Anda di halaman 1dari 230

DAFTAR ISI

NEUROLOGI
1. Pemeriksaan Derajat Kesadaran (Glasgow Coma Scale) dan Fungsi
Kortikal Luhur Mini-Mental State Examination (MMSE) .................. 1
2. Pemeriksaan Fungsi Saraf Kranial I ................................................... 16
3. Pemeriksaan Fungsi Saraf Kranial II ................................................... 44
4. Pemeriksaan Sistem Motorik dan Refleks Fisiologis, Patologis,
dan Primitif................................................................................................64
5. Pemeriksaan Sistem Sensorik dan Sistem Koordinasi...............................89
6. Pemeriksaan Neurologik Lainnya............................................................101

PSIKIATRI
7. Keterampilan Teknik Wawancara (Anamnesis) Psikiatri........................128
8. Pemeriksaan Status Mental......................................................................139
9. Diagnosis dan Terapi Psikiatri.................................................................149
10. Radiologi Neuro-Psikiatri........................................................................157

SISTEM INDERA
11. Keterampilan Klinik – Mata.................................................................161
a. Anamnesis Kelainan Mata.............................................................163
b. Pemeriksaan Visus.........................................................................164
c. Pemeriksaan Refraksi Subyektif....................................................166
d. Pemeriksaan Visus Bayi dan Anak................................................167
e. Pemeriksaan Segmen Anterior Bola Mata.....................................168
f. Pemeriksaan Tekanan Bola Mata dengan Palpasi..........................170
g. Pemeriksaan Tekanan Bola Mata dengan Tonometer Schiotz......171
h. Pemeriksaan Pergerakan Bola Mata..............................................173
i. Pemeriksaan Lapangan Pandang dengan Cara Konfrontasi...........174
j. Pemeriksaan Segmen Posterior (Oftalmoskopi).............................175
k. Pemeriksaan Amsler Grid..............................................................177
l. Pemeriksaan Buta Warna................................................................178
m. Pemberian Obat pada Mata...........................................................179
12. Keterampilan Klinik – Kulit.................................................................181
a. Anamnesis Kelainan Kulit.............................................................185
b. Pemeriksaan Fisik Kulit.................................................................190
13. Keterampilan Klinik – THT.................................................................199
a. Anamnesis THT – KL....................................................................210
b. Pemeriksaan Fisik THT – KL........................................................210
c. Pemeriksaan Pendengaran..............................................................211
d. Pemeriksaan Keseimbangan..........................................................213
e. Pemeriksaan Penghidu dan Pengecapan........................................214
f. Pemeriksaan Palpasi Kelenjar Limfa Leher...................................215
MANUAL CSL IV SISTEM NEUROPSIKIATRI

PEMERIKSAAN DERAJAT KESADARAN


(GLASGOW COMA SCALE) DAN
FUNGSI KORTIKAL LUHUR
(MINI-MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)

PENYUSUN

dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S


dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

1
PENDAHULUAN

Keterampilan medik adalah keterampilan motorik yang harus dikuasai


oleh seorang tenaga medik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-
baiknya. Melalui fasilitas berupa skill lab mahasiswa dapat berlatih
keterampilan– keterampilan medik yang mereka perlukan dalam situasi latihan
di laboratorium, bukan dalam suasana kontak antara dokter-pasien di rumah
sakit. Latihan keterampilan klinik ini mengajar mahasiswa agar dapat berlatih
secara trial and error, dapat mengulang-ulang kegiatan atau tindakan yang sama
(dengan kadang-kadang melakukan kekeliruan) sampai betul-betul terampil.
Keadaan seperti ini hampir tidak mungkin dilakukan pada penderita yang sedang
dirawat di rumah sakit.
Apabila keterampilan motorik sudah dikuasai, dilanjutkan dengan latihan
yang mengandung unsur emosi. Latihan ini diteruskan sampai menjadi suatu
rangkaian keterampilan medik yang kompleks.
Karena mahasiswa telah menguasai keterampilan dalam melakukan
penatalaksanaan, rasa percaya diri menjadi lebih besar, dan mahasiswa dapat
bersikap lebih baik terhadap pasien, serta mengurangi kendala-kendala
emosional antara mahasiswa dengan pasien pada waktu koass harus kontak dengan
pasien.

2
TATA TERTIB KEGIATAN CSL
(CLINICAL SKILL LABORATORY)

SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.

SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan bahan
yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL

PADA SAAT UJIAN CSL


1. Ujian dapat diikuti apabila kehadiran pada kegiatan CSL minimal 100%.
2. Membawa kartu kontrol yang telah ditandatangani oleh koordinator
instruktur CSL.
3. Bagi yang tidak ikut ujian karena sakit diwajibkan membawa keterangan
bukti diagnosis dari dokter paling lambat 3 hari setelah tanggal sakit.

SANKSI PELANGGARAN
TATA TERTIB CSL

1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan


jadwal rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <100% dari
seluruh jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti
ujian CSL.

3
DAFTAR ISI

NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILAN
I. PEMERIKSAAN KESADARAN DAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR
PEMERIKSAAN 1. Penilaian tingkat kesadaran 4A
KESADARAN dengan skala koma
Glasgow (GCS)
PEMERIKSAAN 2 Melakukan Mini Mental 4A
FUNGSI KORTIKAL State Examination (MMSE)
LUHUR
Penilaian orientasi 4A
Penilaian kemampuan 4A
berbicara dan berbahasa,
termasuk penilaian afasia

Penilaian apraksia 2
Penilaian agnosia 2
Penilaian kemampuan 2
belajar baru
Penilaian daya 4A
ingat/memori
Penilaian konsentrasi 4A

4
DESKRIPSI KEGIATAN

Kegiatan Waktu Deskripsi


1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain Peran 20 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
Tanya & Jawab menit 2. Dua orang dosen memberikan contoh
bagaimana cara melakukan
pemeriksaan neurologis.
Mahasiswa mengamati peragaan
dengan menggunakan Penuntun Belajar.
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
memberikan penjelasan tentang aspek-
aspek yang penting
3. Praktek bermain 70 1. Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
peran dengan menit pasangan. Diperlukan minimal seorang
Umpan Balik Instruktur untuk mengamati setiap
langkah yang dilakukan oleh paling
banyak 4 pasangan.
2. Setiap pasangan berpraktek melakukan
langkah-langkah
pemeriksaan neurologis secara serentak
3. Instruktur berkeliling diantara ma-
hasiswa dan melakukan supervisi
menggunakan check list.
4. Instruktur memberikan pertanyaan dan
umpan balik kepada setiap pasangan

4. Curah Pendapat/ 10 1. Curah Pendapat/Diskusi : Apa yang


Diskusi menit dirasakan mudah? Apa yang sulit?
Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang pada saat melakukan
pemeriksaan Apa yang dapat dilakukan
oleh dokter agar klien merasa lebih
nyaman?
2. Instruktur membuat kesimpulan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti

Total waktu 105


menit

5
PEMERIKSAAN DERAJAT KESADARAN

PENGANTAR
Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Kesadaran
dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian
impuls eferen dan aferen. Semua impuls aferen disebut input dan semua impuls
eferen dapat disebut output susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi
kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara
hemisfer serebri dan formasio retikularis di batang otak yang intak.
Gangguan pada hemisfer serebri atau formasio retikularis dapat
menimbulkan gangguan kesadaran. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal
dengan istilah compos mentis, di mana aksi dan reaksi terhadap apa yang dilihat,
didengar, dihidu, dikecap, dialami, serta perasaan keseimbangan, nyeri, suhu,
raba, gerak, getar, tekan, dan sifat, bersifat adekuat (tepat dan sesuai). Pada
kondisi penyakit neurologis maupun non neurologis, dapat terjadi gangguan
kesadaran.
Penilaian derajat kesadaran dapat dinilai secara kualitatif maupun secara
kuantitatif. Penilaiangangguan kesadaran secarakualitatifantara lain mulai dari
apati, somnolen, delirium, bahkan koma. Pada manual ini akan diajarkan
penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif, yaitu dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS). Penilaian derajat kesadaran ini sangat
penting dikuasai karena mempunyai harga praktis, yaituuntuk dapat memberikan
penanganan, menentukan perbaikan, kemunduran, dan prognosis.

DASAR TEORI
Kesadaran mengacu pada kesadaran subjektif mengenai dunia luar dan
diri, termasuk kesadaran mengenai dunia pikiran sendiri; yaitu kesadaran
mengenai pikiran, persepsi, mimpi, dan sebagainya.
Neuron-neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls
aferen non-spesifik dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, oleh karena
tergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif, derajat kesadaran
bisa tinggi atau rendah. Aktivitas neuron-neuron tersebut digalakkan oleh neuron-
neuron yang menyusun inti talamik yang dinamakan nuclei
intralaminares. Oleh karenaitu, neuron-neuron tersebut dapat dinamakan
neuron penggalak kewaspadaan.
Derajat kesadaran ditentukan oleh banyaknya neuron penggalak atau neuron
pengemban kewaspadaan yang aktif dan didukung oleh proses biokimia untuk
menjaga kelangsungan kehidupan neuron tersebut. Apabila terjadi gangguan
sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang terendah, maka koma yang
dihadapi dapat terjadi oleh sebab neuron pengemban kewaspadaan sama sekali
tidak berfungsi (disebut koma bihemisferik) atau oleh sebab neuron

6
penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban
kewaspadaan (koma diensefalik). Koma bihemisferik antara lain dapat
disebabkan oleh hipoglikemia, hiperglikemia, uremia, koma hepatikum, hiponatremia,
dan sebagainya. Koma diensefalik antara lain dapat disebabkan oleh: strok, trauma
kapitis, tumor intracranial, meningitis, dan sebagainya.

Gambar 1. Pusat kesadaran

Penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif yang sampai saat ini masih
digunakan adalah Glasgow Coma Scale (GCS). GCS adalah suatu skala neurologik
yang dipakai untuk menilai secara obyektif derajat kesadaran seseorang. GCS
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Graham Teasdale dan Bryan J.
Jennett, professor bedah saraf pada Institute of Neurological
Sciences,Universitas Glasgow. GCS kini sangat luas digunakanoleh dokter umum
maupun para medis karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan sistematis.
GCS terdiri dari 3 pemeriksaan, yaitu penilaian: respons membuka mata
(eye opening), respons motorik terbaik(best motor response), dan respons verbal
terbaik(best verbal response).
Masing-masing komponen GCS serta penjumlahan skor GCS sangatlah
penting, oleh karena itu, skor GCS harus dituliskan dengan tepat, sebagai contoh:
GCS 10, tidak mempunyai makna apa-apa, sehingga harus dituliskan seperti: GCS
10 (E2M4V3). Skor tertinggi menunjukkan pasien sadar (compos mentis), yakni GCS
15 (E4M6V5), dan skor terendah menunjukkan koma (GCS 3
= E1M1V1).

7
Tabel 1. Glasgow Coma Scale

Parameter Patient’s Response Score


Best Eye Response Spontaneous eye opening 4
Eye opening to voice stimuli 3
Eye opening to pain stimuli 2
None 1

Best Motor Response Obeys commands 6


Localizes to pain 5
Withdraws to pain 4
Abnormal Flexion (decorticate response) 3
Extensor posturing (decerebrate response) 2
No movement 1

Best Verbal Response Conversant and oriented 5


Confused and disoriented 4
Utters inappropriate words 3
Makes incomprehensible sounds 2
Makes no sounds 1
Total score 3 – 15

Pada kondisi tertentu, akan sulit menentukan komponen GCS, misalnya:


pasien dalam keadaan ter-intubasi (pemasangan Endothracheal Tube/ETT). Pada
kondisi ini, diberikan skor 1 dengan modifikasi keterangan tambahan, misalnya:
E2M4V1t atau E2M4Vt (t = tube/ETT)

SASARAN BELAJAR:
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dasar-
dasar patomekanisme kesadaran menurun dan cara pemeriksaan pasien kesadaran
menurun serta penilaian derajat kesadaran berdasarkan skala koma Glasgow/Glasgow
Coma Scale.

SASARAN PEMBELAJARAN:
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai fungsi kesadaran.
2. Melakukan pemeriksaan fungsi kesadaran untuk menilai derajat kesadaran dengan
menggunakan skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale = GCS) dan
mengetahui letak lesi pada susunan saraf pusat serta membantu menetukan
prognosis klien.
3. Membantu klien untuk memberikan penanganan awal serta persiapan
rujukan.

8
MEDIA DAN ALAT BANTU
Penuntun Belajar.

METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.

9
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN KESADARAN BERDASARKAN
GLASGOW COMA SCALE (GCS)

NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
1 2 3
Klien diminta berbaring, kemudian pemeriksa
melakukan evaluasi dengan menilai
SCOR
A. EYE RESPONSE
1 Spontan 4
2 Terhadap suara 3
Meminta klien membuka mata.
3 Terhadap rangsang nyeri 2
Tekan pada saraf supraorbital atau kuku jari.
4 Tidak ada reaksi 1
dengan rangsang nyeri klien tidak membuka mata
B. VERBAL RESPONSE 1 2 3
1 Berorientasi baik 5
Menanyakan dimana ia berada, tahu waktu, hari,
bulan
2 Bingung (confused) 4
Menanyakan dimana ia berada, kapan opname di
Rumah sakit (dapat mengucapkan kalimat,
namun ada disorientasi waktu dan tempat)
3 Tidak tepat 3
Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak
berupa kalimat dan tidak tepat
4 Mengerang 2
Mengeluarkan suara yang tidak punya arti, tidak
mengucapkan kata, hanya suara mengerang
5 Tidak ada jawaban (suara tidak ada) 1
C. MOTORIK RESPONSE 1 2 3
1 Menurut perintah 6
Misalnya menyuruh klien mengangkat tangan.
2 Mengetahui lokasi nyeri 5
Berikan rangsang nyeri dengan menekan jari
pada supra orbita. Bila klien mengangkat tangan
sampai melewati dagu untuk menepis rangsang
nyeri tersebut berarti dapat mengetahui lokasi
nyeri

10
3 Reaksi menghindar 4
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak.
4 Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Berikan rangsang nyeri misal menekan dengan
objek seperti ballpoint pada jari kuku. Bila
terdapat reaksi fleksi berarti ingin menjauhi
rangsang nyeri.
5 Extensi spontan (decerebrasi) 2
Memberikan rangsang nyeri yang cukup adekuat
Terjadi ekstensi pada siku.
6 Tidak ada gerakan/reaksi 1
Rangsang yang diberikan harus cukup adekuat

10

11
FUNGSI KORTIKAL LUHUR

PENGERTIAN
Pemeriksaan status mental merupakan evaluasi fungsi kognitif dan emosi
yang harus dilakukan secara runtut dan sitematis. Mulai dengan fungsi dasar
tingkat kesadaran, kemudian fungsi kognitif dasar seperti berbahasa dan
pemeriksaan yang lebih kompleks seperti berhitung, pertimbangan dan
sebagainya.

PENDAHULUAN
Fungsi kortikal luhur (FKL) atau fungsi luhur merupakan sifat
khas manusia, yang merupakan suatu kesatuan fungsi otak tingkat tinggi yang
membedakan manusia dengan hewan. FKL mencakup fungsi-fungsi memori,
orientasi, konsentrasi, bahasa, kemampuan melaksanakan perintah (praxis), dan
kemampuan rekognisi stimulus (gnosia). Salah satu instrumen untuk menilai
fungsi kortikal luhur adalah dengan perangkat Mini Mental State Examination
(MMSE).

DASAR TEORI
Pemeriksaan FKL harus dilakukan secara runtut dan sitematis. Mulai
dengan fungsi dasar tingkat kesadaran, kemudian fungsi kognitif dasar seperti
berbahasa dan pemeriksaan yang lebih kompleks seperti berhitung,
pertimbangan dsb. Berbagai lesi serebral dapat menyebabkan terganggunya FKL,
misalnya tumor otak, strok, trauma kapitis, dan sebagainya. Salah satu contoh
gangguan FKL adalah afasia motorik, yakni di mana pasien kehilangan
kemampuan untuk berbicara (berbahasa), akan tetapi dapat memahami apa yang
diperintahkan (fungsi komprehensif baik).
Perangkat terstandarisasi, sederhana dan praktis untuk menilai ada
tidaknya gangguan FKL dan kognitif adalah Mini Mental State Examination
(MMSE). Komponen yang dapat dinilai melalui MMSE antara lain: orientasi,
registrasi, atensi dan kalkulasi, memory recall, dan fungsi bahasa.
MMSE merupakan perangkat yang praktis dan efektif yang digunakan sebagai
skrining untuk mengetahui adanya gangguan kognitif, baik di masyarakat,
komunitas usia lanjut, pasien rumah sakit, maupun institusi lainnya. Namun
demikian, MMSE tidak dapat digunakan untuk menggantikan perangkat
penilaian status mental dan kognitif secara lengkap.
MMSE diperkenalkan oleh Folstein dkk sejak tahun 1975, telah divalidasi, dan
secara luas digunakan untuk skrining fungsi kognitif. MMSE terdiri dari 11
pertanyaan yang dapat diselesaikan dalam waktu 5 – 10 menit, sehingga praktis
digunakan secara rutin.

11

12
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui
dasar-dasar kelainan fungsi kortikal luhur dan dapat melakukan pemeriksaan
fungsi kortikal luhur dengan menggunakan Mini Mental State Examination
(MMSE)

SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menekankan pentingnya pemeriksaan fungsi kortikal luhur dilakukan
terutama karena dapat mempertajam pendeteksian kelainan di otak,
terutama fungsi kognitif.
2. Mampu menerapkan pemeriksaan MMSE dalam praktek klinis untuk
mengevaluasi status mental dan kognitif pasien dan merujuk bila diperlukan
penanganan lanjut.

MEDIA DAN ALAT BANTU


1. Penuntun Belajar
2. Formulir MMSE
3. Pensil/pulpen, kertas
4. Manekin organ otak

METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan PenuntunBelajar.

12

13
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR
DENGAN MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)

NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. ORIENTASI 1 2 3
1 Klien dipersilakan duduk
Klien diminta menyebutkan tanggal, hari, bulan, tahun,
musim ruangan, rumah sakit/kampus, kota, propinsi,
negara.
2 Mencatat kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh klien
3 Adanya kesalahan-kesalahan menunjukkan gangguan
orientasi.
II. REGISTRASI
1 Meminta klien mengingat 3 kata bola, melati, kursi.
III. ATENSI/KALKULASI
1 Meminta klien mengurangi angka sebanyak lima seri : 100-
7;
Atau menyebutkan urutan huruf dari belakang kata
WAHYU.
IV. REKOL (MEMORI)
1 Meminta klien mengingat kembali ketiga kata tadi.
V. BAHASA
1 Klien diminta menyebutkan jam tangan (arloji), pensil.
2 Kemudian meminta mengulang kata: namun, tanpa dan
bila.
3 Menilai pengertian verbal : Meminta klien mengambil
kertas ini dengan tangan kanan. Lipatlah menjadi dua dan
letakkan di lantai tutup mata
4 Klien diminta menulis huruf atau angka yang didiktekan
oleh pemeriksa
5 Bila berhasil dilanjutkan dengan menulis kata atau kalimat
Gangguan menulis disebut agrafia
VI. KONSTRUKSI
1 Klien dminta meniru gambar ini

13

14
INTERPRETASI SKOR MMSE:
24 – 30 : NO COGNITIVE IMPAIRMENT
18 – 23 : MILD COGNITIVE IMPAIRMENT
0 - 17 : SEVERE COGNITIVE IMPAIRMENT

14

15
MANUAL CSL IV SISTEM
NEUROPSIKIATRI

PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIAL BAGIAN I

PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

16
PENDAHULUAN

Keterampilan medik adalah keterampilan motorik yang harus dikuasai


oleh seorang tenaga medik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan
sebaik- baiknya. Melalui fasilitas berupa skill lab mahasiswa dapat berlatih
keterampilan– keterampilan medik yang mereka perlukan dalam situasi latihan
di laboratorium, bukan dalam suasana kontak antara dokter-pasien di rumah
sakit. Latihan keterampilan klinik ini mengajar mahasiswa agar dapat berlatih
secara trial and error, dapat mengulang-ulang kegiatan atau tindakan yang
sama (dengan kadang-kadang melakukan kekeliruan) sampai betul-betul
terampil. Keadaan seperti ini hampir tidak mungkin dilakukan pada penderita
yang sedang dirawat di rumah sakit.
Apabila keterampilan motorik sudah dikuasai, dilanjutkan dengan latihan
yang mengandung unsur emosi. Latihan ini diteruskan sampai menjadi suatu
rangkaian keterampilan medik yang kompleks.
Karena mahasiswa telah menguasai keterampilan dalam melakukan
penatalaksanaan, rasa percaya diri menjadi lebih besar, dan mahasiswa
dapat bersikap lebih baik terhadap pasien, serta
mengurangi kendala-kendala emosional antara mahasiswa
dengan pasien pada waktu koass harus kontak dengan pasien.

17
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)

SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.

SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang
telah ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa
ijin setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat
dan bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL

PADA SAAT UJIAN CSL


1. Ujian dapat diikuti apabila kehadiran pada kegiatan CSL minimal 100%.
2. Membawa kartu kontrol yang telah ditandatangani oleh koordinator
instruktur CSL.
3. Bagi yang tidak ikut ujian karena sakit diwajibkan membawa keterangan
bukti diagnosis dari dokter paling lambat 3 hari setelah tanggal sakit.

SANKSI PELANGGARAN TATA TERTIB CSL

1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan


jadwal rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <100% dari
seluruh jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti
ujian CSL.

18
DAFTAR ISI

NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN FISIK KETERAMPILAN
II. PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIAL BAGIAN I
1 Pemeriksaan indra 4A
penciuman
2 Inspeksi lebar celah 4A
palpebra
3 Inspeksi pupil (ukuran 4A
dan
bentuk)
4 Reaksi pupil terhadap 4A
cahaya
5 Reaksi pupil terhadap 4A
obyek dekat
6 Penilaian gerakan bola 4A
mata
7 Penilaian diplopia 4A
8 Penilaian nistagmus 4A
9 Refleks kornea 4A
10 Pemeriksaan funduskopi 4A

19
DESKRIPSI KEGIATAN

Kegiatan Waktu Deskripsi


1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain 20 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
Peran Tanya menit 2. Dua orang dosen memberikan contoh
& bagaimana cara melakukan
Jawab pemeriksaan neurologis.
Mahasiswa mengamati peragaan
dengan menggunakan Penuntun Belajar.
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
memberikan penjelasan tentang aspek-
aspek yang penting
3. Praktek bermain 70 1. Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
peran dengan menit pasangan. Diperlukan minimal seorang
Umpan Balik Instruktur untuk mengamati
setiap langkah yang dilakukan oleh
paling banyak 4 pasangan.
2. Setiap pasangan berpraktek
melakukan langkah-langkah
pemeriksaan neurologis secara
serentak
3. Instruktur berkeliling diantara ma-
hasiswa dan melakukan supervisi
menggunakan check list.
4. Instruktur memberikan pertanyaan dan
umpan balik kepada setiap pasangan
4. Curah Pendapat/ 10 1. Curah Pendapat/Diskusi : Apa yang
Diskusi menit dirasakan mudah? Apa yang sulit?
Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang pada saat melakukan
pemeriksaan Apa yang dapat dilakukan
oleh dokter agar klien merasa lebih
nyaman?
2. Instruktur membuat kesimpulan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 105
menit

20
NERVI KRANIALIS

PENGERTIAN
Nervus Kranialis (saraf kranialis / Nervi Craniales) adalah saraf-saraf yang
keluar langsung dari otak dan batang otak. Pada manusia, terdapat 12
pasang Nervus Kranialis, yaitu:

DASAR TEORI

Gambar 1. Nervi kranialis

Tabel 1. Nervi kranialis dan fungsinya

Sensory,
No. Name motor, or Origin/Target Function
both
I Olfactory Purely sensory Telencephalon Transmits the sense of smell
from the nasal cavity.[13]
Located in the olfactory
foramina in the cribriform plate
of the ethmoid
bone.
II Optic Sensory Retinal ganglion Transmits visual signals from the
cells retina of the eye to the brain.[14]
Located in the optic canal.

21
III Oculomotor Mainly motor Anterior aspect of Innervates the levator palpebrae
Midbrain superioris, superior rectus,
medial rectus, inferior rectus, and
inferior oblique, which
collectively perform most eye
movements. Also innervates the
sphincter pupillae and the
muscles of the ciliary body.
Located in the superior orbital
fissure.
IV Trochlear motor Dorsal aspect of Innervates the superior oblique
Midbrain muscle, which depresses, rotates
laterally, and intorts the eyeball.
Located in the superior orbital
fissure.
V Trigeminal Both sensory Pons Receives sensation from the face
and motor and innervates the muscles of
mastication. Located in the;
superior orbital fissure
(ophthalmic nerve - V1), foramen
rotundum (maxillary nerve -
V2),foramen ovale (mandibular
nerve - V3).
VI Abducens Mainly motor Nuclei lying under
Innervates the lateral rectus,
the floor of the
which abducts the eye. Located in
fourth ventricle
the superior orbital fissure.
Pons
VII Facial Both sensory Pons Provides motor innervation to
and motor (cerebellopontine the muscles of facial expression,
angle) above olive posterior belly of the digastric
muscle, stylohyoid muscle, and
stapedius muscle. Also receives
the special sense of taste from
the anterior 2/3 of the tongue
and provides
secretomotorinnervation to the
salivary glands (except parotid)
and the lacrimal gland. Located
in and runs through the internal
acoustic canal to the facial
canal and exits at the
stylomastoid
foramen.
VIII Vestibulococ Mostly Lateral to CN VII Mediates sensation of sound,
hlear sensory (cerebellopontine rotation, and gravity
(also angle) (essential for balance and
auditory,aco movement). More specifically,
ustic, or the vestibular branch carries
auditory- impulses for equilibrium and
vestibular) the cochlear branch carries
impulses for hearing. Located
in the internal
acoustic canal.
IX Glossophary Both sensory Medulla Receives taste from the
posterior

22
ngeal and motor 1/3 of the tongue, provides
secretomotor innervation to the
parotid gland, and provides
motor innervation to the
stylopharyngeus. Some
sensation is also relayed to the
brain from the palatine tonsils.
Located in the jugular foramen.
This nerve is involved together
with the vagus
nerve in the gag reflex.
X Vagus Both sensory Posterolateral Supplies
and motor sulcus of Medulla branchiomotorinnervation to
most laryngeal and pharyngeal
muscles (except the
stylopharyngeus, which is
innervated by the
glossopharyngeal). Also
provides parasympathetic
fibers to nearly all thoracic and
abdominal viscera down to the
splenic flexure. Receives the
special sense of taste from the
epiglottis. A major function:
controls muscles for voice and
resonance and the soft palate.
Symptoms of
damage:dysphagia (swallowing
problems), velopharyngeal
insufficiency. Located in the
jugular foramen. This nerve is
involved (together with nerve
IX) in the pharyngeal reflex or
gag
reflex.
XI Accessory Mainly motor Cranial and Spinal Controls the sternocleidomastoid
Roots and trapezius muscles, and
overlaps with functions of the
vagus nerve (CN X). Symptoms of
damage: inability to shrug, weak
head movement. Located in the
jugular foramen.

XII Hypoglossal Mainly motor Medulla Provides motor innervation to


the muscles of the tongue
(except for the palatoglossal
muscle, which is innervated by
the vagus nerve) and other
glossal muscles. Important for
swallowing (bolus formation)
and speech articulation. Passes
through the hypoglossal canal.

23
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu
mengidentifikasi gangguan saraf kranialis, melakukan pemeriksaan dan
memberikan interpretasi terhadap hasil pemeriksaan.

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiwa memiliki keterampilan mengenai cara pemeriksaaan saraf
kranialis (Nervi Craniales).
2. Dapat mengindentifikasi adanya gangguan saraf kranialis dan
menentukan lokasi kelainan (diagnosis topis), dan melakukan
penanganan ataupun merujuk ke Spesialis bila diperlukan.

MEDIA DAN ALAT BANTU


Penuntun Belajar.

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN


Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.

24
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIALIS

NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. PEMERIKSAAN INDRA PENCIUMAN 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS I: NERVUS OLFAKTORIUS)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
Syarat Pemeriksaan : Tidak ada penyakit intranasal :
Meminta penderita duduk atau berbaring, sambil
menutup matanya.
2 Menaruh salah satu bahan/zat di depan salah satu
lubang hidung klien sementara lubang hidung yang
lain ditutup.
Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat yang
dikenal sehari-hari, misalnya kopi, teh, tembakau,
jeruk.
3 Meminta klien mencium bahan/zat yang dikenalnya:
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:

Gambar 1. Saraf olfaktorius

25
Gambar 2. Teknik pemeriksaan
INTERPRETASI:
Normosmia: kemampuan menghidu normal, tidak
terganggu.
Hiposmia: kemampuan menghidu menurun,
berkurang. Hiperosmia: meningkatnya kemampuan
menghidu, dapat dijumpai pada penderita
hiperemesis gravidarum atau pada migren.
Parosmia: tidak dapat mengenali bau-bauan, salah
hidu.
Kakosmia: persepsi adanya bau busuk, padahal tidak
ada.
Halusinasi penciuman: biasanya berbentuk bau yang
tidak sedap, dapat dijumpai pada serangan epilepsi
yang berasal dari girus unsinat pada lobus temporal,
dan sering disertai gerak mengecap-ngecap (epilepsi
jenis parsial kompleks).

II. INSPEKSI LEBAR CELAH PALPEBRA 1 2 3


(NERVUS KRANIALIS III: NERVUS OKULOMOTORIS)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Pada saat melakukan wawancara dengan klien
perhatikan mata klien.
3 Pemeriksa memperhatikan celah mata klien untuk
menilai apakah terdapat ptosis (kelopak mata
terjatuh, mata tertutup dan tidak dapat dibuka),
eksoftalmus
dan enoftalmus.
4 INTERPRETASI:
Kelumpuhan nervus III dapat menyebabkan terjadinya
ptosis, yaitu kelopak mata terjatuh, mata tertutup, dan

10

26
tidak dapat dibuka.
Hal ini disebabkan oleh kelumpuhan m. Levator
palpebrae.
Kelumpuhan m. Levator palpebra yang total mudah
diketahui, karena kelopak mata sama sekali tidak
dapat diangkat, mata tertutup.
Pada kelumpuhan ringan pemeriksa dapat
membandingkan celah mata; pada sisi yang lumpuh
celah mata lebih kecil dan kadang-kadang kita lihat
dahi dikerutkan (m. Frontalis) untuk mengkompensasi
menurunnya kelopak mata.
4 Pemeriksa juga dapat menilai kekuatan m.levator
palpebrae dengan meminta klien menutup mata,
kemudian disuruh untuk membukanya.
Waktu klien membuka mata, pemeriksa menahan
gerakan ini dengan jalan memegang (menekan enteng)
pada kelopak mata.
Dengan demikian dapat dinilai kekuatan mengangkat
kelopak mata (m. Levator palpebrae).
Pada pemeriksaan ini, untuk meniadakan tenaga
kompensasi dari m. Frontalis perlu diberi tekanan
pada
alis mata dengan tangan satu lagi.
5 INTERPRETASI:
Ptosis dapat dikumpai pada miastenia gravis atau
pada
sindrom Horner.
III. INSPEKSI PUPIL (UKURAN DAN BENTUK) 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III: NERVUS OKULOMOTORIS)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Perhatikan besarnya pupil pada mata kiri dan kanan,
apakah sama (isokor), atau tidak sama (anisokor).
3 Perhatikan bentuk pupil, apakah bundar dan rata
tepinya (normal) atau tidak.
4 INTERPRETASI:
Otot polos yang mengecilkan pupil (pupilokostriktor)
disarafi oleh serabut parasimpatis dari nervus III,
sedangkan otot yang melebarkan pupil (pupilodilator)
disarafi oleh serabut simpatis (torakolumbal)
Bila pupil mengecil disebut miosis.
Bila membesar (melebar) disebut midriasis.
Miosis dapat dijumpai pada waktu tidur, pada tingkat
tertentu dari koma, pada iritasi nervus III dan pada
kelumpuhan saraf simpatis (sindrom Horner).
Midriasis dapat dijumpai pada kelumpuhan nervus III,

11

27
misalnya oleh desakan tumor atau hematom dan
pada fraktur dasar tulang tengkorak.
Obat-obatan seperti homatropin (yang diteteskan ke
mata) dan ekstrak beladona dapat menyebabkan
midriasis.
Besarnya pupil dipengaruhi oleh banyak faktor,
terutama intensitas cahaya. Di dalam gelap pupil
lebih lebar dibanding dalam keadaan terang-
benderang.
Bila pada trauma kapitis didiapatkan midriasis pada
satu mata (jadi ada anisokori) dan hemiparesis pada
sisi kontralateral, maka kemungkinan perdarahan
epidural.
IV. REAKSI PUPIL TERHADAP CAHAYA
(NERVUS KRANIALIS II DAN III)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien disuruh untuk melihat jauh (menfiksasi pada
benda yang jauh letaknya.
3 Selanjutnya pemeriksa memberi cahaya senter dan
dilihat apakah ada reaksi pupil.
4 INTERPRETASI:
Pada keadaan normal pupil mengecil, disebut refleks
cahaya langsung positif.
5 Selanjutnya pemeriksa memperhatikan pula pupil mata
yang satu lagi. Apakah pupilnya ikut mengecil oleh
penyinaran mata lainnya (kontralateral).
6 INTERPRETASI:
Jika pupilnya ikut mengecil berarti reaksi cahaya tidak
langsung positif.
CONTOH ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

A B
Refleks Cahaya Pupil
A. Pada lesi N. II kanan, refleks cahaya pupil
langsung pada mata kanan negatif, dan tidak
langsung pada mata kiri negatif.
B. Bila mata yang normal (kiri) disinar, refleks
pupil langsung positif, dan refleks cahaya tak
langsung di kanan positif.

12

28
INTERPRETASI:
Bila visus mata 0 (buta), maka refleks cahaya pada
mata tersebut negatif. Bila mata lainnya baik, maka
penyinaran mata yang baik akan menyebabkan
mengecilnya pupil pada mata yang buta tersebut
(reaksi cahaya tak langsun positif).
Jadi bila reaksi cahaya langsung negatif, sedangkan
reaksi cahaya tak langsung positif, maka
kerusakannya pada nervus II. Sebaliknya pada
kelumpuhan nervus III,
reaksi cahaya langsung dan tidak langsung ialah
negatif

INTERPRETASI:
Pada lesi N. III, didapatkan refleks pupil negatif.
Refleks cahaya langsung pada mata kanan negatif (A).
Demikian
juga refleks tidak langsung (B).
REAKSI PUPIL PADA LESI N. II KANAN

13

29
REAKSI PUPIL PADA LESI N. III KANAN

CATATAN :
Selama pemeriksaan ini harus dicegah agar klien
tidak memfiksasi matanya pada lampu senter, sebab
dengan demikian akan ada pula refleks akomodasi
yang juga menyebabkan mengecilnya pupil. Oleh
karena itu klien
harus selalu melihat jauh selama pemeriksaan.
V. REAKSI PUPIL TERHADAP BENDA DEKAT 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien disuruh untuk melihat jauh.
3 Kemudian disuruh untuk melihat dekat misalnya jari
kita (benda) yang ditempatkan dekat matanya
4 INTERPRETASI
Refleks akomodasi dianggap positif bila terlihat
pupil mengecil.
Pada kelumpuhan nervus III refleks ini negatif.
VI. PENILAIAN GERAKAN BOLA MATA 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III, IV DAN VI)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.

14

30
2 Klien diminta untuk tidur terlentang.
3 Pemeriksa menempatkan pena atau jari-jari pada
posisi vertikal sejauh 50 cm dari mata penderita dalam
arah penglihatan sentral.
4 Tangan yang lain memegang kelopak mata atau dagu
klien untuk fiksasi kepala.
5 Pemeriksa menggerakkan pena secara perlahan ke arah
lateral, medial, atas, bawah, dan ke arah yang miring
yaitu atas-lateral, bawah-medial, atas-medial dan
bawah-lateral.
6 Perhatikan apakah mata klien dapat mengikuti
gerakan
itu dan tanyakan apakah klien melihat ganda
(diplopia).
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:

INTERPRETASI:
Bila klien tidak dapat menggerakkan mata ke arah
lateral, parese m rectus lateralis yang dipersarafi N
cranialis VI. Bila klien tidak dapat menggerakkan
mata ke arah medial bawah, parese m obliqus
superior yang dipersarafi N cranialis IV. Bila klien
tidak dapat menggerakkan mata ke arah selain lateral
dan medial-
bawah, parese N cranialis III.

15

31
VII. PENILAIAN DIPLOPIA 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III, IV DAN
VI)
CATATAN : METODE PEMERIKSAAN = PERGERAKAN BOLA
MATA
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta untuk tidur terlentang.
3 Pemeriksa menempatkan pena atau jari-jari pada
posisi vertikal sejauh 50 cm dari mata penderita dalam
arah penglihatan sentral.
4 Tangan yang lain memegang kelopak mata atau dagu
klien untuk fiksasi kepala.
5 Pemeriksa menggerakkan pena secara perlahan ke arah
lateral, medial, atas, bawah, dan ke arah yang miring
yaitu atas-lateral, bawah-medial, atas-medial dan
bawah-lateral.
6 Perhatikan apakah mata klien dapat mengikuti
gerakan
itu dan tanyakan apakah klien melihat ganda
(diplopia).
CATATAN:
Diplopia (melihat kembar) dijumpai pada kelumpuhan
otot penggerak bola mata. Tentukan pada posisi
mana (dari mata) timbul diplopia. Bila satu mata
ditutup, bayangan mana yang hilang. Minta klien
menunjukkan posisi dari bayangan. Arah posisi
bayangan yang salah mennjukkan arah gerakan otot
yang lumpuh; jarak bayangan menjadi bertambah
besar.
VIII. PENILAIAN NISTAGMUS 1 2 3

CATATAN:
Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksa
gerakan bola mata. Waktu memeriksa gerak bola
mata, harus diperhatikan apakah ada nistagmus.
Nistagmus ialah gerakan bolak-balik bola mata yang
involunter
dan ritmik.
1 Pada saat melakukan pemeriksaan gerakan bola
mata, klien diminta melirik terus ke satu arah
(misalnya ke kanan, ke kiri, ke atas dan bawah)
selama jangka waktu
5 atau 6 detik.
2 Jika ada nistagmus hal ini akan terlihat dalam jangka
waktu tersebut.
Tetapi mata jangan terlalu jauh dilirikkan, sebab hal
demikian dapat menimnbilkan nistagmus pada orang
yang normal (end position nystagmus, nistagmus posisi

16

32
ujung).
3 Bila pemeriksa mendapatkan adanya nistagmus, maka
harus diperiksa:
1. Jenis gerakannya
2. Bidang gerakannya
3. Frekuensinya
4. Amplitudonya
5. Arah gerakannya
6. Derajatnya
7. Lamanya
IX. PEMERIKSAAN REFLEKS KORNEA 1 2 3
CATATAN:
Komponen aferen refleks kornea adalah serabut
sensorik nervus trigeminus cabang oftalmik dan
komponen eferennya adalah serabut nervus facialis
yang mensarafi muskulus orbikularis okuli.
Refleks kornea diartikan sebagai refleks yang bangkit
atas perangsangan pada kornea bukan pada
konjungtiva bulbi.
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta untuk melirik ke atas atau ke samping
menjauh dari pemeriksa supaya mata tidak berkedip
pada saat korneanya hendak disentuhkan dengan
kapas.
3 Perhatikan kedua bola mata
4 Kemudian dilakukan penggoresan pada daerah
kornea
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:

Kornea Konjungtiva

17

33
INTERPRETASI:
Refleks kornea langsung adalah refleks kornea
dimana perangsangan dan respon yang didapat
terjadi pada sisi yang sama, sedangkan pada refleks
kornea konsensual diperoleh kedipan mata pada
kedua sisi atas
perangsangan sesisi.
X. PEMERIKSAAN FUNDUSKOPI
Akan diberikan pengantar khusus

18

34
PEMERIKSAAN OFTALMOSKOPI/FUNDUSKOPI

PENGERTIAN

Oftalmoskop/funduskop adalah alat dengan sistem cermin optik untuk


melihat anatomi interna dari mata. Ada dua cakram pada oftalmoskop: satu
untuk mengatur lubang cahaya (dan filter), dan satu lagi untuk merubah lensa
untuk mengoreksi kesalahan refraktif baik dari pemeriksa maupun pasien.
Lubang-lubang dan filter-filter yang paling penting adalah lubang kecil, lubang
besar,dan filter bebas merah. Lubang kecil untuk pupil yang tidak berdilatasi,
lubang besar untuk pupil yang berdilatasi; dan filter bebas merah
menyingkirkan sinar merah dan dirancang untuk melihat pembuluh darah serta
perdarahan. Dengan filter ini, retina tampak abu-abu, diskus berwarna putih,
makula kuning, dan darah tampak berwarna hitam.

Gambar 1. Oftalmoskop dan bagian-bagiannya

DASAR TEORI

Saraf-saraf kecil pada retina merasakan sinar dan mengirimkan


gelombang saraf kepada saraf optikus, yang akan membawa gelombang saraf
tersebut ke otak. Kelainan di sepanjang saraf optikus dan percabangannya,
maupun kerusakan pada otak bagian belakang (yang mengolah rangsangan
visuil) bisa menyebabkan gangguan penglihatan. Oftalmoskop adalah alat
yang memencarkan seberkas sinar kedalam mata, memungkinkan dokter
memeriksa retina atau bagian belakang bola mata melalui pupil. Pemeriksaan
oftalmoskopi dan penafsiran pemeriksaan hasil pemeriksaan ini merupakan
bagian terpenting

19

35
dari rangkaian pemeriksaan medik yang komprehensif. Dengan prosedur ini
dapat dilihat gejala-gejala yang dapat menunjukkan adanya retina lepas,
glaukoma, tekanan darah tinggi, penyakit diabetes melitus, tumor otak dan
penyakit-penyakit lain.

Gambar 2. Ilustrasi penafsiran pemeriksaan oftalmoskopi

Pada pemeriksaan oftalmoskopi/funduskopi terdapat beberapa bagian


penting yang harus diperhatikan antara lain diskus optikus, pembuluh darah
retina dan makula.

Inspeksi Diskus Optikus


Daerah yang sangat menyolok dari retina adalah diskus saraf optikus.
Diskus tersebut harusnya bulat,dengan batas yang tajam. Batas sisi nasal
biasanya agak buram. Diskus berwarna agak merah muda pada orang berkulit
terang dan jingga kekuningan pada orang berkulit gelap. Cup adalah bagian
diskus yang terletak ditengah,warnanya lebih muda, dan dimasuki oleh retina.
Rasio normal cup-to-disc bervariasi dari 0,1 sampai 0,5. Pemeriksa harus
mengecek kesimetrisan rasio cup-to-disc pada kedua mata.

Inspeksi Pembuluh Darah Retina


Pembuluh darah diperiksa karena mereka tampak diatas retina. Ukuran
arteri adalah dua pertiga sampai empat perlima dari ukuran diameter vena dan
mempunyai refleks cahaya yang mencolok. Refleks cahaya adalah refleksi
dari cahaya oftalmoskop pada dinding arteri dan normalnya sekitar
superempat diameter kolumna darah. Vena memberikan pulsasi spontan 85 %
pasien. Pulsasi paling baik terlihat pada vena retina yang memasuki nervus
optikus, dimana pulsasi dapat dilihat pada ujungnya. Karena pembuluh darah
berjalan menjauhi papil, mereka tampak menyempit. Persilangan arteri dan
vena terjadi pada 2 diameter papil dari papil. Dinding pembuluh darah normal
tidak terlihat, dengan refleks cahayanya yang tipis. Pada hipertensi, pembuluh
darah dapat mempunyai

20

36
daerah penyempitan atau spasme setempat atau umum, menyebabkan
refleks cahaya menjadi menyempit. Berjalan sesuai dengan waktu, dinding
pembuluh darah menebal dan sklerotik, dan terjadi pelebaran refleks cahaya
menjadi lebih dari separuh diameter kolumma darah. Refleks cahaya
berkembang sebagai gambaran Jingga metalik, yang disebut kawat tembaga.
Bila arteri seperti itu menyilang sebuah vena,akan tampak sepertinya kolumna
vena terputus akibat pelebaran,tetapi dinding dapat terlihat.keadaan ini
disebut sebagai takik arteriovenosa (AV).Ikuti pembuluh darah ke empat arah :
superior temporal, superior nasal, inferior nasal, dan inferior temporal.
Ingatkan untuk menggerakkan kepala dan oftalmoskop sebagai satu
kesatuan.

Inspeksi Makula
Jika Oftalmoskop tetap setinggi papil dan digerakkan ke temporal
sekitar 2 diameter papil, makula akan terlihat. Makula tampak sebagai daerah
avaskular dengan titik pusat refleksi, yaitu foveo. Jika pemeriksa mengalami
kesulitan dalam melihat makula, pasien dapat diperintahkan untuk melihat
langsung kearah cahaya; sehingga foveo dapat
terlihat. Filter bebas–merah juga membantu untuk
mengetahui lokasi makula.

Menggambarkan setiap Lesi Retina


Dalam skrining fundus, pemeriksa mungkin menemukan kelainan. Jika
terlihat suatu lesi, warna dan bentuknya penting untuk menentukan
penyebabnya. Apakah berwarna merah, hitam, abu-abu atau keputihan/lesi
merah biasanya adalah pendarahan. Hal ini paling baik ditentukan lokasinya
dengan menggunakan filter hijau dari oftalmoskop. Perdarahan berbentuk
linear, atau seperti api, terjadi pada lapisan saraf dari retina, sedangkan
perdarahan berbentuk bundar terletak pada lapisan retina yang lebih dalam.
Lesi hitam yang berbentuk seperti spikula tulang, berhubungan dengan
retinitis pigmentosa. Pada keadaan ini, melanin cenderung untuk melapisi
pembuluh darah retina. Lesi berbentuk ”donat” sering ditemukan pada
korioretinitis yang lama. Lesi berpigmen, meninggi, berbentuk cakram
menandakan melanoma. Bercak yang menyebar pada retina seringkali
merupakan keadaan degeneratif. Lesi abu-abu, rata, biasanya nevi jinak. Lesi
putih dapat tampak sebagai daerah lunak, cotton-wool, atau dapat juga padat.
Lesi putih sangat lazim dan sering berkaitan dengan hipertensi atau diabetes.
Perbedaan dari lesi-lesi putih di retina.

SASARAN BELAJAR
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara
pemeriksaan oftalmoskopi/funduskopi

21

37
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan dengan benar.
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa
yang akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukannya, apa
manfaatnya, serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data
klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan funduskopi/optalmoskopi dengan benar dan
tepat.

MEDIA DAN ALAT BANTU


x Penuntun Belajar
x Optalmoskop

METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.

22

38
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN OPTALMOSKOPI/FUNDUSKOPI

NO LANGKAH / KEGIATAN KASUS


1 2 3
1 Jelaskan maksud dan prosedur pemeriksaan
2 Persiapkan alat untuk pemeriksaan segmen posterior
bola mata (direct ophthalmoscope). Ruangan dibuat
setengah gelap, penderita diminta melepas kacamata
dan pupil dibuat midriasis dengan tetes mata midriatil.
3 Sesuaikanlah lensa oftalmoskop dengan ukuran kaca
mata penderita.
4 Mata kanan pemeriksa memeriksa mata kanan
penderita, mata kiri pemeriksa memeriksa mata kiri
penderita.
5 Jika pemeriksaan menggunakan kaca mata, maka kaca
mata harus dilepas supaya dapat melihat retina
dengan
lebih baik.
6 Lampu oftalmoskop dinyalakan, lubang dipindahkan
ke lubang kecil. Pemeriksa harus memulai dengan
dioptri lensa diatur pada angka “0” jika ia tidak
menggunakan
kaca mata.
7 Mintalah penderita untuk melihat satu titik di belakang
pemeriksa.
8 Arahkan ke pupil dari jarak 25-30 cm oftalmoskop
untuk melihat refleks fundus dengan posisi/cara
pegang yang benar. Cahaya harus menyinari pupil.
Pantulan sinar berwarna merah, reflex merah, dapat
dilihat pada pupil.
9 Pemeriksaan harus memperhatikan setiap kekeruhan
pada kornea atau lensa.
10 Periksa secara seksama dengan perlahan maju
mendekati penderita kurang lebih 5 cm.
11 Sesuaikan fokus dengan mengatur ukuran lensa pada
oftalmoskop.
12 Jika sudah terjadi kontak dengan retina pasien, maka
akan terlihat papil saraf optikus atau pembuluh darah,
dengan memutar roda diopter dengan jari telunjuk,
pemeriksa akan bisa melihat struktur ini dengan
focus
yang tajam.
13 Amati secara sistematis struktur retina dimulai dari
papil N. optik, arteri dan vena retina sentral, area

23

39
makula, dan retina perifer.
14 Pemeriksaan dilakukan pada kedua mata
15 Catatlah hasil yang didapat dalam status penderita
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:

24

40
INTERPRETASI :

Normal

ILUSTRASI HASIL OFTALMOSKOPI LAIN SEPERTI PADA


GAMBAR DI BAWAH:

25

41
26

42
27

43
MANUAL CSL IV SISTEM NEUROPSIKIATRI

PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF


KRANIAL BAGIAN II

PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2020

44
PENDAHULUAN

Keterampilan medik adalah keterampilan motorik yang harus dikuasai


oleh seorang tenaga medik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-
baiknya. Melalui fasilitas berupa skill lab mahasiswa dapat berlatih
keterampilan– keterampilan medik yang mereka perlukan dalam situasi latihan
di laboratorium, bukan dalam suasana kontak antara dokter-pasien di rumah
sakit. Latihan keterampilan klinik ini mengajar mahasiswa agar dapat berlatih
secara trial and error, dapat mengulang-ulang kegiatan atau tindakan yang sama
(dengan kadang-kadang melakukan kekeliruan) sampai betul-betul terampil.
Keadaan seperti ini hampir tidak mungkin dilakukan pada penderita yang sedang
dirawat di rumah sakit.
Apabila keterampilan motorik sudah dikuasai, dilanjutkan dengan latihan
yang mengandung unsur emosi. Latihan ini diteruskan sampai menjadi suatu
rangkaian keterampilan medik yang kompleks.
Karena mahasiswa telah menguasai keterampilan dalam melakukan
penatalaksanaan, rasa percaya diri menjadi lebih besar, dan mahasiswa dapat
bersikap lebih baik terhadap pasien, serta mengurangi kendala-kendala
emosional antara mahasiswa dengan pasien pada waktu koass harus kontak dengan
pasien.

45
TATA TERTIB KEGIATAN CSL
(CLINICAL SKILL LABORATORY)

SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.

SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan bahan
yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL

PADA SAAT UJIAN CSL


1. Ujian dapat diikuti apabila kehadiran pada kegiatan CSL minimal 100%.
2. Membawa kartu kontrol yang telah ditandatangani oleh koordinator
instruktur CSL.
3. Bagi yang tidak ikut ujian karena sakit diwajibkan membawa keterangan
bukti diagnosis dari dokter paling lambat 3 hari setelah tanggal sakit.

SANKSI PELANGGARAN
TATA TERTIB CSL

1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan


jadwal rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <100% dari
seluruh jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti
ujian CSL.

46
DAFTAR ISI

NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILAN
I. PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIAL BAGIAN II
1 Penilaian kesimetrisan 4A
wajah
2 Penilaian kekuatan otot 4A
temporal dan masseter
3 Penilaian sensasi wajah 4A
4 Penilaian pergerakan wajah 4A
5 Penilaian indra pengecapan 4A
6 Penilaian indra pendengaran 4A
(lateralisasi, konduksi udara
dan tulang)
7 Penilaian kemampuan 4A
menelan
8 Inspeksi palatum 4A
9 Pemeriksaan refleks Gag 3
10 Penilaian otot 4A
sternomastoid dan
trapezius
11 Lidah, inspeksi saat istirahat 4A
12 Lidah, inspeksi dan penilaian 4A
sistem mototrik (misalnya
dengan dijulurkan keluar)

47
DESKRIPSI KEGIATAN

Kegiatan Waktu Deskripsi


1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain Peran 20 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
Tanya & Jawab menit 2. Dua orang dosen memberikan contoh
bagaimana cara melakukan
pemeriksaan neurologis.
Mahasiswa mengamati peragaan
dengan menggunakan Penuntun Belajar.
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
memberikan penjelasan tentang aspek-
aspek yang penting
3. Praktek bermain 70 1. Mahasiswa dibagi menjadi
peran dengan menit pasangan-pasangan. Diperlukan minimal
Umpan Balik seorang Instruktur untuk mengamati
setiap langkah yang dilakukan oleh
paling banyak 4 pasangan.
2. Setiap pasangan berpraktek
melakukan langkah- langkah
pemeriksaan neurologis secara serentak
3. Instruktur berkeliling diantara
ma-hasiswa dan melakukan supervisi
menggunakan check list.
4. Instruktur memberikan
pertanyaan dan umpan balik kepada
setiap pasangan

4. Curah Pendapat/ 10 1. Curah Pendapat/Diskusi : Apa yang


Diskusi menit dirasakan mudah? Apa yang sulit?
Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang pada saat melakukan
pemeriksaan Apa yang dapat dilakukan
oleh dokter agar klien merasa lebih
nyaman?
2. Instruktur membuat kesimpulan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti

Total waktu 105


menit

48
NERVI KRANIALIS

PENGERTIAN
Nervus Kranialis (saraf kranialis / Nervi Craniales) adalah saraf-saraf yang
keluar langsung dari otak dan batang otak. Pada manusia, terdapat 12 pasang
Nervus Kranialis, yaitu:

DASAR TEORI

Gambar 1. Nervi
kranialis

Tabel 1. Nervi kranialis dan


fungsinya

Sensory,
No. Name motor, or Origin/Target Function
both
I Olfactory Purely sensory Telencephalon Transmits the sense of smell from
the nasal cavity.[13] Located in the
olfactory foramina in the
cribriform plate of the ethmoid
bone.
II Optic Sensory Retinal ganglion Transmits visual signals from
cells the retina of the eye to the brain.
[14]
Located in the optic canal.

49
III Oculomotor Mainly motor Anterior aspect of Innervates the levator palpebrae
Midbrain superioris, superior rectus,
medial rectus, inferior rectus, and
inferior oblique, which
collectively perform most eye
movements. Also innervates the
sphincter pupillae and the
muscles of the ciliary body.
Located in the superior orbital
fissure.
IV Trochlear motor Dorsal aspect of Innervates the superior oblique
Midbrain muscle, which depresses, rotates
laterally, and intorts the eyeball.
Located in the superior orbital
fissure.
V Trigeminal Both sensory Pons Receives sensation from the face
and motor and innervates the muscles of
mastication. Located in the;
superior orbital fissure
(ophthalmic nerve - V1), foramen
rotundum (maxillary nerve -
V2),foramen ovale (mandibular
nerve - V3).
VI Abducens Mainly motor Nuclei lying
Innervates the lateral rectus, which
under
abducts the eye. Located in the
the floor of the
superior orbital fissure.
fourth ventricle
VII Facial Both sensory Pons Provides motor innervation to
and motor (cerebellopontine the muscles of facial expression,
angle) above olive posterior belly of the digastric
muscle, stylohyoid muscle, and
stapedius muscle. Also receives
the special sense of taste from
the anterior 2/3 of the tongue
and provides
secretomotorinnervation to the
salivary glands (except parotid)
and the lacrimal gland. Located in
and runs through the internal
acoustic canal to the facial canal
and exits at the stylomastoid
foramen.
VIII Vestibulococ Mostly Lateral to CN VII Mediates sensation of sound,
hlear sensory (cerebellopontine rotation, and gravity (essential
(also angle) for balance and movement).
auditory,aco More specifically, the vestibular
ustic, or branch carries impulses for
auditory- equilibrium and the cochlear
vestibular) branch carries impulses for
hearing. Located in the internal
acoustic canal.
IX Glossophary Both sensory Medulla Receives taste from the posterior

50
ngeal and motor 1/3 of the tongue, provides
secretomotor innervation to the
parotid gland, and provides
motor innervation to the
stylopharyngeus. Some sensation
is also relayed to the brain from
the palatine tonsils. Located in
the jugular foramen. This nerve is
involved together with the vagus
nerve in the gag reflex.
X Vagus Both sensory Posterolateral Supplies
and motor sulcus of Medulla branchiomotorinnervation to
most laryngeal and pharyngeal
muscles (except the
stylopharyngeus, which is
innervated by the
glossopharyngeal). Also provides
parasympathetic fibers to nearly
all thoracic and abdominal
viscera down to the splenic
flexure. Receives the special
sense of taste from the epiglottis.
A major function: controls
muscles for voice and resonance
and the soft palate. Symptoms of
damage:dysphagia (swallowing
problems), velopharyngeal
insufficiency. Located in the
jugular foramen. This nerve is
involved (together with nerve IX)
in the pharyngeal reflex or gag
reflex.

XI Accessory Mainly motor Cranial and Spinal Controls the sternocleidomastoid


Roots and trapezius muscles, and
overlaps with functions of the
vagus nerve (CN X). Symptoms of
damage: inability to shrug, weak
head movement. Located in the
jugular foramen.

XII Hypoglossal Mainly motor Medulla Provides motor innervation to


the muscles of the tongue
(except for the palatoglossal
muscle, which is innervated by
the vagus nerve) and other
glossal muscles. Important for
swallowing (bolus formation) and
speech articulation. Passes
through the hypoglossal canal.

51
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu
mengidentifikasi gangguan saraf kranialis, melakukan pemeriksaan dan
memberikan interpretasi terhadap hasil pemeriksaan.

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiwa memiliki keterampilan mengenai cara pemeriksaaan saraf
kranialis (Nervi Craniales).
2. Dapat mengindentifikasi adanya gangguan saraf kranialis dan menentukan lokasi
kelainan (diagnosis topis), dan melakukan penanganan ataupun merujuk ke
Spesialis bila diperlukan.

MEDIA DAN ALAT BANTU


Penuntun Belajar.

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN


Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.

52
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN
FUNGSI SARAF KRANIALIS

NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. PENILAIAN KESIMETRISAN WAJAH 1 2 3
(NERVUS CRANIALIS VII: NERVUS FASIALIS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Perhatikan muka penderita : simetris atau tidak.
Perhatikan kerutan dahi, pejaman mata, sulcus
nasolabialis, dan sudut mulut.
3 Meminta penderita mengangkat alis dan mengerutkan
dahi. Perhatikan simetris atau tidak. Kerutan dahi
menghilang pada sisi yang lumpuh.
4 Meminta penderita memejamkan mata dan kemudian
pemeriksa mencoba membuka mata penderita. Pada
sisi yang lumpuh, penderita tidak dapat/sulit
memejamkan mata (lagopthalmus) dan lebih mudah
dibuka oleh pemeriksa.
5 Meminta penderita menyeringai atau menunjukkan
gigi, mencucurkan bibir atau bersiul, dan
mengembungkan pipi. Perhatikan sulcus nasolabialis
akan mendatar, sudut mulut menjadi lebih rendah, dan
tidak dapat mengembungkan pipi pada sisi lumpuh.
6 INTERPRETASI:
Bedakan kelumpuhan nervus VII tipe UMN dan tipe
LMN. Tipe UMN, bila kelumpuhan hanya terdapat pada
daerah mulut (m. orbicularis oris). Tipe LMN, bila
kelumpuhan terjadi baik pada daerah mulut maupun pada
mata (m. orbicularis oculi) dan dahi (m. frontalis).
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

53
Gambar Persarafan otot
wajah
Paresis otot wajah disebabkan oleh lesi UMN dan LMN
nervus VII
II. PENILAIAN KEKUATAN OTOT 1 2 3
TEMPORAL DAN MASSETER
(NERVUS KRANIALIS V: NERVUS TRIGEMINUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin.
3 Pemeriksa meraba m. masseter dan m. temporalis.
4 Perhatikan besar, tonus, serta kontur (bentuk) otot
tersebut.
5 Kemudian pasien diminta membuka mulut.
6 Perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah.
7 INTERPRETASI:
Bila ada paresis, maka rahang bawah akan berdeviasi ke
arah yang lumpuh.
Kadang-kadang sulit menetukan adanya deviasi.
Maka diperlukan alternatif lain.
1 Digunakan garis antara kedua gigi insisivus (gigi
seri)
2 Perhatikan kedudukan gigi insisivus atas dan bawah
waktu mulut tertutup, dan perhatikan kedudukannya
waktu mulut dibuka, apakah ada deviasi.
Hal ini perlu dilakukan bila terdapat pula paresis nervus
VII
PEMERIKSAAN ALTERNATIF 1:
1 Kekuatan otot saat menutup mulut dapat dinilai

10

54
dengan jalan menyuruh klien menggigit suatu benda,
misalnya tong spatel.
2 Pemeriksa menilai dengan menarik tong spatel
tersebut.
3 Kemudian klien diminta menggerakkan rahang
bawahnya ke samping (untuk menilai m. pterigoideus
lateralis) kiri dan kanan.
4 INTERPRETASI:
Bila terdapat paresis di sebelah kanan, rahang bawah
tidak dapat digerakkan ke samping kiri.
PEMERIKSAAN ALTERNATIF 2:
1 Klien diminta untuk mempertahankan rahang
bawahnya ke samping
2 Pemeriksa memberi tekanan untuk mengembalikan
rahang-bawah ke posisi tengah.
UNTUK MENENTUKAN ADANYA LESI
SUPRANUKLEAR DIPERIKSA REFLEKS
1 Pemeriksaan menempatkan satu jari melintang dagu
pasien.
2 Klien diminta membukakan mulutnya sedikit.
3 Pemeriksa mengetok jari tersebut dengan palu refleks.
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

5 INTERPRETASI:
Pada orang normal didapatkan hanya sedikit saja
gerakan, malah kadang-kadang tidak ada.
Bila gerakannya hebat (yaitu kontraksi m. masetter, m.
temporalis, m. pterigoideus medialis yang
menyebabkan mulut menutup) dikatakan refleks
meninggi.
Pada lesi supranuklear refleks ini meninggi.

11

55
III. PENILAIAN SENSASI WAJAH 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS V: NERVUS TRIGEMINUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Sensibilitas yang harus diperiksa ialah sensibilitas kulit
dan mukosa dalam kawasan nervus trigeminus.
3 Modalitas sensorik yang diperiksa meliputi rasa nyeri,
panas, dingin dan raba.
4 Dilakukan perbandingan di antara setiap cabang N. V
yaitu pada cabang oftalmikus, maksillaris
dan mandibula.
Dan membandingkannya dengan cabang
N.V
CATATAN:
Pemeriksaan ini akan lebih jelas pada CSL pemeriksaan
sensorik.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

Lintasan sensorik nervus


5 INTERPRETASI:
Hipestesia, parestesia dan anestesia harus diselidiki batas-
batasnya dengan jelas.
Pada adanya neuralgia, klien dapat menyatakan bahwa
sentuhan atau penekanan daerah wajah tertentu dapat
disusul dengan bangkitnya nyeri. Tempat itulah yang
disebut sebagai ’trigger point’.

12

56
IV. PENILAIAN PERGERAKAN
WAJAH
(NERVUS KRANIALIS V dan VII: NERVUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
CATATAN:
Pemeriksaan yang dilakukan pada sesi ini sama pada
saat melakukan pemeriksaan kesimetrisan wajah dan
penilaian kekuatan m. masetter, m. temporalis, m.
pterigoideus.
V. PENILAIAN INDRA PENGECAPAN 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS VII DAN IX: NERVUS
FASIALIS SENSORIK DAN NERVUS
1 Menjelaskan penderita tentang pemeriksaan fungsi
pengecapan.
2 Pemeriksa menulis rasa larutan yang disediakan.
3 Meminta penderita menjulurkan lidah.
4 Mengeringkan lidah dengan tissue.
5 Meminta penderita tutup mata dan meneteskan
larutan yang telah disediakan.
Laruta yang diberikan yaitu gula, kina, asam sitrat atau
garam.
6 Meminta penderita buka mata, tetap menjulurkan
lidah, dan menunjuk rasa larutan yang telah tertulis di
kertas.
7 INTERPRETASI
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda
timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan.
Kerusakan pada atau di atas nervus petrosus major
dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, dan
lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya
produksi ludah.
CATATA
N:
Nervus IX juga mengandung serabut aferen khusus
untuk pengecapan, yaitu pengecapan dari 1/3
bagian posterior lidah. Pengecapan ini tidak
diperiksa rutin, karena sukar. Tempat pemeriksaan
di bagian belakang lidah. Bila perlu, dapat juga
dilakukan dengan menggunakan arus galvanis
lemah (0,2 – 0,4 miliamper). Kita gunakan
elektroda dari kawat tembaga yang ditempatkan
sebagai anoda pada lidah posterior. Pada orang
normal akan terasa asam.

13

57
VI. PENILAIAN INDRA 1 2 3
PENDENGARAN
(LATERALISASI,KONDUKSI UDARA DAN
CATATA
N:
Secara kasar (rutin) ketajaman pendengaran ditentukan
dengan jalan menyuruh klien mendengarkan suara
bisikan pada jarak tertentu dan membandingkannya
dengan orang normal.
Perhatikan pula apa ada perbedaan antara ketajaman
pendengaran telinga kanan dan kiri. Beda ini penting
I. TEST SCHWABACH
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
Pada tes ini pendengaran klien dibandingkan dengan
pendengaran pemeriksa (yang dianggap normal)
2 Klien diminta untuk duduk dengan tenang
3 Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan di
dekat telinga klien.
4 Setelah klien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala
tersebut ditempatkan di dekat telinga pemeriksa.
5 INTERPRETASI:
Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka
dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk
konduksi udara)
6 Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya
ditekankan pada tulang mastoid klien.
7 Setelah klien tidak mendengar lagi, garpu tala tersebut
ditempatkan pada tulang mastoid pemeriksa.
8 INTERPRETASI:
Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka
dikatakan bahwa schwabach (untuk konduksi tulang)
lebih pendek.
II. TES
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
Pemeriksaan ini bertujuan membandingkan antara
konduksi tulang dengan konduksi udara.
Garpu tala yang diapakai adalah yang berfrekuensi 128,
156 atau 512 Hz.
2 Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan pada
tulang mastoid klien dan diminta untuk mendengarkan
bunyinya.
3 Setelah klien tidak mendengar, gapu tala segera
didekatkan pada telinga.

14

58
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

4 INTERPRETASI:
Jika setelah didekatkan pada telinga dan bunyi masih
terdengar maka konduksi udara lebih baik dari pada
konduksi tulang, dan dalam hal ini dikatakan Rinne
positif.
Bila tidak terdengar lagi setelah garpu tala dipindahkan
dari tulang mastoid ke dekat telinga,berarti Rinne
negatif.
Pada orang normal, konduksi udara lebih baik daripada
konduksi tulang, demikian juga pada tuli saraf.
Pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik dari
konduksi udara.
III. TES
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya
pada dahi klien, tepat dipertengahan.
3 Klien diminta mendengarkan bunyinya dan
menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras
terdengar.
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

15

59
Cara tes Weber
Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya
pada pertengahan kepala (dahi; verteks)
5 INTERPRETASI:

Hasil tes Weber


A B
C
A. Pada orang normal: kerasnya bunyi suara sama
pada telinga kiri dan kanan
B. Tuli konduktif: Pada tuli konduktif bunyi
lebih
kuat pada telinga yang tuli
CATATA
N:
Bahwa pada tuli perseptif (tuli saraf), pendengaran
berkurang, Rinne positif dan Weber berlateralisasi
ke telinga yang sehat.
Pada tuli konduktif, pendengaran berkurang, Rinne
VII. PENILAIAN KEMAMPUAN 1 2 3
MENELAN (NERVUS KRANIALIS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta untuk duduk atau baring dengan posisi
kepala minimal ditinggikan sekitar 45 derajat.
3 Klien diminta memakan makanan padat, lunak dan
menelan air.
4 Perhatikan apakah ada salah telan (keselak, disfagia)
5 INTERPRETASI:
Kelumpuhan N IX dan X dapat menyebabkan disfagia.
Sering dijumpai pada hemiparesis dupleks, yang disebut
juga sebagai kelumpuhan pseudo-bulber.
Persarafan N. IX dan x adalah bilateral, karenanya
kelumpuhan supranuklear baru terjadi bila ada lesi
bilateral.

16

60
VIII. INSPEKSI 1 2 3
PALATUM (NERVUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta membuka mulut.
3 Perhatikan falatum molle dan faring.
4 Bagaimana sikap palatum molle, arkus faring dan uvula
dalam keadaan istirahat.
5 Dan bagaimana pula bila bergerak, misalnya waktu
bernafas atau bersuara (suruh penderita menyebut:
aaaaa)
6 INTERPRETASI:
Bila terdapat paresis otot-otot faring dan falatum
molle, maka palatum molle, uvula, dan arkus faring sisi
yang lumpuh letaknya lebih rendah daripada yang
sehat dan bila bergerak, uvula dan arkus seolah-olah
tertarik ke bagian yang sehat. Bila terdapat parese di
kedua belah pihak, maka tidak didapatkan gerakan dan
posisi uvula dan arkus faring lebih rendah.
IX. PEMERIKSAAN 1 2 3
REFLEKS GAG (NERVUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien
2 Klien diminta membuka mulut.
3 Sentuh dinding belakang farings dengan spatel
4 Perhatikan uvula: akan terangkat ketika dilakukan
stimulus
5 Dilakukan stimulus pada kedua sisi dan dibandingkan
keduanya.
6 INTERPRETASI:
Uvula akan bergerak ke salah satu sisi: jika terdapat
kelumpuhan UMN atau LMN pada sisi yang lain.
Uvula tidak bergerak ketika diminta pada klien untuk
menyebut AHH atau GAG: kedua otot palatum paresis.
Uvula bergerak ketika menyebut AHH, tetapi tidak
pada saat menyebut GAG, dengan penurunan senasi
pada farings: kelumpuhan N. IX (jarang)
X. PENILAIAN OTOT 1 2 3
STERNOKLEIDOMASTOID DAN TRAPEZIUS
I. OTOT
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien
2 Perhatikan keadaan otot sternokleidomastoideus
dalam keadaan istirahat dan bergerak.
Dalam keadaan istrirahat, pemeriksa dapat melihat
kontur otot ini.

17

61
Bila terdapat paresis perifer akan dijumpai adanya
atrofi.
Pada lesi nuklear (misalnya pada ALS) bisa
didapatkan adanya fasikulasi (kedutan).
3 Lakukan palpasi dan otot tersebut.
Pada miositis dapat ditemukan adanya nyeri tekan.
4. Nilai kekuatan otot dengan:
1. Klien diminta untuk menggerakkan bagian badan
(persendian) yang digerakkan oleh otot yang ingin
diperiksa, pemeriksa menahan gerakan ini.
2. Gerakkan bagian badan klien dan suruh untuk
menahannya. Dengan demikian dapat diperoleh
kesan mengenai kekuatan otot.
Di klinik biasanya cara (1) yang sering dilakukan.
5 Untuk megukur tenaga otot sternokleidomastoideus
dapat dilakukan dengan:
Meminta klien menoleh misalnya ke kanan, kemudian
pemeriksa menahan dengan tangan yang ditempatkan
pada dagu. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan
otot sternokleidomastoideus kiri.
6 Bandingkan kekuatan otot kiri dengan kanan.
II.OTOT TRAPEZIUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Perhatikan keadaan otot ini dalam keadaan istirahat dan
bergerak. Apakah ada atrofi atau fasikulasi? Bagaimana
kontur otot?
3 Bagaimana posisi bahu, apakah lebih rendah?
Pada kelumpuhan otot trapezius bahu sisi yang sakit
lebih rendah daripada sisi yang sehat.
Skapula juga beranjak ke lateral dan tampak agak
menonjol.
4 Palpasi otot trapezius untuk melihat konsistensinya,
adanya nyeri tekan (miositis) serta adanya hipotoni.
5 Periksa tenaga otot, dengan jalan:
Tempatkan tangan pemeriksa di atas bahu klien.
Kemudian klien diminta mengangkat bahunya, dan
pemeriksa menahan.
Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot tersebut.
6 Tenaga otot yang kiri dan kanan dibandingkan.
7 Nilai kontur otot dan perkembangan otot.
Klien diminta untuk mengeskstensikan kepalanya, dan
gerakan ini ditahan oleh pemeriksa.
Jika terdapat kelemahan otot trapezius satu sisi, kepala

18

62
tidak dapat ditarik ke sisi tersebut, bahu tidak dapat
diangkat dan lengantidak dapat dielevasi ke atas dari
posisi horizontal.
Pada kelumpuhan kedua otot ini kepala cenderung
jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat
dagunya.
XI. PEMERIKSAAN LIDAH PADA SAAT
ISTIRAHAT
XII. PEMERIKSAAN LIDAH PADA SAAT
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Klien disuruh membuka mulut dan perhatikan lidah
dalam keadaan istirahat : besar lidah, kesamaan bagian
kiri dan kanan, atrofi, berkerut, dan fasikulasi.
3 Klien disuruh menjulurkan lidah untuk memeriksa
adanya paresis:
1. Perhatikan apakah ada tremor dan fasikulasi.
2. Perhatikan apakah ada deviasi lidah ke satu sisi.
Sebagai patokan dapat dipakai garis diantara kedua
seri (incisivus). Bila ada paresis satu sisi, lidah
berdeviasi ke sisi paresis.
3. Meminta klien menyentuhkan lidah ke pipi kiri dan
kanan. Saat bersamaan, tangan pemeriksa ditempatkan
di pipi sisi luar untuk merasakan kekuatan sentuhan
lidah penderita.
4 Meminta klien mengucapkan huruf R atau kata-kata
yang mengandung huruf R, misalnya ular lari lurus.
Pemeriksaan ini untuk menilai apakah ada disartria
(cadel atau pelo).

19

63
MANUAL CSL IV
SISTEM NEUROPSIKIATRI

PEMERIKSAANSISTEM MOTORIKDANREFLEKS
FISIOLOGIS, PATOLOGIS DAN PRIMITIF

PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2020

64
PENDAHULUAN

Keterampilan medik adalah keterampilan motorik yang harus dikuasai oleh


seorang tenaga medik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik- baiknya.
Melalui fasilitas berupa skill lab mahasiswa dapat berlatih keterampilan–
keterampilan medik yang mereka perlukan dalam situasi latihan di laboratorium,
bukan dalam suasana kontak antara dokter-pasien di rumah sakit. Latihan
keterampilan klinik ini mengajar mahasiswa agar dapat berlatih secara trial and error,
dapat mengulang-ulang kegiatan atau tindakan yang sama (dengan kadang-kadang
melakukan kekeliruan) sampai betul-betul terampil. Keadaan seperti ini hampir tidak
mungkin dilakukan pada penderita yang sedang dirawat di rumah sakit.
Apabila keterampilan motorik sudah dikuasai, dilanjutkan dengan latihan
yang mengandung unsur emosi. Latihan ini diteruskan sampai menjadi suatu
rangkaian keterampilan medik yangkompleks.
Karena mahasiswa telah menguasai keterampilan dalam melakukan
penatalaksanaan, rasa percaya diri menjadi lebih besar, dan mahasiswa dapat bersikap
lebih baik terhadap pasien, serta mengurangi kendala-kendala emosional antara
mahasiswa dengan pasien pada waktu koass harus kontak dengan pasien.

65
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)

SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.

SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang
telah ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL

PADA SAAT UJIAN CSL


1. Ujian dapat diikuti apabila kehadiran pada kegiatan CSL minimal 100%.
2. Membawa kartu kontrol yang telah ditandatangani oleh koordinator
instruktur CSL.
3. Bagi yang tidak ikut ujian karena sakit diwajibkan membawa keterangan
bukti diagnosis dari dokter paling lambat 3 hari setelah tanggal sakit.

SANKSI PELANGGARAN TATA TERTIB CSL

1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <100% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian
CSL.

66
DAFTAR ISI

NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILA
FISIK N
IV. PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK DAN PEMERIKSAAN
REFLEKS
FISIOLOGIS, PATOLOGIS, DAN PRIMITIF
PEMERIKSAAN 1 Inspeksi: postur, habitus, 4A
SISTEM MOTORIK gerakan involunter
2 Penilaian tonus otot 4A
3 Penilaian kekuatan otot 4A
PEMERIKSAAN 1 Refleks tendon (bisep, trisep, 4A
REFLEKS FISIOLOGIS pergelangan, platela,
tumit)
2 Refleks abdominal 4A
PEMERIKSAAN 1 Tanda Hoffmann-Tromner 4A
REFLEKS 2 Respon plantar (termasuk grup 4A
PATOLOGIS Babinski)
PEMERIKSAAN 1 Snout reflex 4A
REFLEKS PRIMITIF 2 Refleks menghisap/rooting 4A
reflex
3 Refleks menggenggam 4A
palmar/grasp reflex
4 Refleks glabella 4A
5 Refleks palmomental 4A

67
DESKRIPSI KEGIATAN

Kegiatan Waktu Deskripsi


1. Pengantar 5 menit Pengantar
2.Bermain Peran 20 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
Tanya & Jawab menit 2. Dua orang dosen memberikan contoh
bagaimana cara melakukan
pemeriksaan neurologis.
Mahasiswa mengamati peragaan
dengan menggunakan Penuntun Belajar.
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
memberikan penjelasan tentang aspek-
aspek yang penting
3. Praktek bermain 70 1. Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
peran dengan Umpan menit pasangan. Diperlukan minimal seorang
Balik Instruktur untuk mengamati setiap langkah
yang dilakukan oleh paling banyak 4
pasangan.
2. Setiap pasangan berpraktek melakukan
langkah-langkah pemeriksaan
neurologis secara serentak
3. Instruktur berkeliling diantara ma-hasiswa
dan melakukan supervisi menggunakan
checklist.
4. Instruktur memberikan
pertanyaan dan umpan balik kepada setiap
pasangan
4. Curah Pendapat/ 10 1. Curah Pendapat/Diskusi : Apa yang
Diskusi menit dirasakan mudah? Apa yang sulit?
Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang pada saat melakukan
pemeriksaan Apa yang dapat dilakukan
oleh dokter agar klien merasa lebih
nyaman?
2. Instruktur membuat kesimpulan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 105
menit

68
PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK

PENGERTIAN
Segala aktifitas susunan saraf pusat yang dilihat, didengar dan direkam dan
yang diperiksa adalah berwujud gerak otot. Otot-otot skeletal dan neuron- neuron
yang menyusun susunan neuromuskular voluntar adalah sistem yang mengurus dan
sekaligus melaksanakan gerakan yang dikendalikan oleh kemauan. Sebagian besar
manifestasi kelainan saraf bermanifestasi dalam gangguan gerak otot. Manifestasi
obyektif inilah yang merupakan bukti nyata adanya suatu kelainan atau penyakit.

DASAR TEORI
Secara anatomi sistem yang menyusun pergerakan neuromuskular tersebut
terdiri atas unsur saraf yang terdiri dari (1) Neuron tingkat atas atau ‘upper motor
neuron (UMN)’ (2) Neuron tingkat bawah atau ‘lower motor neuron (LMN)’ dan
unsur muskul/otot yang merupakan pelaksana corag gerakan yang terdiri dari (3) Alat
penghubung antara saraf dan unsur otot ‘motor end plate’ dan (4) Otot.
Gaya saraf yang disalurkan melalui lintasan-lintasan neuronal adalah
potensial aksi, yang sejak dulu dijuluki impuls dan tidak lain berarti pesan. Dan
impuls yang disampaikan tersebut menghasilkan gerak otot yang kita sebut impuls
motorik. Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik ke LMN tergolong ke
dalam kelompok UMN. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik, kelompok
UMN dibagi ke dalam susunan saraf pyramidal dansusunan saraf ekstrapyramidal.
Sindrom upper motor neuron dijumpai jika terdapat kerusakan pada sistem
saraf pyramidal dan memiliki gejala berupa lumpuh, hipertoni, hiperrefleks, dan
klonus serta dapat ditemukan adanya refleks patologis. Sementara sindrom lower
motor neuron didapatkan jika terdapat kerusakan pada neuron motorik, neuraksis
neuron motorik (misalnya saraf spinal, pleksus, saraf perifer, myoneural junction dan
otot. Gejalanya berupa lumpuh, atoni, atrofi dan arefleksia.
Kelumpuhan bukanlah merupakan suatu gejala yang harus ada pada tiap
gangguan gerak. Pada gangguan gerak oleh kelainan di sistem ekstrapiramidal dan
serebellar, kita tidak mendapatkan kelumpuhan. Pada gangguan sistem
ekstrapiramidal didapatkan gangguan pada tonus otot, gerakan otot abnormal yang
tidak dapat dikendalikan, gangguan pada kelancaran otot volunteer dan gangguan
gerak otot asosiatif. Gangguan pada serebelum mengakibatkan gangguan gerak
berupa gangguan sikap dan tonus. Selain itu juga terjadi ataksia, dismetria, dan tremor
intensi. Tiga fungsi penting dari serebelum ialah

69
keseimbangan, pengatur tonus otot, dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunteer.

PEMERIKSAAN
Padatiap bagianbadan yangdapat bergerakharus dilakukan : (1) Inspeksi
(2) Palpasi (3) Pemeriksaan gerakan pasif (4) Pemeriksaan gerakan aktif (5) Koordinasi
gerak.

SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
cara-cara pemeriksaan, melakukan pemeriksaan klinis motorik dan mengetahui
aplikasi klinis dari hasil pemeriksaan.

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan sistem motorik
2. Mampu melakukan pemeriksaan motorik secara sistematik
3. Menentukan letak lesi kelumpuhanotot

MEDIA DAN ALAT BANTU


 Penuntun belajar
 Manekin otot dan saraf

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN


Demonstrasi kompetensi sesuai dengan penuntun belajar.

70
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN MOTORIK

LANGKAH KLINIK PEMERIKSAAN MOTORIK KASUS


A. UKURAN OTOT 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring dengan santai
Lakukanlah observasi pada semua otot
2 Periksalah perubahan bentuk otot (eutrofi, hipertrofi,
hipotrofi)
3 Carilah ada atau tidaknya tremor, khores, atetose,
distonia, balismus, spasme, tik, fasikulasi dan
miokloni
otot
B. TONUS OTOT 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring dengan santai.
2 Alihkanlah perhatian klien dengan mengajaknya
berbicara.
3 Gunakan kedua tangan untuk menggerakkan lengan
bawah klien di sendi siku secara pasif, lakukan berulang
kali secara perlahan dan kemudian secara
cepat
4 Nilai tahanan yang dirasakan sewaktu menekukkan
dan meluruskan tangan
5 Lakukanlah pemeriksaan jugapada sendi lutut, pada
anggota gerak kanan dan kiri,
Cara pemeriksaan lain:
Lakukan fleksi dan ekstensi pada sendi siku, lutut,
pergelangan tangan dan kaki.

1 2 3
C. KEKUATAN OTOT
1. Meminta klien berbaring, kemudian pemeriksa berdiri
disamping kanan tempat tidur klien. Suruhlah klien
mengangkat kedua lengan ke atas sampai melewati
kepala. Nilailah kekuatan lengan dengan
membandingkan kiri dan kanan. Kelemahan dapat
dilihat bila lengan yang satu lebih berat atau lebih
lambatbergerakdibandingkanlenganyanglainnya.

2 Berikan tahanan ringan sampai berat pada lengan klien


dan nilailah besar kekuatan yang dimilki oleh klien.

71
3 Hal yang sama dilakukan pada kedua tungkai.
4 Interpretasi : Kekuatan otot dinilai dalam derajat :
5 : Kekuatan normal Seluruh gerakan dapat
dilakukan berulang-ulang tanpa terlihat adanya
kelelahan
4 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan dengan benar
dan dapat melawan tahan ringan dan sedang
dari pemeriksa
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gayaberat
2 : Di dapatkan gerakan tetapi gerakan ini tidak
mampu melawan gaya berat (gravitasi)
1 : Kontraksi minimal dapat terasa atau teraba pada otot
yang bersangkutan tanpa mengakibatkan gerakan

0 : Tidak ada kontraksi sama sekali. Paralisis total.

5 Lakukan cuci tangan rutin

72
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS

PENGERTIAN
Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Gerakan yang timbul
namanya gerakan reflektorik. Semua gerakan reflektorik merupakan gerakan yang
bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk menjamin ketangkasan gerakan volunter,
maupun untuk membela diri. Bila suatu perangsangan dijawab dengan bangkitnya
suatu gerakan, menandakan bahwa daerah yang dirangsang dan otot yang bergerak
secara reflektorik terdapat suatu hubungan.

DASAR TEORI
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks)
yang terdiri atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistem eferen yang
mengaktifasi organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Bila
lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Selain lengkungan tadi didapatkan pula
hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang tugasnya memodifikasi
refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang
tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat yang lebih
tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini akan
mengakibatkan refleks meninggi.
Bila dibandingkan dengan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya, misalnya
pemeriksaan sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang bergantung kepada
kooperasi pasien. Ia dapat dilakukan pada orang yang kesadarannya menurun, bayi,
anak, orang yang rendah inteligensinya dan orang yang gelisah. Dalam sehari-hari
kita biasanya memeriksa 2 macam refleks fisiologis yaitu refleks dalam dan releks
superfisial.
Refleks dalam (refleks regang otot)
Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan,
dan sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks dalam juga dinamai refleks
regangotot (musclestretchreflex). Namalainbagirefleksdalam ini ialahrefleks tendon,
refleksperiosteal, refleks miotatikdanrefleksfisiologis.
Refleks superfisialis
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang
mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di sekitarnya. Jadi
bukan karena teregangnya otot seperti pada refleks dalam. Salah satu contohnya
adalah refleks dinding perut superfisialis (refleks abdominal).
Tingkat jawaban refleks
Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat yaitu :
- (negatif) : tidak ada refleks sama sekali
- ± : kurang jawaban, jawaban lemah

73
- + : jawaban normal
- ++ : jawaban berlebih, refleksmeningkat

TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan refleks
baik refleks fisiologis maupun refleks patologis.

SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan dengan benar
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang akan
dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukan, apa manfaatnya, serta
jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks fisiologis dengan benar dan tepat
4. Dapat melakukan pemeriksaan refleks patologis dengan benar dantepat

MEDIA DAN ALAT BANTU


 Penuntun Belajar
 Hammer Refleks

METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.

10

74
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
REFLEKS DALAM (REFLEKS REGANG OTOT)

NO LANGKAH / KEGIATAN KASUS


A. PEMERIKSAAN REFLEK BISEPS 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang dengan santai
2 Fleksikanlah lengan bawah klien di sendi siku
3 Letakkanlah tangan klien di daerah perut di bawah
umbilikus
4 Letakkanlah ibu jari pemeriksa pada tendo biseps klien
lalu ketuklah tendo tersebut palu
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:

B. PEMERIKSAAN REFLEKS TRISEPS 1 2 3


1 Mintalah klien berbaring dengan santai
2 Fleksikan lengan bawah klien di sendi siku dan tangan
sedikit dipronasikan
3 Letakkanlah tangan klien di daerah perut di atas
umbilikus
4 Ketuklah tendo otot triseps pad a fosa olekrani

11

75
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :

C. PEMERIKSAAN REFLEKS BRAKHIORADIALIS 1 2 3


1 Mintalah klien berbaring dengan santai
2 Posisikan lengan bawah klien dalam posisi setengah
fleksi dan tangan sedikit dipronasikan
3 Mintalah klien untuk merelaksasikan lengan bawahnya
sepenuhnya
4 Ketuklah pada processus styloideus
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :

D. PEMERIKSAAN REFLEKS PATELLA 1 2 3


1 Mintalah klien berbaring telentang dengan santai
2 Letakkan tangan pemeriksa di belakang lutut
3 Fleksikan tungkai klien pada sendi lutut 1 2 3
4 Ketuklah pada tendon muskulus kuadriseps femoris di
bawah patella

12

76
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :

E. PEMERIKSAAN REFLEKS ACHILLES 1 2 3


1 Mintalah klien berbaring dengan santai
2 Fleksikan tungkai bawah sedikit, kemudian pegang kaki
pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsofleksi
ringan pada kaki
3 Ketuklah pada tendo achilles
4 Lakukan cuci tangan rutin
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :

13

77
14

78
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
REFLEKS SUPERFISIALIS

NO LANGKAH / KEGIATAN KASUS


PEMERIKSAAN REFLEK DINDING PERUT SUPERFISIALIS 1 2 3
(REFLEKS ABDOMINALIS)
1 Mintalah klien berbaring telentang dengan santai
2 Posisikan kedua lengan pasien berada di samping
badan
3 Goreslah dinding perut dengan benda yang agak runcing,
misalnya ujung gagang palu refleks, kayu geretan atau
kunci. Penggoresan dilakukan dengan dari samping
menuju ke garis tengah perut pada setiap
segmen (pada berbagai lapangan dinding perut)
4 Segmenepigastrium(otot yangberkontraksi diinervasi
oleh Th 6 – Th 7)
5 Supraumbilikus(perut bagianatas, diinervasioleh Th 7
– Th 9)
6 Umbilikus (perut bagian tengah, diinervasi oleh Th 9 –
Th 11)
7 Infraumbilikus ( perut bagian bawah, diinervasi oleh Th
11, Th 12 dan lumbal atas)
8 Lakukan cuci tangan rutin
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:

A B
A. Goresan pada kulit dinding perut untuk
membangkitkan reflekskulit dinding perut
B. Refleks dinding perut superfisialis
INTERPRETASI :
(+) Jika terdapat kontraksi otot, dimana terlihat pusar

15

79
bergerak kea rah otot yang berkontraksi.
(-) Biasanya negatif pada wanita normal yang banyak anak
(sering hamil), yang dinding perutnya lembek, demikian
jugapadaoranggemukdanorangusialanjut,
juga pada bayi baru lahir sampai usia 1 tahun.
Pada orang muda yang otot -otot dinding perutnya
berkembang baik, bila refleks ini negatif (-), hal ini
mempunyai nilai patologis.
Refleks dinding perut superfisialis menghilang pada lesi
piramidalis. Hilangnya refleks ini berkombinasi dengan
meningkatnya refleks otot dinding perut adalah khas bagi
lesi di susunan piramidalis. Pada keadaan-keadaan perut
tersebut di atas dan lesi di segmen-segmen medulla
spinalis yang dilintasi busur refleks kulit dinding perut,
sudah barang tentu refleks kulit dinding
perut tidak dapat dibangkitkan.

16

80
PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS

PENGERTIAN
Refleks patologik adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada
orang-rang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan merupakan
gerakan reflektorik defendif atau postural yang pada orang dewasa yang sehat
terkelola dan ditekan oleh akifitas susunan piramidalis. Anak kecil umur antara 4 – 6
tahun masih belum memiliki susunan piramidal yang sudah bermielinisasi penuh,
sehingga aktifitas susunan piramidalnya masih belum sepmpirna. Maka dari itu
gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologik pada orang dewasa tidak
selamanya patologik jika dijumpai pada anak- anak kecil, tetapi pada orang dewasa
refleks patologikselalu merupakan tanda lesi UMN.
Refleks-refleks patologik itu sebagian bersifat refleks dalam dan sebagian
lainnya bersifat refleks superfisialis. Reaksi yang diperlihatkan oleh refleks
patologik itu sebagian besar adalah sama, akan tetapi mendapatkan julukan yang
bermacam-macam karena cara membangkitkannya berbeda-beda. Adapun refleks-
refleks patologik yang sering diperiksa di dalam klinik antara lain refleks Hoffmann,
refleks Tromner dan ekstensor plantar response atau tanda Babinski.

SASARAN BELAJAR
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
refleks patologis.

SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan denganbenar.
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang akan
dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukan, apa manfaatnya, serta
jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks patologis dengan benar dan tepat

MEDIA DAN ALAT BANTU


 Penuntun Belajar
 Hammer Refleks

METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar

17

81
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS

NO LANGKAH KEGIATAN KASUS


/
A. PEMERIKSAAN REFLEKS HOFFMANN 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
2 Tangan klien kita pegang pada pergelangan dan jari-
jarinya disuruh fleksi-entengkan
3 Jari tengah penderita kita jepit di antara telunjuk dan
jari tengah kita.

4 Dengan ibu jari kita ”goreskuat” ujung jari tengah klien


ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila goresan kuat tadi mengakibatkan
fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari.
Kadang disertai fleksi jari lainnya.

B. PEMERIKSAAN REFLEKS TROMNER 1 2 3


1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
2 Tangan klien kita pegang pada pergelangan dan jari-
jarinya disuruh fleksi-entengkan
3 Jari tengah penderita kita jepit di antara telunjuk dan
jari tengah (ibu jari) kita.
4 Dengan jari tengahkitamencolek-colekujungjari klien

18

82
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila goresan kuat tadi mengakibatkan
fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari.
Kadang disertai fleksi jari lainnya.

C. PEMERIKSAAN REFLEKS BABINSKI (EXTENSOR 1 2 3


PLANTAR
RESPONSE)
1 Mintalah klien berbaring dan istirahat dengan tungkai
diluruskan.
2 Kita (pemeriksa) memegang pergelangan kaki klien
supaya tetap pada tempatnya.
3 Telapak kaki klien digores dengan menggunakan ujung
gagang palu refleks secara perlahan dan tidak
menimbulkan rasa nyeri untuk menghindari refleks
menarik kaki.
Goresan dilakukan pada telapak kaki bagian lateral,
mulai dari tumit menuju pangkal ibu jari.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

A. Cara menggores
B. Ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan
jari-jari kaki

19

83
INTERPRETASI :
Positif (+) jika didapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari ,
yang dapat disertai mekarnya jari-jari lainnya.

20

84
PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF

PENGERTIAN
Refleks primitif adalah gerakan reflektorik yang bangkit secara fisiologik
pada bayi dan tidak dijumpai lagi pada anak-anak yang sudah besar. Bilamana pada
orang dewasa refleks tersebut masih dapat ditimbulkan, maka fenomena itu
menandakan kemunduran fungsi susunan saraf pusat. Adapun refleks-refleks yang
menandakan proses regresi tersebut ialah refleks menetek, snout reflex, refleks
memegang (grasp refleks), refleks glabella dan refleks palmomental.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
refleks primitif.

SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan denganbenar.
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang
akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukannya, apa manfaatnya,
serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks primitif dengan benar dan tepat.

MEDIA DAN ALAT BANTU


 Penuntun Belajar
 Hammer Refleks

METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.

21

85
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF

NO LANGKAH KEGIATAN KASUS


/
A. PEMERIKSAAN ‘SNOUT REFLEX’ 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
2 Stimulasi klien dengan melakukan perkusi pada bibir
atas
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila bibiratasdanbawah menjungur
atau kontraksi otot-otot di sekitar bibir atau di bawah
hidung.
B. PEMERIKSAAN REFLEKS MENGHISAP (ROOTING 1 2 3
REFLEX)
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
2 Stimulasi klien dengan memberikan sentuhan pada
bibir / menyentuhkan sesuatu benda pada bibir
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

22
86
INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila stimulasi tersebut menimbulkan
gerakan bibir, rahang bawah seolah-olah menetek.
C. PEMERIKSAAN REFLEKS MENGGENGGAM 1 2 3
PALMAR/ GRASP REFLEX
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk dengan
santai
2 Lakukan stimulasi dengan penekanan atau
penempatan jari pemeriksa padatelapaktangan klien
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:

INTERPRETASI :
Refleks positif (+) jika tangan klien mengepal
D. REFLEKS GLABELLA 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk dengan
santai
2 Lakukan stimulasi dengan pukulan singkat pada
glabella atau sekitar daerah supraorbitalis.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:

23

87
Refleks positif (+), bila terdapat kontraksi sing kat pada
kedua otot orbikularis okuli.
Pada lesi perifer nervus fasialis, refleks ini berkurang atau
negatif, sedangkan pada sindrom Parkinson refleks ini
sering meninggi. Pusat refleks ini terletak di
Pons.
E. REFLEKS PALMOMENTAL 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk dengan
santai
2 Lakukan stimulasi dengan goresan ujung pensil atau
ujung gagang palu refleks terhadap kulit telapak
tangan bagian tenar
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:

Refleks positif (+), bila terdapat kontraksi pada


muskulus mentalis dan orbikularis oris ipsilateral.

24

88
MANUAL CSL IV SISTEM
NEUROPSIKIATRI

PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK DAN


SISTEM KOORDINASI

PENYUSUN:
Dr.dr. Susi Aulina, Sp.S(K)
Dr. dr. A. Kurnia Bintang, sp.S(K), MARS
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2020

89
PENDAHULUAN

Keterampilan medik adalah keterampilan motorik yang harus dikuasai


oleh seorang tenaga medik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-
baiknya. Melalui fasilitas berupa skill lab mahasiswa dapat berlatih
keterampilan– keterampilan medik yang mereka perlukan dalam situasi latihan
di laboratorium, bukan dalam suasana kontak antara dokter-pasien di rumah
sakit. Latihan keterampilan klinik ini mengajar mahasiswa agar dapat berlatih
secara trial and error, dapat mengulang-ulang kegiatan atau tindakan yang sama
(dengan kadang-kadang melakukan kekeliruan) sampai betul-betul terampil.
Keadaan seperti ini hampir tidak mungkin dilakukan pada penderita yang sedang
dirawat di rumah sakit.
Apabila keterampilan motorik sudah dikuasai, dilanjutkan dengan latihan
yang mengandung unsur emosi. Latihan ini diteruskan sampai menjadi suatu
rangkaian keterampilan medik yang kompleks.
Karena mahasiswa telah menguasai keterampilan dalam melakukan
penatalaksanaan, rasa percaya diri menjadi lebih besar, dan mahasiswa dapat
bersikap lebih baik terhadap pasien, serta mengurangi kendala-kendala
emosional antara mahasiswa dengan pasien pada waktu koass harus kontak dengan
pasien.

90
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL
LABORATORY)

SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.

SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan bahan
yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL

PADA SAAT UJIAN CSL


1. Ujian dapat diikuti apabila kehadiran pada kegiatan CSL minimal 100%.
2. Membawa kartu kontrol yang telah ditandatangani oleh koordinator
instruktur CSL.
3. Bagi yang tidak ikut ujian karena sakit diwajibkan membawa keterangan
bukti diagnosis dari dokter paling lambat 3 hari setelah tanggal sakit.

SANKSI PELANGGARAN TATA


TERTIB CSL

1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan


jadwal rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <100% dari
seluruh jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti
ujian CSL.

91
DAFTAR ISI

NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILAN
V. PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK DAN KOORDINASI
SISTEM SENSORIK Penilaian sensasi nyeri 4A
Penilaian sensasi suhu 4A
Penilaian sensasi raba 4A
halus
Penilaian rasa posisi 4A
(proprioseptif)
Penilaian sensasi 4A
diskriminatif (misal
streognosis)
TES KOORDINASI Inspeksi cara berjalan 4A
(gait)
Shallow knee bend 4A
Tes Romberg 4A
Tes Romberg dipertajam 4A
Tes telunjuk hidung 4A
Tes tumit lutut 4A
Tes untuk disdiadokinesis 4A

92
DESKRIPSI KEGIATAN

Kegiatan Waktu Deskripsi


1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain Peran 20 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
Tanya & Jawab menit 2. Dua orang dosen memberikan contoh
bagaimana cara melakukan
pemeriksaan neurologis.
Mahasiswa mengamati peragaan
dengan menggunakan Penuntun Belajar.
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
memberikan penjelasan tentang aspek-
aspek yang penting
3. Praktek bermain 70 1. Mahasiswa dibagi menjadi
peran dengan menit pasangan-pasangan. Diperlukan minimal
Umpan Balik seorang Instruktur untuk mengamati
setiap langkah yang dilakukan oleh
paling banyak 4 pasangan.
2. Setiap pasangan berpraktek
melakukan langkah- langkah
pemeriksaan neurologis secara serentak
3. Instruktur berkeliling diantara
ma-hasiswa dan melakukan supervisi
menggunakan check list.
4. Instruktur memberikan
pertanyaan dan umpan balik kepada
setiap pasangan

4. Curah Pendapat/ 10 1. Curah Pendapat/Diskusi : Apa yang


Diskusi menit dirasakan mudah? Apa yang sulit?
Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang pada saat melakukan
pemeriksaan Apa yang dapat dilakukan
oleh dokter agar klien merasa lebih
nyaman?
2. Instruktur membuat kesimpulan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti

Total waktu 105


menit

93
SISTEM SENSORIK

PENGERTIAN
Sistem sensorik adalah sistem yang mengubungan manusia dengan dunia
luar. Informasi yang diterima oleh reseptor menjadi petanda bagi tubuh untuk
memberikan respon. Sistem sensorik dibagi menjadi 2 yaitu exteroceptif dan
proprioceptif.

Gejala sensorik dapat diklasifikasikan dalam 5 golongan


yaitu :

1. Hilang perasaan kalau dirangsang (anestesia)


2. Perasaan terasa berelebihan kalau dirangsang (hipersetesia)
3. Perasaan yang timbul secara spontan, tanpa adanya perangsangan
(parestesia)
4. Nyeri

SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
patomekanisme keluhan sensorik, penyakit-penyakit yang terkait, dan mampu untuk
melakukan pemeriksaan klinis yang berhubungan dengan sistem sensorik.

MEDIA DAN ALAT BANTU


Penuntun Belajar.

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN


Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.

94
PENUNTUN
PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK DAN SISTEM
KOORDINASI

NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. PEMERIKSAAN SENSASI TAKTIL/RABA 1 2 3
1 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2 Memilih dengan benar alat yang akan digunakan
3 Memberikan rangsangan secara ringan tanpa memberi
tekanan jaringan subkutan
4 Meminta penderita untuk menyatakan “YA” atau
“TIDAK” pada setiap perangsangan
5 Meminta penderita untuk menyebutkan daerah yang
dirangsang
6 Meminta penderita untuk membedakan dua titik yang
dirangsang
II. PEMERIKSAAN SENSASI NYERI 1 2 3
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Mata klien tertutup.
3 Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum tadi
terhadap dirinya sendiri.
4 Tekanan terhadap kulit klien seminimal mungkin,
jangan sampai menimbulkan perlukaan.
5 Klien jangan ditanya: apakah Anda merasakan ini atau
apakah ini runcing?
6 Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan ujung
jarum dan kepala jarum secara bergantian, sementara
itu penderita diminta untuk menyatakan sensasinya sesuai
dengan pendapatnya.
7 Klien juga diminta untuk menyatakan apakah terdapat
perbedaan intensitas ketajaman rangsangan di daerah
yang berlainan.
8 Apabila dicurigai ada daerah yang sensasinya menurun
maka rangsangan dimulai dari daerah tadi menuju ke
arah yang normal.
1 2 3
III. PEMERIKSAAN SENSASI NYERI DALAM
ATAU NYERI TEKAN
1 Massa otot, tendo atau saraf yang dekat permukaan
ditekan dengan ujung jari atau dengan (menekan di
antara jari telunjuk dan ibu jari). Penderita diminta
untuk menyatakan apakah ada perasaan nyeri atau
tidak; pernyataan ini dicocokkan dengan intensitas
tekanan.

95
IV. PEMERIKSAAN SENSASI TEKAN 1 2 3
1 Penderita dalam posisi terbaring dan mata tertutup.
2 Ujung jari atau benda tumpul ditekankan atau
disentuhkan lebih kuat terhadap kulit.
3 Di samping itu, dapat diperiksa dengan menekankan
struktur subkutan, misalnya massa otot, tendo, dan
saraf itu sendiri, baik dengan benda tumpul atau
dengan ’’cubitan’’ dengan skala yang lebih besar.
4 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada
tekanan dan sekaligus diminta untuk mengatakan
daerah mana yang ditekan tadi.
V. PENILAIAN SENSASI SUHU 1 2 3
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Penderita lebih baik dalam posisi berbaring.
3 Mata penderita tertutup
4 Tabung dingin/panas terlebih dahulu dicoba terhadap diri
pemeriksa.
Tabung ditempelkan pada kulit penderita, dan
penderita diminta untuk menyatakan apakah terasa dingin
atau panas.
5 Sebagai variasi, penderita dapat diminta untuk
menyatakan adanya rasa hangat.
6 Pada orang normal, adanya perbedaan suhu 2-5 oC
sudah mampu untuk mengenalinya.
VI.PEMERIKSAAN SENSASI GERAK DAN 1 2 3
1 Mata penderita tertutup
Penderita dapat duduk atau berbaring.
2 Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan
relaksasi dan
digerakkan secara pasif oleh pemeriksa, dengan
sentuhan seringan mungkin sehingga dihindari adanya
tekanan terhadap jari-jari tadi.
3 Jari yang diperiksa harus ’’dipisahkan’’ dari jari–jari
di sebelah kiri/ kanannya sehingga tidak bersentuhan,
sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh melakukan
gerakan aktif seringan apapun.
4 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada
perubahan posisi jari ataupun apakah ada gerakan pada
jarinya.
5 Apabila diperoleh kesan adanya gangguan sensasi gerak
dan posisi, maka dianjurkan untuk memeriksa bagian
tubuh lain yang ukurannya lebih besar, misalnya

96
tungkai bawah atau lengan bawah.
6 Cara lain ialah dengan menempatkan jari-jari salah satu
tangan penderita pada posisi tertentu, sementara itu,
mata penderita tetap tertutup; kemudian penderita diminta
untuk menjelaskan posisi jari-jari tadi ataupun
menirukan posisi tadi pada tangan yang satunya lagi.
VII.PEMERIKSAAN SENSASI GETAR / 1 2 3
1 Getarkan garpu tala terlebih dahulu, dengan jalan ujung
garpu tala dipukulkan pada benda padat/keras yang
lain.
2 Kemudian pangkal garpu tala segera ditempelkan pada
bagian tubuh tertentu.
3 Yang dicatat ialah tentang intensitas dan lamanya
vibrasi.
4 Kedua hal tersebut bergantung pada kekuatan
penggetaran garpu tala dan interval antara
penggetaran garpu tala tadi dengan saat peletakan
garpu tala pada bagian tubuh yang diperiksa.

97
TEST KOORDINASI

PENGERTIAN
Kemampuan mensinergiskan secara normal faktor motorik, sensorik
dalam melakukan gerakan normal. Serebelum digunakan untuk gerakan
sinergistik tersebut, oleh sebab itu serebelum adalah pusat koordinasi.
Gangguan koordinasi dapat disebabkan oleh disfungsi serebelum, sistem
motorik, sistem ekstrapiramidal, gangguan psikomotor, gangguan tonus,
gangguan sensorik (fungsi proprioseptik), sistem vestibular, dll. Gangguan
koordinasi dibagi menjadi gangguan equilibratory dan non equilibratory.

TUJUAN BELAJAR
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
fungsi koordinasi.

SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat mempersiapkan klien dengan baik
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang
akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukan, apa manfaatnya,
serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan fungsi koordinasi dengan benar dan tepat

MEDIA DAN ALAT BANTU


Penuntun Belajar.

METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.

98
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN SISTEM
KOORDINASI

NO. LANGKAH KLINIK KASUS


PEMERIKSAAN FUNGSI
I. TES-TES EQUILIBRIUM
1.TES 1 2 3
1 Klien diminta berdiri dengan kedua kaki saling
merapat, pertama kali dengan mata terbuka,
kemudian dengan mata tertutup.
2 Tes ini untuk membedakan lesi propriseptif (sensori
ataxia) atau lesi cerebellum. Pada gangguan
propsrioseptif jelas sekali terlihat perbedaan antara
membuka dan menutup mata. Pada waktu membuka
mata klien masih sanggup berdiri tegak, tetapi begitu
menutup mata klien langsung kesulitan
mempertahankan diri dan jatuh. Pada lesi cerebellum
waktu membuka dan menutup mata klien kesulitan
berdiri tegak dan cenderung berdiri dengan kedua
kaki yang lebar (wide base)

2. TANDEM WALKING 1 2 3
1 Klien diminta berjalan pada satu garis lurus di atas
lantai,
2 Tempatkan tumit yang satu didepan jari-jari kaki
berlawanan, baik dengan mata terbuka maupun mata
tertutup
II. TES-TES NON EQUILIBRIUM
1. Finger to Nose test 1 2 3
1 Dengan posisi duduk/berbaring meminta klien
mengekstensikan lengannya.
2. Mintalah klien menyentuh ujung hidungnya dengan
jari telunjuknya dengan gerakan perlahan kemudian
dengan gerakan yang cepat.
2. Disdiadokinesia 1 2 3
1. Klien diminta menggerakkan kedua tangannya
bergantian, pronasi dan supinasi dengan posisi siku
diam
2. Mintalah klien melakukan gerakan tersebut secepat
mungkin, baik dengan mata terbuka maupun dengan
mata terututup
Gangguan diadokinesia disebut disdiadokinesia
SETELAH SELESAI PEMERIKSAAN

10

99
1. Jelaskanlah pada klien apa yang anda dapatkan pada
semua pemeriksaan yang telah dilakukan.
2. Ucapkanlah kata perpisahan dengan klien dan
usahakanlah membesarkan hati klien dengan harapan-
harapan.
3. Lakukanlah cuci tangan rutin.

11

100
MANUAL CSL IV
SISTEM NEUROPSIKIATRI

PEMERIKSAANNEUROLOGIKLAINNYA
DETEKSI KAKU KUDUK
PENILAIAN FONTANEL
PEMERIKSAAN SINDROMA JEBAKAN
 TINNEL TEST DAN PHALEN TEST
 TANDA LASEQUE
TANDA PATRICK DAN KONTRA
PATRICK TANDA CHVOSTEK

PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr.DeviWuysang,M.Si,Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

101
PENDAHULUAN
Keterampilan medik adalah keterampilan motorik yang harus dikuasai oleh
seorang tenaga medik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik- baiknya.
Melalui fasilitas berupa skill lab mahasiswa dapat berlatih keterampilan–
keterampilan medik yang mereka perlukan dalam situasi latihan di laboratorium,
bukan dalam suasana kontak antara dokter-pasien di rumah sakit. Latihan
keterampilan klinik ini mengajar mahasiswa agar dapat berlatih secara trial and error,
dapat mengulang-ulang kegiatan atau tindakan yang sama (dengan kadang-kadang
melakukan kekeliruan) sampai betul-betul terampil. Keadaan seperti ini hampir tidak
mungkin dilakukan pada penderita yang sedang dirawat di rumah sakit.
Apabila keterampilan motorik sudah dikuasai, dilanjutkan dengan latihan
yang mengandung unsur emosi. Latihan ini diteruskan sampai menjadi suatu
rangkaian keterampilan medik yangkompleks.
Karena mahasiswa telah menguasai keterampilan dalam melakukan
penatalaksanaan, rasa percaya diri menjadi lebih besar, dan mahasiswa dapat bersikap
lebih baik terhadap pasien, serta mengurangi kendala-kendala emosional antara
mahasiswa dengan pasien pada waktu koass harus kontak dengan pasien.

102
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.

SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang
telah ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL

PADA SAAT UJIAN CSL


1. Ujian dapat diikuti apabila kehadiran pada kegiatan CSL minimal 100%.
2. Membawa kartu kontrol yang telah ditandatangani oleh koordinator
instruktur CSL.
3. Bagi yang tidak ikut ujian karena sakit diwajibkan membawa keterangan
bukti diagnosis dari dokter paling lambat 3 hari setelah tanggal sakit.

SANKSI PELANGGARAN TATA TERTIB CSL

1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <100% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian
CSL.

103
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILA
FISIK N
VI. PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI LAINNYA
Deteksi kaku kuduk 4A
Penilaian fontanel 4A
Tanda Lasegue 4A
Tanda Patrick dan 4A
kontra-Patrick
Tanda Chvostek 4A
Tes sindroma jebakan 4A
(Tinel’s test dan
Phalent’s test)

104
DESKRIPSI KEGIATAN

Kegiatan Waktu Deskripsi


1. Pengantar 5 menit Pengantar
2.Bermain Peran 20 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
Tanya & Jawab menit 2. Dua orang dosen memberikan contoh
bagaimana cara melakukan
pemeriksaan neurologis.
Mahasiswa mengamati peragaan
dengan menggunakan Penuntun Belajar.
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
memberikan penjelasan tentang aspek-
aspek yang penting
3. Praktek bermain 70 1. Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
peran dengan Umpan menit pasangan. Diperlukan minimal seorang
Balik Instruktur untuk mengamati setiap langkah
yang dilakukan oleh paling banyak 4
pasangan.
2. Setiap pasangan berpraktek melakukan
langkah-langkah pemeriksaan
neurologis secara serentak
3. Instruktur berkeliling diantara ma-hasiswa
dan melakukan supervisi menggunakan
checklist.
4. Instruktur memberikan
pertanyaan dan umpan balik kepada setiap
pasangan
4. Curah Pendapat/ 10 1. Curah Pendapat/Diskusi : Apa yang
Diskusi menit dirasakan mudah? Apa yang sulit?
Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang pada saat melakukan
pemeriksaan Apa yang dapat dilakukan
oleh dokter agar klien merasa lebih
nyaman?
2. Instruktur membuat kesimpulan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 105
menit

105
PEMERIKSAAN KAKU KUDUK
(TANDA RANGSANG MENINGES)

PENGERTIAN
Rangsangan selaput otak adalah gejala yang timbul akibat peradangan pada
selaput otak (meningitis) atau adanya benda asing pada ruang suarachnoid (darah),
zat kimia (kontras) dan invasi neoplasma (meningitis carcinoma). Manifestasi
subyektif adalah sakit kepala, kuduk kaku, fotofobia dll.
Yang perlu diperhatikan adalah timbulnya gejala yang disebut meningismus,
yaitu pada pemeriksaan fisik terdapat rangsangan selaput otak, tetapi tidak ada proses
patologis di daerah selaput otak tersebut melainkan di luar kranium (misalnya
mastoiditis)

DASAR TEORI
Adanya penyakit yang menyebabkan iritasi pada meninges akan
menyebabkan timbulnya tanda rangsang meninges. Pemeriksaan tanda rangsang meninges
yang diajarkan pada manual ini antara lain: pemeriksaan kaku kuduk, Kernig’s sign,
Brudzinski I, II, III, dan IV.
Proses iritasi meninges yang menimbulkan gambaran meningismus (kaku
kuduk) terjadi akibat refleks spasme otot-otot paravertebral. Posisi medulla spinalis
yang terletak di bagian belakang vertebra membuat medulla
spinalismeregangapabilaterjadigerakanfleksi. Oleh karena batang otak relative
terfiksir, menyebabkan hanya medulla spinalis dan menginges yang inflamasi
semakin tertarik keatas. Regangan maksimal terjadi pada struktur paling bawah dari
vertebra, seperti nervus femoralis dan nervus sciatik yang melalui cauda ekuina. Pada
pasien dengan inflamasi dan iritasi meninges, peregangan pada struktur yang
mengalami inflamasi memberikan stimulasi pada radiks nervus afferent dan kemudian
pada pusat refleks intraspinal. Stimulasi ini mengakibatkan impuls tonik pada
muskulus aksialis posterior yang menimbulkan spasme muskulus ekstensor sebagai
mekanisme protektif. Manifestasi klinis dari spasme otot inilah yang disebut kaku
kuduk, oleh karena manuver yang meregangkan elemen neural dan meninges pada
canalis spinalis memberikan mekanisme protektif untuk meminimalisir tekanan pada
struktur yang terinflamasi. Sebagai contoh, spasme otot servikal menimbulkan kaku
kuduk, dan spasme otot-otot lumbal bermanifestasi sebagai Kernig’s sign.
Meskipun meningeal sign sangat indikasi untuk mendiagnosis meningitis,
tetapi hal tersebut tidaklah patognomonik. Meningitis bacterial mempunyai kontribusi
sekitar 30% dari kasus dengan tanda meningeal, virus 13%, pneumonia 8%, infeksi
bakteri lain 2% dan infeksi saluran napas atas dan penyakit autoimun 46% dari kasus
yang ada. Adanya rangsang meningeal menandakan adanya gejala iritasi mengingeal.

106
Sasaran Belajar :
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
patomekanisme kuduk kaki, penyakit-penyakit yang menyebabkan kuduk kaku,
dan pemeriksaan klinis kaku kuduk.

SASARAN PEMBELAJARAN
 Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan tanda rangsangmenings.
 Menentukan penyebab timbulnya tanda rangsang menings sehingga dapat
membedakan apakah gejala tersebut adalah suatu meningismus.
 Memberikan penanganan awal serta persiapan rujukan pasien.

MEDIA DAN ALAT BANTU


 Penuntun belajar

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN


Demonstrasi kompetensi sesuai dengan penuntun belajar.

107
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN RANGSANG MENINGES

LANGKAH KLINIK PEMERIKSAAN


NO TANDA RANGSANG MENINGES KASUS
A. KAKU KUDUK 1 2 3
1. Pemeriksa berada di sebelah kanan pasien. Mintalah
pasien berbaring telentang tanpa bantal.
2 Tempatkan tangan kiri di bawah kepala pasien
yang sedang berbaring, tangan kanan berada
diatas dada
pasien.
3. Rotasikan kepala pasien ke kiri dan ke kanan untuk
memastikan pasien sedang dalam keadaan rileks .
4. Tekukkan (fleksikan) kepala pasien secara pasif dan
usahakan agar dagu mencapai dada.
5 Melakukan Interpretasi:
 Kaku kuduk negatif(normal)
 Kaku kuduk positif (abnormal)
bilaterdapat tahanan
ataudagutidakmencapai dada.
 Meningismus apabila pada saat kepala dirotasikan ke
kiri, ke kanan, dan di-fleksi-kan, terdapat
tahanan.
B. KERNIG’S SIGN 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Fleksikan salah satu paha pasien pada persendian
panggul sampai membuat sudut 90 derajat.
3. Ekstensikan t ungkai bawah sisi yang sama pada
persendian lutut sampai membuat sudut 135
derajat
atau lebih.
4. Lakukan Interpretasi:
Kernig’s sign: negatif (= Normal, apabila ektensi
lutut mencapai minimal 135 derajat)
Kernig’s sign positif (= Abnormal, yaituapabila tidak
dapat mencapai 135 derajat atau terdapat rasa nyeri.
5. Lakukanhalyangsamauntuktungkai sebelahnyadan
interpretasikan hasilnya.
C. BRUDZINSKI I 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang tanpa bantal kepala.
Pemeriksa berada di sebelah kanan pasien.
2. Letakkantangankiridibawahkepala, tangankanandi atas
dada kemudian lakukan fleksi kepala dengan cepat
kearah dada pasien sejauh mungkin.

108
3. Lakukan Interpretasi :
Brudzinski Inegatif(Normal) bilapadasaat fleksi
kepala, tidak terjadi fleksi involunter
keduatungkai pada sendi lutut
Brudzinski I positif (abnormal) bila terjadi fleksi
involunter kedua tungkai pada sendi lutut.
D. BRUDZINSKI II 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Fleksikan satu tungkai pada sendi lutut,
kemudiansecara pasif lakukan fleksi maksimal pada
persendian panggul, sedangkan tungkai yang satu
berada dalam kedaan ekstensi (lurus).
3 Lakukan Interpretasi :Brudzinski II positif (abnormal)
bila tungkai yangdalamposisiekstensiterjadifleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut. Brudzinski II
negatif (normal) apabila tidak terjadi apa-apa.
4 Lakukan hal yang sama untuk tungkai yang satunya.
Interpretasikan hasil pemeriksaan Anda.
E. BRUDZINSKI III 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Lakukan penekanan padakedua os zygomatikus kiri dan
kanandengan menggunakan ibu jari pemeriksa.
3. Lakukan Interpretasi:
Brudzinski III positif (abnormal) apabila terjadi fleksi
involunter kedua ekstremitas superior pada sendi siku.
Brudzinski III negatif (normal) apabila tidak terjadi apa-
apa saat penekanan os zygomaticus.
F. BRUDZINSKI IV 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Lakukanpenekananpadasymphysisospubisdengan
tangan kanan pemeriksa.
3. Lakukan Interpretasi:
Brudzinski IV positif (abnrmal) apabila terjadi fleksi
involunterkedua tungkai pada sendi lutut. Brudzinski
IV
negatif (normal) apabila tidak terjadi apa-apa.

109
PEMERIKSAAN FONTANEL/ KEPALA

PENGERTIAN
Fontanel (latin: fonticuli cranii) adalah bagian lunak di antara tulang
tengkorak kepala pada bagian atas dan belakang kepala bayi. Fontanel berasal dari
bahasa Italia, yaitu Fontanella yang berarti air mancur kecil. Fontanel akan berubah
sedikit mengecil pada saat proses kelahiran dan akan menghilang seiring dengan
pertumbuhan bayi.
Fontanel terdiri dari dua bagian yaitu bagian belakang yang disebut
posterior dan bagian atas yang disebut anterior. Lebar fontanel anterior dapat
mencapai 5 cm. Posterior memiliki bentuk segitiga dan lebih kecil dari fontanel
bagian atas atau anterior. Bagian ini akan tertutup dan terbentuk sempurna saat bayi
berusia 6 – 8 minggu. Bentuknya menyerupai segitiga dan ukuran diameternya
kurang dari 1,25 cm. Sedangkan Anterior umumnya baru akan tertutup saat bayi
berusia 18 bulan. Hal ini akan memberikan kesempatan bagi otak anak untuk
berkembang maksimal. Karena teksturnya yang lunak, fontanel dapat mempengaruhi
bentuk kepala bayi.

Gambar 1.
Tengkorang bayi baru lahir yang menunjukan anterior dan posterior fontanel.

Gambar 2.
Tengkorang bayi baru lahir yang menunjukan fontanel bagian samping

110
DASAR TEORI
Fontanel bisa digunakan untuk mendiagnosis kesehatan bayi. Pada
pemeriksaan fisik kepala untuk menilai fontanel, seorang pemeriksa harus menilai
garis sutura dan fontanel, apakah ukuran dan tampilannya normal. Sutura yang
berjarak lebar mengindikasikan bayi preterm, moulding yang buruk atau hidrosefalus.
Pada kelahiran spontan letak kepala, sering terlihat tulang kepala tumpang tindih yang
disebut moulding/moulase. Keadaan ini normal kembali setelah beberapa hari
sehingga ubun-ubun mudah diraba.
Perhatikan ukuran dan ketegangannya. Fontanel anterior harus diraba,
fontanel yang besar dapat terjadi akibat prematuritas atau hidrosefalus, sedangkan
yang terlalu kecil terjadi pada mikrosefali. Jika fontanel menonjol, hal ini diakibatkan
peningkatan tekanan intakranial (misalnya pada meningitis atau terjadi infeksi),
sedangkan yang cekung dapat tejadi akibat dehidrasi. Terkadang teraba fontanel
ketiga antara fontanel anterior dan posterior, hal ini terjadi karena adanya trisomi 21.

TUJUAN PEMBELAJARAN
 Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan fontanel.
 Memberi pengetahuan tentang hal-hal patologis yang berhubungan dengan
ukuran fontanel, cepat dan lambatnya penutupan fontanel serta tekanan pada
fontanel.
 Memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang hal-hal yang
merupakan kondisi emergensi yang terkait dengan masalah fontanel.

MEDIA DAN ALAT BANTU


Manekin bayi/bayi umur kurang dari 2 tahun

10

111
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN
FONTANEL

LANGKAH KLINIK PEMERIKSAAN


NO FONTANEL /KEPALA KASUS
1 2 3
A. INSPEKSI DAERAH KEPALA
Lakukan penilaian pada bagian kepala antara lain :
1 Maulageyaitutulangtengkorakyangsalingmenumpuk
pada saat lahir, asimetris atau tidak
2 Ada tidaknya caput suksedanum, yaitu edema di kepala,
lunak dan tidak berfluktuasi, batasnya tegas dan
menyeberangi sutura dan akan hilang dalam
beberapa hari.
3 Ada tidaknya cephal hematoma, yang terjadi sesaat
setelah lahir dan tidak tampak pada hari pertama karena
tertutupoleh caput. Akanhilangdalamwaktu 2-
6 bulan.
4 Ada tidaknya perdarahan, yang terjadi karena
pecahnya vena yang menghubungkan jaringan diluar
sinus dalam tengkorak. Batasnya tidak tegas.
B. PALPASI KEPALA
Lakukan palpasi sepanjang garis sutura dan fontanel
pada saat bayi duduk dan tenang
1 Nilai ukuran lebarnya
Fontanel bayi normal adalah datar atau sedikit cekung dan
berdenyut, namun bayi normal dapat memperlihatkan
penonjolan fontanel saat menangis
atau berbaring.
Fontanel anterior/atas berbentuk segi empat dan
umumnya berdiameter 5 cm
Fontanel posteriorberbentuksegitiga danberdiameter
sekitar 1, 25 cm
Sutura yang berjarak lebar mengindikasikan bayi
preterm, moulding yang buruk atau hydrocephalus
Sutura dan fontanel yang terlalu cepat menutup
sebelum masanya disebut Craniosynostosis.
2 Nilai penonjolannya/cekungannya
Fontanel yang menonjol mengindikasikan peninggian
tekanan intra kranial (TIK) pada bayi misalnya pada
meningitis atau hydrocephalus.
Fontanel yang cekung menunjukkan keadaan dehidrasi
3 Apakah fontanel masih terbuka atau sudah tertutup

11

112
Fontanel anterior umumnya menutup pada saat bayi
berumur 6 – 8 minggu
Fontanel posterior umumnya menutup pada saat bayi
berumur sekitar 18 bulan

12

113
PEMERIKSAAN SINDROMA JEBAKAN

PENGERTIAN
Sindroma jebakan yang sering disebut juga sebagai neuropati akibat
penekanan/kompresi atau entrapment neuropathies adalah suatu kondisi dimana
terjadi neuropati akibat kompresi yang lama atau cedera mekanik pada daerah
tertentu. Contoh sindroma jebakan yang paling sering kita dapatkan adalah carpal
tunnel syndrome dan tarsal tunnel syndrome serta sciatika atau iskialgia.

DASAR TEORI

CARPAL TUNNEL SYNDROME (SINDROMA TEROWONGAN KARPAL)/CTS


Sindroma terowongan Karpal adalah entrapment neuropathy yang paling
sering terjadi. Sindroma ini terjadi akibat adanya tekanan terhadap nervus medianus
pada saat melewati terowongan karpal di pergelangan tangan. Beberapa penyebabnya
telah diketahui seperti trauma, infeksi, gangguan endokrin dan lain-lain, tetapi
sebagian tidak diketahui penyebabnya. Penggunaan tangan/pergelangan tangan yang
berlebihan dan berulang diduga berhubungan dengan terjadinya sindroma ini. Gejala
awal umumnya berupa gangguan sensorik (nyeri, rasa tebal, parastesia dan tingling).
Gejala motorik akan dijumpai pada stadium lanjut dan umumnya berupa atrofi otot
thenar.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik yang
didukung oleh pemeriksaan elektrodiagnostik, radiologi dan laboratorium.
Pemeriksaan fisik yang baik dan benar akan memudahkan dalam menegakkan
diagnosis penyakit. Terdapat beberapa tes provokasi untuk membantu menegakkan
diagnosis penyakit ini di antaranya adalah Phalen test dan Tinnel test.

TARSAL TUNNEL SYNDROME (SINDROMA TEROWONGAN TARSAL)/TTS


Sindroma terowongan Tarsal disebut juga neuralgia tibialis posterior adalah
neuropati akibat penekanan dan menimbulkan nyeri pada kaki yang disebabkan oleh
tekanan nervus tibialis pada saat melewati terowongan tarsal. Terowongan ini
terdapat padabagiandalamdaritungkai/kaki kanandibelakang malleolus medialis.
Pasien dengan TTS umumnya mengeluh berupa rasa baal/kram pada kaki
yang menjalar ke ibu jari kaki dan 3 jari berikutnya. Rasa nyeri, terbakar, sensasi
seperti kesetrum listrik pada telapak kaki dan tumit. Penyebab yang umum adalah
trauma, vena varikosa, neuropati atau adanya kompresi akibat kelainan anatomi pada
daerah sekitar terowongan tarsal.

13

114
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, radiologi dan
neurofisiologi. Berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yaitu Tinel’s sign
adalah langkah awal untuk melakukan evaluasi lebih lanjut pada pasien dengan
seperti ini.

SCIATICA (SIATIKA)/ISKHIALGIA
Sciatika (siatika) adalah rasa nyeri yang menjalar dari punggung bawah
hingga ke paha, betis, tumit dan telapak kaki baik pada satu sisi maupun kedua sisi
kaki. Rasa nyeri tersebut bisa ”tumpul” seperti kram atau ”tajam” seperti ditusuk-
tusuk dan terbakar, terus-menerus atau pun hilang-timbul tetapi semakin lama semakin
parah sakitnya. Rasa nyeri dapat meningkat saat penderita duduk, batuk, bersin atau
tertawa. Sebaliknya, berjalan, berbaring, dan gerakan yang meregangkan tulang
punggung (seperti mengangkat bahu) mungkin mengurangi nyeri.
Sciatika disebabkan oleh iritasi atau peradangan nervus
(neuropati/radikulopati) sciatic/iskhiadikus, saraf terbesar dan terpanjang dalam tubuh
yang menjalar dari punggung bawah melewati belakang sendi panggul dan bercabang
hingga ke kedua belah paha, betis, tumit dan telapak kaki. Neuropati/radikulopati
sciatic dapat disebabkan oleh hernia nucleus pulposus pada discus intervertebralis,
sindroma piriformis (terjadi ketika otot piriformis) menjadi kaku dan tegang
sehingga menekan dan mengiritasi nervus sciatic, lumbar spinal stenosis (terjadi
karena penyempitan kanalis spinalis pada daerah punggung bawah yang menekan
nervussciatic, spondilolistesisdanlain-lain.
Untuk menegakkan diagnosis apa yang menjadi penyebab dari keluhan ini
berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (antara lain pemeriksaan motorik,
sensorik dan test-test khusus seperti Laseque test) dan pemeriksaan radiologik. Tanda
Lasegue adalah salah satu tanda yang didapatkan pada pemeriksaan Laseque test
berupa rasa nyerimenjalaryangdimulaidaribokongdanmengikuti persarafan nervus
sciatic.

14

115
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN SINDROMA JEBAKAN

LANGKAH KLINIK PEMERIKSAAN


NO SINDROMA JEBAKAN KASUS
1 2 3
A. NERVUS MEDIANUS
I TINEL’S TEST
1 Melakukan penekanan pada pertengahan ligamentum
carpi transversum (volare)
2 Interpretasi :Tinel’s test positif jika timbul nyeri yang
menjalar dari tempat penekanan hingga ke daerah sesuai
inervasi nervusmedianus(jari I, jari II, Jari III dan
setengah jari IV)
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:

II PHALEN’S TEST
1 Melakukan hiperflexi pada pergelangan tangan
dengan mempertemukan kedua punggung tangan
(dorsum
manus).
2 Interpretasi: Jika timbul nyeri yang menjalar sesuai
inervasi n.medianus berarti phalent’s test positif yaitu
terdapat penekanan n.medianus pada canalis carpi (carpal
tunnel)

15

116
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:

Hiper-fleksi pada pergelangan tangan menimbulkan


parestesia dan nyeri sepanjang perjalanan n.
medianus.
III PEMERIKSAAN SENSIBILITAS
1 Klien diminta untuk menutup mata kemudian melakukan
pemeriksaan sensibilitas pada jari I, II, III dan ½ jari IV
pada bagian volar manus dengan
menggunakan jarum.
2 Interpretasi: terdapat gangguan sensibilitas jika subjek
merasa kurang rasa atau tidak sama sekali
(hipestesi/anestesi)
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:

16

117
B. N. ULNARIS
I TINEL’S TEST
1 Melakukan penekanan pada sulcus n.ulnaris yaitu dibagian
posterior epicondylus medialis humeri (sulcus
n.ulnaris).
2 Interpretasi: jika terjadi jebakan n.ulnaris pada daerah
tersebut maka akan timbul nyeri yang dirasakan
berpangkal pada tempat penekanan dan menjalar
sepanjang perjalanan n.ulnaris yaitu sebelah medial
lengan bawah hingga ke setengah jari IV dan V (Tinel’s
test positif)

17

118
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:

TINEL’S TEST (CARA LAIN)


1 Tinel’s test dapat juga dilakukan dengan melakukan
penekanan pada tepi lateral os pisiformis (Guyan’s
canal).
2 Interpretasi: jika terjadi jebakan n.ulnaris pada daerah
Guyan’s canal maka subjek akan merasakan nyeri yang
menjalar dari tempat penekanan hingga ke jari V dan
setengah jari IV (Tinel’s test positif)
3

18

119
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :

II PEMERIKSAAN SENSIBILITAS
Subjek diminta untuk menutup mata lalu mel akukan
pemeriksaan sensibilitas pada tepi ulnar telapak tangan
(hypothenar), setengah jari IV dan V dengan
menggunakan jarum.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :

C. NERVUS RADIALIS
I TINEL’S TEST
1 Melakukan penekanan pada bagian proximal dan
sedikit ke posterior dari processus styloideus os radii.
2 Interpretasi: jika terjadi jebakan n.radialis pada daerah
tersebut maka subjek akan merasakan nyeri yang

19

120
menjalar dari tempat penekanan hingga ke dorsum
manus sesuai inervasi n.radialis (Tinel’s test positif)
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :

II PEMERIKSAAN SENSIBILITAS
1 Sambil subjek menutup mata, l akukan pemeriksaan
sensibilitas pada kulit lengan bawah bagian posterior
dan kulit bagian lateral dari dorsum manus
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :

20

121
D. NERVUS SCIATIKA (NERVUS
ISKHIADIKUS)
I LASEQUE’S TEST (STRAIGH LEG RAISE)
1 Klien berbaringpada meja pemeriksaan dengan kedua
tungkai diluruskan (diekstensikan).
2 Kemudian mengangkat tungkai subjek sambil
mempertahankan lutut tetap lurus.
Pada orang nomal, subjek tidak merasakan nyeri dan
tahanan hingga sudut 70°.
3 Interpretasi : jika subjek merasakan nyeri menjalar dari
bokong hingga ke tungkai sesuai dengan inervasi
n.ischiadicus sebelum mencapai 70° dikatakan laseque’s
test positif yang biasanya didapatkan pada
penderita herniasi discus L5, S1 atau S2.
INTERPRETASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:

21

122
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS NYERI PUNGGUNG BAWAH
(SELAIN LASEQUE’S TEST)

TEST PATRICK
Tindakan pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi
panggul yang mengalami gangguan. Pada iskialgia diskogenik test ini adalah negatif.

TEST KONTRA PATRICK


Tindakan pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan lokasi patologik di
sendi sakroiliaka jika terasa nyeri di daerah bokong, baik yang menjalar sepanjang
tungkai maupunyangterbataspadadaerahglutealdansakral saja.

TUJUAN PEMBELAJARAN
 Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan sistem motorik
 Mampu melakukan pemeriksaan motorik secara sistematik
 Menentukan letak lesi kelumpuhanotot

MEDIA DAN ALAT BANTU


 Penuntun belajar
 Manekin otot dan saraf

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN


Demonstrasi kompetensi sesuai dengan penuntun belajar.

LANGKAH KLINIK PEMERIKSAAN FISIK


NO KHUSUS KASUS
NYERI PUNGGUNG BAWAH
1 2 3
A. TEST PATRICK
1 Tempatkan tumit atau malleolus eksterna tungkai klien
yang sakit pada lutut tungkai lainnya.
2 Lakukan penekanan pada lutut yang difelsikan.
3 Interpretasi : Akan timbul nyeri pada sendi panggul
ipsilateral pada saat dilakukan penekanan pada lutut yang
difleksikan tersebut.
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:

22

123
B. TES KONTRA PATRICK
1 Lipat tungkai klien yang sakit dan endorotasikan serta
aduksikan.
2 Lakukan penekanan sejenak pada lutut tungkai
tersebut.
3 Interpretasi : Akan timbul rasa nyeri pada garis sendi
sakroiliaka bila di situ terdapat suatu keadaan patologis
(arthritis), baik berupa nyeri yang menjalar sepanjang
tungkai maupun yang terbatas pada daerah bluteal
atau sacral saja.
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:

23

124
PEMERIKSAAN CHVOSTEK
PENGERTIAN
Manifestasi klinik dari tetani antara lain spasme dan kontraksi tonik otot
skletal yang umumnya dapat ditemukan pada bagian distal ekstremitas. Hal ini dapat
terlihat sebagai spasme karpopedal berupa kontraksi tonik dari otot-otot pergelangan
tangan, tangan, jari-jari dan ibu jari. Ini disebabkan oleh hiper- eksitabilitas sistem
saraf perifer termasuk otot walaupun diberikan rangsangan minimal. Saraf sensorik
dapat terlibat dengan gejala seperti parastesia pada tangan, kaki dan daerah sekitar
mulut.

DASAR TEORI
Tetani berhubungan dengan dengan gangguan metabolisme kalsium atau
alkalosis, yang menyebabkan penurunan kadar ion kalsium. Adanya kelainan
neurologik hanya dapat ditemukan dengan pemeriksaan fisik saja. Pemeriksaan ini
sangat mudah dilakukan pada pasien yang hipersensitif dalam beberapa menit saja
(tetani laten). Tetani yang berat dapat menyebabkan seizure, spasme laring, stridor,
dan kegagalan nafas.
Chvostek’s sign. Ketukan pada nervus facialis dapat menyebabkan spasme
atau tetani, kontraksi yang melibatkan beberapa atau semua otot facialis. Dua titik
yang dapat dijadikan tempat untuk memberikan stimulasi/ketokan yaitu di bawah
processus zygomaticus os temporal, di depan telinga (Chvostek’s sign) dan pada
pertengahan antara arkus zygomaticus dan sudut mulut (Schultz’s sign). Kadang-
kadang respon yang sama dapat ditimbulkan dengan menggores kulit di depan
telinga. Tanda minimal dapat hanya berupa kedutan/tarikan minimal pada sudut bibir
atas atau sudut mulut, maksimal jika terdapat kontraksi pada daerah frontal wajah,
otot sekitar mata, dan pipi. Kontraksi otot juga dapat melibatkan otot yang disuplai
nervus trigeminus. Chvostek’s sign adalah akibat dari hipereksitabilitas saraf motorik
yang dipersarafi oleh nervus facialis terhadap stimulasi mekanik. Tanda ini sangat
penting pada tetani, tetapi dapat juga terjadi pada kondisi hiper-refleks seperti pada
lesi traktus kortikospinalis.

TUJUAN PEMBELAJARAN
 Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan tetani
 Mampu melakukan pemeriksaan chvostek secara sistematis.

MEDIA DAN ALAT BANTU


 Penuntun belajar
 Manekin otot dan sara

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN


Demonstrasi kompetensi sesuai dengan penuntun belajar

24

125
PENUNTUN PEMBELAJARAN PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS
TANDA CHVOSTEK (CHVOSTEK’S SIGN)

LANGKAH KLINIK
NO KASUS
1 2 3
1 Jelaskan maksud pemeriksaan kepada klien
2 Identifikasi titik dimana akan dilakukan ketokan.
Titik Idi bawah processus zygomaticus os temporal,
di depan telinga.
Titik IIpadapertengahan antaraarkuszygomaticusdan
sudut mulut.
3 Dilakukan ketokan pada titik tersebut
4 Interpretasi :
Respon yang didapat berupa kedutan/tarikan minimal pada
subut bibir atas atau sudut mulut, maksimal jika terdapat
kontraksi pada daerah frontal wajah, otot
sekitar mata dan pipi.
5 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:

25

126
26

127
SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI

BUKU PANDUAN INSTUKTUR

KETERAMPILAN TEHNIK WAWANCARA


( ANAMNESIS )

Skill Lab. Sistem Neuropsikiatri


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
2020

128
PENGANTAR

Buku panduan skill lab. Sistem Neuropsikiatri ini berisi 2 (DUA) keterampilan
utama, yaitu :
1. Anamnesis keluhan utama yang berhubungan dengan sistem Neuropsikiatri dimana
penggalian riwayat penyakit sudah lebih spesifik mengarah ke sistem Neuropsikiatri,
2. Keterampilan pemeriksaan status mental dan ketrampilan menegakkan diagnostik.
Diharapkan setelah selesai mengikuti kegiatan keterampilan klinik ini, mahasiswa
mampu melakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan status mental sehubungan
sistem ini secara berurutan serta mengetahui keadaan normal ataupun abnormal dari
sistem ini.
Buku panduan ini selain memuat panduan belajar langkah-langkah melakukan
anamnesis, pemeriksaan status mental, juga berisi daftar tilik dalam bentuk lembar penilaian
dari instruktur terhadap mahasiswa sebagai penilaian akhir serta membantu dalam menilai
kemajuan tingkat keterampilan yang telah dilatih.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan dan penyusunan buku panduan ini.

Makassar, Agustus 2017

Koordinator Skill Lab.Sistem Neuropsikiatri

129
TEHNIK WAWANCARA (ANAMNESIS)
SISTEM NEUROPSIKIATRI

Pengertian
Pemeriksaan psikiatri dilakukan melalui wawancara dan pengamatan terhadap pola
pikir, persepsi, ekspresi perasaan dan perilaku (Status Mental). Kegiatan ini sangat penting
sebagai langkah awal yang dapat membantu pemeriksa dalam mengarahkan diagnosis
penyakit pasien. Keluhan yang diajukan seorang pasien yang diambil dengan teliti akan
banyak membantu menentukan diagnosis dari suatu penyakit. Banyak macam keluhan yang
diajukan oleh seorang penderita sistem neuropsikiatri. Walaupun demikian tidak selalu
keluhan-keluhan mengenai mental emosional yang berhubungan dengan gangguan
neuropsikiatri, sehingga diperlukan suatu kesabaran dalam mengambil anamnesis dari
seorang pasien.
Pemeriksaan status mental meliputi penilaian status mental, penilaian kesadaran,
penilaian aktivitas psikomotorik, penilaian orientasi, penilaian persepsi, penilaian bentuk dan
isi pikir, penilaian mood dan afek, penilaian pengendalian impuls, penilaian menilai realitas,
penilaian kemampuan tilikan (insight), penilaian kemampuan fungsional .

Indikasi
Anamnesis dan pemeriksaan status mental dilakukan untuk :
1. Mengetahui diagnosis dari seorang pasien
2. Membantu dalam menyusun rencana terapi farmakologik dan non-farmakologik
3. Mengetahui perkembangan serta kemajuan terapi pada pasien
4. Digunakan sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan yang paripurna
terhadap pasien

130
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu melakukan anamnesis lengkap dan
pemeriksaan status mental secara berurutan dan mampu mengetahui keadaan normal dan
abnormal pada sistem tersebut.

Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan anamnesis dengan pasien secara lengkap
2. Mempersiapkan pasien dalam rangka pemeriksaan fisik dan pemeriksaan status
mental
3. Melakukan penilaian status mental
4. Melakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang ada

Media dan alat bantu pembelajaran :


- Daftar panduan belajar anamnesis dan pemeriksaan status mental
- Status psikiatri penderita, alat tulis (pena, ballpoint)
- Audio-visual

Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list / daftar tilik dengan sistem skor

131
DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Demostrasi bermain tanya – 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
jawab (anamnesa) baik 2. Instruktur memutarkan video tehnik
menggunakan video atau wawancara, atau
dicontohkan oleh dua orang 3. Dua orang instruktur kedepan klas,
instruktur. memberikan contoh bagaimana cara
melakukan anamnesa lengkap, seorang
berperan sebagai dokter, dan yang lain
sebagai pasien.
4. Mahasiswa menyimak/mengamati
5. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan
instrukstur memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
3. Praktek bermain peran dengan 100 1. Mahasiswa dibagi dalam kelompok
umpan balik menit kecil.
2. Setiap kelompok terdiri dari 3 (tiga).
3. Setiap kelompok bermain peran, 1
orang berperan sebagai dokter
(pemeriksa), 1 orang berperan sebagai
pasien, 1 orang berperan sebagai
pengamat.
4. Instruktur memberikan tema khusus
atau keluhan utama kepada pasien dan
selanjutnya akan ditanyakan oleh si
pemeriksa (dokter)
5. Masing-masing mahasiswa berperan
sesuai dengan peran yang diterima.
6. Dokter bertanya sesuai dengan
panduan tehnik wawancara yang
diberikan.

132
7. Pasien menjawab pertanyaan sesuai
dengan skenario gangguan yang
diberikan oleh instruktur.
8. Pengamat mengamati proses
wawancara yang dilakukan oleh
temannya yang berperan sebagai
dokter (pemeriksa) dan pasien (yang
diperiksa) dengan menggunakan daftar
tilik yang disediakan,
9. Instruktur berkeliling diantara
mahasiswa dan melakukan supervisi
menggunakan daftar tilik
10. setiap mahasiswa paling sedikit
berlatih 1 kali
4. Curah pendapat / diskusi 15 menit 1. curah pendapat / diskusi tentang : apa
yang dirasakan mudah atau sulit ?
menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dilakukan oleh dokter
agar pasien merasa nyaman?
2. instruktur menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 150
menit

133
PENUNTUN BELAJAR
SISTEM NEUROPSIKIATRI

DASAR-DASAR TEORI
LAPORAN PSIKIATRI

I. Riwayat Psikiatri

A. Identitas Pasien
Nama :
Umut :
Jenis kelamin :
Suku /Bangsa :
Status perkawinan :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
MRS ke :

B. Keluhan Utama : Apa alasan pasien datang ke psikiater ? lebih disukai sesuai
dengan kata-kata pasien. Jika informasi itu bukan dari pasien, catat siapa yang
menyampaikan.

C. Riwayat Penyakit Sekarang : Latar belakang kronologis dan perkembangan gejala


dan perubahan perilaku sampai mencapai puncaknya sehingga pasien meminta
bantuan. Keadaan pasien pada saat gejala itu muncul (onset), kepribadian ketika
sehat, bagaimana penyakit itu mempengaruhi aktivitas dan hubungan personalnya –
perubahan kepribadian, minat, suasana perasaan, sikap terhadap orang lain, cara
berpakaian, kebiasaan, tingkat ketegangan, kepekaan, aktivitas, perhatian,
konsentrasi, daya ingat, bicara ; gejala psikofisiologik – sifat dan rincian disfungsi,
nyeri – lokasi, intensitas, fluktuasi, tingkat kecemasan – umum dan tidak spesifik
(free foating), atau spesifik berhubungan dengan situasi, aktivitas atau objek
tertentu ; bagaimana dia menangani kecemasannya – menghindar, pengulangan
situasi ketakutan, menggunakan obat-obatan atau aktivitas-aktivitas lain yang
meringankan

D. Riwayat Penyakit Dahulu / Sebelumnya :


(1) Gangguan mental atau emosi : tingkat ketidakmampuan, tipe pengobatan,
nama rumah sakit tempat perawatan, lama sakit, pengaruh pengobatan.
(2) Gangguan psikosomatik : hay fever, colitis, arthritis, rheumatoid arthritis,
allergi, pilek yang berulang-ulang, dan gangguan kulit.
(3) Gangguan Medis : mengikutipemeriksaan system yang biasa – penyakit
hubungan seksual, penyalahgunaan alcohol dan zat psikoaktif lain, keadaan
yang beresiko HIV/AIDS.
(4) Gangguan Neurologis – sakit kepala, trauma kranioserebral, kehilangan
kesadaran, kejang atau tumor.

134
E. Riwayat Pribadi :
Riwayat kehidupan pasien mulai dari bayi sampai saat sekarang secara luas yang
dapat diingat kembali, kekosongan riwayat secara spontan berhubungan dengan
pasien, emosi, berhubungan dengan periode kehidupan (penuh kenyerian, stress, dan
konflik) atau dengan phase siklus kehidupan.
1. Masa Kanak-kanak Awal (0 – 3 tahun) :
a. Riwayat Prenatal, kehamilan dan persalinan ibu pasien : Lama kehamilan,
spontanitas dan normalitas kelahiran, trauma kelahiran, apakah pasien anak
yang direncanakan, diharapkan, atau tidak dikehendaki.
b. Kebiasaan Makan : minum asi, susu botol, dan problem makan
c. Perkembangan Dini : kehilangan ibu, perkembangan bahasa, perkembangan
motorik, tanda-tanda kebutuhan tak terpenuhi, pola tidur, cemas perpisahan,
cemas keterasingan.
d. Toilet training : usia, sikap orangtua, perasaan terhadap hal tersebut
e. Gejala dan masalah perilaku : mengisap ibu jari, temper tantrum (mengadat),
tic, membenturkan kepala, memanjat, terror malam, tidur di air atau tidur di
tanah, menggigit kuku, masturbasi
f. Kepribadian dan temperamen sebagai anak-anak.: pemalu, tak dapat tenang,
overeactive, menarik diri, rajin belajar, meninggalkan tugas, malu-malu,
olah ragawan, pola bermain bersahabat, bereaksi terhadap saudara kandung.
2. Masa Kanak-kanak Pertengahan (3 – 11 tahun) : Riwayat awal masuk
sekolah, penyesuaian dini, identifikasi jenis kelamin, perkembangan kesadaran,
penghukuman, hubungan sosial, sikap terhadap saudara kandung dan teman
sepermainan.
3. Masa Kanak-kanak Akhir (pubertas sampai remaja) :
a. Hubungan dengan rekan sebaya : Jumlah dan keakraban dengan teman-
temannya, sebagai pemimpin atau pengikut, popularitas social, partisipasi
dalam aktivitas kelompok atau geng, gambaran idealisme, pola agrsivitas,
pasivitas, kecemasan, atau perilaku antisocial.
b. Riwayat sekolah : seberapa jauh pasien pergi, penyesuaian terhadap sekolah,
hubungan dengan guru – kesayangan guru atau penentang guru – pelajaran
favorit atau yang diminati, kemampuan atau bakat khusus yang dimiliki,
aktivitas ekstrakulikuler, olah raga, hobbi, hubungan dari masalah-masalah
dan gejala-gejala dengan setiap periode sekolah.
c. Perkembangan motorik dan kognitif : Belajar membaca, ketrampilan
intelegensi dan motorik yang lain, disfungsi otak minimal, kesulitan belajar
– pengelolaan dan pengaruhnya pada anak.
d. Masalah khusus emosi dan fisik : mimpi buruk, fobia, masturbasi, ngompol,
melarikan diri, kenakalan, merokok, menggunakan alcohol dan obat-obatan,
masalah berat badan, rendah diri.
e. Riwayat perkembangan psikoseksual
(a) Keingin tahuan dini, masturbasi infantile, permainan seks.
(b) Pengetahuan seksual yang diperoleh, sikap orang tua terhadap seks,
penyalah gunaan seks
(c) Onset pubertas, perasaan terhadap pubertas, perasaan mengenai
menstruasi, perkembangan kharakteristik sekunder,
(d) Aktivitas seksual remaja, berjejal-jejalan, pesta, kencan, bercumbu rayu,
masturbasi, mimpi basah, dan sikap terhadap hal tsb.
(e) Sikap terhadap sesama dan lawan seks, malu-malu, pemalu, agresif,
mengesankan, seductif, penaklukan seksual, kecemasan.

135
(f) Praktek seksual : masalah-masalah seksual, homoseksual, heteroseksual,
parafilia, promisquitas.
f. Latar belakang Keagamaan : kaku, liberal, campuran, (kemungkinan
konflik), berhubungan dengan praktek keagamaan yang sekarang.
4. Masa Dewasa
a. Riwayat Pekerjaan : pemilihan pekerjaan, pelatihan, ambisi, konflik,
hubungan dengan pimpinan, kelompok sebaya, subkoordinat, banyaknya
tugas dan lamanya, perubahan dalam status pekerjaan, dan perasaan terhadap
hal tersebut.
b. Aktivitas social : apakah pasien mempunyai teman atau tidak, apakah
menarik diri atau bersosialisasi dengan baik, intelektual, kesenangan fisik,
hubungan dengan sesame jenis dan berlawanan jenis, lamanya, qualitas
hubungan dengan manusia.
c. Seksualitas dewasa. :
(a) Hubungan seksual sebelum nikah, umur saat hubungan seksual pertama,
orientasi seksual
(b) Riwayat perkawinan, perkawinan secara adapt, perkawinan legal, masa
kenal-mengenal, peran masing-masing pasangan, keluarga berencana
dan kontrasepsi, nama dan usia anak-anak, sikap terhadap anak angkat,
masalah setiap anggota keluarga, kesulitan perumahan jika ini penting
bagi perawinan, penyesuaian seksual, skandal diluar perkawinan, area
persetujuan dan ketidak setujuan, pengelolaan uang dan peran ipar.
(c) Gejala-gejala seksual : Anorgasmik, impotensia, ejakulasi dini, kurang
hasrat seksual.
(d) Sikap terhadap kehamilan dan memiliki anak : praktek kontrasepsi dan
perasaan terhadap kontrasepsi.
(e) Praktek-praktek seksual :parafilia seperti sadisme, fetishisme, voyerisme,
sikap terhadap fellatio, cunnilingus, tehnik coitus. Dan frekwensinya.

d. Riwayat Militer ; penyesuaian umum, peperangan, cedera, tipe


pemberhentian, status veteran.
e. System nilai yang dianut : apakah anak-anak terlihat menyusahkan atau
menyenangkan, apakah pekerjaan tanpa lebih penting, sesuatu yang dapat
dielakkan atau suatu tantangan, sikap terhadap keyakinan agama , surga dan
neraka.

F. Riwayat Keluarga :
Dapatkan dari pasien dan dari orang lain, karena deskripsi yang sungguh berbeda
dari orang yang sama dan peristiwa, suku, kebangsaan, dan tradisi keagamaan,
orang lain di dalam rumah, deskripsikan mereka – kepribadian dan intelegensi, dan
apa yang telah terjadi pada mereka sejak pasien kanak-kanak, deskripsikan
perbedaan orang-orang yang tinggal didalam rumah tangga tsb; hubungan pasien
dengan orang-orang yang ada didalam keluarga ; peranan penyakit dalam keluarga
; riwayat keluarga dengan gangguan mental ; dimana pasien tinggal–lingkungan
dan tempat tinggal khusus bagi pasien ; adalah rumah penuh sesak, pribadi anggota
kelurga dari setiap orang atau keluarga yang lain; sumber pendapatan keluarga dan
kesulitan mendapatkannya; bantuan masyarakat (jika ada) dan sikapnya mengenai
hal tsb; akankah pasien kehilangan pekerjaan atau tempat tinggal dengan tetap
tinggal di rumah sakit; siapa yang menjaga anak-anak.

136
G. Situasi Saat Ini :
- Keadaan lingkungan perumahan atau tempat tinggal
- Keadaan sosial ekonomi
-Pekerjaan

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN

PENUNTUN PEMBELAJARAN
TEHNIK WAWANCARA (ANAMNESIS PSIKIATRI)
(digunakan oleh Peserta)

Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan mengguakan kriteria berikut :
1. Perlu perbaikan : Langkat-langkah tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai
urutannya
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, tetapi ridak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, sesuai dengan urutan dan efisien

NO LANGKAH / KEGIATAN NILAI


ANAMNESA
0 1 2
FASE PERKENALAN
1. Persilahkan pasien masuk ke ruangan
2. Sapa pasien dengan mengucapkan salam dan
senyum yang ramah (senyum,
3. Perkenalkan diri sambil menjabat tangan pasien
4. Persilahkan pasien duduk
5. Tanyakan nama dan umur pasien
6. Tunjukkan sikap empati
FASE PEMBUKAAN
7. Tanyakan alasannya datang ke poliklinik atau
keluhan utama dan sejak kapan keluhan ini
dirasakan.
8.. Gunakan keluhan utama untuk mengembangkan
diagnosis banding dan diagnosis sementara
FASE INTI
9. Tanyakan bagaimana gejala awal penyakit, ,
sifatnya gejala, lokasi dan penjalaran, lamanya,
keparahan, dan tanyakan gejala-gejala lain yang
menyertainya, serta bagaimana perkembangan
penyakitnya selanjutnya ,
10. Tanyakan pengaruh penyakit tsb terhadap
aktivitas sosial dan pekerjaan serta penggunaan
waktu senggang.
11. Singkirkan dan atau masukan berbagai
kemungkinan diagnosis dengan menggunakan

10

137
pertanyaan terpusat dan terinci

12. Tanyakan riwayat penyakit dahulu/sebelumnya


13. Tanyakan riwayat perkembangan pribadi
14. Tanyakan riwayat penyakit keluarga

15. Tanyakan keadaan diri dan lingkungan pasien


saat ini
FASE PENUTUP
16. Berikan pasien kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan pada akhir wawancara.
FASE PENGAKHIRAN
17. Buat kesimpulan hasil wawancara
18. Tegakkan Diagnosa Multi Aksial
19. Susun rencana alternatif terapi
20. Jabat tangan pasien sambil memberi harapan
kepada pasien agar segalanya berjalan lancar dan
baik

EVALUASI

PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN


TEHNIK WAWANCARA (ANAMNESA PSIKIATRI

No. Keterampilan Penilaian


ANAMNESIS 1 2
1. Autoanamnesis dengan pasien
2. Alloanamnesis dengan anggota keluarga/orang lain
yang bermakna
3. Memperoleh data mengenai keluhan / masalah
utama.
4. Menelusuri riwayat perjalanan penyakit sekarang /
dahulu
5. Memperoleh data bermakna mengenai riwayat
perkembangan, pendidikan, pekerjaan, perkawinan,
kehidupan keluarga.

Komentar / kesimpulan : .........................................................................................

Rekomendasi : ..........................................................................................................

Tanggal .......
Penguji

(........................................)

1
138
SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI

BUKU PANDUAN MAHASISWA

TEHNIK KETERAMPILAN PEMERIKSAAN

STATUS MENTAL

Skill Lab. Sistem Neuropsikiatri


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
2020

1
139
PENGANTAR

Buku panduan skill lab. Sistem Neuropsikiatri ini berisi 2 (DUA)


keterampilan utama, yaitu :
1. Anamnesis keluhan utama yang berhubungan dengan sistem
Neuropsikiatri dimana penggalian riwayat penyakit sudah lebih spesifik
mengarah ke sistem Neuropsikiatri,
2. Keterampilan pemeriksaan status mental dan ketrampilan menegakkan
diagnostik. Diharapkan setelah selesai mengikuti kegiatan keterampilan
klinik ini, mahasiswa mampu melakukan anamnesis lengkap dan
pemeriksaan status mental sehubungan sistem ini secara berurutan serta
mengetahui keadaan normal ataupun abnormal dari sistem ini.
Buku panduan ini selain memuat panduan belajar langkah-langkah
melakukan anamnesis, pemeriksaan status mental, juga berisi daftar tilik dalam
bentuk lembar penilaian dari instruktur terhadap mahasiswa sebagai penilaian
akhir serta membantu dalam menilai kemajuan tingkat keterampilan yang telah
dilatih.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan dan penyusunan buku panduan ini.

Makassar, Agustus 2019

Koordinator Skill Lab.Sistem Neuropsikiatri

1
140
TEHNIK PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
SISTEM NEUROPSIKIATRI

Pengertian
Pemeriksaan status mental meliputi penilaian status mental, penilaian
kesadaran, penilaian aktivitas psikomotorik, penilaian orientasi, penilaian
persepsi, penilaian bentuk dan isi pikir, penilaian mood dan afek, penilaian
pengendalian impuls, penilaian menilai realitas, penilaian kemampuan tilikan
(insight), penilaian kemampuan fungsional.

Indikasi
Pemeriksaan status mental dilakukan untuk :
1. Mengetahui diagnosis dari seorang pasien
2. Membantu dokter dalam melakukan tindakan selanjutnya pada pasien
3. Mengetahui perkembangan serta kemajuan terapi pada pasien
4. Digunakan sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan
paripurna terhadap pasien

Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu melakukan anamnesis lengkap dan
pemeriksaan status mental secara berurutan dan mampu mengetahui keadaan
normal dan abnormal pada sistem tersebut.
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan penilaian status mental
2. Melakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang ada
3. Mengenal dan menentukan berbagai bentuk gangguan perilaku, pikiran
dan perasaan yang bermanifestasi sebagai gangguan jiwa.
Media dan alat bantu pembelajaran :
- Daftar panduan belajar pemeriksaan status mental
- Alat tulis,
- Audio-visual
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list / daftar tilik dengan sistem skor

1
141
DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain peran tanya & jawab 30 1. mengatur posisi duduk mahasiswa
menit 2. dua orang instruktur, 1 sebagai
dokter & 1 sebagai pasien
memberikan contoh bagaimana cara
melakukan pemeriksaan status
mental.Mahasiswa menyimak /
mengamati
3. memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan
instrukstur memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. mahasiswa dapat memperhatikan
dan menanyakan hal-hal yang
belum dimengerti dan
instruktur
menanggapinya
3. Praktek bermain peran 100 1. mahasiswa dibagi menjadi
dengan umpan balik menit pasangan- pasangan. Seorang mentor
diperlukan untuk mengamati 2
pasang
2. setiap pasangan berpraktek, 1 orang
sebagai dokter (pemeriksa) dan 1
orang sebagai pasien secara serentak
3. mentor memberikan tema khusus
atau keluhan utama kepada pasien
dan selanjutnya akan ditanyakan
oleh si pemeriksa (dokter)
4. mentor berkeliling diantara
mahasiswa dan melakukan supervisi
menggunakan daftar tilik
5. setiap mahasiswa paling sedikit
berlatih 1 kali

1
142
4. Curah pendapat / diskusi 15 1. curah pendapat / diskusi : apa yang
menit dirasakan mudah atau sulit ?
menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dilakukan oleh
dokter agar pasien merasa nyaman?
2. instruktur menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan

1
143
memperjelas hal-hal yang masih
belum dimengerti

Total waktu 150


menit

Dasar Teori :

PENUNTUN BELAJAR

PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

SISTEM NEUROPSIKIATRI

I. Status Mental :

A. Deskripsi Umum :
1. Penampilan : Posture, sikap, pakaian, perawatan diri, rambut,
kuku, sehat, sakit, marah, takut, apatis, bingung, merendahkan,
tenang, tampak lebih tua, tampak lebih muda, bersifat seperti wanita,
bersifat seperti laki-laki, tanda-tanda kecemasan–tangan basah, dahi
berkeringat, gelisah, tubuh tegang, suara tegang, mata melebar,
tingkat kecemasan berubah-ubah selama wawancara atau dengan
topik khusus.

2. Perilaku dan aktivitas psikomotorik : Cara berjalan, mannerisme,


tics, gerak–isyarat, berkejang-kejang (twitches), stereotipik,
memetik, menyentuh pemeriksa, ekopraksia, janggal / kikuk
(clumsy), tangkas (agile), pincang (limp), kaku, lamban, hiperaktif,
agitasi, melawan (combative), bersikap seperti lilin (waxy)
3. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif, penuh perhatian,
menarik perhatian, menantang (frack), sikap bertahan, bermusuhan,
main-main, mengelak (evasive), berhati-hati (guarded)

B. Bicara : Cepat, lambat, memaksa (pressure), ragu-ragu (hesitant),


emosional, monoton, keras, membisik (whispered), mencerca (slurred),
komat-kamit (mumble), gagap, ekolalia, intensitas, puncak (pitch),
berkurang (ease), spontan, bergaya (manner), bersajak (prosody)
C. Mood dan Afek :

1. Mood : (Suatu emosi yang meresap dan bertahan yang mewarnai


persepsi seseorang terhadap dunianya) : Bagaimana pasien
menyatakan perasaannya, kedalaman, intensitas, durasi, fluktuasi
suasana perasaan–depresi, berputus asa (despairing), mudah
tersinggung (irritable), cemas, menakutkan (terrify), marah, meluap-
luap (expansived), euforia, hampa, rasa bersalah, perasaan kagum
(awed), sia-sia (futile), merendahkan diri sendiri (self–
contemptuous), anhedonia, alexithymic

1
144
2. Afek : (ekspresi keluar dari pengalaman dunia dalam pasien),
Bagaimana pemeriksa menilai afek pasien–luas, terbatas, tumpul
atau datar, dangkal (shallow), jumlah dan kisaran dari ekspresi
perasaan ; sukar dalam memulai, menahan (sustaining) atau
mengakhiri respons emosinal, ekspresi emosi serasi dengan isi
pikiran, kebudayaan,
3. Keserasian : keserasian respon emosional pasien dapat dinilai
dalam hubungan dengan masalah yang sedang dibahas oleh pasien.
Sebagai contoh, pasien paranoid yang melukiskan waham kejarnya
harus marah atau takut tentang pengalaman yang sedang terjadi pada
mereka. Afek yang tidak serasi, ialah suatu mutu respons yang
ditemukan pada beberapa pasien skizofrenia; afeknya inkongruen
dengan topik yang sedang mereka bicarakan. (contohnya : mereka
mempunyai afek yang datar ketika berbicara tentang impuls
membunuh). Ketidak serasian juga mencerminkan tarap hendaya
dari pasien untuk mempertimbangkan atau pengendalian dalam
hubungan dengan respons emosional.

D. Pikiran dan Persepsi :


1. Bentuk Pikiran :
a. Produktivitas : Ide yang meluap-luap (overabundance of
ideas), kekurangan ide (paucity of ideas), ide yang melompat-
lompat (flight of ideas), berpikir cepat, berpikir lambat, berpikir
ragu-ragu (hesitant thinking), apakah pasien bicara secara
spontan ataukah menjawab hanya bila ditanya, pikiran mengalir
(stream of thought), kutipan dari pasien (quotation from
patient)

b. Arus pikiran : Apakah pasien menjawab pertanyaan dengan


sungguh-sungguh dan langsung pada tujuan, relevan atau tidak
relevan, asosiasi longgar, hubungan sebab akibat yang kurang
dalam penjelasan pasien; tidak logis, tangensial, sirkumstansial,
melantur (rambling), bersifat mengelak (evasive), perseverasi,
pikiran terhambat (blocking) atau pikiran kacau (distractibility).

c. Gangguan Berbahasa : Gangguan yang mencerminkan gangguan


mental seperti inkoheren, bicara yang tidak dimengerti (word
salad), asosiasi bunyi (clang association), neologisme.

2. Isi Pikiran :
a. Preokupasi : Mengenai sakit, masalah lingkungan, obsesi,
kompulsi, fobia, rencana bunuh diri, membunuh, gejala-gejala
hipokondrik, dorongan atau impuls-impuls antisosial.

3. Gangguan Pikiran :
a. Waham : Isi dari setiap sistim waham, organisasinya, pasien
yakin akan kebenarannya, bagaimana waham ini mempengaruhi
kehidupannya, ; waham penyiksaan–isolasi atau berhubungan
dengan kecurigaan yang menetap, serasi mood (congruent) atau
tak serasi mood (incongruent)

b. Ideas of Reference dan Ideas of influence : Bagaimana ide


mulai, dan arti / makna yang menghubungkan pasien dengan
diri mereka.

4. Gangguan Persepsi :
a. Halusinasi dan Ilusi : Apakah pasien mendengar suara atau
melihat bayangan, isi, sistim sensori yang terlibat, keadaan yang
terjadi, halusinasi hipnogogik atau hipnopompik ; thought
brocasting.

b. Depersonalisasi dan Derealisasi : Perasaan yang sangat


berbeda terhadap diri dan lingkungan.
1
145
5. Mimpi dan Fantasi
a. Mimpi : satu yang menonjol, jika ia iingin menceritakan,
mimpi buruk.

b. Fantasi : berulang, kesukaan, lamunan yang tak tergoyahkan

E. Sensorium dan Fungsi Kognitif:


1. Kesadaran : Kesadaran terhadap lingkungan, jangka waktu perhatian,
kesadaran berkabut, fluktuasi tingkat kesadaran, somnolen, stupor,
kelelahan, keadaan fugue.

2. Orientasi :
a. Waktu : Apakah pasien mengenal hari secara benar, tanggal,
waktu dari hari, jika dirawat di rumah sakit dia mengetahui sudah
berapa lama ia dia berbaring disitu,
b. Tempat : Apakah pasien tahu dimana dia berada
c. Orang : Apakah pasien mengetahui siapa yang memeriksa dan
apa peran dari orang-orang yang bertemu denganya.

3. Konsentrasi dan Perhitungan : Pengurangan 7 dari 100 dan


hasilnya tetap dikurangi 7. jika pasien tidak dapar dengan
pengurangan 7. pasien dapat tugas lebih mudah – 4 x 9; 4 x 5 ;
Apakah cemas atau beberap gangguan mood atau konsentrasi yg
bertanggung jawab terhadap kesulitan ini.

4. Daya ingat : Gangguan, usaha yang membuat menguasai gangguan itu


– penyangkalan, konfabulasi, reaksi katastropik, sirkumstansialitas
yang digunakan untuk menyembunyikan kekurangannya, apakah
proses registrasi, retensi, rekoleksi material terlibat.

a. Daya ingat jangka panjang (remote memory) : data masa


kanak- kanak, peristiwa penting yang terjadi ketika masih muda
atau bebas dari penyakit, persoalan-persoalan pribadi.

b. Daya ingat jangka pendek (Recent past memory, recent memory)


: beberapa bulan atau beberapa hari yang lalu, apa yang dilakukan
pasien kemarin, sehari sebelumnya, sudah sarapan, makan siang,
makan malam.

c. Daya ingat segera (immediate retention and recall) : kemampuan


untuk mengulangi enam angka setelah pemeriksa
mendiktekannya – pertama maju, kemudian mundur, sedudah
beberapa menit interupsi, tes pertanyaan yang lain, pertanyaan
yang sama, jika diulang, sebutkan empat perbedaan jawaban pada
empat waktu.

d. Pengaruh atau kecacatan pada pasien : mekanime pasien


mengembangkan kemampuan menguasai kecacatan

5. Tingkat Pengetahuan : Tingkat pendidikan formal, perkiraan


kemampuan intelektual pasien dan apakah mampu berfungsi pada
tingkat dasar pengetahuan. : jumlah, perhitungan, pengetahuan
umum, pertanyaan harus relevan dengan latar belakang pendidikan
dan kebudayaan pasien.

6. Pikiran Abstrak : Gangguan dalam formulasi konsep; cara pasien


mengkonsepsualisasikan atau menggunakan ide-idenya, (misalnya
membedakan antara apel dan pear, abnormalitas dalam mengartikan
peribahasa yang sederhana, misalnya ; “Batu-batu berguling tidak
dikerumuni lumut”; jawabannya mungkin konkrit. Memberikan contoh-
contoh yang spesipik terhadap ilustrasi atau arti) atau sangat abstrak
(memberikan penjelasan yang umum) ; kesesuaian dengan jawaban.

1
146
F. Tilikan :
1. Penyangkalan sepenuhnya terhadap penyakit
2. Sedikit kesadaran diri akan adanya penyakit dan meminta
pertolongan tetapi menyangkalinya pada saat yang bersamaan
3. Sadar akan adanya penyakit tetapi menyalahkan orang lain, faktor
luar, medis atau faktor organik yang tidak diketahui.
4. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak
diketahui pada dirinya.
5. Tilikan Intelektual : Pengakuan sakit dan mengetahui gejala dan
kegagalan dalam penyesuaian sosial oleh karena perasaan irrasional
atau terganggu, tanpa menerapkan pengetahuannya untuk
pengalaman dimasa mendatang
6. Tilikan Emosional yang sebenarnya : kesadaran emosional terhadap
motif-motif perasaan dalam, yang mendasari arti dari gejala; ada
kesadaran yang menyebabkan perubahan kepribadian dan tingkah
laku dimasa mendatang; keterbukaan terhadap ide dan konsep yang
baru mengenai diri sendiri dan orang-orang penting dalam
kehidupannya.

G. Daya nilai :
1. Daya nilai Sosial : Manifestasi perilaku yang tidak kentara yang
membahayakan pasien dan berlawanan dengan tingkah laku yang
dapat diterima budayanya. Adanya pengertian pasien sebagai hasil
yang tak mungkin dari tingkah laku pribadi dan pasien dipengaruhi
oleh pengertian itu.

2. Uji daya nilai : pasien dapat meramalkan apa yang akan dia
lakukan dalam bayangan situasi tsb. Misalnya apa yang akan
dilakukan pasien dengan perangko, alamat surat yang dia temukan
dijalan.

3. Penilaian Realitas : kemampuan membedakan kenyataan


dengan fantasi

II. Pemeriksaan Lanjutan


A. Pemeriksaan Fisik :
B. Pemeriksaan Neurologis :
C. Diagnostik Psikiatrik Tambahan
D. Wawancara dengan keluarga, teman, tetangga dengan
seorang sosial worker
E. Pemeriksaan laboratorium

1
147
STRATEGI DAN CARA PELATIHAN

PENUNTUN PEMBELAJARAN
TEHNIK PEMRIKSAAN STATUS MENTAL PSIKIATRI)
(digunakan oleh Peserta)

Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan mengguakan kriteria berikut :
1. Perlu perbaikan : Langkat-langkah tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai
urutannya
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, tetapi ridak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, sesuai dengan urutan dan efisien

PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


Penilaian
0 1 2
I. Deskripsi Umum
1. Penampilan
a. Ekspresi wajah
b. Postur dan gerakan
c. Kerapihan (pakaian dan dandanan)
2. Perilaku dan aktivitas psikomotorik
3. Sikap terhadap pemeriksa
II. Mood, afek, emosi, keserasiaan
4. Mood
5. Afek
6. Keserasian
7. Empati
III. Bicara
8. a.Kecepatan
9. b.Kuantitas
10. c.Pengucapan
IV. Gannguan Persepsi
11. Halusinasi (persepsi tanpa objek)
12. Ilusi (Kesalahan mempersepsikan objek)
13. Depersonalisasi (persepsi diri yang salah)
14. Derealisasi (persepsi terhadap lingkungan yang
salah)
V. Alam Pikiran
15. Proses dan bentuk pikir
16. Isi Pikiran : waham, obsesi, preokupasi
VI. Sensorium dan Fungsi Kognitif
17. Kesiagaan dan tingkat kesadaran
18. Orientasi
 Orientasi waktu
 Orientasi tempat
 Orientasi orang
19. Daya Ingat
 Daya Ingat segera
 Daya Ingat sedang
 Daya Ingat jangka pendek
 Daya Ingat jangka panjang
20. Konsentrasi dan perhatian
21. Pikiran Abstrak
22. Intelegensi dan kemampuan informasi (tingkat
pengetahuan)
23. Bakat kreatif
24. Kemampuan menolong diri sendiri
VII Pengendalian Impuls
25. Pengendalian Impuls
 Baik
 Terganggu
VIII Daya Nilai
26. Daya Nilai Sosial
27. Daya nilai Realitas

1
148
28. Uji Daya nilai
IX. Tilikan
29 Tilikan
X. Taraf Dapat Dipercaya
30. Taraf Dapat Dipercaya
 a.Dapat dipercaya
 b.Tidak dapat dipercaya

EVALUASI
PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
No. Pemeriksaan Psikiatri PENILAIAN
1 2 3
1. Penilaian status mental
2. Penilaian kesadaran
3. Penilaian bicara
4. Penilaian persepsi
5. Penilaian orientasi
6. Penilaian inetelegensi
7. Penilaian bentuk pikiran
8. Penilaian isi pikiran
9. Penilaian mood
10. Penilaian afek
11. Penilaian motorik
12. Penilaian pengendalian impuls
13. Penilaian kemampuan menilai realitas
14. Penilaian tilikan
15. Penilaian kemampuan fungsional

Komentar / kesimpulan : .........................................................................................


Rekomendasi : ..........................................................................................................
Tanggal .......
Penguji

(........................................ )
Referensi :

1. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Dirjen Bina Upaya Kesehatan, Kementrian Kesehatan
R.I.. Pedoman Pelayanan Kegawat Daruratan Psikiatrik, 2013. hal 22- 32.
2. Kaplan HI, Sadock B.(2007)Synopsis of Psychiatry, 10thed. Baltimore, MD: Lippincott Williams
& Wilkins.. p 450 - 458
3. Kaplan HI, Sadock B. (1998) Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Alih bahsa : Wicaksana Roan. Jakarta
: Widya medika.,

1
149
SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI

BUKU PANDUAN INSTRUKTUR

DIOGNOSIS DAN TERAPI PSIKIATRI

Skill Lab. Sistem Neuropsikiatri


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
2020

1
150
PENGANTAR

Setelah melakukan anamnesa dan pemeriksaan status mental, langkah


selanjutnya adalah penegakkan diagnosa dan menetapkan terapi yang sesuai dengan
diagnosisnya.
Diagnosis psikiatrik secara multiaksial berkaitan dengan gangguan psikiarik
utama, tipe /gangguan kepribadian, gangguan fisik yang menyertai, stressor
psikososial dan kemampuan adaptasi pasien.
Setelah diagnosis ditegakkan langkah selanjutnya adalah menentukan
pengobatan yang sesuai dengan diagnosisnya. Pengobatan gangguan psikiatrik
dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan dan penyusunan buku panduan ini.

Makassar, Agustus 2017

Koordinator Skill Lab.Sistem Neuropsikiatri

1
151
DIAGNOSIS DAN TERAPI
SISTEM NEUROPSIKIATRI

Pengertian
Diagnosis merupakan tahapan yang paling menentukan dalam proses
pengobatan suatu penyakit Diagnosis adalah kesimpulan yang dibuat dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan status mental.
Disini dibahas bagaimana proses mendapatkan diagnosis yang tepat dan juga
terapi kedokteran yang paling cocok untuk mengobati penyakit tersebut.
Terapi adalah langkah-langkah atau upaya yang dilakukan untuk membantu
mengatasi dan menyembuhkan pasien dengan menggunakan obat farmakologi dan
non-farmakologi.

Indikasi
1. Menetapkan diagnosis
2. Menentukan diagnosis banding
3. Menetapkan prognosis
4. Menentukan langkah-langkah pengobatan yang sesuai.

Tujuan pembelajaran

Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu menetapkan diagnosis kerja dan
langkah – langkah pengobatan yang sesuai dengan diagnosis.

Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Menetapkan diagnosis kerja
2. Membuat diagnosis banding
3. Menentukan prognosis
4. Melakukan langkah-langkah terapi sesuai dengan diagnosisnya.

1
152
Media dan alat bantu pembelajaran :
- Daftar panduan belajar diagnosis dan terapi.
- Stetoskop, handscoen (sarung tangan), pipa nasogastrik
- Jelly, lap, sabun dan wastafel (air mengalir) untuk simulasi mencuci tangan.
- Alat tulis.
- Audio-visual

Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list / daftar tilik dengan sistem skor

DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain peran tanya & jawab 30 menit 1. mengatur posisi duduk mahasiswa
2. dua orang instruktur, 1 sebagai dokter &
1 sebagai pasien memberikan contoh
bagaimana cara melakukan anamnesa
lengkap. Mahasiswa
menyimak/mengamati
3. memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan
instrukstur memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. kegiatan dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik pada manikin atau
probandus
5. mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti dan instruktur

1
153
menanggapinya

3. Praktek bermain peran dengan 100 1. mahasiswa dibagi menjadi pasangan-


umpan balik menit pasangan. Seorang mentor diperlukan
untuk mengamati 2 pasang
2. setiap pasangan berpraktek, 1 orang
sebagai dokter (pemeriksa) dan 1 orang
sebagai pasien secara serentak
3. mentor memberikan tema khusus atau
keluhan utama kepada pasien dan
selanjutnya akan ditanyakan oleh si
pemeriksa (dokter)
4. mentor berkeliling diantara mahasiswa
dan melakukan supervisi menggunakan
daftar tilik
5. setiap mahasiswa paling sedikit berlatih
1 kali
4. Curah pendapat / diskusi 15 menit 1. curah pendapat/diskusi : apa yang
dirasakan mudah atau sulit ?
menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dilakukan oleh dokter
agar pasien merasa nyaman?
2. instruktur menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 150
menit

1
154
DASAR – DASAR TEORI.

I. Ringkasan / Ikhtisar Penemuan Bermakna


Ringkasan gejala-gejala mental, fisik dan laboratorium yang ditemukan, hasil tes
neurologik dan psikologik, jika tersedia, termasuk obat-obatan yang digunakan
pasien, dosis, lamanya. Penjelasan dari pikiran tercermin dalam penjelasan
tulisan. Ketika ringkasan status mental misalnya frase “pasien menjangkali
halusinasi dan waham”adalah tidak setepat “pasien menyangkal mendengar
suara atau berpikir bahwa dia ada yang mengikuti”

II. Diagnosis :
Terdiri dari 5 aksis :
Aksis 1 : Sindroma Klinik (Gg. Afektif, Skizofrenia, Gg. Cemas
Menyeluruh, dll)
Aksis II : Gg. Kepribadian, Retardasi Mental, dan Mekanisme
Pertahanan
Aksis III : Kondisi Medis Umum (Epilepsi, penyakit kardiovaskuler, Gg.
Endokrin)
Aksis IV : Problem Psikososial dan Lingkungan
Aksis V : Global Assessment Function

III. Prognosis :

Pendapat mengenai kemungkinan perjalanan penyakit dimasa yang akan datang,


perluasannya, dan akibat dari gangguan, faktor-faktor prognstik baik dan buruk;
tujuan khusus terapi

IV. Formulasi Psikodinamika


V. Rencana Pengobatan :
Terapi Modalitas yang direkomendasikan, peranan dari medikasi, pasien rawat
jalan atau rawat inap, kemungkinan lamanya terapi, tipe psikoterapi : individual,
kelompok, keluarga; gejala atau problem yang diterapi; pengobatan awal harus
langsung terhadap setiap situasi yang mengancam kehidupan seperti : resiko
bunuh diri, resiko membahayakan orang lain yang membutuh perawatan
psikiatrik, membahyakan diri sendiri atau orang lain merupakan alasan yang
dapat diterima (secara hukum dan medis untuk dirawat diluar kemauan sendiri;
pada ketiadaan kebutuhan kurungan, berbagai alternatif pengobatan rawat jalan
harus disediakan setiap hari di rumah sakit, supervisi tempat tinggalnya,
psikoterapi dan farmakoterapi diantara orang lain. Pada beberapa kasus rencana
terapi ini harus menyertakan kejuruan dan latihan ketrampilan psikososial,
bahkan masalah hukum dan kehakiman.
Rencana pengobatan yang menyeluruh membutuhkan pendekatan terapi tim
yang terdiri dari psikolog, pekerja sosial, perawat, terapis aktivitas dan kerja,
dan berbagai profesional kesehatan mental.

1
155
STRATEGI DAN CARA PELATIHAN

PENUNTUN PEMBELAJARAN
DIAGNOSIS DAN TERAPI
(digunakan oleh Peserta)

Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan mengguakan kriteria berikut :
1. Perlu perbaikan : Langkat-langkah tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai
urutannya
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, tetapi ridak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, sesuai dengan urutan dan efisien

DIAGNOSIS MULTI AKSIAL


.1. AKSIS I
2. AKSIS II
3. AKSIS III
4. AKSIS IV
5. AKSIS V
6. DIAGNOSIS BANDING
7. IDENTIFIKASI MASALAH
8. ORGANOBIOLOGI
9. PSIKOLOGI
10.. SOSIAL
11. PROGNOSIS
12. TERAPI
13. BIOLOGI
14. PSIKOLOGI
15. SOSIAL

EVALUASI

No. Diagnosis Penilaian Keterampilan


1 2
1. Menegakkan diagnosis kerja berdasarkan
kriteria diagnosis multiaksial
2. Membuat diagnosis banding
3. Identifikasi kedaruratan psikiatri
4. Identifikasi masalah dibidang fisik,psikologis,
sosial
5. Memoertimbangkan prognosis
6. Menentukan indikasi rujuk
7. Melakukan kunjungan rumah apabila
diperlukan
8. Melakukan kerjasama konsultatif dengan
sejawat lainnys
9. Memberikan terapi psikofarmaka obat-obat
antipsikotik, antidepresan, anticemas, anti
kolinergik, dan sedatif.
10. Memberikan psikoterapi

1
156
Komentar / kesimpulan : .........................................................................................

Rekomendasi : ..........................................................................................................

Tanggal .......
Penguji

(........................................)

1
157
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIK (CSL)
FOTO X’RAY SKULL & LUMBOSACRAL

Disusun Oleh :
1. Prof. Dr. dr. Muhammad Ilyas, Sp.Rad (K)
2. dr. Rafikah Rauf, Sp.Rad., M.Kes

DEPARTEMEN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

157
TEKNIK PENILAIAN FOTO X’RAY SKULL

1. Periksa identitas pasien (nama/umur)


2. Periksa identitas foto ( No foto, ada tidaknya marker pada foto yang akan dinilai)
3. Pasang foto pada light box dengan tepat seolah-olah penderita didepan pemeriksa
4. Sebutkan Jenis dan Posisi Foto ( Foto skull Posisi AP/Laterat, Foto Skull Water)
5. Sebutkan anatomi dasar foto x’ray skull dengan tepat
Tulang tengkorak (calvaria bones)
Os frontale Os parietale Sutura lambdoidea
Os occipitale Os temporale Sutura coronaria
Os Ethmoidale Sutura sagittalis
Os Sphenoidale
Tulang rangka muka (maxillofacial bones)
Os Maxilla Os Nasale
Os zygomaticum Os Mandibula
Cavum orbita
6. Lakukan penilaian terhadap outline os calvaria (Tabula interna, diploe dan
eksterna). Perhatikan apakah ada fraktur. Bila ada fraktur sebutkan jenis dan
lokasi frakturnya. Perhatikan apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial  impressio digititae, diastasis sutura cranialis
7. Lakukan penilaian terhadap tulang –tulang os maxillofacial. Perhatikan apakah
ada fraktur maupun dislokasi. Bila ada sebutkan jenis dan lokasinya
8. Lakukan penilaian terhadap sinus paranaslis. Perhatikan anatomi sinus (sinus
maxillaris, sinus sphenoidalis, sinus forntalis dan sinus ethmoidalis) dan ada
tidaknya perselubungan  sinusitis DD/ hematosinus
9. Lakukan penilaian terhadap cellulae mastoidea. Perhatikan anatomi mastoid dan
ada tidaknya perselubungan  mastoiditis
10. Lakukan penilaian terhadap soft tissue. Perhatikan apakah ada swelling, lesi
opasitas maupun lusensi patologik
11. Buat kesimpulan dari gambaran radiologi yang ada.
12. Identifikasi perlu tidaknya dilakukan rujukan dan jenis pemeriksaan radiologi
lanjutan

2
158
FOTO X’RAY LUMBOSACRAL

Pengertian
Pemeriksaan foto lumbosacral merupakan salah satu pemeriksaan radiologi yang
penting. Anatomi tulang belakang yang kompleks serta bentuk dan variasi anatomi setiap
orang memiliki perbedaan sehingga pengetahuan dasar radiologi anatomi lumbosacral
harus diperhatikan. Untuk pemeriksaan foto lumbosacral memiliki beberapa variasi
proyeksi yang digunakan bertujuan untuk mendapatkan gambaran radiografi yang
berbeda dari masing masing anatomi lumbosacral.

Indikasi
Foto lumbosacral biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan low back pain
ataupun pasien dengan curiga kelainan Hernia Nucleus Pulposus (HNP).

Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu mengetahui dasar-dasar keterampilan cara
membaca foto x’ray lumbosacral

Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan identifikasi data pasien (nama, umur, jenis kelamin, no rekam medik)
2. Melakukan identifikasi data foto (no foto, tanggal pembuatan foto, no rekam
medik)
3. Menyebutkan jenis & posisi foto lumbosacral
4. Melakukan pemasangan foto lumbosacral pada light box dengan benar dan tepat
5. Menjelaskan anatomi dasar yang berhubungan dengan foto lumbosacral
6. Melakukan penilaian terhadap foto lumbosacral
7. Menyebutkan indikasi rujukan dan jenis pemeriksaan radiologi lanjutan

Media dan alat bantu pembelajaran :


- Foto lumbosacral
- Light Box
- Manual CSL

Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Diskusi
3. Partisipasi aktif dalam skill lab (simulasi)

3
159
TEKNIK PENILAIAN FOTO X’RAY LUMBOSACRAL

1. Periksa identitas pasien (nama/umur)


2. Periksa identitas foto (no foto, ada tidaknya marker pada foto yang akan dinilai)
3. Pasang foto pada light box dengan tepat seolah-olah penderita didepan pemeriksa
4. Sebutkan jenis dan posisi foto ( foto lumbosacral posisi AP/Lateral)
5. Sebutkan anatomi dasar foto x’ray lumbosacral dengan tepat
- Corpus vertebrae
- Sela sendi
- Pedikel
- Processus spinosus
- Soft tissue
6. Lakukan penilaian terhadap outline lumbosacral
7. Lakukan penilaian terhadap tulang–tulang corpus vertebrae.
8. Lakukan penilaian terhadap sela sendi.
9. Lakukan penilaian terhadap pedikel.
10. Lakukan penilaian terhadap processus spinosus.
11. Lakukan penilaian terhadap soft tissue.
12. Buat kesimpulan dari gambaran radiologi yang ada.
13. Identifikasi perlu tidaknya dilakukan rujukan dan jenis pemeriksaan radiologi lanjutan

4
160
MANUAL KETERAMPILAN KLINIK
SISTEM INDRA KHUSUS – MATA

Diberikan Pada Mahasiswa Semester V


Fakultas Kedokteran Unhas
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2020

161
PEMERIKSAAN MATA
Pengertian:
Pemeriksaan dalam ilmu penyakit mata meliputi beberapa prosedur dengan tujuan dapat
menegakkan diagnosis yang benar. Pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan tajam
penglihatan, pemeriksaan segmen depan bola mata yang meliputi pemeriksaan palpebra, silia,
kornea, konjungtiva, bilik mata depan, iris, pupil, lensa dan vitreus anterior. Pemeriksaan segmen
depan bola mata meliputi pemeriksaan vitreus posterior, retina, dan papil saraf optik.
Pemeriksaan tekanan bola mata dilakukan dengan cara palpasi dan dengan menggunakan
tonometer Schiotz. Pemeriksaan pergerakan bola mata dilakukan untuk menilai fungsi ke enam
otot penggerak bola mata yaitu otot rektus superior, medial, inferior, lateral, otot oblikus superior
dan oblikus inferior. Pemeriksaan lapang pandangan dilakukan dengan cara konfrontasi.
Pemeriksaan tajam penglihatan sentral dengan amsler grid. Pemeriksaan buta warna dengan
lempeng ishihara.

TIU:
Diharapkan sesudah melakukan kegiatan keterampilan klinik mahasiswa mampu melakukan
pemeriksaan mata sederhana sesuai standar kompetensi.

TIK :
Diharapkan sesudah melakukan kegiatan ketrampilan klinik, mahasiswa dapat :
1. Memberikan penjelasan tentang pemeriksaan yang akan dilakukan dan mendapatkan
persetujuan dari penderita.
2. Melakukan anamnesis lengkap pada penderita dengan kelainan mata.
3. Melakukan pemeriksaan visus anak dan dewasa serta melakukan koreksi refraksi dengan
benar.
4. Melakukan pemeriksaan segmen anterior bola mata dengan benar.
5. Melakukan pemeriksaan dan interpretasi tekanan bola mata dengan benar, menggunakan
metode palpasi maupun dengan tonometer indentasi.
6. Melakukan pemeriksaan pergerakan bola mata dan otot ekstra okuler dengan benar.
7. Melakukan pemeriksaan lapang pandangan sederhana.

162
8.Melakukan pemeriksaan dan penilaian segmen posterior dengan benar menggunakan
funduskopi
9. Melakukan pemeriksaan tajam penglihatan sentral dengan amsler grid
10. Melakukan pemeriksaan buta warna dengan lempeng ishihara.
11. Melakukan pemberian obat tetes mata dengan benar.

NO LANGKAH KEGIATAN

I. MELAKUKAN ANAMNESIS LENGKAP PADA PENDERITA


DENGAN KELAINAN MATA
Tujuan : Mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang keluhan dan
kemungkinan diagnosis

1. Pemeriksa memberi salam/ memperkenalkan diri dengan cara yang sopan.


2. Pemeriksa menjelaskan prosedur dan tujuan dari anamnesis.
3. Pemeriksa menanyakan identitas pasien.
4. Pemeriksa menanyakan keluhan utama. Pasien dengan gangguan pada mata biasanya
datang dengan keluhan seperti :
- Mata merah
- Mata gatal
- Mata berair
- Mata nyeri
- Kotoran mata berlebih
- Gangguan penglihatan (buta, penglihatan kabur, penglihatan ganda/dobel)
- Benjolan pada mata
5. Pemeriksa menanyakan lebih detil hal yang berhubungan dengan keluhan utama:
- Keluhan penglihatan kabur : satu/kedua mata, apakah sangat/sedikit kabur, penglihatan
buram/tertutup, penglihatan sentral atau perifer yang kabur (apakah semua lapangan
penglihatan atau sebagian saja), disertai rasa silau/tidak,
- Keluhan mata merah : satu/kedua mata, didahului trauma/tidak, didahului/disertai
penglihatan kabur
- Keluhan penglihatan ganda : apakah pada satu mata atau pada saat melihat dengan dua
mata, apakah disertai pusing

6. Pemeriksa menanyakan deskripsi keluhan utama: lamanya, onset (tiba-tiba/ perlahan),


perlangsungannya (konstan/ memberat), aktivitas saat keluhan timbul, kondisi yang
memperberat/meringankan keluhan, apakah ada upaya pengobatan sebelumnya, atau
apakah keluhan ini pertama kali timbul atau sudah berulang.

163
7. Pemeriksa menanyakan kelainan mata yang lainnya: mata merah, air mata berlebih,
kotoran mata berlebih, silau, penglihatan menurun, nyeri, rasa mengganjal, rasa berpasir,
serta gejala penyerta bila ada.
8. Pemeriksa menanyakan riwayat kelainan mata atau tindakan/pengobatan pada mata
sebelumnya.
9. Pemeriksa menanyakan riwayat penyakit yang lain, termasuk penyakit sistemik dan
pengobatan yang didapat.
10. Pemeriksa menanyakan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga/ lingkungan.
11. Pemeriksa mencatat hasil anamnesis.
12. Pemeriksa mengkonfirmasi ulang hasil anamnesis dan berikan kesempatan pasien untuk bertanya.

NO LANGKAH KEGIATAN

II. MELAKUKAN PEMERIKSAAN VISUS YANG BAIK


Tujuan : Menentukan visus dasar penderita
Alat : Trial lens, trial frame, optotipe snellen, penggaris

1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.


2. Pemeriksa meminta penderita duduk pada jarak 5 atau 6 m dari optotipe snellen.
3. Pemeriksa mengukur distansia pupil (DP) penderita dengan menggunakan teknik limbus
to limbus.

Pemeriksa berhadapan dengan penderita sambil memegang penggaris di depan mata


penderita. Untuk DP penglihatan jarak jauh, minta penderita melihat mata kanan
pemeriksa lalu sejajarkan limbus bagian temporal mata kanan penderita dengan angka
0 pada penggaris. Lalu minta penderita melihat mata kiri pemeriksa lalu lihat
penunjukkan angka pada penggaris yang sejajar dengan limbus bagian nasal mata kiri
penderita.

Untuk DP penglihatan jarak dekat, minta pasien memfiksasi matanya ke glabella


pemeriksa. Lalu sejajarkan limbus bagian temporal mata kanan penderita dengan
angka 0 pada penggaris dan lihat penunjukkan angka pada penggaris yang sejajar dengan
limbus bagian nasal mata kiri penderita.

4. Periksa apakah terdapat kondisi mata merah (infeksi/inflamasi pada mata). Apabila
ditemukan tanda mata merah, maka minta pasien menutup satu matanya dengan telapak
tangan tanpa menekan bola mata.
Bila tidak didapatkan kondisi mata merah, maka minta penderita untuk memakai trial
frame yang sudah diatur sesuai DP penderita. Untuk memeriksa visus mata kanan
penderita, tutup mata kiri penderita dengan occluder yang dipasang pada trial frame.

164
5. Minta penderita menyebutkan huruf, angka, atau simbol yang ditunjuk mulai dari baris
paling atas dari optotip snellen ke bawah.
6. Tentukan visus penderita sesuai dengan hasil pemeriksaan. Visus penderita ditunjukkan
oleh angka di samping baris huruf terakhir yang dapat terbaca oleh penderita.
7. Lakukan hal yang sama pada mata kiri pasien.
8. Bila visus penderita tidak optimal hingga 20/20 atau 6/6 dilanjutkan ke
pemeriksaan penilaian refraksi.
9. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: VOD (Visus Oculus Dextra) = 20/20
VOS (Visus Oculus Sinistra) = 20/60

165
NO LANGKAH KEGIATAN
III. MELAKUKAN PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF
Tujuan : Menilai status refraksi dan melakukan terapi kelainan refraksi
Alat : Trial lens, trial frame, optotipe snellen, astigmat clock dial
1. Bila pada pemeriksaan visus, didapatkan visus penderita tidak optimal hingga 20/20 atau
6/6 dilanjutkan ke pemeriksaan penilaian refraksi.
2. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
3. Pemeriksa meminta penderita duduk pada jarak 5 atau 6 m dari optotipe snellen.
3. Pasangkan lensa coba (+)/positif dan (-)/negatif 0.5 D bergantian pada trial frame, minta
penderita menyebutkan lensa mana yang memberikan bayangan yang lebih jelas.
Penderita tidak hasus menyebutkan semua huruf/angka optotip dengan benar, cukup
jelas/tidak dahulu.
4. Apabila penderita sudah menentukan lensa yang memberikan bayangan lebih jelas,
mulailah dengan memberikan lensa dengan ukuran terkecil, dan kemudian minta
penderita membaca kembali optotip.
5. Lensa coba diganti hingga penderita dapat membaca optotip maksimal. Pilih lensa
convex /(+) terkuat atau lensa concave (-) terlemah yang memberikan penglihatan
terbaik.
6. Bila setelah koreksi maksimal visus belum mencapai 20/20 atau 6/6, maka dilakukan pin
hole untuk menentukan kemungkinan terdapat kelainan astigmat. Jika dengan pin hole
visus bisa maju, maka dilanjutkan dengan koreksi astigmat.
7. Sebelum dilakukan koreksi astigmat perlu dilakukan fogging dengan menggunakan lensa
+1.00 pada mata yang akan diperiksa.
8. Setelah melakukan fogging, lakukan pemeriksaan astigmat clock dial. Minta penderita
untuk melihat garis mana yang paling jelas dan hitam.
9. Bila pada astigmat clock dial, penderita melihat ada garis yang paling tegas, maka
diperiksa dengan lensa cylindris negatif atau positif (dengan metode trial and error)
dimana axisnya tegak lurus pada garis yang paling tegas tersebut.
Contoh: Pasien melihat garis tegas pada arah jam 3 dan jam 9 (meridian 180 o), maka
axisnya adalah 90o.
10. Setelah itu pemeriksa mulai koreksi dengan lensa ukuran terkecil (0,5 D) dan minta
penderita untuk fokus kembali ke astigmat clock dial dan memperhatikan apakah masih
ada garis yang lebih jelas dan hitam dibandingkan garis lainnya. Ukuran lensa dinaikkan
secara bertahap hingga semua garis sudah sama jelas dan hitamnya.
11. Setelah mendapatkan ukuran lensa silinder yang benar, maka lensa fogging dilepas. Lalu
cek kembali visus dengan menggunakan lensa yang telah dikoreksi. Jika visus belum
sampai pada 20/20 atau 6/6, maka lakukan koreksi sferis kembali (refined spheris)
hingga mencapai visus 20/20 atau 6/6.
12. Lakukan hal yang sama pada mata kiri penderita apabila tidak didapatkan visus yang
optimal.
13. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: VOD = 20/60  - 0,75  20/20
VOS = 20/50  -0,50/-0,50x90o  20/20

166
Astigmat Clock Dial

NO LANGKAH KEGIATAN

IV. MELAKUKAN PEMERIKSAAN PENILAIAN VISUS BAYI DAN


ANAK
Tujuan : Menentukan kemampuan fix and follow bayi/anak

1. Pemeriksa meminta anggota keluarga untuk memangku bayi/anak agar anak merasa
nyaman
2. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
3. Ambillah mainan kecil atau objek lain yang menarik perhatian, yang hanya menstimulasi
penglihatan; jangan menggunakan objek yang bersuara. Pegang objek sekitar 1-2 kaki di
depan muka anak dan gerakkan secara horizontal ke kanan dan kiri sambil mengamati
kemampuan anak untuk memfiksasi dan mengikuti objek
4. Tutup satu mata dan ulangi tes tersebut. Lalu tutup mata yang satu dan ulangi lagi. Amati
perbedaan yang terjadi diantara kedua mata pada kualitas fiksasi dan ‘smooth pursuit’
atau reaksi penolakan terhadap oklusi.
5. Jika Anda mencurigai adanya perbedaan, tapi tidak yakin, ulangi tes, menggunakan
mainan yang lain untuk mempertahankan minat anak..
6. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: VOD : Fix and follow (+)
VOS : Fix and follow (+)

167
NO LANGKAH KEGIATAN

V. MELAKUKAN PEMERIKSAAN SEGMEN ANTERIOR BOLA


MATA
Tujuan : Menilai kelainan pada segmen anterior bola mata
Alat : Penlight, loupe (kaca pembesar), kapas, cotton bud

1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan


2. Pemeriksa meminta pasien untuk duduk berhadapan pada jarak jangkauan tangan
3. Ruangan dibuat setengah gelap
4. Gunakan senter yang diarahkan ke mata pendertia dengan posisi senter 45-60 o dari
temporal mata yang akan diperiksa, dimulai pada mata kanan.
5. Perhatikan palpebra: apa terdapat edema, hiperemia, hematom, benjolan-benjolan. Lalu
perhatikan lebar fisura palpebra dan posisi bola mata
6. Amati silia dan margo palpebra. Perhatikan gerakan membuka dan menutup mata, ada
yang tertinggal gerak atau tidak.
7. Pemeriksa melipat/membalikkan palpebra superior ke arah luar (eversi). Pemeriksaan
eversi pada segmen anterior diawali dengan meminta pasien untuk melihat ke bawah/ke
arah kaki lalu tekan kelopak mata atas 1 cm dari margo palpebra dengan kapas lidi,
sementara kapas lidi lainnya mengeversikan margo palpebral ke arah atas. Amati warna
mukosa, adanya benjolan-benjolan, benda asing, folikel-folikel, cobble’s stone, dan lain-
lain.
8. Perhatikan konjungtiva bulbi: warna, kemosis, pelebaran pembuluh darah, ada sekret atau
tidak. Amati pula sklera, ada penipisan atau penonjolan
9. Perhatikan kornea (senter dari arah 450 temporal kornea): kejernihan, bentuknya,
ukurannya, kecembungan, lesi ada atau tidak, adanya pembuluh darah, pterygium, dan
lain-lain

168
10. Periksa pula sensibilitas kornea dengan kapas yang dipilin, dengan cara kapas
disentuhkan dari arah temporal ke sentral kornea.
Interpretasi: Normal, hipoestesia atau hiperestesia.
11. Periksa kedalaman bilik mata depan dengan sinar yang diarahkan dari temporal limbus
12. Periksa reflex pupil terhadap cahaya langsung (direct), cahaya tidak langsung (indirect).
Perhatikan pula ukuran, bentuk pupil bulat atau tidak, letak pupil sentral atau tidak
13. Periksa iris: bentuknya, warnanya, ada sinekia/tidak
14 Periksa lensa, sinar dari arah 30-450 (sebaiknya pupil dilebarkan): perhatikan letak,
kejernihan, shadow test
15. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.

TEKNIK EVERSI KELOPAK MATA ATAS

169
TEKNIK MENILAI KEDALAMAN BILIK MATA DEPAN

TES SENSITIVITAS KORNEA

NO LANGKAH KEGIATAN
VI. MELAKUKAN PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA
DENGAN METODE PALPASI
Tujuan : Melakukan pemeriksaan tekanan bola mata secara kualitatif
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Pemeriksa duduk berhadapan dengan penderita dengan jarak jangkauan tangan
pemeriksa, (25 – 30 cm).
3. Mintalah penderita untuk melirik ke bawah, bukan menutup mata
4. Mulailah pemeriksaan dari mata kanan.
5. Kedua jari telunjuk berada pada palpebra superior. Ibu jari, kelingking, jari manis, dan
jari tengah memfiksasi didaerah tulang sekitar orbita.

170
6. Jari telunjuk secara bergantian menekan bola mata melalui palpebra dan merasakan
besarnya tekanan bola mata.
7. Besarnya tekanan dilambangkan dengan Tn, Tn-1, Tn-2, Tn+1, Tn+2
8. Prosedur yang sama dilakukan pula pada mata kiri
9. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: TOD (Tekanan intraokuler Oculus Dextra) = Tn
TOS (Tekanan intraokuler Oculus Sinistra) = Tn+1

NO LANGKAH KEGIATAN

VII. MELAKUKAN PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA


DENGAN METODE INDENTAS MENGGUNAKAN
TONOMETER SCHIOTZ
Tujuan : Melakukan pemeriksaan tekanan bola mata secara kuantitatif
menggunakan alat tonometer
Alat : Tonometer schiotz, Tabel Konversi, Lidocain 2% atau Pantocain 0,5% atau 2%,
Kapas Alkohol, Tetes mata antibiotik

1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan


2. Baringkan penderita di tempat tidur.
3. Anestesi topikal dengan menggunakan tetes mata Pantocain 0,5%
4. Pemeriksa menyiapkan alat tonometer schiotz. Gunakan beban tonometer yang terendah,
5,5 gr. Lakukan kalibrasi alat tonometer.
5. Desinfeksi indentasi dengan alkohol 70%., biarkan sampai kering.
6. Penderita diminta melihat ke atas dengan melihat lurus pada ujung ibu jari penderita yang
diposisikan di atas mata yang akan diperiksa.

171
7. Kelopak atas dan bawah dibuka lebar dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari
tangan non dominan, tidak boleh menekan bola mata.
8. Letakkan tonometer dengan hati-hati pada permukaan kornea, tepat di tengah dengan
posisi benar-benar vertikal dan tanpa menekan bola mata. Selanjutnya baca skala yang
ditunjukkan oleh jarum.
9. Sesuaikan hasil pembacaan dengan tabel konversi yang tersedia
(satuan mmHg).
Jika hasil pemeriksaan didapatkan tekanan intraokuler yang tinggi maka dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan beban 7,5 gr dan 10 gr sebagai perbandingan.
10. Teteskan antibiotik topikal setelah pemeriksaan.
11. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: TOD = 5/5,5 = 17.3 mmHg
TOS = 3/5,5=24,4 mmHg 5,5/7,5 = 23,8 mmHg 8/10 = 23,1 mmHg

172
NO LANGKAH KEGIATAN

VIII. MELAKUKAN PEMERIKSAAN PERGERAKAN BOLA MATA


Tujuan : Menilai adanya hambatan pergerakan bola mata
Alat : Penlight/senter

1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.


2. Pemeriksa duduk berhadapan dengan pasien dengan jarak jangkauan tangan pemeriksa
(25-30 cm).
3. Pemeriksa meminta pasien untuk memandang lurus ke depan.
4. Arahkan senter pada glabella pasien dan amati pantulan sinar pada kornea dan minta
pasien untuk melirik ke arah cahaya senter tanpa menggerakkan kepala.
5. Kemudian gerakkan senter dengan membentuk huruf H (mengikuti six cardinal of gaze)
dan berhenti sejenak pada waktu senter berada di arah six cardinal of gaze. Amati posisi
dan gerakan kedua bola mata selama senter digerakkan.
6. Letakkan penlight/pensil pada jarak 30 cm di depan mata penderita, lalu minta panderita
untuk mengikuti/melihat ujung penlight/pensil yang digerakkan mendekat ke arah hidung
penderita.
7. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Nilai 0 mengindikasikan gerakan bola mata normal.
Nilai -1 sampai -4 mengindikasikan adanya hambatan gerakan bola mata.
Nilai +1 sampai +4 mengindikasikan adanya overaksi dari otot pergerakan bola mata.
Contoh :

OD 0 OS 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0

173
NO LANGKAH KEGIATAN
IX. MELAKUKAN PEMERIKSAAN LAPANGAN PANDANG
DENGAN CARA KONFRONTASI
Tujuan : Menilai adanya gangguan lapangan pandang
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
2. Mintalah penderita untuk duduk berhadapan. Posisi bola mata antara
penderita dan pemeriksa selaras dengan jarak 30 – 50 cm.
3. Pemeriksa meminta pasien untuk menutup mata yang tidak diperiksa. Pemeriksa juga
menutup mata di sisi yang sama dengan mata pasien yang ditutup
4. Pemeriksa meminta pasien untuk memfiksasi mata yang tidak tertutup ke arah mata
pemeriksa yang tidak tertutup.
5. Mintalah pasien agar memberi respons bila melihat objek yang digerakkan pemeriksa di
mana mata pasien tetap terfiksasi pada mata pemeriksa
6. Gerakkan obyek dari perifer ke tengah dari arah superior, temporal, inferior, dan nasal
7. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh:
Lapangan pandang temporal mata kanan menyempit dibandingkan lapangan pandang
normal.

174
NO LANGKAH KEGIATAN

X. MELAKUKAN PEMERIKSAAN SEGMEN POSTERIOR


Tujuan : Menilai kelainan pada segmen posterior bola mata
Alat : Midriatikum ED, Oftalmoskop Direk

1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.


2. Persiapan pasien:
Sebelum melakukan pemeriksaan segmen posterior, terlebih dahulu harus dilakukan
pemeriksaan tekanan bola mata pasien (dengan metode palpasi atau metode indentasi
dengan tonometer schiotz).
Jika tekanan bola mata pasien normal, maka dapat dilakukan pemberian tetes mata
midiriatikum yang akan memberi efek dilatasi pupil pasien sehingga dapat dilakukan
pemeriksaan segmen posterior. Akan tetapi jika tekanan bola mata di atas normal, maka
kontraindikasi untuk dilakukan pemberian tetes mata midriatikum

3. Persiapkan alat untuk pemeriksaan segmen posterior bola mata (direct ophthalmoscope).
Ruangan dibuat setengah gelap, penderita diminta melepas kacamata dan pupil dibuat
midriasis dengan tetes mata mydriatil.
4. Sesuaikan lensa oftalmoskop dengan ukuran kaca mata penderita.
5. Mata kanan pemeriksa memeriksa mata kanan penderita, mata kiri pemeriksa memeriksa
mata kiri penderita.
6. Mintalah penderita untuk melihat satu titik di belakang pemeriksa
7. Arahkan ke pupil dari jarak 25-30 cm oftalmoskop untuk melihat reflex fundus dengan
posisi/cara pegang yang benar
8. Periksa secara seksama dengan perlahan maju mendekati penderita kurang lebih 5 cm.

175
9. Sesuaikan fokus dengan mengatur ukuran lensa pada oftalmoskop.
10. Amati secara sistematis struktur retina dimulai dari papil N. optik, arteri dan vena retina
sentral, area makula, dan retina perifer.
11. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh:
FOD (Funduskopi Oculus Dextra) = Refleks fundus (+), Papil N.II batas tegas, CDR : 0,3
, A/V : 2/3, Makula: reflex fovea (+), Retina perifer kesan normal. (Contoh interpretasi
fundus normal)
FOS (Funduskopi Oculus Sinistra) = Refleks fundus (+), Papil N.II batas tidak tegas,
CDR : sulit dievaluasi , A/V : 2/4 kesan berkelok-kelok, Makula: reflex fovea kesan
suram, Retina perifer tampak perdarahan intraretinal bentuk flame-shaped hemorrhage di
seluruh kuadran. (Contoh interpretasi fundus abnormal)

Rubber Stabilizer Aperture shutter


Viewing window

Diopter Indicator

Auxillary Lens Selesctor


Illumination Dial
Filter Level

Rekoss Disc

Switch Button

176
NO LANGKAH KEGIATAN

XI. MELAKUKAN PEMERIKSAAN AMSLER GRID


Tujuan : Menilai adanya gangguan penglihatan sentral
Alat : Amsler testing grid

1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.


2. Mintalah penderita untuk memegang testing grid sejajar dengan garis pandang mata,
dengan jarak kira-kira 36cm (14 inchi) dari mata penderita. Tutuplah mata lain yang
tidak sedang diperiksa.
3. Mintalah penderita untuk memfiksasi matanya pada central spot dari testing grid tersebut.
4. Tanyakan pada penderita apakah garis-garis lurus pada testing grid berubah menjadi garis
lengkung (distorted ) atau apakah garis-garis tersebut hilang (loss).
5. Mintalah pasien untuk menggambar area yang distorted maupun yang loss pada amsler
grid notepad. Pastikan pada notepad tersebut tercantum tanggal pemeriksaan,nama
penderita dan mata manakah yang diperiksa.
6. Lakukan pemeriksaan ini pada kedua mata,

177
NO LANGKAH KEGIATAN
XII. MELAKUKAN PEMERIKSAAN BUTA WARNA
Tujuan : Menilai adanya kelainan penglihatan warna
Alat : Ishihara plate, tabel evaluasi
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
2. Cahaya ruangan harus dibuat cukup. Tidak terlalu terang dan tidak terlalu redup agar
warna pada buku ishihara terlihat jelas
3. Pasien diminta untuk menutup salah satu matanya, lalu membaca tulisan pada buku
ishihara pada jarak ± 30-40 cm dengan mata yang tidak ditutup
4. Setiap plate dibaca dalam waktu 5 detik, hasil pembacaan dituliskan dalam tabel evaluasi
5. Lakukan langkah pemeriksaan yang sama untuk sebelah mata pasien
6. Hasil pembacaan pada tabel evaluasi disimpulkan

178
NO LANGKAH KEGIATAN

XIII. PEMBERIAN OBAT TETES MATA


Tujuan : Mempelajari cara pemberian obat tetes mata

A. OBAT TETES MATA


1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan.
2. Pemeriksa melakukan prosedur cuci tangan
3. Penderita dibaringkan dengan posisi telentang atau penderita duduk dengan posisi kepala
menengadah ke arah langit-langit ruangan
4. Instruksikan penderita untuk membuka kedua mata
5. Lebarkan fissura palpebra dengan jari telunjuk dan ibu jari pada mata yang hendak diberi
obat tetes

179
6. Teteskan obat pada daerah sclera pasien, instruksikan pasien untuk melirik ke arah
temporal atau nasal
7. Instruksikan pasien untuk menutup mata beberapa saat kemudian berkedip agar obat
dapat menyebar ke permukaan bola mata
8. Bersihkan daerah sekitar kelopak mata.

180
MANUAL
KETERAMPILAN KLINIK & LABORATORIUM

INDERA KHUSUS - KULIT

Tim Penyusun :
dr. Idrianti Idrus , Sp.KK,
M.Kes dr. Airin R Nurdin,
Sp.KK, M.Kes
Prof. Dr. dr. Farida Tabri, Sp.KK(K)
Dr. dr. Khairuddin Djawad,
Sp.KK(K)

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


SISTEM INDERA KHUSUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS
2020

1
181
DAFTAR ISI

1. Kata pengantar:

2.Daftar penyusun

3.Tata tertib

4.Manual 1 Pemeriksaan fisis pasien kelainan kulit

Tujuan pembelajaran

To-do list

Deskripsi kegiatan

Strategi Pelatihan

5. Manual 2 Pengambilan bahan kulit dan pemeriksaan Auspit’z dan Koebner

Tujuan pembelajaran

To-do list

Deskripsi kegiatan

Strategi Pelatihan

2
182
KATA PENGANTAR

Manual keterampilan klinik dan laboratorium diberikan untuk mahasiswa yang


mengambil mata kuliah Indera Khusus dan instruktur yang mendampingi mahasiswa
pada kegiatan keterampilan ini. Tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan
instruksional khusus (TIK) yang disajikan pada setiap modul dimaksudkan agar
mahasiswa dan instruktur mengetahui tujuan pembelajaran dari setiap manual sehingga
dapat dicapai kompetensi minimal yang diharapkan.

Dalam manual ini telah disertakan dasar-dasar teori yang bisa digunakan oleh
mahasiswa untuk menjadi dasar pembelajaran dan dikembangkan sesuai dengan
referensi yang ada.

Strategi dan Pelatihan yang akan dilakukan pada setiap latihan keterampilan dilengkapi
dengan alokasi waktu sehingga penggunaan waktu 90 menit untuk setiap latihan dapat
dipergunakan seefisien mungkin. Langkah kegiatan adalah merupakan tahap demi
tahap kegiatan yang tidak boleh dipertukarkan satu sama lain sehingga konsistensi dari
alur keterampilan tetap terjaga.

Dalam manual ini terdapat to-do list diharapkan mahasiswa dapat mempelajari
hal- hal yang telah terdaftar pada to-do list ini, sehingga ketika memasuki kelas sudah
mempunyai persiapan sebelumnya. Diharapkan untuk para instruktur bisa memberikan
responsi terhadap to-do list yang telah dipelajari untuk bisa mengetahui kesiapan
mahasiswa dalam kelas pada hari tersebut. Setiap manual dilengkapi dengan lembaran
kerja sehingga mahasiswa dapat mencatat kegiatan yang dilakukan selama latihan
keterampilan, instruktur diharapkan mengecek lembaran kerja ini pada akhir kegiatan.
Manual juga dilengkapi dengan tata tertib yang harus diikuti oleh mahasiswa pada
latihan ketrampilan ini.

Kumpulan manual ini masih jauh dari kesempurnaan, saran membangun sangat diperlukan.

Makassar, 5 Agustus 2020

Airin R Nurdin

3
183
TATA TERTIB
LATIHAN KETERAMPILAN KLINIK & LABORATORIUM

Mahasiswa yang mengikuti kegiatan ini diharuskan:

1. Hadir tepat waktu.


2. Dapat membuktikan jatidirinya selama latihan berlangsung (seluruh wajah tampak)
3. Memakai jas praktikum dan papan nama sesuai absensi
4. Berpakaian rapi dan sopan.
5. Membaca manual keterampilan klinik dan laboratorium sebelumnya.
6. Berpartisipasi aktif dalam kegiatan latihan keterampilan.
7. Tidak melakukan kegiatan yang tidak berhubungan dengan kegiatan
latihan keterampilan.
8. Mengikuti seluruh petunjuk pelaksanaan, kegiatan latihan
9. Tidak meletakkan barang lain diatas meja kerja kecuali manual dan bahan
latihan keterampilan
10. Tidak merusak bahan dan alat latihan keterampilan. Setiap kerusakan harus
diganti dalam waktu maksimal satu minggu.
11. Meninggalkan ruangan latihan keterampilan dalam keadaan rapi dan bersih.
12. Aturan diatas berlaku sejak memasuki koridor skill lab di laboratorium terpadu.

4
184
MANUAL 1
KETERAMPILAN ANAMNESIS
KELAINAN KULIT

DASAR-DASAR TEORI

PERJALANAN PENYAKIT

Penyakit kulit merupakan penyakit yang bisa terlihat oleh mata, sehingga beberapa
penyakit kulit mungkin bisa terdiagnosa secara cepat. Tetapi mengetahui riwayat
perjalanan penyakit seperti apakah ada bercak merah disertai demam pada pasien yang
menderita pruritus generalisata bisa menjadi kunci dalam menegakkan diagnosa.

Anamnesis

Anamnesis yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis dimulai


dengan mencari keterangan mengenai nama, alamat, umur , jenis kelamin,
pekerjaan dan status perkawinan. Keterangan yang didapat ini kadang sudah
memberi petunjuk permulaan kepada kita.
Pertanyaan yang diajukan biasanya :
 Mengenai keluhan pokok :
a. Dimana keluhan dimulai?
b. Meluaskah?
c. Apakah hilang timbul?
d. Berapa lama?
e. Apakah kering atau basah?
f. Apakah gatal atau sakit?
 Mengenai penderita dan keluarganya:
a. Apa penyakit ini pernah diderita sebelumnya?
b. Apa penyakit-penyakit yang pernah diderita?
c. Apakah penyakit ini pernah diobati? Oleh siapa? Dan nama obatnya apa?
d. Adakah makanan yang membuat penyakit ini tambah parah?
e. Apa pekerjaan penderita dan bagaimana lingkungannya?
f. Kegiatan apa yang dilakukan setelah selesai bekerja?
g. Adakah riwayat penyakit yang sama pada keluarga penderita?

TO DO LIST :

1. Pelajari anatomi dan fisiologi dari 5. Pelajari cara menegakkan diagnosa pada
kulit dan kelamin normal penyakit kulit

2. Pelajari keluhan paling umum pada 6. Pelajari effloresensi primer dan


penyakit kulit sekunder

3. Pelajari penyebab dan perjalanan 7. Pelajari diagnosa banding, komplikasi


penyakit kulit. dan prognosis penyakit kulit

4. Pelajari perluasan, distribusi dan


predileksi pada suatu penyakit kulit

5
185
Referensi :

1. Cox N, Coulson IH. Diagnosis of Skin Diseases. In: Burns T, Breathnach S,


Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. Massachusetts:
Blackwell Publishing; 2004. p. 5.1 - 5.10.
2. Budimulja U. Morfologi dan cara membuat diagnosis. In : Djuana A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ; 2011. p. 34-42.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Pada akhir latihan keterampilan ini, mahasiswa diharapkan mampu melakukan


anamnesis yang menuntun ke arah diagnosis penyakit kulit pada sistem indera khusus.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

1. Mampu dan terampil melakukan komunikasi dengan pasien


2. Mampu dan terampil membina sambung rasa dan memberikan rasa empati.
3. Mampu dan terampil menggali informasi mengenai kelainan kulit yang dialami
pasien.
4. Mampu dan terampil melakukan anamnesis terpimpin yang mengarah ke diagnosis
penyakit kulit pada sistem indera khusus
5. Mampu dan terampil memberikan informasi kepada pasien mengenai tindakan
selanjutnya yang akan dilakukan berdasarkan hasil anamnesis yang telah
dikumpulkan.
6. Mampu dan terampil membuat resume dari semua informasi yang didapat
pada anamnesis.

BAHAN DAN ALAT (STRATEGI DAN CARA PELATIHAN)


- Meja kerja
- Kursi pasien
- Kursi dokter
- Buku status pasien dengan lembaran anamnesis.

DESKRIPSI KEGIATAN

Kegiatan Waktu Deskripsi

1. Pengantar 5 menit Pengantar

- Instruktur menerangkan tentang tujuan keterampilan ini


- Instruktur memperlihatkan bahan dan alat yang diperlukan
untuk melakukan keterampilan ini
2. 20 menit 1. Seorang mahasiswa bertindak sebagai pasien
Demonstrasi 2. Mentor memperlihatkan cara menggali informasi mengenai
kelainan kulit yang dialami pasien.
3. Mentor memperlihatkan cara melakukan anamnesis
terpimpin yang mengarah ke diagnosis penyakit kulit.
4. Mentor memperlihatkan cara menginformasikan kepada
pasien mengenai tindakan selanjutnya yang akan dilakukan
berdasarkan hasil anamnesis yang telah dikumpulkan.
5. Mentor memperlihatkan cara membuat resume dari semua
informasi yang didapat pada anamnesis.
6. Mahasiswa diminta untuk menanyakan hal-hal yang belum
jelas sehubungan dengan kegiatan keterampilan ini

6
186
3.Praktek 20 menit 1. Mahasiswa dibagi menjadi berpasang pasangan, satu orang
bermain peran berperan sebagai dokter dan satu orang berperan sebagai
dengan umpan pasien
2. Yang berperan sebagai dokter melakukan kegiatan:
balik
menggali informasi mengenai kelainan kulit yang dialami
pasien, melakukan anamnesis terpimpin yang mengarah
diagnosis penyakit kulit, menginformasikan kepada pasien
mengenai tindakan selanjutnya yang akan dilakukan
berdasarkan hasil anamnesis yang telah dikumpulkan dan
membuat resume dari semua informasi yang didapat pada
anamnesis.
3. Bertukar peran
4. Mentor berkeliling di antara mahasiswa dan melakukan
supervisi
5. Mentor mengoreksi hal-hal yang belum sempurna
4. Curah 10 menit Mahasiswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya
pendapat dan tentang kegiatan yang dilakukan.
diskusi
Mentor memberikan feedback bila ada kesalahan yang dilakukan
oleh mahasiswa

Total waktu 55 menit

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN

NO. Kegiatan yang dilakukan


Persiapan pasien

1 Persilahkan, menyapa dan perkenalkan diri sambil menjabat tangan


pasien dengan penuh keakraban lalu tunjukkan sikap empati terhadap
pasien.
2 Berikan informasi umum pada pasien atau keluarganya tentang
anamnesis yang akan anda lakukan, tujuan dan manfaat anamnesis
tersebut untuk keadaan pasien.
3 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan
semua informasi yang didapatkan pada anamnesis tersebut.
4 Jelaskan tentang hak-hak pasien pada pasien atau keluarganya,
misalnya tentang hak untuk menolak menjawab pertanyaan yang
dianggapnya tidak
perlu dijawabnya.
Anamnesis umum
5 Tanyakanlah data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan pekerjaan
6 Tanyakanlah apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter (keluhan
utama).
Untuk heteroanamnesis tanyakan hubungan pasien dengan pengantar.
Anamnesis terpimpin
7 Tanyakanlah kapan kelainan kulit tersebut mulai muncul.
Menggali lebih dalam tentang onset, durasi kelainan tersebut, apakah
hilang timbul atau menetap, bagaimana gambaran lesi awalnya, dimana
lokasi
awalnya, bagaimana perkembangan lesinya serta distribusi lesi selanjutnya.
8 Tanyakanlah apakah disertai rasa panas pada lesi atau tidak, adakah
demam atau tidak
9 Tanyakanlah apakah disertai gatal atau tidak.
10 Tanyakanlah apakah kelainan kulit ini ada hubungannya dengan
pekerjaan sebelumnya

7
187
11 Tanyakanlah apakah ada keluhan lain yang dirasakan oleh
pasien. Jika ada tanyakanlah:

8
187
- kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi mendadak atau
tidak.
- apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.
12 Tanyakanlah apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada
masa lalu.

13 Tanyakanlah riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga atau


lingkungan sekitar tempat tinggal
14 Tanyakanlah adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan
gejala yang sama, riwayat kontak dengan serangga ataupun tanaman.
15 Tanyakanlah riwayat pengobatan yang pernah diterima dari dokter dan
obat yang dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep dokter
Mengakhiri anamnesis
16 Jelaskanlah pada pasien bahwa ini adalah suatu rangkaian pemeriksaan
untuk dapat mengetahui penyakit pasien dan diperlukan pemeriksaan
fisis
untuk mempertajam diagnosis.
Membuat resume dari hasil anamnesis
17 Kelompokkan semua hasil yang didapatkan dalam suatu tabulasi
18 Membuat satu diagnosis utama dan diagnosis banding dari hasil
anamnesis

8
188
CHECK LIST

1 2 3
NO. Kegiatan yang dilakukan
Persiapan pasien
1 Mempersilahkan pasien masuk, menyapa dengan penuh keakraban dan
senyum.
2 Memperkenalkan diri, menjabat tangan pasien dan menunjukkan sikap
empati
3 Memberikan informasi pada pasien/keluarga tentang anamnesis yang akan
dilakukan, tujuan dan manfaat anamnesis tersebut
4 Memberikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasian
informasi dari pasien
5 Menjelaskan hak hak pasien kepada pasien/keluarganya,misalnya hak
menolak untuk menjawab pertanyaan yang dianggap tidak perlu dijawab
Anamnesis umum
6 Menanyakan data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan pekerjaan
7 Menanyakan apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter (keluhan
utama).
Anamnesis terpimpin
8 Menanyakan kapan kelainan kulit tersebut mulai muncul.
Menggali lebih dalam tentang onset, durasi kelainan tersebut, apakah
hilang timbul atau menetap, bagaimana gambaran lesi awalnya, dimana
lokasi awalnya, bagaimana perkembangan lesinya serta distribusi lesi
selanjutnya.
9 Menanyakan apakah disertai rasa panas pada lesi atau tidak, adakah
demam atau tidak
10 Menanyakan apakah disertai gatal atau tidak.
11 Menanyakan apakah kelainan kulit ini ada hubungannya dengan
pekerjaan sebelum
12 Menanyakan apakah ada keluhan lain yang dirasakan oleh
pasien. Jika ada tanyakanlah:
- kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi mendadak atau
tidak.
- apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.
13 Menanyakan apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada
masa lalu.

14 Menanyakan riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga atau


lingkungan sekitar tempat tinggal.
15 Menanyakan adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan
gejala yang sama, riwayat kontak dengan serangga ataupun tanaman.
16 Menanyakan riwayat pengobatan yang pernah diterima dari dokter dan
obat yang dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep dokter
Mengakhiri anamnesis
17 Menjelaskan pada pasien bahwa ini adalah suatu rangkaian
pemeriksaan untuk dapat mengetahui penyakit pasien dan diperlukan
pemeriksaan fisis untuk mempertajam diagnosis.
Membuat resume dari hasil anamnesis
18 Kelompokkan semua hasil yang didapatkan dalam suatu tabulasi
19 Membuat satu diagnosis utama dan diagnosis banding dari hasil
anamnesis

9
189
MANUAL 2
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIS

DASAR DASAR TEORI

1. PEMERIKSAAN KULIT
Pemeriksaan penderita seharusnya ditempat yang terang. Dan seharusnya selalu
memeriksa pasien mulai dari kepala hingga kaki. Inspeksi dan palpasi lesi atau
kelainan kulit yang ada (menggunakan kaca pembesar). Hal- hal pokok dalam
pemeriksaan dermatologis yang baik adalah:
1. Lokasi dan /atau distribusi dari kelainan yang ada : Hal ini bisa sangat membantu
: sebagai contoh, dermatitis seboroik mempunyai tempat predileksi pada
wajah, kepala, leher, dada, telinga, dan suprapubis; pada anak, eksema
cenderung terjadi di daerah fleksor; akne terutama pada wajah dan tubuh
bagian atas; karsinoma sel basal biasanya lebih sering muncul di kepala dan
leher.
2. Karakterisitik lesi individual:
 Tipe : Karakteristik lesi : makula, papula, nodul, plak, vesikel, bulla, pustula,
ulkus, urtikaria (untuk mencari gambar gambar effloresensi lainnya, cobalah
cari di buku buku rujukan)
Karakteristik permukaan lesi : Skuama, Krusta, Hiperkeratosis, Eskoriasi,
Maserasi dan Likenifikasi.

Makula Pustul Vesikel

Bulla Skuama Krusta

Urtikaria Likenifikasi Nodul

10
190
Kista Ekskoriasi Ulkus

 Ukuran, bentuk , garis tepi dan batas-batasnya. Ukuran sebaiknya diukur


dengan tepat, daripada hanya membandingkan dengan kacang polong, jeruk
atau koin. Lesi bisa mempunyai berbagai macam bentuk, misalnya bulat, oval,
anular, liniear atau “tidak beraturan”; tepi-tepi yang lurus atau bersudut
mungkin disebabkan oleh faktor-faktor eksternal.
 Warna, selalu ada manfaatnya untuk membuat catatan tentang warna:
merah, ungu, cokelat, hitam pekat dan sebagainya
 Gambaran Permukaan. Telusuri apakah permukaan lesi halus atau kasar,
dan untuk membedakan krusta( serum yang mengering) dengan skuama
(hiperkeratosis); beberapa penelusuran pada skuama dapat membantu, misalnya
terdapat warna keperakan pada psoriasis.
 Tekstur—dangkal?dalam? Gunakan ujung jari Anda pada permukaan
kulit; perkirakan kedalaman dan letaknya apakah di dalam atau di bawah
kulit; angkat sisik atau krusta untuk melihat apa yang ada dibawahnya;
usahakan untuk membuat lesi memucat dengan tekanan.
3.Pemeriksaan lokasi-lokasi “sekunder” : Carilah kelainan-kelainan di tempat lain
yang dapat membantu diagnosis. Contoh yang baik antara lain :
 Kuku ada psoriasis
 Jari-jemari dan pergelangan tangan pada skabies
 Daerah sela-sela jari kaki pada infeksi jamur
 Mulut pada liken planus

4.Tehnik- tehnik pemeriksaan “khusus” : Diperlukan tehnik tehnik khusus


dalam melakukan pemeriksaan kulit seperti Auspit’z dan Koebner sign

Referensi :

1. Wolf K, Goldsmith LA, I.Katz S, A.Gilchrest B. Fitzpatrick's Dermatology in


General Medicine. Wolf K, Gilchrest BA, Paller AS, J.Leffel D, editors. New
York: Mc Graw; 2008.
2. Budimulja U. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Djuana A, Hamzah M, Aisah
S, editors. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2011.

TO DO LIST :

1. Pelajari dan cari referensi lain 5. Pelajari cara inspeksi dan palpasi
tentang effloresensi primer dan untuk penyakit kulit
sekunder pada kulit

2. Pelajari anatomi dan fisiologi kulit 6. Pelajari cara melakukan


normal. penggoresan dan pengerokan yang
baik dan benar.

11
191
3. Pelajari histopatologi dan 7. Pelajari cara interpretasi hasil dari
patomekanisme terjadinya pemeriksaan Auspit’z dan Koebner.
effloresensi kulit.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Pada akhir latihan keterampilan ini, mahasiswa diharapkan mampu melakukan


pemeriksaan fisis yang menuntun ke arah diagnosis penyakit kulit pada sistem indera
khusus.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

1. Mampu dan terampil melakukan komunikasi dengan pasien.


2. Mampu dan terampil menjelaskan mengenai pemeriksaan fisis yang akan dilakukan.
3. Mampu dan terampil mempersiapkan pasien sebelum pemeriksaan fisis.
4. Mampu dan terampil melakukan penilaian status pasien secara umum.
5. Mampu dan terampil melakukan pemeriksaan melakukan pemeriksaan fisis
secara sistematis dengan cara memeriksa :
a. lokasi kelainan kulit yang ditemukan
b. bentuk dan gambaran yang ditunjukkan
c. ukuran dan distribusi kelainan kulit
d. effloresensi kulit yang terlihat
e. tanda-tanda kekeringan dan pecah-pecah pada kulit.
6. Mampu dan terampil menginformasikan hasil yang ditemukan, pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan dan rencana pengobatan kepada
pasien/keluarganya.
7. Mampu dan terampil membuat resume untuk arsip pasien

MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN

 Video, slide atau foto untuk


 Kapas
menampilkan tanda klinis
 Alkohol 70%
yang khas pada beberapa
 Spidol permanen
penyakit kulit dengan
gambaran kelainan pada  Handscoen
kulit  Tempat sampah medis dan
 Buku status pasien untuk non- medis
mencatat hasil pemeriksaan
fisis
 Manekin kulit
 Objek Glass
 Air mengalir
 Sabun cair
 Larutan antiseptik
 Handuk kecil atau tissue
 Termometer
 Stetoskop dan tensimeter
 Kaca pembesar
 Alat pengukur tinggi badan
dan berat badan

12
192
DESKRIPSI KEGIATAN

Kegiatan Waktu Deskripsi

1. Pengantar 5 menit Pengantar

- Instruktur menerangkan tentang tujuan


keterampilan ini.

Instruktur memperlihatkan bahan dan alat yang


diperlukan untuk melakukan keterampilan ini.

2.Demonstrasi 15 Menit 1.Seorang mahasiswa bertindak sebagai pasien.


2.Mentor memperlihatkan cara mempersiapkan pasien
sebelum pemeriksaan fisis.
3. Mentor memperlihatkan cara melakukan penilaian
status pasien secara umum.
4. Mentor memperlihatkan cara melakukan
pemeriksaan fisis secara sistematis untuk
menegakkan diagnosis pasien dengan cara
memeriksa:

Status Dermatologi :
- lokasi kelainan kulit yang ditemukan :
generalisata,
regional, universal, bilateral,unilateral
- bentuk dan gambaran dari lesi yang
ditunjukkan :
teratur atau tidak teratur
- ukuran dan distribusi kelainan kulit :
miliar, lentikular,
gutata, numular, plakat
- effloresensi kulit yang terlihat : makula,
eritem,urtika,
vesikel, pustul, bula, abses, papul, nodus,
tumor,
sikatriks, erosi, ekskoriasi,ulkus,
skuama,krusta,likenifikasi
- tanda-tanda kekeringan dan pecah-pecah
pada kulit.

5.Mentor memperlihatkan cara menginformasikan


hasil yang ditemukan, pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan dan rencana pengobatan kepada
pasien/keluarganya.
6.Mentor memperlihatkan cara membuat resume
untuk arsip pasien
7. Mahasiswa diminta untuk menanyakan hal-hal yang
belum jelas sehubungan dengan kegiatan
keterampilan ini
3.Praktek 55 menit 1. Mahasiswa diminta untuk melakukan kegiatan
bermain peran keterampilan ini secara berpasang-pasangan,
dengan umpan satu bertindak sebagai dokter dan seorang lagi
sebagai pasien.
balik
2. Berganti peran.
3. Mentor berkeliling di antara mahasiswa dan
melakukan supervisi
4. Mentor mengoreksi hal-hal yang belum
sempurna.

13
193
4. Curah 10 menit Mahasiswa diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapat dan pendapatnya tentang kegiatan yang dilakukan
diskusi

Total waktu 90 menit

STRATEGI DAN CARA PELATIHAN ( )

No. Kegiatan yang dilakukan

Persiapan pasien
1 Jelaskan pemeriksaan fisis yang akan dilakukan, tujuan dan manfaatnya
2 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan semua informasi
yang didapatkan pada pemeriksaan fisis tersebut.
3 Jelaskan hak-hak pasien atau keluarganya, misalnya tentang hak untuk menolak
untuk
diperiksa.
4 Persilahkan pasien membuka seluruh pakaian dan memastikan pasien mendapat
pencahayaan yang baik selama pemeriksaan fisis.
5 Cuci Tangan dan Berdiri di sebelah kanan pasien

Penilaian status pasien secara umum dan tanda vital


6 Lihat dan catatlah keadaan umum pasien : sakit ringan, sakit sedang atau sakit berat.
7 Tentukanlah status gizi : ukur tinggi dan berat badan (sesuai panduan penentuan
status gizi)
8 Ukur dan menilailah tanda vital pasien : tekanan darah, denyut nadi, pernapasan dan
suhu
9 Perhatikanlah seluruh tubuh penderita dari ubun-ubun sampai kaki:

- apakah ada penipisan rambut kepala dan alis.


- apakah ada lagophthalmia pada kelopak mata.
- apakah hidung pasien merosot (sadle nose).
didaerah mana bercak yang dimaksud
berada
10 Periksa ada tidaknya pembesaran hati, edema kaki, luka pada kaki

Pemeriksaan Fisis Kelainan Kulit


11 Inspeksi lokasi kelainan kulit tersebut : generalisata, regional, universal,
bilateral,unilateral
12 Menilai jenis effloresensi yang tampak : eritema, hipopigmentasi,
hiperpigmentasi,nodul
vesikel, bulla, makula papula, skuama, urtika, ulkus, krusta
13 Menilai permukaan kulit yang terlihat : kering atau basah.
14 Menilai bentuk dan gambaran kelainan kulit yang tampak pada pasien : teratur atau
tidak teratur
15 Menilai ukuran dan distribusi kelainan kulit yang terlihat pada pasien : miliar,
lentikular,
gutata, numular, plakat
16 Mengulangi pemeriksaan fisis kelainan kulit dengan menggunakan Kaca Pembesar
(loop).
17 Mencatat kelainan kulit pada pasien dan lakukan dokumentasi (pemotretan)

Palpasi Kelainan Kulit Pasien

14
194
18 - Posisikan kelainan kulit agar nampak dengan jelas oleh pemeriksa
- Self pracaution untuk pemeriksa perlu diperhatikan memakai handschoen
sesuai indikasi
- Raba dengan lembut permukaan lesi dengan ujung ujung jari pemeriksa
- Lakukan palpasi pada kelainan kulit/lesi pada pasien apakah ada nodul, kista
dan tumor, kemudian apakah permukaannya kasar (verukosus) atau lembut,
kedalaman lesi kulit apakah lesi terletak pada bagian epidermis,dermis dan
subkutis, bedakan pula krusta (serum yang mengering) dengan skuama,
apakah ada hiperkeratosis, eksokriasi, maserasi atau likenifikasi.
- Menilai kelainan kulit yang ada dan catat pada resume pasien
- Perhatikan slide atau video cara pemeriksaan tersebut; bandingkan dengan
apa yang kalian lakukan.

Persiapan Pemeriksaan Auspit’z dan Koebner Sign

19 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang prosedur tindakan


penggoresan dan kerokan kulit, mintalah kesediaan lisan pasien untuk
pemeriksaan ini
- Siapkanlah semua alat dan bahan yang diperlukan di atas meja dekat pasien
- Tuliskanlah no register/data pasien pada lembar rekam medis
- Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring (tergantung pada lokasi
pengambilan specimen)
- Lakukanlah cuci tangan rutin
- Pasanglah sarung tangan steril
Pemeriksaan Auspit’z
20 - Periksalah lokasi pengambilan specimen dengan baik
- Ambillah kapas alkohol yang baru dan lakukanlah disinfeksi kulit daerah
sekitar lesi mulai dari arah luar ke dalam
- Keroklah kulit dengan objek glass dengan sudut 45º pada lesi dengan skuama
yang tebal
- Terjadi pengelupasan pada skuama lapis demi lapis
- Terjadi perlukaan dan tampak bintik-bintik perdarahan
- Tulislah hasil yang didapat dan lakukan pemotretan .
Pemeriksaan Koebner
21 - Periksalah lokasi pengambilan specimen dengan baik
- Ambillah kapas alkohol yang baru dan lakukanlah disinfeksi kulit daerah
sekitar
- Lakukan goresan pada kulit yang normal
- Terjadi perlukaan
- Dapat memberitahukan waktu untuk timbul fenomena koebner yaitu 7-14 hari
- Tulislah hasil yang didapat dan lakukan pemotretan .
Mengakhiri Pemeriksaan Fisis
22 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang hasil pemeriksaan yang ditemukan
dan masih diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis.
- Jelaskan tentang diagnosis penyakitnya, rencana pengobatan, prognosis dan
komplikasi.
Membuat resume untuk arsip pasien
23 Tulislah resume secara keseluruhan (hasil anamnesis, hasil pemeriksaan fisis,
pengobatan sementara yang diberikan dan pemeriksaan penunjang yang diminta)
sebagai arsip pasien.

15
195
CHECK LIST

No. Kegiatan yang dilakukan

Persiapan pasien
1 Menjelaskan pemeriksaan fisis yang akan dilakukan, tujuan dan
manfaatnya
2 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan semua
informasi
3 Menjelaskan hak-hak pasien atau keluarganya, misalnya tentang hak untuk
menolak untuk diperiksa.
4 Persilahkan pasien membuka seluruh pakaian dan memastikan pasien
mendapat pencahayaan yang baik selama pemeriksaan fisis.
5 Cuci Tangan dan Berdiri di sebelah kanan pasien

Pemeriksaan Fisis Kelainan Kulit

Inspeksi lokasi kelainan kulit tersebut


6 - Posisikan kelainan kulit agar nampak dengan jelas oleh pemeriksa
- Self pracaution untuk pemeriksa perlu diperhatikan memakai
handschoen sesuai indikasi
- Raba dengan lembut permukaan lesi dengan ujung ujung jari
pemeriksa
- Lakukan palpasi pada kelainan kulit/lesi pada pasien apakah ada
nodul, kista dan tumor, kemudian apakah permukaannya kasar
(verukosus) atau lembut, kedalaman lesi kulit apakah lesi terletak
pada bagian epidermis,dermis dan subkutis, bedakan pula krusta
(serum yang mengering) dengan skuama, apakah ada
hiperkeratosis, eksokriasi, maserasi atau likenifikasi.
- Menilai kelainan kulit yang ada dan catat pada resume pasien
- Perhatikan slide atau video cara pemeriksaan tersebut; bandingkan
dengan apa yang kalian lakukan.

Palpasi
7 Menilai jenis effloresensi yang tampak : eritema, hipopigmentasi,
hiperpigmentasi,nodul vesikel, bulla, makula papula, skuama, urtika,
ulkus,
krusta dengan menggunakan kaca pembesar atau senter.
8 Menilai permukaan kulit yang terlihat : kering atau basah.
9 Menilai bentuk dan gambaran kelainan kulit yang tampak pada pasien.
10 Menilai ukuran dan distribusi kelainan kulit yang terlihat pada pasien.
11 Mengulangi pemeriksaan fisis kelainan kulit dengan menggunakan Kaca
Pembesar (loop).
12 Mencatat kelainan kulit pada pasien dan lakukan dokumentasi
(pemotretan)

Pemeriksaan Auspit’z
13 - Periksalah lokasi pengambilan specimen dengan baik
- Ambillah kapas alkohol yang baru dan lakukanlah disinfeksi kulit
daerah sekitar lesi mulai dari arah luar ke dalam
- Keroklah kulit dengan objek glass dengan sudut 45º pada lesi
dengan skuama yang tebal
- Terjadi pengelupasan pada skuama lapis demi lapis
- Terjadi perlukaan dan tampak bintik-bintik perdarahan
- Tulislah hasil yang didapat dan lakukan pemotretan .
Pemeriksaan Koebner

14 - Periksalah lokasi pengambilan specimen dengan baik


- Ambillah kapas alkohol yang baru dan lakukanlah disinfeksi kulit
daerah sekitar
- Lakukan goresan pada kulit yang normal
16
196
- Terjadi perlukaan
- Dapat memberitahukan waktu untuk timbul fenomena koebner
yaitu 7-14 hari
- Tulislah hasil yang didapat dan lakukan pemotretan

Mengakhiri Pemeriksaan Fisis


15 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang hasil pemeriksaan
yang ditemukan dan masih diperlukan beberapa pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis.
- Jelaskan tentang diagnosis penyakitnya, rencana pengobatan,
prognosis dan komplikasi.
Membuat resume untuk arsip pasien
16 Tulislah resume secara keseluruhan (hasil anamnesis, hasil pemeriksaan fisis,
pengobatan sementara yang diberikan dan pemeriksaan penunjang yang
diminta) sebagai arsip pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cox N, Coulson IH. Diagnosis of Skin Diseases. In: Burns T, Breathnach S,


Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. Massachusetts:
Blackwell Publishing; 2004. p. 5.1 - 5.10.
2. Budimulja U. Morfologi dan cara membuat diagnosis. In : Djuana A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ; 2011. p. 34-42.
3. Wolf K, Goldsmith LA, I.Katz S, A.Gilchrest B. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. Wolf K, Gilchrest BA, Paller AS, J.Leffel D, editors. New
York: Mc Graw; 2008.

17
197
18

198
BUKU PENUNTUN KERJA
KETERAMPILAN KLINIK

PEMERIKSAAN FISIS
TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK

Diberikan pada mahasiswa semester V


Fakultas Kedokteran Unhas

SISTEM INDERA KHUSUS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS
2020

1
199
SKILL LAB SISTEM INDERA KHUSUS
PEMERIKSAAN FISIS TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK

PENDAHULUAN
Pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorok adalah adalah suatu
pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan-kelainan pada
telinga, mulai dari telinga bagian luar, telinga tengah sampai telinga dalam yang dapat
memberikan gangguan fungsi pendengaran dan keseimbangan ;kelainan-kelainan pada
hidung dan tenggorok yang dapat memberikan gangguan penghidu dan pengecapan.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi) dan melakukan
tes-tes untuk melihat sifat dan jenis gangguan pendengaran dan keseimbangan serta
gangguan penghidu dan pengecapan

INDIKASI
Untuk mengetahui kelainan-kelainan pada telinga, hidung dan tenggorok yang
memberikan gangguan pendengaran, keseimbangan, penghidu dan pengecapan

TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Umum:
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorokan serta
mampu melakukan tes fungsi pendengaran,keseimbangan, penghidu dan pengecapan
secara baik dan benar

Tujuan Khusus:
1. Mahasiswa mampu mengenal dan menjelaskan alat dan bahan yang akan
digunakan dalam pemeriksaan THT
2. Mahasiswa mampu mempersiapkan penderita dalam rangka persiapan
pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorok
3. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan pemeriksaan fisis telinga, hidung dan
tenggorok tes fungsi pendengaran dan keseimbangan .
4. Mahasiswa dapat melakukan tes-tes fungsi pendengaran , keseimbangan,
penghidu dan pengecapan.
5. Mahasiswa dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan fisis telinga, hidung dan
tenggorok serta hasil tes fungsi pendengaran ,keseimbangan, penghidu dan
pengecapan
6. Mahasiswa mampu menentukan apakah kelainan-kelainan yang ditemukan
merupakan kelainan kongenital, keganasan, infeksi , trauma atau kelainan
degeneratif.

MEDIA DAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN


1. Buku panduan skill lab
2. Daftar panduan skill lab
3. Gambar / slide cara pemeriksaan fisis THT dan tes-tes fungsi pendengaran,
keseimbangan, penghidu dan pengecapan
4. Alat tulis menulis / spidol
5. Pemutaran film pemeriksaan fisis THT dan tes-tes fungsi pendengaran,
keseimbangan, penghidu dan pengecapan

METODE PEMBELAJARAN
1. Demonstrasi dan alih ketrampilan
2. Diskusi
3. Daftar tilik dengan sistem skor

2
200
DESKRIPSI KEGIATAN PEMERIKSAAN TELINGA, HIDUNG DAN
TENGGOROK

KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI


1. Pengantar 10 menit Pengantar skill lab
2. Persiapan dan presentasi 15 menit a.Mengatur posisi duduk mahasiswa
pendahuluan b.Mempersiapkan model
c.Dosen memberikan penjelasan hal-
hal yang penting
d.Memberikan kesempatan
mahasiswa untuk bertanya
e.Semua media dan alat sudah
disiapkan
f. Menjelaskan jalannya skill lab dan
menyampaikan berkumpul kembali
untuk interpretasi hasil melalui audio
visual
3. Persiapan Praktek 15 menit a.Mahasiswa dibagi dalam beberapa
kelompok
b.Disampaikan setiap mahasiswa
c.Diperlukan mentor untuk
mengamati setiap mahasiswa
d.Siapkan audio visual di ruangan
terentu /terpisah
4. Pelaksanaan pemerik-saan 60 menit a. Persiapan penderita
fisis THT, tes fungsi b. Persiapan posisi penderita
pendengaran dan c.Melakukan pemeriksaan fisis telinga
keseimbangan, tes fungsi f. Melakukan tes garpu tala
penghidu dan pengecapan g. Melakukan tes kalori
h. Melakukan tes fungsi penghidu dan
penge-capan
h. Pembacaan hasil
g. Interpretasi hasil
5. Diskusi / curah pendapat 20 menit a. Apa yang dirasakan mudah dan
yang sulit?
b.Mahasiswa menyimpulkan hasil
pemerik-saan fisis telinga , tes
garpu tala, tes kalori dan tes fungsi
penghidu dan pengecapan yang
telah dilakukan
c. Instruktur menjelaskan apa yang
kurang jelas
d. Instrukutur menjawab pertanyaan
e. Instruktur menyimpulkan semua hal
tentang pemeriksaan yang telah
dilakukan
Total Waktu 120 mnt

3
201
PENUNTUN BELAJAR PEMERIKSAAN FISIS TELINGA, HIDUNG DAN
TENGGOROK

Sebelum melakukan pemeriksaan THT ada beberapa hal yang harus dipersiapkan antara
lain :
1. Persiapan alat dan bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan dalam pemeriksaan THT antara lain :
- Lampu kepala
- Spekulum telinga dengan berbagai ukuran
- Aplikator kapas
- Pinset bayonet dan pinset lurus
- Cerumen hook dan cerumen spoon
- Otopneumoscope
- Speculum hidung dengan berbagai ukuran
- Cermin laring dan nasofaring dengan berbagai ukuran
- Spatel lidah
- Seperangkat garpu tala
- Kapas dan Kasa
- Larutan Efedrin 1% dan 2%
- Larutan lidokain
- Alkohol 70%
- Betadine
- AgNo3
- Spoit 10 cc untuk spooling telinga
- Air hangat yang disesuaikan dengan suhu tubuh
- Bunsen

2. Pemasangan lampu kepala


Sebelum diletakkan di kepala, ikatan lampu kepala dilonggarkan dengan
memutar pengunci kearah kiri. Posisi lampu diletakkan tepat pada daerah
glabella atau sedikit miring kearah mata yang lebih dominant. Bila lampu kepala
sudah berada pada posisi yang benar, ikatan lampu dieratkan dengan memutar
kunci kearah kanan. Pungunci ikatan lampu kepala harus berada disebelah kanan
kepala.
Fokus cahaya lampu diatur dengan memfokuskan cahaya kearah telapak tangan
yang diletakkan kurang lebih 30 cm dari lampu kepala. Besar kecilnya focus
cahaya diatur dengan memutar penutup lampu kepala kearah luar sampai
diperoleh focus cahaya lampu yang kecil, bulat dengan tingkat pencahayaan
yang maksimal. Diusahakan agar sudut yang dibentuk oleh jatuhnya sumber
cahaya kearah obyek yang berjarak kurang lebih 30 cm dengan aksis bola mata,
sebesar 15 derajat

3. Posisi duduk antara pemeriksa dengan pasien


Pemeriksa dan pasien masing-masing duduk berhadapan dengan sedikit
menyerong, kedua lutut pemeriksa dirapatkan dan ditempatkan berdampingan
dengan kaki penderita. Bila diperlukan posisi-posisi tertentu penderita dapat
diarahkan ke kiri atau kanan. Kepala penderita difiksasi dengan bantuan seorang
perawat. Pada anak kecil yang belum koperatif selain diperlukan fiksasi kepala,
sebaiknya anak dipangku oleh orang tuanya pada saat dilakukan pemeriksaan.
Kedua tangan dipeluk oleh orang tua sementara itu, kaki anak difiksasi diantara
kedua paha orang tua.

PEMERIKSAAN TELINGA
Mula-mula dilakukan inspeksi telinga luar, perhatikan apakah ada kelainan bentuk
telinga, tanda-tanda peradangan, tumor dan secret yang keluar dari liang telinga.
Pengamatan dilakukan pada telinga bagian depan dan belakang.
Setelah mengamati bagian-bagian telinga, lakukan palpasi pada telinga,apakah ada nyeri
tekan, nyeri tarik atau tanda-tanda pembesaran kelenjar pre dan post aurikuler.
Pemeriksaan auskultasi pada telinga dengan menggunakan stetoskop dapat dilakukan
pada kasus-kasus tertentu misalnya pada penderita dengan keluhan tinnitus objektif

Pemeriksaan liang telinga dan membrane timpani dilakukan dengan memposisikan liang
telinga sedemikian rupa agar diperoleh aksis liang telinga yang sejajar dengan arah
pandang mata sehingga keseluruhan liang telinga sampai permukaan membrane timpani
4
202
dapat terlihat. Posisi ini dapat diperoleh dengan menjepit daun telinga dengan
menggunakan ibu jari dan jari tengah dan menariknya kearah superior-dorso-lateral dan
mendorong tragus ke anterior dengan menggunakan jari telunjuk. Cara ini dilakukan
dengan tangan kanan bila akan memeriksa telinga kiri dan sebaliknya digunakan tangan
kiri bila akan memeriksa telinga kanan. Pada kasus-kasus dimana kartilago daun telinga
agak kaku atau kemiringan liang telinga terlalu ekstrim dapat digunakan bantuan
speculum telinga yang disesuaikan dengan besarnya diameter liang telinga. Spekulum
telinga dipegang dengan menggunakan tangan yang bebas.

Amati liang telinga dengan seksama apakah ada stenosis atau atresia meatal, obstruksi
yang disebabkan oleh secret, jaringan ikat, benda asing, serumen obsturan, polip,
jaringan granulasi, edema atau furunkel. Semua sumbatan ini sebaiknya disingkirkan
agar membrane timpani dapat terlihat jelas. Diamati pula dinding liang telinga ada atau
tidak laserasi
Liang telinga dibersihkan dari secret dari sekret dengan menggunakan aplikator kapas,
bilas telinga atau dengan suction.
Cara membuat aplikator kapas yaitu dengan mengambil kapas secukupnya kemudian
aplikator diletakkan ditengah-tengah kapas aturlah letak aplikator sedemikian rupa
sehingga ujung aplikator terletak kira-kira pada pertengahan kapas, kapas kemudian
dilipat dua sehingga menyelimuti ujung aplikator dan dijepit dengan ibu jari dan jari
telunjuk tangan kiri. Selanjutnya pangkal aplikator diputar searah dengan putaran jarum
jam dengan menggunakan tangan kanan. Setelah ujung aplikator diselimuti kapas
lakukan pengecekan apakah ujung aplikator yang tajam tidak melampaui ujung kapas.
Selanjutnya kapas aplikator dilewatkan diatas api Bunsen.. Bila secret terlalu profus
dapat digunakan bilasan air hangat yang disesuikan dengan suhu tubuh. Bilasan telinga
dilakukan dengan menyemprotkan air dari spoit langsung ke dalam telinga. Ujung spoit
diarahkan ke dinding atas meatus sehingga diharapkan secret / serumen akan dikeluarkan
oleh air bilasan yang balik kembali.

Pengamatan terhadap membrane timpani dilakukan dengan memperhatikan permukaan


membrane timpani, posisi membrane, warna, ada tidaknya perforasi, refleks cahaya,
struktur telinga tengah yang terlihat pada permukaan membrane seperti manubrium
mallei, prosesus brevis, plika maleolaris anterior dan posterior

Untuk mengetahui mobilitas membrane timpani digunakan otopneumoskop. Bila akan


dilakukan pemeriksaan telinga kanan, speculum otopneumoskop difiksasi dengan ibu jari
dan jari telunjuk, daun telinga dijepit dengan menggunakan jari tengah dan jari manis
tangan kiri, sebaliknya dilakukan bila akan memeriksa telinga kiri. Selanjutnya
pneumoskop dikembang kempiskan dengan menggunakan tangan kanan. Pada saat
pneumoskop dikembang kempiskan, pergerakan membrane timpani dapat diamati
melalui speculum otopneumoskop. Pergerakan membrane timpani dapat pula diamati
dengan menyuruh pasien melakukan Manuver Valsalva yaitu dengan menyuruh pasien
mengambil napas dalam, kemudian meniupkan melalui hidung dan mulut yang tertutup
oleh tangan. Diharapkan dengan menutup hidung dan mulut, udara tidak dapat keluar
melalui hidung dan mulut sehingga terjadi peninggian tekanan udara di dalam
nasofaring. Selanjutnya akibat penekanan udara, ostium tuba yang terdapat dalam rongga
nasofaring akan terbuka dan udara akan masuk ke dalam kavum timpani melalui tuba
auditiva

PEMERIKSAAN HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS


Pemeriksaan hidung diawali dengan melakukan inspeksi dan palpasi hidung bagian luar
dan daerah sekitarnya. Inspeksi dilakukan dengan mengamati ada tidaknya kelainan
bentuk hidung, tanda-tanda infeksi dan sekret yang keluar dari rongga hidung. Palpasi
dilakukan dengan penekanan jari-jari telunjuk mulai dari pangkal hidung sampai apeks
untuk mengetahui ada tidaknya nyeri, massa tumor atau tanda-tanda krepitasi.

Pemeriksaan rongga hidung dilakukan melalui lubang hidung yang disebut dengan
Rhinoskopi anterior dan yang melalui rongga mulut dengan menggunakan cermin
nasofaring yang disebut dengan Rhinoskopi posterior

Rhinoskopi anterior
RA dilakukan dengan menggunakan speculum hidung yang disesuaikan dengan
besarnya lubang hidung. Spekulum hidung dipegang dengan tangan yang dominant.
Spekulum digenggam sedemikian rupa sehingga tangkai bawah dapat digerakkan bebas
5
203
dengan menggunakan jari tengah, jari manis dan jari kelingking. Jari telunjuk digunakan
sebagai fiksasi disekitar hidung. Lidah speculum dimasukkan dengan hati-hati dan
dalam keadaan tertutup ke dalam rongga hidung. Di dalam rongga hidung lidah
speculum dibuka. Jangan memasukkan lidah speculum terlalu dalam atau membuka
lidah speculum terlalu lebar. Pada saat mengeluarkan lidah speculum dari rongga hidung
, lidah speculum dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat untuk menghindari terjepitnya bulu-
bulu hidung.

Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari dasar rongga hidung,
konka-konka, meatus dan septum nasi. Perhatikan warna dan permukaan mukosa rongga
hidung, ada tidaknya massa , benda asing dan secret. Struktur yang terlihat pertama kali
adalah konka inferior . Bila ingin melihat konka medius dan superior pasien diminta
untuk tengadahkan kepala.

Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum Molle yaitu pergerakan
palatum molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf “ i “. Pada waktu
melakukan penilaian fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar
dengan dasar rongga hidung bagian belakang. Pandangan mata tertuju pada daerah
nasofaring sambil mengamati turun naiknya palatum molle pada saat pasien
mengucapkan huruf “ i ” . Fenomena Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di
dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat
kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini.

Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon
kapas efedrin yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga hidung
untuk mengurangi edema mukosa.

Rhinoskopi posterior
Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, 1/3 dorsal lidah
ditekan dengan menggunakan spatel lidah. Jangan melakukan penekan yang terlalu
keras pada lidah atau memasukkan spatel terlalu jauh hingga mengenai dinding faring
oleh karena hal ini dapat merangsang refleks muntah.
Cermin nasofaring yang sebelumnya telah dilidah apikan, dimasukkan ke belakang
rongga mulut dengan permukaan cermin menghadap ke atas. Diusahakan agar cermin
tidak menyentung dinding dorsal faring.. Perhatikan struktur rongga nasofaring yang
terlihat pada cermin.
Amati septum nasi bagian belakang, ujung belakang konka inferior, medius dan
superior, adenoid (pada anak), ada tidak secret yang mengalir melalui meatus.
Perhatikan pula struktur lateral rongga nasofaring : ostium tuba, torus tubarius, fossa
Rossenmulleri
Selama melakukan pemeriksaan pasien diminta tenang dan tetap bernapas melalui
hidung. Pada penderita yang sangat sensitif, dapat disemprotkan anestesi lokal ke daerah
faring sebelum dilakukan pemeriksaan.

PEMERIKSAAN SINUS PARANASALIS


Inspeksi dilakukan dengan melihat ada tidaknya pembengkakan pada wajah.
Pembengkakan dan kemerahan pada pipi, kelopak mata bawah menunjukkan
kemungkinan adanya sinusitis maksilaris akut. Pembengkakan pada kelopak mata atas
kemungkinan sinusitis frontalis akut. Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk pada gigi
bagian atas menunjukkan adanya Sinusitis maksilaris. Nyeri tekan pada medial atap
orbita menunjukkan adanya Sinusitis frontalis. Nyeri tekan di daerah kantus medius
menunjukkan adanya kemungkinan sinusitis etmoidalis.

PEMERIKSAAN FARING
Penderita diinstruksikan membuka mulut, perhatikan struktur di dalam cavum oris mulai
dari gigi geligi, palatum, lidah, bukkal. Lihat ada tidaknya kelainan berupa,
pembengkakan, hiperemis, massa, atau kelainan congenital.
Lakukan penekanan pada lidah secara lembut dengan spatel lidah. Perhatikan struktur
arkus anterior dan posterior, tonsil, dinding dorsal faring. Deskripsikan kelainan-
kelainan yang tampak .
Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada daerah mukosa bukkal, dasar
lidah dan daerah palatum untuk menilai adanya kelainan-kelainan dalam rongga mulut

6
204
PEMERIKSAAN LARINGOSKOPI INDIREK
Sambil membuka mulut, instruksikan penderita untuk menjulurkan lidah sejauh
mungkin ke depan . Setelah dibalut dengan kasa steril lidah kemudian difiksasi diantara
ibu jari dan jari tengah . Pasien diinstruksikan untuk bernafas secara normal
Kemudian masukkan cermin laring yang sesuai yang sebelumnya telah dilidah apikan ke
dalam orofaring . Arahkan cermin laring ke daerah hipofaring sedemikian rupa hingga
tampak struktur di daerah hipofaring yaitu : epiglottis, valekula, fossa piriformis, plika
ariepiglotikka, aritaenoid, plika ventrikularis dan plika vocalis. Penilaian mobilitas plika
vocalis dengan menyuruh penderita mengucapkan huruf i berulang kali.

TES FUNGSI PENDENGARAN


Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi pendengaran. Salah satu
tes yang biasa digunakan di Klinik adalah Tes Bisik dan Tes Garpu Tala. Tes ini selain
mudah dilakukan, tidak rumit , cepat, alat yang dibutuhkan sederhana juga memberikan
informasi yang terpercaya mengenai kualitas dan kuantitas ketulian.

Test Suara Bisik


Test ini amat penting bagi dokter umum terutama yang bertugas di puskesmas-
puskesmas, dimana peralatan masih sangat terbatas untuk keperluan test pendengaran.
Persyaratan yang perlu diingat dalam melakukan test ini ialah :
a. Ruangan Test. Salah satu sisi atau sudut menyudut ruangan harus ada jarak sebesar 6
meter. Ruangan harus bebas dari kebisingan. Untuk menghindari gema diruangan
dapat ditaruh kayu di dalamnya.
b. Pemeriksa. Sebagai sumber bunyi harus mengucapkan kata-kata dengan
menggunakan ucapan kata-kata sesudah expirasi normal.
Kata-kata yang dibisikkan terdiri dari 2 suku kata (bisyllabic) yang terdiri dari kata-
kata sehari-hari. Setiap suku kata diucapkan dengan tekanan yang sama dan antara
dua suku kata bisyllabic “Gajah Mada P.B.List” karena telah ditera keseimbangan
phonemnya untuk bahasa Indonesia.
c. Penderita. Telinga yang akan di test dihadapkan kepada pemeriksa dan telinga yang
tidak sedang ditest harus ditutup dengan kapas atau oleh tangan si penderita sendiri.
Penderita tidak boleh melihat gerakan mulut pemeriksa.

Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang jelas misalnya
anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar harus diulangi dengan suara
keras. Kemudian dilakukan test sebagai berikut :

a. Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata bisyllabic. Bila tidak
menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari penderita) dan test ini dimulai lagi.
Bila masih belum menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian seterusnya
sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-kata yang dibisikkan.
Jarak dimana penderita dapat menyahut 8 dari 10 kata diucapkan di sebut jarak
pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai ditemukan
satu jarak pendengaran.
Evaluasi test.
a. 6 meter - normal
b. 5 meter - dalam batas normal
c. 4 meter - tuli ringan
d. 3 – 2 meter - tuli sedang
e. 1 meter atau kurang - tuli berat

Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara kasar derajat
ketulian (kuantitas). Bila sudah berpengalaman test suara bisik dapat pula secara kasar
memeriksa type ketulian misalnya :
a. Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w (meja dikatakan becak,
gajah dikatakan kaca dan lain-lain).
b. Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang umumnya berfrekwensi tinggi
seperti s, sy, c dan lain-lain (cicak dikatakan tidak, kaca dikatakan gajah dan lain-
lain).

7
205
Test Garpu Tala
Test ini menggunakan seperangkat garpu tala yang terdiri dari 5 garpu tala dari nada c
dengan frekwensi 2048 Hz,1024 Hz, 512Hz,256 Hz dan 128 Hz. Keuntungan test garpu
tala ialah dapat diperoleh dengan cepat gambaran keadaan pendengaran
penderita.Kekurangannya ialah tidak dapat ditentukan besarnya intensitas bunyi karena
tergantung cara menyentuhkan garpu tala yaitu makin keras sentuhan garpu tala makin
keras pula intensitas yang didengar. Sentuhan garpu tala harus lunak tetapi masih dapat
didengar oleh telinga normal. Di poliklinik dapat dilakukan empat macam test garpu tala
yaitu :
a. Test garis pendengaran
b. Tets Weber
c. Tets Rinne
d. Test Schwabach

Tes garis pendengaran.


Tujuan test ini adalah untuk mengetahui batas bawah dan batas atas ambang
pendengaran. Telinga kanan dan kiri diperiksa secara terpisah.

Cara pemeriksaan.
Semua garpu tala satu demi satu disentuh secara lunak dan diletakkan kira-kira 2,5 cm di
depan telinga penderita dengan kedua kakinya berada pada garis penghubung meatus
acusticus externus kanan dan kiri. Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan
bila mendengarkan bunyi.Bila penderita mendengar, diberi tanda (+) pada frekwensi
yang bersangkutan dan bila tidak mendengar diberi tanda (-) pada frekwensi yang
bersangkutan.
Contoh hasil pemeriksaan Garis pendengaran :
Ka Frekwensi Ki
- 2.048 +
- 1.024 +
- 512 +
- 256 -
+ 128 -
telinga kanan tidak mendengar frekwensi 2. 048 Hz dan 1. 024Hz sedang frekwensi-
frekwensi lain dapat didengar, telinga kiri tidak mendengar frekwensi 128 Hz dan 256
Hz, sedangkan frekwensi-frekwensi lain dapat didengar.
Evaluasi test garis pendengaran. Pada contoh di atas telinga kanan batas atasnya
menurun berarti telinga kanan menderita tuli sensorineural. Pada telinga kiri batas
bawahnya meningkat berarti telinga kiri menderita tuli konduktif.

Test Weber.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Telinga
normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh diletakkan
pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakah mendengar atau
tidak. Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga mana didengar lebih keras.
Bila terdengar lebih keras di kanan disebut lateralisasi ke kanan.

b. Evaluasi Tets Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada beberapa
kemungkinan
1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural
3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural
4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
5. Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena tidak dapat
menegakkan diagnosa secara pasti.

Test Rinne.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu
telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang. Juga
pada tuli sensorneural hantaran udara lebih panjang daripada hantaran tulang. Dilain
pihak pada tuli konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara.
8
206
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunak pada tangan
dan pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum dari telinga yang akan
diperiksa. Kepada penderita ditanyakan apakah mendengar dan sekaligus di
instruksikan agar mengangkat tangan bila sudah tidak mendengar. Bila penderita
mengangkat tangan garpu tala dipindahkan hingga ujung bergetar berada kira-kira 3
cm di depan meatus akustikus eksternus dari telinga yang diperiksa. Bila penderita
masih mendengar dikatakan Rinne (+). Bila tidak mendengar dikatakan Rinne (-)
b. Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli sensorineural. Rinne negatif
berarti tuli konduktif.
c. Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-hati dengan apa
yang dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi pada tuli sensorineural yang
unilateral dan berat.
Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum getarannya di tangkap
oleh telinga yang baik dan tidak di test (cross hearing). Kemudian setelah garpu tala
diletakkan di depan meatus acusticus externus getaran tidak terdengar lagi sehingga
dikatakan Rinne negatif

+R-

Test Schwabach.
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita dengan hantaran
tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus normal.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh secara lunak
diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum penderita. Kemudian kepada
penderita ditanyakan apakah mendengar, sesudah itu sekaligus diinstruksikan agar
mengangkat tangannya bila sudah tidak mendengar dengungan. Bila penderita
mengangkat tangan garpu tala segera dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa.
Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan schwabach memendek
atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila pemeriksa tidak mendengar harus
dilakukan cross yaitu garpu tala mula-mula diletakkan pada planum mastoideum
pemeriksa kemudian bila sudah tidak mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan
ke planum mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar
dengungan.
Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal dan bila masih
mendengar dikatakan schwabach memanjang.
b. Evaluasi test schwabach
1. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli sensory neural
2. Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif
3. Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak mendengar
dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti telinga penderita normal
juga.

PEMERIKSAAN VESTIBULER
Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi keseimbangan.

TES HEADSHAKE NYSTAGMUS (HSN)


Pasien diminta untuk menundukkan kepala 30 derajat. Goyangkan kepala
pasien ke kanan dan ke kiri secepat mungkin selama 30 detik (mata pasien
terbuka)
Hasil :
Nistagmus horizontal arah ke sisi sehat pada beberapa detik pertama
Nistagmus horizontal arah ke sisi lesi terjadi 20 detik setelah headshake
HSN berkorelasi baik dengan kelainan vestibuler perifer

TES DYNAMIC VISUAL ACUITY


Pasien diminta untuk membaca huruf pada Snellen eye chart (seperti

9
207
memeriksa visus mata), tandai pada garis kemampuan membaca maksimal
Goyangkan kepala ke kanan dan ke kiri pada kecepatan 2 Hz (seperti tes
headshake) sambil pasien diminta membaca chart tadi
Kehilangan kemampuan membaca lebih dari 2 garis menandakan adanya
hipofungsi vestibuler bilateral

TES HEAD THRUST (HEAD IMPULSE)


Pasien diminta menundukkan kepala 30 derajat, Kemudian pasien diminta
untuk menoleh ke lateral 15-30 derajat, tetapi mata tetap fokus ke target
pusat (mis. Ke hidung pemeriksa).
Dengan cepat kepala pasien digerakkan kembali ke pusat, mata tetap fokus
ke target pusat
Perhatikan apakah ada gerakan sakadik pada mata pasien akibat
kurangnya fiksasi visual pada saat tes
Berkurangnya fiksasi visual behubungan dengan menurunnya fungsi
kanalis semisirkularis ipsilateral (sisi lesi)

TES ROMBERG
Tes screening untuk keseimbangan berdiri
Pasien diminta untuk berdiri dengan kaki sejajar, kedua tangan menyilang
di dada
Bandingkan pada saat mata terbuka dan mata tertutup masing-masing
selama 30 detik

TES STEPPING
Pasien diminta untuk berdiri jalan ditempat dengan kedua tangan dijulur
kedepan dada sambil menutup mata.

Tes Kalori Sederhana


Salah satu tes yang biasa digunakan di Klinik adalah Tes Kalori Sederhana. Tes ini
selain mudah dilakukan, tidak rumit , cepat, alat yang dibutuhkan sederhana juga
memberikan informasi yang terpercaya mengenai jenis gangguan keseimbangan.
Sebelum dilakukan tes, sebaiknya penderita tidak mengkonsumsikan obat-obatan
minimal 4 hari.
Alat yang dibutuhkan
- Air masak, Es batu, Termometer, Spoit 50 cc, Stopwatch

Pasien dalam posisi baring dengan kepala dielevasi 30 derajat di atas bidang horizontal.
Air steril sebanyak 20 cc dengan suhu 20 derajat dimasukkan ke dalam liang telinga
selama 5 detik. Setelah itu penderita menghadap ke atas dan diinstruksikan untuk tetap
membuka mata selama tes dilakukan. Nistagmus yang terjadi diamati. Catat jumlah,
lama, arah dan keluhan yang menyertai nistagmus (mis: vertigo, mual, muntah dll).
Normal akan didapatkan nistagmus selama lebih dari 2 menit dan selisih waktu
nistagmus pada kedua labirin tidak lebih dari 20 detik. Tes ini bermakna bila
diidapatkan nistagmus kurang dari 90 detik. Hal ini didapatkan pada moderat
hipoexcitability (canal paresis) labirin. Bila dengan suhu 20 derajat tidak didapatkan
respon maka tes ini dilanjutkan dengan air suhu 10 derajat atau 0 derajat. Bila pada suhu
ini tidak didapatkan respon, ini menandakan adanya komplit kanal paresis atau kanal
paresis berat.

TES FUNGSI PENGHIDU DAN PENGECAPAN


Tes Fungsi Pengecapan
Sensibilitas lidah sebagai fungsi pengecapan secara sederhana dapat diperiksa dengan
meletakkan substansi bahan tes yang dilarutkan dalam air pada tempat-tempat tertentu di
lidah. Bahan tes yang dianjurkan adalah gula pasir untuk rasa manis, garam untuk rasa
asin, jeruk untuk rasa asam dan kina untuk rasa pahit. Penderita diinstruksikan
menjulurkan lidah sementara hidung ditutup.

Untuk rasa manis letakkan pada ujung lidah, rasa asam pada kedua tepi lidah, rasa asin
pada ujung dan tepi lidah, rasa pahit pada belakang lidah. Tes dilakukan satu persatu
kemudian di catat berapa waktu yang dibutuhkan pada saat meletakkan bahan tes sampai
terjadi sensasi, catat sensasi yang dirasakan oleh penderita. Sebaiknya penderita disuruh
berkumur-kumur setiap selesai satu tes sebelum dilanjutkan ke tes berikutnya.
Nilai normal diperoleh bila penderita dapat merasakan sensasi rasa manis 50 detik
10
208
setelah diletakkan dan mencapai puncaknya dalam waktu 2 menit. Untuk sensasi rasa
asin sensasi dirasakan pada saat substansi diletakkan dan menurun dalam waktu 2 menit.
Untuk sensasi asam dan pahit nilai normal didapatkan bila penderita merasakan sensasi
tersebut dalam 2 menit. Dikatakan Hipogeusia bila sensasi dirasakan setelah 2 menit dan
Ageusia bila penderita tidak merasakan apa-apa.

Tes Fungsi Penghidu


Alkohol Sniff Test (AST)
- Sangat baik utk skrining
- Penderita diinstruksikan untuk mengendus bau isopropil alkohol dengan mata
tertutup.
- Kapas yang telah diberi alkohol didekatkan perlahan-lahan ke hidung penderita.
Dimulai kira-kira 20 – 30 cm dari mid sternum.
- Normosmik : dapat menghidu dari jarak > 10 cm
- Hiposmik : 0 – 10 cm ( 1, 2, 3 an 4 cmm : berat )
- Anosmik : tdk dpt mencium sama sekali

11
209
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN FISIS THT

LANGKAH KLINIK KASUS


A. PENGANTAR
1. Ucapkan salam
2. Persilahkan penderita untuk duduk
3. Dengan sopan, tanyakan identitas penderita (nama,umur,pekerjaan,
pendidikan, alamat)
B. ANAMNESIS
1. Tanyakan tentang :
 Keluhan utama yang mendorong penderita berobat
 Keluhan lain yang menyertai keluhan utama
 Riwayat penyakit terdahulu dan sekarang, riwayat berobat, riwayat
penyakit dalam keluarga,dll
C. PEMERIKSAAN
1. UMUM
 Keadaan umum
 Tanda vital (Tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh)
2. FISIS THT
a. Jelaskan tentang prosedur pemeriksaan kepada penderita, juga bahwa
pemeriksaan ini kadang – kadang menimbulkan perasaan khawatir
atau tidak enak tetapi tidak akan membahyakan penderita.

b. Atur posisi duduk penderita


c. Pasang lampu kepala
d. Atur fokus lampu kepala
PEMERIKSAAN TELINGA
e. Inspeksi telinga luar.
f. Palpasi telinga luar
 Tampak menekan dengan jari telunjuk tangan kanan pada daerah
depan dan belakang telinga untuk menilai adanya kelainan-
kelainan pada telinga
 Menarik aurikula untuk menilai ada tidaknya nyeri
g. Otoskopi:
 Melakukan pemilihan spekulum telinga yang tepat
 Memegang dan memposisikan daun telinga yang akan diperiksa
 Mengarahkan sorotan lampu kepala ke dalam liang telinga
 Menilai keadaan liang telinga
 Memasukan spekulum telinga ke dalam liang telinga
 Menilai keadaan gendang telinga
 Mengeluarkan spekulum teling dari dalam liang telinga
 Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
PEMERIKSAAN HIDUNG
h. Inspeksi hidung luar dan sekitarnya
i. Palpasi
 Tampak menekan dengan jari telunjuk tangan kanan pada daerah
pangkal hidung, pipi, supra orbitalis dan daerah interkantus untuk
menilai adanya kelainan-kelainan pada hidung dan sinus
paranasalis
j. Rinoskopi anterior
 Melakukan pemilihan spekulum hidung yang tepat
 Memegang dan memasukkan spekulum hidung ke dalam rongga
hidung
 Mengarahkan sorotan lampu kepala ke dalam rongga hidung
 Menilai struktur di dalam rongga hidung
 Melihat fenomena “palatum molle”
 Mengeluarkan spekulum hidung dari rongga hidung

k. Rinoskopi posterior:
 Melakukan pemilihan cermin nasofaring yang tepat

12
210
 Menyuruh penderita membuka mulut
 Melakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
 Melidah apikan cermin nasofaring sebelum dimasukkan ke dalam
orofaring
 Memposisikan cermin nasofaring di dalam orofaring
 Menilai struktur di dalam nasofaring
 Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
l. Faringoskopi
 Penderita diinstruksikan membuka mulut
 Lakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
 Tampak memperhatikan keadaan cavum oris sampai orofaring
 Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada daerah
mukosa bukkal, dasar lidah dan daerah palatum untuk menilai
adanya kelainan-kelainan dalam rongga mulut
PEMERIKSAAN LARING FARING
Laringoskopi indirek
 Melakukan pemilihan cermin laring yang tepat
 Instruksikan penderita untuk membuka mulut dan menjulurkan
lidah sejauh
 Pegang lidah dengan kasa steril . Pasien diinstruksikan untuk
bernafas secara normal
 Masukkan cermin laring yang telah dilidah apikan ke dalam
orofaring .
 Posisikan cermin laring sedemikian rupa hingga tampak struktur
di daerah hipofaring
 Menilai mobilitas plika vocalis dengan menyuruh penderita
mengucapkan huruf i berulang kali
 Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
 Angkat kedua tangan dari dinding perut ibu kemudian ambil
stetoskop monoaural dengan tangan kiri, kemudian tempelkan
ujungnya pada dinding perut ibu yang sesuai dengan posisi
punggung bayi (bagian yang memanjang dan rata).

PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
LANGKAH KLINIK KASUS
A. TES BISIK
 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
 Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk
pemeriksaan
 Mengatur posisi duduk dengan pasien
 Dengan menggunakan sisa udara ekspirasi pemeriksa
membisikkan beberapa kata bisyllabic pada jarak 6 meter
 Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari
penderita) dan test ini dimulai lagi. Bila masih belum
menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian seterusnya
sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-
kata yang dibisikkan.
 Catat hasil yang diperoleh dan interpretasinya.

B. TES GARPU TALA


1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Mempersiapkan alat yang akan digunakan untuk pemeriksaan
3. Mengatur posisi duduk dengan pasien

4. Tes Garis Pendengaran


 Getarkan garpu dengan lembut, kemudian posisikan kira-kira 2,5 –
3 cm di depan telinga penderita
 Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila mendengar
bunyi dari garpu tala

13
211
14
211
 Lakukan mulai dari gapu tala frekwensi rendah sampai tinggi
 Tes dilakukan pada kedua telinga
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
5. Tes Rinne R
 Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
 Letakkan pada planum mastoid.
 Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila sudah tidak
mendengar bunyi dari garpu tala atau sebaliknya
 Pindahkan garpu tala ke depan telinga yang sedang diperiksa bila
penderita sudah tidak mendengar
 Tes dilakukan pada kedua telinga
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
6. Tes Weber
 Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
 Letakkan pada dahi atau vertex
 Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan telinga mana yang
lebih jelas mendengar bunyi
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
7. Tes Schwabach
 Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
 Letakkan pada planum mastoid.
 Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila sudah tidak
mendengar bunyi dari garpu tala atau sebaliknya
 Pindahkan garpu tala ke planum mastoid pemeriksa bila penderita
sudah tidak mendengar
 Tes dilakukan pada kedua telinga
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

8. Tes Bing
 Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
 Letakkan pada planum mastoid
 Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan mana yang lebih
jelas mendengar bunyi pada saat liang telinga tertutup atau terbuka
 Tes ini untuk memastikan gangguan konduktif

14
212
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
LANGKAH KLINIK KASUS
TES KESEIMBANGAN
TES HEADSHAKE NYSTAGMUS

 Pasien diminta untuk menundukkan kepala 30 derajat.


 Goyangkan kepala pasien ke kanan dan ke kiri secepat
mungkin selama 30 detik (mata pasien terbuka)
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

TES DYNAMIC VISUAL ACUITY


 Pasien diminta untuk membaca huruf pada Snellen eye
chart (seperti memeriksa visus mata), tandai pada garis
kemampuan membaca maksimal
Goyangkan kepala ke kanan dan ke kiri pada kecepatan 2
Hz (seperti tes headshake) sambil pasien diminta membaca
chart tadi
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

TES HEAD THRUST (HEAD IMPULSE)


 Pasien diminta menundukkan kepala 30 derajat, Kemudian
pasien diminta untuk menoleh ke lateral 15-30 derajat,
tetapi mata tetap fokus ke target pusat (mis. Ke hidung
pemeriksa).
 Dengan cepat kepala pasien digerakkan kembali ke pusat,
mata tetap fokus ke target pusat
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

TES ROMBERG
 Pasien diminta untuk berdiri dengan kaki sejajar, kedua
tangan menyilang di dada
 Bandingkan pada saat mata terbuka dan mata tertutup
masing-masing selama 30 detik
 Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

15
213
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN PENGHIDU DAN PENGECAPAN
LANGKAH KLINIK KASUS
TES PENGHIDU
 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
 Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk
pemeriksaan
 Mengatur posisi duduk dengan pasien
 Penderita diinstruksikan untuk menutup mata dan lubang
hidung yang tidak akan di tes.
 Letakkan bahan tes di depan mid sternum, kira-kira 20-30 cm
dari lubang hidung yang akan diperiksa.
 Perlahan-lahan gerakkan bahan tes dari bawah ke atas menuju
lubang hidung yang akan diperiksa
 Tanyakan kepada penderita sensasi bau apa yang dihidu
 Catat hasil dan interpretasi
TES PENGECAPAN
 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
 Mempersiapkan alat yang akan digunakan untuk pemeriksaan
 Mengatur posisi duduk dengan pasien
 Penderita diinstruksikan menjulurkan lidah sementara hidung
ditutup.
 Letakkan bahan tes sebagai berikut : untuk rasa manis letakkan
pada ujung lidah, rasa asam pada kedua tepi lidah, rasa asin
pada ujung dan tepi lidah, rasa pahit pada belakang lidah.
 Catat waktu yang dibutuhkan pada saat meletakkan bahan tes
sampai terjadi sensasi, catat sensasi yang dirasakan oleh
penderita.
 Penderita disuruh berkumur-kumur setiap selesai satu tes
sebelum dilanjutkan ke tes berikutnya

16
214
BUKU PANDUAN KERJA

KETERAMPILAN KLINIK
PEMERIKSAAN PALPASI KELENJAR LIMFA LEHER

Diberikan pada Mahasiswa Semester V


Fak. Kedokteran Unhas

Disusun oleh
dr. Freddy Kuhuwael, Sp.THT

Diedit oleh
dr. Baedah Madjid, Sp.MK

Fakultas Kedokteran

Universitas

Hasanuddin

2020

17
215
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN PALPASI
KELENJAR LIMFA LEHER

PENDAHULUAN
Palpasi kelenjar leher adalah bagian dari pemeriksaan fisis yang digunakan untuk
mengetahui sifat-sifat dari suatu massa yang terdapat pada leher dengan jalan melakukan
perabaan dengan saksama. Pemeriksaan ini dilakukan setelah inspeksi. Dengan
melakukan palpasi yang benar maka dapat diketahui letak dari pembesaran
kelenjar/massa, bagaimana konsistensinya lunak, fluktuasi, kenyal atau padat; berapa
ukurannya; melekat dengan struktur disekitarnya, apakah nyeri atau tidak; apakah tunggal
atau multiple.
INDIKASI
Untuk mengetahui sifat-sifat dari suatu pembesaran kelenjar limfa massa pada leher
yang mana sangat berhubungan dengan suatu tumor ganas maupun jinak atau suatu
infeksi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu melakukan palpasi kelenjar atau massa pada leher dengan benar dan
tepat.
SASARAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu mempersiapkan penderita dalam rangka pemeriksaan palpasi
kelenjar limfa leher.
2. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan palpasi kelenjar limfa dengan benar.
3. Mahasiswa mampu menentukan sifat-sifat pembesaran kelenjar limfe leher.
4. Mahasiswa dapat menginterpretasi pembesaran kelenjar limfa leher.
5. Mahasiswa mampu menentukan apakah pemebesaran kelenjar leher lateral
merupakan keganasan, infeksi akut, tbc kelenjar atau kelainan congenital
MEDIA DAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN
1. Buku panduan skill lab
2. Daftar panduan skill lab
3. Gambar/ slide cara palpasi kelenjar limfe leher
4. Alat tulis menulis / spidol
5. Foto-foto kasus pembesaran kelenjar limf leher
METODE PEMBELAJARAN
1. Demonstrasi dan alih ketrampilan
2. Diskusi
3. Daftar tilik dengan sistem skor

10
216
DESKRIPSI KEGIATAN

KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI

1. Pengantar 5 menit Pengantar skill lab

2. Persiapan 10 menit a. Mengatur posisi duduk mahasiswa.


b. Merpersiapkan model
c. Dosen memberikan penjelasan hal-
hal yang penting
d.Memberikan kesempatan mahasiswan
untuk bertanya.
e. Semua media dan alat sudah disiapkan
f. Menjelaskan jalanya skill lab dan
menyampaikan berkumpul kembali
untuk interpretasi hasi melalui
audio visual
3. Persiapan praktek 10 menit a. Mahasiswa dibagi dalam
beberapa kelompok
b. Disampaikan setiap mahasiswa
melakukan palpasi kelenjar limf leher
c. Diperlukan mentor untuk
menmgamati setiap mahasiswa
d. Siapkan audio visual di ruangan tertentu/
terpisah
4. Pelaksanaan palpasi 15 menit a. Persiapan penderita
kelenjar limf leher b. Persiapan posisi penderita
c. Melakukan palpasi kelenjar limf leher
f. Pembacaan hasil
d. Interpretasi hasil.
5. Diskusi/curah pendapat 10 menit a. Apa yang dirasakan mudah dan yg sulit?
b. Mahasiswa menyimpulkan hasil palpasi
kelenjar limf leher yang telah
dilakukan
c. Instruktur menjelaskan apa yg kurang
jelas
d. Instruktur menjawab pertanyaan.
e. Instruktur menyimpulkan semua hal
tentang palpasi kelenjar limf leher
Total waktu 50 menit

11
217
PENUNTUN PEMBELAJARAN
PALPASI KELENJAR LIMFA
LEHER SISTEM INDERA
KHUSUS
( Digunakan oleh Peserta
)

Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan menggunakan kriteria sebagai berikut :
1. Perlu perbaikan : langkah-langkah tidak dilakukan dengan benar
dan tidak sesuai urutannya atau ada langkah yang dihilangkan
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar dan sesuai dengan
urutannya, tetapi tidak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan benar, sesuai dengan urutannya
dan efisien

TS Tidak Sesuai : Langkah tidak perlu dikerjakan karena tidak sesuai dengan
keadaan

NO LANGKAH KEGIATAN KASUS


A. ANAMNESE & PERKENALAN 1 2 3
1. Ucapkanlah salam dan perkenalkanlah diri anda pada klien.
2. Tanyakanlah identitas lengkap penderita dan keluhan utamanya

3. Ciptakanlah suasana yang menyenangkan,


4. Jelaskanlah prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan pada
penderita
5. Cucilah tangan dengan sabun dan air mengalir
B. PEMERIKSAAN KELENJAR LIMFE 1 2 3
6. Dengan sopan persilahkanlah penderita duduk tegak menghadap
pemeriksa
7. Berdirilah didepan atau dibelakang penderita
8. Palpasi dilakukan secara sistematis, dimulai pada daerah yang
diindikasi oleh pemeriksaan inspeksi.
9. Palpasi kelenjar limf submental dan submandibular yaitu
pemeriksa berada di belakang penderita kemudian palpasi
dilakukan dengan kepala penderita condong ke depan sehingga

12
218
ujung jari-jari meraba di bawah tepi mandibula. Kepala dapat
dimiringkan dari satu sisi kesisi yang lain sehingga palpasi dapat
dilakukan pada kelenjar yang superficial maupun yang
profunda.Dapat juga dilakukan palpasi bimanual dari luar dan
dalam
mulut. Gambar 2,3,4.
10. Palpasi rantai kelenjar jugularis dapat dimulai di uperficial
dengan melakukan penekanan ringan dengan menggerakan jari-jari
sepanjang m.sternocleido mastoideus. Pada palpasi yang lebih
dalam, ibu jari ditekan di bawah m. Sternocleido mastoideus pada
kedua sisi sehingga dapat dipalpasi kelenjar yang terdapat di sub
atau retro dari muskulus ini. Bila pemeriksaan ini negatip atau
meragukan, maka pemeriksa harus berdiri dibelakang penderita
kemudian ibu jari digunakan untuk menggeser m. Sternocleido
mastoideus ke depan sementara jari yang lain meraba pada tepi
anterior muskulus tersebut. Perabaan secara bilateral dan simultan
selalu dianjurkan untuk menilai perbedaan antara kedua sisi. Palpasi
kelenjar leher ini agak sulit pada orang gemuk, leher pendek dan
leher yang berotot, terutama bila kelenjarnya masih kecil.
Gambar 5,6,7.
11. Palpasi kelenjar limfa asesorius dilakukan dengan menekan ibu jari
pada tepi posterior m. trapezius ke depan dan jari-jari ditempatkan pada
permukaan anterior muskulus ini. Gambar 8
12. Palpasi kelenjar limfa supraklavikular dapat dilakukan dengan
duduk di depan atau berdiri dibelakang penderita dimana jari-jari
digunakan untuk palpasi fosa supraklavikular. Gambar 9,10.

B. SELESAI PEMERIKSAAN 1 2 3
13. Jelaskanlah hasil pemeriksaan kepada penderita
14.. Ucapkanlah terima kasih dan salam ke pada penderita
15. Lakukanlah perpisahan dengan klien sambil memberinya harapan.
16.. Cucilah tangan dengan air dan sabun cair

13
219
14
220
Fig. 5.8 Bimanual palpation of the
submental region. This allows
comparison between the two sides
Gambar 2 Gambar 3

Fig. 5.9 Combined external and


endoral palpation of the
submandibular region
Gambar 4

15
221
/
Fig. 5.10 Palpation of the
jugulodigastric chain
Gambar 5
Gambar 6

Gambar 7
Gambar 8

16
222
Gambar 9 Gambar10

223

Anda mungkin juga menyukai