Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“KEARIFAN LOKAL”

(Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila


Yang Diampu Oleh Bapak Dr. H. Sukarman Kamuli, M.Si)

OLEH

ARIF USMAN HUNOWU (611423012/AGROTEKNOLOGI)


ABDUL RAJAK MOHA (611423025/AGROTEKNOLOGI)
RIYALDI ARAFA (611423027/AGROTEKNOLOGI)
NORMA SARI H.REFRA (641423059/AGRIBISNIS)
RIZKI MOILO (641423064/AGRIBISNIS)

JURUSAN AGROTEKNOLOGI/AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kearifan Lokal” dengan lancar.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas matakuliah pancasila.

Dalam penyusunan makalah ini, ditulis berdasarkan buku yang berkaitan dengan
Pancasila, dan informasi dari media massa yang berhubungan dengan Pancasila. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna. Untuk itu diharapkan berbagai
masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaannya.

Semoga makalah ini dapat memberi manfaat untuk pembaca, sehingga pembaca dapat
menambah wawasan mengenai Pancasila. Akhir kata, kami ucapkan terimakasih.

Gorontalo, 23 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................i


DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH............................................................................... 2
1.3 TUJUAN PENULISAN................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 3
2.1 MAKANAN KHAS GORONTALO (TILI’AYA)........................................ 3
2.2 TRADISI SUMALATA................................................................................. 5
2.3 TRADISI MONGOLOTO MALU’O…………………………………….…6
2.4 TRADISI MALABO TUMBE ……………………………………………..7
2.5 BAHASA BONDA/BUNE……………………………………………….…9
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 11
3.1 KESIMPULAN............................................................................................ 11
3.2 SARAN ........................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kearifan lokal merupakan kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat
di suatu tempat yang merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Hal tersebut
menghasilkan kecerdasan lokal yang digubah menjadi suatu cipta karya dan karsa
sehingga masyarakat menjadi mandiri. Perbedaan yang tebentuk pada sebuah kearifan lokal
bergantung pada tantangan alam dan kebutuhan hidup yang berbeda, hal tersebut bukan
merupakan suatu yang statis melainkan dapat berubah sejalan dengan waktu, bergantung pada
tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada dalam suatu masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, keraifan lokal tentu saja dapat menghasilkan satu hal yang
berupa kebiasaan dari masyarakat. Itulah yang nantinya terbentuk menjadi wujud budaya.
Budaya merupakan karakteristik dari suatu pengetahuan kelompok tertentu, meliputi bahasa,
kepercayaan, makanan, kebiasaan sosial, musik dan seni.
Kearifan lokal memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan tradisional pada suatu
tempat, dalam kearifan lokal tersebut banyak mengandung suatu pandangan maupun aturan
agar masyarakat lebih memiliki pijakan dalam menenukan suatu tindakkan seperti prilaku
masyarakat seharihari. Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan
lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi melalui sastra lisan
(antara lain dalam bentuk pepatah dan peribahasa, folklore), dan manuskrip. Kearifan lokal
yang diajarkan secara turun-temurun tersebut merupakan kebudayaan yang patut dijaga,
masingmasing wilayah memiliki kebudayaan sebagai ciri khasnya dan terdapat kearifan lokal
yang terkandung di dalamnya.
Masyarakat memiliki peranan penting dalam pembentukan budaya agar terus bertahan
diperkembangan jaman, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan
kemampuannya, sehingga manusia mampu menguasai alam
1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini kami
memperoleh hasil yang diinginkan, maka kami mengemukakan beberapa rumusan masalah.
Rumusan masalah itu adalah:
1. Bagaimana makanan khas gorontalo (tili’aya) ?
2. Bagaimana tradisi sumalata ?
3. Bagaimana tradisi mongoloto malu’o ?
4. Bagaimana ?radisi malabo tumbe ?
5. Bagaimana Bahasa bonda/bune ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui bagaimana makanan khas gorontalo (tili’aya) ?
2. Untuk mengetahui bagaimana tradisi sumalata ?
3. Untuk mengetahui bagaimana tradisi mongoloto malu’o ?
4. Untuk mengetahui bagaimana ?radisi malabo tumbe ?
5. Untuk mengetahui bagaimana bahasa bonda/bune ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MAKANAN KHAS GORONTALO (TILI’AYA)

Sejak dahulu masyarakat Gorontalo memegang erat budaya lokal mereka. Falsafah
hidup yang selalu menjadi ciri khas budaya dan selalu dipegang oleh masyarakatnya adalah
“Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah”, yang kurang lebih artinya adalah
“adat yang bersendikan syariat islam, dan syariat islam yang berlandaskan kitabullah. hukum
adat (butaqolimo) aturan tersebut tidak dapat dirubah tetapi dalam setiap adat disesuaikan
dengan ajaran Islam, Apriyanto ( 2014) dalam Hatibie & Priyambodo (2019). Adanya Filsafah
tersebut, menyentuh seluruh aspek berbudaya di daerah Gorontalo, termasuk pemaknaan setiap
makanan tradisional seperti Tiliaya. Makanan ini merupakan bagian penting dalam kebudayaan
serta tradisi masyarakat Gorontalo. Sebab, selain memiliki tekstur rasa yang unik, juga memiliki
penyajian yang tidak biasa.

Penyajian Tiliaya hingga saat ini mengikuti tradisi tetua adat Gorontalo. Tradisi
merupakan cara masyarakat setempat untuk mentransmisikan makanan yang telah diwariskan
dari masa lalu ke masa kini (Rahman, 2012). Tradisi ini tercermin dari pemaknaan makanan
Tiliaya. Pada dasarnya, Tiliaya merupakan makanan cemilan dan makanan pelengkap yang
biasanya disajikan bersamaan dengan nasi kuning dalam upacara-upacara adat. Selain itu,
Tiliaya merupakan pilihan makanan khas malam pertama sahur orang Gorontalo Tempo dulu,
Rigap (2013) dalam Hatibie & Priyambodo (2019). Menurut cerita yang beredar pada tetua-
tetua adat, bahwa rasa dan aroma dari makanan ini sebagai penetralisir rasa pekat atau pahit dari
indera perasa (lidah) karena aktivitas puasa yang dilakukan pada bulan Ramadhan, sehingga
makanan ini menjadi popular disajikan pada bulan ramadhan. Tiliaya tidak hanya disajikan pada
sahur pertama, melainkan pada saat santap berbuka diawal bulan ramadhan. Orang tua zaman
dulu percaya, bahwa dengan mengkonsumsi Tiliaya akan meningkatkan daya tahan tubuh,
sanggup menahan rasa lapar dan dahaga ketika berpuasa.

Menurut sejarah, Tiliaya pertama kali dibuat oleh putri raja Gorontalo, yang juga
bernama Tiliaya. Makanan ini merupakan makanan khas kaum bangsawan, yang juga disajikan
untuk menyambut tamu kehormatan kerajaan. Selain itu ada juga yang menyebutkan bahwa,
makanan ini sudah ada dari sejak zaman raja Gorontalo abad ke 15. Pada perkembangannya
selain untuk menyambut bulan Ramadhan pada hari-hari pertama, Tiliaya menjadi menu
andalan yang disajikan dalam acara-acara adat seperti acara keagamaan, pembeatan,
perkawinan, khitanan,
acara penyambutan pemerintahan, hingga tradisi doa arua atau doa arwah yang merupakan
tradisi mendoakan orang yang telah meninggal dunia (Hippy, 2019).

Hingga saat ini telah banyak berkembang cerita-cerita kuno yang dipercayai oleh
masyarakat Gorontalo, tentang makanan ini. Misalnya saja, masih banyak masyarakat
Gorontalo meyakini bahwa nama Tiliaya, berasal dari bahasa daerah Gorontalo yang artinya
Tili dan Aya, yang diartikan bahwa Tili adalah “dekat” atau “dekatkan”.

Makanan ini sebagai simbol sikap keramahtamahan tuan rumah kepada tamu
kehormatan yang diundang, sehingga posisi makanan Tiliaya harus didekatkan dengan tokoh
yang bersangkutan tersebut. Cerita lainnya yang berkembang pada prosesi adat seperti doa arua
( upacara doa yang ditujukan kepada arwah yang telah meninggal atau disebut dengan Tahlilan)
adalah, beberapa masyarakat percaya bahwa kalau yang meninggal adalah perempuan, maka
tuan rumah wajib menyediakan Tiliaya sebagai jamuan makan untuk para tamu, sedangkan jika
yang meninggal adalah laki-laki, maka makanan yang serupa dengan Tiliaya adalah Nasi Baje’
(sejenis makanan olahan dari beras ketan yang dicampur dengan gula merah), Personal
interview: Jako (2019) dalam Hatibie & Priyambodo (2019).

Jika dilihat dari bentuk fisiknya Tiliaya lebih menyerupai puding yang memiliki tekstur
yang sangat lembut, empuk dan rasanya sangat manis. Tidak ada makna filosofis yang
terkandung dalam pembuatan makanan ini. Namun, ketika upacara adat atau doa arwah orang
yang meninggal Tiliaya biasanya disajikan bersamaan dengan Nasi Kuning. Salah satu makanan
tradisional yang juga terkenal dikalangan masyarakat Gorontalo. Rasa nasi kuning yang gurih,
yang dicampurkan dengan Tiliaya menjadi nikmat dan kaya akan cita rasa. Makanan ini juga
dapat berfungsi sebagai makanan penutup setelah para undangan menyantap makanan utama
yang telah disajikan pada acara-acara tertentu. Model penyajian dalam ritual-ritual keagamaan
seperti doa arua, berbentuk lesehan yang digelar dilantai setelah dialaskan karpet, dan area
peletakan makanan yang disajikan, dan dialas dengan kain putih. Makanan yang disajikan
bervariasi tergantung dari tuan rumah pemilik hajatan. Biasanya menu makanan merupakan
makanan berat seperti nasi putih, ikan danau goreng, ikan gurame, ikan bakar, ayam kampung
goreng, sayur-sayuran khas Gorontalo seperti sayur nangka santan, ayam iloni, lengkap dengan
dabu-dabu (sejenis sambal pedas khas Sulawesi). Terdapat pula sesaji tambahan yaitu piring
kecil yang diletakkan garam dapur dan beberapa potongan cabe rawit merah. Cara ini
merupakan kebiasaan yang sudah ada sejak dahulu, namun pada dasarnya garam tersebut hanya
sebagian dari ritual dan tidak ikut dikonsumsi oleh tamu, maupun tuan rumah, tapi sebagian
masyarakat percaya bahwa itu memiliki makna tersirat. Kebanyakan masyarakat setempat
mengikuti kebiasaan- kebiasaan ini dari orang tua dahulu, (Hatibie & Priyambodo, 2019).
2.2 TRADISI SUMALATA
1. Sejarah Sumalata
Sumalata pada awalnya hanyalah nama dari sebuah tempat di wilayah utara pohala’a
limutu (limboto). Nama sumalata sendiri sebelumnya adalah tumolata. Tapi dikarenakan lidah
orang belanda yang sulit mengeja kata “tumolata”, dan menyebutnya dengan “sumalata”,
sehingga dalam penulisnya menjadi “soemalata”. Sumalata disaat pemerintahan wala’o pulu
masih merupakan satu wilayah utuh dari deme i sampai tolinggula. Nanti setelah tahun 1889,
ketika sumalata menjadi sebuah onder distirik yang dikepalai oleh seorang marsaole, barulah
wilayah sumalata dibagi menjadi 8 (delapan) desa ‘kambungu’ yakni deme i, deme ii, buladu,
wubudu, bulontio, buloila, biawu dan tolinggula.namun pada saat perubahan zaman sumalata
berdiri dengan sendirinya berpisah dengan biawu dan tolinggula, kemudian mendirikan
beberapa desa yakni :

Nama-nama desa di kecamatan sumalata adalah :


Desa Buloila
Desa Bulontio Barat
Desa Bulontio Timur
Desa Hutakalo
Desa Kasia
Desa Kikia
Desa Lelato
Desa Mebongo
Desa Pulohenti
Desa Puncak Mandiri
Desa Tumba.

Dan sekarang kecamatan sumalata dipimpin oleh seorang pemimpin yang bijaksana yakni
bapak hj.Fatrah Lubis Ismail, Skm,M,Si dan menjadi salah satu kecamatan yang harmonis dan
damai.
2. Sumalata Dari Sudut Pandang Masyarakat
Sumalata memiliki berbagai wisata, salah satunya wisata yang berada didesa deme ii
yaitu pulau dionumo yang memiliki keunikan sendiri. Sudah banyak masyarakat dari penjuru
kota yang pernah kesana. Bukan cuma disitu saja, kecamatan sumalata juga punya wisata pasir
kuning yang terletak di desa kikia dusun bongo. Selain itu juga di desa kikia punya peninggalan
kapal perang, yang pada zaman penjajahan belanda, yang konon katanya kapal tersebut
tenggelam dilaut yang terletak di sumalata kemudian masyarakat setempat menyebutnya
dengan tanjung kapal. Selain tanjung kapal sumalata juga memiliki tanjung ulea yang terletak
didesa lelato dusun tanjung harapan.

3. Tradisi Sumalata
Kecamatan sumalata mengikuti tradisi yang ada digorontalo, salah satunya ialah
pernikahan, berawal dari antar harta atau lebih dikenal dengan bahasa ( dutu ). Kemudian
menjelang pernikahan ada yang namanya malam bakupas diiringan dengan tarian saronde pada
malam hari. Malam bakupas ini diadakan sebelum 1 hari akan menjelang akad nikah.selain itu,
ada juga tradisi di sumalata khususnya didesa saya yakni desa kikia dilarang perempuan tidur
menjelang magrib, ketika perempuan tidur menjelang magrib ada sosok mahluk gaib lebih
dikenal dengan ( ponggo ) akan mengganggunya. Selain itu perempuan juga dilarang mengurai
rambutnya ketika berjalan dijalanan pada sore hari.ada juga larangan bagi laki-laki / perempuan
duduk dimuka pintu, dikarenakan tidak akan mendapatkan jodoh ada istilah mengatakan bahwa
jodoh hanya sampai didepan rumah.walaupun zaman sudah semakin modern tradisi atau
larangan ini masih ketat di kecamatan sumalata dari dulu hingga sekarang.

2.3 TRADISI MONGOLOTO MALU’O


Seorang warga menawarkan ayam kampung yang dijualnya kepadapengendara sepeda
motor di Jalan Beringin, Kelurahan Huangobotu, Kecamatan Dungingi, Kota Gorontalo, Rabu
(22/3/2023). Dalam tradisi masyarakat Gorontalo, menu dengan olahan daging ayam kampung
menjadi santapan wajib pada sahur pertama di bulan Ramadan. Tradisi ini dikenal dengan
mongoloto malu’o atau menyembelih ayam. Daging ayam kampung akan diolah menjadi
berbagai menu, di antaranya kari, santan, lalapan, dan goreng cabai
2.4 TRADISI MALABO TUMBE
Ritual adat tahunan pengantaran telur maleo atau tumpe yang dilaksanakan masyarakat adat
Batui di Kabupaten Banggai ke Keraton Kerajaan Banggai di Kabupaten Banggai Laut
merupakan cermin ikatan persaudaraan warga di wilayah Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.
Tradisi yang diperkirakan telah berlangsung pada era kepemimpinan Raja Maulana Prins
Mandapar (Mbumbu Doi Godong) sekitar tahun 1600 itu sampai sekarang masih dilestarikan
oleh masyarakat adat, yang meyakini pengantaran telur maleo wajib dilakukan untuk
menghindari bencana.Sebelum diantarkan ke Keraton Banggai, telur maleo yang dikumpulkan
dari masyarakat dari kelompok adat Dakanyo Ende, Binsilok Balantang, Tolando, Binsilok
Katudunan, dan Topundat lebih dahulu dibungkus dedaunan.Sebanyak 85 telur maleo yang
telah dibungkus dengan daun pohon palem atau kombonou kemudian diantar ke rumah adat
secara estafet dan diinapkan semalam. Setelah itu, upacara dilanjutkan dengan mintauakon,
ritual menurunkan telur dari rumah sebelum diantar ke dermaga oleh para pembawa telur
didampingi para tetua adat setempat.Saat prosesi berlangsung, jalanan harus sepi dari aktivitas.
Tidak boleh ada warga adat yang berada di depan para pengantar telur. Para pengantar telur
juga tak diperkenankan berhenti di tengah jalan saat prosesi berlangsung.Tabuhan gendang dan
gong mengiringi tradisi pengantaran telur maleo yang diikuti oleh ribuan warga dari rumah adat
ke kapal yang telah disiapkan di dermaga di bantaran Sungai Batui.Di dermaga, telur maleo
dijemput oleh perangkat adat, yang kemudian meletakkannya di tempat khusus di dalam kapal
yang akan membawanya ke Keraton Banggai.Tabuh gendang dan gong kembali bersahutan kala
kapal lepas labuh dengan kawalan sejumlah perahu yang ditumpangi prajurit adat.Telur-telur
maleo tidak langsung dibawa ke Keraton Banggai di Banggai Laut. Sebelumnya, ada prosesi
persinggahan dan penggantian pembungkus telur di perjalanan. Para pembawa telur dalam
perjalanan menuju Keraton Banggai singgah di wilayah Desa Pinalong, Kabupaten Banggai
Kepulauan dan rumah adat Kusali Tolo di Desa Mansalean, Kecamatan Labobo, Kabupaten
Banggai Laut.Pada 4 Desember, para pembawa telur tiba di Desa Tinakin, Kecamatan Banggai,
Kabupaten Banggai Laut dan bermalam di sana. Keesokan harinya, perangkat adat Banggai
memulai prosesi penjemputan telur (Malabot Tumbe). Di Dermaga Banggai, tetua adat dari
Batui menuju Keraton Banggai untuk melapor lalu menyerahkan telur maleo ke perangkat adat
Banggai. Pengawal menyimpan telur burung maleo (Macrochepalon maleo) persembahan untuk
Raja Banggai pada ritual Molabot Tumpe atau Malabot Tumbe di Banggai, Kabupaten Banggai
Laut, Sulawesi Tengah, Rabu (4/12/2019). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/ama
Sejarah Tumpe/Tumbe

Tumpe dalam bahasa Saluan atau Tumbe dalam bahasa Banggai artinya sama yakni
pertama atau awal. Molabot dalam bahasa Saluan dan Malabot dalam bahasa Banggai juga
punya arti sama, menjemput. Molabot Tumpe/Malabot Tumbe bisa diartikan menjemput telur
maleo yang pertama.Tradisi Malabot Tumpe berakar dari sejarah Kerajaan Banggai atau
Benggawi. Kerajaan itu pernah dipimpin oleh Raja Adi Cokro atau Adi Soko menurut sebutan
orang Banggai.Sang raja memiliki tiga istri, yang pertama Kastela, perempuan berdarah
Portugis dari Ternate yang dari rahimnya terlahir Maulana Prince Mandapar. Istri keduanya Nur
Sapa, putri raja dari tiga kerajaan kecil bersaudara Matindok, Loa, dan Bolak di Batui yang
melahirkan Abu Kasim. Istri ketiganya, putri bangsawan dari empat kerajaan kecil di Banggai
yang kemudian melahirkan Putri Saleh. Hingga saat ini keturunan dari empat kerajaan di
Banggai itulah memegang amanah sebagai Basalo Sangkab. Ketika Adi Soko hendak
meninggalkan Batui menuju Banggai, ayah dari istrinya yang bernama Nur Sapa, Raja
Matindok di Batui yang bernama Ali Asine, menghadiahi dia sepasang burung maleo untuk
dibawa ke Banggai (sekarang Kabupaten Banggai Laut).Namun, Adi Soko kemudian harus
mengemban tugas ke Jawa bersama anaknya Putri Saleh. Dia pun membawa serta sepasang
burung maleo dari pemberian mertuanya dari Batui ke Jawa.Ia pergi cukup lama, sehingga
terjadi kekosongan kepemimpinan di Kerajaan Banggai.Guna menghindari kekacauan akibat
kekosongan kepemimpinan, para perangkat kerajaan, pemangku adat, dan keturunan dari empat
kerajaan kecil di Banggai membuat rapat untuk penggantian/pengangkatan Raja Banggai baru
pengganti Adi Soko melalui sayembara permainan adu gasing.Dalam sayembara tersebut, putra
Adi Soko yang bernama Abu Kasim, hasil perkawinannya dengan Putri Raja di Batui, menjadi
pemenang. Namun Abu Kasim menolak diangkat menjadi Raja sebelum berkonsultasi kepada
ayahnya Adi Soko di tanah Jawa.Perangkat kerajaan dan pemangku adat kemudian
mempersiapkan keberangkatan Abu Kasim ke tanah Jawa untuk menemui ayahnya Adi Soko
bersama 40 orang bayi dan ayunan sesuai permintaan Abu Kasim.Sesampai di tanah Jawa,
berbekal tanda cincin yang diberikan ayahnya, Abu Kasim akhirnya bertemu Adi Soko. Dalam
pertemuan tersebut Abu Kasim menyampaikan keinginan dari pemangku adat dan masyarakat
Banggai.Namun Adi Soko menolak untuk kembali ke Banggai karena masih mengemban tugas
di Jawa.Adi Soko meminta Abu Kasim menemui kakaknya Maulana Prince Mandapar yang
berada di Ternate, yang menurut penilaiannya merupakan figur yang tepat untuk menjadi Raja
Banggai.Ketika Abu Kasim akan kembali, Adi Soko meminta dia membawa Putri Saleh ke
Banggai bersama sepasang burung maleo untuk dipelihara. Burung maleo tersebut juga
ditujukan sebagai bukti bahwa Abu Kasim telah bertemu dengan ayahnya di tanah Jawa.
Sepasang burung Maleo tersebut dikembalikan karena tidak dapat
berkembang biak di tanah Jawa.Selanjutnya, berangkatlah Abu Kasim ke Ternate untuk
menjemput kakaknya, Maulana Price Mandapar, yang ketika itu telah berada di kapal yang siap
berangkat ke Portugis.Berbekal petunjuk cincin yang sama, Abu Kasim dapat bertemu dan
membawa Maulana Price Mandapar ke Banggai.Sekembalinya di Banggai, Abu Kasim bersama
kakaknya, Maulana Prince Mandapar, menemui pemangku adat dan perangkat kerajaan
Banggai untuk melaporkan hasil perjalanannya sekaligus menyampaikan pesan dari ayahnya
Adi Soko.Pada saat itulah babak baru pemerintahan kerajaan Banggai dimulai dengan
pengukuhan Maulana Prince Mandapar sebagai Raja Banggai.Sementara itu, sepasang burung
maleo titipan Adi Soko ternyata juga tidak dapat berkembang biak di Banggai sehingga Abu
Kasim membawanya ke keluarganya di Batui untuk dikembangbiakkan.Saat itu, ia
menyampaikan pesan yang hingga saat ini secara turun temurun tetap dipegang teguh oleh
masyarakat adat Batui dan Banggai."Kutitipkan sepasang burung maleo ini kepada keluargaku
di Batui untuk dipelihara dan apabila bertelur nanti, telur pertamanya dikirimkan kepada
keluargaku di Banggai dan jumlah telur maleo yang dikirimkan ke Banggai menggambarkan
jumlah keluarga di Batui".Semenjak burung maleo itu bertelur dan berkembang biak, upacara
adat tumpe dilaksanakan untuk mengantar telurtelur burung maleo dari Kecamatan Batui di
Kabupaten Banggai menuju Keraton Banggai di Kabupaten Banggai Laut.Tradisi yang
mencerminkan kekuatan ikatan persaudaraan warga Banggai itu masih dilestarikan hingga
sekarang

2.5 BAHASA BONDA/BUNE


Setiap negara mempunyai bahasa yang berbeda, begitu pula negara Indonesia yang
mempunyai bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 pasal 36 yang berbunyi “ Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia”. Jadi Indonesia
memiliki bahasa tersendiri yakni bahasa Indonesia.Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah
mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan
berikutnya, khususnya bahasa-bahasa formal atau resmi yaitu Bahasa Indonesia.Bahasa daerah
merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaanya diakui oleh Negara.
Sebagaimana amanat UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa” negara
menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.”3keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri Bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. keanekaragaman ini akan
mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaan. Suku Suwawa adalah suatu
kelompok masyarakat yang hidup di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Suku
Suwawa memiliki bahasa sendiri yang disebut bahasa Suwawa, yang disebut juga sebagai
Bahasa Bonda atau bahasa Bune.Bahasa Suwawa di
Gorontalo dianggap sebagai bagian dari dialek dari bahasa Gorontalo, tetapi apabila
diperhatikan bahasa Suwawa berbeda dengan bahasa Gorontalo.Bahasa Suwawa (Bonda) di
Gorontalo, yang digunakan disekitar daerah Suwawa sekarang sudah berada diujung
kepunahan. data terakhir yang ditemukan bahwa jumlah penutur bahasa Suwawa saat ini kurang
lebih 5 ribu orang. Padahal
30 tahun yang lalu jumlah penutur bahasa Suwawa masih sekitar 15 ribu orang. Bisa
dibayangkan dalam kurun waktu 30 Tahun penutur bahasa tersebut bisa menurun sampai 75-76
persen. Percakapan yang menggunakan bahasa Suwawa (Bonda) masih bisa disaksikan di Desa-
Desa sekitar Suwawa, namun sudah tidak banyak, hanya sebagian saja yang mampu
menuturkan dengan baik, bahkan ada yang sama sekali tidak bisa berbahasa Suwawa.Semakin
menurunnya penutur bahasa Suwawa (Bonda) merupakan gejala yang harus diwaspadai, bahasa
ini merupakan salah satu keanekaragaman budaya Gorontalo yang bernilai tinggi, keengganan
menggunakan bahasa ini oleh anak muda salah satunya adalah tidak ingin dikatakan sebagai
orang kampungan, udik. Penekanan saat pengucapan bahasa Suwawa yang berbeda dengan
bahasa Gorontalo sering mengundang senyum orang lain yang tidak memahaminya. Penyebab
lain hilangnya bahasa daerah umumnya disebabkan oleh berpindahnya orang desa ke kota untuk
mencari kehidupan yang lebih layak dan perkawinan antaretnis. Bahasa Suwawa merupakan
upaya untuk memperkukuh identitas dan budaya etnik guna pengembangan identitas dan
budaya bangsa. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa bahasa Suwawa sudah mulai hilang
dan tanpa disadari masyarakat pemiliknya sudah terjebak kedalam sikap weternisasi (kebarat-
baratan).Jika sudah demikian, dipastikan masyarakat pemiliknya kehilangan tonggak sejarahnya
dan nilai-nilai budayanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Tiliaya merupakan salah satu sajian makanan tradisional yang mencirikan identitas daerah
Gorontalo, bahwa nilai-nilai budaya masih dipegang erat, dan pengaruh adat dari nenek moyang
masih tetap dilestarikan hingga saat ini. Tradisi penyajian Tiliaya dinilai sebagai serangkaian tindakan
yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan yang secara
otomatis mengacu kepada hubungan dan kesinambungan dengan masa lalu (Rahman, 2012). Hingga saat
ini makanan Tiliaya masih tetap disajikan sebagaimana makanan ini pertama kali disajikan dalam
beberapa upacara adat masyarakat lokal. Kedudukannya dalam tatanan masyarakat Gorontalo dianggap
penting, dan masih tetap dilestarikan hingga saat ini. Dalam penyanjiannya pun tidak ada yang berubah.
Penyajian maupun pembuatannya masih mengikuti budaya lama dari masyarakat setempat.
Dalam tradisi masyarakat Gorontalo, menu dengan olahan daging ayam kampung menjadi
santapan wajib pada sahur pertama di bulan Ramadan. Tradisi ini dikenal dengan mongoloto
malu’o atau menyembelih ayam. Daging ayam kampung akan diolah menjadi berbagai menu, di
antaranya kari, santan, lalapan, dan goreng cabai.
Mayarakat Gorontalo, juga memiliki tradisi pernikahan, berawal dari antar harta atau lebih
dikenal dengan bahasa (dutu). Kemudian menjelang pernikahan ada yang namanya malam
bakupas diiringi dengan tarian saronde pada malam hari. Malam bakupas ini diadakan sebelum
1 hari akan menjelang akad nikah.
Provinsi Gorontalo memiliki beberapa suku, salah satunya suku Suwawa adalah suatu
kelompok masyarakat yang hidup di Kabupaten Bone Bolango. Suku Suwawa memiliki bahasa
sendiri yang disebut bahasa Suwawa, yang disebut juga sebagai Bahasa Bonda atau bahasa
Bune. Bahasa Suwawa di Gorontalo dianggap sebagai bagian dari dialek dari bahasa Gorontalo,
tetapi apabila diperhatikan bahasa Suwawa berbeda dengan bahasa Gorontalo. Bahasa Suwawa
(Bonda) di Gorontalo, yang digunakan disekitar daerah Suwawa sekarang sudah berada diujung
kepunahan
Tujuan pelaksanaan upacara malabot tumpe/tumbe ini sebagai pewaris budaya yang mulia
dan sebuah kewajiban untuk senantiasa bahu membahu, menyatukan tekad, untuk tetap
melestarikan dan mewujudkan amanah malabot tumpe/tumbe. Intinya adalah amanah yang
mendarah daging antara masyarakat Batui (Kerajaan Matindok) dan masyarakat Banggai Laut
(Kerajaan Banggai), makna amanah yang harus atau wajib dilaksanakan karena menjaga
amanah adalah menjaga komitmen, sebab kebesaran suatu bangsa, atau kebesaran seorang
terletak sejauh mana memegang komitmen lisan dan tindakannya harus sejalan.
3.2 Saran
Semoga dengan adanya makalah Kearifan lokal ini pembaca dapat menambah
wawasan tentang budaya Indonesia.
Daftar Pustaka
Supriyadi, (2017). Revitalisasi Budaya Gorontalo Dalam Melestarikan Budaya
Lokal, Prosiding, Seminar Nasional Bulan Bahasa, Universitas Negeri
Gorontalo
Hippy, Muchlis Dkk., (2019). Tingkat Kesukaan Tiliaya (Makanan Tradisional
Gorontalo) Yang Menggunakan Jenis Telur Berbeda. Journal of Jambura
Journal Of Animal Science, 1, 46-51
Rahman, M. Gazali, (2012) Tradisi Molothalo di Gorontalo. Jurnal Al-Ulum, 12, 2,
437-456
Tansy, Geoff., Worsley, Tony (1995) The Food System, Earthscan: California
Hatibie & Priyambodo (2019). Nilai Historis Pada Makanan Tradisional Tiliaya
Dalam Konteks Kebudayaan Gorontalo. Tulisan Ilmiah Pariwisata, Vol. 2, No. 1
,Juni 2019, 29-42

Anda mungkin juga menyukai