Anda di halaman 1dari 12

PAJANG DARI ABAD KE-15 SAMPAI TAHUN 1625

Dosen Pengampu : Dr. Rahayu Permana, M. Hum

KELOMPOK 22

Disusun Oleh :
Muhammad Kewalsyah Arifin (202015500084)
Tsaniyah Nurul Sandra (202015500112)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL


UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

2020
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan segala rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Pajang dari abad ke 15
sampai tahun 1625” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga
kami ber terima kasih kepada Bapak Dr. Rahayu Permana, M. Hum. selaku Dosen Pengampu
Geografi Sejarah yang telah memberikan tugas ini. Kami sangat berharap makalah ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Pajang dari
abad ke 15 sampai tahun 1625.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kata - kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Pembaca demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang

Bekasi , 02 Juni 2021

KELOMPOK 22
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Masalah 3
BAB II PEMBAHASAN 4
A. Bentanglahan Pengging di Lereng Tenggara Gunung Berapi 4
B. Sultan Hadiwijaya dan Wilayah Kekuasaannya 5
C. Dari Pengging ke Pajang 7
D. Geografi Politik Negeri Pajang 7
BAB III PENUTUP 9
A. Kesimpulan 9
B. Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam abad ke-14, pajang sudah disebut dalam kitab negarakertagama karena dikunjungi
oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya memeriksa wilayah bagian barat. Antara abad ke-
11 dan abad ke-14, di jawa tengah bagian selatan belum terdapat kerajaan, namun wilayah
tersebut masih menjadi daerah kekuasaan majapahit. Sementara itu, di demak mulai muncul
kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama islam. Meskipun telah muncul
kerajaan kecil bercorak islam. Namun demikian, hingga awal abad ke-16, kewibawaan raja
Majapahit masih diakui.

Pajang sebagai suatu kerajaan yang pernah berdaulat di Jawa Tengah memang hanya
diperhitungkan masanya dari tahun 1546 sampai 1586, yaitu di antara runtuhnya Demak dan
munculnya Mataram. Negeri pajang sebenarnya memiliki kemungkinan untuk dapat tumbuh
menjadi suatu negeri kombinasi agraris-mantim dengan alasan bahwa negeri tersebut
bertulang punggung daerah agraris yang menghasilkan beras. Hal ini dikarenakan daerah ini
dialiri Sungai Solo dengan anak sungainya yaitu Dengkeng dan Pepe. Selain itu, didukung
dengan keberadaan pelabuhan ekspor di muara Bengawan Solo yang letaknya strategis.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa itu Bentanglahan Pengging di Lereng Tenggara Gunung Merapi ?
2. Bagaimana kepemimpinan Sultan Hadiwijaya di wilayah kekuasaannya ?
3. Jelaskan sejarah dari kerajaan Pengging ke Pajang ?
4. Bagaimana Geografi Politik Negeri Pajang ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Bentanglahan Pengging di Lereng Tenggara Gunung Merapi.
2. Untuk mengetahui Sultan Hadiwijaya dan Wilayah Kekuasaannya.
3. Untuk mengetahui Dari Pengging ke Pajang.
4. Untuk mengetahui Geografi Politik Negeri Pajang.
BAB II

PEMBAHASAN

PAJANG DARI ABAD KE-15 SAMPAI TAHUN 1625

A. Bentang lahan Pengging di Lereng Tenggara Gunung Merapi.

  Lembah Bengawan Solo terletak diantara Gunung Lawu di sebelah timur dan Gunung
Merapi di sebelah barat. Sebelum tahun 1000 M, Bengawan Solo tidak memiliki arti penting,
baik secara politis maupun ekonomis jika dibandingkan dengan Kali Progo dan Kali Opak.

Namun , disana telah ditemukan prasasti penambangan berangka tahun 903 yang berada di
tempat penyeberanagan Bengawan Solo di sebelah utara Wonogiri. Dari situ, dapat diketahui
pentingnya perhubungan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Dengan melalui lereng-lereng
selatan Lawu, Wilis, dan Semeru, orang-orang dari mataram dapat sampai ke blambangan.

Dalam abad ke-14, pajang sudah disebut dalam kitab negarakertagama karena dikunjungi
oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya memeriksa wilayah bagian barat. Antara abad ke-
11 dan abad ke-14, di jawa tengah bagian selatan belum terdapat kerajaan, namun wilayah
tersebut masih menjadi daerah kekuasaan majapahit. Sementara itu, di demak mulai muncul
kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama islam. Meskipun telah muncul
kerajaan kecil bercorak islam. Namun demikian, hingga awal abad ke-16, kewibawaan raja
Majapahit masih diakui.

Menginjak akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, para penulis kronik di kartasura menulis
asal-usul raja-raja Mataram. Dalam hal ini, pajang dilihat sebagai pendahulu dari kerajaan
Mataram. Pajang sebagai kelanjuatan dari pengging, pada tahun 1622 pernah dihancurkan ibu
kota dan sawah ladangnya oleh pasukan Mataram karena memberontak. Raja pajang yang
bernama Sultan Hadiwijaya dimakamkan di butuh, tempat yang banyak menyimpan sisa
keramik asal negeri cina. De graaf menyimpulkan bahwa pajang yang berada diantara solo
dan kartasura telah dihuni penduduk antara abad ke 14 atau 15 hingga abad ke 17.

Berbeda dengan sejarah kawasan pesisir dari demak hingga blambangan yang bersumberkan
laporan dari orang portugis atau belanda, berita mengenai pajang dalam abad ke 15 dan ke 16
hanyalah berdasarkan penuturan turun temurun masyarakat.

Sebagai pemimpin Pengging pertama adalah Andayaningrat yang wilayah nya mencakup
lereng tenggara Gunung Merapi atau yang sekarang merupakan kabupaten Klaten dan
Boyolali bagian selatan. Tokoh tersebut pernah berjasa bagi majapahit di zaman Gajah Mada
dalam peperangan menundukkan Blambangan serta Bali, dengan bantuan Sapulaga dari
Probolinggo. Dengan demikian, Raja Menak Badong dari Bandung-Denpasar dapat
ditaklukan.

Kesohoran Andayaningrat dimitoskan dalam sebuah legenda. Ia diceritakan menjadi dari


bangsa buaya di Bengawan Solo. Kemudian, ia dikenal dengan gelar Bajul Sangara dari
Semanggi. Dalam abad yang sama pula, diduga telah dibangun kompleks candi sukuh dan
candi cetho di lereng Gunung Lawu.

Nama lain untuk pengging adalah Bobodo. Dalam abad ke 15, seorang musafir dari pasundan
pernah mengunjungi Bobodo. Berdasarkan laporan musafir tersebut menyebutkan bahwa
yang berkuasa di wilayah tersebut Jaka Sangara atau Jaka Bodo. Adapun kegiatan ekonomi
yang berkaitan dengan lalu lintas sungai diceritakan berpusat di semanggi yang letaknya
berada di dekat Desa Sala. Oleh karena itu, pada abad yang bersangkutan, nama Bengawan
Semanggi yang banyak dikenal orang, setelah kelak Sala atau Solo menjadi ibu kota mataram
menggantikan Kartasura pada awal abad ke 18, namanya berubah menjadi surakarta.

Cerita mengenai sejarah Pajang justru termuat dalam Kitab Babad Banten yang menyebutkan
bahwa Ki Andayaningrat memiliki dua orang putra, yaitu Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara.
Meski Majapahit ambruk pada tahun 1625, pengging di bawah Kebo Kenanga berdaulat terus
hingga pertengahan abad ke 16. Untuk menundukkan pengging, raja demak memanfaatkan
jasa Ki Wanapala dan Sunan Kudus dengan cara adu kekuatan ilmu.

Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh, sedang anak laki-lakinya yaitu Jaka
Tingkir mengabdi ke istana Demak untuk akhirnya mendirikan kerajaan pajang dengan
sebutan Sultan Hadiwijaya.

B. Sultan Hadiwijaya dan Wilayah Kekuasaannya

Raja Pajang yang pertama, sewaktu kecil bernama mas Karebet, karena untuk menyambut
kelahirannya digelar pertunjukan wayang beber. Kemudian, ia dikenal sebagai Jaka Tingkir
karena sepeninggal orang tuanya, ia diangkat anak oleh Janda di Tingkir, sebelah selatan
Kota Salatiga sekarang, dari sana, ia mengabdi ke keraton Demak sebagai tamtama. Jalur
kuno yang ditempuh Jaka Tingkir untuk mencapai Demak dimulai dari Tingkir melalui
Bringin kemudian Godong. Rute ini dipakai pula oleh utusan VOC pada tahun 1620 dalam
rangka mengunjungi ibu Kota Mataram di Kartasura.
Setelah gugurnya Sultan Demak yaitu Raden Trenggana di Jawa Timur pada tahun 1546,
melalui berbagai ujian politik di jawa tengah, Jaka Tingkir berhasil memindahkan pusat
kerajaan ke pedalaman jawa. Sebagai ibu kota ia memilih pajang, suatu hal yang sudah
semestinya, apabila dihubungkan dengan asal-usulnya sebagai cucu Andayaningrat. Setelah
berhasil memindahkan pusat kekuasaan kerajaan ke Pajang, Jaka Tingkir diangkat sebagai
raja pertama yang selanjutnya bergelar Adipati Pajang atau Sultan Hadiwijaya. Sangat
disayangka, karena mengenai keagungan pemerintah Hadiwijaya di Pajang tidak banyak
terdapat buku tertulis, kemungkinan karena pengaruh penguasa mataram yang tergesa-gesa
menandinginya.

Daerah kekuasaan Pajang mencakup sebelah barat Bagelen di lembah Sungai Bogowonto dan
Kedu di lembah Sungai Progo. Di bagelen, ada tokoh bernama pangeran bocor yang karena
setia kepada pajang, ingin membunuh senopati dari Mataram yang akhirnya melawan pajang.
Dalam babad Banyumas diceritakan tentang adanya wilayah pasir di lembah kali serayu yang
sekarang bernama Banyumas, dan wirasaba di Banyumas utara sekitar Purbalingga. Pangeran
Bocor yang berkedudukan di dekat Kebumen, asal-usulnya memang berasal dari pasir.
Pernah dalam abad ke 16 awal, wilayah pasir dihukum oleh pasukan Demak karena raja
setempat murtad dari agama islam. Atas kekalahannya, ia mengungsi ke Bocor dekat
Kebumen. Disebutkan pula bahwa antara pasir dan wirasaba kemudian terjadi suatu konflik.

Di zaman Hadiwijaya memerintah Pajang, tepatnya pada tahun 1578, seorang tokoh
pemimpin wirasaba yang bernama wargautama pernah ditindak oleh pasukan-pasukan
kerajaan dari Mataram. Berita babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang
menjelang akhir pemerintahan Hadiwijaya. Kekuasaan Pajang di wilayah timur meliputi
Madiun. Tidak ada berita apakah kediri juga berada di daerah kekuasaan pajang. Dalam
daftar tahun-tahun bersejarah susunan Raffles yang berjudul Chronological Table, disebutkan
bahwa Blora pada tahun antara 1584-1586 menjadi rebutan antara Pajang dan Mataram,
karena Senopati merasa berkepentingan atas Blora pada perempat akhir abad ke 16.
Sementara itu, bupati surabaya pun merasa berhak menempatkan tokoh pimpinannya di
Blora. Kemungkinan, ditundukkannya Blora oleh Pajang pada tahun 1584 merupakan episode
dari peperangan antara raja Pajang dan penguasa di jipang. Hal ini sama berlaku bagi
penundukkan atas wilayah di sebelah barat Bojonegoro.

Ada dugaan bahwa Hadiwijaya sebagai raja Islam berhasil dalam diplomasinya, sehingga
pada tahun 1581 ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting di kawasan pesisir jawa timur.
Untuk peresmiannya, pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di
Majaagung, Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Pembicara yang
mewakili tokoh-tokoh jawa timur adalah Panji Wirya Krama bupati surabaya. Disebutkan
pula bahwa Arosbaya dari Madura Barat turut mengakui Hadiwijaya. Sehubungan dengan itu,
bupatinya yang bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu oleh Hadiwijaya.

C. Dari Pengging ke Pajang

Pajang sebagai suatu kerajaan yang pernah berdaulat di Jawa Tengah memang hanya
diperhitungkan masanya dari tahun 1546 sampai 1586, yaitu di antara runtuhnya Demak dan
munculnya Mataram. Negeri pajang sebenarnya memiliki kemungkinan untuk dapat tumbuh
menjadi suatu negeri kombinasi agraris-mantim dengan alasan bahwa negeri tersebut
bertulang punggung daerah agraris yang menghasilkan beras. Hal ini dikarenakan daerah ini
dialiri Sungai Solo dengan anak sungainya yaitu Dengkeng dan Pepe. Selain itu, didukung
dengan keberadaan pelabuhan ekspor di muara Bengawan Solo yang letaknya strategis.

Meskipun dalam sejarah Pajang hal-hal tersebut bukan merupakan kenyataan, kemungkinan
besar kebesaran tersebut pernah ada dalam angan-angan Ki Kebo Kenanga, tokoh penguasa
di pengging pada awal abad ke 16 dan sang putra Sultan Hadiwijaya. Penghalang dari cita-
cita pajang jika ditinjau dari segi geografis adalah kerajaan Demak dan Mataram.

Dalam ensiklopedia Hindia Belanda yang besar dengan lanskap Pajang atau Kabupaten
Klaten ditambah dengan kabupaten Boyolali bagian selatan, keduanya merupakan lumbung
beras bagi kasunanan surakarta sebelum perang dunia 2. Kesuburan tanahnya memungkinkan
pula hadirnya 22 pabrik gula dan sekitarnya 10 pusat pertanian tembakau.

Pusat bentanglahan Pajang yang asli adalah desa Pengging, yang sekarang letaknya diantara
kota Boyolali, Klaten, dan Kartasura. Dalam abad ke 16, dengan berdirinya kesultanan
Pajang, ibu kota dipindahkan ke Pajang yang terletak di jalan raya lama yang
menghubungkan Kartasura dengan Surakarta sekarang.

Wilayah Pajang pusat, luasnya kurang lebih 300 km dengan panjang dari utara ke selatan
adalah 20 km, dan lebar dari barat ke timur kurang lebih 15 km. Wilayah segi empat panjang
ini ditempati oleh pertemuan Kali Pepe dan Kali Dengkeng dengan sungai induknya yaitu
Bengawan Solo yang sebelumnya bernama Bengawan Wiluyu.

Wiluyu adalah desa yang terletak berseberangan dengan Desa Sala, yang pada awal abad ke
18 menjadi tempat ibu kota Kasunanan Surakarta setelah diboyong pusatnya dari Kartasura.
Sesudah itu, secara berangsur nama Bengawan Wiluyu menjadi Bengawan Solo. Lokasi yang
strategis untuk perdagangan pedalaman melalui sungai inilah yang mendasari pemilihan Solo
menjadi tempat ibu kota yang baru. Posisinya secara geografis dapat disamakan dengan
kediri yang berada di tepi sungai Brantas dan Wengker di tepi Sungai Madiun.

Dalam masa jayanya, pajang memegang hegemoni di 10 daerah lain yang tersebar di jawa
tengah dan jawa timur. Adapun rinciannya sebagai berikut. Daerah induk Pajang meliputi
Kabupaten Klaten seluruhnya, Kabupaten Boyolali bagian selatan dan Kabupaten Sukaharjo
sekarang. Di luar itu, ada daerah-daerah yang bupatinya tunduk kepada raja Pajang seperti
Surabaya, Tuban, Pati, Demak, Pemalang, Tegal, Purboyo, Madiun, Blitar, Kediri, Slarong,
Banyumas, Mataram (Yogyakarta sekarang).

D. Geografi Politik Negeri Pajang

Sunan Kudus beserta raja-raja Demak selalu bersikap menentang bupati Pajang yang
mendapat bantuan keinginannya untuk mengembalikan Syekh Siti Jenar dengan latar
belakang keinginannya untuk mengembalikan pusat kerajaan jawa tengah ke pedalaman
seperti keadaannya di zaman pemerintahan kerajaan Hindu.

Apabila Pajang dapat menjadi suatu kerajaan besar dengan urat nadi Bengawan Solo, kondisi
geografi dan politiknya dapat diperincikan sebagai berikut :

1) Kerajaan kombinasi agraris-maritim ini memiliki front yang mengahadap ke wilayah


Indonesia timur, yang menjadi ajang perniagaan lautan yang kelak bersifat
internasional menurut ukuran zamannya. Pelabuhan-pelabuhan yang besar di jawa
timur seperti Gresik dan Jaratan berada di dekat muara Bengawan Solo.
2) Sayap kiri dari urat nadi ini berupa daerah pesisir dengan pelabuhan-pelabuhan dari
barat ke timur, terdiri dari Demak, Jepara, Juwana, Rembang, Lasem, dan Tuban.
3) Sayap kanannya berupa lembah Sungai Brantas dengan daerah-daerah penting, seperti
Kediri, Kartosono, dan Wirosobo.

Meskipun negara ideal di jawa tengah seperti yang dilukiskan tersebut belum pernah tercapai
secara nyata, tetapi fakta-fakta historis menunjukkan bahwa cita-cita itu hidup dari abad ke
abad dalam benak para pemimpin di Pajang dan Surakarta kemudian. Gagalnya usaha Pajang
untuk membentuk negara agraris-maritim di jawa masih dapat ditelusuri lebih lanjut
penyebabnya di masa kemudian.
Dalam menilai Bengawan Solo sebagai urat nadi negara tersebut, perlu dipikirkan situasi
ekonomi, politik, transportasi, dan teknologi lain yang ada pada abad-abad yang
bersangkutan. Panjang Bengawan Solo kurang 540 km. Bersama wilayah yang dialirinnya
mencakup wilayah seluas 15.425 km. Ini kurang lebih sama dengan satu per delapan luas
pulau jawa. Seluruh panjang bengawan tersebut dapat dibagi atas tiga bagian, antara lain :

1) Hilir atas, dengan Kota Solo yang letaknya 94 km dari mata air sungai lereng gunung
Lawu.
2) Hilir tengah, dengan Bojonegoro yang di masa lampau merupakan bagian dari
Kadipaten Jipang dengan tanah napal yang kering sehingga penduduknya miskin.
3) Hilir bawah, mulai dari babad sampai daerah pantai dengan pelabuhan Sidayu,
Jaratan, Gresik, dan Giri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
masa kejayaan kerajaan ini terjadi pada masa pemerintahan sultan yang pertama yaitu
Sultan Hadiwijaya Beliau adalah orang yang pandai berpolitik sehingga bisa
mengajak para pemimpin wilayah Jawa Timur untuk mengakui kedaulatan Kerajaan
Pajang. Selain itu dirinya juga ahli dalam menentukan taktik ekspansi
wilayah.Kerajaan Pajang menjadi kerajaan yang makmur karena rakyatnya hidup
melalui aspek aspek pertanian. Kondisi alamnya yang subur karena lokasinya yang
diapit oleh dua sungai membuat perekonomiannya maju. Bahkan pada abad ke 16
hingga 17 masehi kerajaan ini menjadi salah satu lokasi produksi padi yang mampu
mengekspor hasil berasnya ke luar wilayah Pajang.
Peran Jaka Tingkir dalam merintis kesultanan pajang sangatlah vital, karena
kecerdasan dalam meramu strategi, ia berhasil menyingkirkan arya penangsang yang
memiliki kekuatan militer lebih besar. Kemenangannya itu membuatnya dapat
membentuk kerajaan pajang. Kerajaan pajang menjadi pusat dakwah jaka tingkir yang
ingin menyebarkan islam di jawa sesuai cara sunan kalijaga.
Peralihan wilayah demak ke pajang membawa beberapa dampak besar diantaranya
adalah perubhan dari kerajaan maritime ke agraris. Demak yang semula memiliki
banyak armada kapal, dan pelabuhan yang ramai oleh perdagangan, menjadi kerajaan
agraris setelah berpindah ke pajang, karena wilyah yang berada di daerah pedalaman

B. Saran

Diharapkan penjelasan dari keterangan diatas dapat membantu dalam rangka


melengkapi informasi tentang Kerajaan Pajang.
Diharapkan pembaca dapat mengkoreksi jika terdapat kesalahan-kesalahan informasi
yang pemakalah sampaikan.
DAFTAR PUSTAKA

Daldjoeni, N. (2019). GEOGRAFI KESEJARAHAN II INDONESIA. Yogyakarta: Penerbit


Ombak.

Anda mungkin juga menyukai