandiri di berbagai sudut juga terlihat
di acara tersebut seperti musik bernuansa alam suku Maya dari
Bolivia serta pelukis jalanan dari Canberra. Di festival budaya
tersebut juga disediakan area stan khusus untuk Bangsa Aborigin
memamerkan produk budayanya; tarian, nyanyian, boomerang,
lukisan, dan aneka hasil kerajinan tangan.
Stan-stan tersebut dengan penjaganya yang berpakaian
tradisional menyediakan brosur-brosur dan acara-acara menarik
untuk mempromosikan keindahan pariwisata negeri masing-
masing. Stan Uni Eropa sebagaimana tahun lalu menyediakan
aneka souvenir cantik dan tiket naik balon udara di acara Baloon
Viesta bagi masyarakat yang mampu menjawab beberapa
pertanyaan.

Stan UEA sebuah negeri di Gurun Arab menyediakan brosur-


brosur, buku serta compact disc promosi wisata memperkenalkan

130
pencapaian pembangunan yang mencengangkan. Warga Indonesia
di Canberra tak ketinggalan juga membuka dua stan yang menjual
sate ayam dan kambing serta nasi rendang.
Di kota-kota besar di Australia biasanya terdapat enclave-
enclave budaya seperti pecinan atau suburb pusat hunian
suatu bangsa. Kalau di daerah Dickson Canberra terdapat pusat
perbelanjaan makanan Asia (China, Korea, Jepang, Vietnam, India),
di Lakemba bagian dari Kota Sydney terdapat pusat komunitas
muslim dari seluruh dunia. Multikulturalisme memang telah
menjadi bagian dari budaya Australia sejak dicabutnya kebijakan
white Australia policy di tahun 1973. Sudah jamak makanan China
atau makanan halal (halal pide) Turki atau Lebanon menjadi bagian
dari budaya Australia. Dari hasil sensus didapati masyarakat berlatar
belakang Asia meliputi 9,3 persen penduduk Australia hari ini.

Pemerintah Australia berupaya maksimal melalui ministry


of indigeneous and multicultural affairs untuk mengintegrasikan
budaya-budaya yang berbeda tersebut. Di kantor-kantor
pemerintah Australia pegawai bukan hanya berasal dari berbagai
ras, tetapi juga ada kuota untuk orang cacat. Petugas di bandara-
bandara Australia atau kepolisian beberapa diantaranya direkrut

Nico A n dri a nto 131


dari latar-belakang Aborigin, Asia, atau juga muslim. Hal ini
dimaksudkan untuk merepresentasikan kaum minoritas serta
mempermudah pemahaman budaya saat bertugas melayani
masyarakat dari berbagai latar belakang.
Di Canberra mulai tahun lalu diadakan acara Eid El Fitr
festival. Meskipun muslim hanyalah merupakan kurang dari dua
persen penduduk, di beberapa fasilitas publik baru di Australia
disediakan ruang sholat seperti di Bandara Canberra, serta
Southern Cross Station, Melbourne. Pengalaman langsung penulis
memberi kesimpulan bahwa penduduk Canberra termasuk sangat
toleran dan menghargai perbedaan budaya. Di tengah pernyataan
kegagalan multikulturalisme dan meningkatnya sikap anti-muslim
dan anti-Asia di negara-negara Eropa Barat yang berimbas juga
di Australia, acara multicultural event tersebut adalah sebentuk
upaya pemerintah Australia membaurkan warganya yang berasal
dari segala penjuru dunia.

Namun, meskipun hanya merupakan suara “minoritas”,


sebuah hasil survei The Challenging Racism Project oleh University
of Western Sydney seperti dilaporkan oleh media-media Australia

132
baru-baru ini tentang 40% orang Canberra mengatakan dirinya anti-
muslim cukup mengejutkan. Seorang senator dari kubu Liberal dari
ACT bahkan menyampaikan petisi tentang moratorium sepuluh
tahun bagi imigram muslim di Australia, yang spontan ditentang
oleh banyak pihak termasuk komunitas muslim dan minister of
indigenous and multicultural affairs. Masih terkait rasialisme,
di tahun 2009 para mahasiswa asal India melakukan protes
anti rasialisme di Melbourne yang menyebabkan menurunnya
jumlah pelajar dan mahasiswa asal India. Pemerintah Australia
masih harus terus berjuang untuk mewujudkan multikulturlisme.
Wallahu a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 133


Yarralumla Mosque,
Masjid Segala Bangsa

S
elepas kumandang azan, rangkaian kalimat penuh makna
yang disampaikan dalam Bahasa Inggris mengawali prosesi
Jumatan siang itu. Bahasa Inggris memang menjadi lingua franca
bagi jamaah yang berasal dari berbagai negara.

Sesekali, sang imam menyelingi ayat-ayat al-Qur’an dan


Hadits Nabi SAW (dalam bahasa Arab).Sang imam memberi
pesan-pesan mengenai persatuan umat, akhlak islami, cara hidup
Muslim, serta tata cara peribadatan yang benar. Ia adalah seorang
diaspora dari tanah terjajah, Palestina.

Nico A n dri a nto 135


Tak lupa di akhir khotbah sang imam bersemangat mengajak
mendoakan saudara-saudara Muslim yang tertindas di berbagai
penjuru dunia seperti Kashmir, Iraq, Kaukasus, Afghanistan,
Thailand, Phillipina dan Palestina.
Dalam heningnya musim dingin, gerahnya musim panas,
cerahnya musim semi atau murungnya musim gugur, para jamaah
tetap khusuk menikmati rukun sebelum dilaksanakan sholat Jumat
di masjid ini.

Wajah-wajah teduh Muslim dari anak benua India, benua


Afrika, Asia Tenggara, Arab, Asia Tengah, Asia Timur, Eropa atau
blasteran larut dalam ritual mingguan tersebut. Dari atribut
pakaiannya bisa dikira-kira mereka diantaranya adalah para
diplomat, tentara, pelajar, pegawai pemerintah, penjaga mal, sopir
taksi, cleaner, serta masyarakat umum lainnya.
Tidak selalu mudah upaya mereka untuk hadir di momen
religius tersebut, mengingat kendala pekerjaan, jauhnya tempat
tinggal atau hambatan cuaca di ibukota Australia. Namun,
melubernya jamaah sampai keluar masjid berdaya tampung sekitar

136
750 orang tersebut menjadi pertanda ghirah keislaman yang kuat
di tengah mayoritas masyarakat Kristen, sekuler, agnostic, atau
bahkan atheis.
Pukul 01:30 pm biasanya prosesi Sholat Jumat dimulai.
Sebelumnya, biasanya imam mengingatkan untuk, “Straight line
your shaf, shoulder to shoulder”, yang memberi filosofi kesatuan
umat Islam dalam rapinya barisan seperti diperintahkan Nabi SAW.

Sangat terasa dalam momen tersebut universalisme


Islam, konsep egalitarian serta kesatuan ummah. Bahwa Islam
meniadakan perbedaan warna kulit, bahasa, suku bangsa, profesi,
atau penghalang imajiner lainnya.
Pernah suatu ketika loudspeaker tiba-tiba mati, dan ada yang
mengulangi dengan keras bacaan imam sebagai penanda gerakan
sholat, seperti didapati pada sholat di pusat Islam, Mekkah.
Beberapa kali terlihat bule berkemeja batik dan berkopyah
hitam, atau pria ber-kafiyeh Palestina, atau bule berpakaian baju
muslim khas Pakistan/India. Mungkin ekspresi mereka tersebut
menandakan di mana pertama kali mereka memeluk Islam. Terlihat

Nico A n dri a nto 137


pula gerakan sholat penuh ekspresi bule Muslim yang terlihat agak
kaku untuk ukuran kita yang muslim sejak lahir. Dengan sedikit
variasi, bisa dikatakan muslim dari manapun berasal melakukan
gerakan sholat yang sama.
Sehabis sholat Jumat, seringkali kami diajak sholat ghaib
untuk saudara-saudara Muslim yang meninggal di berbagai negeri
asal para jamaah atau mendoakan saudara muslim yang sedang
terbaring sakit. Juga menyusul, pengumuman berkenaan urusan
kaum muslim seperti sedang dibangunnya Islamic Center of
Canberra, acara festival keislaman, pengajian bulanan, atau lainnya.
Kadangkala juga terjadi acara pengikraran keislaman mualaf baru
yang menyentuh rasa persaudaraan. Sementara pada beberapa
kesempatan ada juga jamaah yang melakukan fundraising dana
untuk pembangunan masjid di tempat lain dengan menggelar
sorban sebagai tampat infaq. Beberapa tegel dan semen bantuan
dari jamaah terlihat pula di sudut ruang masjid.

Menjangkau Muslim
Abu Bakr Mosque atau Canberra Mosque, berada di wilayah
Yarralumla tempat komplek berbagai kedutaan besar serta
perwakilan diplomatik negara-negara di dunia, sekaligus pusat
pemerintahan Australia berada. Dari prasasti di pintu keluar
diketahui pendirian fondasi masjid ini dimulai pada tahun 1960
oleh misi diplomasi Indonesia, Malaysia, dan Pakistan.
Masjid ini terletak kurang dari lima menit jalan kaki dari kedutaan
besar Indonesia, Mesir serta bersebelahan dengan kedutaan besar
Norwegia/Denmark dan Malaysia. Dari arsitektur bangunan utama,
ruang tengah yang bertenda, menara, mimbar khotbah (ukiran dari
Jepara Indonesia) dan rak kitab-kitab terlihat Yaralumla mosque

138
berarsitektur perpaduan Arab, Eropa, serta Asia. Tempat shalat utama
berada di lantai dasar, sementara untuk tempat sholat wanita
berada di lantai dua. Tersedia air wudhu hangat di musim dingin,
juga toilet, wastafel dan kamar mandi yang terpisah lokasinya
antara jamaah pria dan wanita. Selebaran serta papan kaca
pengumuman berada di pintu keluar masjid yang memberikan
informasi dari urusan akomodasi, penjualan berbagai jenis
barang, atau tempat restoran/toko makanan halal. Sementara, di
luar masjid disediakan pula playground untuk anak-anak dan kursi
untuk penjaganya yang tidak ikut sholat Jumat.

Selesai sholat biasanya para jamaah mengobrol akrab di luar


masjid dengan bahasa masing-masing, sebagai ajang silaturahmi.
Kegiatan yang lainnya membeli aneka buku, kebab dan pizza
Libanon, serta kadang makanan dari Indonesia.
Setiap Shalat Jumat, bisa dipastikan tempat parkir dan
halaman masjid dijejali oleh mobil-mobil jamaah. Beberapa Polisi
Federal Australia biasanya terlihat di ujung jalan untuk menjaga
keamanan dan ketertiban di luar masjid. Menjadi pusat kegiatan

Nico A n dri a nto 139


keislaman di Canberra, acara barbeque keluarga, termasuk kegiatan
pada momen Ramadhan dan hari-hari besar Islam lainnya, masjid
ini selalu dimakmurkan oleh berbagai jamaah Muslim di Canberra.
Pada Bulan Ramadhan biasanya mengudara radio islam berisi
murotal dan ceramah keislaman untuk menjangkau muslim yang
tersebar di penjuru city dan suburb dari kota berpenduduk sekitar
350 ribu jiwa ini. Fasilitas sms kepada jamaah disediakan untuk
memberikan informasi seputar jadwal puasa, sholat lima waktu
atau jika ada muslim yang meninggal dunia. Yarralumla Mosque
menjadi oase keimanan serta wadah eksistensi muslim segala
bangsa dalam upaya mengurangi berkembangnya islamophobia
“masyarakat Barat”, di ibukota negeri yang opini mainstream-nya
tak selalu berpihak pada minoritas Muslim ini. Wallohu a’lam
bissawab.
qqq

140
Ramadhan Ceria
Muslim Canberra

D
etik-detik berbuka di negeri seperti Australia selalu
dinantikan oleh setiap muslim yang menjalani puasa.
Apalagi hidangan takjil berupa aneka penganan kecil dan
minuman serta kurma sudah tersedia di depan mata setelah
berpuasa selama kurang lebih 12 jam di musim dingin kali
ini. Makanan khas selera nusantara yang dihidangkan oleh
host acara juga menjadi daya tarik tersendiri. Kebersamaan
acara buka bersama selalu menghadirkan sensasi spiritual
dan kekeluargaan yang mengundang kehadiran ratusan orang
memenuhi Balai Kartini KBRI Indonesia di Canberra.

Nico A n dri a nto 141


Kali ini keluarga muslim yang tergabung dalam Australian
Indonesian Muslim Foundation ACT (AIMFACT) dan Australian
Indonesian Family Association (AIFA) menjadi host acara
buka puasa bersama yang diadakan hari sabtu (13 Agustus
2011) tersebut. Lebih dari 300 orang dari Queenbeyan,
Woden, Belconnen, City dan Tuggeranong termasuk bapak
Duta Besar hadir dalam acara mingguan tersebut. Bersama
keluarga mereka menghadiri buka puasa bersama, beberapa
diantaranya bule muslim beserta keluarga Indonesia dan
anak-anak mereka serta para mahasiswa kita yang sedang
menempuh pendidikan di Canberra.

Rangkaian acara ramadhan di Canberra tahun ini pun


terasa lebih ceria dari tahun kemarin karena dua hal. Pertama,
karena keceriaan anak-anak yang tampil dalam berbagai
perlombaan dan pentas seni. Kedua, anak-anak itu tergabung
sebagai santriwan/santriwati “TPA Ceria”. Kegiatan TPA Ceria
yang biasanya berlokasi di bangunan Australian National
University Muslim Association (ANUMA) seperti berpindah

142
ke Balai Kartini KBRI Indonesia di Canberra pada Ramadhan
tahun ini. Anak-anak mulai umur 1 sampai 12 tahun itu
sibuk dengan lomba azan, cerdas cermat keislaman, lomba
puzzle dan lomba mewarnai sesuai kelompok umur serta
menyanyikan lagu islami.

Antusiasme anak-anak sangat tinggi mengikuti


perlombaan tersebut seperti terlihat pada perlombaan
mewarnai gambar islami. Lomba puzzle menjadi tantangan
tersendiri bagi anak-anak yang baru pertama kali mengikutinya
seperti pada kelompok umur 2-4 tahun. Lomba azan cukup
memberikan oase tersendiri di negeri yang suara azan tidak
boleh diperdengarkan di tempat terbuka. Sedangkan lomba
cerdas cermat keislaman cukup menarik perhatian para orang
tua dengan menyemangati anak-anak mereka berlomba. Pada
akhirnya, keceriaan itu dinikmati oleh semuanya, karena
setiap peserta lomba mendapatkan hadiah yang menarik.
Acara dilanjutkan dengan menyantap takjil, sholat
maghrib berjamaah, berbuka puasa bersama, Sholat Isya serta

Nico A n dri a nto 143


sholat tarawih berjamaah. Kultum diberikan diantara sholat
Isya’ dan sholat tarawih. Penjelasan sang ustadz tentang hadist
sahih Nabi SAW bahwa silaturahmi bisa menambah umur dan
rejeki dalam pendekatan ilmiah sangat menarik disimak oleh
para jamaah. Hasil penelitian di sebuah kota kecil di Amerika,
di mana komunitas Italia rata-rata berumur lebih panjang
diketahui karena kegemaran bersilaturahmi antara tetangga,
saling menyapa, dan mengenal satu dan lainnya memberikan
pembenaran atas hadist Nabi di atas. Sedangkan silaturahmi
akan menambah rezeki menurut penceramah tentu masuk
dalam common sense setiap orang karena luasnya jaringan
pertemanan akan mendatangkan banyak hal termasuk rezeki.

Bagi masyarakat Indonesia di Canberra, acara itu juga


sebentuk penyambung tali silaturahmi masyarakat yang hidup
terpencar di berbagai suburb. Bagi para mahasiswa yang baru
datang ke Australia untuk menempuh studi tahun ini, acara
tersebut bisa sedikit mengobati kerinduan Tanah Air yang
ditinggalkan dan bertemu dengan “keluarganya” yang lain.

144
Beberapa warga non muslim juga nampak hadir serta turut
menikmati hidangan dan acara tersebut. Acara Iftaar jama’i di
Canberra mirip acara budaya tanpa kehilangan substansi nilai
ibadahnya.

Sebagai komunitas minoritas di Canberra, muslim terus


bergeliat dengan berbagai kegiatan keislamannya. Ibadah
puasa sebagai ritual melatih keimanan juga sebagai ajang
ekspresi muslim mewujudkan rahmatan lil alamin. Muslim
Canberra tersentuh dengan penderitaan yang dialami
masyarakat Somalia yang kelaparan, seperti tampak dalam
penggalangan dana sumbangan sesaat setelah Sholat Jumat
di kampus ANU beberapa waktu lalu. Yarralumla Mosque juga
mengumpulkan donasi untuk masyarakat di tanduk Afrika
yang sedang mendapat musibah bencana kelaparan seperti
nampak pada poster di Canberra Institute of Technology (CIT)
yang penulis jumpai.

Nico A n dri a nto 145


Bagi orang di negara Barat yang rasional, puasa adalah
hal yang dianggap aneh dan menyiksa diri. Namun, sebagai
seorang muslim, puasa berarti menghayati rasa lapar
orang-orang miskin dan tidak beruntung lainnya untuk
meningkatkan rasa solidaritas dan kasih sayang. Hidup di
tengah-tengah masyarakat liberal Australia ternyata tak
menyurutkan keinginan muslim untuk menyemarakkan bulan
suci Ramadhan dengan ibadah, silaturahmi, dan membangun
kebersamaan. Liberalisme ternyata tak berpengaruh banyak
bagi muslim yang mempunyai nilai-nilai dan keimanan yang
khas. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

146
Protes-protes
di Negeri Kanguru

S
ebagai pilar demokrasi, kebebasan mengungkapkan
pendapat dalam bentuk demonstrasi atau protes-protes juga
dijamin di Australia. Setidaknya selama lebih setahunan tinggal
di Canberra, saya mendapati beberapa diantaranya. Namun,
demonstrasi yang saya temui terasa tidak mengusung isu “remeh-
temeh” seperti di negeri kita. Demonstrasi yang dilakukan orang
Australia mengangkat tema-tema yang lebih fundamental, terasa
lebih laten, militan, tapi tetap tanpa menggunakan kekerasan.

Nico A n dri a nto 147


Sejarah protes di Australia terkait Indonesia paling klasik
adalah dukungan kaum buruh yang bersimpati terhadap
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka yang tergabung
dalam berbagai union melakukan long march melewati jembatan
Sydney mendukung negeri muda di utara saat awal-awal
kemerdekaan. Bahkan, para buruh angkut pelabuhan tersebut
menolak mengangkut barang-barang dari kapal Belanda yang akan
kembali menjajah Indonesia dan membuang koper-koper Belanda
itu ke laut sebagai bentuk protes. Kepentingan politik antara kedua
negara boleh mengalami pasang-surut seiring berjalannya waktu,
tapi fakta sejarah tersebut terasa manis dikenang saat Indonesia
telah berdaulat saat ini.

Kalau pembaca sedang di Canberra, tepatnya di depan old


parliament house, Anda akan jumpai demonstrasi yang dilakukan
oleh Suku Aborigin. Mereka memarkir rumah-rumah caravan
serta membangun tenda semi permanen di tempat tersebut. Suku
asli benua kangguru itu menulis kata-kata protesnya di berbagai
media ekspresi dengan satu jargon yang cukup mengena dalam

148
bentuk huruf-huruf berukuran besar yang dipancangkan di dekat
perapian yang berbunyi: “S O V E R E I G N T Y”. Bendera warna
merah hitam dengan bulatan kuning di tengahnya yang berbeda
dari bendera Australia yang kita kenal juga terlihat dikibarkan.
Protes serupa dengan tema “healing spirit” juga penulis
temui saat perayaan ANZAC day tahun ini. Mereka membagikan
stiker, membentangkan spanduk, dan tulisan-tulisan protes
menyuarakan kisah-kisah tragis selama proses kedatangan bangsa
Eropa serta ketergusuran mereka atas budaya, alam, dan sumber
kehidupan. Protes tersebut tentu saja mengganggu kekhidmatan
acara hari kepahlawanan Bangsa Australia, ditandai dengan
adanya cemoohan dari beberapa penonton. Pagar besi yang
dipasang mengelilingi tempat upacara di War Memorial tahun ini
sepertinya mengantisipasi kejadian tersebut.
Pada tahun 2008 di dalam gedung parlemen, Perdana Menteri
Kevin Rudd atas nama pemerintah Australia menyampaikan
permintaan maaf secara resmi atas stolen generation yang dialami
suku Aborigin di masa lalu. Seperti menjawab protes-protes mereka
lebih lanjut, tahun ini pemerintah Australia membuat stan khusus
aborigin di acara multicultural event yang menampilkan public
relation terkait berbagai program pemberdayaan serta display hasil
kerajinan, lukisan, dan seni pertunjukan penduduk asli yang relatif
lebih terbelakang secara ekonomi, sosial, dan politik.
Demonstrasi selalu ada, ketika terdapat aspirasi yang ingin
disampaikan. Pada tahun 2009 terdapat demonstrasi di Sydney
oleh para pelajar India atas pelecehan berbau rasialis yang mereka
terima dalam beberapa insiden. Ketika kasus Wikileaks merebak
dengan dituntutnya Julian Assange oleh pemerintah Swedia,
para pendukungnya melakukan demonstrasi di berbagai kota di

Nico A n dri a nto 149


Australia. Dalam kasus lainnya, saat di Sydney orang-orang
memprotes tilang lalu-lintas karena alat pencatat kecepatan
milik polisi ternyata tidak akurat, pemerintah setempat bersedia
meminta maaf dan membayar ganti rugi.
Lebih dari setahun ini, setiap melewati kedutaan besar China di
bilangan Yarralumla penulis selalu menjumpai demonstrasi yang
dilakukan oleh organisasi Falun Gong. Mereka membentangkan
spanduk protes dalam abjad China serta menggelar ritual semacam
meditasi di seberang jalan dari kantor perwakilan diplomatik
Negeri Tirai Bambu tersebut. Demonstrasi serupa pernah
penulis lihat di depan Sydney Opera House. Cueknya tanggapan
pemerintah China atas protes mereka seakan mengatakan pada
para pendemo: “memangnya gue pikirin”. Beberapa minggu yang
lalu terlihat demonstrasi ini telah membubarkan diri.
Tidak lama setelah jalur Gaza dibombardir penjajah Israel
di city center penulis melihat maraknya bule-bule Australia
mengenakan kalung kafiyeh Palestina di leher. Organisasi
penentang pembangunan tembok beton yang menyengsarakan
rakyat Palestina juga pernah penulis temui di Ied El Fitr Festival.

150
Organisasi yang terlihat dijalankan beberapa wanita aktivis
bule Australia ini bermaksud mengedukasi warga Australia
tentang penderitaan Negeri Palestina serta mengkampanyekan
pengakhiran tindakan apartheid oleh negara penjajah, Israel. Di
lain kesempatan, di saat terjadi pergolakan demokrasi terkini
di negara seperti Mesir serta Libya, pernah beberapa selebaran
demonstrasi penulis dapatkan di kampus ANU.
Ada pula demonstrasi yang berbau politik, seperti
penentangan atas rancangan undang-undang carbon tax di depan
parliament house beberapa saat lalu. Pada saat diwawancarai
oleh penyiar Radio Australia yang terdengar kritis, pemimpin
demonstrasi gelagapan menjawab pertanyaan apakah mereka
menolak kenyataan fenomena climate change/global warming
dengan menolak carbon tax tersebut. Demo yang agak terasa
“pesanan” ini sempat menjadi polemik di media massa saat
pemimpin oposisi Tony Abbot difoto oleh para jurnalis di depan
tulisan protes berbunyi “juLIAR…. Bob Browns B**ch” dengan latar
belakang api yang menyala-nyala yang dirasa kurang sopan bahkan
untuk ukuran Australia. Para pemimpin Labor Party menjadikan
event tersebut amunisi untuk menembak oposisi yang gigih
memperjuangkan pembatalan pajak yang akan memberatkan
para pengusaha tersebut.
Masih di dunia politik Australia, kebanyakan anggota parlemen
dari Green Party adalah aktivis lingkungan pada saat mudanya. Bob
Browns, pemimpin “partai hijau” Australia saat ini adalah veteran
demonstrasi penentang pembuatan dam di Franklin river pada
tahun 1980-an. Demonstrasi itu begitu fenomenal dalam sejarah
pecinta lingkungan hidup di Australia. Keberhasilan protes tersebut
turut mengantarkan para tokohnya menduduki kursi di parlemen

Nico A n dri a nto 151


yang terus menanjak perolehannya dengan sembilan kursi saat ini.
Green party telah bermetamorfosis dari sebuah partai kecil (United
Tasmania Group) di tahun 1972 menjadi partai dengan 13 persen
suara di Senat, partai minor terbesar saat ini.
Yang paling fenomenal tentu saja Labor Party yang muncul
sebagai kelanjutan dari protes-protes kaum buruh atas buruknya
kondisi kerja serta rendahnya salary yang mereka terima di masa
lalu. Bergantian dengan Liberal Party, sebagian besar perdana
menteri Australia berasal dari partai kaum buruh ini.
***

Terdapat cerita tentang sebuah protes di kampus saya yang beredar


di antara mahasiswa dari mulut-ke mulut. Setiap sore sampai malam
hari, mahasiswa di kampus ANU biasa melihat minibus tua berwarna
coklat dengan nomor telepon terpampang di dindingnya yang selalu
berjalan mengelilingi kampus. Minibus itu bisa dipanggil dengan
telepon untuk mengantar siapapun yang kemalaman di kampus.

152
Singkat cerita, sang sopir dulunya adalah orang yang memprotes
manajemen kampus atas kejadian tragis yang menimpa putrinya.
Putrinya yang seorang mahasiswi ANU suatu saat pulang larut malam
dari kampus. Entah bagaimana, sang puteri tercinta diculik orang tak
dikenal dan tak ditemukan lagi hingga saat ini. Terpukul atas kejadian
tersebut, sang ayah melakukan protes-protes. Namun sejauh ini,
hasilnya nihil karena security kampus serta pihak kepolisian tidak bisa
menemukan putrinya atau menangkap pelakunya.
Atas inisiatif sendiri sebagai ekspresi kekecewaannya, sang ayah
mahasiswi yang sangat sedih itu kemudian mendedikasikan dirinya
dengan menyediakan bus malam bagi siapapun di kampus ANU
yang membutuhkan. Ia menjadi sopir bus itu serta membiayai dari
kantongnya sendiri operasionalnya. Namun saat ini, pihak kampus
melakukan subsidi biaya operasional atas bus tersebut. Itulah salah
satu contoh begitu militan dan latennya protes-protes di Negeri
Kanguru. Walalohu a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 153


Balai Bahasa,
Soft Power Indonesia

S
edikit sekali orang Australia bisa berbahasa Indonesia
atau bahasa lokal Indonesia lainnya. Dari yang sedikit
tersebut, saya beruntung bisa mengobrol menggunakan Bahasa
Jawa dengan Professor George Quinn yang dikenal pakar Bahasa
Indonesia dan Bahasa Jawa dari Australian National University.
Bukan hanya berbahasa Jawa “ngoko”, tetapi “kromo inggil”
yang bahkan generasi muda Indonesia berlatar belakang etnis
Jawa sekalipun sudah jarang yang bisa menggunakannya.
Percakapan itu terjadi sesaat setelah peresmian Balai Bahasa

Nico A n dri a nto 155


Indonesia oleh Mendiknas di Canberra. Dari percakapan itu
saya peroleh informasi bahwa beliau belajar Bahasa Jawa di
Jogjakarta pada tahun 1968, sekitar lima tahun lamanya.
Saya jadi teringat cerita lucu ibu saya saat berdarmawisata di
Jogjakarta sekitar tahun 1980-an. Saat itu ada seorang bule yang
ikut naik kendaraan colt yang membawa ibu-ibu wisnu (wisatawan
nusantara) tersebut. Karena memiliki badan yang ekstra besar,
posisi duduk si bule terpaksa mendesak penumpang lainnya.
Dengan maksud bergurau ibu saya menyindir si bule dengan
memakai Bahasa Jawa agar tidak ketahuan, “lungguhan dadi
sumpek mergo walang kadung siji iku” (tempat duduk menjadi
terasa sempit karena si belalang sembah itu) yang disambut derai
tawa ibu-ibu lainnya. Tanpa diduga, saat turun di tempat tujuan
si bule berseloroh, “nuwun sewu, walang kadung badhe mandap
rumiyin” (permisi, belalang sembah mau turun dulu), yang serta-
merta mengundang senyum malu ibu-ibu tersebut.
Pada tahun-tahun 1980-an memang banyak orang Australia
mempelajari Bahasa Indonesia dan bahasa lokal Indonesia
lainnya. Sebagai tetangga terdekat, Indonesia dipandang penting
dalam bidang ekonomi, politik, dan pertahanan. Waktu itu
Indonesia tumbuh sebagai kekuatan regional di ASEAN baik secara
ekonomi dan politik sehingga memiliki pengaruh yang signifikan di
kawasan. Dalam kontek seperti itu, orang-orang Australia banyak
yang tertarik belajar Bahasa Indonesia, selain tentu saja karena
keinginan untuk mengenal budaya Indonesia dan tempat-tempat
wisatanya.
Dalam pidato sambutannya yang sulit dideteksi peralihan
penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggrisnya karena
kefasihannya, Professor George Quinn menyampaikan bahwa

156
saat ini terjadi penurunan minat pelajar Australia untuk belajar
Bahasa Indonesia. Pada tahun 2007, hanya terdapat kurang lebih
15% pelajar tingkat akhir sekolah menengah atas di Australia
yang belajar bahasa asing, dan dari jumlah yang sedikit tersebut
hanya 1% yang belajar Bahasa Indonesia. Namun, penurunan
minat tersebut juga terjadi pada bahasa asing lainnya, termasuk
Bahasa Eropa seperti Bahasa Italia dan Perancis. Hal ini terjadi
menurut George Quinn karena meluasnya penggunaan Bahasa
Inggris sebagai bahasa global, bahkan di negeri-negeri non-
Bahasa Inggris. Tak lupa, melalui sambutannya George Quinn
meminta Pemerintah Indonesia untuk mendukung upaya-upaya
memperkenalkan bahasa dan budaya Indonesia di Australia.
Dalam pidato peresmiannya, Mendiknas Professor
Muhammad Nuh menyampaikan pentingnya menyebarkan bahasa
dan budaya Indonesia sebagai sarana mempererat hubungan
kedua negara yang banyak memiliki perbedaan. Perbedaan-
perbedaan etnis, warna kulit, budaya, agama, dan orientasi politik
antara kedua negara bisa dijembatani dengan adanya saling
pemahaman, dan bahasa Indonesia adalah salah satu instrument

Nico A n dri a nto 157


penting dalam proses tersebut. Mendiknas juga menyampaikan
bahwa tersebarnya bahasa dan budaya adalah salah satu bentuk
soft power suatu negara. Beliau juga menyampaikan dukungan
penuh atas upaya-upaya memperkenalkan Bahasa Indonesia,
termasuk dengan dibentuknya direktorat baru di kementeriannya
sebagai implementasi dari undang-undang bahasa negara.
Peresmian Balai Bahasa Indonesia tersebut ditandai
dengan pemukulan gong serta pembukaan selubung plakat Balai
Bahasa Indonesia di dinding depan bangunan oleh Mendiknas,
Muhammad Nuh. Diharapkan gema dari acara peresmian tersebut
bisa membangkitkan kembali minat orang Australia untuk belajar
bahasa dan budaya Indonesia. Berbagai buku dan alat membatik
serta aneka kerajinan Indonesia terlihat turut mengisi bangunan
tersebut. Terdapat pula fasilitas ruang utama, ruangan pertemuan,
ruang tamu, dapur, dan berbagai fasilitas lainnya di gedung yang
terletak di 143 Carruthers St., Curtin, ACT tersebut.
Dalam acara tersebut seorang guru Bahasa Indonesia
menyerahkan kepada Mendiknas, karya tulis dari para pelajar
Bahasa Indonesia dari sekolah di Canberra yang salah satu
slide kegiatannya turut diproyeksikan di layar. Juga, seorang
sesepuh masyarakat Indonesia menyampaikan hasil karya
murid beliau berupa lukisan bercorak Eropa yang dibuat
dengan teknik membatik Indonesia.
Tampilan batik memang mendominasi acara tersebut,
sebagaimana dikenakan sang pembawa acara, Sarah
Dinsmore, serta tokoh-tokoh masyarakat Australia dan para
mahasiswa Indonesia yang hadir. Internasionalisme batik
bisa dilihat dari seorang Nelson Mandela yang dikenal sering
tampil di berbagai acara internasional dengan pakaian yang

158
corak kainnya dilukis tangan dengan menggunakan alat
canting tersebut.
Penguasaan Bahasa Indonesia oleh masyarakat Australia
pada akhirnya tidak hanya terkait dengan pemahaman budaya
Indonesia. Pengetahuan tentang Indonesia diharapkan pada
akhirnya akan mendorong kegiatan lain seperti investasi,
perdagangan, dan kerjasama ekonomi lainnya yang membawa
kesejahteraan bersama. Merujuk pada China yang produk-
produknya telah membanjiri pasar Australia, tak menutup
kemungkinan pada saatnya produk-produk Indonesia juga akan
digemari masyarakat Australia. Kita boleh berharap pada suatu
saat tidak hanya mendapati indomie di mal-mal Australia, tetapi
juga produk pakaian, kerajinan tangan, frenchise makanan, atau
produk industri Indonesia lainnya.
“Tak kenal, maka tak sayang”, demikian bunyi pepatah
populer kita. Kalau di Indonesia banyak penggemar Radio Australia,
sebaliknya kita juga harus memiliki media untuk memperkenalkan
budaya dan bahasa Indonesia di khalayak Australia, termasuk
melalui koran komunitas Fajar Australia ini.
Banyak cara untuk memperkenalkan Indonesia kepada
dunia internasional, misalnya melalui martial art (pencak silat)
serta kain atau musik tradisional asli Indonesia. Semakin intens
hubungan antara penduduk kedua negara, semakin mudah kerja
misi diplomatik kita di Australia. Namun untuk sampai ke sana
perlu upaya terus menerus dan sinergis dari segenap komponen
diplomatik dan masyarakat Indonesia di Australia. Dan Balai
Bahasa Indonesia adalah awal yang baik untuk menghasilkan Pak
Quinn-Pak Quinn lainnya. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 159


Buku dan Transmisi Ilmu
di Australia

D
i Australia saya mulai berpikir bagaimana ilmu pengetahuan
ditransmisikan. Ceritanya, pada tanggal 27 Maret yang lalu
saya menghadiri acara book fair yang diadakan di bilangan Mitchel,
Canberra. Acara charity event tersebut menyediakan sekitas 200
ribu buku bekas yang hasil penjualannya akan digunakan untuk
membiayai operasional lembaga amal penyelenggara pameran
tersebut, lifeline.
Saya melihat begitu banyak penggemar buku di event tersebut,
termasuk beberapa dosen dan teman di kampus. Tua-muda,

Nico A n dri a nto 161


laki-perempuan tumplek blek di acara yang berlangsung selama
tiga hari. Pada hari terakhir pameran, terlihat orang-orang kalap
mengambil sebanyak mungkin buku bagus. Aturan mainnya, asal
buku masih muat dimasukkan ke dalam tas kain seharga 2 dollar
yang dibeli dari panitia, pengunjung cukup membayar 15 dollar
untuk semua buku yang diambil. Cukup menjanjikan memang.
Jadilah hari terakhir pameran buku sebagai hari keserakahan.
Mereka terlihat begitu buas dengan buku yang dicari, entah
apakah akhirnya dibaca atau tidak. Ibarat para pecinta buku
adalah nelayan, maka pada hari itu semua berhasil menjaring
tangkapan, beberapa tas besar ilmu pengetahuan. Kelihatannya
semua puas dengan yang mereka dapatkan. Kalau beruntung, kita
bisa mendapatkan buku dengan tandatangan asli pengarangnya.
Bukankah di Indonesia buku seperti “Di Bawah Bendera Revolusi”
sempat menjadi buruan banyak orang, apalagi yang telah
ditandatangani oleh mantan Presiden Soekarno.
Sedikit berbagi tips nakal, seseorang menulis di milis
bagaimana cara mengakali aturan agar mendapat buku berkualitas

162
dengan sedikit uang. Caranya, mencari buku bagus sebanyak-
banyaknya di hari awal pameran, lalu simpan di dalam tas di
pinggir hall dan membeli dengan harga hanya 15 dollar di hari
terakhir pameran. Cukup gila bukan. Dasar mahasiswa, hehe.
Bagaimana panitia menyediakan buku-buku sebanyak itu di
setiap acara book fair. Buku-buku tersebut adalah sumbangan dari
berbagai pihak, entah si pemilik sudah tidak memerlukannya atau
orangnya sudah meninggal dan dihibahkan oleh kerabatnya. Baru
atau bekas sebuah buku menjadi tidak relevant ketika isinya sangat
menarik dan bermanfaat bagi pembacanya. Bukankah kalau ingin
mengetahui cerita tentang Blok Timur atau bahkan Perang Dunia
kedua, buku-buku lama justru lebih memberi informasi berharga.
Dalam konteks tersebut, banyak buku-buku berkualitas dan
bahkan langka terhidang di meja-meja panjang pameran.
Melalui organizer yang profesional, berbagai jenis buku
berbahasa inggris tersebut disediakan. Tema-tema membentang
mulai dari psikologi, Aborigin, sejarah dunia, Indonesia, Eropa,
novel, kartun, cerita anak-anak, sampai ekonomi dan politik.
Saya cukup bahagia mendapatkan buku bertema Australia, China,
Perang Dunia II, beberapa novel, dan pariwisata. Sedangkan istri
saya mendapatkan buku aneka resep masakan serta flora dan
fauna Australia. Anak saya terlihat senang sekali dengan buku
cerita dan komik yang didapatkannya.
Kalau tahu hari itu, pastilah Gutenberg bahagia karena
alat cetak temuannya ternyata telah membahagiakan banyak
orang serta memicu revolusi transmisi ilmu pengetahuan tak
terkira. Entah berapa juta buku baru dicetak setiap tahunnya
di seluruh dunia, dan berapa jenis ilmu pengetahuan telah
tersampaikan kepada semakin banyak orang. Sebab jika

Nico A n dri a nto 163


tinta adalah pengikat ilmu pengetahuan, maka buku menjadi
sumber ilmu yang hampir tiada batas.
Setiap orang berusaha mendapatkan sebanyak mungkin
buku favoritnya. Demikian terus berlangsung setiap waktu.
Rasanya hanya sedikit yang kita dapat, itupun tak semua bisa
dicerna. Penjelajahan manusia untuk mengungkap tabir misteri
ilmu pengetahuan pun semakin luas menemukan labirin-labirin
baru, meskipun ujungnya hampir pasti semakin sulit ditemukan.
Sehingga kesombongan bagi manusia merupakan hal yang tak
boleh terjadi.
Kalau di jaman dulu, kekhalifahan membeli dengan
emas seberat buku baru dan menyediakannya untuk rakyat
di perpustakaan umum. Di Canberra, di setiap wilayah seperti
Dickson atau City, terdapat public library. Perpustakaan milik
universitas atau National Library adalah contoh lainnya. Orang
bebas meminjam buku atau DVD di pusat-pusat ilmu pengetahuan
itu. Mendaftar keanggotaannya pun cukup dari rumah melalui
internet, dan kartu anggota akan dikirimkan ke rumah. Kegiatan
di perpustakaan pun juga beragam, termasuk pelatihan Bahasa
Inggris bagi warga yang membutuhkan. Juga disediakan tempat
penitipan anak bagi yang sedang menikmati koleksi atau layanan
perpustakaan.
Hal yang sama juga saya dapatkan di toko buku di Australia,
yang terasa sangat nyaman dan lengkap menyediakan aneka
judul dan tema. Disediakan kursi dan tempat duduk untuk orang-
orang yang ingin membaca. Anak-anak disediakan tempat dengan
desain khusus yang membuat mereka betah berada di toko buku
tersebut. Tak mengherankan, buku seperti sudah menjadi bagian
dari kehidupan orang Australia. Di city bus, tram atau di tempat-

164
tempat umum lainnya sering kita jumpai orang sedang membaca
novel atau buku lainnya.
Sangat mudah mendapatkan buku di Australia. Orang-
orang sibuk bisa menggunakan toko buku online sebagai tempat
berburu buku. Saya pernah membeli dua buah buku melalui
layanan ini, dimana cukup dengan mencari di katalog, memesan,
dan mengisikan data serta informasi kartu kredit kita maka buku
akan sampai di alamat kita beberapa hari ke depan. Harga buku
juga masih dapat dijangkau oleh penghasilan kebanyakan orang.
Di jaman komputer ini ilmu pengetahuan sudah bukan
barang eksklusif dan bisa menjadi milik seluruh warga dunia tanpa
kecuali. E-book sudah mulai menjadi fenomena. Perdebatan
sengit di parlemen Australia tentang rencana broadband network
yang akan dibangun adalah tema hangat tentang transmisi ilmu
pengetahuan. Saya tidak berpikir akan terjadi penghancuran
perpustakaan seperti dilakukan oleh Jenghis Khan di Baghdad
beberapa abad lalu akan terjadi lagi, karena banyaknya format
digital buku.

Nico A n dri a nto 165


Sebagai salah satu instrumen transmisi ilmu pengetahuan,
buku telah mendapat tempat yang layak di negeri Kanguru. Bukan
hanya karena minat baca yang relatif tinggi, tetapi apresiasi
terhadap ilmu juga sangatlah tinggi. Buku tidak dihargai sebagai
barang keramat yang harus disimpan rapat-rapat, tetapi digunakan
untuk menyalurkan ilmu pengetahuan. Buktinya, banyak orang
yang bersedia mendonasikan bukunya untuk dijual dengan harga
terjangkau agar bisa dinikmati semakin banyak orang, termasuk
kita-kita mahasiswa yang berkantong tipis ini. Wallohu a’lam
bissawab.
qqq

166
Diaspora
Orang-orang Nusantara

S
aat menempuh kursus Bahasa Inggris di IALF Jakarta, penulis
pernah mendapatkan kisah tentang kedatangan orang-orang
Makassar beberapa abad lalu di Australia Utara. Mempedomani
bintang-bintang selatan kapal-kapal Padewakang mereka
menuju ke Benua Kanguru. Di daerah yang dinamakan “Marege”
(Arnhem land) sekitar seribuan orang Makassar itu setiap bulan
Desember mendarat di sepanjang teluk Carpentaria. Dalam
kelompok-kelompok yang dibiayai oleh orang Melayu, China,
atau Belanda mereka membuat kamp untuk memasak dan
mengeringkan teripang, komoditas yang ditangkap di Marege.

Nico A n dri a nto 167


Mereka tidak menetap di Marege tetapi tinggal selama empat
bulan setiap tahunnya. Orang-orang Makassar itu menukar hak
memanen ketimun laut dengan aneka komoditi seperti pakaian,
tembakau, pisau, beras, dan alkohol dengan penduduk Aborigin,
selain juga mempekerjakan laki-laki setempat. Selama periode
itu mereka memanen teripang dengan menggunakan tombak
bermata tiga kemudian merebus dengan menggunakan periuk di
pantai, mendinginkan di pasir lalu mencucinya dengan air laut dan
kemudian mengasap serta menjemurnya di bawah sinar Matahari.

Mereka kembali berlayar ke Makassar pada Bulan April


memanfaatkan angin monsoon membawa teripang kering itu
untuk kemudian dijual ke China. Orang-orang China dari Canton
(Guangzhou) dan Amoy (Xiamen) datang ke Pelabuhan Makassar
membawa komoditi porselen dan kemudian kembali ke negerinya
membawa teripang. Pada pertengahan abad 19 diketahui orang
Makassar membawa sekitar 900 ton teripang dari Marege yang
merupakan sepertiga kebutuhan di China.

168
Kegiatan ekonomi tahunan itu rutin dijalankan dari 1700-
an sampai tahun 1907 saat penguasa kolonial Australia Utara
melarangnya. Tak mengherankan Bahasa Makassar menjadi
bahasa umum yang dipakai orang-orang Aborigin di Marege untuk
berinteraksi dan berkomunikasi termasuk dengan suku-suku
Aborigin yang berbeda. Suku Yolngu, Iwaidja, penduduk Pulau
Tiwi, Pulau Elcho dan Selat Tores telah menyerap kata-kata seperti
rupiah (uang), jama (kerja), atau balanda (orang kulit putih).
Mereka juga mengadopsi teknologi perahu lepa-lepa yang mereka
namakan Lipalipa.
Peninggalan yang tersisa dari sejarah hubungan orang Makassar
dan Benua Australia ini diantaranya adalah pohon-pohon asam jawa,
koin-koin VOC, porselen China, serta periuk untuk merebus teripang
selain juga beberapa keturunannya di Australia Utara. Pada tahun
2005 dibuat acara reuni dan pertunjukan kesenian di Australia serta
Makassar, yang ke semua cerita ini juga bisa disaksikan di Museum
Nasional Australia di dekat kampus ANU.

Nico A n dri a nto 169


Saat awal-awal kuliah di ANU dulu, saya secara tak sengaja
menemukan fakta bahwa pelafalan angka-angka oleh orang-orang
Kepulauan Pasifik mirip dengan angka-angka Jawa. Beberapa
diantaranya adalah telu, fitu, dan wolu. Seorang teman mahasiswa
dari Marshal Island dan teman saya seorang cleaner orang suku asli
New Zealand mengkonfirmasi fakta ini. Wikipedia akhirnya lebih
menguatkan keyakinan itu, yang menteorikan bahwa bahasa-bahasa
di Asia Tenggara dan Pasifik berakar pada Bahasa Austronesia yang
dikatakan berasal dari Pulau Formosa (Taiwan kini). Meski tidak
disepakati mengenai alur migrasinya karena mungkin terjadi dalam
kurun waktu dan periode yang sangat komplek, cukup menarik
diketahui fakta-fakta kesamaan bahasa ini.

170
Orang-orang Jawa diperkirakan di abad pertama masehi
berimigrasi ke Madagaskar, sebuah pulau di sebelah selatan
Afrika, di mana Bahasa Jawa banyak diserap ke dalam bahasa
Malagasy (Wikipedia). Pada abad kedua sampai kelima masehi
orang-orang Kalimantan dan Sulawesi berlayar pula sampai
Madagaskar. Ketika Kerajaan Sriwijaya eksis dengan kekuatan
maritimnya sebagai pemain utama perdagangan antara Asia
dan Eropa, mereka juga berlayar ke Samudera Hindia dan Laut
China selatan, singgah di kota-kota Madagaskar, India, Afrika
Selatan, dan Thailand. Pada tahun 1300-an orang Minangkabau
yang terkenal sangat mobile, merantau sampai ke Malaysia dan
Filipina Selatan. Orang-orang Aceh juga beberapa kali memiliki
pengaruh yang kuat di semenanjung Malaya.

Orang-orang Melayu, Jawa, dan Bugis yang diasingkan


Belanda membentuk Melayu Sri Lanka dan Melayu Cape
Town. Di Cape Town kita mengenal Syekh Yusuf Al Makassari
(1626-1699) yang dibuang oleh Belanda dan menjadi

Nico A n dri a nto 171


penyebar Islam di Afrika Selatan. Perjuangan Syekh Yusuf
menginspirasi seorang Nelson Mandela melawan Apartheid
di negaranya, yang kemudian menghadiahkan Oliver Tambo
Award atas kepahlawanannya. Di dalam negeri kita tahu
seorang Diponegoro akhirnya diasingkan ke Sulawesi Utara
dan beberapa pengikutnya di Sulawesi Tengah. Kita juga tahu
terdapat orang-orang Maluku dalam jumlah besar di negeri
Belanda.
Orang Jawa banyak didatangkan oleh penjajah Belanda
sebagai buruh kontrak di Suriname dan saat ini meliputi sekitar
15% penduduk setempat. Di negeri Amerika Latin ini mereka
membuat komunitasnya sendiri, memelihara pemakaian
Bahasa Jawa (kebanyakan logat Kedu) dan menjaga budaya
serta agamanya. Pada awal-awal kedatangannya, orang-orang
Jawa itu bahkan bersikeras membuat masjidnya ke arah Barat
seperti kebiasaan di Jawa, meskipun seharusnya mengarah
ke timur karena berada di sebelah barat Ka’bah. Mereka juga
berupaya mengawetkan adat-istiadatnya seperti wayang,
jaranan, selamatan, dan kesenian lainnya. Juga, di New
Caledonia di sebelah timur Australia, orang-orang Indonesia
meliputi sekitar 1,6% penduduk yang turut menyusun struktur
sosial dan budaya setempat.
Di jaman modern kita mengetahui terdapat sekitar 1,5
juta orang kita di Arab Saudi, 2,5 juta di Malaysia, 200 ribu di
Singapura, 86 ribu di Australia, 75 ribu di UEA, 70 ribu di Amerika
Serikat, selain sejumlah besar pula di Taiwan, Hong Kong, Korea
Selatan, Jepang, Kanada, dan Filipina (Wikipedia) sebagai TKI
atau belajar di berbagai perguruan tinggi. Banyak pula yang tak
mau pulang karena telah nyaman bekerja di industri-industri

172
besar atau menjadi pengajar di berbagai universitas ternama
(brain drain). Para santri juga secara tradisional banyak belajar
ke Makkah di Arab Saudi dan Al Ashar di Mesir.
Ketika peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru banyak
mahasiswa kita tidak bisa pulang dari negara-negara Blok Timur
dan banyak yang akhirnya menetap di Rusia atau China. Kami
yang sedang menuntut ilmu di perantauan ini pernah bergurau,
“jika terjadi pergantian rezim mungkin terpaksa harus tinggal
di Australia karena tidak boleh pulang”.☺ Semoga saja tidak
terjadi. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

Nico A n dri a nto 173


The Cleaner

D
i suatu siang, saya Sholat Dhuhur di basement sebuah
gedung perkantoran elit di bilangan Kuningan, Jakarta. Tak
dinyana, sang imam sholat adalah seorang cleaner yang sering
saya jumpai membersihkan ruangan-ruangan di gedung tersebut.
Dengan tampilan pakaian seragam yang bersahaja tapi penuh
fungsi, sang cleaner dengan tanda hitam bekas sujud di dahinya
memimpin ritual sembahyang para pekerja dari berbagai negara
yang mungkin beberapa diantaranya adalah bos di perusahaan-
perusahaan multinasional yang berkantor di gedung berlantai tiga
puluh dua tersebut.

Nico A n dri a nto 175


Alangkah indahnya agama ini yang memberikan persamaan
derajat di hadapan Sang Pencipta. Bahwa di hadapan Sang Khaliq,
tak ada pembedaan tingkatan profesi atau penderajatan lainnya
yang diciptakan manusia. Namun, saya menangkap kesan yang tak
bisa ditutupi bahwa seorang cleaner yang berkutat membersihkan
barang-barang kotor tersebut, ternyata mempunyai religiusitas
lebih tinggi dibanding para pekerja berdasi, meski hal tersebut bisa
jadi sebuah generalisasi yang ceroboh. Yang jelas, dalam sholat
seorang yang datang lebih dulu akan mendapatkan shaf di depan,
sementara saat itu banyak para karyawan berdasi yang hadir dan
mengisi barisan-barisan belakang.

Dalam perspektif yang agak berbeda, kenyataan tersebut


seolah membenarkan sebuah hadis nabi, “Kebersihan sebagian
dari iman”. Tentu kalimat Hadis tersebut bukan hanya berdimensi
arti kebersihan fisik, tapi juga kebersihan hati, pikiran, dan ucapan
serta tindakan. Dalam artian kebersihan fisik, seorang cleaner
harus memiliki kualitas tingkat kesabaran yang tinggi, karena harus

176
membersihkan barang-barang yang kotor yang seringkali juga bau,
seperti wastafel dan bahkan WC. Selain itu, seorang cleaner juga
harus jujur, karena selalu terkait dengan barang-barang berharga
di suatu kantor.
Seorang cleaner, paling tidak karena rutinitas pekerjaan yang
dijalaninya akan mengetahui berbagai hal, misalnya pada hari apa
biasanya banyak sekali sampah. Dia mengetahui kebiasaan seorang
karyawan dari apa saja yang dikonsumsinya setiap hari. Ada karyawan
yang jorok, ada karyawan yang ajeg mengkonsumsi makanan/
minuman tertentu. Bahkan juga seorang cleaner bisa tahu berapa
karyawan yang sering tugas luar atau bolos kerja dari sampah yang
harus dipungut dari tempat sampah di setiap meja kerja.

Jangan salah, kadang-kadang seorang cleaner memiliki sedikit


otoritas dan akhirnya derajad lebih tinggi, tepatnya ketika barang
sudah berada di dalam tempat sampah. Sering kali si cleaner
menemukan mouse komputer, koran baru, buku agenda kosong,

Nico A n dri a nto 177


atau barang-barang kecil “berharga” lainnya yang sudah dibuang
oleh sang pemiliknya. Kalau sudah berada di dalam bak sampah,
maka barang-barang tersebut sudah tentu sah jika diambil dan
kemudian di bawah kendali penuh si cleaner. Sedangkan orang
lain yang juga ingin memilikinya, jelas sangat tergantung pada
kebaikan hati sang cleaner.
Banyak nilai filosofi yang bisa kita serap dengan menghayati
peran seorang cleaner. Sebagai orang yang sejak masa kanak-kanak
sering membantu tugas orang tua menyapu lantai dan halaman
rumah, mengepel, serta mencuci piring, saya banyak menarik
pelajaran dari aktivitas tersebut. Pertama, jangan memaksakan
menyapu halaman rumah kalau angin sedang besar, karena hanya
akan membuahkan kesia-siaan. Tunggu sampai angin reda, baru
kita bisa membersihkannya dengan sempurna. Kedua, bersihkan
lantai dengan sapu atau alat pel yang bersih. Membersihkan lantai
dengan alat yang kotor juga merupakan sebuah kemubadziran yang
nyata. Ketiga, membersihkan piring dari pinggir menuju ke tengah,
atau membersihkan alat rumah tangga yang mudah, baru yang
tersulit di akhir pekerjaan. Keempat, dalam lingkungan modern,
seorang cleaner juga harus tahu dari mana dia mulai meng-vacum
karpet lantai untuk menghindari terjadinya kabel terikat-ikat meja
kursi dikarenakan jalur pembersihan yang “salah”.
Tentu saja filosofi cleaner bisa kita terapkan pada bidang
kehidupan lainnya, termasuk pekerjaan kita sehari-hari. Keempat
filosofi di atas misalnya, bisa diterapkan pada pekerjaan semacam
pemberantasan korupsi atau audit keuangan negara. Saya jadi
teringat dengan wejangan senior di kampus dulu, saat dia bilang:
“kalau ingin mengetahui kualitas manajamen suatu kantor/instansi
maka lihatlah toiletnya”. Kalau bau dan kotor, maka bisa dipastikan

178
manajemen kantor tersebut juga amburadul. Mengurusi hal
sepele saja nggak beres, apalagi menyelesaikan hal-hal yang
besar. Jangan-jangan banyak terjadi korupsi, karena anggaran
untuk pengelolaan kebersihan toilet saja tidak dibelanjakan
sebagaimana mestinya.
Dalam sebuah kesempatan, mantan ketua BPK di instansi
tempat saya berkarya mengatakan: “Desinfektan paling tangguh

Nico A n dri a nto 179


itu sinar Matahari, maka keterbukaan itu penting”, untuk
memberi metafora betapa pentingnya transparansi publik
pengelolaan keuangan negara kita. Tentu orang bisa menafsirkan
dari pernyataan tersebut bahwa sinar matahari yang mengandung
ultraviolet itu mampu membunuh baksil-baksil yang menyebabkan
berbagai penyakit. Sedangkan bila orang menafsirkannya lebih
lanjut, baksil-baksil adalah para koruptor, itu sepenuhnya hak
mereka.
Dalam sebuah lagunya yang terkenal di era Orba, sang
maestro Iwan Fals menorehkan bait-bait tentang tukang sapu
sebagai berikut:
Tukang sapu bawa sapu masuk di kantor
Bersihkan yang kotor
Cukong kotor mandor koruptor semua yang kotor
Awas kena sensor
☺☺☺
Untuk menghidupi diri dan keluarga, saat ini jujur saya
bekerja sebagai cleaner, sebuah pekerjaan sambilan terfavorit
bagi para mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan lanjutan
di Australia. Sambil bercanda teman-teman sesama pembersih
ruangan ini mengaku dengan bangga sebagai anggota ICMI.
Bukan sebutan untuk organisasi para intelektual yang terkenal
itu, melainkan singkatan dari “ikatan cleaner muda Indonesia”. Ya,
sekarang saya adalah seorang cleaner dan berusaha menghayati
peran itu dengan baik. Kalau bisa seperti sang cleaner yang
memimpin sholat di sebuah gedung elit di Jakarta tadi. Wallohu
a’lam bissawab.
qqq

180
Pelatihan Menulis
di Canberra

H
idup di negeri lain tentu memberikan pengalaman berharga
yang tidak semua orang bisa merasakannya. Kekhasan budaya,
iklim, dan cara hidup saat tinggal dan belajar di Australia menarik
untuk diceritakan kepada orang lain, khususnya di Tanah Air.
Seakan menangkap potensi tersebut, FLP Australia bekerjasama
dengan PPIA-ACT pada tanggal 6 Maret 2011 menyelenggarakan
pelatihan menulis dengan tema: “Dari Novel ke Layar Lebar”
dengan pembicara Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) dan
Dr. Minako Sakai. Acara tersebut dibagi ke dalam dua sesi, yaitu

Nico A n dri a nto 181


sesi untuk masyarakat umum dan dilanjutkan dengan sesi khusus
pelatihan penulisan.
Menurut pembicara utama, Kang Abik, meski banyak orang
berkeinginan menulis, tetapi tidak semua bisa mewujudkannya.
Ada banyak alasan yang membuat orang tidak jadi menulis,
mulai dari merasa tidak mempunyai bakat, banyaknya kesibukan,
sampai takut “kadar intelektualitasnya diukur orang lain”. Di
acara inilah Kang Abik memotivasi para penulis pemula untuk
terus berkarya. Dalam bahasa Kang Abik, setiap orang yang bisa
membuat selembar surat, berarti mempunyai kans untuk menjadi
penulis andal. Syarat yang diberikan penulis buku best seller Ayat-
Ayat Cinta tersebut jauh lebih ringan dari yang diberikan misalnya
oleh Ahmadun Y. Herfanda, yaitu orang yang bisa membuat skripsi
maka memiliki kemampuan menjadi penulis.
Menurut sutradara film Dalam Mihrab Cinta ini, modal utama
penulis adalah niat yang kuat. Seorang Iwan Gayo, atau Dr. Abdul
Hadi W.M., berhasil mewujudkan impiannya menjadi penulis
terkenal setelah upaya yang kesekiankalinya. Buku Pintar Iwan
Gayo ditolak oleh beberapa penerbit sebelum akhirnya diterbitkan
sendiri dan sukses besar.
Penyair Dr. Abdul Hadi W.M menurut Kang Abik harus
mencoba lebih seratus kali mengirimkan puisi sebelum akhirnya
diterima oleh media massa. Orang akan dengan mudah menyebut
seseorang berbakat menulis ketika seseorang tersebut telah
berhasil. Dari sisi penulis, ketika telah diterbitkan, kepercayaan
dirinya akan semakin menjulang. Jadi, tanpa niat yang kuat
meskipun seseorang mengikuti puluhan kali pelatihan menulis
atau membaca ratusan buku motivasi menulis tidak akan banyak
manfaatnya.

182
Sedangkan terkait inspirasi tulisan menurut Kang Abik
orang bisa mengupayakannya dengan berbagai cara. Ada yang
mencari inspirasi dengan berlayar seperti dilakukan oleh Ernest
Hemingway, tiduran di stasiun seperti dilakukan oleh Gerson Poyk,
atau bahkan bermula dari sobekan koran seperti terjadi pada Ali
Muakhir yang meraih juara pertama Lomba Cipta Cerpen Remaja.
Jika ide dan inspirasi ibarat ikan-ikan di lautan, seorang penulis
menurut Bambang Trim seperti dinukil Kang Abik harus berusaha
keras dan memiliki kepiawaian untuk mengailnya. Bagi sebagian
orang, ilham dalam menulis bisa saja datang begitu saja sebagai
karunia Allah yang sangat berharga.
Ditambahkan oleh Kang Abik bahwa saat memperjuangkan
sesuatu yang diyakini, maka semangat untuk menulis akan terus
menyala di ujung pena. Dicontohkan bagaimana seorang Yusuf
Qardhawi menulis lebih dari enam puluh buku best seller yang
tersebar di seluruh dunia. Juga, seorang Imam Bukhari harus
melakukan perjalanan ribuan kilometer sambil memunguti dan
menghafal lebih dari 600 ribu hadits di berbagai negara selama

Nico A n dri a nto 183


lebih dari 16 tahun serta menyeleksinya melalui proses penyucian
jiwa untuk sebuah buku kumpulan 4.000 hadis shahih, demi rasa
cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seorang J.K. Rowling mendapatkan penghasilan bulanan
yang lebih besar dari Ratu Elizabeth dan ketenaran yang melebihi
Kaisar Jepang karena membawa idealisme. Bahkan seorang Karl
Mark yang komunis-pun menghasilkan karya yang monumental,
Das Capital, karena memperjuangkan sesuatu. Sebagai seorang
penulis, Kang Abik mengakui bahwa kekuatan Cinta-lah yang
membuatnya bisa menyelesaikan buku laris Ayat-Ayat Cinta, Di
Atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Pudarnya Pesona
Cleopatra, Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Mihrab Cinta, dan Bumi
Cinta.
Kang Abik dalam acara pelatihan tersebut membagikan
pengalaman pribadinya sebelum berhasil menelurkan karya yang
diterima khalayak luas, bukan hanya di Indonesia tetapi juga
di Malaysia, Brunei Darussalam, Mesir, Hongkong, Singapura,

184
Taiwan dan Australia. Beliau menjadi sastrawan karena terpicu
oleh kemenangan lomba deklamasi saat Sekolah Dasar dan
bangga mendapatkan hadiah buku tulis. Pengalaman itu terus
memacunya untuk menyenangi puisi dan cerpen saat menempuh
MTs Futuhiyyah 1 Mranggen dan Pondok Pesantren Al Anwar,
Demak. Persentuhannya dengan banyak perlombaan baca
puisi, pidato, dan olah teater di Surakarta turut mengasah bakat
berkeseniannya yang mengantarkannya memenangkan berbagai
penghargaan.
Hobi berkesenian itupun akhirnya tetap dipelihara saat
melanjutkan kuliah di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadist
Universitas Al-Azhar. Novelnya yang berjudul Ayat-Ayat Cinta
akhirnya menjadi best seller dan bahkan dijadikan mahar
pernikahan beliau yang terasa sangat istimewa. Dr. Minako Sakai,
seorang Jepang pengajar Bahasa Indonesia di beberapa universitas
di Australia menceritakan pengalamannya menangis saat
membaca buku Ayat-Ayat Cinta ini ketika berada di Palembang.
Minako Sakai terkesan terhadap karya-karya Kang Abik yang
menurutnya banyak menyentuh perasaan.
Di sesi pelatihan menulis, Kang Abik memaparkan bagaimana
kiat-kiat menjadi penulis novel best seller dengan “enam langkah
dan tujuh pertanyaan”. Ibarat jurus-jurus pencak silat, Kang Abik
memberikan tips-tips berdasarkan pengalaman keberhasilan
yang pernah dialaminya sendiri. Acara ini sangat bermanfaat bagi
masyarakat dan para student Indonesia yang sedang belajar di
Australia, beberapa di antaranya bahkan datang langsung dari
Sydney. Beberapa penggemar Kang Abik dari Malaysia juga terlihat
hadir di acara tersebut dan merasa senang karena terdapat pula
sesi tanda tangan buku dan sesi foto bersama.

Nico A n dri a nto 185


Berbekal kesuksesan di pasar, beberapa novel Kang Abik
telah difilmkan dan meraih kesuksesan pula. Meski kecewa karena
bahasa film tidak bisa mengungkapkan seluruh imajinasi dalam
sebuah novel, adaptasi novel ke dalam film memberi banyak
pengalaman bagi Kang Abik yang bersedia berbagi pengalaman
dalam acara tersebut. Acara semakin semarak dengan pemberian
door prize berupa buku dan produk kerudung dari sponsor bagi
yang berhasil menjawab pertanyaan yang diberikan. Para peserta
pelatihan penulisan sangat antusias mengikuti acara yang diadakan
di Balai Kartini, KBRI Canberra tersebut dengan memberikan
banyak pertanyaan kritis dan menarik.
FLP Australia pada acara tersebut juga melakukan soft
launching buku berjudul “Catatan dari Negeri Selatan”. Buku
tersebut berisi tulisan dari para penulis yang tinggal atau sedang
studi di Australia dengan tema tentang kehidupan sehari-hari di
Australia. Seluruh royalty dari penjualan buku tersebut rencananya
akan disumbangkan kepada para korban bencana alam di Tanah
Air. Dalam acara tersebut sekaligus dikukuhkan pembentukan FLP
Australia dan dilantik para pengurusnya oleh Kang Abik. Diangkat
sebagai penasihat dalam kepengurusan tersebut, atase pendidikan
KBRI, Canberra. Semoga acara tersebut bisa menjadi trigger bagi
kemajuan para penulis kita. Amin.
qqq

186
Tips “Hidup” di Australia

D
engan menceritakan tips hidup di Australia ini saya bukan
bermaksud “sok menggurui”, namun lebih bernada “jangan
ulangi kesalahan saya”. Sebab, kata orang pengalaman adalah
guru terbaik dan menurut saya “mahal harganya”. Tips-tips di sini
juga tidak ditujukan bagi orang semacam “Gayus, dkk” yang sudah
tidak memikirkan “sensitivitas harga”, namun lebih ditujukan bagi
mereka yang berpikir rasional dalam “membelanjakan” tenaga
dan uangnya. Tips ini berguna bagi mereka yang akan melanjutkan
studi atau yang akan menetap lama di Australia.

Sebenarnya sudah banyak buku yang membahas hasil survey


tentang biaya hidup, akomodasi, kerja part time di kota-kota di

Nico A n dri a nto 187


Australia, namun yang saya sampaikan di sini materinya lebih
taktis dan kontekstual sesuai pengalaman saya di Australia. Saya
beruntung sebelum ke Australia dulu mendapat pelajaran cross
cultural di IALF oleh Barbarra Wiechecki, dan juga tidak harus
mengurus visa karena ADS office sudah melakukannya untuk saya
sebagai awardee. Sengaja saya tulis share pengalaman ini dalam
bentuk FAQ (Frequently Asked Question) untuk mempermudah
pemaparan, berikut ini:

Apa yang harus saya persiapkan sebelum berangkat ke Australia?


Pertama, passport dan visa sudah harus di tangan. Berikutnya, kita
harus mempersiapkan barang bawaan, khususnya pakaian untuk
seminggu. Saya dulu belanja pakaian musim dingin (long john,
jaket musim dingin, kaos tangan, dll) di Pasar Mangga Dua, Jakarta.
Kalau kita datang saat musim panas, jangan bawa pakaian
musim dingin terlalu banyak. Kita bisa berbelanja pakaian musim
dingin di sini (baru atau bekas) yang biasanya dijual murah di musim
panas. Sebab, biasanya pesawat akan membatasi barang bawaan
kita sampai 20 kilogram. Berikutnya, pilihlah pesawat Garuda jika
Bahasa Inggris (kita atau keluarga) minim, sebab pesawat Garuda
biasanya pramugarinya bisa berbahasa Indonesia.
Bagi yang membawa anak balita jangan lupa siapkan translate
(resmi) data imunisasi anak kita yang akan berguna saat dia
akan mendapatkan tambahan imunisasi. Harap diketahui, daftar
imunisasi di Australia jauh lebih banyak (lengkap). Berikutnya,
sangat penting untuk membawa SIM (mobil) dari Indonesia, jika
ingin berkendara di Australia. SIM ini akan di-translate di KBRI agar
bisa dipergunakan di sini. Mencari SIM Australia sangatlah sulit,
karena standarnya yang tinggi.

188
Apa yang pertama harus saya lakukan saat tiba di Australia?
Yang harus dilakukan adalah melaporkan diri di KBRI atau KJRI
terdekat, segera buka rekening bank, urus Tax File Number (TFN)
bagi yang ingin kerja part time, dan bagi yang ingin memasukkan
anaknya ke childcare segera dapatkan Child Care Benefit (CCB)
dengan mengurus di centre link terdekat (CCB diberikan khusus
bagi penerima beasiswa dari pemerintah Australia).
Sesegera mungkin daftarkan anak Anda di beberapa childcare
terdekat, karena biasanya daftar tunggunya panjang dan lama.
Biasanya sebelum mendapatkan childcare terdapat daycare,
pengasuh anak oleh orang (bukan lembaga) dengan biaya harian.

Bagaimana tips mencari akomodasi?


Di Australia, bangunan yang disewakan terdiri dari banyak flat
atau unit yang masing-masing dimiliki perseorangan dan biasanya
dikelola oleh agen-agen rumah. Ada tiga pilihan menyewa flat atau

Nico A n dri a nto 189


unit untuk akomodasi kita, yaitu di asrama kampus, yang dekat
city center dan jauh dari city center. Bagi yang tidak berkeluarga,
asrama kampus bisa menjadi pilihan utama karena jaraknya yang
dekat kampus dan biasanya murah harga sewanya.
Menyewa unit/flat atau rumah jauh dari city center biasanya
harganya lebih murah dibanding dengan menyewa dekat city
center. Perbandingannya, kalau rumah di city center (Canberra)
sewanya 290 dollar per week, di luar city center bisa 160 atau
180 dollar per week. Biasanya sewa dibayarkan tiap dua minggu
(fortnightly). Keuntungan tinggal di city center adalah dekat
dengan tempat-tempat pekerjaan part time.
Menyewa unit-unit dalam satu komplek bersama-sama
memberi keuntungan tersendiri, karena akan mempunyai
tetangga-tetangga dari Indonesia yang mempermudah sosialisasi
dan kalau sewaktu-waktu kita membutuhkan pertolongan. Di
Canberra ada istilah “Kelurahan Huges” atau “Kelurahan Hacket”
karena banyak keluarga Indonesia yang tinggal di komplek
tersebut. Namun ada juga yang lebih suka tinggal sendiri dan
bersosialisasi dengan tetangganya yang bule. Di Australia semua
pekerjaan rumah (mencuci pakaian, memasak, membersihkan
rumah, mengasuh anak) harus dilakukan sendiri, karena tidak ada
pembantu seperti di Indonesia (sangat mahal).
Alangkah baiknya jika kita bisa take over kepenghunian
rumah/flat dari teman kita yang akan pulang ke Indonesia,
karena kita tidak perlu masuk daftar calon penyewa di agen yang
biasanya panjang dan banyak syaratnya. Bagi yang rumahnya
akan di-take over juga mendapatkan keuntungan, karena tidak
harus membuang barang-barang perabotan dan perlengkapan di
rumahnya yang tidak mungkin dibawa ke Tanah Air.

190
Di Australia, bagi yang memiliki anak balita lebih dari satu,
harus menyewa flat yang memiliki kamar minimal dua. Pernah
teman saya yang memiliki tiga orang anak harus memulangkan
keluarganya ke Indonesia karena tidak bisa mendapatkan flat/
unit/rumah berkamar dua.
Biasanya kita diharuskan membayar deposit di muka senilai
sewa selama sebulan sebelum kita menempati rumah. Membayar
sewa rumah dengan auto debet rekening bank (misalnya reconnect)
bisa mencegah kita lupa membayar sewa rumah.
Kita harus mencermati kontrak sewa unit/rumah kita agar tahu
hak dan kewajiban, misalnya kerusakan jendela adalah kewajiban
agen untuk memperbaiki, sementara kerusakan saluran air atau
kotornya tembok rumah menjadi tanggung jawab penyewa.

Lebih baik saya membeli mobil atau pakai transportasi umum?


Di Australia, sistem transportasi sangatlah efektif dan bisa
diprediksi menit-menit kedatangan kendaraan umumnya. Kalau
kita hidup sendiri, atau tidak berniat kerja part time, lebih baik
memanfaatkan transportasi umum yang tersedia.

Nico A n dri a nto 191


Kalau kita membawa keluarga (anak, istri) atau kerja part
time, lebih baik membeli mobil sendiri, yang biasanya murah
menjelang pergantian semester di mana banyak mahasiswa
yang akan pulang ke negaranya masing-masing dan perlu untuk
melepas kepemilikan kendaraannya.
Harga kendaraan second hand berkisar antara 1.000 sampai
2.500 dollar, tergantung tahun pembuatan dan kondisinya. Kalau
beruntung, kita bisa memiliki mobil hanya dengan 750 atau 500
dollar. Teman saya akhirnya harus rela melepas mobil yang dulu
dibeli dengan 3.000 dollar ke dealer seharga 400 dollar karena
tidak ada temannya yang membeli.
Biaya-biaya terkait mobil kita adalah Rego (setiap 3, 6 bulan
atau 1 tahun), tiket/stiker parkir, bensin, service rutin tiap tiga bulan
yang akan worthy jika kita mempunyai penghasilan tambahan
(kerja part time). Jangan lupa membeli polis asuransi kendaraan
(misalnya NRMA) minimal third party atau akan lebih baik jika
“full protection” sebelum berkendara. Teman saya baru satu hari
berselang setelah membeli asuransi, menabrak kendaraan lainnya
di jalan. Saya setelah sembilan bulan menyetir mobil, menabrak
kendaraan yang berhenti mendadak di depan kendaraan saya.
Selain itu, Overseas Health Cover (OSHC) atau asuransi untuk kita
dan keluarga juga perlu, sebagaimana teman saya memperoleh
manfaat gratis biaya melahirkan di sini (Di Australia asuransi
adalah kebutuhan primer).

Bagaimana cara mendapatkan part time job?


Biasanya melalui jaringan pertemanan informasi tentang pekerjaan
kita dapatkan. Untuk itu perbanyak silaturahmi, misalnya melalui
acara di KBRI, setelah Jumatan, acara makan-makan di kampus,

192
dll. Untuk mengambil kerja sampingan disarankan jika kita sudah
seatle, khususnya secara akademik.

Bagaimana caranya agar kita bisa berhemat?


Belilah produk murah di Wolworth, Aldi, Supabarn, Coles, dengan
“merek murah” seperti Black and Gold, Home Brand, dll. Belilah
sayuran di sore hari (biasanya jam 4 atau 5 pm) yang biasanya
diobral murah oleh penjualnya. (Di sini sayuran, buah-buahan,
dll dijual murah di sore hari meskipun kondisinya masih sangat
layak dikonsumsi untuk ukuran kita) Pernah suatu sore saya lihat
di Queen Victoria Market dimana orang berebut membeli sayur
obralan jenis ini. Jika di pagi hari harga kol sekilo lima dollar, di
sore hari bisa hanya dua dollar.

Carilah produk-produk murah buatan China di toko seperti Top


Bargain, Price Attack, Hot Dollar atau belilah pakaian atau sepatu
baru produk China di misalnya Brand Depo. Jangan gengsi untuk
membeli barang second hand seperti di Sunday Market, Salvos,
Garage Sale, atau saat obral Boxing Day. Teman saya mendapatkan

Nico A n dri a nto 193


mainan anak-anak sebungkus plastik besar di Sunday Market
hanya dengan sedollar, sementara kalau membeli yang baru
bisa 25 dollar lebih. Biasanya juga ada bazaar barang bekas pada
tanggal-tanggal tertentu dengan tema seperti “kebutuhan balita”,
“kebutuhan manula”, khusus “mainan anak-anak”, dll.

Biasanya setiap enam bulan ada hari buang barang di


Australia yang diorganisir oleh pemerintah kota. Pada hari itu
semua keluarga yang sudah tidak memerlukan barang tertentu
(TV, kulkas, mesin cuci, lemari, buku, kursi, dll) akan meletakkan
barang tersebut di depan rumah yang boleh diambil oleh siapapun.
Biasanya mahasiswa baru “kemaruk” dengan penawaran ini,
meskipun barang tersebut tidak terlalu diperlukan atau beberapa
diantaranya adalah rusak.

194
Apa yang harus saya hindari?
Jangan ulangi kesalahan saya, jangan boros menggunakan
listrik di musim dingin. Di Australia alat-alat elektronik biasanya
membutuhkan daya yang sangat tinggi, sehingga boros energi.
Saya pernah harus membayar rekening listrik tiga bulanan 800
dollar karena menyalakan heater udara di musim dingin. Jika
masih bisa bertahan di suhu dingin, gunakan elektric blanket
karena dayanya jauh lebih rendah.
Awas penggunaan pulsa telepon anda, jangan terjerat alasan
“rindu tanah air” yang menyebabkan Anda tidak rasional dalam
menggunakan pulsa. Tips saya, pergunakan layanan telepon
murah semacam kartu HP “Lebara”, atau paket murah lainnya yang
jauh akan menyelamatkan isi kantong anda. Saya pernah harus
membayar 700 dollar gara-gara telepon ke Indonesia memakai
kartu telepon utama (Three atau Optus). Kalau ada sambungan
internet bisa anda menggunakan Voipwise atau Skype.
Inilah sekelumit tips-tips yang bisa saya berikan, semoga
bermanfaat, karena informasi adalah mahal harganya. Wassalam.
qqq

Nico A n dri a nto 195


Yang Unik-unik di Australia

S
aat di Australia, saya mendapati banyak sekali hal menarik
untuk ukuran kita orang Indonesia. Ada yang konyol, aneh,
atau nggak masuk akal. Obyek-obyek unik tersebut mulai dari
misalnya patung “Banana” raksasa di Coffs Harbour NSW, patung
kambing raksasa (Big Merino) di Goulburn NSW, atau tak seperti
dalam bayangan kita ternyata ada juga becak (padycab) di
Australia yakni di Sydney. Terdapat kotak pos tertinggi di Canberra
pada ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan laut yang
masih difungsikan, yaitu di dalam Telstra Tower.
Saya mulai mengumpulkan hal-hal unik ini saat pertama
menemukan peringatan dalam Bahasa Jawa di toilet perpustakaan

Nico A n dri a nto 197


ANU. Waktu itu saya berpikir, kenapa nggak cukup bahasa Indonesia
saja (di samping bahasa asing lainnya) dalam pengumuman itu
untuk menekankan keragaman audiens. Yang lainnya, waktu
membersihkan ruangan di CIT saya mendapati coretan ekspresif
mahasiswa di meja kelas bergambar UFO, atau koleksi vespa kecil
di atas lemari pegawai administrasi yang saya “curi” gambarnya
dengan Iphone.
Indonesia dan Australia hanya dipisahkan Laut Arafura,
namun memiliki kebiasaan yang jauh berbeda. Yang sudah saya
ceritakan sebelumnya misalnya tentang dibuangnya barang-
barang berharga yang sudah tidak diperlukan. Atau di Australia
tidak ada tukang parkir dan pelayan pom bensin, alias semua harus
self service. Bayangkan kalau kedua hal terakhir ada di Indonesia,
bisa-bisa nggak ada yang bayar. ☺
Pada suatu hari saya mendapati tulisan informasi air and water
di pom bensin. Pertama saya agak kaget, bagaimana satu jenis
barang yang sama harus ditulis dalam dua bahasa. Ternyata papan
tulisan itu menjelaskan adanya air (udara) dan water (air) yang

198
disediakan untuk kebutuhan kendaraan di pom bensin tersebut.
Di kota-kota Australia kran air siap minum atau pemanggang
(barbeque) disediakan gratis di setiap tempat wisata atau public
area. Apa yang terjadi kalau hal yang sama juga diterapkan di
Tanah Air, pasti sudah banyak pedagang sate atau ikan bakar yang
memanfaatkannya untuk berdagang. ☺
Saat berbelanja di market, kita mendapati hal-hal aneh
pula. Bukan hanya karena harga sekilo tempe di Canberra jauh
lebih mahal daripada harga sekilo daging ayam atau telur, dan
daun pisang 10 lembar bisa seharga 20 ribu rupiah, namun
juga dijualnya sweet potato (ketela rambat), dan teh “Madura”
di suatu pusat perbelanjaan. Untuk mendongkrak penjualan,
kadang-kadang produsen juga kreatif misalnya menjual tiga
warna capsicum, hijau, merah dan kuning dalam satu plastik
yang unik.

Nico A n dri a nto 199


Perjumpaan dengan orang-orang Australia di sekitar kita
perlahan menyingkap kabut seperti bertambahnya pengertian kita
atas pelafalan Bahasa Inggris orang Oz yang seperti “menggumam”
dan sulit dimengerti awal-awalnya. Dengan kita berinteraksi,
maka semakin jelas pola pikir orang Australia. Seperti kalau kita
mengambil uang ATM di Australia maka kartu ATM dulu yang
keluar baru uangnya kemudian, kebalikan dengan di Indonesia. Hal

200
ini seperti mengkonfirmasi bahwa kartu ATM jauh lebih berharga
daripada sebagian uang yang diambil.
Pemahaman kita atas orang Australia pasti bertambah, seiring
dengan berjalannya waktu. Tak seperti bayangan kita sebelumnya
bahwa orang “Barat” jarang mempunyai anak, yang sering saya
lihat di sini malah mereka mendorong kereta bayi dengan tiga
sampai empat orang anak. Di sini pula hampir setiap keluarga
mempunyai anjing kesayangan, yang seolah-olah seperti anak
sendiri. Banyak dijual aneka makanan “khusus” hewan yang suka
menggongong ini, yang beberapa diantaranya juga dikonsumsi
oleh orang kita seperti hati ampela dan kepala ikan kakap (bisa
dimasak rendang), namun cara kita membelinya jangan sampai
membuat penjualnya curiga. ☺
Australia mempunyai empat musim yaitu summer yang
dimulai sekitar Bulan Januari, fall sekitar Maret, winter sekitar
Juni, dan spring sekitar Oktober. Perubahan posisi geografis
Australia terhadap posisi matahari pada bola bumi menyebabkan
terdapat perbedaan lamanya pemunculan siang dan malam. Hal

Nico A n dri a nto 201


ini memaksa Australia memajumundurkan waktunya sejam setiap
enam bulan sekali yang dikenal dengan “day light time saving”.
Seperti saat ini, masuk waktu sholat maghrib bisa pukul 8:20 pm
dan mulai isya’ pukul 10:00 pm. Perubahan tersebut juga berimbas
pada bergesernya waktu aktivitas orang Australia, misalnya jam
kantor, sekolah dan pelayanan publik lainnya.
Dan terakhir, yang menarik adalah saya bertemu dengan
kompasianer sedang menggelar dagangannya di Sunday Market.
Beliau seorang student dari Indonesia yang sedang memasarkan
aneka pin dan gantungan kunci di tempat orang-orang Australia
dari berbagai latar belakang berbelanja. Tentu hal ini seperti
sebuah mozaik yang indah, dan menjadi inspirasinya buat saya
untuk mengabadikannya. Wallohu a’lam bissawab.
qqq

202
Tentang Penulis

Nico A ndria nto , lahir di Kediri, 19


Oktober 1976. Suami dari Alvien Nur
Amalia serta ayah dari Muhammad Al
Fatih Paramayodha dan Michaelia Rania
Hayrunnisa ini bekerja di BPK RI. Ia
memiliki ketertarikan yang besar pada
dunia filsafat, cyberspace dan tulis-
menulis. Selalu berpindah-pindah karena tuntutan pekerjaan
serta studi telah memberi inspirasi tulisan yang melimpah
ruah. Selain telah menulis berbagai laporan audit, tiga buah
buku berjudul: “Catatan Muslim Indonesia di Australia”
(2013, ditulis bersama Redi Bintarto), “Korupsi di Daerah:
Modus Operandi dan Peta Jalan Pencegahannya” (2010, ditulis
bersama Ludy Prima Johansyah) dan “Good E-Government:
Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui E-Government”
(2007) telah dihasilkannya. Berbagai artikel dan tulisan
dengan beragam tema telah ditulisnya, yang dimuat di
berbagai media lokal maupun nasional, blogs serta situs
berita, seperti Hidayatullah.com, Eramuslim.com, Duaberita.
com, Kompasiana.com, Majalah Potret, Koran Fajar Australia,
Banjarmasin Post dan Dayak Post. Kumpulan tulisannya bisa
diakses melalui http://nico-andrianto.blogspot.com/. Saat
menulis buku ini penulis sedang menempuh studi pada program

Te nt a n g Pe n u lis 203
Master of Public Policy di Crawford School of Economics and
Government, The Australian National University, Canberra.
qqq

204
Mau Menerbitkan Buku Sendiri
Tapi bingung mulai dari mana? Mulailah dari sini:

www.Indie-Publishing.com
Publish yourself and create your own history!

FB : indiepublishing |Twitter : @IndiPublishing

Email: admin@indie-publishing.com
Tlp.: 021-77880581 | PIN BB 29EB65ED

Anda mungkin juga menyukai