KERAJAAN JAMBI
Disusun Oleh:
1. Athaya Salsabila
Kelas: X.3
DINAS PENDIDIKAN
Ucapan puji-puji dan syukur semata-mata hanyalah milik Allah SWT. Hanya
kepada-Nya lah kami memuji dan hanya kepada-Nya lah kami bersyukur, kami
meminta ampunan dan kami meminta pertolongan.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi gung
kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT
untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah
agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi
seluruh alam semesta.
Dengan hormat serta pertolongan-Nya, puji syukur, pada akhirnya kami dapat
menyelesaikan makalah kami dengan judul “Kerajaan Jambi” dengan lancar. Kami
pun menyadari dengan sepenuh hati bahwa tetap terdapat kekurangan pada makalah
kami ini.
Oleh sebab itu, kami sangat menantikan kritik dan saran yang membangun dari
setiap pembaca untuk materi evaluasi kami mengenai penulisan makalah berikutnya.
Kami juga berharap hal tersebut mampu dijadikan cambuk untuk kami supaya kami
lebih mengutamakan kualitas makalah di masa yang selanjutnya.
Penyusun
1. Sejarah Kerajaan Jambi
Sebelum masa Islam, di wilayah Jambi pernah berdiri sebuah kerajaan bercorak
Buddha, yakni Kerajaan Malayu pada abad ke-7. Berita tentang adanya Kerajaan
Malayu ini dapat dilacak pada kronik karya I-tsing.
Dengan begitu, ibukota Malayu dipastikan terletak di tepi laut. Karena jalan yang
menghubungkan pelabuhan/ibukota dengan wilayah pedalaman di Jambi adalah
Sungai Batanghari, maka pelabuhan Malayu kiranya terletak di muara Sungai
Batanghari (Muljana, 1981:33).
Pada abad ke-13, letak ibukota Malayu telah bergeser ke pedalaman di daerah
Dharmasraya, sekitar Sungai Langsat. Salah satu bukti pergeseran letak ibukota ini
adalah adanya Prasasti Adityawarman yang dipahat di sisi belakang arca
Amoghapasa yang bertarikh 1347.
Selat Malaka, di mana Sungai Batanghari bermuara, merupakan salah satu jalur
perdagangan internasional sejak abad ke-7. Fakta ini dapat dilacak dari berita Cina.
Berita Cina tadi diperkuat dengan data arkeologis berupa temuan pecahan kaca
bewarna gelap dan hijau muda di Muara Saba, juga dari Muara Jambi berupa
pecahan kaca bewarna biru tua dan biru muda, hijau, kuning, dan merah tua serta
sejumlah permata yang diperkirakan dari abad ke-10 hingga ke-13 yang berasal dari
Arab dan Persia.
Pernikahan mereka melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Jambi yang terkenal.
Dengan begitu, persebaran Islam sebetulnya telah ada sejak pertengahan abad ke-15,
tepatnya tahun 1460 bila kita merujuk saat Datuk Paduka Berhala terdampar dan
menikah dengan Putri Pinang Masak.
Di sini kita melihat bahwa ada hubungan antara Kerajaan Jambi dengan apa pun
yang berkaitan dengan Kerajaan Malayu sebelumnya; dan yang menghubungkannya
tak lain adalah Putri Selaro/Selaras Pinang Masak.
Sosok Putri ini pula yang membuat masyarakat Jambi menerima kelahiran
Kesultanan Jambi, bukan karena peran atau keberadaan Datuk Paduka Berhala yang
jelas merupakan orang Turki.
Orang Kayo Hitam menikah dengan Putri Mayang Mangurai (yang berarti Putri
Rambut Panjang), anak gadis Tumenggung Merah Mato. Oleh Tumenggung Merah
Mato, Orang Kayo Hitam dan Putri Mayang Mangurai diberi sepasang angsa serta
Perahu Kajang Lako.
Dikisahkan bahwa raja Jambi yang terkenal adalah Orang Kayo Hitam. Raja ini
dikatakan melakukan hubungan dengan Majapahit. Orang Kayo Hitam diceritakan
pergi ke Majapahit untuk mengambil keris bertuah yang kelak akan dijadikan
sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi.
Keris itu dinamakan Keris Siginjai, terbuat dari kayu, emas, besi dan nikel. Keris
Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi.
Selama 400 tahun keris Siginjai tidak hanya dijadikan sekadar lambang mahkota
kesultanan Jambi, namun juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.
Orang Kayo Hitam kemudian diganti oleh Panembahan Hang di Aer yang
setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas, sehingga terkenal dengan Panembahan
Rantau Kapas.
Sultan Jambi terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad
Zainuddin pada awal abad ke-20. Selain Siginjai, ada sebuah keris lagi yang
dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran
Ratu (Putra Mahkota).
Pada 1903, Pangeran Ratu Martaningrat keturunan Sultan Thaha yang terakhir
menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen Palembang sebagai tanda
penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyimpan Keris Siginjai dan
Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Batavia (Jakarta).
Kalbu VII-IX Koto, dikepalai oleh Sunan Pulau Johor, saudara Putri Selaras
Pinang Masak;
Orang Kayo Hitam, bisa disebut sebagai Sultan Jambi pertama, sekitar 1500-
1515;
Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga, 1790 – 1812;
Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga, 1812 – 1833;
3. Aspek Kehidupan
A. Politik
Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang berdiri di wilayah yang saat ini
masuk Provinsi Jambi. Kerajaan ini awalnya merupakan wilayah kerajaan
Melayu, sebuah kerajaan bawahan Sriwijaya. Kemudian kerajaan ini menjadi
salah satu wilayah bawahan Majapahit. Setelah jatuhnya Majapahit, Jambi
menjadi kerajaan merdeka. Kejayaan Jambi berada pada awal abad ke 17 dimana
kerajaan Jambi menjadi salah satu pedagang rempah-rembah terbesar di Sumatra.
Namun kerajaan ini mengalami penurunan setelah diserah oleh Johor, pada tahun
1680an. Raja atau Sultan Jambi adalah pemimpin tertinggi dan simbol kekuasaan
kerajaan. Raja dipilih oleh perwakilan empat suku besar di Jambi, yaitu suku
Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Dari keempat suku ini, suku
Kraton adalah suku terbesar, dan semua kandidat raja Jambi berasal dari suku ini.
Jambi tidak memiliki aturan suksesi ke putera mahkota. Tetapi anak keturunan
raja sebulmunya bisa dinominasikan sebagai kandidat raja, dan kemudian dipiluh.
Status ibu dari kandidta tersebut umumnya menentukan kandidat mana yang
memenangkan pemilihan. Dalam pemerintahan sehari-hari, sultan hanya bersifat
sebagai simbol. Pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh pejabat yang bergelar
Pangeran Ratu, yang dibantu oleh dewan yang disebut Rapat Dua Belas. Anggota
dari dewan ini adalah para pemimpin dan tokoh dari keempat suku besar di atas.
Penduduk kesultanan Jambi beragam, terdiri dari suku Melayu, suku
Minangkabau, suku Kubu di pedalaman, serta keturunan suku Jawa yang termasuk
keluarga kerajaan, serta suku Arab pendatang. Kesultanan Jambi hanya memiliki
kekuasaan yang kuat ke warga yang tinggalnya menetap, sedangkan untuk
mengatur suku pedalaman yang hidupnya berpindah-pindah, kesultanan
mengandalkan kepala suku yang disebut batin. Pendapatan kesultanan diambil
dari pajak dari penduduk tetap, monopoli garam dan pajak perdagangan dengan
kerajaan lain. Kesultanan Jambi dihapuskan oleh penajjah Belanda pada tahun
1904 ketika sultan Jambi saat itu, Sultan Thaha Syafiudin menolak perjanjian
yang dipaksakan oleh Belanda.
Sifat hubungan hulu dan hilir atau gerak horisontal barat ke timur sangat
mendominasi pertumbuhan dan perkembangan berbagai aspek kehidupan dalam
politik, ekonomi, ataupun kebudayaan di wilayah Jambi. Hal ini dapat dilihat dari
erat dan dinamisnya hubungan antara kota-kota hulu, misalnya Padang Roco,
Muaro Tebo, Muaro Bungo, Muaro Tembesi, Muaro Bulian, Jambi, Muaro Jambi,
Simpang, Muaro Zabak, Kualo Tungkal, perairan Riau, Selat Malaka, Jawa, Asia
Timur, dan Asia Selatan khususnya India. Kebutuhan hulu dan hilir dilaksanakan
dengan barter, misalnya kain sutera, keramik, tekstil dari Cina atau India, dengan
hasil dari Kepulauan Indonesia berupa rempah-rempah, kayu wangi, dan lain-lain
sehingga menimbulkan sistem perdagangan dari yang tradisional sampai modern .
Potensi hulu dimanfaatkan oleh Kesultanan Jambi untuk membangun mitra
perdagangan. Tercatat pada pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17,
Kesultanan Jambi melakukan perdagangan lada yang menguntungkan. Pada
mulanya perdagangan dilakukan dengan orang-orang Portugis dan sejak 1615
dengan perusahaan dagang Inggris dan Hindia Timur Belanda. Sebuah
perdagangan di mana orang-orang Cina, Melayu, Makassar, dan Jawa juga terlibat
. Lewat perdagangan ini para Sultan Jambi memperoleh keuntungan yang sangat
berlimpah.
Selain itu tipologi daerah di Kesultanan Jambi ditandai dengan dukungan
sungai besar Batanghari dengan anak-anak sungainya, yaitu Batang Tembesi,
Batang Merangin, Batang Asai, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Bungo,
Batang Ule (Alai), Batang Jujuhan, dan Batang Siau. Kesembilan sungai ini juga
mempunyai nama lain, yaitu: Batang Merangin, Batang Masumai, Batang Tabir,
Batang Pelepat, Batang Senamat, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan,
dan Batang Abuan Tungkal. Kesembilan daerah aliran sungai ini disebut dengan
”sembilan lurah“ (negeri). Oleh karena itu daerah Kesultanan Jambi disebut juga
dengan ”Pucuk Jambi Sembilan Lurah“. Di kawasan “sembilan lurah” ini telah
terjadi aktivitas sosial-ekonomi yang didukung oleh potensi dari daerah
pedalaman. Dukungan para kepala elite lokal yang menguasai tiap lurah dengan
sebutan depati, membuat terbukanya potensi perdagangan antara Jambi dengan
pihak luar. Perairan yang lebar dengan sungai yang dalam menciptakan daerah
pemukiman padat di sepanjang aliran sungai dan meninggalkan temuan-temuan
arkeologis berupa lebih dari 149 bekas pemukiman kuno maupun 70 situs
purbakala.
3. Ukiran tawang
c) Seni kriya, yaitu anyam-anyaman yang terbuat dari bambu, rotan, dan
pandan untuk kebutuhan rumah tangga sendiri.
Masa peralihan kekuasaan yang terjadi ditahun 1833 saat Sultan Agung Sri Ingalongo
digantikan oleh Sultan Muhammad Facruddin. Sultan Muhammad Facrudin (Sultan
Keramat) Masih melanjutkan perjuangan Sultan sebelumnya yang tidak bersikap
akomodatif pada Belanda. Hal ini dibuktikan dengan dukungan sultan terhadap para
bangsawan Palembang yang menentang kebijakan pemerintahan Belanda di
Palembang.
Perbantuan yang dilakukan sultan terhadap perlawanan bangsawan Palembang
menyebabkan Hindia-Belanda geram, dan akhirnya pemerintah Hindia-Belanda
mengirimkan Letnan Kolonel Micheil Untuk memblokade sungai dan daerah
Serolangun dan mendesak pasukan Sultan Keramat hingga daerah Sungai Baung dan
Dusun Tembesi. terdesaknya pasukan Sultan Keramat menyebabkan Sultan terpaksa
menandatangi perjajian yang isinya menyatakan bahwa Jambi dibawah kekuasaan
Belanda pada 14 Nopember 1833 dan perjanjian tambahan yang ditanda tangani 15
Desember 1833.
Lima Belas tahun dikuasai Belanda, pada masa pemerintahan Sultan Taha
Syarifuddin, Kesultanan Jambi mulai melakukan Pemberontakan dengan tidak
mengakui kekuasaan Belanda atas Jambi. sehingga pada tahun 1858 Sultan Taha
dipaksa meletakan Jabatan setelah Belanda menguasai Keranton Jambi di bawah
Pimpinan Mayor Van Legen.
Sultan Mahliludin yang mangkat pada10 April 1855 digantikan Sultan Ahmad
Zainuddin, yang pada masa pemerintahannya mengangkat Putra Ketiga Sultan
Muhammad Taha yang masih berusia 4 tahun sebagai Pangeran Anom Kusumayudha
pada Juli 1855. Pengangkatan Pangeran Anom ini menandakan perdamaian antara
Bangsawan di Kesultanan Jambi yang dahulunya pernah berpisah akibat interpensi
Belanda, dengan sikap ini pada akhirnya keris pusaka yang dipengang Sultan Taha
diberikan kepada Sultan Ahmad Zainuddin yang pada akhirnya Kesultanan Jambi
tidak lagi memiliki pemerintahan yang terpecah antara pemerintahan Uluan dan
Kesultanan Jambi ciptaan Belanda.
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.