i
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi, arus globalisasi telah menyebar ke seluruh dunia tak terkecuali
Indonesia. Sejak dimulainya era reformasi pemerintahan pada tahun 1997, arus
globalisasi semakin kuat pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat dan mau
tidak mau harus tetap berada dalam alur yang telah dibuat oleh sistem globalisasi
itu sendiri (Scholte, 2005). Arus tersebut telah membawa instrumen-instrumen
pendukung globalisasi seperti teknologi informasi dan komunikasi serta budaya
individualisme barat, yang mana juga berpengaruh pada model kepemimpinan
yang banyak diterapkan di Indonesia saat ini. Hal ini ditandai dengan lahir dan
berkembangnya berbagai macam teori baru tentang kepemimpinan.
Di sisi lain, permasalahan utama saat ini adalah bangsa Indonesia terlalu
sering berorientasi pada konsep kepemimpinan bergaya Barat yang tentu saja
tidak sesuai dengan tradisi akar budaya ketimuran yang ada di Indonesia (Pekerti
& Sendjaya, 2010; Indrayanto, Burgess & Dayaram, 2014; Hatherell & Welsh,
2017). Akhirnya, pengaruh dari budaya Barat tersebut menjadikan masyarakat
Indonesia sebagai “tuan asing di rumah sendiri”. Asing dengan tradisi dan
budayanya sendiri karena terbius oleh konsep-konsep yang tidak sesuai dengan
budaya Indonesia (Charliyan, 2013). Di sisi lain, bangsa Indonesia juga kaya akan
kearifan lokal yang tersebar hampir di seluruh penjuru Indonesia. Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik (2018), Indonesia memiliki 34 provinsi, 16.056
pulau, dan 1.331 suku bangsa yang tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke
dan memiliki ciri khasnya tersendiri. Konsep dan pola kepemimpinan yang
mengacu pada kearifan bangsa ini pasti akan lebih membumi karena sudah
menjadi filosofi, tradisi, dan budaya yang mengakar dan teruji ratusan bahkan
ribuan tahun sesuai dengan geografis, situasi dan karakter masyarakat itu sendiri.
Toraja sebagai salah satu daerah di Indonesia, terkenal akan keindahan
bentang alam dan budaya yang khas. Tak hanya itu, masyarakat Toraja pun
berhasil merawat dan melestarikan tradisi serta kepercayaan mereka yang
diwariskan secara turun-temurun. Di Toraja, terdapat tradisi lisan yang dipercaya
turun dari langit dan mengatur tatanan hidup masyarakatnya. Beberapa di
antaranya ialah tradisi Ma’nene’, Sisemba’, Mangrara Banua, Rambu Tuka’,
Rambu Solo’ dan masih banyak lagi.
Rambu Solo’ atau lebih dikenal dengan Aluk Rampe Matampu’ merupakan
suatu upacara adat pemakaman khas masyarakat Toraja yang diwariskan sejak
puluhan abad yang lalu, yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan
jiwa si orang mati menuju Puya atau surga. Upacara keagamaan (aluk) ini
mewajibkan keluarga untuk membuat sebuah pesta kedukaan sebagai tanda
penghormatan terakhir kepada yang meninggal itu. Ketentuan biaya dan jangka
waktu pelaksanaan upacara adat ini dilandaskan pada strata sosial dan perannya
dalam masyarakat. Jika si meninggal memiliki kedudukan yang sangat penting di
dalam suatu masyarakat, maka upacara pemakaman Rambu Solo’ bisa saja
terlaksana hingga seminggu lamanya dan memakan biaya hingga milyaran rupiah.
2
Besarnya alokasi dana dan lamanya pelaksanaan upacara adat Rambu Solo’
ini merupakan suatu hal yang unik dan menjadi ciri khas budaya ini sendiri.
Namun, kebanyakan orang menganggap bahwa kenunikan budaya ini hanya
terdapat pada upacara kematian atau prosesi penguburan saja. Padahal, jika hanya
melihat tingkat keunikan upacara kematian yang tinggi, ada banyak hal serupa di
tempat lain, seperti upacara pemakaman di Bali, Sumbawa, dan lainnya. Keunikan
budaya Toraja sesungguhnya terletak pada kepercayaan dan praktik-praktik
budaya dalam memperlakukan orang mati (Jumiaty, 2013). Misalnya berbagai
macam ritual yang terdapat dalam tradisi Rambu Solo’, seperti Ma’tudan
Mebalun, Ma’pasonglo’, Ma’pangngan, Ma’passilaga Tedong, Ma’badong, yang
sarat akan makna dan mengandung berbagai macam nilai-nilai kolektif kolegial
dalam masyarakat.
Terlaksananya upacara pemakaman Rambu Solo’ tak terlepas juga dari
peran seluruh lapisan masyarakat yang menghidupi nilai-nilai tradisi Rambu Solo’
ini secara kolektif. Nilai-nilai–serta aturan-aturan yang berlaku–itulah yang
senantiasa menjadi penggerak bagi masyarakat Toraja untuk bahu-membahu
melaksanakan upacara ini hingga sampai pada tujuannya. Hal yang sama pun
dirumuskan oleh Chester I. Barnard tentang definisi suatu organisasi, yaitu
organisasi adalah sebuah sistem dari kegiatan manusia yang bersifat kooperatif
(Winardi, 2012:46). Organisasi dipandang sebagai sebuah sistem dengan mengacu
pada rumusan bahwa sebuah sistem merupakan kumpulan elemen yang saling
berinteraksi untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu.
Menggali kebudayaan suatu suku bangsa akan selalu menemukan nilai inti
yang mampu menjembatani antargenerasi dan melintasi sekat ruang dan waktu.
Hal ini disebabkan kebudayaan yang selalu berisi inti gagasan dan khazanah
pengetahuan bagi masyarakat pendukungnya. Nilai inti dari gagasan suatu
kebudayaan memiliki fungsi yang dapat menjaga dan mengatur sistem kehidupan
dalam masyarakat. Berdasarkan paparan tersebut, penelitian ini hadir untuk
merumuskan model kepemimpinan yang berlandaskan pada nilai-nilai tradisi
Rambu Solo’ yang bukan saja berkearifan lokal, tetapi juga mampu menjawab
tantangan global.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah, yaitu
1. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi upacara pemakaman
Rambu Solo’ itu?
2. Bagaimana model kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai tradisi
Rambu Solo’ itu?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Rambu Solo’ dan
implikasinya pada masyarakat Toraja
2. Mendeskripsikan model kepemimpinan berkearifan lokal yang
berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Rambu Solo’
1.4 Manfaat Penelitian
3
yang berjudul “Ethnography an Qualitative Design” juga searah dengan ciri khas
yang diungkapkan oleh Spradley. Menurut Mishler, etnografi menekankan
dipergunakannya metode kualitatif dan analisis holistis (Muhadjir, 2011).
Sedangkan Goetz dan LeCompte mengemukakan bahwa ilmu sosial yang
menggunakan model penelitian manapun, memfokuskan pada etnografi,
menekankan pembentukan teori berdasarkan data empirik atau teori yang
dikonstruksikan di lapangan (Muhadjir, 2011). Dari ciri-ciri tersebut, dapat
dipahami bahwa etnografi merupakan model penelitian yang khas (Endraswara,
2012:51). Kebudayaan dalam perspektif etnografi bukan semata-mata hanya
sebagai produk, tetapi sebuah proses. Sejalan dengan konsep Marvin Harris, yang
dikutip dalam Endraswara (2012:51), kebudayaan akan menyangkut nilai, motif,
peranan moral etik, dan maknanya sebagai sebuah sistem sosial. Dengan kata lain,
kebudayaan merupakan keseluruhan pranata hidup manusia. Oleh karena itu,
menurut Spradley (1997:5) etnografi harus menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu
sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk
menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Itulah
sebabnya, studi etnografi akan mengungkap seluruh tingkah laku sosial budaya
melalui deskripsi yang holistik (Endraswara, 2012:52).
2.2 Kebudayaan Toraja
Budaya, yang berasal dari bahasa Sansekerta budhayah, merupakan bentuk
jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Inggris, kata
budaya berarti culture, yang berasal dari bahasa Latin colera yang berarti
mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani).
Kemudian, pengertian ini pun berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala
daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Suratman,
Munir & Salamah, 2015:31). E.B. Taylor, dalam Suratman et al. (2015),
mendefinisikan budaya sebagai suatu keseluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Demikian pula dengan Murdowo, yang mengatakan bahwa kultur itu
mengenai nilai kerohanian, moral, etik, dan estetik yang telah dicapai oleh suatu
bangsa (Suratman et al., 2015:32). Dengan demikian, kebudayaan atau budaya
menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia yang menyangkut baik
material maupun non-material.
Pada tataran tertentu, budaya dapat digolongkan menjadi tiga dimensi
(Endraswara, 2012:5), yaitu: (1) dimensi kognitif (budaya cipta) yang bersifat
abstrak, berupa gagasan-gagasan manusia, pengetahuan tentang hidup, pandangan
hidup, wawasan kosmos; (2) dimensi evaluatif, artinya menyangkut nilai-nilai
norma dan budaya, yang mengatur sikap dan perilaku manusia dalam berbudaya,
lalu membuahkan etika budaya; dan (3) dimensi simbolik berupa interaksi hidup
manusia dan simbol-simbol yang digunakan dalam berbudaya. Dari dimensi-
dimensi tersebut, cukup jelas bahwa meneliti kebudayaan tidak lain mempelajari
manusia. Karena pemikiran manusia cenderung berubah-ubah, kebudayaan pun
akan berubah. Kebudayaan bukanlah suatu given (telah ada/jadi), melainkan
diciptakan dan berubah sesuai zamannya.
5
Asal mula kebudayaan Toraja pun demikian. Kebudayaan Toraja lahir dari
masyarakat Toraja yang menganut suatu sistem religi yang mereka sebut sebagai
Aluk To Dolo. Secara harafiah, Aluk To Dolo terdiri atas dua kata, yakni Alu’ atau
Aluk yang berarti agama; dan To Dolo yang berarti orang dulu. Jadi Aluk To Dolo
adalah agama asli nenek moyang Suku Toraja. Sejak tahun 1969, agama lokal
Toraja ini mendapatkan status resmi sebagai cabang dari agama Hindu Dharma,
dan sejak saat itulah ia dinamakan Alukta yang berarti agama kita. Menurut
kepercayaan Aluk To Dolo, Tuhan yang paling tinggi ialah “Puang Matua” atau
“Puang Ambe’” yang menciptakan manusia pertama dan alam dengan segala
isinya. Puang Matua dikenal juga dengan “Totumampata”. Untuk mengatur
kehidupan manusia, Puang Matua menurunkan Alu’ beserta persyaratan
hukumnya. Hukum yang dimaksud disebut “Pemali” yang harus dipatuhi oleh
para penganutnya. Jumlah Pemali, menurut Aluk To Dolo ada 100 yang disebut
“Aluk Sanda Saratu”. Apabila penganut Aluk To Dolo melakukan pelanggaran,
akan dikenakan hukuman sebagai sanksi. Berat ringannya sanksi tergantung pada
besar kecilnya pelanggaran yang dilakukannya. Pemali inilah yang mengatur dan
mengikat masyarakat Suku Toraja untuk melakukan berbagai upacara keagamaan,
seperti Rambu Solo’, Rambu Tuka’, Ma’nene’, Sisemba’, Mangrara Banua,
hingga saat ini sekalipun mereka bukanlah pemeluk agama Aluk To Dolo (Liku-
Ada’, 2014:3).
2.3 Tradisi Rambu Solo’
Rambu Solo’ atau disebut j u g a Aluk Rampe Matampu' adalah upacara
pemakaman dan kematian yang terikat dengan kepercayaan Aluk To Dolo.
Menurut kepercayaan Aluk To Dolo, bahwa orang mati itu hanya mengalami
perubahan proses hidup, tetapi rohnya tetap hidup di alam gaib, maka tetap
diperlakukan seperti orang hidup melalui upacara adat. Hewan yang dikurbankan,
pakaian yang dikenakan kepada mayat, dan seluruh peralatan dalam pelaksanaan
upacara akan dibawa serta arwahnya ke dalam "Puya" (dunia jiwa).
Para keluarga dekat yang ditinggalkan si meninggal, menjadi konsekuensi
tanggung jawab solider bagi mereka, memenuhi persyaratan agama dan adat,
dengan memberikan pengorbanan, di mana seluruh kehidupan masyarakat
penganut Aluk To Dolo diarahkan untuk upacara adat pemakaman, sesuai
kedudukan, status sosial dan kemampuan mereka.
2.4 Kepemimpinan dan Perannya Dalam Organisasi
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi perilaku seseorang
atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu.
Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antar
pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan
bersama baik dengan cara memengaruhi, membujuk, memotivasi, dan
mengkoordinasi (Rivai, Bachtiar & Amar, 2014:5). Dari sini dipahami bahwa
tugas seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya
terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi
lebih dari itu, yaitu pemimpin harus mampu melibatkan seluruh lapisan
organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga
mereka mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan.
6
4 Observasi
5 Wawancara
Analisis dan
6
interpretasi data
Monev dosen
7
pendamping
Penyusunan
8
laporan akhir
Monev dosen
9 pendamping
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Indonesia 2018.
Charliyan, H.A. 2013. Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju
Masyarakat Tata Tentrem Kertaraharja. URL:
10
https://id.scribd.com/doc/169947244/Kepemimpinan-Nasional-Berbasis-Kearifan-
Lokal-Menuju-Masyarakat-Yang-Tatatentrem-Kertaraharja. Diakses tanggal 18
Oktober 2019.
Endraswara, S. 2012. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Hatherell, M. dan A. Welsh. 2017. Rebel wih a Cause: Ahok and Charismatic
Leadership in Indonesia. Asian Study Review. 41 (2):174-190.
Hughes, R.L., R.C. Ginnett dan G.J. Curphy. 2015. Leadership: Memperkaya
Pelajaran dari Pengalaman. Edisi ke-7. Salemba Humanika. Jakarta.
Indrayanto, A., J. Burgess dan K. Dayaram. 2014. A case study of
transformational leadership and para-police performance in Indonesia. Policing:
An International Journal of Police Strategies & Management. 37 (2):373-388.
Jumiaty. 2013. Makna Simbolik Tradisi To Ma’badong Dalam Upacara Rambu
Solo’ di Kabupaten Tana Toraja. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Liku-Ada’, J. 2014. Aluk To Dolo Menantikan Kristus: Ia Datang agar Manusia
Mempunyai Hidup dalam Segala Kelimpahan. Batu Silambi’ Publishing. Toraja.
Muhadjir, N. 2011. Metodologi Penelitian. Edisi ke-6. Rake Sarasin. Yogyakarta.
Mudjiyanto, B. 2018. Tipe Penelitian Eksploratif Komunikasi: Exploratory
Research In Communication Study. Jurnal Studi Komunikasi dan Media. 22
(1):65-74.
Pekerti, A.A. dan S. Sendjaya. 2010. Exploring servant leadership across cultures:
comparative study in Australia and Indonesia. The International Journal of
Human Resource Management. 21 (5):754-780.
Rivai, V., Bachtiar dan B.R. Amar. 2014. Pemimpin dan Kepemimpinan dalam
Organisasi. Edisi ke-1. Rajawali Pers. Jakarta.
Scholte, J.A. 2005. Globalization: A Critical Introduction. Edisi ke-2. Palgrave
Macmillan. New York. USA.
Suherli. 2017. Dinamika Interaksi Sosial Pada Komunitas Marginal di Pedesaan
(Studi Etnografi Komunikasi Masyarakat Tallas di Desa Samasundu Sulawesi
Barat). Skripsi. Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri
Alauddin, Makassar.
Suratman, M.B.M., Munir dan U. Salamah. 2015. Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Intimedia. Malang.
Spradley, J.P. 1997. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Winardi, J. 2012. Manajemen Perilaku Organisasi. Edisi revisi. Kencana. Jakarta.
Zakiah, K. 2008. Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode. Mediator. 9
(1):181-188.
11
12
13
14
15
16
17
(bulanan)
Alokasi
N Program Bidang Waktu
Nama/NIM Uraian Tugas
o Studi Ilmu (jam/min
ggu)
1. Penanggung
jawab penelitian
2. Koordinasi
dengan pihak
terkait
Adrianus Dimitri
Sosial 3. Pengambilan
1 Pai Akuntansi 10
Ekonomi data penelitian
195020307111060
4. Analisa dan
interpretasi data
5. Penulisan
laporan
penelitian
1. Monitoring dana
2. Pengambilan
data penelitan
I Fhadil
Ilmu Sosial 3. Analisa dan
2 Muhammad Yuda 10
Ekonomi Ekonomi interpretasi data
195020107111007
4. Penulisan
laporan
penelitan
1. Pengambilan
data penelitan
Syahri Ramadhan Sosial 2. Dokumentasi
3 Manajemen 10
185020201111004 Ekonomi 3. Penulisan
laporan
penelitian
20