Praktik
BEDAH
Klinik
KONTRIBUTOR
Dr. Effman EU Manawan, SpB-KBD, M Kes
Dr. Sarup Singh, SpB-KBD
DR. Dr. M. Alsen Arlan, SpB-KBD, MARS
Dr. Burmansyah, SpB(K)Onk
Dr. HKM Yamin Alsoph, SpB(K)Onk, MARS
Dr. Benny Kusuma SpB(K)Onk
Dr. Mulawan Umar SpB(K)Onk
Dr. Muzakkie SpOT
Dr. Nur Rachmat Lubis SpOT
Dr. Rendra Leonas SpOT M. HumKes
Dr. Ismail Bastomi SpOT
Dr. Primadika Rubiansyah SpOT
Dr. Zulkarnain SpOT
Dr. Arizal Agoes Sp.B SpU
Dr. Marta Hendry SpU
DR. Dr. Didit Pramudhito Sp.U
Dr. Trijoso Permono SpBS
Dr. Edison Sitorus SpBS M Epid Klin
Dr. MGS Roni Saleh SpBP-RE
Dr. Iqmal Perlianta SpBP-RE
Dr. Abda Arif SpBP-RE
Dr. Bermansyah SPB-TKV
Dr. Sindu Saksono SpB SpBA
Dr. Shalita SpB SpBA
Dr. Fahmi Jaka Yusuf SpBKV
Dr. M. Hafid Komar, SpBKBD
Dr. Anugerah Onie Widiatmo, SpBS
Dr. Hasan, SpBS
Dr. Agung Muda Patih, SpBS
Dr. Mufida Muzakkie, SpBP-RE
Dr. Wiria Aryanta, M.Kes, SpOT(K)Hand
Dr. Kms. Dahlan, SpB(K)V
Dr. Gama Satria, SpB-BTKV
Dr. Ahmat Umar, SpB-BTKV
Dr. Nur Qodir, SpB(K)Onk
1
KATA SAMBUTAN DEKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TTD
2
3
DAFTAR ISI
4
MODUL PROFESI DOKTER
BAGIAN BEDAH
Bagian I
MODUL PEMBELAJARAN
5
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kepaniteraan klinik merupakan serangkaian proses dalam suatu kurikulum pendidikan yang
harus dijalani oleh mahasiswa kedokteran. Dalam tahap ini, mahasiswa diharapkan mempunyai
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku dalam bidang keprofesiannya sebagai seorang
dokter. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, praktik klinik dalam kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) tahun 2005 dirancang sebagai modul klinik terintegrasi. Begitu juga dengan praktik klinik di
Departemen Bedah, kepaniteraan klinik juga dirancang dalam bentuk modul yang terintegrasi. Modul
Praktik Klinik Bedah mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, penegakan diagnosis, rencana
penatalaksanaan dan juga keterampilan Bedah dasar sesuai kompetensi.
TUJUAN
Tujuan Umum
Pendidikan kedokteran bertujuan untuk menghasilkan dokter yang mampu melaksanakan
tugas profesinya dan senantiasa meningkatkan dan mengembangkan diri sesuai dengan
tuntutankeilmuandanprofesionalitas seorang dokter. Pendidikan kedokteran paripurna menghasilkan
dokter yang memiliki integritas, rasa tanggung jawab dan dapat dipercaya sesuai dengan etika profesi
yang universal.
Dengan adanya buku panduan Praktik Klinik Bedah, mahasiswa diharapkan mampu
menggunakan ilmu Biomedik, Klinik, Perilaku, dan Komunitas untuk memahami secara menyeluruh
masalah dalam Ilmu Bedah dalam konteks klinik. Selain itu, juga mampu menjelaskan rencana
penatalaksanaan setelah tertegak diagnosis dan penatalaksanaan serta perawatan setelah tindakan
operatif.
Tujuan Khusus
1. Memberikan pengalaman kemandirian kepada dokter muda untuk dapat mengidentifikasi,
menganalisis, dan menyelesaikan masalah kesehatan di bidang ilmu bedah pasien secara
menyeluruh sesuai tingkat kompetensi, berdasarkan prinsip kedokteran berbasis bukti
2. Melakukan prosedur pemeriksaan atau tindakan secara mandiri atau dibawah bimbingan
penyelia untuk meningkatkan keterampilan klinik sesuai standar kompetensi dokter.
3. Memberikan pengetahuan etika profesi dan moral yang berlaku secara umum maupun khusus di
masyarakat.
6
DASAR
Dasar pembuatan buku panduan ini ialah sebagai berikut:
1. UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan dokter
2. Kemenkes No. 1069/Menkes/XI/2008
3. SKPDI 2012
4. Tuntunan akan pengelola pendidikan yang lebih efisien dan efektif sesuai dengan dinamika
pendidikan dokter yang sangat cepat, beban pembelajaran yang terus meningkat karena tuntutan
akan mutu pendidikan yang lebih baik.
7
BAB II
KARAKTERISTIK MAHASISWA
Setelah tahap akademik (33 blok, selama 7 semester), mahasiswa S-1 akan menjalani tahap
yudisium menjadi Sarjana Kedokteran. Setelah itu, mahasiswa akan menjalani tahap profesi (15
bagian selama 4 semester). Tahapan di Bagian Bedah berlangsung selama 10 pekan.
8
BAB III
SASARAN PEMBELAJARAN
9
BAB IV
LINGKUP BAHASAN
Selama menjalani praktik klinik di lingkungan Bagian Bedah FK Unsri / RSUP. Dr. Moh. Hoesin,
mahasiswa diharapkan dapat mempelajari dan terampil dalam melakukan tindakan kedaruratan dan
pengelolaan pasien Bedah, dengan tingkat kemapuan yang dicapai sesuai dengan Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI) yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2012.
10
11. Trauma Sendi (Strain & Sprain) 5. Penanganan pertama fraktur
12. Osteomielitis 6. Penanganan perdarahan pada fraktur
13. Artritis Septik terbuka (prinsip ATLS)
14. Spondilitis Tuberkolosis 7. Mampu memberikan terapi lini pertama
15. Osteoartritis kasus-kasus ortopedi (RICE), antibiotik,
16. Herniasi Nukleus Pulposus immobilisasi fraktur
17. Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) 8. Mengenal dan memberikan edukasi
18. Skoliosis Kongenital kasus-kasus rujukan bedah ortopedi
19. Neoplasma Maskuloskeletal
20. Osteoporosis
1. Mengenal tanda-tanda fraktur
2. Mengenal dan menerapkan prinsip-prinsip
immobilisasi kasus-kasus fraktur
3. Menerapkan penggunaan arm sling, splint
4. Mengenal tanda-tanda sindrom
kompartemen
5. Mendeskripsikan jenis-jenis fraktur pada
rontgen
6. Resusitasi cairan pada syok hemorrhagik
7. Refleks bulbokavernous pada cedera tulang
belakang
8. Indikasi pemasangan collar neck, long spine
board
IV Bedah Syaraf 1. Cedera kepala berdasarkan GCS 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
2. Perdarahan intrakranial terarah
2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
dengan kasus bedah syaraf
3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
1. Melakukan pemeriksaan refleks pupil menunjang diagnosis
2. Melakukan pemeriksaan GCS 4. Memberikan tatalaksana lini pertama
3. Pemasangan NGT untuk kasus-kasus rujukan dan mampu
4. Pemasangan OPA melakukan tindakan lini pertama sesuai
5. Mengenal gangguan jalan nafas dan panduan ATLS
melakukan chin lift dan jaw thrush 5. Mengenal dan menerapkan tatalaksana
gangguan ABC pada cedera kepala
6. Mengenal dan menerapkan skor GCS
7. Membaca rontgen cranium
8. Mengenal dan memberikan edukasi
kasus-kasus rujukan bedah syaraf
V Bedah Plastik 1. Luka 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
2. Parut Hipertropik, Keloid, dan kontraktur terarah
3. Luka bakar 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
4. Sumbing bibir dan langitan dengan kasus bedah plastik
5. Trauma craniomaxillofacial 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
6. Hipospadia menunjang diagnosis
4. Mengetaqhui fisiologi penyembuhan luka
1. Mendiskripsikan luka akut dan luka kronis
(normal dan abnormal)
2. Mampu melakukan perawtan luka
5. Mengenal dan mampu mendeskripsikan
3. Mampu melakukan dan mengenal prinsip-
luka akut, luka kronis, rencana
prinsip dasar teknik menjahit luka sederhana
tatalaksana dan perawtan luka
dan kegunaan macam-macam jenis bening
6. Memahami skema anak tangga
4. Menghitung luas luka bakar
rekonstruksi penutupan luka
5. Menghitung pemberian cairan (resusitasi dan
7. Memmpu melakukan penjahitan luka
rumatan) pada luka bakar
secara lege artis
6. Mempu memberikan dan memperagakan
8. Mengenal dan memberikan tatalaksana
edukasi pada pasien dengan sumbing bibir
pertama pada luka bakar (Primary survey,
dan langitan
First Aid dan Secondary survey) dan
7. Mampu melakukan pemeriksaan fisik pasien
mengetahui criteria rujuk
dengan trauma craniomaxillofacial
9. Mampu melakukan edukasi pencegahan
8. Membaca rontgen cranium AP, water’s dan
kontraktur pasca luka bakar
panoramic
10. Mengenal, mendiagnosis dan mampu
medeskripsikan luka abnormal (scar
hipertropik dan keloid)
11. Mengenal dan mendiagnosis kontraktur
12. Mengenal dan mendiagnjosis pasien
dengan sumbing bibir dan lelangit
11
13. Mengetahui tahapan operasi pasien
sumbing bibir dan lelangit dan criteria
rujuk
14. Mengenal dan memberikan tatalaksana
pertama pada kasus teruma
craniomaxillofacial sesuai panduan ATLS
15. Mengenal dan mendiagnosis traum
craniomaxillofacial (fraktur os nasal,
maxilla dan mandibula)
16. Melakukan pemeriksaan fisik
craniomaxillofacial dan membaca
rontgen cranium, waters dan panoramic
17. Mengenal dan mendiagnosis pasien
dengan hipospadia dan kelainan yang
mungkin menyertainya
18. Mengetahui tahapan operasi pasien
hipospadia
19. Mengenal dan memberikan edukasi
kasus-kasus rujukan bedah plastic.
12
1. Mendeskripsika kegawatan yang timbul 4. Mengetahui fifiologi pernafasan dan
akibat trauma toraks, kardiak dan vascular sirkulasi
2. Mampu mel;akukan penatalaksanaan dini 5. Mengenal dan mampu mendeskripsikan
(life saving) pada penderita trauma leher, kompliasi akibat trauma pada leher, dada
dada sesuai ATLS dan pembuluh darah
3. Mampu melakukan dan mengenal prinsip – 6. Melakukan tatalaksana lini pertama untuk
prinsip dasar teknik dekompresi dan drainase kasus kegawatan pernafasan (Airway dan
intra pleura dan intra perikard Breathing) sesuai dengan ATLS
4. Mampu mengobservasi dan mengevaluasi 7. Melakukan identifikasi komplikasi akibat
tindakan dini penderita trauma (sesuai ATLS) trauma secara radiologis (Chest X-Ray)
8. Mengenal dan memberikan edukasi kasus
– kasus rujukan Bedah Toraks, Kardik dan
Vaskular
IX Bedah Vaskuler 1. Thromboplebitis 1. Melakukan anamnesis yang tepat dan
2. Ulkus pada tungkai terarah
3. PAD /CLI / ALI 2. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
4. DVT dengan kasus bedah vaskuler
5. CVI / Varises 3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk
6. Limfedema menunjang diagnosis
7. Diabetic Foot Ulcer 4. Memberikan tatalaksana lini pertama
8. Trauma Vaskular untuk kasus-kasus rujukan dan mampu
1. Melakukan pemeriksaan CRT melakukan tindakan lini pertama
2. Melakukan pemeriksaan pulsasi pada arteri 5. Mengenal dan memberikan edukasi
3. ABI (angkle Brachial Indec) kasus-kasus rujukan bedah vaskuler
4. Homman Test / weussere
5. Pedis Score
6. Test Valsava varises dll
7. Pemeriksaan fisik untuk lemfedema
8. Hard sign, soft sign
13
BAB V
METODE PEMBELAJARAN
Metode pengajaran yang digunakan selama kepaniteraan klinik Bedah ialah pengajaran aktif
mandiri dan terintegrasi yang meliputi:
1. Tahap orientasi
Tahap ini bertujuan untuk memberikan wawasan mengenai ruang lingkup Ilmu Bedah seperti
yang tercantum dalam lingkup bahasan.
1.1 Kuliah
Bentuk kuliah interaktif memberikan wawasan mengenai Ilmu Bedah. Pemberian materi
kuliah dilaksanakan pada minggu ke-1 sampai dengan 2.
14
1.2 Bimbingan Konsulen
Bimbingan ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa berdiskusi secara interaktif
dengan dosen pembimbing, untuk membahas topik-topik yang kurang dipahami. Narasumber
menilai pemahaman mahasiswa dan meberikan arahan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuannya.
2. Tahap latihan
Tahap latihan ini bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan praktik klinik
melalui berbagai pengalaman belajar langsung pada pasien. Dalam tahap ini, mahasiswa
diharapkan melihat, memeriksa dan melakukan tindakan yang tercantum dalam buku kegiatan
mahasiswa. Semua kegiatan tersebut harus dicatat dalam buku catatan kegiatan mahasiswa dan
ditandatangni oleh staf konsulen atau PPDS senior yang bertugas.
15
2.4 Kegiatan di IGD
Kegiatan ini bertujuan memberikan pengalaman klinis pengelolaan pasien gawat darurat.
Dilakukan di ruang resusitasi dan kamar operasi IGD RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
Mahasiswa melakukan observasi pengelolaan pasien gawat di ruang resusitasi dan
perianestesia pasien yang menjalani operasi emergensi. Kegiatan yang dimaksud dalam
supervisi yaitu:
1. Melakukan penilaian triage
2. Melakukan survey primer pada pasien dengan tanda-tanda kegawatan di ruang IGD
3. Melakukan observasi pasien selama di IGD
4. Melakukan pemantauan perioperatif pasien yang menjalani operasi emergensi
5. Melakukan tindakan sesuai dengan kompetensi yang terdapat pada buku kegiatan
6. Mengisi buku kegiatan
16
MATRIX PERKULIAHAN
Minggu
RS
17
07.00-07.50
Case 1 BST 10 Case 2 BST 11 Case 3
07.50-08.40
08.40-09.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
VI 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA
12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
13.50-14.40 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
14.40-15.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
07.00-07.50
Case 4 PS 10 Case 5 PS 11 Case 6
07.50-08.40
08.40-09.30 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
09.30-10.20 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
10.20-11.10 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
VII 11.10-12.00 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP JAGA
12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP POLI/IGD/OK/R.INAP
JEJARING/AFILIASI
08.40-09.30 LISAN
09.30-10.20 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
10.20-11.10 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
X 11.10-12.00 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT JAGA
12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA ISHOMA
13.00-13.50 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
13.50-14.40 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
14.40-15.30 OSCE LISAN LISAN LISAN CBT
15.30-07.00 JAGA JAGA JAGA JAGA JAGA
Nb : untuk minggu ke X, setelah selesai ujian mengikuti kegiatan kepaniteraan di Poli, IGD,OK
dan rawat inap
18
BAB VI
SUMBER DAYA
Ruang Kuliah
19
17 Dr. Trijoso Permono SpBS TP RSMH 0811712551 197103102000121001
18 Dr. Edison Sitorus SpBS M Epid Klin ED RSMH 081712247 195207161978100001
19 Dr. MGS Roni Saleh SpBP-RE RS RSMH 081703391800 194701101976021001
20 Dr. Iqmal Perlianta SpBP-RE IQI RSMH 085267117646 196904112000031002
21 Dr. Abda Arif SpBP-RE ABA RSMH 081368601137
22 Dr. Bermansyah SPB-TKV BER RSMH 08127127952 196303281989111001
23 Dr. Sindu Saksono SpB SpBA SI RSMH 08127127952 195703181984031005
24 Dr. Shalita SpB SpBA ST RSMH 08127100377 198211292010122001
25 Dr. Fahmi Jaka Yusuf SpBKV FM RSMH 0811714472 198007052010121001
26 Dr. M. Hafid Komar, SpBKBD HF RSMH 081171019000 198210092010121001
27 Dr. Anugerah Onie Widiatmo, SpBS RSMH 085722944544 770529022018201507
28 Dr. Hasan, SpBS RSMH 085624112707 831007022022201001
29 Dr. Agung Muda Patih, SpBS RSMH 081272377778 198107012008041000
30 Dr. Mufida Muzakkie, SpBP-RE RSMH 08188884038
31 Dr. Wiria Aryanta, M.Kes, SpOT(K)Hand RSMH 08122009396
32 Dr. Kms. Dahlan, SpB(K)V RSMH 085382730514
33 Dr. Gama Satria, SpB-BTKV RSMH 08127113115
34 Dr. Ahmat Umar, SpB-BTKV RSMH 082186706101
35 Dr. Nur Qodir, SpB(K)Onk RSMH 085383836540 197202052002121001
36 Dr. Hazairin,SpB RSUD 0733-32101 196307021989111001
dr.Sobiri
n Lubuk
Linggau
37 Dr. Yudi Arimansyah,SpB RSUD 081367611167
dr.Sobiri
n Lubuk
Linggau
38 Dr. Ayatullah,SpB RSUD 081278821942 197906102005011008
Kayu
Agung
39 Dr. Ali Hanafiah,SpB RSUD 081367602021 196904082002121001
dr.HM.Ra
bain
Muara
Enim
40 Dr. Yustina,SpB RSUD 08127848006 198106082008032001
dr.HM.Ra
bain
Muara
Enim
20
BAB VII
EVALUASI
Keberhasilan mahasiswa:
Nilai Akhir Huruf Mutu Angka Mutu
86-100 A 4
71-85 B 3
56-70 C 2
41-55 D 1
<41 E <1
Nilai batas lulus > 71
Remedial
Ketentuan remedial diatur dalam buku panduan pendidikan profesi dokter.
Jadwal remedial ditentukan oleh Bagian Akademik setelah yudisium dilaksanakan. Jadwal
remedial disusun dengan mempertimbangkan kapasitas Bagian.
21
3. Pembobotan
No Komponen evaluasi Presentasi
1 Proses pembelajaran 40%
A Procedural skill/Microskill 20%
B Case Report 10%
C Jurnal reading/Referaat 10%
2 Ujiansumatif 60%
A Ujian kasus/Mini Clinical Evaluation (Mini CEX) 20%
B OSCE (Objective Structured Clinical Examination) 20%
C MCQ (Multiple Choice Question)/CBT 20%
Total 100%
22
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA
23
AREA KOMPETENSI DOKTER INDONESIA
KOMPETENSI KLINIS
Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk
mendapatkan informasi lebihlanjut mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yangpaling tepat bagi pasien.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjutisesudah kembali dari rujukan.
KOMPETENSI KETERAMPILAN
Tingkat kemampuan 1 (Knows): Mengetahui dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu menguasai pengetahuan teoritis termasuk aspek biomedik dan psikososial keterampilan tersebut
sehingga dapat menjelaskan kepadapasien/klien dan keluarganya, teman sejawat, serta profesi lainnya tentang prinsip,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul. Keterampilan ini dapat dicapai mahasiswa melalui perkuliahan, diskusi,
penugasan, dan belajar mandiri, sedangkanpenilaiannya dapat menggunakan ujian tulis.
Tingkat kemampuan 3 (Shows): Pernah melakukan atau pernah menerapkan dibawah supervisi
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teori keterampilan ini termasuk latarbelakang biomedik dan dampak psikososial
keterampilan tersebut,berkesempatan untuk melihat dan mengamati keterampilan tersebut dalambentuk demonstrasi atau
pelaksanaan langsung pada pasien/masyarakat, sertaberlatih keterampilan tersebut pada alat peraga dan/atau standardized
patient.Pengujian keterampilan tingkat kemampuan 3 dengan menggunakan ObjectiveStructured Clinical Examination (OSCE)
atau Objective Structured Assessmentof Technical Skills (OSATS).
24
MODUL PROFESI DOKTER
BAGIAN BEDAH
BAGIAN II.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN BEDAH
25
ILMU BEDAH TORAKS KARDIAK DAN VASKULAR
Keterampilan klinik :
1. Mendeskripsikan kegawatan yang timbul akibat trauma toraks, kardiak dan vaskular.
2. Mampu melakukan penatalaksanaan dini (life saving) pada penderita trauma leher, dada
sesuai ATLS.
3. Mampu melakukan dan mengenal prinsip-prinsip dasar teknik dekompresi dan drainase
intra pleura dan intra perikard.
4. Mampu mengobservasi dan mengevaluasi tindakan dini penderita trauma (sesuai ATLS).
26
TRAUMA DADA
Gama satria, dr, Sp.B, Sp.BTKV
Trauma Pada Dada dibagi menjadi dua jenis yaitu truma tajam dan tumpul. Adapun kelainan
yang dapat timbul akibat dari trauma tersebut adalah :
1. Trauma pada dinding toraks
2. Trauma pada pleura an paru
Pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ
intratoraks lain, adalah: Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
1. Bronchial toilet
2. Cek laboratorium berkala : Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit, Trombosit, dan Analisa
gas darah
3. Cek foto toraks berkala
Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain seperti : pneumotoraks dan
hematotoraks, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat dengan analgetik,
bronchial toilet, cek laboratorium dan foto toraks berkala, dapat menghindari morbiditas dan
mortalitas. (Sjamsuhidajat, 2005).
Komplikasi yang sering terjadi pada fraktur iga adalah atelektasis dan pneumonia, yang
umumnya disebabkan manajemen analgetik yang tidak adekuat (Brunicardi, 2006).
27
Fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan seperti : kontusio atau laserasi jantung,
perlukaan bronkhus atau aorta. Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik biasanya dijumpai nyeri
terutama di area sternum dan disertai krepitasi.
Pada pemeriksaan penunjang foto toraks lateral ditemukan garis fraktur pada daerah sternum
atau gambaran sternum yang tumpang tindih. 61% kasus fraktur sternum memperlihatkan adanya
perubahan pada pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) yang tidak normal, merupakan tanda trauma
jantung. Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006)
1. Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan observasi
tanda-tanda adanya laserasi atau kontusio jantung
2. Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif untuk
stabilisasi dengan menggunakan sternal wire, sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada
organ atau struktur di mediastinum.
C. Flail Chest
Menurut Sjamsuhidajat (2005), flail chest adalah area toraks yang melayang, disebabkan adanya
fraktur iga multipel berturutan lebih atau sama dengan 3 iga dan memiliki garis fraktur lebih atau
sama dengan 2 pada tiap iganya.
Akibatnya adalah terbentuk area melayang atau flail yang akan bergerak paradoksal dari
gerakan mekanik pernapasan dinding toraks. Area tersebut akan bergerak masuk pada saat inspirasi
dan bergerak keluar pada saat ekspirasi.
Karakteristik (Brunicardi, 2006)
1. Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding toraks saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada
pasien dalam ventilator
2. Menunjukkan trauma hebat
3. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang
seringkali diperberat oleh edema atau kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak
dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint
atau bandage yang melingkari toraks, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan
secara keseluruhan (Brunicardi, 2006).
Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006)
1. Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan
pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui
pemeriksaan AGD (Analisa gas darah) berkala dan takipneu
2. Pain control
3. Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi)
4. Bronchial toilet
5. Fisioterapi agresif
6. Tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet
28
3. Menghindari cacat permanen.
4. Indikasi relatif Menghindari prolong ICU stay dan prolong hospital stay.
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area yang
melayang atau flail.
b. Tanda dan gejala klinis : sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu,
hipotensi, tekanan vena jugularis meningkat, pergerakan dinding dada yang
asimetris.
29
Tension pneumotoraks merupakan keadaan life-threatening, maka tidak perlu
dilakukan pemeriksaan foto toraks.
Penatalaksanaan tension pneumotoraks berupa dekompresi segera (torakosintesis)
dengan needle insertion pada sela iga II linea mid-klavikula pada daerah yang terkena.
Sehingga tercapai perubahan keadaan menjadi suatu simple pneumotoraks dan
dilanjutkan dengan pemasangan Torakostomi + WSD.
Pada pneumotoraks kecil (<20 %), gejala minimal dan tidak ada respiratory distress,
serangan yang pertama kali, sikap kita adalah observasi dan penderita istirahat 2-3 hari. Bila
pneumotoraks sedang, ada respiratory distress atau pada observasi nampak progresif foto toraks,
atau adanya tension pneumothorax, dilakukan tindakan bedah dengan pemasangan torakostomi +
WSD untuk pengembangan paru dan mengatasi gagal nafas.
Tindakan torakotomi dilakukan bila:
a. Kebocoran paru yang masif sehingga paru tak dapat mengembang (bullae / fistel
bronkopleura).
b. Pneumotoraks berulang.
c. Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension pneumothorax).
d. Pneumotoraks bilateral.
e. Indikasi social (pilot, penyelam, penderita yang tinggal di daerah terpencil)
30
Pemeriksaan foto toraks boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil.Pada kasus hematotoraks
terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru, dijumpai bayangan air-fluid level
pada kasus hematopneumotoraks.
Penatalaksanaan hematotoraks
a. Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.
b. Pada 90 % kasus hematotoraks dapat ditatalaksana hanya dengan tindakan Torakostomi +
WSD.
c. Tindakan operasi torakotomi emergensi dilakukan untuk menghentikan perdarahan apabila
dijumpai :
Dijumpai perdarahan massif atau inisial jumlah produksi darah di atas 1500 cc.
Bila produksi darah di atas 5 cc/kgBB/jam.
Bila produksi darah 3-5 cc/kgBB selama 3 jam berturut-turut.
31
lebih sering dari pada diafragma kanan. Pada ruptur diafragma akan terjadi herniasi organ viseral
abdomen ke toraks dan dapat terjadi ruptur ke intra perikardial.
Diagnostik dapat ditegakkan dari anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, yaitu
riwayat trauma tumpul toraks inferior atau abdomen. Tanda dan gejala klinis sesak atau respiratory
distress, mual-muntah, tanda-tanda akut abdomen. Dari pemeriksaan foto toraks dengan NGT
terpasang dijumpai pendorongan mediastinum kontralateral dan terlihat adanya organ viseral di
toraks.
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan torakotomi eksplorasi emergensi dan dapat diikuti
dengan laparotomi apabila diperlukan.
Diagnostik dapat ditegakkan dari pemerikasan EKG, pemeriksaan enzim jantung atau CK-CKMB,
Troponin T. Pada foto toraks dijumpai pembesaran mediastinum, gambaran doublecontour pada
mediastinum yang menunjukkan kecurigaan efusi pericardium. Dapat juga dilakukan
Echocardiography untuk memastikan adanya suatu effusi atau tamponade jantung.
Penatalaksanaan trauma jantung dapat dilakukan apabila dijumpai:
a. Luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi
emergency
b. Tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan indikasi dilakukannya torakotomi
eksplorasi.
c. Kecurigaan trauma jantung yang mengharuskan perawatan dengan observasi ketat untuk
mengetahui adanya tamponade.
Salah satu komplikasi adanya kontusio jantung adalah terbentuknya aneurisma ventrikel
beberapa bulan atau tahun pasca trauma.
32
Penanggulangan empiema tergantung dari fase empiema. dimana terdapat 3 fase dari empyema,
yaitu :
a. Fase Eksudatif
b. Fase Fibropurulent
c. Fase Organisasi
K. Chylothorax
Chylothorax adalah akumulasi cairan limphe yang berlebihan di dalam rongga pleura karena
kebocoran dari duktus torasikus atau cabang-cabang utamanya. Obstruksi atau laserasi duktus
torasikus yang paling sering disebabkan oleh keganasan, trauma, tuberkulosa dan trombosis vena
(Brunicardi, 2006).
Cairan chylus khas putih seperti susu tidak berbau dan bersifat alkalis, pada kondisi puasa
produksi minimal dan menjadi produktif setelah makan makanan berlemak. Komposisi terutama
adalah fat 14-210 mmol/L (60 %-70 % lemak yang diserap usus masuk ke dalam duktus torasikus)
protein dan elektrolit (Brunicardi, 2006).
Penatalaksanaan Chylothorax (Brunicardi, 2006):
a. Konservatif, dengan cara: pemberian diet dan nutrisi yang adekuat atau rendah lemak),
koreksi cairan dan elektrolit dan closed Thoracostomy + WSD.
b. Intervensi bedah
Tindakan bedah dilakukan bila lebih dari 14 hari tindakan konservasif tidak berhasil, dari
kepustakaan 25 % kebocoran akan menutup secara sepontan dalam interval waktu 14 hari
dan 75 % butuh intervensi bedah.
Teknik bedah yang dilakukan adalah :
Ligasi langsung pada duktus toraksikus.
Supra diaphragmatic mass ligaton.
Pleuroperitoneal shunting.
Pleurodesis dan pleurectomi.
Anastomosis duktus ke V. azygos.
Dekortikasi.
Fibrine glue.
VATS (Video assisted thoracic surgery).
Referensi
1. Brunicardi, FC, Onan B, Oz, K.(2006) Chest wall, lung, mediastinum and pleura. dalam
Schwartz’s Manual of Surgery 8th edition. USA: Mc-graw Hill.
2. Willimas, N.S., Bulstrode CJ, O’connel P. (2013) The Thorax. Dalam Bailey and Love Short
Practice Surgery 26th Edition. India :CRC press.
3. American College of Surgeons Committee on Trauma. (2008) Trauma Toraks. Dalam ATLS
Student Course Manual 8th edition. USA.
33
34
TRAUMA LEHER
Gama Satria, dr, Sp.B, Sp.BTKV
A. Pendahuluan
Leher merupakan daerah yang cukup menyulitkan untuk dilakukan evaluasi dan tatalaksana
pada penderita trauma dikarenakan banyaknya struktur penting seperti saluran pernafasan,
pembuluh darah, saluran pencernaan dan syaraf, dimana bila terjadi trauma maka semua struktur
penting tersebut harus di evaluasi karena dapat membahayakan (life-threatening).
B. Sejarah
Anubrose Pare pada tahun 1552 melaporkan kasus trauma vascular leher berupa
penanganan perdarahan pada a. Carotiskiri.
Fleeming pada tahun 1803 telah melakukan liga siartericarotis communis pada pelaut HMS
Tonnand yang bunuh diri.
Law Rance pada perang dunia pertama, repair dan rekonstruksi artericarotis.
1. Zona I
Zona anatomi leher yang paling terletak di caudal dengan batas inferior tulang
clavicula / sternal notch dan superior oleh garis sejajar yang melalui kartila gokrikoid.
Struktur penting yang terdapat pada daerah ini adalah :
• Proximal common carotid arteries.
• Vertebral and subclavian arteries.
• Subclavian, inominate, and jugular veins.
• Trachea.
• Recurrent laryngeal and vagus nerves.
35
• Esophagus.
• Thoracic duct.
2. Zona II
Zona leher tengah yang terletak antara garis sejajar yang melalui kartila gokrikoid
dan angulus mandibula, Struktur penting yang terdapat pada zona ini adalah :
• Carotid arteries.
• Jugular and vertebral veins, pharynx, and larynx.
• Proximal trachea.
• Recurrent laryngeal and vagal nerves.
• Spinal cord.
3. Zona III
Zona yang terletak di bagian cephalad yang berada diantara garis sejajar melaui
angulus mandibular dan dasar kepala. Struktur yang terdapat pada zona ini adalah :
• Extracranial carotid and vertebral arteries.
• Jugular veins.
• Spinal cord.
• Cranial nerves IX–XII.
• Sympathetic trunk.
C. Jenis Trauma
Secara epidemiologi ada 2 (dua) jenis cedera / trauma di daerah leher yaitu trauma tajam
(penetrating neck trauma) dan trauma tumpul ( blunt neck trauma ).
36
Akibat trauma tumpul leher dapat mengakibatkan :
Dysphonia
Gangguan airway
Gangguan pada soft tissue dan tulang leher ( contusion, deformation, depression)
F. Tata Laksana
Prinsip tatalaksana trauma leher dimulai dari evaluasi Airway, Breathing dan Circulation sesuai
dengan guidelines ALTS.
Airway + Breathing
Dilakukan pemeriksaan adakah tandatan dafisik yang mengindikasikan tatalaksana
jalan nafas segera seperti Stridor, Distress pernafasan, syok atau hematome yang meluas
secara cepat. Bila ragu atau tidak dapat mempertahankan jalan nafas yang bebas, maka
segera dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi.
Circulation
Pada luka terbuka, melebarkan dan membersihkan luka tanpa persiapan sangat
tidak dianjurkan karena akan melepaskan clot dan menyebabkan perdarahan menjadi aktif.
Bila dicurigai adanya cedera pembuluh darah, pasien segera diposisikan trendelenberg
(mencegah emboli udara). Bila terdapat perdarahan aktif, segera berikan tekanan langsung
pada luka (direct pressure) Bila kondisi pasien tidak stabil (Syok hemorrhagic, hematome
expanding, udara keluar dari luka, deficit neurologis) merupakan indikasi untuk dilakukan
pembedahan segera (emergensi).
Referensi:
1. Tisherman S, Bokhari F, Collier B, Ebert J. et al. Penetrating Neck Trauma : Clinical Practice
Guidelines. Eastern Association for the Surgery of Trauma. 2008
2. American College of Surgeons Committee on Trauma. (2008) Trauma Toraks. Dalam ATLS
Student Course Manual 8th edition. USA
3. Sperry JL, Moore EE, Coimbra R, et al. Western Trauma Association Critical Decision in
Trauma : Penetrating Neck Trauma. J Trauma Acute Care SurgVol 75 No6. 2013.
37
MALFORMASI ANOREKTAL
Shalita Dastamuar, dr., SpB, SpBA
A. Definisi
Malformasi anorektal adalah suatu kelainan kongenital akibat kegagalan perkembangan anus
dan rektum dalam masa embrio. Kelainan ini meliputi agenesis anal, agenesis rektal, dan atresia
rectal. Insidensi mencapai 1 dalam 5000 kelahiran hidup, baik kelainan malformasi anorektal tunggal
ataupun bersama dengan kelainan kongenital lain yang dikenal dengan istilah VACTREL (Quan dan
Smith). Kelainan malformasi anorektal yang terbanyak pada perempuan adalah fistula
rectovestibular, sedangkan pada laki – laki adalah fistula rectourethra.
B. Gambaran Umum
Inspeksi perineum harus dilakukan untuk mengetahui tipe malformasi anorektal. Hal yang harus
diingat adalah, tidak boleh memutuskan operasi colostomy atau operasi definitive sebelum bayi
berusia 24 jam. Adanya meconium menandakan suatu fistula. Pada bayi laki – laki, bila fistula
terdapat di perineum menandakan suatu fistula rectoperineum, sedangkan bila urine bercampur
meconium berarti fistula rectovesica atau rectourethra yang dapat dibedakan dengan memasukkan
cateter.
Pada bayi perempuan, fistula di genitalia menandakan suatu fistula rectovagina atau fistula
rectovestibular. Sedangkan jika fistula didapatkan di perineum, maka disebut fistula rectoperineum.
Setelah 24 jam, bila tidak terdapat fistula, maka dilakukan foto knee chest untuk mengetahui jarak
kolom udara paling distal ke kulit, jarak .1 cm menandakan suatu malformasi anorektal letak tinggi,
sedangkan lebih dari 1 cm adalah sebaliknya.
Kolostomi dilakukan pada malformasi anorektal tanpa fistula letak tinggi, fistula rectourethra,
dan fistula rectovesica. Sedangkan pada fistula rectovestibuar, kolostomi atau operasi definitive
masih kontroversi, tergantung pengalaman dari ahli Bedah Anak.
Setelah kolostomi, Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty (PSARP) dilakukan 4-8
minggu kemudian. Pada kelainan malformasi anorektal tanpa fistula letak rendah, fistula
rektoprineum langsung dilakukan anoplasty.
Cloacal malformasi (persistent cloaca) adalah bersatunya rektum, vagina, dan urethra dalam
satu lubang. Panjangnya lubang ini bervariasi antara 1 dan 10 cm. Malformasi short-channel
biasanya panjangnya kurang dari 3 cm, dan yang lebih panjang dari 3 cm dikatakan malformasi long-
channel. Pada long-channel, fungsi urinarius mungkin terganggu. Pada short-channel, perineum
biasanya terbentuk dengan baik, demikian pula dengan otot, sakrum dan persarafannya. Biasanya,
vagina pada persistent cloaca dinstensi dan penuh dengan sekresi (hydrocolpos). Pada beberapa
kasus, insidensi hydrocolpos mencapai 40%. Hydrocolpos dapat menekan trigonum bladder dan
mengganggu drainase ureter. Vagina dan uterus mengalami septasi atau bahkan terpisah menjadi
dua hemivagina atau dua hemiuterus. Tujuan koreksi dari kelainan ini meliputi : kontrol urinaria,
kontrol bowel, dan fungsi sexual. Pendekatan terbaru dalam koreksi malformasi cloacal dikenal
dengan Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty (PSARVUP).
Malformasi cloaca atau persistent cloaca dapat di diagnosis secara klinis. Pada pemeriksaan
inspeksi perineum hanya didapatkan satu orificium. Genitalia eksterna sering terlihat kecil. Pada
pemeriksaan abdomen dapat ditemukan adanya massa yang merupakan vagina yang mengalami
38
distensi (hydrocolpos) dan hal ini dapat ditemukan pada 50% pasien dengan persisten cloaca.
Kesalahan diagnosis yang sering terjadi pada saat inspeksi perineum adalah pasien persisten cloaca
sering disalah diagnosis dengan malformasi anorektal dengan rectovaginal fistula. Kesalahan ini
dapat menyebabkan penanganan yang salah dimana ahli bedah hanya memperbaiki rectum dan
meninggalkan sinus urogenital.
Tujuan dari management awal adalah untuk mendeteksi ada tidaknya kelainan penyerta
lainnya, mencapai diversi saluran gastrointestinal yang memuaskan, menangani distensi vagina, dan
diversi saluran urinaria. Diversi feses dapat dicapai dengan melakukan colostomy devided pada
colon descenden. Hal ini harus dilakukan terlebih dahulu dan jika diperlukan dapat juga dilakukan
urinary dan vagina diversi. Repair definitive Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty
(PSARVUP) dilakukan kemudian (umumnya setelah 3 sampai 6 bulan) di ikuti dengan penutupan
colostomy.
39
Diambil dari Pena. A, Surgical Management of Anorectal Malformations.Springer Verlag. 1990
D. Rangkuman
Malformasi anorektal adalah suatu kelainan kongenital akibat kegagalan perkembangan anus
dan rektum dalam masa embrio. Kelainan ini meliputi agenesis anal, agenesis rektal, dan atresia
rectal. Insidensi mencapai 1 dalam 5000 kelahiran hidup, baik kelainan malformasi anorektal tunggal
ataupun bersama dengan kelainan kongenital lain yang dikenal dengan istilah VACTREL (Quan dan
Smith). Kelainan malformasi anorektal yang terbanyak pada perempuan adalah fistula
rectovestibular, sedangkan pada laki – laki adalah fistula rectourethra.
Inspeksi perineum harus dilakukan untuk mengetahui tipe malformasi anorektal. Hal yang harus
di ingat adalah, tidak boleh memutuskan operasi colostomy atau operasi definitive sebelum bayi
berusia 24 jam. Adanya meconium menandakan suatu fistula. Pada bayi laki – laki, bila fistula
terdapat diperineum menandakan suatu fistula rectoperineum, sedangkan bila urine bercampur
meconium berarti fistula rectovesica atau rectourethra yang dapat dibedakan dengan memasukkan
cateter.
Pada bayi perempuan, fistula di genitalia menandakan suatu fistula rectovestibuler, sedangkan
jika fistula didapatkan di perineum, maka disebut fistula rectoperineum.
Setelah 24 jam, bila tidak terdapat fistula, maka dilakukan foto knee chest untuk mengetahui
jarak kolom udara paling distal ke kulit, jarak lebih dari 1 cm menandakan suatu malformasi
anorektal tanpa fistula letak tinggi, sedangkan jika kurang dari 1 cm adalah sebaliknya.
Kolostomi dilakukan pada malformasi anorektal tanpa fistula letak tinggi, fistula rectourethra,
dan fistula rectovesica. Sedangkan pada fistula rectovestibuar, kolostomi atau operasi definitive
masih kontroversi, tergantung pengalaman dari ahli Bedah Anak.
Setelah kolostomi, Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty (PSARP) dilakukan 4-8
minggu kemudian. Pada kelainan malformasi anorektal tanpa fistula letak rendah, fistula
rektoprineum langsung dilakukan anoplasty.
Cloacal malformasi (persistent cloaca) adalah bersatunya rektum, vagina, dan urethra dalam
satu lubang. Panjangnya lubang ini bervariasi antara 1 dan 10 cm. Malformasi short-channel
biasanya panjangnya kurang dari 3 cm, dan yang lebih panjang dari 3 cm dikatakan malformasi long-
channel. Pada long-channel, fungsi urinarius mungkin terganggu. Pada short-channel, perineum
biasanya terbentuk dengan baik, demikian pula dengan otot, sakrum dan persarafannya. Biasanya,
vagina pada persistent cloaca dinstensi dan penuh dengan sekresi (hydrocolpos). Pada beberapa
kasus, insidensi hydrocolpos mencapai 40%. Hydrocolpos dapat menekan trigonum bladder dan
mengganggu drainase ureter. Vagina dan uterus mengalami septasi atau bahkan terpisah menjadi
dua hemivagina atau dua hemiuterus.
Tujuan koreksi dari kelainan ini meliputi: kontrol urinaria, kontrol bowel, dan fungsi sexual.
Pendekatan terbaru dalam koreksi malformasi cloacal dikenal dengan Posterior Sagital Ano Recto
Vagino Urethro Plasty (PSARVUP).
Malformasi cloaca atau persistent cloaca dapat didiagnosis secara klinis. Pada pemeriksaan
inspeksi perineum hanya didapatkan satu orificium. Genitalia eksterna sering terlihat kecil. Pada
pemeriksaan abdomen dapat ditemukan adanya massa yang merupakan vagina yang mengalami
distensi (hydrocolpos) dan hal ini dapat ditemukan pada 50% pasien dengan persisten cloaca.
Kesalahan diagnosis yang sering terjadi pada saat inspeksi perineum adalah pasien persisten
cloaca sering disalah diagnosis dengan malformasi anorektal dengan rectovaginal fistula. Kesalahan
40
ini dapat menyebabkan penanganan yang salah dimana ahli bedah hanya memperbaiki rectum dan
meninggalkan sinus urogenital.
Tujuan dari management awal adalah untuk mendeteksi ada tidaknya kelainan penyerta
lainnya, mencapai diversi saluran gastrointestinal yang memuaskan, menangani distensi vagina, dan
diversi saluran urinaria. Diversi feses dapat dicapai dengan melakukan colostomy devided pada
colon descenden. Hal ini harus dilakukan terlebih dahulu dan jika diperlukan dapat juga dilakukan
urinary dan vagina diversi. Repair definitive Posterior Sagital Ano Recto Vagino Urethro Plasty
(PSARVUP) dilakukan kemudian (umumnya setelah 3 sampai 6 bulan) di ikuti dengan penutupan
colostomy.
Referensi:
1. Pena. A, Surgical Management of Anorectal Malformations. Springer Verlag. New York 1990.
2. Grosfeld, JL. O’neil. JA et al. Anorectal Malformation in Pediatric Surgery. 6th ed; Mosby
Elsevier. Philadelphia 2006. P . 1566 – 1589
3. Ashcraft, KW. Imperforate Anus and Cloacal Malformation. Dalam Pediatric Surgery 4th edt.
Elsevier. 2005. P. 496 – 517
4. Ziegler, MM. Et al. Anorectal Malformation. Dalam Operative Pediatric Surgery. Mc Graw-
Hill, 2003. P.739-762.
41
ILMU BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI DAN ESTETIK
Keterampilan klinik:
1. Mendeskripsikan luka akut dan luka kronis
2. Mampu melakukan perawatan luka
3. Mampu melakukan dan mengenal prinsip-prinsip dasar tekhnik menjahit luka sederhana
dan kegunaan macam-macam jenis benang
4. Menghitung luas luka bakar
42
5. Menghitung pemberian cairan (resusitasi dan maintenance) pada luka bakar
6. Mampu memberikan dan memperagakan eduksasi pada pasien dengan sumbing bibir dan
lelangit
7. Mampu melakukan pemeriksaan fisik pasien dengan trauma craniomaxillofacial
8. Membaca rontgen cranium AP, waters dan panoramic
43
LUKA
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE
A. Definisi
Luka adalah suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan (epitel kulit dan jaringan di
bawahnya) akibat berbagai hal seperti kecelakaan, rudapaksa maupun pembedahan. Kondisi ini
akan segera diikuti oleh proses penyembuhan luka.
1. Fase Inflamasi
Dimulai segera setelah terjadi perlukaan dan berlangsung selama 2 hingga 3 hari.
Diawali dengan pembentukan kaskade hemostasis, lalu terjadi vasokonstriksi dan
vasodilatasi. Vasokonstriksi dan vasodilatasi berlangsung selama 5 sampai dengan 10 menit.
Prosesnya yaitu : tromboxan dan prostaglandin membuat spasme, lalu terbentuk kaskade
hemostasis, yang mengakibatkan sel dan faktor inflamasi terkumpul.
Vasodilatasi terjadi terutama karena pengaruh histamin, menyebabkan pembuluh
darah ‘bocor’ sehingga jaringan menjadi edema. Akibatnya, leukosit dari darah ikut masuk
ke jaringan. Trombus terbentuk dan rangkaian pembekuan darah diaktifkan, sehingga
terjadi deposisi fibrin. Debris dan bakteri kemudian difagositosis oleh leukosit
polimorfonuklear dalam 48 jam pertama, dan oleh makrofag setelah 48 jam.
Gambar 1. Fase inflamasi dimulai saat terjadi luka dan bertujuan untuk mencapai hemostasis, membuang
jaringan yang tidak vitalm dan mencegah infeksi dari pathogen.
2. Fase Proliferasi
Fase ini dimulai pada hari ke-3, setelah fibroblas datang, dan bertahan hingga
minggu ke-3. Sel endotel bermigrasi ke daerah luka dengan proses pseudopodia. Fibroblas
menjadi substansi dasar dari wound bed dan menyebabkan terjadinya migrasi kolagen
terfasilitasi. Faktor pertumbuhan merangsang epithelialisasi ke arah luka. Kolagen
meningkatkan kekuatan jaringan menggantikan matriks sementara fibrin-fibronectin. Saat
produksi dan degradasi kolagen seimbang, dimulai fase maturasi.
44
Pembentukan kolagen adalah kunci integritas pembuluh dan kekuatan jaringan
baru. Sintesanya berasal dari proses hidroksilasi dari residu lysin dan proline. Membutuhkan
ko-faktor berupa Fe+ zat besi, molekul O2, α-ketoglutarat, dan vitamin.
Epitelialisasi pada fase proliferasi dibentuk oleh keratinosit yang tumbuh dari tepi
luka. Keratinosit berasal dari dermal appendages, seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
dan kelenjar minyak. Migrasi keratinosit membutuhkan dasar luka yang viable, sehat dan
menggunakan teknik migrasi seperti memanjat dan melangkahi satu sama lain. Migrasi
terbaik terjadi dalam suasanya yang lembab.
Gambar 2. Pada fase proliferasi terjadi deposisi luka oleh jaringan granulasi dan migrasi keratinosit untuk
mengembalikan kontinuitas epithel.Fase proliferasi disebut juga fase rekonstruksi.
3. Fase Remodelling
Peningkatan produksi dan penyerapan kolagen berlangsung selama 6 bulan hingga 1
tahun. Kolagen tipe III digantikan oleh kolagen tipe I hingga mencapai perbandingan 4:1
(seperti pada kulit normal dan parut yang matang). Kekuatan luka meningkat sejalan dengan
reorganisasi kolagen sepanjang garis tegangan kulit dan cross-link kolagen terjadi. Kekuatan
tegangan luka (tensile strength) mencapai 50% dalam 3 bulan dan paling maksimal
mencapai 80% dari kekuatan kulit normal. Selanjutnya terjadi apoptosis vaskular yang
menyebabkan skar menjadi pucat, tanda matangnya parut.
Gambar 3. Fase remodelling adalah fase terlama dari penyembuhan luka dan berlangsung selama 21 hari
hingga 1 tahun. Pada fase ini terjadi perubahan susuanan dari serabut kolagen.
C. KLASIFIKASI LUKA
45
Luka diklasifikasikan menjadi 2 :
1. Luka akut
Luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang
diperkirakan.
Contoh : luka sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury, luka operasi.
2. Luka kronik
Luka kronik adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren) dimana
terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah
multifaktor dari penderita. Luka kronik luka yang gagal sembuh pada waktu yang
diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali.
Contoh : ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous, luka bakar dll.
E. Penatalaksanaan
1. Persiapan Bed Luka
Tujuan persiapan luka adalah untuk membuang lapisan penghalang atau barrier yang
terdapat pada luka agar dapat melalui proses penyembuhan luka dengan baik. Persiapan
bed dapat dilakukan dengan cara melakukan debridement, kontrol bakteri, dan pengelolaan
eksudat. Barrier dapat berupa jaringan nekrotik/nonvital maupun jaringan yang sangat
terkontaminasi pada luka. Debridement dilakukan pada luka akut maupun pada luka kronis.
Struktur anatomi yang penting dipertahankan secara maksimal seperti syaraf, pembuluh
darah, tendon dan tulang. Kontrol bakteri dilakukan untuk mengatasi kontaminasi,
kolonisasi, kolonisasi kritis, dan infeksi. Dalam keadaan terkontaminasi, penyembuhan luka
akan terganggu.
2. Macam-macam Debridement
a. Surgikal
Jaringan nekrotik diangkat secara tajam dengan tidakan operasi.
b. Mekanikal
Jaringan nekrotik terangkat seiring penggantian balutan, umumnya menggunakan
kasa lembab yang kemudian diangkat dari luka saat kering.
46
c. Kimia
Adalah debridement dengan enggunakan zat kimia yang dengan cepat melisiskan
jaringan nekrotik, seperti hipoklorit. Dapat diklasifikasikan juga menjadi enzimatik
bila zat kimia yang digunakan berupa zat kimia biologis menyerupai enzim tubuh
seperti streptokinase, streptododornase, ataupun collagenase yang didapat dari
bakteri.
d. Autolitik
Adalah kemampuan tubuh melakukan autodebridement dengan mempertahankan
kontak antara cairan tubuh dengan jaringan nekrotik. Ini dapat dicapai dengan
mengaplikasikan balutan occlusive atau semi- occlusive seperti hidrokoloid, hidrogel,
dan film transparan.
e. Biologis
Menggunakan spesies biologis yang mengkonsumsi jaringan nekrotik, seperti
belatung (maggots).
3. Dressing (Balutan)
Balutan bertujuan untuk melindungi luka dari trauma dan infeksi. Pada kondisi
lembab, luka mengalami peningkatan reepithelialisasi sehingga penyembuhan luka lebih
cepat. Dressing yang baik yaitu yang dapat mempertahankan kondisi luka lembab dan kulit
sekitar luka tetap kering.
47
3. Tandur Kulit (Skin Graft)
Tandur kulit (Skin graft) adalah tindakan memindahkan sebagian tebal kulit dari satu
tempat ke tempat lain, di mana jaringan tersebut bergantung pada pertumbuhan pembuluh
darah kapiler baru dari jaringan penerima untuk menjamin kehidupannya. Bagian kulit yang
diangkat meliputi epidermis dan sebagian/seluruh dermis, tergantung ketebalan kulit yang
dibutuhkan. Skin graft dibagi mejadi dua, yaitu: Split-Thickness Skin Graft (STSG) dan Full-
Thickness Skin Graft (FTSG).
4. Flap
Flap adalah segmen jaringan “Mobile” sebagai hasil suatu tindakan bedah, di mana
jaringan tersebut tetap berhubungan dengan suplai pembuluh darah asalnya melalui
pedikel. Sebagai basis sebuah flap, selain mengandung pembuluh darah, pedikel juga dapat
mengandung kulit, jaringan subkutis, fasia, otot, tulang dan saraf.
Flap dibagi berdasarkan:
Vaskularisasinya
Cara berpindah
Jarak dari defek
Jaringan yang dimiliki
48
Gambar 4. Tahapan Free Tissue Transfer
Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.
49
PARUT
Mufida Muzakkie, dr., Sp.BP-RE
A. Definisi
Istilah Parut atau Scar berasal dari bahasa Yunani yaitu Eskhara yang berarti keropeng. Dalam
pengertian sederhana parut merupakan tanda bekas luka. Secara klinis parut adalah cacat alami
yang ditinggalkan akibat proses penyembuhan luka.
B. Patofisiologi
Didapatkan perubahan struktur dari kulit berupa hilangnya pori, rambut dan kelenjar yang
disertai perubahan warna kulit hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Luka yang terjadi hanya
terbatas pada lapisan dermis cenderung tidak menimbulkan parut karena masih terdapat komponen
epitelial dari kelenjar keringat, kelenjar minyak dan folikel rambut yang mana hal tersebut
memungkinkan terjadi penyembuhan tanpa parut. Luka tersebut dalam waktu yang relatif singkat
akan tertutup epitel dan bisa dikatakan sembuh secara sederhana. Pada luka yang melewati /lebih
dalam dari seluruh ketebalan kulit (full thickness) akan sembuh dengan meninggalkan parut. Parut
adalah cacat alami yang ditinggalkan akibat proses penyembuhan luka. Parut hipertrofik dan keloid
merupakan suatu parut produk proses penyembuhan luka yang tidak normal. Penyembuhan luka
adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Komponen utama
dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang
bertanggung jawab untuk sintesis kolagen.
C. Klasifikasi
Secara klinis dibedakan atas 2 yaitu :
1. Parut normal
Tipis, lunak, berwarna pucat, tidak ada keluhan nyeri ataupun gatal. Luka yang sesuai
dengan garis kulit umumnya membentuk parut normal. Secara umum dapat kita sebut
sebagai acceptable scar.
2. Parut abnormal
Tebal menonjol, keras, berwarna kemerahan atau kecoklatan disertai rasa gatal dan
nyeri. Parut abnormal bisa dalam bentuk parut hipertrofik atau keloid.
50
5. Genetik : Seringkali ditemukan keloid berkaitan dengan riwayat keluarga yang
mempunyai keloid. Ditemukan insiden keloid yang lebih tinggi pada penderita dengan
HLA-β14, BW16, golongan darah A dan Rubenstein-Taybi syndrome.
6. Hormon : Estrogen berperan terhadap aktivitas fibroblas dan sekresi TGF-β1 yang telah
diketahui berperan penting pada pembentukan fibrosis dan parut.
51
KONTRAKTUR
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE
A. Definisi
Kontraktur adalah pemendekan permanen kulit dan atau jaringan di bawahnya yang
menyebabkan deformitas dan keterbatasan gerak.
B. Etiologi
Parut sudah kering tapi belum matang. Akibat gerakan sendi maupun gravitasi, kapiler baru
pecah sehingga timbul perdarahan dan penyembuhan luka yang mulai dari awal lagi. Jaringan
fibrosa akan tebal lalu mengkerut.
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan jaringan yang terlibat :
Dermogen : kontraktur yang melibatkan kulit
Desmogen : kontraktur yang melibatkan fascia
Miogen : kontraktur yang melibatkan otot
Tendogen : kontraktur yang melibatkan tendon
Arthrogen : kontraktur yang melibatkan sendi
2. Berdasarkan bentuk :
Linier : apabila kontraktur diregangkan membentuk suatu
garis lurus
Diffus : apabila kontraktur diregangkan melebar dan
merata
3. Berdasarkan posisi kontraktur atau deformitas yang terjadi :
Fleksi
Adduksi
Abduksi
52
D. Penatalaksanaan
1. Mencegah Kontraktur
Balut tekan hingga parut lemas atau lembut menggunakan surgical tape, elastic
verband ataupun pressure garment.
Memposisikan sendi pada posisi anti-kontraktur.
2. Pembedahan
Dilakukan eksisi parut untuk merelease kontraktur sehingga gerakan sendi bisa
bebas
Defek luka ditutup dengan skin graft ataupun flap
Imobilisasi dengan posisi anti-kontraktur
Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.
53
LUKA BAKAR
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE
A. Definisi
Luka bakar adalah kerusakan kulit tubuh yang disebabkan karena kontak dengan sumber panas
seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi. Kerusakan dapat menyertakan jaringan di
bawah kulit. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase lanjut. Luka bakar juga dapat
menyebabkan koagulasi nekrosis pada kulit dan terpaparnya jaringan hingga lapisan dalam
termasuk efek terhadap sistem organ lainnya.
B. Patofisiologi
Jackson di Birmingham pada tahun 1950 melakukan studi eksperimental dengan menciptakan
model luka bakar yang selanjutnya memperkaya pemahaman mengenai patofisiologi luka bakar.
Gambar 3. 1 Menunjukkan model luka bakar. Pada daerah yang paling dekat dekat sumber
termal (atau penyebab lainnya), panas tidak dapat dikonduksi secara cepat dan baik, sehingga
terjadi koagulasi protein sel; selanjutnya terjadi kematian sel yang berlangsung sangat cepat.
Daerah ini disebut zona koagulasi atau zona nekrosis.
Di sekitar zona koagulasi adalah daerah dengan kerusakan tidak seberat zona pertama,
namun sirkulasi di daerah tersebut mengalami kerusakan diikuti gangguan mikrosirkulasi.
Dengan terhambatnya mikrosirkulasi, daerah ini disebut zona statis. Bila tidak ditatalaksana
dengan baik, maka daerah yang cukup luas ini akan mengalami nekrosis saat dilepaskannya
mediator–mediator inflamasi sebagai respon terhadap jaringan yang rusak. Secara klinis, hal ini
disebut sebagai degradasi luka (bertambah dalamnya luka bakar). Dalam 3–5 hari pasca luka
bakar, luka yang awalnya terlihat vital akan tampak nekrotik.
Di sekitar zona stasis adalah suatu daerah dimana jaringan melepaskan mediator–mediator
inflamasi yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Daerah ini terlihat kemerahan dan disebut
zona hiperemia. Dengan kembalinya respon vaskular yang bersifat hiperdinamik, daerah ini akan
54
kembali normal. Pada luka bakar yang mencakup luas melebihi 10% pada anak atau 20% pada
dewasa, zona hiperemia sangat mungkin terjadi di seluruh tubuh.
Kondisi ketiga zona ini berbeda pada setiap luka itu bakar. Kadang zona statis mencapai
kedalaman dermis namun disertai gangguan vaskular yang progresif pada zona nekrosis sehingga
hal ini menyebabkan luka bakar dalam. Hal ini umumnya dijumpai pada orang tua dan pasien–
pasien luka bakar (maupun sudah mengalami sepsis) dengan perawatan luka yang tidak tepat.
Dengan demikian, waktu dan penatalaksanaan tindakan emergensi yang efektif sangat berperan
pada proses penyembuhan luka.
Setelah pertolongan pertama diberikan, prinsip–prinsip survei primer dan sekunder dan
resusitasi simultan harus diterapkan.
1. Survei Primer
a. Airway (Jalan Nafas)
Nilai patensi jalan napas, cara termudah adalah berbicara dengan pasien. Jika
tidak paten, bersihkan jalan napas dari benda asing dan membuka jalan napas
dengan manuver chin lift/jaw thrust. Jaga gerakan tulang servikal seminim
55
mungkin dan jangan melakukan fleksi dan ekstensi kepala dan leher.
Manajemen tulang belakang servikal (terbaik dengan rigid collar). Adanya cedera
di atas klavikula seperti trauma muka atau tidak sadarkan diri kerap disertai
patah tulang belakang servikal.
e. Exposure (Paparan)
Lepaskan semua pakaian dan perhiasan termasuk anting dan jam tangan
Miringkan pasien untuk visualisasi sisi posterior
Jaga agar pasien tetap hangat
Area luka bakar dihitung menggunakan metode Rule of Nines atau palmaris (Rule of
One).
56
2. First Aid
a. Fluid (Cairan)
Cairan inisial diberikan menggunakan rumus Parkland yang dimodifikasi: 3–4 mL / kg
berat badan / % luas luka bakar + tetes maintenance pada anak–anak
Kristaloid (misal: larutan Hartmann atau Plasmalyte) adalah cairan yang
direkomendasikan.
Separuh cairan berdasarkan perhitungan diberikan dalam delapan jam pertama,
sisanya diberikan selama enam belas jam berikutnya.
Saat terjadinya trauma ditetapkan sebagai awal resusitasi cairan.
Bila dijumpai perdarahan atau syok non–bakar, perlakukan sesuai pedoman trauma.
Pantau adekuasi resusitasi :
o Produksi urin melalui kateter, per jam !
o EKG, denyut nadi, tekanan darah, frekuensi pernapasan, analisis gas darah
arterial dan pulse oxymetry
b. Analgetik
Diberikan obat analgetik
c. Test
Dilakukan pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan radiologis sesuai indikasi klinis. Misalnya disertai multiple trauma,
dilakukan pemeriksaan rontgen cervical, thorax, pelvis, dll.
d. Tube
Pemasangan NGT
Insersi NGT pada luka bakar luas (> 10% pada anak–anak,> 20% pada dewasa) bila
dijumpai cedera penyerta, atau untuk melakukan dekompresi saluran cerna.
Gastroparesis merupakan hal yang umum terjadi.
Pemasangan kateter: untuk memantau produksi urin.
3. Survei Sekunder
Merupakan pemeriksaan menyeluruh mulai dari kepala sampai kaki. Pemeriksaan
dilaksanakan setelah kondisi mengancam nyawa diyakini tidak ada atau telah diatasi.
a. Riwayat Penyakit:
A – Alergy
M – Medicine (obat–obatan yang baru dikonsumsi)
P – Past illness (penyakit sebelum terjadi trauma)
L – Last meal (makan terakhir)
E – Event (peristiwa yang terjadi saat trauma)
b. Mekanisme trauma
57
Informasi yang harus didapatkan mengenai interaksi antara pasien dengan
lingkungan:
Luka bakar:
Durasi paparan
Jenis pakaian yang dikenakan
Suhu dan kondisi air, jika penyebab luka bakar adalah air panas
Kecukupan tindakan pertolongan pertama.
Trauma tajam
Kecepatan proyektil
Jarak
Arah gerakan pasien saat terjadi trauma
Panjang pisau, jarak dimasukkan, arah
Trauma tumpul
Kecepatan dan arah benturan
Penggunaan sabuk pengaman
Jumlah kerusakan kompartemen penumpang
Ejeksi (terlontar)
Jatuh dari ketinggian
Jenis letupan atau ledakan dan jarak terhempas
c. Dokumentasi
Buat catatan
Mintakan persetujuan untuk dokumentasi fotografi dan persetujuan prosedur
d. Tetanus
Berikan profilaksis tetanus jika diperlukan
Re–evaluasi
Re–evaluasi Survei Primer – khususnya untuk :
Gangguan pernapasan
Insufisiensi sirkulasi perifer
Gangguan neurologis
Kecukupan resusitasi cairan
Penilaian radiologi : foto radiologi toraks
58
industri, maka antimikroba topikal harus digunakan.
Bersihkan luka dan konsultasi ke unit luka bakar rujukan untuk balutan yang dianjurkan.
Umumnya direkomendasikan pembalut antimikroba antimikroba yang mengandung silver atau krim
silver sulfadiazin. Jangan menggunakan balut tekan yang memperberat gangguan sirkulasi pada
tungkai yang sebelumnya memang sudah terganggu. Balutan harus sesering mungkin dibuka untuk
menghilangkan konstriksi.
1. Luka Bakar Listrik
Konduksi arus listrik melalui dada menyebabkan aritmia jantung sepintas atau henti
jantung; meski hal ini jarang terjadi pada tegangan rendah (<1000 V). Pasien sengatan listrik
tegangan tinggi, penurunan kesadaran atau memiliki EKG abnormal saat masuk rumah sakit
mungkin memerlukan pemantauan EKG 24 jam. Gangguan ritmik jantung lebih mungkin
terjadi pada pasien yang memiliki gangguan jantung sebelumnya. Selalu ingat bahwa luka
masuk atau luka keluar yang lebih kecil dapat disertai kerusakan jaringan yang berat.
2. Luka Bakar Kimia
Bila dijumpai residu bahan kimia di kulit, proses pembakaran akan terus berlanjut.
Karenanya, pakaian yang terkontaminasi harus dibuka dan luka dicuci menggunakan
sejumlah besar air dalam waktu cukup lama.
Luka bakar kimia pada mata memerlukan pembilasan secara kontinu menggunakan
air. Adanya pembengkakan kelopak mata dan spasme otot disertai nyeri akan menghalangi
pencucian adekuat. Untuk irigasi kadang diperlukan prosedur retraksi kelopak mata yang
baik, konsultasi dengan oftalmologi pada kasus ini sangat diperlukan.
59
F. Kriteria Merujuk
Sumber :Emergency Management of Severe Burns, 18th Edition. Australian & New Zealand Burn
Association. Desember 2016.
60
SUMBING BIBIR DAN LELANGIT
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE
A. Definisi
Bibir sumbing adalah terdapatnya celah pada bibir atas yang sering disertai celah palatum, yaitu
terdapat celah pada atap/lelangit mulut sehingga terdapat hubungan langsung antara hidung dan
mulut.
B. Epidemiologi
Secara keseluruhan, angka kejadian sumbing bibir dengan atau tanpa sumbing palatum kira-
kira 1 dari 750 – 1000 angka kelahiran hidup, menjadikannya sebagai salah satu kelainan bawaan
tersering ditemukan.
Populasi sumbing bibir dan palatum lebih sering pada laki-laki, sementara sumbing palatum
saja lebih sering ditemukan pada wanita. Pada orang kulit putih, kejadian sumbing bibir dengan atau
tanpa sumbing palatum mencapai 1 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini ditemukan dua kali lebih
banyak pada populasi Asia, sedangkan pada kulit hitam ditemukan sebanyak 1 per 2000 kelahiran
hidup. Heterogenitas rasial ini tidak ditemukan pada sumbing palatum saja, yang mempunyai
angka kejadian sekitar 0.5 per 1000 kelahiran hidup.
Kelainan sumbing bibir dan palatum mempunyai presentase tersering ditemukan (kira-kira
45%), diikuti sumbing palatum saja (35%) dan sumbing bibir saja (20%). Sumbing bibir dan palatum
lebih sering ditemukan pada laki-laki, sedangkan sumbing palatum saja lebih sering ditemukan pada
wanita. Sumbing bibir unilateral lebih sering ditemukan dibandingkan sumbing bibir unilateral, dan
cenderung lebih sering mengenai bibir sebelah kiri (sumbing bibir kiri : sumbing bibir kanan :
sumbing bibir unilateral = 6 : 3 : 1). Sekitar 68% sumbing bibir unilateral timbul bersamaan dengan
sumbing lelangit.
C. Etiologi
Etiologi sumbing bersifat multifaktorial, yaitu gabungan antara genetik dan lingkungan.
Sumbing bibir dan/atau palatum dikaitkan dengan lebih dari 300 sindrom. Secara keseluruhan,
insiden anomali lain yang terkait dengan sumbing (misalnya kelainan jantung bawaan) adalah
sebanyak 30 % dan lebih sering pada sumbing palatum saja.
Faktor lingkungan seperti infeksi virus (misal rubella) dan agen teratogenik (seperti steroid,
antikonvulsan) selama trimester pertama kehamilan, telah dicurigai berkaitan erat dengan
terjadinya sumbing. Resiko terjadinya sumbing juga meningkat dengan semakin tuanya usia
orangtua, terutama lebih dari 30 tahun, dengan usia sang ayah nampaknya lebih merupakan faktor
signifikan dibandingkan usia ibu. Meskipun demikian, kebanyakan kasus sumbing nampaknya tidak
punya etiologi yang jelas.
D. Patogenesis
Dalam morfogenesis wajah, sel-sel krista neuralis akan bermigrasi menuju regio wajah, di mana
sel-sel tersebut akan membentuk jaringan skelet dan penyambung dan gigi-geligi kecuali email gigi.
Sedangkan endotel vaskular dan otot terbentuk dari jaringan mesenkim. Migrasi mesenkim dan fusi
dari elemen wajah primitif yang terbentuk dari sel somatik (prosesus sentralis frontonasal, dua
prosesus maksilaris lateral, prosesus mandibula), pada usia 4 – 7 minggu kehamilan, sangat penting
61
untuk perkembangan embrionik sturktur wajah yang normal. Bila proses migrasi dan fusi tersebut
terganggu oleh sebab apapun, dapat terbentuk sumbing sepanjang garis penyatuan/fusi embrionik.
Bibir atas dibentuk dari prosesus nasalis medial dan prosesus maksila. Kegagalan penyatuan
antara prosesus nasalis medial dan maksilaris pada minggu kelima perkembangan embrionik, baik
satu sisi ataupun kedua sisi, menghasilkan sumbing bibir. Sumbing bibir biasanya terjadi pada
pertemuan antara bagian sentral dan lateral dari bibir atas pada sisi kanan ataupun kiri. Sumbing
dapat mengenai hanya bibir atas, atau dapat meluas sampai ke maksila dan palatum primer.
(Sumbing palatum primer meliputi sumbing bibir dan palatum bagian alveolus). Jika fusi antara
kedua palatal shelves juga terganggu, sumbing bibir akan disertai dengan sumbing palatum,
menghasilkan kelainan Cleft Lip and Palatum (CLP).
E. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis sumbing bibir sangat bervariasi, mulai dari sumbing inkomplet sampai
komplet yang dapat melibatkan bibir, prosesus alveolaris, palatum, dan hidung. Microform cleft
(disebut juga forme fruste) ditandai oleh adanya lekukan yang hampir tak terlihat sepanjang garis
vertikal bibir atas dengan takik (notch) kecil di vermillion dan cacat kecil pada daerah white roll.
Panjang vertikal bibir atas dapat berkurang dan dapat disertai dengan deformitas hidung.
Sumbing bibir juga diklasifikasikan menjadi unilateral dan biilateral, serta complete dan
incomplete. Sumbing bibir incomplete ditandai oleh garis sumbing yang tidak mencapai dasar lubang
hidung (nasal sill). Dalam hal ini nasal sill harus intak, dan bagian ini sering disebut sebagai
Simonart’s band.
Sumbing bibir complete melibatkan seluruh ketebalan bibir dan prosesus alveolaris (palatum
primer), meluas menuju nasal sill dan tidak terdapat Simonart’s band, serta sering disertai sumbing
palatum (palatum sekunder). Premaksila umumnya terotasi ke arah luar dan terproyeksi anterior
dibandingkan dengan elemen alveolus maksilaris anterior yang terposisikan relatif ke belakang.
Sebagai penyerta adanya sumbing bibir, terjadi juga deformitas hidung. Struktur dasar alae
nasi, nasal sill, vomer dan septum terdistorsi secara signifikan. Kartilago lateral bawah dari sisi yang
sumbing tertarik ke bawah, dengan sudut yang obtuse dan cuping hidung yang mendatar. Dasar alae
terotasi ke arah luar. Septum hidung yang sedang berkembang menarik premaksila menjauh dari
sumbing, sementara septum dan nasal spine terdefleksi ke sisi sumbing. Sumbing dapat berlanjut
melewati alveolus maksilaris dan palatal shelf, meluas sampai tulang palatum dan soft palate.
F. Penatalaksanaan
Bayi yang terlahir dengan sumbing wajah harus ditangani oleh klinisi dari multidisiplin dengan
pendekatan team-based, agar memungkinkan koordinasi efektif dari berbagai aspek multidisiplin
tersebut. Selain masalah rekonstruksi bibir yang sumbing, masih ada masalah lain yang perlu
dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara, gigi-geligi dan psikososial.
Masalah-masalah ini sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis, dan pada akhirnya hasil
fungsional yang baik dari rekonstruksi yang dikerjakan juga dipengaruhi oleh masalah-masalah
tersebut. Dengan pendekatan multidisipliner, tatalaksana yang komprehensif dapat diberikan, dan
sebaiknya berkelanjutan sejak bayi lahir sampai remaja. Diperlukan tenaga spesialis bidang
kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi ortodonti, serta terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi dan
audiolog.
62
G. Tatalaksana Non-Bedah
1. Neonatal care
Pertambahan berat badan yang normal, pencegahan aspirasi dan pencegahan
infeksi telinga berulang merupakan bagian yang paling penting dalam merawat bayi
dengan sumbing pada hari-hari dan minggu-minggu awal kehidupannya. Segera
setelah seorang bayi dilahirkan dengan sumbing, ada 3 hal yang diperhatikan:
Kesulitan menyusui serta regurgitasi nasal, sehingga mengganggu
pertumbuhannya
Resiko tersedak karena adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung
Obstruksi jalan napas (selain dapat merupakan sekuele dari aspirasi, dapat juga
merupakan manifestasi sindrom seperti sindrom Pierre-Robin dimana terdapat
sumbing palatum disertai mikrognatia sedangkan lidah berukuran normal)
Ketiga hal tersebut tentu saja bergantung pada jenis sumbing (bibir,
palatum atau keduanya) dan derajat keparahan sumbingnya; juga dipengaruhi oleh
adanya anomali lain yang dapat merupakan 1 dari 300 sindrom genetik yang
berkaitan dengan sumbing.
Oleh karena itu, ada baiknya neonatus yang dilahirkan dengan sumbing
dikonsulkan kepada ahli genetik secepatnya, terutama jika ada kecurigaan.
Sebagian besar kasus sumbing bibir adalah nonsyndromic atau tidak terkait sindrom
genetik. Oleh karena itu orangtua sebaiknya ditenangkan dan diberi pengertian
dengan hati-hati.
63
H. Tatalaksana Bedah
Saat paling optimal untuk melakukan operasi repair sumbing sebenarnya masih
kontroversial. Beberapa pusat penanganan sumbing memilih melakukan operasi pada
periode neonatus dini, dengan manfaat teoretis : kemampuan adaptasi penampakan
jaringan parut dan kartilago nasal yang lebih baik, sehingga meminimalisasikan
deformitas hidung. Beberapa pusat penanganan sumbing yang lain, dengan alasan untuk
meminimalisasikan resiko efek samping anestesi umum, bertahan dengan the rule of ten
: yaitu melakukan operasi repair sumbing pada anak dengan berat badan 10 lb (5 kg),
usia 10 minggu dan kadar hemoglobin darah 10 g. Secara umum, operasi repair sumbing
bibir unilateral dilakukan pada usia bayi 2 – 4 bulan; dengan begitu resiko efek samping
anestesia lebih rendah, bayi sudah lebih kuat menghadapi stress operasi, serta ukuran
elemen bibir sudah lebih besar sehingga rekonstruksi dapat dilakukan dengan lebih rapi
dan akurat. Secara umum, time-table penatalaksanaan operasi pada beberapa tipe
sumbing bibir dapat dilihat pada Gambar 1.
Dimulai pada minggu pertama atau kedua setelah kelahiran, dengan respon maksimal
terjadi selama 6 minggu pertama pemakaian, dapat digunakan alat yang berfungsi
sebagai ekstensi hidung untuk memperbaiki bentuk puncak hidung (alat molding nasal-
alveolar). Alat ini juga dapat membantu pemberian makan pada bayi secara oral,
membantu mengurangi regurgitasi nasal dan membantu suction oral.
64
Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.
4. Samuel Berkowitz. Cleft Lip and Palate, Diagnosis and Management 2nd Edition. Springer-
Germany: 2006.
65
TRAUMA CRANIOMAXILLOFACIAL
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE
A. Definisi
Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan satu hingga banyak
tulang wajah patah komplit atau tidak komplit. Organ yang terlibat pada fraktur tulang muka terdiri
atas jaringan lunak (kulit, otot, dan jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yang
tidak membatasi otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula).
Tulang muka sifatnya berbeda dengan tulang panjang, sifatnya spongiosa dan lebih vaskuler
dibandingkan tulang cortical/tulang panjang sehingga dalam waktu 5-6 minggu penyembuhan
fraktur sudah selesai, sudah rigid.
B. Etiologi
Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda motor tanpa
menggunakan helm (pelindung kepala). Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya akibat
perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, kecelakaan industrial dan luka tembak.
b. Palpasi
Nyeri, krepitasi (tanpa penekanan yang kuat karena tulang pipih), ”step in” atau
diskontinuitas pada rima orbita superior, rima orbita inferior, os.nasal,
os.zygoma, os.maxilla, os. mandibula dan gliding TMJ.
Hipestesi pada cuping hidung, pipi ataupun dagu
c. Intraoral
Pada rongga mulut tampak gangguan oklusi (maloklusi) yaitu tonjolan gigi
molar 1 yang tidak bertemu dengan cekungan gigi lawan/ pasangannya
Step off deromity
Laserasi ginggiva daerah fraktur
Maxilla yang mengambang dalam hematom (floating maxilla)
66
Nomenklatur gigi berdasarkan zygmondy
3. Radiologis
Foto kepala AP
Foto waters atau reverse waters : untuk melihat garis patah ataupun perselubungan di
mid-face
CT scan : bisa melihat garis patah yang tidak tampak dalam foto radiologi biasa. CT scan
3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang muka keseluruhan dan tulang yang
patah atau melesak dapat dikenali dengan lebih jelas, dikerjakan atas indikasi khusus.
D. Penatalaksanaan
1. Penanganan awal
Primary survey : Airway, Breathing, Circulation dan selanjutnya tetap diawasi.
Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita, telinga, hidung, wajah
bagian tengah, mandibula, rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain
injury) dapat menunda timing operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada
fraktur tulang muka.
Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi definitive.
Fraktur mandibula bilateral harus distabilkan agar tidak mengganggu jalan napas.
Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus dilakukan drainase dan
dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade hidung.
E. PROGNOSIS
Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan dalam waktu 1 minggu
setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik. Jika penderita mempunyai penyakit kronik atau
osteoporosis maka penyembuhannya jadi masalah.
Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat menyebabkan
trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan prosedur bedah multipel dan membutuhkan
perawatan lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih
maksimal oleh ahli bedah plastik.
67
Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.
4. Ruedi, Buckley, Moran. AO Surgery Foundation, Craniomaxillofacial. 2016.
5. Thaller, McDonald. Facial Trauma. USA, 2004.
68
HIPOSPADIA
Mufida Muzakkie, dr., SpBP-RE
A. Definisi
Hipospadia merupakan kelainan kongenital saluran kemih dengan muara uretra terletak tidak
pada ujung penis, namun lebih ke arah proksimal di sisi ventral penis. Kelainan ini disertai korde,
yaitu struktur seperti jaringan ikat yang terletak di sisi ventral antara meatus uretra yang terletak
abnormal dan meatus uretra yang semestinya di ujung glans penis.
B. Prevalensi
Hipospadia muncul pada 1 diantara 300 kelahiran bayi laki-laki. Sedangkan di Amerika Serikat
angka kejadiannya sekitar 3-8 diantara 1000 kelahiran bayi laki-laki dan angkanya meningkat 2 kali
lipat dari tahun 1970 hingga tahun 1993. Insidensnya jarang, yaitu 1 dari 4.000 kelahiran, umumnya
disertai kelainan uterus dan saluran kemih.
C. Etiologi
Produksi androgen abnormal
Perbedaan sensitivitas terhadap hormon androgen pada jaringan yang berhubungan,
misalnya tuberkulum genital
Estrogen dari lingkungan
D. Diagnosis
Tanda/ gejala Hipospadia yang khas:
Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian ventral
menyerupai meatus uretra eksternus
Preputium tidak ada dibagian ventral, menumpuk di bagian dorsal
Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang ke
distal sampai basis glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar
Kulit penis di bagian ventral, distal dari meatus sangat tipis.
Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada
Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada basis dari glans penis
Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok
Sering disertai undescended testis
Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal
E. Kalsifikasi
Anterior : Glanular, koronal, subkoronal
Tengah : Distal penile, midshaft, proximal penile
Posterior : Penoskrotal, skrotal, perineal
F. KELAINAN PENYERTA
Micropenis
Buried penis
69
Undescended testis
Intersex atau genitalia ambigu
G. Penatalaksanaan
Tujuan operasi pada hipospadia adalah agar pasien dapat berkemih dengan normal, bentuk
penis normal, dan memungkinkan fungsi seksual yang normal. Hasil pembedahan yang diharapkan
adalah penis yang lurus, simetris, dan memiliki meatus uretra eksternus pada tempat yang
seharusnya, yaitu di ujung penis.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Thiersch-Duplay, Dennis
Brown, Cecil Culp. Operasi dapat mulai dilakukan pada usia 1,5-3 tahun, dengan satu ataupun dua
tahapan operasi, tergantung dengan kondisi klinis hipospadia.
H. Komplikasi
Fistula uretrocutaneous
Stenosis uretra
Striktur uretra
Twisted penis
Referensi:
1. Thorne CH. Grab and Smith’s Plastic Surgery 7th ed. 2014.
2. Peter C. Neligan. Plastic Surgery, Third Edition. Elsevier Saunders. 2013.
3. Sudjatmiko G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah
Kebajikan. Jakarta, 2010.
4. Sukasah CL, Supit L, Mukarramah DA, Ramadan R, Illustrated Guideline of hypospadia
Surgery. Jakarta, 2013.
70