Anda di halaman 1dari 71

MODUL

Praktik
BEDAH
Klinik

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
EDITOR
Dr. Mulawan Umar SpB(K)Onk

KONTRIBUTOR
Dr. Effman EU Manawan, SpB-KBD, M Kes
Dr. Sarup Singh, SpB-KBD
DR. Dr. M. Alsen Arlan, SpB-KBD, MARS
Dr. Burmansyah, SpB(K)Onk
Dr. HKM Yamin Alsoph, SpB(K)Onk, MARS
Dr. Benny Kusuma SpB(K)Onk
Dr. Mulawan Umar SpB(K)Onk
Dr. Muzakkie SpOT
Dr. Nur Rachmat Lubis SpOT
Dr. Rendra Leonas SpOT M. HumKes
Dr. Ismail Bastomi SpOT
Dr. Primadika Rubiansyah SpOT
Dr. Zulkarnain SpOT
Dr. Arizal Agoes Sp.B SpU
Dr. Marta Hendry SpU
DR. Dr. Didit Pramudhito Sp.U
Dr. Trijoso Permono SpBS
Dr. Edison Sitorus SpBS M Epid Klin
Dr. MGS Roni Saleh SpBP-RE
Dr. Iqmal Perlianta SpBP-RE
Dr. Abda Arif SpBP-RE
Dr. Bermansyah SPB-TKV
Dr. Sindu Saksono SpB SpBA
Dr. Shalita SpB SpBA
Dr. Fahmi Jaka Yusuf SpBKV
Dr. M. Hafid Komar, SpBKBD
Dr. Anugerah Onie Widiatmo, SpBS
Dr. Hasan, SpBS
Dr. Agung Muda Patih, SpBS
Dr. Mufida Muzakkie, SpBP-RE
Dr. Wiria Aryanta, M.Kes, SpOT(K)Hand
Dr. Kms. Dahlan, SpB(K)V
Dr. Gama Satria, SpB-BTKV
Dr. Ahmat Umar, SpB-BTKV
Dr. Nur Qodir, SpB(K)Onk

1
KATA SAMBUTAN DEKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya buku Modul Bagian-bagian di
Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya ini. Buku modul ini
merupakan bagian dari buku panduan Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Unsri yang
mungkin akan terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan kurikulum pendidikan.
Saya yakin Buku Panduan ini sangat bermanfaat bagi dosen dan mahasiswa sebagai acuan
menjalani Program Studi Profesi Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, serta di RSUP
Dr. Moh Hoesin Palembang, RS Jejaring, dan RS Afiliasi untuk mendapatkan gelar dokter. Staf
pengajar yang akan menjadi narasumber, pembimbing, fasilitator, tutor, instruktur dan penguji juga
dapat menjadikan buku ini sebagai dasar pijakan dalam mempersiapkan dan melaksanakan proses
pendidikan.
Dengan Buku Modul ini juga Saya berharap semua mahasiswa Program Studi Profesi Dokter
dapat menyelesaikan pendidikannya dengan efektif, dan tepat waktu.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang telah bekerjasama sehingga
tersusun buku modul ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Sriwijaya

TTD

dr. Syarif Husin, MS


NIP. 19611209 199203 1 003

2
3
DAFTAR ISI

BAGIAN I. MODUL PROFESI DOKTER BAGIAN BEDAH


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 6
BAB II KARAKTERISTIK MAHASISWA ................................................................. 8
BAB III SASARAN PEMBELAJARAN .................................................................... 9
BAB IV LINGKUP BAHASAN ............................................................................... 10
BAB V METODE PEMBELAJARAN ...................................................................... 14
BAB VI SUMBER DAYA ...................................................................................... 19
BAB VII EVALUASI.... ......................................................................................... 21
BAB VIII DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 24

BAGIAN II. PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN BEDAH


PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN BEDAH
Ilmu Bedah Toraks Kardiak dan Vaskular........................................................ 26
Trauma Dada .................................................................................................. 27
Trauma Leher ................................................................................................. 34
Ilmu Bedah Anak .............................................................................................. 37
Malformasi Anorektal .................................................................................... 37
Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik .................................................. 41
Luka ................................................................................................................ 43
Parut .............................................................................................................. 49
Kontraktur ...................................................................................................... 51
Luka Bakar ............ ......................................................................................... 53
Sumbing Bibir dan Langitan ........................................................................... 60
Trauma Craniomaxillofacial ........................................................................... 65
Hipopasdia ..................................................................................................... 68

4
MODUL PROFESI DOKTER

BAGIAN BEDAH

Bagian I

MODUL PEMBELAJARAN

5
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Kepaniteraan klinik merupakan serangkaian proses dalam suatu kurikulum pendidikan yang
harus dijalani oleh mahasiswa kedokteran. Dalam tahap ini, mahasiswa diharapkan mempunyai
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku dalam bidang keprofesiannya sebagai seorang
dokter. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, praktik klinik dalam kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) tahun 2005 dirancang sebagai modul klinik terintegrasi. Begitu juga dengan praktik klinik di
Departemen Bedah, kepaniteraan klinik juga dirancang dalam bentuk modul yang terintegrasi. Modul
Praktik Klinik Bedah mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, penegakan diagnosis, rencana
penatalaksanaan dan juga keterampilan Bedah dasar sesuai kompetensi.

TUJUAN
Tujuan Umum
Pendidikan kedokteran bertujuan untuk menghasilkan dokter yang mampu melaksanakan
tugas profesinya dan senantiasa meningkatkan dan mengembangkan diri sesuai dengan
tuntutankeilmuandanprofesionalitas seorang dokter. Pendidikan kedokteran paripurna menghasilkan
dokter yang memiliki integritas, rasa tanggung jawab dan dapat dipercaya sesuai dengan etika profesi
yang universal.
Dengan adanya buku panduan Praktik Klinik Bedah, mahasiswa diharapkan mampu
menggunakan ilmu Biomedik, Klinik, Perilaku, dan Komunitas untuk memahami secara menyeluruh
masalah dalam Ilmu Bedah dalam konteks klinik. Selain itu, juga mampu menjelaskan rencana
penatalaksanaan setelah tertegak diagnosis dan penatalaksanaan serta perawatan setelah tindakan
operatif.

Tujuan Khusus
1. Memberikan pengalaman kemandirian kepada dokter muda untuk dapat mengidentifikasi,
menganalisis, dan menyelesaikan masalah kesehatan di bidang ilmu bedah pasien secara
menyeluruh sesuai tingkat kompetensi, berdasarkan prinsip kedokteran berbasis bukti
2. Melakukan prosedur pemeriksaan atau tindakan secara mandiri atau dibawah bimbingan
penyelia untuk meningkatkan keterampilan klinik sesuai standar kompetensi dokter.
3. Memberikan pengetahuan etika profesi dan moral yang berlaku secara umum maupun khusus di
masyarakat.

6
DASAR
Dasar pembuatan buku panduan ini ialah sebagai berikut:
1. UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan dokter
2. Kemenkes No. 1069/Menkes/XI/2008
3. SKPDI 2012
4. Tuntunan akan pengelola pendidikan yang lebih efisien dan efektif sesuai dengan dinamika
pendidikan dokter yang sangat cepat, beban pembelajaran yang terus meningkat karena tuntutan
akan mutu pendidikan yang lebih baik.

7
BAB II
KARAKTERISTIK MAHASISWA

Setelah tahap akademik (33 blok, selama 7 semester), mahasiswa S-1 akan menjalani tahap
yudisium menjadi Sarjana Kedokteran. Setelah itu, mahasiswa akan menjalani tahap profesi (15
bagian selama 4 semester). Tahapan di Bagian Bedah berlangsung selama 10 pekan.

8
BAB III
SASARAN PEMBELAJARAN

SASARAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah menjalani modul Praktik Klinik Bedah, mahasiswa diharapkan mampu mengenali
penyakit bedah dan keterampilan klinis bedah. serta mampu melakukan perawatan pasien
perioperatif dan postoperatif sesuai standar baku dengan menggunakan teknologi kedokteran dan
teknologi informasi yang sesuai dan selalu memperhatikan konsep dan pertimbangan etika.

SASARAN PEMBELAJARAN KHUSUS


1. Mahasiswa mampu melakukan keterampilan klinis bedah:
 Pemasangan Kateter Uretra
 Pemasangan NGT
 Pembidaian
 Jalur dan akses intravena
 Tindakan Aseptik dan Antiseptik
 Penjahitan dan perawatan luka dasar
2. Pada pasien perioperatif, mahasiswa:
 Mengetahui dan mampu melakukan pengelolaan pasien Preoperatif dan Post Operatif

9
BAB IV
LINGKUP BAHASAN

Selama menjalani praktik klinik di lingkungan Bagian Bedah FK Unsri / RSUP. Dr. Moh. Hoesin,
mahasiswa diharapkan dapat mempelajari dan terampil dalam melakukan tindakan kedaruratan dan
pengelolaan pasien Bedah, dengan tingkat kemapuan yang dicapai sesuai dengan Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI) yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2012.

No. Lingkup Bahasan Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan


A Etika Kedokteran
B Ketrampilan Klinik
I Bedah Digestif 1. Hernia 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
2. Appendisitis terarah
3. Peritonitis 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
4. Perdarahan gastrointestinal dengan kasus bedah digestif
5. Kolesistitis 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
6. Divertikulitis menunjang diagnosis
7. Intususepsi atau invaginasi 4. Memberikan tatalaksana lini pertama
8. Proktitis berupa rehidrasi cairan, antibiotik,
9. Abses perianal dekompresi dan pemantauan intake-
10. Hemorrhoid grade I-IV output cairan
11. Prolaps rektum, anus 5. Mampu membaca foto polos abdomen,
abdomen 3 posisi pada kasus gawat
1. Pemasangan kateter darurat digestif
2. Pemasangan NGT 6. Mengenal dan memberikan edukasi
3. Pemeriksaan abdomen untuk tanda-tanda kasus-kasus rujukan bedah digestif
peritonitis, tanda-tanda ileus obstruksi 7. Hernia inguinalis, femoralis, reponibel,
4. Melakukan pemeriksaan fisik cara ireponibel, inkarserata, strangulata
membedakan jenis hernia 8. Appendisitis akut, infiltrat
5. Mengetahui cara membaca rontgen
abdomen untuk tanda-tanda ileus obstruksi
6. Pemeriksaan dan makna rectal toucher
II Bedah Onkologi 1. Mastitis
2. Tumor Tiroid
3. Limfadenopati 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
4. Lipoma terarah
5. Tumor mammae 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
6. Tumor kepala dan leher dengan kasus bedah onkologi
7. Tumor kulit 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
8. Tumor jaringan ikat menunjang diagnosis
4. Memberikan tatalaksana lini pertama
untuk kasus-kasus rujukan
1. Melakukan eksisi tumor jinak 5. Mampu melakukan tindakan bedah
2. Melakukan drainage abses sederhana: eksisi tumor jinak dan abses
3. Membedakan karakteristik tumor jinak dan 6. Mengenal dan memberikan edukasi kasus-
ganas kasus rujukan bedah onkologi
4. Melakukan dan mendeskripsikan
pemeriksaan fisik pada tumor
III Bedah Ortopedi 1. Fraktur 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
2. Dislokasi terarah
3. Cedera Tulang Belakang 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
4. Fraktur Vertebra Torakalis dengan kasus bedah ortopedi
5. Sindrom Kompartemen 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
6. Fraktur Colles menunjang diagnosis
7. Fraktur Smith 4. Memberikan tatalaksana lini pertama
8. Ruptur Tendon Achilles untuk kasus-kasus rujukan dan mampu
9. Trigger Finger melakukan tindakan lini pertama sesuai
10. Sindrom Terowongan Karpal (CTS) panduan ATLS

10
11. Trauma Sendi (Strain & Sprain) 5. Penanganan pertama fraktur
12. Osteomielitis 6. Penanganan perdarahan pada fraktur
13. Artritis Septik terbuka (prinsip ATLS)
14. Spondilitis Tuberkolosis 7. Mampu memberikan terapi lini pertama
15. Osteoartritis kasus-kasus ortopedi (RICE), antibiotik,
16. Herniasi Nukleus Pulposus immobilisasi fraktur
17. Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) 8. Mengenal dan memberikan edukasi
18. Skoliosis Kongenital kasus-kasus rujukan bedah ortopedi
19. Neoplasma Maskuloskeletal
20. Osteoporosis
1. Mengenal tanda-tanda fraktur
2. Mengenal dan menerapkan prinsip-prinsip
immobilisasi kasus-kasus fraktur
3. Menerapkan penggunaan arm sling, splint
4. Mengenal tanda-tanda sindrom
kompartemen
5. Mendeskripsikan jenis-jenis fraktur pada
rontgen
6. Resusitasi cairan pada syok hemorrhagik
7. Refleks bulbokavernous pada cedera tulang
belakang
8. Indikasi pemasangan collar neck, long spine
board
IV Bedah Syaraf 1. Cedera kepala berdasarkan GCS 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
2. Perdarahan intrakranial terarah
2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
dengan kasus bedah syaraf
3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
1. Melakukan pemeriksaan refleks pupil menunjang diagnosis
2. Melakukan pemeriksaan GCS 4. Memberikan tatalaksana lini pertama
3. Pemasangan NGT untuk kasus-kasus rujukan dan mampu
4. Pemasangan OPA melakukan tindakan lini pertama sesuai
5. Mengenal gangguan jalan nafas dan panduan ATLS
melakukan chin lift dan jaw thrush 5. Mengenal dan menerapkan tatalaksana
gangguan ABC pada cedera kepala
6. Mengenal dan menerapkan skor GCS
7. Membaca rontgen cranium
8. Mengenal dan memberikan edukasi
kasus-kasus rujukan bedah syaraf
V Bedah Plastik 1. Luka 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
2. Parut Hipertropik, Keloid, dan kontraktur terarah
3. Luka bakar 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
4. Sumbing bibir dan langitan dengan kasus bedah plastik
5. Trauma craniomaxillofacial 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
6. Hipospadia menunjang diagnosis
4. Mengetaqhui fisiologi penyembuhan luka
1. Mendiskripsikan luka akut dan luka kronis
(normal dan abnormal)
2. Mampu melakukan perawtan luka
5. Mengenal dan mampu mendeskripsikan
3. Mampu melakukan dan mengenal prinsip-
luka akut, luka kronis, rencana
prinsip dasar teknik menjahit luka sederhana
tatalaksana dan perawtan luka
dan kegunaan macam-macam jenis bening
6. Memahami skema anak tangga
4. Menghitung luas luka bakar
rekonstruksi penutupan luka
5. Menghitung pemberian cairan (resusitasi dan
7. Memmpu melakukan penjahitan luka
rumatan) pada luka bakar
secara lege artis
6. Mempu memberikan dan memperagakan
8. Mengenal dan memberikan tatalaksana
edukasi pada pasien dengan sumbing bibir
pertama pada luka bakar (Primary survey,
dan langitan
First Aid dan Secondary survey) dan
7. Mampu melakukan pemeriksaan fisik pasien
mengetahui criteria rujuk
dengan trauma craniomaxillofacial
9. Mampu melakukan edukasi pencegahan
8. Membaca rontgen cranium AP, water’s dan
kontraktur pasca luka bakar
panoramic
10. Mengenal, mendiagnosis dan mampu
medeskripsikan luka abnormal (scar
hipertropik dan keloid)
11. Mengenal dan mendiagnosis kontraktur
12. Mengenal dan mendiagnjosis pasien
dengan sumbing bibir dan lelangit

11
13. Mengetahui tahapan operasi pasien
sumbing bibir dan lelangit dan criteria
rujuk
14. Mengenal dan memberikan tatalaksana
pertama pada kasus teruma
craniomaxillofacial sesuai panduan ATLS
15. Mengenal dan mendiagnosis traum
craniomaxillofacial (fraktur os nasal,
maxilla dan mandibula)
16. Melakukan pemeriksaan fisik
craniomaxillofacial dan membaca
rontgen cranium, waters dan panoramic
17. Mengenal dan mendiagnosis pasien
dengan hipospadia dan kelainan yang
mungkin menyertainya
18. Mengetahui tahapan operasi pasien
hipospadia
19. Mengenal dan memberikan edukasi
kasus-kasus rujukan bedah plastic.

VI Bedah Urologi 1. Gross hematuria 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan


2. Kolik renal terarah
3. Batu saluran kemih (batu ginjal, batu ureter, 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
batu buli, batu uretra) dengan kasus bedah urologi
4. Infeksi Saluran Kemih 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
5. Pielonefritis tanpa komplikasi menunjang diagnosis
6. Torsio testis 4. Memberikan tatalaksana lini pertama
7. Fimosis untuk kasus-kasus rujukan dan mampu
8. Parafimosis melakukan tindakan lini pertama sesuai
9. Prostatitis panduan ATLS
10. Ruptur Uretra 5. Mampu melakukan pPemasangan kateter
11. BPH secara tepat indikasi, cara-cara asepsis
12. Hidrokel dan mengenal resiko pemasangan kateter
13. Striktur uretra 6. Mengenal dan memberikan tatalaksana
14. Meatal Steus lini pertama kasus kegawatdaruratan
15. Trauma Ginjal urologi
16. Trauma Buli 7. Mengenal dan memberikan edukasi
1. Pemasangan kateter secara lege artis kasus-kasus rujukan bedah urologi
2. Waktu penggantian kateter
3. Melakukan inspeksi dan pemeriksaan serta
interpretasi regio CVA, regio suprapubik,
regio genitalia, pemeriksaan prostat
4. Melakukan tes transiluminasi
5. Sirkumsisi
8. Interpretasi BNO, BNO IVP
VII Bedah Anak 1. Malformasi Anorectal 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
2. Penyakit Hirschsprung terarah
3. Atresia/stenosis saluran cerna (congenital) 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
4. Hernia Inguinalis Lateralis dengan kasus bedah anak
5. Hernia Diafragmatika Kongenital 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
6. Intussusepsi menunjang diagnosis
7. Detek dinding abdomen (Gastroschisis dan 4. Memberikan tatalaksana lini pertama
Omphalocele) untuk kasus-kasus rujukan dan mampu
1. Pemeriksaan abdomen dan genitalia pada melakukan tindakan lini pertama
kelainan bedah 5. Mengenal dan memberikan edukasi
2. Tata laksana awal obstruksi usus kasus-kasus rujukan bedah anak
3. Pemberian cairan intra vena pada bayi dan
anak
VIII Bedah Toraks, Kardiak 1. Penanganan Airway, Breathing, Circulation 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
dan Vaskular (Primary Survey) dan Penegakan diagnosis terarah
pada Trauma Leher 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
2. Penanganan Airway, Breathing, Circulation dengan kasus bedah thorax
(Primary Survey) dan Penegakan diagnosis 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
pada Trauma dada menunjang diagnosis

12
1. Mendeskripsika kegawatan yang timbul 4. Mengetahui fifiologi pernafasan dan
akibat trauma toraks, kardiak dan vascular sirkulasi
2. Mampu mel;akukan penatalaksanaan dini 5. Mengenal dan mampu mendeskripsikan
(life saving) pada penderita trauma leher, kompliasi akibat trauma pada leher, dada
dada sesuai ATLS dan pembuluh darah
3. Mampu melakukan dan mengenal prinsip – 6. Melakukan tatalaksana lini pertama untuk
prinsip dasar teknik dekompresi dan drainase kasus kegawatan pernafasan (Airway dan
intra pleura dan intra perikard Breathing) sesuai dengan ATLS
4. Mampu mengobservasi dan mengevaluasi 7. Melakukan identifikasi komplikasi akibat
tindakan dini penderita trauma (sesuai ATLS) trauma secara radiologis (Chest X-Ray)
8. Mengenal dan memberikan edukasi kasus
– kasus rujukan Bedah Toraks, Kardik dan
Vaskular
IX Bedah Vaskuler 1. Thromboplebitis 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
2. Ulkus pada tungkai terarah
3. PAD /CLI / ALI 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
4. DVT dengan kasus bedah vaskuler
5. CVI / Varises 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
6. Limfedema menunjang diagnosis
7. Diabetic Foot Ulcer 4. Memberikan tatalaksana lini pertama
8. Trauma Vaskular untuk kasus-kasus rujukan dan mampu
1. Melakukan pemeriksaan CRT melakukan tindakan lini pertama
2. Melakukan pemeriksaan pulsasi pada arteri 5. Mengenal dan memberikan edukasi
3. ABI (angkle Brachial Indec) kasus-kasus rujukan bedah vaskuler
4. Homman Test / weussere
5. Pedis Score
6. Test Valsava varises dll
7. Pemeriksaan fisik untuk lemfedema
8. Hard sign, soft sign

13
BAB V
METODE PEMBELAJARAN

Metode pengajaran yang digunakan selama kepaniteraan klinik Bedah ialah pengajaran aktif
mandiri dan terintegrasi yang meliputi:
1. Tahap orientasi
Tahap ini bertujuan untuk memberikan wawasan mengenai ruang lingkup Ilmu Bedah seperti
yang tercantum dalam lingkup bahasan.

1.1 Kuliah
Bentuk kuliah interaktif memberikan wawasan mengenai Ilmu Bedah. Pemberian materi
kuliah dilaksanakan pada minggu ke-1 sampai dengan 2.

No. Mata kuliah Durasi (menit)


1 Pengantar Ilmu Bedah 50
2 Etika dan hukum dalam Ilmu Bedah 50
3 Bedah Digestif 1 50
4 Bedah Onkologi 1 50
5 Bedah Orthopedi 1 50
6 Bedah Urologi 1 50
7 Bedah Plastik 1 50
8 Bedah Anak 1 50
9 Bedah Thorak 1 50
10 Bedah Saraf 1 50
11 Bedah Vaskuler 1 50
12 Bedah Digestif 1 50
13 Bedah Onkologi 1 50
14 Bedah Orthopedi 1 50
15 Bedah Urologi 2 50
16 Bedah Plastik 1 50
17 Bedah Digestif 2 50
18 Bedah Onkologi 2 50
19 Bedah Orthopedi 2 50
20 Bedah Urologi 3 50
21 Bedah Plastik 2 50
22 Bedah Anak2 50
23 Bedah Thorak 2 50
24 Bedah Saraf 2 50
25 Bedah Vaskuler 2 50
26 Bedah Digestif 2 50
27 Bedah Onkologi 2 50
28 Bedah Orthopedi 2 50
29 Bedah Urologi2 50
30 Bedah Plastik 2 50

14
1.2 Bimbingan Konsulen
Bimbingan ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa berdiskusi secara interaktif
dengan dosen pembimbing, untuk membahas topik-topik yang kurang dipahami. Narasumber
menilai pemahaman mahasiswa dan meberikan arahan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuannya.

2. Tahap latihan
Tahap latihan ini bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan praktik klinik
melalui berbagai pengalaman belajar langsung pada pasien. Dalam tahap ini, mahasiswa
diharapkan melihat, memeriksa dan melakukan tindakan yang tercantum dalam buku kegiatan
mahasiswa. Semua kegiatan tersebut harus dicatat dalam buku catatan kegiatan mahasiswa dan
ditandatangni oleh staf konsulen atau PPDS senior yang bertugas.

2.1 Kegiatan di OK (Bedside Teaching)


Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengalaman klinisi dalam pengelolaan pasien
Bedah di kamar operasi RSUP. Dr. Moh. Hoesin Palembang. Kegiatan yang dimaksud dalam
supervisi yaitu sebagai berikut:
1. Melakukan persiapan pasien.
2. Melakukan pemasangan Kateter
3. Melakukan pemasangan NGT
4. Melakukan pemasang IV line
5. Melakukan tindakan sesuai dengan kompetensi yang terdapat dalam buku kegiatan
6. Mengisi buku kegiatan

2.2 Bangsal (Bedside Teaching)


Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengalaman klinis kasus penyakit kritis dan cara
pengelolaan pasien sakit kritis di ICU dan HCU RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang. Kegiatan
yang dimaksud dalam supervisi yaitu sebagai berikut:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Tata laksana
4. Perawatan post op
5. Pembuatan resume pasien

2.3 Tugas jaga malam di IGD


Jaga malam berlangsung setiap hari mulai dari pukul 14.00 sampai 07.00 WIB hari berikutnya.
Saat tugas jaga malam, mahasiswa akan berhadapan langsung dengan pasien gawat darurat
sehingga mampu dan terampil mengenali mengelola kasus kegawat-daruratan. Kegiatan yang
dilakukan sama dengan kegiatan di IGD.

15
2.4 Kegiatan di IGD
Kegiatan ini bertujuan memberikan pengalaman klinis pengelolaan pasien gawat darurat.
Dilakukan di ruang resusitasi dan kamar operasi IGD RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
Mahasiswa melakukan observasi pengelolaan pasien gawat di ruang resusitasi dan
perianestesia pasien yang menjalani operasi emergensi. Kegiatan yang dimaksud dalam
supervisi yaitu:
1. Melakukan penilaian triage
2. Melakukan survey primer pada pasien dengan tanda-tanda kegawatan di ruang IGD
3. Melakukan observasi pasien selama di IGD
4. Melakukan pemantauan perioperatif pasien yang menjalani operasi emergensi
5. Melakukan tindakan sesuai dengan kompetensi yang terdapat pada buku kegiatan
6. Mengisi buku kegiatan

2.5 Kegiatan akademik


1. Setara praktikum:
 Bedside teaching (BST)
 Procedural skill
2. Setara perkuliahan
 Clinical / community science session
 Case report session
 Journal reading / referat
 Meet the expert

3. Tahap umpan balik


Tahap ini bertujuan untuk evaluasi hasil pembelajaran

16
MATRIX PERKULIAHAN

Minggu
RS

Pukul Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu

07.00-07.50 Kuliah 1 Kuliah 3 Kuliah 5 Kuliah 7 Kuliah 9


07.50-08.40 Kuliah 2 Kuliah 4 Kuliah 6 Kuliah 8 Kuliah 10
08.40-09.30 BST 1 PS 1 BST 2 PS 2 POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

I 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA


12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA


07.00-07.50 Kuliah 11 Kuliah 13 Kuliah 15 Kuliah 17
Referat 1
07.50-08.40 Kuliah 12 Kuliah 14 Kuliah 16 Kuliah 18
08.40-09.30 BST 3 PS 3 BST 4 PS 4 POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

II 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA


12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA


07.00-07.50
Referat 2 Referat 3 Referat 4 Referat 5 Referat 6
07.50-08.40
RS Mohammad Hoesin

08.40-09.30 BST 5 PS 5 BST 6 PS 6 POLI/IGD/OK/R.INAP


09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

III 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA


12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA


07.00-07.50
Referat 7 Referat 8 Referat 9 Referat 10 Referat 11
07.50-08.40
08.40-09.30 BST 6 PS 6 BST 7 PS 7 POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

IV 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA


12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA


07.00-07.50 POLI/IGD/OK/R.INAP
Referat 12 Referat 13 Referat 14 Referat 15
07.50-08.40 POLI/IGD/OK/R.INAP
08.40-09.30 BST 8 PS 8 BST 9 PS 9 POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

V 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA


12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP


14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA

17
07.00-07.50
Case 1 BST 10 Case 2 BST 11 Case 3
07.50-08.40
08.40-09.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
VI 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA
12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-07.50
Case 4 PS 10 Case 5 PS 11 Case 6
07.50-08.40
08.40-09.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
VII 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA
12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
JEJARING/AFILIASI

13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP

15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA


07.00-07.50
Case 7 BST 12 Case 8 BST 12 Case 9
07.50-08.40
08.40-09.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
VIII 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA
12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-07.50
Case 10 PS 12 BST 13 PS 12 BST 14
07.50-08.40
08.40-09.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
IX 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA
12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-07.50 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
07.50-08.40 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
OSCE LISAN LISAN CBT
RS Mohammad Hoesin

08.40-09.30 LISAN
09.30-10.20 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
10.20-11.10 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
X 11.10-12.00 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT JAGA
12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
13.50-14.40 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
14.40-15.30 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
Nb : untuk minggu ke X, setelah selesai ujian mengikuti kegiatan kepaniteraan di Poli, IGD,OK
dan rawat inap

18
BAB VI
SUMBER DAYA

SARANA DAN PRASARANA


Buku pedoman pengajaran
1. Buku panduan pendidikan dokter umum tahap profesi Fakultas Kedokteran Unsri
2. Buku panduan praktik klinik Ilmu Bedah

Buku rujukan untuk pembelajaran mahasiswa


1. Schwartz Principles of Surgery, 10th edition, McGraw-Hill Professional
2. Bailey and Love’s Short Practice of Surgery 26 Edition, CRC Press Book
3. Current Diagnosis and Treatment Surgery: Thirteenth Edition (Lange Currnet Series)
4. ATLS: Advanced Trauma Life Support for Doctors (Student Course Manual), 8th Edition

Ruang Kuliah

Alat bantu ajar

Tempat praktik klinik:


1. Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
2. Kamar operasi Central Operating Theater(COT) RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
3. Poli klinik RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
4. Bangsal rawat RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang

SUMBER DAYA MANUSIA


Staf Pengajar yang terlibat :

No. Nama staf pengajar Inisial Status No. Telp NIP


1 Dr. Effman EU Manawan, SpB-KBD, M Kes EF RSMH 085381350058 196006181989111001
2 Dr. Sarup Singh, SpB-KBD SS RSMH 08161367508 195810041985031002
3 DR. Dr. M. Alsen Arlan, SpB-KBD, MARS AL RSMH 08191085284 196206041989031001
4 Dr. Burmansyah, SpB(K)Onk BUR RSMH 081368601137 194412031976021001
5 Dr. HKM Yamin Alsoph, SpB(K)Onk, MARS YM RSMH 08127197552 194504251982111001
6 Dr. Benny Kusuma SpB(K)Onk BK RSMH 081364728609 196103061990031002
7 Dr. Mulawan Umar SpB(K)Onk MU RSMH 08127119126 197309132006041004
8 Dr. Muzakkie SpOT MZ RSMH 0811787106 194804021973111001
9 Dr. Nur Rachmat Lubis SpOT NR RSMH 0811710564 195902181985111001
10 Dr. Rendra Leonas SpOT M. HumKes RL RSMH 0811785652 196307081990031002
11 Dr. Ismail Bastomi SpOT IS RSMH 08122009515 197803242010121001
12 Dr. Primadika Rubiansyah SpOT DK RSMH 08117101596
13 Dr. Zulkarnain SpOT ZR RSMH 0811784331 197701182008011016
14 Dr. Arizal Agoes Sp.B SpU AR RSMH 08127809996 195207081976021001
15 Dr. Marta Hendry SpU MTH RSMH 0818505686 196803011998031005
16 DR. Dr. Didit Pramudhito Sp.U DIT RSMH 08122110903 196706161996031001

19
17 Dr. Trijoso Permono SpBS TP RSMH 0811712551 197103102000121001
18 Dr. Edison Sitorus SpBS M Epid Klin ED RSMH 081712247 195207161978100001
19 Dr. MGS Roni Saleh SpBP-RE RS RSMH 081703391800 194701101976021001
20 Dr. Iqmal Perlianta SpBP-RE IQI RSMH 085267117646 196904112000031002
21 Dr. Abda Arif SpBP-RE ABA RSMH 081368601137
22 Dr. Bermansyah SPB-TKV BER RSMH 08127127952 196303281989111001
23 Dr. Sindu Saksono SpB SpBA SI RSMH 08127127952 195703181984031005
24 Dr. Shalita SpB SpBA ST RSMH 08127100377 198211292010122001
25 Dr. Fahmi Jaka Yusuf SpBKV FM RSMH 0811714472 198007052010121001
26 Dr. M. Hafid Komar, SpBKBD HF RSMH 081171019000 198210092010121001
27 Dr. Anugerah Onie Widiatmo, SpBS RSMH 085722944544 770529022018201507
28 Dr. Hasan, SpBS RSMH 085624112707 831007022022201001
29 Dr. Agung Muda Patih, SpBS RSMH 081272377778 198107012008041000
30 Dr. Mufida Muzakkie, SpBP-RE RSMH 08188884038
31 Dr. Wiria Aryanta, M.Kes, SpOT(K)Hand RSMH 08122009396
32 Dr. Kms. Dahlan, SpB(K)V RSMH 085382730514
33 Dr. Gama Satria, SpB-BTKV RSMH 08127113115
34 Dr. Ahmat Umar, SpB-BTKV RSMH 082186706101
35 Dr. Nur Qodir, SpB(K)Onk RSMH 085383836540 197202052002121001
36 Dr. Hazairin,SpB RSUD 0733-32101 196307021989111001
dr.Sobiri
n Lubuk
Linggau
37 Dr. Yudi Arimansyah,SpB RSUD 081367611167
dr.Sobiri
n Lubuk
Linggau
38 Dr. Ayatullah,SpB RSUD 081278821942 197906102005011008
Kayu
Agung
39 Dr. Ali Hanafiah,SpB RSUD 081367602021 196904082002121001
dr.HM.Ra
bain
Muara
Enim
40 Dr. Yustina,SpB RSUD 08127848006 198106082008032001
dr.HM.Ra
bain
Muara
Enim

a. Staf pengajar dari Departemen Ilmu Bedah RSUP sebanyak 35orang


b. Staf pengajar dari rumah sakit jejaring
c. Peserta PPDS Departemen Ilmu Bedah FK Unsri semester 7 (tujuh) ke atas (tahap kompetensi
tiga) membantu dalam membimbing dan mengawasi mahasiswa di ruang rawat inap, ruang
rawat jalan dan instalasi gawat darurat di bawah supervisi staf pengajar

20
BAB VII
EVALUASI

EVALUASI HASIL PENDIDIKAN PERORANGAN


1. Pra-syarat mengikuti ujian di Bagian Bedah:
 Kehadiran selama praktik klinik memenuhi persyaratan 90% kehadiran. Ketidakhadiran harus
disertai surat izin tertulis serta keterangan yang diperlukan yang disampaikan sebelum izin
diberikan atau selambat-lambatnya 1 hari setelah izin.
 Telah melaksanakan semua tugas dan kewajiban selama program pendidikan berlangsung.
 Telah menyelesaikan kewajiban administrasi.
 Tidak terdapat masalah perilaku (attitude) dan professional behaviour selama masa
kepaniteraan. Jika terdapat masalah akan ditentukan melalui rapat Bagian dan dilaporkan
kepada pimpinan fakultas.

Keberhasilan mahasiswa:
Nilai Akhir Huruf Mutu Angka Mutu
86-100 A 4
71-85 B 3
56-70 C 2
41-55 D 1
<41 E <1
Nilai batas lulus > 71

Remedial
 Ketentuan remedial diatur dalam buku panduan pendidikan profesi dokter.
 Jadwal remedial ditentukan oleh Bagian Akademik setelah yudisium dilaksanakan. Jadwal
remedial disusun dengan mempertimbangkan kapasitas Bagian.

2. Instrumen evaluasi hasil pendidikan (EHP)


 Ujian OSCE gabungan
 Ujian tulis MCQ

21
3. Pembobotan
No Komponen evaluasi Presentasi
1 Proses pembelajaran 40%
A Procedural skill/Microskill 20%
B Case Report 10%
C Jurnal reading/Referaat 10%
2 Ujiansumatif 60%
A Ujian kasus/Mini Clinical Evaluation (Mini CEX) 20%
B OSCE (Objective Structured Clinical Examination) 20%
C MCQ (Multiple Choice Question)/CBT 20%
Total 100%

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN


1. Evaluasi program
 Sebanyak 80%, mahasiswa lulus dengan nilai B- atau lebih tinggi
2. Evaluasi proses program
 Semua kegiatan berlangsung sesuai waktu dan rencana. Apabila terjadi perubahan jadwal,
waktu dan kegiatan tidak lebih dari 10%.
 Setiap kegiatan dihadiri minimal 90%, mahasiswa dan staf pengajar

22
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

1. Kurikulum Fakultas Kedokteran Indonesia


2. Standar Kompetensi Dokter, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta 2012.

23
AREA KOMPETENSI DOKTER INDONESIA

KOMPETENSI KLINIS
Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk
mendapatkan informasi lebihlanjut mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yangpaling tepat bagi pasien.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjutisesudah kembali dari rujukan.

Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakittersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penangananpasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudahkembali dari rujukan.

Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk

3A. Bukan gawat darurat


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapipendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat.
Lulusan doktermampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasienselanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali darirujukan.

3B. Gawat darurat


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikanterapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkannyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien.Lulusan dokter mampu menentukan rujukan
yang paling tepat bagipenanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjutisesudah kembali dari
rujukan.

Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atauPendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)rujukan.

KOMPETENSI KETERAMPILAN
Tingkat kemampuan 1 (Knows): Mengetahui dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu menguasai pengetahuan teoritis termasuk aspek biomedik dan psikososial keterampilan tersebut
sehingga dapat menjelaskan kepadapasien/klien dan keluarganya, teman sejawat, serta profesi lainnya tentang prinsip,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul. Keterampilan ini dapat dicapai mahasiswa melalui perkuliahan, diskusi,
penugasan, dan belajar mandiri, sedangkanpenilaiannya dapat menggunakan ujian tulis.

Tingkat kemampuan 2 (Knows How): Pernah melihat atau didemonstrasikan


Lulusan dokter menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini dengan penekanan pada clinical reasoning dan problem
solving serta berkesempatanuntuk melihat dan mengamati keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasiatau pelaksanaan
langsung pada pasien/masyarakat. Pengujian keterampilan tingkat kemampuan 2 dengan menggunakan ujian tulis pilihan
berganda ataupenyelesaian kasus secara tertulis dan/atau lisan (oral test).

Tingkat kemampuan 3 (Shows): Pernah melakukan atau pernah menerapkan dibawah supervisi
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teori keterampilan ini termasuk latarbelakang biomedik dan dampak psikososial
keterampilan tersebut,berkesempatan untuk melihat dan mengamati keterampilan tersebut dalambentuk demonstrasi atau
pelaksanaan langsung pada pasien/masyarakat, sertaberlatih keterampilan tersebut pada alat peraga dan/atau standardized
patient.Pengujian keterampilan tingkat kemampuan 3 dengan menggunakan ObjectiveStructured Clinical Examination (OSCE)
atau Objective Structured Assessmentof Technical Skills (OSATS).

Tingkat kemampuan 4 (Does): Mampu melakukan secara mandiri


Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan menguasai seluruh teori, prinsip, indikasi, langkah-
langkah cara melakukan,komplikasi, dan pengendalian komplikasi. Selain pernah melakukannya di bawahsupervisi, pengujian
keterampilan tingkat kemampuan 4 dengan menggunakanWorkbased Assessment misalnya mini-CEX, portfolio, logbook, dsb.

4A. Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter


4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)

24
MODUL PROFESI DOKTER

BAGIAN BEDAH

BAGIAN II.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN BEDAH

25
ILMU BEDAH TORAKS KARDIAK DAN VASKULAR

Pokok Bahasan (Modul) :


Adapun pokok bahasan pada Ilmu Bedah Toraks Kardiak dan Vaskular adalah penanganan Airway,
Breathing, Circulation (Primary Survey) dan Penegakan diagnosis pada :
a. Trauma Dada
b. Trauma Leher

Sub Pokok Bahasan :


1. Melakukan anamnesis yang tepat dan terarah.
2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan kasus Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular
3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk menunjang diagnosis.
4. Mengetahui fisiologi pernafasan dan sirkulasi.
5. Mengenal dan mampu mendeskripsikan komplikasi akibat trauma pada leher, dada dan
pembuluh darah.
6. Melakukan tatalaksana lini pertama untuk kasus kegawatan pernafasan (Airway dan
Breathing) sesuai dengan ATLS.
7. Melakukan identifikasi komplikasi akibat trauma secara radiologis (Chest X-Ray).
8. Mengenal dan memberikan edukasi kasus-kasus rujukan Bedah Toraks, Kardiak dan
Vaskular.

Keterampilan klinik :
1. Mendeskripsikan kegawatan yang timbul akibat trauma toraks, kardiak dan vaskular.
2. Mampu melakukan penatalaksanaan dini (life saving) pada penderita trauma leher, dada
sesuai ATLS.
3. Mampu melakukan dan mengenal prinsip-prinsip dasar teknik dekompresi dan drainase
intra pleura dan intra perikard.
4. Mampu mengobservasi dan mengevaluasi tindakan dini penderita trauma (sesuai ATLS).

26
TRAUMA DADA
Gama satria, dr, Sp.B, Sp.BTKV

Trauma Pada Dada dibagi menjadi dua jenis yaitu truma tajam dan tumpul. Adapun kelainan
yang dapat timbul akibat dari trauma tersebut adalah :
1. Trauma pada dinding toraks
2. Trauma pada pleura an paru

Trauma pada Dinding Toraks


A. Fraktur Iga
Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat trauma tumpul pada dinding
toraks. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma
yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga sering terjadi pada iga IV-X
dan sering menyebabkan kerusakan pada organ intra toraks dan intra abdomen. (Sjamsuhidajat,
2005; Brunicardi, 2006).
Fraktur pada iga VIII-XII sering menyebabkan kerusakan pada hati dan limpa. Perlu di curigai
adanya cedera neurovaskular seperti pleksus brakhialis dan arteri atau vena subklavia, apabila
terdapat fraktur pada iga I-III maupun fraktur klavikula (Brunicardi, 2006).
Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006):
1. Fraktur yang mengenai 1 atau 2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain: konservatif dengan
anti nyeri.
2. Fraktur di atas 2 iga perlu di curigai adanya kelainan lain seperti: edema paru, hematotoraks,
dan pneumotoraks.

Pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ
intratoraks lain, adalah: Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
1. Bronchial toilet
2. Cek laboratorium berkala : Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit, Trombosit, dan Analisa
gas darah
3. Cek foto toraks berkala

Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain seperti : pneumotoraks dan
hematotoraks, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat dengan analgetik,
bronchial toilet, cek laboratorium dan foto toraks berkala, dapat menghindari morbiditas dan
mortalitas. (Sjamsuhidajat, 2005).
Komplikasi yang sering terjadi pada fraktur iga adalah atelektasis dan pneumonia, yang
umumnya disebabkan manajemen analgetik yang tidak adekuat (Brunicardi, 2006).

B. Fraktur Sternum (Sjamsuhidajat, 2005; Brunicardi, 2006)


Fraktur sternum jarang ditemukan pada trauma toraks. Biasanya ditemukan pada trauma
langsung dengan gaya trauma yang cukup besar. Lokasi fraktur biasanya dijumpai pada bagian
tengah atas sternum dan sering disertai fraktur Iga.

27
Fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan seperti : kontusio atau laserasi jantung,
perlukaan bronkhus atau aorta. Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik biasanya dijumpai nyeri
terutama di area sternum dan disertai krepitasi.
Pada pemeriksaan penunjang foto toraks lateral ditemukan garis fraktur pada daerah sternum
atau gambaran sternum yang tumpang tindih. 61% kasus fraktur sternum memperlihatkan adanya
perubahan pada pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) yang tidak normal, merupakan tanda trauma
jantung. Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006)
1. Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan observasi
tanda-tanda adanya laserasi atau kontusio jantung
2. Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif untuk
stabilisasi dengan menggunakan sternal wire, sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada
organ atau struktur di mediastinum.

C. Flail Chest
Menurut Sjamsuhidajat (2005), flail chest adalah area toraks yang melayang, disebabkan adanya
fraktur iga multipel berturutan lebih atau sama dengan 3 iga dan memiliki garis fraktur lebih atau
sama dengan 2 pada tiap iganya.
Akibatnya adalah terbentuk area melayang atau flail yang akan bergerak paradoksal dari
gerakan mekanik pernapasan dinding toraks. Area tersebut akan bergerak masuk pada saat inspirasi
dan bergerak keluar pada saat ekspirasi.
Karakteristik (Brunicardi, 2006)
1. Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding toraks saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada
pasien dalam ventilator
2. Menunjukkan trauma hebat
3. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang
seringkali diperberat oleh edema atau kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak
dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint
atau bandage yang melingkari toraks, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan
secara keseluruhan (Brunicardi, 2006).
Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006)
1. Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan
pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui
pemeriksaan AGD (Analisa gas darah) berkala dan takipneu
2. Pain control
3. Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi)
4. Bronchial toilet
5. Fisioterapi agresif
6. Tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet

Indikasi Operasi atau stabilisasi pada flail chest:


1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain, seperti hematotoraks masif.
2. Gagal atau sulit weaning ventilator.

28
3. Menghindari cacat permanen.
4. Indikasi relatif Menghindari prolong ICU stay dan prolong hospital stay.

Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area yang
melayang atau flail.

Trauma pada Pleura dan Paru


A. Pneumotoraks (American College of Surgeons Commite on Trauma, 2008, Willimas, 2013)
Pneumotoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di rongga pleura akibat
robeknya pleura visceral, dapat terjadi spontan atau karena trauma, yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru.
Pneumotoraks terjadi karena trauma tumpul atau tembus toraks. Dapat pula terjadi karena
robekan pleura viseral yang disebut dengan barotrauma, atau robekan pleura mediastinal yang
disebut dengan trauma trakheobronkhial.
Rhea (1982), membuat klasifikasi pneumotoraks atas dasar persentase pneumotoraks, kecil
bila pneumotoraks <20 %, sedang bila pneumotoraks 20 % - 40 % dan besar bila pneumotoraks >40
%. Pneumotoraks dibagi menjadi simple pneumotoraks, tension pneumotoraks, dan open
pneumotoraks.
1. Simple peumotoraks (American College of Surgeons Commite on Trauma, 2008)
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang
progresif. Adapun Manifestasi klinis yang dijumpai :
a. Paru pada sisi yang terkena akan kolaps, parsial atau total
b. Tidak dijumpai mediastinal shift
c. Dijumpai hipersonor pada daerah yang terkena,
d. Dijumpai suara napas yang melemah sampai menghilang pada daerah yang
terkena.
e. Dijumpai kolaps paru pada daerah yang terkena.
f. Pada pemeriksaan foto toraks dijumpai adanya gambaran radiolusen atau
gambaran lebih hitam pada daerah yang terkena, biasanya dijumpai gambaran
pleura line.
Penatalaksanaan simple pneumotoraks dengan Torakostomi atau pemasangan selang
intra pleural + WSD.

2. Tension pneumotoraks (American College of Surgeons Commite on Trauma, 2008)


Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin
lama semakin bertambah atau progresif.
Pada tension pneumotoraks ditemukan mekanisme ventil atau udara dapat masuk
dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar. Adapun manifestasi klinis yang dijumpai :
a. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps total
paru, mediastinal shift atau pendorongan mediastinum ke kontralateral, deviasi
trachea, hipotensi & respiratory distress berat.

b. Tanda dan gejala klinis : sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu,
hipotensi, tekanan vena jugularis meningkat, pergerakan dinding dada yang
asimetris.

29
Tension pneumotoraks merupakan keadaan life-threatening, maka tidak perlu
dilakukan pemeriksaan foto toraks.
Penatalaksanaan tension pneumotoraks berupa dekompresi segera (torakosintesis)
dengan needle insertion pada sela iga II linea mid-klavikula pada daerah yang terkena.
Sehingga tercapai perubahan keadaan menjadi suatu simple pneumotoraks dan
dilanjutkan dengan pemasangan Torakostomi + WSD.

3. Open pneumothorax (American College of Surgeons Commite on Trauma, 2008)


Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada toraks sehingga udara dapat
keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama
dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound.
Penatalaksanaan open pneumotoraks :
a. Luka tidak boleh di eksplore.
b. Luka tidak boleh ditutup rapat yang dapat menciptakan mekanisme ventil.
c. Pasang plester 3 sisi.
d. Torakostomi + WSD.
e. Singkirkan adanya perlukaan atau laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks
lain.
f. Umumnya disertai dengan perdarahan atau hematotoraks.

Pada pneumotoraks kecil (<20 %), gejala minimal dan tidak ada respiratory distress,
serangan yang pertama kali, sikap kita adalah observasi dan penderita istirahat 2-3 hari. Bila
pneumotoraks sedang, ada respiratory distress atau pada observasi nampak progresif foto toraks,
atau adanya tension pneumothorax, dilakukan tindakan bedah dengan pemasangan torakostomi +
WSD untuk pengembangan paru dan mengatasi gagal nafas.
Tindakan torakotomi dilakukan bila:
a. Kebocoran paru yang masif sehingga paru tak dapat mengembang (bullae / fistel
bronkopleura).
b. Pneumotoraks berulang.
c. Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension pneumothorax).
d. Pneumotoraks bilateral.
e. Indikasi social (pilot, penyelam, penderita yang tinggal di daerah terpencil)

D. Hematotoraks (Hemotoraks) (Willimas, 2013)


Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus pada toraks.
Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu diingat
bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks dapat
terjadi syok hipovolemik berat yang mengakibatkan terjadinya kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat
adanya perdarahan yang nyata oleh karena perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di dalam
rongga toraks.
Manifestasi klinis yang ditemukan pada hematotoraks sesuai dengan besarnya perdarahan atau
jumlah darah yang terakumulasi.Perlu diperhatikan adanya tanda dan gejala dari instabilitas
hemodinamik dan depresi pernapasan.

30
Pemeriksaan foto toraks boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil.Pada kasus hematotoraks
terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru, dijumpai bayangan air-fluid level
pada kasus hematopneumotoraks.
Penatalaksanaan hematotoraks
a. Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.
b. Pada 90 % kasus hematotoraks dapat ditatalaksana hanya dengan tindakan Torakostomi +
WSD.
c. Tindakan operasi torakotomi emergensi dilakukan untuk menghentikan perdarahan apabila
dijumpai :
 Dijumpai perdarahan massif atau inisial jumlah produksi darah di atas 1500 cc.
 Bila produksi darah di atas 5 cc/kgBB/jam.
 Bila produksi darah 3-5 cc/kgBB selama 3 jam berturut-turut.

E. Kontusio Paru (Willimas, 2013)


Kontusio paru sering dijumpai pada kasus trauma tumpul toraks dan dapat pula terjadi pada
trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan edema pada parenkim.
Patofisiologi yang terjadi adalah kontusio atau cedera jaringan yang menyebabkan edema dan
reaksi inflamasi sehingga lung compliance menurun, ventilation-perfusion mismatch yang
mengakibatkan hipoksia dan “work of breathing” yang meningkat.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan nilai PaO2.
laboratorium analisa gas darah yang menunjukan penurunan
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :
a. Mempertahankan oksigenasi
b. Mencegah/mengurangi edema
c. Tindakan: bronchial toilet, batasi pemberian cairan isotonik atau hipotonik, terapi oksigen,
pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP >5)

F. Laserasi Paru (Brunicardi, 2006)


Robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau trauma tumpul keras yang disertai
fraktur iga. Manifestasi klinik umumnya dijumpai hemato + pneumotoraks.
Penatalaksanaan umum dengan Torakostomi + WSD
Indikasi operasi:
a. Hematotoraks masif (lihat hematotoraks)
b. Adanya continous buble pada torakostomi yang menunjukkan adanya robekan paru
c. Distress pernapasan berat yang dicurigai karena robekan luas

G. Ruptur Diafragma (Willimas, 2013)


Ruptur diafragma pada trauma toraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah
toraks inferior atau abdomen atas. Trauma tumpul di daerah toraks inferior akan mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdominal yang diteruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma
tidak dapat menahan tekanan tersebut.
Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah toraks inferior. Pada
keadaan ini trauma tembus juga akan melukai organ-organ intratoraks atau intra abdominal Ruptur
diafragma umumnya terjadi di puncak atau kubah diafragma. Kejadian ruptur diafragma sebelah kiri

31
lebih sering dari pada diafragma kanan. Pada ruptur diafragma akan terjadi herniasi organ viseral
abdomen ke toraks dan dapat terjadi ruptur ke intra perikardial.
Diagnostik dapat ditegakkan dari anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, yaitu
riwayat trauma tumpul toraks inferior atau abdomen. Tanda dan gejala klinis sesak atau respiratory
distress, mual-muntah, tanda-tanda akut abdomen. Dari pemeriksaan foto toraks dengan NGT
terpasang dijumpai pendorongan mediastinum kontralateral dan terlihat adanya organ viseral di
toraks.
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan torakotomi eksplorasi emergensi dan dapat diikuti
dengan laparotomi apabila diperlukan.

H. Trauma Esofagus (Brunicardi, 2006)


Trauma atau ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma tajam atau tembus. Diagnostik
dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto toraks yang menggambarakan pneumomediastinum atau
efusi pleura dan dapat dilakukan dengan esofagografi. Penatalaksanaannya dapat berupa
torakotomi eksplorasi.

I. Trauma Jantung (Brunicardi, 2006)


Kecurigaan terjadinya suatu trauma jantung dapat dinilai apabila dijumpai:
a. Trauma tumpul di daerah anterior
b. Fraktur pada sternum
c. Trauma tembus atau tajam pada area prekordial yaitu parasternal kanan, sela iga II kiri, garis
mid-klavikula kiri, arkus kosta kiri

Diagnostik dapat ditegakkan dari pemerikasan EKG, pemeriksaan enzim jantung atau CK-CKMB,
Troponin T. Pada foto toraks dijumpai pembesaran mediastinum, gambaran doublecontour pada
mediastinum yang menunjukkan kecurigaan efusi pericardium. Dapat juga dilakukan
Echocardiography untuk memastikan adanya suatu effusi atau tamponade jantung.
Penatalaksanaan trauma jantung dapat dilakukan apabila dijumpai:
a. Luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi
emergency
b. Tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan indikasi dilakukannya torakotomi
eksplorasi.
c. Kecurigaan trauma jantung yang mengharuskan perawatan dengan observasi ketat untuk
mengetahui adanya tamponade.

Salah satu komplikasi adanya kontusio jantung adalah terbentuknya aneurisma ventrikel
beberapa bulan atau tahun pasca trauma.

J. Empiema (Williams, 2013)


Empiema adalah efusi pleura yang terinfeksi oleh mikroba. Empiema paling sering terjadi karena
pneumonia atau infeksi paru yang penanganannya tidak sempurna, dan dapat juga terjadi karena
trauma, ruptur esophagus, ekstensi infeksi sub diaphragma seperti abses hepar.
Prinsip penanggulangan empiema adalah:
a. Drainase atau mengeluarkan nanah sebanyak-banyaknya.
b. Pemberian antibiotika yang adekuat baik jenis, dosis dan waktu
c. Obliterasi rongga empiema.

32
Penanggulangan empiema tergantung dari fase empiema. dimana terdapat 3 fase dari empyema,
yaitu :
a. Fase Eksudatif
b. Fase Fibropurulent
c. Fase Organisasi

K. Chylothorax
Chylothorax adalah akumulasi cairan limphe yang berlebihan di dalam rongga pleura karena
kebocoran dari duktus torasikus atau cabang-cabang utamanya. Obstruksi atau laserasi duktus
torasikus yang paling sering disebabkan oleh keganasan, trauma, tuberkulosa dan trombosis vena
(Brunicardi, 2006).
Cairan chylus khas putih seperti susu tidak berbau dan bersifat alkalis, pada kondisi puasa
produksi minimal dan menjadi produktif setelah makan makanan berlemak. Komposisi terutama
adalah fat 14-210 mmol/L (60 %-70 % lemak yang diserap usus masuk ke dalam duktus torasikus)
protein dan elektrolit (Brunicardi, 2006).
Penatalaksanaan Chylothorax (Brunicardi, 2006):
a. Konservatif, dengan cara: pemberian diet dan nutrisi yang adekuat atau rendah lemak),
koreksi cairan dan elektrolit dan closed Thoracostomy + WSD.
b. Intervensi bedah
Tindakan bedah dilakukan bila lebih dari 14 hari tindakan konservasif tidak berhasil, dari
kepustakaan 25 % kebocoran akan menutup secara sepontan dalam interval waktu 14 hari
dan 75 % butuh intervensi bedah.
Teknik bedah yang dilakukan adalah :
 Ligasi langsung pada duktus toraksikus.
 Supra diaphragmatic mass ligaton.
 Pleuroperitoneal shunting.
 Pleurodesis dan pleurectomi.
 Anastomosis duktus ke V. azygos.
 Dekortikasi.
 Fibrine glue.
 VATS (Video assisted thoracic surgery).

Referensi
1. Brunicardi, FC, Onan B, Oz, K.(2006) Chest wall, lung, mediastinum and pleura. dalam
Schwartz’s Manual of Surgery 8th edition. USA: Mc-graw Hill.
2. Willimas, N.S., Bulstrode CJ, O’connel P. (2013) The Thorax. Dalam Bailey and Love Short
Practice Surgery 26th Edition. India :CRC press.
3. American College of Surgeons Committee on Trauma. (2008) Trauma Toraks. Dalam ATLS
Student Course Manual 8th edition. USA.

33
34
TRAUMA LEHER
Gama Satria, dr, Sp.B, Sp.BTKV

A. Pendahuluan
Leher merupakan daerah yang cukup menyulitkan untuk dilakukan evaluasi dan tatalaksana
pada penderita trauma dikarenakan banyaknya struktur penting seperti saluran pernafasan,
pembuluh darah, saluran pencernaan dan syaraf, dimana bila terjadi trauma maka semua struktur
penting tersebut harus di evaluasi karena dapat membahayakan (life-threatening).

B. Sejarah
 Anubrose Pare pada tahun 1552 melaporkan kasus trauma vascular leher berupa
penanganan perdarahan pada a. Carotiskiri.
 Fleeming pada tahun 1803 telah melakukan liga siartericarotis communis pada pelaut HMS
Tonnand yang bunuh diri.
 Law Rance pada perang dunia pertama, repair dan rekonstruksi artericarotis.

PEMBAGIAN ZONA LEHER

1. Zona I
Zona anatomi leher yang paling terletak di caudal dengan batas inferior tulang
clavicula / sternal notch dan superior oleh garis sejajar yang melalui kartila gokrikoid.
Struktur penting yang terdapat pada daerah ini adalah :
• Proximal common carotid arteries.
• Vertebral and subclavian arteries.
• Subclavian, inominate, and jugular veins.
• Trachea.
• Recurrent laryngeal and vagus nerves.

35
• Esophagus.
• Thoracic duct.
2. Zona II
Zona leher tengah yang terletak antara garis sejajar yang melalui kartila gokrikoid
dan angulus mandibula, Struktur penting yang terdapat pada zona ini adalah :
• Carotid arteries.
• Jugular and vertebral veins, pharynx, and larynx.
• Proximal trachea.
• Recurrent laryngeal and vagal nerves.
• Spinal cord.
3. Zona III
Zona yang terletak di bagian cephalad yang berada diantara garis sejajar melaui
angulus mandibular dan dasar kepala. Struktur yang terdapat pada zona ini adalah :
• Extracranial carotid and vertebral arteries.
• Jugular veins.
• Spinal cord.
• Cranial nerves IX–XII.
• Sympathetic trunk.

C. Jenis Trauma
Secara epidemiologi ada 2 (dua) jenis cedera / trauma di daerah leher yaitu trauma tajam
(penetrating neck trauma) dan trauma tumpul ( blunt neck trauma ).

D. Trauma Tajam Leher


Trauma tajam leher ini terdiri dari dua jenis trauma yaitu : Luka tembak (gunshot wound) dan
lukatusuk (stab wound).
Pada penderita trauma tajam leher dapat dilakukan evaluasi “hard sign” dan “soft sign”
(Rosen’s), dimana “soft sign” merupakan indikasi untuk dilakukan observasi ketat dan evaluasi ulang
sedangkan “hard sign” merupakan indikasi untuk dilakukan tatalaksana pembedahan segera
(emergensi).

Soft sign Hard Sign


 Hemoptisisatau hematemesis  Expanding hematoma
 Darah di daerah Oropharyngeal  Severe Active bleeding
 Dyspnea  Syok yang tidak respons terhadap resusitasi
 Dysphonia atau dysphagia  Pulsasi radial yang menurun atau menghilang
 Emphysema subcutan atau  Adanya vascular bruit atau thrill
pneumomediastinum
 Adanya kebocoran udara (Pada  Cerebral ischemia
penderita yang terpasang WSD)
 Nonexpanding hematoma  Obstruksi Jalan nafas

E. TRAUMA TUMPUL LEHER


Trauma tumpul leher dikategorikan menjadi kecepatan tinggi dan kecepatan rendah

36
Akibat trauma tumpul leher dapat mengakibatkan :
 Dysphonia
 Gangguan airway
 Gangguan pada soft tissue dan tulang leher ( contusion, deformation, depression)

F. Tata Laksana
Prinsip tatalaksana trauma leher dimulai dari evaluasi Airway, Breathing dan Circulation sesuai
dengan guidelines ALTS.
 Airway + Breathing
Dilakukan pemeriksaan adakah tandatan dafisik yang mengindikasikan tatalaksana
jalan nafas segera seperti Stridor, Distress pernafasan, syok atau hematome yang meluas
secara cepat. Bila ragu atau tidak dapat mempertahankan jalan nafas yang bebas, maka
segera dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi.

 Circulation
Pada luka terbuka, melebarkan dan membersihkan luka tanpa persiapan sangat
tidak dianjurkan karena akan melepaskan clot dan menyebabkan perdarahan menjadi aktif.
Bila dicurigai adanya cedera pembuluh darah, pasien segera diposisikan trendelenberg
(mencegah emboli udara). Bila terdapat perdarahan aktif, segera berikan tekanan langsung
pada luka (direct pressure) Bila kondisi pasien tidak stabil (Syok hemorrhagic, hematome
expanding, udara keluar dari luka, deficit neurologis) merupakan indikasi untuk dilakukan
pembedahan segera (emergensi).

Referensi:
1. Tisherman S, Bokhari F, Collier B, Ebert J. et al. Penetrating Neck Trauma : Clinical Practice
Guidelines. Eastern Association for the Surgery of Trauma. 2008
2. American College of Surgeons Committee on Trauma. (2008) Trauma Toraks. Dalam ATLS
Student Course Manual 8th edition. USA
3. Sperry JL, Moore EE, Coimbra R, et al. Western Trauma Association Critical Decision in
Trauma : Penetrating Neck Trauma. J Trauma Acute Care SurgVol 75 No6. 2013.

37
MALFORMASI ANOREKTAL
Shalita Dastamuar, dr., SpB, SpBA

A. Definisi
Malformasi anorektal adalah suatu kelainan kongenital akibat kegagalan perkembangan anus
dan rektum dalam masa embrio. Kelainan ini meliputi agenesis anal, agenesis rektal, dan atresia
rectal. Insidensi mencapai 1 dalam 5000 kelahiran hidup, baik kelainan malformasi anorektal tunggal
ataupun bersama dengan kelainan kongenital lain yang dikenal dengan istilah VACTREL (Quan dan
Smith). Kelainan malformasi anorektal yang terbanyak pada perempuan adalah fistula
rectovestibular, sedangkan pada laki – laki adalah fistula rectourethra.

B. Gambaran Umum
Inspeksi perineum harus dilakukan untuk mengetahui tipe malformasi anorektal. Hal yang harus
diingat adalah, tidak boleh memutuskan operasi colostomy atau operasi definitive sebelum bayi
berusia 24 jam. Adanya meconium menandakan suatu fistula. Pada bayi laki – laki, bila fistula
terdapat di perineum menandakan suatu fistula rectoperineum, sedangkan bila urine bercampur
meconium berarti fistula rectovesica atau rectourethra yang dapat dibedakan dengan memasukkan
cateter.
Pada bayi perempuan, fistula di genitalia menandakan suatu fistula rectovagina atau fistula
rectovestibular. Sedangkan jika fistula didapatkan di perineum, maka disebut fistula rectoperineum.
Setelah 24 jam, bila tidak terdapat fistula, maka dilakukan foto knee chest untuk mengetahui jarak
kolom udara paling distal ke kulit, jarak .1 cm menandakan suatu malformasi anorektal letak tinggi,
sedangkan lebih dari 1 cm adalah sebaliknya.
Kolostomi dilakukan pada malformasi anorektal tanpa fistula letak tinggi, fistula rectourethra,
dan fistula rectovesica. Sedangkan pada fistula rectovestibuar, kolostomi atau operasi definitive
masih kontroversi, tergantung pengalaman dari ahli Bedah Anak.
Setelah kolostomi, Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty (PSARP) dilakukan 4-8
minggu kemudian. Pada kelainan malformasi anorektal tanpa fistula letak rendah, fistula
rektoprineum langsung dilakukan anoplasty.
Cloacal malformasi (persistent cloaca) adalah bersatunya rektum, vagina, dan urethra dalam
satu lubang. Panjangnya lubang ini bervariasi antara 1 dan 10 cm. Malformasi short-channel
biasanya panjangnya kurang dari 3 cm, dan yang lebih panjang dari 3 cm dikatakan malformasi long-
channel. Pada long-channel, fungsi urinarius mungkin terganggu. Pada short-channel, perineum
biasanya terbentuk dengan baik, demikian pula dengan otot, sakrum dan persarafannya. Biasanya,
vagina pada persistent cloaca dinstensi dan penuh dengan sekresi (hydrocolpos). Pada beberapa
kasus, insidensi hydrocolpos mencapai 40%. Hydrocolpos dapat menekan trigonum bladder dan
mengganggu drainase ureter. Vagina dan uterus mengalami septasi atau bahkan terpisah menjadi
dua hemivagina atau dua hemiuterus. Tujuan koreksi dari kelainan ini meliputi : kontrol urinaria,
kontrol bowel, dan fungsi sexual. Pendekatan terbaru dalam koreksi malformasi cloacal dikenal
dengan Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty (PSARVUP).
Malformasi cloaca atau persistent cloaca dapat di diagnosis secara klinis. Pada pemeriksaan
inspeksi perineum hanya didapatkan satu orificium. Genitalia eksterna sering terlihat kecil. Pada
pemeriksaan abdomen dapat ditemukan adanya massa yang merupakan vagina yang mengalami

38
distensi (hydrocolpos) dan hal ini dapat ditemukan pada 50% pasien dengan persisten cloaca.
Kesalahan diagnosis yang sering terjadi pada saat inspeksi perineum adalah pasien persisten cloaca
sering disalah diagnosis dengan malformasi anorektal dengan rectovaginal fistula. Kesalahan ini
dapat menyebabkan penanganan yang salah dimana ahli bedah hanya memperbaiki rectum dan
meninggalkan sinus urogenital.
Tujuan dari management awal adalah untuk mendeteksi ada tidaknya kelainan penyerta
lainnya, mencapai diversi saluran gastrointestinal yang memuaskan, menangani distensi vagina, dan
diversi saluran urinaria. Diversi feses dapat dicapai dengan melakukan colostomy devided pada
colon descenden. Hal ini harus dilakukan terlebih dahulu dan jika diperlukan dapat juga dilakukan
urinary dan vagina diversi. Repair definitive Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty
(PSARVUP) dilakukan kemudian (umumnya setelah 3 sampai 6 bulan) di ikuti dengan penutupan
colostomy.

C. Algoritma Tata Laksana

Gambar 1. Penatalaksanaan MAR pada laki-laki


Diambil dari Pena. A, Surgical Management of Anorectal Malformations. Springer Verlag. 1990

Gambar 2. Penatalaksanaan MAR pada laki-laki

39
Diambil dari Pena. A, Surgical Management of Anorectal Malformations.Springer Verlag. 1990

D. Rangkuman
Malformasi anorektal adalah suatu kelainan kongenital akibat kegagalan perkembangan anus
dan rektum dalam masa embrio. Kelainan ini meliputi agenesis anal, agenesis rektal, dan atresia
rectal. Insidensi mencapai 1 dalam 5000 kelahiran hidup, baik kelainan malformasi anorektal tunggal
ataupun bersama dengan kelainan kongenital lain yang dikenal dengan istilah VACTREL (Quan dan
Smith). Kelainan malformasi anorektal yang terbanyak pada perempuan adalah fistula
rectovestibular, sedangkan pada laki – laki adalah fistula rectourethra.
Inspeksi perineum harus dilakukan untuk mengetahui tipe malformasi anorektal. Hal yang harus
di ingat adalah, tidak boleh memutuskan operasi colostomy atau operasi definitive sebelum bayi
berusia 24 jam. Adanya meconium menandakan suatu fistula. Pada bayi laki – laki, bila fistula
terdapat diperineum menandakan suatu fistula rectoperineum, sedangkan bila urine bercampur
meconium berarti fistula rectovesica atau rectourethra yang dapat dibedakan dengan memasukkan
cateter.
Pada bayi perempuan, fistula di genitalia menandakan suatu fistula rectovestibuler, sedangkan
jika fistula didapatkan di perineum, maka disebut fistula rectoperineum.
Setelah 24 jam, bila tidak terdapat fistula, maka dilakukan foto knee chest untuk mengetahui
jarak kolom udara paling distal ke kulit, jarak lebih dari 1 cm menandakan suatu malformasi
anorektal tanpa fistula letak tinggi, sedangkan jika kurang dari 1 cm adalah sebaliknya.
Kolostomi dilakukan pada malformasi anorektal tanpa fistula letak tinggi, fistula rectourethra,
dan fistula rectovesica. Sedangkan pada fistula rectovestibuar, kolostomi atau operasi definitive
masih kontroversi, tergantung pengalaman dari ahli Bedah Anak.
Setelah kolostomi, Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty (PSARP) dilakukan 4-8
minggu kemudian. Pada kelainan malformasi anorektal tanpa fistula letak rendah, fistula
rektoprineum langsung dilakukan anoplasty.
Cloacal malformasi (persistent cloaca) adalah bersatunya rektum, vagina, dan urethra dalam
satu lubang. Panjangnya lubang ini bervariasi antara 1 dan 10 cm. Malformasi short-channel
biasanya panjangnya kurang dari 3 cm, dan yang lebih panjang dari 3 cm dikatakan malformasi long-
channel. Pada long-channel, fungsi urinarius mungkin terganggu. Pada short-channel, perineum
biasanya terbentuk dengan baik, demikian pula dengan otot, sakrum dan persarafannya. Biasanya,
vagina pada persistent cloaca dinstensi dan penuh dengan sekresi (hydrocolpos). Pada beberapa
kasus, insidensi hydrocolpos mencapai 40%. Hydrocolpos dapat menekan trigonum bladder dan
mengganggu drainase ureter. Vagina dan uterus mengalami septasi atau bahkan terpisah menjadi
dua hemivagina atau dua hemiuterus.
Tujuan koreksi dari kelainan ini meliputi: kontrol urinaria, kontrol bowel, dan fungsi sexual.
Pendekatan terbaru dalam koreksi malformasi cloacal dikenal dengan Posterior Sagital Ano Recto
Vagino Urethro Plasty (PSARVUP).
Malformasi cloaca atau persistent cloaca dapat didiagnosis secara klinis. Pada pemeriksaan
inspeksi perineum hanya didapatkan satu orificium. Genitalia eksterna sering terlihat kecil. Pada
pemeriksaan abdomen dapat ditemukan adanya massa yang merupakan vagina yang mengalami
distensi (hydrocolpos) dan hal ini dapat ditemukan pada 50% pasien dengan persisten cloaca.
Kesalahan diagnosis yang sering terjadi pada saat inspeksi perineum adalah pasien persisten
cloaca sering disalah diagnosis dengan malformasi anorektal dengan rectovaginal fistula. Kesalahan

40
ini dapat menyebabkan penanganan yang salah dimana ahli bedah hanya memperbaiki rectum dan
meninggalkan sinus urogenital.
Tujuan dari management awal adalah untuk mendeteksi ada tidaknya kelainan penyerta
lainnya, mencapai diversi saluran gastrointestinal yang memuaskan, menangani distensi vagina, dan
diversi saluran urinaria. Diversi feses dapat dicapai dengan melakukan colostomy devided pada
colon descenden. Hal ini harus dilakukan terlebih dahulu dan jika diperlukan dapat juga dilakukan
urinary dan vagina diversi. Repair definitive Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty
(PSARVUP) dilakukan kemudian (umumnya setelah 3 sampai 6 bulan) di ikuti dengan penutupan
colostomy.

Referensi:
1. Pena. A, Surgical Management of Anorectal Malformations. Springer Verlag. New York 1990.
2. Grosfeld, JL. O’neil. JA et al. Anorectal Malformation in Pediatric Surgery. 6th ed; Mosby
Elsevier. Philadelphia 2006. P . 1566 – 1589
3. Ashcraft, KW. Imperforate Anus and Cloacal Malformation. Dalam Pediatric Surgery 4th edt.
Elsevier. 2005. P. 496 – 517
4. Ziegler, MM. Et al. Anorectal Malformation. Dalam Operative Pediatric Surgery. Mc Graw-
Hill, 2003. P.739-762.

41
ILMU BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI DAN ESTETIK

Pokok Bahasan (Modul):


1. Luka
2. Parut Hipertropik, Keloid dan Kontraktur
3. Luka Bakar
4. Sumbing Bibir dan Langitan
5. Trauma Craniomaxillofacial
6. Hipospadia

Sub Pokok Bahasan :


1. Melakukan anamnesis yang tepat dan terarah.
2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan kasus bedah plastik.
3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk menunjang diagnosis.
4. Mengetahui fisiologi penyembuhan luka (normal dan abnormal).
5. Mengenal dan mampu mendeskripsikan luka akut, luka kronis, rencana tatalaksana dan
perawatan luka.
6. Memahami skema anak tangga rekonstruksi penutupan luka.
7. Mampu melakukan penjahitan luka secara lege artis.
8. Mengenal dan memberikan tatalaksana pertama pada luka bakar (Primary survey, First Aid
dan Secondary survey) dan mengetahui kriteria rujuk.
9. Mampu melakukan edukasi pencegahan kontraktur pasca luka bakar.
10. Mengenal, mendiagnosis dan mampu mendeskripsikan luka abnormal (scar hipertropik dan
keloid).
11. Mengenal dan mendiagnosis kontraktur.
12. Mengenal dan mendiagnosis pasien dengan sumbing bibir dan lelangit.
13. Mengetahui tahapan operasi pasien sumbing bibir dan lelangit dan kriteria rujuk.
14. Mengenal dan memberikan tatalaksana pertama pada kasus trauma craniomaxillofacial
sesuai panduan ATLS.
15. Mengenal dan mendiagnosis trauma craniomaxillofacial (fraktur os.nasal, fraktur maxilla
dan fraktur mandibula)
16. Melakukan pemeriksaan fisik craniomaxillofacial dan membaca rontgen cranium, waters
dan panoramic.
17. Mengenal dan mendiagnosis pasien dengan Hipospadia dan kelainan yang mungkin
menyertainya.
18. Mengetahui tahapan operasi pasien Hipospadia.
19. Mengenal dan memberikan eduksi kasus-kasus rujukan bedah plastik.

Keterampilan klinik:
1. Mendeskripsikan luka akut dan luka kronis
2. Mampu melakukan perawatan luka
3. Mampu melakukan dan mengenal prinsip-prinsip dasar tekhnik menjahit luka sederhana
dan kegunaan macam-macam jenis benang
4. Menghitung luas luka bakar

42
5. Menghitung pemberian cairan (resusitasi dan maintenance) pada luka bakar
6. Mampu memberikan dan memperagakan eduksasi pada pasien dengan sumbing bibir dan
lelangit
7. Mampu melakukan pemeriksaan fisik pasien dengan trauma craniomaxillofacial
8. Membaca rontgen cranium AP, waters dan panoramic

43
LUKA
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE

A. Definisi
Luka adalah suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan (epitel kulit dan jaringan di
bawahnya) akibat berbagai hal seperti kecelakaan, rudapaksa maupun pembedahan. Kondisi ini
akan segera diikuti oleh proses penyembuhan luka.

B. Fisiologi Penyembuhan Luka


Penyembuhan luka secara normal akan melalui 3 fase, yaitu:
1. Fase Inflamasi (2-5 hari)
2. Fase Proliferasi (5 hari hingga 3 minggu)
3. Fase Remodelling (3 minggu hingga 2 tahun)

1. Fase Inflamasi
Dimulai segera setelah terjadi perlukaan dan berlangsung selama 2 hingga 3 hari.
Diawali dengan pembentukan kaskade hemostasis, lalu terjadi vasokonstriksi dan
vasodilatasi. Vasokonstriksi dan vasodilatasi berlangsung selama 5 sampai dengan 10 menit.
Prosesnya yaitu : tromboxan dan prostaglandin membuat spasme, lalu terbentuk kaskade
hemostasis, yang mengakibatkan sel dan faktor inflamasi terkumpul.
Vasodilatasi terjadi terutama karena pengaruh histamin, menyebabkan pembuluh
darah ‘bocor’ sehingga jaringan menjadi edema. Akibatnya, leukosit dari darah ikut masuk
ke jaringan. Trombus terbentuk dan rangkaian pembekuan darah diaktifkan, sehingga
terjadi deposisi fibrin. Debris dan bakteri kemudian difagositosis oleh leukosit
polimorfonuklear dalam 48 jam pertama, dan oleh makrofag setelah 48 jam.

Gambar 1. Fase inflamasi dimulai saat terjadi luka dan bertujuan untuk mencapai hemostasis, membuang
jaringan yang tidak vitalm dan mencegah infeksi dari pathogen.

2. Fase Proliferasi
Fase ini dimulai pada hari ke-3, setelah fibroblas datang, dan bertahan hingga
minggu ke-3. Sel endotel bermigrasi ke daerah luka dengan proses pseudopodia. Fibroblas
menjadi substansi dasar dari wound bed dan menyebabkan terjadinya migrasi kolagen
terfasilitasi. Faktor pertumbuhan merangsang epithelialisasi ke arah luka. Kolagen
meningkatkan kekuatan jaringan menggantikan matriks sementara fibrin-fibronectin. Saat
produksi dan degradasi kolagen seimbang, dimulai fase maturasi.

44
Pembentukan kolagen adalah kunci integritas pembuluh dan kekuatan jaringan
baru. Sintesanya berasal dari proses hidroksilasi dari residu lysin dan proline. Membutuhkan
ko-faktor berupa Fe+ zat besi, molekul O2, α-ketoglutarat, dan vitamin.
Epitelialisasi pada fase proliferasi dibentuk oleh keratinosit yang tumbuh dari tepi
luka. Keratinosit berasal dari dermal appendages, seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
dan kelenjar minyak. Migrasi keratinosit membutuhkan dasar luka yang viable, sehat dan
menggunakan teknik migrasi seperti memanjat dan melangkahi satu sama lain. Migrasi
terbaik terjadi dalam suasanya yang lembab.

Gambar 2. Pada fase proliferasi terjadi deposisi luka oleh jaringan granulasi dan migrasi keratinosit untuk
mengembalikan kontinuitas epithel.Fase proliferasi disebut juga fase rekonstruksi.

3. Fase Remodelling
Peningkatan produksi dan penyerapan kolagen berlangsung selama 6 bulan hingga 1
tahun. Kolagen tipe III digantikan oleh kolagen tipe I hingga mencapai perbandingan 4:1
(seperti pada kulit normal dan parut yang matang). Kekuatan luka meningkat sejalan dengan
reorganisasi kolagen sepanjang garis tegangan kulit dan cross-link kolagen terjadi. Kekuatan
tegangan luka (tensile strength) mencapai 50% dalam 3 bulan dan paling maksimal
mencapai 80% dari kekuatan kulit normal. Selanjutnya terjadi apoptosis vaskular yang
menyebabkan skar menjadi pucat, tanda matangnya parut.

Gambar 3. Fase remodelling adalah fase terlama dari penyembuhan luka dan berlangsung selama 21 hari
hingga 1 tahun. Pada fase ini terjadi perubahan susuanan dari serabut kolagen.

C. KLASIFIKASI LUKA

45
Luka diklasifikasikan menjadi 2 :
1. Luka akut
Luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang
diperkirakan.
Contoh : luka sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury, luka operasi.
2. Luka kronik
Luka kronik adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren) dimana
terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah
multifaktor dari penderita. Luka kronik luka yang gagal sembuh pada waktu yang
diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali.
Contoh : ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous, luka bakar dll.

D. Gangguan Penyembuhan Luka


Terdapat dua faktor yang dapat mengganggu penyembuhan luka:
1. Faktor lokal
a. Insufisiensi arteri
b. Insufisiensi vena
c. Edema
d. Infeksi
2. Faktor sistemik
a. Diabetes mellitus
b. Malnutrisi
c. Defisiensi vitamin dan mineral
d. Kemoterapi
e. Merokok
f. Penuaan

E. Penatalaksanaan
1. Persiapan Bed Luka
Tujuan persiapan luka adalah untuk membuang lapisan penghalang atau barrier yang
terdapat pada luka agar dapat melalui proses penyembuhan luka dengan baik. Persiapan
bed dapat dilakukan dengan cara melakukan debridement, kontrol bakteri, dan pengelolaan
eksudat. Barrier dapat berupa jaringan nekrotik/nonvital maupun jaringan yang sangat
terkontaminasi pada luka. Debridement dilakukan pada luka akut maupun pada luka kronis.
Struktur anatomi yang penting dipertahankan secara maksimal seperti syaraf, pembuluh
darah, tendon dan tulang. Kontrol bakteri dilakukan untuk mengatasi kontaminasi,
kolonisasi, kolonisasi kritis, dan infeksi. Dalam keadaan terkontaminasi, penyembuhan luka
akan terganggu.

2. Macam-macam Debridement
a. Surgikal
Jaringan nekrotik diangkat secara tajam dengan tidakan operasi.
b. Mekanikal
Jaringan nekrotik terangkat seiring penggantian balutan, umumnya menggunakan
kasa lembab yang kemudian diangkat dari luka saat kering.

46
c. Kimia
Adalah debridement dengan enggunakan zat kimia yang dengan cepat melisiskan
jaringan nekrotik, seperti hipoklorit. Dapat diklasifikasikan juga menjadi enzimatik
bila zat kimia yang digunakan berupa zat kimia biologis menyerupai enzim tubuh
seperti streptokinase, streptododornase, ataupun collagenase yang didapat dari
bakteri.
d. Autolitik
Adalah kemampuan tubuh melakukan autodebridement dengan mempertahankan
kontak antara cairan tubuh dengan jaringan nekrotik. Ini dapat dicapai dengan
mengaplikasikan balutan occlusive atau semi- occlusive seperti hidrokoloid, hidrogel,
dan film transparan.
e. Biologis
Menggunakan spesies biologis yang mengkonsumsi jaringan nekrotik, seperti
belatung (maggots).

3. Dressing (Balutan)
Balutan bertujuan untuk melindungi luka dari trauma dan infeksi. Pada kondisi
lembab, luka mengalami peningkatan reepithelialisasi sehingga penyembuhan luka lebih
cepat. Dressing yang baik yaitu yang dapat mempertahankan kondisi luka lembab dan kulit
sekitar luka tetap kering.

F. Skema Anak Tangga Rekonstruksi Penutupan Defek


Setiap defek pada kulit dan jaringan harus ditangani sesuai dengan komponen yang hilang,
penyebab yang mendasari, lokasi anatomis, estetika, gangguan fungsi yang berhubungan, dan
ketersediaan jaringan donor dan resipien. Kesesuaian donor dan resipien dapat dinilai dari warna
kulit, tekstur, ketebalan, dan kerapatan tumbuhnya rambut. Kesehatan pasien secara umum juga
perlu diperhatikan.
Konsep yang umum digunakan adalah skema anak tangga (reconstructive ladder), yaitu urutan
pilihan rekonstruksi dari teknik yang sederhana hingga kompleks.
Urutan teknik tersebut adalah penyembuhan sekunder, penutupan jaringan secara langsung,
tandur kulit (skin graft), pemindahan jaringan lokal (local tissue transfer), pemindahan jaringan
regional (regional tissue transfer), dan free tissue transfer. Reconstructive ladder berfungsi sebagai
panduan dalam terapi defek pada kulit, meski kadang teknik yang lebih kompleks langsung
digunakan bila diperlukan.
1. Penyembuhan Sekunder
Penutupan luka per sekundam terjadi pada luka yang terbuka dimana terjadi
kehilangan jaringan yang signifikan. Contohnya pada luka terbuka kronis seperti ulkus
dekubitus, luka operasi yang dengan sengaja dibiarkan terbuka karena terkontaminasi atau
karena tidak memungkinkan untuk segera dilakukan penutupan.

2. Penyembuhan Primer (Direct Tissue Closure)


Penutupan secara primer dilakukan dengan menyatukan kedua tepi luka yang
berdekatan dan saling berhadapan dimana terdapat sedikit jaringan yang hilang. Penutupan
ini dilakukan pada luka bersih yang dibuat akibat tindakan bedah, atau pada laserasi akibat
luka sobek.

47
3. Tandur Kulit (Skin Graft)
Tandur kulit (Skin graft) adalah tindakan memindahkan sebagian tebal kulit dari satu
tempat ke tempat lain, di mana jaringan tersebut bergantung pada pertumbuhan pembuluh
darah kapiler baru dari jaringan penerima untuk menjamin kehidupannya. Bagian kulit yang
diangkat meliputi epidermis dan sebagian/seluruh dermis, tergantung ketebalan kulit yang
dibutuhkan. Skin graft dibagi mejadi dua, yaitu: Split-Thickness Skin Graft (STSG) dan Full-
Thickness Skin Graft (FTSG).

4. Flap
Flap adalah segmen jaringan “Mobile” sebagai hasil suatu tindakan bedah, di mana
jaringan tersebut tetap berhubungan dengan suplai pembuluh darah asalnya melalui
pedikel. Sebagai basis sebuah flap, selain mengandung pembuluh darah, pedikel juga dapat
mengandung kulit, jaringan subkutis, fasia, otot, tulang dan saraf.
Flap dibagi berdasarkan:
 Vaskularisasinya
 Cara berpindah
 Jarak dari defek
 Jaringan yang dimiliki

a. Pemindahan Jaringan Lokal (Local Tissue Transfer)


Dapat disebut juga sebagai flap lokal, merupakan penutupan suatu defek dengan
memindahkan jaringan beserta pembuluh darahnya (pedikel) pada regio yang sama
(di sekitar) defek tersebut.
Misalnya: rotation flap, transposition flap, interpolation flap, limberg flap, dll.
b. Pemindahan Jaringan Regional (Regional Tissue Transfer)
Merupakan penutupan suatu defek dengan memindahkan jaringan beserta
pembuluh darahnya (pedikel) dari regio yang berbeda dari defek tersebut. Misalnya:
Forehead flap, paramedian forehead flap, cervicomental flap, dll.
c. Free Tissue Transfer
Merupakan penutupan suatu defek dengan melepaskan flap seluruhnya dari
donor, kemudian dilakukan anastomosis pembuluh darah di dekat defek tersebut.
Atau bisa disebut juga sebagai transplantasi jaringan.
Misalnya pada kasus pasca ablasi tumor di mandibula, dilakukan penutupan
defek dengan free flap yang diambil dari fibula dan jaringannya untuk dan
direkonstruksi membentuk mandibula baru. Contoh donor free flap: anterolateral
thigh free flap, lastissimus dorsi free flap, radial forearm free flap, free fibular flap.

48
Gambar 4. Tahapan Free Tissue Transfer

Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.

49
PARUT
Mufida Muzakkie, dr., Sp.BP-RE

A. Definisi
Istilah Parut atau Scar berasal dari bahasa Yunani yaitu Eskhara yang berarti keropeng. Dalam
pengertian sederhana parut merupakan tanda bekas luka. Secara klinis parut adalah cacat alami
yang ditinggalkan akibat proses penyembuhan luka.

B. Patofisiologi
Didapatkan perubahan struktur dari kulit berupa hilangnya pori, rambut dan kelenjar yang
disertai perubahan warna kulit hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Luka yang terjadi hanya
terbatas pada lapisan dermis cenderung tidak menimbulkan parut karena masih terdapat komponen
epitelial dari kelenjar keringat, kelenjar minyak dan folikel rambut yang mana hal tersebut
memungkinkan terjadi penyembuhan tanpa parut. Luka tersebut dalam waktu yang relatif singkat
akan tertutup epitel dan bisa dikatakan sembuh secara sederhana. Pada luka yang melewati /lebih
dalam dari seluruh ketebalan kulit (full thickness) akan sembuh dengan meninggalkan parut. Parut
adalah cacat alami yang ditinggalkan akibat proses penyembuhan luka. Parut hipertrofik dan keloid
merupakan suatu parut produk proses penyembuhan luka yang tidak normal. Penyembuhan luka
adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Komponen utama
dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang
bertanggung jawab untuk sintesis kolagen.

C. Klasifikasi
Secara klinis dibedakan atas 2 yaitu :
1. Parut normal
Tipis, lunak, berwarna pucat, tidak ada keluhan nyeri ataupun gatal. Luka yang sesuai
dengan garis kulit umumnya membentuk parut normal. Secara umum dapat kita sebut
sebagai acceptable scar.
2. Parut abnormal
Tebal menonjol, keras, berwarna kemerahan atau kecoklatan disertai rasa gatal dan
nyeri. Parut abnormal bisa dalam bentuk parut hipertrofik atau keloid.

D. Faktor yang Memengaruhi Terbentuknya Parut


1. Tension : Parut hipertrofik dan keloid sering muncul pada daerah yang tension. Luka yang
melawan garis lipatan kulit atau relaxed skin tension lines (RSTLs) mempunyai kekuatan
regangan 2 kali lipat (gambar 1.6).
2. Ras : Orang kulit berwarna lebih gelap kemungkinan terjadinya keloid 5 sampai 18 kali
dibandingkan orang kulit putih.
3. Lokasi : Lebih sering muncul pada daerah kulit tebal, banyak bergerak dan teregang
seperti daerah deltoid, presternal dan punggung atas. Keloid dan parut hipertrofik jarang
ditemukan pada daerah kelopak mata, genitalia, telapak tangan dan telapak kaki.
4. Umur : 88% pada usia dibawah 30 tahun, kulitnya relatif lebih tension dan sintesis
kolagen lebih tinggi.

50
5. Genetik : Seringkali ditemukan keloid berkaitan dengan riwayat keluarga yang
mempunyai keloid. Ditemukan insiden keloid yang lebih tinggi pada penderita dengan
HLA-β14, BW16, golongan darah A dan Rubenstein-Taybi syndrome.
6. Hormon : Estrogen berperan terhadap aktivitas fibroblas dan sekresi TGF-β1 yang telah
diketahui berperan penting pada pembentukan fibrosis dan parut.

E. Perbedaan Parut Hipertrofik dan Keloid


Perbedaan parut hipertrofik dan keloid dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
PARUT HIPERTROFIK KELOID
Timbul segera/dini setelah pembedahan Timbul lebih lambat bisa sampai
(dalam beberapa minggu atau beberapa setahun
bulan)
Ada maturasi, cenderung regresi dalam Tidak ada maturasi, cenderung
perjalanan waktu membesar/ progress dengan
perjalanan waktu
Terbatas pada daerah luka Tumbuh melewati batas luka
Ukuran parut sesuai dengan besarnya Cedera minimal bisa menimbulkan
Cedera parut yang besar

Timbul karena pergerakan Tidak tergantung gerak


Biasanya menyeberang permukaan Ada area predileksi, jarang
yang bisa bertekuk (sendi, abdomen, dll) menyeberang persendian

Ada perbaikan dengan pembedahan Pembedahan sering membuat


menjadi lebih buruk

Tabel 1. Perbedaan Parut Hipertrofik dan Keloid

51
KONTRAKTUR
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE

A. Definisi
Kontraktur adalah pemendekan permanen kulit dan atau jaringan di bawahnya yang
menyebabkan deformitas dan keterbatasan gerak.

B. Etiologi
Parut sudah kering tapi belum matang. Akibat gerakan sendi maupun gravitasi, kapiler baru
pecah sehingga timbul perdarahan dan penyembuhan luka yang mulai dari awal lagi. Jaringan
fibrosa akan tebal lalu mengkerut.

C. Klasifikasi
1. Berdasarkan jaringan yang terlibat :
 Dermogen : kontraktur yang melibatkan kulit
 Desmogen : kontraktur yang melibatkan fascia
 Miogen : kontraktur yang melibatkan otot
 Tendogen : kontraktur yang melibatkan tendon
 Arthrogen : kontraktur yang melibatkan sendi
2. Berdasarkan bentuk :
 Linier : apabila kontraktur diregangkan membentuk suatu
garis lurus
 Diffus : apabila kontraktur diregangkan melebar dan
merata
3. Berdasarkan posisi kontraktur atau deformitas yang terjadi :
 Fleksi
 Adduksi
 Abduksi

52
D. Penatalaksanaan
1. Mencegah Kontraktur
 Balut tekan hingga parut lemas atau lembut menggunakan surgical tape, elastic
verband ataupun pressure garment.
 Memposisikan sendi pada posisi anti-kontraktur.
2. Pembedahan
 Dilakukan eksisi parut untuk merelease kontraktur sehingga gerakan sendi bisa
bebas
 Defek luka ditutup dengan skin graft ataupun flap
 Imobilisasi dengan posisi anti-kontraktur

Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.

53
LUKA BAKAR
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE

A. Definisi
Luka bakar adalah kerusakan kulit tubuh yang disebabkan karena kontak dengan sumber panas
seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi. Kerusakan dapat menyertakan jaringan di
bawah kulit. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase lanjut. Luka bakar juga dapat
menyebabkan koagulasi nekrosis pada kulit dan terpaparnya jaringan hingga lapisan dalam
termasuk efek terhadap sistem organ lainnya.

B. Patofisiologi
Jackson di Birmingham pada tahun 1950 melakukan studi eksperimental dengan menciptakan
model luka bakar yang selanjutnya memperkaya pemahaman mengenai patofisiologi luka bakar.

Gambar 1. Luka Bakar Model Jackson

Gambar 3. 1 Menunjukkan model luka bakar. Pada daerah yang paling dekat dekat sumber
termal (atau penyebab lainnya), panas tidak dapat dikonduksi secara cepat dan baik, sehingga
terjadi koagulasi protein sel; selanjutnya terjadi kematian sel yang berlangsung sangat cepat.
Daerah ini disebut zona koagulasi atau zona nekrosis.
Di sekitar zona koagulasi adalah daerah dengan kerusakan tidak seberat zona pertama,
namun sirkulasi di daerah tersebut mengalami kerusakan diikuti gangguan mikrosirkulasi.
Dengan terhambatnya mikrosirkulasi, daerah ini disebut zona statis. Bila tidak ditatalaksana
dengan baik, maka daerah yang cukup luas ini akan mengalami nekrosis saat dilepaskannya
mediator–mediator inflamasi sebagai respon terhadap jaringan yang rusak. Secara klinis, hal ini
disebut sebagai degradasi luka (bertambah dalamnya luka bakar). Dalam 3–5 hari pasca luka
bakar, luka yang awalnya terlihat vital akan tampak nekrotik.
Di sekitar zona stasis adalah suatu daerah dimana jaringan melepaskan mediator–mediator
inflamasi yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Daerah ini terlihat kemerahan dan disebut
zona hiperemia. Dengan kembalinya respon vaskular yang bersifat hiperdinamik, daerah ini akan

54
kembali normal. Pada luka bakar yang mencakup luas melebihi 10% pada anak atau 20% pada
dewasa, zona hiperemia sangat mungkin terjadi di seluruh tubuh.
Kondisi ketiga zona ini berbeda pada setiap luka itu bakar. Kadang zona statis mencapai
kedalaman dermis namun disertai gangguan vaskular yang progresif pada zona nekrosis sehingga
hal ini menyebabkan luka bakar dalam. Hal ini umumnya dijumpai pada orang tua dan pasien–
pasien luka bakar (maupun sudah mengalami sepsis) dengan perawatan luka yang tidak tepat.
Dengan demikian, waktu dan penatalaksanaan tindakan emergensi yang efektif sangat berperan
pada proses penyembuhan luka.

C. Penilaian dan Tatalaksana Kegawatdaruratan pada Luka Bakar


Pada anamnesis, petugas medik harus mendapatkan informasi mengenai kemungkinan
adanya cedera lain pada beberapa kondisi di bawah ini:
 Kecelakaan lalu lintas, terutama terlontar pada kecepatan tinggi
 Letusan atau ledakan
 Luka bakar listrik, terutama tegangan tinggi
 Lompat dan jatuh saat terjadi kepanikan

Pertolongan pertama terdiri dari :


 Stop : Hentikan proses pembakaran atau kontak dengan sumber panas.
 Drop
 Roll
 Cool : Luka dialiri dengan air mengalir selama 20 menit.

Setelah pertolongan pertama diberikan, prinsip–prinsip survei primer dan sekunder dan
resusitasi simultan harus diterapkan.

1. Survei Primer
a. Airway (Jalan Nafas)
 Nilai patensi jalan napas, cara termudah adalah berbicara dengan pasien. Jika
tidak paten, bersihkan jalan napas dari benda asing dan membuka jalan napas
dengan manuver chin lift/jaw thrust. Jaga gerakan tulang servikal seminim

55
mungkin dan jangan melakukan fleksi dan ekstensi kepala dan leher.
 Manajemen tulang belakang servikal (terbaik dengan rigid collar). Adanya cedera
di atas klavikula seperti trauma muka atau tidak sadarkan diri kerap disertai
patah tulang belakang servikal.

b. Breathing (Pernafasan dan Ventilasi)


 Paparkan dada dan astikan bahwa ekspansi rongga toraks adekuat dan simetri.
 Berikan oksigen 100% (15 L/menit) menggunakan non–rebreather mask.
 Bila diperlukan, ventilasi menggunakan bag dan sungkup atau intubasi bila perlu.

c. Circulation (Sirkulasi dan Kontrol Perdarahan)


 Lakukan penekanan pada pusat perdarahan
 Pucat menunjukkan kehilangan 30% volume darah.
 Perubahan mental terjadi pada kehilangan 50% volume darah.
 Periksa pulsasi sentral – apakah kuat atau lemah?
 Periksa tekanan darah
 Periksa capillary refill (sentral dan perifer) – normal bila 2 detik. Bila >2 detik
menunjukkan hipovolemia atau kebutuhan untuk eskarotomi pada tungkai
bersangkutan, periksa tungkai lainnya.
 Masukkan 2 buah kateter IV berdiameter besar, sebaiknya daerah yang tidak
terbakar (normal)
 Ambil darah untuk pemeriksaan darah lengkap / ureum kreatinin / fungsi hari /
koagulasi / –hCG / Cross Match / carboxyhaemoglobin.
 Bila pasien syok lakukan resusitasi cairan bolus dengan metode Hartmann untuk
memperbaiki pulsasi radialis. Pertanda klinis–awal syok biasanya ditimbulkan
penyebab lain. Carilah dan atasi.

d. Disability (Status Neurologis)


 Tetapkan derajat kesadaran:
A– dari Alert (Sadar, waspada)
V– dari Vocal (Respon terhadap rangsang suara)
P– dari Pain (Respon terhadap rangsang nyeri)
U– dari Unresponsive (Tidak memberi respon)
 Lakukan pemeriksaan respon pupil terhadap cahaya. Harus cepat dan sama.
 Tanggap terhadap hipoksemia dan syok yang menyebabkan kegelisahan dan
penurunan derajat kesadaran.

e. Exposure (Paparan)
 Lepaskan semua pakaian dan perhiasan termasuk anting dan jam tangan
 Miringkan pasien untuk visualisasi sisi posterior
 Jaga agar pasien tetap hangat
 Area luka bakar dihitung menggunakan metode Rule of Nines atau palmaris (Rule of
One).

56
2. First Aid
a. Fluid (Cairan)
 Cairan inisial diberikan menggunakan rumus Parkland yang dimodifikasi: 3–4 mL / kg
berat badan / % luas luka bakar + tetes maintenance pada anak–anak
 Kristaloid (misal: larutan Hartmann atau Plasmalyte) adalah cairan yang
direkomendasikan.
 Separuh cairan berdasarkan perhitungan diberikan dalam delapan jam pertama,
sisanya diberikan selama enam belas jam berikutnya.
 Saat terjadinya trauma ditetapkan sebagai awal resusitasi cairan.
 Bila dijumpai perdarahan atau syok non–bakar, perlakukan sesuai pedoman trauma.
 Pantau adekuasi resusitasi :
o Produksi urin melalui kateter, per jam !
o EKG, denyut nadi, tekanan darah, frekuensi pernapasan, analisis gas darah
arterial dan pulse oxymetry

b. Analgetik
 Diberikan obat analgetik

c. Test
 Dilakukan pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan radiologis sesuai indikasi klinis. Misalnya disertai multiple trauma,
dilakukan pemeriksaan rontgen cervical, thorax, pelvis, dll.

d. Tube
 Pemasangan NGT
Insersi NGT pada luka bakar luas (> 10% pada anak–anak,> 20% pada dewasa) bila
dijumpai cedera penyerta, atau untuk melakukan dekompresi saluran cerna.
Gastroparesis merupakan hal yang umum terjadi.
 Pemasangan kateter: untuk memantau produksi urin.

3. Survei Sekunder
Merupakan pemeriksaan menyeluruh mulai dari kepala sampai kaki. Pemeriksaan
dilaksanakan setelah kondisi mengancam nyawa diyakini tidak ada atau telah diatasi.

a. Riwayat Penyakit:
A – Alergy
M – Medicine (obat–obatan yang baru dikonsumsi)
P – Past illness (penyakit sebelum terjadi trauma)
L – Last meal (makan terakhir)
E – Event (peristiwa yang terjadi saat trauma)

b. Mekanisme trauma

57
Informasi yang harus didapatkan mengenai interaksi antara pasien dengan
lingkungan:

Luka bakar:
 Durasi paparan
 Jenis pakaian yang dikenakan
 Suhu dan kondisi air, jika penyebab luka bakar adalah air panas
 Kecukupan tindakan pertolongan pertama.

Trauma tajam
 Kecepatan proyektil
 Jarak
 Arah gerakan pasien saat terjadi trauma
 Panjang pisau, jarak dimasukkan, arah

Trauma tumpul
 Kecepatan dan arah benturan
 Penggunaan sabuk pengaman
 Jumlah kerusakan kompartemen penumpang
 Ejeksi (terlontar)
 Jatuh dari ketinggian
 Jenis letupan atau ledakan dan jarak terhempas

c. Dokumentasi
 Buat catatan
 Mintakan persetujuan untuk dokumentasi fotografi dan persetujuan prosedur
d. Tetanus
 Berikan profilaksis tetanus jika diperlukan

Re–evaluasi
Re–evaluasi Survei Primer – khususnya untuk :
 Gangguan pernapasan
 Insufisiensi sirkulasi perifer
 Gangguan neurologis
 Kecukupan resusitasi cairan
 Penilaian radiologi : foto radiologi toraks

D. Perawatan Emergensi Luka


Umumnya, luka bakar steril saat luka bakar terjadi. Perawatan luka bakar berlebihan
menggunakan balutan modern tidak diperlukan bahkan hal ini menyebabkan penanganan yang
memerlukan prioritas menjadi tertunda. Tindakan yang tepat untuk penatalaksanaan luka adalah
menutupinya dengan penutup plastik atau kain bersih dan mengatur prosedur evakuasi. Bila rujukan
pasien tertunda lebih dari 8 jam, atau pada luka telah terkontaminasi air tercemar atau limbah

58
industri, maka antimikroba topikal harus digunakan.
Bersihkan luka dan konsultasi ke unit luka bakar rujukan untuk balutan yang dianjurkan.
Umumnya direkomendasikan pembalut antimikroba antimikroba yang mengandung silver atau krim
silver sulfadiazin. Jangan menggunakan balut tekan yang memperberat gangguan sirkulasi pada
tungkai yang sebelumnya memang sudah terganggu. Balutan harus sesering mungkin dibuka untuk
menghilangkan konstriksi.
1. Luka Bakar Listrik
Konduksi arus listrik melalui dada menyebabkan aritmia jantung sepintas atau henti
jantung; meski hal ini jarang terjadi pada tegangan rendah (<1000 V). Pasien sengatan listrik
tegangan tinggi, penurunan kesadaran atau memiliki EKG abnormal saat masuk rumah sakit
mungkin memerlukan pemantauan EKG 24 jam. Gangguan ritmik jantung lebih mungkin
terjadi pada pasien yang memiliki gangguan jantung sebelumnya. Selalu ingat bahwa luka
masuk atau luka keluar yang lebih kecil dapat disertai kerusakan jaringan yang berat.
2. Luka Bakar Kimia
Bila dijumpai residu bahan kimia di kulit, proses pembakaran akan terus berlanjut.
Karenanya, pakaian yang terkontaminasi harus dibuka dan luka dicuci menggunakan
sejumlah besar air dalam waktu cukup lama.
Luka bakar kimia pada mata memerlukan pembilasan secara kontinu menggunakan
air. Adanya pembengkakan kelopak mata dan spasme otot disertai nyeri akan menghalangi
pencucian adekuat. Untuk irigasi kadang diperlukan prosedur retraksi kelopak mata yang
baik, konsultasi dengan oftalmologi pada kasus ini sangat diperlukan.

E. Dukungan Pada Pasien dan Keluarga


Luka bakar kerap diikuti gangguan emosional baik pada pasien maupun keluarga dan
kerabatnya. Kesedihan dan kehilangan merupakan hal yang lazim, kadang disertai rasa bersalah atau
menyalahkan diri, ketakutan, depresi atau amarah. Kesemuanya ini perlu diatasi.
Bakar diri merupakan suatu cara tersering yang diambil dalam upaya bunuh diri. Pasien ini
dalam masa kritisnya memerlukan penanganan yang simpatik dan konseling. Penggunaan narkotik
dosis tinggi dan intubasi yang tidak tepat akan menghalangi aspek terpenting pada manajemen di
fase terminal. Hal ini juga menjadikan hubungan harmonik di akhir hayat dengan keluarga tidak
dimungkinkan. Untuk itu, komunikasi yang baik perlu diupayakan. Sedangkan untuk kasus–kasus
yang bersifat non–fatal diperlukan bantuan psikiatrik dalam mencegah upaya bunuh diri terulang
kembali.
Beberapa kasus dengan kelainan kepribadian atau di bawah pengaruh zat toksik sering
menunjukkan sikap kasar saat manajemen emergensi, hal ini memerlukan perhatian khusus untuk
tidak mencelakai diri sendiri maupun orang lain. Bantuan tenaga dari disiplin ilmu lainnya (dalam hal
ini konsultasi psikiatri) mungkin diperlukan untuk dapat menagani pasien– pasien ini dengan aman.
Lain halnya pada kasus anak, uraian mengenai mekanisme trauma sulit diperoleh dan
kemungkinan penyebab non–aksidental harus dipikirkan. Dokumentasi akurat merupakan hal yang
sangat penting dan melaporkan pada yang berwajib merupakan proses yang harus dijalankan untuk
penyidikan lebih lanjut.

59
F. Kriteria Merujuk

Sumber :Emergency Management of Severe Burns, 18th Edition. Australian & New Zealand Burn
Association. Desember 2016.

60
SUMBING BIBIR DAN LELANGIT
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE

A. Definisi
Bibir sumbing adalah terdapatnya celah pada bibir atas yang sering disertai celah palatum, yaitu
terdapat celah pada atap/lelangit mulut sehingga terdapat hubungan langsung antara hidung dan
mulut.

B. Epidemiologi
Secara keseluruhan, angka kejadian sumbing bibir dengan atau tanpa sumbing palatum kira-
kira 1 dari 750 – 1000 angka kelahiran hidup, menjadikannya sebagai salah satu kelainan bawaan
tersering ditemukan.
Populasi sumbing bibir dan palatum lebih sering pada laki-laki, sementara sumbing palatum
saja lebih sering ditemukan pada wanita. Pada orang kulit putih, kejadian sumbing bibir dengan atau
tanpa sumbing palatum mencapai 1 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini ditemukan dua kali lebih
banyak pada populasi Asia, sedangkan pada kulit hitam ditemukan sebanyak 1 per 2000 kelahiran
hidup. Heterogenitas rasial ini tidak ditemukan pada sumbing palatum saja, yang mempunyai
angka kejadian sekitar 0.5 per 1000 kelahiran hidup.
Kelainan sumbing bibir dan palatum mempunyai presentase tersering ditemukan (kira-kira
45%), diikuti sumbing palatum saja (35%) dan sumbing bibir saja (20%). Sumbing bibir dan palatum
lebih sering ditemukan pada laki-laki, sedangkan sumbing palatum saja lebih sering ditemukan pada
wanita. Sumbing bibir unilateral lebih sering ditemukan dibandingkan sumbing bibir unilateral, dan
cenderung lebih sering mengenai bibir sebelah kiri (sumbing bibir kiri : sumbing bibir kanan :
sumbing bibir unilateral = 6 : 3 : 1). Sekitar 68% sumbing bibir unilateral timbul bersamaan dengan
sumbing lelangit.

C. Etiologi
Etiologi sumbing bersifat multifaktorial, yaitu gabungan antara genetik dan lingkungan.
Sumbing bibir dan/atau palatum dikaitkan dengan lebih dari 300 sindrom. Secara keseluruhan,
insiden anomali lain yang terkait dengan sumbing (misalnya kelainan jantung bawaan) adalah
sebanyak 30 % dan lebih sering pada sumbing palatum saja.
Faktor lingkungan seperti infeksi virus (misal rubella) dan agen teratogenik (seperti steroid,
antikonvulsan) selama trimester pertama kehamilan, telah dicurigai berkaitan erat dengan
terjadinya sumbing. Resiko terjadinya sumbing juga meningkat dengan semakin tuanya usia
orangtua, terutama lebih dari 30 tahun, dengan usia sang ayah nampaknya lebih merupakan faktor
signifikan dibandingkan usia ibu. Meskipun demikian, kebanyakan kasus sumbing nampaknya tidak
punya etiologi yang jelas.

D. Patogenesis
Dalam morfogenesis wajah, sel-sel krista neuralis akan bermigrasi menuju regio wajah, di mana
sel-sel tersebut akan membentuk jaringan skelet dan penyambung dan gigi-geligi kecuali email gigi.
Sedangkan endotel vaskular dan otot terbentuk dari jaringan mesenkim. Migrasi mesenkim dan fusi
dari elemen wajah primitif yang terbentuk dari sel somatik (prosesus sentralis frontonasal, dua
prosesus maksilaris lateral, prosesus mandibula), pada usia 4 – 7 minggu kehamilan, sangat penting

61
untuk perkembangan embrionik sturktur wajah yang normal. Bila proses migrasi dan fusi tersebut
terganggu oleh sebab apapun, dapat terbentuk sumbing sepanjang garis penyatuan/fusi embrionik.
Bibir atas dibentuk dari prosesus nasalis medial dan prosesus maksila. Kegagalan penyatuan
antara prosesus nasalis medial dan maksilaris pada minggu kelima perkembangan embrionik, baik
satu sisi ataupun kedua sisi, menghasilkan sumbing bibir. Sumbing bibir biasanya terjadi pada
pertemuan antara bagian sentral dan lateral dari bibir atas pada sisi kanan ataupun kiri. Sumbing
dapat mengenai hanya bibir atas, atau dapat meluas sampai ke maksila dan palatum primer.
(Sumbing palatum primer meliputi sumbing bibir dan palatum bagian alveolus). Jika fusi antara
kedua palatal shelves juga terganggu, sumbing bibir akan disertai dengan sumbing palatum,
menghasilkan kelainan Cleft Lip and Palatum (CLP).

E. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis sumbing bibir sangat bervariasi, mulai dari sumbing inkomplet sampai
komplet yang dapat melibatkan bibir, prosesus alveolaris, palatum, dan hidung. Microform cleft
(disebut juga forme fruste) ditandai oleh adanya lekukan yang hampir tak terlihat sepanjang garis
vertikal bibir atas dengan takik (notch) kecil di vermillion dan cacat kecil pada daerah white roll.
Panjang vertikal bibir atas dapat berkurang dan dapat disertai dengan deformitas hidung.
Sumbing bibir juga diklasifikasikan menjadi unilateral dan biilateral, serta complete dan
incomplete. Sumbing bibir incomplete ditandai oleh garis sumbing yang tidak mencapai dasar lubang
hidung (nasal sill). Dalam hal ini nasal sill harus intak, dan bagian ini sering disebut sebagai
Simonart’s band.
Sumbing bibir complete melibatkan seluruh ketebalan bibir dan prosesus alveolaris (palatum
primer), meluas menuju nasal sill dan tidak terdapat Simonart’s band, serta sering disertai sumbing
palatum (palatum sekunder). Premaksila umumnya terotasi ke arah luar dan terproyeksi anterior
dibandingkan dengan elemen alveolus maksilaris anterior yang terposisikan relatif ke belakang.
Sebagai penyerta adanya sumbing bibir, terjadi juga deformitas hidung. Struktur dasar alae
nasi, nasal sill, vomer dan septum terdistorsi secara signifikan. Kartilago lateral bawah dari sisi yang
sumbing tertarik ke bawah, dengan sudut yang obtuse dan cuping hidung yang mendatar. Dasar alae
terotasi ke arah luar. Septum hidung yang sedang berkembang menarik premaksila menjauh dari
sumbing, sementara septum dan nasal spine terdefleksi ke sisi sumbing. Sumbing dapat berlanjut
melewati alveolus maksilaris dan palatal shelf, meluas sampai tulang palatum dan soft palate.

F. Penatalaksanaan
Bayi yang terlahir dengan sumbing wajah harus ditangani oleh klinisi dari multidisiplin dengan
pendekatan team-based, agar memungkinkan koordinasi efektif dari berbagai aspek multidisiplin
tersebut. Selain masalah rekonstruksi bibir yang sumbing, masih ada masalah lain yang perlu
dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara, gigi-geligi dan psikososial.
Masalah-masalah ini sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis, dan pada akhirnya hasil
fungsional yang baik dari rekonstruksi yang dikerjakan juga dipengaruhi oleh masalah-masalah
tersebut. Dengan pendekatan multidisipliner, tatalaksana yang komprehensif dapat diberikan, dan
sebaiknya berkelanjutan sejak bayi lahir sampai remaja. Diperlukan tenaga spesialis bidang
kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi ortodonti, serta terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi dan
audiolog.

62
G. Tatalaksana Non-Bedah
1. Neonatal care
Pertambahan berat badan yang normal, pencegahan aspirasi dan pencegahan
infeksi telinga berulang merupakan bagian yang paling penting dalam merawat bayi
dengan sumbing pada hari-hari dan minggu-minggu awal kehidupannya. Segera
setelah seorang bayi dilahirkan dengan sumbing, ada 3 hal yang diperhatikan:
 Kesulitan menyusui serta regurgitasi nasal, sehingga mengganggu
pertumbuhannya
 Resiko tersedak karena adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung
 Obstruksi jalan napas (selain dapat merupakan sekuele dari aspirasi, dapat juga
merupakan manifestasi sindrom seperti sindrom Pierre-Robin dimana terdapat
sumbing palatum disertai mikrognatia sedangkan lidah berukuran normal)
Ketiga hal tersebut tentu saja bergantung pada jenis sumbing (bibir,
palatum atau keduanya) dan derajat keparahan sumbingnya; juga dipengaruhi oleh
adanya anomali lain yang dapat merupakan 1 dari 300 sindrom genetik yang
berkaitan dengan sumbing.
Oleh karena itu, ada baiknya neonatus yang dilahirkan dengan sumbing
dikonsulkan kepada ahli genetik secepatnya, terutama jika ada kecurigaan.
Sebagian besar kasus sumbing bibir adalah nonsyndromic atau tidak terkait sindrom
genetik. Oleh karena itu orangtua sebaiknya ditenangkan dan diberi pengertian
dengan hati-hati.

2. Menyusui bayi dengan sumbing


Kebanyakan bayi dengan kelainan sumbing bibir dan/atau palatum dilahirkan
dengan berat badan yang normal. Namun biasanya seraya bayi tumbuh, sering
ditemukan penambahan berat badan yang tidak adekuat atau bahkan failure to thrive.
Adanya kelainan anatomis pada bibir dan palatum mengakibatkan bayi sulit mengisap
puting ataupun botol karena kesulitan menciptakan tekanan negatif pada rongga
mulut. Oleh karena itu, teknik menyusui sangat penting untuk dipertimbangkan, dan
harus diajarkan dengan baik pada orangtua pasien pada kunjungan pertama.
Ibu dari bayi dengan sumbing bibir unilateral saja masih dapat menyusui bayinya
dengan cara memposisikan bayinya sedemikian rupa sehingga celah sumbing di bibir
tertutup oleh payudara ibu. Posisi minum bayi haruslah lebih tegak atau minimal 45
untuk mencegah kebocoran susu ke arah hidung dan mencegah tersedak. Jika terjadi
regurgitasi nasal, anjurkan ibu untuk menghentikan memberi minum dan membiarkan
bayi batuk atau bersin dalam beberapa detik. Penggunaan obturator palatum dapat
membantu pada kasus-kasus sulit.
Apabila pasien tetap kesulitan menyusu langsung, ibu dapat di edukasi untuk tetap
memberikan asi dengan cara di pompa. Kemudian pemberian ASI melalui botol susu
yang nipple nya digunting berbentuk X atau V. Apabila tersedia, dapat diberikan botol
khusus bayi sumbing yang nipplenya panjang seperti corong dan botolnya dapat di
squeeze.

63
H. Tatalaksana Bedah
 Saat paling optimal untuk melakukan operasi repair sumbing sebenarnya masih
kontroversial. Beberapa pusat penanganan sumbing memilih melakukan operasi pada
periode neonatus dini, dengan manfaat teoretis : kemampuan adaptasi penampakan
jaringan parut dan kartilago nasal yang lebih baik, sehingga meminimalisasikan
deformitas hidung. Beberapa pusat penanganan sumbing yang lain, dengan alasan untuk
meminimalisasikan resiko efek samping anestesi umum, bertahan dengan the rule of ten
: yaitu melakukan operasi repair sumbing pada anak dengan berat badan 10 lb (5 kg),
usia 10 minggu dan kadar hemoglobin darah 10 g. Secara umum, operasi repair sumbing
bibir unilateral dilakukan pada usia bayi 2 – 4 bulan; dengan begitu resiko efek samping
anestesia lebih rendah, bayi sudah lebih kuat menghadapi stress operasi, serta ukuran
elemen bibir sudah lebih besar sehingga rekonstruksi dapat dilakukan dengan lebih rapi
dan akurat. Secara umum, time-table penatalaksanaan operasi pada beberapa tipe
sumbing bibir dapat dilihat pada Gambar 1.
 Dimulai pada minggu pertama atau kedua setelah kelahiran, dengan respon maksimal
terjadi selama 6 minggu pertama pemakaian, dapat digunakan alat yang berfungsi
sebagai ekstensi hidung untuk memperbaiki bentuk puncak hidung (alat molding nasal-
alveolar). Alat ini juga dapat membantu pemberian makan pada bayi secara oral,
membantu mengurangi regurgitasi nasal dan membantu suction oral.

Gambar 1. Time-table tatalaksana bedah pada sumbing bibir

64
Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.
4. Samuel Berkowitz. Cleft Lip and Palate, Diagnosis and Management 2nd Edition. Springer-
Germany: 2006.

65
TRAUMA CRANIOMAXILLOFACIAL
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE

A. Definisi
Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan satu hingga banyak
tulang wajah patah komplit atau tidak komplit. Organ yang terlibat pada fraktur tulang muka terdiri
atas jaringan lunak (kulit, otot, dan jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yang
tidak membatasi otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula).
Tulang muka sifatnya berbeda dengan tulang panjang, sifatnya spongiosa dan lebih vaskuler
dibandingkan tulang cortical/tulang panjang sehingga dalam waktu 5-6 minggu penyembuhan
fraktur sudah selesai, sudah rigid.

B. Etiologi
Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda motor tanpa
menggunakan helm (pelindung kepala). Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya akibat
perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, kecelakaan industrial dan luka tembak.

C. Gejala dan Tanda Klinis


1. Anamnesis: Adanya riwayat trauma pada muka
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Tampak deformitas muka, bisa berupa:
 Deformitas pada 1/3 atas, tengah dan bawah wajah
 Bengkak, asimetri, miring disertai lecet kulit sampai ke luka jaringan lunak.
 Hematoma atau perdarahan di luka atau dari lubang hidung dan mulut sebagai
jalan keluar perdarahan dari sinus maxilla/ fraktur
 Vulnus laserasi
 Vulnus ekskoriasi
 Depresi malar imminens
 Fungsi mata: Visus, gerakan otot bola mata, diplopia, distopia.

b. Palpasi
 Nyeri, krepitasi (tanpa penekanan yang kuat karena tulang pipih), ”step in” atau
diskontinuitas pada rima orbita superior, rima orbita inferior, os.nasal,
os.zygoma, os.maxilla, os. mandibula dan gliding TMJ.
 Hipestesi pada cuping hidung, pipi ataupun dagu

c. Intraoral
 Pada rongga mulut tampak gangguan oklusi (maloklusi) yaitu tonjolan gigi
molar 1 yang tidak bertemu dengan cekungan gigi lawan/ pasangannya
 Step off deromity
 Laserasi ginggiva daerah fraktur
 Maxilla yang mengambang dalam hematom (floating maxilla)

66
 Nomenklatur gigi berdasarkan zygmondy

3. Radiologis
 Foto kepala AP
 Foto waters atau reverse waters : untuk melihat garis patah ataupun perselubungan di
mid-face
 CT scan : bisa melihat garis patah yang tidak tampak dalam foto radiologi biasa. CT scan
3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang muka keseluruhan dan tulang yang
patah atau melesak dapat dikenali dengan lebih jelas, dikerjakan atas indikasi khusus.

D. Penatalaksanaan
1. Penanganan awal
 Primary survey : Airway, Breathing, Circulation dan selanjutnya tetap diawasi.
 Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita, telinga, hidung, wajah
bagian tengah, mandibula, rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain
injury) dapat menunda timing operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada
fraktur tulang muka.
 Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi definitive.
 Fraktur mandibula bilateral harus distabilkan agar tidak mengganggu jalan napas.
 Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus dilakukan drainase dan
dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade hidung.

2. Penanganan lanjut yaitu pada minggu pertama pasca trauma


 Fraktur Mandibula: Reduksi kemudian fiksasi pada geligi dengan wire ataupun Arch Bar
menghasilkan ”union” dan ”occlusi” yang dicapai dalam ± 5 minggu. Reduksi kemudian
fiksasi dengan mini plate screw tidak memerlukan penguncian geligi sebagaimana pada
wire dan arch bar.
 Fraktur Maxilla: Reduksi dengan pendekatan sulcus ginggivobuccalis dan infra cilliar
palpebra inferior; dapat juga difiksasi dengan wire atau mini plate screw.
 Fraktur rima orbita penting dilakukan operasi reposisi dan fiksasi untuk mengembalikan
bentuk orbita dan memulihkan fungsi gerak mata yang terganggu.
 Fraktur nasal sebaiknya direparasi tidak terlalu lama sejak traumanya, mengingat tulang
nasal adalah pipih dan sering patahnya berbentuk impresi, deviasi atau remuk.

E. PROGNOSIS
Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan dalam waktu 1 minggu
setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik. Jika penderita mempunyai penyakit kronik atau
osteoporosis maka penyembuhannya jadi masalah.
Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat menyebabkan
trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan prosedur bedah multipel dan membutuhkan
perawatan lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih
maksimal oleh ahli bedah plastik.

67
Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.
4. Ruedi, Buckley, Moran. AO Surgery Foundation, Craniomaxillofacial. 2016.
5. Thaller, McDonald. Facial Trauma. USA, 2004.

68
HIPOSPADIA
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE

A. Definisi
Hipospadia merupakan kelainan kongenital saluran kemih dengan muara uretra terletak tidak
pada ujung penis, namun lebih ke arah proksimal di sisi ventral penis. Kelainan ini disertai korde,
yaitu struktur seperti jaringan ikat yang terletak di sisi ventral antara meatus uretra yang terletak
abnormal dan meatus uretra yang semestinya di ujung glans penis.

B. Prevalensi
Hipospadia muncul pada 1 diantara 300 kelahiran bayi laki-laki. Sedangkan di Amerika Serikat
angka kejadiannya sekitar 3-8 diantara 1000 kelahiran bayi laki-laki dan angkanya meningkat 2 kali
lipat dari tahun 1970 hingga tahun 1993. Insidensnya jarang, yaitu 1 dari 4.000 kelahiran, umumnya
disertai kelainan uterus dan saluran kemih.

C. Etiologi
 Produksi androgen abnormal
 Perbedaan sensitivitas terhadap hormon androgen pada jaringan yang berhubungan,
misalnya tuberkulum genital
 Estrogen dari lingkungan

D. Diagnosis
Tanda/ gejala Hipospadia yang khas:
 Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian ventral
menyerupai meatus uretra eksternus
 Preputium tidak ada dibagian ventral, menumpuk di bagian dorsal
 Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang ke
distal sampai basis glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar
 Kulit penis di bagian ventral, distal dari meatus sangat tipis.
 Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada
 Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada basis dari glans penis
 Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok
 Sering disertai undescended testis
 Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal

E. Kalsifikasi
 Anterior : Glanular, koronal, subkoronal
 Tengah : Distal penile, midshaft, proximal penile
 Posterior : Penoskrotal, skrotal, perineal

F. KELAINAN PENYERTA
 Micropenis
 Buried penis

69
 Undescended testis
 Intersex atau genitalia ambigu

G. Penatalaksanaan
Tujuan operasi pada hipospadia adalah agar pasien dapat berkemih dengan normal, bentuk
penis normal, dan memungkinkan fungsi seksual yang normal. Hasil pembedahan yang diharapkan
adalah penis yang lurus, simetris, dan memiliki meatus uretra eksternus pada tempat yang
seharusnya, yaitu di ujung penis.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Thiersch-Duplay, Dennis
Brown, Cecil Culp. Operasi dapat mulai dilakukan pada usia 1,5-3 tahun, dengan satu ataupun dua
tahapan operasi, tergantung dengan kondisi klinis hipospadia.

H. Komplikasi
 Fistula uretrocutaneous
 Stenosis uretra
 Striktur uretra
 Twisted penis

Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.
4. Sukasah CL, Supit L, Mukarramah DA, Ramadan R, Illustrated Guideline of hypospadia
Surgery. Jakarta, 2013.

70

Anda mungkin juga menyukai