Anda di halaman 1dari 75

MODUL NEUROFISIOLOGI

BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2015
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan keberkahan
dan segala nikmat sehingga modul Neurofisiologi ini bisa diselesaikan. Shalawat dan salam bagi
Rasulullah SAW sebagai guru terbaik yang selalu memberi contoh terbaik dalam pengamalan ilmu
dan hikmah.
Modul Neurofisilogi ini disusun dalam upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan
kedokteran, terutama dalam topik neurologi serta meningkatkan kualitas pemeriksaam yang
menunjang penegakkan diagnosis dalam hal pelayanan pasien. Berbagai masukan, berupa bahan
tulisan dan rangkaian saran perbaikan, telah kami dapatkan dalam penyempurnaan modul ini. Kami
mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyelesaian modul ini.
Terakhir, modul ini telah disusun sesuai dengan kebutuhan pendidikan saat ini (real time).
Namun modul ini masih mungkin mengalami perbaikan selanjutnya sesuai dengan perkembangan
dan perubahan konsep pendidikan di masa mendatang. Semoga modul panduan ini bermanfaat bagi
semua. Amin.

Padang, Oktober 2015

Penyusun

1
Dosen Pengampu :
1. dr. Meiti Frida, Sp.S, M.Biomed
2. dr. Lydia Susanti, Sp.S, M.Biomed

2
Tujuan Pembelajaran

 Mengidentifikasi gejala klinis dan mengindikasikan kepentingan pemeriksaan Neuro Fisiologi


Klinik
 Menjelaskan prosedur pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik sesuai dengan diagnosis dan Indikasi
 Melakukan pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik secara efektif
 Menginterpretasi hasil pemeriksaan NeuroFisiologiKlinik (kemampuan pendekatan diagnostik)
 Menjawab konsultasi dan memberikan laporan hasil pemeriksaan NeuroFisiologiKlinik
 Membuat keputusan diagnostik yang benar sebagai dasar untuk pemberian terapi yang tepat
 Memperhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang ditanggung oleh pasien
 Mempelajari Neuro Fisiologi Klinik secara konsisten dan mandiri (life long learning) untuk
meningkatkan kompetensinya sehingga menjadi mahir

3
Kompetensi Yang Diharapkan (Outcome)

Tujuan-1: Mengidentifikasi gejala klinis dan mengindikasikan kepentingan


pemeriksaan Neurofisiologi Klinik
 Menggunakan ceramah, diskusi interaktif, contoh kasus nyata dengan bed site teaching atau
kasus simulasi dengan role play
 Peserta didik menjelaskan manfaat pengenalan gejala dan tanda klinik gangguan neurologis
sehubungan dengan kepentingan pemeriksaan Neurofisiologi Klinis untuk memperkuat
penegakkan diagnosis, pemberian terapi dan prognosis
 Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik

Tujuan-2: Menjelaskan prosedur pemeriksaan Neurofisiologi Klinik sesuai dengan


diagnosis dan indikasi
 Pembimbing menjelaskan langkah-langkah prosedur pemeriksaan Neurofisiologi Klinik,
termasuk persiapan alat dan persiapan pasien berdasarkan nilai-nilai humanistik sesuai
dengan diagnosis dan indikasi dengan mempergunakan metode ceramah dan penayangan
video
 Peserta didik menunjukkan kemampuan dalam hal menjelaskan langkah langkah prosedur
pemeriksaan Neurofisiologi Klinik berdasarkan nilai-nilai humanistik sesuai dengan diagnosis
dan indikasi
 Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik

Tujuan-3: Melakukan pemeriksaanNeurofisiologi Klinik secara efektif


 Pembimbing memberikan contoh cara melakukan pemeriksaan Neurofisiologi Klinik kepada
peserta didik sesuai diagnosis dan indikasi.
 Peserta didik melakukan pemeriksaan Neurofisiologi Klinik sesuai diagnosis dan indikasi
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching)
 Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik.

Tujuan-4: Menunjukkan kemampuan dalam pendekatan diagnostik


 Peserta didik menjelaskan gejala klinik dan diagnosis pasien

4
 Peserta didik dapat menentukan pemeriksaan yang diperlukan pasien sesuai indikasinya
 Peserta didik dapat melakukan pemeriksaan Neurofisiologi Klinik sesuai dengan indikasinya
 Peserta didik menginterpretasi hasil pemeriksaan Neurofisiologi Klinik yang telah dilakukan
 Peserta didik membuat diagnosis yang lebih tepat dan diagnosis banding berdasarkan hasil
pemeriksaan
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching)
 Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik

Tujuan-5: Menjawab konsultasi dan membuat laporan


 Peserta didik merangkum hasil anamnesis dan pemeriksaan Neurofisiologi Klinik secara
sistematik
 Peserta didik menjelaskan perlunya dilakukan pemeriksaan penunjang Neurofisiologi Klinik
 Peserta didik membuat laporan final hasil pemeriksaan Neurofisiologi Klinik sebagai jawaban
atas konsultasi
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching)
 Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tlik

Tujuan-6: Membuat keputusan diagnostik dan terapetik yang tepat


 Peserta didik menjelaskan alasan keputusan diagnostik dan diagnostik banding yang dibuat
berdasarkan hasil rangkuman anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan Neurofisiologi
Klinik dan pemeriksaan penunjang lainnya
 Peserta didik menjelaskan alasan anjuran pemberian terapi yang berkaitan dengan diagnosis
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching)
 Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik

Tujuan-7: Memahami keterbatasan pengetahuan seseorang


 Peserta didik menjelaskan alasan untuk membuat rujukan kepada departemen lain
 Peserta didik mengiterpretasi hasil rujukan
 Peserta didik mengambil keputusan diagnostik, pemeriksaan anjuran tambahan, terapetik
dan prognosis setelah mempertimbangkan jawaban rujukan
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching)
 Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik

5
Tujuan-8: Memerhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang
ditanggung oleh pasien
 Peserta didik menjelaskan alasan perlunya dilakukan pemeriksaan penunjang dan
pemeriksan penunjang tambahan
 Peserta didik menjelaskan pemberian terapi sesuai dengan guidelines yang disepati secara
nasional dan evidence-based medicine
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching)
 Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik

Tujuan-9 : Mempelajari Neurofisiologi Klinik secara konsisten dan mandiri (life long
learning) untuk meningkatkan kompetensinya sehingga menjadi mahir
 Peserta didik melakukan pemeriksaan Neurofisiologi Klinik dalam jumlah yang telah
ditentukan dan dianggap cukup mahir
 Peserta didik membuat telaah pustaka untuk peningkatan pengetahuan, minimal satu (1)
buah untuk masing masing keilmuan (EEG-Brain Mapping, ENMG dan Evoked Potensial –
ERP/P300)
 Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik

Setelah menyelesaikan modul Neurofisiologi Klinik ini, diharapkan para peserta didik memiliki
kompetensi menyeluruh (kognitif, psikomotor dan afektif) dalam Neurofisiologi Klinik (ENMG,
EP, EEG, Brain Mapping, P300) yang meliputi aspek teknologi komputer, prosedur pemeriksaan,
human functional anatomy, indikasi pemeriksaan, cara melakukan pemeriksaan, membuat
laporan pemeriksaan dan menginterpretasi hasil pemeriksaan. Pencapaian kompetensi ini
diselaraskan dengan prinsip kompetensi (Bab II hal 2-6) dan ruang lingkup kompetensi (Bab II, no
9) yang tercantum dalam Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf tahun 2006. Indikator hasil
pembelajaran yang diharapkan setelah menyelesaikan modul ini tercantum di dalam Standar
Kompetensi Dokter Spesialis Saraf halaman 80-81 (EEG, Brain Mapping dan ENMG) dan halaman
87 (Evoked Potential).

6
Jadwal Pembelajaran

Mengembangkan Kompetensi Waktu (selama 12 MINGGU / 3 BULAN)


Sesi di dalam kelas 8X 2 jam (classroom session), terbagi dalam
tatap muka alih pengetahuan tentang alat,
prosedur pemeriksaan, hasil pemeriksaan,
interpretasi hasil pemeriksaan
ENMG - 2 x 2 jam
EP - 4 x 2 jam
EEG / brain Mapping - 2 x 2 jam

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 1x per minggu/1jam (coaching session)


(di ruang pemeriksaan / saat stase di 8 minggu / 2 bulan - ENMG dan EP
ENMG,EP,EEG/Brain Mapping) 4 minggu / 1 bulan - EEG / Brain
Mapping

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 1x per minggu / 1jam (facilitation and
(di ruang pemeriksan / saat stase di ENMG, EP, assessment)
EEG / Brain Mapping) 8 minggu / 2 bulan - ENMG dan EP
4 minggu / 1 bulan - EEG / Brain
Mapping

7
MATERI BAKU

NEUROFISIOLOGI KLINIK DALAM APLIKASI DIAGNOSTIK

ELEKTROMIOGRAFI (EMG) dan ELEKTRONEUROGRAFI (ENG)

EMG merupakan primadona dari pemeriksaan neurofisiologis, karena merupakan salah satu
pemeriksaan elektrodiagnostik yang pertama yang dikembangkan.

EMG merupakan prosedur yang menempatkan elektrode jarum dalam berbagai otot untuk
merekam aktivitas dalam berbagai derajat, termasuk saat istirahat, kontraksi minimal sampai kontraksi
maksimal. EMG ini merupakan pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa saraf perifer dan otot.
Diperlukan suatu pendekatan yang sistematik untuk melakukan suatu differensial diagnosis pada
gangguan neurogen perifer untuk menghindari prosedur dan pemeriksaan yang tidak diperlukan.

Penyebab gangguan neurogen perifer bermacam-macam dengan manifestasi yang berbeda beda.
Oleh karena itu tidak selalu mudah untuk mendiagnosa adanya suatu gangguan neurogen perifer,
terutama bila ada keadaan keadaan lain yang menutupinya.

Jaringan otot yang mengalami kerusakan, akan melepas enzim ke dalam jaringan, dan kerusakan
otot ini dapat direkam oleh alat elektromiografi tersebut.

Pada penyakit otot primer, menunjukkan adanya peningkatan aktivitas insersi, pelepasan
miotonik dan pseudomiotonik. Jejas saraf primer ini dapat menyebabkan lesi neurotmesis dan
aksonotmesis yang akan menjadi degenerasi Wallerian, dan pada EMG

akan tampak gambaran fibrilasi dan gelombang positif tajam (positive shrap waves) yang patognomonis
untuk suatu gangguan pada saraf perifer.

Untuk menentukan adanya suatu gangguan neurogen perifer dan muskuler, diperlukan
pemeriksaan dengan elektrode jarum, yang agak nyeri, namun dengan kemajuan tehnik pembuatan
jarum yang canggih, saat ini telah hadir jarum yang kecil, sehingga penetrasi oleh jarum tidak terlalu
nyeri lagi.

Dari EMG elementer, yang harus dilakukan dengan suatu elektrode jarum, dapat ditentukan
adanya gangguan neurogen atau miogen dan dapat ditentukan kelainan motorneuron, radiks, pleksus,
saraf perifer dan otot. Diperlukan kooperasi pasien untuk pemeriksaan EMG elementer ini.

8
Pemeriksaan EMG ini untuk mengukur aktivitas otot skelet selama istiahat dan kontraksi otot
volunter. Pola dari kontraksi volunter ini, juga harus ditentukan yang akan berguna dalam penentuan
beratnya kelainan dan selanjutnya dapat diukur kecepatan hantar saraf (KHS) / elektroneurografi (ENG).

ElektroNeuroGrafi (ENG) adalah stimulasi listrik yang diberikan secara artifisial pada saraf perifer
untuk mengukur Kecepatan Hantar Saraf (KHS) atau disebut juga Nerve Conduction Velosity (NCV)
motorik dan sensorik, F-wave, H-refleks, Blink-refleks dan lain-lainnya.

Pemeriksaan KHS dilakukan dengan memberikan suatu stimulus listrik pada saraf perifer, sehingga
menimbulkan suatu kontraksi otot. Impuls tersebut dapat direkam, dan masa latennya dapat diukur
yang selanjutnya dapat menghitung kecepatan hantar sarafnya. Bila ada kelainan, maka itu merupakan
indikasi adanya kerusakan saraf perifer, terutama gangguan integrigas dari mielin saraf. Amplitudo bisa
diukur pula dan dibandingkan dengan besarnya signal, sehingga dapat memberikan informasi tentang
jumlah neuron yang masih bekerja di suatu saraf.

Dengan merangsang suatu saraf pada berbagai lokalisasi sepanjang perjalanannya, dapat diketahui
lokalisasi kelainan. Dengan cara demikian, anatara lain dapt ditetapkan adanya suatu sindroma
terowongan karpal (CTS – Carpal Tunnel Syndrome), terjepitnya saraf (entrapment) di suatu lokasi, serta
pleksopati, gangguan nervus ulnaris di kubiti maupun di terowongan Guyon, gangguan nervus radialis
pada alur spiral di humerus, serta di tungkai berupa gangguan nervus ischiadicus di muskulus pyriformis,
fibula dan sindroma terowongan tarsal dan juga pada neuropati perifer serta juga monitoring
pengobatan dari berbagai penyakit yang mengenai saraf perifer.

Kelainan pada paut saraf-otot seperti miastenia gravis, yang dulu hanya diperiksa dengan stimuli
repetitif yang berulang, maka pada saat ini juga dapat dilakukan dengan tehnik canggih SFEMG (Single
Fibre EMG) yang menentukan jitter dan MCD (mean consecutive difference). Bila pada masa sebelumnya
hanya dapat diukur KHS motorik dan sensorik, maka pada saat ini telah dapat dilakukan pengukuran SSR
(sympathetic skin response) yang secara tidak langsung dapat menentukan adanya suatu neuropati
otonom.

EMG dan ENG merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, oleh karena 1). Alat untuk
memeriksa EMG dan ENG sama, 2). Pertama yang diperiksa EMG kemudian diperiksa ENG.

Alat alat EMG model baru (dulu analog, sekarang digital) dengan perkembangan mikro komputer yg
mutakhir, telah dicapai kemajuan kemajuan yg pesat dalam bidang

9
pemeriksaan EMG dan KHS (NCV). Dengan majunya alat-alat EMG digital yang baru dan canggih,
ditemukan berbagai metode yang mempermudah pemeriksaan, mempertajam dan memperbaiki
kemampuan diagnostiknya dengan akurasi yang tinggi disertai pembuatan laporan/ report yang makin
bagus.

EMG adalah suatu pemeriksaan elektrofisiologis untuk menentukan 1). Aktivitas listrik otot otot
tertentu, 2). Membantu diagnosa penyakit neuromuskular dan 3). Melihat efek dari penyakit penyakit
lain pada otot.

ENG adalah suatu pemeriksaan untuk pengukuran : 1). KHS /NCV dan 2). Masa laten (DL/MLD)
saraf saraf perifer.

EMG mengukur aktivitas otot skelet selama istirahat dan kontraksi otot volunter. Dilakukan
perbandingan dan analisa AMPLITUDO, DURATION, JUMLAH dan KONFIGURASI aktivitas otot sehingga
dapat mendeteksi gangguan pada motor unit dan membedakan apakah gangguan neurogenik atau
miogenik. Sedangkan kombinasi pemeriksaan EMG dan ENG dapat menolong untuk menentukan
lokalisasi kerusakan saraf , misalnya antara saraf perifer dan radiks saraf.

Sebelum melakukan pemeriksaan ENMG, perlu persiapan untuk :

1). Pasien

2). Alat yang akan dipakai, setting dan pengetahuan tentang metode pemeriksaan

Persiapan Pasien

Pemeriksaan EMG dan pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) merupakan pemeriksaan yang
non-invasif, namun tetap saja sering kali masih merupakan suatu pemeriksaan yang kurang nyaman bagi
pasien (incovenient).

Sebelum pemeriksaan dimulai, pasien perlu diberi keterangan yang jelas terlebih dahulu, dan juga
diberitahukan kepadanya bahwa boleh memberitahukan kepada dokter bila pemeriksaannya terlalu
nyeri atau terlalu lama untuk dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk hal hal tersebut.

Pasien diperiksa dalam posisi tidur agar pasien merasa santai (relax). Pada pasien yang takut
diperiksa perlu diberikan sedasi verbal dengan kata kata yang menenangkan. Agar pasien dalam

10
keadaan relaksasi, tidak saja dilakukan dengan kata kata, namun juga dengan cara merubah posisi
menjadi antagonistis, sehingga dengan demikian otot menjadi dalam keadaan relaksasi.

Pada pemberian stimulus listrik perlu dinaikkan secara perlahan-lahan sehingga menjadi patient-
friendly dan dilakukan sampai intensitas stimulus supramaksimal. Perlu juga diketahui bahwa frekuensi
stimulus yang memberikan ketidak nyamanan yang

paling sedikit adalah 1 Hz. Pada pemberian stimulus terutama stimulasi repetitif, ekstremitas pasien
harus di fiksasi oleh si pemeriksa dengan tujuan :

 mencegah artefak karena gerakan


 bila bersentuhan dengan pemeriksa, maka pasien akan dapat lebih menerima / tahan
rangsangan listrik yang diberikan
Pada pemeriksaan (terutama) yang memakan waktu yang lama, pasien perlu diajak berbicara, sehingga
bisa merasa nyaman.

Persiapan Alat

Alat dan elektrode perlu dipersiapkan dengan baik. Dengan mengetahui kemampuan alat EMG
yang digunakan dan juga settingnya yang disertai pengetahuan tentang berbagai metode pemeriksaan
adalah suatu hal yang merupakan keharusan untuk dapat memeriksa pasien dengan baik. Alat EMG
yang dipakai harus mempunyai spesifikasi sebagai berikut :

 Stimulator elektrik – double stimulator, dengan arus konstan atau voltase konstan.
Arus konstan lebih sempurna mencerminkan jumlah arus yang diperlukan untuk merangsang
suatu saraf, dan stimulator harus bisa menghasilkan arus yang 100 mA dengan lama stimulasi
maksimal sampai 1 mS.

 Amplifier perekam (Recording Amplifier)- 4 channel


Instrumen harus mempunyai amplifier perekam yang merekam, memperbesar dan memfilter
respons untuk membesarkan respons yang didapat dan filter harus diatur untuk mengurangi
distorsi dari signal yang direkam.

 Averanger

11
Selain itu, beberapa komponen alat EMG juga harus diperhatikan, yaitu :

 Filter
Gunanya filter adalah untuk memperbaiki signal to noise ratio dan dengan

demikian juga memperbesar signal dan menekan artefak / noise

Ada beberapa usulan filter untuk berbagai pemeriksaan :

- kecepatan hantar motorik 3 - 10.000 Hz (LLF /HLF)

- kecepatan hantar sensorik 20 - 2.000 Hz

- pemeriksaan dengan jarum (kontraksi) 3 - 10.000 Hz

- pemeriksaan dengan jarum (istirahat) 50 - 10.000 Hz

 Display
Harus bisa memperlihatkan potensialnya dan membuat laporan / report dari data

yang direkam

 Audio
Alat harus mempunyai speaker audio yang bagus, karena suara yang dikeluarkan sewaku
pemeriksan kecepatan hantar saraf dan EMG jarum memberikan informasi yang sangat berguna

 Differential Amplifer
Differential amplifier gunanya adalah untuk memperkuat beda potensial antara 2 elektrode
terhadap elektrode ketiga yang neutral. Elektrode neutral ini secara salah disebutkan sebagai
aarde atau massa. Elektrode massa ini sebaiknya diletakkan sedekat mungkin dengan ke 2
elektrode aktif untuk secara bersama-sama menghilangkan frekwensi 50 Hz dan stimulus
artefak.

Kedua elektrode aktif dihubungkan dengan input yang negatif (hitam) dan positif (merah) dari
preamplifier.

Suatu potensial yang negatif yang melewati input negatif menghasilkan suatu hasil di oskiloskop
keatas, demikian juga suatu potensial yang positif melalui input yang positif.

12
 Elektrode
Pada kebanyakan pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik digunakan elektrode
permukaan / kulit dan dapat dipakai elektrode yang stainless steel dari perak atau timah.
Diameter elektrode biasanya 3 – 10 mm, namun besarnya elektrode dapat merubah
karakteristik potensial yang direkam. Elektrode permukaan mempunyai keuntungan, bahwa
pemakaiannya mudah dan tidak menimbulkan nyeri bagi pasien. Pemeriksaan dengan jarum
(needle elektrode) kadang kadang diperlukan juga untuk pemeriksaan kecepatan hantar saraf
motorik untuk merekam CMAP otot otot yang letaknya dalam, misalnya m.pronator quadratus
pada sindroma interoseus anterior.

Penempatan Elektrode

1). Elektrode aktif

CMAP (Compound Muscle Action Potential) atau gelombang M (M wave) merupakan activitas
eletrik yang direkam dari serabut otot yang diaktivasi oleh stimulasi akson motorik. Perekaman
yang besar adalah bila respons gelombang M (M wave) mempunyai defleksi inisial yang
negatif (keatas) dan untuk mendapatkan hal ini maka elektrode aktif harus ditempatkan diatas
daerah motor end-plate zone. Bila elektrode aktif tidak berada di lokasi tersebut, maka bisa
didapatkan defleksi yang positif.

2). Elektrode referens

Elektrode ini ditempatkan di daerah yang sebisa mungkin berada didaerah yang inaktif, namun
berada dekat dengan otot yang diperiksa. Lokalisasinya biasanya distal dari tendon ototnya,
Bila elektrode referans terlalu dekat dengan elektrode aktif, maka amplitudo akan menjadi
submaksimal.Bila jarak terlalu jauh, maka adanya noise juga akan mengganggu dan
mengecilkan respons.

3). Elektrode Massa (Ground electrode)

Elektrode ini biasanya dari metal (stainless steel) atau dari lempengan timah dan harus
ditempatkan diantara elektrode stimulasi dan perekaman untuk mengurai artefak kejutan /
shock yang terjadi akibat stimulasi.

13
4). Elektrode stimulasi

Elektrode permukaan dan jarum dapat dipakai untuk stimulasi pada pemeriksaan kecepatan
hantar saraf. Elektrode permukaan lebih mudah digunakan dan lebih nyaman bagi pasien.
Elektrode jarum kadang kadang perlu untuk menstimulasi saraf yang letaknya dalam atau
untuk alasan tehnis yang lain, misalnya bila tak dapat dilakukan aktivitas maksimal dengan
elektrode permukaan. Katode elektrode stimulasi harus ditempatkan diatas saraf yang paling
dekat dengan elektrode perekam dan anoda-nya ditempatkan paralel dengan saraf, lebih jauh
dari elektrode perekam dan bisa di rotasi untuk mengurangi artefak stimulus.

PARAMETER STIMULUS

Stimulator suatu alat EMG akan menghasilkan pulsa yang tegak lurus dengan voltase maksimal adalah
250 Volt pada Mystro dan 300 Volt pada Saphire dan Synergy. Perlu diketahui bahwa potensio meter
yang mengatur rangsangan listrik mempunyai suatu pembagian skala yang eksponensial sehingga bila
diputar dari titik nol, maka mula mula peningkatan listrik hanya sedikit, namun kemudian terdapat suatu
peningkatan tegangan yang progresif, sehingga bila sudah ada jawaban respons, maka pemutaran
tombol hendaknya dilakukan secara perlahan-lahan untuk mendapatkan suatu jawaban yang maksimal
diikuti yang supramaksimal.

Lama / lebar stimulus (duration) sebaiknya diatur antara 0,05 mS dan 1 mS.

Karena sifat kondensator dari jaringan,maka pada perangsangan yang pendek sudah cukup untuk
mendapatkan jawaban yang supramaksimal, namun pada saraf yang terletak lebih ke dalam, misalnya
n.tibialis di fossa poplitea, atau stimulasi pada titik Erb’s perlu diberikan stimulus dengan lama / lebar
stimulus yang lebih lebar lagi.

Stimulus Artefak

14
Stimulus elektrik akan menyebabkan suatu beda potensial diantara ke 3 elektrode pengukur, sehingga
beda potensial ini akan diperbesar dan terlihat di layar monitor sebagai suatu stimulus artefak, yang
terlihat sebagai gelombang besar pada awal layar monitor diujung sebelah kiri sekali.

Walaupun stimulus artefak biasanya hanya 0,1 – 0,5 mS, namun bisa lebih lama sampai > 10 mS atau
lebih.

Suatu stimulus artefak bisa mengganggu bila potensial yang seharusnya akan diukur menjadi berubah
bentuknya.

Cara cara memperkecil stimulus artefak adalah dengan jalan :

 Elektrode netral diletakkan sedekat mungkin dengan elektrode aktif


 Impedensi ke 3 elektrode serendah mungkin dan bila mungkin hampir sama
 Elektrode stimulus jangan terlalu dekat letaknya dengan elektrode pengukur
 Lama stimulus diperpendek
 Merotasi elektrode stimulus

Potensial kontak / Artefak elektrode

Bila 2 zat yang terdiri dari bahan molekuler yang berlainan bersentuhan, terjadi suatu beda potensial
diantara ke dua zat tersebut karena elektron-elektron dari kulit luar zat tersebut selalu akan
memperlihatkan afinitas yang lebih banyak untuk salah satu dari ke 2 zat tersebut. Dengan demikian
akan terjadi suatu beda potensial diantara 2 metal yang berbeda, namun juga antara air dan plastik
(contoh : tetesan infus yang menetes pada infus selalu bermuatan listrik) dan juga antara elektrode dan
kulit.

Potensial ini sangat besar sampai puluhan volt dan besarnya muatan listrik yang disebabkan oleh
potensial kontak ini tergantung dari permukaan dari kontak (permukaan yang bersentuhan antara
elektrode dan kulit). Bila potensial kontak antara ke 3 elektrode pengukur dan kulit tetap berada dalam
konstan waktu, maka tidak akan mengganggu karena listrik dengan arus searah / DC tidak diperkuat oleh
filter-filter yang sudah di pasang.

15
Namun bila permukaan kontak antara elektrode dan kulit berubah, misalnya karena bergerak, maka
potensial kontak juga berubah dan perubahan potensial ini merupakan arus bolak balik / AC dan akan
diperbesar dan menyebabkan suatu artefak elektrode.

Pemakaian gel atau suatu vilt yang dibasahkan / lembab antara elektrode metal dan kulit akan
mencegah atau mengurangi perubahan permukaan kontak pada pergerakan.

Fiksasi elektrode harus dilakukan dengan baik dan pergerakan harus diminimalisasi dengan memfiksasi
bagian tubuh yang di-aktivasi.

Bentuk Potensial

Bentuk potensial yang benar adalah bila respons gelombang M (M-wave) mempunyai defleksi inisial
yang negatif (keatas) dan untuk mendapatkan hal ini maka elektrode aktif harus ditempatkan diatas
daerah motor end-plate zone. Bila elektrode aktif tidak berada di lokasi tersebut, maka bisa didapatkan
defleksi yang positif.

Pengaruh Faktor Faktor Fisiologis Pada Hasil Pengukuran

1). Suhu badan

Suhu badan berpengaruh pada kecepatan hantar saraf (lebih lambat pada suhu yang lebih rendah)
dan koreksi fungsi suhu kulit hanya berarti untuk pengukuran kecepatan hantar sensorik dan masa
laten terminal motorik. Suhu diukur di pertengahan antara tempat stimulasi dan pengukuran. Alat
EMG yang baru sudah tersedia elektrode pengukur suhu yang dengan menempelkan pada kulit
akan menunjukkan suhu kulit pada layar monitor. Amplitudo CMAP dan SNAP akan membesar pada
pendinginan karena sinkronisasi yang lebih baik dari potensial aksi yang menjadi lebih lebar pada
suhu yang menurun.Suhu badan juga berpengaruh pada fibrilasi, yang berkurang atau malahan
menghilang pada pendinginan. Pada miastenia gravis akan terjadi perbaikan pada paut saraf-otot
(neuromuscular junction) pada pendinginan sebagai akibat dari (antara lain) eliminasi ion
kalsium yang lebih lambat. Dengan demikian pada stimulasi repetitif sebaiknya suhu otot
harus dijaga lebih tinggi, sebaiknya minimal 32C. Alat harus mempunyai suatu thermistor untuk
mengukur dan menyimpan data suhu atau bisa dipasangkan thermistor yang terpisah
2). Efek Suhu

16
Efek suhu pada pengukuran kecepatan hantar saraf bisa dramatis. Dengan menurunnya suhu maka
masa laten distal memanjang, kecepatan hantar saraf menjadi lambat, amplitudo membesar dan
waktu / duration memanjang. Suhu badan harus di monitor selama pemeriksaan dan
dipertahankan pada nilai yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu tergantung dari nilai dimana
data referensi diambil, dan perubahan dari itu harus dikoreksi dengan suatu faktor koreksi.
Adalah lebih baik untuk menghangatkan ekstremitas daripada mengkoreksi perubahan suhu.
3). Panjang Badan
Panjang badan juga berpengaruh pada kecepatan hantar saraf, makin tinggi seseorang, makin
panjang akson, makin kecil diameter, maka makin lambat hantarannya dan ini terutama bermakna
pada ekstremitas bawah yang umumnya lebih panjang.
4). Usia
Usia yang bertambah menyebabkan penurunan dari CMAP dan SNAP dan penurunan kecepatan
hantar saraf ini, oleh karena penurunan progresif dari jumlah neuron. Kecepatan hantar saraf akan
meningkat dengan bertambahnya usia sampai umur dekade ke 2, lalu menurun secara progresif
dengan bertambahnya usia.
5). Gender
Pada wanita, maka amplitudo SNAP dan CMAP lebih besar dari pada pria, mungkin karena
pengaruh hormonal pada konduksi kulit.
6). Berat Badan
Berat badan berpengaruh pada pemeriksaaan kecepatan hantar saraf. Secara umum, maka
pengaruh berat badan kurang dari pengaruh tinggi badan. Body mass index juga bisa berpengaruh
pada kecepatan hantar saraf.

Pengaruh Faktor Faktor Yang Non Fisiologis Pada Hasil Pengukuran


1). Overstimulasi
Overstimulasi paada suatu saraf bisa memperlihatkan perubahan yang menyerupai artefak pada
pemeriksaan kecepatan hantar saraf :
 Virtual cathode effect terjadi karena overstimulasi dan menyebar serta
mengaktivasi saraf lain yang agak jauh dari lokasi katode
 Aktivasi dari saraf saraf sekitarnya menghasilkan CMAP yang lebih besar dari pada yang
diharapkan
 Aktivasi dari saraf sekitarnya bisa menghasilkan CMAP dengan defleksi inisial yang positif

17
2). Understimulasi
Understimulasi daat menghasilkan CMAP yang lebih kecil dengan kecepatan hantar
saraf yang lebih rendah, karena akson yang tercepat tidak teraktivasi
3). Stimulasi Anodal
Stimulasi anodal dapat menghasilkan suatu masa laten distal yang tidak akurat atau
menyerupai suatu conduction block pada beberapa akson.
4). Penempatan elektrode
Penempatan elektrode aktif yang tidak benar akan menghasilkan suatu CMAP yang
rendah dan / atau disertai defleksi inisial yang positif.

Pengukuran Jarak

Kesalahan pengukuran jarak secara potensial bisa menjadi kesalahan yang terbesar pada pengukuran
kecepatan hantar saraf, karena pengukuran jarak yang inakurat menghasilkan masa laten distal dan
kecepatan hantar saraf yang inakurat pula.

Reproducibility

Ada variabilitas pada pengukuran kecepatan hantar saraf dan faktor faktor yang menyebabkan
variabilitas tersebut termasuk saraf yang diukur, caranya, individual yang memeriksa dan juga semua
faktor-faktor yang telah dibicarakan diatas.

Untuk mengurangi faktor variabilitas harus dilakukan pemeriksaan berulang ulang untuk mengetahui
dengan pasti bahwa tehnik dan prosedur yang dilakukan telah terstandarisasi.

PEMERIKSAAN KECEPATAN HANTAR SARAF MOTORIK

Pengukuran kecepatan hantar saraf motorik merupakan tehnik untuk memeriksa integritas fungsional
dan morfologik dari suatu motor unit.

Bisa diperoleh data yang berguna secara klinis dari fungsi dan struktur saraf motorik, NMJ dan dari otot
dengan pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik.

Pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik sangat berharga untuk menilai motor unit pada berbagai
gangguan a.l :

 mendapatkan bukti adanya penyakit motor unit

18
 menentukan akson mana yang terkena
 menentukan mekanisme patofisiologi dari gangguan saraf tsb, misalnya aksonal vs demielinisasi
 menentukan adanya penyakit sebelum gejala gejala klinis jelas, misalnya neuropati perifer yang
heriditer mengidentifikasi dann melokalisasi tempat kompresi,iskemi dan lesi fokal lainnya
 membedakan neuropati perifer dengan miopati dan gangguan-gangguan lower motor neuron
(LMN) yang lain
 menentukan adanya gangguan transmisi neuromuskuler seperti:

1. Miastenia gravis
2. Sindroma miastenik Lambert-Eaton
3. Gangguan lower motor neuron (LMN) yang lain. Intoksikasi obat mis:
4. Prostigimin neuromuscular blocking agents & anestesia.

 mengidentifikasi anormal inervasi


- median-ulnar anastomosis di lengan bawah ventral
- inervasi otot tangan
- saraf peroneus (accesory peroneal nerve)
 menetapkan beratnya penyakit
 menetapkan prognosis
 mengasses efektifitas suatu pengobatan.

Prinsip pemeriksaan :

 Diukur dari perut otot (spierbuik-pees) dari suatu otot distal dan saraf perifer dirangsang pada 2
atau lebih tempat dan dijaga bahwa jarak interstimulus paling kecil adalah 10 cm (kecuali pada
“inching”, dimana dirangsang tiap2 cm untuk menentukan adanya suatu conduction block) .
 Bisa dilakukan bertuturu-turut dari beberapa otot yang berlainan yang dipersarafi saraf perifer
yang sama, sehingga dapat diperiksa lebih banyak fasikel dari suatu saraf perifer yang sama.
 Jaraknya, diukur antara katode stimulasi dan katode tempat pengukuran dan selanjutnya
diukur sepanjang perjalanan saraf perifer pada keadaan yang diperkirakan merupakan jarak
terpanjang (mis: pada siku dalam keadaan fleksi pada pengukuran n ulnaris)

19
 Waktunya diukur antara stimulus dan awal CMAP yang sesuai dengan akson yang paling cepat
hantarannya.
 Kulit harus dibersihkan dari minyak, lotion dsb.dan diusahakn agar kontak antara kulit dan
elektrode baik dengan menggunakan gel yang khusus untuk EMG.

Parameter-parameter yang harus diperhatikan

1) Masa laten yang diukur dari awal stimulus sampai ke respons


 onset latency adalah waktu dari stimulus ke defleksi inisial
 peak latency adalah waktu dari stimulus kepuncak negarif dari respons
 masa laten distal adalah onset latency untuk kecepatan hantar saraf motorik yang
diukur dari tempat stimulus yang paling distal.
 area adalah area yang terintegrasi dibawah komponen negatif dari M-wave dan
mencerminkan jumlah serabut otot dan / atau akson motorik yang di-aktivasi

2) Amplitudo CMAP peak to peak dan baseline to peak


3) Waktu / duration adalah waktu dari onset permulaan fase negatif (yang keatas) dari CMAP
sampai waktu gelombang memotong garis tengan / baseline.
4) Kecepatan hantar saraf mencerminkan kecepatan dari akson tercepat dan diukur dari suatu
segmen panjang atau pendek. Bisa diukur kecepatan hantar maksimal dari segmen-segmen yang
berbeda
5) Dispersi adalah perubahan proporsional dari waktu /duration CMAP dengan stimulasi progresif
yang lebih proksimal.

Angka normal:

Batas bawah kecepatan hantar saraf

Ekstremitas atas :50 m/S

Ekstremitas bawah : 40 m/S

20
Batas bawah amplitudo CMAP;

Otot tenar (n ulnaris dan medianus) : 10 mV

Otot hipotenar :10 mV

m. ext dig brevis (EDB) : 5 mV

m. abd hallucis : 10 mV (van Hees & Theys,1999)1

PEMERIKSAAN KECEPATAN HANTAR SARAF SENSORIK:

Pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensorik meng-asses integritas sel-sel ganglion radiks dorsalis dan
akson perifernya. Akhir-akhir ini pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensorik untuk mengetahui
keadaan saraf sensorik dari ekstremitas atas dan bawah dan juga komponen-komponen sensorik dari
saraf campuran (mixed nerve)

Pengukuran kecepatan hantar saraf sensorik (SCV=sensory conduction velocity) pada saat ini merupakan
suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dari pemeriksaan elektrodiagnostik.

Kecepatan hantar saraf sensorik (SCV) tidak ada bandingannya pada sisi sensorik seperti juga bagian
pemeriksaan elektrode jarum pada kecepatan hantar saraf motorik.

Pentingnya kecepatan hantar saraf sensorik dalam elektrodiagnostik oleh karena :

1. dapat mendeteksi lesi yang hanya mengenai serabut sensorik, misalnya mononeuropati radialis
yang superfisialis dan juga polineuropati yang murni (pure) sensorik.
2. pada derajat yang lebih ringan pada gangguan saraf campuran, SCV sudah abnormal, walaupun
kecepatan hantar saraf motorik masih dalam batas normal, tidak terrgantung dari
patofisiologinya apakah demielinisasi (sindroma terowongan karpal) atau kehilangan akson
(neuropati ulnaris yang traumatik)
3. mempunyai peranan penting dalam lokalisasi elektrodiagnostik dari lesi proksimal dengan
kehilangan akson dengan menolong untuk membedakan yang terletak didalam kanalis
interspinal (misalnya gangguan kornu anterior dan radikulopati) dengan yang terletak diluar
(misalnya pleksopati)

21
4. karena tidak meng-asses komponen manapun dari motor unit, maka menmbantu membedakan
antara gangguan umum yang mengenai serabut saraf perifer dengan yang mengenai NMJ
(Neuro Muscular Junction) dan otot (misalnya GBS vs fulminant polimyositis)
5. pada lesi dengan kehilangan akson yang letaknya jauh (remote axon loss lesions), maka
merupakan komponen satu-satunya dari kecepatan hantar saraf dan kadang-kadang dari
seluruh pemeriksaan elektrodiagnostik yang tetap abnormal.

Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pada ke 2 sisi dengan membandingkan sisi yang terkena dengan yang
kontralateral dan amplitudo SNAP (sensory nerve action potentials) dianggap abnormal bila :

1. terdapat hasil dibawah angka normal di laboratorium EMG tersebut dan /atau
2. 50 % atau lebih rendah dari respons sisi kontralateral yang asimptomatik.

Amplitudo yang rendah unilateral / atau SNAP yang tidak timbul (pada setiap golongan usia) adalah
abnormal, namun bila tak dapat ditimbulkan respons sensorik pada n suralis dan n peroneus superfisialis
secara bilateral (seperti juga pada tidak adanya-H-respons secara bilateral) merupakan hal yang tak jelas
kemaknaannya bila ditemukan pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun.

Masa laten SNAP dianggap abnormal, bila memanjang, dibandingkan dengan angka normal yang telah
ditentukan terlebih dahulu di laboratorium EMG tersebut.

Pemeriksaan kecepatan hantar sensorik dilakukan dengan berbagai cara:

1. dengan menstimulasi saraf kutan, sambil merekam lebih ke proksimal pada suatu saraf
campuran darimana ia berasal (tehnik ortodrom)
2. dengan menstimulasi suatu saraf campuran, sambil merekam lebih distal diatas salah satu dari
cabang kutaneusnya (tehnik antidrom)
3. dengan menstimulasi dan merekam diatas suatu saraf sensorik yang murni (baik dengan tehnik
ortodrom maupun antidrom, tergantung dari penempatan elektrode stimulasi dan perekam).

Prinsip pemeriksaan :

22
* stimulasi pada suatu saraf sensorik(kutan) dan perekam dari suatu saraf sensorik atau saraf
campuran, atau stimulasi pada suatu saraf campuran dan perekam dari cabang sensorik (cara yang
ini seringkali dapat menyebabkan artefak yang banyak)

* kedua elektrode perekaman sebaiknya ditempatkan diatas sarafnya dengan jarak 3-4 cm yang
akan memberikan amplitudo paling maksimal.

* perlu dilakukan averaging (rata2 dari sejumlah respons), bila amplitudo dari sensory nerve action
potentials (SNAP) rendah.

* pada prinsipnya bisa dilakukan rangsangan hanya pada 1 tempat saja untuk mengukur kecepatan
hantar saraf sensorik,namun boleh juga menstimulasi pada beberapa tempat untuk mengukur
kecepatan hantar sensorik pada berbagai segmen

* jaraknya dihitung antara katode tempat stimulasi dan katode tempat perekaman.

* waktunya diukur antar awal stimulus dan awal fase negatif yang naik keatas (sesuai dengan
kecepatan dari serabut yang tercepat); bila awal fase negatif tak jelas, maka dapat juga dipakai
peak phase negatif, namun kecepatan hantar saraf akan menurun

* bisa dilakukan secara ortodrom dan antidrom.

Parameter yang dipakai:

* Kecepatan hantar saraf yang tercepat /maksimal

* Amplitudo SNAP (antara puncak negatif dan puncak positif sebelumnya / atau baseline), karena
puncak positif yang berikut biasanya berasal dari otot, jadi dari suatu saraf campuran.

Angka normal:

Kecepatan hantar saraf sensorik dan amplitudo SNAP tergantung suhu badan, dan ada tabel yang
mengkoreksi suhu badan yang berlainan.

Amplitudo SNAP tergantung dari usia, kelamin, tebal kulit dan tebal lapisan lemak dibawahnya, adanya
edema dan juga dari jarak antara tempat stimulasi dan perekaman (karena dispersi fisiologik).

Pada stimulasi pada berbagai segmen, maka amplitudo SNAP per segmen dapat menurun sampai
setengahnya.

23
Setinggi jari-jari, maka amplitudo SNAP tak sama di semua 5 jari dan urutan dari besar ke kecil adalah
jari 1>3>2>4>5.

Dengan demikian, maka suatu amplitudo SNAP yang lebih kecil pada jari ke 2 dibandingkan jari ke 5
adalah patologis.

Beda amplitudo kanan-kiri bisa mencapai 50 %.

Karena hal-hal yang disebut diatas maka agak sulit menentukan batas-batas normal dari SNAP.

Amplitudo SNAP pada jari pada stimulasi n medianus / n ulnaris adalah lebih dari 10 uV

Pada stimulasi n radialis maka amplitudo di jempol biasanya tak lebih besar dari 5 uV

Amplitudo SNAP N suralis pada orang yang muda dan kurus adalah >10 uV.

Pada stimulasi saraf-saraf kutan lain tak dapat ditentukan batas-batas angka normalnya.

Pada prinsipnya kecepatan hantar saraf sensorik lebih cepat dari yang motorik (diukur pada segmen
yang sama) (karena diameter aksonnya lebih besar).

RESPONS LAMBAT (late responses)

 Respons lambat adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu potensial yang
mempunyai masa laten yang lebih panjang daripada CMAP yang timbul langsung, yaitu M-wave.
 Dalam pengertian yang sempit maka respons lambat adalah F-wave, H-refleks,
A - wave.

 Blink refleks dan refleks masseter.


 Dalam prospektif yang lebar, maka respons lambat juga mencakup respons kulit simpatetik
(sympathetic skin response), silent period, respons masa laten pendek dan panjang.

H-refleks (refleks Hoffmann)

H- refleks adalah suatu jawaban refleks yang monosinaptik yang ditimbulkan dengan stimulasi elektrik
pada serabut otot aferen Ia yang besar pada suatu saraf campuran.

24
Impuls yang ortodromik pada serabut Ia membentuk bagian aferen dari refleks ini, sedangkan bagian
eferen terdiri dari impuls ortodromik dalam serabut motorik dari otot.

Gelombang H-refleks adalah serupa dengan miotatik deep tendon reflex yang ditimbulkan oleh
peragangan otot, namun aktivasi muscle spindle di bypass pada H-refleks. Dengan demikian ada korelasi
yang tinggi antara H-refleks m soleus dengan refleks Achilles.

Pada orang dewasa dapat dicetuskan dari m soleus (dengan stimulasi n tibialis di fossa poplitea) dan
juga pada m quadriceps femoris dengan stimulasi n femoralis di inguinalis dan dari m flexor carpi radialis
di siku.

Jadi pada prinsipnya pada ekstensor di ekstremitas bawah dan fleksor di ekstremitas atas.

Ini karena alfa motorneuron yang bersangkutan menunjukkan suatu eksitabilitas yang lebih tinggi;
tungkai adalah untuk berdiri (= ekstensi) dan lengan adalah untuk memegang (fleksi). Pada eksitabilitas
yang lebih meninggi dari alfa motorneuron seperti pada gangguan piramidalis, maka H-refleks juga
dapat diperoleh dari otot-otot lain seperti juga pada neonatus.

Pada perekaman pada m soleus distimulasi di fossa poplitea dengan lebar stimulasi 0,3-0,5 mS1 atau
0,5-1,0 mS 5, karena letaknya agak dalam dan frekwensi stimulus adalah 0,2 Hz yaitu 1 setiap 5 detik

Intensitas stimulus dinaikkan secara progressif sehingga dapat ditimbulkan M-respons dan juga H-refleks
sampai stimulasi supramaksimal, dimana H-refleks akan menghilang.

Yang khas dari H-refleks adalah, bahwa ia ditimbulkan oleh stimulus dengan intensitas rendah, yang
biasanya dibawah ambang rangsang / subthreshold dari M-respons

Untuk memastikan bahwa respons lambat tersebut adalah suatu H-refleks dan bukan suatu F-wave yang
mempunyai masa laten yang sama, maka amplitudo-nya harus lebih besar daripada M-respons.

Dengan peningkatan intensitas stimulus, amplitudo M-respons akan membesar secara progresif,
sedangkan amplitudo H-refleks secara progresif mengecil.

Dengan stimulasi supramaksimal untuk M-respons, maka H-refleks akan menghilang sama sekali dan
digantikan oleh F-wave.

Masa laten H-refleks diukur dari awal stimulus sampai defleksi inisial H-refleks.

25
Angka normal masa laten H-refleks m soleus berkisar antara 30 sampai 35 mS, namun tergantung dari
panjang badan. Beda kanan kiri <1,5 mS.

Aplikasi klinis H-refleks :

H-refleks paling sering digunakan untuk mengevaluasi adanya suatu radikulopati S1.

Bila ada perlambatan atau tidak timbul, maka ada suatu gangguan pada radiks S1.

H-refleks juga merupakan suatu tes yang sensitif untuk berbagai polineuropati yang aksonal atau dengan
demielinisasi. Karena H-refleks mencakup konduksi serabut proksimal, maka kelainan pada H-refleks
bisa merupakan suatu penemuan yang tersendiri dan dini pada GBS.

Pada neuropati metabolik-nutrisional, seperti alkoholik, uremik dan diabetik, maka dapat terjadi
pemanjangan H-refleks pada kecepatan hantar saraf konvensional yang normal.

H-refleks dari m fleksor carpi radialis bisa abnormal pada gangguan C6 atau C7 dan juga bisa abnormal
pada suatu lesi kronik dari susunan saraf pusat dan gangguan upper motor neuron. Pada keadaan ini
biasanya rasio H/M biasanya membesar, sejalan dengan eksitabilitas pool motorneuron spinal yang
meninggi.

H-refleks akan menurun selama keadaan tidur dalam, katapleksi dan stadium dini dari kerusakan
serebral akut dan gangguan pada medulla spinalis.

Limitasi H-refleks adalah:

1. Hanya radiks S1 yang di-evaluasi secara konsisten.


2. H-refleks seringkali terbukti normal pada radikulopati S1.
3. H-refleks yang abnormal tidak berarti menyatakan adanya suatu radikulopati S1, karena jaras-
jarasnya juga termasuk konduksi di n tibialis dan scatica, pleksus sakralis, medulla spinalis dan
radiks S1 yang sensorik dan motorik.

26
4. sekali H-refleks menghilang oleh karena adanya gangguan pada radiks S1, maka biasanya akan
menghilang seterusnya., sehingga pemeriksaan ulang H-refleks setelah operasi tidak mempunyai
arti.
5. H-refleks bisa menghilang secara bilateral pada pasien yang menderita polineuropati dan yang
berumur lebih dari 60 tahun.

Gelombang F (F-wave)

Bila akson motorik di stimulasi secara elektrik, maka potensial aksi yang timbul dihantarkan secara
sentrifugal dan menghasilkan suatu respons M, namun juga dihantarkan secara sentripetal, dimana
akhirnya sel motorneuron di depolarisasi.

Depolarisasi alfa motorneuron ini dalam presentase yang kecil akan mencetuskan suatu potensial aksi
dalam aksonnya sendiri, yang lalu dihantarkan balik melalui aksonnya sehingga menyebabkan suatu
kontraksi dari motor unit yang bersangkutan.

F-wave ditimbulkan karena aktivasi antidromik dari suatu variabel yang biasanya kecil dari bagian sel
kornu, anterior yang mempersarafi otot. Stimulus yang supramaksimal dan sekuensil akan menimbulkan
F-wave yang konfigurasinya dan masa latennya berubah-ubah (variabel), yang disebabkan oleh karena
aktivasi lower motor neurons yang berlainan. Potensial kecil ini disebut F-wave (karena pertama kali
ditemukan di otot-otot kaki / foot muscles).

F-wave pada prinsipnya dapat ditimbulkan pada setiap otot distal dengan stimulasi distal (pada otot
proksimal dengan stimulasi proksimal, maka F-wave dan M-respons dapat jatuh pada tempat yang
sama).

Pada ektremitas bawah bisa dijumpai banyak di otot-otot ekstensor dan di ekstremitas atas pada
fleksor. Pada gangguan sistem piramidalis F–wave ini lebih mudah ditimbulkan. Masa laten yang
terpendek dari F-wave yang diukur (minimum F-wave latency).

27
Angka normal dari masa laten F-wave yang terpendek berkisar antara 30mS dan n tibialis 3,5 mS.
Beda masa laten kanan dan kiri < 2 mS, namun ada perbedaan angka yang lebih spesifik, yaitu n
medianus 2.3 mS, n ulnaris 2,7mS, n peroneus 3,5 mS dan n tibialis 3,5 mS.

Angka-angka normal ini, biasanya berlaku sampai umur 40 tahun dan diatas itu akan memanjang kira-
kira 0,5 mS per dekade

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah : chronodispersion dan persistence.

Cronodispersion adalah perbedaan antara masa laten F-wave yang terpendek dengan yang terpanjang.

Persistence adalah persentase stimulus yang menimbulkan F-wave.

Batas bawah persistence adalah 5% untuk n peroneus pada orang normal, sehingga tidak adanya F-wave
juga harus dievaluasi secara seksama.

Persistence pada n medianus, ulnaris dan tibialis yang normal adalah 40% atau lebih. Persistence yang
tinggi (80-100%) terjadi pada lesi upper motor neuron terutama bila ada spastisitas.

Persistence dari F-wave juga memanjang bila otot tidak dalam keadaan relax, karena kontraksi
bagaimanapun kecilnya, akan mempersulit (secara bermakna) timbulnya F-wave.

Amplitudo F-wave sangat variabel, namun akan bermanfaat untuk menghubungkan mean F-wave
amplitude dengan CMAP yang maksimal (F-wave/CMAP x 100) , dan angka >5% adalah biasa pada
penyakit upper motor neuron.

Aplikasi klinis F-wave

F-wave sangat berguna untuk mengakses bagian proksimal saraf motorik untuk mengevaluasi
kemungkinan adanya lesi pada bagian proksimal dari n medianus, ulnaris, peroneus, tibialis dan skiatika
dan pleksus brachialis dan lumbosakral.

Minimum F-wave latency mencerminkan waktu konduksi dari seluruh bagian dari suatu saraf motorik.

Suatu pemanjangan ringan dari minimum F-wave latency dapat dilihat pada keadaan kehilangan akson,
sedangkan pemeriksaan F-wave paling sensitive untuk mendeteksi AIDP, dimana terjadi pemanjangan
masa laten F-wave. Pada CIDP F-wave bisa menghilang. Pemakaiannya pada radikulopati lebih

28
kontroversial lagi, karena minimum F-wave latency tidak akan memanjang. Hal ini disebabkan tidak
ada pengaruh perlambatan segmen pendek saraf yang mengalami demielinisasi, dan kelainan pada
segmen pendek tersebut akan di neutralisasi oleh suatu jarak yang sangat panjang dari suatu saraf yang
menhantarkan listrik secara normal.

Pada dasarnya F-wave kurang begitu sensitive dibandingkan dengan pemeriksaan EMG pada suatu
motor involvement yang disebabkan oleh radikulopati.

Gelombang A / A-Wave

Antara M-respons dan F-wave dapat terlihat potensial otot yang kecil dengan masa laten yang konstan,
yang biasanya dapat disebabkan oleh suatu refleks-akson, yang terjadi akibat suatu sprouting dari akson
motorik proksimal dari tempat stimulasi.

Kadang-kadang ditimbulkan karena adanya dispersi abnormal dari M-respons oleh karena demielinisasi.

Pada stimulasi supramaksimal gelombang A yang disebabkan oleh suatu refleks akson akan menghilang
oleh karena kolusi (collision), sehingga sebaiknya diberikan stimulus yang submaksimal.

Bila distimulasi beberapa sentimeter lebih proksimal, maka gelombang A yang merupakan suatu refleks
akson akan mempunyai masa laten yang lebih pendek dan gelombang A yang ditimbulkan karena
dispersi ini akan menunjukkan suatu masa laten yang lebih panjang.

Walaupun biasanya masa latennya lebih pendek, namun kadang-kadang bisa lebih panjang daripada F-
wave, sedangkan amplitudo gelombang A biasanya konsisten, sama atau kurang daripada amplitude F-
wave.

Biasanya gelombang A tidak timbul, sehingga pemeriksaan ini tidak dilakukan secara sengaja. Namun
bila terlihat, maka settingnya sama dengan H-refleks dan F-wave.

Tidak ada angka normal, sehingga gelombang A tidak bisa dipakai untuk mendiagnosis suatu keadaan
yang patologis.

Aplikasi klinis

29
Gelombang A tidak mempunyai suatu aplikasi klinis, dan tidak diperiksa pada pemeriksaan kecepatan
hantar saraf motorik secara umum.

Bila timbul, maka gelombang A bisa terjadi karena percabangan (branching) yang normal atau patologis.

Gelombang A, biasanya lebih banyak terlihat pada denervasi parsial yang khronis dengan re-inervasi,
daripada pada orang normal, namun penetapan ada tidaknya suatu keadaan yang patologis tergantung
dari pemeriksaan EMG jarum, atau pemeriksaan elektrodiagnostik yang lain.

Walaupun demikian gelombang A harus dikenal sehingga tidak salah diinterpretasi sebagai F-wave.

Gangguan aksonal vs demielinisasi :

Prinsip :

Prototip suatu neuropati yang aksonal murni adalah aksonotmesis (putusnya akson), dimana akan
terjadi kematian dari bagian akson yang distal.

Selama bagian distal akson masih mempunyai saluran ion yang berfungsi (beberapa hari) maka
kecepatan hantar saraf masih normal.

Bila aksolemma bedegenerasi, maka tak akan bisa ada hantaran potensial aksi lagi, artinya tidak pernah
ada penurunan hantar saraf, tetapi langsung hilang.

Pada gangguan motorneuron maka akson motorik mati secara perlahan-lahan dan selama perjalanan
penyakitnya dapat terjadi suatu penurunan kecepatan hantar saraf yang ringan,

karena secara kebetulan juga akson yang mempunyai hantaran yang tercepat menghilang, sedangkan
akson yang tersisa mempertahankan kecepatan hantaran yang normal.

Prototip suatu gangguan mielin yang murni adalah suntikan difteri toksin dalam saraf secara
eksperimental, sehingga mielin rusak, sedangkan akson tetap baik.

Mula-mula akan terjadi penambahan waktu lompatan (overspring-tijd) (waktu yang diperlukan potensial
aksi untuk menyebrangi internode), dan waktu ini bisa sampai 10 x lebih lama. Setelah itu, bila sarung
mielin sudah cukup mengalami kerusakan, maka terjadi suatu conduction block.

30
Suatu akson yang telah mengalami demilienisasi secara prinsipil tidak bisa menghantarkan aksi
potensial. Sel Schwann yang masih ada, akan menyebabkan suatu remielinisasi, sehingga sarung mielin
yang baru akan bertambah volumenya, namun tetap lebih kecil dari sebelumnya dan juga jarak
internodal selalu lebih pendek dari asalnya sebelumnya.

Makin tipis sarung mielinnya dan makin pendek jarak internodal, maka makin lambat pula kecepatan
hantar sarafnya.

Dengan demikian pada neuropati yang mengalami demielinisasi ada 2 faktor yang mempengaruhi
kecepatan hantar saraf, yaitu demielinisasi dan gradasi remielinisasi.

Ciri khas demielinisasi secara elektrofisiologis adalah :

 Perlambatan kecepatan hantar saraf


 Dispersi (perlambatan kecepatan hantar saraf yang tak merata)
 Conduction block yang parsial atau total
Di dalam klinik seringkali gangguan mielin dan akson terjadi secara bersamaan.

Suatu kompresi saraf yang ringan dapat menyebabkan suatu gangguan mielin (neuropraksia), namum
dalam praktek juga ditemukan bersamaan dengan suatu kerusakan akson (aksonotmesis).

Pada GBS maupun CIDP biasanya selalu juga disertai beberapa gangguan aksonal. Sebaliknya juga dapat
dijumpai neuropati dengan gangguan aksonal murni.

Adalah salah bila menganggap bahwa gangguan aksonal bisa terjadi sekunder akibat suatu gangguan
mielin sehingga terjadi suatu perlambatan kecepatan hantar saraf.

Pada diabetes mellitus dan insufisiensi ginjal, maka baik akson dan sel Schwann, keduanya terkena.

Pada pemeriksaan kecepatan hantar saraf adalah penting untuk membedakan antara suatu gangguan
aksonal yang murni dan ikut terkenanya sarung mielin.

Bila dapat ditunjukkan adanya gangguan mielin, maka diagnosis diferensial dapat dilimitasi secara tepat.

Kriteria pemeriksaan demielinisasi secara neurofisiologis :

31
Pasti ada demielinisasi.

Bila * ada dispresi hantaran atau

* ada conduction block atau

* ada penurunan kecepatan hantaran saraf yang banyak

< 75% dari batas bawah angka normal pada 2 saraf yang banyak

< 37,5 mS pada ekstremitas atas dan

< 30 mS pada ekstremitas bawah

Kemungkinan ada demielinisasi bila kriteria diatas tidak begitu dipenuhi secara absolut dan lebih lunak
lagi kriterianya bila disamping itu juga dijumpai kehilangan akson.

Contoh-contoh demielinisasi :

1. kecepatan hantar saraf n medianus di lengan bawah 45 mS dengan amplitude CMAP yang normal
dan tidak dijumpai fibrilasi maupun potensial re-inervasi
2. Contoh lain adalah : dianggap ada demielinisasi bila :
Pada stimulasi pada cubiti terjadi penurunan amplitude 20%, tanpa adanya anastomosis Martin-
Gruber

3. Juga penurunan kecepatan hantar saraf sensorik pada suhu kulit normal atau penurunan abnormal
amplitude SNAP pada stimulasi proksimal (.50%)
Perlu dibedakan antara suatu demielinisasi yang rata atau tak rata (uneven multifocal demielinisation)

Pada yang pertama timbul suatu penurunan kecepatan hantar saraf yang rata tanpa dispresi dan tanpa
conduction block.

Biasanya ini terjadi pada suatu defek molekuler seperti pada CMT (Charcot Marie Tooth) dan
adrenoleukodistrofi atau leukodistrofi methakhromatis.

Demielinisasi yang multifokal dengan adanya conduction block dan dispersi biasanya disebabkan suatu
proses inflamasi.

Demielinisasi disertai proses susunan saraf sentral :

32
Pada gangguan yang progresif dari suatu saraf pusat, adalah penting untuk melakukan suatu
pemeriksaan susunan saraf perifer untuk menyingkirkan adanya suatu polineuropati yang disertai
dengan suatu demielinisasi.

Namun bila pada suatu gangguan UMN (upper motor neuron) disertai demielinisasi, maka kemungkinan
hanya terbatas yaitu : Adrenoleukodistrofi, Leukodistrofi metakhromatis, Penyakit Refsum, gangguan
mitochondrial (terutama disertai gangguan gastrointestinal), Sindroma Cocayne dan Cholestanolisis

Pemeriksaan paut saraf-otot (neuromuscular junction /NMJ) :

Pemeriksaan elektrofiasiologis dilakukan pada pasien-pasien dengan suspek Miastenia Gravis (MG) atau
sindroma Lambert-Eaton (LEMS) untuk mendeteksi adanya gangguan pada transmisi neuromuskuler dan
juga untuk menyingkirkan adanya penyakit-penyakit lain dari motor unit, yang dapat menyebabkan
gejala-gejala klinis tersebut.

Pemeriksaan-pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan beratnya penyakit dan juga memberikan
suatu dasar kuantitatif untuk membandingkan dan mendokumentasikan perkembangan penyakitnya
dan juga memberikan keterangan tentang respons terhadap pengobatan.

Terdapat dua metode untuk memeriksa NMJ yaitu stimulasi dan single fibre-EMG (SFEMG). Stimulasi
repetitif dapat dilakukan oleh yang sudah biasa melakukan pemeriksaan kecepatan hantar saraf,
sedangkan SFEMG memerlukan keterampilan dan pelatihan yang khusus.

Stimulasi repetitif :

Prinsip :

Stimulasi erepetitif (Repetitive Nerve Simulation/ RNS) adalah pemeriksaan elektrofisiologis yang paling
sering digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan transmisi neuromuskuler.

Setelah suatu periode istirahat maka dalam ujung terminal akson motorik terdapat suatu jumlah
asetilkholine (Ach) yang cukup besar. Aksi potensial yang pertama pada stimulasi repetitif, akan
membebaskan lebih banyak Ach di NMJ daripada potensial berikutnya.

Penurunan jumlah pembebasan Ach pada stimulasi repetitif menjadi stabil setelah ada keseimbangan
antara pembuatan dan perlepasan.

33
Pada keadaan normal, penurunan pembebasan jumlah Ach ini tidak ada pengaruh pada amplitudo
CMAP, karena endplate potential (EP) selalu mempunyai amplitudo yang lebih besar daripada batas
potensial aksi otot, sehingga terjadi suatu blok pada NMJ.

Dengan demikian akan terjadi penurunan amplitudo CMAP (atau luas / area permukaan) pada stimulasi
repetitif yang disebut dekremen.

Dengan demikian, maka stimulasi repetitif adalah suatu metode yang tepat untuk menunjukkan adanya
penurunan jumlah reseptor Ach, dengan adanya penurunan amplitudo ataupun area dari CMAP.

Frekwensi yang dipakai untuk stimulasi repetitif :

Konsentrasi ion kalsium pada akson preterminal memegang peranan yang penting. Ach dibebaskan
karena adanya ion kalsium yang masuk kedalam terminal akson motorik sewaktu terjadi depolarisasi,
yang terjadi karena suatu aksi potensial.

Makin sering terjadi aksi potensial, makin tinggi konsentrasi kalsium dan makin tinggi pula perlepasan
Ach.

Dengan demikian stimulasi repetitif dengan frekwensi yang tinggi pada Mistenia Gravis tidak akan
menunjukkan suatu dekremen, sedangkan suatu frekwensi perangsangan yang sangat lambat akan
memberikan kesempatan untuk pembuatan Ach yang baru, sehingga juga tidak akan menunjukkan
suatu dekremen.

Pengalaman telah menunjukkan, bahwa serangkaian 8-10 stimulus dengan frekwensi 2-3/ detik adalah
yang terbaik untuk menunjukkan adanya dekremen pada MG.

Frekwensi ini dipilih, karena akan menyebabkan suatu penurunan sekwensial dari Ach dari ujung saraf
sampai stimulus ke 5 atau 6 dimana setelah itu terjadi mobilisasi dari storage Ach, yang menjadi
seimbang dengan pelepasan Ach.

Nilai diagnostik RNS dapat diperbaiki dengan beberapa tehnik aktivitas. Yang paling sering digunakan
adalah latihan maksimum (maximum exercise) dari otot yang diperiksa untuk waktu tertentu yang akan
menyebabkan akumulasi kalsium di ujung saraf, sehingga menambah perlepasan Ach.

34
Pada sindroma Lambert-Eaton hal ini akan menyebabkan penambahan amplitudo CMAP, dan ini disebut
post-activation facilitation (PAF). Setelah latihan maksimal terlihat depresi eksitabilitas ujung paut saraf-
otot, yang pada MG akan menyebabkan memburuknya respons dekremen dibandingkan dengan nilai
sebelum latihan, dan ini disebut post-activation exhaustion (PAE), dan hal ini paling maksimum 2-4
menit setelah latihan.

Pada stimulasi repetitif (RNS) dengan frekwensi 2-3/ detik bisa terjadi suatu penurunan amplitudo
karena adanya penurunan jumlah Ach yang tersedia, namun pada frekwensi perangsangan yang tinggi
(>10/detik) akan terjadi suatu pembesaran amplitudo (inkremen), karena konsentrasi kalsium
preterminal bertambah.

Namun perangsangan repetitif dengan frekwensi yang tinggi menyebabkan nyeri dan efek yang sama
dapat diperoleh dengan kontraksi volunter yang maksimal.

Stimulasi dengan frekwensi yang sangat cepat akan menyebabkan pembesaran amplitudo CMAP dengan
pendekatan durasi potensial tanpa perubahan pada puncak (peak) area yang negatif, dan fenoma ini
disebut pseudofasilitasi, yang disebabkan oleh sinkhronisasi yang bertambah dari kecepatan propagasi
potensial aksi di dalam serabut dari otot yang diperiksa.

Amplitudo puncak negatif (negative peak amplitude) atau puncak negative adalah pengukuran yang
paling penting pada RNS.

Area, sebetulnya lebih akurat untuk menggambarkan jumlah serabut otot yang membentuk CMAP dan
tidak terpengaruh oleh pseudofasilitasi.

Pada tes RNS (Jolly/ Harvey-Masland) diberikan stimulus yang supramaksimal 9 kali (dengan alat baru 10
kali) dengan frekwensi 2,5 – 3/ detik, dan kemudian amplitudonya serta permukaan CMAP diukur.

Yang biasanya diperiksa adalah :

 Stimulasi n ulnaris dengan perangsangan di pergelangan tangan dan direkam di hipotenar


 Stimulasi n accessorius dengan perangsangan di belakang lekuk m. Sternocleido
mastoideus dan perangsangan di m trapezius pars superior

 Stimulasi n axillaries dengan perangsangan di midclavicularis di fossa dan perekaman pada m


deltoideus

35
 Stimulasi pada n musculocutaneus dan perekaman dari m biceps
 Stimulasi pada n facialis dengan perekaman di m nasalis

CARA PEMERIKSAAN :

1. Tentukan respons supramaksimal CMAP


2. Stimulasi 20 -50% lebih besar dari intensitas stimulus yang dipakai
3. Periksa otot dalam keadaan istirahat dengan suatu rangkaian (train) stimulus supramaksimal 5 –
9 kali dengan frekwensi 2 – 3 Hz
4. Setelah beberapa menit istirahat, ulang step ke 3 untuk menentukan reproducibility
5. Aktivasi otot secara volunteer :
a. Bila diduga ada gangguan post-sinaptik dan didapatkan dekremen > 10% maka lakukan
latihan selama 20 detik untuk melihat apakah ada perbaikan dekremen dan juga untuk
melihat apakah ada post-activation exhaustion (PAE)
b. Bila diduga ada gangguan post-sinaptik tanpa adanya dekremen yang bermakna pada
keadaan istirahat, lakukan latihan selama 30 -60 detik untuk mencari post-activation
exhaustion (PAE)
c. Bila diduga ada gangguan pre-sinaptik, lakukan stimulus segera setelah aktivasi.
6. Ulang serangkaian (train) stimulus supramaksimal 5 – 9 kali segera setelah aktivasi
7. Ulang serangkaian (train) stimulus supramaksimal 5 – 9 setiap 5 menit. 6

Kriteria Abnormalitas :

Pada penurunan amplitude 5% (van Hees & Thyssen 1999)1 atau 8-10% (ozdemir & Young, 1976)8, 10%
(Meriggioli, 2001)6 dianggap patologis.

Pada MG biasanya permukaan CMAP terendah dijumpai pada stimulus ke 2 atau 3, dimana lalu biasanya
disusul dengan suatu pembesaran amplitudo. Bila terjadi perubahan yang tidak rata, biasanya
disebabkan oleh suatu artefak gerak atau stimulasi submaksimal.

Pada stimulus 3 Hz suatu penurunan amplitudo CMAP sampai 8% masih biasa dilihat pada orang normal.

Penurunan amplitudo (dekremen) melebihi 10% dianggap sebagai abnormal, namun kriteria
abnormalitas bisa berbeda di berbagai laboratorium.

36
Post activation facilitation (PAF) melebihi 100% menunjukkan adanya suatu gangguan pre-sinaptik
transmisi neuromuskuler, namun pernah juga terlihat PAF sampai 100% pada pasien MG, dan
mekanismenya belum begitu jelas.

PERTIMBANGAN TEHNIK PEMERIKSAAN :

 Reproducibility : dekremen harus dapat dilihat pada pemeriksaan-pemeriksaan yang diulang-ulang,


dan otot sebaiknya diistirahatkan minimum 30 detik sebelum dilakukan pemeriksaan ulang.
 Elektroda stimulus dan perekaman harus di-imobilisasi sebaik-baiknya, karena pergerakan
eloktroda-elektroda tersebut akan menyebabkan pattern gelombang yang ireguler dan perubahan
dalam besarnya dan bentuk CMAP
 Artefak karena pergerakan harus dicegah dengan fiksasi yang baik dari electroda perekam dan
fiksasi dari ekstremitas yang bergerak oleh stimulasi
Bila terjadi perubahan amplitudo yang tidak rata, hal itu biasanya disebabkan oleh suatu artefak
gerak atau stimulasi submaksimal.

 Suhu otot : dekremen akan berkurang bila otot dingin, sehingga ekstremitas yang diperiksa harus
dipertahankan pada suhu 32-34 C. untuk mempertahankan sensitivitas diagnostiknya.
 Obat-obat anti-kholinesterase dapat melakukan masking pada dekremen sehingga sebaiknya
dihentikan minimum 12 jam sebelum pemeriksaan dilakukan.

BLINK REFLEKS :

Refleks kornea merupakan contoh yang baik untuk blinkrefleks. Bila kornea distimulasi, maka terjadi
kedipan pada kedua mata.

Bagian aferen refleks ini ditimbulkan oleh n trigeminus yang ipsilateral, sedangkan bagian eferen
ditimbulkan oleh n facial bilateral.

Blinkrefleks yang ditimbulkan di laboratorium neurofisiologi, melalui jaras refleks yang sama, namun
memakai stimulus elektrik dan jumlah respons yang dapat diukur dengan baik.

37
Untuk melakukan blinkrefleks dipakai electroda permukaan, yang dipasang secara bilateral diatas m
orbicularis oculi dan suatu shock elektrik diberikan di n supraorbitalis. Ini akan menimbulkan 2 repons,
yaitu R1 yang ipsilateral dan timbul secara dini, yang masa latennya sekitar 10 mS dan R2, suatu repons
lambat yang timbul secara bilateral, yang masa latennya sekitar 30 mS.

Refleks berkedip pada refleks kornea yang timbul secara bilateral, serupa dengan respons R2 dari
blinkrefleks, namun tidak ada gerakan yang terlihat secara klinis yang bisa dihubungkan dengan
timbulnya R1.

Dengan electroda perekam di tempat yang sama, namun tempat perangsangan dari tempat n facialis,
akan didapatkan suatu respons langsung (Direct Response /DR)

Cara merekam:

 Electroda permukaan ditempatkan di m orbicularis oculi secara bilateral.


 Electroda G1 ditempatkan diatas perut otot di bagian bawah atau lateral orbita, sedangkan
electroda G2 ditempatkan secara ipsilateral diatas region temporalis, atau di sebelah G1, dan
penempatan electroda harus identik pada kedua sisi.
 Tempat electroda yang optimal tak sama pada pasien-pasien dan kadang-kadang perlu
perubahan letak electroda untuk mendapatkan CMAP yang awalnya negative.
 Elektroda massa dapat ditempatkan di dahi atau muka.
 Respons dari kedua mata harus direkam secara simultan dengan menggunakan 2 channel,
dengan sensitivitas 100-200 uV/divisi dan kecepatan sweep speed 10 mS/divisi dan filter 20 Hz –
10kHz.
 Bila memakai batas frekwensi rendah yang lebih tinggi misalnya 200 – 500 Hz, akan didapatkan
respons yang lebih bersih, namun amplitudo akan menjadi lebih kecil. Pemeriksaan harus
dilakukan berulang-ulang dan responsnya diukur dan dianalisa. Sebaiknya setiap pemeriksaan
diperlihatkan secara tersendiri dan jangan di superimpose karena akan menutup respons R2,
yang berubah-ubah pada setiap pemeriksaan. Pengukuran berberapa kali dari R2 akan dapat
memperjelas onset masa latennya.

Stimulasi :

38
 N supraorbitalis distimulasi di foramen supraorbital atau pangkalnya, yang dapat di palpasi
dalam orbita pada batas medial atasnya.
 Katoda electroda stimulasi yang bipolar ditempatkan diatas n supraorbitalis di foramen
supraorbitalis dan anoda dipasang diatas orbita.
 Bila melakukan stimulasi, harus dicegah penekanan yang berlebihan pada saraf, karena akan
lebih menyebabkan ketidak nyamanan pada pasien daripda rangsang listriknya sendiri.
 Waktu stimulus adalah 0,2 mS dan intensitas dinaikkan sampai supramaksimal, yang akan
berkisar antara 3 -20 mA.
 Pada 10% subyek yang normal, R1 tidak akan didapatkan dengan rangsang listrik yang tunggal,
dan diperlukan stimulasi dengan suatu stimulus yang berpasangan (paired stimuli).
 Kedua stimulus diberikan dengan interval 5 detik dan stimulus pertama adalah subthreshold,
sedangkan yang kedua adalah supramaksimal dan rspons diukur dari stimulus kedua.
 Komponen R2 bisa mengalami habituasi, sehingga stimulus sebaiknya tidak diberikan lebih
sering dari setiap 10 detik.
 Blinkrefleks juga bisa ditimbulkan dengan suatu ketokan secara mekanis diatas glabella dengan
menggunakan martil khusus yang mengaktivasi suatu micro swith pada impact dan
memperlihatkan suatu gelombang pada osiloskop.

Aplikasi klinis :

Blinkrefleks dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi n triegeminus dan n facialis, dan juga dapat
memberikan keterangan mengenai fungsi batang otak, seperti pons dan lateral medulla, yang
bertanggung jawab terhadap hubungan sentral dari R1 dan R2.

Namun umumnya blinkrefleks digunakan untuk mengevaluasi bell’s palsy (idiopathic facial nerve
mononeuropathy)

Aplikasi lain adalah untuk mengevaluasi neuropati trigeminal, polineuropati, spasme hemifasial, lesi
batang otak seprti tumor (neurinoma akustikus), multiple sclerosis atau stroke.

Angka normal :

39
Parameter utama adalah masa laten, dan pengukuran amplitudo tak lazim dilakukan. Masa laten
blinkrefleks pada neunatus lebih panjang daripada pada orang dewasa, walaupun jaraknya lebih dekat.

R1 rerata batas atas

Masa laten 10,45 mS 13 mS

Beda kanan-kiri 0,31 1,2

R2

Ipsilateral R2 30,5 41

Kontralateral CR2 30,5 44

Beda R1 dengan stimulasi R-L 1,2

Beda R2 dengan stimulasi R-L 16

DR (Direct Response ) abnormal bila > 4,1 mS

Beda kanan/kiri > 0,6 Ms

Rasio R/D (R1 dibagi DR) abnormal bila diluar rasio 2,6 – 4,6

Rasio menurun pada kelainan distal

Rasio memanjang pada kelainan lebih proksimal.

Interpretasi :

Blinkrefleks adalah bila R1 dan/ atau R2 tidak timbul atau masa latennya melebihi batas atas.

40
Dapat terjadi berbagai pattern abnormalitas, dan mengenal berbagai pattern tersebut akan dapat
melokalisasi letak lesi lebih baik.

1. Lesi aferen.
Lesi n trigeminus akan memperlambat R1 ipsilateral dan R2 bilateral dengan stimulasi pada sisi
yang terkena. Dengan lesi aferen yang berat, maka tidak akan ada respons pada sisi terkena.
Stimulasi dari sisi sehat akan memberikan respon R1 dan R2 yang normal

2. Lesi aferen.
Lesi n facialis akan menyebabkan R1 dan R2 yang lambat pada sisi terkena, yang tidak
tergantung dari sisi stimulasi.

3. Lesi batang otak :


a. main sensory mucleus R1 tidak timbul atau lambat pada sisi terkena dengan R2 yang normal.
b. Nucleus trigeminus spinal R1 masih ada pada sisi terkena dengan R2 yang normal.
c. Interneuron meduler yang tidak menyeberang
Pada sisi lesi, R1 ipsilateral tetap ada, sedangkan R2 yang ipsilateral hilang atau lambat. R2
kontralateral masih normal, karena interneuron yang menyeberang tidak terkena pada sisi
kontralateral lesi, maka R1 dan R2 normal.
d. Interneuron meduler yang menyeberang
Bila serabut yang menyebrang dari satu sisi terkena, maka R2 kontralateral akan hilang atau
lambat, sedangkan R1 dan R2 ipsilateral normal.

Jangkauan EMG adalah semua kelaianan LOWER MOTOR NEURON (LMN) mulai dari :

 Motor neuron /Cornu Anterior


 Radiks
 Pleksus
 Saraf Perifer
 Neuromuskular Junction / Motor End Plate
 Otot

Indikasi EMG :

41
Motorneuron :

1). Polio

2). Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) / Motor Neuron Disease (MND)

3). Spinal Muscular Atrophy :

Kugelberg Welander Syndrome dan Werdnig Hoffman Syndrome

Radiks :

1). Gulliain arre Syndrome (GBS) :

Poliradikulitis dan Poliradikuloneuritis

2). Trauma Avulsi Radiks Total / Partial

3). HNP : iritasi / kompresi radiks

Pleksus :

Biasanya karena trauma

Saraf Perifer :

1). Polineuropati

2). Neuropati Diabetika

3). Morbus Hansen : Mononeuropati multipleks

4). Pressure Neuropathy

5). Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dan Tarsal Tunnel Syndrome (TTS)

6). Trauma

7). Bell’s Palsy / Gangguan Saraf Kranial VII (N.VII) perifer

Neuromuscular Junction /Motor End Plate :

1). Myastrenia Gravis

42
2). Syndrome Lambert Eaton

Otot :

1). Dystrofia Muskulorum Progresiva (DMP)

2). Miositis

EMG ELEMENTER memerika :

 potensial potensial berbagai otot


 berbagai motor unit dari setiap otot
 amplitudo
 polifasi dan duration dari setiap potensial

Sebagai contoh antara lain :

1). IRITASI RADIKS atau KOMPRESI RADIKS seperti pada HNP, dicari potensial potensial yang polifasik
pada setiap segmen / miotoma yang terkena dan dicari aktivitas spontan / fibrilasi, juga di otot otot
paravertebral / interspinal.

2). SPASMOFILIA – TETANI LATEN – SINDROMA HIPERVENTILASI

Pada sindroma hiperventilasi terjadi alkalosis, sehingga Ca-ion diikat yang berakibat terjadi suatu
hipokalsemia yang relatif. Hal ini akan menyebabkan gejala gejala dari spasmofilia seperti : sefalgia,
kolik, pegal pegal, nyeri pinggang, parestesi sampai kejang tonik dan pingsan. Tes spasmofilia
dilakukan dengan cara tes provokasi yaitu :

 Tes iskemi selama 5 menit pada 180 mmHg (160 mmHg pada anak-anak)
 Yang disusul dengan hiperventilasi selama 3 menit.
Kelainan khas yang dijumpai adalah :

 Duplets / Triplets / Multiplets yang bentuk dan bunyinya khas sebagai akibat dari
high frequency coupling of action potentials

43
 Kadang kadang tampak obstetric hand

Gradasi Spasmofilia :

4+ Pasca tes iskemi :

* banyak multiplets

* timbul obstetric hand

3+ Pasca hiperventilasi :

* banyak multiplets

* timbul obstetric hand

2+ Pasca hiperventilasi :

* banyak multiplets

* tanpa obstetric hand

1+ Pasca hiperventilasi :

* duplets/triplets/multiplets yang tidak banyak

3). GANGGUAN MIOGEN

Misalnya pada DMP, dijumpai potensial dengan amplitudo kecil, sangat polifasik,

halus, durasi pendek

EVOKED POTENTIAL (EP) / POTENSIAL CETUSAN

Potensial cetusan mengukur respons elektrofisiologis dari sistem saraf terhadap berbagai stimulus.
Hampir semua modalitas sensorik dapat diperiksa secara teoritis, namun dalam praktek, hanya
beberapa yang digunakan secara rutin. Yang paling sering dipakai adalah potensial cetusan visual ( Visual

44
Evoked Potensials / VEP), potensial cetusan somatosensorik dengan masa laten pendek (Short Latency
Somatosensory Evoked Potentials / SSEP) dan potensial cetusan auditorik batang otak dengan masa
laten pendek (Short Latency Brainstem Auditory Evoked Potentials / BAEP).

Potensial cetusan dengan masa laten panjang seperti P300 (Event Related Potential) dipakai untuk
mempelajari fungsi luhur, seperti pada demensia dan ADHD (Attention-Deficit / Hyperactivity Disorders).

Potensial Cetusan Visual (VEP)

Potensial cetusan visual memeriksa fungsi jaras visual dari retina sampai ke korteks oksipital dan
mengukur konduksi jaras jaras visual mulai dari n.optikus, khiasma optikus, radiasio optik ke korteks
oksipital. VEP sangat berguna untuk memeriksa fungsi n.optikus dan medeteksi tumor yang menekan
n.optikus, gangguan iskemik dan demielinisasi.

Indikasi lain adalah neuropati optika, neuritis optika, ambliopi toksik, neuritis retrobulbaris, neuropati
optika iskemik, sklerosis multipel, glioma n.optikus, meningioma, kraniofaringioma, giant aneurism dan
tumor hipofisis.

VEP merupakan perluasan dari pemeriksaan klinis pada berbagai penyakit sistem visual primer dan
sekunder dan terutama berguna untuk memberitahukan fungsi nervus optikus.

Potensial Cetusan Somatosensorik (SSEP)

Potensial cetusan somatosensorik terjadi karena efek somasi dari potensial aksi dan potensial sinaptik
dalam suatu konduktor volume. SSEP dengan masa laten pendek dianggap sebagai hasil dari volley yang
melintas pada serabut besar sistem sensorik seperti di kolumna dorsalis dan lemniskus medialis. SSEP
merupakan suatu alat yang

baik untuk memeriksa gangguan fungsional, terutama konduksi pada sistem saraf dan dapat membantu
mengkonfirmasi adanya kelainan bila gejala klinis masih belum banyak. Juga seringkali dapat
menunjukkan lesi asimptomatik sehingga dapat membantu terutama pada kasus sklerosis multipel yang
belum jelas. Pemeriksaan SSEP intra-operatif merupakan suatu tantangan, karena membutuhkan
banyak waktu dan kesabaran, diperlukan kerja sama yang baik dengan staf kamar operasi dan alat alat

45
yang khusus dan juga kecanggihan dalam bidang elektro-tehnik untuk menghilangkan intervensi noise
elektrik, yang ditimbulkan oleh alat alat pembedahan sampai pada anaestesi yang dipakai serta
kedalamannya yang dapat mengganggu hasil dari SSEP.

Potensial Cetusan Auditorik Batang Otak (BAEP)

Potensial cetusan auditorik batang otak ini mengukur fungsi saraf auditorik dan jaras auditorik sampai ke
batang otak. BAEP dapat dipakai untuk melakukan penapisan gangguan pendengaran yang masih dapat
diperbaiki dengan alat bantu pendengaran atau tidak, karena pada BAEP yang abnormal, alat bantu
pendengaran, biasanya tidak dapat membantu lagi. Indikasi BAEP lainnya adalah neurinoma akustik
(cerebellopontine angle tumor), penyakit demilienisasi, sklerosis multipel, tumor batang otak, meningo-
mielokel, stroke batang otak, insufisiensi respiratorik pada ensefalitis, prediksi keluaran koma post-
trauma pada anak-anak dan sebagai indikator prognostik pada koma.

P 300 (Event Related Potentials = ERP)

P300 adalah potensial potensial yang direkam dari kulit kepala dan merupakan hasil pengapian
sekelompok neuro-neuron sebagai respons terhadap adanya suatu stimulus yang tidak lazim (oddball).
P300 merupakan potensial cetusan otak dengan masa laten panjang dan timbul pada subyek bila
mendapatkan rangsangan yang ada hubungannya dengan suatu tugas tertentu (task relevant). Respon
tersebut ditimbulkan oleh rangsangan eksogen maupun endogen, yaitu suatu aktivitas psikologik yang
berupa penemuan arti atau memahami tugas yang sedang dikerjakan. Apabila MRI dapat
memperlihatkan resolusi spasial (lokalisasi) dengan sangat baik, maka P300 / ERP memperlihatkan sutu
resolusi temporal dengan sangat baik, karena dapat mendeteksi perubahan pengapian neuron dalam
jangka waktu beberapa milidetik setelah stimulus diberikan. Seperti pada Topographic Brain Mapping,
maka P300 juga dapat dipaparkan dalam suatu peta gelombang dalam setiap lini, terutama di area
parietal dan frontal. Pada saat ini P300 dipakai sebagai parameter obyektif untuk menilai fungsi kognisi-
perseptual pasien. Dengan demikian P300/ERP dapat dipakai untuk memeriksa dan mendekteksi
perbedaan-perbedaan dengan orang-orang yang normal (kontrol), dalam menilai fungsi kognisi-
perseptual seperti pada penderita autisme, gangguan pemusatan perhatian, hiperaktivitas, disleksia,
skzofrenia, paranoid, depresi, stroke, demensia, dan berbagai gangguan lain.

46
ELEKTRO ENSEFALO GRAFI (EEG) dan BRAIN MAPPING

EEG adalah suatu metode untuk merekam aktivitas listrik otak, terutama ari korteks serebri. Sejak
Hans Berger pertama-tama berhasil membeuat rekaman ensefalogram pada manusia dan menguraikan
perubahan EEG yang berhubungan dengan epilepsi pada lebih 70 tahun yang lalu, semakin banyak
kegunaan EEG ditemukan.

Kenyataan menunjukkan sebelum adanya CT Scan, EEG merupakan prosedur pendahuluan sebelum
tindakan diagnostik yang lebih invasif seperti arteriografi dan pneumoensefalografi. Saat ini sangatlah
jelas manfaat EEG sebagai alat diagnostik non-invasif, misalnya dalam penanganan pasien kritis. Pada
hampir semua studi monitoring continous-EEG (cEEG), kebanyakan kejang yang terjadi pada pasien kritis
adalah non-konvulsif dan tidak dapat dikenali tanpa cEEG (jelas pula keadaan kejang non-konvulsif ini
berhubungan dengan prognosis yang buruk). Dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang komputer
digital, maka rekaman EEG yang konvensional dan analog, dapat di-konversikan menjadi suatu EEG yang
digital yang juga disebut sebagai CEEGRAPH (computer EEG) . Dengan demikian dapat pula diukur pola
listrik pada permukaan kulit kepala dan dianalisa dengan tehnologi digital, sehingga pengukuran ini
menggambarkan secara primer, aktivitas listrik kortikal atau gelombang otak (brainwaves). Dengan
berhasilnya pengukuran pola listrik otak tersebut, maka timbullah istilah QEEG (Quantitative EEG
topography) dan dengan perekaman secara digital tersebut dapatlah pula dibuat peta (mapping) yang
merupakan gambaran topografis-neurofisiologis otak dan disebut sebagai EEG Brain Mapping dan
seringkali disebut sebagai sutau cermin otak yang sejati (true brain mirror).

EEG Brain Mapping dapat membantu mengidentifikasi ciri ciri khas regional dari EEG sehingga seringkali
dapat mengidentifikasi ciri ciri halus yang hampir tidak akan tampak dengan inspeksi visual tradisional
poligraf EEG biasa. EEG Brain Mapping juga dapat menolong dalam komunikasi dari ciri-ciri EEG dengan
lokalisasinya, terutama berguna untuk praktisi yang belum begitu ahli dalam membaca EEG. Kwantifikasi
data EEG membantu menentukan apakah beberapa ciri yang ditemukan memang benar derajatnya
abnormal. Dalam memproses data EEG secara digital juga dapat dihitung secara abstrak ciri ciri yang
tidak dapat di-visualisasi-kan.

EEG kwantitatif secara topografis (Quantitative EEG Topography / QEEG topography) seringkali disebut
sebagai topographic brain mapping atau topometric brain mapping adalah suatu pemeriksaan yang
mengukur pola listrik (electrical pattern) pada otak. Beberapa gelombang otak ini terjadi dengan

47
frekwensi yang lebih cepat (kecepatan gelombang) dan beberapa terjadi dengan kecepatan yang lebih
lambat.

Nama nama klasik dari gelombang EEG adalah DELTA, TETA, ALFA, SENSORY MOTOR RYTHM
(SMR) DAN BETA. Gelombang ini diidentifikasi berdasarkan frekwensinya (siklus per detik / Hertz). Ada
beberapa variasi dalam pendapat tentang bagaimana cara yang terbaik untuk menggolongkan
gelombang otak ini, namun

secara umum telah disetujui adalah dari yang lambat ke yang cepat dan gelombang otak harus dibagi
sbagai berikut :

* Gelombang DELTA (1-3Hz)

Adalah gelombang yang paling lambat dengan amplitudo yang paling tinggi dan terutama ada
sewaktu tidur atau berada dalam keadaan sensitif (emphatethic). Bila ada gelombang delta secara
berlebihan dalam keadaan bangun, maka artinya ada indikasi adanya suatu disfungsi.

* Gelombang TETA (4-8Hz)

Adalah gelombang yang timbul bila sedang melamun atau berfantasi. Selain itu kreativitas dan intuisi
juga berhubungan dengan gelombang teta. Ini dapat terlihat karena gelombang teta dapat timbul
pada 2 keadaan. Gelombang teta pada frekwensi rendah (4-5Hz) biasanya menggambarkan zona
peralihan (twilight zone) antara bangun dan tidur, yang merupakan keadaan yang tenang, damai,
mengambang, dimana pada keadaan ini tidak terjadi suatu aktivitas intelektual yang disadari dan ini
juga merupakan frekwensi yang diperlihatkan secara berlebihan pada anak-anak dan orang dewasa
dengan attention deficit hyperactive disorders (ADHD). Sebagai kontras, maka gelomang teta dengan
frekwensi yang lebih tinggi (6-8Hz) bila terlihat di midline frontal merupakan suatu keadaan yang
berhubungan dengan suatu perhatian yang terpusat kedalam (highly inwardly focused problem
solving), misalnya aritmatik mental. Ini juga merupakan level pada waktu orang sedang masuk dalam
suatu hipnosis yang dalam atau sedang bermeditasi. Orang orang yang melakukan swahipnosis (self

48
hipnosis) dan orang orang yang mudah di hipnosis, termasuk mediator, memproduksi lebih banyak
gelombang 6-8Hz, baik dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan hipnosis.

* Gelombang ALFA (8-11Hz)

Adalah gelombang yang lebih besar dan berhubungan dengan keadaan relaksasi dan secara
mendasar merepresentasikan keadaan otak yang sedang masuk dalam keadaan istirahat (idling gear),
relaks dan tidak sibuk (disengaged) dan menunggu untuk berespons, bila diperlukan. Apabila
menutup mata dan mengkhayalkan sesuatu yang mendamaikan, maka dalam setengah menit akan
timbul suatu penambahan gelombang alfa (increased alpha brainwaves). Gelombang alfa secara khas
ada, bila sedang merasa tenang, dan dalam posisi untuk merubah pikiran secara efisien dan efektif
untuk melakukan suatu tugas tertentu. Walaupun idling ini adalah suatu fenomena yang
menguntungkan untuk otak yang relaksasi (idling brain), namun bila gelombang alfa menjadi terkunci
(locked) dan terinhibisi, maka partisipasi aktif dari area otak yang vital tidak bisa terjadi dengan
efisien. Lobus frontal adalah area yang paling sering terkena banjirnya gelombang alfa secara
berlebihan (flooding) dan non-reaktif (inhibisi). Otak memakai lobus frontalis untuk atensi fokus
diluar diri kita dan untuk mengerti kompleksitas dunia. Tidak jarang ditemukan gelombang alfa di
frontal dengan amplitudo yang tinggi, pada orang-orang yang gagal secara akademis dan pada
mereka yang mengalami kesukaran pada tugas pekerjaan (job demands).

* Sensory Motor Rhythm (12-15Hz)

Adalah gelombang yang diukur diatas korteks sensorimotor dan merupakan gelombang otak yang
berhubungan dengan suatu kesadaran mental (mental alertness) dan siap untuk bereaksi,
dikombinasikan dengan sikap yang tenang (behavioral stillness).

* Gelombang BETA (18 Hz atau lebih)

Adalah gelombang otak yang kecil dan cepat, yang berhubungan dengan keadaan aktivitas mental
atau intelektual dan konsentrasi yang berfokus keluar (outwardly focused concentration). Gelombang
beta hadir, bila sedang berfikir, mengatasi persoalan, memproses informasi atau sedang tidak tenang.
Sebagai gelombang otak yang cepat, maka gelombang beta memberi energi pada beberapa area di
korteks. Bila ada difisiensi gelombang beta, baik secara umum di semua tempat atau hanya pada area
area yang kecil, maka otak tidak mempunyai cukup energi untuk melakukan semua tugas di kelas atau
tempat kerja yang biasanya adalah tugas yang standar.

49
EEG konvensional dapat mendeteksi epilepsi, menentukan jenis epilepsi, dan berbagai kelainan lain
seperti tumor, stroke, abses, trauma kapitis, meningitis, ensefalitis dan retardasi mental. QEEG dan
Brainmapping dapat dipakai pada malformasi arterio-vena dan juga pada narkolepsi dan koma, dan juga
banyak dipakai untuk memonitor efek withdrawal dari obat-obat psiko-aktif dan infeksi otak seperti
meningitis, dan juga untuk follow-up pada pasien yang mengalami operasi otak. Namun dengan analisa
gelombang otak secara digital (QEEG dan Brainmapping), dapat dinilai pula beberapa fungsi mental
melalui pengukuran dari jenis aktivitas gelombang otak. Dalam bidang psikiatri, walaupun masih dalam
fase penelitian, banyak dipakai untuk meng-identifikasi gangguan dengan dasar biologis, seperti
skizofrenia, demensia, hiperaktivitas, depresi, atrofi otak, dan ADHD pada anak-anak.

Aktivitas gelombang otak me-refleksi keadaan arousal dari seseorang dan menunjukkan pola yang jelas
berlainan, tergantung dari apakah sedang dalam keadaan bangun, tidur atau sedang melakukan suatu
tugas yang kognitif.

Berdasarkan bukti ilmiah dari penelitian-penelitian dan uji klinis didapatkan bahwa sinyal sinyal otak
yang terekam, bukan hanya berhubungan dengan keadaan arousal, namun juga dengan aspek kognisi
dan emosi (afek).

Bila melihat kumpulan gejala dari sudut pandang cara otak memproses, maka kontribusi dari setiap
disfungsi otak seringkali dapat dilihat dengan jelas, misalnya : bila terlihat gelombang lambat fokal ( fokal
slow waves / delta waves), maka seringkali ini merupakan akar dari banyak gangguan belajar. Pada
disleksia, akvitas otak yang lambat, dapat ditemukan pada satu atau lebih area penting (key areas) dan
ini dapat termasuk lobus oksipitalis, area Wernicke, area Broca dan area sensorimotor.

Stimulasi Magnetik Transkranial (Transcranial Magnetic Stimulation / TMS)

Adalah merupakan suatu metode yang relatif baru untuk menstimulasi otak secara non-invasif dengan
tehnik penempatan koil kecil diatas kulit kepala dengan jalan memberikan arus listrik bolik-balik yang
cepat melalui kawat di koil tersebut, sehingga menimbulkan suatu lapangan magnetik yang berjalan
tanpa terhalang melalui kulit kepala TMS dapat digunakan untuk memeriksa kecepatan hantar saraf,
dengan jalan menstimulasi diatas korteks motorik, sehingga menghasilkan suatu potensial cetusan otot
di sisi kontralateral. Manfaat TMS tidak hanya pada studi mengenai kortikal motorik namun juga pada

50
daerah kortikal lain, seperti : korteks visual, somatosensorik, parietal maupun frontal. Pemeriksaan ini
juga dapat memperkirakan progresivitas pada multipel sklerosis.

Akhir akhir ini TMS dipergunakan untuk terapi pada depresi, dengan jalan pemberian

ELEKTRONEUROMIOGRAFI PADA BRACHIALGIA DAN ISCHIALGIA

Brachialgia dan ischialgia merupakan kasus, yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan di
subbagian EMG FKUI/RSCM merupakan 8,1% (brachialgia) dan 16,4% (ischialgia) dari seluruh kasus, yang
diperiksa EMG (Wibowo et al, 1993)

Brachialgia umumnya ada hubungan dengan spondilopati servikal, distorsi medulla spinalis servikalis dan
khondrosis, sedangkan ischialgia biasanya disebabkan keadaan-

keadaan seperti spondilosis deformans, hernia nucleus pulposus, spondilosis lumbalis serta
spondilolistesis. (Takura et al. 1988)

Dalam bidang neurologi adalah penting untuk membedakan iritasi dari kompresi radiks.Umumnya
iritasi radiks diobati secara konservatif, sedangkan kompresi radiks memerlukan tindakan operatif.

Sindrom radiks servikal

Di daerah servikal lebih sering dijumpai suatu gangguan yang disebabkan suatu spondylosis daripada
suatu discus prolaps.

Diskus prolaps servikal 100x lebih jarang daripada di daerah lumbal dan umumnya terjadi pada suatu
trauma kepala dan leher terutama pada suatu “whiplash trauma”, dimana selalu terjadi suatu tortikollis
akut dengan suatu posisi kepala yang terpaksa (Zwangshaltung) dengan disertai suatu kerusakan radiks
yang akhirnya menjadi keluhan brachialgia sampai suatu sindrom meduler (sindroma arteri spinalis
anterior), tergantung letak prolaps.

Kadang-kadang bisa terjadi akibat massage/ pijat tradisional pada puntiran kepala.

Yang paling sering dijumpai ialah sindrom radiks servikal pada spondilosis servikalis, terbanyak antara
C5-C6 (sindrom C6) dan antara C6-C7 (sindrom C7)

51
Gejalanya umumnya tak akut/mendadak tatapi biasanya terjadi dalam beberapa hari dengan adanya
sakit pada tengkuk dan tortikollis disertai dengan suatu “Shoulder-Arm Syndrome” yang terlokalisir atau
dengan parestesi yang sifatnya khas radikuler.

Sindrom radiks torakal

Sindrom radikuler didaerah torakal umumnya jarang dan bila ada umumnya bukan disebabkan oleh
suatu spondylosis.

Penyebabnya seringkali dipikirkan kearah permulaan Herpes Zoster (simptom nyeri radikulernya) serta
penyakit-penyakit dalam bidang interne atau tumor-tumor intraspinal.

Sindrom radiks lumbal.

Sebagian terbesar dari sindrom ischialgia ialah suatu radiks ischialgia yang disebabkan oleh suatu discus
prolaps lumbal.

Anamnestis umumnya sering disebabkan oleh :

 Suatu trauma sewaktu mengangkat suatu beban yang berat


 Sewaktu membuat suatu gerakan yang mendadak, yang tak terkontrol
 Atau lebih jarang lagi pada suatu trauma langsung pada punggung.
Seringkali sebelumnya telah ada riwayat lumbalgia dan ischias.

Biasanya dimulai dengan :

Suatu rasa nyeri yang menusuk dan mendadak (Hexenshuss/lumbago) atau nyeri lumbal yang makin
lama makin menghebat, dengan disertai dengan pengahambatan pergerakan dan nyeri yang timbul
pada batuk dan mengejan.

Laseque pada fase ini biasanya sudah positif.

Lalu bisa disusul dengan suatu sindrom radikuler yang khas. Nyeri terasa di bagian dorsalis tungkai
bawah (L4).

52
Umumnya pada hernia yang letaknya setinggi ini, akan terletak jauh di lateral sehingga seringkali deteksi
dengan mielografi tak terlihat. Laseque negative, sedangkan Laseque terbalik positif.

Yang paling sering terkena radiks L5 dan S1.

Suatu prolaps ke dalam lubang kanalis vertebralis yang letaknya jauh ke lateral dapat menyebabkan
penekanan pada radiks di atasnya, sehingga suatu diskus prolaps L5-S1 yang letaknya lateral bisa
menunjukkan gangguan pada L5

Perlu disebutkan bahwa radiks L5 biasanya menunjukkan suatu prolap pada discus L4-5, sedangkan
radiks S1 ke suatu prolap pada discus vertebra L5-S1. Ini merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan
dengan jelas, bila membaca laporan atau kepustakaan, apakah yang dimaksud dari pustaka tersebut.

Para ahli bedah orthopedik akan menyebutkan, bahwa yang terbanyak adalah HNP pada discus L4-5,
sedangkan hasil EMG akan menunjukkan suatu kompresi radiks L5-S1.

Suatu hernia yang menembus ligamentum longitudinalis posterior ke dalam kanalis vertebralis bisa
menyebabkan suatu gangguan pada beberapa radiks dengan membuat suatu sindrom kompresi pada
cauda equina dengan paraplegi dan gangguan neurologi lainnya, yang disebabkan oleh suatu hernia
discus lumbalis..

Perlu disebutkan, bahwa bila terjadi kompresi radiks yang berkepanjangan, rasa nyeri dapat menghilang,
karena kerusakan serabut-serabut saraf untuk nyeri. Bila terjadi hal seperti ini, maka tidak boleh
diartikan bahwa telah terjadi penyembuhan. Harus dicari dahulu apakah masih ada tanda -tanda
kompresi lain (parese, atrofi otot & gangguan mictio), apabila masih ada maka sudah pasti belum terjadi
penyembuhan. Keputusan terapi untuk kompresi radiks seperti ini, adalah operasi.

Pemeriksaan EMG terutama ditunjukkan untuk menentukan letak lesi (level), serta menentukan apakah
terdapat suatu iritasi radiks atau kompresi radiks, karena penatalaksanaannya akan berbeda.

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Sebaiknya dilakukan anamnesa serta pemeriksaan klinis neurologis yang seksama terlebih dahulu.

Analisa dari anamnesa dan pemeriksaan klinis neurologis dapat mengidentifikasi dan menentukan
lokalisasi gangguan radiks yang bersangkutan.

53
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

 Bentuk kolumna vertebralis dan posisi pasien.


 Menghilangnya lordosis dan timbulnya skoliosis
 Pembatasan gerakan kolumna vertebralis yang dapat terlihat dari :
 Indeks schober yang menurun : pembesaran jarak antara proc. spinosus L5 dengan
suatu titik yang terletak 10 cm diatasnya, bila pasien disuruh membungkuk secara
maksimal. (normal 10-15cm)
 Bila membungkuk : jarak antara jari ke lantai membesar.
 Pembatasan gerakan sewaktu posisi tidur dengan kecenderungan untuk tidur pada
posisi miring.
 Nyeri tekan atau nyeri ketok pada kolumna vertebralis dan titik tekan paravertebral
 Ketegangan m erector trunci
 Bentuk m gluteus dengan memperhatikan tonus otot-otot gluteus (parese m gluteus maximus
pada kompresi S-1)
 Tropik dari ektremitas bawah dengan mengukur diameternya.
 TandaLlaseque
Tanda Laseque terbalik : dijumpai pada kompresi radiks lumbal yang tinggi

 Tanda Laseque silang : nyeri pada sisi terkena, bila tungkai sisi lain dinaikkan dalam posisi
diluruskan
 Tanda Neri : bila membungkuk ke depan, maka secara reflektoris lutut bertekuk pada sisi
terkena
 Nyeri tekan pada pangkal ischiadicus (Valleixsche Druckpunkte) sampai ke tendo achilles
 Gangguan motorik :
parese dorsofleksi dari jempol kaki pada sindroma L5

kelemahan plantarfleksi kaki pada sindrom S1

kelemahan m quadriceps pada sindrom L4/3

 Gangguan refleks :
penurunan atau menghilangnya refleks tumit pada sindrom S1 atau

penurunan refleks lutut pada sindrom L4/3

54
 Gangguan sensibilitas sesuai dermatom yang terkena

Pemeriksaan Tambahan :

 Pemeriksan foto Rontgen biasanya memperlihatkan posisi yang tegang, kadang-kadang terlihat
skoliosis dan bisa terjadi jarak intervertebralis yang mengecil.
 Bila ada indikasi untuk operasi, maka perlu dilakukan suatu radikulografi dengan jalan membuat
suatu mielografi dengan mempergunakan kontras yang larut dalam air.
Pemeriksaan tambahan ini perlu dilakukan bila ada indikasi / keraguan oleh karena pada 10 -
25% kasus yang secara anatomis terdapat suatu HNP, tak terlihat dengan mielografi dan pada
10% kasus terlihat suatu hasil yang “false positive “

Pada akhir-akhir ini dapat dilakukan dengan alat-alat yang lebih canggih, berupa CT-Scan, CT-
mielo ataupun MRI

 Pemeriksaan elektromyografi (EMG)


Dalam bidang neurologi, pemeriksaan elektrofisiologis pada umumnya, dan neurofisiologis
khususnya dapat dipakai untuk pemeriksaan-pemeriksaan pada brachialgia dan ischialgia.

Tidak boleh dilupakan, bahwa pemeriksaan neurofisiologis merupakan kelanjutan dari


pemeriksaan neurologis klinik, sehingga hasil dari pemeriksaan neurofisiologis harus dilihat
saecara keseluruhan bersamaan dengan pemeriksaan klinis dan tes-tes diagnostik lain, untuk
tiba pada suatu kesimpulan yang bermakna.

Pemeriksaan NEUROFISIOLOGIS yang dapat dilakukan pada sindroma radiks servikal dan lumbal adalah :

1. EMG ELEMENTER (EMG KONVENSIONAL/ELEKTROMIOGRAFI KLINIK):


Pada pemeriksaan ”motor unit potentials” (MUP) pada iritasi radiks terlihat potensial

potensial dengan :

 Amplitudo yang membesar


 Duration yang melebar serta
 Polifasik

55
Pada otot-otot segmen bersangkutan

Pada suatu kompresi radiks, hal diatas ditambah dengan adanya fibrilasi dan/atau

positive sharp waves (PSW) pada otot-otot segmen bersangkutan atau di otot-otot

paravertebral atau interspinal/ paraspinal.

2. ELEKTRONEUROGRAFI :
Stimulasi listrik yang diberikan secara artifisial pada saraf perifer untuk mengukur kecepatan hantar
Saraf/KHS (= Nerve Conduction Velocity/NCV) motorik dan sensorik, F-wave, dan H-refleks.

Biasanya KHS/NCV tetap normal, namun ada penyelidik yang berpendapat, bahwa bisa terjadi suatu
penurunan KHS yang ringan, bila terdapat kerusakan akson yang banyak (Ludin, 1980), (Eisen, 1988)

Juga walaupun ada gangguan sensibilitas dapat diharapkan KHS sensorik yang normal, karena lesi
radiks terletak proksimal dari ganglion spinalis.

H-refleks juga dapat digunakan pada sindroma radiks.

Menghilangnya H-refleks sesisi atau beda kanan-kiri

 1,5 mS menunjukkan adanya suatu kompresi radiks. (Kimura, 1983)

3. Pemeriksaan POTENSIAL CETUSAN SOMATO-SENSORIK (PCSS)


SOMATO-SENSORY EVOKED POTENTIALS (SSEP)

Untuk lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jarak somato-sensorik.

EMG pada SINDROMA RADIKS

Pada sindroma radiks, EMG dapat membantu dengan membantu menentukan :

 Lokalisasi (level) dengan jalan menemukan potensial-potensial yang polifasik pada miotoma/segmen
yang terkena.
 Membedakan lesi radiks/ pleksus dan saraf perifer
 Membedakan iritasi radiks dengan kompresi radiks.
Pada iritasi radiks ditemukan potensial-potensial polifasik.

56
Pada kompresi radiks, selain potensial-potensial yang polifasik, juga ditemukan aktivitas volunter
berupa fibrilasi pada miotoma yang bersangkutan atau pada otot-otot paravertebral atau
interspinal. (Ludin, 1980), (Kimura, 1983), (Wibowo et.al., 1978, 1989)

LIMITASI pemeriksaan EMG pada sindroma radiks :

Harus diketahui, bahwa sindroma radiks baru terdeteksi pada EMG 2 -3 minggu setelah terjadi lesi,
namun fibrilasi pada otot-otot paravertebral dan interspinal dapat dijumpai sebelum jangka waktu
itu. (karena jaraknya yang pendek, timbulnya lebih cepat)

Dengan demikian pemeriksaan EMG sebaiknya baru dilakukan setelah 2 minggu, karena fibrilasi juga
baru timbul dalam 2-3 minggu setelah terjadi lesi pada serabut syaraf.

Juga pada otot-otot paraspinal masih terlihat adanya fibrilasi dan ”positive sharp waves” (PSW)
selama 1 tahun postoperasi sebagai akibat langsung dari operasi.

Tetapi bila setelah 1 tahun post-operasi masih ada fibrilasi yang jelas diberbagai tempat, maka dapat
dianggap adanya penekanan radiks yang baru lagi.

Kesukaran diagnostik topis pada lesi radiks disebabkan, karena praktis tiap otot diurus oleh
beberapa segmen, sedangkan tiap segmen juga mengurus beberapa otot. Juga sering terdapat
banyak varian-varian individuil dari persarafan segmental tersebut..

Maka perlu dilakukan pemeriksaan berbagai otot dari segmen tertentu yang klinis diduga terkena
serta otot-otot dari 1 segmen lebih tinggi serta lebih rendah untuk membatasi kelainan-kelainan
yang ditemukan.

NILAI PEMERIKSAAN EMG

Pemeriksaan EMG pada diagnostik lesi radiks dinilai berlainan oleh berbagai ahli syaraf dan ahli
bedah syaraf.

Ada yang menganggap nilai EMG sama dengan nilai mielografi.

Jelas bahwa pemeriksaan EMG adalah NON-INVASIF dan dapat menunjukkan

adanya suatu gangguan fungsional, yaitu keadaan elektrofisiologis.

57
Sedangkan pada mielografi kelainan langsung dapat terlihat dan menggambarkan keadaan
morfologis/anatomis.

Kaeser (1963 & 1965), Khuttson (1961) & Krott et al (1969) mengemukakan nilai diagnostik EMG
yang kurang lebih sama jitunya dengan mielografi pada sindrom radiks lumbal. (in Ludin, 1980)

Karena anatominya maka pada pemeriksaan EMG perlu diperiksa berbagai otot.

Pokoknya ialah mencari fibrilasi/denervasi (=AKTIVITAS SPONTAN) serta pemeriksaan ’ recruitment


pattern” dan ”motor unit potentials ” (MUP) pada aktivitas volunter.

PEMERIKSAAN OTOT2 PARAVERTEBRAL / INTERSPINAL/ PARASPINAL

Dengan pemeriksaan otot-otot paraspinal, maka dignosa lesi radikuler dapat lebih diperkuat.

Sebagian besar otot-otot ini diurus oleh ramus dorsalis dari radiks anterior yang bersangkutan.

Suatu kelainan di otot-otot paraspinal bersamaan dengan kelainan-kelainan di otot-otot dari


segmen yang sama di extremitas hanya bisa terjadi pada suatu gangguan radiks.

Kebanyakn dari otot-otot paravertebral ini, terutama m. Multifidus, adalah plurisegmental..

Dengan demikian otot ini tak menunjukkan segmentasi yang tepat.

Krott (1968) dan Steudemann (1968) mengemukakan bahwa terdapat otot punggung yang halus dan
autochthon yang dipersarafi secara monosegmental oleh ramus dorsalis dari saraf-saraf spinal dan
yang tidak menunjukkan varian-varian anatomis yaitu mm. Inter-Spinal Cervicis & Lumborum.

Pada sindrom radiks lumbal, Krott (1968) mengemukakan hasil-hasil yang

meyakinkan pada pemeriksaan mm. Interspinal lumborum yang juga dipersarafi

secara monosegmental.

Kesukaran-kesukaran yang harus diperhatikan pada pemeriksaan otot otot paraspinal ini ialah,
pasien yang sedang diperiksa seringkali tidak dapat relax, sehingga kadang-kadang sukar melihat
aktivitas spontan diantara potensial-potensial volunter.

58
Ini biasanya dapat diperbaiki dengan memperbaiki posisi pasien.

Pada hernia diskus lumbal maka ketepatan EMG umumnya lebih besar daripada yang letaknya di
servikal.

Kaesar (1963) setelah memeriksa 400 kasus mengemukakan nilai yang sama dari hasil EMG dan
mielografi pada diagnosa sindrom radiks lumbal.

Knuttson (1961) yang memeriksa 182 pasien mengemukakan 78% ketepatan EMG dan 75% pada
mielografi.

Despland et al (1974) mengemukakan ketepatan diagnosa tofografis EMG 80% yang diperkuat
dengan hasil pasca operatif.

Kelemahan EMG terletak diperalihan thorakolumbal, karena untuk L1 tak ada otot yang sesuai.

Otot-otot yang lazim diperiksa adalah :

(Biasanya diperiksa beberapa otot, yang dapat menggambarkan keadan radiks dengan lengkap):

m. levator scapulae C 3, 4, 5

m. rhomboideus C 4, 5

m. infraspinatus C 4, 5, 6

m. deltoideus C 5, 6

m. biceps & brachialis C 5, 6

m. brachioradialis C 5, 6

m. triceps C 6, 7, 8

m. ext. carpi rad. long C 6, 7, (8)

59
m. ext. carpi rad. brev C 6, 7, (8)

m.abd. poli. brev C 7, (8)

m. hypothenar C 8, Th 1

Otot-otot interspinal/ paravertebral : (sesuai segmennya)

m. iliopsoas L 1, 2, 3, 4

m. quadriceps fem. L 2, 3, 4

m. tibialis ant. L 4, 5

m. ext. hallucis. long L (4), 5, (S1)

m. peroneus long. L (4), 5, S 1

m. ext. digit. brev. L (4), 5, S 1

m. gastrocnemius L 5, S 1, 2

m. soleus L 5, S 1, 2

m. tibialis post. L 5, S 1

m. filex. Hallucis brev. L 5, S 1, 2

otot-otot interspinal/ paravertebral : sesuai segmennya.

(disadur dari Schwabe dalam : Mumenthaler, 1983).

H-REFLEKS

Selain polifasi dan fibrilasi, H-refleks juga dapat digunakan :

 H-refleks yang ditimbulkan dari :


m. triceps surae berasal dari radiks S1

m. extensor digitorum longus berasal dari radiks L5

Dengan demikian H-refleks dapat dipakai untuk :

60
 Membedakan radikulopati L5 versus S1
 Membedakan iritasi dan kompresi radiks
Diduga ada KOMPRESI RADIKS bila :

 H-refleks hilang sesisi atau


 Beda kanan-kiri 1,5 mdetik. (Kimura, 1983)
 Kimura (1983) mengemukakan angka-angka normal H-refleks sbb. :
 Masa laten : 29,5 2,4 mdetik
 Beda kanan/kiri : 0,6 0,4 mdetik
 Amplitudo : 2,4 1,4 mV
 Beda kanan/kiri : 1,2 1,2 mV

F-WAVE

 F-wave menggambarkan keadaan konduksi motorik dari sauatu bagian proksimal saraf
 Karena variasi dari konfigurasi dan masa laten-nya besar, maka kurang begitu akurat
pengukurannya, namun tetap merupakan suatu suplemen yang berguna untuk mendukung
penilainan KHS konvensional, terutama dari bagian proksimal.
 Dapat membandingkan keadaan segmen proksimal dengan distal
 Mencerminkan keadaan eksitabilitas motor neuron.
(Kimura, 1983

 F-wave dapat ditimbulkan pada hampir setiap otot skelet orang dewasa.
 Nilai normal masa laten F-wave adalah :
Untuk m. abductor policis brevis : 26,2  1,5 mdetik

m. extensor digitorum brevis : 46,8  2,9 mdetik

(Shahani et. Al. , 1987)

Jelas bahwa pada lesi radikuler terutama lumbal pemeriksaan EMG sangat besar kegunaannya dalam
penentuan diagnosa serta lokalisasi secara topografis

61
Diagnosa diferensial perlu dilakukan dan pemeriksaan EMG juga harus membantu untuk menyingkirkan
hal-hal lain tsb.

DIAGNOSA DIFERENSIAL PADA SINDROM RADIKS SERVIKAL

Umumnya terutama dengan suatu lesi radiks, yang bukan disebabkan oleh suatu spondylosis, misalnya :

 Tumor radiks
 Avulsi radiks traumatis
 Pleksus neuritis
 Sindrom carpal-tunnel
 Sindrom skalenus
 Neurologis rheumatologis

DIAGNOSA DIFERENSIAL PADA SINDROM RADIKS LUMBAL

 Tumor
 Fraktur
 Paresis pleksus (plexus parese)
 Paresis n. Peroneus
 Neuropati diabetika
 Gangguan vaskuler pada a. Iliaca & cabang-cabangnya dan
 Spondilosis lumbalis

TERAPI pada IRITASI RADIX

 Tirah baring pada alas yang rata dan keras


 Pemberian terapi dengan analgetika, anestesi lokal, obat-obat relaxan otot dan dapat juga
diberikan obat-obat ANSAID untuk mengurangi inflamasi dan nyeri.

62
Kortikosteroid dapat dipertimbangkan

Metilkobalain inyeksi merupakan suatu terapi alternatif untuk menaggulangi nyeri, rasa tebal
(numbness) dan hipertesia.

(Yasuda et al. 1988)

 Fisioterapi perlu juga diberikan, berupa traksi servikal maupun lumbal, massage dan UKG
 Dapat dianjurkan pemakaian korset pada LBP, dan Camp Collar pada yang lokalisasinya di
servikal.

Indikasi operasi : ialah bila ada KOMPRESSI RADIX, yang gejala-gejala sbb :

 Indikasi operasi cito ialah suatu prolaps dengan paraparesis (kompresi radiks)
 Adanya gangguan mictio
 Juga pada paresis motorik yang timbulnya akut dan relevant
 Bila setelah 6-8 minggu Th/ konservatif masih terdapat keluhan dan gejala-gejala yang relevant
 Atau pada residif yang berkali-kali dengan gejala-gejala yang jelas.
 Bila dengan pemeriksaan EMG dari otot-otot segmen yang bersangkutan atau otot-otot
paraspinal atau paravertebral ditemukan adanya denervasi/fibrilasi yang menunjukkan adanya
suatu kompresi radiks.
Perlu disebutkan bahwa pada keadaan-keadaan diatas ini dan bila pasien mau dioperasi, maka
perlu dilakukan suatu mielografi/ CT-mielo/MRI pre-operatif

Prognosa pada hernia diskus yang dioperasi :

Pada 2/3 kasus prognosa baik dan pada 10% hasil tak memuaskan.

Yang jelek prognosanya umumnya pada trauma pada pekerjaan dan bila preoperatif gejala
sudah ada lebih dari 1 tahun dengan perubahan-perubahan arthrotis yang jelas, misalnya
anomali lumbosakral

63
BUKU LOG KEGIATAN

BUKU LOG

DEPARTEMEN NEUROLOGI

Nama : ………………………………………………………………………………………………

NIM : ………………………………………………………………………………………………

Alamat : ………………………………………………………………………………………………

Tahun Masuk : ………………………………………………………………………………………………

Catatan Seksi Pendidikan : ………………………………………………………………………………………………

JENIS KASUS & PEMERIKSAAN NEUROFISIOLOGI

64
YANG DIPERIKSA ATAU DILAKUKAN

No Tanggal Pasien Diagnosis / Dx. Pemeriksaan Terapi Tanda


(Nama, Umur, Banding Neurofisiologi Tangan
Jenis Kelamin) Supervisor
1. 1.
2.
3.
2. 1.
2.
3.
3. 1.
2.
3.
4. 1.
2.
3.
5. 1.
2.
3.
6. 1.
2.
3.
7. 1.
2.
3.
8. 1.
2.
3.
9. 1.
2.
3.

65
10. 1.
2.
3.

Evaluasi

Tugas Pembimbing

• Pembimbing memerhatikan dan mengeksplorasi prior knowledge para peserta didik tentang dasar
dan teknik pemeriksaan gangguan saraf perifer,otonom dan otot secara benar yang diperoleh
ketika menjalani kepaniteraan (ceklis daftar penilaian pembimbing untuk keaktifan anak didik)
 • Pembimbing mengaktifkan para peserta didik untuk mempresentasikan dan / atau
memeragakan teknik pemeriksaan gangguan saraf perifer, otonom dan otot (diskusi dengan
mempergunakan ilustrasi kasus)
 Pembimbing mempergunakan forum feedback secara menyeluruh dan rangkuman tentang
kompetensi. Bagi peserta didik yang dinilai belum kompeten diberi kesempatan untuk mengulang

Evaluasi dilakukan dengan :

Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara penilaian (dengan daftar tilik) saat final-test
dengan kasus yang relevan / sesuai Final-test, dilakukan tiap selesai stase yang waktunya telah
ditetapkan. Penilaiannya meliputi hal hal sebagai berikut :
 Kemampuan identifikasi gejala klinis

66
 Kemampuan menelaah indikasi pemeriksaan NeuroFisiologiKlinik yang sesuai dengan diagnosis
 Kemampuan menjelaskan prosedur pemeriksaan Neurofisiologi Klinik sesuai dengan diagnosis dan
indikasinya
 Kemampuan melakukan pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik secara efektif
 Mampu menginterpretasi hasil pemeriksaan NeuroFisiologiKlinik (kemampuan pendekatan
diagnostik)
 Mampu menjawab konsultasi dan memberikan laporan hasil pemeriksaan NeuroFisiologi Klinik
 Mampu membuat keputusan diagnostik yang benar sebagai dasar untuk pemberian terapi yang
tepat
 Menilai alur fikir prognosis baik ad vitam, ad functionam maupun ad sanasionam
 Menilai cara dan rencana Komunikasi, Informasi maupun Edukasi yang akan dan sudah diberikan
kepada pasien maupun keluarganya
 Menilai kemampuan dalam melaksanakan sistem rujukan

Penilaian kompetensi psikomotor

 Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan saat stase (dengan daftar tilik yang
dipergunakan saat mid-test dan final-test untuk kasus yang relevan/sesuai

67
DAFTAR TILIK PENILAIAN
PEMERIKSAAN NEUROFISIOLOGI KLINIK
(EEG / Brain Mapping / ENMG / BAEP / VEP / SSEP UPPER / SSEP LOWER/ ERP-P300)

Kompetensi Pendekatan Klinik

PROSEDUR INFORMED CHOICE (contoh)

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:

1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)

2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di
luar normal

3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien

T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)

68
II. INFORMED CHOICE
1. Sapa dengan hormat pasien anda

2. Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara

3. Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan
 Jika sudah, nilai kembali apakah penjelasannya benar dan lengkap
4. Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
5. Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap
pasien, termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa
yang mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)

69
6. Jelaskan pada pasien standar operasi prosedur tindakan pemeriksaan
NeuroFisiologiKlinik yang akan dilakukan secara jelas serta indikasi perlunya
pemeriksaan tersebut untuk memperjelas diagnosis dan menentukan terapi
yang lebih tepat (sampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan
pastikan pasien telah mengerti)
7. Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan
persetujuan atau penolakan pemeriksaan NeuroFisiologiKlinik pada status
pasien atau formulir yang telah disediakan
NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

Kompetensi Kinerja Psikomotor

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh peserta
pada saat melaksanakan status kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
dibawah ini:

: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan
standar

: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar

T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta selama
proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: _____________________________ TANGGAL :______________

70
KEGIATAN NILAI

(EEG / BRAIN MAPPING / ENMG / BAEP / VEP/ SSEP UPPER /

SSEP LOWER / ERP-P300)

Kaji Ulang Diagnosis dan Prosedur Pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik

1. Nilai kesesuaian nama, diagnosis dan rencana tindakan yang dituliskan di


status pasien dengan apa yang ditanyakan pada pasien

2. Kaji kelengkapan prosedur administratif untuk tindakan pemeriksaan dan


ketersediaan alat yang diperlukan

3. Pastikan persiapan fisik dan psikis pasien telah dilaksanakan secara benar

Persiapan Prosedur

4. Kaji kelengkapan peralatan dan bahan untuk prosedur pemeriksaan

5. Pastikan persiapan alat dan bahan telah siap untuk pelaksanaan pemeriksaan
Neuro Fisiologi Klinik

Pemeriksaan

6. Cara melakukan pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik sesuai indikasi

7. Evaluasi hasil pemeriksaan Neuro Fisiologi Klinik yg telah dilakukan

BERITA ACARA RAPAT PENYUSUNAN MODUL


NO: 70/UN16.2/PPDSN/2015

Pada :
Hari/ tanggal : Senin/ 05 Oktober 2015
Jam : 09.00 – 11.00
Tempat : Ruang Konfren Bagian Neurologi
Telah berlangsung rapat penyusunan Modul Nyeri Kepala Bagian Neurologi FK Unand

No Nama Jabatan Tanda tangan

1 Prof. dr. Basjiruddin A, Sp.S (K) Staff

2 Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S(K) Staff

3 dr. Meiti Frida, Sp.S (K) KPS

71
4 Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K) Staff

5 dr. Syarif Indra, Sp.S Kepala Bagian

6 dr. Hendra Permana, Sp.S, M.Biomed Staff

7 dr. Dedi Sutia, SpS Staff

8 dr. Lydia Susanti, SpS. M.Biomed Staff

9 dr. Restu Susanti, SpS. M.Biomed Staff

Padang, Oktober 2015

KPS Neurologi
FK-Unand/RS. DR. M. Djamil

dr. Hj. Meiti Frida, Sp,S (K)


NIP : 195105011979022001

DAFTAR PUSTAKA MATERI BAKU

Araksi s, Uchino Ikegawa S, Sato H. : In Rose FC (eds) Clinical experiences with Eperisone hydrochloride
in muscle contraction headache. Advances in headache research, John Libbey & Co ltd,
1987: 263-269.

Dyck, P.J. ; Low, P.A & Stevens, J.C. : Diseases of Peripheral Nerves in Clinical Neurology. Ed. Baker, A.B..
& Joynt, R.J., Harper & Row., Philadelphia, 1987: 51 : 1-108

Eisen A. : Radiculopathy. Annual Course Clinical EMG # 211 American Academy of Neurology, 1988.

72
Fielda, L. H. : Introduction in Pain Syndromes in Neurology. Ed. Fields, L.H. , Butterworths., London
Boston Singapore-Sydney-Toronto-Wellington, 1990 : 1 – 18.
Janka, H. U. : Pharmakologie und klinische Anwendung hochdosierter vitamine. Steinkopff Verlag,
Darmstadt, 1991.
Kimura J. : The F-wave The H-refleks and other late responses. In : Electrodiagnosis in deseases of nerve
& muscle. Principles & Practice. Philadelphia : Davis FA, 1983: 323 – 52, 353 – 78, 379 – 98.
Ludin HP.: Radicular Lesions Normal Values Electromyography in Practice. Stutgart : Georg Thieme
Verlag, Thieme-Stratton Inc.,1980 : 78 – 81, 124 – 50
Mardiono, M. :Mas’ud, H.I.H. ; Wibowo, S.; Soemarmo, M. & Soemargo S. : Intramuscular
Methycobalamin injections in Neuropathy-related pain : a double blind study. Satellite
symposium : New Aspects in the treatment of sceletal muscle spasm and neuropathy
related pain kongres IDASI, Okt 1990, Yogya.
Misbach, H.J. : Aspek Neurologik Sindroma Nyeri. Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri.( Nov. 1992)
Mumenthaler M. : Polineuropathies in : Neurology, Georg Thieme Verlag, Thieme Inc. : Stuttgart-New
York, 1983 : 370 - 388
Mumenthaler M. : Spinal Radicular Syndromes. In :Neurology. Stuttgart : Georg Thieme Verlag, Thieme
Inc., 1983: 357 – 67
Poeck, K. : Polineuritis und Polineuropathie in : Neurologie. Springer Verlag Berlin – Heidelberg – New
York., 1974: 325 -341
Reiners, K.K. : Causes and therapy of peripheral neuropathies. Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri.
(Nov, 1992).
Shahani BT, Young RR. : Clinical Electromyography Clinical Neurology. Baker AB, Joynt RJ, eds. Vol 1,
chapter. 6 Philadelphia: Harper & Low Publ. , 1987 : 1 – 51.
Sobue, I. : Recent research trends in peripheral neuropathies In Japan in : Peripheral Neuropathy.
International Congress Series 662. Excerpta Medica, 1983: 1 – 9

Takakura Y, Mitsui M, Iwasaki H, Tamai S, masuhara K. :Comparative Cliniacal Trial on Clinical Efficacy of
Myonal alone or in Combination with an Analgesic Agent in the field of Orthoepedic
Surgery. The Clinical Report, 1987: vol. 22, 7: 485.
Thomas, P.K. : The differential diagnosis of peripheral neuropathy Course on Peripheral Neuopathies.
40th Annual Meeting of the American Academy of Neurology, Cincinnaty, USA, 1988.

73
Wibowo S, Utama J, Santoso D, Moeliono F. : Sindroma radiks : Segi klinik, EMG serta pelaksanaannya.
Bulletin PNPNCH 1978: 5, No. 3-4
Wibowo S, Moeliono F & Utama J. : Laporan tahunan EMG FKUI/RSCM, 1993
Wibowo S, Mardiono M, Mas’ud HIH, Soemargo S, Liman J, Sukono D, Susety D. : Low Back Pain &
Pirprofen Simposium Nyeri Anggota Gerak. PABOI, Surabaya, November, 1989.
Wibowo S, Moeliono F., Utama J.,Soemarmo M. : Peranan elektrofisiologi dalam diagnostik gangguan
neurogen perifer. In : Soedomo H, ed. Gangguan Gerak. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 1990 : 123 – 52
Wibowo S. : Dasar-dasar Aplikasi Klinis EMG. Simposium berkala Neurona Neurona, 24 July, 1991
Wienrich, M. : Functional implications for the presence of thiamine in the nerve cell membrane.
Pendekatan Rasional Sindroma Nyeri. (Nov, 1992)
Yasuda, H. : Medical Consultant & New Remedies. 1988 : 25 (11), 2375.
Zimmerman, M. : The Neurobiology of Pain Mechanisms of B-Vitamin Action. Pendekatan Rasional
Sindroma Nyeri. (Nov, 1992)

74

Anda mungkin juga menyukai