Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEJARAH

KERAJAAN JAMBI

Disusun Oleh:

1. Athaya Salsabila

2. Brillian Aji Putra

3. Desira Amalia Putri

Kelas: X.3

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA SELATAN

DINAS PENDIDIKAN

SMA PLUS NEGERI 17 PALEMBANG

TAHUN PELAJARAN 2018/2019


KATA PENGANTAR

Ucapan puji-puji dan syukur semata-mata hanyalah milik Allah SWT. Hanya
kepada-Nya lah kami memuji dan hanya kepada-Nya lah kami bersyukur, kami
meminta ampunan dan kami meminta pertolongan.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi gung
kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT
untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah
agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi
seluruh alam semesta.
Dengan hormat serta pertolongan-Nya, puji syukur, pada akhirnya kami dapat
menyelesaikan makalah kami dengan judul “Kerajaan Jambi” dengan lancar. Kami
pun menyadari dengan sepenuh hati bahwa tetap terdapat kekurangan pada makalah
kami ini.
Oleh sebab itu, kami sangat menantikan kritik dan saran yang membangun dari
setiap pembaca untuk materi evaluasi kami mengenai penulisan makalah berikutnya.
Kami juga berharap hal tersebut mampu dijadikan cambuk untuk kami supaya kami
lebih mengutamakan kualitas makalah di masa yang selanjutnya.

Palembang, 27 Januari 2019


 

Penyusun
1. Sejarah Kerajaan Jambi

Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang berkedudukan di provinsi Jambi


sekarang. Kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan kerajaan-kerajaan
Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota di utara. Di selatan kerajaan ini
berbatasan dengan Kesultanan Palembang (kemudian Keresidenan Palembang). Jambi
juga mengendalikan lembah Kerinci, meskipun pada akhir masa kekuasaannya
kekuasaan nominal ini tidak lagi dipedulikan. Ibukota Kesultanan Jambi terletak di
kota Jambi, yang terletak di pinggir sungai Batang Hari.

Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Malayu, dan kemudian


menjadi bagian dari Sriwijaya. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan vasal
Majapahit, dan pengaruh Jawa masih terus mewarnai kesultanan Jambi selama abad
ke-17 dan ke-18. Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di
wilayah itu. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatera
setelah Aceh, dan pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya
seperti Johor dan Palembang. Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Tahun
1680-an Jambi kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan lada utama, setelah perang
dengan Johor dan konflik internal. Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat,
keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah Belanda. Jambi digabungkan
dengan keresidenan Palembang. Tahun 1906 kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh
pemerintah Hindia Belanda.

A. Sungai Batanghari sebagai Gerbang Masuk

Sebelum masa Islam, di wilayah Jambi pernah berdiri sebuah kerajaan bercorak
Buddha, yakni Kerajaan Malayu pada abad ke-7. Berita tentang adanya Kerajaan
Malayu ini dapat dilacak pada kronik karya I-tsing.

I-tsing menulis bahwa Kerajaan Mo-lo-yu (Malayu) terletak di antara Sriwijaya


dengan Kedah (Chiech-cha), di mana Sriwijaya terletak di sebelah timur/tenggara
Malayu, sejauh lima belas hari pelayaran. Atas dasar catatan I-tsing itu, maka
Kerajaan Malayu harus berada di Selat Malaka dan di sebelah barat atau baratlaut
Sriwijaya.
Selain sebagai nama kerajaan, Malayu pun digunakan sebagai nama ibukota
kerajaan dan pelabuhan di kerajaan tersebut (penyebutan yang sama terhadap nama
kerajaan, ibukota, pelabuhan, bahkan sungai merupakan kebiasaan zaman dulu).

Dengan begitu, ibukota Malayu dipastikan terletak di tepi laut. Karena jalan yang
menghubungkan pelabuhan/ibukota dengan wilayah pedalaman di Jambi adalah
Sungai Batanghari, maka pelabuhan Malayu kiranya terletak di muara Sungai
Batanghari (Muljana, 1981:33).

Ketika pulang dari Nalanda di India, I-tsing memberitahukan dalam bukunya


yang selesai ditulis pada 692 M, bahwa Kerajaan Malayu ternyata telah menjadi
bagian Kerajaan Shih-li-fo-chih (Sriwijaya). Pencamplokan atas Malayu adalah
karena Sriwijaya sedang mengembangkan wilayah kekuasaannya, terutama di Selat
Malaka.

Pada abad ke-13, letak ibukota Malayu telah bergeser ke pedalaman di daerah
Dharmasraya, sekitar Sungai Langsat. Salah satu bukti pergeseran letak ibukota ini
adalah adanya Prasasti Adityawarman yang dipahat di sisi belakang arca
Amoghapasa yang bertarikh 1347.

Adityawarman menyebutkan negaranya sebagai Malayapura. Yang


dimaksudkan Malayapura ini besar kemungkinan adalah Suwarnabhumi atau
Malayu yang terpahat pada Prasasti Kertanagara, yang juga terpahat pada arca
Amoghapasa.

Nama Malayapura rupanya bukan “ciptaan” Adityawarman sendiri, karena pada


Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Srilangka nama itu telah tercatat.

Selat Malaka, di mana Sungai Batanghari bermuara, merupakan salah satu jalur
perdagangan internasional sejak abad ke-7. Fakta ini dapat dilacak dari berita Cina.

Selain memberikan sekilas gambaran mengenai keberadaan Kerajaan Malayu,


berita Cina pun, salah satunya kitab Pei-hu-lu tahun 875 M, memberikan petunjuk
bahwa Chan-pei (lafal Cina untuk Jambi) sudah didatangi para
pedagang Po’sse(orang-orang Parsi).
Pedagang Po’sse ini mengumpulkan barang dagangan berupa buah pinang. Buah
pinang ini oleh Poesponegoro (2008: 40) dihubungkan dengan kata jambe dalam
bahasa Sunda dan Jawa yang berarti “pohon/buah pinang”, dan dengan demikian ia
mengandaikan bahwa istilah jambi berasal dari kata jambe.

Bila pendapat ini benar, apakah mungkin dulu kata jambe digunakan oleh


komunitas yang lebih luas, yakni orang-orang Melayu dan Sumatra dan bukan hanya
orang Sunda/Jawa saja?

Berita Cina tadi diperkuat dengan data arkeologis berupa temuan pecahan kaca
bewarna gelap dan hijau muda di Muara Saba, juga dari Muara Jambi berupa
pecahan kaca bewarna biru tua dan biru muda, hijau, kuning, dan merah tua serta
sejumlah permata yang diperkirakan dari abad ke-10 hingga ke-13 yang berasal dari
Arab dan Persia.

Penemuan pecahan kaca dari Wonorejo, Kabupaten Tanjung Jabung,


diperkirakan berasal dari abad yang sama.

B. Putri Salaro/Selaras Pinang Masak

Berdasarkan temuan-temuan arkeologis tersebut dapat dibuat tafsiran bahwa


kehadiran Islam di wilayah Jambi terjadi sejak abad ke-10 hingga ke-13 walau
islamisasi yang terjadi masih bersifat secara perseorangan. Sedangkan islamisasi
besar-besaran di Jambi terjadi sejak awal abad ke-16, yang ditandai dengan
pemerintahan Orang Kayo Hitam, anak Paduka Berhala.

Menurut Undang-undang Jambi, tokoh Datuk Paduka Berhala adalah seorang


Turki yang terdampar di Pulau Berhala (kemudian disebut pula sebagai Ahmad
Salim) dan menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak, seorang putri pribumi
Muslim, keturunan raja-raja Pagaruyung.

Pernikahan mereka melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Jambi yang terkenal.
Dengan begitu, persebaran Islam sebetulnya telah ada sejak pertengahan abad ke-15,
tepatnya tahun 1460 bila kita merujuk saat Datuk Paduka Berhala terdampar dan
menikah dengan Putri Pinang Masak.
Di sini kita melihat bahwa ada hubungan antara Kerajaan Jambi dengan apa pun
yang berkaitan dengan Kerajaan Malayu sebelumnya; dan yang menghubungkannya
tak lain adalah Putri Selaro/Selaras Pinang Masak.

Sosok Putri ini pula yang membuat masyarakat Jambi menerima kelahiran
Kesultanan Jambi, bukan karena peran atau keberadaan Datuk Paduka Berhala yang
jelas merupakan orang Turki.

Putri Pinang Masak, bila ditelusuri asal-usulnya, masih keturunan Adityawarman


yang merupakan peletak dasar Kerajaan Pagaruyung. Dari sosok Putri inilah
sebetulnya Kesultanan Jambi mendapatkan sokongan dan dukungannya dari rakyat
Jambi.

Seperti diketahui bahwa Adityawarman setelah ditempatkan menjadi raja di


Kerajaan Malayu oleh Mahapahit tahun 1347, lalu menaklukkan Tanah Datar dan
lantas mendirikan kerajaan baru bernama Pagaruyung, Sumatra Barat.

C. Orang Kayo Hitam

Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, pernikahan antara Datuk Paduka


Berhala dengan Putri Pinang Masak melahirkan empat orang anak: Orang Kayo
Pingai, Orang Kayo Pedataran/Kedataran, Orang Kayo Gemuk (seorang putri), dan
Orang Kayo Hitam.

Orang Kayo Hitam menikah dengan Putri Mayang Mangurai (yang berarti Putri
Rambut Panjang), anak gadis Tumenggung Merah Mato. Oleh Tumenggung Merah
Mato, Orang Kayo Hitam dan Putri Mayang Mangurai diberi sepasang angsa serta
Perahu Kajang Lako.

Kepada anak dan menantunya ia berpesan agar menyusuri aliran Sungai


Batanghari untuk mencari tempat guna mendirikan kerajaan baru itu dan bahwa
tempat baru itu haruslah tempat di mana sepasang angsa bawaan tadi mau naik ke
tebing dan mupur di tempat tersebut selama dua hari dua malam.
Setelah beberapa hari menyusuri Sungai Batanghari, kedua angsa naik ke darat di
sebelah hilir Kampung Tenadang (kini Kampung Jam). Sesuai dengan amanah
mertuanya, Orang Kayo Hitam dan istrinya beserta pengikutnya mulai membangun
kerajaan baru yang kemudian disebut “Tanah Pilih”.

Tanah Pilih ini lalu dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaannya.


Kemungkinan besar, saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan baru,
banyak pohon pinang tumbuh di sepanjang aliran Sungai Batanghari, sehingga nama
itu, “Jambi”, yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.

Dikisahkan bahwa raja Jambi yang terkenal adalah Orang Kayo Hitam. Raja ini
dikatakan melakukan hubungan dengan Majapahit. Orang Kayo Hitam diceritakan
pergi ke Majapahit untuk mengambil keris bertuah yang kelak akan dijadikan
sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi.

Keris itu dinamakan Keris Siginjai, terbuat dari kayu, emas, besi dan nikel. Keris
Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi.
Selama 400 tahun keris Siginjai tidak hanya dijadikan sekadar lambang mahkota
kesultanan Jambi, namun juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.

Dalam Sila-sila Keturunan Raja Jambi dikatakan bahwa Datuk Paduka Berhala


digantikan oleh Orang Kayo Pingai dan kemudian Orang Kayo Pedataran. Ada pun
Orang Kayo Hitam, anaknya yang bungsu, di kemudian hari mendirikan pemukiman
baru yang kelak menjadi ibukota Kesultanan Jambi.

Orang Kayo Hitam kemudian diganti oleh Panembahan Hang di Aer yang
setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas, sehingga terkenal dengan Panembahan
Rantau Kapas.

Sultan Jambi terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad
Zainuddin pada awal abad ke-20. Selain Siginjai, ada sebuah keris lagi yang
dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran
Ratu (Putra Mahkota).
Pada 1903, Pangeran Ratu Martaningrat keturunan Sultan Thaha yang terakhir
menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen Palembang sebagai tanda
penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyimpan Keris Siginjai dan
Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Batavia (Jakarta).

2. Wilayah Kerajaan Jambi, Sistem Adminitrasi Pemerintahan, dan Raja-


raja Jambi

Ada yang berpendapat bahwa wilayah Kesultanan Jambi dahulu meliputi


sembilan buah lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang): Batang Asai,
Batang Merangin, Batang Masurai, Batang Tabir, Batang Senamat, Batang Jujuhan,
Batang Bungo, Batang Tebo, dan Batang Tembesi.

Batang-batang ini merupakan anak Sungai Batanghari yang keseluruhannya


merupakan wilayah Kesultanan Jambi. Ada pun yang menjadi ibukota Kesultanan
Jambi adalah Tanah PIlih.

Setelah ibukota baru ditetapkan, maka dibentuklah undang-undang


bernama Undang Nan Delapan yang mengandung hukum syariat Islam. Juga,
diadakan perombakan sistem administrasi pemerintahan yang membagi negeri Jambi
ke dalam 9 kalbu yang masing-masing dipimpin oleh anggota keluarga kesultanan
dan para kerabat. Kesembilan kalbu itu adalah:

 Kalbu VII-IX Koto, dikepalai oleh Sunan Pulau Johor, saudara Putri Selaras
Pinang Masak;

 Kalbu Petajin, dikepalai oleh keturunan Orangkayo Pedataran;

 Kalbu Muara Sebo, dikepalai oleh Sunan Kembang Seri;

 Kalbu Jebus Rajasari, dikepalai oleh keturunan Orangkayo Pingai;

 Kalbu Air Hitam, dikepalai oleh keturunan Orangkayo Gemuk;

 Kalbu Awin, diserhakan kepada para sunan;


 Kalbu Panegan, dikepalai oleh Muara Bijoan yang merupakan saudara tertua;

 Kalbu Miji, dikepalai oleh Putri Selaras Pinang Masak;

 Kalbu Pinikawan, dikepalai oleh Binikawan Tengah.

Sementara itu, raja-raja Jambi (sebagian menurut Sila-sila Keturunan Raja


Jambi,sementara pencantuman tarikh-tarikh pemerintahannya diperikan oleh J.
Tideman, berdasarkan catatan dari M.M. Menes) adalah:

 Datuk Paduka Berhala bersama Putri Salaro Pinang Masak, 1460 M;

 Orang Kayo Pingai, 1480;

 Orang Kayo Pedataran, 1490;

 Orang Kayo Hitam, bisa disebut sebagai Sultan Jambi pertama, sekitar 1500-
1515;

 Panembahan Hang di Aer, atau Penembahan Rantau Kapas, 1515-1540;

 Panembahan Rengas Pandak (cucu Orang Kayo Hitam), 1540;

 Panembahan Bawah Sawoh, (cicit Orang Kayo Hitam), 1565;

 Panembahan Kota Baru, 1590;

 Pangeran Keda, bergelar Sultan Abdul Kahar, pertama kali


gelar sultan dipakai untuk menggantikan gelar panembahan, 1615;

 Sultan Abdul Jalil;

 Sultan Sri Ingalaga (1665-1690);

 Pangeran Dipati Cakraningrat, bergelar Sultan Kyai Gede.

 Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga, 1790 – 1812;
 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga, 1812 – 1833;

 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat, 1833 – 1841;

 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud, 1841 – 1855;

 Thaha Safiuddin bin Muhammad, 1855 – 1858;

 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud, 1858 – 1881;

 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman, 1881 – 1885;

 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad, 1885 – 1899;

 Thaha Safiuddin bin Muhammad, untuk kedua kalinya, 1900 – 1904.

3. Aspek Kehidupan

A. Politik

Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang berdiri di wilayah yang saat ini
masuk Provinsi Jambi. Kerajaan ini awalnya merupakan wilayah kerajaan
Melayu, sebuah kerajaan bawahan Sriwijaya. Kemudian kerajaan ini menjadi
salah satu wilayah bawahan Majapahit. Setelah jatuhnya Majapahit, Jambi
menjadi kerajaan merdeka. Kejayaan Jambi berada pada awal abad ke 17 dimana
kerajaan Jambi menjadi salah satu pedagang rempah-rembah terbesar di Sumatra.
Namun kerajaan ini mengalami penurunan setelah diserah oleh Johor, pada tahun
1680an. Raja atau Sultan Jambi adalah pemimpin tertinggi dan simbol kekuasaan
kerajaan. Raja dipilih oleh perwakilan empat suku besar di Jambi, yaitu suku
Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Dari keempat suku ini, suku
Kraton adalah suku terbesar, dan semua kandidat raja Jambi berasal dari suku ini.
Jambi tidak memiliki aturan suksesi ke putera mahkota. Tetapi anak keturunan
raja sebulmunya bisa dinominasikan sebagai kandidat raja, dan kemudian dipiluh.
Status ibu dari kandidta tersebut umumnya menentukan kandidat mana yang
memenangkan pemilihan. Dalam pemerintahan sehari-hari, sultan hanya bersifat
sebagai simbol. Pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh pejabat yang bergelar
Pangeran Ratu, yang dibantu oleh dewan yang disebut Rapat Dua Belas. Anggota
dari dewan ini adalah para pemimpin dan tokoh dari keempat suku besar di atas.
Penduduk kesultanan Jambi beragam, terdiri dari suku Melayu, suku
Minangkabau, suku Kubu di pedalaman, serta keturunan suku Jawa yang termasuk
keluarga kerajaan, serta suku Arab pendatang. Kesultanan Jambi hanya memiliki
kekuasaan yang kuat ke warga yang tinggalnya menetap, sedangkan untuk
mengatur suku pedalaman yang hidupnya berpindah-pindah, kesultanan
mengandalkan kepala suku yang disebut batin. Pendapatan kesultanan diambil
dari pajak dari penduduk tetap, monopoli garam dan pajak perdagangan dengan
kerajaan lain. Kesultanan Jambi dihapuskan oleh penajjah Belanda pada tahun
1904 ketika sultan Jambi saat itu, Sultan Thaha Syafiudin menolak perjanjian
yang dipaksakan oleh Belanda.

B. Sosial dan budaya

Sifat hubungan hulu dan hilir atau gerak horisontal barat ke timur sangat
mendominasi pertumbuhan dan perkembangan berbagai aspek kehidupan dalam
politik, ekonomi, ataupun kebudayaan di wilayah Jambi. Hal ini dapat dilihat dari
erat dan dinamisnya hubungan antara kota-kota hulu, misalnya Padang Roco,
Muaro Tebo, Muaro Bungo, Muaro Tembesi, Muaro Bulian, Jambi, Muaro Jambi,
Simpang, Muaro Zabak, Kualo Tungkal, perairan Riau, Selat Malaka, Jawa, Asia
Timur, dan Asia Selatan khususnya India. Kebutuhan hulu dan hilir dilaksanakan
dengan barter, misalnya kain sutera, keramik, tekstil dari Cina atau India, dengan
hasil dari Kepulauan Indonesia berupa rempah-rempah, kayu wangi, dan lain-lain
sehingga menimbulkan sistem perdagangan dari yang tradisional sampai modern .
Potensi hulu dimanfaatkan oleh Kesultanan Jambi untuk membangun mitra
perdagangan. Tercatat pada pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17,
Kesultanan Jambi melakukan perdagangan lada yang menguntungkan. Pada
mulanya perdagangan dilakukan dengan orang-orang Portugis dan sejak 1615
dengan perusahaan dagang Inggris dan Hindia Timur Belanda. Sebuah
perdagangan di mana orang-orang Cina, Melayu, Makassar, dan Jawa juga terlibat
. Lewat perdagangan ini para Sultan Jambi memperoleh keuntungan yang sangat
berlimpah.
Selain itu tipologi daerah di Kesultanan Jambi ditandai dengan dukungan
sungai besar Batanghari dengan anak-anak sungainya, yaitu Batang Tembesi,
Batang Merangin, Batang Asai, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Bungo,
Batang Ule (Alai), Batang Jujuhan, dan Batang Siau. Kesembilan sungai ini juga
mempunyai nama lain, yaitu: Batang Merangin, Batang Masumai, Batang Tabir,
Batang Pelepat, Batang Senamat, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan,
dan Batang Abuan Tungkal. Kesembilan daerah aliran sungai ini disebut dengan
”sembilan lurah“ (negeri). Oleh karena itu daerah Kesultanan Jambi disebut juga
dengan ”Pucuk Jambi Sembilan Lurah“. Di kawasan “sembilan lurah” ini telah
terjadi aktivitas sosial-ekonomi yang didukung oleh potensi dari daerah
pedalaman. Dukungan para kepala elite lokal yang menguasai tiap lurah dengan
sebutan depati, membuat terbukanya potensi perdagangan antara Jambi dengan
pihak luar. Perairan yang lebar dengan sungai yang dalam menciptakan daerah
pemukiman padat di sepanjang aliran sungai dan meninggalkan temuan-temuan
arkeologis berupa lebih dari 149 bekas pemukiman kuno maupun 70 situs
purbakala.

Di sisi lain, mata pencaharian penduduk di wilayah Kesultanan Jambi adalah


bertani. Di dataran rendah padi ditanam dengan cara membabat dan membakar
hutan; sedang di dataran yang lebih subur seperti Tembesi dan Tebo, padi ditanam
di sawah yang tidak jarang sampai surplus produksi dan dikirim ke dataran
rendah. Di daerah Tebo dan Tembesi hulu, peternakan juga menjadi mata
pencaharian penduduk .

Di luar dari kehidupan perekonomian di daerah Kesultanan Jambi berkembang


pula kehidupan seni budaya. Menurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah
Jambi (1978/1979), perkembangan seni budaya di wilayah Kesultanan Jambi pada
umumnya merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Hanya saja untuk
beberapa hal terdapat kreasi baru seperti dalam seni musik dan tari. Sedangkan
jenis seni budaya di Kesultanan Jambi dapat diuraikan sebagai berikut :

a) Seni ukir yang termanifestasi dalam bentuk :

1. Ukiran bunga tampuk manggis


2. Ukiran akar Cina

3. Ukiran tawang

b) Seni tari dan lagu, antar lain terdiri dari :

1. Tari Tauh atau lebih dikenal dengan istilah ”Betauh“

2. Tari nan Belambai

c) Seni kriya, yaitu anyam-anyaman yang terbuat dari bambu, rotan, dan
pandan untuk kebutuhan rumah tangga sendiri.

4. Runtuhnya Kerajaan Jambi

Keberhasilan Sultan Agung Sri Ingalogo mengusir Belanda melalui Verenigde


Ooost Indische Compagnie nya (VOC) ditahun 1742, mengukuhkan Kesultanan
Jambi sebagai kesultanan merdeka yang bebas mengatur tata kelola pemerintahannya
dengan bebas. Kekusaan VOC yang hanya mewariskan wilayah Palembang diwilayah
sumatera ke pemerintahan baru setelah kebangkrutannya di tahun 1799. Palembang
dengan sisa kekuatannya masih melakukan perlawanan hingga tahun 1825. 

Dimasa-masa perlawanan Kesultanan Palembang terhadap kekuasaan


Netherlansche-Indische (Hindia Belanda) sebelum kejatuhannya. Kesultanan
Palembang membentuk jaringan-jaringan kepada negara tetangganya,  Salah satunya
adalah melakukan hubungan dengan  Raden Denting/Sultan Mahmud Muhidin/Sultan
Agung Sri Ingalogo ditahun 1813-1833 untuk membantu Palembang melawan
kekuasaan Hindia-Belanda di Kesultanan Palembang.

Masa peralihan kekuasaan yang terjadi ditahun 1833 saat Sultan Agung Sri Ingalongo
digantikan oleh Sultan Muhammad Facruddin. Sultan Muhammad Facrudin (Sultan
Keramat) Masih melanjutkan perjuangan Sultan sebelumnya yang tidak bersikap
akomodatif pada Belanda. Hal ini dibuktikan dengan dukungan sultan terhadap para
bangsawan Palembang yang menentang kebijakan pemerintahan Belanda di
Palembang.
Perbantuan yang dilakukan sultan terhadap perlawanan bangsawan Palembang
menyebabkan Hindia-Belanda geram, dan akhirnya pemerintah Hindia-Belanda
mengirimkan Letnan Kolonel Micheil Untuk memblokade sungai dan daerah
Serolangun dan mendesak pasukan Sultan Keramat hingga daerah Sungai Baung dan
Dusun Tembesi.  terdesaknya pasukan Sultan Keramat menyebabkan Sultan terpaksa
menandatangi perjajian  yang isinya menyatakan bahwa Jambi dibawah kekuasaan
Belanda pada 14 Nopember 1833 dan perjanjian tambahan yang ditanda tangani 15
Desember 1833.

Lima Belas tahun dikuasai Belanda, pada masa pemerintahan Sultan Taha
Syarifuddin, Kesultanan Jambi mulai melakukan Pemberontakan dengan tidak
mengakui kekuasaan Belanda atas Jambi. sehingga pada tahun 1858 Sultan Taha
dipaksa meletakan Jabatan setelah Belanda menguasai Keranton Jambi di bawah
Pimpinan Mayor Van Legen. 

Didudukinya Keranton Jambi, Memaksa Sultan Taha Syarifuddin keluar keraton


dan mengatur pemerintahannya di daerah Uluan. Meski demikian Sultan Taha
dimakzulkan oleh Pemerintah Belanda dan mengankat Raden Ahmad  dengan Gelar
Sultan Ahmad Nazzarudin menjadi Sultan Jambi pada 2 Nopember 1858, Tetapi
kekusaan Sultan Ahmad Nazzarudin tidak diakui rakyat, dan lebih meyakini Sultan
Taha sebagai sultan yang sah karena pengangkatannya yang sah dan masih memegang
keris pusaka Kesultanan Jambi Keris Siginjai. Kesultanan Jambi mulai mengalami
kemunduran dibawah Sultan Ahmad Nazzarudin, Sultan dipaksa menanda tangani
perjanjian  Desember 1858. dan kemudian dilanjutkan perjajian cukai dan hak
monopoli Belanda  pada 13 Juli 1880. pada masa selanjutnya Belanda mengadakan
perjanjian saat kesultannan Jambi dibawah Sultan Muhammad Mahliludin1881-1885,
pada 22 Mei 1882. yang isinya mengenai kuasa Belanda terhadap penguasaan Jambi,
dari mulai pengaturan  penduduk dan juga masalah sumberdaya mineral. 

Sultan Mahliludin yang mangkat pada10 April 1855 digantikan Sultan Ahmad
Zainuddin, yang pada masa pemerintahannya mengangkat Putra Ketiga Sultan
Muhammad Taha yang masih berusia 4 tahun  sebagai Pangeran Anom Kusumayudha
pada Juli 1855. Pengangkatan Pangeran Anom ini menandakan perdamaian antara
Bangsawan di Kesultanan Jambi yang dahulunya pernah berpisah akibat interpensi
Belanda, dengan sikap ini pada akhirnya keris pusaka yang dipengang Sultan Taha
diberikan kepada Sultan Ahmad Zainuddin yang pada akhirnya Kesultanan Jambi
tidak lagi memiliki pemerintahan yang terpecah antara pemerintahan Uluan dan
Kesultanan Jambi ciptaan Belanda. 

Dengan Kekuasaan yang absolut, Belanda memaksa Sultan Ahmad Zainudin


untuk menanda tangani perjanjian pada tanggal 28 Mei 1888, yang mengakibatkan
konflik ditengah bangsawan Jambi. Pangeran Marta Jayakusumah, Pangeran
Natamenggala yang masing-masing memiliki tangung jawab diputar balikkan
tanggungjawabnya. Pada 1 Nopember 1890 di Uluan terjadi pemberotakan terhadap
Belanda oleh Pangeran Diponogoro dan Pangeran Husin dengan meminta Cukai
terhadap barang dagangan yang dahulunya berdasarkan perjanjian dikausai Belanda. 

Pemungutan Cukai ini merembet pada perlawanan dibawah pimpinan Sultan


Muhammad Taha yang masih memiliki pengaruh ditengah masyarakat Hingga pada
tahun 1891 terbunuhlah Kontrolir Belanda yang  bernama Van Laar dan pada tahun
1895 Pimpinan Militer Belanda di Jambi juga ikut terbunuh.

Dengan terbunuhnya pimpinan Belanda di Jambi, Belanda melakukan tekanan


terhadap Sultan Ahmad Zainudin, sehingga akhirnya Sultan Ahmad Zainuddin
memakzulkan diri pada Desember 1899 dan mendapat bantuan sebesar Rp. 4000 dari
Belanda. ditengah kekosongan pemerintahan dan konflik yang berkepanjangan antar
bangsawan Jambi untuk menentukan siapa penganti Sultan Ahmad Zainudin. Pada
akhirnya Kesultanan Jambi diserahkan kuasanya kepada Hindia-Belanda pada 27
Februari 1901. Penyerahan ini diterima oleh Residen Palembang I.A. Van Rynvan
Alkemade yang menandakan berakhirnya Kesultanan Jambi.

5. Peninggalan Kerajaan Jambi


1. Makam Rajo-Rajo

2. Candi Muaro Jambi

3. Kelenteng Hok Tek

4. Rumah Batu Pangeran Wirokusumo


5. Masjid Al-Falah

6. Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin

PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
 
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.
 

Anda mungkin juga menyukai