Sistem Neuropsikiatri
Pemeriksaan Derajat Kesadaran .......................................................................................... 1
Pemeriksaan Fungsi Saraf Kranial Bagian I ...................................................................... 16
Pemeriksaan Fungsi Saraf Kranial Bagian II ..................................................................... 44
Pemeriksaan Sistem Motorik dan Refleks Fisiologis, Patologis, dan Primitif .................. 64
Pemeriksaan Sistem Sensorik dan Sistem Koordinasi ....................................................... 89
Pemeriksaan Neurologik Lainnya .................................................................................... 101
Menyusun Diagnosis Kerja dan Rencana Terapi ............................................................. 129
Foto X’Ray Skull dan Lumbosacral ................................................................................ 137
Teknik Keterampilan Wawancara.................................................................................... 143
Keterampilan Pemeriksaan Status Mental ....................................................................... 157
Sistem Indera
Keterampilan Klinik Mata ............................................................................................... 169
Indera Khusus - Kulit ....................................................................................................... 187
Keterampilan Anamnesis Kelainan Kulit ........................................................................ 191
Keterampilan Pemeriksaan Fisis Kulit............................................................................. 196
Pemeriksaan Fisis Telinga Hidung dan Tenggorok ......................................................... 207
Pemeriksaan Palpasi Kelenjar Limfa Leher ..................................................................... 227
MANUAL 1
CLINICAL SKILL LAB IV
PENYUSUN:
Dr. dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
1
PENDAHULUAN
2
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 80 % maka tidak dapat
mengikuti OSCE pada akhir semester.
1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <80% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian OSCE.
3
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN FISIK KETERAMPILAN
I. PEMERIKSAAN KESADARAN DAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR
PEMERIKSAAN 1. Penilaian tingkat 4A
KESADARAN kesadaran dengan skala
koma Glasgow (GCS)
PEMERIKSAAN 2 Melakukan Mini Mental 4A
FUNGSI KORTIKAL State Examination
LUHUR (MMSE)
Penilaian orientasi 4A
Penilaian kemampuan 4A
berbicara dan
berbahasa, termasuk
penilaian afasia
Penilaian apraksia 2
Penilaian agnosia 2
Penilaian kemampuan 2
belajar baru
Penilaian daya 4A
ingat/memori
Penilaian konsentrasi 4A
4
DESKRIPSI KEGIATAN
5
PEMERIKSAAN DERAJAT KESADARAN
PENGANTAR
Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Kesadaran
dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian
impuls eferen dan aferen. Semua impuls aferen disebut input dan semua impuls
eferen dapat disebut output susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi
kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara
hemisfer serebri dan formasio retikularis di batang otak yang intak.
Gangguan pada hemisfer serebri atau formasio retikularis dapat
menimbulkan gangguan kesadaran. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal
dengan istilah compos mentis, di mana aksi dan reaksi terhadap apa yang dilihat,
didengar, dihidu, dikecap, dialami, serta perasaan keseimbangan, nyeri, suhu,
raba, gerak, getar, tekan, dan sifat, bersifat adekuat (tepat dan sesuai). Pada
kondisi penyakit neurologis maupun non neurologis, dapat terjadi gangguan
kesadaran.
Penilaian derajat kesadaran dapat dinilai secara kualitatif maupun secara
kuantitatif. Penilaiangangguan kesadaran secarakualitatifantara lain mulai dari
apati, somnolen, delirium, bahkan koma. Pada manual ini akan diajarkan
penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif, yaitu dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian derajat kesadaran ini sangat penting
dikuasai karena mempunyai harga praktis, yaituuntuk dapat memberikan
penanganan, menentukan perbaikan, kemunduran, dan prognosis.
DASAR TEORI
Kesadaran mengacu pada kesadaran subjektif mengenai dunia luar dan diri,
termasuk kesadaran mengenai dunia pikiran sendiri; yaitu kesadaran mengenai
pikiran, persepsi, mimpi, dan sebagainya.
Neuron-neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls
aferen non-spesifik dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, oleh karena
tergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif, derajat kesadaran bisa
tinggi atau rendah. Aktivitas neuron-neuron tersebut digalakkan oleh neuron-
neuron yang menyusun inti talamik yang dinamakan nuclei intralaminares. Oleh
karenaitu, neuron-neuron tersebut dapat dinamakan neuron penggalak
kewaspadaan.
Derajat kesadaran ditentukan oleh banyaknya neuron penggalak atau
neuron pengemban kewaspadaan yang aktif dan didukung oleh proses biokimia
untuk menjaga kelangsungan kehidupan neuron tersebut. Apabila terjadi
gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang terendah, maka koma
yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab neuron pengemban kewaspadaan sama
sekali tidak berfungsi (disebut koma bihemisferik) atau oleh sebab neuron
6
penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban
kewaspadaan (koma diensefalik). Koma bihemisferik antara lain dapat
disebabkan oleh hipoglikemia, hiperglikemia, uremia, koma hepatikum,
hiponatremia, dan sebagainya. Koma diensefalik antara lain dapat disebabkan
oleh: strok, trauma kapitis, tumor intracranial, meningitis, dan sebagainya.
Penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif yang sampai saat ini masih
digunakan adalah Glasgow Coma Scale (GCS). GCS adalah suatu skala neurologik
yang dipakai untuk menilai secara obyektif derajat kesadaran seseorang. GCS
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Graham Teasdale dan Bryan J.
Jennett, professor bedah saraf pada Institute of Neurological
Sciences,Universitas Glasgow. GCS kini sangat luas digunakanoleh dokter umum
maupun para medis karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan sistematis.
GCS terdiri dari 3 pemeriksaan, yaitu penilaian: respons membuka mata
(eye opening), respons motorik terbaik(best motor response), dan respons verbal
terbaik(best verbal response).
Masing-masing komponen GCS serta penjumlahan skor GCS sangatlah
penting, oleh karena itu, skor GCS harus dituliskan dengan tepat, sebagai
contoh: GCS 10, tidak mempunyai makna apa-apa, sehingga harus dituliskan
seperti: GCS 10 (E2M4V3). Skor tertinggi menunjukkan pasien sadar (compos
mentis), yakni GCS 15 (E4M6V5), dan skor terendah menunjukkan koma (GCS 3 =
E1M1V1).
7
Tabel 1. Glasgow Coma Scale
SASARAN BELAJAR:
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui
dasar-dasar patomekanisme kesadaran menurun dan cara pemeriksaan pasien
kesadaran menurun serta penilaian derajat kesadaran berdasarkan skala koma
Glasgow/Glasgow Coma Scale.
SASARAN PEMBELAJARAN:
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai fungsi kesadaran.
2. Melakukan pemeriksaan fungsi kesadaran untuk menilai derajat kesadaran
dengan menggunakan skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale = GCS)
dan mengetahui letak lesi pada susunan saraf pusat serta membantu
menetukan prognosis klien.
3. Membantu klien untuk memberikan penanganan awal serta persiapan
rujukan.
8
MEDIA DAN ALAT BANTU
Penuntun Belajar.
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
9
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN KESADARAN BERDASARKAN
GLASGOW COMA SCALE (GCS)
NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
1 2 3
Klien diminta berbaring, kemudian pemeriksa
melakukan evaluasi dengan menilai
SCORE
A. EYE RESPONSE
1 Spontan 4
2 Terhadap suara 3
Meminta klien membuka mata.
3 Terhadap rangsang nyeri 2
Tekan pada saraf supraorbital atau kuku jari.
4 Tidak ada reaksi 1
dengan rangsang nyeri klien tidak membuka mata
B. VERBAL RESPONSE 1 2 3
1 Berorientasi baik 5
Menanyakan dimana ia berada, tahu waktu, hari,
bulan
2 Bingung (confused) 4
Menanyakan dimana ia berada, kapan opname di
Rumah sakit (dapat mengucapkan kalimat,
namun ada disorientasi waktu dan tempat)
3 Tidak tepat 3
Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak
berupa kalimat dan tidak tepat
4 Mengerang 2
Mengeluarkan suara yang tidak punya arti, tidak
mengucapkan kata, hanya suara mengerang
5 Tidak ada jawaban (suara tidak ada) 1
C. MOTORIK RESPONSE 1 2 3
1 Menurut perintah 6
Misalnya menyuruh klien mengangkat tangan.
2 Mengetahui lokasi nyeri 5
Berikan rangsang nyeri dengan menekan jari
pada supra orbita. Bila klien mengangkat tangan
sampai melewati dagu untuk menepis rangsang
nyeri tersebut berarti dapat mengetahui lokasi
nyeri
10
3 Reaksi menghindar 4
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak.
4 Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Berikan rangsang nyeri misal menekan dengan
objek seperti ballpoint pada jari kuku. Bila
terdapat reaksi fleksi berarti ingin menjauhi
rangsang nyeri.
5 Extensi spontan (decerebrasi) 2
Memberikan rangsang nyeri yang cukup adekuat
Terjadi ekstensi pada siku.
6 Tidak ada gerakan/reaksi 1
Rangsang yang diberikan harus cukup adekuat
11
FUNGSI KORTIKAL LUHUR
PENGERTIAN
Pemeriksaan status mental merupakan evaluasi fungsi kognitif dan emosi
yang harus dilakukan secara runtut dan sitematis. Mulai dengan fungsi dasar
tingkat kesadaran, kemudian fungsi kognitif dasar seperti berbahasa dan
pemeriksaan yang lebih kompleks seperti berhitung, pertimbangan dan
sebagainya.
PENDAHULUAN
Fungsi kortikal luhur (FKL) atau fungsi luhur merupakan sifat khas
manusia, yang merupakan suatu kesatuan fungsi otak tingkat tinggi yang
membedakan manusia dengan hewan. FKL mencakup fungsi-fungsi memori,
orientasi, konsentrasi, bahasa, kemampuan melaksanakan perintah (praxis), dan
kemampuan rekognisi stimulus (gnosia). Salah satu instrumen untuk menilai fungsi
kortikal luhur adalah dengan perangkat Mini Mental State Examination (MMSE).
DASAR TEORI
Pemeriksaan FKL harus dilakukan secara runtut dan sitematis. Mulai
dengan fungsi dasar tingkat kesadaran, kemudian fungsi kognitif dasar seperti
berbahasa dan pemeriksaan yang lebih kompleks seperti berhitung,
pertimbangan dsb. Berbagai lesi serebral dapat menyebabkan terganggunya FKL,
misalnya tumor otak, strok, trauma kapitis, dan sebagainya. Salah satu contoh
gangguan FKL adalah afasia motorik, yakni di mana pasien kehilangan
kemampuan untuk berbicara (berbahasa), akan tetapi dapat memahami apa
yang diperintahkan (fungsi komprehensif baik).
Perangkat terstandarisasi, sederhana dan praktis untuk menilai ada
tidaknya gangguan FKL dan kognitif adalah Mini Mental State Examination
(MMSE). Komponen yang dapat dinilai melalui MMSE antara lain: orientasi,
registrasi, atensi dan kalkulasi, memory recall, dan fungsi bahasa. MMSE
merupakan perangkat yang praktis dan efektif yang digunakan sebagai skrining
untuk mengetahui adanya gangguan kognitif, baik di masyarakat, komunitas usia
lanjut, pasien rumah sakit, maupun institusi lainnya. Namun demikian, MMSE tidak
dapat digunakan untuk menggantikan perangkat penilaian status mental dan
kognitif secara lengkap.
MMSE diperkenalkan oleh Folstein dkk sejak tahun 1975, telah divalidasi,
dan secara luas digunakan untuk skrining fungsi kognitif. MMSE terdiri dari 11
pertanyaan yang dapat diselesaikan dalam waktu 5 – 10 menit, sehingga praktis
digunakan secara rutin.
12
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui
dasar-dasar kelainan fungsi kortikal luhur dan dapat melakukan pemeriksaan
fungsi kortikal luhur dengan menggunakan Mini Mental State Examination
(MMSE)
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menekankan pentingnya pemeriksaan fungsi kortikal luhur dilakukan
terutama karena dapat mempertajam pendeteksian kelainan di otak,
terutama fungsi kognitif.
2. Mampu menerapkan pemeriksaan MMSE dalam praktek klinis untuk
mengevaluasi status mental dan kognitif pasien dan merujuk bila diperlukan
penanganan lanjut.
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan PenuntunBelajar.
13
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR
DENGAN MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)
14
VI. KONSTRUKSI
11 Klien diminta meniru gambar ini 1
JUMLAH TOTAL
15
MANUAL 2
CLINICAL SKILL LAB IV
PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
Dr. dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
16
PENDAHULUAN
17
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 80 % maka tidak dapat
mengikuti OSCE pada akhir semester.
1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <80% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian OSCE.
18
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN FISIK KETERAMPILAN
II. PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIAL BAGIAN I
1 Pemeriksaan indra 4A
penciuman
2 Inspeksi lebar celah 4A
palpebra
3 Inspeksi pupil (ukuran dan 4A
bentuk)
4 Reaksi pupil terhadap 4A
cahaya
5 Reaksi pupil terhadap 4A
obyek dekat
6 Penilaian gerakan bola 4A
mata
7 Penilaian diplopia 4A
8 Penilaian nistagmus 4A
9 Refleks kornea 4A
10 Pemeriksaan funduskopi 4A
19
DESKRIPSI KEGIATAN
20
NERVI KRANIALIS
PENGERTIAN
Nervus Kranialis (saraf kranialis / Nervi Craniales) adalah saraf-saraf yang
keluar langsung dari otak dan batang otak. Pada manusia, terdapat 12 pasang
Nervus Kranialis, yaitu:
DASAR TEORI
Sensory,
No. Name motor, or Origin/Target Function
both
I Olfactory Purely sensory Telencephalon Transmits the sense of smell from
the nasal cavity.[13] Located in the
olfactory foramina in the
cribriform plate of the ethmoid
bone.
II Optic Sensory Retinal ganglion Transmits visual signals from the
[14]
cells retina of the eye to the brain.
Located in the optic canal.
21
III Oculomotor Mainly motor Anterior aspect of Innervates the levator palpebrae
Midbrain superioris, superior rectus,
medial rectus, inferior rectus, and
inferior oblique, which
collectively perform most eye
movements. Also innervates the
sphincter pupillae and the
muscles of the ciliary body.
Located in the superior orbital
fissure.
IV Trochlear motor Dorsal aspect of Innervates the superior oblique
Midbrain muscle, which depresses, rotates
laterally, and intorts the eyeball.
Located in the superior orbital
fissure.
V Trigeminal Both sensory Pons Receives sensation from the face
and motor and innervates the muscles of
mastication. Located in the;
superior orbital fissure
(ophthalmic nerve - V1), foramen
rotundum (maxillary nerve -
V2),foramen ovale (mandibular
nerve - V3).
VI Abducens Mainly motor Nuclei lying under
Innervates the lateral rectus,
the floor of the
which abducts the eye. Located in
fourth ventricle
the superior orbital fissure.
Pons
VII Facial Both sensory Pons Provides motor innervation to
and motor (cerebellopontine the muscles of facial expression,
angle) above olive posterior belly of the digastric
muscle, stylohyoid muscle, and
stapedius muscle. Also receives
the special sense of taste from
the anterior 2/3 of the tongue
and provides
secretomotorinnervation to the
salivary glands (except parotid)
and the lacrimal gland. Located in
and runs through the internal
acoustic canal to the facial canal
and exits at the stylomastoid
foramen.
VIII Vestibulococ Mostly Lateral to CN VII Mediates sensation of sound,
hlear (also sensory (cerebellopontine rotation, and gravity (essential
auditory,aco angle) for balance and movement).
ustic, or More specifically, the vestibular
auditory- branch carries impulses for
vestibular) equilibrium and the cochlear
branch carries impulses for
hearing. Located in the internal
acoustic canal.
IX Glossophary Both sensory Medulla Receives taste from the posterior
22
ngeal and motor 1/3 of the tongue, provides
secretomotor innervation to the
parotid gland, and provides
motor innervation to the
stylopharyngeus. Some sensation
is also relayed to the brain from
the palatine tonsils. Located in
the jugular foramen. This nerve is
involved together with the vagus
nerve in the gag reflex.
X Vagus Both sensory Posterolateral Supplies
and motor sulcus of Medulla branchiomotorinnervation to
most laryngeal and pharyngeal
muscles (except the
stylopharyngeus, which is
innervated by the
glossopharyngeal). Also provides
parasympathetic fibers to nearly
all thoracic and abdominal
viscera down to the splenic
flexure. Receives the special
sense of taste from the epiglottis.
A major function: controls
muscles for voice and resonance
and the soft palate. Symptoms of
damage:dysphagia (swallowing
problems), velopharyngeal
insufficiency. Located in the
jugular foramen. This nerve is
involved (together with nerve IX)
in the pharyngeal reflex or gag
reflex.
XI Accessory Mainly motor Cranial and Spinal Controls the sternocleidomastoid
Roots and trapezius muscles, and
overlaps with functions of the
vagus nerve (CN X). Symptoms of
damage: inability to shrug, weak
head movement. Located in the
jugular foramen.
23
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu
mengidentifikasi gangguan saraf kranialis, melakukan pemeriksaan dan
memberikan interpretasi terhadap hasil pemeriksaan.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiwa memiliki keterampilan mengenai cara pemeriksaaan saraf
kranialis (Nervi Craniales).
2. Dapat mengindentifikasi adanya gangguan saraf kranialis dan menentukan
lokasi kelainan (diagnosis topis), dan melakukan penanganan ataupun
merujuk ke Spesialis bila diperlukan.
24
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIALIS
NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. PEMERIKSAAN INDRA PENCIUMAN 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS I: NERVUS OLFAKTORIUS)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
Syarat Pemeriksaan : Tidak ada penyakit intranasal :
Meminta penderita duduk atau berbaring, sambil
menutup matanya.
2 Menaruh salah satu bahan/zat di depan salah satu
lubang hidung klien sementara lubang hidung yang lain
ditutup.
Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat yang
dikenal sehari-hari, misalnya kopi, teh, tembakau,
jeruk.
3 Meminta klien mencium bahan/zat yang dikenalnya:
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
25
Gambar 2. Teknik pemeriksaan
INTERPRETASI:
Normosmia: kemampuan menghidu normal, tidak
terganggu.
Hiposmia: kemampuan menghidu menurun, berkurang.
Hiperosmia: meningkatnya kemampuan menghidu,
dapat dijumpai pada penderita hiperemesis gravidarum
atau pada migren.
Parosmia: tidak dapat mengenali bau-bauan, salah
hidu.
Kakosmia: persepsi adanya bau busuk, padahal tidak
ada.
Halusinasi penciuman: biasanya berbentuk bau yang
tidak sedap, dapat dijumpai pada serangan epilepsi
yang berasal dari girus unsinat pada lobus temporal,
dan sering disertai gerak mengecap-ngecap (epilepsi
jenis parsial kompleks).
26
tidak dapat dibuka.
Hal ini disebabkan oleh kelumpuhan m. Levator
palpebrae.
Kelumpuhan m. Levator palpebra yang total mudah
diketahui, karena kelopak mata sama sekali tidak dapat
diangkat, mata tertutup.
Pada kelumpuhan ringan pemeriksa dapat
membandingkan celah mata; pada sisi yang lumpuh
celah mata lebih kecil dan kadang-kadang kita lihat dahi
dikerutkan (m. Frontalis) untuk mengkompensasi
menurunnya kelopak mata.
4 Pemeriksa juga dapat menilai kekuatan m.levator
palpebrae dengan meminta klien menutup mata,
kemudian disuruh untuk membukanya.
Waktu klien membuka mata, pemeriksa menahan
gerakan ini dengan jalan memegang (menekan enteng)
pada kelopak mata.
Dengan demikian dapat dinilai kekuatan mengangkat
kelopak mata (m. Levator palpebrae).
Pada pemeriksaan ini, untuk meniadakan tenaga
kompensasi dari m. Frontalis perlu diberi tekanan pada
alis mata dengan tangan satu lagi.
5 INTERPRETASI:
Ptosis dapat dikumpai pada miastenia gravis atau pada
sindrom Horner.
III. INSPEKSI PUPIL (UKURAN DAN BENTUK) 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III: NERVUS OKULOMOTORIS)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Perhatikan besarnya pupil pada mata kiri dan kanan,
apakah sama (isokor), atau tidak sama (anisokor).
3 Perhatikan bentuk pupil, apakah bundar dan rata
tepinya (normal) atau tidak.
4 INTERPRETASI:
Otot polos yang mengecilkan pupil (pupilokostriktor)
disarafi oleh serabut parasimpatis dari nervus III,
sedangkan otot yang melebarkan pupil (pupilodilator)
disarafi oleh serabut simpatis (torakolumbal)
Bila pupil mengecil disebut miosis.
Bila membesar (melebar) disebut midriasis.
Miosis dapat dijumpai pada waktu tidur, pada tingkat
tertentu dari koma, pada iritasi nervus III dan pada
kelumpuhan saraf simpatis (sindrom Horner).
Midriasis dapat dijumpai pada kelumpuhan nervus III,
27
misalnya oleh desakan tumor atau hematom dan pada
fraktur dasar tulang tengkorak.
Obat-obatan seperti homatropin (yang diteteskan ke
mata) dan ekstrak beladona dapat menyebabkan
midriasis.
Besarnya pupil dipengaruhi oleh banyak faktor,
terutama intensitas cahaya. Di dalam gelap pupil lebih
lebar dibanding dalam keadaan terang-benderang.
Bila pada trauma kapitis didiapatkan midriasis pada
satu mata (jadi ada anisokori) dan hemiparesis pada sisi
kontralateral, maka kemungkinan perdarahan epidural.
IV. REAKSI PUPIL TERHADAP CAHAYA
(NERVUS KRANIALIS II DAN III)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien disuruh untuk melihat jauh (menfiksasi pada
benda yang jauh letaknya.
3 Selanjutnya pemeriksa memberi cahaya senter dan
dilihat apakah ada reaksi pupil.
4 INTERPRETASI:
Pada keadaan normal pupil mengecil, disebut refleks
cahaya langsung positif.
5 Selanjutnya pemeriksa memperhatikan pula pupil mata
yang satu lagi. Apakah pupilnya ikut mengecil oleh
penyinaran mata lainnya (kontralateral).
6 INTERPRETASI:
Jika pupilnya ikut mengecil berarti reaksi cahaya tidak
langsung positif.
CONTOH ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
A B
Refleks Cahaya Pupil
A. Pada lesi N. II kanan, refleks cahaya pupil
langsung pada mata kanan negatif, dan tidak
langsung pada mata kiri negatif.
B. Bila mata yang normal (kiri) disinar, refleks pupil
langsung positif, dan refleks cahaya tak
langsung di kanan positif.
28
INTERPRETASI:
Bila visus mata 0 (buta), maka refleks cahaya pada mata
tersebut negatif. Bila mata lainnya baik, maka
penyinaran mata yang baik akan menyebabkan
mengecilnya pupil pada mata yang buta tersebut
(reaksi cahaya tak langsun positif).
Jadi bila reaksi cahaya langsung negatif, sedangkan
reaksi cahaya tak langsung positif, maka kerusakannya
pada nervus II. Sebaliknya pada kelumpuhan nervus III,
reaksi cahaya langsung dan tidak langsung ialah negatif
INTERPRETASI:
Pada lesi N. III, didapatkan refleks pupil negatif. Refleks
cahaya langsung pada mata kanan negatif (A). Demikian
juga refleks tidak langsung (B).
REAKSI PUPIL PADA LESI N. II KANAN
29
REAKSI PUPIL PADA LESI N. III KANAN
CATATAN :
Selama pemeriksaan ini harus dicegah agar klien tidak
memfiksasi matanya pada lampu senter, sebab dengan
demikian akan ada pula refleks akomodasi yang juga
menyebabkan mengecilnya pupil. Oleh karena itu klien
harus selalu melihat jauh selama pemeriksaan.
V. REAKSI PUPIL TERHADAP BENDA DEKAT 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien disuruh untuk melihat jauh.
3 Kemudian disuruh untuk melihat dekat misalnya jari
kita (benda) yang ditempatkan dekat matanya
4 INTERPRETASI
Refleks akomodasi dianggap positif bila terlihat pupil
mengecil.
Pada kelumpuhan nervus III refleks ini negatif.
VI. PENILAIAN GERAKAN BOLA MATA 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III, IV DAN VI)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
30
2 Klien diminta untuk tidur terlentang.
3 Pemeriksa menempatkan pena atau jari-jari pada
posisi vertikal sejauh 50 cm dari mata penderita dalam
arah penglihatan sentral.
4 Tangan yang lain memegang kelopak mata atau dagu
klien untuk fiksasi kepala.
5 Pemeriksa menggerakkan pena secara perlahan ke arah
lateral, medial, atas, bawah, dan ke arah yang miring
yaitu atas-lateral, bawah-medial, atas-medial dan
bawah-lateral.
6 Perhatikan apakah mata klien dapat mengikuti gerakan
itu dan tanyakan apakah klien melihat ganda (diplopia).
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
INTERPRETASI:
Bila klien tidak dapat menggerakkan mata ke arah
lateral, parese m rectus lateralis yang dipersarafi N
cranialis VI. Bila klien tidak dapat menggerakkan mata
ke arah medial bawah, parese m obliqus superior yang
dipersarafi N cranialis IV. Bila klien tidak dapat
menggerakkan mata ke arah selain lateral dan medial-
bawah, parese N cranialis III.
31
VII. PENILAIAN DIPLOPIA 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III, IV DAN VI)
CATATAN : METODE PEMERIKSAAN = PERGERAKAN BOLA
MATA
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta untuk tidur terlentang.
3 Pemeriksa menempatkan pena atau jari-jari pada
posisi vertikal sejauh 50 cm dari mata penderita dalam
arah penglihatan sentral.
4 Tangan yang lain memegang kelopak mata atau dagu
klien untuk fiksasi kepala.
5 Pemeriksa menggerakkan pena secara perlahan ke arah
lateral, medial, atas, bawah, dan ke arah yang miring
yaitu atas-lateral, bawah-medial, atas-medial dan
bawah-lateral.
6 Perhatikan apakah mata klien dapat mengikuti gerakan
itu dan tanyakan apakah klien melihat ganda (diplopia).
CATATAN:
Diplopia (melihat kembar) dijumpai pada kelumpuhan
otot penggerak bola mata. Tentukan pada posisi mana
(dari mata) timbul diplopia. Bila satu mata ditutup,
bayangan mana yang hilang. Minta klien menunjukkan
posisi dari bayangan. Arah posisi bayangan yang salah
mennjukkan arah gerakan otot yang lumpuh; jarak
bayangan menjadi bertambah besar.
CATATAN:
Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksa
gerakan bola mata. Waktu memeriksa gerak bola mata,
harus diperhatikan apakah ada nistagmus. Nistagmus
ialah gerakan bolak-balik bola mata yang involunter
dan ritmik.
1 Pada saat melakukan pemeriksaan gerakan bola mata,
klien diminta melirik terus ke satu arah (misalnya ke
kanan, ke kiri, ke atas dan bawah) selama jangka waktu
5 atau 6 detik.
2 Jika ada nistagmus hal ini akan terlihat dalam jangka
waktu tersebut.
Tetapi mata jangan terlalu jauh dilirikkan, sebab hal
demikian dapat menimnbilkan nistagmus pada orang
yang normal (end position nystagmus, nistagmus posisi
32
ujung).
3 Bila pemeriksa mendapatkan adanya nistagmus, maka
harus diperiksa:
1. Jenis gerakannya
2. Bidang gerakannya
3. Frekuensinya
4. Amplitudonya
5. Arah gerakannya
6. Derajatnya
7. Lamanya
IX. PEMERIKSAAN REFLEKS KORNEA 1 2 3
CATATAN:
Komponen aferen refleks kornea adalah serabut
sensorik nervus trigeminus cabang oftalmik dan
komponen eferennya adalah serabut nervus facialis
yang mensarafi muskulus orbikularis okuli.
Refleks kornea diartikan sebagai refleks yang bangkit
atas perangsangan pada kornea bukan pada
konjungtiva bulbi.
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta untuk melirik ke atas atau ke samping
menjauh dari pemeriksa supaya mata tidak berkedip
pada saat korneanya hendak disentuhkan dengan
kapas.
3 Perhatikan kedua bola mata
4 Kemudian dilakukan penggoresan pada daerah kornea
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
Kornea Konjungtiva
33
INTERPRETASI:
Refleks kornea langsung adalah refleks kornea dimana
perangsangan dan respon yang didapat terjadi pada sisi
yang sama, sedangkan pada refleks kornea konsensual
diperoleh kedipan mata pada kedua sisi atas
perangsangan sesisi.
X. PEMERIKSAAN FUNDUSKOPI
Akan diberikan pengantar khusus
34
PEMERIKSAAN OFTALMOSKOPI/FUNDUSKOPI
PENGERTIAN
DASAR TEORI
35
dari rangkaian pemeriksaan medik yang komprehensif. Dengan prosedur ini
dapat dilihat gejala-gejala yang dapat menunjukkan adanya retina lepas,
glaukoma, tekanan darah tinggi, penyakit diabetes melitus, tumor otak dan
penyakit-penyakit lain.
36
daerah penyempitan atau spasme setempat atau umum, menyebabkan refleks
cahaya menjadi menyempit. Berjalan sesuai dengan waktu, dinding pembuluh
darah menebal dan sklerotik, dan terjadi pelebaran refleks cahaya menjadi lebih
dari separuh diameter kolumma darah. Refleks cahaya berkembang sebagai
gambaran Jingga metalik, yang disebut kawat tembaga. Bila arteri seperti itu
menyilang sebuah vena,akan tampak sepertinya kolumna vena terputus akibat
pelebaran,tetapi dinding dapat terlihat.keadaan ini disebut sebagai takik
arteriovenosa (AV).Ikuti pembuluh darah ke empat arah : superior temporal,
superior nasal, inferior nasal, dan inferior temporal. Ingatkan untuk menggerakkan
kepala dan oftalmoskop sebagai satu kesatuan.
Inspeksi Makula
Jika Oftalmoskop tetap setinggi papil dan digerakkan ke temporal sekitar
2 diameter papil, makula akan terlihat. Makula tampak sebagai daerah avaskular
dengan titik pusat refleksi, yaitu foveo. Jika pemeriksa mengalami kesulitan
dalam melihat makula, pasien dapat diperintahkan untuk melihat langsung
kearah cahaya; sehingga foveo dapat terlihat. Filter bebas–merah juga
membantu untuk mengetahui lokasi makula.
SASARAN BELAJAR
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
oftalmoskopi/funduskopi
37
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan dengan benar.
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa
yang akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukannya, apa
manfaatnya, serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data
klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan funduskopi/optalmoskopi dengan benar dan
tepat.
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
38
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN OPTALMOSKOPI/FUNDUSKOPI
39
makula, dan retina perifer.
14 Pemeriksaan dilakukan pada kedua mata
15 Catatlah hasil yang didapat dalam status penderita
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
40
INTERPRETASI :
Normal
41
42
43
MANUAL 3
CLINICAL SKILL LAB IV
PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
Dr. dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
44
PENDAHULUAN
45
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 80 % maka tidak dapat
mengikuti OSCE pada akhir semester.
1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <80% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian OSCE.
46
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN FISIK KETERAMPILAN
I. PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIAL BAGIAN II
1 Penilaian kesimetrisan 4A
wajah
2 Penilaian kekuatan otot 4A
temporal dan masseter
3 Penilaian sensasi wajah 4A
4 Penilaian pergerakan wajah 4A
5 Penilaian indra pengecapan 4A
6 Penilaian indra 4A
pendengaran (lateralisasi,
konduksi udara dan tulang)
7 Penilaian kemampuan 4A
menelan
8 Inspeksi palatum 4A
9 Pemeriksaan refleks Gag 3
10 Penilaian otot 4A
sternomastoid dan
trapezius
11 Lidah, inspeksi saat istirahat 4A
12 Lidah, inspeksi dan 4A
penilaian sistem mototrik
(misalnya dengan dijulurkan
keluar)
47
DESKRIPSI KEGIATAN
48
NERVI KRANIALIS
PENGERTIAN
Nervus Kranialis (saraf kranialis / Nervi Craniales) adalah saraf-saraf yang
keluar langsung dari otak dan batang otak. Pada manusia, terdapat 12 pasang
Nervus Kranialis, yaitu:
DASAR TEORI
Sensory,
No. Name motor, or Origin/Target Function
both
I Olfactory Purely sensory Telencephalon Transmits the sense of smell from
the nasal cavity.[13] Located in the
olfactory foramina in the
cribriform plate of the ethmoid
bone.
II Optic Sensory Retinal ganglion Transmits visual signals from the
[14]
cells retina of the eye to the brain.
Located in the optic canal.
49
III Oculomotor Mainly motor Anterior aspect of Innervates the levator palpebrae
Midbrain superioris, superior rectus,
medial rectus, inferior rectus, and
inferior oblique, which
collectively perform most eye
movements. Also innervates the
sphincter pupillae and the
muscles of the ciliary body.
Located in the superior orbital
fissure.
IV Trochlear motor Dorsal aspect of Innervates the superior oblique
Midbrain muscle, which depresses, rotates
laterally, and intorts the eyeball.
Located in the superior orbital
fissure.
V Trigeminal Both sensory Pons Receives sensation from the face
and motor and innervates the muscles of
mastication. Located in the;
superior orbital fissure
(ophthalmic nerve - V1), foramen
rotundum (maxillary nerve -
V2),foramen ovale (mandibular
nerve - V3).
VI Abducens Mainly motor Nuclei lying under
Innervates the lateral rectus,
the floor of the
which abducts the eye. Located in
fourth ventricle
the superior orbital fissure.
Pons
VII Facial Both sensory Pons Provides motor innervation to
and motor (cerebellopontine the muscles of facial expression,
angle) above olive posterior belly of the digastric
muscle, stylohyoid muscle, and
stapedius muscle. Also receives
the special sense of taste from
the anterior 2/3 of the tongue
and provides
secretomotorinnervation to the
salivary glands (except parotid)
and the lacrimal gland. Located in
and runs through the internal
acoustic canal to the facial canal
and exits at the stylomastoid
foramen.
VIII Vestibulococ Mostly Lateral to CN VII Mediates sensation of sound,
hlear (also sensory (cerebellopontine rotation, and gravity (essential
auditory,aco angle) for balance and movement).
ustic, or More specifically, the vestibular
auditory- branch carries impulses for
vestibular) equilibrium and the cochlear
branch carries impulses for
hearing. Located in the internal
acoustic canal.
IX Glossophary Both sensory Medulla Receives taste from the posterior
50
ngeal and motor 1/3 of the tongue, provides
secretomotor innervation to the
parotid gland, and provides
motor innervation to the
stylopharyngeus. Some sensation
is also relayed to the brain from
the palatine tonsils. Located in
the jugular foramen. This nerve is
involved together with the vagus
nerve in the gag reflex.
X Vagus Both sensory Posterolateral Supplies
and motor sulcus of Medulla branchiomotorinnervation to
most laryngeal and pharyngeal
muscles (except the
stylopharyngeus, which is
innervated by the
glossopharyngeal). Also provides
parasympathetic fibers to nearly
all thoracic and abdominal
viscera down to the splenic
flexure. Receives the special
sense of taste from the epiglottis.
A major function: controls
muscles for voice and resonance
and the soft palate. Symptoms of
damage:dysphagia (swallowing
problems), velopharyngeal
insufficiency. Located in the
jugular foramen. This nerve is
involved (together with nerve IX)
in the pharyngeal reflex or gag
reflex.
XI Accessory Mainly motor Cranial and Spinal Controls the sternocleidomastoid
Roots and trapezius muscles, and
overlaps with functions of the
vagus nerve (CN X). Symptoms of
damage: inability to shrug, weak
head movement. Located in the
jugular foramen.
51
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu
mengidentifikasi gangguan saraf kranialis, melakukan pemeriksaan dan
memberikan interpretasi terhadap hasil pemeriksaan.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiwa memiliki keterampilan mengenai cara pemeriksaaan saraf
kranialis (Nervi Craniales).
2. Dapat mengindentifikasi adanya gangguan saraf kranialis dan menentukan
lokasi kelainan (diagnosis topis), dan melakukan penanganan ataupun
merujuk ke Spesialis bila diperlukan.
52
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIALIS
NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. PENILAIAN KESIMETRISAN WAJAH 1 2 3
(NERVUS CRANIALIS VII: NERVUS FASIALIS MOTORIK)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Perhatikan muka penderita : simetris atau tidak.
Perhatikan kerutan dahi, pejaman mata, sulcus
nasolabialis, dan sudut mulut.
3 Meminta penderita mengangkat alis dan mengerutkan
dahi. Perhatikan simetris atau tidak. Kerutan dahi
menghilang pada sisi yang lumpuh.
4 Meminta penderita memejamkan mata dan kemudian
pemeriksa mencoba membuka mata penderita. Pada
sisi yang lumpuh, penderita tidak dapat/sulit
memejamkan mata (lagopthalmus) dan lebih mudah
dibuka oleh pemeriksa.
5 Meminta penderita menyeringai atau menunjukkan
gigi, mencucurkan bibir atau bersiul, dan
mengembungkan pipi. Perhatikan sulcus nasolabialis
akan mendatar, sudut mulut menjadi lebih rendah, dan
tidak dapat mengembungkan pipi pada sisi lumpuh.
6 INTERPRETASI:
Bedakan kelumpuhan nervus VII tipe UMN dan tipe
LMN. Tipe UMN, bila kelumpuhan hanya terdapat pada
daerah mulut (m. orbicularis oris). Tipe LMN, bila
kelumpuhan terjadi baik pada daerah mulut maupun
pada mata (m. orbicularis oculi) dan dahi (m. frontalis).
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
53
Gambar Persarafan otot wajah
Paresis otot wajah disebabkan oleh lesi UMN dan LMN
nervus VII
(Arsiran: daerah yang lumpuh)
II. PENILAIAN KEKUATAN OTOT TEMPORAL DAN 1 2 3
MASSETER
(NERVUS KRANIALIS V: NERVUS TRIGEMINUS MOTORIK)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin.
3 Pemeriksa meraba m. masseter dan m. temporalis.
4 Perhatikan besar, tonus, serta kontur (bentuk) otot
tersebut.
5 Kemudian pasien diminta membuka mulut.
6 Perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah.
7 INTERPRETASI:
Bila ada paresis, maka rahang bawah akan berdeviasi ke
arah yang lumpuh.
Kadang-kadang sulit menetukan adanya deviasi.
Maka diperlukan alternatif lain.
1 Digunakan garis antara kedua gigi insisivus (gigi seri)
sebagai patokan.
2 Perhatikan kedudukan gigi insisivus atas dan bawah
waktu mulut tertutup, dan perhatikan kedudukannya
waktu mulut dibuka, apakah ada deviasi.
Hal ini perlu dilakukan bila terdapat pula paresis nervus
VII.
PEMERIKSAAN ALTERNATIF 1:
1 Kekuatan otot saat menutup mulut dapat dinilai
54
dengan jalan menyuruh klien menggigit suatu benda,
misalnya tong spatel.
2 Pemeriksa menilai dengan menarik tong spatel
tersebut.
3 Kemudian klien diminta menggerakkan rahang
bawahnya ke samping (untuk menilai m. pterigoideus
lateralis) kiri dan kanan.
4 INTERPRETASI:
Bila terdapat paresis di sebelah kanan, rahang bawah
tidak dapat digerakkan ke samping kiri.
PEMERIKSAAN ALTERNATIF 2:
1 Klien diminta untuk mempertahankan rahang
bawahnya ke samping
2 Pemeriksa memberi tekanan untuk mengembalikan
rahang-bawah ke posisi tengah.
UNTUK MENENTUKAN ADANYA LESI SUPRANUKLEAR
DIPERIKSA REFLEKS RAHANG (JAW REFLEKS)
1 Pemeriksaan menempatkan satu jari melintang dagu
pasien.
2 Klien diminta membukakan mulutnya sedikit.
3 Pemeriksa mengetok jari tersebut dengan palu refleks.
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
5 INTERPRETASI:
Pada orang normal didapatkan hanya sedikit saja
gerakan, malah kadang-kadang tidak ada.
Bila gerakannya hebat (yaitu kontraksi m. masetter, m.
temporalis, m. pterigoideus medialis yang
menyebabkan mulut menutup) dikatakan refleks
meninggi.
Pada lesi supranuklear refleks ini meninggi.
55
III. PENILAIAN SENSASI WAJAH 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS V: NERVUS TRIGEMINUS SENSORIK)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Sensibilitas yang harus diperiksa ialah sensibilitas kulit
dan mukosa dalam kawasan nervus trigeminus.
3 Modalitas sensorik yang diperiksa meliputi rasa nyeri,
panas, dingin dan raba.
4 Dilakukan perbandingan di antara setiap cabang N. V
yaitu pada cabang oftalmikus, maksillaris dan
mandibula.
Dan membandingkannya dengan cabang N.V
kontralateral.
CATATAN:
Pemeriksaan ini akan lebih jelas pada CSL pemeriksaan
sensorik.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
5 INTERPRETASI:
Hipestesia, parestesia dan anestesia harus diselidiki
batas-batasnya dengan jelas.
Pada adanya neuralgia, klien dapat menyatakan bahwa
sentuhan atau penekanan daerah wajah tertentu dapat
disusul dengan bangkitnya nyeri. Tempat itulah yang
disebut sebagai ’trigger point’.
56
IV. PENILAIAN PERGERAKAN WAJAH
(NERVUS KRANIALIS V dan VII: NERVUS TRIGEMINUS DAN
FASIALIS MOTORIK)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
CATATAN:
Pemeriksaan yang dilakukan pada sesi ini sama pada
saat melakukan pemeriksaan kesimetrisan wajah dan
penilaian kekuatan m. masetter, m. temporalis, m.
pterigoideus.
V. PENILAIAN INDRA PENGECAPAN 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS VII DAN IX: NERVUS FASIALIS
SENSORIK DAN NERVUS GLOSOFARINGEUS SENSORIK)
1 Menjelaskan penderita tentang pemeriksaan fungsi
pengecapan.
2 Pemeriksa menulis rasa larutan yang disediakan.
3 Meminta penderita menjulurkan lidah.
4 Mengeringkan lidah dengan tissue.
5 Meminta penderita tutup mata dan meneteskan
larutan yang telah disediakan.
Laruta yang diberikan yaitu gula, kina, asam sitrat atau
garam.
6 Meminta penderita buka mata, tetap menjulurkan
lidah, dan menunjuk rasa larutan yang telah tertulis di
kertas.
7 INTERPRETASI
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda
timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan.
Kerusakan pada atau di atas nervus petrosus major
dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, dan
lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya
produksi ludah.
CATATAN:
Nervus IX juga mengandung serabut aferen khusus
untuk pengecapan, yaitu pengecapan dari 1/3 bagian
posterior lidah. Pengecapan ini tidak diperiksa rutin,
karena sukar. Tempat pemeriksaan di bagian belakang
lidah. Bila perlu, dapat juga dilakukan dengan
menggunakan arus galvanis lemah (0,2 – 0,4
miliamper). Kita gunakan elektroda dari kawat tembaga
yang ditempatkan sebagai anoda pada lidah posterior.
Pada orang normal akan terasa asam.
57
VI. PENILAIAN INDRA PENDENGARAN 1 2 3
(LATERALISASI,KONDUKSI UDARA DAN TULANG)
(NERVUS KRANIALIS VIII: NERVUS KOKHLEARIS)
CATATAN:
Secara kasar (rutin) ketajaman pendengaran ditentukan
dengan jalan menyuruh klien mendengarkan suara
bisikan pada jarak tertentu dan membandingkannya
dengan orang normal.
Perhatikan pula apa ada perbedaan antara ketajaman
pendengaran telinga kanan dan kiri. Beda ini penting
artinya ditinjau dari sudut patologis.
I. TEST SCHWABACH
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
Pada tes ini pendengaran klien dibandingkan dengan
pendengaran pemeriksa (yang dianggap normal)
2 Klien diminta untuk duduk dengan tenang
3 Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan di
dekat telinga klien.
4 Setelah klien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala
tersebut ditempatkan di dekat telinga pemeriksa.
5 INTERPRETASI:
Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka
dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk
konduksi udara)
6 Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya
ditekankan pada tulang mastoid klien.
7 Setelah klien tidak mendengar lagi, garpu tala tersebut
ditempatkan pada tulang mastoid pemeriksa.
8 INTERPRETASI:
Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka
dikatakan bahwa schwabach (untuk konduksi tulang)
lebih pendek.
II. TES RINNE
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
Pemeriksaan ini bertujuan membandingkan antara
konduksi tulang dengan konduksi udara.
Garpu tala yang diapakai adalah yang berfrekuensi 128,
256 atau 512 Hz.
2 Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan pada
tulang mastoid klien dan diminta untuk mendengarkan
bunyinya.
3 Setelah klien tidak mendengar, gapu tala segera
didekatkan pada telinga.
58
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
59
Cara tes Weber
Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya
pada pertengahan kepala (dahi; verteks)
5 INTERPRETASI:
60
VIII. INSPEKSI PALATUM 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS IX, DAN X)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta membuka mulut.
3 Perhatikan falatum molle dan faring.
4 Bagaimana sikap palatum molle, arkus faring dan uvula
dalam keadaan istirahat.
5 Dan bagaimana pula bila bergerak, misalnya waktu
bernafas atau bersuara (suruh penderita menyebut:
aaaaa)
6 INTERPRETASI:
Bila terdapat paresis otot-otot faring dan falatum
molle, maka palatum molle, uvula, dan arkus faring sisi
yang lumpuh letaknya lebih rendah daripada yang
sehat dan bila bergerak, uvula dan arkus seolah-olah
tertarik ke bagian yang sehat. Bila terdapat parese di
kedua belah pihak, maka tidak didapatkan gerakan dan
posisi uvula dan arkus faring lebih rendah.
IX. PEMERIKSAAN REFLEKS GAG 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS IX, DAN X)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien
2 Klien diminta membuka mulut.
3 Sentuh dinding belakang farings dengan spatel
4 Perhatikan uvula: akan terangkat ketika dilakukan
stimulus
5 Dilakukan stimulus pada kedua sisi dan dibandingkan
keduanya.
6 INTERPRETASI:
Uvula akan bergerak ke salah satu sisi: jika terdapat
kelumpuhan UMN atau LMN pada sisi yang lain.
Uvula tidak bergerak ketika diminta pada klien untuk
menyebut AHH atau GAG: kedua otot palatum paresis.
Uvula bergerak ketika menyebut AHH, tetapi tidak
pada saat menyebut GAG, dengan penurunan senasi
pada farings: kelumpuhan N. IX (jarang)
X. PENILAIAN OTOT STERNOKLEIDOMASTOID DAN 1 2 3
TRAPEZIUS (N. KRANIALIS XI: N. AKSESORIUS)
I. OTOT STERNOKLEIDOMASTOIDEUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien
2 Perhatikan keadaan otot sternokleidomastoideus
dalam keadaan istirahat dan bergerak.
Dalam keadaan istrirahat, pemeriksa dapat melihat
kontur otot ini.
61
Bila terdapat paresis perifer akan dijumpai adanya
atrofi.
Pada lesi nuklear (misalnya pada ALS) bisa didapatkan
adanya fasikulasi (kedutan).
3 Lakukan palpasi dan otot tersebut.
Pada miositis dapat ditemukan adanya nyeri tekan.
4. Nilai kekuatan otot dengan:
1. Klien diminta untuk menggerakkan bagian badan
(persendian) yang digerakkan oleh otot yang ingin
diperiksa, pemeriksa menahan gerakan ini.
2. Gerakkan bagian badan klien dan suruh untuk
menahannya. Dengan demikian dapat diperoleh
kesan mengenai kekuatan otot.
Di klinik biasanya cara (1) yang sering dilakukan.
5 Untuk megukur tenaga otot sternokleidomastoideus
dapat dilakukan dengan:
Meminta klien menoleh misalnya ke kanan, kemudian
pemeriksa menahan dengan tangan yang ditempatkan
pada dagu. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan
otot sternokleidomastoideus kiri.
6 Bandingkan kekuatan otot kiri dengan kanan.
II.OTOT TRAPEZIUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Perhatikan keadaan otot ini dalam keadaan istirahat
dan bergerak. Apakah ada atrofi atau fasikulasi?
Bagaimana kontur otot?
3 Bagaimana posisi bahu, apakah lebih rendah?
Pada kelumpuhan otot trapezius bahu sisi yang sakit
lebih rendah daripada sisi yang sehat.
Skapula juga beranjak ke lateral dan tampak agak
menonjol.
4 Palpasi otot trapezius untuk melihat konsistensinya,
adanya nyeri tekan (miositis) serta adanya hipotoni.
5 Periksa tenaga otot, dengan jalan:
Tempatkan tangan pemeriksa di atas bahu klien.
Kemudian klien diminta mengangkat bahunya, dan
pemeriksa menahan.
Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot tersebut.
6 Tenaga otot yang kiri dan kanan dibandingkan.
7 Nilai kontur otot dan perkembangan otot.
Klien diminta untuk mengeskstensikan kepalanya, dan
gerakan ini ditahan oleh pemeriksa.
Jika terdapat kelemahan otot trapezius satu sisi, kepala
62
tidak dapat ditarik ke sisi tersebut, bahu tidak dapat
diangkat dan lengantidak dapat dielevasi ke atas dari
posisi horizontal.
Pada kelumpuhan kedua otot ini kepala cenderung
jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat
dagunya.
XI. PEMERIKSAAN LIDAH PADA SAAT ISTIRAHAT
XII. PEMERIKSAAN LIDAH PADA SAAT DIJULURKAN
(N. KRANIALIS XII: N. HIPOGLOSSUS)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Klien disuruh membuka mulut dan perhatikan lidah
dalam keadaan istirahat : besar lidah, kesamaan bagian
kiri dan kanan, atrofi, berkerut, dan fasikulasi.
3 Klien disuruh menjulurkan lidah untuk memeriksa
adanya paresis:
1. Perhatikan apakah ada tremor dan fasikulasi.
2. Perhatikan apakah ada deviasi lidah ke satu sisi.
Sebagai patokan dapat dipakai garis diantara kedua
seri (incisivus). Bila ada paresis satu sisi, lidah
berdeviasi ke sisi paresis.
3. Meminta klien menyentuhkan lidah ke pipi kiri dan
kanan. Saat bersamaan, tangan pemeriksa
ditempatkan di pipi sisi luar untuk merasakan
kekuatan sentuhan lidah penderita.
4 Meminta klien mengucapkan huruf R atau kata-kata
yang mengandung huruf R, misalnya ular lari lurus.
Pemeriksaan ini untuk menilai apakah ada disartria
(cadel atau pelo).
63
MANUAL 4
CLINICAL SKILL LAB IV
PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
Dr. dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
64
PENDAHULUAN
65
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 80 % maka tidak dapat
mengikuti OSCE pada akhir semester.
1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <80% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian OSCE.
66
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN FISIK KETERAMPILAN
IV. PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK DAN PEMERIKSAAN REFLEKS
FISIOLOGIS, PATOLOGIS, DAN PRIMITIF
PEMERIKSAAN 1 Inspeksi: postur, habitus, 4A
SISTEM MOTORIK gerakan involunter
2 Penilaian tonus otot 4A
3 Penilaian kekuatan otot 4A
PEMERIKSAAN 1 Refleks tendon (bisep, trisep, 4A
REFLEKS FISIOLOGIS pergelangan, platela,
tumit)
2 Refleks abdominal 4A
PEMERIKSAAN 1 Tanda Hoffmann-Tromner 4A
REFLEKS 2 Respon plantar (termasuk 4A
PATOLOGIS grup Babinski)
PEMERIKSAAN 1 Snout reflex 4A
REFLEKS PRIMITIF 2 Refleks menghisap/rooting 4A
reflex
3 Refleks menggenggam 4A
palmar/grasp reflex
4 Refleks glabella 4A
5 Refleks palmomental 4A
67
DESKRIPSI KEGIATAN
68
PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK
PENGERTIAN
Segala aktifitas susunan saraf pusat yang dilihat, didengar dan direkam
dan yang diperiksa adalah berwujud gerak otot. Otot-otot skeletal dan neuron-
neuron yang menyusun susunan neuromuskular voluntar adalah sistem yang
mengurus dan sekaligus melaksanakan gerakan yang dikendalikan oleh kemauan.
Sebagian besar manifestasi kelainan saraf bermanifestasi dalam gangguan gerak
otot. Manifestasi obyektif inilah yang merupakan bukti nyata adanya suatu
kelainan atau penyakit.
DASAR TEORI
Secara anatomi sistem yang menyusun pergerakan neuromuskular
tersebut terdiri atas unsur saraf yang terdiri dari (1) Neuron tingkat atas atau
‘upper motor neuron (UMN)’ (2) Neuron tingkat bawah atau ‘lower motor
neuron (LMN)’ dan unsur muskul/otot yang merupakan pelaksana corag gerakan
yang terdiri dari (3) Alat penghubung antara saraf dan unsur otot ‘motor end plate’
dan (4) Otot.
Gaya saraf yang disalurkan melalui lintasan-lintasan neuronal adalah
potensial aksi, yang sejak dulu dijuluki impuls dan tidak lain berarti pesan. Dan
impuls yang disampaikan tersebut menghasilkan gerak otot yang kita sebut
impuls motorik. Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik ke LMN
tergolong ke dalam kelompok UMN. Berdasarkan perbedaan anatomik dan
fisiologik, kelompok UMN dibagi ke dalam susunan saraf pyramidal dan susunan
saraf ekstrapyramidal.
Sindrom upper motor neuron dijumpai jika terdapat kerusakan pada sistem
saraf pyramidal dan memiliki gejala berupa lumpuh, hipertoni, hiperrefleks, dan
klonus serta dapat ditemukan adanya refleks patologis. Sementara sindrom lower
motor neuron didapatkan jika terdapat kerusakan pada neuron motorik,
neuraksis neuron motorik (misalnya saraf spinal, pleksus, saraf perifer, myoneural
junction dan otot. Gejalanya berupa lumpuh, atoni, atrofi dan arefleksia.
Kelumpuhan bukanlah merupakan suatu gejala yang harus ada pada tiap
gangguan gerak. Pada gangguan gerak oleh kelainan di sistem ekstrapiramidal
dan serebellar, kita tidak mendapatkan kelumpuhan. Pada gangguan sistem
ekstrapiramidal didapatkan gangguan pada tonus otot, gerakan otot abnormal
yang tidak dapat dikendalikan, gangguan pada kelancaran otot volunteer dan
gangguan gerak otot asosiatif. Gangguan pada serebelum mengakibatkan
gangguan gerak berupa gangguan sikap dan tonus. Selain itu juga terjadi ataksia,
dismetria, dan tremor intensi. Tiga fungsi penting dari serebelum ialah
69
keseimbangan, pengatur tonus otot, dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan
volunteer.
PEMERIKSAAN
Pada tiap bagian badan yang dapat bergerak harus dilakukan : (1) Inspeksi
(2) Palpasi (3) Pemeriksaan gerakan pasif (4) Pemeriksaan gerakan aktif (5)
Koordinasi gerak.
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan cara-cara pemeriksaan, melakukan pemeriksaan klinis motorik
dan mengetahui aplikasi klinis dari hasil pemeriksaan.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan sistem motorik
2. Mampu melakukan pemeriksaan motorik secara sistematik
3. Menentukan letak lesi kelumpuhan otot
70
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN MOTORIK
1 2 3
C. KEKUATAN OTOT
1. Meminta klien berbaring, kemudian pemeriksa berdiri
disamping kanan tempat tidur klien. Suruhlah klien
mengangkat kedua lengan ke atas sampai melewati
kepala. Nilailah kekuatan lengan dengan
membandingkan kiri dan kanan. Kelemahan dapat
dilihat bila lengan yang satu lebih berat atau lebih
lambat bergerak dibandingkan lengan yang lainnya.
71
3 Hal yang sama dilakukan pada kedua tungkai.
4 Interpretasi : Kekuatan otot dinilai dalam derajat :
5 : Kekuatan normal Seluruh gerakan dapat
dilakukan berulang-ulang tanpa terlihat adanya
kelelahan
4 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan dengan
benar dan dapat melawan tahan ringan dan sedang
dari pemeriksa
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat
2 : Di dapatkan gerakan tetapi gerakan ini tidak
mampu melawan gaya berat (gravitasi)
1 : Kontraksi minimal dapat terasa atau teraba pada
otot yang bersangkutan tanpa mengakibatkan
gerakan
72
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
PENGERTIAN
Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Gerakan yang
timbul namanya gerakan reflektorik. Semua gerakan reflektorik merupakan
gerakan yang bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk menjamin ketangkasan
gerakan volunter, maupun untuk membela diri. Bila suatu perangsangan dijawab
dengan bangkitnya suatu gerakan, menandakan bahwa daerah yang dirangsang
dan otot yang bergerak secara reflektorik terdapat suatu hubungan.
DASAR TEORI
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks)
yang terdiri atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistem eferen yang
mengaktifasi organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Bila
lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Selain lengkungan tadi didapatkan
pula hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang tugasnya
memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi
di otak yang tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan
pusat yang lebih tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem
piramidal, hal ini akan mengakibatkan refleks meninggi.
Bila dibandingkan dengan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya, misalnya
pemeriksaan sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang bergantung kepada
kooperasi pasien. Ia dapat dilakukan pada orang yang kesadarannya menurun,
bayi, anak, orang yang rendah inteligensinya dan orang yang gelisah. Dalam sehari-
hari kita biasanya memeriksa 2 macam refleks fisiologis yaitu refleks dalam
dan releks superfisial.
Refleks dalam (refleks regang otot)
Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan,
dan sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks dalam juga dinamai
refleks regang otot (muscle stretch reflex). Nama lain bagi refleks dalam ini ialah
refleks tendon, refleks periosteal, refleks miotatik dan refleks fisiologis.
Refleks superfisialis
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang
mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di sekitarnya. Jadi
bukan karena teregangnya otot seperti pada refleks dalam. Salah satu contohnya
adalah refleks dinding perut superfisialis (refleks abdominal).
Tingkat jawaban refleks
Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat yaitu :
- (negatif) : tidak ada refleks sama sekali
- ± : kurang jawaban, jawaban lemah
73
- + : jawaban normal
- ++ : jawaban berlebih, refleks meningkat
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
refleks baik refleks fisiologis maupun refleks patologis.
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan dengan benar
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang
akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukan, apa manfaatnya,
serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks fisiologis dengan benar dan tepat
4. Dapat melakukan pemeriksaan refleks patologis dengan benar dan tepat
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
74
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS REFLEKS DALAM
(REFLEKS REGANG OTOT)
75
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
76
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
77
78
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS REFLEKS
SUPERFISIALIS
A B
A. Goresan pada kulit dinding perut untuk
membangkitkan refleks kulit dinding perut
B. Refleks dinding perut superfisialis
INTERPRETASI :
(+) Jika terdapat kontraksi otot, dimana terlihat pusar
79
bergerak kea rah otot yang berkontraksi.
(-) Biasanya negatif pada wanita normal yang banyak
anak (sering hamil), yang dinding perutnya lembek,
demikian juga pada orang gemuk dan orang usia lanjut,
juga pada bayi baru lahir sampai usia 1 tahun.
Pada orang muda yang otot-otot dinding perutnya
berkembang baik, bila refleks ini negatif (-), hal ini
mempunyai nilai patologis.
Refleks dinding perut superfisialis menghilang pada lesi
piramidalis. Hilangnya refleks ini berkombinasi dengan
meningkatnya refleks otot dinding perut adalah khas
bagi lesi di susunan piramidalis. Pada keadaan-keadaan
perut tersebut di atas dan lesi di segmen-segmen
medulla spinalis yang dilintasi busur refleks kulit
dinding perut, sudah barang tentu refleks kulit dinding
perut tidak dapat dibangkitkan.
80
PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS
PENGERTIAN
Refleks patologik adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada
orang-rang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan merupakan
gerakan reflektorik defendif atau postural yang pada orang dewasa yang sehat
terkelola dan ditekan oleh akifitas susunan piramidalis. Anak kecil umur antara 4 –
6 tahun masih belum memiliki susunan piramidal yang sudah bermielinisasi penuh,
sehingga aktifitas susunan piramidalnya masih belum sepmpirna. Maka dari itu
gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologik pada orang dewasa
tidak selamanya patologik jika dijumpai pada anak- anak kecil, tetapi pada orang
dewasa refleks patologikselalu merupakan tanda lesi UMN.
Refleks-refleks patologik itu sebagian bersifat refleks dalam dan sebagian
lainnya bersifat refleks superfisialis. Reaksi yang diperlihatkan oleh refleks
patologik itu sebagian besar adalah sama, akan tetapi mendapatkan julukan yang
bermacam-macam karena cara membangkitkannya berbeda-beda. Adapun
refleks-refleks patologik yang sering diperiksa di dalam klinik antara lain refleks
Hoffmann, refleks Tromner dan ekstensor plantar response atau tanda Babinski.
SASARAN BELAJAR
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
refleks patologis.
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan dengan benar.
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa
yang akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukan, apa
manfaatnya, serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data
klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks patologis dengan benar dan tepat
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
81
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS
4 Dengan ibu jari kita ”gores kuat” ujung jari tengah klien
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila goresan kuat tadi
mengakibatkan fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan
aduksi ibu jari.
Kadang disertai fleksi jari lainnya.
82
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila goresan kuat tadi
mengakibatkan fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan
aduksi ibu jari.
Kadang disertai fleksi jari lainnya.
C. PEMERIKSAAN REFLEKS BABINSKI (EXTENSOR PLANTAR 1 2 3
RESPONSE)
1 Mintalah klien berbaring dan istirahat dengan tungkai
diluruskan.
2 Kita (pemeriksa) memegang pergelangan kaki klien
supaya tetap pada tempatnya.
3 Telapak kaki klien digores dengan menggunakan ujung
gagang palu refleks secara perlahan dan tidak
menimbulkan rasa nyeri untuk menghindari refleks
menarik kaki.
Goresan dilakukan pada telapak kaki bagian lateral,
mulai dari tumit menuju pangkal ibu jari.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
A. Cara menggores
B. Ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari-jari
kaki
83
INTERPRETASI :
Positif (+) jika didapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari ,
yang dapat disertai mekarnya jari-jari lainnya.
84
PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF
PENGERTIAN
Refleks primitif adalah gerakan reflektorik yang bangkit secara fisiologik
pada bayi dan tidak dijumpai lagi pada anak-anak yang sudah besar. Bilamana pada
orang dewasa refleks tersebut masih dapat ditimbulkan, maka fenomena itu
menandakan kemunduran fungsi susunan saraf pusat. Adapun refleks-refleks yang
menandakan proses regresi tersebut ialah refleks menetek, snout reflex, refleks
memegang (grasp refleks), refleks glabella dan refleks palmomental.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
refleks primitif.
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan dengan benar.
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa
yang akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukannya, apa
manfaatnya, serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data
klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks primitif dengan benar dan tepat.
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
85
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF
INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila bibir atas dan bawah menjungur
atau kontraksi otot-otot di sekitar bibir atau di bawah
hidung.
B. PEMERIKSAAN REFLEKS MENGHISAP (ROOTING REFLEX) 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
2 Stimulasi klien dengan memberikan sentuhan pada
bibir / menyentuhkan sesuatu benda pada bibir
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
86
INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila stimulasi tersebut menimbulkan
gerakan bibir, rahang bawah seolah-olah menetek.
C. PEMERIKSAAN REFLEKS MENGGENGGAM 1 2 3
PALMAR/GRASP REFLEX
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk dengan
santai
2 Lakukan stimulasi dengan penekanan atau
penempatan jari pemeriksa pada telapak tangan klien
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
INTERPRETASI :
Refleks positif (+) jika tangan klien mengepal
D. REFLEKS GLABELLA 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk dengan
santai
2 Lakukan stimulasi dengan pukulan singkat pada
glabella atau sekitar daerah supraorbitalis.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
87
Refleks positif (+), bila terdapat kontraksi singkat pada
kedua otot orbikularis okuli.
Pada lesi perifer nervus fasialis, refleks ini berkurang
atau negatif, sedangkan pada sindrom Parkinson
refleks ini sering meninggi. Pusat refleks ini terletak di
Pons.
E. REFLEKS PALMOMENTAL 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk dengan
santai
2 Lakukan stimulasi dengan goresan ujung pensil atau
ujung gagang palu refleks terhadap kulit telapak tangan
bagian tenar
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
88
MANUAL 5
CLINICAL SKILL LAB IV
PENYUSUN:
Dr.dr. Susi Aulina, Sp.S(K)
Dr. dr. A. Kurnia Bintang, sp.S(K), MARS
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS Dr.
dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
89
PENDAHULUAN
90
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 80 % maka tidak dapat
mengikuti OSCE pada akhir semester.
1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <80% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian OSCE.
91
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN FISIK KETERAMPILAN
V. PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK DAN KOORDINASI
SISTEM SENSORIK Penilaian sensasi nyeri 4A
Penilaian sensasi suhu 4A
Penilaian sensasi raba 4A
halus
Penilaian rasa posisi 4A
(proprioseptif)
Penilaian sensasi 4A
diskriminatif (misal
streognosis)
TES KOORDINASI Inspeksi cara berjalan 4A
(gait)
Shallow knee bend 4A
Tes Romberg 4A
Tes Romberg dipertajam 4A
Tes telunjuk hidung 4A
Tes tumit lutut 4A
Tes untuk disdiadokinesis 4A
92
DESKRIPSI KEGIATAN
93
SISTEM SENSORIK
PENGERTIAN
Sistem sensorik adalah sistem yang mengubungan manusia dengan dunia
luar. Informasi yang diterima oleh reseptor menjadi petanda bagi tubuh untuk
memberikan respon. Sistem sensorik dibagi menjadi 2 yaitu exteroceptif dan
proprioceptif.
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
patomekanisme keluhan sensorik, penyakit-penyakit yang terkait, dan mampu
untuk melakukan pemeriksaan klinis yang berhubungan dengan sistem sensorik.
94
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK DAN SISTEM KOORDINASI
NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. PEMERIKSAAN SENSASI TAKTIL/RABA HALUS 1 2 3
1 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2 Memilih dengan benar alat yang akan digunakan
3 Memberikan rangsangan secara ringan tanpa memberi
tekanan jaringan subkutan
4 Meminta penderita untuk menyatakan “YA” atau
“TIDAK” pada setiap perangsangan
5 Meminta penderita untuk menyebutkan daerah yang
dirangsang
6 Meminta penderita untuk membedakan dua titik yang
dirangsang
II. PEMERIKSAAN SENSASI NYERI SUPERFISIAL 1 2 3
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Mata klien tertutup.
3 Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum tadi
terhadap dirinya sendiri.
4 Tekanan terhadap kulit klien seminimal mungkin,
jangan sampai menimbulkan perlukaan.
5 Klien jangan ditanya: apakah Anda merasakan ini atau
apakah ini runcing?
6 Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan ujung
jarum dan kepala jarum secara bergantian, sementara
itu penderita diminta untuk menyatakan sensasinya
sesuai dengan pendapatnya.
7 Klien juga diminta untuk menyatakan apakah terdapat
perbedaan intensitas ketajaman rangsangan di daerah
yang berlainan.
8 Apabila dicurigai ada daerah yang sensasinya menurun
maka rangsangan dimulai dari daerah tadi menuju ke
arah yang normal.
1 2 3
III. PEMERIKSAAN SENSASI NYERI DALAM ATAU NYERI
TEKAN
1 Massa otot, tendo atau saraf yang dekat permukaan
ditekan dengan ujung jari atau dengan (menekan di
antara jari telunjuk dan ibu jari). Penderita diminta untuk
menyatakan apakah ada perasaan nyeri atau tidak;
pernyataan ini dicocokkan dengan intensitas tekanan.
95
IV. PEMERIKSAAN SENSASI TEKAN 1 2 3
1 Penderita dalam posisi terbaring dan mata tertutup.
2 Ujung jari atau benda tumpul ditekankan atau
disentuhkan lebih kuat terhadap kulit.
3 Di samping itu, dapat diperiksa dengan menekankan
struktur subkutan, misalnya massa otot, tendo, dan
saraf itu sendiri, baik dengan benda tumpul atau
dengan ’’cubitan’’ dengan skala yang lebih besar.
4 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada
tekanan dan sekaligus diminta untuk mengatakan
daerah mana yang ditekan tadi.
V. PENILAIAN SENSASI SUHU 1 2 3
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Penderita lebih baik dalam posisi berbaring.
3 Mata penderita tertutup
4 Tabung dingin/panas terlebih dahulu dicoba terhadap
diri pemeriksa.
Tabung ditempelkan pada kulit penderita, dan
penderita diminta untuk menyatakan apakah terasa
dingin atau panas.
5 Sebagai variasi, penderita dapat diminta untuk
menyatakan adanya rasa hangat.
6 Pada orang normal, adanya perbedaan suhu 2-5 oC
sudah mampu untuk mengenalinya.
VI.PEMERIKSAAN SENSASI GERAK DAN POSISI 1 2 3
1 Mata penderita tertutup
Penderita dapat duduk atau berbaring.
2 Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan
relaksasi dan
digerakkan secara pasif oleh pemeriksa, dengan
sentuhan seringan mungkin sehingga dihindari adanya
tekanan terhadap jari-jari tadi.
3 Jari yang diperiksa harus ’’dipisahkan’’ dari jari–jari di
sebelah kiri/ kanannya sehingga tidak bersentuhan,
sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh melakukan
gerakan aktif seringan apapun.
4 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada
perubahan posisi jari ataupun apakah ada gerakan pada
jarinya.
5 Apabila diperoleh kesan adanya gangguan sensasi gerak
dan posisi, maka dianjurkan untuk memeriksa bagian
tubuh lain yang ukurannya lebih besar, misalnya
96
tungkai bawah atau lengan bawah.
6 Cara lain ialah dengan menempatkan jari-jari salah satu
tangan penderita pada posisi tertentu, sementara itu,
mata penderita tetap tertutup; kemudian penderita
diminta untuk menjelaskan posisi jari-jari tadi ataupun
menirukan posisi tadi pada tangan yang satunya lagi.
VII.PEMERIKSAAN SENSASI GETAR / VIBRASI 1 2 3
1 Getarkan garpu tala terlebih dahulu, dengan jalan ujung
garpu tala dipukulkan pada benda padat/keras yang
lain.
2 Kemudian pangkal garpu tala segera ditempelkan pada
bagian tubuh tertentu.
3 Yang dicatat ialah tentang intensitas dan lamanya
vibrasi.
4 Kedua hal tersebut bergantung pada kekuatan
penggetaran garpu tala dan interval antara
penggetaran garpu tala tadi dengan saat peletakan garpu
tala pada bagian tubuh yang diperiksa.
97
TEST KOORDINASI
PENGERTIAN
Kemampuan mensinergiskan secara normal faktor motorik, sensorik
dalam melakukan gerakan normal. Serebelum digunakan untuk gerakan
sinergistik tersebut, oleh sebab itu serebelum adalah pusat koordinasi.
Gangguan koordinasi dapat disebabkan oleh disfungsi serebelum, sistem
motorik, sistem ekstrapiramidal, gangguan psikomotor, gangguan tonus, gangguan
sensorik (fungsi proprioseptik), sistem vestibular, dll. Gangguan koordinasi dibagi
menjadi gangguan equilibratory dan non equilibratory.
TUJUAN BELAJAR
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
fungsi koordinasi.
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat mempersiapkan klien dengan baik
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa
yang akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukan, apa
manfaatnya, serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data
klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan fungsi koordinasi dengan benar dan tepat
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
98
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN SISTEM KOORDINASI
99
1. Jelaskanlah pada klien apa yang anda dapatkan pada
semua pemeriksaan yang telah dilakukan.
2. Ucapkanlah kata perpisahan dengan klien dan
usahakanlah membesarkan hati klien dengan
harapan-harapan.
3. Lakukanlah cuci tangan rutin.
100
MANUAL 6
CLINICAL SKILL LAB IV
PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
Dr. dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
101
PENDAHULUAN
102
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 80 % maka tidak dapat
mengikuti OSCE pada akhir semester.
1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <80% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian OSCE.
103
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN FISIK KETERAMPILAN
VI. PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI LAINNYA
Deteksi kaku kuduk 4A
Penilaian fontanel 4A
Tanda Lasegue 4A
Tanda Patrick dan 4A
kontra-Patrick
Tanda Chvostek 4A
Tes sindroma jebakan 4A
(Tinel’s test dan
Phalent’s test)
104
DESKRIPSI KEGIATAN
105
PEMERIKSAAN KAKU KUDUK
(TANDA RANGSANG MENINGES)
PENGERTIAN
Rangsangan selaput otak adalah gejala yang timbul akibat peradangan pada
selaput otak (meningitis) atau adanya benda asing pada ruang suarachnoid
(darah), zat kimia (kontras) dan invasi neoplasma (meningitis carcinoma).
Manifestasi subyektif adalah sakit kepala, kuduk kaku, fotofobia dll.
Yang perlu diperhatikan adalah timbulnya gejala yang disebut
meningismus, yaitu pada pemeriksaan fisik terdapat rangsangan selaput otak,
tetapi tidak ada proses patologis di daerah selaput otak tersebut melainkan di
luar kranium (misalnya mastoiditis)
DASAR TEORI
Adanya penyakit yang menyebabkan iritasi pada meninges akan
menyebabkan timbulnya tanda rangsang meninges. Pemeriksaan tanda rangsang
meninges yang diajarkan pada manual ini antara lain: pemeriksaan kaku kuduk,
Kernig’s sign, Brudzinski I, II, III, dan IV.
Proses iritasi meninges yang menimbulkan gambaran meningismus (kaku
kuduk) terjadi akibat refleks spasme otot-otot paravertebral. Posisi medulla
spinalis yang terletak di bagian belakang vertebra membuat medulla
spinalismeregangapabilaterjadigerakanfleksi. Oleh karena batang otak relative
terfiksir, menyebabkan hanya medulla spinalis dan menginges yang inflamasi
semakin tertarik keatas. Regangan maksimal terjadi pada struktur paling bawah
dari vertebra, seperti nervus femoralis dan nervus sciatik yang melalui cauda
ekuina. Pada pasien dengan inflamasi dan iritasi meninges, peregangan pada
struktur yang mengalami inflamasi memberikan stimulasi pada radiks nervus
afferent dan kemudian pada pusat refleks intraspinal. Stimulasi ini
mengakibatkan impuls tonik pada muskulus aksialis posterior yang menimbulkan
spasme muskulus ekstensor sebagai mekanisme protektif. Manifestasi klinis dari
spasme otot inilah yang disebut kaku kuduk, oleh karena manuver yang
meregangkan elemen neural dan meninges pada canalis spinalis memberikan
mekanisme protektif untuk meminimalisir tekanan pada struktur yang
terinflamasi. Sebagai contoh, spasme otot servikal menimbulkan kaku kuduk, dan
spasme otot-otot lumbal bermanifestasi sebagai Kernig’s sign.
Meskipun meningeal sign sangat indikasi untuk mendiagnosis meningitis,
tetapi hal tersebut tidaklah patognomonik. Meningitis bacterial mempunyai
kontribusi sekitar 30% dari kasus dengan tanda meningeal, virus 13%, pneumonia
8%, infeksi bakteri lain 2% dan infeksi saluran napas atas dan penyakit autoimun
106
46% dari kasus yang ada. Adanya rangsang meningeal menandakan adanya
gejala iritasi mengingeal.
Sasaran Belajar :
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan patomekanisme kuduk kaki, penyakit-penyakit yang
menyebabkan kuduk kaku, dan pemeriksaan klinis kaku kuduk.
SASARAN PEMBELAJARAN
Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan tanda rangsang menings.
Menentukan penyebab timbulnya tanda rangsang menings sehingga
dapat membedakan apakah gejala tersebut adalah suatu meningismus.
Memberikan penanganan awal serta persiapan rujukan pasien.
107
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN RANGSANG MENINGES
108
atas dada kemudian lakukan fleksi kepala dengan cepat
kearah dada pasien sejauh mungkin.
3. Lakukan Interpretasi :
Brudzinski I negatif (Normal) bila pada saat fleksi
kepala, tidak terjadi fleksi involunter kedua tungkai
pada sendi lutut
Brudzinski I positif (abnormal) bila terjadi fleksi
involunter kedua tungkai pada sendi lutut.
D. BRUDZINSKI II 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Fleksikan satu tungkai pada sendi lutut,
kemudiansecara pasif lakukan fleksi maksimal pada
persendian panggul, sedangkan tungkai yang satu
berada dalam kedaan ekstensi (lurus).
3 Lakukan Interpretasi :Brudzinski II positif (abnormal)
bila tungkai yangdalam posisi ekstensi terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut. Brudzinski II
negatif (normal) apabila tidak terjadi apa-apa.
4 Lakukan hal yang sama untuk tungkai yang satunya.
Interpretasikan hasil pemeriksaan Anda.
E. BRUDZINSKI III 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Lakukan penekanan padakedua os zygomatikus kiri dan
kanandengan menggunakan ibu jari pemeriksa.
3. Lakukan Interpretasi:
Brudzinski III positif (abnormal) apabila terjadi fleksi
involunter kedua ekstremitas superior pada sendi siku.
Brudzinski III negatif (normal) apabila tidak terjadi apa-
apa saat penekanan os zygomaticus.
F. BRUDZINSKI IV 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Lakukan penekananpada symphysis os pubis dengan
tangan kanan pemeriksa.
3. Lakukan Interpretasi:
Brudzinski IV positif (abnrmal) apabila terjadi fleksi
involunterkedua tungkai pada sendi lutut. Brudzinski IV
negatif (normal) apabila tidak terjadi apa-apa.
109
PEMERIKSAAN FONTANEL/KEPALA
PENGERTIAN
Fontanel (latin: fonticuli cranii) adalah bagian lunak di antara tulang
tengkorak kepala pada bagian atas dan belakang kepala bayi. Fontanel berasal
dari bahasa Italia, yaitu Fontanella yang berarti air mancur kecil. Fontanel akan
berubah sedikit mengecil pada saat proses kelahiran dan akan menghilang
seiring dengan pertumbuhan bayi.
Fontanel terdiri dari dua bagian yaitu bagian belakang yang disebut
posterior dan bagian atas yang disebut anterior. Lebar fontanel anterior dapat
mencapai 5 cm. Posterior memiliki bentuk segitiga dan lebih kecil dari fontanel
bagian atas atau anterior. Bagian ini akan tertutup dan terbentuk sempurna saat
bayi berusia 6 – 8 minggu. Bentuknya menyerupai segitiga dan ukuran diameternya
kurang dari 1,25 cm. Sedangkan Anterior umumnya baru akan tertutup saat
bayi berusia 18 bulan. Hal ini akan memberikan kesempatan bagi otak anak untuk
berkembang maksimal. Karena teksturnya yang lunak, fontanel dapat
mempengaruhi bentuk kepala bayi.
Gambar 1.
Tengkorang bayi baru lahir yang menunjukan anterior dan posterior fontanel.
110
Gambar 2.
Tengkorang bayi baru lahir yang menunjukan fontanel bagian samping
DASAR TEORI
Fontanel bisa digunakan untuk mendiagnosis kesehatan bayi. Pada
pemeriksaan fisik kepala untuk menilai fontanel, seorang pemeriksa harus
menilai garis sutura dan fontanel, apakah ukuran dan tampilannya normal.
Sutura yang berjarak lebar mengindikasikan bayi preterm, moulding yang buruk
atau hidrosefalus. Pada kelahiran spontan letak kepala, sering terlihat tulang
kepala tumpang tindih yang disebut moulding/moulase. Keadaan ini normal
kembali setelah beberapa hari sehingga ubun-ubun mudah diraba.
Perhatikan ukuran dan ketegangannya. Fontanel anterior harus diraba,
fontanel yang besar dapat terjadi akibat prematuritas atau hidrosefalus,
sedangkan yang terlalu kecil terjadi pada mikrosefali. Jika fontanel menonjol, hal
ini diakibatkan peningkatan tekanan intakranial (misalnya pada meningitis atau
terjadi infeksi), sedangkan yang cekung dapat tejadi akibat dehidrasi. Terkadang
teraba fontanel ketiga antara fontanel anterior dan posterior, hal ini terjadi karena
adanya trisomi 21.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
fontanel.
Memberi pengetahuan tentang hal-hal patologis yang berhubungan dengan
ukuran fontanel, cepat dan lambatnya penutupan fontanel serta tekanan pada
fontanel.
Memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang hal-hal yang
merupakan kondisi emergensi yang terkait dengan masalah fontanel.
111
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FONTANEL
112
Fontanel yang cekung menunjukkan keadaan dehidrasi
3 Apakah fontanel masih terbuka atau sudah tertutup
Fontanel anterior umumnya menutup pada saat bayi
berumur 6 – 8 minggu
Fontanel posterior umumnya menutup pada saat bayi
berumur sekitar 18 bulan
113
PEMERIKSAAN SINDROMA JEBAKAN
PENGERTIAN
Sindroma jebakan yang sering disebut juga sebagai neuropati akibat
penekanan/kompresi atau entrapment neuropathies adalah suatu kondisi
dimana terjadi neuropati akibat kompresi yang lama atau cedera mekanik pada
daerah tertentu. Contoh sindroma jebakan yang paling sering kita dapatkan adalah
carpal tunnel syndrome dan tarsal tunnel syndrome serta sciatika atau iskialgia.
DASAR TEORI
114
adalah trauma, vena varikosa, neuropati atau adanya kompresi akibat kelainan
anatomi pada daerah sekitar terowongan tarsal.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, radiologi dan
neurofisiologi. Berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yaitu Tinel’s
sign adalah langkah awal untuk melakukan evaluasi lebih lanjut pada pasien
dengan seperti ini.
SCIATICA (SIATIKA)/ISKHIALGIA
Sciatika (siatika) adalah rasa nyeri yang menjalar dari punggung bawah
hingga ke paha, betis, tumit dan telapak kaki baik pada satu sisi maupun kedua
sisi kaki. Rasa nyeri tersebut bisa ”tumpul” seperti kram atau ”tajam” seperti
ditusuk-tusuk dan terbakar, terus-menerus atau pun hilang-timbul tetapi
semakin lama semakin parah sakitnya. Rasa nyeri dapat meningkat saat
penderita duduk, batuk, bersin atau tertawa. Sebaliknya, berjalan, berbaring, dan
gerakan yang meregangkan tulang punggung (seperti mengangkat bahu)
mungkin mengurangi nyeri.
Sciatika disebabkan oleh iritasi atau peradangan nervus
(neuropati/radikulopati) sciatic/iskhiadikus, saraf terbesar dan terpanjang dalam
tubuh yang menjalar dari punggung bawah melewati belakang sendi panggul dan
bercabang hingga ke kedua belah paha, betis, tumit dan telapak kaki.
Neuropati/radikulopati sciatic dapat disebabkan oleh hernia nucleus pulposus
pada discus intervertebralis, sindroma piriformis (terjadi ketika otot piriformis)
menjadi kaku dan tegang sehingga menekan dan mengiritasi nervus sciatic, lumbar
spinal stenosis (terjadi karena penyempitan kanalis spinalis pada daerah punggung
bawah yang menekan nervus sciatic, spondilolistesis dan lain-lain.
Untuk menegakkan diagnosis apa yang menjadi penyebab dari keluhan ini
berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (antara lain pemeriksaan motorik,
sensorik dan test-test khusus seperti Laseque test) dan pemeriksaan radiologik.
Tanda Lasegue adalah salah satu tanda yang didapatkan pada pemeriksaan
Laseque test berupa rasa nyeri menjalar yang dimulai dari bokong dan mengikuti
persarafan nervus sciatic.
115
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN SINDROMA JEBAKAN
II PHALEN’S TEST
1 Melakukan hiperflexi pada pergelangan tangan dengan
mempertemukan kedua punggung tangan (dorsum
manus).
2 Interpretasi: Jika timbul nyeri yang menjalar sesuai
inervasi n.medianus berarti phalent’s test positif yaitu
terdapat penekanan n.medianus pada canalis carpi
(carpal tunnel)
116
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
117
B. N. ULNARIS
I TINEL’S TEST
1 Melakukan penekanan pada sulcus n.ulnaris yaitu
dibagian posterior epicondylus medialis humeri (sulcus
n.ulnaris).
2 Interpretasi: jika terjadi jebakan n.ulnaris pada daerah
tersebut maka akan timbul nyeri yang dirasakan
berpangkal pada tempat penekanan dan menjalar
sepanjang perjalanan n.ulnaris yaitu sebelah medial
lengan bawah hingga ke setengah jari IV dan V (Tinel’s
test positif)
118
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
119
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
II PEMERIKSAAN SENSIBILITAS
Subjek diminta untuk menutup mata lalu melakukan
pemeriksaan sensibilitas pada tepi ulnar telapak tangan
(hypothenar), setengah jari IV dan V dengan
menggunakan jarum.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
C. NERVUS RADIALIS
I TINEL’S TEST
1 Melakukan penekanan pada bagian proximal dan
sedikit ke posterior dari processus styloideus os radii.
2 Interpretasi: jika terjadi jebakan n.radialis pada daerah
tersebut maka subjek akan merasakan nyeri yang
120
menjalar dari tempat penekanan hingga ke dorsum
manus sesuai inervasi n.radialis (Tinel’s test positif)
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
II PEMERIKSAAN SENSIBILITAS
1 Sambil subjek menutup mata, lakukan pemeriksaan
sensibilitas pada kulit lengan bawah bagian posterior dan
kulit bagian lateral dari dorsum manus
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
121
D. NERVUS SCIATIKA (NERVUS ISKHIADIKUS)
I LASEQUE’S TEST (STRAIGH LEG RAISE)
1 Klien berbaring pada meja pemeriksaan dengan kedua
tungkai diluruskan (diekstensikan).
2 Kemudian mengangkat tungkai subjek sambil
mempertahankan lutut tetap lurus.
Pada orang nomal, subjek tidak merasakan nyeri dan
tahanan hingga sudut 70°.
3 Interpretasi : jika subjek merasakan nyeri menjalar dari
bokong hingga ke tungkai sesuai dengan inervasi
n.ischiadicus sebelum mencapai 70° dikatakan
laseque’s test positif yang biasanya didapatkan pada
penderita herniasi discus L5, S1 atau S2.
INTERPRETASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
122
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS NYERI PUNGGUNG BAWAH
(SELAIN LASEQUE’S TEST)
TEST PATRICK
Tindakan pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi
panggul yang mengalami gangguan. Pada iskialgia diskogenik test ini adalah
negatif.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan sistem motorik
Mampu melakukan pemeriksaan motorik secara sistematik
Menentukan letak lesi kelumpuhan otot
123
B. TES KONTRA PATRICK
1 Lipat tungkai klien yang sakit dan endorotasikan serta
aduksikan.
2 Lakukan penekanan sejenak pada lutut tungkai
tersebut.
3 Interpretasi : Akan timbul rasa nyeri pada garis sendi
sakroiliaka bila di situ terdapat suatu keadaan patologis
(arthritis), baik berupa nyeri yang menjalar sepanjang
tungkai maupun yang terbatas pada daerah bluteal
atau sacral saja.
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
124
PEMERIKSAAN CHVOSTEK
PENGERTIAN
Manifestasi klinik dari tetani antara lain spasme dan kontraksi tonik otot
skletal yang umumnya dapat ditemukan pada bagian distal ekstremitas. Hal ini
dapat terlihat sebagai spasme karpopedal berupa kontraksi tonik dari otot-otot
pergelangan tangan, tangan, jari-jari dan ibu jari. Ini disebabkan oleh hiper-
eksitabilitas sistem saraf perifer termasuk otot walaupun diberikan rangsangan
minimal. Saraf sensorik dapat terlibat dengan gejala seperti parastesia pada
tangan, kaki dan daerah sekitar mulut.
DASAR TEORI
Tetani berhubungan dengan dengan gangguan metabolisme kalsium atau
alkalosis, yang menyebabkan penurunan kadar ion kalsium. Adanya kelainan
neurologik hanya dapat ditemukan dengan pemeriksaan fisik saja. Pemeriksaan
ini sangat mudah dilakukan pada pasien yang hipersensitif dalam beberapa menit
saja (tetani laten). Tetani yang berat dapat menyebabkan seizure, spasme laring,
stridor, dan kegagalan nafas.
Chvostek’s sign. Ketukan pada nervus facialis dapat menyebabkan
spasme atau tetani, kontraksi yang melibatkan beberapa atau semua otot
facialis. Dua titik yang dapat dijadikan tempat untuk memberikan
stimulasi/ketokan yaitu di bawah processus zygomaticus os temporal, di depan
telinga (Chvostek’s sign) dan pada pertengahan antara arkus zygomaticus dan
sudut mulut (Schultz’s sign). Kadang-kadang respon yang sama dapat
ditimbulkan dengan menggores kulit di depan telinga. Tanda minimal dapat
hanya berupa kedutan/tarikan minimal pada sudut bibir atas atau sudut mulut,
maksimal jika terdapat kontraksi pada daerah frontal wajah, otot sekitar mata, dan
pipi. Kontraksi otot juga dapat melibatkan otot yang disuplai nervus trigeminus.
Chvostek’s sign adalah akibat dari hipereksitabilitas saraf motorik yang
dipersarafi oleh nervus facialis terhadap stimulasi mekanik. Tanda ini sangat
penting pada tetani, tetapi dapat juga terjadi pada kondisi hiper-refleks seperti
pada lesi traktus kortikospinalis.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan tetani
Mampu melakukan pemeriksaan chvostek secara sistematis.
125
STRATEGI DAN CARA PELATIHAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan penuntun belajar.
126
PENUNTUN PEMBELAJARAN PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS
TANDA CHVOSTEK (CHVOSTEK’S SIGN)
LANGKAH KLINIK
NO KASUS
1 2 3
1 Jelaskan maksud pemeriksaan kepada klien
2 Identifikasi titik dimana akan dilakukan ketokan.
Titik I di bawah processus zygomaticus os temporal, di
depan telinga.
Titik II pada pertengahan antara arkus zygomaticus dan
sudut mulut.
3 Dilakukan ketokan pada titik tersebut
4 Interpretasi :
Respon yang didapat berupa kedutan/tarikan minimal
pada subut bibir atas atau sudut mulut, maksimal jika
terdapat kontraksi pada daerah frontal wajah, otot
sekitar mata dan pipi.
5 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
127
128
SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI
129
PENGANTAR
130
DIAGNOSIS DAN TERAPI
SISTEM NEUROPSIKIATRI
Pengertian
Diagnosis merupakan tahapan yang paling menentukan dalam proses
pengobatan suatu penyakit. Diagnosis adalah kesimpulan yang dibuat dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan status mental.
Disini dibahas bagaimana proses mendapatkan diagnosis yang tepat
dan juga terapi kedokteran jiwa (psikiatri) yang paling cocok untuk mengobati
penyakit tersebut.
Terapi adalah langkah-langkah atau upaya yang dilakukan untuk
membantu mengatasi dan menyembuhkan pasien dengan menggunakan
obat farmakologi dan non-farmakologi.
Indikasi
1. Menetapkan diagnosis
2. Menentukan diagnosis banding
3. Menetapkan prognosis
4. Menyusun rencana pengobatan yang sesuai.
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu menetapkan diagnosis kerja dan
langkah – langkah pengobatan yang sesuai dengan diagnosis.
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Menetapkan diagnosis kerja
2. Membuat diagnosis banding
3. Menentukan prognosis
4. Melakukan langkah-langkah terapi sesuai dengan diagnosisnya.
131
Media dan alat bantu pembelajaran :
- Daftar panduan belajar diagnosis dan terapi.
- Stetoskop, handscoen (sarung tangan), pipa nasogastrik
- Jelly, lap, sabun dan wastafel (air mengalir) untuk simulasi mencuci
tangan.
- Alat tulis.
- Audio-visual
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list / daftar tilik dengan sistem skor
DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain peran tanya & 30 1. mengatur posisi duduk mahasiswa
jawab menit 2. dua orang instruktur, 1 sebagai
dokter & 1 sebagai pasien
memberikan contoh bagaimana cara
menegakkan diagnosa kerja.
Mahasiswa menyimak/mengamati
3. memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan
instrukstur memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. mahasiswa dapat memperhatikan
dan menanyakan hal-hal yang
belum dimengerti dan instruktur
menanggapinya
132
3. Praktek bermain peran 100 1. mahasiswa dibagi menjadi
dengan umpan balik menit pasangan-pasangan. Seorang
mentor diperlukan untuk mengamati
2 pasang
2. setiap pasangan berpraktek, 1
orang sebagai dokter (pemeriksa)
dan 1 orang sebagai pasien secara
serentak
3. mentor memberikan tema khusus
atau keluhan utama kepada pasien
dan selanjutnya akan ditanyakan
oleh si pemeriksa (dokter)
4. mentor berkeliling diantara
mahasiswa dan melakukan
supervisi menggunakan daftar tilik
5. setiap mahasiswa paling sedikit
berlatih 1 kali
4. Curah pendapat / diskusi 15 1. curah pendapat/diskusi : apa yang
menit dirasakan mudah atau sulit ?
menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dilakukan oleh
dokter agar pasien merasa
nyaman?
2. instruktur menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih
belum dimengerti
Total waktu 150
menit
133
DASAR – DASAR TEORI.
III. Diagnosis :
Terdiri dari 5 aksis :
Aksis 1 : Sindroma Klinik (Gg. Afektif, Skizofrenia, Gg. Cemas
Menyeluruh, dll)
Aksis II : Gg. Kepribadian, Retardasi Mental, dan Mekanisme
Pertahanan
Aksis III : Kondisi Medis Umum (Epilepsi, penyakit kardiovaskuler, Gg.
Endokrin)
Aksis IV : Problem Psikososial dan Lingkungan
Aksis V : Global Assessment Function
IV. Prognosis :
V. Formulasi Psikodinamika :
Untuk menentukan prosen apa saja yang terjadi selama perjalanan penyakit .
134
terapi ini harus menyertakan kejuruan dan latihan ketrampilan psikososial, bahkan
masalah hukum dan kehakiman.
Rencana pengobatan yang menyeluruh membutuhkan pendekatan terapi tim
yang terdiri dari psikolog, pekerja sosial, perawat, terapis aktivitas dan kerja,
dan berbagai profesional kesehatan mental.
PENUNTUN PEMBELAJARAN
DIAGNOSIS DAN TERAPI
(digunakan oleh Peserta)
Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan mengguakan kriteria berikut :
1. Perlu perbaikan : Langkat-langkah tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai
urutannya
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, tetapi ridak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, sesuai dengan urutan dan efisien
.1. AKSIS I
2. AKSIS II
3. AKSIS III
4. AKSIS IV
5. AKSIS V
6. DIAGNOSIS BANDING
7. IDENTIFIKASI MASALAH
8. ORGANOBIOLOGI
9. PSIKOLOGI
10.. SOSIAL
11. PROGNOSIS
12. TERAPI
13. PSIKOFARMAKA
14. PSIKOTERAPI
15. SOSIAL- REHABILITASI
EVALUASI
135
6. Menentukan indikasi rujuk
7. Melakukan kunjungan rumah apabila
diperlukan
8. Melakukan kerjasama konsultatif
dengan sejawat lainnys
9. Memberikan terapi psikofarmaka obat-
obat antipsikotik, antidepresan,
anticemas, anti kolinergik, dan sedatif.
10. Memberikan psikoterapi
Rekomendasi : ..........................................................................................................
Tanggal .......
Penguji
(........................................ )
Daftar Rujukan :
1. American Psychiatric Association., Task Force Nomeclature and Statistics. Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders. 4rd ed. Wasington DC. American
Psychiatric Association. 1994.
2. Maslim R., Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Indonesia ke – III. Jakarta 2013.
3. Maslim R., Tutunan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropika, Jakarta, 1994.
4. Tomb D.A. Buku Saku Psikiatri, ed 1, Alih Bahasa : dr. Martina Wiwie SpKJ. Penerbit
EGC. 2004.
5. Wicaksana R., Penuntun Pemeriksaan Psikiatri edisi perttsms Speed Offset, 1978.
136
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIK (CSL)
FOTO X’RAY SKULL & LUMBOSACRAL
Disusun Oleh :
1. Prof. Dr. dr. Muhammad Ilyas, Sp.Rad (K)
2. dr. Rafikah Rauf, Sp.Rad., M.Kes
DEPARTEMEN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
137
FOTO X’RAY SKULL
Pengertian
Pemeriksaan Foto Kepala atau skull merupakan salah satu pemeriksaan radiologi
yang penting. Anatomi kepala yang kompleks serta bentuk wajah dan variasi anatomi
setiap orang memiliki perbedaan sehingga pengetahuan dasar radiologi anatomi skull
harus diperhatikan. Untuk pemeriksaan Foto x’ray skull memiliki beberapa variasi proyeksi
yang digunakan bertujuan untuk mendapatkan gambaran radiografi yang berbeda dari
masing masing anatomi skull
Indikasi
Foto kepala atau skull biasanya dilakukan pada pasien post trauma capitis, pasien
dicurigai kelainan pada sinus maupun mastoid. Foto skull jarang dilakukan pada pasien
dengan kelainan saraf pusat.
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu mengetahui dasar-dasar keterampilan cara
membaca foto x’ray skull
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan identifikasi data pasien(Nama, Umur, Jenis Kelamin, no rekam medik)
2. Melakukan identifikasi data foto (No foto, Tanggal pembuatan foto, No rekam
medik)
3. Menyebutkan jenis & posisi foto skull
4. Melakukan pemasangan foto skull pada light box dengan benar dan tepat
5. Menjelaskan anatomi dasar yang berhubungan dengan foto skull
6. Melakukan penilaian terhadap calvaria cranii dan maxillofacial.
7. Melakukan penilaian terhadap sinus paranasalis dan cellulae mastoid
8. Menyebutkan indikasi rujukan dan jenis pemeriksaan radiologi lanjutan
138
Media dan alat bantu pembelajaran :
- Foto skull
- Light Box
- Manual CSL
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Diskusi
3. Partisipasi aktif dalam skill lab (simulasi)
139
TEKNIK PENILAIAN FOTO X’RAY SKULL
140
FOTO X’RAY LUMBOSACRAL
Pengertian
Pemeriksaan foto lumbosacral merupakan salah satu pemeriksaan radiologi yang
penting. Anatomi tulang belakang yang kompleks serta bentuk dan variasi anatomi setiap
orang memiliki perbedaan sehingga pengetahuan dasar radiologi anatomi lumbosacral
harus diperhatikan. Untuk pemeriksaan foto lumbosacral memiliki beberapa variasi
proyeksi yang digunakan bertujuan untuk mendapatkan gambaran radiografi yang
berbeda dari masing masing anatomi lumbosacral.
Indikasi
Foto lumbosacral biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan low back pain
ataupun pasien dengan curiga kelainan Hernia Nucleus Pulposus (HNP).
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu mengetahui dasar-dasar keterampilan cara
membaca foto x’ray lumbosacral
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan identifikasi data pasien (nama, umur, jenis kelamin, no rekam medik)
2. Melakukan identifikasi data foto (no foto, tanggal pembuatan foto, no rekam
medik)
3. Menyebutkan jenis & posisi foto lumbosacral
4. Melakukan pemasangan foto lumbosacral pada light box dengan benar dan tepat
5. Menjelaskan anatomi dasar yang berhubungan dengan foto lumbosacral
6. Melakukan penilaian terhadap foto lumbosacral
7. Menyebutkan indikasi rujukan dan jenis pemeriksaan radiologi lanjutan
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Diskusi
3. Partisipasi aktif dalam skill lab (simulasi)
141
TEKNIK PENILAIAN FOTO X’RAY LUMBOSACRAL
142
SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI
TEHNIK
KETERAMPILAN WAWANCARA
143
PENGANTAR
Buku panduan skill lab. Sistem Neuropsikiatri ini berisi 2 (DUA) keterampilan
utama, yaitu :
1. Anamnesis keluhan utama yang berhubungan dengan sistem Neuropsikiatri
dimana penggalian riwayat penyakit sudah lebih spesifik mengarah ke sistem
Neuropsikiatri,
2. Keterampilan pemeriksaan status mental dan ketrampilan menegakkan
diagnostik. Diharapkan setelah selesai mengikuti kegiatan keterampilan klinik
ini, mahasiswa mampu melakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan
status mental sehubungan sistem ini secara berurutan serta mengetahui
keadaan normal ataupun abnormal dari sistem ini.
Buku panduan ini selain memuat panduan belajar langkah-langkah
melakukan anamnesis, pemeriksaan status mental, juga berisi daftar tilik dalam
bentuk lembar penilaian dari instruktur terhadap mahasiswa sebagai penilaian akhir
serta membantu dalam menilai kemajuan tingkat keterampilan yang telah dilatih.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan dan penyusunan buku panduan ini.
144
ANAMNESIS PSIKIATRIK
SISTEM NEUROPSIKIATRI
Pengertian
Sebelum melakukan pemeriksaan satus mental maka terlebih dahulu dilakukan
komunikasi antara dokter (pemeriksa) dan pasien yang disebut sebagai anamnesis.
Kegiatan ini sangat penting sebagai langkah awal yang dapat membantu pemeriksa
dalam mengarahkan diagnosis penyakit pasien. Keluhan yang diajukan seorang
pasien yang diambil dengan teliti akan banyak membantu menentukan diagnosis
dari suatu penyakit. Banyak macam keluhan yang diajukan oleh seorang penderita
sistem neuropsikiatri. Walaupun demikian tidak selalu keluhan-keluhan mengenai
mental emosional yang berhubungan dengan gangguan neuropsikiatri, sehingga
diperlukan suatu kesabaran dalam mengambil anamnesis dari seorang pasien.
Pemeriksaan status mental meliputi penilaian status mental, penilaian
kesadaran, penilaian aktivitas psikomotorik, penilaian orientasi, penilaian persepsi,
penilaian bentuk dan isi pikir, penilaian mood dan afek, penilaian pengendalian
aikimpuls, penilaian menilai realitas, penilaian kemampuan tilikan (insight), penilaian
kemampuan fungsional.
Indikasi
Anamnesis dan pemeriksaan status psikiatrik dilakukan untuk :
1. Mengetahui diagnosis dari seorang pasien
2. Membantu dokter dalam melakukan tindakan selanjutnya pada pasien
3. Mengetahui perkembangan serta kemajuan terapi pada pasien
4. Digunakan sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan
paripurna terhadap pasien
145
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu melakukan anamnesis lengkap.
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan anamnesis dengan pasien secara lengkap.
2. Membina rapport (hubungan baik).
3. Mempersiapkan pasien dalam rangka pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
status mental
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list / daftar tilik dengan sistem skor
146
DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain peran tanya & 30 1. mengatur posisi duduk mahasiswa
jawab menit 2. dua orang instruktur, 1 sebagai
dokter & 1 sebagai pasien
memberikan contoh bagaimana cara
melakukan anamnesa lengkap.
Mahasiswa menyimak/mengamati
3. memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan
instrukstur memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. kegiatan dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik pada manikin atau
probandus
5. mahasiswa dapat memperhatikan
dan menanyakan hal-hal yang
belum dimengerti dan instruktur
menanggapinya
3. Praktek bermain peran 100 1. mahasiswa dibagi menjadi
dengan umpan balik menit pasangan-pasangan. Seorang
mentor diperlukan untuk mengamati
2 pasang
2. setiap pasangan berpraktek, 1
orang sebagai dokter (pemeriksa)
dan 1 orang sebagai pasien secara
serentak
3. mentor memberikan tema khusus
atau keluhan utama kepada pasien
dan selanjutnya akan ditanyakan
oleh si pemeriksa (dokter)
4. mentor berkeliling diantara
147
mahasiswa dan melakukan
supervisi menggunakan daftar tilik
5. setiap mahasiswa paling sedikit
berlatih 1 kali
4. Curah pendapat / diskusi 15 1. curah pendapat/diskusi : apa yang
menit dirasakan mudah atau sulit ?
menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dilakukan oleh
dokter agar pasien merasa
nyaman?
2. instruktur menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih
belum dimengerti
Total waktu 150
menit
148
PENUNTUN BELAJAR
SISTEM NEUROPSIKIATRI
TEHNIK WAWANCARA
DASAR-DASAR TEORI
LAPORAN PSIKIATRI
I. Riwayat Psikiatri
A. Identitas Pasien
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Suku /Bangsa :
Status perkawinan :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
MRS ke :
B. Keluhan Utama : Apa alasan pasien datang ke psikiater ? lebih disukai sesuai
dengan kata-kata pasien. Jika informasi itu bukan dari pasien, catat siapa yang
menyampaikan.
149
E. Riwayat Pribadi :
Riwayat kehidupan pasien mulai dari bayi sampai saat sekarang secara luas yang dapat
diingat kembali, kekosongan riwayat secara spontan berhubungan dengan pasien,
emosi, berhubungan dengan periode kehidupan (penuh kenyerian, stress, dan konflik)
atau dengan phase siklus kehidupan.
150
(b) Pengetahuan seksual yang diperoleh, sikap orang tua terhadap seks,
penyalah gunaan seks
(c) Onset pubertas, perasaan terhadap pubertas, perasaan mengenai
menstruasi, perkembangan kharakteristik sekunder,
(d) Aktivitas seksual remaja, berjejal-jejalan, pesta, kencan, bercumbu rayu,
masturbasi, mimpi basah, dan sikap terhadap hal tsb.
(e) Sikap terhadap sesama dan lawan seks, malu-malu, pemalu, agresif,
mengesankan, seductif, penaklukan seksual, kecemasan.
(f) Praktek seksual : masalah-masalah seksual, homoseksual, heteroseksual,
parafilia, promisquitas.
f. Latar belakang Keagamaan : kaku, liberal, campuran, (kemungkinan
konflik), berhubungan dengan praktek keagamaan yang sekarang.
4. Masa Dewasa
F. Riwayat Keluarga :
Dapatkan dari pasien dan dari orang lain, karena deskripsi yang sungguh berbeda
dari orang yang sama dan peristiwa, suku, kebangsaan, dan tradisi keagamaan,
151
orang lain di dalam rumah, deskripsikan mereka – kepribadian dan intelegensi,
dan apa yang telah terjadi pada mereka sejak pasien kanak-kanak, deskripsikan
perbedaan orang-orang yang tinggal didalam rumah tangga tsb; hubungan pasien
dengan orang-orang yang ada didalam keluarga ; peranan penyakit dalam keluarga
; riwayat keluarga dengan gangguan mental ; dimana pasien tinggal–lingkungan
dan tempat tinggal khusus bagi pasien ; adalah rumah penuh sesak, pribadi anggota
kelurga dari setiap orang atau keluarga yang lain; sumber pendapatan keluarga dan
kesulitan mendapatkannya; bantuan masyarakat (jika ada) dan sikapnya mengenai
hal tsb; akankah pasien kehilangan pekerjaan atau tempat tinggal dengan tetap tinggal
di rumah sakit; siapa yang menjaga anak-anak.
Mahasiswa dapat melakukan wawancara dengan tehnikwawancara yang baik dan benar.
152
STRATEGI DAN CARA PELATIHAN
PENUNTUN PEMBELAJARAN
TEHNIK WAWANCARA (ANAMNESIS PSIKIATRI)
(digunakan oleh Peserta)
Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan mengguakan kriteria berikut :
1. Perlu perbaikan : Langkat-langkah tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai
urutannya
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, tetapi ridak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, sesuai dengan urutan dan efisien
153
15. Tanyakan keadaan diri dan lingkungan pasien
saat ini
FASE PENUTUP
16. Berikan pasien kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan pada akhir wawancara.
FASE PENGAKHIRAN
17. Buat kesimpulan hasil wawancara
18. Tegakkan Diagnosa Multi Aksial
19. Susun rencana alternatif terapi
20. Jabat tangan pasien sambil memberi harapan
kepada pasien agar segalanya berjalan lancar dan
baik
EVALUASI
DAFTAR PENILAIAN
TEHNIK WAWANCARA
154
terhadap aktivitas sosial dan pekerjaan
serta penggunaan waktu senggang
11 Menyingkirkan dan atau masukan
berbagai kemungkinan diagnosis
dengan menggunakan pertanyaan
terpusat dan terinci.
12. Menanyakan riwayat penyakit dahulu
13. Menanyakan riwayat pribadi
14.. Menanyakan riwayat penyakit keluarga
15. Menanyakan keadaan diri dan
lingkungan pasien saat ini
Keterampilan Menutup Wawancara
16. memberikan pasien kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan pada akhir
wawancara.
17 Membuat kesimpulan hasil wawancara
18 Menegakkan Diagnosa Multiaksial
19 Menyusun rencana pengobatan
20 Menjabat tangan pasien sambil memberi
harapan kepada pasien agar segalanya
berjalan lancar dan baik
Rekomendasi : ..........................................................................................................
RUJUKAN :
155
9. Kaplan HI, Sadock BJ, : Pocket Handbook of Emergency Psychiatric Medicine.
Willliam & Wilkins, Baltimore, 1994.
10. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA, : Synopsis of Psychiatry – Behavioral Sciences
Clinical Psychiatry, 9Th Edition , Willliam & Wilkins, Baltimore, 1994.
11. Kolb LC : Modern Clinical Psychiatry, 11th Edition, WB Saunders Company,
Philadelphia, 2002.
12. Maramis WF : Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press, 1980.
13. Tomb DA : Buku Saku Psikiatri Edisi 6, Alih bahasa, Martina Wiwie, Edisi bahasa
Indonesia, EGC, Jakarta, 2003.
14. Wiener JM : Behavioral Science, 2nd Edition, NMS William & Wilkins, Baltimore.
1990.
156
SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI
MENTAL
157
PENGANTAR
158
TEHNIK PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
SISTEM NEUROPSIKIATRI
Pengertian
Pemeriksaan status mental meliputi penilaian status mental, penilaian
kesadaran, penilaian aktivitas psikomotorik, penilaian orientasi, penilaian
persepsi, penilaian bentuk dan isi pikir, penilaian mood dan afek, penilaian
pengendalian impuls, penilaian menilai realitas, penilaian kemampuan tilikan
(insight), penilaian kemampuan fungsional.
Indikasi
Pemeriksaan status mental dilakukan untuk :
1. Mengetahui diagnosis dari seorang pasien
2. Membantu dokter dalam melakukan tindakan selanjutnya pada pasien
3. Mengetahui perkembangan serta kemajuan terapi pada pasien
4. Digunakan sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan
paripurna terhadap pasien
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu melakukan anamnesis
lengkap dan pemeriksaan status mental secara berurutan dan mampu
mengetahui keadaan normal dan abnormal pada sistem tersebut.
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan penilaian status mental
2. Melakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang ada
3. Mengenal dan menentukan berbagai bentuk gangguan perilaku, pikiran
dan perasaan yang bermanifestasi sebagai gangguan jiwa.
159
- Daftar panduan belajar pemeriksaan status mental
- Alat tulis,
- Audio-visual
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list / daftar tilik dengan sistem skor
DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain peran tanya & 30 1. mengatur posisi duduk mahasiswa
jawab menit 2. dua orang instruktur, 1 sebagai
dokter & 1 sebagai pasien
memberikan contoh bagaimana cara
melakukan pemeriksaan status
mental.Mahasiswa menyimak /
mengamati
3. memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan
instrukstur memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. mahasiswa dapat memperhatikan
dan menanyakan hal-hal yang
belum dimengerti dan instruktur
menanggapinya
160
3. Praktek bermain peran 100 1. mahasiswa dibagi menjadi
dengan umpan balik menit pasangan-pasangan. Seorang
mentor diperlukan untuk mengamati
2 pasang
2. setiap pasangan berpraktek, 1
orang sebagai dokter (pemeriksa)
dan 1 orang sebagai pasien secara
serentak
3. mentor memberikan tema khusus
atau keluhan utama kepada pasien
dan selanjutnya akan ditanyakan
oleh si pemeriksa (dokter)
4.mentor berkeliling diantara
mahasiswa dan melakukan
supervisi menggunakan daftar tilik
5. setiap mahasiswa paling sedikit
berlatih 1 kali
4. Curah pendapat / diskusi 15 1. curah pendapat / diskusi : apa yang
menit dirasakan mudah atau sulit ?
menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dilakukan oleh
dokter agar pasien merasa
nyaman?
2. instruktur menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih
belum dimengerti
Total waktu 150
menit
161
Dasar Teori :
PENUNTUN BELAJAR
SISTEM NEUROPSIKIATRI
I. Status Mental :
A. Deskripsi Umum :
1. Penampilan : Posture, sikap, pakaian, perawatan diri, rambut, kuku,
sehat, sakit, marah, takut, apatis, bingung, merendahkan, tenang, tampak
lebih tua, tampak lebih muda, bersifat seperti wanita, bersifat seperti
laki-laki, tanda-tanda kecemasan–tangan basah, dahi berkeringat,
gelisah, tubuh tegang, suara tegang, mata melebar, tingkat kecemasan
berubah-ubah selama wawancara atau dengan topik khusus.
162
atau takut tentang pengalaman yang sedang terjadi pada mereka. Afek
yang tidak serasi, ialah suatu mutu respons yang ditemukan pada
beberapa pasien skizofrenia; afeknya inkongruen dengan topik yang
sedang mereka bicarakan. (contohnya : mereka mempunyai afek yang
datar ketika berbicara tentang impuls membunuh). Ketidak serasian juga
mencerminkan tarap hendaya dari pasien untuk mempertimbangkan atau
pengendalian dalam hubungan dengan respons emosional.
2. Isi Pikiran :
a. Preokupasi : Mengenai sakit, masalah lingkungan, obsesi, kompulsi,
fobia, rencana bunuh diri, membunuh, gejala-gejala hipokondrik,
dorongan atau impuls-impuls antisosial.
3. Gangguan Pikiran :
a. Waham : Isi dari setiap sistim waham, organisasinya, pasien yakin
akan kebenarannya, bagaimana waham ini mempengaruhi
kehidupannya, ; waham penyiksaan–isolasi atau berhubungan dengan
kecurigaan yang menetap, serasi mood (congruent) atau tak serasi
mood (incongruent)
4. Gangguan Persepsi :
a. Halusinasi dan Ilusi : Apakah pasien mendengar suara atau melihat
bayangan, isi, sistim sensori yang terlibat, keadaan yang terjadi,
halusinasi hipnogogik atau hipnopompik ; thought brocasting.
163
5. Mimpi dan Fantasi
a. Mimpi : satu yang menonjol, jika ia iingin menceritakan, mimpi
buruk.
2. Orientasi :
a. Waktu : Apakah pasien mengenal hari secara benar, tanggal, waktu
dari hari, jika dirawat di rumah sakit dia mengetahui sudah berapa
lama ia dia berbaring disitu,
b. Tempat : Apakah pasien tahu dimana dia berada
c. Orang : Apakah pasien mengetahui siapa yang memeriksa dan apa
peran dari orang-orang yang bertemu denganya.
164
5. Tingkat Pengetahuan : Tingkat pendidikan formal, perkiraan
kemampuan intelektual pasien dan apakah mampu berfungsi pada
tingkat dasar pengetahuan. : jumlah, perhitungan, pengetahuan umum,
pertanyaan harus relevan dengan latar belakang pendidikan dan
kebudayaan pasien.
F. Tilikan :
1. Penyangkalan sepenuhnya terhadap penyakit
2. Sedikit kesadaran diri akan adanya penyakit dan meminta pertolongan
tetapi menyangkalinya pada saat yang bersamaan
3. Sadar akan adanya penyakit tetapi menyalahkan orang lain, faktor luar,
medis atau faktor organik yang tidak diketahui.
4. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui
pada dirinya.
5. Tilikan Intelektual : Pengakuan sakit dan mengetahui gejala dan
kegagalan dalam penyesuaian sosial oleh karena perasaan irrasional atau
terganggu, tanpa menerapkan pengetahuannya untuk pengalaman dimasa
mendatang
6. Tilikan Emosional yang sebenarnya : kesadaran emosional terhadap
motif-motif perasaan dalam, yang mendasari arti dari gejala; ada kesadaran
yang menyebabkan perubahan kepribadian dan tingkah laku dimasa
mendatang; keterbukaan terhadap ide dan konsep yang baru mengenai diri
sendiri dan orang-orang penting dalam kehidupannya.
G. Daya nilai :
1. Daya nilai Sosial : Manifestasi perilaku yang tidak kentara yang
membahayakan pasien dan berlawanan dengan tingkah laku yang dapat
diterima budayanya. Adanya pengertian pasien sebagai hasil yang tak
mungkin dari tingkah laku pribadi dan pasien dipengaruhi oleh
pengertian itu.
2. Uji daya nilai : pasien dapat meramalkan apa yang akan dia lakukan
dalam bayangan situasi tsb. Misalnya apa yang akan dilakukan pasien
dengan perangko, alamat surat yang dia temukan dijalan.
165
D. Wawancara dengan keluarga, teman, tetangga dengan seorang
sosial worker
E. Pemeriksaan laboratorium
Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan mengguakan kriteria berikut :
1. Perlu perbaikan : Langkat-langkah tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai
urutannya
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, tetapi ridak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, sesuai dengan urutan dan efisien
166
Daya Ingat sedang
Daya Ingat jangka pendek
Daya Ingat jangka panjang
20. Konsentrasi dan perhatian
21. Pikiran Abstrak
22. Intelegensi dan kemampuan informasi (tingkat
pengetahuan)
23. Bakat kreatif
24. Kemampuan menolong diri sendiri
VII Pengendalian Impuls
25. Pengendalian Impuls
Baik
Terganggu
VIII Daya Nilai
26. Daya Nilai Sosial
27. Daya nilai Realitas
28. Uji Daya nilai
IX. Tilikan
29 Tilikan
X. Taraf Dapat Dipercaya
30. Taraf Dapat Dipercaya
a.Dapat dipercaya
b.Tidak dapat dipercaya
EVALUASI
PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
No. Pemeriksaan Psikiatri PENILAIAN
1 2 3
1. Penilaian status mental
2. Penilaian kesadaran
3. Penilaian bicara
4. Penilaian persepsi
5. Penilaian orientasi
6. Penilaian inetelegensi
7. Penilaian bentuk pikiran
8. Penilaian isi pikiran
9. Penilaian mood
10. Penilaian afek
11. Penilaian motorik
12. Penilaian pengendalian impuls
13. Penilaian kemampuan menilai realitas
14. Penilaian tilikan
15. Penilaian kemampuan fungsional
(........................................ )
167
Referensi :
1. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Dirjen Bina Upaya Kesehatan, Kementrian Kesehatan
R.I.. Pedoman Pelayanan Kegawat Daruratan Psikiatrik, 2013. hal 22- 32.
2. Kaplan HI, Sadock B.(2007)Synopsis of Psychiatry, 10 thed. Baltimore, MD: Lippincott
Williams & Wilkins.. p 450 - 458
3. Kaplan HI, Sadock B. (1998) Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Alih bahsa : Wicaksana
Roan. Jakarta : Widya medika.,
168
MANUAL
KETERAMPILAN KLINIK MATA
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2017
169
DAFTAR KETERAMPILAN KLINIS SESUAI SKDI 2012
Pengertian:
Pemeriksaan dalam ilmu penyakit mata meliputi beberapa prosedur dengan tujuan
dapat menegakkan diagnosis yang benar. Pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan tajam
penglihatan, pemeriksaan segmen depan bola mata yang meliputi pemeriksaan palpebra, silia,
kornea, konjungtiva, bilik mata depan, iris, pupil, lensa dan vitreus anterior. Pemeriksaan
segmen depan bola mata meliputi pemeriksaan vitreus posterior, retina, dan papil saraf optik.
Pemeriksaan tekanan bola mata dilakukan dengan cara palpasi dan dengan menggunakan
tonometer Schiotz, pemeriksaan pergerakan bola mata dilakukan untuk menilai fungsi ke enam
otot penggerak bola mata yaitu otot rektus superior, medial, inferior, lateral, otot oblikus superior
dan oblikus inferior. Pemeriksaan lapang pandangan dilakukan dengan cara konfrontasi.
TIU:
TIK :
3. Melakukan pemeriksaan visus anak dan dewasa serta melakukan koreksi refraksi
dengan benar.
7. Melakukan pemeriksaan pergerakan bola mata dan otot ekstra okuler dengan benar.
10. Melakukan tinadakan terapeutik aplikasi tetes mata dan salep mata.
171
Media dan alat bantu pembelajaran :
1. Penuntun belajar untuk anamnesis dan pemeriksaan fisik dalam ilmu penyakit mata.
2. Alat audiovisual yang memperlihatkan tata cara melakukan anamnesis dan
pemeriksaan klinik.
3. Optotip Snellen, set lensa coba, senter, loupe, tonometer Schiotz, oftalmoskop direk,
mistar, kertas amsler grid, buku pemeriksaan buta warna ishihara .
4. Tetes mata pantocain 0,5%, tetes mata antibiotik, tetes mata mydriatil, salep mata,
kapas alkohol, desinfektan (alkohol 70%), kapas lidi.
5. Kertas, pensil, pena, dan lembaran status penderita.
Metode pembelajaran:
Demonstrasi sesuai dengan Penuntun Belajar, dilanjutkan dengan praktik bermain peran.
DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
172
8. Mentor berkeliling diantara mahasiswa
dan melakukan supervisi menggunakan
cek list.
173
NO. LANGKAH KEGIATAN
I. MELAKUKAN ANAMNESIS LENGKAP PADA PENDERITA DENGAN
KELAINAN MATA
Tujuan : Mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang keluhan dan
kemungkinan diagnosis
1.
Mempersilahkan pasien masuk ke dalam ruangan
12. Konfirmasi ulang hasil anamnesis dan berikan kesempatan pasien untuk
bertanya
174
II. MELAKUKAN PEMERIKSAAN VISUS DEWASA
4. Minta penderita untuk melihat ke depan dengan rileks tanpa melirik atau
mengerutkan kelopak mata. Apabila pasien menggunakan trial frame
maka untuk memeriksa visus mata kanan pasien, tutup mata kiri
penderita dengan occluder yang dimasukkan dalam trial frame
5. Minta penderita untuk menyebut huruf, angka atau simbol yang ditunjuk
6. Tunjuk huruf, angka atau simbol pada optotip Snellen dari atas ke
bawah.
10. Bila visus penderita tidak optimal hingga 20/20 atau 6/6 dilanjutkan ke
pemeriksaan penilaian refraksi
175
III. MELAKUKAN PEMERIKSAAN PENILAIAN VISUS BAYI DAN ANAK
2. Ambillah mainan kecil atau objek lain yang menarik perhatian, yang
hanya menstimulasi penglihatan; jangan menggunakan objek yang
bersuara. Pegang objek sekitar 1-2 kaki didepan muka anak dan
gerakkan secara horizontal kesisi lainnya.
4. Tutup satu mata dan ulangi tes tersebut. Tutup mata yang satu dan
ulangi lagi. Amati perbedaan yang terjadi diantara ke-2 mata pada
kualitas fiksasi dan “smooth pursuit” atau reaksi penolakan terhadap oklusi.
Jika Anda mencurigai adanya perbedaan, tapi tidak yakin, ulangi tes,
menggunakan mainan yang lain untuk mempertahankan minat anak.
5. Pada saat menguji penglihatan monokuler, bayi yang lebih muda akan
merespon pergerakan objek secara lebih baik jika objek digerakkan dari
arah temporal ke arah nasal, kecenderungan ini akan menurun setelah
bayi berusia sekitar 6 bulan.
176
IV. MELAKUKAN PENILAIAN REFRAKSI SUBJEKTIF
4. Minta penderita untuk melihat ke depan dengan rileks tanpa melirik atau
mengerutkan kelopak mata. Apabila pasien menggunakan trial frame
maka untuk memeriksa visus mata kanan pasien, tutup mata kiri
penderita dengan occluder yang dimasukkan dalam trial frame
5. Minta penderita untuk melihat ke depan dengan rileks tanpa melirik atau
mengerutkan kelopak mata
6. Minta penderita untuk menyebut huruf, angka atau simbol yang ditunjuk
dimulai dari baris yang terakhir bisa dilihat dengan jelas oleh pasien saat
awal pemeriksaan visus
7. Tunjuk huruf, angka atau simbol pada optotip Snellen berurutan dari
baris atas ke bawah.
10. Lensa coba diganti hingga penderita dapat membaca optotip maksimal.
Pilih lensa convex /(+) terkuat atau lensa concave (-) terlemah yang
memberikan penglihatan terbaik.
177
V. MELAKUKAN PEMERIKSAAN SEGMEN ANTERIOR BOLA MATA
Catatan : Jika tidak tersedia tetes mata pantocain, maka dapat menggunakan lidocain
2% sebagai anestesi topikal
178
VI. MELAKUKAN PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA DENGAN
METODE PALPASI
5. Kedua jari telunjuk berada pada palpebra superior. Ibu jari, kelingking,
jari manis, dan jari tengah memfiksasi didaerah tulang sekitar orbita.
6. Jari telunjuk secara bergantian menekan bola mata melalui palpebra dan
merasakan besarnya tekanan bola mata.
179
VII. MELAKUKAN PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA DENGAN
CARA INDENTASI MENGGUNAKAN TONOMETER SCHIOTZ
180
VIII. MELAKUKAN PEMERIKSAAN SEGMEN POSTERIOR
9. Amati secara sistematis struktur retina dimulai dari papil N. optik, arteri
dan vena retina sentral, area makula, dan retina perifer.
181
XI. MELAKUKAN PEMERIKSAAN PERGERAKAN BOLA MATA
4. Arahkan senter pada bola mata dan amati pantulan sinar pada kornea,
kemudian gerakkan senter dengan membentuk huruf H dan berhenti
sejenak pada waktu senter berada di lateral dan lateral atas, dan lateran
bawah (mengikuti six cardinal of gaze).
5. Posisi dan gerakan ke-dua bola mata diamati selama senter digerakkan.
182
X. MELAKUKAN PEMERIKSAAN LAPANGAN PANDANG DENGAN CARA
KONFRONTASI
3. Tutuplah mata di sisi yang sama dengan mata penderita yang ditutup.
183
XI. MELAKUKAN PEMERIKSAAN AMSLER GRID
184
XII. MELAKUKAN PEMERIKSAAN BUTA WARNA
2. Cahaya ruangan harus dibuat cukup, tidak terlalu terang dan tidak
terlalu redup agar warna pada buku ishihara terlihat jelas
3. Pasien diminta untuk membaca tulisan pada buku ishihara dengan jarak
± 30-40 cm
185
XIII. PEMBERIAN OBAT TOPIKAL
3. Lebarkan fissura palpebra dengan jari telunjuk dan ibu jari pada mata
yang hendak diberi obat tetes.
4. Teteskan obat pada daerah sclera pasien, instruksikan pasien untuk
melirik kearah temporal atau nasal.
5. Instruksikan pasien untuk menutup mata beberapa saat kemudian
berkedip agar obat dapat meyebar ke permukaan bola mata
6. Bersihkan daerah sekitar kelopak mata.
B. Zalf Mata
3. Tarik fissura palpebra inferior dengan jari telunjuk atau ibu jari pada
mata yang hendak diberi obat.
4. Oleskan zalf mata pada daerah konjungtiva palpebra inferior
186
KETERAMPILAN
Manual
KLINIK &
LABORATORIUM
Tim Penyusun :
dr. Idrianti Idrus , Sp.KK, M.Kes
Dr.dr. Farida Tabri, Sp.KK(K)
Dr. dr. Khairuddin Djawad, Sp.KK(K)
187
DAFTAR ISI
1. Kata pengantar:
2. Daftar penyusun
3. Tata tertib
Tujuan pembelajaran
To-do list
Deskripsi kegiatan
Strategi Pelatihan
Tujuan pembelajaran
To-do list
Deskripsi kegiatan
Strategi Pelatihan
188
KATA PENGANTAR
Manual keterampilan klinik dan laboratorium diberikan untuk mahasiswa yang mengambil mata
kuliah Indera Khusus dan instruktur yang mendampingi mahasiswa pada kegiatan keterampilan ini.
Tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK) yang disajikan pada setiap modul
dimaksudkan agar mahasiswa dan instruktur mengetahui tujuan pembelajaran dari setiap manual
sehingga dapat dicapai kompetensi minimal yang diharapkan.
Dalam manual ini telah disertakan dasar-dasar teori yang bisa digunakan oleh mahasiswa untuk
menjadi dasar pembelajaran dan dikembangkan sesuai dengan referensi yang ada.
Strategi dan Pelatihan yang akan dilakukan pada setiap latihan keterampilan dilengkapi dengan alokasi
waktu sehingga penggunaan waktu 90 menit untuk setiap latihan dapat dipergunakan seefisien
mungkin. Langkah kegiatan adalah merupakan tahap demi tahap kegiatan yang tidak boleh
dipertukarkan satu sama lain sehingga konsistensi dari alur keterampilan tetap terjaga.
Dalam manual ini terdapat to-do list diharapkan mahasiswa dapat mempelajari hal-hal yang
telah terdaftar pada to-do list ini, sehingga ketika memasuki kelas sudah mempunyai persiapan
sebelumnya. Diharapkan untuk para instruktur bisa memberikan responsi terhadap to-do list yang telah
dipelajari untuk bisa mengetahui kesiapan mahasiswa dalam kelas pada hari tersebut. Setiap manual
dilengkapi dengan lembaran kerja sehingga mahasiswa dapat mencatat kegiatan yang dilakukan selama
latihan keterampilan, instruktur diharapkan mengecek lembaran kerja ini pada akhir kegiatan. Manual
juga dilengkapi dengan tata tertib yang harus diikuti oleh mahasiswa pada latihan ketrampilan ini.
Kumpulan manual ini masih jauh dari kesempurnaan, saran membangun sangat diperlukan.
Idrianti Idrus
189
TATA TERTIB
LATIHAN KETERAMPILAN KLINIK & LABORATORIUM
190
MANUAL 1
KETERAMPILAN ANAMNESIS
KELAINAN KULIT
DASAR-DASAR TEORI
PERJALANAN PENYAKIT
Penyakit kulit merupakan penyakit yang bisa terlihat oleh mata, sehingga beberapa penyakit kulit
mungkin bisa terdiagnosa secara cepat. Tetapi mengetahui riwayat perjalanan penyakit seperti apakah
ada bercak merah disertai demam pada pasien yang menderita pruritus generalisata bisa menjadi kunci
dalam menegakkan diagnosa.
Anamnesis
Anamnesis yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis dimulai dengan mencari
keterangan mengenai nama, alamat, umur , jenis kelamin, pekerjaan dan status perkawinan.
Keterangan yang didapat ini kadang sudah memberi petunjuk permulaan kepada kita.
Pertanyaan yang diajukan biasanya :
Mengenai keluhan pokok :
a. Dimana keluhan dimulai?
b. Meluaskah?
c. Apakah hilang timbul?
d. Berapa lama?
e. Apakah kering atau basah?
f. Apakah gatal atau sakit?
Mengenai penderita dan keluarganya:
a. Apa penyakit ini pernah diderita sebelumnya?
b. Apa penyakit-penyakit yang pernah diderita?
c. Apakah penyakit ini pernah diobati? Oleh siapa? Dan nama obatnya apa?
d. Adakah makanan yang membuat penyakit ini tambah parah?
e. Apa pekerjaan penderita dan bagaimana lingkungannya?
f. Kegiatan apa yang dilakukan setelah selesai bekerja?
g. Adakah riwayat penyakit yang sama pada keluarga penderita?
191
TO DO LIST :
1. Pelajari anatomi dan fisiologi dari kulit dan 5. Pelajari cara menegakkan diagnosa pada
kelamin normal penyakit kulit
2. Pelajari keluhan paling umum pada 6. Pelajari effloresensi primer dan sekunder
penyakit kulit
3. Pelajari penyebab dan perjalanan penyakit 7. Pelajari diagnosa banding, komplikasi dan
kulit. prognosis penyakit kulit
Referensi :
1. Cox N, Coulson IH. Diagnosis of Skin Diseases. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rook's Textbook of Dermatology. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2004. p. 5.1 -
5.10.
2. Budimulja U. Morfologi dan cara membuat diagnosis. In : Djuana A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2011. p.
34-42.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada akhir latihan keterampilan ini, mahasiswa diharapkan mampu melakukan anamnesis yang
menuntun ke arah diagnosis penyakit kulit pada sistem indera khusus.
192
BAHAN DAN ALAT (STRATEGI DAN CARA PELATIHAN)
- Meja kerja
- Kursi pasien
- Kursi dokter
- Buku status pasien dengan lembaran anamnesis.
DESKRIPSI KEGIATAN
193
STRATEGI DAN CARA PELATIHAN
1 Persilahkan, menyapa dan perkenalkan diri sambil menjabat tangan pasien dengan
penuh keakraban lalu tunjukkan sikap empati terhadap pasien.
2 Berikan informasi umum pada pasien atau keluarganya tentang anamnesis yang akan
anda lakukan, tujuan dan manfaat anamnesis tersebut untuk keadaan pasien.
3 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan semua informasi
yang didapatkan pada anamnesis tersebut.
4 Jelaskan tentang hak-hak pasien pada pasien atau keluarganya, misalnya tentang hak
untuk menolak menjawab pertanyaan yang dianggapnya tidak perlu dijawabnya.
Anamnesis umum
5 Tanyakanlah data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan pekerjaan
6 Tanyakanlah apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter (keluhan utama).
Untuk heteroanamnesis tanyakan hubungan pasien dengan pengantar.
Anamnesis terpimpin
7 Tanyakanlah kapan kelainan kulit tersebut mulai muncul.
Menggali lebih dalam tentang onset, durasi kelainan tersebut, apakah hilang timbul
atau menetap, bagaimana gambaran lesi awalnya, dimana lokasi awalnya, bagaimana
perkembangan lesinya serta distribusi lesi selanjutnya.
8 Tanyakanlah apakah disertai rasa panas pada lesi atau tidak, adakah demam atau tidak
9 Tanyakanlah apakah disertai gatal atau tidak.
10 Tanyakanlah apakah kelainan kulit ini ada hubungannya dengan pekerjaan sebelumnya
11 Tanyakanlah apakah ada keluhan lain yang dirasakan oleh pasien.
Jika ada tanyakanlah:
- kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi mendadak atau tidak.
- apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.
12 Tanyakanlah apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada masa lalu.
13 Tanyakanlah riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga atau lingkungan
sekitar tempat tinggal
14 Tanyakanlah adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan gejala yang
sama, riwayat kontak dengan serangga ataupun tanaman.
15 Tanyakanlah riwayat pengobatan yang pernah diterima dari dokter dan obat yang dibeli
sendiri oleh pasien tanpa resep dokter
Mengakhiri anamnesis
16 Jelaskanlah pada pasien bahwa ini adalah suatu rangkaian pemeriksaan untuk dapat
mengetahui penyakit pasien dan diperlukan pemeriksaan fisis untuk mempertajam
diagnosis.
Membuat resume dari hasil anamnesis
17 Kelompokkan semua hasil yang didapatkan dalam suatu tabulasi
18 Membuat satu diagnosis utama dan diagnosis banding dari hasil anamnesis
194
CHECK LIST
1 2 3
NO. Kegiatan yang dilakukan
Persiapan pasien
1 Mempersilahkan pasien masuk, menyapa dengan penuh keakraban dan senyum.
2 Memperkenalkan diri, menjabat tangan pasien dan menunjukkan sikap empati
3 Memberikan informasi pada pasien/keluarga tentang anamnesis yang akan dilakukan,
tujuan dan manfaat anamnesis tersebut
4 Memberikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasian informasi dari
pasien
5 Menjelaskan hak hak pasien kepada pasien/keluarganya,misalnya hak menolak untuk
menjawab pertanyaan yang dianggap tidak perlu dijawab
Anamnesis umum
6 Menanyakan data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan pekerjaan
7 Menanyakan apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter (keluhan utama).
Anamnesis terpimpin
8 Menanyakan kapan kelainan kulit tersebut mulai muncul.
Menggali lebih dalam tentang onset, durasi kelainan tersebut, apakah hilang timbul
atau menetap, bagaimana gambaran lesi awalnya, dimana lokasi awalnya, bagaimana
perkembangan lesinya serta distribusi lesi selanjutnya.
9 Menanyakan apakah disertai rasa panas pada lesi atau tidak, adakah demam atau tidak
10 Menanyakan apakah disertai gatal atau tidak.
11 Menanyakan apakah kelainan kulit ini ada hubungannya dengan pekerjaan sebelum
12 Menanyakan apakah ada keluhan lain yang dirasakan oleh pasien.
Jika ada tanyakanlah:
- kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi mendadak atau tidak.
- apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.
13 Menanyakan apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada masa lalu.
14 Menanyakan riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga atau lingkungan
sekitar tempat tinggal.
15 Menanyakan adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan gejala yang
sama, riwayat kontak dengan serangga ataupun tanaman.
16 Menanyakan riwayat pengobatan yang pernah diterima dari dokter dan obat yang
dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep dokter
Mengakhiri anamnesis
17 Menjelaskan pada pasien bahwa ini adalah suatu rangkaian pemeriksaan untuk dapat
mengetahui penyakit pasien dan diperlukan pemeriksaan fisis untuk mempertajam
diagnosis.
Membuat resume dari hasil anamnesis
18 Kelompokkan semua hasil yang didapatkan dalam suatu tabulasi
19 Membuat satu diagnosis utama dan diagnosis banding dari hasil anamnesis
195
MANUAL 2
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIS
1. PEMERIKSAAN KULIT
Pemeriksaan penderita seharusnya ditempat yang terang. Dan seharusnya selalu memeriksa
pasien mulai dari kepala hingga kaki. Inspeksi dan palpasi lesi atau kelainan kulit yang ada
(menggunakan kaca pembesar). Hal- hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis yang baik
adalah:
1. Lokasi dan /atau distribusi dari kelainan yang ada : Hal ini bisa sangat
membantu : sebagai contoh, dermatitis seboroik mempunyai tempat predileksi pada wajah,
kepala, leher, dada, telinga, dan suprapubis; pada anak, eksema cenderung terjadi di daerah
fleksor; akne terutama pada wajah dan tubuh bagian atas; karsinoma sel basal biasanya
lebih sering muncul di kepala dan leher.
2. Karakterisitik lesi individual:
Tipe : Karakteristik lesi :makula, papula, nodul, plak, vesikel, bulla, pustula, ulkus, urtikaria
(untuk mencari gambar gambar effloresensi lainnya, cobalah cari di buku buku
rujukan)
Karakteristik permukaan lesi : Skuama, Krusta, Hiperkeratosis, Eskoriasi,
Maserasi dan Likenifikasi
196
Urtikaria Likenifikasi Nodul
Ukuran, bentuk , garis tepi dan batas-batasnya. Ukuran sebaiknya diukur dengan tepat,
daripada hanya membandingkan dengan kacang polong, jeruk atau koin. Lesi bisa
mempunyai berbagai macam bentuk, misalnya bulat, oval, anular, liniear atau “tidak
beraturan”; tepi-tepi yang lurus atau bersudut mungkin disebabkan oleh faktor-faktor
eksternal.
Warna, selalu ada manfaatnya untuk membuat catatan tentang warna: merah, ungu,
cokelat, hitam pekat dan sebagainya
Gambaran Permukaan. Telusuri apakah permukaan lesi halus atau kasar, dan untuk
membedakan krusta( serum yang mengering) dengan skuama (hiperkeratosis); beberapa
penelusuran pada skuama dapat membantu, misalnya terdapat warna keperakan pada
psoriasis.
Tekstur—dangkal?dalam? Gunakan ujung jari Anda pada permukaan kulit; perkirakan
kedalaman dan letaknya apakah di dalam atau di bawah kulit; angkat sisik atau krusta untuk
melihat apa yang ada dibawahnya; usahakan untuk membuat lesi memucat dengan
tekanan.
3. Pemeriksaan lokasi-lokasi “sekunder” : Carilah kelainan-kelainan di
tempat lain yang dapat membantu diagnosis. Contoh yang baik antara lain :
Kuku ada psoriasis
Jari-jemari dan pergelangan tangan pada skabies
Daerah sela-sela jari kaki pada infeksi jamur
Mulut pada liken planus
197
4. Tehnik- tehnik pemeriksaan “khusus” : Diperlukan tehnik tehnik khusus
dalam melakukan pemeriksaan kulit seperti kerokan kulit dengan Kalium Hidroksida untuk
memeriksa adanya hifa dan spora untuk pemeriksaan jamur pada kulit
Referensi :
1. Wolf K, Goldsmith LA, I.Katz S, A.Gilchrest B. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Wolf K,
Gilchrest BA, Paller AS, J.Leffel D, editors. New York: Mc Graw; 2008.
2. Budimulja U. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Djuana A, Hamzah M, Aisah S, editors. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ; 2011.
TO DO LIST :
1. Pelajari dan cari referensi lain tentang 5. Pelajari cara inspeksi dan palpasi untuk
effloresensi primer dan sekunder pada kulit penyakit kulit
2. Pelajari anatomi dan fisiologi kulit normal. 6. Pelajari cara pengerokan skuama yang baik
dan benar
TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada akhir latihan keterampilan ini, mahasiswa diharapkan mampu melakukan pemeriksaan fisis yang
menuntun ke arah diagnosis penyakit kulit pada sistem indera khusus.
198
MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN
199
DESKRIPSI KEGIATAN
200
4. Curah 10 menit Mahasiswa diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapat dan pendapatnya tentang kegiatan yang dilakukan
diskusi
Persiapan pasien
1 Jelaskan pemeriksaan fisis yang akan dilakukan, tujuan dan manfaatnya
2 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan semua informasi yang didapatkan pada
pemeriksaan fisis tersebut.
3 Jelaskan hak-hak pasien atau keluarganya, misalnya tentang hak untuk menolak untuk diperiksa.
4 Persilahkan pasien membuka seluruh pakaian dan memastikan pasien mendapat pencahayaan yang baik selama
pemeriksaan fisis.
5 Cuci Tangan dan Berdiri di sebelah kanan pasien
201
18 - Posisikan kelainan kulit agar nampak dengan jelas oleh pemeriksa
- Self pracaution untuk pemeriksa perlu diperhatikan memakai handschoen sesuai indikasi
- Raba dengan lembut permukaan lesi dengan ujung ujung jari pemeriksa
- Lakukan palpasi pada kelainan kulit/lesi pada pasien apakah ada nodul, kista dan tumor, kemudian
apakah permukaannya kasar (verukosus) atau lembut, kedalaman lesi kulit apakah lesi terletak pada
bagian epidermis,dermis dan subkutis, bedakan pula krusta (serum yang mengering) dengan skuama,
apakah ada hiperkeratosis, eksokriasi, maserasi atau likenifikasi.
- Menilai kelainan kulit yang ada dan catat pada resume pasien
- Perhatikan slide atau video cara pemeriksaan tersebut; bandingkan dengan apa yang kalian lakukan.
19 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang prosedur tindakan pemeriksaan dengan lampu Wood,
mintalah kesediaan lisan pasien untuk pemeriksaan ini
- Siapkan ruangan tertutup yang benar-benar gelap/ tidak berjendela/ memakai penutup hitam
- Siapkan lampu Wood dan panaskan lampu Wood sebelum pemeriksaan selama 1 menit
- Persiapkan pasien (kulit atau rambut yang diperiksa harus dalam keadaan alami, tidak dicuci, hapus
semua obat topikal, sisa kain kasa dan sabun di daerah yang akan diperiksa karena akan menyebabkan
fluoresensi di bawah lampu Wood) membuka daerah yang memiliki kelainan kulit dan mempersilahkan
pasien untuk duduk
- Melakukan penyinaran dengan lampu Wood ke arah kelainan kulit dengan sumber cahaya berjarak 4-5
inchi dari lesi
- Menilai fluoresensi yang terjadi karena penyinaran tersebut
20 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang prosedur tindakan pengambilan kerokan kulit,
mintalah kesediaan lisan pasien untuk pemeriksaan ini
- Siapkanlah semua alat dan bahan yang diperlukan di atas meja dekat pasien
- Tuliskanlah no register/data pasien pada bagian belakang kaca benda, cawan petri atau di
bagian luar lipatan kertas steril.
- Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring (tergantung pada lokasi pengambilan specimen)
- Lakukanlah cuci tangan rutin
- Pasanglah sarung tangan steril
202
Mengakhiri Pemeriksaan Fisis
23 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang hasil pemeriksaan yang ditemukan dan masih diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
- Jelaskan tentang diagnosis penyakitnya, rencana pengobatan, prognosis dan komplikasi.
Membuat resume untuk arsip pasien
24 Tulislah resume secara keseluruhan (hasil anamnesis, hasil pemeriksaan fisis, pengobatan sementara yang
diberikan dan pemeriksaan penunjang yang diminta) sebagai arsip pasien.
CHECK LIST
Palpasi
203
9 Menilai bentuk dan gambaran kelainan kulit yang tampak pada pasien.
10 Menilai ukuran dan distribusi kelainan kulit yang terlihat pada pasien.
11 Mengulangi pemeriksaan fisis kelainan kulit dengan menggunakan Kaca Pembesar (loop).
12 Mencatat kelainan kulit pada pasien dan lakukan dokumentasi (pemotretan)
Pemeriksaan dengan Lampu Wood
13 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang prosedur tindakan pemeriksaan dengan
lampu Wood, mintalah kesediaan lisan pasien untuk pemeriksaan ini
- Siapkan ruangan tertutup yang benar-benar gelap/ tidak berjendela/ memakai penutup
hitam
- Siapkan lampu Wood dan panaskan lampu Wood sebelum pemeriksaan selama 1 menit
- Persiapkan pasien (kulit atau rambut yang diperiksa harus dalam keadaan alami, tidak
dicuci, hapus semua obat topikal, sisa kain kasa dan sabun di daerah yang akan diperiksa
karena akan menyebabkan fluoresensi di bawah lampu Wood) membuka daerah yang
memiliki kelainan kulit dan mempersilahkan pasien untuk duduk
- Melakukan penyinaran dengan lampu Wood ke arah kelainan kulit dengan sumber cahaya
berjarak 4-5 inchi dari lesi
- Menilai fluoresensi yang terjadi karena penyinaran tersebut
- Siapkanlah semua alat dan bahan yang diperlukan di atas meja dekat pasien
- Tuliskanlah no register/data pasien pada bagian belakang kaca benda, cawan petri atau di
bagian luar lipatan kertas steril.
- Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring (tergantung pada lokasi pengambilan
specimen)
204
16 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang hasil pemeriksaan yang ditemukan dan
masih diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
- Jelaskan tentang diagnosis penyakitnya, rencana pengobatan, prognosis dan komplikasi.
Membuat resume untuk arsip pasien
17 Tulislah resume secara keseluruhan (hasil anamnesis, hasil pemeriksaan fisis, pengobatan
sementara yang diberikan dan pemeriksaan penunjang yang diminta) sebagai arsip pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cox N, Coulson IH. Diagnosis of Skin Diseases. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rook's Textbook of Dermatology. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2004. p. 5.1 -
5.10.
2. Budimulja U. Morfologi dan cara membuat diagnosis. In : Djuana A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2011. p.
34-42.
3. Wolf K, Goldsmith LA, I.Katz S, A.Gilchrest B. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Wolf K, Gilchrest BA, Paller AS, J.Leffel D, editors. New York: Mc Graw; 2008.
205
206
BUKU PENUNTUN KERJA
KETERAMPILAN KLINIK
207
SKILL LAB SISTEM INDERA KHUSUS PEMERIKSAAN FISIS
TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
PENDAHULUAN
Pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorok adalah adalah suatu
pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan- kelainan
pada telinga, mulai dari telinga bagian luar, telinga tengah sampai telinga dalam
yang dapat memberikan gangguan fungsi pendengaran dan keseimbangan
;kelainan-kelainan pada hidung dan tenggorok yang dapat memberikan
gangguan penghidu dan pengecapan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
melihat (inspeksi), meraba (palpasi) dan melakukan tes-tes untuk melihat sifat
dan jenis gangguan pendengaran dan keseimbangan serta gangguan penghidu
dan pengecapan
INDIKASI
Untuk mengetahui kelainan-kelainan pada telinga, hidung dan
tenggorok yang memberikan gangguan pendengaran, keseimbangan, penghidu
dan pengecapan
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Umum:
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisis telinga, hidung dan
tenggorokan serta mampu melakukan tes fungsi pendengaran,keseimbangan,
penghidu dan pengecapan secara baik dan benar
Tujuan Khusus:
1. Mahasiswa mampu mengenal dan menjelaskan alat dan bahan yang
akan digunakan dalam pemeriksaan THT
2. Mahasiswa mampu mempersiapkan penderita dalam rangka persiapan
pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorok
3. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan pemeriksaan fisis telinga,
hidung dan tenggorok tes fungsi pendengaran dan keseimbangan .
4. Mahasiswa dapat melakukan tes-tes fungsi pendengaran , keseimbangan,
penghidu dan pengecapan.
5. Mahasiswa dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan fisis telinga,
hidung dan tenggorok serta hasil tes fungsi pendengaran ,keseimbangan,
penghidu dan pengecapan
6. Mahasiswa mampu menentukan apakah kelainan-kelainan yang
ditemukan merupakan kelainan kongenital, keganasan, infeksi , trauma
atau kelainan degeneratif.
208
5. Pemutaran film pemeriksaan fisis THT dan tes-tes fungsi pendengaran,
keseimbangan, penghidu dan pengecapan
METODE PEMBELAJARAN
1. Demonstrasi dan alih ketrampilan
2. Diskusi
3. Daftar tilik dengan sistem skor
209
pengecapan yang telah
dilakukan
c.Instruktur menjelaskan apa yang
kurang jelas
d.Instrukutur menjawab
pertanyaan
e. Instruktur menyimpulkan
semua hal tentang pemeriksaan
yang telah dilakukan
Total Waktu 120 mnt
210
Fokus cahaya lampu diatur dengan memfokuskan cahaya kearah telapak
tangan yang diletakkan kurang lebih 30 cm dari lampu kepala. Besar
kecilnya focus cahaya diatur dengan memutar penutup lampu kepala
kearah luar sampai diperoleh focus cahaya lampu yang kecil, bulat dengan
tingkat pencahayaan yang maksimal. Diusahakan agar sudut yang
dibentuk oleh jatuhnya sumber cahaya kearah obyek yang berjarak kurang
lebih 30 cm dengan aksis bola mata, sebesar 15 derajat
PEMERIKSAAN TELINGA
Mula-mula dilakukan inspeksi telinga luar, perhatikan apakah ada kelainan
bentuk telinga, tanda-tanda peradangan, tumor dan secret yang keluar dari
liang telinga. Pengamatan dilakukan pada telinga bagian depan dan belakang.
Setelah mengamati bagian-bagian telinga, lakukan palpasi pada telinga,apakah
ada nyeri tekan, nyeri tarik atau tanda-tanda pembesaran kelenjar pre dan post
aurikuler.
Pemeriksaan auskultasi pada telinga dengan menggunakan stetoskop dapat
dilakukan pada kasus-kasus tertentu misalnya pada penderita dengan keluhan
tinnitus objektif
Pemeriksaan liang telinga dan membrane timpani dilakukan dengan
memposisikan liang telinga sedemikian rupa agar diperoleh aksis liang telinga
yang sejajar dengan arah pandang mata sehingga keseluruhan liang telinga
sampai permukaan membrane timpani dapat terlihat. Posisi ini dapat diperoleh
dengan menjepit daun telinga dengan menggunakan ibu jari dan jari tengah
dan menariknya kearah superior-dorso-lateral dan mendorong tragus ke
anterior dengan menggunakan jari telunjuk. Cara ini dilakukan dengan tangan
kanan bila akan memeriksa telinga kiri dan sebaliknya digunakan tangan kiri bila
akan memeriksa telinga kanan. Pada kasus-kasus dimana kartilago daun telinga
agak kaku atau kemiringan liang telinga terlalu ekstrim dapat digunakan
bantuan speculum telinga yang disesuaikan dengan besarnya diameter liang
telinga. Spekulum telinga dipegang dengan menggunakan tangan yang bebas.
Amati liang telinga dengan seksama apakah ada stenosis atau atresia meatal,
obstruksi yang disebabkan oleh secret, jaringan ikat, benda asing, serumen
obsturan, polip, jaringan granulasi, edema atau furunkel. Semua sumbatan ini
sebaiknya disingkirkan agar membrane timpani dapat terlihat jelas. Diamati
pula dinding liang telinga ada atau tidak laserasi
211
Liang telinga dibersihkan dari secret dari sekret dengan menggunakan aplikator
kapas, bilas telinga atau dengan suction.
Cara membuat aplikator kapas yaitu dengan mengambil kapas secukupnya
kemudian aplikator diletakkan ditengah-tengah kapas aturlah letak aplikator
sedemikian rupa sehingga ujung aplikator terletak kira-kira pada pertengahan
kapas, kapas kemudian dilipat dua sehingga menyelimuti ujung aplikator dan
dijepit dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri. Selanjutnya pangkal aplikator
diputar searah dengan putaran jarum jam dengan menggunakan tangan kanan.
Setelah ujung aplikator diselimuti kapas lakukan pengecekan apakah ujung
aplikator yang tajam tidak melampaui ujung kapas. Selanjutnya kapas aplikator
dilewatkan diatas api Bunsen.. Bila secret terlalu profus dapat digunakan bilasan
air hangat yang disesuikan dengan suhu tubuh. Bilasan telinga dilakukan dengan
menyemprotkan air dari spoit langsung ke dalam telinga. Ujung spoit diarahkan
ke dinding atas meatus sehingga diharapkan secret / serumen akan dikeluarkan
oleh air bilasan yang balik kembali.
212
menggunakan cermin nasofaring yang disebut dengan Rhinoskopi posterior
Rhinoskopi anterior
RA dilakukan dengan menggunakan speculum hidung yang disesuaikan
dengan besarnya lubang hidung. Spekulum hidung dipegang dengan tangan
yang dominant. Spekulum digenggam sedemikian rupa sehingga tangkai
bawah dapat digerakkan bebas dengan menggunakan jari tengah, jari manis
dan jari kelingking. Jari telunjuk digunakan sebagai fiksasi disekitar hidung.
Lidah speculum dimasukkan dengan hati-hati dan dalam keadaan tertutup ke
dalam rongga hidung. Di dalam rongga hidung lidah speculum dibuka. Jangan
memasukkan lidah speculum terlalu dalam atau membuka lidah speculum
terlalu lebar. Pada saat mengeluarkan lidah speculum dari rongga hidung ,
lidah speculum dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat untuk menghindari
terjepitnya bulu-bulu hidung.
Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari dasar rongga
hidung, konka-konka, meatus dan septum nasi. Perhatikan warna dan
permukaan mukosa rongga hidung, ada tidaknya massa , benda asing dan secret.
Struktur yang terlihat pertama kali adalah konka inferior . Bila ingin melihat
konka medius dan superior pasien diminta untuk tengadahkan kepala.
Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan
tampon kapas efedrin yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk mengurangi edema mukosa.
Rhinoskopi posterior
Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, 1/3 dorsal
lidah ditekan dengan menggunakan spatel lidah. Jangan melakukan penekan
yang terlalu keras pada lidah atau memasukkan spatel terlalu jauh hingga
mengenai dinding faring oleh karena hal ini dapat merangsang refleks muntah.
Cermin nasofaring yang sebelumnya telah dilidah apikan, dimasukkan ke
belakang rongga mulut dengan permukaan cermin menghadap ke atas.
Diusahakan agar cermin tidak menyentung dinding dorsal faring.. Perhatikan
struktur rongga nasofaring yang terlihat pada cermin.
Amati septum nasi bagian belakang, ujung belakang konka inferior, medius dan
superior, adenoid (pada anak), ada tidak secret yang mengalir melalui meatus.
Perhatikan pula struktur lateral rongga nasofaring : ostium tuba, torus tubarius,
fossa Rossenmulleri
213
Selama melakukan pemeriksaan pasien diminta tenang dan tetap bernapas
melalui hidung. Pada penderita yang sangat sensitif, dapat disemprotkan anestesi
lokal ke daerah faring sebelum dilakukan pemeriksaan.
PEMERIKSAAN FARING
Penderita diinstruksikan membuka mulut, perhatikan struktur di dalam cavum
oris mulai dari gigi geligi, palatum, lidah, bukkal. Lihat ada tidaknya kelainan
berupa, pembengkakan, hiperemis, massa, atau kelainan congenital.
Lakukan penekanan pada lidah secara lembut dengan spatel lidah. Perhatikan
struktur arkus anterior dan posterior, tonsil, dinding dorsal faring.
Deskripsikan kelainan-kelainan yang tampak .
Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada daerah mukosa
bukkal, dasar lidah dan daerah palatum untuk menilai adanya kelainan-
kelainan dalam rongga mulut
214
a. Ruangan Test. Salah satu sisi atau sudut menyudut ruangan harus ada jarak
sebesar 6 meter. Ruangan harus bebas dari kebisingan. Untuk menghindari
gema diruangan dapat ditaruh kayu di dalamnya.
b. Pemeriksa. Sebagai sumber bunyi harus mengucapkan kata-kata dengan
menggunakan ucapan kata-kata sesudah expirasi normal.
Kata-kata yang dibisikkan terdiri dari 2 suku kata (bisyllabic) yang terdiri
dari kata-kata sehari-hari. Setiap suku kata diucapkan dengan tekanan yang
sama dan antara dua suku kata bisyllabic “Gajah Mada P.B.List” karena
telah ditera keseimbangan phonemnya untuk bahasa Indonesia.
c. Penderita. Telinga yang akan di test dihadapkan kepada pemeriksa dan
telinga yang tidak sedang ditest harus ditutup dengan kapas atau oleh
tangan si penderita sendiri. Penderita tidak boleh melihat gerakan mulut
pemeriksa.
Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang jelas
misalnya anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar harus
diulangi dengan suara keras. Kemudian dilakukan test sebagai berikut :
a. Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata bisyllabic.
Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari penderita) dan
test ini dimulai lagi. Bila masih belum menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan
demikian seterusnya sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10
kata-kata yang dibisikkan. Jarak dimana penderita dapat menyahut 8 dari 10
kata diucapkan di sebut jarak pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai
ditemukan satu jarak pendengaran.
Evaluasi test.
a. 6 meter - normal
b. 5 meter - dalam batas normal
c. 4 meter - tuli ringan
d. 3 – 2 meter - tuli sedang
e. 1 meter atau kurang - tuli berat
Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara kasar
derajat ketulian (kuantitas). Bila sudah berpengalaman test suara bisik dapat pula
secara kasar memeriksa type ketulian misalnya :
a. Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w (meja
dikatakan becak, gajah dikatakan kaca dan lain-lain).
b. Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang umumnya
berfrekwensi tinggi seperti s, sy, c dan lain-lain (cicak dikatakan tidak, kaca
dikatakan gajah dan lain-lain).
215
yaitu makin keras sentuhan garpu tala makin keras pula intensitas yang didengar.
Sentuhan garpu tala harus lunak tetapi masih dapat didengar oleh telinga
normal. Di poliklinik dapat dilakukan empat macam test garpu tala yaitu :
a. Test garis pendengaran
b. Tets Weber
c. Tets Rinne
d. Test Schwabach
Cara pemeriksaan.
Semua garpu tala satu demi satu disentuh secara lunak dan diletakkan kira-kira
2,5 cm di depan telinga penderita dengan kedua kakinya berada pada garis
penghubung meatus acusticus externus kanan dan kiri. Penderita
diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila mendengarkan bunyi.Bila
penderita mendengar, diberi tanda (+) pada frekwensi yang bersangkutan dan
bila tidak mendengar diberi tanda (-) pada frekwensi yang bersangkutan.
Contoh hasil pemeriksaan Garis pendengaran :
Ka Frekwensi Ki
- 2.048 +
- 1.024 +
- 512 +
- 256 -
+ 128 -
telinga kanan tidak mendengar frekwensi 2. 048 Hz dan 1. 024Hz sedang
frekwensi-frekwensi lain dapat didengar, telinga kiri tidak mendengar
frekwensi 128 Hz dan 256 Hz, sedangkan frekwensi-frekwensi lain dapat
didengar.
Evaluasi test garis pendengaran. Pada contoh di atas telinga kanan batas
atasnya menurun berarti telinga kanan menderita tuli sensorineural. Pada
telinga kiri batas bawahnya meningkat berarti telinga kiri menderita tuli
konduktif.
Test Weber.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan.
Telinga normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh
diletakkan pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakah
mendengar atau tidak. Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga mana
didengar lebih keras. Bila terdengar lebih keras di kanan disebut lateralisasi
ke kanan.
216
b. Evaluasi Tets Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada beberapa
kemungkinan
1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural
3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural
4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
5. Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena tidak dapat
menegakkan diagnosa secara pasti.
Test Rinne.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara
pada satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang dari
hantaran tulang. Juga pada tuli sensorneural hantaran udara lebih panjang
daripada hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli konduktif hantaran tulang
lebih panjang daripada hantaran udara.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunak
pada tangan dan pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum dari
telinga yang akan diperiksa. Kepada penderita ditanyakan apakah
mendengar dan sekaligus di instruksikan agar mengangkat tangan bila
sudah tidak mendengar. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala
dipindahkan hingga ujung bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus
akustikus eksternus dari telinga yang diperiksa. Bila penderita masih
mendengar dikatakan Rinne (+). Bila tidak mendengar dikatakan Rinne (-)
b. Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli sensorineural.
Rinne negatif berarti tuli konduktif.
c. Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-hati
dengan apa yang dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi pada tuli
sensorineural yang unilateral dan berat.
Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum getarannya di
tangkap oleh telinga yang baik dan tidak di test (cross hearing). Kemudian
setelah garpu tala diletakkan di depan meatus acusticus externus getaran
tidak terdengar lagi sehingga dikatakan Rinne negatif
+ R -
Test Schwabach.
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita dengan
hantaran tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus
normal.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh
secara lunak diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum penderita.
Kemudian kepada penderita ditanyakan apakah mendengar, sesudah itu
sekaligus diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila sudah tidak
mendengar dengungan. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala segera
dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa.
Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan schwabach
217
memendek atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila pemeriksa
tidak mendengar harus dilakukan cross yaitu garpu tala mula-mula
diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa kemudian bila sudah tidak
mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan ke planum mastoideum
penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar dengungan.
Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal dan bila
masih mendengar dikatakan schwabach memanjang.
b. Evaluasi test schwabach
1. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan
dan keadaan ini ditemukan pada tuli sensory neural
2. Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungan
dan keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif
3. Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak
mendengar dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti telinga
penderita normal juga.
PEMERIKSAAN VESTIBULER
Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi keseimbangan.
218
kurangnya fiksasi visual pada saat tes
Berkurangnya fiksasi visual behubungan dengan menurunnya fungsi
kanalis semisirkularis ipsilateral (sisi lesi)
TES ROMBERG
Tes screening untuk keseimbangan berdiri
Pasien diminta untuk berdiri dengan kaki sejajar, kedua tangan
menyilang di dada
Bandingkan pada saat mata terbuka dan mata tertutup masing-masing
selama 30 detik
TES STEPPING
Pasien diminta untuk berdiri jalan ditempat dengan kedua tangan
dijulur kedepan dada sambil menutup mata.
Pasien dalam posisi baring dengan kepala dielevasi 30 derajat di atas bidang
horizontal. Air steril sebanyak 20 cc dengan suhu 20 derajat dimasukkan ke dalam
liang telinga selama 5 detik. Setelah itu penderita menghadap ke atas dan
diinstruksikan untuk tetap membuka mata selama tes dilakukan. Nistagmus
yang terjadi diamati. Catat jumlah, lama, arah dan keluhan yang menyertai
nistagmus (mis: vertigo, mual, muntah dll). Normal akan didapatkan nistagmus
selama lebih dari 2 menit dan selisih waktu nistagmus pada kedua labirin tidak
lebih dari 20 detik. Tes ini bermakna bila diidapatkan nistagmus kurang dari 90
detik. Hal ini didapatkan pada moderat hipoexcitability (canal paresis) labirin.
Bila dengan suhu 20 derajat tidak didapatkan respon maka tes ini dilanjutkan
dengan air suhu 10 derajat atau 0 derajat. Bila pada suhu ini tidak didapatkan
respon, ini menandakan adanya komplit kanal paresis atau kanal paresis berat.
Untuk rasa manis letakkan pada ujung lidah, rasa asam pada kedua tepi lidah,
rasa asin pada ujung dan tepi lidah, rasa pahit pada belakang lidah. Tes
219
dilakukan satu persatu kemudian di catat berapa waktu yang dibutuhkan pada
saat meletakkan bahan tes sampai terjadi sensasi, catat sensasi yang dirasakan
oleh penderita. Sebaiknya penderita disuruh berkumur-kumur setiap selesai
satu tes sebelum dilanjutkan ke tes berikutnya.
Nilai normal diperoleh bila penderita dapat merasakan sensasi rasa manis 50
detik setelah diletakkan dan mencapai puncaknya dalam waktu 2 menit. Untuk
sensasi rasa asin sensasi dirasakan pada saat substansi diletakkan dan menurun
dalam waktu 2 menit. Untuk sensasi asam dan pahit nilai normal didapatkan
bila penderita merasakan sensasi tersebut dalam 2 menit. Dikatakan Hipogeusia
bila sensasi dirasakan setelah 2 menit dan Ageusia bila penderita tidak merasakan
apa-apa.
220
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN FISIS THT
221
Tampak menekan dengan jari telunjuk tangan kanan pada
daerah pangkal hidung, pipi, supra orbitalis dan daerah
interkantus untuk menilai adanya kelainan-kelainan pada
hidung dan sinus paranasalis
j. Rinoskopi anterior
Melakukan pemilihan spekulum hidung yang tepat
Memegang dan memasukkan spekulum hidung ke dalam
rongga hidung
Mengarahkan sorotan lampu kepala ke dalam rongga
hidung
Menilai struktur di dalam rongga hidung
Melihat fenomena “palatum molle”
Mengeluarkan spekulum hidung dari rongga hidung
k. Rinoskopi posterior:
Melakukan pemilihan cermin nasofaring yang tepat
Menyuruh penderita membuka mulut
Melakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
Melidah apikan cermin nasofaring sebelum dimasukkan ke
dalam orofaring
Memposisikan cermin nasofaring di dalam orofaring
Menilai struktur di dalam nasofaring
Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
l. Faringoskopi
Penderita diinstruksikan membuka mulut
Lakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
Tampak memperhatikan keadaan cavum oris sampai
orofaring
Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada
daerah mukosa bukkal, dasar lidah dan daerah palatum
untuk menilai adanya kelainan-kelainan dalam rongga
mulut
PEMERIKSAAN LARING FARING
Laringoskopi indirek
Melakukan pemilihan cermin laring yang tepat
Instruksikan penderita untuk membuka mulut dan
menjulurkan lidah sejauh
Pegang lidah dengan kasa steril . Pasien diinstruksikan
untuk bernafas secara normal
Masukkan cermin laring yang telah dilidah apikan ke
dalam orofaring .
Posisikan cermin laring sedemikian rupa hingga tampak
struktur di daerah hipofaring
Menilai mobilitas plika vocalis dengan menyuruh
penderita mengucapkan huruf i berulang kali
Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
Angkat kedua tangan dari dinding perut ibu kemudian
ambil stetoskop monoaural dengan tangan kiri, kemudian
222
tempelkan ujungnya pada dinding perut ibu yang sesuai
dengan posisi punggung bayi (bagian yang memanjang
dan rata).
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
LANGKAH KLINIK KASUS
A. TES BISIK
Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
untuk pemeriksaan
Mengatur posisi duduk dengan pasien
Dengan menggunakan sisa udara ekspirasi pemeriksa
membisikkan beberapa kata bisyllabic pada jarak 6 meter
Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter
dari penderita) dan test ini dimulai lagi. Bila masih
belum menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian
seterusnya sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-
kata dari 10 kata-kata yang dibisikkan.
Catat hasil yang diperoleh dan interpretasinya.
223
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan
lembut.
Letakkan pada dahi atau vertex
Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan telinga mana
yang lebih jelas mendengar bunyi
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
7. Tes Schwabach
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan
lembut.
Letakkan pada planum mastoid.
Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila
sudah tidak mendengar bunyi dari garpu tala atau
sebaliknya
Pindahkan garpu tala ke planum mastoid pemeriksa bila
penderita sudah tidak mendengar
Tes dilakukan pada kedua telinga
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
8.Tes Bing
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan
lembut.
Letakkan pada planum mastoid
Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan mana yang
lebih jelas mendengar bunyi pada saat liang telinga tertutup
atau terbuka
Tes ini untuk memastikan gangguan konduktif
224
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
LANGKAH KLINIK KASUS
TES KESEIMBANGAN
TES HEADSHAKE NYSTAGMUS
TES ROMBERG
Pasien diminta untuk berdiri dengan kaki sejajar,
kedua tangan menyilang di dada
Bandingkan pada saat mata terbuka dan mata tertutup
masing-masing selama 30 detik
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
225
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN PENGHIDU DAN PENGECAPAN
LANGKAH KLINIK KASUS
TES PENGHIDU
Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk
pemeriksaan
Mengatur posisi duduk dengan pasien
Penderita diinstruksikan untuk menutup mata dan lubang
hidung yang tidak akan di tes.
Letakkan bahan tes di depan mid sternum, kira-kira 20-30 cm
dari lubang hidung yang akan diperiksa.
Perlahan-lahan gerakkan bahan tes dari bawah ke atas menuju
lubang hidung yang akan diperiksa
Tanyakan kepada penderita sensasi bau apa yang dihidu
Catat hasil dan interpretasi
TES PENGECAPAN
Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Mempersiapkan alat yang akan digunakan untuk pemeriksaan
Mengatur posisi duduk dengan pasien
Penderita diinstruksikan menjulurkan lidah sementara hidung
ditutup.
Letakkan bahan tes sebagai berikut : untuk rasa manis
letakkan pada ujung lidah, rasa asam pada kedua tepi lidah, rasa
asin pada ujung dan tepi lidah, rasa pahit pada belakang lidah.
Catat waktu yang dibutuhkan pada saat meletakkan bahan tes
sampai terjadi sensasi, catat sensasi yang dirasakan oleh
penderita.
Penderita disuruh berkumur-kumur setiap selesai satu tes
sebelum dilanjutkan ke tes berikutnya
226
BUKU PANDUAN KERJA
KETERAMPILAN KLINIK
PEMERIKSAAN PALPASI KELENJAR
LIMFA LEHER
Diedit oleh
dr. Baedah Madjid, Sp.MK
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2016
227
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN
PALPASI KELENJAR LIMFA LEHER
PENDAHULUAN
Palpasi kelenjar leher adalah bagian dari pemeriksaan fisis yang digunakan untuk
mengetahui sifat-sifat dari suatu massa yang terdapat pada leher dengan jalan melakukan
perabaan dengan saksama. Pemeriksaan ini dilakukan setelah inspeksi. Dengan melakukan
palpasi yang benar maka dapat diketahui letak dari pembesaran kelenjar/massa,
bagaimana konsistensinya lunak, fluktuasi, kenyal atau padat; berapa ukurannya; melekat
dengan struktur disekitarnya, apakah nyeri atau tidak; apakah tunggal atau multiple.
INDIKASI
Untuk mengetahui sifat-sifat dari suatu pembesaran kelenjar limfa massa pada leher
yang mana sangat berhubungan dengan suatu tumor ganas maupun jinak atau suatu
infeksi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu melakukan palpasi kelenjar atau massa pada leher dengan benar dan
tepat.
SASARAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu mempersiapkan penderita dalam rangka pemeriksaan palpasi
kelenjar limfa leher.
2. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan palpasi kelenjar limfa dengan benar.
3. Mahasiswa mampu menentukan sifat-sifat pembesaran kelenjar limfe leher.
4. Mahasiswa dapat menginterpretasi pembesaran kelenjar limfa leher.
5. Mahasiswa mampu menentukan apakah pemebesaran kelenjar leher lateral
merupakan keganasan, infeksi akut, tbc kelenjar atau kelainan congenital
MEDIA DAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN
1. Buku panduan skill lab
2. Daftar panduan skill lab
3. Gambar/ slide cara palpasi kelenjar limfe leher
4. Alat tulis menulis / spidol
5. Foto-foto kasus pembesaran kelenjar limf leher
METODE PEMBELAJARAN
1. Demonstrasi dan alih ketrampilan
2. Diskusi
3. Daftar tilik dengan sistem skor
228
DESKRIPSI KEGIATAN
229
PENUNTUN PEMBELAJARAN
PALPASI KELENJAR LIMFA LEHER SISTEM ONKOLOGI
Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan menggunakan kriteria sebagai berikut :
1. Perlu perbaikan : langkah-langkah tidak dilakukan dengan benar
dan tidak sesuai urutannya atau ada langkah yang dihilangkan
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar dan sesuai
dengan urutannya, tetapi tidak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan benar, sesuai dengan urutannya dan
efisien
TS Tidak Sesuai : Langkah tidak perlu dikerjakan karena tidak sesuai dengan
keadaan
230
ujung jari-jari meraba di bawah tepi mandibula. Kepala dapat
dimiringkan dari satu sisi kesisi yang lain sehingga palpasi dapat
dilakukan pada kelenjar yang superficial maupun yang
profunda.Dapat juga dilakukan palpasi bimanual dari luar dan dalam
mulut. Gambar 2,3,4.
10. Palpasi rantai kelenjar jugularis dapat dimulai di uperficial dengan
melakukan penekanan ringan dengan menggerakan jari-jari
sepanjang m.sternocleido mastoideus. Pada palpasi yang lebih
dalam, ibu jari ditekan di bawah m. Sternocleido mastoideus pada
kedua sisi sehingga dapat dipalpasi kelenjar yang terdapat di sub atau
retro dari muskulus ini. Bila pemeriksaan ini negatip atau
meragukan, maka pemeriksa harus berdiri dibelakang penderita
kemudian ibu jari digunakan untuk menggeser m. Sternocleido
mastoideus ke depan sementara jari yang lain meraba pada tepi
anterior muskulus tersebut. Perabaan secara bilateral dan simultan
selalu dianjurkan untuk menilai perbedaan antara kedua sisi. Palpasi
kelenjar leher ini agak sulit pada orang gemuk, leher pendek dan
leher yang berotot, terutama bila kelenjarnya masih kecil.
Gambar 5,6,7.
11. Palpasi kelenjar limfa asesorius dilakukan dengan menekan ibu jari
pada tepi posterior m. trapezius ke depan dan jari-jari ditempatkan pada
permukaan anterior muskulus ini. Gambar 8
12. Palpasi kelenjar limfa supraklavikular dapat dilakukan dengan
duduk di depan atau berdiri dibelakang penderita dimana jari-jari
digunakan untuk palpasi fosa supraklavikular. Gambar 9,10.
B. SELESAI PEMERIKSAAN 1 2 3
13. Jelaskanlah hasil pemeriksaan kepada penderita
14.. Ucapkanlah terima kasih dan salam ke pada penderita
15. Lakukanlah perpisahan dengan klien sambil memberinya harapan.
16.. Cucilah tangan dengan air dan sabun cair
231
232
Fig. 5.8 Bimanual palpation of the submental region.
This allows comparison between the two sides
Gambar 2 Gambar 3
Gambar 4
233
/
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
234
Gambar 9 Gambar 10
235