KEJUANGAN
i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Pasal 1:
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan
prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Pasal 9:
2. Pencipta atau Pengarang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 memiliki
hak ekonomi untuk melakukan a. Penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan
dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan Ciptaan; d. Pengadaptasian,
pengaransemen, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau
salinan; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan;
dan i. Penyewaan Ciptaan.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100. 000. 000, 00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak C ipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp500. 000. 000, 00 (lima ratus juta rupiah).
ii
Andriyanto, M.Pd.
Drs. Muslikh, M.Pd.
Fauzi Rahman, S.Pd., M.Pd.
Ira Pramudawardhani, M.Pd.
I Made Ratih Rosanawati, M.Pd.
Ageng Sanjaya, S.Pd., M.Pd.
NILAI-NILAI
KEJUANGAN
Penerbit Lakeisha
2022
iii
NILAI-NILAI KEJUANGAN
Penulis:
Andriyanto, M.Pd.
Drs. Muslikh, M.Pd.
Fauzi Rahman, S.Pd., M.Pd.
Ira Pramudawardhani, M.Pd.
I Made Ratih Rosanawati, M.Pd.
Ageng Sanjaya, S.Pd., M.Pd.
Redaksi
Srikaton, RT 003, RW 001, Pucangmiliran,
Tulung, Klaten, Jawa Tengah
Hp. 08989880852, Email: penerbit_lakeisha@yahoo.com
Website: www.penerbitlakeisha.com
iv
PRAKATA
P
uji dan syukur atas kehadirat Allah SWT. Akhirnya buku berjudul
Nilai-Nilai Kejuangan ini bisa terselesaikan dengan baik. Melihat
kajian tema nilai-nilai kejuangan masih sangat minim ditemukan
dalam bentuk buku. Hal itulah yang menyebabkan Penulis tertarik untuk
menyusun buku dalam kajian nilai-nilai kejuangan.
Dunia Pendidikan mempunyai peranan yang sangat mendasar dalam
membentuk karakter bangsa seperti pemahaman bahwa, arti kampus
adalah “Mendidik para pejuang dan diharapkan setelah selesai akan menjadi
pejuang-pejuang pendidik (pendidikan dan pengetahuan) di bangsa ini.
Tidak ada bangsa yang dapat melarikan diri dari sejarahnya masing-masing.
Begitu juga dengan sejarah bangsa Indonesia yang merupakan peninggalan
perjuangan bangsa dan menjadi nilai karakter bangsa yang terus akan
tertanam dalam hati rakyat Indonesia. Lembaga pendidikan tidak hanya
berkewajiban meningkatkan mutu akademis, tetapi juga bertanggung jawab
dalam membentuk karakter bangsa. Mutu akademis dan pembentukan
karakter yang baik merupakan dua hal yang harus dikombinasikan sebagai
sebuah solusi tantangan dalam masa globalisasi. Buku ini adalah upaya
untuk memperbaiki apa yang menjadi hambatan dalam pemahaman nilai-
nilai kejuangan bangsa dan karakter bangsa Indonesia. Dalam rangka ikut
berpartisipasi pada ranah literasi dengan memperkenalkan nilai kejuangan
dan nilai karakter bangsa Indonesia pada pendidik, mahasiswa, peserta
didik dan masyarakat secara umum.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan sehingga terwujudlah buku ini. Selama proses
penulisan buku ini, telah banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Tentu saja
v
Penulis (Andriyanto) mengucapkan terima kasih kepada Nita Dewi
Angraini, S.Pd., Lakeisha Diandra Andriyanto, Akhsara Kiandra
Andriyanto yang senantiasa bisa memberikan motivasi untuk tidak lelah
dalam berkarya. Hanya kepada Allah penulis berharap semoga buku ini
menjadi suatu amal yang bermanfaat bagi masyarakat. Penulis menyadari
bahwa pembahasan dalam buku ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Kritik dan saran kami butuhkan guna penyempurnaan
buku ini kedepannya. Salam literasi
Penulis
vi
DAFTAR ISI
PRAKATA ................................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
vii
C. Ketahanan Nasional .................................................................................. 46
D. Ringkasan ................................................................................................ 53
BAGIAN KELIMA SEJARAH PERJUANGAN INTEGRASI
KEBANGSAAN ......................................................................................... 54
A. Masa Kedaulatan Nusantara ................................................................... 54
B. Pengaruh Islam dalam Proses Integrasi Bangsa .................................... 61
C. Masa Pergerakan Nasional dan Kebangsaan ......................................... 69
D. Masa Pendudukan Jepang di Indonesia .................................................. 75
E. Ringkasan ................................................................................................ 79
BAGIAN KEENAM PERJUANGAN SEKITAR MASA PROKLAMASI
DAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN ............................................. 81
A. Perjuangan Masa Proklamasi.................................................................. 81
B. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan ......................................... 89
C. Penanggulangan Gangguan Keamanan Dalam Negeri ......................... 95
D. Masa Pemerintahan Orde Baru ............................................................... 96
E. Ringkasan .............................................................................................. 102
BAGIAN KETUJUH PERJUANGAN MASA REFORMASI ....................... 104
A. Awal Masa Reformasi ........................................................................... 104
B. Masa Kepemimpinan Presiden B.J. Habibie ........................................ 106
C. Masa Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid ......................... 111
D. Dinamika Kehidupan Bernegara Masa Reformasi .............................. 115
E. Ringkasan .............................................................................................. 117
BAGIAN KEDELAPAN KISAH KETELADANAN
PARA PAHLAWAN ................................................................................ 118
A. Menghargai Jasa Pahlawan..................................................................... 118
B. Pahlawan Indonesia ................................................................................ 119
C. Ringkasan .............................................................................................. 135
BAGIAN KESEMBILAN TANTANGAN BANGSA INDONESIA............ 137
A. Tantangan Bangsa Indonesia ................................................................ 137
B. Tantangan dalam Kehidupan Politik .................................................... 141
C. Tantangan dalam Arus Globalisasi....................................................... 145
D. Tantangan dalam Permasalahan Kemiskinan ...................................... 152
E. Tantangan dalam Otonomi Daerah ...................................................... 157
F. Tantangan dalam Permasalahan Korupsi ............................................ 159
G. Ringkasan ............................................................................................... 164
viii
BAGIAN KESEPULUH NILAI KEJUANGAN PEMUDA DALAM
MENGISI KEMERDEKAAN DI MASA GLOBALISASI ............................... 165
A. Perjuangan Pemuda dalam Sejarah Indonesia ..................................... 165
B. Perjuangan Pemuda dalam Mengisi Kemerdekaan ............................ 169
C. Nilai Kejuangan Pemuda dalam Globalisasi ....................................... 183
D. Ringkasan .............................................................................................. 187
ix
x
BAGIAN PERTAMA
PROLOG
NILAI-NILAI KEJUANGAN 1
budur dan Prambanan sebagai artefak yang sangat berharga dan tidak
banyak yang bisa menandinginya. Oleh sebab itu, kita harus mewarisi jiwa
semangat dan nilai sejarah yang ada dalam monumen-monumen bersejarah
bangsa Indonesia tersebut.
Pembangunan Candi Prambanan dan Candi Borobudur sedikitnya
telah menampar ilmu pengetahuan bangsa kita. Sekarang mungkin kita
bisa membangun jalan tol, gedung bertingkat, membuat pesawat, membuat
teknologi lainnya, akan tetapi belum ada yang menggantikan monumen
sejarah bangsa kita yaitu Prambanan dan Borobudur. Pembangunan jalan
tol, bangunan bertingkat, pembuatan pesawat banyak negara yang sudah
bisa membuatnya. Tetapi pembuatan bangunan Candi Prambanan dan
Borobudur tersebut pastinya membutuhkan perancangan, pelaksanaan,
pengaturan dan kerja sama satu sama lain. Pembuatannya membutuhkan
ilmu pengetahuan seperti arsitek, ilmu bumi, ilmu pertukangan, pemahat
relief, sastrawan, tenaga manusia lainnya yang cukup andal dan pada waktu
itu tidak semua negara dan peradaban bisa melakukan itu.
Sampai sekarang para ahli juga masih belum bisa menemukan beberapa
misteri pembuatan bangunan-bangunan suci tersebut. Bagaimana bisa
membentuk batu, menata dengan indahnya dan mengangkat sampai ke
puncak candi. Misteri tentang berapa kekayaan yang harus dihabiskan
untuk membangun Candi Prambanan dan Borobudur, bagaimanapun kita
yakin bahwa pembiayaan itu jika dibandingkan dengan biaya kehidupan
sekarang, juga masih belum bisa terbayangkan. Rasa hormat rakyat pada
masa tersebut kepada agama dan raja merupakan warisan nenek moyang
yang harus kita uri-uri bersama. Bagaimanapun, bangsa kita sekarang tanpa
rasa hormat yang tinggi dari rakyatnya juga akan sulit untuk membangun
dalam berbagai hal untuk bisa bersaing pada masa globalisasi ini.
Selanjutnya, kita bisa mengambil nilai saat perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia yaitu saat perjuangan melawan Belanda dan Jepang.
Walaupun bangsa Indonesia cuma bermodal bambu runcing dan musuh
memegang senjata modern, tetapi rasa keberanian dan patriotisme waktu
itu mampu mengantar untuk memperoleh kemerdekaan. Kalau
menggunakan hitung-hitungan matematika pastinya kita akan kalah,
tetapi dengan semangat dan nilai kejuangan yang cukup tinggi kita bisa
mengatasi permasalahan tersebut. Rasa kesatuan, rasa kebangsaan, dan
nilai kejuangan merupakan bagian terpenting dalam proses Indonesia
merdeka. Mungkin nilai itu tidak terlihat kasat mata oleh generasi
sekarang, akan tetapi kita terus mencari tahu dan belajar tentang sejarah
2 NILAI-NILAI KEJUANGAN
bangsa sehingga kita bisa merasakan bagaimana sulitnya kehidupan masa
itu. Diharapkan setelah mengetahui tentang sejarah bangsa, kita bisa
menjadikannya modal untuk membentuk wawasan kebangsaan sehingga
bisa untuk mewujudkan ketahanan nasional sebagai modal pembangunan
bangsa Indonesia.
Generasi muda sekarang sebagian besar menganggap monumen-
monumen sejarah itu sebagai tempat tumpukan batu, bangunan kuno
yang hanya untuk swafoto. Mereka sudah cukup bahagia bisa berfoto di
tempat-tempat bersejarah tersebut. Mereka lupa untuk mengetahui
dahulu bagaimana nenek moyang kita membangun, berapa biaya, materi,
tenaga, bahkan nyawa yang harus dikorbankan untuk kepentingan
bersama. Minimal kita bisa membuka dari kacamata moral historis dengan
terus mewarisi nilai kejuangan dari para pendahulu bangsa kita. Sebagai
kekuatan untuk menyongsong kehidupan berbangsa di masa depan yang
semakin banyak dan berat oleh datangnya berbagai tantangan.
Buku ini menjelaskan tentang nilai-nilai perjuangan bangsa
Indonesia yang tercermin dalam proses sejarah sejak Indonesia masih
berdaulat dalam negara kepulauan seperti masa Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit. Masa Perlawanan daerah yang dipelopori oleh para pemimpin
agama dan raja lokal, dilanjutkan pada masa Pergerakan Nasional yang
menghantarkan pada peristiwa Sumpah Pemuda. Kedatangan bangsa
Jepang dijadikan momentum sebagai persiapan kemerdekaan Indonesia.
Masa proklamasi dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia,
mengisi kemerdekaan sampai masa globalisasi. Dari proses sejarah tersebut
kita bisa mengambil nilai-nilai luhur yang patut kita warisi, baik dari
peristiwa sejarah maupun dari tokoh besar sejarah bangsa. Mempelajari
dan menerapkan perjuangan tokoh-tokoh bangsa di masa sekarang atau
masa globalisasi sebagai sebuah warisan luhur bangsa.
Ada beberapa fase bagaimana Indonesia bisa sampai seperti ini,
pertama fase berdaulat masa kerajaan kuno, kedua adalah fase perjuangan
kemerdekaan dari bangsa penjajah di negeri Indonesia, ketiga fase kita
menjadi negara yang merdeka dan berkedaulatan setelah diproklamasikan
Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dari Proklamasi
Kemerdekaan ini, kita dapat mengambil jiwa, semangat, dan nilai 45 yang
telah bisa menghantarkan Indonesia menjadi bangsa merdeka. Setiap
zaman akan menghasilkan pejuang-pejuang di masanya. Karena setiap
zaman juga mempunyai tantangan-tantangan yang berbeda. Proklamasi
kemerdekaan merupakan jembatan emas untuk menghantarkan bangsa
NILAI-NILAI KEJUANGAN 3
Indonesia menuju ke gerbang kemakmuran, kecerdasan, keadilan sosial,
dan hidup bermartabat di dunia. Pada fase terakhir ini terdiri dari
proklamasi kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan dan mengisi
kemerdekaan. Pada masa mengisi kemerdekaan seperti sekarang adalah
perjuangan untuk membebaskan dari sifat kebodohan, kemiskinan,
penurunan kualitas karakter bangsa.
Pada zaman kedaulatan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia
musuhnya jelas yaitu daerah yang tidak mau tunduk atau kerajaan yang
akan mengancam kedaulatan kekuasaan kerajaan Nusantara. Pada masa
penjajahan Eropa dan Jepang kita dapat dengan mudah membedakan
antara musuh dan mana kawan, dari bentuk fisik, bahasa, dan agamanya
sudah sangat berbeda sehingga di masa-masa itu kita lebih mudah untuk
mendeteksi musuh yang akan dihadapi. Kondisi berbeda dengan zaman
sekarang bahwa kita sebagai bangsa Indonesia sangat kesulitan untuk
menemukan siapa musuh bersama kita.
Penduduk Indonesia tahun 2017 adalah 260 juta jiwa sehingga bisa
dijelaskan secara sederhana, bahwa dengan jumlah penduduk kita 260
juta berarti musuh kita juga sejumlah tersebut. Saat kita bangun tidur,
belajar, di sekolah, bekerja, beribadah, mengikuti upacara dan lain-lainnya,
musuh kita juga ikut dalam kegiatan itu. Musuh kita sekarang adalah diri
kita sendiri, yaitu sifat-sifat di dalamnya yang bisa menghambat kemajuan
bangsa kita untuk menjadi bangsa yang unggul dibandingkan dengan negara
lain. Sifat-sifat tersebut di antaranya sifat malas, masa bodoh, kebodohan,
tidak semangat belajar, tidak semangat bekerja, tidak semangat beribadah,
sifat kemiskinan karena tidak memiliki daya juang yang tinggi, anarkis,
tidak bangga dengan bangsa dan negara, sifat individu, sifat korupsi, tidak
kreatif, dan masih banyak sifat negatif yang lainnya.
Pada masa globalisasi yang semakin melanda dunia saat ini diperlukan
sebuah filter untuk menyaring pengaruh negatif dan positif dari dampak
yang dihasilkan. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat
secara global. Maka ketika liberalisme, materialisme, individualisme, dan
hedonisme dianggap baik, bisa memengaruhi pola pikir dari masyarakat
Indonesia dan bisa melunturkan nilai ketimuran dari bangsa kita yaitu
religius, gotong royong, musyawarah dan solidaritas bisa terkikis dengan
pengaruh globalisasi tersebut.
Buku ini sebagai sumbangsih kami sebagai pendidik dan akademisi
untuk membangun bangsa dengan sumbangan pemikiran yang terwujud
dalam sebuah pemikiran kecil kami. Semoga bisa menjadi bacaan yang
4 NILAI-NILAI KEJUANGAN
menginspirasi rasa kejuangan di kalangan masyarakat umum, para pendidik,
para mahasiswa, para siswa, warga negara Indonesia, dan khususnya
generasi muda di bangsa ini. Karena dari generasi muda inilah sejarah
perjuangan bangsa Indonesia akan kita wariskan dan merekalah yang
selanjutnya akan meneruskan perjuangan untuk memberikan pemahaman
pentingnya mempelajari sejarah bangsa Indonesia dan mengambil nilai-
nilai kejuangannya yang dapat kita warisi bersama.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 5
BAGIAN KEDUA
NILAI-NILAI KEJUANGAN
BANGSA
A. Nilai Kejuangan
D
ari segi semantik nilai-nilai kejuangan terdiri dari dua istilah
yaitu “Nilai” dan “Kejuangan”. “Nilai” adalah konsep yang
berkenaan dengan sesuatu (Suhady, 2006: 47). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2008, nilai berarti sifat-sifat (hal-hal)
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Dengan demikian, nilai
merupakan sesuatu yang berharga, yang diapresiasi oleh manusia kerena
nilai tersebut berguna bagi kemanusiaan itu sendiri. Nilai dalam artian
tertentu ada di luar diri subjek, dan subjek sendiri bisa percaya, yakin, atau
memiliki kemantapan terhadap nilai-nilai yang diyakininya tersebut
(Kusuma, 2015: 176-177).
Schwartz (dalam Muthohar, 2009) mendefinisikan nilai sebagai berikut:
Value as desireable transituational goal, varying in importance, that serve as
guiding principles in the life of person or other social entity. Nilai adalah suatu
tujuan akhir yang diinginkan, memengaruhi tingkah laku, yang digunakan
sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat. Bisa
dikatakan bahwa nilai-nilai pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip
yang dianggap berharga dan bernilai sehingga layak diperjuangkan dengan
penuh pengorbanan. Seseorang yang hanya memperjuangkan nilai-nilai
pribadi disebut individualis, namun jika seseorang memperjuangkan nilai-
nilai sosial disebut pejuang atau pahlawan (orang yang banyak pahalanya).
Nilai-nilai merupakan representasi kognitif dari persyaratan hidup manusia
6 NILAI-NILAI KEJUANGAN
dan dapat bergeser karenanya. Tiga tipe persyaratan itu menurut Schwartz
(dalam Mutohar, 2009), yaitu:
1. kebutuhan individu sebagai organisme,
2. persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi
interpersonal,
3. tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan
kelangsungan hidup kelompok.
Kata “juang” sebagai kata kerja berarti “laga, lawan, kelahi, perang
memperebutkan sesuatu dengan mengadu tenaga”. Berjuang adalah berlaga,
berkelahi, berperang dan berlawan (KBBI, 1989). Nilai kejuangan adalah
konsep yang berkenaan dengan sifat, mutu, keadaan tertentu yang berguna
bagi manusia dan kemanusiaan yang menyangkut perihal perang, kelahi,
lawan, dan laga. Kata nilai kejuangan dikenal terhadap konsepsi abstrak,
anutan, paham, dan pendorong yang menyebabkan orang dapat berperang,
berkelahi, berlawan dan berlaga, sehingga bermanfaat bagi dirinya untuk
menang (Suhady, 2006: 47-48). Sama halnya dengan mereka yang merasa
punya nilai kejuangan, pembela tanah air, nusa dan bangsa, disiplin
nasional, dan sebagainya.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 7
nasionalnya. Nilai kejuangan itu dikenal dengan nama jiwa, semangat, dan
nilai kejuangan 45 atau nilai kejuangan bangsa, merupakan perekat
wawasan Nusantara dan ketahanan Nasional dalam memperkokoh bangsa
dan negara Indonesia (Dewan Harian Daerah, 2013: 19). Ataupun rakyat
Jepang, yang mengembangkan heroisme, nilai juang dan patriotisme melalui
pembudayaan semangat Bushido (kerja sampai mati) bagi raja, bagi bangsa
dan negaranya (Adiwijoyo, 2000: 121).
Setiap periode sejarah perjuangan bangsa Indonesia, selalu lahir jiwa,
semangat, dan nilai-nilai kejuangannya sebagai kekuatan yang melandasi,
mendorong perjuangan bangsa melakukan perubahan secara gradual pada
aspek kehidupan politik, sosial budaya, ekonomi, dan hankam dalam
menciptakan kehidupan demokratis untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Bagaimanapun, ada timbal balik yang serasi antara bangsa dan rakyat yaitu
bahwa rakyat yang telah memutuskan membentuk negara yang bernama
Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan negara harusnya juga untuk
memikirkan rakyat secara keseluruhan.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia nilai kejuangan
dimaksudkan untuk menggambarkan daya dorong perlawanan dan
pendobrak yang mampu membawa bangsa ini untuk membebaskan
dirinya dari penjajahan. Nilai kejuangan ditanamkan kepada beberapa
generasi dalam upaya untuk mencapai kemerdekaan. Nilai kejuangan
seperti ini dimiliki oleh generasi pra 45 dan generasi 45. Sebutan generasi
1945 sangat mengemuka karena pada tahun 1945 inilah keberhasilan
kemerdekaan bangsa itu datang. Namun, tentu saja keberhasilan itu
bukan dibuat oleh generasi 45 belaka. Nilai perjuangan ini terwarisi
terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya (Suhady, 2006:
48). Sebelum masa 1945, kita sudah dihantarkan disuguhi perjuangan-
perjuangan para pemuda dalam sejarah bangsa Indonesia seperti generasi
angkatan 1908 sebagai pelopor masa pergerakan nasional, dan angkatan
1928 saat semua pemuda berikrar dalam Sumpah Pemuda yang ingin
bersatu menjadi sebuah bangsa. Oleh karena itu, generasi pra 1945 yang
mewakili seluruh sifat, kadar, mutu konsepsi yang menggerakkan
perlagaan, perlawanan, dan peperangan yang diperoleh dari generasi
sebelumnya, kemudian berkulminasi pada saat menjelang memasuki
generasi 45. Jadi, generasi 45 mewarisi seluruh sifat dan mutu baik itu
dari generasi pra 45 yang menghasilkan kemerdekaan (Suhady, 2006: 48).
Sekarang semangat generasi 45 mulai berkurang, nilai kejuangan perlu
diwariskan hingga proses perkembangan dan pembangunan bangsa ini
8 NILAI-NILAI KEJUANGAN
berlangsung dengan lancar.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 9
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Potensi angkatan 45 identik dengan potensi kejuangan bangsa,
merupakan potensi spiritual yang mengandung jiwa, semangat, dan nilai-
nilai 45.
5. Jiwa, Semangat, dan Nilai 45
Jiwa, semangat dan nilai (45) adalah dasar, kekuatan, daya dorong, dan
moral perjuangan. Merupakan suatu rangkaian kata yang erat berkaitan,
dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dan harus diartikan sebagai
kesatuan yang bulat dan utuh.
6. Kekuatan Moral (Moral Force)
Kekuatan moral adalah kekuatan yang tidak nyata (imagine) berupa
kondisi mental dengan suatu kepahaman yang menyatu sebagai suatu
kekuatan yang mampu mengubah suatu keadaan.
7. Kebangsaan
Kebangsaan adalah kesadaran dan sikap sebagai kelompok bangsa yang
memiliki keterikatan sosio-kultural yang disepakati bersama. Kebangsaan
merupakan rasa cinta bangsa (nasionalisme) yang tidak terpisah dari rasa
cinta tanah air (patriotisme). Keduanya bersumber dari rasa cinta, mempunyai
solidaritas, rasa setia kawan terhadap nasib bangsa dan tanah air, merasa
sepenanggungan terhadap kelangsungan hidup bangsa dan tanah air.
8. Gerakan Nasional Kesadaran Kebangsaan
Gerakan nasional kesadaran kebangsaan adalah gerakan yang mampu
menumbuhkan pemahaman, sikap dan tekad yang seimbang, antisipatif,
dialogis terhadap lingkungan sosial budaya, lingkungan alam dan terhadap
diri sendiri melalui panduan sejarah dan nilai-nilai kejuangan bangsa
serta berbagai proyeksi mengenai masa depan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
9. Watak dan Kepribadian Bangsa
Watak dan kepribadian bangsa sebagai bangsa pejuang adalah identitas
dan jati diri bangsa. Identitas dan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa
pejuang senantiasa dikaitkan dengan kebanggaan akan Proklamasi Agustus
1945, ideologi Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Nilai- nilai
kejuangannya tercantum dalam istilah jiwa, semangat, dan nilai-nilai 45.
Generasi angkatan 45 pada waktunya akan sirna secara alami, namun
jiwa, semangat, dan nilai-nilai (kejuangan) 45 akan tetap abadi sebagai
dasar kejuangan bangsa. Generasi muda Indonesia meskipun tidak terlibat
10 NILAI-NILAI KEJUANGAN
secara fisik dalam revolusi kemerdekaan, adalah saksi intelektual revolusi
Kemerdekaan Indonesia, tetap bangga, mensyukuri, dan mengembangkan
sikap positif terhadap perjuangan kemerdekaan serta sanggup memberikan
yang terbaik kepada bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10. Paradigma Nasional
Paradigma nasional adalah komitmen hidup berbangsa yang tercermin
dalam pikiran, perasaan, sikap, dan harapan, serta kesetiakawanan dan
tanggung jawab sosial yang dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Paradigma nasional adalah seperangkat kesepakatan nilai instrumental
yang menjabarkan kaidah-kaidah pelaksanaan kehidupan, yang berlaku
sebagai acuan, dan menuntun penyelenggaraan kehidupan nasional,
termasuk peraturan undang-undangnya. Wujud paradigma nasional
terlihat dalam nilai-nilai praktis setiap individu dan masyarakat Indonesia.
Penjelasan tersebut sesuai dengan syair lagu tema kebangsaan yang
diciptakan Kusbini yang berjudul “Bagimu Negeri” dari syair ini kita bisa
merasakan kekuatan batin dalam mencintai bangsa dan negeri ini.
Bagimu Negeri
NILAI-NILAI KEJUANGAN 11
kebenaran (Kochhar, 2008:1). Kata sejarah berasal dari “Syajarah” yakni
berasal dari bahasa Arab yang berarti pohon. Kata ini masuk ke Indonesia
sesudah terjadi akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan
Islam. Selain itu, kata sejarah juga berasal dari bahasa Inggris yakni history
yang artinya masa lampau umat manusia (Tamburaka, 2002:2).
Hakikatnya, sejarah adalah suatu ilmu yang mengkaji peristiwa yang
telah terjadi dalam lingkup ruang dan waktu sebagai penjelas untuk masa
kini. Oleh karena itu, bisa ditafsirkan pula bahwa pada dasarnya sejarah
merupakan dialog antara peristiwa masa lampau dan perkembangan ke
masa depan. Sejarah merupakan pengalaman-pengalaman masa lalu
manusia sehingga manusia yang hidup sezaman atau sesudahnya dapat
berguru dan belajar dari pengalaman-pengalaman itu agar menjadi
manusia yang bijak. Manusia harus mampu mengambil nilai-nilai pelajaran
yang terkandung dalam sejarah untuk dijadikan sebagai pedoman hidup
dan inspirasi bagi semua tindakan yang diambilnya pada masa-masa
mendatang (Sjamsuddin, 2007: 285-286).
Sejarah kalau kita samakan dengan komponen dari bagian motor atau
mobil, adalah sama dengan komponen spion. Karena keberadaan spion
tentunya tidak untuk melihat ke belakang terus, tetapi tujuan utamanya
untuk mengamankan saat kita melihat ke depan. Seperti kalau kita mau belok
atau berhenti kita diwajibkan untuk melihat spion untuk mengetahui ada
sesuatu di belakang atau tidak. Itu sama fungsinya sejarah bagi kehidupan
bangsa kita. Kita melihat masa lalu bukan untuk masa lalu itu sendiri, tetapi
melihat sejarah masa lalu untuk kepentingan masa depan kita.
Berkaitan dengan hal ini Sartono menyampaikan bahwa sejarah menjadi
sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda dengan pengungkapan model-
model tokoh sejarah pelbagai bidang. Maka dari itu, sejarah masih relevan
untuk dipakai menjadi perbendaharaan suri-tauladan, berkorban untuk
tanah air, berdedikasi tinggi dalam pengabdian, tanggung jawab sosial besar,
kewajiban serta keterlibatan penuh dalam hal-ihwal, bangsa dan tanah air,
mengutamakan “kepentingan umum”, tidak kenal jerih payah dalam usaha
untuk berprestasi, dan lain sebagainya (Kartodirdjo, 1993:254).
Sejarah memiliki berberapa manfaat bagi kehidupan manusia pada
masa sekarang. Wasino (2007: 10-14) menyebutkan bahwa paling tidak
ada beberapa guna sejarah bagi manusia yang mempelajarinya, yakni
edukatif (pendidikan), instruktif (memberikan pengajaran), inspiratif
(memberi ilham), dan rekreatif (memberikan kesenangan). Tatkala sejarah
menyadarkan kita tentang perbedaan-perbedaan, ia sebetulnya telah
12 NILAI-NILAI KEJUANGAN
mengajarkan toleransi dan kebebasan, ujar Francois Caron, profesor
sejarah di Universitas Sorbonne, Paris. Perbedaan (apalagi dalam bentuk
plural), itulah yang tidak diajarkan dalam pembelajaran sejarah 30 tahun
belakangan (Adam, 2007:1).
Dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah dialog antara peristiwa
masa lampau dan perkembangan ke masa depan. Sejarah merupakan
pengalaman-pengalaman masa lalu manusia, maka manusia yang hidup
sezaman atau sesudahnya dapat berguru dan belajar dari pengalaman-
pengalaman itu agar menjadi manusia yang bijak.
2. Pengertian Bangsa
Bangsa menurut Benedict Anderson merupakan sebuah artefak
budaya modern yang terkonstruksikan begitu saja oleh persinggungan
berbagai kekuatan dalam bentangan sejarah (Anderson, 2002:6). Bangsa
merupakan sesuatu yang dibayangkan karena tiap anggotanya yang
paling kecil tidak akan pernah saling mengenal atau bertatap muka
sekalipun dengan sebagian besar anggotanya yang lain (Anderson, 2002:
8). Mengenai pengertian bangsa, Budiyanto (dalam Suhady, 2006: 12-13)
mengemukakan pendapat-pendapat beberapa ahli tentang bangsa.
a. Ernest Renan (Prancis)
Bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama
(hasrat bersatu) dengan perasaan setia kawan yang agung.
b. Otto Bauer (Jerman)
Bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai persamaan
karakter. Karakteristik tumbuh karena adanya persamaan nasib.
c. F. Ratzel (Jerman)
Bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu. Hasrat itu timbul
karena adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggalnya
(paham geopolitik).
d. Hans Kohn (Jerman)
Bangsa adalah buah hasil hidup manusia dalam sejarah. Suatu
bangsa merupakan golongan yang beraneka ragam dan tidak bisa
dirumuskan secara eksak. Kebanyakan bangsa memiliki faktor-faktor
objektif tertentu yang membedakannya dengan bangsa lain. Faktor-
faktor itu berupa persamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat istiadat,
kesamaan politik, perasaan, dan agama.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 13
Bangsa timbul karena persatuan nasib. Menurut Ernest Renan,
syarat bangsa paling tidak harus dimulai dengan kehendak akan bersatu.
Renan menyitir, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan
manusia yang bersatu, atau yang merasa dirinya satu. Demikian juga
kiranya, mengapa kita menjadi satu bangsa Indonesia (Adiwijoyo,
2000: 59), karena: Pertama, akar terjadinya bangsa adalah kesamaan
dalam nasib dan musuh, yang dikumandangkan oleh Budi Utomo pada
1908. Nasib dan musuh yang sama itu adalah akar bangsa yang
menyatukan masyarakat Nusantara. Kedua, akar terjadinya bangsa
adalah adanya keinginan dan keberanian masyarakat untuk bersatu,
serta kemampuannya untuk mencetuskan keinginan pada Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928. Ketiga, akar bangsa itu merupakan
campuran dari kedua pilihan tersebut, yakni berbangsa, diawali dari
Budi Utomo (1908), dan diimplementasikan 28 Oktober 1928.
Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa definisi
bangsa adalah rakyat/penduduk yang telah mempunyai kesatuan tekad
untuk ingin hidup bersama, dan hasrat ingin bersatu yang dikarenakan
oleh persamaan karakter, persamaan nasib, dan karena proses sejarah
bersama. Maka, bangsa Indonesia terbentuk karena rasa kesatuan tekad
untuk ingin hidup bersama karena merasa senasib yaitu sama-sama dijajah
dan berjuang bersama dalam proses sejarah tersebut.
Dalam kehidupan suatu bangsa, kita harus menyadari adanya
keanekaragaman yang dilandasi oleh rasa persatuan dan kesatuan tanah
air, bahasa, dan cita-cita. Fredrich Hertz (dalam Suhady, 2006: 12-13),
mengemukakan bahwa setiap bangsa mempunyai 4 (empat) unsur aspirasi
sebagai berikut:
1. Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas
kesatuan sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi,
dan solidaritas;
2. Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional
sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa
asing terhadap urusan dalam negerinya;
3. Keinginan dalam kemandirian, keunggulan, individualitas, keaslian,
atau kekhasan. Misalnya, menjunjung tinggi bahasa nasional yang
mandiri;
4. Keinginan untuk menonjol (unggul) di antara bangsa-bangsa dalam
mengejar kehormatan, pengaruh, dan prestise.
14 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah dialog antara peristiwa
masa lampau dan perkembangan ke masa depan. Sejarah merupakan
pengalaman-pengalaman masa lalu manusia. Maka, manusia yang hidup
sezaman atau sesudahnya dapat berguru dan belajar dari pengalaman-
pengalaman itu agar menjadi manusia yang bijak. Pengertian bangsa adalah
rakyat/penduduk yang telah mempunyai kesatuan tekad untuk ingin hidup
bersama, dan hasrat ingin bersatu yang dikarenakan oleh persamaan
karakter, persamaan nasib dan karena proses sejarah bersama.
16 NILAI-NILAI KEJUANGAN
5. Rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka adalah bagaimana rasa
harga diri bangsa Indonesia di depan bangsa-bangsa lain dengan segala
kemampuan yang kita miliki bersama. Harga diri adalah kesadaran
akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri. Harga diri
juga berarti kehormatan atau martabat atau harkat/nilai manusia.
6. Pantang mundur dan tidak kenal menyerah atau nilai ketangguhan
adalah sikap dan perilaku pantang menyerah atau tidak mudah putus
asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan
kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan dalam
mencapai tujuan.
7. Persatuan dan kesatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh atau
tidak terpecah-belah. Persatuan dapat diartikan sebagai perkumpulan
dari berbagai komponen yang membentuk menjadi satu. Kesatuan
merupakan hasil perkumpulan tersebut yang telah menjadi satu dan
utuh. Dengan demikian, persatuan dan kesatuan mengandung arti
bersatunya macam-macam kebhinnekaan bangsa Indonesia yang
beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi. Rasa
ingin bersatu padu demi terwujudnya satu bangsa. Berjuang dalam
satu kesatuan untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, dengan
bersatu kita menjadi kuat dan mampu melaksanakan tugas-tugas
yang berat sekalipun.
8. Anti penjajah dan penjajahan adalah rasa tidak mau menjajah dan
dijajah karena penjajah dan penjajahan bertentangan dengan rasa
kemanusiaan dan hak asasi manusia untuk bebas merdeka. Penjajah
adalah suatu negara yang merebut kedaulatan negara lain,
sedangkan penjajahan adalah suatu sistem ketika suatu negara
menguasai rakyat dan sumber daya negara lain. Sesuai dengan
Pembukaan UUD 45 yaitu sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan.
9. Percaya kepada diri sendiri dan/atau percaya kepada kekuatan dan
kemampuan sendiri merupakan salah satu aspek kepribadian yang
sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Warga
negara dan masyarakat yang percaya diri yakin atas kemampuan
NILAI-NILAI KEJUANGAN 17
mereka sendiri serta memiliki pengharapan yang realistis, bahkan
ketika harapan tersebut tidak terwujud, sehingga tetap berpikir
positif dan dapat menerimanya.
10. Percaya pada hari depan yang gemilang dari bangsanya adalah rasa
optimisme bangsa dan warga negara dalam memandang masa depan
bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju dan baik dengan
segala tantangan dan kemampuan yang dimilikinya.
11. Idealisme kejuangan yang tinggi adalah hidup atau berusaha hidup
menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna bangsa
Indonesia dengan nilai kejuangan yang tinggi. Maka, sebuah konsep
tentang idealnya sebuah perjuangan yang dilandasi dengan
kemampuan dan kejuangan yang besar, berkualitas dan tinggi untuk
mencapai tujuan bangsa.
12. Berani, rela, dan ikhlas berkorban untuk tanah air, bangsa dan
negara adalah sikap perilaku yang menunjukkan rasa percaya diri,
keikhlasan yang besar dan tidak memiliki rasa takut khawatir dalam
menghadapi kesulitan hidup untuk berkorban demi nusa dan bangsa.
13. Kepahlawanan adalah kita sebagai warga negara yang telah berjasa
kepada bangsa dan negara, seseorang yang telah berkorban jiwa dan
raganya demi bangsa dan negara yang dilandasi rasa keikhlasan,
kejujuran, dan tanpa pamrih. Kata “pahlawan” berasal dari bahasa
Sanskerta phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya
menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara,
dan agama. Pahlawan adalah orang yang menonjol karena
keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau
pejuang yang gagah berani. Kepahlawanan adalah tindakan seorang
pahlawan, yaitu suatu sikap yang dimiliki seseorang dan
menunjukkan jiwa atau sifat keberanian, keperkasaan, kegagahan,
dan kerelaan untuk berkorban dalam membela kebenaran dan
keadilan.
14. Sepi ing pamrih rame ing gawe adalah bekerja tanpa pamrih untuk
kepentingan bangsa tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Juga bisa
berarti sedikit mengharapkan imbalan, banyak bekerja. Ungkapan
tersebut mengandung arti yang menjunjung nilai luhur untuk tidak
selalu mendasarkan pekerjaan karena imbalannya. Sesuai dengan
18 NILAI-NILAI KEJUANGAN
pepatah “Jangan tanyakan apa yang Negara berikan kepada dirimu,
tetapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada Negara”.
15. Kesetiakawanan, setia, senasib sepenanggunggan dan kebersamaan
adalah rasa kesetiakawanan dan senasib sepenanggunggan sebagai
sebuah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan bersama,
mempertahankan kemerdekaan serta mengisi kemerdekaan dalam
kebersamaan sebagai warga negara; tekad untuk ingin hidup
bersama karena merasa senasib yaitu sama-sama dijajah dan
merasakan sakit dan berjuang bersama dalam proses sejarah
tersebut. Sejarah bangsa Indonesia yang panjang berada dalam
belenggu penjajahan. Kondisi ini telah melahirkan cita-cita yang
sama untuk merdeka sehingga merasa memiliki perasaan senasib,
kesetiakawanan, rasa setia dan kebersamaan untuk bebas dari
belenggu bangsa penjajah. Perasaan senasib sepenanggungan ketika
sama-sama hidup di alam penjajahan menjadikan mereka bersatu
padu, bangkit atau berjuang melawan penjajah tanpa melihat latar
belakang suku, agama, dan asal-usul etnis maupun bahasa.
16. Disiplin yang tinggi merupakan tindakan yang menunjukkan
perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan
yang berlaku. Disiplin membentuk kehidupan yang teratur dan
terorganisir dalam pola yang harmonis. Disiplin membuat waktu
yang dimiliki dapat dipergunakan secara produktif untuk
menjalankan semua kegiatan kehidupan dengan baik. Kegigihan,
ketekunan, dan keuletan adalah bagian terpenting dari disiplin diri.
Disiplin diri yang tinggi adalah dasar utama untuk membentuk
kehidupan masyarakat Indonesia yang profesional.
17. Ulet dan tabah menghadapi segala macam ancaman, tantangan,
hambatan dan gangguan adalah sikap dan perilaku pantang
menyerah atau tidak mudah putus asa ketika menghadapi berbagai
kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu
mengatasi kesulitan dalam mencapai tujuan.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 19
wilayah jajahan Hindia Belanda bersatu padu. Menghilangkan sisi-sisi
perbedaan dan mengedepankan toleransi. Kata-kata merdeka begitu
dirindukan oleh semua pihak, mulai dari gerakan Budi Utomo, Sarekat
Islam, Sumpah Pemuda, dan perjuangan-perjuangan lokal yang lain.
2. Setelah merdeka dicarilah semua kepentingan suku-bangsa ini melalui
wakil-wakilnya dan semua sepakat untuk menjunjung tinggi kesamaan
nilai-nilai yang terangkum dalam istilah Pancasila (lima sila). Suatu
nilai dasar yang telah digali ini, diambil dari semua golongan yang ada
kemudian ditetapkan sebagai dasar kesepahaman untuk bergabung
dan menyatukan diri dalam suatu negara yaitu negara Indonesia.
Dari nilai-nilai kejuangan yang didasari rasa cinta ini muncul semangat
juang dan semangat kepahlawanan, yaitu rela berkorban, teguh, ulet, dan
percaya diri.
Kesimpulannya adalah nilai-nilai dasar kejuangan bangsa Indonesia
yaitu semua nilai yang terdapat dalam setiap sila Pancasila. Semua nilai
yang terdapat dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Semua
nilai yang terdapat dalam UUD 45, baik dalam Pembukaan, Batang tubuh,
maupun Penjelasan. Nilai-nilai kejuangan bangsa Indonesia meliputi
religius, semangat merdeka, nasionalisme, patriotisme, rasa harga diri
sebagai bangsa yang merdeka, pantang mundur dan tidak kenal menyerah,
persatuan dan kesatuan, anti penjajah dan penjajahan, percaya diri dan
percaya pada hari depan yang gemilang dari bangsanya, idealisme kejuangan
tinggi, berani dan rela berkorban untuk tanah air, kepahlawanan, Sepi ing
pamrih rame ing gawe, kebersamaan dan senasib sepenanggungan, ulet,
tabah, dan disiplin.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 21
1945 tidak berubah dan tidak akan berubah. Pancasila sebagai falsafah
hidup, dasar negara, pandangan hidup, dan pedoman hidup bangsa menuntut
seluruh warga negara untuk bertindak berdasarkan pada Pancasila. Mulai
dari cara berpikir, sikap mental maupun tingkah laku mencerminkan
implementasi dan nilai-nilai luhur Pancasila. Kepatuhan dan ketaatan setiap
warga negara, lembaga negara, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan
politik terhadap Pancasila tidak cukup hanya batin saja, tetapi perlu
penghayatan dan pengamalannya. Secara rinci nilai-nilai dan prinsip-
prinsip yang diwariskan dan telah mendapat kesepakatan seluruh rakyat
(Suhady, 2006: 52-53) sebagai berikut.
1. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai falsafah dan
pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia yang tercermin dalam
pembukaan UUD 1945.
2. Lima sila dalam Pancasila yang masing-masing merupakan nilai-nilai
intrinsik yang abstrak-umum-universal tetap tidak berubah, terlepas
dari perubahan dan perkembangan zaman dan kelima-limanya
merupakan kesatuan bulat dengan susunan yang hierarchis pyramidal.
3. Nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
a. Negara Kesatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap
bangsa Indonesia. Negara mengatasi segala paham golongan,
mengatasi segala paham perseorangan.
b. Tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
c. Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan.
d. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
e. Negara yang merdeka dan berdaulat.
f. Anti penjajahan, karena penjajahan tidak sesuai dengan peri-
kemanusiaan dan peri-keadilan.
Kesimpulannya, nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diwariskan dan
telah mendapat kesepakatan seluruh rakyat adalah Proklamasi Kemer-
22 NILAI-NILAI KEJUANGAN
dekaan 17 Agustus 1945 sebagai penjelma falsafah dan pandangan hidup
seluruh bangsa Indonesia yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945.
Lima sila dalam Pancasila yang masing-masing merupakan nilai-nilai
intrinsik yang abstrak-umum-universal tetap tidak berubah, terlepas dari
perubahan dan perkembangan zaman dan kelima-limanya merupakan
kesatuan bulat dengan susunan yang hierarchis pyramidal.
Kita bisa melihat bagaimana keterkaitan antara masa lalu, sekarang, dan
masa depan. Masa lalu atau sejarah perjuangan bangsa akan terus menjadi
guru yang paling bijaksana untuk kehidupan masa sekarang. Generasi
sekarang harus menghayati, mencontoh, dan melaksanakan nilai perjuangan
bangsa sebagai sebuah kewajiban sebagai pewaris sejarah bangsa,
sedangkan sejarah perjuangan bangsa mempunyai peranan penting untuk
masa depan adalah sebagai inspirasi modal dan bekal dalam menghadapi
kehidupan yang akan datang.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 23
Kemampuan pandang tiga dimensi harus dimiliki sehingga perjuangan
bangsa Indonesia membimbing kita dan dijadikan sebagai edukasi dan
inspirasi bagi perjuangan selanjutnya. Pada peristiwa nasional di masa
lampau, dari aspek politik, berkat perjuangan bangsa telah mampu berdaulat
dalam sebuah negara di tingkat nasional dan regional yaitu negara Sriwijaya
dan Majapahit. Dari aspek sosial ekonomi kita pernah mencapai martabat
bangsa yang penuh ketenteraman, kesejahteraan, kemakmuran sebagai
gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja, mampu membuktikan
dalam pertanian, perdagangan, pelayanan dan sebagainya. Dari aspek
rohani kita telah menerapkan prinsip-prinsip toleransi hidup beragama
misalnya antara agama Hindu, Buddha, Islam, dan Nasrani. Dengan
kedatangan bangsa-bangsa Eropa Barat di Indonesia kehidupan bangsa
menjadi terpecah. Kita kehilangan kemerdekaan, baik bidang politik,
ekonomi, maupun sendi-sendi kemasyarakatan yang berakibat
penderitaan lahir dan batin.
Dalam sejarah bangsa kita sering kali mengalami penindasan dengan
berbagai bentuk. Rakyat pada awalnya mengadakan perlawanan dalam
wujud “perang lokal” yang dilakukan oleh raja dan pemimpin agama.
Berkat pengalaman sejarah perjuangan bangsa dalam mengusir penjajah
dan mengemban amanat penderitaan rakyat akhirnya mampu melandasi
timbulnya semangat untuk menjadi bangsa yang bersatu. Rakyat Indonesia
mempunyai semangat pengabdian, pengorbanan, sikap perkasa, gagah
berani, rela berkorban karena ada kesadaran dan rasa tanggung jawab
membela kebenaran, keadilan, dan kejujuran demi kebaktian terhadap
nusa dan bangsa yang tercinta.
Jiwa dan makna dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam mewu-
judkan membutuhkan proses yang cukup memakan waktu dan pengorbanan
yang cukup besar. Jiwa perjuangan bangsa merupakan penerus perjuangan
yang didahului dengan menghancurkan seluruh kekuatan imperialisme dan
kolonialisme di persada Nusantara berupa sifat mental yang mengandung
moral nasional yang luhur (Suhady, 2006: 50-51) sebagai berikut.
1. Jiwa merdeka, yaitu jiwa yang sadar akan kemampuan sendiri tanpa
ketergantungan pada negara lain dan memiliki martabat yang sejajar
dengan bangsa-bangsa lain.
2. Jiwa persatuan dan kesatuan, yaitu sadar akan pentingnya rasa
persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Jiwa konsekuen tanpa pamrih dan sederhana, yaitu sadar untuk
24 NILAI-NILAI KEJUANGAN
membina prinsip-prinsip, berani berkorban serta wajar dan jujur dalam
bertindak.
4. Jiwa kokoh yang tidak kenal menyerah, sadar membela nilai-nilai
luhur, berinisiatif, dan tidak kenal menyerah.
5. Jiwa propatria, yaitu mempunyai rasa cinta yang besar terhadap tanah
air.
6. Jiwa kepeloporan dan kepemimpinan yaitu ikut aktif dalam berjuang
dan berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.
7. Jiwa keikhlasan berjuang, yaitu ikhlas dalam membela kepentingan
nasional.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 25
penurunan kualitas karakter bangsa dan berbeda dengan kejuangan pada
masa penjajahan yang sudah berlalu.
Berdasarkan penjelasan, dapat disimpulkan bahwa hakikat
mempelajari perjuangan bangsa itu adalah sejarah bangsa Indonesia
sebagai sebuah benang merah yang saling berkaitan antargenerasi.
Situasi nasional saat ini pasti disebabkan oleh peristiwa nasional di masa
lampau dan bisa menjadi aspirasi nasional di masa yang akan datang
atau masa depan bangsa.
G. Ringkasan
Pengertian nilai kejuangan adalah konsep yang berkenaan dengan sifat,
mutu, keadaan tertentu yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan yang
menyangkut upaya tidak kenal lelah untuk tetap eksis secara bermartabat.
Nilai kejuangan dalam sejarah Indonesia, nilai kejuangan dimaksudkan
untuk menggambarkan daya dorong perlawanan dan pendobrak yang
mampu membawa bangsa ini untuk membebaskan dirinya dari penjajahan
bangsa asing. Nilai kejuangan pada zaman sekarang adalah perjuangan
pada membebaskan dari sifat kebodohan, kemiskinan, penurunan kualitas
karakter bangsa.
26 NILAI-NILAI KEJUANGAN
BAGIAN KETIGA
MEMBANGUN KARAKTER
KEBANGSAAN
K
ebesaran suatu bangsa terlihat dengan kesuksesan dalam
mencapai tujuan kemajuan bangsa. Bukan hanya ditentukan oleh
dimilikinya sumber daya alam yang melimpah ruah, akan tetapi
sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Kita sudah
disuguhi bagaimana kebesaran Yunani juga disebabkan kondisi geografis,
yaitu tanah gersang dan panasnya kondisi alam. Keberadaan bahan
makanan gandum tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh
penduduk Yunani sehingga mengharuskan penduduk Yunani untuk
melakukan perjalanan dan perdagangan ke daerah lain yang jauh dari
tanah kelahirannya. Kondisi alam yang panas juga menyebabkan rasa
optimisme penduduk Yunani untuk mengembangkan kebudayaan dan
pelbagai hal sehingga memunculkan pemikir-pemikir besar seperti,
Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Negara Jepang menjadi negara yang tangguh dalam menghadapi gempa
bumi yang hampir setiap tahun melanda daerah tersebut. Masyarakat sangat
terbiasa dengan kondisi tersebut, bahkan karena setiap tahun mengalami
gempa, teknologi kegempaan dan teknologi dalam mengantisipasi sangat
maju dengan pesat sehingga kita bisa melihat saat Jepang terjadi gempa
dalam waktu singkat segera negara membangun dan keadaannya kembali
seperti semula. Kondisi tantangan alam dari penduduk Yunani dan Jepang
menyebabkan munculnya karakter bangsa yang optimis dalam menyikapi
permasalahan yang dihadapi tersebut.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 27
Bangsa kita yang sangat melimpah seperti pepatah Jawa “Gemah
ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo” yang intinya bahwa Indonesia
mempunyai kekayaan yang melimpah dan keadaan yang tenteram. Lagu
Koes Plus yang berjudul “Kolam Susu” bagaimana syairnya menyiratkan
dan menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia dengan hanya bermodal
“kail dan jala bisa untuk menghidupi” dirinya dan keluarga, karena di
syair tersebut juga menggambarkan bagaimana “ikan dan udang datang
menghampirimu”.
Kolam Susu
28 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Bahkan, ada yang mengatakan bahwa “Bangsa yang besar dapat
dilihat dari kualitas/karakter bangsa (manusia) itu sendiri”. Dilihat dari
segi manajemen suatu organisasi, unsur manusia merupakan unsur yang
paling utama dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya seperti: uang
(money), metode kerja (method), mesin (machine), perlengkapan
(material), dan pasar (market), dikatakan demikian, karena tidak dapat
dipungkiri bahwa adanya daya guna, manfaat, dan peran unsur-unsur
tersebut, hanya dimungkinkan apabila unsur “manusia” mempunyai,
memiliki daya/kekuatan untuk memberdayakan berbagai unsur
dimaksud sehingga masing-masing unsur dapat memberi hasil, manfaat,
daya guna dan peran dalam manajemen tersebut (Suhady, 2006: 56).
Ketika bangsa Indonesia bersepakat untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa
menyadari bahwa paling tidak ada tiga tantangan besar yang harus
dihadapi. Pertama, adalah mendirikan negara yang bersatu dan
berdaulat, kedua adalah membangun bangsa, dan ketiga adalah
membangun karakter. Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam
konsep negara bangsa (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa
(nation and character building). Pada implementasinya kemudian upaya
mendirikan negara relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan upaya
untuk membangun bangsa dan membangun karakter. Kedua hal terakhir
itu terbukti harus diupayakan terus-menerus, tidak boleh putus di
sepanjang sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia (Samani, 2016: 1).
Salah satu bapak pendiri bangsa, Bung Karno bahkan menegaskan
(Samani, 2016: 1): “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan
pembangunan karakter (character) karena character building inilah yang
akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya,
serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan maka
bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”.
Kepribadian adalah organisasi dinamis di dalam individu yang
terdiri dari sistem-sistem psiko-fisik yang menentukan tingkah laku dan
pikirannya secara karakteristik dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungan. Watak/ karakter dan kepribadian adalah satu dan sama, tapi
dipandang dari segi yang berlainan. Jika hendak mengadakan penilaian
maka lebih tepat dipakai istilah “watak”. Temperamen adalah gejala
karakteristik yang bergantung pada faktor konstitusional dan karenanya
terutama berasal dari keturunan. Apabila dilihat dari peran warga negara,
maka tidak bisa jika tidak berkarakter (character). Warga negara atau
NILAI-NILAI KEJUANGAN 29
masyarakat diharapkan memiliki perilaku yang membangun yang
kondusif dalam mendukung cita-cita bangsa dan negara. Dengan
demikian, warga negara atau masyarakat dapat memainkan perannya
sebagai perekat persatuan dan kesatuan dalam berbagai segi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sesuai dengan pendapat Hasan (2010: 8) bahwa nilai-nilai yang
dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia memiliki empat
sumber autentik. Keempat nilai itu ialah agama, Pancasila, budaya, dan
tujuan pendidikan nasional. Keempat nilai tersebut saling berkelindan
dan menunjukkan hubungan erat. Artinya, keempat nilai tersebut tidak
berdiri secara terpisah. Pertama, agama. Masyarakat Indonesia memiliki
agama yang dapat dijadikan pedoman dalam berperilaku. Di dalam
agama, telah diatur tata kehidupan untuk mewujudkan keharmonisan.
Ketika seseorang telah menginternalisasi nilai-nilai keagamaan dalam
menghayati kehidupan, maka ia memiliki pedoman hidup yang akan
membawa pada keselamatan.
Kedua, Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak awal
masa kemerdekaannya tegak dengan asas-asas Pancasila. Artinya, nilai-
nilai Pancasila secara alamiah telah menjadi pengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, muara pendidikan karakter
bangsa ialah mewujudkan generasi yang mampu menjadi warga negara
taat, memiliki kemampuan, kemauan, menerapkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupannya sebagai warga negara. Ketiga, budaya. Budaya
memiliki peran penting dalam menentukan daya beda. Sementara itu,
budaya timur yang ada di Nusantara, baik berupa sopan santun, nilai
kearifan lokal, teramat penting dalam kehidupan bermasyarakat
mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya
dan karakter bangsa.
Keempat, tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional
yang harus menjadi pijakan dalam pengembangan pendidikan di
Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
30 NILAI-NILAI KEJUANGAN
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 31
bangsa atau masyarakat itu memiliki karakter sebagai berikut (Suhady,
2006: 58).
1. Adanya saling menghormati dan saling menghargai di antara sesama.
2. Adanya rasa kebersamaan dan tolong-menolong.
3. Adanya rasa persatuan dan kesatuan sebagai suatu bangsa.
4. Adanya rasa peduli dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
5. Adanya moral, akhlak yang dilandasi oleh nilai-nilai agama.
6. Adanya perilaku dan sifat-sifat kejiwaan yang saling menghormati dan
saling menguntungkan.
7. Adanya kelakuan dan tingkah laku yang senantiasa menggambarkan
nilai-nilai agama, nilai-nilai hukum, dan nilai-nilai budaya.
8. Sikap dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebangsaan.
32 NILAI-NILAI KEJUANGAN
B. Faktor-faktor yang Membangun Karakter
Karakter sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau
budi pekerti merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dapat dikatakan bahwa
karakter manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara merupakan kunci yang sangat penting untuk mewujudkan
cita-cita perjuangan guna terwujudnya masyarakat adil dan makmur
berlandaskan Pancasila.
Dikatakan penting karena karakter mempunyai makna atau nilai
yang sangat mendasar untuk memengaruhi segenap pikiran, tindakan,
dan perbuatan setiap insan manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Nilai yang dimaksud antara lain (Suhady,
2006: 59): kejuangan, sopan santun, semangat, persatuan dan kesatuan,
kebersamaan atau gotong royong, kekeluargaan, kepedulian atau solider,
tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebut tampaknya cenderung semakin tidak terasa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal itu terlihat secara
jelas pada lemahnya moralitas masyarakat di negeri ini yang terjerat
dalam berbagai kasus seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang,
terkena narkoba, asusila, dan lain-lain yang mencerminkan tidak kuatnya
nilai-nilai tanggung jawab masyarakat.
Ironisnya lagi, maraknya pejabat yang korupsi, penyalahgunaan
narkoba, penyelewengan kebijakan, lebih mementingkan kepentingan
partai sehingga menyebabkan banyak energi yang dihabiskan dengan
sia- sia, padahal yang seharusnya bisa digunakan untuk-hal-hal yang
positif untuk memajukan bangsa Indonesia yang lebih unggul ke
depannya.
Kini, sangat sulit ditemukan figur teladan yang mampu menegakkan
sikap-sikap luhur. Faktanya, korupsi yang menggurita, kemunculan
mafia pangan, perselingkuhan yang dilakukan oleh kalangan terdidik,
dan kekerasan kepada pihak yang lebih inferior semakin marak terjadi.
Ironisnya, perbuatan tidak bermoral itu banyak dilakukan oleh pejabat
pemerintah dan insan yang mengenyam pendidikan tinggi (Budiharjo,
2015: 1).
Di dalam dunia internal pendidikan, maraknya jual beli ijazah palsu,
perilaku menyontek di kalangan remaja, guru yang memberikan
bocoransoal, orang tua yang gemar menyiksa anak-anaknya merupakan
fenomena gunung es di negeri ini. Padahal, seharusnya dunia pendidikan
NILAI-NILAI KEJUANGAN 33
steril dari berbagai bentuk penyimpangan moral. Negeri Indonesia yang
terkenal dengan budi pekerti luhur pun ternoda oleh kenyataan bahwa
mempertahankan sikap beradab secara kolektif dan massal sangat sulit
dilakukan.
Beberapa tahun lalu, marak para pemuda Indonesia yang bergabung
dalam kepemimpinan ISIS (Islamic State in Iraq dan Syiria) di Timur
Tengah untuk mendirikan negara khilafah dan ingin menggantikan
kedudukan Pancasila. Kondisi tersebut mencerminkan ketidakkukuhan
nilai-nilai kebangsaaan. Kebijakan dana desa yang diterapkan oleh
pemerintah yang menggelontorkan dana untuk pembangunan masing-
masing desa di penjuru Indonesia, juga beberapa terjadi ketidaksesuaian
penggunaannya. Seharusnya dana desa itu sebagai perangsang untuk
memunculkan kearifan lokal bangsa kita yaitu gotong royong dan
musyawarah (rembuk desa) tetapi itu tidak dilaksanakan. Rata-rata
pembangunan sekarang dikerjakan oleh tangan kedua atau melalui lelang
sehingga menyebabkan kegagalan memunculkan kearifan lokal gotong
royong dan musyawarah (rembuk desa). Kondisi tersebut mencerminkan
lunturnya nilai-nilai rasa gotong royong, kekeluargaan, dan tanggung
jawab.
Konflik antar-etnis, suku, agama juga memakan banyak korban
harta maupun jiwa. Selain konflik agama dan etnis tersebut, juga
ditemukan konflik politik yang bersifat regional (daerah), yakni adanya
suatu kelompok kekuatan politik di daerah yang ingin memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, yang ditandai dengan adanya Gerakan Aceh Merdeka
(GAM). Di Papua juga terjadi hal serupa yang ditandai dengan adanya
gerakan secara terorganisir dari Organisasi Papua Merdeka (OPM),
sedangkan di Maluku ada gerakan RMS (Republik Maluku Selatan).
Bentrok antarsiswa sekolah dan mahasiswa yang juga tidak sedikit
merenggut nyawa di antara sesama mereka dan sudah merembes
terhadap kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Wawasan
kebangsaan tampaknya sudah tidak menjiwai watak masyarakat kita
yang selama ini disebut sebagai masyarakat yang penuh toleransi, saling
menghormati di dalam kemajemukan masing-masing dan hidup secara
bergotong royong.
Kini, segenap elemen bangsa perlu berbenah dan berperan sesuai
dengan kapasitasnya masing-masing. Kehidupan yang harmonis,
tenteram, tenang, dan damai merupakan harapan bersama. Hal itu hanya
34 NILAI-NILAI KEJUANGAN
dapat terwujud melalui pembentukan karakter yang luhur, yakni sesuai
dengan kearifan sila-sila Pancasila. Betapapun degradasi moral telah
menjajah ketenteraman bangsa, harapan untuk senantiasa keluar dari
krisis moral harus terus dijaga bersama. Salah satu upaya
mengembalikan citra luhur bangsa ialah melalui pendidikan karakter
(Budiharjo, 2015: 2).
Mengingat karakter suatu masyarakat, bangsa, dan negara
mempunyai nilai dan makna yang sangat strategis, faktor-faktor yang
perlu dan senantiasa diperhatikan antara lain ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, agama, normatif (hukum dan peraturan perundangan),
pendidikan, lingkungan, kepemimpinan (Suhady, 2006: 61).
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang perlu dan senantiasa
diperhatikan adalah ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama,
hukum dan perundangan, pendidikan, lingkungan, kepemimpinan.
Semuanya bisa berjalan secara menyeluruh dan mendalam dengan
pemahaman yang utuh dari bangsa kita. Tidak mungkin sebuah usaha
pembangunan karakter bangsa disebabkan oleh monofactor sehingga
bisa mengetahui keterkaitan antara faktor yang satu dengan faktor yang
lain.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 35
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang
bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang
dinamakan kaum Islam, semua telah mufakat bahwa bukan negara yang
demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara
“semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,
baik golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”.
Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka yang
selalu mendengung di dalam saya punya jiwa bukan saya di dalam beberapa
hari ini dalam sidang Dokuritsy Zyumbi ini, akan tetapi sejak pertama, yang
baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita
mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar
perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara
untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun
golongan kaya.”
36 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk
seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca-Sila. Sila artinya asas atau
dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal
dan abadi. (tepuk tangan riuh). Berhubung dengan itu sebagai yang diusulkan
oleh pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel,
peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya isinya Indonesia Merdeka yang
kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca-Sila. Sebagaimana
dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus weltanschauung kita. Entah
saudara-saudara, itulah harus weltanschauung kita. Entah saudara-saudara
mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945
sekarang ini untuk weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis
Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia. Untuk kebangsaan yang hidup di dalam
peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk
ketuhanan.
b. Pendapat Suharto
Pada upacara Pembukaan Penataran Calon Penatar Pegawai Republik
Indonesia Suharto mengatakan sebagai berikut (Sunoto, 2000: 56).
“Sungguh, bangsa kita harus menyatakan terima kasih yang tidak
terhingga dan hormat setinggi-tingginya kepada pendahulu- pendahulunya
kita, pendiri-pendiri Republik ini, karena dengan semangat persatuan dan
tanggung jawab sejarah yang tinggi, mereka telah dapat mengungkapkan
kembali pikiran-pikiran dan cita-cita yang terdalam inilah yang terungkap
dalam Pancasila, yang kemudian kita jadikan dasar falsafah negara kita,
menjadi ideologi bangsa kita. Pancasila adalah landasan moral dan politik
Negara Republik Indonesia. Dengan keluasan wawasan, ketajaman
pandangan dan kebijaksanaan yang matang, pendahulu-pendahulu kita
telah mampu merangkai dengan padat mutiara cita-cita yang tumbuh dan
berkembang dalam sejarah dan kebudayaan kita sendiri, yang menjiwai dan
menyemangati pergerakan dan perjuangan kemerdekaan kita, dalam
Pancasila tadi.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 37
Pancasila merupakan jawaban ideologis bangsa kita terhadap berbagai
falsafah dan ideologi lain yang berkembang di dunia ini, yang tidak urung
juga datang ke tengah-tengah masyarakat”
38 NILAI-NILAI KEJUANGAN
b. Bangsa yang Menjunjung Tinggi Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab
Diwujudkan dalam perilaku hormat-menghormati dalam
masyarakat sehingga timbul suasana kewargaan (civic) yang saling
bertanggung jawab, juga adanya saling menghormati antarwarga bangsa
sehingga timbul keyakinan dan perilaku sebagai warga yang baik, adil
dan beradab dan pada gilirannya karakter citizenship (perilaku sebagai
warga negara yang baik) ini akan memunculkan perasaan hormat dari
bangsa lain/ karakter kemanusiaan tercermin dalam pengakuan atas
kesamaan derajat, hak dan kewajiban, saling mengasihi, tenggang rasa,
peduli, tidak semena-mena terhadap orang lain, gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berani
membela kebenaran dan keadilan, merasakan dirinya sebagai bagian
dari seluruh warga bangsa dan umat manusia (Samani, 2016: 22-23).
NILAI-NILAI KEJUANGAN 39
merugikan sebagai besar warga bangsa) atas nama minoritas. Karakter
kerakyatan, sikap tenggang rasa terhadap rakyat kecil yang menderita,
selalu mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara, meng-
utamakan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan
untuk kepentingan bersama, beriktikad baik dan bertanggung jawab
dalam melaksanakan keputusan bersama, menggunakan akal sehat dan
nurani luhur dalam melakukan musyawarah, berani mengambil
keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada
Tuhan YME serta selalu dilandasi nilai-nilai kebenaran dan keadilan
(Samani, 2016: 23-24).
e. Bangsa yang Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan
Memiliki komiten dan sikap untuk mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan seluruh rakyat bangsa Indonesia. Karakter berkeadilan
sosial tercermin dalam perbuatan yang menjaga adanya kebersamaan dan
kekeluargaan maupun kegotongroyongan, menjaga harmonisasi antara
hak dan kewajiban, hormat terhadap hak-hak orang lain, suka menolong
orang lain, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain, tidak boros,
tidak bergaya hidup mewah, suka bekerja keras menghargai karya orang
lain (Samani, 2016: 24).
Dalam mencapai karakter bangsa yang ber-Pancasila, diperlukan
individu-individu yang berkarakter khusus. Secara psikologis, karakter
individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah
hati, olah pikir, olah raga, olah rasa, dan karsa. Olah hati berkenaan dengan
perasaan, sikap dan keyakinan keimanan. Olah pikir berkenaan dengan
proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis,
kreatif, dan inovatif. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan,
peniruan, manipulasi, dan menciptakan aktivitas baru disertai sportivitas.
Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan, motivasi, dan kreativitas
yang tercermin dalam kepedulian, citra, dan penciptaan kebaruan (Samani,
2016: 24).
40 NILAI-NILAI KEJUANGAN
b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan pangkal ide kesetaraan
antara individu dan masyarakat yang bersumber pada sifat kodrat
individu makhluk sosial sebagai kesatuan dwi tunggal (Pasal 28 A).
c. Sistem sosial budaya berdasarkan asas Bhinneka Tunggal Ika
(Berbeda- beda tetapi tetap satu).
d. Sistem politik atas dasar kesamaan kedudukan semua Warga Negara
dalam Hukum dan Pemerintahan (Pasal 27 ayat 1).
e. Sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama atas dasar
kekeluargaan (Pasal 33 ayat 1).
f. Sistem pembelaan negara berdasarkan hak dan kewajiban bagi
semua Warga Negara (Pasal 30 ayat 1).
g. Sistem pemerintahan Demokrasi berdasarkan sendi-sendi, Negara
Hukum (Pasal 1 ayat 3), Kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2).
h. Pemerintahan yang bertanggung jawab pada rakyat.
i. Pemerintahan Presidensiil: Presiden adalah Kepala Pemerintahan
(Pasal 4 ayat 1).
j. Pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
k. Kekuasaan Kehakiman yang bebas.
l. Otonomi Daerah (Pasal 18).
D. Ringkasan
Membangun karakter bangsa merupakan suatu proses untuk membina,
memperbaiki, dan membentuk tabiat, watak insan manusia sebagai warga
negara sehingga menunjukkan perbuatan, perilaku yang baik dan positif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karakter
bangsa sebagaimana diharapkan dapat dilihat dari ciri-ciri antara lain:
adanya saling menghargai dan menghormati, adanya rasa kebersamaan
NILAI-NILAI KEJUANGAN 41
dan tolong-menolong, adanya rasa persatuan dan kesatuan, serta adanya
moral dan akhlak. Untuk memelihara kelangsungan karakter bangsa,
faktor-faktor yang senantiasa perlu diperhatikan yaitu: faktor ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, agama, dan kepemimpinan.
42 NILAI-NILAI KEJUANGAN
BAGIAN KEEMPAT
WAWASAN KEBANGSAAN DAN
KETAHANAN NASIONAL BANGSA
INDONESIA
A. Wawasan Kebangsaan
P
ersatuan Indonesia merupakan living idea (gagasan yang terus
hidup) yang menyertai perjalanan bangsa Indonesia dalam
menapaki jalan terjal berliku menuju kemerdekaan bangsa. Dari
awal perjuangan kemerdekaan, kesatuan nasional menjadi titik simpul
dari semua perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia. Persatuan dan
kesatuan merupakan alasan mengapa Indonesia sampai hari ini bisa tetap
kokoh. Semua itu tidak bisa dilepaskan dari perjalanan bangsa Indonesia
dari masa-masa kerajaan kuno sebagai negara yang berdaulat sampai
Indonesia pada masa sekarang.
Istilah wawasan kebangsaan terdiri dari dua suku kata yaitu
“wawasan” dan “kebangsaan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1989) istilah wawasan berarti (1) hasil mewawas; tinjauan; pandangan
dan dapat juga berarti (2) konsepsi cara pandang. Dalam kamus tersebut
diberikan contoh “Wawasan Nusantara” yaitu wawasan (konsepsi cara
pandang) dalam mencapai tujuan nasional yang mencakup perwujudan
Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, sosial budaya,
ekonomi, dan pertahanan keamanan. Lebih lanjut diberikan pula
contohdalam pengertian lain seperti “wawasan sosial”, sebagai
“kemampuan untuk memahami cara-cara penyesuaian diri atau
penempatan diri di lingkungan sosial” (Suhady, 2006: 18). Sesuai
dengan pendapat Usman (dalam Winarno, 2005:122) wawasan
Nusantara adalah cara pandangan bangsa Idonesia mengenai diri dan
NILAI-NILAI KEJUANGAN 43
tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan
yang beragam.
Pendapat Frederick (dalam Hariyono, 1995: 36) bahwa kesadaran
sejarah dan wawasan sejarah mempunyai keterkaitan yang besar. Setiap
masyarakat selalu dipengaruhi oleh wawasan sejarahnya. Kesadaran
sejarah yang tampil pada diri seseorang dan/atau masyarakat adalah
refleksi dari wawasan sejarahnya. Setiap kebudayaan menampilkan
bentuk kesadaran sejarah yang berbeda dengan kebudayaan lain. Untuk
dapat melihat sejarah masyarakat tradisional seyogianya kita tidak picik
menyatakan bahwa yang mempunyai kesadaran sejarah hanyalah
masyarakat modern.
Dalam wawasan kebangsaan terkandung komitmen serta semangat
persatuan untuk menjamin keberadaan dan peningkatan kualitas
kehidupan bangsanya. Selain itu, wawasan kebangsaan menghendaki
pengetahuan yang memadai tentang tantangan masa kini dan mendatang
serta berbagai potensi bangsanya. Wawasan kebangsaan dalam kerangka
NKRI berkembang dan mengkristal tidak lepas dari perjalanan sejarah
bangsa Indonesia dalam membentuk negara ini. Konsep wawasan
kebangsaan Indonesia tercetus pada waktu diikrarkan Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928 sebagai tekad perjuangan yang merupakan konvensi
nasional tentang pernyataan eksistensi bangsa Indonesia yaitu: satu nusa,
satu bangsa dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Wawasan seperti itu pada hakikatnya tidak membedakan asal suku,
keturunan, ataupun perbedaan warna kulit. Dengan perkataan lain,
wawasan tersebut mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa atau
yang dapat disebut sebagai wawasan kebangsaan Indonesia (Suhady,
2006: 20-21).
Wawasan Kebangsaan (wawasan Nusantara) merupakan wawasan
nasionalnya bangsa Indonesia. Perumusan wawasan nasional bangsa
Indonesia yang selanjutnya disebut dengan wawasan Nusantara itu
merupakan salah satu konsepsi politik dalam ketatanegaraan Republik
Indonesia. Wawasan Nusantara sebagai pandangan geopolitik Indonesia,
dalam pembangunan nasional. Secara etimologis wawasan Nusantara
adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya.
Agar tidak terjadi penyimpangan nasional selain mengacu pada kon-
sepsi Ketahanan Nasional, harus pula dilandasi oleh wawasan Nusantara
sebagai wawasan nasional Indonesia (nasional outlook). Wawasan
Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai
44 NILAI-NILAI KEJUANGAN
diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan
nasionalnya, yang mencakup satu kesatuan politik, satu kesatuan
ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan satu kesatuan pertahanan.
Menurut Budisantoso (dalam Amal, 1996: vi-vii) wawasan Nusantara
dikembangkan bersumber dari:
1. Kesejahteraan, terutama: Sumpah Pemuda yang esensinya adalah
tekad untuk bersatu sebagai bangsa yang bertanah air Indonesia
dengan menjunjung tinggi bahasa nasional, yaitu Indonesia;
2. Falsafah dan Konstitusi, Pancasila dan UUD 45 yang mengandung
tekad dan semangat persatuan dan keamanan;
3. Lingkungan, Geopolitik dan Geostrategi sebagai sarana pemikiran
apresiasi berdasarkan diri dan lingkungan. Bagi negara kepulauan
seperti Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra,
diperlukan tekad dan semangat serta cara yang khusus untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan yang kokoh.
Jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan bangsa Indonesia tidak
lahir seketika, tetapi merupakan hasil proses perkembangan sejarah dari
zaman ke zaman. Dalam setiap periode sejarah perjuangan bangsa lahir
jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan tertentu yang dalam poriode
berikutnya akan berkembang lebih lanjut dan bersifat akumulatif. Dalam
periode perjuangan fisik sebagai salah satu tahap dalam perjuangan
nasional bangsa Indonesia, telah berkembang menjadi suatu perangkat
nilai-nilai kejuangan yang bulat dan kokoh. Selanjutnya akan berkembang
dalam tahap-tahap perjuangan bangsa Indonesia seterusnya.
B. Pembelaan Negara
Kepulauan Nusantara kita sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan
mengandung arti bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada
hakikatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara, dan
bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dalam rangka pembelaan negara dan bangsa (Darmodiharjo, 1991:67). Bela
Negara adalah setiap usaha warga negara di dalam mewujudkan ketahanan
nasional berdasarkan wawasan nasional Indonesia. Pada masa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono diperingati Hari Bela Negara atau HBN sebagai
hari bersejarah Indonesia yang jatuh pada tanggal 19 Desember untuk
memperingati deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia oleh
NILAI-NILAI KEJUANGAN 45
Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat tahun 19 Desember
1948. Pembelaan negara mempunyai suatu makna mendalam bagi
bangsa Indonesia dalam rangka pembelaan negara bangsa Indonesia bisa
menjadi merdeka, mempertahankan kemerdekaan serta mengisi
kemerdekaan. Semangat bela negara bagi bangsa Indonesia harus terus
dijaga dan dikembangkan agar negara ini kuat dari segala ancaman, baik
dari dalam maupun dari luar. Bela negara tidak selamanya berarti
dengan mengangkat senjata. Maka, seharusnya upaya bela negara
senantiasa dilakukan oleh segenap rakyat Indonesia. Konstitusi bangsa
Indonesia telah memuat perihal Bela Negara yang diatur dalam Pasal 27
ayat (3), Pasal 30 ayat (1) dan (2) UUD 1945. UU Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara Upaya Bela Negara adalah sikap dan
perilaku warga Negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin
kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Implementasi wawasan Nusantara dalam kehidupan pertahanan dan
keamanan bertujuan untuk menumbuhkembangkan kesadaran cinta
tanah air dan bangsa yang lebih lanjut akan membentuk sikap bela
negara setiap warga negara Indonesia (Sutoyo, 2011:66). Penjelasan bela
negara dan contoh bentuk bela negara nonfisik (Sutarman, 2011 : 82), di
antaranya meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, taat, patuh
terhadap peraturan perundangan dan demokratis; menanamkan kecintaan
terhadap tanah air, melalui pengabdian yang tulus kepada masyarakat;
berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara; sadar membayar
pajak untuk kepentingan bangsa dan negara.
Berdasarkan penjelasan, dapat disimpulkan bahwa pembelaan
negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh
kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan
wawasan nasional dalam mewujudkan ketahanan nasional.
C. Ketahanan Nasional
1. Pengertian Ketahanan Nasional
Kita semua menyadari bahwa setiap bangsa mempunyai cita-cita
luhur dan indah yang ingin dicapai oleh suatu bangsa yang mempunyai
fungsi sebagai penentu dari tujuan nasionalnya. Lazimnya dalam usaha
mencapai tujuan nasional tersebut, bangsa yang bersangkutan
46 NILAI-NILAI KEJUANGAN
menghadapi tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan yang
senantiasa perlu dihadapi ataupun ditanggulangi. Oleh karena itu, suatu
bangsa harus mempunyai kemampuan, kekuatan, ketangguhan, dan
keuletan. Umumnya, hal inilah yang dinamakan ketahanan nasional,
yang dapat juga disebut sebagai ketahanan bangsa. Oleh karena itu,
ketahanan nasional harus senantiasa dibina terus-menerus sepanjang
masa untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup bangsa.
Ketahanan nasional senantiasa perlu dikembangkan dan ditingkatkan.
Dengan perkataan lain, makin tinggi tingkat ketahanan nasional suatu
bangsa, makin kuatlah posisi bangsa tersebut, baik keluar maupun ke
dalam (Suhady, 2006:61-62).
Berbicara mengenai ketahanan nasional, ada dua konteks, yaitu
ketahanan nasional sebagai kondisi dan ketahanan nasional sebagai
konsep. Pertama, sebagai kondisi dinamika bangsa, ketahanan nasional
merupakan output atau resultante dari segenap upaya nasional pada saat
tertentu, dalam rangka menuju tujuan nasional dan cita-cita nasional
seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45. Kedua, ketahanan
nasional dalam konteks sebagai kondisi adalah penilaian keadaan
tentang ketangguhan dan kelemahan dalam segenap aspek kehidupan
nasional. ketahanan nasional sebagai konsepsi merupakan suatu pisau
analisis untuk memecahkan permasalahan melalui astra gatra (delapan
aspek kehidupan nasional) yang terdiri dari tiga aspek alamiah: geografi
(wilayah), kekayaan alam, dan penduduk, dan lima aspek sosial:
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan,
yang satu sama lainnya memiliki interelasi dan interaksi secara utuh
menyeluruh. Dengan demikian, konsepsi ketahanan nasional sebagai alat
analisis, melihat setiap persoalan secara komprehensif integral dengan
pendekatan kesejahteraan dan keamanan (prosperity dan scurity
approach) secara serasi (harmony) (Amal, 1996:v-vi).
Konsepsi ketahanan nasional pengertiannya belum begitu jelas bagi
beberapa kalangan. Untuk menjelaskannya digunakan sarana dengan
meneliti arti dari istilah ketahanan nasional dan yang merupakan
komponen- komponennya. Ketahanan berasal dari asal kata tahan yang
berarti: tahan penderitaan, tabah, kuat, dapat menguasai dirinya, tidak
kenal menyerah. Dari kata tahan itu terbentuk kata ketahanan nasional
yang berarti: perihal (kuat), keteguhan hati, ketabahan. Jadi, yang
dimaksud dengan ketahanan nasional adalah: perihal tahan (kuat)
keteguhan hati, ketabahan dalam rangka kesadaran. Dalam pengertian
NILAI-NILAI KEJUANGAN 47
nasional (bangsa yang telah menegara) tersimpul paham bahwa produk
dari suatu wilayah tertentu yang telah mempunyai pemerintahan nasional
dan berdaulat. Dengan demikian, istilah nasional itu tidak hanya
mencakup pengertian bangsa atau suatu wilayah semata-mata, tetapi
lebih menunjukkan makna sebagai “kesatuan dan persatuan kepentingan
bangsa yang telah menegara”. Perihal tahan (kuat), keteguhan hati,
ketabahan dari kesatuan dalam memperjuangkan kepentingan nasional
suatu bangsa yang telah menegara (Suhady, 2006: 62).
Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamika suatu bangsa,
berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi
segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan baik yang datang
dari luar maupun dalam yang langsung maupun tidak langsung
membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan
negara, serta perjuangan mengejar tujuan nasionalnya (Suhady, 2006:
63).
Kondisi atau keadaan selalu berkembang serta bahaya dan
tantangan- tantangan selalu berubah. Maka, ketahanan nasional itu juga
harus dikembangkan dan dibina agar memadai dengan perkembangan
keadaan. Jadi, ketahanan nasional dinamis, bukan statis. Ketahanan
nasional adalah tingkat keadaan keuletan dan ketangguhan bangsa dalam
menghimpun dan mengerahkan keseluruhan kemampuan mengembang-
kan kekuatan nasional yang ada sehingga merupakan kekuatan nasional
yang mampu dan sanggup menghadapi segala ancaman, tantangan,
hambatan serta gangguan terhadap keutuhan maupun kepribadian bangsa
dalam mempertahankan kehidupan dan kelangsungan cita-citanya.
Sebagai acuan untuk pemahaman, ada beberapa istilah dalam ketahanan
nasional sebagai berikut (Suhady, 2006: 63):
a. Ketangguhan
Kekuatan yang menyebabkan seseorang atau sesuatu dapat bertahan
kuat menderita atau kuat menanggulangi beban.
b. Keuletan
Usaha terus menerus secara giat dengan kemauan yang keras di dalam
menggunakan segala kemampuan dan kecakapan untuk mencapai
tujuan dan cita-cita.
c. Identitas
Ciri khas suatu negara dilihat secara keseluruhan (holistic), yaitu
48 NILAI-NILAI KEJUANGAN
negara yang dibatasi oleh wilayah, penduduk, sejarah, pemerintahan,
dan tujuan nasionalnya serta peranan yang dimainkannya di dalam
dunia internasional.
d. Integritas
Kesatuan yang menyeluruh di dalam kehidupan nasional suatu
bangsa, baik sosial, alamiah, potensi fungsional. Dari telaahan
dokumen dapat disimak mengenai tantangan, ancaman, hambatan
dan gangguan, dinyatakan bahwa hambatan-hambatan, tantangan-
tantangan, ancaman-ancaman, dan gangguan-gangguan yang timbul
baik dari dalam dan luar dan perlu secara efektif dilakukan untuk
tetap memungkinkan berjalannya pembangunan nasional menuju ke
tujuan yang ingin dicapai, dan untuk itu harus secara terus-menerus
memupuk ketahanan nasional.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 49
ekonomi nasional dengan daya saing yang tinggi dan mewujudkan
kemakmuran rakyat yang adil dan makmur.
d. Ketahanan nasional bidang sosial budaya adalah kondisi kehidupan
sosial budaya bangsa yang menjiwai kepribadian nasional berdasarkan
Pancasila, yang mengandung kemampuan membentuk dan
mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat
Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME, hidup
rukun, bersatu, cinta Tanah Air, berkualitas, maju, dan sejahtera
dalam kehidupan yang serba selaras, serasi, dan seimbang serta
kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai
dengan kebudayaan nasional.
e. Ketahanan nasional bidang pertahanan keamanan adalah kondisi daya
tangkal bangsa yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat
yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan
keamanan negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan
hasil-hasilnya, serta kemampuan mempertahankan kedaulatan negara
dan menangkal segala bentuk ancaman.
50 NILAI-NILAI KEJUANGAN
dari tata kehidupan bangsa Indonesia (Suhady, 2006: 67).
a. Ciri Ketahanan Nasional
1) Ketahanan nasional merupakan prasyarat bagi bangsa yang sedang
membangun dirinya menuju bangsa yang maju dan mandiri.
Ketahanan nasional dijadikan prasyarat utama bagi bangsa yang maju
dan mandiri. Ketahanan nasional dijadikan prasyarat utama bagi
bangsa yang sedang membangun karena semangat tidak mengenal
menyerah akan memberikan dorongan dan rangsangan untuk berbuat
dalam mengatasi tantangan, hambatan, dan gangguan yang timbul.
2) Menuju dan mempertahankan kelangsungan hidup. Bagi bangsa yang
baru membangun dirinya tidak lepas dari pencapaian tujuan
sebagaimana dicita-citakan. Hal ini sesuai dengan Pembukaan UUD
45 alinea pertama, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-
keadilan”.
3) Ketahanan Nasional diwujudkan sebagai kondisi dinamis bangsa
yang berisi keuletan dan ketangguhan bangsa untuk mengembangkan
kekuatan. Menjadikan ciri dalam mengembangkan ketahanan
nasional harus berdasarkan pada hal-hal berikut ini:
a) Rasa cinta tanah air;
b) Setia kepada perjuangan;
c) Ulet dalam usaha yang didasarkan pada: ketakwaan dan keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, keuletan, dan ketangguhan sesuai
dengan perubahan yang dihadapi sebagai akibat dinamika
perjuangan, baik dalam pergaulan antarbangsa maupun dalam
rangka pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.
d) Didasarkan pada Astagatra. Negara Kesatuan Republik Indonesia
secara geografis berada di posisi silang dunia, pengembangan
ketahanan nasional didasarkan baik pada kondisi alamiah maupun
kondisi sosial, sesuai dengan perkembangan dan situasi yang
dihadapi bangsa.
e) Dijiwai wawasan nasional. Dilandasi semangat integralistik,
bangsa Indonesia mengembangkan diri atas dasar: nasionalisme
Indonesia, Pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju dan
NILAI-NILAI KEJUANGAN 51
mandiri, Pembangunan yang berwawasan teknologi berwajah
manusiawi, Berperan dalam ketertiban dunia atas dasar
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
f) Pola umum operatif didasarkan Pancasila dan UUD 45. Gerakan
pembangunan nasional merupakan keseluruhan semangat yang
diarahkan dalam rangka pengamalan Pancasila. Oleh karena itu,
pembangunan nasional yang berwawasan nasional (kebangsaan)
merupakan rangkaian upaya bangsa yang berkesinambungan
dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila di bumi Nusantara.
52 NILAI-NILAI KEJUANGAN
kekuatan. Asas ketahanan nasional yaitu kesejahteraan dan keamanan,
utuh menyeluruh terpadu, kekeluargaan, dan mawas diri.
Berdasarkan penjelasan, ketahanan nasional bangsa adalah kekuatan,
usaha dan kesatuan mewujudkan cita-cita luhur dari suatu bangsa, yang
tidak dapat dilepaskan dari berbagai tantangan, ancaman, hambatan, dan
gangguan. Oleh karena itu, setiap bangsa harus mempunyai kemampuan,
kekuatan, ketangguhan, dan keuletan untuk menyelesaikan semua
permasalahan yang dihadapi sehingga senantiasa tetap tahan dan kuat
untuk menghadapinya.
D. Ringkasan
Wawasan kebangsaan (wawasan Nusantara) adalah cara pandang
bangsa Indonesia mengenai diri, lingkungannya yang serba beragam,
bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara untuk mencapai tujuan cita-citanya yaitu tujuan nasional bangsa
Indonesia.
Pembelaan negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai
oleh kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan
Wawasan Nasional dalam mewujudkan Ketahanan Nasional.
Ketahanan nasional bangsa adalah kekuatan, usaha dan kesatuan
mewujudkan cita-cita luhur dari suatu bangsa, yang tidak dapat dilepaskan
dari berbagai tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan. Oleh karena
itu, setiap bangsa harus mempunyai kemampuan, kekuatan, ketangguhan,
dan keuletan untuk menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi
sehingga senantiasa tetap tahan dan kuat untuk menghadapinya.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 53
BAGIAN KELIMA
SEJARAH PERJUANGAN
INTEGRASI KEBANGSAAN
K
ondisi geografis Kepulauan Indonesia merupakan salah satu
faktor yang paling sulit dalam membentuk kesatuan Nusantara.
Kesulitan itu akan bertambah besar dengan keanekaragaman
suku bangsa yang memiliki adat istiadat dan bahasa berbeda serta tinggal
di pulau-pulau yang terpisah itu. Oleh karena itu, makna integrasi bagi
bangsa Indonesia merupakan hal yang paling penting. Dalam peta
terlihat bahwa wilayah Indonesia terdiri dari kepulauan besar dan kecil
yang jumlahnya belasan ribu, tepatnya sejumlah 16.056 pulau yang
bernama pada tahun 2017. Banyak di antara pulau-pulau tersebut
dipisahkan oleh selat dan laut yang jaraknya ratusan bahkan ribuan
kilometer. Jarak antara Pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, Timor dan
Papua, lebih dari 2000-an km. Pulau-pulau besar dan kecil tersebut dihuni
oleh berbagai suku bangsa yang masing-masing memiliki keragaman
etnis, budaya, bahasa, dan agama.
Dalam konsep integrasi, laut-laut dan selat yang berada di wilayah
Indonesia merupakan penyatu. Demikian pula keragaman suku-suku
bangsa, budaya, dan bahasa yang secara alami telah mengalami proses
evolusi sejak migrasi bangsa Austronesia ribuan tahun yang lalu.
Terintegrasinya kepulauan yang tersebar di garis khatulistiwa dan memiliki
keragaman budaya daerah, bahasa, dan bentuk fisik tersebut menuju
kesatuan politis merupakan proses yang sulit dan panjang. Untuk itu,
diperlukan keinginan, tekad, dan upaya suku-suku bangsa yang tinggal di
kepulauan tersebut (Supriatna, 2004: 4).
54 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Apabila melihat sejarah bangsa Indonesia, kita pernah mengalami
masa yang berdaulat dan berdikari sendiri yaitu pada masa kerajaan-
kerajaan kuno. Bagaimana pada masa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya
kita mengenal tentang pengertian “archipelago state”, yaitu adalah negara
yang terdiri dari banyak pulau, yang laut, udara, dan daratan adalah satu
kesatuan Nusantara sebagai wawasan ideologi bangsa yang merupakan
kehendak sejarah yang dijamin oleh Hukum Laut Internasional.
Wilayah Nusantara dahulu ditandai dengan adanya kerajaan-kerajaan
Hindu, Buddha, dan Islam yang merdeka dan berdaulat. Kerajaan- kerajaan
itu antara lain adalah Sawerigading, Mataram Kuno, Sriwijaya, Singasari,
Majapahit, Malaka, Samudra Pasai, dan kerajaan Nusantara lainnya.
Sebagian besar kerajaan-kerajaan ini adalah kerajaan bahari yang
kekuasaannya tidak hanya terbatas pada wilayah Indonesia sekarang, tetapi
juga meliputi sebagian wilayah Asia Tenggara. Para pelaut kerajaan-
kerajaan itu mengarungi lautan dan samudra sampai jauh di luar wilayah
Nusantara, ke berbagai kawasan dan negara. Seperti Asia Timur, Asia
Selatan, Madagaskar bahkan sampai Timur Tengah.
Sejak zaman kuno, lokasi Kepulauan Nusantara merupakan tempat
persilangan jaringan lalu lintas yang menghubungkan benua Timur
dengan benua Barat. Sistem angin di Nusantara yang dikenal sebagai
musim-musim merupakan kemungkinan pengembangan jalur Barat-Timur
pulang balik secara teratur dan berpola tetap. Musim barat dan musim
timur sangat menetukan jalur pelayaran dan perdagangan di Nusantara
sehingga muncul kota-kota pelabuhan serta pusat-pusat kerajaan sejak
zaman Sriwijaya sampai akhir zaman Majapahit. Hasil-hasil bumi atau
barang-barang merupakan monopoli alamiah dari Indonesia. Maluku
sebagai penghasil rempah-rempah menjadi terminal jalur perdagangan
yang berpangkal di Teluk Parsi atau Jazirah Arab dan secara sambung-
menyambung melewati Gujarat, Malabar, Koromandel, Benggala, sampai
ke Indonesia (Kartodirdjo: 2014: 1-2).
Pada masa Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah telah dapat
membuat bangunan yang sangat monumental yaitu Candi Borobudur dan
Candi Prambanan. Cri Kahulunnan meresmikan pemberian tanah dan
sawah untuk menjamin keberlangsungan pemeliharaan Kamulan (bangunan
suci untuk memuliakan nenek moyang) di Bhumisambhara. Kumulan ini
tidaklah lain dari pada Borobudur, yang mungkin sekali sudah didirikan
oleh Samaratungga pada 824. Hal ini dapat disimpulkan dari penyebutan
bangunan Kamulan itu secara samar-samar dengan istilah keagamaan
NILAI-NILAI KEJUANGAN 55
dalam prasasti Karangtengah. Struktur bangunan Candi Borobudur
terdiri dari 3 bagian, yaitu kamadhatu (kaki candi) yang menggambarkan
alam hidup manusia yang masih dikendalikan hasrat nafsu keduniawian;
rupadhatu (badan candi), yang melambangkan masih adanya ikatan
bentuk materi fisik, dan arupadhatu (lingkungan atas teras candi) yang
melambangkan pembebasan manusia dari urusan dunia (Darini,
2013:75). Sementara itu, Rakai Pikatan sendiri telah mendirikan
berbagai bangunan suci agama Hindu yaitu Candi Prambanan
(Soekmono, 1991:46). Hal itu dikuatkan oleh keberadaan Mataram Kuno
dikenal sebagai negeri agraris. Hal inilah yang membedakan antara
Mataram Kuno dengan Sriwijaya. Suatu negeri maritim yang lebih
memperhatikan sektor kelautan sebagai sumber kehidupan bagi seluruh
rakyatnya. Memiliki kelebihan di dalam perhatian sektor dan agama yang
dapat menopang kebutuhan rakyat Mataram Kuno untuk hidup sejahtera
lahir dan batin (Achmad, 2016:27-28). Candi Prambanan yang juga
disebut Candi Lorojonggrang merupakan salah satu kompleks candi
Hindu terbesar di Asia Tenggara.
Coedes dalam mengkritik van Leur menambahkan bahwa peradaban
sebelumnya, yakni peradaban prasejarah di Jawa juga sudah memiliki
kemampuan yang perlu diperhitungkan (Daldjoeni, 1884:54).
1. Dari adanya sistem irigasi dapat disimpulkan bahwa tentunya di
negeri yang bersangkutan telah ada sistem pemerintahan yang
bersifat birokratis-patrimonial. Hanya dalam konstelasi kepegawaian
yang hierarkis seperti itulah dapat diorganisasikan pembangunan
monumen-monumen raksasa seperti canci-candi Borobudur, Mendut
dan Sewu, yang di dalamnya terjalin menjadi satu bidang-bidang
teknik, ekonomi dan pemerintahan.
2. Dari adanya sistem sistem irigasi yang maju itu dapat dipastikan telah
berdirinya berbagai bentuk organisasi pedesaan yang bersendikan
suatu kelompok cikal bakal, sesepuh desa, tata pemerintahan yang
patrimonial.
3. Dari adanya pelayaran di lautan dan perdagangan dapat diketahui
telah terlibatnya masyarakat atau negeri tersebut dalam pergaulan
antarbangsa serta wibawa regional tertentu.
4. Dari adanya pengolahan logam dapat disimpulkan telah hadirnya tenaga
ahli yang terampil dengan ikatan-ikatan serta tata kerja yang khusus.
56 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Masa selanjutnya, Kerajaan Sriwijaya mengusasi daerah terpenting
dalam jalur pedagangan internasional Asia Tenggara yaitu Selat Malaka.
Semua aktivitas perdagangan dilakukan di sana. Pada masa Kerajaan
Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara dengan ekspedisi pamalayu,
supremasi Kerajaan Singasari dapat diletakkan di bekas pengaruh Sriwijaya
di Sumatra. Tumasik (Singapura sekarang) tempat permukiman orang
melayu dan sisa-sisa dari tentara Kertanegara, juga dikatakan termasuk
dalam daerah di bawah supremasi Jawa. Dasar-dasar bagi lingkungan
hegemoni Majapahit telah diletakkan. Dalam struktur kekuasaan dengan
hierarki piramidanya disintegrasi pusat kekuasaan yang memegang
supremasi dapat mengalihkan supremasi atau suzereinitas (kekuasaan
raja) kepada kekuasaan lain, seperti di sini dari Sriwijaya ke Singasari
dan selanjutnya ke Majapahit (Kartodirdjo, 2014:23-24). Sriwijaya adalah
salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di Pulau Sumatra dan
banyak memberi pengaruh di Nusantara. Dalam bahasa Sanskerta, Sri
berarti “kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya bermakna
“kemenangan yang gemilang”.
Wilayah Nusantara dahulu ditandai dengan adanya kerajaan-kerajaan
Hindu, Buddha, dan Islam yang merdeka dan berdaulat. Kerajaan itu antara
lain adalah Sriwijaya, Majapahit, dan Malaka. Sebagian besar kerajaan-
kerajaan ini adalah kerajaan bahari yang kekuasaannya tidak terbatas pada
wilayah Indonesia sekarang, tetapi juga meliputi sebagain besar Asia
Tenggara. Para pelaut kerajaan-kerajaan itu mengarungi lautan dan samudra
sampai jauh di luar wilayah Nusantara ke berbagai kawasan dan negara,
seperti Asia Timur, Asia Selatan, bahkan sampai Madagaskar dan Timur
Tengah.
Sampai sekitar abad kesebelas, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat
agama Buddha di Asia Tenggara. Para biksu Buddha dari negara-negara
di Asia bagian timur yang hendak berkunjung ke pusat agama Buddha di
India (Nalanda) dalam perjalanannya singgah terlebih dahulu di Sriwijaya
untuk mempelajari agama Buddha sebagai persiapan. Dharmapala
adalah mahaguru terkenal dari India yang memberi kuliah di Perguruan
Tinggi Buddha di Kerajaan Sriwijaya dan didampingi oleh mahaguru dari
Nusantara yang bernama Sakyakirti.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 57
Gambar 3. Peta Kerajaan Sriwijaya Pada Abad ke-8 M. Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya.
58 NILAI-NILAI KEJUANGAN
kita bisa mengambil nilai bahwa Kertanegara ingin mewujudkan kedaulatan
Nusantara dan menghalangi apa pun yang menjadi ancaman. Jika dilihat
dari jumlah pasukan Cina dan pasukan Singasari tentu tidak sebanding,
tetapi Kertanegara tidak gentar dan tidak mundur.
Menurut pendapat Agus Aris Munandar (2010) alasan mengapa Gajah
Mada memuliakan Kertanegara hingga mendirikan candi baginya seperti
pada kutipan berikut.
Pertama, Gajah Mada mencari legitimasi untuk membuktikan Sumpah
Palapa. Dia berupaya keras agar wilayah Nusantara mengakui kejayaan
Majapahit. Kertanagara adalah raja yang memiliki wawasan politik luas.
Dengan wawasan Dwipantara Mandala, dia memperhatikan daerah- daerah
lain di luar Pulau Jawa. Dengan demikian, Gajah Mada seakan meneruskan
politik pengembangan mandala hingga seluruh Dwipantara (Nusantara) yang
awalnya telah dirintis oleh Kertanegara. Ditemukan sebuah prasasti
bertuliskan Gajah Mada dan menyebutkan nama beliau untuk memperingati
Kertanegara prabu Singasasri yang mati dibunuh pada tahun 1292 (Yamin,
1956: 13). Kedua, dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pen-dharma-an
tokoh selalu dibangun oleh kerabat atau keturunan langsung tokoh itu,
seperti Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya dibangun tahun 1321 pada
masa Jayanegara; dan Candi Bhayalango bagi Rajapatmi Gayatri dibangun
tahun 1362 oleh cucunya, Hayam Wuruk. Atas alasan itu, Gajah Mada masih
keturunan dari Raja Kertanagara. Setidaknya Gajah Mada masih punya
hubungan darah dengan Kertanagara.
Pada masa kejayaan dan keemasan Kerajaan Majapahit yaitu masa
kepemimpinan Hayam Wuruk dengan patih yang bernama Patih Gajah
Mada, Patih Gajah Mada ketika pengangkatannya sebagai patih
Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336 M) mengucapkan “Sumpah
Palapa” yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah
(yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan
Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa
pertengahan yang berbunyi sebagai berikut.
“Sira Gajah Mada pepatih Amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah
Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring
Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali,
Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”
NILAI-NILAI KEJUANGAN 59
Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan
puasa.”
60 NILAI-NILAI KEJUANGAN
(Sumatra), Tanjungpura (Kalimantan), Semenajung Melayu (Malaka),
sebelah timur Jawa dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Irian Barat dan
Jawa (kecuali Kerajaan Sunda Galuh dan Sunda Pakuan) (Achmad, 2016:
145). Sesuai dengan pendapat Daldjoeni (1984: 97) bahwa wilayah
kekuasaan kerajaan Majapahit kurang lebih sama dengan wilayah republik
Indonesia sekarang ditambah Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan
sebagian dari Filipina.
Dapat disimpulkan bahwa masa kedaulatan Nusantara, Indonesia
menjadi negara yang berdaulat dan merdeka yang diwakili oleh Mataram
Kuno, Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit sebagai pelopor terwujudnya
Nusantara. Wilayah Nusantara meliputi Indonesia sekarang dan sebagian
wilayah Asia Tenggara. Bahkan sebelum masa Sriwijaya dan Majapahit
Indonesia sudah menjadi bangsa yang makmur dengan tanda berdirinya
bangunan Candi Prambanan dan Candi Borobudur yang sangat megah.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 61
jalur utama pedagang-pedagang Islam dari Asia Barat seperti Arab dan
Persia. Setelah para pedagang ini rutin berdagang dengan Cina dan melalui
jalur pelayaran Nusantara, kedudukan Nusantara menjadi penting dalam
percaturan perdagangan internasional. Pedagang-pedagang Islam mulai
membuat permukiman-permukiman Islam di daerah-daerah pesisir yang
selain untuk berdagang, juga untuk menunggu musim.
Menjelang akhir abad ke-13, Islam tampil di ufuk barat kepulauan
Indonesia. Sebelumnya perantau muslim sudah datang melalui jalan niaga
masih kuat, kontaknya dengan penduduk setempat kurang. Berbarengan
1
dengan kemerosotan negara-negara Hindu, maka saudagar mubalig muslim,
para syahbandar, dan para wali berhasil mendirikan sejumlah kesultanan
pesisir, tempat Islam menjadi agama negara. Rakyat diandaikan menganut
agama para penguasa tanpa ada usaha untuk mengajarkan agamanya
kecuali di beberapa pusat pendidikan. Pusat-pusat itu adalah bekas pusat
pengajaran Hindu, yaitu mandala para sastrin1, pelajar Hindu. Sesudah
mandala-mandala diambil alih oleh penganut-penganut agama baru, nama
lama tetap dipakai dan mereka disebut santri; lembaganya: pesantren. Tentu
saja peralihan kepada Islam dengan ajarannya yang tegas tentang ke-Esa-an
Tuhan merupakan langkah besar ke arah kemajuan kerohanian (Subagya,
1981: 17).
Ajaran agama Islam mudah untuk diterima dikarenakan tidak mengakui
adanya perbedaan golongan dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa
etika Islam bersifat demokratis karena agama Islam tidak mengenal strata
sosial atau pengkastaan seperti yang ada pada agama Hindu. Semua orang
yang beragama Islam saling menganggap sebagai saudara. Kondisi tersebut
diterapkan oleh para pedagang Islam di seluruh penjuru Nusantara dalam
pergaulan perdagangan. Misalnya, para pedagang yang berada di Malaka,
Banten, dan lain-lain menganggap para pedagang Islam yang berasal dari
berbagai daerah dan suku bangsa Indonesia sebagai saudara. Terjadilah
keterikatan di antara mereka dan perasaan sebagai saudara. Perbedaan-
perbedaan latar belakang suku, adat istiadat, bahasa, tradisi, dan lain-lain
tidak menyebabkan permasalahan karena saling merasa membutuhkan
dan kedudukan yang sama antarpedagang di Nusantara.
Gejala-gejala tentang kota niaga di Pulau Jawa sudah tampak
sebelumnya dan sejak akhir abad ke-13, Marco Polo sudah menyebut
1 1
Pada saat Islam masuk, kata sastrin berubah menjadi santri.
62 NILAI-NILAI KEJUANGAN
beberapa bandar niaga di pantai utara Sumatra yang didiami oleh para
saudagar dan penduduk beragama Islam. Sementara pedagang Tionghoa
beragama Islam (Mazhab Hanafi) teori yang baru ini diajukan oleh Slamet
Muljana (Lombard, 1976:60). Makam di Leran (1082) dan makam putri
Campa (1449) dianggap sebagai bukti. Pertama adalah makam seorang
wanita yang memakai nama Arab, sedangkan yang kedua makam seorang
putri bangsawa Islam yang diperistri Raja Majapahit (Kartodirdjo, 2014:26).
Berbeda dengan pendapat dari Ricklefs dkk. (2013:133), mengatakan
batu ini sepertinya pernah menjadi batu nisan untuk orang lain di tempat
berbeda yang kemudian digunakan sebagai jangkar kapal sehingga tidak
relevan dengan sejarah islamisasi lokal.
Dari persamaan pandangan mengenai etika sosial tersebut terdapat
dua hal yang dipengaruhinya. Pertama, perdagangan di antara orang-
orang Islam berkembang dengan pesat. Masuknya Islam ke Indonesia
terjadi melalui proses perdagangan. Dengan adanya perdagangan
tersebut selain Islam menyebar di Nusantara, perdagangan di kepulauan
ini pun ikut berkembang pesat. Faktor etika sosial yang dianut para
pedagang Nusantara berpengaruh terhadap perkembangan kegiatan
ekonomi dagang. Kedua, adanya pandangan tersebut telah mendorong
terciptanya perasaan terintegrasi di antara para pedagang penganut Islam
yang memiliki latar belakang berbeda-beda tersebut. Tampaknya dalam
kegiatan dagang, faktor perbedaan etnis, budaya, bahasa, dan lain-lain
diabaikan. Budaya Islam atau kultural Islam mendukung terbentuknya
sikap dan pandangan yang integral. Para pedagang dan penganut Islam
di Indonesia pada awal berkembangannya tidak memusuhi penganut
kepercayaan lain (Supriatna, 2004:5).
Dari agama Islam bangsa Indonesia telah menerima cita-cita yang
besar, kepercayaan diri yang kuat, kepercayaan teguh akan panggilan kepada
suatu masyarakat yang baik dan jujur, yang tidak mengenal batas maupun
ras. Kesuksesan lain terutama yang diperoleh agama Islam di Kepulauan
Indonesia yaitu sikap toleransi terhadap hidup pribumi yang kuno,
kesabarannya bukan dalam teori, melainkan dalam praktik hidup terhadap
banyak hal yang tidak sesuai, bahkan kadang kala sama sekali bertentangan
dengan ajaran dan hukum Islam. Tanpa adanya sikap sadar dan toleransi
serta tahu menunggu waktu yang tepat, dan menjadi kekuatannya terutama
dalam membangun dengan penuh sabar dan tidak dengan menjebol secara
kasar, maka ada kemungkinan besar agama Islam tidak pernah akan
berhasil memperoleh saham besar dalam memperkembangkan kebudayaan
NILAI-NILAI KEJUANGAN 63
Pribumi (De Jong, 1971: 27).
Secara kultural (budaya), pemeluk Islam di Indonesia tidak
mempertentangkan ajaran Islam dengan adat istiadat atau kepercayaan
yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Buddha. Sebagian besar wali yang
menyebarkan Islam di Jawa menggunakan pendekatan budaya setempat
untuk menyebarkan Islam. Para wali dan ulama penganut ajaran tasawuf
berpandangan bahwa para penganut ajaran lain harus tetap dihormati.
Mereka berpandangan bahwa pemeluk kepercayaan lain harus didekati
dengan metode yang paling bisa diterima oleh mereka (Supriatna, 2004:
6). Kita bisa belajar dari Walisongo bahwa sampai kapanpun kita sebagai
bangsa bisa memaknai bahwa nilai kebudayaan lokal dan nilai agama dapat
diserasikan. Karena kita sedikit miris melihat kondisi zaman sekarang yang
sering membentur-benturkan antara agama dan budaya. Setiap manusia,
lingkungan sosial, dan lingkungan alam akan menghasilkan budaya yang
akan berbeda dengan masyarakat lainnya.
Dilihat dari awal perkembangan Islam di Indonesia, tampaknya
perbedaan kepercayaan, tradisi, dan adat istiadat bukan merupakan faktor
disintegrasi. Sikap para pedagang, penyebar Islam, dan penganut Islam
Indonesia yang akomodatif terhadap perbedaan pandangan, adat istiadat,
dankepercayaansetempatyangtelahlebihdahuludianutmenyebabkantidak
terjadinya konflik budaya. Masuk dan berkembanganya Islam di Indonesia
tidak menimbulkan benturan-benturan budaya antara budaya Islam dan
budaya setempat. Seperti telah diuraikan adanya sikap akomodatif tersebut
dapat mempercepat terjadinya akulturasi dan melahirkan kebudayaan khas
Indonesia. Sikap toleransi pemeluk Islam terhadap pemeluk kepercayaan
lain menjadi salah satu faktor yang membantu terjadinya proses integrasi
bangsa (Supriatna, 2004: 6).
Hasil akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudayaan lokal
Indonesia baik dalam bentuk gagasan maupun bentuk fisik telah
melahirkan identitas baru di kalangan pemeluk Islam di Indonesia.
Ternyata, kebudayaan Islam (bukan sebagai ajaran agama) di Indonesia
berbeda dengan kebudayaan Islam di negara-negara Islam lain. Kekhasan
dan persamaan kebudayaan Islam Indonesia yang dianut oleh suku-suku
bangsa Indonesia menciptakan perasaan bersatu di antara pemeluk-
pemeluknya. Dengan demikian, hasil akulturasi menjadi salah satu faktor
dalam proses integrasi bangsa.
64 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Sikap toleransi dalam aspek budaya dapat juga dilihat dalam praktik
perdagangan. Para pedagang Islam berpandangan bahwa mereka bisa
berdagang dengan siapa pun tanpa melihat latar belakang agama. Secara
kultural para pedagang Islam memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan
suku bangsa, agama, dan golongan dalam kegiatan dagang. Misalnya, para
pedagang Islam di Malaka, Banten, Makassar, dan lain-lain bukan hanya
berdagang dengan pedagang Islam dari Arab, Persia, Gujarat melainkan
dengan para pedagang non-Islam dari Cina, Champa, dan lain-lain. Jadi,
secara historis, walaupun perdagangan abad ke-14 sampai 17 didominasi para
pedagang Islam, mereka bersedia berdagang dengan siapa pun tanpa melihat
perbedaan latar belakang bangsa dan agama (Supriatna, 2004: 6-7).
Jatuhnya Konstantinopel, ibu kota Romawi Timur, ke tangan kerajaan
Islam Turki Usmania tahun 1453, menimbulkan upaya bangsa Eropa untuk
mencari bahan dan komoditas ke daerah Timur salah satunya Nusantara.
Para awalnya mereka diterima dengan baik, akan tetapi lama-kelamaan ada
keinginan lebih untuk menguasai dan memonopoli perdangan di Nusantara.
Pada perkembangan berikutnya pedagang menyadari bahwa sikap terbuka
tersebut ternyata telah disalahgunakan oleh para pedagang Barat yang
ingin menguasai sumber barang dagangan. Para pedagang Nusantara
melihat bahwa para pedagang Barat tersebut berambisi untuk menguasai
daerah penghasil rempah-rempah. Dalam tahun 1509 muncullah kapal-
kapal Portugis di bandar-bandar Malaka, dan dalam tahun 1511 orang-
orang Portugis mendapatkan alasan untuk menggempur Kota Malaka, yang
segera jatuh ke tangan Portugis (Djakariah, 2014: 35). Jatuhnya Malaka
ke tangan bangsa Portugis adalah bukti adanya pemaksaan kehendak
pedagang Barat dalam menguasai wilayah dagang di Nusantara.
Peristiwa jatuhnya pelabuhan Malaka tersebut merupakan awal
perubahan sikap pedagang Nusantara. Sejak peristiwa itu, para pedagang
Nusantara mulai berhati-hati dengan pedagang asing terutama dari Barat
(Eropa). Para pedagang Islam mulai menyadari bahwa datangnya para
pedagang Portugis di Kepulauan Nusantara bukan hanya ingin berdagang,
tetapi memiliki tujuan politis ingin merusak kekuatan Islam. Tindakan
bangsa Portugis disusul oleh bangsa Belanda yang memiliki ambisi yang
kurang lebih sama. Bangsa Belanda pun berusaha untuk menguasai sumber
penghasil rempah-rempah dan pelabuhan-pelabuhan penting kerajaan Islam
Nusantara. Dengan politik disintegrasinya (devide et impera), satu per satu
pelabuhan-pelabuhan penting Nusantara, seperti Sunda Kalapa, Ambon,
Makassar, Demak, Cirebon, dan lain-lain dikuasai (Supriatna, 2004: 8).
NILAI-NILAI KEJUANGAN 65
Peranan Islam dalam proses integrasi telah dipengaruhi oleh
perkembangan historis. Kita bisa melihat bagaimana peta perkembangan
kerajaan Nusantara Malaka seperti Gambar 7 berikut.
66 NILAI-NILAI KEJUANGAN
daerah yang pada umumnya karismatis dan memiliki pengetahuan agama
Islam yang tinggi memanfaatkan kekuatan ideologis tersebut yang telah
dianut masyarakat sejak ratusan tahun lalu. Dengan kekuatan tersebut,
semangat untuk mengusir penjajah semakin besar. Rakyat yang berada di
bawah pemimpin karismatis percaya bahwa Belanda adalah kafir, penjajah
yang zalim, dan musuh Islam (Supriatna, 2004: 8-9).
Untuk merebut kembali kehormatan dan kedaulatan dengan semangat
perang Sabil, yang telah direnggut penjajah, timbullah perlawanan rakyat
kerajaan-kerajaan di Nusantara di bawah pemimpin-pemimpin mereka,
seperti antara lain Sultan Agung Hanyokrokusumo (1628-1682), Sultan
Hasanuddin (1633-1636), Kapitan Pattimura (1817), Imam Bonjol (1821-
1837), Pangeran Diponegoro (1825-1830), Pangeran Antasari (1859),
Teuku Umar (1873-1903), Cut Nyak Dien (1850-1908), Sisinga Mangaraja
XII (1870-1907), perlawanan petani Banten (1888) dan perlawanan
rakyat lainnya. Perlawanan ini bersifat lokal, sendiri-sendiri dan tidak
terkoordinasi. Oleh karena itu, satu per satu perlawanan mereka dapat
dipatahkan karena belum memiliki wawasan persatuan dan kesatuan
bangsa. Melalui politik devide et impera (pecah belah: adu domba), penjajah
semakin menguasai wilayah Nusantara. Berdasarkan penjelasan, dapat
disimpulkan bahwa walaupun perang-perang tersebut yang dilaksanakan
oleh para raja dan pemimpin agama masih bersifat kedaerahan, secara
historis dapat dikatakan bahwa perang yang dilandasi oleh kekuatan
ideologis Islam itu telah menjadi dasar bagi lahirnya nasionalisme
Indonesia pada awal abad ke-20. Secara etis, sosial-budaya, ideologis, dan
historis, Islam memiliki peran yang besar dalam proses integrasi bangsa.
Gerakan nasionalisme atau gerakan kebangsaan Indonesia awal abad ke-
20 sebenarnya dasar-dasarnya telah diletakkan sejak tumbuh dan
berkembangnya penganut serta kekuatan politik Islam di Nusantara sejak
abad ke-16.
Dalam mengkaji kembali perkembangan sejarah bangsa Indonesia abad
ke-16–19, banyak pelajaran dapat diambil (Supriyatna, 2004:18- 19).
Pertama, integrasi suatu bangsa merupakan suatu proses historis yang
panjang. Dengan demikian, integrasi tidak dilakukan dalam satu atau dua
kejadian sejarah, melainkan terjadi dalam suatu proses yang dipengaruhi
oleh banyak faktor. Kita merasa sebagai satu bangsa karena ada keterikatan
budaya satu dengan lainnya, ada persamaan kepentingan, menggunakan
bahasa yang sama, mengakui sistem nilai yang sama, ada persamaan
identitas, dan adanya solidaritas sebagai satu bangsa yang sama.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 67
Kedua, semakin sering terjadi hubungan atau komunikasi, kontak
budaya, pergaulan antargolongan suku bangsa, agama dan tradisi daerah di
Indonesia, maka akan semakin baik terbentuknya identitas bangsa. Melalui
komunikasi yang terbuka antarsuku bangsa, sikap prasangka, sentimen
kesukuan atau kedaerahan lambat laun dapat dihilangkan. Dengan demikian,
proses integrasi akan lebih cepat.
Ketiga, semakin terdidik suatu bangsa, semakin baik paham
kebangsaannya. Dalam hal ini pandangan sempit kedaerahan, kesukuan,
agama, dan lain-lain bisa dihilangkan melalui pendidikan. Melalui
pendidikan, cara pandang orang tentang diri dan lingkungannya akan
meluas. Lingkungan hidup mereka bukan hanya daerah dan suku bangsa
yang berada di sekitarnya, melainkan juga daerah dan suku bangsa yang
berada di luar lingkungan geografis mereka.
Keempat, dalam perkembangan proses integrasi terdapat faktor yang
memperkuat dan faktor yang memperlemah. Faktor penguat telah diuraikan.
Adapun faktor yang dapat memperlemah integrasi meliputi, sikap
primordialisme, kesukuan, kedaerahan, diskriminasi, kesenjangan sosial
ekonomi, kemiskinan, dan kebodohan, isolasi, masuknya paham asing yang
negatif, eksklusifisme, fanatisme agama yang sempit, dan lain- lain. Faktor-
faktor tersebut saling berkaitan.
Dalam tahap perjuangan ini jiwa mereka semakin bergelora dan rasa
harga diri sebagai bangsa yang tidak mau dijajah mengubah semangat
dan perlawanan seluruh lapisan masyarakat terhadap penjajah untuk
merebut kembali kedaulatan dan kehormatan bangsa. Di samping itu,
timbullah berbagai jiwa, semangat, dan nilai kejuangan seperti nilai harkat
68 NILAI-NILAI KEJUANGAN
dan martabat manusia, jiwa dan semangat kepahlawanan, kesadaran anti
penjajah dan penjajahan, kesadaran akan perlunya persatuan dan kesatuan
perjuangan serta nilai-nilai kejuangan lainya.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 69
Wahidin Sudirohusodo, pribumi semakin cerdas dan bisa membebaskan
diri dari penjajah. Tetapi (dana pelajar) belum bisa diterima oleh orang-
orang yang ditemui oleh Wahidin. Sekali lagi “pemikiran Wahidin melebihi
zamannya”. Dua tokoh ini telah memberikan pemikiran yang berbeda
dengan zamannya pada waktu itu. Wahidin Sudirohusodo juga memberikan
gagasan dan konsep kebangsaan itu kepada para pelajar STOVIA. Dari
gagasan itulah kemudian terbentuk organisasi Budi Utomo.
Kebijakan politik etis yang diperjuangkan oleh Van Deventer, penulis
artikel yang berjudul “Hutang Budi” yang menggunakan tiga sila sebagai
slogannya yaitu “Irigasi, Edukasi dan Emigrasi” (Sartono Kartodirdjo.
1992: 32). Kebijakan baru itu menyebabkan berdirinya beberapa sekolah di
Indonesia sehingga hal tersebut semakin mendekatkan bangsa Indonesia
pada masa Pergerakan Nasional.
Dilaksanakannya politik kolonial liberal pada akhir abad XIX dan politik
kolonial etika awal abad XX membawa pengaruh besar atas perkembangan
masyarakat jajahan di Indonesia. Pengaruhnya pada waktu itu belum secara
langsung menguntungkan rakyat, tetapi telah menyebabkan munculnya
suatu golongan baru dalam msyarakat dalam masyarakat yang mempunyai
kesadaran baru dalam membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu
penjajahan tidak mungkin dilaksanakan dengan cara seperti yang lalu,
yaitu bersifat kedaerahan dengan perlengkapan yang sederhana,
melainkan harus dengan cara baru. Golongan yang memiliki kesadaran
baru itu terkenal dengan sebutan kaum atau golongan elite nasional.
Tanggal 20 Mei 1908 sebagai tanda masa baru bagi bangsa Indonesia
yaitu perjuangan dengan Organisasi Modern. Tepat pada hari Minggu
tanggal 20 Mei 1908 pukul sembilan pagi. Tepuk tangan gemuruh
menyambut lahirnya organisasi Budi Utomo yang didirikan oleh Soetomo.
Para hadirin yang berkumpul di aula STOVIA tidak saja para siswa sekolah
ini, tetapi juga siswa-siswa pertanian dan kehewanan di Bogor, sekolah
pamong praja di Magelang dan Probolinggo, sekolah menegah petang di
Surabaya, dan sekolah pendidikan guru pribumi di Bandung, Yogyakarta,
dan Probolinggo. Seruan kelompok STOVIA dengan cepat tersebar di
seluruh Jawa (Nagazumi, 1989:62).
70 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Tabel 1. Organisasi Pergerakan Berdasarkan Ideologi
Ideologi Pergerakan
Nasionalisme Islam Komunis
Budi Utomo (BU), Sarekat Islam (SI), (ISDV)
Indische Partij (IP), Muhammadiyah, PKI
Perhimpuan Indonesia, Nahdathul Ulama
PNI, dan Taman Siswa. (NU), dan PSII
NILAI-NILAI KEJUANGAN 71
Tabel 2. Periode Berdirinya Partai Masa Pergerakan Nasional
Tahun Tahun 1911/ Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
1908 1912 1912 1920 1922 1926 1927
72 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan Tanah Airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu!
Hiduplah tanahku, Hiduplah negeriku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
Indonesia Raya!
Merdeka! Merdeka!
Tanahku, negeriku yang kucinta!
Indonesia Raya!
Merdeka! Merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya!
Indonesia Raya!
Merdeka! Merdeka!
Tanahku, negeriku yang kucinta!
Indonesia Raya!
Merdeka! Merdeka!
Hiduplah, Indonesia Raya!
NILAI-NILAI KEJUANGAN 73
memengaruhinya, akhirnya paham integralistik muncul pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Pergerakan Nasional yang berkembang pada
awal abad ke-20 bukan merupakan gerakan yang dilandasi oleh paham
yang muncul pada awal abad tersebut, melainkan dipengaruhi oleh proses
integrasi yang terjadi sejak ratusan tahun.
74 NILAI-NILAI KEJUANGAN
D. Masa Pendudukan Jepang di Indonesia
Di dalam menjalankan keinginan untuk dapat menguasai Asia, Jepang
harus menguasai terlebih dahulu tempat strategis dan berperan penting—
salah satunya Indonesia yang dikuasai oleh Belanda—dan Jepang dengan
cepat bisa menguasai wilayah Hindia Belanda. Pendudukan di Hindia
Belanda penting sekali karena faktor kekayaan, terutama minyak bumi,
karet, dan bahan pangan. Pertama-tama yang dilakukan Jepang adalah
menguasai sumber minyak karena sangat penting untuk melangsungkan
perang. Penyerangan mula-mula dilakukan di daerah Tarakan dan
Balikpapan, yang dikuasai dalam bulan Januari 1942. Selanjutnya ke
Palembang yang dapat dikuasai pada bulan Februari 1942. Sesudah itu,
barulah daerah-daerah lain (Moedjanto, 1991:67).
Awal kekuasaan Jepang di Indonesia ditandai dengan penyerahan
tanpa syarat tentara Belanda kepada Jepang pada 8 Maret 1942 di Kalijati,
Subang, Jawa Barat. Dari pihak Belanda diwakili oleh Panglima Militer
Letnan Jenderal H. Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer yang kemudian diserahkan kepada
militer Jepang yang diwakili oleh Letnan Jenderal Hitosyi Imamura.
Jepang membentuk Organisasi Politik (Sipil) bentukan Jepang di antaranya
Gerakan 3A, Semboyan: Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan
Nippon Pemimpin Asia, PUTERA (Pusat Tenaga Raktyat), Jawa Hokokai
(Himpunan Kebaktian Jawa), Cuo Sangi In badan yang bertugas mengajukan
usul kepada pemerintah, Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Kesemuanya
itu untuk membantu kepentingan Jepang.
Bala tentara Jepang mendarat di Palembang taggal 14 Februari 1942,
tiga minggu sebelum pendaratan di Jawa. Belanda segera membawa
Sukarno dari pengasingan di Bengkulu untuk dibawa ke Australia karena
pihak Belanda takut jika Sukarno dimanfaatkan oleh pihak Belanda. Kapal
yang akan mengangkutnya ada di Teluk Bayur, sesampai di Padang terdengar
kapal yang akan mengangkutnya tenggelam di dekat Pulau Enggano.
Dalam keadaan panik, orang-orang Belanda yang akan mengungsi ke
Australia berebut tempat di kapal terbang. Menurut rencana, Sukarno dan
keluarga juga diangkut dengan kapal terbang, namun dalam keadaan panik
itu Sukarno menyelinap di rumah kawan lamanya di Bengkulu bernama
Wawaruntu. Karena panik pihak Belanda tidak lagi memikirkan Sukarno,
masing-masing mencari keselamatannya sendiri (Muljana, 2008: 1-2).
Hari berikutnya Sukarno mendapat kunjungan Kapten Sakaguci di
NILAI-NILAI KEJUANGAN 75
rumah Woworuntu, yang menyampaikan undangan dari Kolonel Fujiyama,
Panglima Tentara Pendudukan di Bukit Tinggi. Pertemuan Sukarno dengan
kolonel Fujiyama merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam
penilaian perjuangan di masa pendudukan Jepang karena pembicaraan
Sukarno dengan kolonel Fujiyama merupakan latar belakang tindakan-
tindakannya. Singkatnya, pihak Jepang memerlukan Sukarno, sebaliknya
Sukarno memerlukan pihak Jepang. Di antaranya, dikemukakan hal-hal
dalam tanya jawab di bawah ini (Muljana, 2008: 2-3).
Sukarno: Apakah ada jaminan bahwa saya juga diizinkan bekerja demi
kepentingan bangsa, dalam pengertian bahwa pada akhirnya tujuan saya
adalah melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda dan
Jepang selama saya bekerja sama dengan tuan?
Sukarno: Baiklah jika demikian. Saya berjanji akan bekerja sama dengan
tuan sepenuh tenaga. Saya akan mengadakan propaganda bagi tuan sejajar
dengan cita-cita demi kepentingan bangsa Indonesia. Artinya, saya akan
berkomplot dengan tuan, namun juga akan berusaha memperoleh kemerdekaan
bangsa saya.
Fujiyama: Setuju.
Fujiyama: Pemerintah saya akan sangat setuju. Atas dasar ini kita
mengadakan kerja sama dan saling membantu.
76 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Pada pihak lain, kesempatan memasuki berbagai organisasi militer yang
diberikan oleh tentara pendudukan Jepang, dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh rakyat Indonesia khususnya para pemuda untuk menggembleng diri
dalam memperkokoh semangat dan memupuk militansi yang tinggi
untuk mereka. Keduanya, yakni ketahanan akan penderitaan keprihatinan
rakyat serta semangat dan militansi yang tinggi, dalam tahap perjuangan
berikutnya membuktikan besar hikmah dan manfaatnya dalam merebut
dan menegakkan kemerdekaan. Pada saat-saat akhir penjajahan Jepang,
yakni pada tanggal 1 Juni 1945, di dalam Sidang BPUPKI (Badan Penyidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Ir. Soekarno menyampaikan
pokok-pokok pikirannya tentang dasar falsafah bangsa dan negara, yang
dinamakan Pancasila, yang sebelumnya didahului pandangan-pandangan
para tokoh pendiri negara yang lain.
Bersama tokoh-tokoh nasional lainnya, seperti Hatta, Ki Hajar Dewan-
tara, Agus Salim, Hasyim Asyari, Tjokroaminoto dan Sjahrir mempersiapkan
segala keperluan untuk meraih kemerdekaan Republik Indonesia. Pahit dan
getirnya hidup telah dirasakan oleh para pejuang tanah air. Kolonialisme
telah membawa kesengsaraan yang berkepanjangan dan akut dalam garis
hidup bangsa Indonesia (Romandhon, 2015: 33).
Masa pendudukan Jepang sekalipun relatif singkat, namun secara efektif
dan efisien berhasil memeras tenaga bangsa Indonesia melalui berbagai
cara. Tenaga yang paling dibutuhkan pada masa itu adalah pekerjaan untuk
membuat lapangan terbang, pembuatan jalan-jalan, tempat penyimpanan
senjata, pertahanan, dan gudang-gudang senjata di bawah tanah. Di desa-
desa segera dibentuk panitia pengerahan tenaga kerja yang dipropagandakan
sebagai pahlawan pekerja. Badan ini berdiri di setiap daerah dan melibatkan
aparat kepamong-prajaan. Para pekerja ini disebut romusa. Sebagian besar
diambilkan dari desa. Pada awalnya pengerahan romusa secara sukarela.
Namun saat Jepang semakin memperluas daerah peperanganya, pengerahan
romusa dilakukan secara paksa. Banyak penduduk Indonesia pada waktu itu
yang hidup sangat tidak layak, seperti berpakaian dengan memanfaatkan
kain karung yang penuh dengan kutu, hingga penduduk yang makan dari
tunas pisang dan makanan yang tidak layak lainnya.
Dalam praktiknya, setiap desa berkewajiban menyerahkan tenaga
kerja dalam jumlah tertentu. Wilayah pengiriman mereka sangat luas,
baik di Jawa maupun luar Jawa, bahkan sampai Malaysia, Serawak,
Burma [Myanmar], Muangthai [Thailand], dan Vietnam. Diperkirakan
jumlah romusa mencapai 300.000 orang. Kondisi kehidupan mereka
NILAI-NILAI KEJUANGAN 77
menyedihkan, sebagain tewas di tempat-tempat kerja. Faktor penyebab
kematian mereka adalah kurang makan, karena sakit dan dibunuh demi
kerahasiaan. Dari seluruh tenaga romusa diperkirakan hanya sekitar
75.000 orang berhasil kembali ke desa asal. Khusus di Yogyakarta, Sultan
Hamengku Buwono IX berhasil membujuk Jepang agar tenaga produktif
tidak untuk romusa, tetapi untuk membangun selokan Mataram. Selokan
itu menyalurkan air dari Sungai Progo ke daerah pertanian di Kabupaten
Sleman (Moedjanto, 1991:76).
Berdirinya berbagai organisasi seperti Seinendan, Keibodan dan Peta
yang dimanfaatkan oleh Jepang sebagai tenaga bantuan ternyata dapat
dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk mempersiapkan kemerdeka-
annya. Sebagai contoh pemuda Abdul Latif dan Sukarni memegang peranan
cukup besar dalam mempersiapkan kemerdekaan. Peranan kesatuan Heiho
dan Peta juga tidak kalah penting dalam ikut mempertahankan keamanan
sekaligus melawan kehadiran Belanda kembali pada Agresi Militer Belanda
I dan II. Beruntunglah bahwa pada masa pendudukan Jepang para pemuda
Indonesia mendapatkan latihan-latihan yang intensif. Latihan-latihan
tersebut tidak hanya untuk membantu Jepang dalam melawan tentara
Sekutu, melainkan terbukti kemudian merupakan persiapan untuk
kepentingan bangsa Indonesia sendiri (Moedjanto, 1991:76).
Pada saat Pemberontakan Peta Blitar pada tanggal 14 Februari 1945
timbul perlawanan baru yang mengejutkan karena dilakukan oleh kesatuan
yang telah dilatih oleh Jepang, yaitu dari tentara Peta yang ada di Blitar
dan dipimpin oleh Supriyadi. Mereka memberontak karena tidak tahan
melihat kesewenangan Jepang terhadap bangsa Indonesia. Pemberontakan
ini dapat dipatahkan dengan mudah karena tidak diikuti serentak oleh
kesatuan Peta yang lain. Tokoh-tokoh yang tertangkap sebagian ditahan
di Cipinang dan beberapa dijatuhi hukuman mati, sedangkan Shodanco
Supriyadi tidak diketahui nasibnya. Pemberontakan ini memiliki makna
yang sangat mendalam. Pertama, baik kepada Jepang maupun dunia.
Perlawanan bersenjata itu menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak mau
tunduk begitu saja di bawah injakan kaum penindas. Kedua, bagi sesama
rakyat Indonesia para pelaku pemberontakan itu telah membangkitkan
semangat untuk melawan penindasan yang dilakukan oleh bangsa asing,
dari manapun datangnya (Wardaya, 2008:21-22).
78 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Gambar 10. Alur Hakikat Perjuangan Pendudukan Jepang.
E. Ringkasan
Sebenarnya terhadap perjuangan antara Kebangkitan Nasional dan
akhir penjajahan Jepang merupakan masa pematangan rasa nasionalisme
dan kebangsaan. Perlawanan dengan menggunakan organisasi modern
sehingga pada masa pergerakan nasional banyak bermunculan organisasi-
organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam,
Indische Partij, PKI, Perhimpunan Indonesia PNI dan lain-lainnya. Masa
puncak pergerakan nasional Indonesia adalah saat mengikrarkan Sumpah
Pemuda dan mulai berfusinya organisasi-oranisasi menjadi satu wadah
yaitu Indonesia Muda. Pada masa pendudukan Jepang sebagai masa
persiapan kemerdekaan, yang menurut perhitungan mereka waktu itu
akan segera datang sehingga untuk meraihnya akan segera tiba. Mereka
NILAI-NILAI KEJUANGAN 79
telah mempersiapkan pula kader-kader bangsa. Peluang yang ada pada
zaman Jepang tidak disia-siakan untuk lebih meningkatkan persiapan
dalam rangka menghadapi perjuangan kemerdekaan.
Nilai-nilai kejuangan yang bisa kita petik dari pergerakan nasional
ini adalah Jiwa dan semangat merdeka semakin digelorakan. Jiwa,
semangat, dan nilai-nilai kejuangan lainnya, seperti kesadaran berbangsa
dan kebangsaan, kesadaran akan persatuan dan kesatuan perjuangan,
kesadaran anti penjajah dan penjajahan, nasionalisme, patriotisme, serta
jiwa persatuan dan kesatuan semakin digelorakan.
80 NILAI-NILAI KEJUANGAN
BAGIAN KEENAM
PERJUANGAN SEKITAR MASA
PROKLAMASI DAN MEMPERTAHANKAN
KEMERDEKAAN
K
edudukan Jepang semakin terjepit dikarenakan serangan sekutu
mengebom atom Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dan Kota
Nagasaki tiga hari kemudian (9 Agustus 1945). Pada hari itu
juga, Rusia mengumumkan kesediaannya bergabung dengan sekutu dan
segera mengirimkan pasukan- pasukannya untuk menyerbu Manchuria.
Bom atom yang dijatuhkan di Kota Hiroshima dan Nagasaki memaksa
pihak Jepang menyerah dan menerima syarat-syarat yang diumumkan
dalam pertempuran di Postdam tanggal 14 Agustus 1945 (Muljana, 2008:
31).
Tanggal 14 Agustus itu, delegasi Indonesia yang baru pulang dari
Saigon memberikan keterangan di lapangan terbang Kemayoran bahwa soal
kemerdekaan Indonesia sudah sepenuhnya ada di tangan bangsa Indonesia.
Dengan bangga Sukarno menyatakan sewaktu-waktu kita bisa merdeka
dan itu bergantung pada dirinya dan kemauan rakyat dalam memengaruhi
tekadnya meneruskan perang suci Dao Toa. Jika sebelumnya Sukarno
berkata bahwa sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang
bisa dipastikan bahwa Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga.
Pernyataan itu membuktikan bahwa sebenarnya Sukarno tidak tahu bahwa
pada hari itu juga Jepang menyerah pada sekutu (Muljana, 2008: 31-32).
Dalam sebuah memoarnya, Hatta menyatakan betapa gambiranya ia
di tanggal 12 Agustus 1945, sebab bersamaan dengan ulang tahunnya,
NILAI-NILAI KEJUANGAN 81
Jenderal Terauchi menjanjikan kemerdekaan Republik Indonesia. Hatta
yang saat itu ditemani Sukarno dan Rajiman merasa bersyukur, bahwa tidak
ada hadiah di ulang tahunnya yang paling berharga selain kemerdekaan
Republik Indonesia (Romandhon, 2015: 89).
Berita tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu meskipun masih
dirahasiakan oleh bala tentara pendudukan, sudah banyak diketahui
orang. Pada tanggal 14 Agustus 1945 petang, Sutan Syahrir membawa
berita tersebut kepada Hatta dan menanyakan bagaimana masalah
kemerdekaan Indonesia sehubungan dengan peristiwa tersebut. Jawaban
Hatta, soal kemerdekaan ada di tangan bangsa Indonesia sepenuhnya.
Syahrir menyarankan agar kemerdekaan itu sekali-kali jangan diumumkan
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, namun oleh Sukarno
sendiri sebagai pemimpin rakyat melalui radio. Sebab, kemerdekaan yang
diumumkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan akan dianggap oleh pihak
sekutu sebagai hadiah dari Jepang. Jadi, Indonesia merdeka adalah buatan
Jepang (Muljana, 2008: 32).
Sukarno dan Hatta yang dituduh sebagai seorang kolaborasi Jepang
oleh golongan Syahrir dan golongan muda, tidak mau ambil risiko. Hal
itu dikarenakan Jepang masih dengan kekuatan penuh. Sementara itu,
tanggal 15 Agustus 1945 Syahrir telah mendengar bahwa Jepang telah
menyerah kepada sekutu. Kembali ia mendesak Sukarno dan Hatta untuk
segera mengumumkan kemerdekaan akan tetapi Sukarno menolak, karena
kabar itu dari radio gelap, bukan kabar resmi dari pemerintahan Jepang
(Chusbiantoro, 2016: 48).
Kaum muda yang dipelopori mahasiswa kedoktern Jepang Jl.
Prapatan 10, ingin segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka juga
mempersenjatai diri dan mengadakan rapat berkali-kali untuk mendesak
Sukarno dan Hatta segera mengumumkan kemerdekaan. Sebaliknya para
tokoh tua dengan figur Sukarno dan Hatta, menginginkan keputusan
kapan Proklamasi harus diselenggarakan sesuai hasil rapat PPKI pada
tanggal 16 Agustus. Apalagi para anggota PPKI sudah berdatangan di
Jakarta. Mereka tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Sebaliknya,
kaum muda berpendapat pertumpahan darah adalah risiko yang tak
bisa dihindarkan (Sularto, 2010:51).
Sukarno tetap menolak dengan alasan bahwa tindakan itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Wikana mengancam apabila Sukarno tidak mau
mengucapkan pengumuman malam itu juga, esok harinya akan terjadi
pembunuhan dan pertumpahan darah. Mendengar ancaman itu Sukarno
82 NILAI-NILAI KEJUANGAN
naik darah, mendekati Wikana sambil berkata: “Ini leher saya, seretlah
saya malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.” Dalam tanya jawab
Wikana dan Darwis, Hatta berkata: “Dan kami pun tidak dapat ditarik-
tarik mau didesak agar mesti juga mengumumkan proklamasi itu. Tetapi
jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikan
cobalah! Saya pun ingin melihat kesanggupan saudara-saudara!” Utusan
menjawab: “Kalau begitu pendirian saudara berdua, baiklah! Dan kami
pemuda-pemuda tidak dapat menanggung sesuatunya jika besok siang
Proklamasi belum juga diumumkan. Kami, pemuda-pemuda akan bertindak
dan menunjukkan kesanggupan yang saudara kehendaki itu! (Muljana,
2008: 34)”.
Hari Rabu malam itu juga, hasil pertemuan kaum pemuda dengan Bung
Karno dilaporkan pada pertemuan di Jl. Cikini 71. Rapat memutuskan,
seperti diusulkan Djohan Nur, “Segera bertindak, Bung Karno dan Bung
Hatta harus kita angkat dari rumah masing-masing.” Chaerul Saleh yang
memimpin rapat, menegaskan sebagai keputusan rapat dengan berkata,
“Bung Karno dan Bung Hatta kita angkat saja. Selamatkan mereka dari
tangan Jepang dan laksanakan Proklamasi tanggal 16 Agustus 1945.”.
Pelaksanaan pengungsian diserahkan kepada Soetjipto dari markas Peta
dan Sukarni. Bung Karno dan Bung Hatta akan dibawa ke Rengasdengklok.
Alasannya, disanaada Surjoputro, daidanco yangsudahpastiakanmembantu
perjuangan kemerdekaan dan ada Soebeno, umar Bachsan serta Asisten
Wedono Rengasdengklok. Pada dini hari sekitar pukul 03.00 itu terjadilah
seperti yang mereka rencanakan yang kemudian terkenal dengan Peristiwa
Rengasdengklok. Perjalanan ke Rengasdengklok dilakukan sesudah sahur
sebab waktu itu bulan puasa. Pada esok hari, tanggal 16 Agustus, memang
ada upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih di sebuah asrama Peta di
Rengasdengklok yang kemudian disebut oleh para sejarawan sebagai Pra-
Proklamsi (Sularto, 2010:54).
Salah seorang anggota PPKI di antaranya adalah Mr. Subardjo yang
mengetahui bahwa Sukarno dan Hatta dibawa pergi. Satu-satunya jalan
untuk mengetahui di mana Sukarno Hatta adalah dengan menghubungi
Wikana. Dari Wikana ia tahu bahwa Sukarno-Hatta disingkirkan ke
Rengasdengklok. Segera Mr. Subardjo ke Rengasdengklok untuk
menjemput Sukarno-Hatta. Rapat PPKI ditunda sampai malam harinya di
gedung kediaman Admiral Maeda di jalan Nassau Boulevard (Jalan Imam
Bonjol)—karena hotel Des Indes (Hotel Duta Indonesia), tempat rapat akan
diadakan telah ditutup. Beliau memberi jaminan keamanan selama rapat
NILAI-NILAI KEJUANGAN 83
dilangsungkan. Di luar pagar adalah daerah militer Angkatan Darat, bukan
tanggung jawabnya (Muljana, 2008: 36).
Rapat yang semula hanya merupakan rapat PPKI kini diikuti pula oleh
anggota Cou San In dan pimpinan-pimpinan pemuda. Rapat berlangsung
hingga pagi tanggal 17 Agustus 1945, hasilnya adalah rumusan teks
Proklamasi (Chusbiantoro, 2016: 48). Ada perbedaan pendapat tentang
siapa yang akan menandatangani teks Proklamasi itu. Akan tetapi, atas usaha
Sayuti Melik, akhirnya disepakati Sukarno-Hatta saja yang menandatangani
atas nama bangsa Indonesia, juga disepakati bahwa Proklamasi Kemerdekaan
akan diumumkan hari berikutnya tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10 pagi di
halaman Pegangsaan Timur No. 56, rapat pun usai (Muljana, 2008: 37)!”
Semua golongan yang hadir dan mengetahui keputusan rapat, segera
bertindak. Terutama golongan muda, mereka bergerak kian kemari
mengadakan hubungan dengan anggota-anggota golongannya. Atas bantuan
kaum buruh Kantor Berita Domei, mereka berhasil melipatgandakan surat
selebaran. Selain itu, para pemuda bergerak mengerahkan rakyat ke gedung
Pegangsaan Timur 56 untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Pukul
10 pagi, Proklamasi Kemerdekaan diumumkan oleh Sukarno didampingi
Hatta, dan didahului dengan pidato singkat (Muljana, 2008: 37).
“Saudara-saudara sekalian! Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini
untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan
tanah air kita, bahwa telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita
untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi
jiwa kita tetap menuju ke arah cita- cita. Juga di zaman Jepang, usaha kita
untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak henti-henti. Di zaman Jepang
ini, tampak saja kita menyadarkan diri kepada mereka, tetapi pada
hakikatnya tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Sekarang tibalah saatnya
kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam
tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam
tangannya sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam
telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia
dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa
sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-
saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah
proklamasi kami!” (Muljana, 2008: 37-38)
84 NILAI-NILAI KEJUANGAN
PROKLAMASI
NILAI-NILAI KEJUANGAN 85
menyambut dengan gegap gempita dengan keyakinan bahwa
Kemerdekaan akan membawa mereka ke gerbang kemakmuran
kecerdasan keadilan sosial dan hidup bermartabat di dunia. Masa awal
kemerdekaan yang dipimpin oleh Sukarno dengan mengutamakan
pematangan nasionalisme. Pidatonya yang berapi-api seperti istilah
berdikari Go To hell with Your Aid mengajak bangsanya untuk percaya
pada kemampuan diri sendiri. Semangat seperti itu sangat dibutuhkan
sebagai sebuah bangsa yang baru melepaskan diri dari penjajahan negara
asing.
Indonesia segera membentuk Kepemerintahan Republik Indonesia,
yaitu dengan berbagai hal (Aman, 2015).
1. Pengesahan UUD 1945
2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
3. Pembagian wilayah Indonesia
4. Pembentukan Departemen
5. Pembentukan Komite Nasional Indonesia
6. Membentuk Kekuatan Pertahanan dan Keamanan
86 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Karawang - Bekasi
Karya Chairil Anwar
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau
tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
NILAI-NILAI KEJUANGAN 87
1. Semangat melanjutkan perjuangan meskipun tidak dalam bentuk
perang ataupun harus mati, tetapi lebih kepada memajukan Negara
dan tetap mengenang jasa-jasa pahlawan yang telah tiada. Puisi Chairil
Anwar ini merupakan satu cara untuk mengingatkan kita terhadap
segala jasa dan perjuangan yang telah dilakukan oleh para pahlawan.
2. Perjuangan para pahlawan belum selesai hingga Chairil Anwar
mencoba mengetuk hati kaum muda untuk melanjutkan perjuangan
para pahlawan. Maka dari itu, hargailah jasa para pahlawan.
3. Puisi ini mengandung makna yang dalam, menggambarkan insan-insan
yang rela mati muda demi perjuangan kemerdekaan yang meminta
kesadaran serta simpati insan masa kini untuk tetap mengenang
mereka dan melanjutkan perjuangan untuk membela tanah air.
88 NILAI-NILAI KEJUANGAN
nilai-nilai kejuangan lain. Jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang
tumbuh serta berkembang kemudian diberi nama dan dikenal sebagai
jiwa, semangat, dan nilai-nilai 45. Kemerdekaan adalah hak segala
bangsa. Kemerdekaan fitrah dan hak asasi manusia sebagai ciptaan
Tuhan. Oleh karena itu, wajar kalau bangsa Indonesia berusaha dengan
segala daya, dengan penuh pengorbanan baik jiwa, raga, maupun harta.
Dengan semboyan “merdeka atau mati” dan disertai dengan semangat
jihad, bangsa Indonesia akan berjuang sampai titik darah penghabisan
untuk sebuah kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan
Indonesia merupakan hal yang sangat asasi dan tahapan sangat penting
bagi eksistensi suatu bangsa.
Dalam periode ini, jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang
timbul dan berkembang dalam periode ini, menjadi bekal, landasan, serta
daya dorong mental spiritual yang tangguh dan kuat dalam perjuangan
masa Proklamasi bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945. Perjuangan
masa Proklamasi melahirkan nilai-nilai operasional, yang memperkuat
jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang timbul sebelumnya, di
antaranya adalah rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka, percaya
pada diri sendiri dan kemampuan sendiri, percaya pada hari depan yang
gemilang, idealisme kejuangan yang tinggi, semangat berkorban untuk
tanah air, bangsa dan negara, sepi ing pamrih rame ing gawe, nasionalisme,
patriotisme, jiwa kepahlawanan, rasa setia kawan, senasib sepenangungan,
rasa kekeluargaan, dan kegotong-royongan, semangat tidak kenal menyerah
dan pantang mundur serta nilai-nilai kejuangan lainnya.
Berdasarkan pemaparan, dapat disimpulkan bahwa Proklamasi
Kemerdekaan sebagai kulminasi perjuangan kemerdekaan bangsa yang
sudah diperjuangkan sejak masa kedaulatan, masa pergerakan nasional,
sehingga mengantar Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Perjuangan kemerdekaan
itu membutuhkan pengorbanan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia,
berkorban nyawa, harta benda, dan keluarga.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 89
melalui perang maupun diplomasi (Aman, 2015). Di sinilah mulai
muncul perlawanan dari seluruh rakyat yang bahu-membahu dengan para
pejuang lainnya.
90 NILAI-NILAI KEJUANGAN
Eropa. Hal ini dimaksudkan agar kembalinya Belanda ke Indonesia
memiliki dasar hukum internasional yang kuat dan itu diterima dunia
Internasional (Aman, 2015).
NILAI-NILAI KEJUANGAN 91
Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk
di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya
kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara
Inggris di Indonesia.
Bung Tomo, di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia
yang paling dihormati. Tokoh ini bagi banyak orang yang terlibat dalam
Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama
Indonesia saat itu. Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai
melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari
pasukan dan milisi Indonesia.
Selain Bung Tomo, terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain
dalam penggerak rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa datang dari
latar belakang agama seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab
Hasbullah serta kiai-kiai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-
santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada
waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan, tetapi
mereka lebih patuh dan taat kepada para kiai/ulama) sehingga
perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga
dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya
dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin
teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu.
Setidaknya 6000-16.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan
200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan
Inggris dan India kira-kira sejumlah 600-2000 tentara. Pertempuran
berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan
perlawanan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang
menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai
Hari Pahlawan oleh bangsa Indonesia.
b. Pertempuran Bandung Lautan Api
Pada waktu tentara Sekutu memasuki Kota Bandung pada bulan
Oktober 1945, para pemuda dan pejuang sedang dalam pergulatan untuk
melaksanakan pemindahan kekuasaan dan merebut senjata serta
peralatan dari tentara Jepang. Tentara Sekutu menuntut supaya senjata-
senjata yang diperoleh dari pelucutan tentara Jepang dan berada di
tangan para pemuda diserahkan kepada Sekutu. Pada tanggal 21
92 NILAI-NILAI KEJUANGAN
November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama agar
Bandung bagian utara paling lambat tanggal 29 November 1945
dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan untuk menjaga
keamanan. Ultimatum itu tidak dihiraukan oleh para pejuang sehingga
sejak saat itu sering terjadi insiden dengan pasukan Sekutu. Batas kota
bagian utara dan bagian selatan adalah rel kereta api yang melintasi Kota
Bandung.
Untuk kedua kalinya tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu
mengeluarkan ultimatum, kali ini supaya TRI mengosongkan seluruh
Kota Bandung. Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar TRI
mengosongkan Kota Bandung, tetapi sementara itu dari markas di
Yogyakarta menginstruksikan supaya Kota Bandung tidak dikosongkan.
Akhirnya, TRI di Bandung mematuhi perintah dari Jakarta walaupun
dengan berat hati. Sebelum meninggalkan Kota Bandung, pejuang RI
melancarkan serangan umum ke arah kedudukan-kedudukan Sekutu dan
membumihanguskan Kota Bandung selatan. Kota Bandung sebelah
selatan pada tanggal 23 Maret 1946 dibakar dan menjadi lautan api,
sebelum TRI meninggalkannya.
Perang ini melahirkan lagu yang dapat menggelorakan semangat
perjuangan yaitu, lagu “Halo-Halo Bandung” yang di ciptaan oleh Ismail
Marzuki.
Lagu Halo-Halo Bandung Cipt. Ismail Marzuki
Halo-halo Bandung
Ibu kota Periangan
Halo-halo Bandung
Kota kenang-kenangan
Sudah lama beta
Tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi lautan api
Mari bung rebut kembali
NILAI-NILAI KEJUANGAN 93
digagas di kawasan Monumen Juang 45, Banjarsari, Solo. Untuk menyusun
serangan, para pejuang berkumpul di Desa Wonosido, Kabupaten Sragen
dari situlah ide untuk melakukan serangan umum dikobarkan.
Mereka yang melakukan serangan bergabung dalam Detasemen II
Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi. Untuk menggempur
markas penjajah, serangan dilakukan dari empat penjuru Kota Solo. Rayon I
dari Pulokarto dipimpin Suhendro, Rayon II dipimpin Sumarto. Sementara
itu, Rayon III dengan komandan Prakosa, Rayon IV dikomandani A Latif
(almarhum), serta Rayon Kota dipimpin Hartono. Menjelang pertengahan
pertempuran Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan
Senopati turut serta dan menjadi tokoh kunci dalam menentukan jalannya
pertempuran.
Kegagalan Tentara Kerajaan Belanda mempertahankan Kota Solo
menggoyahkan keyakinan Parlemen Belanda atas kinerja tentaranya
sehingga memaksa perdana menteri Drees terpaksa mengakomodasi
tuntutan delegasi Indonesia sebagai syarat sebelum mereka bersedia
menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB).
2. Perjuangan Diplomasi
Perjuangan Diplomasi untuk memperoleh pengakuan dunia
Internasional mengenai kemerdekaan RI adalah jalan yang strategis.
Perjuangan diplomasi dimaksudkan untuk mengubah bahwa Indonesia
telah berdaulat dan mengharapkan PBB untuk mendukungnya dan
mendesak Belanda segera pergi dari Indonesia. Untuk kepentingan ini,
Indonesia harus menjalin hubungan yang baik dengan negara-negara lain
maupun PBB untuk mendukung perjuangan melalui diplomasi (Aman,
2015).
a. Menjalin Hubungan g. Pemerintah Darurat Repub-
Internasional lik Indonesia
b. Perjanjian Linggarjati h. Perjanjian Roem-Royen
c. Agresi Militer Belanda I i. Konfrensi Antar Indonesia
d. Upaya Diplomasi j. Konferensi Meja Bundar
(KMB
e. Perjanjian Renville
f. Agresi Militer Belanda II
NILAI-NILAI KEJUANGAN 95
kuat pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya berusaha untuk
mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri.
Mereka juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga
sering menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS dan
peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan
KNIL atau Tentara Kerajaan di Hindia Belanda, yang tidak mau menerima
kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka
kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflik muncul (Abdurakhman, 2015).
3. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan
sistem pemerintahan
Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO
(Bijeenkomst Federal Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta.
Masalah yang berhubungan dengan negara federal mulai timbul ketika
berdasarkan Perjanjian Linggarjati, Indonesia disepakati akan berbentuk
negara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RI
menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya adalah Negara
Pasundan, Negara Madura, atau Negara Indonesia Timur. BFO sendiri
adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk
oleh Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun,
makin lama badan ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak
Belanda (Abdurakhman, 2015).
Kesimpulan mempelajari sejarah pergolakan bangsa yang pernah
terjadi dan membahayakan persatuan nasional merupakan hal sangat
penting, agar kita mendapatkan pembelajaran sekaligus peringatan.
Mengapa sampai timbul perpecahan, mengapa perpecahan itu bisa
berlangsung dalam waktu yang cukup lama, dan apa yang salah dengan
bangsa kita. Memberikan pembelajaran dan inspirasi bagaimana kita
menghadapi berbagai potensi disintegrasi bangsa pada masa kini dan masa
yang akan datang. Semua itu tidak lain harus dilakukan demi lestarinya
kita sebagai sebuah bangsa.
NILAI-NILAI KEJUANGAN 97
Sukarno berkata “sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang”. Di sini
Sukarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok harinya.
Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Sukarno yang
ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober
1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.
5. Tidak ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa
Gerakan 30 September (teori chaos), dikemukakan antara lain oleh John
D. Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak ada dalang tunggal dan tidak
ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya merupakan hasil dari
perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno: “unsur-unsur Nekolim
(negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI
yang tidak benar”. Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.
6. Dalang Gerakan 30 September adalah PKI
Menurut teori ini, tokoh-tokoh PKI adalah penanggung jawab peristiwa
kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya adalah
serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-
1965. Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan
bersenjata yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI
sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan, dan Klaten. Teori yang
dikemukakan antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini
merupakan teori yang paling umum mengenai kudeta 30 September 1965.
Setelah peristiwa G 30 September nantinya akan mengantarkan bangsa
Indonesia ke masa yang baru yang dipimpin oleh Suharto. Masa
kepemimpinan Suharto ini dinamakan Indonesia Masa Orde Baru dengan
dikeluarkannya Surat Sebelas Maret. Terlepas dari teori mana yang benar
mengenai peristiwa G30S, dari peristiwa sejarah ini kita bisa mengambil
nilai-nilai yang ada. Bagaimana kita bisa menjadi manusia yang demokratis
kerena perbedaan pendapat antara setiap orang yang memahami peristiwa
ini. Nilai kesatuan dan persatuan masih menjadi kekuatan utama pada masa-
masa peralihan ke Orde Baru yang sangat berat sehingga bangsa Indonesia
masih kokoh berdiri.
1. Kebijakan dan Kepemimpinan Masa Orde Baru
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan
bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika
kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanakan amanat
98 NILAI-NILAI KEJUANGAN
masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang
diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan
Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui
pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa
Indonesia. Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu
rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional
dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusya-
waratan Rakyat pada 1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis
besar haluan negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan
nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan
dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Adapun Repelita yang
berisi program-program konkret akan dilaksanakan dalam kurun waktu
lima tahun. Repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksanaan
pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian terkenal
dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut
indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap
aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat
bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang
Tahap II (1995-2020).
Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep
pembangunannasional yang terkenal dengansebutan Trilogi Pembangunan,
yaitu: (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akibat
pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi
dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, sejak Pembangunan
Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan
Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu: (1) pemerataan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan
perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
NILAI-NILAI KEJUANGAN 99
pelayanan kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4)
pemerataan kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6)
pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya
bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran
pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan
memperoleh keadilan.
2. Dampak Kebijakan Masa Orde Baru
Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru
dalam menegakkan stabilisasi nasional secara umum memang berhasil
menciptakan suasana aman bagi masyarakat Indonesia. Pembangunan
ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik
dan hasilnya dapat terlihat secara konkret. Indonesia berhasil mengubah
status dari negara pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi
kebutuhan beras sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan
yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka
kematian bayi, dan angka partisipasi pendidikan dasar meningkat.
Namun, di sisi lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde
Baru juga memberi beberapa dampak yang lain, baik di bidang ekonomi
dan politik. Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru cenderung
bersifat otoriter, Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam
mengatur jalannya pemerintahan. Peran negara menjadi semakin kuat yang
menyebabkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis. Pemerintahan
sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik
pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil
untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri.
Otoritarianisme merambah ke segenap aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan politik.
Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memberikan pelajaran
berdemokrasi yang baik, Golkar dianggap menjadi alat politik untuk
mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara dua partai lainnya hanya
sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai negara demokrasi.
Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk
melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang
terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) sehingga
banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat
dan daerah yang diwakilinya.
E. Ringkasan
Proklamasi Kemerdekaan sebagai kulminasi perjuangan kemerdekaan
bangsa yang sudah diperjuangkan sejak masa kedaulatan dan masa
pergerakan nasional mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang
kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Perjuangan kemerdekaan itu membutuhkan pengorbanan yang cukup
besar bagi bangsa Indonesia, berkorban nyawa, harta benda dan keluarga.
Kesimpulan dari perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan
adalah perjuangan mempertahankan kemerdekaan terus berlangsung,
baik melalui perang maupun diplomasi. Di sinilah mulai muncul
perlawanan dari seluruh rakyat yang bahu-membahu dengan para pejuang
lainnya. Perjuangan dengan senjata di antaranya adalah Pertempuran
Surabaya, Pertempuran Ambarawa, Pertempuran Medan Area, Peristiwa
Bandung Lautan Api, Serangan Umum 1 Maret, Pertempuran 4 Hari di
Surakarta. Perjuangan Diplomasi untuk memperoleh pengakuan dunia
Internasional mengenai kemerdekaan RI adalah jalan yang strategis.
Perjuangan diplomasi dimaksudkan untuk mengubah bahwa Indonesia
telah berdaulat dan mengharapkan PBB utk mendukungnya dan mendesak
Belanda segera pergi dari Indonesia. Untuk kepentingan ini, Indonesia
harus menjalin hubungan yang baik dengan negara-negara lain maupun
PBB untuk mendukung perjuangan. Masa Orde baru merupakan masa
yang cukup penting dalam proses pembangunan Indonesia selanjutnya,
yang dikarenakan situasi politik sudah bisa diredam dan pemerintah bisa
memfokuskan dalam pembangunan nasional.
Dalam periode masa proklamasi dan mempertahankan kemerdekaan,
jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang timbul dan berkembang
P
roses kejatuhan Orde Baru telah tampak ketika Indonesia
mengalami dampak langsung dari krisis ekonomi yang melanda
negara-negara di Asia. Ketika krisis ini melanda Indonesia, nilai
rupiah jatuh secara drastis. Dampaknya terus menggerus di segala bidang
kehidupan, mulai dari bidang ekonomi, politik, dan sosial. Tidak sampai
menempuh waktu yang lama, sejak pertengahan tahun 1997, ketika krisis
moneter melanda dunia, bulan Mei 1998, Orde Baru akhirnya runtuh.
Krisis moneter membuka jalan bagi kita menuju terwujudnya kehidupan
berdemokrasi yang sehat, yang selama ini terkungkung oleh sistem
kekuasaan Orde Baru yang serba menguasai semua sisi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Proses menuju reformasi telah dimulai ketika wacana penentangan
politik secara terbuka kepada Orde Baru mulai muncul. Penentangan ini terus
digulirkan oleh mahasiswa, cendikiawan dan masyarakat, mereka menuntut
pelaksanaan proses demokratisasi yang sehat dan terbebas dari praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena dampak tidak diimbanginya
pembangunan fisik dengan pembangunan mental (character building) terhadap
para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun pelaku
ekonomi (pengusaha/konglomerat). Mereka juga menuntut terwujudnya rule
of law, good governance serta berjalannya pemerintahan yang bersih. Oleh
karena itu, bagi mereka reformasi merupakan sebuah masa dan suasana yang
104 NILAI-NILAI KEJUANGAN
senanatiasa terus diperjuangkan dan dipelihara. Jadi, bukan hanya sebuah
momentum, namun sebuah proses yang harus senantiasa dipupuk.
Kemunculan gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya krisis
multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia. Gerakan ini pada awalnya
hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus besar. Namun, mahasiswa
akhirnya harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak mendapatkan
respons dari pemerintah. Gerakan Reformasi tahun 1998 mempunyai
enam agenda (Abdurakhman, 2015), yaitu:
1. Suksesi kepemimpinan nasional.
2. Amendemen UUD 1945.
3. Pemberantasan KKN.
4. Penghapusan dwifungsi ABRI.
5. Penegakan supremasi hukum.
6. Pelaksanaan otonomi daerah.
E. Ringkasan
Berdasarkan penjelasan, dapat disimpulkan bahwa Reformasi lahir
sebagai reaksi langsung terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia
sekaligus adanya tuntutan untuk terjadinya perubahan-perubahan di
Indonesia dalam berbagai bidang. Selama masa Reformasi hingga kini,
berbagai pembaharuan nyatanya memang terjadi. Pemilu misalnya,
berlangsung lebih demokratis. Pembaharuan di bidang hukum juga terjadi.
Desentralisasi berlangsung dan gerakan separatis GAM bisa diakhiri.
Nilai kejuangan yang kita peroleh dari masa Reformasi adalah
bagaimana hak kebebasan, hak merdeka, demokrasi, perjuangan HAM,
kesatuan dan persatuan, nasionalisme, religius, patriotisme, harga diri
bangsa, kesetiakawanan, disiplin, tanpa pamrih dan nilai-nilai kejuangan
lainnya.
P
erjuangan bangsa Indonesia telah menghasilkan banyak tokoh
besar bagi bangsa kita dalam proses mewujudkan kemerdekaan.
Masyarakat seharusnya melakukan telaah berbagai peristiwa dan
peranan tokoh besar yang kita sebut seorang pahlawan bangsa Indonesia,
untuk kemudian dipahami dan diinternalisasikan dalam kehidupan
kekinian sehingga melahirkan contoh untuk bersikap dan bertindak. Dari
sekian peristiwa itu antara lain pula ada pesan-pesan yang terkait dengan
nilai- nilai kepahlawanan seperti keteladanan, rela berkorban, cinta tanah
air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme dan
patriotisme (Budiyono, 2007). Beberapa nilai ini dapat digali dan
dikembangkan melalui pembelajaran sejarah yang bermakna.
Setiap bangsa membutuhkan pahlawan. “Bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghargai pahlawan,” kata Bung Karno. Maka bermunculan
biografi tentang pahlawan di Indonesia seperti dicatat oleh Taufik Abdullah;
Para Pahlawan Sejarah Dahulu Kala Termasuk Tokoh Legenda (Tamar Djaja,
1940), Diponegoro (Sagimun, 1965), Imam Bonjol (Mojoindo, 1951),
Patimura (Sapija, 1959), Si Singamangaraja (Nainggolan, 1957), Umar dan
Istri (Hazil, 1959), Cik Diro (Jakub, 1960), Agus Salim (Salam, 1963), Tjipto
(Balfas, 1951). Penerapan hari pahlawan baru dimulai tahun 1957 dengan
sebuah Keppres.
Pahlawan adalah orang yang memiliki jasa yang sangat besar terhadap
B. Pahlawan Indonesia
Berbicara mengenai karakter bangsa Indonesia, saat zaman penjajahan,
sering menganggap bahwa orang Indonesia, khususnya Melayu, adalah
pemalas. Bahkan stereotip orang Jawa dikenal sebagai lemah lembut,
nrimo apa adanya, sehingga orang Belanda menganggap manusia
Indonesia tak mungkin mempunyai sikap melawan atau memberontak.
Tetapi sejarah bangsa Indonesia berbicara lain, yaitu munculnya kekuatan
perlawanan di daerah-daerah. Sudah tentu karakter perlawanan terhadap
penjajahan Belanda tidak hanya terjadi di Jawa, hampir di setiap daerah
memperlihatkan semangat perjuangan yang tinggi sebagai cermin rasa
cinta tanah air. Cara perjuangan mereka berbeda-beda. Namun, mereka
memiliki satu tujuan yaitu untuk membebaskan bangsa ini dari penindasan
para penjajah. Maka dari itu, mari kita kenali mereka dengan meneladani
Pada 1817, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor C.F. Meyer
berhasil mendesak pasukan Pattimura karena memiliki persenjataan
lengkap dan pasukan besar sehingga akhirnya bisa menangkap Pattimura
akibat pengkhianatan Raja Booi. Setelah ditangkap, Belanda menawarkan
kerja sama kepada Pattimura namun ditolaknya dengan tegas. Belanda
akhirnya mengajukan ke sidang pengadilan dan dijatuhi hukuman gantung
di depan benteng Nieuw Victoria pada tanggal 16 November 1817 dan
dimakamkan di Ambon. Atas jasa-jasanya diangkat sebagai Pahlawan
Perjuangan Kemerdekaan melalui SK Presiden RI No.087/TK/1973
November 1973.
3. Cut Nyak Dien, Perempuan Berhati Baja
Perempuan ini lahir di Lampadang, Aceh pada 1850. Ia adalah pahlawan
C. Ringkasan
Perjuangan bangsa Indonesia telah menghasilkan banyak tokoh besar
bagi bangsa kita dalam proses mewujudkan kemerdekaan. Masyarakat
seharusnya melakukan telaah berbagai peristiwa dan peranan tokoh besar
yang kita sebut seorang pahlawan bangsa Indonesia, untuk kemudian
dipahami dan diinternalisasikan dalam kehidupan kekinian sehingga
melahirkan contoh untuk bersikap dan bertindak. Dari sekian peristiwa itu
antara lain pula ada pesan-pesan yang terkait dengan nilai-nilai
kepahlawanan seperti keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air,
kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme, patriotisme, dan
nilai-nilai lainnya. Banyak pahlawan bangsa Indonesia yang patut kita
kenang seperti Diponegoro pahlawan dari Jawa yang mengobarkan
perjuangan rakyat, Pattimura pahlawan perjuangan yang pemberani dari
Maluku, Cut Nya Dien pahlawan wanita berhati baja dari Aceh, RA. Kartini
sebagai pahlawan pelopor kebangkitan wanita, Ki Hajar Dewantara sebagai
T
antangan Bangsa Indonesia adalah hal yang menggugah tekad
bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mengatasi
masalah yang dihadapi; alhasil akan merangsang bangsa
Indonesia bekerja lebih giat, sehingga sebetulnya bahwa tantangan itu
adalah sebuah pijakan atau batu loncatan untuk bangsa ini bekerja lebih
giat untuk mengatasi masalah yang dihadapi tersebut. Tantangan
potensial dari bangsa Indonesia terutama: kemiskinan harta dan ilmu,
sifat feodalisme, konsumerisme dan primordialisme (agama, dan
ras/etnik), wilayah yang dibatasi dengan laut, selat, dan sungai-sungai
besar, kesenjangan sosial antara “si miskin dan si kaya” serta antara
pemerintah pusat dan daerah, kesadaran hukum disiplin nasional yang
relatif rendah (Adiwijoyo, 2000: 167).
Data lingkungan demografi Indonesia dapat diketahui yaitu populasi
237,64 juta jiwa (BPS, 2010). Jumlah etnis di Indonesia 1.340 etnik dari
Sabang sampai Merauke (BPPB, 2016). Jumlah bahasa daerah 646 dan suku
bangsa 1.340 kelompok etnik (BPPB, 2017). Indeks Pembangunan Manusia:
110 (UNDP, 2015). Sementara itu, mengenai data lingkungan politik dan
ekonomi Peringkat Indeks Daya Saing Global: 41 dari 138 Negara (WEF,
2016) Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, peringkat ke-88 (Transparency
International, 2015), naik dari tahun 2014 yang berada di peringkat 107
Penduduk miskin 10,86% sebesar 28,01 juta jiwa (BPS, 2016), turun dari
NILAI-NILAI KEJUANGAN 137
tahun 2015 yang berjumlah 11,22% sebesar 28,59 juta jiwa. Pertumbuhan
ekonomi sebesar 4,8%–5,18% (BBC, 2016) Indeks Kebahagiaan: survei BPS
tahun 2014 sebesar 68,28 pada skala 0–100, Indeks Kebahagiaan Dunia
peringkat 79 dari 157 negara (PBB, 2016).
Data lingkungan ideologi, sosbud, hankam, dan teknologi
kekerasan, 1000 kasus sepanjang Tahun 2016 (KPAI), intoleransi,
radikalisme/ terorisme, separatisme, 5,1 juta pengguna, 15.000
meninggal setiap tahun (BNN, 2016). Pornografi dan kejahatan
siber, 1.111 kasus tahun 2011- 2015 (KPAI), 767 ribu situs
pornografi diblokir Kemenkominfo selama tahun 2016.
Penyimpangan seksual, 119 komunitas LGBT di Indonesia (UNDP,
2014), serta krisis kepribadian bangsa dan melemahnya kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kita bisa belajar tentang arti kemiskinan dari tokoh Bung Hatta,
bagaimana saat beliau pensiun mengalami kehidupan dalam
kesederhanaan. Bagaimanapun, kemiskinan itu bukan alasan untuk
merengek dan meminta belas kasihan. Dengan senjata tulisan beliau
mampu menghidupi keluarga dengan uang yang didapat dari tulisan-
tulisan. Bangsa kita harus belajar dari sosok seperti beliau, walaupun
dalam keadaan kesulitan beliau masih kukuh untuk tidak meminta belas
kasihan dari siapa pun.
I
ndonesia terdiri dari berbagai keanekaragaman suku, bahasa,
budaya, ras, agama, dan keanekaragaman lainnya. Kearifan budaya
Indonesia yang di dalamnya terkandung nilai-nilai etik dan moral,
serta norma-norma yang sangat mengedepankan rasa kebersamaan,
solidaritas, musyawarah, gotong-royong dan nilai-nilai moral lainnya.
Nilai-nilai Indonesia ini nantilah yang akan menjadi modal bangsa
Indonesia dan pemuda Indonesia dalam menyikapi perubahan dunia ke
depan. Jangan sampai budaya Indonesia saat bersentuhan dengan budaya
global akan tersisih karena kalah bersaing. Bagaimanapun, karakter
bangsa yang kita miliki ini seharusnya mampu mendampingi para
generasi muda untuk bersaing di masa globalisasi ini.
Di masa globalisasi ini, budaya luar yang sudah sangat deras masuk
ke Indonesia sehingga pastilah para generasi muda tidak mudah untuk
mempersiapkan dengan baik. Zaman globalisasi ini ditandai dengan
serba mudah, cepat dalam mendapatkan informasi dari penjuru dunia.
Dengan sifat seperti itu, akan lebih banyak dampak globalisasi yang
mereka dapatkan secara tidak sadar, baik dampak positif maupun
negatif. Dampak-dampak bagi para pemuda umumnya mudah
didapatkan dari perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
perkembangan dalam media komunikasi, elektronik, termasuk internet,
dan dalam perkembangan etika dan budaya. Pemuda Indonesia sekarang
memerlukan saringan untuk memfilter setiap pengaruh yang muncul dari
dampak globalisasi sehingga tidak mengancam keutuhan bangsa.
Upaya Penaggulangan
Gambar 23. Peta konsep globalisasi dan nilai kejuangan bangsa Indonesia.
D. Ringkasan
Nilai-nilai kejuangan pemuda sekarang sebagai bagian dari bangsa
yang muncul sesuai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
periode mengisi kemerdekaan bukannya tidak ada. Nilai keterbukaan,
kebebasan berpendapat, anti korupsi, anti kebodohan, anti kemiskinan,
anti narkoba dan lain-lainnya muncul sebagai antitesis dari fenomena
kehidupan masa kini. Hal-hal nyata bisa dilakukan pemuda di antaranya
yaitu peranan pemuda dalam politik, peranan pemuda dalam globalisasi,
peranan pemuda dalam kemiskinan, peranan pemuda dalam otonomi
daerah, dan peranan pemuda dalam mengentaskan korupsi.