Anda di halaman 1dari 94

PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS (SKILL LAB)

BLOK 4.3 MUSKULOSKELETAL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS JAMBI
2019/2020
KONTRIBUTOR

Penanggung Jawab Blok


Koordinator : dr. Patrick W. Gading SpKFR
Sekretaris : dr. Anati Purwakanthi, M.Sc
Pear Blok : Dr. dr. Charles AS SpOT-KSpine
Dr. dr. Humaryanto SpOT M.Kes
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, bimbingan,
petunjuk dan kekuatan-Nya kepada kita semua, atas telah diselesaikannya Buku Modul
Keterampilan Klinis Blok Muskuloskeletal Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Jambi.

Keterampilan klinis adalah salah satu kompetensi yang perlu dilatih sejak awal hingga akhir
pendidikan dokter secara berkesinambungan. Dalam melaksanakan praktik, lulusan dokter harus
menguasai keterampilan klinis untuk mendiagnosis maupun melakukan penatalaksanaan masalah
kesehatan.Buku Modul ini berisi penjabaran keterampilan klinis yang harus dikuasai oleh
mahasiswa Kedokteran khususnya sistem Muskuloskeletal yang mengacu pada Standar Kompetensi
Dokter yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Dengan disusunnya buku Modul ini
diharapkan mahasiswa memiliki bekal keterampilan klinis dalam menyelesaikan Blok Muskuloskeletal
khususnya keterampilan dengan tingkat kemampuan 4.

Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap semua pihak yang telah
bekerja keras dalam penyusunan Buku Modul Blok Muskuloskeletalini. Kami menyadari bahwa
Buku Modul ini masih jauh dari sempurna, karena itu akan selalu disempurnakan secara berkala
berdasarkan masukan dari berbagai pihak maupun dari bukti-bukti empiris.Semoga buku modul
ini bermanfaat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan Kedokteran dan pencapaian pelayanan
kesehatan yang bermutu, efisien, efektif, adil dan merata.

Terima Kasih.
DAFTAR ISI

Kontributor................................................................................................................. 2
Kata Pengantar .......................................................................................................... 3
Daftar Isi ..................................................................................................................... 4
Daftar Kompetensi .................................................................................................... 5
Pemeriksaan fisik orthopedi ...................................................................................... 8
Keterampilan klinis jahit luka ................................................................................... 44
Pemasangan Bidai/Splint ........................................................................................... 63
Transportasi pasien .................................................................................................... 71
Integrated Patient Management................................................................................... 74
DAFTAR KOMPETENSI

Berdasarkan SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) 2012, ada beberapa level kompetensi
yang harus dipenuhi oleh mahasiswa kedokteran untuk menjadi seorang dokter.

Tingkat kemampuan 1 (Knows): Mengetahui dan menjelaskan


Lulusan dokter mampu menguasai pengetahuan teoritis termasuk aspek biomedik dan psikososial
keterampilan tersebut sehingga dapat menjelaskan kepada pasien/ klien dan keluarganya, teman
sejawat, serta profesi lainnya tentang prinsip, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul.
Keterampilan ini dapat dicapai mahasiswa melalui perkuliahan, diskusi, penugasan, dan belajar
mandiri, sedangkan penilaiannya dapat menggunakan ujian tulis.
Tingkat kemampuan 2 (Knows how): Pernah melihat atau didemonstrasikan
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini dengan penekanan pada
clinical reasoning dan problem solving serta berkesempatan untuk melihat dan mengamati
keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien/
masyarakat. Pengujian keterampilan tingkat kemampuan 2 dengan menggunakan ujian tulis
pilihan berganda atau penyelesaian kasus secara tertulis dan/ atau lisan (oral test)
Tingkat kemampuan 3 (Shows): Pernah melakukan atau pernah menerapkan di bawah
supervisi
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teori keterampilan ini termasuk latarbelakang biomedik
dan dampak psikososial keterampilan tersebut, berkesempatan untuk melihat dan mengamati
keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien/
masyarakat, serta berlatih keterampilan tersebut pada alat peraga dan/ atau standardized patient.
Pengujian keterampilan tingkat kemampuan 3 dengan menggunakan Objective Structured
Clinical Examination (OSCE) atau Objective Structured Assessment of Technical Skills
(OSATS).
Tingkat kemampuan 4 (Does): Mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan menguasai seluruh teori,
prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi dan pengendalian komplikasi.
Selain pernah melakukannya di bawah supervisi, pengujian keterampilan tingkat kemampuan 4
dengan menggunakan Workbased Assessment seperti mini-CEX, portfolio, logbook, dsb.
4A. Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/ atau Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
Dengan demikian didalam Daftar Keterampilan Klinis ini level kompetensi tertinggi
adalah 4A

Pada blok Muskuloskeletal ini, berikut adalah daftar standar kompetensi terkait.
A. PEMERIKSAAN ORTHOPEDI

1. TUJUAN INSTRUKSI UMUM


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan orthopedi

2. TUJUAN INSTRUKSI KHUSUS


Kemampuan melakukan pemeriksaan orthopedi meliputi :
1. Pemeriksaan orthopedi umum
a. Inspeksi (look)
b. Palpasi (feel)
c. Kekuatan otot (power)
d. Pergerakan (movement)

2. Pemeriksaan orthopedi regional


a. Pemeriksaan sendibahu
b. Pemeriksaan lengan atas dan sendi siku
c. Pemeriksaan lengan bawah, sendi pergelangan tangan dan jari tangan
d. Pemeriksaan sendi panggul
e. Pemeriksaan sendi lutut
f. Pemeriksaan tungkai bawah, pergelangan kaki dan jari kaki

3. RENCANA PEMBELAJARAN
Keterampilan pemeriksaan orthopedi akan dilaksanakan selama dua sesi terbimbing diruang
skills lab, masing masing sesi dilaksanakan 150 menit (3 x 50 menit) dengan jumlah mahasiswa
10 orang perkelompok.

Prasesi (Workplan )
Daftar pertanyaan yang diberikan pada mahasiswa ( minimal 5 pertanyaan )
1. Point apa saja yang dinilai dalam pemeriksaan orthopedi umum?
2. Apa saja yang diperiksa pada pemeriksaan regional bahu?
3. Bagaimana cara mengukur discrepancy?
4. Pemeriksaan untuk menilai stabilitas postural?
5. Sebutkan macam-macam cara berjalan (gait)

Sesi pertama :
Pada sesi pertama akan dilakulan penjelasan oleh instruktur( introduction), diskusi work plan
dan latihan mandiri dengan bimbingan instruktur

Sesi kedua :
Pada sesi kedua akan dilaksanakan evaluasi dengan cara masing-masing mahasiswa akan
diberikan skenario klinis dan mahasiswa diharapkan mampu melakukan keterampilan
pemeriksaan fisik dengan benar sesuai dengan dengan checklist yang sudah diajarkan pada sesi
pertama dengan alokasi waktu 10 - 13 menit tiap mahasiswa dan diakhir sesi instruktur
memberikan feedback

Sesi Kegiatan pembelajaran Alokasi waktu


Sesi pertama 1. Introduction 30 menit
2. Diskusi workplan 15 menit
3. Latihan mandiri di bimbing oleh instruktur 90 menit
Sesi kedua 4. Evaluasi 10 – 13
menit/mahasiswa
5. Feedback 15 - 20 menit

4. TINJAUAN TEORI
4.1 PEMERIKSAAN FISIK ORTOPEDI

1. Pemeriksaan orthopedi umum


Pemeriksaaan fisik pada penderita memerlukan beberapa prinsip pemeriksaan. Teknik
pemeriksaan secara alami bervariasi pada setiap individu, tetapi pada dasarnya dibutuhkan suatu
pemeriksaan yang rutin atau baku, tahap demi tahap agar pemeriksaan tidak berulang.
Pemeriksaan fisik juga disesuaikan dengan keadaan dan kondisi penderita, misalnya penderita
yang memerlukan penanganan darurat maka pemeriksaan fisik yang dilakukan seperlunya sesuai
dengan kebutuhan yang ada.
1. Status generalis
Untuk pemeriksaan muskuloskeletal diperlukan peralatan-peralatan :
1. Stetoskop 5. Kapas
2. Refleks Hammer 6. Jarum kecil
3. Pensil untuk kulit (marker) 7. Senter saku
4. Meteran 8. Goniometer
Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika penderita datang ke dokter dengan
mengamati penampakan umum penderita, raut muka, cara berjalan, cara duduk dan cara tidur,
proporsi tinggi badan terhadap anggota tubuh lainnya, keadaan simetris bagian tubuh kiri dan
kanan, cara berjalan dan tingkah laku, ekspresi wajah, kecemasan serta reaksi emosional lainnya
untuk melihat aspek-aspek emosional dan somatis dari penderita.
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang paling penting dalam memperkuat penemuan-
penemuan yang berhasil kita dapatkan dari riwayat dan anamnesis yang telah kita buat dan
menambah atau mengurangi pilihan diagnosis yang dapat kita lakukan .

Pemeriksaan Fisik Ortopedi

Inspeksi (look) Palpasi (feel) Gerak (move)

Bagian distal Bagian utama Bagian lain

Kulit Jaringan lunak Tulang dan sendi


Pembuluh darah, saraf, otot, tendo, ligamen
Pemeriksaan dilakukan secara sitematis dengan urutan-urutan sebagai berikut:
 Inspeksi (Look)
 Palpasi (Feel)
 Kekuatan otot (Power)
 Penilaian gerakan sendi baik pergerakan aktif maupun pasif (Move)
 Auskultasi
 Uji-uji fisik khusus

a. Inspeksi (Look)
Inspeksi sebenarnya telah dimulai ketika penderita memasuki ruangan periksa. Pada inspeksi
secara umum diperhatikan raut muka penderita apakah kesakitan; bentuk tubuh penderita apakah
normal, athletik, pendek, bongkok, miring ;dan cara berjalan, cara duduk serta cara tidur.
Inspeksi dilakukan dari sisi anterior, lateral dan posterior.

Cara berjalan (gait)


Gait perlu diperhatikan pada waktu penderita berdiri dan berjalan. Cara berjalan sekurang-
kurangnya 20 langkah. Apabila penderita mengalami nyeri pada panggul atau panggul tidak
stabil, biasanya penderita menggunakan tongkat pada sisi yang sebaliknya.
Ada beberapa jenis karakteristik cara berjalan:
1. Normal Gait : Stance phase 60% (heel strike -- foot flat -- mid stance -- push off);
Swing phase 40% (acceleration – midswing -- deceleration)

Gambar:normal gait
2. Antalgic gait
3. Trendelenburg gait

Gambar kanan: antalgic gait, kiri: Trendelenburg gait

Inspeksi pada anggota gerak dilakukan secara sistematik dan perhatian terutama ditujukan pada :
a. Kulit, meliputi warna kulit dan tekstur kulit.
b. Jaringan lunak yaitu pembuluh darah, saraf, otot, tendo, ligamen, jaringan lemak, fasia,
kelenjar limfe.
c. Tulang dan Sendi
d. Sinus dan jaringan parut
 Apakah sinus berasal dari permukaan saja, dari dalam tulang atau dalam sendi.
 Apakah jaringan parut berasal dari luka operasi, trauma atau supurasi.

b. Palpasi (Feel)
Yang perlu diperhatikan pada palpasi adalah:
a. Suhu kulit, apakah lebih panas/dingin dari biasanya, apakah denyutan arteri dapat
diraba atau tidak.
b. Jaringan lunak; palpasi jaringan lunak dilakukan untuk mengetahui adanya spasme otot,
atrofi otot, keadaan membran sinovia, penebalan membran jaringan sinovia, adanya
tumor dan sifatnya, adanya cairan di dalam/ di luar sendi atau adanya pembengkakan.
c. Nyeri tekan; perlu diketahui lokalisasi yang tepat dari nyeri, apakah nyeri setempat atau
nyeri yang bersifat kiriman dari tempat lain (referred pain).
d. Tulang; diperhatikan bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan dari tulang atau adanya
gangguan di dalam hubungan yang normal antara tulang yang satu dengan lainnya.
e. Pengukuran panjang anggota gerak; terutama untuk anggota gerak bawah dimana
adanya perbedaan panjang merupakan suatu hal yang penting untuk dicermati.
Pengukuran juga berguna untuk mengetahui adanya atrofi/pembengkakan otot dengan
membandingkan dengan anggota gerak yang sehat.
f. Penilaian deformitas yang menetap;pemeriksaan ini dilakukan apabila sendi tidak
dapat diletakkan pada posisi anatomis yang normal.

c. Kekuatan Otot (Power)


Pemeriksaan kekuatan otot penting artinya untuk diagnosis, tindakan, prognosis serta hasil terapi.
Penilaian dilakukan menurut Medical Research Council dimana kekuatan otot dibagi dalam
grade 0-5, yaitu:
Grade 0
Tidak ditemukan adanya kontraksi otot.
Grade 1
Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang dapat diketahui dengan
palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi hingga lingkup gerak sendi penuh.
Grade 2
Otot mampu menggerakkan persendian hingga lingkup gerak sendi penuh tetapi kekuatannya
tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.
Grade 3
Disamping dapat menggerakkan sendi hingga lingkup gerak sendi penuh, otot juga dapat
melawan pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa.
Grade 4
Kekuatan otot seperti pada grade 3 disertai dengan kemampuan otot terhadap tahanan yang
ringan.
Grade 5
Kekuatan otot normal.

d. Pergerakan (Move)
Pada pergerakan sendi dikenal dua istilah pergerakan yang aktif merupakan pergerakan sendi
yang dilakukan oleh penderita sendiri dan pergerakan pasif yaitu pergerakan sendi dengan
bantuan pemeriksa.
Pada pergerakan dapat diperoleh informasi mengenai:
a. Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif
 Apakah gerakan ini menimbulkan rasa sakit
 Apakah gerakan ini disertai dengan adanya krepitasi
b. Stabilitas sendi
Terutama ditentukan oleh integritas kedua permukaan sendi dan keadaan ligamen yang
mempertahankan sendi. Pemeriksaan stabilitas sendi dapat dilakukan dengan memberikan
tekanan pada ligamen dan gerakan sendi diamati.
c. Pemeriksaan ROM (Range of Join Movement)
Pemeriksaan batas gerakan sendi harus dicatat pada setiap pemeriksaan ortopedi yang meliputi
batas gerakan aktif dan batas gerakan pasif.
Setiap sendi mempunyai nilai batas gerakan normal yang merupakan patokan untuk gerakan
abnormal dari sendi. Dikenal beberapa macam gerakan pada sendi, yaitu : abduksi, adduksi,
ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi interna, pronasi, supinasi, fleksi lateral, dorso fleksi,
plantar fleksi, inversi dan eversi.

d. Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi pada bidang bedah ortopedi jarang dilakukan dan biasanya dilakukan
bila ada krepitasi misalnya pada fraktur atau mendengar bising fistula arteriovenosa.

2. Pemeriksaan Fisik Orthopedi Regional

1. Pemeriksaan Sendi Leher


 Pasien duduk.
 Pemeriksa berdiri di depan, di samping dan di belakang pasien.
 Area yang dipaparkan meliputi regio leher, dada, anggota gerak atas dan anggota gerak
bawah (mengenakan pakaian dalam).
1. Inspeksi :

a. Anterior :

 Leher dan kepala: adakah tortikolis, apakah miring ke satu arah (karena prolaps
diskus servikalis atau spasme otot), adakah asimetri wajah (biasanya karena
neglected tortikolis).
 Pembengkakan di bagian anterior leher pada thoracic outlet karena tumor.
 Perubahan kulit: adakah inflamasi, sikatriks, sinus
b. Lateral :
 Lordosis
 Pembengkakan
 Perubahan kulit: adakah inflamasi, sikatriks, sinus
c. Posterior :
 Prominent m. trapezius
 Wasting muscle
 Pembengkakan
 Perubahan kulit : adakah inflamasi, sikatriks, sinus
 Prominent processus spinalis.

Gambar2. Inspeksi area inervasi nervi spinalis segmen cervicalis.


2. Palpasi:
 Untuk identifikasi level collumna vertebralis, palpasi processus spinalis T1 (paling
prominen).
 Meraba suhu kulit (hangat/ dingin).
 Adanya nyeri tekan: anterior, processus spinalis (dari C2 – T1).
 Adanya spasme otot (m. sternocleidomastoideus  penderita diminta menengok ke kiri-
kanan, pemeriksa di belakang pasien).

Gambar 3.Palpasi collumna vertebralis segmen cervicalis dan thorakalis .

3. Range Of Movement (ROM) :

Dilakukan secara aktif dan pasif dengan memegang kepala dengan dua tangan pada
regio temporal, bergerak/ digerakkan ke segala arah.Diamati apakah gerakan yang terjadi
smooth atau terdapat keterbatasan gerakan karena rasa nyeri (lihat ekspresi pasien).

1. Fleksi anterior :
o
Normal : 0 – (75-90 ) dagu dapat menempel pada dinding dada.

2. Ekstensi :
o
Normal : 0 - 45  pasien diminta menengadahkan kepala (melihat langit-langit).

3. Fleksi ke lateral dekstra :


o
Normal : 0 – (45 – 60 )

4. Fleksi ke lateral kiri :


o
Normal : 0 – (45 – 60 )
5. Rotasi ke lateral kanan atau kiri :
o
Normal : 0 - 75

Gambar 4. Pemeriksaan ROM vertebra cervicalis, fleksi anterior – ekstensi

Gambar 5. Pemeriksaan ROM vertebra cervicalis, fleksi lateral

Gambar 6. Pemeriksaan ROM vertebra cervicalis, rotasi lateral


4. Tes Khusus
a. Compression Test
Kedua tangan pemeriksa diletakkan di atas kepala pasien, tekan ke bawah. Pasien
dalam keadaan duduk. Hasil positif bila pasien merasakan nyeri di sepanjang daerah
cervical.

b. Distraction Test
Tangan pemeriksa bagian palmar diletakkan di bawah dagu pasien, dan tangan
pemeriksa yang lain diletakkan di bagian occiput pasien. Hasil positif bila pasien
merasa lebih nyaman/enak.

Gambar 7. Kiri : distraction test, kanan : compression test


2. PEMERIKSAAN VERTEBRA THORAKALIS DAN LUMBALIS

Prinsip-prinsip pemeriksaan :

 Area yang dipaparkan adalah tulang belakang dan anggota gerak bawah.
 Pasien berdiri, supinasi dan pronasi.
 Pemeriksaan neurologi pada anggota gerak bawah.
1. Inspeksi :

a. Posterior :

 Apakah bentuk dinding thoraks dan lumbal normal/simetris?


 Shoulder tilt
 Adakah skoliosis?
 Konveksitas
 Rib Hump
 Perubahan kulit (inflamasi, sikatrik, sinus).
 Pelvic Tilt (diperiksa ketinggian krista iliaka).
 Adanya wasting otot-otot gluteus, hamstring muscles dan calf.
 Deformitas anggota gerak bawah (panjang kaki, varus, valgus).

Gambar 8. Inspeksi posterior collumna vertebralissegmen thorakalis dan lumbalis

b. Lateral :
 Apakah bentuk dinding thoraks dan lumbal normal/simetris : dilihat adanya kifosis
thorakal dan lordosis lumbal.
 Kyphosis : dilihat konveksitas posterior dari tulang belakang. Konveksitas posterior
meningkat pada Schuerman’s disease dan ankylosing spondylitis.
 Lordosis : dilihat konveksitas anterior dari tulang belakang. Konveksitas anterior
meningkat pada pasien dengan spondylolisthesis, menurun pada spasme otot
paraspinal.
 Gibbus :acute short angle kyphotic pada tuberkulosis spinal.

Gambar 9. Inspeksi lateral collumna vertebralis segmen thorakalis dan lumbalis

Gambar 10. Kiri : kyphosis meningkat – tengah : Gibbus – kanan : lordosis menurun.

c. Anterior :

 Dilihat adanya asimetri dinding dada: penonjolan kosta.


 Short trunk: pada pasien dengan spondyloptosis dan severe osteoporosis tulang
belakang dengan fraktur vertebra multipel.
 Pinggang: adanya inflamasi, sikatriks, sinus.
 Deformitas anggota gerak bawah:
- Panggul: rotasi internal/ eksternal, fleksi/ekstensi ?
- Lutut :padaekstensi penuh, dilihat adanya varus/ valgus.
- Tumit : dilihat adanya varus/ valgus.
2. Palpasi :
 Sepanjang processus spinalis  adanya bony landmarks.
 Diraba suhu kulit.
 Adanya nyeri tekan : di antara vertebra lumbalis, pada lumbosacral junction, sendi-sendi
sela iga.
 Pembengkakan, gibbus, spasme paraspinal.

Gambar 11. Palpasi vertebra thorakalis dan lumbalis

3. Range of Motion (ROM) :

a. Fleksi anterior :

o
Normal 0 - 90 , pada pasien non obese fleksi dapat sampai menyentuh di bawah lutut.

Gambar 12. Fleksi anterior vertebra thorakalis dan lumbalis


o
b. Ekstensi : normal 0 - 30

o
c. Fleksi lateral dekstra/ sinistra : normal 0 – (30-40 )

o
d. Rotasi dekstra/ sinistra : normal 0 - 45

Gambar 13. Ekstensi - Fleksi lateral

Gambar 14a. Fleksi lateral Gambar 14b. Rotasi


4. Tes Khusus
a. Plumb line (dari processus spinosus C7, dengan menggunakan tali bandul untuk
mengetahui keseimbangan tulang belakang seimbang dengan mengukur kesegarisan
T1 - S1)
b. Schober test
- Buat 2 titik di midline lumbal berjarak 10 cm.
- Pasien diminta membungkuk ke depan (fleksi anterior).

- Ukur penambahan jarak kedua titik tersebut  indikasikan

lumbal Excursion (normal : > 5 cm)

Gambar 15. Lumbal flexion test/Schober’s test.

3. PEMERIKSAAN REGIO BAHU (SHOULDER)


1. Inspeksi :

Shoulder girdle(gambar 16) terdiri 3 joint& 1 artikulasi -- Acromioclavicular (AC) joint,


Glenohumeral (GH) joint, Sternoclavicular (StC) joint dan Scapulothoracic (ScT) articulation.

a. Anterior :
Secara keseluruhan dilihat kontur dari regio bahu adakah : pembengkakan, perubahan
kulit (scar, inflamasi), wasting otot dan deformitas.

Pada inspeksi dari anterior: dilihat adanya penonjolan Sternoclavicular joint (A), fraktur
klavikula (B), subluksasi Acromioclavicularjoint (C), wasting m. deltoideus (D) (lihat
gambar 18, kiri).
Gambar 16.Glenohumeral (GH) joint

Gambar 17. Shoulder girdle


Gambar 18. A. Anterior B. Lateral C. Posterior

b. Lateral : dilihat adakah wasting otot pada regio deltoid, perubahan kulit (inflamasi,
sikatriks, sinus).
c. Posterior : dilihat kontur regio bahu, adanya perubahan kulit, wasting otot-otot
(trapezius, deltoideus, supraspinatus, infraspinatus, lattisimus dorsi), prominent scapula.

2. Palpasi
Dilakukan dengan cara pemeriksa berdiri di samping pasien bila pasien duduk atau
pemeriksa berdiri di depan pasien bila pasien berdiri.

Gambar 19. Palpasi regio bahu


Pemeriksaan palpasi dilakukan pada sisi anterior, lateral dan posterior.Bandingkan kedua
sisi. Palpasi bony prominence klavikula, acromioclavicular joint, skapula, adakah nyeri tekan,
perubahan suhu atau pembengkakan ?

3. Range of Motion (ROM) :


Pemeriksaan dari gerakan aktif dilanjutkan dengan gerak pasif, diperiksa kedua bahu
secara simultan :

 Abduksi – Adduksi
 Fleksi anterior – Ekstensi
 Rotasi internal – Rotasi eksternal

o
Gambar 20. Pemeriksaan ROM regio bahu, kiri : abduksi aktif (normal 0-170 ),
o
tengah : abduksi pasif, kanan : aduksi (normal 0-50 )

o
Gambar 21. Pemeriksaan ROM regio bahu, kiri : fleksi anterior (normal 0-165 ),
o o
tengah : ekstensi (normal 0-60 ), kanan : fleksi horisontal (normal : 0-140 )
o
Gambar 22. Kiri : posisi abduksi, rotasi internal (normal : 0-70 );
o
kanan : posisi abduksi, rotasi eksternal (normal : 0-100 )

o
Gambar 23. Kiri : posisi ekstensi, rotasi eksternal (normal : 0 - 70 );
o
Kanan : posisi ekstensi, rotasi internal (normal 0 - 70 )

4. Tes Khusus

a. Yergason test
Untuk pemeriksaan kestabilan long head biceps tendon pada bicipital

groove Cara pemeriksaan :

- Posisikan elbow fleksi


- Lakukan gerakan forearm supinasi, mintalah penderita untuk melawannya
- Bersamaan dengan gerakan tersebut, lakukan manipulasi menarik elbow
ke bawah
- Positif bila pasien nyeri pada bicipital groove
b. Drop arm test

Untuk pemeriksaan adakah robekan otot-otot rotator cuff.

Cara pemeriksaan :

- Penderita melakukan abduksi shoulder 90°


- Secara gentle lakukan tepukan pada forearm
- Positif bila lengan jatuh dan penderita tidak bisa/kesulitan melakukan
gerakan abduksi shoulder lagi (mempertahankan).
c. Aprehension test

Untuk pemeriksaan adanya kronik dislokasi

shoulder Cara pemeriksaan :

- Posisikan shoulder penderita abduksi


- Pemeriksa melakukan gerakan gentle eksorotasi
- Positif bila penderita nyeri

Gambar 24. Apprehension test


Gambar 25. Apprehension test

Gambar 26. Drop arm test

4. PEMERIKSAAN REGIO SIKU (ELBOW)

 Pasien berdiri pada posisi anatomis.


 Area yang dipaparkan adalah kedua anggota gerak atas dari regio bahu sampai tangan.
 Bandingkan sisi kanan dan kiri  adakah asimetri ?
 Periksa sisi anterior dan posterior.
1. Inspeksi :
a. Anterior :
 Dilihat kontur regio siku.
 Dilihat adanya perubahan kulit (inflamasi, sikatriks, pembengkakan).
 Rotasi internal/eksternal
 Cubitus varus/valgus
 Muscle wasting : m. trapezius, biceps brachii, deltoideus.

Gambar 27. Regio siku anterior


A : Cubitus Valgus B : Cubitus Varus

b. Posterior :
 Kontur siku
 Perubahan kulit (inflamasi, sikatriks, pembengkakan)
 Muscle wasting

Gambar 28a.Pembengkakan Gambar 28b.A: Bursitis olecranon

siku posterior B: Rheumatoid nodules


2. Palpasi :
 Perubahan suhu kulit
 Penonjolan tulang : epikondilus medialis, epikondilus lateralis, olecranon  membentuk
o
segitiga sama sisi pada posisi siku fleksi 90 , bila ekstensi menjadi garis lurus (normal).
 Jaringan lunak : adakah nodul?
 Nyeri tekan : di epikondilus lateralis (Tennis elbow), epikondilus medialis (Golfer’s
elbow).

Gambar 29a.Palpasi penonjolan tulang Gambar 29b.Palpasi siku

(bony prominence)

3. Range of Motion (ROM) :


 Pasif dan aktif
o
 Fleksi (0 - 140 )
o o
 Ekstensi (0 ), hiperekstensi (sampai -15 pada wanita muda)
o o
 Pronasi (0 - 75 ) dengan fleksi siku 90
o o
 Supinasi (0 - 80 ) dengan fleksi siku 90
Gambar 30. Kiri : A. Ekstensi penuh, B. Loss extension

Tengah : Hiperekstensi (pada Ehlers Danlos Syndrome, Kanan : Fleksi

o o
Gambar 31.Kiri : supinasi (normal : 80 ) kanan : pronasi (normal : 75 )

4. Tes khusus
a. Tennis elbow test

Merupakan tes yang dirancang untuk menyebabkan rasa sakit pada siku yang
mengalami tennis elbow

Cara pemeriksaan :

- Stabilkan lengan pasien dan pasien diminta untuk mengepalkan tangan


- Penderita posisi fleksi elbow, pronasi dan ekstensi wrist
- Tekan kepalan tangan tadi ke arah belakang dengan tangan pemeriksa sebagai
usaha untuk memaksa pergelangan tangannya supaya fleksi
- Positif: nyeri pada epicondilus lateralis

Gambar 32. Tennis elbow test

5. PEMERIKSAAN PERGELANGAN TANGAN (WRIST) DAN TANGAN


 Kedua tangan diletakkan di atas bantal/meja.
 Bandingkan kedua tangan.
 Fungsi utama tangan adalah untuk pinch grip (ibu jari dengan jari telunjuk) dan power
grip (antara 3 jari fleksi dengan bagian palmar tangan).

33a
33b 33c 33d

Gambar 33. Inspeksi (33a) dan palpasi pergelangan tangan dan tangan (33b, c, d, e)

1. Inspeksi
 Aspek dorsal :
- Kulit (tekstur, warna, inflamasi, pembengkakan).
- Kuku (warna, bentuk).
- Deformitas jari :swan neck, Boutoniere deformation, Mallet deformation, Heberden’s
node, Bouchard’s node.
- Muscle wasting,
- Adanya guttering first web space.
 Aspek palmar :
- Kulit (warna, tekstur, kontraktur)
- Pembengkakan.
- Muscle wasting : eminensia thenar/hypothenar

Gambar 34a. Deformitas jari, kiri ke kanan :Mallet deformity, swan neck, Boutoniere
deformity, A:Heberden’s node B:Bouchard’s node
Gambar 34b.Deformitas jari
pada artritis rematoid
lanjut

Gambar 34c.Muscle
wasting pada eminensia
thenar sinistra

2. Palpasi :
 Perubahan suhu (normal, menurun, meningkat ?)
 Kulit : kering, lembab
 Nyeri tekan
 Sendi-sendi di pergelangan tangan adalah radiocarpal joint, distal radioulnar joint dan
intercarpal joint, sedangkan sendi-sendi di telapak tangan adalah metacarpophalangeal
joint, proximal interphalangeal joint dan distal interphalangeal joint.
3. Pada pergerakan :
 ROM Aktif
 ROM Pasif

o o
Gambar 35.Kiri : deviasi radial (normal : 0 - 20 ); kanan : deviasi ulnar (normal : 0 - 35 )
o o
Gambar 36. Kiri : pronasi(normal : 0 - 75 ); kanan : supinasi (normal : 0 - 80 )

o o
Gambar 37.Kiri : ekstensi(normal : 0 - 70 ); kanan : fleksi (normal : 0 - 80 )

Gambar 38.Kiri : fleksi-ekstensi ibu jari; tengah : abduksi-adduksi ibu jari; kanan : opposisi ibu
jari
4. Tes khusus
a. Carpal tunnel syndrome
Tes untuk penyakit entrapment/jepitan syaraf medianus pada terowongan
carpal
Cara pemeriksaan :

- Phallen’s test
Gejala umum pada sindrom, seperti rasa geli pada jari-jari dapat juga
disebabkan oleh fleksi maksimum dari pegelangan tangan dan mempertahankan
posisi tersebut selama minimal satu menit.

Cara pemeriksaan : Provokasi test n. Medianus dilakukan dengan posisi fleksi


wrist s.d 90°. Positif bila terasa nyeri/sensori penjalaran saraf n.medianus.

- Prayer test
Provokasi test n. Medianus dengan posisi ekstensi wrist s.d 90° /seperti gerakan
menyembah (prayer).

b. De Quervain’s syndrome
Sindrom yang menyebabkan inflamasi pada 2 tendon yang digunakan untuk
menggerakkan ibu jari, abductor pollicis longus dan extensor pollicis brevis

- Finkelstein test
Pasien disuruh membuat kepalan tangan, dengan cara jempol masuk ke dalam
kepalan. Kemudian tangan pemeriksa sebelah kiri memegang antebrachii pasien,
tangan kanan pemeriksa menggerakkan wrist ke arah deviasi ulnar.

Positif : bila pasien merasakan nyeri.

Gambar 39a. Phallen test


Gambar 39b. Finkelstein test

6. PEMERIKSAAN PANGGUL (HIP)


 Area yang terpapar adalah kedua ekstremitas inferior (masih memakai pakaian dalam).
 Pasien diminta mengatakan bila merasakan nyeri panggul dalam pemeriksaan.
 Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara berdiri, berjalan, supinasi atau pronasi.

a. Inspeksi :

Gambar 40.Kiri : anterior Tengah :lateral Kanan : posterior

Keterangan:

Gambar kiri: aspek anterior

A=Pelvic tilting oleh karena deformitas adduksi/abduksi deformitas, short leg, skoliosis.

B=Muscle wasting oleh karena infeksi, polio.


C=Rotasi oleh karena osteoartritis

Gambar tengah : aspek lateral

Meningkatnya lordosis lumbar oleh karenaFixed Flexion deformity

Gambar kanan : aspek posterior

A= Scoliosis, mengakibatkan pelvic tilting

B=wasting otot gluteal,

C= terbentuknya sinus oleh karena tuberculosis

Gambar 41.Trendelenburg’s tes Normal (kiri); Tidak Normal (kanan).

 Pasien Berdiri :
- Anterior tilting pelvis, scar, sinus, pembengkakan, muscle wasting, rotasi.
- Lateral  meningkat/menurunnya lordosis lumbal, fleksi/ekstensi
panggul,fleksi/ekstensi lutut, ankle equinus.
- Posterior tilting bahu/ pelvis, skoliosis, scar, sinus, gluteal muscle wasting,
deformitas tumit/ kaki.
- Trendelenburg’s Tes : Untuk mengetahui stabilitas level arm hip, dilakukan oleh
mekanisme abduktor (lihat gambar 41).

 Pasien supinasi :
- Kulit :scar, sinus, pembengkakan, muscle wasting (m. quadriceps femoris, gluteal).
- Bandingkan kedua ekstremitas inferior  adakah pemendekan ?
- Ukur ketidaksesuaian panjang ekstremitas inferior ( limb length discrepancy).
- Posisi Anterior Superior Illiac spine (SIAS) horizontal.
- Ukur panjang kaki yang sebenarnya (true leg length): diukur dari SIAS ke malleolus
medialis.
- Ukur panjang kaki yang terlihat (apparent leg length) : diukur dari umbilikus ke
malleolus medialis.

Gambar 44.Pengukuran true leg length

Gambar 45.Pengukuran apparent leg length


b. Palpasi :

Gambar 46.Palpasi panggul

Keterangan:

Kiri : Palpasi origo m. adductor longus, bila nyeri biasanya oleh karena strain
adductorlongus & osteoarthritis panggul.
Kanan: lakukan rotasi eksternal artikulasio coxae, palpasi trochanter minor. Bila
terasa nyeri, biasanya oleh karena strain m. illiopsoas.

c. Pada pergerakan :

Gambar 47. Pemeriksaan panggul dengan pergerakan

Keterangan :
o
Kiri : ekstensi panggul  normal : 0 – (5-20 )
o
Kanan: fleksi panggul  0 - 135
Gambar 48. Hip Abduksi Gambar 49. Hip Adduksi

Gambar 50. Rotasi internal panggul Gambar 51. Rotasi eksternalpanggul

o o
pada posisi fleksi 90 pada posisi fleksi 90

3. PEMERIKSAAN LUTUT (KNEE)


 Dilakukan dalam posisi berdiri, berjalan dan berbaring (supinasi).
 Bandingkan kedua sisi.
 Dilakukan pula pemeriksaan tulang belakang dan panggul.

b. Inspeksi :
- Aspek anterior dan posterior  adakah genu valgum/ genu varum.
- Aspek lateral  adakah genu recurvatum.
- Penderita jongkok.
Gambar 52. Pemeriksaan lutut

b. Palpasi :
 Untuk mengetahui adanya wasting otot dilakukan dengan cara mengukur lingkar paha.
 Palpasi : nyeri, suhu lutut

Gambar 53. Pemeriksaan lutut, atas : mengukur lingkar paha;

kiri bawah : palpasi lutut; kanan bawah : Solomon’s test


c. Pada pergerakan :
o
 Fleksi (0 - 150 ) & ekstensikan lutut.
 Internal & eksternal rotasi lutut.

Gambar 54.Fleksi dan ekstensi lutut

Gambar 55.Rotasi internal dan

eksternal lutut
d. Tes Khusus

 Solomon’s test mengangkat patella untuk mengetahui adanya synovial thickening.


 Patella tap tes untuk mengetahui adanya fluktuasi cairan dalam cavum sinovial
dengan cara ekstensikan lutut.
Pada patella tap test, tempatkan ibu jari dan telunjuk tangan kanan di samping patella,
dengan tangan kiri lakukan kompresi kantung suprapatella. Rasakan cairan memasuki
ruangan di antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan.Bila cairan hanya sedikit, dengan
tangan kiri lakukan tekanan ringan di atas kantung suprapatella sehingga mendorong
cairan ke lateral. Berikan tepukan ringan di batas lateral patella dengan tangan kanan,
rasakan gelombang cairan (bulging) di sisi medial di antara patella dan femur.

 Anterior/Posterior drawer test untuk menilai ruptur ligamentum cruciatum anterior atau
posterior (ACL/ PCL).
Anterior drawer test, cara pemeriksaan :
- Penderita berbaring dengan posisi knee fleksi
- Pemeriksa melakukan fiksasi pada kedua kaki dan kedua tangan memegang tulang
tibia dengan sendi lutut
- Dengan gentle menarik tulang tibia ke anterior
- Positif bila terasa tulang tibia terasa bergerak/seperti lepas ke anterior

Posterior drawer test, cara pemeriksaan:


- Penderita berbaring dengan posisi knee fleksi
- Pemeriksa melakukan fiksasi pada kedua kaki dan kedua tangan memegang tulang
tibia dekat dengan sendi lutut
- Dengan gentle menarik tulang tibia ke posterior
- Positif bila terasa tulang tibia terasa bergerak/ seperti terlepas ke posterior
Gambar 56.Patella tap test

Gambar 57. Kiri :anterior drawer test; kanan : posterior drawer test

 Uji Lachman. Pada pemeriksaan ini lutut difleksi 15-20°. Satu tangan memegang tungkai
atas pada kondilus femur, sedangkan tangan lainnya memgang tibia proksimal. Kedua tangan
kemudian digerakkan ke depan dan ke belakang antara tibia proksima dan femur.
Lachman Test

 Pemeriksaan pivot shift lateral. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan tambahan untuk
mengetahui defisiensi pada ligamentum krusiatum anterior. Caranya kaki yang mengalami
kelainan diangkat oleh pemeriksa, dimana kaki kanan diangkat oleh tangan kanan dan kiri
diangkat oleh tanagn kiri dan lutut dalam keadaan ekstensi maksimal. Dengan satu tangan
pemeriksa memutar dari arah luar tungkai bawah persis di sebelah bawah lutut sehingga terjadi
tekanan valgus. Pada saat yang bersamaan tibia dirotasi ke medial. Selanjutnya lutut difleksi
secara perlahan-lahan dari posisi ekstensi. Pemeriksaan positif apabila kondilus lateralis tibia
terelokasi secara spontan pada kondilus femur ketika fleksi mencapai 30-35°

Pivot Shift
 Uji Rotasi/McMurray Test: Uji rotasi dilakukan untuk mengetahui adanya robekan
meniskus dan dikenal sebagai uji Mc Murray. Pada pemeriksaan ini lutut di ekstensikan
kemudian dilakukan eksorotasi maksimal untuk memeriksa meniskus medial atau dengan
endorotasi maksimal untuk memeriksa meniskus lateral. Penderita berbaring terlentang , tungkai
bawah dipegang, lutut difleksikan 90° dan dilakukan eksorotasi maksimal dan kemudian tungkai
diluruskan sambil mempertahankan eksorotasi. Pada kerusakan meniskus, maka penderita
merasa nyeri, mungkin dapat diraba adanya krepitasi atau terdengar suara klik dari tanduk
depan/belakang atau bagian dari meniskus yang lompat keluar dari antara kondilus femur.
Pemeriksaan meniskus medial dilakukan dengan endorotasi maksimal dan mempunyai prinsip
serta prosedur pemeriksaan yang sama dengan pemeriksaan eksorotasi maksimal.
 Apley Compression Test: Pasien tengkurap dengan knee fleksi 90 o, lakukan fiksasi pada
paha dengan menggunakan lutut/tangan pemeriksa. Lakukan gerakan rotasi medial dan lateral
dikombinasikan dengan kompresi

McMurray Test Apley Compression Test

7. PEMERIKSAAN TUMIT (ANKLE) DAN KAKI


a. Inspeksi :
 Bandingkan kedua sisi.
 Tulang belakang harus selalu diperiksa untuk mencari adanya proses patologis di
collumna vertebralis.
 Dilihat alignment & attitude dari ekstremitas inferior dekstra dan sinistra.
 Dilihat kelainan kulit (inflamasi, scar,pembengkakan ?)
 Dilihat deformitas tungkai dan kaki old fracture, deformitas Talipes, hammer toe

Gambar 58a.Deformitas Talipes 58b.Hammer toe

 Plantar pedis : hyperhidrosis, infeksi (jamur, misalnya athlete’s foot), ulserasi.


 Pasien berdiri : apakah tumit & kaki bagian depan sejajar? Bila tidak, dicari
penyebabnya, misalnya pemendekan kaki/ tendo calcaneus.

Gambar 59.Kiri :Leg shortening; kanan :


Intoeing

 Intoeing (oleh karena torsi tibia/ adduksi panggul/ adduksi kaki depan.
 Genu Valgum/ varum : oleh karena gangguan pertumbuhan lutut; inversi & eversi kaki.
Gambar 60. Deformitas valgum dan varum

Gambar 61.A.Eversi ;B. Inversi

2. Palpasi :
 Diraba suhu kulit
 Nyeri tekan : pada Sever’s disease (A), bursitis (B), plantar fasciitis (C), pes cavus (D).
 Diraba penonjolan-penonjolan tulang (bony prominence) : maleolus medialis & lateralis.
Gambar 62. Palpasi kaki

3. Pada pergerakan :
 Gaya berjalan (walking gait).
o
 Supinasi kaki (normal : 0 - 35 ).
o
 Pronasi kaki (normal : 0 - 20 ).
o o
 Dorsofleksi kaki (normal : 0 - 15 ), plantarfleksi kaki (normal : 0 - 45 ).
o o
 Metatarsophalangeal joint (MTPJ) : ekstensi (normal : 0 - 65 ), fleksi (normal : 0 - 40 ).
o o
 Interphalangeal joint (IPJ) : fleksi (normal : 0 - 60 , ekstensi = 0 ).

Gambar 63.Kiri : Supinasi kaki, kanan : pronasi kaki

Gambar 64.Kiri : plantar dorsofleksi, kanan : plantar plantarfleksi


Gambar 65.Kiri : ekstensi MTPJ; tengah: fleksi MTPJ; kanan : fleksi I

SKENARIO KLINIS
Tn. Marvel 45 tahun datang ke poli Bedah dengan keluhan nyeri di pangkal paha kanannya
setelah jatuh terpeleset 2 jam lalu dikamar mandi, nyeri bertambah bila digerakkan. Tn. Marvel
masih bisa berjalan tetapi dengan sedikit pincang.
Lakukan Pemeriksaan Orthopedi pada Tn. Marvel!

REFERENSI

1. Apley, Graham,,Solomon Louis. Buku AjarOrthopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi ke
7.1995. Jakarta : Widya Medika
2. Hoppenfeld, S., 1986, Physical Examination Of The Spine and Extremities, Appleton &
Lange.
3. Buckup. Clinical Test for Musculosceletal System. 2008.Thieme
4. Rasjad, Chaeruddin. Pengantar ilmu bedah Orthopedi. Edisi 2. 2003. Makassar : Bintang
Lamumpatue
Cheklist Pemeriksaan Orthopedi:

inspection shoulder / upper extremity


No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk duduk tegap dan rileks

3 Melakukan inspeksi pada kedua sendi bahu.


Inspeksi dilakukan dari arah depan, samping dan belakang
Menilai ada tidaknya perubahan warna, sikatriks, atrofi
otot, deformitas/bentuk asimetris,
pembengkakan/massa/benjolan, fistula.

4 Pemeriksa melakukan palpasi pada kedua sendi bahu


Menentukan penonjolan tulang : acromion, spina scapula,
prosesus coracoid, artikulasi acromioclavikular, os
clavicula, teberkulum major os humerus

7 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan

NILAI
test function of shoulder joint
No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk duduk tegap dan rileks

3 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan


mengangkat lengan setinggi bahu dengan telapak tangan
menghadap bawah (abduksi sendi bahu)

4 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan


mengangkat lengan secara vertikal ke atas kepala dengan
kedua telapak tangan saling berhadapan.
5 Pemeriksa meminta pasien untuk meletakkan kedua tangan
dibelakang leher dengan sendi siku terletak disisi luar
(gerakan rotasi eksternal dan abduksi)
6 Pemeriksa meminta pasien untuk meletakkan kedua tangan
di belakang/punggung bawah (gerakan internal rotasi dan
adduksi)
7 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan

NILAI
test function of muscles and elbow joint
No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk duduk tegap dan rileks

3 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan


menekuk dan meluruskan sendi siku (fleksi dan ekstensi)

4 Pemeriksa meminta pasien untuk meletakkan lengannya


menempel pada sisi tubuh dengan sendi siku ditekuk 90
derajat kemudian melakukan gerakan memutar telapak
tangan ke arah atas dan bawah (gerakan pronasi dan
supinasi).
7 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan

NILAI
test function of wrist joint, metacarpal and finger joints
No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk duduk tegap dan rileks

3 Pemeriksa meminta pasien untuk mengepal jari tangan


kemudian menekukkan masing-masing jari

4 Pemeriksa meminta pasien untuk membuka dan menutup


jari-jari tangan
5 Pemeriksa meminta pasien untuk menggerakkan ibu jari
melewati telapak tangan dan meletakkan ibu jari tersebut
pada sisi jari kelima/kelingking, kemudian mengembalikan
posisi ibu jari ke posisi semula
6 Pemeriksa meminta pasien untuk menggerakkan ibu jari
menyentuh ujung masing-masing jari
7 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan
menekuk dan meluruskan sendi pergelangan tangan (fleksi
dan ekstensi)

8 Pemeriksa meminta pasien untuk menggerakkan


pergelangan tangan secara vertikal ke arah samping dalam
dan luar (gerakan deviasi radial dan deviasi ulnar)
9 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan

NILAI

Measurement of length of lower extremities


No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk berbaring terlentang dan
rileks, sambil mempersiapkan peralatan berupa pena/spidol
dan tali meteran.
3 Pemeriksa memastikan bahwa posisi kedua panggul pasien
adalah simetris

4 Pemeriksa menentukan titik SIAS dan tip/puncak dari


malleolus medial di pergelangan kaki kemudian memberi
tanda titik dengan pena/spidol.
5 Pemeriksa melakukan pengukuran dengan menggunakan
tali meteran panjang dari SIAS dan malleolus medial dan
mencatatkannya sebagai true length leg (TLL)
6 Pemeriksa menunjuk umbilikalis/prosesus xyphoideus
kemudian melakukan pengukuran dengan menggunakan
tali meteran panjang dari umbilikalis/prosesus xyphoideus
dan malleolus medial dan mencatatkannya sebagai
apparent length leg (ALL)
7 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan
Bila TLL (-) dan ALL (+)
 Suspect pelvic obliquity atau adductor contracture

NILAI

hip: assessment of flexion and extension, adduction, abduction and rotation


No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk berbaring terlentang dan
rileks
3 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan
mengangkat tungkai bawah setinggi-tingginya (fleksi sendi
panggul)

4 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan


menggeser tungkai bawah ke arah luar (abduksi) dan
menggeser kearah dalam (adduksi).
5 Pemeriksa meminta pasien untuk berbaring tengkurap

6 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan


mengangkat tungkai bawah setinggi-tingginya (ekstensi
sendi panggul)
7 Pemeriksa meminta pasien untuk menekut sendi lutut 90
derajat, kemudian melakukan gerakan rotasi tungkai bawah
ke arah dalam (gerakan rotasi eksternal) dan gerakan rotasi
ke arah luar (rotasi internal)
8 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan

NILAI

knee : assessment of cruciate ligaments, collateral ligaments


No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk berbaring terlentang dan
rileks

Pemeriksaan ligamentum cruciatum

3 Pemeriksa meminta pasien untuk menekuk lutut 90 derajat


dan meletakkan kaki di atas meja periksa
4 Pemeriksa menduduki kaki pasien secara lege artis,
meletakkan kedua tangan dibelakang lutut pasien
kemudian menggenggam dibawah lutut pasien
5 Pemeriksa memberikan penekanan ke arah bawah.
Menilai patensi dari ligamentun cruciatum posterior
6 Pemeriksa dengan tetap menggenggam lutut pasien
melalukan penarikan lutut ke arah atas.
Menilai patensi dari ligamentum cruciatum anterior.

Pemeriksaan ligamentum collateral

7 Pemeriksa berdiri di sisi pasien, dengan memegang sisi


distal femur dengan satu tangan dan menggendong tungkai
bawah pasien dengan tangan lain kemudian melakukan
gerakan menekuk lutut dengan cara menekan tungkai
bawah ke arah medial dan lateral.
Menilai patensi dari ligamentum collateral medial dan
lateral lutut.
8 Langkah pemeriksaan 6-10 diulang untuk pemeriksaan
pada lutut sebelahnya
9 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan

NILAI
assessment of menisci
No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk berbaring
terlentang/duduk dan rileks
3 Melakukan inspeksi pada lutut dan membandingkan
keduanya.
Menilai ada tidaknya perubahan warna, sikatriks, atrofi
otot, deformitas/bentuk asimetris, efusi,
pembengkakan/massa/benjolan, fistula.

4 Pemeriksa melakukan palpasi pada lutut


Menentukan garis kesejajaran sendi lutut, yaitu dengan
meraba dengan jari batas proksimal os tibia dari medial
condyles tibia ke arah lateral melalui tuberositas tibia.
Menilai adakah pembengkakan atau rasa nyeri saat
penekanan.

5 Pemeriksa melakukan palpasi pada os patella, lateral dan


medial epicondilus femoris

6 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan


menekuk dan meluruskan sendi lutut (fleksi dan ekstensi)

7 Pemeriksa dengan memegang sisi distal femur dengan satu


tangan dan melakukan gerakan rotasi ke arah luar maupun
dalam pada tungkai bawah dengan tangan lain (gerakan
rotasi eksternal dan internal sendi lutut)
6 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan

NILAI

feet : inspection of posture and shape


No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk berbaring
terlentang/duduk dan rileks
3 Melakukan inspeksi pada kedua kaki dan
membandingkannya.
Menilai ada tidaknya perubahan warna, sikatriks, atrofi
otot, deformitas/bentuk asimetris,
pembengkakan/massa/benjolan, fistula.

4 Pemeriksa melakukan palpasi pada kedua kaki


Menentukan ada tidaknya edema pedis dengan melakukan
penekanan ibu jari pada daerah dorsum pedis, bagian
belakang malleolus medialis

5 Pemeriksa melakukan palpasi pada sisi anterior mata kaki,


daerah dorsum pedis, telapak kaki, sendi
metatarsophalangeal dan caput masing-masing metatarsal
kaki

6 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan

NILAI
feet : assessment of dorsal / plantar flexion,inversion, eversion
No. KRITERIA SKOR
0 1 2 3
1 Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi salam,
memperkenalkan diri, menerangkan secara singkat
pemeriksaan yang akan dilakukan dan menyebutkan tujuan
pemeriksaan..
2 Pemeriksa meminta pasien untuk berbaring terlentang dan
rileks
3 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan
mengangkat pergelangan kaki ke atas (dorsifleksi sendi
pergelangan kaki)

4 Pemeriksa meminta pasien untuk menggerakkan


pergelangan kaki ke arah bawah/telapak kaki (gerakan
plantarfleksi pergelangan kaki)
5 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan gerakan
menekuk pergelangan kaki ke arah dalam dan keluar
(inversi dan eversi pergelangan kaki)
6 Melaporkan & menginterpretasikan hasil pemeriksaan

NILAI
B. KETERAMPILAN KLINIS JAHIT LUKA

1. TUJUAN INSTRUKSI UMUM


Mahasiswa mampu melakukan tindakan jahit luka

2. TUJUAN INSTRUKSI KHUSUS


Kemampuan melakukan tindakan jahit luka meliputi :
3. Mahasiswa mampu mengenali instrumen bedah minor dan memilih instrument yang tepat
yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan jahit luka
4. Mahasiswa mampu melakukan tindakan asepsis dan antisepsis sebelum melakukan
tindakan jahit luka
5. Mahasiswa mampu melakukan tindakan anestesi lokal secara subcutan pada daerah luka
6. Mahasiswa mampu melakukan tindakan debridement dan eksisi tepi luka
7. Mahasiswa mampu melakukan tindakan penjahitan luka sederhana dengan teknik jahitan
simpul tunggal
8. Mahasiswa mampu melakukan tindakan dekontaminasi instrumen bedah minor yang telah
digunakan untuk tindakan jahit luka

3. RENCANA PEMBELAJARAN
Keterampilan jahit luka ini akan dilaksanakan selama dua sesi terbimbing diruang skills lab,
masing masing sesi dilaksanakan 150 menit (3 x 50 menit) dengan jumlah mahasiswa 10 orang
perkelompok.
Sesi pertama :
1. Mahasiswa akan diperkenalkan dengan instrument bedah minor yang akan dipergunakan
pada keterampilan klinis jahit luka
2. Instruktur akan menjelaskan dan mendemonstrasikan prosedur kerja keterampilan jahit
luka sesuai dengan checklist di depan kelas
3. Mahasiswa akan melakukan diskusi dengan instruktur mengenai keterampilan jahit luka
yang belum dimengerti oleh mahasiswa
4. Masing-masing mahasiswa akan mencoba melakukan keterampilan jahit luka dan
instruktur akan memberikan feedback
5. Mahasiswa akan diberikan tugas rumah untuk melakukan teknik jahitan sederhana pada
sponge atau busa yang telah disediakan dan akan dievaluasi oleh instruktur pada pertemuan
selanjutnya

Sesi kedua :
Pada sesi kedua akan dilaksanakan evaluasi dengan cara masing-masing mahasiswa akan
diberikan skenario klinis dan mahasiswa diharapkan mampu melakukan keterampilan jahit luka
dengan benar sesuai dengan dengan checklist yang sudah diajarkan pada sesi pertama dengan
alokasi waktu 10 - 13 menit tiap mahasiswa dan diakhir sesi instruktur memberikan feedback
Sesi Kegiatan pembelajaran Alokasi waktu
Sesi pertama 1. Pengenalan alat dan bahan 15 menit
2. Penjelasan dan demonstrasi oleh instruktur 20 menit
3. Diskusi 15 menit
4. Masing-masing mahasiswa mencoba 100 menit
melakukan keterampilan jahit luka di bimbing oleh
instruktur
5. Tugas rumah Mandiri
Sesi kedua 1. Evaluasi 10 – 13
menit/mahasiswa
2. Feedback 15 - 20 menit

4. TINJAUAN TEORI

4.1. Luka dan Penanganannya


4.1.1 Definisi
Kehilangan kontuinitas kulit atau mukosa yang disebabkan oleh trauma, kimia, listrik, radiasi,
dan bisa juga disertai dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang.
4.1.2 Etiologi
Biasanya disebabkan oleh :
• Trauma benda tajam atau tumpul
• Perubahan suhu
• Zat kimia
• Sengatan listrik
• Gigitan hewan

4.1.3 Macam-macam luka


 Excoriasi (luka lecet)
Terjadi kerusakan sebahagian tebal kulit biasanya disebabkan oleh tergores benda tajam atau
tumpul, tergores aspal. Biasanya luka dangkal dan sedikit berdarah
 Vulnus scisum/incised wound (luka sayat)
Terjadinya sayatan pada kulit bahkan bisa menembus otot, biasanya disebabkan oleh benda
tajam seperti pisau, kaca dan lain sebagainya. Biasanya lukanya bersifat bersih, pinggir rata,
dasar kecil.
 Vulnus Laceratum (luka robek)
Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul, kecelakaan. Dan pinggir luka compang camping,
dinding tidak rata, dasar kotor/tidak teratur dan terjadi hematom/edem disekitar luka tersebut.
 Vulnus punctum (luka tusuk)
Adalah luka kecil dengan dasar yang sukar dilihat.disebabkan oleh tertususuk paku atau benda
yang runcing, lukanya kecil, dasar sukar dilihat, pada luka ini kuman tetanus gampang masuk.
 Vulnus Sclopectum (luka tembak)
Biasanya luka ini mempunyai ciri :
- Luka masuk : kecil, dinding luka sukar dilihat, dasar dalam
- Luka keluar : besar, pinggir compang camping, dinding tidak rata dasar dalam
luka ini sebenarnya bersih tapi sering dianggap kotor karena banyaknya jaringan yang rusak
yang nantinya akan menjadi benda asing. Luka ini harus segera di cek apakah kena otot, tendon,
syaraf, pembuluh darah dan tulang
 Luka dengan skin loss (kehilangan jaringan kulit)
Luka ini setelah dibersihkan harus ditutup karena kalau dibiarkan terbuka akan lama
penyembuhannya, dan kalau disertai dengan patah tulang atau robek tendon, dapat terjadi infeksi
dan sembuhnya lama.Bisa timbul kontraktur (bekas luka mengkerut karena jaringan parut)
 Luka memar (kontusio)

4.1.4. Proses penyembuhan luka


4.1.5. Komplikasi pada proes penyembuhan luka

4.2 PENGENALAN INSTRUMEN BEDAH MINOR


Instrumen dasar bedah minor terbagi atas empat berdasarkan fungsi, yakni instrumen dengan
fungsi memotong (pisau scalpel + pegangan dan beragam jenis gunting), instrumen dengan
fungsi menggenggam (pinset anatomi, pinset cirrhurgis dan klem jaringan), instrumen dengan
fungsi menghentikan perdarahan (klem arteri lurus dan klem mosquito), serta instrumen dengan
fungsi menjahit (needle holder,benang bedah, dan needle). 

   Gambar 1: Instrumen Dasar Bedah Minor


Sumber : On Minor Surgery written by Robert Kneebon dan Julia Schofield

Kesemua instrumen tersebut akan dijelaskan secara detail sebagai berikut:


4.2.1  Instrumen Dengan Fungsi Memotong
1.    Pisau Scalpel + Pegangan
Scalpel merupakan mata pisau kecil yang digunakan bersama pegangannya. Alat ini bermanfaat
dalam menginsisi kulit dan memotong jaringan secara tajam. Selain itu, alat ini juga berguna
untuk mengangkat jaringan/benda asing dari bagian dalam kulit. Setiap pisau scalpel memiliki
dua ujung yang berbeda, yang satu berujung tajam sebagai bagian pemotong dan yang lainnya
berujung tumpul berlubang sebagai tempat menempelnya pegangan scalpel. Cara
pemasangannya: pegang area tumpul pisau dengan needle-holder dan hubungkan lubang pada
area tersebut pada lidah pegangan sampai terkunci (terdengar bunyi). Cara pelepasan: pegang
ujung pisau dengan needle-holder dan lepaskan dari lidah pegangan, kemudian buang di tempat
sampah. Pegangan scalpel yang sering digunakan adalah yang berukuran 3 yang dapat digunakan
bersama pisau scalpel dalam ukuran beragam. Sedangkan pisau scalpel yang sering digunakan
adalah yang berukuran no.15. Ukuran no.11 digunakan untuk insisi abses dan hematoma
perianal. Pegangan scalpel digunakan seperti pulpen dengan kontrol maksimal pada waktu
pemotongan dilakukan. Dalam praktek keseharian, pegangan scalpel biasanya diabaikan
sehingga hanya memakai pisau scalpel. Hal ini bisa diterima dengan pertimbangan pisaunya
masih dalam keadaan steril (paket baru) dan harus digunakan dengan pengontrolan yang baik
agar tidak menimbulkan kerusakan jaringan sewaktu memotong.
 
2.    Gunting
Pada dasarnya gunting mengkombinasikan antara aksi mengiris dan mencukur. Mencukur
membutuhkan aksi tekanan halus yang saling bertentangan antara ibu jari dan anak jari lainnya.
Gerakan mencukur ini biasanya dilakukan oleh tangan dominan yang bersifat tidak disadari dan
berdasarkan insting. Sebaiknya gunakan ibu jari dan jari manis pada kedua lubang gunting. Hal
ini akan menyebabkan jari telunjuk menyokong instrumen pada waktu memotong sehingga kita
dapat memotong dengan tepat. Selain itu, penggunaan ibu jari dan jari telunjuk pada lubang
gunting biasanya pengontrolannya berkurang. Jenis-jenis gunting berdasarkan objek kerjanya,
yakni gunting jaringan (bedah), gunting benang, gunting perban dan gunting iris.
a.       Gunting Jaringan (bedah)
Gunting jaringan (bedah) terdiri atas dua bentuk. Pertama, berbentuk ujung tumpul dan
berbentuk ujung bengkok. Gunting dengan ujung tumpul digunakan untuk membentuk bidang
jaringan atau jaringan yang lembut, yang juga dapat dipotong secara tajam. Gunting dengan
ujung bengkok dibuat oleh ahli pada logam datar dengan cermat. Pemotongan dengan gunting ini
dilakukan pada kasus lipoma atau kista. Biasanya dilakukan dengan cara mengusuri garis batas
lesi dengan gunting. Harus dipastikan kalau pemotongan dilakukan jangan melewati batas lesi
karena dapat menyebabkan kerusakan.
b.      Gunting Benang (dressing scissors)
Gunting benang didesain untuk menggunting benang. Gunting ini berbentuk lurus dan berujung
tajam. Gunakan hanya untuk menggunting benang, tidak untuk jaringan. Gunting ini juga
digunakan saat mengangkat benang pada luka yang sudah kering dengan tehnik selipan dan
sebaiknya pemotongan benang menggunakan bagian ujung gunting. Hati-hati dalam pemotongan
jahitan. Jika ujung gunting menonjol keluar jahitan, terdapat resiko memotong struktur lainnya.
c.       Gunting Perban
Gunting perban merupakan gunting berujung sudut dengan ujung yang tumpul. Gunting ini
memiliki kepala kecil pada ujungnya yang bermanfaat untuk memudahkan dalam memotong
perban. Jenis gunting ini terdiri atas knowles dan lister. Bagian dasar gunting ini lebih panjang
dan digunakan sangat mudah dalam pemotongan perban. Ujung tumpulnya didesain untuk
mencegah kecelakaan saat remove perban dilakukan. Selain untuk membentuk dan memotong
perban sesaat sebelum menutup luka, gunting ini juga aman digunakan untuk memotong perban
saat perban telah ditempatkan di atas luka.
d.      Gunting Iris
Gunting iris merupakan gunting dengan ujung yang tajam dan berukuran kecil sekitar 3-4 inchi.
Biasanya digunakan dalam pembedahan ophtalmicus khususnya iris. Dalam bedah minor,
gunting iris digunakan untuk memotong benang oleh karena ujungnya yang cukup kecil untuk
menyelip saat remove benang dilakukan. 
 
4.2.2  Instrumen Dengan Fungsi Menggenggam
1.    Pinset Anatomi
Pinset Anatomi memiliki ujung tumpul halus. Secara umum, pinset digunakan oleh ibu jari dan
dua atau tiga anak jari lainnya dalam satu tangan. Tekanan pegas muncul saat jari-jari tersebut
saling menekan ke arah yang berlawanan dan menghasilkan kemampuan menggenggam. Alat ini
dapat menggenggam objek atau jaringan kecil dengan cepat dan mudah, serta memindahkan dan
mengeluarkan jaringan dengan tekanan yang beragam. Pinset Anatomi ini juga digunakan saat
jahitan dilakukan, berupa eksplorasi jaringan dan membentuk pola jahitan tanpa melibatkan jari.
2.    Pinset Chirurgis
Pinset Chirurgis biasanya memiliki susunan gigi 1x2 (dua gigi pada satu bidang). Pinset bergigi
ini digunakan pada jaringan; harus dengan perhitungan tepat, oleh karena dapat merusak jaringan
jika dibandingkan dengan pinset anatomi (dapat digunakan dengan genggaman halus). Alat ini
memiliki fungsi yang sama dengan pinset anatomi yakni untuk membentuk pola jahitan,
meremove jahitan, dan fungsi-fungsi lainnya.
 3.    Klem Jaringan
Klem jaringan berbentuk seperti penjepit dengan dua pegas yang saling berhubungan pada ujung
kakinya. Ukuran dan bentuk alat ini bervariasi, ada yang panjang dan adapula yang pendek serta
ada yang bergigi dan ada yang tidak. Alat ini bermanfaat untuk memegang jaringan dengan tepat.
Biasanya dipegang oleh tangan dominan, sedangkan tangan yang lain melakukan pemotongan,
atau menjahit. Cara pemegangannya: klem dipegang dalam keadaan relaks seperti memegang
pulpen dengan posisi di tengah tangan. Banyak orang yang memegang klem ini dengan salah,
yang memaksa lengan dalam posisi pronasi penuh dan menyebabkan tangan menjadi tegang.
Dalam penggunaannya, hati-hati merusak jaringan. Pegang klem selembut mungkin, usahakan
genggam jaringan sedalam batas yang seharusnya. Klem jaringan bergigi memiliki gigi kecil
pada ujungnya yang digunakan untuk memegang jaringan dengan kuat dan dengan pengontrolan
yang akurat. Hati-hati, kekikukan pada saat menggunakan alat ini dapat merusak jaringan.
Kemudian, klem tidak bergigi juga memiliki resiko merusak jaringan jika jepitan dibiarkan
terlalu lama, karena klem ini memiliki tekanan yang kuat dalam menggenggam jaringan. 
 
4.2.3.  Instrumen Dengan Fungsi Menghentikan Perdarahan
Klem Arteri
Pada prinsipnya, klem arteri bermanfaat untuk menghentikan perdarahan pembuluh darah kecil
dan menggenggam jaringan lainnya dengan tepat tanpa menimbulkan kerusakan yang tidak
dibutuhkan. Secara umum, klem arteri dan needle-holder memiliki bentuk yang sama.
Perbedaannya pada struktur jepitan (gambar 2), dimana klem arteri, struktur jepitannya berupa
galur paralel pada permukaannya dan ukuran panjang pola jepitannya sampai handle agak lebih
panjang dibanding needle-holder. Alat ini juga tersedia dalam dua bentuk yakni bentuk lurus dan
bengkok (mosquito). Namun, bentuk bengkok (mosquito) lebih cocok digunakan pada bedah
minor.

Cara penggunaan: klem arteri memiliki ratchet pada handlenya. Ratchet inilah yang
menyebabkan posisi klem arteri dalam keadaan terututup (terkunci). Ratchet umumnya memiliki
tiga derajat, dimana pada saat penutupan jangan langsung menggunakan derajat akhir karena
akan mengikat secara otomatis dan sulit untuk dilepaskan. Pelepasan klem dilakukan dengan
cara pertama harus ditekan ke dalam handlenya, kemudian dipisahkan handlenya sambil
membuka keduanya. Sebaiknya gunakan ibu jari dan jari manis karena hal ini akan menyebabkan
jari telunjuk mendukung instrumen bekerja sehingga dapat memposisikan jepitan dengan tepat.

Jepitan klem arteri berbentuk halus dengan galur lintang paralel yang membentuk chanel
lingkaran saat instrumen ditutup. Jepitan ini berukuran relatif panjang terhadap handled yang
memungkinkan genggaman jaringan lebih halus tanpa pengrusakan. Jepitan dengan ujung
bengkok (mosquito) berfungsi untuk membantu pengikatan pembuluh darah. Jangan
menggunakan klem ini untuk menjahit, oleh karena struktur jepitannya tidak mendukung dalam
memegang needle.
 
4.2.4.  Instrumen Dengan Fungsi Menjahit
1.    Needle Holder
Needle holder bermanfaat untuk memegang needle saat insersi jahitan dilakukan. Secara
keseluruhan antara needle holder dan klem arteri berbentuk sama. Handled dan ujung jepitannya
bisa berbentuk lurus ataupun bengkok. Namun, yang paling penting adalah perbedaan pada
struktur jepitannya (gambar 2). Struktur jepitan needle holder berbentuk criss-cross di
permukaannya dan memiliki ukuran handled yang lebih panjang dari jepitannya, untuk tahanan
yang kuat dalam menggenggam needle. Oleh karena itu, jangan menggenggam jaringan dengan
needle holder karena akan menyebabkan kerusakan jaringan
secara serius.
Cara penggunaan: cara menutup dan melepas sama dengan metode ratchet yang telah dipaparkan
pada penggunaan klem arteri di atas. Needle digenggam pada jarak 2/3 dari ujung berlubang
needle, dan berada pada ujung jepitan needle-holder. Hal ini akan memudahkan tusukan jaringan
pada saat jahitan dilakukan. Selain itu, pemegangan needle pada area dekat dengan engsel needle
holder akan menyebabkan needle menekuk. Kemudian, belokkan needle sedikit ke arah depan
pada jepitan instrumen karena akan disesuaikan dengan arah alami tangan ketika insersi
dilakukan dan tangan akan terasa lebih nyaman. Kegagalan dalam membelokkan needle ini juga
akan menyebabkan needle menekuk.
Tehnik menjahit: jaga jari manis dan ibu jari menetap pada lubang handle saat menjahit
dilakukan yang membatasi pergerakan tangan dan lengan. Pegang needle holder dengan telapak
tangan akan memberikan pengontrolan yang baik. Secara konstan, jangan mengeluarkan jari dari
lubang handled karena dapat merusak ritme menjahit. Pertimbangkan pergunakan ibu jari pada
lubang handled yang menetap, namun manipulasi lubang lainnya dengan jari manis dan
kelingking.
 

Gambar 2. Perbedaan Struktur Jepitan Antara Klem Jaringan, Klem arteri dan Needle Holder
Sumber : On Minor Surgery written by Robert Kneebon dan Julia Schofield
 
2.    Benang Bedah
Benang bedah dapat bersifat absorbable dan non-absorbable. Benang yang absorbable biasanya
digunakan untuk jaringan lapisan dalam, mengikat pembuluh darah dan kadang digunakan pada
bedah minor. Benang non-absorbable biasanya digunakan untuk jaringan tertentu dan harus
diremove. Selain itu, benang bedah ada juga yang bersifat alami dan sintetis. Benang tersebut
dapat berupa monofilamen (Ethilon atau prolene) atau jalinan (black silk). Umumnya luka pada
bedah minor ditutup dengan menggunakan benang non-absorbable. Namun, jahitan subkutikuler
harus menggunakan jenis benang yang absorbable.
Black silk adalah benang jalinan non-absorbable alami yang paling banyak digunakan. Meskipun
demikian, benang ini dapat menimbulkan reaksi jaringan, dan menghasilkan luka yang agak
besar. Jenis benang ini harus dihindari, karena saat ini telah banyak benang sintetis alternatif
yang memberikan hasil yang lebih baik. Luka pada kulit kepala yang berbatas merupakan
pengecualian, oleh karena penggunaan jenis benang ini lebih memuaskan.
Benang non-abosrbable sintetis terdiri atas prolene dan ethilon (nama dagang). Benang ini
berbentuk monofilamen yang merupakan benang terbaik. Jenis benang ini cukup halus dan luwes
dan menghasilkan sedikit reaksi jaringan. Namun, jenis benang ini lebih sulit diikat dari silk
sehingga sering menyebabkan jahitan terbuka. Masalah ini dapat diselesaikan dengan
menggunakan tehnik khusus seperti menggulung benang saat jahitan dilakukan atau mengikat
benang dengan menambah lilitan. Prolene (monofilamen polypropylene) dapat meningkatkan
keamanan jahitan dan lebih mudah diremove dibandingkan dengan Ethilon (monofilamen
polyamide).
Catgut merupakan contoh terbaik dalam kelompok benang absorbable alami. Jenis benang ini
merupakan monofilamen biologi yang dibuat dari usus domba dan sapi. Terdapat dua macam
catgut, plain catgut dan chromic catgut. Plain catgut memiliki kekuatan selama 7-10 hari.
Sedangkan chromic catgut memiliki kekuatan selama 28 hari. Namun, kedua jenis benang ini
dapat menghasilkan reaksi jaringan.
Benang absorbable sintetis terdiri atas vicryl (polygactin) dan Dexon (polyclycalic acid) yang
merupakan benang multifilamen. Benang ini berukuran lebih panjang dari catgut dan memiliki
sedikit reaksi jaringan. Penggunaan utamanya adalah untuk jahitan subkutikuler yang tidak perlu
diremove. Selain itu, juga dapat digunakan untuk jahitan dalam pada penutupan luka dan
mengikat pembuluh darah (hemostasis).
Terdapat dua sistem dalam mengatur penebalan benang, yakni dengan sistem metrik dan sistem
tradisional. Penomoran sistem metrik sesuai dengan diameter benang dalam per-sepuluh
milimeter. Misalnya, benang dengan ukuran 2 berarti memiliki diameter 0.2 mm. Sistem
tradisional kurang rasional namun banyak yang menggunakannya. Ketebalan benang disebutkan
menggunakan nilai nol misalnya 3/0, 4/0, 6/0 dan seterusnya. Paling besar nilainya, ketebalannya
semakin kecil. 6/0 merupakan nomor dengan diameter paling halus yang tebalnya seperti rambut,
digunakan pada wajah dan anak-anak. 3/0 adalah ukuran yang paling tebal yang biasa digunakan
pada sebagian besar bedah minor. Khususnya untuk kulit yang keras (kulit bahu). 4/0 merupakan
nilai pertengahan yang juga sering digunakan.
Dalam suatu paket jahitan, terdapat semua informasi mengenai benang dan needlenya secara
lengkap di cover paketnya. Setiap paket jahitan memiliki dua bagian luar, pertama yang terbuat
dari kertas kuat yang mengikat pada cover transaparan. Paket jahitan ini dijamin dalam keadaan
steril sampai covernya terbuka. Oleh karena itu, saat membuka paket, simpan ke dalam wadah
steril. Bagian kedua yakni amplop yang terbuat dari kertas perak yang dibasahi pada satu sisinya.
Basahan ini memudahkan paket jahitan dipisahkan dari kertas tersebut. Kemudian dengan
menggunakan needle-holder, angkat needle tersebut dari lilitannya dan luruskan secara hati-hati.
Kemudian, gunakan untuk tindakan penjahitan.
Rekomendasi bahan jahitan yang dapat digunakan adalah monofilamen prolene atau Ethilon 1,5
metrik (4/0) untuk jahitan interuptus pada semua bagian. Monofilamen prolene atau ethilon 2
metrik (3/0) untuk jahitan subkutikuler non-absorbable. Juga dapat digunakan untuk jahitan
interuptus pada kulit yang keras misalnya pada bahu. Vicryl 2 metrik (3/0) digunakan pada
jahitan subkutikuler yang absorbable dan jahitan dalam hemostasis. Vicryl 1,5 metrik
(4/0) digunakan untuk jahitan subkutikuler jaringan halus atau jahitan dalam. Prolene atau
Ethilon 0,7 (6/0) untuk jahitan halus pada muka dan pada anak-anak.

Lokasi penjahitan Jenis benang Ukuran


Fasia Semua 2.0-1
Otot Semua 3.0-0
Kulit Tak terserap 2.0-6.0
Lemak Terserap 2.0-3.0
Hepar Kromik catgut 2.0-0
Ginjal Semua catgut 4.0
Pankreas Sutera, kapas 3.0
Usus halus Catgut, sutera, 2.0-3-0
Usus besar kapas 4.0-0
Tendo Kromik catgut 5.0-3.0
Kapsul sendi Tak terserap 3.0-2.0
Peritoneum Tak terserap 3.0-2.0
Bedah mikro Kromik catgut, Tak terserap 7.0-11.0
Sumber : Buku Ajar Bedah, Wim De Jong
 
3.    Needle bedah
Saat ini bentuk needle bedah yang digunakan oleh sebagian besar orang adalah jenis atraumatik
yang terdiri atas sebuah lubang pada ujungnya yang merupakan tempat insersi benang. Benang
akan mengikuti jalur needle tanpa menimbulkan kerusakan jaringan (trauma). Pada needle model
lama memiliki mata dan loop pada benangnya sehingga dapat menimbulkan trauma. Needle
memiliki bagian dasar yang sama, meskipun bentuknya beragam. Setiap bagian memiliki ujung,
yakni bagian body dan bagian lubang tempat insersi benang. Sebagian besar needle berbentuk
kurva dengan ukuran ¼, 5/8, ½ dan 3/8 lingkaran. Hal ini menyebabkan needle memiliki range
untuk bertemu dengan jahitan lainnya yang dibutuhkan. Ada juga bentuk needle yang lurus
namun jarang digunakan pada bedah minor. Needle yang berbentuk setengah lingkaran datar
digunakan untuk memudahkan penggunaannya dengan needle holder.

4.3. Jenis – jenis jahitan (suture)


Jenis jahitan yang umum dipakai adalah:
o Jahitan tunggal/ terputus/ interuptus
o Jahitan jelujur/ kontinyu
o Jahitan jelujur/ kontinyu terkunci
o Jahitan matras vertikal
o Jahitan matras horisontal.
Keterangan gambar. A. Jahitan simpul tunggal, B, Matras vertikal, C. Matras horizontal, D.
Subkutikuler kontinyu, E. Matras horizontal half burried, F. Continous over and over

Sumber : Buku Ajar Bedah, Wim De Jong

Angkat Jahitan
Adalah proses pengambilan benang pada luka. Berdasarkan lokasi dan hari tindakan:

a. Muka atau leher hari ke 5


b. Perut hari ke7-10
c. Telapak tangan 10
d. Jari tangan hari ke 10
e. Tungkai atas hari ke 10
f. Tungkai bawah 10-14
g. Dada hari ke 7
h. Punggung hari ke 10-14

4.4. Anestesi lokal


1. Anestesia infiltrasi
Anestesia infiltrasi dilakukan dengan menyuntikkan anestetik lokal langsung ke jaringan tanpa
mempertimbangkan persarafannya. Anestetik berdifusi dan khasiatnya dicapai melalui
penghambatan ujung saraf perasa di jaringan subkutan. Jika penyuntikan anestetik menimbulkan
nyeri, berarti tehnik penyuntikan tidak memenuhi syarat. Infiltrasi dimulai dengan penyuntikan
kecil intrakutan yang memang menimbulkan sedikit nyeri. Tempat penyuntikan intrakutan
digunakan sebagai pintu masuk selanjutnya untuk anestetik. Penyuntikannya harus dilakukan
secara teliti, sedikit demi sedikit supaya tidak menyebabkan nyeri.

2. Anestesi lapangan
Merupakan penyuntikan anestetik subkutan sedemikian rupa sehingga terjadi anestesia di distal
penyuntikan.

4.5. Dekontaminasi Instrument Bedah


Suatu proses untuk menghilangkan/memusnakan mikroorganisme dan kotoran yang melekat
pada peralatan medis/objek, sehingga aman untuk penanganan selanjutnya. Merupakan langkah
pertama dalam menangani barang yang telah digunakan
Klasifikasi alat-alat medis menurut Dr.Earl Spaulding:
 Peralatan Kritis
Peralatan medis yang masuk kedalam jaringan tubuh steril atau sistem pembuluh darah.
Pengelolaan peralatan dengan cara sterilisasi
Contoh: instrumen bedah, kateter intravena, kateter jantung dll
 Peralatan semi kritis
Peralatan yang masuk/kontak dengan membran mukosa tubuh. Pengelolaan peralatan medis
dengan disinfeksi tingkat tinggi.
Contoh: endotracheal tube, endoscopi, nasogastric tube
 Peralatan non kritis
Peralatan medis yang kontak dengan permukaan kulit yang utuh. Pengelolaan peralatan medis
dengan cara disinfeksi tingkat intermediate/tingkat rendah
Contoh: Tensimete, stetoscope, bedpan, urinal, linen

Indikasi:
 Alat medis habis pakai,
 Permukaan meja/ permukaan lain yang tercemar/tumpahan darah atau cairan tubuh pasien
 Linen bekas pakai yang tercemar darah/atau cairan tubuh pasien

1. Proses dekontaminasi alat medis habis pakai:


 Cuci tangan
 Pakai sarung tangan dan alat pelindung diri (apron, masker,kaca mata) kalau perlu
 Segera rendam peralatan medis setelah dipakai dalam larutan klorin 0.5 % selama 10-15
menit (desinfektan). Seluruh alat medis harus terendam dalam larutan klorin.
 Lanjutkan dengan pembersihan
 Buka sarung tangan
 Cuci tangan

2. Prosedur dekontaminasi permukaan meja/permukaan lain yang tercemar/tumpahan darah


atau cairan tubuh pasien
 Cuci tangan
 Pakai sarung tangan dan alat pelindung diri (apron, masker,kaca mata) kalau perlu
 Serap darah/cairan tubuh sebanyak-banyaknya dengan kertas/koran bekas/tissue
 Buang kertas/tissue penyerap kedalam kantong sampah medis
 Bersihkan daerah bekas tumpahan dengan larutan klorin 0.5 % ( disinfektan)
 Buka sarung tangan
 Cuci tangan

3. Prosedur dekontaminasi linen bekas pakai yang tercemar darah/atau cairan tubuh pasien
 Cuci tangan
 Pakai sarung tangan dan alat pelindung diri (apron, masker,kaca mata) kalau perlu
 Segera rendam alat tenun yang terkontaminasi setelah dipakai dalam larutan klorin 0.5 %
selama 10-15 menit ( desinfektan). Alat tenun yang terkontaminasi harus terendam semua
 Peras alat tenun dan masukkan dalam kantong alat tenun kotor
 Buka sarung tangan
 Cuci tangan

4.6 Tindakan Penjahitan Luka( Hecting)


4.6.1. Alat, bahan dan perlengkapan
Alat yang dibutuhkan adalah “Minor set” yang isinya:
1. Wadah dari besi/stanless
2. Needle holder/ pemegang jarum
3. Jarum dengan ujung segi tiga
4. Jarum dengan ujung bulat
5. Pinset anatomi
6. Pinset chirrurgis
7. Gunting Benang
8. Gunting jaringan
9. Klem arteria berujung lurus/ bengkok
10. Kain/doek steril
11. Comb steril

Untuk tindakan penjahitan luka alat yang dibutuhkan hanya needle holder satu buah , jarum jahit
berujung bulat tiga buah, pinset anatomi/bedah satu buah, comb steril dua buah, gunting benang
dan doek steril satu buah.

Bahan yang dibutuhkan :


1. Handscoon steril no. 7
2. NaCl fisiologis
3. Povidon Iodine 10%
4. Alkohol 70 %
5. Perhidrol 3% / H2O2 3%
6. Lidocain 2%
7. Klorin 0,5%
8. Kasa steril
9. Plester
10. Spuit 3cc
11. Benang side/silk no 3.0
12. Benang catgut no. 3.0

4.6.2. Prosedur kerja:

1. Mengidentifikasi jenis luka (luka robek/skin loss)


- Menilai bentuk luka : teratur/tidak
- Menilai tepi luka : teratur/tidak
- Menilai luas luka : panjang dan lebar dalam cm
- Menilai kedalaman luka : dalam cm
2. Memberikan penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan dan meminta persetujuan
tindakan medik kepada pasien.
a. menjelaskan kondisi luka
b. menjelaskan prosedure tindakan
c. menjelaskan tujuan tindakan,keuntungan dan kerugian
d. meminta persetujuan tindakan
3. Menyiapkan instrument yang diperlukan dalam keadaan steril dan memilih instrument
yang tepat untuk tindakan jahit luka
4. Melakukan cuci tangan secara 7 langkah dan memakai sarung tangan steril
5. Melakukan tindakan aseptik anti septik secara sirkuler dari dalam ke luar menggunakan
kasa yang telah dicelupkan povidon iodine dan alkohol
6. Melakukan anestesi lokal dengan lidokain (secara infiltrasi atau lapangan)
Cara: menusukkan jarum sub kutan menyusuri tepi luka sampai seluruh luka teranestesi dengan
baik. Lakukan aspirasi untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak masuk pembuluh darah
(terlihat cairan darah dalam spuit). infiltrasikan lidokain bersamaan waktu menarik mundur
jarum 2-4 cc (tergantung luas luka)
7. Melakukan debridemen luka dan eksisi tepi luka bila luka kotor dengan pinggir tidak
teratur
Cara : Setelah luka teranestesi dengan baik, desinfeksi luka menggunakan perhidrol/hidrogen
peroksida 3%, agar kotoran yang menempel terangkat. Untuk mengangkat tanah/ pasir yang
melekat dapat menggunakan kasa atau sikat halus. Lanjutkan dengan irigasi menggunakan NaCl
fisiologis sampai semua kotoran terangkat.
8. Memasang doek steril
9. Menjahit luka dengan teknik simpul tunggal
- Gunakan needle holder untuk memegang jarum. Jepit jarum pada ujung pemegang jarum
pada pertengahan atau sepertiga ekor jarum. Jika penjepitan kurang dari setengah jarum, akan
sulit dalam menjahit. Pegang needle holder dengan jari-jari sedemikian sehingga pergelangan
tangan dapat melakukan gerakan rotasi dengan bebas.
- Masukkan ujung jarum pada kulit dengan jarak dari tepi luka sekitar 1cm, membentuk
sudut 90˚ lalu dorong jarum mengikuti kelengkungan jarum.
- Jahit luka lapis-demi lapis dari yang terdalam(bila terjadi robekan pada otot, lemak
subkutan, kulit ) dengan teknik jahitan simpul tunggal. Aproksimasi tepi luka harus baik.
- Penjahitan luka bagian dalam menggunakan benang yang dapat di serap atau
monofilament.
- Jarak tiap jahitan sekitar 1cm. Jahitan yang terlalu jarang luka kurang menutup dengan
baik. Bila terlalu rapat meningkatkan trauma jaringan dan reaksi inflamasi.
- Simpul di letakkan ditepi luka pada salah satu tempat tusukan
- Benang dipotong kurang lebih 1 cm diatas simpul.
10. Melakukan dressing : Setelah penjahitan selesai, lakukan eksplorasi bila terdapat jahitan yang
terlalu ketat/ kendor. Lalu desinfeksi luka dengan povidone iodine dan tutup dengan kasa steril
dan diplester
11. Melakukan dekontaminasi: Untuk menghindari penularan penyakit yang menular lewat
serum/ cairan tubuh. Alat-alat direndam dalam larutan klorin 0,5% selama 10- 15 menit, dan
bersihkan meja/tempat bekas tumpahan darah dengan klorin 0,5%
12.Memberikan edukasi perawatan luka ; cara merawat luka, mengganti kasa dan waktu kontrol.
Serta memberi penjelasan mengenai lama penyembuhan, waktu pengangkatan jahitan, hasil
jahitan, penyulit-penyulit yang mempengaruhi penyembuhan luka.

5. SKENARIO KLINIS

Afika umur 7 tahun dibawa orang tuanya ke poli bedah RS Randen Mattaher Jambi
setelah terjatuh dari pohon. Terdapat memar dan luka lecet di lengan kanan dan luka
robek di punggung kaki kanan afika. Pemeriksaan tanda vital pasien alert, kompos mentis
kooperatif serta airway, breathing dan circulation clear. TD : 120/80, nadi 120 x/menit,
nafas 22 x/menit, suhu : 37,3 C. Pada pemeriksaan ekstremitas terdapat memar dan luka
lecet di regio cubiti dextra ukuran 5 x 5 cm dan terdapat luka robek di pedis dorsum
dextra ukuran 7 x 5 cm. Anda sebagai dokter umum di poli Bedah.
Instruksi untuk mahasiswa :
Lakukan tindakan penjahitan luka secara lege artis pada pasien ini

6. REFERENSI

1. Ahmadsyah Ibrahim. Ed: Luka, dalam: Syamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004: 66-88
2. Wijdjoseno-Gardjito. Ed: Anestesia, dalam: Syamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004: 239-264
3. Wijdjoseno-Gardjito. Ed: Pembedahan, dalam: Syamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004: 265-288
4. Karnadihardja Warko. Ed: Penyulit pascabedah, dalam: Syamsuhidajat R, Wim de Jong,
ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004: 293-303

7. CHECK LIST PENILAIAN

NO. Tindakan yang dilakukan 1 2 3


1. Dokter memperkenalkan diri, menjelaskan keadaan yang
dialami pasien
- Jenis luka
- Tindakan yang diperlukan.
2. Menjelaskan prosedur tindakan dan meminta inform consent
kepada pasien
3. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan steril dengan
benar
4. Mempersiapkan peralatan minor set steril dan menyebutkan
perlengkapan minor set serta fungsinya
5. Melakukan asepsis dan antisepsis daerah luka dengan 2
cairan dari dalam ke luar
7. Melakukan anestesi lokal infiltrasi dengan lidokain secara
subcutan dan lakukan test nyeri sebelum tindakan
8. Melakukan debridement dan eksisi tepi luka (bila luka tepi
ireguler dan kotor)
9. Memasang doek steril
10. Melakukan penjahitan sederhana dengan teknik simpul
tunggal (minimal 3 jahitan) dengan menggunakan alat dan
cara memegang alat yang benar
11. Menutup luka yang dijahit dengan verband/kasa dan fiksasi
dengan plester
12. Segera rendam peralatan medis setelah dipakai dalam
larutan klorin 0.5 % selama 10-15 menit (desinfektan).
Seluruh alat medis harus terendam dalam larutan klorin
13. Bersihkan daerah bekas tumpahan cairan tubuh seperti darah
dengan larutan klorin 0.5 % ( disinfektan)
14. Buka sarung tangan dan mencuci tangan
JUMLAH
C. KETERAMPILAN KLINIS PEMASANGAN SPLINTING (BIDAI)

TUJUAN INSTRUKSI UMUM


1. Mahasiswa mampu mengidentifikasi fraktur dan melakukan immobilisasi fraktur dengan
bidai/splinting
TUJUAN INSTRUKSI KHUSUS
1. Mahasiswa mampu melakukan mengidentifikasi fraktur
2. Mahasiswa mampu melakukan pemasangan bidai/splinting
- Persiapkan alat
- Melakukan pemasangan bidai/splinting sesuai lokasi fraktur secara lege artis
- Menilai neurovaskular distal dari fraktur

RENCANA PEMBELAJARAN
Keterampilan pemasangan splinting akan dilaksanakan selama satu sesi terbimbing diruang skills
lab, yang dilaksanakan 150 menit (3 x 50 menit) dengan jumlah mahasiswa 10 orang
perkelompok.
Sesi pertama :
Pada sesi pertama akan dilakulan penjelasan oleh instruktur, diskusi dan latihan mandiri dengan
bimbingan instruktur

Sesi Kegiatan pembelajaran Alokasi waktu


Sesi pertama Penjelasan dan demonstrasi oleh instruktur 30 menit
Diskusi 15 menit
Latihan mandiri di bimbing oleh instruktur 90 menit

TINJAUAN TEORI

Fraktur
Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang yang menimbulkan gerakan yang
abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Fraktur terbagi atas 2 bentuk fraktur terbuka dan fraktur
tertutup yang keduanya biasanya disertai berbagai bentuk kerusakan jaringan lunak.

Immobilisasi Fraktur
Tujuan immobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstremitas yang cedera dalam posisi se-
anatomis mungkin.dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. Hal ini dapat
dilakukan pemasangan traksi untuk meluruskan ekstremitas dan dipertahankan dengan alat
immobilisasi. Pemakain bidai secara benar akan membantu menghentikan pendarahan,
mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Jika terdapat fraktur
tulang terbuka tidak perlu dikawatirkan kemungkinan mengenai tulang yang keluar masuk
kedalam luka karena semua fragment tulang akan didebridement di kamar operasi.

Tujuan pembidaian:

1. mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri;

2. mencegah gerakan patah tulang yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak
sekitarnya seperti: pembuluh darah, otot, saraf dan lainnya.

Prinsip Pembidaian :

1. Lakukan pembidaian pada bagian badan yang mengalamai cedera;

2. Lakukan juga pembidaian pada kecurigaan patah tulang, jadi tidak perlu harus dipastikan
dulu ada atau tidaknya patah tulang;

3. Melewati minimal 2 sendi yang berbatasan.

Hal-hal yang harus diperhatikan saat Pembidaian:

1. Bebaskan area pembidaian dari benda-benda (baju, cincin, jam, gelang dll)
2. Periksalah denyut nadi distal dan fungsi saraf sebelum dan sesudah pembidaian dan
perhatikan warna kulit ditalnya.

3. Pembidaian minimal meliputi 2 sendi (proksimal dan distal daerah fraktur). Sendi yang
masuk dalam pembidaian adalah sendi di bawah dan di atas patah tulang. Sebagai contoh,
jika tungkai bawah mengalami fraktur, maka bidai harus bisa mengimobilisasi pergelangan
kaki maupun lutut.

4. Luruskan posisi korban dan posisi anggota gerak yang mengalami fraktur maupun dislokasi
secara perlahan dan berhati-hati dan jangan sampai memaksakan gerakan. Jika terjadi
kesulitan dalam meluruskan, maka pembidaian dilakukan apa adanya. Pada trauma sekitar
sendi, pembidaian harus mencakup tulang di bagian proksimal dan distal.

5. Fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan, dapat terbantu dengan traksi atau
tarikan ringan ketika pembidaian. Jika saat dilakukan tarikan terdapat tahanan yang kuat,
krepitasi, atau pasien merasakan peningkatan rasa nyeri, jangan mencoba untuk melakukan
traksi. Jika anda telah berhasil melakukan traksi, jangan melepaskan tarikan sebelum
ekstremitas yang mengalami fraktur telah terfiksasi dengan baik, karena kedua ujung tulang
yang terpisah dapat menyebabkan tambahan kerusakan jaringan dan beresiko untuk
mencederai saraf atau pembuluh darah.

6. Beri bantalan empuk dan penopang pada anggota gerak yang dibidai terutama pada daerah
tubuh yang keras/peka(lutut,siku,ketiak,dll), yang sekaligus untuk mengisi sela antara
ekstremitas dengan bidai.

7. Ikatlah bidai di atas dan bawah luka/fraktur. Jangan mengikat tepat di bagian yang
luka/fraktur. Sebaiknya dilakukan sebanyak 4 ikatan pada bidai, yakni pada beberapa titik
yang berada pada posisi :

1. superior dari sendi proximal dari lokasi fraktur,

2. diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan pertama,

3. inferior dari sendi distal dari lokasi fraktur ,


4. diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan ketiga (point c)

8. Pastikan bahwa bidai telah rapat, namun jangan terlalu ketat sehingga mengganggu sirkulasi
pada ekstremitas yang dibidai. Pastikan bahwa pemasangan bidai telah mampu mencegah
pergerakan atau peregangan pada bagian yang cedera.

9. Pastikan bahwa ujung bidai tidak menekan ketiak atau pantat.

10. Jika mungkin naikkan anggota gerak tersebut setelah dibidai;

11. Harus selalu diingat bahwa improvisasi seringkali diperlukan dalam tindakan pembidaian.
Sebagai contoh, jika tidak ditemukan bahan yang sesuai untuk membidai, cedera pada
tungkai bawah seringkali dapat dilindungi dengan merekatkan tungkai yang cedera pada
tungkai yang tidak terluka. Demikian pula bisa diterapkan pada fraktur jari, dengan
merekatkan pada jari disebelahnya sebagai perlindungan sementara.

Kontra Indikasi Pembidaian

Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran napas, pernapasan dan sirkulasi
penderita sudah distabilisasi. Jika terdapat gangguan sirkulasi dan atau gangguan persyarafan
yang berat pada distal daerah fraktur, jika ada resiko memperlambat sampainya penderita ke
rumah sakit, sebaiknya pembidaian tidak perlu dilakukan.

Komplikasi Pembidaian

Jika dilakukan tidak sesuai dengan standar tindakan, beberapa hal berikut bisa ditimbulkan oleh
tindakan pembidaian :

1. Cedera pembuluh darah, saraf atau jaringan lain di sekitar fraktur oleh ujung fragmen
fraktur, jika dilakukan upaya meluruskan atau manipulasi lainnya pada bagian tubuh yang
mengalami fraktur saat memasang bidai.

2. Gangguan sirkulasi atau saraf akibat pembidaian yang terlalu ketat


3. Keterlambatan transport penderita ke rumah sakit, jika penderita menunggu terlalu lama
selama proses pembidaian.

Alat dan bahan :

1. Bidai dengan berbagai ukuran sesuai ekstremitas yang cedera

2. Elastic perban no. 4 dan no.7

3. Kasaa gulung

4. Kapas

5. Plester

Prosedur

1. Lakukan primary survey ABCD dan tangani keadaan yang mengancam terlebih dahulu bila
tidak ada lanjut secondary survey yaitu identifikasi adanya fraktur

2. Menjelaskan secara singkat dan jelaskan kepada penderita tentang prosedur tindakan yang
akan dilakukan dan meminta informed consent

3. Buka seluruh pakaian termasuk ekstremitas yang cedera. Lepaskan jam, cincin, dan semua
yang dapat menjepit dan cegah hipotermi. Bebaskan daerah fraktur dengan merobek/
menggunting bagian pakaian di sekitar area fraktur. Jika diperlukan, kainnya dapat dimanfaatkan
untuk proses pembidaian.

4. Identifikasi adanya fraktur (look, feel, move)

5. Periksa neurovaskular distal daerah farktur. Apakah denyut nadi lemah/kuat, apakah
pengisian kapiler cepat/lambat, apakah ada gangguan sensari raba.

6. Jika luka terbuka maka tangani dulu luka dan perdarahannya lalu tutup luka dengan balutan
steril. Bersihkan luka dengan cairan antiseptik dan tekan perdarahan dengan kasa steril (Pressure
bandage). Lalu balut dengan dengan kasaa steril. Bila terdapat fragmen tulang yang keluar dari
luka maka cukup balut dengan bahan yang steril.
7. Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
a. Persiapkan Bidai berbagai ukuran sesuai dengan ekstremitas yang cedera. Gunakan alat
bidai standar, namun bidai juga bisa dibuat dari bahan sederhana, misalnya ranting pohon, papan
kayu, pelepah pohon pisang

- Panjang bidai harus melebihi panjang tulang dan sendi yang akan dibidai. Ukur pada
bagian tubuh yang sehat.

- Jika menggunakan bidai yang terbuat dari benda keras (kayu,dll) sebaiknya dibalut
terlebih dahulu dengan bahan yang lebih lembut (kain, kassa, dll).

- Lapisi bidai yang telah dibalut dengan kapas sebagai padding/bantalan khusunya untuk
tulang yang menonjol

b. Elastic perban ukuran no. 4 atau no.7

c. Kassa gulung

d. kasaa steril

e. Kapas dan plester

8. Lakukan pemasangan bidai


a. Bila terdapat gangguan dari neurovaskuler distal dari fraktur, ekstremitas yang cedera
dapat diluruskan secara hati-hati
b. Letakkan bidai pada daerah luar dan dalam ekstremitas yang cedera meliputi 2 buah sendi
dari lokasi fraktur

c. Balut bidai secara roll on menggunakan elastic perban/ kasa gulung dan fiksasi bagian
ujungnya
9. Cek neurovaskular distal dari daerah yang cedera meliputi pulsasi, sensasi raba, dan
refilling kapiler

SKENARIO KLINIS
Budi 35 tahun diantar ke UGD oleh keluarga setelah kecelakaan lalu lintas 30 menit lalu.
Gaston mengeluh tungkai kirinya nyeri hebat dan sulit digerakkan. Dari penilaian awal
ABCD clear. Pada pemeriksaan cruris sinistrasi terdapat deformitas dan bengkak. Tidak
terdapat luka terbuka.
Lakukan pemeriksaan fisik dan pemasangan bidai pada pasien ini

REFERENSI
ATLS for Doctors
Buku Ajar Bedah Wim De Jong
CHECKLIST PENILAIAN

No. Aspek yang dinilai Skor

0 1 2 3

1. Pemeriksa menjalin sambung rasa dengan memberi


salam, memperkenalkan diri,
2. menerangkan secara singkat pemeriksaan yang
akan dilakukan serta tujuan dilakukannya tindakan
dan meminta infomed consent.
3. Membebaskan daerah fraktur

4. Melakukan pemeriksaan fisik regional pada daerah


yang cedera (fraktur)
a. Inspeksi( look) :
-Deformitas
- Memar/bengkak
- Luka terbuka/pendarahan aktif
b. Palpasi (feel) :
- Nyeri tekan
- Nyeri sumbu
- Krepitasi
c. Move :
Meminta pasien menggerakkan ektremitas yang
cedera

5 Periksa neurovaskular distal daerah fraktur


- Nadi kuat / lemah
- Pengisian kapiler cepat/lambat
- Sensasi raba
6 Melaporkan hasil dan menyimpulkan keadaan
pasien berdasarkan hasil pemeriksaan kepada
instruktur
7 Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan serta
tujuan dilakukannya tindakan dan meminta
infomed consent.
8. Mepersiapkan alat dan bahan :
(Bidai, kassa gulung, elastik perban no. 4 dan no.7,
kapas dan plester)
- Bidai dengan berbagai ukuran(sesuai dengan
ektremitas yang cedera) yang panjangnya meliputi 2
sendi dan ukur bidai pada daerah yang tidak sakit
- Balut bidai dengan kassa gulung
- Letakkan kapas pada pada bidai sebagai
padding khususnya untuk darah yang menonjol

9. Lakukan pemasangan bidai


- Bila terdapat gangguan dari neurovaskuler
distal dari fraktur, ekstremitas yang cedera dapat
diluruskan secara hati-hati
- Letakkan bidai pada daerah luar dan dalam
ekstremitas yang cedera meliputi 2 buah sendi dari
lokasi fraktur
- Balut bidai secara roll on menggunakan elastic
perban/ kasa gulung dan fiksasi bagian ujungnya
10. Periksa neurovaskular distal dari daerah fraktur
TOTAL SKOR 24
D. TRANSFER PASIEN

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemindahan penderita


 Nilai kesulitan yang mungkin terjadi pada saat pemindahan.
 Rencanakan gerakan sebelum mengangkat dan memindahkan penderita.
 Jangan memindahkan dan mengangkat penderita jika tidak mampu.
 Gunakan otot tungkai, panggul serta otot perut.
 Hindari mengangkat dengan otot punggung dan membungkuk.
 Jaga keseimbangan.
 Rapatkan tubuh penderita dengan tubuh penolong saat memindahkan dan mengangkat
korban.
 Perbaiki posisi dan angkatlah secara bertahap.
Prinsip dasar pemindahan penderita
 Jangan dilakukan jika tidak perlu.
 Melakukan sesuai dengan cara yang benar.
 Kondisi fisik Penolong harus baik dan terlatih.
Tidak ada definisi yang pasti kapan seorang penderita harus dipindahkan. Sebagai pedoman
dapat dikatakan bahwa bila tidak ada bahaya berikan pertolongan dulu baru pindahkan penderita.
Bila situasi dan kondisi dilapangan relative tidak aman mungkin harus dilakukan pemindahan
korban terlebih dahulu.
Evakuasi :
Darurat :
1. Lingkungan berbahaya (misal kebakaran).
2. Ancaman jiwa (misal perlu tempat rata dan keras untuk RJP).
3. Prioritas bagi pasien ancaman jiwa
Segera :
1. Ancaman jiwa, perlu penanganan segera.
2. Pertolongan hanya bisa di RS (misal pernafasan tidak adekuat, syok).
3. Lingkungan memperburuk kondisi pasien (hujan, dingin dll).
Biasa :
Tanpa ancaman jiwa, namun tetap memerlukan RS
Pemindahan darurat dilakukan bila ada bahaya yang mengancam bagi penderita dan penolong.
Contoh:
o Ancaman kebakaran.
o Ancaman ledakan.
o Ancaman bangunan runtuh.
o Ancaman mobil terguling bensin tumpah.
o Adanya bahan-bahan berbahaya.
o Orang sekitar yang berprilaku aneh.
o Kondisi cuaca yang buruk.
A. Pemindahan Darurat

Contoh Cara pemindahan Darurat:


o Tarikan lengan.
o Tarikan bahu.
o Tarikan baju.
o Tarikan selimut.

B. Pemindahan Biasa
Pemindahan biasa dilakukan jika keadaan tidak membahayakan penderita maupun penolong.
Teknik angkat langsung dengan tiga penolong:
1. ketiga penolong berlutut pada salah satu sisi penderita, jika memungkinkan
beradalah pada sisi yang paling sedikit cedera.
2. penolong pertama menyisipkan satu lengan dibawah leher dan bahu, lengan yang
satu disisipkan dibawah punggung penderita.
3. penolong kedua menyisipkan tangan dibawah punggung dan bokong penderita.
4. penolong ketiga menyisipkan lengan dibawah bokong dan dibawah lutut
penderita.
5. penderita siap diangkat dengan satu perintah.
6. angkat penderita keatas lutut ketiga penolong secara bersamaan.
7. sisipkan tandu yang akan digunakan dan atur letaknya oleh penolong yang lain.
8. letakkan kembali penderta diatas tandu dengan satu perintah yang tepat.
9. jika akan berjalan tanpa memakai tandu, dari langkah no. 6 teruskan dengan
memiringkan penderita ke dada penolong.
10. penolong berdiri secara bersamaan dengan satu perintah.
11. berjalanlah kearah yang dikehendaki dengan langkah bertahap.

Anda mungkin juga menyukai