Anda di halaman 1dari 22

PENYERANGAN KOTA BATAVIA OLEH KESULTANAN

MATARAM 1628-1629
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Masa Kolonial dengan
dosen pengampu Prof. Dr. Agus Mulyana, M.Hum..

Disusun oleh :

Alif Fikri Fajar Fadillah NIM 2202243


Deni NIM 2207791
Magia Victorino NIM 2210316
Mia Puspita Wulandari NIM 2205504
Tria Rosdiana NIM 2206705
Vemil Bara Alhakim NIM 2205664

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T. karena atas rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Penyerangan Kota
Batavia Oleh Kesultanan Mataram Islam 1628-1629”. Tidak lupa juga kami ucapkan kepada dosen
yang telah memberikan kami bimbingan dan kesempatan untuk menyusun makalah ini.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Penyerangan Kota
Batavia Oleh Kesultanan Mataram Islam 1628-1629”, yang kami sajikan berdasarkan materi yang
kami dapatkan.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan sekalian, khususnya pada kami
dan semua yang pembaca makalah ini, dan mudah-mudahan juga dapat memberikan wawasan
yang lebih luas bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka
dari itu kami menerima segala kritik dan saran yang membangun dari segala pihak.

Terima kasih.

Bandung, 14 Oktober 2023

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................................................ ii
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................................................................ 2
BAB II .......................................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 4
2.1. Hubungan Awal Kesultanan Mataram dengan VOC.............................................................. 4
2.2. Awal Keretakan Hubungan VOC dan Kesultanan Mataram ................................................ 5
2.3. Penyerangan Pertama Batavia pada 1628 ................................................................................ 6
2.4. Penyerangan Kedua Batavia pada 1629 ................................................................................... 9
2.5. Faktor-Faktor Kegalalan Mataram di Batavia ...................................................................... 12
2.6. Hubungan Kesultanan Mataram dan VOC setelah Penyerangan Batavia 1628-1629 ....... 14
BAB III....................................................................................................................................................... 16
PENUTUP .................................................................................................................................................. 16
3.2. Kesimpulan ................................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejak awal pendirian Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16, telah
nampak bahwa kerajaan tersebut memiliki keinginan kuat untuk dapat
memperluas kekuasaannya. Hal itu semakin terlihat jelas pada masa
pemerintahan Sultan Agung yang berada pada tahun 1613-1646. Pada masa
pemerintahannya tersebut, Sultan Agung telah melakukan gerakan ekspansi
demi perluasan wilayah Mataram dan mewujudkan Wawasan Nusantara seperti
halnya Majapahit dan Sriwijaya (Parwati, 2014, hlm. 2). Maka dari itu, pada
masa pemerintahan Sultan Agung inilah Kerajaan Mataram Islam mencapai
puncak kejayaannya (Abimanyu, 2015, hlm. 52).

Dalam hal ini, saat era pemerintahannya Sultan Agung menggunakan


konsep Keagungbinataraan, yakni konsep raja-raja Mataram dalam
kekuasaannya. Partini (2010, hlm. 83) berpendapat bahwa Raja Mataram saat
itu merupakan pembuat undang-undang, pelasana undang-undang, serta
merupakan seorang hakim. Dengan demikian, Sultan Agung kala itu memiliki
kekuasaan penuh dalam melakukan sebuah kebijakan. Sehingga, gerakan
ekspansi wilayah Mataram semakin jauh lagi sampai pada bagian Barat, yaitu
Jawa Barat.

Selanjutnya, kemunculan Belanda di Jawa Barat merupakan masalah baru


yang dihadapi oleh Sultan Agung. Upaya perluasan wilayah dan penyatuan
tanah Jawa sulit direalisasikan karena terbentu oleh dua kekuatan yang besar
pada saat itu, yaitu Banten dan Belanda (VOC) (Parwati, 2014, hlm. 4). Dalam
hal ini, Sultan Agung telah berusaha untuk bekerjasama dengan Banten, namun
tidak mendapatkan kerjasama yang ia inginkan. Sehingga, Sultan Agung
memberikan ultimatum terhadap VOC dengan beberapa syarat. Pertama,

1
Belanda harus mengakui Sultan Agung sebagai penguasa terbesar di tanah
Jawa. Kedua, Belanda harus mengakui kedaulatan Mataram atas Batavia.
Ketiga, VOC harus mengirimkan utusan ke Mataram. Namun, ultimatum
tersebut tidak dihiraukan oleh pihak Belanda. Dengan demikian, tercetuslah
rencana penyerangan Mataram terhadap Batavia.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, makalah ini akan mengkaji


mengenai hubungan awal Belanda dan Mataram, awal keretakan hubungan
Belanda dan Mataram, Penyerangan Pertama dan Kedua oleh Mataram (1628-
1629), faktor-faktor kekalahan Mataram atas Batavia, serta hubungan Belanda
dan Mataram setelah terjadinya perang (1628-1629)

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari makalah
ini adalah, sebagai berikut :

1. Seperti apakah hubungan VOC dengan Kesultanan Mataram pada masa awal
pertemuan keduanya?
2. Kapan dan Bagaimana hubungan antara VOC dan Kesultanan Mataram
mengalami keretakan dan berujung pada konflik?
3. Bagaimana jalannya penyerangan dan pengepungan pertama Batavia pada
1628?
4. Bagaimana jalannya penyerangan dan pengepungan kedua Batavia pada
1629?
5. Apa sajakah faktor penyebab kegagalan penyerangan kota Batavia yang
dilakukan oleh kesultanan Mataram?
6. Seperti apa hubungan antara VOC dengan Kesultanan Mataram seusai
dilakukannya penyerangan Batavia pada 1628 dan 1629?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Memahami hubungan antara VOC dan Mataram sebelum terjadinya
peperangan antara kedua belah pihak di Batavia.

2
2. Mengetahui apa saja penyebab, waktu terjadinya, dan mengapa hubungan
antara VOC dengan Mataram mengalami keretakan hingga berujung pada
konflik senjata.
3. Dapat memahami jalannya peperangan antara VOC dan Mataram pertama di
Batavia pada tahun 1628.
4. Dapat memahami jalannya peperangan antara VOC dan Mataram kedua di
Batavia pada tahun 1629.
5. Mampu mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan dua
serangan Mataram ke Batavia pada 1628 dan 1629.
6. Memahami bagaimana hubungan antara VOC dan Mataram seusai terjadinya
peperangan di Batavia pada 1628 dan 1629.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hubungan Awal Kesultanan Mataram dengan VOC
Kesultanan Mataram Islam berdiri dan berkembang setelah kemunculan
dan kemunduran Kesultanan Demak dan Pajang. Pusat dari masing-masing
kerajaan ini bergeser dari pesisir utara ke pedalaman selatan Jawa Tengah, yang
biasanya dilihat sebagai mewakili gradasi dari nilai-nilai Islam yang lebih
kental kepada nilai-nilai yang lebih berkarakter abangan, di samping juga
menggambarkan pergeseran kultur ekonomi yang lebih akrab dengan
perdagangan kepada yang lebih bersifat agraris.

Hubungan pertama dengan orang-orang Belanda, 1613 Seperti juga


orang-orang Belanda yang menjadi lebih waspada atas kehadiran raja Mataram
itu, karena pertempuran-pertempuran yang dilancarkan olehnya, tentu
sebaliknya pula adanya kantor Belanda di Gresik dan kunjungan mereka ke
pelabuhan-pelabuhan tanah Jawa, yang menarik perhatian Panembahan
Krapyak. Ketika Gubernur Jenderal Pieter Both pada pertengahan tahun 1613
berada di Maluku, dilaporkan kepadanya oleh seorang Venesia, bernama Pedro
Italiano, "tentang keinginan besar... untuk mengadakan perse- kutuan dengan
Belanda" (Jonge, Opkomst, jil. IV, hlm. 6). Raja Mataram telah menugasi orang
Italia itu untuk menyampaikan hal ini kepada Gubernur Jenderal.

Pada tanggal 22 September 1613, kapal Both berlabuh di Jepara tempat


juga berada Jan Pietersz Coen. Coen dan Kapten Appolonius Schotte mendarat
untuk memberitahukan kepada para pembesar pemerintahan tentang
kedatangan mereka. Di situ mereka bertemu dengan raja-raja Jepara dan Kudus,
kedua-duanya berada di bawah pemerintahan Mataram dan mendapat tugas
membujuk orang-orang Belanda agar mau berkunjung ke daerah mereka. Dua-
duanya berusaha keras agar Kompeni mau mendirikan loji di daerahnya. Coen
menyadari bahwa untuk sementara hari depan akan berada di tangan Mataram

4
dan rupanya dilihatnya juga adanya keuntungan dalam penawaran tersebut,
lebih-lebih karena beras di daerah ini berlimpahlimpah. Gubernur Jenderal
memutuskan, karenanya, mendirikan sebuah loji sementara di Jepara. Kepala
perdagangan (opperkoopman) Lambert Dirckxz Hagen ditinggal di sana
dengan uang sebanyak 2.500 rial untuk membeli beras dan sekaligus
menyelidiki barang lain yang dapat diperdagangkan. Demikianlah maka kantor
dagang Belanda kedua didirikan di tanah Jawa.

Dari yang disebutkan di atas, nyata bahwa Panembahan Krapyak pada


tahun pemerintahannya yang terakhir memulai mengembangkan politik luar
negeri dengan jalan mengadakan hubungan dengan orang-orang Belanda.
Utusannya, yang bernama Juan Pedro Italiano, diduga seorang petualang
bangsa Eropa yang masuk agama Islam. Pada waktu itu orang-orang yang
demikian sering ditemukan di istana-istana Timur.

2.2. Awal Keretakan Hubungan VOC dan Kesultanan Mataram


Pada awalnya, Belanda dan Mataram menjalin hubungan perdagangan
yang menguntungkan. Mataram memperoleh senjata, barang-barang mewah,
dan dukungan militer dari Belanda dalam pertempuran melawan rival-rival
mereka. Namun, hubungan ini mulai memburuk karena berbagai faktor, salah
satunya adalah perbedaan dalam pemahaman wilayah yang disepakati.
Mataram memiliki klaim atas Batavia (sekarang Jakarta), sementara Belanda
telah membangun benteng dan pemukiman di sana.

Awal mula keretakan hubungan antara Mataram dan Belanda terjadi


ketika Sultan Agung, penguasa Mataram, merasa terancam oleh kehadiran
Belanda di Batavia. Belanda, dengan dukungan VOC, semakin memperkuat
kehadirannya di kawasan tersebut. Sultan Agung melihat ini sebagai ancaman
terhadap membangun kekuatan militer yang lebih besar untuk melawan
Belanda.

5
Sultan Agung, penguasa Mataram pada masa itu, merasa terancam
dengan kedatangan Belanda di Batavia karena beberapa alasan:

a) Belanda telah mengembangkan Batavia (Jacatra pada saat itu) menjadi pusat
perdagangan yang sangat menguntungkan. Mereka membangun pelabuhan,
benteng, dan pemukiman di daerah tersebut, yang membantu mereka
mengendalikan perdagangan rempah-rempah, terutama rempah-rempah seperti
cengkih, pala, dan lada yang sangat berharga. Sultan Agung, sebagai penguasa
Mataram, ingin memonopoli perdagangan ini untuk meningkatkan pendapatan
kerajaannya. Kehadiran kuat Belanda di Batavia merupakan persaingan
langsung terhadap upayanya untuk menguasai perdagangan tersebut.
b) Selain sebagai pusat perdagangan, Batavia juga menjadi basis militer penting
bagi Belanda di wilayah tersebut. Belanda memiliki pasukan yang kuat dan
kemampuan militer yang solid di Batavia. Sultan Agung melihat ini sebagai
ancaman langsung terhadap kedaulatan Mataram dan kekuasaannya di Jawa
Tengah.
c) Sultan Agung dan Mataram memiliki klaim teritorial atas Batavia (Jacatra).
Mereka menganggap wilayah tersebut sebagai bagian dari wilayah mereka dan
merasa bahwa Belanda telah memasuki dan membangun infrastruktur di
wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari kekuasaan Mataram.
Kombinasi dari faktor-faktor ini membuat Sultan Agung merasa
terancam dan merasa perlu untuk bertindak untuk melindungi kedaulatan dan
kepentingan ekonomi Mataram. Inilah yang mendorongnya untuk
merencanakan serangan terhadap Batavia pada tahun 1628 & 1629 sebagai
upaya untuk mengusir Belanda dari wilayah yang ia klaim sebagai milik
Mataram.

2.3. Penyerangan Pertama Batavia pada 1628


Sebelum melaksanakan penyerangan terhadap Batavia, Kesultanan
Mataram menutup seluruh pelabuhannya di pantai utara Jawa atas perintah
Tumenggung Bahureksa dari Kendal. Adanya penutupan ini membuat seluruh

6
warga asing tidak dapat memasuki wilayah pusat Kesultanan Mataram, mereka
semua tertahan di pelabuhan. Kantor-kantor dagang asing juga di tutup untuk
beberapa waktu. Hal ini kemudian memunculkan desas desus diantara orang-
orang asing bahwasanya orang-orang Mataram sedang merencanakan suatu
penyerangan besar-besaran ke Batavia dengan jumlah pasukan diperkirakan
48.000 hingga 100.000 prajurit.

13 April 1628 Kiai Rangga atas nama Tumenggung Tegal datang ke


Batavia dengan 14 Kapal bermuatan beras untuk Batavia, tujuan kedatangannya
adalah untuk meminta bantuan Belanda agar mau membantu Mataram melawan
Banten yang enggan tunduk pada kekuasaan Mataram di pulau Jawa. Oleh
sebab itu, maka pihak Belanda diminta agar mengirimkan perwakilannya ke
ibukota Mataram. Akan tetapi penawaran ini ditolak karena beberapa bulan ini
pelabuhan di pantai utara Jawa selalu ditutup sehingga menimbulkan
kecurigaan dari VOC terhadap Mataram. Hal ini kemudian mendorong Sultan
Agung Hanyakrakusuma untuk memberantas VOC di Batavia untuk
memperlancar tujuannya menguasai Pulau Jawa.

Penyerangan terhadap Batavia dimulai pada 22 Agustus 1628, diawali


dengan kedatangan suatu eskader Mataram atas nama Tumenggung Bahureksa
yang membawa 150 ekor ternak, 120 last beras, 10.600 ikat padi, 26.000 kelapa,
5.900 ikat batang gula, dan sebagainya. Eskader ini terdiri dari kurang lebih 900
awak kapal, bahkan dalam 3 hari mendatang diperkirakan akan datang lagi 27
Kapal yang membawa ternak. Kedatangan kapal-kapal Mataram dengan jumlah
yang besar ini membuat Belanda merasakan ada sesuatu yang janggal dan
khawatir bahwa desas-desus yang selama ini beredar akan segera menjadi
kenyataan. Belanda lantas tidak langsung memberikan izin masuk ke
pelabuhan, mereka akhirnya ditahan di luar pelabuhan.

Pada malam hari 24 Agustus 1628, datang 7 kapal dengan tujuan


Malaka, disana mereka hanya meminta surat ijin jalan saja, Belanda berupaya
untuk memisahkan kapal tersebut dari kapal yang telah datang lebih dulu,

7
karena khawatir bahwa kapal tersebut akan membagikan persenjataan kepada
rekannya. Namun, hal tersebut gagal dan pasukan Mataram mulai melakukan
serangan terhadap penjaga pasar dan benteng-benteng Belanda, bahkan
beberapa ada berhasil masuk ke dalam benteng. Meskipun pada akhirnya
serangan ini gagal dan pada pagi hari pasukan Mataram mundur terlebih
dahulu.

Baru pada 26 Agustus, pasukan besar pertama Mataram di bawah


Pimpinan Tumenggung Bahureksa tiba di Batavia dengan mengibarkan panji-
panjinya, mereka kemudian mulai mengepung Batavia. Hal tersebut kemudian
membuat Belanda mengosongkan kota bagian selatan dan barat. Sementara
pasukan belanda mundur ke taman Specx. Pada malam hari 10/11 September
pasukan Mataram mulai menaikkan garis pertahanan mereka hingga sejauh
tembakan pistol, mereka mulai memasuki kota dan bersembunyi dalam
barikade kayu dan bambu. Pada 12 September pasukan Belanda yang terdiri
dari 65 serdadu dan 150 penembak mulai melakukan serangan terhadap benteng
pertahanan pasukan Mataram dan parit-parit mereka, serangan ini mengusi 200-
300 orang pasukan mataram dengan 30-40 diantaranya terbunuh.

Pada 21 September musuh menyerang Hollandia, dan berusaha untuk


menguasainya. Pasukan Mataram berupaya masuk dengan cara menaiki tangga
atau mendobrak dengan balok kayu, akan tetapi upaya tersebut pada akhirnya
gagal karena 24 serdadu Belanda berhasil mempertahankan benteng dengan
senapannya. Belanda lantas menyadari bahwa pusat serangan Mataram berada
di Hollandia, maka kemudian 300 serdadu dikerahkan untuk melakukan
serangan balasan dan berhasil memukul mundur pasukan Mataram dengan
1.200-1.300 pasukan Mataram terbunuh dan 2.000-3.000 lainnya ditawan.
Meskipun banyak dari pasukan Mataram ini terbunuh dan tertangkap, masih
banyak diantara mereka yang berkeliaran di sekitar Batavia. maka pada 21
Oktober diadakanlah serangan umum dibawah pimpinan Jacques Lefebre
dengan jumlah pasukan sebanyak 2.866 orang. Mereka menyusuri sungai dan

8
mulai menyerbu sisa pasukan Mataram yang masih bertahan di sekitar Batavia,
dalam serangan ini Tumenggung Bahureksa dan bangsawan lainnya berhasil
dibunuh Belanda.

Pasukan besar kedua Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Sura


Agul Agul dan dua bersaudara Kiai Adipati Mandureja dan Upa Santa. Mereka
datang di Batavia dengan harapan bahwa Batavia telah ditaklukkan, namun
kenyataannya pasukan besar pertama Mataram telah dikalahkan beserta
panglimanya Tumenggung Bahureksa. Sehingga mereka hanya memiliki dua
pilihan yakni pulang ke Mataram dengan tangan kosong atau beperang mati-
matian di Batavia. Pasukan kedua ini kemudian menggunakan taktik perang
seperti yang mereka gunakan di Surabaya yakni dengan membendung terlebih
dahulu aliran sungai menuju Batavia. Namun, hasil dari taktik ini tidak begitu
banyak memberi perubahan. Satu-satunya serangan yang dilakukan oleh
pasukan ini adalah penyerbuan kembali benteng Hollandia pada malam hari 27-
28 November 1628, sayangnya kedatangan mereka ini dipergoki oleh Belanda,
yang membuat serangan ini juga gagal merebut Batavia.

Karena kegagalannya dalam penyerbuan Batavia maka pada tanggal 1


Desember 1628 Kiai Adipati Mandureja dan Upa Santa beserta sisa anak
buahnya di eksekusi atas perintah Raja. Pasukan Mataram kemudian
meninggalkan Batavia pada 3 Desember 1628.

2.4. Penyerangan Kedua Batavia pada 1629


Penyerangan ke Batavia dilakukan oleh Sultan agung pada tahun
berikutnya. Pasukan pertama di bawah pimpinan Adipati Ukur berangkat pada
bulan Mei 1629, saat artileri dan amunisi meninggalkan kota istana. Sekitar 3
minggu kemudian, pasukan kedua yang dipimpin oleh Adipati Juminah
berangkat pada 20 Juni 1629, diikuti oleh pasukan lainnya. Mereka berharap
tiba di depan Batavia dalam waktu satu bulan (Coen, Bescheiden, jil. VI, hlm
436). Total pasukan Mataram dari kedua ekspedisi mencapai sekitar 14.000

9
orang. Untuk mengantisipasi kegagalan seperti serangan pertama terhadap
VOC, lumbung-lumbung beras didirikan di daerah Karawang dan Cirebon.

Pada tanggal 31 Agustus, orang-orang yang menjadi pelopor pertama


kali terlihat oleh pasukan penjaga Belanda yang ditempatkan sekitar 3 hingga
4 mil sepanjang Sungai Ciliwung. Sekitar 40 orang Jawa berkuda mencoba
mengusir ternak yang dimiliki oleh Kompeni, tetapi upaya mereka digagalkan
oleh pasukan berkuda Kompeni dan penggembala ternak yang bersenjata.
Ternak-ternak tersebut berhasil dievakuasi ke dalam kota melalui jalan raya.
Pada tanggal 31 Agustus, pasukan lainnya mulai berkemah di sebelah timur,
selatan, dan barat kota, di luar jarak tembak meriam. Banyak rakyat terlihat
berjalan kaki dan berkuda, membawa panji-panji, bendera, serta gajah-gajah
mereka.

Sementara itu, sudah lama beredar rumor mengenai persiapan


pengepungan Mataram di Batavia. Raja Cirebon, baik raja tua maupun raja
muda, pastinya mengirimkan informasi rahasia ke Batavia, yang dibenarkan
oleh orang Cina yang hadir di sana. Bertentangan dengan rumor tersebut,
seorang Jawa bernama Warga diutus, yang membawa surat dari atasannya,
Tumenggung Tegal, datang untuk menawarkan perdamaian. Arti sebenarnya
baru menjadi jelas pada kunjungan masyarakat yang kedua ke Batavia, yaitu
pada tanggal 20 Juni 1629. Di dalam kapal tersebut terdapat seorang Jawa,
kenalan bendahara Cornelis van Mascyck, yang tinggal di dalamnya sebagai
tawanan pada tahun 1618-1621. Orang Jawa inilah yang memberi tahu Belanda
tentang persiapan perang oleh Mataram.

Tiga kapal Belanda telah disalurkan melalui pesisir utara Jawa. Pada
tanggal 4 Juli, Belanda menghancurkan 200 kapal, meratakan 400 rumah, dan
menghancurkan satu gunungan padi. Muncul rasa ketakutan yang
mengakibatkan tidak ada kapal milik orang Jawa yang berani melintas.
Beberapa minggu berlalu, gunungan padi kedua di Cirebon pun dimusnahkan.
Dengan insiden ini, hasil perang melawan Batavia sebenarnya sudah dapat

10
diprediksi, meskipun pasukan Mataram telah melancarkan segala usaha dan
kemahiran mereka. Kekurangan bahan makanan menyebabkan pengepungan
ini hanya bisa bertahan selama satu bulan.

Pada tanggal 8 September, mereka yang dikelilingi melihat bahwa


orang-orang Mataram, dengan parit perlindungan yang kuat, mendekati
kembali benteng Hollandia. Serangan mendadak di sore hari berhasil merusak
parit-parit pertahanan tersebut. Di malam harinya, orang-orang Jawa sibuk
membuat parit perlindungan di luar jangkauan tembakan. Sehingga pada
tanggal 12, 200 orang menyerbu benteng Bommel. Pada tanggal 14 dan 15
September, gerobak-gerobak yang ditarik oleh 12-18 kerbau, berisi meriam,
tiba. Orang-orang Jawa telah menyiapkan meriam-meriam di sana dan
mendekati bangunan terluar pihak Belanda. Pada tanggal 17, di bawah
pimpinan Antonio van Diemen, serangan direncanakan dan musuh mengalami
kekalahan besar serta sebagian besar pertahanan mereka terbakar.

Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen pada tanggal 17 September masih


sempat mengawasi pertahanan musuh. Namun, pada tanggal 20, dia tiba-tiba
jatuh sakit dan meninggal pada malam harinya. Sementara itu ia dimakamkan
terlebih dahulu di balai kota pada tanggal 22 September karena gereja terbakar
akibat pengepungan.

Sementara itu musuh telah berhasil memasang meriam-meriam mereka,


dan mereka mulai melepaskan tembakan, baik dari sebelah timur maupun
selatan. Meskipun dari segi militer, kerugian dan korban manusia dianggap
tidak signifikan. Serangan malam terhadap benteng Weesp menyebabkan pihak
Jawa menderita kekalahan besar. Pada tanggal 27, pihak Belanda memutuskan
untuk tidak lagi melancarkan serangan umum karena tawanan Jawa memberi
informasi tentang ancaman kelaparan yang semakin meningkat. Serangan kecil
yang terjadi pada tanggal 1 Oktober menunjukkan bahwa musuh telah
kehilangan semangat. Keesokan harinya, mereka mulai melakukan penarikan

11
mundur, meninggalkan mayat dan korban, gerobak kosong, serta barang-barang
lainnya. (Coen Bescheiden, jil. VI, hlm. 442).

Selama pengepungan kedua ini, kota tetap tenang tanpa ada keributan.
Semuanya berjalan dengan normal. Pihak Belanda hanya kehilangan sepuluh
hingga dua belas orang. Orang-orang Banten yang menyaksikan pertahanan
musuh terkejut dengan ketenangan yang ada. Batavia berhasil membalikkan
keadaan dalam konfrontasi dengan pengepungan Mataram.

2.5. Faktor-Faktor Kegalalan Mataram di Batavia


Kedua penyerangan yang dilakukan oleh Mataram terhadap Batavia lalu
berujung pada kekalahan atas kegagalan kedua penyerangan tersebut. Terdapat
banyak penyebab kekalahan tersebut, faktor-faktor penyebab kekalahan
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Kemerosotan Semangat Juang Pasukan Mataram

Dalam hal ini, pasukan Mataram mengalami kehabisan makanan. Dalam


sejarah ekspansi wilayah Kerajaan Mataram, beras menjadi salah satu komoditi
yang penting dalam membantu bidang militer. Maka dari itu, persediaan akan
komoditi beras memberikan pengaruh pula terhadap tingkat keberhasilan atas
penaklukan suatu wilayah. Sehingga, kekurangan suplai logistik beras kepada
prajurit saat penyerangan tersebut menjadi salah satu faktor kekalahan Kerajaan
Mataram Islam pada saat itu (Munawar, 2021, hlm. 10). Hal ini bisa terjadi
karena adanya penghacuran dan pembakaran oleh pihak Kolonial terhadap
tempat persediaan makanan milik Mataram Islam di Tegal dan Cirebon.
Sehingga, banyak prajurit Mataram Islam yang menderita kelaparan dan
meninggalkan medan perang untuk mencari makan ke hutan-hutan (Parwati,
2014, hlm. 14). Oleh karena itu, tak ada jalan lain yang dapat dilakukan oleh
Sultan Agung selain menarik mundur pasukannya.

2. Terganggunya Stabilitas Mataram

12
Kekalahan tersebut disebabkan oleh VOC yang telah melakukan penekanan
pada rakyat dan melakukan monopoli hasil bumi yang ada, sehingga membuat
rakyat Mataram menderita. Hal ini kemudian menyebabkan terganggunya
stabilitas Kerajaan Mataram yang lalu menjadi salah satu penyebab kekalahan
kerajaan tersebut atas VOC (Abimanyu, 20115, hlm. 71). Dengan demikian,
serangan Mataram tersebut mengalami kegagalan kembali.

3. Adanya Wabah Penyakit

Saat melakukan penyerangan pertama pada tahun 1628 di Benteng Belanda,


pasukan Mataram justru terkena wabah penyakit dan kekurangan perbekalan
(Pramono, 2005, hlm. 69). Banyak prajurit Mataram yang terjangkit wabah
kolera pada saaat itu. Sehingga hal ini memukul mundur pasukan Mataram.

4. Jarak yang Jauh

Jarak antara Mataram dengan Batavia terlalu jauh. Hal ini kemudian
menyebabkan melemahnya ketahanan para prajurit yang harus menempuh
perjalanan dengan jalan kaki selama satu bulan mencapai Batavia.

5. Sistem Persenjataan yang Kurang

Selain itu, salah satu peyebab kekalahan Mataram adalah karena kurangnya
sistem persenjataan yang dimiliki. Hal ini menjadi penyebab umum kekalahan
atas kedua penyerangan yang dilakukan oleh Mataram terhadap Batavia
(Abimanyu, 2015, hlm. 73). Dalam hal ini, VOC sudah memiliki senjata yang
serba modern, sedangkan Mataram masih menggunakan senjata yang serba
trasional.

6. Pengkhianatan Portugis

Dalam penyerangan yang dilakukan oleh Mataram, sebenarnya Mataram


telah melakukan perjanjian dengan Portugis. Dalam hal ini, Portugis berjanji
akan membersamai Mataram untuk menyerang Batavia lewat laut, sedangkan
Mataram lewat Darat (Abimanyu, 2015, hlm. 73). Namun, Portugis justru

13
mengingkari janjnya tersebut sehingga membuat Mataram menghadapi pihak
Batavia tanpa bantuan apapun.

2. Kesalahan Langkah Politik

Dalam siasat penyerangannya terhadap Batavia, Sultan Agung tidak


memanfaatkan Banten yang juga merupakan musuh Batavia untuk bekerjasama
melawan Batavia.

3. Pengkianatan yang Dilakukan oleh Pribumi

Hal ini merupakan sebuah hal fatal yang terjadi dalam kegagalan
penyerangan ke Batavia oleh Mataram tersebut. Terdapat pihak pribumi yang
berkhianat dengan membeberkan usaha serrangan Mataram tersebut kepada
pihak musuh. Akibatnya, rencana penyerangan yang telah disiapkan gagal
karena berhasil diketahui oleh pihak Batavia, bahkan sebelum penyerangan itu
dimulai.

2.6. Hubungan Kesultanan Mataram dan VOC setelah Penyerangan


Batavia 1628-1629
Gagalnya penyerangan sultan agung ke Batavia pada tahun 1628 dan
1629 , maka selanjutnya gerak Langkah sultan agung dapat dibedakan menjadi
2 macam, yang pertama sebagai usaha untuk memperluas kekuasaan mataram
di wilayah-wilayah pulau jawa yang belum tunduk terhadap mataram. Kedua
kegiatan dalam bidang sosial budaya untuk membentengi masuknya budaya
baru dari barat.

Setelah Mataram gagal untuk merebut Batavia dari VOC, perundingan


antara VOC dan mataram pun di buka kembali pada tahun 1630 . akan teteapi
utusan-utusan yang dikirim kompeni pada saat itu tidak memenuhi syarat dari
mataram. Dan ada desas-desus bahwa mataram akan melancarkan suatu
serangan lagi terhadap Batavia dan terdengar oleh kompeni. Dengan cepat
kompeni pun mengirim armada pasukan yang terdiri dari 8 buah kapal yang

14
awaknya berjumlah 693 orang. Mereka diperintahkan untuk menghancurkan
perahu-perahu mataram dan memusnahkan Gudang-gudang perbekalan di
sepanjang Pantai utara jawa. Penyerangan tersebut tidak begitu berhasil.
Terlepas dari hal tersebut, perundingan antara hubungan Mataram dan Batavia
tetap diusahakan . Namun antara tahun 1630 sampai 1634 mataram masih
sering mengadakan penyerangan-penyerangan terhadap kapal-kapal kompeni.
Armada mataram ini diperkuat dengan dengan pembuatan perahu-perahu baru
di di jepara, dengan perahu-perahu tersebut laskar mataram membuat perairan
antara banten dan Batavia menjadi tidak aman. Mereka sangat berhasil
membuat kompeni pusing dengan penyerbuan mereka di utara Batavia. Hal ini
sangat mengganggu perdagangan orang-orang asing. Di samping serangan
kecil-kecilan yang dilancarkan oleh mataram, mereka juga terus menerus
meminta bantuan dari Malaka yang pada saat itu ada dibawah kekuasaaan
portugis. Harapan akan bantuan ini kemudian hilang pada tahun 1641 , dimana
VOC menguasai Malaka dan orang-orang portugis kehilangan tempat untuk
berpijak di Nusantara.

Hubungan antara Mataram dan Kompeni pada tahun 1942 tidak kunjung
membaik, karena tawanan-tawanan belanda tidak dilepaskan oleh mataram.
Kompeni pun berusaha mencari cara untuk membebaskan tawanan tersebut dari
mataram. Bahkan Pada akhir pemerintahan Sultan Agung hubungan antara
VOC dan Mataram tidak kunjung membaik. Bahkan Sultan agung juga
melarang orang-orang mataram untuk menjual beras atau hasil panennya
kepada kompeni. Dalam ham impor atau ekspor Mataram menggunakan
Malaka sebagai gerbang utama perdagangan.

Sultan Agung meninggal pada usia 55 tahun. Sultan agung kemudian


digantikan oleh putranya Amangkurat I , yang memerintah pada tahun 1646
hingga 1677. Amangkurat bersikap lemah terhadap belanda. Pribadinya jauh
berbeda dengan Sultan Agung yang cerdas dan penuh kebijaksanaan.
Amangkurat I cenderung kejam dan serba curiga. Dalam perjanjian tahun 1646

15
Mataram mengakui kedaulatan Belanda di Batavia. Mataram boleh berdagang
secara bebas kecuali di Temate, Armbon, dan Banda. Itu berarti Belanda
mendapat pengakuan secara de facto dari Mataram dalam kedudukannya di
Batavia, dan Mataram tidak akan menyerang lagi Batavia. Mataram dibatasi
kegiatannya dalam perdagangan dan Belanda makin dapat bergerak dengan
leluasa, khususnya dalam perdagangan.

BAB III
PENUTUP
3.2. Kesimpulan
Peristiwa penyerangan Kota Batavia oleh Kesultanan Mataram Islam
pada tahun 1628-1629 adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah
Indonesia yang mencerminkan kompleksitas hubungan antara kekuatan politik,
agama, dan ekonomi pada masa itu. Gagalnya penyerangan Mataram terhadap
Batavia menimbulkan dampak-dampak penting yang memengaruhi
perkembangan sejarah di wilayah tersebut.

Beberapa faktor kunci yang menyebabkan kegagalan Mataram dalam


penyerangan ini meliputi kekurangan persediaan makanan dan perlengkapan
militer, ketidakstabilan dalam kerajaan Mataram, wabah penyakit, jarak yang
jauh antara Mataram dan Batavia, serta perbedaan dalam sistem persenjataan.
Selain itu, pengkhianatan oleh pihak pribumi yang mengkhianati Mataram
dengan memberikan informasi kepada pihak Belanda juga memainkan peran
penting dalam kegagalan tersebut.

Setelah penyerangan itu, hubungan antara Kesultanan Mataram dan


VOC (Perusahaan Hindia Timur Bersatu) tetap tegang, meskipun terdapat
upaya perundingan. Selama pemerintahan Sultan Agung dan penerusnya,
hubungan tersebut tidak membaik, dan Mataram harus mengakui kedaulatan
Belanda di Batavia. VOC mendapatkan pengakuan de facto atas kedudukannya

16
di Batavia, dan Mataram dibatasi dalam perdagangan, sementara Belanda dapat
bergerak lebih leluasa dalam perdagangan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, S. (2015). Kitab terlengkap sejarah Mataram. Jakarta: Saufa


Pramono, D. (2005). Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Achmad, S. W. (2016). Politik Dalam Sejarah Kerajaan Jawa Manuver & Intrik
Politik Kerajaan-Kerajaan di Jawa dari Mataram Kuno Hingga Mataram Islam.
Yogyakarta: Araska.
Dalminto, D. (2014). Strategi Sultan Agung Dalam Ekspansi Serta Islamisasi
Pada Kerajaan Mataram Islam. Palembang: Uin Raden Fatah.
De Graaf, H. J. (1986). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan
Agung (Vol. 4). Jakarta: Grafiti Pers.
De Graaf, H.J. (1987). Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan
Senapati. Jakarta: Grafiti Pers.
Harun, M. Y. (1995). Kerajaan Islam Nusantara abad XVI & XVII. Yogyakarta:
Kurnia Kalam Sejahtera.
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Penerbit
Serambi.
Kutoyo S, Syafei S, Dharmamulya S, Masykuri, Sudiyono S, Sutijaningsih S, (1986).
Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung Ke Batavia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (ed) (1981). Sejarah Nasional
Indonesia Jilid IV. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat
Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah
Nasional.
Partini, B. (2010). Sultan Agung yang Berguna Untuk Memandu Olah Pikir dan Dzikir.
Yogyakarta: Panji Pustaka
Parwati, Ni Putu Yuniarika. (2014). Penyerangan Sultan Agung ke Batavia Terhadap
Kondisi Politik dan Ekonomi Mataram Tahun 1639-1646, 2(2), 1-18.
Munawar, Zaid. (2021). Tanah, Otoritas Politik, dan Stabilitas Ekonomi Kerajaan
Mataram Islam (1613-1645 M), 21(1), 1-12. Doi:
https://doi.org/10.24036/diakronika/vol21-iss1/163

18
Zamzami, R. (2018). Sejarah Agama Islam di Kerajaan Mataram pada Masa
Penembahan Senapati (1584-1601). JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban
Islam), 2(2), 153-165.

19

Anda mungkin juga menyukai