Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH GEOGRAFI SEJARAH

“Pengaruh Topografi Lokasi dan Iklim terhadap Perang


Mataram lawan Batavia; Mitos Ratu Kidul dan Raja-Raja
Mataram.”

DISUSUN OLEH :
1. MUH. AMNA HARUN A. (202015500141)
2. LAILA RATA BILLA BAGI (202015500306)
3. DAHLIA (202015500

UNIVERSITAS INDRAPRASTA
TB. Simatupang, Jl. Nangka Raya No.58 C, RT.5/RW.5, Tj. Bar., Kec. Jagakarsa, Kota
Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12530

1
KATA PENGANTAR

Puji rasa syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang mana telah
memberikan kenikmatan kepada kita semua, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini.

Sholawat serta Salam senantiasa tercurahkan kepada baginda kita Nabi Besar
Muhamad SAW. Yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman
Islamiyah.

Bergema seiring nada mengalunkan kata hati yang senantiasa mengungkapkan getaran
jiwa, Penyusun dengan penuh kesadaran diri bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan dan kesalahan, hal ini dengan keterbatasan kemampuan dan
kedangkalan ilmu yang kami miliki.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak selaku dosen mata
kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Makalah “PENGARUH TOPOGRAFI LOKASI DAN IKLIM TERHADAP PERANG


MATARAM LAWAN BATAVIA; MITOS RATU KIDUL DAN RAJA-RAJA
MATARAM.” ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Geografi Sejarah.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang materi kuliah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya kepada Illahi kita berharap dan berdo’a, semoga makalah ini bermanfaat
khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca. Amin….!

2
Jakarta, 20 April 2021

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................................... 2

BAB 1 Pendahuluan .........................................................................……………………… 4

1. Latar Belakang ...............……………………………........................……………….. 4

2. Rumusan Masalah …………......................…………….........................……………. 4

3. Tujuan Penulisan ………………………………………………….........…………… 4

BAB 2 Pembahasan ………….............................................................................................. 5

1. Pengaruh Topografi Lokasi terhadap Perang Mataram lawan Batavia ..........… 5

2. Pengaruh Topografi Iklim terhadap Perang Mataram lawan Batavia................... 6

3. Mitos Ratu Kidul dan Raja-Raja Mataram ........................................….……......... 6

BAB 3 Penutup …....……………………………………...........………………………… 15

1. Kesimpulan …………………………………………...........……………………….. 15

2. Saran ………………………………………………………………...........…………. 15

Daftar Pustaka …………………………………………………………….…..........……. 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak berdirinya pada perempatan ketiga abad ke-16 Masehi, kerajaan Mataram
cenderungbersifat agresif dan berambisi memperluas wilayahnya. Hal itu tampak
dengan jelas sekali pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613 - 1646). Sejak tahun
pertama pemerintahannya, Sultan Agung melakukan gerakan ekspansi untuk
memperluas wilayah kekuasaannya agar dapat mewujudkan Wawasan Nusantara
seperti kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya, hal ini didukung dengan adanya
doktrin Keagungbinatharan dan tindak lanjut dari cita-cita kakeknya yaitu Panembahan
Senopati. Mula-mula gerakan itu diarahkan ke daerah sekitarnya, kemudian
menjangkau daerah yang lebih jauh. Di samping itu perhatian dan gerakan ekspansi
Mataram diarahkan pula ke barat yaitu ke daerah Jawa Barat. Keinginan Sultan
Agung untuk menguasai seluruh Jawa tidak sepenuhnya dapat terwujud. Hal tersebut
dikarenakan adanya dua kekuatan yang belum bisa dikuasai Sultan Agung yaitu
Banten dan Batavia. Kedua kekuatan tersebut yang menjadi batu sandungan/hambatan
bagi Sultan Agung untuk mewujudkan cita-citanya. Namun dari dua kekuatan
tersebut, VOC yang saat itu sebagai penguasa di Batavia merupakan kendala terbesar
atau terberat bagi Sultan Agung. Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Islam di
Jawa yang wilayahnya hampir meliputi seluruh Jawa kecuali Banten dan Batavia.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengaruh Topografi Lokasi terhadap Perang Mataram lawan Batavia ?
2. Jelaskan Pengaruh Topografi Iklim terhadap Perang Mataram lawan Batavia ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Pengaruh Topografi Lokasi terhadap Perang Mataram lawan


Batavia
2. Untuk mengetahui Pengaruh Topografi Iklim terhadap Perang Mataram lawan
Batavia

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengaruh Topografi Lokasi terhadap Perang Mataram lawan Batavia

Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan.


Tetapi semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam
pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya. Sayangnya semangat ini tidak diwarisi oleh
raja-raja pengganti Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram
menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.

Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada


tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan
bersahabat dengan VOC. Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang
kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan
Amangkurat I itu timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin
oleh Trunajaya.

Perjanjian Giyanti
Ketika kerajaan Mataram berada di Keraton Kartasura, terjadi pemberontakan oleh Mas
garendi (Sunan Kuning). Alasannya karean ia mendesak Pakubuwana II (anak dari Pangeran
Puger) yang berkuasa tahun 1726 sampai 1749, agar tidak berkerja sama dengan Kompeni
Belanda. Kebijakannya diantaranya, Belanda diizinkan untuk membuat Benteng-benteng di
Karatasura. Begitu juga pemberontakan dilakukan oleh Pangeran Sambernyowo (R.M. Said),
karena daerah Sukowati yang diberikan pada ayahnya di cabut pada tahun 1742.

Akibat dari pemberontakan tersebut, akhirnya Pakubuwana II lari ke Ponorogo untuk


meminta bantuan kepada Bupati Ponorogo dan kompeni Belanda. Atas bantuan Mayor Baron
Van Hanendrof dan Adipati Bagus Suroto (Ponorogo), akhirnya pemberontakan dapat
dipadamkan. Karena keadaan keraton Kartasura yang hancur, maka PB II mengutus
Tumenggung Tirtowijoyo dan Pangeran Wijil untuk mencari tempat baru. Dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya pada tahun 1745, Sala dipilih sebagai tempat baru kerajaan dan
berubah nama menjadi “Surakarta Hardiningrat”.

Campur tangan Belanda dalam setiap urusan di Mataram Surakarta membuat


bangsawan kerajaan Surakarta pecah menjadi dua kelompok yaitu setuju dengan Belanda.
Dan yang tidak setuju dengan Belanda. Yang tidak setuju termasuk adalah R. M Said
(Pangeran Sambernyowo). Ia sering kali mendatangi tangsi-tangsi Belanda dan Merebut
senjata mereka. Belanda dibuat pusing dengan pemberontakan tersebut dan Belanda
menghadap PB II untuk meminta bantuan. Akhirnya PB II memberikan sayembara, siapa
yang dapat mengatasi pemberontakan tersebut, maka akan di beri hadiah sebidang tanah di

5
Surakarta (Mataram). Kemungkinan itu juga tidak lepas dari desakan Kompeni Belanda.
Pangeran Mangkubumi (adik PB II; dan menjabat sebagai penasehat raja Mataram)
menyanggupi untuk memadamkan pemberontakan Pangeran Sambernyowo tersebut.

Selain Raden Said, ada juga Ki Martapura (bekas Bupati Grobogan) yang bergabung
dengan Raden Said untuk melawan Kompeni Belanda. Sebenarnya Pangeran Mangkubumi
juga tidak suka terhadap Belanda. Akhirnya ia berbalik arah, yaitu dengan bergabung dengan
Raden Said yang sudah selama sembilan tahun (1743-1752) melawan Kompeni Belanda.
Pangeran Mangkubumi mengkabarkan ke Keraton bahwa pemberontakan sudah dipadamkan.
Alangkah terkejutnya Pangeran Mangkubumi ketika diadakan Paseban Agung (upacara
besar) yang dihadiri oleh segenap pembantu PB II dan pejabat Kompeni Belanda.Dalam
acara tersebut Kompeni Belanda mengusulkan agar sebidang tanah tersebut diberikan kepada
patih mataram bukan penasehat raja (Pangeran Mangkubumi).

Atas usul tersebut PB II bingung dan meminta pengertian dari adiknya (Pangeran
Mangkubumi) untuk bisa menerima. Pangeran Mangkubumi meminta restu kepada PB II,
bahwa ia akan mengusir Kompeni Belanda dari bumi Mataram. Mulai sejak itu Pangeran
Mangkubumi menghimpun kekuatan dengan mendirikan Pasenggerahan di Sukowati. Selain
itu juga ia bergabung denga rakyat Mataram di sebelah barat dan dengan Raden Said.
Akhirnya Pemberotakan yang sudah direncanakan matang terjadi, pihak Kompeni Belanda
dan Mataram mengalami kekalahan.

Akhirnya Belanda mengangkat topi dan memenuhi janjinya yaitu menyerahkan sebagian
wilayah Mataram kepada yang dapat memadamkan pemberontakan (Pangeran Mangkubumi).
Diadakan di Giyanti, pada tanggal 13 Februari tahun 1755, diadakan suatu perundingan
perdamaian (Perjanjian Giyanti). Intinya Mataram di bagi menjadi dua. Wilayah sebelah
timur disebut Kasunanan Surakarta dengan Pakubuwana II sebagai raja dan wilayah Barat
disebut Kasultanan Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang bergelar
Hamengku Buwono I (HB I).

Setelah diadakan perjajian Giyanti, Pangeran Mangkubumi menghentikan


pemberontakannya. Kemudian hidup tentram tanpa gangguan Belanda. Sedangkan Raden
Said tetap melakukan pemberontakan terhadap Kompeni Belanda di Surakarta.

Perjanjian Salatiga
Wilayah Mataram sudah dibagi menjadi dua, dan Pangeran Mangkubumi sudah
mengakhiri pemberotakannya. Namun tidak begitu dengan Raden Said (Pangeran
Sambernyowo; 1725-1795), ia tetap melanjutkan pemberontakannya terhadap Belanda di
Surakarta. Raden Said sangat membenci terhadap Kompeni Belanda dan menginginkan
adanya persamaan hak dan kewajiban rakyat Mataram. Sejak kecil ia sudah membenci
Kompeni belanda. Pada umur 16 tahun ia sudah memberontak bersama Sunan Kuning
terhadap belanda. Tepatnya pada 30 Juni 1742.

Dengan adanya perjanjian Giyanti sebenarnya ditentang oleh Raden Said, karena hal
tersebut adalah rekayasa Kompeni Belanda untuk memecah mataram. Setelah Pangeran
Mangkubumi sudah menjadi Raja Yogyakarta, Raden Said berjuang sendirian memimpin

6
pasukan melawan dua kerajaan yaitu, Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P.
Mangkubumi, yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), padahal Pangeran
Mangkubumi dulunya adalah temannya dalam melawan Kompeni Belanda, serta perlawanan
pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757.

Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Raden Said melakukan pertempuran sebanyak 250
kali.
Karena pemberontakan yang dilakukan terus menerus, akhirnya terjadilah perdamaian dengan
Sunan Paku Buwono III. Dengan ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga, pada17 Maret 1757
di Salatiga. Isinya adalah untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkoenagoro.

Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 karya,
mencakup daerah yang sekarang adalah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar,
dan sedikit wilayah di Yogyakarta).

Dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan
Sultan Hamengku Buwono I (Patih Danurejo) dan Kumpeni Belanda, juga disepakati bahwa,
Raden Said (pangeran sambernyowo) diangkat menjadi Mangkoenagoro I dan menjadi
penguasa kadipaten Mangkunegaran. Mangkunegoro hanya sebagai Adipati Miji (alias
mandiri) dan tidak menyandang gelar Sunan atau sultan. Walaupun sebagai Adipati mijil,
kedudukan hukum mengenai Mangkunagoro I, tidaklah sama dengan Kasunanan surakarta

2. Pengaruh Topografi Iklim terhadap Perang Mataram lawan Batavia.

Di pengujung tahun 1619, Sultan Agung cemas setelah mendapatkan kabar VOC
berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten. Jayakarta yang kemudian
namanya diubah menjadi Batavia itu adalah salah satu wilayah yang btelum mampu
ditaklukan Kerajaan Mataram. Fakta VOC yang terkenal memperbudak pribumi juga
mengganggu pikiran Sultan Agung. Sebelum Jayakarta takluk, VOC yang
sebelumnya bermarkas di Kepulauan Banda, Ambon, Kepulauan Maluku,
mengirimkan utusan untuk meminta izin kepada Sultan Agung guna membuka loji-
loji dagang di pantai utara Mataram. Tawaran itu pun ditolak Sultan Agung.
Alasannya, Sultan Agung yakin jika izin diberikan maka ekonomi di pantau utara
akan dikuasai VOC.

Setelah menaklukkan Jayakarta pada 1619, VOC memindahkan kantor


pusatnya ke wilayah di pesisir Pulau Jawa tersebut. Di tahun-tahun tersebut Kerajaan
Mataram sedang berkonflik dengan Kerajaan Surabaya dan Kesultanan Banten.
Menyadari kekuatan VOC, Sultan Agung sempat berpikir untuk memanfaatkan VOC.
Pada tahun 1621, Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak
saling mengirim duta besar. Namun VOC ternyata menolak membantu saat Mataram
menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.

Setelah Surabaya jatuh ke tangan Mataram, sasaran Sultan Agung selanjutnya


adalah Kesultanan Banten di ujung barat Pulau Jawa. Namun, posisi Batavia yang
menjadi "benteng" Kesultanan Banten perlu diatasi terlebih dahulu. Alasan itu adalah
keinginan lain Sultan Agung untuk menyerbu Batavia selain ingin mengusir penjajah

7
VOC dari bumi Nusantara. Kiai Rangga, Bupati Tegal sempat dikirim Sultan Agung
ke Batavia pada April 1628. Ia dikirim sebagai utusan untuk menyampaikan tawaran
damai dengan syarat-syarat tertentu dari Kerajaan Mataram. VOC menolak. Sultan
Agung pun memutuskan menyatakan perang.

________________________________________

Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia,


yakni:

1. Tindakan monopoli yang dilakukan VOC,

2. VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan


berdagang ke Malaka,

3. VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan

4. Keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan
Pulau Jawa.

Dampak Perang Mataram Terhadap VOC


Berikut ini terdapat beberapa dampak perang mataram terhadap voc, terdiri atas:

 Munculnya pemberontakan yang diakibatkan dari kekalahan atas VOC.


 Berkurangnya kepercayaan rakyat Mataram terhadap Sultan Agung.
 Banyak daerah Mataram yang melepaskan diri.
 Berkurangnya pasokan SDA karena telah dibabat habis oleh VOC.

Dan pada saat itu mereka tidak siap dengan perubahan iklim yang terjadi sehingga
kurgan mempersiapkan hal yang dibutuhkan ketika terjadi perubahan iklim sehingga
membuat mereka kewalahan dan pasukan belanda memanfaatkan hal ini untuk menyerang
balik pasukan mataram sehingga pasukan mataram kocar kacir.

3. Mitos Ratu Kidul dan Raja-Raja Mataram

Mitos Nyi Roro Kidul yang melekat Pelabuhan Ratu memenuhi syarat kreteria desa
wisata dan memiliki potensi untuk mendatangkan asset dan berkontribusi dalam
menghasilkan sumber ekonomi yang diharapkan dapat memberikan manfaat untuk masa
yang akan datang dan kelangsungan hidup pemerintahan dan masyarakat sekitar.
Pelabuhan Ratu adalah sebuah kecamatan yang terhimpun dari Sembilan desa dan satu
kelurahan. "Menurut tradisi Mataram, Ratu Kidul adalah seorang putri Pajajaran yang
diusir dari istana karena menolak kawin menurut kehendak ayahnya. Raja Pajajaran
mengutuk putrinya: dia dijadikan ratu roh-roh halus dengan istananya di bawah perairan

8
Samudera Hindia, dan baru akan menjadi wanita biasa lagi pada hari kiamat,” ungkap
Ricklefs.

Tak hanya itu. Ratu Kidul juga diramalkan tak akan memiliki suami. Kalau pun bersuami,
pria yang mengawininya akan datang dari kalangan terbatas, yaitu raja-raja Islam dari
Tanah Jawa. Ramalan itulah yang mengaitkan nama Ratu Kidul sebagai dewi pelindung
Kerajaan Mataram Islam sekaligus istri gaib para raja jawa.

"Dalam Babab Tanah Jawi, Penembahan Senopati (1584-1601) dan Sultan Agung (1613-
1646) dikisahkan berangkat dari Parangtritis menemui sang ratu di istana bawah laut, yang
hanya dihuni roh halus dan bersetubuh dengannya. Hubungan intim dan istimewa antara
raja pendiri Mataram dan Sang Ratu ini membawa kerajaan ke puncak kejayaannya pada
awal abad ke-17 pada pemerintahan cucu Senopati, Sultan Agung,” ungkap Peter Carey
dan Vincent Houben dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-
XIX (2016).

Nyata yang gaib


Banyak yang meyakini eksistensi Nyi Roro Kidul. Namun, banyak juga orang yang
menyangsikan pengaruh dari penguasa pantai selatan itu. Beberapa di antara mereka yang
meragunak adalah sastrawan kesohor Tanah Air, Pramoedya Ananta Toer. Dalam pidato
penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay 1988, Pram menyebut cerita Ratu Kidul
hanyanya mitos belaka.

Lewat pidato tertulis berjudul Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya
Bacaan? Pram mencoba menjelaskan bagaimana pujangga Istana Mataram menciptakan
mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung saat menyerang
Batavia dua kali (1628 dan 1629) sekaligus kegagalan Sultan Agung mengusai jalur
perdagangan di Pantai Utara Jawa.

“Untuk menutupi kehilangan tersebut, pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyi Roro
Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan
(Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja
Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” ungkap Pram.

Menurut Pram, berangkat dari mitos Nyi Roro Kidul, muncul pula mitos tabu lainnya,
semisal dilarang menggunakan pakaian hijau di wilayah pantai selatan. Padahal, hal itu
hanya bentuk kebencian para pujangga terhadap kompeni. Hijau, kata Pram
merepresentasikan warna pakaian serdadu Belanda.

9
Kendati demikian, sejarawan, Ong Hok Ham menilai hal itu masih dalam taraf wajar. Kata
Ong, mitos Nyi Roro Kidul merupakan mitos yang positif. Penciptaan mitos dan
pemanfaatnya jelas untuk melanggengkan kekuasaan Mataram. Bahkan Ong
menambahkan hal itu adalah hal yang biasa terjadi, baik di masa lalu maupun masa kini.

“Mitos Nyi Roro Kidul justru memperkuat legitimasi raja. Hal ini berlainan dengan orang
kaya yang berhubungan dengan Nyi Blorong. Yang disebut terakhir adalah negatif,
sedangkan yang pertama, yakni hubungan Raja Mataram dengan Nyai Roro Kidul adalah
positif. Demi kian pula dengan roh halus lain yang melindungi Raja Mataram, yakni
Sunan Lawu di Gunung Lawu,” tulis Ong Hok Ham dalam buku Dari soal priyayi sampai
Nyi Blorong (2002).

Terlepas dari itu semua, hampir di tiap negara memiliki cerita-cerita legenda
tersendiri yang akan memperkaya khazanah budaya negara itu sendiri. Soal benar
atau tidaknya silahkan berpegang teguh pada keyakinan masing-masing dan saling
menghormati pendapat orang lain. Tidak ada yang lebih mengetahui suatu
kebenaran hanya Allah SWT sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. Entah ini
sebagai suatu wujud dari kearifan lokal sehingga manajemen Hotel Samudera Beach
memberikan kamar khusus yaitu kamar 308 sebagai wujud penghormatan bagi Nyi
Roro Kidul dan menjadi image dan daya tarik tersendiri untuk mampu mendongkrak
jumlah wisatawan sehigga kearifan lokal yang melekat pada mitos tersebut harus
tetap dilestarikan dan dijaga.

10
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan

Sejak berdirinya pada perempatan ketiga abad ke-16 Masehi, kerajaan Mataram
cenderungbersifat agresif dan berambisi memperluas wilayahnya. Hal itu tampak
dengan jelas sekali pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613 - 1646). Sejak tahun
pertama pemerintahannya, Sultan Agung melakukan gerakan ekspansi untuk
memperluas wilayah kekuasaannya agar dapat mewujudkan Wawasan Nusantara
seperti kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya, hal ini didukung dengan adanya
doktrin Keagungbinatharan dan tindak lanjut dari cita-cita kakeknya yaitu Panembahan
Senopati. Mula-mula gerakan itu diarahkan ke daerah sekitarnya, kemudian
menjangkau daerah yang lebih jauh. Di samping itu perhatian dan gerakan ekspansi
Mataram diarahkan pula ke barat yaitu ke daerah Jawa Barat. Keinginan Sultan
Agung untuk menguasai seluruh Jawa tidak sepenuhnya dapat terwujud. Hal tersebut
dikarenakan adanya dua kekuatan yang belum bisa dikuasai Sultan Agung yaitu
Banten dan Batavia. Kedua kekuatan tersebut yang menjadi batu sandungan/hambatan
bagi Sultan Agung untuk mewujudkan cita-citanya. Namun dari dua kekuatan
tersebut, VOC yang saat itu sebagai penguasa di Batavia merupakan kendala terbesar
atau terberat bagi Sultan Agung. Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Islam di
Jawa yang wilayahnya hampir meliputi seluruh Jawa kecuali Banten dan Batavia

Legenda Nyi Roro Kidul yang disandingkan dengan Laut Selatan semakin
melengkapi daya tarik dan menjadi magnet yang diharapkan akan menambah
wisatawaan yang akan berkunjung dan menikmati fasilitas yang ada dan di tawarkan
di Pantai Pelabuhan Ratu. Terlepas dari itu semua, hampir di tiap negara memiliki
cerita-cerita legenda tersendiri yang akan memperkaya khazanah budaya negara itu
sendiri. Soal benar atau tidaknya silahkan berpegang teguh pada keyakinan masing-
masing dan saling menghormati pendapat orang lain. Tidak ada yang lebih

11
mengetahui suatu kebenaran hanya Allah SWT sebagai pencipta alam semesta
beserta isinya. Entah ini sebagai suatu wujud dari kearifan lokal sehingga manajemen
Hotel Samudera Beach memberikan kamar khusus yaitu kamar 308 sebagai wujud
penghormatan bagi Nyi Roro Kidul dan menjadi image dan daya tarik tersendiri
untuk mampu mendongkrak jumlah wisatawan sehigga kearifan lokal yang melekat
pada mitos tersebut harus tetap dilestarikan dan dijaga.

2.Saran
Apabila kita ingin membuat suatu “makalah” maka jangan lah terlalu
berpedoman terhadap apa yang ada di sumber tersebut. Cukup dikutip beberapa kata
saja, atau makna yang penting, supaya pembaca tidak akan merasakan jenuh ketika
membaca makalah yang kita buat.

12
Daftar Pustaka

 https://id.wikipedia.org/wiki/Mitologi_Jepang
 repository.president.ac.id
 http://kuliahkaryawan.i-tech.ac.id/id3/2-3053-2939/Keajaiban-Ekonomi-
Pascaperang_137475_kuliahkaryawan-i-tech.html
 etd.repository.ugm.ac.id file:///C:/Users/Windows10/Downloads/153524-ID-
kearifan-lokal-pantai-laut-selatan-mitos.pdf
 https://www.republika.co.id/berita/qfqjts282/kisah-suram-di-balik-kegagalan-
mataram-taklukan-batavia

13

Anda mungkin juga menyukai