NEUROPEDIATRI
2013
MODUL INDUK
NEUROPEDIATRI
1. Perkembangan saraf anak normal
2. Gangguan tumbuh kembang saraf anak
3. Penyakit-penyakit saraf pada anak, diagnosis dan tatalaksana
PENYUSUN
Dr. Yetty Ramli, Sp.S (K) FKUI, Jakarta
Dr. Anna MG. Sinardja, SpS (K) - FK.UNUD, Denpasar
Dr. Kiking Ritarwan, SpS (K) FK USU, Medan
Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS (K) FK USU, Medan
Dr. Uni Gamayani, SpS (K) FK UNPAD, Bandung
Dr. Sri Sutarni Sudarmadji FK UGM, Yogyakarta
Dr. Hj. Siti Hanafiah, Sp.S - FK- UNAND, Padang
Dr. Hj. Meiti Frida, Sp.S FK-UNAND, Padang
1. ALOKASI WAKTU
Mengembangkan Kompetensi
Sesi di dalam kelas
2. TUJUAN UMUM
1. Melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu dalam bidang pendidikan,
penelitian dan pengabdian masyarakat
2. Mempersiapkan para kandidat dalam menangani masalah masalah penyakit
secara klinis sehingga mampu mengatasi berbagai masalah dibidang neurologi
terutama stroke yang akan dihadapi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan tehnologi, serta kompetensi sebagai spesialis saraf
3. TUJUAN KHUSUS
1. Mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penyakit terutama dari
aspek ilmu-ilmu dasar untuk melaksanakan kegiatan promosi, prevensi, kurasi,
rehabilitasi dan kegawatan.
2. Memiliki pengetahuan mendasar untuk melakukan analisis penyakit secara klinis.
komunitas maupun science, dan mempunyai ketrampilan mengobati penderita
sehingga menjadi lebih baik.
3. Berpartisipasi aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan mempunyai
ketrampilan dalam penerapan ilmu pada penderita yang memerlukan pertolongan.
4. Dapat bekerja sama dengan profesi lain demi kepentingan pasien dan ilmu
pengetahuan.
5. Mampu menerapkan prinsip-prinsip dan metode berfikir ilmiah dalam menerapkan
ilmu kedokteran, khususnya bidang neurologi.
6. Mampu mengenal, merumuskan pendekatan penyelesaian dan menyusun prioritas
masalah neurologi dengan cara penalaran ilmiah, melalui perencanaan,
implementasi dan evaluasi terhadap upaya promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan kegawat daruratan neurologi khususnya stroke.
7. Mampu menangani kasus kasus dengan kemampuan profesional yang tinggi
melalui pendekatan Evidance Base Medicine.
8. Mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dasar, klinis dan lapangan
serta mempunyai motivasi mengembangkan pengalaman belajar sehingga dapat
mencapai tingkat akademis lebih tinggi.
9. Bersifat terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu dan tehnologi
atau masalah yang dihadapi masyarakat.
4. STRATEGI PEMBELAJARAN
6. REFERENSI
Menkes
7. KOMPETENSI
Setelah menyelesaikan modul neuropediatri ini diharapkan para peserta didik memiliki
kompetensi menyeluruh dan terpadu tentang gangguan saraf pada anak yang mencakup
pengetahuan dan ketrampilan tentang epidemiologi, anatomi patofisiologi, patogenesis,
gejala klinis, pemeriksaan neurologi dan penunjang yang
diperlukan serta
manajemennya. Pencapaian kompetensi ini diselaraskan dengan prinsip kompetensi (Bab
II angka 1) dan ruang lingkup kompetensi (Bab II angka 9) yang tercantum di dalam
Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf tahun 2006. Indikator hasil pembelajaran
yang diharapkan setelah menyelesaikan modul ini tercantum di dalam Standar
Kompetensi Dokter Spesialis Saraf, halaman 61 (2.14) tentang neuropediatri.
8. GAMBARAN UMUM
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan
praktik ketrampilan dalam hal manajemen gangguan saraf pada anak secara komprehensif
dengan memperhatikan azas cost-effectiveness dan evidence based medicine, melalui
pendekatan pembelajaran berbasis kasus (case-based learning).
9.CONTOH KASUS
Kasus 1
Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 1
Diskusi kasus 1
Kasus 2
Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 2
Diskusi Kasus 2
Kasus 3
b.
Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D
Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
TANGGAL: .................................
10
INFORMED CHOICE
1. Sapa dengan hormat pasien anda
2. Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
3. Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah
sudah mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan
dilakukan
Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
4. Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
5. Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap
pasien, termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
6. Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang
menurut pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif
dan benar dari operator/dokter
7. Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara
pengobatan yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang
telah disediakan
DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA
Memuaskan: Langzkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan
standar
Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta
selama proses evaluasi oleh pelatih
PESERTA: _____________________________
KEGIATAN
TANGGAL :______________
NILAI
KEGIATAN
2.
3.
4.
5.
NILAI
Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan
standar
Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta
selama proses evaluasi oleh pelatih
PESERTA: _____________________________
TANGGAL :______________
KEGIATAN
NILAI
12
KEGIATAN
NILAI
-MIASTENIA GRAVIS
- NEUROVASKULAR PADA ANAK
-STROKE
-TROMBOSIS SINUS
-HEMIPLEGIC INFANTILE ENCEPHALOPATHY
- TATALAKSANA NYERI PADA ANAK
- NYERI KEPALA PADA ANAK
- GANGGUAN GERAK
-TIC ( TOURETTE SYNDROME)
-DISTONIA
-KHOREA
- PENURUNAN KESADARAN
-ETIOLOGI INTRAKRANIAL
-ETIOLOGI EKSTRAKRANIAL
I. PERKEMBANGAN SARAF ANAK NORMAL
( Catatan : Belum ada materi )
II.PEMERIKSAAN NEUROLOGI ANAK
Pemeriksaan neurologi bayi dan anak lebih sulit dibanding dewasa. Oleh karena
selalu mengalami pertumbuhan yang cepat, misalnya maturasi dari mielin. Ukuran kepala
merupakan refleksi dari perkembangan otak. Maturasi dari otak selama 2 tahun pertama
bertambah + 12 cm dan + 5 cm sampai usia 16 tahun.
Mielin mulai terbentuk pada trimester ke dua kehamilan sampai dengan masa
kanak-kanak. Pada tahun pertama di traktus kortikospinalis dimana diperlukan untuk
mempertahankan sikap duduk, berjalan tanpa bantuan. Pemeriksan neurologi pada anak
berbeda-beda tergantung pada saat pemeriksan. Pemeriksaan terutama pada motorik
kasar, motorik halus serta interaksi sosial. Pada pemeriksaan anak diperlukan kerjasama,
kejujuran orang tua, interaksi dengan anak, serta pengetahuan dokter dalam patofisiologi
penyakit. Anamnesis merupakan hal yang sangat penting, dapat diperoleh dari orang tua
dan anak.
Riwayat Penyakit
Keluhan utama : suatu tanda atau gejala mengapa orang tua datang membawa anak
berobat. Dari keluhan utama sudah dipikirkan diagnosis banding dari perjalanan penyakit.
Secara kronologis di tanyakan antara lain :
- Kapan keluhan dirasakan saat pertama kali, umur berapa ? Berapa lama ?
- Apakah terjadi mendadak / pelan-pelan, hilang timbul, apa ada hubungan dengan
waktu, aktifitas ?
- Apakah terlokalisir, menjalar, periodik ?
- Semakin lama apakah semakin berat, berkurang atau menetap ?
- Apakah sudah mendapat pengobatan ? Dengan obat tersebut penyakit berkurang /
bertambah ?
- Apakah ada faktor pencetus yang memicu timbulnya penyakit tersebut ?
- Apakah dalam keluarga ada yang menderita sakit yang serupa ?
Riwayat Kehamilan
14
15
ada gerakan abnormal, tic, tremor, chorea, atetoid kelemahan, dan gait yang abnormal
akan jelas ketika anak berjalan dan bermain.
Pemeriksaan Status Generalis
- Kepala : lingkaran kepala, sutura menutup / tidak, bentuk kepala, makrosefali,
mikrosefali, ubun-ubun menonjol atau tidak.
- Muka : bentuk dan penampilan : down syndrome hypotiroid, kelainan metabolik (
fenilketonuria). Ada stigmata atau tidak, misalnya hemangioma pada wajah
(Storage Weber syndrome).
- Telinga : Bentuk dan posisi telinga lebih rendah, lubang telinga dan fungsi
pendengaran.
- Mata : Ptosis, endoftalmos, exoftalmos, sklera, konjungtiva, pupil, iris, jarak
kedua mata.
- Hidung dan mulut : Labio / genato / palatoskisis.
- Leher : Bentuk, benjolan, Turner syndrome.
- Dada : Jantung, paru-paru ada kelainan atau tidak.
- Abdomen : ada kelainan atau tidak.
- Genitalia eksterna : ada kelainan atau tidak.
- Tulang belakang : kifosis, lordosis yang berlebihan, gibbus.
- Anggota gerak atas dan bawah, kelainan jari-jari, telapak kaki equinovarus /
valgus.
Status Neurologis
Pemeriksaan neurologis anak lebih sulit dibanding dewasa, memerlukan kesabaran oleh
karena anak belum kooperatif, pemeriksa harus ikut bermain untuk menaruh anak.
Pemeriksaan harus berdasarkan tujuan adanya kelainan neurologis, menentukan lokasi,
penanganan yang tepat sekaligus evaluasi dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh
karena sistem neurologis pada bayi, organ yang masih berkembang maka evaluasinya
dapat berubah sesuai dengan usia.
Pemeriksaan Kepala
- Makrosefalus : Ukuran kepala lebih besar, tanda-tanda kenaikan tekanan intra
kranial, ubun-ubun membenjol, sutura melebar atau ada vena-vena kepala.
- Mikrosefalus atau kraniosinostosis penutupan sutura begitu cepat misalnya akibat
infeksi toksoplasmosis kongenital, rubella dan citomegalovirus.
- Pembesaran fossa posterior, oksiput menonjol kemungkinan syndroma Dandy
walker.
- Pembesaran biparietal, kemungkinan hematom subdural.
- Pada perkusi timbul nyeri mungkin osteomielitis lokal atau abses otak.
- Mengukur lingkaran kepala secara serial dapat sebagai parameter hidrocefalus.
Saraf Cranialis
Pemeriksaan saraf otak pada anak sudah dapat dilakukan dinilai mulai anamnesa dan
anak sambil bermain tidak harus berututan.
N I (Olfaktorius)
Sulit diperiksa pada bayi dan anak, baru dapat dmulai jika usia anak 4-6 tahun, dengan
bau-bauan yang sudah dikenal sebelumnya. Pemerikaaan N I tidak dapat dinilai jika anak
keadaan pilek, hidung tersumbat, atas trauma cribrivormis.
N II (Optikus)
16
Apabila sudah ada kontak mata sudah dapat dilakukan berarti visus normal, untuk
ketajaman penglihatan diperlukan perimetri, atau pemeriksaan funduskopi hal ini
dilakukan pada saat terakhir dari pemeriksaan, apabila anak sudah percaya pada
dokter.
Untuk pemeriksaan lapang pandang dengan mainan yang disenangi anak, mulai
digerakkan dari samping kanan kiri, apabila anak melihat disuruh mengatakan ya.
Umumnya anak akan berusah untuk menggapainya.
Reflek kedip, apabila secara mendadak diarahkan pada mata spontan mata akan
berkedip, berarti visus baik, reflek kedip belum timbul pada umur dibawah 4 bulan.
Papilla N. optikus : bentuk, warna, batas dan keadaan sekitar normal, pupil warna merah
muda, bentuk oval / elips, bagian temporal lebih pucat dibanding bagian nasal, sedang
batas papil temporal lebih tegas daripada batas papil nasal. Pemeriksaan yang canggih
dengan VER ( Visual Evoked Response ), pemeriksaan funduskopi untuk mengetahui
retina, papil nervus optikus. Dengan syarat oftalmoskop yang baik, ruangan gelap dan
nyaman, penderita kooperatif, pupil tidak ada gangguan.
N III, IV, VI (Nn Okulomotorius, Troklearis, Abdusen)
Nervi okularis ( saraf penggerak otot-otot mata ) : Perhatikan posisi mata keadaan
istirahat, bentuk, ukuran pupil, pemeriksaan akomodasi dan reflek cahaya lampu senter
atau digerakan pada daerah 6 ( enam ) lapangan pandang.
Prinsip pemeriksaan nervi okularis :
- Observasi terhadap kelopak mata
- Fungsi dan reaksi pupil
- Gerakan bola mata
Lesi N III : Mata deviasi ke lateral bawah, ptosis, strabismus, diplopia, midriasis pupil
tidak bereaksi terhadap cahaya.
Lesi N IV : Biasanya jarang, stabismus konvergen penderita tidak mampu turun tangga
biasanya kepala dimiringkan.
Lesi N VI : strabismus konvergen diplopia paling sering karena perjalanan nervus lebih
panjang.
N V (N. Trigeminus)
Berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik. Sensorik N.V-1 : cabang oftalmikus (wajah
bagian atas), N.V-2 : cabang maxilaris (wajah bagian tengah) dan N.V-3 : cabang
mandibularis (wajah bagian bawah). Cara pemeriksaan dengan kapas dioleskan pada
wajah dengan mata tertutup, dibandingkan antara kanan dan kiri, pada anak pemeriksaan
ini agak sulit. Nervus V motorik mensarafi otot-otot pengunyah : massetter, petrygoid dan
temporalis. Cara pemeriksaan : penderita disuruh menggigit sesuatu dengan kuat, pada
sisi lesi kontraksi lebih lemah. Pemeriksaan reflek kornea dengan kapas, penderita
melihat jauh kornea dioles, respon mata tertutup bilateral. Reflek masseter dengan
meletakan jari pada dagu dan penderita bicara a a a a dengan mengetok palu pada dagu
tersebut maka respon mulut akan tertutup.
N VII (N. Fascialis)
N VII mensarafi otot-otot wajah. Otot wajah bagian atas mendapat persarafan secara
bilateral sedangkan wajah bagian bawah persarafan secara kontra lateral. Pemeriksan :
penderita disuruh membuka mulut, tersenyum, menutup mata dan mengerutkan dahi.
Pada kelainan perifer (LMN) tidak dapat menutup mata, mengerutkan dahi dan nasolabial
fold mendatar pada sisi lesi, sedang kelainan sentral (UMN) tidak mengenai muka bagian
17
atas. Pemeriksaan pengecapan 2/3 lidah bagian depan dengan meletakkan gula, garam,
pada lidah.
N VIII (N. Akustikus)
Terdiri dari pendengaran (Nervus Chohlearis) dan keseimbangan (Nervus vestibularis).
Saat anamnesis pendengaran anak secara sederhana sudah dapat dinilai, dapat dengar
kertas disamping belakang telinga, anak memberi respon atau tidak, atau menjatuhkan
benda apakah anak mendengar atau tidak, dengar jam, bunyi bel atau garpu tala. Untuk
uji pendengaran lebih akurat dengan Brainstem Auditory Evoked Potensial (BAEP).
Untuk tes keseimbangan harus diperhatikan sikap badan saat berdiri dan sikap saat
bergerak serta memperhatikan adanya nistagmus. Pemeriksaan dengan Romberg test :
Penderita berdiri dengan kaki rapat, mata dipejamkan stabil atau tidak, pada gangguan
keseimbangan akan akan jatuh pada sisi lesi. Tes ini dilakukan jika tidak ada kelemahan
motorik. Untuk membangkitkan nistagmus anak dapat disuruh berputar-putar sesuai
dengan jarum jam.
N IX (N. Glosofaringeus) dan N X (N. Vagus)
Fungsi dan anatomi kedua saraf ini hampir bersamaan fungsi N.IX motorik dan sensorik
sedangkan N.X sebagai sensorik dan vegetatif. Pemeriksaan : Reflek muntah, kesukaran
menelan (disfagia), suara sengau (disfoni), penderita disuruh membuka mulut sambil
bicara aaaah, uvula akan terdorong pada sisi lesi. Pada gangguan N X selain gangguan
tersebut diatas penderita mengalami : takikardi, bradikardi, sesak nafas.
N XI dan XIII (N.Asesorius dan N.Hipoglosus)
Pada kelainan N.XI penderita tidak dapat memutar kepala dan tidak mampu mengangkat
bahu sehingga tampak posisi tidak simetris, kepala miring, wajah menoleh salah satu sisi
dikenal dengan tortikolis. Pada pemeriksaan N.XII penderita diminta untuk
mengeluarkan lidah, keadaan normal, lidah pada posisi tengah. Jika mengalami
kelemahan lidah akan terdorong pada sisi lesi, biasanya penderita bicara pelo
(mengucapkan kata-kata kurang jelas).
PEMERIKSAAN MOTORIK
Pemeriksaan motorik ini tergantung dari integritas traktus piramidalis, ekstra piramidalis
dan cerebellum. Observasi motorik akan tampak pada posisi anak, gerakan ke 4 anggota
gerak, sikap pada bayi akan tercermin apakah ada nyeri, fraktur, paresis atau gangguan
tonus otot.
Menilai kekuatan otot dinilai secara subjektif kekuatan ( Swaimans,2012) :
5 = Normal, dapat menahan tekanan kuat
4 = Tidak dapat mempertahankan posisi dengan tahanan sedang
3 = Tidak dapat mempertahankan posisi dengan tahanan ringan atau gravitasi.
2 = Gerakan aktif tanpa melawan gravitasi
1 = Hanya kontraksi sendi
0 = Tidak bergerak sama sekali
Pemeriksaan kekuatan harus dibandingkan kanan dan kiri. Pemeriksaan motorik
menyangkut pada pemeriksaan tonus otot. Pemeriksaan ini sangat tergantung dengan
suasana, kondisi anak, pemeriksa dan lingkungan, pada anak menangis akan timbul
kekakuan, pemeriksaan akan sulit interpretasinya. Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan
santai, tungkai dan lengan dapat digerakkan secara pasif dengan digoyang-goyangkan
secara luwes berarti tonus normal.
18
Apabila jatuh lunglai berarti hipotonus : tonus menurun, jika ada tahanan/kaku : berarti
hipertonus : tonus meningkat.
Pemeriksaan tonus pada bayi :
normal cenderung keadaan fleksi dalam posisi telentang.
Pemeriksaan cara reaksi tarikan :
Telunjuk pemeriksa diletakkan pada telapak tangan pasien, maka bayi akan
menggenggam, secara lembut pemeriksa memegang tangan pasien sekaligus menarik
kearah duduk, normal : kepala terangkat bersamaan dengan badan sehinggan anggota
gerak keadaan, abnormal : kepala akan jatuh ke belakang dan tidak ada tonus pada
anggota gerak.
Pemeriksaan suspensi vertikal :
Dari belakang tangan pemeriksa diletakkan pada ketiak penderita secara lembut penderita
diangkat : normal apabila kepala tetap tegak anggota gerak fleksi, abnormal kaki lurus
atau menyilang. Pada suspensi horizontal pemeriksa mengangkat dada penderita, pada
bayi normal kepala diangkat dengan fleksi anggota gerak. Pada bayi abormal kepala dan
anggota gerak jatuh lunglai, atau kepala leher dan punggung melengkung kebelakang.
Reflek primitif pada bayi :
1. Reflek moro
Bayi posisi telentang, kepala diangkat 300, tiba- tiba dijatuhkan pada tangan
pemeriksa bayi akan kaget lengan direntangkan posisi abduksi ekstensi dan
disusul gerakan abduksi dan fleksi jika tidak terjadi rentangan atau asymetris
berarti patologis
2. Tonic neck reflek
Posisi bayi telentang, kepala ditolehkan ke kanan maka anggota gerak akan
ekstensi sedangkan anggota gerak kiri fleksi
3. Plantar grasp reflek
Jari pemeriksa diletakan di telapak kaki penderita terjadi fleksi jari-jari kaki
4. Palmar grasp reflek
Sesuatu diletakkan pada telapak tangan penderita terjadi fleksi jari tangan atau
menggenggam
Reflek Reflek Fisiologis
1. Reflek umbilikus
Dengan menggores kiri kakan umbilikus dengan titik sudut pada simpisis dan
xyphoid berbentuk belah ketupat, respon umbilicus akan bergerak pada tiap
goresan. Reflek negatif pada anak < 1 tahun, poliomyelitis dan lesi sentral
2. Reflek Cremaster
Dengan menggores pada bagian dalam paha terjadi elevasi testis
3. Reflek tendon
Fleksi sendi siku apabila tendon bisep diketok
4. Reflek tricep
Terjadi extensi sendi siku, jika tendon trisep diketok
5. Reflek patela (knee)
Dengan mengetok tendon patela respon ekstensi sendi lutut
6. Reflek achiles
Mengetok tendon achiles respon palnter fleksi jari-jari kaki.
Reflek Patologi
19
1. Reflek babinski
Menggores telapak kaki dari tumit searah sepanjang jari kelingking sampai arah
medial (ibu jari) respon terjadi ekstensi ibu jari dan diikuti oleh jari-jari lainnya
seperti kipas (ekstensor plantar respon. Reflek positif pada bayi sampai umur 18
bulan. Jika > 2 tahun reflek positif : ada kelainan UMN
2. Reflek Chaddok
Dengan menggores bagian lateral kaki /maleolus eksternus
3. Oppenheim
Dengan nenekan tulang kering (ostibia) dengan jari-jari pemeriksa di gerakkan
dari proksimal ke distal
4. Gordon
Memencet betis penderita
5. Schaeffer
Dengan memencet tendon achiles
Semua reflek ini respon dengan babinski : ekstensi ibu jari diikuti dengan jari-jari
berikutnya.
Reflek patologi di tangan
1. Reflek Tromner
Dengan mencolok ujung jari tengah respon : ibu jari mengalami fleksi.
2. Reflek Hoffman
Colekan pada ujung kuku jari tengah respon : ibu jari dan jari lainnya fleksi
Reflek patologis timbul akibat lesi UMN, pada bayi oleh karena mielinisasi belum
lengkap reflek tersebut positif
Pemeriksaan tanda-tanda rangsangan meningeal :
1. Kaku kuduk : leher ditekuk cara pasif pada sternum akan terjadi tahanan, dis :
kaku kuduk (+)
2. Brudzinki I : pada saat leher ditekuk akan terjadi fleksi tungkai sendi lutut dan
panggul, disebut Brudzinki I positif
3. Brudzinki II : posisi kaki lurus dengan fleksi sendi lutut akan terjadi fleksi pada
lutut dan panggul kontra lateral
4. Tanda Kernig :
Tungkai atas difleksikan tegak lurus, kemudian tungkai bawah diluruskan di sendi
lutut, test positif jika tungkai kontra lateral terdapat fleksi lutut dan panggul
secara reflektoris
Pemeriksaan sensorik
Pada anak pemeriksaan sensibilitas sangat sulit apabali pada bayi, pada pemeriksaan ini
harus diperlihatkan kooperatif dari pasien, pemeriksaan dapat dilakukan pada anak diatas
6 tahun
1. Rasa raba : Meraba permukaan tubuh dengan kapas mata penderita ditutup,
penderita ditanyakan terasa atau tidak.
2. Rasa nyeri : Dengan jarum memberikan rangsangan tusuk, jarum ditusukkan pada
penderita kemudian bergantian dengan memisahkan ujung jari pemeriksa untuk
membedakan tusuk tajam atau tusuk tumpul. Pada pemeriksaan mata penderita
ditutup dengan roda yang bergerigi / rader jahit : digelindingkan pada permukaan
kulit dari arah defisit sensoris ke daerah normal dan sebaliknya, sehingga kita
dapat menentukan batas defisit sensoris tersebut.
20
3. Rasa termis /suhu : Rasa panas + 40-450, dingin 10-150 dengan botol ditempelkan
pada kulit penderita. Pada pemeriksaan ini harus diperhatikan botol yang dipakai
benar-benar kering, permukaan tubuh yang tertutup lebih peka dengan yang tidak
tertutup, pada orang tua pada umumnya sudah terjadi hipestesi oleh karena
vaskularisasi pada bagian-bagian distal berkurang.
Perasaan Getar / Vibrasi
Dengan garputala : garputala yang sudah digerakkan frekuensi + 128hz/detik, kaki
garputala tersebut diletakkan pada sisi maleolus/ lateralis, ditanyakan pada penderita
perasaan apa yang terjadi dalam keadaan mata tertutup. Sebelum pemeriksaan penderita
di beri tahu dulu, pemeriksaan apa yang telah kita lakukan dan apa yang dirasakan.
Gangguan getar pada penyakit-penyakit saraf perifer : tabes dorsalis neuropati dm juga
penderita histeri.
Perasaan Gerak / Posisi
Ujung jari penderita digerakkan secara pasif jari penderita digerakkkan cara pasif keatas,
bawah samping kiri dan kanan. Penderita diminta untuk memberi tahukan arah gerakan
tersebut, pada anak dapat dilakukan sambil bermain, berdiri kondisi mata keadaan
tertutup.
Perasaan Diskriminasi (kondisi mata keadaan tertutup)
1. Sterognosis
Posisi mata tertutup penderita diminta untuk identifikasi benda-benda tertutup
pemeriksa diminta untuk identifikasi benda-benda yang disodorkan pada
tangannya supaya penderita dapat mengenal bentuk benda tersebut.. seharusnya
benda-benda yang sudah dikenal oleh penderita : uang logam, karet penghapus,
lilin, dsb
2. Diskriminasi 2 titik
Dengan memakai 2 jarum ditusukkan pada permukaan tubuh penderita, jarak
kedua jarum dilebarkan. Pada permukaan tubuh pasien dapat membedakan jarak
2 titik tersebut tapi tidak sama pada semua permukaan tubuh. Pada jari : 2-7mm,
telapak tangan 8-12mm pada lidah + 1mm, tungkai 40mm.
3. Grapestesia
Pemeriksa menulis angka pada permukaan kulit, telapak tangan, paha dan
sebagainya, penderita dapat mengenal angka atau huruf apa yang dituliskan
tersebut.
4. Topognosis
Dengan tusukan penderita dapat menentukan bagian tubuh mana yang disentuh
oleh pemeriksa misalnya pipi kiri / kanan dengan jelas.
Daftar Rujukan :
1. Swaiman KF. Neurological examination of the older child, dalam Swaiman KF
Pediatric Neurology, principles and practice, 3rd ed Toronto ; mosby. 1999 : 14-30
2. Swaiman KF : neurologic examination after the Neuborn period until 2 years of
age : dlm Swaiman KF : pediatric neurology, principles and practice ; 3rd ed :
Toronto mosby ; 1999, : 31-38
3. Fredman NR, Cohen BH : The neurological examination of the infant and child
dalam Noseworthy JH dalam neurological therapeutics, principles and practice,
21
2nd ed Martin Dunit 2, Mayo fundation for medical education and recearch ;
2003 ; Vol 2 : 1577-1583
4. Priguna Sidharta MD Ph.D. Tata pemeriksaan klinis dalam neurologi , PT Dian
Rakyat, 1985
5. Setio Menggolo TS, Ismail Sofyan : Pemeriksaan neurologi pada anak dan bayi.
Buku ajar : Neurologis anak, IDAI, Jakarta. 1999 : 1-35
III. PALSI SEREBRAL
Pendahuluan
Palsi Serebral merupakan suatu istilah diskriptif non spesifik yang digunakan untuk
gangguan fungsi motorik yang timbul pada masa kanak - kanak dini, yang ditandai
dengan perubahan tonus otot, gerakan involunter, ataksia atau kombinasi dari
kelainan-kelainan tersebut. CP seringkali juga disertai dengan beberapa komorbiditas
seperti epilepsi, gangguan visual, auditory dan retardasi mental 1
Kelainan tersebut menimbulkan disabilitas pada anak , sehingga deteksi dini Palsi
Serebral dapat membantu penanganannya sehingga didapat kemampuan fungsional
yang optimal.
Definisi
Secara umum Cerebral Palsy adalah sindroma klinik, ditandai adanya defisit motorik
sentral yang bersifat tidak progresif, disebabkan kerusakan otak yang belum matur 1,2
Swaiman mendifinisikan CP sebagai suatu istilah diskriptif non spesifik yang
digunakan untuk gangguan fungsi motorik yang timbul pada masa kanak kanak dini
yang ditandai dengan perubahan tonus otot (umumnya spastik), gerakan involunter,
ataksia atau kombinasi dari kelainan-kelainan tersebut, tidak bersifat episodik ataupun
progresif. Keluhan paling sering mengenai ekstremitas, namun dapat juga mengenai
batang tubuh.3
Menkes mendefinisikan CP sebagai sindrom kelainan gerak dan postur yang menetap
yang disebabkan oleh lesi otak yang bersifat tidak progresif yang didapat selama
perkembangan.5 Walaupun kerusakan jaringan otaknya tidak mengalami progresifitas,
penampilan klinis CP dapat berubah sesuai dengan pematangan system saraf anak. 4
Epidemiologi
Insidensi CP di Negara maju berkisar antara 2 - 2,5 per 1000 kelahiran hidup. Risiko
CP pada bayi prematur adalah 5 80 per 1000 kelahiran hidup, meskipun mayoritas
kasus adalah pada bayi yang lahir aterm. 1,4
Sedangkan data epidemiologi di Indonesia, sampai saat ini belum ada.
Klasifikasi
CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis maupun beratnya penyakit,
fungsi dan aspek terapeutik.
Klasifikasi klinis 5 :
1. Tipe spastik : Kuadriparesis spastik
Diplegia spastik
Hemiparesis spastik
2. Tipe ekstrapiramidal
3. Tipe hipotonik (atonik)
4. Tipe serebellar
22
23
Obesitas (jarang)
Konstipasi
Karies dentis
2. Respirasi
Bronchopulmonal dysplasia
Bronchitis / asma
3. Kulit : dekubitus dan lecet
4. Tulang : kontraktur, dislokasi panggul, skoliosis
5. Epilepsi
6. Auditori : gangguan pendengaran terutama pada penderita dengan riwayat kern
icterus
7. Visual
Strabismus
24
Penatalaksanaan
Hal yang penting ditekankan adalah kemungkinan kesembuhan pada gangguan motorik
neurologis tidak terlalu memuaskan.
Terapi yang diberikan bertujuan untuk memaksimalkan potensi fungsional anak,
sedangkan defisit neurologis aktual tidak dapat diubah. Walaupun demikian tidak berarti
tidak akan ada perubahan, karena itu perlu dilakukan penilaian ulang pada interval
reguler, baik oleh tenaga medis maupun oleh keluaraga.8
25
26
Ataksia
Angelman syndrome
Ataxia telengiectasia
Chronic/adult GM 1 gangliosidosis
Mitochondrial cytopathy
Nieman Pick disease type C
Pontocerebellar atrophy/hypoplasia
Posterior fossa tumor
X linked spinocerebellar ataxia
Prognosis
Harapan hidup penderita CP berhubungan dengan jenis dan keparahan disabilitas
motorik. Mortalitas lebih tinggi dan harapan hidup lebih pendek pada penderita dengan
kuadriparesis berat, hidrosefalus, epilepsi yang intraktabel, anak dengan ketrampilan
fungsional dasar yang kurang memadai, retardasi mental berat. 3,4 Demikian pula bila
makin banyak disertai dengan kelainan yang memperberat maka prognosis juga semakin
buruk.
Apabila didukung oleh perawatan kesehatan yang sesuai, penderita CP tanpa
kelainan penyerta yang berat dapat mencapai usia harapan hidup mendekati populasi
umum.4
Kepustakaan
1. Rosenbaum P. Cerebral Palsy : What parents and doctors want to know. BMJ
2003;326 : 970-4.
2. Cogher F, Sawage E, Smith MF. Cerebral Palsy, The child and Young Person, 1 st Ed..
Chapman and Hall Medical, London, 1992 : 3 16.
3. Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric neurology : principles and practice. 3 rd Ed. USA :
Mosby Inc., 1999 : 312 322.
4. Ratanawongsa B. Cerebral Palsy. Last updated : August 9, 2005.
http://www.emedicine.com//
5. Menkes JH, Sarnat HB. Perinatal Asphyxia and Trauma. In Menkes JH, Sarnat HB,
Maria BL. Child Neurology. 6th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia,
2006 : 396
6. Brett EM. Cerebral Palsy. In Brett EM Ed. Paediatric Neurology. Churchill
Livingstone, London, 1997 : 291 -30.
7. Ashwal S, Russman BS, Blasco PA, Miller G. Practice parameter : Diagnostic
Assesment of the child eith cerebral palsy. Report of the quality standards
subcommittee of the child Neurology Society. Neurology 2004 ; 62 : 851 63.
8. Bax M, Brown JK. The spectrum of disorders known as cerebral palsy. In : Scrutton
D, Damiano D, Mayston M. Management of the motoe disorders of children with
cerebral palsy. London : Cambridge University Press, 2004 ; 9-20
27
Epilepsi : Keadaan yang ditandai oleh bangkitan yang timbul dua kali atau lebih secara
spontan. (Epilepsia 1993; Epilepsia 1997)
Catatan :
Bangkitan berulang yang terjadi dalam waktu 24 jam dianggap sebagai satu kejadian
bangkitan tunggal, bukan epilepsi
Sindroma Epilepsi : Epilepsi yg ditandai oleh sekumpulan tanda dan gejala yang terjadi
secara bersamaan, meliputi bentuk bangkitan, etiologi, EEG, anatomi, faktor pencetus,
usia awitan, berat gejala, dan prognosis (Epilepsia 1989)
Insidensi
Negara berkembang: 41-50 / 100.000 penduduk . Insidensi tinggi: usia < 2 tahun & usia
> 65 tahun. (Epilepsi Foundation 2003.
Dari 200.000 kasus baru pertahun, didapatkan 45.000 kasus epilepsi anak usia <15 tahun.
Insidensi epilepsi anak dari lahir sampai usia 16 tahun: 40 / 100.000 anak / tahun
KLASIFIKASI SINDROMA EPILEPSI
ILAE, 1989 (Epilepsia 1989)
1. Epilepsi parsial dan sindromanya
Berhubungan dengan lokasi
1.1. Epilepsi Idiopatik (awitan berhubungan dengan usia)
Epilepsi benigna pada masa anak dengan gelombang paku di
sentrotemporal
Epilepsi pada masa kanak dengan paroksismal di oksipital
Epilepsi primer pada saat membaca
1.2. Epilepsi Simtomatik
Epilepsi parsialis kontinua kronik pada masa anak (sindroma
Kojewnikow)
Sindroma dimana secara karakteristik bangkitan dicetuskan oleh
faktor pencetus spesifik
Epilepsi lobus temporal
Epilepsi lobus frontal
Epilepsi lobus parietal
Epilepsi lobus oksipital
1.3. Epilepsi kriptogenik
2. Epilepsi umum dan sindroma
2.1. Idiopatik (awitan berhubungan dengan usia; urutan berdasarkan usia)
Bangkitan neonatal familial benigna
Bangkitan neonatal benigna
Epilepsi mioklonik benigna pada masa anak
Epilepsi lena/lena pada masa anak (Pyknolepsy)
Epilepsi absence / lena pada masa remaja (JAE)
Epilepsi mioklonik pada masa remaja (Impulsive Petit Mal)
28
Klasifikasi lain
Semiological Seizure Classification
29
Klasifikasi Engel
PENATALAKSANAAN PENDERITA EPILEPSI ANAK
Anamnesis
Gambaran bentuk bangkitan (dari penderita &/ orang tua / saksi)
Keadaan penderita saat bangkitan ?
Duduk / berdiri / berbaring / tidur / berkemih
Aura? speech arrest?
Apa yang tampak selama kejadian ?
Gerakan tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme
Inkontinensia, lidah tergigit
Pucat, berkeringat, deviasi mata
Durasi kejadian ?
Keadaan saat dan setelah kejadian ?
Bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Jejas SSP sebelumnya
o Riwayat perinatal / perkembangan
o Trauma, infeksi SSP, dll
o Kejang demam (sederhana atau kompleks)
Riwayat Keluarga
o Riwayat epilepsi dan kejang demam pada keluarga
o Penyakit neurologis lain
Pemeriksaan Fisik dan neurologis
o Lingkar kepala
o Dismorfik
o Kelainan kulit
o Pemerksaan jantung
o Hiperventilasi, evaluasi psikogenik
o Defisit neurologis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EEG
Iktal (bila memungkinkan) dan interiktal
Pola EEG tertentu dapat menunjukkan suatu sindrom,
Epilepsi umum idiopatik
Childhood absence epilepsy : 3 Hz SWC
Juvenile absence epilepsy : 3 4 Hz SWC dan polyspikes wave
complex
Juvenile myoclonic epilepsy : 4 6 Hz polyspikes wave complex
Epilepsi parsial idiopatik
30
31
JENIS PENCITRAAN
Pencitraan Struktrural :
CT scan kepala
MRI
MR spectroscopy
Pencitraan Fungsional :
PET
SPECT
fMRI
PENCITRAAN STRUKTURAL
CT scan memungkinkan diagnosis radiologis pada 10-20% pasien, sedangkan MRI
memungkinkan diagnosis radiologis pada 50% pasien epilepsi parsial refrakter
MRI lebih baik dalam mendeteksi abnormalitas fokal berukuran kecil dibandingkan
CT scan
PENCITRAAN FUNGSIONAL
Kegunaan:
- Umumnya digunakan untuk perencanaan operasi epilepsi
- Membantu identifikasi regio epileptogenik
- Membantu identifikasi daerah awitan bangkitan
- Melokalisasi fungsi otak
- Dibandingkan dengan pencitraan struktural, pencitraan fungsional cenderung untuk
menilai derajat epileptogenik korteks serebri secara berlebihan
PENATALAKSANAAN
Prinsip Umum :
Setelah frekkuensi kejang 2 kali atau lebih dalam 1 tahun. Pertimbangkan keuntungan
dan kerugiannya, kemungkinan berulang dan kepatuhan pasien.
Pilihan obat anti kejang berdasarkan bentuk kejang :
Bentuk kejang
Pilihan 1
Pilihan 2
Parsial
Carbamazepine
Valproat
Phenytoin
Lamotrigine
Oxcarbazepine
Gabapentin
Topiramate
Levetiracetam
Tonic-clonic
Valproate
Lamotrigine
Carbamazepine
Oxcarbazepine
Phenytoin
Topiramate
Absence
Valproate
Lamotrigine
Myoclonic
Valproate
Topiramate
32
Lamotrigine
Levetiracetam
Obat Anti Epilepsi (OAE) I: mulai dosis minimal kemudian secara bertahap dinaikkan
bertahap hingga mencapai dosis maksimal atau timbulnya efek samping.
Bila bangkitan masih terjadi, maka OAE II mulai dosis minimal dinaikkan secara
bertahap hingga mencapai dosis maksimal. OAE I diturunkan bertahap secara cepat
Jika OAE II gagal penggunaan OAE III dengan cara yang sama, jika OAE III gagal
maka diberikan politerapi.
Catatan : sebaiknya pasien dibekali diazepam perrectal untuk kejang, maksimal 2x
pemberian
Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi
OAE
Fenobarbiton
Cara kerja
multipel
(Na, Ca, GABA, Glutamat )
Spektrum
Luas
ya
Fenitoin
tidak
Karbamazepin
tidak
Asam valproat
multipel
ya
Levetirasetam
Ya
Ya
Topiramat
multipel
pemberian
Nama obat
Dosis (mg/kgBB/hari)
Frekuensi
2 x atau
1x / hr
15-40 mg/kg
23 x / hr
Fenobarbital
Fenitoin
Asam valproat
2 x / hr
33
Karbamazepin
10-20 mg/kg
2 x / hr
Klobazam
1 3 x/hr
Klonazepam
0,05-0,2 mg/kg/hari
2 3 x/hr
Gabapentin
30 60 mg/kg/hari
2 - 3 x/hr
Lamotrigin
+ VPA: 1 5 mg/kg/hr
+ enzyme-inducer AED: 5 15
mg/kg/hari
2 x/hr
Topiramat
3 9 mg/kg/hari
2 x/hr
Oxkarbazepin
20 40 mg/kg/hari
2 x/hr
Levetirasetam
20 40 mg/kg/hari
2 x/hr
Carbamazepine, Vigabatrin,
Tiagabine, Phenytoin
Vigabatrin
Clonazepam
Lamotrigine
PENGHENTIAN OAE
Klinis: bebas bangkitan minimal 2 tahun (SIGN,2005)
Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan).(SIGN,2005)
Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan kembali dengan
dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol bangkitan
RESIKO terjadinya relaps meningkat :
34
DIAGNOSIS BANDING
Benign myoclonus
Sandifers syndrome
Hyperekplexia
Breath-holding attack
Night terrors
Masturbatory episodes
Alternating hemiplegia
Syncope
Migraine
Shuddering attacks
Movement syndrome
Parasomnias
Inattention / daydreaming
35
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. 2
Sedangkan meningitis tuberkulosa merupakan salah satu penyulit tuberkulosis, yang
mempunyai morbiditas dan mortalitas tinggi. Di Indonesia saat ini tuberkulosis dianggap
sebagai reemerging disease, serta negara Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India
Dan Cina.4
1. Meningitis Bakterial
Definisi
Meningitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput otak, ditandai dengan
peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya
bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.1-3
Epidemiologi
Di Amerika serikat, diperkirakan 25.000 kasus meningitis pertahunnya dijumpai
pada anak-anak dan dewasa muda. Sekitar 50% kasus terjadi pada anak dibawah usia 5
tahun. Insidensi di Amerika serikat dan eropa adalah 3-5 kasus per 100.000 penduduk
pertahun.2,5-7
Di negara-negara sedang berkembang angka statistik yang tepat sulit didapatkan
namun diduga angka kejadiannya jauh lebih tinggi. Di Senegal (Afrika barat) insidensi
meningitis diperkirakan 50 kasus per 100.000 penduduk pertahun dengan angka kematian
40%. Di Brasilia insidensinya adalah 45,8 kasus per 100.000 penduduk pertahun.
Penyakit ini dijumpai lebih banyak pada laki-laki daripada wanita dengan rasio 1,7:1.3
Etiologi
Pola bakteri penyebab meningitis bakterial akut perlu diketahui sebelum
memberikan terapi yang tepat, berikut disebutkan penyebab yang sering dan yang jarang
pada meningitis bakterial akut, sesuai dengan usia. Pada pasien dengan faktor resiko
tertentu dapat diperkirakan bakteri penyebabnya lalu diberikan terapi empiris yang sesuai
dengan bakteri penyebab tersebut seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Bakteri penyebab Meningitis Bakterial Akut yang sering, menurut usia:
( Swaimans 2012)
Lamanya
Bakteri Patogen
Penyakit
0-4 minggu Streptococcus agalactiae
Escherichia coli
Listeria monocytogenes
Streptococcus pneumoniae
1-3 bulan
E. coli
L. monocytogenes
Neisseria meningitidis
S. agalactiae
S. pneumoniae
Haemophilus Influenzae
3-18 tahun N. meningitidis
36
S. pneumoniae
H.influenzae
Tabel 2. Bakteri penyebab Meningitis Bakterial Akut yang jarang, pada bayi dan anakanak ( Swaimans 2012)
BAKTERI
FAKTOR PREDISPOSISI
PATOGEN
Escherechia coli*
Infeksi saluran kemih, imunosupresi
Staphylococcus
Trauma, bedah saraf, shunt
aureus
Staphylococcus
Trauma, bedah saraf, shunt
epidermidis
Grup A streptococcus Faringitis, sepsis
Enterococcus spp.
Periode neonatal
Viridans streptococci Endocarditis, defek anatomi
Moraxella
Otitis media
Klebsiella
Imunosupresi
pneumoniae
Salmonella
Sickle cell disease, imunosupresi
Proteus
Periode neonatal, imunosupresi
Citrobacter
Periode neonatal, imunosupresi
Enterobacteriaceae
Imunosupresi
lain
Pseudomonaas
Imunosupresi
aeruginosa
Pasteurella multocida Gigitan serangga
Francisella tularensis Kontak dengan hewan liar
Propionibacterium
Shunt
acnes
Nocardia
Penyakit paru kronis
Catatan : * jarang pada periode neonatal
Patogenesa
Infeksi meningitis bakterial pada SSP dapat terjadi secara akut ( simptom
berkembang dalam 1-24 jam), sub akut (1-7 hari), ataupun kronis (> 1 minggu). Infeksi
bakteri difus melibatkan leptomenings, struktur kortikal superfisial dan pembuluh darah.
Meskipun namanya meningitis, pada parenkim otak juga terjadi inflamasi, pembuluh
darah otak diinfiltrasi oleh sel-sel inflamatori dan dapat menyebabkan rusaknya sel,
stenosis pembuluh darah, iskemik sekunder dan infark.2
Secara patologis, proses peradangan melibatkan semua struktur intrakranial pada
derajat tertentu. Pada proses akut, inflamasi ini dapat mengakibatkan terjadinya edema
serebral atau mempengaruhi aliran cairan serebrospinal hingga terjadi hidrosefalus.8
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:
37
1. Lewat aliran darah (hematogen) yaitu penyebaran infeksi dari tempat lain, seperti:
faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi, ataupun terjadi secara
primer, misalnya primary pneumococcal meningitis, meningococcal meningitis.
2. Perluasan langsung dari infeksi (percontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi
dari daerah sekitarnya ( misal sinus paranasalis, mastoid, abses otak dan sinus
cavernosus).
3. Implantasi langsung pada trauma terbuka kepala ( biasanya fraktur basis kranii),
tindakan bedah otak dan lumbal punksi.
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi karena:
a. aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir
atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir,
b. Infeksi bakterial secara transplasental terutama listeria.
Gejala klinis
Lebih kurang 25% penderita dengan meningitis bakterial memberikan gejala-gejala
dalam waktu 24 jam setelah onset. Pada penderita yang lain, gejala neurologis dapat
timbul dalam waktu 1- 7 hari.
Pada bayi, gejala neonatal bacterial meningitis berupa: demam (low grade fever),
letargi atau penurunan kesadaran, nafsu makan menurun dan atau muntah-muntah, distres
nafas, apnea, cyanosis.
Pada anak, gejala yang dijumpai berupa: demam, sakit kepala, mual dan muntah, kaku
kuduk, penurunan kesadaran, kejang, cranial nerve palsy dan gangguan penglihatan.
Gejala sakit kepala sering diikuti dengan fotofobia, disebabkan inflamasi pada pembuluh
darah meningen dan sebagai hasil dari peninggian tekanan intrakranial. Kaku kuduk dan
rigiditas spinal disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis. Kelainan saraf
otak (cranial nerve palsy) disebabkan oleh inflamsi lokal pada perineum, juga karena
terganggunya suplai vaskuler ke saraf. Saraf-saraf kranial III,IV dan VI adalah yang
paling sering terkena. 30-40% kejang umum ataun parsial pada neonatus ataupun anak
dewasa muda sedangkan 20-30% pada dewasa. Tanda kejang fokal ini menandakan
terlibatnya serebral hemisfer oleh bakteri,sitokin atau lesi vaskuler.2,3,6,10
Diagnosa 2,6,8,9,16
1. Analisa cairan serebrospinal melalui lumbal punksi
Pada fase akut dijumpai sel-sel polimorfonuklear (90%), leukositosis > 1000
sampai 10.000 sel/ ul, glucose < 40 mg/dl, Rasio analisa cairan CSF dengan
glucose < 0,40 dan protein 50-500mg/dl.
2. Pemeriksaan antigen spesifik
- Coagglutination
- Latex agglutination
3. Pemeriksaan x-ray: skull, mastoid dan sinus paranasalis
4. Pemeriksaan neuroimaging
Pada fase akut meningitis bakterial, CT Scan dan MRI biasanya normal, atau
dapat menunjukkan enhancement pada meningen dan ependima dengan pelebaran
38
dari sisterna-sisterna pada basal otak dan sulkus-slkus pada korteks, akibat
pengumpalan eksudat purulen.
Pengobatan 2,3,5,9
1. Pemberian antibiotika spektrum luas
Setelah organisme spesifik berdasarkan umur ditemukan, pemberian antibiotika
dapat diganti dengan antibiotika yang sensitif. Durasi terapi tidak ditentukan
secara tegas dan disesuaikan dengan respon klinis terhadap pengobatan.
Meningitis yang disebabkan N. meningitidis dapat diberikan pengobatan selama
4 hari ( Crosswell et al. 2006 ), dan pada meningitis karena S.pneumoniae atau
H.influenzae, diberikan pengobatan selama 4-7 hari pada penelitian metaanalisis tidak lebih buruk hasilnya dibandingkan dengan pemberian selama 7-14
hari. (Karageorgopoulos et al.2009 ). Meningitis karena Enterobacteriaceae,
L.monocytogenes, bakteri lainnya atau organisme dengan sensitivitas rendah
terhadap antibiotik mungkin membutuhkan pengobatan yang lebih lama.
Tabel 3.Rekomendasi Terapi Empiris Antibiotik pada Meningitis Bakterial ( Swaimans
2012 )
Pasien dan
keadaan
dimodifikasi
Neonatus/ infant
<3 bulan
Preterm
Neonatus, BBLR
>3 tahun 50
tahun
Drug-resitance
Streptococcus
pneumoniae
Bedah sarah,
shunt LCS,
trauma kepala
Antibiotik
Dosis (IV)
Ampisilin +
cefotaxime atau
Gerntamicin
Vancomycin +
Ceftazidime
Ceftriaxone atau
Cefotaxime
Ceftriaxone+
Rifampisin atau
Vankomisin
2. Pemberian steroid
39
Streptococcus pneumoniae
Bakteri enterik gram negatif
Titer bakteri tinggi
Pasien
Bayi baru lahir
Penurunan daya tahan tubuh
Keparahan Advanced disease
penyakit Ditemukan neurologis fokal
Koma
Cardiovascular compromise
Tidak adanya demam
Lekosit pada LCS <1000x106/L
Manajemen
Membutuhkan intensive care
Terapi antibiotik inadekuat
Kurangnya terapi anti-inflmasi
Stadium
Pensterilan LCS yang terlambat
meningitis
Keparahan komplikasi
2. Meningitis Tuberkulosis
Definisi
40
42
Bentuk difus dari lesi ini dianggap sebagai meningitis tuberkulosis, biasanya
terlokalisir yang disertai perkejuan dari tuberkel didaerah korteks.
Gambaran Klinis
Beratnya klinis dari meningitis tuberkulosa dapat diklasifikasikan berdasarkan
British Medical Research Council yang terdiri dari 3 stage, yakni:14
Tabel 1.Stage klinis pasien dengan meningitis tuberkulosa. Dikutip dari: Singhi P, Singhi
S. Current Treatment Options in infectious Disease 2001.
Stage Klinis pasien dengan meningitis tuberkulosa
Stage I ( awal ) ( 1-2 minggu)
-Tanda dan gejala tidak spesifik ( demam,
malaise, nyeri kepala, iritabilitas )
-Tak ada penurunan kesadaran
-Tak ada defisit neurologi
Stage II ( lanjutan )
-Iritasi meningeal
-defisit neurologis minor ( kelumpuhan
nervur cranialis )
Stage III
-Pergerakan abnormal
-Konvulsi
-Stupor atau koma
-Defisit neurologis berat ( hemiplegia,
paraplegia, deserebrasi )
Menurut Misra UK (2001), gambaran klinis meningitis tuberkulosa dan anak-anak
dan dewasa dapat dilihat pada table 2.yakni:12
Tabel 2. Gambaran klinis pada Meningitis TB pada anak dan dewasa. Dikutip dari: Misra
UK (2001) Educational Course Literature. World Congress of Neurology XVII, London
Gambaran
Anak (%)
Dewasa (%)
Gejala
- Nyeri Kepala
20-50
50-60
- Mual, muntah
50-75
8-40
- Apatis, perubahan perilaku
30-70
30-70
- Kejang
10-20
0-13
- Riwayat TB sebelumnya
55
0-12
Tanda
-
Demam
Meningismus
Lumpuh saraf kranial
Koma
50-100
70-100
15-30
30-45
60-100
60-70
15-40
20-30
43
dapat berupa panas badan dan nyeri kepala lebih dari 14 hari, muntah, penurunan
kesadaran atau defisit neurologis fokal. Perubahan CSF berupa terdapatnya pleositosis
( jumlah sel >20, jumlah limfosit >60% ), peningkatan protein CSF >100 mg/dl,
penurunan kadar glukosa CSF <60% kadar glukosa darah, pemeriksaan tinta India dan
pemeriksaan mikroskopis untuk sel ganas negatif. Pemeriksaan neuroimaging
menunjukkan eksudat pada sisterna basalis atau hidrosefalus, infark pada ganglia basalis,
penyengatan/ enhancement pada girus, dan terbentuknya tuberkuloma.13
Pemeriksaan Penunjang
1. Analisa cairan serebrospinal;1,2,4,9,10,16,17
- Warna
: Jernih atau opalescent
- Tekanan : Tekanan CSS akan meningkat secara bermakna berkisar antara 40-75%
pada anak-anak dan 50% pada dewasa.
- Glukosa : Penurunan kadar glukosa dan peningkatan kadar protein. Dikatakan
kadar glukosa 30-45 mg/dl atau kurang dari 50% kadar glukosa darah,
dapat pula lebih rendah sampai kurang dari 10 mg/dl.
- Protein
: Akan meningkat mencapai 150-200mg%.
- Sel
: Pleositosis yang moderat karakteristik pada meningitis TB, pada 90100% kasus terdapat lebih dari 5 sel darah putih per mm3 cairan
serebrospinalis umunya mencapai 300/mm3.
- Mikroorganisme : 10-25% yang dapat menunjukkan preparat apus yang positif.
2. Laju Endap darah (LED) hanya menunjukkan sedikit peningkatan yakni 18-90
mm/jam, rata-rata 57 mm/jam.7-12
3. Pemeriksaan Radiologik
- Head CT scan: dapat menunjukkan gambaran isoatenuasi atau hiperatenuasi pada
sisterna basalis pada pemeriksaan tanpa zat kontras dan memberikan penyegatan yang
homogen setelah pemberian zat kontras. Head CT scan serial berguna untuk identifikasi
komplikasi yang baru terjadi seperti hidrosefalus, area kalsifikasi, ensefalomalasia,
osteitis tb dari kranium, dan osteomastoiditis tb.14,16
- MRI lebih sensitive daripada Head CT untuk mendeteksi adanya meningitis basal,
infark serebri, hidrosefalus dan tuberkuloma pada parenkim.17
4. Arteriografi dapat menunjukkan adanya arteritis pada sirkulus Willisi atau cabangcabangnya yang terlibat dalam proses meningitis basal. Pembuluh darah yang terkena
ditemukan adanya penyempitan dan oklusi ditandai dengan area yang irregular.12,13
5. Reaksi imunologis terhadap tuberculosis diperlihatkan oleh test kulit tuberculin ( Test
mantoux). Tuberkulin sendiri adalah material protein yang dibentuk oleh mikobakterium
tuberkulosa. Campuran protein ini dikenal sebagai PPD (Purified Protein Derivate). Test
mantoux umumnya positif, tetapi pada 25% kasus dapat memberikan reaksi negative,
terutama pada kasus lanjut, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid atau pada
keadaan umum yang buruk, keadaan malnutrisi, kelemahan umum dan imunospuresi oleh
penyakit sistemik yang berat.10,12
Pengobatan
44
Obat
INH
Rifampisisn
Pirazinamid
Streptomisin
Prednison
Dosis harian
( mg/kgBB/hari )
10
5
15 40
15 40
12
Lama pengobatan
12 bulan
12 bulan
2 bulan
1 3 bulan
4 8 minggu, tap off 2 4 minggu
ENSEFALITIS
Ensefalitis adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat pada parenkim otak.
Beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan ensefalitis pada anak yang terbanyak
adalah Herpes simpleks, arbovirus, Eastern dan western Equine St Louis encephalitis.
Penyebab yang jarang adalah Enterovirus (coxsackie dan echovirus), parotitis,
adenovirus, Lassa virus, rabies, cytomegalovirus. Enampuluh persen penyebab ensefalitis
tidak diketahui, dari penyebab yang diketahui tersebut kira-kira 67% berhubungan
dengan penyakit infeksi pada anak seperti parotitis, varisela, morbili dan rubela, 20%
adalah dari kelompok arbovirus dan Herpes simplex, 5% dari kelompok Enterovirus,
sisanya dari agent lainnya.5-7
ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS
Definisi
Merupakan infeksi pada parenkhim otak yang ditandai dengan demam, kejang,
perubahan kesadaran serta defisit neurologi fokal, sering berakibat fatal yang disebabkan
oleh virus herpes simpleks.1,2
Epidemiologi 1,2,5,6
Herpes simpleks merupakan salah satu penyebab dari penyakit ensefalitis akut.
Biasanya merupakan penyebab nonepidemik, sporadic ensefalitis fokal akut. Sekitar 200
kasus terjadi setiap tahun di USA dan ditaksir 10% dari semua kasus ensefalitis
disebabkan virus herpes simplek, 30-70% dari kasus ini adalah fatal. Mayoritas dari
penderita yang hidup setelah pengobatan akan mendapatkan gangguan neurologis.
Virus ini mengenai semua umur dan segala jenis suku bangsa. Penyebab tersering
dari HSV ensefalitis adalah HSV tipe 1 yang juga merupakan kausa dari lesi herpes pada
mukosa mulut. HSV tipe 2 bisa juga mengakibatkan akut ensefalitis umumnya terjadi
pada masa neonatus dan punya hubungan dengan terjadinya infeksi virus herpes pada
genitalia ibu.
Ensefalitis herpes simplek ini kira-kira 20% terjadi pada usia dibawah 20 tahun dan
setengahnya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.
Patogenesis dan Patologi 1,2
Infeksi herpes simplek merupakan infeksi primer yang masuk melalui mukosa
membrane pada manusia. Pada anak-anak infeksi ini kebanyakan asymptomatic
sedangkan pada orang dewasa ditandai dengan terjadinya gingivostomatitis, keratitis atau
45
dijumpai herpes genitalia yang biasanya berat, nyeri disertai manifestasi sistemik. Virus
ini mengadakan replikasi pada pintu masuk kemudian bergerak ke ganglia sensorik,
kemudian menyebar secara intra axonal.
Virus akan terus berada di neuron sensorik terutama pada ganglia tregiminal, saraf
simpatik servikal atas, ganglia vagus jugularis dan ganglia sacralis. Keberadaan di otak
akan terlihat pada system olfaktorius dan nucleus trigeminus di mesensefalon.
Di otak akan dijumpai adanya edema, nekrosis, perubahan mikroskopis, infiltrate
parenkim yang terdiri dari dari limfosit T (T4, T8), macrophage dan granulosit.
Ensefalitis ini lokasinya khas yaitu pada bagian tengah lobus temporalis dan
bagian orbital dari lobus frontalis, jarang terjadi pada batang otak. Lesi cenderung
menyebar disepenjang girus cingulus dan kadang-kadang pada bagian lateral lobus
temporalis biasanya bilateral tetapi tidak simetris.
Adanya infeksi pada hidung dan traktus olfaktorius akan mengaktifkan virus yang
terdapat pada ganglia trigeminus.
Kriteria Diagnosis 1,2,10
Klinis
Gejala akut, nyeri kepala, panas badan, kejang, penurunan kesadaran, defisit neurologis
fokal, gangguan tingkah laku.
Laboratorium
Pemeriksaan lumbal pungsi: warna jernih, kadang-kadang kemerahan, sel normal atau
sedikit meningkat, Pleositosis( range 10-500 sel per mm3), protein sedikit meningkat
( 60-150 mg/dl), glukosa normal (40 mg/dl)..
Radiologi
MRI terdapat kelainan di lobus temporal. MRI punya sensitivitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT pada kasus ensefalitis. MRI pada fase akut memperlihatkan
penambahan lobus temporalis dan frontalis yang dikelilingi edema dengan gambaran
hipointense pada T1 weighted dan fiperintense pada T2 weighted. Pada stadium kronik
MRI akan memperlihatkan hilangnya substansi, nekrosis otak, pelebaran dari sulkus dan
dilatasi ventrikel.
EEG
Sering memperlihatkan gambaran periodik voltage tinggi 2-3 Hz gelombang spike dan
sharp pada lobus temporalis.
46
47
Hill.1999.
SSPE ( Subacute Sclerosis Panencephalitis )
Pendahuluan
SSPE, penyakit yang sering terjadi pada anak-anak adalah infeksi virus lambat dari
sistem susunan saraf pusat yang berhubungan dengan infeksi campak (measles).
(www.medscape.com)
SSPE, keadaan yang terbilang jarang pada wilayah yang mempunyai programimunisasi
campak, mulai 5-10 tahun setelah infeksi campak dan biasanya mengenai anak-anak
usia rata-rata 7 tahun. Gangguan ini menimbulkan perjalanan gejala yang khas, dimulai
dengan penurunan kognisi dan perilaku yang tersembunyi dan membahayakan yang
mirip dengan gangguan psikiatri. Myoklonus, gejala yang menonjol pada fase lanjutan
SSPE, termasuk ekstremitas, trunkus, atau kepala, dan kejang fokal atau umum yang
timbul bersamaan. Dengan berlanjutnya gangguan, kemampuan bicara dan intelektual
juga memburuk; myoklonus semakin hebat dan kelainan neurologis lainnya seperti
koreoar=tetosis, bradikinesia atau rigiditas, muncul. Rangkainan gangguan ini diakhiri
dengan debilitas, koma, dan kematin. Sekitar setengah dari pasien mengalami
korioretinitis dan kerusakan penglihatan; hanya sedikit kasus yang terjadi pada orang
dewasa, atau memiliki gejala yang atipikal dengan perburukan cepat dan meninggal.
( swaimans 2012)
Patogenesis
Perjalanan penyakit dari SSPE walau masih tidak jelas, menggambarkan replikasi yang
buruk dari virus measles di jaringan saraf. ( swaimans 2012)
Pemeriksaan Penunjang
- Pasien dengan SSPE memiliki tingkat imunoglobulin LCS yang tinggi, ikatan
oligoclonal dan meningkat nilai sintesis IgG, menunjukkan produksi masif dari measlesspecific IgG. Peningkatan titer IgG dari measles-specific IgG menyebabkan
pengambilan diagnosis SSPE dan RNA virus measles dapat dideteksi di LCS atau
plasma dengan reverse transcription PCR. ( swaimans 2012)
- EEG : sangat spesifik dan ditandai dengan kompleks periodik amplitudo tinggi yang
bilateral, bianya sinkron dan simetris. Sangat khusus dan terdiri dari dua atau lebih
gelombang delta dengan atau tanpa gabungan dengan komponen gelombang tajam.
Kompleks periodik berulang dengan reguralitas sedang setaip 4 10 detik dan terdapat
hubungan 1 : 1 dari kompleks periodik EEG dengan sentakan myoklonik saat muncul.
Pada stadium awal penyakit, kompleks periodik dapat ditemukan iregular dan interval
panjang dimana tidur dapat mengaktifkan. Perekaman saat tidur direkomendasikan pada
kasus tersangka SSPE dimana pemeriksaan saat tidak tidur tidak ditemukan kompleks
periodik. Pada stadium awal juga terdapat kompleks periodik yang berhunungan dengan
sentakan myoklonik asimetris kontralateral dengan kompleks periodik. Pada stadium
penyakit selanjutnya, kompleks periodik dapat simetris bilateral dan sinkron. (Semin
49
CMV: 90% bayi baru lahir dengan infeksi CMV tidak menampakkan gejala pada saat
lahir. Bayi dengan infeksi CMV simtomatis menunjukkan retardasi perkembangan intrauterin, jaundice, hepatosplenomegali, mikrosefali, korioretinitis, dan ptekiae atau
purpura.
Rubella: katarak, retinopati, mikro-oftalmia, mikrosefali atau hilang pendengangaran tipe
sensorineural, meningoensefalitis, osteopati, pneumonitis, hepatitis, hepatosplenomegali,
trombositopenia, jaundice, miokarditis, patent ductus arteriosus, stenosis katup,
ventricular atau atrial septal defect
HSV: lesi pada kulit, korioretinitis atau katarak, mikroftalmia, mikrosefali atau
hidranensefali dan sangat menyerupai neonatus dengan fetal varicella syndrome.
VZV: bayi dengan fetal varicella syndrome menunjukkan lesi di kulit, korioretinitis,
mikroftalmia, katarak, paralisis, mikrosefali, hidrosefalus, hipoplasia tungkai, Sindrom
Horner kongenital. Sikatriks menjadi tanda khas yaitu jaringan parut dan pembentukan
kulit baru yang sesuai denagn distribusi dermatom.
Lymphotic choriomeningitis virus (LCM): korioretinopati, makrosefali, mikrosefali, lesi
kulit bulosa atau vaskular.
Arbovirus (VEE dan WNV): bayi dengan infeksi Arbovirus dapat mengalami lahir mati
atau bila bertahan menjadi mikrosefali, mikroftalmia, hidranensefali, atau lesi hemoragik
dari susunan saraf pusat. Keturunan dari wanita dengan WNV selama kehamilan dapat
terkena korioretinitis dan ensefalomalasia kistik.
Parvovirus B19: aplasia sel darah merah, anemia, gagal jantung. Infeksi berat dpat
mengakibatkan hydrops fetalis yang menyebabkan hipoperfusi serebral dan sekuele SSP )
T. gondii : jaundice, splenomegali, hepatomegali, demam, anemia, korioretinitis,
hidrosefalus atau mikrosefali dan petekiae, tombositopenia sekunder.
T. cruzi : bayi dengan Chagas disease kongenital meunjukkan hepatosplenomegali,
jaundice, anemia, respiratory distress, kejang, bony lesions yang mirip dengan sifilis
kongenital atau CRS.
Tabel 1.Manifestasi Klinis sesuai organisme penyebab
Organisme
Manifestasi Klinis
Cytomegalovirus
Hepatosplenomegali, jaundice, petechial
rash,
mikrosefali,
korioretinitis,
sensorineural hearing loss
Rubella
Hepatosplenomegali, jaundice, petechial
rash,
mikrosefali,
osteopati,
koreoretinopati, katarak, sensorineural
hearing loss
Herpes Simplex Viruses
Mikrosefali, katarak, vesicular skin rash,
cystic encephalomalacia, mikroftalmia
Varicella zoster virus
Hidranensefali, katarak, mikroftalmia,
sikatriks, hipoplasia tungkai, congenital
51
Horner syndrome
Hidrosefalus, mikrosefali, korioretinitis
Korioretinitis,
hidranensefali,
cystic
encephalomalacia
Hepatosplenomegali,
jaundice,
hidrosefalus, korioretinitis
Hepatosplenomegali, jaundice, kejang,
osteopati
Fase Awal : intrauterine growth retardation,
rash,
hepatosplenomegali,
jaundice,
limfadenopati,
pseudoparalisis,
osteokondritis.
Fase Lanjut : tuli sensorineural,
abnormalitas gigi, saddle nose, saber shins,
hidrosefalus
LCMa virus
Arbovirus
Toxoplasma gondii
Trypanosoma cruzi
Trepanoma pallidum
Diagnosis
Infeksi kongenital harus dicurigai pada bayi baru lahir dengan jaundice,
hepatosplenomegali, rash, kejang, makrosefali, mikrosefali, korioretinitis atau katarak.
Pada gejala khusus seperti ukuran kepala besar saat lahir, lesi pada kulit, dan adanya
penyakit jantung kongenital.
Bagan 1. Diagnosis infeksi kongenital
Bayi baru lahir dengan suspek infeksi kongenital
Makrosefali
Yes
No
Kultur
urine
Positif
Negatif
Negatif
Positif
52
Bayi
Bayi dengan
Toksoplasmosis Kongenital
CMV Kongenital
dengan
Infeksi
Hasil pemeriksaan
Virus LCM
Positif
Bayi dengan
infeksi kongenital virus LCM
Toksoplasmosis Kongenital
Negatif
Hasil pemeriksaan
T. gondii
Negatif
Positif
Bayi dengan
-Mikrobiologi : mendeteksi virus pada saliva dan urin yang diambil sampelnya pada usia
3 minggu pertama bayi dengan infeksi CMV intra uterin. Ineksi CRS dengan mendeteksi
virus pada cairan tubuh ( sekret nasal, urin, LCS) rubella ditemukan IgM spesifik virus
pada serum.
Terapi
-CMV : ganciclovir dosis 8 atau 12 mg/kgBB/hari intravena selama 6 minggu.
Congenital rubella syndrome : karena tidak dapat diberikan terapi antiviral, maka diberi
vaksinasi saat usia 12-15 bulan dan usia sekolah 4-6 tahun.
-HSV : acyclovir 60mg/kgBB/day iv dibagi dalam 3 dosis selama 21 hari.
-VZV : acyclovir 60mg/kgBB/hari iv dibagi dalam 3 dosis selama 7-14 hari.belum ada
terapi efektif dengan sindrom varicella kongenital karena dengan pemberian acyclovir
memberikan efek samping pada perkembangan otak seperti cerebral palsy, keterlambatan
perkembangan, hilang penglihatan, epilepsi.
-LCM, Arbovirus, Parvovirus B19 : Belum ada terapi efektif.
-Toksoplasmosis kongenital : pirimetamin 1mg/kgBB/hari per oral setiap 2-3 hari serta
sulfadiazin 100-200mg/kgBB/hari per poral setiap hari, Asam folat 5-10mg 3 kali dalam
seminggu diberikan bersamaan. Terapi agresif dan bedah saraf juga dapat mengurangi
kemungkinan sekuele perkembangan saraf pada infeksi toksoplasmosis intra-uterin. Pada
salah satu penelitian, 79% bayi yang mengalami perkembangan mental dalam batas
normal dan anak dengan hidrosefalus bereaksi baik pada pemasangan shunt.
-Trypanosoma cruzi : Nifurtimox atau benznidazole 7 mg / kgBB selama 60 hari
-Treponema pallidum : penisilin G 50.000 U/kg iv setiap 12 jam saat minggu pertama
kehidupan kemudian setiap 8 jam, setelahnya dengan total 10 hari. Pilihan lain penisilin
prokain G im dengan dosis 50.000 U/kg sekali sehari selama 10 hari.
Daftar Pustaka
Singer H S, Kossoff E H, et all. Treatment of Pediatric Neurologic Disorders.
Congenital Infectious and the Nervous System. Pg 279-86. 2005.
54
Sumber infeksi bisa berasal dari infeksi pada struktur yang berdekatan (seperti
pada otitis media kronik, infeksi gigi, mastoiditis atau sinusitis), secara sekunder akibat
perluasan hematogen dari tempat yang jauh (terutama pada pasien dengan penyakit
jantung kongenital sianotik), paska trauma, operasi tengkorak atau paska meningitis
(jarang).3,5,6 Berdasarkan lokasi abses di otak dapat diperkirakan kemungkinan lokasi lesi
primer, misalnya infeksi telinga tengah menyebabkan lesi di fossa kranii media dan
posterior, penyakit jantung kongenital dengan pirau dari kanan ke kiri sering
menyebabkan abses pada area distribusi arteri serebri media, dan infeksi sinus frontalis
dan ethmoidalis biasanya di sinus-sinus subdural. 7 Otitis media kronik dan mastoiditis
umumnya meluas ke lobus temporalis inferior dan serebellum. Infeksi sinus frontal atau
ethmoid dan infeksi gigi ke lobus frontalis. 3 Sedikitnya 15% kasus tidak diketahui sumber
infeksinya (Cyptogenic).3,4,7 Computerized tomography (CT) dan magnetic resonance
imaging (MRI) scan merupakan alat pemeriksaan penting yang mampu mendiagnosa
infeksi secara akurat.1-8
Hal yang sangat penting dalam penanganan abses otak adalah pemilihan
antimikroba yang tepat, sesuai dan mempunyai daya penetrasi yang baik ke otak. Abses
otak terutama pada fase serebritis dini dapat berespon terhadap terapi antimikroba tanpa
memerlukan drainase bedah. Dengan adanya antimikroba dan meningkatnya ketersediaan
imaging saat ini, angka kematian akibat abses otak telah menurun hingga < 5-15%.
Tingginya angka kematian (hingga > 80%) erat kaitannya dengan rupturnya abses.3
Definisi
Abses otak adalah terdapatnya timbunan nanah yang terlokalisasi dalam jaringan
otak, baik itu disertai pembentukan kapsul ataupun tidak.1
Epidemiologi
Insidens suatu abses diperkirakan berkisar antara 0,3 1,3 per 100.000
penduduk pertahun. Lebih sering mengenai laki-laki dari pada wanita dengan
perbandingan 3:1. Dapat terjadi sepanjang masa usia anak tetapi paling sering pada
usia 4 8 tahun. Lebih kurang 80% abses berlokasi di hemisfer serebri baik di lobus
frontal, parietal dan temporal dan sisanya 20% kasus di lobus occipital, serebellum
dan batang otak. Umumnya tunggal tetapi 30% multiple dan melibatkan lebih dari satu
lobus otak.5
Di USA, sebelum munculnya pandemik AIDS diperkirakan jumlah kasus 1
dalam 10.000 pasien yang datang ke rumah sakit, atau 1500 2500 kasus setiap
tahunnya. Prevalensinya pada pasien AIDS lebih tinggi, sehingga angka rata-rata
secara keseluruhan menjadi meningkat. Frekuensi abses yang disebabkan oleh jamur
telah meningkat akibat seringnya penggunaan antimikroba berspektrum luas, obat-obat
immunosupressif dan kortikosteroid.6,7
Dengan diperkenalkannya antimikroba dan ketersediaan studi imejing seperti CT
scan dan MRI, angka kematian telah menurun hingga kurang dari 5-15%. Rupturnya
abses menyebabkan meningkatnya angka kematian higga 80%. Sekuele pada pasien
55
yang selamat bervariasi dari 20-70% tergantung pada seberapa cepat diagnose
ditegakkan dan pemberian antibiotika.3,5
Sutomenggolo dkk selama tahun 1986 1989 telah merawat sejumlah 20
pasien anak berusia antara 1- 12 tahun di RSCM, dan sejumlah 45 pasien berusia 0 10
tahun di RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode 1989 1994 di mana dilaporkan
sebanyak 24% meninggal dan 58% menderita gejala sisa. Ditemukan insidens yang
lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita (3 : 1). 1
Etiologi
Organisme penyebab yang paling sering sesuai dengan urutan frekuensinya adalah
streptokokus anaerobik dan mikroaerophilik, Fusobacterium spesies, streptokokus
betahemolitikus, staphilokokus aureus dan pneumokokus. Aktinomises (Gram positif),
Bakterioides dan Gram negatif bentuk batang lainnnya terutama spesies Haemophilus
kelihatannya lebih jarang. Meskipun lebih jarang, Aspergillus dan Nocardia atau protozoa
seperti Toxoplasma menimbulkan abses pada host nonimmunocompromised.3
Keadaan tertentu yang dihubungkan dengan organisme penyebab abses otak antara
lain:3
Infeksi sinus dan gigi : Streptokokus aerobik dan anaerobik, basil gram negatif
anaerobik (seperti Prevotella, Porphyromonas, Bakterioides), Fusobakterium,
Stapilokokus aureus, Enterobakteriaseae.
Infeksi pulmoner : Streptokokus aerobik dan anaerobic, basil gram negatif
anaerobik (seperti Prevotella, Porphyromonas, Bakterioides), Fusobakterium,
Aktinomises, Nokardia.
Penyakit Jantung Kongenital : Streptokokus aerobik dan mikroaeropilik,
Stapilokokus aureus.
Trauma tembus : Stapilokokus aureus, Streptokokus aerobik, Enterobakteriaseae,
klostridium.
Transplantasi : basil gram negatif aerobik, Aspergillus, Kandida, Mucorales.
Infeksi HIV : T. Gondii, Mycobacterium, Cryptococcus, Nokardia, Listeria
monocytogenes.
Patogenesis 2
Dalam kejadian abses otak selalu dijumpai adanya keadaan patologik di tempat
yang berdekatan ataupun di tempat jauh. Menurut pengalaman Ersahin dkk, tahun
1944 (cit. Maria BL), abses yang disebabkan oleh meningitis terjadi pada 36% kasus,
otitis 27%, trauma kepala 16% dan penyakit jantung kongenital 9%. Abses multiple
terjadi pada 29% anak-anak. Hasil studi Childrens Hospital Boston melaporkan bahwa
penyakit jantung kongenital merupakan faktor predisposisi yang paling sering antara
tahun 1981 2000 dan tahun 1945-1980(cit. Maria BL). Paling sedikit sedikitnya 15%
kasus abses serebri tidak diketahui sumber infeksinya (cryptogenic).
Patofisiologi
56
Abses otak sering terjadi bila bakteri atau jamur menginfeksi bagian dari otak,
dan sebagai respon terjadilah inflamasi. Sel-sel otak yang terinfeksi, sel-sel darah putih
dan mikroorganisme yang hidup maupun yang sudah mati berkumpul dalam suatu area
yang terbatas di otak. Area ini menjadi tertutup oleh suatu membran yang terbentuk
disekelilingnya dan membentuk suatu massa. Adakalanya respon immun ini dapat
melindungi otak dengan cara mengisolasi infeksi, namun dapat juga lebih merugikan.
Otak membengkak oleh karena inflamasi, dan massa dapat menekan jaringan otak
yang lembut. Material yang terinfeksi dapat memblok pembuluh darah otak untuk
selanjutnya merusak jaringan otak yang menyebabkan kematian sel dan menambah sel
yang mengalami pembengkakan. Multipel abses jarang terjadi kecuali pada pasienpasien immunocompromised.
Infeksi dapat memasuki kompartemen intrakranial melalui 3 cara yakni: 3
1. Contiguous Suppurative Focus (45-50% kasus)
Perluasan langsung dapat terjadi melalui area nekrotik dari osteomielitis di dinding
posterior sinus frontalis, sinus spenoidalis dan ethmoidalis. Perluasan langsung ini
lebih sering berhubungan dengan infeksi otitis kronik dan mastoiditis dibandingkan
dengan sinusitis. Infeksi gigi dapat meluas ke ruang intrakranial melalui perluasan
langsung atau secara hematogen. Otitis media kronik dan mastoiditis umumnya meluas
ke lobus temporalis inferior dan serebellum, infeksi sinus frontal atau ethmoid dan
infeksi gigi ke lobus frontalis.
2.Trauma (10%kasus)
Trauma yang menyebabkan fraktur tengkorak terbuka memungkinkan organisme
memasuki otak secara langsung. Abses otak dapat juga terjadi sebagai komplikasi operasi
intracranial, benda asing, peluru dan serpihannya.
3. Perluasan hematogen dari infeksi fokal di tempat jauh . (25% kasus)
Perluasan dengan cara ini umumnya lebih sering multiple dan multilokulated dan
sering dijumpai pada area distribusi dari arteri serebri media. Sumber infeksi yang
sering antara lain berhubungan dengan penyakit jantung sianotik, endokarditis, infeksi
paru (misalnya abses, empyema, bronkiektasis), infeksi kulit, infeksi abdomen dan
pelvis, neutropenia, transplantasi, dilatasi esophageal, penggunaan obat secara injeksi
dan infeksi HIV.
Patologi
Secara histologi terjadinya abses dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu: 8
1.Stadium Serebritis Dini (The Early Cerebritis Stage)
Serebritis berarti inflamasi dari serebrum sebagai akibat dari infeksi permulaan dari
pembentukan abses otak. Terjadi infeksi dari parenkim otak dengan edema white
matter di sekelilingnya. Secara patologi terlihat suatu massa tidak berkapsul dengan
kongesti pembuluh darah, ptechial hemorrhage, dan edema. Dijumpai fokus nekrotik
yang tersebar (scattered necrotic foci) dengan microscopic petechial haemorrhages,
namun tidak dijumpai adanya jaringan otak yang besar. Stadium ini terjadi pada hari
pertama sampai ke tiga.
57
fontanel bisa muncul pada bayi. Sesuai dengan progresifitas perkembangan abses yakni
akibat proses inflamasi, gejala-gejala neurologik yang pada awalnya minimal atau tidak
ada sama sekali mulai muncul seperti muntah, nyeri kepala hebat, kejang, papiledema,
deficit neurologis fokal (hemiparese), bahkan koma bisa terjadi.3,5 Pada kira-kira dua per
tiga kasus, gejala-gejala muncul dalam 2 minggu atau kurang. Rentang perjalanan klinik
mulai dari perjalanan lambat hingga fulminan.3
Gejala yang muncul terjadi akibat ukuran dan lokasi lesi yang menimbulkan desak
ruang. Kurang dari 50% pasien muncul triad gejala yakni demam, nyeri kepala dan
defisit neurologik fokal. Gejala dan tanda yang sering muncul antara lain nyeri kepala
(70%), perubahan status mental (65%), defisit neurologik fokal (65%), demam 50%,
seizure (25-35%), nausea dan muntah (40%), kaku kuduk (25%) dan papil edema
(25%). Perburukan nyeri kepala yang tiba-tiba diikuti dengan tanda meningismus
sering dihubungkan dengan rupturnya abses.3
Tanda neurologik fokal sebagai akibat gangguan fungsi langsung dari abses sesuai
dengan lokasinya di otak antara lain:3
Abses Serebellar : Nystagmus, ataksia, muntah, dan dismetria.
Abses Batang Otak : Facial weakness, nyeri kepala, demam, muntah, disphagia,
dan hemiparesis.
Abses Frontal : Nyeri kepala, Inattensi, drowsiness, perubahan status mental,
motor speech disorder, dan hemiparese unilateral.
Abses Lobus Temporalis : nyeri kepala, afasia ipsilateral (bila di hemisfer
dominan), dan gangguan visus.
Diagnosis
Laboratorium : Jumlah leukosit darah tepi bisa normal atau meningkat. : Pada dua
pertiga kasus dijumpai peningkatan sedimentasi eritrosit. Kadar natrium serum
dapat menurun sebagai akibat produksi Antidiuretik hormon yang tidak sesuai.
Jumlah platelet dapat tinggi atau rendah. Lebih kurang 10% kasus dilaporkan
kultur darah positif.
Pemeriksaan CSF menunjukkan hasil yang bervariasi, leukosit dan protein bisa
sedikit meningkat atau normal. Kadar glukosa sedikit rendah dan kultur CSF
jarang positif. Bila terjadi ruptur ruptur abses ke dalam cairan serebrospinal,
jumlah leukosit umumnya meningkat hingga 100.000/ul atau lebih. Banyak sel
eritrosit umumnya ditemukan pada saat itu, dan kadar asam laktat cairan
serebrospinal meningkat > 500 mg. Namun karena hasil pemeriksaan CSF tidak
terlalu bermanfaat dan prosedur Lumbal Punksi dapat mengakibatkan herniasi
tonsil serebellar maka prosedur ini tidak dilakukan pada anak yang diduga
mengalami suatu abses di otak.
59
Studi imejing
Pemeriksaan CT scan (sebaiknya dengan kontras) merupakan pemeriksaan utama
dalam menegakkan diagnosa dan follow-up perawatan untuk memonitor perbaikan
setelah pengobatan. Pada fase permulaan inflamasi (yang dikenal sebagai
cerebriris), lesi immature tidak mempunyai kapsul dan sulit membedakannya dari
space-occupying lesion atau infark di otak. Dalam 4-5 hari inflamasi dan jaringan
otak yang telah rusak dikelilingi oleh kapsul, di mana setelah penyuntikan zat
kontras, CT scan secara khas menunjukkan rongga abses sebagai suatu sentral
yang hypodense dengan ring enhancement. 3,5
Kebanyakan peneliti menganggap MRI sebagai suatu metode diagnostik yang
utama dalam mendiagnosa abses otak, karena dapat menegakkan diagnosa lebih
akurat dan follow-up lesi dengan sangat baikdi mana sensitivitas dan
spesifisitasnya lebih tinggi. Contrast enhancement dengan gadolinium
diethylenetriaminepentaacetic acid membantu membedakan abses, ring
enhancement dan edema serebri disekelilingnya. Pada T1-weighted kapsul abses
enhance dan pada T2-weighted dapat menunjukkan zona yang edema disekeliling
abses.
Dengan adanya CT scan dan MRI angka kematian telah menurun hingga 90%.
Gambar 1 : Abses otak
60
61
62
Bila hasil kultur dan sensitivitas sudah diperoleh maka jenis antibiotic selanjutnya harus
disesuaikan.5,10
Pada fase cerebritis dini atau kasus dengan abses multiple dapat berespon
terhadap antibiotik saja tanpa memerlukan operasi.2 Alasan pemilihan Meropenem
sebagai monoterapi adalah karena memberi hasil yang baik terhadap basil gram negatif,
anaerob, staphylokokus, dan streptokokus, termasuk pneumokokkus yang resisten
antibiotik.5
Terapi empirik antimikroba harus didasarkan pada agen penyebab menurut
predisposisi yang paling mungkin, sumber infeksi primer dan perkiraan patogenesis
pembentukan abses. Lama pemberian antibiotik tergantung jenis organisme dan respon
pengobatan, biasanya 4 6 minggu.5
Begitu hasil kultur diperoleh dan organisme diisolasi, terapi empirik diberikan untuk
pengobatan bakteri secara spesifik antara lain:3
o Untuk streptokokus : Pnc G dosis tinggi atau sepalosforin generasi ke tiga
(misalnya cefotaksim, seftriakson). Untuk mencakup kuman anerob yang
resisten penisillin (seperti basil gram negatif) ditambahkan metronidazole.
o Bila curiga disebabkan oleh S. aureus (setelah neurosurgery atau trauma) dapat
diberikan Nafcillin atau vankomisin (bila resisten terhadap metisillin atau alergi
penicillin)
o Untuk Pseudomonas aeruginosa : Cefepim atau ceftazidim
o Pasien dengan infeksi HIV mungkin membutuhkan terapi untuk Toxoplasmosis.
o Antibiotik spesifik:
o Penisillin mampu menembus ke dalam rongga abses secara baik dan aktif
melawan organisme anaerob maupun aerob yang menghasilkan non
betalactamase.
o Klorampenikol mampu menembus ke dalam ruang intrakranial dengan
baik dan juga aktif terhadap spesies Haemophilus, S pneumoniae, dan
organisme anaerob. Namun penggunaan di kebanyakan senter di USA
telah berkurang secara dramatis oleh karena efikasinya dan efek obat
antimikroba kombinasi yang kurang toksik (seperti sefotaksim ditambah
metronidazol).
o Metronidazol menembus ke dalam susunan saraf pusat dengan baik dan
tidak dipengaruhi oleh terapi steroid secara bersama-sama, namun hanya
aktif terhadap bakteri anaerob sedangkan terhadap kuman anaerob gram
positif bentuk kokus kurang optimal.
o Sefalosporin generasi ke tiga (seperti sefotaksim, seftriakson) umumnya
adekuat terhadap organisme aerobik gram negatif. Untuk Pseudomonas
dipilih sefalosporin baik ceftazidim maupun cefepim.
o Aminoglikosida kurang mampu menembus ke dalam SSP dan relatif
kurang aktif oleh karena kondisi abses yang anaerob dan bersifat asam.
63
64
65
Tidak
-
66
Ya
Tidak
Operasi untuk
evakuasi dan
kultur
Diagnosis
belum pasti?
Operasi ( kraniotomi
atau biopsi stereotaktik
untuk biopsi/kultur)
Terapi
medikamentosa
Ya
Operasi, evakuasi
lesi refrakter
Tidak
Lanjutkan pengobatan,
serial imaging
Terapi Medikamentosa : 3
Contoh Obat dan Dosis (Itzhak Brook internet). :
- Ampicillin (Marcillin, Omnipen) : 300-400 mg/kg/hari IV
- Cefotaxime (Claforan) : 200 mg/kg/hari IV
- Ceftriaxone (Rocephin) : 100 mg/kg/hari IV dalam dosis terbagi setiap 4-6jam
- Ceftazidime (Fortaz, Ceptaz, Tazidime) : 50 mg/kg / 8 jamIV
- Chloramphenicol (Chloromycetin) : 80-100 mg/kg/hari IV
- Imipenem + cilastatin (Primaxin) : - <12 tahun : Not established
- >12 tahun: 15-25 mg/kg/hari IV
N dekompensasi neurologik
- Meropenem (Merrem) :
67
- Preterm:
http://www.emedicine.com.
8.Pascua,LU. Fever and Lethargy in an Infant Radiology cases in Pediatric Emergency
Medicine.Vol 5.
Dikutip dari : Brain Abscess Treatment Aprroach. From the collection of Water Hall,
SUNY Upstate Medical University. Available from : URL: HYPERLINK
https://online.epocrates.com
INFEKSI HIV PADA ANAK
Pendahuluan
Data WHO menunjukkan sekitar 7500 orang ( 100 diantaranya anak-anak) terinfeksi
HIV-1 setiap harinya sesuai dengan kisaran 3 juta orang terinfeksi HIV-1 dalam tahun
2007. Lebih dari 20 juta bayi, anak, dan dewasa telah meninggal sejak kasus AIDS
ditemukan pertama kali pada tahun 1981. Kini sekitar 90 persen infeksi baru HIV-1
terjadi pada penduduk Asia dan Afrika dan jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS
di seluruh dunia masih sangat besar, sekitar 33 juta pada tahun 2007.
Bayi yang terineksi HIV-1 secara vertikal dapat simtomatis setelah 3 bulan awal
masa kehidupan, manifestasinya berupa hepatomegali, limfadenopati, gagal tumbuh,
pneumonitis interstisial, infeksi oportunistik ( terutama Pneumocystis jiroveci dulunya
Pneumocytis carinii atau cytomegalovirus) atau penyakit saraf lainnya. Pada beberapa
anak, infeksi HIV-1 dapat tetap dorman, dan 10 tahun atau lebih dapat relaps sebelum
gejala infeksi HIV-1 muncul.
Diagnosis
Menurut American Academy of Pediatrics, 2008, transfer pasif melalui antibodi ibu
menyulitkan deteksi infeksi HIV-1 pada 18 bulan pertama setelah anak lahir dan 30
persen atau lebih anak yang terpapar virus tidak terdeksi virus dalam serumnya. Maka
pemeriksaan PCR untuk mendeteksi DNA atau RNA HI-1 menjadi penting. Infeksi
HIV-1 pada bayi yang terpapar ( sebagai contoh, bayi dengan antibodi positif sesaat
setelah lahir tau bayi yang lahir dari seorang ibu yang positif HIV-1) dapat diperiksa
dengan PCR serial dengan tes pertama segera setelah kelahiran, tes kedua dilakukan saat
usia 1 atau 2 bulan, tes ketiga antara usia 3-6 tahun. Bila dua sampel positif HIV-1,
maka bayi dinggap terinfeksi, sedangkan dua hasil tes negatif menyatakan tidak
terinfeksi.
Pemeriksaan enzyme linked immunosorbent dan Western blot dilakukan pada anak
dan remaja. Pencatatan PCR transkiptase terbalik dari banyaknya virus sebagai
pedoman pemberian terapi pada bayi, anak dan remaja yang terinfeksi.
LCS biasanya normal walau EEG dapat menunjukkan perlambatan difus. Pada
neuro imaging, menunjukkan atrofi korteks pada infeksi vertikal maupun horizontal.
Kalsifikasi pada basal gangglia atau substansia alba frontal. Paling banyak pada MRI
dengan infeksi HIV vertickal. CT scan, MRI dan LCS atau darah dapat menunjukkan
infeksi sekunder dan komplikasi neoplastik.
Tatalaksana
69
Kombinasi terapi antiretroviral dan terapi tambahan untuk komplikasi infeksi atau
neoplastik pada AIDS telah meningkatkan angka pasien dengan HIV-1 yang selamat.
Rata-rata waktu kelangsungan hidup pada anak yang di terapi dapat melebihi 10 tahun,
dimana jauh lebih baik dari anak dengan infeksi HIV-1 yang diberikan terapi pada tahun
1990-an, resiko kematian menurun dengan signifikan. Walau tingkat kematian pasien
AIDS di amerika serikar sangat kecil, namun tetap menjadi tantangan untuk menjadikan
yang serupa di daerah lain. Di seluruh dunia, anak meninggal dengan infeksi HIV/AIDS
setiap menitnya, dan lebih dari 2 juta anak hidup denga HIV/AIDS, namun tidak sampai
10 persennya mendapatkan terapi antiretroviral pada tahun 2007 (WHO 2008).
Beberapa infeksi ikutan termasuk CMV, retinitis, toksoplasmosis serebral, P.
jiroveci, herpes zoster, dan infeksi jamur SSP ataupun sistemik berrespon baik dengan
pengobatan anti virus, anti spastik, dan anti jamur. Immunoglobulin IV juga bermanfaat
bagi anak dengan hipogamaglobulinemia atau infeksi bakteri ulangan.
Kini pemberian antiretrovirus dikombinasikan setidaknya tiga dari golongan
nukelotida/ nucleotide transverse antiretroviral drugs, inhibitor protease, dan nonnucletide transverse antiretroviral drugs. Tujuannya adalah untuk menurunkan viral
load, hingga tidak terdeteksi dan untuk mengembalikan funsi imunitas. Kombinasi
terapi menghasilkan peningkatan imunitas dan neuro kognitif bahkan pada infeksi HIV1 yang berat.
Pemeriksaan CD4, plasma HIV-1 RNA, darah lengkap, profil kimia darah ( terutama
fungsi ginjal dan hepar) juga T.gondii, hepaitis, dan tuberkulosis diperlukan saat
memulai pemberian terpi antiretrovirus untuk menilai keberhasilan terapi kelak. Pada
saat imunitas mulai meningkat akan terjadi immune restoration disease, seperti
eksaserbasi berlawanan dari infeksi sekunder selama 6 bulan masa pengobatan. Anak
yang mendapat terapi kombinasi dapat mengalami lipodistrofi, resistensi insulin,
osteopenia, dan gagal tumbuh.
*Pada SA journal of children health disebutkan Defisit neurologis dan neurokognitif
sering terjadi pada anak terinfeksi HIV. Prevalensi dan perluasan defisit tidak berubah
secara signifikan pada respon jangka pendek HAART ( highly active antiretroviral
therapy) , mengindikasikan tidak adanya kemajuan spontan maupun perburukan
sepanjang pengobatan awal.
ENSEFALOPATI HIV
Pendahuluan
Sebagai bagian dari sindrom HIV dalama serokonversi, pasien dapat mengalami
ensefalopati HIV. HIV-associated progressive encephalopathy (HPE) adalah kumpulan
gejala klinis dalam kognitif, motorik dan perilaku pada anak-anak. Frekuensi HPE
sebagai gejala awal AIDS pada anak adalah 12-67%. Pada anak yang tidak diobati,
prevalensi terjadinya HPE adalah 50%. Pada satu studi ensefalopati HIV pada anak
dengan infeksi HIV yang mendapat HIV active antiretroviral therapy, angka kejadian
70
HPE aktif di tahun 2000 adalah 1,6% dan prevalensi arrested HPE adalah 10%. HPE
relaps terjadi pada 23% dari grup sampel dengan kejadian arrested HPE sebelumnya.
Patofisiologi
HIV dianggap memasuki otak melalui makrofag dan limfosit yang terinfeksi HIV.
Sedangkan yang lain menganggap mekanismenya melalui perjalanan virus tanpa sel ke
otak dan pelepasan sel endotelial yang mengeluarkan virus. Virus bereplikasi pada selsel tersebut lalu, pada teorinya, menginfeksi sel-sel lain seperti mikroglia,
oligodendrosit, astrosit, dan neuron; makrofag dan makroglia merupakan sel yang paling
sering terinfeksi. Infeksi HIV pada sistem saraf pusat dapat dideteksi dan dimonitor
melalui perhitungan viral load dari LCS. Korelasi positif telah dikembangkan oleh
banyak peneliti antara viral load LCS dan luasnya disfungsi kognitif.
Penelitian kimia-imunihistologi menunjukkan bahwa virus terletak paling banyak di
ganglia basalis, regio subkortikal dan korteks frontal. Perubahan patologis pada autopsi
juga sebagian besar ditemukan di subkortikal, termasuk regio deep-gray ( gangglia
basalis, thalamus ) dan regio white-matter. Mekanisme bagaimana infeksi HIV pada SSP
yang mengakibatkan gangguan neuro kognitif kemungkinan multi faktorial dan masih
dalam penelitian.
Prognosis
Pasien yang diterapi dengan HAART, jarang mengalami HEP dan bila terjadi, lebih
sering dapat disembuhkan. Bila kontrol virus tidak diberikan lagi, dapat terjadi relaps.
Klinis
Pada anak dengan HPE terdapat riwayat khas berupa penurunan intelektual dan
motorik. Pada anak yang lebih kecil, tingkat kemampuan menambah keahlian baru
berkurang dan kemampuan motorik halus serta ketangkasan menjadi lemah. Kesulitan
makan dapat terjadi, pada anak yang lebih besar dan remaja, gejalanya mirip dengan
AIDS Dementia Complex pada dewasa.
Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus, hasil pemeriksaan fisik dalam batas normal, walau onset terjadinya
gangguan dapat terjadi pada tahun pertama anak. Manifestasi klinis dapat tidak disadari
hingga mencapai usia 2-3 tahun. Pada masa ini, anak dapat memperlihatkan kelemahan
kognitif, masklike facies, acquired microcephaly, dan pseudobulbar dan tanda traktus
kortikospinal. Tanda yang sering ditemukan pada anak yang lebih besar dan remaja
adalah lemahnya perhatian, penurunan kemampuan berbicara dan performa di sekolah
menurun, perlambatan psikomotor, emosional yang labil dan penarikan diri dari
lingkungan.
Kriteria HEP
American Academy of Neurology menyatakan HPE sebagai keadaan ang terjadi
setidaknya 2 bulan, dengan minimal terdapat satu dari gejala tersebut dibawah tanpa
penyakit ikutan selain infeksi HIV, gejala sebagai berikut :
71
-Gagal mencapai atau tertinggal dalam mencapai target perkembangan mental atau
tertinggal dalam kempuan intelektual yang dapat dipastikan dengan tes perkembangan
standar atau neuropsikologis.
-Acquired microcephaly dengan pemeriksaan lingkar kepala atau atrofi otak pada CT
scan serial atau MRI pada anak kurang dari 2 tahun
-Defisit motorik simetris yang didapat, dengan 2 dari keadaan berikut: paresis, refleks
patologis, ataksia atau gangguan saat berjalan.
SEKUELE INFEKSI SSP PADA ANAK
Meningitis
Sekuele neurologis merupakan komplikasi meningitis bakterial yang paling sering
terjadi, mencapai 50-65% di negara berkembang. Faktor resiko timbulnya sekuele
beragam, beberapa sekuela pada awal penyakit, sebagian menetap sehingga
menimbulkan ganguan perkembangan akibat disabilitas. (Novarini,dkk )
Pada meningitis bakterial terjadi hipoksi, produksi neurotoksik bakteri dan gabungan
mediator dapat menyebabkan kerukan neuron. Hasil akhir dari neuron yang rusak
karena bakteri atau derivat leukosit dan elemen toksik lainnya adalah radikal bebas.
Aktivitas sel yang mengalami apoptosis dan nekrosis menyebabkan sekuele neurologis
yang menetap, bahkan kematian.
Beberapa faktor resiko terkait dengan prognosis pasien meningitis bakterial adalah
usia, durasi antara timbulnya gejala dan pemberian pengobatan adekuat, spesifikasi
bakteri, peningkatan jumlah resistensi obat, derajat gejala klinis awal, komplikasi SSP
seperti hidrosefalus, abses otak yang mempengsruhi vaskularisasi serebrovaskular.
Kejang > 30 menit dan kejang tidak terkontrol lebih besar kemungkinan terjadi sekuele
pasca meningitis bakterial.
Jenis sekuele paling sering pada gangguan neuromotor termasuk hemiparesis atau
tetraparesis spastik, sekuele lain epilepsi dan keterlambatan global.
Tabel 1. Sekuele pada pasien meningitis bakterial
Sekuele
Jumlah ( % )
Tetrapasresis spastik
19 ( 50 )
Hidrosefalus
3 (7)
Buta
4 (10)
Tuli
3 (8)
Epilepsi
8 (21)
Global developmental delay
9 (23)
Pada penelitian di RSUP Dr.Sardjito, RSUD Banyumas dan RSU Suradji
Tirtonegoro Klaten tahun2003-2006, hasil analisis regresi logistik multivariat faktor
resiko sekuele meningitis bakterial adalah lama kejang >30 menit, kejang tidak
terkontrol >72 jam, skor PCS yang rendah (< 8) dan onser antara gejala dan pemberian
terapi adekuat. Dari regresi logistik multivariat ternyata kejang > 30 menit mempunyai
72
resiko sekuele dengan OR 4,29 (IK 95% 1,38-12,99), PCS < 8 mempunyai OR 3,76 (IK
95% 1,15-12,28) dan kejang tidak terkontrol >72 jam mempunyai OR 5,24 (IK 95%
1,49-18,430), sedangkan durasi antara onset dan pemberian terapi tidak mempunyai
perbedaan bermakna, OR 2,43 (IK 95 % 0,73-8,13).
Angka kematian di negara maju lebih re3ndah karena terdapat beberapa faktor,
antara lain cakupan imunisasi tinggi terhadap bakteri penyebab meningitis, tindakan
diagnostik serta fasilitas perawatan yang lebih baik.
Pada penelitian di pakistan terdapat multifaktor yang dapat menyebabkan sekuele
pada meni9ngitis bakterial dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor neurologis dan sitemik
(non neurologi ).
Nerologis
Sistemik ( non neurologis )
Onset Akut
Prolong fever
Perubahan status mental / koma
Syok septik dan DIC
Edema serebral dan peningkatan tekanan Kolaps vasomotor
intrakranial
Loss of airways reflexes
Kejang onset akut
Respiratory arrest
Efusi subdural atau empiema
Efusi perikardial
Cranial nerve palsies
Hipotalamik dan disfungsi endokrin
Hidrosefalus
lainnnya
Defisit sensorineural
Hiponatermia
Hemiparesis atau kuadriparesis
Perdarahan adrena bilateral
Kebutaan
Kematian
Onset lambat
Late onset seizure (epilepsy) disorder
Ataxia
Abnormalitas serebrovaskular
Gangguan neuropsikologis
Gangguan perkembangan
Defisit intelektual
TUMOR OTAK
BATASAN DAN PENGERTIAN
Tumor pada sistem saraf pusat meliputi 20% dari keseluruhan tumor yang didapatkan
pada anak-anak. Angka kejadian tumor otak pada anak kecil. Di RSUD dr. Moewardi
Solo, selama tahun 2006 hanya dirawat 2 orang anak yang menderita tumor otak, 1 orang
di serebelum, 1 orang di hemisfer serebri. Tumor otak yang ditemui pada anak-anak pada
umumnya merupakan tumor otak primer. Di mana tumor otak primer didefinisikan
sebagai sekumpulan massa sel abnormal yang berasal dari sel otak.
Tumor otak dapat terlokalisir pada suatu area yang kecil, dapat infasif menyebar ke
daerah sekitarnya, dapat bersifat jinak (non cancerous) maupun ganas (cancerous).
73
Tumor otak yang jinak (benigna) tidak mengandung sel-sel kanker dan biasanya memiliki
batas yang tegas sehingga setelah tumor berhasil diangkat, pada umumnya tidak terjadi
residif. Namun tumor otak yang jinak ini dapat memiliki sifat seperti tumor yang ganas
sebagai akibat dari ukuran tumor dan lokasi di mana tumor berada sehingga dapat
mengganggu fungsi vital otak.
Tumor otak yang ganas (maligna) mengandung sel-sel kanker. Tumor jenis ini
biasanya tumbuh cepat dan menyebar ke jaringan sekitarnya. Tumor otak maligna jarang
menyebar ke bagian tubuh yang lain, hanya setelah pengobatan bisa terjadi pertmbuhan
sel-sel tumor lagi.
Pengklasifikasian tumor otak terutama berdasar lokasi, jenis jaringan asal tumor,
jinak atau ganasnya tumor.
Berdasarkan jenis asal jaringan tumor dapat dibagi menjadi :
Glioma
PNET (primitive neuroectodermal tumors)
Kraniofaringioma
Tumor dari glandula pinealis.
Glioma
Glioma merupakan jenis tumor yang paling sering ditemukan. Tumor jenis ini berasal
dari sel-sel glia, yang merupakan jaringan penunjang otak. Terdapat beberapa jenis
glioma yang digolongkan berdasar lokasi ditemukannya dan jenis sel asal tumor.
Astrositoma
Tumor ini berasal dari sel-sel astrosit yang merupakan sel jaringan penghubung.
Astrosit dapat ditemukan di berbagai tempat di otak maupun medula spinalis, sehingga
astrositoma dapat ditemukan di berbagai tempat. Astrositoma merupakan jenis tumor
yang tersering didapatkan pada tumor otak anak. Secara klinikopatologik, astrositoma
dibagi menjadi astrositoma pilositik (WHO grade I), astrositoma difus (WHO grade II)
astrositoma anaplastik (WHO grade III), glioblastoma multiforme (WHO grade IV).
Sebagian besar astrositoma termasuk jenis low grade (WHO grade I II). Tumor ini
seringkali tumbuh di daerah garis tengah seperti di daerah serebelum dan regio
diensefalik, termasuk jalur visual dan hipotalamus. Sebagian lainnya termasuk high grade
(WHO grade III IV) yang tergolong tumor ganas. Jenis tumor ini pada umumnya
didapatkan di hemisfer serebri dan di daerah pons di batang otak.
Glioma batang otak (brain stem gliomas)
Tumor ini sering didapatkan pada usia sekolah dan jarang didapatkan pada orang
dewasa.
Glioma nervus optikus
Tumor jenis ini sering didapatkan pada anak-anak dengan neurofibromatosis.
Ependimoma
Ependimoma juga termasuk tumor sel glia. Tumor ini tumbuh pada tepi ventrikel atau
medul spinalis. Pada anak-anak, tempat yang paling sering adalah dekat serebelum.
74
75
tekanan intra kranial ataupun iritasi pada batang otak oleh tumor fosa posterior. Muntah
bisa bersifat tidak proyektil, dan dapat berbarengan dengan mual. Seringkali orang tua
penderita mengatakan bahwa muntah dapat mengurangi nyeri kepala yang terjadi. Seperti
pada nyeri kepala, muntah juga sering didapatkan pada pagi hari dan tidak berhubungan
dengan makan.
Papil edema
Bailey dalam penelitiannya menemukan 85% anak-anak penderita tumor mengalami
papil edema. Kaburnya batas diskus dan tidak adanya pulsasi vena sentralis merupakan
tanda awal dan sangat penting pada pemeriksaan oftalmoskopi. Apabila peningkatan
tekanan intra kranial berlanjut, maka dapat terjadi pembuntuan vaskular disertai adanya
perdarahan dan eksudat.
Mekanisme terjadinya papil edema adalah adanya ruang subarahnoid di sekitar nervus
optikus yang merupakan kelanjutan dari dalam ruang kranium menyebabkan transmisi
dari tekanan intra kranial. Ketika terjadi peningkatan tekanan maka tekanan pada jaringan
nervus optikus juga meningkat.
Gangguan penglihatan
Diplopia biasanya sebagai akibat dari paralisis satu atau dua muskulus rektus lateralis.
Strabismus akan lebih terlihat pada saat sore atau malam hari, berfluktuasi sesuai dengan
beratnya peningkatan tekanan intra kranial.
Kejang
Kejang jarang merupakan pertanda awal dari tumor otak pada anak. Pada sebuah
penelitian dilaporkan, kejang hanya meliputi 15% dari anak yang menderita tumor otak.
Dengan semakin besarnya tumor, maka kejang akan semakin sering terjadi. Kejang
merupakan gejala yang paling akhir pada tumor fosa posterior. Jenis kejang yang paling
sering terjadi adalah parsial komplek. Tumor yang terletak di lobus temporalis yang
paling banyak menimbulkan gejala kejang.
Perubahan afek dan kesadaran
Walaupun perubahan mental dan problem psikiatri banyak didapatkan pada penderita
tumor otak dewasa dan merupakan pentunjuk lokasi lesi di lobus frontalis atau
temporalis, hal ini jarang terjadi pada penderita tumor otak anak-anak. Pada anak-anak
yang sering terjadi adalah anak menjadi sering mengantuk, perubahan kepribadian,
iritabilitas, yang menunjukkan keterlibatan hipotalamus maupun talamus. Sedangkan
tumor di daerah frontal sering menunjukkan gejala perubahan pola tidur dan selera
makan. Pada peningkatan tekanan intra kranial dan penekanan pada sistim aktifasi
retikular akan terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif.
Penurunan fungsi jantung dan pernapasan.
Gejala dan tanda yang muncul sebagai akibat adanya tumor bervariasi tergantung letak
tumornya.
Pada tumor di supra tentorial akan terjadi :
76
Kejang
Gangguan penglihatan
Bicara gagap (slurred speech)
Hemiparesis
Peningkatan tekanan intra kranial
Mengantuk dan bingung (drowsiness, confusion)
Perubahan kepribadian.
77
Ensefalitis herpes simplek yang berat dapat menyerupai lesi pada lobus temporalis,
oleh karena edema yang terjadi akibat proses infeksi, di man tempat predileksinya adalah
di lobus temporalis.
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang baik akan dapat mendeteksi tumor otak dalam fase yang lebih dini.
Karena penatalaksanaan pada saat tumor dalam stadium awal akan meningkatkan tingkat
kesembuhan penderita.
Pemeriksaan fisik termasuk di dalamnya anamnesis, ditujukan untuk mencari baik
kelainan difus maupun kelainan fokal. Kelainan difus diakibatkan dari peningkatan
tekanan intra kranial, sedang kelainan fokal diakibatkan efek tumor pada jaringan di
sekitarnya. Pada pasien yang sudah dicurigai adanya tumor otak, maka pemeriksaan
neurologis ditujukan untuk mengetahui lokasi tumor.
Computerized Tomography scan (CT scan) dan MRI merupakan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis tumor otak yang utama. Kedua pemeriksaan
tersebut dilakukan dengan menggunakan kontras. CT scan lebih unggul dalam hal
mendeteksi adanya kalsifikasi pada beberapa tumor otak. Demikian juga adanya
pembesaran dan pergeseran ventrikel lebih mudah diperlihatkan dengan CT scan.
Sedangkan MRI lebih unggul dari pada CT scan dalam hal memperlihatkan tumor low
grade serta tumor di daerah fosa posterior juga tumor yang mengenai sela tursika dan
daerah chiasma.
Electro encephalography (EEG) kurang bermanfaat untuk menegakkan diagnosis tumor
otak. Pada anak-anak dengan kejang parsial komplek, EEG dapat menyokong kecurigaan
adanya tumor di daerah lobus temporalis. Pada beberapa penderita dengan gambaran
perlambatan fokal yang kontinyu disertai adanya gelombang paku yang berkaitan dengan
kejang, sangat mungkin menggambarkan adanya proses desak ruang, dan oleh karenanya
diperlukan pemeriksaan neuro imaging.
Foto kepala (skull photo) dapat mencurigakan adanya lesi massa intra kranial apabila
memperlihatkan pelebaran sutura, erosi atau pembesaran sela tursika, osteoporosis
utamanya apabila didapatkan penipisan daerah sphenoid.
Ultrasound dapat digunakan untuk membantu adanya lesi massa intra kranial pada bayi
dan neonatus yang fontanelanya masih terbuka.
Biopsi yang dipandu dengan CT merupakan prosedur untuk mengetahui lebih pasti jenis
tumor.
Lumbal pungsi, dikerjakan pada kecurigaan medulobalstoma, untuk melihat apakah
terdapat sel-sel tumor pada cairan serebro spinal.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan yang dini akan sangat meningkatkan derajat kesembuhan yang lebih baik.
Tujuan dari penatalaksanaan meliputi, pengobtan tumor itu sendiri, menghilangkan
berbagai keluhan yang timbul berkenaan dengan tumor sehingga anak merasa nyaman
dan meningkatkan fungsi otak.
78
79
Obat anti nyeri, untuk mengatasi nyeri yang timbul sebagai akibat dari tumor. Obat
anti nyeri diberikan hanya apabila diperlukan.
KOMPLIKASI (komplikasi tumor, pengobatan)
Komplikasi yang terjadi dapat sebagai akibat dari tumornya sendiri maupun akibat
dari pengobatan, khususnya radioterapi dan kemoterapi.
Komplikasi dari tumor yang paling serius adalah terjadinya herniasi otak sebagai
akibat terjadinya peningkatan tekanan intra kranial.
Sedangkan komplikasi dari radioterapi dapat terjadi selama penyinaran, segera
sesudahnya, maupun berjangka waktu agak lama dari saat penyinaran. Gangguan
neurologis yang terjadi adalah karena terjadinya edema serebri akibat dari kerusakan
vaskular dan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, sehingga terjadi
perivaskular edema, perdarahan kecil-kecil dan trombi. Manifestasi kliniknya bervariasi,
namun pada umumnya ditandai dengan letargi, mual dan muntah, kejang, dan perburukan
atau kembalinya defisit neurologis. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi adalah
gangguan fungsi kognisi.
Komplikasi kemoterapi bisa berupa mielosupresi, anoreksia, kerusakan ginjal dan
hepar, gangguan pendengaran maupun komplikasi metabolik yang lain. Sementara itu,
gangguan pertumbuhan dan infertilitas dapat terjadi sebagai akibat sekuele dari
kemoterapi.
PROGNOSA
Prognosis dari tumor otak pada anak sangat bervariasi, tergantung pada beberapa hal :
Tipe dan jenis tumor;
Lokasi dan ukuran besarnya tumor;
Ada tidaknya metastasis;
Respon tumor terhadap pengobatan;
Toleransi anak terhadap pengobatan;
Umur anak dan kondisi fisik anak secara umum;
Perkembangan terbaru dari pengobatan tumor.
Pada low grade astrositoma, rata-rata untuk angka harapan hidup 10 tahun (years
survival rate = ysr) adalah 60% - 95%. Sedangkan untuk high grade astrositoma 10 ysr
kurang dari 30%, di mana yang bisa bertahan, hidup dengan kecacadan.
Pada meduloblastoma, 5 ysr paling tinggi adalah 78% dengan catatan tidak ada
metastasis dan tumor yang tersisa setelah operasi tidak lebih dari 1,5cm 2. Sementara
untuk tumor yang sudah ada metastasis serta ukuran tumor setelah operasi masih bersisa
lebih dari 1,5cm2, prognosis berkisar antara 30% - 50%. Sedangkan pada anak-anak
kurang dari 3 tahun, angka 5 ysr berkisar 30%.
Pada ependimoma, besar kecilnya tumor yang bisa direseksi sangat mempengaruhi
prognosis. Pada penderita yang bisa dilakukan reseksi otal atau hampir total (lebih dari
90%), memiliki 5 ysr sebesar 50% - 80%. Sedang bagi yang reseksi hanya bisa dilakukan
kurang dari 90% besar tumor, angka 5 ysr paling tinggi adalah 26%.
Kraniofaringioma memiliki angka 10 ysr antara 86% - 100% pada penderita yang bisa
direseksi secara total. Sedangkan bagi yang reseksinya subtotal atau yang rekuren dan
dilakukan radioterapi, angka 10 ysr berkisar 57% - 86%.
80
Sifat tumor
Bisa jinak atau ganas
Jinak
Jinak, namun dapat
berulang dan kadangkadang menjadi ganas
Biasanya jinak
Ganas
Biasanya jinak.
PATOFISIOLOGI
Seperti juga tumor di tempat lain, tumor medulla spinalis juga masih belum jelas
benar penyebabnya. Dugaan paling kuat adalah keterlibatan faktor genetika. Astrositoma
dan ependimoma sering dijumpai pada pasien neurofibromatosis tipe 2, di mana dijumpai
kelainan pada kromosom 22. Sementara itu hemangioblastoma dijumpai pada 30% pasien
sindroma Von Hippel-Lindau yang berkaitan dengan kelainan pada kromososm 3.
MANIFESTASI KLINIK
Untuk kepentingan klinik, biasanya tumor pada medula spinalis dibagi menjadi tumor
intra medula, tumor ekstra medula intra dura, dan tumor ekstra dura.
Tumor intra medula biasanya mengakibatkan kelemahan dan atrofi yang simetris pada
segmen yang terkena, sedangkan pada tumor ekstra medula kelemahan cenderung
unilateral. Tumor ekstra medula seringkali diawali dengan keluhan nyeri yang sesisi pada
distribusi segmen yang terkena. Nyeri biasanya bersamaan dengan keluhan baal dan
parestesia.
Gangguan berjalan, nyeri dan kekakuan pada punggung dan tungkai pada umumnya
merupakan keluhan awal tumor medula spinalis. Pada tumor ekstra medula, kekakuan
pada punggung kadang-kadang tidak disertai dengan keluhan nyeri, kemudian berlanjut
dengan inkontinensia urin dan gangguan sensoris.
Defisit neurologis diakibatkan oleh dua gangguan, yaitu terganggunya medula
spinalis secara segmental serta terganggunya traktus ascenden dan descenden di dalam
medula spinalis. Adanya kelemahan yang segmental, atrofi, hiporefleksia dan gangguan
sensoris merupakan akibat dari terganggunya substansia grisea pada sentral medula
81
spinalis atau akar saraf spinal. Sedangkan terganggunya traktus ascenden dan descenden
akan berakibat spastisitas, defisit sensoris yang sesuai dengan segmen medula spinalis
dan gangguan berkemih.
Sindroma Brown Sequard merupakan akibat dari tumor ekstra medula dan terjadi
hemiseksi medula spinalis. Sindroma ini terdiri dari kelemahan homolateral, spastisitas,
ataksia serta gangguan nyeri dan suhu kontra lateral lesi.
Dapat juga dijumpai adanya nistagmus dan papil edema. Pada beberapa keadaan,
papil edema sebagai akibat terganggunya absorpsi liquor serebro spinal karena tumpukan
material musinus akibat dari proses degenerasi tumor. Beberapa keadaan lain yang bisa
menyebabkan papil edema adalah infiltrasi lapisan selaput otak oleh tumor, perdarahan
subarahnoid, dan hidrosefalus karena malformasi Arnold Chiari.
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan lebih lanjut perlu segera dilakukan apabila ditemukan nyeri punggung
(dapat ditimbulkan dengan mengetuk tulang vertebra dengan hammer reflek) atau nyeri
pada ekstremitas disertai dengan gangguan berkemih dan buang air besar, gangguan
berjalan, kelemahan otot serta kelainan pada vertebra.
Foto polos vertebra dapat memberikan dugaan adanya tumor medula spinalis. Dapat
dijumpai adanya destruksi tulang, erosi dari pedikel atau korpus vertebra dan pelebaran
jarak antar pedikel.
MRI dengan pemberian kontras merupakan pilihan utama untuk menegakkan
diagnosis tumor medula spinalis, menggantikan pemeriksaan dengan CT scan dan
myelografi.
PENATALAKSANAAN DAN PROGNOSIS
Pembedahan merupakan terapi utama tumor medula spinalis. Tumor ekstra medula
yang dapat diambil total memberikan prognosis yang sangat bagus. Pada tumor ekstra
medula yang tidak bisa diambil total, biasanya bisa mengurangi bahkan menghilangkan
keluhan dalam waktu yang lama, terutama apabila setelah pembedahan diikuti dengan
radioterapi.
Tumor intra medula akan memberikan prognosis yang lebih bagus apabila
menggunakan teknik pembedahan yang moderen seperti ultrasonic aspirator, contact
laser dan disertai neurophysiological intra operative monitoring. Pada tumor yang ganas,
pembedahan berupa dekompresi dan debulking harus diikuti dengan radioterapi. Pada
umumnya tumor intra medula adalah jinak, yaitu astrositoma dan ependimoma dan
memiliki prognosis yang bagus. Sedang glioblastoma, neuroblastoma dan sarkoma
memiliki prognosis buruk.
KOMPLIKASI
Komplikasi pada umumnya akibat radiasi. Dapat terjadi myelopati yang bersifat
sementara atau myelomalacia yang ireversibel. Myelopati ditandai dengan parastesi atau
sensasi seperti kejutan listrik di ekstremitas yang dipicu oleh gerakan fleksi pada leher.
Myelomalasia berupa paraplegia ssebagai akibat dari gannguan pada pembuluh darah.
Komplikasi akibat radiasi yang jarang terjadi adalah amiotrofi, mielitis akut
transversa dan myelopati yang berkembang menjadi mielitis transversa.
82
83
3. Tumor pada saraf perifer. Dapat terjadi di semua umur, dan mengenai saraf-saraf yang
besar. Tumor dapat dijumpai pada saraf otonom yang menginervasi organ. Organ
yang sering terganggu adalah lambung, lidah, mediastinum, usus besar, medulla
adrenalis.
4. Tumor intraspinal. Pada umumnya berkembang lebih lambat dari pada tumor intra
cranial. Sekitar 50% berupa tumor multiple, dan sering kali dijumpai bersamaan
dengan malformasi lain seperti siringomielia.
5. Stroke. Hal ini sering terjadi sebagai akibat dari sumbatan pada vascular di otak.
Lokasi yang paling sering mengalami sumbatan adalah cabang-cabang dari arteri
karotis interna.
Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk neurfibomatosis tipe 1 adalah apabila dijumpai dua atau lebih di
antara tujuh kriteria ini :
1. Didapatkan enam atau lebih macula caf au lait dengan diameter lebih dari 5mm
untuk pasien prapubertas dan lebih dari 15mm untuk pasien pascapubertas.
2. Didapatkan dua atau lebih neurofibroma berbagai tipe, atau satu neurofibroma
pleksiform.
3. Bintik-bintik pada daerah inguinal atau aksila.
4. Glioma optikus
5. Didapatkan dua atau lebih nodul Lisch (hamartoma iris)
6. Lesi tulang yang khusus seperti displasia pada tulang sfenoid, penipisan lapisan
kortek tulang-tulang panjang dengan atau tanpa disertai pseudoartrosis.
7. Keturunan pertama dari pasien neurofibromatosis 1 sesuai dengan kriteria di atas.
NEUROFIBROMATOSIS TIPE 2
Neurofibromatosis tipe 2 berbeda secara klinis maupun genetik dari
neurofibromatosis tipe 2, ditandai dengan tumor intrakranial, khususnya schwanoma
vestibular bilateral. Angka kejadiannya lebih jarang sekitar 1 di antara 30.000 sampai
120.000 kelahiran hidup. Kelainan genetik yang terjadi pada penyakit ini adalah
ketiadaan schwanomin, suatu protein yang dihasilkan kromosom 22, yang menyebabkan
migrasi sel atau hilangnya inhibisi kontak. Namun demikian bagaimana korelasi dengan
manifestasi klinik penyakit ini belum jelas.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis neurofibromatosis tipe 2 ditandai schanoma vetibular bilateral
(neurinoma akustik). Pada umumnya tumor ini asimtomatis pada saat pubertas. Beberapa
jenis tumor lain yang dijumpai adalah meningioma, tumor multipel yang berasal dari glia
atau meningeal. Lesi pada kulit seperti caf au lait atau neurofibroma lebih jarang
dijumpai.
Diagnosis
Kriteria diagnosis neurofibroma tipe 2 adalah apabila dijumpai satu atau lebih dari :
1. Schawnoma vestibular bilateral
84
2. Orang tua, saudara kandung atau anak dengan neurofibroma 2 disertai dengan massa
nervus akustik unilateral lain atau dijumpai dua dari neurofibroma, meningioma,
glioma, schwanoma atau juvenile posterior subscapular lenticular opacity.
Penatalaksanaan dan prognosis
Penatalaksanaan yang dilakukan simtomatik. Tindakan bedah pada tumor untuk
memperpanjang hidup. Apabila tumor terbatas pada saraf perifer, prognosisnya bagus.
Sedang tumor intrakranial, prognosis tergantung pada lokasi tumor.
Pemeriksaan genetik dilakukan untuk mengetahi apakah ada faktor herediter ataukah
terdapat mutasi genetik.
TUBEROUS SKLEROSIS
Merupakan penyakit herediter yang diturunkan secara autosomal dominant.
Angka kejadiannya adalah 1 di antara 6000 sampai dengan 15.000.
Abnormalitas dapat dijumpai di otak, mata, kulit, ginjal, tulang, jantung, dan paru.
Di otak secara makroskopik didapatkan adanya tuber, suatu area jaringan glia yang
keras dengan berbagai ukuran. Tuber dapat berada di berbagai lokasi di hemisfer cerebri.
Tumor dapat berkembang dari tuber kortikal atau subependimal. Tumor subependimal
biasanya terletak di dinding ventrikel lateral atau di permukaan ganglia basalis. Walaupun
jarang berubah menajdi maligna, namun dapat terjadi pembuntuan formen Monro.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dapat bervariasi tergantung dari umur onset, berat ringannya
serta kecepatan progresifitas. Terdapat empat gangguan utama yaitu retardasi mental,
epilepsi, lesi di kulit dan tumor di berbagai organ termasuk di otak.
Deteriorasi mental dapat merupakan gangguan tersendiri atau akibat dari kejang
yang tidak terkontrol maupun karena peningkatan tekanan intrakranial sebagai akibat dari
pembuntuan foramen Monro.
Kejang atau berbagai bentuk bangkitan epilepsi lain merupakan keluhan utma
yang sering dijumpai pada pasien tuberous sklerosis. Derajat beratnya kejang dan respon
terhadap obat anti epilepsi tidak dapat diramalkan. Dan seringkali menjadi epilepsi yang
intraktabel.
Adenoma sebaseum (angiofibroma) merupakan karakteristik klinis lesi di kulit.
Lesi berupa makula kemerahan di daerah hidung, dagu dan pipi, muncul saat usia 1 5
tahun.
Dijumpai beberapa rambut yang berwarna abu-abu atau putih pada jumlah yang
cukup besar. Adanya perubahan warna pada rambut merupakan manifestasi klinis awal
tuberous sklerosis dan seringkali mendahului terjadinya depigmentasi nevus.
Depigmentasi nevus dibedakan dari vitiligo, dimana pada vitiligo tidak didapatkan
melanosit, sedang pada depigmentasi nevus jumlah melanosit tetap tetapi kandungan
melaninnya berkurang.
Tumor intra kranial lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan
neurofibromatosis. Terdapat tiga jenis tumor yang bisa dijumpai yaitu giant cell
astrocytoma (sering tumbuh dan menyebabkan tanda-tanda peningkatan tekanan intra
kranial), tuber kortikal dan nodul subependimal.
85
Tumor ekstrakranial yang paling sering dijumpai terletak di retina. Lokasi lain
yang pernah dijumpai adalah kulit, ginjal, tulang, hati dan limpa.
Penyebab kematian yang tersering adalah status epileptikus, gangguan ginjal, tumor otak,
dan limphangiomiomatosis pada paru.
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan karakteristik lesi kulit, epilepsi, dan ganguan atau
deteriorasi mental. Pada bayi, dapat dikombinasikan dengan depigmentasi nevus, spasme
infantil, dan gangguan tumbuh kembang.
Pada tahun 1998 National Institute of Health mengeluarkan konsensus untuk
kriteria diagnosis tuberous sklerosis, yaitu :
Definite tuberous sclerosis, apabila dijumpai sedikitnya dua gambaran mayor atau satu
gambaran mayor disertai dua gambaran minor.
Probable tuberous sclerosis, apabila dijumpai satu gambaran mayor dan satu gambaran
minor.
Possible tuberous sclerosis, apabila dijumpai satu gambaran mayor atau dua atau lebih
gambaran minor.
Adapun yang termasuk gambaran mayor dan minor adalah sebagai berikut :
Gambaran mayor :
Manifestasi kulit
Angiofibroma wajah
Fibroma ungual
Lebih dari tiga makula hipomelanotik
Shagreen patch
Lesi di otak
Tuber kortikal
Nodul subependimal
Subependymal giant cell astrocytoma
Lesi mata
Nodul hamartoma multipel pada retina
Tumor organ lain
Rhabdomioma jantung
Lymphangioleiomyomatosis
Angiomiolipoma ginjal
Gambaran minor
Multiple randomly distributed pits in dental enamel
Polip rekti
Kista tulang
Abnormalitas migrasi pada substansia alba otak pada neuroimaging
Fibroma gingiva
Hamartoma non renal
Bercak achromik pada retina
86
Pemeriksaan CT scan kepala tidak dapat menunjukkan gambaran yang pasti untuk
tuberous sklerosis. Gambaran yang dijumpai adalah penumpukan kalsium yang multipel,
dengan ukuran yang bervariasi, terletak di daerah yang berdekatan dengan dinding
ventrikel lateral dan ventrikel ketiga serta foramen Monro. Pemeriksaan MRI kepala
dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis tuberous sklerosis. Dapat dijumpai
gambaran lesi supratentorial meliputi tuber kortikal, nodul subependimal, subependymal
giant cell astrocytoma, white matter linear migration lines, agenesis atau displasi korpus
kalosum, displasia kortikal. Lesi infra tentorial jarang didapatkan.
Apabila dijumpai fokus menyerupai kistik pada jari-jari, dapat dijadikan petunjuk
mengarah ke tuberous sklerosis. Lesi ini tidak tampak saat lahir, mulai timbul saat
pubertas.
Penatalaksanaan dan prognosis
Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang spesifik untuk tuberous
sklerosis. Untuk penanganan kejang, diberikan obat anti epilepsi yang sesuai. Untuk
spasme infantil maupun tuberous sklerosis vigabatrin merupakan pilihan utama. Tindakan
bedah untuk mereseksi tuber epilepstogenik memberikan hasil yang cukup memuaskan
ditandai dengan berkurangnya frekuensi kejang.
SINDROMA STURGE-WEBER
Sindroma Sturge-Weber disebut juga sebagai ensefalotrigeminal angiomatosis.
Sindroma ini ditandai dengan angioma pada wajah terutama di daerah inervasi n.
Oftalmikus dan n. Maksilaris, deteriorasi neurologis yang berulang dan keterlambatan
tumbuh kembang neurologis. Angioma di wajah disebut juga port wine stain. Ciri khas
anomali pembuluh darah intrakranial adalah angiomatosis leptomeningeal pada satu atau
lebih lobus otak pada satu atau kedua hemisfer. Tidak ada bukti ditemukannya faktor
herediter pada sindroma ini.
Patogenesis
Dua anomali struktur pada sindroma Sturge-Weber melemahkan aliran darah otak.
Pertama obstruksi pada angiomatosis menyebabkan stasis, penurunan aliran balik vena,
dan hipoksia. Kedua, gangguan pembuluh darah pada leptomeningeal mengakibatkan
terhalangnya oksigenasi neurglia, terutama pada saat kebutuhan meningkat, seperti pada
saat terjadi kejang. Hipoksia mengakibatkan sejumlah perubahan fisiologis, yaitu
abnormalitas aliran pada pelksus yang dalam dan hipertrofi pleksus choroideus,
peningkatan permeabilitas kapiler, gangguan pada keasaman (pH), deposisi kalsium,
atrofi serebri dan terkoyaknya blood brain barrier.
Buruknya aliran vena pada satu atau kedua hemisfer ditunjukkan dengan adanya
pelebaran pembuluh darah kortikal melewati batas angiomatosis leptomeningeal.
Kelemahan vaskular bertanggungjawab terhadap berulangnya deteriorasi neurologis dan
keterlambatan tumbuh kembang neurologis. Fenomena berulangnya deteriorasi dapat
diterangkan dengan berulangnya kejadian thrombosis yang disebabkan oleh stasis
87
88
89
Menkes J.H., Till K., 1995. Tumors of the Nervous System. In : Menkes J.H. Textbook of
Child Neurology.5th ed. Baltimore, Maryland, William & Wilkins, pp: 635-74.
Maria BL, Menkes JH, 2006. Tumors of the Nervous System. In : Menkes JH. Textbook
of Child Neurology 7th ed. Lippincott, William & Wilkins, pp : 740-802.
Maria BL, Menkes JH, 2006. Neurocutaneous Syndrome. In : Menkes JH. Textbook of
Child Neurology 7th ed. Lippincott, William & Wilkins, pp : 804-829
Jallo G.I., Freed D., Epstein F (2003) Intramedullary spinal cord tumors in children.
Childs Nerv Syst 19:641649.
Nanda R., 2006. Brain tumor children.
http://www..nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000768.htm
Cripe T.P., 2007. Brain Tumors. http://www.chw.org/display/PPF/DocID/22484/router.asp
Mac Donald T., 2006. Astrocytoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic154.htm
Lasky III J.L., 2007. Craniopharyngioma. http://www. Emedicine.com/ped/topic158.htm
Mac Donald T., 2006. Ependymoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic693.htm
Mac Donald T., 2006. Meduloblastoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic1396.htm
Lacayo N.J., 2007. Neuroblastoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic1570.htm
Stefanovic I.S., et al (2005) The Application of Sandostatin in Therapy of High Risk
Medulloblastomas. Medicine and Biology Vol.12, No 3, 2005, pp. 170 173.
Jallo G.I., 2007. Pediatric Spinal Cord Tumors.
http//www.spineuniverse.com/displayarticle.php/article1462.html
Shapiro W.R., 2008. Spinal Cord Tumors.
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch088/ch088.c.html
POLIO
Definisi
Poliomielitis merupakan infeksi enterovirus yang bisa bermanifestasi menjadi
4 bentuk yang berbeda (lihat klasifikasi). Sebelum abad ke-19 poliomielitis timbul
secara sporadik. Selama abad ke-19 dan 20, poliomielitis epidemik lebih sering
dijumpai, yang mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1950-an. Semenjak
program imunisasi yang agresif, prevalensi di seluruh dunia menurun secara
signifikan.
90
Epidemiologi
Tidak ada lagi kasus polio tipe-ganas yang pernah dilaporkan di AS sejak
tahun 1979. Hingga tahun 1998, kira-kira 8-10 kasus yang berkaitan dengan
vaksinasi dilaporkan setiap tahunnya. Sejak kebijakan penetapan penggunaan
vaksin poliovirus inaktif (IPV) dalam imunisasi rutin, kasus yang berkaitan dengan
vaksinasi berkurang secara signifikan.
Insiden secara global penyakit ini telah berkurang lebih dari 99% sejak tahun
1988. Empat negara terakhir yang masih melaporkan adanya transmisi poliovirus
tipe ganas yaitu Pakistan, Afganistan, Nigeria, dan India, juga menunjukkan
kemajuan yang signifikan dalam eradikasi poliomielitis sejak tahun 2009. Pria dan
wanita pada usia anak-anak ditemukan seimbang. Penyakit ini terutama mengenai
anak-anak, namun bisa juga ditemukan pada segala usia (terutama yang mengalami
gangguan fungsi imun).
Etiologi
Virus Polio merupakan enterovirus yang termasuk dalam famili
picornaviridae. Virus-virus ini resisten terhadap eter dan kloroform, tapi bisa
diinaktivasi dengan formaldehid. Virus ini bermultiplikasi dalam saluran cerna tapi
bersifat neurotropik.
Patofisiologi
Virus Polio merupakan virus RNA yang ditransmisikan melalui rute fekaloral atau melalui air yang terkontaminasi. Ada 3 serotipe yang bisa menginfeksi
manusia. Masa inkubasi penyakit ini adalah 5-35 hari. Partikel virus awalnya
bereplikasi di nasofaring dan saluran cerna dan kemudian menginvasi jaringan
limfoid, diikuti penyebaran secara hematologik. Setelah periode viremia, virus
menjadi bersifat neurotropik dan menyebabkan kerusakan neuron motorik pada
kornu anterior dan batang otak. Kerusakan neuron-neuron ini mengakibatkan
terjadinya paralisis flaksid, dengan distribusi spinal atau bulbar.
Klasifikasi
Poliomielitis bisa bermanifestasi dalam 4 bentuk berbeda:
1. Asimtomatik (inapparent infection)
2. Penyakit abortif
3. Tipe nonparalitik
4. Tipe paralitik
Manifestasi klinis
1. Kasus ringan/tidak bergejala (inapparent infection)
Sebagian besar pasien yang terinfeksi virus polio berkembang menjadi
infeksi yang tidak bergejala (inapparent infection) dan seringkali asimtomatik.
2. Tipe abortif
Pada kasus poliomielitis abortif (5-10%), ditemukan riwayat gejala dan
tanda nonspesifik seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, nyeri
91
92
93
Epidemiologi
Karena X-linked DMD telah diketahui sejak bertahun-tahun yang lalu,
insidennya sudah tercatat dengan cukup baik. Berdasarkan 40 studi yang
melibatkan beberapa juta angka kelahiran laki-laki, insiden DMD saat kelahiran
berkisar 300 x 10-6, dan prevalensinya dalam populasi berkisar 60 x 10-6.
Gambaran epidemiologis untuk distrofi yang lain belum begitu akurat
diperoleh.
Etiologi dan Patofisiologi
Ketika dystrophin ditemukan sebagai defek protein pada duchenne muscular
dystrophy (DMD), para peneliti kemudian berasumsi bahwa, karena protein ini
berkaitan dengan sarkolemma, defisiensi dystrophin akan mengakibatkan
penghancuran membran otot. Proses ini kemudian akan menyebabkan kehilangan
enzim otot, termasuk kreatin kinase (CK), dan kemudian menyebabkan kelemahan
otot. Akan tetapi, untuk beberapa alasan, hipotesis ini membuktikan suatu
penyederhanaan yang berlebihan.
Hubungan ikatan berbagai protein terkait-sarkolemma terbukti jauh lebih
kompleks dari yang sebelumnya diyakini. Satu kemungkinan yaitu interaksi antara
berbagai protein ini dapat mencetuskan perubahan penyesuaian diri dalam calcium
channel yang mengakibatkan peningkatan aktivitasnya, terutama melalui interaksi
abnormal dari sitoskeletal-reseptor-asetilkolin. Proses ini kemudian akan
menyebabkan disfungsi mitokondrial, dan pada akhirnya, kematian sel.
Peningkatan kalsium intraseluler telah diketahui sebagai temuan awaal yang
penting pada DMD.
Manifestasi klinis
1) Distrofi muskular kongenital
Anak-anak yang termasuk dalam kelompok penyakit bawaan otosomal
resesif yang heterogen ini memperlihatkan adanya hipotonia dan kelemahan saat
lahir atau dalam beberapa bulan pertama kehidupan. Ada beberapa bentuk
distrofi kongenital, sebagian disertai retardasi mental yang signifikan, dan
sebagian lagi tidak. Dua bentuk distrofi kongenital yang tidak disertai defisiensi
mental disebabkan oleh ketiadaan merosin (laminin 2, suatu protein
ekstraseluler otot) atau integrin 7 (sangat jarang). Meskipun tidak disertai
retardasi mental, anak-anak dengan defisiensi merosin ini, memperlihatkan
perubahan substansia alba pada MRI. Sebagian bisa berdiri dengan alat bantu,
namun sangat sedikit yang bisa berjalan. Kelemahan otot biasanya tidak
prograsif, namun banyak yang mengalami kontraktur sendi sehingga
mengakibatkan imobilisasi. Meskipun fungsi jantung normal, prognosis jangka
panjang kurang baik karena banyak pasien yang mengalami gangguan makan
dan respirasi yang serius.
Insiden distrofi muskular kongenital Fukuyama di Jepang adalah tersering
kedua setelah Duchenne muscular dystrophy (DMD), namun sangat jarang
dijumpai di tempat lain. Kelainan ini dinamai sesuai Yukio Fukuyama dari
Tokyo, yang pertama kali menggambarkan kondisi ini pada tahun 1960. Onset
94
pada saat bayi dengan gejala hipotonia dan kelemahan otot. Anak-anak yang
terkena sangat jarang yang bisa berjalan. Sebagian besat terganggu secara mental
dan banyak diantaranya yang mengalami epilepsi. Produk protein dari gen yang
berkaitan dinamakan fukutin, namun fungsinya masih belum jelas.
2) Duchenne dan Becker muscular dystrophy
Pada Duchenne muscular dystrophy (DMD), onset pada masa kanak-kanak
awal, dengan kesulitan berlari dan, kemudian, menaiki tangga. Kelemahan
ekstensor lutut dan pinggul menghasilkan manuver Gower. Sedikit gangguan
mental sering dijumpai, berkisar 20% anak laki-laki yang terkena memiliki IQ
kurang dari 70. Sebagian besar memiliki pembesaran otot betis, sehingga istilah
untuk kelainan ini sebelumnya dikenal sebagai pseudohypertrophic muscular
dystrophy; akan tetapi hipertrofi otot betis tidak hanya ditemukan pada DMD
namun juga pada distrofi lainnya seperti distrofi Becker. Kelemahan terutama
pada otot proksimal dan bersifat progresif. Pada akhirnya akan membutuhkan
kursi roda (sebagian besar pada usia 12 tahun). Pneumonia disertai gangguan
jantung merupakan penyebab kematian tersering, yang biasanya terjadi pada
masa remaja akhir atau awal usia 20-an.
Pada Becker muscular dystrophy (BMD), distribusi atrofi dan kelemahan
otot sangat mirip dengan DMD, kecuali perjalanan penyakit lebih ringan, dengan
onset penyakit sekitar usia 12 tahun; beberapa pasien tidak bergejala hingga
beberapa tahun kemudian. Gangguan ambulasi bervariasi sejak masa remaja,
dengan kematian biasanya pada dekade ke-4 atau ke-5. Gangguan mental juga
pernah dilaporkan.
Pada DMD dan BMD, kira-kira 5-10% carrier wanita menunjukkan
sedikit kelemahan otot, dan sering terdapat pembesaran otot betisyang disebut
manifesting carriers (carrier bergejala). Kelemahan tersebut seringkali
asimetrik, dan bisa berkembang pada masa kanak-kanak ataupun tidak terlihat
hingga dewasa, dan bisa progresif perlahan atau tetap statik. Carrier juga bisa
mengalami kardiomiopati hipertrofi , yang bisa berkembang meskipun tanpa
kelemahan yang nyata.
Gen Duchene berlokasi pada Xp21, yang memperngaruhi dystrophin
protein sarkolema, dan ber-alel dengan BMD. Dystrophin biasanya tidak
ditemukan pada pasien DMD, namun seringkali jumlahnya berkurang atau
ukurannya abnormal pada BMD.
3) Emery-Dreifuss muscular dystrophy
Kelainan ini ditandai oleh trias gejala:
Kontraktur awal (sebelum terdapat kelemahan yang nyata secara klinis) dari
tendon achilles, siku, dan otot servikal posterior, dengan gejala awal
terbatasnya gerakan fleksi leher; kemudian fleksi ke depan untuk keseluruhan
tulang belakang menjadi terbatas.
Atrofi otot yang berkembang perlahan disertai kelemahan dengan distribusi
humeroperoneal yaitu pada proksimal ekstremitas atas dan distal ekstremitas
bawahyang terjadi pada awal perjalanan penyakit. Setelah itu, otot-otot
proksimal extremitas dan tubuh juga akan terkena.
95
96
secara umum lebih ringan dibandingkan tipe resesif. Beberapa jenis kelainan ini
berkaitan dengan keterlibatan jantung yang nyata secara klinis (tipe 1B, 1D, 2C,
2E, dan 2F), dan individu yang terkena sebaiknya diawasi secara teliti untuk
tanda-tanda penyakit jantung.
Pemeriksaan penunjang
1. Kreatin kinase (CK) serum
Pengukuran kadar CK serum merupakan pemeriksaan diagnostik yang sederhana
dan terjangkau, dimana bentuk distrofi yang berat berkaitan dengan kadar CK
yang tinggi.
2. Elektromiografi
Pemeriksaan ini penting untuk memastikan kelainan miogenik dan
menyingkirkan penyebab kelemahan neurogenik seperti kelainan saraf tepi.
Namun karena bersifat invasif, teknik ini kurang digemari dalam menegakkan
diagnosis pada anak-anak.
3. Histologi otot
Satu gambaran yang mempersatukan semua jenis distrofi sebagai temuan
histologis otot dengan variasi pada ukuran serabut, nekrosis serabut, invasi
makrofag, dan pada akhirnya pergantian oleh jaringan lemak dan penghubung.
4. Imunohistokimia dan analisis mutasi
Pada distrofi yang berkaitan dengan defisiensi sarcolemmal-associated protein,
imunohistokimia (atau analisis western-blot) dengan antibodi berlabel untuk
protein ini menjadi dasar diagnosis.
Untuk kasus dimana antibodi spesifik belum tersedia, atau bila protein yang
ditemukan bukan sarkolemma, maka analisis mutasi mungkin menjadi satusatunya cara untuk menegakkan diagnosis. Analisis mutasi juga penting untuk
konseling genetik dan diagnosis prenatal.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit
keluarga serta pemeriksaan penunjang seperti yang tercantum di atas.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan individu dengan distrofi sangat bergantung pada jenis
distrofi dan derajatnya.
1. Pembedahan
Secara umum, pembedahan awal tidak direkomendasikan; karena
tidak hanya menggagalkan perbaikan kekuatan otot dan kemampuan
berjalan, namun juga terdapat risiko anestetik, dan periode tirah baring
setelah tindakan operatif bisa memberikan efek yang merugikan. Akan
tetapi, koreksi pembedahan terhadap kontraktur bisa membantu pada
stadium lanjut panyakit ketika berjalan menjadi sulit, dan tujuan selanjutnya
untuk memperpanjang ambulasi. Koreksi penbedahan untuk skoliosis saat
ini sudah diterima secara luas. Tindakan operatif juga bisa membantu
97
98
3. Pengobatan
Banyak obat-obatan telah diujicobakan pada kasus duchenne
muscular dystrophy, namun tidak ada yang terbukti efektif untuk
menghentikan perjalanan penyakit.
Prognosis
Prognosis untuk penderita DMP bervariasi menurut jenis distrofi dan
progresivitas penyakitnya.
Daftar Pustaka
1. Emery AEH. The Muscular Dystrophies. Lancet 2002; 359: 68795
2. Pia-Garza JE. Flaccid limb weakness in childhood. In: Fenichels Clinical
Pediatric Neurology 7th ed. New York: Elsevier Saunders; 2013:17488
C.
MIASTENIA GRAVIS
Definisi
Miastenia gravis (MG) adalah suatu penyakit otoimun dimana antibodiantibodi terbentuk terhadap membran poliisinaptik pada paut saraf-otot, sehingga
mengakibatkan kelemahan otot dan mudah lelah (fatigability).
Patofisiologi
Sebagian besar kasus MG disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor
asetilkolin nikotinik (AchR). Pasien yang memiliki antibodi AchR desebut sebagai
seropositif. Antibodi AchR lebih jarang ditemukan pada pasien prapubertas
dibandingkan pasien remaja/dewasa. Antibodi muscle-spesific kinase (MuSK)dan
Leucine rich protein 4 (LRP4) pernah dilaporkan pada beberapa pasien yang
seronegatif.
Klasifikasi
Terdapat 2 bentuk klinis miastenia gravis, yaitu:
1. Miastenia okular yang terutama atau hanya mengenai otot-otot mata (otot-otot
wajah dan anggota gerak bisa juga menunjukkan gangguan yang minimal),
2. Miastenia umum (generalized), dengan gejala kelemahan otot-otot bulbar dan
angota gerak sedang hingga berat.
-
99
Epidemiologi
MG relatif jarang ditemukan pada anak, namun insiden dan prevalensinya
bervariasi secara geografis. Presentasi MG pediatrik lebih sering pada populasi
oriental dibandingkan kaukasia. Hingga 50% dari semua kasus MG pada populasi
orang Cina terjadi pada masa kanak-kanak, terutama dengan manifestasi okular,
dengan onset terbanyak pada usia 5-10 tahun. Sebaliknya, pada populasi kaukasia,
lebih cenderung ditemukan pada usia dewasa, dengan onset prapubertas <10%
kasus.
Manifestasi klinis
Gejala-gejala awal tidak tampak hingga mencapai usia 6 bulan; dimana 75 %
penderita anak-anak menunjukkan gejala setelah usia 10 tahun. Onset prapubertas
berkaitan dengan kecenderungan pada laki-laki, gejala okular saja, dan seronegatif
terhadap antibodi reseptor asetilkolin, sedangkan onset postpubertas berhubungan
dengan kecenderungan pada perempuan, miastenia umum, dan seropositivitas.
Gambaran awal pada kedua bentuk klinis (baik okular maupun umum)
biasanya berupa ptosis, diplopia, atau keduanya. Antara 40 dan 50 % pasien
memiliki kelemahan otot bulbar atau anggota pada saat onset gejala okular.
Anak-anak dengan miastenia okular bisa menunjukkan gejala kelemahan
wajah ringan dan mudah lelah (fatigability) pada anggota gerak. Namun, tidak
ditemukan adanya kesulitan pernapasan atau berbicara maupun menelan. Kurang
lebih 20% pasien mengalami remisi permanen. Onset prapubertas lebih sering
berhubungan dengan remisi spontan.
Anak-anak dengan miastenia umum menunjukkan kelemahan umum dalam 1
tahun setelah gejala okular awal. Gejala-gejala berupa disartria, disfagia, kesulitan
mengunyah, dan mudah lelah pada anggota gerak. Remisi spontan sangat jarang
ditemukan pada tipe ini. Insufisiensi pernapasan terjadi pada sepertiga pasien anak
yang tidak diobati. Timoma dijumpai pada 15 % orang dewasa dengan miastenia
umum, namun pada anak diperkirakan kurang dari 5%. Saat dijumpai timoma pada
anak, meningkatkan kemungkinan ke arah malignan.
Diagnosis
Tes dengan edrophonium chloride seringkali ditetapkan sebagai standar
diagnosis, namun memiliki keterbatasan dan bahaya. Edrophonium chloride
merupakan antikolinesterase kerja singkat yang diberikan secara intravena dengan
dosis 0,15 mg/kg. sebelum memulai tes ini, harus ditetapkan target akhir dari
pemeriksaan, yaitu resolusi dari ptosis atau perbaikan motilitas okular, dan hasil tes
sulit dievaluasi tanpa adanya hasil-hasil tersebut. Ptosis biasanya berespon lebih
baik dibandingkan kelumpuhan otot okular. Efek yang mungkin terjadi pada pasien
yang supersensitif yaitu berupa fasikulasi dan henti napas. Untuk alasan ini,
pertama-tama suntikkan dosis uji coba sebesar sepersepuluh dari dosis penuh
(meskipun masih mungkin menimbulkan gangguan pernapasan pada dosis ini).
100
Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu disiapkan hand ventilator, dan antidot efek
muskarinik edrophonium yaitu atropin.
Pemeriksaan lain yaitu ice-pack test yang lebih mudah dan aman. Letakkan
kompres yang sangat dingin pada kelopak mata yang ptosis selama 2 menit.
Pembukaan parsial dari kelopak tersebut mendukung kemungkinan miastenia. Lima
menit beristirahat dengan mata tertutup bisa memberikan hasil serupa, tanpa
menggunakan es.
Hasil pemeriksaan repetitive nerve stimulation (RNS) abnormal pada 66%
anak-anak dengan stimulasi saraf proksimal, dan 33% pada stimulasi saraf distal.
RNS abnormal jarang ditemukan pada miastenia okular, namun merupakan
keharusan pada miastenia umum. pada miastenia ringan, didapatkan respon
decrement pada stimulasi frekuensi rendah (2-5 per detik) namun tidak halnya pada
stimulasi frekuensi tinggi (50 per detik). Sedangkan pada miastenia berat, respon
decrement didapatkan pada frekuensi rendah dan tinggi.
Single fiber EMG pada frontalis atau orbikularis okuli sangat sensitif untuk
diagnosis miastenia.
85% pasien miastenia yang diperantarai imun menunjukkan peningkatan
konsentrasi antibodi serum terhadap reseptor asetilkolin (>10 nmol/L). Di antara
yang seronegatif, banyak yang memiliki kelainan genetik akibat mutasi rapsyn dan
lainnya memiliki antibodi terhadap muscle specific tyrosine kinase (MuSK).
Diagnosis Banding
Botulisme Infantil
Sindroma miastenik kongenital
Penatalaksanaan
Dasar penanganan miastenia non-genetik pada anak adalah pengalaman dan
studi retrospektif, yang terutama dilakukan pada orang dewasa. Anak dengan
miastenia okular memiliki harapan untuk remisi spontan, namun berbeda halnya
dengan miastenia umum. Terapi antikolinesterase merupakan pilihan pengobatan
untuk myastenia okular. Dosis awal neostigmin 0,5 mg/kg tiap 4 jam pada anak < 5
tahun dan 0,25 mg/kg pada anak lebih besar (tidak melebihi 15 mg per dosis).
Dosis ekuivalen piridostigmin adalah empat kali lebih besar. Setelah memulai
pengobatan, dosis perlahan ditingkatkan sesuai kebutuhan dan toleransi. Tidak
didapatkan bukti yang kuat mengenai efektivitas imunoterapi awal dan timektomi
dalam mencegah perburukan miastenia okular menjadi umum, sehingga tidak
diterapkan pada anak-anak.
Tindakan timektomi dalam penatalaksanaan miastenia masih belum jelas.
Pengalaman menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak yang menjalani
timektomi pada awal perjalanan penyakit akan mengalami remisi dalam 3 tahun.
Namun, kortikosteroid juga memberikan hasil yang sama, dan tindakan timektomi
tidak akan mengurangi kebutuhan pengobatan kortikosteroid jangka panjang. Dosis
awal prednison adalah 1,5 mg/kg/hari, tidak melebihi 100 mg/hari. Setelah 5 hari,
diberikan terapi selang sehari sampai sebulan. Dosis kemudian diturunkan 10 %
tiap bulannya hingga mencapai dosis dimana pasien mengalami bebas gejala. Dosis
maintenance biasanya 10-20 mg selang sehari. Pemberian bersamaan dengan
101
POLINEUROPATI AKUT
Polineuropati secara harafiah diartikan sebagai disfungsi atau penyakit yang
mengenai banyak atau semua saraf perifer. Polineuropati akut relatif jarang
dijumpai, diantaranya sindroma Guillain Barr (GBS) atau yang juga dikenal
dengan acute inflamatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) yang paling khas,
dengan onset beberapa hari hingga maksimal beberapa minggu.
Polineuropati secara umum dibagi 2: demielinisasi dan aksonal (tabel 1).
Pada bayi baru lahir dan anak-anak istilah demielinisasi juga mengacu pada
kelainan dimana mielin tidak terbentuk (hipomielinisasi).
Tabel 1 Polineuropati dengan kemungkinan onset saat masa bayi.
102
Daftar Pustaka
1. Pia-Garza JE. The Hypotonic Infant. In: Fenichels Clinical Pediatric
Neurology 7th ed. New York: Elsevier Saunders; 2013:
GANGGUAN GERAK
Gangguan gerak adalah gangguan gerakan yang kompleks. Pada saat pemeriksaan klinik,
bila gangguan gerak belum terlihat, mintakan pasien atau keluarga pasien untuk membuat
rekaman video.
Kebanyakan gerakan adalah intermiten dan paroksismal. Dapat diawali oleh gerakan
(Chorea Huntington), startle (myoclonus), dan stres atau gerakan gerakan (tic). Banyak
gerakan abnormalitas menghilang dengan tidur tetapi harap dicatat pengecualian dengan
kejang, restless leg syndrome dan gerakan periodik saat tidur.
Karakteristik Klinik
Axial : terutama mencakup badan, dengan atau tanpa titubation (suatu gerakan involunter
ritmis kepala dan badan)
Appendicular : Terutama mengenai ekstremitas
- Proksimal : - bahu
- pelvis
- Distal : - tangan
- jari jari
- tungkai
- bilateral atau unilateral
Opsoclonus :
-gerakan chaotic mata
-gerakan paroksismal tak terduga dan tak teratur
Neuroanatomi
Secara anatomi belum dapat dipastikan lokasi kelainan di otak, namun dapat dikatakan
bahwa sistem ekstrapiramidal sering terlibat. Klinisi harus ingat bahwa gerakan normal
adalah hasil sintesis kompleks aliran dari piramidalis, ekstrapiramidalis dan sistem
serebelar, dimana satu dan lainnya saling mempengaruhi dan modulasi efek satu dengan
lainnya.
1. Ekstrapiramidalis
- Striatum (contoh, putamen dan nukleus kaudatus)
- Globus palidus
- Substansia nigra
2. Serebelum
- Vermis
- Hemisfer serebelum
103
Gangguan Klinik
Chorea dan athetosis
Tampak seperti gerakan tarian cepat yang mengenai sebarang tubuh dalam bentuk
stereotipik atau ritmik. Dalam usaha untuk menutupi chorea, seorang anak mungkin
mencoba membuat gerakan seolah bertujuan. Gerakan seolah bermain piano sering
dipakai untuk menggambarkan gerakan chorea tangan dan jari.
Chorea dapat dibuat dengan menyuruh anak menjulurkan lidah selama 10 sampai 30
detik. Tak dapat menjaga lidah tetap terjulur atau lidah keluar masuk menyarankan
adanya chorea. Tanda milkmaid adalah tanda tak bisa menjaga genggaman pada jari
pemeriksa. Tanda pronator adalah ketidakmampuan memegang tangan yang terentang di
atas kepala dengan tapak tangan mengarah ke dalam. Tangan akan cenderung kembali ke
posisi pronasi. Tanda shelving adalah hiperekstensi dari tangan bila dipegang dalam
posisi pronasi.
Athetosis didefinisikan sebagai gerakan writhing lambat yang secara primer mencakup
bagian distal ekstremitas. Pronasi dan supinasi alternating dengan gerakan difokuskan
pada aksis panjang tungkai tampak. Emosi yang meninggi atau stres bisa meningkatkan
gerakan. Bila writhing disertai gerakan cepat, disebutlah choreoathetosis. Chorea dan
athetosis sering terlihat dalam concert (contoh, choreaathetosis). Perbedaan keadaan ini
secara besar mirip.
Diagnosis Banding
DB diantara chorea dan/ atau athetosis atau satu kombinasi keduanya (choreoathetosis)
dapat agak luas. Perbedaan harus dimulai dengan satu grup generik (cth., kongenital,
genetik, obat obatan, infeksi, metabolik, neoplastik, vaskuler, dll). Daftar berikut tidak
dimaksudkan exhaustive, tetapi mencakup etiologi yang paling prominent
Etiologi
1.Kongenital
- Kernicterus
- Choreoathetotic cerebral palsy
2. Hipoksik iskemik
- Ruptur uteri
- Placenta abruptio
3. Genetik atau degeneratif
Huntington disease : Riwayat keluarga yang positif, tidak ada bayangan kaudatus
pada CT Scan, abnormalitas kromosom 4
Hallervorden-Spatz disease : Riwayat keluarga positif, deposit besi pada ganglia
basalis, gambaran mata macan pada MRI.
Penyakit Wilson;
-kadar copper meningkat dalam urin
-menurunnya kadar seruloplasmin
-cincin Kayser-Fleischer
-hasil tes fungsi liver abnormal
*Choreoathetosis paroksismal familial
*Abetalipoproteinemia (Bassen-Korzweig);
-acanthocytosis
-- lipoprotein menurun
-kadar kolesterol menurun
104
-retinitis pigmentosa
-foul bulky kotoran BAB
Obat obatan ;
-karbonmonoksida
-logam berat
-lithium
-Air raksa (Hg)
Infeksi ;
*pasca streptokokus (Sydenham);
-meningkatnya antistreptolisin-O
-meningkatnya anti DNAse B
-meningkatnya titer antinikotinamid adenin dinukleotidase
-murmur jantung
*ensefalitis;
Metabolik;
-hipokalsemia
-hipoglikemia
-tirotoksikosis
-hipoparatiroid
Neoplasma;
-tumor talamus
-tumor ganglia basalis
Vaskuler-kolagen;
-lupus
-poliarteritis
-hipertiroid
-anticardiolipin antibody syndrome
Trauma;
-Adalah sebab paling sering dari gangguan ini
Terapi (lihat di anak, pilihan obat, dosis)
Chorea berespon terhadap pengobatan dan obat yang umum dipakai adalah sbb;
*blok reseptor dopamin
-haloperidol
-thorazine
*barbiturat
*steroid
*benzodiazepin
-diazepam
-lorazepam
-klonazepam
*asam valproat
*penisilin; chorea Sydenham
*penisilinamin; penyakit Wilson
*inhibitor tiroid untuk tirotoksikosis
*dopamin untuk distonia responsif dopamin (penyakit Segawa)
105
Balismus
Gerakan balismus adalah gerakan flinging beramplitudo tinggi dari bahu atau pelvis.
Gerakan ini sering terlihat pada isolasi dalam anak.
Distonia
Karakteristik klinik
Distonia adalah suatu tingkah postural abnormal yang berasal dari kontraksi otot agonis
dan antagonis. Dapat disertai dengan pemutaran (twisting) atau pembalikan sepanjang
aksis tubuh, menghasilkan kontorsi tubuh. Distonia dapat disertai dengan
ketidakmampuan bergerak, berdiri atau berjalan. Bila distonia mengenai otot bulber, akan
mengganggu bicara sehingga timbul disartri dan gangguan intelegensia.
Tortikolis spasmodik, distonia torsi dengan posisi equinovarus, dan distonia fokal (cth.
writers cramp, blefarospasme atau distonia spasmodik) mengenai kelompok otot selektif.
Diagnosis Banding
*Obat; fenotiazin, blok reseptor dopamin
*Histeria
*Simtomatik; pos infeksi, traumatik
*Genetik; Batte disease, Huntington disease, Hallervorden-Spatz disease
Distonia Paroksismal
1. Distonia paroksismal (nonkinesiogenik) khoreoatetosis;
-episode distonia dan khoreoatetosis
-mengenai wajah, tangan, badan dan ekstremitas
-berakhir dalam menit sampai jam
-bisa mulai saat istirahat
-timbul mendadak
-diperkirakan diturunkan
-berespon dengan klonazepam, haloperidol, asam valproat dan asetazolamid
2. Kinesiogenik paroksismal khoreoatetosis;
-lebih singkat dari nonkinesiogenik khoreoatetosis (kurang 2 menit)
-bisa timbul sampai lebih 100x per hari
-presipitasi oleh gerakan, stratle, stres dan kegembiraan berlebihan
-gerakan terdiri dari distonia, khoreoatetosis dan balismus
-berespon dengan antikonvulsan
3.Distonia yang respon terhadap Dopa (Segawa disease);
-dominan otosomal
-onset 5 tahun
-variasi diurnal yang memburuk malam hari dan membaik pagi hari
-dengan distonia kaki
-gambaran Parkinson
-respon secara dramatis dengan L-Dopa dosis kecil
Mioklonus
Didefinisikan sebagai jerking cepat dari sebuah atau sekelompok otot, biasanya disertai
keseleo sendi. Dapat fokal atau umum, ritmis atau aritmis dan spontan atau dicetus oleh
gerakan. Kebanyakan dicetus oleh tidur. Mioklonus yang diaktifkan dengan gerakan
106
disebut mioklonus aksi dan yang dicetus oleh sitmulasi sensorik disebut mioklonus
sensitif refleks.
Opsoklonus adalah gerakan konjugasi mata yang cepat, chaotic dan seperti menari.
Jarang yang dengan diskonjugasi dan kadang kadang disertai osilopsia yakni sensasi
gerakan visual ketika mata digerakkan dari satu posisi ke posisi lain.
Klasifikasi
1. Epileptik dan non epileptik
2. fisiologik; benign, tidur
3. patologik; umum, subkorteks, batang otak, medula spinalis
4. progresif atau nonprogresif
5. tonus negatif (cth; arteriksis-kehilangan tonus)
Clinical entities
*Epilepsi; JME, Infantile spasm
*HIE
*Gangguan ganglia basalis
*Drug induced; asam valproat, karbamazepin, TCA
*Storage disease
*Ensefalopati metabolik ; liver disease, renal failure
*Infeksi: ensefalitis, SSPE (Subacute sclerosing pan-encephalitis)
Tics
Adalah gerakan stereotipik tiba tiba yang dapat berupa motorik atau vokal. Bersifat
involunter dan dengan usaha, dapat ditekan.
Karakteristik Klinis
*Meningkat dengan stres
*Bila tidur menghilang
*Biasanya paroksismal atau bukal
*Mulainya akhir separuh dekade pertama kehidupan; bisa seumur hidup.
Jenis
1. Sederhana; kedip mata, gerakan bahu, gerakan lengan dan tungkai
2. Kompleks; meraba, bruxism, melompat, skipping, ekhopraksia
3. Vokal; sederhana atau kompleks seperti grunting, snorting, barking atau
neologism, panting, bersiul, koprolalia
Tremor
Adalah gerakan ritmis, osilasi dengan kecepatan, ampiltudo dan kekuatan yang dapat
diramalkan. Dapat pelan atau cepat.
*Familial;
-Dominan otosomal
-Mengenai tangan dan dapat menjalar proksimal, sering dagu dan kepala mengeleng
geleng.
-Baik dengan blok beta dan etanol
*Tremor postural;
Terjadi bila lengan extensi. Frekuensi dapat berubah sepanjang waktu, dihambat dengan
blok adrenergik. Tremor ini meningkat oleh capek dan cemas, hipertiroidism dan agonis
epinefrin.
107
Spasmus Nutan
Bersifat horizontal bobbing (tremor no) dari kepala; disertai dengan nistagmus satu
atau ke dua mata.
-Onset 3 bulan sampai 1 tahun
-Menghilang usia 2-4 tahun
-harus disingkirkan glioma khiasmatik
Sindroma Tourette
1. Tics; gejala khas adalah tic motorik atau fokal yang berlangsung lebih setahun
2. disertai gambaran; gangguan obsesi kompulsif, ADHD, ada riwayat keluarga
3. terapi dengan blok reseptor dopamin, klonidin, pimozin, selective serotonin
reuptake inhibitors dan konseling.
Kriteria diagnosis
a. Onset gejala sebelum usia 21 tahun
b. Adanya tic motorik dan setidaknya satu vokal ( tidak harus berbarengan)
c. Gejala hilang timbul dengan perkembangan tic progresif
d. Gejala tic setidaknya satu tahun.
e. Tidak adanya penyakit yang mendahului ( seperti ensefalitis, stroke, penyakit
degeneratif) atau berhubungan dengan potensial tic-dicetuskan obat-obatan.
f. Pengamatan ticdari pengetahuan individu.
Tics, komponen penting dalam sindrom ini / karakteristik :
a. Brief voluntary suppression ( supresi volunter singkat )
b. Eksaserbasi karena ansietas, excitement, kemarahan atau kelelahan
c. Penurunan selama pengurangan aktifitas dan tidur;
d. Fluctuation over time (Fluktuasi berulang)
Daftar Pustaka;
1.Barkley RA., ADHD. in Mash EJ., ed. Childhood disorder. The Guilford Press. New
York. 1989:39-66
2.Cohen ME., Duffner PK., Weiner&Levitts Pediatric Neurology. 4th ed.Lippincott.,
Philadelphia. 2003: 257-267.
3.Maria BL., Tourettes syndrome. In: Current management in child neurology. 3rd.ed.
BC Decker Inc. London.2005: 350-351
CEDERA KEPALA
Pendahuluan
Cedera kepala merupakan salah satu dari penyebab tersering kecacatan dan
kematian pada anak. Setiap tahun cedera kepala menyebabkan kematian 7.000 anak di
Amerika. Di Indonesia data epidemiologis secara nasional belum ada.. Kejadian pada
anak laki-laki 2 kali lebih banyak dari pada anak perempuan. Insiden paling tinggi pada
usia remaja dan insiden kedua tertinggi pada anak usia < 1 tahun. Mekanisme penyebab
cedera yang paling sering adalah jatuh, kecelakaan motor atau pejalan kaki di jalan raya,
kecelakaan bersepeda atau olah raga dan akibat penganiayan pada anak. Kecacatan yang
timbul setelah trauma dapat berupa cacat fisik, epilepsi paska trauma, gangguan kognitif
108
dan gangguan belajar, problem emosi dan prilaku dan berdampak terhadap kualitas hidup
anak.
Definisi
Berdasarkan anatomi cedera kepala merupakan trauma diatas dari mandibula
termasuk kulit kepala, tengkorak, meningen, pembuluh darah intra maupun ekstraserebral
dan kerusakan jaringan otaknya sendiri. Cedera otak traumatik merupakan subgrup dari
cedera kepala.(1)
Klasifikasi (2,3)
Beratnya cedera otak ditentukan oleh lamanya penurunan kesadaran dengan
parameter Skala Koma Glasgow (SKG) setelah resusitasi. Klasifikasi ini dibagi 3 kondisi
antara lain:
1. Cedera otak ringan dengan Skala Glasgow Koma 13-15
2. Cedera otak sedang dengan Skala Glasgow Koma 9-12
3. Cedera otak berat dengan Skala Glasgow Koma 8.
Tabel 1. Skala Glasgow Koma pada anak
< 6 bulan
6-12 bulan
1-2 tahun
2-4 tahun
5 tahun
Membuka
mata
Spontan
Dipanggil
Dengan nyeri
Tidak
=4
=3
=2
=1
Spontan = 4
Dipanggil = 3
Dengan nyeri
=2
Tidak
=1
Bunyi vokal 3
Menangis = 2
Tidak
=1
Spontan = 4
Dipanggil = 3
Dengan nyeri
= 2
Tidak
=1
Kata-kata = 4
Bunyi vokal 3
Menangis = 2
Tidak
=1
Spontan = 4
Dipanggil = 3
Dengan nyeri
=2
Tidak
=1
Kata-kata = 4
Bunyi vokal 3
Menangis = 2
Tidak
=1
Fleksi = 3
Elstensi = 2
Tidak respon= 1
Lokalisasi = 4
Fleksi
=3
Ekstensi = 2
Tidak
=1
Lokalisasi = 4
Fleksi
=3
Ekstensi = 2
Tidak
=1
Bisa
diperintah = 5
Lokalisasi = 4
Fleksi
=3
Ekstensi = 2
Tidak
=1
Spontan = 4
Dipanggil = 3
Dengan nyeri
=2
Tidak
=1
Orientasi = 5
Kata-kata = 4
Bunyi vokal 3
Menangis = 2
Tidak
=1
Bisa
diperintah = 5
Lokalisasi = 4
Fleksi
=3
Ekstensi = 2
Tidak
=1
Respon
verbal
Menangis
=2
Tidak respon = 1
Respon
motorik
Total skor
11
12
13
14
Patofisiologi
Efek cedera akibat trauma ada 2 mekanisme:
A. Efek primer akibat proses percepatan dan perlambatan akibat tekanan fisik pada
kepala . Kerusakan tersebut bisa lokal atau difus. Kerusakan lokal berupa
kontusio maupun laserasi ditempat benturan ( `coup` ) dan bisa diseberangnya
(`contracoup`)
1. Lesi yang timbul merupakan efek langsung dari trauma dapat berupa :
1) Lesi intra aksial
(a) Diffus aksonal injuri
(b) Kontusio di kortikal
(c) Subkortikal injuri
(d) Brainstem injuri
2) Hematom ekstra aksial
(a) Ekstra dural
(b) Subdural
109
3) Perdarahan difus
(a) Subarakhnoid
(b) Intraventrikuler
4) Injuri primer pada vaskuler
2. Efek sekunder timbul akibat proses komplikasi dari injuri : (3)
110
struktural yang nyata. Bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada
goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.
Gejala : kebingungan,
sakit kepala
dan rasa mengantuk yang abnormal
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari..
Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang
lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar
dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini.
Untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen.
Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam otak
atau diantara otak dengan tulang tengkorak. perdarahan bisa terlihat pada CT scan atau
MRI.
Gejala: sakit kepala yang menetap
penurunan kesadaran sampai koma
kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi
gangguan pernafasan atau gangguan jantung,
hematoma yang luas akan menyebabkan herniasi.
kematian.
Hematoma epidural dan subdural
Epidural hematom berasal dari perdarahan di arteri atau vena yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak.Subdural
hematom akut terjadi akibat robeknya vena yang melewati ruang subdural ke sinus
duramater.
Diagnosis dini sangat penting dan dideteksi dengan CT scan.
111
Gambar 2 CT scan Subdural hematom sebelum, dan sesudah operasi evakuasi hematom
Tabel 1. Gejala klinis epidural dan subdural hematom (4)
Supratentorial
Epidural
Subdural
Frekuensi
Fraktur tulang kepala
Sumber perdarahan
Usia
Lokasi
Lateralisasi
Kejang
Perdarahan preretina
Peninggian TIK
Gambaran CT scan
Kematian
Morbiditi
Tidak sering
70%
Arteri atau vena
Biasanya > 2 tahun
Biasanya temporaparietal
Biasanya unilateral
< 25 %
Tidak biasa
Ya
Biasanya lentikuler
Relative tinggi
Rendah
Infratentorial
Epidural
Subdural
Frekuensi
Fraktur tulang kepala
Sumber perdarahan
Gangguan kesadran
Akut hidrosefalus/ kompresi
medulari
Gejala posterior yang lain
Kurang
Sering
Vena
Sering
Bervariasi
Bervariasi
Bervariasi
Hematoma epidural dan subdural diatasi sesegera mungkin dengan operasi sesuai
indikasi.
Perdarahan Subrakhnoid
Perdarahan diruang subarakhnoid sering pada shaking injuri
Gejala : sakit kepala
Kaku kuduk
letargi
112
Kejang
Ubun-ubun membonjol
Muntah 5 kali atau > 6 jam
Perburukan defisit neurologis
Kecurigaan penganiayaan anak
Indikasi relatif (resiko sedang)
Muntah 3-4 kali
Penurunan kesadaran < 1 menit
Riwayat sebelumnya iritabel, lethargy dan saat diperiksa sudah membaik
Hematom dikepala
Mekanisme kecelakaan berat, tinggi
Riwayat koagulopati
Tatalaksana (2,3,4,5)
Medikamentosa:
1. ABC : bebaskan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi, terapi bila ada syok,
hipotensi, hipoksia. Elevasi kepala 30 derajat
2. Bila terjadi penggian TIK atasi dengan pemberian cairan hiperosmolar
seperti Manitol dosis 0,5-1 gr/kgBB dengan terlebih dahulu menghitung
osmolaritas darah pasien sebelumnya, bisa diberikan Furosemid dosis 0,51 mg/kgBB setiap 4-6 jam, liat kesadaran menurun.
3. Bila tidak berhasil dapat diberikan barbiturat 4-6mg/ kg IV thiopental
diikuti infus kontinu 6-8mg/kg.
4. Bila kejang beri IV fosfophenitoin 10-15mg/kg loading dose, diikuti
maintence 4-8 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis.Alternative lain lorazepam
0,05- 0,1 mg/kgBB). Bila status tatalaksana sesuai dengan tatalaksana
status konvulsivus.
5. Atasi gangguan elekttrolit yang ditemukan.
6. Nutrisi sesuai kebutuhan dan umur anak.
Operasi :
Indikasi untuk operasi pada anak tidak terlalu agresif. Operasi dilakukan bila hematoma >
5 mm, ada peninggian TIK.
Prognosis: (5)
Tergantung dari :
penyebab dan berat cedera otak
Type dan perluasan cedera
Variasi diluar cedera
Usia anak
Riwayat Behavioral
Premorbid keluarga
Faktor setelah cedera
Peran keluarga
Rehabilitasi
Gejala sisa setelah truma
Defisit Motorik, pendengaran and penglihatan
Gangguan berbahasa
115
Perubahan Behavioral
Disfungsi Kognitif : penurunan IQ, gangguan memori, atensi, konsentrasi, fungsi
eksekutif
Gangguan belajar
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. The Management of Minor Closed head Injury
in Children. Pediatrics 1999. Vol 104 (6). 1407-1415
2. Berger Pardes Rachael and Adelson David. Evaluation and Management of
pediatric head trauma in The Emergency department : Current Concept and Stateof-the Art research. Clinical Pediatric Emergency Medicine, 2005. Elsevier 6:8-15
3. Menkes J.H Sarnat H.B, Maria. Bernard; Postnatal trauma and Injuries by
Physical agents;Child Neurology, 7 ed, Liipincot William Philadelphia 2006,
659- 670
4. Maria Bernard, Current Management in Child neurology 3 ed. BC Decker London
, 2006. page 515-524
5. Swaiman K, Ashnal S, Ferriero, traumatic Brain Injury in Children; Pediatric
Neurology Principles & Practices, 4 ed Elsevier, 2006, page 873-897
116
Beberapa kondisi statistik di Amerika Serikat 9% dari populasi dewasa dari 25 juta orang
menderita nyeri derajat sedang sampai berat dalam 6 bulan terakhir, tidak termsuk pain
karena kanker.
Perlangsungan nyeri dilaporkan sbb.:
Antara 6 bulan sampai 1 tahun : 10%
Satu - 5 tahun
: 34%
Lebih dari 5 tahun
: 56%
Berikut ini pengaruh gaya hidup yang mempengaruhi nyeri:
Gangguan tidur
: 68%
Kesulitan berjalan
: 53%
Tidak dapat konsentrasi : 42%
Problem pekerjaan
: 34%
Hubungan kerja kurang baik: 26%
Depresi
: 18%
Merasa tak berguna
: 12%
Alkoholisme
: 10%
Minoritas etnis mendapat terapi kurang adekuat untuk painnya dibanding kelompok non
minoritas. Hanya 35% dari minoritas pasien dengan kanker mendapat pengobatan dosis
tinggi dibanding 50% etnis Kaukasia.
Pasien dengan umur lebih tua melaporkan nyeri dua kali lebih berat dibanding
kelompok lainnya
Bagian II: Penentuan pain dengan 5 vital sign
Manajemen pain akan berhasil bila asesmen pain dibuat dengan tepat. Jangan pernah
membuat asumsi bahwa pasien tidak nyeri. Tanya beberapa kali dan ulang. Beri
perhatian terhadap ekspresi wajah serta bahasa tubuhnya. Asesmen nyeri dikerjakan
secara teratur, individual terhadap masing-masing pasien, serta catat dengan baik. Berikut
ini adalah komponen dari asesmen nyeri:
- Dimana rasa terlukanya?
- Bagaimana rasanya?
- Seberat apakah nyerinya?
- Berapa lama nyeri berlangsung, apakah hilang timbul atau menetap?
- Apa yang membuat membaik atau memperburuk?
- Apakah mengganggu tidur?
Pain dapat bersifat akut atau kronis. Mayoritas nyeri akut berlangsung singkat dan
hampir semuanya disebabkan oleh kerusakan jaringan atau organ. Sebagian besar
nyerinya akan menghilang setelah pengobatan. Nyeri kronis perlu waktu untuk
kesembuhannya. Hal ini mungkin berhubungan dengan trauma serius seperti terbakar
atau karena kanker. Mungkin juga sebabnya tak diketahui. Ke dua jenis nyeri tersebut
dapat diobati secara efektif.
Bagian III: Managemen pain
Nyeri sebaiknya diterapi dengan obat-obatan, cara invasif chas atau dengan beberapa
alternatif penghilang nyeri secara non invasif. Analgesik atau penghilang nyeri dibagi
menjadi 3 katagori.
1. Non-opioid selain
non steroid anti inflamasi seperti ibuprofen atau asetaminophen
(Tylenol). Obat-obat tersebut digunakan untuk mengobati nyeri derajat ringan sampai
sedang.
117
2. Opioid digunakan untuk nyeri derajat sedang sampai berat. Obat lain yang termasuk
golongan tersebut antara lain: morphine, codeine dan fentanyl.
3. Beberapa obat lain yang dapat digunakan sebagai pengganti opioid atau non-opioid.
antara lain anti depresan untuk stimulasi steroid.
Salah satu efek samping yang paling sering dijumpai adalah konstipasi, yang harus
diterapi dengan meningkatkan intake cairan, latihan secara teratur, tingkatkan diit serat
dari makanan berupa buah dan sayur. Bicarakan kemungkinan diberikan laksan oleh
dokter
Prosedur invasif mungkin digunakan untuk nyeri kronis dan dilakukan oleh spesialis
pain. Lisensi terhadap dokter yang akan melakukannya termasuk rhizotomi dan atau blok
saraf. Beberapa tindakan lain yang tak invasif antara lain: masase, terapi pamnas atau
dingin, relaksasi dengan biofeedback, latihan pernafasan, relaksasi otot secara progresif,
akupunktur, latihan serta terapi sentuhan.
Dapat ditambahkan bahwa penentun nyeri harus dilakukan secara teratur, harus
didokumentasikan serta catat secara lengkap setelah dilakukan pengobatan atau
perlakuan.
Bagian IV : Managemen pain dalam siklus kehidupan
1.Bayi
Karena bayi belum dapat menyatakan nyerinya secara verbal, maka pembantu harus
dapat melihat gejala non verbal yang menunjukkan adanya gejala nyeri. Disini termasuk
tangisa, gelisah, tangan dan kaki kaku, berdebar atau tekanan darah meningkat. Tentukan
kondisi paling nyaman pada bayi termasuk pemberian obat dan lain-lain.
2.Anak dalam masa pra sekolah atau masa sekolah (Gambar???)
Anak yang merasakan sakit belum dapat menceriterakan secara jelas seperti orang
dewasa. Anak kurang dari 4 tahun akan lebih susah menyampaikan derajat keluhan
nyerinya dibanding umur yang lebih tu. Penggunaan skala nyeri dengan penanda akan
lebih efektif untuk anak seumur ini. Satu penanda berarti sedikit nyeri, tanda II berarti
lebih nyeri, III lebih nyeri dan IV berarti paling sakit
Anak-anak sekitar 5 tahun mungkin dapat dinilai secara lebih efektif dari ekspresi
wajahnya, sementara pada anak umur 6 tahun ke atas secara keseluruhan sudah dapat
mengatakan nyeri secara keseluruhan. Mungkin mereka dapat memfokuskan rasa
nyerinya atau dimana lokasi nyerinya Mungkin juga mereka dapat menentukan kondisi
yang dapat membuat lebih nyaman.
Mungkin anak dapat memperlihatkan nyerinya dengan menangis, dari wajah yang
kesakitan atau dengan menunjukkan dimana lokasi rasa nyeri tersebut. Mungkin juga
mereka makan lebih sedikit dibanding biasanya, kurang aktif dan atau lebih banyak
tidur dibanding biasanya. Mungkin pula onsetnya sebentar, nyeri jelas, seperti ditusuk
jarum yang lebih nyata dibanding nyeri lainnya.
Sering kali anak memberikan respon yang bagus terhadap penghilang nyeri. Orng tua
adalah pengobat psikologi terbaik untuk nyeri. Pemberian perhatian diluar pengobatan
biasanya akan sangat membantu mengurangi keluhan nyeri.
Bagian V: pasien nyeri dengan gangguan berpikir dan berbicara
Penderita dengan penurunan kemampuan berkomunikasi secara efektif karena demensia
atau trauma , sukar untuk mengekspreikan nyeri atau rasa ketidak nyamanan untuk
jangka waktu agak lama.. Dapat ditambahkan bahwa riwayat sebelumnya membuat
pasien kurang peka terhadap nyeri atau dalam membedakannya dengan keluhan lainnya.
118
Pada kenyataannya kasus sehat secara keseluruhan sukar untuk menyatakan adanya pain
sebagai keluhan verbal
Gejala non verbal sangat bervariasi, antra lain termasuk:
1). Kesakitan, nyeri di seluruh kepala, serta mengeratkan gigi
2). Rasa nyeri hilang timbul
3). Rasa tak nyaman
4). Menangis atau nafas bersuara
Beberapa tambahan teknis dalam menentukan nyeri termasuk:
1). Gunakan kata singkat serta nada suara normal.
2). Menggunakan waktu secara efisien selama komunikasi dengan pasien
3). Tanyakan pada pasien dengan jawaban ya atau tidak sambil menunjuk lokasi nyeri
4). Individu biasanya masih mampu menggunakan skala nyeri secara sederhana dari
angka 1 sampai 5, atau dari skala ekspresi wajah
5). Tanyakan pada keluarga dan atau perawatnya yang mungkin melihat pasien relatif
lebih sering serta teratur.
Bagian VI: rencana perawatan pin
Tujuan managemen nyeri terhadap pasien adalah memperkecil atau menghilangkan nyeri,
atau mengurangi nyeri sampai tingkat yang bisa diterima pasien. Mencegah nyeri lebih
mudah dibanding mengobati merupakan salah satu cara yang harus dipegang. Nyeri
merupakan suatu kondisi darurat. Penting mengikuti perkembangan pasien dengan
lanjutan keluhannya walaupun sudah diberikan pengobatan. Jawaban dari perawat akan
menunjukkan perkembangan nyeri pasien.
Perawat perlu pro aktif dalam mendapatkan rencana perawatan pain chususnya untuk
jenis yang kronis, sbb.,
1). Ikuti dan antisipasi masalah-masalah yang berkaitan dengan nyeri
2). Harapan hasil achir dari intervensi serta pasien dengan nyeri derajat berat
3). Tentukan strategi dalam mangemen pain.
Salah satu bagian nyeri pada anak yang tidak kalah pentingnya adalah nyeri kepala. Nyeri
kepala menduduki peringkat pertma dari seluruh keluhan nyeri
Headache atau nyeri kepala pada anak merupakan masalah umum yang sering
dikeluhkan anak. Nyeri kepala disini mungkin merupakan manifestasi nyeri kepala
primer karena migrain, tension, cluster headache atau nyeri kepala sekunder akibat
kelainan di sistema saraf pusat.
Penanganan nyeri kepala oleh dokter, tidak boleh melupakan faktor emosi serta fisik agar
didapat diagnosis yang benar dan penanganan yang tepat. Orang tua serta dokter harus
mewaspadai kemungkinan penyebab neurologis yang cukup serius pada nyeri kepala,
walaupun sering kali dikira penyebab di luar sistema saraf sentral.. 2
Penyebab nyeri pada anak, dapat pula karena neuropati perifer.4. Neuropati perifer pada
anak juga perlu dicermati. Beberapa kasus neuropati pada anak sering sangat
berpengaruh terhadap kualitas hidup anak, sedangkan sebagian diantaranya kurang
efektif di dalam pengobatannya. Untuk kelainan bawaan neuropati masih sangat minim
diketahui mekanismenya, sehingga untuk kelanjutannya yang akan bersifat progresif dan
ireversibel kurang memberikan harapan. Neuropati karena inflamasi lebih mudah di
terapi sebab etiologinya jelas.
119
Terdapat
kemungkinan untuk keberhasilan terapi. 1) Bila penyebabnya dapat
diidentifikasi maka pengobatan lngsung ditujukan pada penyebabnya. 2). Seandainya
tidak diketahui penyebabnya, perbaikan metabolisme sarafnya sendiri perlu dievaluasi.
3). Pengobatan simtomatis tidak boleh dilupakan, chususnya pada anak yang masih
bertumbuh dan berkembang. Operasi mungkin direkomendasikan untuk mencegah
kontraktur, atau mungkin dengan prothese.
Diagnosis neuropati perifer dapat ditegakkan berdasarkan proses patologis yang
mempengaruhi saraf tepi antara brainstem atau medula spinalis yang akan merangsang
gerakan. Beberapa ktagori neuropati anak antara lain:
1. Polineuropati
Polineuropati akan mengenai sistema motorik dan sensorik saraf dalam bentuk
campuran. Distribusinya bagian distal lebih dominan dan biasanya simetris. Gejala
yang ditimbulkan dapat bersifat kronis atau akut, genetik, toksik, defisiensi nutrisi
atau inflamasi.
2. Mononeuropati
Mononeuropati mengenai satu sisi saraf dengan tipe campuran motorik dan
sensorik. Lokasi biasanya pada satu saraf dengan penyebab karena trauma,
entrapment atau keganasan.
3. Mononeuritis multipleks
Mononeuritis multipleks mengenai saraf tepi secara multipel, melibatkan saraf
serta lokasi multipel, dengan penyebab vaskular serta melibatkan jaringan kolagen.
4. Radikulopati
Radikulopati melibatkan simpul saraf spinal tunggal dengan lokasi yang sesuai
dengan simpul saraf yang terkena. Penyebab radikulopati antara lain karena sebab
struktural, tumor, kolagen atau vaskular.
5. Poliradikulopati
Poliradikulopati mengenai simpul saraf secaramultipel, sesuai dengan dermatom
atau miotom yang terkena. Penyebab poliradikulopati dapat karena inflamasi, infeksi
serta neoplasma
6. Pleksopati
Pleksopati melibatkan pleksus brachial dan lumbal. Distribusinya kompleks dan
mengenai pleksus secara selektif. Pleksopati dapat disebabkan karena proses
inflamasi, struktural serta karena trauma.
ABC mangemen pain
AHCPR (The Agency for Health Care Policy and Research) merekomendasikan ABC
untuk mnagemen pin atau nyeri :
A: tanyakan tentng pain secara teratur dan tentukan nyerinya secara sistematis
B: percaya pada pasien dan keluarganya tentang laporan nyeri serta apa faktor yang
dapat mengurangi nyerinya
C: pilih beberapa alternatif yang diharapkan pasien , keluarga berikut cara yang dapat
mengontrol nyeri
D: kirimkan waktu untuk intervensi, logis serta kerja sama yang baik
E: berdayakan pasien dan keluarganya. Pasien diberi pengarahan agar dapat
mengontrol kondisinya bila memungkinkan
Kesimpulan
1). Nyeri pada anak cukup banyak dikeluhkan
120
2). Nyeri dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, sehingga perlu anamnesis yang teliti
terhadap anak, orang tua, guru atau orang terdekat disekeliling pasien
3). Kesulitan dalam mengekspresikan nyeri, perlu suatu asesmen sebagai salah satu
parameter obyektif
4). Pemberian analgesik bersifat simtomatis untuk mengurangi atau menghilangkan
nyeri sesuai dengan derajat nyeri. Terpenting adalah mencari penyebab nyeri
5). Edukasi terhadap pasien sangat menentukan keberhasilan managemen nyeri
6). Nyeri kepala merupakan keluhan nyeri terbanyak
Daftar Pustaka
1. Champion Medical Staffing . Pain Assesment and Management
2. Rothner AD. Hedaches dalam Pediatric Neurology Principles and Practice KE
Swaiman & S. Ashal (eds). 3 rd ed. Vol. 2 Mosby Inc., Toronto, pp 747-758,
1999
3. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology, A Sign and Symptom Approach. 4 th.
ed. Saunders Elsevier Science, Philadelphia, 2001.
4. .Ouvrier R; Ryan MM & Redmond A. Treatment of Peripheral Neuropathies in
Treatment of Pediatric Neurologic Disorders. Harvey SS; Kossoff EH; Hartman AL &
Crawford TO. Eds. Taylor & Francis Group USA pp 177-184, 2005
Buka mata
Respon verbal
Nilai
Spontan
Terhadap perintah
Terhadap sakit
Tidak ada
Terorientasi
Sesuai
usia,
terorientasi,
ikuti
4
3
2
1
122
Bingung
Disorientasi
Kata-kata tidak tepat
Suara tidak
dimengerti
Tidak ada
Respon motor
Mengikuti perintah
Melokalisasi nyeri
Menghindari nyeri
Fleksi
abnormal
terhadap nyeri
Ekstensi abnormal
Tidak ada
Nilai
terbaik
4
3
2
1
Mengikuti
perintah,
gerakan
spontan.
Melokalisasi nyeri
Menghindari nyeri
Fleksi abnormal terhadap nyeri
Ekstensi abnormal
Tidak ada
2
1
total
5
4
3
15
Respon
Spontan
Terhadap suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
Nilai
4
3
2
1
Terorientasi
Kata-kata
Suara-suara
Menangis
Tidak ada
5
4
3
2
1
Mengikuti perintah
Melokalisasi nyeri
Fleksi terhadap nyeri
Ekstensi terhadap nyeri
Tidak ada
5
4
3
2
1
9
11
12
14
123
PATOFISIOLOGI 1,2,3
Kesadaran merupakan hubungan yang kompleks antara korteks serebri dan ARAS.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penyakit atau keadaan yang menyebabkan
terjadinya disfungsi korteks serebri bilateral, disfungsi ARAS atau keduanya. Beberapa
keadaan yang daapat menyebabkan penurunan kesadaran adalah :
1. Ensefalopati metabolic, toksik, infeksi mengakibatkan gangguan difus pada
hemisfer serebri , ARAS atau keduanya.
2. Massa supratentorial yang menyebabkan penekanan atau perubahan struktur
diensefalon atau batang otak
3. Massa subtentorial atau lesi destruktif yang menyebabkan penekanan atau
kerusakan pada ARAS.
4. Traumatic Axonal injury menyebabkan kerusakan hemisfer serebri dan ARAS
atau hubungan diantaranya.
DIAGNOSIS
A. Anamnesis 1,6,7
Anamnesis yang didapat dari orang tua adalah informasi yang penting dalam
evaluasi untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Berbagai hal yang perlu
ditanyakan adalah sebagai berikut : penyakit yang pernah diderita sebelum terjadi
gangguan kesadaran, seperti epilepsy, diabetes, penyakit hati, penyakit ginjal,
penyakit jantung kongenital. Selain itu juga riwayat pemakaian obat-obatan,
inborn error metabolism atau juga riwayat penggunaan pemanas (kemungkinnan
keracunan karbon monoksida). Ditanyakan juga apakah kejadian penurunan
kesadaran ini terjadi mendadak (kemungkinan suatu perdarahan intracranial),
adanya trauma kapitis sebelumnya, atau terjadi gangguan kesadaran secara
bertahap (tumor supratentorial, kelainan metabolic). Penting juga diketahui
apakah terdapat deficit neurologi yang menyertai gangguan kesadaran. Hal lain
yang perlu diketahui adalah adakah panas badan, nyeri kepala, muntah-muntah.
Anamnesis ini juga dapat menentukan kemungkinan penyebab penurunan
kesadaran ini apakah structural atau metabolic. Kelainan structural dicurigai bila
kejadiannya mendadak, terdapat deficit neurologi yang jelas.
B. Pemeriksaan fisik umum 1,6,7
Mulai dengan pemeriksaan tanda vital, yaitu : menentukan tingkat kesadaran,
memeriksa nadi, respirasi, tekanan darah dan suhu tubuh. Adanya laju nadi yang
cepat kemungkinan terjadi syok hipovolemik, efek sekunder dari panas badan
yang tinggi, atau gagal jantung . Laju nadi yang kurang dari normal kemungkinan
124
2. Pemeriksaan untuk menentukan letak lesi patologis di otak atau batang otak,
yang meliputi :
Observasi umum adakah gerakan menelan, menguap, adanya gerakan ini
menunjukkan bahwa fungsi nucleus batang otak masih relative baik. Posisi
lengan dan tungkai, bila kedua lengan dalam keadaan fleksi kemungkinan
letak lesi di hemisfer otak, apabila kedua lengan dan tungkai ekstensi
kemungkinan gangguan ada di batang otak dan serius. Selain itu pola
pernafasan juga dapat menunjukkan kelainan di otak seperti dapat dilihat pada
tabel :
Pola nafas
Apneu disertai dengan hiperpneu
Gangguan serebral bilateral atau diensefalon (ancaman herniasi
atau gangguan metabolik
Pernafasan cepat
Asidosis metabolic, hipoksia atau keracunan (amfetamin, kokain)
Kelainan di daerah mid pons mid brain)
Berhentinya inspirasi
Kelainan di pons atau medulla
Tidak ada pola
Kelainan di medulla
Akibat alcohol, narkotik atau sedative
Kelainan di ARAS
126
rangsang cahaya. Pupil pinpoint ditemukan akibat lesi di daerah pontin. Pada
table dapat dilihat kelainan pupil.
Tabel 4. Gangguan refleks pupil dan gerakan bola mata pada penurunan
kesadaran
Dilatasi pupil
Konstriksi pupil
Pupil midsized
Gerakan bola mata
Refleks
Respon motorik1,6,7
Fungsi motorik dapat memberikan informasi lokasi lesi, karena itu perhatikan
posisi ekstremitas, gerakan spontan, reaksi terhadap nyeri dan refleks.
Kelemahan motorik unilateral merupakan petunjuk lesi structural
Tidak adanya respon motorik dengan flasiditas dan arefleksi dapat
terjadi pada ensefalopati toksik-metabolik dan lesi yang menyebabkan
hilangnya seluruh fungsi kortikal dan batang otak sampai daerah
ponto-medularis sepertipada koma terminal atau keracunan sedative
berat.
127
Diensefalik
Postur
Normal
Hemiparesis
Dekortikasi
Deserebrasi
Flaksid
Tonus/refleks/plantar
Normal
Unilateral pyramidal
Bilateral pyramidal
Flaksid/plantar ekstensi
Gerakan sakkadik
Deviasi mata maksimal
Deviasi mata minimal
Tidak ada gerakan mata
Normal
Diensefalik
Midbrain/di atas pons
Dibawah pons
Nistagmus
Deviasi mata ke arah telinga
yang dimasuki air
Deviasi mata minimal
Tidak ada gerakan mata
Normal
Diensefalik
128
mata
Ukuran pupil
Normal di tengah
Kecil
Dilatasi Unilateral
Dilatasi bilateral
Bereaksi cepat
Tidak responsif
Pola respirasi
Normal
Cheyne Stokes
Hyperventilasi
Ataksik, dangkal
Gasping, lambat, ireguler
Diensefalik
Midbrain/diatas pons
Medulla
129
ETIOLOGI
Etiologi penurunan kesadaran dibagi dalam 2 bagian besar yaitu structural dan metabolik.
Kelainan structural dapat berupa trauma, neoplasma, penyakit vaskuler, infeksi dan
hidrosefalus. Mekanisme penting kelainan structural ini menyebabkan penurunan
kesadaran adalah adanya herniasi pada struktur otak dan batang otak. Kelainan metabolic
yang menyebabkan penurunan kesadaran adalah gangguan metabolic, toksin atau racun
eksogen, hipoksik iskemik, infeksi dan kelainan paroksismal seperti status epileptikus.
Dibawah ini beberapa etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran
pada anak :
Tabel 7. Penyebab penurunan kesadaran pada anak 1,9,10
Infeksi atau Inflamasi
A. Infeksi
Meningitis bakterialis
Ensefalitis
Riketsia, protozoa
Infeksi cacing
B. Inflamasi
Ensefalopati sepsis
Vaskulitis
Acute demielinating
encephalomyelitis
Multiple sclerosis
Struktural
A. Trauma
Kontusio
Perdarahan
intraserebral
Diffuse axonal injury
B. Neoplasma
C. Penyakit vaskuler
Infark serebri
Kelainan congenital
D. Infeksi fokal
Abses
Serebritis
E. Hidrosefalus
F. Kejang
130
bakar
Anak
Toksin
Infeksi
Kejang
Intususepsi
Kekerasan/trauma
Remaja
Toksin
Trauma
Psikiatrik
Kejang
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Semua penderita dengan kesadaran menurun harus dilakukan pemeriksaan gula darah.
Penyebab toksik metabolic diperiksa darah rutin, urin, aspirat lambung dan cairan
serebrospinal. Pemeriksaan kimia darah meliputi gula darah, natrium, kalium, kalsium,
magnesium, BUN dan ammonia. Analisa gas darah sering juga diperlukan. Kultur darah
dan urin dilakukan bila kemungkinan terjadi infeksi. Pungsi Lumbal diperlukan bila
dicurigai ada infeksi pada susunan saraf pusat, bila perlu dilakukan setelah pemeriksaan
CT scan kepala. Selain itu CT scan atau MRI dengan kontras diperlukan bila curiga ada
kelainan structural.9,10,12
TATA LAKSANA
Panatalaksanaan anak dengan penurunan kesadaran haruslah cepat dan tepat, agar dapat
menghindari kerusakan otak lebih lanjut. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah
resusitasi ABC (jalan nafas, pernafasan dan cardiovaskuler). Seringkali gangguan
kesadaran disertai dengan stridor, sehingga mengamankan jalan nafas sangat perlu
dengan cara menghilangkan sumber obstruksi. Semua anak diberikan oksigen inisial
100% sampai oksigenasi adekuat.9,10,12
Selanjutnya di pasang iv line untuk pemberian cairan dan medikasi. Infus cairan NaCl 0,9
% diperlukan untuk memperbaiki dan mempertahankan perfusi pada organ-organ vital.
Pemeriksaan darah dapat menunjukkan kemungkinan penyebab penurunan kesadaran,
pemeriksaan gula darah harus segera dilakukan, karena hipoglikrmi adalah salah satu
keadaan yang sering menimbulkan gangguan kesadaran, dan bila terdapat hipoglikemi,
segera perbaiki dengan pemberian glukosa intra vena. Dapat juga diberikan langsung
Dextrose 25 % sebanyak 1 4 ml/kgBB, sambil memperhatikan responnya, bila terdapat
perbaikan dramatis, selanjutnya diberikan infuse glukosa 10 %, apabila kesadaran tidak
pulih, kemungkinan menyebab penurunan kesadaran bukan hipoglikemi. Apabila di dapat
riwayat keracunan opiate dan didapat tanda-tandanya (pupil pintpoin, koma, depresi
nafas) segera berikan antagonis opiate, nalokson dapat diberikan iv.12
131
Setelah anak dalam keadaan stabil, dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis mengarah
pada kelainan structural, maka segera dilakukan intervensi untuk menurunkan tekanan
tinggi intracranial, yaitu dengan cara memposisikan kepala 30 , posisi ditengah, untuk
melancarkan drainase pembuluh darah vena cerebri, kemudian lakukan pemeriksaan CT
scan kepala segera. Dipikirkan juga untuk konsul ke dokter bedah saraf, bila
kemungkinan harus ada tindakan yang dilakukan. Untuk menurunkan tekanan tinggi
intracranial dapat dilakukan pemberian manitol 20 % drip intra vena dengan dosis 0,5 2
gr/kgBB selama 30 menit setiap 6 jam. Kortikosteroid seperti deksametason bermanfaat
bila terdapat edem perifokal karena tumor, diberikan intravena dengan dosis 1-2
mg/kgBB. Posisi kepala dipertahankan 30 diatas bahan datar. CT scan harus dilakukan
pada setiap anak dengan penurunan kesadaran akibat trauma kepala tertutup atau
penyebab yang tidak dapat ditentukan. 11,12
Status epileptikus perlu dipertimbangkan bila terdapat riwayat kejang, dan pemeriksaan
EEG harus dilakukan. Pertimbangkan pula adanya status epileptikus non konvulsif. Bila
kejang masih ada berikan obat kejang sesuai protap pada status epileptikus.
Bila dicurigai ada infeksi SSP, dilakukan pungsi lumbal dan diberikan antibiotika atau
antivirus yang sesuai. Perlu diperhatikan kontra indikasi pungsi lumbal, yaitu : 13
SKG 8
SKG yang cenderung turun
Tanda deficit neurologic fokal
Kejang terakhir lebih dari 10 menit dan SKG
masih 12
Pola nafas abnormal
Dolls eye abnormal
Posture abnormal
Syok
Bradikardia ( 60)
Hipertensi ( > 95th percentile)
Secara klinik didapat infeksi meningokokal
Dilatasi pupil (uni/bilateral)
Reaksi pupil lambat atau tidak ada
Tanda peningkatan tekanan intra kranial
Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit, bila didapatkan ketidak seimbangan.
Pemberian cairan harus tepat sesuai dengan indikasinya. Hiponatremia,hipernatremia,
hipokalsemia, atau hipomagnesemia seringkali terjadi bersama penyakit sistemik, dan
perlu dikoreksi. Adanya asidosis dan alkalosis metabolic atau respiratorik juga harus
dikoreksi.11,12
Antipiretik yang sesuai perlu diberikan untuk mengontrol suhu tubuh.11
Agitasi dapat meningkatkan tekanan intracranial dan menyulitkan bantuan ventilasi
mekanik sehingga dapat dipertimbangkan pemberian sedative walaupun mungkin akan
menyulitkan evaluasi neurologic berkala.11,12
132
Pemeriksaan darah untuk glukosa, elektrolit, analisa gas darah, fungsi hati, fungsi ginjal,
fungsi tiroid, darah lengkap, skrining toksikologi
PEMERIKSAAN
NEUROLOGIS
Hiperventilasi, manitol 0,5 1,0 gram/kgBB, bila tekanan intracranial meningkat atau
herniasi
Tiamin (100 mg IV) diikuti dengan 25 gram glukosa bila serum glukosa < 60 mg/dl
Nalokson bila overdosis narkotika, diberikan infuse intravena 0,8 mg/kgBB/jam
Bilas lambung dengan activated charcoal bila dicurigai keracunan obat.
133
RINGKASAN
Penurunan kesadaran pada anak merupakan suatu keadaan klinik dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Penilaian tingkat kesadaran dengan segera dan menentukan
penyebab sangatlah diperlukan. Penyebab structural dan metabolic/medical dapat di
tentukan dengan anamnesis yang akurat, pemeriksaan fisik dan neurilogik yang baik.
Adanya deficit neurologic yang asimetris seperti dilatasi pupil, diskonyugasi pergerakan
bola mata, dan asimetri motorik mengarah pada kelainan structural ; progresifitas yang
lambat dan deficit neurologic yang simetris biasanya penyebabnya adalah kelainan
medical. Temuan deficit neurologic yang spesifik yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan intracranial dapat disebabkan adanya herniasi uncal atau sentral. Gangguan
metabolic, hepar, ginjal, paru-paru, dan jantung maupun toksik sering juga menjadi sebab
penurunan kesadaran pada anak. Penanganan yang baik diharapkan dapat meningkatkan
prognosis menjadi lebih baik.
Daftar pustaka
1. Taylor DA, Ashwal S. Impairment of consciousness and coma. Dalam : Swaiman
KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric Neurology : Principle &
Practice, Edisi 4. Philadelphia: Mosby Elsevier 2006. H. 1378 400.
2. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victors, Principle of neurology. Edisi ke 9.
New York : Mc Graw Hill, 2009. H. 339 61.
3. Plum F. Posner J. The Diagnosis of Stupor and Coma. Philadelphia, Pa: FA Davis
1980
4. Hahn YS. Chyung C, Barthel MJ, et al. head Injuries in children under 36 months
of age. Child Nerv Syst 1988;4:34
5. Reilly PL, Simpson DA, Sprod R, et al. Assesing the conscious level in infants
and young children: a pediatric version of the Glasgow Coma Scale. Childs Nerv
Syst 1988; 4: 30
6. Kirkham FJ. Non Traumatic coma in children. Arch Dis Child. 2001;85:303-12
7. Avner JR. Altered States of Consciousness. Pediatr Rev 2006 ; 27;331-8
8. Ziai WC, Mirski MA. Evaliation and management of the unconscious patient.
Dalam: Johnson RT, penyunting. Current therapy in neurologyc disease, Edisi ke
6. St. Louis : Mosby, 2002. h. 1-8
9. Cohen BH. Andresfky JC. Altered states of consciousness. Dalam : Maria BL,
penyunting. Current management in child neurology. Edisi ke-3. Hamilton: BC
Decker Inc, 2005. H. 551-62.
134
135