Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH BIOETIK

HAM : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN

OLEH :

ARNISA AMALIA

C011191239

KELAS B

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

PENDIDIKAN DOKTER UMUM

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah hak-hak asasi manusia dalam beberapa bahasa asing dikenal dengan
sebutan sebagai berikut : droit de l’home (Perancis) yang berarti hak manusia,
human right (Inggris) atau mensen rechten (Belanda), yang dalam bahasa
Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia.

Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak kodrati yang
secara inheren melekat dalam setiap diri manusia sejak lahir. Pengertian ini
mengandung arti bahwa HAM merupakan karunia Alloh Yang Maha Pencipta
kepada hambanya. Mengingat HAM itu adalah karunia Alloh, maka tidak ada badan
apapun yang dapat mencabut hak itu dari tangan pemiliknya. Demikian pula tidak
ada seorangpun diperkenankan untuk merampasnya, serta tidak ada kekuasaan
apapun yang boleh membelenggunya.

Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memerlukan legitimasi


yuridis untuk pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum nasional maupun
internasional. Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional
terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia. Gagasan HAM yang
bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang paling hakiki dalam
kehidupan manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupan manusia
bersifat sekuler dan positivistik, maka eksistensi HAM memerlukan landasan yuridis
untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia.

Dalam perspektif sejarah hukum, setiap ada penyalahgunaan kekuasaan


yang berimplikasi terhadap perampasan, perkosaan dan pemanipulasian HAM oleh
manusia satu kepada manusia yang lain atau oleh penguasa kepada rakyatnya
akan selalu muncul krisis kemanusiaan. Bahkan kemudian memunculkan formula-
formula atau dokumen-dokumen resmi hak-hak asasi manusia atau sumber hukum
yang memberi hak bagi bagi rakyat. Misalnya dokumen Magna Charta di Inggris
tajhun 1215 yang memberikan hak-hak bagi rakyat dan sekaligus membatasi
kekuasaan raja. Kemudian dokumen The Virginia Bill of Rights dan declarations of
Independence yang melahirkan kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776, yang
berisi jaminan kebebasan Individu terhadap kekuasaan negara. Begitu pula
dokumen Declarations des Droites L’Home et Du Cituyen di Prancis tahun 1789
yang berprinsip bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik dan karenanya harus
hidup bebas dan bersamaan kedudukannya dalam hukum. Di Rusia tahun 1918,
juga muncul suatu dokumen yang menyebut hak-hak dasar sosial, tetapi hak-hak
dasar individu tidak disebut sama sekali. Selanjutnya dokumen Declarations of
Human Rights tahun 1948 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang menjamin hak-hak sipil, hak-hak sosial dan hak-hak kebebasan politik.

Secara filosofis berbagai dokumen hak-hak asasi manusia tersebut terlihat


adanya perbedaan muatan nilai dan orientasi. Di Inggris menekankan pada
pembatasan kekuasaan raja, di Amerika Serikat mengutamakan kebebasan
individu, di Perancis memprioritaskan egalitarianisme persamaan kedudukan
hukum, di Rusia tidak diperkenalkan hak individu tetapi hanya mengakui hak sosial.
Sementara itu Perserikatan Bangsa-Bangsa merangkum berbagai nilai dan
orientasi karena Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia di badan dunia ini sebagai
kesepakatan berbagai negara setelah mengalami revolusi Perang Dunia II, yang
menelorkan pengakuan prinsip kebebasan perseorangan, kekuasaan hukum dan
demokrasi sebagaimana diformulasikan dalam preambule Atlantik Charter 1945.

Dokumen dan kesaksian sejarah tersebut menunjukkan bahwa setiap terjadi


krisis hak asasi manusia selalu muncul revolusi atau gejolak sosial. Seperti halnya
krisis hak asasi manusia di negara-negara komunis tahun 1990 yang
menghancurkan tembok Berlin dan penghancuran patung-patung tokoh mereka
yang sebelumnya dipuja-puja. Rangkaian kesaksian sejarah tersebut menunjukkan
bahwa hak asasi manusia merupakan konstitusi kehidupan, karena hak asasi
manusia merupakan  prasarat yang harus ada dalam setiap kehidupan manusia
dan merupakan bekal bagi setiap insan untuk dapat hidup sesuai fitrah
kemanusiaannya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hak Asasi Manusia (HAM)

1. Definisi HAM

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi
manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan, mencangkup hak hidup,
hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu. Ini berarti bahwa
sebagai anugerah dari tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat
dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat
dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu
terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai
kemanusiaan. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dipunyai oleh
semua orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi.1 Hak asasi manusia ini
selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental dan penting.
Oleh karena itu, banyak pendapat yang mengatakan bahwa hak asasi manusia
itu adalah “kekuasaan dan keamanan” yang dimiliki oleh setiap individu dan
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.

Walau demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia


dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain.
Memperjuangkan hak sendiri sampai-sampai mengabaikan hak orang lain, ini
merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak
asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain.

Definisi hak asasi manusia menurut para ahli, antara lain :

John Locke menyatakan macam-macam Hak Asasi Manusia yang pokok


adalah :

a. Hak hidup (the rights to life);


b. Hak kemerdekaan (the rights of liberty);
c. Hak milik (the rights to property).

Thomas Hobbes menyatakan bahwa satu-satunya Hak Asasi Manusia adalah


hak hidup.

2. Macam-Macam HAM

a. Hak asasi pribadi(personal right) Contohnya :


 Hak mengemukakan pendapat
 Hak memeluk agama
 Hak beribadah
 Hak kebebasan berorganisasi/berserikat
b. Hak asasi ekonomi (property right) Contohnya :
 Hak memiliki sesuatu
 Hak membeli dan menjual
 Hak mengadakn suatu perjanjian/kontrak
 Hak memilih pekerjaan
c. Hak asasi untuk mendapatkan pengayoman dan perlakuan yang sama dalam
keadilan hukum dan pemerintahan(right of legal equality) Contohnya :
 Hak persamaan hukum
 Hak asas praduga tak bersalah
 Hak untuk diakui sebagai WNI
 Hak ikut serta dalam pemerintahan
 Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu
 Hak mendirikan partai politik
d. Hak asasi politik(political right) Hak untuk diakui sebagai WNI Hak ikut serta
dalam pemerintahan Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu Hak
mendirikan partai politik
e. Hak asasi sosial dan budaya(social and cultural right) Hak untuk memilih
pendidikan Hak mendapat pelayana kesehatan Hak mengembangkan
kebudayaan
f. Hak asasi untuk mendapat perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan
hukum(procedural right)

B. Sejarah HAM di Dunia


Sejarah HAM di dunia dimulai dari daratan Ratu Elizabeth, Inggris Raya.
Selanjutnya, HAM yang memang menjadi hak dasar manusia, akhirnya dengan
mudah diakui dan ditegakkan di seluruh negara. Perlahan tapi pasti, tidak ada lagi
sistem pemerintahan di dunia yang menyalahi keutuhan HAM. latar belakang
pengakuan HAM di dunia banyak dipicu oleh kondisi bermasyarakat di beberapa
negara besar.

1. Inggris

Magna Charta Liberium

Inggris mengeluarkan Magna Charta di tahun 1215 Masehi. Di zaman itu,


Inggris dengan banyak negara lain di dunia masih terbagi atas kerajaan-kerajaan
besar. Di Inggris, diterapkan suatu aturan yang membuat raja kebal terhadap
hukum. Jadi, raja berhak membuat hukum namun tidak terikat dengan hukum
tersebut. Raja Inggris berhak menghukum namun tidak boleh dihukum. Pada
akhirnya, apapun keputusan Raja Inggris, beliau selalu benar dan harus ditaati.

Hampir sama seperti keadaan Indonesia di orde baru yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto, Inggris raya di abad ke-12 menjadi negara tirani. Rakyat
jelata dan golongan di bawah bangsawan boleh diadili tanpa kesalahan yang
berarti atau bahkan dijebloskan ke penjara tanpa mengalami proses peradilan
terlebih dahulu. Memang tidak dapat diterima oleh setiap orang, namun setiap
warga Inggris harus tunduk kepada perintah raja, benar atau salah.

Di tahun 1215, kaum bangsawan yang berada di bawah raja mulai


menyadari ketidak adilan kondisi ini. Akhirnya mereka berusaha melakukan
penuntutan dengan cara menekan raja. Golongan mana lagi yang dapat
didengar suaranya oleh raja jika bukan para bangsawan. Penuntutan ini berhasil
melahirkan piagam Magna Charta Libertatum.

Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai


dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara
lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja
yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi
dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka
umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai
bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja
melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan
kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam
bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat,
walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak
berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai
embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai
simbol belaka.

Walau bagaimanapun juga, Magna Charta tetap menjadi tonggak awal


penegakan HAM di dunia. Sekalipun ikatan perjanjian HAM hanya melingkupi
orang-orang papan atas di Inggris. Raja Inggris yang bijak tersebut bernama
Raja John –yang memerintah Kerajaan Inggris di abad ke-12.

Selanjutnya, sebagai wujud nyata tindak lanjut dari Magna Charta, di


tahun 1679, para tahanan yang ditahan sebelum Magna Charta menjadi
kesepakatan mulai dihadapkan kepada raja. Kali ini bukan untuk disiksa atau
dihakimi lagi. Mereka mendapatkan kepastian alasan penahanan selama
bertahun-tahun. Sehingga para tahanan tanpa pengadilan yang dulunya diseret
paksa masuk penjara mulai dapat menerima keadaan dan tidak lagi hidup dalam
kebencian.

Habeas Corpus Act

Tentunya rasa benci, dendam, dan ingin melakukan pembalasan terhadap


raja Inggris yang semena-mena pernah timbul di hati para pesakitan. Namun
sejak diterbitkannya Habeas Corpus Act tahun 1679, tidak ada lagi perseteruan
berarti antara keluarga para pesakitan dengan raja. Karena segalanya telah
dijelaskan secara gamblang.

Sementara itu, orang yang ditahan tanpa alasan boleh saja masuk ke
penjara tanpa menerima penjelasan. Dengan syarat, orang tersebut harus
menerima penjelasan dari hakim maksimal 3 hari setelah dia menjadi penghuni
penjara. Ketentuan ini menjadi bukti penegakan HAM di Inggris.

Bill of Rights

Di tahun 1689, Inggris mengeluarkan akta HAM lagi yang dinamai Bill of
Rights. Akta penandatanganan ini membatasi kekuasaan raja yang masih
tergolong absolut. Lagi-lagi yang berusaha memperjuangkan dikeluarkannya
akta Bill of Rights adalah golongan bangsawan. Mereka meminta raja tidak
dikebalkan hukum. Bagaimanapun juga, raja sangat mungkin melakukan
kesalahan karena beliau hanyalah manusia biasa.

Ketika raja melakukan kesalahan, hukum yang berlaku harus menghukum


sesuai pelanggaran yang dilakukan raja. Selain itu, raja tidak lagi berhak
semena-mena menyiapkan pasukan kecuali dalam kondisi siaga perang. Raja
adalah pemimpin pemerintahan yang harus mempertanggungjawabkan tugasnya
di hadapan parlemen Inggris. Karena telah menyangkut hak-hak parlementer,
piagam Bill of Rights dianggap sebagai piagam modern pertama di dunia.
Terlepas dari prakteknya yang hanya berlaku untuk para bangsawan berjenis
kelamin laki-laki saja.

2. Amerika Serikat

Setelah mulai berkembang baik di Britania Raya alias Inggris, Hak Asasi
Manusia mulai dikembangkan di negara lain. Tepatnya United States of America
(U.S.A) yang waktu itu masih menjadi negara muda. Amerika Serikat di awal
kemerdekaannya sangat terinspirasi dengan pemikiran-pemikiran Jean Jacques
Rousseau, John Locke serta Mountesquieu. Sehingga Amerika Serikat
memasukkan pendapat mereka mengenai hak asasi manusia ke dalam dasar
negara.

4 Maret 1789 menjadi tanggal yang penting bagi sejarah HAM di Amerika
Serikat. Pada tahun tersebut, Amerika Serikat resmi memasukkan aturan HAM
yang bersumber dari pendapat filsuf terkenal di atas ke dalam Undang-undang
Dasar Negaranya. Padahal semua filsuf yang menjadi sumber inspirasi mereka
tidak ada yang asli warga negara Amerika Serikat. Namun kebenaran pemikiran
mereka tentang hak dasar manusia sejak di dalam perut ibunya berhasil memikat
hati para pendiri Amerika Serikat yang ingin menghapuskan pembelengguan hak
manusia atas manusia lainnya.

Di Amerika, HAM dikenal dengan nama The American Declaration of


Independence. Beberapa perkembangan HAM di Amerika terus terjadi hingga
melahirkan deklarasi-deklarasi lain yang lebih detail menguraikan hak asasi
manusia beserta perlindungannya. Hal ini dibuktikan dengan The French
Declaration 1789 sebagai dasar The Rule of Law.

Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang
semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa
surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula
presumption of innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian ditahan
dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga
dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of
religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of
property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi,
dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang
menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya
sudah dicanangkan sebelumnya.
HAM di Amerika Serikat ini sudah berkembang lebih kompleks daripada
HAM di Inggris Raya. Di Amerika, melalui The Rule of Law-nya, kebebasan
beragama, kebebasan atas hak milik, hingga kebebasan memilih
kewarganegaraan. Presiden Franklin D. Roosevelt sendiri sangat mendukung
penegakan HAM di Amerika Serikat. Pidatonya mengenai pengakuan HAM
tanggal 6 Januari 1941 menjadi saksi sejarah HAM di Amerika Serikat.

C. Sejarah Nasional Hak Asasi Manusia (HAM)

Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada


tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak
peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman
dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang
Dunia II.

Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar


(antarnegara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi
semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke
luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi
harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak
terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-
nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa
Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat
dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh
pemerintahnya.

Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan


demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si
suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari
negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan
pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan
dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi
HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk
mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang
bersangkutan.

Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal


yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan
yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun
serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah
sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.

Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di


Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat
(Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di
Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja
harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka
rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang,
semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang
diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka
mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM
sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol
karena kurang dipublikasikan.

Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada
yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang
bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan
masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah
implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat.
Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban.
Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi
saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau
ada hak berarti ada kewajiban.

D. Penyebaran HAM di Dunia Internasional

Setelah jejak Inggris diikuti oleh Amerika Serikat, HAM semakin memikat
banyak negara. Fitrahnya memang manusia semuanya sama di mata Tuhan,
apalagi di mata hukum yang hanya buatan manusia. HAM juga melindungi hak-hak
dasar manusia yang masih sering diabaikan karena seseorang terlahir di keluarga
kalangan bawah yang tentunya itu takdir Tuhan diluar kendali manusia.

Di waktu-waktu itulah dunia sedang berada di masa kelam. Perang telah


menumbuhkan kebencian dan dendam antar sesama manusia. Rasisme, kejahatan
genosida, dan kejahatan luar biasa lain banyak terjadi di muka bumi. Tidak ada
seorang manusia pun yang dapat menjamin keadaan akan segera tenang.

Secara alamiah manusia lebih menyukai perdamaian dibandingkan perang


yang meminta tumbal nyata dan biaya yang tidak sedikit. Seusainya perang dunia II
yang sangat dahsyat, HAM diakui secara internasional. Melalui United Nation
Organization (UNO) alias PBB yang menjadi payung atas banyak negara dari
beberapa benua, HAM diakui secara resmi.

Karena yang mengakui adalah organisasi resmi tingkat dunia, maka HAM
telah dijunjung tinggi di atas bumi. Bukan hanya satu atau dua negara saja yang
menegakkan, mulai 10 Desember 1948 HAM harus dibela oleh masyarakat
internasional. Tidak boleh ada perang yang menyalahi HAM sebagaimana yang
dilakukan Hitler dan NAZI ketika masa Perang Dunia II.

HAM yang telah diakui oleh PBB ini disahkan secara tertulis melalui sebuah
deklarasi bernama The Universal Declaration of Human Rights. Semenjak itulah,
setiap negara yang tergabung dalam PBB juga menegakkan HAM di negaranya
masing-masing. Sampai sekarang, HAM masih dijaga baik oleh setiap negara di
dunia.
E. Perkembangan Hak Asasi Manusia
Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus
politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang
dalam perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan
mengenai hak asasi manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum
kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk
memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Pecikan pikiran
tersebut dapat dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap
Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S.
Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang
dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia
Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan
pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan
kemerdekaan itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi
sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa para
pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi
bagi negara.

Sub-bab ini berusaha menelusuri perkembangan wacana hak asasi manusia


dalam diskursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun
waktu setelah kemerdekaan. Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai
dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah
ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak
asasi manusia, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode
awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968).354 Dalam ketiga periode inilah
perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan
berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi sayang sekali,
pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan
ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi. (T. Mulya Lubis, In Search of Human
Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990, Gramedia
Pustaka Utama Jakarta, 1993, khususnya bab 2).

Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu sampai


datangnya periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini diawali dengan
pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah
periode yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan
diterimanya hak asasi manusia ke dalam konstitusi dan lahirnya peraturan
perundang-undangan di bidang hak asasi manusia.

Perdebatan Awal tentang Hak Asasi Manusia

Sesuai dengan pembabakan di atas, pemaparan berikut akan dimulai


dengan pembahasan periode pertama. Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-
Undang Dasar 1945, terjadi perdebatan mengenai apakah hak warga negara perlu
dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar? Soekarno dan Supomo
mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam
pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas
berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam
Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut
merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi manusia di Indonesia, yang
memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode
selanjutnya.

Karena itu, menarik apabila kita menyimak sedikit perdebatan tersebut.


Mengapa Soekarno dan Supomo menolak pencantuman pasal-pasal hak warga
negara dalam Konstitusi Indonesia? Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut
didasarkan pada pandangan mereka mengenai dasar negara --yang dalam istilah
Soekarno disebut dengan “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo
disebut “Staatsidee”-- yang tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan
kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan hak warga
negara itu --yang berasal dari revolusi Prancis, merupakan basis dari faham
liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme dan
peperangan antara manusia dengan manusia. Soekarno menginginkan negara
yang mau didirikan itu didasarkan pada asas kekeluargaan atau gotong-royong,
dan karena itu tidak perlu dijamin hak warga negara di dalamnya.

Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen Soekarno yang menolak


mencantumkan hak-hak warga negara:

“... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya,


buanglah sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam
UndangUndang Dasar kita yang dinamakan “rights of the citizens” yang
sebagai dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya”. “... Buat apa kita
membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi
perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi “droits de
I’ homme et du citoyen” itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang
yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita
betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan,
faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial,
enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme
dari padanya”.

Sedangkan Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam


pasalpasal Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan
Supomo didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik
(staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak
masyarakat Indonesia. Menurut faham tersebut negara harus bersatu dengan
seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan
apapun. Dalam negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan
hukum staat dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu
bagian organik dari Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam
paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada
negara. Paham inilah yang mendasari argumen Supomo.

Sebaliknya, mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut


dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju
dengan penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan
keinginan untuk memberikan. (Dikutip dari pidato Soekarno tanggal 15-7-1945 di
BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM. A.B. Kusuma, Lahirnya
Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta , 2004, hlm. 352). (Disarikan dari pidato Supomo tanggal 31 Mei
1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM. A.B. Kusuma, ibid.)

Kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara


yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Berikut argumen Hatta:

“Tetapi satu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau
satu pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai
haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas
UndangUndang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu
bentukan negara yang tidak kita setujui”. “Sebab itu ada baiknya dalam satu
fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara disebutkan di sebelah
hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap warga negara
rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut
mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan
bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga
supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan
negara kita kepada kedaulatan rakyat”.

Begitu juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak
dengan keras argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga
negara dalam Undang-Undang Dasar. “Supaya aturan kemerdekaan warga negara
dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala
alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah
berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian
perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,”
Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI.358 Pendapat kedua pendiri
bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang
mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers,
onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran
dengan lisan). Mereka sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana
yang mereka lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam
negara yang mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.
(Dikutip dari pidato Hatta tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah
yang dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 345-355. )(Dikutip dari pidato
Muhammad Yamin tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang
dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 380. ) (Lihat RM A.B. Kusuma, ibid, hlm.
392. )

Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu


kompromi. Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian
diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas.
Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan
diatur oleh undangundang, tetapi juga dalam arti konseptual.360 Konsep yang
digunakan adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi
Manusia” (human rights). Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti
bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa
hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai
manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai
“regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of human rights” –sebagaimana
ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia.

Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak


asasi manusia muncul kembali --sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan
dalam UndangUndang Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959).
Sebagaimana terrekam dalam Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak
Asasi Manusia, perdebatan di sini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di
BPUPKI. “Diskusi ini merupakan pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling
baik mengenai kesadaran tentang hak asasi manusia di kalangan rakyat
Indonesia,” rekam Buyung Nasution yang melakukan studi mendalam tentang
periode ini. Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante
relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan
menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang
melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya
telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu
bab pada konstitusi. Sayang, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya
kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante ikut
dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak asasi manusia. (T. Mulya
Lubis, op. cit.) (Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional
di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 132.) (Konstituante sangat menghargai keabsahan
universalitas Hak Asasi Manusia sebagai hak yang menjadi bagian inti dari kodrat
manusia dan terdapat pada setiap peradaban manusia. )

Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno


mengeluarkan dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945 yang kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan
kembali ke UndangUndang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi
manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar
“Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Makanya setelah rezim Demokrasi
Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa 1966, yang melahirkan
rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan konstitusionalitas hak asasi
manusia muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun
1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc
Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya adalah sebuah “Rancangan
Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta
Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak berhasil
diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS.
Alasannya --terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan
lebih tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan
oleh MPR(S) yang bersifat “sementara”.

Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan


Piagam Hak Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya
Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah
mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 tersebut.364 Sampai
akhirnya datang gelombang besar “Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari
kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi
manusia di Indonesia.
F. Perkembangan HAM di Indonesia

a. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )

 Boedi Oetomo
Dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah
memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat
melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun
dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM
Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat.

 Perhimpunan Indonesia
Lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.

 Sarekat Islam
Menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang
layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.

 Partai Komunis Indonesia


Sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada
hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan
alat produksi.

 Indische Partij
Pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan
kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.

 Partai Nasional Indonesia


Mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.

 Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia


Menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat,
hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak
persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan
Negara. Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam
sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan
Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan
pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah
hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak
berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan
tulisan dan lisan.
b. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )

 Periode 1945 – 1950


Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk
merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama
di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena
telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara
( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal
sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November
1945.Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk
mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945.

 Periode 1950 – 1959

Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal


dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode
ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana
kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi
parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan
oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini
mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya
menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak
tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing.
Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati
kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi
berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat,
parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan
kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran
tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya
kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

 Periode 1959 – 1966


Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem
demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem
demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan
berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi
terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran
supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan
dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil
dan dan hak politik.

 Periode 1966 – 1998


Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada
semangat untuk menegakkan HAM.Pada masa awal periode ini telah diadakan
berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan
pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya
pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM
untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar
Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical
review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka
pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV
telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak –
hakAsasiManusiadanHak – hak serta KewajibanWarga negara. Sementara itu,
pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM
mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan
ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang
dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap
defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk
pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang
tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu
mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih
dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif
pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali
digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan.

Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.Meskipun dari pihak


pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM
nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang
dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat
akademisi yang concern terhadap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh
masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan
pelanggaran HAM yang terjadi seprtikasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo,
kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.Upaya yang dilakukan
oleh masyarakat menjelang periode 1990-an Nampak memperoleh hasil yang
menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif
dan defensive menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan
dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap
tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993
tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki
pelaksanaan HAM, serta member pendapat, pertimbangan, dan saran kepada
pemerintah perihal pelaksanaan HAM.

 Periode 1998 – sekarang


Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak
yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada
saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah
orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan
HAM.Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan
yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan
dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan
banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait
dengan penegakan HAM diadopsi dari hokum dan instrument Internasional
dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu
tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. Pada tahap
penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang–undangan tentang
HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang–undang Dasar 1945 ),
ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan
ketentuan perundang–undangan lainnya.

G. Mekanisme Penegakan HAM Nasional

1. Mahkamah Konstitusi

Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah


dipengaruhi oleh perubahan politik setelah kejatuhan Presiden S oeharto tahun
1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, misalnya, menghasilkan
Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disusul dengan
penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 t entang Hak Asasi
Manusia. Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan
pula dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (tahun 2000),
meskipun terdapat kemiripan rumusan antara hasil amandemen konstitusi
dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVII/
MPR/1998.

2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Lembaga nasional hak asasi manusia merupakan sebuah badan yang


menangani persoalan-persoalan hak asasi manusia, terutama dalam kerangka
memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Secara internasional institusi ini
dimaksudkan sebagai rekan kerja Komisi HAM PBB di tingkat nasional. Maka,
sebagaimana Komisi HAM PBB – lembaga nasional hak asasi manusia
merupakan salah satu mekanisme pemajuan/perlindungan hak asasi manusia. Di
Indonesia, lembaga nasional tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), yang pada awal berdirinya dibentuk berdasarkan
Keppres No. 50 tahun 1993 dan dalam perkembangannya diperkuat dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga independen


yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan
perlindungan anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (yang selanjutnya akan disebut


dengan KPAI) dibentuk untuk merespon berbagai laporan tentang adanya
kekerasan, penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak dasar anak di
Indonesia. Keputusan politik untuk membentuk KPAI juga tidak dapat dilepaskan
dari dorongan dunia internasional. Komunistas internasional menyampikan
keprihatinan mendalam atas kondisi anak di I ndonesia. Banyaknya kasus
pekerja anak, anak dalam area konflik, pelibatan anak dalam konflik senjata
(childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh, tingginya angka putus sekolah,
busung lapar, perkawinan di bawah umur, trafficking, dan lain sebagainya telah
memantik perhatian komunitas internasional untuk menekan pemerintah
Indonesia agar membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi
perlindungan anak di Indonesia.

4. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komisi Nasional


Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau sering disingkat sebagai Komnas
Perempuan adalah sebuah institusi hak asasi manusia yang dibentuk oleh
negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia,
khususnya isu kekerasan terhadap perempuan. Karena mandatnya yang
spesifik terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak-hak
perempuan maka ada yang mengkategorikan Komnas Perempuan sebagai
sebuah insitusi hak asasi manusia yang spesifik,berbeda dengan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bersifat lebih umum
mencakupi seluruh aspek dari hak asasi manusia.

5. Komisi Ombudsman Nasional (KON)

Penulisan Komisi Ombudsman Nasional di luar pembagian komisi


nasional pada sub-bab C di atas adalah karena secara formal, terbentuknya
Komisi Ombudsman Nasional tidak didasari secara khusus oleh semangat untuk
melindungi, menegakkan dan memenuhi hak-hak asasi warga negara Indonesia.
Kemunculan Komisi Ombudsman Nasional lebih didasari oleh semangat
reformasi yang bertujuan menata kembali perikehidupan berbangsa dan
bernegara serta dalam rangka melakukan reformasi birokrasi yang telah mandeg
selama puluhan tahun.

Semangat untuk melakukan reformasi birokrasi inilah yang sangat terasa


dan pada saat dimunculkannya Komisi Ombudsman Nasional sedang menjadi
pembicaraan meluas di kalangan masyrakat. Walaupun tidak serta merta tujuan
perlindungan hak asasi manusia tidak ada, namun secara formal dibentuknya
Komisi Ombudsman Nasional lebih dikarenakan tuntutan reformasi birokrasi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

HAM adalah persoalan yang bersifat universal, tetapi sekaligus juga


kontekstual. Setiap negara mempunyai sejarah perjuangan dan perkembangan
HAM yang berbeda, oleh karena itu konsepsi dan implementasi HAM dari suatu
negara tidak dapat disamaratakan. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi
adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan
satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan
menimbulkan pelanggaran HAM, dan Islam telah memberikan pedoman yang
sangat jelas mengenai masalah ini.

Perkembangan dan perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di


Indonesia terutama terjadi setelah adanya perlawanan terhadap penjajahan bangsa
asing, sehingga tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili
kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan
bangsa Indonesia secara utuh.

B. Saran

Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan


memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati
dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM.
Dan jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.Jadi
dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara
HAM kita dengan orang lain.
Daftar Pustaka

 Tim Pendidikan Kewarganegaraan MPK-UNESA.2010.Pendidikan


Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi.Surabaya:UNESA University Press
 Affandi, Idrus, dkk.2007.Hak Asasi Manusia.Jakarta:Universitas Terbuka
 Basrowi, dkk.2006.Demokrasi dan HAM.kediri:Jenggala Pustaka Utama
 Alston, Philip dan Frans Magnis-Suseno.Hukum Hak Asasi Manusia.Yogyakarta:
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia
 Prof. H.A. Efendi,Masyhur.Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan
Internasional.jakarta: Ghalia Indonesia 1994.
 Tim ICCE UIN Jakarta.Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani. Jakarta, Prenada Media,2008
 https://aangrapeialmudashir.files.wordpress.com/2009/12/iisi-makalah.pdf
 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/09/upaya-penegakan-hak-asasi-manusia-
di.html
 http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida
 https://sejarahlengkap.com/organisasi/sejarah-ham-di-dunia

Anda mungkin juga menyukai