Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PERLAWANAN TERHADAP VOC

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah- Nya sehingga saya bisa menyusun tugas Sejarah
Indonesia ini dengan baik serta tepat waktu. Berikut ini saya menuliskan sebuah
makalah yang berjudul “Perlawanan terhadap VOC”.
Saya membuat makalah ini sebagai tugas untuk penilaian mata pelajaran
wajib yang dibimbing oleh Ibu Nurcahyani, S.Pd.,M.Pd. selaku guru Sejarah
Indonesia.
Tugas ini saya buat untuk memberikan ringkasan tentang perlawanan yang
dilakukan rakyat Indonesia terhadap VOC atau kongsi dagang Belanda. Saya
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Dalam penyusunan makalah ini, jika terdapat kekurangan saya mohon
maaf. Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat saya
harapkan guna kesempurnaan makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, saya
sampaikan terima kasih.

07 September 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................2
1.3 Tujuan .....................................................................................2
1.4 Manfaat....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perlawanan Rakyat Aceh terhadap VOC.................................3
2.2 Perlawanan Rakyat Maluku terhadap VOC.............................4
2.3 Perlawanan Sultan Agung versus J.P. Coen….........................5
2.4 Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC…..........................7
2.5 Perlawanan Rakyat Gowa terhadap VOC……………............8
2.6 Perlawanan Rakyat Riau terhadap VOC…………………..…9
2.7 Perlawanan Etnik Tionghoa terhadap VOC……………..….11
2.8 Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said…………12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................14
3.2 Saran.......................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


VOC merupakan persekutuan dagang Belanda untuk memonopoli
perdagangan di Asia salah satunya di Indonesia. VOC adalah singkatan dari
(Vereenigde Oostindische Compagnie) yang dibentuk sejak tanggal 20 Maret
1602. VOC menjadi kongsi dagang terbesar di nusantara untuk menggabungkan
perdagangan rempah-rempah dari wilayah timur dalam memperkuat kedudukan
Belanda di Indonesia. Pembentukan VOC di Indonesia oleh Belanda ini tentu saja
mempunyai dasar atau kehendak untuk memonopoli Indonesia di bidang
perdagangan.
Atas prakarsa dari Pangeran Maurits serta Olden Barneveld didirikanlah suatu
perkumpulan kongsi perdagangan yaitu VOC. VOC kemudian membuka kantor
pertamanya di Indonesia yang berada di Banten yang diketuai oleh Francois
Wittert pada tahun 1602. Dalam pembentukannya, VOC di Indonesia sendiri
mempunyai hak istimewa dari pemerintah Belanda yaitu hak monopoli
perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mencetak dan mengeluarkan
mata uang, hak mengadakan perjanjian dengan raja, hak memerintah di Nusantara,
hak ekspansi benteng, hak menentukan perang atau damai, dan hak mengangkat
dan memberhentikan pegawai. Tentu saja kebijakan itu memberatkan bagi rakyat
Indonesia dan hanya menguntungkan pihak Belanda.
Pada abad ke-19 menunjukkan makin meluasnya kekuasaan Belanda,
sedangkan di lain pihak terlihat makin merosotnya kekuasaan negara-negara
tradisional. Selama situasi kritis di daerah kerajaan, ajakan perlawanan dari para
bangsawan ataupun ulama yang berpengaruh untuk melawan kekuasaan asing
dengan cepat mendapat sambutan baik dari kelompok rakyat. Selain itu
pengalaman pahit yang pernah dirasakan oleh rakyat di daerah-daerah selama
kontak dengan kekuasaan asing dapat memperkuat keinginan untuk berjuang
melawan kekuasaan asing. Perjuangan-perjuangan itu berupa perlawanan besar
atau pemberontakan dan berupa kericuhan.

1
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang di atas, adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana perlawanan rakyat Aceh terhadap VOC?
2. Bagaimana perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC?
3. Bagaimana perlawanan Sultan Agung versus J.P. Coen?
4. Bagaimana perlawanan rakyat Banten terhadap VOC?
5. Bagaimana perlawanan rakyat Gowa terhadap VOC?
6. Bagaimana perlawanan rakyat Riau terhadap VOC?
7. Bagaimana perlawanan etnik Tionghoa terhadap VOC?
8. Bagaimana perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said?

1.3 Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui perlawanan rakyat Aceh terhadap VOC.
2. Untuk mengetahui perlawanan rakyat Maluku terhadapt VOC.
3. Untuk mengetahui perlawanan Sultan Agung versus J.P. Coen.
4. Untuk mengetahui perlawanan rakyat Banten terhadap VOC.
5. Untuk mengetahui perlawanan rakyat Gowa terhadap VOC.
6. Untuk mengetahui perlawanan rakyat Riau terhadap VOC.
7. Untuk mengetahui perlawanan etnik Tionghoa terhadap VOC.
8. Untuk mengetahui perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said.

1.4 Manfaat
Manfaat dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengatahui bagaimana perlawanan-perlawanan rakyat terhadap VOC.
2. Menambah wawasan mengenai sejarah Indonesia.
3. Untuk memenuhi nilai tugas mata pelajaran wajib Sejarah Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perlawanan Rakyat Aceh terhadap VOC


Usaha VOC untuk berdagang dan menguasai pelabuhan-pelabuhan
penting di Aceh tidak berhasil, karena Sultan Iskandar Muda cukup tegas. Ia
selalu mempersulit orang-orang barat untuk berdagang di wilayahnya. Ketika itu
Inggris dan Belanda minta ijin untuk berdagang di wilayah Aceh. Sultan Iskandar
Muda menegaskan bahwa ia hanya akan memberi ijin kepada salah satu di antara
keduanya dengan syarat ijin diberikan kepada yang memberi keuntungan kepada
Kerajaan Aceh.
Pada akhir pemerintahan Sultan Iskandar muda, Aceh mulai surut. Hal itu
akibat kekalahan perlawanan Aceh terhadap Portugis di Malaka. Oleh karena itu,
Aceh membutuhkan banyak biaya untuk membangun armadanya kembali. Maka
dengan sangat terpaksa, Aceh memberi ijin kepada VOC untuk berdagang di
wilayahnya. Dalam pelaksanaannya, VOC tetap mengalami kesulitan. Pada tahun
1641 VOC merebut Malaka dari tangan Portugis. Sejak itu VOC berperan penting
di Selat Malaka. Akibatnya peranan Aceh di selat tersebut makin berkurang.
Perang Aceh dimulai ketika Kesultanan Aceh melawan Belanda pada
1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat
Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda
menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke
daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah
pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung menguasai Masjid Raya
Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3. 198 tentara. Sebanyak 168 diantaranya
para perwira.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz. Taktik berikutnya yang
dilakukan Belanda ialah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan
Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe
[1902]. Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya,
Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai.

2
Van der Maaten menangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu
saudara perempuannyadan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima
Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh
yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dien istri Teuku Umar yang masih
melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nyak Dien dapat
ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek tentang
penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah
tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu
berisikan, Raja [Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia
Belanda, Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar
negeri, dan berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan
Belanda.

2.2 Perlawanan Rakyat Maluku terhadap VOC


Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil
merebut benteng Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran
Hongi menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan
rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu.
Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah.
Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan
akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali.
Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali. Pada tahun 1650
muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke
daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak,
kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di
bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di
Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka
patahlah perlawanan rakyat Maluku.

2
Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah
pimpinan Sultan Jamaluddin, namun dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan
(Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar
rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku berhasil
merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku
meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.
Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota kecil di dekat
pulau Ambon. Tanggal 15 Mei 1817, rakyat Maluku mulai bergerak dengan
membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat
menyerang penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan
benteng berhasil dikuasai oleh rakyat Maluku.
Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda dikerahkan secara besar-
besaran, Belanda berhasil menangkap Pattimura dan kawan-kawan dan pada
tanggal 16 November 1817. Pattimura dijatuhi hukuman mati ditiang gantungan,
dan berakhir lah perlawanan rakyat Maluku.

2.3 Perlawanan Sultan Agung versus J.P. Coen


Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan.
Cita-cita Sultan Agung yaitu mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan mengusir
kekuasaan asing dari bumi nusantara. Terkait dengan cita citanya ini maka Sultan
Agung sangat menentang keberadaan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang
terus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli perdagangan membuat
para pedagang pribumi mengalami kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga
membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan
serangan ke Batavia.
Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan
dan perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P.
Coen. Sebagai pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa.
Tepat pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah
pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha
membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC berusaha menghalang-halangi,

2
sehingga pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di tengah-
tengah berkecamuknya peperangan itu, pasukan Mataram yang lain berdatangan.
Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan
Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah
pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai
tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul,
sehingga dapat memukul mundur semua pasukan Mataram. Tumenggung
Baureksa sendiri gugur dalam pertempuran itu. Dengan demikian serangan tentara
Sultan Agung pada tahun 1628 belum berhasil.
Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja
dialami pasukannya. la segera mempersiapkan serangan yang kedua. Tahun 1629
pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai pimpinan pasukan
Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan
Dipati Purbaya. Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel,
tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut.
Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen
meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan
semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan.
Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke
Mataram. Dengan demikian serangan Sultan Agung yang kedua ini juga
mengalami kegagalan.
Dengan kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC
semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas
pengaruhnya di daerah-daerah lain. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645,
Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh
VOC.
Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. la
memerintah pada tahun 1646-1677 Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja
yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC. Raja ini juga bersifat reaksioner
dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama.
Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat itu timbul berbagai
perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya

2
2.4 Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC
Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan
internasional. Oleh karena itu sejak semula, Belanda ingin menguasai Banten
tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun bandar di Batavia pada
tahun 1619. Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi
sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering
melakukan serangan terhadap VOC.
Tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. la adalah
cucu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al
Ma'ali Ahmad yang wafat pada 1650. Pangeran Surya bergelar Sultan Abu al-Fath
Abdul Fatah. Sultan Abu al-Fath Abdul Fatah ini lebih dikenal dengan nama
Sultan Ageng Tirtayasa, la berusaha memulihkan posisi Banten sebagai Bandar
perdagangan internasional dan sekaligus menandingi perkembangan di Batavia.
Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC. Oleh
karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC
sering melakukan blokade. Jung-jung Cina dan kapal-kapal dagang dari Maluku
dilarang meneruskan perjalanan menuju Banten. Sebagai balasan, Sultan Ageng
juga mengirim beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC
dan menimbulkan gangguan di Batavia. Dalam rangka memberi tekanan dan
memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan
terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC.
Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota
Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng
Noordwijk. Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng
memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari Sungai
Untung Jawa sampai Pontang.
Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan. Di tengah-tengah
mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa
mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang
lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja pembantu Sultan Haji
bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung
jawab urusan luar negeri dibantu puteranya yang lain, yakni Pangeran Arya

2
Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan
VOC di Banten. W. Caeff kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar
urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan
jatuh ke tangan Arya Purbaya. Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera
membuat persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta Kesultanan Banten.
Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan
Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Ageng kemudian membangun
istana yang baru berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng berusaha merebut kembali
Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC. Pada tahun 1682
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung Istana Surosowan. Sultan
Haji terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC. Datanglah bantuan
tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa
dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Sultan Ageng
Tirtayasa beserta pengikutnya kemudian bergerak ke arah Bogor. Pada tahun
1683, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai
meninggalnya pada tahun 1692.
Namun harus diingat bahwa semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa
beserta pengikutnya tidak pernah padam. Misalnya pada tahun 1750 timbul
perlawanan yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus. Perlawanan ini ternyata
sangat kuat sehingga VOC kewalahan menghadapi serangan itu. Dengan susah
payah akhirnya perlawanan yang dipimpin Ki Tapa dan Ratu Bagus ini dapat
dipadamkan.

2.5 Perlawanan Rakyat Gowa terhadap VOC


Pusat pemerintahan Kerajaan Gowa berada di Somba Opu yang sekaligus
menjadi pelabuhan Kerajaan Gowa. Pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang
strategis dalam jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Somba Opu telah
berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang
dari timur ke barat atau sebaliknya.
Dengan melihat peran dan posisinya yang strategis, VOC berusaha keras
untuk dapat mengendalikan Gowa dan menguasai pelabuhan Somba Opu serta
menerapkan monopoli perdagangan. Berbagai upaya untuk melemahkan posisi

2
Gowa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1634, VOC melakukan
blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena perahu-perahu
Makasar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah bergerak di antara pulau-
pulau, yang ada.
Raja Gowa, Sultan Hasanuddin Ingin menghentikan tindakan VOC yang
anarkis dan provokatif itu. Sultan Hasanuddin menentang ambisi VOC yang
memaksakan monopoli di Gowa. Beberapa benteng pertahanan mulai
dipersiapkan di sepanjang pantai. Sementara itu VOC juga mempersiapkan diri
untuk menundukkan Gowa dengan politik devide et impera.
Dikirimlah pasukan ekspedisi yang berkekuatan 21 kapal dengan
mengangkut 600 orang tentara. Mereka terdiri atas tentara VOC, orang-orang
Ambon dan juga orang-orang Bugis di bawah Aru Palaka. Tanggal 7 Juli 1667,
meletus Perang Goa. Beberapa serangan VOC berhasil ditahan pasukan
Hasanuddin. Tetapi dengan pasukan gabungan disertai peralatan senjata yang
lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin. Benteng pertahanan
tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Hal ini
menandai kemenangan pihak VOC atas kerajaan Gowa. Hasanuddin kemudian
dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November
1667.
Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, karena isi
perjanjian itu bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Gowa
atau Makassar. Pada tahun 1668, Sultan Hasanuddin mencoba menggerakkan
kekuatan rakyat untuk kembali melawan kesewenang-wenangan VOC itu. Namun
perlawanan ini segera dapat dipadamkan oleh VOC. Dengan sangat terpaksa
Sultan Hasanuddin harus melaksanakan isi Perjanjian Bongaya.

2.6 Perlawanan Rakyat Riau terhadap VOC


Ambisi untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai
daerah di nusantara terus dilakukan oleh VOC. Kerajaan-kerajaan kecil seperti
Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh pemaksaan monopoli
dan tindakan sewenang-wenang dari VOC. Oleh karena itu, beberapa kerajaan
mulai melancarkan perlawanan

2
Salah satu contoh perlawanan di Riau adalah perlawanan yang dilancar
kan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura, Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah
(1723-1744) memimpin rakyatnya untuk melawan VOC. Ketika Sultan Abdul
Jalil Rahmat Syah wafat, diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad Abdul
Jalil Muzafar Syah (1746-1760). Raja ini juga memiliki naluri seperti
ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka dan sebagai komandan
perangnya adalah Raja Indra Pahlawan.
Tahun 1751 berkobar perang melawan VOC. Sebagai strategi menghadapi
serangan Raja Siak, VOC berusaha memutus jalur perdagangan menuju Siak.
VOC mendirikan benteng pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan
Sungai Indragiri, Kampar, sampai Pulau Guntung yang berada di muara Sungai
Siak. Kapal-kapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh VOC. Hal ini
merupakan pukulan bagi Siak. Oleh karena itu segera dipersiapkan kekuatan yang
lebih besar untuk menyerang VOC.
Dalam serangan ini dipimpin oleh Panglima Besar Tengku Muhammad
Ali. Serangan diperkuat dengan kapal perang "Harimau Buas" yang dilengkapi
dengan lancang serta perlengkapan perang secukupnya. Terjadilah pertempuran
sengit di Pulau Guntung (1752-1753). Pertempuran hampir berlangsung satu
bulan. Sementara VOC terus mendatangkan bantuan. Melihat situasi yang
demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan pasukannya untuk mundur
kembali ke Siak.
Sultan Siak bersama para panglima dan penasihat mengatur siasat baru.
Disepakati bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya. Sultan diminta berpura-
pura berdamai dengan cara memberikan hadiah kepada Belanda. Oleh karena itu,
siasat ini dikenal dengan "siasat hadiah sultan". VOC setuju dengan ajakan damai
ini. Perundingan damai diadakan di loji di Pulau Guntung. Pada saat perundingan
baru mulai justru Sultan Siak dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahah VOC.
Sultan segera memberi kode pada anak buah dan segera menyergap dan
membunuh orang-orang Belanda di loji itu. Loji segera dibakar dan rombongan
Sultan Siak kembali ke Siak dengan membawa kemenangan, sekalipun belum
berhasil mengenyahkan VOC dari Malaka.

2
2.7 Perlawanan Etnik Tionghoa terhadap VOC
Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang
ke Jawa dan jumlahnya pun semakin banyak. Pada masa pemerintahan VOC di
Batavia, banyak orang Cina yang datang ke Jawa. VOC memang sengaja
mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka mendukung
kemajuan perekonomian di Jawa. Orang-orang Cina yang datang ke Jawa tidak
semua yang memiliki modal. Banyak di antara mereka termasuk golongan miskin.
Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi pencuri. Sudah
barang tentu hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan Kota Batavia.
Untuk membatasi kedatangan orang-orang Cina ke Batavia, VOC
mengeluarkan ketentuan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia harus
memiliki surat izin bermukim yang disebut permissiebriefjes atau masyarakat
sering menyebut dengan "surat pas". Apabila tidak memiliki surat izin, maka akan
ditangkap dan dibuang ke Sailon (Sri Langka) untuk dipekerjakan di kebun-kebun
pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina. Mereka diberi waktu enam
bulan untuk mendapatkan surat izin tersebut.
Biaya untuk mendapatkan surat izin yang resmi yaitu dua ringgit (Rds.2,-)
per orang. Tetapi dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan surat izin terjadi
penyelewengan dengan membayar lebih mahal, tidak hanya dua ringgit.
Akibatnya, banyak yang tidak mampu memiliki surat izin tersebut. VOC
bertindak tegas, orang-orang Cina yang tidak memiliki surat izin bermukim
ditangkapi. Tetapi mereka banyak yang dapat melarikan diri keluar kota. Mereka
kemudian membentuk gerombolan yang mengacaukan keberadaan VOC di
Batavia.
Pada suatu ketika tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia, VOC
menafsirkan peristiwa ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melakukan
pemberontakan. Oleh karena itu, para serdadu VOC mulai beraksi dengan
melakukan sweeping memasuki rumah-rumah orang Cina dan kemudian
melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Cina yang ditemukan di setiap
rumah. Sementara yang berhasil meloloskan diri dan melakukan perlawanan di
berbagai daerah, misalnya di Jawa Tengah. Salah satu tokohnya yang terkenal
adalah Oey Panko atau kemudian dikenal dengan sebutan Khe Panjang, kemudian

2
di Jawa menjadi Ki Sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan perannya dalam
memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa.

Perlawanan dan kekacauan yang dilakukan orang-orang Cina itu kemudian


meluas di berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa. Perlawanan orang-
orang Cina ini mendapat bantuan dan dukungan dari para bupati di pesisir.
Bahkan yang menarik atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana Il juga ikut
mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut. Pada tahun 1741 benteng
VOC di Kartasura dapat diserang sehingga jatuh banyak korban. VOC segera
meningkatkan kekuatan tentara maupun persenjataan sehingga pemberontakan
orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan. Pada kondisi yang demikian
ini Pakubuwana Il mulai bimbang dan akhirnya melakukan perundingan damai
dengan VOC.

2.8 Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said


Perlawan terhadap VOC kembali terjadi di Jawa, kali ini dipimpin oleh
bangsawan kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.
Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun. Beberapa raja Mataram setelah Sultan
Agung merupakan raja yang lemah bahkan bersahabat dengan kaum penjajah.
Persahabatan antara Pakubuwana II dengan VOC ini telah menimbulkan
kekecewaan para bangsawan kerajaan.
Saat itu Mas Said ingin kenaikan pangkat, namun ia dihina oleh
keluarganya. Mas Said merasa sakit hati dengan sikap keluarga kepatihan.
Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC yang telah membuat
kerajaan kacau karena banyak kaum bangwasan yang bersekutu dengan VOC. Ia
bersama R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (Kiai Kudanawarsa) pergi keluar kota
untuk menyusun kekuatan. Kemudian Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk
memulai perlawanan.
Perlawanan Mas Said ternyata cukup kuat karena mendapat dukungan dari
masyarakat. Oleh karena itu, pada tahun 1745 Pakubuwana Il mengumumkan
barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah
sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang).

2
Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan perlawanan
Mas Said. Namun Pakubuwana II ingkar janji. Terjadilah pertentangan antara
Raja Pakubuwana Il yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak dengan
Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Pangeran Mangkubumi segera
meninggalkan istana.
Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati
untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan VOC.
Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden Mas Said dijadikan menantu oleh
Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk membagi
wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta
ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati. Sedangkan
Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di
Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Pleret (termasuk daerah Yogyakarta
sekarang).
Pada tahun 1749 dalam suasana perang sedang berkecamuk di berbagai
tempat, terpetik berita kalau Pakubuwana II jatuh sakit. Dalam keadaan sakit ini
Pakubuwana II terpaksa harus menandatangani perjanjian dengan VOC.
Perjanjian tersebut merupakan sebuah tragedi karena Kerajaan Mataram yang
pernah berjaya di masa Sultan Agung harus menyerahkan kedaulatan atas seluruh
wilayah kerajaan kepada pihak asing. Hal ini semakin membuat kekecewaan
Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga keduanya harus meningkatkan
perlawanannya terhadap kezaliman VOC.
Perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir setelah tercapai Giyanti pada
tanggal 13 Februari 1755. Isi pokok perjanjian itu adalah bahwa Mataram dibagi
dua. Wilayah bagian barat (daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran
Mangkubumi dan berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan
Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh
Pakubuwana III. Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai
Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat
sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati
Arya Mangkunegara I.

2
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kedatangan VOC di Indonesia memiliki banyak pengaruh dalam
perekonomian dan kegiatan rakyat. Para penguasa VOC memeras, menindas, dan
merampas hak-hak rakyat nusantara. Salah satunya yang paling menyengsarakan
rakyat adalah adanya kebijakan VOC yang melakukan monopoli perdagangan dan
berusaha menguasai daerah yang dipijaknya. Banyak perlawanan dari pahlawan-
pahlawan. Muncul banyak tokoh-tokoh yang memegang andil besar dalam
perlawanan terhadap penjajahan. Perlawanan para pejuang dilakukan dengan
semangat yang membara dan keinginan yang kuat untuk merdeka.

3.2 Saran
Saran saya untuk setiap individu, terutama pemuda yaitu terus
mempertahankan kemerdekaan, tetap menjaga semangat perjuangan, dan tidak
lupa terhadap jasa para pahlawan yang telah memerdekakan kita dari para
penjajah. Di jaman globalisasi sekarang ini, semangat generasi muda penerus
bangsa kian menurun dan sangat memprihatinkan. Melihat akan gigihnya para
pejuang daerah kita terdahulu, harusnya para pemuda merasa malu. Semestinya
para pemuda generasi baru harus bisa melanjutkan perjuangan para pendahulu
dengan cara memiliki semangat nasionalisme, serta giat belajar bisa membangun
bangsa ini menjadi lebih maju. Jika kita memang belum bisa memajukan bangsa
dengan prestasi, maka majukanlah Indonesia dengan budi pekerti yang luhur.

2
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Sejarah Indonesia Kelas XI


SMA/MA/SMK/MAK. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penulis. 2017. Media Penilaian Autentik Sejarah Indonesia 2A untuk Kelas
XI SMA dan MA. Solo: Tiga Serangkai.
Asril. 2014. “Perlawanan Rakyat Terhadap VOC”
http://wartasejarah.blogspot.com/perlawanan-rakyat-terhadap-voc/. Diakses pada
10 September 2020.

14

Anda mungkin juga menyukai