Anda di halaman 1dari 132

SKILLS LAB

PEMERIKSAAN KLINIS
NEUROLOGIS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
SEMESTER III TAHUN 2014
SKILLS LAB

PEMERIKSAAN
KLINIS NEUROLOGIS

TIM PENYUSUN:
dr. Meryana, M.Kes, Sp.S
Prof. dr. Gunawan Budiarto, Sp.S(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
SEMESTER III TAHUN 2014
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN .............................................................................................. 1
SAMPUL DALAM ............................................................................................. 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
1. Tinjauan Pemeriksaan Fisik Neurologi ....................................................................... 6
2. Anamnesis ................................................................................................................... 9
3. Pemeriksaan Kesadaran ............................................................................................... 12
4. Pemeriksaan Rangsang Meningeal .............................................................................. 19
5. Pemeriksaan Saraf Kranialis ....................................................................................... 24
6. Pemeriksaan Sistim Motorik ....................................................................................... 57
7. Gerakan Involunter..................................................................................................... . 65
8. Pemeriksaan Fungsi Koordinasi (Serebelum).............................................................. 69
9. Pemeriksaan Refleks................................................................................................... . 76
10. Pemeriksaan Sistim Sensorik .................................................................................... 96
11. Pemeriksaan Fungsi Sistem Saraf Otonom ............................................................... 115
12. Daftar Pustaka........................................................................................................... . 118
13. Rekam Medik Neurologi untuk Dokter Muda.......................................................... . 119
KATA PENGANTAR

Keterampilan klinis perlu dilatihkan sejak awal hingga akhir pendidikan dokter secara
berkesinambungan, dengan tujuan menyiapkan sumber daya yang berkaitan dengan ketrampilan
minimal yang harus dikuasai oleh lulusan dokter layanan primer. Prosedur pemeriksaan klinis
neurologis merupakan ketrampilan klinis yang wajib dikuasai olah mahasiswa kedokteran.
Dengan mempelajari mata kuliah ini, mahasiswa dapat memahami dan melakukan dengan benar
cara - cara pemeriksaan fisik neurologis dan sebagai landasan untuk mengikuti kepaniteraan
klinik di rumah sakit.

Melalui buku skills lab prosedur pemeriksaan klinis neurologis, mahasiswa diharapkan
mampu memahami dan melakukan dengan benar pemeriksaan anamnesis neurologis,
pemeriksaan kesadaran, rangsang meningeal, saraf kranialis, sistim motorik dan fungsi
serebellum, sistim sensorik, sistim saraf otonom, serta interpretasi dari pemeriksaan-pemeriksaan
tersebut.
Semoga buku skills lab prosedur pemeriksaan indera pendengaran ini dapat bermanfaat
dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran pada program pendidikan dokter.

Surabaya, Juli 2014

Tim Penyusun
CARA PENGGUNAAN BUKU INI

Untuk mahasiswa

Bacalah penuntun skills lab ini sebelum proses pembelajaran dimulai. Hal ini akan
membantu saudara lebih cepat memahami materi skills lab yang akan dipelajari dan
memperbanyak waktu untuk latihan dibawah pengawasan instruktur masing-masing.
Bacalah juga bahan /materi pembelajaran yang terkait dengan keterampilan yang akan
dipelajari seperti: anatomi, fisiologi, biokimia, dan ilmu lainnya. Hal ini akan membantu saudara
untuk lebih memahami ilmu-ilmu tersebut dan menemukan keterkaitannya dengan skills lab yang
sedang dipelajari.
Mahasiswa juga diwajibkan untuk menyisihkan waktu diluar jadwal untuk belajar /
latihan mandiri.

Selamat belajar dan berlatih


Terima kasih

Tim Penyusun
PROSEDUR
PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGIS

Latar Belakang Pembelajaran tentang fungsi sistim saraf telah diberikan


pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Katolik
Widya Mandala Surabaya sejak semester I. Materi tentang
penyakit-penyakit sistem saraf telah diberikan pada
semester III pada Blok Sistem Saraf 2. Buku skills lab ini
disusun untuk memberikan informasi tentang tata cara
pemeriksaan fisik neurologis sebagai bagian dari proses
belajar Blok Sistem Saraf 2.

Tujuan Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Umum:

Mahasiswa memahami dan melakukan dengan benar cara-


cara pemeriksaan pemeriksaan fisik neurologis

Tujuan pembelajaran Khusus:


1. Mahasiswa memahami dan melakukan dengan
benar pemeriksaan anamnesis neurologis
2. Mahasiswa memahami dan melakukan dengan
benar pemeriksaan kesadaran
3. Mahasiswa memahami dan melakukan dengan
benar pemeriksaan rangsang meningeal
4. Mahasiswa memahami dan melakukan dengan
benar pemeriksaan saraf kranialis
5. Mahasiswa memahami dan melakukan dengan
benar pemeriksaan sistim motorik
6. Mahasiswa memahami dan melakukan dengan
benar pemeriksaan fungsi serebellum
7. Mahasiswa memahami dan melakukan dengan
benar pemeriksaan sistim sensorik
8. Mahasiswa memahami dan melakukan dengan
benar pemeriksaan sistim saraf otonom
9. Melakukan interpretasi secara benar dari
pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan

Metoda Pembelajaran 1. Demonstrasi dan alih ketrampilan


2. Berlatih mandiri dengan sesama teman
Alat Bantu
1. Laptop dan LCD

2. Microfon

3. Teh, kopi, tembakau

4. Snellen chart, kartu Ischihara

5. Funduskopi

6. Pen light

7. Kapas / tissue

8. Stopwatch, arloji

9. Garpu tala

10. Kapas lidi, tong spatel

11. Palu refleks

12. Kuas halus

13. Jarum

14. Tabung gelas / metal

15. Air suhu 5-19°C dan suhu 40-45°C


Waktu Dua jam tiap pertemuan
Daftar Instruktur dr. Meryana, M.Kes, Sp.S
Prof. dr. Gunawan Budiarto, Sp.S(K)
Tim Fasilitator
Evaluasi Check List
Referensi 1. Sidharta P (1985), Tata Pemeriksaan Klinis
dalam Neurologi, Penerbit PT Dian Rakyat,
Jakarta.

2. Lumbantobing SM (2000), Neurologi Klinik


Pemeriksaan Fisik dan Mental, Penerbit FK
Universitas Indonesia, Jakarta.

3. DeJong RN (1979), The Neurologic


Examination, 4th Ed, Harper & Row Pub,
Maryland.

4. Van Allen MW, Rodnitzky RL (1981):


Pictorial Manual of Neurologic Tests, 2nd Ed,
Year Book Medical Publishers INC, Chicago.

5. http://herkules.oulu.fi/isbn9514271343/html/x
688.html, 2003 Oulu University Library
Pemeriksaan Neurologi

Pendahuluan
Untuk menegakkan diagnosis penyakit saraf, diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik umum dan pemeriksaan neurologis, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
neurologis meliputi pemeriksaan kesadaran, rangsang selaput otak, saraf otak, sistem
motorik, sistem sensorik refleks dan pemeriksaan mental (fungsi luhur).
Pemeriksaan neurologik merupakan pemeriksaan klinik yang relatif sulit dan
memerlukan kecermatan serta kehati-hatian. Interpretasi dan / atau penilaian hasil
pemeriksaan neurologik sangat berarti dalam penegakan diagnosis topik maupun
prognosis. Sebagai contoh, dari aspek anamnesis ada suatu pesan sebagai berikut: listen
carefully, the pasien is telling you about the diagnosis. Adanya defisit neurologik
maupun tanda dan gejala lainnya sebenarnya merupakan refleksi diagnosis yang masih
tersamar. Dengan demikian pemeriksaan neurologik secara teliti dan sistematik akan
dapat mengungkap diagnosis klinik dan topik. Dari diagnosis ini maka perencanaan
pemeriksaan tambahan / penunjang dapat disusun secara rasional dan obyektif.

ANAMNESIS
Tujuan Instruksional Umum: Mahasiswa memahami dan melakukan dengan benar cara-
cara anamnesis berupa tanya jawab dengan pasien maupun keluarga dari pasien

Tujuan instruksional khusus.


1. Menguraikan berbagai cara melakukan anamnesis
2. Melakukan cara anamnesis dengan baik terhadap:
a. pasien (autoanamnesis)
b. keluarganya atau orang lain yang mengetahui kondisi pasien
(alloanamnesis)

ANAMNESIS

Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang
penting. Biasanya penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung,
kadang-kadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan
gejala sisa. Selain itu, ada juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu
tertentu dalam bentuk serangan. Di luar serangan, penderita berada dalam keadaan tanpa
keluhan. Jika penderita datang ke dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk
menegakkan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan laporan yang dikemukakan
oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (allo-anamnesis).
Tidak jarang pula suatu penyakit mempunyai pola perjalanan tertentu. Oleh karena
perjalanan penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis
kita perlu menggali data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat
disebabkan oleh bermacam penyakit. Dengan mengetahui perjalanan penyakit, kita dapat
mendekati diagnosisnya, dan pemeriksaan penunjang yang tidak perlu dapat dihindari.
Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke arah diagnosa yang
tepat.
Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar,
mau mendengarkan dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan
anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri, supaya tidak didengar orang lain.
Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola umum, yaitu:
1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang
dideritanya.
2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau
kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju (anamnesis terpimpin).
Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut di atas.
Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan identitas pasien
berupa nama, umur, pekerjaan, alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu
keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pemeriksa lalu mencari
riwayat penyakit yang sedang diderita pasien dengan menelusuri:
1. Sejak kapan mulai
2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid,
sehabis makan dan lain sebagainya)
5. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang
dalam bentuk serangan, dan lain sebagainya
Selain keluhan utama, pemeriksa perlu menggali keluhan-keluhan tambahan atau
penyakit penyerta, serta riwayat penyakit atau keluhan terdahulu. Tiap keluhan tambahan
atau penyakit penyerta atau riwayat penyakit sebelumnya perlu digali seperti pada
keluhan utama.
Kemampuan menggali keluhan dan penyakit sangat bergantung pada pengetahuan
yang dimiliki pemeriksa. Keluhan yang berbeda dapat memerlukan penggalian yang
berbeda pula, kadang-kadang disebut anamnesis khusus. Pada tiap penderita penyakit
saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan di bawah ini dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Nyeri kepala : Apakah ada nyeri kepala? Bagaimana sifatnya? Apakah nyeri
kepala dalam bentuk serangan atau terus menerus? Bagaimana intensitasnya? Di
mana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin berat atau makin sering?
Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari? Apa pencetusnya? Hal-hal apa
yang memperingan atau memperberat nyeri? Pengobatan apa yang telah
dilakukan, dan bagaimana efeknya?
2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba,
mendadak, seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)? Apakah muntah
terjadi pada waktu-waktu tertentu, misalnya pagi?
3. Vertigo : Apakah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau
anda merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada
hubungannya atau dicetuskan dengan perubahan sikap tubuh? Apakah disertai
rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus (telinga berdenging, berdesis)?
Apakah disertai keirngat dingin? Berapa lama durasinya? Bagaimana
frekuensinya? Bagaimana polanya? Apakah timbulnya berupa serangan-serangan
atau keluhannya terus-menerus? Apakah makin lama makin berat?
4. Gangguan penglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun
pada satu atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)? Apakah
berlangsung pelan-pelan atau mendadak?
5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda, pada telinga sebelah
mana? Adakah tinitus (bunyi berdenging/berdesis) pada telinga? Pernahkah keluar
cairan dari telinga? Apakah terdapat riwayat infeksi atau trauma pada telinga?
6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi
(pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah?
Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah
suara anda berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang
(afonia)? Apakah bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan
(disfagia)?
7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah
anda menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau
memahami pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan
kemampuan membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami
apa yang anda baca? Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah
kemampuan menulis berubah, bentuk tulisan berubah?
8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui
apa yang terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan
seperti mau pingsan (sinkop)?
9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan,
lengan, kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau
berkurang? Apakah gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada
bagian tubuh atau ekstremitas badan yang abnormal dan tidak dapat anda
kendalikan (khorea, tremor, tik)?
10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau
ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar?
Dimana tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar?
11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi),
dan nafsu seks (libido) anda? Adakah gangguan BAK dan BAB (retensio atau
inkontinesia urin atau alvi)?
PEMERIKSAAN KESADARAN
Tujuan Instruksional Umum: Mahasiswa memahami dan melakukan dengan benar cara-
cara pemeriksaan kesadaran dan penilaiannya

Tujuan instruksional khusus.


1. Menguraikan cara-cara pemeriksaan kesadaran secara kualitatif maupun
semikuantitatif
2. Melakukan dengan benar cara-cara pemeriksaan kesadaran dan penilaiannya :
a. Glasgow Coma Scale
b. Pittsburg Brainstem Score
c. Somnolen
d. Sopor
e. Semi Koma
f. Koma
3. Memeriksa dan menilai dengan benar pola pernapasan pada pasien dengan
gangguan kesadaran
4. Memeriksa dan menilai dengan benar keadaan pupil pada pasien dengan
gangguan kesadaran

PEMERIKSAAN KESADARAN

Gangguan kesadaran memerlukan pemeriksaan fisik-neurologik yang cermat dan


sistematik, menggunakan bagan (algoritma) tertentu untuk mencapai diagnosis pasti
tentang penyebab dan situasi klinik yang sedang dihadapi pemeriksa. Penanganan pasien
dengan gangguan kesadaran memerlukan kecepatan dan kecermatan tindakan dengan
memerhatikan prosedur tetap yang berlaku.

Pemeriksaan kesadaran dapat dinyatakan secara kualitatif maupun semikuantitatif.


Cara pemeriksaan semikuantitatif dipandang lebih obyektif daripada secara kualitatif
karena lebih sedikit perbedaan antara dua atau lebih penilai. Cara semikuantitatif yang
paling sering digunakan di berbagai tempat di dunia termasuk di Indonesia adalah dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Pemeriksaan GCS ini dipandang lebih baik
karena beberapa hal:
a. Instrumen ini dapat diandalkan
b. Mudah untuk diaplikasikan dan mudah untuk dinilai sehingga tidak
terdapat perbedaan antarpenilai
c. Dengan sedikit latihan maka perawat juga dapat mengaplikasikan
instrumen GCS ini dengan mudah
d. Yang diperiksa dan dicatat adalah nilai (prestasi) pasien yang terbaik
e. Bila seseorang sadar penuh maka ia mendapat nilai 15
f. Nilai terendah adalah 3
PEMERIKSAAN KESADARAN SECARA KUALITATIF
Secara kualitatif, kesadaran dibagi menjadi beberapa tingkat, yaitu:
1. Normal : Kompos mentis
2. Somnolen : Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh
mudahnya pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan
menangkis rangsang nyeri.
3. Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang
yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat
mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan.
Dengan rangsang nyeri pasien tidak dapat dibangunkan sempurna.
Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat
diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak motorik untuk menangkis
rangsang nyeri masih baik.
4. Koma – ringan (semi-koma) : Pada keadaan ini tidak ada respons terhadap rangsang
verbal. Refleks (kornea, pupil, dsb) masih baik. Gerakan
terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang
nyeri. Pasien tidak dapat dibangunkan.
5. Koma (dalam atau komplit) : Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama
sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun
kuatnya.

PEMERIKSAAN KESADARAN SECARA SEMIKUANTITATIF

CARA PEMERIKSAAN SEMIKUANTITATIF

Skala Koma Glasgow / GLASGOW COMA SCALE (GCS)

Secara semikuantitatif, untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat


digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita
terhadap rangsang (berupa perintah/suara atau nyeri) dan memberikan nilai pada respon
tersebut. Tanggapan/respon penderita yang perlu diperhatikan adalah:
Glasgow Coma Scale (GCS)

Pemeriksaan Aktivitas pasien Nilai


Membuka mata Membuka mata spontan 4
(Eye Opening = Membuka mata atas perintah 3
E) Membuka mata bila dirangsang nyeri (tekan pada 2
supraorbita atau kuku jari)
Tidak membuka mata walaupun dirangsang dengan nyeri 1
adekuat
Berbicara (Verbal Baik, dapat menjawab dengan kalimat yang baik, 5
Response = V) orientasi waktu, tempat dan perorangan baik
Kacau (“confused”), kalimat dan kata baik, tetapi isi 4
percakapan tak jelas, ada disorientasi waktu dan tempat
Kata baik, tetapi kalimat tidak jelas maknanya 3
Makna kata tidak dapat dimengerti, mengerang 2
Tidak keluar kata, Tidak ada jawaban/respons bahkan 1
dengan rangsang nyeri adekuat (bedakan dengan afasia)
Gerakan Motorik Gerakan mengikuti perintah 6
(Motoric Dapat menunjuk lokasi, dapat melokalisasi nyeri bila 5
Response = M) diberi rangsang nyeri (misalnya dengan menekan jari
pada supraorbita, pasien dapat mengangkat tangan ke
arah supraorbita untuk menepis rangsang nyeri tersebut)
Reaksi menghindar (withdrawal), menarik 4
lengan/tungkai bila diberi rangsang nyeri, hanya gerakan
aduksi
Reaksi fleksi/dekortikasi (dengan rangsang nyeri 3
misalnya pada kuku, siku melakukan fleksi)
Reaksi ekstensi/deserebrasi (dengan rangsang nyeri 2
terjadi ekstensi pada siku disertai fleksi spastik pada
pergelangan tangan)
Tidak ada gerakan (bahkan dengan rangsang nyeri 1
adekuat)
Pemeriksaan Untuk Menetapkan Letak Proses Patologik di Batang Otak
1. Observasi umum, meliputi:
a. Gerakan otomatik misalnya menelan, menguap, membasahi bibir. Adanya
gerakan otomatik ini menunjukkan bahwa fungsi nukleus di batang otak masih
baik; hal ini berarti bahwa prognosis relatif baik
b. Adanya kejat mioklonik multifokal dan berulang kali; gejala ini biasanya
disebabkan oleh gangguan metabolisme sel hemisfer otak
c. Letak lengan dan tungkai; bila lengan dan tungkai dalam posisi fleksi maka hal
ini berarti gangguan terletak di hemsifer otak. Bila kedua lengan dan tungkai
dalam keadaan eksteni (rigiditas deserebrasi) maka ini menunjukkan adanya
gangguan di batang otak dan keadaan ini sangat serius
2. Pengamatan pola penapasan
a. Bentuk Cheyne-Stokes atau periodic breathing
- Pola pernapasan seperti ini disebabkan oleh proses patologik di
hemisfer dan / atau batang otak bagian atas.
b. Central neurogenic breathing (istilah lama: pernapasan Kussmaul atau Biot)
- Pola pernapasan seperti disebabkan oleh proses patologik di
tegmentum (batas antara mesensefalon dan pons)
- Letak proses ini lebih kaudal bila dibandingkan dengan proses
patologik yang menimbulkna pola pernapasan Chyene-Stokes.
c. Pernapasan apneistik: isnpirasi dalam kemudian diikuti berhentinya napas
pasca-ekspirasi
d. Pernapasan ataksik: pernapasan yang cepat, dangkal dan tak teratur
- Pola pernapasan seperti ini biasanya tampak ketika formasio
retikularis bagian dorsomedial medula oblongata terganggu
- Pola pernapasan seperti ini sering tampak pada tahap agonal, sehingga
dianggap sebagai tanda menjelang kematian
3. Kelainan pupil
- Pemeriksaan pupil terutama pada pasien koma sama nilainya dengan
pemeriksaan tanda vital lainnya
- Bila pupil tampak sangat kecil (pin point) maka diperlukan kaca
pembesar
- Sebelum diperiksa dengan teliti maka mata jangan ditetesi
midriatikum
- Yang harus diperiksa meliputi :
a. Besar / lebar pupil
b. Perbandingan lebar pupil kanan dan kiri
c. Bentuk pupil
d. Refleks pupil terhadap cahaya dan konvergensi
e. Reaksi konsensual pupil
4. Gerak dan/atau kedudukan bola mata
a. Deviasi konjugat
- Kedua bola mata melirik ke samping, ke arah hemisfer yang
terganggu
- Ukuran dan bentuk pupil normal
- Refleks cahaya positif
- Deviasi ini terjadi pada area 8 lobus frontalis
b. Proses di talamus
- Kedua bola mata melirik ke hidung
- Pasien tidak dapat dapat menggerakkan kedua bola mata ke atas
- Pupil kecil dan refleks cahaya negatif
c. Proses di pons
- Kedua bola mata berada di tengah
- Bila kepala pasien digerakkan ke samping maka tidak terlihat gerakan
bola mata ke samping (dolls eye manoever yang abnormal)
- Pupil sangat kecil, reaksi terhadap cahaya positif (dilihat dengan kaca
pembesar)
- Kadang-kadang tampak adanya ocular bobbing
d. Proses di serebelum
- Pasien tidak dapat melihat ke samping
- Pupil normal (bentuk dan reaksi terhadap cahaya)
5. Refleks sefalik batang otak
a. Refleks pupil (mesensefalon)
- Refleks cahaya, refleks konsensual dan refleks konvergensi
- Pada pasien koma hanya dapat diperiksa refleks cahaya dan
konvergensi
- Bila refleks cahaya terganggu berarti ada gangguan di mesensefalon
(bagian atas batang otak)
b. Doll’s  eye  manoever
- Bila kepala pasien digerakkan ke samping maka bola mata akan
bergerak ke arah yang berlawanan
- Refleks negatif bila ada gangguan di pons
c. Refleks okulo-auditorik
- Bila telinga pasien dirangsang dengan suara yang keras maka pasien
akan menutup matanya (auditory blink reflex)
d. Refleks okulovestibular (pons)
- Bila meatus akustikus eksternus dirangang dengan air panas (440 C)
maka akan terjadi gerakan bola mata cepat ke arah telinga yang
dirangsang
- Bila tes kalori ini negatif berarti ada gangguan di pons
e. Refleks kornea
- Bila kornea digores dengan kapas halus maka akan terjadi penutupan
kelopak mata
f. Refleks muntah (medula oblongata)
- Dinding belakang faring dirangsang dengan spatel maka akan terjadi
refleks muntah

PITTSBURGH BRAIN STEM SCORE


Cara ini dapat digunakan untuk menilai fungsi batang otak dengan menilai refleks
brainstem pada pasien koma.
Brainstem reflex
1. Refleks bulu mata positif kedua sisi 2
negatif 1
2. Refleks kornea positif kedua sisi 2
negatif 1
3.  Doll’s  eye  movement/ice  water  calories positif kedua sisi 2
negatif 1
4. Reaksi pupil kanan terhadap cahaya positif 2
negatif 1
5. Reaksi pupil kiri terhadap cahaya positif 2
negatif 1
6. Refleks muntah atau batuk positif 2
negatif 1
Interpretasi: Nilai minimum :6
Nilai maksimum : 12 ( nilai/skor makin tinggi makin baik )

6. Reaksi terhadap rangsang nyeri


- Tekanan di atas orbita, jaringan di bawah kuku jari tangan, atau tekanan pada
sternum
- Reaksi yang dapat dilihat
a. Gerakan abduksi, seakan-akan pasien menghalau rangsangan; ini
menandakan bahwa masih terdapat fungsi hemisfer (high level
function)
b. Gerakan aduksi, seakan-akan pasien menjauhi rangsangan
(withdrawal); ini berarti bahwa masih terdapat fungsi tingkat bawah
c. Gerakan fleksi lengan dan tungkai; ini berarti bahwa terdapat
gangguan di hemisfer
d. Kedua lengan dan tungkai mengambil posisi ekstensi (rigiditas
deserebrasi); hal ini berarti bahwa terdapat gangguan di batang otak
7. Fungsi traktus piramidalis, hal ini akan dibicarakan pada pemeriksaan sistem motorik

Pada pasien pediatri, jangan lupakan pemeriksaan kepala dan leher :


- Bentuk : simetris atau asimetris
- Fontanella (khususnya pada pasien pediatrik) : tertutup atau tidak
- Transiluminasi

Pemeriksaan fungsi kortikal luhur akan dibahas pada Blok Geriatri.


PEMERIKSAAN RANGSANG MENINGEAL

Tujuan Instruksional Umum


Menjelaskan dan melakukan dengan benar cara pemeriksaan rangsang meningeal beserta
penilainnya.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan dan melakukan dengan benar cara-cara pemeriksaan kaku kuduk
beserta penilainnya
2. Menjelaskan dan melakukan dengan benar cara-cara pemeriksaan Kernig sign
beserta penilainnya
3. Menjelaskan dan melakukan dengan benar cara-cara pemeriksaan Brudzinsky
signs beserta penilainnya
4. Menjelaskan dan melakukan dengan benar cara-cara pemeriksaan Lasegue sign
beserta penilainnya

PEMERIKSAAN RANGSANG MENINGEAL

Tanda rangsang meningeal didasari adanya peningkatan kepekaan radiks-radiks


saraf (akar saraf) sensorik yang teriritasi terhadap rangsangan. Beberapa keadaan yang
dapat menimbulkan tanda-tanda tersebut ialah infeksi meningen (meningitis), benda asing
di rongga subarakhnoid ( misalnya darah pada perdarahan subaraknoid).

PEMERIKSAAN KAKU KUDUK

Pemeriksaan kaku kuduk dilakukan sebagai berikut: pemeriksa berdiri di sebelah


kanan pasien. Tangan pemeriksa kiri ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang
berbaring, rotasikan kepala pasien ke kanan dan ke kiri, kemudian kepala ditekukan
(fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan dilakukan,
perhatikan dan rasakan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk, kita dapatkan tahanan
dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada
kaku kuduk yang berat kepala tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik
kebelakang. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami
waktu menekukkan kepala.
Pada pasien yang pingsan atau koma, kadang kaku kuduk menghilang atau
berkurang. Untuk mengetahui adanya kaku kuduk pada penderita dengan kesadaran yang
menurun, sebaiknya penekukan kepala dilakukan sewaktu pernafasan pasien dalam
keadaan ekspirasi, sebab bila dilakukan dalam keadaan inspirasi, biasanya kita juga
mendapatkan sedikit tahanan, dan hal ini dapat mengakibatkan salah penafsiran.
Pada kaku kuduk oleh rangsang selaput otak (meningen), tahanan didapatkan bila
kita menekukkan kepala, sedang bila kepala dirotasi, biasanya dapat dilakukan dengan
mudah dan umumnya tahanan tidak bertambah. Demikian juga gerak hiperekstensi dapat
dilakukan tanpa adanya tahanan. Untuk menilai adanya tahanan saat rotasi kepala,
letakkan tangan pemeriksa pada dahi pasien kemudian secara lembut dan perlahan-lahan
pemeriksa memutar kepalanya dari satu sisi kesisi lainnya, dan nilai tahanannya. Pada
iritasi meningeal pemutaran kepala dapat dilakukan dengan mudah dan tahanan tidak
bertambah. Untuk menilai keadaan ekstensi kepala angkat bahu pasien dan lihat apakah
kepala dapat jatuh dengan mudah kebelakang. Pada keadaan iritasi meningeal, test rotasi
kepala dan hiperekstensi kepala biasanya tidak terganggu, sedangkan keadaan penyakit
lain seperti miositis otot kuduk, artritis servikalis, tetanus, parkinson rotasi kepala
biasanya terganggu.

PEMERIKSAAN KERNIG’S SIGN

Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien. Pasien yang sedang berbaring


difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah
itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih
dari 135 derajat terhadap paha. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang
dari sudut 135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif. Lakukan pada kedua tungkai.

Pemeriksaan  Kernig’s  sign

PEMERIKSAAN BRUDZINSKI SIGNS


Pemeriksaan Brudzinksi sign terdiri dari tanda leher menurut Brudzinski
(Brudzinski’s  neck  sign = Brudzinski I), tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski
(Brudzinski’s   contralateral   leg   sign = Brudzinski II), tanda pipi menurut Brudzinski
(Brudzinski III), tanda simfisis pubis menurut Brudzinski (Brudzinski IV).

Tanda Leher Menurut Brudzinski (Brudzinski’s  Neck Sign = Brudzinski I)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, pemeriksa berdiri di sebelah kanan
penderita. Tangan kiri yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring,
tangan kanan pemeriksa sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan, kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada.
Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi
lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

Pemeriksaan Brudzinski’s  Neck Sign


Tanda Tungkai Kontra Lateral Menurut Brudzinski (Brudzinski’s   Contralateral
Leg Sign = Brudzinski II)
Pasien berbaring terlentang, pemeriksa berdiri di sebelah kanan penderita.
Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai
diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi
tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul, test ini dinilai positif.

Brudzinski’s  Contralateral Leg Sign

Tanda Pipi Menurut Brudzinski (Brudzinski III)


Pasien berbaring terlentang, pemeriksa berdiri di sebelah kanan penderita. Tes ini
bernilai positif bila penekanan pada pipi kedua sisi tepat di bawah os zygomaticus akan
disusul oleh gerakan fleksi secara reflektorik di kedua siku dengan gerakan reflektorik ke
atas sejenak dari kedua lengan.

Tanda Simfisis Pubis Menurut Brudzinski (Brudzinski IV)


Pasien berbaring terlentang, pemeriksa berdiri di sebelah kanan penderita. Tes ini
bernilai positif bila penekanan pada simfisis pubis akan disusul oleh timbulnya gerakan
fleksi secara reflektorik pada kedua tungkai di sendi lutut dan panggul.
PENILAIAN PEMERIKSAAN RANGSANG MENINGS

No. Aspek yang dinilai Skor Bobot Nilai


0 1 2 3
Pemeriksaan Kaku Kuduk
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien.
2. Minta pasien untuk berbaring rileks. Berdiri di 1
sebelah kanan pasien.
3. Rotasikan kepala pasien yang sedang berbaring 2
ke kanan dan ke kiri.
4. Tangan pemeriksa kiri ditempatkan di bawah 2
kepala pasien. Kepala pasien ditekukan (fleksi)
dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
5. Lakukan penilaian. Selama penekukan 2
dilakukan, perhatikan dan rasakan adanya
tahanan
Pemeriksaan Kernig’s Sign
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien. Text
2. Minta pasien untuk berbaring rileks. Pemeriksa 1
berdiri di sebelah kanan pasien.
3. Pasien yang sedang berbaring difleksikan salah 2
satu pahanya pada persendian panggul sampai
membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai
bawah diekstensikan pada persendian lutut
sampai membentuk sudut lebih dari 135 derajat
terhadap paha.
4. Lakukan penilaian. Bila terdapat tahanan dan 2
rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135
derajat, maka dikatakan kernig sign positif.
Pemeriksaan Brudzinski I
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien.
2. Minta pasien untuk berbaring rileks. Pemeriksa 1
berdiri di sebelah kanan pasien.
3. Tangan kiri ditempatkan di bawah kepala 2
pasien yang sedang berbaring, tangan kanan
pemeriksa ditempatkan di dada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan, kemudian
kepala pasien difleksikan sehingga dagu
menyentuh dada.
4. Lakukan penilaian. Test ini adalah positif bila 2
gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan
fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik
Pemeriksaan Brudzinski II
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien. Minta pasien untuk berbaring rileks.
2. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan 2
pada sendi lutut, kemudian tungkai
diekstensikan pada sendi panggul.
3. Lakukan penilaian. Bila timbul gerakan secara 2
reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral
pada sendi lutut dan panggul, test ini dinilai
positif.
Pemeriksaan Brudzinski III
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien. Minta pasien untuk berbaring rileks.
2. Lakukan penekanan pada pipi kedua sisi tepat 2
di bawah os zygomaticus.
3. Lakukan penilaian. Tes ini bernilai positif bila 2
penekanan pada pipi akan disusul oleh gerakan
fleksi secara reflektorik di kedua siku dengan
gerakan reflektorik ke atas sejenak dari kedua
lengan.
Pemeriksaan Brudzinski IV
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien. Minta pasien untuk berbaring rileks.
Berdiri di sebelah kanan pasien.
2. Lakukan penekanan pada simfisis pubis. 2
3. Tes ini bernilai positif bila penekanan pada 2
simfisis pubis akan disusul oleh timbulnya
gerakan fleksi secara reflektorik pada kedua
tungkai di sendi lutut dan panggul.
Jumlah Nilai
Skor 0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi salah
2 = dilakukan tetapi kurang benar
3 = dilakukan dengan benar
Jumlah nilai
Total Nilai = x 100 =
105
PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS

Pemeriksaan saraf otak dapat membantu kita menentukan lokasi lesi dan jenis
penyakit. Untuk melakukan pemeriksaan sekaligus penilaiannya, perlu pemahaman
anatomi, fungsi, dan hubungan saraf-saraf otak ini dengan struktur lainnya. Saraf otak
terbagi atas saraf otak I-XII (Nervus kranialis I-XII). Saraf otak I dan II merupakan jaras-
jaras berupa tonjolan otak. Saraf otak XI berasal dari segmen servikal atas medula
spinalis. Saraf otak III-X & XII keluar dari batang otak.

Tujuan Instruksional Umum


Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf-saraf kranialis (saraf otak) dengan benar beserta
penilaiannya

Tujuan Instruksional Khusus


1. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak I (Nervus Olfaktorius) dengan benar
beserta penilaiannya
2. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak II (Nervus Optikus) dengan benar
beserta penilaiannya
3. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak III (Nervus Okulomotorius) dengan
benar beserta penilaiannya
4. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak IV (Nervus Trokhlearis) dengan
benar beserta penilaiannya
5. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak V (Nervus Trigeminus) dengan
benar beserta penilaiannya
6. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak VI (Nervus Abdusens) dengan benar
beserta penilaiannya
7. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak VII (Nervus Fasialis) dengan benar
beserta penilaiannya
8. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak VIII (Nervus Stato-akustikus,
Oktavus, Nervus Vestibulo-kokhlearis) dengan benar beserta penilaiannya
9. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak IX (Nervus Glosofaringeus) dengan
benar beserta penilaiannya
10. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak X (Nervus Vagus) dengan benar
beserta penilaiannya
11. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak XI (Nervus Aksesorius) dengan
benar beserta penilaiannya
12. Melakukan cara-cara pemeriksaan saraf otak XII (Nervus hipoglosus) dengan
benar beserta penilaiannya
PEMERIKSAAN SARAF OTAK I (NERVUS OLFAKTORIUS)
Tujuan pemeriksaan nervus olfaktorius adalah untuk memeriksa fungsi pembauan /
penghiduan.
a. Persiapan pemeriksaan :
- Yakinkan bahwa jalan nafas melalui hidung baik, tidak ada sumbatan atau
kelainan setempat, misalnya pilek atau polip
- Periksa dan pastikan tidak ada atrofi mukosa hidung
- Pasien harus sadar dan kooperatif
- Contoh bahan yang dipakai adalah bau-bauan yang tidak merangsang mukosa
hidung dan telah dikenali pasien, misalnya teh, kopi, tembakau, sabun, pepermin,
kamper, akua rosarum, dan kulit jeruk. Hindari bahan yang mengandung alkohol.
b. Cara pemeriksaan:
- Kedua mata mata ditutup
- Satu persatu kedua lubang hidung diperiksa, lubang yang sedang tidak diperiksa
ditutup dengan tangan
- Dekatkan bahan pemeriksaan di depan hidung pasien, dan minta pasien
mengidenfikasi apa yang tercium olehnya
- Terciumnya bau dengan tepat berarti susunan olfaktorik berfungsi dengan baik
c. Interpretasi pemeriksaan klinis:
- Normal
- Anosmia = hilangnya daya pembauan, dapat dijumpai pada trauma kapitis di mana
berkas N.I terpotong oleh os kribriformis atau oleh fraktur os ethmoidalis atau
terendam oleh perdarahan di fossa serebri anterior. Dapat juga merupakan
komplikasi meningitis, penekanan oleh meningioma, dll.
- Hiposmia = daya pembauan yang kurang tajam, misalnya pada manifestasi rinitis,
terutama rinitis vasomotor. Hiposmia yang menetap terjadi pada usia lanjut.
- Hiperosmia = daya pembauan yang teramat peka, misalnya pada histeria konversi.
- Parosmia = bila tercium yang tidak sesuai dengan bahan yang dicium, misalnya
pada trauma kapitis.
- Kakosmia = parosmia yang tidak menyenangkan, misalnya mencium bau pesing,
bacin, kakus. Dapat dijumpai pada truma kapitis atau pada histeria konversi.
- Halusinasi olfaktorik = tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa adanya
perangsangan maka kesadaran akan suatu jenis bau ini adalah halusinasi,

PEMERIKSAAN SARAF OTAK II (NERVUS OPTIKUS)

Tujuan pemeriksaan :
1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (visus) dan menentukan apakah kelainan
pada penglihatan disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau oleh kelainan saraf.
2. Pemeriksaan lapangan (medan) penglihatan
3. Pemeriksaan pengenalan warna
4. Pemeriksaan fundus (funduskopi) untuk menentukan apakah terdapat kelainan
papil optikus atau tidak
5. Pemeriksaan refleks cahaya (dibicarakan pada bagian pemeriksaan N.III)
Pemeriksaan dan Interpretasi Tajam Penglihatan (Visus)
Persiapan pemeriksaan :
- Ruang harus cukup terang
- Yakinkan bahwa tidak ada katarak, radang parut di kornea atau nebula, iritis,
uveitis, glaukoma atau korpus alienum
- Dengan menggunakan kertas yang berlubang kecil, dapat diambil kesan adanya
faktor refraksi dalam penurunan visus, bila dengan melihat melalui lubang kecil
huruf bertambah jelas maka faktor yang berperan mungkin gangguan refraksi.
Pemeriksaan dengan Kartu Snellen (Snellen Chart)
Pasien berdiri 6 m dari kartu Snellen. Mata kiri ditutup dengan tangan kiri dan visus mata
kanan diperiksa. Dengan mata kanannya, pasien diminta membaca
huruf-huruf dalam kartu Snellen. Begitu juga sebaliknya untuk mata kiri.
Interpretasi :
Visus normal : 6/6
x : jarak penderita dengan kartu snellen
y : jarak, dimana orang normal dapat melihat tulisan dalam kartu snellen
Untuk penglihatan jarak dekat, digunakan Jagger reading card.

Pemeriksaan Jari-jari Tangan


Secara kasar, pemeriksaan visus dapat dilakukan tanpa menggunakan kartu, yaitu dengan
menghitung jari pemeriksa. Bila visus pasien menurun < 6/60, visus diperiksa dengan
menghitung jari-jari. Orang normal dapat membaca hitungan jari pada jarak maksimal 60
m. Pasien memberitahukan berapa jari dokter yang diperlihatkan kepadanya. Jika sejauh
6 m, tidak dilihat, jarak diperpendek sampai dapat dilihat.
Interpretasi:
- Normal: menghitung jari tangan jarak 60 m dengan benar
- Jika hanya dapat menghitung jari-jari tangan dokter jarak 5 m, berarti visusnya 5/60.
Bila pasien hanya dapat membaca pada jarak 1 m saja, berarti visusnya adalah 1/60.

Pemeriksaan Gerakan Tangan


Pasien melihat gerakan tangan pemeriksaan. Interpretasinya berdasarkan pada jarak
berapa pasien dengan jelas dapat melihat gerakan tangan pemeriksa.
Interpretasi
Normal : dapat melihat gerakan tangan dari jarak 300 m
Hanya melihat arah gerakan tangan dari jarak 3 m, berarti visus 3/300
Pemeriksaan Lampu / Cahaya
Pemeriksaan ini memakai rangsangan cahaya. Mata pasien disinari dengan cahaya lampu,
lalu pasien diminta menentukan gelap atau terang.
Interpretasi
Normal : pada jarak tak terhingga, pasien dapat membedakan terng atau gelap
Jika pasien hanya dapat melihat cahaya dari jarak 1 m, berarti visus 1/~. Bila cahaya tidak
dilihat, berarti visus: nol (no light perseption)

2. Pemeriksaan Lapang Pandang (Medan Penglihatan, Visual Field)


Dalam klinik dikenal 3 metode tes medan penglihatan. Untuk pemeriksaan medan
penglihatan yang sederhana, tanpa menggunakan alat khusus adalah tes konfrontasi,
dengan tangan. Sedangkan yang lainnya menggunakan alat khusus yaitu perimeter dan
kampimeter. Pasien harus kooperatif dan diberi penjelasan test yang akan dilakukan.

Cara pemeriksaan tes konfrontasi dengan tangan (Metode Konfrontasi dari


Donder):
- Pemeriksa dengan medan penglihatan yang normal berhadapan sejajar dengan jarak
kurang lebih 1 meter dengan pasien.
- Pasien diminta koperatif untuk memandang satu titik fiksasi dengan meminta
pasien melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat
ke mata kanan pasien.
- Satu persatu mata pasien diperiksa. Bila mata kanan yang diperiksa, mata kiri
ditutup. Begitu pula sebaliknya.
- Pemeriksa menggerakkan jarinya dari perifer ke tengah (jarak jari terhadap kedua
pihak harus sama).
- Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberitahu, dan
hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah iapun telah melihatnya
- Bila pemeriksa telah melihat, sementara pasien belum, berarti medan penglihatan
pasien menyempit.
- Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing masing mata
harus diperiksa.

Tes Konfrontasi

Cara Pemeriksaan Test Kampimeter dan Test Perimeter :


- Papan hitam diletakan di depan pasien pada jarak 1 atau 2 m
- Benda penguji (test objek) berupa bundaran kecil, berdiameter 1-3 mm, misalnya
jarum pentul
- Mata pasien difiksasi di tengah dan benda penguji digerakkan dari perifer ke
tengah dari segala jurusan.

Interpretasi hasil pemeriksaan :


- Ada bagian bagian visual field yang buta dimana pasien tidak dapat
melihatnya, ini disebut dengan SKOTOMA
- Skotoma positif : tanpa diperiksa pasien sudah merasa adanya skotoma
- Skotoma negatif: dengan diperiksa pasien baru merasa adanya skotoma
- Macam  macam  gangguan  ”visual  field”  antara  lain:
- hemianopsia (temporal; nasal; bitemporalis; binasal)
- homonymous hemianopsia
- homonymous quadrantanopsia
- total blindness
- Dengan metode ini lesi dapat dideteksi. Misalnya ditemukan hemianopsia
bitemporal berarti ada lesi di garis tengah khiasma optikum.
Hemianopsia binasale berarti ada lesi di khiasma optikum bagian luar.

Tes Perimeter

3. Pemeriksaan dan Interpretasi Pengenalan Warna


Persiapan pemeriksaan:
- Disiapkan kartu tes Ischihara dan Stilling, atau
- Disiapkan benang wol berbagai warna
Cara pemeriksaan:
- Pasien membaca angka berwarna dlm kartu istihara atau stiling
- Mengambil wol yang berwarna sesuai perintah.

4. Pemeriksaan fundus okuli dengan oftalmoskop (funduskopi)


Pemeriksaan papil, retina, arteri/vena, meliputi kemungkinan adanya edema papil, edema
retina, arteriosklerosis / fenomenon silang, perdarahan retina, tuberkel retina perdarahan
dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop.
Cara pemeriksaan :
- Pemeriksa memegang oftalmaskop dengan tangan kanan
- Tangan kiri pemeriksa memfiksasi dahi pasien
- Pemeriksa menyandarkan dahinya pd darsum manus tangan kiri yang memegang
dahi pasien
- Mata kanan pasien diperiksa dengan mata kanan pemeriksa, begitu pula
sebaliknya
- Pemeriksa menilai retina dan papil nervi optikus
Interpretasi Funduskopi
1. Gambaran retina normal
- Latar belakang :merah keoranye-oranyean
- Papil nervi optikus : lebih muda
- Pembuluh darah berpangkal pada pusat papil memancarkan cabang-
cabangnya ke seluruh retina
- Arteri berwarna jernih dan vena berwarna merah tua
- Reflek sinar hanya tampak pada arteri
- Vena berukuran lebih besar dan tampak berkelak-kelok dibandingkan
arteri
- Tampak pulsasi pada pangkal vena besar (di papil)
- Bila dilakukan penekanan bola mata, pulsasi tampak lebih jelas
2. Gambaran Nervi Optikus
- Normal : bentuk lonjong, warna jingga muda, bagian temporal sedikit pucat, batas
tegas, bagian nasal agak kabur, cupping fisiologis, vena:arteri 3 : 2
- Papil edema : papil hiperemis, batas papil kabur, cupping menghilang
- Papil Atropi Primer : papil pucat, batas tegas, cupping (+)
- Papil Atropi Sekunder: papil pucat, batas tidak tegas, cupping (-)

Gambar fundus okuli normal

Gambar Edema Papil

Gambar Fundus Atrofi Optik dan Pada Pasien Glaukoma


PEMERIKSAAN SARAF OTAK III, IV, VI (NERVUS OKULOMOTORIUS,
TROKLEARIS, ABDUSENS)

Fungsi Nn. III, IV, dan VI saling berkaitan dan diperiksa bersama sama.
Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler.
Pergerakan bola mata ke bawah lateral oleh M. Obliquus superior diatur oleh N.
IV, sementara gerakan bola mata ke arah lateral oleh M. Rectus lateralis diinervasi oleh
N. VI.
Fungsi N. III adalah mempersarafi M. Rectus medial yang menggerakkan bola
mata ke medial, M. Rectus superior yang menggerakkan bola mata ke atas lateral, M.
Rectus inferior yang menggerakkan bola mata ke bawah medial, M. Obliquus inferior
yang menggerakkan bola mata ke atas medial, juga M. Levator palpebrae yang
mengangkat kelopak mata. Serabut otonom N. III (N. Ciliaris) mengatur otot pupil.
Kelumpuhan N. III menimbulkan ptosis, oftalmoplegia (gangguan pergerakan bola mata),
gangguan refleks cahaya sampai midriasis (pada kelumpuhan total).

SARAF OTAK III (OKULOMOTORIUS), IV (TROKLEARIS), VI (ABDUSENS)


1. Inspeksi saat istirahat :
A. Kedudukan bola mata
B. Observasi celah kelopak mata
2. Inspeksi saat bergerak :
Observasi gerakan mata
3. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil

INSPEKSI SAAT ISTIRAHAT


A. Kedudukan Bola Mata
Pemeriksaan :
- Kedudukan mata kiri dan kanan simetris atau tidak
- Apakah terdapat strabismus, deviasio conjugee
- Apakah terdapat eksoptalmus atau endoftalmus
Interpretasi
Normal : Kedudukan bola mata simetris
Kelainan : Terdapat strabismus, deviatio conjugee, eksoftalmus, endoftalmus

B. Observasi Celah Kelopak Mata


Pemeriksaan :
Penderita memandang lurus ke depan. Perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap
pupil dan iris. Bandingkan celah mata/fissura palpebralis kiri dan kanan
Interpretasi
Normal : simetris kanan-kiri
Kelainan :
1.Celah kelopak mata menyempit
- Ptosis: penyempitan fisura palpebra karena turunnya kelopak mata akibat
kelemahan/kelumpuhan otot elevator palpebra dan/atau tarsalis superior,
didapatkan pada lesi N. III, penyakit myasthenia gravis, Horner syndrome
- Bisa juga didapatkan pada enoftalmus dan blefarospasmus
2.Celah kelopak mata melebar
- Didapatkan pada eksoftalmus dan proptosis

PEMERIKSAAN GERAKAN BOLA MATA


Pada penilaian gerakan bola mata, diperiksa gerakan monokular (masing-masing
mata diperiksa, mata yang tidak diperiksa ditutup), penilaian gerakan kedua bola mata
atas perintah atau mengikuti obyek bergerak, dan pemeriksaan gerakan konjungat
reflektorik  (doll’s  eye  movement).
Pemeriksaan :
- Lihat ada atau tidaknya nystagmus (gerakan bola mata di luar kemauan pasien).
- Tahan kepala pasien dengan satu tangan
- Pasien diminta untuk mengikuti dengan mata gerakan tangan pemeriksa yang
digerakkan ke segala jurusan, khususnya pergerakan bola mata ke arah : nasal atas
(N.III), temporal atas (N.III), temporal bawah (N. III), lateral/temporal (N.VI),
medial/nasal (N.III), nasal bawah (N.IV). Lihat apakah ada hambatan pada
pergerakan matanya, yang menandakan gangguan pada saraf yang menginervasi.
Hambatan yang terjadi dapat pada satu atau dua bola mata.
- Atau pasien dapat juga diminta untuk menggerakan sendiri bola matanya.

Interpretasi gerakan bola mata


Normal :
a. Gerakan konjungat
b. Gerakan diskonjungat/gerakan konversion
c. Dolls eye movement (+)

Pemeriksaan Gerakan Bola Mata


Kelainan :
1. Kelumpuhan N. III menimbulkan ptosis, oftalmoplegia dan midriasis (pada
kelumpuhan total)
a. Ptosis
b. Gangguan gerakan bola mata:
N III menginervasi M. Rectus superior dan inferior dan M. Obliquus inferior,
yang menyebabkan bola mata bergerak ke atas, nasal dan ke bawah. Bila terjadi
paresis, pasien tidak dapat mengikutinya. Bola mata akan tetap ke temporal.
c. Strabismus divergen
Karena N. III mempersarafi M. rektus superior, inferior dan medial, maka adanya
lesi pada n. III akan menyebabkan bola mata menyimpang ke sisi lateral/temporal.
Jadi, bila tidak didapatkan bola mata yang menyimpang ke temporal berarti
strabismus divergen positif. Tetapi, adanya strabismus belumlah berarti satu otot
okuler lumpuh. Mungkin saja ada kelainan kongenital pada panjang otot okular.
d. Diplopia
Diplopia adalah melihat dobel, terutama bila bola mata digerakkan ke arah yang
paresis.
Bila seseorang mengeluh tentang diplopia tapi tidak memperlihatkan strabismus,
mungkin sekali terdapat paresis ringan. Cara meyakinkan paresis ringan adalah
Cover–uncover test sebagai berikut:
- Bila satu mata yang mengalami kelemahan otot okuler yang sedang menatap
satu obyek secara binokuler pada satu obyek ditutup, maka mata tersebut
akan bergerak menyimpang menjauhi otot okuler yang lemah.
- Bila mata yang sehat ganti ditutup, maka bola mata itu tersebut akan memutar
ke arah yang berlawanan dengan arah penyimpangan otot yang paretik.
2. Pada paralisis N. IV bola mata pasien tidak mampu mengikuti gerakan bola mata ke
nasal bawah yang digerakkan oleh M. Obliquus superior, menyebabkan penyimpangan
ke arah temporal sedikit ke atas, strabismus divergen, dan diplopia.
3. Paralisis Nervus VI (Abdusens) akan melumpuhkan gerakan bola mata ke lateral,
menyebabkan penyimpangan ke medial/nasal, strabismus konvergen, dan diplopia.

PEMERIKSAAN PUPIL – REAKSI PUPIL


Pemeriksaan :
- Observasi bentuk, ukuran pupil, posisi pupil kiri dan kanan, bandingkan antara
keduanya
- Lihat diameter pupil, normal besarnya 3 mm.
- Bandingkan ukuran diameter kiri dengan kanan, isokor (sama besar) atau anisokor
(tidak sama besar).
- Lihat bentuk bulatan pupil teratur atau tidak (bulat, oval, ireguler misalnya post
operasi katarak)
- Pemeriksaan refleks pupil
a. Refleks cahaya, serat aferen adalah N. II, sementara serat eferen adalah N. III (N.
Ciliaris) bilateral.
Lakukan di ruang yang agak gelap. Lakukan pada dua sisi.
Direk/langsung : cahaya senter ditujukan dari lateral pelan-pelan ke arah satu
pupil.
- Perhatikan apakah pada pupil tersebut segera terjadi miosis, dan apakah ada
pelebaran kembali yang tidak terjadi dengan segera.
- Normal, bila dengan adanya cahaya, pupil akan mengecil (miosis).
Indirek/tidak langsung: refleks cahaya konsensuil. Cahaya ditujukan pada satu
pupil, dan perhatikan pupil sisi yang lain.
- Normalnya, pupil di sisi yang lain pun akan miosis.
b. Refleks akomodasi
- Pasien diminta untuk melihat telunjuk pemeriksa pada jarak yang cukup
jauh, kemudian dengan tiba – tiba dekatkanlah pada pasien lalu perhatikan
reflek konvergensi pasien di mana dalam keadaan normal kedua bola mata
akan berputar ke dalam atau nasal.
- Reflek akomodasi yang positif pada orang normal tampak dengan miosis
pupil.
c. Refleks siliospinal
- Rangsangan nyeri pada kulit kuduk (aferen saraf spinal) akan memberi
midriasis (melebar) dari pupil homolateral (eferen adalah N. Ciliaris).
- Keadaan ini adalah normal.
d. Refleks okulosensorik
- Rangsangan nyeri pada bola mata/daerah sekitarnya (aferen adalah N. V1),
normal akan memberikan miosis atau midriasis yang segera disusul miosis
(eferen adalah N. Ciliaris).
e. Refleks terhadap obat-obatan
- Atropine dan skopolamine akan memberikan pelebaran pupil/midriasis.
- Pilocarpine dan acetylcholine akan menyebabkan miosis.

Interpretasi
Normal :
- Bentuk pupil : bulat reguler
- Ukuran pupil : 3 mm
- Posisi pupil : di tengah-tengah
- Isokor
- Reflek cahaya langsung (+)
- Reflek cahaya konsensuil (+)
- Reflek akomodasi/konvergensi (+)
Kelainan :
- Pintpoin pupil
- Bentuk ireguler
- Anisokor dengan kelainan reflek cahaya
- Pupil marcus gunn
- Pupil argyll robertson
- Pupil adie
- dll
PEMERIKSAAN SARAF OTAK V ( NERVUS TRIGEMINUS ).
Nervus trigenimus mempunyai fungsi motorik dan sensorik, terbagi atas 3 (tiga) cabang,
V1 (N. Opthalmica) , V2 (N. Maxillaris), dan V3 (N. Mandibularis).
Cara Pemeriksaan
1. Pemeriksaan motorik
Serabut motorik N. V hanya mengikuti cabang ke-3 (N. Mandibularis). Otot yang
dipersarafi adalah M. Masseter, M. Temporalis, M. Pterigoideus eksternus dan
internus.
a. Menggigit
Cara pemeriksaan:
- Pasien disuruh menggigit sekuat-kuatnya. Selama pasien menggigit,
pemeriksa melakukan palpasi pada M. Masseter dan Temporalis untuk
memeriksa adakah kontraksi. Normalnya, pada sisi kiri dan kanan
kekuatan, besar dan tonusnya sama. Bila ada kelumpuhan unilateral, maka
serabut motorik N. V yang ipsilateral tak mampu mengontraksikan M.
Masseter dan Temporalis.

Cara pemeriksaan motorik N. V

- Kayu tong spatel digigit bergantian, lalu bandingkan bekas gigitan (M.
Pterigoideus medialis). Bekas gigitan pada sisi M. Pterigoideus medialis yang
lumpuh lebih dangkal.
b. Membuka mulut dan menggerakkan rahang bawah
Cara pemeriksaan:
- Pasien diminta untuk membuka mulutnya.
- Pemeriksa berdiri di depan pasien dan mengawasi rahang bawah pasien:
apakah simetris atau menyimpang (ada deviasi rahang bawah). Sebagai
pegangan diambil gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.
- Jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong ke sisi lesi. Deviasi rahang
bawah saat membuka mulut ke sisi M. Pterigoideus lateralis yang lumpuh
karena M. Pterigoideus lateralis yang sehat akan mendorong mandibula ke
depan tanpa diimbangi oleh sisi yang lain.
- Cara lain pasien diminta mempertahankan rahang bawahnya ke samping dan
kita beri tekanan untuk mengembalikan rahang bawah ke posisi tengah. Bila
terdapat parese di sebelah kanan, rahang bawah tidak dapat digerakkan ke
samping kiri.
2. Pemeriksaan sensorik
Sensibilitas wajah diperiksa di 3 daerah berbeda, yaitu atas, tengah dan bawah,
karena masing-masing diinervasi oleh cabang yang berbeda yaitu cabang
ophtalmicus, maxillaris dan mandibularis.
Alat yang digunakan:
- untuk sensasi nyeri superfisial, gunakan jarum
- untuk sensasi rasa raba halus, gunakan kapas/bulu
- untuk sensasi termis, gunakan tabung berisi air panas/dingin.
Cara pemeriksaan:
- Pasien harus kooperatif
- Selama pemeriksaan sensibilitas kedua mata harus ditutup agar pasien tidak
tahu bagian tubuh yang diperiksa
- Dengan kapas/bulu, jarum, dan tabung berisi air panas/dingin, dapat diperiksa
rasa nyeri dan suhu; kemudian lakukan pemeriksaan pada dahi, pipi dan
rahang bawah sesuai area persarafan N. V1, 2, dan 3.
- Untuk nyeri superfisial, intensitas perangsangan diubah-ubah untuk
mengetahui ketepatan penilaian pasien
- Mintalah respons yang tegas dari pasien; bila pasien merasa ditusuk/digores
maka   pasien   harus   bilang   “ya”, atau pasien mengungkapkan sensasi yang
dirasakannya, misalnya tajam, tumpul, panas, dingin
- Bandingkan respons pada kiri dan kanan pasien
- Buatlah peta manifestasi sensorik setelah pemeriksaan selesai
Interpretasi :
Normal : tidak ada gangguan sensibilitas
Contoh kelainan :
- Analgesi : tidak merasakan rangsang nyeri
- Termanestesi : tidak merasakan rangsangan suhu
- Anestesi : tidak merasakan rangsangan raba

Area Persarafan cabang N. Trigeminus : N. V1, V2, dan V3


Tanda Klinis Gangguan Sensibilitas N. V Tipe Sentral

3. Pemeriksaan refleks
a. Refleks kornea
- Komponen aferen dan eferen busur refleks kornea disusun oleh serabut
sensorik N. V cabang oftalmik dan serabut eferen N. VII yang mensarafi m.
orbicularis okuli.
- Cara periksa:
- Pasien diminta melirik ke atas atau ke samping supaya mata jangan
berkedip bila kornea hendak disentuh
- Goreskan seutas kapas pada kornea (jangan pada konjungtiva bulbi)
dari arah luar ke arah limbus pada satu sisi untuk membangkitkan
gerakan reflektorik
- Normalnya, pasien akan mengedipkan kedua matanya. Bandingkan
kekuatan kedipan kanan dan kiri.
- Bila pada pemeriksaan kornea kanan, mata sebelah kanan berkedip
sedangkan mata sebelah kiri tidak/kurang berkedip, berarti
kemungkinan terdapat parese N. VII kiri (eferen).
- Bila pada pemeriksaan kornea kanan, mata sebelah kiri berkedip
sedangkan mata sebelah kanan tidak/kurang berkedip, berarti
kemungkinan terdapat parese N. VII kanan (eferen).
- Bila pada pemeriksaan kornea kanan, mata sebelah kanan dan kiri
tidak/kurang berkedip, berarti kemungkinan terdapat lesi N. V kanan
(aferen).

Cara Pemeriksaan Refleks Kornea


b. Refleks maseter/refleks rahang bawah (motorik Nervus V)
Alat yang digunakan adalah palu refleks.
Cara pemeriksaan:
- Pasien diminta membuka mulutnya dengan santai, dengan cara selama
membuka   mulut   mengeluarkan   suara   “aaaaaa,”   sementara   itu   pemeriksa  
menempatkan jari telunjuk tangan kirinya di garis tengah dagu, kemudian
dengan palu refleks jari tersebut diketuk
- Jawaban positif berupa kontraksi M. Masseter, M. Temporalis bagian depan,
M. Pterygoideus medialis yang mengakibatkan penutupan mulut. Normalnya
didapatkan sedikit saja gerakan, malah kadang-kadang tidak ada. Bila
gerakannya hebat ini disebut refleks meninggi.

Cara Pemeriksaan Refleks Masseter

c. Refleks supraorbital
Dengan mengetuk jari pada daerah supraorbital, normalnya akan menyebabkan
mata menutup homolateral (tetapi sering diikuti dengan menutupnya mata yang
lain).
d. Refleks bersin
Alat yang digunakan adalah kapas yang sudah dipilin.
Cara pemeriksaan:
- Mukosa hidung dirangsang/digelitik dengan kapas yang sudah tersedia
- Positif : bila timbul bersin secara reflektorik
e. Refleks zigomatikus
Alat yang digunakan adalah palu refleks.
Cara pemeriksaan:
- Dilakukan pengetukan pada os. zigomatikus dengan palu reflek
- Pada orang sehat tidak akan didapatkan respons, juga pada lesi nuklearis
dan infranuklearis
- Pada orang dengan lesi supranuklearis N. V akan muncul gerak berupa
gerakan rahang bawah ipsilateral.
4. Trismus
Amati apakah terdapat spasme otot-otot rahang.
PEMERIKSAAN SARAF OTAK VII (NERVUS FASIALIS)
Pada pemeriksaan N. VII yang umum diperiksa adalah:
- Pemeriksaan motorik : inspeksi wajah yaitu pada kerutan dahi, kedipan mata,
lipatan nasolabial, dan sudut mulut serta beberapa gerakan volunter dan involunter
reflektorik
- Pemeriksaan sensorik khusus: cita rasa (kecap) lidah
- Pemeriksaan parasimpatis vasomotor: lakrimasi (glandula lakrimasi) dan sekresi air
liur (glandula submaksilaris dan sublingualis)

Pemeriksaan Fungsi Motorik


1. Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan kanan
apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis, lebarnya celah
mata, lipatan kulit nasolabial dan sudut mulut. Kemudian pasien diminta untuk
menggerakan wajahnya.
a. Kerutan kulit dahi
Perhatikan kulit dahi pasien apakah tampak kerutan kulit dahi atau tidak
- Pada kelumpuhan N. VII perifer (hemifasialis), kerutan kulit dahi pada sisi
sakit akan hilang
- Pada kelumpuhan N. VII sentral (hemifasialis), kerutan kulit dahi masih akan
tampak.
b. Kedipan mata
Perhatikan apakah masih tampak kedipan mata
- Pada sisi yang lumpuh kedipan mata lambat, tidak gesit dan tidak kuat,
disebut lagoftalmos
- Pada kelumpuhan sentral kedipan mata masih baik
c. Lipatan nasolabial
Lipatan nasolabial pada sisi yang lumpuh tampak mendatar.
d. Sudut mulut
Sudut mulut pada sisi yang lumpuh tampak lebih rendah.
e. Tik fasialis (spasmus klonik fasialis)
- Adanya gerakan involunter di mana sudut mulut terangkat dan kelopak mata
terpejam beberapa kali; gerakan ini berlebihan.
- Tik fasialis ini dapat tidak punya dasar kelainan organik, tetapi dapat juga
terjadi karena adanya iritasi di ganglion genikulatum.
2. Pasien diminta menggerakkan otot-otot fasialis
a. Mengerutkan dahi
- Pasien disuruh mengerutkan dahi. Pada kelumpuhan N. VII perifer pasien
tidak mampu mengerutkan dahinya.
- Pada kelumpuhan N. VII sentral pasien masih mampu mengerutkan dahinya.
Dalam hal ini pemeriksa hendaknya melakukan palpasi antara kanan dan kiri
dan bandingkan sisi mana yang terkuat, akan didapatkan perbedaan tonus.
b. Mengerutkan alis
Pasien disuruh mengerutkan alisnya. Interpretasi pemeriksaan sama dengan
mengerutkan dahi.
c. Menutup mata
- Pasien disuruh menutup mata.
- Pada kelumpuhan perifer mata tidak dapat menutup sempurna.
- Pada kelumpuhan sentral unilateral mata masih bisa menutup. Dalam hal ini
pasien disuruh menutup mata kuat-kuat, kemudian pemeriksa mencoba
membuka mata pasien yang sedang dipejamkan tersebut, akan didapatkan
perbedaan tonus kanan – kiri.
d. Meringis
- Pasien diminta meringis.
- Baik kelumpuhan sentral maupun perifer pada otot wajah sisi yang lumpuh
tidak dapat diangkat.
e. Bersiul
- Pasien diminta bersiul.
- Adanya kelumpuhan n. VII baik unilateral maupun bilateral menyebabkan
pasien tidak dapat bersiul.

Pemeriksaan Fungsi Motorik N. VII

Gambar Parese N. VII Dekstra; (a) Tipe Perifer, (b) Tipe Sentral
3. Gerakan fasial reflektorik
a. Reflek visuopalpebra
- Ancaman colokan pada salah satu mata akan menimbulkan pejaman pada
kedua mata.
- Hal ini terjadi pada orang normal.
b. Refleks glabela
- Pada orang normal setiap kali glabela diketuk akan menyebabkan kedua mata
berkedip.
- Akan tetapi setelah berturut-turut diketuk (3 – 4 kali) kedipan mata tidak akan
timbul lagi.
- Sebaliknya pada orang dengan demensia, mata akan berkedip terus seiring
dengan ketukan berturut-turut pada glabela itu.
c. Reflek aurikulopalpebra
- Gerak reflek berupa mata, jika terdengar suara keras dan tak terduga
- Dapat dihasilkan melalui tepuk tangan yang keras dan tiba-tiba.
d. Tanda Myerson
- Pada orang normal ketukan pada pangkal hidung menyebabkan kedipan mata
hanya sekali saja
- Pada penderita Parkinson menyebabkan kedipan yang gencar.
e. Tanda Chovstek
- Dengan palu atau ujung jari tangan, cabang-cabang N. fasialis di depan lubang
telinga kita ketuk
- Tanda Chovstek positif bila timbul reflek berupa kontraksi otot-otot rasialis
sebagai jawaban atas pengetukan pangkal cabang-cabang N. fasialis
- Tanda Chovstek positif khas untuk tetani.

Pemeriksaan Fungsi Sensorik Khusus (Daya Kecap Lidah 2/3 Depan)


- Diperlukan 4 rasa pokok: manis, asin, asam, pahit. Bahan rangsang sebaiknya
cairan, yaitu Glukosa 5 % (manis), Nacl 2,5 % (asin), Asam sitrat 1 % (asam),
Kinine 0,075 % (pahit).
- Pasien diminta menjulurkan lidahnya keluar, satu persatu rasa diteteskan pada sisi
kanan dan kiri. Untuk rasa manis diteteskan pada bagian depan, rasa asin pada
bagian lateral bawah, rasa asam pada bagian atas, dan rasa pahit pada bagian
belakang lidah.
- Penyebut tidak boleh menyebut rasa dengan bicara, melainkan dengan memberi
kode berupa tulisan yang sudah disiapkan. Hal ini akan mencegah kacaunya
identifikasi.

Interpretasi :
- Ageusia
- Pargeusia
- Hipoageusia
- Hemiageusia
Pemeriksaan fungsi parasimpatis / vasomotor
1. Sekresi air mata
Dengan menggunakan Schirmer test (lakmus merah). Kertas lakmus diposisikan pada
konjungtiva secara hati-hati.
Ukuran : 0,5 cm x 1,5 cm
Warna berubah menjadi biru, normal: 10 – 15 mm (lama 5 menit).
2. Sekresi air liur oleh Glandula Submaksilaris dan Glandula Sublingualis
Raba permukaan dalam mukosa pipi; rasakan apakah terdapat hiposekresi air liur.
Interpretasi :
Normal : Lakrimasi dan sekresi glandula submasilaris dan sublingualis baik
Kelainan : Hiperlakrimasi dan hiposekresi Glandula Submaksilaris dan Sublingualis

Pemeriksaan Hiperakusis
Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang
diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya. Pemeriksaannya, kedua
telinga pasien dipasangi stetoskop. Membran stetoskop kemudian digesek dengan lembut,
lalu tanyakan pada pasien apakah ada satu sisi yang lebih keras intensitas suaranya. Bila
ada, sisi itu adalah bagian yang lesi.

PEMERIKSAAN SARAF OTAK VIII (NERVUS KOKHLEARIS DAN NERVUS


VESTIBULARIS)
Karena fungsi N. VIII terbagi atas fungsi pendengaran (N. koklearis) dan fungsi
keseimbangan (N. vestibularis) maka gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan
koklearis saja atau vestibularis atau keduanya.
Cara Pemeriksaan daya pendengaran (fungsi N. koklearis) adalah sebagai
berikut:
a. Mendengarkan suara berbisik atau gesekan jari
- Tes ini kurang akurat tapi cukup informatif
- Kedua telinga dites satu persatu, salah satu telinga harus ditutup
- Pada pemeriksaan dengan suara berbisik, pasien diberitahu dulu bahwa dia harus
mengucapkan kata yang dikatakan pemeriksa. Pasien harus menutup matanya
agar dia tidak dapat membaca gerakan bibir pemeriksa. Yang dikatakan
pemeriksa adalah kata dan angka secara berselingan, intensitas suara harus
sekeras bisikan sejauh 30 cm dari telinga.
- Pada pemeriksaan dengan gesekan jari, mata pasien ditutup, lalu gesekkan jari di
dekat satu telinga, telinga lain ditutup. Lakukan lagi pada telinga yang satunya
dengan jarak tangan yang sama ke telinga. Tanyakan apakah pasien dapat
mendengar dengan baik atau ada penurunan. Lalu pada kedua telinga lakukan
gesekan bersamaan dan bandingkan.
b. Mendengarkan detik arloji
- Tes ini kurang akurat
- Apalagi pada saat ini kebanyakan arloji yang dipakai tidak berdetik
- Arloji yang sesuai untuk tes ini adalah arloji yang mempunyai detik suara jelas
Tes Pendengaran dengan Gesekan Jari-jari

c. Tes Rinne
- Tes Rinne prinsipnya membandingkan hantaran suara lewat udara dan tulang
- Pada orang normal hantaran suara lewat udara adalah lebih baik dibandingkan
lewat tulang (tes ini positif juga pada tuli sensory neural hearing loss, meskipun
perbandingannya lebih kecil).
- Garpu tala yang sudah digetarkan diletakkan dengan kaki menempel os.
Mastoideum pasien
- Pasien diminta memberi tanda bila bunyi garpu tala sudah tidak terdengar lagi.
Pada saat itu juga garpu tala dipindahkan ke depan liang telinga pasien
- Bila normal/hantaran udara baik maka bunyi garpu tala masih terdengar minimal
2 kali lebih lama daripada yang terdengar lewat tulang mastoideum tadi
- Bila masih terdengar berarti tes Rinne (+) pada tulang tersebut. Telinga normal
atau terdapat tuli saraf (sensory neural hearing loss).
- Bila sudah tak terdengar lagi alias suar garpu tala lebih baik jika lewat os.
mastoideum daripada lewat lubang telinga berarti tes Rinne (-), yang ditemui pada
tuli hantaran (tuli konduksi).

d. Tes Weber
- Prinsipnya adalah membandingkan antara tulang antara telinga kiri dan kanan, di
mana getaran akan terdengar lebih keras pada tuli hantaran dibandingkan pada
telinga normal dan atau tuli saraf.
- Garpu tala yang sudah digetarkan diletakkan di verteks.
- Bila suara terdengar sama keras berarti kedua telinga normal.
- Bila salah satu sisi terdengar lebih keras (terjadi lateralisasi) berarti kemungkinan:
i. Sisi tersebut merupakan telinga yang sakit pada pasien tuli hantaran/tuli
konduktif (misalnya otitis media) sebab hantaran tulang sisi yang sakit
diperpanjang
ii. Sisi tersebut merupakan telinga yang sehat pada pasien tuli unilateral; di mana
telinga kontralateral mengalami tuli saraf (sensory neural hearing loss) yang
terdengar lebih lemah
e. Tes Schwabach
- Prinsipnya adalah membandingkan hantaran tulang telinga pasien terhadap
hantaran tulang telinga pemeriksa. Dengan catatan hantaran tulang pemeriksa
dianggap normal (standar).
- Garpu tala yang bergetar langsung diletakkan pada planum mastoideum
pemeriksa, sampai tak terdengar lagi, lalu segera dipindah ke planum mastoideum
pasien. Lalu dilakukan sebaliknya.
- Dapat juga dilakukan sebaliknya pasien duluan.
- Bila pasien masih mampu mendengar dibandingkan pemeriksa, berarti
Schwabach diperpanjang, terdapat tuli hantaran/tuli konduksi pada pasien.
- Jika garpu tala diletakkan lebih dulu pada planum mastiodeum pasien baru setelah
tak terdengar olehnya ke telinga pemeriksa; dan bila pemeriksa masih mendengar
berarti Schwabach diperpendek, maka berarti terdapat tuli saraf (SNHL) pada
pasien.

Tes Garpu Tala


Cara pemeriksaan fungsi keseimbangan (fungsi N. Vestibularis):
a. Pemeriksaan dengan test kalori
- Sebelumnya yakinkan terlebih dahulu bahwa membrana timpani kedua sisi utuh
dan kedua liang telinga kedua sisi bersih
- Pasien diperiksa dalam posisi terlentang dengan kepalanya sedikit diangkat,
sehingga bersudut 300 dengan bidang landasannya
- Dalam posisi demikain kanalis semisirkularis lateralis hampir seluruhnya dapat
terangsang secara kalorik
- Perangsangan kalorik itu dilakukan dengan pengisisan liang telinga dengan air
yang berderajat 30 dan 40 celcius, yaitu 70 dibawah dan diatas suhu badan normal
- Tekanan hidrostatik yang dieprlukan untuk pengisisan air kedalam telinga ialah
kira-kira 60 cm diatas bidang telinga
- Irigasi setiap liang telinga dengan air panas (440 C) atau dingin (300 C) harus
dilakukans elama 40 detik
- Setiap telinga yang telah diirigasi baru boleh menjalani irigasi lagi 5 menit setelah
tes sebelumnya berakhir.
- Bila telinga kiri didinginkan (diberi air dingin ) timbul nystagmus ke kanan. Bila
telinga kiri dipanaskan (diberi air panas) timbul nystagmus ke kiri. Nystagmus ini
dinamakan sesuai dengan fasenya yaitu : fase cepat dan fase pelan, misalnya
nystagmus kekiri berarti fase cepat kekiri.
- Bila ada gangguan keseimbangan maka perubahan temperatur dingin dan panas
tidak memberikan reaksi.

b. Tes Nilen Barani (Hallpike maneuver)


- Tes ini merupakan pemeriksaan untuk mencari adanya vertigo/nistagmus
posisional paroksismal (BPPV, Benign Paroxysmal Positional Vertigo) oleh
karena itu untuk membangkitkannya diperlukan rangsangan perubahan posisi
secara cepat.
- Penderita duduk di meja periksa kemudian disuruh cepat-cepat berbaring
terlentang dengan kepala tergantung (disanggah dengan tangan pemeriksa) di
ujung meja dan cepat-cepat kepala disuruh menengok ke kiri (10-20 °),
pertahankan sampai 10 – 15 detik, lihat adanya nistagmus; kemudian kembali ke
posisi duduk dan lihat adanya nistagmus (10 – 15 detik).
- Ulangi pemeriksaan tersebut tetapi kali ini kepala menengok ke kanan. Orang
normal dengan manuver tersebut tidak timbul vertigo atau nistagmus.
Vertigo/nistagmus yang timbul dengan arah tertentu pada seorang penderita
selama pemeriksaan ini, pada saat posisinya kembali sering timbul nistagmus
dengan arah yang berlawanan.

c. Tes nistagmus
- Cara pemeriksaan di dalam klinik ialah dengan menggunakan tromol berputar
yang dicat seluruhnya dengan kolom putih dan kolom hitams secara bergantian.
- Tromol itu diputar di depan mata pasien dan diminta utuk mengikuti dengan
matanya deretan kolom putih dan hitam yang melintasi lapangan penglihatannya
dari kiri ke kanan datau sebaliknmya, tergantung cara memutar tromol tersebut.
- Perhatikan adanya nistagmus pada pasien.
d. Test melangkah di tempat (Stepping test)
- Pasien disuruh berjalan di tempat, dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah
dengan kecepatan seperti jalan biasa.
- Selama test ini pasien diminta untuk berusaha agar tetap di tempat dan tidak
beranjak dari tempatnya selama test berlangsung.
- Dikatakan abnormal bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari 1 meter dari
tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat.

PEMERIKSAAN SARAF OTAK IX DAN X (NERVUS GLOSOFARINGEUS DAN


NERVUS VAGUS)
Secara klinis pemeriksaan N. IX tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan N.
X, keduanya mempunyai fungsi yang bersamaan. Gangguan fungsi kedua saraf dalam
klinik sering diungkap lewat anamnesis.
Pemeriksaan Nervus IX (Glossofaringeus) :
a. Arkus faring
- Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar dan lidah dikeluarkan sejauh-jauhnya.
- Bila tidak bisa maka kita bantu menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah;
dengan demikian arkus faring, uvula, dinding belakang faring dapat terlihat jelas.
- Adanya paresis/paralisis ipsilateral N. IX dan atau N. X menyebabkan asimetri
dan tampak melengkung ke sisi yang sehat, disebut fenomena Vernett Rideau.
- Asimetri dapat diperjelas dengan menyuruh pasien bersuara, ujung uvula
menunjuk ke arah yang sehat.

Fenomena Vernett Rideau

b. Daya kecap lidah (1/3 belakang lidah)


- Cara pemeriksaan sama dengan pengecapan lidah depan. Fungsi N. IX adalah
mengecap rasa pahit pada bagian belakang lidah.
c. Reflek muntah
- Pembangkitan reflek ini merupakan pemeriksaan penting untuk menilai fungsi
kedua saraf ini.
- Sewaktu mulut masih terbuka lebar, sensibilitas orofaring kita periksa dengan
menyentuh dinding posterior faring dengan spatula lidah; akan timbul reflek
muntah.
d. Sengau
- Suara yang sengau menunjukkan adanya kelumpuhan unilateral/bilateral N. IX
dan atau N. X.
e. Tersedak
- Merupakan gejala kesukaran menelan yang berat.
- Karena epiglotis mengalami paresis sehingga tidak dapat menutup baik, akibatnya
makanan masuk ke laring dan menimbulkan reflek batuk (tersedak).

Pemeriksaan Nervus X (Vagus)


Pemeriksaan fungsi nervus vagus meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Denyut nadi
- Cara pemeriksaan sama seperti fisik diagnostik biasa, yaitu palpasi A. radialis.
b. Arkus faring
- Sama dengan pemeriksaan N. IX.
c. Bersuara (fonasi)
- Perhatikan adakah suara serak/lemah
- Bila ya, kemungkinan terdapat paralisis laring yang dipersarafi N. X (N. laringeus
superior dan rekuren).
d. Menelan
- Gangguan menelan merupakan manifestasi gabungan dari gangguan N. IX, X,
dan VII. Karena mekanisme menelan merupakan hasil kerja integral saraf tersebut
e. Reflek muntah
- Sama dengan pemeriksaan N. IX.

Pemeriksaan Refleks Muntah


PEMERIKSAAN SARAF OTAK XI (NERVUS AKSESORIUS)
Karena n. XI mensarafi m. sternokleidomastiodeus dan m. trapezius, maka yang
diperiksa adalah fungsi muskuli tersebut.
a. Memalingkan kepala
- Pasien disuruh memalingkan kepala, sementara pemeriksa memegang rahang
pasien untuk menahan gerakan tersebut
- Bila fungsi muskulusnya baik akan tampak konsistensinya yang keras dan kontur
otot yang menonjol tegas
- Tetapi bila terdapat parese kontur otot tidak begitu jelas dan konsistensi otot pun
lemah, timbul asimetri/tortikolis
- Jika terdapat kelumpuhan bilateral, posisi kepala akan anterofleksi (menunduk).
b. Sikap bahu dan mengangkat bahu
- Kelumpuhan m. trapezius unilateral dapat diperlihatkan sikap bahu dan skapula
- Bahu sisi yang lumpuh akan lebih rendah dan bagian bawah skapula terletak lebih
dekat ke garis tengah daripada bagian atasnya.
- Perhatikan kontur otot bahu, jelas atau tidak; apakah ada gangguan retraksi bahu
dan elevasi humerus.
- Pasien diminta mengangkat kedua bahunya, sedangkan pemeriksa menahan
elevasi bahu tersebut; jika gerakan elevasi tersebut lemah dan kontur otot tidak
ada berarti terdapat paresis

Pemeriksaan kekuatan otot trapezius (A) dan sternokleidomastepoideus (B)

PEMERIKSAAN SARAF OTAK XII (NERVUS HIPOGLOSUS)


Lesi N. hipoglosus dapat terjadi di perifer atau sentral. Ciri khas kelumpuhan
perifer adalah atrofi otot yang cepat terjadi, garis tengah menjadi cekung, bagian lidah
yang lumpuh menjadi tipis dan berkeriput, bila lesinya unilateral lidah akan menyimpang
ke sisi yang sehat. Berbeda dengan kelumpuhan sentral, karena lidah mempunyai
intervasi kortikal yang bilateral, maka pada kelumpuhan unilateral bersifat hanya
sementara dan atrofi lidah tidak tampak. Bila lidah dijulurkan tak akan lurus ke garis
tengah tetapi meyimpang ke sisi yang lumpuh seperti pada lesi perifer, tetapi secara
volunter lidah dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri. Pada kelumpuhan bilateral lidah
tidak bisa dikeluarkan.
Cara pemeriksaan :
a. Sikap lidah
- Perhatikan sikap lidah apakah ada penyimpangan.
b. Artikulasi
- Pemeriksa dapat memerhatikan / mendengarkan pasien berbicara, apakah ada
disartria, terutama huruf r. Pada kelumpuhan unilateral disartria jelas terlihat.
c. Tremor/Mioklonus
- Pasien diminta mengeluarkan lidahnya
- Perhatikan adanya gerakan ritmis bolak-balik yang tidak bertujuan; dapat disertai
bunyi gerakan lidah
- Dapat dijumpai pada degenerasi olivoserebelar.
d. Menjulurkan lidah
- Pasien diminta menjulurkan lidahnya secara lurus
- Pada kelumpuhan unilateral (baik perifer maupun sentral) lidah tidak dapat
dikeluarkan secara lurus, tetapi menyimpang ke sisi yang lumpuh karena
terdorong oleh otot yang sehat.
e. Kekuatan lidah
- Penderita disuruh menekankan lidahnya ke salah satu pipi
- Kemudian pemeriksa melakukan palpasi dari luar, lalu kita nilai kekuatannya
(bisa atau tidak bisa menahan desakan tangan pemeriksa).
f. Trofi otot lidah
- Pada kelumpuhan perifer, atrofi otot lebih cepat terjadi, tidak tampak lumpuh,
tipis dan berkeringat
- Pada kelumpuhan sentral atrofi otot tidak tampak (yang unilateral).
g. Fasikulasi lidah
- Fasikulasi merupakan kontraksi otot setempat yang halus, cepat, spontan dan
sejenak. Fasikulasi lidah tampak pada lesi perifer.

Pemeriksaan N. XII
PENILAIAN PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS

No. Aspek yang dinilai Skor Bobot Nilai


0 1 2 3
Pemeriksaan III, IV, VI (NERVUS
OKULOMOTORIUS, TROKLEARIS, ABDUSENS)
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien.
2. Kedudukan Bola Mata 2
Minta penderita memandang lurus ke depan.
Lakukan inspeksi dan nilai :
- Kedudukan mata kiri dan kanan simetris
atau tidak
- Apakah terdapat strabismus, deviasio
conjugee
- Apakah terdapat eksoptalmus atau
endoftalmus
- Perhatikan kedudukan kelopak mata
terhadap pupil dan iris. Bandingkan celah
mata/fissura palpebralis kiri dan kanan,
apakah terdapat ptosis atau tidak
3. Pemeriksaan Celah Mata (Ptosis) 2
Minta penderita memandang lurus ke depan.
Perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap
pupil dan iris. Bandingkan celah mata/fissura
palpebralis kiri dan kanan, apakah terdapat
ptosis atau tidak.
4. Pemeriksaan Gerakan Bola Mata 1
Tahan kepala pasien dengan satu tangan.
5. Pasien diminta untuk mengikuti dengan mata 2
gerakan tangan pemeriksa yang digerakkan
ke segala jurusan, khususnya pergerakan bola
mata ke arah : nasal atas (N.III), medial
(N.III), temporal atas (N. III), temporal
bawah (N.III), lateral/temporal (N.VI), nasal
bawah (N.IV).
6. Lakukan penilaian. Lihat apakah ada 2
hambatan pada pergerakan matanya, yang
menandakan gangguan pada saraf yang
menginervasi.
7. Refleks Cahaya Langsung : 2
Minta pasien melihat lurus ke depan di ruang
yang agak gelap.
8. Di ruang agak gelap, cahaya senter ditujukan 2
dari lateral pelan-pelan ke arah satu pupil.
Perhatikan apakah pada pupil tersebut segera
terjadi miosis, dan apakah ada pelebaran
kembali yang tidak terjadi dengan segera.
9. Lakukan penilaian. Normal, bila dengan 2
adanya cahaya, pupil akan mengecil (miosis).
10. Refleks Cahaya Tidak Langsung : 1
Minta pasien melihat lurus ke depan di ruang
yang agak gelap.
11. Cahaya ditujukan dari lateral pelan-pelan ke 2
arah satu pupil, dan perhatikan pupil sisi yang
lain.
12. Lakukan penilaian. Normalnya, pupil di sisi 2
yang lain pun akan miosis.
Pemeriksaan N. V
1. Motorik : Tes Menggigit 2
Pasien disuruh menggigit sekuat-kuatnya.
2. Selama pasien menggigit, pemeriksa 2
melakukan palpasi pada M. Masseter dan
Temporalis pada kedua sisi untuk memeriksa
kontraksi otot pada kedua sisi.
3. Lakukan penilaian. Bila ada kelumpuhan 2
unilateral, maka serabut motorik N. V yang
ipsilateral tak mampu mengontraksikan M.
Masseter dan Temporalis pada sisi tersebut.
4. Motorik : Tes Membuka Mulut dan 2
Menggerakkan Rahang Bawah
Pasien diminta untuk membuka mulutnya.
Pemeriksa berdiri di depan pasien dan
mengawasi rahang bawah pasien: apakah
simetris atau menyimpang (ada deviasi
rahang bawah).
5. Lakukan penilaian. Sebagai pegangan 2
diambil gigi seri atas dan bawah yang harus
simetris. Jika ada kelumpuhan maka dagu
akan terdorong ke sisi lesi.
6. Pasien diminta menggerakkan dan 2
mempertahankan posisi rahang bawahnya ke
samping.
7. Pemeriksa memberi tekanan untuk 2
mengembalikan rahang bawah ke posisi
tengah
8. Lakukan penilaian. Bila terdapat parese di 2
sebelah kanan, rahang bawah tidak dapat
digerakkan ke samping kiri. Demikian
sebaliknya.
9. Pemeriksaan Sensorik : Sensasi Rasa Raba 1
Halus dengan Menggunakan Bulu Halus
Jelaskan tujuan dan cara pemeriksaan kepada
pasien. Minta pasien kooperatif. Tutup kedua
mata agar pasien tidak tahu bagian tubuh
yang diperiksa.
10. Usapkan dengan halus kapas/bulu pada 2
permukaan kulit dahi, pipi dan rahang bawah
sesuai area persarafan N. V1, 2, dan 3.
11. Lakukan penilaian dengan meminta respons 2
yang tegas dari pasien; apakah pasien merasa
raba halus dari pemeriksaan. Bandingkan
respons pada kiri dan kanan pasien.
12. Pemeriksaan Refleks Kornea 1
Jelaskan tujuan dan cara pemeriksaan kepada
pasien. Minta pasien kooperatif.
13. Pasien diminta melirik ke atas atau ke 1
samping dan supaya mata jangan berkedip
bila kornea hendak disentuh.
14. Goreskan seutas kapas pada kornea (jangan 2
pada konjungtiva bulbi) dari arah luar ke arah
limbus pada satu sisi untuk membangkitkan
gerakan reflektorik
15. Lakukan penilaian. Normalnya, pasien akan 2
mengedipkan kedua matanya. Bandingkan
kekuatan kedipan kanan dan kiri.
Bila pada pemeriksaan kornea kanan, mata
sebelah kanan berkedip sedangkan mata
sebelah kiri tidak/kurang berkedip, berarti
terdapat parese N. VII kiri (eferen).
Bila pada pemeriksaan kornea kanan, mata
sebelah kiri berkedip sedangkan mata sebelah
kanan tidak/kurang berkedip, berarti terdapat
parese N. VII kanan (eferen).
Bila pada pemeriksaan kornea kanan, mata
sebelah kanan dan kiri tidak/kurang berkedip,
berarti terdapat lesi N. V kanan (aferen).
Pemeriksaan N. VII
1. Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. 2
Perhatikan wajah pasien kiri dan kanan
apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga
lipatan dahi, tinggi alis, lebarnya celah mata,
lipatan kulit nasolabial dan sudut mulut.
2. Lakukan penilaian. 2
- Kerutan dahi : pada kelumpuhan
N. VII perifer, kerutan kulit dahi pada sisi
sakit akan hilang. Pada kelumpuhan N.
VII sentral unilateral, kerutan kulit dahi
masih akan tampak
- Kedipan mata : pada sisi yang
lumpuh kedipan mata lambat, tidak gesit
dan tidak kuat, disebut lagoftalmos. Pada
kelumpuhan sentral unilateral, kedipan
mata masih baik
- Lipatan nasolabial dan sudut
mulut : lipatan nasolabial pada sisi yang
lumpuh (perifer) tampak mendatar. Sudut
mulut pada sisi yang lumpuh tampak lebih
rendah.
3. Pasien diminta menggerakkan otot-otot 2
fasialis
Mengerutkan dahi
Pasien disuruh mengerutkan dahi.
4. Lakukan penilaian. Pada kelumpuhan N. VII 2
perifer pasien tidak mampu mengerutkan
dahinya. Pada keadaan normal atau
kelumpuhan N. VII sentral unilateral pasien
mampu mengerutkan dahinya.
5. Menutup mata 2
Pasien disuruh menutup mata.
6. Lakukan penilaian. Pada kelumpuhan perifer 2
mata tidak dapat menutup sempurna. Pada
pasien normal, mata menutup sempurna.
Pada kelumpuhan sentral unilateral mata
masih bisa menutup, tetapi bila pasien
disuruh menutup mata kuat-kuat, kemudian
pemeriksa mencoba membuka mata pasien
yang sedang dipejamkan tersebut, akan
didapatkan perbedaan tonus kanan – kiri.
7. Meringis 2
Pasien diminta meringis.
8. Lakukan penilaian. Baik kelumpuhan sentral 2
maupun perifer pada otot wajah sisi yang
lumpuh tidak dapat diangkat.
9. Bersiul 2
Pasien diminta bersiul.
10. Adanya kelumpuhan N. VII baik unilateral 2
maupun bilateral menyebabkan pasien tidak
dapat bersiul.
11. Pemeriksaan Hiperakusis 2
Kedua telinga pasien dipasangi stetoskop.
Membran stetoskop kemudian digesek
dengan lembut.
12. Lakukan penilaian dengan menanyakan pada 2
pasien apakah ada satu sisi yang lebih keras
intensitas suaranya. Bila ada, sisi itu adalah
bagian yang lesi.
Pemeriksaan N. IX (Glossofaringeus) dan N. X
(Vagus)
1. Pemeriksaan Arkus faring 2
Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar
dan lidah dikeluarkan sejauh-jauhnya.
Bila tidak bisa maka kita bantu menggunakan
spatula lidah untuk menekan lidah; dengan
demikian arkus faring, uvula, dinding
belakang faring dapat terlihat jelas.
Perhatikan apakah arkus faring tampak
asimetri dan melengkung ke satu sisi.
2. Menyuruh pasien bersuara, dengan menyebut 2
huruf  “A”,  perhatikan  ujung uvula.
3. Lakukan penilaian. Adanya paresis/paralisis 2
ipsilateral N. IX dan atau N. X menyebabkan
asimetri dan tampak melengkung ke sisi yang
sehat, dan saat pasien bersuara, ujung uvula
menunjuk ke arah yang sehat, disebut
fenomena Vernett Rideau.
4. Pemeriksaan Reflek muntah 2
Sewaktu mulut masih terbuka lebar,
sensibilitas orofaring pada kedua sisi kita
periksa dengan menyentuh dinding posterior
faring dengan spatula lidah.
5. Lakukan penilaian. Normalnya akan timbul 2
reflek muntah.
Pemeriksaan N. XI (Aksesorius)
1. Memalingkan kepala 2
Pasien disuruh memalingkan kepala,
sementara pemeriksa memegang rahang
pasien untuk menahan gerakan tersebut.
2. Lakukan penilaian. Bila fungsi muskulusnya 2
baik akan tampak konsistensinya yang keras
dan kontur otot yang menonjol tegas. Tetapi
bila terdapat parese kontur otot tidak begitu
jelas dan konsistensi otot pun lemah, timbul
asimetri/tortikolis. Jika terdapat kelumpuhan
bilateral, posisi kepala akan anterofleksi
(menunduk).
3. Sikap bahu dan mengangkat bahu 2
Lakukan inspeksi bahu. Bahu sisi yang
lumpuh akan lebih rendah dan bagian bawah
skapula terletak lebih dekat ke garis tengah
daripada bagian atasnya.
4. Perhatikan kontur otot bahu, jelas atau tidak; 1
apakah ada gangguan retraksi bahu dan
elevasi humerus.
5. Pasien diminta mengangkat kedua bahunya, 2
pemeriksa menahan elevasi bahu tersebut;
6. Lakukan penilaian. Jika gerakan elevasi 2
tersebut lemah dan kontur otot tidak ada
berarti terdapat paresis
Pemeriksaan N. XII (Hipoglossus)
1. Menjulurkan lidah 2
Pasien diminta menjulurkan lidahnya secara
lurus.
2. Lakukan penilaian. Pada kelumpuhan 2
unilateral (baik perifer maupun sentral) lidah
tidak dapat dikeluarkan secara lurus, tetapi
menyimpang ke sisi yang lumpuh karena
terdorong oleh otot yang sehat.
3. Artikulasi 2
Minta pasien berbicara, atau mengucapkan
kata-kata   yang   mengandung   huruf   “R”.  
Cermati apakah ada disartria.
4. Lakukan penilaian. Pada kelumpuhan 2
unilateral (baik sentral maupun perifer) jelas
terdapat disartria.
5. Kekuatan lidah 2
Penderita disuruh menekankan lidahnya ke
salah satu pipi. Kemudian pemeriksa
melakukan palpasi dari luar
6. Saat melakukan palpasi dari luar, pemeriksa 2
menilai kekuatannya lidah menahan desakan
tangan pemeriksa. Bila tidak bisa menahan
desakan, berarti terdapat kelemahan
7. Inspeksi tremor/mioklonus, atrofi, fasikulasi 2
Pasien diminta mengeluarkan lidahnya.
8. Perhatikan adanya : 2
- Atrofi otot lidah
- Tremor : gerakan ritmis bolak-balik yang
tidak bertujuan; dapat disertai bunyi gerakan
lidah
- Fasikulasi : kontraksi otot setempat yang
halus, cepat, spontan dan sejenak.
9. Lakukan penilaian : 2
- Pada kelumpuhan perifer, atrofi otot lebih
cepat terjadi, tidak tampak lumpuh, tipis
dan berkeringat. Pada kelumpuhan sentral
unilateral atrofi otot tidak tampak
- Fasikulasi lidah tampak pada lesi perifer
- Tremor lidah dapat dijumpai pada
degenerasi olivoserebelar
Jumlah Nilai

PENILAIAN SARAF KRANIALIS

Skor 0 = tidak dilakukan


1 = dilakukan tetapi salah
2 = dilakukan dengan kurang benar / kurang terampil
3 = dilakukan dengan benar dan terampil

Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
333
PEMERIKSAAN SISTIM MOTORIK

Tujuan Instruksional Umum:


Mahasiswa dapat memahami dan melakukan cara pemeriksaan sistim motorik dengan
baik dan benar

Tujuan Instruksional Khusus:


1. Mampu melakukan dan menilai pengamatan (observasi) sistem motorik dengan benar
2. Mampu melakukan dan menilai pemeriksaan palpasi otot dengan benar
3. Mampu melakukan dan menilai pemeriksaan perkusi otot dengan benar
4. Mampu melakukan dan menilai pemeriksaan tonus otot dengan benar
5. Mampu melakukan dan menilai pemeriksaan kekuatan otot dengan benar
6. Mampu melakukan dan menilai pemeriksaan gerakan involunter dengan benar
7. Mampu melakukan dan menilai pemeriksaan fungsi koordinasi dengan benar

Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu


untuk menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.

Pengamatan (Observasi)
Lakukan observasi terhadap :
- Gaya berjalan (gait dan station)
- Simetri tubuh dan ektremitas
- Kelumpuhan badan dan anggota gerak
- Apakah otot eutrofi (ukuran otot normal), atau atrofi (mengecil) atau hipertrofi
(membesar)?
- Apakah terdapat tremor, fasikulasi?
- Dll

Gait dan Station


Pemeriksaan ini hanya dilakukan bila keadaan pasien memungkinkan untuk itu.
Harus diperhitungkan adanya kemungkinan kesalahan interpretasi hasil pemeriksaan pada
orang-orang tua atau penyandang cacat non neurologis. Pada saat pasien berdiri dan
berjalan, perhatikan postur, keseimbangan, ayunan tangan dan gerakan kaki dan mintalah
pasien untuk melakukan:
- Jalan di atas jari kaki
- Jalan di atas tumit
- Tandem walking
- Jalan lurus
- Jalan lurus lalu putar
- Jalan mundur
- Hopping
- Berdiri dengan satu kaki
Jalan di atas jari kaki (gambar kiri) dan tumit (gambar kanan)

Jalan lurus Jalan lurus lalu putar

Tandem Walking Hopping


Macam macam Gait:
1. Hemiplegic gait: gaya jalan dengan kaki yang lumpuh digerakkan secara
sirkumduksi.
2. Spastik (scissors gait): gaya jalan dengan sirkumduksi kedua tungkai, misalnya
spastik paraparese pada pasien Cerebral Palsy
3. Tabetic gait: gaya jalan pada pasien tabes dorsalis.
4. Steppage gait: gaya jalan seperti ayam jago, pada paraparese flaccid atau paralisis
N. Peroneus.
5. Waddling gait: gaya berjalan dengan pantat dan pinggang bergoyang berlebihan,
khas untuk kelemahan otot tungkai proksimal, misalnya otot gluteus.
6. Parkinsonian gait: gaya berjalan dengan sikap tubuh agak membungkuk, kedua
tungkai berfleksi sedikit pada sendi lutut dan panggul. Langkah dilakukan
setengah diseret dengan jangkauan yang pendek-pendek.

Palpasi otot
Yang diperhatikan dan dinilai pada palpasi otot :
- Pengukuran besar otot, tentukan apakah terdapat otot eutrofi (ukuran otot normal),
atau atrofi (mengecil) atau hipertrofi (membesar)
- Nyeri tekan
- Kontraktur
- Konsistensi (kekenyalan)
i. Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:
- Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP
- Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas)
- Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas)
- Kontraktur otot
ii. Konsistensi otot yang menurun terdapat pada :
- Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot
- Kelumpuhan  jenis  LMN  akibat  lesi  di  ”motor  end  plate”

Perkusi otot
Pada perkusi otot, bisa didapatkan :
- Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan
berlangsung hanya 1 atau 2 detik saja
- Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat
pada pasien mixedema, pasien dengan gizi buruk)
- Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh
karena kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa

Pemeriksaan Tonus Otot


Observasi
- Kelainan dari postur dan posisi dari ekstremitas karena adanya perubahan tonus
Palpasi
- Perhatikan konsistensi, elastisitas pasif, kekokohan (firmness) atau turgor dari
otot
Perkusi
- Perkusi atau meregangkan otot dengan menepuk digunakan untuk penilaian
terangsangnya otot, atau kontraksi
Resistance dari otot terhadap manipulasi pasif
Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian ekstremitas
tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Rasakan
resistance otot saat manipulasi pasif tersebut, apakah terdapat hipotonus atau hipertonus
(spastik atau rigid). Pada orang normal terdapat tahanan yang wajar.
Interpretasi :
- Pada orang normal terdapat tahanan yang wajar.
- Flaksid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN)
- Hipotoni : tahanan berkurang (dijumpai pada kelumpuhan LMN atau
gangguan serebelum)
- Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan (seperti pisau
lipat), ini dijumpai pada kelumpuhan UMN
- Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada
Parkinson (cogwheel rigidity)

Pemeriksaan tonus ekstremitas atas

Babinsky tonus test:


- Lengan bawah difleksi pasif pada siku sedangkan lengan atas dipertahankan
abduksi pada bahu.
- Pada hipotonus, terdapat fleksibilitas dan mobilitas berlebihan, dan siku dapat
dibelokkan lebih dari normal.
- Pada hipertonus, terdapat berkurangnya fleksibilitas dari lengan bawah terhadap
lengan atas, dan fleksi pasif tidak dapat dilakukan.

Head drop test:


- Penderita terlentang dan kepala dijatuhkan ke atas bantal
Arm dropping test:
- Lengan penderita diangkat lalu dijatuhkan.

Pendulousness dari tungkai :


- Gerakan seperti bandul lonceng (gerakan pendulum), terdapat pada gangguan
serebelum

Shoulder shaking test :


- Menggerakkan bahu cepat ke belakang dan ke depan, dan gerakan rotasi.

Pronasi dari tangan :


- Bila terdapat hipotonus terutama hubungan dengan lesi serebellum, terdapat
kecenderungan tangan dalam posisi pronasi.
- Tes ini jelas sekali bila lengan diluruskan ke depan, dan bertambah hebat bila
diangkat di atas kepala

Pemeriksaan dan Penilaian Kekuatan Otot


Awalnya diperiksa gerakan pasien atas permintaan pemeriksa untuk melihat gerakan
volunter, misalnya:
- Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu
- Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti
- Mengepal dan membuka jari-jari tangan
- Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul
- Fleksi dan ekstensi artikulus genu
- Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki
- Gerakan jari- jari kaki
Pada   dasarnya,   prosedur   pemeriksaan   kekuatan   otot   menggunakan   prinsip   “lakukan  
dan   lawan”   (make   and   break)   di   mana   penderita     melakukan   kontraksi suatu otot /
kelompok otot dengan melakukan suatu gerakan pada sendi, kemudian pemeriksa
berusaha menahan gerakan penderita.

Penilaian kekuatan otot adalah dengan menggunakan angka dari 0-5:


0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total
1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, dapat dirasakan dengan palpasi, namun tidak
didapatkan gerakan pada persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
2 : Didapatkan gerakan pada persendian, tetapi gerakan ini tidak mampu
melawan gaya berat (gravitasi)
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat
4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit
tahanan yang diberikan
5 : Tidak ada kelumpuhan, dapat mengatasi tahanan adekuat (normal)
Tips untuk Memudahkan Pemeriksaan
a. Pasien diperintahkan untuk menggerakkan sendiri (mengkontraksikan otot) yang
akan diperiksa melawan gravitasi.
- Bila pasien mampu melawan gravitasi, maka kemungkinan kekuatan otot 3
atau 4 atau 5. Lanjutkan pemeriksaan dengan memberi tahanan
- Bila penderita mampu menggerakkan sendi tetapi tidak mampu melawan
gravitasi, maka kekuatan adalah 2
- Bila tidak tampak gerakan sendi, maka kemungkinan kekuatan 1 atau 0
b. Sebaiknya tangan dominan (biasanya tangan kanan) digunakan untuk memberikan
tahanan, dan tangan non-dominan digunakan untuk stabilisasi.

Pemeriksaan Fleksor Sendi Paha


Gerakan fleksi sendi paha dilakukan oleh M. Psoas Mayor, dengan luas gerak
sendi normal 120°. Pasien dapat tidur terlentang, atau duduk di tepi tempat tidur.
Pemeriksa berdiri di sebelah kanan, tangan mempalpasi otot di area inguinal. Instruksikan
pasien mengangkat paha. Bila pasien dapat melawan gaya berat, berikan tahanan pada
femur distal ke arah bawah dan minta pasien melawan tahanan. Nilai kekuatannya.

Pemeriksaan Abduktor Sendi Bahu


Otot yang berperan adalah M. Deltoid dan M. Supraspinatus, dengan luas gerak
sendi sampai 180°. Pasien duduk (atau berbaring bila kondisi tidak memungkinkan)
dengan lengan di samping, siku sedikit fleksi. Instruksikan pasien melakukan abduksi
dengan menyuruh mengangkat lengan sampai setinggi bahu. Satu tangan pemeriksa
mempalpasi otot pada sisi lateral 1/3 atas lengan. Bila pasien mampu melawan gravitasi,
minta pasien melawan tahanan dari pemeriksa yang diberikan dekat siku. Nilai
kekuatannya.

Lakukan pemeriksaan otot yang spesifik yang dapat menunjukkan topisnya,


khususnya bila terdapat kecurigaan kelainan radikulopati atau saraf perifer, misalnya :
Anggota gerak atas:
- Pemeriksaan otot oponens digiti kuinti (C7,C8,T1, saraf ulnaris)
- Pemeriksaan otot aduktor policis (C8,T1 , saraf ulnaris)
- Pemeriksaan otot interosei palmaris (C8,T1,saraf ulnaris)
- Pemeriksaan otot interosei dorsalis (C8,T1, saraf ulnaris)
- Pemeriksaan abduksi ibu jari
- Pemeriksaan otot ekstensor digitorum (C7,8,saraf radialis)
- Pemeriksaan otot pektoralis mayor bagian atas (C5-C8)
- Pemeriksaan otot pektoralis mayor bagian bawah (C5-C8)
- Pemeriksaan otot latisimus dorsi (C5-C8, saraf subskapularis)
- Pemeriksaan otot seratus aterior (C5-C7,saraf torakalis)
- Pemeriksaan otot deltoid (C5,C5, saraf aksilaris)
- Pemeriksaan otot biseps (C5,C6, saraf muskulokutaneus)
- Pemeriksaan otot triseps (C6-C8, saraf radialis)
Cara Pemeriksaan Otot-otot Anggota Gerak Atas

Anggota gerak bawah:


- Pemeriksaan otot kuadriseps femoris (L2-L4, saraf femoralis)
- Pemeriksaan otot aduktor (L2-L4, saraf obturatorius ).
- Pemeriksaan  otot  kelompok  ”  hamstring  ”  (L4,L5,S1,S2, saraf siatika)
- Pemeriksaan otot gastroknemius (L5,S1, S2, saraf tibialis)
- Pemeriksaan otot fleksor digitorum longus (S1, S2, saraf tibialis)
Pemeriksaan anggota gerak bawah

Gambar Miotom
Gerakan Involunter
Gerakan involunter ditimbulkan oleh gejala pelepasan yang bersifat positif, yaitu
dikeluarkannya aktivitas oleh suatu nukleus tertentu dalam susunan ekstrapiramidalis
yang kehilangan kontrol akibat lesi pada nukleus pengontrolnya. Susunan ekstrapiramidal
ini mencakup korteks ekstrapiramidalis, nuklues kaudatus, globus pallidus, putamen,
corpus luysi, substansia nigra, nukleus ruber, nukleus ventrolateralis thalami, substansia
retikularis dan serebelum.

Tremor saat istirahat : disebut juga tremol striatal, disebabkan lesi pada corpus striatum
(nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus dan lintasan lintasan penghubungnya)
misalnya kerusakan substansia nigra pada sindroma Parkinson.

Tremor saat bergerak (intensional) : disebut juga tremor serebellar, disebabkan gangguan
mekanisme   “feedback”   oleh   serebellum   terhadap   aktivitas   kortes   piramidalis   dan  
ekstrapiramidal hingga timbul kekacauan gerakan volunter.

Khorea : gerakan involunter pada ekstremitas, biasanya lengan atau tangan, eksplosif,
cepat berganti sifat dan arah gerakan secara tidak teratur, yang hanya terhenti pada
waktu tidur. Khorea disebabkan oleh lesi di corpus striataum, substansia nigra dan corpus
subthalamicus.

Athetose : gerakan involenter pada ektremitas, terutama lengan atau tangan atau tangan
yang agak lambat dan menunjukkan pada gerakan melilit lilit , torsi ekstensi atau torsi
fleksi pada sendi bahu, siku dan pergelangan tangan. Gerakan ini dianggap sebagai
manifestasi lesi di nukleus kaudatus.

Ballismus: gerakan involunter otot proksimal ekstremitas dan paravertebra, hingga


menyerupai gerakan seorang yang melemparkan cakram. Geraakan ini dihubungkan
dengan lesi di corpus subthalamicus, corpus luysi, area prerubral dan berkas porel.

Fasikulasi: kontrasi abnormal yang halus dan spontan pada sisa serabut otot yang masih
sehat pada otot yang mengalami kerusakan motor neuron. Kontraksi nampak sebagai
kedutan-kedutan di bawah kulit.

Myokimia: fasikulasi benigna. Frekuensi kedutan tidak secepat fasikulasi dan


berlangsung lebih lama dari fasikulasi.

Myokloni : gerakan involunter yang bangkit tiba tiba cepat, berlangsung sejenak, aritmik,
dapat timbul sekali saja atau berkali kali ditiap bagian otot skelet dan pada setiap waktu,
waktu bergerak maupun waktu istirahat.
PENILAIAN PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK

No. Aspek yang dinilai Skor Bobot Nilai


0 1 2 3
Pemeriksaan ukuran otot
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien.
2. Lakukan inspeksi dan palpasi mengukur 2
besar otot, tentukan apakah terdapat otot
eutrofi (ukuran otot normal), atau atrofi
(mengecil) atau hipertrofi (membesar)
Observasi
1. Lakukan observasi terhadap : 2
- Gaya berjalan (gait dan station)
- Simetri tubuh dan ektremitas
- Kelemahan / kelumpuhan badan dan
anggota gerak
2. Lakukan penilaian apakah terdapat gangguan 2
gait dan station, asimetrisitas, dan
kelemahan/kelumpuhan badan dan anggota
gerak
Pemeriksaan tonus otot
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Resistance dari otot terhadap manipulasi 2
pasif
Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang
hendak diperiksa, kemudian ekstremitas
tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan
ekstensi pada sendi siku dan lutut.
3. Rasakan resistance otot saat manipulasi pasif 2
tersebut, apakah normal, terdapat hipotonus
atau hipertonus (spastik atau rigid). Pada
orang normal terdapat tahanan yang wajar.
4. Lakukan penilaian. 2
- Tonus normal
- Flaccid : tidak ada tahanan
sama sekali (pada kelumpuhan LMN)
- Hipotonus : tahanan berkurang
(dijumpai pada kelemahan LMN)
- Spastik : tahanan meningkat, dan
terdapat pada awal gerakan (fenomena
pisau lipat), ini dijumpai pada
kelumpuhan UMN.
- Rigid : tahanan kuat terus menerus
selama gerakan (fenomena roda
pedati/cogwheel phenomenon), misalnya
pada Parkinson.
Pemeriksaan dan Penilaian Kekuatan Otot
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Pemeriksaan Fleksor Sendi Paha 1
Gerakan fleksi sendi paha dilakukan oleh M.
Psoas Mayor, dengan luas gerak sendi normal
120°. Pasien dapat tidur terlentang, atau
duduk di tepi tempat tidur. Pemeriksa berdiri
di sebelah kanan, tangan mempalpasi otot di
area inguinal.
3. Instruksikan pasien mengangkat paha. Bila 2
pasien dapat melawan gaya berat, berikan
tahanan pada femur distal ke arah bawah dan
minta pasien melawan tahanan.
4. Nilai kekuatannya: 2
1 : Tidak didapatkan sedikitpun
kontraksi otot, lumpuh total
2 : Terdapat sedikit kontraksi otot, dapat
dirasakan dengan palpasi, namun
tidak didapatkan gerakan pada
persendian yang harus digerakkan
oleh otot tersebut.
3 : Didapatkan gerakan pada
persendian, tetapi gerakan ini tidak
mampu melawan gaya berat
(gravitasi)
4 : Dapat mengadakan gerakan melawan
gaya berat
5 : Disamping dapat melawan gaya
berat ia dapat pula mengatasi sedikit
tahanan yang diberikan
6 : Tidak ada kelumpuhan, dapat
mengatasi tahanan adekuat (normal)
5. Pemeriksaan Abduktor Sendi Bahu 2
Otot yang berperan adalah M. Deltoid dan M.
Supraspinatus, dengan luas gerak sendi
sampai 180°. Pasien duduk (atau berbaring
bila kondisi tidak memungkinkan) dengan
lengan di samping, siku sedikit fleksi.
6. Instruksikan pasien melakukan abduksi 2
dengan menyuruh mengangkat lengan sampai
setinggi bahu.
7. Satu tangan pemeriksa mempalpasi otot pada 2
sisi lateral 1/3 atas lengan. Bila pasien
mampu melawan gravitasi, minta pasien
melawan tahanan dari pemeriksa yang
diberikan dekat siku.
8. Nilai kekuatannya: 2
0 :Tidak didapatkan sedikitpun
kontraksi otot, lumpuh total
1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, dapat
dirasakan dengan palpasi, namun
tidak didapatkan gerakan pada
persendian yang harus digerakkan
oleh otot tersebut.
2 :Didapatkan gerakan pada persendian,
tetapi gerakan ini tidak mampu
melawan gaya berat (gravitasi)
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan
gaya berat
4 : Di samping dapat melawan gaya
berat ia dapat pula mengatasi sedikit
tahanan yang diberikan
5 : Tidak ada kelumpuhan, dapat
mengatasi tahanan adekuat (normal)
Jumlah Nilai

PENILAIAN PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIS

Skor 0 = tidak dilakukan


1 = dilakukan tetapi salah
2 = dilakukan dengan kurang benar / kurang terampil
3 = dilakukan dengan benar dan terampil

Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
84
Pemeriksaan Fungsi Koordinasi (Serebelum)
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menilai aktivitas serebelum. Serebelum
adalah pusat yang paling penting untuk mengintegrasikan aktivitas motorik dari korteks,
basal ganglia, vertibular apparatus dan korda spinalis. Lesi organ akhir sensorik dan
lintasan – lintasan yang mengirimkan informasi ke serebelum serta lesi pada serebelum
dapat mengakibatkan pasien tidak dapat melakukan gerakan volunter dengan tangan,
lengan atau tungkai dengan halus. Gerakannya kaku dan terpatah-patah. Juga didapatkan
hipotoni, dan gangguan fungsi koordinasi  atau  sering  disebut  “cerebellar  sign“. Kadang-
kadang pemeriksaan fungsi serebelum ini tidak dapat dipisahkan dari pemeriksaan
keseimbangan N. VIII (N. Vestibularis). Pemeriksaan   “cerebellar   sign”   dikatakan   valid  
bila tidak terdapat parese.

Macam-macam  pemeriksaan  “cerebellar  sign”:


a. Tes romberg
b. Tes dismetria : test telunjuk-hidung, test telunjuk-telunjuk, tes hidung-jari-
hidung, tes tumit – lutut
c. Tes diadokinesia berupa: pronasi – supinasi, tapping jari tangan
d. Tes tandem-walking
e. Tes fenomena rebound
f. Tes nistagmus

1.Tes Romberg
- Tes Romberg hanya dilakukan apabila seseorang dapat berdiri tanpa bantuan
- Sebelum pasien menjalani tes Romberg, ia harus diterangkan dengan jelas.
- Pasien disuruh berdiri dengan kedua kakinya dekat satu dengan yang lain, lalu
kedua matanya tertutup hanya selama beberapa detik saja.
- Jika pasien tidak dapat melaksanakan tes tersebut, maka ia diperbolehkan berdiri
dengan kedua tungkainya jauh satu dengan lain, seenaknya sendiri, tetapi dengan
mata tertutup sejenak.
- Orang normal tidak akan terjatuh pada tes Romberg. Pada pasien yang menderita
tabes dorsalis di mana terdapat gangguan kolumna dorsalis sehingga rasa posisi
terganggu, pasien akan jatuh pada bagian yang sakit saat menutup mata, tetapi
tidak akan jatuh bila mata terbuka karena input penglihatan dapat
mengkompensasi keseimbangan dengan serebelum yang intak.
- Test romberg positif: baik dengan mata terbuka maupun dengan mata tertutup,
pasien akan jatuh ke sisi lesi setelah beberapa saat kehilangan kestabilan
(bergoyang – goyang). Ini menunjukkan terdapat gangguan serebelum di mana
pusat koordinasi terganggu.
Tes Romberg

Test Romberg yang dipertajam :


- Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang
lainnya.
- Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat pada
dada dan mata kemudian ditutup.
- Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama
30 detik atau lebih.

2. Disdiadokokinesis
- Disdiadokokinesis adalah tes untuk menilai kemampuan melakukan gerakan cepat
secara berselingan
- Gerakan tersebut misalnya mempronasi-supinasikan tangan, melakukan
dorsofleksi dan volarfleksi di pergelangan tangan secara berselingan seperti kalau
menepuk-nepuk paha atau membolak-balikkan tangan di atas paha secara
berulang-ulang atau menyentuh ujung jari telunjuk dan ujung ibu jari secara
berulang-ulang.

3. Tes dismetri / pemeriksaan “past pointing test”


- Tes ini untuk memeriksa adanya gangguan kemampuan untuk mengelola
kecepatan gerakan, kekuatan, dan jangkuan
- Adapun test-test yang digunakan dalam klinik adalah : tes telunjuk-hidung, tes
hidung-telunjuk-hidung, dan tes telunjuk-telunjuk.
- Dalam melakukan ketiga dismetri tersebut di atas pasien boleh duduk atau baring
dengan mata terbuka dan ditutup secara bergiliran
- Tes telunjuk-hidung : pasien diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari
telunjuknya, lalu menunjuk hidungnya sendiri, kemudian dengan mata tertutup
pasien diminta untuk mengulangi.
- Tes hidung-telunjuk-hidung : pasien diminta menyentuh hidungnya sendiri
dengan jari telunjuknya, lalu ujung jari pemeriksa, lalu menunjuk hidungnya lagi,
kemudian dengan mata tertutup pasien diminta untuk mengulangi.
- Tes telunjuk-telunjuk : pasien diminta merentangkan kedua tangannya, lalu
mendekatkan dan menyentuhkan kedua jari telunjuk kanan-kirinya satu sama lain.
- Normalnya pasien harus dapat melakukannya secara luwes.
- Bila terdapat dismetri, jari telunjuk tidak mendarat secara luwes di ujung hidung
atau ujung jari pasien atau ujung jari telunjuk lainnya, melainkan jatuh menabrak
atau menerjang tujuannya.
- Tes tumit-lutut / heel-to-toe test: pasien diminta menyusuri tulang tibia mulai dari
lutut hingga ke ibu jari kaki dengan menggunakan tumit kontralateralnya, lalu
diulangi dengan sisi sebelahnya. Orang normal dapat melakukan tes dengan
mulus. Bila terdapat dismetri, tumit pasien tidak dapat dengan tepat menyusuri
tibia.

Heel-to-toe test

4. Tes nistagmus
- Cara pemeriksaan di dalam klinik ialah dengan menggunakan tromol berputar
yang dicat seluruhnya dengan kolom putih dan kolom hitams secara bergantian.
- Tromol itu diputar di depan mata pasien dan diminta utuk mengikuti dengan
matanya deretan kolom putih dan hitam yang melintasi lapangan penglihatannya
dari kiri ke kanan atau sebaliknmya, tergantung cara memutar tromol tersebut.
- Perhatikan adanya nistagmus pada pasien.

5. Tes tandem-walking
- Pasien diminta berjalan di atas garis lurus di mana tumit kaki yang satu berada di
depan jari kaki yang lainnya.
- Pasien yang menderita gangguan serebelum sulit berjalan pada garis lurus pada
tandem walking, dan menunjukkan gejala jalan yang khas yang disebut
“celebellar  gait  “.
Tes Tandem Gait
PENILAIAN PEMERIKSAAN FUNGSI KOORDINASI (SEREBELUM)

No. Aspek yang dinilai Skor Bobot Nilai


0 1 2 3
Pemeriksaan Tes Romberg
1. Pemeriksa memperkenalkan diri, dan 1
menjelaskan tujuan dan cara pemeriksaan
kepada pasien.
2. Pasien disuruh berdiri dengan kedua kakinya 2
dekat satu dengan yang lain, lalu kedua
matanya tertutup hanya selama beberapa
detik saja.
3. Jika pasien tidak dapat melaksanakan tes 2
tersebut (cenderung jatuh/tidak seimbang),
maka ia diperbolehkan berdiri dengan kedua
tungkainya jauh satu dengan lain, seenaknya
sendiri pada posisi di mana pasien tidak
jatuh, tetapi dengan mata tertutup sejenak.
4. Lakukan penilaian. 2
- Orang normal tidak akan terjatuh pada
tes Romberg.
- Pada pasien yang menderita tabes
dorsalis di mana terdapat gangguan
kolumna dorsalis sehingga rasa posisi
terganggu, pasien akan jatuh pada sisi
yang lesi saat menutup mata, tetapi tidak
akan jatuh bila mata terbuka karena input
penglihatan dapat mengkompensasi
keseimbangan dengan serebelum yang
intak.
- Test romberg positif: baik dengan mata
terbuka maupun dengan mata tertutup,
pasien akan jatuh ke sisi lesi setelah
beberapa saat kehilangan kestabilan
(bergoyang – goyang). Ini menunjukkan
terdapat gangguan serebelum di mana
pusat koordinasi terganggu.
Pemeriksaan Disdiadokokinesis
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan cara 1
pemeriksaan kepada pasien.
2. Perintahkan pasien melakukan gerakan- 2
gerakan secara cepat:
- mempronasi-supinasikan tangan secara
berselingan, atau
- melakukan dorsofleksi dan volarfleksi di
pergelangan tangan secara berselingan,
atau
- membolak-balikkan tangan di atas paha
secara berulang-ulang
3. Lakukan penilaian apakah terdapat gangguan 2
saat melakukan gerakan secara cepat, yang
disebut disdiadokokinesis
Tes dismetri / pemeriksaan  “past  pointing  test”
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Tes telunjuk-hidung : 2
Pasien diminta menyentuh ujung jari
pemeriksa dengan jari telunjuknya, lalu
menunjuk hidungnya sendiri, kemudian
dengan mata tertutup pasien diminta untuk
mengulangi.
3. Tes hidung-telunjuk-hidung : 2
Pasien diminta menyentuh hidungnya sendiri
dengan jari telunjuknya, lalu ke ujung jari
pemeriksa, lalu menunjuk hidungnya lagi,
kemudian dengan mata tertutup pasien
diminta untuk mengulangi.
4. Tes telunjuk-telunjuk : 2
Pasien diminta merentangkan kedua
tangannya, lalu mendekatkan dan
menyentuhkan kedua jari telunjuk kanan-
kirinya satu sama lain.
5. Lakukan penilaian pada ketiga tes di atas: 2
- Normalnya pasien harus dapat
melakukannya secara luwes.
- Bila terdapat dismetri, jari telunjuk tidak
mendarat secara luwes di ujung hidung
atau ujung jari pasien atau ujung jari
telunjuk lainnya, melainkan jatuh
menabrak atau menerjang tujuannya.
6. Tes tumit-lutut / heel-to-toe test: 2
Pasien diminta menyusuri tulang tibia mulai
dari lutut hingga ke ibu jari kaki dengan
menggunakan tumit kontralateralnya, lalu
diulangi dengan sisi sebelahnya.
7. Lakukan penilaian. Orang normal dapat 2
melakukan tes dengan mulus. Bila terdapat
dismetri, tumit pasien tidak dapat dengan
tepat menyusuri tibia.
8. Tes tandem-walking 2
Pasien diminta berjalan di atas garis lurus di
mana tumit kaki yang satu berada di depan
jari kaki yang lainnya.
9. Lakukan penilaian. Orang normal dapat 2
berjalan tanpa terjatuh. Pasien yang
menderita gangguan serebelum sulit berjalan
pada garis lurus pada tandem walking, dan
menunjukkan gejala jalan yang khas yang
disebut  “celebellar  gait  “.
Jumlah Nilai

PENILAIAN FUNGSI KOORDINASI (SEREBELUM)

Skor 0 = tidak dilakukan


1 = dilakukan tetapi salah
2 = dilakukan dengan kurang benar / kurang terampil
3 = dilakukan dengan benar dan terampil

Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
87
PEMERIKSAAN REFLEKS

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa dapat memahami dan melakukan pemeriksaan refleks dan menilai hasil
pemeriksaan dengan benar

Tujuan Instruksional Khusus


1. Melakukan pemeriksaan refleks fisiologis dan menilai hasil pemeriksaan dengan
benar
2. Melakukan pemeriksaan refleks superfisial dan menilai hasil pemeriksaan dengan
benar
3. Melakukan pemeriksaan refleks patologis dan menilai hasil pemeriksaan dengan
benar

PENGANTAR REFLEKS
Pakar yang pertama kali diketahui menggunakan kata refleks ialah Rene descartes
pada tahun 1962. Ia melukiskan refleks memejam (refleks ancam), suatu pukulan yang
diancamkan ke mata menyebabkan mata terpejam. Kata refleks dibentuk dari melihat
objek yang mendekat memberikan refleksi di otak. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa refleks ialah jawaban atas rangsang.
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang
terdiri atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistim eferen yang mengaktivasi
organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Misalnya: refleks tendon lutut
timbul karena adanya rangsang (ketokan), reseptor, serabut aferen, ganglion spinal,
neuron perantara, sel neuron motorik, serabut eferen dan efektor (otot). Hal ini
dinamakan lengkung refleks (reflex arc). Bila refleks ini rusak maka lengkung akan
hilang.
Selain lengkungan tadi didapatkan pula hubungan dengan pusat- pusat yang lebih
tinggi di otak dan tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat
yang lebih tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini
akan mengakibatkan rafleks meninggi.

JENIS REFLEKS
Bila dibandingkan dengan pemeriksaan – pemeriksaan lainnya, misalnya
pemeriksaan sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang bergantung kepada kooperasi
pasien. Pemeriksaan refleks dapat dilakukan pada orang yang menurun kesadarannya,
bayi, anak, orang yang rendah intelegensinya dan orang yang gelisah. Itulah sebabnya
pemeriksaan refleks penting nilainya, karena lebih objektif dari pemeriksaan lainnya.
Dalam praktik sehari- hari kita biasanya memeriksa refleks dalam, refleks superficial, dan
refleks patologis.
REFLEKS FISIOLOGIK / REFLEKS DALAM (REFLEKS REGANG OTOT)
Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan, dan
sebagai jawaban maka otot berkontraksi. Refleks dalam juga dinamai refleks regang otot
(muscle stretch reflex). Nama lain bagi refleks ini ialah refleks tendon, refleks periostal,
refleks miotik, dan refleks fisiologis.
Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang bereaksi atau menurut tempat
insersio otot. Misalnya refleks kuadriseps femoris disebut juga refleks tendon lutut atau
refleks patela. Telah dikemukakan bahwa timbulnya refleks ini ialah karena teregangnya
otot oleh rangsang yang diberikan dan sebagai jawaban otot berkontraksi. Rasa regang
(ketok) ini ditangkap oleh alat penangkap (reseptor) rasa proprioseptif, karena itu refleks
ini juga dinamai refleks proprioseptif. Contoh dari refleks dalam ialah refleks kuadriseps
femoris, releks patela.

PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIK


Pengertian Umum
1. Pada umumnya pemeriksaan reflek fisiologis merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pemeriksaa fisik secara keseluruhan, dengan demikian bukan
merupakan pemeriksaan yang eksklusif. Namun demikian pada kasus – kasus
tertentu pemeriksaan refleks fisiologis merupakan pemeriksaan yang sangat
penting sehingga harus dikerjakan dengan secermat – cermatya.
2. Kasus – kasus tertentu tadi berkaitan erat dengan keluhan utama: mudah lelah,
kesulitan berjalan, kelemahan/kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot – otot
anggota gerak, gangguan trofi otot anggota gerak, nyeri punggung, dan gangguan
fungsi otonom (ereksi, buang air besar, buang air kecil).
3. Yang dimaksud dengan refleks fisiologik adalah muscle stretch reflexes, yang
muncul sebagai akibat rangsangan terhadap tendon atau periosteum atau kadang –
kadang terhadap tulang, sendi, fasia atau apoineurosis. Yang menimbulkan
gerakan refleks sebenarnya adalah muscle stretch, sedang tendon itu sendiri hanya
merupakan tempat dimana rangsangan mudah diberikan. Oleh karena rangsangan
disalurkan melalui organ sensorik yang lebih dalam misalnya gelondong
neuromuscular (neuromuscular spindle), maka ada yang menyebutnya sebagai
refleks proprioseptif.

Dasar Pemeriksaan Refleks


1. Alat yang digunakan biasa disebut reflex hammer atau palu refleks yang pada
umumnya dibuat dari bahan karet, walaupunbahan lain dapat pula dipergunakan.
Namun demikian untuk mencapai hasil yang baik, bahan karet yg lunak lebih
umum dipakai. Bahan tersebut tidak akan menimbulkan rasa nyeri pada penderita.
Rasa nyeri pada pemeriksaan refleks memang harus dihindarkan oleh karena akan
mempengaruhi hasil pemeriksaan.
2. Teknik pengetukan (Gambar 1)
- Palu refleks tidak boleh dipegang secara keras. Gagang palu refleks dipegang
dengan ibu jari dan jari telunjuk sedemikian rupa sehingga palu dapat diayun
secara bebas
- Pengetukan tidak boleh dilakukan seperti memotong, mematuk atau menebas
kayu, melainkan menjatuhkan secara terarah kepala palu refleks ke tendon
atau periosteum
- Gerakan pengetukan berpangkal pada sendi pergelangan tangan

Cara Mengetukkan Palu Refleks

3. Penderita harus dalam posisi yang relaks dan santai. Bagian tubuh yang akan
diperiksa harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga gerakan otot yang
nantinya akan terjadi dapat muncul secara optimal.
4. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung, kerasnya pukulan harus
dalam batas nilai ambang, tidak terlalu keras.
5. Oleh karena sifat reaksi bergantung pada tonus otot, maka orang diperiksa harus
dalam keadaan sedikit kontraksi. Apabila ingin membandingkan refleks sisi kiri
dan kanan maka posisi ekstremitas harus simetris.
Penilaian Hasil
Tingkat jawaban refleks dapat dinilai sebagai negatif, menurun, normal,
meninggi, dan hiperaktif. Ada pula yang menggunakan kriteria kuantitatif, sebagai
berikut:
0 : negatif
+ : lemah (dari normal)
++ : normal
+++ : jawaban berlebih, area pengetukan refleks meluas
++++ : jawaban refleks berlebihan, terdapat klonus, sering merupakan indikator
lesi/kerusakan traktus piramidal

Tidak ada batas yang tegas antara tingkat refleks yang dikemukakan di atas, yaitu:
tidak ada batas yang tegas antara refleks lemah, refleks normal dan refleks meningkat.
Bila refleksnya negatif, hal ini mudah dipastikan. Pada refleks yang meninggi, daerah
tempat memberikan rangsang biasanya bertambah luas. Misalnya refleks kuadriseps
femoris, bila ia meninggi, maka tempat merangsang tidak saja di tendon di patela, tetapi
dapat meluas sampai tulang tibia atau otot kuadriseps femoris yang dekat dengan tendon.
Kontraksi otot pun bertambah hebat, sehingga mengakibatkan gerakan yang kuat pada
persendiannya. Jika meningginya refleks hebat, kadang – kadang didapatkan klonus,
yaitu otot berkontraksi secara klonik. Pada refleks yang lemah, kita perlu mempalpasi
otot untuk mengetahui apakah ada kontraksi. Kadang – kadang kita perlu pula melakukan
sedikit upaya untuk memperjelas refleks yang lemah. Hal ini misalnya dilakukan dengan
membuat otot yang diperiksa berada dalam kontraksi enteng sebelum dirangsang.
Misalnya bila kita hendak memeriksa refleks kuadriseps femoris, kita suruh pasien
mendorongkan tungkai bawahnya sedikit ke depan sambil kita menahannya, abru
kemudian kita beri rangsang (ketok) pada tendon di patela (lihat Gambar 2). Selain itu,
juga perhatian penderita perlu dialihkan, misalnya dengan menyuruhnya menarik pada
kedua tangannya yang saling bartautan atau sering disebut Jendrassik manuoever
(Gambar 3).

Cara Membangkitkan Refleks Lutut


Dapat diperjelas dengan menyuruh pasien mendorongkan sedikit, sambil kita tahan
tungkai  bawahnya.  Baru  kemudian  kita  “rangsang”

Waktu mengetok refleks, perhatian pasien dapat dialihkan dengan menyuruhnya menarik
pada kedua tangannya yang tercekam
Refleks yang meninggi tidak berarti adanya gangguan patologis, tetapi bila refleks
pada sisi kanan berbeda dari sisi kiri, besar sekalli kemungkinan bahwa hal ini
disebabkan oleh keadaan patologis. Simetri memang penting dalam penyakit saraf. Kia
menetahui bahwa simetri sempurna tidak ada pada tubuh manusia. Walaupun demikian
anak pemeriksaan neurologis didasarkan atas anggapan bahwa agian tubuhadalah sama
atau simetris (secara kasar). Tiap refleks dalam dapat meninggi secara bilateral, namun
hal ini tidak selalu berarti adanya lesi piramidal. Lain halnya kalau peninggian refleks
bersifat asimetris. Karenanya harus diingat bahwa pada pemeriksaan refleks jangan lupa
membandingkan bagian – bagian yang simetris (kiri dan kanan). Asimetri menunjukkan
adanya proses patologis.

Jenis – jenis Pemeriksaan Refleks Fisiologi

1. Pemeriksaan refleks pada lengan


Refleks biseps, triseps, brakhioradialis, dan fleksor jari tangan merupakan
sekelompok refleks pada lengan/tangan yang penting.
a. Pemeriksaan refleks biseps (Gambar 4)
- Penderita berbaring atau duduk – duduk dengan santai
- Lengan dalam keadaan lemas, lengan bawah dalam posisi antara fleksi dan
ekstensi serta sedikit pronasi
- Siku penderita diletakkan di antara lengan/tangan pemeriksa
- Pemeriksa meletakkan ibu jarinya di atas tendon biseps, kemudian
pukullah ibu jari tadi dengan refleks hammer
- Reaksi utama adalah kontraksi otot biseps dan kemudian fleksi lengan
bawah
- Oleh karena biseps juga merupakan supinator untuk lengan bawah maka
seringkali muncul gerakan supinasi
- Apabila refleks meninggi maka zona refleksogen akan meluas
- Juga apabila refleks ini meninggi maka akan disertai gerakan fleksi
pergelangan tangan serta jari-jari dan aduksi ibu jari
- M. Biseps brakhii dipersarafi oleh N. Muskulokutaneus (C5-C6)

Cara Pemeriksaan Refleks Biseps

b. Pemeriksaan refleks triseps (Gambar 5)


- Penderita dalam keadaan berbaring atau duduk dengan santai
- Lengan penderita diletakkan di atas lengan / tangan pemeriksa
- Posisi tangan penderita sama dengan posisi pada pemeriksaan refleks
biseps
- Lengan penderita dalam keadaan lemas, relaksasi sempurna
- Apabila telah dipastikan bahwa lengan penderita sudah benar- benar
relaksasi (dengan meraba triseps: tak teraba tegang), pukullah tendon yang
lewat di fosa olekrani
- Maka triseps akan berkontraksi dengan sedikit menyentak, gerakan ini
dapat dilihat sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang menopang
lengan penderita
- M. Triseps diinervasi oleh nervus radialis (C6 – C8), proses refleks
melalui C7

Cara Pemeriksaan Refleks Triseps

c. Pemeriksaan refleks brakhioradialis / periostoradialis


- Posisi penderita dan pemeriksa sama dengan pemeriksaan refleks biseps
- Ketuklah tendon brakhioradialis pada radius bagian distal dengan
memakai reflex hammer
- Maka akan timbul fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena
kontraksi m. brachioradialis
- M. Brakhioradialis dipelihara oleh n. Radialis melalui C5-6

Cara Pemeriksaan Refleks Brakhioradialis


d. Pemeriksaan refleks periosto ulnaris
- Stimulus yang diberikan adalah ketukan pada periosteum procesus
styloigeus ulnar, posisi lengan setengah fleksi dan antara pronasi –
supinasi
- Responsnya adalah pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadratus
yang dipersarafi oleh N. ulnaris ( C8-T1 )
e. Pemeriksaan refleks fleksor jari tangan / Refleks Wartenberg
- Pemeriksaan  ini  disebut  pula  Wartenberg’s  sign
- Pasien duduk dengan santai, tidak boleh tegang
- Tangan pasien dalam posisi setengah supinasi; tangan diletakkan di atas
meja atau permukaan benda lain yang padat dan jari-jari dalam posisi
fleksi ringan
- Pemeriksa meletakkan telunjuk dan jari tengahnya pada permukaan tangan
penderita (bagian volar) di bagian jari-jari
- Punggung jari-jari pemeriksa tadi dipukul secara ringan tetapi cepat,
dengan permukaan reflex hammer yang datar
- Reaksinya ialah fleksi keempat jari tangan penderita serta fleksi ibu jari
bagian distal
- Pada umumnya refleks ini cukup sulit untuk ditimbulkan, terutama bagi
pemeriksa yang belum berpengalaman
- Wartenberg menganggap bahwa refleks ini merupakan salah satu refleks
yang terpenting pada lengan/tangan

Refleks Wartenberg

2. Pemeriksaan refleks pada tungkai


a. Pemeriksaan refleks patela/ kuadriseps – KPR
- Penderita dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai atau berbaring
- Berdiri di sebelah kanan penderita
- Daerah kanan kiri tendon patela terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan
daerah yang tepat
- Pada pemeriksaan dengan posisi duduk, tangan pemeriksa yang satu
memegang paha penderita bagian distal, dan tangan yang lain
memukulkan palu refleks (ayunan palu refleks bertumpu pada sendi
pergelangan tangan). Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan
kontraksi otot kuadriseps, dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah
yang bergerak secara menyentak untuk kemudian berayun sejenak
- Pada pemeriksaan dengan posisi berbaring, minta supaya tungkai
penderita dalam keadaan lemas, relaksasi sempurna. Tangan pemeriksa
kiri mengangkat sedikit sendi lutut, dan tangan yang lain memukulkan
palu refleks (ayunan palu refleks bertumpu pada sendi pergelangan
tangan) pada tendon patella
- Apabila ada kesulitan dengan pemeriksaan tadi maka pakailah cara berikut
ini :
- Tangan penderita saling berpegangan (Jendrassik manuever)
- Kemudian penderita diminta untuk menarik kedua tangannya
- Pukullah tendon patelanya ketika penderita menarik tangan
- Cara ini disebut reinforcement
- Apabila penderita tak mampu duduk, maka pemeriksaan refleks
patela dapat dilakukan dengan posisi berbaring

Cara Pemeriksaan Refleks Patela (KPR) dengan Berbaring dan Duduk

b. Pemeriksaan refleks Achilles (APR)


- Penderita dapat duduk dengan tungkai menjuntai, atau berbaring, atau
dapat pula penderita berlutut dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya
terjulur di luar meja pemeriksa
- Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon Achilles dengan
cara menahan ujung kaki ke arah dorsofleksi
- Tendon Achilles dipukul dengan ringan tetapi cepat
- Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak
- Bila perlu dapat dikerjakan reinforcement sebagai mana dilakukan pada
pemeriksaan refleks patela

Cara Pemeriksaan Refleks Achilles (APR)

3. Pemeriksaan Klonus (Refleks yang Meningkat)


a. Klonus lutut :
Stimulus : pegang dan dorong os patella ke arah distal
Respons : kontraksi reflektorik m. quadriceps femoris selama stimulus
berlangsung.

b. Klonus kaki :
Stimulus : dorsofleksikan kaki secara maksimal, posisi tungkai fleksi
di sendi lutut.
Respons : kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus berlangsung.

PEMERIKSAAN REFLEKS SUPERFISIAL

Refleks superfisial ialah gerakan reflektorik yang timbul sebagai respon atas
stimulasi yang timbul terhadap kulit atau mukosa. Berbeda dengan refleks dalam, refleks
superfisial tidak saja mempunyai busur refleks yang segmental, melainkan mempunyai
komponen supraspinal juga. Oleh karena itu refleks superfisial dapat menurun atau
hilang bila terdapat lesi di busur refleks segmentalnya atau bila komponen supraspinal
mengalami kerusakan. Untuk lengkapnya di bawah ini diberikan daftar mengenai
berbagai refleks superfisial berikut dengan komponen – komponen busur refleksnya.

Refleks Neuron Aferen Pusat Neuron Eferen


Kornea N. V Pons N. VII
Bersin N. V Medula oblongata N.V, N.VII, N.IX, N.X
Medula spinalis atas
Uvula N. IX Medula oblongata

Kulit Dinding Aferen Pusat Eferen


Perut:
Bag. Epigastrik Saraf interkostal T. 5-7 Saraf interkostal
Bag. Supra umbilik Saraf interkostal T. 7-9 Saraf interkostal
Bag. Umbilik Saraf interkostal T. 9-11 Saraf interkostal
Bag. Infra umbilik Saraf interkostal T. 11-L1 Saraf interkostal
N. ilionguinal N. ilionguinal
N. iliohipogastrikus N. iliohipogastrikus
Kremaster N. ilionguinal N. ilionguinal
Anal eksterna N. pudendus N. pudendus
Gluteal N. lumbalis N. lumbalis posterior
posterior
Plantar N. tibialis N. tibialis

1. Refleks Kulit Dinding Perut


- Kulit dinding perut digores dengan pensil, ujung gagang palu refleks atau ujung
kunci. Bilamana dinding perut terlalu kendor (multipara, orang berusia lanjut dan
sebagainya) atau terlalu tegang (kehamilan, asites, defense musculiarie, dsb) otot
dinding perut tidak berkontraksi secara reflektorik. Penggoresan itu dilakukan dari
samping menuju garis tengah perut pada setiap segmen, yaitu segmen epigastrik,
supraumbilik, umbilik, dan infraumbilik.
- Refleks kulit dinding perut menghilang pada lesi piramedialis. Hilangnya refleks
ini yang mengkombinasi dengan meningkatnya refleks otot dinding perut adalah
khas bagi lesi di susunan piramidal. Pada keadaan-keadaan perut tersebut di atas,
dan lesi-lesi di segmen-segmen medula spinalis yang dilinasi busur refleks kulit
dinding perut, sudah barang tentu refleks kulit dinding perut tidak dapat
dibangkitkan.

Goresan pada Otot Dinding Perut untuk Membangkitkan Refleks Dinding Perut

2. Refleks Genital
Secara klinis, penentuan ada tidaknya disfungsi ereksi dan disfugi seksual tidak
sulit. Penderita sudah dapat menentukan sendiri, apakah mereka menderita disfungsi
ereksi atau tidak, berdasar pengalamannya. Seorang dokter harus dapat melakukan
pemeriksaan neurologis untuk menentukan respon ereksi. Pemeriksaan refleks genital
(misalnya refleks bulbokacavernosus dan refleks kremaster) harus dilakukan untuk
mengetahui adanya refleks ereksi.

a. Refleks kremaster
Prinsipnya adalah rangsangan sensoris yang ditimbulkan dengan cara menggores
paha bagian medial dari atas ke bawah. Rangsangan dibawa ke korda spinalis setinggi
lumbal 1-2 melalui cabang femoral dari serabut saraf genitofemoralis (n. Ilioinguinal).
Serabut saraf motorik yang berjalan pada cabang genital dari serabut saraf genitofemoral
(eferen) menyebabkan refleks kontraksi otot-otot kremaster yang mengangkat testis.
Pemeriksaan refleks ini dilakukan pada laki-laki. Aspek medial dari paha atas
dipukul ke arah bawah. Gerakan testikel di dalam skrotum diamati. Kontraksi kremaster
menaikkan testikel pada sisi tersebut. Afferen adalah nervus femoralis L1, L2.
Jika tidak ada elevasi testikel, mungkin terjadi pada patologi fokal non-neurologis atau
bedah lokal sebelumnya, atau terdapat lesi dalam arkus refleks, atau lesi piramidalis di
atas segmen L1.

Pemeriksaan refleks kremaster

b. Refleks bulbokavernosus
Prinsipnya adalah rangsangan sensoris yang ditimbulkan dengan cara menekan
(seperti meremas) gland penis. Rangsangan bergerak menuju ke vervebra sakral 2-4
melalui serabut saraf pudendus (aferen). Serabut motorik yang terdapat pada serabut saraf
pudendus (eferen) menyebabkan refleks kontraksi otot bulbokavernosus.
Pada pemeriksaan refleks-refleks tersebut, pasien harus dalam posisi terlentang dan
benar-benar rileks sehingga kontraksi muskulus perineal yang terjadi hanya berhubungan
dengan stimulasi yang kita berikan, bukan karena rangsangan lain

c. Refleks anal
Tes ini memeriksa integritas arkus refleks dengan inervasi segmen S4 dan S5
untuk komponen sensorik dan motorik. Refleks kontraksi pada sfingter anus bagian luar
timbul saat jari dimasukkan ke dalam anus menunjukkan keutuhan serabut saraf
pudendus dan otot-otot volunter pada dasar pelvis.
Cara pemeriksaannya, baringkan pasien pada satu sisi dengan lutut fleksi. Dengan
lembut sentuh batas anal dengan stick, atau jari dimasukkan dengan lembut ke dalam
anus. Normalnya akan ditemukan kontraksi yang terlihat jelas pada sphincter anal
externa.

d. Refleks Gluteal
Rangsangan goresan pada kulit bokong akan menghasilkan gerakan reflektorik otot
gluteus ipsilateral. Respons hilang pada lesi saraf L 4 – S1.
REFLEKS PATOLOGIK

Pengantar
Pada umumnya pemeriksaan reflek patologik merupakan respon yang tidak umum
dijumpai pada individu normal kecuali pada bayi dan anak kecil. Beberapa respon yang
timbul adalah minimal, dan dalam keadaan normal munculnya terbatas, namun aktif pada
munculnya penyakit. Kebanyakan merupakan gerakan reflektorik defensif atau postural
yang pada orang dewasa yang sehat terkelola dan ditekan oleh aktivitas susunan
piramidal. Pada anak kecil umur 4 – 6 tahun masih belum memiliki susunan piramidal
yang bermielin penuh, sehingga susunan piramidalnya belum sempurna. Oleh karena itu
gerakan reflektorik yang dinilai sebagai hal yang patologis pada orang dewasa, tidak
selamanya patologik bila dijumpai pada anak – anak. Pada orang dewasa, sebagian besar
refleks patologik berhubungan dengan traktus kortikospinal dan jaras-jarasnya, serta juga
terjadi pada penyakit-penyakit lobus frontal dan gangguan sistem ekstrapiramidal.
Refleks patologik pada ekstremitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih
reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas.

Dasar pemeriksaan refleks


a. Selain dengan jari-jari tangan untuk pemeriksaan refleks pada ekstremitas atas,
adalah menggunakan palu refleks yang pada umumnya dibuat dari bahan karet,
walaupun bahan lain dapat pula dipergunakan. Namun pada refleks hammer,
menggunakan tangkai dengan ujung yang tidak tumpul untuk memeriksa refleks
pada ekstremitas bawah.
b. Pasien harus dalam posisi yang seenak-enaknya dan santai.
c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung.

REFLEKS PATOLOGIK PADA TANGAN


REFLEKS HOFFMAN TROMMER
REFLEKS HOFFMAN
- Sikap: tangan pasien dan tangan si pemeriksa terlukis pada Gambar 11 di
bawah ini
- Stimulus: goreskan pada kuku jari tengah pasien dengan ujung kuku ibu jari
pemeriksa
- Respons : ibu jari, jari telunjuk serta jari – jari lainnya berefleksi sejenak setiap
kali kuku jari tengah pasien digores
Refleks Hoffman

REFLEKS TROMNER
- Sikap : tangan pasien dan tangan si pemeriksaterlukis pada gambar 12 di bawah ini
- Stimulus : mencolek colek ujung jari
- Respons : jari telunjuk terutama ibu jari dan jari – jari lainnya berfleksi setiap kali
ujung jari tengah pasien tercolek

Refleks Trommer

REFLEKS MAYER
- Sikap : lengan pasien dipegang oleh pemeriksa
- Stimulus : dengan tangan lainnya, pemeriksa menekukkan jari tengah pasien secara
maksimal ke arah telapak tangan
- Respons : pada orang sehat ibu jari akan beroposisi, kalau ada kerusakan di susunan
piramidal ibu jari tidak akan beroposisi

REFLEKS LERI
- Sikap : lengan diluruskan bagian ventralnya menghadap ke atas
- Stimulus : tangan pasien ditekk secara maksimal di pergelangan tangan oleh
pemeriksa
- Respons : pada orang sehat lennga bawah akan menekuk di sendi siku – siku, kalau
ada kerusakan di susunan pyramidal, fleksi di siku tidak bangkit

REFLEKS GREWEL PRONASI ABDUKSI


- Sikap : lengan pasien setengah difleksikan di siku dengan lengan bawahnya dalam
posisi antara pronasi dan supinasi
- Stimulus : tangan pasien secara maksimal dan mendadak dipronasikan oleh
pemeriksa
- Respons : pada orang sehat timbul gerakan reflektorik yang terdiri dari abduksi
lengan atas, jika terdapat lesi di susunan piramidal maka gerakan reflektorik itu tidak
timbul
REFLEKS PATOLOGIK DI TUNGKAI (EXTENSOR PLANTAR RESPONS)
REFLEKS BABINSKI / REFLEKS PLANTAR / EXTENSOR PLANTAR
RESPONSE
Penggoresan terhadap kulit telapak kaki akan menimbulkan plantar fleksi kaki
dan semua jari kaki pada kebanyakan orang yang sehat. Respons yang abnormal terdiri
dari ekstensi serta pengembangan jari-jari kaki dari elevasi ibu jari kaki. Respon ini
dinamakan  ‘ekstensor  plantar  response’  yang  di  kalangan  kita  dan  belanda  lebih  dikenal  
dengan refleks babinski yang positif. Respons patologik ini merupakan salah satu tanda
yang mencirikan lesi di susunan piramidal.

- Sikap : penderita disuruh berbaring rileks dengan tungkai diluruskan


- Stimulus : dilakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral mulai dari tumit
menuju pangkal jari seperti tampak gambar, goresan harus dilakukan perlahan jangan
sampai mengakibatkan nyeri sebab hal ini akan menimbulkan refleks menarik kaki
- Respons : jika reaksi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari yang dapat
disertai dengan mekarnya (fanning) jari – jari lainnya

Refleks Plantaris Babinski dengan Respons Ekstensor yang Menunjukkan Tanda


Positif

REFLEKS CHADDOCK
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : rangsangan diberikan dengan jalan menggoreskan bagian lateral
maleolus
- Respons : jika reaksi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnya jari – jari lainnya
Refleks Chaddock

REFLEKS GORDON
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : memencet otot betis
- Respons : jika reasi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnyaa jari – jari lainnya

Refleks Gordon

REFLEKS OPPENHEIM
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior. Arah mengurut ke
bawah / distal
- Respons : jika reaksi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnya jari – jari lainnya

Refleks Oppenheim

REFLEKS GONDA
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : memencet (menekan) satu jari kaki dan kmeudian melepaskannya
sekonyong – konyong
- Respons : jika reaksi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnya jari – jari lainnya
Refleks Gonda

REFLEKS SCHAEFER
- Sikap : penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan
- Stimulus : memencet (mencubit) tendon Achilles (Gambar 18)
- Respons : jika reaksi positif kita dapatkan gerakan dorsofleksi ibu jari, yang dapat
disertai dengan mekarnya jari – jari lainnya

Refleks Schaefer
REFLEKS STRANSKY
- Stimulus : penekukan (lateral) maksimal jari kaki kelima
- Respons : seperti Babinski

REFLEKS ROSSOLIMO
- Stimulus : pengetukan pada telapak kaki
- Respons : fleksi jari – jari kaki pada sendi interphalangealnya

REFLEKS MENDEL - BECHTEREW


- Stimulus : pengetukan dorsum pedis pada daerah os cuboideum
- Respons : seperti rossolimo

Pemeriksaan refleks-refleks primitif akan dijabarkan pada Blok Geriatri.


PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS

No. Aspek yang dinilai Skor Bobot Nilai


0 1 2 3
Pemeriksaan Refleks Biseps
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien.
2. Penderita berbaring. Lengan dalam keadaan 1
lemas, lengan bawah dalam posisi antara
fleksi dan ekstensi serta sedikit pronasi.
3. Siku penderita diletakkan di antara 2
lengan/tangan pemeriksa.
4. Pemeriksa meletakkan ibu jarinya di atas 2
tendon biseps, kemudian pukullah ibu jari
tadi dengan refleks hammer.
5. Lakukan penilaian. Reaksi utama adalah 2
kontraksi otot biseps dan kemudian fleksi
lengan bawah, seringkali juga muncul
gerakan supinasi.
Apabila refleks meninggi maka zona
refleksogen akan meluas dan akan disertai
gerakan fleksi pergelangan tangan serta jari-
jari dan aduksi ibu jari.
Tentukan penilaian refleks :
0 : negatif
+ : lemah (dari normal)
++ : normal
+++ : jawaban berlebih, area
pengetukan refleks meluas
++++ : jawaban refleks berlebihan,
terdapat klonus
Pemeriksaan Refleks Triseps
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Penderita dalam keadaan berbaring, lengan 2
penderita diletakkan di atas lengan / tangan
pemeriksa. Posisi tangan penderita sama
dengan posisi pada pemeriksaan refleks
biseps.
3. Lengan penderita dalam keadaan lemas, 2
relaksasi sempurna. Apabila telah dipastikan
bahwa lengan penderita sudah benar- benar
relaksasi (dengan meraba triseps: tak teraba
tegang), pukullah tendon yang lewat di fosa
olekrani.
4. Lakukan penilaian. Normalnya triseps akan 2
berkontraksi dengan sedikit menyentak,
gerakan ini dapat dilihat sekaligus dirasakan
oleh lengan pemeriksa yang menopang
lengan penderita. Tentukan penilaian refleks :
0 sampai ++++ seperti pada refleks biseps.
Pemeriksaan refleks patela/ kuadriseps – KPR
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Penderita dapat dalam posisi duduk atau 1
berbaring. Pada skill lab ini, dilakukan dalam
keadaan berbaring. Daerah kanan kiri tendon
patela terlebih dahulu diraba, untuk
menetapkan daerah yang tepat.
3. Minta supaya tungkai penderita dalam 2
keadaan lemas, relaksasi sempurna. Tangan
pemeriksa kiri mengangkat sedikit sendi lutut,
dan tangan yang lain memukulkan palu
refleks (ayunan palu refleks bertumpu pada
sendi pergelangan tangan) pada tendon
patella.
4. Lakukan penilaian. Normalnya dapat dilihat 2
kontraksi otot kuadriseps, dan pemeriksa
dapat melihat tungkai bawah yang bergerak
secara menyentak. Tentukan penilaian refleks
: 0 sampai ++++ seperti pada refleks biseps.
Pemeriksaan refleks Achilles (APR)
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien. Minta pasien untuk berbaring
rileks.
2. Pemeriksa sedikit meregangkan tendon 2
Achilles dengan cara menahan ujung kaki ke
arah dorsofleksi dengan tangan kiri..
3. Dengan tangan kanan, tendon Achilles 2
dipukul dengan ringan tetapi cepat.
4. Lakukan penilaian. Akan muncul gerakan 2
fleksi kaki yang menyentak.
Tentukan penilaian refleks : 0 sampai ++++
seperti pada refleks biseps.
Pemeriksaan Refleks Patologis Hoffman
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Goreskan pada kuku jari tengah pasien 2
dengan ujung kuku ibu jari pemeriksa.
3. Tes ini bernilai positif bila ibu jari, jari 2
telunjuk serta jari – jari lainnya berefleksi
sejenak setiap kali kuku jari tengah pasien
digores.
Pemeriksaan Refleks Tromner
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Coleklah ujung jari tengah pasien. 2
3. Tes ini bernilai positif bila jari telunjuk 2
terutama ibu jari dan jari – jari lainnya
berfleksi setiap kali ujung jari tengah pasien
tercolek.
Pemeriksaan Refleks Babinski
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Penderita disuruh berbaring rileks dengan 1
tungkai diluruskan.
3. Lakukan penggoresan telapak kaki bagian 2
lateral mulai dari tumit menuju pangkal jari.
Goresan harus dilakukan perlahan jangan
sampai mengakibatkan nyeri sebab hal ini
akan menimbulkan refleks menarik kaki.
4. Jika reaksi positif kita dapatkan gerakan 2
dorsofleksi ibu jari yang dapat disertai
dengan mekarnya (fanning) jari – jari lainnya
Pemeriksaan Refleks Chaddock
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Penderita disuruh berbaring dan istirahat 1
dengan tungkai diluruskan.
3. Gores bagian lateral maleolus dengan ujung 2
palu refleks.
4. Jika reaksi positif kita dapatkan gerakan 2
dorsofleksi ibu jari, yang dapat disertai
dengan mekarnya jari – jari lainnya.
Pemeriksaan Refleks Gordon
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan pemeriksaan 1
kepada pasien.
2. Penderita disuruh berbaring dan istirahat 1
dengan tungkai diluruskan.
3 Pencetlah otot betis. 2
4. Jika reasi positif kita dapatkan gerakan 2
dorsofleksi ibu jari, yang dapat disertai
dengan mekarnya jari – jari lainnya.
Pemeriksaan Refleks Oppenheim
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien.
2. Penderita disuruh berbaring dan istirahat 1
dengan tungkai diluruskan.
3. Lakukan pengurutan dengan kuat tibia dan 2
otot tibialis anterior dari atas ke bawah.
4. Jika reaksi positif kita dapatkan gerakan 2
dorsofleksi ibu jari, yang dapat disertai
dengan mekarnya jari – jari lainnya.
Pemeriksaan Refleks Scahefer
1. Pemeriksa memperkenalkan diri dan 1
menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada
pasien.
2. Penderita disuruh berbaring dan istirahat 1
dengan tungkai diluruskan.
3. Pencet/cubit tendon Achilles. 2
4. Jika reaksi positif kita dapatkan gerakan 2
dorsofleksi ibu jari, yang dapat disertai
dengan mekarnya jari – jari lainnya.
Jumlah Nilai

PENILAIAN REFLEKS FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS

Skor 0 = tidak dilakukan


1 = dilakukan tetapi salah
2 = dilakukan dengan kurang benar / kurang terampil
3 = dilakukan dengan benar dan terampil

Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
204
PEMERIKSAAN SISTIM SENSORIK

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa memahami dan melakukan pemeriksaan sistim sensorik serta penilaiannya
dengan benar

Tujuan Instruksional Khusus


1. Melakukan dan menilai pemeriksaan sensorik eksteroseptif / protopatik (taktil, nyeri
superfisial, suhu)
2. Melakukan dan menilai pemeriksaan sensorik proprioseptif (rasa posisi, getar /
vibrasi, raba / tekan dalam)
3. Melakukan dan menilai pemeriksaan sensorik diskriminatif
4. Melakukan dan menilai pemeriksaan sensorik nyeri

PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK

1. Pendahuluan
Adanya gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan
gangguan sensorik. Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik
maupun trofi otot. Gangguan sensorik dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal
(parestesia), kebas atau mati rasa, dan ada pula yang sangat sensitif (hiperestesi). Pada
gangguan di kanalis sentralis medula spinalis dapat terjadi fenomena disosiasi: analgesia
terhadap rangsang panas dan nyeri sementara rangsang lainnya masih dapat dirasakan
oleh penderita. Orang neurotik sering kali mengeluh adanya perasaan tidak enak di
seluruh permukaan tubuh, misalnya ada hewan yang merayap di permukaan kulitnya.
Tujuan pemeriksaan sensorik :
1. Menetapkan adanya gangguan sensorik
2. Mengetahui modalitasnya
3. Menetapkan polanya
4. Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensorik yang akhirnya
dinilai bersama sama dengan pemeriksaan motorik , kesadaran dll.
Misalnya hemihipestesi menunjukkan gangguan pada otak, tipe dermatomal
menunjukkan gangguan pada medula spinalis, dan tipe perifer yang sesuai dengan area
persarafan saraf perifer tertentu menunjukkan lesi saraf yang bersangkutan.
Sehubungan dengan pemeriksaan fungsi sensorik, maka beberapa hal berikut ini
harus dipahami terlebih dahulu:
a. Kesadaran penderita harus penuh dan tajam (komposmentis dan kooperatif)
b. Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah; kelelahan akan mengakibatkan
gangguan perhatian serta memperlambat waktu reaksi
c. Prosedur pemeriksaan harus benar-benar dimengerti oleh penderita, karena
pemeriksaan fungsi sensorik benar-benar memerlukan kerjasama yang sebaik-
baiknya antara pemeriksa dengan penderita
d. Cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada penderita dengan istilah
yang mudah dimengerti olehnya
e. Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan
pemeriksaan anggota gerak atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya
penderita menyeringai, mata berkedip-kedip serta perubahan sikap tubuh.
Mungkin pula muncul dilatasi pupil, nadi yang cepat dari semua, keluar banyak
keringat.
f. Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga meliputi
perbedaan-perbedaan sensasi yang ringan;dengan demikian harus dicatat gradasi
atau tingkat perbedaannya.
g. Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap individu,
pada tiap bagian tubuh, dan pada individu yang sama tetapi dalam situasi yang
berlainan. Oleh sebab itu, pemeriksa perlu menganjurkan penderita untuk
melakukan pemeriksaan ulang pada hari berikutnya
h. Perlu ditekankan mengenai azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu
dibandingkan dengan bagian kanan. Juga pelu dipahami tentang azas ekstrem:
pemeriksaan  dikerjakan  dari  “ujung  atas”  dan  “ujung  bawah”  ke  arah  pusat. Hal
ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan.
i. Pemeriksaan fungsi sensorik harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa),
menggunakan alat yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan, tanpa menyakiti
penderita, dan penderita tidak boleh dalam keadaan tegang
j. Perlu ditekankan bahwa hasil pemeriksaan fungsi sensorik pada suatu saat tidak
dapat dipercaya, membingungkan, dan sulit dinilai. Dengan demikian kita harus
berhati-hati dalam hal penarikan kesimpulan.
Gambar dermatom
Pemeriksaan sensibilitas dapat menentukan letak lesi
2. Pemeriksaan sensasi taktil / raba halus
Pasien dalam posisi duduk atau berbaring, mata tertutup atau secara pasif kedua
mata ditutup secara ringan tanpa menekan bola mata. Penderita harus dalam keadaan
santai, tidak boleh tegang. Bagian tubuh yang diperiksa harus bebas dari pakaian. Alat
yang dipakai dapat berupa kuas halus, kapas, bulu, tissue, atau bila terpaksa dengan ujung
jari tangan yang disentuhkan ke kulit secara halus sekali. Berikan rangsangan dengan alat
atau ujung jari tangan pada bagian tubuh yang hendak diperiksa. Penderita diminta
menyatakan   “ya”   atau   ‘tidak”   apabila   dia   merasakan   atau   tidak   merasakan   adanya  
rangsangan, dan sekaligus juga diminta untuk menyatakan tempat atau bagian tubuh
mana yang dirangsang. Bandingkan antara kiri dan kanan.
Cara memeriksa sensasi taktil diskriminatik, secara teknis sama dengan apa yang
telah diuraikan di bagian depan. Daerah yang dirangsang ialah daerah yang bebas dari
rambut atau bulu; hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan gangguan dari
rambut/bulu yang turut tergerakkan pada saat melakukan rangsangan taktil sehingga
rambut tadi akan mengacaukan penilaian. Penderita diminta untuk menyatakan tempat
mana yang dirangsang, dan juga diminta untuk membedakan dua titik yang dirangsang.
Beberapa istilah sehubungan dengan kelainan sensasi taktil, antara lain:
a. Kelainan sensasi taktil dikenal sebagai anestesia (hilangnya rasa raba), hipestesia
(kurangnya rasa raba), dan hiperestesia (rasa raba berlebih); akan tetapi istilah-
istilah tadi secara rancu juga digunakan untuk semua perubahan sensasi.
b. Kehilangan sensasi gerakan rambut disebut trikoanestesia
c. Kehilangan sensasi lokalisasi disebut topoanestesi
d. Ketidakmampuan untuk mengenal angka atau huruf yang “dituliskan”  pada  kulit  
disebut grafanestesia.

Cara pemeriksaan sensai taktil / raba halus

3. Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial


Alat yang dipakai dapat berupa jarum biasa, peniti, jarum pentul (ini yang paling
praktis karena ujung dan kepala.pentul jarum dapat digunakan secara bergantian), atau
jarum yang terdapat dalam pangkal palu refleks; stimulator listrik atau panas tidak
dianjurkan.
a. Cara pemeriksaan:
- Mata penderita tertutup.
- Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum tersebut terhadap dirinya sendiri.
- Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai
menimbulkan perlukaan.
- Penderita   jangan   ditanya:   “Apakah anda merasakan ini?” atau “Apakah ini
runcing?”
- Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan ujung jarum dan kepala jarum
secara bergantian, sementara itu penderita diminta untuk menyatakan sensasinya
sesuai dengan pendapatnya, misalnya runcing atau tumpul.
- Penderita juga diminta untuk menyatakan apakah terdapat perbedaan intensitas
ketajaman rangsangan di daerah yang berlainan.
- Bandingkan sisi kanan dan kiri.
- Apabila dicurigai ada daerah yang sensasinya menurun, maka rangsangan
dimulai dari daerah tadi dan menuju arah yang normal.
b. Istilah
Beberapa istilah sehubungan dengan gangguan sensasi nyeri superfisial adalah
sebagai berikut:
- Alganestesia dan anelgesia dipergunakan untuk menunjukkan daerah yang tidak
sensitif terhadap rasa nyeri
- Hipoalgesia menunjukkan sensitivitas yang menurun
- Hiperalgesia menunjukkan peningkatan sensitivitas

Cara pemeriksaan nyeri superfisial

4. Pemeriksaan sensasi suhu


Alat yang dipakai pada prinsipnya adalah tabung yang diisi air dingin atau air
panas. Lebih dipilih tabung metal daripada tabung gelas karena bahan gelas merupakan
konduktor yang buruk. Untuk sensasi dingin diperlukan air dengan suhu 5-10o C, dan
sensasi panas diperlukan suhu 40-45o C. Suhu kurang dari 5o dan lebih dari 45o C akan
menimbulkan rasa nyeri.
a. Cara pemeriksaan :
- Penderita posisi duduk atau berbaring.
- Mata penderita tertutup.
- Tabung dingin/panas terlebih dahulu dicoba terhadap diri pemeriksa.
- Tabung ditempelkan pada kulit penderita, dan penderita diminta untuk
menyatakan apakah terasa dingin atau panas.
- Bandingkan sisi kiri dan kanan.
- Sebagai variasi, penderita dapat diminta untuk menyatakan adanya rasa hangat.
- Pada orang normal, adanya perbedaan suhu 2-50C sudah mampu untuk dikenali.
b. Istilah
Perubahan sensibilitas suhu dikenal dengan istilah termanestesia, termihipestesia,
dan termihiperestia, baik terhadap rangsang dingin maupun panas. Apabila penderita
dirangsang dingin dan dirangsang panas, keduanya dijawab dengan hangat atau panas
maka keadaan demikian ini disebut isotermognosia.

Cara pemeriksaan sensasi suhu

5. Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi


a. Pengertian umum
- Sensasi gerak juga dikenal sebagai sensasi kinetic atau sensasi gerak aktif/pasif.
- Sensasi gerak terdiri dari kesadaraan tentang adanya gerakan di dalam berbagai
bagian tubuh.
- Sensasi posisi atau sensasi postur terdiri dari kesadaran terhadap posisi tubuh atau
posisi bagian tubuh terhadap ruang
- Arteresetesia digunakan untuk persepsi gerakan dan posisi sendi, dan statognosis
menunjukkan kesadaran postur.
- Kemampuan pengenalan gerakan bergantung pada rangsangan yang muncul
sebagai akibat dari gerakan sendi serta pemanjangan/pemendekan otot-otot.
- Individu normal sudah mampu mengenal gerakan selebar 1-2 derajat pada sendi
interfalangeal.
b. Tujuan pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperoleh kesan penderita terhadap
gerakan dan pengenalan terhadap arah gerakan, kekuatan, lebar atau luas gerakan (range
of movement) sudut minimal yang penderita sudah mengenali adanya gerakan pasif, dan
kemampuan penderita untuk menentukan posisi jari di dalam ruangan.
c. Cara pemeriksaan:
- Tidak diperlukan alat khusus.
- Mata penderita tertutup. Penderita dapat duduk atau berbaring.
- Masing-masing jari digerakkan secara pasif oleh pemeriksa, dengan sentuhan
seringan mungkin dari sisi samping (lateral) jari, sehingga dihindari adanya
tekanan terhadap jari-jari tadi.
- Jari   yang   diperiksa   harus   “dipisahkan”   dari   jari-jari di sebelah kiri / kanannya
sehingga tidak bersentuhan, sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh
melakukan gerakan aktif seringan apapun.
- Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada perubahan posisi jari ataupun
apakah ada gerakan pada jarinya dan ke arah mana perubahan posisinya.
- Apabila diperoleh kesan adanya gangguan sensasi gerak dan posisi maka
dianjurkan untuk memeriksa bagian tubuh lain yang ukurannya lebih besar,
misalnya tungkai bawah atau lengan bawah.
- Cara lain adalah dengan menempatkan jari-jari salah satu tangan penderita pada
posisi tertentu, sementara itu mata penderita tetap tertutup; kemudian penderita
diminta untuk menjelaskan posisi jari-jari tadi ataupun menirukan posisi tadi pada
tangan yang satunya lagi.

6. Pemeriksaan sensasi getar / vibrasi


Sensasi vibrasi disebut pula dengan palestesia yang berarti kemampuan untuk
mengenal atau merasakan adanya rasa getar, ketika garpu tala yang telah digetarkan
diletakkan pada bagian tulang tertentu yang menonjol.
a. Alat yang dipakai
- Garpu tala yang mempunyai frekuensi 128 Hz
- Ada pula yang berpendapat bahwa dengan frekuensi 256 Hz akan diperoleh hasil
yang lebih baik.
- Bagian tubuh yang nantinya akan ditempeli pangkal garpu tala antara lain:
maleolus lateralis/medialis, tibia, sacrum, spina iliaka anterior superior, prosesus
spinosus vertebra, sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius/ulna, dan sendi-
sendi jari.
b. Cara pemeriksaan
- Getarkan garpu tala terlebih dahulu, dengan jalan ujung garpu tala dipukulkan
pada benda padat/keras yang lain.
- Kemudian pangkal garpu tala segera ditempelkan pada bagian tubuh tertentu.
- Yang dicatat ialah tentang intensitas dan lamanya vibrasi.
- Kedua hal tersebut bergantung pada kekuatan penggetaran tabung tala dan
interval antara penggetaran garpu tala tadi dengan saat peletakkan garpu tala pada
bagian tubuh yang diperiksa.
c. Hasil pemeriksaan
Hasil pemeriksaan disebut normal bila penderita merasakan getaran maksimal;
yang lebih penting lagi ialah kemampuan penderita untuk merasakan getaran ketika garpu
tala hampir berhenti bergetar; hilangnya rasa getar disebut palanestesia.

Gambar A pemeriksaan sensasi getar, gambar B pemeriksaan rasa posisi


7. Pemeriksaan sensasi tekan
Sensasi tekan disebut pula sebagai piestesia. Sensasi tekan atau sentuh-tekan
sangat erat kaitannya dengan sensasi taktil tetapi melibatkan persepsi tekanan dari
struktur subkutan.Sensasi tekan juga erat hubungannya dengan sensasi posisi dengan
perantaraan kolumna posteriot medula spinalis.
a. Alat yang dipakai
- Benda tumpul atau kalau terpaksa dapat menggunakan ujung jari
- Untuk pemeriksaan kuantitatif dipergunakan headpressure estesiometer atau
piesimeter
b. Cara pemeriksaan
- Penderita dalam posisi duduk atau berbaring dan mata tertutup.
- Ujung jari atau benda tumpul ditekankan atau disentuhkan lebih kuat terhadap
kulit.
- Di samping itu juga dapat diperiksa dengan menekan struktur subkutan misalnya
massa otot, tendo dan saraf itu sendiri, baik dengan benda tumpul atau dengan
“cubitan”  dengan  skala  yang  lebih  besar.
- Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada tekanan dan sekaligus diminta
untuk mengatakan daerah mana yang ditekan tadi.

8. Pemeriksaan sensasi nyeri dalam atau nyeri tekan


Untuk pemeriksaan ini tidak diperlukan alat khusus, cukup menggunakan jari-jari
tangan.
a. Cara pemeriksaan
Massa otot, tendo atau saraf yang dekat permukaan ditekan dengan ujung jari atau
dengan  “mencubit”  (menekan di antara jari telunjuk dan ibu jari).
b. Hasil pemeriksaan
Pasien diminta untuk menyatakan apakah ada perasaan nyeri atau tidak;
pernyataan ini dicocokkan dengan intensitas tekanan atau cubitan.

9. Pemeriksaan sensibilitas diskriminatif


Sensibilitas diskriminatif :
a. Mengenal bentuk dan ukuran sesuatu dengan jalan perabaan:
STEREOGNOSIS.
b. Mengenal dan mengetahui berat sesuatu : BAROGNOSIS.
c. Mengenal tempat yang diraba : TOPESTESIA, TOPOGNOSIS.
d. Mengenal angka, aksara,bentuk yang digoreskan di atas kulit :
GRAMESTESIA.
e. Mengenal diskriminasi 2 titik : DISKRIMINASI SPASIAL.
f. Mampu mengidentifikasi atau orientasi dari tubuh atau hubungannya
dengan bagian-bagian tubuh sendiri : AUTOTOPOGNOSIS.
Alat pemeriksa : kunci, mata uang logam, kancing , jarum bundel.
Cara pemeriksaan :
a. Rasa stereognosis
-Dengan mata tertutup pasien diminta untuk mengenal benda – benda yang
disodorkan kepadanya.
-Pasien diminta untuk menyatakan benda apa yang disodorkan.
-Astereognosis hanya dapat ditegakkan diagnosisnya kalau rasa kulit dan
proprioseptif normal.

Pemeriksaan rasa stereognosis dengan uang koin

b. Rasa diskriminasi 2 titik


- Kemampuan untuk membedakan antara rangsang oleh satu atau dua benda
tumpul yang diberikan bersamaan.
- Weber’s   compass atau calibrated two-point esthesiometer digunakan, pasien
dirangsang dengan satu atau dua titik.
- Waktu mengerjakan tes mata penderita ditutup.
- Sebaiknya mulai dengan titik-titik yang jaraknya relatif jauh satu sama lain,
dan satu atau dua titik harus divariasi secara tak terduga.
- Mendekatkan titik-titik sampai penderita mulai tak membuat kesalahan.
- Normal 2 titik yang dapat dibedakan adalah:
- Ujung lidah: 1 mm
- Ujung jari : 2- 4 mm
- Dorsum dari jari-jari : 4-6 mm
- Telapak tangan : 8-12 mm
- Dorsum manus : 20-30 mm
- Dada : 40 mm
- Paha : 70 – 75 mm
- Jari kaki : 3 – 8 mm

Pemeriksaan rasa diskriminasi 2 titik


c. Rasa Gramestesia
- Pemeriksa menggoreskan angka, aksara, bentuk yang digoreskan di atas kulit
pasien, misalnya ditelapak tangan pasien.
- Pasien diminta menyebutkan angka, aksara, bentuk apa yang digoreskan

Pemeriksaan rasa gramestesia

d. Rasa Barognosia
- Adalah mengenal berat benda, atau kemampuan untuk membedakan antara
berat dari macam-macam benda.
- Gunakan bahan dgn ukuran (size) dan bentuk (shape) yg sama, akan tetapi
beda beratnya, misalnya bola dari kulit atau kayu.
- Pegang kedua benda dalam tangan tanpa tunjangan (unsupported).
- Pada pemeriksaan ini rasa gerak dan posisi harus normal.

e. Rasa topognosia
Untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.
- Kemampuan untuk melokalisasi rasa raba pada bagian tubuh yang disentuh
- Bila terganggu dinamakan topoanesthesia atau topagnosia.
- Pada pemeriksaan ini rasa raba harus normal.
- Hilangnya rasa lokalisasi dengan rasa eksteroseptif normal menunjukkan lesi
kortikal

f. Rasa Autopagnosis
- Kemampuan untuk identifikasi atau orientasi dari tubuh atau hubungnnya
dengan bagian-bagian individual – merupakan satu defek dari skema tubuh
(loss of body image).
- Biasanya terganggu bila terdapat lesi pada daerah parietal dan hubungannya.

g. Recognition of Texture
- Penderita ditanya untuk mengenal tekstur yang sama dan yang berbeda,
misalnya pasien ditanya untuk membedakan antara katun, sutera dan wol,
gelas dan metal.
h. Sensory Extinction / Inattention
- Hilangnya kemampuan untuk merasa sensasi pada satu sisi dari tubuh bila
daerah yg sama dirangsang bersamaan.
- Titik jarum, kapas, atau raba dengan ujung jari dapat digunakan sebagai
stimuli.

10. Test untuk mengetahui lokalisasi nyeri


a. Tes Lhermitte
- Dilakukan untuk memeriksa keadaan tulang servikal. Pasien duduk santai dan
nyaman dengan neck mid position. Tangan pemeriksa di atas kepala pasien
(tegak lurus dengan kepala). Berikan tekanan (kompresi) pada kepala dalam
berbagai posisi (fleksi, ekstensi, lateral fleksi dextra dan lateral fleksi sinistra).
- Hasilnya dikatakan positif jika terdapat nyeri seperti kesemutan atau kesetrum
pada daerah leher yang menjalar hingga lengan akibat terjepitnya saraf,
biasanya didapatkan pada kasus Cervikal Root Syndrome.

b. Tes Phallen
- Dilakukan untuk memeriksa apakah terdapat iritasi atau kompresi N.
Medianus pada kasus Carpal Tunnel Syndrome
- Caranya adalah dengan melakukan fleksi palmar yang ditahan salah satu
tangan selama 30 detik
- Hasilnya dikatakan positif bila pasien mengalami kesemutan di daerah karpal
persarafan N. Medianus.

c. Tes Tinnel
- Juga untuk memeriksa iritasi atau kompresi N. Medianus pada kasus Carpal
Tunnel Syndrome
- Perkusi atau penekanan n. medianus pada pergelangan tangan (posisi tangan
sedikit dorsi fleksi) di daerah ligamentum tranversum dapat menimbulkan
rasa nyeri atau kesemutan pada jari-jari yang dilalui oleh N. Medianus.
d. Tes Nyeri Punggung Bawah Dengan Radiasi Lumbosakral (LBP with
Lumbosacral Radiation)
d. 1. LASEQUE SIGN (straight-leg-raising test, SLR)
- Fleksi secara pasif sendi panggul (hip) pada pasien dalam posisi terlentang
sedangkan tungkai bawah ekstensi pada lutut.
- Nyeri pada sciatic notch diikuti oleh nyeri dan hipersensitivitas sepanjang
perjalanan dari distribusi dari n. ischiadikus.
- Laseque test positif (terganggu) bila sudut fleksi sendi panggul < 600
(pada orang tua <700).

d.2. Test Bragard


- Merupakan modifikasi tes Laseque.
- Straight Leg Raising Test, kemudian diikuti dengan dorsofleksi kaki.
- Nyeri akan bertambah hebat, atau tanda laseque test akan positif pada
derajat yang lebih kecil.

d.3. Sicard’S  SIGN


- Juga merupakan modifikasi tes Laseque.
- Lakukan test dari Bragard, kemudian diikuti dorsofleksi ibu jari kaki
- Nyeri akan bertambah hebat
Test Laseque, Bonnet, Bragard dan Sicard yang positif disebabkan karena
regangan (stretching) dari bagian tibial dari nervus ischiadikus dan menambah
nyeri.

e. Test untuk membangkitkan rasa nyeri di sendi panggul/sakroiliaka.


e.1. Test dari Patrick = F-AB-BR-E Sign.
- Tanda ini terdiri atas nyeri di panggul bila tumit atau malleolus eksternus
dari ektremitas yang nyeri diletakkan diatas lutut yang satunya dan paha
ditekan kebawah.
- Nyeri terjadi pada fleksi bersamaan dengan abduksi, rotasi eksternal, dan
ekstensi dari panggul yang terkena (fleksi, abduksi, rotasi eksternal, dan
ekstensi).
- Pada pemeriksaan ini lutut dari sisi terkena tetap diangkat oleh
penderitanya dan tak dapat ditekan ke tempat tidur.
- Patrick’s sign positif pada penyakit sendi panggul, akan tetapi biasanya
negatif bila lesi pada nervus ischiadikus.

e.2. Test dari Contra-Patrick


- Modifikasi dari Patric sign. Nyerinya lebih hebat bila test dilakukan
dengan paha dan tungkai dalam posisi adduksi dan rotasi internal
(Bonnet’s  phenomenon)  
- Maneuver ini arahnya   sebaliknya   dari   Patrick’s “fabere”   test   (fleksi,  
adduksi,  rotasi  internal,  dan  ekstensi)  (“Fadire”  test)
- Terutama terdapat pada lesi inflamasi dari sendi sakro-iliaka
PENILAIAN PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK

No. Aspek yang dinilai Skor Bobot Nilai


0 1 2 3
Pemeriksaan sensasi taktil / raba halus
1. Pemeriksa memperkenalkan diri, 1
menjelaskan tujuan dan cara pemeriksaan
kepada pasien
2. Pasien dalam posisi duduk atau berbaring, 1
mata tertutup atau secara pasif kedua mata
ditutup secara ringan tanpa menekan bola
mata. Penderita diminta dalam keadaan
santai, tidak boleh tegang. Bagian tubuh yang
diperiksa harus bebas dari pakaian.
3. Siapkan alat yang dipakai; dapat berupa kuas 1
halus, kapas, bulu, tissue, atau bila terpaksa
dengan ujung jari tangan yang disentuhkan ke
kulit secara halus sekali.
4. Penderita   diminta   menyatakan   “ya”   atau   2
‘tidak”   apabila   dia   merasakan   atau   tidak  
merasakan adanya rangsangan, dan sekaligus
juga diminta untuk menyatakan tempat atau
bagian tubuh mana yang dirangsang.
5. Berikan rangsangan dengan alat atau ujung 2
jari tangan pada bagian tubuh yang hendak
diperiksa. Stimulasi harus seringan mungkin,
jangan sampai memberikan tekanan terhadap
jaringan subkutan. Tekanan dapat ditambah
sedikit bila memeriksa telapak tangan dan
telapak kaki yang kulitnya lebih tebal.
6. Bandingkan antara kiri dan kanan. 1
7. Lakukan penilaian. Tentukan apakah terdapat 2
kelainan anestesia (hilangnya rasa raba),
hipestesia (kurangnya rasa raba), atau
hiperestesia (rasa raba berlebih)
Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial
1. Sebelum pasien menjalani tes, pemeriksa 1
menjelaskan tujuan dan cara pemeriksaan
kepada pasien
2. Siapkan alat yang dipakai dapat berupa jarum 1
biasa, peniti, jarum pentul (ini yang paling
praktis karena ujung dan kepala.pentul jarum
dapat digunakan secara bergantian), atau
jarum yang terdapat dalam pangkal palu
refleks
3. Pasien dalam posisi duduk atau berbaring, 1
mata tertutup atau secara pasif kedua mata
ditutup secara ringan tanpa menekan bola
mata. Penderita diminta dalam keadaan
santai, tidak boleh tegang. Bagian tubuh yang
diperiksa harus bebas dari pakaian.
4. Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum 2
tersebut terhadap dirinya sendiri.
Tekanan terhadap kulit penderita seminimal
mungkin, jangan sampai menimbulkan
perlukaan.
5. Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan 2
ujung jarum dan kepala jarum secara
bergantian, sementara itu penderita diminta
untuk menyatakan sensasinya sesuai dengan
pendapatnya, misalnya runcing atau tumpul.
Penderita   jangan   ditanya:   “Apakah anda
merasakan ini?” atau “Apakah  ini  runcing?”
6. Penderita juga diminta untuk menyatakan 2
apakah terdapat perbedaan intensitas
ketajaman rangsangan di daerah yang
berlainan. Bandingkan sisi kanan dan kiri.
7. Apabila dicurigai ada daerah yang 2
sensasinya menurun, maka rangsangan
dimulai dari daerah tadi dan menuju arah
yang normal.
8. Lakukan penilaian. Tentukan apakah hasilnya 2
normal atau terdapat alganestesia/anelgesia
(tidak sensitif terhadap rasa nyeri),
hipoalgesia (sensitivitas yang menurun),
hiperalgesia (peningkatan sensitivitas)
Pemeriksaan sensasi suhu
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan cara 1
pemeriksaan kepada pasien.
2. Siapkan alat yang dipakai : tabung yang diisi 2
air dingin (5-10o C) atau air panas (40-45o C).
3. Pasien dalam posisi duduk atau berbaring. 2
Mata penderita tertutup.
4. Tabung dingin/panas terlebih dahulu dicoba 2
terhadap diri pemeriksa.
5. Tabung ditempelkan pada kulit penderita, dan 2
penderita diminta untuk menyatakan apakah
terasa dingin atau panas.
6. Bandingkan sisi kiri dan kanan. 1
7. Lakukan penilaian. Tentukan apakah hasil 2
pemeriksaan normal, atau terdapat
termanestesia, termihipestesia, dan
termihiperestia, baik terhadap rangsang
dingin maupun panas. Apabila penderita
dirangsang dingin dan dirangsang panas,
keduanya dijawab dengan hangat atau panas
maka keadaan demikian ini disebut
isotermognosia.
Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan cara 1
pemeriksaan kepada pasien.
2. Mata penderita tertutup. Penderita dapat 1
duduk atau berbaring. Jari-jari penderita
harus benar-benar dalam keadaan relaksasi.
3. Masing-masing jari digerakkan secara pasif 2
oleh pemeriksa, dengan sentuhan seringan
mungkin dari sisi samping (lateral) jari,
sehingga dihindari adanya tekanan terhadap
jari-jari tadi.
Jari   yang   diperiksa   harus   “dipisahkan”   dari  
jari-jari di sebelah kiri / kanannya sehingga
tidak bersentuhan, sementara itu jari yang
diperiksa tidak boleh melakukan gerakan
aktif seringan apapun.
4. Penderita diminta untuk menyatakan apakah 2
ada perubahan posisi jari ataupun apakah ada
gerakan pada jarinya, dan ke arah mana
perubahan posisinya. Lakukan penilaian
apakah normal atau terdapat gangguan.
5. Cara lain : 2
Tempatkan jari-jari salah satu tangan
penderita pada posisi tertentu, sementara itu
mata penderita tetap tertutup
6. Penderita diminta untuk menjelaskan posisi 2
jari-jari tadi ataupun menirukan posisi tadi
pada tangan yang satunya lagi.
Pemeriksaan sensasi getar / vibrasi
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan cara 1
pemeriksaan kepada pasien.
2. Siapkan alat yang digunakan, yaitu garpu tala 1
yang mempunyai frekuensi 128 Hz atau 256
Hz.
3. Getarkan garpu tala terlebih dahulu, dengan 2
jalan ujung garpu tala dipetik atau dipukulkan
pada benda padat/keras yang lain.
4. Kemudian pangkal garpu tala segera 2
ditempelkan pada tonjolan-tonjolan tulang:
maleolus lateralis/medialis, tibia, sacrum,
spina iliaka anterior superior, prosesus
spinosus vertebra, sternum, klavikula,
prosesus stiloideus radius/ulna
5. Catat intensitas dan lamanya vibrasi pada 2
masing-masing tonjolan tulang, bandingkan
pada sisi kanan dan kiri.
6. Lakukan penilaian. Hasil pemeriksaan 2
disebut normal bila penderita merasakan
getaran maksimal; yang lebih penting lagi
ialah kemampuan penderita untuk merasakan
getaran ketika garpu tala hampir berhenti
bergetar; hilangnya rasa getar disebut
palanestesia
Pemeriksaan sensasi tekan
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan cara 1
pemeriksaan kepada pasien.
2. Siapkan alat, berupa benda tumpul atau kalau 1
terpaksa dapat menggunakan ujung jari
Untuk pemeriksaan kuantitatif dipergunakan
headpressure estesiometer atau piesimeter.
3. Penderita dalam posisi duduk atau berbaring 1
dan mata tertutup.
4. Ujung jari atau benda tumpul ditekankan atau 2
disentuhkan lebih kuat terhadap kulit.
5. Di samping itu juga dapat diperiksa dengan 2
menekan struktur subkutan misalnya massa
otot, tendo dan saraf itu sendiri, baik dengan
benda   tumpul   atau   dengan   “cubitan”   dengan  
skala yang lebih besar.
6. Lakukan penilaian. Penderita diminta untuk 2
menyatakan apakah ada tekanan dan
sekaligus diminta untuk mengatakan daerah
mana yang ditekan tadi. Bandingkan kanan
dan kiri.
Pemeriksaan sensasi nyeri dalam atau nyeri
tekan
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan cara 1
pemeriksaan kepada pasien.
2. Massa otot, tendo atau saraf yang dekat 2
permukaan ditekan dengan ujung jari atau
dengan   “mencubit”   (menekan   di   antara   jari
telunjuk dan ibu jari)
3. Pasien diminta untuk menyatakan apakah ada 2
perasaan nyeri atau tidak; pernyataan ini
dicocokkan dengan intensitas tekanan atau
cubitan. Bandingkan kanan dan kiri.
Jumlah Nilai

PENILAIAN PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK

Skor 0 = tidak dilakukan


1 = dilakukan tetapi salah
2 = dilakukan dengan kurang benar / kurang terampil
3 = dilakukan dengan benar dan terampil

Jumlah nilai
Nilai akhir = x 100 =
207
PEMERIKSAAN FUNGSI SISTEM SARAF OTONOM

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa memahami dan melakukan pemeriksaan sistim otonom serta penilaiannya
dengan benar

Tujuan instruksional khusus


1. Melakukan dan menilai pemeriksaan fungsi keringat dengan benar
2. Melakukan dan menilai pemeriksaan refleks otonom dengan benar
3. Melakukan dan menilai pemeriksaan fungsi kelenjar keringat dengan benar.

PEMERIKSAAN FUNGSI OTONOM

Evaluasi klinis sistem saraf otonom sangat bergantung pada riwayat medis dan
pemeriksaan fisik. Selain itu, banyak pemeriksaan fungsi otonom yang tersedia, yang
dapat diklasifikasikan ke dalam pemeriksaan fisiologis, farmakologis, neurokimia,
neuroimaging, dan genetik.
Sistem saraf otonom sangat luas mempengaruhi berbagai organ di tubuh.
Pemeriksaan bisa mencakup fungsi kardiovaskuler (refleks kardiovaskular, tekanan
darah), sudomotor (misalnya fungsi kelenjar keringat, air mata, dan ludah),
gastrointestinal (misalnya tes pengosongan lambung dengan barium), genitourinarius
(misalnya fungsi BAK dan BAB, volume dan ekskresi sodium/potasium urin,
urodinamika, fungsi seksual), respirasi, dan refleks pupil, yang dilakukan bersamaan
dengan pemeriksaan fisik organ dan fungsi sistem saraf yang lain. Fungsi otonom pada
nervus kranialis sudah dibahas pada bab sebelumnya.

PEMERIKSAAN REFLEKS OTONOM KARDIOVASKULAR


Pemeriksaan refleks sistem kardiovaskular dapat merefleksikan fungsi regulasi
otonom dengan jelas. Refleks otonom kardiovaskular penting dalam mempertahankan
tekanan darah arterial selama stres ortostatik saat postur berdiri dan mencegah fluktuasi
hebat tekanan darah arterial terhadap respon stres, exercise dan respon adaptif yang lain.
Tes-tes yang ada meliputi pemeriksaan nadi dan tekanan darah selama napas normal dan
napas dalam, manuver Valsalva, tilting test dan tes kerja isometrik, masase sinus karotis
(yang menghasilkan bradikardi).

Cara Memeriksa Hipotensi Ortostatik


Postur berdiri menyebabkan shift darah ke bawah, sehingga stroke volume
menurun. Pada orang normal, penyesuaian sirkulasi pada orang normal terjadi secara
cepat. Normalnya, stres ortostatik menyebabkan peningkatan nadi, peningkatan tekanan
diastolik dan penurunan tekanan sistolik, yang diikuti peningkatan neorepinefrin plasma
dan aktivitas simpatis otot. Karena itu, bradikardi relatif terjadi, mengikuti refleks vagal.
Perubahan nadi dengan posisi berdiri adalah dengan ratio 30:15. Tekanan darah
dimonitor selama tes secara kontinyu atau serial, dan penurunan terbesar (atau
peningkatan terkecil) tekanan darah dicatat. Hipotensi ortostatik berbarti penurunan
tekanan darah sistolik paling kurang sebanyak 20 mmHg atau tekanan darah diastolik
sebanyak paling kurang 10 mmHg dalam 3 menit setelah perubahan posisi.
Manuver Valsava
Fluktuasi nadi merupakan detektor sensitif disfungsi otonom selama napas normal
dan selama napas dalam sampai 6 kali per menit yang menghasilkan sinus aritmia
maksimum. Pada manuver valsava, strain respirasi meningkatkan tekanan intra-torakal
dan intra-abdominal. Rasio Valsava adalah rasio interval RR (interval spike gelombang R
yang satu dengan gelombang R berikutnya pada pemeriksaan ECG) terpanjang setelah
menghembuskan napas dibandingkan dengan interval RR terpendek selama
menghembuskan napas.

Tes Aktivitas Isometrik


Selama aktivitas isometric, dilakukan pengukuran reaksi tekanan darah terhadap
sustained handgrip (genggaman tangan yang dipertahankan secara isometrikNormalnya,
terjadi peningkatan tekanan darah diastolik >15 mmHg.

PEMERIKSAAN FUNGSI BERKEMIH


Fungsi otonom yang bisa diperiksa secara klinis adalah fungsi berkemih. Pada
anamnesis tanyakan gejala gangguan berkemih pada pasien secara detail, lakukan palpasi
kandung kemih apakah terdapat retensi urine atau tidak, perhatikan pengosongan
kandung kemih dan cek volume urin yang keluar. Secara klinis, gangguan berkemih
dengan mudah dibedakan atas retensi urin (urin tidak dapat keluar) atau inkontinensia
urin (urin keluar tanpa dapat dikontrol).
Retensi urine dapat berupa spastic bladder, atau flaccid bladder tergantung pada
letak lesinya. Spastic bladder terjadi bila lesi di medula spinalis supranuklear (di atas
segmen sakral, lesi tipe UMN atau sentral). Kandung kemih dan sfingter eksterna
menjadi spastik pada saat yang sama (terdapat dissinergia), sehingga seseorang akan
merasakan keinginan untuk berkemih yang sangat, namun urin yang keluar hanya sedikit.
Gejala kliniknya adalah pengosongan kandung kemih sulit dikontrol, frekuensi berkemih
yang sering, retensi, terdapat urin residual dalam jumlah sedikit atau sedang. Sedangkan
flaccid bladder terjadi bila lesi pada daerah sacral (lesi tipe LMN atau perifer). Kandung
kemih akan teregang berlebihan dan urin akan mengalir keluar. Gejala kliniknya adalah
sulitnya pengosongan kandung kemih secara volunter, retensi, terdapat urin residual
dalam jumlah banyak. Ada pula istilah overflow incontinence, di mana pada awalnya
adalah retensi urin, tetapi pada akhirnya terjadi inkontinensia karena kandung kemih
penuh / distensi oleh urin yang terakumulasi tekanan yang tinggi menyebabkan urin
keluar tanpa dapat dikontrol. Inkontinensia urine dapat disebabkan oleh uninhibitted
bladder, suatu keadaan di mana jaras motorik yang mempersarafi spinkter uretra eksterna
yang bekerja secara volunter, terganggu, misalnya pada stroke di area mesial frontal
serebri.

PEMERIKSAAN FUNGSI KERINGAT (TES PERSPIRASI)


Fungsi keringat dapat dinilai dengan inspeksi dan palpasi pada kulit, untuk
membedakan kulit yang kering tanpa keringat atau kulit normal, ini sifatnya subyektif
tergantung pemeriksa. Pemeriksaan secara obyektif adalah tes perpirasi yang sering
dilakukan pada gangguan medula spinalis dengan paraplegia untuk menentukan batas lesi
memperkuat hasil pemeriksaan tes nyeri.
Tes Perspirasi :
Prinsip : adanya keringat akan bereaksi dengan amilum / tepung kanji yang diberi
yodium, sehingga memberikan warna biru.
Cara : bagian depan tubuh (leher bawah) dilabur/disapu dengan tepung yang mengandung
yodium. Kemudian tubuh diutup dengan semacam sungkup supaya berkeringat (bila
perlu pasien diberi antipiretik supaya memeprcepat pengeluaran keringat). Setelah 1-2
jam, sungkup dibuka dan digambar / dicatat bagian tubuh yang mana yang tetap berwarna
putih (berarti tidak ada produksi keringat).
DAFTAR PUSTAKA

6. Sidharta P (1985), Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi, Penerbit PT Dian


Rakyat, Jakarta.
7. Lumbantobing SM (2000), Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental,
Penerbit FK Universitas Indonesia, Jakarta.
8. DeJong RN (1979), The Neurologic Examination, 4th Ed, Harper & Row Pub,
Maryland.
9. Van Allen MW, Rodnitzky RL (1981): Pictorial Manual of Neurologic Tests, 2nd
Ed, Year Book Medical Publishers INC, Chicago.
10. http://herkules.oulu.fi/isbn9514271343/html/x688.html, 2003 Oulu University
Library
REKAM MEDIK NEUROLOGI UNTUK DOKTER MUDA

LABORATORIUM / UPF ILMU PENYAKIT SARAF

Nama Dokter Muda :


No. Mhs :

DOKUMEN MEDIK NEUROLOGI

Nama pasien : Ruangan :


Jenis kel. : Tgl masuk :
Umur :
Alamat :

SUBJECTIVE (S)
DATA DASAR
AUTO / HETEROANAMNESA :

Keluhan utama :
Riwayat penyakit sekarang :

Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat intoksikasi :

Riwayat sosial :
OBJECTIVE (O)
STATUS INTERNE SINGKAT :
B.B : T.B : Tekanan darah kanan – kiri
Suhu Badan : Nadi : pernafasan
Gizi : Hati :
Paru – paru : Limpa :
Jantung :

STATUS PSIKIATRI SINGKAT :


Emosi dan affek : Penyerapan :
Proses dan berfikir : Kemauan :
Kecerdasan : Psikomotor :

STATUS NEUROLOGIK :
A. Kesan Umum :
- Kesadaran : GCS :
- Pembicara : Disartri :
Monoton :
Scanning : - Motorik :
Afasia : - Sensorik :
- Amnesik (Anomik) :

- Kepala : - Besar Muka : - Mask (topeng) :


- Asymmetri : - Myopathik :
- Sikap paksa : - Fullmoon :
- Torticollis : - Lain – lain :
B. Pemeriksaan Khusus :
1. Rangsangan Selaput Otak
- Kaku kuduk : - Brudzinski I :
- Laseque : - Brudzinski II :
- Kemig :

2. Saraf Otak
NI Kanan Kiri
Hyp / Anosmi : ………… ………
Parosmi : ………… ………
Halusinasi : ………… ………

N II
Visus : ………… ………
Yojana Penglihatan : ………… ………
Melihat warna : ………… ………
Funduskopi : ………… ………

N III, IV, VI Kanan Kiri


Kedudukan bola mata : ………. ………
Pergerakan bola mata ke masal : ………. ………
Ke Temporal : ………. ………
Ke bawah : ………. ………
Temporal bawah : ………. ………
Celah mata (ptosis) ………. ………

PUPIL
Bentuk ……… ………
Lebar ……… ………
Perbedaan lebar ……… ………
Reaksi cahaya langsung ……… ………
Reaksi cahaya konsensuil ……… ………
Reaksi akomodasi ……… ………
Reaksi konvergasi ……… ………

NV Kanan Kiri
Cabang Motorik ………. ………
Otot Masseter ………. ………
Otot temporal ………. ………
Otot pterygoideus int / Ext ………. ………
Cabang sensorik (I) ………. ………
( II ) ………. ………
( III ) ………. ………
Refleks kornea langsung ………. ………
Refleks kornea konsensuil ………. ………

N VII
Waktu diam :
Kerutan dahi ………. ………
Tinggi alis ………. ………
Sudut mata ………. ………
Lipatan Nasolabial ………. ………

Waktu gerak :
Mengerut dahi ………. ………
Menutup mata ………. ………
Bersiul ………. ………
Memperlihatkan gigi ………. ………
Pengecapan 2/3 dpn lidah ………. ………
HIperakusis ………. ………
Sekresi air mata ………. ………
N VIII
Vestibular :
Vertigo ………. ………
Niastagmus ke ………. ………
Tinnitus aureum ………. ………
Tes kalori ………. ………

Cochlear
Weber ………. ………
Rinne ………. ………
Schwabach ………. ………
Tuli konduktip ………. ………
Tuli perseptif ………. ………

N IX, X
Bagian Motorik :
Suara biasa / parau / tak bersuara : menelan :
Kedudukan arcus pharynx ………. ………..
Kanan Kiri
Kedudukan uvula ………… …………
Pergerakan arcus pharynx / uvula ………… …………
Vernet – rideau phenomenon ………… …………
Detik jantung ………… …………
Bising usus ………… …………

Bagian Sensorik :
Pengecapan 1/3 belakang lidah ………… …………
Refleks Ocula Cardiac ………… …………
Refleks Carotica Cardiac ………… …………
Refleks muntah ( pharynx ) ………… …………
Refleks palatum molle ………… …………
N XI
Mengangkat bahu ………… …………
Memalingkan kepala ………… …………

N XII
Kedudukan lidah waktu istirahat ke ………… …………
Kedudukan lidah waktu gerak ke ………… …………
Atrofi ………… …………
Fasikulasi / tremor ………… …………
Kekuatan lidah menekan bag dlm
Pipi ………… …………

3. SISTEM MOTORIK
Kekuatan Otot :
Tubuh : Otot perut :
Otot pinggang :
Kedudukan diafragma : Gerak :…………………
Istirahat :…………………

Lengan Kanan Kiri


M. Deltoid (abduksi lengan atas) ………… ………...
M. Biseps (flexi lengan atas) ………… …………
M. Trisep (extensi lengan atas) ………… …………
Flexi sendi pergelangan tangan ………… …………
Extensi sendi pergelangan tangan ………… …………
Membuka jari – jari tangan ………… …………
Menutup jari – jari tangan ………… …………
Tungkai kanan kiri
Flex artic coxae (tungkai atas) …………. …………
Extensi artic coxae (tungkai atas) …………. …………
Flexi sendi lutut (tungkai bawah) …………. …………
Extensi sendi lutut (tungkai bawah) …………. …………
Flexi plantar kaki …………. …………
Extensi dorsal kaki …………. …………
Gerakan jari – jari …………. …………

Besar Otot (sebutkan otot mana) Respon terhadap perkusi


Atrofi : normal :
Pseudohyperfi : reaksi myotonik :
Palpasi Otot
Nyeri :
Kontraktur :
Konsistensi :

Tonus Otot lengan Kanan Kiri


Hipotoni …………. …………
Spastik …………. …………
Rigid …………. …………
Rebound phenomen …………. …………

Tonus Otot Tungkai Kanan Kiri


Hipotoni …………. …………
Spastik …………. …………
Rigid …………. …………
Rebound phenomen …………. …………
Gerakan – gerakan involunter
Tremor : Waktu istirahat
Waktu gerak
Chorea
Athetose
Myokloni
Ballismus
Torsion spasme
Fasikulasi
Miokimia

Koordinasi :
Jari tangan - jari tangan :
Jari tangan – hidung :
Ibu jari kaki – jari tangan :
Tumit – lutut :
Pronasi – supinasi :
Traping dengan jari – jari tangan :
Traping dengan jari – jari kaki :

Gait station
Gait : Jalan diatas tumit :
Jalan diatas jari kaki :
Tandem walking :
Jalan lurus lalu putar :
Jalan mundur :
Hopping :
Berdiri dengan satu kaki :
Sebutkan macam – macam Gait
Hemiplegik gait :
Spastic (scissors) gait :
Cerebellar gait :
Tabetic gait :
Steppage gait :
Waddling gait :
Parkinsonian gait :
Jiggling (spastic – ataksik) gait :

Station :
Romberg  test      :  jatuh  ke  …………………….

4. SISTEM SENSORIK lengan tungkai tubuh

Rasa eksteroceptic kanan kiri kanan kiri kanan kiri


Rasa  nyeri  superficial          ………..      ……..          ………            ………      ………          ………
Rasa suhu(pnas/dingin) ………..      ……...        ………          ………      ………          ……....
Rasa raba ringan ………..      ………      ………            ………      ………          ……....

Rasa proprioceptik
Rasa getar ……….        ………      ………          ……….      ………          ………
Rasa tekan ……….        ………      ………          ……….      ………          ………
Rasa  nyeri  tekan                        ………..      ……….      ………        ………..      ………        ……….
Rasa gerak dan posisi :  Lengan  :    Kanan  …………..    Kiri    ………………….
Tungkai  :  Kanan  …………...  Kiri  …………………..

Rasa Enteroceptik : Referred Pain


Rasa kombinasi :
Stereognosis :
Barognosis :
Graphesthesia :
Two point tactile discrimination :
Sensory extinction :
Loss of body image :
Fungsi luhur
Apraxia :
Alexia :
Agraphia :
Fingeragnosia :
Membedakan kanan dan kiri :
Acalculia :

5. REFKLEKS – REFLEKS
Refleks kulit
Refleks  dinding  perut  …………………………….
Kanan Kiri
Refleks cremaster ………… …………
Refleks interscapular ………… …………
Refleks gluteal ………… …………
Refleks anal ………… …………
Refleks tendon / periost ………… …………
Refleks mandibula :
Refleks biseps :
Refleks triseps :
Refleks periosto – radial :
Refleks periosto – ulnar :
Refleks patella :
Refleks Achilles :

( N.B : 0 = normal, +1 = meningkat sedikit, +2 = meningkat sedang, + 3 =


meningkat sangat, +4 = clonus )
Refleks Patologik
Tungkai Kanan Kiri
Babinski …………. …………
Chaddock …………. …………
Oppenheim …………. …………
Rossolimo …………. …………
Gordon …………. …………
Schaefer …………. …………
Mendel – bechterew …………. …………
Stransky …………. …………
Gonda …………. …………

Lengan :
Hoffman Tromner :
Leri :
Mayer :
Refleks – refleks primitip
Grasp refleks :
Snout refleks :
Sucking refleks :
Palmo – mental refleks :

6. SUSUNAN SARAF OTONOM


Miksi :
Saliva :
Gangguan trophik : - kulit :
- rambut :
- kuku :
Defekasi :
Gangguan vasomotor :
Sekresi keringat :
- Orthostatik hipotensi :

7. COLUMNA VERTEBRALIS
Kelainan local :
Skoliose :
Kyphose :
Kyphoskoliose :
Gibbus :
Nyeri tekan / ketok local :
Nyeri tekan sumbu :
Nyeri tarik sumbu :

Gerakan cervical vertebrae :


Fleksi :
Ekstensi :
Lateral deviation :
Rotasi :
Gerakan dari tubuh :
Membungkuk :
Ekstensi :
Lateral deviation :

8. Pemeriksaan P.A :
9. Pemeriksaan Radiologik :
Tengkorak : - Plain X – Foto :
- CT. Scan :
- Cerebral Angiografi :

Columna vertebrata : - Plain X – Foto :


- Myelografi / Caudografi :
- CT. – scan :
10. Pemeriksaan E.E.G :

11. Pemeriksaan dengan Echoencefalografi :


Pemeriksaan dengan Doppler :

12. Pemeriksaan Elektrodiagnostik :


- E.N.M.G. / B.A.E.P / V.E.P / S.S.E.P :

13. Pemeriksaan tambahan :

ASSESMENT (A)
Diagnosa klinis :

Diagnosa etiologi :

Diagnosa topis :

PLANNING (P)
DIAGNOSIS (DX) :

TERAPI (TX) :
EDUCATION ( EX) :

MONITORING ( MX) :

Anda mungkin juga menyukai