NEUROLOGI
1. Pemeriksaan Derajat Kesadaran (Glasgow Coma Scale) dan Fungsi
Kortikal Luhur Mini-Mental State Examination (MMSE) .................. 1
2. Pemeriksaan Fungsi Saraf Kranial I ................................................... 16
3. Pemeriksaan Fungsi Saraf Kranial II ................................................... 44
4. Pemeriksaan Sistem Motorik dan Refleks Fisiologis, Patologis,
dan Primitif................................................................................................64
5. Pemeriksaan Sistem Sensorik dan Sistem Koordinasi...............................89
6. Pemeriksaan Neurologik Lainnya............................................................101
PSIKIATRI
7. Keterampilan Teknik Wawancara (Anamnesis) Psikiatri........................128
8. Pemeriksaan Status Mental......................................................................139
9. Diagnosis dan Terapi Psikiatri.................................................................149
10. Radiologi Neuro-Psikiatri........................................................................157
SISTEM INDERA
11. Keterampilan Klinik – Mata.................................................................161
a. Anamnesis Kelainan Mata.............................................................163
b. Pemeriksaan Visus.........................................................................164
c. Pemeriksaan Refraksi Subyektif....................................................166
d. Pemeriksaan Visus Bayi dan Anak................................................167
e. Pemeriksaan Segmen Anterior Bola Mata.....................................168
f. Pemeriksaan Tekanan Bola Mata dengan Palpasi..........................170
g. Pemeriksaan Tekanan Bola Mata dengan Tonometer Schiotz......171
h. Pemeriksaan Pergerakan Bola Mata..............................................173
i. Pemeriksaan Lapangan Pandang dengan Cara Konfrontasi...........174
j. Pemeriksaan Segmen Posterior (Oftalmoskopi).............................175
k. Pemeriksaan Amsler Grid..............................................................177
l. Pemeriksaan Buta Warna................................................................178
m. Pemberian Obat pada Mata...........................................................179
12. Keterampilan Klinik – Kulit.................................................................181
a. Anamnesis Kelainan Kulit.............................................................185
b. Pemeriksaan Fisik Kulit.................................................................190
13. Keterampilan Klinik – THT.................................................................199
a. Anamnesis THT – KL....................................................................210
b. Pemeriksaan Fisik THT – KL........................................................210
c. Pemeriksaan Pendengaran..............................................................211
d. Pemeriksaan Keseimbangan..........................................................213
e. Pemeriksaan Penghidu dan Pengecapan........................................214
f. Pemeriksaan Palpasi Kelenjar Limfa Leher...................................215
MANUAL CSL IV SISTEM NEUROPSIKIATRI
PENYUSUN
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
1
PENDAHULUAN
2
TATA TERTIB KEGIATAN CSL
(CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan bahan
yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL
SANKSI PELANGGARAN
TATA TERTIB CSL
3
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILAN
I. PEMERIKSAAN KESADARAN DAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR
PEMERIKSAAN 1. Penilaian tingkat kesadaran 4A
KESADARAN dengan skala koma
Glasgow (GCS)
PEMERIKSAAN 2 Melakukan Mini Mental 4A
FUNGSI KORTIKAL State Examination (MMSE)
LUHUR
Penilaian orientasi 4A
Penilaian kemampuan 4A
berbicara dan berbahasa,
termasuk penilaian afasia
Penilaian apraksia 2
Penilaian agnosia 2
Penilaian kemampuan 2
belajar baru
Penilaian daya 4A
ingat/memori
Penilaian konsentrasi 4A
4
DESKRIPSI KEGIATAN
5
PEMERIKSAAN DERAJAT KESADARAN
PENGANTAR
Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Kesadaran
dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian
impuls eferen dan aferen. Semua impuls aferen disebut input dan semua impuls
eferen dapat disebut output susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi
kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara
hemisfer serebri dan formasio retikularis di batang otak yang intak.
Gangguan pada hemisfer serebri atau formasio retikularis dapat
menimbulkan gangguan kesadaran. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal
dengan istilah compos mentis, di mana aksi dan reaksi terhadap apa yang dilihat,
didengar, dihidu, dikecap, dialami, serta perasaan keseimbangan, nyeri, suhu,
raba, gerak, getar, tekan, dan sifat, bersifat adekuat (tepat dan sesuai). Pada
kondisi penyakit neurologis maupun non neurologis, dapat terjadi gangguan
kesadaran.
Penilaian derajat kesadaran dapat dinilai secara kualitatif maupun secara
kuantitatif. Penilaiangangguan kesadaran secarakualitatifantara lain mulai dari
apati, somnolen, delirium, bahkan koma. Pada manual ini akan diajarkan
penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif, yaitu dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS). Penilaian derajat kesadaran ini sangat
penting dikuasai karena mempunyai harga praktis, yaituuntuk dapat memberikan
penanganan, menentukan perbaikan, kemunduran, dan prognosis.
DASAR TEORI
Kesadaran mengacu pada kesadaran subjektif mengenai dunia luar dan
diri, termasuk kesadaran mengenai dunia pikiran sendiri; yaitu kesadaran
mengenai pikiran, persepsi, mimpi, dan sebagainya.
Neuron-neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls
aferen non-spesifik dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, oleh karena
tergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif, derajat kesadaran
bisa tinggi atau rendah. Aktivitas neuron-neuron tersebut digalakkan oleh neuron-
neuron yang menyusun inti talamik yang dinamakan nuclei
intralaminares. Oleh karenaitu, neuron-neuron tersebut dapat dinamakan
neuron penggalak kewaspadaan.
Derajat kesadaran ditentukan oleh banyaknya neuron penggalak atau neuron
pengemban kewaspadaan yang aktif dan didukung oleh proses biokimia untuk
menjaga kelangsungan kehidupan neuron tersebut. Apabila terjadi gangguan
sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang terendah, maka koma yang
dihadapi dapat terjadi oleh sebab neuron pengemban kewaspadaan sama sekali
tidak berfungsi (disebut koma bihemisferik) atau oleh sebab neuron
6
penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban
kewaspadaan (koma diensefalik). Koma bihemisferik antara lain dapat
disebabkan oleh hipoglikemia, hiperglikemia, uremia, koma hepatikum, hiponatremia,
dan sebagainya. Koma diensefalik antara lain dapat disebabkan oleh: strok, trauma
kapitis, tumor intracranial, meningitis, dan sebagainya.
Penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif yang sampai saat ini masih
digunakan adalah Glasgow Coma Scale (GCS). GCS adalah suatu skala neurologik
yang dipakai untuk menilai secara obyektif derajat kesadaran seseorang. GCS
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Graham Teasdale dan Bryan J.
Jennett, professor bedah saraf pada Institute of Neurological
Sciences,Universitas Glasgow. GCS kini sangat luas digunakanoleh dokter umum
maupun para medis karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan sistematis.
GCS terdiri dari 3 pemeriksaan, yaitu penilaian: respons membuka mata
(eye opening), respons motorik terbaik(best motor response), dan respons verbal
terbaik(best verbal response).
Masing-masing komponen GCS serta penjumlahan skor GCS sangatlah
penting, oleh karena itu, skor GCS harus dituliskan dengan tepat, sebagai contoh:
GCS 10, tidak mempunyai makna apa-apa, sehingga harus dituliskan seperti: GCS
10 (E2M4V3). Skor tertinggi menunjukkan pasien sadar (compos mentis), yakni GCS
15 (E4M6V5), dan skor terendah menunjukkan koma (GCS 3
= E1M1V1).
7
Tabel 1. Glasgow Coma Scale
SASARAN BELAJAR:
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dasar-
dasar patomekanisme kesadaran menurun dan cara pemeriksaan pasien kesadaran
menurun serta penilaian derajat kesadaran berdasarkan skala koma Glasgow/Glasgow
Coma Scale.
SASARAN PEMBELAJARAN:
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai fungsi kesadaran.
2. Melakukan pemeriksaan fungsi kesadaran untuk menilai derajat kesadaran dengan
menggunakan skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale = GCS) dan
mengetahui letak lesi pada susunan saraf pusat serta membantu menetukan
prognosis klien.
3. Membantu klien untuk memberikan penanganan awal serta persiapan
rujukan.
8
MEDIA DAN ALAT BANTU
Penuntun Belajar.
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
9
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN KESADARAN BERDASARKAN
GLASGOW COMA SCALE (GCS)
NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
1 2 3
Klien diminta berbaring, kemudian pemeriksa
melakukan evaluasi dengan menilai
SCOR
A. EYE RESPONSE
1 Spontan 4
2 Terhadap suara 3
Meminta klien membuka mata.
3 Terhadap rangsang nyeri 2
Tekan pada saraf supraorbital atau kuku jari.
4 Tidak ada reaksi 1
dengan rangsang nyeri klien tidak membuka mata
B. VERBAL RESPONSE 1 2 3
1 Berorientasi baik 5
Menanyakan dimana ia berada, tahu waktu, hari,
bulan
2 Bingung (confused) 4
Menanyakan dimana ia berada, kapan opname di
Rumah sakit (dapat mengucapkan kalimat,
namun ada disorientasi waktu dan tempat)
3 Tidak tepat 3
Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak
berupa kalimat dan tidak tepat
4 Mengerang 2
Mengeluarkan suara yang tidak punya arti, tidak
mengucapkan kata, hanya suara mengerang
5 Tidak ada jawaban (suara tidak ada) 1
C. MOTORIK RESPONSE 1 2 3
1 Menurut perintah 6
Misalnya menyuruh klien mengangkat tangan.
2 Mengetahui lokasi nyeri 5
Berikan rangsang nyeri dengan menekan jari
pada supra orbita. Bila klien mengangkat tangan
sampai melewati dagu untuk menepis rangsang
nyeri tersebut berarti dapat mengetahui lokasi
nyeri
10
3 Reaksi menghindar 4
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak.
4 Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Berikan rangsang nyeri misal menekan dengan
objek seperti ballpoint pada jari kuku. Bila
terdapat reaksi fleksi berarti ingin menjauhi
rangsang nyeri.
5 Extensi spontan (decerebrasi) 2
Memberikan rangsang nyeri yang cukup adekuat
Terjadi ekstensi pada siku.
6 Tidak ada gerakan/reaksi 1
Rangsang yang diberikan harus cukup adekuat
10
11
FUNGSI KORTIKAL LUHUR
PENGERTIAN
Pemeriksaan status mental merupakan evaluasi fungsi kognitif dan emosi
yang harus dilakukan secara runtut dan sitematis. Mulai dengan fungsi dasar
tingkat kesadaran, kemudian fungsi kognitif dasar seperti berbahasa dan
pemeriksaan yang lebih kompleks seperti berhitung, pertimbangan dan
sebagainya.
PENDAHULUAN
Fungsi kortikal luhur (FKL) atau fungsi luhur merupakan sifat
khas manusia, yang merupakan suatu kesatuan fungsi otak tingkat tinggi yang
membedakan manusia dengan hewan. FKL mencakup fungsi-fungsi memori,
orientasi, konsentrasi, bahasa, kemampuan melaksanakan perintah (praxis), dan
kemampuan rekognisi stimulus (gnosia). Salah satu instrumen untuk menilai
fungsi kortikal luhur adalah dengan perangkat Mini Mental State Examination
(MMSE).
DASAR TEORI
Pemeriksaan FKL harus dilakukan secara runtut dan sitematis. Mulai
dengan fungsi dasar tingkat kesadaran, kemudian fungsi kognitif dasar seperti
berbahasa dan pemeriksaan yang lebih kompleks seperti berhitung,
pertimbangan dsb. Berbagai lesi serebral dapat menyebabkan terganggunya FKL,
misalnya tumor otak, strok, trauma kapitis, dan sebagainya. Salah satu contoh
gangguan FKL adalah afasia motorik, yakni di mana pasien kehilangan
kemampuan untuk berbicara (berbahasa), akan tetapi dapat memahami apa yang
diperintahkan (fungsi komprehensif baik).
Perangkat terstandarisasi, sederhana dan praktis untuk menilai ada
tidaknya gangguan FKL dan kognitif adalah Mini Mental State Examination
(MMSE). Komponen yang dapat dinilai melalui MMSE antara lain: orientasi,
registrasi, atensi dan kalkulasi, memory recall, dan fungsi bahasa.
MMSE merupakan perangkat yang praktis dan efektif yang digunakan sebagai
skrining untuk mengetahui adanya gangguan kognitif, baik di masyarakat,
komunitas usia lanjut, pasien rumah sakit, maupun institusi lainnya. Namun
demikian, MMSE tidak dapat digunakan untuk menggantikan perangkat
penilaian status mental dan kognitif secara lengkap.
MMSE diperkenalkan oleh Folstein dkk sejak tahun 1975, telah divalidasi, dan
secara luas digunakan untuk skrining fungsi kognitif. MMSE terdiri dari 11
pertanyaan yang dapat diselesaikan dalam waktu 5 – 10 menit, sehingga praktis
digunakan secara rutin.
11
12
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui
dasar-dasar kelainan fungsi kortikal luhur dan dapat melakukan pemeriksaan
fungsi kortikal luhur dengan menggunakan Mini Mental State Examination
(MMSE)
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menekankan pentingnya pemeriksaan fungsi kortikal luhur dilakukan
terutama karena dapat mempertajam pendeteksian kelainan di otak,
terutama fungsi kognitif.
2. Mampu menerapkan pemeriksaan MMSE dalam praktek klinis untuk
mengevaluasi status mental dan kognitif pasien dan merujuk bila diperlukan
penanganan lanjut.
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan PenuntunBelajar.
12
13
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR
DENGAN MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)
NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. ORIENTASI 1 2 3
1 Klien dipersilakan duduk
Klien diminta menyebutkan tanggal, hari, bulan, tahun,
musim ruangan, rumah sakit/kampus, kota, propinsi,
negara.
2 Mencatat kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh klien
3 Adanya kesalahan-kesalahan menunjukkan gangguan
orientasi.
II. REGISTRASI
1 Meminta klien mengingat 3 kata bola, melati, kursi.
III. ATENSI/KALKULASI
1 Meminta klien mengurangi angka sebanyak lima seri : 100-
7;
Atau menyebutkan urutan huruf dari belakang kata
WAHYU.
IV. REKOL (MEMORI)
1 Meminta klien mengingat kembali ketiga kata tadi.
V. BAHASA
1 Klien diminta menyebutkan jam tangan (arloji), pensil.
2 Kemudian meminta mengulang kata: namun, tanpa dan
bila.
3 Menilai pengertian verbal : Meminta klien mengambil
kertas ini dengan tangan kanan. Lipatlah menjadi dua dan
letakkan di lantai tutup mata
4 Klien diminta menulis huruf atau angka yang didiktekan
oleh pemeriksa
5 Bila berhasil dilanjutkan dengan menulis kata atau kalimat
Gangguan menulis disebut agrafia
VI. KONSTRUKSI
1 Klien dminta meniru gambar ini
13
14
INTERPRETASI SKOR MMSE:
24 – 30 : NO COGNITIVE IMPAIRMENT
18 – 23 : MILD COGNITIVE IMPAIRMENT
0 - 17 : SEVERE COGNITIVE IMPAIRMENT
14
15
MANUAL CSL IV SISTEM
NEUROPSIKIATRI
PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
16
PENDAHULUAN
17
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang
telah ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa
ijin setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat
dan bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL
18
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN FISIK KETERAMPILAN
II. PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIAL BAGIAN I
1 Pemeriksaan indra 4A
penciuman
2 Inspeksi lebar celah 4A
palpebra
3 Inspeksi pupil (ukuran 4A
dan
bentuk)
4 Reaksi pupil terhadap 4A
cahaya
5 Reaksi pupil terhadap 4A
obyek dekat
6 Penilaian gerakan bola 4A
mata
7 Penilaian diplopia 4A
8 Penilaian nistagmus 4A
9 Refleks kornea 4A
10 Pemeriksaan funduskopi 4A
19
DESKRIPSI KEGIATAN
20
NERVI KRANIALIS
PENGERTIAN
Nervus Kranialis (saraf kranialis / Nervi Craniales) adalah saraf-saraf yang
keluar langsung dari otak dan batang otak. Pada manusia, terdapat 12
pasang Nervus Kranialis, yaitu:
DASAR TEORI
Sensory,
No. Name motor, or Origin/Target Function
both
I Olfactory Purely sensory Telencephalon Transmits the sense of smell
from the nasal cavity.[13]
Located in the olfactory
foramina in the cribriform plate
of the ethmoid
bone.
II Optic Sensory Retinal ganglion Transmits visual signals from the
cells retina of the eye to the brain.[14]
Located in the optic canal.
21
III Oculomotor Mainly motor Anterior aspect of Innervates the levator palpebrae
Midbrain superioris, superior rectus,
medial rectus, inferior rectus, and
inferior oblique, which
collectively perform most eye
movements. Also innervates the
sphincter pupillae and the
muscles of the ciliary body.
Located in the superior orbital
fissure.
IV Trochlear motor Dorsal aspect of Innervates the superior oblique
Midbrain muscle, which depresses, rotates
laterally, and intorts the eyeball.
Located in the superior orbital
fissure.
V Trigeminal Both sensory Pons Receives sensation from the face
and motor and innervates the muscles of
mastication. Located in the;
superior orbital fissure
(ophthalmic nerve - V1), foramen
rotundum (maxillary nerve -
V2),foramen ovale (mandibular
nerve - V3).
VI Abducens Mainly motor Nuclei lying under
Innervates the lateral rectus,
the floor of the
which abducts the eye. Located in
fourth ventricle
the superior orbital fissure.
Pons
VII Facial Both sensory Pons Provides motor innervation to
and motor (cerebellopontine the muscles of facial expression,
angle) above olive posterior belly of the digastric
muscle, stylohyoid muscle, and
stapedius muscle. Also receives
the special sense of taste from
the anterior 2/3 of the tongue
and provides
secretomotorinnervation to the
salivary glands (except parotid)
and the lacrimal gland. Located
in and runs through the internal
acoustic canal to the facial
canal and exits at the
stylomastoid
foramen.
VIII Vestibulococ Mostly Lateral to CN VII Mediates sensation of sound,
hlear sensory (cerebellopontine rotation, and gravity
(also angle) (essential for balance and
auditory,aco movement). More specifically,
ustic, or the vestibular branch carries
auditory- impulses for equilibrium and
vestibular) the cochlear branch carries
impulses for hearing. Located
in the internal
acoustic canal.
IX Glossophary Both sensory Medulla Receives taste from the
posterior
22
ngeal and motor 1/3 of the tongue, provides
secretomotor innervation to the
parotid gland, and provides
motor innervation to the
stylopharyngeus. Some
sensation is also relayed to the
brain from the palatine tonsils.
Located in the jugular foramen.
This nerve is involved together
with the vagus
nerve in the gag reflex.
X Vagus Both sensory Posterolateral Supplies
and motor sulcus of Medulla branchiomotorinnervation to
most laryngeal and pharyngeal
muscles (except the
stylopharyngeus, which is
innervated by the
glossopharyngeal). Also
provides parasympathetic
fibers to nearly all thoracic and
abdominal viscera down to the
splenic flexure. Receives the
special sense of taste from the
epiglottis. A major function:
controls muscles for voice and
resonance and the soft palate.
Symptoms of
damage:dysphagia (swallowing
problems), velopharyngeal
insufficiency. Located in the
jugular foramen. This nerve is
involved (together with nerve
IX) in the pharyngeal reflex or
gag
reflex.
XI Accessory Mainly motor Cranial and Spinal Controls the sternocleidomastoid
Roots and trapezius muscles, and
overlaps with functions of the
vagus nerve (CN X). Symptoms of
damage: inability to shrug, weak
head movement. Located in the
jugular foramen.
23
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu
mengidentifikasi gangguan saraf kranialis, melakukan pemeriksaan dan
memberikan interpretasi terhadap hasil pemeriksaan.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiwa memiliki keterampilan mengenai cara pemeriksaaan saraf
kranialis (Nervi Craniales).
2. Dapat mengindentifikasi adanya gangguan saraf kranialis dan
menentukan lokasi kelainan (diagnosis topis), dan melakukan
penanganan ataupun merujuk ke Spesialis bila diperlukan.
24
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIALIS
NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. PEMERIKSAAN INDRA PENCIUMAN 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS I: NERVUS OLFAKTORIUS)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
Syarat Pemeriksaan : Tidak ada penyakit intranasal :
Meminta penderita duduk atau berbaring, sambil
menutup matanya.
2 Menaruh salah satu bahan/zat di depan salah satu
lubang hidung klien sementara lubang hidung yang
lain ditutup.
Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat yang
dikenal sehari-hari, misalnya kopi, teh, tembakau,
jeruk.
3 Meminta klien mencium bahan/zat yang dikenalnya:
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
25
Gambar 2. Teknik pemeriksaan
INTERPRETASI:
Normosmia: kemampuan menghidu normal, tidak
terganggu.
Hiposmia: kemampuan menghidu menurun,
berkurang. Hiperosmia: meningkatnya kemampuan
menghidu, dapat dijumpai pada penderita
hiperemesis gravidarum atau pada migren.
Parosmia: tidak dapat mengenali bau-bauan, salah
hidu.
Kakosmia: persepsi adanya bau busuk, padahal tidak
ada.
Halusinasi penciuman: biasanya berbentuk bau yang
tidak sedap, dapat dijumpai pada serangan epilepsi
yang berasal dari girus unsinat pada lobus temporal,
dan sering disertai gerak mengecap-ngecap (epilepsi
jenis parsial kompleks).
10
26
tidak dapat dibuka.
Hal ini disebabkan oleh kelumpuhan m. Levator
palpebrae.
Kelumpuhan m. Levator palpebra yang total mudah
diketahui, karena kelopak mata sama sekali tidak
dapat diangkat, mata tertutup.
Pada kelumpuhan ringan pemeriksa dapat
membandingkan celah mata; pada sisi yang lumpuh
celah mata lebih kecil dan kadang-kadang kita lihat
dahi dikerutkan (m. Frontalis) untuk mengkompensasi
menurunnya kelopak mata.
4 Pemeriksa juga dapat menilai kekuatan m.levator
palpebrae dengan meminta klien menutup mata,
kemudian disuruh untuk membukanya.
Waktu klien membuka mata, pemeriksa menahan
gerakan ini dengan jalan memegang (menekan enteng)
pada kelopak mata.
Dengan demikian dapat dinilai kekuatan mengangkat
kelopak mata (m. Levator palpebrae).
Pada pemeriksaan ini, untuk meniadakan tenaga
kompensasi dari m. Frontalis perlu diberi tekanan
pada
alis mata dengan tangan satu lagi.
5 INTERPRETASI:
Ptosis dapat dikumpai pada miastenia gravis atau
pada
sindrom Horner.
III. INSPEKSI PUPIL (UKURAN DAN BENTUK) 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III: NERVUS OKULOMOTORIS)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Perhatikan besarnya pupil pada mata kiri dan kanan,
apakah sama (isokor), atau tidak sama (anisokor).
3 Perhatikan bentuk pupil, apakah bundar dan rata
tepinya (normal) atau tidak.
4 INTERPRETASI:
Otot polos yang mengecilkan pupil (pupilokostriktor)
disarafi oleh serabut parasimpatis dari nervus III,
sedangkan otot yang melebarkan pupil (pupilodilator)
disarafi oleh serabut simpatis (torakolumbal)
Bila pupil mengecil disebut miosis.
Bila membesar (melebar) disebut midriasis.
Miosis dapat dijumpai pada waktu tidur, pada tingkat
tertentu dari koma, pada iritasi nervus III dan pada
kelumpuhan saraf simpatis (sindrom Horner).
Midriasis dapat dijumpai pada kelumpuhan nervus III,
11
27
misalnya oleh desakan tumor atau hematom dan
pada fraktur dasar tulang tengkorak.
Obat-obatan seperti homatropin (yang diteteskan ke
mata) dan ekstrak beladona dapat menyebabkan
midriasis.
Besarnya pupil dipengaruhi oleh banyak faktor,
terutama intensitas cahaya. Di dalam gelap pupil
lebih lebar dibanding dalam keadaan terang-
benderang.
Bila pada trauma kapitis didiapatkan midriasis pada
satu mata (jadi ada anisokori) dan hemiparesis pada
sisi kontralateral, maka kemungkinan perdarahan
epidural.
IV. REAKSI PUPIL TERHADAP CAHAYA
(NERVUS KRANIALIS II DAN III)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien disuruh untuk melihat jauh (menfiksasi pada
benda yang jauh letaknya.
3 Selanjutnya pemeriksa memberi cahaya senter dan
dilihat apakah ada reaksi pupil.
4 INTERPRETASI:
Pada keadaan normal pupil mengecil, disebut refleks
cahaya langsung positif.
5 Selanjutnya pemeriksa memperhatikan pula pupil mata
yang satu lagi. Apakah pupilnya ikut mengecil oleh
penyinaran mata lainnya (kontralateral).
6 INTERPRETASI:
Jika pupilnya ikut mengecil berarti reaksi cahaya tidak
langsung positif.
CONTOH ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
A B
Refleks Cahaya Pupil
A. Pada lesi N. II kanan, refleks cahaya pupil
langsung pada mata kanan negatif, dan tidak
langsung pada mata kiri negatif.
B. Bila mata yang normal (kiri) disinar, refleks
pupil langsung positif, dan refleks cahaya tak
langsung di kanan positif.
12
28
INTERPRETASI:
Bila visus mata 0 (buta), maka refleks cahaya pada
mata tersebut negatif. Bila mata lainnya baik, maka
penyinaran mata yang baik akan menyebabkan
mengecilnya pupil pada mata yang buta tersebut
(reaksi cahaya tak langsun positif).
Jadi bila reaksi cahaya langsung negatif, sedangkan
reaksi cahaya tak langsung positif, maka
kerusakannya pada nervus II. Sebaliknya pada
kelumpuhan nervus III,
reaksi cahaya langsung dan tidak langsung ialah
negatif
INTERPRETASI:
Pada lesi N. III, didapatkan refleks pupil negatif.
Refleks cahaya langsung pada mata kanan negatif (A).
Demikian
juga refleks tidak langsung (B).
REAKSI PUPIL PADA LESI N. II KANAN
13
29
REAKSI PUPIL PADA LESI N. III KANAN
CATATAN :
Selama pemeriksaan ini harus dicegah agar klien
tidak memfiksasi matanya pada lampu senter, sebab
dengan demikian akan ada pula refleks akomodasi
yang juga menyebabkan mengecilnya pupil. Oleh
karena itu klien
harus selalu melihat jauh selama pemeriksaan.
V. REAKSI PUPIL TERHADAP BENDA DEKAT 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien disuruh untuk melihat jauh.
3 Kemudian disuruh untuk melihat dekat misalnya jari
kita (benda) yang ditempatkan dekat matanya
4 INTERPRETASI
Refleks akomodasi dianggap positif bila terlihat
pupil mengecil.
Pada kelumpuhan nervus III refleks ini negatif.
VI. PENILAIAN GERAKAN BOLA MATA 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III, IV DAN VI)
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
14
30
2 Klien diminta untuk tidur terlentang.
3 Pemeriksa menempatkan pena atau jari-jari pada
posisi vertikal sejauh 50 cm dari mata penderita dalam
arah penglihatan sentral.
4 Tangan yang lain memegang kelopak mata atau dagu
klien untuk fiksasi kepala.
5 Pemeriksa menggerakkan pena secara perlahan ke arah
lateral, medial, atas, bawah, dan ke arah yang miring
yaitu atas-lateral, bawah-medial, atas-medial dan
bawah-lateral.
6 Perhatikan apakah mata klien dapat mengikuti
gerakan
itu dan tanyakan apakah klien melihat ganda
(diplopia).
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
INTERPRETASI:
Bila klien tidak dapat menggerakkan mata ke arah
lateral, parese m rectus lateralis yang dipersarafi N
cranialis VI. Bila klien tidak dapat menggerakkan
mata ke arah medial bawah, parese m obliqus
superior yang dipersarafi N cranialis IV. Bila klien
tidak dapat menggerakkan mata ke arah selain lateral
dan medial-
bawah, parese N cranialis III.
15
31
VII. PENILAIAN DIPLOPIA 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS III, IV DAN
VI)
CATATAN : METODE PEMERIKSAAN = PERGERAKAN BOLA
MATA
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta untuk tidur terlentang.
3 Pemeriksa menempatkan pena atau jari-jari pada
posisi vertikal sejauh 50 cm dari mata penderita dalam
arah penglihatan sentral.
4 Tangan yang lain memegang kelopak mata atau dagu
klien untuk fiksasi kepala.
5 Pemeriksa menggerakkan pena secara perlahan ke arah
lateral, medial, atas, bawah, dan ke arah yang miring
yaitu atas-lateral, bawah-medial, atas-medial dan
bawah-lateral.
6 Perhatikan apakah mata klien dapat mengikuti
gerakan
itu dan tanyakan apakah klien melihat ganda
(diplopia).
CATATAN:
Diplopia (melihat kembar) dijumpai pada kelumpuhan
otot penggerak bola mata. Tentukan pada posisi
mana (dari mata) timbul diplopia. Bila satu mata
ditutup, bayangan mana yang hilang. Minta klien
menunjukkan posisi dari bayangan. Arah posisi
bayangan yang salah mennjukkan arah gerakan otot
yang lumpuh; jarak bayangan menjadi bertambah
besar.
VIII. PENILAIAN NISTAGMUS 1 2 3
CATATAN:
Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksa
gerakan bola mata. Waktu memeriksa gerak bola
mata, harus diperhatikan apakah ada nistagmus.
Nistagmus ialah gerakan bolak-balik bola mata yang
involunter
dan ritmik.
1 Pada saat melakukan pemeriksaan gerakan bola
mata, klien diminta melirik terus ke satu arah
(misalnya ke kanan, ke kiri, ke atas dan bawah)
selama jangka waktu
5 atau 6 detik.
2 Jika ada nistagmus hal ini akan terlihat dalam jangka
waktu tersebut.
Tetapi mata jangan terlalu jauh dilirikkan, sebab hal
demikian dapat menimnbilkan nistagmus pada orang
yang normal (end position nystagmus, nistagmus posisi
16
32
ujung).
3 Bila pemeriksa mendapatkan adanya nistagmus, maka
harus diperiksa:
1. Jenis gerakannya
2. Bidang gerakannya
3. Frekuensinya
4. Amplitudonya
5. Arah gerakannya
6. Derajatnya
7. Lamanya
IX. PEMERIKSAAN REFLEKS KORNEA 1 2 3
CATATAN:
Komponen aferen refleks kornea adalah serabut
sensorik nervus trigeminus cabang oftalmik dan
komponen eferennya adalah serabut nervus facialis
yang mensarafi muskulus orbikularis okuli.
Refleks kornea diartikan sebagai refleks yang bangkit
atas perangsangan pada kornea bukan pada
konjungtiva bulbi.
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta untuk melirik ke atas atau ke samping
menjauh dari pemeriksa supaya mata tidak berkedip
pada saat korneanya hendak disentuhkan dengan
kapas.
3 Perhatikan kedua bola mata
4 Kemudian dilakukan penggoresan pada daerah
kornea
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
Kornea Konjungtiva
17
33
INTERPRETASI:
Refleks kornea langsung adalah refleks kornea
dimana perangsangan dan respon yang didapat
terjadi pada sisi yang sama, sedangkan pada refleks
kornea konsensual diperoleh kedipan mata pada
kedua sisi atas
perangsangan sesisi.
X. PEMERIKSAAN FUNDUSKOPI
Akan diberikan pengantar khusus
18
34
PEMERIKSAAN OFTALMOSKOPI/FUNDUSKOPI
PENGERTIAN
DASAR TEORI
19
35
dari rangkaian pemeriksaan medik yang komprehensif. Dengan prosedur ini
dapat dilihat gejala-gejala yang dapat menunjukkan adanya retina lepas,
glaukoma, tekanan darah tinggi, penyakit diabetes melitus, tumor otak dan
penyakit-penyakit lain.
20
36
daerah penyempitan atau spasme setempat atau umum, menyebabkan
refleks cahaya menjadi menyempit. Berjalan sesuai dengan waktu, dinding
pembuluh darah menebal dan sklerotik, dan terjadi pelebaran refleks cahaya
menjadi lebih dari separuh diameter kolumma darah. Refleks cahaya
berkembang sebagai gambaran Jingga metalik, yang disebut kawat tembaga.
Bila arteri seperti itu menyilang sebuah vena,akan tampak sepertinya kolumna
vena terputus akibat pelebaran,tetapi dinding dapat terlihat.keadaan ini
disebut sebagai takik arteriovenosa (AV).Ikuti pembuluh darah ke empat arah :
superior temporal, superior nasal, inferior nasal, dan inferior temporal.
Ingatkan untuk menggerakkan kepala dan oftalmoskop sebagai satu
kesatuan.
Inspeksi Makula
Jika Oftalmoskop tetap setinggi papil dan digerakkan ke temporal
sekitar 2 diameter papil, makula akan terlihat. Makula tampak sebagai daerah
avaskular dengan titik pusat refleksi, yaitu foveo. Jika pemeriksa mengalami
kesulitan dalam melihat makula, pasien dapat diperintahkan untuk melihat
langsung kearah cahaya; sehingga foveo dapat
terlihat. Filter bebas–merah juga membantu untuk
mengetahui lokasi makula.
SASARAN BELAJAR
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara
pemeriksaan oftalmoskopi/funduskopi
21
37
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan dengan benar.
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa
yang akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukannya, apa
manfaatnya, serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data
klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan funduskopi/optalmoskopi dengan benar dan
tepat.
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
22
38
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN OPTALMOSKOPI/FUNDUSKOPI
23
39
makula, dan retina perifer.
14 Pemeriksaan dilakukan pada kedua mata
15 Catatlah hasil yang didapat dalam status penderita
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
24
40
INTERPRETASI :
Normal
25
41
26
42
27
43
MANUAL CSL IV SISTEM NEUROPSIKIATRI
PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2020
44
PENDAHULUAN
45
TATA TERTIB KEGIATAN CSL
(CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan bahan
yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL
SANKSI PELANGGARAN
TATA TERTIB CSL
46
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILAN
I. PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF KRANIAL BAGIAN II
1 Penilaian kesimetrisan 4A
wajah
2 Penilaian kekuatan otot 4A
temporal dan masseter
3 Penilaian sensasi wajah 4A
4 Penilaian pergerakan wajah 4A
5 Penilaian indra pengecapan 4A
6 Penilaian indra pendengaran 4A
(lateralisasi, konduksi udara
dan tulang)
7 Penilaian kemampuan 4A
menelan
8 Inspeksi palatum 4A
9 Pemeriksaan refleks Gag 3
10 Penilaian otot 4A
sternomastoid dan
trapezius
11 Lidah, inspeksi saat istirahat 4A
12 Lidah, inspeksi dan penilaian 4A
sistem mototrik (misalnya
dengan dijulurkan keluar)
47
DESKRIPSI KEGIATAN
48
NERVI KRANIALIS
PENGERTIAN
Nervus Kranialis (saraf kranialis / Nervi Craniales) adalah saraf-saraf yang
keluar langsung dari otak dan batang otak. Pada manusia, terdapat 12 pasang
Nervus Kranialis, yaitu:
DASAR TEORI
Gambar 1. Nervi
kranialis
Sensory,
No. Name motor, or Origin/Target Function
both
I Olfactory Purely sensory Telencephalon Transmits the sense of smell from
the nasal cavity.[13] Located in the
olfactory foramina in the
cribriform plate of the ethmoid
bone.
II Optic Sensory Retinal ganglion Transmits visual signals from
cells the retina of the eye to the brain.
[14]
Located in the optic canal.
49
III Oculomotor Mainly motor Anterior aspect of Innervates the levator palpebrae
Midbrain superioris, superior rectus,
medial rectus, inferior rectus, and
inferior oblique, which
collectively perform most eye
movements. Also innervates the
sphincter pupillae and the
muscles of the ciliary body.
Located in the superior orbital
fissure.
IV Trochlear motor Dorsal aspect of Innervates the superior oblique
Midbrain muscle, which depresses, rotates
laterally, and intorts the eyeball.
Located in the superior orbital
fissure.
V Trigeminal Both sensory Pons Receives sensation from the face
and motor and innervates the muscles of
mastication. Located in the;
superior orbital fissure
(ophthalmic nerve - V1), foramen
rotundum (maxillary nerve -
V2),foramen ovale (mandibular
nerve - V3).
VI Abducens Mainly motor Nuclei lying
Innervates the lateral rectus, which
under
abducts the eye. Located in the
the floor of the
superior orbital fissure.
fourth ventricle
VII Facial Both sensory Pons Provides motor innervation to
and motor (cerebellopontine the muscles of facial expression,
angle) above olive posterior belly of the digastric
muscle, stylohyoid muscle, and
stapedius muscle. Also receives
the special sense of taste from
the anterior 2/3 of the tongue
and provides
secretomotorinnervation to the
salivary glands (except parotid)
and the lacrimal gland. Located in
and runs through the internal
acoustic canal to the facial canal
and exits at the stylomastoid
foramen.
VIII Vestibulococ Mostly Lateral to CN VII Mediates sensation of sound,
hlear sensory (cerebellopontine rotation, and gravity (essential
(also angle) for balance and movement).
auditory,aco More specifically, the vestibular
ustic, or branch carries impulses for
auditory- equilibrium and the cochlear
vestibular) branch carries impulses for
hearing. Located in the internal
acoustic canal.
IX Glossophary Both sensory Medulla Receives taste from the posterior
50
ngeal and motor 1/3 of the tongue, provides
secretomotor innervation to the
parotid gland, and provides
motor innervation to the
stylopharyngeus. Some sensation
is also relayed to the brain from
the palatine tonsils. Located in
the jugular foramen. This nerve is
involved together with the vagus
nerve in the gag reflex.
X Vagus Both sensory Posterolateral Supplies
and motor sulcus of Medulla branchiomotorinnervation to
most laryngeal and pharyngeal
muscles (except the
stylopharyngeus, which is
innervated by the
glossopharyngeal). Also provides
parasympathetic fibers to nearly
all thoracic and abdominal
viscera down to the splenic
flexure. Receives the special
sense of taste from the epiglottis.
A major function: controls
muscles for voice and resonance
and the soft palate. Symptoms of
damage:dysphagia (swallowing
problems), velopharyngeal
insufficiency. Located in the
jugular foramen. This nerve is
involved (together with nerve IX)
in the pharyngeal reflex or gag
reflex.
51
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu
mengidentifikasi gangguan saraf kranialis, melakukan pemeriksaan dan
memberikan interpretasi terhadap hasil pemeriksaan.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiwa memiliki keterampilan mengenai cara pemeriksaaan saraf
kranialis (Nervi Craniales).
2. Dapat mengindentifikasi adanya gangguan saraf kranialis dan menentukan lokasi
kelainan (diagnosis topis), dan melakukan penanganan ataupun merujuk ke
Spesialis bila diperlukan.
52
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN
FUNGSI SARAF KRANIALIS
NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. PENILAIAN KESIMETRISAN WAJAH 1 2 3
(NERVUS CRANIALIS VII: NERVUS FASIALIS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Perhatikan muka penderita : simetris atau tidak.
Perhatikan kerutan dahi, pejaman mata, sulcus
nasolabialis, dan sudut mulut.
3 Meminta penderita mengangkat alis dan mengerutkan
dahi. Perhatikan simetris atau tidak. Kerutan dahi
menghilang pada sisi yang lumpuh.
4 Meminta penderita memejamkan mata dan kemudian
pemeriksa mencoba membuka mata penderita. Pada
sisi yang lumpuh, penderita tidak dapat/sulit
memejamkan mata (lagopthalmus) dan lebih mudah
dibuka oleh pemeriksa.
5 Meminta penderita menyeringai atau menunjukkan
gigi, mencucurkan bibir atau bersiul, dan
mengembungkan pipi. Perhatikan sulcus nasolabialis
akan mendatar, sudut mulut menjadi lebih rendah, dan
tidak dapat mengembungkan pipi pada sisi lumpuh.
6 INTERPRETASI:
Bedakan kelumpuhan nervus VII tipe UMN dan tipe
LMN. Tipe UMN, bila kelumpuhan hanya terdapat pada
daerah mulut (m. orbicularis oris). Tipe LMN, bila
kelumpuhan terjadi baik pada daerah mulut maupun pada
mata (m. orbicularis oculi) dan dahi (m. frontalis).
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
53
Gambar Persarafan otot
wajah
Paresis otot wajah disebabkan oleh lesi UMN dan LMN
nervus VII
II. PENILAIAN KEKUATAN OTOT 1 2 3
TEMPORAL DAN MASSETER
(NERVUS KRANIALIS V: NERVUS TRIGEMINUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin.
3 Pemeriksa meraba m. masseter dan m. temporalis.
4 Perhatikan besar, tonus, serta kontur (bentuk) otot
tersebut.
5 Kemudian pasien diminta membuka mulut.
6 Perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah.
7 INTERPRETASI:
Bila ada paresis, maka rahang bawah akan berdeviasi ke
arah yang lumpuh.
Kadang-kadang sulit menetukan adanya deviasi.
Maka diperlukan alternatif lain.
1 Digunakan garis antara kedua gigi insisivus (gigi
seri)
2 Perhatikan kedudukan gigi insisivus atas dan bawah
waktu mulut tertutup, dan perhatikan kedudukannya
waktu mulut dibuka, apakah ada deviasi.
Hal ini perlu dilakukan bila terdapat pula paresis nervus
VII
PEMERIKSAAN ALTERNATIF 1:
1 Kekuatan otot saat menutup mulut dapat dinilai
10
54
dengan jalan menyuruh klien menggigit suatu benda,
misalnya tong spatel.
2 Pemeriksa menilai dengan menarik tong spatel
tersebut.
3 Kemudian klien diminta menggerakkan rahang
bawahnya ke samping (untuk menilai m. pterigoideus
lateralis) kiri dan kanan.
4 INTERPRETASI:
Bila terdapat paresis di sebelah kanan, rahang bawah
tidak dapat digerakkan ke samping kiri.
PEMERIKSAAN ALTERNATIF 2:
1 Klien diminta untuk mempertahankan rahang
bawahnya ke samping
2 Pemeriksa memberi tekanan untuk mengembalikan
rahang-bawah ke posisi tengah.
UNTUK MENENTUKAN ADANYA LESI
SUPRANUKLEAR DIPERIKSA REFLEKS
1 Pemeriksaan menempatkan satu jari melintang dagu
pasien.
2 Klien diminta membukakan mulutnya sedikit.
3 Pemeriksa mengetok jari tersebut dengan palu refleks.
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
5 INTERPRETASI:
Pada orang normal didapatkan hanya sedikit saja
gerakan, malah kadang-kadang tidak ada.
Bila gerakannya hebat (yaitu kontraksi m. masetter, m.
temporalis, m. pterigoideus medialis yang
menyebabkan mulut menutup) dikatakan refleks
meninggi.
Pada lesi supranuklear refleks ini meninggi.
11
55
III. PENILAIAN SENSASI WAJAH 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS V: NERVUS TRIGEMINUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Sensibilitas yang harus diperiksa ialah sensibilitas kulit
dan mukosa dalam kawasan nervus trigeminus.
3 Modalitas sensorik yang diperiksa meliputi rasa nyeri,
panas, dingin dan raba.
4 Dilakukan perbandingan di antara setiap cabang N. V
yaitu pada cabang oftalmikus, maksillaris
dan mandibula.
Dan membandingkannya dengan cabang
N.V
CATATAN:
Pemeriksaan ini akan lebih jelas pada CSL pemeriksaan
sensorik.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
12
56
IV. PENILAIAN PERGERAKAN
WAJAH
(NERVUS KRANIALIS V dan VII: NERVUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
CATATAN:
Pemeriksaan yang dilakukan pada sesi ini sama pada
saat melakukan pemeriksaan kesimetrisan wajah dan
penilaian kekuatan m. masetter, m. temporalis, m.
pterigoideus.
V. PENILAIAN INDRA PENGECAPAN 1 2 3
(NERVUS KRANIALIS VII DAN IX: NERVUS
FASIALIS SENSORIK DAN NERVUS
1 Menjelaskan penderita tentang pemeriksaan fungsi
pengecapan.
2 Pemeriksa menulis rasa larutan yang disediakan.
3 Meminta penderita menjulurkan lidah.
4 Mengeringkan lidah dengan tissue.
5 Meminta penderita tutup mata dan meneteskan
larutan yang telah disediakan.
Laruta yang diberikan yaitu gula, kina, asam sitrat atau
garam.
6 Meminta penderita buka mata, tetap menjulurkan
lidah, dan menunjuk rasa larutan yang telah tertulis di
kertas.
7 INTERPRETASI
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda
timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan.
Kerusakan pada atau di atas nervus petrosus major
dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, dan
lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya
produksi ludah.
CATATA
N:
Nervus IX juga mengandung serabut aferen khusus
untuk pengecapan, yaitu pengecapan dari 1/3
bagian posterior lidah. Pengecapan ini tidak
diperiksa rutin, karena sukar. Tempat pemeriksaan
di bagian belakang lidah. Bila perlu, dapat juga
dilakukan dengan menggunakan arus galvanis
lemah (0,2 – 0,4 miliamper). Kita gunakan
elektroda dari kawat tembaga yang ditempatkan
sebagai anoda pada lidah posterior. Pada orang
normal akan terasa asam.
13
57
VI. PENILAIAN INDRA 1 2 3
PENDENGARAN
(LATERALISASI,KONDUKSI UDARA DAN
CATATA
N:
Secara kasar (rutin) ketajaman pendengaran ditentukan
dengan jalan menyuruh klien mendengarkan suara
bisikan pada jarak tertentu dan membandingkannya
dengan orang normal.
Perhatikan pula apa ada perbedaan antara ketajaman
pendengaran telinga kanan dan kiri. Beda ini penting
I. TEST SCHWABACH
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
Pada tes ini pendengaran klien dibandingkan dengan
pendengaran pemeriksa (yang dianggap normal)
2 Klien diminta untuk duduk dengan tenang
3 Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan di
dekat telinga klien.
4 Setelah klien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala
tersebut ditempatkan di dekat telinga pemeriksa.
5 INTERPRETASI:
Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka
dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk
konduksi udara)
6 Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya
ditekankan pada tulang mastoid klien.
7 Setelah klien tidak mendengar lagi, garpu tala tersebut
ditempatkan pada tulang mastoid pemeriksa.
8 INTERPRETASI:
Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka
dikatakan bahwa schwabach (untuk konduksi tulang)
lebih pendek.
II. TES
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
Pemeriksaan ini bertujuan membandingkan antara
konduksi tulang dengan konduksi udara.
Garpu tala yang diapakai adalah yang berfrekuensi 128,
156 atau 512 Hz.
2 Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan pada
tulang mastoid klien dan diminta untuk mendengarkan
bunyinya.
3 Setelah klien tidak mendengar, gapu tala segera
didekatkan pada telinga.
14
58
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
4 INTERPRETASI:
Jika setelah didekatkan pada telinga dan bunyi masih
terdengar maka konduksi udara lebih baik dari pada
konduksi tulang, dan dalam hal ini dikatakan Rinne
positif.
Bila tidak terdengar lagi setelah garpu tala dipindahkan
dari tulang mastoid ke dekat telinga,berarti Rinne
negatif.
Pada orang normal, konduksi udara lebih baik daripada
konduksi tulang, demikian juga pada tuli saraf.
Pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik dari
konduksi udara.
III. TES
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya
pada dahi klien, tepat dipertengahan.
3 Klien diminta mendengarkan bunyinya dan
menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras
terdengar.
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
15
59
Cara tes Weber
Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya
pada pertengahan kepala (dahi; verteks)
5 INTERPRETASI:
16
60
VIII. INSPEKSI 1 2 3
PALATUM (NERVUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
2 Klien diminta membuka mulut.
3 Perhatikan falatum molle dan faring.
4 Bagaimana sikap palatum molle, arkus faring dan uvula
dalam keadaan istirahat.
5 Dan bagaimana pula bila bergerak, misalnya waktu
bernafas atau bersuara (suruh penderita menyebut:
aaaaa)
6 INTERPRETASI:
Bila terdapat paresis otot-otot faring dan falatum
molle, maka palatum molle, uvula, dan arkus faring sisi
yang lumpuh letaknya lebih rendah daripada yang
sehat dan bila bergerak, uvula dan arkus seolah-olah
tertarik ke bagian yang sehat. Bila terdapat parese di
kedua belah pihak, maka tidak didapatkan gerakan dan
posisi uvula dan arkus faring lebih rendah.
IX. PEMERIKSAAN 1 2 3
REFLEKS GAG (NERVUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien
2 Klien diminta membuka mulut.
3 Sentuh dinding belakang farings dengan spatel
4 Perhatikan uvula: akan terangkat ketika dilakukan
stimulus
5 Dilakukan stimulus pada kedua sisi dan dibandingkan
keduanya.
6 INTERPRETASI:
Uvula akan bergerak ke salah satu sisi: jika terdapat
kelumpuhan UMN atau LMN pada sisi yang lain.
Uvula tidak bergerak ketika diminta pada klien untuk
menyebut AHH atau GAG: kedua otot palatum paresis.
Uvula bergerak ketika menyebut AHH, tetapi tidak
pada saat menyebut GAG, dengan penurunan senasi
pada farings: kelumpuhan N. IX (jarang)
X. PENILAIAN OTOT 1 2 3
STERNOKLEIDOMASTOID DAN TRAPEZIUS
I. OTOT
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien
2 Perhatikan keadaan otot sternokleidomastoideus
dalam keadaan istirahat dan bergerak.
Dalam keadaan istrirahat, pemeriksa dapat melihat
kontur otot ini.
17
61
Bila terdapat paresis perifer akan dijumpai adanya
atrofi.
Pada lesi nuklear (misalnya pada ALS) bisa
didapatkan adanya fasikulasi (kedutan).
3 Lakukan palpasi dan otot tersebut.
Pada miositis dapat ditemukan adanya nyeri tekan.
4. Nilai kekuatan otot dengan:
1. Klien diminta untuk menggerakkan bagian badan
(persendian) yang digerakkan oleh otot yang ingin
diperiksa, pemeriksa menahan gerakan ini.
2. Gerakkan bagian badan klien dan suruh untuk
menahannya. Dengan demikian dapat diperoleh
kesan mengenai kekuatan otot.
Di klinik biasanya cara (1) yang sering dilakukan.
5 Untuk megukur tenaga otot sternokleidomastoideus
dapat dilakukan dengan:
Meminta klien menoleh misalnya ke kanan, kemudian
pemeriksa menahan dengan tangan yang ditempatkan
pada dagu. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan
otot sternokleidomastoideus kiri.
6 Bandingkan kekuatan otot kiri dengan kanan.
II.OTOT TRAPEZIUS
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Perhatikan keadaan otot ini dalam keadaan istirahat dan
bergerak. Apakah ada atrofi atau fasikulasi? Bagaimana
kontur otot?
3 Bagaimana posisi bahu, apakah lebih rendah?
Pada kelumpuhan otot trapezius bahu sisi yang sakit
lebih rendah daripada sisi yang sehat.
Skapula juga beranjak ke lateral dan tampak agak
menonjol.
4 Palpasi otot trapezius untuk melihat konsistensinya,
adanya nyeri tekan (miositis) serta adanya hipotoni.
5 Periksa tenaga otot, dengan jalan:
Tempatkan tangan pemeriksa di atas bahu klien.
Kemudian klien diminta mengangkat bahunya, dan
pemeriksa menahan.
Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot tersebut.
6 Tenaga otot yang kiri dan kanan dibandingkan.
7 Nilai kontur otot dan perkembangan otot.
Klien diminta untuk mengeskstensikan kepalanya, dan
gerakan ini ditahan oleh pemeriksa.
Jika terdapat kelemahan otot trapezius satu sisi, kepala
18
62
tidak dapat ditarik ke sisi tersebut, bahu tidak dapat
diangkat dan lengantidak dapat dielevasi ke atas dari
posisi horizontal.
Pada kelumpuhan kedua otot ini kepala cenderung
jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat
dagunya.
XI. PEMERIKSAAN LIDAH PADA SAAT
ISTIRAHAT
XII. PEMERIKSAAN LIDAH PADA SAAT
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Klien disuruh membuka mulut dan perhatikan lidah
dalam keadaan istirahat : besar lidah, kesamaan bagian
kiri dan kanan, atrofi, berkerut, dan fasikulasi.
3 Klien disuruh menjulurkan lidah untuk memeriksa
adanya paresis:
1. Perhatikan apakah ada tremor dan fasikulasi.
2. Perhatikan apakah ada deviasi lidah ke satu sisi.
Sebagai patokan dapat dipakai garis diantara kedua
seri (incisivus). Bila ada paresis satu sisi, lidah
berdeviasi ke sisi paresis.
3. Meminta klien menyentuhkan lidah ke pipi kiri dan
kanan. Saat bersamaan, tangan pemeriksa ditempatkan
di pipi sisi luar untuk merasakan kekuatan sentuhan
lidah penderita.
4 Meminta klien mengucapkan huruf R atau kata-kata
yang mengandung huruf R, misalnya ular lari lurus.
Pemeriksaan ini untuk menilai apakah ada disartria
(cadel atau pelo).
19
63
MANUAL CSL IV
SISTEM NEUROPSIKIATRI
PEMERIKSAANSISTEM MOTORIKDANREFLEKS
FISIOLOGIS, PATOLOGIS DAN PRIMITIF
PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2020
64
PENDAHULUAN
65
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang
telah ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL
1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <100% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian
CSL.
66
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILA
FISIK N
IV. PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK DAN PEMERIKSAAN
REFLEKS
FISIOLOGIS, PATOLOGIS, DAN PRIMITIF
PEMERIKSAAN 1 Inspeksi: postur, habitus, 4A
SISTEM MOTORIK gerakan involunter
2 Penilaian tonus otot 4A
3 Penilaian kekuatan otot 4A
PEMERIKSAAN 1 Refleks tendon (bisep, trisep, 4A
REFLEKS FISIOLOGIS pergelangan, platela,
tumit)
2 Refleks abdominal 4A
PEMERIKSAAN 1 Tanda Hoffmann-Tromner 4A
REFLEKS 2 Respon plantar (termasuk grup 4A
PATOLOGIS Babinski)
PEMERIKSAAN 1 Snout reflex 4A
REFLEKS PRIMITIF 2 Refleks menghisap/rooting 4A
reflex
3 Refleks menggenggam 4A
palmar/grasp reflex
4 Refleks glabella 4A
5 Refleks palmomental 4A
67
DESKRIPSI KEGIATAN
68
PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK
PENGERTIAN
Segala aktifitas susunan saraf pusat yang dilihat, didengar dan direkam dan
yang diperiksa adalah berwujud gerak otot. Otot-otot skeletal dan neuron- neuron
yang menyusun susunan neuromuskular voluntar adalah sistem yang mengurus dan
sekaligus melaksanakan gerakan yang dikendalikan oleh kemauan. Sebagian besar
manifestasi kelainan saraf bermanifestasi dalam gangguan gerak otot. Manifestasi
obyektif inilah yang merupakan bukti nyata adanya suatu kelainan atau penyakit.
DASAR TEORI
Secara anatomi sistem yang menyusun pergerakan neuromuskular tersebut
terdiri atas unsur saraf yang terdiri dari (1) Neuron tingkat atas atau ‘upper motor
neuron (UMN)’ (2) Neuron tingkat bawah atau ‘lower motor neuron (LMN)’ dan
unsur muskul/otot yang merupakan pelaksana corag gerakan yang terdiri dari (3) Alat
penghubung antara saraf dan unsur otot ‘motor end plate’ dan (4) Otot.
Gaya saraf yang disalurkan melalui lintasan-lintasan neuronal adalah
potensial aksi, yang sejak dulu dijuluki impuls dan tidak lain berarti pesan. Dan
impuls yang disampaikan tersebut menghasilkan gerak otot yang kita sebut impuls
motorik. Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik ke LMN tergolong ke
dalam kelompok UMN. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik, kelompok
UMN dibagi ke dalam susunan saraf pyramidal dansusunan saraf ekstrapyramidal.
Sindrom upper motor neuron dijumpai jika terdapat kerusakan pada sistem
saraf pyramidal dan memiliki gejala berupa lumpuh, hipertoni, hiperrefleks, dan
klonus serta dapat ditemukan adanya refleks patologis. Sementara sindrom lower
motor neuron didapatkan jika terdapat kerusakan pada neuron motorik, neuraksis
neuron motorik (misalnya saraf spinal, pleksus, saraf perifer, myoneural junction dan
otot. Gejalanya berupa lumpuh, atoni, atrofi dan arefleksia.
Kelumpuhan bukanlah merupakan suatu gejala yang harus ada pada tiap
gangguan gerak. Pada gangguan gerak oleh kelainan di sistem ekstrapiramidal dan
serebellar, kita tidak mendapatkan kelumpuhan. Pada gangguan sistem
ekstrapiramidal didapatkan gangguan pada tonus otot, gerakan otot abnormal yang
tidak dapat dikendalikan, gangguan pada kelancaran otot volunteer dan gangguan
gerak otot asosiatif. Gangguan pada serebelum mengakibatkan gangguan gerak
berupa gangguan sikap dan tonus. Selain itu juga terjadi ataksia, dismetria, dan tremor
intensi. Tiga fungsi penting dari serebelum ialah
69
keseimbangan, pengatur tonus otot, dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunteer.
PEMERIKSAAN
Padatiap bagianbadan yangdapat bergerakharus dilakukan : (1) Inspeksi
(2) Palpasi (3) Pemeriksaan gerakan pasif (4) Pemeriksaan gerakan aktif (5) Koordinasi
gerak.
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
cara-cara pemeriksaan, melakukan pemeriksaan klinis motorik dan mengetahui
aplikasi klinis dari hasil pemeriksaan.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan sistem motorik
2. Mampu melakukan pemeriksaan motorik secara sistematik
3. Menentukan letak lesi kelumpuhanotot
70
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN MOTORIK
1 2 3
C. KEKUATAN OTOT
1. Meminta klien berbaring, kemudian pemeriksa berdiri
disamping kanan tempat tidur klien. Suruhlah klien
mengangkat kedua lengan ke atas sampai melewati
kepala. Nilailah kekuatan lengan dengan
membandingkan kiri dan kanan. Kelemahan dapat
dilihat bila lengan yang satu lebih berat atau lebih
lambatbergerakdibandingkanlenganyanglainnya.
71
3 Hal yang sama dilakukan pada kedua tungkai.
4 Interpretasi : Kekuatan otot dinilai dalam derajat :
5 : Kekuatan normal Seluruh gerakan dapat
dilakukan berulang-ulang tanpa terlihat adanya
kelelahan
4 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan dengan benar
dan dapat melawan tahan ringan dan sedang
dari pemeriksa
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gayaberat
2 : Di dapatkan gerakan tetapi gerakan ini tidak
mampu melawan gaya berat (gravitasi)
1 : Kontraksi minimal dapat terasa atau teraba pada otot
yang bersangkutan tanpa mengakibatkan gerakan
72
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
PENGERTIAN
Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Gerakan yang timbul
namanya gerakan reflektorik. Semua gerakan reflektorik merupakan gerakan yang
bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk menjamin ketangkasan gerakan volunter,
maupun untuk membela diri. Bila suatu perangsangan dijawab dengan bangkitnya
suatu gerakan, menandakan bahwa daerah yang dirangsang dan otot yang bergerak
secara reflektorik terdapat suatu hubungan.
DASAR TEORI
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks)
yang terdiri atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistem eferen yang
mengaktifasi organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Bila
lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Selain lengkungan tadi didapatkan pula
hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang tugasnya memodifikasi
refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang
tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat yang lebih
tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini akan
mengakibatkan refleks meninggi.
Bila dibandingkan dengan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya, misalnya
pemeriksaan sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang bergantung kepada
kooperasi pasien. Ia dapat dilakukan pada orang yang kesadarannya menurun, bayi,
anak, orang yang rendah inteligensinya dan orang yang gelisah. Dalam sehari-hari
kita biasanya memeriksa 2 macam refleks fisiologis yaitu refleks dalam dan releks
superfisial.
Refleks dalam (refleks regang otot)
Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan,
dan sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks dalam juga dinamai refleks
regangotot (musclestretchreflex). Namalainbagirefleksdalam ini ialahrefleks tendon,
refleksperiosteal, refleks miotatikdanrefleksfisiologis.
Refleks superfisialis
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang
mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di sekitarnya. Jadi
bukan karena teregangnya otot seperti pada refleks dalam. Salah satu contohnya
adalah refleks dinding perut superfisialis (refleks abdominal).
Tingkat jawaban refleks
Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat yaitu :
- (negatif) : tidak ada refleks sama sekali
- ± : kurang jawaban, jawaban lemah
73
- + : jawaban normal
- ++ : jawaban berlebih, refleksmeningkat
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan refleks
baik refleks fisiologis maupun refleks patologis.
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan dengan benar
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang akan
dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukan, apa manfaatnya, serta
jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks fisiologis dengan benar dan tepat
4. Dapat melakukan pemeriksaan refleks patologis dengan benar dantepat
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
10
74
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
REFLEKS DALAM (REFLEKS REGANG OTOT)
11
75
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
12
76
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
13
77
14
78
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
REFLEKS SUPERFISIALIS
A B
A. Goresan pada kulit dinding perut untuk
membangkitkan reflekskulit dinding perut
B. Refleks dinding perut superfisialis
INTERPRETASI :
(+) Jika terdapat kontraksi otot, dimana terlihat pusar
15
79
bergerak kea rah otot yang berkontraksi.
(-) Biasanya negatif pada wanita normal yang banyak anak
(sering hamil), yang dinding perutnya lembek, demikian
jugapadaoranggemukdanorangusialanjut,
juga pada bayi baru lahir sampai usia 1 tahun.
Pada orang muda yang otot -otot dinding perutnya
berkembang baik, bila refleks ini negatif (-), hal ini
mempunyai nilai patologis.
Refleks dinding perut superfisialis menghilang pada lesi
piramidalis. Hilangnya refleks ini berkombinasi dengan
meningkatnya refleks otot dinding perut adalah khas bagi
lesi di susunan piramidalis. Pada keadaan-keadaan perut
tersebut di atas dan lesi di segmen-segmen medulla
spinalis yang dilintasi busur refleks kulit dinding perut,
sudah barang tentu refleks kulit dinding
perut tidak dapat dibangkitkan.
16
80
PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS
PENGERTIAN
Refleks patologik adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada
orang-rang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan merupakan
gerakan reflektorik defendif atau postural yang pada orang dewasa yang sehat
terkelola dan ditekan oleh akifitas susunan piramidalis. Anak kecil umur antara 4 – 6
tahun masih belum memiliki susunan piramidal yang sudah bermielinisasi penuh,
sehingga aktifitas susunan piramidalnya masih belum sepmpirna. Maka dari itu
gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologik pada orang dewasa tidak
selamanya patologik jika dijumpai pada anak- anak kecil, tetapi pada orang dewasa
refleks patologikselalu merupakan tanda lesi UMN.
Refleks-refleks patologik itu sebagian bersifat refleks dalam dan sebagian
lainnya bersifat refleks superfisialis. Reaksi yang diperlihatkan oleh refleks
patologik itu sebagian besar adalah sama, akan tetapi mendapatkan julukan yang
bermacam-macam karena cara membangkitkannya berbeda-beda. Adapun refleks-
refleks patologik yang sering diperiksa di dalam klinik antara lain refleks Hoffmann,
refleks Tromner dan ekstensor plantar response atau tanda Babinski.
SASARAN BELAJAR
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
refleks patologis.
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan denganbenar.
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang akan
dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukan, apa manfaatnya, serta
jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks patologis dengan benar dan tepat
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar
17
81
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS
INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila goresan kuat tadi mengakibatkan
fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari.
Kadang disertai fleksi jari lainnya.
18
82
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila goresan kuat tadi mengakibatkan
fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari.
Kadang disertai fleksi jari lainnya.
A. Cara menggores
B. Ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan
jari-jari kaki
19
83
INTERPRETASI :
Positif (+) jika didapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari ,
yang dapat disertai mekarnya jari-jari lainnya.
20
84
PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF
PENGERTIAN
Refleks primitif adalah gerakan reflektorik yang bangkit secara fisiologik
pada bayi dan tidak dijumpai lagi pada anak-anak yang sudah besar. Bilamana pada
orang dewasa refleks tersebut masih dapat ditimbulkan, maka fenomena itu
menandakan kemunduran fungsi susunan saraf pusat. Adapun refleks-refleks yang
menandakan proses regresi tersebut ialah refleks menetek, snout reflex, refleks
memegang (grasp refleks), refleks glabella dan refleks palmomental.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
refleks primitif.
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan denganbenar.
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang
akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukannya, apa manfaatnya,
serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks primitif dengan benar dan tepat.
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
21
85
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF
INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila bibiratasdanbawah menjungur
atau kontraksi otot-otot di sekitar bibir atau di bawah
hidung.
B. PEMERIKSAAN REFLEKS MENGHISAP (ROOTING 1 2 3
REFLEX)
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk
dengan santai
2 Stimulasi klien dengan memberikan sentuhan pada
bibir / menyentuhkan sesuatu benda pada bibir
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
22
86
INTERPRETASI :
Refleks positif (+), bila stimulasi tersebut menimbulkan
gerakan bibir, rahang bawah seolah-olah menetek.
C. PEMERIKSAAN REFLEKS MENGGENGGAM 1 2 3
PALMAR/ GRASP REFLEX
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk dengan
santai
2 Lakukan stimulasi dengan penekanan atau
penempatan jari pemeriksa padatelapaktangan klien
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
INTERPRETASI :
Refleks positif (+) jika tangan klien mengepal
D. REFLEKS GLABELLA 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk dengan
santai
2 Lakukan stimulasi dengan pukulan singkat pada
glabella atau sekitar daerah supraorbitalis.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH:
23
87
Refleks positif (+), bila terdapat kontraksi sing kat pada
kedua otot orbikularis okuli.
Pada lesi perifer nervus fasialis, refleks ini berkurang atau
negatif, sedangkan pada sindrom Parkinson refleks ini
sering meninggi. Pusat refleks ini terletak di
Pons.
E. REFLEKS PALMOMENTAL 1 2 3
1 Mintalah klien berbaring telentang atau duduk dengan
santai
2 Lakukan stimulasi dengan goresan ujung pensil atau
ujung gagang palu refleks terhadap kulit telapak
tangan bagian tenar
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI
BAWAH:
24
88
MANUAL CSL IV SISTEM
NEUROPSIKIATRI
PENYUSUN:
Dr.dr. Susi Aulina, Sp.S(K)
Dr. dr. A. Kurnia Bintang, sp.S(K), MARS
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr. Devi Wuysang, M.Si, Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2020
89
PENDAHULUAN
90
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL
LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang telah
ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan bahan
yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL
91
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILAN
V. PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK DAN KOORDINASI
SISTEM SENSORIK Penilaian sensasi nyeri 4A
Penilaian sensasi suhu 4A
Penilaian sensasi raba 4A
halus
Penilaian rasa posisi 4A
(proprioseptif)
Penilaian sensasi 4A
diskriminatif (misal
streognosis)
TES KOORDINASI Inspeksi cara berjalan 4A
(gait)
Shallow knee bend 4A
Tes Romberg 4A
Tes Romberg dipertajam 4A
Tes telunjuk hidung 4A
Tes tumit lutut 4A
Tes untuk disdiadokinesis 4A
92
DESKRIPSI KEGIATAN
93
SISTEM SENSORIK
PENGERTIAN
Sistem sensorik adalah sistem yang mengubungan manusia dengan dunia
luar. Informasi yang diterima oleh reseptor menjadi petanda bagi tubuh untuk
memberikan respon. Sistem sensorik dibagi menjadi 2 yaitu exteroceptif dan
proprioceptif.
SASARAN BELAJAR
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
patomekanisme keluhan sensorik, penyakit-penyakit yang terkait, dan mampu untuk
melakukan pemeriksaan klinis yang berhubungan dengan sistem sensorik.
94
PENUNTUN
PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK DAN SISTEM
KOORDINASI
NO LANGKAH/KEGIATAN KASUS
I. PEMERIKSAAN SENSASI TAKTIL/RABA 1 2 3
1 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2 Memilih dengan benar alat yang akan digunakan
3 Memberikan rangsangan secara ringan tanpa memberi
tekanan jaringan subkutan
4 Meminta penderita untuk menyatakan “YA” atau
“TIDAK” pada setiap perangsangan
5 Meminta penderita untuk menyebutkan daerah yang
dirangsang
6 Meminta penderita untuk membedakan dua titik yang
dirangsang
II. PEMERIKSAAN SENSASI NYERI 1 2 3
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Mata klien tertutup.
3 Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum tadi
terhadap dirinya sendiri.
4 Tekanan terhadap kulit klien seminimal mungkin,
jangan sampai menimbulkan perlukaan.
5 Klien jangan ditanya: apakah Anda merasakan ini atau
apakah ini runcing?
6 Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan ujung
jarum dan kepala jarum secara bergantian, sementara
itu penderita diminta untuk menyatakan sensasinya sesuai
dengan pendapatnya.
7 Klien juga diminta untuk menyatakan apakah terdapat
perbedaan intensitas ketajaman rangsangan di daerah
yang berlainan.
8 Apabila dicurigai ada daerah yang sensasinya menurun
maka rangsangan dimulai dari daerah tadi menuju ke
arah yang normal.
1 2 3
III. PEMERIKSAAN SENSASI NYERI DALAM
ATAU NYERI TEKAN
1 Massa otot, tendo atau saraf yang dekat permukaan
ditekan dengan ujung jari atau dengan (menekan di
antara jari telunjuk dan ibu jari). Penderita diminta
untuk menyatakan apakah ada perasaan nyeri atau
tidak; pernyataan ini dicocokkan dengan intensitas
tekanan.
95
IV. PEMERIKSAAN SENSASI TEKAN 1 2 3
1 Penderita dalam posisi terbaring dan mata tertutup.
2 Ujung jari atau benda tumpul ditekankan atau
disentuhkan lebih kuat terhadap kulit.
3 Di samping itu, dapat diperiksa dengan menekankan
struktur subkutan, misalnya massa otot, tendo, dan
saraf itu sendiri, baik dengan benda tumpul atau
dengan ’’cubitan’’ dengan skala yang lebih besar.
4 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada
tekanan dan sekaligus diminta untuk mengatakan
daerah mana yang ditekan tadi.
V. PENILAIAN SENSASI SUHU 1 2 3
1 Menerangkan tujuan pemeriksaan pada klien.
2 Penderita lebih baik dalam posisi berbaring.
3 Mata penderita tertutup
4 Tabung dingin/panas terlebih dahulu dicoba terhadap diri
pemeriksa.
Tabung ditempelkan pada kulit penderita, dan
penderita diminta untuk menyatakan apakah terasa dingin
atau panas.
5 Sebagai variasi, penderita dapat diminta untuk
menyatakan adanya rasa hangat.
6 Pada orang normal, adanya perbedaan suhu 2-5 oC
sudah mampu untuk mengenalinya.
VI.PEMERIKSAAN SENSASI GERAK DAN 1 2 3
1 Mata penderita tertutup
Penderita dapat duduk atau berbaring.
2 Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan
relaksasi dan
digerakkan secara pasif oleh pemeriksa, dengan
sentuhan seringan mungkin sehingga dihindari adanya
tekanan terhadap jari-jari tadi.
3 Jari yang diperiksa harus ’’dipisahkan’’ dari jari–jari
di sebelah kiri/ kanannya sehingga tidak bersentuhan,
sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh melakukan
gerakan aktif seringan apapun.
4 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada
perubahan posisi jari ataupun apakah ada gerakan pada
jarinya.
5 Apabila diperoleh kesan adanya gangguan sensasi gerak
dan posisi, maka dianjurkan untuk memeriksa bagian
tubuh lain yang ukurannya lebih besar, misalnya
96
tungkai bawah atau lengan bawah.
6 Cara lain ialah dengan menempatkan jari-jari salah satu
tangan penderita pada posisi tertentu, sementara itu,
mata penderita tetap tertutup; kemudian penderita diminta
untuk menjelaskan posisi jari-jari tadi ataupun
menirukan posisi tadi pada tangan yang satunya lagi.
VII.PEMERIKSAAN SENSASI GETAR / 1 2 3
1 Getarkan garpu tala terlebih dahulu, dengan jalan ujung
garpu tala dipukulkan pada benda padat/keras yang
lain.
2 Kemudian pangkal garpu tala segera ditempelkan pada
bagian tubuh tertentu.
3 Yang dicatat ialah tentang intensitas dan lamanya
vibrasi.
4 Kedua hal tersebut bergantung pada kekuatan
penggetaran garpu tala dan interval antara
penggetaran garpu tala tadi dengan saat peletakan
garpu tala pada bagian tubuh yang diperiksa.
97
TEST KOORDINASI
PENGERTIAN
Kemampuan mensinergiskan secara normal faktor motorik, sensorik
dalam melakukan gerakan normal. Serebelum digunakan untuk gerakan
sinergistik tersebut, oleh sebab itu serebelum adalah pusat koordinasi.
Gangguan koordinasi dapat disebabkan oleh disfungsi serebelum, sistem
motorik, sistem ekstrapiramidal, gangguan psikomotor, gangguan tonus,
gangguan sensorik (fungsi proprioseptik), sistem vestibular, dll. Gangguan
koordinasi dibagi menjadi gangguan equilibratory dan non equilibratory.
TUJUAN BELAJAR
Mahasiswa memilki pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan
fungsi koordinasi.
SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa :
1. Dapat mempersiapkan klien dengan baik
2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang
akan dilakukan, alat yang dipakai, bagaimana melakukan, apa manfaatnya,
serta jaminan atas aspek keamananan dan kerahasiaan data klien.
3. Dapat melakukan pemeriksaan fungsi koordinasi dengan benar dan tepat
METODE PEMBELAJARAN
Demonstrasi kompetensi sesuai dengan Penuntun Belajar.
98
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN SISTEM
KOORDINASI
2. TANDEM WALKING 1 2 3
1 Klien diminta berjalan pada satu garis lurus di atas
lantai,
2 Tempatkan tumit yang satu didepan jari-jari kaki
berlawanan, baik dengan mata terbuka maupun mata
tertutup
II. TES-TES NON EQUILIBRIUM
1. Finger to Nose test 1 2 3
1 Dengan posisi duduk/berbaring meminta klien
mengekstensikan lengannya.
2. Mintalah klien menyentuh ujung hidungnya dengan
jari telunjuknya dengan gerakan perlahan kemudian
dengan gerakan yang cepat.
2. Disdiadokinesia 1 2 3
1. Klien diminta menggerakkan kedua tangannya
bergantian, pronasi dan supinasi dengan posisi siku
diam
2. Mintalah klien melakukan gerakan tersebut secepat
mungkin, baik dengan mata terbuka maupun dengan
mata terututup
Gangguan diadokinesia disebut disdiadokinesia
SETELAH SELESAI PEMERIKSAAN
10
99
1. Jelaskanlah pada klien apa yang anda dapatkan pada
semua pemeriksaan yang telah dilakukan.
2. Ucapkanlah kata perpisahan dengan klien dan
usahakanlah membesarkan hati klien dengan harapan-
harapan.
3. Lakukanlah cuci tangan rutin.
11
100
MANUAL CSL IV
SISTEM NEUROPSIKIATRI
PEMERIKSAANNEUROLOGIKLAINNYA
DETEKSI KAKU KUDUK
PENILAIAN FONTANEL
PEMERIKSAAN SINDROMA JEBAKAN
TINNEL TEST DAN PHALEN TEST
TANDA LASEQUE
TANDA PATRICK DAN KONTRA
PATRICK TANDA CHVOSTEK
PENYUSUN:
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS
dr.DeviWuysang,M.Si,Sp.S
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
101
PENDAHULUAN
Keterampilan medik adalah keterampilan motorik yang harus dikuasai oleh
seorang tenaga medik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik- baiknya.
Melalui fasilitas berupa skill lab mahasiswa dapat berlatih keterampilan–
keterampilan medik yang mereka perlukan dalam situasi latihan di laboratorium,
bukan dalam suasana kontak antara dokter-pasien di rumah sakit. Latihan
keterampilan klinik ini mengajar mahasiswa agar dapat berlatih secara trial and error,
dapat mengulang-ulang kegiatan atau tindakan yang sama (dengan kadang-kadang
melakukan kekeliruan) sampai betul-betul terampil. Keadaan seperti ini hampir tidak
mungkin dilakukan pada penderita yang sedang dirawat di rumah sakit.
Apabila keterampilan motorik sudah dikuasai, dilanjutkan dengan latihan
yang mengandung unsur emosi. Latihan ini diteruskan sampai menjadi suatu
rangkaian keterampilan medik yangkompleks.
Karena mahasiswa telah menguasai keterampilan dalam melakukan
penatalaksanaan, rasa percaya diri menjadi lebih besar, dan mahasiswa dapat bersikap
lebih baik terhadap pasien, serta mengurangi kendala-kendala emosional antara
mahasiswa dengan pasien pada waktu koass harus kontak dengan pasien.
102
TATA TERTIB KEGIATAN CSL (CLINICAL SKILL LABORATORY)
SEBELUM PELATIHAN
Membaca penuntun belajar (manual) keterampilan Klinik Sistem Neuropsikiatri
dan bahan bacaan rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
SETELAH PELATIHAN
1. Datang 15 menit sebelum CSL dimulai
2. Wajib mengikuti seluruh kegiatan CSL sesuai dengan jadwal rotasi yang
telah ditentukan.
3. Mengenakan jas laboratorium yang bersih dan dikancing rapi pada setiap
kegiatan CSL.
4. Memakai atribut / nama yang ditempelkan pada jas laboratorium
5. Berpartisipasi aktif pada semua kegiatan latihan
6. Bagi kegiatan yang menggunakan model memperlakukan model tersebut
seperti manusia atau bagian tubuh manusia.
7. Tidak diperkenankan menghilangkan, mengambil atau meminjam tanpa ijin
setiap alat / bahan yang ada pada ruang CSL.
8. Setiap selesai kegiatan CSL mahasiswa harus merapikan kembali alat dan
bahan yang telah digunakan.
9. Bagi mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 100 % maka wajib hadir
pada saat review CSL
1. Bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan CSL tidak sesuai dengan jadwal
rotasinya dianggap tidak hadir.
2. Bagi mahasiswa yang presentase kehadiran CSLnya <100% dari seluruh
jumlah tatap muka CSL, maka mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian
CSL.
103
DAFTAR ISI
NEUROLOGI
KETERAMPILAN TINGKAT
CSL NO.
PEMERIKSAAN KETERAMPILA
FISIK N
VI. PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI LAINNYA
Deteksi kaku kuduk 4A
Penilaian fontanel 4A
Tanda Lasegue 4A
Tanda Patrick dan 4A
kontra-Patrick
Tanda Chvostek 4A
Tes sindroma jebakan 4A
(Tinel’s test dan
Phalent’s test)
104
DESKRIPSI KEGIATAN
105
PEMERIKSAAN KAKU KUDUK
(TANDA RANGSANG MENINGES)
PENGERTIAN
Rangsangan selaput otak adalah gejala yang timbul akibat peradangan pada
selaput otak (meningitis) atau adanya benda asing pada ruang suarachnoid (darah),
zat kimia (kontras) dan invasi neoplasma (meningitis carcinoma). Manifestasi
subyektif adalah sakit kepala, kuduk kaku, fotofobia dll.
Yang perlu diperhatikan adalah timbulnya gejala yang disebut meningismus,
yaitu pada pemeriksaan fisik terdapat rangsangan selaput otak, tetapi tidak ada proses
patologis di daerah selaput otak tersebut melainkan di luar kranium (misalnya
mastoiditis)
DASAR TEORI
Adanya penyakit yang menyebabkan iritasi pada meninges akan
menyebabkan timbulnya tanda rangsang meninges. Pemeriksaan tanda rangsang meninges
yang diajarkan pada manual ini antara lain: pemeriksaan kaku kuduk, Kernig’s sign,
Brudzinski I, II, III, dan IV.
Proses iritasi meninges yang menimbulkan gambaran meningismus (kaku
kuduk) terjadi akibat refleks spasme otot-otot paravertebral. Posisi medulla spinalis
yang terletak di bagian belakang vertebra membuat medulla
spinalismeregangapabilaterjadigerakanfleksi. Oleh karena batang otak relative
terfiksir, menyebabkan hanya medulla spinalis dan menginges yang inflamasi
semakin tertarik keatas. Regangan maksimal terjadi pada struktur paling bawah dari
vertebra, seperti nervus femoralis dan nervus sciatik yang melalui cauda ekuina. Pada
pasien dengan inflamasi dan iritasi meninges, peregangan pada struktur yang
mengalami inflamasi memberikan stimulasi pada radiks nervus afferent dan kemudian
pada pusat refleks intraspinal. Stimulasi ini mengakibatkan impuls tonik pada
muskulus aksialis posterior yang menimbulkan spasme muskulus ekstensor sebagai
mekanisme protektif. Manifestasi klinis dari spasme otot inilah yang disebut kaku
kuduk, oleh karena manuver yang meregangkan elemen neural dan meninges pada
canalis spinalis memberikan mekanisme protektif untuk meminimalisir tekanan pada
struktur yang terinflamasi. Sebagai contoh, spasme otot servikal menimbulkan kaku
kuduk, dan spasme otot-otot lumbal bermanifestasi sebagai Kernig’s sign.
Meskipun meningeal sign sangat indikasi untuk mendiagnosis meningitis,
tetapi hal tersebut tidaklah patognomonik. Meningitis bacterial mempunyai kontribusi
sekitar 30% dari kasus dengan tanda meningeal, virus 13%, pneumonia 8%, infeksi
bakteri lain 2% dan infeksi saluran napas atas dan penyakit autoimun 46% dari kasus
yang ada. Adanya rangsang meningeal menandakan adanya gejala iritasi mengingeal.
106
Sasaran Belajar :
Setelah mengikuti proses belajar ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
patomekanisme kuduk kaki, penyakit-penyakit yang menyebabkan kuduk kaku,
dan pemeriksaan klinis kaku kuduk.
SASARAN PEMBELAJARAN
Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan tanda rangsangmenings.
Menentukan penyebab timbulnya tanda rangsang menings sehingga dapat
membedakan apakah gejala tersebut adalah suatu meningismus.
Memberikan penanganan awal serta persiapan rujukan pasien.
107
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN RANGSANG MENINGES
108
3. Lakukan Interpretasi :
Brudzinski Inegatif(Normal) bilapadasaat fleksi
kepala, tidak terjadi fleksi involunter
keduatungkai pada sendi lutut
Brudzinski I positif (abnormal) bila terjadi fleksi
involunter kedua tungkai pada sendi lutut.
D. BRUDZINSKI II 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Fleksikan satu tungkai pada sendi lutut,
kemudiansecara pasif lakukan fleksi maksimal pada
persendian panggul, sedangkan tungkai yang satu
berada dalam kedaan ekstensi (lurus).
3 Lakukan Interpretasi :Brudzinski II positif (abnormal)
bila tungkai yangdalamposisiekstensiterjadifleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut. Brudzinski II
negatif (normal) apabila tidak terjadi apa-apa.
4 Lakukan hal yang sama untuk tungkai yang satunya.
Interpretasikan hasil pemeriksaan Anda.
E. BRUDZINSKI III 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Lakukan penekanan padakedua os zygomatikus kiri dan
kanandengan menggunakan ibu jari pemeriksa.
3. Lakukan Interpretasi:
Brudzinski III positif (abnormal) apabila terjadi fleksi
involunter kedua ekstremitas superior pada sendi siku.
Brudzinski III negatif (normal) apabila tidak terjadi apa-
apa saat penekanan os zygomaticus.
F. BRUDZINSKI IV 1 2 3
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di
sebelah kanan pasien.
2. Lakukanpenekananpadasymphysisospubisdengan
tangan kanan pemeriksa.
3. Lakukan Interpretasi:
Brudzinski IV positif (abnrmal) apabila terjadi fleksi
involunterkedua tungkai pada sendi lutut. Brudzinski
IV
negatif (normal) apabila tidak terjadi apa-apa.
109
PEMERIKSAAN FONTANEL/ KEPALA
PENGERTIAN
Fontanel (latin: fonticuli cranii) adalah bagian lunak di antara tulang
tengkorak kepala pada bagian atas dan belakang kepala bayi. Fontanel berasal dari
bahasa Italia, yaitu Fontanella yang berarti air mancur kecil. Fontanel akan berubah
sedikit mengecil pada saat proses kelahiran dan akan menghilang seiring dengan
pertumbuhan bayi.
Fontanel terdiri dari dua bagian yaitu bagian belakang yang disebut
posterior dan bagian atas yang disebut anterior. Lebar fontanel anterior dapat
mencapai 5 cm. Posterior memiliki bentuk segitiga dan lebih kecil dari fontanel
bagian atas atau anterior. Bagian ini akan tertutup dan terbentuk sempurna saat bayi
berusia 6 – 8 minggu. Bentuknya menyerupai segitiga dan ukuran diameternya
kurang dari 1,25 cm. Sedangkan Anterior umumnya baru akan tertutup saat bayi
berusia 18 bulan. Hal ini akan memberikan kesempatan bagi otak anak untuk
berkembang maksimal. Karena teksturnya yang lunak, fontanel dapat mempengaruhi
bentuk kepala bayi.
Gambar 1.
Tengkorang bayi baru lahir yang menunjukan anterior dan posterior fontanel.
Gambar 2.
Tengkorang bayi baru lahir yang menunjukan fontanel bagian samping
110
DASAR TEORI
Fontanel bisa digunakan untuk mendiagnosis kesehatan bayi. Pada
pemeriksaan fisik kepala untuk menilai fontanel, seorang pemeriksa harus menilai
garis sutura dan fontanel, apakah ukuran dan tampilannya normal. Sutura yang
berjarak lebar mengindikasikan bayi preterm, moulding yang buruk atau hidrosefalus.
Pada kelahiran spontan letak kepala, sering terlihat tulang kepala tumpang tindih yang
disebut moulding/moulase. Keadaan ini normal kembali setelah beberapa hari
sehingga ubun-ubun mudah diraba.
Perhatikan ukuran dan ketegangannya. Fontanel anterior harus diraba,
fontanel yang besar dapat terjadi akibat prematuritas atau hidrosefalus, sedangkan
yang terlalu kecil terjadi pada mikrosefali. Jika fontanel menonjol, hal ini diakibatkan
peningkatan tekanan intakranial (misalnya pada meningitis atau terjadi infeksi),
sedangkan yang cekung dapat tejadi akibat dehidrasi. Terkadang teraba fontanel
ketiga antara fontanel anterior dan posterior, hal ini terjadi karena adanya trisomi 21.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan fontanel.
Memberi pengetahuan tentang hal-hal patologis yang berhubungan dengan
ukuran fontanel, cepat dan lambatnya penutupan fontanel serta tekanan pada
fontanel.
Memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang hal-hal yang
merupakan kondisi emergensi yang terkait dengan masalah fontanel.
10
111
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN
FONTANEL
11
112
Fontanel anterior umumnya menutup pada saat bayi
berumur 6 – 8 minggu
Fontanel posterior umumnya menutup pada saat bayi
berumur sekitar 18 bulan
12
113
PEMERIKSAAN SINDROMA JEBAKAN
PENGERTIAN
Sindroma jebakan yang sering disebut juga sebagai neuropati akibat
penekanan/kompresi atau entrapment neuropathies adalah suatu kondisi dimana
terjadi neuropati akibat kompresi yang lama atau cedera mekanik pada daerah
tertentu. Contoh sindroma jebakan yang paling sering kita dapatkan adalah carpal
tunnel syndrome dan tarsal tunnel syndrome serta sciatika atau iskialgia.
DASAR TEORI
13
114
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, radiologi dan
neurofisiologi. Berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yaitu Tinel’s sign
adalah langkah awal untuk melakukan evaluasi lebih lanjut pada pasien dengan
seperti ini.
SCIATICA (SIATIKA)/ISKHIALGIA
Sciatika (siatika) adalah rasa nyeri yang menjalar dari punggung bawah
hingga ke paha, betis, tumit dan telapak kaki baik pada satu sisi maupun kedua sisi
kaki. Rasa nyeri tersebut bisa ”tumpul” seperti kram atau ”tajam” seperti ditusuk-
tusuk dan terbakar, terus-menerus atau pun hilang-timbul tetapi semakin lama semakin
parah sakitnya. Rasa nyeri dapat meningkat saat penderita duduk, batuk, bersin atau
tertawa. Sebaliknya, berjalan, berbaring, dan gerakan yang meregangkan tulang
punggung (seperti mengangkat bahu) mungkin mengurangi nyeri.
Sciatika disebabkan oleh iritasi atau peradangan nervus
(neuropati/radikulopati) sciatic/iskhiadikus, saraf terbesar dan terpanjang dalam tubuh
yang menjalar dari punggung bawah melewati belakang sendi panggul dan bercabang
hingga ke kedua belah paha, betis, tumit dan telapak kaki. Neuropati/radikulopati
sciatic dapat disebabkan oleh hernia nucleus pulposus pada discus intervertebralis,
sindroma piriformis (terjadi ketika otot piriformis) menjadi kaku dan tegang
sehingga menekan dan mengiritasi nervus sciatic, lumbar spinal stenosis (terjadi
karena penyempitan kanalis spinalis pada daerah punggung bawah yang menekan
nervussciatic, spondilolistesisdanlain-lain.
Untuk menegakkan diagnosis apa yang menjadi penyebab dari keluhan ini
berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (antara lain pemeriksaan motorik,
sensorik dan test-test khusus seperti Laseque test) dan pemeriksaan radiologik. Tanda
Lasegue adalah salah satu tanda yang didapatkan pada pemeriksaan Laseque test
berupa rasa nyerimenjalaryangdimulaidaribokongdanmengikuti persarafan nervus
sciatic.
14
115
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN SINDROMA JEBAKAN
II PHALEN’S TEST
1 Melakukan hiperflexi pada pergelangan tangan
dengan mempertemukan kedua punggung tangan
(dorsum
manus).
2 Interpretasi: Jika timbul nyeri yang menjalar sesuai
inervasi n.medianus berarti phalent’s test positif yaitu
terdapat penekanan n.medianus pada canalis carpi (carpal
tunnel)
15
116
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:
16
117
B. N. ULNARIS
I TINEL’S TEST
1 Melakukan penekanan pada sulcus n.ulnaris yaitu dibagian
posterior epicondylus medialis humeri (sulcus
n.ulnaris).
2 Interpretasi: jika terjadi jebakan n.ulnaris pada daerah
tersebut maka akan timbul nyeri yang dirasakan
berpangkal pada tempat penekanan dan menjalar
sepanjang perjalanan n.ulnaris yaitu sebelah medial
lengan bawah hingga ke setengah jari IV dan V (Tinel’s
test positif)
17
118
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:
18
119
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
II PEMERIKSAAN SENSIBILITAS
Subjek diminta untuk menutup mata lalu mel akukan
pemeriksaan sensibilitas pada tepi ulnar telapak tangan
(hypothenar), setengah jari IV dan V dengan
menggunakan jarum.
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
C. NERVUS RADIALIS
I TINEL’S TEST
1 Melakukan penekanan pada bagian proximal dan
sedikit ke posterior dari processus styloideus os radii.
2 Interpretasi: jika terjadi jebakan n.radialis pada daerah
tersebut maka subjek akan merasakan nyeri yang
19
120
menjalar dari tempat penekanan hingga ke dorsum
manus sesuai inervasi n.radialis (Tinel’s test positif)
3 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
II PEMERIKSAAN SENSIBILITAS
1 Sambil subjek menutup mata, l akukan pemeriksaan
sensibilitas pada kulit lengan bawah bagian posterior
dan kulit bagian lateral dari dorsum manus
ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH :
20
121
D. NERVUS SCIATIKA (NERVUS
ISKHIADIKUS)
I LASEQUE’S TEST (STRAIGH LEG RAISE)
1 Klien berbaringpada meja pemeriksaan dengan kedua
tungkai diluruskan (diekstensikan).
2 Kemudian mengangkat tungkai subjek sambil
mempertahankan lutut tetap lurus.
Pada orang nomal, subjek tidak merasakan nyeri dan
tahanan hingga sudut 70°.
3 Interpretasi : jika subjek merasakan nyeri menjalar dari
bokong hingga ke tungkai sesuai dengan inervasi
n.ischiadicus sebelum mencapai 70° dikatakan laseque’s
test positif yang biasanya didapatkan pada
penderita herniasi discus L5, S1 atau S2.
INTERPRETASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:
21
122
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS NYERI PUNGGUNG BAWAH
(SELAIN LASEQUE’S TEST)
TEST PATRICK
Tindakan pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi
panggul yang mengalami gangguan. Pada iskialgia diskogenik test ini adalah negatif.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan sistem motorik
Mampu melakukan pemeriksaan motorik secara sistematik
Menentukan letak lesi kelumpuhanotot
22
123
B. TES KONTRA PATRICK
1 Lipat tungkai klien yang sakit dan endorotasikan serta
aduksikan.
2 Lakukan penekanan sejenak pada lutut tungkai
tersebut.
3 Interpretasi : Akan timbul rasa nyeri pada garis sendi
sakroiliaka bila di situ terdapat suatu keadaan patologis
(arthritis), baik berupa nyeri yang menjalar sepanjang
tungkai maupun yang terbatas pada daerah bluteal
atau sacral saja.
4 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:
23
124
PEMERIKSAAN CHVOSTEK
PENGERTIAN
Manifestasi klinik dari tetani antara lain spasme dan kontraksi tonik otot
skletal yang umumnya dapat ditemukan pada bagian distal ekstremitas. Hal ini dapat
terlihat sebagai spasme karpopedal berupa kontraksi tonik dari otot-otot pergelangan
tangan, tangan, jari-jari dan ibu jari. Ini disebabkan oleh hiper- eksitabilitas sistem
saraf perifer termasuk otot walaupun diberikan rangsangan minimal. Saraf sensorik
dapat terlibat dengan gejala seperti parastesia pada tangan, kaki dan daerah sekitar
mulut.
DASAR TEORI
Tetani berhubungan dengan dengan gangguan metabolisme kalsium atau
alkalosis, yang menyebabkan penurunan kadar ion kalsium. Adanya kelainan
neurologik hanya dapat ditemukan dengan pemeriksaan fisik saja. Pemeriksaan ini
sangat mudah dilakukan pada pasien yang hipersensitif dalam beberapa menit saja
(tetani laten). Tetani yang berat dapat menyebabkan seizure, spasme laring, stridor,
dan kegagalan nafas.
Chvostek’s sign. Ketukan pada nervus facialis dapat menyebabkan spasme
atau tetani, kontraksi yang melibatkan beberapa atau semua otot facialis. Dua titik
yang dapat dijadikan tempat untuk memberikan stimulasi/ketokan yaitu di bawah
processus zygomaticus os temporal, di depan telinga (Chvostek’s sign) dan pada
pertengahan antara arkus zygomaticus dan sudut mulut (Schultz’s sign). Kadang-
kadang respon yang sama dapat ditimbulkan dengan menggores kulit di depan
telinga. Tanda minimal dapat hanya berupa kedutan/tarikan minimal pada sudut bibir
atas atau sudut mulut, maksimal jika terdapat kontraksi pada daerah frontal wajah,
otot sekitar mata, dan pipi. Kontraksi otot juga dapat melibatkan otot yang disuplai
nervus trigeminus. Chvostek’s sign adalah akibat dari hipereksitabilitas saraf motorik
yang dipersarafi oleh nervus facialis terhadap stimulasi mekanik. Tanda ini sangat
penting pada tetani, tetapi dapat juga terjadi pada kondisi hiper-refleks seperti pada
lesi traktus kortikospinalis.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Memberi pengetahuan dan keterampilan mengenai gejala dan cara
pemeriksaan tetani
Mampu melakukan pemeriksaan chvostek secara sistematis.
24
125
PENUNTUN PEMBELAJARAN PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS
TANDA CHVOSTEK (CHVOSTEK’S SIGN)
LANGKAH KLINIK
NO KASUS
1 2 3
1 Jelaskan maksud pemeriksaan kepada klien
2 Identifikasi titik dimana akan dilakukan ketokan.
Titik Idi bawah processus zygomaticus os temporal,
di depan telinga.
Titik IIpadapertengahan antaraarkuszygomaticusdan
sudut mulut.
3 Dilakukan ketokan pada titik tersebut
4 Interpretasi :
Respon yang didapat berupa kedutan/tarikan minimal pada
subut bibir atas atau sudut mulut, maksimal jika terdapat
kontraksi pada daerah frontal wajah, otot
sekitar mata dan pipi.
5 ILUSTRASI SEPERTI PADA GAMBAR DI BAWAH
:
25
126
26
127
SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI
128
PENGANTAR
Buku panduan skill lab. Sistem Neuropsikiatri ini berisi 2 (DUA) keterampilan
utama, yaitu :
1. Anamnesis keluhan utama yang berhubungan dengan sistem Neuropsikiatri dimana
penggalian riwayat penyakit sudah lebih spesifik mengarah ke sistem Neuropsikiatri,
2. Keterampilan pemeriksaan status mental dan ketrampilan menegakkan diagnostik.
Diharapkan setelah selesai mengikuti kegiatan keterampilan klinik ini, mahasiswa
mampu melakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan status mental sehubungan
sistem ini secara berurutan serta mengetahui keadaan normal ataupun abnormal dari
sistem ini.
Buku panduan ini selain memuat panduan belajar langkah-langkah melakukan
anamnesis, pemeriksaan status mental, juga berisi daftar tilik dalam bentuk lembar penilaian
dari instruktur terhadap mahasiswa sebagai penilaian akhir serta membantu dalam menilai
kemajuan tingkat keterampilan yang telah dilatih.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan dan penyusunan buku panduan ini.
129
TEHNIK WAWANCARA (ANAMNESIS)
SISTEM NEUROPSIKIATRI
Pengertian
Pemeriksaan psikiatri dilakukan melalui wawancara dan pengamatan terhadap pola
pikir, persepsi, ekspresi perasaan dan perilaku (Status Mental). Kegiatan ini sangat penting
sebagai langkah awal yang dapat membantu pemeriksa dalam mengarahkan diagnosis
penyakit pasien. Keluhan yang diajukan seorang pasien yang diambil dengan teliti akan
banyak membantu menentukan diagnosis dari suatu penyakit. Banyak macam keluhan yang
diajukan oleh seorang penderita sistem neuropsikiatri. Walaupun demikian tidak selalu
keluhan-keluhan mengenai mental emosional yang berhubungan dengan gangguan
neuropsikiatri, sehingga diperlukan suatu kesabaran dalam mengambil anamnesis dari
seorang pasien.
Pemeriksaan status mental meliputi penilaian status mental, penilaian kesadaran,
penilaian aktivitas psikomotorik, penilaian orientasi, penilaian persepsi, penilaian bentuk dan
isi pikir, penilaian mood dan afek, penilaian pengendalian impuls, penilaian menilai realitas,
penilaian kemampuan tilikan (insight), penilaian kemampuan fungsional .
Indikasi
Anamnesis dan pemeriksaan status mental dilakukan untuk :
1. Mengetahui diagnosis dari seorang pasien
2. Membantu dalam menyusun rencana terapi farmakologik dan non-farmakologik
3. Mengetahui perkembangan serta kemajuan terapi pada pasien
4. Digunakan sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan yang paripurna
terhadap pasien
130
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu melakukan anamnesis lengkap dan
pemeriksaan status mental secara berurutan dan mampu mengetahui keadaan normal dan
abnormal pada sistem tersebut.
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan anamnesis dengan pasien secara lengkap
2. Mempersiapkan pasien dalam rangka pemeriksaan fisik dan pemeriksaan status
mental
3. Melakukan penilaian status mental
4. Melakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang ada
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list / daftar tilik dengan sistem skor
131
DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Demostrasi bermain tanya – 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
jawab (anamnesa) baik 2. Instruktur memutarkan video tehnik
menggunakan video atau wawancara, atau
dicontohkan oleh dua orang 3. Dua orang instruktur kedepan klas,
instruktur. memberikan contoh bagaimana cara
melakukan anamnesa lengkap, seorang
berperan sebagai dokter, dan yang lain
sebagai pasien.
4. Mahasiswa menyimak/mengamati
5. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan
instrukstur memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
3. Praktek bermain peran dengan 100 1. Mahasiswa dibagi dalam kelompok
umpan balik menit kecil.
2. Setiap kelompok terdiri dari 3 (tiga).
3. Setiap kelompok bermain peran, 1
orang berperan sebagai dokter
(pemeriksa), 1 orang berperan sebagai
pasien, 1 orang berperan sebagai
pengamat.
4. Instruktur memberikan tema khusus
atau keluhan utama kepada pasien dan
selanjutnya akan ditanyakan oleh si
pemeriksa (dokter)
5. Masing-masing mahasiswa berperan
sesuai dengan peran yang diterima.
6. Dokter bertanya sesuai dengan
panduan tehnik wawancara yang
diberikan.
132
7. Pasien menjawab pertanyaan sesuai
dengan skenario gangguan yang
diberikan oleh instruktur.
8. Pengamat mengamati proses
wawancara yang dilakukan oleh
temannya yang berperan sebagai
dokter (pemeriksa) dan pasien (yang
diperiksa) dengan menggunakan daftar
tilik yang disediakan,
9. Instruktur berkeliling diantara
mahasiswa dan melakukan supervisi
menggunakan daftar tilik
10. setiap mahasiswa paling sedikit
berlatih 1 kali
4. Curah pendapat / diskusi 15 menit 1. curah pendapat / diskusi tentang : apa
yang dirasakan mudah atau sulit ?
menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dilakukan oleh dokter
agar pasien merasa nyaman?
2. instruktur menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 150
menit
133
PENUNTUN BELAJAR
SISTEM NEUROPSIKIATRI
DASAR-DASAR TEORI
LAPORAN PSIKIATRI
I. Riwayat Psikiatri
A. Identitas Pasien
Nama :
Umut :
Jenis kelamin :
Suku /Bangsa :
Status perkawinan :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
MRS ke :
B. Keluhan Utama : Apa alasan pasien datang ke psikiater ? lebih disukai sesuai
dengan kata-kata pasien. Jika informasi itu bukan dari pasien, catat siapa yang
menyampaikan.
134
E. Riwayat Pribadi :
Riwayat kehidupan pasien mulai dari bayi sampai saat sekarang secara luas yang
dapat diingat kembali, kekosongan riwayat secara spontan berhubungan dengan
pasien, emosi, berhubungan dengan periode kehidupan (penuh kenyerian, stress, dan
konflik) atau dengan phase siklus kehidupan.
1. Masa Kanak-kanak Awal (0 – 3 tahun) :
a. Riwayat Prenatal, kehamilan dan persalinan ibu pasien : Lama kehamilan,
spontanitas dan normalitas kelahiran, trauma kelahiran, apakah pasien anak
yang direncanakan, diharapkan, atau tidak dikehendaki.
b. Kebiasaan Makan : minum asi, susu botol, dan problem makan
c. Perkembangan Dini : kehilangan ibu, perkembangan bahasa, perkembangan
motorik, tanda-tanda kebutuhan tak terpenuhi, pola tidur, cemas perpisahan,
cemas keterasingan.
d. Toilet training : usia, sikap orangtua, perasaan terhadap hal tersebut
e. Gejala dan masalah perilaku : mengisap ibu jari, temper tantrum (mengadat),
tic, membenturkan kepala, memanjat, terror malam, tidur di air atau tidur di
tanah, menggigit kuku, masturbasi
f. Kepribadian dan temperamen sebagai anak-anak.: pemalu, tak dapat tenang,
overeactive, menarik diri, rajin belajar, meninggalkan tugas, malu-malu,
olah ragawan, pola bermain bersahabat, bereaksi terhadap saudara kandung.
2. Masa Kanak-kanak Pertengahan (3 – 11 tahun) : Riwayat awal masuk
sekolah, penyesuaian dini, identifikasi jenis kelamin, perkembangan kesadaran,
penghukuman, hubungan sosial, sikap terhadap saudara kandung dan teman
sepermainan.
3. Masa Kanak-kanak Akhir (pubertas sampai remaja) :
a. Hubungan dengan rekan sebaya : Jumlah dan keakraban dengan teman-
temannya, sebagai pemimpin atau pengikut, popularitas social, partisipasi
dalam aktivitas kelompok atau geng, gambaran idealisme, pola agrsivitas,
pasivitas, kecemasan, atau perilaku antisocial.
b. Riwayat sekolah : seberapa jauh pasien pergi, penyesuaian terhadap sekolah,
hubungan dengan guru – kesayangan guru atau penentang guru – pelajaran
favorit atau yang diminati, kemampuan atau bakat khusus yang dimiliki,
aktivitas ekstrakulikuler, olah raga, hobbi, hubungan dari masalah-masalah
dan gejala-gejala dengan setiap periode sekolah.
c. Perkembangan motorik dan kognitif : Belajar membaca, ketrampilan
intelegensi dan motorik yang lain, disfungsi otak minimal, kesulitan belajar
– pengelolaan dan pengaruhnya pada anak.
d. Masalah khusus emosi dan fisik : mimpi buruk, fobia, masturbasi, ngompol,
melarikan diri, kenakalan, merokok, menggunakan alcohol dan obat-obatan,
masalah berat badan, rendah diri.
e. Riwayat perkembangan psikoseksual
(a) Keingin tahuan dini, masturbasi infantile, permainan seks.
(b) Pengetahuan seksual yang diperoleh, sikap orang tua terhadap seks,
penyalah gunaan seks
(c) Onset pubertas, perasaan terhadap pubertas, perasaan mengenai
menstruasi, perkembangan kharakteristik sekunder,
(d) Aktivitas seksual remaja, berjejal-jejalan, pesta, kencan, bercumbu rayu,
masturbasi, mimpi basah, dan sikap terhadap hal tsb.
(e) Sikap terhadap sesama dan lawan seks, malu-malu, pemalu, agresif,
mengesankan, seductif, penaklukan seksual, kecemasan.
135
(f) Praktek seksual : masalah-masalah seksual, homoseksual, heteroseksual,
parafilia, promisquitas.
f. Latar belakang Keagamaan : kaku, liberal, campuran, (kemungkinan
konflik), berhubungan dengan praktek keagamaan yang sekarang.
4. Masa Dewasa
a. Riwayat Pekerjaan : pemilihan pekerjaan, pelatihan, ambisi, konflik,
hubungan dengan pimpinan, kelompok sebaya, subkoordinat, banyaknya
tugas dan lamanya, perubahan dalam status pekerjaan, dan perasaan terhadap
hal tersebut.
b. Aktivitas social : apakah pasien mempunyai teman atau tidak, apakah
menarik diri atau bersosialisasi dengan baik, intelektual, kesenangan fisik,
hubungan dengan sesame jenis dan berlawanan jenis, lamanya, qualitas
hubungan dengan manusia.
c. Seksualitas dewasa. :
(a) Hubungan seksual sebelum nikah, umur saat hubungan seksual pertama,
orientasi seksual
(b) Riwayat perkawinan, perkawinan secara adapt, perkawinan legal, masa
kenal-mengenal, peran masing-masing pasangan, keluarga berencana
dan kontrasepsi, nama dan usia anak-anak, sikap terhadap anak angkat,
masalah setiap anggota keluarga, kesulitan perumahan jika ini penting
bagi perawinan, penyesuaian seksual, skandal diluar perkawinan, area
persetujuan dan ketidak setujuan, pengelolaan uang dan peran ipar.
(c) Gejala-gejala seksual : Anorgasmik, impotensia, ejakulasi dini, kurang
hasrat seksual.
(d) Sikap terhadap kehamilan dan memiliki anak : praktek kontrasepsi dan
perasaan terhadap kontrasepsi.
(e) Praktek-praktek seksual :parafilia seperti sadisme, fetishisme, voyerisme,
sikap terhadap fellatio, cunnilingus, tehnik coitus. Dan frekwensinya.
F. Riwayat Keluarga :
Dapatkan dari pasien dan dari orang lain, karena deskripsi yang sungguh berbeda
dari orang yang sama dan peristiwa, suku, kebangsaan, dan tradisi keagamaan,
orang lain di dalam rumah, deskripsikan mereka – kepribadian dan intelegensi, dan
apa yang telah terjadi pada mereka sejak pasien kanak-kanak, deskripsikan
perbedaan orang-orang yang tinggal didalam rumah tangga tsb; hubungan pasien
dengan orang-orang yang ada didalam keluarga ; peranan penyakit dalam keluarga
; riwayat keluarga dengan gangguan mental ; dimana pasien tinggal–lingkungan
dan tempat tinggal khusus bagi pasien ; adalah rumah penuh sesak, pribadi anggota
kelurga dari setiap orang atau keluarga yang lain; sumber pendapatan keluarga dan
kesulitan mendapatkannya; bantuan masyarakat (jika ada) dan sikapnya mengenai
hal tsb; akankah pasien kehilangan pekerjaan atau tempat tinggal dengan tetap
tinggal di rumah sakit; siapa yang menjaga anak-anak.
136
G. Situasi Saat Ini :
- Keadaan lingkungan perumahan atau tempat tinggal
- Keadaan sosial ekonomi
-Pekerjaan
PENUNTUN PEMBELAJARAN
TEHNIK WAWANCARA (ANAMNESIS PSIKIATRI)
(digunakan oleh Peserta)
Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan mengguakan kriteria berikut :
1. Perlu perbaikan : Langkat-langkah tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai
urutannya
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, tetapi ridak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, sesuai dengan urutan dan efisien
10
137
pertanyaan terpusat dan terinci
EVALUASI
Rekomendasi : ..........................................................................................................
Tanggal .......
Penguji
(........................................)
1
138
SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI
STATUS MENTAL
1
139
PENGANTAR
1
140
TEHNIK PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
SISTEM NEUROPSIKIATRI
Pengertian
Pemeriksaan status mental meliputi penilaian status mental, penilaian
kesadaran, penilaian aktivitas psikomotorik, penilaian orientasi, penilaian
persepsi, penilaian bentuk dan isi pikir, penilaian mood dan afek, penilaian
pengendalian impuls, penilaian menilai realitas, penilaian kemampuan tilikan
(insight), penilaian kemampuan fungsional.
Indikasi
Pemeriksaan status mental dilakukan untuk :
1. Mengetahui diagnosis dari seorang pasien
2. Membantu dokter dalam melakukan tindakan selanjutnya pada pasien
3. Mengetahui perkembangan serta kemajuan terapi pada pasien
4. Digunakan sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan
paripurna terhadap pasien
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu melakukan anamnesis lengkap dan
pemeriksaan status mental secara berurutan dan mampu mengetahui keadaan
normal dan abnormal pada sistem tersebut.
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan penilaian status mental
2. Melakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang ada
3. Mengenal dan menentukan berbagai bentuk gangguan perilaku, pikiran
dan perasaan yang bermanifestasi sebagai gangguan jiwa.
Media dan alat bantu pembelajaran :
- Daftar panduan belajar pemeriksaan status mental
- Alat tulis,
- Audio-visual
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list / daftar tilik dengan sistem skor
1
141
DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain peran tanya & jawab 30 1. mengatur posisi duduk mahasiswa
menit 2. dua orang instruktur, 1 sebagai
dokter & 1 sebagai pasien
memberikan contoh bagaimana cara
melakukan pemeriksaan status
mental.Mahasiswa menyimak /
mengamati
3. memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan
instrukstur memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. mahasiswa dapat memperhatikan
dan menanyakan hal-hal yang
belum dimengerti dan
instruktur
menanggapinya
3. Praktek bermain peran 100 1. mahasiswa dibagi menjadi
dengan umpan balik menit pasangan- pasangan. Seorang mentor
diperlukan untuk mengamati 2
pasang
2. setiap pasangan berpraktek, 1 orang
sebagai dokter (pemeriksa) dan 1
orang sebagai pasien secara serentak
3. mentor memberikan tema khusus
atau keluhan utama kepada pasien
dan selanjutnya akan ditanyakan
oleh si pemeriksa (dokter)
4. mentor berkeliling diantara
mahasiswa dan melakukan supervisi
menggunakan daftar tilik
5. setiap mahasiswa paling sedikit
berlatih 1 kali
1
142
4. Curah pendapat / diskusi 15 1. curah pendapat / diskusi : apa yang
menit dirasakan mudah atau sulit ?
menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dilakukan oleh
dokter agar pasien merasa nyaman?
2. instruktur menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
1
143
memperjelas hal-hal yang masih
belum dimengerti
Dasar Teori :
PENUNTUN BELAJAR
SISTEM NEUROPSIKIATRI
I. Status Mental :
A. Deskripsi Umum :
1. Penampilan : Posture, sikap, pakaian, perawatan diri, rambut,
kuku, sehat, sakit, marah, takut, apatis, bingung, merendahkan,
tenang, tampak lebih tua, tampak lebih muda, bersifat seperti wanita,
bersifat seperti laki-laki, tanda-tanda kecemasan–tangan basah, dahi
berkeringat, gelisah, tubuh tegang, suara tegang, mata melebar,
tingkat kecemasan berubah-ubah selama wawancara atau dengan
topik khusus.
1
144
2. Afek : (ekspresi keluar dari pengalaman dunia dalam pasien),
Bagaimana pemeriksa menilai afek pasien–luas, terbatas, tumpul
atau datar, dangkal (shallow), jumlah dan kisaran dari ekspresi
perasaan ; sukar dalam memulai, menahan (sustaining) atau
mengakhiri respons emosinal, ekspresi emosi serasi dengan isi
pikiran, kebudayaan,
3. Keserasian : keserasian respon emosional pasien dapat dinilai
dalam hubungan dengan masalah yang sedang dibahas oleh pasien.
Sebagai contoh, pasien paranoid yang melukiskan waham kejarnya
harus marah atau takut tentang pengalaman yang sedang terjadi pada
mereka. Afek yang tidak serasi, ialah suatu mutu respons yang
ditemukan pada beberapa pasien skizofrenia; afeknya inkongruen
dengan topik yang sedang mereka bicarakan. (contohnya : mereka
mempunyai afek yang datar ketika berbicara tentang impuls
membunuh). Ketidak serasian juga mencerminkan tarap hendaya
dari pasien untuk mempertimbangkan atau pengendalian dalam
hubungan dengan respons emosional.
2. Isi Pikiran :
a. Preokupasi : Mengenai sakit, masalah lingkungan, obsesi,
kompulsi, fobia, rencana bunuh diri, membunuh, gejala-gejala
hipokondrik, dorongan atau impuls-impuls antisosial.
3. Gangguan Pikiran :
a. Waham : Isi dari setiap sistim waham, organisasinya, pasien
yakin akan kebenarannya, bagaimana waham ini mempengaruhi
kehidupannya, ; waham penyiksaan–isolasi atau berhubungan
dengan kecurigaan yang menetap, serasi mood (congruent) atau
tak serasi mood (incongruent)
4. Gangguan Persepsi :
a. Halusinasi dan Ilusi : Apakah pasien mendengar suara atau
melihat bayangan, isi, sistim sensori yang terlibat, keadaan yang
terjadi, halusinasi hipnogogik atau hipnopompik ; thought
brocasting.
2. Orientasi :
a. Waktu : Apakah pasien mengenal hari secara benar, tanggal,
waktu dari hari, jika dirawat di rumah sakit dia mengetahui sudah
berapa lama ia dia berbaring disitu,
b. Tempat : Apakah pasien tahu dimana dia berada
c. Orang : Apakah pasien mengetahui siapa yang memeriksa dan
apa peran dari orang-orang yang bertemu denganya.
1
146
F. Tilikan :
1. Penyangkalan sepenuhnya terhadap penyakit
2. Sedikit kesadaran diri akan adanya penyakit dan meminta
pertolongan tetapi menyangkalinya pada saat yang bersamaan
3. Sadar akan adanya penyakit tetapi menyalahkan orang lain, faktor
luar, medis atau faktor organik yang tidak diketahui.
4. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak
diketahui pada dirinya.
5. Tilikan Intelektual : Pengakuan sakit dan mengetahui gejala dan
kegagalan dalam penyesuaian sosial oleh karena perasaan irrasional
atau terganggu, tanpa menerapkan pengetahuannya untuk
pengalaman dimasa mendatang
6. Tilikan Emosional yang sebenarnya : kesadaran emosional terhadap
motif-motif perasaan dalam, yang mendasari arti dari gejala; ada
kesadaran yang menyebabkan perubahan kepribadian dan tingkah
laku dimasa mendatang; keterbukaan terhadap ide dan konsep yang
baru mengenai diri sendiri dan orang-orang penting dalam
kehidupannya.
G. Daya nilai :
1. Daya nilai Sosial : Manifestasi perilaku yang tidak kentara yang
membahayakan pasien dan berlawanan dengan tingkah laku yang
dapat diterima budayanya. Adanya pengertian pasien sebagai hasil
yang tak mungkin dari tingkah laku pribadi dan pasien dipengaruhi
oleh pengertian itu.
2. Uji daya nilai : pasien dapat meramalkan apa yang akan dia
lakukan dalam bayangan situasi tsb. Misalnya apa yang akan
dilakukan pasien dengan perangko, alamat surat yang dia temukan
dijalan.
1
147
STRATEGI DAN CARA PELATIHAN
PENUNTUN PEMBELAJARAN
TEHNIK PEMRIKSAAN STATUS MENTAL PSIKIATRI)
(digunakan oleh Peserta)
Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan mengguakan kriteria berikut :
1. Perlu perbaikan : Langkat-langkah tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai
urutannya
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, tetapi ridak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, sesuai dengan urutan dan efisien
1
148
28. Uji Daya nilai
IX. Tilikan
29 Tilikan
X. Taraf Dapat Dipercaya
30. Taraf Dapat Dipercaya
a.Dapat dipercaya
b.Tidak dapat dipercaya
EVALUASI
PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
No. Pemeriksaan Psikiatri PENILAIAN
1 2 3
1. Penilaian status mental
2. Penilaian kesadaran
3. Penilaian bicara
4. Penilaian persepsi
5. Penilaian orientasi
6. Penilaian inetelegensi
7. Penilaian bentuk pikiran
8. Penilaian isi pikiran
9. Penilaian mood
10. Penilaian afek
11. Penilaian motorik
12. Penilaian pengendalian impuls
13. Penilaian kemampuan menilai realitas
14. Penilaian tilikan
15. Penilaian kemampuan fungsional
(........................................ )
Referensi :
1. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Dirjen Bina Upaya Kesehatan, Kementrian Kesehatan
R.I.. Pedoman Pelayanan Kegawat Daruratan Psikiatrik, 2013. hal 22- 32.
2. Kaplan HI, Sadock B.(2007)Synopsis of Psychiatry, 10thed. Baltimore, MD: Lippincott Williams
& Wilkins.. p 450 - 458
3. Kaplan HI, Sadock B. (1998) Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Alih bahsa : Wicaksana Roan. Jakarta
: Widya medika.,
1
149
SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI
1
150
PENGANTAR
1
151
DIAGNOSIS DAN TERAPI
SISTEM NEUROPSIKIATRI
Pengertian
Diagnosis merupakan tahapan yang paling menentukan dalam proses
pengobatan suatu penyakit Diagnosis adalah kesimpulan yang dibuat dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan status mental.
Disini dibahas bagaimana proses mendapatkan diagnosis yang tepat dan juga
terapi kedokteran yang paling cocok untuk mengobati penyakit tersebut.
Terapi adalah langkah-langkah atau upaya yang dilakukan untuk membantu
mengatasi dan menyembuhkan pasien dengan menggunakan obat farmakologi dan
non-farmakologi.
Indikasi
1. Menetapkan diagnosis
2. Menentukan diagnosis banding
3. Menetapkan prognosis
4. Menentukan langkah-langkah pengobatan yang sesuai.
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu menetapkan diagnosis kerja dan
langkah – langkah pengobatan yang sesuai dengan diagnosis.
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Menetapkan diagnosis kerja
2. Membuat diagnosis banding
3. Menentukan prognosis
4. Melakukan langkah-langkah terapi sesuai dengan diagnosisnya.
1
152
Media dan alat bantu pembelajaran :
- Daftar panduan belajar diagnosis dan terapi.
- Stetoskop, handscoen (sarung tangan), pipa nasogastrik
- Jelly, lap, sabun dan wastafel (air mengalir) untuk simulasi mencuci tangan.
- Alat tulis.
- Audio-visual
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list / daftar tilik dengan sistem skor
DESKRIPSI KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain peran tanya & jawab 30 menit 1. mengatur posisi duduk mahasiswa
2. dua orang instruktur, 1 sebagai dokter &
1 sebagai pasien memberikan contoh
bagaimana cara melakukan anamnesa
lengkap. Mahasiswa
menyimak/mengamati
3. memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan
instrukstur memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. kegiatan dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik pada manikin atau
probandus
5. mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti dan instruktur
1
153
menanggapinya
1
154
DASAR – DASAR TEORI.
II. Diagnosis :
Terdiri dari 5 aksis :
Aksis 1 : Sindroma Klinik (Gg. Afektif, Skizofrenia, Gg. Cemas
Menyeluruh, dll)
Aksis II : Gg. Kepribadian, Retardasi Mental, dan Mekanisme
Pertahanan
Aksis III : Kondisi Medis Umum (Epilepsi, penyakit kardiovaskuler, Gg.
Endokrin)
Aksis IV : Problem Psikososial dan Lingkungan
Aksis V : Global Assessment Function
III. Prognosis :
1
155
STRATEGI DAN CARA PELATIHAN
PENUNTUN PEMBELAJARAN
DIAGNOSIS DAN TERAPI
(digunakan oleh Peserta)
Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan mengguakan kriteria berikut :
1. Perlu perbaikan : Langkat-langkah tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai
urutannya
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, tetapi ridak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan dengan benar, sesuai dengan urutan dan efisien
EVALUASI
1
156
Komentar / kesimpulan : .........................................................................................
Rekomendasi : ..........................................................................................................
Tanggal .......
Penguji
(........................................)
1
157
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIK (CSL)
FOTO X’RAY SKULL & LUMBOSACRAL
Disusun Oleh :
1. Prof. Dr. dr. Muhammad Ilyas, Sp.Rad (K)
2. dr. Rafikah Rauf, Sp.Rad., M.Kes
DEPARTEMEN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
157
TEKNIK PENILAIAN FOTO X’RAY SKULL
2
158
FOTO X’RAY LUMBOSACRAL
Pengertian
Pemeriksaan foto lumbosacral merupakan salah satu pemeriksaan radiologi yang
penting. Anatomi tulang belakang yang kompleks serta bentuk dan variasi anatomi setiap
orang memiliki perbedaan sehingga pengetahuan dasar radiologi anatomi lumbosacral
harus diperhatikan. Untuk pemeriksaan foto lumbosacral memiliki beberapa variasi
proyeksi yang digunakan bertujuan untuk mendapatkan gambaran radiografi yang
berbeda dari masing masing anatomi lumbosacral.
Indikasi
Foto lumbosacral biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan low back pain
ataupun pasien dengan curiga kelainan Hernia Nucleus Pulposus (HNP).
Tujuan pembelajaran
Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu mengetahui dasar-dasar keterampilan cara
membaca foto x’ray lumbosacral
Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan identifikasi data pasien (nama, umur, jenis kelamin, no rekam medik)
2. Melakukan identifikasi data foto (no foto, tanggal pembuatan foto, no rekam
medik)
3. Menyebutkan jenis & posisi foto lumbosacral
4. Melakukan pemasangan foto lumbosacral pada light box dengan benar dan tepat
5. Menjelaskan anatomi dasar yang berhubungan dengan foto lumbosacral
6. Melakukan penilaian terhadap foto lumbosacral
7. Menyebutkan indikasi rujukan dan jenis pemeriksaan radiologi lanjutan
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Diskusi
3. Partisipasi aktif dalam skill lab (simulasi)
3
159
TEKNIK PENILAIAN FOTO X’RAY LUMBOSACRAL
4
160
MANUAL KETERAMPILAN KLINIK
SISTEM INDRA KHUSUS – MATA
161
PEMERIKSAAN MATA
Pengertian:
Pemeriksaan dalam ilmu penyakit mata meliputi beberapa prosedur dengan tujuan dapat
menegakkan diagnosis yang benar. Pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan tajam
penglihatan, pemeriksaan segmen depan bola mata yang meliputi pemeriksaan palpebra, silia,
kornea, konjungtiva, bilik mata depan, iris, pupil, lensa dan vitreus anterior. Pemeriksaan segmen
depan bola mata meliputi pemeriksaan vitreus posterior, retina, dan papil saraf optik.
Pemeriksaan tekanan bola mata dilakukan dengan cara palpasi dan dengan menggunakan
tonometer Schiotz. Pemeriksaan pergerakan bola mata dilakukan untuk menilai fungsi ke enam
otot penggerak bola mata yaitu otot rektus superior, medial, inferior, lateral, otot oblikus superior
dan oblikus inferior. Pemeriksaan lapang pandangan dilakukan dengan cara konfrontasi.
Pemeriksaan tajam penglihatan sentral dengan amsler grid. Pemeriksaan buta warna dengan
lempeng ishihara.
TIU:
Diharapkan sesudah melakukan kegiatan keterampilan klinik mahasiswa mampu melakukan
pemeriksaan mata sederhana sesuai standar kompetensi.
TIK :
Diharapkan sesudah melakukan kegiatan ketrampilan klinik, mahasiswa dapat :
1. Memberikan penjelasan tentang pemeriksaan yang akan dilakukan dan mendapatkan
persetujuan dari penderita.
2. Melakukan anamnesis lengkap pada penderita dengan kelainan mata.
3. Melakukan pemeriksaan visus anak dan dewasa serta melakukan koreksi refraksi dengan
benar.
4. Melakukan pemeriksaan segmen anterior bola mata dengan benar.
5. Melakukan pemeriksaan dan interpretasi tekanan bola mata dengan benar, menggunakan
metode palpasi maupun dengan tonometer indentasi.
6. Melakukan pemeriksaan pergerakan bola mata dan otot ekstra okuler dengan benar.
7. Melakukan pemeriksaan lapang pandangan sederhana.
162
8.Melakukan pemeriksaan dan penilaian segmen posterior dengan benar menggunakan
funduskopi
9. Melakukan pemeriksaan tajam penglihatan sentral dengan amsler grid
10. Melakukan pemeriksaan buta warna dengan lempeng ishihara.
11. Melakukan pemberian obat tetes mata dengan benar.
NO LANGKAH KEGIATAN
163
7. Pemeriksa menanyakan kelainan mata yang lainnya: mata merah, air mata berlebih,
kotoran mata berlebih, silau, penglihatan menurun, nyeri, rasa mengganjal, rasa berpasir,
serta gejala penyerta bila ada.
8. Pemeriksa menanyakan riwayat kelainan mata atau tindakan/pengobatan pada mata
sebelumnya.
9. Pemeriksa menanyakan riwayat penyakit yang lain, termasuk penyakit sistemik dan
pengobatan yang didapat.
10. Pemeriksa menanyakan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga/ lingkungan.
11. Pemeriksa mencatat hasil anamnesis.
12. Pemeriksa mengkonfirmasi ulang hasil anamnesis dan berikan kesempatan pasien untuk bertanya.
NO LANGKAH KEGIATAN
4. Periksa apakah terdapat kondisi mata merah (infeksi/inflamasi pada mata). Apabila
ditemukan tanda mata merah, maka minta pasien menutup satu matanya dengan telapak
tangan tanpa menekan bola mata.
Bila tidak didapatkan kondisi mata merah, maka minta penderita untuk memakai trial
frame yang sudah diatur sesuai DP penderita. Untuk memeriksa visus mata kanan
penderita, tutup mata kiri penderita dengan occluder yang dipasang pada trial frame.
164
5. Minta penderita menyebutkan huruf, angka, atau simbol yang ditunjuk mulai dari baris
paling atas dari optotip snellen ke bawah.
6. Tentukan visus penderita sesuai dengan hasil pemeriksaan. Visus penderita ditunjukkan
oleh angka di samping baris huruf terakhir yang dapat terbaca oleh penderita.
7. Lakukan hal yang sama pada mata kiri pasien.
8. Bila visus penderita tidak optimal hingga 20/20 atau 6/6 dilanjutkan ke
pemeriksaan penilaian refraksi.
9. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: VOD (Visus Oculus Dextra) = 20/20
VOS (Visus Oculus Sinistra) = 20/60
165
NO LANGKAH KEGIATAN
III. MELAKUKAN PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF
Tujuan : Menilai status refraksi dan melakukan terapi kelainan refraksi
Alat : Trial lens, trial frame, optotipe snellen, astigmat clock dial
1. Bila pada pemeriksaan visus, didapatkan visus penderita tidak optimal hingga 20/20 atau
6/6 dilanjutkan ke pemeriksaan penilaian refraksi.
2. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
3. Pemeriksa meminta penderita duduk pada jarak 5 atau 6 m dari optotipe snellen.
3. Pasangkan lensa coba (+)/positif dan (-)/negatif 0.5 D bergantian pada trial frame, minta
penderita menyebutkan lensa mana yang memberikan bayangan yang lebih jelas.
Penderita tidak hasus menyebutkan semua huruf/angka optotip dengan benar, cukup
jelas/tidak dahulu.
4. Apabila penderita sudah menentukan lensa yang memberikan bayangan lebih jelas,
mulailah dengan memberikan lensa dengan ukuran terkecil, dan kemudian minta
penderita membaca kembali optotip.
5. Lensa coba diganti hingga penderita dapat membaca optotip maksimal. Pilih lensa
convex /(+) terkuat atau lensa concave (-) terlemah yang memberikan penglihatan
terbaik.
6. Bila setelah koreksi maksimal visus belum mencapai 20/20 atau 6/6, maka dilakukan pin
hole untuk menentukan kemungkinan terdapat kelainan astigmat. Jika dengan pin hole
visus bisa maju, maka dilanjutkan dengan koreksi astigmat.
7. Sebelum dilakukan koreksi astigmat perlu dilakukan fogging dengan menggunakan lensa
+1.00 pada mata yang akan diperiksa.
8. Setelah melakukan fogging, lakukan pemeriksaan astigmat clock dial. Minta penderita
untuk melihat garis mana yang paling jelas dan hitam.
9. Bila pada astigmat clock dial, penderita melihat ada garis yang paling tegas, maka
diperiksa dengan lensa cylindris negatif atau positif (dengan metode trial and error)
dimana axisnya tegak lurus pada garis yang paling tegas tersebut.
Contoh: Pasien melihat garis tegas pada arah jam 3 dan jam 9 (meridian 180 o), maka
axisnya adalah 90o.
10. Setelah itu pemeriksa mulai koreksi dengan lensa ukuran terkecil (0,5 D) dan minta
penderita untuk fokus kembali ke astigmat clock dial dan memperhatikan apakah masih
ada garis yang lebih jelas dan hitam dibandingkan garis lainnya. Ukuran lensa dinaikkan
secara bertahap hingga semua garis sudah sama jelas dan hitamnya.
11. Setelah mendapatkan ukuran lensa silinder yang benar, maka lensa fogging dilepas. Lalu
cek kembali visus dengan menggunakan lensa yang telah dikoreksi. Jika visus belum
sampai pada 20/20 atau 6/6, maka lakukan koreksi sferis kembali (refined spheris)
hingga mencapai visus 20/20 atau 6/6.
12. Lakukan hal yang sama pada mata kiri penderita apabila tidak didapatkan visus yang
optimal.
13. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: VOD = 20/60 - 0,75 20/20
VOS = 20/50 -0,50/-0,50x90o 20/20
166
Astigmat Clock Dial
NO LANGKAH KEGIATAN
1. Pemeriksa meminta anggota keluarga untuk memangku bayi/anak agar anak merasa
nyaman
2. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
3. Ambillah mainan kecil atau objek lain yang menarik perhatian, yang hanya menstimulasi
penglihatan; jangan menggunakan objek yang bersuara. Pegang objek sekitar 1-2 kaki di
depan muka anak dan gerakkan secara horizontal ke kanan dan kiri sambil mengamati
kemampuan anak untuk memfiksasi dan mengikuti objek
4. Tutup satu mata dan ulangi tes tersebut. Lalu tutup mata yang satu dan ulangi lagi. Amati
perbedaan yang terjadi diantara kedua mata pada kualitas fiksasi dan ‘smooth pursuit’
atau reaksi penolakan terhadap oklusi.
5. Jika Anda mencurigai adanya perbedaan, tapi tidak yakin, ulangi tes, menggunakan
mainan yang lain untuk mempertahankan minat anak..
6. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: VOD : Fix and follow (+)
VOS : Fix and follow (+)
167
NO LANGKAH KEGIATAN
168
10. Periksa pula sensibilitas kornea dengan kapas yang dipilin, dengan cara kapas
disentuhkan dari arah temporal ke sentral kornea.
Interpretasi: Normal, hipoestesia atau hiperestesia.
11. Periksa kedalaman bilik mata depan dengan sinar yang diarahkan dari temporal limbus
12. Periksa reflex pupil terhadap cahaya langsung (direct), cahaya tidak langsung (indirect).
Perhatikan pula ukuran, bentuk pupil bulat atau tidak, letak pupil sentral atau tidak
13. Periksa iris: bentuknya, warnanya, ada sinekia/tidak
14 Periksa lensa, sinar dari arah 30-450 (sebaiknya pupil dilebarkan): perhatikan letak,
kejernihan, shadow test
15. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
169
TEKNIK MENILAI KEDALAMAN BILIK MATA DEPAN
NO LANGKAH KEGIATAN
VI. MELAKUKAN PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA
DENGAN METODE PALPASI
Tujuan : Melakukan pemeriksaan tekanan bola mata secara kualitatif
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Pemeriksa duduk berhadapan dengan penderita dengan jarak jangkauan tangan
pemeriksa, (25 – 30 cm).
3. Mintalah penderita untuk melirik ke bawah, bukan menutup mata
4. Mulailah pemeriksaan dari mata kanan.
5. Kedua jari telunjuk berada pada palpebra superior. Ibu jari, kelingking, jari manis, dan
jari tengah memfiksasi didaerah tulang sekitar orbita.
170
6. Jari telunjuk secara bergantian menekan bola mata melalui palpebra dan merasakan
besarnya tekanan bola mata.
7. Besarnya tekanan dilambangkan dengan Tn, Tn-1, Tn-2, Tn+1, Tn+2
8. Prosedur yang sama dilakukan pula pada mata kiri
9. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: TOD (Tekanan intraokuler Oculus Dextra) = Tn
TOS (Tekanan intraokuler Oculus Sinistra) = Tn+1
NO LANGKAH KEGIATAN
171
7. Kelopak atas dan bawah dibuka lebar dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari
tangan non dominan, tidak boleh menekan bola mata.
8. Letakkan tonometer dengan hati-hati pada permukaan kornea, tepat di tengah dengan
posisi benar-benar vertikal dan tanpa menekan bola mata. Selanjutnya baca skala yang
ditunjukkan oleh jarum.
9. Sesuaikan hasil pembacaan dengan tabel konversi yang tersedia
(satuan mmHg).
Jika hasil pemeriksaan didapatkan tekanan intraokuler yang tinggi maka dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan beban 7,5 gr dan 10 gr sebagai perbandingan.
10. Teteskan antibiotik topikal setelah pemeriksaan.
11. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh: TOD = 5/5,5 = 17.3 mmHg
TOS = 3/5,5=24,4 mmHg 5,5/7,5 = 23,8 mmHg 8/10 = 23,1 mmHg
172
NO LANGKAH KEGIATAN
OD 0 OS 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0
173
NO LANGKAH KEGIATAN
IX. MELAKUKAN PEMERIKSAAN LAPANGAN PANDANG
DENGAN CARA KONFRONTASI
Tujuan : Menilai adanya gangguan lapangan pandang
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
2. Mintalah penderita untuk duduk berhadapan. Posisi bola mata antara
penderita dan pemeriksa selaras dengan jarak 30 – 50 cm.
3. Pemeriksa meminta pasien untuk menutup mata yang tidak diperiksa. Pemeriksa juga
menutup mata di sisi yang sama dengan mata pasien yang ditutup
4. Pemeriksa meminta pasien untuk memfiksasi mata yang tidak tertutup ke arah mata
pemeriksa yang tidak tertutup.
5. Mintalah pasien agar memberi respons bila melihat objek yang digerakkan pemeriksa di
mana mata pasien tetap terfiksasi pada mata pemeriksa
6. Gerakkan obyek dari perifer ke tengah dari arah superior, temporal, inferior, dan nasal
7. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh:
Lapangan pandang temporal mata kanan menyempit dibandingkan lapangan pandang
normal.
174
NO LANGKAH KEGIATAN
3. Persiapkan alat untuk pemeriksaan segmen posterior bola mata (direct ophthalmoscope).
Ruangan dibuat setengah gelap, penderita diminta melepas kacamata dan pupil dibuat
midriasis dengan tetes mata mydriatil.
4. Sesuaikan lensa oftalmoskop dengan ukuran kaca mata penderita.
5. Mata kanan pemeriksa memeriksa mata kanan penderita, mata kiri pemeriksa memeriksa
mata kiri penderita.
6. Mintalah penderita untuk melihat satu titik di belakang pemeriksa
7. Arahkan ke pupil dari jarak 25-30 cm oftalmoskop untuk melihat reflex fundus dengan
posisi/cara pegang yang benar
8. Periksa secara seksama dengan perlahan maju mendekati penderita kurang lebih 5 cm.
175
9. Sesuaikan fokus dengan mengatur ukuran lensa pada oftalmoskop.
10. Amati secara sistematis struktur retina dimulai dari papil N. optik, arteri dan vena retina
sentral, area makula, dan retina perifer.
11. Pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan dan menjelaskan kepada pasien.
Contoh:
FOD (Funduskopi Oculus Dextra) = Refleks fundus (+), Papil N.II batas tegas, CDR : 0,3
, A/V : 2/3, Makula: reflex fovea (+), Retina perifer kesan normal. (Contoh interpretasi
fundus normal)
FOS (Funduskopi Oculus Sinistra) = Refleks fundus (+), Papil N.II batas tidak tegas,
CDR : sulit dievaluasi , A/V : 2/4 kesan berkelok-kelok, Makula: reflex fovea kesan
suram, Retina perifer tampak perdarahan intraretinal bentuk flame-shaped hemorrhage di
seluruh kuadran. (Contoh interpretasi fundus abnormal)
Diopter Indicator
Rekoss Disc
Switch Button
176
NO LANGKAH KEGIATAN
177
NO LANGKAH KEGIATAN
XII. MELAKUKAN PEMERIKSAAN BUTA WARNA
Tujuan : Menilai adanya kelainan penglihatan warna
Alat : Ishihara plate, tabel evaluasi
1. Pemeriksa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
2. Cahaya ruangan harus dibuat cukup. Tidak terlalu terang dan tidak terlalu redup agar
warna pada buku ishihara terlihat jelas
3. Pasien diminta untuk menutup salah satu matanya, lalu membaca tulisan pada buku
ishihara pada jarak ± 30-40 cm dengan mata yang tidak ditutup
4. Setiap plate dibaca dalam waktu 5 detik, hasil pembacaan dituliskan dalam tabel evaluasi
5. Lakukan langkah pemeriksaan yang sama untuk sebelah mata pasien
6. Hasil pembacaan pada tabel evaluasi disimpulkan
178
NO LANGKAH KEGIATAN
179
6. Teteskan obat pada daerah sclera pasien, instruksikan pasien untuk melirik ke arah
temporal atau nasal
7. Instruksikan pasien untuk menutup mata beberapa saat kemudian berkedip agar obat
dapat menyebar ke permukaan bola mata
8. Bersihkan daerah sekitar kelopak mata.
180
MANUAL
KETERAMPILAN KLINIK & LABORATORIUM
Tim Penyusun :
dr. Idrianti Idrus , Sp.KK,
M.Kes dr. Airin R Nurdin,
Sp.KK, M.Kes
Prof. Dr. dr. Farida Tabri, Sp.KK(K)
Dr. dr. Khairuddin Djawad,
Sp.KK(K)
1
181
DAFTAR ISI
1. Kata pengantar:
2.Daftar penyusun
3.Tata tertib
Tujuan pembelajaran
To-do list
Deskripsi kegiatan
Strategi Pelatihan
Tujuan pembelajaran
To-do list
Deskripsi kegiatan
Strategi Pelatihan
2
182
KATA PENGANTAR
Dalam manual ini telah disertakan dasar-dasar teori yang bisa digunakan oleh
mahasiswa untuk menjadi dasar pembelajaran dan dikembangkan sesuai dengan
referensi yang ada.
Strategi dan Pelatihan yang akan dilakukan pada setiap latihan keterampilan dilengkapi
dengan alokasi waktu sehingga penggunaan waktu 90 menit untuk setiap latihan dapat
dipergunakan seefisien mungkin. Langkah kegiatan adalah merupakan tahap demi
tahap kegiatan yang tidak boleh dipertukarkan satu sama lain sehingga konsistensi dari
alur keterampilan tetap terjaga.
Dalam manual ini terdapat to-do list diharapkan mahasiswa dapat mempelajari
hal- hal yang telah terdaftar pada to-do list ini, sehingga ketika memasuki kelas sudah
mempunyai persiapan sebelumnya. Diharapkan untuk para instruktur bisa memberikan
responsi terhadap to-do list yang telah dipelajari untuk bisa mengetahui kesiapan
mahasiswa dalam kelas pada hari tersebut. Setiap manual dilengkapi dengan lembaran
kerja sehingga mahasiswa dapat mencatat kegiatan yang dilakukan selama latihan
keterampilan, instruktur diharapkan mengecek lembaran kerja ini pada akhir kegiatan.
Manual juga dilengkapi dengan tata tertib yang harus diikuti oleh mahasiswa pada
latihan ketrampilan ini.
Kumpulan manual ini masih jauh dari kesempurnaan, saran membangun sangat diperlukan.
Airin R Nurdin
3
183
TATA TERTIB
LATIHAN KETERAMPILAN KLINIK & LABORATORIUM
4
184
MANUAL 1
KETERAMPILAN ANAMNESIS
KELAINAN KULIT
DASAR-DASAR TEORI
PERJALANAN PENYAKIT
Penyakit kulit merupakan penyakit yang bisa terlihat oleh mata, sehingga beberapa
penyakit kulit mungkin bisa terdiagnosa secara cepat. Tetapi mengetahui riwayat
perjalanan penyakit seperti apakah ada bercak merah disertai demam pada pasien yang
menderita pruritus generalisata bisa menjadi kunci dalam menegakkan diagnosa.
Anamnesis
TO DO LIST :
1. Pelajari anatomi dan fisiologi dari 5. Pelajari cara menegakkan diagnosa pada
kulit dan kelamin normal penyakit kulit
5
185
Referensi :
TUJUAN PEMBELAJARAN
DESKRIPSI KEGIATAN
6
186
3.Praktek 20 menit 1. Mahasiswa dibagi menjadi berpasang pasangan, satu orang
bermain peran berperan sebagai dokter dan satu orang berperan sebagai
dengan umpan pasien
2. Yang berperan sebagai dokter melakukan kegiatan:
balik
menggali informasi mengenai kelainan kulit yang dialami
pasien, melakukan anamnesis terpimpin yang mengarah
diagnosis penyakit kulit, menginformasikan kepada pasien
mengenai tindakan selanjutnya yang akan dilakukan
berdasarkan hasil anamnesis yang telah dikumpulkan dan
membuat resume dari semua informasi yang didapat pada
anamnesis.
3. Bertukar peran
4. Mentor berkeliling di antara mahasiswa dan melakukan
supervisi
5. Mentor mengoreksi hal-hal yang belum sempurna
4. Curah 10 menit Mahasiswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya
pendapat dan tentang kegiatan yang dilakukan.
diskusi
Mentor memberikan feedback bila ada kesalahan yang dilakukan
oleh mahasiswa
7
187
11 Tanyakanlah apakah ada keluhan lain yang dirasakan oleh
pasien. Jika ada tanyakanlah:
8
187
- kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi mendadak atau
tidak.
- apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.
12 Tanyakanlah apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada
masa lalu.
8
188
CHECK LIST
1 2 3
NO. Kegiatan yang dilakukan
Persiapan pasien
1 Mempersilahkan pasien masuk, menyapa dengan penuh keakraban dan
senyum.
2 Memperkenalkan diri, menjabat tangan pasien dan menunjukkan sikap
empati
3 Memberikan informasi pada pasien/keluarga tentang anamnesis yang akan
dilakukan, tujuan dan manfaat anamnesis tersebut
4 Memberikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasian
informasi dari pasien
5 Menjelaskan hak hak pasien kepada pasien/keluarganya,misalnya hak
menolak untuk menjawab pertanyaan yang dianggap tidak perlu dijawab
Anamnesis umum
6 Menanyakan data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan pekerjaan
7 Menanyakan apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter (keluhan
utama).
Anamnesis terpimpin
8 Menanyakan kapan kelainan kulit tersebut mulai muncul.
Menggali lebih dalam tentang onset, durasi kelainan tersebut, apakah
hilang timbul atau menetap, bagaimana gambaran lesi awalnya, dimana
lokasi awalnya, bagaimana perkembangan lesinya serta distribusi lesi
selanjutnya.
9 Menanyakan apakah disertai rasa panas pada lesi atau tidak, adakah
demam atau tidak
10 Menanyakan apakah disertai gatal atau tidak.
11 Menanyakan apakah kelainan kulit ini ada hubungannya dengan
pekerjaan sebelum
12 Menanyakan apakah ada keluhan lain yang dirasakan oleh
pasien. Jika ada tanyakanlah:
- kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi mendadak atau
tidak.
- apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.
13 Menanyakan apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada
masa lalu.
9
189
MANUAL 2
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIS
1. PEMERIKSAAN KULIT
Pemeriksaan penderita seharusnya ditempat yang terang. Dan seharusnya selalu
memeriksa pasien mulai dari kepala hingga kaki. Inspeksi dan palpasi lesi atau
kelainan kulit yang ada (menggunakan kaca pembesar). Hal- hal pokok dalam
pemeriksaan dermatologis yang baik adalah:
1. Lokasi dan /atau distribusi dari kelainan yang ada : Hal ini bisa sangat membantu
: sebagai contoh, dermatitis seboroik mempunyai tempat predileksi pada
wajah, kepala, leher, dada, telinga, dan suprapubis; pada anak, eksema
cenderung terjadi di daerah fleksor; akne terutama pada wajah dan tubuh
bagian atas; karsinoma sel basal biasanya lebih sering muncul di kepala dan
leher.
2. Karakterisitik lesi individual:
Tipe : Karakteristik lesi : makula, papula, nodul, plak, vesikel, bulla, pustula,
ulkus, urtikaria (untuk mencari gambar gambar effloresensi lainnya, cobalah
cari di buku buku rujukan)
Karakteristik permukaan lesi : Skuama, Krusta, Hiperkeratosis, Eskoriasi,
Maserasi dan Likenifikasi.
10
190
Kista Ekskoriasi Ulkus
Referensi :
TO DO LIST :
1. Pelajari dan cari referensi lain 5. Pelajari cara inspeksi dan palpasi
tentang effloresensi primer dan untuk penyakit kulit
sekunder pada kulit
11
191
3. Pelajari histopatologi dan 7. Pelajari cara interpretasi hasil dari
patomekanisme terjadinya pemeriksaan Auspit’z dan Koebner.
effloresensi kulit.
TUJUAN PEMBELAJARAN
12
192
DESKRIPSI KEGIATAN
Status Dermatologi :
- lokasi kelainan kulit yang ditemukan :
generalisata,
regional, universal, bilateral,unilateral
- bentuk dan gambaran dari lesi yang
ditunjukkan :
teratur atau tidak teratur
- ukuran dan distribusi kelainan kulit :
miliar, lentikular,
gutata, numular, plakat
- effloresensi kulit yang terlihat : makula,
eritem,urtika,
vesikel, pustul, bula, abses, papul, nodus,
tumor,
sikatriks, erosi, ekskoriasi,ulkus,
skuama,krusta,likenifikasi
- tanda-tanda kekeringan dan pecah-pecah
pada kulit.
13
193
4. Curah 10 menit Mahasiswa diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapat dan pendapatnya tentang kegiatan yang dilakukan
diskusi
Persiapan pasien
1 Jelaskan pemeriksaan fisis yang akan dilakukan, tujuan dan manfaatnya
2 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan semua informasi
yang didapatkan pada pemeriksaan fisis tersebut.
3 Jelaskan hak-hak pasien atau keluarganya, misalnya tentang hak untuk menolak
untuk
diperiksa.
4 Persilahkan pasien membuka seluruh pakaian dan memastikan pasien mendapat
pencahayaan yang baik selama pemeriksaan fisis.
5 Cuci Tangan dan Berdiri di sebelah kanan pasien
14
194
18 - Posisikan kelainan kulit agar nampak dengan jelas oleh pemeriksa
- Self pracaution untuk pemeriksa perlu diperhatikan memakai handschoen
sesuai indikasi
- Raba dengan lembut permukaan lesi dengan ujung ujung jari pemeriksa
- Lakukan palpasi pada kelainan kulit/lesi pada pasien apakah ada nodul, kista
dan tumor, kemudian apakah permukaannya kasar (verukosus) atau lembut,
kedalaman lesi kulit apakah lesi terletak pada bagian epidermis,dermis dan
subkutis, bedakan pula krusta (serum yang mengering) dengan skuama,
apakah ada hiperkeratosis, eksokriasi, maserasi atau likenifikasi.
- Menilai kelainan kulit yang ada dan catat pada resume pasien
- Perhatikan slide atau video cara pemeriksaan tersebut; bandingkan dengan
apa yang kalian lakukan.
15
195
CHECK LIST
Persiapan pasien
1 Menjelaskan pemeriksaan fisis yang akan dilakukan, tujuan dan
manfaatnya
2 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan semua
informasi
3 Menjelaskan hak-hak pasien atau keluarganya, misalnya tentang hak untuk
menolak untuk diperiksa.
4 Persilahkan pasien membuka seluruh pakaian dan memastikan pasien
mendapat pencahayaan yang baik selama pemeriksaan fisis.
5 Cuci Tangan dan Berdiri di sebelah kanan pasien
Palpasi
7 Menilai jenis effloresensi yang tampak : eritema, hipopigmentasi,
hiperpigmentasi,nodul vesikel, bulla, makula papula, skuama, urtika,
ulkus,
krusta dengan menggunakan kaca pembesar atau senter.
8 Menilai permukaan kulit yang terlihat : kering atau basah.
9 Menilai bentuk dan gambaran kelainan kulit yang tampak pada pasien.
10 Menilai ukuran dan distribusi kelainan kulit yang terlihat pada pasien.
11 Mengulangi pemeriksaan fisis kelainan kulit dengan menggunakan Kaca
Pembesar (loop).
12 Mencatat kelainan kulit pada pasien dan lakukan dokumentasi
(pemotretan)
Pemeriksaan Auspit’z
13 - Periksalah lokasi pengambilan specimen dengan baik
- Ambillah kapas alkohol yang baru dan lakukanlah disinfeksi kulit
daerah sekitar lesi mulai dari arah luar ke dalam
- Keroklah kulit dengan objek glass dengan sudut 45º pada lesi
dengan skuama yang tebal
- Terjadi pengelupasan pada skuama lapis demi lapis
- Terjadi perlukaan dan tampak bintik-bintik perdarahan
- Tulislah hasil yang didapat dan lakukan pemotretan .
Pemeriksaan Koebner
DAFTAR PUSTAKA
17
197
18
198
BUKU PENUNTUN KERJA
KETERAMPILAN KLINIK
PEMERIKSAAN FISIS
TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
1
199
SKILL LAB SISTEM INDERA KHUSUS
PEMERIKSAAN FISIS TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
PENDAHULUAN
Pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorok adalah adalah suatu
pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan-kelainan pada
telinga, mulai dari telinga bagian luar, telinga tengah sampai telinga dalam yang dapat
memberikan gangguan fungsi pendengaran dan keseimbangan ;kelainan-kelainan pada
hidung dan tenggorok yang dapat memberikan gangguan penghidu dan pengecapan.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi) dan melakukan
tes-tes untuk melihat sifat dan jenis gangguan pendengaran dan keseimbangan serta
gangguan penghidu dan pengecapan
INDIKASI
Untuk mengetahui kelainan-kelainan pada telinga, hidung dan tenggorok yang
memberikan gangguan pendengaran, keseimbangan, penghidu dan pengecapan
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Umum:
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorokan serta
mampu melakukan tes fungsi pendengaran,keseimbangan, penghidu dan pengecapan
secara baik dan benar
Tujuan Khusus:
1. Mahasiswa mampu mengenal dan menjelaskan alat dan bahan yang akan
digunakan dalam pemeriksaan THT
2. Mahasiswa mampu mempersiapkan penderita dalam rangka persiapan
pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorok
3. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan pemeriksaan fisis telinga, hidung dan
tenggorok tes fungsi pendengaran dan keseimbangan .
4. Mahasiswa dapat melakukan tes-tes fungsi pendengaran , keseimbangan,
penghidu dan pengecapan.
5. Mahasiswa dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan fisis telinga, hidung dan
tenggorok serta hasil tes fungsi pendengaran ,keseimbangan, penghidu dan
pengecapan
6. Mahasiswa mampu menentukan apakah kelainan-kelainan yang ditemukan
merupakan kelainan kongenital, keganasan, infeksi , trauma atau kelainan
degeneratif.
METODE PEMBELAJARAN
1. Demonstrasi dan alih ketrampilan
2. Diskusi
3. Daftar tilik dengan sistem skor
2
200
DESKRIPSI KEGIATAN PEMERIKSAAN TELINGA, HIDUNG DAN
TENGGOROK
3
201
PENUNTUN BELAJAR PEMERIKSAAN FISIS TELINGA, HIDUNG DAN
TENGGOROK
Sebelum melakukan pemeriksaan THT ada beberapa hal yang harus dipersiapkan antara
lain :
1. Persiapan alat dan bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan dalam pemeriksaan THT antara lain :
- Lampu kepala
- Spekulum telinga dengan berbagai ukuran
- Aplikator kapas
- Pinset bayonet dan pinset lurus
- Cerumen hook dan cerumen spoon
- Otopneumoscope
- Speculum hidung dengan berbagai ukuran
- Cermin laring dan nasofaring dengan berbagai ukuran
- Spatel lidah
- Seperangkat garpu tala
- Kapas dan Kasa
- Larutan Efedrin 1% dan 2%
- Larutan lidokain
- Alkohol 70%
- Betadine
- AgNo3
- Spoit 10 cc untuk spooling telinga
- Air hangat yang disesuaikan dengan suhu tubuh
- Bunsen
PEMERIKSAAN TELINGA
Mula-mula dilakukan inspeksi telinga luar, perhatikan apakah ada kelainan bentuk
telinga, tanda-tanda peradangan, tumor dan secret yang keluar dari liang telinga.
Pengamatan dilakukan pada telinga bagian depan dan belakang.
Setelah mengamati bagian-bagian telinga, lakukan palpasi pada telinga,apakah ada nyeri
tekan, nyeri tarik atau tanda-tanda pembesaran kelenjar pre dan post aurikuler.
Pemeriksaan auskultasi pada telinga dengan menggunakan stetoskop dapat dilakukan
pada kasus-kasus tertentu misalnya pada penderita dengan keluhan tinnitus objektif
Pemeriksaan liang telinga dan membrane timpani dilakukan dengan memposisikan liang
telinga sedemikian rupa agar diperoleh aksis liang telinga yang sejajar dengan arah
pandang mata sehingga keseluruhan liang telinga sampai permukaan membrane timpani
4
202
dapat terlihat. Posisi ini dapat diperoleh dengan menjepit daun telinga dengan
menggunakan ibu jari dan jari tengah dan menariknya kearah superior-dorso-lateral dan
mendorong tragus ke anterior dengan menggunakan jari telunjuk. Cara ini dilakukan
dengan tangan kanan bila akan memeriksa telinga kiri dan sebaliknya digunakan tangan
kiri bila akan memeriksa telinga kanan. Pada kasus-kasus dimana kartilago daun telinga
agak kaku atau kemiringan liang telinga terlalu ekstrim dapat digunakan bantuan
speculum telinga yang disesuaikan dengan besarnya diameter liang telinga. Spekulum
telinga dipegang dengan menggunakan tangan yang bebas.
Amati liang telinga dengan seksama apakah ada stenosis atau atresia meatal, obstruksi
yang disebabkan oleh secret, jaringan ikat, benda asing, serumen obsturan, polip,
jaringan granulasi, edema atau furunkel. Semua sumbatan ini sebaiknya disingkirkan
agar membrane timpani dapat terlihat jelas. Diamati pula dinding liang telinga ada atau
tidak laserasi
Liang telinga dibersihkan dari secret dari sekret dengan menggunakan aplikator kapas,
bilas telinga atau dengan suction.
Cara membuat aplikator kapas yaitu dengan mengambil kapas secukupnya kemudian
aplikator diletakkan ditengah-tengah kapas aturlah letak aplikator sedemikian rupa
sehingga ujung aplikator terletak kira-kira pada pertengahan kapas, kapas kemudian
dilipat dua sehingga menyelimuti ujung aplikator dan dijepit dengan ibu jari dan jari
telunjuk tangan kiri. Selanjutnya pangkal aplikator diputar searah dengan putaran jarum
jam dengan menggunakan tangan kanan. Setelah ujung aplikator diselimuti kapas
lakukan pengecekan apakah ujung aplikator yang tajam tidak melampaui ujung kapas.
Selanjutnya kapas aplikator dilewatkan diatas api Bunsen.. Bila secret terlalu profus
dapat digunakan bilasan air hangat yang disesuikan dengan suhu tubuh. Bilasan telinga
dilakukan dengan menyemprotkan air dari spoit langsung ke dalam telinga. Ujung spoit
diarahkan ke dinding atas meatus sehingga diharapkan secret / serumen akan dikeluarkan
oleh air bilasan yang balik kembali.
Pemeriksaan rongga hidung dilakukan melalui lubang hidung yang disebut dengan
Rhinoskopi anterior dan yang melalui rongga mulut dengan menggunakan cermin
nasofaring yang disebut dengan Rhinoskopi posterior
Rhinoskopi anterior
RA dilakukan dengan menggunakan speculum hidung yang disesuaikan dengan
besarnya lubang hidung. Spekulum hidung dipegang dengan tangan yang dominant.
Spekulum digenggam sedemikian rupa sehingga tangkai bawah dapat digerakkan bebas
5
203
dengan menggunakan jari tengah, jari manis dan jari kelingking. Jari telunjuk digunakan
sebagai fiksasi disekitar hidung. Lidah speculum dimasukkan dengan hati-hati dan
dalam keadaan tertutup ke dalam rongga hidung. Di dalam rongga hidung lidah
speculum dibuka. Jangan memasukkan lidah speculum terlalu dalam atau membuka
lidah speculum terlalu lebar. Pada saat mengeluarkan lidah speculum dari rongga hidung
, lidah speculum dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat untuk menghindari terjepitnya bulu-
bulu hidung.
Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari dasar rongga hidung,
konka-konka, meatus dan septum nasi. Perhatikan warna dan permukaan mukosa rongga
hidung, ada tidaknya massa , benda asing dan secret. Struktur yang terlihat pertama kali
adalah konka inferior . Bila ingin melihat konka medius dan superior pasien diminta
untuk tengadahkan kepala.
Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum Molle yaitu pergerakan
palatum molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf “ i “. Pada waktu
melakukan penilaian fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar
dengan dasar rongga hidung bagian belakang. Pandangan mata tertuju pada daerah
nasofaring sambil mengamati turun naiknya palatum molle pada saat pasien
mengucapkan huruf “ i ” . Fenomena Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di
dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat
kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini.
Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon
kapas efedrin yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga hidung
untuk mengurangi edema mukosa.
Rhinoskopi posterior
Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, 1/3 dorsal lidah
ditekan dengan menggunakan spatel lidah. Jangan melakukan penekan yang terlalu
keras pada lidah atau memasukkan spatel terlalu jauh hingga mengenai dinding faring
oleh karena hal ini dapat merangsang refleks muntah.
Cermin nasofaring yang sebelumnya telah dilidah apikan, dimasukkan ke belakang
rongga mulut dengan permukaan cermin menghadap ke atas. Diusahakan agar cermin
tidak menyentung dinding dorsal faring.. Perhatikan struktur rongga nasofaring yang
terlihat pada cermin.
Amati septum nasi bagian belakang, ujung belakang konka inferior, medius dan
superior, adenoid (pada anak), ada tidak secret yang mengalir melalui meatus.
Perhatikan pula struktur lateral rongga nasofaring : ostium tuba, torus tubarius, fossa
Rossenmulleri
Selama melakukan pemeriksaan pasien diminta tenang dan tetap bernapas melalui
hidung. Pada penderita yang sangat sensitif, dapat disemprotkan anestesi lokal ke daerah
faring sebelum dilakukan pemeriksaan.
PEMERIKSAAN FARING
Penderita diinstruksikan membuka mulut, perhatikan struktur di dalam cavum oris mulai
dari gigi geligi, palatum, lidah, bukkal. Lihat ada tidaknya kelainan berupa,
pembengkakan, hiperemis, massa, atau kelainan congenital.
Lakukan penekanan pada lidah secara lembut dengan spatel lidah. Perhatikan struktur
arkus anterior dan posterior, tonsil, dinding dorsal faring. Deskripsikan kelainan-
kelainan yang tampak .
Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada daerah mukosa bukkal, dasar
lidah dan daerah palatum untuk menilai adanya kelainan-kelainan dalam rongga mulut
6
204
PEMERIKSAAN LARINGOSKOPI INDIREK
Sambil membuka mulut, instruksikan penderita untuk menjulurkan lidah sejauh
mungkin ke depan . Setelah dibalut dengan kasa steril lidah kemudian difiksasi diantara
ibu jari dan jari tengah . Pasien diinstruksikan untuk bernafas secara normal
Kemudian masukkan cermin laring yang sesuai yang sebelumnya telah dilidah apikan ke
dalam orofaring . Arahkan cermin laring ke daerah hipofaring sedemikian rupa hingga
tampak struktur di daerah hipofaring yaitu : epiglottis, valekula, fossa piriformis, plika
ariepiglotikka, aritaenoid, plika ventrikularis dan plika vocalis. Penilaian mobilitas plika
vocalis dengan menyuruh penderita mengucapkan huruf i berulang kali.
Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang jelas misalnya
anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar harus diulangi dengan suara
keras. Kemudian dilakukan test sebagai berikut :
a. Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata bisyllabic. Bila tidak
menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari penderita) dan test ini dimulai lagi.
Bila masih belum menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian seterusnya
sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-kata yang dibisikkan.
Jarak dimana penderita dapat menyahut 8 dari 10 kata diucapkan di sebut jarak
pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai ditemukan
satu jarak pendengaran.
Evaluasi test.
a. 6 meter - normal
b. 5 meter - dalam batas normal
c. 4 meter - tuli ringan
d. 3 – 2 meter - tuli sedang
e. 1 meter atau kurang - tuli berat
Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara kasar derajat
ketulian (kuantitas). Bila sudah berpengalaman test suara bisik dapat pula secara kasar
memeriksa type ketulian misalnya :
a. Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w (meja dikatakan becak,
gajah dikatakan kaca dan lain-lain).
b. Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang umumnya berfrekwensi tinggi
seperti s, sy, c dan lain-lain (cicak dikatakan tidak, kaca dikatakan gajah dan lain-
lain).
7
205
Test Garpu Tala
Test ini menggunakan seperangkat garpu tala yang terdiri dari 5 garpu tala dari nada c
dengan frekwensi 2048 Hz,1024 Hz, 512Hz,256 Hz dan 128 Hz. Keuntungan test garpu
tala ialah dapat diperoleh dengan cepat gambaran keadaan pendengaran
penderita.Kekurangannya ialah tidak dapat ditentukan besarnya intensitas bunyi karena
tergantung cara menyentuhkan garpu tala yaitu makin keras sentuhan garpu tala makin
keras pula intensitas yang didengar. Sentuhan garpu tala harus lunak tetapi masih dapat
didengar oleh telinga normal. Di poliklinik dapat dilakukan empat macam test garpu tala
yaitu :
a. Test garis pendengaran
b. Tets Weber
c. Tets Rinne
d. Test Schwabach
Cara pemeriksaan.
Semua garpu tala satu demi satu disentuh secara lunak dan diletakkan kira-kira 2,5 cm di
depan telinga penderita dengan kedua kakinya berada pada garis penghubung meatus
acusticus externus kanan dan kiri. Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan
bila mendengarkan bunyi.Bila penderita mendengar, diberi tanda (+) pada frekwensi
yang bersangkutan dan bila tidak mendengar diberi tanda (-) pada frekwensi yang
bersangkutan.
Contoh hasil pemeriksaan Garis pendengaran :
Ka Frekwensi Ki
- 2.048 +
- 1.024 +
- 512 +
- 256 -
+ 128 -
telinga kanan tidak mendengar frekwensi 2. 048 Hz dan 1. 024Hz sedang frekwensi-
frekwensi lain dapat didengar, telinga kiri tidak mendengar frekwensi 128 Hz dan 256
Hz, sedangkan frekwensi-frekwensi lain dapat didengar.
Evaluasi test garis pendengaran. Pada contoh di atas telinga kanan batas atasnya
menurun berarti telinga kanan menderita tuli sensorineural. Pada telinga kiri batas
bawahnya meningkat berarti telinga kiri menderita tuli konduktif.
Test Weber.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Telinga
normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh diletakkan
pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakah mendengar atau
tidak. Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga mana didengar lebih keras.
Bila terdengar lebih keras di kanan disebut lateralisasi ke kanan.
b. Evaluasi Tets Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada beberapa
kemungkinan
1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural
3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural
4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
5. Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena tidak dapat
menegakkan diagnosa secara pasti.
Test Rinne.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu
telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang. Juga
pada tuli sensorneural hantaran udara lebih panjang daripada hantaran tulang. Dilain
pihak pada tuli konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara.
8
206
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunak pada tangan
dan pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum dari telinga yang akan
diperiksa. Kepada penderita ditanyakan apakah mendengar dan sekaligus di
instruksikan agar mengangkat tangan bila sudah tidak mendengar. Bila penderita
mengangkat tangan garpu tala dipindahkan hingga ujung bergetar berada kira-kira 3
cm di depan meatus akustikus eksternus dari telinga yang diperiksa. Bila penderita
masih mendengar dikatakan Rinne (+). Bila tidak mendengar dikatakan Rinne (-)
b. Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli sensorineural. Rinne negatif
berarti tuli konduktif.
c. Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-hati dengan apa
yang dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi pada tuli sensorineural yang
unilateral dan berat.
Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum getarannya di tangkap
oleh telinga yang baik dan tidak di test (cross hearing). Kemudian setelah garpu tala
diletakkan di depan meatus acusticus externus getaran tidak terdengar lagi sehingga
dikatakan Rinne negatif
+R-
Test Schwabach.
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita dengan hantaran
tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus normal.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh secara lunak
diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum penderita. Kemudian kepada
penderita ditanyakan apakah mendengar, sesudah itu sekaligus diinstruksikan agar
mengangkat tangannya bila sudah tidak mendengar dengungan. Bila penderita
mengangkat tangan garpu tala segera dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa.
Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan schwabach memendek
atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila pemeriksa tidak mendengar harus
dilakukan cross yaitu garpu tala mula-mula diletakkan pada planum mastoideum
pemeriksa kemudian bila sudah tidak mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan
ke planum mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar
dengungan.
Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal dan bila masih
mendengar dikatakan schwabach memanjang.
b. Evaluasi test schwabach
1. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli sensory neural
2. Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif
3. Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak mendengar
dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti telinga penderita normal
juga.
PEMERIKSAAN VESTIBULER
Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi keseimbangan.
9
207
memeriksa visus mata), tandai pada garis kemampuan membaca maksimal
Goyangkan kepala ke kanan dan ke kiri pada kecepatan 2 Hz (seperti tes
headshake) sambil pasien diminta membaca chart tadi
Kehilangan kemampuan membaca lebih dari 2 garis menandakan adanya
hipofungsi vestibuler bilateral
TES ROMBERG
Tes screening untuk keseimbangan berdiri
Pasien diminta untuk berdiri dengan kaki sejajar, kedua tangan menyilang
di dada
Bandingkan pada saat mata terbuka dan mata tertutup masing-masing
selama 30 detik
TES STEPPING
Pasien diminta untuk berdiri jalan ditempat dengan kedua tangan dijulur
kedepan dada sambil menutup mata.
Pasien dalam posisi baring dengan kepala dielevasi 30 derajat di atas bidang horizontal.
Air steril sebanyak 20 cc dengan suhu 20 derajat dimasukkan ke dalam liang telinga
selama 5 detik. Setelah itu penderita menghadap ke atas dan diinstruksikan untuk tetap
membuka mata selama tes dilakukan. Nistagmus yang terjadi diamati. Catat jumlah,
lama, arah dan keluhan yang menyertai nistagmus (mis: vertigo, mual, muntah dll).
Normal akan didapatkan nistagmus selama lebih dari 2 menit dan selisih waktu
nistagmus pada kedua labirin tidak lebih dari 20 detik. Tes ini bermakna bila
diidapatkan nistagmus kurang dari 90 detik. Hal ini didapatkan pada moderat
hipoexcitability (canal paresis) labirin. Bila dengan suhu 20 derajat tidak didapatkan
respon maka tes ini dilanjutkan dengan air suhu 10 derajat atau 0 derajat. Bila pada suhu
ini tidak didapatkan respon, ini menandakan adanya komplit kanal paresis atau kanal
paresis berat.
Untuk rasa manis letakkan pada ujung lidah, rasa asam pada kedua tepi lidah, rasa asin
pada ujung dan tepi lidah, rasa pahit pada belakang lidah. Tes dilakukan satu persatu
kemudian di catat berapa waktu yang dibutuhkan pada saat meletakkan bahan tes sampai
terjadi sensasi, catat sensasi yang dirasakan oleh penderita. Sebaiknya penderita disuruh
berkumur-kumur setiap selesai satu tes sebelum dilanjutkan ke tes berikutnya.
Nilai normal diperoleh bila penderita dapat merasakan sensasi rasa manis 50 detik
10
208
setelah diletakkan dan mencapai puncaknya dalam waktu 2 menit. Untuk sensasi rasa
asin sensasi dirasakan pada saat substansi diletakkan dan menurun dalam waktu 2 menit.
Untuk sensasi asam dan pahit nilai normal didapatkan bila penderita merasakan sensasi
tersebut dalam 2 menit. Dikatakan Hipogeusia bila sensasi dirasakan setelah 2 menit dan
Ageusia bila penderita tidak merasakan apa-apa.
11
209
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN FISIS THT
k. Rinoskopi posterior:
Melakukan pemilihan cermin nasofaring yang tepat
12
210
Menyuruh penderita membuka mulut
Melakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
Melidah apikan cermin nasofaring sebelum dimasukkan ke dalam
orofaring
Memposisikan cermin nasofaring di dalam orofaring
Menilai struktur di dalam nasofaring
Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
l. Faringoskopi
Penderita diinstruksikan membuka mulut
Lakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
Tampak memperhatikan keadaan cavum oris sampai orofaring
Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada daerah
mukosa bukkal, dasar lidah dan daerah palatum untuk menilai
adanya kelainan-kelainan dalam rongga mulut
PEMERIKSAAN LARING FARING
Laringoskopi indirek
Melakukan pemilihan cermin laring yang tepat
Instruksikan penderita untuk membuka mulut dan menjulurkan
lidah sejauh
Pegang lidah dengan kasa steril . Pasien diinstruksikan untuk
bernafas secara normal
Masukkan cermin laring yang telah dilidah apikan ke dalam
orofaring .
Posisikan cermin laring sedemikian rupa hingga tampak struktur
di daerah hipofaring
Menilai mobilitas plika vocalis dengan menyuruh penderita
mengucapkan huruf i berulang kali
Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
Angkat kedua tangan dari dinding perut ibu kemudian ambil
stetoskop monoaural dengan tangan kiri, kemudian tempelkan
ujungnya pada dinding perut ibu yang sesuai dengan posisi
punggung bayi (bagian yang memanjang dan rata).
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
LANGKAH KLINIK KASUS
A. TES BISIK
Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk
pemeriksaan
Mengatur posisi duduk dengan pasien
Dengan menggunakan sisa udara ekspirasi pemeriksa
membisikkan beberapa kata bisyllabic pada jarak 6 meter
Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari
penderita) dan test ini dimulai lagi. Bila masih belum
menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian seterusnya
sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-
kata yang dibisikkan.
Catat hasil yang diperoleh dan interpretasinya.
13
211
14
211
Lakukan mulai dari gapu tala frekwensi rendah sampai tinggi
Tes dilakukan pada kedua telinga
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
5. Tes Rinne R
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
Letakkan pada planum mastoid.
Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila sudah tidak
mendengar bunyi dari garpu tala atau sebaliknya
Pindahkan garpu tala ke depan telinga yang sedang diperiksa bila
penderita sudah tidak mendengar
Tes dilakukan pada kedua telinga
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
6. Tes Weber
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
Letakkan pada dahi atau vertex
Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan telinga mana yang
lebih jelas mendengar bunyi
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
7. Tes Schwabach
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
Letakkan pada planum mastoid.
Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila sudah tidak
mendengar bunyi dari garpu tala atau sebaliknya
Pindahkan garpu tala ke planum mastoid pemeriksa bila penderita
sudah tidak mendengar
Tes dilakukan pada kedua telinga
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
8. Tes Bing
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan lembut.
Letakkan pada planum mastoid
Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan mana yang lebih
jelas mendengar bunyi pada saat liang telinga tertutup atau terbuka
Tes ini untuk memastikan gangguan konduktif
14
212
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
LANGKAH KLINIK KASUS
TES KESEIMBANGAN
TES HEADSHAKE NYSTAGMUS
TES ROMBERG
Pasien diminta untuk berdiri dengan kaki sejajar, kedua
tangan menyilang di dada
Bandingkan pada saat mata terbuka dan mata tertutup
masing-masing selama 30 detik
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
15
213
PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN PENGHIDU DAN PENGECAPAN
LANGKAH KLINIK KASUS
TES PENGHIDU
Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk
pemeriksaan
Mengatur posisi duduk dengan pasien
Penderita diinstruksikan untuk menutup mata dan lubang
hidung yang tidak akan di tes.
Letakkan bahan tes di depan mid sternum, kira-kira 20-30 cm
dari lubang hidung yang akan diperiksa.
Perlahan-lahan gerakkan bahan tes dari bawah ke atas menuju
lubang hidung yang akan diperiksa
Tanyakan kepada penderita sensasi bau apa yang dihidu
Catat hasil dan interpretasi
TES PENGECAPAN
Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Mempersiapkan alat yang akan digunakan untuk pemeriksaan
Mengatur posisi duduk dengan pasien
Penderita diinstruksikan menjulurkan lidah sementara hidung
ditutup.
Letakkan bahan tes sebagai berikut : untuk rasa manis letakkan
pada ujung lidah, rasa asam pada kedua tepi lidah, rasa asin
pada ujung dan tepi lidah, rasa pahit pada belakang lidah.
Catat waktu yang dibutuhkan pada saat meletakkan bahan tes
sampai terjadi sensasi, catat sensasi yang dirasakan oleh
penderita.
Penderita disuruh berkumur-kumur setiap selesai satu tes
sebelum dilanjutkan ke tes berikutnya
16
214
BUKU PANDUAN KERJA
KETERAMPILAN KLINIK
PEMERIKSAAN PALPASI KELENJAR LIMFA LEHER
Disusun oleh
dr. Freddy Kuhuwael, Sp.THT
Diedit oleh
dr. Baedah Madjid, Sp.MK
Fakultas Kedokteran
Universitas
Hasanuddin
2020
17
215
PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN PALPASI
KELENJAR LIMFA LEHER
PENDAHULUAN
Palpasi kelenjar leher adalah bagian dari pemeriksaan fisis yang digunakan untuk
mengetahui sifat-sifat dari suatu massa yang terdapat pada leher dengan jalan melakukan
perabaan dengan saksama. Pemeriksaan ini dilakukan setelah inspeksi. Dengan
melakukan palpasi yang benar maka dapat diketahui letak dari pembesaran
kelenjar/massa, bagaimana konsistensinya lunak, fluktuasi, kenyal atau padat; berapa
ukurannya; melekat dengan struktur disekitarnya, apakah nyeri atau tidak; apakah tunggal
atau multiple.
INDIKASI
Untuk mengetahui sifat-sifat dari suatu pembesaran kelenjar limfa massa pada leher
yang mana sangat berhubungan dengan suatu tumor ganas maupun jinak atau suatu
infeksi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu melakukan palpasi kelenjar atau massa pada leher dengan benar dan
tepat.
SASARAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu mempersiapkan penderita dalam rangka pemeriksaan palpasi
kelenjar limfa leher.
2. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan palpasi kelenjar limfa dengan benar.
3. Mahasiswa mampu menentukan sifat-sifat pembesaran kelenjar limfe leher.
4. Mahasiswa dapat menginterpretasi pembesaran kelenjar limfa leher.
5. Mahasiswa mampu menentukan apakah pemebesaran kelenjar leher lateral
merupakan keganasan, infeksi akut, tbc kelenjar atau kelainan congenital
MEDIA DAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN
1. Buku panduan skill lab
2. Daftar panduan skill lab
3. Gambar/ slide cara palpasi kelenjar limfe leher
4. Alat tulis menulis / spidol
5. Foto-foto kasus pembesaran kelenjar limf leher
METODE PEMBELAJARAN
1. Demonstrasi dan alih ketrampilan
2. Diskusi
3. Daftar tilik dengan sistem skor
10
216
DESKRIPSI KEGIATAN
11
217
PENUNTUN PEMBELAJARAN
PALPASI KELENJAR LIMFA
LEHER SISTEM INDERA
KHUSUS
( Digunakan oleh Peserta
)
Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan menggunakan kriteria sebagai berikut :
1. Perlu perbaikan : langkah-langkah tidak dilakukan dengan benar
dan tidak sesuai urutannya atau ada langkah yang dihilangkan
2. Mampu : Langkah-langkah dilakukan dengan benar dan sesuai dengan
urutannya, tetapi tidak efisien
3. Mahir : Langkah-langkah dilakukan benar, sesuai dengan urutannya
dan efisien
TS Tidak Sesuai : Langkah tidak perlu dikerjakan karena tidak sesuai dengan
keadaan
12
218
ujung jari-jari meraba di bawah tepi mandibula. Kepala dapat
dimiringkan dari satu sisi kesisi yang lain sehingga palpasi dapat
dilakukan pada kelenjar yang superficial maupun yang
profunda.Dapat juga dilakukan palpasi bimanual dari luar dan
dalam
mulut. Gambar 2,3,4.
10. Palpasi rantai kelenjar jugularis dapat dimulai di uperficial
dengan melakukan penekanan ringan dengan menggerakan jari-jari
sepanjang m.sternocleido mastoideus. Pada palpasi yang lebih
dalam, ibu jari ditekan di bawah m. Sternocleido mastoideus pada
kedua sisi sehingga dapat dipalpasi kelenjar yang terdapat di sub
atau retro dari muskulus ini. Bila pemeriksaan ini negatip atau
meragukan, maka pemeriksa harus berdiri dibelakang penderita
kemudian ibu jari digunakan untuk menggeser m. Sternocleido
mastoideus ke depan sementara jari yang lain meraba pada tepi
anterior muskulus tersebut. Perabaan secara bilateral dan simultan
selalu dianjurkan untuk menilai perbedaan antara kedua sisi. Palpasi
kelenjar leher ini agak sulit pada orang gemuk, leher pendek dan
leher yang berotot, terutama bila kelenjarnya masih kecil.
Gambar 5,6,7.
11. Palpasi kelenjar limfa asesorius dilakukan dengan menekan ibu jari
pada tepi posterior m. trapezius ke depan dan jari-jari ditempatkan pada
permukaan anterior muskulus ini. Gambar 8
12. Palpasi kelenjar limfa supraklavikular dapat dilakukan dengan
duduk di depan atau berdiri dibelakang penderita dimana jari-jari
digunakan untuk palpasi fosa supraklavikular. Gambar 9,10.
B. SELESAI PEMERIKSAAN 1 2 3
13. Jelaskanlah hasil pemeriksaan kepada penderita
14.. Ucapkanlah terima kasih dan salam ke pada penderita
15. Lakukanlah perpisahan dengan klien sambil memberinya harapan.
16.. Cucilah tangan dengan air dan sabun cair
13
219
14
220
Fig. 5.8 Bimanual palpation of the
submental region. This allows
comparison between the two sides
Gambar 2 Gambar 3
15
221
/
Fig. 5.10 Palpation of the
jugulodigastric chain
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
16
222
Gambar 9 Gambar10
223