PEMERIKSAAN KLINIS
NEUROLOGIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
SEMESTER III TAHUN 2014
SKILLS LAB
PEMERIKSAAN
KLINIS NEUROLOGIS
TIM PENYUSUN:
dr. Meryana, M.Kes, Sp.S
Prof. dr. Gunawan Budiarto, Sp.S(K)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
SEMESTER III TAHUN 2014
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN .............................................................................................. 1
SAMPUL DALAM ............................................................................................. 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
1. Tinjauan Pemeriksaan Fisik Neurologi ....................................................................... 6
2. Anamnesis ................................................................................................................... 9
3. Pemeriksaan Kesadaran ............................................................................................... 12
4. Pemeriksaan Rangsang Meningeal .............................................................................. 19
5. Pemeriksaan Saraf Kranialis ....................................................................................... 24
6. Pemeriksaan Sistim Motorik ....................................................................................... 57
7. Gerakan Involunter..................................................................................................... . 65
8. Pemeriksaan Fungsi Koordinasi (Serebelum).............................................................. 69
9. Pemeriksaan Refleks................................................................................................... . 76
10. Pemeriksaan Sistim Sensorik .................................................................................... 96
11. Pemeriksaan Fungsi Sistem Saraf Otonom ............................................................... 115
12. Daftar Pustaka........................................................................................................... . 118
13. Rekam Medik Neurologi untuk Dokter Muda.......................................................... . 119
KATA PENGANTAR
Keterampilan klinis perlu dilatihkan sejak awal hingga akhir pendidikan dokter secara
berkesinambungan, dengan tujuan menyiapkan sumber daya yang berkaitan dengan ketrampilan
minimal yang harus dikuasai oleh lulusan dokter layanan primer. Prosedur pemeriksaan klinis
neurologis merupakan ketrampilan klinis yang wajib dikuasai olah mahasiswa kedokteran.
Dengan mempelajari mata kuliah ini, mahasiswa dapat memahami dan melakukan dengan benar
cara - cara pemeriksaan fisik neurologis dan sebagai landasan untuk mengikuti kepaniteraan
klinik di rumah sakit.
Melalui buku skills lab prosedur pemeriksaan klinis neurologis, mahasiswa diharapkan
mampu memahami dan melakukan dengan benar pemeriksaan anamnesis neurologis,
pemeriksaan kesadaran, rangsang meningeal, saraf kranialis, sistim motorik dan fungsi
serebellum, sistim sensorik, sistim saraf otonom, serta interpretasi dari pemeriksaan-pemeriksaan
tersebut.
Semoga buku skills lab prosedur pemeriksaan indera pendengaran ini dapat bermanfaat
dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran pada program pendidikan dokter.
Tim Penyusun
CARA PENGGUNAAN BUKU INI
Untuk mahasiswa
Bacalah penuntun skills lab ini sebelum proses pembelajaran dimulai. Hal ini akan
membantu saudara lebih cepat memahami materi skills lab yang akan dipelajari dan
memperbanyak waktu untuk latihan dibawah pengawasan instruktur masing-masing.
Bacalah juga bahan /materi pembelajaran yang terkait dengan keterampilan yang akan
dipelajari seperti: anatomi, fisiologi, biokimia, dan ilmu lainnya. Hal ini akan membantu saudara
untuk lebih memahami ilmu-ilmu tersebut dan menemukan keterkaitannya dengan skills lab yang
sedang dipelajari.
Mahasiswa juga diwajibkan untuk menyisihkan waktu diluar jadwal untuk belajar /
latihan mandiri.
Tim Penyusun
PROSEDUR
PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGIS
2. Microfon
5. Funduskopi
6. Pen light
7. Kapas / tissue
8. Stopwatch, arloji
9. Garpu tala
13. Jarum
5. http://herkules.oulu.fi/isbn9514271343/html/x
688.html, 2003 Oulu University Library
Pemeriksaan Neurologi
Pendahuluan
Untuk menegakkan diagnosis penyakit saraf, diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik umum dan pemeriksaan neurologis, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
neurologis meliputi pemeriksaan kesadaran, rangsang selaput otak, saraf otak, sistem
motorik, sistem sensorik refleks dan pemeriksaan mental (fungsi luhur).
Pemeriksaan neurologik merupakan pemeriksaan klinik yang relatif sulit dan
memerlukan kecermatan serta kehati-hatian. Interpretasi dan / atau penilaian hasil
pemeriksaan neurologik sangat berarti dalam penegakan diagnosis topik maupun
prognosis. Sebagai contoh, dari aspek anamnesis ada suatu pesan sebagai berikut: listen
carefully, the pasien is telling you about the diagnosis. Adanya defisit neurologik
maupun tanda dan gejala lainnya sebenarnya merupakan refleksi diagnosis yang masih
tersamar. Dengan demikian pemeriksaan neurologik secara teliti dan sistematik akan
dapat mengungkap diagnosis klinik dan topik. Dari diagnosis ini maka perencanaan
pemeriksaan tambahan / penunjang dapat disusun secara rasional dan obyektif.
ANAMNESIS
Tujuan Instruksional Umum: Mahasiswa memahami dan melakukan dengan benar cara-
cara anamnesis berupa tanya jawab dengan pasien maupun keluarga dari pasien
ANAMNESIS
Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang
penting. Biasanya penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung,
kadang-kadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan
gejala sisa. Selain itu, ada juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu
tertentu dalam bentuk serangan. Di luar serangan, penderita berada dalam keadaan tanpa
keluhan. Jika penderita datang ke dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk
menegakkan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan laporan yang dikemukakan
oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (allo-anamnesis).
Tidak jarang pula suatu penyakit mempunyai pola perjalanan tertentu. Oleh karena
perjalanan penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis
kita perlu menggali data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat
disebabkan oleh bermacam penyakit. Dengan mengetahui perjalanan penyakit, kita dapat
mendekati diagnosisnya, dan pemeriksaan penunjang yang tidak perlu dapat dihindari.
Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke arah diagnosa yang
tepat.
Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar,
mau mendengarkan dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan
anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri, supaya tidak didengar orang lain.
Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola umum, yaitu:
1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang
dideritanya.
2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau
kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju (anamnesis terpimpin).
Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut di atas.
Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan identitas pasien
berupa nama, umur, pekerjaan, alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu
keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pemeriksa lalu mencari
riwayat penyakit yang sedang diderita pasien dengan menelusuri:
1. Sejak kapan mulai
2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid,
sehabis makan dan lain sebagainya)
5. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang
dalam bentuk serangan, dan lain sebagainya
Selain keluhan utama, pemeriksa perlu menggali keluhan-keluhan tambahan atau
penyakit penyerta, serta riwayat penyakit atau keluhan terdahulu. Tiap keluhan tambahan
atau penyakit penyerta atau riwayat penyakit sebelumnya perlu digali seperti pada
keluhan utama.
Kemampuan menggali keluhan dan penyakit sangat bergantung pada pengetahuan
yang dimiliki pemeriksa. Keluhan yang berbeda dapat memerlukan penggalian yang
berbeda pula, kadang-kadang disebut anamnesis khusus. Pada tiap penderita penyakit
saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan di bawah ini dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Nyeri kepala : Apakah ada nyeri kepala? Bagaimana sifatnya? Apakah nyeri
kepala dalam bentuk serangan atau terus menerus? Bagaimana intensitasnya? Di
mana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin berat atau makin sering?
Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari? Apa pencetusnya? Hal-hal apa
yang memperingan atau memperberat nyeri? Pengobatan apa yang telah
dilakukan, dan bagaimana efeknya?
2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba,
mendadak, seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)? Apakah muntah
terjadi pada waktu-waktu tertentu, misalnya pagi?
3. Vertigo : Apakah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau
anda merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada
hubungannya atau dicetuskan dengan perubahan sikap tubuh? Apakah disertai
rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus (telinga berdenging, berdesis)?
Apakah disertai keirngat dingin? Berapa lama durasinya? Bagaimana
frekuensinya? Bagaimana polanya? Apakah timbulnya berupa serangan-serangan
atau keluhannya terus-menerus? Apakah makin lama makin berat?
4. Gangguan penglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun
pada satu atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)? Apakah
berlangsung pelan-pelan atau mendadak?
5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda, pada telinga sebelah
mana? Adakah tinitus (bunyi berdenging/berdesis) pada telinga? Pernahkah keluar
cairan dari telinga? Apakah terdapat riwayat infeksi atau trauma pada telinga?
6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi
(pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah?
Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah
suara anda berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang
(afonia)? Apakah bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan
(disfagia)?
7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah
anda menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau
memahami pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan
kemampuan membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami
apa yang anda baca? Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah
kemampuan menulis berubah, bentuk tulisan berubah?
8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui
apa yang terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan
seperti mau pingsan (sinkop)?
9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan,
lengan, kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau
berkurang? Apakah gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada
bagian tubuh atau ekstremitas badan yang abnormal dan tidak dapat anda
kendalikan (khorea, tremor, tik)?
10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau
ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar?
Dimana tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar?
11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi),
dan nafsu seks (libido) anda? Adakah gangguan BAK dan BAB (retensio atau
inkontinesia urin atau alvi)?
PEMERIKSAAN KESADARAN
Tujuan Instruksional Umum: Mahasiswa memahami dan melakukan dengan benar cara-
cara pemeriksaan kesadaran dan penilaiannya
PEMERIKSAAN KESADARAN
Pemeriksaan saraf otak dapat membantu kita menentukan lokasi lesi dan jenis
penyakit. Untuk melakukan pemeriksaan sekaligus penilaiannya, perlu pemahaman
anatomi, fungsi, dan hubungan saraf-saraf otak ini dengan struktur lainnya. Saraf otak
terbagi atas saraf otak I-XII (Nervus kranialis I-XII). Saraf otak I dan II merupakan jaras-
jaras berupa tonjolan otak. Saraf otak XI berasal dari segmen servikal atas medula
spinalis. Saraf otak III-X & XII keluar dari batang otak.
Tujuan pemeriksaan :
1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (visus) dan menentukan apakah kelainan
pada penglihatan disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau oleh kelainan saraf.
2. Pemeriksaan lapangan (medan) penglihatan
3. Pemeriksaan pengenalan warna
4. Pemeriksaan fundus (funduskopi) untuk menentukan apakah terdapat kelainan
papil optikus atau tidak
5. Pemeriksaan refleks cahaya (dibicarakan pada bagian pemeriksaan N.III)
Pemeriksaan dan Interpretasi Tajam Penglihatan (Visus)
Persiapan pemeriksaan :
- Ruang harus cukup terang
- Yakinkan bahwa tidak ada katarak, radang parut di kornea atau nebula, iritis,
uveitis, glaukoma atau korpus alienum
- Dengan menggunakan kertas yang berlubang kecil, dapat diambil kesan adanya
faktor refraksi dalam penurunan visus, bila dengan melihat melalui lubang kecil
huruf bertambah jelas maka faktor yang berperan mungkin gangguan refraksi.
Pemeriksaan dengan Kartu Snellen (Snellen Chart)
Pasien berdiri 6 m dari kartu Snellen. Mata kiri ditutup dengan tangan kiri dan visus mata
kanan diperiksa. Dengan mata kanannya, pasien diminta membaca
huruf-huruf dalam kartu Snellen. Begitu juga sebaliknya untuk mata kiri.
Interpretasi :
Visus normal : 6/6
x : jarak penderita dengan kartu snellen
y : jarak, dimana orang normal dapat melihat tulisan dalam kartu snellen
Untuk penglihatan jarak dekat, digunakan Jagger reading card.
Tes Konfrontasi
Tes Perimeter
Fungsi Nn. III, IV, dan VI saling berkaitan dan diperiksa bersama sama.
Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler.
Pergerakan bola mata ke bawah lateral oleh M. Obliquus superior diatur oleh N.
IV, sementara gerakan bola mata ke arah lateral oleh M. Rectus lateralis diinervasi oleh
N. VI.
Fungsi N. III adalah mempersarafi M. Rectus medial yang menggerakkan bola
mata ke medial, M. Rectus superior yang menggerakkan bola mata ke atas lateral, M.
Rectus inferior yang menggerakkan bola mata ke bawah medial, M. Obliquus inferior
yang menggerakkan bola mata ke atas medial, juga M. Levator palpebrae yang
mengangkat kelopak mata. Serabut otonom N. III (N. Ciliaris) mengatur otot pupil.
Kelumpuhan N. III menimbulkan ptosis, oftalmoplegia (gangguan pergerakan bola mata),
gangguan refleks cahaya sampai midriasis (pada kelumpuhan total).
Interpretasi
Normal :
- Bentuk pupil : bulat reguler
- Ukuran pupil : 3 mm
- Posisi pupil : di tengah-tengah
- Isokor
- Reflek cahaya langsung (+)
- Reflek cahaya konsensuil (+)
- Reflek akomodasi/konvergensi (+)
Kelainan :
- Pintpoin pupil
- Bentuk ireguler
- Anisokor dengan kelainan reflek cahaya
- Pupil marcus gunn
- Pupil argyll robertson
- Pupil adie
- dll
PEMERIKSAAN SARAF OTAK V ( NERVUS TRIGEMINUS ).
Nervus trigenimus mempunyai fungsi motorik dan sensorik, terbagi atas 3 (tiga) cabang,
V1 (N. Opthalmica) , V2 (N. Maxillaris), dan V3 (N. Mandibularis).
Cara Pemeriksaan
1. Pemeriksaan motorik
Serabut motorik N. V hanya mengikuti cabang ke-3 (N. Mandibularis). Otot yang
dipersarafi adalah M. Masseter, M. Temporalis, M. Pterigoideus eksternus dan
internus.
a. Menggigit
Cara pemeriksaan:
- Pasien disuruh menggigit sekuat-kuatnya. Selama pasien menggigit,
pemeriksa melakukan palpasi pada M. Masseter dan Temporalis untuk
memeriksa adakah kontraksi. Normalnya, pada sisi kiri dan kanan
kekuatan, besar dan tonusnya sama. Bila ada kelumpuhan unilateral, maka
serabut motorik N. V yang ipsilateral tak mampu mengontraksikan M.
Masseter dan Temporalis.
- Kayu tong spatel digigit bergantian, lalu bandingkan bekas gigitan (M.
Pterigoideus medialis). Bekas gigitan pada sisi M. Pterigoideus medialis yang
lumpuh lebih dangkal.
b. Membuka mulut dan menggerakkan rahang bawah
Cara pemeriksaan:
- Pasien diminta untuk membuka mulutnya.
- Pemeriksa berdiri di depan pasien dan mengawasi rahang bawah pasien:
apakah simetris atau menyimpang (ada deviasi rahang bawah). Sebagai
pegangan diambil gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.
- Jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong ke sisi lesi. Deviasi rahang
bawah saat membuka mulut ke sisi M. Pterigoideus lateralis yang lumpuh
karena M. Pterigoideus lateralis yang sehat akan mendorong mandibula ke
depan tanpa diimbangi oleh sisi yang lain.
- Cara lain pasien diminta mempertahankan rahang bawahnya ke samping dan
kita beri tekanan untuk mengembalikan rahang bawah ke posisi tengah. Bila
terdapat parese di sebelah kanan, rahang bawah tidak dapat digerakkan ke
samping kiri.
2. Pemeriksaan sensorik
Sensibilitas wajah diperiksa di 3 daerah berbeda, yaitu atas, tengah dan bawah,
karena masing-masing diinervasi oleh cabang yang berbeda yaitu cabang
ophtalmicus, maxillaris dan mandibularis.
Alat yang digunakan:
- untuk sensasi nyeri superfisial, gunakan jarum
- untuk sensasi rasa raba halus, gunakan kapas/bulu
- untuk sensasi termis, gunakan tabung berisi air panas/dingin.
Cara pemeriksaan:
- Pasien harus kooperatif
- Selama pemeriksaan sensibilitas kedua mata harus ditutup agar pasien tidak
tahu bagian tubuh yang diperiksa
- Dengan kapas/bulu, jarum, dan tabung berisi air panas/dingin, dapat diperiksa
rasa nyeri dan suhu; kemudian lakukan pemeriksaan pada dahi, pipi dan
rahang bawah sesuai area persarafan N. V1, 2, dan 3.
- Untuk nyeri superfisial, intensitas perangsangan diubah-ubah untuk
mengetahui ketepatan penilaian pasien
- Mintalah respons yang tegas dari pasien; bila pasien merasa ditusuk/digores
maka pasien harus bilang “ya”, atau pasien mengungkapkan sensasi yang
dirasakannya, misalnya tajam, tumpul, panas, dingin
- Bandingkan respons pada kiri dan kanan pasien
- Buatlah peta manifestasi sensorik setelah pemeriksaan selesai
Interpretasi :
Normal : tidak ada gangguan sensibilitas
Contoh kelainan :
- Analgesi : tidak merasakan rangsang nyeri
- Termanestesi : tidak merasakan rangsangan suhu
- Anestesi : tidak merasakan rangsangan raba
3. Pemeriksaan refleks
a. Refleks kornea
- Komponen aferen dan eferen busur refleks kornea disusun oleh serabut
sensorik N. V cabang oftalmik dan serabut eferen N. VII yang mensarafi m.
orbicularis okuli.
- Cara periksa:
- Pasien diminta melirik ke atas atau ke samping supaya mata jangan
berkedip bila kornea hendak disentuh
- Goreskan seutas kapas pada kornea (jangan pada konjungtiva bulbi)
dari arah luar ke arah limbus pada satu sisi untuk membangkitkan
gerakan reflektorik
- Normalnya, pasien akan mengedipkan kedua matanya. Bandingkan
kekuatan kedipan kanan dan kiri.
- Bila pada pemeriksaan kornea kanan, mata sebelah kanan berkedip
sedangkan mata sebelah kiri tidak/kurang berkedip, berarti
kemungkinan terdapat parese N. VII kiri (eferen).
- Bila pada pemeriksaan kornea kanan, mata sebelah kiri berkedip
sedangkan mata sebelah kanan tidak/kurang berkedip, berarti
kemungkinan terdapat parese N. VII kanan (eferen).
- Bila pada pemeriksaan kornea kanan, mata sebelah kanan dan kiri
tidak/kurang berkedip, berarti kemungkinan terdapat lesi N. V kanan
(aferen).
c. Refleks supraorbital
Dengan mengetuk jari pada daerah supraorbital, normalnya akan menyebabkan
mata menutup homolateral (tetapi sering diikuti dengan menutupnya mata yang
lain).
d. Refleks bersin
Alat yang digunakan adalah kapas yang sudah dipilin.
Cara pemeriksaan:
- Mukosa hidung dirangsang/digelitik dengan kapas yang sudah tersedia
- Positif : bila timbul bersin secara reflektorik
e. Refleks zigomatikus
Alat yang digunakan adalah palu refleks.
Cara pemeriksaan:
- Dilakukan pengetukan pada os. zigomatikus dengan palu reflek
- Pada orang sehat tidak akan didapatkan respons, juga pada lesi nuklearis
dan infranuklearis
- Pada orang dengan lesi supranuklearis N. V akan muncul gerak berupa
gerakan rahang bawah ipsilateral.
4. Trismus
Amati apakah terdapat spasme otot-otot rahang.
PEMERIKSAAN SARAF OTAK VII (NERVUS FASIALIS)
Pada pemeriksaan N. VII yang umum diperiksa adalah:
- Pemeriksaan motorik : inspeksi wajah yaitu pada kerutan dahi, kedipan mata,
lipatan nasolabial, dan sudut mulut serta beberapa gerakan volunter dan involunter
reflektorik
- Pemeriksaan sensorik khusus: cita rasa (kecap) lidah
- Pemeriksaan parasimpatis vasomotor: lakrimasi (glandula lakrimasi) dan sekresi air
liur (glandula submaksilaris dan sublingualis)
Gambar Parese N. VII Dekstra; (a) Tipe Perifer, (b) Tipe Sentral
3. Gerakan fasial reflektorik
a. Reflek visuopalpebra
- Ancaman colokan pada salah satu mata akan menimbulkan pejaman pada
kedua mata.
- Hal ini terjadi pada orang normal.
b. Refleks glabela
- Pada orang normal setiap kali glabela diketuk akan menyebabkan kedua mata
berkedip.
- Akan tetapi setelah berturut-turut diketuk (3 – 4 kali) kedipan mata tidak akan
timbul lagi.
- Sebaliknya pada orang dengan demensia, mata akan berkedip terus seiring
dengan ketukan berturut-turut pada glabela itu.
c. Reflek aurikulopalpebra
- Gerak reflek berupa mata, jika terdengar suara keras dan tak terduga
- Dapat dihasilkan melalui tepuk tangan yang keras dan tiba-tiba.
d. Tanda Myerson
- Pada orang normal ketukan pada pangkal hidung menyebabkan kedipan mata
hanya sekali saja
- Pada penderita Parkinson menyebabkan kedipan yang gencar.
e. Tanda Chovstek
- Dengan palu atau ujung jari tangan, cabang-cabang N. fasialis di depan lubang
telinga kita ketuk
- Tanda Chovstek positif bila timbul reflek berupa kontraksi otot-otot rasialis
sebagai jawaban atas pengetukan pangkal cabang-cabang N. fasialis
- Tanda Chovstek positif khas untuk tetani.
Interpretasi :
- Ageusia
- Pargeusia
- Hipoageusia
- Hemiageusia
Pemeriksaan fungsi parasimpatis / vasomotor
1. Sekresi air mata
Dengan menggunakan Schirmer test (lakmus merah). Kertas lakmus diposisikan pada
konjungtiva secara hati-hati.
Ukuran : 0,5 cm x 1,5 cm
Warna berubah menjadi biru, normal: 10 – 15 mm (lama 5 menit).
2. Sekresi air liur oleh Glandula Submaksilaris dan Glandula Sublingualis
Raba permukaan dalam mukosa pipi; rasakan apakah terdapat hiposekresi air liur.
Interpretasi :
Normal : Lakrimasi dan sekresi glandula submasilaris dan sublingualis baik
Kelainan : Hiperlakrimasi dan hiposekresi Glandula Submaksilaris dan Sublingualis
Pemeriksaan Hiperakusis
Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang
diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya. Pemeriksaannya, kedua
telinga pasien dipasangi stetoskop. Membran stetoskop kemudian digesek dengan lembut,
lalu tanyakan pada pasien apakah ada satu sisi yang lebih keras intensitas suaranya. Bila
ada, sisi itu adalah bagian yang lesi.
c. Tes Rinne
- Tes Rinne prinsipnya membandingkan hantaran suara lewat udara dan tulang
- Pada orang normal hantaran suara lewat udara adalah lebih baik dibandingkan
lewat tulang (tes ini positif juga pada tuli sensory neural hearing loss, meskipun
perbandingannya lebih kecil).
- Garpu tala yang sudah digetarkan diletakkan dengan kaki menempel os.
Mastoideum pasien
- Pasien diminta memberi tanda bila bunyi garpu tala sudah tidak terdengar lagi.
Pada saat itu juga garpu tala dipindahkan ke depan liang telinga pasien
- Bila normal/hantaran udara baik maka bunyi garpu tala masih terdengar minimal
2 kali lebih lama daripada yang terdengar lewat tulang mastoideum tadi
- Bila masih terdengar berarti tes Rinne (+) pada tulang tersebut. Telinga normal
atau terdapat tuli saraf (sensory neural hearing loss).
- Bila sudah tak terdengar lagi alias suar garpu tala lebih baik jika lewat os.
mastoideum daripada lewat lubang telinga berarti tes Rinne (-), yang ditemui pada
tuli hantaran (tuli konduksi).
d. Tes Weber
- Prinsipnya adalah membandingkan antara tulang antara telinga kiri dan kanan, di
mana getaran akan terdengar lebih keras pada tuli hantaran dibandingkan pada
telinga normal dan atau tuli saraf.
- Garpu tala yang sudah digetarkan diletakkan di verteks.
- Bila suara terdengar sama keras berarti kedua telinga normal.
- Bila salah satu sisi terdengar lebih keras (terjadi lateralisasi) berarti kemungkinan:
i. Sisi tersebut merupakan telinga yang sakit pada pasien tuli hantaran/tuli
konduktif (misalnya otitis media) sebab hantaran tulang sisi yang sakit
diperpanjang
ii. Sisi tersebut merupakan telinga yang sehat pada pasien tuli unilateral; di mana
telinga kontralateral mengalami tuli saraf (sensory neural hearing loss) yang
terdengar lebih lemah
e. Tes Schwabach
- Prinsipnya adalah membandingkan hantaran tulang telinga pasien terhadap
hantaran tulang telinga pemeriksa. Dengan catatan hantaran tulang pemeriksa
dianggap normal (standar).
- Garpu tala yang bergetar langsung diletakkan pada planum mastoideum
pemeriksa, sampai tak terdengar lagi, lalu segera dipindah ke planum mastoideum
pasien. Lalu dilakukan sebaliknya.
- Dapat juga dilakukan sebaliknya pasien duluan.
- Bila pasien masih mampu mendengar dibandingkan pemeriksa, berarti
Schwabach diperpanjang, terdapat tuli hantaran/tuli konduksi pada pasien.
- Jika garpu tala diletakkan lebih dulu pada planum mastiodeum pasien baru setelah
tak terdengar olehnya ke telinga pemeriksa; dan bila pemeriksa masih mendengar
berarti Schwabach diperpendek, maka berarti terdapat tuli saraf (SNHL) pada
pasien.
c. Tes nistagmus
- Cara pemeriksaan di dalam klinik ialah dengan menggunakan tromol berputar
yang dicat seluruhnya dengan kolom putih dan kolom hitams secara bergantian.
- Tromol itu diputar di depan mata pasien dan diminta utuk mengikuti dengan
matanya deretan kolom putih dan hitam yang melintasi lapangan penglihatannya
dari kiri ke kanan datau sebaliknmya, tergantung cara memutar tromol tersebut.
- Perhatikan adanya nistagmus pada pasien.
d. Test melangkah di tempat (Stepping test)
- Pasien disuruh berjalan di tempat, dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah
dengan kecepatan seperti jalan biasa.
- Selama test ini pasien diminta untuk berusaha agar tetap di tempat dan tidak
beranjak dari tempatnya selama test berlangsung.
- Dikatakan abnormal bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari 1 meter dari
tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat.
Pemeriksaan N. XII
PENILAIAN PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS
Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
333
PEMERIKSAAN SISTIM MOTORIK
Pengamatan (Observasi)
Lakukan observasi terhadap :
- Gaya berjalan (gait dan station)
- Simetri tubuh dan ektremitas
- Kelumpuhan badan dan anggota gerak
- Apakah otot eutrofi (ukuran otot normal), atau atrofi (mengecil) atau hipertrofi
(membesar)?
- Apakah terdapat tremor, fasikulasi?
- Dll
Palpasi otot
Yang diperhatikan dan dinilai pada palpasi otot :
- Pengukuran besar otot, tentukan apakah terdapat otot eutrofi (ukuran otot normal),
atau atrofi (mengecil) atau hipertrofi (membesar)
- Nyeri tekan
- Kontraktur
- Konsistensi (kekenyalan)
i. Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:
- Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP
- Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas)
- Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas)
- Kontraktur otot
ii. Konsistensi otot yang menurun terdapat pada :
- Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot
- Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di ”motor end plate”
Perkusi otot
Pada perkusi otot, bisa didapatkan :
- Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan
berlangsung hanya 1 atau 2 detik saja
- Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat
pada pasien mixedema, pasien dengan gizi buruk)
- Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh
karena kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa
Gambar Miotom
Gerakan Involunter
Gerakan involunter ditimbulkan oleh gejala pelepasan yang bersifat positif, yaitu
dikeluarkannya aktivitas oleh suatu nukleus tertentu dalam susunan ekstrapiramidalis
yang kehilangan kontrol akibat lesi pada nukleus pengontrolnya. Susunan ekstrapiramidal
ini mencakup korteks ekstrapiramidalis, nuklues kaudatus, globus pallidus, putamen,
corpus luysi, substansia nigra, nukleus ruber, nukleus ventrolateralis thalami, substansia
retikularis dan serebelum.
Tremor saat istirahat : disebut juga tremol striatal, disebabkan lesi pada corpus striatum
(nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus dan lintasan lintasan penghubungnya)
misalnya kerusakan substansia nigra pada sindroma Parkinson.
Tremor saat bergerak (intensional) : disebut juga tremor serebellar, disebabkan gangguan
mekanisme “feedback” oleh serebellum terhadap aktivitas kortes piramidalis dan
ekstrapiramidal hingga timbul kekacauan gerakan volunter.
Khorea : gerakan involunter pada ekstremitas, biasanya lengan atau tangan, eksplosif,
cepat berganti sifat dan arah gerakan secara tidak teratur, yang hanya terhenti pada
waktu tidur. Khorea disebabkan oleh lesi di corpus striataum, substansia nigra dan corpus
subthalamicus.
Athetose : gerakan involenter pada ektremitas, terutama lengan atau tangan atau tangan
yang agak lambat dan menunjukkan pada gerakan melilit lilit , torsi ekstensi atau torsi
fleksi pada sendi bahu, siku dan pergelangan tangan. Gerakan ini dianggap sebagai
manifestasi lesi di nukleus kaudatus.
Fasikulasi: kontrasi abnormal yang halus dan spontan pada sisa serabut otot yang masih
sehat pada otot yang mengalami kerusakan motor neuron. Kontraksi nampak sebagai
kedutan-kedutan di bawah kulit.
Myokloni : gerakan involunter yang bangkit tiba tiba cepat, berlangsung sejenak, aritmik,
dapat timbul sekali saja atau berkali kali ditiap bagian otot skelet dan pada setiap waktu,
waktu bergerak maupun waktu istirahat.
PENILAIAN PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK
Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
84
Pemeriksaan Fungsi Koordinasi (Serebelum)
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menilai aktivitas serebelum. Serebelum
adalah pusat yang paling penting untuk mengintegrasikan aktivitas motorik dari korteks,
basal ganglia, vertibular apparatus dan korda spinalis. Lesi organ akhir sensorik dan
lintasan – lintasan yang mengirimkan informasi ke serebelum serta lesi pada serebelum
dapat mengakibatkan pasien tidak dapat melakukan gerakan volunter dengan tangan,
lengan atau tungkai dengan halus. Gerakannya kaku dan terpatah-patah. Juga didapatkan
hipotoni, dan gangguan fungsi koordinasi atau sering disebut “cerebellar sign“. Kadang-
kadang pemeriksaan fungsi serebelum ini tidak dapat dipisahkan dari pemeriksaan
keseimbangan N. VIII (N. Vestibularis). Pemeriksaan “cerebellar sign” dikatakan valid
bila tidak terdapat parese.
1.Tes Romberg
- Tes Romberg hanya dilakukan apabila seseorang dapat berdiri tanpa bantuan
- Sebelum pasien menjalani tes Romberg, ia harus diterangkan dengan jelas.
- Pasien disuruh berdiri dengan kedua kakinya dekat satu dengan yang lain, lalu
kedua matanya tertutup hanya selama beberapa detik saja.
- Jika pasien tidak dapat melaksanakan tes tersebut, maka ia diperbolehkan berdiri
dengan kedua tungkainya jauh satu dengan lain, seenaknya sendiri, tetapi dengan
mata tertutup sejenak.
- Orang normal tidak akan terjatuh pada tes Romberg. Pada pasien yang menderita
tabes dorsalis di mana terdapat gangguan kolumna dorsalis sehingga rasa posisi
terganggu, pasien akan jatuh pada bagian yang sakit saat menutup mata, tetapi
tidak akan jatuh bila mata terbuka karena input penglihatan dapat
mengkompensasi keseimbangan dengan serebelum yang intak.
- Test romberg positif: baik dengan mata terbuka maupun dengan mata tertutup,
pasien akan jatuh ke sisi lesi setelah beberapa saat kehilangan kestabilan
(bergoyang – goyang). Ini menunjukkan terdapat gangguan serebelum di mana
pusat koordinasi terganggu.
Tes Romberg
2. Disdiadokokinesis
- Disdiadokokinesis adalah tes untuk menilai kemampuan melakukan gerakan cepat
secara berselingan
- Gerakan tersebut misalnya mempronasi-supinasikan tangan, melakukan
dorsofleksi dan volarfleksi di pergelangan tangan secara berselingan seperti kalau
menepuk-nepuk paha atau membolak-balikkan tangan di atas paha secara
berulang-ulang atau menyentuh ujung jari telunjuk dan ujung ibu jari secara
berulang-ulang.
Heel-to-toe test
4. Tes nistagmus
- Cara pemeriksaan di dalam klinik ialah dengan menggunakan tromol berputar
yang dicat seluruhnya dengan kolom putih dan kolom hitams secara bergantian.
- Tromol itu diputar di depan mata pasien dan diminta utuk mengikuti dengan
matanya deretan kolom putih dan hitam yang melintasi lapangan penglihatannya
dari kiri ke kanan atau sebaliknmya, tergantung cara memutar tromol tersebut.
- Perhatikan adanya nistagmus pada pasien.
5. Tes tandem-walking
- Pasien diminta berjalan di atas garis lurus di mana tumit kaki yang satu berada di
depan jari kaki yang lainnya.
- Pasien yang menderita gangguan serebelum sulit berjalan pada garis lurus pada
tandem walking, dan menunjukkan gejala jalan yang khas yang disebut
“celebellar gait “.
Tes Tandem Gait
PENILAIAN PEMERIKSAAN FUNGSI KOORDINASI (SEREBELUM)
Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
87
PEMERIKSAAN REFLEKS
PENGANTAR REFLEKS
Pakar yang pertama kali diketahui menggunakan kata refleks ialah Rene descartes
pada tahun 1962. Ia melukiskan refleks memejam (refleks ancam), suatu pukulan yang
diancamkan ke mata menyebabkan mata terpejam. Kata refleks dibentuk dari melihat
objek yang mendekat memberikan refleksi di otak. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa refleks ialah jawaban atas rangsang.
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang
terdiri atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistim eferen yang mengaktivasi
organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Misalnya: refleks tendon lutut
timbul karena adanya rangsang (ketokan), reseptor, serabut aferen, ganglion spinal,
neuron perantara, sel neuron motorik, serabut eferen dan efektor (otot). Hal ini
dinamakan lengkung refleks (reflex arc). Bila refleks ini rusak maka lengkung akan
hilang.
Selain lengkungan tadi didapatkan pula hubungan dengan pusat- pusat yang lebih
tinggi di otak dan tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat
yang lebih tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini
akan mengakibatkan rafleks meninggi.
JENIS REFLEKS
Bila dibandingkan dengan pemeriksaan – pemeriksaan lainnya, misalnya
pemeriksaan sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang bergantung kepada kooperasi
pasien. Pemeriksaan refleks dapat dilakukan pada orang yang menurun kesadarannya,
bayi, anak, orang yang rendah intelegensinya dan orang yang gelisah. Itulah sebabnya
pemeriksaan refleks penting nilainya, karena lebih objektif dari pemeriksaan lainnya.
Dalam praktik sehari- hari kita biasanya memeriksa refleks dalam, refleks superficial, dan
refleks patologis.
REFLEKS FISIOLOGIK / REFLEKS DALAM (REFLEKS REGANG OTOT)
Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan, dan
sebagai jawaban maka otot berkontraksi. Refleks dalam juga dinamai refleks regang otot
(muscle stretch reflex). Nama lain bagi refleks ini ialah refleks tendon, refleks periostal,
refleks miotik, dan refleks fisiologis.
Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang bereaksi atau menurut tempat
insersio otot. Misalnya refleks kuadriseps femoris disebut juga refleks tendon lutut atau
refleks patela. Telah dikemukakan bahwa timbulnya refleks ini ialah karena teregangnya
otot oleh rangsang yang diberikan dan sebagai jawaban otot berkontraksi. Rasa regang
(ketok) ini ditangkap oleh alat penangkap (reseptor) rasa proprioseptif, karena itu refleks
ini juga dinamai refleks proprioseptif. Contoh dari refleks dalam ialah refleks kuadriseps
femoris, releks patela.
3. Penderita harus dalam posisi yang relaks dan santai. Bagian tubuh yang akan
diperiksa harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga gerakan otot yang
nantinya akan terjadi dapat muncul secara optimal.
4. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung, kerasnya pukulan harus
dalam batas nilai ambang, tidak terlalu keras.
5. Oleh karena sifat reaksi bergantung pada tonus otot, maka orang diperiksa harus
dalam keadaan sedikit kontraksi. Apabila ingin membandingkan refleks sisi kiri
dan kanan maka posisi ekstremitas harus simetris.
Penilaian Hasil
Tingkat jawaban refleks dapat dinilai sebagai negatif, menurun, normal,
meninggi, dan hiperaktif. Ada pula yang menggunakan kriteria kuantitatif, sebagai
berikut:
0 : negatif
+ : lemah (dari normal)
++ : normal
+++ : jawaban berlebih, area pengetukan refleks meluas
++++ : jawaban refleks berlebihan, terdapat klonus, sering merupakan indikator
lesi/kerusakan traktus piramidal
Tidak ada batas yang tegas antara tingkat refleks yang dikemukakan di atas, yaitu:
tidak ada batas yang tegas antara refleks lemah, refleks normal dan refleks meningkat.
Bila refleksnya negatif, hal ini mudah dipastikan. Pada refleks yang meninggi, daerah
tempat memberikan rangsang biasanya bertambah luas. Misalnya refleks kuadriseps
femoris, bila ia meninggi, maka tempat merangsang tidak saja di tendon di patela, tetapi
dapat meluas sampai tulang tibia atau otot kuadriseps femoris yang dekat dengan tendon.
Kontraksi otot pun bertambah hebat, sehingga mengakibatkan gerakan yang kuat pada
persendiannya. Jika meningginya refleks hebat, kadang – kadang didapatkan klonus,
yaitu otot berkontraksi secara klonik. Pada refleks yang lemah, kita perlu mempalpasi
otot untuk mengetahui apakah ada kontraksi. Kadang – kadang kita perlu pula melakukan
sedikit upaya untuk memperjelas refleks yang lemah. Hal ini misalnya dilakukan dengan
membuat otot yang diperiksa berada dalam kontraksi enteng sebelum dirangsang.
Misalnya bila kita hendak memeriksa refleks kuadriseps femoris, kita suruh pasien
mendorongkan tungkai bawahnya sedikit ke depan sambil kita menahannya, abru
kemudian kita beri rangsang (ketok) pada tendon di patela (lihat Gambar 2). Selain itu,
juga perhatian penderita perlu dialihkan, misalnya dengan menyuruhnya menarik pada
kedua tangannya yang saling bartautan atau sering disebut Jendrassik manuoever
(Gambar 3).
Waktu mengetok refleks, perhatian pasien dapat dialihkan dengan menyuruhnya menarik
pada kedua tangannya yang tercekam
Refleks yang meninggi tidak berarti adanya gangguan patologis, tetapi bila refleks
pada sisi kanan berbeda dari sisi kiri, besar sekalli kemungkinan bahwa hal ini
disebabkan oleh keadaan patologis. Simetri memang penting dalam penyakit saraf. Kia
menetahui bahwa simetri sempurna tidak ada pada tubuh manusia. Walaupun demikian
anak pemeriksaan neurologis didasarkan atas anggapan bahwa agian tubuhadalah sama
atau simetris (secara kasar). Tiap refleks dalam dapat meninggi secara bilateral, namun
hal ini tidak selalu berarti adanya lesi piramidal. Lain halnya kalau peninggian refleks
bersifat asimetris. Karenanya harus diingat bahwa pada pemeriksaan refleks jangan lupa
membandingkan bagian – bagian yang simetris (kiri dan kanan). Asimetri menunjukkan
adanya proses patologis.
Refleks Wartenberg
b. Klonus kaki :
Stimulus : dorsofleksikan kaki secara maksimal, posisi tungkai fleksi
di sendi lutut.
Respons : kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus berlangsung.
Refleks superfisial ialah gerakan reflektorik yang timbul sebagai respon atas
stimulasi yang timbul terhadap kulit atau mukosa. Berbeda dengan refleks dalam, refleks
superfisial tidak saja mempunyai busur refleks yang segmental, melainkan mempunyai
komponen supraspinal juga. Oleh karena itu refleks superfisial dapat menurun atau
hilang bila terdapat lesi di busur refleks segmentalnya atau bila komponen supraspinal
mengalami kerusakan. Untuk lengkapnya di bawah ini diberikan daftar mengenai
berbagai refleks superfisial berikut dengan komponen – komponen busur refleksnya.
Goresan pada Otot Dinding Perut untuk Membangkitkan Refleks Dinding Perut
2. Refleks Genital
Secara klinis, penentuan ada tidaknya disfungsi ereksi dan disfugi seksual tidak
sulit. Penderita sudah dapat menentukan sendiri, apakah mereka menderita disfungsi
ereksi atau tidak, berdasar pengalamannya. Seorang dokter harus dapat melakukan
pemeriksaan neurologis untuk menentukan respon ereksi. Pemeriksaan refleks genital
(misalnya refleks bulbokacavernosus dan refleks kremaster) harus dilakukan untuk
mengetahui adanya refleks ereksi.
a. Refleks kremaster
Prinsipnya adalah rangsangan sensoris yang ditimbulkan dengan cara menggores
paha bagian medial dari atas ke bawah. Rangsangan dibawa ke korda spinalis setinggi
lumbal 1-2 melalui cabang femoral dari serabut saraf genitofemoralis (n. Ilioinguinal).
Serabut saraf motorik yang berjalan pada cabang genital dari serabut saraf genitofemoral
(eferen) menyebabkan refleks kontraksi otot-otot kremaster yang mengangkat testis.
Pemeriksaan refleks ini dilakukan pada laki-laki. Aspek medial dari paha atas
dipukul ke arah bawah. Gerakan testikel di dalam skrotum diamati. Kontraksi kremaster
menaikkan testikel pada sisi tersebut. Afferen adalah nervus femoralis L1, L2.
Jika tidak ada elevasi testikel, mungkin terjadi pada patologi fokal non-neurologis atau
bedah lokal sebelumnya, atau terdapat lesi dalam arkus refleks, atau lesi piramidalis di
atas segmen L1.
b. Refleks bulbokavernosus
Prinsipnya adalah rangsangan sensoris yang ditimbulkan dengan cara menekan
(seperti meremas) gland penis. Rangsangan bergerak menuju ke vervebra sakral 2-4
melalui serabut saraf pudendus (aferen). Serabut motorik yang terdapat pada serabut saraf
pudendus (eferen) menyebabkan refleks kontraksi otot bulbokavernosus.
Pada pemeriksaan refleks-refleks tersebut, pasien harus dalam posisi terlentang dan
benar-benar rileks sehingga kontraksi muskulus perineal yang terjadi hanya berhubungan
dengan stimulasi yang kita berikan, bukan karena rangsangan lain
c. Refleks anal
Tes ini memeriksa integritas arkus refleks dengan inervasi segmen S4 dan S5
untuk komponen sensorik dan motorik. Refleks kontraksi pada sfingter anus bagian luar
timbul saat jari dimasukkan ke dalam anus menunjukkan keutuhan serabut saraf
pudendus dan otot-otot volunter pada dasar pelvis.
Cara pemeriksaannya, baringkan pasien pada satu sisi dengan lutut fleksi. Dengan
lembut sentuh batas anal dengan stick, atau jari dimasukkan dengan lembut ke dalam
anus. Normalnya akan ditemukan kontraksi yang terlihat jelas pada sphincter anal
externa.
d. Refleks Gluteal
Rangsangan goresan pada kulit bokong akan menghasilkan gerakan reflektorik otot
gluteus ipsilateral. Respons hilang pada lesi saraf L 4 – S1.
REFLEKS PATOLOGIK
Pengantar
Pada umumnya pemeriksaan reflek patologik merupakan respon yang tidak umum
dijumpai pada individu normal kecuali pada bayi dan anak kecil. Beberapa respon yang
timbul adalah minimal, dan dalam keadaan normal munculnya terbatas, namun aktif pada
munculnya penyakit. Kebanyakan merupakan gerakan reflektorik defensif atau postural
yang pada orang dewasa yang sehat terkelola dan ditekan oleh aktivitas susunan
piramidal. Pada anak kecil umur 4 – 6 tahun masih belum memiliki susunan piramidal
yang bermielin penuh, sehingga susunan piramidalnya belum sempurna. Oleh karena itu
gerakan reflektorik yang dinilai sebagai hal yang patologis pada orang dewasa, tidak
selamanya patologik bila dijumpai pada anak – anak. Pada orang dewasa, sebagian besar
refleks patologik berhubungan dengan traktus kortikospinal dan jaras-jarasnya, serta juga
terjadi pada penyakit-penyakit lobus frontal dan gangguan sistem ekstrapiramidal.
Refleks patologik pada ekstremitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih
reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas.
REFLEKS TROMNER
- Sikap : tangan pasien dan tangan si pemeriksaterlukis pada gambar 12 di bawah ini
- Stimulus : mencolek colek ujung jari
- Respons : jari telunjuk terutama ibu jari dan jari – jari lainnya berfleksi setiap kali
ujung jari tengah pasien tercolek
Refleks Trommer
REFLEKS MAYER
- Sikap : lengan pasien dipegang oleh pemeriksa
- Stimulus : dengan tangan lainnya, pemeriksa menekukkan jari tengah pasien secara
maksimal ke arah telapak tangan
- Respons : pada orang sehat ibu jari akan beroposisi, kalau ada kerusakan di susunan
piramidal ibu jari tidak akan beroposisi
REFLEKS LERI
- Sikap : lengan diluruskan bagian ventralnya menghadap ke atas
- Stimulus : tangan pasien ditekk secara maksimal di pergelangan tangan oleh
pemeriksa
- Respons : pada orang sehat lennga bawah akan menekuk di sendi siku – siku, kalau
ada kerusakan di susunan pyramidal, fleksi di siku tidak bangkit
REFLEKS CHADDOCK
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : rangsangan diberikan dengan jalan menggoreskan bagian lateral
maleolus
- Respons : jika reaksi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnya jari – jari lainnya
Refleks Chaddock
REFLEKS GORDON
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : memencet otot betis
- Respons : jika reasi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnyaa jari – jari lainnya
Refleks Gordon
REFLEKS OPPENHEIM
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior. Arah mengurut ke
bawah / distal
- Respons : jika reaksi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnya jari – jari lainnya
Refleks Oppenheim
REFLEKS GONDA
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : memencet (menekan) satu jari kaki dan kmeudian melepaskannya
sekonyong – konyong
- Respons : jika reaksi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnya jari – jari lainnya
Refleks Gonda
REFLEKS SCHAEFER
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : memencet (mencubit) tendon Achilles (Gambar 18)
- Respons : jika reaksi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnya jari – jari lainnya
Refleks Schaefer
REFLEKS STRANSKY
- Stimulus : penekukan (lateral) maksimal jari kaki kelima
- Respons : seperti Babinski
REFLEKS ROSSOLIMO
- Stimulus : pengetukan pada telapak kaki
- Respons : fleksi jari – jari kaki pada sendi interphalangealnya
Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
204
PEMERIKSAAN SISTIM SENSORIK
1. Pendahuluan
Adanya gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan
gangguan sensorik. Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik
maupun trofi otot. Gangguan sensorik dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal
(parestesia), kebas atau mati rasa, dan ada pula yang sangat sensitif (hiperestesi). Pada
gangguan di kanalis sentralis medula spinalis dapat terjadi fenomena disosiasi: analgesia
terhadap rangsang panas dan nyeri sementara rangsang lainnya masih dapat dirasakan
oleh penderita. Orang neurotik sering kali mengeluh adanya perasaan tidak enak di
seluruh permukaan tubuh, misalnya ada hewan yang merayap di permukaan kulitnya.
Tujuan pemeriksaan sensorik :
1. Menetapkan adanya gangguan sensorik
2. Mengetahui modalitasnya
3. Menetapkan polanya
4. Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensorik yang akhirnya
dinilai bersama sama dengan pemeriksaan motorik , kesadaran dll.
Misalnya hemihipestesi menunjukkan gangguan pada otak, tipe dermatomal
menunjukkan gangguan pada medula spinalis, dan tipe perifer yang sesuai dengan area
persarafan saraf perifer tertentu menunjukkan lesi saraf yang bersangkutan.
Sehubungan dengan pemeriksaan fungsi sensorik, maka beberapa hal berikut ini
harus dipahami terlebih dahulu:
a. Kesadaran penderita harus penuh dan tajam (komposmentis dan kooperatif)
b. Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah; kelelahan akan mengakibatkan
gangguan perhatian serta memperlambat waktu reaksi
c. Prosedur pemeriksaan harus benar-benar dimengerti oleh penderita, karena
pemeriksaan fungsi sensorik benar-benar memerlukan kerjasama yang sebaik-
baiknya antara pemeriksa dengan penderita
d. Cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada penderita dengan istilah
yang mudah dimengerti olehnya
e. Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan
pemeriksaan anggota gerak atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya
penderita menyeringai, mata berkedip-kedip serta perubahan sikap tubuh.
Mungkin pula muncul dilatasi pupil, nadi yang cepat dari semua, keluar banyak
keringat.
f. Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga meliputi
perbedaan-perbedaan sensasi yang ringan;dengan demikian harus dicatat gradasi
atau tingkat perbedaannya.
g. Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap individu,
pada tiap bagian tubuh, dan pada individu yang sama tetapi dalam situasi yang
berlainan. Oleh sebab itu, pemeriksa perlu menganjurkan penderita untuk
melakukan pemeriksaan ulang pada hari berikutnya
h. Perlu ditekankan mengenai azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu
dibandingkan dengan bagian kanan. Juga pelu dipahami tentang azas ekstrem:
pemeriksaan dikerjakan dari “ujung atas” dan “ujung bawah” ke arah pusat. Hal
ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan.
i. Pemeriksaan fungsi sensorik harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa),
menggunakan alat yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan, tanpa menyakiti
penderita, dan penderita tidak boleh dalam keadaan tegang
j. Perlu ditekankan bahwa hasil pemeriksaan fungsi sensorik pada suatu saat tidak
dapat dipercaya, membingungkan, dan sulit dinilai. Dengan demikian kita harus
berhati-hati dalam hal penarikan kesimpulan.
Gambar dermatom
Pemeriksaan sensibilitas dapat menentukan letak lesi
2. Pemeriksaan sensasi taktil / raba halus
Pasien dalam posisi duduk atau berbaring, mata tertutup atau secara pasif kedua
mata ditutup secara ringan tanpa menekan bola mata. Penderita harus dalam keadaan
santai, tidak boleh tegang. Bagian tubuh yang diperiksa harus bebas dari pakaian. Alat
yang dipakai dapat berupa kuas halus, kapas, bulu, tissue, atau bila terpaksa dengan ujung
jari tangan yang disentuhkan ke kulit secara halus sekali. Berikan rangsangan dengan alat
atau ujung jari tangan pada bagian tubuh yang hendak diperiksa. Penderita diminta
menyatakan “ya” atau ‘tidak” apabila dia merasakan atau tidak merasakan adanya
rangsangan, dan sekaligus juga diminta untuk menyatakan tempat atau bagian tubuh
mana yang dirangsang. Bandingkan antara kiri dan kanan.
Cara memeriksa sensasi taktil diskriminatik, secara teknis sama dengan apa yang
telah diuraikan di bagian depan. Daerah yang dirangsang ialah daerah yang bebas dari
rambut atau bulu; hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan gangguan dari
rambut/bulu yang turut tergerakkan pada saat melakukan rangsangan taktil sehingga
rambut tadi akan mengacaukan penilaian. Penderita diminta untuk menyatakan tempat
mana yang dirangsang, dan juga diminta untuk membedakan dua titik yang dirangsang.
Beberapa istilah sehubungan dengan kelainan sensasi taktil, antara lain:
a. Kelainan sensasi taktil dikenal sebagai anestesia (hilangnya rasa raba), hipestesia
(kurangnya rasa raba), dan hiperestesia (rasa raba berlebih); akan tetapi istilah-
istilah tadi secara rancu juga digunakan untuk semua perubahan sensasi.
b. Kehilangan sensasi gerakan rambut disebut trikoanestesia
c. Kehilangan sensasi lokalisasi disebut topoanestesi
d. Ketidakmampuan untuk mengenal angka atau huruf yang “dituliskan” pada kulit
disebut grafanestesia.
d. Rasa Barognosia
- Adalah mengenal berat benda, atau kemampuan untuk membedakan antara
berat dari macam-macam benda.
- Gunakan bahan dgn ukuran (size) dan bentuk (shape) yg sama, akan tetapi
beda beratnya, misalnya bola dari kulit atau kayu.
- Pegang kedua benda dalam tangan tanpa tunjangan (unsupported).
- Pada pemeriksaan ini rasa gerak dan posisi harus normal.
e. Rasa topognosia
Untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.
- Kemampuan untuk melokalisasi rasa raba pada bagian tubuh yang disentuh
- Bila terganggu dinamakan topoanesthesia atau topagnosia.
- Pada pemeriksaan ini rasa raba harus normal.
- Hilangnya rasa lokalisasi dengan rasa eksteroseptif normal menunjukkan lesi
kortikal
f. Rasa Autopagnosis
- Kemampuan untuk identifikasi atau orientasi dari tubuh atau hubungnnya
dengan bagian-bagian individual – merupakan satu defek dari skema tubuh
(loss of body image).
- Biasanya terganggu bila terdapat lesi pada daerah parietal dan hubungannya.
g. Recognition of Texture
- Penderita ditanya untuk mengenal tekstur yang sama dan yang berbeda,
misalnya pasien ditanya untuk membedakan antara katun, sutera dan wol,
gelas dan metal.
h. Sensory Extinction / Inattention
- Hilangnya kemampuan untuk merasa sensasi pada satu sisi dari tubuh bila
daerah yg sama dirangsang bersamaan.
- Titik jarum, kapas, atau raba dengan ujung jari dapat digunakan sebagai
stimuli.
b. Tes Phallen
- Dilakukan untuk memeriksa apakah terdapat iritasi atau kompresi N.
Medianus pada kasus Carpal Tunnel Syndrome
- Caranya adalah dengan melakukan fleksi palmar yang ditahan salah satu
tangan selama 30 detik
- Hasilnya dikatakan positif bila pasien mengalami kesemutan di daerah karpal
persarafan N. Medianus.
c. Tes Tinnel
- Juga untuk memeriksa iritasi atau kompresi N. Medianus pada kasus Carpal
Tunnel Syndrome
- Perkusi atau penekanan n. medianus pada pergelangan tangan (posisi tangan
sedikit dorsi fleksi) di daerah ligamentum tranversum dapat menimbulkan
rasa nyeri atau kesemutan pada jari-jari yang dilalui oleh N. Medianus.
d. Tes Nyeri Punggung Bawah Dengan Radiasi Lumbosakral (LBP with
Lumbosacral Radiation)
d. 1. LASEQUE SIGN (straight-leg-raising test, SLR)
- Fleksi secara pasif sendi panggul (hip) pada pasien dalam posisi terlentang
sedangkan tungkai bawah ekstensi pada lutut.
- Nyeri pada sciatic notch diikuti oleh nyeri dan hipersensitivitas sepanjang
perjalanan dari distribusi dari n. ischiadikus.
- Laseque test positif (terganggu) bila sudut fleksi sendi panggul < 600
(pada orang tua <700).
Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
207
PEMERIKSAAN FUNGSI SISTEM SARAF OTONOM
Evaluasi klinis sistem saraf otonom sangat bergantung pada riwayat medis dan
pemeriksaan fisik. Selain itu, banyak pemeriksaan fungsi otonom yang tersedia, yang
dapat diklasifikasikan ke dalam pemeriksaan fisiologis, farmakologis, neurokimia,
neuroimaging, dan genetik.
Sistem saraf otonom sangat luas mempengaruhi berbagai organ di tubuh.
Pemeriksaan bisa mencakup fungsi kardiovaskuler (refleks kardiovaskular, tekanan
darah), sudomotor (misalnya fungsi kelenjar keringat, air mata, dan ludah),
gastrointestinal (misalnya tes pengosongan lambung dengan barium), genitourinarius
(misalnya fungsi BAK dan BAB, volume dan ekskresi sodium/potasium urin,
urodinamika, fungsi seksual), respirasi, dan refleks pupil, yang dilakukan bersamaan
dengan pemeriksaan fisik organ dan fungsi sistem saraf yang lain. Fungsi otonom pada
nervus kranialis sudah dibahas pada bab sebelumnya.
SUBJECTIVE (S)
DATA DASAR
AUTO / HETEROANAMNESA :
Keluhan utama :
Riwayat penyakit sekarang :
Riwayat intoksikasi :
Riwayat sosial :
OBJECTIVE (O)
STATUS INTERNE SINGKAT :
B.B : T.B : Tekanan darah kanan – kiri
Suhu Badan : Nadi : pernafasan
Gizi : Hati :
Paru – paru : Limpa :
Jantung :
STATUS NEUROLOGIK :
A. Kesan Umum :
- Kesadaran : GCS :
- Pembicara : Disartri :
Monoton :
Scanning : - Motorik :
Afasia : - Sensorik :
- Amnesik (Anomik) :
2. Saraf Otak
NI Kanan Kiri
Hyp / Anosmi : ………… ………
Parosmi : ………… ………
Halusinasi : ………… ………
N II
Visus : ………… ………
Yojana Penglihatan : ………… ………
Melihat warna : ………… ………
Funduskopi : ………… ………
PUPIL
Bentuk ……… ………
Lebar ……… ………
Perbedaan lebar ……… ………
Reaksi cahaya langsung ……… ………
Reaksi cahaya konsensuil ……… ………
Reaksi akomodasi ……… ………
Reaksi konvergasi ……… ………
NV Kanan Kiri
Cabang Motorik ………. ………
Otot Masseter ………. ………
Otot temporal ………. ………
Otot pterygoideus int / Ext ………. ………
Cabang sensorik (I) ………. ………
( II ) ………. ………
( III ) ………. ………
Refleks kornea langsung ………. ………
Refleks kornea konsensuil ………. ………
N VII
Waktu diam :
Kerutan dahi ………. ………
Tinggi alis ………. ………
Sudut mata ………. ………
Lipatan Nasolabial ………. ………
Waktu gerak :
Mengerut dahi ………. ………
Menutup mata ………. ………
Bersiul ………. ………
Memperlihatkan gigi ………. ………
Pengecapan 2/3 dpn lidah ………. ………
HIperakusis ………. ………
Sekresi air mata ………. ………
N VIII
Vestibular :
Vertigo ………. ………
Niastagmus ke ………. ………
Tinnitus aureum ………. ………
Tes kalori ………. ………
Cochlear
Weber ………. ………
Rinne ………. ………
Schwabach ………. ………
Tuli konduktip ………. ………
Tuli perseptif ………. ………
N IX, X
Bagian Motorik :
Suara biasa / parau / tak bersuara : menelan :
Kedudukan arcus pharynx ………. ………..
Kanan Kiri
Kedudukan uvula ………… …………
Pergerakan arcus pharynx / uvula ………… …………
Vernet – rideau phenomenon ………… …………
Detik jantung ………… …………
Bising usus ………… …………
Bagian Sensorik :
Pengecapan 1/3 belakang lidah ………… …………
Refleks Ocula Cardiac ………… …………
Refleks Carotica Cardiac ………… …………
Refleks muntah ( pharynx ) ………… …………
Refleks palatum molle ………… …………
N XI
Mengangkat bahu ………… …………
Memalingkan kepala ………… …………
N XII
Kedudukan lidah waktu istirahat ke ………… …………
Kedudukan lidah waktu gerak ke ………… …………
Atrofi ………… …………
Fasikulasi / tremor ………… …………
Kekuatan lidah menekan bag dlm
Pipi ………… …………
3. SISTEM MOTORIK
Kekuatan Otot :
Tubuh : Otot perut :
Otot pinggang :
Kedudukan diafragma : Gerak :…………………
Istirahat :…………………
Koordinasi :
Jari tangan - jari tangan :
Jari tangan – hidung :
Ibu jari kaki – jari tangan :
Tumit – lutut :
Pronasi – supinasi :
Traping dengan jari – jari tangan :
Traping dengan jari – jari kaki :
Gait station
Gait : Jalan diatas tumit :
Jalan diatas jari kaki :
Tandem walking :
Jalan lurus lalu putar :
Jalan mundur :
Hopping :
Berdiri dengan satu kaki :
Sebutkan macam – macam Gait
Hemiplegik gait :
Spastic (scissors) gait :
Cerebellar gait :
Tabetic gait :
Steppage gait :
Waddling gait :
Parkinsonian gait :
Jiggling (spastic – ataksik) gait :
Station :
Romberg test : jatuh ke …………………….
Rasa proprioceptik
Rasa getar ………. ……… ……… ………. ……… ………
Rasa tekan ………. ……… ……… ………. ……… ………
Rasa nyeri tekan ……….. ………. ……… ……….. ……… ……….
Rasa gerak dan posisi : Lengan : Kanan ………….. Kiri ………………….
Tungkai : Kanan …………... Kiri …………………..
5. REFKLEKS – REFLEKS
Refleks kulit
Refleks dinding perut …………………………….
Kanan Kiri
Refleks cremaster ………… …………
Refleks interscapular ………… …………
Refleks gluteal ………… …………
Refleks anal ………… …………
Refleks tendon / periost ………… …………
Refleks mandibula :
Refleks biseps :
Refleks triseps :
Refleks periosto – radial :
Refleks periosto – ulnar :
Refleks patella :
Refleks Achilles :
Lengan :
Hoffman Tromner :
Leri :
Mayer :
Refleks – refleks primitip
Grasp refleks :
Snout refleks :
Sucking refleks :
Palmo – mental refleks :
7. COLUMNA VERTEBRALIS
Kelainan local :
Skoliose :
Kyphose :
Kyphoskoliose :
Gibbus :
Nyeri tekan / ketok local :
Nyeri tekan sumbu :
Nyeri tarik sumbu :
8. Pemeriksaan P.A :
9. Pemeriksaan Radiologik :
Tengkorak : - Plain X – Foto :
- CT. Scan :
- Cerebral Angiografi :
ASSESMENT (A)
Diagnosa klinis :
Diagnosa etiologi :
Diagnosa topis :
PLANNING (P)
DIAGNOSIS (DX) :
TERAPI (TX) :
EDUCATION ( EX) :
MONITORING ( MX) :