Anda di halaman 1dari 486

MODUL

Praktik ILMU PENYAKIT


Klinik DALAM

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017

1
Editor
Dr. Yuniza, SpPD, K-AI
Dr. Muhammad Reagan, SpPD, M.Kes

Penulis / Kontributor
Prof. Dr. Ali Ghanie, SpPD, K-KV
Prof. Dr. Eddy Mart Salim, SpPD, K-AI
Prof. Dr. Hermansyah, SpPD, K-R
Dr. A. Fuad Bakry, SpPD, K-GEH
Dr. Ian Effendi, SpPD, K-GH
Dr. Syadra Bardiman, SpPD, K-GEH
Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD
Dr. Ahmad Rasyid, SpPD, K-P
DR. Dr. Zulkhair Ali, SpPD, K-GH
Dr. Mediarty S, SpPD, K-HOM
DR. Dr. Joni Anwar, SpP
Dr. Suyata, SpPD, K-GEH
Dr. Zen Ahmad, SpPD, K-P
DR. Dr. Taufik Indrajaya, SpPD, K-KV
Dr. Yenny Dian Andayani, SpPD, K-HOM
Dr. Syamsu Indra, SpPD, K-KV, MARS
Dr. Ferry Usnizar, SpPD, K-KV
Dr. Rizky Perdana, SpPD, K-PTI
DR. Dr. Radiyati Umi Partan, SpPD, K-R, M.Kes
Dr. Erwin Azmar, SpPD, K-KV
Dr. Harun Hudari, SpPD, K-PTI
Dr. Nova Kurniati, SpPD, K-AI
Dr. Norman Djamaluddin, SpPD, K-HOM
Dr. Surya Darma, SpPD
Dr. Ratna Maila Dewi A, SpPD, K-EMD
Dr. Vidi Orba Busro, SpPD, K-GEH
Dr. Erwin Sukandi, SpPD, K-KV
Dr. Yulianto Kusnadi, SpPD, K-EMD
Dr. Imam Suprianto, SpPD, K-GEH
Dr. Djunaidi AR, SpPD
Dr. Novadian, SpPD, K-GH
Dr. Suprapti, SpPD, K-GH
Dr. Yuniza, SpPD, KAI
Dr. Sudarto, SpPD, K-P
Dr. Nur Riviati, SpPD, K-Ger
Dr. M.Ali Apriansyah, SpPD, K-Psi
Dr. Rukiah Chodilawati, SpPD. K-KV
Dr. Imran, SpPD, K-KV
Dr. RA. Linda Andriani, SpPD
Dr. Nelda Aprilia Salim, SpPD
Dr. Mega Permata, SpPD
Dr. Muhammad Reagan, SpPD, M.Kes
Dr. Natalie Duyen, SpP

2
KATA SAMBUTAN DEKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya buku modul profesi dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya ini. Buku panduan ini merupakan bagian dari buku panduan pendidikan
dokter tahap profesi Fakultas Kedokteran Unsri yang mungkin akan terus mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan kurikulum pendidikan.

Saya yakin Buku Panduan ini sangat bermanfaat bagi dosen dan mahasiswa sebagai acuan
menjalani pendidikan tahap profesi di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya di RSUP Dr. Moh Hoesin
Palembang, RS Jejaring, dan RS Afiliasi untuk mendapatkan gelar dokter. Staf pengajar yang akan menjadi
narasumber, pembimbing, fasilitator, tutor, instruktur dan penguji juga dapat menjadikan buku ini
sebagai dasar pijakan dalam mempersiapkan dan melaksanakan proses pendidikan.

Dengan Buku Panduan ini juga Saya berharap semua mahasiswa tahap Profesi Dokter dapat
menyelesaikan pendidikannya dengan efektif, dan tepat waktu.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang telah bekerjasama sehingga
tersusun buku modul ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sriwijaya

Dr. Syarif Husin, MS

3
4
DAFTAR ISI

COVER MODUL ILMU PENYAKIT DALAM .................................................... 1


DAFTAR ISI .................................................................................................. 5
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 6
BAB II KARAKTERISTIK MAHASISWA ........................................................... 8
BAB III SASARAN PEMBELAJARAN .............................................................. 9
BAB IV LINGKUP BAHASAN ......................................................................... 10
BAB V METODE PEMBELAJARAN ................................................................ 17
BAB VI SUMBER DAYA ................................................................................ 23
BAB VII EVALUASI ....................................................................................... 28
BAB VIII DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 30
LAMPIRAN .................................................................................................. 31

5
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Berdasarkan standar pendidikan dokter yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
tahun 2012, Program Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri)
diselenggarakan menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan strategi Student Centered
Problem Based, Integrated, Community oriented, Earlyclinical expousure, Systematic atau disingkat
SPICES.

Program pendidikan dokter FK Unsri terdiri dari 2 tahap pendidikan yaitu tahap Sarjana
Kedokteran dan tahap Profesi Dokter. Kedua tahap ini berlangsung selama 5 tahun. Dalam menjalani
pendidikan kedokteran, seorang mahasiswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan teoritis tetapi juga
ketrampilan melakukan tindakan seperti pemeriksaan fisik, ketrampilan prosedur : memasang
infus,menyuntikan obat dan lain sebagainya.

Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unsri yang selanjutnya disebut IPD FK Unsri merupakan salah
satu bagian yang turut berperan untuk melaksanakan proses pembelajaran tahap profesi dokter. Dalam
menetapkan kurikulum yang dicapai harus mengacu pada Standar Kompetensi yang harus dicapai untuk
pendidikan dokter umum oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2012. Modul pendidikan profesi
ini dilaksanakan selama 10 pekan (5 SKS). Selama masa pendidkan, mahasiswa memang mendapatkan
kesempatan untuk mengerjakan kemampuan tingkat 3 dan tingkat 4. Hal ini disebabkan karena pada
saat mereka menjadi dokter, mereka harus mengerjakannya pada pasien baik secara mandiri ataupun
dalam supervisi. Sementara untuk kemampuan tingkat 1 dan tingkat 2, mahasiswa kedokteran sebagai
seorang dokter umum hanya diharapkan samapi tahap mengetahui dan mampu menjelaskan kepada
pasien untuk selanjutnya merujuk kepada yang lebih ahli.

TUJUAN PENDIDIKAN

Tujuan Umum

Menguasai kompetensi di bidang Ilmu Penyakit Dalamsecara holistic sesuai dengan yang
ditetapkan StandarPendidikan Dokter Umum yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia pada
tahun 2012, sehingga siap untuk melakukan latihan kerja secara mandiri dalam bentuk program
internship.

Tujuan Khusus

Melalui latihan tatalaksana kasus pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan; melakukan
pendalaman materi melalui presentasi kasus dan membaca jurnal serta pengalaman kerja selama
mengikuti kegiatan jaga dibangsal rawat inap diharapkan mahasiswa:

6
1. Memiliki clinical insight dalam menghadapi dan menatalaksana kasus-kasus di penyakit dalam.
2. Melalui clinical reasoning mampu melaksanakan clinical justification dalam mengambil
keputusan klinik.
3. Mampu melakukan tatalaksana kasus penyakit dalam secara holistik, melalui:
a. Trampil dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dalam mencari/ menemukan gejala-
gejala yang sesuai dengan perkiraan diagnosis penderita.
b. Mampu mengenal dan merujuk; mampu mengenal, mengelola sementara dan merujuk;
mampu mengenal, mengelola sementara dan merujuk kasus dengan penyakit biasa maupun
kasus kegawatan darurat; mampu mengenal dan mengelola sampai selesai penyakit-
penyakit dibidang kesehatan, sesuai dengan kompetensi yang telah ditetapkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia.

DASAR

Dasar pembuatan buku panduan ini sebagai berikut:

1. UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan dokter


2. Kemenkes No. 1069/Menkes/XI/2008
3. SKPDI 2012
4. Tuntunan akan pengelola pendidikan yang lebih efisien dan efektif sesuai dengan dinamika
pendidikan dokter yang sangat cepat, beban pembelajaran yang terus meningkat karena tuntutan
akan mutu pendidikan yang lebih baik.

7
BAB II

KARAKTERISTIK MAHASISWA

Setelah tahap akademik (33 blok, selama 7 semester), mahasiswa S-1 akan menjalani tahap
yudisium menjadi Sarjana Kedokteran. Setelah itu, mahasiswa akan menjalani tahap profesi (15 bagian
selama 4 semester).

8
BAB III

SASARAN PEMBELAJARAN

SASARAN PEMBELAJARAN UMUM

Setelah menjalani modul Praktik Klinik Ilmu Penyakit Dalam, mahasiswa diharapkan mampu
mendiagnosis dan melakukan pengelolaan pasien sesuai standar baku dengan menggunakan teknologi
kedokteran dan teknologi informasi yang sesuai dan selalu memperhatikan konsep dan pertimbangan
etika.

SASARAN PEMBELAJARAN KHUSUS

Pada pelaksanaan kegiatan kepaniteraan klinik di bagian IPD, diharapkan mahasiswa kedokteran
dapat memiliki kompetensi standar sesuai dengan SKDI 2012, berupa
1. Memiliki clinical insight dalam menghadapi dan menatalaksana kasus-kasus di penyakit dalam.
2. Melalui clinical reasoning mampu melaksanakan clinical justification dalam mengambil
keputusan klinik.
3. Mampu melakukan tatalaksana kasus penyakit dalam secara holistik, melalui:
a. Terampil dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dalam mencari/ menemukan gejala-
gejala yang sesuai dengan perkiraan diagnosis penderita.
b. Mampu mengenal dan merujuk; mampu mengenal, mengelola sementara dan merujuk;
mampu mengenal, mengelola sementara dan merujuk kasus dengan penyakit biasa maupun
kasus kegawatan darurat; mampu mengenal dan mengelola sampai selesai penyakit-
penyakit dibidang kesehatan, sesuai dengan kompetensi yang telah ditetapkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia.

Pada level/kompetensi masing-masing penyakit tersebut harus didapatkan kasusnya oleh


mahasiswa baik di RSMH maupun di RS jejaring. Bilamana ada yang kasus belum didapat pada masa
kepaniteraan klinik tersebut maka mahasiswa akan mendapatkan bimbingan melalui kuliah atau
pemutaran video yang akan dikoordinir oleh koordinator pendidikan pada minggu ke -9.

9
BAB IV

LINGKUP BAHASAN

Selama menjalani praktik klinik di lingkungan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unsri/RSUP. Dr.
Moh. Hoesin dan RS jejaring/afiliasi, mahasiswa diharapkan dapat mempelajari dan terampil dalam
melakukan tindakan kedaruratan dan pengelolaan pasien perianestesia, dengan tingkat kemapuan yang
dicapai sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang ditetapkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2012.

Kompetensi
Lingkup
No. Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan
Bahasan

• Penyampaian berita baik dan berita


Etika
Informed consent 4 buruk
Kedokteran
• Persetujuan tindakan
• Etiologi
• Faktor risiko
• Patogenesis
1. Penilaian keadaan umum
• Pemeriksaan penunjang
Klinis 2. Dehidrasi 4
• Diagnosis banding
3. Nyeri
1 • Penegakkan diagnosis
• Tata laksana
Lain-lain
• Prognosis
• Teori dasar
1. Edukasi • Teknik
Ketera
2. Komunikasi • Langkah dan Prosedur
mpila 4
3. Konsultasi • Indikasi dan Kontra Indikasi
n
4. Peresepan rasional • Efek Samping dan Komplikasi

• Etiologi
• Faktor risiko
• Patogenesis
1. Bronkitis akut
• Pemeriksaan penunjang
2. Pneumonia, bronkopneumonia 4
• Diagnosis banding
3. Tuberkulosis paru tanpa komplikasi
• Penegakkan diagnosis
• Tata laksana
• Prognosis
1. Airway managemen Acute
respiratory distress syndrome (ARDS)
2. SARS
3. Flu burung
2 Sistem Respirasi Klinis 4. Abses peritonsilar • Etiologi
5. Pseudo-croop acute epiglotitis
• Faktor risiko
6. Difteria (THT)
• Patogenesis
7. Aspirasi
• Pemeriksaan penunjang
8. Bronkiolitis akut
3 • Diagnosis banding
9. Bronkiektasis
10. Pneumonia aspirasi • Penegakkan diagnosis
11. Tuberkulosis dengan HIV • Tata laksana awal, merujuk dan
12. Pneumothorax ventil menerima rujukan balik pada
13. Pneumotorax penyakit
14. Efusi pleura massif
15. Emfisema paru
16. Penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) eksaserbasi aku
10
17. Edema paru
18. Abses paru
19. Haemotothorax
1. Pemeriksaan Fisik
A. Inspeksi leher
B. Palpasi kelenjar ludah
(submandibular, parotid)
C. Palpasi nodus limfatikus brakialis
D. Palpasi kelenjar tiroid
E. Usap tenggorokan (throat swab)
F. Penilaian respirasi
G. Inspeksi dada
• Teori dasar
H. Palpasi dada
• Teknik
I. Perkusi dada
• Langkah dan Prosedur
J. Auskultasi dada 4
• Indikasi dan Kontra Indikasi
2. Pemeriksaan Diagnostik
A. Persiapan pemeriksaan sputum • Efek Samping dan Komplikasi
Keter
ampil dan interpretasi
an B. Uji fungsi paru/spirometri dasar
C. Interpretasi foto toraks
3. Terapeutik
A. Dekompresi jarum
B. Perawatan WSD
C. Terapi inhalasi/nebulisasi
D. Terapi oksigen
E. Edukasi berhenti merokok
1. Pemeriksaan Diagnostik
• Mengetahui teori keterampilan
A. Pengambilan cairan pleura
• Memahami clinical reasoning dan
(pleural tap)
3 problem solving
2. Terapeutik
• Mampu melakukan di bawah
A. Pemasangan WSD
supervisi keterampilan
B. Pungsi pleura
• Etiologi
• Faktor risiko
• Patogenesis
1. Hipertensi esensial • Pemeriksaan penunjang
1. 4
• Diagnosis banding
• Penegakkan diagnosis
• Tata laksana
• Prognosis
1. Syok (septic, hipovolemik,
kardiogenik, neurogenik)
2. Angina pectoris
3. Infark miokard
4. Gagal jantung akut
5. Gagal jantung kronik
Klinis 6. Cardiorespiratory arrest • Etiologi
7. Takikardi: supraventrikular, • Faktor risiko
Sistem ventricular • Patogenesis
3
Kardiovaskular 8. Fibrilasi atrial • Pemeriksaan penunjang
9. Fibrilasi ventricular 2. 3 • Diagnosis banding
10. Atrial flutter • Penegakkan diagnosis
11. Ekstrasistol supraventrikular, • Tata laksana awal, merujuk dan
ventricular menerima rujukan balik pada
12. Kor pulmonale akut penyakit
13. Kor pulmonale kronik
14. Hipertensi sekunder
15. Tromboflebitis
16. Limfangitis
17. Limfedema (primer, sekunder)
18. Insufisiensi vena kronik
1. Pemeriksaan Fisik • Teori dasar
Keter • Inspeksi dada • Teknik
3. 4
ampil • Palpasi denyut apeks jantung • Langkah dan Prosedur
an • Palapsi arteri karotis • Indikasi dan Kontra Indikasi
• Perkusi ukuran jantung • Efek Samping dan Komplikasi

11
• Auskultasi jantung
• Pengukuran tekanan darah
• Pengukuran tekanan vena jugularis
(JVP)
• Palpasi denyut kapiler
• Palpasi denyut arteri ekstremitas
• Penilaian denyut kapiler
• Penilaian pengisisan ulang kapiler
(capillary refill)
• Deteksi bruits
2. Pemeriksaan Fisik Diagnostik
• Tes (Brodie) Trendelenberg
3. Pemeriksaan Diagnostik
• Elektrokardiografi (EKG):
pemasangan dan interpretasi hasil
EKG sederhana (VES, AMI, VT, AF)
• Resusitasi
• Pijat jantung luar
• Resusitasi cairan
• Punksi vena
• Teori dasar
• Teknik
• Langkah dan Prosedur
1. Punksi arteri 4. 3
• Indikasi dan Kontra Indikasi
• Efek Samping dan Komplikasi

1. Pemeriksaan Fisik Diagnostik
• Teori dasar
• Tes Perthes
• Teknik
• Tes Homan (Homan’s sign)
• Langkah dan Prosedur
• Uji postur untuk insufisiensi arteri5. 3
• Indikasi dan Kontra Indikasi
• Tes hiperemia reaktif untuk
• Efek Samping dan Komplikasi
insufisiensi arteri
• Tes ankle-brachial index (ABI)
1. Kandidiasis mulut
2. Ulkus mulut (aptosa, herpes)
3. Parotitis
4. Infeksi pada umbilicus • Etiologi
5. Gastritis • Faktor risiko
6. Gastroenteritis (termasuk kolera, • Patogenesis
giardiasis) • Pemeriksaan penunjang
6. 4
7. Refluks gastroesofagus • Diagnosis banding
8. Intoleransi makanan • Penegakkan diagnosis
9. Alergi makanan • Tata laksana
10. Keracunan makanan • Prognosis
11. Hepatitis A
12. Disentri basiler, disentri amuba
13. Hemorroid grade 1-2
1. Glositis
Sistem
2. Angina Ludwig
Gastrointestinal Klinis
4 3. Esofagitis refluks
, Hepatobilier,
4. Lesi korosif pada esophagus
dan Pankreas
5. Peritonitis • Etiologi
6. Ulkus (gaster, duodenum)
• Faktor risiko
7. Perdarahan gastrointestinal
• Patogenesis
8. Malabsorbsi
• Pemeriksaan penunjang
9. Hepatitis B
1. 3 • Diagnosis banding
10. Abses hepar amoeba
11. Perlemakan hepar • Penegakkan diagnosis
12. Kolesistitis • Tata laksana awal, merujuk dan
13. Divertikulosis/divertikulitis menerima rujukan balik pada
14. Kolitis penyakit
15. Irritable bowel syndrome
16. Proktitis
17. Abses (peri)anal
18. Hemorroid grade 3-4
Ketera 1. Pemeriksaan Fisik 1. 4 • Teori dasar
12
mpila A. Inspeksi bibir dan kavitas oral • Teknik
n B. Inspeksi tonsil • Langkah dan Prosedur
C. Penilaian pergerakan otot-otot • Indikasi dan Kontra Indikasi
hipoglosus • Efek Samping dan Komplikasi
D. Inspeksi abdomen
E. Inspeksi lipat paha/ inguinal pada
saat tekanan abdomen
meningkat
F. Palpasi (dinding perut, kolon,
hepar, lien, aorta, rigiditas
dinding perut)
G. Palpasi hernia
H. Pemeriksaan nyeri tekan dan
nyeri lepas (Blumberg test)
I. Pemeriksaan psoas sign
J. Pemeriksaan obturator sign
K. Perkusi (pekak hati dan area
traube)
L. Pemeriksaan pekak beralih
(shifting dullness)
M. Pemeriksaan undulasi (fluid thrill)
N. Pemeriksaan colok dubur (digital
rectal examination)
O. Palpasi sacrum
P. Inspeksi sarung tangan
pascacolok-dubur
Q. Persiapan dan pemeriksaan tinja
2. Pemeriksaan Diagnostik
A. Pemasangan pipa nasogastrik
B. Endoskopi
C. Nasogastric suction
D. Enema
• Teori dasar
• Teknik
1. Pemeriksaan Diagnostik
1. 3 • Langkah dan Prosedur
A. Pengambilan cairan asites
• Indikasi dan Kontra Indikasi
• Efek Samping dan Komplikasi
• Etiologi
• Faktor risiko
• Patogenesis
1. Infeksi saluran kemih • Pemeriksaan penunjang
1. 4
2. Pielonefritis tanpa komplikasi • Diagnosis banding
• Penegakkan diagnosis
• Tata laksana
• Prognosis
Klinis 1. Glomerulonefritis akut • Etiologi
2. Glomerulonefritis kronis • Faktor risiko
3. Kolik renal • Patogenesis
4. Batu saluran kemih (vesika urinaria, • Pemeriksaan penunjang
ureter, uretra ) tanpa kolik 2. 3 • Diagnosis banding
Sistem Ginjal 5. Prostatitis • Penegakkan diagnosis
5 dan Saluran 6. Chancroid • Tata laksana awal, merujuk dan
Kemih menerima rujukan balik pada
penyakit
1. Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan bimanual ginjal
B. Pemeriksaan nyeri ketok ginjal
C. Perkusi kandung kemih • Teori dasar
D. Palpasi prostat • Teknik
Ketera
E. Permintaan pemeriksaan BNO • Langkah dan Prosedur
mpila 3. 4
IVP • Indikasi dan Kontra Indikasi
n
2. Prosedur Diagnostik • Efek Samping dan Komplikasi
A. Persiapan dan pemeriksaan
sedimen urine (menyiapkan slide
dan uji mikroskopis urine)
3. Terapeutik

13
A. Pemasangan kateter uretra
1. Pemeriksaan Fisik
A. Refleks bulbokavernosus
• Teori dasar
2. Pemeriksaan Diagnostik
• Teknik
A. Metode dip slide (kultur urine)
• Langkah dan Prosedur
B. Interpretasi BNO-IVP 4. 3
• Indikasi dan Kontra Indikasi
3. Terapeutik
A. Clean intermitten chateterization • Efek Samping dan Komplikasi
(neurogenic bladder)
B. Pungsi suprapubik
1. Diabetes melitus tipe 1 • Etiologi
2. Diabetes melitus tipe 2
• Faktor risiko
3. Hipoglikemia ringan
• Patogenesis
4. Malnutrisi energi-protein
• Pemeriksaan penunjang
5. Defisiensi vitamin 5. 4
• Diagnosis banding
6. Defisiensi mineral
• Penegakkan diagnosis
7. Dislipidemia
8. Hiperurisemia • Tata laksana
9. Obesitas • Prognosis
1. Diabetes melitus tipe lain (intoleransi
glukosa akibat penyakit lain atau
Klinis
obat-obatan) • Etiologi
2. Hipoparatiroid • Faktor risiko
3. Hipertiroid • Patogenesis
4. Goiter • Pemeriksaan penunjang
5. Ketoasidosis diabetikum nonketotik 6. 3 • Diagnosis banding
6. Hiperglikemi hiperosmolar • Penegakkan diagnosis
Endokrin
7. Hipoglikemia berat • Tata laksana awal, merujuk dan
6 8. Tirotoksikosis menerima rujukan balik pada
Metabolik
9. Cushing disease penyakit
10. Krisis adrenal
11. Sindrom metabolik
1. Penilaian status gizi (termasuk
pemeriksaan antropometri
2. Penilaian kelenjar tiroid: hipertiroid
dan hipotiroid
3. Pengaturan diet
• Teori dasar
4. Penatalaksanaan diabetes melitus
• Teknik
Ketera tanpa komplikasi
• Langkah dan Prosedur
mpila 5. Pemberian insulin pada diabetes 7. 4
• Indikasi dan Kontra Indikasi
n melitus tanpa komplikasi
6. Pemeriksaan gula darah (dengan • Efek Samping dan Komplikasi
Point of Care Test (POCT))
7. Pemeriksaan glukosa urine
(Benedict)
8. Anamnesis dan konseling kasus
gangguan endokrine dan metabolic
• Etiologi
• Faktor risiko
• Patogenesis
1. Anemia defisiensi ( Fe, B12, asam
• Pemeriksaan penunjang
folat) 8. 4
• Diagnosis banding
2. Limfadenitis
• Penegakkan diagnosis
• Tata laksana
• Prognosis
Klinis • Etiologi
Sistem
7 • Faktor risiko
Hematologi
1. Thalasemia • Patogenesis
2. Anemia hemolitik • Pemeriksaan penunjang
3. Anemia makrositik 9. 3 • Diagnosis banding
4. limfadenopati • Penegakkan diagnosis
5. Demam rematik • Tata laksana awal, merujuk dan
menerima rujukan balik pada
penyakit
Ketera 1. Palpasi kelenjar limfe • Teori dasar
10. 4
mpila 2. Persiapan dan pemeriksaan hitung • Teknik

14
n jenis leukosit • Langkah dan Prosedur
3. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, • Indikasi dan Kontra Indikasi
Leukosit, Trombosit) • Efek Samping dan Komplikasi
4. Pemeriksaan profil pembekuan
(bleeding time, clotting time)
5. Pemeriksaan Laju endap
darah/kecepatan endap
6. Permintaan pemeriksaan hematologi
berdasarkan indikasi
7. Pemeriksaan golongan darah dan
inkompatibilitas
8. Anamnesis dan konseling anemia
defisiensi, thalasemia dan HIV
9. Penentuan indikasi dan jenis
transfuse
• Etiologi
• Faktor risiko
• Patogenesis
1. Osteoartritis
• Pemeriksaan penunjang
2. Ulkus pada tungkai 11. 4
• Diagnosis banding
3. Lipoma
• Penegakkan diagnosis
• Tata laksana
• Prognosis
1. Artritis, osteoartritis
2. Fraktur terbuka, tertutup
Klinis 3. Osteoporosis dengan fraktur • Etiologi
4. Fraktur klavikula • Faktor risiko
5. Osteoporosis • Patogenesis
6. Osteomielitis • Pemeriksaan penunjang
7. Polimialgia reumatik 12. 3 • Diagnosis banding
8. Demam reumatik • Penegakkan diagnosis
9. Artritis reumatoid • Tata laksana awal, merujuk dan
10. Tenosinovitis supuratif menerima rujukan balik pada
11. Trauma sendi penyakit
12. Ruptur tendon achiles
13. Lesi meniskus, medial dan lateral
1. Pemeriksaan Fisik
A. Inspeksi gait
B. Inspeksi tulang belakang saat
Sistem berbaring
8 C. Inspeksi tulang belakang saat
Muskuloskletal
bergerak
D. Inspeksi tonus otot ekstremitas
E. Inspeksi sendi ekstremitas
F. Inspeksi postur tulang belakang
dan pelvis
G. Inspeksi posisi skapula
H. Inspeksi fleksi dan ekstensi
punggung • Teori dasar
I. Penilaian fleksi lumbal • Teknik
Ketera
J. Panggul: penilaian fleksi dan • Langkah dan Prosedur
mpila 13. 4
ekstensi, adduksi,abduksi dan • Indikasi dan Kontra Indikasi
n
rotasi • Efek Samping dan Komplikasi
K. Menilai atrofi otot
L. Lutut: menilai ligamen krusiatus
dan kolateral
M. Penilaian meniskus
N. Kaki: inspeksi postur dan bentuk
O. Kaki: penilaian fleksi
dorsal/plantar, inversi dan eversi
P. Palpation for tenderness
Q. Palpasi untuk mendeteksi nyeri
diakibatkan tekanan vertikal
R. Palpasi tendon dan sendi
S. Palpasi tulang belakang, sendi
sakro-iliaka dan otot-otot

15
punggung
T. Percussion for tenderness
U. Penilaian range of motion (ROM)
sendi
V. Menetapkan ROM kepala
W. Tes fungsi otot dan sendi bahu
X. Tes fungsi sendi pergelangan
tangan, metacarpal, dan jari-jari
tangan
Y. Pengukuran panjang ekstremitas
bawah
2. Terapeutik
A. Melakukan dressing (sling,
bandage)
B. Mengobati ulkus tungkai
1. Terapeutik • Mengetahui teori keterampilan
A. Reduksi dislokasi • Memahami clinical reasoning dan
B. Removal of splinter 14. 3 problem solving
• Mampu melakukan di bawah
supervisi keterampilan
1. Demam dengue, DHF • Etiologi
2. Malaria • Faktor risiko
3. Leptospirosis (tanpa komplikasi)
• Patogenesis
4. Demam tifoid
• Pemeriksaan penunjang
5. Penyakit cacing tambang 15. 4
• Diagnosis banding
6. Strongiloidiasis
7. Askariasis • Penegakkan diagnosis
8. Skistosomiasis • Tata laksana
9. Taeniasis • Prognosis
9 Infeksi Klinis
• Etiologi
• Faktor risiko
• Patogenesis
1. Bakteremia
• Pemeriksaan penunjang
2. Dengue shock syndrome
16. 3 • Diagnosis banding
3. Toksoplasmosis
4. Sepsis • Penegakkan diagnosis
• Tata laksana awal, merujuk dan
menerima rujukan balik pada
penyakit
• Etiologi
• Faktor risiko
• Patogenesis
1. Reaksi anafilaktik • Pemeriksaan penunjang
17. 4
2. Asma bronchial • Diagnosis banding
• Penegakkan diagnosis
• Tata laksana
• Prognosis
Klinis • Etiologi
• Faktor risiko
• Patogenesis
10 Immunologi • Pemeriksaan penunjang
1. Lupus eritematosus sistemik
18. 3 • Diagnosis banding
2. Status asmatikus (asma akut berat)
• Penegakkan diagnosis
• Tata laksana awal, merujuk dan
menerima rujukan balik pada
penyakit
• Teori dasar
1. Permintaan pemeriksaan imunologi • Teknik
Ketera
berdasarkan indikasi • Langkah dan Prosedur
mpila 19. 4
2. Skin test sebelum pemberiaan obat • Indikasi dan Kontra Indikasi
n
injeksi • Efek Samping dan Komplikasi

16
BAB V
METODE PEMBELAJARAN

Metode pengajaran yang digunakan selama kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam adalah
pengajaran aktif mandiri dan terintegrasi yang meliputi:

Kuliah Pembekalan
Tujuan
Kuliah pembekalan dilakukan dalam pada minggu pertama, bertujuan untuk :
a. Mengingatkan kembali pengetahuan mahasiswa tentang anamnesis dan pemeriksaan fisik.
b. Memantapkan kembali pengetahuan dan keterampilan mahasiswa mengenai anamnesis dan
pemeriksaan fisik sebelum mahasiswa mengikuti pembelajaran di kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Penyakit Dalam.
c. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang pembuatan status medik yang baik

Kegiatan
Pembekalan diberikan dalam materi :
1. Kuliah 1 Etika kedokteran dan lain-lain
2. Kuliah 2 Anamnesis umum
3. Kuliah 3 Anamnesis sistem respirasi
4. Kuliah 4 Anamnesis sistem gastrointestinal, hepatobilier, dan pankreas
5. Kuliah 5 Anamnesis sistem kardiovaskular
6. Kuliah 6 Anamnesis sistem ginjal dan saluran kemih
7. Kuliah 7 Anamnesis sistem endokrin metabolik dan nutrisi
8. Kuliah 8 Anamnesis sistem muskuloskletal
9. Kuliah 9 Anamnesis sistem hematologi
10. Kuliah 10 Anamnesis sistem imunologi
11. Kuliah 11 Anamnesis multisistem
12. Kuliah 12 Pemeriksaan fisik kepala dan leher
13. Kuliah 13 Pemeriksaan fisik thoraks
14. Kuliah 14 Pemeriksaan fisik abdomen
15. Kuliah 15 Pemeriksaan fisik ekstremitas

Pembelajaran di RSMH
Tempat kegiatan kepaniteraan klinik yang dilaksanakan di RSMH, yakni :
a. Unit Gawat Darurat : meliputi tatalaksana kasus (short cases), ronde, prosedural skill dan
jaga malam.
b. Ruangan perawatan : meliputi tatalaksana kasus(short cases), ronde, bedside teaching,
prosedural skill dan kegiatan jaga malam.
c. Poli rawat jalan : meliputi tatalaksana kasus(short cases) dan prosedural skill
d. Ruang kuliah di bagian penyakit dalam : pembekalan, presentasi kasus, tinjauan pustaka

Pembelajaran di RS jejaring
Kegiatan kepaniteraan klinik yang dilaksanakan di RS jejaring selama 4 minggu sesuai jadwal yang
sudah ditetapkan oleh koordinator pendidikan IPD. Tempat kegiatan kepaniteraan klinik yang
dilaksanakan di RS jejaring yakni :
17
a. Unit Gawat Darurat : meliputi tatalaksana kasus (short cases), prosedural skill dan jaga
malam.
b. Ruangan perawatan : meliputi tatalaksana kasus (short cases), ronde, bedside teaching,
prosedural skill dan kegiatan jaga malam.
c. Poli rawat jalan (umum dan khusus) : meliputi tatalaksana kasus (short cases) dan
prosedural skill.
d. Ruang kuliah : presentasi kasus.

Program Pembelajaran
Kegiatan Bimbingan Profesi
Prosedural skill/Microskill
a. Tujuan :
▪ Menyiapkan mahasiswa untuk menjadi dokter umum yang mampu mendiagnosis kasus penyakit
dalam seperti yang ditetapkan Konsil Kedokteran Indonesia pada kegiatan internship secara
mandiri.
▪ Meningkatkan ketrampilan dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang dalam mencari/menemukan tanda dan gejala untuk menegakkan diagnosis penderita.
▪ Mempunyai ”clinical insight” sehingga mampu mengenali diagnosis klinis kasus dengan penyakit
biasa maupun kasus kegawatan daruratsesuai dengan kompetensi yang telah ditetapkan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia.
b. Waktu : minggu ke-2 sampai dengan minggu ke-9.
c. Tempat : Ruangan perawatan, UGD, poli rawat jalan.
d. Proses Pembelajaran
Mahasiswa melakukan teknik atau keterampilan klinis sesuai lingkup bahasan keterampilan klinis
ditentukan oleh koordinator pendidikan profesi dokter bagian penyakit dalam (Bab IV) sesuai standar
kompetensi dokter indonesia 2012 dengan supervisi pembimbing yang ditunjuk yang terdiri dari 2 jam
pertemuan yang dilanjutkan dengan 2 jam bimbingan terstruktur. Meliputi:
1. Pemeriksaan fisik dan keterampilan etika kedokteran dan lain-lain
2. Pemeriksaan fisik dan keterampilan sistem respirasi
3. Pemeriksaan fisik dan keterampilan sistem kardiovaskular
4. Pemeriksaan fisik dan keterampilan sistem gastrointestinal, hepatobilier, dan pankreas
5. Pemeriksaan fisik dan keterampilan sistem hematologi dan imunologi
6. Pemeriksaan fisik dan keterampilan sistem muskuloskletal
7. Pemeriksaan fisik dan keterampilan sistem ginjal dan saluran kemih
8. Pemeriksaan fisik dan keterampilan sistem endokrin dan metabolik
e. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan mengunakan mini-cex oleh pembimbing untuk masing-masing mahasiswa.

Bedside Teaching
a. Tujuan
▪ Meningkatkan keterampilan dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dalam mencari/
menemukan tanda dan gejala untuk menegakkan diagnosis penderita dan menyingkirkan diagnosis
banding
▪ Meningkatkan kemampuan mengenali, mengelola sementara dan merujuk kasus penyakit dalam
▪ Meningkatkan kemampuan mengenali, mengelola sampai selesai kasus penyakit dalam sesuai
dengan kompetensi yang telah ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
b. Waktu : minggu ke-2 hingga minggu ke-9

18
c. Tempat : ruangan perawatan
d. Proses pembelajaran :
▪ Mahasiswa dibagi dalam beberapa group, masing-masing group terdiri dari minimal 10 orang
dengan 1 pembimbing.
▪ Semua group membuat status 1 orang pasien, didiskusikan dengan pembimbing terdiri dari 2 jam
pelaksanaan dan 2 jam bimbingan terstruktur (Rincian kegiatan bedside teaching tersebut dapat
dilihat pada lampiran 2).
▪ Materi bedside teachingditentukan oleh koordinator pendidikan/pembimbing sesuai dengan
lingkup bahasan pada Bab IV.
e. Evaluasi
Masing-masing mahasiswa akan diuji oleh 1 pembimbing dengan menggunakan instrumen evaluasi mini
c-ex pada bedside minggu ke 5.

Kegiatan ilmiah
Kegiatan ilmiah yang dilakukan berupa kuliah, presentasi kasus dan tinjauan pustaka

Presentasi Kasus
a. Tujuan
▪ Melakukan evaluasi kemampuan dalam mengambil keputusan klinis pada kasus yang
dipresentasikan baik pada Anamnesis, pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan penunjang.
▪ Pengayaan substansi dengan melakukan analisa dan latar belakang teoritis dari kasus yang
dipresentasikan tersebut.
b. Waktu : minggu ke-2 sampai dengan minggu ke-9
c. Tempat : ruang kuliah
d. Proses pembelajaran
▪ Materi kasus sesuai dengan lingkup bahasan pada Bab IV.
▪ Mahasiswa harus mencari pasien 7 hari sebelumnya dan dikonsultasikan dengan pembimbing
dan harus disetujui pembimbing, dikonsultasikan 4x50 menit ke pembimbing.
▪ Naskah harus diserahkan 2 hari sebelum dipresentasikan kepada pembimbing dan seluruh
peserta.
▪ Presentasi dilakukan pada tanggal yang sudah ditentukan selama 2x50 menit.
▪ Pasien hendaknya diperiksa bersama dosen pembimbing sebelum presentasi.
▪ Presentasi kasus harus dipresentasikan sesuai jadwal.
▪ Bila konsulen yang bersangkutan berhalangan/tidak bisa, digantikan dengan koordinator
pendidikan atau ditukar dengan pembimbing lain,mahasiswa yang bersangkutan melapor
minimal H-2.
▪ Apabila presentasi kasus batal pada hari H dikarenakan faktor mahasiswa yang bersangkutan
maka mahasiswa tidak diperbolehkan mengikuti ujian.
▪ Tata cara penulisan presentasi kasus:
• Halaman 1 berisi halaman judul, lambang Unsri, nama pembimbing, moderator, nama
opponent bebas.
• BAB I pendahuluan berisi definisi dan alasan kenapa kasus ini di case-kan (maksimal 1,5
halaman).
• BAB II berisi laporan kasus.
• Resume berisi penemuan (+) dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjungan
(maksimal 1 halaman).
• Dalam makalah diibuatkan follow up pasien

19
• Analisa kasus dibandingkan dengan tinjauan pustaka.
• Tinjauan pustaka case minimal 7 daftar pustaka.
e. Evaluasi : menggunakan instrumen CBD

Tinjauan Pustaka
a. Tujuan
▪ Meningkatkan pengetahuan mahasiswa dalam penulisan suatu karya ilmiah
▪ Menambah wawasan mahasiswa terhadap kajian kasus yang dibahas dalam tinjauan pustaka
tersebut.
b. Waktu : minggu ke-2 sampai dengan minggu ke-9
c. Tempat : ruang kuliah
d. Proses pembelajaran
▪ Penentuan jadwal tinjauan pustakadan pembimbing sekaligus penilai ditetapkan oleh koordinator
pendidikan pada waktu minggu pertama.
▪ Mahasiwa mendapatkan pembimbing dan judul tinjauan pustaka pada minggu pertama.
▪ Pemilihan judul tinjauan pustaka merujuk dari penyakit-penyakit pada bagian IPD yang
ditetapkan KKI pada level kompetensi 1-4.
▪ Draft naskah sudah harus diserahkan kepada pembimbing 1 hari sebelum presentasi.
▪ Tinjauan Pustaka terdiri 50 menit pertemuan (presentasi), 4x50 menit bimbingan terstruktur
(dilakukan 4x sebelum presentasi).
▪ Tinjuan refrat minimal 10 daftar pustaka.
e. Evaluasi
Evaluasi dengan menggunakan instrumen CBD

20
MATRIKS PERKULIAHAN

Pekan
RS

Pukul Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu

07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.50 Kuliah 1 Kuliah 7 Kuliah 13 Kuliah 19 Kuliah 25
08.50-09.40 Kuliah 2 Kuliah 8 Kuliah 14 Kuliah 20 Kuliah 26
09.40-10.30 Kuliah 3 Kuliah 9 Kuliah 15 Kuliah 21 Kuliah 27
I 10.30-11.20 Kuliah 4 Kuliah 10 Kuliah 16 Kuliah 22 Kuliah 28
11.20-12.10 Kuliah 5 Kuliah 11 Kuliah 17 Kuliah 23 Kuliah 29
12.10-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 Kuliah 6 Kuliah 12 Kuliah 18 Kuliah 24 Kuliah 30
14.00-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.30
08.30-09.20
09.20-10.10
10.10-11.00 BST (1) 1/2/3 PS/MS(1) 1/2/3 BST (2) 1/2/3 Refrat (3)
II
11.00-11.50 BST (1) 1/2/3 PS/MS(1) 1/2/3 BST (2) 1/2/3 Refrat (3)
11.50-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 Refrat (1) Refrat (2) CASE (1) CASE (2) Refrat (4)
13.50-14.40 Refrat (1) Refrat (2) CASE (1) CASE (2) Refrat (4)
14.40-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.30
08.30-09.20
09.20-10.10
10.10-11.00 BST (3) 1/2/3 PS/MS(2) 1/2/3 BST (4) 1/2/3 Refrat (7)
UTAMA

III
11.00-11.50 BST (3) 1/2/3 PS/MS(2) 1/2/3 BST (4) 1/2/3 Refrat (7)
11.50-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 Refrat (5) Refrat (6) CASE (3) CASE (4) Refrat (8)
13.50-14.40 Refrat (5) Refrat (6) CASE (3) CASE (4) Refrat (8)
14.40-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.30
08.30-09.20
09.20-10.10
10.10-11.00 BST (5) 1/2/3 PS/MS(3) 1/2/3 BST (6) 1/2/3 Refrat (11)
IV
11.00-11.50 BST (5) 1/2/3 PS/MS(3) 1/2/3 BST (6) 1/2/3 Refrat (11)
11.50-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 Refrat (9) Refrat (10) CASE (5) CASE (6) Refrat (12)
13.50-14.40 Refrat (9) Refrat (10) CASE (5) CASE (6) Refrat (12)
14.40-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.30
08.30-09.20
09.20-10.10
10.10-11.00 BST (7) 1/2/3 PS/MS(4) 1/2/3 BST (8) 1/2/3
V
11.00-11.50 BST (7) 1/2/3 PS/MS(4) 1/2/3 BST (8) 1/2/3
11.50-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 Refrat (13) Refrat (14) CASE (7) CASE (8) Refrat (15)
13.50-14.40 Refrat (13) Refrat (14) CASE (7) CASE (8) Refrat (15)
14.40-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA

21
07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.30
08.30-09.20
09.20-10.10
10.10-11.00 PS/MS(5) 1/2/3 BST (9) 1/2/3 CASE (5) BST (10) 1/2/3
VI
11.00-11.50 PS/MS(5) 1/2/3 BST (9) 1/2/3 CASE (5) BST (10) 1/2/3
11.50-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 CASE (9) CASE (10)
13.50-14.40 CASE (9) CASE (10)
14.40-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.30
08.30-09.20
09.20-10.10
10.10-11.00 PS/MS(6) 1/2/3 BST (11) 1/2/3 BST (12) 1/2/3
VII
11.00-11.50 PS/MS(6) 1/2/3 BST (11) 1/2/3 BST (12) 1/2/3
11.50-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
JEJARING/AFILIASI

13.00-13.50 CASE (11) CASE (12)


13.50-14.40 CASE (11) CASE (12)
14.40-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.30
08.30-09.20
09.20-10.10
10.10-11.00 PS/MS(7) 1/2/3 BST (13) 1/2/3 BST (14) 1/2/3
VIII
11.00-11.50 PS/MS(7) 1/2/3 BST (13) 1/2/3 BST (14) 1/2/3
11.50-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 CASE (13) CASE (14)
13.50-14.40 CASE (13) CASE (14)
14.40-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.30
08.30-09.20
09.20-10.10
10.10-11.00 PS/MS(8) 1/2/3 BST (15) 1/2/3 BST (16) 1/2/3
IX
11.00-11.50 PS/MS(8) 1/2/3 BST (15) 1/2/3 BST (16) 1/2/3
11.50-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 CASE (15) CASE (16)
13.50-14.40 CASE (15) CASE (16)
14.40-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-08.00 Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga Laporan Jaga
08.00-08.30
08.30-09.20 LISAN LISAN LISAN LISAN OSCE
09.20-10.10 LISAN LISAN LISAN LISAN OSCE
UTAMA

10.10-11.00 LISAN LISAN LISAN LISAN OSCE


X
11.00-11.50 LISAN LISAN LISAN LISAN OSCE
11.50-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 CBT
13.50-14.40 CBT
14.40-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA

22
BAB VI
SUMBER DAYA

SARANA DAN PRASARANA


• Buku pedoman pengajaran
1. Buku panduan pendidikan dokter umum tahap profesi Fakultas Kedokteran Unsri
2. Buku panduan praktik klinik Ilmu Penyakit Dalam
• Buku rujukan untuk pembelajaran mahasiswa
1. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1,2,3. Edisi VI. Jakarta: Interna publishing pusat penerbit ilmu
penyakit dalam. 2014
2. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. United states of america: The McGraw-Hill
companies, Inc. 2012
3. Panduan pelayanan medik. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia. PB PAPDI.
Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Cetakan 2008
4. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pusat penerbit Ilmu penyakit dalam. Internal
publishing. 2011
• Ruang Kuliah
• Alat bantu ajar
• Tempat praktik klinik:
1. Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
2. Ruang Rawat Inap Departemen Penyakit Dalam RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
3. Poli Rawat Jalan RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
4. RS Jejaring/Afiliasi

23
SUMBER DAYA MANUSIA

▪ Staf Pengajar Yang Terlibat di RS Utama :


No. Nama Dosen NIDN NIP No HP Bidang Keahlian
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Prof. Dr. Ali Ghanie,
1 0004035005 195003041975021001 0811712482 Dalam
SpPD, K-KV
Konsultan
Kardiovaskular
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Prof. Dr. Eddy Mart Salim,
2 0022035002 195003221977031001 0811787891 Dalam
SpPD, K-AI
Konsultan Alergi &
Imunologi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Prof. Dr. Hermansyah,
3 0026105610 195610261983031003 08127115232 Dalam
SpPD, K-R
Konsultan
Rheumatologi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. A. Fuad Bakry, SpPD, Dalam
4 8829300016 195206061979051001 0811715354
K-GEH Konsultan
Gastroentero-
Hepatologi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Ian Effendi, SpPD, K-
5 8882400016 195407201980121001 08127869555 Dalam
GH
Konsultan Ginjal
Hipertensi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Syadra Bardiman, Dalam
6 0014015506 195501141984031001 0811715020
SpPD, K-GEH Konsultan
Gastroentero-
Hepatologi
Pendidikan Dokter
087897111119 Spesialis Penyakit
Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-
7 8811930017 195501081983031001 Dalam
EMD 08127128928
Konsultan Endokrin &
Metabolik
Pendidikan Dokter
08127331961 Spesialis Penyakit
Dr. Ahmad Rasyid, SpPD,
8 0004015606 195601041984031001 Dalam
K-P 08153555247
Konsultan
Pulmonologi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
DR. Dr. Zulkhair Ali, SpPD, Dalam
9 8847350017 196104211987101002 08127101707
K-GH Konsultan Ginjal
Hipertensi
S3 Ilmu Kedokteran
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Mediarty S, SpPD, K-
10 0004045810 195804041985012001 0816385141 Dalam
HOM
Konsultan Hematologi
& Onkologi Medik
Pendidikan Dokter
11 DR. Dr. Joni Anwar, SpP 8880210016 195706111983121001 081278659998 Spesialis Paru
S3 Ilmu Kedokteran
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
12 Dr. Suyata, SpPD, K-GEH 0010036307 196303101989111001 08163288385
Dalam
Konsultan
24
Gastroentero-
Hepatologi
Pendidikan Dokter
08127818711 Spesialis Penyakit
13 Dr. Zen Ahmad, SpPD, K-P 0008036206 196203081989101001 Dalam
081532713873
Konsultan
Pulmonologi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
DR. Dr. Taufik Indrajaya,
14 8819300016 196402021989031006 08127801295 Dalam
SpPD, K-KV
Konsultan Kardiologi
S3 Ilmu Kedokteran
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Yenny Dian Andayani, Dalam
15 0025126121 196112251989012001 08127104134
SpPD, K-HOM Konsultan
Hematologi-Onkologi
Medik
Pendidikan Dokter
08153800064 Spesialis Penyakit
Dr. Syamsu Indra, SpPD, Dalam
16 0028016405 196401281999031002 082184888033
K-KV, MARS
081373084647 Konsultan Kardiologi
S2 Manajemen Kes RS
Pendidikan Dokter
Dr. Ferry Usnizar, SpPD, 08127822125 Spesialis Penyakit
17 8892600016 196302231990101001
K-KV 07117071720 Dalam
Konsultan Kardiologi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Rizky Perdana, SpPD, Dalam
18 8814530017 197107132000121001 08127393417
K-PTI Konsultan
Parasitologi, Tropik &
Infeksi
Pendidikan Dokter
087897081657 Spesialis Penyakit
DR. Dr. Radiyati Umi
19 0017077206 197207172008012007 Dalam
Partan, SpPD, K-R, M.Kes 07117072076
Ilmu Biomedik
S3 Ilmu Kedokteran
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Erwin Azmar, SpPD,
20 8890210016 196511192009121001 08159923241 Dalam
KKV
Konsultan
Kardiovaskular
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Harun Hudari, SpPD, 081271621966 Dalam
21 8835210016 197005032001121004
KPTI 07117301744 Konsultan
Parasitologi, Tropik &
Infeksi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Nova Kurniati, SpPD,
22 8814550017 196407221989032003 0816382924 Dalam
K-AI
Konsultan Alergi &
Imunologi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Norman Djamaluddin, Dalam
23 8825210016 196106221989011001 081373695530
SpPD, K-HOM Konsultan
Hematologi-Onkologi
Medik
Pendidikan Dokter
24 Dr. Surya Darma, SpPD 8896210016 197109272009121001 081367111438 Spesialis Penyakit
Dalam
Dr. Ratna Maila Dewi A, Pendidikan Dokter
25 8815210016 196905172009122001 08127696924
SpPD, KEMD Spesialis Penyakit

25
Dalam
Konsultan Endokrin &
Metabolik
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Vidi Orba Busro, Dalam
26 8880310016 197101132000031001 08127836030
SpPD, K-GEH Konsultan
Gastroenterohepatol
ogi
Pendidikan Dokter
Dr. Erwin Sukandi, SpPD, Spesialis Penyakit
27 8839300016 196511241995091001 08127834464
K-KV Dalam
Konsultan Kardiologi
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Yulianto Kusnadi,
28 8886210016 19690725200061001 08127807234 Dalam
SpPD, K-EMD
Konsultan Endokrin
dan Metabolik
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Imam Suprianto, Dalam
29 8837210016 196901101999031001 08127817949
SpPD, K-GEH Konsultan
Gastroentero-
hepatologi
Pendidikan Dokter
30 Dr. Djunaidi AR, SpPD 8837350017 195814041989031006 08127000533 Spesialis Penyakit
Dalam
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
31 Dr. Novadian, SpPD, K-GH 8813600016 196911152000121002 08127138755 Dalam
Konsultan Ginjal
Hipertensi
085267026853 Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
07117062468
32 Dr. Suprapti, SpPD, KGH 8807210016 196805172009122001 Dalam
Konsultan
Kardiovaskular
Pendidikan Dokter
085279798498 Spesialis Penyakit
33 Dr. Yuniza, SpPD, KAI 8803600016 196606091998032002 Dalam
Konsultan
Kardiovaskular
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
34 Dr. Sudarto, SpPD, K-P 8817210016 197011102000121002 081271133995 Dalam
Konsultan
Pulmonologi
Pendidikan Dokter
Dr. Nur Riviati, SpPD, K- Spesialis Penyakit
35 8876210016 19690627200212003 085267026854
Ger Dalam
Konsultan Geriatri
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. M.Ali Apriansyah,
36 8881110016 197304142002121005 0815 1859599 Dalam
SpPD, K-Psi
Konsultan
Psikosomatis
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
Dr. Rukiah Chodilawati,
37 8874210016 196511161996032001 082176004613 Dalam
SpPD. K-KV
Konsultan
Kardiovaskular
Pendidikan Dokter
Spesialis Penyakit
38 Dr. Imran, SpPD, K-KV 8803400016 197010102000031003 08127889793
Dalam
Konsultan

26
Kardiovaskular
Pendidikan Dokter
Dr. RA. Linda Andriani,
39 8810210016 197702272006042001 08127831261 Spesialis Penyakit
SpPD
Dalam
Pendidikan Dokter
Dr. Nelda Aprilia Salim,
40 8870210016 198204182010122001 08127130739 Spesialis Penyakit
SpPD
Dalam
Pendidikan Dokter
41 Dr. Mega Permata, SpPD 8823400016 197312052002122002 081273777432 Spesialis Penyakit
Dalam
Pendidikan Dokter
Dr. Muhammad Reagan, 081320232232 Spesialis Penyakit
42 0020018106 198101202008121001 Dalam
SpPD, M.Kes 089506352559
S2 Ilmu Kedokteran
Pendidikan Dokter
43 Dr. Natalie Duyen, SpP - 196912242002122001 08127831261 Spesialis Penyakit
Dalam

▪ Staf pengajar dan dosen pendidik di RS jejaring dan RS afiliasi

27
BAB VII
EVALUASI

EVALUASI HASIL PENDIDIKAN PERORANGAN


a. Pra-syarat mengikuti ujian di Bagian IlmuPenyakit Dalam :
• Kehadiran selama praktik klinik memenuhi persyaratan 90% kehadiran. Ketidakhadiran harus
disertai surat izin tertulis serta keterangan yang diperlukan yang disampaikan sebelum izin
diberikan atau selambat-lambatnya 1 hari setelah izin.
• Telah melaksanakan semua tugas dan kewajiban selama program pendidikan berlangsung:
1. Bed side teaching
2. Case
3. Tinjauan pustaka
• Telah menyelesaikan kewajiban administrasi.
• Tidak terdapat masalah perilaku (attitude) dan professional behaviour selama masa kepaniteraan.
Jika terdapat masalah akan ditentukan melalui rapat Bagian dan dilaporkan kepada Ketua
Program Studi Profesi Dokter dan Pimpinan Fakultas.

b. Keberhasilan mahasiswa
Nilai Akhir Huruf Mutu Angka Mutu
86-100 A 4
71-85 B 3
56-70 C 2
41-55 D 1
<41 E <1
Nilai batas lulus > 71

Remedial
• Ketentuan remedial diatur dalam Buku Pedoman Pendidikan Profesi Dokter

1. Instrumen evaluasi hasil pendidikan (EHP)


• Ujian Kasus
• Ujian OSCE
• Ujian CBT (MCQ)

28
Pembobotan

No Komponen evaluasi Presentasi

1 Proses pembelajaran 40%


A Procedural skill/Microskill 20%
B Case Report 10%
C Jurnal reading/Referaat 10%
2 Ujian sumatif 60%
A Ujian kasus/Mini Clinical Evaluation (Mini CEX) 20%
B OSCE (Objective Structured Clinical Examination) 20%
C MCQ (Multiple Choice Question)/CBT 20%
Total 100%

c. Evaluasi Program Pendidikan


1. Evaluasi program
• Sebanyak 80%, mahasiswa lulus dengan nilai B atau lebih tinggi
2. Evaluasi proses program
• Semua kegiatan berlangsung sesuai waktu dan rencana. Apabila terjadi perubahan jadwal, waktu
dan kegiatan tidak lebih dari 10%.
• Setiap kegiatan dihadiri minimal 90%, mahasiswa dan staf pengajar.

29
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

1. Kurikulum Fakultas Kedokteran Indonesia


2. Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta 2012.
3. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1,2,3. Edisi VI. Jakarta: Interna publishing pusat penerbit ilmu
penyakit dalam. 2014
4. Panduan pelayanan medik. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia. PB PAPDI. Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Cetakan
2008

30
LAMPIRAN 1

TINGKAT KEMAMPUAN MENURUT STANDAR KOMPETENSI DOKTER


KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA (SKD-KKI) TAHUN 2012

1. Tingkat kemampuan daftar penyakit


1.1 Tingkat kemampuan 1
Dapat mengenali dan menempatkan gambaran klinik sesuai penyakit ini ketika membaca
literatur. Dalam korespondensi, ia dapat mengenal gambaran klinik ini, dan tahu bagaimana
mendapatkan informasi lebih lanjut. Level ini mengindikasi-kan overview level. Bila menghadapi
pasien dengan gambaran klinik ini dan menduga penyakitnya, dokter segera merujuk.
1.2 Tingkat kemampuan 2
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya: pemeriksaan laboratorium sederhana atau x-ray).
Dokter mampu merujuk pasien secepatnya ke spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti
sesudahnya.
1.3 Tingkat kemampuan 3
A. Tingkat kemampuan 3A
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-
pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya: pemeriksaan laboratorium
sederhana atau x-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta
merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
B. Tingkat kemampuan 3B
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-
pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya: pemeriksaan laboratorium
sederhana atau x-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta
merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat).
1.4 Tingkat kemampuan 4
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya: pemeriksaan laboratorium sederhana atau x-ray).
Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani permasalahan secara mandiri hingga tuntas.

2. Tingkat kemampuan keterampilan klinis


2.1 Tingkat kemampuan 1: mengetahui dan menjelaskan
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini sehingga dapat
menjelaskan kepada teman sejawat, pasien maupun kliententang konsep, teori, prinsip maupun
indikasi, serta cara melakukan, komplikasi yang timbul dan sebagainya.
2.2 Tingkat kemampuan 2: pernah melihat atau pernah didemonstrasikan
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep, teori,
prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya). Selain itu, selama
pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini.
2.3 Tingkat kemampuan 3: pernah melakukan atau pernah menerapkan di bawah supervisi
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep, teori,
prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama pendidikan pernah
melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini dan pernah menerapkan keterampilan ini
beberapa kali di bawah supervisi.
31
2.4 Tingkat kemampuan 4: mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep, teori,
prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama pendidikan pernah
melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini dan pernah menerapkan keterampilan ini
beberapa kali di bawah supervisi serta memiliki pengalaman untuk menggunakan dan
menerapkan keterampilan ini dalam konteks praktik dokter secara mandiri.

32
LAMPIRAN 2

TATA TERTIB MAHASISWA

1. Kegiatan selama kepaniteraan:


a) Mengikuti semua kegiatan praktik klinik.
b) Presentasi kehadiran sebanyak 90%. Ketidakhadiran harus disertai surat izin tertulis serta
keterangan yang diperlukan yang disampaikan sebelum izin diberikan atau selambat-lambatnya 1
hari setelah izin.
c) Melaksanakan semua tugas dan kewajiban selama program pendidikan berlangsung.
d) Menyelesaikan kewajiban administrasi.
e) Tidak terdapat masalah perilaku (attitude) dan professional behaviour selama masa kepaniteraan.
Jika terdapat masalah akan ditentukan melalui rapat Bagian dan dilaporkan kepada Ketua Prodi
Pendidikan Profesi Dokter dan Pimpinan Fakultas.
2. Pakaian luar ialah pakaian dokter muda sesuai yang telah ditetapkan P3D.
3. Pakaian jaga: sesuai dengan lokasi jaga

33
LAMPIRAN 3
URAIAN TUGAS STAF PENGAJAR
MODUL PRAKTIK KLINIK

1. Pemberi kuliah
a. Mempersiapkan bahan kuliah dan menyampaikannya kepada penanggung jawab modul
b. Menyampaikan kuliah sesuai jadwal
c. Membuat soal ujian beserta kunci jawaban dan menyerahkan pada panitia
2. Tutor supervisi klinik
a. Membimbing kegiatan bedside teaching
b. Membimbing tutorial keterampilan
c. Menjadi narasumber dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran
d. Membantu mahasiswa dalam proses belajar-mengajar termasuk bila ada masalah yang berkaitan
dengan pendidikan
e. Memberi umpan balik dan penilaian
3. Tutor dan moderator
a. Memimpin kegiatan diskusi kasus sesuai jadwal
b. Memimpin laporan pagi
c. Memberikan nilai untuk penyaji dan penyanggah
d. Menjadi narasumber
e. Mengisi lembar evaluasi yang tersedia dan menyerahkannya kepada penanggung jawab modul
langsung setelah diskusi atau penyajian kasus selesai
4. Penilai (evaluator)
a. Memberi nilai dan umpan balik
b. Mengisi lembar evaluasi yang tersedia dan menyerahkannya kepada penanggung
jawab/koordinator, langsung setelah ujian selesai.

34
LAMPIRAN 4

LEMBAR EVALUASI PROGRAM


PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

Silahkan beri tanda (√) pada kolom yang menurut anda paling tepat berikut dengan komentar dan saran
(jika ada). Jawaban yang anda isi akan digunakan untuk memperbaiki program pembelajaran pada Praktik
Klinik Ilmu Penyakit Dalam.

Tidak Sangat
No. Kegiatan Memuaskan Komentar dan saran
memuaskan memuaskan
Umum
Buku panduan praktik klinik
1
Ilmu Penyakit Dalam
2 Jadwal kegiatan
Buku kegiatan mahasiswa
3
(log book)
Penuntun tutorial
4
keterampilan
Tahap orientasi
1 Kuliah 1
2 Kuliah 2
3 Kuliah 3
4 Kuliah 4
5 Kuliah 5
6 Kuliah 6
7 Kuliah 7
8 Kuliah 8
9 Kuliah 9
10 Kuliah 10
11 Kuliah 11
12 Kuliah 12
13 Kuliah 13
14 Kuliah 14
15 Kuliah 15
16 Kuliah 16
17 Kuliah 17
18 Kuliah 18
19 Kuliah 19
20 Kuliah 20
21 Kuliah 21
22 Kuliah 22
23 Kuliah 23
24 Kuliah 24
25 Kuliah 25
26 Kuliah 26
27 Kuliah 27
28 Kuliah 28
29 Kuliah 29
30 Kuliah 30
Tahap Pembelajaran
1 BST
2 Prosedural skill
3 Case
4 Referat
5 RS Jejaring/afiliasi
6 Pembimbing
7 Residen PPDS

35
Kegiatan mana saja yang menurut anda paling bermanfaat?
..........................................................................................................................................................................
..................................................................................................................

Kegiatan mana yang menurut anda harus ditambah waktunya?


..........................................................................................................................................................................
..................................................................................................................

Keterampilan klinik apa saja yang menurut anda masih kurang mendapat kesempatan latihan dan perlu
ditambah lagi?
..........................................................................................................................................................................
..................................................................................................................

Berikan penilaian mengenai sarana dan prasarana yang tersedia dalam Modul Praktik Klinik Ilmu Penyakit
Dalam dengan memberi tanda (√) berikut dengan komentar dan sarannya.

Sarana dan Tidak Sangat


No. Memuaskan Komentar dan saran
prasarana memuaskan memuaskan
1 Ruang kuliah
2 Audio-visual

3 Ruang praktik klinik


Boneka simulasi dan
4
kelengkapannya
Perpustakaan dan
5 media informasi
lainnya
6 Ruang jaga
7 RS Jejaring/afiliasi

Berikan opini anda secara global terhadap program pembelajaran di dalam Modul Ilmu Penyakit Dalam,
apakah:
□ Sangat memuaskan □ Baik □ Rata-rata □ Buruk □ Tidak tahu

Setelah mengikuti Modul Ilmu Penyakit Dalam ini, apakah anda merasa ilmu dan keterampilan dalam
bidang ilmu ini bertambah?
□Sangat memuaskan
□ Ya-banyak
□ Ya-tidak banyak
□ Tidak
□ Tidak tahu

Komentar:
..........................................................................................................................................................................
..................................................................................................................
..............................................................................................................................................

36
Palembang, ______________________
MAHASISWA

(___________________)
NPM________________
Catatan: nama mahasiswa boleh tidak diisi.

37
LAMPIRAN 5

KARDIOVASKULAR

38
ANEURISMA AORTA
SKDI 1

1. Pengertian Aneurisma Aorta merupakan dilatasi dinding aorta yang sifatnya patologis,
(definisi) terlokalisasi, dan permanen (irreversible). Dinding aorta yang mengalami
aneurisma lebih lemah daripada dinding aorta yang normal. Oleh karena itu,
karena tekanan yang begitu besar dari darah menyebabkan dinding aorta
menjadi melebar.

Berdasarkan lokasinya, aneurisma aorta dibagi menjadi 3 yaitu :


- Abdominal aortic aneurysm (AAA) : lokasinya pada aorta abdominalis,
- Thoracic aortic aneurysm (AAT) : lokasinya pada aorta toraks,
- Thoracoabdominalis aortic aneurysm (AATA) : lokasinya pada aorta
desendens yang secara bersamaan melibatkan aorta abdominalis.
2. Anamnesis • Abdominal aortic aneurysm
o Asimtomatis
o Nyeri perut intermiten menetap, menyebar ke panggul, pelipatan paha,
dan testis
o Pada kasus ruptur, dapat disertai nyeri yang bersifat akut, menetap,
berat, dan paling sering terjadi di daerah lumbar yang menjalar ke
panggul, organ genital, dan kaki serta gejala hipotensi atau syok

• Thoracic aortic aneurysm


o Disfagia
o Suara serak
o Nyeri daerah dada atau punggung

• Thoracoabdominalis aortic aneurysm


o Asimptomatik)
o Pada kasus ruptur, dapat terjadi nyeri punggung yang terlokalisasi di
antara scapula dan nyeri perut
o Hoarseness, Disfagi
o Stridor, wheezing, atau batuk
o Hemoptisis, Hetemesis
o Kelemahan tungkai

• Faktor risiko:
o Umur dan jenis kelamin
o gaya hidup merokok
o hipertensi, hiperlidemia, dan aterosklerosis.
o Riwayat keluarga
o Trauma benda tumpul
3. Pemeriksaan Fisik • Abdominal aortic aneurysm
o Inspeksi: Pada dinding perut bagian bawah terlihat massa yang
berdenyut mengikuti irama nadi
o Palpasi: Teraba bifurkasio aorta beranjak naik, pada posisi duduk
setinggi pusat, sedangkan batas atas aneurisma sampai di arkus iga.
Teraba pulsasi yang kuat kecuali pada trombosis total.
o Auskultasi: Terdengar bising sistolik setinggi lumbal 2.
4. Pemeriksaan • Abdominal aortic aneurysm
Penunjang o Foto polos abdomen
o USG B-mode atau Dupleks Sonografi berwarna
o CT-Scan atau MRI

• Thoracic aortic aneurysm


o Foto rontgen.

39
o Aortografi
o CT-scan
o MRI
o MR Angiografi

• Thoracoabdominalis aortic aneurysm


o Foto rontgen
o USG
o Spiral CT-scan
o Aortografi (Gold standard)
5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik
6. Diagnosis Banding -

7. Terapi • Non-farmakologis
Pengendalian faktor resiko

• Farmakologis
Beta Blocker mengurangi denyut jantung dan tekanan darah sehingga akan
mengurangi resiko pecahnya aneurisma

• Operatif
o Pembedahan dilakukan bila diameter lebih dari 50 mm.
o Endovaskular stent atau endoprotesis
8. Komplikasi - Hipertensi berat
- Ruptur, yang dapat menimbulkan hemoragi dan kematian
- Komplikasi dini yang dapat terjadi setelah operasi elektif meliputi iskemia
jantung, aritmia, dan gagal jantung kongestif (15%), insufisiensi pulmonal
(8%), kerusakan ginjal (6%), perdarahan (4%), tromboemboli distal (3%),
dan infeksi luka (2%).
9. Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad malam
Quo ad sanationam: dubia ad malam
10. Kepustakaan 1. Wiyono P. Tiroiditis. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l, Simodibroto M,
dan Setioti S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta. Pusat
lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Lomeson JL, Weetmon AP. Disorders of the thyroid gland. ln: Fouci A,
Kosper D, Longo D, Brounwold E, Houser S, Jomeson J, dan Loscolzo J.
2012. Horrison's Principles of Internal Medicine. 15th ed. United States of
America. The McGrow-Hill Companies.
3. Alwi, Idrus., Simon Salim, Rudy Hidayat, Juferady Kurniawan, dan Dicky
Tahapany. 20015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktik Klinis. Jakarta. Internal Publishing Pusat Penerbitan Bagian llmu
Penyakit Dalam.
4. Braunwald, Eugene.1996.Textbook of Heart Disease, 5th ed, McGraw-Hill
Companies, USA.
5. Topol, Eric J.2002.Textbook of Cardiovascular Medicine, 2nd ed,
Philadelphia

40
FIBRILASI ATRIAL
SKDI 3A

1. Pengertian Fibrilasi Atrium adalah takiarithmia supraventrikular yang khas dengan


(definisi) aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), cirri dari fibrilasi atrium
adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang
getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi
NAV yang normal, FA biasanya disusul oleh respon ventrikel yang juga
irregular, dan seringkali cepat.
2. Anamnesis Spektrum presentasi klinis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga
syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode
fibrilasi atrium tida menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa
gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:
- Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan
genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
- Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
- Presinkop atau sinkop
- Kelemahan umum pusing
Selain itu fibrilasi atrium juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardi, dan tromboembolisme sistemik.
Penilaian awal dari pasien dengan fibrilasi atrium yang baru pertama kali
terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.
3. Pemeriksaan Fisik - Hemodinamik dapat stabil atau tidak stabil
- Denyut nadi tidak teratur
- Denyut nadi dapat lambat, jika disertai dengan kelainan irama block
- Jika hemodinamik tidak stabil dengan denyut yang cepat sebagai
kompensasi, maka terdapat tanda-tanda hipoperfusi (akral dingin, pucat).
4. Pemeriksaan - Pemeriksaan laboratorium darah
Penunjang - Ekokardiografi TTE
- Ekokardiografi transesofageal (TTE)
- Holter
- Studi elektrofisiologi
5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- EKG
- Foto Thorax
6. Diagnosis Banding - Multifocal atrial tachycardia (MAT)
- Frequent premature atrial contractions (PAC)
- Atrial Flutter
7. Terapi Terapi tergantung pada etiologi yang mendasarinya, dapat berupa;
Kondisi Akut :
Untuk Hemodinamik tidak stabil :
Kardioversi elektrik :
Ekokardiografi transtorakal harus dilakukan untuk identifikasi adanya trombus
di ruang-ruang jantung. Bila trombus tidak terlihat dengan pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal, maka ekokardiografi transesofagus harus
dikerjakan apabila FA diperkirakan berlangsung >48 jam sebelum dilakukan
tindakan kardioversi. Apabila tidak memungkinkan dilakukan ekokardiografi
transesofagus, dapat diberikan terapi antikoagulan (AVK atau dabigatran)
selama 3 minggu sebelumnya. Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4
minggu pascakardioversi (target INR 2-3 apabila menggunakan AVK).

Untuk laju denyut ventrikel dalam keadaan stabil


1. Diltiazem 0,25 mg/kgBB bolus iv dalam 10 menit, dilanjutkan 0,35
mg/kgBB iv
41
2. Metoprolol 2,5-5 mg iv bolus dalam 2 menit sampai 3 kali dosis.
3. Amiodaron 5 mg/kgBB dalam satu jam pertama, dilanjutkan 1 mg/ menit
dalam 6 jam, kemudian 0,5 mg/ menit dalam 18 jam via vena besar
4. Verapamil 0,075- 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit
5. Digoksin 0,25 mg iv setiap 2 jam sampai 1,5 mg

Kondisi stabil jangka panjang untuk kendali laju :


a. Metoprolol 2x50-100 mg po
b. Bisoprolol 1x5-10 mg po
c. Atenolol 1x25-100 mg po
d. Propanolol 3x10-40 mg po
e. Carvedilol 2x3,125-25 mg po
f. CCB: Verapamil 2x40 sampai 1x240 mg po (lepas lambat)
g. Digoksin 1x0,125-0,5 mg po
h. Amiodaron 1x100-200 mg po
i. Diltiazem 3x30 sampai 1x200 mg po (lepas lambat)

Secara umum, AFR direkomendasikan pada pasien


FA :
- Masih simtomatik meskipun telah dilakukan terapi medikamentosa optimal
- Pasien yang tidak dapat menerima medikamentosa oral karena kondisi alergi
obat ataupun penyakit penyerta lainnya yang menjadi kontraindikasi terapi oral
- Pasien memilih strategi kendali irama karena menolak mengonsumsi obat
antiaritmia seumur hidup.
- FA simtomatik yang refrakter atau intoleran dengan ≥1 obat antiaritmia
golongan 3
Target :
- Ostium Vena Pulmonalis yang terletak di atrium kiri merupakan sumber
fokus ektopik yang mempunyai peranan penting dalam inisiasi dan mekanisme
terjadinya FA
- Strategi ablasi yang direkomendasikan adalah isolasi elektrik pada antrum VP
dan ablasi fokus ektopik.

Ablasi dan modifikasi Nodus AV (NAV) + PPM


- Adalah ablasi AV node dan pemasangan pacu jantung permanen merupakan
terapi yang efektif untuk mengontrol respon ventrikel pada pasien FA.
- Ablasi NAV adalah prosedur yang ireversibel sehingga hanya dilakukan pada
pasien dimana kombinasi terapi gagal mengontrol denyut atau strategi kendali
irama dengan obat atau ablasi atrium kiri tidak berhasil dilakukan

Pemasangan Sumbatan Aurikular Atrium Kiri (LAA


Occluder)
- Pada pasien AF permanent yang tidak dapat dilakukan ablasi dengan
pertimbangan struktur atrium kiri yang terlalu dilatasi
- Atau alternatif terhadap antikoagulan oral bagi pasien FA dengan risiko
tinggi stroke tetapi kontraindikasi pemberian antikoagulan oral jangka lama.
- Dinilai dari perhitungan skor perdarahan
8. Komplikasi - Gagal jantung
- Stroke
9. Prognosis Quo ad vitam: Dubia ad Bonam
Quo ad functionam: Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam: Dubia ad Bonam
10. Kepustakaan 1. ACC/AHA/ESC guidelines for the management of patients with
supraventricular arrhythmias, European Heart Journal 2003;34:1857-1897.
2. Ziad Issa, John M. Miller, Douglas P. Zipes.— Clinical Arrhythmology and
Electrophysiology: A Companion to Braunwald’s Heart Disease, Saunders,
2009.
3. Yuniadi Y et al. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium, PERKI 2014.
42
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

43
THROMBOPHLEBITIS
SKDI 3A

1. Pengertian (definisi) Thrombophlebitis atau trombosis vena merupakan inflamasi vena superfisial
maupun dalam yang berhubungan dengan adanya trombus, didominasi dengan
gejala nyeri terlokalisir dan kemerahan, 3-11% populasi akan mengalami
tromboflebitis superfisial selama hidupnya. Tromboflebitis merupakan
penyakit jinak, dapat sembuh sendiri, penyakit ini akan menyebabkan
ketidaknyamanan yang mempengaruhi mobilitas dan menyebabkan berbagai
komplikasi. Secara anatomis, vena yang terkena tepat di bawah kulit disebut
thrombophlebitis superficial (SVT), sedangkan tromboflebitis yang terjadi di
jaringan otot disebut dengan deep vein thrombosis (DVT) yang dapat
menyebabkan komplikasi serius jika bekuan menjadi gumpalan (emboli) dan
mulai beredar dalam darah, karena dapat menyebabkan penyumbatan arteri
paru – paru (emboli paru).
2. Anamnesis Gejala utama adalah nyeri, kemerahan disertai pembengkakan pada area yang
terkena. Kebanyakan pasien memiliki riwayat trombosis sebelumnya dan
memiliki riwayat keluarga yang pernah mengalami hal serupa.
Didapatkan riwayat operasi yang berhubungan dengan lutut dan tungkai.
Riwayat kanker pankreas, paru, ovarium, testis, payudara. Riwayat trauma,
imobilisasi lama, kehamilan, penggunaan estrogen berupa obat kontrasepsi,
dan konsumsi obat yang memicu hiperkoagulasi.
3. Pemeriksaan Fisik Terdapat nyeri terlokalisir dan teraba hangat pada bagian yang terkena. Pada
palpasi didapatkan indurasi dan eritema pada pembuluh darah yang dipalpasi
vena yang terkena. Edema sering muncul jika pasien juga mengalami
trombosis vena dalam (DVT).
4. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium hemostatis:
Penunjang Peningkatan D-dimer dan penurunan antirombin.
Peningkatan D-Dimer merupakan indikator adanya trombosis vena yang aktif.
Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik dan sebenarnya lebih berperan
untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif.

Pemeriksaan radiologis:
Terdeteksi trombus melalui venografi/flebografi, ultrasonografi (USG) doppler
(duplex scanning), USG kompresi, Venous Impedance Plethysmo-graphy
(IPG) dan MRI.
Dijumpai filling defect di pembuluh darah vena.
5. Kriteria Diagnosis Well’s rule merupakan salah satu metode skoring untuk membantu diagnosis
DVT.

6. Diagnosis Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta


44
pemeriksaan penunjang. Tanda dan gejala SVT berbeda dari DVT. Pada SVT
rasa nyeri dan eritema lebih dominan. Pada DVT, tanda dan gejalanya antara
lain edema,nyeri, dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg,
phlegmasia cerulea dolens/blue leg). Skor Wells dapat digunakan untuk
stratifikasi menjadi kelompok risiko ringan, sedang, atau tinggi. Nilai 0
mengindikasikan kemungkinan rendah dari DVT, skor 1 atau 2
mengindikasikan risiko sedang, sedangkan nilai 3 atau lebih tinggi
menunjukkan risiko tinggi DVT.
7. Diagnosis Banding Ruptur otot, trauma perdarahan, lymphaedema
8. Terapi Tatalaksana harus mempertimbangkan lokasi dan kedalaman thrombus.
Bentuk ringan dari tromboflebitis superfisial dapat ditatalaksana dengan
konservatif termasuk obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs), kompresi
elastik, dan elevasi.

Antikoagulan :
Heparin (UFH) bolus 7500-10000 IU, dilanjutkan infus 1000-1500 IU/jam.
Alternatif terapi → Heparin injeksi
Profilaksis :
Low doses heparin 5000 IU hingga pembedahan dan 5000 IU/8 jam setelah
operasi.

Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh
hari untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0 INR diusahakan antara 1,5-
2,0, meskipun masih menjadi pertentangan

Trombolitik
Streptokinase, urokinase, tPA
9. Komplikasi Tromboflebitis superfisial dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, ketika
tidak dapat sembuh sendiri, beberapa komplikasi dapat terjadi. Jika
tromboflebitis menyerang vena dalam juga, penyakitnya menjadi DVT. Ketika
vena melakukan rekanalisasi dapat menyebabkan vena yang tidak memiliki
katup, vena tersebut dapat terkena sindrom postflebitis, yang mirip dengan
sindrom posttrombotik setelah DVT. Hal ini bermanifestasi dengan nyeri,
edema, hiperpigmentasi, ulserasi, dan peningkatan risiko rekurensi.
Tromboflebitis superfisial juga dapat berubah menjadi tromboflebitis sepsis
atau supuratif, yang dapat menyebabkan sepsis, emboli sepsis, dan
pembentukan abses metastase. Komplikasi lainnya adalah adanya permasalah
kosmetik seperti hiperpigmentasi atau nodul subkutaneus pada vena yang
terkena.
DVT dapat menyebabkan terjadinya emboli paru yang merupakan
penyumbatan arteripulmonalis atau percabangannya akibatbekuan darah yang
berasal dari tempat lain.Tanda dan gejalanya tidak khas, seringkalipasien
mengeluh sesak napas, nyeri dadasaat menarik napas, batuk sampai
hemoptoe,palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasusberat dapat mengalami
penurunan kesadaran,hipotensi bahkan kematian. Standar bakupenegakan
diagnosis adalah denganangiografi, namun invasif dan membutuhkantenaga
ahli. Dengan demikian, dikembangkanmetode diagnosis klinis, pemeriksaan
D-Dimerdan CT angiografi.
10. Prognosis Prognosis pasien dengan tromboflebitis superfisial lebih baik dibandingkan
dengan DVT. Hal ini dikarenakan SVT dapat sembuh sendiri dan pemberian
terapi konservatif dapat membantu, sedangkan pada DVT peluang untuk dapat
sembuh sendiri lebih kecil.
11. Kepustakaan 1. Vascular Disease of The Extremitas Part 8. Disorder of the
Cardiovascular System. ln: Kasper L, Hauser S, Jameson J, Fauci A,
Longo, Loscalzo J. 2015. Horrison's Principles of Internal Medicine. 19th
ed. United States of America. The McGrow-Hill Companies.
2. Lugyanti Sukrisman. ln: Setiati Siti, Alwi l, Sudoyo Aru, Simadibrata
Marcellus, Setiyohadi B, dan Syam Ari Fahrial. 2014. Buku Ajar Ilmu
45
Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta. Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian
llmu Penyakit Dalam FKUI.
3. Laser, A., & Nagarsheth, K. H. Thrombophlebitis. Encyclopedia of
Trauma Care, 2015:1580-1582.
4. Jacobs, Benjamin; Coleman, Dawn M. Superficial thrombophlebitis.
In: Handbook of Venous and Lymphatic Disorders: Guidelines of the
American Venous Forum. CRC Press, 2017. p. 343.
5. Streiff, Michael B., et al. Guidance for the treatment of deep vein
thrombosis and pulmonary embolism. Journal of thrombosis and
thrombolysis, 2016, 41.1: 32-67.

46
ENDOKARDITIS
SKDI 2

1. Pengertian Endokarditis Infeksi(EI) adalah infeksi mikroba pada permukaan endotel


(definisi) jantung. Infeksi biasanya paling banyak mengenai katup jantung, namun dapat
juga terjadi pada lokasi defek septal, atau korda tendinea atau endokardium
mural.
2. Anamnesis • Demam
• Menggigil
• Sesak nafas
• Batuk
• Nyeri dada
• Mual, muntah
• Nyeri otot sendi
• Penurunan berat badan
3. Pemeriksaan Fisik • Bunyi murmur yang merupakan petunjuk lokasi katup
• Ptekiae merupakan manifestasi perifer tersering, dapat ditemukan pada
konjungtiva palpebra, mukosa palatal dan bukal, ekstremitas dan tidak
spesifik pada endokarditis
• Perdarahan subungual: gambaran merah gelap pada dasar kuku atau jari
biasanya pada proksimal
• Nodus Osler: berupa nodul subkutan kecil, nyeri dan terdapat pada jari
• Lesi Janeway: makula hemoragis yang tak nyeri pada tapak tangan atau
kaki
• Roth spot: perdarahan retina oval dengan pusat yang pucat
4. Pemeriksaan • Kultur darah
Penunjang • Pemeriksaan ekokardiografi
5. Kriteria Diagnosis Kriteria duke yang dimodifikasi untuk diagnosis EI
1. Kriteria mayor
Kultur darah positif untuk endokarditis:
• Mikrooraganisme yang sama secara konsisten menunjukkan EI pada 2
kultur darah terpisah
• Streptococcus viridans, Streptococus bovis, grup HAEK, Staphylococcua
aureus; atau
• Community-acquiredenterococcocus, dengan tidak adanya fokus primer
Atau
• Mikrooganisme yang sama secara konsisten menunjukkan IE menetap
pada beberapa kultur darah
• Setidaknya dua kultur darah dari sampel darah dibuat >12 jam
terpisah;atau
• Tiga atau mayoritas ≥ kultur darah terpisah (dengan sampel pertama dan
terakhir setidaknya terpisah 1 jam saat pembuatan)
Atau
Sebuah kultur darah positif untuk Coxiellaburnetti atau titer antibodi igG
fase 1>1:800

Bukti keterlibatan endokardial


• Ekokardiografi positif untuk EI
Vegetasi-abses-pelepasan parsial baru dari katup prostetik
• Reguritasi katup yang baru

2. Kriteria minor
• Predisposisi: kondisi jantung, penggunaan obat injeksi
• Demam: temperatur >38 C
• Fenomena vaskular: emboli arteri mayor, infark pulmoner septik,

47
aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial,
• Perdarahan konjungtiva, lesi janeaway
• Fenomena imunologis; glomerulonefritis, nodus Osler, bercak Roth, faktor
reumatoid
• Bukti infeksi aktif mikrobiologis yang konsisten EI

EI didiagnosis ditentukan dengan adanya


• 2 kriteria mayor, atau
• 1 mayor dan 3 kriteria minor, atau
• 5 kriteria minor

Diagnosis EI memungkinkan ketika terdapat


• 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, atau
• 3 kriteria minor

6. Diagnosis • Endokarditis
7. Diagnosis Banding • Demam reumatik
• Endokarditis Libman-Sacks
• Non-bacterial thrombotic endocarditis (NTBE)
8. Terapi • Guidelines American heart association (AHA) dan European Society of
Cardiology I (ESC) dianjurkan menggunakan kombinasi dari antibotika
golongan penisilin ditambah dengan aminoglikosida.
• Intervensi surgikal dianjurkan pada beberapa keadaan anatara lain:
1. Vegetasi menetap setelah emboli sistemik: vegetasi pada katup mitral
anterior, terutama dengan ukuran > 10 mm atau ukuran vegetasi
meningkat setelah terapi antimikroba 4 minggu
2. Regurgitasi aorta atau mitral akut dengan tanda tanda gagal ventrikel
3. Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap terapi medis
4. Perforasi atau ruptur katup
5. Ekstensi perivalvular: abses besar atau ekstensi abses walaupun terapi
antimikroba adekuat
6. Bakteremia menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat
9. Komplikasi Dapat terjadi pada setiap organ, sesuai dengan patofisiologi terjadinya
manifestasi klinis
• Jantung: katup jantung: regurgitasi, gagal jantung, abses
• Paru: emboli paru, pneumonia, pneumothoraks, empiema dan abses
• Ginjal: glomerulonefritis
• Otak: perdarahan subaraknoid, stroke emboli, infark serebral
10. Prognosis Prediktor prognosis buruk pada dapat dilihat dari
Karakteristik: usia pasien tua, EI katup prostetik, mempunyai penyakit
penyerta seperti penyakit jantung, paru dan riwayat DM tipe 1.
Komplikasi: gagal jantung, stroke, dan syok sepsis, komplikasi perianular.
Mikroorganisme: S. Aureus, jamur, basil gram negatif.
Temuan ekokardiografi; komplikasi perianular, regurgitasi berat katup
sebelah kiri, fraksi ejeksi ventrikel rendah, hipertensi pulmonal, vegetasi
besar, disfungsi prostetik berat, penutupan katupmitral prematur, dan
tanda lain dari meningkatnya tekanan diastolik
11. Kepustakaan 1. Siti Setiati. et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Hlm 1208-1221
2. Idrus Alwi. et al. 2015. Panduan Praktik Klinis Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam. Hlm 606-617

48
PERIKARDITIS
SKDI 2

1. Pengertian Perikarditis merupakan peradangan perikard parietalis, viseralis atau keduanya.


(definisi)
2. Anamnesis • Nyeri dada biasanya terjadi pada perikarditis infeksi akut dan dalam
banyak bentuk yang dianggap terkait dengan hipersensitivitas atau
autoimunitas. Rasa sakit perikarditis akut sering parah, retrosternal, dan
prekordial kiri, dan mengacu pada leher, lengan, atau bahu kiri. Seringkali
rasa sakit itu bersifat pleuritik, sebagai akibat dari radang pleura yang
menyertainya (yaitu, tajam dan diperparah oleh inspirasi dan batuk), tetapi
kadang-kadang stabil, menyempit, memancar ke lengan atau kedua lengan,
dan menyerupai iskemia miokard; Namun, secara karakteristik, nyeri
perikardial dapat hilang dengan duduk tegak dan condong ke depan dan
diintensifkan dengan berbaring terlentang. Nyeri sering tidak ada dalam
perkembangan TB secara perlahan, postirradiasi, dan neoplastik, uremik,
dan perikarditis konstriktif.
3. Pemeriksaan Fisik • Didapatkan friction rub presistolik, sistolik atau diastolic. Bila efusi banyak
atau cepat terjadi, akan didapatkan tanda tamponad.
4. Pemeriksaan • Elektrokardiografi menunjukkan elevasi segmen ST. Gelombang T
Penunjang umumnya ke atas, tetapi bila ada miokarditis akan ke bawah (inversi).
• Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi perikard). Foto paru
dapat normal atau menunjukkan patologi (mialnya bila penyebabnya tumor
paru, TBC dan lain-lain).
5. Kriteria Diagnosis Berdasarkan Klinis:
• Perikarditis akut (<6 minggu)
o Fibrinous
o Effusive (serous or sanguineous)
• Perikarditis subakut (6 minggu – 6 bulan)
o Effusive-constrictive
o Constrictive
• Perikarditis kronis (>6 bulan)
o Constrictive
o Effusive
o Adhesive (non-constrictive)
Berdasarkan Etiologi:
• Perikarditis Infeksi
• Perikarditis Non-Infeksi
• Perikarditis Hipersensitivitas atau autoimun
6. Diagnosis Perikarditis akut, Perikarditis subakut, Perikarditis kronis
7. Diagnosis Banding • Iskemia/Infark miokard
• Pulmonary embolism
• Pneumonia
• Pneumothorax
• Costochondritis

8. Terapi Non-Farmakologis
Semua pasien pericarditis akut harus dirawat untuk menilai/observasi
timbulnya tamponad (1 dalam 10 perikarditis akut) dan membedakannya
dengan infark jantung akut. Ekokardiografi diperlukan untuk mengira
banyaknya efusi perikard.
Farmakologis
OAINS dipakai sebagai daasar pengobatan medikamentosa (mengurangi rasa
sakit dan anti-inflamasi). Kortikosteroid (prednisolone oral 60 mg/hari)
diperlukan bila sakitnya tidak teratasi dengan OAINS. Pungsi perikard
dilakukan untuk tindakan diagnostic. Bila timbul tamponad, maka pungsi
49
perikard dilakukan sebagai tindakan terapi. Perikarditis rekurens
(non=bakterial/virus yang dibuktikan dengan PCR) dapat diobati dengan
kolkisin 1 mg – 2 mg/hari.
9. Komplikasi Tamponade Jantung, Effusi perikard
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Kepustakaan 3. Hauser, Stephen, et al. Harrison's Manual of Medicine. 19th ed., McGraw-
Hill, 2016.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar
ilmu penyakit dalam edisi IV. Jakarta: Interna publishing; 2014
5. Miller, A. L., Joseph Loscalzo. Prognosis for Pericarditis with and without
Myocardial involvement. McGraw-Hill, 2013.

50
SUPRAVENTRIKULER TAKIKARDI
SKDI 3B

12. Pengertian (definisi) Supraventrikular takikardi (SVT) adalah suatu terminology umum untuk
mendeskripsikan kelompok aritmia yang dimana mekanismenya meliputi atrial
termasuk AV node dan berkas His.
Klasifikasi dari SVT:
• Atrioventricular Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT)
• Atrioventricular Reciprocal Tachycardia (AVRT) / Wolf Parkinson White
(WPW)
• Atrial Fibrilasi
• Atrial Flutter
13. Anamnesis • Berdebar-debar
• Dizziness
• Awitan dan terminasi mendadak
• Near syncope / syncope
14. Pemeriksaan Fisik • Laju nadi teraba cepat dan regular
• Tanda-tanda hipopefusi (akral dingin, pucat) *tidak selalu
15. Pemeriksaan • Elektrokardiografi (EKG)
Penunjang • Laboratorium darah: hematologi rutin, factor koagulasi, fungsi tiroid, HbsAg,
HCV, HIV, fungsi ginjal
• EKokardiografi
• Foto rontgen thoraks
• Holter monitoring
• Elektrofisiologi
16. Kriteria Diagnosis EKG 12 sadapan
- AVNRT
• QRS sempit, sangat regular, laju QRS berkisar antara 150-240 x/menit
• Sebagian besar gelombang pada di dalam kompleks QRS
- AVRT/WPW
• QRS sempit, regular, laju QRS berkisar antara 150-240 x/menit
• Interval RP biasanya >70 mdet.
- Atrial Fibrilasi
• Laju ventrike bersifat ireguler
• Tidak terdapat gelombang P yang je;as
• Gelombang P digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh
kompleks QRS yang ireguler pula
• Laju jantung uumnya berkisar 110-140 x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170
x/menit
• Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus
interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman) – Preeksitasi – Hipertrofi
ventrikel kiri – Blok berkas cabang – Tanda infark akut/lama
Studi elektrofisiologi
- AVNRT
• Takikardia dengan cycle length 250-400 mdet
• Interval VA pendek (<70 mdet), kecuali pada AVNRT atipikal
• Tidak ada reset pada pemacuan ventrikel saat refrakter His
• Interval VA saat takikardia – interval saat takikardia: >80 mdet
• Pola VAV saat terminasi ventrikel kanan dengan takikardia masih berlangsung
- AVRT/WPW
• Takikardia dengan cycle length 250-400 mdet
• Interval VA panjang (>70 mdet)
• Aktivasi retrograde aeksentrik
• Reset pada pemacuan ventrikel saat refrakter His
• Retrogade paling awal menentukan lokasi jalur aksesori
51
• Pola VAV saat terminasi ventrikel kanan dengan takikardia masih berlangsung
17. Diagnosis - AVNRT
- AVRT/WPW
- Atrial Fibrilasi
- Atrial Flutter
18. Diagnosis Banding - AVNRT
- AVRT/WPW
- Atrial Fibrilasi
- Atrial Flutter
19. Terapi - Pada keadaan akut:
a. Manuver valsava
b. Adenosin i.v. (obat pilihan utama): ATP 10mg-20mg
c. Verapamil i.v.: 2,5 – 5mg perlahan; q 3x (bila tidak ada gagal jantung)
d. Diltiazem i.v.: 0,25-0,35 mg/kg (bila tidak ada gagal jantung)
e. Digitalis i.v.: 0,5mg
f. Metoprolol i.v.: 5-15 mg; propranolol 1-2 mg iv, q 4mnt
g. Kardioversi listrik bila hemo dinamik tidak stabil
- Terapi definitive:
a. AVNRT: ablasi radio frekuensi slow pathway dari nodus AV
b. AVRT/WPW: ablasi radio frekuensi jalur aksesori
c. Atrial Fibrilasi: ablasi dan modifikasi nodus AV (NAV) + PPM
d. Atrial Flutter: kardioversi dengan low energy (25 – 50 Ws)
20. Prognosis • Ad vitam: bonam
• Ad sanationam: bonam
• Ad fungsional: bonam
21. Kepustakaan 1. ACC/AHA/ESC guidelines for the management of patients with
supraventricular arrhythmias, European Heart Journal 2003;34:1857-
1897.
2. Ziad Issa, John M. Miller, Douglas P. Zipes – Clinical Arrhythmology and
Electrophysiology; A Companion to Braunwald’s Heart Disease,
Saunders, 2009
3. Yuniadi Y et al. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium, PERKI 2014.
4. Firdaus I et al. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP)
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, PERKI 2016.
5. Makmun, L. Aritmia Supraventrikular dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, FK UI.
6. Sohinki, D.; Obel, O. Current Trends in Supraventricular Tachycardia
Management. The Ochsner Journals, National Institutes of health; v.
14(4); Winter 2014.

52
VENTRICULAR TACHYCARDIA
SKDI 3B

1. Pengertian Ventricular tachycardia (VT) adalah terdapat tiga atau lebih premature
(definisi) ventricular contraction atau ventricular extrasystoles dengan laju lebih dari
120 kali per menit. Secara umum dibagi menjadi monomorfik dan polimorfik.
- VT monomorfik : kompleks QRS yang sama pada tiap denyutan (beat)
dan menandakan adanya depolarisasi yang berulang dari tempat yang
sama
- VT polimorfik : kompleks QRS yang bervariasi (berubah) dan
menunjukkan adanya urutan depolarisasi yang berubah dari beberaoa
tempat.
VT bila terjadi lebih dari 30 detik atau menghilang bila dilakukan intervensi
aktif seperti pemberian obat-obatan intravena, kardioversi eksternal, atau
penggunaan alat pacu eksternal disebut VT sustained dan sebaliknya bila
menghilang secara spontan dalam waktu ≤ 30 detik disebut VT non-sustained.
2. Anamnesis Faktor Risiko
- Riwayat penyakit jantung
- Riwayat infark miokard
- Riwayat penyakit komorbid seperti hipertiroidisme

Keluhan
- Palpitasi
- Pusing
- Rasa tidak nyaman di dada
- Intoleransi aktivitas
- Episode kepala terasa ringan (lightheadedness)
- Sinkop

Faktor pencetus
- Stress
- Emosi
- Aktivitas fisik
- Zat-zat stimulan, seperti: kafein, alkohol, nikotin.
- Obat-obatan, seperti : salbutamol, aminofilin, atropine, katekolamin
- Terapi anti kanker, seperti : doxorubicin/adriamycin, daunorubicin
- Obat-obat adiktif, seperti : amfetamin, kokain, kanabis, ekstasi
3. Pemeriksaan Fisik - Nadi 120-300 x/menit
- Nadi iregular
- Tanda-tanda kegagalan hemodinamik : Hipotensi
4. Pemeriksaan - Laboratorium : fungsi tiroid, elektrolit, urinalisis untuk obat ilisit
Penunjang - EKG 12 lead
- Exercise test
- Echocardiography untuk menilai fungsi ventrikel kiri dan kanan.
- Ambulatory monitoring: Monitor Holter dalam 24-48 jam secara
kontinyu.
5. Kriteria Diagnosis - Durasi dan morfologi kompleks QRS. Pada VT terjadi kekacauan bentuk
kompleks QRS dan durasi kompleks QRS menjadi panjang (biasanya lebih
dari 0,12 s). Kecuali pada VT yang berasal dari fasikel posterior. Morfologi
kompleks QRS bergantung pada asal fokus VT. Bila berasal dari ventrikel
kanan akan memberikan gambaran morfologi blok berkas cabang kiri
(LBBB morphology) dan jika berasal dari bentrikel kiri akan menunjukkan
gambaran blok berkas cabang kanan (RBBB morphology).
- Laju dan irama. Berkisar antara 120-300 kali per menit dengan irama
teratur atau hampir teratur (variasi antar denyut adalah <0,04 detik). Jika
takikardi disertai irama yang tidak teratur maka harus dipikirkan adanya AF
dengan konduksi aberan atau pre-eksitasi.
53
- Aksis kompleks QRS. Aksis QRS dapat menentukan fokus dari takikardi.
Adanya perubahan aksis 40 derajat ke kiri maupun k kanan umumnya adalah
VT. Kompleks QRS pada sandapan aVR berada pada posisi -210o dengan
kompleks QRS negatif. Bila komleks QRS menjadi positif saat takikardi
sangat menyokong adanya VT yang berasal dari apeks mengarah ke basal
ventrikel. Aksis ke superior pada takikardi QRS lebar dengan morfologi
RBBB sangat menyokong ke arah VT. Adanya takikardiaQRS lebar dengan
aksis inferior dan morfologi LBBB mendukung adanya VT berasal dari right
ventricular outflow tract.
- Disosiasi antara atrium dan ventrikel (Atrio-ventrikular dissociation).
Pada VT nodus sinus terus memberikan impuls secara bebas tanpa ada
hubungan dengan aktivitas ventrikel (atrium dikontrol oleh nodus sinus dan
ventrikel dikontrol oleh fokus takikardi dengan laju lebih cepat) sehingga
gelombang P yang muncul tidak berkaitan dengan kompleks QRS (dikenal
dengan AV dissociation)
- Capture beat dan fusion beat. Kadang-kadang saat berlangsungnya VT,
impuls dari atrium dapat mendepolarisasi ventrikel melalui sistem konduksi
normal sehingga memunculkan kompleks QRS yang lebih awal dengan
ukuran normal (sempit). Keadaan ini disebut capture beat. Fusion beat
terjadi bila impuls dari nodus sinus dihantarkan ke ventrikel melalui nodus
atrioventrikel (nodus AV) dan bergabung dengan impuls dari ventrikel.
Sehinha kompleks QRS berbentuk antara kompleks normal dan VT.
- Konfigurasi kompleks QRS. Adanya concordance (kesesuaian) dari
kompleks QRS pada sandapan dada sangat menyokong diagnosis VT.
Kesesuaian positif (positive concordance) kompleks QRS pada sandapan
dada dominan positif menunjukkan asal fokus takikardi dari dinding
posterior ventrikel. Kesesuaian negatif (negative concordance) kompleks
QRS pada sandapan dada dominan negatif menunjukkan asal fokus dari
dinding anterior ventrikel.
6. Diagnosis Ventrikular Takikardia
7. Diagnosis Banding - SVT dengan konduksi aberan
- SVT dengan konduksi melalui jaras tambahan
- SVT pada keadaan hambatan berkas cabang yang sudah ada
8. Terapi 1. Tatalaksana pada keadaan akut
Pada keadaan hemodinamik stabil, terminasi VT dilakukan dengan
pemberian obat-obatan IV seperti amiodaron, lidokaine, dan prokainamid.
Amiodaron diberikan dengan loading dose 15 mg/menit diberikan selama
10 menit diikuti dengan infus kontinu 1 mg/menit dalam 18 jam berikutnya.
Bila gagal dengan obat dilakukan kardioversi elektrik yang dapat dimulai
dengan energi rendah (10 joule dan 50 joule).
Pada keadaan hemodinamik tidak stabil (hipotensi, syok, angina, gagal
jantung, dan gejala hipoperfusi otak) maka pilihan pertama adalah
kardioversi elektrik.

2. Tatalaksana jangka panjang


Tujuan: mencegah kematian mendadak
Pada VT non-sustained dan bergejala dapat diberikan obat penyekat beta.
Bila tidak efektif dapat diberikan sotalol atau amiodaron.
Pada pasien dengan riwayat infark miokard akut dan penurunan fungsi
ventrikel kiri (EF < 35%) terdapat VT yang dicetuskan dan tidak dapat
dihilangkan dengan obat, maka ICD lebih unggul dalam menurunkan
mortalitas. Untuk pencegahan sekunder kematian mendadak (pasien yang
berhasil diselamatkan dari aritmia fatal) pada pasien pasca infark miokard
dengan penurunan fungsi ventrikel kiri. ICD lebih unggul daripada
amiodaron.

54
9. Komplikasi Tromboemboli, gagal jantung, kematian mendadak.

10. Prognosis Quo ad vitam: Bonam


Quo ad functionam: Bonam
Quo ad sanationam: Bonam
11. Kepustakaan 1. John RM, Stevenson WG. Ventricular Arrythmias. In: Fouci A, Kasper D,
Longo D, Brounwold E, Houser S, Jomeson J, Loscolzo J, editors.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 19th ed. United States of
America; The McGrow-Hill Companies, 2016:1489 – 1500.
2. Goldberger AL. Atlas of Cardiac Arrythmias. In: Fouci A, Kasper D,
Longo D, Brounwold E, Houser S, Jomeson J, Loscolzo J, editors.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 19th ed. United States of
America; The McGrow-Hill Companies, 2016:278e1
3. Goldberger AL, Goldberger ZD, Shivilkin A. Goldberger’s Cilincal
Electrocardiography A Simplified Approach Ninth Edition; Elsevier Inc,
2018: 163-171

55
THROMBOANGITIS OBLITERANS
(Buerger’s Syndrome)
SKDI 2

Penyakit inflamasi oklusif pada pembuluh darah arteri dan vena. Penyakit ini
1. Pengertian
sering mengenai pembuluh darah yang berukuran kecil atau sedang pada distal
(Definisi)
ekstremitas atas dan bawah.
Pada anamnesis akan ditemukan gejala-gejala berupa nyeri atau kram ketika
2. Anamnesis beraktivitas yang timbul pada ekstremitas yang terkena dan dapat menyebar ke
daerah sentral tubuh. Didapatkan juga riwayat perokok berat.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
a. Fenomena Raynaud
3. Pemeriksaan
b. Tes Allen yang negatif atau abnormal. Hal ini menunjukkan adanya
Fisik
perlambatan aliran darah balik pada tangan, yang mengindikasikan adanya
gangguan vaskularisasi pada tangan.
a. Angiogram
Temuan angiografi pada Bueger’s Syndrome berupa corkscrewshaped
collaterals, yang dikenal dengan tanda Martorell, mengindikasikan adanya
peruahan kompensasi pada vasa vasorum akibat lesi segmental atau karena
adanya oklusi pada ekstremitas bagian distal. Namun, tanda Martorell ini
bukan merupakan patognomonik Buerger’s Syndrome, karena gambaran ini
juga terlihat pada lupus eritomatous skleroderma, sindrom CREST, atau
penyakit oklusif pembuluh darah kecil lainnya, atau pada pasien dengan
4. Pemeriksaan ingesti kokain, amfetamin, atau kanabis.
Penunjang
b. Biopsi vaskular
Biopsi sering digunakan untuk pasien-pasien yang atipikal, seperti pasien
lanjut usia, atau pasien yang terkena penyakit ini pada arteri besar.

c. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi secara umum ditemukan adanya trombus dan
infiltrat leukosit polimorfonuklear dan terdapat juga giant cell multinuklear
pada arteri dan vena yang terkena.
Kriteria Shionoya :
a. Riwayat perokok berat
5. Kriteria b. Onset terjadi sebelum umur 50 tahun
Diagnostis c. Oklusi arteri pada infrapopliteal
d. Keterlibatan ekstremitas atas atau phlebitis migrans
e. Tidak ada faktor aterosklerosis lain selain merokok
6. Diagnosis Thromboangitis Obliterans (Beurger’s Syndrome)
a. Skrofuloderma
7. Diagnosis
b. Raynaud’s syndrome
Banding
c. Sclerodactyly
Non-medikamentosa :
a. Edukasi (menghentikan kebiasaan merokok)
b. Simpatektomi
c. Stimulasi medulla spinalis
d. Terapi gen faktor pertumbuhan endotel
e. Surgical treatment apabila terdapat komplikasi
8. Terapi
Medikamentosa :
a. Vasodilator : Calcium canal blocker (efektif dalam mengurangi sindrom
Raynaud), Prostaglandin E1 (vasodilator yang efektif pada pasien dengan
Buerger’s Syndrome)
b. Inhibitor platelet : Ticlopidine (menunjukkan efek untuk meredakan nyeri
dan menyembuhkan ulkus pada Bueger’s Syndrome)
c. Prostasiklin (PGI2) atau analognya (seperti penggunaan iloprost
56
menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan penggunaan aspirin)
d. Terapi trombolitik intraarterial dengan streptokinase, yang berasal dari
Streptococcus C. hemolyticus (telah diuji pada beberapa pasien dengan
gangrene atau lesi pragangrene pada kaki atau jari kaki, menunjukkan hasil
yang baik dalam mencegah amputasi.
9. Komplikasi Gangrene, sepsis, infeksi sekunder
Quo ad vitam : malam
10. Prognosis Quo ad functional : malam
Quo ad sanationam : malam
1. Arkkila PET. Thromboangiitis obliterans (Bueger’s disease). Orphanet
Journal of Rare Disease. 2006; 1:14.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Smoking and buerger’s disease.
USA: Centers for Disease Control and Prevention; 2016.
3. Klatt EC. Robbins and cotran altas of pathology. Edisi 3. Philadelphia:
11. Kepustakaan Elsevier Saunders; 2015.
4. Lazarides MK, Georgiadis GS, Papas TT, Nikolopoulos ES. Diagnostic
criteria and treatment of buerger’s disease: a review. Int J Low Wounds. 2006;
5(2): 89-95.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2014.

57
VENTRICULAR SEPTAL DEFECT
SKDI 2

1. Pengertian Ventricular Septal Defect (VSD) adalah penyakit jantung bawaan berupa satu
(definisi) lubang pada septum interventrikuler atau lebih (Swiss Cheese VSD) yang
terjadi akibat kegagalan fusi septum interventrikuler semasa janin.
Berdasarkan lokasi lubang, VSD diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:
1. Perimembranus – letak lubang di daerah septum membranus & sekitarnya
2. Sub arterial doubly committed - letak lubang di daerah septum infundibuler
3. Muskuler-letak lubang di daerah septum muskuler (inlet, outlet, trabekuler)
2. Anamnesis 1. Infeksi saluran nafas berulang.
2. Gagal jantung kongestif (VSD besar): sesak nafas dan gagal tumbuh
kembang.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Takipneu.
2. Aktivitas ventrikel kiri meningkat.
3. Auskultasi jantung:
o Bunyi jantung dua komponen pulmonal mengeras bila ada hipertensi
pulmonal (HP).
o Bising pansistolik di sela iga 3-4 parasternal kiri, menyebar ke apeks
o Bising mid-diastolik di daerah katup mitral akibat aliran yang deras.
4. Tanda-tanda gagal jantung kongestif (pada VSD besar)
5. Sianosis bila sudah terjadi aliran pirau terbalik dari kanan ke kiri akibat HP
(sindroma Eisenmenger).
4. Pemeriksaan 1. Elektrokardiogram
Penunjang 2. Rontgen Toraks
3. Ekokardiogram
4. MSCT
5. MRI jantung
6. Sadap jantung / kateterisasi
5. Kriteria Diagnosis 1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Hasil pemeriksaan ekokardiografi
6. Diagnosis Banding 1. Mitral insufisiensi
2. Trikuspid insufisiensi.
7. Terapi 1. Gagal jantung kongestif (GJK)
Pada kasus VSD usia <1 tahun-dievaluasi sebulan sekali selama setahun,
mengingat besarnya aliran pirau dapat berubah akibat resistensi paru yang
menurun saat terjadi pematangan vaskuler paru.
- Bila terjadi GJK, berikan obat-obat anti gagal jantung
- Bila medika mentosa gagal (tanda GJK berlanjut) dilakukan tindakan operasi
penutupan VSD secepatnya. Operasi paliatif Pulmonary Artery Banding (PAB)
dengan tujuan mengurangi aliran ke paru hanya dilakukan pada bayi dengan
VSD multiple atau bayi dengan berat badan yang belum mengijinkan untuk
tindakan operasi jantung terbuka. Enam bulan setelah PAB perlu dievaluasi
untuk menentukan kemungkinan operasi definitive yaitu menutup lubang VSD.
2. Tanpa GJK atau GJK dengan medika mentosa yang berhasil.
Pada kasus VSD tanpa GJK atau GJK yang teratasi dengan medika-mentosa,
maka harus dipantau perjalanan alami VSD, yaitu kemungkinan terjadinya:
- Prolaps katup aorta,
- Stenosis infun dibulum ventrikel kanan
- Hipertensi pulmonal,
- Lubang VSD mengecil atau menutup spontan.
a. Prolaps katup aorta.
Sering terjadi pada VSD subarterial doubly commited dan kadang-kadang pada
tipe peri membranus yang kecil. Selanjutnya akibat prolaps dapat terjadi
insufisiensi aorta (AI). Bila ada prolaps katup aorta, walaupun lubang VSD
kecil tetap harus ditutup untuk mencegah berlanjut menjadi AI yang mungkin
58
memerlukan reparasi atau penggantian katup.
b. Stenosis infun dibulum ventrikel kanan (PS infun dibuler)
Ini terjadi akibat reaksi hipertrofi otot infundibulum ventrikel kanan, aliran
pirau dari kiri ke kanan melalui VSD akan berkurang dan pasien tampak
membaik. Operasi penutupan VSD dan reseksi infun dibulum diperlukan untuk
menghindari beban tekanan pada ventrikel kanan.
c. Hipertensi Pulmonal (HP).
VSD besar menimbulkan HP, yang meningkatkan risiko operasi.
- Bila HP disertai tanda-tanda aliran paru yang deras dan diduga belum terjadi
penyakit vaskular paru (PVP), maka penutupan VSD dapat dilakukan tanpa
didahului pemeriksaan sadap jantung.
- Bila tidak ada tanda-tanda aliran ke paru yang deras atau diduga sudah terjadi
PVP, maka perlu dilakukan pemeriksaan sadap jantung dahulu untuk menilai
reaktifitas vaskular paru.
o Bila PARi <8 U/m2-risiko operasi penutupan VSD kecil
o Bila PARi > 8 U/m2, dengan pemberian O2 100%:
PARI menjadi <8U/m2-operasi penutupan VSD dapat dilakukan dengan risiko
tinggi dan perlu manajemen HP. PARI masih > 8 U/m2, tidak dianjurkan tutup
VSD.
d. VSD mengecil / menutup spontan.
VSD tipe perimembranus dapat mengecil /menutup spontan antara lain dengan
terbentuknya Membranous Septum Aneurysm (MSA). Penutupan spontan
sering terjadi pada VSD tipe muskuler dan peri-membranus; kemungkinan ini
sangat kecil pada pasien >5 tahun. Operasi penutupan VSD dianjurkan bila FR
> 1,5.
e. Endokarditis
Setiap pasien VSD dapat mengalami komplikasi endokarditis, menjaga
kesehatan mulut dan gigi penting dianjurkan, demikian halnya pemberian
antibiotik profil aksis pada setiap tindakan gigi.
8. Komplikasi Gagal jantung Kongestif, Hipertensi pulmonal, prolaps katup aorta, stenosis
infundibulum ventrikel kanan, ifeksi endokarditis, kematian pada infant.
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsional : dubia ad bonam
10. Kepustakaan 1. Loscalzo, J. Harrison’s Cardiovascular Medicine 2nd ed 2013. McGraw-
Hill Education. Page. 211-212.
2. Myung KP. Pediatric Cardiologyfor practitioners, 6th ed 2014; Mosby
Elsevier USA.
3. Perhimpunan Dokter Dokter Spesialis Kardiovaskulear Indonesia. Panduan
Praktik Klinis (PPK) dan Clinical pathway (CP) Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah. 2016. hal. 155-158

59
ATRIAL SEPTAL DEFECT
SKDI 2

1. Pengertian Adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada septum inter
(definisi) atrial, akibat kegagalan fusi septrum inter atrial semasa janin.
Adalah kelainan jantung umum yang mungkin pertama kali ditemukan pada
orang dewasa dan lebih sering terjadi pada wanita.
2. Anamnesis • Infeksi saluran nafas berulang
• Sesak nafas
• Gagal tumbuh kembang
• Kesulitan minum (menyusu)
• Gangguan toleransi latihan (mudah lelah)
3. Pemeriksaan Fisik • Takipnoe
• Sianosis
• Auskultasi: bunyi jantung I split atau normal dengan penekanan dari
penutupan katup trikuspid. Bunyi jantung II widely split, P2 mengeras,
ejection sistolik murmur di sela iga 2 parasternalis kiri, mid diastolik
murmur di katup trikuspid paling keras terdengar di ICS IV dan sepanjang
batas sternum kiri.
• Hepatomegali
4. Pemeriksaan • Foto toraks AP/PA minimal 2 kali : untuk menilai corakan vaskuler paru
Penunjang • EKG 12 lead minimal 2 kali : untuk menentukan adanya beban volume
• Ekokardiografi : untuk memastikan defek dan mengukur besar defek, dan
evaluasi postoperatif
• MSCT/MRI (pada kasus APVD supra/infrakardiak dengan muara PV yang
tidak jelas tervisualisasi dengan pemeriksaan ekokardiografi)
• Sadap jantung (bila dicurigai adanya penyakit vaskular paru)
• Kateterisasi (bila dicurigai adanya hipertensi pulmonal)
5. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Foto toraks AP/PA : kardiomegali (pelebaran atrium kanan dan ventrikel
kanan) dan corakan vaskuler paru meningkat (menandakan berkurangnya
vaskularisasi dari kiri ke kanan apabila terjadi perkembangan penyakit
vaskular paru)
• EKG : RAD, RVH, RBBB
a. ASD sinus venosus : terdapat AV blok derajat 1
b. ASD sekundum : aksis deviasi ke kanan dan terdapat pelebaran
ventrikel kanan (RVH)
c. ASD primum : aksis deviasi ke kiri atas dan rotasi berlawanan arah
dari lingkaran GRS frontal, terdapat defek ventrikel kanan (RVD)
• Ekokardiografi
a. Berdasarkan lokasi :
− DSA primum
− DSA sekundum
− DSA sinus venosus
b. Berdasarkan besarnya defek :
− DSA kecil
− DSA besar
c. Berdasarkan tekanan pulmonal:
− DSA tanpa hipertensi pulmonal
− DSA dengan hipertensi pulmonal
• MRI (pada sebagian kasus)
• Sadap jantung (bila dicurigai adanya pulmonary vascular disease)
• Kateterisasi (bila dicurigai adanya hipertensi pulmonal)
6. Diagnosis • ASD Sinus Venosus Defek
60
a. Tanpa hipertensi pulmonal
b. Dengan hipertensi pulmonal
• ASD sekundum
a. Tanpa hipertensi pulmonal
b. Dengan hipertensi pulmonal
• ASD Primum
a. Tanpa hipertensi pulmonal
b. Dengan hipertensi pulmonal
• ASD dengan Mitral Insufisiensi
• ASD dengan penyulit Infektif Endokarditis
• ASD dengan Valvular Pulmonal Stenosis
• ASD dengan PVP (Eisenmenger Syndrome)
7. Diagnosis Banding • Stenosis Pulmonal
• Bising Fungsional
• Dilatasi arteri pulmonalis idiopatik
8. Terapi Penutupan ASD:
1. Tanpa operasi/transkateter : menggunakan ASO (Amplatzer Septal
Occluder), indikasi : DSA sekundum dengan minimal batas rim superior
dan inferior 7mm
2. Operasi : usia 3-5 tahun

Penutupan ASD dapat dilakukan dengan bedah atau non bedah dengan
pemasangan device (pada ASD sekundum tanpa hipertensi pulmonal, yang
lokasinya memungkinkan)
1. ASD dengan aliran pirau yang kecil
Pemantauan klinis dan ekokardiografis. Bila hasil ekokardiogram
meragukan antara kecil dan sedang, dilakukan pemeriksaan sadap jantung
usia 5-8 tahun untuk menentukan flow ratio (FR). Penutupan ASD
dilakukan bila FR 1,5

2. ASD dengan aliran pirau yang besar


a. Bayi dengan ASD besar ( MR berat) dengan GJK:
Berikan obat anti gagal jantung (digitalis, diuretika, vasodilator)
- bila GJK teratasi : operasi penutupan ASD ditunda sampai usia >1
tahun tanpa didahului pemeriksaan sadap jantung.
- Bila GJK tidak teratasi : oeprasi penutupan ASD harus dilakukan
lebih dini
b. Bayi dengan ASD besar tanpa GJK dan tanpa HP
Operasi penutupan ASD usia pra-sekolah (3-4 tahun)
c. Anak/ orang dewasa dengan HP
Pada anak/dewasa, biasanya gejala yang timbul adalah akibat HP,
pada kondisi seperti ini penutupan ASD harus segera dilakukan
- Bila secara klinis dan ekokardiografis terlihat aliran pirau (LtoR)
deras, maka penutupan ASD dapat dilakukan tanpa perlu
mengukur PARi.
- Bila secara klinis dan ekokardiografis terlihat aliran pirau (LtoR)
kurang deras atau bidirectional (diduga sudah terjadi penyakit
vaskuler paru), maka perlu dilakukan penyadapan jantung untuk
menilai reaktifitas vaskuler paru, kalau didapat:
• PARi <8 U/m2 maka risiko operasi penutupan ASD kecil.
• PARi 8 U/m2 dengan 02 100% turun <8 U/m2, maka
operasi penutupan masih dapat dilakukan, tetapi dengan
risiko tinggi, dengan atau tanpa membuat celah seperti
PFO pada septum; perlu penanganan HP pasca bedah.

Bila dengan O2 100% ternyata PARi 8 U/m2, maka operasi


penutupan ASD tidak dianjurkan lagi.
61
d. Anak atau orang dewasa tanpa HP
bila tidak ada tanda-tanda HP, operasi penutupan ASD dilakukan
secara elektif, pada usia pra-sekolah (3-4 tahun). Penutupan ASD
sekundum dilakukan dengan operasi atau intervensi non bedah dengan
device tanpa didahului pemeriksaan sadap jantung.
9. Edukasi • Edukasi tentang ASD dan penyulitnya seperti regurgutasi mitral,
hipertensi pulmonal
• Edukasi pemeriksaan penunjang yang diperlukan
• Edukasi rencana terapi dan edukasi obat-obatan
• Edukasi tindakan/ intervensi non bedah
• Edukasi tindakan/ intervensi bedah dan penyulit yang bisa terjadi
• Edukasi oral hygiene terutama kebersihan gigi dan mulut untuk
menghindari kejadian endokarditis infektif
• Edukasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
10. Prognosis Tergantung ukuran, lokasi, da nada atau tidaknya hipertensi pulmonal

1. ASD tanpa hipertensi pulmonal/ hipertensi pulmonal reaktif


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsional : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam

2. ASD dengan Sindrom Eisenmeger


Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsional : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

11. Kepustakaan 7. Alboulhosn JA dan Child JS. Congenital Heart Disease in the Adult.
Dalam: Harrison TR, et al editor. Harrison’s Principles of Internal
Medicine edisi 19. US: Mc Graw Hill Education, 2015. Hlm 1520-1
8. Park MK. Pediatric Cardiology for Practitioners edisi 5. Texas: Mosby
Elsevier, 2008.
9. Pudjiadi AH, et al editor. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2009.
10. Madiyono B, et al editor. Penanganan Penyakit Jantung pada Bayi dan
Anak. Jakarta: UKK Kardiologi IDAI. 2005.
11. Firdaus Isman, et al editor. Atrial Septal Defect. Dalam: Panduan Praktis
Klinis dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.
Jakarta: PERKI, 2015. Hlm 151-4

62
TETRALOGY OF FALLOT
SKDI 2

1. Pengertian Tetralogi of fallot adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik berupa defek
(Definisi) septum ventrikel, obstruksi dari ventrikel kanan ke paru-paru akibat stenosis
pulmonal, aorta yang terhubung ke defek dari septum ventrikel (overriding
aorta), dan hipertropi ventrikel kanan.
2. Anamnesis Sesak nafas
Gangguan pertumbuhan
Kulit pucat atau membiru ketika anak menangis atau menyusu.
Keterbatasan aktivitas sedang-berat.
3. Pemeriksaan Fisik Ukuran tubuh yang lebih kecil daripada seusianya akibat gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.
Tampak sianosis terutama pada bibir dan kuku.
Clubbing finger
Thrill sistolik terlihat di dinding dada anterior pada linea sternalis sinistra
Murmur ejeksi sistolik keras terdengar pada area pulmonal dan linea sternalis
sinistra.
Kontraksi ventrikel kanan lebih dominan saat dipalpasi.
Tekanan darah pada umumnya normal, tetapi sianosis berat dan polisitemia
yang berlangsung beberapa tahun dapat menyebabkan hipertensi.
Polisitemia dapat menimbulkan kelainan pada mata yaitu retinopati berupa
pelebaran pembuluh darah retina.
Bila terdapat splenomegali harus dicurigai terdapatnya endokarditis.
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan laboratorium
Penunjang • Pemeriksaan radiologis
• EKG, ECHO, Kateterisasi jantung.
5. Kriteria Diagnosis Berdasarkan National Heart, Lung, and Blood Institute of United States
(2010), diagnosis dari Tetralogy of Fallot dapat ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan :
1. Pemeriksaan Laboratorium → peningkatan hemoglobin dan hematocrit,
penurunan jumlah trombosit, serta protrombin time dan coagulation time
yang memanjang.
2. Radiologis → Ro thorax : bentuk sepatu boot
3. Elektrokardiografi → sumbu QRS deviasi ke kanan, RVH
4. Ekokardiografi → dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel
kanan, penurunan ukuran arteri pulmonalis dan penurunan aliran darah ke
paru-paru.
5. Kateterisasi → diperlukan sebelum tindakan pembedahan
6. Diagnosis Tetralogi of fallot
7. Diagnosis Banding 1. Stenosis arteri pulmonal
2. VSD
8. Terapi Penatalaksanaan pada serangan sianosis :
a. Usahakan meningkatkan saturasi oksigen dengan cara :
- Membuat posisi knee chest
- Ventilasi yang adekuat dengan pemberian O2
b. Bila serangan hebat bisa langsung diberikan NaHCO3 1 meq/kg iv untuk
mencegah asidosis metabolic.
c. Propanolol 0,1 mg/kg iv terutama untuk prolonged spell diteruskan dosis
rumatan 1-2 mg/kg oral

Tujuan pokok dalam menangani Tetralogi Fallot adalah koreksi primer yaitu
penutupan defek septum ventrikel dan pelebaran infundibulum ventrikel
kanan. Umumnya koreksi primer dilaksanakan pada usia kurang lebih 1 tahun
dengan perkiraan berat badan sudah mencapai sekurangnya 8 kg. Namun jika
syaratnya belum terpenuhi, dapat dilakukan tindakan paliatif, yaitu membuat
63
pirau antara arteri sistemik dengan dengan arteri pulmonalis,
misalnya Blalock-Tausig shunt (pirau antara A. subclavia dengan cabang A.
pulmonalis).
9. Komplikasi Trombosis pulmonal, CVA thrombosis, abses otak, perdarahan, anemia
relative, endocarditis bakterial
10. Prognosis Tanpa operasi, prognosis tidak baik. Progresifitas tergantung pada beratnya
obstruksi aliran ventrikel kanan. Sejak adanya tindakan operatif jantung, anak
dengan tetralogy of fallot yang ringan dapat hidup dengan panjang dengan
kualitas hidup yang baik. Tanpa tindakan pembedahan, angka kematian
meningkat hingga 30% pada usia 2 tahun hingga 50% pada usia 6 tahun,
kurang dari 20% yang bertahan hidup hingga usia 10 tahun, dan hanya 5-10%
yang dapat bertahan hingga usia 20 tahun.
11. Kepustakaan 1. American Heart Association. 2012. Tetralogy of Fallot.
2. Ashley EA, Niebauer J. Adult congenital heart disease. In:
Cardiology explained. UK: Remedica, 2004: 203-13.
3. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lectures note,
kardiologi edisi 4. Jakarta: Erlangga, 2002: 258-70.
4. National Heart, Lung, and Blood Institute of United States. 2010.
Diagnostic Criteria Tetralogy of Fallot.
5. Senzaki H, Ishido H, Iwamoto Y, et al. Sedation of hypercyanotic spells
in a neonate with tetralogy of fallot. J Pediatr (Rio J). 2008 Jul-Aug. 84
(4) : 377-80.
6. Staf pengajar IKA. 2007. Penyakit Jantung Bawaan. dalam : Ilmu.
Kesehatan Anak 3. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas.
Kedokteran Universitas Indonesia.

64
PATENT DUCTUS ARTERIOSUS
SKDI 2

1. Pengertian Adalah penyakit jantung bawaan dimana duktus arteriosus tidak menutup
(definisi) sehingga terdapat hubungan antara aorta dan arteri pulmonalis
2. Anamnesis - Infeksi saluran nafas berulang
- Gagal jantung kongestif (bila PDA besar): sesak nafas, kesulitan
mengisap susu dan gagal tumbuh kembang
3. Pemeriksaan fisik - Takipnoe.
- Pulsus celler.
- Auskultasi jantung:
o P2 akan mengeras pada hipertensi pulmonal (HP)
o Bising kontinu sistolik dan diastolik (continous atau machinery
murmur) di sela iga 2 parasternal kiri menjalar infra klavikula kiri
o Bising diastolik memendek atau bahkan menghilang pada PH
- Sianosis bila sudah terjadi aliran pirau terbalik dari kanan ke kiri akibat
PH (sindroma Eisenmenger).
- Tanda-tanda gagal jantung kongestif pada PDA yang besar.
4. Pemeriksaan - EKG 12 minimal 2 kali
penunjang - Foto thoraks
- Ekokardiografi untuk diagnosis dan evaluasi postoperatif
- Sadap jantung pada kasus dengan kecurigaan PVD
- MRI pada kasus PDA dengan pirau kecil untuk menentukan flow ratio
- Pemeriksaan lab, kultur darah, urinalisa pada kasu dicurigai infeksi
endokarditis, gizi buruk dan sindrom tertentu
5. Kriteria diagnosis - Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Foto thoraks
- EKG
- Ekokardiografi: TTE
- MSCT ataau MRI (pada sebagian kasus)
6. Diagnosis kerja - PDA tanpa PH
- PDA dengan PH
- PDA dengan penyulit seperti: Mitral Insufisiensi, Gagal jantung infektif
endokarditis, infeksi paru, gizi buruk.
- PDA dengan PVD/Eisenmenger Syndrome
7. Diagnosis banding - Aorta Pulmonary Window
- VSD dan Aorta insufisiensi
- Aorta stenosis dan insufisiensi
- Fistula arterio-venous koroner
8. Terapi 1. Anak dan orang dewasa tanpa PH
Bila klinis tidak ada tanda-tanda PH dan ekokardiogram
memperlihatkan aliran pirau melalui PDA yang kontinu dari kiri ke
kanan, maka intervensi non bedah atau bedah dapat dilakukan tanpa
pemeriksaan sadap jantung.
2. Anak atau orang dewasa dengan PH
Pada anak atau orang dewasa jarang disertai GJK. Bila PDA cukup
besar maka dengan bertambahnyaa usia kemungkinan terjadinya PH
dengan PVD semakin besar.
Pemasangan device tidak dianjurkan bila ada PH
o Bila ada PH tetapi pada ekokardiogram aliran pirau melalui
PDA masih kontinu dari kiri ke kanan, maka operasi ligasi PDA
perlu segera dilakukan.
o Bila ada PH tetapi aliran pirau sudah dua arah, maka perlu
dilakukan pemeriksaan sadap jantung untuk menilai reaktivitas
vaskuler paru. Apabila perhitungan PARI <8 U/m2 setelah

65
PDA dioklusi dengan kateter balon dan dilakukan tes O2 100%,
maka operasi ligasi PDA dapat dilakukan. Operasi tidak
dianjurkan lagi pada PH dengan vaskuler paru yang sedah
reaktif
9. Komplikasi - Gagal nafas
- Efusi perikardial atau pleura
- Sindroma curah jantung rendah
- Kematian
10. Prognosis - Kasus PDA tanpa PH atau dengan PH yang reaktif atau dengan MI/IE
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsional : dubia ad bonam/malam
- Kasus PDA dengan Eisenmenger sindrome (PVP)
Ad vitam: dubia ad malam
Ad sanationam: dubia ad malam
Ad fungsional: dubia ad malam
11. Kepustakaan - Panduan praktik klinik RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
tahun 2014-2015
- Allen H.D., Priscoll D.J., Shaddy R.E., Feltes F.T. Moss & Adams:
Heart Dusease in Infants, Childrn and Adolescents including the fetus
and young adult 8th edition. William & Wilkins.
- Alderson R.H., Baker E.J., Penny D., et al. Pediatric Cardiology. Third
Edition. Churchil Livingstone Elsevier.
- Kleinman M.E., Chameides L., Schexneyder S.M., et al. Pediatric
advanced life support: 2010 AHA Guidelines for CPR and Emergency
Cardiovascular Care. Circ. 2010;
- Park M.K. Pediatric for Practitioner 5th ed. Mosby Elsevier
- Warnes C.A., Williams R.G., Bashore T.M., Child J.S., et al.
ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adult with
Congenital Heart Disease. A report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task force on practice.

66
FIBRILASI ATRIAL
SKDI 3A

1. Pengertian Fibrilasi Atrium adalah takiarithmia supraventrikular yang khas dengan


(definisi) aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), cirri dari fibrilasi atrium
adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang
getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi
NAV yang normal, FA biasanya disusul oleh respon ventrikel yang juga
irregular, dan seringkali cepat.
2. Anamnesis Spectrum presentasi klinis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga
syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode
fibrilasi atrium tida menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa
gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:
- Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan
genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
- Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
- Presinkop atau sinkop
- Kelemahan umum pusing
Selain itu fibrilasi atrium juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardi, dan tromboembolisme sistemik.
Penilaian awal dari pasien dengan fibrilasi atrium yang baru pertama kali
terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.
3. Pemeriksaan Fisik - Hemodinamik dapat stabil atau tidak stabil
- Denyut nadi tidak teratur
- Denyut nadi dapat lambat, jika disertai dengan kelainan irama block
- Jika hemodinamik tidak stabil dengan denyut yang cepat sebagai
kompensasi, maka terdapat tanda-tanda hipoperfusi (akral dingin, pucat).

4. Pemeriksaan - Pemeriksaan laboratorium darah


Penunjang - Ekokardiografi TTE
- Ekokardiografi transesofageal (TTE)
- Holter
- Studi elektrofisiologi
5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- EKG
- Foto Thorax
6. Diagnosis Banding - Multifocal atrial tachycardia (MAT)
- Frequent premature atrial contractions (PAC)
- Atrial Flutter
7. Terapi Terapi tergantung pada etiologi yang mendasarinya, dapat berupa;
Kondisi Akut :
Untuk Hemodinamik tidak stabil :
Kardioversi elektrik :
Ekokardiografi transtorakal harus dilakukan untuk identifikasi adanya trombus
di ruang-ruang jantung. Bila trombus tidak terlihat dengan pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal, maka ekokardiografi transesofagus harus
dikerjakan apabila FA diperkirakan berlangsung >48 jam sebelum dilakukan
tindakan kardioversi. Apabila tidak memungkinkan dilakukan ekokardiografi
transesofagus, dapat diberikan terapi antikoagulan (AVK atau dabigatran)
selama 3 minggu sebelumnya. Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4
minggu pascakardioversi (target INR 2-3 apabila menggunakan AVK).

Untuk laju denyut ventrikel dalam keadaan stabil


1. Diltiazem 0,25 mg/kgBB bolus iv dalam 10 menit, dilanjutkan 0,35
67
mg/kgBB iv
2. Metoprolol 2,5-5 mg iv bolus dalam 2 menit sampai 3 kali dosis.
3. Amiodaron 5 mg/kgBB dalam satu jam pertama, dilanjutkan 1 mg/ menit
dalam 6 jam, kemudian 0,5 mg/ menit dalam 18 jam via vena besar
4. Verapamil 0,075- 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit
5. Digoksin 0,25 mg iv setiap 2 jam sampai 1,5 mg

Kondisi stabil jangka panjang untuk kendali laju :


a. Metoprolol 2x50-100 mg po
b. Bisoprolol 1x5-10 mg po
c. Atenolol 1x25-100 mg po
d. Propanolol 3x10-40 mg po
e. Carvedilol 2x3,125-25 mg po
f. CCB: Verapamil 2x40 sampai 1x240 mg po (lepas lambat)
g. Digoksin 1x0,125-0,5 mg po
h. Amiodaron 1x100-200 mg po
i. Diltiazem 3x30 sampai 1x200 mg po (lepas lambat)

Secara umum, AFR direkomendasikan pada pasien


FA :
- Masih simtomatik meskipun telah dilakukan terapi medikamentosa optimal
- Pasien yang tidak dapat menerima medikamentosa oral karena kondisi alergi
obat ataupun penyakit penyerta lainnya yang menjadi kontraindikasi terapi oral
- Pasien memilih strategi kendali irama karena menolak mengonsumsi obat
antiaritmia seumur hidup.
- FA simtomatik yang refrakter atau intoleran dengan ≥1 obat antiaritmia
golongan 3
Target :
- Ostium Vena Pulmonalis yang terletak di atrium kiri merupakan sumber
fokus ektopik yang mempunyai peranan penting dalam inisiasi dan mekanisme
terjadinya FA
- Strategi ablasi yang direkomendasikan adalah isolasi elektrik pada antrum VP
dan ablasi fokus ektopik.

Ablasi dan modifikasi Nodus AV (NAV) + PPM


- Adalah ablasi AV node dan pemasangan pacu jantung permanen merupakan
terapi yang efektif untuk mengontrol respon ventrikel pada pasien FA.
- Ablasi NAV adalah prosedur yang ireversibel sehingga hanya dilakukan pada
pasien dimana kombinasi terapi gagal mengontrol denyut atau strategi kendali
irama dengan obat atau ablasi atrium kiri tidak berhasil dilakukan

Pemasangan Sumbatan Aurikular Atrium Kiri (LAA


Occluder)
- Pada pasien AF permanent yang tidak dapat dilakukan ablasi dengan
pertimbangan struktur atrium kiri yang terlalu dilatasi
- Atau alternatif terhadap antikoagulan oral bagi pasien FA dengan risiko
tinggi stroke tetapi kontraindikasi pemberian antikoagulan oral jangka lama.
- Dinilai dari perhitungan skor perdarahan
8. Komplikasi - Gagal jantung
- Stroke
9. Prognosis Quo ad vitam: Dubia ad Bonam
Quo ad functionam: Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam: Dubia ad Bonam
10. Kepustakaan 1. ACC/AHA/ESC guidelines for the management of patients with
supraventricular arrhythmias, European Heart Journal 2003;34:1857-
1897.
2. Ziad Issa, John M. Miller, Douglas P. Zipes.— Clinical Arrhythmology
and Electrophysiology: A Companion to Braunwald’s Heart Disease,
68
Saunders, 2009.
3. Yuniadi Y et al. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium, PERKI 2014.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

69
ANEURISMA AORTA
SKDI 1

1. Pengertian Aneurisma Aorta merupakan dilatasi dinding aorta yang sifatnya patologis,
(definisi) terlokalisasi, dan permanen (irreversible). Dinding aorta yang mengalami
aneurisma lebih lemah daripada dinding aorta yang normal. Oleh karena itu,
karena tekanan yang begitu besar dari darah menyebabkan dinding aorta
menjadi melebar.

Berdasarkan lokasinya, aneurisma aorta dibagi menjadi 3 yaitu :


- Abdominal aortic aneurysm (AAA) : lokasinya pada aorta abdominalis,
- Thoracic aortic aneurysm (AAT) : lokasinya pada aorta toraks,
- Thoracoabdominalis aortic aneurysm (AATA) : lokasinya pada aorta
desendens yang secara bersamaan melibatkan aorta abdominalis.
2. Anamnesis • Abdominal aortic aneurysm
o Asimtomatis
o Nyeri perut intermiten menetap, menyebar ke panggul, pelipatan paha,
dan testis
o Pada kasus ruptur, dapat disertai nyeri yang bersifat akut, menetap,
berat, dan paling sering terjadi di daerah lumbar yang menjalar ke
panggul, organ genital, dan kaki serta gejala hipotensi atau syok

• Thoracic aortic aneurysm


o Disfagia
o Suara serak
o Nyeri daerah dada atau punggung

• Thoracoabdominalis aortic aneurysm


o Asimptomatik)
o Pada kasus ruptur, dapat terjadi nyeri punggung yang terlokalisasi di
antara scapula dan nyeri perut
o Hoarseness, Disfagi
o Stridor, wheezing, atau batuk
o Hemoptisis, Hetemesis
o Kelemahan tungkai

• Faktor risiko:
o Umur dan jenis kelamin
o gaya hidup merokok
o hipertensi, hiperlidemia, dan aterosklerosis.
o Riwayat keluarga
o Trauma benda tumpul
3. Pemeriksaan Fisik • Abdominal aortic aneurysm
o Inspeksi: Pada dinding perut bagian bawah terlihat massa yang
berdenyut mengikuti irama nadi
o Palpasi: Teraba bifurkasio aorta beranjak naik, pada posisi duduk
setinggi pusat, sedangkan batas atas aneurisma sampai di arkus iga.
Teraba pulsasi yang kuat kecuali pada trombosis total.
o Auskultasi: Terdengar bising sistolik setinggi lumbal 2.
4. Pemeriksaan • Abdominal aortic aneurysm
Penunjang o Foto polos abdomen
o USG B-mode atau Dupleks Sonografi berwarna
o CT-Scan atau MRI

• Thoracic aortic aneurysm


o Foto rontgen.

70
o Aortografi
o CT-scan
o MRI
o MR Angiografi

• Thoracoabdominalis aortic aneurysm


o Foto rontgen
o USG
o Spiral CT-scan
o Aortografi (Gold standard)
5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik
6. Diagnosis Banding -

7. Terapi • Non-farmakologis
Pengendalian faktor resiko

• Farmakologis
Beta Blocker mengurangi denyut jantung dan tekanan darah sehingga akan
mengurangi resiko pecahnya aneurisma

• Operatif
o Pembedahan dilakukan bila diameter lebih dari 50 mm.
o Endovaskular stent atau endoprotesis
8. Komplikasi - Hipertensi berat
- Ruptur, yang dapat menimbulkan hemoragi dan kematian
- Komplikasi dini yang dapat terjadi setelah operasi elektif meliputi iskemia
jantung, aritmia, dan gagal jantung kongestif (15%), insufisiensi pulmonal
(8%), kerusakan ginjal (6%), perdarahan (4%), tromboemboli distal (3%),
dan infeksi luka (2%).
9. Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad malam
Quo ad sanationam: dubia ad malam
10. Kepustakaan 1. Wiyono P. Tiroiditis. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l, Simodibroto M,
dan Setioti S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta.
Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Lomeson JL, Weetmon AP. Disorders of the thyroid gland. ln: Fouci A,
Kosper D, Longo D, Brounwold E, Houser S, Jomeson J, dan Loscolzo J.
2012. Horrison's Principles of Internal Medicine. 15th ed. United States of
America. The McGrow-Hill Companies.
3. Alwi, Idrus., Simon Salim, Rudy Hidayat, Juferady Kurniawan, dan Dicky
Tahapany. 20015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Praktik Klinis. Jakarta. Internal Publishing Pusat Penerbitan
Bagian llmu Penyakit Dalam.
4. Braunwald, Eugene.1996.Textbook of Heart Disease, 5th ed, McGraw-Hill
Companies, USA.
5. Topol, Eric J.2002.Textbook of Cardiovascular Medicine, 2nd ed,
Philadelphia

71
ANEURISMA DISEKSI
SKDI: 1

1. Pengertian Aneurisma diseksi adalah jenis gangguan aorta dan arteri dimana terjadi
(definisi) pelebaran diameter pembuluh darah sampai dengan 50% yang berakhir
dengan pecah atau robeknya (diseksi) pembuluh darah akibat gangguan
elastis yang berhubungan dengan degeneratif.

2. Anamnesis • Gejala klinis dari aneurisma yang muncul yakni sebanyak 75 persen
didiagnosis tanpa ada keluhan (terdiagnosis secara incidental, terdapat
benjolan yang berdetak di daerah dada dan atau perut pada orang normal,
sementara aorta abdominal kadang sulit diraba denyutnya, sering
mengeluh nyeri perut yang kronis dengan nyeri tekan di sekitar area
aneurisma tanpa gangguan aliran darah (hemodinamik).
• Sebagian aneurisma di aorta abdomen menimbulkan keluhan nyeri yang
mendadak, parah dan konstan di punggung bawah, flank, abdomen atau
pangkal paha.
3. Pemeriksaan Fisik Pasien yang datang dengan ruptur aneurisma dapat menimbulkan syok gejala
sianosis, mottling, perubahan status mental, takikardi dan hipotensi.
Didapatkan pembesaran aorta abdominal ataupun torakal yang tampak
pulsasinya di abdomen atau torakal.
4. Pemeriksaan • USG Abdomen
Penunjang • Foto polos thoraks
• CT Scan dengan kontras dan angiografi
• MRI
5. Kriteria DiagnosisA. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang maka didapatkan
diagnosis aneurisma diseksi aorta.
6. Diagnosis ➢ Perdarahan saluran cerna
Banding ➢ Iskemik bowel
➢ Nefrolitiasis
➢ Nyeri muskuloskeletal
➢ Pielonefritis
➢ Gastritis akut
➢ Appendisitis
➢ Infeksi saluran kemih dan sistitis

7. Terapi • Non farmakologis


o Edukasi : memperbaiki gaya hidup. Mengurangi kebiasaan
merokok
• Farmakologis
o Beta bloker short acting (eg: esmolol)
o Vasodilator (eg:nitropruside)
• Terapi bedah
TEVAR (Thoracic Endovascular Aortic Repair) untuk tindakan invasif
di thoraks
EVAR (Endovascular Aortic Repair) untuk tindakan invasif di abdomen
8. Komplikasi Stroke
Infark miokard
Paraparesis dan paraplegi akut/delayed
9. Prognosis Sebagian besar pasien meninggal sebelum mencapai UGD.
Adapun pasien yang sampai di UGD akan direncanakan operasi secara elektif
menurunkan 5-15 angka mortalitas.
Quo Ad vitam: malam
Quo Ad functionam: dubia ad malam
Quo ad Sanationam: malam
10. Kepustakaan 1. R Hamonangan. Cardiac Catheterization. . ln: Sudoyo A, Setiyohodi B,

72
Alwi l, Simodibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
6th ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbit on Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2014:1123 - 25
2. Patrick T. O’Gara,L. Physical Examination of the Cardiovascular System.
In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ et al, editors. Harrison's
principles of intemal medicine. 19th ed. New York: Mc Graw-Hill Co;
2012. p.1443.
3. Panduan Praktek Klinik Departemen Penyakit Dalam. 2017
4. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia;
Aneurisma diseksi. 2012;42.

73
ANGINA PEKTORIS STABIL
SKDI 3B

1. Pengertian Nyeri dada yang terjadi akibat suatu episode akibat ketidakcocokan permintaan
(definisi) / pasokan oksigen miokard yang reversibel, terkait dengan iskemia atau
hipoksia yang biasanya diinduksi oleh latihan, emosi atau stres lainnya, tetapi
juga dapat terjadi secara spontan.
Terjadi lebih dari 60 hari tanpa adanya perubahan dalam kekerapan, derajat,
lamanya, faktor pencetus & cara hilangnya.
2. Klasifikasi Berdasarkan Canadian Cardiovascular Society Classification, derajat angina
pektoris dibagi menjadi :
• Kelas I : Aktivitas tidak menyebabkan angina, seperti berjalan dan
menaiki tangga
• Kelas II : Keterhatasan ringan dari aktifitas, angina yang terjadi saat
berjatan, berjalan atau menaiki tangga sesudah makan, pada
paparan cuaca dingin, angin atau stres:, emosional, atau
beberapa jam setelah bangun tidur. Menaiki 2 anak tangga pada
kondisi normal
• Kelas III : Ditandai dengan keterbatasan aktifitas diluar rumah. Angina
pada saat berjalan satu atau 2 anak tangga pada kondisi normal
• Kelas IV : Ketidakmampuan melakukan aktifitas tanpa keluhan tak nyaman
pada dadasindroma angina mungkin timbul pada saat istirahat.
3. Anamnesis suatu nyeri dada yang awalnya berat berangsur-angsur turun kuantitas dan
intensitasnya dengan atau tanpa pengobatan, kemudian menetap (misalnya
heberapa hari sekali, atau barti timbul pada beban/stress yang tertentu atau
lebih berat dari sebelumnya.
Klasifikasi klinis nyeri dada secara tradisional :
1. Angina tipikal : terdapatnya gejala sebagai berikut :
1) Rasa tidak nyaman di dada (substemal) dengan ciri kualitas dan lamanya
nyeri
2) Dipengaruhi oleh aktifitas dan stress emosi
3) Berkurang dengan istirahat dan atau dengan pemakaian nitrat dalam
beberapa menit.
2. Angina atipikal : ditemukan 2 dari gejala diatas
3. Nyeri dada non angina : tidak ditemukannya atau hanya satu dari gejala
diatas.
Gejala klinis : suing asimptomatik, jika simptomatik disebabkan oleh:
• Angina akibat aktifitas, disebabkan :
- Stenosis epikardial
- Disfungsi mikrovaskuler
- Vasokonstriksi pada stenosis dinamik
- Kombinasi dari ketiga diatas
• Angina saat istirahat, disebabkan :
- Vasospasme (fokal atau difus)
- Fokal epikardial
- Difus epikardial
- Mikrovaskuler
Kombinasi dari keempat diatas
• Angina Pektoris asimptomatik :
- Karena berkurangnya iskemia dan atau disfungsi ventrikel kir
- Iskemia atau disfungsi ventrikel kiri
Iskemik Kardiomiopati

74
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan Fisik :
• Dapat saja normal, atau tergantung adanya faktor resiko seperti hipertensi,
infark jantung atau kelainan katub.
• Pada saat serangan dapat dijumpai aritmia, gallop bahkan murmur, split S2
paradoksal, ronkhi basal dikedua paru, yang menghilang lagi pada saat
nyeri berhenti. Foto thorak biasanya normal, kecuali pada beberapa keadaan
yang mendasari.
Algoritme I. Diagnostik Awal Pasien dengan Angina Pektoris Stabil

Pemeriksaan Penunjang :

Kel Level of
Rekomendasi
as evidence

I A
Laboratorium :
I B
• Troponin
• Darah lengkap (Hb, Ht, Wbc, trombosit, Diff. Count)
I B
• BSS, BSN, BSPP, TTGO, HbA1C
• Kreatinin, CCT
I B
• Profil Lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)
• Fungsi tiroid (FT4, TSH, jika indikasi)
I C
• Tes fungsi hati (SGOT, SGPT, Bilirubin, pada awal
terapi dengan statin)
I C
• Kreatin kinase (pada pasien yang diterapi dengan
statin dan gejala myopati)
I C
• BNP/NT-proBNP (jika ada kecurigaan gagal jantung)
EKG (resting)
I C
EKG (ambulatory)
I
- dengan suspek aritmia
C
- dengan suspek angina vasospastik
Ia
Ekokardiografi
C
USG arteri karotis
Rontgen Thorax
I B
- pada atipikal dan suspek penyakit pulmoner
I C
- suspek gagal jantung
I C

Ia
IIa
75
I
IIa C
C

Algoritme 2. Pemeriksaan Non Invasiv Pasien Suspek Angina Pektoris


Stabil & PTP intermediate

5. Tatalaksana Penatalaksanaan Medikal pasien angina pektoris stabil berdasarkan prognosis

Penatalaksanaan :
Rekomendasi Terapi Farmakologi pada Pasien dengan Angina Pektoris Stabil
Kel Lev
Indikasi
as el
Pertimbangan umum
Pengobatan medic yang optimal dengan 1 obat I C
untuk menguranai angina/iskemik ditambah
dengan obat preventif
76
Dianjurkan mengedukasi pasien tentang I C
penyakitnya, faktor resiko, dan strategi
pengobatan
Diindikasikan untuk me-review respon pasien I C
segera setelah memulai terapi
Angina/lschaemia relief
Direkomendasikan short acting nitrates I B
Terapi lini perteama adalah beta bloker dan atau I A
CCB untuk mengontrol gejala dan heart rate
Terapi lini kedua direkomendasikan untuk IIa B
pemberian long acting nitrates, ivabradine atau
nicorandil atau ranolazine, tergantung dari heart
rate, tekanan darah dan toleransi
Berdasarkan komorbiditasitoleransi, dianjurkan IIb B
untuk menggunakan terapi lini kedua, terapi lini
pertama hanya untuk pasien tertentu.
Pada pasien yang asimptomatik dengan iskemia I C
luas (>10%), disarankan pe mberian beta bloker
Pada pasien dengan angina vasospastik, CCB dan IIa C
nitrat hams diberikan, dan hindari pemberian beta
bloker
Untuk Pencegahan
Low dose aspirin perhari direkomendasikan pada I A
semua pasien angina pektoris stabil
Clopidogrel diindikasikan hanya untuk alternatif I B
pada intoleransi aspirin
Statin direkomendasikan pada semua pasien I A
angina pektoris stabil
Direkomendasikan untuk penggunaan ACE I A
inhibitor (atau ARB) jika terdapat kondisi lainnya
(heart failure, hipertensi, diabetes, dll)
Terapi invasif pada pasien Angina Pektoris Stabil

• Penatalaksanan terhadap penyakit penyerta (diabetes, dislipidemia, dll)


• Penatalaksanaan terhadap komplikasi
6. Edukasi • Mengontrol faktor resiko, edukasi pasien dan keluarga
77
7. Komplikasi • Aritmia
• Infark miokard
• Disfungsi ventrikel
8. Prognosis • Pada umumnya ringan, estimasi mortalitas 1,2 — 2,4%
• Kejadian henti jantung 0,6 dan 1,4%
• Prognosis buruk pada :
- penurunan fraksi ejeksi dan gagal jantung,
- menderita penyakit vaskuler,
- lokasi stenosis koroner yg proksimal,
- iskemia ekstensif, kerusakan kapasitas fungsi,
- usia lanjut,
- depresi signifikan
- angina berat
9. Kepustakaan • ESC Guidelines 2013
• Braunwald's Heart Disease: Review And Assessment,Ninth Edition,
2012
• Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-6, 2014

78
AORTA REGURGITASI
SKDI 2

1. Pengertian Aorta regurgitasi merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran
(definisi) darah dari ventrikel kiri melalui katup aorta karena obstruksi pada level katup
aorta. Kelainan struktur aorta ini menyebabkan gangguan penutupan sehingga
timbul gangguan total cardiac output pada saat sistol.
2. Anamnesis • Kebanyakan bebas keluhan dan biasanya keluhan utama berupa sesak nafas
saat aktifitas, dapat juga artifisial nokturna dispneu dan angina pectoris
pada tahap akhir.
3. Pemeriksaan Fisik • Nadi selar (tekanan nadi yg besar & tekanan artifisial rendah)
• Gallop & bising artifisial → besarnya curah sekuncup dan regurgitasi darah
dari aorta ke ventrikel kiri
• Tabrakan regurgitasi aorta yg besar & aliran darah dari katub mitral → bising
mid/late diastolik (bising Austin Flint)
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. EKG
4. Foto Thoraks : pembesaran ventrikel kiri, elongasi aorta dan pembesaran
atrium kiri
5. Ekokardiografi Doppler
6. Ekokardiografi Transesofageal
7. Cardiac RMI atau MSCT
5. Diagnosis Regurgitasi Aorta
6. Diagnosis Banding Stenosis Aorta
7. Pemeriksaan 1. EKG
Penunjang 2. Foto Thoraks
3. Ekokardiografi Doppler
4. Ekokardiografi Transesofageal
5. Cardiac RMI atau MSCT
8. Terapi 1. Digitalis : regurgitasi berat dan dilatasi jantung walau asimtomatik
2. Antibiotik : bila penyebab AR adalah jantung rematik atau endokarditis
bakterialis
3. Penyekat beta : dilatasi aorta akibat sindrom marfan
4. Vasodilator (felodipine & ACE inhibitor) : mempengaruhi ukuran dan
beban ventrikel kiri → menghmbt progresifitas dari disfungsi miokardium
5. Pengobatan pembedahan
✓ Hanya untuk AR akibat deseksi aorta
✓ Bila krn penyebab lain, penggantian katub lebih disarankan
✓ Indikasi tindakan pembedahan :
• Sesak nafas (AR akut berat dgn gejala)
• Di shortening 25%
• Dimensi diastolik akhir > 70 mm
• EF 50%
• mensi sistolik ventrikel kiri 55 mm / fractional

79
Gambar 1. Algoritme managemen pada aorta regurgitasi2
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
10. Kepustakaan Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi VI 2014
Guidelines on the Management of Valvular Heart Disease (2012) by European
Heart Journal

80
AORTA STENOSIS
SKDI 2

1. Pengertian Aorta stenosis merupakan suatu keadaari di mana terjadi gangguan aliran
(definisi) darah dari ventrikel kiri melalui katup aorta karena obstruksi pada level katup
aorta. Kelainan struktur aorta ini menyebabkan gangguan pembukaan
sehingga timbul total cardiac output pada saat sistol.
2. Anamnesis • Kebanyakan bebas keluhan dan biasanya keluhan utama berupa sesak nafas,
dapat juga nyeri dada, dizziness dan pingsan.Pada stenosis aorta yang
bermakna dapat mengalami gagal jantung tanpa penyebab yang jelas.
3. Pemeriksaan Fisik• Murmur sistolik & thrill di aorta dan apex
• Perabaan nadi menurun (pulsus parvus et tardus)
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Foto Thoraks : gambaran klasiknya adalah hipertrofi konsentrik ventrikel
kiri
4. Ekokardiografi Doppler
5. Ekokardiografi Transesofageal
6. Kateterisasi
5. Diagnosis Stenosis aorta
6. Diagnosis Banding 1. Regurgitasi aorta
7. Pemeriksaan 1. EKG
Penunjang 2. Foto Thoraks
3. Ekokardiografi Doppler
4. Ekokardiografi Transesofageal
8. Terapi 1. AS asimptomatik → tidak ada terapi medikamentosa
2. AS simptomatik → repair or replace katub → sebelumnya
echocardiography dahulu :
• Trans valvular velocity > 4 m/detik → operasi
• Trans valvular velocity < 3m/detik → observasi echo /6-12 bulan
• Trans valvular 3-4/detik 4 treadmil exercise test 4 bila (+) operasi
repair/replace
3. Obat-obatan digoxin, diuretik, ACE inhibitor/ARB 4 bila didapatkan
gagal jantung
4. Obat NTG → angina
5. Obat statin untuk mencegah kalsifikasi katub
6. Indikasi Ballon Valvuloplasty:
• Pasien hemodinamik stabil sebelum tindakan operasi
• Pasien dgn AS berat bergejala yg memerlukan operasi non jantung
segera
• Kasus dimana pembedahan mjd kontraindikasi
7. Indikasi Transcatheter Aortic Valve Implantation: pasien AS berat dgn
gejala yg tidak dpt dilakukan pembedahan
8. Indikasi Operasi:
• Bila area katub <1 cm2 atau 0,6cm/m2 permukaan tubuh
• Disfungsi ventrikel kiri
• Dilatasi post stenotik aorta walaupun asimptomatik
9. Stenosis aorta krn kalsifikasi
10. Indikasi AVR (aortic valve replacement):
• AS berat dgn gejala
• AS derajat berat & sedang pd pasien CABG/operasi aorta
asenden/katub lain
• AS berat tak bergejala dgn EF <50% / normal
• AS berat tak bergejala dgn uji latih jantung (+)
AS berat dgn gejala low flow, low gradient dgn penurunan EF

81
Gambar 1. Algoritme managemen aorta stenosis berat2
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
10. Kepustakaan 1. Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi VI 2014
2. Guidelines on the Management of Valvular Heart Disease (2012) by
European Heart Journal

82
ARITMIA
SKDI 2

1. Pengertian adalah variasi-variasi di luar irama normal jantung yang kelainannya mungkin
(definisi) mengenai kecepatan, keteraturan, tempat asal impuls atau urutan aktivasi,
dengan atau tanpa adanya penyakit jantung struktural yang mendasari
Terdapat 2 jenis aritmia :
- Bradiaritmia
- Takiaritmia
2. Gambaran klinik Bradiaritmia :
Gejala : Sesak napas, Nyeri dada, pusing, kesadaran menurun, lemah, pingsan
(sinkop)
Tanda : denyut jantung < 60 menit, hipotensi atau syok, oedem paru, akaral
dingin, penurunan produksi urin
Takiaritmia
Denyut jantung > 100x/menit, takipneu, retraksi interkosta, pernapasan
abdominal paradoksal, saturasi oksihemoglobin
3. Diagnosis Klinis Bradikardi : Takipneu, retraksi interkostal, retraksi suprasternal, pernapasan
dan EKG paradoksikal abdominal, sturasi oksihemoglobin, AV blok derajat II tipe 2, AV
blok derajat III
Takiaritmia :
1. Kompleks QRS sempit (5 0,12 detik) :
• Atrial fibrilasi
• Atrial Flutter
• Re-entry nodus AV
• Multifocal atrial tachycardia (MAT)
2. Kompleks QRS lebar ( 0,12 detik)
• Ventrikel takikardi dan ventrikel fibrilasi
• SVT
• Sindrom Wolf Parkinson White
4. Terapi Bradikardia
• Bila tanpa gejala tidak memerlukan terapi
• Bila terdapat tanda dan gejala dan EKG tidak menunjukkan AV blok derajat
II tipe 2 dan AV blok derajat III, berikan :
• Atropin sulfat 0,5 mg iv, bila tidak ada peningkatan denyut jantung ulang
atropin sulfat 0,5 mg iv sampai ada peningkatan denyut jantung, atau total
dosis atropin sulfat 3 mg
• Bila total dosis atropin sulfat sudah 3 mg belum ada peningkatan denyut
jantung, berikan epinefrin 210pg/kg/menit atau dopamin 2-10
pg/kb/menit atau isoproterenol 2-10pg/kg/menit
• Jika belum ada respon pertimbangkan pemasangan pacu jantung
intravena
• Jika gambaran EKG AV blok derajat II tipe 2 atau AV blok derajat III,
segera pasang pacu jantung transkutan sambil menunggu
• pacu jantung transvena
Cari dan atasi penyebab seperti : hipovolemia, hipoksia, hipokalemia,
hipoglikemia, hipotermia, asidosis, toksin
tamponade jantung, tension pneumothorax, trombosis dan trauma

Algoritma Bradiaritmia

83
5. Keterangan Dosis Dosis Synchronized cardioversion Dosis inisial :
Obat • Regular sempit : 50-100 J
• Irregular sempit : 120-200 J biphasic atau 200 J monophassic
• Regular lebar : 100 J
• Irregular lebar : dosis ddefibrilasi (bukan synchronized)
Dosis adenosin iv :
Dosis awal : 6 mg secara cepat dilanjutkan dengan NS flush
Dosis kedua : 12 mg bila diperlukan

Obat antiaritmia infus untuk takikardi stable wide QRS :


• Procainamide, dosis 20-50 mg/menit samapai aritmia berhenti, terjadi
hipotensi, durasi QRS bertambah panjang > 50% atau mencapai dosis
maksimun 17 mg/kgBB. Dosis rumatan 1-4 mg/menit. Jangan diberikan jika
terdapat CHF atau QT memanjang
• Amiodarone, dosis awal 150 mg diberikan selama 10 menit. Dosis rumatan
1 mg/menit selama 6 jam
Sotatol 100mg (1,5mg/kg) dalam 5 menit. Jangan diberikan jika terdapat QT
memanjang
1. Nasution SA, Ranitya R, Ginanjar E, Fibrilasi Atrial, In : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2014, p 1365-1379
2. Makmun L, Aritmia Supra Ventrikular, In : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
6. Kepustakaan Dalam FKUI. 2014, p 1380-1384
3. Yamin M, Harun S, In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2014, p
1385-1384
4. AHA Guidelines for CPR and ECC. 2010
5. ESC Acute Myocardial Infarction Guidelines 2013

84
ATEROSKLEROSIS
SKDI 1

1. Pengertian Suatu proses inflamasi yang kronik yang dalam patofiologinya melibatkan
(definisi) lipid, thrombosis, dinding vaskular, dan sel sel imun
2. Anamnesis • Nyeri atau kram akibat tidak adekuatnya asupan darah
• Kebiasaan merokok
• Tingkat aktivitas fisik
• Asupan makanan
• Riwayat kejadian kardiovaskular dini dalam keluarga
• Riwayat penyakit dahulu : DM, hipertensi, sindrom metabolik

3. Pemeriksaan Fisik • IMT


• Vital sign
4. Pemeriksaan • Vital sign
Penunjang • Laboratorium : kolesterol darah, glukosa, dan protein
• Tes urin untuk memeriksa gangguan ginjal
• Rontgen dada untuk mengetahui ukuran jantung
• EKG untuk menilai aktivitas elektrik di jantung
• Radiologi untuk mendapatkan gambar yang jelas dari organ tubuh dan
• arteriogram untuk melihat struktur arteri

5. Kriteria Diagnosis Dignosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang
6. Terapi • Non farmakologis
Diet dan perubahan gaya hidup
o Olahraga teratur, batasi konsumsi alkohol, berhenti merokok,
mengontrol gula darah dan kadar gula darah, dien rendah
kolesterol
o Konsumsi antioksidan
o Diet rendah lemak trans dan jenuh, konsumsi asam lemak omega
3, buah, satur segar dan kacang kacangan
• Farmakologis
o Obat penurun kolesterol : statin ; fibrat ; niasin ; bile acid
squestrant
o Obat pengontrol gula darah
• Terapi bedah
o Angiography dan stenting
o Bypass surgery

7. Komplikasi • Oklusi akut : infark miokard, stroke, gangrene pada usus atau ekstremitas
bawahTerapi bedah
• Penyempitan lumen pembuluh darah yang kronis :unilateral renal arteri
stenosis dengan atrofi pada ginjal dan intestinal striktur pada aterosklerosis
arteri mesenterika
• Aneurisma
• Emboli
8. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
9. Kepustakaan 1. Adi, Pudji. 2014. Pencegahan dan Penatalaksanaan
Aterosklerosis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.6th ed. Jakarta
2. Departemen Penyakit Dalam. 2017. Panduan Praktek Klinik
Departemen Penyakit Dalam. Palembang : RSUP dr. Mohamad

85
Hoesin.
3. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, et al. Eds. 2005. Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 16th eds. Amerika Serikat : McGraw-
Hill.

86
ATRIAL FLUTTER
SKDI 3A

1. Pengertian Atrial flutter adalah aritmia jantung ditandai dengan tingkat atrium dari 240-
(definisi) 400 denyut / menit dan atrioventrikular (AV) node blok konduksi.
2. Anamnesis Berdasarkan anamnesis tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien
dengan atrial flutter biasanya mencerminkan penurunan curah jantung
sebagai akibat dari tingkat ventrikel yang cepat . Gejala khas meliputi:
• Palpitasi
• Kelelahan atau toleransi latihan yang buruk
• Dyspnea Mild
• Presyncope
Gejala yang kurang umum termasuk angina, dyspnea mendalam, atau
sinkop. Takikardia mungkin atau mungkin tidak hadir, tergantung pada
tingkat AV blok yang terkait dengan aktivitas atrial flutter .
3. Pemeriksaan Fisik • Denyut jantung seringkali sekitar 150 denyut / menit karena blok AV
02:01
• Denyut nadi mungkin biasa atau sedikit tidak teratur
• Hipotensi adalah mungkin, tetapi tekanan darah normal lebih sering
diamati
Poin lain dalam pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :
• Palpasi leher dan kelenjar tiroid untuk gondok
• Mengevaluasi leher untuk distensi vena jugularis
• Auskultasi paru-paru untuk rales atau crackles
• Auskultasi jantung untuk suara jantung tambahan dan murmur
• Palpasi titik impuls maksimal pada dinding dada
• Menilai ekstremitas bawah untuk edema atau gangguan persuasi

Jika embolisasi telah terjadi dari intermiten atrial flutter , temuan yang
terkait dengan otak atau keterlibatan pembuluh darah perifer .
Komplikasi lain dari atrial flutter mungkin termasuk yang berikut :
• CHF
• bradikardia berat
• Miokard ischemia -rate terkait
• Lihat Presentasi untuk detail lebih lanjut
4. Pemeriksaan • Darah perifer lengkap: anemia, trombositosis
Penunjang • Rheumatoid Factor (RF), anti-cyclic citrullinated peptide antibodies
(ACPA/anti-CCP/anti-CMV)
• Laju endap darah atau C-reactive protein (CRP) meningkat
• Fungsi hati, fungsi ginjal
• Analisis cairan sendi (peningkatan leukosit > 2.000/mm3).
• Pemeriksaan radiologi (foto polo/sUSG Doppler): gambaran dini berupa
pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articular
dan erosi pada bare area tulang.
• Biopsi sinovium/nodul reumatoid.
5. Kriteria Diagnosis Berikut bantuan teknik dalam diagnosis atrial flutter :
• ECG - Ini merupakan modalitas diagnostik penting untuk kondisi ini
• Manuver vagal - ini dapat membantu dalam menentukan irama atrium
yang mendasari jika gelombang flutter tidak terlihat baik
• Adenosine - Hal ini dapat membantu dalam diagnosis atrial flutter
oleh transiently memblokir AV node
• Pengujian Latihan - ini dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi
latihan-induced atrial fibrilasi dan untuk mengevaluasi penyakit
jantung iskemik
• Holter monitor - ini dapat digunakan untuk membantu
87
mengidentifikasi aritmia pada pasien dengan gejala tidak spesifik ,
untuk mengidentifikasi pemicu , dan untuk mendeteksi aritmia atrium
terkait.
• Transthoracic echocardiography ( TTE ) adalah modalitas pilihan
untuk mengevaluasi atrial flutter . Hal ini dapat mengevaluasi ukuran
atrium kanan dan kiri , serta ukuran dan fungsi ventrikel kanan dan
kiri , dan informasi ini memfasilitasi diagnosis penyakit katup jantung
, hipertrofi ventrikel kiri (LVH), dan penyakit perikardial .
6. Diagnosis Banding • SVT (supraventricular tachycardia)
• Multifocal atrial tachycardia (MAT)
• Frequent premature atrial contraction (PAC)
7. Terapi Tujuan pengobatan umum untuk gejala atrial flutter adalah sama dengan yang
untuk fibrilasi atrium . Mereka adalah sebagai berikut :
• Pengendalian tingkat ventrikel - Hal ini dapat dicapai dengan obat
yang menghalangi node AV , intravena ( IV ) calcium channel
blockers ( misalnya verapamil dan diltiazem ) atau beta blockers dapat
digunakan , diikuti oleh inisiasi agen oral
• Restorasi ritme sinus - Hal ini dapat dilakukan dengan cara
kardioversi listrik atau farmakologis atau RFA ; sukses ablasi
mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk antikoagulasi
jangka panjang dan obat antiarrhythmic
• Pencegahan episode berulang atau penurunan frekuensi atau durasi
mereka - Secara umum , penggunaan obat antiarrhythmic di atrial
flutter mirip dengan yang di atrial fibrilasi
• Pencegahan komplikasi tromboemboli - antikoagulasi memadai ,
seperti yang direkomendasikan oleh American College of Chest
Physicians , telah terbukti mengurangi komplikasi tromboemboli pada
pasien dengan atrial flutter kronis dan pada pasien yang menjalani
kardioversi
• Meminimalkan efek samping dari terapi - Karena atrial flutter adalah
aritmia fatal , hati-hati menilai risiko dan manfaat dari terapi obat ,
terutama dengan agen antiarrhythmic
8. Komplikasi Komplikasi atrial flutter dapat terjadi tromboemboli – antikoagulasi.
9. Prognosis Prognosis umumnya dubia ad bonam
10. Kepustakaan 1. Yuniadi Y et al. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium, PERKI 2014.
2. Ziad Issa, Hohn M. Miller, Douglas P. Zipes. – Clinical
Arrhytmology and Electrophysiology: A Companion to Braunwald’s
Heart Disease, Saunders, 2009
3. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-
Thoracic S, Camm AJ, et al. Guidelines for the management of atrial
fibrillation: the Task Force for the Management of Atrial Fibrillation
of the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal
2010;31:2369-429.

88
DEMAM REMATIK
SKDI 3A

1. Pengertian adalah reaksi peradangan biasanya disebabkan oleh infeksi kuman


(definisi) streptococcus group A (GAS) - haemolytic, yang meliputi berbagai organ
(antara lain jantung, persendian, sistem syaraf pusat).
2. Anamnesis - Riwayat sakit tenggorokan 1-5 minggu
sebelumnya (pada 70% anak dan dewasa muda).
- Demam, disertai tanda klinis yang tak spesifik
seperti: rash, nyeri kepala, berat badan turun, epistaksis, rasa lelah, malaise,
keringat
berlebihan, pucat, nyeri dada dengan ortopnu, nyeri abdomen, muntah.
- Keluhan yang lebih spesifik untuk DRA:
o Nyeri sendi yang berpindah-pindah
o Nodul subkutan
o Iritabel, konsentrasi menurun, perubahan kepribadian seperti
gangguan autoimmune neuropsychiatric (pada anak dengan infeksi
streptococcus)
o Disfungsi motorik
o Riwayat demam rematik sebelumnya (ada kecenderungam berulang)
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pericarditis:
-Friction rub
-Pericardial efusi,ditandai dengan bunyi jantung menjauh.
2. Artritis:
-Sendi yang dikenai adalah biasanya sendi besar seperti lutut,pergelangan
kaki,paha,lengan,panggul,siku dan bahu.
- Muncul tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang
diikuti dengan reaksi radang.
-Nyeri hilang secara perlahan-lahan.
3. Karditis:
-asimtomatik dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi.
4. Miokarditis:
-Tanda-tanda gagal jantung yang tidak jelas penyebabnya.
-Fungsi ventrikel kiri jarang terganggu.
5. Endokarditis / valvulitis:
-Pada pasien tanpa riwayat penyakit jantung rematik: terdengar bising
regurgitasi mitral diapeks (dengan atau tanpa bising mid diastolik, Carey
Coombs murmur).
-Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung rematik: ada perubahan
karakteristik bising atau terdengar bising baru.
6. Eritema Marginatum
- ditemukan kira-kira 5% dari pasien demam rematik dan berlangsung
berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan gatal.
7. Nodul Subkutanius
-Besarnya kira-kira 0.5-2cm,bundar,terbatas dan tidak nyeri tekan.
4. Pemeriksaan 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Penunjang 2. EKG
3. Foto rontgen dada
4. Lab: darah rutin , LED, CRP, ASTO, kultur swab tenggorokan
5. Ekokardiografi

Pemeriksaan infeksi kuman Streptokokus Grup A sangat membantu diagnosis


demam rematik yaitu:
-Pada saat sebelum ditemukan infeksi Streptokokus Grup A.
-Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi Streptokokus Grup A
tersebut.

89
Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman Streptokokus Grup
A ini dapat dideteksi:
• -Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur
Streptokokus Grup A negatif pada fase akut itu. Bila positif inipun
belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan akibat
kekambuhan dari kuman Streptokokus Grup A itu atau infeksi
Streptokokus dengan strain yang lain.
• Tetapi antibody Streptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi
Streptokokus dengan adanya kenaikan titer ASTRO dan anti DNA-se
B. Terbentuknya antibody-antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur
dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada
orang dewasa. Antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu kedua
sampai minggu ketiga setelah fase akut demam rematik atau 4-5
minggu setelah infeksi kuman Streptokokus Grup A di tenggorokan.
• Pada fase akut ditemukan lekositosis, LED, protein C-
reactive,mukoprotein serum yang meningkat. Led dan protein C-
reactive yang tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif
saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat antireumatik.
5. Kriteria Diagnosis Kriteria yang digunakan untuk diagnosis demam
rematik: kriteria Jones.

Kriteria Mayor:
1. Karditis
2. Poliartritis migrans
3. Syndenham Chorea
4. Eritema marginatum
5. Nodul Subkutan

Kriteria Minor:
1. Klinis: demam, poliartralgia
2. Laboratorium: peningkatan penanda inflamasi akut (LED, leukosit)
3. EKG: interval PR memanjang

Bukti adanya infeksi GAS beta hemolyticus dalam 45


hari sebelumnya :
1. Peningkatan titer ASTO >333 unit untuk anak dan >250 untuk dewasa
2. Kultur tenggorok (+)
3. Rapid antigentes untuk Streptococcus group A
4. Demam scarlet yang baru terjadi

Kriteria Diagnosis:
1. Episode pertama demam rematik
Memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor + 2 minor + bukti infeksi GAS
2. Demam rematik berulang pada pasien tanpa penyakit jantung rematik.
Memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor + 1 kriteria minor tanpa sequele
penyakit jantung rematik
3. Demam rematik berulang pada pasien dengan penyakit jantung rematik
Memenuhi 2 kriteria minor + bukti infeksi GAS + sequel penyakit
jantung rematik sebelumnya.
4. Rematik chorea dan rematik karditis Demam rematik dapat ditegakkan
tanpa bukti infeksi/kriteria lainnya
5. Lesi katup kronik pada penyakit jantun grematik (pasien datang pertama
kali dengan lesi katup mitral dengan/atau tanpa lesi katup aorta)
6. Diagnosis Demam Rematik
7. Diagnosis Banding 1. Penyakit jantung katup disertai infeksi banal
2. Penyakit sistemik (Lupus Erythematous)
3. Reumatoid arthritis
4. Ankylosing spondilitis
90
8. Terapi 1. Tata Laksana Umum: Tirah baring
Pasien harus tirah baring, dilanjutkan dengan mobilisasi bertahap yang
lamanya tergantung pada kondisi jantungnya:
Kelompok klinis Tirah Baring Mobilisasi bertahap
(minggu) (minggu)
Karditis(-),arthritis (+) 2 2
Karditis(+),kardiomegali(-) 4 4
Karditis(+), kardimegali (+) 6 6
Karditis(+), gagal jantung (+) >6 >6

2. Eradikasi
Berikan antibiotik untuk eradikasi kuman GAS, sebagai pencegahan
primer demam rematik.
Eradikasi:
- Benzatin penisilin :1,2 juta U IM (BB <27 Kg: 600.000 U IM)
- Phenoxymethil Penicillin (Penicilin V) selama 10 hari
o Dewasa dan remaja : 750- 1000 mg/hari dibagi 2-4 dosis
o Anak: 500 –750 mg/hari dibagi 2-3 dosis
- Amoxicilin: 25–50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis (dosis maximal 750
1000 mg/hari) selama 10 hari

Bila alergi Penicillin dapat diberikan:


- Cephalosporin spectrum sempit (cephalexin, cefadroxil) per-oral
dengan dosis bervariasi selama 10 hari
- Clindamycin 20 mg/KgBB/hari per-oral dibagi 3 dosis (maksimal 1.8
gram/hari) selama 10 hari;
- Azithromycin 12 mg/KgBB per-oral sekali sehari (maksimal 500 mg)
selama 5 hari
- Clarithromycin 15 mg/KgBB/hari per-oral dibagi dalam 2dosis
(maksimal 500 mg), selama 10 hari. Kultur diulang 2-7 hari pasca
selesai pemberian anti biotik.

3. Anti radang untuk karditis dan polyarthritis migrans

- Prednison: 2 mg/KgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) selama 2 minggu,


kemudian di sapih 20- 25% tiap minggu, atau
- Salisilat: 100 mg/KgBB dibagi 4-5 dosis (maksimal 6 g/hari) selama 2
minggu, kemudian 60-70 mg/KgBB/hari selama 3 –6 minggu.

4. Gagal jantung

- Tempat perawatan:
o Gagal jantung berat dirawat di ruang rawat intensif.
o Gagal jantung sedang dirawat di ruang rawat intermediate
o Gagal jantung ringan dirawat di ruang rawat biasa
- Lama perawatan dan mobilisasi tergantung kondisi jantung
- Restriksi cairan dan diet rendah garam,
- Obat-obatan anti gagal jantung: diuretik, ACE-I +/- digoxin
- Bila terdapat efusi perikard yang berakibat tamponade maka perlu
dilakukan punksi perikard.

5. Chorea

Chorea dapat hilang sendiri setelah tirah baring dan eradikasi kuman
GAS; bila perlu diberikan pengobatan symptomatic dengan
clorpromazin, diazepam atau haloperidol.

91
6. Tindakan intervensi bedah dan non bedah

Jarang dilakukan pada keadaan akut, kecuali bila gagal diatasi dengan
medika mentosa. Intervensi sebaiknya dilakukan 3 (tiga) bulan setelah
demam rematik dinyatakan reda. Indikasi intervensi pada penyakit
jantung rematik dapat dilihat pada Bab Penyakit Katup Jantung Rematik.

7. Antibiotik untuk Prevensi Sekunder

- Benzathine Benzylphenicilin 1,2 juta U IM (untuk BB <27 Kg,


600.000 U IM) setiap 3-4 minggu atau
- Phenoxymethil Penicillin (Penicilin V) : 2 x 250 mg, Bila alergi
penicillin dapat diberikan:
- Sulfadizin 1 gram/hari (BB >30 Kg), 500 mg/hari (BB < 30Kg) atau
Erythromycin 2x250 mg

Pemberian Antibiotik Untuk Prevensi Sekunder

KATEGORI PASIEN DURASI PROFILAKSIS

Pasien tidak terbukti Karditis5 tahun setelah serangan terakhir


atau hingga usia 18 tahun (dipilih
yang lebih lama)
Pasien dengan karditis saat 10 tahun setelah serangan terakhir
demam rematik akut, namun atau hingga 21 tahun (dipilih
tanpa sequel pada jantung. yang lebih lama)
Pasien dengan karditis yang 10 tahun atau sampai usia 40
memiliki sequel penyakit katup tahun (dipilih yang lebih lama),
jantung rematik/kelainan katup kadang perlu sampai seumur
hidup.
9. Saran ▪ Menegakkan diagnosis demam reumatik dan penyakit jantung reumatik
sebaiknya didasarkan pada kriteria Jones yang telah dimodifikasi dan
dengan pertimbangan klinis.
▪ Melaksanakan protokol tetap pencegahan sekunder demam reumatik dan
penyakit jantung reumatik haruslah sesegera mungkin setelah eradikasi
kuman Streptokokus Grup A dengan penisilin selama 10 hari.
▪ Menyakinkan adanya infeksi kuman Streptokokus Grup A sebelumnya
diperlukan sarana laboratorium untuk pemeriksaan titer ASTO dan Anti
DNA-se B,dengan kemungkinan tidak Saudara miliki.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsional : dubia ad bonam

▪ Demam rematik akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi.


▪ Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada saat permulaan akut
demam rematik.
▪ Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat.
▪ Penyembuhan akan bertambah baik bila pengobatan pencegahan
sekunder dilakukan secara baik.
11. Kepustakaan 1. Panduan Praktik Klini RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
2014-2015.
2. Allen H.D., Priscoll D.J., Shaddy R.E., Feltes F.T. Moss & Adams : Heart
Disease in Infants, Children and Adolescents including the fetus and
young adult 8th edition. William & Wilkins
3. Anderson R.H., Baker E.J., Penny, D., et al. Pediatric Cardiology. Third
Edition. Churchil Livingstone Elsevier.
4. Baumgartner H., Bonhoeffer P., De Groot N.M.S., Haan F., et al. ESC
Guidelines for the management of Grown-up Congenital Heart Disease
92
(new version 2010). The Task Force on the Management of Grown-up
Congenital Heart Disease of the European Society of Cardiology (ESC).
European Heart Journal 2010:31;2915-2957
5. Carapetis J, Brown A, Edwards K, Hadfield C, Lennon D, et al. Diagnosis
and management of acute Rheumatic fever and rheumatic heart disease in
Australia. A evidence based review. National Heart Foundation of
Australia and Cardiac Society of Australian and New Zealand. June 2006
6. Carabello B.A., Chatterje K, Leon A.C., Faxon D.P., Gaasch W.H.
ACC/AHA 2006 Guidelines for the management of Patients with Valvular
Heart Disease. JACC. 2006 :48 (3) e1-148
7. Gerber MA, Baltimore RS, Eaton CB, Gewitz M, Rowley AH, Shulman
ST, et al. Prevention of rheumatic fever and diagnosis and treatment of
acute Streptococcal pharyngitis: a scientific statement from the American
Heart Association Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease
Committee of the Council on Cardiovascular Disease in the Young, the
Interdisciplinary Council on Functional Genomics and Translational
Biology, and the Interdisciplinary Council on Quality of Care and
Outcomes Research: endorsed by the American Academy of Pediatrics.
Circulation. 2009;119(11):1541-51
8. Kleinman M.E., Chameides L., Schexnayder S.M., et al. Pediatric
advanced life support: 2010 AHA Guidelines for CPR and Emergency
Cardiovascular Care. Circ. 2010; 122 :S876-S908.
9. Park M.K. Pediatric Cardiology for Practitioner 5th ed. Mosby Elsevier
10. Vahanian A, Alfieri O, Andreotti F, Antunes M.J, Esquivias G.B.
Guidelines on management of valvular heart disease (version 2012). The
Joint Task Force of the management of valvular heart disease of the
European Society of Cardiology (ESC) and the Eiropean Association for
CardioThoracic Surgery (EACTS). European Heart Jurnal (2012)
33:2451-2496.
11. Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of
American Heart Association. Guidelines for Diagnosis of Rheumatic
Fever; Jones criteria,1992 Update: JAMA 1992,268.
12. Denny F.W, Wannamaker L.W, Brink W.R: Prevention of rheumatic
fever, Treatment of proceeding streptococcal infection.JAMA 1950.
13. Frankish J.D: Management of rheumatic fever. Med Prog.1975.

93
HENTI JANTUNG (CARDIAC ARREST)
SKDI 3B

1. Pengertian Henti jantung (cardiac arrest) adalah hilangnya fungsi jantung secara
(definisi) dan mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi
Etiologi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital Iainnya akibat kegagalan jantung
untuk berkontraksi secara efektif. Hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosis dengan
penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan,
terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tarnpak. Diakibatkan oleh
gangguan irama sebagai berikut irama shockable dan tidak shockable. Irama
shockable: Ventrikel takikardi (VT), Ventrikel fibrilasi (VF), sedangkan irama
tidak shockable : Pulseles Electrical Activity (PEA) dan asistol.
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai
risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a. Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab
lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab
tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam
jiwa. Enam bulan pertaria setelah seseorang mengalami serangan jantung
adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien
dengan penyakit jantung atherosclerotic.
b. Penebaian otot jantung (cardiornyopathy) karena berbagai sebab
(umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat
seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk: jantung; karena
beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia)
justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest.
Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang
bisa mempengaruhi perubahan kadar potasiurn dan magnesium dalam darah
(misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menvebabkan aritmia yang
mengancam jiwa dan cardiac arrest.
d. Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak
normal seperti Wolff-ParkinsonWhite-Syndrome dan sindroma gelombang
QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan
dewasa muda.
e. Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri
koronari dan aorta) seringmenyebabkan kematian mendadak pada dewasa
muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukanaktifttas fisik
yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai
kelainan tadi.Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor
utama terjadinya cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak
mempunyai kelainan pada organ jantung
2. Anamnesis - Adanya riwayat sakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular)
sebelumnya seperti jantung koroner, kelainan katup, penebalan otot
jantung, hipertensi, dll
- Adanya riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat mencetuskan aritmia
(antiaritmia) dan obat-obatan yang dapat mengganggu keseimbangan
elektiolit seperti diuretik serta penyalahgunaan obat (Narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya) dan intoksikasi (keracunan).
Ketiadaan respon (kolaps) secara mendadak dan dapat terjadi
dimana saja
3. Pemeriksaan Fisik Tanda- tanda cardiac arrest yaitu:
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan
pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radians),
94
tekanan darah tidak terukur.
4. Kriteria Diagnosis Gejala klinis
Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan. Ketiadaan pemafasan normal; tidak
terdapat pernafasan normal ketika jalan pernafasan dibuka.
2. Pemeriksaan fisik :
Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, fernoralis, radialis),
tekanan darah tidak terukur, pernafasan berat sampai dengan apnu.
3. Pemeriksaan penunjang
- EKG : Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya
aritmia: fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas
listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol.
a) Fibrilasi ventrikel : Merupakan kasus terbanyak yang sering
menimbulkan kematian mendadak, pada keadaan ini jantung
tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya
mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus
segera dilakukan adalah CPR (cardiopulmonar resusitasi) dan
DC shock atau defibrilasi.
b) Takhikardi ventrikel : Mekanisme penyebab terjadinyan
takhikardi ventrikel biasanya karena adanya gangguan
otomatisasi (pembentukan impuls) ataupun akibat adanya
gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan
menyebabkan fase pengisian ventrikel kih akan memendek,
akibatnya pengisian darah keventrikei juga berkurang sehingga
curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan
hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa
lebih diutamakan. Pada kasus VTdengan gangguan
hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi),
pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock
dan CPR adalah pilihan utama.
c) Pulseless Electrical Activity (PEA) : Merupakan keadaan
dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan
kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak
adekuat sehingga tekahan darah tidak dapat diukur dan nadi
tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus
segera dilakukan.
d) Asistole : Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya
aktifitas listrik pada jantung, dan pada monitor irama yang
terbentuk adalah seperti garis lures. Pada kondisi ini tindakan
yang harus segera diambil adalah CPR
5. Diagnosis Tidak adanya nadi yang teraba, dengan gambaran EKG dapat berupa VT, VF,
PEA atau asistof (Lihat EKG)
1. Sinkop
6. Diagnosis Banding
2. Aritmia
7. Pemeriksaan 1. Saturasi oksigen
Penunjang 2. EKG
3. Laboratorium : elektrolit, analisa gas darah, enzim jantung, toksikologi, dll
4. Rontgent thorax
5. Echocardiografi
8. Terapi Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk bertahan
hidup (chin of survival); cara untuk menggambarkan penanganan ideal yang
harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dart
rangkaian ini terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi
berkurang, sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban mempunyai
kesempatan besar untuk bisa bertahan hidup. chin of survival terdiri dari 4
rangkaian: early acces, early CPR, early defibrillator,dan early advance care.

Early acces: kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala dan tanda


95
awal serta segera memanggil pertolongan untuk mengaktifasi EMS.
a. Early CPR: CPR akan mensuplai sejumlah minimal darah kejantung dan
otak, sampai defibrilator dan petugas yang terlatih tersedia/datang
a. Early defibrillator pada beberapa korban, pemberian defibrilasi segera
ke jantung korban bisa mengembalikan denyut jantung.
Early advance care: pemberian terapi IV, obat-obatan, dan ketersediaan
peralatan bantuan pernafasan
9. Kepustakaan 1. Departemen Penyakit Dalam. 2017. Panduan Praktek Klinik Departemen
Penyakit Dalam. Palembang : RSUP dr. Mohamad Hoesin.
2. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, et al. Eds. 2005. Harrison’s Principle of
Internal Medicine. 16th eds. Amerika Serikat : McGraw-Hill.

96
GAGAL JANTUNG KONGESTIF
SKDI 3B

1. Pengertian Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
(definisi) jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
Gagal jantung kongestif (CHF) suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh
berkurangnya volume pemompaan jantung untuk keperluan relatif tubuh
disertai hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran batik vena.
2. Klasifikasi Klasifikasi NYHA (New York Heart Association) .
• NYHA I : Tidak ada batasan aktifitas fisik
• NYHA II : Batasan ringan dalam aktivitas fisik
• NYHA III : Batasan sedang dalam aktivitas fisik
• NYHA IV : Tidak dapat beraktivitas dengan normal tanpa
ketidaknyamanan
3. 3. Kriteria Kriteria Framingham dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal jantung
diagnosis kongestif.
Kriteria mayor:
• Paroxismal Nocturnal Dispneu
• distensi vena leher
• ronkhi paru
• kardiomegali
• edema paru akut
• gallop S3
• peninggian tekanan vena jugular/ refluks hepatojugular
Kriteria minor:
• edema ekstremitas
• batuk ma'am hari
• dispneu de effort
• hepatomegali
• efusi pleura
• takikardi
• penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Kriteria mayor atau minor
• Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi
• Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1
kriteria minor
Diagnosis HF - REF membutuhkan tiga kondisi yang harus dipenuhi:
• Gejala khas HF
• Tanda-tanda khas HFA
• LVEF berkurang
Diagnosis HF PEF rnemerlukan empat kondisi yang harus dipenuhi:
• Gejala khas HF
• Tanda-tanda khas HFA

97
• Normal atau hanya sedikit berkurang LVEF dan LV tidak melebar
Penyakit jantung struktural yang relevan (LV hipertrofi / LA pembesaran )
dan / atau disfungsi diastolik
4. Pemeriksaan Investigasi pada semua pasien:
penunjang • Transtorakal ekokardiografi I,C
• EKG : I,C
• Pemeriksaan kimia darah (sodium, potasium, kaisium, Urea/Blood urea
nitrogen, creatinin, GFR, enzim hati dan fungsi tiroid) : I,C
• Pemeriksaan darah rutin : I, C
• Foto rontgen thorax : IIa,C
Investigasi pada pasien dengan faktor risiko :
• Cardiac magnetic resonance : I,C
• Coronary angiografi : I,C
• Kateter jantung : I,C
• Excercise testing : IIa,C
5. Tatalaksana Terapi farmakologis
1. Angiotensin converting enzyme inhibitors (I,A) (Benazepril, Captopril,
Enalapril, Lisinopril, Quinapril, perindopril, ramipril, cilazapril,
fosinopril, trandolapril).
2. Diuretik (I,A) (loop diuretic, tiazid, metolazon)
3. B-blocker (I,A). Pada disfungsi sistolik post infark miokard (
I,B), (bisoprolol, karvedilol, metoprolol suksinatoebivolol)
4. Antagonist reseptor aldosteron (I,B)
Antagonis penyekat reseptor angiotensin II (IIa,B), Pada infark miokard
akut dengan disfungsi ventrikel (1,A
5. Glikosida jantung (I,B)
6. Vasodilator (III,A)
7. Nitrat → tambahan bila ada keluhan angina (IIa,C)
8. Obat penyekat kalsium (III,C
9. Inotropik positif (III,A)
10. Anti trombotik
• Pada gagal jantung kronik disertai fibrilasi atrium (I,A
• Pada gagal jantung kronik disertai penyakit jantung koroner (11a,B)
11. Anti aritmia
• Tidak dianjurkan, kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi
Amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel aritmia (I,P)

98
Gambar 2. Algoritme pemilihan terapi pada gagal jantung
6. Edukasi • Olahraga
• Stop merokok dan minum alkohol
• Vaksinasi influenza dan penyakit pneurnokokus
• Mengurangi berat badan
• Mengurangi asupan garam
7. Komplikasi • Stroke
• Penyakit katup jantung
• Infark miokard
• Emboli pulmonal
• Hipertensi
8. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan res•on terapi
9. Penatalaksanaan • Hipertensi (ACE inhibitor, ARB, Beta blokers
pada penyakit • Dislipidemia (statin)
penyerta • Obesitas dan diabetes mellitus (ACE inhibitor, ARB)
10. Kepustakaan • ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2012
• 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure
• National Institute for Health and Care Excellence.

99
COR PLUMONALE KRONIK
SKDI 3A

1. Pengertian Kor pulmonal adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi
(Definisi) pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur, fungsi
paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal
jantung kanan
2. Anamnesis 1. Batuk kronik yang produktif
2. Sesak nafas waktu beraktifitas
3. Nafas yang berbunyi
4. Mudah lelah
3. Pemeriksaan 1. Inspeksi
Fisik Diameter dinding dada yang membesar (barrel chest), sianosis, jari
tabuh.
2. Palpasi
Edema tungkai, peningkatan vena jugularis yang menandakan
terjadinya gagal jantung kanan dan ventrikel kanan dapat teraba di
parasternal kanan.
3. Perkusi
Pada paru terdengar hipersonor PPOK, pada keadaan yang berat bisa
menyebabkan asites
4. Auskultasi
Pada paru ditemukan wheezing dan rhonki, bisa juga ditemukan
bising sistolik di paru akibat turbulensi aliran pada rekanalisasi
pembuluh darah pada chronic thromboembolic pulmonary
hypertension.
5. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan radiologi
Penunjang 2. Elektrokardiografi
3. Pemeriksaan tes faal paru
4. Ekokardiografi
6. Kriteria Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan
Diagnosis berlebihan pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan
kerja ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi otot jantung yang
normalnya berdinding tipis, yang akhirnya dapat menyebabkan disfungsi
ventrikel dan berlanjut kepada gagal jantung
7. Diagnosis 1. Kor pulmonal akut
Banding 2. Congestive Heart Failure (CHF)
3. Perikartidis
8. Terapi 1. Terapi oksigen
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute
of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil)
meningkatkan kelangsungan hidup dibanding pasien tanpa terapi
oksigen. Indikasi terapi oksigen adalah : PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2
≤ 88%, PaO2 55-59 mmHg disertai salah satu dari : edema
disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, eritrositosis
hematokrit > 56%.
2. Digitalis
Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai
gagal jantung kiri. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko
aritmia.
3. Diuretik
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung
kanan.
4. Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium,
agonis alfa adrenergik, dan prostaglandin.
5. Antikoagulan
100
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat
disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor
imobilisasi pada pasien.
9. Komplikasi 1. Sinkop
2. Hipoksia
3. Edema
4. Kematian
10. Prognosis Pada kor pulmonal kronik yang disertai gagal jantung kanan, prognosisnya
buruk. Namun dengan pemberian terapi oksigen dalam jangka panjang dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien

Qua ad vitam: dubia ad bonam


Qua ad funtionam: dubia ad malam
Qua ad sanationam: dubia ad malam
11. Kepustakaan 1. Harun S, Wijaya I. Kor Pulmonal Kronik. Dalam : Sudoyo S, et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit. Dalam. Jilid ketiga, Edisi keempat. Jakarta :
FK UI. 2006; 168081
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 13, Jakarta: EGC
3. Panduan Pelayanan Medik PB PAPDI
4. Weitzenblum E.Chronic Cor Pulmonale. Dalam : Education in Heart.
2003; 89; 225-30.
5. Mubin AH. Kor pulmonale kronik. Dalam: Panduan praktis ilmu
penyakit dalam diagnosis dan terapi. Jakarta: EGC; 2001.h. 125-6.

101
EDEMA PARU AKUT
SKDI 3B

1. Definisi dan Edema paru akut adalah akumulasi cairan di paruparu secara tiba-tiba akibat
Etiologi gagal jantung akut. Gagal jantung akut adalah penurunan fungsi jantung yang
mendadak dengan atau tanpa didahului kelainan jantung. Kelainan dapat
merupakan gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, gangguan irama, atau
ketidakharmonisan preload dan afterload. Keseimbangan antara beban
pengisian (preload) dan beban pengosongan (afterload) yang berubah secara
cepat dan menyolok diikuti gagalnya mekanisme kompensasi sistem
kardiovaskular dapat menimbulkan penumpukan darah diluar jantung sisi kin,
yakni divaskular paru (bendungan vaskular), yang bila berlanjut terjadi
ekstravasasi kejaringan interstitial dan alveoli (edema paru) berakibat fatal.

Trias kardiovaskular yang harus dinilai pada kasus edema paru akut :
Volume-vascular
Rate problem Pump problem
resistensi emblem

Bradikardia : Primer : Volume loss :


- sinus bradikardia - miokard infark - hemoragik
- 2nd AV block - kardiomiopati - GIT loss
- 3th AV block - miokarditis - Renal loss
- Pacemaker failure - ruptur kordae - Insensible loss
- disfungsi akut otot - adrenal insufisiensi
papilaris
- insufisiensi aorta
akut
-disfungsi katup
prostetik
- ruptur
interventrikular
septum
Takikardia Sekundar : Vascular resitance :
- sinus takikardi - drug alter function - central nervous
system injury
- atrial fluter - tamponade jantung
- spinal injury
- atrial fibrilasi - emboli paru
- 3rd space loss
- PSVT - mixoma
- adrenal insufisiensi
- VT - sindrom vena cava
(kortisol)
superior
- sepsis
- drug alter tone
2. Anamnesis Riwayat sesak nafas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau
hari) disertai gelisah, batuk dengan sputum berbusa kemerahan.
3. Pemeriksaan Fisik - Sianosis sentral
- Sesak nafas dengan bunyi nafas seperti mukus berbuih
- Ronki basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh
lapangan paru, kadang-kandang disertai ronki kering dan ekspirasi
memanjang akibat bronkospasme, dahulu dikenal dengan asma kardiale
- Takikardia dengan gallop S3

102
- Murmur bila ada kelainan katup

4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis


Riwayat sesak nafas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau
hari) disertai gelisah, batuk dengan sputum berbusa kemerahan.
2. Pemeriksaan fisik :
- Sianosis sentral
- Sesak nafas dengan bunyi nafas seperti mukus berbuih
- Ronki basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir
seluruh lapangan paru, kadang-kandang disertai ronki kering dan
ekspirasi memanjang akibat bronkospasme, dahulu dikenal dengan
asma kardiale
- Takikardia dengan gallop S3
- Murmur bifa ada kelainan katup
1. Pemeriksaan penunjang
- EKG : Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibirilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung, gambaran infark, hipertrofi
ventrikel kid atau aritmia bisa ditemukan
2. Laboratorium : Darah rutin, urinalisis, ureum/kreatinin, eiektrolit,
Analisis gas darah, Enzim jantung (CPK, CKMB, troponin 1-) dapat
meningkat jika penyebabnya infark miokard
- Foto Toraks : Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian dapat
meluas ke arah apeks paru. Kadang-kadang ditemukan efusi pleura
- Ekokardiografi
- Dapat menooambarkan penyebab gagal jantung: kelainan katup,
hipertrofi ventrikel kiri (hipertensi), segmental wall motion
abnormality (penyakit jantung koroner). Pada umumnya ditemukan
dilatasi ventrikel dan atrium kiri.
5. Diagnosis Gejala sesak, batuk dengan riak berbuih kemerahan, sesak bila berbaring
disertai kardiomegali, iktus bergeser kelateral, bradi-takiaritmia, suara galop,
bising, rhonki basah basal paru bilateral, whezing (asma kardial), akral dingin
dan basah, saturasi 02 kurang dari 90% sebelum pemberian 02, foto folos
dada tampak bendungan "batswing appearance.
6. Diagnosis Edema paru akut non kardiak
7. Banding Emboli paru
- Asma bronkial
8. Pemeriksaan 1. Saturasi oksigen
Penunjang 2. EKG
3. Laboratorium : elektrolit, analisa gas darah, enzim jantung, ureum,
kreatinin, dli
4. Rontgent thorax
5. Echocardiografi
9. Terapi A. Tindakan Pertama
- tidak harus dicapai dengan diuresis berlebihan.
- Bila furosemid sudah rutin diminum sebelumnya maka dosis bisa
digandakan. Bila dalam 20 menit belurn didapat hasil yang diharapkan,
ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa lebih tinggi bila retensi cairan
menonjol ddan bila fungsi ginjal terganggu. Dosis 40-80 mg iv bolus
dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip
kontinyu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam
- Morfin sulfat diencerkan dengan 9 cc NaCl 0,9% berikan 2-4 mg IV bila
TD > 100 mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pilihan edema paw
namun dianjurkan pemberian dirumah sakit, efek venodilator
meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran batik ke vena sentral dan
paru.
Mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan jugs efek
vasodilator ringa sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin
103
menurunkan laju pernafasan
B. Tindakan kedua :
- Jika respon pasien baik setelah tindakan pertama, maka tidak diperlukan
pemeriksaan tambahan, bila normotensi dapat dilanjutkan pemberian
nitrogliserin IV 10-20 mcg/menit dengan tetap memantau TD.
Nitroprusside IV 0,5- 5mcg/KaBB/menit diberikan bila edema paru
disertai TD tinggi
- Bila perlu (tekanan darah turun/terdapat tanda-tanda hipoperfusi): drip
dobutamin 2-20 ug/kgBB/menit bila hipotensi tanpa syok Drip dopamin
2-20 ug/kgBB/menit bila TD 70-100 mmHg dengan syok, atau kombinasi
keduanya, utuk menstabilkan hemodinamik.
C. Tindakan ketiga :
- Dipersiapkan bila tindakan pertama dan kedua tidak memberi hasil yang
memadai atau terdapat komplikasi spesifik.
- Perlu dilakukan monitor hemodinamik invasif dengan fasilitas spesialistik
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard akut
Atasi aritmia atau gangguan konduksi

10. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respon terapi. Pendekatan
sistematis menjadi kunci utama penangan kasus edema paru. Penyakit dasar
dapat segera dikenali dengan
meneliti keluhan, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan status hemodinamik dan pertolongan segera

104
diberikan secara intensif. Trias kardiovaskular meliputi irama denyut jantung
(rate), miokard untuk memompa (pump), dan sistem vaskular, hams
diupayakan segera dinilal dan dievaluasi sebab semua pasien hipotensi/syok
dan edema paru berawal dari gangguan 3 sistem tersebut, dengan problem
meliputi :R
ate problem, pump problem atau volume problem ditambah problem
resistensi vaskular
11. Kepustakaan 1. ACLS. American Heart Association. 2011
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. PAPDI. 2014

105
HIPERTENSI PULMONAL
SKDI 1

1. Pengertian Penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh
(definisi) darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan
pada saat melakukan aktivitas.
2. Anamnesis • Sesak, lelah, angina pektoris, sinkop, hampir sinkop
• Riwayat penyakit komorbid
3. Pemeriksaan Fisik • Mencerminkan deraiat keparahan PH :
o Aksentuasi komponen pulmonal S, (terdenBar pada apeks >90%)
o Bunyi klik pada awal sistolik (early systolic click)
o Ejeksi murmur midsistolik
o Left parasternal lift
o S4 ventrikel kanan (38%)
o Meningkatnya gelombang "a" jugular
• Sugestif PH deraiat sedang-berat :
o Deraiat sedang-berat : murmur holosistolik yang meningkat saat
inspirasi, meningkatnya gelombang "v" jugular, pulsatile liver,
murmur diastolik, hepatojugular reflux
o PH stadium laniut dengan kegagalan ventrikel kiri : S, ventrikel kanan
(23o/o), distensi vena jugular, hepatomegali, edema perifer (32o/o),
asites, tekanan darah rendah, hilangnya tekanan nadi, akral dingin
• Sugestif kemungkinan penyebab lain atau kaitan dengan PH :
o Sianosis sentral, clubbing
o Temuan pada auskultasi jantung (murmur sistolik, diastolik, opening
snap, gallop
o Ronki, perkusi redup atau menurunnya bunyi napas
o Ronki basah halus, penggunaan otot aksesorius, mengi, ekspirasi
protraksi, batuk produktif
o Obesitas, kifoskoliosis, pembesaran tonsil
o Sklerodaktili, artritis, teleangiektasis, fenomena Raynaud, ruam
o Insufisiensi vena perifer atau obstruksi
o Ulkus vena stasis
o Bruit vaskular paru
o Splenom egali, spider angiomota, palmar eritem, ikterus, kaput
medusa, asites
4. Pemeriksaan • Laboratorium : darah perifer lengkap, ANA, HIV TSH, fungsi hati,
Penunjang biomarker jantung (BNP, NT-proBNP, troponin T)
• EKG : right axis deviation, hipertrofi ventrikel kanan, hipertrofi atrium
kanan
• Radiologis:
o Foto toraks : pembesaran arteri pulmonalis sentral, hipertrofi
ventrikel kanan, hipertrofi atrium kanan
o Ekokardiogram: pembesaran ventrikel dan atrium kanan, penurunan
fungsi ventrikel kanan, regurgitasi trikuspid, pergeseran septum
intraventrikular, efusi pericardial
o MRI jantung: menilai ukuran dan fungsi ventrikel kanan secara
akurat
5. Kriteria Diagnosis Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, rontgen dada, EKG, kateterisasi
jantung, hasil pemindaian perfusi paru, pemeriksaan fungsi paru, dan biopsy
paru. Kateterisasi jantung sebelsh kanan akan menunjukkan kenaikan tekanan
arteri pulmonary. Angiografi paru akan mendeteksi defek dalam pembuluh
darah paru, seperti emboli paru. Pemeriksaan fungsi paru akan
memperlihatkan suatu peningkatan volume residual dan kapasitas paru total
serta penurunan volume ekspirasi (FEV1) pada penyakit obstruksi paru dan
penurunan kapasitas vital serta kapasitas paru total dalam penyakit restiktif
paru. Biopsi paru akan menegakkan diagnosis hipertensi paru.
106
6. Diagnosis Banding Kelainan lain seperti penyakit jantung, paru dan gangguan vascular paru
harus disingkirkan. Pemeriksaan fungsi paru dapat mengidentifikasi PPOK
yang menyebabkan hipertensi pulmonal dank or pulmonal. Scan perfusi paru
dipertimbangkan untuk eksklusi emboli paru kornik. Spiral CT san,
arteriografi dan biopsy paru dipertimbangkan untuk membedakan emboli paru
dari HPP.
Dipastikan tidak ada kelainan jantung yang mendasari HPP, termasuk
kelainan arteri pulmonal dan stenosis katup pulmonal. Shunt arteri pulmonal
dan ventrikel atrial dengan penyakit vascular paru (sindrom Eisenmenger)
sebaiknyaa di telusuri. Stenosis mitral yang ringan (silent MS) dapat di
eksklusi dengan pemeriksaan ekokardiografi.
7. Terapi • Pengobatan hipertensi pulmonal bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi
jantung kiri dengan menggunakan obat-obatan seperti diuretik, beta-
blocker, dan ACE Inhibitor atau dengan cara memperbaiki katup jantul
mitral atau katup aorta (pembuluh darah utama).
• Pada Hipertensi Pulmonal pengobatan dengan perubahan pola hidup,
diuretic, antikoagulan, dan terapi oksigen merupakan suatu terapi yang
lazim dilakukan tetapi berdasarkan dari penelitian tersebut belum pernah
dinyatakan bermanfaat dalam mengatasi penyakit tersebut.
• Pembedahan sekat antar serambi jantung (Atrial Septostomi) yang dapat
menghubungkan antara serambi kanan dan serambi kiri dapat mengurangi
tekanan pada jantung kanan tetapi kerugian dari terapi ini dapat
mengurangi kadar oksigen dalam darah (hipoksia).Transplantasi paru
dapat menyenangkan hipertensi pulmonal namun komplikasi terapi ini
cukup banyak dan angka harapan hidupnya kurang lebih 5 tahun.
• Obat-obatan Vasoaktif
• Obat-obat Vasoaktif yang digunakan saat ini antara lain adalah Antagonis
Reseptor Endothelial,PDE-5 inhibitor dan Derivat Prostasiklin. Obat-obat
tersebut bertujuan untuk mengurangi tekanan dalam pembuluh darah
paru. Sildenafil adalah obat golongan PDE-5 inhibitor yang mendapat
persetujuan dari FDA pada tahun 2005 untuk mengatasi hipertensi
pulmonal.
8. Komplikasi Gagal jantung kanan (cor pulmonale, bekuan darah, aritmia, perdarahan.
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia
10. Kepustakaan 1. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-18. New York:
McGraw-Hill:2012
2. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI.
3. Buku Ajar Penyakit Dalam, jilid II, edisi V
4. Mclaughlin V, Archer S, Badesch D, et ol. ACCF/AHA 2009 Expert
Consensus Document on Pulmonary Hypertension: A Report of the
American College of Cardiology Foundation Task Force on Expert
Consensus Documents and the American Heart Association Developed
in Collaboration With the American College of Chest Physicians;
American Thoracic Society, lnc.;and the Pulmonary Hypertension
Association. J. Am. Coll. Cardiol. 2009;53;1573-1619. Diunduh dari
http://content.onlinejocc.org/cgi/reprintfromed/53117 11573 pada
tanggal 14 Juni 2012.
5. Newman JH, Hemnes AR. Pulmonary Hypertension. In : Schrougnogel
DE. Breathing in Americo : Diseases, Progress, and Hope. American
Thoracic Society. 2010. Hal 175-84. Diunduh dari
http://www.thoracic.org/education/breathing-in-
america/resources/breathing-in-america.pdf pada tanggal 23 Mei 2012.
6. Rich S. Pulmonary Hypertension. ln : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of lnternal
Medicine 1.8th Edition. New York, McGrow-Hi\I.2072

107
KARDIOMIOPATI DILATASI
(DILATED CARDIOMYOPATHY)
SKDI 2

1. Pengertian Dilatasi dan gangguan fungsi kontraksi ventrikel kiri / kedua ventrikel
(definisi)
2. Anamnesis • Sesak nafas
• Lekas lelah / rasa lemah
• Sembab
3. Pemeriksaan Fisik • Orthopnoe
• S3/S4 gallop
• Murmur regurgitasi (terutama mitral)
• Pembesaran jantung
• Hepatomegali
• Ascites
• Edema tungkai
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada
Penunjang 2. Elektrokardiografi/EKG
3. Echocardografi
4. Angiografi koroner
5. Biopsimiokard, sesuai keperluan/ prioritas pasien
5. Kriteria Diagnosis 1. Keluhan lekas lelah, sesak nafas dan rasa lemah.
2. Pemeriksaan fisik: orthopnoe, JVP meningkat, gallop S3 / S4, murmur
regurgitasi, ascites, hepatomegali, edema tungkai.
3. Foto Rontgen dada: kardiomegali, dilatasi arteri pulmonal.
4. EKG: sinus takikardia, aritmia atrium/ ventrikel, dilatasi ventrikel &
atrium.
5. Ekokardiografi: dilatasi ruang-ruang jantung, penurunan fungsi sistolik
dan atau diastolik, regurgitasi katup karena dilatasi annulus
6. Bukan disebabkan oleh hipertensi, atau PJK.
6. Diagnosis Banding • Ischemic cardiomyopathy
• Hypertensive heart disease
• Miokarditis
7. Terapi 1. Diuretik: Furosemid 1 x 20-80mg (bila masih ada tanda kongesti)
Spironolakton mulai dari 1x 12,5mg
2. ACE-Inhibitor :Lisinopril mulai dari2,5 mg; atau Kaptopril mulai dari 2 x
6,25mg; atau Ramipril mulai dari1 x2,5mg, atau
3. Angiotensin Receptor Blocker/ARB: Valsartan mulai dari 40 mg, atau
Losartan mulai dari 25 mg, atau Irbesartan mulai dari 150mg, atau
Candesartan
4. Beta-blocker: Bisoprolol mulai dari 1 x 1,25 mg, atau Carvedilol mulai
dari 2x 3,125 mg, atau Metoprolol mulai dari 2x25mg
8. Edukasi 1. Edukasi kepatuhan pengobatan
2. Edukasi restriksi cairan dan garam
3. Edukasi diet seimbang
4. Edukasi pengetahuan penyebab kekambuhan
5. Edukasi pengaturan dosis diuretic
6. Edukasi latihan fisik yang aman dan bermanfaat
10. Prognosis Ad vitam : malam
Ad sanationam :malam
Ad fungsional : malam
11. Kepustakaan 1. Panduan Praktik Klinis RS Jantung dan Pembuluh Daarah Haran Kita.
2014-2015.
2. Heart Failure Guideline.
3. ESC Guidelines Valvular 2012
4. ACC/AHA Guidelines Valvular 2008
108
5. JNC 7
6. AHA statement; Circulation 2009;119;1541-1551.
7. World Heart Federation 2007; Diagnosisand Management of Rheumatic
Fever and Rheumatic Heart Disease.
8. Habib G, et al. Infective Endocarditis: GuidelinesonthePrevention,
Diagnosis, and Treatmentof Infective Endocarditis. Eur. Heart Journal
2009;30:2369-2413
9. Wilson W, et al. Infective Endocarditis: Diagnosis and Management,
American Heart Association scientific Statement. Circ. 2005;111:e394-
433
10. Taubert KA. Gewitz M. Infective Endocarditis: Moss and Adams’ Heart
Disease in Infants, Children, and Adolescents 7 th ed 2008; Lippincott
Williams & Wilkins, USA: 1299-1312
11. Myung KP. Pediatric Cardiology for practitioners, 5 th ed 2008; Mosby
Elsevier USA

109
KARDIOMIOPATI HIPERTROFI
(HYPERTROPHIC CARDIOMYOPATHY)
SKDI 2

1. Pengertian Penyakit jantung yang ditandai dengan penebalan – tetapi tidak melebar-
(definisi) ventrikel kiri, tanpa dijumpai adanya penyakit jantung lain atau kondisi
sistemik yang dapat menyebabkan penebalan otot ventrkel.
2. Anamnesis 1. Lekas lelah
2. Sesak nafas
3. Orthopnoe
4. Paroxysmal nocturnal dyspnoe
5. Nyeri dada
6. Pingsan
7. Rasa melayang
3. Pemeriksaan Fisik 1. Murmur ejeksi sistolik
2. Tanda gagal jantung lainnya
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada
Penunjang 2. Elektrokardiografi
3. Ekokardiografi
4. Biopsimiokardium
5. Kriteria Diagnosis 1. Tanda dan gejala gagal jantung dan nyeri dada
2. Echocardiografi menunjukkan penebalan otot ventrikel kiri
3. Tidak ada penyakit jantung lain, kelainan katup atau penyakit sistemik
yang dapat menyebabkan penebalan ventrikel kiri
4. Penebalan bukan karena pekerjaan sebagai atlet
6. Diagnosis Banding Hypertensive HeartDisease
7. Terapi 1. Beta blocker (bisoprolol 5-10 mg, atau Atenolol 50- 100 mg, atau
Metoprolol 50-100 mg) dan/atau
2. Verapamil 40-80mg
3. Warfarin atau Coumarine (bila disertai fibrilasi atrium)
4. Surgicalseptal myectomy (bila menunjukkan tanda/ gejala gagal jantung
yang tidak teratasi dengan obat-obatan) dan disebabkan oleh obstruksi
LVOT (gradient >50 mmHg)
5. Alcohol Septal Ablation.
6. I C D bila ada aritmia yang mengancam jiwa (VT atau VF)
9. Edukasi 1. Edukasi kepatuhan pengobatan
2. Edukasi restriksi cairan dan garam
3. Edukasi diet seimbang
4. Edukasi pengetahuan penyebab kekambuhan
5. Edukasi pengaturan dosis diuretic
6. Edukasi latihan fisik yang aman dan bermanfaat
9. Prognosis Ad vitam : malam
Ad sanationam :malam
Ad fungsional : malam
10. Kepustakaan 1. Panduan Praktik Klinis RS Jantung dan Pembuluh Daarah Haran Kita.
2014-2015.
2. Heart Failure Guideline.
3. ESC Guidelines Valvular 2012
4. ACC/AHA Guidelines Valvular 2008
5. JNC 7
6. AHA statement; Circulation 2009;119;1541-1551.
7. World Heart Federation 2007; Diagnosisand Management of Rheumatic
Fever and Rheumatic Heart Disease.
8. Habib G, et al. Infective Endocarditis: GuidelinesonthePrevention,
Diagnosis, and Treatmentof Infective Endocarditis. Eur. Heart Journal
2009;30:2369-2413
9. Wilson W, et al. Infective Endocarditis: Diagnosis and Management,
110
American Heart Association scientific Statement. Circ. 2005;111:e394-
433
10. Taubert KA. Gewitz M. Infective Endocarditis: Moss and Adams’ Heart
Disease in Infants, Children, and Adolescents 7 th ed 2008; Lippincott
Williams & Wilkins, USA: 1299-1312
11. Myung KP. Pediatric Cardiology for practitioners, 5 th ed 2008; Mosby
Elsevier USA

111
KLAUDIKASIO
SKDI 2

1. Pengertian Semua penyakit yang mencakup sindroma arterial non koroner yang
(definisi) disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsi arteri yang mengaliri otak, organ
viseral, dan ke empat ekstremitas.
2. Anamnesis • Rasa pegal, nyeri, kram otot, atau rasa lelah otot yang timbul sewaktu
melakukan aktivitas dan berkurang atau menghilang setelah istirahat
beberapa saat.
• Gejala klaudikasi atipikal bisa muncul yaitu berupa nyeri pada telapak kaki
atau rasa terbakar.
• Riwayat hipertensi, DM dan penyakit ginjal kronis.
• Riwayat merokok.
• Diet.
3. Pemeriksaan Fisik • Penurunan atau hilangnya perabaan nadi pada distal obstruksi.
• Terdengar bruit pada daerah arteri yang menyempit.
• Atrofi otot.
4. Pemeriksaan • Hematokrit, PT, aPTT, trombosit
Penunjang • Elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah
• Analisa urin, tes untuk mioglobin.
• CPK dengan isoenzim.
• Rontgen thorax
• Elektrokardiografi
• 2 D ekokardiografi
• Duplex ultrasonografi untuk menghitung ankle brachialindex (ABl),
sangat berguna untuk mengetahui adanya PAD, gambaran velocity doppler
menjadi mendatar, dapat ditemukan lesi penyempitan, kolateral atau graft
bypass.
• Stress test dengan treadmill
• Arteriogram
• Magnetic resonance angiography
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis klaudikasio ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan dari
pemeriksaan objektif (pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang).
6. Diagnosis Banding Kelainan yang dapat menyebabkan nyeri kaki setelah berjalan, antara lain:
• Nyeri neurogenik
• Trombosis vena akut
• Insufisiensi vena kronik
• Ruptur kista poplitea
• Hematoma muskular
7. Terapi • Non farmakologis
− Mengelola faktor risiko, menghilangkan kebiasaan merokok,
mengatasi diabetes melitus, hiperlipidemi, hipertensi,
hiperhomosisteinemia dengan baik.
− Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih
dan lembab dengan memberikan krem pelembab. Memakai sandal dan
sepatu yang ukurannya pas dan dari bahan sintetis yang berventilasi.
− Latihan fisik (exercise), merupakan pengobatan yang paling efektif.
Latihan fisik berupa jalan kaki kira-kira selama 30-45 menit atau
sampai terasa hampir mendekat nyeri maksimal. Program ini
dilakukan selama 6-12 bulan.
• Farmakologis
− Aspirin, klopidogrel, pentoxifilline, cilostazol, dan ticlopidine. Obat-
obat tersebut dalam penelitian dapat memperbaiki jarak berjalan dan
mengurangi penyempitan.
• Terapi bedah
112
Pilihan terapi intervensi dapat dilakukan dengan cara operasi bypass atau
intervensi perkutan yang disebut percutaneous transluminal intervention
(PTA) atau disebut juga terapi endovascular.
8. Komplikasi • Tromboemboli
• Infark serebral
• Stroke
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
• Viable tidak terancam segera
• Terancam
− Marginal : dapat diselamatkan jika diobati segera
− Segera : dapat diselamatkan j ika revaskularisasi cito
• Irreversibel kematian jaringan umum, kerusakan saraf permanen

10. Kepustakaan 1. Sneller MC, Langford CA, Fauci AS. ln Harrison's principles of internal
medicine. 16th ed. Kasper DL et al (ed); New York, Graw-Hill, 2005;
2002 - 10.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006.
4. Soemohardjo, Soewingjo, Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006.
5. Beckman JA, Creager lVA, Libby P. Diabetes and Atherosclerosis,
Epidemiology, Pathophysiology, and Management. JAMA 2002;287;2570
- 81.
6. Creager l\4A, Dzau VJ, Vascular diseases of extremities, ln arrison's
principles of internal medicine. 16th ed. Kasper DL et al(ed) ; NY,
McGraw-Hill ,2005 ; 1486 -94.
7. Creager lr/A, Libby P, Peripheral Afterial Diseases, ln Head Disease a
Textbook of Cardiovascular l\/edicine. 6th ed. Braunwald, Zipes, Libby
(ed); WB Saunders Company, 200'1 ; 1457-78.
8. Gaylis H. Diagnosis and Treatment of Peripheral Arterial Disease. JAMA
2002; 287; 313 - 16.
9. Gey DC, Lesho EP, Manngold J. Management of Peripheral Arterial
Disease. American Family Physician 2O04;Feb;1-12.

113
LIMFANGITIS
SKDI 3A

1. Pengertian Limfangitis Akut adalah peradangan pada satu atau beberapa pembuluh
(definisi) pembuluh getah bening..
2. Anamnesis Dari Anamnesis biasanya akan didapatkan penderita biasanya merasakan
demam tinggi, panas dingin, denyut jantungnya meningkat dan sakit kepala.
Kadang gejala-gejala ini muncul sebelum terjadinya kelainan di kulit.
Kehilangan nafsu makan dan nyeri otot juga sering dijumpai Penyebaran
infeksi dari pembuluh getah bening ke dalam aliran darah akan membawa
infeksi ke seluruh tubuh. Pada kulit diatas pembuluh getah bening yang
terinfeksi bisa timbul koreng.
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksa akan melakukan pemeriksaan fisik, yang meliputi perabaan
kelenjar getah bening mencari tanda-tanda cedera sekitar pembengkakan
kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan dibawah kulit dari lengan atau tungkai yang terinfeksi,
akan tampak goresan merah yang tidak teratur dan teraba hangat. Goresan ini
biasanya memanjang mulai dari daerah yang terinfeksi menuju ke
sekelompok kelenjar getah bening, misalnya yang terdapat di selangkangan
atau ketiak. Kelenjar getah bening akan membesar dan teraba lunak.
4. Pemeriksaan Biopsi dan kultur daerah yang terkena dapat mengungkap penyebab
Penunjang peradangan. Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan antara lain :
1. Hitung darah lengkap.
2. Biakan darah.
3. Foto rontgen.
4. Serologi.
5. Uji kulit.
5. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel darah
putih. Organisme penyebab infeksi hanya dapat dibiakkan di laboratorium
bila infeksi sudah menyebar ke aliran darah atau bila terbentuk nanah pada
luka yang terbuka.
6. Diagnosis Banding Contact dermatitis
Cellulitis
Septic thrombophlebitis
Superficial thrombophlebitis
Necrotizing fasciitis
Myositis
Sporotrichosis
7. Terapi Limfangitis dapat menyebar dalam hitungan jam. Pengobatan mungkin
termasuk :
• Antibiotik untuk mengobati infeksi yang mendasari, Kebanyakan
penderita akan sembuh segera setelah diberikan antibiotik, yaitu
biasanya dikloksasilin, nafsilin atau oksasilin.
• Analgesik untuk mengontrol nyeri
• Obat-obat anti-inflamasi untuk mengurangi inflamasi dan
pembengkakan
• Kompres panas lembab untuk mengurangi peradangan dan rasa sakit
• Memelihara kesehatan dan kebersihan tubuh akan membantu mencegah
terjadinya berbagai infeksi.
• Pembedahan mungkin diperlukan untuk menguras abses apapun.
8. Komplikasi Limfangitis dapat menyebar dengan cepat, menyebabkan komplikasi seperti:
- Selulitis,
- Bakteremia
- Sepsis

114
- Abses
9. Prognosis Pengobatan dengan antibiotik dapat memberikan pemulihan lengkap,
meskipun mungkin dalam waktu berminggu-minggu, atau bahkan bulan,
untuk pembengkakan menghilang. Jumlah waktu sampai pemulihan terjadi
bervariasi, tergantung pada penyebab yang mendasarinya.
10. Kepustakaan 1. Cohen BE, Nagler AR, Keltz Pomeranz M. Nonbacterial causes of
lymphangitis with streaking. JABFM. 2016 Nov-Dec. 29(6):808-12.
2. Abraham S, Tschanz C, Krischer J, Saurat JH. Lymphangitis due to
insect sting. Dermatology. 2007. 215(3):260-1.

115
LIMFEDEMA
SKDI 3A

1. Pengertian (definisi) Pembengkakan yang umumnya terjadi pada salah satu atau kedua lengan dan
tungkai, yang disebabkan oleh penghambatan atau gangguan pada sistem
limfatik, yang merupakan bagian dari sistem imun dalam tubuh.
2. Anamnesis • Pembengkakan pada lengan atau tungkai, termasuk pergelangan dan jari.
• Nyeri pada bagian yang bengkak atau terluka.
• Kesulitan bergerak.
• Merasa berat atau kaku.
• Mudah merasa lelah.
• Mengalami infeksi berulang kali.
• Demam disertai meriang.
• Memar pada bagian yang terinfeksi.
• Pengerasan dan penebalan kulit (fibrosis).
• Infeksi kulit (selulitis).
• Peradangan pada kelenjar limfe.
• Terbentuk luka borok (ulserasi) dan retakan-retakan (fissuring) pada kulit.

3. Pemeriksaan Fisik • Pemeriksaan pengukuran anggota gerak tubuh.


Pemeriksaan ini meliputi pengukuran ukuran anggota gerak tubuh
pada beberapa waktu yang berbeda, menghitung besaran anggota
gerak tubuh dengan pemeriksaan perpindahan air (water
displacement), atau pemeriksaan perometri untuk mengukur garis
batas dan besaran anggota gerak tubuh yang terkena.
• Pemeriksaan berikutnya adalah pemeriksaan bioimpendansi, yang
mencakup pengukuran aliran arus listrik pada beberapa bagian
berbeda pada tubuh Anda. Jumlah cairan pada tubuh akan
mempengaruhi arus.
4. Pemeriksaan • CT scan dan MRI, untuk memeriksa kondisi struktur tulang dan hambatan
Penunjang pada sistem limfatik.
• Ultrasonografi, untuk memeriksa kelancaran aliran darah dan tekanannya
melalui gelombang suara.
• Lymphoscintigraphy, untuk memeriksa jika ada hambatan pada kelenjar
getah bening dengan menyuntikkan cairan radioaktif dan memantau
alirannya melalui mesin pemindaian.
5. Kriteria Diagnosis • Selama stadium pertama , pembengkakan jarang terlihat pada lengan
atau tungkai, tetapi tangan atau kaki dapat terlihat sedikit gemuk. Ji ka
pembengkakan didapatkan, sifatnya dapat intermiten/hilang timbul,
atau hanya muncul selama malam hari tetapi hilang saat siang hari.
Jika diberikan tekanan pada kulit sekitar daerah yang bengkak,
tekanan akan memberikan lekukan kecil. Limfedema stadium 1
umumnya tidak memerlukan pengobatan apapun dan kondisi tersebut
akan sembuh dengan sendirinya.
• Pada limfedema stadium 2, kulit di sekitar daerah yang bengkak
terasa seperti busa/spons. Pemberian tekanan pada daerah tersebut
tidak akan meninggalkan lekukan dan lengan atau kaki terasa keras
akibat fibrosis/pengerasan jaringan. Pengobatan umumnya diperlukan
pada stadium ini.
• Stadium lanjut dari penyakit ini atau limfedema stadium 3 juga
dikenal sebagai elephantiasis limfostatis. Pembengkakan lengan atau
tungkai terlihat jelas karena umumnya ukurannya sangat besar. Kulit
menjadi kering dan sisik-sisik akan mulai terbentuk. Pada beberapa
kasus, cairan mulai bocor atau kantong akan terbentuk untuk
menampung cairan. Infeksi kulit dapat muncul karena kerusakan kulit.
Pengobatan pada stadium ini memerlukan pembuangan cairan untuk
116
mengurangi pembengkakan, mengobati jaringan parut, mengobati
infeksi, dan berusaha mempertahankan fungsi alat gerak.
6. Terapi • Non farmakologis
o Meninggikan kaki atau lengan yang bermasalah
o Olahraga ringan
o Mengikat lengan atau tungkai
o Pneumatic compression
o Compression garments
o Manual lymph drainage
o Complete Decongestive Therapy (CDT)
• Farmakologis
o obat golongan antibiotik biasanya diresepkan untuk meredakan
gejala dan menekan potensi bakteri menyebar ke pembuluh darah
o Obat-obatan yang digunakan meliputi bahan yang menyerupai
retinoid (obat turunan vitamin A), seperti acitretin dan
tazarotene; antihelmintik seperti Albenza; produk oles untuk
kulit dan antibiotik. Ingatlah bahwa obat-obatan tersebut
digunakan untuk mengobati gejala limfedema karena saat ini
tidak ada cara untuk menyembuhkan kondisi tersebut.
• Terapi bedah
Dalam kasus yang parah, tindakan operasi dapat dilakukan untuk
mengeluarkan kelebihan cairan atau pengangkatan jaringan. Perlu diingat
tindakan ini hanya dapat mengurangi gejala dan tidak memulihkan limfedema
secara total.
7. Komplikasi • Infeksi
• Lymphangiosarcoma
• Pertumbuhan tumor
• Napas pendek
• Trombosis vena dalam atau deep vein trombosis (DVT)
• Amputasi
8. Kepustakaan 1. National Cancer Institute. https://www.cancer.gov/
2. Lymphedema – Canadian Cancer Society. https://cancer.ca/
3. D, James D. Lymphedema. Merck Manual Home Health Handbook.
2012.

117
MITRAL REGURGITASI
SKDI 2

1. Pengertian Suatu keadaan di mana terdapat aliran darah batik dari ventrikel kiri ke dalam
(definisi) atrium kiri pada saat sistol, akibat tidak dapat menutupnya katup mitral secara
sempurna.
2. Anamnesis • Sesak napas dan rasa lamas yang berlebihan yang timbul secara tiba-tiba
apabila adanya ruptur chorda.
• Nyeri dada, orthopnea, paroxysmal nocturnal dispnea dan rasa lelah.
• hemoptisis
• Pada MR akut berat hampir selalu ada gejala, biasanya berat sedangkan
pada MR kronis gejala dapat tidak muncul.
• Pada sindrom MVP gejala yang paling sering muncul adalah sakit dada,
gejala RM organik adalah letih/Ielah sedangkan pada RM fungsional gejala
yang muncul adalah CHF.
3. Pemeriksaan Fisik • Pada pemeriksaan palpasi, apeks biasanya terdorong ke lateral/kiri sesuai
dengan pembesaran ventrikel kiri.
• Thrill pada apeks pertanda terdapatnya MR berat.
• Bisa terdapat tight ventrikular heaving, atau bisa juga didapatkan
pembesaran ventrikel kanan.
• Bunyi jantung pertama biasanya bergabung dengan murmur, umumnya
normal, namun dapat mengeras pada RM karena penyakit jantung rematik.
• Murmur diastolik bersifat rumbling pada awal diastolik bisa juga terdengar
akibat adanya peningkatan aliran darah pada fase diastole, walau tidak
disertai oleh adanya stenosis mitral.
• Gallop atrial biasanya terdengar pada MR dengan awitan yang masih biru
dan pada MR fungsional atau iskemia serta pada irama yang masih sinus.
• MR akut ditandai dengan S1 halus, murmur sistolik awal sampai
holosistolik.
• MR kronis ditandai dengan adanya impuls apikal dinamis berpindah halus
atau normal pada palpasi kardiak, S1 holositolik.
• Sindrom MVP ditandai dengan click sistolik ringan dan murmur sistolik.
• RM organik ditandai dengan murmur holosistolik yang keras S3.
• RM fungsional ditandai dengan murmur sistolik awal halus S3.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. EKG
• Fibralasi atrial sering ditemukan pada MR karena kelainan organik.
• MR karena iskemia, Q patologis dan LBBB bisa terlihat
• sedangkan pada MVP bisa terlihat perubahan segmen ST-T yang tidak
spesifik. LAH dan RAH bisa ditemukan bila sudah ada hipertensi
pulmonal yang berat.
• LVH pada MR kronik.
4. Foto Thoraks
• Echokadiografi
5. Kepustakaan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. PAPDI. 2014
AHA/ACC Guideline for the Management of Patients withValvular
Heart Disease

118
MITRAL STENOSIS
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Mitral stenosis merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran
darah dari atrium kiri melalui katup mitral karena obstruksi pada level katup
mitral. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan
sehingga timbul gangguan pengisisan ventrikel kin pada saat diastol.
Berdasarkan luasnya area katup mitral, derajat mitral stenosis sebagai berikut.
• Minimal : bila area > 2,5 cm2
• Ringan : bila area 1,4-2,5 cm2
• Sedang : bila area 1-1,4 cm2
• Berat : bila area < 1,0 cm2
• Reaktif : bila area > 1 cm2
Hubungan antara gradien dan luasnya area katup serta, waktu pembukaan
katup mitral adalah sebagai berikut.
Derajat A2-05
Stenosis interval Area Gradien
Ringan > 110 msec > 1.5 cm < 5 mrnHg
Sedang 80-110 rnsec, >1 dan < 1,5 cm 5-10 mmHg
Berat < 80 msec < 1 cm > 10 mmHg
A2 OS : Waktu antara penutunan katup aorta cart dan pembukaan katup mitral
Derajat Mitral Stenosis

2. Anamnesis • Kebanyakan bebas keluhan dan biasanya keluhan utama berupa sesak
nafas, dapat juga fatigue.
• Pada stenosis mitral yang bermakna dapat mengalami sesak pada aktifitas
sehari-hari, paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang
tegas.
• Hemoptisis yang terjadi karena (1) apopleksi pulrrional akibat rupturnya
akibat rupturnya vena bronkial yang melebar, (2) sputum
• dengan bercak darah pada saat serangan paroksismal nokturnal dispnea, (3)
sputum seperti karat (pink frothy) oleh karena edema paru yang jelas, (4)
infark paru, (5) bronkitis kronis oleh karena edema mukosa bronkus.
• Nyeri dada pada sebagian kecil pasien
• Komplikasi mitral stenosis, seperti tromboemboli, infektif endokarditis
atau simtom karena kompresi akibat besamya atriumkin seperti disfagi dan
suara serak
3. Pemeriksaan fisik • Atrial fibrilasi
• Opening snap dan bising diastol kasar (diastolic rumble) pada daerah
mitral
• Terdengar S1 yang rnengeras
• Di apeks rumbel diastolik dapat diraba sebgai thrill.
• Terdengar P2 yang mengeras

119
4. Kriteria diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Foto Thoraks : gambaran klasiknya adalah pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonalis Edema intersisial berupa garis Kerley.
4. Ekokardiografi Doppler
5. Ekokardiografi Transesofageal
6. Kateterisasi
5. Diagnosis Mitral Stenosis
6. Diagnosis banding 1. ASD
2. VSD
3. Mitral regurgitasi
7. Pemeriksaan 1. Foto Thoraks
penunjang 2. Ekokardiografi Doppler
3. Wilkins score

Abascal echocardiographic score for mitral stenosis

Table. Determinants of the Echocardiographic Mitral Valve Score


Grad Subvalvular
Mobility Thickening Calcification
e Thickening

1 Highly Minimal Leaflets A single area


mobile valve thickening near normal of increased
with only just below in thickness echo
leaflet tips the mitral (4 to 5 mm) brightness
restricted leaflets

2 Leaflet mid Thickening Midleaflets Scattered


and base of chordal normal, areas of
portions structures considerabl brightness
have normal extending up e thickening confined to
mobility to one third of margins leaflet
of the (5 to 8 mm) margins
chordal
length

3 Valve Thickening Thickening Brightness


continues to extending to extending extending
move the distal through the into the
forward in third of the entire midportion of
diastole, chords leaflet (5 to the leaflets
mainly from 8 mm)
the base

4 No or Extensive Considerabl Extensive


minimal thickening e thickening brightness
forward and of all leaflet throughout

120
movement of shortening of tissue much of the
the leaflets all chordal (greater leaflet tissue
in diastole structures than 8 to 10
extending mm)
down to the
papillary
muscles

1. Evaluasi hemodinamik katup III


mitral bila data 2-D dan doppler
sesuai dengan temuan klinis

Reprinted with permission from Wilkins GT, Weyman AE, Abascal VM,
Block PC, Palacios IF. Percutaneous balloon dilatation of the mitral valve: an
analysis of echocardiographic variables related to outcome and the mechanism
of dilatation. Br Heart J 1988;60:299–308.400
3. Ekokardiografi Transesofageal
4. Kateterisasi
Sesuai dengan petunjuk dari American College of Cardiology/American Heart
Association (ACC/AHA) dipakai klasifikasi indikasi diagnostik prosedur
terapi, sebagai berikut.
Klas I : keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa
prosedur atau pengobatan itu bermanfaat dan efektif.
Klas II : keadaan di mana terdapat konflik/perbedaan pendapat tentang
manfaat atau efikasi dari suatu prosedur atau pengobatan.
II.a. bukti atau pendapat lebih ke arah bermanfaat atau efektif.
II.b. kurang/tidak terdapat bukti adanya manfaat atau efikasi.
Klas III keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa
prosedur atau pengobatan itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa kasus
berbahaya
Rekomendasi Ekokardiografi

Indikasi Klas

1. Diagnoss stenosis mitral, evaluasi berat ringannya I


(gradient fatai-tata.. area katup. tekanan arteri pulinonahs),
serta ukuvan dan fungsi ventrikel kanan
2. Evaluasi morfologis katup, guna menentukan kelayakan I
tindakan balon katup
3. Diagnosis dan evaivasi kelainan katup yang menyertai I

4. Re-evaivasi stenosis mitral dengan perubanan gejala dan I


tanda
5. Evaluasi respons hemodinamik dari gradient rata-rata pada IIa
latihan bila terlihat perbedaan gambaran klinisdengan
hemodinamik pada latihan
6. Re- evaluasi pasien stenosis sedang berat asimtomatik IIb
untuk menentukan tekanan arteri pulmonalis
7. Evaluasi rutin stemosis ringan dan klinis stabil III

Rekomendasi Ekokardiografi Transesofageal (ETT)

Indikasi Klas

1. Untuk menentukan ada tidaknya trornbus atrium kiri pada IIa


pasien dengan rencana balon volvotomi atau kardioversi

121
2. Evaluasi morfologis katup bila data kurang optimal IIa

3. Evaluasi rutin morfologis katup mitral bb data transtorakal II


cukup optimal I

Rekomendasi Ekokardiografi
Indikasi Klas

1. Diagnosis stenosis mitral, evaluasi berat ringannya I


gradient rata-rata, area katup, tekanan arteri
pulmonalis), serta ukuran dan fungsi ventrikel kanan
2. Evaluasi morfologis katup, guna menentukan I
kelayakan tindakan balon katup
3. Re evaluasi stenosis mitral dengan perubahan gejala I
dan tanda
4. Evaluasi respons nemodinamik dari gradient rata-rata
pada latihan, bila terlihat perbedaan gambaran dengan
hemodinamik pada latihan
5. Re- evaluasi pasien stenosis sedang berat asimtomatik
untuk rnenentukan tekanan arteri pulmonalis
6. Evaluasi rutin stenosis ringan dan klinis stabil
Rekomendasi Ekokardiografi Transesofageal (ETT)

Indikasi Klas

1. Untuk menentukan ada tidaknya trounbus IIa


atrium kiri pada pasien dengan rencana
balon valvotomi atau kardioversi
2. Evaluasi morfologis katup bila data IIa
transtorakal kurang optimal
3. Evaluasi rutin rnorfologis katup mitral bila III
data transtorakal cukup optimal
Indikasi
Klas

2. Pada pasien secara selektif I

3. Menentukan gradasi stenosis IIa


pada rencana balon valvotomi
dimana gambaran klinis dan eko
tidak sesuai
4. Evaluasi arteri pulmonal, atrium IIa
kiri, tekanan diastolik ventrikel
kiri jika simtom tidak sesuai
dengan 2-D echo dan dappler
5. Evaluasi respons hemodinamik IIa
arteri pulmonal dan tekanan
artrium kiri terhadap stres bila
simtorn klinis dan hemodinamik
pada istirahat tidak sesuai
Rekomendasi Kateterisasi Jantung

9. Terapi 1. Diuretik jika terbukti adanya kongesti vaskular paru


2. Antibiotik golongan penisilin, eritromisin, sulfa, sefalosporin untuk
demam reumatik atau pencegahan endokarditis sering dipakai.
3. Obat inotropik negatif seperti B-bloker atau Ca-bloker
4. Digitalis pada keadaan fibrilasi atrium, dapat dikombinasikan dengan
122
B-bloker atau antagonis kalsium. Bila perlu pada keadaan tertentu di
mana terdapat gangguan hemodinamik dapat dilakukan kadioversi,
dengan pemberian heparin intravenous sebelum pada saat ataupun
sesudahnya.
5. Antikoagulan warfarin sebagai pencegahan embolisasi sitemik.

Rekomendasi Pemakaian Antikoagulansia


Indikasi Klas

1. Fibrilasi atrial paroksisrnal atau kronik I

2. Riwayat kejadian emboli sebelumnya I

3. Stenosis berat dengan dimensi atrium kiri > 55 mm IIb

4. Seluruh pasien dengan stenosis mitral III

5. Valvotomi mitral perkutan dengan balon

Rekomendasi Valvotomi Perkutan dengan Balon

Indikasi

1. Pasien simtomatik klasifikasi NYHA II-IV stenosis mitral


sedang atau berat dengan area < 1,5 cm2, morfologis katup
memenuhi syarat untuk valvotomi balon tanpa adanya
trombus atrium kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat
2. Pasien asimtomatik dengan gradasi sedang berat (area <1,5
cm2), morfologi katup memenuhi syarat dengan hipertensi
pulmonal (>50 mmHg pada istirahat, 60 mmHg dengan
latihan), tanpa adanya trombus di atrium kiri atau regurgitasi
mitral sedang-berat
3. Pasien dengan klasifikasi NYHA II-IV gradasi sedang berat
(area <1,5 cm2), katup tidak poliable disertai klasifikasi
dengan risiko tinggi operasi, tanpa adanya trombus diatrium
kiri atau regurgitasi mitral sedang dan berat

4. Pasien asimtomatik gradasi sedang-berat (area <1,5 cm2),


morfologi katup memenuhi syarat untuk valvotomi balon
disertai onset atrial fibrilasi yang baru, tanpa adanya trombus
diatrium kiri atau regurgitasi mitral sedang berat
5. Klasifikasi NYHA III-IV, gradasi sedang-berat (area <1,5
cm2), katup kaku disertai klasifikasi dan risiko rendah untuk
operasi
6. Pasien dengan stenosis mitral ringan
7. ntervensi bedah, reparasi atau ganti katup

123
Gambar 1 Algoritme pada pasien stenosis (from Bonow R, et, Al
ACC/AHA Task Force report on guidelines for valvular heart
diseaseMVR, penggantian katup mitral; LA atrium kiri, RM,
regurgitasi mitral; PMBV, percutaneus mitral ballon valvotomy.
* terdapat variabilitas pengukuran area katup mitral dan gradien
rata-rata transrnitral, dan tekanan pulmonar yang seharusnya
menjadi pertimbangan.

* terdapat kontroversi tentang apakah pasien dengan stenosis


mitral berat dan hipertensi pulmonar berat harus rnenjalani
penggantian katup mitral untuk mencegah gagal ventrikel kanan

Simtomatik kelas
fungsional II NYHA

Stenosis berat sedang


Stenosis ringan
MVA < 1,5 cm

Latihan

PAP > 60 mmHg Morfologi katup yang


PAWP > 30 mmHg Ya layak untuk PMBV
Gradien > 15 mmHg

Tidak Ya
Tidak

Pemeriksaan tahunan Pertimbangkan PMBV

Gambar 2. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan simtom klafikasi


II (From Bonow R. et. Al ACC/AHA Task Force report on guidelines for
valvular heart disease. J Am Coll Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral;
PAP, tekanan sistolik arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar;
MV, mitral valve. MVR, pergantian katup mitral; LA, atrium kiri; RM,
regurgitasi mitral, PMBV, percutaneus mitral ballon valvatomy

124
Stenosis berat sedang
Stenosis ringan
MVA < 1,5 cm

Latihan

PAP > 60 mmHg Morfologi katup yang


PAWP > 30 mmHg Ya layak untuk PMBV
Gradien > 15 mmHg

Tidak Ya
Tidak

Cari etiologi lain Resiko tinggi untuk


kandidat operasi

Tidak Ya

Perbaikan katup mitral


atau pergantian katup Pertimbangkan PMBV (singkirkan
mitral bekuan atrium kiri regurgitasi mitral 3-4)

Gambar 3. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan simtom klasifikasi


III-IV (From Bonow R, et. Al ACC/AHA Task Force report on guidelines for
valvular heart disease. J Am Coll Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral;
PAP, tekanan sistolik arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar;
MV, mitral valve, MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kih; RM,
regurgitasi mitral; PMBV, percutaneus mitral ballon valvatomy

8. Edukasi 1. Diet rendah garam


2. Latihan fisik tidak dianjurkan, kecuali latihan ringan hanya untuk menjaga
kebugaran
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
10. Kepustakaan 1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. PAPDI. 2014
2. AHA/ACC Guideline for the Management of Patients with Valvular Heart
Disease

125
PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
SKDI 3A

1. Pengertian Penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik) akibat kompensasi


(Definisi) jantung menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor
neurohumoral
2. Klasifikasi Berdasarkan NYHA (New York Heart Association), derajat penyakit jantung
hipertensi dibagi menjadi :
• Kelas I : Aktivitas fisik tidak terbatas
• Kelas II : Aktifitas fisik sedikit terbatas
• Kelas III : Aktifitas fisik sangat terbatas
• Kelas IV : Sesak saat istirahat.
3. Anamnesis Gejala klinis : sering asimptomatik, jika simptomatik disebabkan oleh:
• Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti :
- berdebar-debar,
- rasa melayang (dizzy)
- impoten.
• Penyakit jantung/hipertensi vaskular seperti :
- cepat capek,
- sesak napas,
- sakit dada (iskemia miokard atau diseksi aorta),
- bengkak kedua kaki atau penit.
• Gangguan vaskular lainnya atialah
- epistaksis,
- hematuria,
- pandangan kabur karena perdarahan retina,
- transient cerebral ischenne.
• Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder :
- polidipsia, poliuria, dan kelemahan otot pada aldosteronisme primer.
- Peningkatan berat badan dengan emosi yang labil pada sindrom
Cushing.
- Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala,
palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural
dizzy).
- Pengukuran tekanan darah ditangan kiri dan kanan saat tidur dan
berdiri.
- Funduskopi dengan klasifikasi Keith-Wagener-Barker sangat berguna
untuk menilai prognosis
• Palpasi dan auskultasi arteri karotis untuk menilai stenosis atau oklusi.
• Pemeriksaan jantung :
- Batas jantung yang melebar
- S2 mengeras di katup aorta
- Murmur diastolik
- Regurgitasi aorta
- S4 (gallop atrial atau presistolik)
- S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik)
• Pemeriksaan paru :
- Ronkhi basah atau ronkhi kering (mengi)
• Pemeriksaan abdomen, adalah:
- Aneurisma
- Hepatomegali
- Spleenomegali
- Kelainan gin al
- Ascites
- Bising sekitar kiri dan kanan umbilikus (stenosis arteri renalis)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratoriurn :
126
- Darah lengkap (Hb, Leukosit, Ht, Trombosit, hitung jenis)
- BSN
- Ureum, kreatinin
- Profit Lipid (kolesteroi total, HIDE, LDL, trigliserida)
- Fungsi tiroid (FT4/TSH, jika ada indikasi)
- Elektrolit (Na, K, Ca)
- Urinal isa
Elektrokardiografi : LVH
Rontgen Thorax : Kardiomegali
Ekokardiografi : LVH
4. Tatalaksana 1. Penatalaksanaan pasien hipertensi berdasarkan.INC VIII2013,
ESH/ESC 2013 :
• Hipertensi Pasca lnfark :
- Beta blocker
- ACE inhibitor atau Antagonis aldosteron
• Hipertensi dengan resiko PJK :
- Diuretik
- Beta blocker
- Ca Channel Blocker
• Hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel :
- Diuretik
- ARB/ACE inhibitor
- Beta Blocker
- Antagonis aldosteron
• Gagal jantung hipertensi :
- Diuretik
- ARB/ACE inhibitor
- Beta Blocker
- Antagonis aldosteron
• Penatalaksanaan dislipidemia
• Pemberian anti agregasi platelet
2. Penatalaksanaan terhadap penyakit penyerta (diabetes, dll)
3. Penatalaksanaan terhadap komplikasi
5. Edukasi Mengontrol faktor resiko, edukasi pasien dan keluarga
6. Komplikasi Gagal jantung
7. Prognosis Prognosis buruk pada :
- penurunan fraksi ejeksi dan gagal jantung
- menderita penyakit vaskuler
- kerusakan kapasitas fungsi
- usia lanjut
8. Kepustakaan 1. Braunwald's Heart Disease: Review And Assessment, Ninth Edition,
2012
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-6, 2014

127
DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK
SKDI 3A

1. Pengertian 1. Demam rematik (DR)


(Definisi) adalah sindrom klinik akibat infeksi kuman Streptococcus beta
hemolyticus grup A, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis
migrans akut, karditis, korea minor, nodul subkutan atau eritema
marginatum.
2. Demam Rematik Akut (DRA)
adalah istilah untuk penderita demam rematik yang terbukti dengan tanda
radang akut.
3. Demam Rematik Inaktif
adalah istilah untuk penderita dengan riwayat demam rematik tetapi tanpa
terbukti tanda radang akut.
4. Penyakit Jantung Rematik (PJR)
adalah kelainan jantung yang ditemukan pada DRA atau kelainan jantung
yang merupakan gejala sisa (sekuele) dari DR.
2. Anamnesis 1. Demam, nyeri pada persendian yang berpindah pindah, tanda- tanda
peradangan pada sendi (merah, panas, nyeri dan fungsilaesia).
2. Adanya gerakan-gerakan cepat, bilateral tanpa tujuan dan sukar
dikendalikan.
3. Pucat, malaise, cepat lelah, dan gejala lain seperti epistaksis dan nyeri
perut.
4. Riwayat sakit tenggorokan 1-5 minggu (rata-rata 3 minggu) sebelum
timbul gejala
5. Riwayat demam rematik pada waktu lampau.
6. Riwayat keluarga dengan demam rematik
3. Pemeriksaan 1. Poliartritis migrans
Fisik Biasanya menyerang sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan
kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena menunjukkan
gejala peradangan yang jelas seperti bengkak, merah, panas sekitar sendi,
nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi. Artritis reumatik bersifat
asimetris dan berpindah-pindah. Kelainan ini ditemukan pada sekitar 70%
pasien DRA.
2. Karditis
Karditis merupakan gejala mayor terpenting, karena hanya karditis yang
dapat meninggalkan gejala sisa, terutama kerusakan katup jantung.
Seorang penderita demam reumatik dikatakan menderita karditis bila
ditemukan satu atau lebih tanda-tanda berikut:
a. Bunyi jantung melemah
b. Adanya bising sistolik, mid diastolik di apeks atau bising diastolik di
basal jantung
c. Perubahan bising misalnya dari derajat I menjadi derajat II.
d. Takikardia / irama derap
e. Kardiomegali
f. Perikarditis
g. Gagal jantung kongestif tanpa sebab lain.
Tabel 2. Pembagian Karditis menurut Decourt
Karditis Ringan Karditis Sedang Karditis Berat

Takikardi, murmur Tanda-tanda karditis Ditandai dengan gejala


ringan pada area mitral, ringan, bising jantung sebelumnya ditambah
jantung yang normal, yang lebih jelas pada gagal jantung kongestif
EKG normal area mitral dan aorta,
aritmia, kardiomegali,
hipertropi atrium kiri

128
dan ventrikel kiri.

3. Korea Sydenham
Gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan sukar dikendalikan.
Seringkali disertai dengan kelemahan otot dan gangguan emosional.
Semua otot terkena, tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan
ekstremitas.
4. Eritema marginatum
Kelainan kulit berupa bercak merah muda, berbentuk bulat, lesi
berdiameter sekitar 2,5 cm, bagian tengahnya pucat, sedang bagian
tepinya berbatas tegas, tanpa indurasi, tidak gatal, paling sering
ditemukan pada batang tubuh dan tungkai proksimal.
5. Nodul subkutan
Terletak di bawah kulit, keras, tidak sakit, mudah digerakkan dan
berukuran 3-10 mm. Lokasinya sekitar ekstensor sendi siku, lutut,
pergelangan kaki dan tangan, daerah oksipital, serta di atas prosesus
vertebra torakalis dan lumbalis.
4. Kriteria Diagnosis demam rematik ditegakkan berdasarkan Kriteria WHO tahun
Diagnosis 2003 (berdasarkan revisi kriteria Jones)
Tabel 1. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam
Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (berdasarkan Revisi
Kriteria Jones)
Kategori Diagnostik Kriteria

• Demam rematik serangan • Dua mayor atau satu mayor dan


pertama dua minor ditambah dengan bukti
infeksi SGA sebelumnya
• Demam rematik serangan rekuren • Dua mayor atau satu mayor dan
tanpa PJR dua minor ditambah dengan bukti
infeksi SGA sebelumnya
• Demam rematik serangan rekuren • Dua minor ditambah dengan bukti
dengan PJR infeksi SGA sebelumnya
• Korea Sydenham • Tidak diperlukan kriteria mayor
lainnya atau bukti infeksi SGA
• PJR (stenosis mitral murni atau • Tidak diperlukan kriteria lainnya
kombinasi dengan insufisiensi untuk mendiagnosis sebagai PJR
mitral dan/atau gangguan katup
aorta)
Sumber: WHO, 2004
Kriteria Diagnosis
(Lanjutan) Manifestasi Mayor Manifestasi Minor

- Karditis • Klinis:
- Artralgia
- Poliartritis migrans
- Demam
- Korea
• Laboratorium:
- Eritema marginatum - Peningkatan reaktan fase akut
yaitu: LED dan atau CRP yang
- Nodulus subkutan
meningkat

- Interval PR yang memanjang

Diagnosis demam rematik ditegakkan bila terdapat 2 manifestasi mayor atau


1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor dan didukung bukti
adanya infeksi streptokokus sebelumnya yaitu kultur apus tenggorok yang
positif atau kenaikan titer antibodi streptokokus (ASTO) >200.

129
Langkah diagnosis
Tegakkan diagnosis DR berdasarkan kriteria WHO tahun 2003
→ Tetapkan aktif atau inaktif
• Tetapkan ada karditis atau tidak
• Tetapkan ada kelainan pada katup jantung atau tidak
→ Jika tidak ada tanda-tanda DR aktif dan penyebab lain kelainan pada
katup jantung dapat disingkirkan dianggap PJR
Tetapkan status hemodinamik jantung: dekompensasi kordis atau tidak
5. Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (ICD-10 : I09.8)
6. Diagnosis 1. Juvenile rheumatoid arthritis
Banding 2. SLE, artritis reaktif, artritis infeksius
3. Artritis akut karena virus (rubella, parvovirus, hepatitis B, herpes,
enterovirus)
7. Pemeriksaan 1. Laboratorium: ASTO dan kultur apus tenggorokan
Penunjang 2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Antibiotika
a. Untuk Eradikasi:
Benzatin penisilin.G:
BB ≤27 kg = 600.000-900.000 unit
BB ≥27 kg = 1,2 juta unit
Bila tidak ada, dapat diberikan Prokain Penisilin 50.000 Iµ/kgBB
selama 10 hari.
• Alternatif lain:
Penisilin V (oral) : BB ≤27 kg 2-3 x 250 mg
BB >27 kg 2-3 x 500 mg
Amoksisilin (oral): 50 mg/kgBB/hari, dosis tunggal (maks. 1 g)
selama 10 hari

130
• Bila alergi terhadap penisilin dapat digunakan:
- Sefalosporin spektrum sempit: sefaleksin, sefadroksil
- Klindamisin: 20 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis (dosis maks. 1,8
g/hari) selama 10 hari
- Azitromisin: 12 mg/kgBB/hari, dosis tunggal (dosis maks. 500
mg) selama 5 hari
- Klaritromisin: 15 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis (maks. 250
mg/kali) selama 10 hari
- Eritromisin: 40 mg/kgBB/hari dibagi 2-4 kali sehari (dosis
maksimum 1 g/hari) selama 10 hari
b. Untuk profilaksis sekunder:
• Benzatin penisilin G:
BB ≤27 kg = 600.000 unit
setiap 3 atau 4 minggu, i.m
BB >27 kg = 1,2 juta unit
• Alternatif lain:
- Penisilin V : 2 x 250 mg, oral
- Sulfadiazin : BB ≤27 kg 500 mg sekali
sehari
BB >27 kg 1000 mg sekali sehari
Bila alergi terhadap Penisilin dan Sulfadiazin dapat diberikan:
- Eritromisin
- Klaritromisin
- Azitromisin
Tabel 2. Lama pemberian antibiotika profilaksis sekunder:
Lama pemberian setelah serangan
Kategori
terakhir

Demam rematik dengan karditis dan Selama 10 tahun atau sampai usia 40
penyakit jantung residual (kelainan tahun, pada beberapa kondisi (risiko
katup persisten) tinggi terjadi rekuren) dapat seumur
hidup

Demam rematik dengan karditis Selama 10 tahun atau sampai usia 21


tetapi tanpa penyakit jantung residual tahun
(tanpa kelainan katup)

Demam rematik tanpa karditis Selama 5 tahun atau sampai usia 21


tahun

2. Obat Anti Inflamasi: diberikan untuk DRA atau PJR yang rekuren
Tabel 3. Rekomendasi penggunaan anti inflamasi
Karditis Karditis Karditis
Hanya Artritis
Ringan Sedang Berat

Prednison - - 2-4 mgg* 2-6 mgg*

Aspirin a. 100 mg/kgBB/ 3-4 mgg** 6-8 mgg 2-4 bln


hr dalam 4-6
dosis (2 mgg)

b. Kemudian
dosis
dikurangi
menjadi 60
mg/kg/ hari (4-
6 mgg)

Dosis : Prednison 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis


131
Aspirin 100 mg/kgBB/hari dibagi 4-6 dosis
* Dosis Prednison di tappering (dimulai pada minggu ketiga) dan
Aspirin dimulai minggu ketiga kemudian di tappering.
** Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kgBB setelah 2 minggu
pengobatan
3. Istirahat (lihat tabel 3)
Tabel 4 Petunjuk tirah baring dan ambulasi
Hanya Karditis Karditis Karditis
Artritis Ringan Sedang Berat

Tirah baring 1-2 3-4 4-6 Selama


minggu minggu minggu masih
terdapat
gagal jantung
kongestif

Ambulasi bertahap 1-2 3-4 4-6 2-3 bulan


(boleh rawat jalan minggu minggu minggu
bila tidak mendapat
steroid)

4. Penanganan gagal jantung kongestif sesuai tatalaksana gagal jantung


kongestif
5. Tatalaksana Korea Sydenham’s:
a. Kurangi aktivitas fisik dan stres
b. Untuk kasus berat dapat digunakan:
- Fenobarbital: 15-30 mg setiap 6-8 jam atau
- Haloperidol dimulai dengan dosis 0,5 mg dan ditingkatkan setiap 8
jam sampai 2 mg
6. Pasien dengan gejala sisa berupa PJR, memerlukan tatalaksana tersendiri
(akan dirujuk) tergantung pada berat ringannya penyakit, berupa:
a. Tindakan dilatasi balloon perkutan (balloon mitral valvulotomy) untuk
mitral stenosis
b. Tindakan operasi katup jantung berupa valvuloplasti atau penggantian
katup.
9. Edukasi 1. Mengurangi aktivitas fisik dan stress.
2. Menjelaskan tentang lama pemberian antibiotik profilaksis sekunder
(Tabel 3) dan efek samping pengobatan.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan
gigi dan mulut untuk mencegah terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan prognosis penyakit.
10. Prognosis Tergantung ada tidaknya kerusakan jantung permanen;
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Target 1. Eradikasi streptokokus pada tenggorokan dan profilaksis sekunder
dengan antibiotika.
2. Mengurangi dan mengatasi kecacatan pada katup jantung.
3. Mengurangi dan mencegah komplikasi
12. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th edition.
Mosby Elsevier, Texas.
2. World Health Organization 2004, WHO technical report series:
rheumatic fever and rheumatic heart disease, Geneva.
3. Working Group on Pediatric Acute Rheumatic Fever and Cardiology
2008, Consensus guidelines on pediatric acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease, Indian Pediatrics, vol. 45, pp. 565-573.
4. National Heart Foundation of Australia and the Cardiac Society of
Australia and New Zealand 2006, Diagnosis and management of acute

132
rheumatic fever and rheumatic heart disease in Australia: an evidence-
based review, National Heart Foundation of Australia.
5. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
6. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan
penyakit jantung pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

133
ST ELEVASI MIOKARD INFARK
SKDI 3B

1. Pengertian Adalah rusaknya bagian otot jantung, secara permanen yang ditandai oleh
(definisi) keluhan nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada
perneriksaan EKG. STEMI menandakan adanya pembuluh darah koroner
tertentu yang tersumbat total sehingga otot jantung yang diperdarahi tidak
mendapat oksigen kemudian menjadi infark
2. Anamnesis Nyeri dada :
• Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial
• Sifat nyeri : seperti ditekan rasa terbakar, ditindih Benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas dan dipelintir
• Penjalaran : biasanya ke lengan kirk ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut dapat juga ke lengan kanan
• Nyeri membaik atau hilang lengan istirahat atau obat nitrat
• Faktor pencetus : latihan fisik. stres, emosi, udara dingin dan sesudah
makan
• Gejala penyerta : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas,
lemas
3. Pemeriksaan Fisik • Tanda vital : bradikardi dan/atau hipotensi, takikardi dan/atau hipotensi.
Suhu dapat meningkat 380C
• Jantung : dapat ditemukan S4 dan S3 pada disfungsi ventrikular,
penurunan intensitas SI dan split paradoksal S2, murmur midsistolik atau
late sistolik apikal, pericardial friction rub
4. Pemeriksaan EKG
Penunjang Adanya ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan prekordial yang
berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan ekstremitas
Laboratoriurn
• CK
- Mmeningkat 3-8 jam setelah infark miokard
- Mencapai puncak 10-36 jam
- Kembali normal dalam 3-4 hari
• CKMB
- Meningkat 3-4 jam setelah ada infark miokard
- Mencapai puncak 10-24 jam
- Kembali normal dalam 2-4 hari
• Troponin T
- Meningkat 2 jam setelah ada infark
- Mencapai puncak dalam 10-24 jam
- Masih dapat terdeteksi setelah 5-14 hari

• LDH (Lactic Dehydrogenase)


- Meningkat 24-48 jam setelah ada infark
- Mencapai puncak 3-6 hari
- Kembali normal 8-14 hari
5. Kriteria Diagnosis • Anamnesis : nyeri dada yang khas
• EKG : adanya ST elevasi > 2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau > 1 mm pada 2 sandapan ekstremitas
• Laboratorium : peningkatan enzim jantung
6. Klasifikasi Berdasarkan klasifikasi Killip

KELAS DEFINISI

134
I Tak ada tanda gagal jantung kongestif
II Gallop S3dan /atau ronkhi basah halus di separuh
lapangan bawah paru
III Edema paru
IV Syok kardiogenik

7. Diagnosis STEMI
8. Diagnosis Banding NSTEMI
9. Terapi Non Farmakologi
- Tirah baring di ruang ICCU
- O2 dimulai 2 1/menit 2-3jam, dilanjutkan bla saturasi oksigen arteri <
90%
- Diet : puasa sampai bebas nyeri, lalu diet cair. Selanjutnya diet jantung
- Pasang monitor EKG secara kontinyu
- Edukasi
Farmakologi
- Pasang infus intravena dengan NaCl 0,9% atau D5%
- Atasi nyeri :
- Nitrat sublingual /transdermal /nitrogliserin iv titrasi 3 kali dengan
interval 3-5 menit (kontraindikasi bila TD < 90 mmHg), bradikardi
(<50 kali/menit), takikardi. Atau
- Morfin 5 mg (2-4 mg) iv, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total
20 mg, atau
- Petidin 25-50 mg iv, atau
- Antitrombotik
- Antiagregasi trombotik : Aspirin (160-345 mg dikunyah. bila alergi
atau intoleransi/tidak responsif diganti dengan tiklodipin atau
Llopidogrel loading dose 300 mg dengan dosis pemeliharaan 75 mg
- Trombolitik : streptokinase 1,56 juta U dlam 1 jam, atau
- aktivator plasminogen jaringan (t-PA) bolus 15 mg dilanjutkan
dengan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam 1 jam pertama dan 0,5
mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam I jam kedua.
- Antikoagulan, pada STEMI 12 .jam, heparin bolus 5000U iv
ciilanjutkan dengan infus selama 5 hari, dengan target aPTT 1.5-2 kali
control, atau
- LMWH (Low Molecular Weight Heparin) selama 5 hari :
✓ Enoxafarin 2 x 0,6 ml
- Fondaparinux I x 2,5 mg s.c
Parnaparin 2 x 0,6 ml s.

135
• Pasien dengan gejala dan tanda dalam serangan iskemik miokard
walaupun gambaran EKG tidak khas juga memerlukan penanganan yang
sama seperti pasien STEMI
Penanganan pre-hospital pada pasien STEMI harus berdasarkan kepada sistem
rujukan regional untuk mendapat terapi reperfusi secara cepat dan efektif dan
mengupayakan untuk dapat dilakukan primary PCI kesetiap pasien bila
memungkinkan

136
• Pusat pelayanan PCI harus siap melayani 24 jam dan melakukan primary
PCI secepat mungkin dalam 60 menit dari informasi awal.
• Setiap rumah sakit dan seluruh EMS yang berpatisipasi dalam pelayanan
pasien dengan STEMI harus mencatat dan memantan waktu untuk menjaga
dan mendapatkan hasil yang diinginkan, yaitu
− First medical contact dengan EKG pertama kali ≤ 10 menit
− First medical contact kali dengan terapi reperfusi :
Fibrinolisis ≤ 30 menit
• Primary PCI <90 menit (<60 menit jika pasien menunjukkan 120 menit
gejala dari onset atau lanasung menuju rumah sakit yang dapat melakukan
PCI)
Terapi Reperfusi
• Terapi reperfusi diindakasikan kepada semua pasien dengan gejala durasi
< 12 jam dan gambaran EKG persisten ST Elevasi atau LBBB yang barn
• Terapi reperfusi diindikasikan bila bila terdapat ongoing iskemik,
walaupun gejala mungkin barn dimulai > 12 jam atau jika nyeri dan
perubahan EKG
Primary PCI
• Primary PCI adalah reperfusi terapi yang lebih direkomendasikan
dibandingkan dengan fibrinolosis jika dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit setelah serangan
• Primary PCI diindikasikan bagi pasien dengan gagal jantung akut yang
berat atau syok kardiogenik, pasien STEMI usia > 75 tahun, Pasien dengan
kontraindikasi
• Stenting direkomendasikan pada primary PCI
TERAPI FIBRINOLISIS TERAPI INVASIF (PCI)

• Onset < 3 jam •


Onset < 3 jam
• Terapi invasif bukan pilihan (tidak •
Tersedia ahli PCI
ada akses ke fasilitas PCI atau akses − Kontak medik-balloon atau door
vaskular sulit) atau akan balloon < 90 menit
menimbulkan penundaan: − (door balloon) minus (door niddle) <
− Kontak medik-balloon atau door 1 jam
balloon > 90 menit • Kontraindikasi fibrinosis, termasuk
− (door balloon) minus (door niddle) risiko perdarahan dan perdarahan
lebih dari 1 jam intraserebral
• Tidak terdapat • STEMI risiko tinggi (CHF, killip ≥
kontradikasi
fibrinolysis 3)
• Diagnosis STEMI diragukan
• Terapi dual antiplatelet yaitu aspirin dan ADP receptor blocker yang
direkomendasikan adalah :
- Prasugel, bila ada riwayat stroke TIA dan usia < 75 tahun
- Ticagrelor
- Atau clopidogrel bila prasugrel atau ticagrelor tidak tersedia atau
kontraindikasi
Antikoagulan
• Antikoagulan direkomendasikan pada pasien STEMI yang mendapat
pengobatan dengan lytics hingga tercapai

• –revaskularisasi atau bila lama tinggal dirurnah sakit sarnpai 8 hari.


Antikoagulan dapat berupa :
- Enoxaparin i.v dilanjutkan dengan s.c
- Unfractionated heparin diberikan berdasarkan berat badan secara i.v bolus
dan infus
- Pada pasien yang diterapi dengan streptokinase, Fondaparinux i.v
bolus dilanjutkan dengan s.c 24 jam kemudian
• Antikoagulan injeksi diberikan
137
- Bivalirudin lebih disarankan daripada heparin dan GPIlbillla blocker
- Enoxaparin dapat disarankan dibanding unfractionated heparin -
Unfractionated heparin dapat diberikan pada pasien yang tidak mendapat
bivalirudin dan enoxaparin

Terapi Fibrinolitik
• Terapi fibrinolitik direkomendasikan dalam 12 jam setelah gejala timbul
pada pasien tanpa kontraindikasi apabila primary PCI tidak dapat dilakukan
oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit setelah first medical contact
(FMS)
• Pada pasien dengan waktu < 2 jam setelah timbul gejala memiliki infark
yang luas dan resiko perdarahan yang rendah, fibrinolisis dapat
dipertimbangkan bila waktu dari first medical contact ke infalasi balon > 90
menit
• Bila memungkinkan fihronolisis dapat dilakukan pada saat persiapan ke
rumah sakit
• Agen fibrin spesilik (tenecteplase, alteplase, reteplase, streptokinase) lebih
direkomendasikan dibandingkan dengan agen non fibrin spesifik
• Dosis streptokinase 1,5 juta U dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% atau
dextrose 5 % diberikan secara infus selama 30-60 menit.
• Fibrinolitik diberikan pada pasien : ST Elevasi, LBBB baru, infark
miokard luas, usia muda.
• Kontraindikasi absolut : perdarahan intrakranial, stroke iskemik 3 jam – 3
bulan, diseksi aorta, tumor intrakranial, perdarahan internal aktif atau
gangguan pembekuan darah, cedera kepala tertutup 3 bulan terakhir.
• Kontraindikasi relatif : TD tidak terkontrol (sistolik >180minHg, diastolik
> 110 mmHg), riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, trauma atau
RJP lama (> 10 menit), operasi besar < 3 bulan. Perdarahan internal 2-4
minggu. ruptur pembuluh darah yang sulit dilakukan penekanan, riwayat
mendapat streptokinase > 5 hari yang lalu, alergi terhadap streptokinase,
hamil, ulkus peptikum aktif, mendapat antikoagulan dengan INR tinggi
• Merujuk ke pusat pelayanan PCI diindikasikan bagi semua pasien yang
mendapat fibrinolisis
• Rescue PCI diindakasikan segera apabila fibrinolisis gagal (ST segment
<50% dalam 60 menit)
• Emergency PCI diindikasikan pada kasus iskemik yang rekuren atau
reeklusi setelah pemberian awal fibrinolitik

• Emergency angiography diindikasikan pada pasien dengan gagal jantung


/syok setelah pemberian awal fibrinolitik
• Angiography diindikasikan setelah n brinol it ik berhasil
• Waktu optimal angiography pada pasien stable setelah lysis adalah 3-24
jam

Terapi Jangka Panjang


• Kontrol faktor resiko, terutama merokok harus dihentikan
• Antiplatelet diberikan tanpa Batas waktu
• Dual antiplatelet diberikan sampai 12 bulan
• Pengobatan oral dengan beta blocker diindikasikan bagi
• pasien dengan gagal jantung atau left ventricular dysfunction
• Target profit lipid harus tercapai pada semua pasien
• Statin dosis tinggi sebaiknya dimulai sejak awal pada semua pasien tanpa
kontraindikasi atau riwayat intolerasi
• ACE inhibitors diindikasikan pada pasien dengan gagal jantung, LV
systolic dysfunction, diabetes atau infark anterior
ARB dapat diberikan sebagai alternatif dari ACE inhibitor. Antagonis
aldosteron diindikasikan bila EF < 40% atau
• Terapi Jangka Panjang

138
• Kontrol faktor resiko, terutama merokok harus dihentikan
• Antiplatelet diberikan tanpa Batas waktu
• Dual antiplatelet diberikan sampai 12 bulan
• Pengobatan oral dengan beta blocker diindikasikan bagi pasien dengan
gagal jantung atau left ventricular dysfunction
• Target profit lipid harus tercapai pada semua pasien
• Statin dosis tinggi sebaiknya dimulai sejak awal pada semua pasien tanpa
kontraindikasi atau riwayat intolerasi
• ACE inhibitors diindikasikan pada pasien dengan gagal jantung, LV
systolic dysfunction, diabetes atau infark anterior
ARB dapat diberikan sebagai alternatif dari ACE inhibitor. Antagonis
aldosteron diindikasikan bila EF < 40% atau
10. Prognosis Dubia, tergantung luasnya infark
11. Kepustakaan 1. Alwi 1, infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2014. p. 1457-1464
2. Setyohadi B, Arsana PM, Suryanto A, Soeroto A, Abdullah M, In : EIMED
PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2014. p. 372-384
3. ESC Acute Myocardial Infarction Guidelines 2013
4. AHA Guidelines for CPR and ECC. 2010

139
SINDROM RAYNAUD’S
SKDI 2

1. Pengertian Kumpulan gejala akibat vasospasme periodic pembuluh darah jari-jari tangan maupun
(definisi) kaki.

2. Anamnesis Gejala yang bersifat periodik, berupa:


• Jari-jari
• - sulit digerakkan, perasaan berkurang, terasa seperti kesemutan
• Terjadi setelah diawali dengan ketegangan / stress emosional, terpapar hawa

dingin, dan merokok
3. Pemeriksaan Fisik Gejala yang bersifat periodik, berupa:
• Jari-jari yang sulit digerakkan (numbness)
• Perubahan warna kulit (pallor)
• Sianosis sampai kemerahan (rubor)
• Hiperhidrosis
4. Pemeriksaan 1
Penunjang 1.
. EKG
2.
2 Laboratorium: Hb, Ht, Leucocyte, GDs, elektrolit, ureum kreatinin, HbSAg, factor
. faktor/parameter koagulasi
3. Pengukuran suhu kulit jari
4. Pengukuran Finger Brachial Index
5.
3 Cold immersion test
6.
. Laser Doppler flowmetri
5. Kriteria Diagnosis 1. Serangan vasospastik dipresipitasi oleh suhu dingin / rangsangan emosi
2. Diderita oleh ekstremitas bilateral atau simetris
3. Tanpa adanya ganggren
4. Gejala telah berlangsung minimum 2 tahun
5. Tidak ditemukan adanya penyakit yang mendasari keluhan vasospasme
6. Diagnosis Banding 1. Penyakit Buerger
2. Arteritis Takayasu
3. Terapi 1. Proteksi terhadap trauma dingin
2. Obat
oral:
- Nifedipin1 x 30-60 mh
- Prazosin2 x 1-5 mg
- Losartan1 x 50 mg
- Cilostazol 2 x 50mg
3. Obat injeksi: PGE1 5-10 mg/kg/min selama 72 jam
4. Revaskularisasi: Trombolitik atau bedah
5. Debridement
6. Amputasi
7. Komplikasi 1. Barotrauma telinga
2. Barotrauma paru
3. Barotrauma dental
4. Toksisitas oksigen
5. Gangguan neurologis
6. Fibroplasia retrolental
8. Prognosis Ad vitam: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
9. Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2009.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam,
Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC.
3. Idrus Alwi, Simon Salim, Rudy Hidayat. 2015. Panduan Praktik
140
Klinis: Prosedur di Bidang Ilmu Penyakit Dalam & Penatalaksanaan di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.
4. Panduan Praktik Klinis (PPK) Tatalaksana Kasus, Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2015
5. Riyadi, Buku ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik,2013.

141
SYOK KARDIOGENIK
SKDI 3B

1. Pengertian dan Syok kardiogenik adalah ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup darah ke
Etiologi jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal akibat gangguan fungsi
pompa jantung. Definisi klinis di sini mencakup curah jantung yang buruk dan
bukti adanya hipoksia dengan adanya volume darah intravaskular yang cukup.
Ventrikel kin gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah
jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan.
Etiologi Syok Kardiogenik :
1. Gangguan kontraktilitas miokardium.
2. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti paru
dan/atau hipoperfusi iskemik.
3. infark miokard akut (AMI),
4. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary, ruptur
septum, atau infark ventrikel kanan, dapat mempresipitasi
(menimbulkan/mempercepat) syok kardiogenik pada pasien dengan infark-
infark yang lebih kecil.
5. Valvular stenosis.
6. Myocarditis (inflamasi miokardium, peradangan otot jantung).
7. kardiomiopati (myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak diketahui
penyebabnya).
8. Acute mitral regurgitation.
9. Valvular heart disease.
10. Hypertrophic obstructive cardiomyopathy.
2. Anamnesis Bila dibandingkan dengan pasien infark miokard akut yang tidak mengalami
syok, maka pasien yang mengalami syok biasanya berumur lebih tua,
lebih sering mengalami infark miokard di anterior, seringkali dengan riwayat
infark sebelumnya, dan lebih sering pada mereka yang mempunyai riwayat
4ngina atau riwayat gagal jantung kongestif.
3. Pemeriksaan Fisik Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan
lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi,
penurunan produksi urin, serta kulit yang dingin dan lembab.
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis
sindrom klinis yang terdiri dari hipotensi seperti yang disebut di atas; tanda-
tanda perfusi jaringan yang buruk, yaitu oliguria (urin < 30 ml/jam), sianosis
ektremitas dingin, perubahan mental, serta menetapnya syok setelah
dilakukan koreksi terhadap faktor-faktor nonmiokardial yang turut berperan
memperburuk perfusi jaringan dan disfungsi miokard, yaitu hipovolemia,
aritmia, hipoksia, dan asidosis. Frekuensi napas meningkat, frekuensi nadi
biasanya > 100 ximenit bila tidak ada blok AV
2. Pemeriksaan fisik :
- Tensi turun < 80-90 mmHg.
- Takipneu dan dalam.
Takikardi.
- Nadi cepat, kecuali ada blok A-V.
- Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru
- Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung Ill sering terdengar.
- Sianosis.
- Diaforesis (mandi keringat).
- Ekstremitas dingin.
- Perubahan mental.
3. Pemeriksaan penunjang
- EKG : Pada sebagian besar kasus syok kardiogenik didapatkan tanda-tanda
infark miokard akut, dengan atau tanpa gelombang Q. Amplitudo
gelombang QRS yang rendah dapat ditemukan pada keadaan efusi
perikardial dengan tanda-tanda tamponade jantung. Pada infark ventrikel
142
kanan, dapat ditemukan adanya gambaran elevasi seamen ST pada sadapan
V4R.
- Laboratorium : Darah rutin, urinalisis, ureurnikreatinin, elektrolit, Analisis
gas darah, Enzim jantung (CPK, CKMB, troponin T) dapat meningkat jika
penyebabnya infark miokard
- Foto Toraks : Pemeriksaan foto toraks biasanya menunjukkan jantung
normal atau membesar disertai tanda-tanda edema paru. Pada infark
ventrikel kanan, didapatkan gambaran foto toraks normal.
- Ekokardiografi
Dapat menggambarkan penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi
ventrikel kiri (hipertensi), segmental wall motion abnormality (penyakit
jantung koroner).
5. Diagnosis Bila tersedia monitor hemodinamik, maka diagnosis ditegakkan dengan adanya
kombinasi dari tekanan darah sistolik yang rendah (< 90 mmHg atau 30 mmHg
di bawah darah basal), peningkatan arteriovenous oxygen difference (> 5,5
ml/d1), penurunan indeks jantung (< 2,2) l/menit/m2 luas permukaan tubuh), dan
adanya peningkatan PCWP (> 15 mmHg).
6. Diagnosis 3. Syok Sepsis
Banding 4. Syok Hipovolemik
7. Pemeriksaan 1. Pengukuran CVP
Penunjang 2. Saturasi oksigen
3. EKG
4. Laboratorium : elektrolit, analisa gas darah, enzim jantung, ureum, kreatinin,
dll
5. Rontgent thorax
6. Echocardiografi
8. Terapi Penatalaksanaan :
1. Pastikan jalan napas tetap adekuat, bila tidak sadar dan terdapat
gangguan jalan nafas/pernafasan sebaiknya dilakukan intubasi.
2. Berikan oksigen 8- 15 liter/menit dengan menggunakan masker/NRM
untuk mempertahankan PO2 70-120 mmHg
3. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa
yang terjadi.Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi takiaritmia
supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi denganpemberian
digitalis. Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 x/menit harus
diatasi dengan pemberian sulfas atropin.
4. Tensi Sistolik < 70 mmHg disertai gejala dan tanda syok sangat jelas :
- berikan fluid chalenge test normal salin 150cc dapat diulangi bila ada
perbaikan sampai 500cc dan berikan simpatomimetik bila tidak respon
- Norepinefrin 0,5-30mcg/menit intravena mempunyai efek inotropik dan
vasokonstriksi, bila ada perbaikan dan TD bisa naik 70-100mmHg
norefinefrin segera diganti Dopamin 2-20mcg/KgBB/menit dengan tetap
memperhatikan TD.
5. Tensi Sistolik 70-100 mmHg disertai gejala dan syok positif :
- cobalah fluid chalenge test diikuti pemberian dopamin 2-
20mcg/KgBB/menit titrasi intravena merupakan obat pilihan utama sampai
tanda hipoperfusi berkurang/hilang. Bila dosis tinggi dopamin
20mcg/KgBB/menit belum memberikan perbaikan dapat diganti
norepinefrin dengan dosis disesuaikan.
- dobutamin boleh dikombinasikan dengan dopamin dan tidak boleh
diberikan sebagai obat tunggal pada tensi dibawah 90 mmHg disertai gejala
hipoperfusi, namun dapat mulai diberikan bila hipoperfusi menghilang
6. Tensi sistolik 70-100mmHg, gejala dan tanda syok tidak dijumpai :
cobalah fluid chalenge. Dobutamin merupakan inotropik dan vasoaktif yang
baik, diberikan IV mulai 2- 20mcg/KgBB/menit. Pada edema paru akut
dengan TD dikisaran ini tanda gejala dan tanda syok maka dapat dimulai
pemberian nitrogliserin tetapi awasi efek penurunan TD
9. Prognosis Syok terjadi jika kerusakan otot jantung lebih dari 40% dan angka kematiannya
143
lebih dari 80%.
15, Kepustakaan 1. ACLS. American Heart Association. 2011
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. PAPDI. 2014

144
TROMBOFLEBITIS
SKDI 3A

1. Pengertian Tromboflebitis adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder
(definisi) akibat inflamasi/trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian.
2. Anamnesis Penderita-penderita umunya mengeluh spontan terjadinya nyeri di daerah
vena (nyeri yang terlokalisasi), yang nyeri tekan, kulit disekitarnya
kemerahan (timbul dengan cepat diatas vena) dan terasa hangat sampai panas.
Juga dinyatakan adanya edema atau pembengkakan agak luas nyeri bila
terjadi atau menggerakkan lengan, juga ada gerakan-gerakan otot tertentu.
Pada perabaan, selain nyeri tekan, diraba pula pengerasan dari jalur vena,
kadang-kadang diraba fluktuasi, sebagai tanda adanya hambatan aliran vena
dan menggembungnya vena di daerah katub. Fluktuasi ini dapat pula terjadi
karena pembentukan abses. Febris dapat terjadi pada penderita-penderita ini
tetapi biasanya pada orang dewasa hanya dirasakan sebagai malaise.
3. Pemeriksaan Fisik • Pelvio tromboflebitis
- Nyeri pada perut bagian bawah dan atau tanpa panas
- Menggigil berulang kali, penderita hampir tidak panas. Suhu tubuh
naik turun secara tajam
- Abses pada pelvis

• Femoralis tromboflebitis
- Suhu mendadak naik disertai menggigil dan nyeri sekali
- Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi keluar serta sukar
bergerak.
- Seluruh bagian vena pada kaki tegang dank eras pada paha bagian
atas.
- Nyeri hebat pada lipat paha dan daerah paha
- Edema
- Nyeri pada betis
4. Pemeriksaan 1. Ultrasonograf Doppler
Penunjang 2. Permeriksaan Hematokrit
3. Pemeriksaan Koagulasi
4. Biakan Darah
5. Venografi
5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik
6. Diagnosis Banding -
7. Terapi • Non-farmakologis
Pengendalian faktor resiko

• Farmakologis
Flebitis superficial sering menghilang dengan sendirinya. Untuk
mengurangi nyeri bias diberikan obat pereda nyeri (misalnya aspirin,
ibuprofen). Untuk mempercepat penyembuhan bias disuntikkan anestesi
(obat bius) lokal, dilakukan pengangkatan thrombus dan kemudian
pemakaian perban kompresi selama beberapa hari.
8. Komplikasi - Emboli Paru
- Septikemia
- Empisema

9. Prognosis Quo ad vitam: Dubia


Quo ad functionam: Dubia
Quo ad sanationam: Dubia
10. Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

145
2. FKUI. 2007. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka.
3. Djojosugito Ahmad. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatus. Jakarta: PT Bina Pustaka

146
TROMBOSIS ARTERI
SKDI 2

Pengertian (definisi) Trombosis yang terjadi secara spesifik pada pembuluh arteri. Pengertian
trombosis sendiri merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat terbentuknya
gumpalan darah (trombus) dalam pembuluh darah
Anamnesis Gejala trombosis arteri seringkali tidak terasa hingga gumpalan darah
menyumbat pembuluh ke bagian tubuh tertentu. Kondisi ini dapat memicu
terjadinya penyakit-penyakit seperti:
Critical limb ischaemic. Merupakan penyakit arteri perifer yang terjadi akibat
penyumbatan pembuluh arteri pada anggota gerak, terutama tungkai, yang
ditandai dengan nyeri.
Serangan jantung. Serangan jantung dapat terjadi akibat penyumbatan
pembuluh arteri koroner yang menyediakan darah dan nutrisi ke otot jantung.
Gejala yang umumnya terasa adalah nyeri dada, sesak napas, dan berkunang-
kunang.
Stroke ringan atau TIA (transient ischaemic attack). TIA merupakan penyakit
yang terjadi akibat pembuluh darah arteri ke otak tersumbat sementara yang
menyebabkan timbulnya gejala stroke sementara waktu.

Faktor resiko: Merokok, Obesitas, pola makan yang tidak sehat, memiliki
keluarga dengan riwayat aterosklerosis, menderita tekanan darah tinggi,
kolesterol tinggi, atau diabetes, ketergantungan alkohol, kurang melakukan
aktivitas fisik
Pemeriksaan Fisik Gejala trombosis arteri seringkali tidak terasa hingga gumpalan darah
menyumbat pembuluh ke bagian tubuh tertentu. Kondisi ini dapat memicu
terjadinya penyakit-penyakit seperti:
Critical limb ischaemic. Merupakan penyakit arteri perifer yang terjadi akibat
penyumbatan pembuluh arteri pada anggota gerak, terutama tungkai, yang
ditandai dengan perubahan warna tungkai menjadi pucat, dan tungkai terasa
lebih dingin.
Stroke. Stroke dapat terjadi pada saat pembuluh arteri ke otak mengalami
penyumbatan. Gejala yang umumnya terasa adalah wajah tampak tidak simetris,
bicara pelo, dan merasa lemah di salah satu sisi anggota tubuh.
Pemeriksaan Tes darah, MRI, CT scan, MRA, Ultrasonografi, Waveform assessment, Duplex
Penunjang Imaging, Tes D-Dimer, Arteriogram
Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Terapi Beberapa hal yang akan dipertimbangkan oleh dokter pada saat akan
merekomendasikan jenis pengobatan kepada pasien trombosis arteri adalah: Usia
pasien, kondisi dan riwayat kesehatan pasien, tingkat keparahan penyakit,
keefektifan metode pengobatan yang diberikan, perkiraan perkembangan
penyakit, apakah akan bertambah parah atau tidak.
Metode pengobatan yang dapat direkomendasikan oleh dokter kepada pasien,
antara lain adalah:
a. Pemberian obat-obatan. Beberapa jenis obat-obatan yang dapat diberikan
untuk mengatasi trombosis arteri adalah:
• Antikoagulan dan antiplatelet (contohnya
warfarin, aspirin, clopidogrel, atau heparin) untuk mencegah
penggumpalan darah.
• Trombolitik (contohnya streptokinase) untuk menghancurkan gumpalan
darah.
• Obat penghilang rasa sakit.
b. Pembedahan. Prosedur ini bertujuan untuk membuka penyumbatan arteri
akibat trombosis. Metode pembedahan yang dapat diterapkan adalah:
• Coronary artery bypass graft (CABG) atau
operasi bypass jantung. Metode ini dapat dilakukan untuk mengatasi
147
trombosis pada pembuluh arteri jantung koroner. CABG dilakukan
dengan cara mengambil pembuluh darah dari bagian tubuh lain,
kemudian dijadikan pembuluh arteri cangkokan untuk melewati
pembuluh arteri koroner yang tersumbat.
• Embolektomi. Embolektomi merupakan metode pengobatan trombosis
arteri untuk mengangkat gumpalan darah pada pembuluh yang
tersumbat. Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan balon
kateter atau pembedahan terbuka.
• Angioplasti. Angioplasti merupakan metode pembukaan pembuluh arteri
yang tersumbat dengan menggunakan balon kateter. Pembuluh yang
tersumbat akan dilebarkan menggunakan kateter, kemudian dapat
dipasang stent untuk menjaga bukaan arteri jika dibutuhkan.
Komplikasi dan Ad vitam : dubia ad bonam
Prognosis Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Tingkat kesembuhan pasien penderita trombosis arteri bergantung pada lokasi
penyumbatan arteri, serta berapa banyak pembuluh arteri yang tersumbat. Jika
tidak diobati dengan baik, kerusakan jaringan akibat penyumbatan arteri dapat
menjadi permanen dan berisiko amputasi.
Kepustakaan 1. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006
2. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006
3. A.W., Sudoyo, B., Setiyohadi, I., Alwi, M., Simadibrata, S., Setiati
(eds).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Interna Publishing:Jakarta.
4. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In: Braunwald, E. et
al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16thEd.New York:
McGraw-Hill. 2004
5. National Institutes of Health (2016). MedlinePlus. Arterial Embolism.
6. John Hopkins Medicine. Health Library. Thrombosis.
7. MedicineNet.com (2016). Thrombosis.
8. NHS Choices UK (2017). Health A-Z. Arterial Thrombosis.
9. Macon BL, et al. Healthline (2016). Arterial Embolism.

148
UAP NSTEMI
SKDI 3B

1. Pengertian • Angina pektoris tak stabil (Unstable angina = UA) dan infark miokard
(definisi) akut tanpa elevasi ST (non ST elevation myocardial infaction = NSTEMI)
diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi
dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya
tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa
peningkatan biomarker jantung
• Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi
salah satu gejala yang sering didapatkan pada pasien.
2. Klasifikasi CCS Functional Classification of Angina :
• Kelas I - Angina hanya selama aktivitas fisik yang berat atau
berkepanjangan
• Kelas II - pembatasan aktivitas sedikit, angina hanya selama aktivitas fisik
yang kuat
• Kelas III - Gejala dengan kegiatan hidup sehari-hari, yaitu keterbatasan
moderat
• Kelas IV - Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas apapun tanpa
angina atau angina saat istirahat
3. Kriteria diagnosis

Algoritme evaluasi dan management ACS

• Gejala didapatkan rasa tidak enak di dada yang tidak selalu sebagai rasa
sakit, tetapi dapat pula sebagai rasa penuh di dada, tertekan, nyeri, tercekik
149
atau rasa terbakar. Rasa tersebut dapat terjadi pada leher, tenggorokan,
daerah antara tulang skapula, daerah rahang ataupun lengan. Sewaktu
angina terjadi, penderita dapat sesak napas atau rasa Iemah yang
menghilang setelah angina hilang. Dapat pula terjadi palpitasi, berkeringat
dingin, pusing ataupun hampir pingsan.
• Pemeriksaan fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat
terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks.
Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap atau meningkat pada
waktu serangan angina.
• EKG
Gambaran EKG penderita dapat berupa depresi segmen ST, depresi segmen
ST disertai inversi gelornbang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang
ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T.
• Enzim
Troponin, CK NAC, CK-MB. Kadar enzim dapat normal atau meningkat
tetapi tidak melebihi nilai 50% di atas normal
4. Tatalaksana . Anti ischaemik agent
• Beta bioker (I-B)
• Golongan nitrat oral maupun intravena (I-C)
• CCB (I-B)
• Nifedipin dan golongan dihidropiridin (III-B)
2. Anti koagulan(UFH,LMVVH, Fondaparinux, Bivalirudin (I,A)
• Pada pasien iskemik dengan risiko perdarahan (I,B)
• Pada strategi invasif dini UFH (1,0), enoxaparin (IIa,B) atau bivalirudin
(I, B)
• Pada situasi non-urgent : Fondaparinux (I, A), Enoxaparin (IIa, B),
LMWH (IIa,B)
• Pada prosedur PCI : UFH (I, C), enoxaparin (IIa,B), Bivalirudin (I,B),
tambahan UFF-1 50-100 iu/kg bolus diberikan pada penggunaan
fondaparinux (11a,C)
3. Anti-platelet agents
• Aspirin loading inisial 160-325 mg (I,A) dan pemeliharaan 75-100 mg
(I,A)
• Clopidogrel loading inisial 300 mg (I,A) dan penggunaan minimal 12
bulan berikutnya (I,A)
• Pasien kontraindikasi aspirin, berikan clopidogrel (1,B)
• Pasien PCI, loading dose 600 mg clopidogrel (lla,B)
• Pasien CABG yg mendapat terapi clopidogrel, dilakukan penundaan
operasi selama 5 hari (11a,C)
4. GP Ilb/Illa Inhibitors (11a,A)
• Pasien yang mendapat terapi inisial eptifibaatide dan tirofiban yang
akan dilakukan corangiografi harus mendapat terapi pemeliharaan
dengan obat yang sama selama dan setelah PCI (IIa,B)
• GP IIb/IIIA Inhibitors harus dikombinasikan dengan antikoagulan (I,A)
• Bivalirudin bisa sebagai alternatif GP IIb/IIIA inhibitors plus
UFH/LMWH (IIa,B)
5. Revaskularisasi
• Urgent coronary angiografi pada pasien dengan gagal jantung, aritmia
dan ketidakstabilan hemodinamik (I,C)
• Early (<72 jam) con angiografi dilkuti dengan revaskularisasi (PCI atau
CABG)pada pasien dengan risiko tinggi (I,A)
• Evaluasi invasif secara rutin tanpa risiko tinggi (I, C)
• PCI pada lesi yang tidak signifikan (III, C)
5. Edukasi Menjelaskan faktor risiko terjadinya angina dan menyarankan untuk
melakukan modifikasi gaya hidup

150
1. Dapat Diubah (dimodifikasi)
a. Diet (hiperlipidemia)
b. Rokok
c. Hipertensi
d. Stress
e. Obesitas
f. Kurang aktifitas
g. Diabetes Mellitus
h. Pemakaian kontrasepsi oral

2. Tidak dapat diubah


a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Ras
d. Herediter
FAKTOR PENCETUS SERANGAN
Faktor pencetus yang dapat menimbulkan serangan :
1. Emosi
2. Stress
3. Kerja fisik terlalu berat
4. Hawa terlalu panas dan lembab
5. Terlalu kenyang
6. Banyak merokok
6. Komplikasi • Infark miokard akut
• Cardiac arrest
• Aritmia
7. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respon terapi
8. Penatalaksanaan 1. Wanita
pada kondisi • Wanita dengan UA/NSTEMI diterapi sama dengan pasien laki-laki.
tertentu Pasien harus mendapat ASA dan diindikasikan untuk test invasif dan
non invasif (1,8)
2. Diabetes Mellitus
• Pasien diabetes melitus memiliki risiko tinggi terjadinya ACS, harus
dilakukan pemeriksaan screening awal (I,A)
• Stres tes dan angiografi (I,C)
• CABG untuk pasien dengan penyakit multivessel (I,C)
• PCI untuk pasien dengan penyakit pada 1-vessel (II,B)
• Abciximab pada pasien dengan stent coronary (II,B)
3. Post CABG
• Angiografi (I, B)
• CABG ulang untuk SVG stenosis (II, C)
• Stress test (II, C)
4. Pasien tua
• Observasi ketat pada penggunaan obat dan tindakan intervensi (I,B)
9. Kepustakaan 1. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation 2013
2. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With Unstable
Angina and Non-ST-Segment Elevation Myocardial Infarction 2012

151
VARISES
SKDI 2

1. Pengertian Adalah pelebaran pembuluh balik. Varises merupakan pelebaran vena yang
(Definisi) sering terjadi di vena superfisial, dan yang banyak terjadi di ekstremitas
bawah.
Klasifikasi varises
1. Varises primer: varises yang berasal dari vena superfisial
2. Varises sekunder: varises yang timbul akibat insufisiensi vena
deep, inkompetensi vena perforating, atau akibat oklusi vena deep
yang dapat menyebabkan dilatasi atau pembesaran dari vena
superfisial.
3. Anamnesis Terdiri atas keluhan rasa berat, rasa lelah rasa nyeri, rasa panas/sensasi
terbakar pada tungkai, kejang otot betis, bengkak serta keluhan kosmetik.
Keluhan biasanya berkurang dengan elevasi tungkai, untuk berjalan atau
pemakaian bebat elastic dan makin bertambah setelah berdiri lama, selama
kehamilan, menstruasi atau pengobatan hormonal
4. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi
Inspeksi tungkai dilakukan dari distal ke proksimal dari depan ke
belakang. Seseorang yang mempunyai kulit yang tipis vena akna
terlihat jelas
2. Palpasi
Seluruh permukaan kulit dilakukan palpasi dengan jari tangan
untuk mengetahui adanya dilatasi vena walaupun tidak terlihat ke
permukaan kulit setelah dilakukan perabaan pada kulit, dapat
diidentifikasi adanya kelainan vena superfisial. Penekanan yang
lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui keadaan vena
profunda
3. Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui keadaan katup vena
superfisial. Caranya dengan mengetok vena bagian distal dan
dirasakan adanya gelombang yang menjalar sepanjang vena di
bagian proksimal.
4. Auskultasi menggunakan Doppler
Pemeriksaan menggunakan Doppler digunakan untuk megetahui
arah aliran darah vena yang megalami varises, baik itu aliran
retrograde, antegrade, atau aliran dari mana atau ke mana.
5. Manuver Perthes
Manuver perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara
aliran darah retrograde dengan aliran darah antegrade. Untuk
melakukan maneuver ini pertama dipasan sebuah Penrose
tourniquet atau diikat di bagian proksimal tungkai yang mengalami
varises. Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk menekan vena
superfisial saja. Selanjutnya pasien disuruh untuk berjalan atu
berdiri sambil menggerakkan pergelangan kaki agar system pompa
otot menjadi aktif. Pada keadaan normal aktivitas pompa otot ini
akan menyebabkan darah dalam vena yang mengalami varisess
berkurang, namun adanya obstruksi pada vena profunda akan
mengakibatkan vena superfisial menjadi lebih lebatt dan distensi.
6. Tes Trendelenburg
Tes ini dilakukan dengan cara mengangkat tungkai dimana
sebelumnya dilakukan pengikatan pada paha sampai vena yang
mengalami varises kolaps. Kemudia pasien disuruh untuk berdiri
dengan ikatan tetap tidak dilepaskan
5. Pemeriksaan • Pemeriksaan laboratorium
Penunjang • Pemeriksaan Imagine (venografi dengan kontras, MRI, da USG
color-flow duplex
152
6. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
7. Diagnosis Banding Penyakit oklusif arteri, limfedema kronis, squamous cell carcinoma,
arteriovenosus malformation, oedema ortostatik
8. Terapi 1. Penggunaan stoking khusus (compression stocking)
2. Skleroterapi
3. Endovenous laser treatment
4. Ligase vena
5. Vein strippinh
6. Ambulatory phlebectomy
9. Komplikasi 1. Perdarahan varises yang pecah
2. Tromboflebitis akut/kronik
3. Selulitis, gangret
10. Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad funcionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam
11. Kepustakaan 1. Dorland’s Medical Dictionary
2. https://www.veindirectory.org/content/spider-veins-varicose-
vein/varicose-veins (diakses 15 Desember 2017)
3. Anonim, Varicose Vein of the Lower Extremitis, 1 Juli 2016,
http://222.fchp.org/~/media/Files/FHCP/Imported/VaricoseVein
Treatment.pdf.ashx [diakses 15 Desember 2017

153
EKSTRA SISTOL VENTRIKEL (VES)
SKDI 3A
1. Pengertian Adalah kelainan irama yang ditandai dengan timbulnya kompleks QRS lebar
(Definisi) (LBBB atau RBBB) yang dating lebih awal dari pada interval irama
dasarnya.
2. Anamnesis 1. Berdebar
2. Kehilangan denyut (skip pedbeat)
3. Nyeri dada
4. Denyut yang tiba-tiba terasa keras
5. Sesak nafas
6. Dizziness
3. Pemeriksaan Laju nadi teraba ireguler dengan adanya pause kompensator
Fisik
4. Pemeriksaan 1. EKG
Penunjang 2. Lab: elektrolit, hematologirutin, faktor koagulasi, fungsi tiroid,
fungsi ginjal, HbsAg, anti HCV dan HIV
3. Foto rontgen toraks
4. Pemantauan Holter
5. Uji latih jantung dengan beban (TMT)
6. Ekokardiografi
7. Studi elektrofisiologi
5. Kriteria 1. EKG 12 sadapan
Diagnosis a. QRS lebar yang datang lebih awal, kadang disertai pause
kompensator
b. Dengan melihat morfologi kompleks QRS, dapat diketahui
dimana sumber ekstra sistol, misalnya:
- Morfologi sebagai LBBB, aksis inferior, lokasi di right
ventrikular outflow tract
- Morfologi sebagai RBBB berasal di ventrikel kiri
2. EKG Holter
a. Menilai seberapa sering timbulnya ekstra sistol (arrhythmic
burden)
b. Menilai adanya takikardia
c. Kriteria VES benigna vs maligna:
- >6 dalam 1 menit (10% dalam 24 jam)
- R on T
- Infark miokard
- Polimorfik
- Repetitive dan konsekutif (bigeminy, couplet, triplet)
3. Uji latih jantung dengan beban
a. Iskemia sebagai pencetus
b. Mencetuskan takikardia ventrikel
6. Diagnosis 1. Ekstrasistol atrial dengan aberans
Banding 2. Artefak
7. Terapi 1. Asimtomatik
a. Observasi
b. Pada penderita dengan jantung yang normal, hanya perlu
reassurance dan tidak perlu obat-obatan
c. Pada penderita dengan penyakit jantung coroner, perlu dilakukan
disingkirkan kemungkinan iskemia, dan dinilai risiko terjadinya
VT
2. Simtomatik
a. Farmakologis dengan beta blocker, nondihydropiridin calcium
channel blocker, amiodaron; atau kombinasi
b. Koreksi elektrolit, terutama magnesium dan kalium
c. Terapi definitive: ablasi radio frekuensi (konvensionaal atau 3-

154
dimensi)
8. Komplikasi -
9. Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad sanatorium: dubia ad bonam
Quo ad fungsional: dubia ad bonam
10. SKDI 3A
11. Kepustakaan 1. Panduan Praktik Klinis RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Jakarta. 2014-2015
2. Essential cardiac electrophysiology
3. Ziad Issa, John M. Miller, Douglas P.Zipes. Clinical Arrhythmology and
Electrophysiology: A Companion to Braunwald’s Heart Disease,
Saunders. 2009
4. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for Management of Patients With
Ventricular Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death,
Europace 2006;8:746-837

155
VENTRIKULER FIBRILASIS
SKDI 3B

1. Pengertian Fibrilasi ventrikel adalah kelainan ritme jantung, di mana jantung akan
(definisi) berdenyut secara sangat cepat. Hal ini dipicu oleh adanya gangguan pada
rangsangan (impuls) listrik di jantung, sehingga bilik jantung (ventrikel)
bergetar secara tidak terkontrol. Akibatnya, jantung tidak mampu melakukan
fungsinya untuk memompa darah ke seluruh tubuh, dan pada akhirnya
pasukan darah dan oksigen di organ-organ vital tubuh akan terhenti.
2. Anamnesis • Detak jantung yang sangat cepat
• Sakit dada
• Pusing
• Mual
• Napas yang pendek
• Hilang kesadaran
3. Pemeriksaan Fisik • Tidak sadar
• Denyut jantung tidak teratur (palpitasi)
• Apnea
• Gallop S3 dan S4
4. Pemeriksaan • Tes darah
Penunjang • Elektrokardiogram (EKG)
• Ekokardiogram
• Angiogram
• X-ray dada
• CT atau MRI scan
5. Terapi • Non farmakologis
Perawatan fibrilasi ventrikel pada kondisi darurat terdiri dari dua macam
perawatan, yaitu:
• Pemberian resusitasi jantung paru atau CPR yang akan menirukan
gerakan memompa jantung agar aliran darah di seluruh tubuh tetap
terjaga. Bagi orang yang belum mendapat pelatihan CPR, Anda
dapat memberi tekanan di dada (kompresi) sebanyak 100 kali per
menit dengan menggunakan tangan. Lakukan ini hingga alat kejut
jantung (defibrillator) tiba di lokasi kejadian.
• Defibrilasi atau menggunakan alat kejut jantung (defibrillator) yang
akan menghantarkan gelombang listrik ke dada dan jantung untuk
mengembalikan detak jantung ke ritme yang beraturan.

• Farmakologis

6. Komplikasi Beberapa komplikasi berikut mungkin terjadi pada penderita fibrilasi


ventrikel, yaitu:
• Cedera iskemik pada sistem saraf pusat
• Kematian
• Kulit terbakar akibat prosedur defibrilasi
156
• Cedera akibat prosedur CPR
7. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsional : dubia ad bonam
8. Kepustakaan 1. Suarjana l. Artritis reumatoid. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l,
Simodibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar ilmu penyakit dalam.5th
ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbiton Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:2495 - 513
2. Panduan Praktik Klinis (PPK). 2015. Tatalaksana Kasus Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki).
3. Beers MH, Berkow R, editors.Crystal-lnduced Conditions. ln: The Merck
Monual of Diagnosis and Therapy I7th ed.
4. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006
5. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006

157
GASTROENTEROLOGI
HEPATOLOGI

158
KANKER KOLON
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Colon Cancer atau dikenal sebagai Ca Colon atau Kanker Usus Besar adalah
suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus
buntu).
2. Anamnesis 1. Perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus (hematokezia dan
konstipasi)
2. Hematosezia
3. Perubahan pola defekasi (konstipasi atau diare). rasa tidak nyaman pada
perut
4. Penurunan berat badan
5. Pneumaturia (invasi pada kandung kemih) dan obstruksi
3. Pemeriksaan Fisik Dapat ditemukan masa yang nyeri pada abdomen. Nyeri dapat menjalar ke
pinggul sampai tungkai atas. Bila ada obstruksi dapat ditemukan distensi
abdomen. Tumor pada kolon kiri lebih sering menyebabkan gejala obstruksi.
Metastasis paling sering ke organ hati, dapat ditemukan hati teraba ireguler.
4. Pemeriksaan ⚫ Pemeriksaan penunjang yang menjadi modalitas utama dalam diagnosis
Penunjang kanker kolon adalah pencitraan. Pencitraan sehubungan dengan kanker
kolon memiliki dua tujuan utama, yaitu mendeteksi dan menentukan
stadium tumor primer serta menentukan derajat metastasis.
⚫ Radiologi: Kolonoskopi
⚫ MRI diindikasikan pada penderita kanker kolon dengan kecurigaan
metastasis pada sistem saraf pusat
⚫ CT scan dan Fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-
PET) digunakan dalam menentukan stadium kanker kolon.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis Ca Colon
7. Diagnosis Banding 1. Tumor Retrorektal
2. Volvulus
3. Prolaps Rekti
8. Tatalaksana ⚫ Pembedahan, terapi kuratif kanker kolon yang utama adalah reseksi
radikal segmen kolon disertai pengangkatan kelenjar getah bening. Batas
reseksi ditentukan oleh ukuran tumor, lokasi, histologi tumor, dan
perluasan tumor ke dinding kolon serta jaringan dan organ sekitar.
⚫ Chemoprevention, obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) seperti
celecoxib dapat menurunkan rekurensi adenoma kolon sebesar 40-66%.
⚫ Endoskopi dan operasi
▪ Bila ukuran < 5 mm maka pengangkatan cukup dengan biopsy atau
elektrokoagulasi bipolar.
▪ Hemikolektomi apabila tumor di caecum, kolon ascending, kolon
transfersum tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon desending.
▪ Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan
tindakan LAR (Low Anterior Resection).
⚫ Terapi ajuvan, 5FU (pada Dukes C), irnotecan (CPT 11) inhibitor
topoisomer, Oxaliplatin. Manajemen kanker kolorektal yang non
reseksibel:
▪ Nd-YAG foto koagulasi laser.
▪ Self expanding metal endoluminal stent.
9. Komplikasi 1. Perdarahan masif dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
2. Metastase.
10. Prognosis Pada Familial adenomatous Polyposis, kemungkinan berkembang menjadi
kanker non kolorektal adalah 11% pada usia 50 tahun dan 52% pada usia 75
tahun. Pada kanker kolorektal, prognosis tergantung pada stadium kanker.
11. Kepustakaan 1. Abdullah, M. Tumor Kolorektal. In: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B,
159
Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing: 2009 : Hal 567-575.
2. Abdullah, M. Kanker Kolon. In: Rani A, Simandibrata M, Syam AF. Buku
Ajar Gastroenterologi Edis I. Jakarta: Interna Publishing: 2011 : Hal 460-473.
3. Gastrointestinal endoscopy. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Brounwald
E, Hauser S, James J, Loscalzo J, editors. Horrison’s principles of internal
medicine 18th ed. United New York: The McGrow-Hill Companies. 2012.

160
KANDIDIASIS MULUT
SKDI 4A

1. Pengertian Kandidiasis merupakan penyakit akibat infeksi kandida baik primer maupun
sekunder terhadap penyakit lain. Penyebab utama adalah Candida albicans,
tetapi dikenal beberapa spesies lain yang dapat hidup pada manusia antara
lain, C.stellatoidea, C.tropicalis, C.pseudotropicalis, C.krusei, C.parapsilosis
dan C.guilliermodii.
2. Anamnesis - Mulut terasa gatal dan perih di mukosa mulut, rasa metal
- Daya kecap mengalami penurunan
- Penurunan daya tahan tubuh (imunodefisiensi) memiliki fakto resiko
terkena kandidiasis
3. Pemeriksaan Fisik Bercak merah, dengan maserasi di daerah sekitar mulut, di lipatan
(intertriginosa) disertai bercak merah yang terpisah di sekitarnya (satelit).
Bentuk lesi kandidiasis yang paling sering ditemukan di dalam rongga mulut
adalah pseudomembran dan eritematosus.
Pseudomembran memiliki tanda klinis berupa lesi bercak atau plak putih yang
terdapat di lidah, palatum, dan bukal, kemudian jika dikerok akan terlepas,
meninggalkan permukaan mukosa merah dan dapat disertai perdarahan
ringan. Bentuk eritematosus dikenal juga sebagai “antibiotic sore mouth”
karena berhubungan dengan penggunaan antibiotik spektrum luas jangka
panjang. Kandidiasis eritematosus secara klinis ditandai oleh adanya area
merah biasanya pada dorsum lidah dan palatum serta jarang terjadi pada
mukosa bukal. Kandidiasis eritematosus adalah bentuk kandidiasis yang
disertai rasa sakit konstan atau rasa terbakar.
Bercak merah dengan maserasi di daerah sekitar mulut, di lipatan
intertriginosa denga adanya bercak merah yang terpisah di sekitarnya
4. Pemeriksaan - Laboratorium: kerokan membran kulit dengan sediaan basah KOH 10%,
Penunjang atau pewarnaan Gram, ditemukan sel regi dengan menggunakan
mikroskop.
5. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis Kandidiasis
7. Diagnosis Banding - Pseudomembranous kandidiasis (thrush)
- Acute atrophic (erythematous)
- Chronic atrophic kandidiasis
- Chronic hyperplstic kandidiasis
8. Terapi Non farmakologi:
- Memperbaiki status gizi
- Menjaga kebersihan mulut
- Edukasi akan sanitasi lingkungan
Farmakologi:
- Gentian violet 1%
- Larutan nistatin 100.000-200.000 IU/ml yang dioleskan 2-3 kali sehari
selama 3 hari
- Amphoterecin B
- Fluconazol
- Itraconazol atau ketokonazole
9. Komplikasi Diare karena kandidiasis saluran cerna, kekurangan gizi
10. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
11. Kepustakaan 1. Coronado-Castellote, L., & Jim??nez-Soriano, Y. (2013). Clinical and
microbiological diagnosis of oral kandidiasis. Journal of Clinical and
Experimental Dentistry, 5(5), 279–286.
2. Garcia-Cuesta, C., Sarrion-Perez, M. G., & Bagan, J. V. (2014). Current
treatment of oral kandidiasis: A literature review. J Clin Exp Dent, 6(5),
e576-82.
161
3. Mboi, N. (2014). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
332–337.
4. Patton, L., Ramirez-Amador, V., Anaya-Saavedra, G., Nittayananta, W.,
Carrozzo, M., & Ranganathan, K. (2013). Urban legends series: Oral
manifestations of HIV infection. Oral Diseases, 19(6), 533–550.
5. Kemenkes. Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007. Jakarta. Kementerian
Kesehatan RI.
6. Singh, A., Verma, R., Murari, A., & Agrawal, A. (2014). Oral
kandidiasis: An overview. Journal of Oral and Maxillofacial Pathology :
JOMFP, 18(Suppl 1), S81-5.

162
PERDARAHAN GASTROINTESTINAL
SKDI 3B

1. Pengertian Perdarahan saluran cerna adalah hilangnya darah dalam jumlah tidak normal
(definisi) pada saluran cerna mulai dari rongga mulut hingga ke anus. Normalnya,
volume darah yang hilang dari saluran cerna sekitar 0,5 – 1,5 mL per hari.
Berdasarkan lokasi anatomi sumber perdarahannya, perdarahan saluran cerna
terdiri dari perdarahan saluran cerna atas dan perdarahan saluran cerna bawah.
Perdarahan saluran cerna atas merupakan perdarahan di atas ligamen Treitz di
distal duodenum, yaitu pada rongga mulut, esofagus, gaster, dan duodenum.
Sedangkan perdarahan saluran cerna bawah merupakan perdarahan di bawah
ligamen Treitz, yaitu pada usus halus,
kolon, rektum, dan anus.
Hematemesis (muntah darah segar atau hitam) menunjukkan perdarahan dari
saluran cerna bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz. Melena (tinja
hitam, bau khas) biasanya akibat perdarahan saluran cerna bagian atas,
meskipun demikian perdarahan dari usus halus atau kolon bagian kanan, juga
dapat menimbulkan melena. Hematokezia (perdarahan merah segar) lazimnya
menandakan sumber perdarahan dari kolon, meskipun perdarahan dari saluran
cerna bagian atas yang banyak juga dapat menimbulkan hematokezia atau
feses warna marun.
2. Anamnesis Keluhan (pada perdarahan saluran cerna atas)
Pasien dapat datang dengan keluhan muntah darah berwarna hitam seperti
bubuk kopi (hematemesis) atau buang air besar berwarna hitam seperti ter atau
aspal (melena).
Gejala klinis lainya sesuai dengan komorbid, seperti penyakit hati kronis,
penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal dsb.
Umumnya melena menunjukkan perdarahan di saluran cerna bagian atas atau
usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal dari perdarahan kolon
sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak semua kotoran hitam ini
melena karena bismuth, sarcol, lycorice, obat-obatan yang mengandung besi
(obat tambah darah) dapat menyebabkan faeces menjadi hitam.
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis,
riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol,
jamu–jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke. Kemudian ditanya
riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat
lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat
mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.
Faktor Risiko: Sering mengkonsumsi obat-obat NSAID
Faktor Predisposisi: memiliki penyakit hati (seperti serosis hepatis).

Keluhan (perdarahan saluran cerna bawah)


Pasien datang dengan keluhan darah segar yang keluar melalui anus
(hematokezia) atau dengan keluhan tinja yang berwarna hitam dengan bau
yang khas (melena). Umumnya melena menunjukkan perdarahan di saluran
cerna bagian atas atau usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal
dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas.
Tidak semua kotoran hitam ini melena karena bismuth, sarcol, lycorice, obat-
obatan yang mengandung besi (obat tambah darah) dapat menyebabkan faeces
menjadi hitam. Oleh karena itu perlu ditanyakan pada anamnesis riwayat obat-
obatan. Perlu ditanyakan keluhan lain untuk mencari sumber perdarahan.
Perdarahan dari divertikulum biasanya tidak nyeri. Tinja biasanya berwarna
merah marun, kadang-kadang bisa juga menjadi merah. Umumnya terhenti
secara spontan dan tidak berulang, oleh karena itu tidak ada pengobatan
khusus yang dibutuhkan oleh para pasien.
Nilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur dengan
feses (seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau
163
terpisah/menetes (terduga hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau terdapat
gejala sistemik lainnya seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi),
menurunnya berat badan (kanker), perubahan pola defekasi (kanker), tanpa
rasa sakit (hemoroid intema, angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi,
iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri). Apakah kejadian ini
bersifat akut, pertama kali atau berulang, atau kronik, akan membantu ke arah
dugaan penyebab atau sumber perdarahan.
3. Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik (perdarahan saluran cerna atas)
fisik a. Penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi)
b. Perlu dilakukan evaluasi jumlah perdarahan.
c. Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu mencari stigmata penyakit hati
kronis (ikterus,spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema
tungkai), massa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit
paru, penyakit jantung, penyakit rematik dll.
d. Rectal toucher, warna feses ini mempunyai nilai prognostik
e. Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric
Tube (NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak
aktif, aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat
mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun
dapat memprediksi mortalitas pasien.
Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak
duodeni ditemukan adanya aspirat yang jernih pada NGT.

Pemeriksaan Fisik (perdarahan saluran cerna bawah)


Pada pemeriksaan fisik yang ditemukan mengarah kepada penyebab
perdarahan. Dapat diemukan adanya nyeri abdomen, terabanya massa
diabdomen (mengarah pada neoplasma), fissura ani, pada rectal touche:
adanya darah pada saat pemeriksaan, adanya massa berupa hemoroid, tumor
rectum. Segera nilai tanda vital, terutama ada tidaknya renjatan atau hipotensi
postural (Tilt test). Pemeriksaan fisis abdomen untuk menilai ada tidaknya rasa
nyeri tekan (iskemia mesenterial), rangsang peritoneal (divertikulitis), massa
intraabdomen (tumor kolon, amuboma, penyakit Crohn). Pemeriksaan sistemik
lainnya: adanya artritis (inflammatory bowel disease), demam (kolitis infeksi),
gizi buruk (kanker), penyakit jantung koroner (kolitis iskemia).
Pada perdarahan samar karena defisiensi besi yang serius biasanya muncul
berupa pucat, takikardia, hipotensi postural, dan aktivitas jantung yang
hiperdinamik akibat tingginya curah jantung. Temuan lain yang jarang di
antaranya papil, edem, tuli, parese, nervus kranial, perdarahan retina,
koilonetia, glositis, dan kilosis. Limfadenopati masa hepatosplemegali atau
ikterus merupakan petunjuk ke arah keganasan sementara nyeri epigastrium
ditemukan pada penyakit asam lambung. Splenomegali, ikterus atau spider
nevi meningkatkan kemungkinan kehilangan darah akibat gastropati hipertensi
portal. Beberapa kelainan kulit seperti telangiektasia merupakan petunjuk
kemungkinan telangiektasia hemoragik yang herediter
4. Pemeriksaan Pemeriksaan Penunjang (perdarahan saluran cerna atas)
penunjang a. Laboratorium darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal ginjal, gula
darah, elektrolit, golongan darah, petanda hepatitis B dan C.
b. Rontgen dada dan elektrokardiografi.
c. Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold
standard. Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula
untuk terapi.
d. Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan dengan kontras barium (OMD) dengan angiografi atau
skintigrafimungkin dapat membantu.

Pemeriksaan Penunjang (perdarahan saluran cerna bawah)


a. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap, Hemostasis Lengkap, Tes Darah
Samar, Pemeriksaan Defisiensi Besi.
164
b. Kolonoskopi
c. Scintigraphy dan angiografi.
d. Pemeriksaan radiografi lainnnya: Enema barium.
5. Kriteria - Anamnesis
diagnosis - Pemeriksaan fisik
- Foto x-ray proyeksi AP, lateral
6. Diagnosis Hematemesis/Melena
kerja
7. Diagnosis Diagnosis Banding (perdarahan saluran cerna atas)
banding a. Hemoptisis
b. Hematoskezia

Diagnosis Banding (perdarahan saluran cerna bawah)


1. Haemorhoid
2. Infeksi usus
3. Penyakit usus inflamatorik
4. Divertikulosis
5. Angiodisplasia
6. Tumor kolon
8. Terapi Penatalaksanaan (Perdarahan saluran cerna atas)
a. Identifikasi dan antisipasi terhadap adanya gangguan hemodinamik harus
dilaksanakan secara prima di lini terdepan karena keberhasilannya akan
mempengaruhi prognosis.
b. Langkah awal menstabilkan hemodinamik.
1. Pemasangan IV line paling sedikit 2
2. Dianjurkan pemasangan CVP
3. Oksigen sungkup/kanula. Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT
4. Mencatat intake output, harus dipasang kateter urine
5. Memonitor tekanan darah, nadi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya
sesuai dengan komorbid yang ada.
c. Pemasangan NGT (nasogatric tube)
1. Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan
endoskopi.
2. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
d. Pemeriksaan laboratorium segera diperlukan pada kasus-kasus yg
membutuhkan transfusi lebih 3 unit pack red cell. Pasien yang stabil setelah
pemeriksaan dianggap memadai, pasien dapat segera dirawat untuk terapi
lanjutan atau persiapan endoskopi.
e. Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan penyebab perdarahan.
f. Penatalaksanaan sesuai penyebab perdarahan
g. Tirah baring
h. Puasa/Diet hati/lambung
1. Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton (PPI)
2. Sitoprotektor: sukralfat 3-4x1 gram
3. Antacida
4. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis
5. Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises
gastroesofageal dapat diberikan: somatostatin bolus 250 ug + drip 250
mikrogram/jam atau oktreotid bo0,1mg/2 jam. Pemberian diberikan
sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah
ligasi varises.
6. Propanolol, dimulai dosis 2x10 mg dapat ditingkatkan sampai tekanan
diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20%.
7. Laktulosa 4x1 sendok makan
8. Neomisin 4x500 mg
9. Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri,
tetapi pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi
endoskopi pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu
165
perlu dilakukan assessmen yang lebih akurat untuk memprediksi
perdarahan ulang dan mortalitas.
10. Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif.

Rencana Tindak Lanjut


Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien dapat mengalami
perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakukan asesmen yang lebih akurat
untuk memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.

Konseling dan Edukasi


Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet dan pengobatan pasien.

Penatalaksanaan (perdarahan saluran cerna bawah)


a. Identifikasi dan antisipasi terhadap adanya gangguan hemodinamik
harus dilaksanakan secara prima di lini terdepan karena
keberhasilannya akan mempengaruhi prognosis.
b. Puasa dan Perbaikan hemodinamik
c. Resusitasi pada perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut
mengikuti protokol yang juga dianjurkan pada perdarahan saluran
cerna bagian atas. Dengan langkah awal menstabilkan hemodinamik.
d. Oleh karena perdarahan saluran cerna bagian atas yang hebat juga
menimbulkan darah segar di anus maka pemasangan NGT (nasogatric
tube) dilakukan pada kasus-kasus yang perdarahannya kemungkinan
dari saluran cerna bagian atas.
e. Pemeriksaan laboratorium segera diperlukan pada kasus-kasus yg
membutuhkan transfusi lebih 3 unit pack red cell.
f. Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan penyebab perdarahan.
g. Penatalaksanaan sesuai penyebab perdarahan (Kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk melakukan ablasi dan reseksi polip yang berdarah
atau mengendalikan perdarahan yang timbul pada kanker kolon,
Sigmoidoskopi dapat mengatasi perdarahan hemoroid internal dengan
ligasi maupun teknik termal, Angiografi Terapeutik, Embolisasi arteri
secara selektif dengan polyvinyl alcohol atau mikrokoil. Terapi Bedah.
h. Pada beberapa diagnostik (seperti divertikel Meckel atau keganasan)
bedah merupakan pendekatan utama setelah keadaan pasien stabil.
Bedah emergensi menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi
dan dapat memperburuk keadaan klinis. Pada kasus-kasus dengan
perdarahan berulang tanpa diketahui sumber perdarahannya maka
hemikolektomi kanan atau hemikolektomi subtotal dapat
dipertimbangkan dan memberikan hasil yang baik.
i. Penatalaksanaan perdarahan samar saluran cerna sangat ditentukan
oleh hasil pemeriksaan diagnostik.
j. Penyakit peptik diterapi sesuai dengan penyebabnya meliputi
pemberian obat supresi asam jangka pendek maupun jangka panjang
dan terapi eradikasi infeksi Helicobacter pylori bilamana ditemukan.
k. Sejumlah lesi premaligna dan polip bertangkai yang maligna dapat
diangkat dengan polipektomi. Angiodisplasia dapat diobati dengan
kauterisasi melalui endoskopi atau diobati dengan preparat
estrogenprogesteron. Gastropati hipertensi portal kadang mengalami
perbaikan dengan pemberian obat yang dapat menurunkan hipertensi
portal. Bila obat-obatan dianggap sebagai penyebab kehilangan darah
tersamar tersebut maka menghentikan penggunaan obat tersebut akan
mengatasi anemia.
l. Pengobatan infeksi sesuai penyebab
m. Beberapa perdarahan saluran cerna bagian bawah dapat diobati secara
medikamentosa. Hemoroid fisura ani dan ulkus rektum soliter dapat
diobati dengan bulk-forming agent, sitz baths, dan menghindari
mengedan. Salep yang mengandung steroid dan obat supositoria

166
sering digunakan namun manfaatnya masih dipertanyakan.
n. Kombinasi estrogen dan progesteron dapat mengurangi perdarahan
yang timbul pada pasien yang menderita angiodisplasia. IBD biasanya
memberi respon terhadap obat-obatan anti inflamasi. Pemberian
formalin intrarektal dapat memperbaiki perdarahan yang timbul pada
proktitis radiasi. Respon serupa juga terjadi pada pemberian oksigen
hiperbarik.
o. Kehilangan darah samar memerlukan suplementasi besi untuk jangka
panjang. Pemberian ferrosulfat 325 mg tiga kali sehari merupakan
pilihan yang tepat karena murah, mudah, efektif dan dapat ditolerir
oleh banyak pasien.
p. Konseling dan Edukasi : Keluarga ikut mendukung untuk menjaga
diet dan pengobatan pasien.

Kriteria Rujukan
Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan penyebab perdarahan.
9. Komplikasi Komplikasi (perdarahan saluran cerna atas)
a. Syok hipovolemia
b. Aspirasi pneumonia
c. Gagal ginjal akut
d. Anemia karena perdarahan
e. Sindrom hepatorenal
f. Koma hepatikum
Komplikasi (perdarahan saluran cerna bawah)
1. Syok hipovolemik
2. Gagal ginjal akut
3. Anemia karena perdarahan
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
Ad fungsional : dubia ad malam
11. Kepustakaan 1. Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Edisi Revisi Tahun 2014.
2. Tengguna, L. 2017. Perdarahan Saluran Cerna pada Anak. 44 (10): h. 1-5.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
4. Wilkins, T, et al. 2012. Diagnosis and Management of Upper
Gastrointestinal Bleeding. 85 (5): h. 3-5.

167
INTOLERANSI MAKANAN
SKDI 4A

1. Pengertian Intoleransi makanan merupakan suatu reaksi kimiawi terhadap zat-zat


makanan yang masuk ke dalam tubuh yang menimbulkan keluhan pada
sistem gastrointestinal, seperti diare, mual, dan muntah. Intoleransi makanan
harus dibedakan dari alergi makanan, di mana alergi makanan melibatkan
fungsi sistem imun (IgE) terhadap zat-zat yang terkandung di dalam makanan
yang dikonsumsi, dan konsumsi yang sedikit saja atau bahkan hanya dengan
menyentuh makanan tersebut dapat berakibat fatal pada seseorang. Intoleransi
makanan biasanya diakibatkan oleh defisiensi suatu enzim atau zat kimia
yang diperlukan untuk mencerna makanan tersebut di dalam tubuh, atau
disebabkan oleh abnormalitas tubuh yang tidak bisa menyerap suatu zat
makanan, sehingga biasanya gejala intoleransi makanan timbul jika seseorang
mengonsumsi makanan melampaui jumlah tertentu (threshold).
2. Anamnesis Anamnesis terutama ditujukan untuk menanyakan riwayat konsumsi makanan
sebelum terjadinya reaksi intoleransi makanan dan riwayat kejadian yang
sama sebelumnya.
a. Tanyakan riwayat konsumsi makanan yang sering menyebabkan
intoleransi, seperti:
• produk susu (keju, susu, yogurt),
• produk gandum (roti, sereal),
• pengawet/pewarna buatan dalam makanan (MSG),
• zat-zat amin alami (alpukat, pisang, daging, cokelat, jeruk, keju),
• salisilat alami (apel, jeruk, stroberi, tomat),
• kafein atau kari.
b. Tanyakan apakah pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya ketika
mengonsumsi makanan-makanan di atas.
c. Tanyakan apakah di keluarga pernah terdapat kejadian yang serupa.
3. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan tanda-tanda pada beberapa sistem
seperti berikut.
a. Sistem gastrointestinal:
• sariawan,
• sakit perut,
• mual,
• diare,
• kosntipasi,
• IBS (irritable bowel syndrome).
b. Sistem pernapasan:
• hidung tersumbat,
• sinusitis,
• iritasi faring,
• asma,
• batuk tidak berdahak.
c. Sistem integumen:
• kemerahan pada kulit,
• urtikaria,
• angioedema,
• dermatitis,
• eczema.
4. Pemeriksaan a. Tes napas hidrogen (untuk intoleransi laktosa dan malabsorpsi fruktosa)
penunjang b. Diet eliminasi di bawah pengawasan ketat dokter dan ahli gizi
c. Tes ELISA terhadap respon imun IgG terhadap zat-zat makanan tertentu
5. Kriteria diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan temuan-temuan pada pemeriksaan fisik, riwayat
konsumsi makanan tertentu, melihat rekam medis dan riwayat keluhan yang

168
sama pada pasien
6. Diagnosis Intoleransi makanan
7. Diagnosis banding Alergi makanan
8. Terapi a. Istirahat
b. Hidrasi yang cukup
c. Edukasi untuk menghindari konsumsi berlebihan makanan yang menjadi
penyebab timbulnya gejala intoleransi makanan
d. Diet eliminasi (dalam jangka waktu tertentu, tidak mengonsumsi zat
makanan yang dicurigai sebagai penyebab intoleransi)
9. Komplikasi Dehidrasi, malnutrisi (jika pelaksanaan diet eliminasi terlalu lama atau tidak
tepat)
10. Prognosis Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: bonam
Quo ad sanationam: dubia
11. Daftar pustaka a. Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy (ASCIA). 2014.
Food intolerance. Diakses dari https://www.allergy.org.au/patients/food-
other-adverse-reactions/food-intolerance
b. Maurer M, dkk.. 2003. Relevance of food allergies and intolerance
reactions as causes of urticarial. Hautarzt 54 (2): 138-43.
c. Moneret-Vautrin DA. 2003. Allergic and pseudo-allergic reactions to
foods in chronic urticaria. Ann Dermatol Venereol 130 (1): 1S35-42.
d. Novembre E dan A Vierucci. 2001. Milk-allergy/intolerance and atopic
dermatitis in infancy and childhood. Allergy 56 (67): 105-8.
e. Cardinale F, dkk.. 2008. Intolerance to food additives: an update.
Minerva Pediatr. 60 (6): 1401-9.
f. Ortolani C dan EA Pastorello. 2006. Food allergies and food intolerances.
Best Pract Res Clin Gastroenterol 20 (3): 467-83.
g. Pastar Z dan J Lipozencic. 2006. Adverse reactions to food and clinical
expressions of food allergy. Skinmed 5 (3): 119-25.
h. Ozdemir C, dkk.. 2009. Food intolerances and eosinophilic esophagitis in
childhood. Dig Dis Sci 54 (1): 8-14.

169
ALERGI MAKANAN
SKDI 4A

1. Pengertian Alergi makanan adalah respons abnormal terhadap makanan yang


(Definisi) diperantarai reaksi imunologis.
Reaksi alergi makanan terdiri dari reaksi alergi yang diperantarai IgE dan
tidak diperantarai IgE.
2. Anamnesis - Daftar lengkap semua makanan yang diduga menyebabkan gejala
- Jumlah minimum pemaparan makanan yang diperlukan untuk
menyebabkan gejala
- Reproduktifitas gejala saat terpapar makanan
- Riwayat pribadi atau keluarga dari penyakit alergi lainnya
- Faktor-faktor yang dapat memicu reaksi alergi makanan (misal:
olahraga, obat anti-inflamasi nonsteroid [NSAID], atau alkohol)
3. Pemeriksaan fisik − Gatal atau eksim
− Pembengkakan pada bibir, wajah, lidah dan tenggorokan atau bagian
lain dari tubuh
− Hidung tersumbat atau kesulitan bernapas
− Nyeri perut, diare, mual atau muntah
4. Pemeriksaan - Tes antibodi imunoglobulin E spesifik (IgE)
penunjang - Skin prick test
- Oral food challenge
5. Kriteria diagnosis - Anamnesis dan pemeriksaan fisik
- Tes kulit (skin prick test)
6. Diagnosis kerja Alergi makanan
7. Diagnosis banding - Keracunan makanan
- Gangguan motilitas usus
- Intoleransi - laktosa
8. Terapi Non Farmakologis
Menghindari makanan penyebab alergi

Farmakologis
- Reaksi alergi makanan ringan → Antihistamin
- Reaksi alergi makanan sedang → Kortikosteroid
- Serangan anafilaksis → Epinefrin/adrenalin
9. Komplikasi - Anafilaksis
- Dermatitis atopic (Eksim)
10. Prognosis Dubia ad bonam.
Secara umum, akan menjadi toleran secara klinis terhadap hipersensitivitas
makanan. Secara khusus, sebagian besar alergi terhadap susu, telur, kedelai,
dan gandum.
Alergi kacang-kacangan, ikan, dan kerang lebih persisten.
11. Kepustakaan 1. Rengganis, I., E. Yunihastuti. Alergi Makanan. Dalam: Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jilid I. 2009. Hal 265-267.
2. Sichere, S.H. Food Allergies. Diakses pada
https://emedicine.medscape.com/article/135959-overview pada tanggal
23 Maret 2018.

170
PENYAKIT PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK
SKDI 3A

1. Pengertian (definisi) Penyakit perlemakan hati non alkoholik (NAFLD/Non Alcoholic Fatty Liver
atau NASH/ Non Alcoholic Steatohepatitis) merupakan suatu sindrom klinis
dan patologis akibat perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat
perlemakan, peradangan dan fibrosis pada hati. Perlemakan hati (Fatty liver
atau steatosis) merupakan suatu keadaan adanya lemak di hati (sebagian besar
terdiri dari trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat hati yang disebabkan
kegagalan metabolisme lemak hati dikarenakan defek di antara hepatosit atau
proses transport kelebihan lemak, asam lemak, atau karbohidrat karena
melebihi kapasitas sel hati untuk sekresi lemak. Kriteria non alkoholik
disepakati bahwa konsumsi alkohol <20 gram/hari.
2. Anamnesis Umumnya pasien tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda penyakit hati.
Beberapa pasien mengeluhkan rasa lemah, malaise, rasa mengganjal di perut
kanan atas. Riwayat konsumsi alkohol, riwayat penyakit hati sebelumnya.
3. Pemeriksaan Fisik Dapat ditemukan adanya kelebihan berat badan, hepatomegali, komplikasi
sirosis yaitu asites, perdarahanvarises. Sindrom resistensi insulin: obesitas
(lemak viseral).
4. Pemeriksaan • Fungsi hati: peningkatan ringan (<4 kali) AST (aspartate
Penunjang aminotransferase), ALT (alanine aminotransferase). AST>ALT pada
kasus hepatitis karena alkohol.
• Alkali fosfatase, gamma GT (glutamil transferase): dapat meningkat
• Bilirubin serum, albumin serum, dan prothrombin time: dapat normal,
kecuali pada kasus NAFLD terkait sirosis hepatis.
• Gula darah, profil lipid, seromarker hepatitis.
• ANA, anti ds DNA: titer rendah (< 1 : 320)
• USG: gambaran bright liver
• CT Scan
• MRI: deteksi infiltrasi lemak
• Biopsi hati: baku emasiagnosis. Ditemukan 5-10 % sel lemak dari
keseluruhan hepatosit, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular,
hialin Mallory dengan atau tanpa fibrosis. Kegunaan biopsy hati:
membedakan steatosis non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau
disertai inflamasi, menyingkirkan etiologi penyakit hati lain,
memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke
waktu. Grading dan staging NAFL:
• Grading untuk steatosis
grade 1 <33% hepatosis terisi lemak
grade 2 33-66% hepatosis terisi lemak
grade 3 >66% hepatosit terisi lemak

grade 1 ringan
steatosis didominasi makrovesikuler, melibatkan hingga 55%
degenerasi dari lobulus
balon kadangkala terlihat; di zona 3 hepatosit
inflamasi inflamasi akut tersebar dan ringan (sel PMN),
lobular kadangkala inflamasi kronik (sel MN)
tidak ada atau ringan
inflamasi
portal
grade 2 sedang
steatosis berbagai derajat, biasanya campuran makrovesikular
dan mikrovesikular
degenerasi jelas terlihat dan terdapat di zona 3
balon adanya sel PMN dikaitkan dengan hepatosit yang
inflamasi mengalami degenerasi balon, fibrosis periselular,
lobular inflamasi kronik ringan mungkin ada

171
ringan sampai sedang

inflamasi
portal
grade 3 berat
steatosis meliputi >66% lobulus (parasinar), umumnya steatosis
degenerasi campuran
balon nyata dan terutama di zona 3
inflamasi inflamasi akut dan kronik yang tersebar; sel PMN
lobular terkonsentrasi di area zona 3 yang mengalami
degenerasi balon dan fibrosis perisinusoidal
ringan sampai sedang
inflamasi
portal

• Staging untuk fibrosis


stage 1 Fibrosis perivesikuler zona 3, perisinusoidal,
periseluler ekstensif atau fokal
stage 2 Seperti di atas, dengan fibrosis periportal yang
fokal atau ekstensif
stage 3 fibrosis jembatan, fokal atau ekstensif
stage 4 sirosis
5. Kriteria Diagnosis Belum adanya kesepakatan mengenai kriteria minimal untuk diagnosis
histologik dari NAFL
6. Diagnosis Perlemakan Hati Non Alkoholik (PHNA)
7. Diagnosis Banding • Hepatitis B kronik
• Hepatitis C Kronik
• Penyakit hati autoimun
• Hemokromatosis
• Wilson’s diseases
• Defisiensi a1 antitripsin
8. Terapi Non Farmakologis
Mengontrol faktor risiko: penurunan berat badan, kontrol gula darah,
memperbaiki profil lipid, memperbaiki resistensi insulin, mengurangi asupan
lemak ke hati, dan olah raga.
Farmakologis
- Antidiabetik dan insulin sensitizer:
• Metformin 3x500 mg selama 4 bulan didapatkan perbaikan
konsentrasi AST dan ALf, peningkatan sensitivitas insuin, dan
penurunan volume hati. Cara kerja: meningkatkan kerja insulin pada
sel hati dan menurunkan produksi glukosa hati melalui penghambatan
TNF-ct
- Obat anti hiperlipidemia
• Gemfibrozil: perbaikan ALT dan konsentrasi lipid setelah pemberian
1 bulan
• Atorvastatin: perbaikn parameter biokimiawi dan histologi
- Tiazolidindion (pioglitazon): memperbaiki kerja insulin di jaringan
adipose
- Antioksidan
• Tujuan: mencegah steatosis menjadi steatohepatitis dan fibrosis
• Vitamin E, vitamin C, betain, N-asetilsistein.
• Vitamin E 400, 800 IU/hari dapat menurunkan TGF-β, memperbaiki
inflamasi
• dan fibrosis, perbaikan fungsi hati dengan cara menghambat produksi
sitokin
• oleh leukosit.
• Betain berfungsi sebagai donor metil pada pembentukan lesitin dalam

172
siklus metabolik metionin, dengan dosis 20 mg/hari selama 12 bulan
terlihat perbaikan bermakna konsentrasi ALI steatosis, aktivitas
nekroinflamasi, dan fibrosis.
• Ursideoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu yang mempunyai
efek imunomodultori pengaturan lipid, efek sitoproteksi. Dosis 13-15
mg/kg berat badan selama satu tahun menunjukkan perbaikan
fosfatase alkali, gamma GT dan steatosis tanpa perbaikan bermakna
derajat inflamasi dan fibrosis.
9. Komplikasi Sirosis hati, karsinoma hepatoselular
10. Prognosis Pada 257 pasien NAFL yang dipantau selama 3,5 tahun sampai 11 tahun
melalui biopsi hati, didapatkan 28% mengalami kerusakan hati progrestf,
59% tidak mengalami perubahan, dan 13 % membaik. Pasien steatohepatitis
non alkoholik memiliki kesintasan yang lebih pendek yaitu 5-10 tahun,
kesintasan 5 tahun hanya 67% dan kesintasan 10 tahun 59%. Banyak faktor
yang mempengaruhi mortalitas yaitu obesitas, diabetes melitus dan
komplikasinya, komorbiditas lain yang berkaitan dengan obesitas, serta
kondisi hati sendiri.
11. Kepustakaan 1. Sherlock S, Dooley J. Non-alcoholic Fotty Liver Disease ond Nutrition.
ln: Dooley J, Lok A, Bunoughs A, Heathcat. Diseoses of the Liver and
biliary System. l2th ed. UK : Blackwell Science. P546-567
2. Hasan lrsan. Perlemakan Hati Non Alkohol. Dalam: Suyono, S.
Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, l. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam. Jilid ll. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
Hal.2000-2006
3. Kaplan M. Nonalcoholic steatohepatitis (NASH). Diunduh dari
http://www.uptodate.com/ contents/patient-information-nonolcoholic-
steotohepatitis-nash-beyond-the-basics pada tanggal 22 Mei 2012
4. Reid AE. Nonalcoholic fatty liver disease. In : Feldman M, Friedman L,
Brandi L. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease:
Pathophysiology/Diagnosis/ Manogement. 9th ed. USA: Elsevier.
Chapter 85.
5. Sanya AJ, Chalasani N, Kowdley KV et oll. Piaglitazone, Vitamin E, or
Placebo Nonalcoholic Steatohepatitis. N Engl J Med 2010;362:1 675-85

173
IRRITABLE BOWEL SYNDROME (IBS)
SKDI IIIA

1. Pengertian (definisi) IBS adalah salah satu penyakit gastrointestinal fungsional. Pengertian IBS
adalah adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa
gangguan organik. Gejala dapat muncul bervariasi, namun pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang spesifik pada pasien IBS tidak ada.
2. Anamnesis Gejala utama adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdomen, diare,
keluhan konstipasi biasanya disertai oleh kembung serta rasa tidak nyaman di
ulu hati. Nyeri disertai diare atau konstipasi yang dapat terjadi secara
bergantian namun salah satu mendominasi. Pasien dengan gejala konstipasi
yang dominan akan mengalami konstipasi selama berminggu-minggu dan
diselingi diare. Pasien dengan gejala dominan diare memiliki feses encer,
sering dalam volume sedikit-sedikit. Dapat ditemukan mukus, namun tidak
ada darah dan tidak terjadi malabsorbsi. Dapat pula ditemukan urgency,
tenesmus, perut kembung, sering buang angin, dan bersendawa.
3. Pemeriksaan Fisik Nyeri pada epigastrium atau periumbilikal harus dibedakan dari penyakit
traktus biliaris, penyakit ulkus peptikum, iskemi intestinal, karsinoma
lambung dan pancreas. Jika nyeri lebih dominan terjadi di regio abdomen
bawah, kemungkinan penyakit divertikulitis, inflammatory bowel disease
(termasuk kolitis ulseratif dan Crhon’s disease), dan karsinoma kolon harus
dipertimbangkan.
4. Pemeriksaan Darah perifer lengkap, biokimia darah, pemeriksaan fungsi hati dan
Penunjang pemeriksaan hormon tiroid pada pasien dengan gejala diare kronis yang
menonjol. Pada pasien IBS dengan dominasi keluhan diare pemeriksaan
kolonoskopi diikuti biopsi mukosa kolon perlu dilakukan untuk
menyingkirkan adanya kolitis mikroskopik.
5. Kriteria Diagnosis Bila tidak terdapat tanda bahaya/alarm, IBS dapat didiagnosis menggunakan
Kriteria Rome III. Kriteria didasarkan pada adanya keluhan berupa rasa tidak
nyaman atau nyeri yang telah berlangsung selama 3 hari/bulan selama 3 bulan
pertama (tidak perlu berurutan) dan telah berlangsung dalam 3 bulan terakhir
dan tidak bisa dijelaskan oleh adanya abnormalitas secara kelainan struktur
maupun bio-kimiawi. Selain itu terdapat sedikitnya 2 dari 3 hal berikut ini
yaitu nyeri hilang setelah defekasi, perubahan frekuensi dari defekasi (diare
atau konstipasi) atau perubahan dari bentuk feses. (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria IBS berdasarkan Kriteria Rome III


Nyeri atau tidak nyaman diperut yang berulang sedikitnya 3 hari/bulan
selama 3 bulan terakhir disertai gejala berikut:
o Membaik dengan defekasi
o Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi dari defekasi
o Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses
Pasien yang memiliki tanda bahaya/alarm yang harus diperhatikan sehingga
diagnosis lebih menjurus kearah suatu penyakit organik IBS yaitu antara lain
onset umur lebih besar dari 55 tahun, riwayat keluhan pertama kali kurang
dari 6 bulan, perjalanan penyakitnya progresif atau sangat berat, gejala-gejala
timbul pada malam hari, perdarahan per anus, anoreksia, berat badan turun,
riwayat keluarga menderita kanker, pada pemeriksaan fisik ditemukan
kelainan missal adanya distensi abdomen, anemia atau demam. Apabila
tanda-tanda alarm ini ditemukan selain gejala-gejala IBS maka penyebab
organik harus dipikirkan terlebih dahulu sehingga pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan penunjang lain harus segera dilakukan.

Selain kriteria Rome III secara praktis sering juga digunakan kriteria Manning
yang lebih sederhana dan menitikberatkan pada keadaan pada onset nyeri
antara lain adanya buang air besar yang cair dan peningkatan frekuensi buang
air besar saat timbulnya nyeri (Tabel 2).
174
Tabel 2. Kriteria Manning
Gejala yang sering didapat pada penderita IBS yaitu:
o Feses cair pada saat nyeri
o Frekuensi buang air besar bertambah pada saat nyeri
o Nyeri berkurang setelah buang air besar
o Tampak abdomen distensi

Dua gejala tambahan yang sering muncul pada pasien IBS:


o Lendir saat buang air besar
o Perasaan tidak lampias saat buang air besar

Pada beberapa keadaan IBS dibagi dalam beberapa subgrup sesuai dengan
keluhan dominan yang ada pada sesorang pada subgroup IBS yang sering
digunakan membagi IBS menjadi 4 yaitu IBS predominan nyeri perut, IBS
predominan diare, IBS predominan konstipasi dan IBS alternating pattern
(Tabel 3).

Tabel 3. Subgrup IBS


IBS predominan nyeri
o Nyeri difusa iliaka, tidak dapat dengan tegas menunjukkan lokasi
sakitnya
o Nyeri dirasakan lebih dari 6 bulan
o Nyeri hilang setelah defekasi
o Nyeri meningkat jika stres dan selama menstruasi
o Nyeri dirasakan persisten jika kambuh terasa lebih sakit
IBS predominan diare
o Diare pada pagi hari sering dengan urgensi
o Biasanya disertai rasa sakit dan hilang setelah defekasi
IBS predominan konstipasi
o Terutama wanita
o Defekasi tidak lampias
o Biasanya feses disertai lendir tanpa darah
IBS alternating pattern
o Pola defekasi yang berubah-ubah: diare dan konstipasi
o Sering feses keras dibagi hari diikuti dengan beberapa kali
defekasi dan feses menjadi cair pada sore hari
6. Diagnosis Irritable bowel syndrome (IBS)
7. Diagnosis Banding Beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan untuk mencari penyebab nyeri
perut dan dihubungkan dengan kemungkinan IBS sebagai penyebab dapat
dilihat pada Tabel 4. Pada IBS diare sering didiferensial diagnosis dengan
defisiensi laktase. Kelainan lain yang juga harus dipikirkan adalah kanker
kolorektal, divertikulitis, inflammatory bowel diseases (IBD), obstruksi
mekanik pada usus halus atau kolon, infeksi usus, iskemia, maldigesti dan
malabsorbsi serta endometriosis pada pasien yang mengalami nyeri saat
menstruasi.

Tabel 4. Daftar Pertanyaan untuk Diagnosis IBS


o Apakah nyeri yang dirasakan hanya pada satu tempat atau
berpindah-pindah? (Pada IBS berpindah-pindah)
o Seberapa sering merasakan nyeri? (Pada IBS tidak tentu)
o Berapa lama nyeri dirasakan? (Pada IBS sebentar)
o Bagaimana keadaan nyeri jika pasien buang air besar atau flatus?
(Pada IBS akan lebih nyaman)
8. Terapi Penatalaksanaan pasien dengan IBS meliputi modifikasi diet, intervensi
psikologi dan farmakoterapi. Ketiga bentuk pengobatan ini harus berjalan
bersamaan. Namun, efek samping obat-obatan dapat memperburuk kondisi
psikis pasien. Adapun algoritma tatalaksana IBS pada Gambar 1.
175
Gambar 1. Algoritma Tatalaksana IBS

1. Diet
Makanan yang dapat mencetuskan IBS antara lain gandum, susu, kafein,
bawang, coklat dan beberapa sayur-sayuran. Biasanya jika keluhan
menghilang setelah menghindari makanan dan minuman yang dicurigai
sebagai pencetus bisa dicoba untuk dikonsumsi lagi setelah 3 bulan dengan
jumlah diberikan secara bertahap.

2. Psikoterapi
Pasien dengan IBS biasanya mempunyai rasa cemas yang tinggi karena
biasanya rasa sakit di perut, buang air besar atau susah buang air besar itu
datangnya tiba-tiba. Penjelasan atas penyakit IBS dan meyakinkan bahwa
penyakit IBS yang dialami pasien adalah penyakit yang dapat diobati dan
tidak membahayakan kehidupan merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan pasien. Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan yang telah menyingkirkan kemungkinan penyakit
organic harus disampakan dan juga menambah keyakinan pasien bahwa
pasien sebenarnya menderita IBS dan tidak ada penyakit lain apalagi penyakit
kanker.

Pasien dengan IBS harus selalu diingatkan untuk dapat mengendalikan


stresnya. Pasien diminta untuk tidak bekerja berlebihan dan
mengenyampingkan waktu istirahatnya, menyediakan waktu yang cukup
untuk dapat melakukan BAB secara teratur diluar waktu sibuk bekerja dan
selama makan disediakan waktu yang cukup agar makan yang dilakukan
dapat dilakukan dalam ketenangan dan tidak terburu-buru, disertai olahraga
teratur.

3. Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada pasien IBS digunakan untuk menghilangkan
gejala. Sampai sejauh ini, tidak ada obat tunggal yang diberikan untuk pasien
IBS, obat-obatan ini biasanya diberikan secara kombinasi. Adapun terapi
medikamentosa pada pasien IBS terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5. Terapi Medikamentosa pada Pasien IBS

176
Untuk mengatasi nyeri abdomen→ antispasmodik yang mempunyai efek
antikolinergik dan lebih bermanfaat pada nyeri perut setelah makan, tetapi
umumnya kurang bermanfaat pada nyeri kronik disertai gejala
konstipasi.Obat-obatan yang sering dan sudah beredar di Indonesia antara lain
mbeverine 3x135 mg, hiosin N-butilbromida 3x10 mg, Chlordiazepoksid 5
mg/klodinium 2,5 mg 3x1 tab, alverine 3x30 mg dan obat antispasmodik
terbaru dan juga sudah digunakan di Indonesia otolium bromide.

Untuk IBS konstipasi, laksatif osmotik seperti lakutulosa, magnesium


hidroksida terutama pada kasus dimana konsumsi tinggi serat tidak membantu
mengatasi kosntipasi. Tegaserod suatu 5-HT4 reseptor agonis bekerja untuk
meningkatkan akselerasi usus halus dan meningkatkan waktu transit feses di
kolon dan dapat meningkatkan sekresi cairan usus. Tegaserod biasanya
diberikan dengan dosis 2x6 mg selama 10-20 minggu. Tetapi obat ini ditarik
karena efek samping jantung.

Untuk IBS tipe diare dapat dugunakan loperamid dengan dosis 2-16 mg/hari.
9. Komplikasi Mengurangi kualitas hidup
10. Prognosis Penyakit IBS tidak akan meningkatan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS
biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus, dan
hanya kurang dari 5% yang akan memburuk dan sisanya dengan gejala yang
menetap.
11. Kepustakaan 1. Manan C., Syam A.F. Irritable Bowel Syndrome. Dalam: Setiati S., Alwi
I., Sudoyo A.W., Simadibrata M., Setiyohadi B., Syam A.F. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing: 2014.
2. Owyang C. Irrtitable Bowel Syndrome. Dalm: Longe D.L. Fauci A.S.,
Kasper D.L., Hauser S.L., Jameson J.L., Loscalzo J., penyunting.
Harrison’s Principles of Internal Medicine: Edisi ke-19. New York:
McGraw-Hill: 2014.
3. Hadley S.K., Garder S.M. Treatment of Irritable Bowel Syndrome. Am
Fam Physician. 2006;72:250 1-6.
4. Lilihata G., Syam A.F. Irritable Bowel Syndrome. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius: 2014.

177
PENYAKIT CROHN
SKDI 1

1. Pengertian Penyakit Crohn (PC) adalah gangguan peradangan yang terus-menerus dan
(definisi) melibatkan semua lokasi pada traktus digestivus (traktus gastrointestinalis)
dari mulut sampai anus, akan tetapi umumnya terutama mengenai bagian
akhir usus halus, yakni ileum sehingga sering juga disebut sebagai ileitis atau
enteritis.
2. Anamnesis Perjalanan penyakit yang akut disertai eksaserbasi kronik-remisi diare,
kadang berdarah, nyeri perut , serta ada riwayat keluarga.
3. Pemeriksaan Fisik Nyeri perut bawah kanan dan diare. Sering kali disertai dengan perdarahan
rektum, penurunan berat badan, artiritis, ruam kulit. Kadang-kadang disertai
dengan demam. Perdarahan mungkin serius dan persisten sampai terjadi
anemia.
4. Pemeriksaan 1. Blood tests (seri pemeriksaan darah) dapat memastikan anemia dan
Penunjang jenisnya, jug adapat memastikan anemia dan jenisnya, juga dapat
mengetahui indikasi perdarahan dalam intestin (usus).
2. Seri pemeriksaan Upper GI serial test untuk melihat usus halus. Pasien
diminta meminum barium yang akan menutupi mukosa usus halus,
kemudian dilakukan pemeriksaan x-ray.
3. Kolonoskopi yang akan memperlihatkan pemeriksaan visual langsung
usus besar mulai dari anus dan dapat berakhir pada sepertiga bawah ileum
terminalis.
5. Kriteria Diagnosis Secara praktis diagnosis didasarkan pada: 1). Anamnesis yang akurat
mengenai adanya perjalanan penyakit yang akut disertai ejsaserbasi kronik-
remisi diare, kadang berdarah, nyeri perut, serta ada riwayat keluarga. 2)
gambaran klinik yang sesuai seperti diatas. 3) data laboratoium yang
menyingkirkan penyebab inflamasi lain, terutama untuk Indonesia, adanya
infeksi gastrointestinal. Ekslusi penyakit Tuberkulosis sangat penting
mengingat gambaran kliniknya mirio dengan PC. 4) temuan endoskopik yang
karakteristik dan didukung konfirmasi histopatologik. 5) temuan gambaran
radiologik yang khas. 6) pemantauan perjalanan klinik pasien yang bersifat
akut-remisi-eksaserbasi kronik.
6. Diagnosis Penyakit Crohn (PC)
7. Diagnosis Banding • Kolitis
• Divertikulosis
• Polip
• Tuberkulosis
• Kolitis infektif
• karsinoma
8. Terapi • Suplemen Nutrisi
Formula cairan tinggi kalori umumnta diberikan pada penderita PC
• Obat-obatan
Jenis obat-obatan yang umum dipakai terdiri dari: obat anti inflamasi
(anti-inflamation drugs), kortison atau steroid (corticosteroids), penekan
sistem imun (immunosuppressive agents), anti tumor necrosing factor
(TNF substance), antibiotik, anti-diare dan pengganti cairan-elektrolit
(anti-diarrheal and fluid-electrolytes replacements).
• Tindakan Bedah
Tindakan bedah diperlukan jika medikasi (obat-obatan) tidak dapat
mengendalikan PC dalam waktu panjang (tidak respons dengan obat)
karena dapat dengan segera menghilangkan gejala, selain itu juga
diperlukan untuk kondisi PC dengan komplikasi seperti usus tersumbat,
perforasi, abses, fistula-fissura atau perdarahan usus.
9. Komplikasi Tersumbatnya usus (blockage of the intestine), munculnya fistula (saluran
penghubung) pada daerah rekti berawal dari radang dengan rasa nyeri atau

178
ulserasi pada jaringan usus di sekitar organ seperti kandung kemih,vagiana
atau kulit, terutama daerah seputar anus dan rektum. Komplikasi nutrisi
umumnya berupa defisiensi protein, kalori dan vitamin-mineral. Hal ini
mungkin akibat masukan diet yang inadekuat, kehilangan protein usus atau
akibat penyerapan yang menurun dihubungkan dengan malabsorpsi.
Perdarahan hebat, abses, fistula perianal, inkarserasi dan striktur ani.
10. Prognosis Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakit yang bersifat remisi dan
eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan
dan dalam jangka waktu yang lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada
tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap pengobatan konservatif.
11. Kepustakaan 1. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l,
Simodibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar ilmu penyakit dalam. 6th
ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam
FKUI, 2014: 386-390
2. Lelosutan S. Penyakit Crohn. ln: Rani A, Simadibrata M, Syam A F,
editors. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta: Interna publishing, 2011:
427-432.

179
HEMOROID GRADE I - II
SKDI 4A

1. Pengertian Pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus yang berasal
(definisi) dari plexus hemorrhoidalis. Di bawah atau di luar linea dentate pelebaran
vena yang berada di bawah kulit (subkutan) disebut hemoroid eksterna.
Sedangkan di atas atau di dalam linea dentata, pelebaran vena yang berda di
bawah mukosa (submukosa) disebut hemoroid interna.
2. Anamnesis • Perdarahan pada waktu defekasi, darah berwarna merah segar. Darah
dapat menetes keluar dari anus beberapa saat setelah defekasi.
• Prolaps, suatu massa pada waktu defekasi. Massa ini mula-mula dapat
kembali spontan sesudah defekasi, tetaapi kemudian harus dimasukkan
secara manual dan akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi.
• Pengeluran lendir.
• Iritasi didaerah kulit perianal.
• Gejala-gejala anemia (seperti: pusing, lemah, pucat).
3. Pemeriksaan Fisik • Periksa tanda-tanda anemia
• Pemeriksaan status lokalis
a. Inspeksi:
o Hemoroid grade I, tidak menunjukkan adanya suatu kelainan
diregio anal.
o Hemoroid grade II, tidak terdapat benjolan mukosa yang keluar
melalui anus, akan tetapi bagian hemoroid yang tertutup kulit
dapat terlihat sebagian pembengkakan.
o Hemoroid grade III dan IV yang besar akan segera dapat
dikenali dengan adanya massa yang menonjol dari lubang anus
yang bagian luarnya ditutupi kulit dan bagian dalamnya oleh
mukosa yang berwarna keunguan atau merah.
b. Palpasi:
o Hemoroid interna pada stadium awal merupakan pelebaran vena
yang lunak dan mudah kolaps sehingga tidak dapat dideteksi
dengan palpasi
o Setelah hemoroid berlangsung lama dan telah prolaps, jaringan
ikat mukosa mengalami fibrosis sehingga hemoroid dapat diraba
ketika jari tangan meraba sekitar rektum bagian bawah.
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk mengetahui adanya anemia dan
Penunjang infeksi.
• Pemeriksaan dalam rektal secara digital dan anoskopi.
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis hemoroid ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan klinis dari
hemoroid berdasarkan klasifikasi hemoroid (grade I s.d grade IV) dan
pemeriksaan anoskopi/kolonskopi. Karena hemoroid dapat disebabkan
adanya tumor di dalam abdomen atau usus proksimal, agar lebih teliti
sebaiknya selain memastikan diagnosis hemoroid, dipastikan juga apakah di
usus halus atau di kolon ada kelainan di usus halus diperlukan pemeriksaan
rontgen usus halus atau enteroskopi. Sedangkan untuk memasikan kelainan di
kolon diperlukan pemeriksaan rontgen barium enema atau kolonoskopi total.
Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi:
a. Hemoroid internal, yang berasal darri bagian proksimal dentate line dan
dilapisi mukosa. Hemoroid internal dibagi menjadi 4 grade, yaitu:
• Grade I: hemoroid mencapai lumen anal kanal.
• Grade II: hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat
pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
• Grade III: hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk
kembali secara manual oleh pasien.
• Grade IV: hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal kanal
meski dimasukkan secara manual

180
b. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian dentate line dan dilapisi oleh epitel
mukosa yabg telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri
somatik.
6. Diagnosis Hemoroid grade I dan II
7. Diagnosis Banding • Prolaps rekti
• Kondiloma akuminata
• Proktitis
• Karsinoma kolon
• Karsinoma rektum
• Kelainan divertikuler
• Polip adenomatosa
• Kolitis ulseratif
8. Terapi Pengobatan hemoroid di layanan tingkat pertama hanya untuk hemoroid
grade I dengan terapi konservatif medis dan menghindari obat-obatan
inflamasi, serta makanan pedas atau berlemak. Hal yang lain dapat dilakukan
adalah mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada pasien hemoroid.
• Non farmakologis
Perbaikan pola hidup, perbaikan pola makan dan minum, perbaikan
pola/cara defekasi.
• Farmakologis
o Obat-obatan non-spesifik untuk melancarkan defekasi, analgesik dan
obat untuk mengurangi reaksi inflamasi. Obat topikal ini biasanya
mengandung anestesi lokal dan steroid.
o Obat-obat khusus untuk hemoroid yaitu obat-obat flebotropik unuk
pembuluh vena (termsuk hemoroid). Obat flebotropik adalah
golongan flavonoid antara lain diosmin-hesperidin dan hidrosmin.
o Obat menghentikan perdarahan, dapat diberikan obat hemostatik
seperti tranexamic acid.
• Terapi non-bedah lain
Selain modifikasi kebiasaab hidup dan terapi farmakologis, ada bebeapa
pilihan terapi non-bedah yang lain dengan efektivitas cukup baik, yaitu:
injeksi sklerosan (skleroterapi), rubber band ligation, koagulasi bipolar,
hemoroidolisis, fotokoagulasi.
• Terapi bedah
Hemoroidektomi biasanya dilakukan pada hemoroid grade III dan IV
dengan penyulit prolaps, trombosis atau hemoroid besar dengan
perdarahan berulang.

Sebagai ringkasan untuk pengobatan hemoroid selain modifikasi kebiasaan


hidup adalah:
• Grade I: farmakologis, skleroterapi, fotokoagulasi.
• Grade II: Farmakologis, rubber band ligation, koagulasi bipolar,
skleroterapi.
• Grade III: Rubber band ligation, terapi bedah, farmakologis.
• Grade IV: Terapi bedah, farmakologis.
9. Komplikasi • Trombosis, edema dan inflamasi bantalan anus interna.
• Anemia.
• Trombosis hemoroid eksterna.
• Dermatitis perianal.
10. Prognosis Keluhan pasien hemoroid dapat dihilangkan dengan terapi yang
tepat.Prognosis pada umunya bonam.
11. Kepustakaan 1. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhois and Fissure in Ano
Gastroenterology Clinics of North America. 2008.
2. Makmun D. Hemoroid. In: Rani A, Simadibrata M, Syam A F, editors.
Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta: Interna publishing, 2011: 503 - 511.
3. Simadibrata M. Hemoroid. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l,
Simodibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed.
181
Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam
FKUI, 2014: 1868-1872.
4. Tronton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids. Emedicine. Medscape. Update
12 Septmber 2012. (Tronton & Giebel, 2012).
5. Wibisono E dan Jeo W S. Hemoroid. ln: Hanifati S, Liwang F, Pradipta E
A, Tanto C, editors. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta; Media
Aesculapius, 2014: 217-281.

182
ABSES HATI
SKDI 3A

1. Pengertian Rongga patologis yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi bakteri,
(definisi) parasit, jamur, yang bersumber dari saluran cerna, yang ditandai adanya proses
supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-
sel inflamasi, atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hati dapat terbentuk
soliter atau multipel dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari
tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum.
ETIOLOGI
- Entamoeba histolitika bentuk minuta, kista, vegetatif (aktif)
- Bakteri piogenik
PATOGENESIS
- Melalui sistem vena porta
- Melalui sistem limfatik
- Secara langsung menembus dinding dinding usus fleksura hepática kolon
asenden
2. Anamnesis Abses hati piogenik
Demam, nyeri spontan peut kanan atas, pasien jalan membungkuk kedepan
dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Jika letaknya dekat dengan
diafragma dapat terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu
kanan, batuk, ataupun atelektasis. Mual, muntah, penurunan berat badan,
berkurangnya nafsu makan, disertai malaise, ikterus, buang air besar seperti
dempul, dan buang air kecil berwarna gelap

Abses hati amebik


Periode latenantara infeksi hati dapat berlangsung beberapa minggu. Kurang
dari 10 % kasus mengeluh adanya diare berdarah karena desentri amebik.
Keluhan lain nyeri perut terlokalisis pada kuadran kanan atas. Demam dapat
terjadi intermiten. Malaise, mialgia, dan atralgia. Dapat ditemkan keluhan
paru-paru. Ikterik jarang ditemukan dan jika ikterik merupakan penanda
prognosis buruk.
3. Pemeriksaan Fisik Pembesaran hati, nyeri tekan, fluktuasi, ikterik ringan dan terjadi, distensi
abdomen.
4. Kriteria Diagnosis 1. Klinis
2. USG
3. Serologis terhadap amuba
4. Adanya pus pada punksi percobaan
5. Kultur dan resistensi tes.

5. Diagnosis - Abses hepar amoebik


- Abses hepar piogenik
6. Diagnosis 1. Hepatoma
Banding 2. Kolesistitis
3. Tuberkulosis hati
4. Aktinomikosis hati
7. Pemeriksaan 1. USG
Penunjang 2. Serologi terhadap amuba
3. Kultur dan resistensi pus

183
8. Terapi Abses hati piogenik
- Pencegahan dengan mengatasi penyakit bilier akut dan infeksi abdomen
dengan adekuat
- baring, diet tinggi kalori tinggi protein
- Antibiotika spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman:
1. Kombinasi antibiotik sebaiknya terdiri dari golongan inhibitor beta
laktamase generasi I atau III dengan/atau tanpa aminoglikosida. Pasien
yang tidak dapat mengkonsumsi golongan beta Iaktamase dapat diganti
dengan fluorokuinolon.
2. Kombinasi Iain terdiri dari golongan ampisilin, aminoglikosida (jika
dicurigai adanya sumber infeksi dari sistem bilierJ, atau sefalosporin
generasi III (jika dicurigai adanya sumber infeksi dari kolon) dan
klindamisin atau metronidazol (untuk bakteri anaerob)
3. Jika dalam waktu 4-72 jambelum ada pebaikan klinis,maka antibiotika
diganti dengan antibiotika yang sesuai hasil kultur sensitifitas.
Pengobatan secara parenteral selama minimal 14 hari lalu dapat diubah
menjadi oral sampai 6 minggu kemudian. fika diketahui jenis kuman
streptokokus, antibiotik oral dosis tinggi diberikan sampai 6 bulan.
- Drainase terbuka cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan
terapi konservatif atau bila abses berukuran besar (> 5 cm). jika abses kecil
dapat dilakukan aspirasi berulang. Pada abses multipel, dilakukan aspirasi
jika ukuran abses yang besat sedangkan abses yang kecil akan menghilang
dengan pemberian antibiotik.
- Surgical drainage: dilakukan jika drainase perkutaneus tidak komplit
dilakukan, ikterik yang persisten, gangguan ginjal, multiloculated abscess,
atau adanya ruptur abses
Abses hati amebik
- Metronidazol:
• harus diberikan sebelum dilakukan aspirasi
• Metronidasol 3x 750 mg setiap hari per oral atau secara intravena
selama 7-10 hari. .
- Amebisid luminal:
• Iodoquinol 3x650 mg setiap hari selama 20 hari
• Diloxanide furoat 3x500 mg setiap hari selama 10 hari
• Aminosidin (paromomisin) 25-35 mg/kg berat badan setiap hari dalam
dosis terbagi tiga selama 7-10 hari
- Aspirasi cairan abses:
• Indikasi: tidak respon terhadap pemberian antibiotik selama 5-7 hari,
jika abses di lobus hati kiri berdekatan dengan perikardium , dilakukan
jika Diagnosis belum dapat ditentukan
• Adanya cairan aspirasi berwarna merah-kecoklatan mendukung
diagnosis ke arah abses amebik
• Tropozoit jarang dapat terindentifikasi
9. Edukasi Penjelasan tentang penyakit abses hepar disebabkan oleh bakteri
10. Kepustakaan 1. Wenas TW, Waleleng BJ. Abses hepar. Dalam : Sudoyo Aru W, Setiyohadi
Bambang, Alwi Idrus, K Maecellus Simadibrata, Setiati Siti, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I . 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
p. 462
2. Julius. Abses hati. Dalam : Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer S,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. 1st ed. Jakarta: Jayabadi; 2007. p.
487.
3. Kim AY, Chung RT. Bocteriol, Porositic, ond Fungol Infections of the
Liver, Including Liver Abscess. . ln: Feldmon M, Friedmon L, Brondt L.
Sleisenger ond Fordtron's Gostrointestinol ond Liver Diseose:
Pothophysiology/Diognosis/Monogement. 9rh ed. USA: Elsevier. Chopter
82.
4. Nozir NT, Penfield JD, Hojjor V. Pyogenic liver obscess. Clevelond Clinic

184
Journol of Medicine July 20lO vol. 777 426-427. Diunduh dori
http://www.ccjm.org/contentlTT 17 l426.full pada tanggal 20 )uni 2012.

185
ABSES PERITONSIL
SKDI 3A

1. Pengertian Abses peritonsil sering disebut sebagai PTA atau Quinsy adalah suatu rongga
(definisi) yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai hasil
dari suppurative tonsillitis.
2. Ananmnesa Gejala klasik dimulai 3-5 hari waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses
sekitar 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami keluhan odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat sehingga sulit dilakukan pemeriksaan karena sulit
membuka mulut dan juga bias terjadi dehidrasi, muntah (regurgitasi), mulut
berbau (foeter ex ore), “hot potato voice” banyak ludah (hipersalivasi), suara
sengau (rinolalia) dan sukar membuka mulut (trismus), sakit kepala, rasa
lemah, demam, serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri
tekan. Pasien juga mungkin mengalami nyeri pada saat menggerakkan
lehernya.

Pada kasus yang agak berat biasanya terdapat disfagia yang nyata, nyeri
telinga (otalgia) pada daerah yang terkena, salivasi yang meningkat dan
khususnya trismus. Palatum molle membengkak dan menonjol ke depan dan
dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong kesisi kontra
lateral, dan dijumpai tonsil membengkak dan hiperemis.

Umumnya pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri akibat adanya


infiltrasi ke jaringan leher dan region tonsil. Nyeri biasanya bertambah sesuai
dengan perluasan timbunan pus.
Sekret kental menumpuk ditenggorokan dan pasien sulit untuk
membuangnya. Oleh karena lidah dilapisi selaput tebal maka dapat terjadi
nafas yang berbau.

Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa


faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila
kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih
menakutkan
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisis kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring,
karena trismus. Palatum molle tampak membengkak dan menonjol kedepan,
dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong kesisi kontralateral.
Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan dan bawah.

Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan


peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan
edema dari palatum molle dan penonjolan dari jaringan ini dari garis tengah.
Palpasi jika mungkin dapat membedakan abses dari selulitis.
4. Kriteria Diagnosis - Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan penunjang :
Cek darah rutin, elektrolit,kultur, ultrasonografi, Ct scan
5. Diagnosis Abses Peritonsil
6. Diagnosis 1. Abses retrofaring
Banding 2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
7. Pemeriksaan Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan : Pemeriksaan laboratorium
Penunjang seperti darah lengkap, elektrolit, dan kultur darah. Yang merupakan “gold
standar” untuk menDiagnosis abses peritonsilar adalah dengan
mengumpulkan pus dari abses menggunakan aspirasi jarum.

186
Pemeriksaan radiologi pada posisi anteroposterior hanya menunjukkan
“distorsi” dari jaringan tapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi
abses. Pada pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang
hipodens yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena
disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil.
Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi.

Ultrasonografi, merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat


membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses.
Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum
melakukan operasi dan drainase secara pasti.
8. Terapi Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan compres
dingin pada leher.

Terapi Antibiotik
Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme
pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of chioce” pada abses
peritonsilar dan efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasilakn dengan
metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600mg IV tiap 6
jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam.
Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam
setelah dosis awal dengan infus 7,5mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8
jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.

Insisi dan Drainase


Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan
segera gejala-gejala pasien.

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal
di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi
tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase
abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu
sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah
drainase abses.

Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada
abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu
kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan
sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
9. Edukasi - Tirah baring
- Mengurangi makanan pedas
10. Prognosis Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa dan granulasi
pada saat operasi.
11. Kepustakaan 1. Fachruddin,Darnila, Abses Leher Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
187
Hidung Tenggorokkan, editor Soepardi EA, Iskandar N, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi ketiga, cetakan ke-2,
Jakarta, 1998: 184-5
2. E, Steyer, Terrence, M.D, Peritonsiller Abscess: Diagnosis and Treatment.
Available at: www.aafp.org/afp, Accesed on Okt, 2010
3. Adams GL, Penyakit Rongga Mulut: Boeis, Buku Ajar Penyakit THT,
edisi 6, EGC, Jakarta , 1996: 333-4. www. google.com.
4. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-
89.
5. Adrianto, Petrus. Dr, Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, EGC,
Jakarta, 1986; 296, 308-09.

188
AKALASIA
SKDI 2

1. Pengertian Akalasia merupakan suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya
(definisi) peristaltis korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah
(SEB) yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara
sempurna pada waktu menelan makanan. Secara histopatologik kelainan ini
ditandai oleh degenerasi ganglia pleksus mienterikus.
2. Anamnesis • Disfagia
• Regurgitasi. Hal ini berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi
pada malam hari oleh karena adanya akumulasi makanan pada esofagus
yang melebar. Tanda regurgitasi dari esofagus adalah pasien tidak merasa
asam atau pahit. Keadaan ini dapat berakibat aspirasi pneumonia. Pada
anak-anak gejala ini dihubungkan dengan gejala batuk pada malam hari
atau adanya pneumonia.
• Penurunan berat badan dikarenakan odinofagia. Gejala yang menyertai
keadaan ini adalah nyeri dada.
• Nyeri dada di substernal yang menjalar ke belakang, bahu, rahang dan
tangan yang dirasakan bila minum air dingin.
• Batuk
• Pneumonia aspirasi
3. Pemeriksaan Perneriksaan fisis tidak banyak membantu dalam menentukan diagnosis akalsia,
Fisik karena tidak menunjukkan gejala obyektif yang nyata. Mungkin ditemukan
adanya penurunan berat badan, kadang-kadang disertai anemia defisiensi.
4. Pemeriksaan • Foto polos Thoraks : gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian
Penunjang kanan, seperti mediastinum melebar dan adanya gambaran batas cairan dan
udara. (pada stadium lanjut)
• Esofagogram
• Endoskopi saluran cerna atas
• Fluoroskopi
• Manometri
• Barium meal : didapatkan dilatasi esofagus
5. Kriteria ▪ Pada anamnesis disebutkan disgafia, regurgitasi, penurunan berat badan,
Diagnosis odinofagi, nyeri dada pada 30%kasus.
▪ Dari pemeriksaan tidak banyak membantu karena tidak menunjukkan gejala
objektif yang nyata
▪ Pemeriksaan penunjang dapat menggambarkan kondisi akalasia baik primer
atau sekunder dengan tingkatan stadiumnya. Pemeriksaan endoskopi dapat
menjadi diagnostik dan terpeutik.
6. Diagnosis • Adenokarsinoma gaster meluas ke esofagus
Banding • Karsinoma paru (sel oat)
• sarkoma sel retikulum
• karsinoma pankreas
• Penyakit Chagas
• skleroderma
7. Terapi • Non farmakologis
o Edukasil
• Farmakologis
o Relaksan SEB (sfingter esofagus bagian bawah) nitrat (isosorbid
dinitrat) dan calcium channeL blockers (nifedipin dan verapamil).
sebagai pengobatan jangka pendek untuk mengobati keluhan
pasien.
o Amil nitrit
o Tingtur beladona
o Atrofin sulfat

189
• Terapi bedah
o Esofagiotomi; dilakukan bila
1. Beberapa kali (>2 kali) dilatasi pneumatik tidak berhasil;
2. Adanya ruptur esofagus akibat dilatasi;
3. Kesukaran menempatkan dilator pneumatik karena dilatasi
esofagus yang sangat hebat; ).
4. Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan tumor esofagus;
5. Akalasia pada anak berumur kurang dari 12 tahun.
➢ Injeksi toksin botulinum
Pengobatan terakhir yang sering digunakan saat ini adalah penyuntikan
toksin botulinum ke SEB yang lemah dengan menggunakan endoskopi.
Terapi ini lebih aman tetapi hanya beryangka pendek dan perlu penyuntikan
yang berulang. Pilihan terapi ini sangat bermanfaat pada pasien dengan risiko
tinggi untuk menjalani operasi atau pasien yang sudah lanjut usia.
8. Komplikasi Komplikasi retensi makan dalam bentuk batuk-batuk dan pneumonia aspirasi.
9. Prognosis Dilatasi pneumatik dan miotomi laparoskoppi efektif mengatasi akalasia. Bila
ekspertise adekuat tersedia, tindakan pembedahan disarankan.
Jangan menggunakan Toksin botulinum dan medikamentosa jika dilakukan
dilatasi pneumatik miotomi laparoskopi.
Quo Ad vitam: baik
Quo Ad functionam: baik
Quo Ad sanationam: baik
10. Kepustakaan 1. Bakry, HAF. Akalasia. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l, Simodibrata
M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta;
Pusat lnformasi dan Penerbit on Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI,
2014:1743 - 47
2. Kahrilas PJ, Hirano I. Diseases of esophagus. In: Fauci AS, Braunwald E,
Isselbacher KJ et al, editors. Harrison's principles of intemal medicine.
19th ed. New York: Mc Graw-Hill Co; 2012. p.1904 - 05.
3. Panduan Praktek Klinik Departemen Penyakit Dalam. 2017
4. Boyce GA, Junior HWB. Esophagus: anatomy and structural anomalies.
In: Yamada T, Alpers DH, Owyang C, Powell DW, Silverstein FE, editors.
Textbook of gastroenterology. Volume 1.2nd edition. Philadelphia: JB
Lippincott Co;1995. p.1182-94.
5. Cuillidre C, Ducrott6 P, Zerblb F, et al. Achalasia: outcome of patients
keated with intrasphincteric injection of botuiinum toxin. Gut. 1997 ;
415:87 -92.
6. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia;
Akalasia. 2012;44

190
BATU SISTEM BILIER
SKDI 2

1. Pengertian Pembentukan batu pada sistem bilier; baik di kandung empedu


(definisi) (kolesistolitiasis) maupun di saluran empedu (koledokolitiasis). Menurut
gambaran makroskopik dan kimiawinya batu empedu dibagi menjadi: batu
kolesterol (komposisi kolesterol >70%), batu pigmen coklat atau batu calcium
bilirubinate dan batu pigmen hitam. Insiden terjadinya batu di duktus
koledokus meningkat dengan seiringnya usia (25% pada pasien usia lanjut).
2. Anamnesis Biasanya asimtomatik, ada juga yang menimbulkan keluhan kolik bilier,
yakni nyeri di perut bagian atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang
dari 12 jam
3. Pemeriksaan Fisik Ikterus, nyeri epigastrium, dan tanda-tanda komplikasi seperti kolesistitis,
kolangitis
4. Diagnosis Batu Saluran Bilier
5. Diagnosis - Kolesistolitiasis : tumor kandung empedu, sludge, polip
Banding - Koledokolitiasis: tumor saluran bilier
6. Pemeriksaan - Pemeriksaan fungsi hati
Penunjang - Foto polos abdomen: sebatas hanya untuk mendeteksi batu terkalsifikasi.
- USG: Pencitraan utama untuk deteksi batu kandung empedul
- ERCP: sensitifitas 90%, spesifitas 98%, dan akurasi 96%
- MRCP: Pencitraan saluran empedu sebagai struktur yang terang dengan
gambaran batu sebagai intensitas rendah.
- EUS (endoscopic ultrasonoraphy): gambaran sama dengan USG abdomen
tetapi melalui pendekatan pra endoskopi .
- Pemeriksaan empedu untuk melihat kristal kolesterol (tes Meltzer Lyon)
7. Terapi Kolelitiasis :
• Pasien batu asimtomatik tidak memerlukan terapi bedah
• Kolesistektomi laparoskopik jika bergejala
• ESWL
Koledokolitiasis2
• Kolesistektomi baik secara laparoskopik maupun endoskopik [ERCP)
dikerjakan pada pasien:
- Gejala cukup sering maupun cukup berat hingga mengganggu aktifitas
sehari-hari.
- Adanya komplikasi batu saluran empedu
- Adanya faktor predisposisi pada pasien untuk terjadinya komplikasi .
• Terapi farmakologik dengan menggunakan Ursodeoxy Cholic,Acrd
(UDCA) untuk mencegah dan mengobati batu kolesterol dosis B-10
mg/hari selama 6 bulan sampai 2
• tahun, persentase keberhasilan lebih baik pada batu diameter < 10 mm
8. Edukasi Penyakit dan pengobatan
9. Prognosis Adanya obstruksi dan infeksi di dalam saluran bilier dapat menyebabkan
kematian. Akan tetapi dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat,
prognosis umumnya baik
10. Kepustakaan 1. Lesmana L.A. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Sudoyo A.W., Setyohadi
B., ldrus 1., dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid l. Edisi V. Jakarta:
lnterna Publishing; 2010. h.721-6. 2.
2. Greenberger NJ. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Fauci
AS, Kasper DL, Longo DL, Brounwald E, Lauser SL, Jameson J.J, et al,
eds. Harrison's Principles of Internal Medicine.+
3. Edisi ke-l 7. New York: McGrow-Hill 2008. Chopter 31 1.
4. Wong DQ, Afdhol NH. Gallstone Disease. In: Feldmon M, Friedmon L,
Brandt L. Sleisenger and Fordtron's Gastrointestinal and Liver Disease:
Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9rh ed. USA: Elsevier.

191
KARSINOMA NASOFARING
SKDI 2

1. Pengertian Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor yang berasal dari sel epitel
(definisi) yang menutupi permukaan nasofaring, disebut juga sebagai tumor Kanton
(Canton Tumor).
Faktor Resiko:
• Jenis Kelamin Wanita
• Ras Asia dan Afrika Utara
• Umur 30 – 50 tahun
• Makanan yang diawetkan
• Infeksi Virus Epstein-Barr
• Riwayat keluarga.
• Faktor Gen HLA (Human Leokcyte Antigen) dan Genetik
• Merokok
• Minum Alkohol
2. Ananmnesa Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus, otalgia, hidung
tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut dapat ditemukan
benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopa, dan neuralgia trigeminal
(saraf III, IV, V, VI)
3. Pemeriksaan • Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis. Pasien datang
Fisik dengan keluhan benjolan pada leher (80%), umumnya bersifat bilateral, di
mana kelenjar limfe yang terlibat paling sering adalah nodus limfe
jugulodigastrik, atas dan tengah pada rantai servikal anterior.
• Pemeriksaan nasofaring: Rinoskopi posterior, Nasofaringoskop ( fiber /
rigid ) dan Laringoskopi
• Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)
digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker
nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-kasus
dengan dugaan residu dan residif.
4. Kriteria • Anamnesis
Diagnosis • Pemeriksaan Fisik
Klasifikasi Stadium TNM (AJCC, 2010)

192
• Pemeriksaan Penunjang, diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan
biopsi nasofaring.
5. Diagnosis CA Nasofaring
6. Diagnosis • Polip nasal
Banding • Limfoma Non-Hodgkin
• TB Nasofaring
• TB Kelenjar Limfe Leher (Proses Non Keganasan)
• Angiofibroma Nasofaring
7. Pemeriksaan • Pemeriksaan Laboratorium berupa Hematologik : darah perifer
Penunjang lengkap, LED, hitung jenis. Alkali fosfatase, LDH. SGPT – SGOT
• CT Scan Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai
setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial,
dan sagital, tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras dengan
injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit.
• USG abdomen Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen.
• Foto Thoraks Untuk melihat adanya nodul di paru
• Bone Scan Untuk melihat metastasis tulang
• Pemeriksaan Patologi Anatomik
8. Terapi Terapi keluhan pasien simptomatik menggunakan obat-obatan Simptomatik.
Terapi KNF unik karena dua alasan, pertama lokasi tumornya yang sulit
dijangkau mengakibatkan tindakan bedah menjadi lebih sulit dan dilakukan.
Alasan berikutnya yaitu bahwa KNF ini lebih radiosensitif.
Terapi terhadap KNF berprinsip pada individiualisasi dan tingkat keparahan:

193
9. Edukasi

FOLLOW UP Kontrol rutin untuk pencegahan terjadinya kekambuhan


dilakukan meliputi konsultasi & pemeriksaan fisik:
• Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
• Tahun 2 : setiap 2-6 bulan
• Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan
• > 5 tahun : setiap 12 bulan
Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca terapi:
• MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC
• Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis
tulang.
Follow Up Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up dengan CT
Scan pada siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap
tumor.
10. Prognosis Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan,
karena nasofaring tersembunyi di belakang langit-langit dan terletak di bawah
dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam
tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.
Perbedaan prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan
stadium lanjut sangat mencolok, yaitu
• 76,9% untuk stadium I
• 56 % untuk stadium II
• 38,4% untuk stadium III
• 16,4% untuk stadium IV
11. Kepustakaan 1. Brennan B. Review Nasopgaryngeal Carcinoma. Orphanet Journal of
Rare Disease [serial on line]. 2006. Available from URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/pdf/1750-1172-

194
1-23.pdf
2. Desen W. Tumor kepala dan leher. Dalam: Desen W, editor. Buku ajar
onkologi klinis Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 263-78.
3. Efiaty A. Karsinoma nasofaring. Dalam: Nurbaiti,Jenny,Ratna, editor.
Buku ajar ilmu kesehatan THT kepala & leher Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2007; 182-87.
4. Cummings CW et al. Nasopharyngeal Carcinoma. Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery 4th edition. USA: Mosby, 2005;
1-13
5. Kementrian kesehatan Indonesia, Panduan Penatalaksanaan Kanker
Nasofaring. Avaible from URL:
http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKNasofaring.pdf

195
KANKER PANKREAS (MALIGNANT NEOPLASMA OF PANCREAS)
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Tumor pankreas dapat diklasifikasikan sebagai neoplasma eksokrin atau
endokrin berdasarkan asal dari selnya dan morfologi tumor (solid atau
kistik). Kasus adenokarsinoma duktus terjadi sekitar 90% dari kasus
neoplasma pancreas. Tumor pankreas kistik termasuk neoplasma (tipe
musin, serosa dan tumor solid-pseudopapillary sangat jarang terjadi,
umumnya jinak dan dapat disembuhkan dengan reseksi bedah
2. Anamnesis • Rasa tidak nyaman pada perut, mual, muntah, pruritus, Ietargi,
penurunan berat badan
• Jarang: nyeri epigastrium, nyeri punggung, diabetes new onset
• Penyakit komorbid seperti pankreatitis kronis, diabetes
• Riwayat kebiasaan merokok
3. Pemeriksaan Fisik Ikterik, kakesia, tanda bekas garukan
. Kandung empedu teraba [tanda Courvoisier)
. Tanda metastasis jauh : hepatomegali, asites, limfadenopati
supraklavikular kiri (nodus Virchow), limfadenopati periumbilikus (nod us
Sister M ary J o seph)
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis Kanker Pankreas
6. Diagnosis Banding Ca Bilier
7. Pemeriksaan - Rutin : darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit, amilase, lipase,
Penunjang serum bilirubin, alkali fosfatase, protein total, albumin/globulin,
- Tumor-associated carbohydrate antigen 19-9 (CA 19-9)
Radiologis: CT scan, ERCP, MRI, Positron-emission tomography with
fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-PET), EUS
Sitologi : EUS-guided fine needle aspiration (EUS-FNA) Laparoskopi
8. Terapi Non farmakologi:
Diet tinggi kaloritinggi protein rendah lemak
. Puasa bila terdapat perdarahan saluran cerna
Bedah
Bedah reseksi kuratif hanya pada kanker kaput pancreas dengan gejala awal
ikterus
. Bedah paliatif
. Kemoterapi paliatif
Kemoterapi tunggal: 5 FU, mitomisin C
Gemsitabin → dapat mengurangi keluhan (mengurangi rasa nyeri
Farmakologi:
Kontrol rasa nyen
. Sakit ringansedang:analgesic (aspirin, asetaminofen, nsaid)
. Sakit berat: analgesic narkotik (morfin, kodein, meperidin
Substitusi enzim pankreas ) jika ada → MMD2
. Pengobatan terhadap diabetes Iika ada)
Reseksi (pancreaticoduodenectomy / operasi Whipple)
Paliatif: diberikan pada pasien yang tidak dapat menjalani reseksi untuk
meredakan ikterik, obstruksi duodenum atau nyen
9. Edukasi Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenar kondisi pasien dan rencana
tatalaksana
Mobilisasi pasif dan dilanjutkan dengan mobilisasi aktif
10. Prognosis Malam
Kesintasan 5 tahun:
- Lokal 22%
- Locally advanced/tidak bisa direseksi 9%
- Metastase 2%
11. Kepustakaan 1. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL. Panduan

196
Praktik Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2015.
2. Nasution SA, Santoso M, Rachman A, Muhadi. Buku Panduan Clinical
Pathway Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2015.

197
DIARE KRONIK
SKDI 3A

1. Pengertian (definisi) Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari sejak
awal diare. Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. Lama waktu: akut atau kronik
2. Mekanisme patofisiologi: sekretorik, osmotik, dll
3. Berat ringannya diare: ringan atau berat
4. Penyebab infeksi atau tidak: infektif atau non-infektif
5. Penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional
2. Anamnesis Anamnesis meliputi:
1. Waktu dan frekuensi diare
2. Bentuk tinja
3. Keluhan lain yang menyertai seperti nyeri abdomen, demam,
mual muntah, penurunan berat badan
4. Obat-obatan: laksan, antibiotika, imunospresan, dll
5. Makanan/minuman
1. Keadaan umum
3. Pemeriksaan Fisik
2. Status dehidrasi
4. Diagnosis Diare Kronik
5. Diagnosis Banding Etiologi tersering :
- Infeksi
- Malabsorbsi lemak
- Malabsorbsi karbohidrat
- Sindroma usus iritabel
- Obat-obatan
- Keganasan
- Kelainan endokrin
6. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan tinja, darah, urin .
2. Pemeriksaan anatomi usus sesuai indikasi: Barium enema/colon
in loop (didahului BNO), Kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi,
barium follow through atau enteroclysis, USG abdomen, CT
Scan abdomen
3. Fungsi usus dan pankreas: tes fungsi pankreas, CEA dan CA19-9
7. Terapi Terapi Suportif.
Rehidrasi cairan dan elektrolit
Per oral: larutan garam gula, oralit, Larutan Rehidrasi Oral (LRO)
Intravena: ringer laktat, ringer asetat, normal salin, ringer dekstrosa,
dsb
Jumlah kebutuhan cairan disesuaikan dengan status hidrasi
(menggunakan klasifikasi berdasarkan CDC AS 2008) atau
dengan menggunakan skor Daldiyono

Kebutuhan cairan per hari menggunakan metode ini adalah


Dehidrasi minimal : 103/100 x 30 - 40 ml/kgBB/hari Dehidrasi
ringan sedang :109/L00 x 30 - 40 ml/kgBB/hari Dehidrasi berat :
172/100 x 30 - 40 ml/kgBB/hari

Terapi Etiologis lnfeksi Bakteri

198
- E.Coli patogen (EPEC), toksigenik (ETEC), hemoragik
(EHEC); Enterobacter aerogenes; Shigella sp: - Kuinolon:
siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o,
levofloksasin L x 500 mg p.o selama 3 hari - Kotrimoksazol
- forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o selama 5 hari .
- Salmonella sp: . Kloramfenikol 4 x 500 mg p.o, Tiamfenikol
50 mg/kgBB (qid) p.o selama 10-14 hari - Kuinolon:
siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o,
Ievofloksasin L x 500 mg p.o selama 3-5 hari -
Kotrimoksazol forte 2 x [160 mg + 800 mg) tab p.o selama
L0 - 14 hari .
- Vibrio cholera: - Tetrasiklin 4 x 500 mg p.o selama 3 hari -
Doksisiklin 4 x 300 mg p.o, dosis tunggal - Fluorokuinolon
[siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin/levofloksasin
1x500 mg p.o)
- Clostridium difficile: - Metronidazol (POJ 4 x 250-500 mg
selama 7 - 74hari - Vankomisin (PO) 4 x t25 mg selama 7-
1,4 hari (Bila resistensi metronidazole) - Probiotik .
- Yersinia enterocolytica : - Aminoglikosida : streptomisin
IM) 30mg/kgBB/hari p.o bid, selama 10 hari -
Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o -
Fluorokuinolon (siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin
2 x 400 mg p.o, levofloksasin 1 x 500 mg p.o
- Shigela dysentrase: - Kuinolon - Cephalosporine generasi III
- Aminoglikosida .
- Campylobacterjejunii: - kuinolon: siprofloksasin 2 x 500 mg
p.o, norfloksasin/levofloksasin 1 x500 mg p.o - makrolid:
eritromisin 2x500 mg p.o selama 5 hari . Virus: tidak
diberikan antivirus, hanya terapi suportif dan simptomatik a
- Parasit: . Giardia lamblia: metronidazol 4 x 250-500 mg p.o
selama 7 -1.4 hari .
- Cryptosporidium'. Paromomisin (4g/hari p.o dosis terbagi)
plus azitromisin (500 mg p.o dosis tunggal dilanjutkan 1 x
250 mg p.o selama 4 hari) . Entamoebahistolytica: -
- Metronidazol4 x 250-500 mg p.o selama 7 - 1-4 hari -
Tinidazol2 g/hari p.o selama 3 hari - Paromomisin 4 g/hari
p.o, dosis terbagi . Isospora belii: - Kotrimoksazol forte2 x
[1-60 mg + 800 mg) tab p.o, selama 7 - ]-0 hari .
- jamur (pada pasien dengan HIV/AIDS): Candida
sp,Cryptococcus sp, Coccidiomycosis sp. Biasanya
diberikan intravena dulu, dilanjutkan oral, tergantung
keadaan umum . Flukonazol 2 x 50 mg; itrakonazol 2 x 200
mg; vorikonazol 2 x 200 mg; amfoterisin B 1mg/kgBB/hari;
nistatin 4 x 1 mL atau 1 tab

Terapi Simptomatik
1. Adsorbent (kaolin, attapulgite, smectite, karbon aktil
kolestiramin): bekerja dengan cara mengikat dan inaktivasi
toksin bakteri atau zat lain yang menyebabkan diare
2. Probiotik:terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan
jumlahnya di saluran cerna akan memiliki efek yang positif
karena berkompetisi dengan bakteri patogen untuk nutrisi dan
reseptor saluran cerna.
3. Antimotilitas (loperamid hidroklorida, difenoksilat dengan
atropin, tinktur opium, tinktur opium camphor, paregoric,
kodein): mengurangi frekuensi BAB pada orang dewasa, tetapi
199
tidak mengurangi volume tinja. Tidak boleh diberikan pada bayi
dan anak-anak dengan diare karena dapat menyebabkan ileus
paralitik berat dan memperpanjang durasi infeksi karena
menghambat eliminasi organisme penyebab. Pada dosis tinggi
dapat menyebabkan toksik megakolon. Antimotilitas yg
membuat spasme, tidak boleh diberikan pada wanita hamil
(komplikasi abortus).
4. Bismuth subsalisilat: mengurangi volume tinja dan keluhan
subyektif. Diberikan setiap 4 jam, dapat mengurangi volume
tinja pada diare akut sampai 30%. Obat antidiare: kontraindikasi
bila feses berdarah, immunocompromise, atau pada risiko sepsis
8. Prognosis Ad bonam
9. Kepustakaan 1. Kolopoking SM. Pendekoton Diognostik Diore Kronik. Dolom
Alwi l, Setioti S, Setiyohodi B, Simodibroto M, Sudoyo AW.
Buku Ajor llmu Penyokit Dolom Jilid I Edisi V. Jokorto: Interno
Publishing; 201 0:534-559.
2. McQuoid K. Chronic Diorrheo. ln Lowrence M (Eds). Current
Medicol Diognosis & Treotment 37th Ed. Prentice Holl
lnternotionol lnc, 1998: 544
3. Comilleri M, Murroy JA. Diorrheo ond Constipotion. Dolom:
Fouci A, Kosper D, Longo D, Brounwold E, Houser S, Jomeson
J, Loscolzo J, editors. Horrison's principles of internol medicine.
I Bth ed. United Stotes of Americo; The McGrow-Hill
Componies, 2012. Chopter 40, p308

200
DISENTRI BASILER DAN DISENTRI AMOEBA
SKDI 4A

1. Pengertian Disentri basiler adalah diare dengan lendir dan darah disertai dengan demam,
(definisi) tenesmus dan abdominal cramp. Sinonim Shigellosis
2. Anamnesis Shigellosis secara tipikal berkembang melalui 4 fase yaitu fase masa
inkubasi, watery diarrheo, dysentery, dan fase post infeksi. Gejala shigellosis
secara tipikal dimulai 24-72 jam setelah kuman ini tertelan dengan demam
dan malaise, diikuti dengan diare yang pada awalnya adalah watery diare
secara cepat berkembang menjadi diare dengan mukus dan darah yang
merupakan karakteristik dari infeksi shigello, disentri ditandai dengan diare
sedikit-sedikit dengan darah dan lendir disertai dengan tenesmus, kram perut
dan nyeri saat akan defekasi, sebagai akibat inflamasi dan ulcerasi mukosa
kolon dan proktitis.
3. Pemeriksaan Fisik • Demam tinggi
• Proktitis hingga prolaps rekti
• Tenesmus
• Abdominal cramp
4. Pemeriksaan • Kultur feses atau apus rectal. (>50 netrofiil per lapangan pandang)
Penunjang • Didapatkan perbedaan gambaran dari disentri basiller dan disentri
amoeba melalui pemeriksaan feses: secara mikroskopik infeksi E.
Histolytica akan menunjukkan trofozoit eritrofagositik dengan beberapa
sel PMN pada infeksi.
5. Kriteria Diagnosis • Onset penyaklt yang cepat sebelum masuk rumah sakit, demam tinggi
dan lekosit yang banyak di feses (>50 netrofil per lapang pandang) sangat
menyokong ke arah shigellosis sedang pemeriksaan apus feses. Jika tidak
tersedia sarana pemeriksaan mikroskopik atau biakan, maka pasien
dengan klinis shigellosis harus dlcurigai shigeLlosis dan diberi terapi
empirik untuk shigellosis.
• Baku emas untuk diagnosis infeksi Shigellosis adalah dapat mengisolasi
dan mengidentifikasi pathogen tersebut dari feses. Kemungkinan dapat
mengisolasi kuman lebih tinggi pada feses yang mengandung darah atau
mukus, dibandingkan dengan apus rektal. Kultur darah positif pada <5%
kasus dan hanya dilakukan jika pasien memberi gambaran sepsis berat.
6. Diagnosis Enteritis ec Campilobacter jejuni
Banding Schistosoma
Enteroinvasive E.coli
Salmonella

7. Terapi 1. Rehidrasi
Rehidrasi diberikan secara per oral, kecuali pasien dalam keadaan
koma. Karena ORS (Oral Rehydration Solution) terbukti efektid
maka WHC dan UNICEF merekomendasikan cairan standard
hipoosmoler dengan osmolaritas 245mOsm/L (natrium 75 mmol/L;
chlorida 65 mmol/L; glukosa (anhydrous) 75 mmol/L; kalium 20
mmol/L; sitrat 10 mmol?L).

Kebutuhan cairan disesuaikan dengan status hidrasi (menggunakan


klasifikasi berdasarkan CDC AS 2008) atau menggunakan skor
Daldiyono.

Kebutuhan cairan per hari menggunakan metode ini adalah


Dehidrasi minimal : 103/100 x 30 – 40 ml/kgBB/hari
Dehidrasi sedamng : 109/100 x 30 – 40 ml/kgBB/hari
Dehidrasi berat : 172/100 x 30 – 40 ml/kgBB/hari
201
2. Nutrisi
Nutrisi harus diberikan segera mungkin setelah rehidrasi awal
selesai. Pemberian makan adalah aman, dapat ditoleransi dan secara
klinis menguntungkan.

3. Shigella: Antibiotik pilihan utama adalah ciprofloksasin. Sejumlah


obat diuji dan efektif untuk shigella adalah ceftriakson, azitromisin,
pivmecillinam dan generasi kelima quinolon. Meskipun infeksi oleh
shigella non dysentriae pada imunokompeten diberikan terapi
antibiotik selama 3 hari, direkomendasikan terapi antibiotik karena
infeksi S. Dysenteriae diberikan selama 5 hari dan diberikan 7-10
hari pada pasien imonokompromis

Tabel 1. Agen antimikroba untuk infeksi Shigella


Agen Dosis Dewasa Frekuensi # Lama Catatan
(mg) terapi
(hari)
Asama Nalidiksik 500 4 x sehari 5 Strain S. Dystenriae tipe 1 banyak resisten

Pivamdinocillin 400 4 x sehari 5 Tidak banyak tersedia di luar US


Fluoroquinolon * 2 x sehari 3 Tidak direkomendasikan untuk anak-anak
Azitromisin mg hari pertama, 1 x sehari 5 Belum ada oenelitian yang dilakukan pada a
diikuti 250 mg hari
berikutnya
Trimetoprim 160 mg trimetoprim- 2 x sehari 5 Strain S. Dysentriae tipe 1 dan S. Flexneri b
sulfametoksasol 800 mg
sulfametoksasol
Ampisilin 500 mg 4 x sehari 5 Strain S. Dysentriae tipe 1 dan S. Flexneri d
resisten
*Ciprofloksasin 500 mg, norfloksasin 400 mg, dan enoksasin 200 mg
#single dose dengan ciprofloksasin 1 gram, atau norfloksasin 800 mg
efektif untuk infeksi non S. Dysentriae tipe 1

Terapi non spesifik


Pemberian agen antimotilitas memberi dampak memperpanjang
demam pada relawan dengan shigelosis, dan karena dicurigai
meningkatkan risiko toksis megakolon dan SHU pada anak dengan
infeksi strain E. Coli yang menghasilkan toksisk shiga, maka
pemberian antimotilitas tidak dianjurkan pada kasus diare dengan
darah.
o
8. Komplikasi ➢ Hipokalemia, hiponatremia dan hipoglikemia
➢ Konvulsi
➢ Ensefalopati
➢ Toksik megakolon sindrom uremik hemolitik
➢ Perforasi intestinal
➢ Sepsis
9. Prognosis Quo Ad vitam: baik
Quo Ad functionam: baik
Quo Ad sanationam: baik
10. Kepustakaan 1. RHA Nugroho. Disentri Basiler. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l,
Simodibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th
ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbit on Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2014;574-80
2. RC. LaRocque, ET Ryan, SB Calderwood. Acute Infectious Diarrheal
Diseases and Bacterial Food Poisoning. In: Fauci AS, Braunwald E,
Isselbacher KJ et al, editors. Harrison's principles of intemal medicine.
202
19th ed. New York: Mc Graw-Hill Co; 2012. p.853.
3. Panduan Praktek Klinik Departemen Penyakit Dalam. 2017
4. Dupont H.L. Shigella Species (Bacillary Dysentery) in Geraid L
Mandell, John E. Bennett, & Raphael Dolin. Principles and Practice of
Infectious Diseases, 6th ed. Volume 1. 2005
5. Churchill Livingstone, An Imprint of Elsevier. Jawetz,E.,L995,
Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, edisi 16, 303-306, EGC, Jakarta
6. Kate Stout, Collette Hendler, Joanne Bartelmo. Lippincott's Clinical
Guide Infectious Diseases. 2011, Lippincott William & Wilkins, China,
pp 357 -62.

203
ENSEFALOPATI HEPATIKUM (EH)
SKDI 2

1. Pengertian Sindrom neuropsikiatrik kompleks yang reversibel dan merupakan komplikasi


(definisi) penyakit hati akut atau kronik, berhubungan dengan gangguan fungsi hepato
seluler atau akibat printisan portosistemik atau kombinasi keduanya.
ETIOLOGI
- protein., perdarahan saluran cerna
- Peningkatan suplai protein intestinal : diet tinggi Peningkatan
katabolisme protein : difisiensi albumin, deman, operasi, infeksi
- Mekanisme detoksifikasi : intoksikasi alkohol, toksin, endotoksin,
infeksi obsdipasi
- Peningkatan tumor nocrosis factor
- Peningkatan ikatan ke resepror GABA : bnrzodiazepin, barbiturate,
fenotiazim, sedative, tranquilizer
- Gangguan metabolik : asidosis, ezotemia, hipoglikemia
- Gangguan elektolit : hipokalemia, hipehatremia, hipomagnesemia
- inhibisi sintesa area : diuretik, kadar zinc yang rendah
- Hepatitis virus akut, perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan
parenkim fulminan
2. Anamnesis Gambaran klinis sesuai derajat ensefalopati hepatikum (EH) :
▪ Derajat 0 - tanpa gejala, tes psikometrik negatif / subklinis /
minimal : klinis dan status mental normal, terdapat gangguan
memori / neuromuskutor minimial, test psikometrik positif
▪ Derajat I : euforia, cemas, bingung ringan, depresi, gangguan
bicara, gangguan siklus tidur
▪ Derajat II : letargi, bingung meningkat, mengantuk, perubahan
kepribadian nyata, perubahan perilaku, disorientasi minimal
waktu dan ruangan
▪ Derajat III : bicara kacau, sangat bingung, rasa kantuk berat,
disorientasi waktu dan tempat berat, tidak dapat melaksanakan
aktivitas mental
▪ Derajat IV : koma
3. Pemeriksaan Fisik Sesuai derajat Ensefalopati hepatikum
4. Kriteria Diagnosis Gejala klinis
5. Diagnosis Ensefalopati Hepatikum (EH)
6. Diagnosis 1. Lesi intrakranial, seperti hematoma subdural, perdarahan intrakranial,
Banding stroke, tumor, dan abses
2. lnfeksi, seperti meningitis, ensefalitis, abses intrakranial
3. Ensefalopati metabolik, seperti hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit,
anoksia, hiperkarbia, dan uremia
4. Hiperamonemia dari penyebab lain, seperti sekunder untuk
ureterosigmoidostomi dan gangguan siklus urea bawaan
5. Ensefalopati toksik dari asupan alkohol, seperti intoksikasi akut,
penghentian alkohol, dan ensefalopati Wernicke
6. Ensefalopati toksik dari obat, sepefti sebagai hipnotik
7. sedatif, antidepresan, agen antipsikotik, dan salisilat Sindrom otak organik
8. Ensefalopati pasca kejang
7. Pemeriksaan 1. CT scan kepala
Penunjang 2. MRI
3. EEG
9. Terapi 1. Atasi factor pencetus
2. Mengurangi produksi amonia pada saluran cerna :
3. Laktulosa enema : 200 ml laktulosa dengan 700 ml air
4. Mengatur diet protein 1,5 g. kgBB / hari, jumlah kebutuhan kalori 1800 –
2500 kkal / hari
5. Memperbaiki ketidakseimbangan asam amino BCAA ( Branhed Chain
204
Amino Acids) 0,5 g / kgBB / hari ( 3 x 10 gr / hari).
6. Memberikan antibiotika :
7. Kanamisin : 2 – 4 gr / hari
8. Meningkatan detoksifikasi amonia ekstra saluran cerna :
9. L-ormika, L-aspartat : 20 gr ( 4 ampul) / hari untuk keadaan prakoma, 40
gr ( 8 ampul)/ hari untuk keadaan koma, LOLA oral diberikan 3 x 3-6 gr /
hari
10. Memberikan antoganis resepror benzodiazepin : flusiazenil 0,2 – 0,3 mg
IV boleh diikuti dengan 5 mg IV per jam ( infus) Jika Fungsi ginjal baik
10. Edukasi 1. Menjelaskan kondisi pasien
2. Perawatan tirah baring lama
11. Prognosis Ad malam
12. Kepustakaan 1. Zubir N. Koma hepatik. Dalam : Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang,
Alwi Idrus, K Maecellus Simadibrata, Setiati Siti,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I . 5th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. p. 449
2. Tarigan P. Ensefalopati hepatik. Dalam : Sulaiman A, Akbar N, Lesmana
LA, Noer S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. 1st ed. Jakarta:
Jayabadi; 2007. p. 407

205
FARINGITIS
SKDI 4
1. Pengertian Faringitis adalah peradangan dinding faring yang dapat disebabkan
(Definisi) akibat infeksi maupun non infeksi.
Faringitis Akut : Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan
oleh virus, bakteri dan jamur , yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan
Faringitis Kronik : Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis
kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi.
2. Anamnesis a. Faringitis Viral : Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa
hari kemudian akan menimbulkan faringitis. Demam disertai rinorea,
mual, nyeri tenggorokan dan sulit menelan.
b. Faringitis Bakterial : Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang
disertai demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai dengan
batuk.
c. Faringitis Fungal : Keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan.
d. Faringitis Kronik Hiperplastik : Pasien mengeluh mula-mula tenggorok
kering gatal dan akhirnya batuk yang bereak.
e. Faringitis Kronik Atrofi : sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Pasien umumnya mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal seerta
mulut berbau.
3. Pemeriksaan Faringitis viral : tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,
fisik Coxsachievirus, dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.
Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit
berupa maculopapular rash.
Faringitis bakterial : tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
faringitis fungal : tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis
Faringitis Kronik Hiperplastik : terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata
dan berglanular
Faringitis Kronik Atrofi : tampak mukosa faring ditutupi oleh lender yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
4. Diagnostik Pemeriksaan darah lengkap
Throat culture
GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi
bakteri streptococcus group A
Throat culture namun pada umumnya peran diagnostic pada laboratorium
dan radiologi terbatas.
5. Diagnosis Faringitis
6. Diagnosis Tonsilitis
banding
7. Terapi Pada viral faringitis istirahat, minum yang cukup dan berkumur dengan air
yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu. Antivirus metisoprinol
(isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-
100mg/kgBB dibagi dalam 4-6kali pemberian/hari pada orang dewasa dan
pada anak <5tahun diberikan 50mg/kgBb dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari.

Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya


streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin
50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi
3kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau

206
eritromisin 4x500mg/hari. deksametason 8-16mg/IM sekali dan pada anak-
anak 0,08-0,3 mg/kgBB/IM sekali. dan pada pasien dengan faringitis akibat
bakteri dapat diberikan analgetik, antipiretik .

Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan melakukan


kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan
listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur, jika
diperlukan dapat diberikann obat batuk antitusif atau ekspetoran. Penyakit
pada hidung dan sinus paranasal harus diobati.
8. Pustaka 1. Aamir, S. 2011. Pharyngitis and Sore Throat: A Review. African Journal
of Biotechnology Vol. 10 (33)
2. Acerra, J.R. 2010. Pharyngitis. Departement of Emergency Medicine.
North Shore.
3. Aalbers, J., O’Brien., Chan., G. A. Falk., C. Telkeur., B. D. Dimitrov.,
T. Fahey. 2011. Predicting Streptococcal Pharyngitis in Adults in
Primary Care: A Systematic Review of The Diagnostic Accuracy of
Symptoms and Signs and Validation of the Centor Score. BioMed
Central (BMC) Medicine. (9)67. pp. 1-11.

207
GAGAL HATI AKUT
SKDI 2

1. Pengertian Gagal hepar akut adalah kondisi dimana terjadi deteriorasi secara cepat
(definisi) fungsi hati yang mengakibatkan koagulopati, diikuti dengan international
normalized ratio (INR) lebih dari 1.5, dan gangguan status mental
(encephalopathy) dari seorang individu yang sebelumnya sehat.
2. Anamnesis • Onset terjadinya jaundis dan ensefalopati
• Konsumsi alkohol
• Riwayat obat
• Riwayat konsumsi obat herbal/tradisional
• Riwayat keluarga dengan penyakit liver
• Paparan faktor resiko tertular virus hepatitis (riwayat perjalanan,
transfusi, kontaks seksual, pekerjaan, body piercing)
• Paparan pada zat toksin hepar (jamur, organic solvents, phosphorus
contained dalam kembang api).
• Bukti adanya komplikasi( renal failure, seizures, perdarahan, infeksi)
3. Pemeriksaan Fisik • Jaundis
• Nyeri tekan perut Right upper quadrant
• The liver span
• Hepatomegali
• Budd-Chiari syndrome.
• Gejala peningkatan tekanan intrakranial : papilledema, hipertensi, and
bradikardia.
• ascitesabdominal pain,
• Hematemesis or melena
• hypotensive and
• takikardia
4. Pemeriksaan • Laboratorium
Penunjang • Kultur darah
• Serologis virus
• USG Hati
• CT Scan
• Biopsi hati
• Tekanan intrakranial
5. Diagnosis Banding • Acute Decompensation of Cirrhosis
• Alcoholic Hepatitis With Underlying Cirrhosis
• Autoimmune Hepatitis
• Multiple Organ Dysfunction Syndrome in Sepsis
6. Terapi Aspek terpenting dalam tatalaksana adalah intensive care unit
• Proteksi jalan napas
• Monitoring hemodinamis
• Manajemen koagulopati
• Transplantasi hati
7. Komplikasi seizures, hemorrhage, infeksi, renal failure, dan imbalans metabolik
8. Prognosis Prognosis semakin meningkat sekarang dibanding dulu sebelum
ditemukannya Orthotopic Heart Transplantation angka mortalitas lebih dari
80%
Quo ad vitam : malam
Quo ad functionam : malam
Quo ad sanationam : malam
9. Kepustakaan 1. [Guideline] Lee WM, Larson AM, Stravitz RT. AASLD position paper:
the management of acute liver failure: update 2011. Hepatology.
Available
at https://www.aasld.org/sites/default/files/guideline_documents/alfenhanc
ed.pdf. 2011; Accessed: June 13, 2017.
2. Lee WM, Stravitz RT, Larson AM. Introduction to the revised American
208
Association for the Study of Liver Diseases position paper on acute liver
failure 2011. Hepatology. 2012 Mar. 55 (3):965-7.
3. Stravitz RT, Kramer AH, Davern T, et al, for the Acute Liver Failure
Study Group. Intensive care of patients with acute liver failure:
recommendations of the U.S. Acute Liver Failure Study Group. Crit Care
Med. 2007 Nov. 35 (11):2498-508.
4. Bernal W. Intensive care support therapy. Liver Transpl. 2003 Sep. 9
(9):S15-7.
5. Jalan R. Acute liver failure: current management and future prospects. J
Hepatol. 2005. 42 suppl (1):S115-23.
6. Sussman NL, Gislason GT, Conlin CA, Kelly JH. The Hepatix
extracorporeal liver assist device: initial clinical experience. Artif Organs.
1994 May. 18 (5):390-6.
7. Departemen Penyakit Dalam. 2017. Panduan Praktek Klinik Departemen
Penyakit Dalam. Palembang : RSUP dr. Mohamad Hoesin.
8. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, et al. Eds. 2005. Harrison’s Principle of
Internal Medicine. 16th eds. Amerika Serikat : McGraw-Hill.

209
GASTRITIS
SKDI 4

1. Pengertian Proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung sebagai
(Definisi) mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi bakteri atau bahan
iritan lain. Proses inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau local.
2. Anamnesis Pasien datang ke dokter karena rrasa nyeri dan panas seperti terbakar pada
perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan
makan, mual, muntah dan kembung
3. Pemeriksaan 1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat
Fisik 2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan
saluran cerna berupa hematemesis dan melena.
3. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak
anemis.
4. Pemeriksaan 1. Darah rutin
Penunjang 2. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori: pemeriksaan Urea
breath test dan feses
3. Rontgen dengan barium enema
4. Endoskopi
5. Kriteria Ditegakkan bedasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis
Diagnosis definitive dilakukan pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis 1. Kolesistitis
Banding 2. Kolelitiasis
3. Chron disease
4. Kanker lambung
5. Gastroenteritis
6. Limfoma
7. Ulkus peptikum
8. Sarkoidosis
9. GERD
7. Terapi Penatalaksanaan
Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain: H2 Bloker 2x/hari
(Ranitidin 150 mg/kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800 mg/kali),
PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, Lansoprazol 0 mg/kali), erta Antasida
dosis 3x500-1000 mg/hari.

Konseling dan Edukasi


Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya
keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi
kecil dan hindari dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut
kembung seperti kopi, the, makanan pedas dan kol.
8. Komplikasi 1. Pendarahan saluran cerna bagian atas
2. Ulkus peptikum
3. Perforasi lambung
4. anemia
9. Prognosis Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat dating, komplikasi, dan
pengobatannya. Umumnya prognosis gastritis adal bonam, namun dapat
terjadi berulang bila pola hidup tidak berubah
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam
10. SKDI 4A
11. Kepustakaan 1. Sudoyo,A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. eds.
Buku ajar Ilmu penyakit dalam/ 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006. (Sudoyo,
et al., 2006)

210
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)
SKDI 4A

1. Pengertian Suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
(definisi) esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esophagus, laring, dan saluran napas; akibat
kelemahan otot sfingter esofagus bagian bawah (LES/Lower Esophageal
Sfingter). Refluks dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu refluks spontan
pada saat relaksasi LES, aliran balik sebelum kembalinya tonus LES setelah
menelan, meningkatnya tekanan dalam abdomen.
2. Anamnesis - Keluhan paling sering: merasakan adanya makanan yang menyumbat di
dada, nyeri seperti rasa terbakar di dada yang meningkat dengan
membungkukkan badan, tiduran, makan; dan menghilang dengan
pemberian antasida, non cardiac chest pain [NCCP)
- Keluhan yang jarang dikeluhkan: batuk atau asma, kesulitan menelan,
hiccups, suara serak atau perubahan suara, sakit tenggorokan, bronchitis
- Pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat pemakaian obat-obatan
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik tidak ada yang khas untuk GERD. Pada pemeriksaan laring
dapat ditemukan inflamasi yang mengindikasikan GERD
4. Diagnosis GERD
5. Diagnosis 1. Dispepsia
Banding 2. Ulkus peptikum
3. Kolik bilier
4. Eosinophilicesophagitis
5. Infeksi esophagitis
6. Penyakit jantung koroner
7. Gangguan motilitas esofagus
6. Pemeriksaan 1. Esophagogastroduodenoscopy (EGD)
Penunjang 2. Barium meal
3. Continuous esophageal pH monitoring
4. Manometri esophagus
5. Stool occult blood test
6. Pemeriksaan histopatologis
7. Terapi 1. Farmakologis :
- Histamine type-Z receptor antagonists (H2RAs)
- Proton pump inhibifors IPPIs): umumnya diberikan selama B miggu
dengan dosis ganda
- Untuk NERD, terapi inisial dengan dosis standar selama B minggu lalu
diberikan pada saat keluhan timbul dan dilanjutkan sampai keluhan
hilang
- Antasida hanya untuk mengurangi gejala yang timbul
2. Tindakan invasive :
- Pembedahan anti refluks: Laparoscopic Nissen fundoplication
- Terapi endoskopi: radiofrequency ablation, endoscopic suturing,
endoscopic implantation, endo scopic gastroplasty
8. Edukasi 1. Modifikasi gaya hidup, menghentikan obat-obatan (anti kolinergik,
teofilin) dan mengurangi makan makanan yang yang dapat menstimulasi
sekresi asam seperti kopi, mengurangi coklat, keju dan minuman bersoda
2. Menaikkan posisi kepala saat tidur jika keluhan seringkali dirasakan pada
malam hari
3. Makanan selambat-lambatnya 2 jam sebelum tidur
9. Prognosis Pengobatan dengan penghambat sekresi asam lambung dapat mengurangi
keluhan, derajat esofagitis dan perjalanan penyakit. Risiko dari striktur menjadi
Barrett's esophagus atau adenokarsinoma yaitu 6% dalam 2-20 tahun pada
kasus
10. Kepustakaan 1. Makmun D. Penyokit Refluks Gastroesofogeal. Dalam: Sudoyo AW, et ol
editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid ledisi lV. Jakarta: Pusat
211
Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2005. hlm 317 - 321.
2. Kahrilas PJ. Esophageal Structure and Function. ln: Fauci A, Kasper D,
Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,Loscaizo J, editors. Horrison's
principles of internal medicine. 18 th ed. United States of America; The
McGraw-Hill Companies,2012.
3. Longstreth GF. Gastroesophogeal reflux disease. ln. Peptic esophagitis;
Reflux esophagitis; GERD; Heartburn - chronic; Dyspepsia - GERD. 201 l.
Diunduh dari http:,/,/ www.ncbi. nlm.nih.govlpubmedhealth/ PMH000l3l l,/
pada tanggal 7 Mei 2012.
4. Kelompok Studi GERD lndonesia. Konsensus Nasional: Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageol di lndonesia. Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesio. 2004.

212
KARSINOMA HEPATOSELULER (LIVER CELL CARCINOMA)
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Hepatoma (hepatocarcinoma/hepatocellular carcinoma/HCC) merupakan


kanker yang berasal dari sel hati..

Faktor risiko hepatoma dibagi menjadi 2 yaitu:


• Umum : sirosis karena sebab apapun, infeksi kronis Hepatitis B atau C,
konsumsi etanol kronis, NASH/NAFL, aflatoxin B, atau mikotoksin
lainnya
• Lebih jarang: sirosis bilier primeI hemokromatosis, defisiensi-an
titrypsin, penyakit penyimpanan glikogen, citrullinemic, tirosinemia
herediter, penyakit Wilson
2. Anamnesis Penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan
perut kanan atas, jaundice, nausea.
Hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik.
. Nyeri di kuadran kanan atas atau regio lain
. Mual, muntah,anoreksia, demam
3. Pemeriksaan Fisik
. lkterik, tanda hipertensi portal, perdarahan
. Evaluasi feses (warna dempul), diare berdarah
. Penurunan berat badan, anoreksia
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis Karsinoma Hepatoseluler
6. Diagnosis Banding Abses hati
7. Pemeriksaan Cek gula darah
Penunjang Pemeriksaan laboratorium: Darah rutin, SGOT SGPT, bilirubin, AFP
Gamma-GT, CEA, CA 19-9,Ureum Kreatinin, AGD, HBsAg, LDH,
AntiHCV albumin globulin, elektrolit darah (Na/K/Cl),
hemostasis (PT, APTD, fibrinogen, D-dimer
Urin lengkap
USG abdomen
Foto rontgen dada PA
CTScan abdomen atas 3 fase atau MRI dengan kontras khusus bila
diperlukan
Pemeriksaan sitology atau histopatologi biopsi hati (core blopsylFNAB)
bila diperlukan
8. Terapi Non farmakologi
Nutrisi adekuat
Farmakologi
Analgetik: parasetamol, tramadol (tergantung derajat nyeri), opioid
9. Edukasi Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai gejala pasien tanpa
memperburuk penyakitnya, komplikasi (Ensefalopati hepatikum, ruptur
tumor spontan, hematemesis melena, kegagalan hati) Mobilisasi
10. Prognosis Malam
Pasien dengan hepatoselular karsinoma dini dapat bertahan selama 5 tahun
setelah dilakukan reseksi, transplantasi hati atau terapi perkutaneus sebesar
50-70%. Kekambuhan tetap dapat terjadi walaupun telah dilakukan terapi
kuratif. Kesintasan 1 dan 2

213
HEPATITIS A
SKDI 4A

1. Pengertian Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang disebabkan oleh hepatitis A
(definisi) virus (HAV), sebuah virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal oral.
Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, sedangkan pada anak < 6 tahun
70% asimtomatik. Kurang dari 1% penderita hepatitis A dewasa berkembang
menjadi hepatitis A fulminan.
2. Anamnesis Keluhan
Demam, mata dan kulit kuning, penurunan nafsu makan, nyeri otot dan
sendi, lemah, letih, dan lesu, mual dan muntah, warna urine seperti teh, tinja
seperti dempul

Faktor Risiko
Sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang tidak terjaga
sanitasinya., menggunakan alat makan dan minum dari penderita hepatitis.
3. Pemeriksaan Fisik a. Febris
b. Sklera ikterik
c. Hepatomegali
b. Warna urin seperti teh
4. Pemeriksaan b. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
Penunjang c. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar
SGOT dan SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas
primer yang lebih lengkap.
b. IgM anti HAV (di layanan sekunder)
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Banding Ikterus obstruktif, Hepatitis B dan C akut, Sirosis hepatis
7. Terapi Penatalaksanaan
a. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
b. Tirah baring
c. Pengobatan simptomatik
• Demam: Ibuprofen 2x400mg/hari.
• Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3x10 mg/hari atau
Domperidon 3x10mg/hari.
• Perut perih dan kembung: H2 Bloker (Simetidin 3x200 mg/hari atau
Ranitidin 2x 150mg/hari) atau Proton Pump Inhibitor (Omeprazol
1 x 20 mg/hari).
Rencana Tindak Lanjut
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan.
Konseling dan Edukasi
a. Sanitasi dan higiene mampu mencegah penularan virus.
b. Vaksinasi Hepatitis A diberikan kepada orang-orang yang berisiko
tinggi terinfeksi.
b. keluarga ikut menjaga asupan kalori dancairan yang adekuat, dan
membatasi aktivitas fisik pasien selama fase akut.
8. Komplikasi a. Hepatitis Fulminan
b. Gagal hati akut
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Gejala hepatitis A biasanya tidak begitu berat dan akan hilang sendiri, walau
pun dapat memakan waktu sampai 9 bulan dan gejala bisa hilang timbul
dalam beberapa tahun. Walau pun jarang dapat menyebabkan kerusakan hati.
Kematian karena hepatitis A sangan jarang.
10. Kepustakaan 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In: Braunwald,

214
E. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16thEd.New
York: McGraw-Hill. 2004.
2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease of
Liver and Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002:
p.285-96. (Sherlock, 2002)
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006: Hal 429-33.
4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal 435-9.
5. A.W., Sudoyo, B., Setiyohadi, I., Alwi, M., Simadibrata, S., Setiati
(eds).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Interna
Publishing:Jakarta.
6. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal15-17.

215
HEPATITIS B KRONIK
SKDI 3A

1. Pengertian (definisi) Suatu sindrom klinis dan patologis yg disebabkan oleh virus hepatitis,
ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati, dimana
seromarker virus hepatitis positif pada 2 kali pemeriksaan berjarak > 6
bulan
2. Anamnesis Dapat tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia,
ikterus persisten atau intermiten. Faktor risiko penularan virus hepatitis
yaitu pengguna narkoba suntik, infeksi hepatitis B pada ibu, pasangan atau
saudara kandung, penerima transfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi,
riwayat tertusuk jarum suntik atau terkena cairan tubuh pasien berisiko
3. Pemeriksaan Fisik Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang). Bila
telah terjadi komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan
hipersplenisme
1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. HbeAg
3. DNA VHB serum > 2000 IU/ml
4. Kriteria Diagnosis
4. Peningkatan ALT yang persisten maupun intermiten
5. Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat
nekroinflamasi sedang sampai berat
5. Diagnosis Hepatitis B Kronik
1. Hepatits Alkohol
2. Hepatitis autoimmun
6. Diagnosis Banding
3. Kolangitis
4. Perlemakan hati
7. Pemeriksaan 1. Seromarker hepatitis : HBsAg (+), pemeriksaan selama 6 bulan, Anti-
Penunjang HBc [+J, IgM anti-HBc (-), Anti-HBs (-)
2. Aminotransferase meningkat (100-1000 unit), alanin aminotransferase
(ALT) lebih meningkat daripada aspartate aminotransferase (AST),
alkali fosfatase normal atau meningkat ringan
3. Serum bilirubin meningkat (3-10 mg/dl), hipoalbuminemia,
protrombin time (PT) memanjang.
4. USG hati
8. Terapi 1. Interferon: 1x 5 juta unit atau 10 juta unit 3 kali seminggu, subkutan,
selama 4-6 bulan untuk HBeAg (+J, dan setidaknya 1 tahun untuk
pasien dengan HBeAg (-), bila dengan pegylated interferon baik
HBeAg [-J dan HBeAg (+) diberikan selama 1 tahun
2. Lamivudine: 1x100 mg
3. Adefovir dipivoxil:1 x 10 mg
4. PEG IFN cr- 2a [monoterapi): 180 gram atau PEG IFN cr- 2b 1,5ug
/KgBB
5. Entecavir: 1x0,5 mg
6. Telbivudine: 1x600 mg
Tenofovir: Lx300 mg
7. Thymosin 1 selama 6 bulan
8. Lama pemberian antivirus tergantung pada status HBeAg pasien ketika
memulai terapi dan target pencapaian HBV DNA serta HBeAg loss
9. Edukasi 1. Imunisasi terutama pada kelompok individu yang mempunyai resiko
terinfeksi hepatitis B
2. Pencegahan paska pajanan: jika orang yang tidak divaksinasi terpajan
hepatitis B, pencegahan berupa HBIg dengan dosis 0.06 ml/kg BB dan
vaksin hepatitis B harus diberikan. Pada pasien yang divaksinasi atau
mendapat HBIg, HBsAg dan anti-HBs sebaiknya diperiksa 2 bulan
setelah pajanan
10. Prognosis 5-year mortality rate adalah 0-2 % pada pasien tanpa sirosis, l4-20% pada
pasien dengan sirosis kompensasis, dan 70-86% yang dekompensasi.
216
Risiko sirosis dan karsinoma hepatoselular berhubungan dengan level
serum HBV DNA
11. Kepustakaan 1. Soemohardjo S. Hepatitis B kronik. Dalam : Sudoyo Aru W,
Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K Maecellus Simadibrata, Setiati
Siti, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I . 5th ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2009. p. 433
2. Akbar NH. Hepatitis B. Dalam : Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA,
Noer S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. 1st ed. Jakarta:
Jayabadi; 2007. p. 201

217
HEPATITIS C KRONIK
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh virus hepatitis,
ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati, dimana
penanda virus hepatitis positif pada 2 kali pemeriksaan berjarak > 6 bulan
2. Anamnesis Umumnya tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise,
anoreksia. Faktor risiko: penggunaan narkoba suntik, menerima transfusi
darah, tingkat ekonomi rendah, perilaku seksual risiko tinggi, tingkat
edukasi rendah, menjalani tindakan invasil menjalani hemodialisis,
tertusuk jarum suntikatau terkena cairan tubuh pasien berisiko
3. Pemeriksaan Fisik Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang). Bila
telah terjadi komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan
hipersplenisme. Manifestasi ekstrahepatik (cryoglobulinemia, porfiria
kutanea tarda, glomerulonefritis membranoproliferatii dan sialoadenitis
limfositik)
4. Kriteria Diagnosis 1. Uji serologi: berdasarkan deteksi antibodi (antibodi anti-HCV). Sekali
antibodi anti-HCV telah terbentuk, biasanya akan tetap positif. Namun
kadar antibodi anti-HCV akan menurun gradual pada sebagian pasien
yang infeksinya mengalami resolusi spontan. Antibodi anti-HCV
dapat terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang
respon terapi yang dialami.
2. Uji HCV RNA:
a. Kualitatif: limit deteksi hingga lebih kecil dari 50 IU/ml.
Bermanfaat khususnya pada kasus dengan kadar transaminase
normal, disertai penyebab penyakit hati lain, atau pasien
imunokompromi dan pada hepatitis C akut sebelum munculnya
antibodi.
b. Kuantitatif: untuk mengetahui muatan virus bermanfaat untuk
memprediksi respon terapi dan realaps. Muatan virus pada
hepatitis C tidak ada kaitan dengan beratnya hepatitis (progresi
fibrosis).
3. Fibroscan / Biopsi, berguna menentukan derajat beratnya
penyakit (tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan
inflamasi. Bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab penyakit hati yang lain seoerti alkoholik, non-alkoholik
steatohepatitis (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-
induced atau overload besi.
5. Diagnosis Hepatitis C Kronik
6. Diagnosis Banding 1. Hepatitis Autoimmune
2. Kolangitis
3. Hepatitis viral
4. Perlemakan hati

218
HEPATITIS IMBAS OBAT
SKDI 2

1. Pengertian Hepatitis imbas obat atau yang sekarang lebih dikenal dengan drug-induced
(definisi) liver injury (DILI) merupakan suatu peradangan pada hati yang terjadi akibat
reaksi efek samping obat atat hepatic drug reactions ketika mengkonsumsi
obat tertentu
2. Anamnesis • Riwayat konsumsi obat atau jamu dalam 5-90 hari terakhir .
• Tanggal mulai dan tanggal berhenti konsumsi untuk tiap obat dan jamu
• Riwayat hepatotoksisitas dan konsumsi obat yang dimaksud .
• Onset gejala fdemam, ruam, lelah, nyeri perut, nafsu makan menurun) .
• Penyakit lainnya, dari obat yang dikonsumsi .
• Episode hipotensi akut
3. Pemeriksaan Fisik Ikterik, ruam, demam, klinis adanya pruritus . Hepatomegali,splenomegali .
Stigmata penyakit hati kronis
4. Diagnosis Hepatitis Imbas Obat
5. Diagnosis Banding Hepatitis viral akut, hepatitis autoimun, syok hati, kolesistitis, kolangitis,
sindrom Budd-Chiari, penyakit hati alkoholik, penyakit hati kolestatik,
kondisi hati yang berhubungan dengan kehamilan, keganasan, penyakit
Wilson, hemokromatosis, gangguan koagulasi
6. Pemeriksaan - Laboratorium
Penunjang • Rutin: darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit [ditemukan
gambaran eosinofilia), trombosit protein total, albumin/globulin,
prothrombin time (PT) / INR, kreatinin
• Kimia hati: SGOT SGPT alkali fosfatase, bilirubin total/direk,
gamma GT
• Serologis: IgM anti-HAV HBsAg, IgM anti-HCV HCV RNA, anti-
HEV anti-EBV anti-CMV
• Autoantibodi: antibodi antinuklear, antibodi otot polos, antibodi
antimitokondrial
• Khusus: serum besi, ferritin, ceruloplasmin, a-1-antitrypsin .
- Radiologis: USG, CT scan, MRI/MRCP [atas indikasi) .
- Biopsi hati, dengan indikasi : - Apabila hubungan temporal antara
konsumsi agen hepatotoksik dengan onset jejas hati tidak jelas
7. Terapi Terapi sebagian besar bersifat suportif, kecuali pada hepatotoksisitas
acetaminophen. Pada pasien dengan hepatitis fulminan akibat hepatotoksisitas
obat, maka transplantasi hati dapat menyelamatkan nyawa. Penghentian
konsumsi dari agen yang dicurigai diindikasikan pada tanda pertama
terjadinya
8. Komplikasi Gagal hati sampai dengan kematian
9. Prognosis Tergantung etiologi dan respons terapi. Pada sebagian besar
kasus, fungsi hati akan kembali normal apabila obat dihentikan
10. Kepustakaan 1. Teoh NC, Chitturi S, Forrell GC. Liver Disease Caused by Drugs. ln :
Feldman M, Friedman LS, Brondt LJ. Sleisenger and Fordtrand's
Gatrointestinal and Liver Disease. 9th Edition. Philadelphia: Saunders,
Elsevier. 201 0. Hal 1431 -92
2. Dienstog J. Toxic and Drug-lnduced Hepatitis. ln : Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of
lnternal Medicine. 18th Edition. New York, McGrow- til.2012.
3. Mitchell S, Hilmer SN. Drug-induced liver injury in older adults.
Therapeutic Advances in Drug Sofety 2010;l:65.
4. Seeff LB, Fontana RJ. Drug-lnduced Liver lnjury. In : Dooley JS, Lok
ASF, Burroughs AK, et al. Sherlock's Diseases of the Liver and Biliary
System. 12th Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011

219
HEPATITIS VIRUS AKUT
SKDI 3B

1. Pengertian Hepatitis virus akut adalah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang
(definisi) berlangsung selama < 6 bulan
2. Anamnesis Anoreksia; nausea, muntah, fatique, malaise, atralgia, myalgia, sakit kepala, L-
5 hari sebelum ikterus timbul. Urine pekat dan kadang feses seperti dempul.
Setelah ikterus timbul, gejala-gejala diatas menjadi berkurang. Demam tidak
terlalu tinggi, biasa terjadi pada hepatitis A dan E (jarang pada B dan C)
3. Pemeriksaan Fisik Ikterus, hepatomegali, splenomegali
4. Diagnosis Hepatitis B Kronik
5. Diagnosis Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu,
Banding leptospirosis
6. Pemeriksaan Laboratorium SGOT SGPT bilirubin. Serologi hepatitis :
Penunjang 1. Hepatitis A : IgM anti HAV (+)
2. Hepatitis B
3. Hepatitis C : HCV RNA (+) setelah 7-10 hari pajanan, anti HCV (+) 5-10
minggu setelah pajanan dan dapat bertahan seumur hidup
4. Hepatitis D : HDV Ag, HDV-RNA and Ig M anti-HDV (+) sekitar 30-40
hari setelah gejala awal timbul.
5. Hepatitis E : lg G dan Ig M anti HEV
7. Terapi 1. Hepatitis A akut: Terapi suportif.
2. Hepatitis B akut Hepatitis B akut ringan-sedang: Terapi suportif.5 Tidak
ada indikasi terapi anti virus. Hepatitis B akut berat: pemberian antivirus
mungkin dapat dipertimbangkan Monitor pasien dengan pemeriksaan HBV
DNA, HBsAg 3-6 bulan untuk mengevaluasi perkembangan menjadi
hepatitis B kronik.
3. Hepatitis C akut Peginterferon alfa-Za (180 pg) atau alfa-2b (1.5 pg/kg)
seminggu sekali selama 12 minggu pada genotipe non 1, pada genotipe 1
selama 24 minggu.
4. Hepatitis D akut: Terapi suportif.5 Lamivudine dan obat antiviral, tidak
efektif melawan replikasi virus.
5. Hepatitis E akut: Terapi suportif.
8. Edukasi Pengobatan dan penularan
9. Prognosis 1. Hepatitis A akut Biasanya sembuh komplit dalam waktu 3 bulan, tidak
menyebabkan hepatitis virus kronik. Rata-rata angka mortalitas < 0,2%
2. Hepatitis B akut Sekitar 95-99% pasien dewasa penderita hepatitis B yang
sebelumnya sehat, sembuh dengan baik. Pada
3. pasien dengan hepatitis B berat sehingga harus dirawat, rata-rata tingkat
kematian sebesar 1% tetapi meningkat pada usia lanjut dan yang memiliki
komorbid. Pada pasien pengguna obat suntik, penderita hepatitis B dan D
secara bersamaan, dilaporkan rata-rata kematian 5%.Risiko berkembang
menjadi kronis tergantung pada usia, yaitu:90% pada bayi, sekitar 30%
pada infant, < 1,0% pada dewasa.
4. Hepatitis C akut, Sekitar 50-85% berkembang menjadi kronik.
5. Hepatitis D akut Risiko fulminant hepatitis pada koinfeksi sekitar Hepatitis
E akut Pada wabah hepatitis E di India dan Asia, ratarata tingkat kematian
adalah 1-2% dan 10-20% pada wanita hamil
10. Kepustakaan 1. Sanityoso, Andri. Hepatitis Viral Akut. Dalam ;Sudoyo A, Setiyohadi B,
Alwi l, Simodibroto M, Setioti S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
5th ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:544-652.
2. Acute Viral Hepatitis. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Brounwald E,
Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18th ed. United States of America; The McGrow-Hill
Companies, 201 2.
3. Acute Viral Hepatitis. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'o
220
edition. Saunders : Philadhelphia. 2007

221
ILEUS PARALITIK
SKDI 2

1. Pengertian Keadaan dimana usus gagal/tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik


(definisi) untuk menyalurkan isinya. Keadaan ini dapat disebabkan oleh tindakan/operasi
yang berhubungan dengan rongga perut, hematoma retroperitoneal yang
berhubungan dengan fraktur vertebra, kalkulus ureteral, atau pielonefritis
berat, penyakit paru seperti pneumonia lobus bawah, fraktur iga, infark
miokard, gangguan elektrolit (berkurangnya kalium), dan iskemik usus, baik
dari oklusi vaskular ataupun distensi usus
2. Anamnesis 1. Rasa tidak nyaman pada perut, tanpa nyeri kolik
2. Muntah sering terjadi namun tidak profuse, sendawa, bisa disertai diare,
sulit buang air besar
3. Dapat disertai demam
4. Perlu dicari juga riwayat: batu empedu, trauma, tindakan bedah di
abdomen, diabetes, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut,
pneumonia, dan semua jenis infeksi tubuh
3. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan
kesadaran, demam, tanda dehidrasi, syok
2. Distensi abdomen (+), rasa tidak nyaman pada perut, perkusi timpani,
bising usus yang menurun sampai hilang
3. Reaksi peritoneal (-) (nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ditemukan). Apabila
penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah
gambaran peritonitis
4. Pada colok dubur: rektum tidak kolaps, tidak ada kontraksi
4. Diagnosis Ileus Paralitik
5. Diagnosis
Ileus Obstruktif
Banding
6. Pemeriksaan 1. Laboratorium: darah perifer lengkap, amilase-lipase, gula darah, elektrolit,
Penunjang dan analisis gas darah .
2. Radiologis: foto polos abdomen, akan ditemukan gambaran airfluid level.
Apabila meragukan, dapat mempergunakan kontras
7. Terapi 1. Non farmakologis :
- Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat
buang angin melalui dubur
- Pasang NGT dan rectal tube bila perlu
- Pasang kateter urin
2. Farmakologis :
- Infus cairan, rata-rata 2,5-3 liter/hari disertai elektrolit - Natrium dan
kalium sesuai kebutuhan/24jam
- Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basa
- ditambah kebutuhan lain
- Metoklopramid fgastroparesis), cisapride (ileus paralitik pasca operasi),
klonidin (ileus karena obat-obatan)
- Terapi Etiologi l
8. Edukasi Pengobatan
9. Prognosis Tergantung penyebabnya
10. Kepustakaan 1. Djumhana A, Syam A. lleus Paralitik. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B,
Alwi l, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid l. 2009. Hal
307-8
2. Silen W. Acute lntestinal Obstruction. ln: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of lniernal
Medicine. 18th Edition. New York, McGrow-Hill. 2012.

222
KERACUNAN MAKANAN
SKDI 4A

1. Pengertian Suatu kondisi gangguan pencernaan yang disebabkan oleh konsumsi makanan
(definisi) atau air yang terkontaminasi dengan zat patogen dan atau bahan kimia,
misalnya Norovirus, Salmonella, Clostridium perfringens, Campylobacter, dan
Staphylococcus aureus.
2. Anamnesis • Diare akut
Pada keracunan makanan biasanya berlangsung kurang dari 2 minggu.
Darah atau lendir pada tinja; menunjukkan invasi mukosa usus atau kolon.
• Nyeri perut.
• Nyeri kram otot perut; menunjukkan hilangnya elektrolit yang mendasari,
seperti pada kolera yang berat.
• Kembung
3. Pemeriksaan Fisik 1. Diare, dehidrasi, dengan tanda–tanda tekanan darah turun, nadi cepat,
mulut kering, penurunan keringat, dan penurunan output urin.
2. Nyeri tekan perut, bising usus meningkat atau melemah.
4. Pemeriksaan 1. Lakukan pemeriksaan mikroskopis dari feses untuk telur cacing dan
Penunjang parasit.
2. Pewarnaan Gram, Koch dan metilen biru Loeffler untuk membantu
membedakan penyakit invasif dari penyakit non-invasif.
5. Penegakan Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Diagnosis
6. Diagnosis Banding • Intoleransi
• Diare spesifik seperti disentri, kolera dan lain-lain.
7. Terapi 1. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis akut adalah self-limiting,
pengobatan khusus tidak diperlukan. Dari beberapa studi didapatkan
bahwa hanya 10% kasus membutuhkan terapi antibiotik. Tujuan utamanya
adalah rehidrasi yang cukup dan suplemen elektrolit. Hal ini dapat dicapai
dengan pemberian cairan rehidrasi oral (oralit) atau larutan intravena
(misalnya, larutan natrium klorida isotonik, larutan Ringer Laktat).
Rehidrasi oral dicapai dengan pemberian cairan yang mengandung natrium
dan glukosa. Obat absorben (misalnya, kaopectate, aluminium hidroksida)
membantu memadatkan feses diberikan bila diare tidak segera berhenti.
Diphenoxylate dengan atropin (Lomotil) tersedia dalam tablet (2,5 mg
diphenoxylate) dan cair (2,5 mg diphenoxylate / 5 mL). Dosis awal untuk
orang dewasa adalah 2 tablet 4 kali sehari (20 mg / d), digunakan hanya
bila diare masif.
2. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik harus ditentukan
dengan melakukan kultur tinja. Untuk itu harus segera dirujuk.
3. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk menjaga kebersihan diri.
8. Komplikasi Dehidrasi berat
9. Prognosis Prognosis umumnya bila pasien tidak mengalami komplikasi adalah bonam.
10. Kepustakaan 1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
2. Panduan Puskesmas untuk keracunan makanan. Depkes: Jakarta. 2007.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007)

223
KOLANGITIS
SKDI 2

1. Pengertian Kolangitis adalah inflamasi dan infeksi pada saluran empedu yang paling
(definisi) sering disebabkan oleh karena koledokolitiasis.
Ada 2 jenis kolangitis yaitu primary sclerosing cholangitis dan secondary
sclerosing cholangitis. Secondary sclerosing cholangitis disebabkan oleh:
▪ Trauma saat operasi
▪ Iskemia misalnya trombosis arteri hepatik setelah transplantasi, atau
kemoterapi trans arterial
▪ Batu kandung empedu
▪ Infeksi bakteri/virus (sitomegalovirus, kriptosporidiosis, sepsis berat)
▪ Luka caustic misalnya pada terapi formalin untuk kista hidatid
▪ Pankreatitis autoimun berhubungan dengan IgG4
▪ Keganasan
▪ Penyakit hati polikistik
▪ Sirosis
▪ Kistik fibrosis
2. Anamnesis Nyeri abdomen yang dirasakan tiba-tiba dan hilang-timbul, dapat disertai
dengan menggigil dan kaku. Riwayat koledokolitiasis atau manipulasi traktus
bilier.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pasien usia lanjut dapat terjadi perubahan status mental, konfusi, letargi,
atau delirium. Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kuadran kanan atas,
ikterik, dan demam. Perubahan status mental disertai hipotensi dan Trias
Charcot dikenal
dengan Reynolds' pentad yangbisa terjadi pada kolangitis supuratifberat.
4. Pemeriksaan DPL: leukositosis
Penunjang Fungsi hati : hiperbilirubinemia, peningkatan alkali fosfatase, enzim
transaminase, serum amilase jika ada pankreatitis.
Kultur darah: positif pada 50 % kasus
Kultur empedu: positif hampir pada semua kasus.
Ultrasonografi abdomen: untuk diagnosis dan terapeutik
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
Percutaneous transhepatic cholangiography (PTC)
5. Kriteria Diagnosis Anamnesis serta pemeriksaan fisik dan penunjang
6. Diagnosis Kolangitis
7. Diagnosis Banding Primary sclerosing cholangitis
8. Terapi Hidrasi dengan cairan intravena dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit
Antibiotik:
• Derivat penisilin (piperasilin) : untuk gram negatif
• Sefalosporin generasi II atau III [ceftazidim): untuk gram negative,
cefoksitin 2 gram intravena setiap 6-8 jam
• Ampisilin untuk gram positif
• Metronidasol untuk kuman anaerob
• Fluorokuinolon [siprofloksasin,levofloksasin]
Keadaan umum pasien akan membaik dalam 6-12 jam setelah pemberian
antibiotik dan dapat diatasi dalam 2-3 hari. Jika dalam 6-12 jam tidak
membaik, harus segera dilakukan tindakan dekompresi secepatnya,
• Dekompresi dan drainase sistem bilier: jika tekanan dalam
• bilier meningkat karena adanya obstruksi
Non operatif
• Percutaneouscholecystostomy
• Percutaneous transhepatic biliary drainage (PTBD): tindakan drainase
bilier tanpa operasi.
• Drainase bilier dengan pemasangan NBT (Naso Billiary Tube) atau Stent
bilier melalui tindakan ERCP

224
Operatif : jika tindakan non operatif tidak berhasil
9. Edukasi Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai gejala pasien tanpa
memperburuk penyakitnya, komplikasi (sepsis, kematian)
10. Prognosis Angka kematian bervariasi antara 13-88%
11. Kepustakaan 1. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL. Panduan Praktik
Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2015.
2. Nasution SA, Santoso M, Rachman A, Muhadi. Buku Panduan Clinical
Pathway Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2015.

225
KOLESISTITIS
SKDI 2

1. Pengertian Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu dengan/atau tanpa
(definisi) adanya batu, akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Faktor yang mempengaruhi
terjadinya kolesistitis akut yaitu statis cairan empedu, infeksi kuman, dan
iskemia dinding kandung empedu. Kuman yang tersering menyebabkan
kolesistitis akut yaitu E.Coli, Strep. Fecalis, Klebsiella, anaerob (Bacteroides
dan Clostridia);kuman akan mendekonjugasi garam empedu sehingga
menghasilkan asam empedu toksik yang merusak mukosa
2. Anamnesis Nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah
pundak, skapula kanan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda, disertai
demam.l Nyeri dapat dirasakan tengah malam atau pagi hari, penjalaran dapat
ke sisi kiri menstimulasi angina pektoris. Nyeri timbul dipresipitasi oleh
makanan tinggi lemak, palpasi abdomen, atau yawning
Peningkatan suhu tubuh mengindikasikan adanya infeksi kuman. Posisi pasien
3. Pemeriksaan akan menekuk badannya, teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai
Fisik tanda- tanda peritonitis lokal, tanda Murphy, ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik
Kriteria Diagnosis Kolesistitis Akut Tanpa Batu
• Klinis dan laboratorium ( nyeri tekan kanan atas, demam, leukositosis,
amylase meningkat)
• Ultrasonografi (penebalan kandung empedu >4 mm,tanpa adanya asites
dan hipoalbuminemia)
• CT scan (penebalan kandung empedu >4 mm, tanpa adanya asites dan
hipoalbuminemia)
• Scintigraphy hepatobilier (tak tampak kandung empedu denga ekskresi
4. Kriteria radionuklir yang normal ke dalam duktus bilier dan duodenum)
Diagnosis Kriteria Diagnosis Kolesistitis Akut dengan Batu :
• Tanda Murphy (+)
• Ultrasonografi :
- Penebalan dinding kandung empdu (> 5 mm)
- Distensi kandung empedu - Adanya cairan di perikolesistik
- Adanya edema subserosa ftanpa asites)
- Adanya udara intramural
- Kerusakan membran mukosa
- Kolesistisis (+)
5. Diagnosis Kolesistitis akut
6. Diagnosis Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak
Banding peptik perforasi, pankreatitis akut, obstruksi intestinal
7. Pemeriksaan Laboratorium: DPL (leukositosis ), SGOT SGPT, fosfatase alkali , bilirubin
Penunjang meningkat (jika kadar bilirubin total > 85.6 mol/L atau 5 mg/dl dicurigai
adanya batu di duktus koledokus), kultur darah . USG hati: penebalan dinding
kandung empedu
Double layer) pada kolesistisis akut, sering ditemukan pu/,a sludge atau batu .
Cholescintigraphy
8. Terapi Kolesistitis Akut Tanpa Batu
- Tirah baring
- Pemberian diet rendah Iemak pada kondisi akut atau nutrisi
parsial/parenteral bila asupan tidak adekuat
- Hidrasi kecukupan cairan tambahkan hidrasi intravena sesuai klinis
- Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan
mengoreksi kelainan elektrolit
- Antibiotika parenteral: untuk mengobati septikemia dan mencegah
peritonitis dan empyema

226
- Anibiotik yang bersprektrum luas seperti golongan sefalosporin, dan
metronidazol
- Kolesistektomi awal lebih disarankan karena menurunkan morbiditas dan
mortahtas.Jika dilakukan selama 3 hari pertama, angka mortalitas 0.5 %.
Ada juga yang berpendapat dilakukan setelah 6-B minggu setelah terapi
konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik
Kolesistitis Akut dengan Batu
- Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan
mengoreksi kelainan elektrolit)
- Antibiotikaparenteral
- Surgical Cholecystectomy dan Cholecystostomy segera
- Percutaneous Cholecystostomy dengan bantuan ultrasonografi: jika kondisi
umum pasien buruk
- Transpapillary Endoscopic Cholecystostomy
- Endoscopic Ultrasound Biliary Drainage IEUS-BD)
9. Komplikasi Gangren/empiema kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula,
peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronik
10. Prognosis Penyembuhan total didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu
menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu, dan tidak berfungsi lagi.
Tidak jarang menjadi rekuren, maksimal 30 % akan rekuren dalam 3 bulan ke
depan.
Pada 50 % kasus dengan serangan akut akan membaik tanpa operasi, dan 20
%o kasus memerlukan tindakan operasi.
Tindakan bedah akut pada usia lanjut (> 75 tahun) mempunyai prognosis yang
buruk.
Pencegahan kolesistitis akut dengan memberikan CCK 50 ng/ kg intravena
dalam 10 menit, terbukti mencegah pembentukan sludge pada pasien yang
mendapatkan total parenteral nutrition
11. Kepustakaan 1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, l.
Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid L Edisi
V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010.hal.718-726
2. Sherlock S, Dooley J. Gallstones and Benign Biliary Disease. In: Dooley J,
Lok A, Bunoughs A, Heathcate E. Diseases of the Liver and biliary
System. 12th ed. UK : Blackwell Science. P257-293
3. Andersson KL, Friedman LS. Acalculous Biliary Pain, Acalculous
Cholecystitis, Cholesterolosis, Adenomyomatosis, and Polyps of the
Gallbladder. ln : Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and
Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease:
Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9th ed. USA: Elsevier. Chapter.
4. Greenberger NJ. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. ln: Fauci AS,
Kasper DL, Longo DL, Brounwald E, LauserSL, Jameson JJ, et al, eds.
Harrison's Principles of lnternal Medicine. Edisi ke-I7. New York:
McGrow-Hill 2008. Chapter 31

227
KOLITIS ULSERATIF
SKDI 1

1. Pengertian Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi difus yang kronis pada mukosa
(definisi) kolon.
2. Anamnesis • BAB berdarah, urgensi dengan peningkatan frekuensi BAB.
• Keluarnya cairan kental dari muara rektum.
• Perasaan tidak lampias saat BAB.
• Kram perut dan nyeri perut bawah yang hilang apabila BAB.
• Sering terbangun malam hari untuk BAB.
• Lemas, bibir kering, mata dan ubun-ubun cekung.
• Penurunan berat badan.
• Riwayat bepergian.
• Riwayat infeksi usus.
• Riwayat mengonsumsi obat-obatan (antibiotik dan NSAID).
• Kebiasaan merokok.
• Riwayat keluarga dengan chrons disease, kolitis ulseratif atau kanker
kolon.
• Riwayat operasi usus buntu.
3. Pemeriksaan Fisik • Demam.
• Takikardi.
• Perut cembung dan nyeri.
• Bising usus menurun.
4. Pemeriksaan • Darah perifer lengkap: trombositosis karena adanya inflamasi yang
Penunjang persisten, anemia dan penurunan besi serum, leukositosis karena adanya
proses infeksi.
• Marker inflamasi seperti LED atau CRP yang meningkat.
• Elektrolit (Na/K/Cl).
• Fungsi hati: penurunan albumin.
• Pemeriksaan sampel feses. Feses calprotectin yang diperoleh dari
pemeriksaan feses menunjukkan adanya proses inflamasi di kolon.
• Kolonoskopi.
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis klinis ditegakkan dari klinis dan temuan dari pemeriksaan penunjang
seperti proktosigmoidoskopi atau kolonoskopi, biopsi dan pemeriksaan feses
negatif dari patogen penyebab infeksi.
Diagnosis juga ditegakkan dari faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko
eksaserbasi misalnya merokok atau NSAID. Infeksi juga bisa menimbulkan
temuan klinis yang sulit dibedakan dengan idiopatik ulseratif kolitis.
Guideline ini mengategorikan kolitis ulseratif menjadi ringan sedang dan berat
berdasarkan Truelove and Witts’ Severity Index

6. Diagnosis Banding • Chronic schistosomiasis


• Amebiasis

228
7. Terapi • Farmakologis
− ASA 1 g sekali sehari.
− Aminosalisilat enema 1 g dikombinasikan dengan 2,4 g mesalazine
oral dan 5- ASA per hari lebih baik dibandingan menggunakan topikal
steroid atau aminosalisilat saja.
− Kolitis ulseratif yang berat diterapi dengan steroid intravena dan
LMWH untuk menurunkan risiko bekuan darah. Respon steroid
intravena dievaluasi setelah 3 hari, bila respon kurang baik maka perlu
dipertimbangkan untuk pembedahan (kolektomi).
− Ciclosporin, infliximab atau tacrolimus merupakan terapi lini kedua.
8. Komplikasi • Kanker kolorektal
• Toxic megacolon
• Hepatobiliary disorder
• Severe bleeding
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
10. Kepustakaan 1. Sneller MC, Langford CA, Fauci AS. ln Harrison's principles of internal
medicine. 16th ed. Kasper DL et al (ed); New York, Graw-Hill, 2005; 2002
- 10.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006.
4. Soemohardjo, Soewingjo, Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006.
5. eone, Salvatore et al. ECCO-EFCCA Patient Guidelines on Ulcerative
Colitis (UC). European Chron’s and Colitis Organisation. 2015.
6. Asher K ornbluth, MD, et al. Ulcerative Colitis Practice Guidelines in
Adults: American College of Gastroenterology, Practice Parameters
Committee. 2010.
7. Aceituno M, Garcia-Planella E, Heredia C, Zabana Y, Feu F, Domenech E
et al. Steroid-refractory ulcerative colitis: predictive factors of response to
cyclosporine and validation in an independent cohort. Inflammatory Bowel
Diseases. 2008; 14(3):347-352
8. Campieri M, Adamo S, Valpiani D, D'Arienzo A, d'Albasio G, Pitzalis M
et al. Oral beclometasone dipropionate in the treatment of extensive and
left-sided active ulcerative colitis: a multicentre randomised study.
Alimentary Pharmacology and Therapeutics. 2003; 17(12):1471-1480

229
KOLITIS
SKDI 3A

1. Pengertian Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon. Berdasarkan
(definisi) penyebab dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
• Kolitis infeksi
o Kolitis amebic
o Shigellosis
o Kolitis tuberkulosa
o Kolitis pseudoembran
o Kolitis oleh parasit/bakteri lain
• Kolitis non-infeksi
o Kolitis ulserosa
o Penyakit crohn
o Kolitis radiasi
o Kolitis iskemik
o Kolitis mikroskopik
o Kolitis non-spesifik
2. Anamnesis Keluhan pada pasien tergantung pada etiologi yang mendasarinya, dapat
berupa:
- Asimtomatik
- Nyeri kepala
- Nyeri perut, kram perut, rasa panas pada perut
- Mual, muntah, perut kembung,
- Diare, tinja mengandung darah atau lendir
- Demam
- Penurunan napsu makan
- Badan lemah
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pasien kolitis dapat bervariasi tergantung pada etiologi dan
penyakit penyerta, dapat berupa:
- Peningkatan temperatur
- Nyeri tekan pada abdomen
- Pemeriksaan lain yang tidak spesifik
4. Pemeriksaan - Pemeriksaan tinja
Penunjang - Pemeriksaan laboratorium
- Foto polos abdomen
- Kolonoskopi pada pasien beresiko mengalami keganasan atau dengan
kolitis kronis
- Sigmoidoskopi
- Kolonoskopi
- Barium enema
5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan tinja; ditemukan parasit penyebab
- Pemeriksaan darah: dapat berupa anemia, leukositosis, dan peningkatan
LED
6. Diagnosis Banding -
7. Terapi Terapi tergantung pada etiologi yang mendasarinya, dapat berupa;
• Non-farmakologis
o Pasien perlu cukup berisirahat
o Hidrasi yang cukup
o Asupan nutrisi yang bergizi, diet bebas susu
• Farmakologis
o Iodoquinol 650mg/ 8 jam selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg/8
jam selama 10 hari.

230
o Metronidazol 750 mg/8 jam selama 5 – 10 hari
o Ampisilin 500 mg/6 jam, atau Kontrimoksazol 500mg/12 jam, atau
Tetrasiklin 500 mg/6 jam selama 5 hari
• Operatif
8. Komplikasi - Perdarahan
- Kolitis toksik
- Kanker Kolon
- Epiksleritis, uveitis
- Artritis, Spondilitis ankilosa, Sakroiliitis
- Hepatitis menahun yang aktif
- Kolangitis sklerosa primer
9. Prognosis Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: bonam
10. Kepustakaan 1. Wiyono P. Tiroiditis. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l, Simodibroto M,
dan Setioti S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta.
Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Lomeson JL, Weetmon AP. Disorders of the thyroid gland. ln: Fouci A,
Kosper D, Longo D, Brounwold E, Houser S, Jomeson J, dan Loscolzo J.
2012. Horrison's Principles of Internal Medicine. 15th ed. United States of
America. The McGrow-Hill Companies.
3. Alwi, Idrus., Simon Salim, Rudy Hidayat, Juferady Kurniawan, dan Dicky
Tahapany. 20015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Praktik Klinis. Jakarta. Internal Publishing Pusat Penerbitan
Bagian llmu Penyakit Dalam.
4. Price S. A., Wilson L. M., 2006. Patofisiologi – Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC

231
LEUKOPLAKIA
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Bercak atau plak putih yang tidak mempunyai ciri khas secara klinis atau
patologis seperti penyakit lain dan tidak dapat dihubungkan dengan suatu
penyebab fisik atau kimia kecuali penggunaan tembakau.
2. Anamnesis • Tampak patch berwarna putih, berbatas tegas dengan permukaan lebih
tinggi dibanding sekitar
• Biopsi histopatologis
• Riwayat lifestyle : merokok ; alkohol
• Riwayat penyakit dahulu
3. Pemeriksaan Fisik Tampak patch berwarna putih, berbatas tegas dengan permukaan lebih tinggi
dibanding sekitar
4. Pemeriksaan • Laboratorium
Penunjang • Biopsi histopatologis
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dari penemuan klinis dan pemeriksaan
histopatologi membantu menentukan apakah lesi tersebut bersifat ganas.
6. Diagnosis Banding • Leukoedema
• Liken planus
• Chemical burn
• Morsicatio buccarum (habitual cheek biting)
• Candidosis
7. Terapi • Non farmakologis
o Penghentian konsumsi alkohol
o Penghentian konsumsi rokok
• Terapi bedah
o Eksisi
o Electrocauter
o Cryosurgery
o Ablation laser
8. Prognosis Dilaporkan peningkatan kasus keganasan pada kepala leher yang berkembang
dari leukoplakia. Untuk itu perlu pasien dengan leukoplakia penting untuk
melakukan pemeriksaan secara berkala dimasa depan.
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

232
PANKREATITIS AKUT
SKDI 2

1. Pengertian Pankreatitis akut adalah proses peradangan pankreas yang reversibel. Hal ini
(definisi) memiliki karakteristik episode nyeri perut yang diskret [menyebar) dan
meningkatnya serum amilase dan lipase.
2. Anamnesis Anamnesis Gejala klinis khas pada pankreatitis akut adalah onset nyeri perut
bagian atas yang akut dan persisten, dan biasanya disertai mual dan muntah.
Lokasi tersering adalah regio epigastrium dan periumbilikalis. Nyeri dapat
menjalar ke punggung, dada, pinggang, dan perut bagian bawah. Pasien
biasanya sulit tidur dan membungkuk ke depan (knee-chest position) untuk
meredakan nyeri karena posisi supine dapat memperberat intensitas nyeri
3. Pemeriksaan Fisik - Demam (biasanya <38,50C), takikardi, gangguan hemodinamik
(hipotensiJ, nyeri perut berat, guarding /defans muscular, distres
pernapasan, dan distensi abdomen. Bising usus biasanya menurun sampai
hilang akibat ileus. Ikterus dapat muncul tanpa adanya batu pankreas
sebagai akibat dari kompresi duktus koledokus dari edema pankreas.
- Pada serangan akut, dapat terjadi hipotensi, takipneu, takikardi, dan
hipertemi. Pada pemeriksaan kulit dapat terlihat daerah indurasi yang
nyeri dan eritema akibat nekrosis lemak subkutaneus.
- Pada pankreatitis dengan nekrosis berat, dapat muncul ekimosis besar
yang terkadang muncul di pinggang (tanda Grey Turner) atau area
umbilikus (tanda Cullen); ekimosis ini diakibatkan oleh perdarahan dari
pankreas yang terletak di daerah retroperitoneal.
- Perlu juga dicari: tanda Murphy untuk membedakan dengan kolesistitis
akut
4. Diagnosis Pankreatitis akut
5. Diagnosis Banding Perforasi ulkus peptikum, kolesistitis akut, kolik bilier, obstruksi intestinal
akut, oklusi pembuluh darah mesenterika, kolik renal, infark miokard, diseksi
aneurisma aorta, kelainan jaringan ikat dengan vaskulitis, pneumonia,
diabetes ketoasidosis
6. Pemeriksaan - Laboratorium: darah rutin [biasa ditemukan leukositosis), serum amilase,
Penunjang lipase, gula darah, serum kalsium, LDH, fungsi ginjal, fungsi hati, profil
lipid, analisis gas darah, elektrolit .
- Radiologis: USG abdomen, foto abdomen, CT scan
- abdomen dengan kontras, MRI abdomen (lebih baik untuk ibu hamil dan
pasien yang memiliki alergi terhadap zat kontras
7. Terapi • berat), Koloid seperti packed red cells diberikan apabila Ht < 25% dan
albumin apabila serum albumin < 2 mg/dL.
• Bedah: dapat dipertimbangkan nekrosektomi apabila terjadi infeksi pada
nekrosis pankreas atau peripankreas. Teknik debridement yang dapat
dipertimbangkan adalah open packing atau single necrosectomy with
continuous lavage. Pada pankreatitis bilieri dapat dipertimbangkan
kolesistektomi.
Farmakologis
• Analgesik dan sedatif .
• Antibiotik sistemik diberikan apabila ada tanda-tanda infeksi/sepsis
sambil menunggu hasil kultur, Apabila hasil kultur negatif, maka
antibiotik dihentikan
Lokal: nekrosis pankreas yang terinfeksi, infeksi pankreas atau peripankreas,
8. Komplikasi
ascites, pseudokista pankreas . Sistemik: gagal ginjal, gagal napas
9. Prognosis Tergantung berat-ringannya pankreatitis akut
10. Kepustakaan 1. Carroll J, Herrick B, Gipson T, ei ol. Acute Pancreatitis: Diagnosis,
Prognosis, and Treatment. Am Fom Physician . 2007 7 5(10): 151 3-20.
2. Owyang C. Pancreotitis. ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.23rd
Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008

233
3. Nurman A. Pankreatitis Akut. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi l, et
al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid l. 2009. Hal 731-8
4. Greenberger N, Conwell D, Wu B, et al. Acute and Chronic Pancreatitis.
In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGrow-
Hill; 2012.
5. Urbana F, Carroll M. Murphy's Sign of Cholecystitis. Hospital Physician.
2000;1 1 :51-2.
6. Knaus WA, Zimmerman JE, Wagner DP, Droper EA, Lawrence DE.
APACHE-acute physiology and chronic health evaluation: a
physiologically based classification system. Crit Care Med 1981:9:591-7.
7. Balthazar EJ, Robinson DL, Megibow AJ, Ranson JH. Acute
pancreatitis:value of CT in establishing prognosis. Rodiology 1 990:1 7
4:331 -6.
8. Mortele K, Wiesner W, lntriere L et al. A Modified CT Severity lndex for
Evaluating Acute Pancreatitis: lmproved correlation with Patient
Outcome. AJR 2004;183:1261-5
9. Blomey SL, lmrie CW, O'Neill J, Gilmour WH, Carter DC. Prognostic
factors in acute pancreatitis. Gut 1984;25:1340-6,
10. Ranson JH. Etiological and prognostic factors in human acute
pancreatitis: a review. Am J Gastroenteral 1 982;7 7 :633-8.
11. Talukdar R, Vege S. Recent developments in acute pancreatitis. Clinical
Gastroenterology and Hepotology.2009;7:S3-S9
12. Forsmark CE, Boillie J. AGA lnstitute technical review on acute
pancreatitis. Gastroenterology 2007: 132:2022-44.

234
PAROTITIS
SKDI 4A

1. Pengertian (definisi) Parotitis adalah peradangan pada kelenjar parotis. Parotitis dapat
disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, atau kelainan autoimun,
dengan derajat kelainan yang bervariasi dari ringan hingga berat. Salah
satu infeksi virus pada kelenjar parotis, yaitu parotitis mumps
(gondongan) sering ditemui pada layanan primer dan berpotensi
menimbulkan epidemi di komunitas.
2. Anamnesis • Parotitis Mumps
o Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
o Bengkak berlangsung tiba-tiba
o Rasa nyeri pada area yang bengkak
o Onset akut, biasnaya <7 hari
o Gejala konstitusional: malaise, anoreksi, demam
o Biasanya bilateral, namun dapat pula unilateral
• Parotitis Bakterial Akut
o Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
o Berlangsung progresif
o Onset akut, biasanya <7 hari
o Rasa nyeri saat mengunyah
• Parotitis HIV
o Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
o Tidak disertai rasa nyeri
o Dapat pula bersifat asimtomatik
• Parotitis Tuberkulosis
o Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
o Onset kronik
o Tidak disertai rasa nyeri
o Disertai gejala-gejala tuberkulosis lainnya
• Parotitis Autoimun (Sjogren Syndrome)
o Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
o Onset kronik atau rekurens
o Tidak disertai rasa nyeri
o Dapat unilateral atau bilateral
o Gejala-gejala Sjorgen Syndrome, misalnya mulut kering,
mata kering
o Penyebab parotitis lain telah disingkirkan

Faktor Resiko:
1. Anak berusia 2-12 tahun merupakan kelompok tersering menderita
parotitis mumps
2. Belum diimunisasi MMR
3. Pada kasus parotitis mumps, terdapat riwayat adanya penderita yang
sama di sekita pasien
4. Kondisi imunodefisiensi
3. Pemeriksaan Fisik 3. Keadaan umum dapat bervariasi dari tampak sakit ringan hingga
berat
4. Suhu meningkat pada kasus parotitis infeksi
5. Pada area preaulikuler (lokasi kelenjar parotis), terdapat: edema,
eritema, dan nyerti tekan (namun nyerti tekan tidak ada pada kasus
parotits HIV, tuberkulosis, dan autoimun)
235
6. Pada kasus bakterial akut, bila dilakukan masase kelenjar parotis dari
arah posterior ke anterior, nampak saliva purulen keluar dari duktus
parotis

4. Pemeriksaan Penunjang Pada kebanyakan kasus parotitis, pemeriksaan penunjang biasnaya tidak
diperlukan. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menentukan
etiologi pada kasus parotitis bakterial atau parotitis akibat penyakit
sistemik tertentu, misalnya HIV, Sjogren syndrome, dan tuberkulosis.

5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik
6. Diagnosis Banding -
7. Terapi 1. Parotitis Mumps
• Non-farmakologis
o Pasien perlu cukup berisirahat
o Hidrasi yang cukup
o Asupan nutrisi yang bergizi
• Farmakologis
o Pengobatan bersifat simptomatik (antipiretik, analgetik)
2. Parotitis Bakterial Akut
• Non-farmakologis
o Pasien perlu cukup beristirahat
o Hidrasi yang cukup
o Asupan nutrisi yang bergizi
• Farmakologis
o Antibiotik
o Simptomatik (antipiretik, analgetik)

Kriteria Rujukan:
3. Parotitis dengan komplikasi
4. Parotitis akibat kelainan sistemik, seperti HIV, Tuberkulosis, Sjogren
Syndrome
8. Komplikasi 1. Parotitis mumps dapat menimbulkan komplikasi berupa:
epididimitis, orkitis, atau atrofi testis (pada laki-laki), oovaritis (pada
perempuan), ketulian, miokarditis, tiroiditis, pankreatitis, ensfealitis,
neuritis.
2. Kerusakan permanen kelenjar parotis yang menyebabkan gangguan
fungsi sekresi saliva selanjutnya meningkatkan resiko terjadinya
infeksi dan karies gigi
3. Parotitis autoimun berhubungan dengan peningkatan insiden
limfoma
9. Prognosis Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam
10. Kepustakaan 1. Wiyono P. Tiroiditis. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l,
Simodibroto M, dan Setioti S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 6. Jakarta. Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu
Penyakit Dalam FKUI.
2. Lomeson JL, Weetmon AP. Disorders of the thyroid gland. ln: Fouci
A, Kosper D, Longo D, Brounwold E, Houser S, Jomeson J, dan
Loscolzo J. 2012. Horrison's Principles of Internal Medicine. 15th
ed. United States of America. The McGrow-Hill Companies.
3. Alwi, Idrus., Simon Salim, Rudy Hidayat, Juferady Kurniawan, dan
Dicky Tahapany. 20015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam Panduan Praktik Klinis. Jakarta. Internal Publishing Pusat
Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam.
4. Fox, P.C. dan Ship, J.A., 2008. Salivaru Glan Disease. Dalam: M.

236
Greenberg., M. Glick, dan J.A. Ship, Burket;s Oral Medicine.
Hamilton: BC Decker Inc, hal 191-222. (Fox & Ship, 2008)

237
PENYAKIT TUKAK PEPTIK
SKDI 3A

1. Pengertian Tukak peptik adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang
(definisi) kronis. Tukak peptik terbagi dua yaitu tukak duodenum dan tukak lambung.
Kedua tukak ini seringkali berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori.
H.pylori adalah organisme yang hidup pada mukosa gaster, gram negative
berbentuk batang atau spiral, mikroaerofilik berflagela, mengandung urease,
hidup di bagian antrum dan migrasi ke proksimal lambung berubah menjadi
kokoid suatu bentuk dorman bakteri; dan diperkirakan berhubungan dengan
beberapa penyakit
2. Anamnesis Tukak Gaster
Rasa sakit tidak menghilang dengan pemberian makanan. Rasa sakit
menghilang dengan pemberian makanan Dispepsia, mual, muntah, anoreksia
dan kembung.

Tukak duodenum
Nyeri epigastrium atau hunger pain food relief, rasa sakit menghilang dengan
antasida atau makanan, rasa nyeri seringkali muncul tengah malam,
dyspepsia, mual, muntah, anoreksia, dan kembung
3. Pemeriksaan Fisik Tidak khas, seperti nyeri tekan epigastrium, distensi abdomen. Tanda-tanda
peritonitis jika disertai perforasiPada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan
pula ada tidaknya alarm symptom yaitu:
- Usia >45-50 tahun keluhan pertama kali muncul
- Adanya perdarahan hematemesis atau melena
- BB menurun > 10%
- Anoreksia atau rasa cepat kenyang
- Riwayat tukak peptik sebelumnya
- Muntah yang persisten . Anemia yang tidak diketahui sebabnya
4. Kriteria Diagnosis - Foto barium lambung dan duodenum
- Endoskopi : gambaran ulkus
- Biopsi untuk mendeteksi H. Pylori
5. Diagnosis Ulkus peptikum
6. Diagnosis Banding - Akalasia
- Penyakit refluks gastroesofagus
- Pankreatitis
- Hepatitis .
- Kolesistitis
- Kolik bilier
- Keganasan esofagus atau gaster
- Inferior myocardial infarction
- Referred pain (pleuritis,perikarditis)
- Sindrom arteri mesenterium superior
7. Pemeriksaan Endoskopi
Penunjang Biopsi untuk mendeteksi H. Pylori
Foto barium kontras ganda
• Suportif: nutrisi .
• Memperbaiki atau menghindari faktor risiko
8. Terapi • Pemberian obat-obatan: Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida,
antisekresi asam lambung (PPI misalnya omeprazol, rabeprazol dan
lansoprazol dan/ atau H2-
• Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya
rebamipid,teprenon, sukralfat), di mana pilihan ditentukan berdasarkan
dominasi keluhan dan riwayat pengobatan
Tatalaksanaan atau tindakan khusus:
• Tindakan atau terapi hemostatik per endoskopik dengan adrenalin dan

238
etoksisklerol atau obat fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik
dengan klipping, heat probe atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik
atau bipolar probe. .
• Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
• Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi.
Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan tersebut
dilaksanakan tetap masuk dalam keadaan gawat I s.d. II maka pasien masuk
dalam indikasi operasi
9. Edukasi .
10. Prognosis Tukak gaster yang terinfeksi H.pylori mempunyai angka kekambuhan 60%
jika tidak dieradikasi dan 5% jika dieradikasi. Sedangkan untuk tukak
duodenum yang terinfeksi H.pylori mempunyai angka kekambuhan 80 % jika
kuman tetap ada dan 5 % jika sudah dilakukan eradikasi. Tukak yang
disebabkan karena pemakaian OAINS menunjukkan penurunan keluhan
dispepsia jika dikombinasi dengan pemberian PPI pada 66%
kasus.
Risiko perdarahan merupakan komplikasi tukak tersering pada 75-25 % kasus
dan tersering pada usia lanjut, di mana 5% kasus membutuhkan tranfusi.
Perforasi terjadi 2-3 % kasus. Kasus perdarahan dapat terjadi bersamaan
dengan kasus perforasi pada 10 % kasus. Sedangkan obstruksi saluran cerna
dapat terjadi pada 2-3% kasus. Adapun angka kematian sekitar 15.000 dalam
setahun karena komplikasi yang terjadi.
11. Kepustakaan 1. Oustamanolakis P, Tack J. Dyspepsia: Organic Versus Functional.
Journal of Clinical Gastroenterology. 20 1 2;46(3): 175-90.
2. Valle JD. Peptic Ulcer Disease. In: Fauci A, Kasper D, Longo D,
Brounwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's
principles of internal medicine 18th ed. New York: The McGrow-Hill
Companies, 2012.
3. Tarigan Pengarepan. Tukak Gaster. Dalam: Alwi l, Setiati S
4. Setiyohadi B, Simodibroto M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal 513-522
5. Akil HAM. Tukak Duodenum. Dalam: Alwi l,Setiati S,Setiyohadi
B,Simodibroto M,Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal 523-8
6. . Dyspepsia Managemnet Guidelines. British Society of
Gastroenterology.2002. Diunduh dari
www.bsg.org.uk,/pdf_word_docs/dyspepsia.doc pada tanggal 7 Mei 201
2
7. Kolopaking MS, Makmun D, Abdullah M, et al. Konsensus nasional
penatalaksanaan dispepsia dan infeksi Helicobacter pylori. Jakarta, 201 4.
7. NHS. Dyspepsia-proven peptic ulcer-what is the prognosis?
Diunduhdorihltp:/ ,/wvtw. cks.nhs. uk,/dyspepsia_proven
peptic_ulcer,/background_information,/prognosis. pada tanggal 7
mei2012

239
PERFORASI USUS
SKDI 2

1. Pengertian Perforasi usus merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding
(definisi) usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga
perut.
Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya
kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah
peritonitis).
2. Anamnesis Pada anamnesis pasien biasanya mengeluhkan nyeri perut hebat yang makin
meningkat dengan adanya pergerakan disertai gejala nausea, vomitus, pada
keadaan lanjut disertai demam dan mengigil. Tanyakan riwayat trauma
sebagai salah satu penyebab perforasi.
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pada area perut: apakah ada tanda -tanda eksternal seperti luka,
abrasi, dan atau ekimosis.
Amati pasien: lihat pola pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas,
periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit abdomen.
Palapasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila
ditemukan tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen
mengindikasikan suatu peritonitis. rasa kembung dan konsistens sperti adonan
roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal.
Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum.
Pada auskultasi : bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu
peritonitis difusa.
Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis : pemeriksaan ini dapat
membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba ovarian
yang ruptur dan divertikulitis acuta yang perforasi.
4. Pemeriksaan - Pemeriksaan darah rutin maupun kimia meskipun tidak mempunyai nilai
Penunjang diagnostik langsung terhadap diagnosis perforasi usus, namun penting
untuk mengetahui kemungkinan problem multiorgan yang menyertainya.
- Pemeriksaan penunjang foto X-Ray dengan ditemukannya
pneumoperitoneum pada foto toraks posteroanterior dan lateral dapat
membantu dalam penegakan diagnosis perforasi usus pada saat pasien
masih di ruang gawat darurat, demikian juga pemeriksaan foto X-Ray
abdomen tiga posisi untuk mendiagnosis dugaan adanya ileus
obstruktiva yang mungkin menyertainya.
5. Diagnosis Banding · Gastritis
· Cholecystitis, colik bilier
· Endometriosis
· Penyakit divertikel
· Appendicitis akut
· Divertikulum Meckel’s
· Crohn’s disease
· Inflamatory bowel disease
6. Terapi Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Pemberian antibiotic
yang cepat dan tepat dapat memperbaik kondisi. Intervensi bedah hampir
selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan
perforasi dengan pencucian pada rongga peritoneum (evacuasi medis). Terapi
konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis
keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik,
aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya
7. Komplikasi 1. Infeksi luka
2. Luka gagal menutup
3. Abses abdominal
4. Kegagalan multiorgan dan shock septik
5. Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan pH
6. Perdarahan mukosa gastrointestinal
240
7. Obstruksi intestinal
8. Prognosis Quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad fuctionam dubia, quo ad sanationam
dubia
9. Kepustakaan 4. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 :
Lambung dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC :
Jakarta, 2004. Hal. 541-59.
5. Camilleri. 2008. Camilleri. Disorders of Gastrointestinal. Dalam:
Cecil Medicine Edidi ke-23. Philadelphia: Saunders, Elsevier.

241
PERITONITIS
SKDI 3B

1. Pengertian Parotitis adalah inflamasi dari peritoneum. Peritoneum dapat disebabkan oleh
(definisi) kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya
perforasi appendicitis. Perforasi tukak lambung. Perforasi organ berongga
karena trauma abdomen
2. Anamnesis 1. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan terus-menerus selama
beberapa jam dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh
abdomen. Intensitas nyeri semakin kuat saat penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan.
2. Bila telah terjadi peritonitis bacterial suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardi, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
3. Mula dan muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ visceral
atau akibat iritasi peritoneum.
4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam abdomen, yang
dapat mendorong diafragma.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pasien tampak letargik dan kesakitan
2. Demam
3. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nyeri lepas abdomen
4. Defans muscular
5. Hipertimpani pada perkusi abdomen
6. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma
7. Bising usus menurun atau menghilang
8. Rigiditas abdomen atau sering disebutperut papan
9. Pada colok dubur akan terasa nyeri disemua arah dengan tonus muscular
sfingter ani menurun dan ampula recti berisi udara
4. Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di layanan primer untuk mnghindari
Penunjang keterlambatan dalam melakukan rujukan.
5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
6. Diagnosis Banding -
7. Terapi Pasien segera dirujuk setelah penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
awal seperti berikut:
1. Memperbaiki keadaan umum pasien
2. Pasien puasa
3. Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastrik atau intestinal
4. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena
5. Pemberian antibiotik spectrum luas intravena
6. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri dihindari untuk tidak
menyamarkan gejala.
8. Komplikasi 1. Septikemia
2. Syok
9. Prognosis Quo ad vitam: Dubia ad Malam
Quo ad functionam: Dubia ad Malam
Quo ad sanationam: Dubia ad Malam
10. Kepustakaan 1. Wim de jong. Siamsuhidayat, R. Buku Ajar lmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC. 2011
2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis dan Abses Intrabdomen dalam
intisari Prinsip-prinsip llmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2000.
3. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam llmu Bedah. Ed 7.
Alih bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000. (Shrock, 2000).
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

242
PENYAKIT PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK
SKDI 2

1. Pengertian Penyakit perlemakan hati non alkoholik INAFLD/Non Alcoholic Fatty Liver
(definisi) atau NASH/ Non Alcoholic Steatohepatitis) merupakan suatu sindrom klinis
dan patologis akibat perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat
perlemakan, peradangan dan fibrosis pada hati. Perlemakan hati (Fatty liver
atau steatosis) merupakan suatu keadaan adanya lemak di hati (sebagian besar
terdiri dari trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat hati yang disebabkan
kegagalan metabolisme lemak hati dikarenakan defek di antara hepatosit atau
proses transport kelebihan lemak, asam lemak, atau karbohidrat karena
melebihi kapasitas sel hati untuk sekresi lemak. Kriteria non alkoholik
disepakati bahwa konsumsi alkohol <20 gram/hari
2. Anamnesis Umumnya pasien tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda penyakit hati,
Beberapa pasien mengeluhkan rasa lemah, malaise, rasa mengganjal di perut
kanan atas. Riwayat konsumsi alkohol, riwayat penyakit hati sebelumnya
Dapat ditemukan adanya kelebihan berat badan, hepatomegali, komplikasi
3. Pemeriksaan
sirosis yaitu asites, perdarahanvarises. Sindrom resistensi insulin : obesitas
Fisik
(lemak viseral)
4. Diagnosis Perlemakan Hati Non Alkoholik
5. Diagnosis Hepatitis B dan C kronik, penyakit hati autoimun, hemokromatosis, Penyakit
Banding Wilson's, defisiensi a, antitripsin
6. Pemeriksaan • Fungsi hati : peningkatan ringan (<4 kali) AST faspartate
Penunjang aminotransferase), AlIl (alanine aminotransferaseJ. AST>ALT pada kasus
hepatitis karena alkohol.
• Alkali fosfatase, gamma GT (glutamil transferase) : dapat meningkat .
• Bilirubin serum, albumin serum, dan prothrombin time: dapat normal,
kecuali pada kasus NAFLD terkait sirosis hepatis. .
• Gula darah, profil lipid, seromarker hepatitis.
• ANA, anti ds DNA : titer rendah [< 1 : 320J .
• USG: gambaran bright liver .
• CT Scan
• MRI: deteksi lnfiltrasi lemak
• Biopsi hati : baku emas diagnosis. Ditemukan 5-10 %o sel lemak dari
keseluruhan hepatosit, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin
Mallory dengan atau tanpa fibrosis. Kegunaan biopsy hati : membedakan
steatosis non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi,
menyingkirkan etiologi penyakit hati lain, memperkirakan prognosis, dan
menilai progresi fibrosis dari waktu ke waktu
• Grading dan staging NAFL.
7. Terapi Non farmakologis
Mengontrol faktor risiko : penurunan berat badan, kontrol gula darah,
memperbaiki profil lipid, memperbaiki resistensi insulin, mengurangi asupan
lemak ke hati, dan olah raga
Farmakologis
• Antidiabetik dan insulin sensitizer: metformin 3x500 mg selama 4 bulan
didapatkan perbaikan konsentrasi AST dan ALT, peningkatan sensitivitas
insuin, dan penurunan volume hati. Cara kerja: meningkatkan kerja insulin
pada sel hati dan menurunkan produksi glukosa hati melalui penghambatan
TNF-ct.
Tiazolidindion [pioglitazonJ: memperbaiki kerja insulin dijaringan adipose
• Obat anti hyperlipidemia
- Gemfibrozil: perbaikan ALT dan konsetrasi lipid setelah pemberian l-
bulan
- Atorvastatin: perbaikan parameter biokimiawi dan histologi .
• Antioksidan
243
- Tujuan: mencegah steatosis menjadi steatohepatitis dan fibrosis
- Vitamin E, vitamin C, betain, N-asetilsistein.
- Vitamin E 400, 800 IU/hari dapat menurunkan TGF-β, memperbaiki
inflamasi dan fibrosis, perbaikan fungsi hati dengan cara menghambat
produksi sitokin oleh leukosit.
- Betain berfungsi sebagai donor metil pada pembentukan lesitin dalam
siklus metabolik metionin, dengan dosis 20 mg/hari selama 12 bulan
terlihat perbaikan bermakna konsentrasi ALI steatosis, aktivitas
nekroinflamasi, dan fibrosis.
• Ursideoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu yang mempunyai efek
imunomodultori pengaturan lipid, efek sitoproteksi. Dosis 13-15 mg/kg
berat badan selama satu tahun menunjukkan perbaikan ALL fosfatase
alkali, gamma GT dan steatosis tanpa perbaikan bermakna derajat inflamasi
dan fibrosis
8. Komplikasi Sirosis hati, karsinoma hepatoselular
9. Prognosis Pada 257 pasien NAFL yang dipantau selama 3,5 tahun sampai 11 tahun
melalui biopsi hati, didapatkan 28% mengalami kerusakan hati progrestf ,59 %
tidak mengalami perubahan, dan 13 % membaik. Pasien steatohepatitis non
alkoholik memiliki kesintasan yang lebih pendek yaitu 5-10 tahun, kesintasan 5
tahun hanya 670/o dan kesintasan 10 tahun 59%. Banyak faktor yang
mempengaruhi mortalitas yaitu obesitas, diabetes melitus dan komplikasinya,
komorbiditas lain yang berkaitan dengan obesitas, serta kondisi hati sendiri
10. Kepustakaan 1. Sherlock S, Dooley J. Non-olcoholic Fatty Liver Disease and Nutrition. ln:
Dooley J, Lok A, Bunoughs A, Heathcat. Diseases of the Liver and biliary
System. 12th ed. UK : Blackwell Science. P546-567
2. Hasan lrsan. Perlemakan Hati Non Alkohol. Dalam: Suyono
S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, l. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam. Jilid ll. Edisi V. Jakarta:

244
RUPTUR ESOFAGUS
SKDI 1

1. Pengertian Ruptur esofagus (juga dikenal sebagai sindrom Boerhaave) adalah rupturnya
(definisi) dinding esofagus. 56% dari perforasi esofagus adalah iatrogenik, biasanya
karena instrumentasi medis seperti bedah endoskopi atau paraesophageal.
Sebaliknya, sindrom Boerhaave istilah yang untuk 10% dari perforasi
esofagus yang terjadi akibat muntah
2. Anamnesis a. Nyeri variabel lokasi, biasanya di dada anterior bawah atau perut bagian
atas
b. Muntah
Muntahan campuran terlihat darah: pertama memiliki warna merah, dan
kemudian menjadi mirip dengan bubuk kopi.
c. Nyeri leher
d. Nyeri punggung
e. Faktor resiko: konsumsi makanan yang berlebihan dan / atau alkohol
serta gangguan makan seperti bulimia.
3. Pemeriksaan Fisik a. Emfisema subkutan
b. Disfagia
c. Dyspnea
d. Hematemesis
e. Melena
4. Pemeriksaan a. Radiografi : posteroanteriorlateral chest and upright abdominal , 90%
Penunjang kasus didapatkan:
• Hidrotoraks (biasanya di sebelah kiri)
• Hydropneumothorax
• Pneumothorax
• Pneumomediastinum
• Subkutan emphysema
• Pelebaran mediastinum tanpa emfisema
• Efusi pleura (Ini adalah lebih umum di sebelah kiri namun dapat
terjadi bilateral dan, jarang, hanya kanan.)
b. Esofagoskopi
c. CT scan
5. Kriteria Diagnosis Ditegakkan berdasarkan Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang
6. Terapi Pengobatan biasanya melibatkan operasi untuk memperbaiki luka dan
menghilangkan isi esofagus dari rongga dada, dikombinasikan dengan
antibiotik untuk mencegah atau mengobati infeksi bakteri. Jika esofagus
telah rusak parah, operasi pengangkatan sebagian atau seluruh kerongkongan
mungkin diperlukan.
Bedah perbaikan pecah diperlukan untuk semua luka. Dalam kasus
kerusakan esofagus parah, bagian yang terkena esofagus dapat diangkat
melalui pembedahan. Luka kecil sering dapat ditangani secara medis. Dalam
kasus tersebut, pasien tidak akan diizinkan untuk makan dan suction oral
dapat digunakan untuk menjaga kerongkongan kosong. Cairan intravena dan
nutrisi dapat diberikan untuk mempertahankan hidrasi dan nutrisi sampai
luka sembuh. Antibiotik intravena dapat diberikan untuk mengobati atau
mencegah infeksi bakteri terkait. Jika cairan telah terkumpul di daerah di
belakang tulang dada dan di antara paru-paru (disebut mediastinum),
prosedur yang disebut mediastinoscopy mungkin dilakukan
7. Komplikasi • Sepsis;
• Fistula Esophago-Trakea;
• Empiema Pleura;
• Mediastinitis
8. Prognosis Ad vitam : Dubia

245
Ad functionam : Dubia
Ad sanationam : Dubia
9. Kepustakaan 1. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006
2. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006
3. A.W., Sudoyo, B., Setiyohadi, I., Alwi, M., Simadibrata, S., Setiati
(eds).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Interna
Publishing:Jakarta.

246
SIROSIS HEPATIS DEKOMPENSATA
SKDI 3A

1. Pengertian Sirosis adalah penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur
(definisi) lobulus normal oleh fibrosis, dengan destruksi sel parenkim disertai dengan
regenerasi yang membentuk nodulus
2. Anamnesis - Perasaan mudah lelah dan berat badan menurun
- Anoreksia, dyspepsia
- Nyeri abdomen
- Jaundice, gatal, warna urin lebih gelap dan feses dapat lebih pucat
- Edema tungkai atau asites
- Perdarahan : hidung, gusi, kulit, saluran cerna
- Libido menurun
- Riwayat: jaundice, hepatitis, obat- obatan hepato toksik, transfusi darah
- Kebiasaan minum alkohol
- Riwayat keluarga : penyakit hati, penyakit autoimun
- Perlu juga dicari gejala dan tanda:
• Gejala awal sirosis (kompensata):
Perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan
perut kembung, mual, berat badan menurun.
• Gejala lanjut sirosis (dekompensata):
Bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya
rambut badan, gangguan tidur, demam subfebris, perut membesar.
Bisa terdapat gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,
hematemesis melena, ikterus, perubahan siklus haid, serta perubahan
mental. Pada laki-laki dapat impotensi, buah dada membesar,
hilangnya dorongan seksualitas.
3. Pemeriksaan 1. Status nutrisi, demam, fetor hepatikum, ikterus, pigmentasi, purpura,
Fisik clubbing finger, white nails, spider naevi, eritema palmaris, ginekomastia,
atrofi testis, distribusi rambut tubuh, pembesaran kelenjar parotis,
kontraktur dupuytren- (dapat ditemukan pada sirosis akibat alkoholisme
namun dapat juga idiopatik), hipogonadisme, asterixis bilateral, tekanan
darah. .
2. Abdomen: asites, pelebaran vena abdomen, ukuran hati bisa
membesar/normal/kecil, splenomegaly
3. Edema perifer . Perubahan neurologis: fungsi mental, stupor, tremor
1. Gejala klinis
4. Kriteria 2. Kelainan LFT
Diagnosis 3. Ultrasonografi
4. Foto esafagus dan endoskopi untuk melihat varises esofagus.
5. Diagnosis Sirosis Hepatis Dekompensata
1. Sindroma Budd Chiari
6. Diagnosis
2. Trombosis vena Porta
Banding
3. Hepatitis kronik aktif
1. Tes biokimia hati : SGOT/SGPT, Alkali fosfatas, GGT, Bilirubin: dapat
normal atau meningkat . Albumin, Globulin, waktu protrombin
2. USG Abdomen
3. Endoskopi
7. Pemeriksaan 4. Biopsi hati
Penunjang 5. Cek AFP untuk skrining hepatoma
6. Mencari etiologi: serologi hepatitis [HbsAg, anti HCV), hepatitis
autoimun (ANA, antibodi anti-smooth muscle), pemeriksaan Fe dan Cu
(atas kecurigaan adanya penyakit Wilson), pemeriksaan ur-antitripsin (atas
indikasi pada yang memiliki riwayat merokok dan mengalami PPOK)
8. Terapi 1. Istirahat yang cukup.
2. Diit yang adekuat dan seimbang
3. Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi asites: diet rendah
247
garam
4. Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari
5. Medikamentosa diberikan sesuai dengan gejala yang timbul asites
diberikan diuretik, spironolakton 100 mg / hr PO (selama maximal 60 mg /
hari), Furosemid 40 – 80 mg / hari PO/IV (selama maximal 240 mg / hr),
monitor BR urin output, NA.K. Creatinin
6. Terapi penyakit penyebab, lebih lengkap
9. Edukasi 1. Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit pasien
2. Tindakan paliatif untuk mengurangi keluhan pasien
10. Kepustakaan 1. Dorland's lllustrated Medical Dictionory. 23rd Ed. Philadelphia. Elsevier.
2007
2. Bacon BR. Cirrhosis and lts Complications. In : Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of
lnternal Medicine. 18th Edition. New York, McGrow-Hill. 2012.
3. Nurdjanah S. Sirosis Hati. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi l, et al.
Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid l. Edisi V. Jakarta : lnterna
Publishing. 2009. Hal 668-73.
4. McCormick PA. Hepatic Cirrhosis. ln : Dooley JS, Lok ASF, Burroughs
AK, et al. Sherlock's Diseases of the Liver and Biliary System. 12th
Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011. Hal 103-19
5. Elsayed EY, Riad GS, Keddeas MW. Prognostic Value OF MELD Score
in Acute Variceal Bleeding. Researc her 201 0:214) :22-27.

248
ULKUS MULUT (AFTOSA, HERPES)
SKDI 4A

1. Pengertian Stomatitis aftosa rekurens (SAR) merupakan penyakit mukosa mulut


(definisi) tersering, bersifat selflimiting dan dapat merupakan gejala dari penyakit-
penyakit sistemik, seperti penyakit Crohn, malabsorbsi, anemia defisiensi
besi atau asam folat, defisiensi vitamin B12, atau HIV.
Stomatitis herpes merupakan inflamasi pada mukosa mulut akibat infeksi
virus Herpes simpleks tipe 1 (HSV 1).
2. Anamnesis a. SAR
- Luka terasa nyeri pada mukosa bukal, bibir bagian dalam, atau sisi
lateral dan anterior lidah
- Onset penyakit biasanya dimulai pada usia kanak-kanak, paling sering
pada usia remaja atau dewasa muda
- Frekuensi rekurensi bervariasi
- Episode SAR yang sebelumnya biasanya bersifat self-limiting
- Pasien biasanya bukan perokok atau tidak pernah merokok
- Biasanya terdapat riwayat yang sama dalam keluarga
- Pasien biasanya sehat, namun dapat pula ditemukan diare, konstipasi,
tinja berdarah, sakit perut berulang, lemas atau pucat
- Pada wanita dapat timbul saat menstruasi
b. Stomatitis Herpes
- Luka pada bibir, lidah, gusi, langit-langit atau bukal yang terasa nyeri
- Kadang timbul bau mulut
- Dapat disertai malaise, demam dan benjolan pada kelenjar limfe leher
- Sering terjadi pada usia remaja atau dewasa
- Terdapat 2 jenis stomatitis herpes, yaitu :
a. Stomatitis herpes primer, yang merupakan episode tunggal
b. Stomatitis herpes rekurens, bila pasien telah mengalami beberapa
kali penyakit serupa sebelumnya
- Rekurensi dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti demam, paparan
sinar matahari, trauma dan kondisi imunosupresi seperti HIV,
penggunaan kortikosteroid sistemik dan keganasan
3. Pemeriksaan Fisik a. SAR
- Tanda anemia (warna kulit, mukosa konjungtiva)
- Pemeriksaan abdomen (distensi, hipertimpani, nyeri tekan)
- Tanda dehidrasi akibat diare berulang
b. Stomatitis herpes
- Lesi berupa vesikel, berbentuk seperti kubah, berbatas tegas,
berukuran 2-3 mm, biasanya multipel dan dapat bergabung satu sama
lain
- Lokasi lesi dapat di bibir (herpes labialis) sisi luar dan dalam, gingival,
palatum dan bukal
- Mukosa sekitar lesi edematosa dan hiperemis
- Demam
- Pembesaran kelenjar limfe servikal
- Tanda-tanda penyakit imunodefisiensi yang mendasari

249
4. Pemeriksaan • Darah perifer lengkap
Penunjang • MCV, MCH dan MCHC
• Pada herpes stomatitis tidak mutlak dan tidak rutin dilakukan
5. Kriteria Diagnosis Ditegakkan berdasarkan Anamnesis dan pemeriksaan fisik
6. Diagnosis Banding a. SAR
- Herpes simpleks, Sindrom Behcet, Hand foot, and mouth disease,
Liken planus, Manifestasi oral dari penyakit autoimun (pemfigus,
SLE, Crohn), Kanker mulut
b. Stomatitis herpes
- SAR tipe herpetiform, SAR minor multiple, Herpes zoster, Sindrom
Behcet, Hand, foot and mouth disease, Manfestasi oral dari penyakit
autoimun
7. Terapi a. SAR
• Larutan kumur chlorhexidine 0,2% untuk membersihkan rongga
mulut. Penggunaan sebanyak 3 kali setelah makan, masing-masing
selama 1 menit
• Kortikosteroid topical, seperti krim triamcinolon acetonide 0,1% in
aoral base sebanyak 2 kali sehari setelah makan dan membersihkan
rongga mulut
• Pasien perlu menghindari trauma pada mukosa mulut dan makanan
atau zat dalam makanan yang berpotensi menimbulkan SAR, misalnya
: kripik, susu sapi, gluten, asam benzoate dan cuka
b. Stomatitis herpes
• Untuk nyeri diberi analgetik seperti parasetamol atau ibuprofen.
Larutan kumur chlorhexidine 0,2% juga memberi efek anestetik
sehingga dapat membantu
• Pilihan antivirus yang diberikan antara lain :
- Acyclovir oral dengan dosis
o Dewasa : 5 x 200-400 mg per hari selama 7 hari
o Anak : 20 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 5 kali pemberian,
selama 7 hari
- Valacyclovir oral dengan dosis
o Dewasa : 2 x 1-2 g per hari selama 1 hari

250
o Anak : 20 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 5 kali pemberian
selama 7 hari
- Famcyclovir oral dengan dosis
o Dewasa : 3 x 250 mg per hari selama 7-10 hari untuk episode
tunggal 3 x 500 mg per hari, selama 7-10 hari untuk tipe
rekurens
o Anak : belum ada data mengenai keamanan dan efektivitas
pemberiannya pada anak-anak
• Pencegahan rekurensi dimulai dengan mengidentifikasi factor-faktor
pencetus dan selanjutnya melakukan penghindaran antara lain trauma
dan paparan sinar matahari
• Dosis perlu disesuaikan dengan gangguan fungsi ginjali
8. Prognosis Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
9. Kepustakaan 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In: Braunwald, E.
et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16thEd.New York:
McGraw-Hill. 2004
2. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006
3. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006
4. A.W., Sudoyo, B., Setiyohadi, I., Alwi, M., Simadibrata, S., Setiati
(eds).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Interna
Publishing:Jakarta.
5. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of the Oral Mucosa: Non-
Infective Stomatitis. In Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. Spain: Elsevier Science Limited, pp. 192–195. (Cawson &
Odell, 2002)
6. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In Handbook of Oral Disease:
Diagnosis and Management. London: Martin Dunitz Limited, pp. 73–
82. (Scully, 1999)
7. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent Aphtous Ulcers: A Review of
Diagnosis and Treatment. Journal of The American Dental Association,
127, pp.1202–1213. (Woo & Sonis, 1996)
8. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008. Ulcerative, Vesicular, and
Bullous Lesions. In M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds. Burket’s
Oral Medicine. Ontario: BC Decker, p. 41. (Woo & Greenberg, 2008)

251
VARISES ESOFAGUS
SKDI 2

1. Pengertian Varises esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang


(definisi) diproyeksikan ke dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi portal.
2. Anamnesis • Riwayat penyakit dahulu untuk mencari penyakit dasar.
• Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi misalnya konsumsi aspirin yang
berhubungan dengan gastropati erosif.
• Riwayat konsumsi alkohol dapat berhubungan dengan gastritis erosif atau
sirosis hepatik.
• Muntah darah.
• Riwayat perdarahan pada lokasi lain.
• Nyeri perut.
3. Pemeriksaan Fisik • Penentuan status hemodinamik dengan memeriksa tekanan darah,
frekuensi denyut jantung dengan perubahan posisi.
• Bising usus yang hiperaktif.
• Distensi dan ketegangan periumbilikal.
• Ikterus, spider nevi, konsistensi hati yang keras, asites, eritema palmar,
ginekomastia, bruit arterial pada hati menurijukkan adanya kemungkinan
penyakit hati.
• Pelebaran vena-vena superfisial di atas umbilikus yang disertai
splenomegali memberikan petunjuk kuat adanya hipertensi portal.
4. Pemeriksaan • Darah rutin lengkap meliputi Ht, leukosit, trombosit, bleeding time, PT,
Penunjang PTT.
• Kadar elektrolit serum (Na/K/Cl)
• Fungsi hati: SGOT, SGPT, albumin
• Fungsi ginjal: ureum, kreatinin
• Endoskopi sebaiknya segera dilakukan bila terdapat instabilitas
hemodinamik (hipotensi, takikardi, dan perubahan postural tekanan darah
dan denyut nadi).
5. Kriteria Diagnosis Varises esofagus tidak memberikan gejala sampai terjadi ruptur.
Esophagogastroduodenoscopy (EGD) adalah gold standard untuk diagnosis
varises esofagus. Jika gold standard tidak tersedia, tahap diagnostik
selanjutnya yang memungkinkan adalah Doppler ultrasonography sirkulasi
darah (bukan endoscopic ultrasonography). Meskipun ini merupakan pilihan
kedua yang kurang baik, tapi dapat menunjukkan temua varises. Alternatif lain
termasuk radiografi/barium swallow pada esofagus dan lambung, angiografi
vena portal dan manometri.
Panduan diagnosis varises esofagus adalah:
• Screening esophagogastroduodenoscopy (EGD) untuk diagnosis varises
esofagus dan lambung direkomendasikan ketika diagnsis sirosis sudah
ditegakkan.
• Pengamatan endoskopi direkomendasikan berdasarkan level sirosis,
penampakan dan ukuran varises. Pasien dengan compensated cyrhosis
tanpa varises sebaiknya melakukan pengulangan EGD 2-3 tahun, pasien
dengan compensated cyrrhosis tanpa varises sebaiknya melakukan
pengulangan EGD tiap 2-3 tahun, pasien dengan compensated cyrrhosis
disertai varises kecil sebaiknya melakukan pengulangan EGD setiap 1-2
tahun, sedangkan pasien dengan decompensated cyrrhosis sebaiknya
melakukan pengulangan EGD tiap tahun.
• Perdarahan varises didiagnosis berdasarkan salah satu dari temuan berikut
pada endoskopi:
− Perdarahan aktif dari varix
− “puting putih di sekitar varix
− Gumpalan darah sekitar varix

252
− Varises tanpa sumber pendarahan yang lain
6. Diagnosis Banding Ulkus peptikum
7. Terapi • Non farmakologis
− Pemberian cairan salin normal.
− Pemberian oksigen.
− Transfusi darah bila tanda vital tidak stabil dan perdarahan terus
berlangsung.
− Pemasangan NGT dan lavase lambung untuk mengurangi distensi
lambung dan memperbaiki proses hemostatik, tetapi tidak bertujuan
untuk menghentikan perdarahan.
• Farmakologis
− Kombinasi β blocker dan isosorbid mononitrat sebagai terapi
profilaksis untuk mencegah pendarahan varises esofagus.
− Vasopresin 10 unit/jam bersamaan dengan nitrogliserin untuk
mencegah insufisiensi koroner.
− Somatostatin dengan dosis awal 250 pg secara bolus dan dilanjutkan
per infus 250 ug selama 12-24 jam atau hingga perdarahan berhenti
dan octreotide (50 ug bolus 50 ug/jam infus lV untuk 5 hari dan
dilanjutkan dengan infus 25 ug/jam selama 8-24 jam alau hingga
perdarahan berhenti. Kedua obat ini diberikan untuk menurunkan
aliran darah splanknik.
− Proton pump inhibitor (PPI) untuk mencegah perdarahan ulang
karena tukak peptic yaitu omeprazol diawali dengan bolus 80 mg,
dilanjutkan per infus 80 mg/jam selama 72 jam, dan per oral 20
mg/hari selama delapan minggu.
− Antasida, sukralfat, dan AH2 dapat diberikan untuk tujuan
penyembuhan mukosa lesi perdarahan.
− Vitamin K
• Terapi Endoskopis
Terapi endoskopis yang dapat digunakan dalam penanganan varises
esofagus adalah ligasi varises dan skleroterapi endoskopis.
• Intervensi Radiologis
Tindakan yang dapat dilakukan pada perdarahan varises adalah TIPS
(Transjugular lntrahepatic Portosystemlc Shunt). Terapi ini
dipertimbangkan pada pendarahan yang tidak dapat diatasi atau perdarahan
ulang yang refrakter dengan terapi endoskopis dan perdarahan yang
memerlukan tamponade balon.
• Terapi bedah
Pembedahan dilakukan jika terapi medik, endoskopis, dan radiologis
dinilai gagal.
8. Komplikasi • Syok
• Kematian
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Angka mortalitas varises esofagus tergantung dengan keparahan penyakit
hepar yang mendasari. Angka mortalitas berkisar < 10% pada pasien sirosis
yang kompensata dengan stadium A Child-Pugh dan 70% pada sirosis hepatis
luas stadium C Child-Pugh. Pasien dengan tekanan vena hepatika > 20 mmHg
dalam 24 jam episode pendarahan varises berisiko tinggi untuk mengalami
pendarahan ulang dalam 1 minggu pertama.

253
10. Kepustakaan 1. Sneller MC, Langford CA, Fauci AS. ln Harrison's principles of internal
medicine. 16th ed. Kasper DL et al (ed); New York, Graw-Hill, 2005;
2002 - 10.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006.
4. Soemohardjo, Soewingjo, Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006.
5. Dite P, Labrecque D, Fried M, Gangl A, Khan AG, Bjorkman D, et al.
Esophageal varices. World gastroenterology organisation practise
guideline 2007.
6. Block B, Schachschal G, Schmidt H. Esophageal varices. In: Block B,
Schachschal G, Schmidt H, eds. Endoscopy of the upper GI Tract.
Germany: Grammlich; 2004.p. 85-150.
7. Laine L. Gastrointestinal bleeding. ln: Kasper DL, Braunwald E, Fauci
AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. ln: Harrison's principles
of internal medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill; 2005. p.235-8.
8. Adi P. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. ln: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi l, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarla: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p.291-
4.

254
ENDOKRINOLOGI
METABOLIK

255
ADDISON’S DISEASE
SKDI 1

1. Pengertian Penyakit Addison adalah penyakit yang disebabkan oleh berkurangnya


(definisi) hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Penyakit ini tergolong ke
dalam kelainan langka pada kelenjar adrenal.
2. Anamnesis Gejala penyakit Addison biasanya berkembang perlahan, seringkali selama
beberapa bulan, dan bisa meliputi:
• Kelelahan ekstrem
• Penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan
• Gula darah rendah (hipoglikemia)
• Mual, diare atau muntah
• Sakit perut
• Sakit otot atau sendi
• Sifat lekas marah
• Depresi
3. Pemeriksaan Fisik • Tekanan darah rendah (hipotensi), bahkan menyebabkan pingsan
• Dipsnea
• Hiperpigmentasi kulit
• Rambut rontok atau disfungsi seksual pada wanita
4. Pemeriksaan • Tes darah - natrium, kalium, kortisol, dan ACTH di dalam tubuh.
Penunjang • Tes rangsangan ACTH (hormon adrenokortikotropik).
• Tes fungsi kelenjar tiroid.
• Tes pencitraan, seperti CT dan MRI scan.
• Tes hipoglikemia induksi insulin.
5. Terapi • Farmakologis
Penyakit Addison diterapi menggunakan terapi hormon untuk
menggantikan jumlah hormon yang berkurang, sekaligus mendapatkan
manfaat serupa dari hormon yang hilang tersebut. Beberapa pilihan terapi
hormon pengganti yang mungkin dilakukan, yaitu:
• Pemberian kortikosteroid secara oral. Beberapa hormon yang
digunakan untuk menggantikan kortisol, adalah cortisone
acetate, prednisone, atau hydrocortisone.
Hormon fludrocortisone mungkin digunakan untuk
menggantikan aldosterone.
• Pemberian kortikosteroid melalui suntikan untuk penderita yang
mengalami gejala muntah-muntah.
6. Prognosis Insufisiensi adrenal yang tidak diobati berakibat fatal, dan memang ini selalu
terjadi sampai munculnya kortison sintetis pada tahun 1949. Pengobatan
penyakit Addison seumur hidup. Prognosis untuk setiap pasien dengan
insufisiensi adrenal akan tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Pada
pasien yang prognosisnya tidak terpengaruh oleh patologi yang
mendasarinya, terapi penggantian harus menghasilkan kembalinya
kesehatan. Namun, sebuah penelitian di Norwegia menemukan kelebihan
angka kematian pada pasien yang didiagnosis dengan penyakit Addison di
usia muda, terkait dengan kegagalan adrenal akut, infeksi dan kematian
mendadak.
7. Kepustakaan 1. Suarjana l. Artritis reumatoid. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l,
Simodibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar ilmu penyakit dalam.5th
ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbiton Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:2495 – 513
2. Reisch N, Arlt W. Fine Tuning For Quality Of Life: 21st Century
Approach To Treatment Of Addison's Disease. Endocrinol Metab Clin
North Am. 2009 Jun. 38(2):407-18, Ix-X.
3. Olafsson AS, Sigurjonsdottir HA. Increasing Prevalence Of Addison
Disease: Results From A Nationwide Study. Endocr Pract. 2016 Jan. 22

256
(1):30-5.
4. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006
5. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006
6. A.W., Sudoyo, B., Setiyohadi, I., Alwi, M., Simadibrata, S., Setiati
(eds).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Interna
Publishing:Jakarta.

257
CUSHING DISEASE
SKDI 3B

1. Pengertian Sindrom klinis yang terjadi akibat kelebihan produksi hormon glucocorticoid
(definisi) oleh kelenjar adrenal (endogen) atau akibat pemakaian obat-obat glucocorticoid
jangka panjang (eksogen).
2. Anamnesis • Peningkatan berat badan yang tampak pada foto serial
• Obesitas sentral yang tampak pada wajah dan daerah supraklavikula,
cervicalfat pad.
• Kelemahan otot proksimal
• Striae kemerahan, pletora,
• Mudah memar
• Masalah neuropsikiatrik seperti depresi, emosi labil
3. Pemeriksaan Tanda Gejala
Fisik • Distribusi lemak o Perubahan selera makan
o Obesitas sentral o Penurunan konsentrasi
o Buffalo hump berpikir
o Facies pletorik o Penurunan libido
o Moon face o Kelelahan
o Kenaikan berat badan o Gangguan memori jangka
• Gambaran protein-wasting pendek
o Demineralisasi tulang dan o Insomnia
Osteoporosis o Iritabilitas
o Mudah memar o Gangguan menstruasi
o Gangguan mekanisme pertahanan o Gangguan mood
o Edema tungkai o Osteoporosis
o Kelemahan otot proksimal* o Pada anak-anak
o Purpura o Virilisasi genital abnormal
o Kulit menipis o Pubertas tertunda
o Striae lividae/ purple striae o Pertumbuhan terhenti*
• Gambaran tidak spesifik o Pubertas pseudoprekoks
o Hipertensi o Perawakan pendek
o Diabetes melitus o Pertumbuhan lambat*
o Dislipidemia
o Perubahan endokrin *menandakan gejala/tanda khas
o Intoleransi glukosa cushing disease
o Kondisi hiperkoagulasi
o Manifestasi kulit
• Gangguan neuropsikiatri
o Depresi mayor
o Mania
o Psikosis
4. Pemeriksaan • Tes supresi deksametason malam hari
Penunjang • Pemeriksaan 24 1am kortisol bebas urin (24-h Urinary Free Cortisol),
(urinary free cortisol, 17-OH corticosteroid)
• Salivary midnight cortisol or midnight serum cortisol
• CRH after low-dose dexamethazone suppression test
5. Kriteria Algoritma penegakan diagnosis Cushing Disease
Diagnosis
Tes supresi deksametason malam hari
↓ Jika abnormal (kadar kortisol tinggi)
Tes eksresi kortisol dalam urine 24 jam
↓ Jika abnormal
Sindrom Cushing

Tes supresi deksametason dosis tinggi
258
Kortisol Kortisol tidak tersupresi
tersupresi

Cushing Hipofisis Cushing adrenal


(Cushing disease) atau cushing ektopik
6. Diagnosis ▪ Plasma ACTH level
Banding ▪ High dose dexamethazone suppression test
▪ Metyrapone test
▪ Insufisiensi adrenal
7. Terapi • Non farmakologis
- Edukasi

• Farmakologis
o Operatif
▪ Operasi transfenoid yang didahului dengan pemberian anti
steroidogenesis.; adrenalektopi per laparoskopi
o Radioterapi
o Medikamentosa : pemberian anti steroidogenesis (ketokonazol,
mifepristone, mitotan, metirapon); dan antibiotik seperti
kotrimoksazol sebagai profilaksis untuk kuman komensal
penumocistic carinii dt paru, yang sangat rentan pada penyakit ini.
8. Komplikasi Sindrom Cushing mengakibatkan beragam komplikasi sistemik diantaranya
obesitas sentral, hipertensi, gangguan toleransi glukosa dan diabetes,
dislipidemia, trombosis, kelainan psikiatrik, penyakit ginjal, osteoporosis,
bersamasama dengan meningkatnya risiko kardiovaskular. Hal lain yang juga
sering menyebabkan kematian pada sindrom Cushing adalah infeksi dan sepsis.
9. Prognosis Dari beberapa studi didapatkan angka kematian pada sindrom Cushing non
malignansi sekitar 2-4 kali dibandingkan dengan populasi normal, sementara
sindrom Cushing dengan penyakit dasar keganasan prognosisnya sangat buruk,
umumnya meninggal selama dalam usaha pengobatan awal. Perlu juga dipahami
bahwa pasien yang gagal dengan operasi angka kematiannya 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi normal jika dibandingkan dengan pasien yang
remisi dengan operasl.
Quo Ad vitam: malam
Quo Ad functionam: malam
Quo Ad sanationam: malam
10. Kepustakaan 1. Tarigan, TJE. Sindrom Cushing dan Penyakit Cushing. ln: Sudoyo A,
Setiyohodi B, Alwi l, Simodibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar ilmu
penyakit dalam.5th ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbiton Bagian llmu
Penyakit Dalam FKUI, 2014, II:2478-83.
2. J. Larry Jameson.. Approach to the Patient with Endocrine Disorder.
Harrison's principles of internal medicine. l8th ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2012;2251
3. Panduan Praktek Klinik Departemen Penyakit Dalam. 2017
4. Boscaro M, Arnaldi G. Approach to the patient with possible Cushing's
syndrome. J Clin Endocrinol Metab, Sept 2009,94(9):372L-373L
5. Nieman LK, Biller BMK, Findling JW, Newell-Price j, Savage MO,
Steward PM, et al. The diagnosis of Cushing's syndrome: an endocrine
society of clinical practice. J Clin Endocrinol Metabol, May 2008,93(5) :
L526-1540
6. Amaldi G, Angeli A, Atkinson AB, Bertagna )i Cavagnini BF, Chrousos
GP, et al. Diagnosis and complications of Cushing,s syndrome: A consensus
statement. J Clin Endocrinol Metab, 2003,88 (12): 5593-5602
7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia;
Cushing’s Disease. 2012;51.

259
DIABETES INSIPIDUS
SKDI 1

1. Pengertian Diabetes insipidus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan polidipsi
(Definisi) dan poliuri. Dua mekanisme yang mendasari adalah gangguan pelepasan
ADH oleh hipotalamus atau hipofisis (sentral) dan gangguan respons
terhadap ADH oleh ginjal (nefrogenik).
2. Anamnesis Gejala dominan diabetes insipidus adalah poliuri dan polidipsi. Volume urin
pasien relatif menetap tiap individu, bervariasi antara 3-20 liter/hari. Pada
dewasa, gejala utama adalah rasa haus, karena usaha kompensasi tubuh.
Pasien ingin terus minum, terutama air dingin dalam jumlah banyak. Pada
bayi, anak-anak, dan lansia dengan mobilitas untuk minum terbatas, timbul
keluhan-keluhan lain. Pada bayi, sering rewel, gangguan pertumbuhan,
hipertermia, dan penurunan berat badan. Anak-anak sering mengompol,
lemah, lesu, dan gangguan pertumbuhan. Lemah, gangguan mental, dan
kejang dapat terjadi pada lansia
3. Pemeriksaan Temuan dapat berupa pelvis penuh, nyeri pinggang, atau nyeri menjalar ke
Fisik area genitalia, juga pembesaran kandung kemih. Anemia ditemukan jika
penyebabnya keganasan atau gagal ginjal kronis.
Tanda dehidrasi sering ditemukan pada pasien bayi dan anak-anak.
Inkontinensia urin akibat kerusakan buli-buli karena overdistensi
berkepanjangan sering pada kasus nefrogenik sejak lahir.
Diabetes insipidus gestasional berhubungan dengan oligohidramnion,
preeklampsi, dan disfungsi hepar.
4. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Laboratorium
Penunjang Pertama, dilakukan pengukuran volume urin selama 24 jam. Bila <3 liter,
bukan poliuria. Jika >3 liter, osmolalitas urin perlu diukur. Osmolalitas
urin >300 mOsm/kg menunjukkan kondisi diuresis zat terlarut yang
disebabkan diabetes melitus atau gagal ginjal kronis. Evaluasi lanjutan
dengan memeriksa kadar gula darah, BUN (blood urea nitrogen), serum
kreatinin, bikarbonat, dan serum elektrolit. Jika osmolalitas urin <300
mOsm/kg, dilakukan water deprivation test.
5. Kriteria 1. Gejala Klinis
Diagnosis 2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (urinalisis fisis dan kimia dan tes deprivasi air)
• Radiologi
6. Diagnosis 1. Polikostik
Banding 2. Pielonefritis kronis
3. Hipokalemi dan hiperkalsemia
4. Insufisiensi adrenal
5. Polidipsia psikogenik
7. Terapi 1. DDAVP oral 2 x 0,05 mg dapat ditingkatkan hingga 3 x 0,4 mg
2. NSAID
3. Diuretik Tiazid
4. Carbamazepine
5. Chlorpropamide
8. Komplikasi 1. Ketidakseimbangan elektrolit
2. Dehidrasi
9. Prognosis Diabetes insipidus sentral akibat pembedahan biasanya akan remisi setelah
beberapa hari/minggu, tetapi kerusakan struktural infundibulum dapat
mengakibatkan kondisi diabetes insipidus yang permanen.
Qua ad vitam: dubia ad malam
Qua ad funtionam: dubia malam
Qua ad sanationam: dubia malam

260
10. Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 13, Jakarta: EGC
3. Panduan Pelayanan Medik PB PAPDI

261
DIABETES MELITUS
SKDI 4A

1. Pengertian Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat
(definisi) defek pada :
1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa
hepatik) dan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pankreas
3. Atau keduanya
2. Klasifikasi DM I. DM tipe 1 (destruksi sel B, umumnya diikuti defisiensi insulin absolut)
❑ immune-mediated
❑ idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari yang : predominan resistensi insulin
dengan defisiensi insulin relatif – predominan defek sekretik dengan
resistensi insulin)
III.Tipe spesifik lain :
❑ Defek genetik pada fungsi sel B
❑ Defek genetik pada kerja insulin
❑ Penyakit eksokrin pankreas
❑ Endokrinopati
❑ Diinduksi obat atau zat kimia
❑ Infeksi
❑ Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM
❑ Sindrom genetik lain yang kadang berkaitan dengan DM
IV. DM gestasional
3. Anamnesis Keluhan khas (gejala klasik) DM
❑ Poliuria
❑ Polidipsia
❑ Polifagia
❑ Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan tidak khas DM


❑ Lemah
❑ Kesemutan
❑ Gatal
❑ Mata kabur
❑ Disfungsi ereksi
❑ Pruritus vulva

Faktor risiko DM tipe 2


❑ Usia > 45 tahun
❑ Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m2, disertai dengan faktor
risiko:
- kebiasaan tidak aktif
- keturunan pertama dari orang tua dengan DM
- riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 g atau
riwayat DM gestasional
- hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
- kolesterol HDL < 35 mg/dl atau trigliserida > 250 mg/dl
- menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan
klinis lain yang terkait denganresistensi insulin
- riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
- glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
- riwayat penyakit kardiovaskuler
- Anamnesis komplikasi DM (lihat komplikasi)
4. Pemeriksaan Fisik ❑ TB, BB, TD, lingkar pinggang
❑ Tanda neuropati
262
❑ Mata (visus, lensa mata dan retina)
❑ Gigi mulut
❑ Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) > 200
mg/dl (11,1 mmol/l) atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa (plasma vena) > 126 mg/dl
(7,0 mmol/l) atau
3. Kadar glukosa darah plasma > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)pada 2 jam
sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang
didapat
6. Pemeriksaan TGT : glukosa darah plasma 2 jam sesudah beban 140-199 mg/dl (7,8 – 11,0
Penunjang mmol/l)
GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/l)

Pemeriksaan laboratorium:
❑ Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
❑ HbA1C
❑ Albuminuria mikro

Pemeriksaan penunjang lain :


❑ EKG
❑ Foto toraks
❑ Funduskopi

Pemeriksaan laboratorium :
❑ Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, LED
❑ Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
❑ Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur
❑ Kreatinin
❑ SGPT, albumin/globulin
❑ Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
❑ HbA1C
❑ Albuminuria mikro

Pemeriksaan penunjang lain :


❑ EKG
❑ Foto thoraks
❑ Funduskopi
7. Diagnosis Diabetes Melitus
8. Diagnosis Hiperglikemia reaktif
Banding Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT)
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT = IFG)
9. Terapi Edukasi
Meliputi pemahaman tentang :
❑ Penyakit DM
❑ Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
❑ Penyulit DM
❑ Intervensi farmakologis dan non-farmakologis
❑ Hipoglikemia
❑ Masalah khusus yang dihadapi
❑ Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan ketrampilan
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Terapi gizi medis


Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi :
263
❑ Karbohidrat 45 - 65%
❑ Protein 15 - 20%
❑ Lemak 20 - 25%
Jumlah kandungan kolestrol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak
berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono unsaturated fatty
acid), dan membatasi PUFA (Poly unsaturated fatty acid) dan asam lemak
jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25 g/hari, diutamakan serat larut.
Jumlah kalori basal per hari
❑ Laki-laki : 30 kal/kg BB idaman
Perempuan : 25 kal/kg BB idaman
Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari
❑ Status gizi
- BB gemuk dikurangi 20-30%
- BB kurang ditambah 20-300%
❑ Umur > 40 tahun - 5%
❑ Stres metabolik (infeksi, operasi, dll) + (10 s/d 30%)
❑ Aktifitas :
Ringan + 20%
Sedang + 30%
Berat + 50%
❑ Hamil
- Trimester I, II + 300 kalori
- Trimester III/laktasi + 500 kalori

Rumus Brocca
Berat badan idaman = (TB – 100) – 10%
Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10% lagi
BB kurang : <90% BB idaman
BB normal : 90-110% BB idaman
BB lebih : >110 BB idaman

Latihan jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit

Intervensi farmakologis
* Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
❑ Sulfonilurea
❑ Glinid
* Penambah sensitivitas terhadap insulin
❑ Metformin
❑ Tiazolidindion
* Penghambat glukosidase alfa
❑ Acarbose

Insulin
Indikasi
❑ Penurunan berat badan yang cepat
❑ Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
❑ Ketoasidosis diabetik
❑ Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
❑ Hiperglikemia dengan asidosis laktat
❑ Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
❑ Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
❑ Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
❑ Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
❑ Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

264
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,
perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda
mekanisme kerjanya.

Pengelolaan DM tipe 2 gemuk


Non farmakologis
→ evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai
Penekanan kembali tatalaksana non-farmakologis
→ evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai
+ 1 macam OHO (Biguanid/Penghambat glukosidase alfa/Glitazon)
→ evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai
Kombinasi 2 macam OHO, antara : Biguanid/Penghambat glukosidase
alfa/Glitazon
→ evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai
Kombinasi 3 macam OHO
Biguanid + Penghambat glukosidase + Glitazon:
atau kombinasi OHO siang hari + insulin malam
→ evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)
Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai
Kombinasi 4 macam OHO
Biguanid + Penghambat glukosidase + Glitazon + Secretagogue atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
→ evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)
Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai
Insulin
Atau : Terapi Kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :
Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhir

Pengelolaan DM tipe 2 Tidak gemuk

Non – farmakologis → evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai

Non – farmakologis + secretagogue → evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan


klinis) :

Sasaran tidak tercapai

Kombinasi 2 macam OHO, antara :


Secretagogue +
Penghambat glukosidase /Biguanid/Glitazon
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai

Kombinasi 3 macam OHO,


Secretagogue +Penghambat glukosidase /Biguanid/Glitazon
Atau
265
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam

evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi Kombinasi 3 OHO tidak tercapai

Kombinasi 4 macam OHO

Secretagogue + Penghambat glukosidase +


Biguanid +Glitazon
Atau Terapi Kombinasi 4 OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi Kombinasi 4 OHO tidak tercapai

Insulin
Atau
Terapi Kombinasi 4 OHO siang hari + insulin malam

Sasaran terapi Kombinasi 4 OHO tidak tercapai

Insulin

Bila sasaran tercapai teruskan terapi terakhir

Penilaian hasil terapi


1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan HbA1C
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan benda keton
10. Komplikasi A Akut :
❑ Ketosidosis diabetik
❑ Hiperosmolar non ketotik
❑ Hipoglikemia
B. Kronik
❑ Makroangiopati
- Pembuluh koroner
- Vaskular perifer
- Vaskular otak
❑ Mikroangiopati
- Kapiler retina
- Kapiler renal
❑ Neuropati
❑ Gabungan
❑ Kardiopati : PJK, kardiomiopati
❑ Rentan infeksi
❑ Kaki diabetic
❑ Disfungsi ereksi
11. Edukasi • Mencegah terjadinya infeksi, perdarahan atau komplikasi
12. Prognosis • Dubia
13. Kepustakaan 1. PERKENI. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
2006
2. PERKENI. Petunjuk pengelolaan diabetes melitus tipe 2. 2006.
3. The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus Report of The Expert Committee on The Diagnosis and
Classification of Diabetes Mellitus Care, Jan 2003; 26 (Suppl.1) 55-20
4. Suyono S. Type 2 diabetes mellitus is a B cell dysfunction. Prosiding
266
Jakarta Diabetes Meeting 2002. The Recent Management in Diabetes and
its Complications : From Molecular to Clinic. Jakarta 2-3 Nov 2002.
Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12
November 2000 : 185-99

267
ULKUS / GANGREN DIABETIKUM
SKDI 4A

1. Pengertian Ulkus adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full
(definisi) thickness) dari dermis. Pengertian ulkus kaki diabetik termasuk nekrosis atau
gangren. Gangren diabetikum adalah kematian jaringan yang disebabkan oleh
penyumbatan pembuluh darah (ischemic necrosis) karena adanya
mikroemboli aterotrombosis akibat penyakit vaskular perifir oklusi yang
menyertai penderita diabetes sebagai komplikasi menahun dari diabetes.
2. Ananmnesa Keluhan merupakan adanya gejala hipoestesi disertai kaki yang menghitam
dan bahkan terjadinya amputasi sendiri akibat proses mekanik tanpa disertai
rasa nyeri
3. Pemeriksaan Ditemukan perubahan warna pada kaki mulai dari adanya pus bahkan sampai
Fisik berwarna kehitaman yang menandakan telah adanya proses nekrosis yang
tejadi akibat proses kronis dari DM, disertai dengan gejala hipoestesi,
kesemutan, dll.
4. Kriteria • Anamnesis
Diagnosis • Pemeriksaan fisik

Klasifikasi Wagner
Grade 0 Tidak ada ulkus pada penderita kaki risiko tinggi
Grade I Ulkus superfisial terlokalisir.
Grade II Grade II Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen,
otot,sendi, belum mengenai tulang, tanpa selulitis
atau abses
Grade III Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang
sering komplikasi osteomielitis, abses atau
selulitis.
Grade IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal.
Grade V Gangren seluruh kaki.
5. Diagnosis Ulkus / Gangren diabetikum
6. Diagnosis PAD
Banding
7. Pemeriksaan HbA1c
Penunjang BSS, BSPP
CT angiografi
Doppler
Ro. Pedis
Darah rutin, darah lengkap
8. Terapi Debridemen secara:
1. Bedah
2. Enzimatik
3. Autolitik
4. Mekanik
5. Biologic
(Penekanan pada proses pengendalian infeksi)

Penatalaksanaan terhadap kadar gula darah yang tepat sesuai tatalaksana DM.
9. Edukasi Mengatur pola makan agar kadar gula dalam darah teratur.
Olahraga pada penderita DM 30-60 menit selama 3 kali dalam seminggu,
olahraga bersifat aerobic.
Menggunakan pelindung kaki atau alas kaki.
10. Prognosis Proses yang diikuti dengan kematian jaringan bersifat reversible, sehingga
perlu pemantauan dan kepedulian terhadap awitan penyakit seperti perasaan
kebas, sering bengkak tanpa sebab yang jelas, kesemutan, dan luka yang tidak
disertai dengan nyeri.

268
11. Kepustakaan 1. Al-Mashat, H.A., Kandru, S., Liu, R., Behl, Y, Desta, T., Graves,
D.T. 2006Diabetes Enhances mRNA Levels of Proapoptotic Genes
and CaspaseActivity, Which Contribute to Impaired Healing. Diabetes ;
55 : 487-95.
2. American College Of Surgeon (ACS). Anatomically Based Surgery
for Trauma Course (ABST), Lab Manual : Extremity Chapter 4 : Injuries
to the Extremities : Compartment Syndrome and Fasciotomy.
3. American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Classification
of DiabetesMellitus. Diabetes Care, 35 (supplement 1) : S64-S71.
4. American Diabetes Association. 2011. Standard of Medical Care
in Diabetes.Diabetes Care, 34 ( Supplement 1) : S11-S61
5. Banai, S., Jaklitsch, M.T., Shou, M., Lazarous, D.F., Scheinowitz, M.,
Biro, S., Epstein, S., Unger, E. 1994. Angiogenic-induced
enhancement of collateral blood flow to ischemic myocardium by
vascular endothelial growth factor in dogs. Circulation 89:2183–9.
6. Bao, P., Kodra, A., Tomic-Canic, M., Golinko, M.S.,Ehrlich, H.P.,
Brem, H. 2009.The Role of Vascular Growth Factor in Wound
Healing. J Surg Res,15:347-58.
7. Baraka, A.M., Guemei, A., Gawad, H.A. 2010. Role of modulation of
vascular endothelial growth factor and tumor necrosis factor-alpha in
gastric ulcer healing in diabetic rats. Biochemical Pharmacology; 79 :
1634–9
8. Behl, Y., Krothapalli, P., Desta, T., Graves, D. 2008. Diabetes-
Enhanced Tumor Necrosis Factor-α Production Promotes Apoptosis and
the Loss of Retinal Microvascular Cells in Type 1 and Type 2
Models of Diabetic Retinopathy. Am J Pathol ; 172(5) : 1411 – 8.
9. Bernard, L. (Chairman Working Group). 2007. Clinical practice
guidelines: Management of diabetic foot infections. Medicine et maladies
infectieuses,37:14-25.

269
DISLIPIDEMIA
SKDI 1

1. Pengertian (definisi) Kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan (peningkatan atau
penurunan) fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama
adalah kenaikan kadar kolesterol LDL. Dalam proses terjadinya
aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan, sehingga
dikenal sebagai triad lipid.
Secara klinis, diklasifikasikan menjadi :
❑ Hiperkolesterolemia
❑ Hipertrigliseridemia
Campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia
2. Kriteria Diagnosis Klasifikasi kadar kolesterol :
Kolesterol LDL Klasifikasi
< 100 mg/dl Optimal
100 – 129 mg/dl Hampir optimal
130 – 159 mg/dl Borderline tinggi
160 – 189 mg/dl Tinggi
> 190 mg/dl Sangat tinggi
Kolesterol total
< 200 mg/dl Idaman
200 – 239 mg/dl Borderline tinggi
> 240 mg/dl Tinggi
Kolesterol HDL
< 40 mg/dl Rendah
> 50 mg/dl Tinggi

untuk mengevaluasi resiko penyakit jantung koroner (PJK) diperhatikan


faktor-faktor resiko lainnya
❑ Faktor resiko positif
❑ Merokok
❑ Umur (pria > 45 tahun, wanita > 55 tahun
❑ Kolesterol HDL rendah
❑ Hipertensi (TD > 140/90 atau dalam terapi antihipertensi
❑ Faktor resiko negatif
❑ Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor resiko dari
perhitungan total

ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk menghitung


besarnya resiko PJK pada pasien dengan > 2 faktor resiko, meliputi :
umur, kadar kolesterol total kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan
hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan persentase
resiko PJK dalam 10 tahun
Ekivalen resiko PJK mengandung resiko kejadian koroner mayor yang
sebanding dengan kejadian PJK yakni > 20 dalam 10 tahun, terdiri dari :
❑ Bentuk klinis lain dari aterosklerosis : penyakit artei perifer, aneurisma
aorta abdominalis, penyakit arteri karotis yang simptomatis
❑ Diabetes
Faktor resiko multipel yang mempunyai resiko PJK dalam 10 tahun > 20 %
Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor resiko independen
untuk terjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida :
❑ Obsesitas, berat badan lebih
Inaktif fisik
❑ Merokok
❑ Asupan alkohol berlebih
❑ Diet tinggi karbohidrat (> 60% asupan energi)
❑ Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
270
❑ Obat : kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik –beta
dosis tinggi
❑ Kelainan genetik (riwayat keluarga)

Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia


❑ Normal : < 150 mg/dl
❑ Borderline-tinggi : 150 – 199 mg/dl
❑ Tinggi : 200 – 499 mg/dl
❑ Sangat tinggi : > 500 mg/dl
3. Diagnosis Dislipidemia
4. Diagnosis Banding Hiperkolesterolemia sekunder, karena
❑ Hipotiroidisme
❑ Penyakit hati obstruksi
❑ Sindrom nefrotik
❑ Anoreksia nervosa
❑ Porfiria intermiten akut
❑ Obat : progestin, siklosporin, thiazide

Hipertrigliseridemia sekunder, karena


❑ Obesitas
❑ DM
❑ Gagal ginjal kronik
❑ Lipodistrufi
❑ Glycogen strorage disease
❑ Alkohol
❑ Bedah bypass ileal
❑ Stress
❑ Sepsis
❑ Kehamilan
❑ Obat : estrogen, isotretinoin, penghambat beta, glukokortikoid, resin
pengikat bile-acid, thiazide
❑ Hepatitis akut
❑ Lupus eritematosus sistemik
❑ Gammopati monoklonal : myloma multipel, limfoma
❑ AIDS ; inhibitor protease

HDL rendah sekunder, karena :


❑ Malnutrisi
❑ Obesitas
❑ Merokok
❑ Penghambat beta
❑ Steroid anabolic
5. Pemeriksaan Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia > 20 tahun setiap 5 tahun
Penunjang sekali
❑ Kadar kolesterol total
❑ Kadar kolesterol LDL
❑ Kadar kolesterol HDL
❑ Kadar trigliserida
❑ Kadar glukosa darah
❑ Tes fungsi hati
❑ Urine lengkap
❑ Tes fungsi ginjal
❑ EKG
6. Terapi Untuk hiperkolesterolemia
Penatalaksanaan non farmakologis (Perubahan gaya hidup)
o Diet, dengan komposisi
o Lemak jenuh < 7% kalori total
o PUFA hingga 10% kalori total
271
o MUFA hingga 10% kalori total
o Lemak total 25-35% kalori total
o Karbohidrat 50 – 60% kalori total
o Protein hingga 15% kalori total
o Serat 20 – 30 g/hari
o Kolesterol < 200 mg/hari
❑ Latihan jasmani
❑ Penurunan berat badan bagi yang gemuk
❑ Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol

Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target pemantauan


setiap 4-6 bulan.

Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai, intensifkan penurunan


lemak jenuh dan kolesterol, tambahkan stanol/steroid nabati, tingkatkan
konsumsi serat, dan kerjasama dengan dietisien
Bila 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil
menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai
diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihan jasmani

Terapi farmakologis
o Golongan statin
− Simvastatin 5 – 40 mg
− Lovastatin 10 – 80 mg
− Pravastatin 10 – 40 mg
− Fluvastatin 20 – 80 mg
− Atorvastatin 10 – 80 mg
o Golongan bile acid sequestrant
− Cholestyramine 4-16 g
o Golongan nicotinic acid
− Nicotinic acid (immediate realese) 2 x 100 mg s/d 1,5 – 3 g

Target kolesterol LDT (mg/dl)


Kategori Target Kadar LDL Kadar LDL
Resiko LDL untuk mulai untuk mulai
PGH terapi farmakologis

PJK atau < 100 > 100 > 130


Ekivalen PJK
(FRS > 20%)

Faltor resiko > 2 < 130 > 130 > 130 (FRS 10-20%)
(FRS < 20%) > 160 (FRS < 10%)
Faktor resiko 0-1 < 160 >160 > 190
(160-189 : Opsional)

Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin


atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid.
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah
Tercapai (lihat tabel terget di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan.
Bila setelah 6 minggu berikut terapi non-farmakologis tidak berhasil
menurunkan kadar kolestrol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan.
Pasien dengan PJK kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur
koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolestrol LDL > 100
mg/dl
Pasien dengan hipertriglisesidemia
Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas
Penatalaksaan farmakologis :
272
TARGET TERAPI
Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi : tujuan utama terapi
adalah mencapai target kolesterol LDL
Pasien dengan trigliserida tinggi : target sekunder adalah kadar kolestrol
non-HDL yakni sebesar 30 mg/dl lebih tinggi dari target kadar kolestrol
LDL
Pendekatan terapi obat :
1. obat penurun kadar kolestrol LDL atau
2. ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid
Golongan fibrat terdiri dari :
− Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg
− Fenofibrat 1 x 200 mg
Penyebab primer dari dislipidemia sekunder, juga harus ditata laksana
7. Komplikasi ❑ Aterosklerosis
❑ Penyakit jantung koroner
❑ Stroke pankreatitis akut
8. Prognosis Dubia ad bonam
9. Kepustakaan 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Melaus
di Indonesia. 1995.
2. Expert Panel on Detection, EvaluatioD, and Treatment of High blood
Cholesterol in, Adults. Executive Summary of the Third Report of the
National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in
Adults (Adult Treatment Panei !If). JAMA,May 16,
2001;285(19):2486-97.
3. Semiardji G. National Cholesteroi Education Program - Adult
Treatment Pane! III (NCEPATP III): Adakah hal yang baru? Makalah
Siang' Klinik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian Ilmu Penyakit
Dalam, 2002.
4. Ginsberg HN, GoldSerg IJ. Disorders of Lipcpfotein Metabolism. In
Braunwald E, Fauci AS. Kasper DL, Hauser SL, Longc DL. Jameson
JL. Harrison's Principles of Internal Medicine.15th ed. New York: Mg
Graw-Hill, 2001:2245-57
5. Suyono S. Terapi Gislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai
Kapan? Prosidiny Simposium Current Treatment in -Internal Medicine
2000. Jakarta,11-12 November 2000:185-99

273
GIGANTISME DAN AKROMEGALI
SKDI 1

1. Pengertian • Gigantisme:
(definisi) o Kelebihan GH yang terjadi sebelum penutupan lempeng
pertumbuhan epifisis tulang panjang (Kowalak, 2011).
o GH berlebihan menyebabkan gigantisme pada masa kehidupan yang
lebih awal (Rubenstein, wayne & Bradley, 2007).
• Akromegali:
o Kelebihan hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) yang dimulai
pada usia dewasa (sesudah penutupan lempeng epifisis) (Kowalak,
2011).
o GH berlebihan menyebabkan akromegali pada orang dewasa (setelah
penyatuan epifisis) (Rubenstein, Wayne & Bradley, 2007)
2. Anamnesis • Akibat massa tumor: sakit kepala, defek lapangan pandangan,
hemianopsia bitemporal, keluhan-keluhan akibat hiperprolaktinemia.
Defisiensi gonadrotropin, glukokortikoid dan hormone tiroid.
• Akibat kelebihan GH/IGF-1: amat cepat pertambahn tinggi badan
(gigantisme), pembengkakan jaringan lunak dan pembesaran ekstremitas
(peningkatan ukuran cincin dan sepatu), hyperhidrosis, wajah besar,
prognatisme, makroglosia, artritis, apneu obstruktif sewaktu tidur,
intoleransi glukosa/DM hipertensi dan penyakit kardiovaskuler,
hiperfosfatemia, hiperkalsiuria, hipertrigliseridemia, payah jantung,
polip/Ca colon.
3. Pemeriksaan Fisik Tucker, et al. (2007) menjelaskan pengkajian sistem endokrin meliputi :
• Data Subjektif
o Perubahan stamina dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari
hari (ADL)
o Berkemih, haus, atau lapar yang berlebihan
• Data Objektif
Kowalak (2011) menyebutkan manifestasi klinis pada pasien dengan
gigantisme dan akromegali adalah sebagai berikut :
Gigantisme
o Rasa sakit pada punggung, artralgia, dan artritis akibat pertumbuhan
tulang yang cepat
o Tinggi badan yang berlebihan akibat pertumbuhan berlebihan
sebelum lempeng epifisis menutup
o Sakit kepala, muntah, serangan kejang, gangguan penglihatan, dan
papiledema (edema pada tempat nervus optikus memasuki rongga
bola mata) yang semua terjadi karena tumor yang menekan saraf dan
jaringan pada struktur di sekitar
o Defisiensi pada sistem hormon yang lain (jika tumor yang
memproduksi GH menghancurkan sel-sel penghasil hormon yang
lain)
o Intoleransi glukosa dan diabetes melitus akibat kerja GH yang
merupakan antagonis insulin
• Akromegali
o Diaforesis, kulit berminyak, hipermetabolisme, hipertrikosis
(pertumbuhan rambut yang berlebihan), kelemahan, artralgia,
maloklusi gigi, dan organ tambahan kulit yang baru (tipikal)
o Sakit kepala hebat, kerusakan sistem saraf pusat, hemianopia
bilateral (defek pengelihatan), penurunan ketajaman pengelihatan
dan kebutaan (jika tumor intrasela tursika menekan kiasma optikum
atau nervus optikus)
o Pertumbuhan berlebihan tulang rawan dan jaringan ikat sehingga
274
pasien tampak seperti raksasa yang khas disertai pembesaran krista
supraorbita dan penebalan telinga serta hidung
o Prognatisme nyata (penonjolan rahang) yang dapat mengganggu
gerakan mengunyah
o Hipertrofi laring, pelebaran sinus paranasal, dan penebalan lidah
yang menyebabkan suara pasien menjadi lebih berat dan dalam
o Penampilan falang distal yang menyerupai kepala anak panah pada
foto rontgen, penebalan jari-jari tangan
o Iritabilitas, sikap permusuhan, dan berbagai gangguan psikologis
o Tungkai yang melengkung seperti busur (bowleg), dada seperti tong
(barrel chest), artritis, osteoporosis, kifosis, hipertensi, dan
arteriosklerosis (efek sekresi GH yang berlebihan dan berlangsung
lama)
o Intoleransi glukosa dan diabetes melitus akibat kerja GH sebagai
antagonis insulin
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan laboratorium
Penunjang Dilakukan untuk mengukur kadar hormon hipofisis dalam serum. Pada]
pemeriksaan ini ditemukan peningkatan kadar hormone pertumbuhan.
Selain itu, dari penilaian terhadap efek perifer hipersekresi hormone
pertumbuhan didapatkan peningkatan kadar insulin like growth factor-I
(IGF-I). Oleh karena sekresinya yang bervariasi sepanjang hari,
pemeriksaan hormon pertumbuhan dilakukan 2 jam setelah pembebanan
glukosa 75 gram.
• Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI)
Dengan kontras diperlukan untuk mengonfirmasi sumber sekresi
hormone pertumbuhan. Pemeriksaan MRI dapat memperlihatkan tumor
kecil yang berukuran 2 mm. (Cahyanur, Rahmat 2010, hal. 282)
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis akromegali / gigantisme ditegakkan atas dasar gambaran klinis
yang cukup jelas dan dipastikan oleh ditemukannya:
• Kadar GH tidak bisa ditekan sampai < 2 ng/ml dalam 2 jam setelah
pembebanan dengan glukosa sebanyak 75-100 gr.
• Peningkatan kadar IGF-1 berdasarkan nilai normal untuk usianya.
• Peningkatan kada IGFBP-3
• Tumor hipofisis atau tumor-tumor lain (hipotalamus, paru, pancreas,
dll) pada pemeriksaan CT-Scan atau lebih baik MRI.
6. Diagnosis Banding
7. Terapi Pembedahan
Tindakan pembedahan diharapkan dapat mengangkat seluruh massa
tumor sehingga kendali terhadap sekresi hormon pertumbuhan dapat
tercapai. Tindakan ini menjadi pilihan pada pasien dengan keluhan yang
timbul akibat kompresi tumor. Ukuran tumor sebelum pembedahan
mempengaruhi angka keberhasilan terapi. Pada pasien dengan
mikroadenoma (ukuran tumor < 10 mm), angka normalisasi IGF-1
mencapai 75-95% kasus, sementara pada makroadenoma angka
normalisasi hormonal lebih rendah, yaitu 40-68%. Selain ukuran tumor,
faktor lain yang menentukan keberhasilan tindakan operasi adalah
pengelaman dokter bedah dan kadar hormon sebelum operasi.
Medikamentosa
o Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas 3 golongan
yakni:
o Dopamin agonis terdiri atas bromokritin dan cabergoline.
Monoterapi dengan cabergoline memiliki efekasi antara 10-35%
dalam menormalisasi kadar IGF1.
o Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon somatostatin, yaitu
menghambat skresi hormon pertumbuhan. Obat golongan ini
memiliki efektifitasnya yang tinggi sekitar 70% dalam
menormalisasi kadar IGF-1 dan hormon pertumbuhan. Selain itu

275
terapi analog somatostatin juga dapat mengecilkan ukuran tumor
(80%), perbaikan fungsi jantung, tekanan darah, serta profilipid.
Kendala utama yang dihadapi adalah mahalnya biaya. Analog
somatostatin diberikan secara injeksi sub kutan beberapa kali dalam
sehari, tetapi saat ini telah ada sediaan baru dengan masa
kerjapanjang yang diberikan secara injeksi intra muscular setiap 28
hari sekali.
o Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan kelas baru
dalam terapi medikamentosa akromegali. Obat ini direkomendasikan
pada akromegali yang tidak dapat dikontrol dengan pembedahan,
pemberian agonis dopamin, maupun analog somatostatin. Antagonis
reseptor hormonpertumbuhan dapat menormalisasi kadar IGF-1 pada
90% pasien.
Radioterapi
Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama pada
kasus akromegali, karena lamanya rentang waktutercapainya terapi
efektif sejak pertama kali dimulai. Radioterapi ini memerlukan waktu
10-20 tahun untuk mencapai terapi yang efektif.
8. Komplikasi • Hemiparesis
• Gangguan kepribadian
• Osteoatritis
• Hipertropi ventrikel jantung
• Hipertensi
• Diabetes mellitus
• Hipertrigliseridemia
• Sleep apnoe
• Hiperkalsiuria
• Hiperkalsemia
• Nefrolitiasis
• Sindrom trowongan karpal (carpal tunnel syndrome)
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia
10. Kepustakaan 1. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-18. New York:
McGraw-Hill:2012
2. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI.
3. Buku Ajar Penyakit Dalam, jilid II, edisi V
4. Gracia Y.V. Daimboa & Agung Pranoto. 2006. Artikel Tatalaksana
seorang penderita gigantisme dengan Makroadenoma hipofisis dan
diabetes mellitus
5. Rubenstein, David, David Wayne, dan John Bradley. 2007. Kedokteran
Klinis Edisi 6. Alih Bahasa Annisa Rahmalia. Jakarta : Erlangga
6. Kowalak, Jenifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Alih Bahasa Andry
Hartono. Jakarta : EGC

276
HIPOGONADISME
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Hipogonadisme adalah suatu kondisi dimana kelenjar seks tubuh memproduksi
sangat sedikit atau sama sekali tidak menghasilkan hormone.
2. Anamnesis • Tidak ditemukan kelainan endokrin, metabolik, kongenital, atau penyakit
kronik
• Pubertas terlambat
• Prediksi tinggi akhir normal
• Dalam keluarga ibu atau kedua orangtuanya, atau salah satu saudara kandung
pernah mengalami pubertas terlambat
• Kehilangan berat badan akibat penyakit kronis
3. Pemeriksaan Fisik • Status nutrisi baik
• Tidak ditemukan kelainan fisik, dismorfik maupun proporsi tubuh
• Perawakan pendek
• Usia tulang lebih muda 2 tahun atau lebih dibandingkan usia kroonologis
4. Pemeriksaan Pemeriksaan Laboratorium:
Penunjang Pengambilan kadar testoteron serum
Test stimulasi GnRH
Test stimulasi HCG
Kadar gonadotropi serum dan kariotip
5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
6. Diagnosis Banding Family short stature
7. Terapi Sebelum pengobatan ada beberapa criteria yang harus dipenuhi yaitu:
1. Umur minimal 12 tahun untuk oksandrolon dan 14 tahun untuk testosterone
2. Umur tulang minimal 10 tahun
3. Tinggi dibawah persentil 3
4. Status pubertas masih prepubertal
5. Pasien terbukti ada gangguan self-image

- Oksandrolone 1.25-2.5 mg/hari peroral selama 3-40 bulan


- Testosterone 50-200 mg secara parenteral setiap 3-4 minggu
8. Komplikasi Komplikasi yang tidak diobati termasuk hilangnya libido, kegagalan untuk
mencapai kualitas fisik, osteoporosis.
9. Prognosis Quo ad vitam: Dubia
Quo ad functionam: Dubia
Quo ad sanationam: Dubia
10. Kepustakaan 1. Rosenfield RL, Puberty in the female and its disorder. Dalam: Sperling MA,
penyunting. Pediatric endocrinology, edisi ke 2. Philadelphia: Saunders, 2002;
455-518
2. Pathomvanich A, Merke DP, Chrousos GP, Early puberty: A Cautionary tale. J
Pediatric: 2000;105: 797-802
3. Cavallo A. Assesment of variation of pubertal development. Dalam Baker RC,
penyunting. Pediatric primary care ill-child care, edisi ke 2, Philadephia:
Lippincott William, 2001; 163-175.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

277
HIPOGLIKEMIA
SKDI 4A

1. Pengertian Kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dl dengan
(definisi) gejala klinis
Hipoglikemia pada DM terjadi karena :
❑ Kelebihan obat/dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
❑ Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun : gagal ginjal kronik,
pasca persalinan
❑ Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak
tepat
❑ Kegiatan jasmani berlebihan
2. Diagnosis Gejala dan tanda klinis
❑ Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
❑ Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sementara
❑ Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
❑ Stadium ganguan otak berat ; tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
3. Anamnesis Anamnesis :
❑ Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral : dosis terakhir,
waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis
❑ Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
❑ Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
❑ Lama menderita DM, komplikasi DM
❑ Penyakit penyerta; ginjal, hati, dll
❑ Penggunaan obat sistemik lainnya : penghambat adrenergik dll
4. Pemeriksaan Fisik ❑ Pucat, diaphresis
❑ Tekanan darah
❑ Frekuensi denyut jantung
❑ Penurunan kesadaran
❑ Defisit neurologik fokal transien
Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum
1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
5. Diagnosis Hipoglikemia
6. Diagnosis Banding Hipoglikemia karena
❑ Obat
❑ (Sering) : insulin, sulfonilurea,alkohol
❑ (kadang) : kinin, pentamidine
❑ (jarang) : salisilat, sulfonamide
❑ Hiperinsulinisme endogen
❑ Insulinoma
❑ Kelainan sel jenis lain
❑ Sekretagogue : sulfonilurea
❑ Autoimun
❑ Sekresi insulin ektopik
❑ Penyakit kritis
❑ Gagal hati
❑ Gagal ginjal
❑ Gagal jantung
❑ Sepsis
❑ Starvasi dan inanis
❑ Defisiensi endokrin
❑ Kortisol, growth hormone
❑ Glukagon, epinefrin
❑ Tumor non –sel
278
❑ Sarkoma
❑ Tumor adrenokortikal, hepatoma
❑ Leukemia, limfoma, melanoma
❑ Pasca-prandial:
❑ Reaktif (setelah operasi gaster)
Diinduksi alcohol
7. Pemeriksaan Kadar glukosa darah (GD)
Penunjang Tes fungsi ginjal
Tes fungsi hati
C-peptide
8. Terapi Stadium permulaan (sadar)
❑ Berikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirop/permen gula
murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan
makanan yang mengandung karbohidrat
❑ Stop obat hipoglikemik sementara
❑ Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
❑ Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga hipoglikemia) :
1. Diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus
intravena
2. Diberikan cairan dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan glukometer
❑ Bila GDS < 50 mg/dl → + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
❑ Bila GDS < 100 mg/dl → + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
4. Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%
❑ Bila GDS < 50 mg/dl → + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
❑ Bila GDS < 100 mg/dl → + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
❑ Bila GDS < 100-200 mg/dl → + bolus Dekstrosa 40% ml IV
❑ Bila GDS > 200 mg/dl → pertimbangkan menurunkan kecepatan
drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut pemantauan GDS
setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDS > 200 mg/dl →
pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%
Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut pemantauan GDS
setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di
atas. Bila GDS > 200 mg/dl → pertimbangkan mengganti infus dengan
Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut sliding scale setiap
6 jam :
(mg/dl) (Unit subkutan)
< 200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20
GD → RI
❑ Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis
insulin, seperti : adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg
IV/IM (bila penyebab insulin) Bila pasien belum sadar, GDS sekitar 200
mg/dl Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau Deksametason
10 mg IV bolus dianjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 – 2 g/kgBB
IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain kesadaran menurun
9. Komplikasi Koma hipoglikemik
10. Prognosis Dubia
11. Kepustakaan 1. PERKENI, Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2006.
Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding
Simposium Penatalaksanaan
279
2. Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakti Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000 :
83-8
3. Cryer PE Hypoglycemia. In Brauwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, James JL. Horrison’s Principles of Internal Medicine. 15th
ed New York McGraw-Hill, 2001:2138-43

280
HIPERPARATIROID
SKDI 1

1. Pengertian (definisi) Penyakit yang disebabkan kelebihan sekresi hormone paratiroid, hormon
asam amino polipeptida.

2. Anamnesis Pasien mungkin tidak atau mengalami tanda-tanda dan gejala akibat
terganggunya beberapa sistem organ. Gejala apatis, keluhan mudah lelah,
kelemahan otot, mual, muntah, konstipasi, hipertensi dan aritmia jantung.
Gejala musculoskeletal: nyeri skeletal dan nyeri tekan, khususnya di daerah
punggung dan persendian; nyeri ketika menyangga tubuh; fraktur patologik;
deformitas; dan pemendekkan badan.
3. Pemeriksaan Fisik a) Observasi dan palpasi adanya deformitas tulang.
b) Amati warna kulit, apakah tampak pucat.
c) Perubahan tingkat kesadaran.
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4), TSH, dan
Penunjang TRH, Kalsium, Fosfat,
• Rontgen
5. Kriteria Diagnosis Laboratorium:
1) Kalsium serum meninggi
2) Fosfat serum rendah
3) Fosfatase alkali meninggi
4) Kalsium dan fosfat dalam urin bertambah
5) Foto Rontgen:
Tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi
Cystic-cystic dalam tulang
Trabeculae di tulang
PA: osteoklas, osteoblast, dan jaringan fibreus bertambah
6. Diagnosis Banding -
7. Terapi • Tindakan bedah untuk mengangkat jaringan paratiriod yang abnormal.
• Pemberian fosfat oral
• Menghindari diet kalsium terbatas atau kalsium berlebih
• Mobilitas pasien dengan banyak berjalan
8. Komplikasi 1) peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor
2) Dehidrasi
3) batu ginjal
4) hiperkalsemia
5) Osteoklastik
6) osteitis fibrosa cystica
9. Prognosis Ad vitam: dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
10. Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam,
Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC.
3. Idrus Alwi, Simon Salim, Rudy Hidayat. 2015. Panduan Praktik Klinis:
Prosedur di Bidang Ilmu Penyakit Dalam & Penatalaksanaan di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.
4. Ganong.1998.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

281
HIPOTIROID
SKDI 2

1. Pengertian Hipotiroid merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya sintesis
(definisi) hormon yang rendah di dalam tubuh. Berbagai keadaan dapat menimbulkan
hipotiroid baik yang melibatkan kelenhar tiroid secara langsung maupun
tidak langsung.

2. Anamnesis • Merasa lelah dan lemah • Berat badan bertambah


• Kulit kering dengan nafsu makan yang
• Tidak tahan terhadap suhu dingin berkurang
• Rambut rontok • Suara yang memberat
• Sulit berkonsentrasi, cepat lupa dan • Menoragi
terkaang disetai gangguan mental • Parestesi
• Depresi • Atralgi
• Konstipasi • Gangguan pendengaran
• Sesak • Gangguan haid
3. Pemeriksaan Fisik • Lambat bergerak • Edema non pitting
• Lambat berbicara • Hiporefleksi
• Kulit kering dan kasar • Relaksasi tendon terlambat
• Ujung ekstremitas dingin • Sindrom Carpal tunnel
• Botak • Efusi rongga tubuh
• Berngkak pada wajah, kaki dan • Dapat ditemui adanya
tangan (myxedema) pembesaran kelenjar tiroid
• Bradikardia yang merata (difus)
4. Pemeriksaan • Pengukuran kadar TSH
Penunjang • Pengukuran kadar T4 (khusunya T4 bebas)Darah perifer lengkap:
anemia, trombositosis
5. Kriteria Diagnosis

6. Diagnosis Banding • Hashimoto Tiroid


• Autoimmune Thyroid Disease
7. Terapi Pendekatan penatalaksanaan hipotiroid dapat dilakukan dengan melihat
manifestasi klinis pada penderita.

Pada pasien dengan gejala hipotiroid yang nyata dan disertai dengan
pennurunan TSH bebas dan keniakan TSH (hipotiroid klinis)
• Levotiroksin (T4) 1,6 ug/KgBB/hari (total : 100-150ug/hari)
282
• Pasien > 60 tahun tanpa penyakit jantung dan pembuluh darah :
50ug/hari
• Peningkatan dosis levotiroksin dilakukan secara perlahan apabila kadar
TSH belum mencapai batas normal. Penambahan 12,5 - 25 ug/hari
dilakukan setiap 2 bulan (sesuai dengan kadar TSH.
• Penurunan dosis sebesar 12,5 - 25 ug/hari dilakukan setiap 2 bulan
apabila kadar TSH menurun dibawah normal sebagai akibat adanya
penekanan produksi TSH.

• Pada pasien hipotiroid sub-klinis (keadaan dimana pada pasien tidak


didapatkan gejala hipotiroid, kadar T4 bebas dalam batas normal namun
kadar TSH telah meningkat). belum ada kesepakatan rekomendasi terapi
levotiroksin.

• Pada umumnya terapi levotiroksin belum diberikan apabila kadar TSH


masih < 10 mU/L. Terapi baru diberikan apabila peningkatan TSH
berlangsung lebih dari 3 bulan yang diketahui dari beberapa kali
pemeriksaan kadar TSH. Kecenderungan menjadi hipotiroid klinis pada
kelompok ini semakin besar pada pasien yang disertai dengan hasil TPO-
Ab yang positif. Pemberian levotiroksin selalu dimulai dengan dosis
yang rendah dan dinaikkan secara bertahap.

• Pada pasien yang tidak memerlukan terapi levotiroksin (TSH -:I0 mU/L),
pemeriksaan kadar TSH perlu dilakukan setiap tahun.
Efek klinis terapi levotiroksin yang tidak segera terlihat (gejala dirasakan
hilang pada 3 - 6 bulan seelah kadar TSH mencapai normal) harus
diberitahukan kepada pasien agar pasien tidak menghentikan program
pengobatan yang memang memerlukan waktu lama

8. Komplikasi Myxedema, Cacat lahir pada bayi, efusi pleura, goiter, infertilitas, masalah
mental seperti depresi
9. Prognosis Prognosis baik dengan terapi yang adekuat.
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
10. Kepustakaan 1. Brent GA, Davies TF. Hypothyroidism and Thyroiditis. In: Williams
Textbook of Endocrinology. 12" edition. Sunder USA. 2011, pp:406 -
439
2. Breverman LE, Utiger RD. introduction to Hypothyroid:sm. In: The
Thyroid - a Fundamental and Clinical Text. gth Ed. 2000, pp719-720
3. Galofre JC, Garcia-Mayor RV, Fluiters E, Femandez-Calvet L, Rego A,
Paramo C & Andrade MA. Incidence of different forms of thyroid
dysfunction and its degrees in an iodine scfficient area. Thyroidology.
1994,6:49-54.
4. Hunter I, Greene SA, MacDonald TM, Morris AD. Prevalence and
aetiology of hypothyroidism in the youngArch Dis Child 2000;83:207-
210
5. Jameson JL, Weetrnan AP. Disorder of The Thyroid Gland. In: Harrison
Principle's of Internal Medicine 16th Ed. 2005, pp:2104 - 2126
6. Jameson JL, Weetman AP. Disorder of The Thyroid Gland. In: Harrison
Principle's of Internal Medicine 18Ih Ed. 2012, pp:2911- 2922
7. Olney RS, Grosse SD, Vogt Jr RF. Prevalence of Congenital
Hypothyroidism - Current Trends and Future Directions: Workshop
Summary. Pe,diatrics 2010;125:S31-S36
8. Vanderpump MP, TunbridgeWM, French JM, Appleton D, Bates D,
Clark F, Grimley Evans J, Hasan DM, Rogers H, Tunbridge F & Young
ET. The incidence of thyroid disorders in the community: a twenty-year
follow-up of the Whickham Survey. Clinical Endocrinology.
283
1995,4355-68.
9. Departemen Penyakit Dalam. 2017. Panduan Praktek Klinik
Departemen Penyakit Dalam. Palembang : RSUP dr. Mohamad Hoesin.
10. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, et al. Eds. 2005. Harrison’s Principle
of Internal Medicine. 16th eds. Amerika Serikat : McGraw-Hill.

284
HIPERGLIKEMIK HIPEROSMOLAR NON KETOTIK (HHNK)
HYPERGLYCEMIC HYPEROSMOLAR STATE (HHS)
SKDI 3

1. Pengertian komplikasi akut pada DM tipe 2 berupa peningkatan kadar gula darah yang
(definisi) sangat tinggi (> 600mg/dl-1200mg/dl) dan ditemukan tanda-tanda dehidrasi
tanpa disertai gejala asidosis. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan
DM, yang mempunyai penyakit penyerta dengan asupan makanan yang
kurang. Faktor pencetus serangan antara lain: infeksi, ketidakpatuhan dalam
pengobatan, DM tidak terdiagnosis, dan penyakit penyerta lainnya.
2. Anamnesis K eluhan
1. Lemah
2. Gangguan penglihatan
3. Mual dan muntah
4. Keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma.
keluarga biasanya faktor penyebab pasien datang ke rumah sakit adalah
poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, dan penurunan kesadaran
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
1. Pasien apatis sampai koma
2. Tanda-tanda dehidrasi berat seperti: turgor buruk, mukosa bibir kering,
mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin, denyut nadi cepat dan lemah.
3. Kelainan neurologis berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik, dapat
juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi defisit cairan
4. Hipotensi postural
5. Tidak ada bau aseton yang tercium dari pernapasan
6. Tdak ada pernapasan Kussmaul.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Penunjang Darah tepi: Pemeriksaaan kadar gula darah
5. Kriteria Diagnosis Secara klinis dapat didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan kadar gula darah sewaktu
6. Diagnosis Banding • Ketoasidosis Diabetik (KAD)
• Ensefalopati uremikum
• Ensefalopati karena infeksi
7. Terapi Penanganan kegawatdaruratan yang diberikan untuk mempertahankan pasien
tidak mengalami dehidrasi lebih lama. Proses rujukan harus segera dilakukan
untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut.
Pertolongan pertama dilayanan primer adalah:
1. Memastikan jalan nafas lancar dan membantu pernafasan dengan
suplementasi oksigen
2. Memasang akses infus intravena dan melakukan hidrasi cairan NaCl 0.9
% dengan target TD sistole > 90 atau produksi urin >0.5 ml/kgbb/jam
3. Memasang kateter urin untuk pemantauan cairan
4. Dapat diberikan insulin rapid acting bolus intravena atau subkutan
sebesar 180 mikrounit/kgBB
8. Komplikasi Oklusi vakular, Infark miokard, Low-flow syndrome, DIC, Rabdomiolisis
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
10. Kepustakaan 1. Setiati S, Alwi l, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing;
2014.
2. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J,
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-18. New York.
McGraw-Hill; 2012.

285
HIPOPARATIROIDISME
SKDI 3A

1. Pengertian Hipoparatiroidisme adalah keadaan berkurangnya hormon paratiroid; yang


(definisi) dapat dibagi menjadi hipoparatiroidisme herediter (hipoparatiroidisme akibat
defek genetik) dan hipoparatiroidisme akuisita (dapat terjadi sekunder setelah
pembedahan pada daerah leher, atau karena jejas akibat radioterapi atau
penyebab lainnya).
2. Anamnesis a. Gejala ekstrapriramidal lebih sering terjadi pada hipoparatiroid herediter:
distonia, pergerakan choreathetotic
b. Perubahan status mental: iritabilitas, depresi, psikosis
c. Perubahan kronik pada kuku dan rambut
d. Alopecia dan kandidiasis sering terjadi pada hipoparatiroidisme herediter
3. Pemeriksaan Fisik a. Manifestasi neurologik dan neuromuskular
b. Gagal nafas dapat terjadi
c. Kram usus dan malabsorbsi kronik dapat terjadi
d. Papiledema dan peningkatan tekanan intrakranial
e. Tanda Chvostek dan Trousseau dapat ditemukan
f. Katarak lentikular
4. Pemeriksaan a. Hipokalsemia, hiperkalsiuria
Penunjang b. Kalfisikasi ganglia basal lebih sering terjadi pada hipoparatiroidisme
herediter
c. EKG: internal QT memanjang, aritmia
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Banding Pseudohiopoparatiroidisme, hipokalsemia oleh sebab lain
7. Terapi Medikamentosa
o Kalsium oral dosis tinggi (> 1 gr kalsium elemental); jika perlu
dikombinasikan dengan vitamin D dosis 40.000-120.000 U/hari (1-3
mg/hari).
o Diuretik tiazid
o Penambahan terapi pengganti hormon paratiroid 1-84 pada terapi
konvensional (kalsium dan vitamin D) terkait penurunan kebutuhan
kalsium dan vitamin D harian.
8. Komplikasi Hipoparatiroid menyebabkan rendahnya level kalsium di dalam darah. Jika
tidak segera diobati akan berdampak kepada kesehatan tubuh penderita.
Beberapa kondisi yang mungkin berkembang sebagai komplikasi
hipoparatiroid, antara lain:
a. Hilang kesadaran disertai kejang.
b. Kejang otot yang terjadi secara mendadak akibat tidak berfungsinya
kelenjar paratiroid dan kekurangan kalsium.
c. Cacat yang berdampak kepada bentuk, enamel, dan akar gigi.
d. Gangguan pada fungsi ginjal.
e. Aritmia, hingga gagal jantung.
f. Parestesia, gangguan sensorik seperti ditusuk jarum atau kesemutan yang
dirasakan di area bibir, lidah, jari tangan, dan kaki.
Beberapa komplikasi hipoparatiroid yang lebih serius dan sulit diobati ini juga
patut diwaspadai, yaitu:
a. Katarak.
b. Penumpukan kalsium di otak yang dapat memengaruhi keseimbangan
tubuh dan munculnya kejang.
c. Terhambatnya perkembangan mental pada anak-anak.
d. Terhambatnya pertumbuhan fisik (bertubuh pendek).
9. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam

286
10. Kepustakaan 1. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006
2. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006
3. A.W., Sudoyo, B., Setiyohadi, I., Alwi, M., Simadibrata, S., Setiati
(eds).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Interna Publishing:Jakarta.
4. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In: Braunwald, E. et
al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16thEd.New York:
McGraw-Hill. 2004
5. Potts Jr. 2012. Disease of parathyroid gland. Dalam: Harrison’s Principle
of internal medicine edisi ke-18. McGraw-Hill Co.
6. Rubin et al. 2010. Therapy of hypoparatyroidism with intact parathyroid
hormone. Osteoporosis int.
7. Sitqes-Serra et al. 2010. Outcome of protected hypoparathyroidism after
total thyroidectomy. Br J Surg.

287
KETO-ASIDOSIS DIABETIK (KAD)
SKDI 3B

1. Pengertian Kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau


(definisi) relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius.
Gambaran klinis utama KAD adalah hiperglikemia, ketosis dan asidosis
metabolik
Faktor pencetus :
❑ Infeksi
❑ Infark miokard akut
❑ Pankreatitis akut
❑ Penggunaan obat golongan steroid
❑ Penghentian atau pengurangan dosis insulin
2. Anamnesis Klinis :
❑ Keluhan poliuri, polidipsi
❑ Riwayat berhenti menyuntik insulin
❑ Demam/infeksi
❑ Muntah
❑ Nyeri perut
❑ Kesadaran : CM – delirium-koma
❑ Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul)
❑ Dehidrasi ( turgor kulit, lidah dan bibir kering)
❑ Dapat disertai syok hipovolemik
3. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis :
Kadar glukosa : > 250 mg/dl
PH : < 7,35
HCO3 : rendah
Anion gap : tinggi
Keton serum : positif dan atau ketonuria
4. Diagnosis Keto-Asidosis Diabetik (KAD)
5. Pemeriksaan Pemeriksaan cito
Penunjang ❑ Gula darah
❑ Elektrolit
❑ Ureum, kreatinin
❑ Aseton darah
❑ Urine rutin
❑ Analisa gas darah
❑ EKG
Pemantauan
❑ Gula darah: tiap jam
❑ Na+, K+, Cl- : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan
❑ Analisa gas darah : bila pH < 7 saat masuk → diperiksa
❑ setiap 6 jam s/d pH > 7,1. selanjutnya setiap hari sampai stabil
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi)
❑ Kultur darah
❑ Kultur urin
❑ Kultur pus

288
6. Terapi Akses IV 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way
I. Cairan :
❑ NaCl 0,9% diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1 L
pada jam kedua, lalu ± 0,5 L pada jam ketiga dan kempat, dan
± 0,25 L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai
kebutuhan
❑ Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 liter
❑ Jika Na+ > 155 mEq/L → ganti cairan dengan NaCl 0,45%.
❑ Jika GD < 200 mg/dl → ganti cairan dengan dekstrosa 5%

II. Insulin (Regular insulin = RI)


❑ Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
❑ RI bolus 180 mU/kgBB IV dilanjutkan
❑ RI drip 90 mU/kgBB /jam dalam NaCl 0,9%
❑ Jika GD < 200 mg/dl kecepatan dikurangi → RI drip 45
mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%
❑ Jika GD stabil 200-300 mg/dl selama 12jam → drip 1-2 U/jam
IV, disertai sliding scale setiap 6 jam
GD → RI
(mg/dl) (Unit, subkutan)
< 200 0
200-250 8
250-300 12
300-350 16
> 350 20
❑ Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dl : drip RI dihentikan
❑ Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan
kebutuhan insulin ehari → dibagi 3 dosis sehari subkutan,
sebelum makan (bila pasien sudah makan)
III. Kalium
❑ Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip Rl
❑ dengan dosis 50 mEq/6 jam. Syarat : tidak ada gagal ginjal, tidak
ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan
jumlah urine cukup adekuat
❑ Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
< 3,5 → drip KCl 75 mEq/6 jam
3,0-4,5 drip KCl 50 mEq/6 jam
4,5-6,0 drip KCl 25 mEq/6 jam
> 6,0 drip stop
❑ Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu
. Bicarbonat
Drip 100 mEq bila pH < 7,0 disertai KCl 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7,0-7,1 disertai KCl 13 mEq drip
juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang
mengancam
V. Tatalaksana Umum
O2 bila PO2 < 80 mmHg
Antibiotika adekuat
Heparin : bila ada DIC atau hiperosmolar ( > 380 mOsml IV
Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis
❑ Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan temperatur
setiap jam,
❑ Kesadaran setiap jam
❑ Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
❑ Produksi urin setiap jam
❑ Cairan infus yang masuk setiap jam
Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang)
7. Komplikasi Syok hipovolemik
289
Edema paru
Hipertrigliseridemia
Infark miokard akut
Hipoglikemia
Hipokalemia
Hiperkloremia
Edema otak
Hipokalsemia
8. Prognosis Dubia ad malam. Tergantung pada usia, komorbid, adanya infark
miokard akut, sepsis, syok.
9. Kepustakaan 1. PERKENI. PETUNJUK Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe
2. 2006
2. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-8
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam Prosiding Simposium
panatalaksaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta, 15-16 April 2000 : 89-96.
4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ. Kreisberg
RA, Malone Jl. Et.al. management of Hyperglycemic Crises in
Patients With Diabetes. Diabetes Care, Jan 2001:24 (1) : 121-51.

290
KRISIS ADRENAL
SKDI 3B

1. Pengertian Krisis adrenal adalah keadaan yang mengancam jiwa akibat insufisiensi
(definisi) akut kadar hormon kortisol yang diproduksi dan dikeluarkan oleh
kelenjar adrenal.
2. Anamnesis • Lemah.
• Penurunan berat badan.
• Nyeri perut, nyeri punggung dan tungkai.
• Keinginan untuk makan makanan yang asin.
• Frekuensi defekasi, pasien bisa diare, konstipasi.
• Pingsan.
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada pasien dengan adrenal insufisiensi menunjukkan
temuan yang tidak spesifik. Pasien dengan insufisiensi mineralokoftikoid
menunjukkan tanda deplesi volume dan sodium, misalnya hipotensi
orthostatik dan takikardi. Penurunan suhu tubuh sering terjadi, meskipun
demam dapat terjadi ketika krisis dipresipitasi oleh infeksi akut. Tanda
hiperpigmentasi dapat ditemukan pada area yang terekspose matahari
atau area yang terkena friksi dan tekanan. Oligouria dan anuria dapat
terjadi apabila komplikasi ARF terjadi. Pada insufisiensi adrenal akut
yang berat, syok dan penurunan kesadaran dapat terjadi.
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan eosinofilia dan
Penunjang polisitemia relatif.
• Pemeriksaan hormon kortisol dan ACTH.
• Peningkatan LED dan CRP.
• Pemeriksaan elektrolit: kadar potassium yang tinggi dan sodium yang
rendah.
• Kimia darah: peningkatan urea dan kreatinin, penurunan kadar
glukosa darah akibat kurangnya hormon koftisol.
• Analisa gas darah: asidosis metabolik.
• Kultur darah dilakukan apabila ada kecurigaan infeksi sebagaifaktor
presipitat krisis adrenal, sedangkan auto-antibodi adrenal dilakukan
bila ada kecurigaan yang mengarah kepada Addison's Disease.
• ECG: prolonged QT interval, yang dapat memicu terjadinya aritmia
ventrikel dan T tall sebagai tanda hiperkalemia.
• Foto toraks dilakukan bila ada kecurigaan TB paru.
• CT Scan abdomen dilakukan bila ada kecurigaan adanya perdarahan,
kalsifikasi (tanda TB renal) dan metastasis pada kelenjar suprarenal.
• CT Scan/MRl kepala dilakukan bila ada kecurigaan ke arah tumor
hipofisis.
5. Kriteria Diagnosis • Kunci pemeriksaan pada krisis hipoadrenal adalah kadar kortisoldan
ACTH pada jam 9 pagi. Diagnosis insufisiensi adrenal ditegakkan
bila ditemukan penurunan hingga undetectable kadar serum kortisol
(sebaliknya bila serum kortisol > 550 nmol/L maka diagnosis krisis
adrenal dapat disingkirkan). Penurunan kadar kortisol yang disertai
peningkatan ACTH menunjukkan adanya insufisiensi adrenal primer
sedangkan penurunan kadar kortisol yang disertai dengan
peningkatan ACTH menunjukkan adanya insufisiensi adrenal
sekunder.
• Pada kondisi serum kortisol detectable namun < 550 nmol/L, dapat
dilakukan Tes Stimulasi ACTH dengan pemberian synacthen 250 pg
lM/lV dilanjutkan dengan pengukuran serum kortisol pada menit 0,
30, dan 60. Diagnosis krisis adrenal dapat ditegakkan bila kadar
serum kortisol < 550 nmol/L pada menit ke-30 atau 60. Pemeriksaan
kortisol urin 24 jam hanya dapat dilakukan pada keadaan non-
emergensi.
291
6. Diagnosis Banding Tergantung dari penyebab dan gejala klinisnya:
• Anorexia nervosa
• Acute appendicitis
• Cholecystitis dan cholelithias
• Gastroenteritis
• Hiperkalemia, hiperkalsemia, hipoglikemia, hiponatremia,
hipopituitarisme, hipotiroidisme
7. Terapi Airway, breathing dan circulation harus dimonitor pada pasien dengan
krisis adrenal dan dilakukan penatalaksanaan bila terjadi gangguan.
• Hipovolemia dikoreksi dengan pemberian cairan NaCl 0.9%.
• Hipoglikemia dikoreksi dengan cairan dextrose.
• Electrolyte imbalance juga dikoreksi sesuai dengan kelainan yang
ditemui. Penyakit dasar yang mempresipitasi krisis adrenal harus di
tatalaksana dengan baik.
Defisiensi kortisol dapat digantikan dengan:
• lV Hidrokorlison 100 mg stat dapat menggantikan mineralokortikoid
dan glukokortikoid, dilanjutkan dengan 100 mg tiap 6 jam untuk 24
pertama, kemudian setengah dosis untuk hari berikutnya bila
penyakit dasarnya sudah teratasi. Hidrokodison per oral diberikan
selanjutnya sebagai pengganti hidrokortison lV dengan dosis 10 mg
(pukul 8 pagi), 5 mg (pukul 12 siang), dan 5 mg (pukul 5 sore) agar
sesuai dengan ritme sirkadian.
• Alternatif lain dilakukan dengan memberikan dexametason 4 mg lV
dan aqueos tetrosuctin 200 mg pada setiap liter NaCl 0.9% dalam 1
jam pertama. Setelah 1 jam diulangi pengambilan sampel darah
untuk pemeriksaan kortisol. Pemeriksaan kortisol darah dapat
memastikan diagnosis klinis dan melihat respons adrenal. Tes
Stimulasi ACTH dengan pemberian dexametason sebagai pengganti
hidrokortison dapat mencegah intederensi dengan hormon kortisol
endogen.
• lV (atau PO) fludrokortison 50-200 mcg dapat mengganti aldosteron,
namun memerlukan beberapa hari sebelum onset tercapai.
ARF memerlukan tindakan dialisis segera.
8. Komplikasi • Syok
• ARF
• Kejang
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Dubia, bergantung pada penyakit dasar dan komplikasi yang ditemukan
10. Kepustakaan 1. Sneller MC, Langford CA, Fauci AS. ln Harrison's principles of
internal medicine. 16th ed. Kasper DL et al (ed); New York, Graw-
Hill, 2005; 2002 - 10.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006.
4. Soemohardjo, Soewingjo, Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006.
5. Eckman, Ari S. 2009. Acute Adrenal Crysis. University of Maryland
Medical Center.
6. Jameson, J. Larry et a|.2010. Harrison's Endocrinology. Second
Edition. Chicago: The McGraw Hill Company.
7. Klauer, Kevin et al. 2010. Adrenal Crysis in Emergency Medicine.
8. Marik PE, et al. 2008. Recommendations for The Diagnosis and
Management of Corticosteroid lnsufficiency in Critically lll Adult

292
Patients. Crit Care Med; 36(^): 1937-49, 2008. 5. Piliang, Slafii.
2006. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid ll. Edisi lV. Jakarta:
FKUI.

293
OBESITAS
SKDI 4A

1. Pengertian Adalah keadaan dimana seseorang memiliki keleihan lemak (body fat) sehingga
(Definisi) orang tersebut memiliki risiko kesehatan (Riskesdas 2013)
2. Anamnesis Biasanya pasien dating bukan dengan keluhan kelebihan berat badan, namun
dengan adanya gejala dari risiko kesehatan yang timbul.
3. Pemeriksaan 1. Pengukuran Antropometri (BB,TB dan LP)
Fisik Indeks Massa Tubuh (IMT/Body Mass Index/BMI) menggunakan rumus
Berat Badan (Kg)/Tinggi Bada kuadrat (m2)
Pemeriksaan fisik lain sesuai keluhan untuk menentukan telah terjadi
komplikasi atau resiko tinggi
2. Pengukuran lingkar pinggang (pada pertengahan antara iga terbawah
dengan krista iliaka, pengukuran dari lateral dengan pita tanpa menekan
jaringan lunak).
3. Pengukuran tekanan darah
Untuk menentukan risiko dan koomplikasi, misalnya hipertensi
4. Pemeriksaan Untuk menentukan risiko dan komplikasi yaitu pemeriksaan kadar gula darah,
Penunjang profil lipid dan asam urat
5. Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Diagnosis
Tabel Kategori Obesitas
Klasifikasi IMT(Kg/m2)
Underweight < 18.5
Normal 18.5 – 22.9
Overweight ≥ 23.0
BB Lebih dengan Risiko 23.0-24.9
Obese I 25.0-29.9
Obese II ≥30
6. Diagnosis 1. Keadaan asites atau edema
Banding 2. Massa otot yang tinggi, misalnya pada olahragawan
7. Terapi Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
1. Penatalaksaan dimulai dengan kesadaran pasien bahwa kondisi sekarang
adalah obesitas, dengan berbagai risikonya dna berniat untuk
menjalankan program penurunan berat badan
2. Diskusikan dan sepakati target pencapaian dan cara yang akan dipilih
(target rasional adalah penurunan 10% dari BB sekarang)
3. Uusulkan cara yang sesuai dengan faktor risiko yang dimiliki pasien, dan
jadwalkan pengukuran berkala untuk menilai keberhasilan program
4. Penatlaksanaan ini meliputi perubahan pola makan (makan dalam porsi
kecil namun sering) dengan mengurangi konsumsi lemak dan kalori,
meningkatkan latihan fisik dan bergabung dengan kelompok yang
bertujuan sama dalam mendukung satu sama lain dan diskusi hal-hal
yang dapat membantu dalam pencapaian target penurunan berat badan
ideal
5. Pengaturan pola makan dimulai dengan mengurangu asupan kalori
sebesar 300-500 kkal/hari dengan tunjuan untuk meurunkan berat badan
sebesar ½ - 1 kg per minggu
6. Latihan fisik dimulai secara perlahan dan ditingkatkan secara bertahap
intensitasnya. Apsien dapat memulai dengan erjalan selama 30 menit
dengan jangka waktu 5 kali seminggu dan dapat ditingkatkan
intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kalis eminggu

Konseling dan Edukasi


1. Perlu diingat bahwa penanganan obesitas dan kemungkinan besar seumur
hidup. Adanya motivasi dari pasien dan keluarga untuk menurunkan
294
berat badan hingga mencapai BB ideal sangat membantu keberhasilan
terapi
2. Menjaga agar berat badan tetap normal dan mengevaluasi adanya
penyakit penyerta
3. Membatasi asupan energy dari lemak total dan gula
4. Meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, serta kacang-kacangan, biji-
bijian dan kacang-kacangan
5. Terlibat dalam kativitas fisik secara teratur (60 menit sehari untuk anak-
anak dan 150 menit per minggu untuk orang dewasa)
8. Komplikasi Diabetes Mellitus tipe 2, Hipertensi, penyakit kardiovaskular, sleep apnoe,
abnormalitas hormone reproduksi, low bac pain,perlemakan hati.
Obesitas dikelmpokkan menjadi obesitas risiko tinggi bila disertai dengan 3 atau
lebih keadaan di bawah ini:
1. Hipertensi
2. Perokok
3. Kadar LDL tinggi
4. Kadar HDL rendah
5. Kadar gula darah puasa tidak stabil
6. Riwayat keluarga serangan jantung usia muda
7. Usia (laki-laki > 45 tahun atau perempuan > 55 tahun)
9. Prognosis Terdapat berbagai komplikasi yang menyertai obesitas. Risiko akan meningkat
seiring dengan tingginya kelebihan berat badan.
Quo ad vitam: dubia ad malam
Quo ad funcionam: dubia ad malam
Quo ad sanationam: dubia ad malam
10. Kepustakaan 1. Henthorn, T.K. Anesthetic Consideration in Morbidly Obese Patients
[cite 2010 June 12] Available from:
http://cucrash.com/Handouts04/MorbObeseHenthorn.pdf
2. Sugondo, Sidartawan. Obesitas Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid
III. Ws. V. Jakarta 2006. Hal 1973-1983
3. Vidiawati.D. Penatalaksanaan Obesitas. Pedoman Praktik Klinik untuk
Dokter Keluarga. Ikatan DOkter Indonesia. HWS-IDI. 200. (Trisna,
2006)

295
SINDROM METABOLIK
SKDI 3B

1. Pengertian Kumpulan gejala dari berbagai faktor risiko kardiometabolik antara lain
(definisi) obesitas sentral, resistensi insulin, intoleransi glukosa, dislipidemia, non-
alcoholic fatty liver disease (NAFLD), yang terjadi bersamaan, sehingga
meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke dan diabetes.
2. Anamnesis • Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya.
• Riwayat adanya perubahan berat badan.
• Aktifitas fisik sehari-hari.
• Asupan makanan sehari-hari.
3. Pemeriksaan Fisik • Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
• Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT)
• Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih
baik terhadap risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-
hipratio.
4. Pemeriksaan • Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa.
Penunjang • Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis
modelassessment) untuk menilai resistensi insulin secara akurat
biasanyahanya dilakukan dalam penelitian dan tidak praktis
diterapkandalam penilaian klinis.
• Highly sensitive C-reactive protein
• Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH.
• USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liverkarena
kelainan ini dapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguanfaal hati.
5. Kriteria Diagnosis Criteria
Kriteria diagnosis diagnosis
WHO: ATP III : 3
Komponen IDF
Resistensi insulin komponen
plus : di bawah
ini
Obesitas Waist to hip ratio : Lingkar Lingkar perut :
abdominal/ Laki-laki : > 0,9 perut : Laki-laki: ≥90
sentral Wanita : > 0,85 atau Laki-laki: cm
IMB >30 Kg/m 102 cm Wanita : ≥80
Wanita : >88 cm
cm
Hiper- ≥150 mg/dl (≥ 1,7 ≥ 150 mg/dl ≥ 150 mg/dl
trigliseridemia mmol/L) (≥1,7
mmol/L)
Hipertensi TD ≥ 140/90 mmHg TD ≥ 130/85 TD sistolik ≥
atau riwayat terapi mmHg atau 130 mmHg
anti hipertensif riwayat TD diastolik ≥
terapi anti 85 mmHg
hipertensif
Kadar glukosa Toleransi glukosa ≥ 110 mg/dl GDP ≥
darah tinggi terganggu, glukosa 100mg/dl
puasa
terganggu,resistensi
insulin atau DM
Mikro- Rasio albumin urin
albuminuri dan kreatinin 30 mg/g
atau laju eksresi
albumin 20 mcg/menit
6. Diagnosis 1. Keadaan asites atau edema
Banding 2. Masa otot yang tinggi, misalnya pada olahragawan
296
7. Terapi • Non farmakologis
o Rutin berolahraga.
o Menurunkan berat badan hingga batas ideal.
o Berhenti merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol.
o Menerapkan pola makan yang sehat dan seimbang.
• Farmakologis
o Obat-obatan dapat dipakai sebagai bagian pengaturan berat
badan. Obatyang dapat diberikan adalah sibutramin dan orlistat.
8. Komplikasi • Diabetes
Apabila tidak mengontrol resistensi insulin, kadar glukosa akan terus
meningkat menyebabkan diabetes.
• Penyakit kardiovaskular
Kolesterol tinggi dan tekanan darah tinggi dapat berkontribusi pada
penumpukan plak di arteri. Plak ini dapat menyebabkan arteri mengeras
dan sempit, yang dapat menyebabkan serangan jantung atau stroke
9. Kepustakaan 1. Ferri, Fred. Ferri’s Netter Patient Advisor. Philadelphia, PA: Saunders /
Elsevier, 2012. Print. Page 211
2. Mayo Clinic. Metabolic symdrome.
2016. http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/metabolic-
syndrome/basics/definition/con-20027243 Accessed November 28th, 2015
U.S.
3. National Library of Medicine. Metabolic symdrome.
2016. https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/007290.htm Acc
essed November 28th, 2015

297
STRUMA NODOSA NONTOKSIK
SKDI 3A

1. Pengertian Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul tanpa disertai
(definisi) tanda-tanda hipertiroidisme
Berdasarkan jumlah nodul, dibagi :
❑ Struma mononodosa non toksik
❑ Struma multinodosa non toksik
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif
❑ Nodul dingin
❑ Nodul hangat
❑ Nodul panas
Berdasarkan konsistensinya
❑ Nodul lunak
❑ Nodul kistik
❑ Nodul keras
❑ Nodul sangat keras
2. Anamnesis Anamnesis umum
❑ Sejak kapan benjolan timbul
❑ Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
❑ Cara membesarnya : cepat atau lambat
❑ Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi beberapa
benjolan atau hanya pembesaran leher saja
❑ Riwayat keluarga
❑ Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
❑ Perubahan suara
❑ Gangguan menelan, sesak nafas
❑ Penurunan berat badan
❑ Keluhan tirotoksikosis
3. Pemeriksaan Anamnesis umum
Fisik ❑ Sejak kapan benjolan timbul
❑ Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
❑ Cara membesarnya : cepat atau lambat
❑ Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi beberapa
benjolan atau hanya pembesaran leher saja
❑ Riwayat keluarga
❑ Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
❑ Perubahan suara
❑ Gangguan menelan, sesak nafas
❑ Penurunan berat badan
❑ Keluhan tirotoksikosis
4. Pemeriksaan ❑ Lab : T4 atau fT4, T3 dan TSH
Penunjang ❑ Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid
− Bila hasil lab : non-toksik
− Bila hasil lab (awal) toksik, tetapi hasil scan : cold nodule →
syarat sudah menjadi eutiroid
❑ USG tiroid
− Pemantauan kasus nodul yang tidak dioperasi
− Pemandu pada BAJAH
− Sidik tiroid
− Bila klinis :ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2x) jinak
− Hasil sitologi dengan BAJAH : curiga ganas
❑ Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan
karsinoma tiroid meduler, diperiksakan kalsitonin)
Periksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit
Hashimoto

298
5. Diagnosis Struma Nodosa Nontoksik
6. Diagnosis Struma nodosa pada :
Banding Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa pertumbuhan,
pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan, menopause infeksi, stres lain
❑ Tiroiditis akut
❑ Tiroiditis subakut
❑ Tiroiditis kronis : limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif (Riedel)
❑ Simple goiter
❑ Struma endemik
❑ Kista tiroid, kista degeneratif
❑ Adenoma
❑ Karsinoma tiroid primer, metastatik
❑ Limfoma
7. Terapi Sesuai hasil BAJAH, maka terapi :
A. Ganas
→ operasi tiroidektomi near-total
B. Curiga
→ Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC)
Bila hasil = ganas→ operasi tiroidektomi near-total
Bila hasil = jinak → operasi lobektomi, atau
tiroidektomi near-total
→ alternatif : sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule → operasi
C. Tak cukup/sediaan tak respresentatif
❑ Jika nodul solid (saat BAJAH): ulang BAJAH
Bila klinis curiga ganas tinggi → operasi lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah → observasi
❑ Jika nodul kistik (saat BAJAH) : aspirasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah → Observasi Bila
kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi → operasi lobektomi
D Jinak
→ terapi dengan levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis
❑ Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari)
❑ Dilanjutkan 3 x 25 ug (3-4 hari)
Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis dosis naik menjadi
2x 100 ug sampai 4-6 minggu kemudian evaluasi TSH (target 0,1-
0,3 ulU/L
Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil atau tidak
(berhasil bila mengecil > 50% dari volume awal)
❑ Bila nodul mengecil atau tetap
→ L-tiroksin distop dan diobservasi
o Bila setelah itu struma membesar lagi maka L-tiroksin
dimulai lagi (target TSH 0,1 –0,3 ulU/L
o Bila setelah l-tiroksin distop, struma tidak berubah, observasi
saja.
❑ Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi
❑ → obat dihentikan dan operasi tiroidektomi dan dilakukan
pemeriksaan histopatologi → hasil PA
o Jinak : terapi dengan L-tiroksin : target TSH 0,5 –3,0 ulU/L
o Ganas terapi dengan L-tiroksin :
- Individu dengan resiko ganas tinggi target TSH 0,01 –0,05
ulU/L
- Individu dengan resiko ganas rendah target TSH 0,05 –
0,01 ulU/
Bila kista regresi → Observasi
8. Komplikasi Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis
akut/subakut
9. Prognosis Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis
299
10. Kepustakaan 1. Kariadi SHKS Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al
(eds0 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 3 Jakarta, Balai
Penerbit FKUI : 757-65
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS,
Sudoyo HAW, Effendi S, Setiadi S, Gani RA, Alwi I (eds) Naskah
Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997.
Jakarta,1997:207-13
3. Subekti I Struma Nodose Non-Toksik (SNNT) In Simadibrata M.
Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA. Masjoer A (eds) Pedoman
Diagnosis dan terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:
187-9
4. Sobardi S. Pemeriksaan Diagnostik Modul Tiroid. Makalah Jakarta
Endokrinology Meeting Jakarta 18 Oktoter 2003.
5. James JL. Weetman AP. Disorders of the Thyroid G:and. In
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL. Longo DL, Jameson JL.
Harrison's Prin.ciples of Internal :5"ed. New York: McGraw-Mit1;
200,:2060-84.

300
TIROIDITIS
SKDI 2

11. Pengertian Istilah tiroiditismencakup kelainan-kelainan yang ditandai dengan adanya


(definisi) inflamasi pada tiroid. Gejala yang timbul dapat berupa asimtomatik sampai
nyeri yang hebat pada tiroid, dengan atau tanpa manifestasi disfungsi tiroid
maupun pembesaran kelenjar tiroid. Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada
tidaknya rasa sakit, tiroiditis dapat dibagi atas tiroiditis akut, subakut serta
tiroiditis kronis.

12. Anamnesis Pada tabel Diagnosis Tiroiditis


13. Pemeriksaan Tabel Diagnosis Tiroiditis
Fisik

14. Pemeriksaan Pemeriksaan Laboratorium:


Penunjang • Kadar T3, T4, TSH
• Sidik tiroid
15. Kriteria Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
Diagnosis fisik
16. Diagnosis • Jenis-jenis tiroiditis
Banding • Karsinoma tiroid
17. Terapi Apabila pasien dalam keadaan hipotiroid dapat diberikan levotiroksin untuk
mencapai kondisi eutiroid
18. Komplikasi Hipotiroidisme permanen, thyroid storm, Obstruksi trakea, paralisis pita suara,
gangguan saraf simpatis regional, ruptur abses ke jaringan sekitar, trombosis
vena jugularis internal (sindrom Lemierre J), sepsis, abses retrofaring,
mediastinitis, perikarditis, pneumonia.
19. Prognosis • Tiroiditis akut : Apabila pasien diterapi dengan antibiotik yang tepat, maka
kelainan tiroid ini umumnya bersifatsef limiting. Kelainan tiroid ini jarang
menimbulkan komplikasi apabila diterapi dengan baik.

• Tiroiditis subakut:
o Tiroiditis karena kehamilan : Sebanyak 20- 50% kasus dapat terjadi
hipotiroid permanen, 70% kasus kambuh pada kehamilan berikutnya.
o Tiroiditis de duervain's: Sebanyak 45% fungsi tiroid akan kembali
normal dalam 6 sampai 12 bulan hanya 5% yang menetap hipotiroid

• Tiroiditis kronis :
o Tiroiditis Hashimoto : Sebanyak 24% pasien dengan hipotiroidisme

301
karena tiroiditis autoimun kronik yang mendapat terapi tiroksin >1
tahun akan tetap menjadi eutiroid walaupun terapi sudah dihentikan.
o Tiroiditis Riedel merupakan penyakit self-limiting. Apabila tidak diobati
penyakit juga dapat menjadi progresif, kadang-kadang stabil atau regresi

Quo ad vitam: bonam


Quo ad functionam: bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam
20. Kepustakaan 5. Wiyono P. Tiroiditis. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l, Simodibroto M,
dan Setioti S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta. Pusat
lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI.
6. Lomeson JL, Weetmon AP. Disorders of the thyroid gland. ln: Fouci A,
Kosper D, Longo D, Brounwold E, Houser S, Jomeson J, dan Loscolzo J.
2012. Horrison's Principles of Internal Medicine. 15th ed. United States of
America. The McGrow-Hill Companies.
7. Alwi, Idrus., Simon Salim, Rudy Hidayat, Juferady Kurniawan, dan Dicky
Tahapany. 20015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Praktik Klinis. Jakarta. Internal Publishing Pusat Penerbitan
Bagian llmu Penyakit Dalam.
8. Yomodo M, Sotoh T, Hoshimoto K. Thyroiditis. In: Wondisford FE,
Rodovick S, editors. Clinical management of thyroid disease. l'r ed.
Philadelphia; Saunders Elsevier, 2009: 191.
9. Gordner DG, Shobock D, editors. Greenspon's bosic ond clinicol
endocrinology. 8th ed. Son Fronsisco.
10. Stognoro-Green A, Abolovich M, Alexonder E, et ol. Guidelines of the
American thyroid Associosion for The Diagnosis and Management of
Thyroid Disease during Pregnancy and Postportum. Thyroid.
2Ot1:21(10):1081-125.
11. Doyon CM, Doniels GH. Chronic Autoimmune Thyroiditis. N Engl J Med.
1996;335121:99-107.
12. Bindro A, Brounstein GD. Thyroidiiis. Am Fom Physician.
2006:73(10):1769-76 - 203.
13. Peorce EN, Forwell AP, Brovermon LE. Thyroiditis. N Engl J Med.
2003;348.26):2646-55.
14. Slotosky J, Shipton B, Wohbo H. Thyroiditis: Differentiol Diagnosis and
Management. Am Fom Physicion. 2000;61 (41:1047-52, 1054.

302
TIROTOKSIKOSIS
SKDI 3B

1. Pengertian Suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon tiroid. Berhubungan


(definisi) dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu
jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan
Tirotoksikosis dibagi dalam 2 kategori :
❑ Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme
❑ Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme
2. Anamnesis Hipertiroidisme
= Tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid
= Akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan
Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah hipertiroidisme karena penyakit
Graves, struma multinodosa toksik (Plummer dan adenoma toksik. Penyebab
lain ialah tiroiditis, penyakit trofoblastik, pemakaian berlebihan yodium, obat
hormon tiroid, dll.
Krisis tiroid
= Keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan mengancam jiwa.
Umumnya timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau struma
multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus
❑ Infeksi
❑ Operasi
❑ Trauma
❑ Zat kontras beriodium
❑ Hipoglikemia
❑ Partus
❑ Stres emosi
❑ Penghentian obat anti-tiroid
❑ Terapi I131
❑ Ketosidosis diabetikum
❑ Tromboemboli paru
❑ CVD/stroke
❑ Palpasi tiroid terlalu kuat

Gejala dan tanda tirotoksikosis


❑ Hiperaktivitas
❑ Palpitasi
❑ Berat badan turun
3. Pemeriksaan ❑ Gejala & tanda khas hipertiroidisme, karena Graves atau yang lain
Fisik ❑ Sistem saraf pusat terganggu, delirium, koma
❑ Demam tinggi s/d 40°C
❑ Takikardia s/d 130-200 kali/m
❑ Sering ; fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat
❑ Dapat memperlihatkan gagal jantung kongestif
❑ Dapat ditemukan ikterus

303
4. Kriteria ❑ Nafsu makan meningkat
Diagnosis ❑ Tidak tahan panas, banyak keringat
❑ Mudah lelah
❑ BAB sering
❑ Oligomenore/amenore dan libido turun
❑ Takikardia
❑ Fibrilasi atrial
❑ Tremor halus
❑ Refleks meningkat
❑ Kulit hangat dan basah
❑ Rambut rontok
❑ Bruit

Gambaran Klinis Graves


❑ Struma Difus
❑ Tirotoksikosis
❑ Oftalmopati/eksoftalmus
❑ Dermopati lokal
❑ Thyroid acropachy

Laboratorium
❑ TSHs rendah
❑ T4 atau FT4 tinggi
❑ Pada T3 toksikosis : T3 atau FT3meningkat
Penderita yang dicurigai krisis tiroid
5. Diagnosis Hipertiroidisme primer
❑ Penyakit Graves
❑ Struma multinodosa toksik
❑ Adenoma toksik
❑ Metastasis karsinoma tiroid fungsional
❑ Struma ovarii
❑ Mutasi reseptor TSH
❑ Obat : kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)
Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme
❑ Tiroiditis subakut
❑ Tiroiditis silent
❑ Destruksi tiroid karena : amiodarone, radiasi, infark adenoma
❑ Asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia)
Hipertiroidisme sekunder
❑ Adenoma hipofisis yang mensekresi TSH
❑ Sindrom resistensi hormon tiroid
❑ Tumor yang mensekresi HCG
❑ Tirotoksikosis gestasional
6. Diagnosis a. HELLP syndrome
Banding b. Acute promyelositic leukemia, troussent syndrome
c. Pseudo KID
7. Pemeriksaan ❑ TSHs
Penunjang ❑ T4 atau FT4
❑ T3 atau FT3
❑ TSH Rab
❑ Kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
❑ Sidik tiroid/thyroid scan: terutama membedakan penyakit plummer dari
penyakit Graves dengan komponen nodosa
❑ EKG
❑ Foto toraks

304
8. Terapi Tata laksana penyakit Graves :
Obat Antitiroid
❑ PTU dosis awal 300-600 mg/hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari
❑ Metimazol dosis awal 20-30 mg/hari
Indikasi :
❑ Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada
pasien muda dengan struma ringan-sedang dan tirotoksikosis
❑ Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau
sesudah pengobatan yodium radioaktif
❑ Persiapan tiroidektomi
❑ Pasien hamil, lanjut usia
❑ Krisis tiroid
Penyekat adrenergik pada awal terapi, sementara menunggu pasien
menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid : propanolol
dosis 40-200 mg dalam 4 dosis

Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid,
pemantauan setiap 3-6 bulan sekali, memantau gejala dan tanda klinis, serta
lab FT4/T4/T3 dan TSHs
Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan
dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama
12-24 bulan. Kemudian
pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi
apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam
keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi
relaps.

Tindakan bedah
Indikasi :
❑ Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan
antitiroid
❑ Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
❑ Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium
radioaktif
❑ Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
❑ Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
Radioablasi
Indikasi
❑ Pasien berusia > 35 tahun
❑ Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
❑ Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
❑ Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antiitiroid
❑ Adenoma toksik, struma multinodosa toksik

Tata laksana krisis tiroid


(Terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid)
1. Perawatan suportif:
❑ Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
❑ Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : infus
dextrose 5% dan NaCl 0,9%
❑ Mengatasi gagal jantung : O2 diuretik, digitalis
2. Antagonis aktivitas hormon tiroid
❑ Blokade produksi hormon tiroid
Propiltiourasil (PTU) dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Alternatif
Metimazol 20-30 mg tiap 4-6 jam PO pada keadaan sangat berat :
dapat per NGT, PTU 600 – 1.000mg atau metimazol 60-100 mg
❑ Blokade eksresi hormon tiroid :
Solutio Lugol (saturrated solution of potassium lodida) 8 tetes tiap 6
305
jam
❑ - blocker
Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target :
frekuensi jantung < 90 x/m)
❑ Glukokortikoid :
Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam
❑ Bila refrakter terhadap terapi di atas ; plasmaferesis
❑ dialisis peritoneal
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi antibiotik, dll

9. Komplikasi Penyakit Graves : penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati


Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid
Krisis tiroid : mortalitas
10. Prognosis Dubia ad bonam
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15%
11. Kepustakaan 1. 1. Sumual A, Pandelaki K. Hipertiroidisme. Dalam Waspadji S, et al.
(eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta Balai Penerbit
FKUI : 766-72
2. Jameson JL. Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland Gland. In
Brauwald E, Fauci AS, Kasper DL. Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York : McGraw-
Hill, 2001:2060-84.
3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta,
15-16 April 2000: 78-82
4. Suyono S, Subekti I. Patologenesis dan Gambaran Klinis Penyakit
Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18
Oktober 2003.
5. Waspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta
Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.

306
HEMATOLOGI
ONKOLOGI

307
AGRANULOSITOSIS
SKDI 2

Pengertian (definisi) Jumlah leukosit yang sangat rendah dan tidak adanya neutrophil.
Anamnesis Adanya infeksi, malaise (kelemahan, pusing, dan sakit otot)
diikuti oleh terjadinya tukak pada membrane mukosa, demam
dan takikardia, menggigil, demam, diikuti perasaan lelah.
Pemeriksaan Fisik 1. Pucat
2. Kelemahan
3. Sesak nafas
4. Ruam
5. Mudah lebam
6. Hidung berdarah
7. Gusi berdarah
8. Anoreksia
9. Dispnea
10. Sakit tenggorokan
11. Ulserasi mulut dan faring
12. Perdarahan ke dalam tengkorak, gusi, usus atau ginjal
Pemeriksaan 1. Hitung darah lengkap disertai diferensial anemia makrositik, penurunan
Penunjang granulosit, monosit dan limfosit.
2. Jumlah trombosit menurun.
3. Jumlah retikulosit menurun.
4. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang hiposeluler.
5. Elektroforesis hemoglobin-kadar hemoglobin janin meningkat.
6. Titer antigensel darah merah naik.
7. Kadar folat dan B12 serum normal atau meningkat.
8. Uji kerusakan kromosom positif untuk anemia fanconi.
Kriteria Diagnosis Pemeriksaan hitung sel darah lengkap didapatkan jumlah dari
neutrophil kurang dari < 500/ml.
Diagnosis Banding - Eritroblastopenia
- Amegakaryositik
Terapi Pada dasarnya tidak ada terapi yang spesifik untuk penyakit ini,
penyembuhan penyakit infeksi dan menghentikan pengunaan
obat yang menginduksi dari penyakit ini menjadi solusi untuk
terapi.
Komplikasi 1. Sepsis
2. Sensitisasi terhadap antigen donor yang bereaksi silang menyebabkan
perdarahan yang tidak terkendali.
3. Cangkokan vs penyakit hospes (timbul setelah pencangkokan sumsum
tulang).
4. Kegagalan cangkok sumsum (terjadi setelah transplantasi sumsum
tulang).
5. Leukemia mielogen akut, berhubungan dengan anemia fanconi.
6. Hepatitis, hemosederosis, dan hemokromatosis.
Prognosis Ad vitam: dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2009.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam,
Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC.
3. Idrus Alwi, Simon Salim, Rudy Hidayat. 2015. Panduan Praktik
Klinis: Prosedur di Bidang Ilmu Penyakit Dalam & Penatalaksanaan
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.
4. Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M, Konsep Klinis
308
Proses – ProsesPenyakit, edisi 6, Jakarta: EGC, 2006: 271
5. Robbins, Kumar, Cotran, Buku Ajar Patologi, Vol 2, Ed7. Jakarta:
EGC, 2007:466-467

309
ANEMIA MAKROSITER
SKDI 3A

1. Pengertian Anemia makrositer adalah kelainan sel darah merah dimana dijumpai anemia
(definisi) dengan volume sel darah merah lebih besar dari normal, ditandai oleh banyak sel
imatur besar dan sel darah merahdisfungsional di sumsum tulang.
Anemia makrositer dapat dibagi menjadi anemia makrositer rmegaloblastik dan
non-megaloblastik. Pada anemia makrositer megaloblastik terjdi hambatan
sintesis DNA dan RNA dalam produksi sel darah merah, sehingga diferensiasi
sel terhambat yang akan menyebabkan morfologi sel menjadi makrositosis,
sedangkan pada non-megaloblastik tidak terjadi gangguan sintesis DNA dan/
RNA.
Defisiensi asam folat dan vitamin B12 akan diikuti dengan terhambatnya sintesis
basa nukleotida yang menyebabkan terhambatnya sintesis DNA.
2. Anamnesis • Umumnya terjadi pada individu berusia >40 tahun. Prevalensinya semakin
meningkat seiiring dengan bertambahnya usia.
• Dalam anamnesis menanyakan apakah ada riwayat lesu, lemah/lemas, mudah
lelah, telinga berdenging, gusi berdarah, epistaksis, hipertrofi gingiva,
neuropati perifer dan gejala lain yang berhubungan dengan gejala penyerta.
• Riwayat diet untuk mengetahui asupan gizi adekuat atau tidak dan riwayat
mengkonsumsi alkohol.
3. Pemeriksaan • Keadaan umum pasien terlihat lemas, pucat yang terutama terlihat pada
Fisik konjungtiva,
• Pada pemeriksaan jantung didapatkan takikardi, murmur ejeksi sistolik,
gallop keempat (presistolik). Bisa juga akibat hemolisis ekstra dan/atau intra
vaskular ditemukan splenomegali dengan/tanpa hepatomegali.
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan darah rutin
Penunjang • Pemeriksaan apusan darah tepi
• Uji schilling untukdefisiensi B12
• Pemeriksaan kadar asam folat intrasel sel darah merah dan serum
5. Kriteria • Pada pemeriksaan apusan darah tepi ditemukan sel-sel darah merah yang
Diagnosis besar (makrositik), MCV >100 fL, dan neutrophil hiperpigmentasi.
• Kriteria diagnosis anemia bila ditemukan kadar nilai Hb pada wanita dewasa
<12 g/dl dan pada laki-laki <13 g/dl, dalam keadaan anemia berat nilai Hb
mencapai 3-4 g/dl.
• Pada uji schilling, vitamin B12 dalam urin terdeteksi <5% menandakan
defisiensi vitamin B12
• Defisiensi asam folat bila didapatkan kadar folat dalam sel darah merah
140ng/mL
6. Diagnosis • Anemia makrositer megaloblastik
• Anemia makrositer non-megaloblastik
7. Diagnosis • Anemia aplastic
Banding • Anemia hemolitik autoimun
• Myelodisplasia
8. Terapi • Non farmakologis
o Transfusi packed red cell (kadar Hb <7,0 g/dl).
• Farmakologis
o Asamfolat 1 mg/hari
o Injeksi intra-muskular vitamin B12 (100-1000 mcg)
9. Komplikasi Gangguan kardiovaskular berupa terganggunya oksigenasi (iskemia) jaringan
akibat hiperhomosistein, status trombofilia. Komplikasi lainnya seperti
opthalmoplegia, degenerasi subakut medulla spinalis.
10. Prognosis Prognosis baik jika etiologi telah di identifikasi dan pengobatan yang tepat telah
diberikan. Namun, pasien berisiko untuk terjadi hipokalemia dan komplikasi
jantung yang berhubungan dengan anemia walaupun sedang dalam terapi.

310
11. Kepustakaan 1. Efenddiy, Shufrie. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi 6, Volume
1). Siti Setiati dkk (Editor). Interna Publishing, Jakarta, Indonesia (Halaman
2600-2606).
2. Calistania,Chrysilladan Nadia Ayu Mulansari. 2014. Kapita Selekta
Kedokteran (Edisi 4, Volume 2). Chris Tanto dkk (Editor). Media
Aeculapius, Jakarta Pusat, Indonesia (Halaman 655-656).
3. Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses Proses Penyakit (Edisi 6, Volume 1). Terjemahan oleh : Huriawati
Hartanto dkk. EGC, Jakarta, Indonesia (Halaman 256-262)

311
ANEMIA APLASTIK
SKDI 2

12. Pengertian Anemia aplastik (AA) adalah suatu kelainan hematologi dengan manifastasi
(definisi) klinis pansitopenia dan hiposelularitas pada sumsum tulang, dapat bersifat
didapat atau diturunkan.
Berdasarkan beratnya penyakit, AA dapat dibagi:
1. Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang <25% dan terdapat 2 dari 3 gejala berikut:
- granulosit < 500/ul
- trombosit < 20.000/ul
- retikulosit < 10 ‰
2. Anemia aplastik sangat berat
- Seperti anemia apalastik berat
- Netrofil <0.2x109/L
3. Anemia aplastik tidak berat
- Tidak memenuhi kedua kriteria di atas

13. Ananmnesa Onset keluhan dapat terjadi perlahan-perlahan berupa lemah,dyspnea, rasa lelah,
pusing, adanya perdarahan (petekie, epistaksis, perdarahan dari vagina, atau
lokasi lain) dapat disertai demam dan menggigil akibat infeksi. Riwayat paparan
terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobiJ, menderita infeksi virus 6
bulan terakhir (hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah
14. Pemeriksaan Pasien tampak pucat pada konjungtiva atau kutaneus, resting tachycardia,
Fisik perdarahan (ekimosis, petekie, perdarahan gusi, purpura). Jika ditemukan
limfadenopati dan splenomegali perlu dicurigai adanya leukemia atau limfoma.
15. Kriteria • Anamnesis
Diagnosis • Pemeriksaan fisik
• Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
16. Diagnosis Anemia aplastik
17. Diagnosis Sindrom mielodisplastik [MDS), anemia karena keganasan sumsum tulang,
Banding hipersplenisme, Ieukemia akut.
18. Pemeriksaan Normositiknormokrom,makrositik
Penunjang Darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, tidak terdapat sel abnormal pada
hitung jenis leukosit
Hitung retikulosit: rendah (< 1%)
Serologi virus (hepatitis)
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang: terdapat spicules yang kosong, terisi lemak,
dan sel hematopoietik yang sedikit. Limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast
mungkin prominen
MRI (Magnetic resonance imaging): membedakan lemak pada sumsum tulang
dengan sel hematopoietic, mengestimasi densitas sel hematopoietik pada
sumsum tulang, dan membedakan anemia aplastik dengan leukemia mielogenik
hipoplasia.
19. Terapi Pemilihan terapi berdasarkan beberapa faktor seperti usia pasien, kondisi umum,
dan ketersediaan donor stem cell.

Tatalaksana Penunjang
Menghentikan obat-obatan yang diduga sebagai factor pencetus dan mengganti
dengan obat lain yang lebih aman
Transfusi komponen darah (PRC/packed red cell dan/atau TC) sesuai indikasi
Menghindari dan mengatasi infeksi: antibiotik spektrum luas
Kortikosteroid: prednison 1.-2 mg/ kgBB / hari, metilprednisoton 1- mg/kg berat
badan
Androgen: Metenolol asetat 2-3 mg/kgBB/hari, maksimal diberikan selama 3

312
bulan.Nandrolone decanoate 400 mg IM (intramuskular)/minggu
Terapi imunosupresif:
Siklosporin 10-12 mg/kgBB/bari selama 4-6 bulan
ATG (antithymocyte globulin) L5-40 mg/kgBB/hari intravena selama 4-l-0 hari
Terapi kombinasi: untuk anemia aplastik berat. ATG 40 mg/kg/hari untuk 4
hari, siklosporin L0-1.2 mg/kg/hari untuk 6 bulan, dan metilprednisolon 1
mg/kg/hari untuk 2 minggu.
Transplantasi sumsum tulang alogenik, bila ditemukan HLA yang
cocok,dilakukan tes histokompatibilitas pada pasien, orang tua, dan keluarga.
20. Edukasi Mencegah terjadinya infeksi, perdarahan atau komplikasi
tranfusi darah
21. Prognosis Tergantung pada jumlah neutrofil, trombosit, dan ada tidaknya komorbiditas.
Jumlah neutrofil < 200/1tl mempunyar respon yang rendah terhadap
imunoterapi.Transplantasi sumsum tulang dapat menyembuhkan pada B0%
pasien berusia < 20
tahun,70o/o pada usia 20-40 tahun, dan 50% pada usia > 40 tahun. Pada pasien
yang menerima terapi dengan siklosporin sebelum transplantasi, risiko menjadi
kanker sebesar 11%. Dalam 10 tahun, anemia aplastik dapat berkembang
menjadi paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, sindrom mielodisplastik, atau
leukemia mielogenik akut sebesar 40% pasien yang menerima terapi
imunosupresan. Angka relaps pada pasien yang menerima imunosupresi adalah
35 % dalam 7 tahun.Pada 168 pasien yang menerima transplantasi, angka
harapan hidup dalam 15 tahun sebesar 69 %, sedangkan pada 227 pasien yang
menerima terapi imunosupresan angka harapan hidup hanya 38%.
22. Kepustakaan 1. Lichtman M. Aplastic Anemia: Overview. ln: Lichtman M, Beutler E,
Kipps T, editors. Willioms Hemotology 7rh ed. Mc Grow Hill. Chopter 33
2. Marsh J. et oll. Guidelines for the diagnosis and management of aplastic
anemia., British Journal
of Haematology, 147, 4T70.2010. Diunduh dari
http://www.bcshguidelines.com/documents/Aplast anaem_bjhjune201O.pdf
pada tanggal 22 Mei 2012
3. Young N.S..Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow
failure syndromes: introduction. ln: Longo Fouci Kosper, Harrison's
Principles of lnternal Medicine lBih edition.United States of
America.Mcgrow Hill. 2012
4. Widjonarko A, Sudoyo A, Solonder, H. Anemia aplastik. Dalam: Suyono,
S. Wospodji, S. Lesmono, L. Alwi, l. Setioti, S. Sundoru, H. dkk. Buku
Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid ll. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing;
2010. Hal.l 117-1126

313
ANEMIA DEFFISIENSI BESI
SKDI 4A

1. Pengertian Anemia defisiensi besi adalah salah satu golongan anemia hipoproliferatif
(definisi) yang disebabkan karena kelainan metabolisme besi. Besi merupakan elemen
penting dalam fungsi semua sel karena perannya dalam transport oksigen
sebagai bagian dari hemoglobin.
Besi juga merupakan bagian penting dari enzim sitokrom dalam mitokondria.
Jika kekurangan besi maka sel akan kehilangan kemampuan dalam transpor
elektron dan metabolisme energi, sehingga mengganggu sintesis Hb.
Metabolisme sel besi lebih dipengaruhi absorbsi daripada eksresi.
Kehilangan besi terjadi karena perdarahan atau kehilangan sel. Laki-laki dan
wanita yang tidak menstruasi kehilangan besi sebesar 1, mg/hari, sedangkan
wanita yang sedang menstruasi kehilangan besi 0.6-2.5%/hari. Besi akan
diabsorbsi dari saluran cerna (proksimal usus halus) dalam bentuk ferrous
atau dari cadangan ke dalam sirkulasi dan berikatan dengan transferin
(protein pengangkut besi). Absorbsi besi dihambat oleh oksalat, phytates,
fosfat, dan red wlne. Sedangkan yang dapat meningkatkan absorbsi besi yaitu
hidrokuinon, askorbat, laktat, piruvat, suksinat, fruktosa, sistein, dan sorbitol.
Progresivitas defisiensi besi dapat dibedakan menjadi 3 stadium yaitu
negative iron balance, iron-deficient erythropoiesri dan anemia defisiensi
besi
2. Anamnesis Gejala klinis bervariasi tergantung beratnya dan lamanya anema, berupa rasa
lemah dan lelah, sakit kepala, light headedness, kesemutan, rambut rontok,
restless leg, dan gejala angina pektoris pada kasus berat.
Gejala khas anemia defisiensi besi:
• Glositis (peradangan di lidah) dan cheilitis (bibir dan sudut mulut pecah)
• Koilonychia: kuku sendok (spon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
• Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang
• Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
• Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
• Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti tanah
liat, es, lem dan lain-lain..
3. Pemeriksaan Fisik Pasien tampak lemah dan pucat (anemis), disertai takikardia, adanya glositis(
lidah bewarna merah dan permukaannya licin), stomatitis, angular cheilitis,
koilonychia. Perdarahan maupun adanya eksudat pada retina dapat
ditemukan pada anemia berat. Splenomegali mengindikasikan adanya
penyebab defisiensi besi lainnya.
4. Kriteria Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap
pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar
hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria
yang dipilih, apakah kriteria WHI atau kriteria klinik. Tahap ketiga
adalah menentukan penyebab defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia
defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria
diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari criteria Kerlin et al)
sebagai berikut:
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau
MCV <80 fl dan MCHC <31% dengan salah satu dari a,b,c atau d
• Dua dari tiga parameter di bawah ini:
- Besi serum <50 mg/dl
314
- TIBC >350 mg/dl
- Saturasi transferin: <15% atau
• Feritin serum <20 mg/dl
• Pengecetan sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s stain)
menunjukkan cadangan
besi (butir-butir hemosiderin) negative, atau
• Dengan pemberian sulfas ferosus3x200 mg/hari (atau preparat besi
yang lain setara)
selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2
g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi
penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering merupakan proses yang
rumit dan memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi merupakan
tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi
besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan
yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik,
sekitar 20% ADB tidak diketahui penyebabnya.
5. Diagnosis Anemia Defisiensi Fe
6. Diagnosis Talasemia, anemia sideroblastik anemia penyakit kronik, dan keracunan
Banding logam berat
7. Pemeriksaan DPL: Hb menurun, leukosit menurun, trombosit meningkat/menurun
Penunjang Retikulosit : Normal atau menurun
Morfologi eritrosit : mikrositik hipokrom
Sediaan darah tepi : adanya anisositosis
Besi serum : menurun
Ferritin serum : hasilnya bervariasi
Transferrin : meningkat
TIBC : meningkat
Saturasi transferin : menurun
Aspirasi sumsum tulang : sideroblas menurun atau negatif
8. Terapi Tatalaksana diet :
Makan makanan yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Makan
makanan yang mengandung zat besi tinggi, seperti daging merah

Preparat besi oral


Preparat besi inorganik mengandung 30 dan 100 mg besi elemental. Dosis
200-300 mg besi elemental per hari harus diabsorbsi sebanyak 50
mg/hari.Tujuan terapi tidak hanya memperbaiki anemia tetapi juga
menambah cadangan besi minimal 0.5-1 gram, sehingga diperlukan terapi
selama 6-12 bulan setelah anemia terkoreksi. Dosis: 3-4 kali tablet (L50 dan
200 mg) diminum l jam sebelum makan. Efek samping: mual, heartburn,
konstip asi, metalic taste,buang air besar hitam
Preparat lain yang tersedia adalah ferrous gluconate, ferrous fumarate,
ferrous lactate, dan ferrous succinate. Sediaan ini harganya lebih
mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hamper sama dengan sulfas
ferrosus.

Preparat besi parenteral


- Indikasi: malabsorbsi, intoleransi terhadap preparat oral, dibutuhkan dalam
jumlah banyak.
- Dosis besi (mg) = [15-Hb yang diperiksa) x berat badan (kg) x 2.3 + 500
atau 1000 mg (untuk cadangan)
- Iron sucrose:5 ml (100 mg besi elemental) diberikan secara intravena tidak
melebihi 3x seminggu. Efek samping: hipotensi, kram, mual, sakit kepala,
muntah, dan diare
- Iron Dextran: dosis untuk tes 0.5 ml secara intravena sebelum
315
terapi dimulai, selanjutnya diberikan 2 ml setiap dosis. Efek samping:
hipotensi, mialgia, sakit kepala, nyeri perut, mual dan muntah, limfadenopati,
efusi pleura, pruritus, urtikaria, kejang, flushing, menggigil, flebitis,
dizziness

Pengobatan lain
- Diet sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama
yang berasal dari protein hewani
- Vitamin C diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi
besi

Transfusi sel darah merah: diberikan jika ada gejala anemia, instabilitas
kardiovaskular, perdarahan masih berlangsung, dan membutuhkan
intervensi segera.
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman gagal jantung
- Anemia yang sangat simptomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing
yang sangat menyolok
- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti
kehamilan trimester akhir atau preoperasi.
9. Edukasi Menjelaskan kepada pasien untuk mengkonsumsi preparat Fe secara teratur
dan menjelaskan makanan dan minuman yang bisa menghambat dan
meningkatkan absorbsi besi.

Tindakan pencegahan dapat berupa:


• Pendidikan kesehatan: Kesehatan lingkungan, misalnya tentang
pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja, dan pemakaina alas kaki
sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang
• Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu
penyerapan besi
• Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan
kronik yang paling sering dijumpai di daerah tropik.pengendalian infeksi
cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan
antihelmentik dan perbaikan sanitasi
• Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen
penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Profilaksis di
Indonesia perempuan hamil dan anak balita diberikan pil besi dan folat
• Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada
bahan makan. Di Negara barat dilakukan dengan mencampur tepung
untuk roti atau bubur susu dengan besi.
10. Prognosis Jika penyebab defisiensi besi diatasi maka prognosis akan baik. Terapi
inadekuat akan menyebabkan anemia rekuren, sehingga terapi harus
diberikan minimal 12 bulan setelah anemia terkoreksi.
11. Kepustakaan 1. Killip S. lron Deflciency Anemia. American Academy of Family
Physicians.Volume 75, Number 5. 2007. Diunduh dari
www.oofp.org/ofp podo tonggol23 Mei 2012.
2. Adamsan J. lron deflciency and other hypoproliferative anemias.
In:Longo DL, Kosper DL, Jomeson
DL, Fouci AS, Houser SL, Lascolzo J, editors. Harrison's Principals of
lnternal Medicine l 81h ed. Mc
Grow Hill. Chopter 98 3. Beutler E. Disorders of iron metabolism.
ln:Lichtmon M, Beutler E, Kipps T, editors. WilliomsaHematology 7rh
ed. Mc Grow Hill. Chopter 40
3. Bakto l, Suego B, Chormoyudo T. Anemia deflsiensi besi.
Dolom:Suyono, S. Wospodji, S. Lesmono,L. Alwi, l. Setioti, S.
Sundoru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid ll. Edisi V.
Jakarta: lnterna Publishing; 201 0. Hal.l 127 -1 1 40.

316
ANEMIA HEMOLITIK
SKDI 3A

1. Pengertian Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena destruksi atau
(definisi) pembuangan sel darah merah dari sirkulasi sebelum waktunya, yaitu 120 hari
yang merupakan masa hidup sel darah merah normal.
Ada 2 mekanisme terjadinya hemolitik yaitu :
Hemolitik intravaskular :
Destruksi sel darah merah terjadi di dalam sirkulasi pembuluh darah dengan
pelepasan isi sel ke dalam plasma. Penyebabnya antara lain karena trauma
mekanik dari endotel yang rusak, fiksasi komplemen serta aktivasi pada
permukaan sel, dan infeksi.
Hemolitik ekstravaskular: Destruksi sel darah merah yang ada kelainan
membrane oleh makrofag di limpa dan hati. Sirkulasi darah difiltrasi melalui
splenic cords menuju sinusoid limpa. Sel darah merah dengan abnormalitas
struktur membran tidak dapat melewati proses filtrasi sehingga difagositosis
dan dihancurkan oleh makrofag yang ada di sinusoid.
2. Anamnesis Gejala anemia: pucat, lemah, berdebar, menggigil
3. Pemeriksaan Fisik Takikardi, ikterik, splenomegali
4. Kriteria Diagnosis 1. Gambaran klinis:
pucat, lemas, berdebar, menggigil, ikterik, splenomegali
2.Laboratorium:
- Retikulosit meningkat, bilirubin indirek meningkat.
- Coomb test direk ( + ) : Anemia hemolitik Autoimun.
- Enzim G6PD menurun : Anemia Defisiensi G6PD.
- Sumsum tulang : seri eritrosit hiperaktif
- Hb Elektroforese : terdapat kelainan pada Talasemia.
3.Radiologi:
Pada thalasemia mayor : Foto schedel : hair on end, mosaic patern di
tulang-tulang
5. Diagnosis Anemia hemolitik autoimun: bila Coomb test direk ( + )
Anemia hemolitik non imun : bila Coomb test direk ( -)
6. Diagnosis Tergantung penyebabnya
Banding
7. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunjang - Retikulosit meningkat, bilirubin indirek meningkat.
- Coomb test direk ( + ) : Anemia hemolitik Autoimun.
- Enzim G6PD menurun : Anemia Defisiensi G6PD.
- Sumsum tulang : seri eritrosit hiperaktif
- Hb Elektroforese : terdapat kelainan pada Talasemia.
8. Terapi a. Tergantung etiologi → anemia hemolitik autoimun → obati penyakit
dasar (SLE, Infeksi, Malaria, Keganasan, Kongenital)
b. Akut : awasi shock, sepsis dan akut tubular nekrosis, beri kortikosteroid (
pada rapid hemolysis diberikan metilprednisolon IV 100-200 mg terbagi
dalam 24 jam pertama selama 10-14 hari → jika Ht sudah stabil dosis
prednison dapat dikurangi rapid stop dose reduction sampai 30 mg/hari)
c. Kronis : tergantung etiologi, kortikosteroid (dosis inisial: 60-100 mg),
imunoglobulin, antibiotik, kadang-kadang diperlukan transfusi darah
PRC, splenektomi bila tidak ada respon.
9. Edukasi Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya, pengobatan yang akan
diberikan dan efek samping dari pengobatan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Kepustakaan 1. Dhaliwal G. Hemolytic Anemia. American Family Physician, June 1,2004
lVOL.69, No. I l. Diunduh dari http://www.oofp.org/oIp/2OO4l060l

317
lp2599.html pada tanggal 23 Mei 2012.
2.Parjono E, Hariadi K. Anemia Hemolitik Autoimun.Dalam: Suyono, S.
Waspadji, S. Lesmono, L. Alwi, l. Setioti, S. Sundoru, H. dkk. Buku Ajar
llmu Penyokit Dalam. Jilid ll. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010.
Hal.l 152-l 156
3. Luzzoto L. Hemolytic Anemias ond Anemia Due to Acuie Blood Loss. ln:
Longo Fouci Kasper, Harrison's Principles of lnternal Medicine lBlh
edition.United States of America.Mcarow Hill. 2012
4. Packman C. Hemolytic Anemia Resulting from lmmune Injury .In :
Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams Hematology 71h ed.
Mc Grow Hill. Chapter 52
5. Neff A. Autoimmune Hemolytic Anemia. In: Geer J, Foerster J, Luken J.
Wintrobe's Clinicol Hemotology I lrh ed. Lippincott Willioms&wilkins.
Choater 35.
6. Lechner K, Joger U. How I treat autoimmune hemolytic anemias in adults.
The American Society of Hematology .Bood, 16 September 2010 Vol I
16, No I I . Diunduh dori bloodjournal. hematologylibrary.org pada
tanggal 23 Mei 2012.

318
ANEMIA PENYAKIT KRONIK
SKDI 3A

1. Pengertian Anemia adalah suatu keadaan berkurangnya sel darah merah dalam tubuh.
(definisi) Anemia penyakit kronik adalah anemia yang terjadi pada yang ditemukan
pada kondisi penyakit kronik seperti infeksi kronik inflamasi kronik, atau
beberapa keganasan. Pada penyakit inflamasi, sitokin dihasilkan oleh leukosit
yang aktif dan sel lain yang ikut berperan menurunkan kadar hemoglobin
(Hb). Ada beberapa mekanisme terjadinya anemia pada anemia penyakit
kronik :
- Anemia yang terjadi disebabkan karena sitokin inflamasi yaitu
interleukin-6 flL-6) menghambat produksi sel darah merah. IL-6
meningkatkan produksi hormon hepcidin yang diproduksi oleh sel
hepatosit berperan dalam regulator zat besi. Hormon hepcidin akan
menghambat pelepasan zat besi dari makrofag dan hepastosit, sehingga
jumlah zat besi untuk pembentukan sel darah merah terbatas.
- Inhibisi pelepasan eritropoietin dari ginjal oleh IL-1 dan TNF a(tumour
necrosis factor).
- Inhibisi langsung proliferasi progenitor eritroid oleh TNF o dan INF y
(interferony), dan IL 1.
- Peningkatan eritrofagositosis makrofag RES (reficulo endothelial system)
oleh TNF.
Penyebab dari anemia penyakit kronik :
- Ketidakmampuan tubuh meningkatkan produksi eritrosit (sel darah merah
sebagai kompensasi pemendekan umur eritrosit
- Destruksi sel darah merah
- Sekresi hormon eritropoietin yang tidak adekuat dan resistensi terhadap
hormone tersebut
- Eritropoiesis yang terbatas karena menurunnya jumlah zat besi
- Absorpsi zat besi dari saluran cerna yang terhambat
2. Anamnesis Keluhan-keluhan yang didapatkan berupa rasa lemah dan lelah, sakit kepala,
nafas pendek
3. Pemeriksaan Fisik Pucat, tampak anemis, dapat ditemukan kelainan-kelainan sesuai penyakit
penyebabnya.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Anemia penyakit kronik
6. Diagnosis - Supresi sumsum tulang karena obat: besi serum meningkat, hitung
Banding retikulosit rendah
- Hemolisis karena obat: hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin, dan
laktat dehidrogenase meningkat
- Kehilangan darah kronik: serum besi menurun, feritin serum menurun,
transferin meningkat
- Gangguan ginjal
- Gangguan endokrin: hipotiroid, hipertiroid, diabetes mellitus
- Metastasis sumsum tulang: poikilosit, normoblas, teardrop-shaped red
cells, sel mieloid imatur
- Thalasemia minor
7. Pemeriksaan - Hemoglobin [Hb): menurun ( kadar : 8-9 g/dl)
Penunjang - Hitung retikulosit absolut : normal atau meningkat sedikit
- Feritin serum: normal atau meningkat. Merupakan penanda simpanan zat
besi, kadar 15 ng/ml mengindikasikan tidak adanya cadangan zat besi
- Besi dalam serum: menurun [hipoferemia). Half-life; 90 menit
- Transferin serum: menurun, Half-life : 8-L2 hari, sehingga penurunan
transferin serum lebih lama terjadi daripada penurunan kadar besi serum.
- Saturasi transferin
- Reseptor transferin terlarut (soluble transferrin receptor): menurun
- Rasio reseptor transferin terlarut dengan log feritin
319
- Kadar sitokin
- Eritropoietin
- Hapusan darah tepi: normositik normokrom, dapat hipokrom mikrositik
ringan
- Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : jarang dilakukan untuk
mendiagnosis anemia penyakit kronik, tetapi dapat dilakukan sebagai
gold standard untuk membedakan dengan anemia defisiensi besi.
Morfologi sumsum tulang dan pewarnaan zat besi normal, kecuali
dikarenakan penyakit penyebabnya. Hal yang penting diperhatikan
adanya simpanan zat besi dalam sitoplasma makrofag atau berfungsi di
dalam nucleus. Pada individu normal, dengan pewarnaan Prussian blue
partikel dapat ditemukan di dalam atau di sekitar makrofag, sepertiga
mukleus mengandung
1-4 badan inklusi halus bewarna biru fsideroblas). Pada anemia penyakit
kronik, partikel besi di sideroblas bekurang atau tidak ada, tetapi di
makrofag meningkat.
Peningkatan simpanan zat besi di makrofag berhubungan dengan
menurunnya kadar besi di sirkulasi.
8. Terapi - Mengenali dan mengatasi penyakit penyebabnya
- Terapi besi: kegunaannya masih dalam perdebatan
- Kontraindikasi jika feritin normal( >100 ng/ml)4
- Agen Erythropoietic:
lndikasi: anemia pada kanker yang akan menjalani kemoterapi, gagal
ginjal kronik, infeksi HIV yang akan menjalani terapi mielosupresif.
3 jenis: epoetin o, eportin B, darbepoetin a
Epoetin :Dosis awal 50-150 U/kg berat badan diberikan 3 kali seminggu
selama minimal 4 mingu, jika tidak ada respon dosis dinaikkan 300 U/kg
diberikan 3 kali seminggu 4-8 minggu setelah dosis awal.
Target: Hb Ll-1-2 gram/dl
Sebelum pemberian harus menyingkirkan adanya anemia defisiensi besi
Monitoring selama terapi: setelah terapi selama 4 minggu dilakukan
pemeriksaan kadar Hb, dan 2-4 minggu kemudian. Jika Hb meningkat <L
gramf dl, evaluasi ulang status besi dan pertimbangkan pemberian
suplemen besi.
Jika Hb mencapai 1,2 gram/dl, diperlukan penyesuaian dosis. fika tidak
ada respon dengan dosis optimal dalam 8 minggu, berarti pasien tidak
responsive terhadap terapi agen erythropoietic.
- Transfusi darah: jika anemia sedang-berat (Hb<6.5 gram/dlJ dan
bergejala
9. Edukasi Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya, pengobatan yang akan
diberikan dan efek samping dari pengobatan
10. Prognosis Keluhan anemia akan berkurang jika mengobati penyakit penyebabnya . Pada
suatu penelitian dinyatakan bahwa anemia berhubungan dengan gagal ginjal,
gagal jantung kongestif, dan kanker. Derajat anemia berhubungan dengan
tingkat keparahan
penyakit, prognosis buruk pada pasien dengan penyakit keganasan, gagal
ginjal kronik, dan gagal jantung kongestif. Kematian yang terjadi tidak
dikarenakan anemia secara langsung. Belum terbukti bahwa perbaikan
anemia saja akan meningkatkan prognosis penyakit penyebabnya seperti
kanker atau penyakit inflamasi.
11. Kepustakaan 1. Gans T. Anemia of Chronic Disease. ln :Lichtman M, Beutler E, Kipps T,
editors. Williams Hematology 7 f'ed. Mc Grow Hill. Chopter 43
2. Zarychonski R. Clinical paradigms Anemia of chronic disease: A harmful
disorder or on adaptive. CMAJ. 2008 August l2; 1 79(4): 333-337.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/orticles/ PMC24929761 pada tanggal
19 Mei2012.
3. Gardner LB, Benz Jr EJ. Anemia of chronic diseases. In: Haffman R, Benz
EJ, Shottil SS, et al.,eds Hemotology: Basic Principles and Practice. 5th
320
ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2008:chop 37.
4. Supandiman l, Fadjari H, Sukrisman L. Anemia PadaPenyakit Kronis.
Dalam:Suyana, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, l. Setioti, S. Sundoru,
H. dkk. Buku Ajar llmu Penyokit Dalam. Jilid ll. Edisi V. Jakarta: lnterna
Publishing; 2010. Hal.l 138-1 1 40
5. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic diseose. N Engl J
Med.2005,352: l0l l-1023.
6.Silver B, https://www.clevelondclinicmeded.com/medicolpubs/
diseosemonogement/hemotology-oncology/anemia/tap pada tanggal 19
Md2012.
7. Adamson J. lron Deflciency ond Other Hypoproliferotive Anemias.
ln:Longo DL, Kosper DL, Jameson DL, Fouci AS, Houser SL, Loscolzo J,
editors. Harrison's Principals of lnternal Medicine 81h ed. Mc Grow Hill.
Chapter 98

321
DIATESIS HEMORAGIK
SKDI 2

1. Pengertian Diathesis adalah suatu tampilan fisik atau kondisi tubuh yang menyebabkan
(definisi) jaringan tubuh bereaksi secara khusus terhadap stimulus ekstrinsik tertentu
yang akan membuat seseorang lebih mudah terkena penyakit tertentu.

Diatesis hemoragik (hemorrhagic diathesis/bleeding diathesis/bleeding


tendency) merupakan suatu predisposisi hemostasis abnormal atau
kecenderungan perdarahan (bleeding tendency).Proses patofisiologis ini
terbagi menjadi 3 kategori yaitu kelainan fungsi atau jumlah trombosit,
gangguan faktor koagulasi, dan kombinasi dari keduanya.
2. Anamnesis - Riwayat perdarahan spontan di masa lalu, perdarahan di berbagai tempat
(multiple sites), perdarahan terisolasi (mis hematuria, hematemesis,
hemoptisis)
- Riwayat perdarahan masif pasca operasi atau trauma (immediate atau
delayed), termasuk sirkumsisi, tonsilektomi, melahirkan, menstruasi,
pencabutan gigi, vaksinasi, dan injeksi
- Riwayat penyakit komorbid (gagal ginjal, infeksi HIV penyakit
mieloproliferatil penyakit jaringan ikat, limfoma, penyakit hati)
- Riwayat transfuse
- Riwayat kebiasaan makan, malabsorpsi, dan antibiotik ) predisposisi
defisiensi vitamin K
- Riwayat konsumsi obat seperti aspirin, nonsteroidal anti-inflammatory
drugs (NSAIDS)
- Riwayat koagulopati dalam keluarga (hemofilia, dll)
3. Pemeriksaan Fisik Identifikasi tanda perdarahan (perdarahan mukosa, petekia, purpura,
ekimosis/common bruises, perdarahan jaringan lunak saluran cerna,
epistaksis, hemoptisis)
Tanda infeksi
Tanda penyakit autoimun
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
5. Diagnosis Diatesis Hemoragik sesuai etiologi
6. Diagnosis Sesuai etiologi
Banding
7. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunjang Inisial: darah perifer lengkap, prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan morfologi darah tepi
Skrining pre-operatif : bila riwayat perdarahan negatif ) darah perifer
lengkap, PT aPTT, bleeding time (BT)
Lainnya (sesuai indikasi): thrombin time (TT), faktor koagulasi, fibrin
degradation products IFDP), agregasi trombosit, serologi virus Dengue,
CMY, Epstein Barr Virus, hepatitis C, HIV rubella), serologi LES,
elektroforesis serum protein, imunoglobulin, fungsi hati, defisiensi IgA atau
monoclonal gammopathres [selektif), tes Coomb
8. Terapi Gangguan koagulasi : hemofilia A dan B, vWD
- Preventif : hindari olahraga kontak, higiene oral yang baik, teknik imunisasi
yang hati-hati, terapi pengganti segera setelah trauma, tatalaksana episode
perdarahan akut. Terapi profilaksis primer dapat menurunkan insidens
artropati, namun inisiasi terapi dan biaya yang dibutuhkan masih menjadi
kontroversi. Hindari juga pemberian aspirin, NSAIDs, dan obat lain yang
dapat mengganggu agregasi trombosit.
- Terapi pengganti
Hemofilia A: recombinant atau plasma-derived factor VIII
1. Plasma → kriopresipitat (-80 unit faktor VIII dalam larutan 10 cc)
2. Generasi pertama: Bioclate, Helixate FS, Kogenate, Recombinate
3. Generasi kedua: Kogenate FS dan B-domain deleted recombinant factor
322
VIII (BDDrFVIII)
4. Karena waktu paruh faktor VIII hanya 12 jam, maka kadar factor tersebut
harus diperiksa tiap 12 jam.
5. Dosis pemeliharaan: 1/2 dosis awal dan diberikan setiap hari. Monitoring
kadar faktor pembekuan biasanya dianjurkan setiap pasca trauma besar,
perdarahan, atau operasi.
6 Rumus yang digunakan untuk menghitung pengganti dosis factor VIII:
Dosis (unit) = (target kadar faktor - baseline) x berat badan lkgl/2

Hemofilia B: recombinant atau plasma-derived factor IX


l. Pengganti faktor lX: prothrombin complex concentrates (PCCs) yang
mengandung faktor II, VII, X, dan IX
2. Karena waktu paruh faktor IX hanya sekitar 16 jam, maka level faktor
tersebut harus diperiksa tiap 16 jam.
3. Dosis pemeliharaan: L/2 dosis awal dan diberikan setiap hari. Monitoring
kadar faktor pembekuan biasanya dianjurkan setiap pasca trauma besal
perdarahan, atau operasi.
4. Rumus yang digunakan untuk menghitung pengganti dosis faktor IX:
Dosis (unit) = (target kadar faktor - baseline) x berat badan [kg] x 1,2
- Desmopressin [DDAVP): terapi pilihan pada penderita hemofilia A
ringan dengan perdarahan ringan-sedang
- Terapi antifibrinolisis pada hemofilia A (asam traneksamat atau asam e-
aminocaproic/EACA): bermanfaat perdarahan gusi dan menoragia. Dosis
oral asam traneksamat dewasa 4x1. g/hari, EACA loading dose 4-5 g
dilanjutkan 1
g/jam (continuous infusion) pada dewasa atau 4 g tiap 4-6 jam per oral
selama 2-8 hari tergantung dari derajat perdarahan. Terapi ini
dikontraindikasikan bila ada hematuria.
- Fibrin glue/fibrin tissue adhesives dapat digunakan untuk terapi adjuvan
untuk faktor VIII.
- Faktor VIIa rekombinan, pada pasien hemofilia dengan titer inhibitor
tinggi.
Dosis anjuran: 90 llg/kg tiap 2 jam sampai tercapai hemostasis
2. Gangguan inhibisi faktor koagulasi: autoantibodi faktor VIII'z
- Tatalaksana etiologi bila diketahui. Apabila imbas obat ) stop konsumsi
maka perdarahan akan berhenti dalam beberapa bulan. Sebagian besar
(inhibitor post partum) sembuh dalam waktu 2-3 bulan pasca persalinan
- Pasien simptomatik ) mengatasi perdarahan dan menurunkan titer
antibodi
Menurunkan titer antibodi : imunosupresan (steroid, cyclophosphamide,
azathioprine, desmopressin, (in fra v enous immun og I obulin) / lVlG,
atau plasmaferesis)
Prednison 1 mg/kg/hari selama 3-6 minggu, atau
Cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 6 minggu, atau
Pada pasien dengan kontraindikasi imunosupresan, IVIG 0,4 g/kg/hari
selama 5 hari
3. Kelainan hematologis terkait abnormalitas fungsi trombosit
- Kelainan mieloproliferatif kronis
Polisitemia vera ) lihat pada bab Polisitemia Vera
Trombositosis esensial ) lihat pada bab Trombositosis Esensial Leukemia
mielogenus kronis ) lihat pada bab Leukemia Mielofibrosis dengan
metaplasia mieloid
- Terapi sebaiknya diberikan pada pasien simptomatis, usia >60 tahun,
individu yang akan menjalani operasi, meliputi koreksi polisitemia,
pemeliharaan massa eritrosit, tatalaksana penyakit yang mendasari.
Reduksi trombosit hingga <400.000/uL dengan plateletferesis atau agen
sitoreduktif.
- Leukemia dan sindrom mielodisplasia) Iihat pada bab Leukemia

323
Disproteinemia : terapi sitoreduktif, plasmaferesis
- Penyakit von Willebrand didapat: infus DDAVP, vWF-containing
foctor VIII concentrates, IVIG dosis tinggi
4. Kelainan sistemik terkait dengan abnormalitas fungsi trombositT
- Uremia: agregasi trombosit abnormal, dan BT memanjang sering terjadi
pada pasien uremik tapi bukan merupakan indikasi intervensi terapeutik.
Terapi: dialisis, transfusi trombosit, recombinanthuman Epo, DDAVB
estrogen konjugasi, kriopresipitat Antibodi antitrombosit (lTP, LES,
alloimunisasi trombosit, trombositopenia)
Card io pulmonary by pass
o Evaluasi preoperatif: riwayat perdarahan pada pasien atau keluarga
o Transfusi profilaksis komponen darah allogenik tidak diindikasikan
o Pada pasien anemia preoperatif, dapat diberikan recombi nant human
Epo dan non-anemis dapat diberikan Epo + donor darah autolog
o Cell savers dan darah yang dikumpulkan dari drainase chest tube dapat
digunakan selama operasi dan di re-infus untuk mengurangi transfuse
allogenik. Keamanan transfusi dalam jumlah besar dengan teknik ini
belum ditetapkan.
o Perdarahan pasca operasi pada pasien dengan BT memanjang dan
kehilangan darah berlebihan dapat merespon terapi DDVAP, dan
perdarahan pasca operasi yang tidak dapat dikontrol dapat diberikan
recombinant facto r Y lla.
o Inhibisi fibrinolisis dengan aprotinin, EACA, asam traneksamat terbukti
mengurangi kehilangan darah mediastinum dan kebutuhan transfusi.
o Apabila perdarahan pasca operasi non-bedah terjadi, pastikan pasien
tidak dalam keadaan hipotermia dan heparin telah fully reversed. Pada
tahap ini, administrasi obat dan transfusi trombosit, kriopresipitat, FFP,
dan PRC dapat diberikan.
Kelainan lainnya
o Penyakit hati kronis→BT memanjang merespon infusan DDVAP
9. Edukasi Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya, pengobatan yang akan
diberikan dan efek samping dari pengobatan
10. Prognosis Tergantung dari etiologi dan respon terapi
11. Kepustakaan 1. Dorland's lllustrated Medical Dictionary. 23'd Edition. Philadelphia:
Sounders Elsevier. 2002
2. Boz R, Mekhoil T. Bleeding Disorders. ln : Corey W, Abelson A, Dweik
R, et al. Curreni Clinical Medicine.2nd Edition. The Cleveland Clinic
Foundation. Philadelphia :Elsevier.20l0.
3. Koushonsky K, Selighson U. Classiflcation, Clinical Manifestations, ond
Evaluation of Disorders of Hemostasis: Overview. ln : Lichtmon M,
Beutler E, Selighson U, et ol. Williams Hematology. 7th
Edition. New York, McGrow-Hill. 2007
4. McMillon R. Evoluation of the Patient With Possible Bleeding Disorder.
ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia.
Sounders, Elsevier. 2008.
5. Konkle B. Disorders of Platelets and Vessel Wall. ln : Longo DL, Fouci
AS, Kosper DL, Houser SL, Jameson JL, Loscolzo J. Harrison's Principles
of lnternal Medicine. l8rh Edition. New York, McGrowHill. 2002.
6. Escobor M, Roberts HR, White ll GC. Hemophilia A ond Hemophilia B.
ln : Lichtmon M, Beutler E, Selighson U, et ol. Williams Hematology. 7th
Edition. New York, McGrow-Hill. 2007
7. Abroms CS, Bennett JS, Shottil SJ. Acquired Qualitative Platelets
Disorders: Overview. ln: Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et.al.
Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGrow-Hill. 2007

324
TROMBOSIS VENA DALAM
SKDI 2

1. Pengertian Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah didalam pembuluh darah vena
(definisi) terutama pada vena tungkai bawah, seringkali naik menjadi emboli dan jaringan
nekrosis.
Faktor risiko tromboembolisme yang didapat : usia lanjut, riwayat
tromboemboli sebelumnya, paska operasi, paska trauma, imobilisasi lama,
bentuk kanker tertentu, gagal jantung kongestif, paska infark miokard, paralysis
tungkai bawah, penggunaan estrogen, kehamilan/periode paska kehamilan, vena
varikosus/varises, obesitas, APS, hiperhomosisteinemia.
Faktor risiko tromboembolisme herediter : activated protein C resistance,
protrombin G20210A, defisiensi antitrombin, defisiensi protein C, defisiensi
protein S, disfibrinogenemia.
2. Anamnesis • Kram pada betis bagian bawah yang menetap selama beberapa hari dan
memberikan ketidaknyamanan sei ring berj alannya waktu
• Kaki bengkak, nyeri tungkai bawah
• Riwayat trombosis sebelumnya
• Riwayat trombosis dalam keluarga
3. Pemeriksaan • Rasa tidak nyaman pada palpasi ringan betis bagian bawah
Fisik • Edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah
superfisial dapatteraba, Homan's sign (+), distensi vena, diskolorasi,
sianosis
4. Kriteria 1. Anamnesis
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan Penunjang : Kadar antitrombin III (AT III) menurun (N: 85-
125%), Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat, Titer D-
dimer meningkat (indikator adanya trombosis aktif, sensitive tapi tidak
spesifik, Echodoppler kesan DVT

Skoring wells untuk memprediksi DVT :

Interpretasi skoring wells : >3 risiko tinggi (75%), 1-2 : risiko sedang (17%),
< 0 : risiko rendah (3%)
5. Trombosis Vena Dalam
6. Diagnosis Ruptur kista baker, sindrom pasca flebitis, varises, gagal jantung, trauma,
Banding refluks vena, selulitis, limfangitis, abses inguinal, keganasan dengan sumbatan
kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitis kontak, eritem nodosum, kehamilan,
flebitis superfisial, paralisis
7. Pemeriksaan 1. Radiologi: venografi/flebografi, USG vena-B mode atau colour doppler
Penunjang 2. Laboratorium: kadar AT III, protein C, protein S, antibodi
antikardiolipin, profil lipid, agregasi trombosit
8. Terapi Non Farmakologis:
• Tinggikan posisi ektremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah
vena
• Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
325
• Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti garakan fleksi-
ekstensi, menggenggam dll, tindakan ini akan meningkatkan aliran darah di
vena-vena yang masih terbuka (patent)
• Pemakaian kaus kaki elastik (elastic stocking), alat ini akan dapat
meningkatkan aliran darah vena
Farmakologis:
1. Antikoagulan
Heparin (unfractionated)
• Bolus intravena 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai 1000 IU/jam
• Target aPTT 1,5-2,5 x kontrol, bila
- aPTT <1,5 x kontrol, dosis 100-200 IU/jam
- aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis tetap
- aPTT > 2,5 x kontrol, dosis 100-200 IU/jam
• Hari I : aPTT diperiksa tiap 6 jam
Hari II : aPTT diperiksa tiap 12 jam
Hari III : aPTT diperiksa tiap 24 jam
LMWH (low molecular weight heparin)
• Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam
• Enoksaparin 1 mg/kg/12 jam
• Dalteparin 1x200 U/Kg atau 2x 100 U/kg
• Tinzaparin 1x175 U/Kg
• Fondafarinux 1x7,5 mg (BB 50-100Kg), sesuaikan pada gangguan fungsi
ginjal
• Tidak perlu pemantauan

Warfarin
• Warfarin dosis awal 5 mg, titrasi hingga INR 2-3, pada pasien usia lanjut,
berat badan rendah, warfarin diberikan dengan dosis awal yang lebih
rendah (2-4mg/hari)
• INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dgn target 2-3
• Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam berikutnya
Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor resiko
- Bila tidak ada faktor resiko, dapat distop dalam 3-6 bulan
- Bila ada faktor resiko dapat diberikan lebih lama atau bahkan seumur
hidup
Cara penyesuaian dosis INR
- INR 1,1-1,4
Hari I → naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Mingguan → naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Kembali 1 minggu
- INR 1,5-1,9
Hari I → naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Mingguan → naikkan 5-10% dari total dosis minguuan
Kembali 2 minggu
- INR 2,0-3,0
Tidak ada perubahan
Kembali 1 minggu
- INR 3,1-3,9
Hari I → kurangi 5-10% dari dosis total mingguan
Mingguan → kurangi 5-15% dari dosis total mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 4,0-5,0
Hari I → tidak dapat obat
Mingguan → kurangi 10-20% dari dosis total mingguan
Kembali 1 minggu
- INR >5,0
Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0

326
Mulai dengan dosis kurang 20-50%
Kembali tiap hari
2. Antigregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)
• Bukan merupakan terapi utama
• Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar
heparin atau warfarin
3. Trombolisis
• Terapi ini tidak dianjurkan pada DVT karena risiko pendarahan
intrakranial yang besar, kecuali kasus tertentu seperti trombus
ileofemoral masif atau bagian dari protokol penelitian
4. DVT pada keadaan khusus kehamilan :
1. warfarin merupakan kontra indikasi pada kehamilan
2. Terapi terpilih : unfractionated heparin subkutan dan LMWH jangka
panjang, misal Tinzaparin 1x175 UI/Kg/Hari SC
3. Pilihan terapi unfractionated heparin atau LMWH merupakan keputusan
klinis berdasarkan kondisi pasien
9. Edukasi o Inform concent kondisi penyakit pasien
o Tinggikan posisi ektremitas yang terkena untuk agar aliran darah vena dan
Latihan gerak sendi
o Kompres hangat utk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
Pemakaian kaus kaki elastik (elastic stocking), alat ini akan dapat
meningkatkan aliran darah vena
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fumgsionam : dubia
11. Kepustakaan 1. Romzi DW. Leeper KV. DVT ond Pulmonory Embolism: Port l. Diognosis.
Am Fom Physicion2004;69:2829-36. Diunduh dori
http://wvwv.oofp.org/ofp 12004/0615lp2829.pdf podo tonggol 29Mei 2012.
2. McGrow-Hill Concise Dictionory of Modern Medicine. New York,
McGrow-Hill. 2002
3. Hull RD, Pineo GF, Roskob GE. Venous Thrombosis. ln : Lichtmon M,
Beutler E, Selighson U, et ol.Willioms Hemotology. 7th Edition. New
York, McGrow-Hill. 2007
4. Sukrismon L. Trombosis Veno Dolom don Emboli Poru. Dolom :Sudoyo
A, Setiyohodi B, Alwi l, etol. Buku Ajor llmu
5. Penyokit Dolom. Edisi V. Jilid ll. 2009. Hol 1354-8.
6. Goldhober SZ. Deep Venous Thrombosis ond Pulmonory
Thromboembolism. ln : Longo DL, FouciAS, Kosper DL, HouserSL,
Jomeson JL, Loscolzo J. Horrison's Principles ot lnternol Medicine.
l8rhEdition. New York, McGrow-Hill. 2012.
7. Ho WK. Deep vein thrombosis: risks ond diognosis. Austrolion Fomily
Physicion July 2010;39:7Romzi DW. Leeper KV. DVT ond Pulmonory
Embolism: Port ll. Treotment ond Prevention. Am Fomhysicion 20O 4; 69
:28 41 -8.
8. Kovocs MJ, Rodger M, Anderson DR, Morrow B, Kells G. Kovocs J, et ol.
Comporison of 10-mg ond 5-mg worforin initiotion nomogroms togeiher
with low-moleculor-weight heporin for outpotient treotment of ocute
venous thromboembolism. A rondomized, double-blind, controlled kiol.
Ann lntern Med 2003;l 3B:71 6.
9. Keoron C. Noturol history of venous thromboembolism. Circulotion
2003;107 (23 suppl 1 ):i22-30.
10. Hirsh J, Lee AYY. How we diognose ond treot deep vein thrombosis.
Blood 2002; 99;3102-10.

327
HEMOFILIA
SKDI 2

1. Pengertian Hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan karakteristik


(Definisi) sexlinked resesif dan autosomal resesif, dimana perdarahan dapat terjadi tanpa
penyebab trauma yang jelas atau berupa perdarahan spontan. Hemofilia dibagi
atas tiga jenis yaitu hemofilia A, B, dan C. Hemofilia A dan B diturunkan secara
seksual, sedangkan hemofilia C secara autosomal. Pada kasus hemofilia A
terdapat defisiensi faktor VIII; kasus hemofilia B dengan defisiensi faktor IX;
dan hemofilia C dengan defisiensi faktor XI.
2. Anamnesis Pemeriksaan komprehensif pada pasien dengan suspek hemofilia sudah harus
dimulai saat ditemukan riwayat: penyakit hemofilia dalam keluarga; mudah
memar sejak periode neonatal; perdarahan spontan baik internal atau eksternal;
dan perdarahan masif ketika terjadi luka kecil.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Hemarthrosis (85%) pada sendi lutut, siku, pergelangan kaki,
pergelangan tangan, dll.
2. Hematom subkutan/intramuskular: terjadi pada otot-otot fleksor besar
(otot betis, otot region iliopsoas dan lengan bawah)
4. Pemeriksaan 1. Laboratorium untuk mengetahui fungsi homeostasis serta ada tidaknya
Penunjang kelainan perdarahan.
2. Skrining utama untuk menentukan fungsi homeostasis ialah platelet
count (normal 150.000- 450.000/mm3 ) dan bleeding time.
3. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT),
thrombin time (TT), serta specific coagulation factor assay untuk FVIII
dan IX.
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Pemeriksaan Lab. darah
Hemofilia A :
• Defisiensi faktor VIII.
• PTT (Partial Thromboplastin Time) amat memanjang.
• PT (Protrombin Time/waktu protombin) memanjang
• TGT (Thromboplastin Generation Test/diferential APTT
dengan plasma) abnormal/memanjang
• Jumlah trombosit dan waktu perdarahan normal
Hemofilia B :
• Defisiensi faktor IX.
• PTT (Partial Thromboplastin Time) amat memanjang.
• PT (Prothrombin Time/waktu protombin) dan waktu
perdarahan normal.
• TGT (Thromboplastin Generation Test/diferential APTT
dengan serum) abnormal/memanjang.
Hemofilia C
• Defisiensi faktor XI.
• PTT memanjang.
• Perdarahan dan waktu protrombin normal.
6. Diagnosis Beberapa jenis kelainan darah yang dapat menjadi diagnosis banding dari
Banding hemofilia ialah: trombositopenia; defisiensi faktor VIII, IX, dan XI; defisiensi
faktor II, V, X, dan vitamin K; defisiensi faktor VII dan penyakit hati; Von
Willebrand’s disease; disseminated intravascular coagulation (DIC); dan
defisiensi faktor XIII.
7. Terapi Protokol penanganan kasus kelainan pembekuan darah yang dianjurkan
berdasarkan kadar plasma spesifik, yakni kadar faktor pembekuan VIII/IX dalam
darah. Pada kasus hemartrosis, bila tidak didapatkan respons dengan pemberian
terapi hematologi, perlu dipikirkan tindakan joint aspiration (arthrocentesis).
Tindakan ini harus dilakukan 3-4 hari setelah onset hemartrosis untuk
mengistirahatkan sendi yang terkena, sehingga pada saat joint aspiration

328
dilakukan, inflamasi yang terjadi tidak terlalu hebat (joint aspiration sendiri
sudah bersifat invasif). Joint aspiration ditujukan untuk membantu mengurangi
nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi. Kontraindikasi joint aspiration
ialah adanya proses infeksi baik sistemik maupun lokal yang sedang
berlangsung. Pemilihan ukuran jarum sekitar 25-30G untuk mengurangi nyeri
saat penusukan dan inflamasi setelah joint aspiration selesai dilakukan.
8. Komplikasi 1. Muskuloskeletal: arthritis hemofilik dan perdarahan otot
2. Reaksi auto-antibodi (inhibitor) terhadap faktor pembekuan darah itu
sendiri
9. Prognosis 1. Disabilitas berat dan kematian akibat hemofilia serta komplikasinya
hanya terjadi sekitar 5-7% pada hemofilia berat.
2. Penentuan prognosis pada hemofilia tidak sepenuhnya tergantung pada
komplikasi yang terjadi, melainkan harus dilihat secara keseluruhan
termasuk masalah psikososial yang terkait dan tingkat kepercayaan diri
pasien.

Qua ad vitam: Dubia


Qua ad funtionam: dubia
Qua ad sanationam: dubia
10. Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 13, Jakarta: EGC
3. Panduan Pelayanan Medik PB PAPDI
4. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta :
EGC
5. Harper D. Hemofilia [homepage on the Internet]. c2012 [updated 2012
Mar 20; cited 2012 May 28]. Available from:
http://www.etymonline.com/index.phps
earch=hemofilia&searchmode=none
6. Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.

329
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA
SKDI 2

1. Pengertian Koagulasi intravaskular diseminata adalah aktivasi system koagulasi dan


(definisi) fibrinolisis secara berlebihan dan terjadi pada waktu yang bersamaan.
2. Anamnesis • Radang sendi (merah, bengkak, nyeri) umumnya menyerang sendi-sendi
kecil,lebih dari empat sendi (poliartikular) dan simetris.
• Kaku pada pagi hari yang berlangsung Iebih dari 1 jam atau membaik
dengan beraktivitas.
• Terdapat gejala konstitusional seperti kelemahan, kelelahan, anoreksia,
demam ringan.
3. Pemeriksaan Fisik • Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli,
disfungsi organ, dan perdarahan Kebanyakan pasien mengalami
perdarahan yang luas pada kulit dan membran mukosa. Manifestasi
perdarahan yang tejadi dapat berupa peteki, purpura, ekimosis, atau
hematoma. Perdarahan yang terjadi akibat bekas suntikan atau tempat
infusa tau pada mukosa sering ditemukan pada DIC akut. Perdarahan ini
juga bisa masif dan membahayakan, misalnya pada traktus
gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata. Sedangkan pasien
dengan DIC kronik umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada
kulit dan mukosa. Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi,
asidosis, hipoksia, proteinuria dapat menyertai. Trombosis
mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit
dapat berupa bulla hemoragik, nekrosis akral dan gangren.
• Trombosis vena dan arteri besar dapat terjadi, tetapi relatif jarang.
Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat berupa
akrosianosis perifer, pregangren sampai gangren pada jari- jari, genitalia
dan hidung, iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan
acute respiratory distress síndrome (ARDS) pada paru serta penurunan
kesadaran. Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain:
o Sirkulasi : Dapat terjadi syok hemoragik
o Susunan saraf pusat : Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai
koma, Perdarahan Intrakranial
o Sistem Kardiovaskular : Hipotensi, Takikardi, Kolapsnya pembuluh
darah perifer
o Sistem Respirasi : Pada keadaan DIC yang berat dapat
mengakibatkan gagal napas yang dapat menyebabkan kematian.
o Sistem Gastrointestinal : Hematemesis, Hematochezia
o Sistem Genitourinaria : Hematuria, Oliguria, Metrorrhagia,
Perdarahan uterus
4. Pemeriksaan Pemeriksaan Kompensasi
Penunjang Hiperkompensasi Dekompensasi
Trombosit N N
PTT N N/
PT N N/
Fibrinogen N N/
D Dimer +/ +/ ++/
o Darah tepi : trombositopenia atau normal, burr cell (+)
o Pemeriksaan hemostasis pada KID
• Laboratorium :
o DPL
o Hemostasis lengkap (PT, aPTT, fibrinogen, d-dimer)
5. Kriteria Diagnosis • Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia,
proteinuria

330
• Tanda-tanda perdarahan (petekie, purpura, ekimosis, hematoma,
hematemesis-melena, hematuria, epistaksis)
• Manifestasi trombosis → gagal organ (paru, ginjal, hati)
6. Diagnosis Banding • Fibrinolisis primer
• Penyakit hati berat
• Pseudo KID
7. Terapi • Suportif
o Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik
o Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah
o Membebaskan jalan napas
o Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa
o Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit
• Mengobati penyakit primer
• Menghambat proses patologis
o Antikoagulan
Heparin intravena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi aPTT
dengan target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan keempat. Bila
pada jam kedua: aPTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi
7500 U, aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap, aPTT >2,5 x
kontrol, evaluasi APTT pada jam keempat, bila: aPTT <1,5 x
kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U, aPTT >2,5 x kontrol,
heparin dikurangi 2500U
• Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi
(PRC, TC, FFP, kriopresipitat)
8. Komplikasi Gagal organ, syok/ hipoperfusi, trombosis vena dalam, KID fulminant.
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
10. Kepustakaan 1. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-18. New
York: McGraw-Hill:2012
2. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI.
3. Buku Ajar Penyakit Dalam, jilid II, edisi V
4. Tambunan, KL. Koagulasi intravascular diseminata. Dalam:
Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru,
H.dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI: 2001: 555-64.
5. Tambunan, KL. Diagnosis dan penatalaksanaan koagulasi
intravascular diseminata. In: Suberti, I. Lydia, A. Rumende, CM.
Syam, AF. Mansjoer, A. Suprohita. Penatalaksanaan
kegawatdaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. PIP IPD FKUI
Jakarta 2001: 25-31.

331
LIMFADENOPATI
SKDI 3A

1. Pengertian (definisi) Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan ukuran
lebih besar dari 1 cm. Kepustakaan lain mendefinisikan limfadenopati
sebagai abnormalitas ukuran atau karakter kelenjar getah bening. Terabanya
kelenjar getah bening supraklavikula, iliak, atau poplitea dengan ukuran
berapa pun dan terabanya kelenjar epitroklear dengan ukuran lebih besar dari
5 mm merupakan keadaan abnormal.

Keadaan yang dapat menimbulkan limfadenopati dapat diingat dengan


mnemonik MIAMI: malignancies (keganasan), infections (infeksi),
autoimmune disorders (kelainan autoimun), miscellaneous and unusual
conditions (lain-lain dan kondisi tak-lazim), dan iatrogenic causes (sebab-
sebab iatrogenik)
2. Anamnesis • Umur penderita dan lamanya limfadenopati
o Penyebab limfadenopati pada anak umumnya infeksi dan penyebab
keganasan meningkat seiring bertambahnya usia.
o Limfadenopati yang berlangsung <2 minggu atau > 1 tahun, tanpa
progresivitas ukuran mempunyai kemungkinan sangat kecil
merupakan keganasan.

• Pajanan
o Pajanan binatang dan gigitan serangga, penggunaan obat, kontak
penderita infeksi, riwayat infeksi rekuren, pajanan setelah bepergian
dan riwayat vaksinasi, rokok, alkohol, radiasi ultraviolet, silikon dan
berilium
o Riwayat kontak seksual.
o Riwayat keganasan pada keluarga.

• Gejala yang menyertai


o Gejala konstitusi, seperti fatigue, malaise, dan demam.
o Demam, keringat malam, dan penurunan berat badan lebih dari 10%.
o Gejala artralgia, kelemahan otot, atau ruam.
o Nyeri pada limfadenopati.
3. Pemeriksaan Fisik • Pada umumnya, kelenjar getah bening normal berukuran sampai
diameter 1 cm, tetapi beberapa sumber menyatakan bahwa kelenjar
epitroklear lebih dari 0,5 cm atau kelenjar getah bening inguinal lebih
dari 1,5 cm merupakan hal abnormal.
• Kelenjar getah bening yang keras dan tidak nyeri meningkatkan
kemungkinan penyebab keganasan atau penyakit granulomatosa.
• Limfoma Hodgkin tipe sklerosa nodular mempunyai karakteristik
terfiksasi dan terlokalisasi dengan konsistensi kenyal. Limfadenopati
karena virus mempunyai karakteristik bilateral, dapat digerakkan, tidak
nyeri, dan berbatas tegas. Limfadenopati dengan konsistensi lunak dan
nyeri biasanya disebabkan oleh inflamasi karena infeksi.
4. Pemeriksaan • Tergantung etiologi yang mendasari limfadenopati
Penunjang • Biopsi di lakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarah pada
keganasan dan pada pembesaran yang menetap
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan bila terdapat demam >5 hari dengan minimal 4 dari 5
gejala berikut:
1. Injeksi konjungtiva bulbar bilateral
2. Perubahan membran mukosa oral (fisura dan kemerahan pada bibir,
faring, strawberry tongue)
3. Perubahan pada ekstremitas (eritema telapak tangan dan kaki, edema
tangan dan kaki pada fase akut, dan deskuamasi periungual pada fase

332
konvalesen)
4. Ruam polimorfik
5. Limfadenopati servikal (minimal 1 kelenjar dengan diameter >1,5 cm)
6. Diagnosis Banding • Diagnosis banding tergantung dari lokasi limfadenopati
• Benjolan di leher sering kali di salah artikan sebagai limfadenopati :
- Gondongan : pembesaran kelenjar parotis akibat infeksi virus
- Kista ductus thyroglosuss : berada di garis tengah dan bergerak
dengan menelan
- Kista dermoid : benjolan di garis tengah dapat padat atau berisi cairan
- Hemangioma : kelainan pembuluh darah sehingga timbul benjolan
berisi jalinan pembuluh darah
7. Terapi • Penatalaksanaan limfadenopati di dasarkan pada etiologi. Banyak
limfadenopati yang dapat sembuh dengan sendiri..
• Limfadenopati pada anak – anak biasanya di sebabkan oleh virus dan
sembuh sendiri, walaupun pembesaran dapat berlangsung mingguan.
• Pengobatan pada limfadenitis yaitu:
- Antibiotic oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari pertama
- Flucloxacillin 26 mg/kg BB per 6 jam
- Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotic golongan peneisilin dapa
diberikan Cephalexin 25 mg/kg BB (max.500 mg) per 8 jam atau
Eritromisin 15 mg/kg BB (max.500 mg) per 6 jam.
8. Komplikasi • Pembentukan abses, selulitis, pembentukan fistula atau sepsis.
• Kebanyakan komplikasi berkaitan dengan proses penyakit yang
mendasarinnya, seperti syndrome vena cava superior, obstruksi saluran
bronkial, trakea, dan dekompresi esophageal
9. Prognosis Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: bonam
Quo ad sanationam: dubia ad malam
10. Kepustakaan 1. Wiyono P. Tiroiditis. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l, Simodibroto
M, dan Setioti S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta.
Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Lomeson JL, Weetmon AP. Disorders of the thyroid gland. ln: Fouci A,
Kosper D, Longo D, Brounwold E, Houser S, Jomeson J, dan Loscolzo J.
2012. Horrison's Principles of Internal Medicine. 15th ed. United States
of America. The McGrow-Hill Companies.
3. Alwi, Idrus., Simon Salim, Rudy Hidayat, Juferady Kurniawan, dan
Dicky Tahapany. 20015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam Panduan Praktik Klinis. Jakarta. Internal Publishing Pusat
Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam.
4. Ferrer R. Lymphadenopathy : Differential diagnosis and evaluation.
AAFP (58);6.1998. Diakses dari http://www.aafp.org/afp/981015ap/
ferrer.html

333
LIMFOMA NON-HODGKIN’S & HODGKIN’S
SKDI 1

1. Pengertian Limfoma adalah sejenis kanker yang tumbuh akibat mutasi sel limfosit.
(definisi) Limfosit ganas dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh termasuk
kelenjar getah bening, lien, sumsum tulang, darah maupun organ lainnya.
Ada 2 jenis yaitu limfoma non hodgkin dan hodgkin. Penderita limfoma
hodgkin mediastinum banyak ditemukan pada perempuan usia muda dengan
faktor risiko infeksi virus seperti Epstein Barr, CMV, HIV, defisiensi imun
pada transplantasi dan imunosupresif. Limfoma non hodgkin (NHL)
merupakan keganasan KGB, mudah menjalar ketempat lain, keganasan
primer limfosit (limfosit B, T dan sel NK), terjadi pada semua usia dengan
rerata usia 55 tahun, lebih sering pada laki-laki dengan faktor risiko seperti
imunodefisiensi, infeksi virus, pajanan herbisida, diit konsumsi tinggi lemak
hewani, kebiasaan merokok dan translokasi kromosom.
2. Anamnesis a. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) atau organ
b. Malaise umum
c. Berat badan menurun >10% dalam waktu 3 bulan
d. Demam tinggi 38˚C selama 1 minggu tanpa sebab
e. Keringat malam
f. Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung berdebar)
g. Penggunaan obat-obatan tertentu
3. Pemeriksaan Fisika. Pembesaran KGB
b. Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)
c. Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky
4. Pemeriksaan a. Biopsi eksisional atau core biopsy
Penunjang • Hematologi:
Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht, leukosit,trombosit, LED, hitung jenis
Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah
Urin rutin
SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total, albumin-
globulin
Asam urat, ureum, kreatinin
Gula darah sewaktu
Elektrolit: Na, K, Ca
HIV, TBC, Hepatitis C & B
b. Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin/standard Rontgen thoraks.
USG
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Bandinga. Infeksi: Bakteri (sifilis, brucellosis), Virus (mononukleosis infeksius,
sitomegalovirus, HIV, cat scratch fever), Mikobakterium (tuberkulosis),
Parasit (toxoplasma)
b. Autoimun: Lupus eritrematosus sistemik, Sindrom Sjögren
c. Granulomatosis: Sarkoidosis
d. Neoplasma: Leukemia limfositik kronik, Karsinoma sel kecil paru,
Histiositosis maligna, Melanoma, Neoplasma sel germinal
7. Terapi a. Limfoma hodgkin : operasi/debulking diikuti dengan kemoterapi dan
radioterapi. Kemoterapi baku emas berdasarkan NCCN adalah adriamisin,
bleomisin, vinblastin dan dakarbazin (ABVD)
b. Limfoma NonHodgkin : kemoterapi dengan siklofosfamid, doksorubisin,
vinkristin dan prednison (CHOP) 3 siklus kemudian dilanjutkan dengan
radiasi 3000 cGy
8. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

334
Ad sanationam : dubia ad malam
Indeks prognosis limfoma hodgkin berdasarkan International Prognostic
Factor Project.
Indeks prognosis NHL berdasarkan International Prognostic Index (IPI)
9. Kepustakaan 1. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006
2. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006.
3. A.W., Sudoyo, B., Setiyohadi, I., Alwi, M., Simadibrata, S., Setiati
(eds).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Interna
Publishing:Jakarta.
4. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In: Braunwald, E.
et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16thEd.New York:
McGraw-Hill. 2004
5. Pedoman Tumor Mediastinum ; PDPI
6. Duwe BV, Sterman DH, Musani Al. Tumors of Mediastinum. Chest
2005;128:2893-2909
7. Ultmann JE, Devita VT. Hodgkin’s disease and other lymphomas. In:
Petersdorf RG, Adams RD, Braunwald E, Isselbacher KJ, Martin,
editor. Principles of internal medicine. Edisi 10th. McGraw-Hill. p. 811-
25

335
MULTIPLE MIEOLOMA
SKDI 1

1. Pengertian Adalah keganasan sel B dari sel plasma neoplastikbyang memproduksi


(definisi) protein immunoglobulin monoklonal.
2. Anamnesis • Tanda anemia
• Nyeri tulang
• Mudah berdarah
• Neuropati perifer
• Infeksi berulang
3. Pemeriksaan Fisik • Shoulder pad sign
• Makroglosia
• exudative macular detachment,
• Perdarahan retina
• Gejala anemia
• Ekimosis atau purpura
• Nyeri
• Fraktur patologis
• Perubagan sensoris sepeti hilang sensasi , Tinel sign, Phalen sign
akibat kompresi carpel tunnel
• Hepatosplenomegali
• Kardiomegali
4. Pemeriksaan • Laboratorium
Penunjang o Anemia normokrom normositik atau makrositik
o Rouleaux
o Neutropenia dan trombositopenia
o LED meningkat
o Peningkatan kalsium serum
o Meningkatnya urea, kreatinin serum
o hiperkalsemia.
o Albumin serum rendah
o CRP
o Penurunan CD4 dan peningkatan CD8
• Urin
• Elektroforesisi
• Imunoglobulin level kuantitatif (IgG< IgA< IgM)
• B-2 mikrogloublin
• Viskositas serum
• Radiografi
• MRI
• Bone scan
• Aspirasi biopsi
• Histopatologis
• Analisis sitogenik
• Positron emission tomografi
5. Kriteria Diagnosis Kriteria Mayor
• Plasmasitoma pada biopsi jaringan
• Sel plasma sumsum tulang >30%
• M protein : Ig G >35g/dl, IgA >20g/dl, kappa atau lambda rantai
ringan pada elektroforese urin
Kriteria Minor
a. Sel plasma sumsum tulang 10%-30%
b. M Protein pada serum dan urin (kdar lebih kecil dari III)
c. Lesi litik pada tulang
d. Normal residual IgG <500mg/L, IgA <1g/L, atau IgG < 6g/L
Diagnosis dapat ditegakkan bila terdapat 1 mayor dan 1 minor atau 3

336
kriteria minor yang harus meliputi kriteria A + B. kombinasi I dan A
bukan merupakan diagnosis

6. Diagnosis Banding • Limfoma tulang maligna primer


• Metastatic bone disease
• Waldenstrom macroglobulinemia
• Undetermined Significance Monoklonal gammopati

7. Terapi • Edukasi bahwa penyakit dapat dikontrol meski tidak bisa disembuhkan
• Farmakologis
o Talidomide
o Analog talidomit : revimid/actimif
o Bortezomib
o Arsenic trioxide
o Genasense BCI-2 antibody
• Pengobatan keadaan darurat MM
o Uremia : rehidrasi, obati sebab yang mendasari (misalnya
hiperkalsemia, hiperurisemia). hemodialisis dipertimbangkan pada
beberapa pasien.
o Hiperkalsemia akut: hidrasi, prednisolon, fosfat (IV atau oral)
o Parapllegia kompresi : laminektomi dekompresi, irradiasi, kemoterapi
o Lesi tunggal tulang yang nyeri : kemoterapi atau irradiasi
o Anemia berat : tranfusi PRC
o Perdarahan karena interferensi paraprotein terhadap koagulasi, dan
sindroma hiperviskositas dapat diobati dengan plasmaferesis berulang.
o Anemia normokrom normositik atau makrositik
o Rouleaux
o Neutropenia dan trombositopenia
o LED meningkat
8. Komplikasi Gagal ginjal, kompresi medula spinalis, radikulopati, edema retina, infeksi
9. Prognosis Ketahanan hidup rata-rata penderita MM bervariasi, tergantung pada stadium
penyakit, dari 4 sampai kira kira 45 bulan. Juga kadar B2 mikroglobulin
menujukkan korelasi yang jelas dengan masa tumor yang ditaksir
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : malam
Quo ad sanationam : malam
10. Kepustakaan 1. Greipp, PR, San Miguel J, Durie BGM et al; International stagim system
for multiple mieloma. J Clin Oncol 25;3412-3420. 2015
2. Kyle RA. Multiple Mieloma and Related Monoclonal GAmmopathies.
In : Mazza JJ ed. Mannual of Clinical Hematology. 2nd ed. McGraw-Hill
Book Co. 1987;251-276Dimopoulos M, Kyle R, Fermand JP, Rajkumar
SV, San Miguel J, et al. Consensus recommendations for standard
investigative workup: report of the International Myeloma Workshop
Consensus Panel 3. Blood. 2011 May 5. 117 (18):4701-5.
3. Foerster J. Multiple Mieoloma. In : Lee GR. Bithell TC, Foerstell J et
all. Wintrobe’s Clinical Hematology, 9th ed. Philadel[hia : lra &
Febogr;1993;2219-2249.Rajkumar SV. Myeloma today: Disease
definitions and treatment advances. Am J Hematol. 2016 Jan. 91 (1):90-
100.
4. Palumbo A, Rajkumar SV. Treatment of newly diagnosed
myeloma. Leukemia. 2009 Mar. 23(3):449-56.
5. Bensinger WI. Role of autologous and allogeneic stem cell
transplantation in myeloma. Leukemia. 2009 Mar. 23(3):442-8.
6. Departemen Penyakit Dalam. 2017. Panduan Praktek Klinik
Departemen Penyakit Dalam. Palembang : RSUP dr. Mohamad Hoesin.
7. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, et al. Eds. 2005. Harrison’s Principle
of Internal Medicine. 16th eds. Amerika Serikat : McGraw-Hill.

337
POLISITEMIA
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk hematopoitik dengan
karekteristik peningkatan jumlah eritosit absolut dan volume darah total,
biasanya disertai lekositosis, trombositosis dan splenomegali
2. Anamnesis Gejala awal : sakit kepala, telinga berdenging, mudah lelah, gangguan daya
ingat, susah bernafas, darah tinggi, ganguan penglihatan, rasa panas pada
tangan atau kaki, pruritus, juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung
(stomach ulcers) atau sakit tulang.
Gejala akhir : pasien datang dengan keluhan perdarahan
Fase splenomegali : Pasien mengalami anemia berat, hepar dan lien
mengalami pembesaran
3. Pemeriksaan Fisik Terdapat pruritis
4. Pemeriksaan Laboratorium :
Penunjang • Hb > 18,5 g/dL pada laki-laki dan Hb > 16,5 g/dL pada perempuan
• Trombositosis > 400.000 /mm3
• Leukositosis > 12.000 /mm3
• Aktivasi alkali fosfatase leukosit > 100
• B12 serum > 900 pg/ml
• UBBC (Unsaturated B12 Binding Capasity) > 2200 pg/ml
5. Kriteria Diagnosis Kriteria Mayor :
1. Massa eritrosit : laki-laki >36 ml/kg, perempuan >32 ml/kg
2. Saturasi oksigen > 92%
3. Splenomegali
Kriteria Minor :
1. Trombositosis > 400.000/mm3
2. Leukositosis > 12.000/mm3
3. Aktivasi Alkali Fosfatase Leukosit >100 (tanpa ada demam/infeksi)
4. B 12 serum > 900 pg/ml atau UBBC (Unsaturated B12 Binding
Capasity) > 2200 pg/ml
Diagnosis polisitemia ditegakkan melalui :
1. 3 kriteria mayor, atau
2. 2 kriteria mayor pertama + 2 kriteria minor
6. Diagnosis Banding • Esensial Trombositemia (ET)
• Mielofibrosis (MF)
7. Terapi 1. Plebotomi : mempertahankan hematokrit < 45%
2. Kemoterapi Sitostatika : sitoreduksi
3. Hidroksiurea : dosis ( 500-2000 mg/m2/hari atau diberikan 2 kali
dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali
4. Klorambusil : Leukeran 2 mg/tablet dengan dosis induksi 0,1 – 0,2
mg/kg/BB/hari selama 3-6 minggu dan dosis pemeliharaan 0,4
mg/kgBB tiap minggu
5. Busulfan : Mileran 2 mg/tablet, dosis 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8
mg/m2hari
6. Interferon alpha : dimulai dengan dosis 1 juta unit 3xseminggu
7. Fosfor Radioaktif (32P) : pertama kali diberikan dengan dosis sekitar
2-3mCi/m2 secar intravena, apabila diberikan per oral maka dosis
dinaikkan 25%
8. anti JAK2 yang digunakan sekarang adalah Tirosin Kinase Inhibitor
seperti Imatinib dan Erlotinib
8. Komplikasi 1. Trombosis
2. Perdarahan
3. Transformasi menjadi leukimia
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

338
Quo ad functionam : dubia ad bonam
10. Kepustakaan 1. Setiati S, Alwi l, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam
AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
2. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J,
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-18. New York.
McGraw-Hill; 2012.
3. Supandiman I, Sumahtri R.Polisitemia Vera.Pedoman diagnosis dan
terapi Hematologi Onkologi Medik.2003 : 83 - 90
4. Prenggono, M.D. Polisitemia Vera. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam ed 4 Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 692-695.
5. Tefferi A. Polycythemia Vera : A Comprehensive Review and
Clinical Recommendations. Mayo Clin Proc.2003 :78 :174 – 194
6. James C.The JAK2V617F Mutation in for Three
Diseases?..Hematology.2008; 112 – 132
7. Campbell PJ, Green AR.Management of Polycythemia Vera and
Essential Thrombocythemia. American Society of Hematology.2005 :
201 – 208.
8. Paquette R.Hiller E. The Myieloproliferative Syndromes. Modern
Hematology.2007 :2:137 - 150
9. Finazzi G, Barbui T. How I treat patients with polycythemia Vera.
Blood. 2007 : 5104 - 5111
10. Spivak JL, Barosi G. Chronic Myeloproliferative
Disorders.Hematology 2003 : 1:200 – 220.

339
RHABDOMIOSARKOMA
SKDI 1

1. Pengertian (definisi) Rabdomiosarkoma adalah jenis sarkoma (tumor jaringan lunak) dan
sarcoma ini berasal dari otot skeletal. Rabdomiosarkoma juga bisa
menyerang jaringan otot, sepanjang intestinal atau dimana saja termasuk
leher.
Umumnya terjadi pada anak-anak usia 1-5 tahun dan bisa ditemukan
pada usia 15-19 tahun walaupun insidennya sangat jarang.
Rabdomiosarkoma relatif jarang terjadi. Duabentuk yang sering terjadi
adalah embrional rabdomiosarkoma dan alveolar rabdomiosarkoma.
2. Ananmnesa Gambaran yang paling umum terdapat adalah massa yang mungkin nyeri
atau mungkin tidak nyeri. Gejala disebabkan oleh penggeseran/desakan
atau obstruksi struktur normal.

Tumor yang berasal dari nasofaring dapat disertai kongesti hidung,


bernafas dengan mulut, epistaksis dan kesulitan menelan dan
mengunyah. Perluasan luas kedalam cranium dapat menyebabkan
paralisis saraf kranial, buta dan tanda peningkatan tekanan intracranial
dengan sakit kepala dan muntah.

Bila tumor timbul di muka atau di leher dapat timbul pembengkakan


yang progresif dengan gejala neurologis setelah perluasan regional.

Tumor primer di orbita biasanya didiagnosis pada awal perjalanan


karena disertai proptosis, edem periorbital, ptosis, perubahan ketajaman
penglihatan dan nyeri lokal.

Bila tumor ini timbul di telinga tengah, gejala awal paling sering adalah
nyeri, kehilangan pendengaran, otore kronis atau massa di telinga,
perluasan tumor menimbulkan paralisis saraf cranial dan tanda dari
massa intracranial pada sisi yang terkena.

Croupy cough yang tidak mau reda dan stridor progresif dapat menyertai
rabdomiosarkoma laring.
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan fisik yang cermat sangat penting untuk menentukan
ekstensi tumor secara klinis dan ada tidaknya penyebaran atau metastasis
jauh. Pembesaran tumor ke jaringan sekitarnya akan membentuk suatu
kapsul yang semu yang dikenal sebagai pseudokapsul.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• USG,CT Scan
5. Diagnosis Rabdomiosarkoma
6. Diagnosis Banding Wilms’ Tumor, Non Hodgkin Limfoma, Neuroblastoma
7. PemeriksaanPenunjang Prosedur diagnostic ditentukan terutama oleh area yang terlibat. Dengan
gejala dan tanda di daerah kepala dan leher, radiografi harus dilakukan
untuk mencari bukti massa tumor dan untuk petunjuk erosi tulang.

Computerize Tomography (CT) harus dikerjakan untuk mengenali


perluasan intracranial dan dapat juga memperlihatkan keterlibatan tulang
pada dasar tengkorak yang sulit divisualisasikan secara radiografis.

Untuk tumor di perut dan pelvis, pemeriksaan USG dan CT dengan


media kontras oral dan intravena dapat membantu menentukan batas
massa tumor.

Sistouretrogrambermanfaatuntuk tumor di kandungkemih. Scan


340
radionuklida dan survei metastasis tulang menyeluruh sebaiknya
dikerjakan sebelum pembedahan definitif.

Radiografi dada dan CT harusdilakukan, dan sumsum tulang (aspirasi


serta biopsy jarum) harus diperiksa. Elemen paling penting pada
tindakan diagnostic adalah pemeriksaan jaringan tumor.
8. Terapi Tumor Primer
a. Tumor yang resektabel
Dilakukan pembedahan radikal pada tumor yang resektabel dengan
syarat : tumor dapat diangkat semua dan batas sayatan bebas sel tumor
ganas.
Terdapat 2 macam prosedur pembedahan yaitu :
• Eksisi luas lokal : untuk G1 dan tumor masih terlokalisir
• Eksisi luas radikal : untuk G3 dan tumor sudah menyebar
regional/KGB

Jika diperlukan dapat diberikan terapi kombinasi yaitu : pembedahan +


radioterapi/kemoterapi. Untuk mencegah mikro metastasis : pembedahan
+ radiasi + kemoterapi

b. Tumor yang in-operabel : radiasi + kemoterapi

Tumor yang rekuren (kambuh)


Pembedahan yang tidak adekuat dan manipulasi tumor pada saat
pembedahan merupakan penyebab timbulnya rekuren lokal. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan adalah :
- Evaluasi kembali derajat keganasan dengan melakukan biopsy
insisional
- Nilai kembali ekstensi tumor dalam mempertimbangkan re-eksisi
tumor untuk tujuan kuratif
9. Edukasi Mencegahterjadinya infeksi, perdarahan atau komplikasi
10. Prognosis Diantara penderita dengan tumor yang dapat direseksi, 80-90%
mendapatkan ketahanan hidup bebas penyakit yang lama. Kira-kira 60%
penderita dengan tumor regional yang direseksi tidak total juga
mendapatkan ketahanan hidup bebas penyakit jangka panjang.
Penderita dengan penyakit menyebar mempunyai prognosis buruk.
Hanya kira-kira mencapai remisi dan kurang dari 50% dari jumlah ini
mengalami kesembuhan.
Prognosis tergantung dari: :
- Ukuran tumor
- Lokasi tumor
- Kedalaman tumor
- Derajat keganasan
- Sel nekrosis
Untuk mencapai angka ketahanan hidup (survival rate) yang tinggi
diperlukan :
- Kerjasama yang erat dengan disiplin lain
- Diagnosis klinis yang tepat
- Strategi pengobatan yang tepat, dimana masalah ini tergantung
dari evaluasi patologi anatomi pasca bedah, evaluasi derajat
keganasan, perlu/tidaknya terapi adjuvan (kemoterapi atau
radioterapi).
11. Kepustakaan 1. Lubis B. Rabdomiosarkoma Retroperitoneal. http://www.usu.com
(diakses 6 Desember 2017).
2. Anonym.Mewaspadai Kanker Pada Anak.
http://khuntien.come/home. (diakses 6 Desember 2017).
3. Timothy PC. Rhabdomyosarcoma. http://www.emedicine.com.
(diakses 6 Desember 2017).
341
4. Crist WM. Sarkoma Jaringan Lunak. Dalam: Nelson WE(eds). Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC, 2004.1786-1789.
5. Couturier J . Soft tissue tumors: Rhabdomyosarcoma. Atlas Genet
Cytogenet Oncol Haematol. March 1998 .
6. Robbins, Cotran, Kumar. Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGC,
1999.761-762.

342
TROMBOSITOPENIA
SKDI 2

1. Pengertian Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari100.000/mm3


(Definisi) dalam sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung sekitar 150.000-350.000
trombosit/mL. Jika jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan
abnormal meskipun biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai
kurang dari 10.000/mL.
2. Anamnesis 1. Apakah pasien sedang menjalani terapi tertentu?
2. Riwayat keluarga menyangkut trombositopenia
3. Riwayat minum obat pada pasien harus diketahui, termasuk obat tanpa resep dan
jamu, karena obat-obatan adalah penyebab tersering trombositopenia.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Ditemukan adanya pembesaran limpa, penyakit hepar kronik, dan kelainan
kelainan yang mendasari lainnya.
2. Splenomegali ringan sampai sedang mungkin sulit ditemukan akibat bentuk tubuh
dan/atau obesitas tetapi dapat dengan mudah diketahui dengan ultrasonografi
abdomen.
3. Apabila jumlah trombosit turun bermakna, petekie akan muncul lebih dahulu pada
area-area bertekanan vena lebih tinggi, di pergelangan tangan dan kaki.
4. Purpura basah, lepuhan darah di mukosa oral, dianggap tanda peningkatan risiko
perdarahan yang mengancam nyawa pasien trombositopenia.
5. Memar luas terlihat pada pasien dengan kelainan jumlah maupun fungsi trombosit.
4. Pemeriksaan Darah rutin lengkap, apusan darah tepi
Penunjang
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
6. Diagnosis Banding 1. Pseudotrombositopenia
2. Immune Trombocytopenic Purpura (ITP)
3. Thrombotic Microangiopathies (TMA)
7. Terapi Penatalaksanaan trombositopenia biasanya adalah mengobati penyakit yang
mendasarinya. Apabila terjadi gangguan produksi trombosit, maka tranfusi trombosit
dapat menaikkan angka trombosit dan menghentikan perdarahan atau mencegah
perdarahan intracranial. Apabila terjadi penghancuran trombosit yang esksesif,
trombosit yang ditransfusikan juga akan dihancurkan dan tidak akan menaikkan angka
trombosit.
8. Komplikasi 1. Syok Hipovolemik
2. Penurunan curah jantung
3. Purpura, ekimosis dan ptekie
9. Prognosis 1. Pada anak-anak 89% sembuh, 54% sembuh dalam 4-8 minggu, 2% meninggal
2. Pada orang dewasa 64% sembuh, 30% penyakit kronik, 5% meninggal
4. Bila pasien tidak mengalami perdarahan dan memiliki jumlah trombosit diatas
20.000/μL, harus dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi karena banyak
pasien trombositopenia kronik yang parah dapat hidup selama dua sampai tiga
dekade

Qua ad vitam: Dubia ad bonam


Qua ad funtionam: dubia ad bonam
Qua ad sanationam: dubia ad bonam
10. Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13,
Jakarta: EGC
3. Panduan Pelayanan Medik PB PAPDI
4. Longo DL. Harrison’s Hematology and Oncology [monograph online]. New York:
The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2010. Available from: Elibrary.
5. Sekhon S, Roy V. Thrombocytopenia in adults: A practical approach to evaluation
and management. South Med J. 2006;99(5):491-8.
6. Papadakis M, McPhee S. Current Medical Diagnosis & Treatment. 52nd ed. New
York: The McGraw-Hill Co., Inc; 2013.

343
VON WILLERBRAND DISEASE
SKDI 2

1. Pengertian • Pendarahan yang parah, tak terkendali, dan berhenti dalam waktu yang lebih lama
(Definisi) saat pasien terluka atau cedera. Hal ini terjadi karena darah tidak dapat membeku,
suatu kelainan yang disebabkan oleh kekurangan protein faktor von
Willebrand (FVW).
• Kelainan yang diwariskan secara otosomal dengan gejala perdarahan, disebabkan
mutasi gen faktor von Willebrand (vWF) sehingga terjadi defisiensi atau disfungsi
vWF. Revised Classification of vWD membagi vWD berdasar defek vWF
kuantitatif (tipe 1 dan tipe 3) atau kualitatif (tipe 2).
2. Anamnesis 1. Riwayat kecenderungan perdarahan mukosa
2. Riwayat perdarahan pribadi dan keluarga
3. Riwayat pengobatan
4. Umur
5. Golongan darah
6. Jenis kelamin (pada wanita dinilai perdarahan berlebihan selama menstruasi,
anemia defisiensi besi, terapi estrogen).
3. Pemeriksaan Penderita dicurigai vWD bila terdapat gejala perdarahan mukokutaneus (ekimosis,
Fisik epistaksis, perdarahan rongga mulut dan saluran cerna serta menorhagia) atau
perdarahan pascabedah.
4. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan laboratorium penyaring vWD meliputi hitung trombosit, waktu
Penunjang perdarahan dan APTT.
2. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk vWD meliputi vWF:Ag, vWF:RCo dan
FVIII:C. RIPA dan analisis multimer vWF merupakan pemeriksaan tambahan
untuk mengklasifikasi subtipe vWD.
5. Kriteria Penilaian vWD memperhatikan tiga komponen klinik dan laboratorium: 1) riwayat
Diagnosis perdarahan mukokutaneus, 2) riwayat keluarga dengan perdarahan, 3) evaluasi
laboratorium yang sesuai dengan kelainan vWF
6. Diagnosis 1. Trombositopenia
Banding 2. Pseudotrombositopenia
3. Hemofilia
4. DIC
7. Terapi 1. Asam traneksamat dan asam aminokaproat.
2. Pil kontrasepsi.
3. Pemberian konsentrat faktor-faktor pembeku darah yang terdiri dari faktor
Willebrand dan VIII melalui infus.
4. Desmopressin.
8. Komplikasi 1. Syok Hipovolemik
2. Anemia
3. Penurunan curah jantung
9. Prognosis Penentuan prognosis pada Von willebrand disease tidak sepenuhnya tergantung pada
komplikasi yang terjadi, melainkan harus dilihat secara keseluruhan termasuk masalah
psikososial yang terkait dan tingkat kepercayaan diri pasien.

Qua ad vitam: dubia


Qua ad funtionam: dubia
Qua ad sanationam: dubia
10. Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13,
Jakarta: EGC
3. Panduan Pelayanan Medik PB PAPDI
4. Biner B. von Willebrand factor and von Willebrand disease. Haema 2005; 8(3):
405–418.
5. Castaman G, Federici AB, Rodeghiero F, Mannucci PM. von Willebrand’s disease
in the year 2003: towards the complete identification of gene defects for correct
diagnosis and treatment. Haematologica 2003; 88: 94–108.
6. Sadler JE. A revised classification of von Willebrand disease. For the
Subcommittee on von Willebrand Factor of the Scientific and Standardization
Committee of the International Society on Thrombosis and Haemostasis. Thromb
Haemost 1994; 71: 520–525.

344
7. Hambleton J. Diagnosis and incidence of inherited von Willebrand disease. Curr
Opin Hematol 2001; 8: 306–311
8. Kaufmann JE, Oksche A, Wollheim CB. Vasopresin-induced von Willebrand factor
secretion from endothelial cells involves V2 receptors and cAMP. J Clin Invest
2000; 106: 107–116.

345
ALERGI IMUNOLOGI

346
REAKSI ANAFILAKSIS
SKDI 4A

1. Pengertian (definisi) Anafiklasis adalah reaksi hipersensitivitas tiper 1 dengan onset cepat,
sistemik dan mengancam nyawa. Jika reaksi tersebut hebat dapat
menimbulkan syok yang disebutkan syok anifilaksis.
Respon anafilaktik yang mengancam nyawa dari manusia yang peka
muncul dalam beberapa menit setelah paparan terhadap antigen spesifik
dan dimanifestasikan oleh gangguan pernapasan karena edema laring
dan / atau bronkospasme yang intens, sering diikuti oleh kolaps vaskular,
atau dengan syok tanpa kesulitan pernafasan sebelumnya. Manifestasi
kulit dapat berupa pruritus dan urtikaria dengan atau tanpa angioedema
adalah karakteristik anafilaktik sistemik. Manifestasi gastrointestinal
dapat berupa mual, muntah, nyeri perut yang kram, dan diare.
2. Anamnesis Anamnesis adalah alat yang paling penting untuk menentukan penyebab
anafilaksis dan harus didahulukan daripada tes diagnostik. Informasi
tentang manifestasi klinis (misalnya, urtikaria, angioedema, kemerahan,
pruritus, obstruksi jalan napas, gejala gastrointestinal, sinkop, dan
hipotensi); agen yang ditemukan sebelum reaksi, seperti makanan, obat-
obatan atau gigitan serangga/sengatan, serta aktivitas pasien sebelum
kejadian (misalnya, olahraga, aktivitas seksual). Tidak adanya gejala
mukokutan belum mengesampingkan anafilaksis

Gambaran atau gejala klinik suati reaksi anafilaksis berbeda-beda


gradasinya sesuai dengan tingkat sensivitas seseorang. Pada dasarnya
makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau
batuk yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas.
Gejala pada kulit merupakan klinis yang paling sering ditemukan pada
reaksi anafilaktik. Setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus
diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat.
Manifietasi dari gangguan gastrointestinal berupa perut kram, mual,
muntah samapai diare juga dapat merupakan gejala prodromal untuk
timbunya gejala gangguan napas dan sirkulasi.
3. Pemeriksaan Fisik • Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena
edema laring dan bronkospame, hipotensi, takikardi, edema
preorbita, mata berair, hiperemi konjugtiva. Tanda prodromal pada
kulit berupa urtikaria dan eritema, urtikaria erupsi,
4. Pemeriksaan Penunjang • Tes kulit
Tentukan keberadaan antibodi IgE dan identifikasi reaksi anafilaksis
yang dipicu oleh makanan, obat-obatan dan menyengat atau
menggigit serangga. Tes kulit dilakukan setidaknya 3 hingga 4
minggu setelah reaksi anaphylactic. Dalam kasus tes tusukan /
tusukan kulit, hasil positif ditunjukkan dengan diameter rata-rata
wheal 3 mm atau lebih besar
• Tes in vitro
Tentukan keberadaan kadar IgE spesifik alergen dalam serum dan
identifikasi reaksi anafilaksis yang dipicu oleh makanan, serangga
yang menggigit atau menyengat, obat-obatan dan lateks Tes in vitro
dianggap kurang sensitif daripada tes kulit. ImmunoCAP adalah
contoh dari tes in vitro kuantitatif yang menghubungkan kadar IgE
dengan reaktivitas klinis dan memiliki nilai prediktif untuk hasil
positif atau negatif8 Tes tantangan
• Challenge test
Yang dipantau dokter dapat digunakan jika kulit atau hasil tes in
vitro tidak meyakinkan. Tes tantangan membantu memprediksi
reaktivitas klinis terhadap anafilaksis yang dipicu oleh makanan dan
347
obat-obatan. Tes tantangan memakan waktu, mahal dan berisiko,
dan harus dilakukan hanya di fasilitas layanan kesehatan yang
lengkap yang dikelola oleh para profesional perawatan kesehatan
yang terlatih dan berpengalaman dalam memilih pasien yang tepat
untuk tes ini, melakukan tantangan dan mendiagnosis dan mengobati
anafilaksis. Tes tantangan tidak boleh dilakukan pada pasien dengan
riwayat anafilaksis terkait makanan karena peningkatan risiko
memicu serangan.
5. Kriteria Diagnosis Anafilaksis sangat mungkin ketika salah satu dari 3 kriteria berikut
terpenuhi:
Karena sebagian besar reaksi anafilaksis (> 80%) termasuk gejala-gejala
kulit, dinilai bahwa setidaknya 80% reaksi anafilaksis harus
diidentifikasi dengan kriteria 1 — bahkan ketika status alergik pasien
dan penyebab potensial dari reaksi tidak diketahui. Namun, gejala kulit
mungkin tidak ada hingga 20% dari reaksi anafilaksis pada anak-anak
dengan sengatan serangga, makanan atau alergi gigitan.

Kriteria 1. Onset akut penyakit (menit hingga beberapa jam) dengan


keterlibatan kulit, jaringan mukosa atau keduanya (misalnya, gatal
umum, pruritus atau kemerahan, bibir / lidah / uvula bengkak)
dan setidaknya salah satu berikut:
1. Gangguan pernapasan (misalnya, dyspnea, mengi-bronkospasme,
stridor, mengurangi fungsi ekspirasi puncak [PEF], hipoksemia)
2. Penurunan tekanan darah (BP) atau gejala terkait dari disfungsi
organ akhir (mis., Hipotonia [kolaps], sinkop, inkontinensia)

Kriteria 2. Dua atau lebih dari hal berikut yang terjadi dengan cepat
setelah terpapar alergen yang mungkin untuk pasien tersebut (menit
hingga beberapa jam):

1. Keterlibatan jaringan kulit-mukosa (misalnya, gatal-gatal umum,


gatal-bengkak, bibir / lidah / uvula yang bengkak)
2. Gangguan pernapasan (misalnya, dyspnea, mengi-bronkospasme,
stridor, mengurangi PEF, hipoksemia)
3. Penurunan tekanan darah atau gejala terkait (mis. hipotensi,
sinkop)
4. Gejala GI persisten (misalnya, nyeri perut kram, muntah)

Kriteria 3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang


diketahui pada pasien tersebut (dalam menit hingga beberapa jam):
Dewasa: TD sistolik kurang dari 90 mm Hg atau lebih besar dari 30%
penurunan dari baseline.
6. Diagnosis Reaksi anafilaksis
7. Diagnosis Banding • Serangan asma akut
• Sinkop
• Urtikaria akut generalisata
• Aspirasi benda asing
• Kelainan kardiovaskuler akut (MI, emboli paru)
• Sindroma allergi obat, makanan
• Keracunan akut
8. Terapi Non farmakologis
o Perbaikan pola hidup, perbaikan pola makan dan minum, serta
hindari alergen
o Posisi terdelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
atau posisi lebih tinggi sehingga akan membantu menaikkan venous
return sehingga tekanan darah diharapkan meningkat.

348
Farmakologis
Pengenalan dini dari reaksi anafilaktik adalah wajib, terjadi dalam
beberapa menit hingga jam setelah gejala pertama.
Gejala ringan seperti pruritus dan urtikaria bisa dikontrol dengan
pemberian 0,3 - 0,5 mL 1: 1000 (1 mg/mL) epinefrin SC atau IM,
dengan dosis berulang seperti yang diperlukan pada 5 - 20 menit untuk
reaksi yang parah.
Tambahan agen seperti antihistamin diphenhydramine, 50-100 mg IM
atau IV, dan aminofilin, 0,25-0,5 g IV, sesuai untuk urticaria-
angioedema dan bronkospasme, masing-masing.
Glukokortikoid intravena, 0,5-1 mg / kg, tidak efektif untuk kejadian
akut tetapi dapat mengurangi kekambuhan selanjutnya bronkospasme,
hipotensi, atau urtikaria.

9. Komplikasi Kerusakan otak, koma, kematian


10. Prognosis Prognosis amat tergantung dari kecepatan Diagnosis dan pengelolannya
karena itu umumnya dubia ad bonam.
11. Kepustakaan 1. TR Harrison, et al, 2012. Anaphylactic reaction in Harrisons
principle of internal medicine 18th edition: 2709-2711
2. Canadian Society of Allergy and Clinical Immunology:
Anaphylaxis in schools & other settings. 2009, CSACI, 2
3. Simons FE. Anaphylaxis. J Allergy Clin
Immunol. 2010;125(2)(suppl 2):S161-S181
4. Simons FER, et al. 2012. Update: wworld allergy organization.
Guidelines for the assessment and management of anaphylaxis. Curr
Opin Allergy Clin Immunol 2012;12;389.99
5. Simons FER, et al. Update: world allergy organization. Guidelines
for the assessment and management of anaphylaxis. WAO Jurnal
2011:4:13-37
6. Baratawidjaja KG. Rengganis l. Reaksi anafilaksis dan anafilaktoid.
Dalam: allergi Dasar,Jakarta:interna Publishing,2009. Hal 67-94
7. Bousquet J, Heinzerling L, Bachert C, et al. Practical guide to skin
prick tests in allergy to aeroallergens. Allergy. 2012;67(1):18-24.
8. Johansson SG. ImmunoCAP specific IgE test: an objective tool for
349
research and routine allergy diagnosis. Expert Rev Mol
Diagn. 2004;4(3):273-289.
9. Sampson HA, Muñoz-Furlong A, Campbell RL, et al. Second
symposium on the definition and management of anaphylaxis:
summary report—Second National Institute of Allergy and
Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network
symposium. J Allergy Clin Immunol. 2006;117(2):391-397
10. Volcheck GW. Clinical Allergy: Diagnosis and
Management. Rochester, MN: Mayo Foundation for Medical
Education and Research; 2009.
11. Waserman S, Chad Z, Francoeur MJ, Small P, Stark D, Vander
Leek TK, Kaplan A, Kastner M: Management of anaphylaxis in
primary care: Canadian expert consensus recommendations.
Allergy. 2010, 65: 1082-92

350
ASMA BRONKIAL
SKDI 3

1. Pengertian (definisi) Penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemen selular. Inflamasi kronik ini terkait dengan hiperreaktivitas
saluran napas, pembatasan aliran udara, gejala respiratorik dan
perjalanan penyakit yang kronis. Episode ini biasanya terkait dengan
obstruksi aliran udara dalam paru yang reversibel baik secara spontan
ataupun dengan pengobatan.
Asma disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik
yang berpengaruh adalah riwayat keluarga dan atopi. Obesitas juga
terkait dengan peningkatan prevalensi asma. Beberapa pemicu
serangan asma antara lain alergen, infeksi virus pada saluran napas
atas, olahraga dan hiperventilasi, udara dingin, polusi udara (asap
rokok, gas iritan), obat-obatan seperti penyekat beta dan aspirin, serta
stres.
Pada asma, terdapat inflamasi mukosa saluran napas dari trakea
sampai bronkiolus terminal, namun predominan pada bronkus. Sel-
sel inflamasi yang terlibat pada asma antara lain sel mast, eosinofil,
limfosit T sel dendritik, makrofag, dan netrofil. Sel-sel struktural
saluran napas yang terlibat antara lain sel epitel, sel otot polos, sel
endotel,fibroblas dan miofibroblas, serta sel saraf. Penyempitan
saluran nafas terutama terjadi akibat kontraksi otot polos saluran
napas, edema saluran napas, penebalan saluran napas akibat
remodeling, serta hipersekresi mukus.
2. Anamnesis Episode berulang sesak napas, mengi, batuk, dan rasa berat di dada,
terutama saat malam dan dini hari. Riwayat munculnya gejala setelah
terpapar alergen atau terkena udara dingin atau setelah olahraga.
Gejala membaik dengan obat asma, riwayat asma pada keluarga dan
penyakit atopi dapat membantu diagnosis.
3. Pemeriksaan Fisik Temuan fisis paling sering adalah mengi pada auskultasi. Pada
eksaserbasi berat, mengi dapat tidak ditemukan namun pasien
mengalami tanda lain seperti sianosis, mengantuk, kesulitan berbicara,
takikardi, dada hiperinflasi, penggunaan otot pernapasan tambahan,
dan retraksi interkostal.
4. Pemeriksaan Penunjang Spirometri (terutama pengukuran VEP l [volume ekspirasi paksa
dalam 1 detik] dan KVP [kapasitas vital paksa]) serta pengukuran
APE (arus puncak ekspirasi) adalah pemeriksaan yang penting.
• Spirometri: peningkatan VEP l >1,2% dan 200 cc setelah
pemberian bronkodilator menandakan reversibilitas
penyempitan jalan napas yang sesuai dengan asma. Sebagian
besar pasien asma tidak menunjukkan reversibilitas pada tiap
pemeriksaan sehingga dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan ulang.
• Pengukuran APE Idealnya dibandingkan dengan nilai terbaik
APE pasien sendiri sebelumnya, dengan menggunakan alat
peak flow meter sendiri, Peningkatan 60 L/menit (atau >
20% dari APE prebronkodilator) setelah pemberian inhalasi
bronkodilator atau variasi diurnal APE lebih dari 20% lebih
dari 10% dengan pemeriksaan dua kali sehari) mendukung
diagnosis asma.
Pemeriksaan IgE serum total dan IgE spesifik terhadap alergen hirup
(Radioallergosorben Test (RAST)) dapat dilakukan pada beberapa
pasien. Foto toraks dan uji tusuk kulit (skin prick rest/SPT) dapat
membantu walaupun tidak menegakkan diagnosis asma. Selain itu,
dapat pula dilakukan uji bronkodilator atas indikasi, tes provokasi
bronkus atas indikasi, untuk mengukur hiperreaktifitas bronkhus
351
dengan inhalasi methakolin atau histamin dengan dosis yang makin
tinggi, atau melalui latihan jasmani.dan analisis gas darah atas
indikasi.
5. Kriteria Diagnosis Gejala klinik yang khas dan perubahan uji faal paru setelah pengobatan
dengan bronkhodilator.
Dengan bronkhodilator terjadi peningkatan FEVI >20 %
Dengan uji provokasi bronkhial terjadi penurunan FEVI < 20%
6. Diagnosis Banding Sindrom hiperventilasi dan serangan panik, obstruksi saluran napas
atas dan terhirupnya benda asing, disfungsi pita suara, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) penyakit paru parenkim difus, asma kardiale
7. Terapi a. Oksigen 4-5 liter/menit.
b. Berikan nebulizer beta 2 agonis seperti Salbutamol atau
Fenoterol 2,5 mg tiap 20 menit maksimal sebanyak 3 kali.
c. Steroid bila belum dapat diatasi. Hidrokortison 4 x 200 mg IV
atau Deksametasone 4 x 10 mg atau Prednisolon 40 mg/hari
dalam dosis terbagi.
d. Bila serangan akut dapat diatasi, ganti obat secara oral.
e. Suntikan Aminofilin (240 mg/10 ml). Bila telah mendapat
Aminofilin dalam 12 jam sebelum serangan, berikan dosis awal
2-3 mg/kg BB IV perlahan-lahan, teruskan dengan dosis
pemeliharaan 0,5-1mg/kg BB/jam dalam cairan dektrose 5%.
Bila belum mendapat Aminofilin berikan dosis awal 5-6 mg/kg
BB (maksimal 240 mg) secara IV perlahan-lahan, teruskan
dengan dosis pemeliharaan 0,5-1 mg/kg BB/jam
f. Perbaikan hidrasi melalui cairan fisiologis IV 2-3 liter/24 jam.
g. Antibiotika bila ada infeksi sekunder.

Tahap-tahap tatalaksana untuk mencapai kontrol:


1. Obat penghilang sesak sesuai kebutuhan
Menggunakan agonis-β2 inhalasi keria cepat. Alternatifnya adalah
antikolinergik inhalasi, agonis-β 2 oral kerja singkat dan teofilin
kerja singkat
Obat penghilang sesak ditambah satu obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali
kortikosteroid inhalasi dosis rendah [budesonid 200-400 µg atau
ekivalennya). Alternatif obat pengendali adalah leukotrienemodifier
teofilin lepas-lambat, kromolin.
2. Obat penghilang sesak ditambah satu atau dua obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali
kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan agonis-β2
inhalasi keria-paniang (LABA). Alternatif pengendali adalah
kortikosteroid inhalasi dosis sedang (budesonide 400-800 µg atau
ekivalennya) atau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah
dengan leukotriene modifier atau kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis rendah dengan teofilin lepas-lambat.
3. Obat penghilang sesak ditambah dua atau lebih obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali
kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis sedang/tinggi [budesonide
800-1600 µg atau ekivalennya) dengan LABA. Alternatif
pengendali adalah kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis
sedang/tinggi dengan leukotriene modifier atau kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis sedang/tinggi dengan teofilin lepas-
352
lambat.
4. Obat penghilang sesak ditambah pilihan pengendali tambahan
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali
tahap 4 ditambah kortikosteroid oral. Alternatifnya adalah
ditambah terapi anti-lgE

8. Komplikasi • Gagal nafas


• Status asmatikus
9. Prognosis Tergantung beratnya gejala.Keadaan yang berkaitan dengan prognosis
yang kurang baik antara lain asma tidak terkontrol secara klinis,
eksaserbasi sering terjadi dalam satu tahun terakhir, menjalani
perawatan kritis karena asma, VEP l yang rendah, paparan terhadap
asap rokok, pengobatan dosis tinggi
10. Kepustakaan 1. Sundoru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi l, Simodibroto M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, 2009, 404-14
2. Bornes PJ. Asthma. Dalam: Longo DL. Kosper DL. Jomeson JL,
Fouci AS, Houser SL, Loscolzo J. Harrison's principle of internal
medicine. Edisi XVlll. McGrow-Hill Componies, 2012.h.2102-15
3. Global initiative for asthma. Global strategy for asthma
management and prevention.2011

353
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Purpura Henoch-Schonlein adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh
vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang ditandai dengan lesi kulit
spesifik yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau artralgia,
nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang
dengan nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.
2. Anamnesis • Timbul ruam kemerahan yang berubah menajdi ungu di ekstremitas
(terutama di ekstremitas bawah)
• Nyeri perut, BAB hitam, nyeri sendi, bengkak pada sendi
• Apakah gejala ini sudah berulang sebelumnya
• Apakah ada BAK merah, nyeri kepala
3. Pemeriksaan Fisik Kulit: ruam makuloeritematosa yang palpabel, berlanjut menjadi
purpura, tanpa adanya trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan
ekstremitas bagian bawah (pada 100% kasus) → purpura lambat laun
berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu
menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
• Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan
ekstremitas (punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
• Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas
bawah, tidak menimbulkan deformitas yang menetap.
• Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan
perdarahan gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang
dapat perforasi usus dan intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada
2-3% kasus.
• Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)
4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
1. Darah tepi: trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan
purpura yang disebabkan trombositopenia, biasanya juga eosinofilia.
LED dapat meningkat.
2. Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan
kadar IgA dalam darah mungkin meningkat.
3. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun
penurunan kreatinin klirens
4. Feses: ditemukan darah

Pencitraan: Bila dicurigai adanya intususepsi: USG dan foto polos


abdomen
5. Kriteria Diagnosis Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah dapat menegakkan
Diagnosis. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
menegakkan Diagnosis HSP.
6. Diagnosis Banding • Penyakit Kawasaki
• Lupus eritematosus sistemik
• Polyarteritis Nodosa
• Urticarial vasculitis
• ITP
7. Terapi Non farmakologis
Edukasi
Menjelaskan pada penderita/keluarga:
• Kemungkinan rekurensi terjadi pada 50% kasus
• Gejala dan kemungkinan komplikasi yang terjadi
• Jadwal pemberian obat terutama kortikosteroid dan jadwal
penurunannya, efek samping dan cara memakan obat

354
Farmakologi
Kortikosteroid
diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan saluran
cerna, purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal progresif
(sindroma nefrotik, kerusakan glomerulus), edema jaringan lunak yang
hebat, gangguan SSP, dan perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 10-30mg/kgbb/hari (IV)
diberikan dalam D5% 100cc dalam 2 jam, selama 3hari hari +
siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 1-2 mg/kgBB/hari (oral) selang sehari,
siklosfosfamid 100-200 mg selama 30-75 hari
- Dilakukan tappering off
Nyeri perut berat dan pencegahan terjadinya nefritis: kortikosteroid oral
jangka pendek dosis 1-2 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 5-7 hari
kemudian diturunkan perlahan-lahan selama 2-3 minggu.
Nyeri perut berat dengan mual dan muntah: 1-2 mg/kg/hari
Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP.
Jika akut abdomen → konsul bedah.
Monitoring:
• Tekanan darah
• Nyeri perut, perdarahan saluran cerna
• Purpura/lesi kulit baru yang timbul
Laboratorium: leukosit, LED, urinalisis dan feses
8. Komplikasi • Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
• Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
• SSP : defiusit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
9. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad functionam : bonam
10. Kepustakaan 4. Setiati S, Alwi l, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam
AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
5. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo
J, Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-18. New York.
McGraw-Hill; 2012.
6. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akib
AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
7. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter 166.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co
2008.
8. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
9. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010

355
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK ( LES )
SKDI 3A

1. Pengertian (Definisi) Penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat
adanya deposit kompleks imun di jaringan dan atau sirkulasi, penyakit
reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi sistemik, yang
dapat mengenai beberapa organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun,
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Etiopatologi dari SLE
belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang
kompleks antara faktor genetik dan lingkungan.
2. Anamnesis Adanya nyeri sendi, sariawan di palatum dan tidak nyeri, rambut rontok,
sensitif terhadap sinar matahari, badan lemas, BAK berbusa, BAK seperti
air cucian daging, akral pucat, kejang, sesak nafas
3. Pemeriksaan Fisik Rambut rontok, malar rash, konjungtiva palpebra pucat, lesi diskoid,
stomatitis atau oral ulcer, pericardial friction rub, akral pucat,
4. Kriteria diagnosis Ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria ARA (ACR, 1997)
1. Ruam malar
Eritema yang menetap tipis atau tebal di atas eminensia malar
atau dapat melebar sampai lipatan naso-libial
2. Ruam discoid
Warna kemerahan pada kulit dengan penebalan keratin kulit,
penyumbatan kelenjar folikel rambut dan atropi kulit.
3. Foto sensitifitas
Perubahan warna kulit ataupun bentuk rash dikulit bila terkena
cahaya matahari baik dirasakan oleh penderita atau dilihat oleh
dokter.
4. Ulkus di mulut (stomatitis)
Ulkus pada daerah mulut atau nasofaring tanpa nyeri
5. Artritis non erosif
Terlibatnya 2 atau lebih sendi perifer dengan ciri khusus nyeri
tekan, bengkak atau adanya efusi (tanda-tanda artritis)
6. Pleuritis atau pericarditis
a. Pleuritis secara klinik ditemukan adanya nyeri pleura dan
dengan stetoskop terdengar pleura friction rub atau
ditemukan adanya efusi baik pada pemeriksaan fisik atau
pemeriksaan rontgen.
b. Perikarditis ditemukan secara klinik dengan mendegar suara
pericardial friction rub dengan stetoskop atau dengan
pemeriksaan rongent ada efusi perikardial atau dengan
pemeriksaan EKG
7. Gangguan ginjal
a. Proteinuria yang menetap >0,5 gram/hari atau > (+++) pada
pemeriksaan urin secara kualitatif
b. Ditemukan silinder eritrosit, granular, tubular atau campuran
8. Gangguan neurologic
a. Adanya kejang tanpa ditemukan sebab lain seperti karena
obat atau gangguan metabolik (misal uremia, keto-asidosis,
gangguan keseimbangan elektrolit).
b. Psikosis tanpa ditemukan sebab lain seperti karena obat atau
gangguan metabolik (misal uremia, keto-asidosis, gangguan
keseimbangan elektrolit)
9. Gangguan hematologic
Paling sedikit didapat 1 kelainan dibawah ini:
a. Anemia hemolitik dengan retikulosit
b. Leukopenia (leukosit < 4000/mm3) pada minimal 2x
pemeriksaan
356
c. Limfofenia (< 1500/mm3) pada minimal 2x pemeriksaan
d. Trombositopenia (trombosit < 100.000/mm3 ) dengan tidak
ada obat-obatan lain yang menjadi penyebabnya
10. Gangguan imunologik
Paling sedikit didapat 1 kelainan di bawah ini :
a. Titer antibody dsDNA yang meningkat
b. Anti Sm (+)
c. Antibody anti posfolipid (+) berupa :
- Kadar IgG atau IgM anti kardiolipin yang meningkat:
- Lupus antikoagulan (+) atau hasil positif palsu paling sedikit
6 bulan dengan menggunakan tes immobilisasi atau tes
antibody absorbs dengan fluorosensi terhadap Treponema
pallidum.
11. Test Ana (+)
Dengan mengesampingkan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi tes.
5. Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
6. Diagnosis Banding Undifferentiated connective tissue disease (UCfD), artritis reumatoid,
sindrom vaskulitis, sindrom sjogren primer, sindrom anti-fosfolipid
primer, fibromyalgia,lupus imbas obat, Sindrom Steven Johnson
7. Pemeriksaan Darah perifer lengkap: Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Hematokrit,
Penunjang LED, Ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid
Urinalisis ANA,Anti dsDNA ,Foto toraks, C3 dan C4 [untuk menilai
aktifitas penyakit)

Pemeriksaan berikut dilakukan jika ada indikasi:


Protein urin kuantitatif 24 jam
Profil ANA: Anti Sm, Anti-Ro/SS-A, anti La/SS-B dan anti-RNP
antiphospholipid antibodies, lupus anticoagulant, anticardiolipin, anti-
β2-g lycoprotein lbila ada kecurigaan sindroma anti-fosfolipid
Coomb fest, bila ada kecurigaaan AIHA
EKG, ekokardiografi
Biopsi kulit
8. Terapi Pengobatatan pada penderita LES pada umumnya dibagi 2 :
• Pengobatan umum/konservatif
• Pengobatan farmakologis

A. Pengobatan umum/konservatif.
1. Rehabilitasi dan latihan :
Penderita SLE dianjurkan tetap melakukan aktifitas jasmani dan
menghindari terlalu banyak istirahat ditempat tidur agar kekuatan
otot tetap terjaga dan juga menghindari terjadinya kontraktur
sendi, osteoforesis, atrofi otot.
2. Merokok : Hindari merokok oleh karena asap rokok akan
mengganggu oksigenasi darah, meningkatkan tekanan darah dan
memperberat fenomena Raynaud.
3. Makanan
Dianjurkan untuk makan minyak ikan, karena minyak ikan
megandung eicosapentanoic acid yang mampu menghambat
agregasi trombosit dan menghambat produksi leukotriene B4
4. Sinar matahari
Dianjurkan untuk memakai penahan sinar ultra violet (sun
screen). Tetapi pemakaian sun screen dapat menghalangi sintesa
vitamin D pada kulit. Jadi pemberian vitamin D per oral pada
kasus demikian diperlukan. Kerugian lain dari pemakaian sun
screen adalah kemungkinan terjadinya reaksi alergi.

B. Pengobatan farmakologis.
357
1. Salisilat dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS).
2. Anti malaria.
Anti malaria ( Chloroquine, Hydroxychloroquine, Atabrine)
diberikan pada discoid lupus. Dosis chloroquine: 250-500
mg/hari.Dosis Hyhdroxychloroquine: 200-400 mg/hari.
Atabrine diberikan apabila pemberian chloroquine atau
hydroxychloroquine tidak memberikan hasil yang memuaskan
atau timbul komplikasi pada retina. Dosis yang dianjurkan : 100
mg/hari, walaupun dengan dosis 25 mg kadang-kadang sudah
efektif.
Sesudah pengobatan dengan anti malaria selama 1-2 tahun,
sebaiknya dilakukan tappering off.
Setelah itu diberikan dosis rumatan yaitu : 1-2 kali dalam
seminggu @ 200 mg.
3. Kortikosteroid.
a. LES ringan (badan panas, artritis, perikarditis ringan, efusi
pleura/efusi perikardial ringan, lesi kulit, lelah dan sakit
kepala).
Pertama kali diberikan aspirin / OAINS, dimulai dengan
dosis rendah, dapat dinaikan secara bertahap. Bila tidak ada
respon perlu ditambahkan anti malaria, misalnya chloroquine
dosis : 2 x 250 mg/hari atau 1 x 500 mg/hari. Bila beberapa
bulan belum ada perubahan ditambahkan atabrine 100
mg/hari. Bila belum ada juga respon diganti steroid
(prednison) dengan dosis kecil : 2,5 – 5 mg/hari. Dosis
prednison dapat ditambah 20% setiap 1-2 minggu tergantung
respon klinis.
b. LES berat : gejala diatas ditambah efusi pleura/efusi
perikardial yang banyak, kelaianan ginjal yang jelas, anemia
hemolitik, trombositopenia purpura, lupus serebral, vaskulitis
akut, miokarditis, lupus pneumonitis dan perdarahan paru.
Pemakaian kortikosteroid pada kasus yang berat merupakan
pilihan utama, sedangkan anti malaria dan OAINS tidak
dipakai.

Prosedur dan dosis pemberian kortikosteroid :


• Bila disertai badan panas, kortikosteroid diberikan tiap
hari dalam 2-3 kali pemberian.
• Bila tanpa badan panas (febris) dan tanpa gejala-gejala
nyata yang berat, prednison dapat diberikan sebagai dosis
tunggal pada pagi hari.
• Apabila tidak ada keluhan sistemik, disertai dengan
nefritis aktif, steroid dapat diberikan selang sehari.
• Bila disertai dengan gejala-gejala seperti tersebut dibawah
ini, perlu tindakan khusus

b.1. Anemia hemolitik otoimun.


Dosis prednison : 60-80 mg/hari, bila dalam 1 minggu tidak
ada perubahan baik klinis maupun laboratoris, dosis dapat
dinaikkan : 100-120 mg/hari. Respon penuh biasanya
memerlukan waktu antara 8-12 minggu.

b.2. Trombositopeni otoimun.


Dosis prednison : 60-80 mg/hari. Kenaikan jumlah trombosit
belum tampak sampai minggu ke 4 pemberian prednisone

b.3. Vaskulitis sistemik akut.


Dosis prednison : 60-100 mg/hari. Respon klinik akan

358
tampak dalam beberapa hari, kecuali pada penderita dengan
gangren. Pada penderita yang sakit berat dapat diberikan
steroid intravena.

b.4. Lupus serebral.


Preparat yang dianjurkan adalah metil prednisolon sodium
suksinat (solu medrol), dosis : 40-80 mg/hari intra vena tiap
6-12 jam. Preparat lain yang dapat dipakai adalah
hidrokortison sodium suksinat (solu cortef) dengan dosis :
250-500 mg intra vena tiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan
setiap 24-48 jam sampai mencapai 3000 mg/hari sampai efek
terapi tampak.

b.5. Lupus nefritis akut.


Dosis prednison : 1 mg/kg BB/hari dalam waktu 6-12
minggu, kemudian prednison diturunkan secara bertahap dan
akhirnya selang sehari. Bila pada penderita ini hanya
dijumpai gangguan ginjal primer tanpa : badan panas dan
tanpa keluhan nyata serta organ lain tidak terkena, dapat
diberikan prednison : 100-120 mg/hari (2 mg/kgBB/hari)
dengan cara menghambat sintesis purine dan guanosine
nucleotide yang penting pada pembentukan DNA sel
limfosit.
Mofetil mikofenolat (MMF) dipakai sebagai pilihan alternatif
terapi induksi pada pasien lupus nefritis yang menolak atau
tidak toleran terhadap siklofosfamid. Untuk terapi induksi
MMF digunakan dengan dosis 1-3 g/hari dan terbukti
mempunyai efek yang sebanding dengan bolus siklofosfamid
I V sebulan sekali selama 6 bulan. Pada penderita dengan
lupus nefritis MMF selang 2 bulan (full dose) dosis dapat di
tappering off tergantung keadaan khusus.
Studi lain pada lupus nefritis proliferatif difus, terbukti
bahwa MMF 2x1 g/hari kombinasi dengan prednisolon
memberikan remisi lebih baik dibanding kelompok yang
mendapat kombinasi siklofosfamid oral 2,5 mg/kgBB/hari
dan prednisolon.
Mofetil mikofenolat dosis 1-2 g/ hari atau Azatioprin dosis 2
mg/kgBB/hari merupakan alternatif pilihan terapi
pemeliharaan setelah remisi dengan bolus siklofosfamid I V
dapat dicapai. Untuk terapi pemeliharaan sedikitnya
diperlukan waktu selama 1 tahun.Pada penderita dengan
lupus nefritis MMF selang 2 bulan (full dose) dosis dapat di
tappering off tergantung keadaan khusus
9. Edukasi Hindari KB hormon, hindari kehamilan, berobat dan kontrol teratur
10. Prognosis Angka harapan hidup pasien dengan SLE di Amerika Serikat, Kanada,
Eropa, dan Cina sekitar 950/o dalam 5 tahun, 90% dalam 10 tahun,
78o/o dalam 20 tahun. Ras
Afrika-Amerika dan Hispanik-Amerika mempunyai prognosis lebih
buruk daripada ras kaukasia. Prognosis di negara berkembang lebih
buruk daripada negara maju yaitu dengan angka kematian 50% dalam
10 tahun; seringkali berkaitan dengan saat pertama kali terdiagnosis,
antara lain: pasien dengan nilai kreatinin serum >124 mol/L atau >1.4
mg/dL, hipertensi, sindroma nefrotik (ekskresi protein urin>2.6 g/24
jam), anemia (hemoglobin <724 g/L atau <1.2.4 g/dL), hipoalbumin,
jenis kelamin laki-laki, dan ras Afrika-Amerika dan Hispanik-Amerika
keturunan mestizo). Disabilitas pada pasien SLE karena kelelahan
kronis, artritis, nyeri, adanya penyakit ginjal. Remisi terjadi pada 25
% kasus selama hanya beberapa tahun. Kematian pada dekade pertama
359
karena penyakit sistemik, gagal ginjal, tromboemboli, dan infeksi.
11. Kepustakaan 1. lsbogio H, Albor Z, Kosjmir Yl, Setiyohodi B. Lupus
Eritemotosus Sistemik. ln:Sudoyo AW, Setiyohodi B, Alwi l,
Simodibroto M, Setioti S. Buku Ajor llmu Penyokit Dolom.
Jokorto: lnterno Publishing; 2009.p. 2s6s-77.
2. Hohn BH. Systemic Lupus Erythemotosus. ln:Longo DL, Kosper
DL, Jomeson JL, Fouci AS, Houser SL, Loscolzo J. Horrisons
Principles of Internol Medicine l8th ed. USA: The McGrow Hill
componies;2012.p.2724-3s
3. Petri M, Orboi AM, Alorcon GS, et ol. Derivotion ond volidotion
of the systemic lupus internotionol colloboroting clinics
clossificotion criterio for systemic lupus erythemotosus. Arthritis
Rheum. 2012;64(81:2677-86.
4. Americon College of Rheumotology Ad Hoc Committee on
systemic lupus erythemotosusguidelines. Arthritis Rheum 1 999
;a2p 11 7 85-9
5. Guzmon J, Cordiel MH, Arce-solinos, et ol. Meosurement of
diseose octivity in systemic lupuserythemotosus. Prospective
volidotion of 3 clinicol indices. J Rheumotol 1992;19:155,l-1558
6. Petri M. Systemic Lupus Erythemotosus. ln: lmboden J, Hellmonn
DB, Stone JH. Current

360
INFEKSI

361
AIDS/HIV
SKDI 3A

1. Pengertian Pasien dinyatakan terbukti terinfeksi HIV dari pemeriksaan penunjang


(definisi)
2. Anamnesis Stadium WHO :
• Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata
• Stadium 2
- Berat badan turun < 10 %
- Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi
jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas rekuren
• Stadium 3
- Berat badan turun > 10 %
- Diare yang tidak diketahui penyebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan) > 1 bulan
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberkulosis paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia Pneumocystis carinii
- Toksoplasma serebral
- Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau KGB (mis:retinitis
CMV)
- Infeksi hespes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau viseral
- Progressive multifocal leucoencephalopathy
- Mikosis endemic diseminata
- Kandidiasis esofagus, trakea dan bronkus
- Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
- Septikemia salmonela non tiposa
- Tuberkulosis ekstrapulmoner
- Limfoma
- Sarkoma kaposi
- Ensefalopati HIV
3. Pemeriksaan Fisik Stadium WHO
Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata
Stadium 2
• Berat badan turun < 10 %
• Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo,
infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
• Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
• Infeksi saluran napas rekuren
• Stadium 3
• Berat badan turun > 10 %
• Diare yang tidak diketahui penyebab > 1 bulan
• Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan) > 1 bulan
• Kandidiasis oral
• Oral hairy leukoplakia
• Tuberkulosis paru
• Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
Stadium 4
• HIV wasting syndrome

362
• Pneumonia Pneumocystis carinii
• Toksoplasma serebral
• Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan
• Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau KGB (mis:retinitis
CMV)
• Infeksi hespes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau viseral
• Progressive multifocal leucoencephalopathy
• Mikosis endemic diseminata
• Kandidiasis esofagus, trakea dan bronkus
• Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
• Septikemia salmonela non tiposa
• Tuberkulosis ekstrapulmoner
• Limfoma
• Sarkoma kaposi
• Ensefalopati HIV
4. Pemeriksaan • Anti HIV ELISA
Penunjang • Anti HIV western blot
• Antigen p-24
• Hitung CD4 < 200 sel/mm3
• Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
• Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik
5. Kriteria Diagnosis Adanya faktor risiko penularan
Diagnosis HIV : tes ELISA 3 kali reaktif dengan reagen yang berbeda
6. Diagnosis Infeksi HIV
7. Diagnosis Banding Penyakit imunodefisiensi primer
8. Prognosis Dubia
9. Kepustakaan 1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing;
2014.p.898-904.

363
ASKARIASIS
SKDI 4A

9. Pengertian Askariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau
(Definisi) cacing gelang. Cacing ini bulat, besar, dan hidup dalam usus halus manusia
dengan Panjang cacing dewasa sekitar 20-40 cm. Askariasis biasanya terjadi
pada daerah panas, lembab, dan dengan sanitasi buruk.
10. Anamnesis Pasien datang ke dokter karena mual, penurunan nafsu makan, diare atau
konstipasi, malnutrisi pada anak dan pada keadaan berat menimbulkan
malabsorbsi serta onstruksi usus.
11. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan tanda vital
2. Pemeriksaan generalis tubuh; konjungtiva anemis, terdapat tanda-tanda
malnutrisi, nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.
12. Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan
Penunjang pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan
diagnosis Askariasis.
13. Kriteria Diagnosis Ditegakkan dengan ditemukannya telur Ascaris lumbricoides dalam tinja
atau keluarnya cacing dewasa lewat muntah, batuk, atau tinja pasien.
14. Diagnosis Banding 1. Oxyuriais/Enterobiasis
2. Ankilostomiasis/Nekarotiasis
15. Terapi Penatalaksanaan
1. Nonfarmakologi
- Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan
diri dan lingkungan, antara lain:
- Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
- Menutup makanan
- Tidak mengguanakn tinja sebagai pupuk
- Konidisi rumah dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab
2. Farmakologis
- Pirantel pamoat 10 mg/Kg BB/hari, dosis tunggal
- Mebendazole, dosis 10 mg, dua kali sehari diberikan selama tiga hari
berturut-turut
- Albendazole, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan tablet (400 mg)
atau 20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu
hamil.
16. Komplikasi 1. Reaksi alergi
2. Pneumonitis
3. Pneumonia
17. Prognosis Prognosis baik sejauh tidak ada cacing dewasa yang bermigrasi. Tanpa
pengobatan dapat sembuh sendiri dalam 1,5 tahun.

Qua ad vitam: bonam


Qua ad funtionam: bonam
Qua ad sanationam: bonam
18. Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 13, Jakarta: EGC
3. Panduan Pelayanan Medik PB PAPDI
4. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
(Gandahusada, 2000)

364
BAKTEREMIA
SKDI 3B

1. Pengertian Bakteremia adalah kondisi dimana terdapat bakteria di dalam darah yang
(definisi) dibuktikan oleh hasil kultur darah yang positif. Bakteremia bisa transien tanpa
sekuelae, atau bisa mempunyai konsekuensi metastatik atau sistemik.
2. Anamnesis Beberapa pasien bersifat asimptomatis atau cuma mengeluh demam ringan.

Perkembangan gejala seperti takipneu, menggigil, demam persisten,


penurunan kesadaran, hipotensi dan gejala GI (nyeri abdomen, nausea,
muntah, diare) mengindikasi sepsis atau syok septik. Syok septik terjadi pada
25-40% pasien dengan bakteremia signifikan. Bakteremia kronis bisa
menyebabkan infeksi fokal metastatik atau sepsis.

Faktor Resiko:
1. Kolonisasi alat seperti IV, kateter urin dll.
2. Rawat inap (infeksi nosokomial)
3. TPN ( Total Parenteral Nutrition)
4. Terapi abses atau luka terinfeksi
3. Pemeriksaan Fisik 1. Asesmen tanda-tanda vital
2. Evaluasi untuk tanda-tanda infeksi
4. Pemeriksaan Kultur darah
Penunjang
5. Kriteria Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil kultur darah
6. Diagnosis Bakteremia
7. Diagnosis Banding SIRS, sepsis, syok septik
8. Terapi Non-farmakologis
o Pasien perlu cukup berisirahat
o Hidrasi yang cukup
o Asupan nutrisi yang bergizi
Farmakologis
o Pengobatan bersifat empiris apabila hasil kultur darah belum ada
o Apabila hasil kultur darah ada diberi antibiotik sesuai dengan
bakteria yang ditemukan
o Aspirasi abses sekiranya terdapat abses
o Mengeluarkan sebarang alat (kateter dll. ) yang dipercayai menjadi
sumber kolonisasi bakteria

Kriteria Rujukan:
Bakteremia dengan komplikasi sepsis atau syok septik
9. Komplikasi 1. Sepsis
2. Syok septik
10. Prognosis Quo ad vitam: dubia
Quo ad functionam: dubia
Quo ad sanationam: dubia
11. Kepustakaan 1. Munford R.S., 2008. Severe Sepsis and Septic Shock, Harrison’s
Principles of Internal Medicine 16th Edition, McGraw - Hill Publishing
Division, USA.
2. Miksad R. et al, 2008. Summary of Nosocomial Infections, Last Minute
Internal Medicine, McGraw - Hill Publishing Division, USA.
3. Tunkel A., 2016. Bacteremia. MSD Manuals. Merck and Co, Inc,
Kenilworth, NJ, USA.

365
BOTULISME
SKDI 3B

1. Pengertian Intoksikasi, seperti halnya dengan tetanus. Toksin botulisme


(definisi) diproduksi oleh Closytrodium botulinum. Botulisme adalah penyakit
langka tapi sangat serius. Merupakan penyakit paralisis gawat yang
disebabkan oleh racun (toksin) yang menyerang saraf yang diproduksi
bakteri Clostridium Botulinum.
2. Anamnesis Keluhan :
diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
Pada tahap awal terjadi kelemahan otot. Dengan berlangsungnya waktu,
keluhan bertambah terjadi paralese lengan, tungkai sampai kesulitan nafas
karena kelemahan otot-otot pernafasan.
4. Pemeriksaan Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di
Penunjang serum pasien juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses
penderita dengan foodborne atau infant botulisme.
Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan Diagnosis
botulisme adalah CT-Scan, pemeriksaan serebro spinalis, nerve conduction
test seperti electromyography atau EMG, dan tensilon test untuk
myastenia gravis.
5. Kriteria Diagnosis Secara klinis dapat didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penemuan toksin botulisme pada urin penderita.
6. Diagnosis Banding • Sindroma Guillain Barre
• Miastenia Gravis
7. Terapi Pengobatan dan perawatan botulisme antara lain:
• Anti toksin pada Diagnosis dini
• Perawatan luka untuk wound botulisme
• Antibiotika untuk wound botulisme
• Enema atau untuk memancing penderita muntah pada foodborne botulisme
• Ventilator sebagai alat bantu napas pasien pada stadium lanjut
8. Komplikasi Botulisme dapat menyebabkan kematian karena kegagalan nafas.
Pasien dengan botulisme yang parah membutuhkan alat bantu
pernafasan sebagai bentuk pengobatan dan perawatan yang intensif
selama beberapa bulan. Pasien yang selamat dari racun botulisme dapat
menjadi lemah dan nafas yang pendek selama beberapa tahun dan terapi
jangka panjang dibutuhkan untuk proses pemulihan
9. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
10. Kepustakaan 1. Setiati S, Alwi l, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing;
2014.
2. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J,
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-18. New York.
McGraw-Hill; 2012.
3. Anonim, 2003, Botulism (Clostridium botulinum), http://www.usmef.org
/FoodSafety/Clostridium_Botulinum.pdf, diakses tanggal 13 Mei 2008
4. Bachmeyer, C., 2001, Interaction of Clostridium botulinum C2 toxin with
lipid bilayer membranes and Vero cells: inhibition of channel function by
chloroquine and related compounds in vitro and intoxification in vivo,
http://www.fasebj.org/cgi/content/full/15/9/ 1658, diakses tanggal 13 Mei
2008
5. Anonim, 2008, Botulism, http://www.cdc.gov/nczved/dfbmd/disease_
listing/botulism_gi.html, diakses tanggal 13 Mei 2008

366
CHIKUNGUNYA
SKDI 4A

1. Pengertian (definisi) Penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang disebarkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus.
2. Anamnesis Demam tinggi, menggigil, sakit kepala, mual, muntah, sakit perut, nyeri sendi
dan otot terutama sandi lutut, pergelangan kaki dan persendian tangan dan
kaki, serta bintik-bintik merah di kulit terutama badan dan lengan.
3. Pemeriksaan Suhu tinggi, torniquet positif, petechiae, hepatomegali, makulopapular rash,
Fisik limadenopati.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Laboratorium : leukopenia, trombositopenia
5. Diagnosis Demam tinggi 2-7 hari, mual, muntah, nyeri sendi, kadang timbul bintik pada
kulit.
6. Diagnosis Banding • Demam dengue
• Demam berdarah dengue
7. Pemeriksaan • Pemeriksaan titer antibodi naik 4 kali lipat
Penunjang • Deteksi Antibodi Ig M Chikungunya
• Isolasi virus dalam serum
• Deteksi virus dengan PCR
8. Terapi • Tidak ada vaksin atau obat khusus
• Istirahat untuk mengurangi keluhan akut dan minum banyak air
• Pengobatan berupa simtomatik dan suportif
• Non Steroid Inflamasi drug (NSAID) untuk atralgia, bila atralgia menetap
dapat diberikan Chloroquin fosfat 250 mg
9. Edukasi • Menjaga kebersihan lingkungan, sanitasi lingkungan
• Memberikan penjelasan bahwa chikungunya dapat mewabah
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
15.Kepustakaan 1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing;
2014.
2. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-18. New York.
McGraw-Hill; 2012.

367
DEMAM TIFOID
SKDI 4A

1. Pengertian Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi
(definisi) atau Salmonella paratyphi
2. Anamnesis Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore / malam
hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare
3. Pemeriksaan Fisik Minggu I : suhu badan meningkat bertangga, terutama pada sore hingga
malam hari.
Minggu II : demam remiten, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1"C, tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental (somnolen, stupor koma, delirium atau
psikosis). Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia.
Minggu III : dapat dijumpai perforasi usus sehingga menimbulkan peritonitis,
perdarahan saluran cerna.
4. Kriteria Diagnosis 1. Gambaran klinis:
Demam, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, obstipasi atau
diare
2. Laboratorium:
• Lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal
• Neosinofilia, limfopenia
• Peningkatan LED, anemia ringan, trombositopenia
• Gangguan fungsi hati
• Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal
>4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis
• Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis
• Uji Widal tunggal dengan titerantibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai
gambaran klinis khas menyokong diagnosis
• Pemeriksaan IgM Salmonella dengan titer > 4
5. Diagnosis Demam tifoid
6. Diagnosis Banding 1. Deman berdarah dengue
2. Malaria
3. Leptospirosis
7. Pemeriksaan • Hb, leukosit, trombosit
Penunjang • SGOT, SGPT
• IgM anti Salmonella → minggu I
• Widal → minggu II
• Gall culture (kultur darah di empedu) → minggu II
• Untuk tifoid ensefalopati: Analisa LCS dan CT scan kepala

8. Terapi Guideline WHO 2011


o Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang
hari IV)
o Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
o Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
o Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
o Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
o Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
o Sefalosporin generasi III:
▪ Seftriakson 2 x 1 gram bolus IV, atau Seftriakson 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per-infus sekali sehari,
selama 3-5 hari, atau
▪ Sefotaksim 2-3 x 1 gram, atau
▪ Sefoperazon 2 x 1 gram
368
o Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas
o demam
o Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol)
o Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu
o Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
Untuk tifoid ensefalopati:
o Kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram
dan dexametason 3 mg/kg BB IV (awal), dilanjutkan 1 mg/kg BB/6
jam selama 48 jam
Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
o Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3
kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur,
kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus.
o Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester pertama
kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus
pada manusia belum dapat disingkirkan. Demikian juga obat
golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh
digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang
dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.
9. Edukasi 1. Istirahat
2. Diet lunak rendah serat
10. Prognosis Bonam, namun ad sanationam dubia, karena penyakit dapat terjadi berulang
11. Kepustakaan 1. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 364/Menkes/SK/V/2006 tentang
Pedoman Pengendalian Deman Tifoid.
2. Sudoyo AW. Setiyohadi B. Alwi I, Simadbrata, M. Setiati, edc. Buku
ajar penyakit dalam 4 ed. Vol III Jakarta : Pusat Penerbitan Depatemen
Penyakit Dalam FKUI, 2006

369
370
DEMAM BERDARAH DENGUE
SKDI 4A

1. Pengertian Penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan
(definisi) ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk demam berdarah
dengue (DBD)
2. Anamnesa Demam mendadaktinggi dengan tipe bifasik disertai oleh
kecenderungan perdarahan [perdarahan kulit, perdarahan gusi,
epistaksis,hematemesis, melena, hematuria), sakit kepala, nyeri
otot dan sendi, ruam, nyeri di belakang mata, mual-muntah,
pemanjangan siklus menstruasi. Riwayat penderita DBD di
sekitar tempat tinggal, sekolah atau di tempat bekerja di waktu
yang sama. Pasien dapat juga datang disertai dengan keluhan
sesak, Iemah hingga penurunan kesadaran.
3. Pemeriksaan • Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, bifasik
Fisik • Terdapat minimal satu dari menifestasi pendarahan berikut
ini :
• Uji torniquet positif (>20 petekie dalam 2,54 cm 2)
• Petekie, ekimosis, atau purpura
• Dapat dijumpai efusi pleura, efusi perikard, asites
4. Kriteria 1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari,
Diagnosis biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
. Uji bendung positif.
. Ptekie, ekimosis, atau purpura.
. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan
gusi), atau perdarahan dari tempat lain. Hematemesis atau
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/mlJ.
4.Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage
(kebocoran plasma) sebagai
berikut:
. Peningkatan hematokrit >20010 dibandingkan standar
sesuai dengan umur dan jenis kelamin.
. Penurunan hematokrit >20o/o setelah mendapat terapi
cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, atau hiponatremia
5. Diagnosis Demam berdarah dengue
6. Diagnosis Demam akut lain yang disertai trombositopenia seperti demam
Banding tifoid, malaria, chikungunya
7. Pemeriksaan Hb, Ht, lekosit, trombosit,
Penunjang Hari 1-3 Demam→ NS 1 Antigen
Hari4 dan seterusnya→ Ig M dan Ig G serologi dengue
8. Terapi Nonfarmakologis :
• Edukasi minum air 2 L/hari
• Tirah baring
Diet nasi biasa
Farmakologis :
• Simtomatis: antipiretik parasetamol bila demam
• Tatalaksana terinci pada lampiran protokol tatalaksana
DBD

371
Lampiran
Protokol 1 penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok

Protokol 2 pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang rawat

372
Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht>20%

Protokol 4 Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

373
Protokol 5 Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

374
DENGUE SHOCK SYNDROME
SKDI 3B

1. Pengertian (definisi) Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah syok hipovolemik akibat dari kebocoran
plasma dan peningkatan permeabilitas yang kontinyu.
2. Anamnesis • Demam atau riwayat demam mendadak tinggi, terus menerus, 2-7 hari, dapat
mencapai 40°C serta terjadi kejang demam.
• Tanda-tanda syok: lemah, gelisah, produksi urine sedikit, kaki tangan dingin
• Manifestasi perdarahan.
• Muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring
hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
• Terdapat kasus DBD di lingkungan.
3. Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda kegagalan sirkulasi atau syok:
• Letargi atau gelisah
• Nadi cepat dan lemah
• Tekanan nadi sempit, diastolik cenderung naik atau hipotensi
• Akral dingin dan lembab, sianosis sirkumoral, capillary refill time> 3 detik
• Pada profound shock (DBD grade IV), nadi tidak teraba dan TD tidak terukur
• Oliguria hingga anuria.
Terdapat perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura/efusi pleura dan rongga
peritoneal/ascites).
4. Pemeriksaan • Darah perifer lengkap, apusan darah tepi, golongan darah, gula darah, hemostasis
Penunjang (PT, aPTT, fibrinogen, d-Dimer).
• Kimia darah: analisis gas darah, elektrolit (Na/K/Cl), ureum, kreatinin.
• Tes fungsi hati: SGOT, SGPT, protein, albumin.
• Tes serologi dengue virus, NS1 bila onset demam < 3 hari, dengue blot IgG dan
IgM dengue.
• Urine lengkap.
• Rontgen thorax.
• USG abdomen.
5. Kriteria Diagnosis Menurut WHO, tegaknya diagnosis DF/DHF apabila:
• Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
• Terdapat minimal satu dari manifestasi pendarahan:
− Tourniquet test (TT) positif.
− Petechiae, ekimosis, atau purpura.
− Pendarahan mukosa, traktus gastrointestinal, tempat bekas suntikan dan
lokasi lain.
− Hematemesis atau melena.
• Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml).
• Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma (plasma leakage):
− Peningkatan Ht > 20% di atas rerata menurut usia, jenis kelamin dan
populasi.
− Penurunan Ht > 20% diikuti dengan terapi cairan pengganti.
− Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites dan hipoproteinemia.
Diagnosis DSS ditegakkan apabila semua 4 kriteria DHF (demam, pendarahan,
trombositopenia, kebocoran plasma) di atas terpenuhi dan ditambah dengan bukti
adanya kegagalan sirkulasi yaitu:
• Nadi yang cepat dan lemah.
• Tekanan nadi yang sempit (< 20 mmHg)
atau
• Hipotensi menurut usia (tekanan sistolik < 80 mmHg untuk usia < 5 tahun atau <
90 mmHg untuk usia > 5 tahun).
• Akral dingin, lembab dan gelisah.

375
6. Terapi

• Bila syok masih belum teratasi dengan koloid maka lakukan pemasangan CVC
dan berikan koloid sampai dengan 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 L/hari dengan
sasaran CVP 15-18 cmH2O).
• Bila ada indikasi (misal pendarahan masif, pendarahan tidak terkontrol) dapat
diberikan PRC, FFP, kriopresipitat, TC (sesuai indikasi).
• Pasang NGT (bila pasien tidak sadar atau terjadi komplikasi pankreatitis).
• Pemasangan kateter urin dan nilai urine output.
• Antipiretik bila demam.
7. Komplikasi • Asidosis metabolic
• Gagal mutliorgan
• Perdarahan massif
• Gagal hati dan renal
• Ensefalopati
• Perdarahan intrakranial
8. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
9. Kepustakaan 1. Sneller MC, Langford CA, Fauci AS. ln Harrison's principles of internal
medicine. 16th ed. Kasper DL et al (ed); New York, Graw-Hill, 2005; 2002 - 10.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta:
FK UI. 2006.
4. Soemohardjo, Soewingjo, Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006.
5. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
6. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control.2009:1-146
7. Nasution Saily, dkk. 2015. Bukuan Panduan Clinical Pathway. Perhimpunan
Dokter Spesial Penyakit dalam Indonesia. P. 353-8.
8. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus
DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

376
DIFTERI
SKDI 3B

1. Pengertian Suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena
(definisi) toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit
dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini.
2. Ananmnesa Tanda dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status kekebalan dan
apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau
belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari. walaupun dapat sngkat hanya
satu hari dan lama 8 hari - 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak
terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak
tinggi berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya
hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan
3. Pemeriksaan Fisik Demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga
pasien tampak lemah. Nyeri menelan, bengkak pada leher karena
pembengkakan pada area regional, sesa nafas, serak sampai dengan stridor
jika penyakit sudah stadium lanjut. Gejala akibat eksotoksin tergantung
bagian yang terkena missal mengenaiotot jantung terjadi miokarditis, dan bila
mengenai syaraf mnyebabkan kelumpuhan
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Laboratorium: Hemoglobin, leukosit, eritosit albumin.
5. Diagnosis Difteri

6. Diagnosis Banding Difteria Hidung, Difteri faring, Difteri laring, Difteri kulit
7. Pemeriksaan a. Schick test :Untuk menentukan kerentanan ( suseptibilitas) terhadap difteri
Penunjang b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonuklear, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar
albumin.
Pada urin terdapat albumin ringan.
c. Pemeriksaan Mikrobiologi
Uji Kepekaan Moloney : untuk menentukan sensitivitas terhadap produk
bakteri dari basil difteri (hati-hati terjadi reaksi anafilaksis).
8. Terapi 1. Antibiotika
Penicillin dapat digunakan bagi penderita yang tidak sensitif, bila
penderita sensitif terhadap penicillin dapat digunakan erythromycin.
Lama pemberian selama 7 hari, pada golongan erithromycin dapat
digunakan selama 7 -10 hari.
a. Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal
3 gram/hari.b
b. Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4
kali/hari selama 10 hari.
2. Antitoxin [ ADS]
3. Kortikosteroid
a. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
b. Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk
toksemia).
4. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit
5. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
uji Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya
377
9. Edukasi a. Vaksin DTP termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di
Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan 5 kali pada saat anak berusia 2
bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu setengah tahun, dan lima tahun. Selanjutnya
dapat diberikan booster dengan vaksin sejenis (Tdap/Td) pada usia 10
tahun dan 18 tahun. Vaksin Td dapat diulangi setiap 10 tahun untuk
memberikan perlindungan yang optimal.
b. Hindari kontak dengan penderita langsung difteri.
c. Jaga kebersihan diri.
d. Menjaga stamina tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan
berolahraga cuci tangan sebelum makan.
e. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.
f. Bila mempunyai keluhan sakit saat menelan segera memeriksakan ke
Unit Pelayanan Kesehatan terdekat
10. Prognosis Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum. Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik,
lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-
negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat
membran difteri. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis
sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala
sisa walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia
amegakariositik dan leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas
tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%)
dan faring (10,5%).
11. Kepustakaan 1. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit
Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18 2.
2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176
3. Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1 Mei 2010,
16.00 WIB.

378
FILARIASIS
SKDI 3A

1. Pengertian (definisi) Suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing nematoda dari
superfamili Filarioidea, yang menyerang sistem getah bening dan jaringan
subkutan.
2. Anamnesis Demam, menggigil dan berkeringat, nyeri kepala, mual, muntah, fotofobi,
nyeri otot, dan pembengkakan tungkai.
3. Pemeriksaan Fase akut radang saluran getah bening, orchitis, limfadenitis, splenomegali,
Fisik infiltrat paru-paru milier.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium
5. Diagnosis Filariasis
6. Diagnosis Banding Limfedema
7. Pemeriksaan • Pemeriksaan sediaan tetes tebal darah dari cuping telinga yang diambil
Penunjang pada malam hari (jam 21.00 – 02.00)
• Pemeriksaan serologis kurang bermanfaat tetapi dapat membantu
diagnosis, misal : IHA, bentonite flocculation, tes IFA FA
8. Terapi • Dietilkarbamzin merupakan satu-satunya obat pilihan, dosis 2 mg/kgBB
tiga kali sehari selama 3 – 4 minggu
• Reaksi alergi terhadap mikrofilaria yang mati yang mengakibatkan gejala
demam tinggi dapat ditanggulangi dengan aspirin, antihistamin atau
kortikosteroid
9. Edukasi Pengobatan
Penularan
10. Prognosis Dubia
11. Kepustakaan 1. Harrison's principles of internal medicine. 16th ed. Kasper DL et al (ed); New
York, Graw-Hill, 2005; 2002 - 10.
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

379
DIARE/GASTROENTERITIS AKUT INFEKSI
SKDI 4A

1. Pengertian Diare menurut WHO adalah buang air besar dengan frekuensi yang
(definisi) meningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi
lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya serta berlangsung dalam
waktu kurang dari dua minggu. Ada dua bentuk diare akut yaitu tipe
disenteriform dan choleriform. Tipe disenteriform biasanya disebabkan oleh
Shigella sp, sedangkan tipe choleriform disebabkan oleh Vibrio cholera.
2. Anamnesis BAB encer, mual, muntah, dengan atau tanpa demam dan nyeri perut, rasa
haus, bibir kering.
3. Pemeriksaan keadaan umum, tanda vital, tanda-tanda dehidrasi seperti rasa haus, mata
Fisik cekung, bibir kering, turgor kurang, jumlah urin kurang, asidosis metabolik
(pernapasan Kussmaul), kualitas dan lokasi nyeri perut, identifikasi penyakit
komorbid
4. Kriteria 1. Anamnesis : BAB encer, mual, muntah, dengan atau tanpa demam dan
Diagnosis nyeri perut, rasa haus, bibir kering
2. Pemeriksaan fisik : keadaan umum, tanda-tanda dehidrasi seperti rasa
haus, mata cekung, ubun-ubun besar cekung (pada anak), bibir kering,
turgor perut kurang, air mata kurang, asidosis metabolik (pernapasan
Kussmaul).
3. Laboratorium : darah perifer lengkap, ureum, creatinin, elektrolit (Na, K
dan Cl), analisa gas darah, Imunoassay (toksin bakteri, antigen virus dan
antigen protozoa) dan feses lengkap serta biakan dan resistensi feses.
Penyebab diare akut :
1.Diet yang tidak sesuai
2. Obat-obatan laksatif
3. Keracunan makanan dalam 6 – 24 jam terakhir
4. Infeksi saluran cerna
5. Alergi
5. Diagnosis Diare akut tipe disenteriform atau choleriform
6. Diagnosis • Divertikulitis akut
Banding • Sepsis
• Pelvic inflammatory disease
• IBD (inflammatory bowel disease)
7. Pemeriksaan Feses rutin
Penunjang
8. Terapi Rehidrasi sebagai pengobatan utama, tergantung pada :
Jenis cairan yang digunakan
Jumlah cairan yang diberikan
Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Memberikan terapi simtomatik
Koreksi gangguan asam basa
Antimikroba hanya diberikan bila disebabkan oleh infeksi Vibrio cholera
tetrasiklin dosis 50 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis selama 3 hari. Bila
disebabkan oleh Shigella diberikan kotimoksazol 2 x 960 mg/hari selama 3
hari
Obat spasmolitik tidak dianjurkan pada diare yang disebabkan infeksi.
9. Edukasi • Jaga kebersihan air; sanitasi makanan dari vektor penyebar kuman
seperti lalat, kebiasaan mencuci tangan sebelum kontak dengan
makanan
• Konsumsi makanan yang dimasak secara matang
• Vaksinasi (untuk wisatawan yg berkunjung ke Indonesia)
10. Prognosis Bonam
11. Kepustakaan 1. Nelwan EJ. Diare akut karena infeksi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.p.898-904.
380
2. Alwi, I, dkk. Panduan praktik klinis. Penatalaksanaan di bidang ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Interna publishing; 2015.

381
LEPTOSPIROSIS
SKDI 4A

1 .Pengertian (definisi) Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari famili
Leptospiraceae. Penyakit Weil’s merupakan bentuk berat leptospirosis yang
ditandai oleh demam, ikterus, gagal ginjal akut, syok refrakter dan
perdarahan (terutama perdarahan paru)
2. Anamnesis • Riwayat paparan kontak dengan urin serta air, tanah, atau makanan
yang terkontaminasi urin dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak,
babi, kuda, anjing,kucing, hewan pengerat, atau hewan liar)
• Riwayat pekerjaan risiko tinggi: tukang gotong hewan, petani,
peternak, pekerja limbah, dan pekerja kehutanan
• Demam mendadak, bifasik (demam remiten tinggi pada fase awal
leptospiremia berlangsung antara 3-10 hari) kemudian demam turun
dan muncul kembali pada fase imun
• Sakit kepala, terutama di frontal
• Anoreksia
• Nyeri otot
• Mata merah/ fotofobia
• Mual, muntah
• Nyeri abdomen
3. Pemeriksaan Fisik - Demam
- Injeksi konjungtiva tanpa sekret purulen
- Bradikardi
- Eritema faring tanpa eksudat
- Nyeri tekan otot, terutama pada betis dan daerah lumbal
- Ronki pada auskultasi paru
- Redup pada perkusi dada di atas area perdarahan paru
- Ruam (dapatberupa makula, makulopapula, eritematos4 petekia, atau
ekimosis)
- Ikterus
- Meningismus
- Hipo- atau arefleksia, terutama pada tungkai.
Penyakit Weil's ditandai oleh ikterus, gagal ginjal akut, hipotensi dan
perdarahan terutama perdarahan paru namun juga dapat mengenai saluran
cerna, retroperitonium, perikardium dan otak. Sindrom lainnya mencakup
meningitis aseptik, uveitis, kolesistitis, akut abdomen, dan pankreatitis.
Hepar dapat membesar dan nyeri. Splenomegali pada sebagian kecil
kasus.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Penunjang
5. Penunjang • Laboratorium :
- kriteria Faine modifikasi (terlampir): skor bag A + B >26 atau skor
bag A + B + C >25
- pemeriksaan langsung dari urin dan darah dengan mikroskop lapangan
gelap
- MAT (microscopic agglutination test)
- IgM leptospira positif
- leukositosis atau leukopenia
- Anemia hemolitik
- CK-NaK / CPK non kardiak meningkat
- BUN dan kreatinin meningkat
- Proteinuria, leukosituria
6. Diagnosis Leptospirosis
Penyakit Weil’s

382
7. Diagnosis Banding • Hepatitis virus
• Infeksi dengue
• Malaria
• Chikunguya
• Demam tifoid
• Influenza

8. Pemeriksaan DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amilase, lipase, serologi
Penunjang leptospira MAT (mikoaglutinasi test)

9. Terapi Nonfarmakologis
• Tirah baring
• Makanan/cairan tergantung pada komplikasi organ yang terlibat

Farmakologis
• Simtomatis: atasi dehidrasi, hipotensi, perdarahan, gagal ginjal
• Antimikroba:
a. Leptospirosis ringan:
• Doksisiklin oral 2 x 700 mg selama 7 hari
• Amoksisilin oral 4 x 500 mg selama 7 hari
• Ampisilin oral 4 x 500-750 mg selama 7 hari
• Azitromisin oral 1 x 1 gram pada hari 1, selanjutnya 1x 500 mg
hari ke-2&3
b. Leptospirosis sedang-berat:
• Seftriakson IV 1x1 gram selama 7 hari
• Sefotaksim IV 4 x 1 gram selama 7 hari
• Doksisiklin IV 2x100 mg selama 7 hari
• Penisilin G IV 4 x 1,5 juta unit selama 7 hari
• Amoksisilin IV 4 x 1 gram selama 7 hari
• Ampisilin IV 4 x 1 gram selama 7 hari
10. Edukasi Hindari kontak dengan hewan reservoir
11. Prognosis Jika pasien tidak mengalami komplikasi umumnya adalah dubia ad bonam
12.Kepustakaan 1. Zein, Umar.Leptospirosis. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edis
IV.Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2006. Hal 1823-5
2. Cunha, Joh P. Leptospirosis. 2007
3. Dugdale, David C. Leposprirosis. 2004

383
MALARIA
SKDI 4A

1. Pengertian Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium falsiparum,


(definisi) Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, atau Plasmodium malariae dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles
2. Anamnesis Riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke
daerah endemik malaria, trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti
dengan demam dan kemudian timbul keringat yang banyak)
3. Pemeriksaan Fisik Demam, konjungtiva pucat, sklera ikterik, hepato-splenomegali

4. Kriteria Diagnosis 1. Gambaran klinis:


Demam, menggigil, berkeringat banyak, sakit kepala, mual, muntah, diare,
nyeri otot, penurunan kesadaran
2. Laboratorium:
Sediaan apus darah tepi tebal dan tipis ditemukan plasmodium atau rapid
diagnostic test malaria positif
Malaria berat: ditemukan Plasmodium falciparum stadium aseksual disertai
salah satu dari gejala atau laboratorium berikut:
1. Perubahan kesadaran
2. Kelemahan otot
3. Tidak bisa makan dan minum
4. Kejang berulang lebih dari dua episode dalam 24 jam
5. Distress pernafasan
6. Gagal sirkulasi atau syok tekanan sistolik <70 mmHg(pada anak <50
mmHg)
7. Ikterus disertai disfungsi organ vital
8. Hemoglobinuria
9. Perdarahan spontan abnormal
10. Edema paru
Gambaran laboratorium
1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
2. Asidosis metabolic (bikarbonat plasma <15 mmol/L)
3. Anemia berat (Hb <5 gr% atau hematokrit <15%)
4. Hiperparasitemia (parasit >2% per 100.000/µL di daerah endemis
rendah atau>5% per 100.000/µL di daerah tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat>5 mmol/L
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum>3 mg%)
5. Diagnosis Malaria
6. Diagnosis Banding Infeksi virus, tifoid ensefalopati, hepatitis fulminan, leptospirosis, meningo-
ensefalitis
7. Pemeriksaan o Darah tebal dan tipis malaria
Penunjang o Serologi malaria
o Darah Perifer Lengkap
o Tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, gula darah, elektrolit
o Urin Lengkap
o AGD
o Faal hemostasis,
o Rontgen toraks
o EKG

384
8. Terapi Nonfarmakologis :
• Tirah baring
• Diet nasi biasa
Farmakologis :
Pengobatan malaria tanpa komplikasi
1. Pengobatan malaria falsifarum dan malaria vivax
Metode pengobatan saat ini Dihidroartemisin-primakuin
(DHP)/artesunat – amodiakuin+primakuin

Pengobatan malaria falsifarum


Pada malaria tipe ini,metode pengobatan ACT 1 kali/hari selama 3
hari + primakuin 0,75 mg/kgBB pada hari pertama saja
Dosis obat diberikan sesuai dengan berat badan atau kelompok umur
penderita.

Tabel 1 Pengobatan DHP dan primakuin

Atau

Tabel 2. Pengobatan dengan artesunat+amodiakuin dan primakuin

Pengobatan Malaria Vivax


Pada malaria tipe ini metode pengobatan ACT 1 kali/hari selama 3
hari + primakuin 0,25 mg/kgBB selama 14 hari
Dosis pengobatan dilihat pada tabel berikut

Tabel 3 pengobatan DHP dan primakuin

Atau
Tabel 4 pengobatan dengan artesunat+amodiakuin dan primakuin

385
Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh)
Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian
Primakuin dosis 0,25mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari
dan pasien sakit kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu 3
minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan. Pada kasus seperti ini
regimen yang diberikan adalah ACT lkali/ hari selama 3 hari
ditambah dengan primakuin yang ditingkatkan menjadi 0,5mg/kgBB.

Pengobatan Malaria Ovale


Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT (DHP
atau kombinasi Artesunat+Amodiakuin) dengan dosis
pemberian obat yang sama dengan untuk malaria vivaks.

Pengobatan Malaria Malariae


Pengobatan P. malariae cukup dengan pemberian ACT l kali/hari
selama 3 hari dengan dosis yang sama dengan pengobatan malaria
lainnya dan tidak diberikan primakuin

Pengobatan infeksi campur P. Falcifarum + P. Vivaks/P. Ovale


Model pengobatan yang digunakan adalah : ACT 1 kali/hari selama 3
hari + primakuin 0,25 mg/kg BB selama 14 hari
Pemberian obat pada kasus seperti ini disesuaikan berdasarkan berat
badan atau kelompok umur penderita (tabel 5 dan 6)

Tabel 5 pengobatan dengan DHP dan primakuin

Atau

Tabel 6 pengobatan dengan artesunat+amodiakuin dan primakuin

386
Pengobatan Malaria Pada Ibu Hamil
Metode pengobatan pada ibu hamil prinsipnya sama dengan
pengobatan pada orang dewasa lainnya. Perbedaannya adalah
pemberian obat malaria disesuaikan berdasarkan umur kehamilan.
ACT tidak diberikan pada ibu hamil trimester 1 dan primakuin tidak
boleh diberikan sama sekali pada ibu hamil

Tabel 7 pengobatan malaria falsifarum

Tabel 8 pengobatan malaria vivaks

Pengobatan Malaria Berat


1. Pengobatan di puskesmas/klinik non-perawatan
• Berikan artemeter intramuskular 3,2mg/kgBB.
• Rujuk ke fasilitas dengan rawat inap.

2. Pengobatan di puskesmas/klinik perawatan/rumah sakit


• Pilihan pertama: Artesunat intravena
Dosis: 2,4mg/kgBB sebanyak 3 kali [jam ke 0,1,2,24)
dilanjutkan dengan dosis yang sama setiap 24jam sehari
sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita
sudah bisa minum obat, berikan ACT 3 hari dan Primakuin
[sesuai jenis plamodiumnya).
Kemasan dan cara pemberian: Artesunat parenteral tersedia
dalam vial yang berisi 60mg serbuk kering asam artesunik dan
pelarut dalam ampul yang berisi natrium bikarbonat 5%.
Keduanya dicampur untuk membuat 1 ml larutan sodium
artesunat. Kemudian diencerkan dengan Dextrose 5 % atau
NaCl 0,9% sebanyak 5ml sehingga didapat konsentrasi
60mg/6ml [10mg/ml). Obat diberikan secara bolus perlahan-
lahan.
• Alternatif: Artemeter intramuskular
Dosis: 3,2 mg/kgBB pada hari pertama dan dilanjutkan
dengan 1,6mg/kgBB satu kali sehari sampai penderita
mampu minum obat. Apabila penderita sudah bias minum
obat, berikan ACT 3hari dan Primakuin [sesuai jenis
plamodiumnya).
Kemasan dan cara pemberian:Artemeter diberikan secara
intramuskular. Obat ini tersedia dalam ampul yang berisi
80mg artemeter dalam larutan minyak.
• Alternatif lain: Kina drip
Dosis pemberian kina pada dewasa:
Loading dose:2 mg/kgBB dilarutkan dalam 500 ml
Dextrose 5 % atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam
pertama. 4 jam kedua hanya diberikan cairan Dextrose 5 %
atau NaCl 0,9%.
4 jam berikutnya diberikan kina dengan dosis rumatan 10
mg/kgBB dalam Iarutan 500 ml Dextrose 5% atau NaCI0,9%.
387
4 jam selanjutnya hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau
NaCl 0,9%.
Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti diatas sampai
penderita dapat minum kina per-oral.
Bila sudah dapat minum obat, pemberian kina IV diganti
dengan kina tablet per-oral dengan dosis 10mg/kgBB/kali
diberikan tiap 8 jam.
Kina oral diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin
pada orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis
total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina
perinfus yang pertama.
Kemasan: Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina
dihidroklorida 25%, Satu ampul berisi 500mg/2mL
Catatan:
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena, karena
toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.
Dosis kina maksimum dewasa: 2000mg/hari.

Pengobatan malaria berat pada ibu hamil


Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan dengan
memberikan kina HCL drip intravena pada trimester 1 dan
artesunat/artemeter injeksi untuk trimester 2 dan 3.
9. Edukasi Istirahat
Pengobatan teratur
10. Prognosis Malaria falciparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale : bonam.
Malaria berat : Dubia ad malam
11. Kepustakaan 1. Braunwald, E. Fauci.A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.I. et. Al Harisson’s :
Priciple of Internal Medicine. 17 th Ed. New York : McGraw-Hill
Companies, 2009.
2. Dirjen Pengendaliam Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Dekpkes RI Jakarta. 2008

388
PERTUSIS
SKDI 4A

1. Pengertian Penyakit infeksi saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis
(definisi)
2. Ananmnesa Penyakit berlangsung 6-12 minggu, terdiri dari 3 stadium:
1. Stadium kataral: pilek, lakrimasi, batuk ringan, suhu tubuhnya bisa normal,
keparahan batuk meningkat setelah 1-2 minggu.
2. Stadium proksimal: batuk paroksismal, batuk panjang diakhiri dengan
suara whoop saat inspirasi, sianosis, lakrimasi.
3. Stadium konvalesen
3. Pemeriksaan Fisik 1. Batuk panjang
2. Tidak ada inspirasi diantaranya dan diakhiri dengan Whoop saat inspirasi
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan penunjang (darah rutin, kultur sputum, swab tenggorokan)
5. Diagnosis Pertusis
6. Diagnosis Banding Trakeobronkitis, bronkiolitis
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah rutin: leukositosis dengan limfositosis absolut
Penunjang 2. Kultur sputum
3. Swab tenggorokan
8. Terapi 1. Antibiotika eritromisin 30-50mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis diberikan
selama 2 minggu.
2. Antitusif misalnya kodein
3. Obat-obat simptomatis lain sampai gejala spasmodik menghilang
9. Edukasi Mencegah terjadinya infeksi dengan vaksinasi
10. Prognosis Prognosis pertusis baik pada banyak kasus, meskipun batuk kronik dapat
berlangsung selama 1-3 minggu, dan beberapa pasien mengalami relaps
setelah 6 bulan-1 tahun.
11. Kepustakaan Wood N, Mc Intyre P. Pertussis: Review of Epidemiology, Diagnosis,
Management, and Prevention. Paediatric Respiratory Review 2008;9: 201-
212

389
SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK
SKDI 2

1. Pengertian Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi.
(definisi) Renjatan (syok) septik: sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan
TDS <90 mmHg atau penurunan >40 mmHg dari TD awal, tanpa adanya
obat-obatan yang dapat menurunkan TD.
Sepsis berat: gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ termasuk
penurunan kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan asidosis
metabolik.
2. Anamnesis Demam, sesak, terdapat kecurigaan sumber infeksi
3. Pemeriksaan Fisik • Suhu badan >38oC atau 36 oC
• Frekuensi denyut jantung >90x/menit
• Frekuensi pernafasan >24x/menit
4. Kriteria Diagnosis Sepsis ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut :
• Suhu badan >38oC atau 36 oC
• Frekuensi denyut jantung >90x/menit
• Frekuensi pernafasan >24x/menit atau PaCO2 <32
• Hitung leukosit >12.000/mm3 atau <4.000/mm3, atau adanya >10% sel
batang
• Ada fokus infeksi yang bermakna
5. Diagnosis Sepsis dan renjatan septik
6. Diagnosis Banding Renjatan kardiogenik dan renjatan hipovolemik

7. Pemeriksaan DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit,kultur
Penunjang darah dan infeksi fokal (urin, pus, sputum, dll) disertai uji kepekaan
mikroorganisme terhadap anti mikroba, foto toraks
8. Terapi • Eradikasi fokus infeksi
• Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi,
• Suportif : resusitasi ABC, oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik,
dan transfusi (sesuai indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk
mendapatkan respons secepatnya
• Resusitasi cairan. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan
pemberian cairan kristaloid atau koloid.
• Oksigenasi sesuian kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia
yang progresif, hiperkapnia, gangguan neurologis, atau kegagalan otot
pernafasan
• Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk
mancapai tekanan darah sistolik >90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin
dipertahankan >30 ml/jam
• Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis
>8 μg/kgBB/menit, neropinefin 0,03-1,5 μg/kgBB/menit, fenilefrin 0,5-8
μg/kgBB/menit, atau epinefrin 0,1-0,5 μg/kgBB/menit. Bila terdapat
disfungsi miokard, dapat digunakan inotropik seperti dobutamin dengan
dosis 2-28 μg/kgBB/menit, dopamin 3-8 mcg/kgBB/menit, epinefrin 0,1-
0,5 mcg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon dan
milrinon)
• Tranfusi komponen darah sesuai indikasi
• Koreksi gangguan metabolik : elektrolit, gula darah, dan
• asidosis metabolik (secara empiris dapat diberikan bila pH<7,2, atau
bikarbonat serum <9 mEg/l, dengan disertai upaya perbaikan
hemodinamik)
• Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal
• Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat
diberikan heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25

390
IU/kgBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk
mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau antikoagulan lainnya
9. Edukasi Istirahat
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Kepustakaan 1. Harrison's principles of internal medicine. 16th ed. Kasper DL et al (ed);
New York, Graw-Hill, 2005
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2009

391
SKISTOSOMIASIS
SKDI 4A

1. Pengertian Skistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh
(definisi) cacing trematoda dari genus schistosoma (blood fluke).
2. Anamnesis • Pada fase akut, pasien biasanya datang dengan keluhan demam, nyeri
kepala, nyeri tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri abdominal. Biasanya
terdapat riwayat terpapar dengan air misalnya danau atau sungai 4-8
minggu sebelumnya, yang kemudian berkembang menjadi ruam
kemerahan (pruritic rash).
• Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada letak lesi misalnya:
o Buang air kecil darah (hematuria), rasa tak nyaman hingga nyeri
saat berkemih, disebabkan oleh urinary schistosomiasis biasanya
disebabkan oleh S. hematobium.
o Nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya disebabkan oleh
intestinal skistosomiasis, biasanya disebabkan oleh S. mansoni,
S. Japonicum juga S. Mekongi.
o Pembesaran perut, kuning pada kulit dan mata disebabkan oleh
hepatosplenic skistosomiasis yang biasanya disebabkan oleh S.
Japonicum.
3. Pemeriksaan Fisik • Skistosomiasis akut
o Tanda kardinal inflamasi pada sendi-sendi yang terkena
umumnya adalah metakarpofalangeal, pergelangan tangan, dan
interfalang proksimal
o Deformitas sendi (deformitas leher angsa, deformitas
bouttoniere, deformitas kunci piano, deviasi ulna, deformitas Z-
thumb, artritis mutilans, halux valgus)
o Ankilosis tulang
• Skistosomiasis kronik
o Hipertensi portal dengan distensi abdomen, hepatosplenomegaly
o Gagal ginjal dengan anemia dan hipertensi
o Gagal jantung dengan gagal jantung kanan
o Intestinal polyposis
o Ikterus
4. Pemeriksaan Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan pada sedimen urin.
Penunjang
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan juga penemuan
telur cacing pada pemeriksaan tinja dan juga sedimen urin.
6. Diagnosis Banding
7. Terapi • Pengobatan diberikan dengan dua tujuan yakni untuk menyembuhkan
pasien atau meminimalkan morbiditas dan mengurangi penyebaran
penyakit.
• Prazikuantel adalah obat pilihan yang diberikan karena dapat membunuh
semua spesies Schistosoma. Walaupun pemberian single terapi sudah
bersifat kuratif, namun pengulangan setelah 2 sampai 4 minggu dapat
meningkatkan efektifitas pengobatan. Pemberian prazikuantel dengan
dosis sebagai berikut:

Spesies Schistosoma Dosis Prazikuantel


S. mansoni, S. 40 mg/kg badan per hari oral dan dibagi dalam
haematobium, dua dosis perhari.
S. intercalatum
S. japonicum, S. 60 mg/kg berat badan per hari oral dan dibagi
mekongi dalam tiga dosis perhari.

392
• Rencana Tindak Lanjut
o Setelah 4 minggu dapat dilakukan pengulangan pengobatan.
o Pada pasien dengan telur cacing positif dapat dilakukan
pemeriksaan ulang setelah satu bulan untuk memantau
keberhasilan pengobatan.
• Konseling dan Edukasi
o Hindari berenang atau menyelam di danau atau sungai di daerah
endemik skistosomiasis.
o Minum air yang sudah dimasak untuk menghindari penularan
lewat air yang terkontaminasi.
• Kriteria Rujukan
o Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis) disertai
komplikasi.
8. Prognosis Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah dubia ad bonam, sedangkan yang
kronis, prognosis menjadi dubia ad malam.
9. Kepustakaan 1. Buku Ajar Penyakit Dalam, jilid II, edisi V.
2. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-18. New
York: McGraw-Hill:2012
3. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
4. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July
25, 2013. http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for
Disease and Control, 2013)
6. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013.
http://www.who.int/topics/shcistosomiasis/end (World Health
Organization, 2013)
7. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005.
Schistosoma in Medical Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart.
(Kayser, et al., 2005)
8. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di
Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo &
Pretty, 2007)
9. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.

393
TAENIASIS
SKDI 4A

1. Pengertian Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan oleh cacing pita
(definisi) yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata, Taenia solium, dan
Taenia asiatica) pada manusia.

Taenia saginata adalah cacing yang sering ditemukan di negara yang


penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi lebih mudah terjadi
bila cara memasak daging setengah matang.

Taenia solium adalah cacing pita yang ditemukan di daging babi. Penyakit ini
ditemukan pada orang yang biasa memakan daging babi khususnya yang
diolah tidak matang. Ternak babi yang tidak dipelihara kebersihannya, dapat
berperan penting dalam penularan cacing Taenia solium. Untuk T. solium
terdapat komplikasi berbahaya yakni sistiserkosis. Sistiserkosis adalah kista
T.solium yang bisa ditemukan di seluruh organ, namun yang paling berbahaya
jika terjadi di otak.

2. Anamnesis Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak khas. Sebagian kasus tidak
menunjukkan gejala (asimptomatis). Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat
iritasi mukosa usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara
lain:

• Rasa tidak enak pada lambung


• Mual
• Badan lemah
• Berat badan menurun
• Nafsu makan menurun
• Sakit kepala
• Konstipasi
• Pusing
• Pruritus ani
• Diare
3. Pemeriksaan Fisik • Pemeriksaan tanda vital.
• Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus juga dapat terjadi jika cacing
membuat obstruksi usus.
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan laboratorium mikroskopik dengan menemukan telur dalam
Penunjang spesimen tinja segar.
• Secara makroskopik dengan menemukan proglotid pada tinja.
• Pemeriksaan laboratorium darah tepi: dapat ditemukan eosinofilia,
leukositosis, LED meningkat.
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya proglotid dalam tinja baik secara
aktif maupun pasif serta telur dengan menggunakan cellophan tape. Namun,
untuk identifikasi spesies perlu dilakukan pemeriksaan skoleks yang keluar
setelah pengobatan dengan pewarnaan camin atau laktofenol.
6. Diagnosis Banding i. Fascioliasis
ii. Ankilostomiasis
7. Terapi Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
a. Mengolah daging sampai matang dan menjaga kebersihan hewan ternak.
b. Menggunakan jamban keluarga.
Farmakologi:
• Pemberian albendazol menjadi terapi pilihan saat ini dengan dosis 400
mg, 1 x sehari, selama 3 hari berturut-turut, atau
• Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama 2 atau 4 minggu.
Pengobatan terhadap cacing dewasa dikatakan berhasil bila ditemukan
skoleks pada tinja, sedangkan pengobatan sistiserkosis hanya dapat
394
dilakukan dengan melakukan eksisi.
8. Komplikasi Sistiserkosis
9. Prognosis Ad vitam: bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam
10. Kepustakaan 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam,
Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC.
3. Idrus Alwi, Simon Salim, Rudy Hidayat. 2015. Panduan Praktik Klinis:
Prosedur di Bidang Ilmu Penyakit Dalam & Penatalaksanaan di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.
4. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengendalian Kecacingan.
6. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
editors.
7. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders
Company; 2012. p.1000-1.

395
TETANUS
SKDI 3A

1. Pengertian (definisi) Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu eksotoksin
protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
2. Anamnesis • Kejang setelah mengalami luka atau trauma yang terkontaminasi dengan
tanah, kotoran binatang atau logam berkarat
• Kaku kuduk
• Nyeri tenggorok
• Kesulitan membuka
3. Pemeriksaan Fisik Rigiditas, spasme otot dan disfungsi otonomik, risus sardonicus
4. Kriteria Diagnosis Klasifikasi beratnya tetanus
Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan
pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
Derajat II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang namapak jelas, spasme singkat ringan sampai
sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi napas > 30 kali,
disfagia ringan.
Derajat III (berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan,
frekuensi napas > 40 kali, serangan apnea, disfagia berat dan takikardi > 120.
Derajat IV (sangat berat) : derajat 3 dengan gangguan otonomik berat
melibatkan sistem kardiovaskuler.
5. Diagnosis Tetanus
6. Diagnosis Banding • Abses alveolar
• Keracunan striknin
• Reaksi obat distonik (fenotiazin dan metoklopramid),
• Meningitis/ensefalitis
• Rabies
7. Pemeriksaan • Leukosit mungkin meningkat
Penunjang • Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada EKG
• Enzim otot meningkat
8. Terapi 1. Isolasi (terhindar dari rangsang cahaya dan suara)
2. Menghilangkan infeksinya :
- Antibiotik (penisilin prokain 2 x 1,5 jt unit)
- Perawatan luka (wound toilet)
- Hiperbarik oksigenasi (kuman anaerob)
3. Menetralisasi eksotoksin → ATS
- Dosis awal ATS 20.000 IU IM, dan 20.000 IU IV
- Selanjutnya 10.000 IU IM/hari, sampai gejala hilang
4. Mengatasi kejang dapat diberikan diazepam 2 amp dalam 500 cc D5 % 20
tetes/hari, dosis diazepam dapat dinaikkan sampai 4 amp dalam 500 cc
sesuai klinik
5. Mencegah terjadinya efek samping, misalnya pada otot jantung dan otot
pernapasan
9. Edukasi • Matinya penderita tetanus sering karena miocardiotoksis
• Perawatan penderita dilakukan multidisiplin
• Sebaiknya dirawat di ICU, untuk mengantisipasi bila terjadi gagal jantung
atau gagal napas
10. Prognosis Dubia
11. Kepustakaan 1. Harrison's principles of internal medicine. 16th ed. Kasper DL et al (ed);
New York, Graw-Hill, 2005
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2009
396
TOKSOPLASMOSIS
SKDI 3A

1. Pengertian Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis disebabkan oleh parasit


(definisi) Toxoplasma gondii. Infeksi akut yang didapat setelah lahir dapat bersifat
asimtomatik namun lebih sering menghasilkan kista jaringan yang menetap
kronik.
2. Anamnesis • Toksoplasmosis akuisita biasanya bersifat asimtomatik
• Toksoplasmosis congenital umumnya hanya bermanifestasi sebagai
limfadenopati asimtomatik pada kelenjar getah bening leher
• Tanda mononucleosis like syndrome seperti demam, ruam makulopapular
(Blue berry muffin) yang mirip dengan kelainan kulit pada demam tipoid.
3. Pemeriksaan Fisik • Trias klasik pada toksoplasmosis congenital: hidrosepalus, korioretinitis
dan kalsifikasi intracranial.
• Pada bayi baru lahir yang bergejala salah satu atau keseluruhan tanda dari
trias klasik mungkin timbul, disertai gejala infeksi lainnya meliputi:
hepatosplenomegali ikterus trombositopenia limfadenopati dan kelainan
susunan saraf pusat.
• Adanya focus nekrosis pada retina
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan laboratorium darah
Penunjang • Tes serologi: IgG dan IgM anti-toksoplasma
• PCR
• ELISA
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologi IgG dan IgM spesifik
anti-toksoplasma
6. Diagnosis Banding -
7. Terapi • Pirimetamin 25-50 mg peroral sekali sehari dan dikombinasikan dengan
• Sulfonamide selama 1-3 minggu. Kemudian dosis obat dikurangi setengah
dari dosis sebelumnya dan terapi dilanjutkan 4-5 minggu.
• Kekurangan asam folat akan memicu agranulositosis sehingga pemberian
perimetamin harus bersamaan dengan asam folatt
• Sulfadiazine 2-4 gram peroral sehari seklai selama 1-3 minggu Kemudian
dosis obat dikurangi setengah dari dosis sebelumnya dan terapi
dilanjutkan 4-5 minggu.
8. Komplikasi - Toksoplasmosis ocular
- Kerusakan berat pada otak
9. Prognosis Prognosis tergantung pada etiologi dan penyakit yang mendasarinya.
10. Kepustakaan 1. Jones J, Lopez A, Wilson M, Schulkin J, Gibbs R. Toxoplasmosis. In:
Creasy R, Rensik R, editors, Maternal Fetal Medicine (Fourth Editions).
Philadelphia: Saunders company, 1999; p. 711-2.
2. Candra G. Toxoplasma gondii: Aspek biologi, epidemiologi diagnosis,
dan penatalaksanaannya. Jurnal Kedokteran Medika.2001;5(XXVII):297-
304
3. Montoya JG, Liesenfeld O. Toxoplasmosis. Lancet. 2004;363:1965-76.
4. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam,
Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC

397
GINJAL HIPERTENSI

398
BATU SALURAN KEMIH
SKDI 3A

1. Pengertian Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinariusmencakup ginjal, ureter
(definisi) vesikaurinaria.
Faktor resiko batu saluran kemih adalah:
. Volume urin yang rendah
. Hiperkalsiuria,hiperoksalaturia
. Faktor diet: asupan cairan kurang, sering konsumsi soda,jus aple, jus jeruk
bali,asupan tinggi natrium klorida, rendah kalsium, tinggi protein
. Riwayat batu saluran kemih sebelumnya
. Renal tubular asidosis tipe 1
2. Anamnesis Anamnesis meliputi:
Nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran
kemih,hematuria, riwayat keluarga, faktor resiko batu ginjal penyakit gout
3. Pemeriksaan Fisik Nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat
tandabalotemen.
4. Diagnosis Batu Saluran Kemih
5. Diagnosis Banding Nefrokalsinosis
Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika
Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite
6. Pemeriksaan Laboratorium:hematuria
Penunjang Radiologi: bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect pada IVP
ataupielograf antegrad/retrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih
sertahidronefrosis pada USG
7. Terapi Non farmokologis
• Batu kalsium: kurangi asupan garam dan protein hewani
• Batu urat: diet rendah asam urat
• Minum banyak (2,5 L/hari) bila fungsi ginjal masih baik
• Menghentikan merokok
• Menurunkan berat badan berlebih
• Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
• Latihan fisik
• Menurunkan asupan garam
• Meningkatkan konsumsi buah dan sayur
• Menurunkan asupan lemak
Terapi Farmakologis
• Antispasmodik bila ada kolik
• Antimikroba bila ada infeksi

399
• Batu kalsium: kalium sitrat
• Batu urat: allopurinol, pemberian oral bicarbonate atau potassium
citrate untukmembuat pH urin menjadi basa.
Bedah
• Extracorporeal shock-wave lithotripsy (untuk batu padaproksimal
ginjal danurethra <Zcm)
• Percutaneous lithotripsy funtuk batu >2cm)
• Ureteroscopy (untuk batu pada ginjal dan ureter)
• PielotomiNefrostomi
9. Komplikasi Abses, gagal ginjal, fistula saluran kemih, stenosis urethra, perforasi
urethra,urosepsis, renal loss karena obstruksikronis
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Kepustakaan 1. Harrison's principles of internal medicine. 16th ed. Kasper DL et al (ed);
New York, Graw-Hill, 2005
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2009

400
HIPERTROFI PROSTAT BENIGNA
SKDI 2

1. Pengertian Hipertropi prostat adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang kemudian


(definisi) mendesak jaringan prostat asli ke perifer.
Hipertrofi prostat benigna (HPB) adalah kelainan histologis yang khas ditandai
dengan proliferasi sel-sel prostat. Akumulasi sel-sel dan pembesaran kelenjar
merupakan hasil dari proliferasi sel epitel dan stroma prostat. HPB adalah
bagian dari proses umur yang normal pada laki-laki dan secara hormonal
tergantung dari produksi hormone testosteron dan dehidrotestosteron (DHT).
2. Anamnesis 1. Gejala iritatif, yaitu sering miksi [frekuensi), terbangun pada malam hari
untukmiksi (nokruria), perasaan ingin miksiyang sangat mendesak
(urgensi), dan nyerisaat miksi (disuria).
2. Gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas setelah miksi,
kalau mau miksi harus menunggu lama harus mengedan, miksi terputus-
putus, waktumiksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinen karena overflow
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter
anus,mukosa rektum, serta kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan
prostat. Padaperabaan melalui colok dubur diperhatikan konsistensi prostat,
adakah asimetri,adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba.
Derajat berat obstruksidapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa miksiditentukan dengan mengukur urin yang masih
dapat keluar dengan kateterisasi. Sisaurin dapat pula diketahui dengan
melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Urinalisis
4. PSA
5. Serum creatinin
6. TRUS of the prostate
7. Diagnosis Hipertrofi prostat benigna (HPB)
8. Diagnosis 1. Striktur uretra
Banding 2. Kontraktur leher vesika urinaria
3. Kanker prostat
4. Kanker vesika urinaria
5. Bladder calculi
6. Infeksi saruran kemih dan prostatitis
7. Neurogenic bladder
9. Pemeriksaan Urinalisis, serum prostate spesific antigen (PSA), serum creatinin.
Penunjang Transrectalultrasonography (TRUS) of the prostate untuk melihat ukuran dan
volume prostat.
10. Terapi Medikamentosa
• Antagonis a-adrenergik [menghilangkan ketegangan otot halus):
terazosin,doksazosin, dan tamsulosin
• Inhibitor 5-a reduktase (mengurangi ukuran prostat):
finasteride
Pembedahan2
Transuretral resection ofprostate (TURP)
Indikasi: retensi urin akut, infeksi berulang, hematuria berulang, azotemia
Open prostatektomi
Indikasi sama seperti TURP. Teknik ini dapat lebih dipertimbangkan untuk
obstruksi saluran keluar vesika urinaria, perkiraan pembesaran prostat > 100
gram, dan pada laki-laki dengan ankilosis panggul atau penyakit ortopedi
lainnya

401
11. Komplikasi 1. Retensio urine
2. Insufisiensi renal
3, Infeksi saluran kemih berulang
4. Gross hematuria
5. Bladder calculi
6. Gagal ginjal atau uremia
12. Edukasi
13. Prognosis Sekitar 2,5% pasien mengalami retensio urine akut dan 6% membutuhkan
terapiinvasif dalam 5 tahun. Risikoprogresivitas BPH meningkat pada volume
prostat danlevel PSA yang tinggi. Turunnya risiko progresivitas BPH tampak
pada 39% pasien diterapi dengan doksazosin, 34% dengan finasterid, dan 66%
dengan kombinasikeduanya. Kombinasi doksazosin dan finasterid menurunkan
risiko retensi urin akutsebesar 81% dan operasi invasif sebesar 69%.
14. Kepustakaan 1. Chasani, S. 2014. Hipertrofi Prostat Benigna (HPB). Dalam: Sudoyo, A.
W., S. Setiati, I. Alwi, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, dan A. F. Syam.
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II edisi keenam. Jakarta: Interna Publishing, hal.
2137-2146.
2. Alwi, I., S Salim, R. Hidayat, J. Kurniawan, dan D. L. Tahapary. 2015.
Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis.
Jakarta: Interna Publishing, hal. 415-417.

402
PENYAKIT GINJAL POLIKISTIK
SKDI 1

1. Pengertian (definisi) Merupakan penyakit ginjal yang diturunkan secara autosomal dominan
(autosomal dominant polycystickidney disease/ADPKD) maupun autosomal
resesif (autosomal recessive polycystic kidney disease/ARPKD). ADPKD
lebih sering dijumpai pada orang dewasa, sedangkan ARPKD lebih banyak
pada anak-anak.
Penyakit kista ginjal juga dapat dijumpai pada beberapa penyakit ginjal
keturunan lainnya. Hampir semua kasus ADPKD disebabkan akibat mutasi
pada gen PKD l dan PKD 2. Mutasi gen PKD 2 berjalan lebih lambat dan
onset gejala muncul lebih lama. Mutasi PKD 1 mencakup sekitar 85% kasus
dan menyebabkan gagal ginjal yang lebih dini dibandingkan mutasi PKD2.
PKDl dan PKD2 merupakan protein transmembran yang ada di semua nefron
yang berfungsi dalam regulasi trankripsi gen sel epitel, apoptosis,
differensiasi, dan interaksi matriks sel pada fetal dan orang dewasa.
Gangguan pada protein akan menyebabkan terganggunya proses-proses
tersebut, proliferasi sel berlebihan, sekresi cairan dalam kista. Pada umumnya
penyakit ini akan asimpotomatik, kista akan membesar, menekan parenkim
ginjal sekitarnya, secara progresif akan menganggu fungsiginjal dan
menimbulkan gejala. Faktor risiko untuk progresivitas penyakit yaitu usia
muda saat terDiagnosis, ras kulit hitam, laki-laki, ditemukan adanya mutasi
pada PKD1, dan adanya hipertensi.1
ARPKD merupakan penyakit primer pada balita dan anak-anak. Pada 50%
neonatus akan meninggal karena hipoplasia paru, aligohidromnion karena
penyakit ginjal berat, dan sepertiganya akan berkembang menjadi gagal ginjal
tahap akhir. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasonography saat
dalam kandungan. Sampai saat ini belum ada terapi spesifik, yang dilakukan
adalah terapi simptomatik sesuai keadaan klinis pasien.
2. Anamnesis • Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit pada keluarga, riwayat
hipertensi sebelumnya.
• Gambaran klinis dapat berupa rasa nyeri pada perut (flank pain),
hematuria, infeksi saluaran kemih, dan keluhan paliuria atau nokturia,
urin berwarna merah.
• Sedangkan manifestasi di luar ginjal dapat menyebabkan kista di hati
yang membesar sehingga merusak hati dan menimbulkan masalah di
abdomen.
• Kista di limpa dan pankreas umumnya bersifat asimptomatik.
• Pada jantung dapat dijumpai kelainan katup.
3. Pemeriksaan Fisik Terabanya massa pada abdomen, nyeri tekan pada abdomen, tanda-tanda
peritonitis lokal, hipertensi
4. Diagnosis Banding
5. Pemeriksaan • Fungsi ginjal: ureum, kreatinin serum
Penunjang • Kultur darah jika curiga ada infeksi
• Urinalisis: proteinuria ringan
• Ultrasonography
• Computed tomography (CT): Iebih sensitif untuk deteksi pada usia muda
yang belum ada gejala
• Magnetic resonance imaging (MRI)-72 : telihat ada kista dalam ginjal
6. Terapi Belum ada tatalaksana yang dapat mencegah pertumbuhan kista atau
penurunan fungsi ginjal.1,2
• Hipertensi : obat antihipertensi dengan target tekanan darah < 130/90
mmHg. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors dan angiotensin
receptor blockers (ARBs) dapat memperlambat pertumbuhan valume
ginjal dan penurunan glomerular filtration rate (GFR).
• Nyeri : obat analgesik, drainase dengan aspirasi perkutan, skleroterapi

403
dengan alkohol, atau tindakan bedah untuk drainase jika ada infeksi pada
kista: antibiotik yang larut lemak seperti trimethoprim-sulfamethoxazale
dan fluoroquinolones
• Peritoneal atau hemodialisis
• Tindakan bedah jika kista membesar secara masif atau terinfeksinya
kista, berupa bilateral nephrectomy dan membutuhkan transplantasi
ginjal
7. Edukasi
8. Prognosis • Risiko untuk menjadi batu ginjal sekitar 2 % pada pasien dengan
ADPKD, dan meningkatkan risiko 2-4 kali lipat terjadinya perdarahan
serebral dan subaraknoid.
• Aneurisma sakular pada sirkulasi serebral anterior terdeteksi pada 10%
pasien yang asimptomatik saat skrining magnetic resonance angiography
(MRA), umumnya kecil dan kecil kemungkinan akan ruptur spontan.
• Jika ada riwayat keluarga dengan perdarahan intrakranial, maka besar
kemungkinan akan terjadi hal serupa sebelum usia 50 tahun; dan jika
selamat akan mempunyai aneurisma >10 mm dan hipertensi yang tidak
terkontrol.
• Abnormalitas katup jantung terjadi pada 25 % kasus.
• Insiden terjadinya kista hepar berkisar 83 o/opada pemeriksaan MRI
pasien usia 15-46 tahun, wanita mempunyai kecenderungan menjadi kista
masif.
• Sekitar 4 % kasus akan berakhir dengan end-stage renal disease (ESRD).
9. Komplikasi Batu ginjal, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut, infeksi pada kista ginjal

404
HIPERTENSI
SKDI 4A

1. Pengertian Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah (TD) sama atau melebihi
(definisi) 140 mmHg sistolik dan/atau sama atau lebih dari 90 mmHg diastolik pada
seseorang yang tidak sedang minum obat antihipertensi.
2. Anamnesis Anamnesis meliputi:
1. Durasi hipertensi
2. Riwayat terapi hipertensi sebelumnya dan efek sampingnya bila ada
3. Riwayat hipertensi dan kardiovaskular pada keluarga
4. Kebiasaan makan dan psikososial
5. Faktor risiko lainnya: kebiasaan merokok, perubahan berat badan,
dislipidemia,diabetes, inaktivitas fisik
6. Bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal, perubahan
penampilan, kelemahan otot [palpitasi, keringat berlebih, tremor), tidur
tidak teratur, mengorok, somnolen di siang hari, gejala hipo- atau
hipertiroidisme,riwayat konsumsi obat yang dapat menaikkan tekanan
darah
7. Bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, buta sementara,
penglihatan kabur tiba-tiba, angina, infark miokard, gagal jantung,
disfungsi seksual
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pengukuran tinggi dan berat badan, tanda-tanda vital
2. Metode auskultasi pengukuran TD:
Semua instrumen yang dipakai harus dikalibrasi secara rutin untuk
memastikan keakuratan hasil.
Posisi pasien duduk di atas kursi dengan kaki menempel di lantai dan
telah beristirahat selama 5 menit dengan suhu ruangan yang nyaman.
Dengan sphygmomanometer oklusi arteri brakialis dengan pemasangan
cuff dilengan atas dan diinflasi sampai di atas TD sistolik. Saat deflasi
perlahan-lahan, suara pulsasi aliran darah dapat dideteksi dengan
auskultasi dengan stetoskop tipe bell/genta di atas arteri tepat dibawah
cuff.
Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang
dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau
lebih dengan menggunakan cuff
Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5.
Pengukuran pertama harus di kedua sisi lengan untuk menghindarkan
kelainan pembuluh darah perifer
Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien
dengan risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dll)
3. Palpasi leher apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid
4. Palpasi pulsasi arteri femoralis, pedis
Auskultasi bruit karotis, bruit abdomen
5. Funduskopi
6. Evaluasi gagal jantung dan pemeriksaan neurologis
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Hipertensi
6. Diagnosis Banding Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa nyeri,
peningkatan tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll

405
7. Pemeriksaan Urinalisis, tes fungsi ginjal, ekskresi albumin, serum BUN, kreatinin, gula
Penunjang darah, elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; sesuai penyakit penyerta:
asam urat, aktivitas renin plasma, aldosteron, katekolamin urin, USG
pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi
8. Terapi Terapi non-farmakologis terdiri dari :
• Menghentikan merokok
• Menurunkan berat badan berlebih
• Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
• Latihan fisik
• Menurunkan asupan garam
• Meningkatkan konsumsi buah dan sayur
• Menurunkan asupan lemak

Terapi farmakologis:
1. Pemberia B-blocker pada pasien unstable angina / non-ST elevated
myocardial infark (NSTEMI) atau STEMI harus memperhatikan
kondisi hemodinamik pasien. β-blocker hanya diberikan pada kondisi
hemodinamik stabil.
2. Pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-l) atau
angiotensin receptor blocker (ARB pada pasien NSTEMI atau
STEMI apabila hipertensi persisten, terdapat infark miokard anteriol
disfungsi ventrikel kiri, gagal jantung,atau pasien menderita diabetes
dan penyakit ginjal kronik
3. Pemberian antagonis aldosteron pada pasien disfungsi ventrikel kiri
bila terjadi gagal jantung berat (misal gagal jantung New York Heart
association/NYHA kelasIII-lV atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <40%
dan klinis terdapat gagal jantung).
4. Kondisi khusus lain:
a. Obesitas dan sindrom metabolik terdapat 3 atau lebih keadaan
berikut : lingkar pinggang laki-laki >102 cm atau perempuan
>89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah puasa
110 mg/dl, tekanan darah minimal 130/85 mmHg, trigliserida
tinggi 150 mg/dl, kolesterol HDL rendah <40 mg/dl pada laki-
laki atau <50 mg/dl pada perempuan) modifikasi gaya hidup
yang intensif dengan pilihan terapi utama golongan ACE-1.
Pilihan lain adalah ARB, CCB.
b. Hipertrofi ventrikel kiri
Tatalaksana agresif termasuk penurunan berat badan dan
restriksi garam. Pilihan terapi: dengan semua kelas
antihipertensi. Kontraindikasi: vasodilator langsung, hidralazin
dan minoksidil
c. Penyakit arteri perifer: semua kelas anti hipertensi, tatalaksana
faktor risiko lain, dan pemberian aspirin.
d. Lanjut usia (> 65 tahun). Identifikasi etiologi lain yang bersifat
ireversibel. Evaluasi kerusakan organ target. Evaluasi penyakit
komorbid lain yang mempengaruhi prognosis. Identifikasi
hambatan dalam pengobatan. Terapi farmakologis: diuretik
thiazid, CCB.
e. Kehamilan
Pilihan terapi : metildopa, B-blocker, dan vasodilator.
Kontraindikasi: ACE-I dan ARB.
9. Komplikasi Hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal,
aterosklerosis pembuluh darah, retinopati, stroke atau TIA, infark miokard,
angina pektoris, gagal jantung.
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Kepustakaan 1. Kotchen T. Hypertensive vosculor diseose. In: Longo DL, Fouci AS,
Kosper DL, Houser SL, Jomeson JL,Loscolzo J. Honison's Principles of

406
Internol Medicine. l8rh Edition. New York: McGrow-Hill;
20l2.holomon
2. Victor R. Arteriol hypertension. ln: Goldmon, Ausiello. Cecil Medicine.
23'd Edition. Philodelphio:Sounders, Elsevier; 2008.
3. Chobonion AV et ol: The Seventh Report of the Joint Notionol
Committee on Prevention, Detection,Evoluotion, ond Treotment of High
Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA. 2003;289:2560.
4. O'Brien E, Asmor R, Beilin L, et ol. Proctice guidelines of the Europeon
Society of Hypertension forclinic, ombulotory ond self blood pressure
meosurement. J Hypertens 2005;23:697-701 .
5. Pickering TG, Holl JE, Appel LJ, et ol. recommendotions for blood
pressure meosurement inhumons ond experimentol onimols porl 1 :
blood pressure meosurement in humons o stotement for professionols
from the Subcommittee of Professionol ond Public Educotion of the
Americon HeortAssociotion Council on High Blood Pressure Reseorch.
AHA Scientific Stotement. Hypertension.2005:45:1 42-61 .
6. Rosendorff C, Block H, Connon C, et ol. Treotment of hypertension in
the prevention ondmonogement of ischemic heort diseose. Circulotion.
2007 :1 1 5:27 61 -88.
7. Aronow W, Fleg JL, Pepine CJ, et ol. ACCF/AHA 201 1 Expert
Consensus Document on Hypertensionin the Elderly. J Am Coll
Cordiol.2011:57:2037-114.

407
INFEKSI SALURAN KEMIH
SKDI 4A

1. Pengertian Infeksi Saluran Kemih (lSK) adalah keadaan adanya infeksi (ada
(definisi) perkembangbiakan bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim
ginjal sampai infeksi dikandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang
bermakna. Bakteriuria bermakna adalah bila ditemukan pada biakan urin
pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per ml urin segar (yang diperoleh
dengan cara pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi).
Konsensus 2010 Infectious Disease Society of America (IDSA) memberikan
batasanhasil positif kultur urine pada wanita adalah 103-104 organisme/ml
urine yang diambil secara midstream.
2. Anamnesis ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik.
ISK atas: nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria
Anannesa adanya faktor risiko seperti disebutkan diatas.

408
3. Pemeriksaan Fisik Febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra, demam
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis ISK
6. Diagnosis Banding • Keganasan kandung kemih
• Nonbacterialcystitis
• Interstitialcystitis
• Pelvic inflammatory disease
• Pyeolonephritis akut
• Urethritis
• Vaginitis
7. Pemeriksaan Penunjang • DPL, tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah
• Kultur urin (+):bakteriuria >105/ml urin
• Foto BNO-IVP bila perlu
• USG ginjal bila perlu
• Pertimbangkan Bakteriuri
• Asimptomatik . Skrining don terapi
8. Terapi Nonfarmokologis
• Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
• Menjaga higiene genitalia eksterna
Farmakologis
• Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada
• Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada, pemberian antimikroba
disesuaikan
9. Edukasi Pengobatan dan pencegahan
10. Prognosis Dubia
11. Kepustakaan 1. Infeksi saluran Kemih. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi l,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th
ed. .Jakarta; Pusat lnformasi don Penerbitan Bagian llmu Penaokit
Dalam FKUI, 2009:2009 - 15
2. lnfection of the Urinary Tract. Dalam: Wein et al. Campbell-Walsh

409
Urology 9th Edition. Saunders.
3. Mehnert-Kay SA. Diagnosis and Management of Uncomplicated
Urinary Tract Infections. American Family Physician [serial online].
August 1, 2OO5;27 /No.3:l-9. Accessed September 22, 2010.
Available at http://www.oofp.org/ofp/20050801 /45l.html.
4. Urinary tract lnfections, Pyelonephirits, ad Prostatitis. ln: Fauci A,
Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscatzo J,
editors Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies,2012:2911 - 39
5. Renal and Urinary Tract Disorders. Dalam: Cunningham, Gary F et
al. Williams Obstretic 22ndEdition. The McGraw-Hills Companies.
6. Hickey, Kimberly W. Renal Complications. Dalam : Evans, Arthur
T. Manual of Obstretic. Lippincott Williams & Wilkins. 2007

410
KOLIK RENAL
SKDI 3A

Kolik renal adalah nyeri pinggang hebat yang datangnya mendadak, hilang-
timbul (intermitten) yang terjadi akibat spasme otot polos untuk melawan
1. Pengertian suatu hambatan. Perasaan nyeri bermula di daerah pinggang dan dapat
(Definisi) menjalar ke seluruh perut, ke daerah inguinal, testis, atau debris yang berasal
dari ginjal dan turun ke ureter. Kolik renal terbagi menjadi dua, yaitu kolik
renal tipikal dan atipikal.
Pada anamnesis akan ditemukan gejala-gejala berupa nyeri hilang timbul
yang menjalar dari punggung, perut bagian bawah, genital dan bagian dalam
paha. Nyerinya bersifat mendadak dan hilang timbul. Selain itu dapat pula
2. Anamnesis
ditemukan mual dan muntah, perut yang membesar, demam, gangguan
berkemih yaitu nyeri kandung kemih terasa di bawah pusat, terasa nyeri saat
buang air kecil, polakisuria, hematuria, anuria, oliguria.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
a. Kadang-kadang teraba ginjal yang mengalami hidronefrosis/obstruktif.
b. Nyeri tekan/ketok pada pinggang.
c. Batu uretra anterior bisa di raba.
3. Pemeriksaan Fisik
d. Pada keadaan akut paling sering ditemukan adalah kelembutan di daerah
pinggul (flank tenderness) yang disebabkan oleh hidronefrosis akibat
obstruksi sementara yaitu saat batu melewati ureter menuju kandung
kemih.
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah dan urin, terutama untuk melihat apakah adanya
infeksi atau ada kelainan fungsi ginjal. Pada urin biasanya dijumpai
hematuria dan kadang-kadang kristaluria. Hematuria biasanya terlihat
secara mikroskopis, dan derajat hematuria bukan merupakan ukuran
untuk memperkirakan besar batu atau kemungkinan lewatnya suatu batu.
Tidak adanya hematuria dapat menyokong adanya suatu obstruksi
komplit, dan ketiadaan ini juga biasanya berhubungan dengan penyakit
batu yang tidak aktif. Pada pemeriksaan sedimen urin, jenis kristal yang
ditemukan dapat memberi petunjuk jenis batu. Pemeriksaan pH urin < 5
menyokong suatu batu asam urat, sedangkan bila terjadi peningkatan pH
>7 menyokong adanya organisme pemecah urea seperti Proteus sp,
Klebsiella sp, Pseudomonas sp dan batu struvit.
b. Radiologis
Foto polos abdomen dapat menentukan besar, macam dan lokasi batu
radiopak. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat
4. Pemeriksaan
radiopaque dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan
Penunjang
batu asam urat bersifat radiolusen. Gambaran radioopak paling sering
ditemukan pada area pelvis renal sepanjang ureter ataupun ureterovesical
junction. Gambaran radioopak ini disebabkan karena adanya batu kalsium
oksalat dan batu struvit (MgNH3PO4).
c. Intravenous Pyelogram (IVP)
Pielografi intravena untuk menilai obstruksi urinaria dan mencari etiologi
kolik (pielografi adalah radiografi pelvis renalis dan ureter setelah
penyuntikan bahan kontras). Seringkali batu atau benda obstruktif lainnya
sudah dikeluarkan ketika pielografi, sehingga hanya ditemukan dilatasi
unilateral ureter, pelvis renalis, ataupun calyx. IVP dapat menentukan
dengan tepat letak batu, terutama batu-batu yang radiolusen dan untuk
melihat fungsi ginjal. Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi
opaque ataupun batu non opaque yang tidak dapat terlihat oleh foto polos
abdomen. Pielografi retrograde (melalui ureter) dilakukan pada kasus-
kasus di mana IVP tidak jelas, alergi zat kontras, dan IVP tidak mungkin
dilakukan, walaupun prosedur ini tidak menyenangkan dan
411
berkemungkinan kecil menyebabkan infeksi atau kerusakan ureteral.
d. CT Scan
CT Scan (Computerized Tomography) adalah tipe diagnosis sinar X yang
dapat membedakan batu dari tulang atau bahan radiopaque lain.
e. Ultrasonografi (USG)
USG dilakukan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP,
yaitu pada keadaan-keadaan : alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal
yang menurun dan pada wanita yang sedang hamil. USG ginjal
merupakan pencitraan yang lebih peka untuk mendeteksi batu ginjal dan
batu radiolusen daripada foto polos abdomen. Cara terbaik untuk
mendeteksi BSK (Batu Saluran Kemih) ialah dengan kombinasi USG dan
foto polos abdomen. USG dapat melihat bayangan batu baik di ginjal
maupun di dalam kandung kemih dan adanya tanda-tanda obstruksi urin.
f. Radioisotop
Untuk mengetahui fungsi ginjal secara satu persatu, sekaligus adanya
sumbatan pada gagal ginjal.
Diagnosis kolik renal dapat di tentukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
5. Kriteria Diagnostis dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologis.
• Apendisitis
• Divertikulitis
6. Diagnosis Banding • Pyelonefritis
• Salpingitis
• Ruptur aneurisma aorta
Manajemen kolik renal akut terdiri dari manajemen nyeri, mual dan muntah
dan menilai indikasi pasien untuk dirawat inap. Manajemen kolik renal akut
yaitu memberikan analgesik yang adekuat sehingga tercapai penurunan skor
nyeri dan penurunan dosis. Terdapat dua prinsip pengobatan penghilang rasa
nyeri pada kolik renal akut yaitu Nonsteroidal anti inflammatory drugs
(NSAIDS) dan opioid. Nyeri yang berhubungan dengan kolik renal selama
ini diterapi dengan opioid. Namun sesuai dengan berkembangnya penelitian
terbaru bahwa penggunaan NSAID (Non steroidal antiinflammatory drugs)
dan COX-2 inhibitors (Cyclooxygenase-2) lebih efektif dalam mengatasi
nyeri dengan mekanisme memblok vasodilatasi arteri afferen sehingga
7. Terapi menurunkan diuresis, edema dan stimulasi otot polos ureter. NSAID
menyebabkan muntah yang minimal dibanding narkotik. Namun NSAID
dapat menyebabkan fungsi renal yang semakin buruk pada pasien dengan
obstruksi. Opioid khususnya pethidine memiliki banyak efek samping, hal
sesuai dengan hasil penelitian Anna Holdgate dan Tamara Pollock tahun
2006. Berdasarkan data yang ada bahwa penggunaan ketorolak dengan dosis
tertentu hanya akan menyebabkan risiko minimal gangguan fungsi renal dan
tidak meningkatkan risiko perdarahan pada saat operasi. Penggunaan
intravena lebih, efektif dan cepat dalam mengatasi nyeri.

Tabel obat-obatan yang digunakan pada kolik renal akut.

412
Obstruksi, Hidronephrosis, Gagal ginjal, Perdarahan, Pada laki-laki dapat
8. Komplikasi
terjadi impoten
9. Prognosis Dubia ad bonam
1. Purnomo, B. Dasar-dasar Urologi, Ed 3, Malang. 2012.
2. Menon M, Parulkar BC, Drach GW. Urinary lithiasis: etiology,
diagnosis and medical management. In: Walsh PC, et al., eds.
Campbell's Urology. 7th ed. Philadelphia: Saunders. p1998:2661–733
3. 5.Holgate A, Pollock T. Nonsteroidal anti inflammatory drugs
10. Kepustakaan
(NSAIDS) versus opoids for acute renal colic. The cochrane
Collaboration Willey 2009.
4. Patatas K, Panditaratne N, Wah T.M et.al. Emergency department
imaging protocol for suspected acute renal colic : re-evaluating our
service. The British Journal of Radiology, 85(2012), 1118-1122

413
KRISIS HIPERTENSI
SKDI 3A

1. Pengertian Istilah "Krisis Hipertensi" merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
(definisi) dengan peningkatan tekanan darah mendadak pada penderita hipertensi,
dimana tekanan darah sistalik (TDS) >180 mmHg dan tekanan darah
diastalik (TDD) >120 mmHg, dengan komplikasi disfungsi dari target
organ, baik yang sedang dalam proses (impending) maupun sudah dalam
tahap akut progresif. Target organ adalah jantung, otak, ginjal, mata
(retina), dan arteri perifer. l Sindroma klinis krisis hipertensi meliputi:
1. Hipertensi gawat (hypertensive emergency): peningkatan tekanan
darah yang disertai kerusakan target organ akut.
2. Hipertensi mendesak (hypertensive urgency): peningkatan tekanan
darah tanpa disertai kerusakan target organ akut progresif.
3. Hipertensi akselerasi (accelerated hypertension): peningkatan tekanan
darah yang berhubungan dengan perdarahan retina atau eksudat.
4. Hipertensi maligna (malignant hypertension): peningkatan tekanan
darah yang berkaitan dengan edema papil.

Dari klasifikasi di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam
antara hipertensi gawat dan mendesak, selain tergantung pada penilaian
klinis. Hipertensi gawat (hypertensive emergency/ HE) selalu berkaitan
dengan kerusakan target organ, tidak dengan level spesifik tekanan darah.
Manifestasi klinisnya berupa peningkatan tekanan darah mendadak
sistalik >180 mmHg atau diastalik >120 mmHg dengan adanya atau
berlangsungnya kerusakan target organ yang bersifat progresif seperti
perubahan status neuralogis, hipertensif ensefalopati, infark serebri,
perdarahan intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel
kiri akut, edema paru akut, diseksi aorta, insufisiensi renal, atau
eklampsia. Istilah hipertensi akselerasi dan hipertensi maligna sering
dipakai pada hipertensi mendesak.
2. Anamnesis Selain ditanyakan mengenai etialogi hipertensi pada umumnya, perlu juga
ditanyakan gejala-gejala kerusakan target organ seperti: gangguan
penglihatan, edema pada ekstremitas, penurunan kesadaran, sakit kepala,
mual/muntah, nyeri dada, sesak napas, kencing sedikit/berbusa, nyeri seperti
disayat pada abdomen.
3. Pemeriksaan Fisik Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi perifer, bunyi
lantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan cairan,
funduskopi, dan status neuralogis.
4. Diagnosis Banding Penyebab hipertensi emergency
Hipertensi maligna terakselerasi dan papiledema
Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik
dengan hipertensi berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid,
dan trauma kepala
Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, infark miokard
akut, pasca operasi bypass koroner
Kondisi ginjal: GN akut, hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit
kalagen-vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal
Akibat katekalamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan
atau obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik,
mekanisme rebound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi,
hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis
Eklampsia
Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera,
hipertensi pasca operasi, perdarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular
Luka bakar berat
Epistaksis berat
414
Thrombotic thrombocytopenic purpura
5. Pemeriksan Darah perifer lengkap, panel metabalik, urinalisis, toksikalogi urin, EKG, CT
Penunjang Scan, MRI, foto toraks
6. Terapi Hipertensi mendesak (hypertensive urgency/HU) dapat diterapi rawat
jalan dengan antihipertensi oral; terapi ini meliputi penurunan TD dalam 24-
48 jam. Penurunan TD tidak baleh lebih dari 25% dalam 24 jam pertama.6
Terapi lini pertama HU seperti tercantum pada tabel 3. Nifedipine oral
ataupun sublingual (SL) saat ini tidak lagi dianjurkan karena dapat
menyebabkan hipotensi berat dan iskemik organ.
Pada sebagian besar HE, tujuan terapi parenteral dan penurunan mean
arterial pressure (MAP) secara bertahap (tidak lebih dari 25% dalam beberapa
menit sampai 1 jam). Aturannya adalah menurunkan, arterial pressure yang
meningkat sebanyak 1-0% dalam l jam pertama, dan tambahan 15% dalam 3-
1.2 jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan
dapat dilanjutkan dalam 2 - 6 jam sampai tekanan darah 160/110 mmHg
selanjutnya sampai mendekati normal. TD dapat diturunkan lebih lanjut
dalam 48 jam berikutnya. Pengecualian untuk aturan ini antara lain pada
diseksi aorta dan perdarahan pasca operasi dari bekas jahitan vaskulaI yang
merupakan keadaan yang membutuhkan normalisasi TD secepatnya. Pada
sebagian besar kasus, koreksi cepat tidak diperlukan karena pasien berisiko
untuk perburukan serebral, jantung, dan iskemi ginjal.
Pada hipertensi kronis, autoregulasi serebral di-set pada TD yang lebih
tinggi daripada normal. Penyesuaian kompensasi ini untuk mencegah
overperfusi jaringan (peningkatan TIK) pada TD sangat tinggi, namun juga
underperfusion (iskemiserebral) apabila TD diturunkan terlalu cepat. Pada
pasien dengan penyakit jantung koroner penurunan TD diastolik terlalu cepat
di ICU dapat memicu iskemik miokard akut atau infark
7. Edukasi Pengobatan dan komplikasi
8. Prognosis Tergantung respon terapi dan kerusakan target organ
9. Kepustakaan 1. Chobonion AV et al: The Seventh Report of the Joint National Committee
on Prevention, Detection, Evaluotion, ond Treotment of High Blood
Pressure: The JNC 7 Report. JAMA. 2003; 289: 2560-72.
2. Vidt DG. Hypertensive Crisis. Dalam: Corey W, Abelson A, Dweik R, et
al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. The Clevelond
Foundotion. Philodelphia: Elsevier. 2010. Tersedia di http://
www.clevelondclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemonogement/nephr
alogy/hypertensivecrises/
3. Kotchen T. Hypertensive Vascular Disease. Dalam: Longo DL, Fouci AS,
Kosper DL, Houser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Horrison's Principles of
lnternal Medicine. 18th Edition. NewYork:
McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2012.
4. Victor R. Arterial Hypertension. Dalam: Galdman L, Ausiello D, eds.
Cecil medicine 23rd ed. Philodhelphia, Pa: Sounders Elsevier; 2007.
5. Roesmo J. Krisis Hipertensi. Dalam: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi I, et
al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid ll. Jakarta: lnterna
Publishing; 2009. Hal I 103-4.
5. Vadiya C, Ouellette J. Hypertensive urgency and emergency. Hospital
Physician. 2007; 43: 43-50.
6. Bender S, Filippone J, Heitz S, Bisognono J. A systemotic approoch to
hyperiensive urgencies and emergencies. Cun Hypertens Rev. 2005; I :27
5-28.
7. Hordy Y, Jenkins A. Hypertensive Crisis : Urgencies and Emergencies.
US Phorm. 20l I ;35(3):Epub. Diakses melalui
http://www.usphormocist.com/content/d/feoIorelill444lc/271121 pada 12
Mei 2012.
8. National Institute for Health and Clinical Excellence. NlCE clinical
guideline 107-Hypertension in pregnancy: the management of
hypertensive disorders during pregnoncy. August 2010. Diunduh dari
415
http://www.nice.org.uk/nicemedio/live/13098/50418/50418.pdf pada
tanggal l8 Mei 2012.
9. Galdstein LB, Adams R, Alberts MJ, et al. American Heart Associotion;
American Stroke Associotion Stroke Council. Primary prevention of
ischemic stroke: A guideline from the AHA/ASA. Circulotion 2005; 113:
e873-e923

416
PENYAKIT GLOMERULAR
SKDI 3A

1. Pengertian Penyakit Glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada


(definisi) glomerulus dan dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular primer atau
sekunder
2. Anamnesis Warna urine, keluhan penyerta: lemas, bengkak, sesak, kadang terdapat
syndrome uremik: mual, muntah.
3. Pemeriksaan Fisik Dapat ditemukan hipertensi, edema anasarka
4. Kriteria Diagnosis Difus: lesi mencakup >80% glomerulus.
Fokal: lesi mencakup <80% glomerulus.
Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus.
Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus
5. Diagnosis Banding
6. Pemeriksaan Urin : proteinuria, hematuria, piuria, silinder eritrosit.
Penunjang Darah : kreatinin meningkat
Biopsi ginjal
7. Terapi Tergantung etiologi
8. Edukasi Diet
9. Prognosis Dubia
10. Komplikasi Gagal ginjal akut dan kronis, penyakit ginjal stadium akhir.

11. Kepustakaan 1. Penyakit glomerular. In: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi I, Simodibroto


M, Setioti S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5rh ed. Jakarta;
Pusat Informosi don Penerbiton Bogion llmu Penyakit Dalam FKUI,
2009: 2009 - 15
2. Lewis JB, Neilson EG. Glomerular Disease. Dalam: Fouci A, Kosper D,
Longo D, Brounwald E, Houser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Horrison's principles of internal
medicine. 15th ed. United States of America; The McGraw-Hill
Companies, 2012: 291 1 - 39

417
PENYAKIT GINJAL AKUT
SKDI 3A

1. Pengertian Gangguan ginjal akut atau yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal
(definisi) akut [GGA),sekarang disebut jejas ginjal akut (acute kidney injury / AKI).
AKI merupakan kelainan
ginjal struktural dan fungsional dalam 48 jam yang diketahui melalui
pemeriksaandarah, urin, jaringan, atau radiologis. Kriteria diagnosis AKI
menurut the InternationalKidney Disease: Improving Global Outcomes
(KDIGO) sebagai berikut:
1. Peningkatan serum kreatinin (SCr) > 0,3mg/dL(>26,5 pmol/L)
dalam 48 jam; atau
2. Peningkatan SCr > 1,5 x baseline, yang terjadi atau diasumsikan
terjadi dalamkurun waktu 7 hari sebelumnya; atau
3. Volume urin < 0,5 ml/kgBB/iam selama > 6 jam
2. Anamnesis 1. Suspek pre-renal azotemia: muntah, diare, poliuria akibat glikosuria,
riwayat konsumsi obat termasuk diuretik, nonsteroidal anti-
inflammatory drags (NSAID), angiotensin converting enzyme
(ACE) inhibitors, dan angiotensin receptor blocker(ARB).
2. Kolik pinggang yang menjalar ke daerah genital → sugestif
obstruksi ureter
3. Sering kencing di malam hari (nokturia) dan gangguan berkemih
lain; dapat munculpada penyakit prostat
4. Riwayat penyakit prostat, batu ginjal, atau keganasan pelvis atau
paraaorta →suspek post-renal
3. Pemeriksaan Fisik • Hipotensi ortostatik, takikardi, tekanan vena jugularis menurun,
turgor kulit menurun, dan membran mukosa kering.
• Perut kembung dan nyeri suprapubic→pembesaran kandung kemih
• AKI dengan purpura palpable, perdarahan paru, atau
sinusitis→sugestif vasculitis sistemik
• Reaksi idiosinkrasi Idemam, artralgia, rash kemerahan yang
gatal→suspek nefritisinterstitial alergi
• Tanda iskemik pada ekstremitas bawah positif→ suspek
rhabdomiolisis
4. Kriteria Diagnosis 1. Berdasarkan adanya gejala-gejala klinik dan adanya faktor penyebab
dari terjadinya PGA pada Anamnesis
2. Laboratorium: darah perifer lengkap, urinalisis, sedimen urin, serum
ureum,kreatinin, asam urat, kreatin kinase, elektrolit, lactate
dehydrogenase (LDH), bloodurea nitrogen (BUN), antinuclear
antibodies (ANAs), antineuffophilic cytoplasmicantibodies (ANCAs),
antiglomerular basement
3. membrane antibodies IAGBM), dancryoglobulins.
4. Radiologis: USG ginjal dan traktus urinarius, CT scan, pielografi
antegrad atauretrograd, MRI
5. Biopsi ginjal
5. Diagnosis Penyakit Ginjal Akut
6. Diagnosis Banding 1. Episode akut pada penyakit ginjal kronik
1. Laboratorium: darah perifer lengkap, urinalisis, sedimen urin, serum
ureum,kreatinin, asam urat, kreatin kinase, elektrolit, lactate
dehydrogenase (LDH), bloodurea nitrogen (BUN), antinuclear
antibodies (ANAs), antineuffophilic
7. Pemeriksaan
2. cytoplasmicantibodies (ANCAs), antiglomerular basement
Penunjang
membrane antibodies IAGBM), dancryoglobulins.
3. Radiologis: USG ginjal dan traktus urinarius, CT scan, pielografi
antegrad atauretrograd, MRI
Biopsi ginjal

418
8. Terapi 1. Tentukan jenis PGA
2. Atasi faktor etilogi
3. Asupan nutrisi
• Pemberian nutrisi enteral lebih disukai
• Target total asupan kalori per hari: 20 - 30 kkal/kgBB pada semua
stadium
• Hindari restriksi protein
• Kebutuhan protein per hari:
- AKI non-katabolik tanpa dialisis: 0,8 - L g/kgBB
- AKI dalam terapi penggantian ginjal (TPG): 1 - 1,5 g/kgBB
- AKI hiperkatabolik dan dengan TPG kontinu: s/d maksimal
1,7 g/kgBB
4. Asupan cairan dan terapi farmakologis
• Tentukan status hidrasi pasien, bila tidak ada syok hemoragik ) infus
kristaloidisotonik
• Pada pasien dengan syok vasomotor d berikan vasopressor dengan
cairan IV
• Pada seting perioperatif atau syok sepsis, tatalaksana gangguan
hemodinamikdan oksigenasi sesuai protokol
• Pada pasien sakit berat berikan terapi insulin dengan target glukosa
plasma110-149 mg/dL
• Diuretik hanya diberikan pada keadaan volume overload
• Tidak dianjurkan: dopamin dosis rendah, atrial natriuretic peptide
(ANP),recombinant human (rh) IGF-1
5. Intervensi dialisis
• Indikasi dialisis:
- Terapi yang sudah diberikan tidak mampu mengontrol volume
overload,hiperkalemia, asidosis, ingesti zat toksik
- Komplikasi uremia berat: asterixis, efusi perikardial, ensefalopati,
uremic bleeding
• Inisiasi dialisis secepatnya pada keadaan gangguan cairan,
elektrolit,keseimbangan asam-basa yang mengancam nyawa
• Pertimbangkan kondisi klinis lain yang dapat dimodifikasi melalui
dialysis (tidak hanya ratio BUN: kreatinin saja)
• Gangguan ginjal akut stadium III
Diskontinu dialisis bila tidak lagi dibutuhkan (fungsi intrinsik ginjal telah
pulih) atau jika dialisis tidak lagi memenuhi tujuan terapi
9. Edukasi Keseimbangan cairan
10. Prognosis Tingkat mortalitas AKI yang berat hampir 50%, tergantung tipe AKI dan
penyakit komorbid pasien.
Pada studi Madrid, pasien dengan nekrosis tubular akut memiliki angka
mortalitas 60%, sedangkan pada penyakit pre-renal atau post-renal 35%.
Sebagian besar kematian bukan disebabkan AKI itu sendiri, melainkan oleh
penyakit penyerta dankomplikasi.
Pada data Madrid, 60% kematian disebabkan oleh penyakit primer dan 40%
lainnya disebabkan oleh gagal kardiopulmonal atau infeksi.
Sekitar 50% orang pulih sepenuhnya dari nekrosis tubular akut, 40% tidak
pulih dengan sempurna, hanya 5-10% yang memerlukan hemodialisis.
11. Kepustakaan 1. KDIGO 2012
2. Panduan Pelayanan Medik PAPDI

419
PENYAKIT GINJAL KRONIK
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penurunan progresif fungsi
ginjal yang bersifat ireversibel. Menurut guideline The National
Kidney Foundation's Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(NKF KDOQI), PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal persisten
dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau fungsional
(seperti mikroalbuminuria/proteinuria, hematuria, kelainan histalogis
ataupun radialogis), dan/atau menurunnya laju filtrasi glomerulus
(LFG) menjadi <60 ml/menit/1,73 m2 selama sedikitnya 3 bulan.
Proteinuria merupakan suatu marker dini dan sensitif pada berbagai
tipe kerusakan ginjal. Albumin merupakan protein yang paling
banyak terdapat pada urin penderita PGK. Nilai normal ekskresi
albumin urin pada dewasa adalah 10 mg/hari, dan dipengaruhi aleh
berbagai kondisi seperti postur tubuh, alahraga, kehamilan, dan
demam. Oleh karena itu, sering terjadi hasil proteinuria dan
albuminuria palsu dalam praktek sehari-hari karena berbagai kondisi.
Penilaian hasil proteinuria pada dewasa dilakukan dengan
pengambilan specimen urin pagi hari dan hasil >+1 pada dipstick
memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan penilaian kuantitatif
dalam 3 bulan. Pada pasien dengan proteinuria >+2 pada tes
kuantitatif dalam interval 1-2 minggu, didiagnosis sebagai proteinuria
persisten dan dilakukan evaluasi dan tatalaksana lebih Ianjut seperti
pada pasien PGK. Monitoring proteinuria pada PGK selalu
menggunakan tes kuantitatif.
Penilaian awal/skrining pada dewasa dengan risiko tinggi PGK,
pemeriksaan sampel albumin urin sebaiknya menggunakan albumin-
specific dipstick atau ratio albumin-kreatinin. Sedangkan untuk
monitoring proteinuria pada dewasa dengan PGK, ratio protein-
kreatinin pada sampel urin sebaiknya diperiksa menggunakan ratio
albumin-kreatinin dan ratio protein total-kreatinin, apabila ratio
albumin-kreatinin tinggi (>500 mg - 1.000 mg/g)
2. Anamnesis • Riwayat hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, hipertensi,
hiperurisemia, lupus
• Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsi, abortus
spontan)
• Riwayat konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba,
kemoterapi, antiretroviral, proton pump inhibitors, paparan zat
kontras
• Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makan menurun, berat
badan, mual, muntah, nokturia, sendawa, edema perifer, neuropati
perifer, pruritus, kram otot, kejang sampai koma
• Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi
sistem organ seperti auditorik, visual, kulit dan lainnya untuk
menilai apa ada PGK yang diturunkan (Sindrom Alport atau Fabry,
sistinuria) atau paparan nefrotoksin dari lingkungan (logam berat)
3. Pemeriksaan Fisik • Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan
target organ: funduskopi, pemeriksaan pre-kordial (heaving
ventrikel kiri, bunyi jantung IV)
• Gangguan keseimbangan cairan dan elektralit: edema,
• Gangguan endokrin-metabolik: amenorrhea, malnutrisi, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual
• Gangguan saluran cerna: anoreksia, mual, muntah, naflas bau urin
(uremicfetor), disgeusia (metallic taste), konstipasi
• Gangguan neuromuskular: letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus,

420
fasikulasi otot, restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma
• Gangguan dermatalogis: palor; hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis,
uremic frost, nephrogenic fibrosing dermopathy polineuropati
4. Diagnosis Banding Penyakit ginjal akut, Acute on Chronic Kidney Disease
5. Pemeriksaan Penunjang • Laboratorium : darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan
rumus Kockroft-Gault, l,serum ureum dan kreatinin, tes klirens
kreatinin (TTK) ukur, asam urat, elektralit, gula darah, profil lipid,
analisa gas darah, seralogis hepatitis, SI, TIBC, feritin serum,
hormon PTH, albumin, globulin, pemeriksaan imunalogi,
hemostasis lengkap, urinalisis
• Radialogis : foto palos abdomen, BNO IVB USG, CT scan,
ekokardiografi
• Biopsi ginjal
Rumus Kockrott-Goult
Creatinine Clearance atau
LFG = [(140-umur) x Berat Badan]/(72 x SCr) ml/menit/1,73
Keterangan : pada wanita hasil LFG x 0.85
6. Terapi Nonformokalogis
Nutrisi : pada pasien non-dialisis dengan LFG <20 mL/menit,
evaluasi status nutrisi dari 1) serum albumin dan/atau 2) berat badan
aktual tanpa edema.
Protein :
- pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan
CCT dan taleransi pasien
- pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari
- pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
Pengaturan asupan lemak: 30-40o/o dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan
tidak jenuh
Pengaturan asupan karbohidrat : 5 0 - 600/o dari kalori total
Natrium: <2 gramfhari (dalam bentuk garam <6 gram/hari)
Kalium: 40-70 mEq/hari
Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD:1,7 mg/hari
Kalsium: 1400-L600 mg/hari (tidak melebih 2000 mg/hari)
Besi: 10-18 mg/hari
Magnesium: 200-300 mg/hari
Asam falat pasien HD: 5 mg
Air: jumlah urin24 jam + 500 ml (insensible water loss).
Farmakalogis
• Kontral tekanan darah:
Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II: evaluasi
kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin
>35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan
Penghambat kalsium
Diuretik
• Pada pasien DM, kontral gula darah: hindari pemakaian
7. Edukasi Pengobatan
8. Prognosis Penting sekali untuk merujuk pasien PGK stadium 4 dan 5. Terlambat
merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi penggantian ginjal)
berkaitan erat dengan meningkatnya angka mortalitas setelah dialisis
dimulai. Pada titik ini, pasien lebih baik ditangani bersama oleh
pelayanan kesehatan tingkat primer bersama nefralogis. Selama fase
ini, perhatian harus diberikan terutama dalam memberikan edukasi
pada pasien mengenai terapi penggantian ginjal (hemodialisis, dialisis
peritoneal, transplantasi) dan pemilihan akses vaskular untuk
hemodialisis. Bagi kandidat transplantasi, evaluasi donor harus segera
dimulai.

421
9. Komplikasi Kardiovaskular; gangguan keseimbangan cairan, natrium, kalium,
kalsium, fosfat, asidosis metabalik, osteodistrofi renal, anemia.
10. Kepustakaan 1. Lascano M, Schreiber M, Nurko S. Chronic Kidney Disease. ln:
Corey W, Abelson A, Dweik R, et al. Current Clinical Medicine.
2nd Edition The Clevelond Clinic Foundotion. Philodelphia:
Elsevier. 2010. Hal 853-6
2. The National Kidney Foundation: NKF KDOQI Clinical Proctice
guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, classification,
and stratification. Am J Kidney Dis 2002; 39: Sl-266
3. Borgmon J, Scorecki K. Chronic Kidney Disease. ln: Longo DL,
Fouci AS, Kosper DL, Houser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
Horrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York,
McGrawHill. 2012.
4. Suwitro K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo A, Setiyohodl
B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II.
2009. Hal 1035-40

422
PROSTATITIS
SKDI 3A

1. Pengertian Prostatitis adalah peradangan prostat; dapat bersifat akut maupun kronik, dan
(Definisi) penyebabnya dapat berupa bakterial atau nonbakterial. Kebanyakan infeksi
bakteri pada prostat disebabkan oleh organisme gram negatif; organisme yang
paling sering adalah Escherichia coli.
2. Anamnesis • Prostatitis Bakterial Akut
Biasanya menyerang laki-laki dewasa muda jika muncul secara spontan,
tapi juga dapat berhubungan dengan kateter uretra yang dipasang terus
menerus. Ditandai oleh demam, menggigil, disuria, dan terasa tegang atau
macet serta nyeri prostat yang sangat pada pemeriksaan.
• Prostatitis Bakterial Kronik
Sekarang jarang terjadi, tapi harus dipertimbangkan pada laki-laki dengan
riwayat bakteriuria berulang. Gejalanya adalah disuria, urgensi, frekuensi
dan nokturia. Nyeri dapat terjadi di punggung, daerah perineum, penis,
skrotum dan suprapubis. Pada sebagian orang, dapat terjadi tanpa gejala.
• Prostatitis Nonbakterial
Menimbulkan gejala-gejala yang sama dengan prostatitis kronik, tetapi
ada infeksi saluran kemih.
3. Pemeriksaan Fisik • Prostatitis Bakterial Akut
Pemeriksaan rektal didapatkan prostat teraba nyeri, membengkak, hangat
dan keras. Palpasi pada prostat harus dilakukan dengan hati-hati.
Pemijatan yang kuat akan menimbulkan nyeri yang yang sangat bagi
pasien.
• Prostatitis Bakterial Kronik
Pada palpasi ditemukan besarnya prostat normal. Prostat teraba kenyal
berupa nodus, serta terdapat sedikit nyeri tekan.
• Prostatitis Nonbakterial
Ditemukan sama dengan pemeriksaan fisik pada prostatitis bakterial
kronik
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan sampel urin yang dikeluarkan pertama kali dan urin porsi
Penunjang tengah
• Pengecetan Gram dan biakan urin
• Pemeriksaan leukosit
5. Kriteria Diagnosis • Prostatitis Bakterial Akut
Ditemukan kuman batang gram-negatif pada pewarnaan Gram urin
• Prostatitis Bakterial Kronik
Ditemukannya sejumlah besar E.coli, Klebsiella, Proteus atau bakteri
uropatogen lainnya hasil biakan sekresi prostat atau urin setelah pemijatan
dibandingkan dengan penemuan kuman pada urin yang dikeluarkan
pertama kali atau urin porsi tengah.
• Prostatitis Nonbakterial
Ditemukan gejala dan tanda prostatitis, leukosit yang meningkat pada
sekresi penekanan prostat dan urin setelah masase, dan tidak ada
pertumbuhan bakteri pada kultur urin.
6. Diagnosis • Prostatitis Bakterial Akut
• Prostatitis Bakterial Kronik
• Prostatitis Nonbakterial
7. Diagnosis Banding • Uretritis posterior
• Prostatodinia

423
8. Terapi Farmakologis
• Prostatitis Bakterial Akut
Diberikan trimetoprim-sulfametoksasol, sefalosporin, florokuinolon, atau
aminoglikosida.
• Prostatitits Bakterial Kronik
o Pengobatan dengan sulfonamid-trimetoprim, siprofloksasin, dan
ofloksasin memberikan hasil yang memuaskan, tapi harus diberikan
minimal selama 12 minggu supaya efektif.
o Pasien dengan gejala sistitis akut berulang dapat diatasi dengan
pemberian antimikroba yang lebih lama (biasanya sulfonamid,
trimetoprim, atau nitrofurantoin) untuk menekan gejala dan menjaga
urin kandung kemih tetap steril.
o Tindakan prostatektomi total akan menyembuhkan prostatitis kronik
tapi berkaitan dengan angka kematian yang patut dipertimbangkan.
Prostatektomi transuretral lebih aman tapi hanya menyembuhkan
sekitar sepertiga penderita.
• Prostatitis Nonbakterial
Efektivitas obat antimikroba pada kondisi ini tetap tidak pasti. Beberapa
pasien mendapat keuntungan dari pemberian eritromisin, doksisiklin,
trimetoprim-sulfametoksazol, atau fluorokuinolon selama 4 sampai 6
minggu, tetapi percobaan yang terkontrol sangat kurang.
Non-Farmakologis
Tirah baring
9. Komplikasi Pembentukan abses, epididimoorkitis, vesikulitis seminalis, septikemi dan
sisa prostatitis bakterial kronik.
10. Prognosis Prognosis jangka panjang baik
11. Kepustakaan 1. Isselbacher, K. J., Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph B. Martin,
Anthony S. Fauci, Dennis L. Kasper. 2015. Harrison’s Principles of
Internal Medicine (Edisi ke-13, Volume 2). EGC, Jakarta, Indonesia,
hal.622-623.
2. Price, Sylvia A. Dan Lorraine M. W. 2015. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit (Edisi ke-6, Volume 2). EGC, Jakarta, Indonesia,
hal. 1321-1322.
3. Marcelena, Risca dan Sri Linuwih Menaldi. 2014. Gonore. Dalam: Chris
Tanto dkk (Editor). Kapita Selekta Kedokteran (hal. 341-342). Media
Aesculapius, Jakarta, Indonesia

424
SINDROM NEFROTIK
SKDI 2

1. Pengertian Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit
(definisi) glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24 jam disertai
hipoalbuminemia <3,5 g/L, edema, hiperkalesteralemia dan lipiduria.
Gejala klasik SN ditandai dengan edema, proteinuria berat, hipoalbuminemia,
hiperkalesteralemia, dan lipiduria. SN dapat bermanifestasi dengan spektrum
keluhan yang luas, mulai dari proteinuria asimtomatik sampai keluhan yang
sering yaitu bengkak.
2. Anamnesis Bengkak biasanya berawal pada area dengan tekanan hidrostatik intravaskular
yang tinggi seperti kedua kaki dan ankle, tetapi dapat juga terjadi pada area
dengan tekanan hidrostatik intravaskular yang rendah seperti periorbita dan
skrotum. Bila bengkak hebat dan generalisata dapat bermanifestasi sebagai
anasarka. Keluhan buang air kecil berbusa. Gejala-gejala lain dapat muncul
sebagai manifestasi penyakit penyebab SN sekunder seperti diabetes melitus,
nefritis lupus riwayat obat-obatan, riwayat keganasan atau amyloidosis.
3. Pemeriksaan Fisik Pretibial edema, edema periorbita, edema skrotum, edema anasarka, asites
Xanthelasmas bisa didapatkan akibat hyperlipidemia
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etialogi SN
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Laboratorium: Proteinuria masif >3,5 gram /24 jam, hiperlipidemia,
Penunjang hipoalbuminemia (<3,5 gram/dl), lipiduria, hiperkoagulabilitas
Biopsi ginjal: dapat digunakan untuk penegakkan diagnosis
8. Terapi Nonformokalogis
• Istirahat
• Resstriksi protein dengan diet protein 0;8 gram/kgBB ideal/hari +
ekskresi protein dalam urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun,
diet protein disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi
protein dalam urin/24 jam
• Diet rendah kolesterol <600 mg/hari
• Berhenti merokok
• Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema
Farmakologis:
1. Pengobatan edema: diuretik loop
2. . Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE dan/atau antagonis
reseptor Angiotensin II
3. Pengobatan dislipidemia dengan galongan statin
4. Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah <125/75 mmHg
5. Penghambat ACE dan antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan
obat utama
6. Pengobatan kausal sesuai etialogi SN
9. Edukasi Pengobatan
10. Prognosis Hanya sekitar 20% pasien yang menderita fokal glomerulosklerosis
mengalami remisi dari proteinuria, 10% membaik tapi masih mengalami
proteinuria. Stadium akhir penyakit ginjal berkembang pada 25-30% pasien
dengan fokal segmental glomerulosklerosis dalam waktu 5 tahun dan 30-40%
dalam 10 tahun.
Prognosis pasien dengan perubahan nefropati minimal memiliki risiko
kambuh. Tetapi prognosis jangka panjang untuk fungsi ginjalnya baik, dengan
sedikit risiko gagal ginjal. Respon pasien yang buruk terhadap steroid dapat
menyebabkan hasil yang buruk.
Pada sindroma nefrotik sekunder mortalitas dan morbiditas tergantung pada
penyakit primernya. Pada nefropati, diabetik tingkat proteinuria berhubungan
langsung dengan mortalitas. Pada amyloidosis primer, prognosis buruk,

425
meskipun dengan kemoterapi. Pada amyloidosis sekunder, perbaikan penyakit
penyebab diikuti aleh perbaikan amyloidosis dan sindroma nefrotik yang
mengikuti.
11. Komplikasi Gagal jantung, sirosis hepatis, penyakit ginjal kronik, tromboemboli
12. Kepustakaan 1. Sindromo Nefrotik In: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi I, Simodibroto M,
Setioti S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta; Pusat
informasi dan penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUl,
2009:2009- l5
1. Glomerular Disease. ln: Fouci A, Kosper D, Longo D, Brounwald E,
Houser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Horrison's principles of
internal medicine. l8th ed. United States of America; The McGraw-Hill
Companies, 2012:2911 - 39
2. Donodio JV Jr, Tones VE, Veloso JA, Wogoner RD, Halley KE,
Okomuro M ldiopothic membranous nephropothy: the natural history of
unkeoted potients. Kidney lnt. Mor I 988;33(3):708-l 5. [Medline].
3. Jude EB, Anderson SG, Cruickshonk JK, et al. Natural history and
prognostic factors of diabetic nephropathy in type 2 diabetes. Quort J
Med. 2002;95:371-7. [Medline].

426
PULMONOLOGI

427
ABSES PARU
SKDI 3A

1. Pengertian Abses paru merupakan infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
(definisi) paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah
(pus/nekrotik debris) dalam parenkim paru dalam suatu lobus atau lebih yang
disebabkan oleh infeksi mikroba.
2. Anamnesis • Pada pasien pasien abses paru anamnesis yang bisa kita dapatkan berupa
batuk yang mengeluarkan banyak dahak (sputum) menggandung jaringan
paru yang mengalami ganggren. Sputum biasanya berbau amis dan
berwarna anchovy (putrid abcesses) yang disebakan bakteri anaerob.
• Selain itu juga dapat didapatkan keluhan nyeri dada dan baruk darah
ringan sampai masif
3. Pemeriksaan Fisik • Ditemukan demam sampai dengan 40°C
• Pada paru dapat ditemukan nyeri tekan lokal pada dada, pada lesi yang
konsolidasi dapat ditemukan penurunan suara nafas, perkusi redup, suara
nafas bronkial dan ronkhi.
• Jika lesi luas dapat didapatkan suara nafas amforik. Suara nafas amforik
dapat ditemukan jika kavitasnya besar
• Piotoraks atau empiema thoraks dapat terjadi jika abses paru letaknya
dekat pleura dan pecah. Sehingga dapat ditemukan perenggangan dinding
dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vokal menghilang, perkusis
redup/pekak, suara nafas menghilang, dan didapatkan tanda-tanda
pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung ke arah kontra
lateral lesi.
• Dapat juga ditemukan jari tabuh pada penderita abses paru.
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan darah rutin, leukosit meningkat, hitung jenis bergeser ke kiri
Penunjang dan terjadi peningkatan netrofil yang immatur. Pada abses paru yang lama
dapat ditemukan kadar hemoglobin yang rendah dan peningkatan LED.
• Pemeriksaan dahak yang diperoleh dari hasil aspirasi transtrakeal,
transtorakal, torakosintesis atau bilasan bronkus.
• Bronkoskopi
• Aspirasi jarum perkutan
• Rontgen thorak PA lateral yang dapat ditemukan tampak kavitas irreguler
dengan dinding tebal dikelilingi oleh infiltrat/ konsolidasi dan sering
ditemukan gambaran batas cairan dan permukaan udara (air fluid level)
didalamnya.
5. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis Abses Paru
7. Diagnosis Banding • Penyebab infeksi:
o Tuberculosis
o Bula infeksi
o Emboli septik
• Penyebab non infeksi:
o Kavitas e.c keganasan
o Wagener’s granulomatosis
o Nodul rematoid
o Vaskulitis
o Sarkoidosis
o Infark paru
o Kongenital ( bula, kista, bleb)

428
8. Terapi • Non farmakologis
o Istirahat
o Drainase
o Posisi berbaring harus kearah paru yang sehat agar paru yang
terkena abses mendapatkan drainase yang baik
o Diet bubur biasa dengan tinggi kalori dan tinggi protein
• Farmakologis
o Klindamisin 3x600 mg Intravena jika terjadi perbaikan dosis dapat
diturunkan menjadi 4x300 mg oral.
o Penyebab patogen aerobik
- Klindamisisn + penisilin atau Klindamisisn + sefalosporin
- Cefoksitin (Mefoxin) 3-4 x 2 gr/hari intravena diberikan jika
dicurigai abses paru disebabkan oleh infeksi polimikroba.
o Pengobatan sesuai dengan hasil tes sensitivitas
- Stafilokokus → penicillinase-resistant penicillin atau sefalosporin
generasi pertama
- Staphylococcus Aureus → Vankomisin
- Nocardia → Sulfonamide 3x1 gram oral
9. Komplikasi Abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura viceralis sehingga dapat terjadi
piopneumothoraks, fistula bronkopleura, dan fistula pleurokutaneus
10. Prognosis • Tergantung pada sistem inflamasi dan keadaan umum pasien, letak abses
serta luasanya kerusakan paru yang terjadi, serta respon pengotana yang
diberikan.
• Angka mortalitas pasien dengan abses paru pada era preantibiotika
mancapai 33%-40%, namun separuh dari dari yang masih tetap hidup
mengalami komplikasi.
11. Kepustakaan a. Rasyid, Ahmad. Abses Paru. Dalam: Seriati siti, et al editor. Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam jilid I edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2014. Hlm 1651-1657.
b. Mustafa, Murtaza, Lung abscess: Diagnosis, Treatment and mortality.
Journal of Pharmaceutical Siense Invention. 2015. Vol 4. 37-41.
c. Rahman, Atiar. Clindamycin in Treatment of Lung Absess. American
Journal of Drug Delivery and Therapeutics. 2014. 001-008.

429
ATELEKTASIS
]SKDI 2

1. Pengertian Atelektasis adalah keadaan ketika sebagian atau seluruh paru mengempis dan
(definisi) tidak mengandung udara. Tidak adanya udara didalam paru terjadi karena
saluran pernafasan tersumbat sehingga udara dari bronkus tidak dapat masuk
ke dalam alveolus, sedangkan udara yang sebelumnya berada di alveolus
diserap habis oleh dinding alveolus yang banyak mengandung kapiler darah.
Penyebab tidak masuknya udara ke dalam paru disebabkan oleh sumbatan
lumen saluran pernafasan maupun terhimpit dari luar yang mengakibatkan
tertutupnya saluran pernafasan.
2. Ananmnesa Keluhan dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas
yang ringan. Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak mengalami
gejala sama sekali, walaupun banyak yang menderita batuk-batuk pendek,
jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung,
kadang-kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah).
Gejala klinis sangat bervariasi, tergantung pada sebab dan luasnya atelektasis.
Pada umumnya atelektasis yang terjadi pada penyakit tuberculosis, limfoma,
neoplasma, asma dan penyakit yang disebabkan infeksi misalnya bronchitis,
bronkopmeumonia, dan pain-lain jarang menimbulkan gejala klinis yang
jelas, kecuali jika ada obstruksi pada bronkus utama.
3. Pemeriksaan Fisik Pada perkusi redup dan mungkin pula normal bila terjadi emfisema
kompensasi. Pada atelektasis yang luas, atelektasis yang melibatkan lebih
dari satu lobus, bising nafas akan melemah atau sama sekali tidak terdengar,
biasanya didapatkan adanya perbedaan gerak dinding thorak, gerak sela iga
dan diafragma. Pada perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan
bergeser, letak diafragma mungkin meninggi.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Laboratorium: darah lengkap
• Rontgent thoraks
5. Diagnosis Atelektasis
6. Diagnosis Banding Efusi pleura, tumor paru
7. Pemeriksaan • Laboratorium: darah lengkap
Penunjang • Rontgent thoraks
8. Terapi Terapi konservatif :
Secara umum,Tujuan pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas
hidup,untuk memperlambat kemajuan proses penyakit,dan untuk mengatasi
obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia.

Terapi simptomatik :
1. Bronkodilator
2. Pengobatan infeksi
3. Oksigenasi
9. Edukasi Mencegah terjadinya pneumonia, hypoxemia, gagal napas, sepsis, dan
bronkiektasis.
10. Prognosis Kelangsungan hidup
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati,prognosisnya jelek,survivalnya
tidak akan lebih dari 5-10 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena
pneumonia,empiema,payah jantung,hemoptisis dan lain-lain

Kelainan organ
Biasanya terjadi akibat shift dari organ mediastinum serta trakea ke arah yang
sakit, kelainan yang biasa mengikutinya kausa dari post TB lama, efusi pleura
masif serta tumor paru yang mejadi faktor pencetus dari atelektasis tersebut
11. Kepustakaan 1. Rasad Sjahriar., 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta: balai penerbit

430
FKUI p. 108
2. Djojodibroto, Darmanto., 2009. “Respirologi(Respiratory Medicine)”.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Edwin F. Donnelly, M.D., Ph.D., Patterns of Lobar Collapse, 2004.

431
AVIAN INFLUENZA
SKDI 3A

1. Pengertian (definisi) Infeksi yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H5N1
(H=Hemagglutinin; N=Neuraminidase) yang pada umumnya menyerang
unggas (burung dan ayam). Virus avian influenza termasuk genom RNA dari
famili Orthomyxoviridae, ada 3 tipe virus avian influenza yaitu A, B, dan C,
hanya tipe A yang menyebabkan infeksi pada unggas peliharaan yang juga
potensial menyerang manusia. Potensi transmisi dari burung ke burung dan
dari burung/unggas ke manusia dimungkinkan karena adanya kombinasi
strain AI dengan tropisme yang sama.
2. Anamnesis Riwayat demam yang tinggi dan timbul mendadak, terdapat gejala Influenza
Like Illness (ILI) seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, dan suara serak.
Bila berat terdapat tanda-tanda radang paru-paru (pneumonia).
3. Pemeriksaan Fisik • Suhu badan mencapai ≥ 38 o C
• Bila berat: terdapat tanda-tanda radang paru yaitu ronki basah
sedang/kasar
4. Kriteria Diagnosis Dalam mendiagnosis kasus flu burung ada 4 kriteria yang ditetapkan yaitu :
• Kasus dalam Investigasi
• Kasus suspek
• Kasus probabel
• Kasus konfirm
Kasus dalam investigasi
Seseorang yang telah diputuskan oleh dokter setempat untuk diinvestigasi
terkait kemungkinan infeksi H5N1. Kegiatan yang dilakukan berupa
surveilans semua kasus ILI dan Pneumonia di rumah sakit serta mereka yang
kontak dengan pasien flu burung di rumah sakit.
Kasus suspek H5N1
Seseorang yang menderita demam dengan suhu > 38o C disertai satu atau
lebih gejala di bawah ini :
• Batuk
• Sakit tenggorokan
• Pilek
• Sesak napas

Kasus probabel H5N1


Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini :
Ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap H5, minimum 4 kali, dengan
pemeriksaan uji HI menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA
Hasil laboratorium terbatas untuk Influenza H5 (terdeteksinya antibodi
spesifik H5 dalam spesimen serum tunggal) menggunakan uji netralisasi
(dikirim ke Laboratorium Rujukan). Atau Seseorang yang meninggal karena
suatu penyakit saluran napas akut yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya
yang secara epidemiologis berkaitan dengan aspek waktu, tempat dan pajanan
terhadap suatu kasus probabel atau suatu kasus H5N1 yang terkonfirmasi.

Kasus H5N1 terkonfirmasi


Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau probabel
dan disertai:
Satu dari hasil positif berikut ini yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium
influenza nasional, regional atau internasional yang hasil pemeriksaan H5N1-
nya diterima oleh WHO sebagai konfirmasi
• Isolasi virus H5N1
• Hasil PCR H5N1 positif
• Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari
spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil <7

432
hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi
konvalesen harus pula >1/80
• Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang
diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil
positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160
atau western blot spesifik H5 positif
5. Diagnosis Avian Influenza
6. Diagnosis Banding • Demam Dengue
• Infeksi paru yang disebabkan oleh virus lain, bakteri atau jamur
• Demam Typhoid
• HIV dengan infeksi sekunder
• Tuberkulosis paru
8. Terapi Antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam pertama) :
• Dewasa atau anak ≥ 13 tahun Oseltamivir 2x75 mg per hari selama 5 hari
• Anak > 1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 5 hari.
• Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sbb :
• 40 kg : 75 mg 2x/hari
• 23 – 40 kg : 60 mg 2x/hari
• 15 – 23 kg : 45 mg 2x/hari
• ≤ 15 kg : 30 mg 2x/hari

Profilaksis
Profilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok risiko tinggi terpajan sampai 7-
10 hari dari pajanan terakhir. Penggunaan profilaksis
jangka panjang dapat diberikan maksimal hingga 6-8 minggu sesuai dengan
profilaksis pada influenza musiman
Pengobatan lain:
• Antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipikal dan atipikal (lihat
petunjuk penggunaan antibiotik)
• Metilprednisolon 1-2 mg/kgBB IV diberikan pada pneumonia berat,
ARDS atau pada syok sepsis yang tidak respons terhadap obat-obat
vasopresor
• Terapi lain seperti terapi simptomatik, vitamin, dan makanan bergizi
Rawat di ICU sesuai indikasi
9. Edukasi Pengobatan dan penularan
10. Prognosis Dubia
16. Kepustakaan 1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 20015.

433
BRONKITIS AKUT
SKDI 4A

1. Pengertian (definisi) Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus berserta
cabang – cabangnya. Bronkitis akut kerap disertai dengan gejala batuk
dengan atau tanpa sputum yang dapat berlangsung sampai 2 minggu.
Bronkitis akut yang berulang dapat memicu terjadinya bronchitis kronis.
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :
Infeksi virus: influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial virus
(RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.
Infeksi bakteri: Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella)
Jamur
Non infeksi: polusiudara, rokok, dan lain-lain
2. Ananmnesa Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti gejala-gejala infeksi saluran
respiratori seperti rhinitis dan faringitis. Anamnesis pasien mempunyai
gejala batuk yang timbul tiba-tiba dengan atau tanpa sputum dan tanpa
adanya bukti pasien menderita pneumonia, common cold, asma akut,
eksaserbasi akut bronchitis kronik dan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Keluhan yang lain adalah:
• Demam,
• Sesak napas,
• Bunyi napas mengi atau – ngik
• Rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada
3. Pemeriksaan Fisik Dapat ditemukan adanya demam, gejala rhinitis sebagai manifestasi
pengiring, atau faring hiperemis. Sejalan dengan perkembangan serta
progresivitas batuk, pada auskultasi dada dapat terdengar ronki, wheezing,
ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lender banyak dan
tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Bronkitis Akut
6. Diagnosis Banding Common cold, Eksaserbasi akut bronchitis kronik, Akut Asma dengan gejala
batuk,
7. Pemeriksaan Tidak ada pemeriksaan penunjang yang memberikan hasil definitive untuk
Penunjang diagnosis bronkitis. Pemeriksaan kultur dahak diperlukan bila etiologi
bronchitis harus ditemukan untuk kepentingan terapi.
Pemeriksaan radiologis biasanya normal atau tampak corakan bronchial
meningkat. Pada beberapa penderita menunjukkan adanya penurunan ringan
uji fungsi paru. Akan tetapi uji ini tidak perlu dilakukan pada penderita yang
sebelumnya sehat.
8. Terapi Bronkitis Akut Akibat Virus
Bila ditemukan wheezing pada pemeriksaan fisis, dapat diberikan
bronkodilator beta2-agonis, tetapi diperlukan evaluasi yang seksama
terhadap respons bronkus
untuk mencegah pemberian bronkodilator yang berlebihan.

Bronkitis Akut Akibat Bakteri


Pengobatan pertusis sebagian besar bersifat suportif. Pemberian
eritromisin dapat mengusir kuman pertusis dari nasofaring dalam waktu 3–4
hari, sehingga mengurangi penyebaran penyakit. Pemberian selama 14 hari
setelah awitan penyakit selanjutnya dapat menghentikan penyakit.

Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat diberikan. Pada penderita,


diperlukan istirahat dan asupan makanan yang cukup, kelembaban udara
yang cukup serta masukan cairan ditingkatkan.
434
Pemberian bronkodilator diperbolehkan bila gejala batuk berbarengan
dengan asma.
9. Edukasi Mengurangi merokok, sering memakai masker, rutin kontrol
10. Prognosis Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang
tepat atau mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang
terjadi berasal dari penyakit yang mendasari.
11. Kepustakaan 1. Hueston WJ.Albuterol delivered by metered-dose inhaler to treat acute
bronchitis. J FamPract. 2008; 39:437–440.
2. Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis: ACCP
Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest Journal.
2006;129;95S-103S.
3. Gonzales R, Sande M. Uncomplicated acute bronchitis. Ann Intern Med
2008; 133: 981–991
4. Jonsson J, Sigurdsson J, Kristonsson K, et al. Acute bronchitis in
adults.How close do we come to its aetiology in generalpractice? Scand J
Prim Health Care. 2008; 15:156–160

435
KARSINOMA LARING
SKDI 2

1. Pengertian (definisi) Karsinoma laring merupakan keganasan yang sering terjadi pada saluran
nafas. Ca laring lebih sering mengenai laki-laki disbanding perempuan,
dengan perbandingan 5:1. Terbanyak pada usia 56-69 tahun.
Penyebab karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Meningkatnya
insiden karsinoma laring sangat berkaitan dengan merokok dimana seorang
perokok memiliki risiko 6 kali lipat untuk menderita tumor kepala dan
leher dibandingkan dengan bukan perokok dan lebih banyak terjadi pada
laki-laki.
2. Ananmnesa Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan suara parau yang diderita
sudah cukup lama, tidak bersifat hilang-timbul meskipun sudah diobati dan
bertendensmakin lama menjadi berat.
Penderita kebanyakan adalah seorang perokok berat, peminum alkohol atau
seorang yang sering atau pernah terpapar sinar radioaktif, misalnya pernah
di radiasi di daerah lain. Pada anamnesis kadang–kadang didapatkan
hemoptisis, yang bias tersamar bersamaan dengan adanya TBC paru, sebab
banyak penderita menjelang tua dan dar isosial-ekonomi yang lemah.
Gejala yang lain adalah:
• Sesak nafas dan stridor inspirasi
• Nyeri pada tenggorok dan disfagia
• Batuk + darah (ulserasi tumor)
• Berat badan turun
3. PemeriksaanFisik Untuk melihat ke dalam laring dapat dilakukan dengan cara tak langsung
maupun langsung dengan menggunakan laringoskop untuk menilai lokasi
tumor, penyebaran tumor yang terlihat (field of cancerisation).
Pemeriksaan Fisik (Keadaan spesifik pada leher)
• Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring,
dan tiroid. Kelenjar leher pada umumnya baru bisa teraba apabila ada
pembesaran lebih dari 1 cm.
• Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membran krikotiroid atau
tirohioid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laringeal.
Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dan
keras. Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening leher. Palpasi
dilakukan dengan posisi pemeriksa berada di belakang penderita dan
dilakukan secara sistematis / berurutan dimulai dari submental
berlanjut ke arah angulus mandibula, sepanjang muskulus
sternocloidomastoid, klavikula, dan diteruskan sepanjang saraf
assesorius.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis,
• Pemeriksaan laring secara langsung maupun tidak langsung,
• Pemeriksaan laboratorium
• Biopsi laring
5. Diagnosis Karsinoma Laring
6. Diagnosis Banding Laringitis tuberkulosa, Sifilis laring, Tumor jinak laring, Laringitis kronik,
Nodul vokal
7. Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang yang diperlukan selain pemeriksaan laboratorium
Penunjang darah, juga pemeriksaan radiologik.
• Fototorak diperlukan untuk menilai keadaan paru, ada tidaknya proses
spesifik dan metastasis di paru.
• Pemeriksaan CT Scan laring dapat memperlihatkan keadaan tumor
pada tulang rawan tiroida dan daerah pre-epiglotisserta metastasis
kelenjar getah bening leher.
• Foto leher PA/Lateral soft tissue
• Laringogram dengan menggunakan kontras

436
8. Terapi Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu
pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi.
• Radioterapi merupakan modalitas untuk mengobati tumor glotis dan
supraglotis T1 dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya
90%).
• Pembedahan :LaringektomiLaringektomi total.
• Kemoterapi : Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi
adjuvant ataupun paliatif. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80–
2
120 mg/m dan 5 FU 800–1000 mg/m.

9. Edukasi Mengurangimerokok
10. Prognosis Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan
kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival rate
pada karsinoma laring stadium I 90-98% stadium II 75-85%, stadium III
60-70% dan stadium IV 40-50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe
regional akan menurunkan five years survival rate sebesar 50%.
11. Kepustakaan 1. Boies Lawrence, Adams George, Higler Peter. Buku ajar penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997.
2. Rukmini Sri, Herawati Sri., Editor. Teknik Pemeriksaan Telinga,
Hidung dan Tenggorok. Jakarta: EGC, 2000.
3. Robin PE, Oloffosn J. Tumors of the Laring. Dalam : Hibbert J. Ed.
Scott-Browns.Otolaryngology. Larygologyand Head and Neck Surgery.
Vol. 3. Edisi ke-6.Great Brittain : Butterworth-Heinemann, 1997. h.
5/11/1-43.

437
EFUSI PLEURA
SKDI 2

1. Definisi Kumpulan cairan di rongga pleura.


2. Anamnesis 1. Sesak napas merupakan gejala utama, kadang-kadang disertai perasaan
tidak enak di dada. Bila cairan pleura sedikit, maka tidak dapat dideteksi
dengan pemeriksaan klinik, tetapi dapat dideteksi dengan radiografi.
2. Kadang-kadang disertai nyeri pleuritik atau batuk nonproduktif, tetapi
efusi pleura lebih sering merupakan penyulit pneumonia (efusi
parapneumonia).
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pada inspeksi : gerak napas tertinggal pada sisi efusi, sela iga nampak
melebar dan menonjol.
2. Pada perkusi : suara ketok terdengar redup sesuai dengan luas efusi, dapat
membentuk garis Ellysd’amoiciere, tanda-tanda pendorongan
mediastinum, sela iga melebar.
3. Pada palpasi : fremitus raba menurun.
4. Pada auskultasi : suara napas menurun atau menghilang. Suara bronkial
dan egofoni sering dijumpai tepat di atas efusi.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis dijumpai keluhan sesak napas.
2. Pemeriksaan fisik ada gerakan asimetris sisi sakit tertinggal, sela iga
melebar, keredupan sisi sakit, fremitus raba menurun sisi sakit, suara
napas menurun pada sisi sakit.
3. Foto toraks tampak gambaran cairan efusi pleura. Aspirasi cairan pleura
memastikan ada efusi pleura.
5. Diagnosis Kerja Efusi Pleura
6. Diagnosis Banding 1. Konsolidasi paru karena pneumonia
2. Neoplasma paru dengan kolaps paru
3. Fibrosis pleura
7. Pemeriksaan 1. Foto toraks PA atau AP duduk, untuk melihat permukaan cairan pleura.
Penunjang Cairan cenderung menuju ke tempat rendah. Tanda awal radiologi adalah
sinus frenikokostalis tumpul.
2. Jumlah cairan pleura > 300 cc tampak pada foto toraks.
3. Bila jumlah cairan sedikit dapat terlihat pada foto toraks dalam posisi
dekubitus.
4. Efusi pleura yang terlihat pada foto toraks berbentuk kantong
(pocketed/loculated) masih perlu dibedakan dengan gambaran penyakit
lain, mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti USG toraks
atau CT scan toraks.
5. Pada efusi minimal tampak sinus kostofrenikus tumpul.
6. Efusi dalam jumlah banyak menyebabkan pendorongan mediastinum /
pergeseran mediastinum ke arah yang sehat,tetapi bila tidak ada
pergeseran mediastinum, kemungkinan efusi disertai kolaps paru.
8. Tatalaksana Penatalaksanaan umum
Memperbaiki keadaan umum penderita dengan diit TKTP dan minum banyak.
1. Antibiotika
a. clindamycin 600 mg iv/8 jam, membaik dilanjutkan 300 mg po/6jam
b. amoxicilin-clavulanic acid 875 mg po/12 jam
c. amoxicilin 500 mg/8jam atau penicillin G 1-2juta unit iv/4-6 jam,
ditambah metronidazol 500 mg po/iv tiap 8-12 jam
d. penicillin G 1,2 juta unit im/12 jam + chloramphenicol 500
mg/6jam.Antibiotika sebaiknya diberikan sampai foto toraks
membaik.
2. Drainase postural dan fisioterapi
Posisi tubuh diatur sedemikian rupa sehingga pus dapat keluar dengan
sendirinya (akibat gaya berat) atau dengan bantuan fisioterapis.

Penatalaksanaan khusus
438
1. Bronkoskopi
Bila pus sukar keluar, maka perlu dilakukan bronkoskopi untuk
membersihkan jalan napas dan menghisap pus.
2. Pembedahan
Bila antibiotika gagal. Abses menjadi kronik, kaviti tetap ada dan
produksi dahak tetap ada sedangkan gejala klinis masih ada setelah terapi
yang memadai selama 6 minggu atau ada sisa jaringan parut luas
sehingga dapat mengganggu faal paru. Hal ini semuanya merupakan
indikasi tindakan bedah.
9. Edukasi Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan
10. Prognosis Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam
Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam
11. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru,
Edisi Ke 2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo, Aru
(eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku Pedoman
Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan Kedua. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya : 27-35.

439
EMFISEMA
SKDI 3A

1. Pengertian Kelainan paru yang ditandai pelebaran permanen abnormal dari saluran
(definisi) napas distal bronkioli terminalis disertai destruksi dinding tanpa fibrosis yang
jelas. Destruksi didefinisikan sebagai pelebaran saluran napas yang tidak
uniform sehingga gambaran asinus dan komponen yang tersusun rapi
terganggu dan mungkin hilang.
2. Anamnesis Sesak napas dengan karakteristik berhubungan dengan aktiviti (dispneu on
effort), bila penyakit tambah berat sudah terasa sesak walau hanya aktivitas
ringan. Batuk dengan dahak tidak banyak
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dijumpai toraks hiperinflasi.
Harus diwaspadai sebab bisa dijumpai pada asma bronkial. Hiperinflasi
menimbulkan barrel chest, suara ketok hipersonor dan suara napas menurun.
Pada palpasi stemfremitus melemah, sela iga melebar.
Pink puffer: gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerehan dan pernapasan Pursed- lips breathing (mulut setengah terkatup
mencucu)
4. Pemeriksaan ▪ Radiologi: Foto toraks : hiperinflasi (diafragma datar dan letak rendah,
Penunjang sinus preniko kostalis tumpul, ruang retrosternal melebar, volume paru
bertambah besar)
▪ Penipisan vaskuler dan hiperlusen
▪ Faal paru. Ada obstruksi, yang ditandai oleh penurunan FEV1, FEV1/FCV,
PEF( peak expiratory flow ) . Hiperinflasi ditunjukkan dengan RV/TLC
meningkat, DLco menurun
▪ Pemeriksaan alfa 1 antitripsin : kadar antitripsin alfa-1 rendah pada
emfisema herediter (emfisema pada usia muda, defisiensi antitripsin alfa-1
jarang ditemukan di Indonesia
5. Kriteria Diagnosis Didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditambah pemeriksaan
penunjang:
6. Diagnosis Emfisema
7. Diagnosis Banding ▪ Pneumonia
▪ Asma bronkial
8. Terapi a. Edukasi
1. menghindari pajanan faktor risiko (merokok)
2. menjelaskan tentang jenis dan perjalanan penyakit.
3. menjelaskan tentang pengobatan dan prognosis dari penyakit
b. Terapi oksigen
Pada penderita dengan hiposemia yaitu PaO2<55mmHg. Pemberian
oksigen konsentrasi rendah 1-3liter/menit secara terus menerus
memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, dan toleransi beban kerja.
c. Bronkodilator
1) Derivat Xantin (aminofiln/theofilin)
2) Golongan beta-2 agonis
3) Antikolinergik (ipratorium bromide)
4) Kortikosteroid
d. Ekspektoran dan Mukolitik
e. Antibiotik
9. Komplikasi 1. Daya tahan tubuh kurang sempurna
2. Tingkat kerusakan paru semakin parah.
3. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
4. Pneumonia
5. Atelaktasis
6. Resiko gagal nafas pada pasien.
10. Prognosis Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam
Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam
440
11. Kepustakaan 1. Amin, Z., Bahar, A.Tuberkulosis Paru: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l,
Simodibroto M, Setioti S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5rh
ed. Jokofio; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam
FKUI,2009
2. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru,
Edisi Ke 2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2011.Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

441
HEMATOTHORAKS
SKDI 3B

1. Pengertian Hematothoraks atau hemothoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura
(definisi) dan dapat disebabkan karena trauma tumpul atau tajam, juga mungkin
merupakan komplikasi dari beberapa penyakit. Hematotoraks dapat bersifat
simptomatik namun dapat juga asimptomatik. Sumber perdarahan berasal dari
darah yang berada pada dinding dada , parenkim paru – paru , jantung atau
pembuluh darah besar umumnya berasal dari arteri interkostalis atau arteri
mamaria interna.
Dapat diklasifikasikan menjadi:
- Hemotorax Kecil, apabila volume kurang dari 300-500 ml
- Hemotorax moderate, apabila volume darah melebihi 500-100 ml.
- Hemotorax besar (large hemotorax), apabila volume darah dalam
rongga pleura lebih dari 1000 ml
- Hemotorax Masif, akumulasi darah dalam rongga pleura dengan
volume lebih dari 1500 m
2. Ananmnesa Nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada, sesak nafas, distres
pernapasan berat, napas pendek, takikardi,hipotensi, pucat, dingin, dan
takipneu anemiasampai syok. Bila penyebab trauma perlu ditanyakan jenis
trauma, mekanisme, waktu terjadi
3. Pemeriksaan Fisik Adanya tanda-tanda shok seperti hipotensi, dan nadi cepat, pucat, akral dingin,
tachycardia, dyspnea, hypoxemia, anxiety (gelisah), cyanosis, anemia, deviasi
trakea ke sisi yang tidak terkena, gerak dan pengembangan rongga dada tidak
sama (paradoxical), penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang
terkena, dullness pada perkusi serta adanya krepitasi saat palpasi.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan penunjang : Chest X-ray
5. Diagnosis Hemothoraks
6. Diagnosis Banding Tension pneumothoraks, hemothoraks masif, dan tamponade jantung
7. Pemeriksaan - Chest x-ray : adanya gambaran hipodense pada rongga pleura di sisi yang
Penunjang terkena dan adanya mediastinum shift.
- CT Scan : diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks yang untuk
evaluasi lokasi clotting (bekuan darah) dan untuk menentukan kuantitas
atau jumlah bekuan darah di rongga pleura.
- USG : USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk
pasien yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
- Nilai BGA : Hipoksemia mungkin disertai hiperkarbia yang menyebabkan
asidosis respiratori. Saturasi O2 arterial mungkin menurun pada awalnya
tetapi biasanya kembali ke normal dalam waktu 24 jam.
- Cek darah lengkap : menurunnya Hb menunjukan jumlah darah yang
hilang pada hemothoraks.
8. Terapi Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan
hemodinamik pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta
udara dari rongga pleura.

Stabilisasi hemodinamik, dengan resusitasi seperti diberikan oksigenasi,


cairan infus, transfusi darah, dilanjutkan pemberian analgetik dan antibiotik.
Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan hemothoraks
adalah mengeluarkan darah dari rongga pleura yang dapat dilakukan dengan
cara:
- Chest tube (Tube thoracostomy drainage)
- Thoracotomy : bila dijumpai perdarahan massif atau inisial jumlah
produksi darah di atas 1500 cc, bila produksi darah di atas 5
cc/kgBB/jam atau bila produksi darah 3-5 cc/kgBB selama 3 jam

442
berturut-turut.
- Trombolitik agen
9. Edukasi Penyebab, rencana pengobatan dan perawatan serta evaluasi
10. Prognosis Secara umum prognosis baik. Kematian biasanya disebabkan oleh empiema
(pada 5% pasien) atau fibrothoraks ([ada 1%kasus). Pada nontrauma,
perjalanan pasien bergantung kepada penyebab yang mendasarinya
11. Kepustakaan 1. Henry MM, Thompson, JN.2012. Hemothorax. Dalam: Clinical surgery
Edisi ke-3. Philadelpia: Elsevier Saunders
2. Broderick, Stephen R. 2013. Hemothorax etiology, diagnosis, and
management. Division of Cardiothoracic Surgery, Department of Surgery,
Washington University School of Medicine, USA
3. Ajmal S, Khan M. A, Jadoon H, Malik S. A. 2007. Management protocol
of multiple fractures at Pakistan Institute of Medical sciences, Islamabad,
Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad. Volume 19, issue 3. Diakses
melalui: http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/19-3/13%20Samira%
20Ajmal.pdf
4. May J, Ades A. 2013. Porous diaphragm syndrome: haemothorax
secondary to haemoperitoneum following laparoscopic hysterectomy.
BMJ Case Rep [internet] diakses melalui: http://casereports.bmj.com

443
INFLUENZA
SKDI 4A

1. Pengertian Influenza adalah infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus influenza, dan
(definisi) menyebar dengan mudah dari orang ke orang. Virus ini beredar di seluruh
dunia dan dapat mempengaruhi orang tanpa memandang usia dan jenis
kelamin. Flu sendiri merupakan suatu penyakit yang self-limiting, dimana bila
tidak terjadi komplikasi dengan penyakit lain, maka setelah 4-7 hari penyakit
akan sembuh sendiri. Daya tahan tubuh seseorang akan sangat berpengaruh
terhadap berat ringannya penyakit tersebut. Daya tahan tubuh dipengaruhi
oleh pola hidup seseorang
Penyebab influenza adalah virus RNA yang termasuk dalam keluarga
Orthomyxoviridae yang dapat menyerang burung, mamalia termasuk manusia.
Virus ditularkan melalui air liur terinfeksi yang keluar pada saat penderita
batuk, bersin atau melalui kontak langsung dengan sekresi (ludah, air liur,
ingus) penderita. Hal ini dikenal dengan air borne transmission.
Dikenal tiga jenis influenza, yakni tipe A, B, dan C. Virus A merupakan
patogen manusia yang paling virulen di antara ketiga tipe influenza dan
menimbulkan penyakit paling berat, yang paling terkenal di Indonesia adalah
flu babi (H1N1) dan flu burung (H5N1)
2. Ananmnesa Gejala influenza biasanya diawali dengan demam tiba-tiba, batuk (biasanya
kering), sakit kepala, nyeri otot, lemas, kelelahan dan hidung berair. Pada
anak dengan influenza B dapat menjadi lebih parah dengan terjadinya diare
serta nyeri abdomen. Kebanyakan orang dapat sembuh dari gejala-gejala ini
dalam waktu kurang lebih satu minggu tanpa membutuhkan perawatan medis
yang serius.
Waktu inkubasi yaitu dari saat mulai terpapar virus sampai munculnya gejala
kurang lebih dua hari. Pada masa inkubasi virus tubuh belum merasakan
gejala apapun. Setelah masa inkubasi gejala-gejala mulai dirasakan dan
berlangsung terus-menerus kurang lebih selama satu minggu. Hal ini akan
memicu kerja dari sistem imun tubuh yang kemudian setelah kurang lebih satu
minggu tubuh akan mengalami pemulihan hingga akhirnya benar-benar
sembuh dari influenza.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik tidak dapat ditemukan tanda-tanda karakteristik
kecuali hiperemia ringan sampai berat pada selaput lendir
tenggorok. Sebagian besar pasien akan memperlihatkan gejala awal berupa
demam tinggi (biasanya lebih dari 38oC). Pada pasien usia lanjut harus
dipastikan apakah influenza juga menyerang paru-paru. Pada keadaan
tersebut, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bunyi napas yang
abnormal.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Laboratorium: darah perifer lengkap, serologi virus
• Kultur virus
5. Diagnosis Influenza (tipe A, B, atau C)
6. Diagnosis Banding Infeksi virus lainnya
Salesma
7. Pemeriksaan Darah perifer lengkap: tidak ada temuan spesifik.
Penunjang Kultur virus.
Deteksi antigen: bertujuan menemukan virus influenza intraseluler di
spesimen penderita.
Deteksi antibodi spesifik: Peningkatan titer sebesar empat kali atau lebih dapat
mendiagnosis influenza A.
RT-PCR
8. Terapi Orang yang menderita flu disarankan banyak beristirahat, meminum banyak
cairan, dan bila perlu mengkonsumsi obat-obatan untuk meredakan gejala

444
yang mengganggu.
Tindakan yang dianjurkan untuk meringankan gejala flu tanpa pengobatan
meliputi antara lain :
a. Beristirahat 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik berlebihan
b. Meningkatkan gizi makanan. Makanan dengan kalori dan protein yang
tinggi akan menambah daya tahan tahan tubuh. Makan buah-buahan
segar yang banyak mengandung vitamin.
c. Banyak minum air, teh, sari buah akan mengurangi rasa kering di
tenggorokan, mengencerkan dahak dan membantu menurunkan demam.
d. Sering-sering berkumur dengan air garam untuk mengurangi rasa nyeri
di tenggorokan
Beberapa obat yang dapat digunakan adalah penurun panas pada saat terjadi
demam (antipiretik), penghilang sakit untuk meredakan nyeri (analgesik) serta
obat batuk jika terjadi batuk (antitusif/ekspektoran)
9. Edukasi Ada beberapa kebiasaan yang disarankan upaya pencegahan:
a. Mencuci tangan
b. Jangan menutup bersin dengan tangan
c. Jangan menyentuh muka
d. Minum banyak air
e. Menghirup udara segar
f. Olahraga teratur
g. Relaksasi (upaya mengaktifkan sistem imunitas)
Kekebalan dapat diperoleh melalui vaksinasi. Vaksin influenza mengandung
virus subtipe A dan B saja karena subtipe C tidak berbahaya. Diberikan 0,5 ml
subkutan atau intramuskuler.
10. Prognosis Prognosis pada umumnya baik, penyakit yang tanpa komplikasi berlangsung
1-7 hari. Kematian terbanyak oleh karena infeksi bakteri sekunder. Bila panas
menetap lebih dari 4 hari dan leukosit > 10.000/ul, biasanya didapatkan
infeksi bakteri sekunder
11. Kepustakaan 1. Abelson, B. Flu Shots, Antibiotics, & Your Immune System. 2009.
2. CDC. Flu Symptoms & Severity, (online), (http://www.cdc.gov/flu/.)
2011.
3. Prabu, B.D.R dan Oswani, J. Penyakit – Penyakit Infeksi Umum, Jilid 2,
Widya Medika, Jakarta, 1996.
4. Spikler, A. Influenza, (online),
(http://www.csfph.iastate.edu/pdfs/influenza.pdf), 2009.
5. WHO. WHO Fact Sheets: influenza seasonal (online),
(www.who.int/mediacenter), 2009

445
MULTI DRUG RESISTANT TUBERCULOSIS (MDR TB)
SKDI 2

1. Pengertian ◆ TB resistan Obat adalah TB yang disebabkan oleh


(definisi) kuman Mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami kekebalan
terhadap OAT.
◆ Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) atau TB MDR adalah TB
resistan Obat terhadap minimal 2 (dua) obat anti TB yang paling poten
yaitu INH dan Rifampisin secara bersama sama atau disertai resisten
terhadap obat anti TB lini pertama lainnya seperti etambutol,
streptomisin dan pirazinamid.
◆ Extensively Drug Resistant Tuberculosis atau XDR TB adalah TB MDR
disertai dengan kekebalan terhadap obat anti TB lini kedua yaitu
golongan fluorokuinolon dan setidaknya satu obat anti TB lini kedua
suntikan seperti kanamisin, amikasin atau kapreomisin.

Mono-resistant: Resisten terhadap satu obat


Poly-resistant: Resisten terhadap lebih dari satu obat, tapi tidak terhadap
kombinasi isoniazid dan rifampisin
Multidrug-resistant (MDR): Resisten terhadap paling sedikit isoniazid dan
rifampisin
Extensively drug-resistant (XDR): MDR ditambah resistensi terhadap
fluoroquinolon dan paling tidak 1 dari 3 obat suntik (amikasin, kanamisin,
kapreomisin)
2. Ananmnesa Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan
salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini :
a. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang gagal (Kasus kronik)
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
c. Pasien TB yang pernah diobati pengobatan TB Non DOTS
d. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
e. Pasien TB pengbatan kategori 1 yang tidak konversi setelah pemberian
sisipan.
f. Pasien TB kambuh
g. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default
h. Suspek TB yang kontak erat dengan pasien TB-MDR
i. Pasien koinfeksi TB dan HIV.
3. Pemeriksaan Fisik Kelainan yang didapat tergantung luas kelainan jaringan paru.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tandatanda penarikan: paru,
diafragma dan mediastinum
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.Tuberkulosis
• Rontgen toraks
5. Diagnosis MDR TB
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan • Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis untuk OAT
Penunjang lini kedua bersamaan dengan OAT lini pertama:
• Kasus TB kronis
• Setiap pasien yang pernah menjalani pengobatan TB menggunakan
OAT lini kedua baik di fasyankes pemerintah maupun swasta (non
DOTS)
• Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan kasus TB
XDR konfirmasi.
• Pemeriksaan radiologis (rontgen thoraks)

446
Pemeriksaan radiologis (rontgen thoraks):
Cavitas multiple dan gambaran dari kekronisan seperti Bronchiectasi dan
granuloma berkalsifikasi
Dapat dijumpai gambaran konsolidasi tanpa kavitas, effusi pleura atau
gambaran konsolidasi dengan cavitas dan secara umum menunjukkan
gambaran reaktivasi penyakit
8. Terapi Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan terstandar, yang pada
permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR
(standarized treatment).
Adapun paduan yang akan diberikan adalah :

Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E) / Eto – Lfx – Cs – Z- (E)

a. Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR


secara laboratoris.
b. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan
lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi
biakan. Apabila hasil pemeriksaan biakan bulan ke-8 belum terjadi
konversi maka disebut gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah
pemberian padauan OAT tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap
awal.
c. Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resisten.
d. Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada:
Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid Test,
setelah ada konfirmasi hasil uji resistensi M. tuberculosisdengan
cara konvensional, paduan OAT akan disesuaikan.
Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas
sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi, misalnya :
pasien sudah pernah mendapat kuinolon pada pengobatan TB
sebelumnya, maka diberikan levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah
terbukti resisten terhadap levofloksasin maka paduan pengobatan
ditambah PAS dan levofloxacin diganti dengan moksifloksasin, hal
tersebut dilakukan dengan diganti dengan pertimbangan dan
persetujuan dari tim ahli klinis atau tim ad hoc.
Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah
dapat diidentifikasi sebagai penyebabnya.
Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah
konversi biakan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi
umum, batuk, produksi dahak, demam, penurunan berat badan.
e. Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh tim ahli
klinis.
f. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar
disesuaikan sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – PAS – (E)/Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

g. Jika terbukti resisten terhadap kuinolon, maka paduan standar


disesuaikan sebagai berikut:

Km – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)/MFx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)

Jika moxifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan


levofloksasin dengan dosis tinggi. Dilakukan pemantauan ketat keadaan
jantung dan waspada terhadap kemungkinan tendinitis/ ruput tendon bila
menggunakan levofloksasin dosis tinggi.

h. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau

447
pasien TB-MDR/HIV memerlukan penatalaksanaan khusus
9. Edukasi -
10. Prognosis Dubia ad malam
11. Kepustakaan 1. Departemen Kesehatan: Draft Petunjuk Teknis Penanggulangan TB
MDR, Buku 1 and Buku 2.
2. Tropical Diseases Foundation: Management of Drug
Resistant Tuberculosis, Training for Healt Staff in the
Philippines: Module-C, Treatment Cases of MDR TB, 306
3. PMDT Training for Indonesian Trainees, Manila 23 November- 15
December 2008.
4. WHO, Guidelines for Programmatic Management of DrugsResistant
Tuberculosis: Emergency Update 2008: Case Finding Strategy, p 19-
35

448
PNEUMONIA ASPIRASI
SKDI 3B

1. Pengertian (definisi) Pneumonia aspirasi (PA) adalah pneumonia yag terjadi akibat terbawanya
bahan yang ada di orofaring pada saat respirasi ke saluran napas bawah dan
dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru.
2. Ananmnesa Manifestasi klinis PA bervariasi dari ringan sampai berat dengan syok sepsis
atau gagal napas. Faktor resiko gangguan menelan dapat diketahui ketika
adanya sisa makanan di mulut saat menelan, rasa nyeri saat menelan, seperti
ada yang menyangkut di tenggorok, batuk dan tersedak saat makan dan
minum,
3. Pemeriksaan Fisik Adanya peningkatan suhu tubuh, peningkatan laju pernapasan (takipnu),
penurunan tekanan darah (hipotensi), denyut jantung yang capat (takikardi)
disertai penurunan saturasi oksigen. Pada pemeriksaan paru yang sakit,
terlihat dada tertinggal, stem fremitus meningkat, perkusi ditemukan redup,
pernapasan bronkial, ronki basah halus, kadang-kadang terdengar bising
gesek pleura (pleural friction rub).
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Pneumonia aspirasi
6. Diagnosis Banding Bronkitis, Faringitis
7. Pemeriksaan Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan jumlah leukosit meningkat, tapi
Penunjang pada 20% penderita tidak terdapat leukositosis. Hitung jenis leukosit “shift
to the left”.LED selalu naik.bilirubin direct dan indirect dapat meningkat.
Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokabia, pada stadium
lanjut ditemukan asidosis respiratorik.
Pemeriksaan radiologis dapat berupa infiltrat pada bagian thoraks yang
lokasinya tergantung posisi saat pasien mengalami aspirasi.
8. Terapi Pemberian antibiotik secara empiris. Golongan beta laktam (penisili,
sefalosporin, karbanepem dan monobaktam) merupakan antibiotika yang
dikenal luas.
Pasien dengan dahak purulen tambahkan clindamycin dan carbanepem.
Tidak ada patokan pasti lamanya terapi. AB diberikan hingga kondisi pasien
baik.
9. Edukasi Mencegah terjadinya infeksi, edukasi untuk higiene oral, pengaturan diet.
10. Prognosis Angka mortalitis pneuminitis tanpa komplikasi adalah sebesar 5%, dengan
komplikasi empiema 20%. Pasien pneuminia aspirasi yang berusia tua,
sering disertai ARDS dengan mortalitas sebesar 30-62% dan sindroma
Mendelson berat tingkat mortalitasnya dapat menjapai 70%
11. Kepustakaan 1. Varkey AB. Overiew Of Aspiration Pneumonia, Aspiration Pneumonia.
Medscape Reference. Cited:
http/emedicine.medscape.com/article/296198-overview.
2. Medline Plus. Aspiration Pneumonia. 2012.
http:/.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000121/htm
3. Shigemitsu, Afshar K. Aspiration pneumoni; Under-diagnosed and
Under-Treated. Curr Opin Pulm Med 2007;13(3):192-198
4. Daoud E, Guzman J. Are antibiotics indicated for the treatment of
aspiration pneumonia. Clec Clinic J Med 2010;77(9): 573-576
5. Conte PL et al. Pneumonia, aspiration. E medicine. 2005: April
7.http://www.emedicine.com/EMERG/topic464.htm.

449
PNEUMOTHORAX
SKDI 3A

1. Pengertian Pneumotoraks adalah kumpulan udara atau gas dalam rongga pleura dada
(definisi) antara paru-paru dan dinding dada. Hal ini dapat terjadi secara spontan pada
orang tanpa kondisi paru-paru kronis (primer) atau pada mereka dengan
penyakit paru-paru (sekunder), dan banyak pneumotoraks terjadi setelah
trauma fisik dada, cedera, atau sebagai komplikasi dari perawatan medis.
2. Ananmnesa Nyeri dada yang biasanya mendadak. Rasa sakit ini tajam dan dapat
menyebabkan perasaan sesak di dada. Sesak nafas, denyut jantung yang
cepat, pernafasan cepat, batuk, dan kelelahan.
3. Pemeriksaan Fisik Bunyi napas yang terdengar dengan stetoskop berkurang pada sisi yang
terkena. Perkusi dada terdengar hipersonor (bernada tinggi), dan resonansi
vokal dan taktil fremitus menurun.
Tension pneumothorox ditandai dengan bernapas cepat, sianosis, hipotensi
dan kebingungan. Sisi dada yang terkena tampak lebih mengembang dan
menunjukkan gerakan yang menurun, dibanding sisi lainnya. Kondisi yang
parah, dapat menyebabkan tingkat pernapasan yang menurun tajam, hingga
syok dan koma.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Laboratorium: darah tepi dan AGD
4. Rontgen Toraks
5. Diagnosis Pneumothorax
6. Diagnosis Banding Bullae paru
7. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Penunjang Computed Tomogrophy Scon
Bronkoskopi
Thoracoscopy
8. Terapi Konservatif
Pneumotoraks spontan yang kecil (perkiraan ukuran < 20%), tidak ada sesak
napas, dan tidak ada penyakit paru-paru yang mendasari, tidak selalu
memerlukan pengobatan karena umumnya menghilang secara spontan.
Observasi lebih lanjut dapat dilakukan dengan rawat jalan, pemeriksaan
Rontgen ulang dapat dilakukan untuk memastikan perbaikan.

Water Seal Drainage (WSD)


Selang dimasukkan melalui bagian dada ke ruang pleura. Hal ini dilakukan
untuk menghilangkan udara (pneumotoraks) atau cairan (efusi pleura, darah),
atau nanah (empiema) dari ruang intrathorax
9. Edukasi Mencegah terjadinya infeksi, perdarahan atau komplikasi
10. Prognosis Prognosis pneumotoraks tergantung pada tingkat dan jenis pneumotoraks.
Pneumotoraks spontan kecil umumnya akan hilang dengan sendirinya tanpa
pengobatan. Tingkat kekambuhan untuk kedua pneumotoraks primer dan
sekunder adalah sekitar 40%; kambuh paling banyak terjadi dalam waktu 1,5
sampai dua tahun.hanya 38%.
11. Kepustakaan 1. Baumann MH, Strange C, Heffner JE, et al. (February 2001). Management
of spontaneous pneumothorax: an American
2. Keel M, Meier C (December 2007). Chest injuries - what is new?.Curr.
Opin. Crit. Care 13 (6):674-9..
3. Lee C, Revell M, Porter K, Steyn R (March 2007). The prehospital
management of chest injuries: a consensus statement. Emerg.
4. Med. J. 24 (3):220-a Leigh-Smith S, Harris T (]anuary 2005). Tension
pneumothorax--time for a rethink?. Emerg. Med. J.22 (1):8-1,6.
5. MacDuff A, Arnold A,Harvey J, BTS Pleural Disease Guideline Group
(December 2010). Management of spontaneous pneumothorax: British
Thoracic Society pleural disease guideline 2010. Thorax 65 (8)
450
6. Marx, John (2010). Rosen>s emergency medicine: concepts and clinical
practice 7th edition. Philadelphia
7. Menko FH, van Steensel MA, Giraud S, et al. (December 2009). Birt-
Hogg-Dub6 syndrome: diagnosis and management.

451
SEVERE ACUTE RESPIRATORY SYNDROME (SARS)
SKDI 3B

1. Pengertian Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit akibat virus dari
(definisi) family Coronaviridae (SARS-CoV) yang menyerang sistem pernapasan. Strain
virus SARS-CoV berhasil diisolasi dari cairan nasofaring pasien menunjukkan
kesamaan pada beberapa pasien SARS di negara lain. Penularan SARS terjadi
antar manusia melalui droplet yang tersebar melalui bersin atau batuk. Orang yang
paling berisiko adalah petugas kesehatan yang menangani pasisen dengan SARS.
2. Anamnesis Manifestasi SARS umumnya seperti flu yang berlanjut menjadi pneumonia, gagal
napas, hingga kematian. Angka mortalitas SARS lebih tinggi daripada influenza
atau penyakit pernapasan infeksius lainnya.
Tanda dan gejala muncul dalam bentuk pola tertentu. Gejala prodormal stage 1
tampak seperti gejala flu pada hari 2-7 setelah inkubasi dan berlangsung selama 3-
7 hari. Gejala ini ditunjukkan dengan meningkatnya viral load. Gejala tersebut
antara lain:
• Demam (suhu diatas 38°C)
• Fatigue
• Sakit kepala
• Menggigil
• Nyeri otot
• Malaise
• Anorexia
• Gejala lainnya yang tidak khas, yaitu: Batuk berdahak, nyeri tenggorokan,
coryza, mual-muntah, pusing dan diare.
Pada stage 2 gejala muncul dari saluran respirasi bagian bawah, yaitu:
• Batuk kering
• Sesak napas
• Hipoksemia
• Gagal napas hingga membutuhkan ventilator
3. Pemeriksaan Dari pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda-tanda yang bervariasi dari ringan
Fisik hingga berat. Umumnya perburukan dapat terjadi dengan cepat. Berdasarkan
pemeriksaan fisik akan ditemukan keadaan berikut ini:
• Keadaan umum bervariasi, dari sakit ringan hingga berat
• Kesadaran: dapat compos mentis, hingga delirium
• Tanda vital: ditemukan demam dengan gejala pernapasan seperti salah satu dari
berikut ini; hipoksia, batuk, atau dispneu.

4. Kriteria Pemeriksaan darah rutin dan kultur darah: Data laboratorium yang berkaitan dengan
Diagnosis SARS adalah:
• limfopenia sedang, leukopenia dan trombositopenia. Jika parah, sel darah putih
dapat mencapai nilai dibawah 3,5x106/mm3 dan limfopenia kurang dari
1x103/mm3.
• Adanya hiponatremia dan hipokalemia ringan
• Peningkatan biomarker LDH, ALT, dan hepatic transaminase
• Peningkatan kreatin kinase
• Lakukan pemeriksaan kultur sputum gram staining untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
• Pemeriksaan serum antibodi SARS-CoV menunjukkan hasil positif berdasarkan
kriteria CDC, yaitu:
1. Serum antibodi SARS-CoV (+) pada satu kali pemeriksaan
2. Peningkatan titer antibodi SARS-CoV sebesar 4x diantara fase akut dan
konvalesen.
3. Hasil pemeriksaan pada fase akut bisa menunjukkan false negatif.
4. Deteksi dan Isolasi SARS-CoV RNA dari spesimen klinik dengan
menggunakan PCR/ kultur virus. Spesimen tersebut diambil dalam 2 waktu
452
berbeda dan 2 sumber berbeda.
Pemeriksaan radiologi thorax pada SARS: Tampak infiltrat interstitial pada awal
perjalanan penyakit. Ketika penyakit semakin progresif, akan tampak gambaran
opasifikasi yang meluas yang muncul dari bagian basal paru.
5. Diagnosis Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
6. Diagnosis ▪ Pneumonia aspirasi, jiroveci, fungal, bacterial ataupun viral.
Banding ▪ Benda asing di saluran napas
▪ Influenza atau parainfluenza
▪ ISPA
▪ Rhinovirus
▪ COPD
7. Terapi Tindakan pertama yang diberikan pada pengidap penyakit SARS adalah:
1. Pasien harus berada dalam ruang isolasi. Jika perlu, harus terdapat ventilator di
ruangan tersebut.
2. Perhatikan tanda vital: Lihat keadaan umum, ukur suhu, nadi, pernapasan, dan
tekanandarah. Cari tanda-tanda dyspneu atau ancaman gagalnapas. Pantau
saturasi oksigen.
Obat-obatan:
1. Kortikosteroid: Diberikan pada tata laksana awal. Pada stage 2 dapat diberikan
dengan cara IV. Kortikosteroid berguna untuk menekan reaktivitas sitokin yang
menyebabkan kerusakan pada paru.
2. Antivirus: Antivirus yang paling banyak digunakan adalah ribavirin, meskipun
demikian, belum ada penelitian yang menampakkan efikasi dari ribavirin dalam
tatalaksana SARS.
3. Protease inhibitor: Berikan lopinavir/ritonavir untuk mendapatkan efek sinergik
dengan ribavirin.
Interferon:
INF tipe 1 berfungsi dalam menghambat virus DNA dan RNA dan efek ini telah
terbukti secara in vitro.
8. Pencegahan Vaksin SARS-CoV diperoleh dari protein S (Spike) pada nukleo kapsid virus yang
direkombinasikan dengan Delta inulin adjuvant untuk mencegah eosinofilik
imunopatologi akibat vaksin itu sendiri.
9. Prognosis Angka mortalitas bervariasi tergantung usia. Pada orang yang lebih tua (diatas 65
tahun), prognosis cenderung lebih buruk (angka mortalitas 50%). Faktor risiko
lainnya yang memperburuk adalah adanya infeksi hepatitis B kronik dan adannya
temuan laboratoris limfopenia, leukositosis, peningkatan LDH, dan tingginya viral
load SARS-CoV. Adanya komorbid seperti penyakit metabolik juga membuat
prognosis menjadi lebih buruk.
10. Kepustakaan 1. Faustin, O., Jun 2016. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Medscape,
Drug&Disease, Infectious Disease. Diperoleh dari
https://emedicine.medscape.com/article/237755-overview. Tanggal 08/12/2017
2. Department of Communicable Disease Surveillance and Response, WHO, 2004.
WHO Guidelines for the global surveillance of severe acute respiratory
syndrome (SARS). Diperoleh dari
http://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_CDS_CSR_ARO_2004_1
/en/. Tanggal 08/12/2017
3. World Health Organization. 2003. Alert, verification and public helath
management of SARS in the post-outbreak period. Diperoleh dari
http://www.who.int/csr/sars/postutbreak/en/. Tanggal 08/12/2017

453
TRACHEITIS
SKDI

1. Pengertian Trakeitis adalah infeksi akut saluran pernapasan atas, tidak melibatkan
(definisi) epiglotis, tetapi seperti epiglotitis dan croup, trakeitis bakteri mampu
menyebabakan obstruksi jalan napas.
2. Anamnesis Khasnya pada anak timbul batuk keras dan kasar, tampak sebagai bagian dari
laringo trakeo bronkitis. Demam tinggi dan “toksisitas” dengan kegawatan
pernapasan dapat terjadi segera atau sesudah beberapa hari dari perbaikan
yang tampak. Pada trakeitis dapat juga terjadi odinofagi. Patologi utama yang
tampak adalah pembengkakan mukosa pada setinggi kartilago krikoid, yang
dikomplikasi oleh sekresi purulen, kental banyak sekali.
3. Pemeriksaan Fisik Suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan frekuensi napas yang
sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stres
pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan fisik yang ditem:
• Stridor inspiratoir (dengan atau tanpa expiratory stridor)
• Bark like or brassy cough
• Hoarseness
• Respiratory distress, dengan berbagai keadaan:
o Retraksi
o Dispnea
o Nasal flaring
o Sianosis
• Sore throat, odinofagia
• Disfonia
• No drooling
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Laboratorium: darah lengkap
• Kultur dan resistensi serta pewarnaan gram sekret trakea dan darah.
5. Diagnosis Tracheitis
6. Diagnosis Banding Croup, Difteri, Epiglotitis
7. Pemeriksaan Ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi oleh PMN.
Penunjang
8. Terapi Tatalaksana tracheitis bakteri adalah sebagai berikut:
• Airway
o Patensi jalan nafas
o Pasang NRM.
• Intravena
o Antibiotik cephalosporin generasi III (eg, cefotaxime,
ceftriaxone) dan penicillinase-resistant penicillin (eg, oxacillin,
nafcillin). Clindamycin (40 mg/kg/d intravenously [IV], terbagi
setiap 8 jam) dapat digunakan selain penicillinase-resistant
penicillin against community acquired–methicillin-resistant S
aureus (CA-MRSA) pada tempat yang memiliki angka kejadian
resistensi terhadap CA-MRSA dan clindamycin yang rendah.
o Vancomycin (45 mg/kg/d IV, terbagi setiap 8 jam), dengan atau
tanpa clindamycin, sebaiknya dimulai pada pasien yang keadaan
berat dan adanya keterlibatan multiorgan atau jika prevalensi
MRSA pada komunitas tersebut.
9. Edukasi Mencegah terjadinya infeksi, obstruksi jalan napas, sepsis.
10. Prognosis Prognosis untuk kebanyakan penderita sangat baik. Kebanyakan penderita
menjadi afebris dalam 2-3 hari pemberian antimikroba yang tepat, tetapi
rawat-inap yang lama di rumah sakit mungkin diperlukan. Dengan
berkurangnya edema mukosa dan sekresi purulen, ekstubasi dapat dilakukan
454
dengan aman, dan penderita dapat diamati secara cermat sementara terapi
antibiotik dan oksigen diteruskan. Rata-rata lama rawat inap sekitar 12 hari.
11. Kepustakaan 1. Huang YL, Peng CC, Chiu NC, et al. Bacterial tracheitis in pediatrics: 12
year experience at a medical center in Taiwan. Pediatr Int. 2009 Feb.
51(1):110-3.
2. Johnson D. Croup. Clin Evid (Online). 2009 Mar 10. 2009.
3. Holmes A. Croup: What It Is and How to Treat It. US Pharm. 2013.
38(7):47-50.
4. Miranda AD, Valdez TA, Pereira KD. Bacterial tracheitis: a varied entity.
Pediatr Emerg Care. 2011 Oct. 27(10):950-3.
5. Zoorob R, Sidani M, Murray J. Croup: an overview. Am Fam Physician.
2011 May 1. 83(9):1067-73. [Medline].
6. Tan AK, Manoukian JJ. Hospitalized croup (bacterial and viral): the role
of rigid endoscopy. J Otolaryngol. 1992 Feb. 21(1):48-53.
7. Dawood FS, Chaves SS, Pérez A, Reingold A, Meek J, Farley MM, et al.
Complications and associated bacterial coinfections among children
hospitalized with seasonal or pandemic influenza, United States, 2003-
2010. J Infect Dis. 2014 Mar 1. 209(5):686-94.

455
REUMATOLOGI

456
ARTRITIS LUPUS
SKDI 3A

1. Pengertian Keradangan pada sendi yang non erosif, melibatkan dua atau lebih sendi
(definisi) perifer yang ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusi sebagai salah satu
manifestasi lupus eritematosus pada organ muskuloskeletal.
2. Anamnesis Gejala sistemik penyakit otoimun: demam, malaise dan penurunan nafsu
makan
Nyeri sendi perifer (bahu, siku, pergelangan tangan, lutut dan pergelangan
kaki).
Dengan atau tanpa pembengkakan sendi
Nyeri sendi sering berpindah-berpindah.
Seringkali mendahului gejala pada organ lain sebagai manifestasi sistemik
lupus eritematosus.
3. Pemeriksaan Fisik • Pemeriksaan umum
o Demam
o Malaise
o Penurunan nafsu makan
o Manifestasi lupus eritematosus pada organ lain
▪ Kulit dan mukosa: ruam kemerahan, ruam diskoid,
fotosensitif, alopesia non scaring dan oral atau nasal ulcer.
▪ Ginjal: hematuria
▪ Hematologi: pucat, perdarahan gusi atau kulit
▪ Neuropsikiatrik: kejang, penurunan kesadaran dan tanda-
tanda psikosis
▪ Kardiopulmonal: tanda-tanda efusi pleura dan efusi perikard.
• Pemeriksaan lokalis sendi
o Look: tidak ada deformitas, dengan atau tanpa pembengkakan
dan bersifat intermiten. Kadang-kadang tampak kemerahan
o Feel: nyeri tekan dan terasa hangat.
o Move: gerakan aktif dan pasif sedikit terbatas karena kekakuan
ringan.
4. Kriteria Diagnosis Kriteria ARA 1997
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitifitas
4. Ulkus mulut
5. Artritis
6. Serositis (efusi pleura atau perkarditis)
7. Gangguan renal
8. Gangguan neurologi
9. Gangguan hematologi
10. Gangguan imunologi
11. Antibodi antinuklear (ANA) positf
Interpretasi : hasil positif bila terpenuhi 4 dari 11 kriteria

Atau bisa juga menggunakan kriteria systemic lupus international


colaborating clinic (SLICC) ACR tahun 2012:
A. Kriteria klinis
1. Lupus kutaneus akut
2. Lupus kutaneus kronik
3. Oral atau nasal ulcer
4. Non scarring alopecia
5. Artritis
6. Serositis
7. Renal
8. Neurologic
457
9. Anemia hemolitik
10. Lekopenia
11. Trombositopenia (<100.000/mm3)
B. Kriteria imunologis
1. ANA
2. Anti ds DNA
3. Anti Sm
4. Antibodi antiphospholipid
5. Komplemen rendah (C3, C4)
6. Coomb tes direct positif, pada kondisi tidak didapatkan gejala
anemia hemolitik (tidak dihitung bila kriteria klinis terdapat
anemia hemolitik)
Interpretasi : hasil positif bila memenuhi 4 kriteria (minimal 1 kriteria klinis
dan 1 kriteria imunologis).
5. Diagnosis Diagnosis ditegakan apabila memenuhi 4 dari 11 kriteria diatas yang terjadi
bersamaan atau dengan tenggang waktu. Atau menggunakan kriteri SLICC,
apabila memenuhi minimal 4 kriteria diatas dan salah satunya harus ada
kriteria klinis atau imunologis
6. Diagnosis Banding Arthritis rheumatoid
Reactive arthritis
Demam rematik
7. Pemeriksaan • Laboratorium: darah perifer lengkap, LED dan atau CRP, gula darah
Penunjang sewaktu, ureum, kreatinin, ANA , anti dsDNA, C3, C4, urin lengkap,
comb tes direk.
• Rontgen thoraks
• EKG
• Ekokardiografi
8. Terapi Ringan:
• Klorokuin 4 mg/kgbb/hari (250-500 mg)
• OAINS: sodium diklofenak 2-3 x 50-100 mg, meloksikam 1 x 7,7-15 mg,
ibuprofen 3 x 400-800 mg.
• Kortikosteroid dosis rendah: prednisone <10 mg/hari atau yang setara
• Kortikosteroid topical untuk mengatasi ruam kulit terutama preparat
potensi ringan.
• Tabir surya topical
Sedang:
• Metilprednison 1 gr/hari iv selama 3 hari,lalu prednisone 1-1,5
mg/kgbb/hari selama 6 minggu.
• Azatioprin 2 mg/kgbb/hari atau MMF 2 x 500-1000 mg/hr.
• Terapi lain seperti pada kondisi ringan.
Berat:
• Imunosupresif seperti siklofosfamid 500-1000 mg/m2 LPB, sebulan
sekali selama 6 bulan, kemudian tiap 3 bulan sekali sampai 2 tahun.
• Imunosupresif lain seperti azatioprin atau siklosporin atau MMF.
9. Edukasi • Proses penyakit dan komplikasi
• Upaya pengobatan
• Dukungan psikologis dan moral untuk pasien dan keluarga
• Tetap control rutin walaupun ada perbaikan klinis.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : bonam
11. Kepustakaan 1. Buku ajar Ilmu penyakit Dalam ed V tahun 2009
2. Primer on the rheumatic disease 13rd ed. tahun 2008
3. Dubois’ lupus erythematosus and related disorder, ed. 8th . 2013
4. Diagnosis dan pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

458
ARTRITIS SEPTIK
SKDI 2

1. Pengertian Artritis septik adalah infeksi pada sendi, yang umumnya disebabkan oleh
(definisi) bakteri gonokokal maupun nongonokokal. Penyakit ini disebut juga artritis
bakterialis, artritis supuratif, atau artritis infeksiosa. Penyebab nongonokokal
tersering adalah Staphylococcus aureus, diikuti oleh Streptococcus sp. Selain
itu, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram
negatif paling sering ditemukan pada dewasa.
2. Anamnesis • Keluhan Utama: nyeri sendi akut, nyeri tekan, hangat, gerakan terbatas,
gangguan fungsi. Pada 90% pasien umumnya hanya terkena satu sendi,
yaitu sendi lutut. Lokasi lainnya dapat luga terjadi pada sendi panggul,
bahu, pergelangan tangan atau siku meskipun lebih jarang. Selain itu,
keluhan demam ditemukan pada rentang suhu tubuh 38.3°C-38.9°C (101°-
102°F), namun dapat pula ditemukan suhu tubuh yang lebih tinggi pada
keadaan, seperti: artritis reumatoid, insufisiensi renal atau hepatik, dan
kondisi yang membutuhkan terapi imunosupresif.
• Riwayat Penyakit Dahulu: prostesis sendi, injeksi intra-artikulal trauma
sendi
3. Pemeriksaan Fisik Demam pada sepertiga pasien, pemeriksaan sendi yang terlibat: hangat, merah
dan bengkak, Sebagian besar kasus mengenai 1 sendi (80%-90%).
4. Penunjang • Evaluasi cairan Sinovial:
o Dapat ditemukan cairan sinovial yang keruh, serosanguinus, atau
purulen.
o Jumlah sel dan diferensiasi
o Jumlah sel leukosit, yang berkisar 100,000/L (50,000-250,000/L),
dengan >90% neutrofil, merupakan karakterisitik infeksi bakteri akut.
Pada Crystal-induced, reumatoid, dan inflamasi artritis lainnya
biasanya <30,000-50,000 sel/L. Sedangkan, hitung sel 10,000-
30,000/L,50-70% neutrofil dan sisanya limfosit, merupakan gambaran
yang paling umum dari infeksi mikobakterial dan infeksi fungal.
o Pewarnaan gram dan kultur untuk antibiotik
o Organisme yang ditemukan pada infeksi dengan S. aureus dan
streptokokus hamper mendekati tiga per empat kasus dan sisa 30-50%
infeksi disebabkan oleh gram negatif bakteri lain. Kultur cairan
sinovial positif pada >90% kasus.
o Mikroskopi polarisasi untuk mengeksklusi kristal artritis.
• Pemeriksaan darah
Kultur darah bisa positif walaupun kultur cairan sinovial negatif.
Jumlah sel darah putih dan diferensiasinya, protein c reaktif, laju endap
darah juga dapat membantu monitoring terapi.
• Gambaran rontgen
Pada orang dewasa pencitraan tidak dapat digunakan sebagai alat
diagnostik arthritis septik, tetapi dapat membantu sebagai dasar penilaian
kerusakan sendi
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang telah disebutkan.
6. Diagnosis Artritis Septik
7. Diagnosis Banding Selulitis, bursitis, osteomielitis akut, arthritis rheumatoid, still disease, gout,
dan pseudogout
8. Terapi • Aspirasi sendi yang adekuat
• Pengobatan empiris dengan obat antibiotik intravena dapat dimulai
setelah sampel kultur dan jenis gram didapatkan
• Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram positif maka
antibiotik empirik yang dapat diberikan adalah Oxacillin atau
Cefazolin

459
• Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram negatif maka
antibiotik empirik yang dapat diberikan adalah sefalosporin generasi
ketiga seperticeftriaxon atau cefotaxim
• Antibiotik definitif intravena diberikan sesuai dengan hasil kultur
selama dua minggu dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama
empat minggu.
Latihan sendi segera setelah infeksi teratasi untuk mencegah deformitas sendi
9. Komplikasi Kerusakan kartilago atau tulang, osteomielitis, syok septik, gagal organ
10. Prognosis Angka mortalitas rawat inap mencapai 7-15% meski dengan penggunaan
antibiotik. Pada usia tua, angka kematian ditemukan lebih tinggi. Angka
mortalitas pada pasien dengan sepsis poliartikular dapat mencapai30%
11. Kepustakaan 1. FischerA.Primory lmmune Deficiency Diseoses. ln: Longo Fauci Kasper,
Harrison's Principles of Iniernal Medicine I8th edition.United States of
America:Mcgraw Hill. 2012
2. Setiyohadi B, Tambunan A. Infeksi Tulang dan Sendi. dalam:
Sudoyo,Setiyohadi,Buku Ajar llmu Penyakit Dolom. Edisi V. Jakarta.
lnterna Publishing. 201
3. McPhee, Current Medical Diagnosis and Treatment 201l. 50th ed. United
State of American. 201 Kelley. Septic orthriiis. 1701-45

460
ARTRITIS GOUT
SKDI 3A

1. Pengertian Gout atau pirai adalah penyakit metabolik yang sering ditemukan pada laki-
(definisi) laki > 40 tahun dan perempuan pasca menopause, karena penumpukan kristal
monosodium urat (MSU) pada jaringan akibat dari hiperurisemia, Biasanya
ditandai dengan episode artritis akut dan kronis, pembentukan tofus, serta
risiko untuk deposisi di interstitiumginjal (Nefropati) dan saluran kemih
(nefrolitiasis).
2. Anamnesis • Serangan artritis gout akut yang pertama paling sering mengenai tungkai
bawah (80-90% kasus) umumnya pada sendi metatarsofalangeal I (MTP I)
yang secara klasik disebut podagra, onsetnya tiba-tiba, sendi terkena
mengalami eritema, hangat, bengkak dan nyeri tekan, serta biasanya
disertai gejala sistemik, seperti demam, menggigil, dan malaise.
• Anamnesis arthritis, perjalanan penyakit ditujukan untuk mencari adanya
riwayat keluarga, penyakit lain sebagai penyebab sekunder hiperurisemia,
riwayat minum minuman beralkohol, obat-obatan tertentu
3. Pemeriksaan Fisik • Keadaan sendi harus dievaluasi apakah terdapat tanda-tanda inflamasi,
seperti eritema, hangat, bengkak, dan nyeri tekan, serta tanda deformitas
sendi dan tofi (tanda khas gout).
• Sendi yang terkena biasanya pada tungkai bawah, umumnya pada sendi
metatarsofalangeal I (MTP I)
4. Pemeriksaan • Pemeriksaan darah rutin, asam urat, kreatinin
Penunjang • Ekskresi asam urat urin 24 jam
• Bersihan kreatinin
• Radiologis sendi (iika perlu)
5. Kriteria Diagnosis Berdasarkan ACR 2010, diagnosis ditegakkan bila salah satu dari poin (A),
(B), (C) berikut terpenuhi :
A. Didapatkan kristal MSU di dalam cairan sendi, atau
B. Didapatkan kristal MSU pada tofus, atau
C. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut :
• Inflamasi maksimal pada hari pertama, serangan artritis akut lebih dari
1 kali,serangan artritis monoartikular, sendi yang terkena berwarna
kemerahan, Pembengkakan dan sakit pada sendi metatarsofalangeal
(MTP) I, serangan pada sendi MTP unilateral, serangan pada sendi
tarsal unilateral, tofus (atau suspek tofus), hiperurisemia,
pembengkakan sendi asimetris (radiologis), kista subkortikal tanpa
erosi (radiologis), kultur bakteri cairan sendi negatif
6. Diagnosis Artritis Gout
7. Diagnosis • Pseudogout (penimbunan kristal kalsium piro fosfat
Banding dehydrogenase/CPPD)
• Artritis septik
• Artritis reumatoid
• Palindromicrheumatism
8. Terapi • Non farmakologis
o Penyuluhan diet rendah purin (hindari jerohan, seafood)
o Hidrasi yang cukup
o Penurunan berat badan (target BB ideal)
o Menghindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang menaikkan
asam urat darah (etambutol, pirazinamid, siklosporin, asetosal,
tiazid)
o Olahraga ringan
• Farmakologis
• Pengobatan fase akut:
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) kerja cepat, baik yang
non selektif maupun yang selektif.
461
• Kortikosteroid (glukokortikoid) per oral dosis rendah, parenteral,
atau injeksi lokal IA fseperti triamsinolon 5-10 mg untuk sendi
kecil atau 20-40 mguntuk sendi besar) terutama bila ada
kontraindikasi dari OAINS.
• Kolkisin dapat menjadi terapi efektif namun efeknya lebih lambat
dibandingkan OAINS dan kortikosteroid. Manfaat kolkisin lebih
nyata untuk pencegahan serangan akut, terutama pada awal
pemberian obat antihiperurisemik, dengan dosis 0,5-1 mg/hari.
• Obat antihiperurisemik seperti alopurinol tidak boleh diberikan
pada fase akut kecuali pada pasien yang sudah rutin
mengkonsumsinya.
Obat antihiperurisemik
• Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe produksi berlebih),
misalnya allopurinol
• Obat urikosurik (untuk tipe ekskresi rendah), misal probenesid
9. Komplikasi Tofus, deformitas sendi, nefropati gout, gagal ginjal, batu saluran kencing
(obstruksi dan/atau infeksi)
10. Prognosis Angka kekambuhan gout akut: 60% dalam satu tahun pertama; 80 % dalam 2
tahun; 90% dalam 5 tahun. Perjalanan penyakit gout akan lebih buruk bila:
onset gejala muncul pada usia muda (<30 tahun), serangan sering berulang,
kadar asam urat darah tinggi (tidak terkontrol), dan mengenai banyak sendi.
Sekitar 20 % pasien gout akan timbul urolitiasis dengan batu asam urat atau
batu kalsium oksalat.
11. Kepustakaan 1. Tjokordo RP. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam jilid II edisi lV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. Hlm 1213-7
2. Edword ST. Artritis Pirai. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam jilid II edisi lV. Jakarta: Pusat
3. Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. Hlm 1218 - 20.
4. Chen Lon X. Primary lmmune Deficiency Diseases. ln: Longo, Fouci,
Kosper, Harrison's Principles of lnternal Medicine l8th edition.United
States of America:McGraw Hill. 2012
5. Schlesinger N. Diagnosis of Gout: Clinical, Laboratory, and Radiologic
Findings. Am JManagCare.2005 Nov;l 1 (15 suppl):s443-
50.http://www.ojmc com/publicotions/supplement

462
HIPERURISEMIA
SKDI 4A

1. Pengertian Kondisi kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,0 mg/dl pada pria dan pada
(definisi) wanita 6 mg/dl. Hiperurisemia dapat terjadi akibat meningkatnya produksi
ataupun menurunnya pembuangan asam urat, atau kombinasi dari keduanya.
2. Anamnesis Keluhan
1. Bengkak pada sendi
2. Nyeri sendi yang mendadak, biasanya timbul pada malam hari.
3. Bengkak disertai rasa panas dan kemerahan.
4. Demam, menggigil, dan nyeri badan.
Apabila serangan pertama, 90% kejadian hanya pada 1 sendi dan keluhan
dapat menghilang dalam 3-10 hari walau tanpa pengobatan.
Faktor Risiko
1. Usia dan jenis kelamin
2. Obesitas
3. Alkohol
4. Hipertensi
5. Gangguan fungsi ginjal
6. Penyakit-penyakit metabolik
7. Pola diet
8. Obat: aspirin dosis rendah, diuretik, obat-obat TBC
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik untuk mencari kelainan atau penyakit sekunder, terutama
menyangkut tanda-tanda anemia, pembesaran organ limfoid, keadaan
kardiovaskular
dan tekanan darah, dan keadaan tanda kelainan ginjal serta kelainan sendi.
4. Pemeriksaan Pemeriksaan Penunjang
Penunjang 1. X ray: Tampak pembengkakan asimetris pada sendi dan kista
subkortikal tanpa erosi
2. Kadar asam urat dalam darah > 7 mg/dl.
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dengan
pemeriksaan laboratorium kadar asam urat dalam darah > 7 mg/dl.
6. Diagnosis Banding • Sepsis arthritis
• Rheumatoid arthritis
• Arthritis lainnya
7. Terapi Penatalaksanaan
1. Mengatasi serangan akut dengan segera
Obat: analgetik, kolkisin, kortikosteroid
a. Kolkisin (efektif pada 24 jam pertama setelah serangan nyeri
sendi timbul. Dosis oral 0,5-0.6 mg per hari dengan dosis
maksimal 6 mg.
b. Kortikosteroid sistemik jangka pendek (bila NSAID dan kolkisin
tidak berespon baik) seperti prednisone 2-3x5 mg/hari selama 3
hari
c. NSAID seperti natrium diklofenak 25-50 mg selama 3-5 hari
2. Program pengobatan untuk mencegah serangan berulang
Obat: analgetik, kolkisin dosis rendah
3. Mengelola hiperurisemia (menurunkan kadar asam urat) dan
mencegah komplikasi lain
a. Obat-obat penurun asam urat
Agen penurun asam urat (tidak digunakan selama serangan
akut). Pemberian Allupurinol dimulai dari dosis terendah 100
mg, kemudian bertahap dinaikkan bila diperlukan, dengan dosis
maksimal 800 mg/hari. Target terapi adalah kadar asam urat < 6
mg/dl.
b. Modifikasi gaya hidup
- Minum cukup (8-10 gelas/hari).
463
- Mengelola obesitas dan menjaga berat badan ideal.
- Hindari konsumsi alkohol
- Pola diet sehat (rendah purin)
Kriteria Rujukan
1. Apabila pasien mengalami komplikasi atau pasien memiliki penyakit
komorbid
2. Bila nyeri tidak teratasi.
8. Komplikasi Menurut Vitahealth tahun 2005 dalam Kertia tahun 2009, komplikasi yang
dapat terjadi akibat peningkatan asam urat dalam darah adalah:
1. Kencing batu
Kadar asam urat yang tinggi di dalam darah akan mengendap di ginjal
dan saluran perkencingan, berupa kristal dan batu.
2. Merusak ginjal
Kadar asam urat yang tinggi akan mengendap di ginjal sehingga
merusak ginjal.
3. Penyakit jantung
Asam urat menyerang endotel lapisan bagian paling dalam pembuluh
darah besar. Jika endotel mengalami disfungsi atau rusak, akan
menyebabkan penyakit jantung koroner.
4. Stroke
Aliran darah tidak lancar akibat penumpukan asam urat di pembuluh
darah yang meningkatkan resiko penyakit stroke.
5. Merusak saraf
Jika penumpukan asam urat terjadi didekat saraf maka bisa mengganggu
fungsi saraf.
6. Peradangan tulang
Jika asam urat menumpuk di persendian, lama-lama akan membentuk
tofus yang menyebabkan artrhitis gout akut, sakit rematik atau
peradangan sendi bahkan bisa sampai terjadi kepincangan.
9. Prognosis Quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad fuctionam dubia
10. Kepustakaan 1. Harris, M; Siegel, L; Alloway, J. 1999. Gout and Hyperuricemia.
American Academy of Family Physicians
2. Kasper, D; Braunwald, E; Fauci, A; Hauser, S ;Longo, D; Jameson, L.
2004. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. In
Wortmann, R. disorder of purine and pyrimidine metabolism. New
York. McGraw-Hill Professional.

464
OSTEOARTRITIS
SKDI 3A

1. Pengertian Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dan inflamasi yang
(definisi) ditandai dengan perubahan patologik pada seluruh struktur sendi. Keadaan
patologis yang terjadi adalah hilangnya rawan sendi hialin, diikuti penebalan
dan sklerosis tulang subkondral, pertumbuhan osteofit pada tepi sendi,
teregangnya kapsul sendi, sinovitis ringan, dan kelemahan otot yang
menyokong sendi
2. Anamnesis • Nyeri sendi yang biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit
berkurang dengan istirahat. Nyeri pada OA juga dapat berupa penjalaran
atau akibat radikulopati
• Hambatan gerakan sendi
• Kaku pagi. Pada beberapa pasien kaku sendi dapat timbul setelah
imobilitas, seperti duduk di kursi mobil dalam waktu yang cukup lama
atau setelah bangun tidur.
• Krepitasi.
• Pembesaran sendi (deformitas)
• Perubahan gaya berjalan.
3. Pemeriksaan Fisik • Krepitasi
• Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
• Adanya tanda tanda peradangan
• Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen
• Perubahan gaya berjalan
4. Pemeriksaan • Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah)
Penunjang • Analisa cairan sendi (peningkatan ringan sel peradangan <8000/m, dan
peningkatan protein)
• Radiologis sendi
5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis osteoartritis tangan berdasarkan kriteria ACR tahun 1990 :
1) Nyeri tangan atau kak u, dan
2) Tiga dari empat dari kriteria berikut:
a) Pembesaran jaringan keras pada >2 dari 10 sendi tangan tertentu
(sendi DIP II dan III, sendi PIP II dan III, serta sendi CMC I pada
tangan kiri dan kanan).
b) Pembesaran jaringan keras pada > 2 sendi DIP
c) Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
d) Deformitas pada minimal 1 dari l0 sendi tangan tertentu.

Kriteria diagnosis osteoartritis sendi pinggul berdasarkan kriteria ACR tahun


199l :
1) Nyeri pinggul, dan
2) Minimal 2 dari 3 kriteria berikut:
a) LED < 20 mm/jam
b) Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum
c) Radiologi: terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial,
dan/atau medial).
6. Diagnosis Banding • Reumatik ekstraartikuler (bursitis, tendinitis)
• Arthritis gout, arthritis rheumatoid, arthritis septic, spondilitis
ankilosa, hemokromatosis.
7. Terapi • Non farmakologis
o Edukasi, menghindari aktivitas yang menyebabkan pembebanan
berlebih pada sendi
o Olahraga untuk penguatan otot lokal dan olahraga aerobik,
penurunan berat badan jika berat badan berlebih atau obes
o Aplikasi lokal panas atau dingin, peregangan sendi
o transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), penggunaan
465
penyokong sendi, penggunaan alat bantu pada yang mengalami
gangguan dalam aktivitas sehari-hari.
• Farmakologis
o Antinyeri: Parasetamol, obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
topikal atau sistemik (baik yang nonspesifik maupun spesifik
COX II), opioid, tergantung derajat nyeri dan inflamasi
o Pertimbangkan injeksi kortikosteroid intraartikular terutama
untuk OA lutut dengan efusi.
o Injeksi hialuronat atau yiscosupplement intra-artikular untuk OA
lutut
• Bedah
Tindakan bedah dilakukan jika terapi farmakologis sudah diberikan dan tidak
memberikan hasil misalnya pasien masih merasa nyeri, disabilitas, dan
mengurangi kualitas hidup mereka. Tindakan bedah yang diindikasikan untuk
osteoartritis lutut dan sendi panggul adalah total joint arthroplasty.
8. Komplikasi Deformitas sendi
9. Prognosis Osteoartritis tangan memiliki prognosis yang baik. Keterlibatan dasar ibu jari
memiliki prognosis yang lebih buruk. Osteoartritis lutut memiliki prognosis
yang bervariasi. Osteoartritis sendi pinggul memiliki prognosis yang lebih
buruk dibandingkan osteoartritis pada tempat lain.
10. Kepustakaan 1. Soeroso J, lsbagio H, Kalim H, Broto R, Promudiyo R. Osteoartritis.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
penyunting. Buku ajar ilmu penyokit dolom. Edisi V. Jakarta; lnterna
Publishing; 2009. Hol. 2538-49
2. Felson DT. Osteoarthritis. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jomeson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscolzo J, penyunting. Hanison's principle of
internal medicine. Edisi XVlll. McGraw-Hill Companies; 2012.Hal.2828-
36
3. Brandt KD, Dieppe P, Rodin EL. Etiopathogenesis of osteoarthritis.
Rheum Dis Clin N Am 2008;34:531-59
4. National Colloborating Centre for Chronic Conditions. Osteoarthritis:
national clinical guideline for care and management in adults. London:
Royal College of Physicions, 2008
5. Abromson SB, Attur M. Developments in the scientific understanding of
osteoarhtritis. Arthritis research and therapy 2009 , 11:227
6. Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, penyunting. Primer on the
rheumotic diseoses. Edisi Xlll. New York: Springer Science;2008. Hol
669-82

466
OSTEOMIELITIS
SKDI 3B

1. Pengertian Osteomielitis adalah suatu proses inflamasi akut ataupun kronis dari tulang dan
(definisi) struktur-struktur disekitarnya akibat infeksi dari kuman-kuman piogenik.
2. Ananmnesa nyeri sendi pada pasien misalnya lokasi nyeri dan punctum
Demam yang memiliki onset tiba-tiba tinggi.
Mudah lelah
Rasa tidak nyaman
Irritabilitas
Keterbatasan gerak
Edema lokal, eritema dan nyeri.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan biasanya ditemukan nyeri tekan lokal dan pergerakan sendi
yang terbatas, namun oedem dan kemerahan biasanya jarang ditemukan. Dapat
pula disertai gejala sistemik seperti demam, menggigil, letargi, dan nafsu
makan menurun.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Laboratorium: CRP, LED, kultur darah
• Radiologi : foto polos, ultrasonografi, radionuklir, CT scan dan MRI.
5. Diagnosis Osteomyelitits
6. Diagnosis Banding 1.Osteosarkoma
2.Ewing sarkoma
7. Pemeriksaan Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan dramatis dari CRP,
Penunjang LED, dan leukosit. Pada pemeriksaan kultur darah tepi, ditemukan organisme
penyebab infeksi.

Modalitas radiologis yang dapat digunakan dalam mendiagnosis osteomyelitis


kronis meliputi foto polos, ultrasonografi, radionuklir, CT scan dan MRI.
Plain photo: merupakan pencitraan awal yang digunakan untuk mendiagnosis
osteomyelitis kronis ➔ dapat terlihat bone resorption dengan penebalan dan
sklerosis yang mengelilingi tulang.
CT scan : mendeteksi adanya sequestra, hancurnya kortikal, abses jaringan
lunak dan adanya sinus pada osteomyelitis kronis. Sklerosis, demineralisasi dan
reaksi periosteal juga dapat terlihat pada modalitas ini.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) : mendeteksi infeksi musculoskeletal,
dimana setiap batasannya menjadi terlihat.
Osteomyelitis biasanya nampak sebagai gangguan sumsum tulang yang
terlokalisasi dengan penurunan densitas pada gambar T1-weighted dan
peningkatan intensitas pada gambar T2-weighted. Biasanya, terdapat penurunan
intensitas signal pada gambar T2-weighted.
8. Terapi Terapi suportif berupa:
• Analgesic
• Bed Rest
Pada osteomielitis kronis dapat disembuhkan dengan reseksi radikal atau
amputasi.
Infeksi kronis ini dapat kambuh sebagai eksaserbasi akut, yang dapat ditekan
oleh debridement serta terapi antimikroba parenteral dan oral.

467
Terapi Antibioktik pada Osteomielitis

9. Edukasi Mencegah terjadinya infeksi dan perdarahan


10. Prognosis Prognosis tergantung dari perjalanan penyakitnya, untuk yang akut prognosis
umumnya baik, tetapi yang kronis umummnya buruk.
11. Kepustakaan 1. Calhoun JH and Manring MM. Adult Osteomyelitis. Infect Dis N Am
2005; 19:765-7863.
2. Mouzopoulos G, Kanakaris NK, Kontakis G, Obakponovwe O, Townsend
R, Giannoudis PV. Management of bone infections in adults: the surgeon’s
and microbiologist’s perspectives. Injury. 2011;42 Suppl 5: S18–S23
3. Setiati S, Alwi I,Sudoya AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Interna
Publishing.2014.h.3243-3253.
4. Siregar P. Osteomielitis. Dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Bagian
Bedah Staff Pengajar FK UI. Binarupa Aksara. Jakarta. 1995. Hal 472-74

468
OSTEOPOROSIS
SKDI 3A

1. Pengertian Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang
(definisi) (osteopenia) dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah.
2. Anamnesis Faktor-faktor risiko osteoporosis (menopause, pemakaian obat-obat seperti
kortikosteroid, antikonvulsan, perokok, peminum alkohol), riwayat fraktur
dalam keluarga dan riwayat kurangnya paparan sinar matahari, asupan
kalsium yang rendah, pengurangan tinggi badan. Nyeri tulang, kelemahan
otot dan perubahan postur tubuh pada kondisi fraktur.
3. Pemeriksaan Fisik Tinggi badan dan berat badan
Gaya berjalan penderita
Leg-lenght inequality
Nyeri spinal
Jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid)
Tanda-tanda sindrom kegagalan poliglandular: penyakit sdison, alopesia, DM,
tiroiditis autoimun, anemia pernisiosa.
4. Kriteria Diagnosis Ditegakkan berdasarkan faktor risiko, gejala klinis dan hasil pemeriksaan
densitas massa tulang (BMD).
Kriteria WHO untuk wanita pasca menopause
Osteoporosis, bila T-score pada BMD ≤ -2,5
Osteoporosis berat, bila T-score pada BMD < -2,5 dan didapatkan fraktur.
Pengguna kortikosteroid lama diatas 5 mg ditetapkan nilai T-score ≤ 1,5
Osteoporosis juga ditegakan bila didapatkan fragilated frature pada orang-
orang dengan faktor risiko.
5. Diagnosis T-score pada BMD ≤ -2,5
T-score pada BMD ≤ -1,5 pada pengguna steroid
Fragilated fracture
6. Diagnosis Banding Osteodistrofi renal
Osteomacia
Multiple myeloma
7. Pemeriksaan Calcium, CTx, N-MID Osteocalcin
Penunjang Rontgen
Densitometri Tulang
8. Terapi 1. Asupan kasium 1500 s/d 2000 mg/hari Vitamin D3 400 s/d 800 U/hari
atau vitamin D (kalsitriol) 1-2 X 0,25 µg/hari
2. Batasi asupan natrium untuk meningkatkan reabsorbsi kalsium.
3. Biphosphonat, dapat dipilih salah satu sediaan berikut :
a. Risedronat 5 mg/hari atau 35 mg/minggu atau 150 mg/bulan peroral.
b. Alendronat 10 mg/hari atau 70 mg/minggu peroral.
c. Ibandronat 150 mg/bulan peroral atau 3 mg/3 bulan intravena.
4. Zolendronat 5 mg/tahun perdrip intravena.
5. Analgetik atau obat anti inflamasi non steroid, untuk mengatasi nyeri.
6. Terapi pengganti hormonal biasanya diberikan estrogen terkonyugasi
0,625-1,25 mg perhari dikombinasi dengan progesteron 2,5-10 mg perhari
7. Raloksifen 60 mg/hari
8. Kalsitonin 200 IU intranasal
9. Strotium ranelat 2 gram/hari
10. Biphosphonat oral diberikan saat perut kosong, tidak boleh berbaring
selama lebih kurang 2-3 jam dan diminum hanya bersama air putih 1-2
gelas
9. Edukasi 1. Anjurkan penderita untuk memelihara kekuatan otot dan sendi
2. Hindari merokok dan alkohol
3. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron
4. Kenali penyakit dan obat-obatan penyebab osteoporosis
5. Hindari mengangkat barang-barang berat pada osteoporosis
469
6. Hindari faktor-faktor risiko jatuh dan bila perlu diintervensi secepatnya.
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fumgsionam : bonam
11. Indikator Medis 1. Risiko fraktur berkurang
2. Nyeri berkurang
3. Beraktivitas secara normal
12. Kepustakaan 1. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam ed V tahun 2009
2. Primer on the rheumatic disease ed 13 tahun 2008
3. Rheumatology subspecialty consult 2nd ed, tahun 2012
4. Rekomendasi perosi, diagnosis dan penatalaksanaan osteoporosis, tahun
2010
5. Buku panduan kursus The International Society of Clinical Densitometry
(ISCD)

470
POLIARTERITIS NODOSA
SKDI 3A

1. Pengertian Poliarteritis nodosa (PAN) adalah merupakan suatu penyakit dimana bagian
(definisi) dari arteri-arteri berukuran sedang mengalami peradangan dan kerusakan, dan
menyebabkan berkurangnya pengaliran darah ke organ-organ yang
diperdarahinya.
2. Anamnesis Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah demam, disusul nyeri perut,
mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki,anoreksia, kelemahan dan
penurunan berat badan juga bisa terjadi.
Penyakit ini dapat mempengaruhi hampir setiap organ dalam tubuh, tetapi
memiliki kecenderungan mengenai organ-organ seperti kulit, ginjal, saraf dan
saluran pencernaan.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan Cutaneous poliarteritis nodosa biasanya muncul tampilan
pertama sebagai livedo reticularis, nodul subkutan atau ulserasi kulit.
Temuan lainnya termasuk petechiae, purpura, kulit nekrosis,autoamputations
dan manifestasi extracutaneous lokal. Hal ini paling sering terjadi pada area
kaki. Hasil pemeriksaan fisik yang dijumpai pada PAN tergantung dari organ
yang terkena.
4. Pemeriksaan • Diagnosis bisa diperkuat dengan melakukan biopsi dari pembuluh darah
Penunjang yang terkena.
• Mungkin juga perlu dilakukan biopsi hati atau ginjal.
• Foto rontgen yang diambil setelah penyuntikan zat warna ke dalam arteri
(arteriogram), bisa menunjukkan abnormalitas dalam pembuluh darah.
5. Kriteria Diagnosis American College of Rheumatology (ACR) memudahkan kriteria untuk
membedakan PAN dari bentuk-bentuk vaskulitis lain. Dipilih 10 fitur
penyakit PAN. PAN mudah didiagnosis setidaknya terdapat 3 dari 10 kriteria
ACR didukung diagnosis vaskulitis berdasarkan radiografi atau patologis.
Adapun kriterianya sebagai berikut :
1. Penurunan berat badan 4 kg atau lebih
2. Livedo Reticularis
3. Nyeri testis
4. Mialgia atau kelemahan kaki kelemahan/nyeri
5. Mononeuropati atau polineuropati
6. Tekanan darah diastolik lebih besar dari 90 mm/Hg
7. Blood Urea Nitrogenb(BUN) atau tingkat kreatinin tidak terkait
dengan dehidrasi atau obstruksi
8. Adanya HbSAg atau antibodi dalam serum
9. Arteriogram menunjukkan aneurisma atau oklusi arteri visceral
10. Biopsi kecil atau menengah arteri yang mengandung neutrofil
polimorfonuklear
Tes laboratorium rutin dapat memberikan petunjuk penting untuk PAN, tetapi
tidak ada pemeriksaan tes darah tunggal yang merupakan diagnostik penyakit
ini. Kebanyakan pasien dengan PAN memiliki ESRs yang tinggi. Proteinuria
umum pada orang-orang dengan keterlibatan ginjal.
6. Diagnosis Banding Diagnosis Banding poliarteritis nodosa adalah abdomen akut yang disebabkan
oleh berbagai sebab antara lain kolesistitis, panktreatitis, appendicitis,
perforasi usus, dan sebagainya.
7. Terapi • Pengobatan yang agresif bisa mencegah kematian.
• Obat-obat yang memicu terjadinya penyakit ini, pemakaiannya
dihentikan.
• Kortikosteroid dosis tinggi (misalnya prednison , Dexamethasone ,
Methylprednisolone ), dapat mencegah memburuknya penyakit dan
menyebabkan periode bebas gejala pada sekitar 30% penderita.
• Karena biasanya diperlukan pengobatan kortikosteroid jangka
panjang, maka pada saat gejalanya mereda dosisnya dikurangi.
• Jika kortikosteroid tidak mampu mengurangi peradangan, bisa diganti
471
atau digabung dengan obat imunosupresan, seperti siklofosfamid ,
Azathiopine , Metotrexate
• Pengobatan lainnya, seperti pengendalian tekanan darah tinggi, sering
diperlukan untuk mencegah kerusakan organ-organ dalam.
• Meskipun diobati, beberapa organ vital bisa mengalami kegagalan
atau pembuluh darah yang melemah bisa pecah.
• Kegagalan ginjal merupakan penyebab kematian paling sering.
• Infeksi yang berakibat fatal bisa terjadi karena penggunaan
kortikosteroid jangka panjang dan obat imunosupresan, yang
mengurangi kemampuan tubuh dalam melawan infeksi.
8. Komplikasi Komplikasi tergantung pada keterlibatan organ apa saja yang terkena. Yang
merupakan organ sasaran utama ialah ginjal, jantung, susunan saraf dan
saluran pencernaan
9. Prognosis Ketika tidak diobati, tingkat kelangsungan hidup PAN dalam 5 tahun 13%.
Hampir setengah dari pasien meninggal dalam onset 3 bulan pertama.
Pengobatan kortikosteroid meningkatkan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun
50-60%. Ketika steroid dikombinasikan dengan imunosupresan lainnya,
tingkat kelangsungan hidup 5 tahun bisa meningkat sampai lebih dari 80%.
10. Kepustakaan 1. Nanang Sukmana. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI :
Bab Alergi Imunologi : Vaskulitis. Interna Publishing. Jakarta. 2015.
Halaman 519-524.
2. Morgan Joseph Aaron, Schwartz A Robert. Cutaneous polyarteritis
nodosa: a comprehensive review. International Journal of Dermatology
2010 ; 49: 750–756.

472
POLIMIALGIA REUMATIK
SKDI 3A

1. Pengertian Adalah suatu sindrom klinis dengan etiologi yang tidak diketahui yang
(Definisi) mempengarhui individu usia lanjut. Hal ini ditandai dengan myalgia
proksimal dari pinggul dan gelang bahu dengan kekakuan pagi hari yang
berlangsung selama lebih dari 1 jam.
2. Anamnesis Pada sekitar 50% pasien berada dalam kesehatan yang baik sebelum onset
penyakit yang tiba-tiba. Pada kebanyakan pasien, gejala muncul pertama
kali pada bahu. Sisanya, pinggul atau leher yang terlibat saat onset.
Gejala terjadi mungkin pada satu sisi tetapi biasanya menjadi bilateral dalam
beberapa minggu.
Gejala-fejala termasuk nyeri dan kekakuan bahu dan pinggul.
Kekakuan mungkin begitu parah sehingga pasien mungkin mengalami
kesulitan bangkit dari kursi, berbalik di tempat tidur, atau mengangkat
tangan mereka di atas bahu tinnggi.
Kekakuan setelah periode istirahat (fenomena gel) serta kekuan pada pagi
hari lebih dari 1 jam biasanya terjadi.
Pasien juga mungkin menggambarkan sendi distal bengkak atau yang lebih
darang berupa edema tungkai. Carpal tunnel syndrome dapat terjadi pada
beberapa pasien.
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Tanda-tanda dan gejala polymyalgia rheumatic tidak spesifik, dan temuan
obyektif pada pemeriksaan fisik sering kurang.
Gejala umum sebagai berikut:
1. Penampilan lelah
2. Pembengkakan ekstremitas distal dengan pitting edema
Temuan musculoskeletal sebagai berikut:
1. Kekuatan otot normal, tidak ada atrofi otot
2. Nyeri pada bahu dan pinggul dengan gerakan
3. Sinovitis transien pada lutut, pergelangan tangan, dan sendi
sternoklavikula
4. Pemeriksaan Pemeriksaan laju endap darah (LED)
Penunjang
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu set kriteria diagnostic berikut, yaitu:
1. Usia onset 50 tahun atau lebih tua
2. Laju endap darah ≥40 m/jam
3. Nyeri bertahan selama ≥1 bulan dan melibatkan 2 dari daerah
berikut: leher, bahu, dan korset panggul
4. Tidak adanya penyakit lain dapat menyebabkan gejala
musculoskeletal
5. Kekakuan pagi berlangsung ≥1 jam
6. Respon cepat terhadap prednisone (≤20 mg)
6. Diagnosis Polimialgia Reumatik
7. Diagnosis Banding Amiloidosis, AA (inflammatory), depresim fibromyalgia, giant cell arthritis,
hipertiroidism, multiple myeloma, osteoarthritis, sindroma paraneoplastik,
artritis reumatoid
8. Terapi Penatalaksanaan
1. Prednisone dengan dosis 10-15 mg per oral setiap hari, biasanya
menghasilkan perbaikan klinis dalam beberapa hari
2. ESR biasanya kembali ke normal selama pengobatan awal, tetapi
keputusan terapi bberikutna harus berdasarkan status ESR dan klinis
3. Terapi glukokortoid dapat diturunkan secara bertahap dengan dosis
pemeliharaan 5-10 mg per oral setiap hari tetapi harus dilanjutkan
selama minimal 1 tahun untuk meminimalkan risiko kambuh
Konsultasi dan Edukasi
Edukasi keluarga bahwa penyakit ini munngkin menimbulkan gangguan
473
dalam aktivitas penderita, sehingga dukungan keluarga sangatlah penting.
9. Komplikasi -
10. Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam
11. Kepustakaan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V: 2009

474
ARTRITIS REUMATOID
SKDI 3A

1. Pengertian Penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif
(definisi) dimana sendi merupakan target utama selain organ lain, sehingga
mengakibatkan kerusakan dan deformitas sendi, bahkan disabilitas dan
kematian.
2. Anamnesis • Radang sendi (merah, bengkak, nyeri) umumnya menyerang sendi-sendi
kecil,lebih dari empat sendi (poliartikular) dan simetris.
• Kaku pada pagi hari yang berlangsung Iebih dari 1 jam atau membaik
dengan beraktivitas.
• Terdapat gejala konstitusional seperti kelemahan, kelelahan, anoreksia,
demam ringan.
3. Pemeriksaan Fisik • Artikular
o Tanda kardinal inflamasi pada sendi-sendi yang terkena
umumnya adalah metakarpofalangeal, pergelangan tangan, dan
interfalang proksimal
o Deformitas sendi (deformitas leher angsa, deformitas bouttoniere,
deformitas kunci piano, deviasi ulna, deformitas Z-thumb, artritis
mutilans, halux valgus)
o Ankilosis tulang
• Ekstra artikular
o Nodul reumatoid
o Skleritis, episkleritis
o Kelainan pada pemeriksaan paru atau jantung
o Splenomegali
o Vaskulitis
4. Pemeriksaan • Darah perifer lengkap: anemia, trombositosis
Penunjang • Rheumatoid Factor (RF), anti-cyclic citrullinated peptide antibodies
(ACPA/anti-CCP/anti-CMV)
• Laju endap darah atau C-reactive protein (CRP) meningkat
• Fungsi hati, fungsi ginjal
• Analisis cairan sendi (peningkatan leukosit > 2.000/mm3).
• Pemeriksaan radiologi (foto polo/sUSG Doppler): gambaran dini berupa
pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articular
dan erosi pada bare area tulang.
• Biopsi sinovium/nodul reumatoid.
5. Kriteria Diagnosis Berdasarkan ACR 2010 :
• Adanya keluhan sinovitis yang jelas (minimal satu sendi) dan keluhan
sinovitis tidak dijelaskan lebih baik dengan penyakit lain.
• Tambahkan seluruh skor pada kategori A-D, pasien dengan skor ≥6/10
dapat dimasukkan dalam klasifikasi pasien yang memiliki artritis
reumatoid.
A Keterlibatan sendi
Satu sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar 2
4-10 sendi kecil dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar 3
>10 sendi, minimal satu sendi kecil 5
B Serologi (minimal 1 pemeriksaan untuk dimasukkan dalam
klasifikasi)
RF negatif dan ACPA negatif 0
RF positif lemah atau ACPA positif lemah 2
RF positif kuat atau ACPA positif kuat 3
C Protein fase akut (minimal 1 pemeriksaan untuk dimasukkan ke
klasifikasi)
475
CRP normal dan LED normal 0
CRP abnormal dan LED abnormal 1
D Lama Gejala
< 6 minggu 0
≥ 6 minggu 1
6. Diagnosis Banding • Lupus eritematosus sistemik
• Gout arthriti
7. Terapi • Non farmakologis
o Edukasi, proteksi sendi pada stadium akut, foot orthotic/splint
(jika perlu), latihan fiisk (dynamic strength training) 30 menit
setiap latihan 2-3 kali seminggu dengan intensitas sedang,
suplemen minyak ikan, suplemen asam lemak esensial
• Farmakologis
o Disease modifying anti rheumatic drugs (DMARD) konvensional
▪ Metotreksat 7,5-25 mg/minggu
▪ Sulfasalazin 500 mg/hari lalu naikkan sampai maksimal 3
gram tiap hari
▪ Klorokuin sulfat 250 mg/hari
▪ Azatioprin 50-100 mg/hari sampai maksimal 2,5
mg/kgBB/hari
▪ Siklosporin 2,5-5 mg/kgBB/hari
o Agen biologik : infliksimab, etanersep, tocilizumab, golimumab,
adalimumab
o Glukokortikoid
o OAINS : non selektif atau selektif COX-2
• Terapi bedah
Dilakukan bila terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan
sendi yang ekstensif, nyeri persisten pada sinovitis yang terlokalisasi,
keterbatasan gerakyang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat,
kompresi saraf dan adanya ruptur tendon
8. Komplikasi Anemia, komplikasi kardiak, gangguan mata, pembentukan fistula,
peningkatan infeksi, deformitas sendi tangan, deformitas sendi lain,
komplikasi pernapasan, nodul reumatoid, vaskulitis, komplikasi
pleuroparenkimal primer dan sekunder; komplikasi akibat pengobatan
9. Prognosis Sejumlah 10% pasien yang memenuhi kriteria AR akan mengalami remisi
spontan dalam 6 bulan. Akan tetapi kebanyakan pasien akan mengalami
penyakit yang persisten dan progresif.
10. Kepustakaan 1. Suarjana l. Artritis reumatoid. ln: Sudoyo A, Setiyohodi B, Alwi l,
Simodibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar ilmu penyakit dalam.5th ed.
Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbiton Bagian llmu Penyakit Dalam
FKUI, 2009:2495 - 513
2. Shoh A, StCloir E. Rheumatoid arthritis. ln: Fauci A, Kasper D, Longo D,
Brounwald E, Houser S,Jomeson J, Loscolzo J, editors. Harrison's
principles of internal medicine. l8th ed. United States of America; The
McGraw-Hill Companies, 2012:2738 – 52
3. Mercier Lonnie R. Rheumatoid Arthritis.ln: Ferri: Ferri's Clinical Advisor
2008, l0th ed. Mosby.2008.
4. Atetoho C, Neogi I, Silman A, Funovils J, Felson D, Bingham C, et al.
2010 rheumatoid arthritis classification criteria. Arthrtitis & Rheumatism.
2010;62(9): 2569 - 8l
5. Beers MH, Berkow R, editors.Crystal-lnduced Conditions. ln: The Merck
Monual of Diagnosis and Therapy I7th ed

476
SPONDILITIS TB
SKDI 2/

1. Pengertian Spondilitis adalah gejala penyakit berupa peradangan pada ruas tulang
(definisi) belakang umumnya disebabkan oleh bakteri tuberkulosa.
Spondilitis TB adalah infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis
2. Ananmnesa - Nyeri pinggang atau punggung
- Kaki terasa kaku atau lemah
- Malaise
- Demam
- Proses penyakit yang berlangsung kronik
- Penurunan berat badan
- Keringat malam
- Riwayat penyakit paru-paru akibat TB
- Riwayat kontak dengan penderita TB
3. Pemeriksaan Fisik - Kifosis pada tulang belakang
- Gibbus
- Sinus pada tulang belakang
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Defisit neurologi dan kompresi saraf spinal dengan manifestasi
paraplegia, paresis, nyeri saraf, sindrom cauda equina
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Spondilitis TB
6. Diagnosis Banding 1. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis
2. Metastasis tulang belakang
3. Osteitis piogen
4. Poliomielitis
5. Skoliosis idiopatik
6. Kifosis senilis
7. Pemeriksaan Imaging :
Penunjang 1. X-ray ;
• Foto Rontgen ap-lateral : proses lanjut terjadi destruksi vertebrae,
osteoporosis, osteolitik
• Ct-Scan : detail dari lesi irreguler, sklerosis, kolaps diskus, dan
gangguan sirkumferensi tulang
• MRI : mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis
tulang belakang serta menunjukan adanya penekanan saraf
• Bone Scan
Laboratorium ; darah rutin didapatkan leukositosis dan LED meningkat, CRP,
ESR meningkat dengan nyata (>100 mm/jam), kultur dan tes sensitifitas, tes
tuberkulin
8. Terapi Terapi konservatif
Tirah baring
Penggunaan korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra
Non Operatif :
- Terapi OAT
- Roborantia
- Orthosis
Operatif :
- Debridement
- Evakuasi abses jika perlu
- Stabilisasi posterior
- Osteotomi

477
9. Edukasi Mencegah terjadinya infeksi
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Kepustakaan 1 Chaidir, MR. 1999. Spondilytis. Bandung: Bag/UPF Orthopaedi &
Traumatologi FKUP/RSHS
2 Hoppenfield, Stanley. 1998. Orthopaedic Dictionary. Michigan: JP
Lippincott Company
3 Wolf, SW. 1999. Spondilytis In Green’s Hand Surgery, 4th Edition.
Arizona: Churchill Livingstone.

478
SPONDILOLISIS
SKDI 1

1. Definisi Defek pada pars interartikularis vertebra, baik unilateral maupun bilateral, dan
paling sering terjadi pada vertebra L4 dan L5.
2. Patofisiologi Terjadi karena fraktor:
- Mikrofraktur yang berulang-ulang disebabkan oleh stress fracture pada
pars interartikularis.
- Hereditas
- Olahraga (baseball, football, wrestling, gymnastic, tennis)
- Pasien dengan spina bifida okulta
- 95 % terjadi pada lumbal 5
- Lisis dapat terjadi pada tingkat lumbal maupun torakal
- Dapat terjadi secara unilateral ataupun bilateral
3. Anamnesis Kebanyakan penderita spondilolisis tidak memperlihatkan gejala-gejala klinis.
Apabila terjadi suatu trauma atau strain yang kronik, maka jaringan fibrosa
pada defek ini akan meregang sehingga menimbulkan perasaan nyeri.
Pada pemeriksaan klinik biasanya ditemukan adanya spasme otot yang
ringan, gangguan pergerakantulang belakang dan tidak ditemukan kelainan
motoris dan sensoris.
Gejala berupa nyeri punggung bawah dimana nyeri menjalar ke daerah
bokong
4. Pemeriksaan fisik Motorik.
- Gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi tungkai yang
nyeri dengan fleksi di sendi panggul dan lutut, serta kaki yang
berjingkat.
- Tes kekuatan dorsofleksi pergelangan kaki dan ibu jari kaki. Kelemahan
menunjukkan gangguan akar saraf L4-5.
- Motilitas tulang belakang lumbal yang terbatas.
Sensorik.
- Lipatan bokong sisi yang sakit lebih rendah dari sisi yang sehat.
- Skoliosis dengan konkavitas ke sisi tungkai yang nyeri, sifat sementara.
- Tes sensorik kaki sisi medial (L4), dorsal (L5) dan lateral (S1).
Tes-tes khusus
- Tes Laseque (Straight Leg Raising Test = SLRT)
Tungkai penderita diangkat secara perlahan tanpa fleksi di lutut sampai
sudut 40° dan 90°.
- Tes Laseque silang merupakan tanda yang spesifik untuk HNP. Bila tes
ini positif, berarti ada HNP, namun bila negatif tidak berarti tidak ada
HNP.
- Tes kernique.
- Tes refleks tendon achilles untuk menilai radiks saraf S1
Refleks tendon achilles menurun atau menghilang jika radiks antara L5-
S1 terkena.
5. Diagnosis banding • Herniasi Nukleus Pulposus
• Spondilolisis
• Spondilolistesis
• Meralgia parasthetica
6. Pemeriksaan 1. Laboratorium: Urin, darah rutin (LED & hitung jenis), CSF
penunjang 2. Radiografi
Pada foto lateral, terlihat linear lucency pada pars interartikularis dan
scottie dog pada foto oblique. Jika spondilolisis bilateral, kerusakan akan
terlihat pada kedua sisi kanan dan kiri.
3. CT Scan
Terlihat linear lucency atau kehancuran pada pars interartikularis
4. MRI

479
Dapat memperlihatkan perubahan tulang dan jaringan lunak di vertebra
5. Myelograf
Dapat menunjukkan lokasi lesi untuk menegakan pemeriksaan fisik
sebelum pembedahan. Myelografi adalah pemeriksan X-ray pada spinal
cord dan canalis spinal. Myelografi merupakan tindakan infasif, yaitu
cairan yang berwarna medium disuntikan ke kanalis spinalis, sehingga
struktur bagian dalamnya dapat terlihat pada layar fluoroskopi dan
gambar X-ray. Myelogram digunakan untuk Diagnosis pada penyakit
yang berhubungan dengan diskus intervertebralis, tumor spinalis, atau
untuk abses spinal.
6. Elektromyografi (EMG)
Dapat menunjukkan lokasi lesi meliputi bagian akar saraf spinal
7. Epidural venogram
Menunjukkan lokasi herniasi
8. Lumbal functur
Untuk mengetahui kondisi infeksi dan kondisi cairan serebro spinal
7. Terapi Istirahat
Mengurangi aktivitas
Penggunaan brace lumbosacral
- Anak, sudut >40o dipasang brace
- Dewasa, sudut >60o dilakukan koreksi dengan operasi dan dilakukan fusi
8. Edukasi Nyeri biasanya tidak berat, cukup dengan istirahat dan mengurangi
aktifitas misalnya berdiri, jalan dan mengangkat benda berat.
9. Prognosis Dubia
10. Kepustakaan 1. https://orthoinfo.aaos.org/en/diseases--conditions/spondylolysis-and-
spondylolisthesis
2. Serena S. Hu, Clifford B. Tribus, Mohammad Diab and Alexander J.
Ghanayem. Spondylolisthesis and Spondylolysis. J Bone Joint Surg Am.
2008;90:656-671.
3. Entitlement Eligibility Guidelines Spondylolisthesis And Spondylolysis.
Veterans Affairs Canada. Februari 2015

480
SPONDILOLISTESIS
SKDI 1

1. Pengertian Spondilolistesis adalah perpindahan relatif ke arah anterior atau posterior satu
(definisi) vertebra terhadap yang lain. Spondilolistesis dapat terjadi kongenital atau
didapat.
Spondilolistesis dibagi atas lima kelompok:
I. Dysplastic
II. Isthmic
a. Lytic
b. Elongated pars interarticulars
c. Acute pars fracture
III. Degenerative
IV. Traumatic
V. Pathologic
2. Anamnesis Dapat bersifat asimtomatik atau simtomatik dengan gejala utama adalah low
back pain atau leg pain. Nyeri ini akan memberat jika bahu diekstensikan.
Nyeri tungkai/leg pain dapat bersifat radikuler atau nyeri rujuk dengan pola
klaudikasio yang disebut dengan neurogenik klaudikasio yang harus
dibedakan dari klaudikasio vaskular.
3. Pemeriksaan Fisik Postur pasien biasanya normal pada subluksasio ringan. Pada subluksasio
berat, terdapat gangguan bentuk postur.
Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme
otot.
Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan
nyeri umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya
pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari
level/tingkat di mana lesi mulai timbul.
Ketika pasien dalam posisi telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan,
perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi
dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan
kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai.
Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri di sekitar defek dapat sangat mudah
diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki
mereka keatas seperti posisi fetus.
Defek dapat diketahui pada posisi tersebut. Pemeriksaan neurologis terhadap
pasien dengan spondilolistesis biasanya negatif.
Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada pasien
dengan sindrom kauda ekuina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Radiologis: Foto polos, CT-scan atau MRI spinal
5. Diagnosis Spondilolistesis
6. Diagnosis Banding Spondilosis, spina bifida
7. Pemeriksaan Terpelesetnya vertebra paling baik diperlihatkan pada proyeksi lateral dari
Penunjang tulang belakang lumbal dan mungkin ditemukan rongga diskus yang hilang.
Paling sering terjadi setinggi L4/L5 dan L5/S1. CT-scan atau MRI dapat
menilai teka dan adanya penyempitan kanal tulang.
8. Terapi Nonbedah
• Tirah baring
• Obat antiinflamasi untuk mengurangi edema
• Analgesik untuk mengontrol nyeri
• Terapi fisik serta olahraga untuk melatih kekuatan dan fleksibilitas

Bedah
Indikasi pembedahan:

481
• Klaudikasio neurogenik
• Pergeseran berat (high grade slip >50%)
• Pergeseran tipe I dan Tipe II, dengan bukti adanya instabilitas,
progresifitas listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.
• Spondilolistesis traumatik.
• Spondilolistesis iatrogenik
• Listesis tipe III (degeneratif) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat
• Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan (gait abnormality)
9. Edukasi • Menghindari membungkukkan badan terlalu banyak dan mengangkat
beban berat
• Segera beristirahat jika merasakan nyeri saat berdiri atau berjalan jauh
• Menggunakan ortose untuk membatasi gerakan
10. Prognosis • Secara umum pasien dengan isthmic spondylolisthesis grade I dan II à
prognosa cukup baik dengan terapi konservatif
• Isthmic spondylolisthesis grade III à lebih mempunyai prognosis
bervariasi dan kadang-kadang disertai dengan nyeri yang persisten pada
tulang belakang. Terapi pembedahan memberikan perbaikan pada gejala
claudicatio dan radikular
• Terapi pembedahan dengan dekompresi memberikan hasil yang
memuaskan untuk mengurangi gejala dari extremitas bagian bawah.
11. Kepustakaan 1. Osborn AG, Blasser SI, Salzman KL, Katzman GL, Provenzale J, Castillo
M, et all. Osborn Diagnostic Imaging. Canada : Amirsys/Elsevier. 1st ed.
2004
2. Wilkins RH, Rengachary SS. Neurosurgery. USA : Mc Graw-Hill. 2nd Ed.
1996
3. Rengachary SS, Wilkins RH. Principles of Neurosurgery. London :
Mosby. 1994
4. Winn HR. Youman’s Neurological Surgery. 5th ed. USA : Saunders. 1994

482
TENDINITIS ACHILLES
SKDI 1

1. Pengertian Tendinitis achilles adalah suatu peradangan yang terjadi pada tendon achilles.
(definisi) Biasanya akibat trauma, aktifitas berlebihan pada atlit, penekanan sepatu yang
terlalu sempit, dorsofleksi yang tiba-tiba dan inflamasi (ankylosing
spondylitis, reiter syndrome, gout, RA ).
2. Ananmnesa Gejala klinis dapat timbul akibat tendinitis achilles yaitu sebagai berikut :
1. Rasa sakit dan kaku segera saat bangun dari tidur dipagi hari.
2. Rasa nyeri disekitar tumit dan disepanjang tendon achilles ketika berjalan
maupun berlari.
3. Pada keadaan lanjut bisa menimbulkan kesukaran untuk menapakkan
kaki.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembengkakkan pada tendon
achilles, nyeri tekan dan nyeri pada saat dorsofleksi, serta teraba krepitasi
pada daerah tepat diatas kalkaneus.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Tendinitis achilles
6. Diagnosis Banding 1. Tendo calcaneal bursitis
2. Achilles tendoncitis
3. Achilles tendinopathy atau tendonosis
7. Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan seperti berikut ini:
Penunjang 1. Pemeriksaan X-ray, dapat digunakan untuk menDiagnosis jika terdapat
masalah pada tulangnya.
2. Pemeriksaan ultrasound, dapat dilakukan pada kasus-kasus yang bersifat
kronik.
3. Pemeriksaan MRI, diperlukan jika dicurigai adanya robekan pada tendon
achilles, retrocalcaneal bursitis atau fraktur.
8. Terapi Terapi tendinitis achilles dapat dilakukan dengan:
1. Istirahat dan imobilisasi
2. Pemberian OAINS, seperti aspirin dan ibuprofen dapat membantu untuk
menghilangkan nyeri
3. Koreksi keadaan dan ukuran sepatu
4. Meninggikan tungkai bawah waktu tidur
5. Fisioterapi kompres dengan air dingin atau air hangat
6. Injeksi kortikosteroid dapat memperburuk keadaan berupa ruptur tendon
achilles
7. Jika terapi sudah dilakukan, tetapi masih belum ada perubahan dilakukan
pembedahan untuk membuang jaringan inflamasi dan jaringan abnormal
didaerah sekitar tendon achilles
9. Komplikasi Dapat menyebabkan ruptur tendon jika tidak ditangani dengan baik. Kondisi
ini dapat menyebabkan sensasi nyeri yang sangat tajam. Pada kondisi ini dapat
dilakukan pembedahan, tapi sangat susah karena kondisi tendon yang sudah
tidak normal.
10. Prognosis Gaya hidup dapat mengurangi gejala, namun gejala dapat timbul kembali jika
melakukan aktivitas yang berlebihan yang akan menimbulkan nyeri datang
kembali.
11. Kepustakaan 1. Lattermann C., Armfiled D., Wukich DK., Current Diagnosis And
Treatment In Sports Medicine, 1st Ed. McGraw-Hill, 2007
2. Simons SM., Kennedy R., Bull’s Handbook of Sports Medicine, 1st Ed.
McGraw-Hill, 2007
3. Bhandari et al., Treatment of Acute Achilles Tendon Rupture A
Systematic Overview number 400., 190-200. Lippincott William and
Wilkins, 2002.

483
4. McClelland D., Maffuli N., Percutaneous Repair of Ruptured Achilles
Tendon. North Staffordshire Royal Infirmary, Princes Road, Stoke-on-
Trent, Staffordshire, ST4 7LN, 2002.

484
TENOSYNOVITIS SUPURATIF
SKDI 3A

1. Pengertian Tenosynovitis adalah suatu peradangan yang melibatkan tendon dan


(definisi) selubungnya yang mengakibatkan pembengkakan dan nyeri. Beberapa
penyebab dari pembengkakan ini adalah trauma, penggunaan yang berlebihan
dari repetitive minor trauma, strain atauinfeksi. Beberapa contoh dari
tenosynovitis adalah Dequervain’s, Volar Flexor Tenosynovitis (trigger finger)
dan flexor tenosynovitis.
2. Epidemiologi Tenosynovitis supuratif mempunyai insiden yang lebih tinggi (75%) di
kalangan wanita berbanding lelaki. Kebanyakan kasus terjadi pada individu
antara 52 dan 62 tahun. Penyakit ini sering terjadi pada kedua tangan.2
3. Etiologi • Luka tusukan
• Laserasi
Yang menyebabkan tersedianya pintu masuk bagi bakteri, terutama
Staphylococcus aureus menuju tendon.3
4. Patofisiologi Infeksi flexor tendon adalah suatu infeksi pada bagian tertutup sheat dan jari
telunjuk, jari tengah manis yang berjalan di atas carpal neck pada level annular
pertama. Infeksi pada jari dapat menyebar ke tangan dan pergelangan tangan,
infeksi bias menyebar ke fascia space hand, struktur tulang yang berdekatan
atau synovial joint space dapat pula menembus lapisan kulit dan keluar.1
5. Ananmnesis Menurut Chaidir (1998) pada kasus Tenosynovitis Supuratif, pasien dengan
luka penetrasi dating dengan sakit kemerahan pada tangan dan demam.
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya 4 tanda dari kanavel, yaitu:
• Jari dalam posisisedikit fleksi
• Bengkak dalam bentuk fusiform
• Nyeri tekan sepanjang flexor tendon sheath
• Nyeri pada saat dilakukan pasif fleksi jari
Gejala kanaval ada beberapa yang tidak terlihat, seperti pada keadaan:
• Pemberian antibiotika segera
• Kondisi yang sangat dini
• Status immunocompromised
• Infeksi kronik1
6. Interpretasi Menurut Chaidir (1998), pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan
pemeriksaan adalah:
• Leukosit meningkat pada keadaan infeksi proksial atau adanya
keterlibatan sistemik. Leukosit tidak meningkat pada keadaan infeksi
yang non supuratif, pada fase akut akan terjadi pergeseran ke kiri. Pada
pasien dengan immunocompromised tidak terjadi peningkatan leukosit.
• LED dapat meningkat pada kasus ini dan dapat menetap pada kasus
nonsupuratif.
• Pada pemeriksaan histopatologi dan synovial biopsy didapatkan
inflamasi baik akut maupun kronik.1
7. Kriteria Diagnosis Didapatkan adanya penyebab utama yaitu penetrating trauma, infeksi tersering
disebabkan oleh flora normal kulit seperti stafilokokus dan streptokokus. Yang
paling sering adalah streptokokusaureus. Penyebab lain diantaranya:
• Luka gigitan: Hemophilusspesies, bakterianaerobdan gram negative.
• Penyebaran melalui darah: Mycobacterium Tuberculosa, neiseria
gonorrhea.
• Miscelanous: pseudomonas aeroginosa.2
8. Diagnosis Tenosynovitis supuratif
9. Diagnosis De quervain Tenosynovitis.
Banding Trigger Finger2
10. Terapi Menurut Wolf (1999), pada pasien yang dating dengan keadaan yang sangat
dini, pemberian antibiotik secara intravena memberikan hasil yang baik.
Antibiotik yang diberikanantara lain:
485
• Cefazolin 1-2 gram IV setiap 6 atau 8 jam
• Clindamicin 600-900 mg IV tiap 8 jam
• Ampicilin Surfaktan 1,5-3 gram IV tiap 8 jam1
11. Prognosis Prognosis penyakit tenosynovitis supuratif ini baik. Fungsi normal dapat
kembali setelah pasien mendapatkan perawatan terhadap inflamasi yang
adekuat.2
12. Kepustakaan 1. Chaidir, MR. 1999. Tenosynovitis. Bandung: Bag/UPF Orthopaedi &
Traumatologi FKUP/RSHS
2. Hoppenfield, Stanley. 1998. Orthopaedic Dictionary. Michigan: JP
Lippincott Company
3. Wolf, SW. 1999. Tenosynovitis In Green’s Hand Surgery, 4th Edition.
Arizona: Churchill Livingstone.

486

Anda mungkin juga menyukai