Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI DI INDONESIA

Disusun Oleh

KELOMPOK 3

X TKR 2 :

- MUHAMMAD IQBAL

- MUHAMMAD RASYAH ABRISAM

- MUHAMMAD BADRUL KAMIL

- NUH AHMAD FEBRIAN

- PANDU AHAD ASHARI

- BAGAS YUDISTIRA

- RAMDHANI KARTIKOAJI
~KATA PENGANTAR~

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-
Nya, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.

Pada kesempatan ini, Kami mengucapkan Terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kami semangat dan motivasi dalam pembuatan makalah ini.

Kami mohon bila ada kesalahan tulisan segera kritik kami supaya makalah ini menjadi lebih baik.

JAKARTA, 19 OKTOBER 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................

PENDAHULUAN .............................................................................................................................

LATAR BELAKANG ........................................................................................................................

BAB 1

A.SISTEM SEWA TANAH ..............................................................................................................

1. Pendahuluan ......................................................................................................................

2. Pelaksanaan ......................................................................................................................

3. Penilaian ............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................


PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sewa tanah adalah sistem dimana perjanjian kepada penyewa tanah dan pemilik tanah dalam jangka
waktu tertentu. Sewa tanah dicetuskan saat tahun 1811 hingga 1816 saat Inggris datang ke Indonesia.
Kebijakan Raffles yang terkenal adalah sistem sewa tanah atau Land Rent, yaitu sistem pertanian dimana
para petani atas kehendaknya sendiri menanam dagangan cash crops yang dapat diekspor keluar negeri.

Adapun dampak sewa tanah bagi rakyat Indonesia adalah menumbuh kembangkan kebencian rakyat
pemilik tanah timbulnya kerugian yang cukup besar bagi pribumi dan menumpahnya kekecewaan para
Sultan, Bupati, dan bangsawan akibat pengambilan pajak secara langsung pada distrik-distrik dan desa-
desa serta kepala-kepala rakyat.

• RUMUSAN MASALAH

a. Definisi sewa tanah

b. Peristiwa penting praktik sewa tanah

c. Respon masyarakat terhadap sewa tanah

d. Makna penting sistem sewa tanah di Indonesia

• TUJUAN PENELITIAN

a. Agar dapat mengetahui Definisi sewa tanah


b. Agar dapat mengetahui Peristiwa penting praktik sewa tanah

c. Agar dapat mengetahui Respon masyarakat terhadap sewa tanah

d. Agar dapat mengetahui Makna penting sistem sewa tanah di Indonesia

• Manfaat Penelitian

→Menambah wawasan dan untuk mengetahui makna penting sistem sewa tanah bagi bangsa
Indonesia.

METODE PENELITIAN

1. Pemilihan Topik Penelitian

2. Heuristik

adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan.

3. Verifikasi (kritik nilai sumber)

4. Interpretasi

yaitu penafsiran atas makna fakta.

5. Historiografi

adalah merangkaikan fakta secara kronolgis/diakronis dan sistematis.


BAB 1

A. Sistem Sewa Tanah

1. Pendahuluan

Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendels dari Indonesia, Jawa diduduki oleh Inggris
pada tahun 1811. Zaman pendudukan Inggris hanya berlangsung selama 5 tahun, yaitu antara tahun
1811 dan sampai 1816.

Asas-asas pemerintah Inggris ditentukan oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang sangat
dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakikatnya, Raffles ingin menciptakan suatu sistem
ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan
wajib dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC.

Jelas kiranya bahwa Raffles dalam hal ini telah dipengaruhi oleh cita-cita revolusi Prancis dengan
semboyan mengenai " kebebasan, persamaan dan persaudaraan" bagi setiap warga, walaupun ia
menyadari pula dalam konstelasi masyarakat kolonial yang ada di Jawa, tidak dapat sepenuhnya
mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam hal ini pandangan Raffles dalam banyak hal sama dengan
pandangan seorang pejabat Belanda dari akhir zaman VOC, yaitu Dirk van Hogendorp. Tokoh ini telah
menarik kesimpulan dari pengamatannya di Indonesia bahwa sistem feodal yang terdapat di Indonesia
pada waktu itu dan telah berhasil dimanfaatkan VOC untuk mematikan segala daya usaha rakyat
Indonesia.

Sistem sewa tanah yang kemudian dikenal dengan nama landeijik stelsel bukan saja diharapkan dapat
memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani dan merangsang juga arus
pendapatan negara yang mantap.

Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung konsekuensi yang jauh sekali atas hubungan antara
pemerintah kolonial di satu pihak dan rakyat Indonesia dengan penguasa-penguasa di lain pihak.

2. Pelaksanaan

Sistem sewa tanah tidak meliputi seluruh pulau Jawa. Di daerah sekitar Jakarta, yang pada waktu
itu disebut Batavia, maupun daerah Priangan, sistem sewa tanah tidak diadakan karena di wilayah
sekitar Jakarta umumnya tanah-tanah dimiliki oleh swasta dengan status tanah partikelir, sedangkan di
wilayah Priangan pemerintan kolonial berkerabatan menghapus sewa tanah paksa kopi (preanger
stelsel) yang memberikan keuntungan besar. Jawa terus menerus mengenal sistem tradisional dan
feodal sampai pada tahun 1870.

Mengingat Raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa, yaitu lima tahun, dan
mengingat terbatasnya pegawai-pegawai yang cakap serta dana yang terbatas pula, tidak
mengherankan Raffles pada akhirnya tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang bertalian
dengan sistem sewa tanah itu.

Oleh karena itu, tidak mengherankan kebijakan Raffles pada umumnya diteruskan oleh
pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama-tama di bawah Komisaris Jenderal Elout, Buyskes,
dan van der Capellen (1816-1819), kemudian di bawah Gubernur Jenderal van der Capellen (1819-1830).
Sistem sewa tanah dihapuskan dengan kedatangan Gubernur Jenderal yang baru, van de Bosch, dalam
tahun 1830, yang kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman
dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan effisien daripada di bawah VOC.

Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung tiga aspek, yaitu penyelenggaraan suatu sistem
pemerintahan atas dasar modern, pelaksanaan pemungutan sistem sewa tanah, dan penanaman
tanaman dagangan untuk diekspor.

Mengenai aspek pertama maksudnya adalah penggantian pemerintahan-pemerintahan tidak


langsung yang dahulu diselenggarakan melalui raja-raja dan kepala-kepala tradisional dengan suatu
pemerintahan yang langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala-kepala
tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan mereka yang tradisional dihilangkan.

Pada waktu van der Capellen menerima jabatan sebagai gubernur jenderal dalam pemerintahan
Belanda yang telah dipulihkan, pengaruh bupati sudah sangat berkurang dibandingkan dengan zaman
VOC. Namun, van der Capellen menyadari bahwa mereka mempunyai pengaruh tradisional yang besar
atas rakyat dan ia menyadari pula bahwa pejabat Eropa tidak pernah dapat menggantikan kedudukan
sosial mereka dalam masyarakat Jawa. Oleh karena itu, ia menempuh kebijakan yang menghormati
kedudukan sosial para bupati dan berusaha pula menggunakan pengaruh dan kekuasaan mereka untuk
tujuan pemerintahan kolonial.

Selanjutnya adalah mengenai aspek kedua, yaitu pelaksanaan pemungutan sewa tanah. Selama
zaman VOC, "pajak" berupa beras yang harus dibayar oleh rakyat Jawa kepada VOC ditetapkan secara
kolektif untuk seluruh desa. Dalam mengatur pungutan wajib ini, para kepala desa oleh VOC diberikan
kebebasan penuh untuk menetapkan jumlah-jumlah yang harus dibayar oleh tiap-tiap petani. Kebiadaan
ini mengakibatkan tindakan sewenang-wenang yang sering merugikan rakyat. Sebagai seorang liberal,
Raffles menentang kebiasaan ini.

Tidak lama kemudian, pelaksanaan pemungutan pajak secara perseorangan mengalami banyak
kesulitan. Salah satu faktor penting dalam hal ini adalah tidak tersediannnya bahan-bahan keterangan
yang baik dan dapat dipercayai untuk penetapan jumlah pajak yang harus dibayar oleh tiap-tiap orang.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa penetapan pajak dilakukan dengan tepat sehingga sering
memperberat beban pajak untuk rakyat, bukam memperingan seperti dimaksud Raffles.

Kesulitan-kesulitan ini mengakibatkan dalam tahun 1816, sewaktu kekuasaan atas pulau Jawa
telah dikembalikan kepada Belanda, para komisaris jenderal menghapus penetapan pajak secara
perseorangan dan kembali lagi ke penetapan pajak secara kolektif untuk tiap-tiap desa sebagai
keseluruhan.

Aspek ketiga sistem sewa tanah adalah promosi penanaman tanaman-tanaman perdagangan
untuk diekspor. Salah satu penyebab kegagalan penanaman kopi ialah karena kurangnya pengalaman
para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas sehingga sering penjualan ini
diserahkan kepada kepala-kepala desa mereka.

3. Penilaian

Pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama masa sistem sewa tanah berlaku, baik selama
pemerintahan sementara Inggris di bawah Raffles maupun selama pemerintahan Belanda di bawah para
komisaris jenderal dan Gubernur Jenderal van der Capellen, menunjukkan bahwa usaha untuk
mengesampingkan para bupati dan kepala-kepala desa tidak berhasil. Mau tidak mau struktur feodal
yang berlaku di masyarakat tradisional Jawa, khususnya gengsi sosial yang dimiliki para bupati dan
kepala-kepala desa. Oleh karena itu, gambaran yang diperoleh mengenai pelaksanaan sistem sewa
tanah ini tidak merata (uneven).

Sistem sewa tanah memang mengakibatkan lebih meresapnya pengaruh politik maupun pengaruh
sosial sampai batas tertentu ke dalam masyarakat Jawa, terutama karena usaha mengesampingkan para
bupati untuk langsung berhubungan dengan para petani. Oleh karena itu, usaha sistem sewa tanah
untuk mengadakan hubungan langsung dengan para produsen tanaman dagangan itu sendiri tidak
berhasil.

Ditinjau dari tujuan untuk meningkatkan kemakmuran penduduk di Jawa dan merangsang produksi
tanaman dagangan, sistem sewa tanah dapat dikatakan telah memenuhi kegagalan. Usaha-usaha untuk
menghapus struktur masyarakat yang tradisional (feodal) dan memberikan kepastian hukum yang lebih
besar kepada penduduk pun tidak berhasil.

Dibanding dengan India, gambaran ekonomi Jawa pada awal abad ke-19 masih menunjukkan gambaran
ekonomi yang menyeluruh. Bahkan sebaliknya hanya berdasarkan yang terlihat, yaitu desa-desa yang
padat umumnya hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri tanpa banyak mengadakan
perdagangan apalagi perdagan ekspor.

Selain kopi, yang diperoleh dari penanaman paksa, Jawa pada awal abad ke-19 hanya mengekspor
beras dalam jumlah yang terbatas dan beberapa barang lainnya yang tidak begitu berarti, yang pada
umumnya diekspor ke kepulauan Maluku.

KESIMPULAN
Uraian di atas telah memperlihatkan mengapa kebijakan Raffles, yang kemudian diteruskan oleh
pemerintahan Hindia Belanda sampai tahun 1830, mengalami kegagalan. Berlainan dengan rakyat India,
penduduk di Jawa tidak dapat menghasilkan tanaman-tanaman untuk diekspor atas usaha dan praktik
mereka sendiri. Jika mereka tidak mendapat perintah dari atasan mereka, mereka tidak akan menanam
tanaman dagangan yang menguntungkan sekalipun, tetapi hanya tanaman makanan. Hal ini sesuai
dengan sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat memenuhi kebutuhan sendiri (self sufficient).

DAFTAR PUSTAKA

BUKU SEJARAH NASIONAL INDONESIA BAB IV DITERBITKAN OLEH BALAI PUSTAKA

Editor Umum: • Marwati Djoened Poesponegoro

• Nugroho Notosusanto

Anda mungkin juga menyukai