Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA MASA SIR THOMAS STAMFORD


RAFFLES 1811-1816
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN

1. KETERAMPILAN UMUM

a. Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif, dalam konteks
pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan bidang keahliannya.

b. Mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur.

c. Menyusun deskripsi saintifik hasil kajian dalam bentuk skripsi dan mengunggahnya dalam
laman perguruan tinggi.

d. Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks penyelesaian masalah di bidang
keahliannya, berdasarkan hasil analisis informasi dan data.

e. Mampu memelihara dan mengembangkan jaringan kerja dengan pembimbing, kolega, sejawat,
baik di dalam maupun di luar lembaga.

2. KETERAMPILAN KHUSUS

a. Mampu mengaplikasikan konsep, prinsip dan teori pendidikan dan keilmuan sejarah untuk
melakukan perencanaan, pelaksanaan, pengembangan dan evaluasi berbasis IPTEKS.

b. Mampu mengaplikasikan konsep dasar keilmuan sejarah sebagai penunjang dalam


pembelajaran sejarah.

3. ASPEK PENGETAHUAN

a. Menguasai konsep, prinsip dan teori pendidikan dan keilmuan sejarah untuk melakukan
perencanaan, pelaksanaan, pengembangan dan evaluasi berbasis IPTEKS.

b. Menguasai konsep dasar keilmuan sejarah sebagai penunjang dalam pembelajaran sejarah

c. Menguasai konsep dasar dan teoritik keilmuan lain yang serumpun sebagai pendukung
keilmuan sejarah

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH

setelah mempelajarai Bab ini diharapkan mahasiswa mampu untuk:

1. Menguraikan Kebijakan politik (pemerintahan) masa gubernur jenderal Raffless

2. Memaparkan kebijakan ekonomi pada masa Gubernur Jenderal Raffles


3. Mengidentifikasikan jenis-jenis tanaman dagang untuk eksport
4. Membedakan politik ekonomi dengan masa gubernur Raffles dengan politik ekonomi
masa gubernur jenderal Van der Capellen dan De Busignis
Pengantar
Peristiwa Belanda menyerah kepada Inggris melalui Kapitulasi Tuntang (1811), menjadi
awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi
letnan Gubernur EIC di Indonesia. Ia memegang pemerintahan selama lima tahun (1811-1816)
dengan membawa perubahan berazaz liberal. Pendudukan Inggris atau wilayah Indonesia tidak
berbeda dengan penjajahan bangsa Eropa lainnya. Raffles banyak mengadakan perubahan-
perubahan, baik di bidang Ekonomi maupun pemerintahan.
Materi Perkulihan
POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA MASA SIR THOMAS STAMFORD
RAFFLES 1811-1816

Raffles bekerja sebagai juru tulis pada East India Company (EIC), tahun 1810 ia menjadi
sekretaris muda EIC di Penang, dari sini ia belajar bahasa Melayu. Pemerintahan didasarkan
atas prinsip-prinsip liberal seperti halnya Dirk Van Hogendorp. Raffles memberikan kebebasan
berdagang, bercocok tanam dan kepastian hukum. Raffles ingin melaksanakan politik kolonial
politik seperti yang dijalankan Inggris di India, berupa sistem pajak tanah (landrent-system).

Tiga azas pokok sistem pemerintahan Raffles adalah sebagai berikut :


1. Penghapusan seluruh penyerahan wajib dan wajib kerja dengan memberikan kebebasan
penuh pada rakyat untuk berdagang dan bekerja.
2. Pemerintah secara langsung mengawasi tanah dan hasilnya dipungut langsung tanpa
perantara bupati
3. Penyerahan tanah di beberapa daerah dilakukan berdasarkan kontrak terbatas waktunya.
A. Kebijakan di bidang Pemerintahan
Sesuai dengan azaz kedua, yaitu pemerintahan langsung, tindakan Raffles adalah
membagi pulau Jawa menjadi 16 Keresidenan. Tiap keresidenan dibentuk Landraad
(badan pengadilan). Selengkapnya lihat bagan berikut :

JAWA GUB. JENDRAL

16 KERESIDENAN RESIDEN
Keterangan :

KABUPATEN BUPATI ASISTEN RESIDEN

KEBEDANAAN WEDANA KOLEKTOR

DESA LURAH

 Kekuasaan bupati dihapuskan karena memeras rakyat selama ini


 Kolektor bertugas mengawasi Lurah
 Sedangkan bupati diawasi oleh asisten Residen.

B. Kebijakan ekonomi
1. Sistem Sewa Tanah (1811-1830)
Raffles meletakkan dasar-dasar kebijaksanaan ekonomi yang sedikit banyak
memiliki persamaan dengan Dirk Van Hogondorp yakni sewa tanah. Bahwasanya sistem
feodal yang telah dimanfaatkan VOC telah mematikan segala daya usaha rakyat. Oleh
karena itu, hak kuasa atas tanah para bupati atas rakyat dibatasi. Sistem paksa yang
berlaku sejak VOC dihapuskan dan diberi kebebasan penuh baik menanam dan
menggunakannya atau berdagang.
Untuk menegakkan kebijaksanaan yang baru Raffles berpatokan pada tiga azas :
a. Penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan
b. Peranan Bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan, mereka harus konsen pada
proyek-proyek pekerjaan umum
C. Karena pemerintah kolonial pemilik tanah dan yang menggarap adalah sebagai
penyewa (tenant) untuk itu penyewa harus membayarnya (landrent).
Pada masa VOC pajak berupa beras yang harus dibayar secara kolektif (Desa).
Kepala Desa diberikan penuh untuk menentukan jumlah yang harus dibayar oleh VOC.
Raffles menentang hal ini, lalu pada masa Raffles pajak dibayar perorangan. Akan tetapi
mengalami kesulitan. Hal ini terjadi terus sampai masa gubernur Belanda dan akhirnya
pajak kembali dipungut secara kolektif. Dan kesewenangan-wenangan muncul kembali.
Landrent Sistem (sistem sewa tanah) adalah kebijakan yang diterapkan di Indonesia sama
halnya seperti yang diterapkan pemerintah Inggris di India. Raffles berpendirian bahwa
semua tanah adalah milik raja yang berdaulat. Jadi semua tanah milik pemerintah Inggris.
Orang yang ingin memiliki tanah harus menyewanya dari pemerintahan Inggris dan
membayar sewa yakni pajak tanah. Besarnya adalah 2/5 hasil panen. Boleh dengan uang
atau hasil tanam. Dalam melaksanakan kebijakan landerent sistem ternyata mengalami
kegagalan disebabkan :
a. Sistem feodal telah berkar dan menjadi tradisi Indonesia.
b. Pegawai pemerintahan (kolektor) yang cakap untuk mengendalikan pelaksanaan
sistem ini terbatas
c. Rakyat Indonesia belum siap menerima sistem yang baru. Belum terbiasa dengan
aturan sewa menyewa, apabila ekonomi uang (subsistensia).
d. Kepemilikan tanah masih berciri tradisonal (warisan adat) sehingga mengalami
kesulitan dalam prosedur (cara) pengambilan tanah.
2. Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah
Sistem sewa tanah meliputi seluruh Jawa. Kecuali Parahiyangan dan Batavia
(milik swasta dan keengganan untuk menghapus tanaman kopi) => sangat tidak
konsisten.
Sistim sewa tanah tidka meliputi seluruh pulau Jawa, misalnya di daerah-daerah
sekitar Jakarta, pada waktu itu Batavia, maupun di daerah-daerah Parahiyangan system
sewa tanah tidak diadakan, karena daerah-daerah sekitar Jakarta adalah milik swasta,
sedangkan di daerah Parahiyangan pemerintah colonial berkeberatan untuk menghapus
system tanam paksa kopi yang member keuntungan yang besar. Jelaslah kiranya bahwa
pemerintah kolonial tidakbersedia untuk menerapkan azas-azas liberal secara konsisten
jika mengandung kerugian material yang besar. Oleh karena itu Paranghiyangan tidak
mengenal suatu fase menegah agak bebas diantara dua masa yang dicirikan unsur
paksaan dalam kehidupan ekonomi, seperti telah dikenal oleh daerah-daerah lain di Jawa,
melainkan daerah ini terus menerus menganal system tardisional dan feodal sampai tahun
1870.
Mengingat bahwa Raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa,
yaitu lima tahun, dan mengingat pula terbatas pegawai-pegawai yang cukup dan dana-
dana keuangan, tidka mengherankan bahwa Raffles akhirnya tidak sanggup
melaksanakan segala peraturan yang bertalian dengan system sewa tanah itu. Meskipun
demikian gagasan Raffles kebijakan ekonomi kolonial baru, terutana yang bertalian
dengam sewa tanah, telah sangat mempengaruhi pandangan dari pejabat-pejabat
pemerintah Belanda yang pada tahun 1816 mengambil alih kekuasaan politik atas pulau
Jawa dari pemerintahan Inggris.
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kebijakan Raffles pada umumnya
diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda yang baru, pertama-tama dibawah
komisaris Jenderal Elout, Buyskes dan Van der Capellen (1816-1819) dan kemudian
dibawah Gubernur Jenderal Van Der Capellen (1819-1826) dan Komisaris Jenderal du
Bus de Gisignies (1826-1830). Sistem sewa tanah baru dihapuskan dengan kedatangan
seorang Gubernur Jenderal yang baru, Van den Bosch (1830) yang kemudian
menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagang dalam
bentuk yang lebih keras dan efisien dari pada dibawah VOC.
Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung tiga aspek yang pertama
penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan atas dasar-dasar modern, kedua pelaksanaan
pemungutan sewa, ketiga penanaman tanaman daganag untuk dieksport.
Mengenai aspek yang pertama apa yang dimaksud oleh Raffles dengan
penerimaan tidak langsung yang dahulu diselenggarakan melalui raja-raja dan kepala
tradisional dengan suatu pemerintahan langsung. Hal ini berarti kekuasaan tradisional
raja-raja dan kepala-kepala tradisional sangat dikurangi dan bahwa sumber-sumber
penghasil mereka yang tradisional dihilangkan. Fungsi-fungsi pemerintaha yang mereka
tunaikan sampai waktu itu, sekarang dilakukan oleh pegawai-pegawai Eropa yang
jumlahnya bertambah banyak. Oleh Raffles diadakan fungsi aisten Residen, yang untuk
mendampingi dan mengawasi para bupati, dan pengawas-penghasil yang diperoleh dari
“tanah” yang kemudian disebut pengawas pamongpraja.
Dengan makin bertambahnya pengaruh pejabat-pejabat bangsa Eropa, pengaruh
para bupati pribumi makin berkurang. Malahan diantara pejabat-pejabat Eropa timbul
pikiran untuk menghilangkan sama sekali jabatan bupati. Tidak mengherankan bahwa
perkembangan ini sangat menggelisahkan para bupati, yang sebelum Raffles mempunyai
kekuasaan dan gengsi social yang amat besar.
Pada waktu Vander Capellen menerima jabatan Gubernur Jenderal dalam
pemerintahan Belanda yang telah dipulihkan, pengaruh para bupati sudah sudah sangat
berkurang dibandingkan dengan zaman VOC. Namun Vander Capellen menyadari
bahwa mereka mempunyai pengaruh tradisional yang besar atas rakyat dan ia menyadari
pula nbahwa pejabat Eropa tidak pernah bisa menggantikan kedudakan sosial mereka
dan masyarakat Jawa.Oleh Karena itu menempuh kebijaksanaan yang menghormati
kedudukan social para bupati dan berusaha pula untuk menggunakan kekuasaan dan
pengaruh mereka untu tujuan-tujuan pemerintah kolonial.Meskipun mereka tidak dapat
dihindarkan bahwa secara lambat laut kekuasaan efektif telah bergeser dari para bupati ke
pejabat-pejabat Eropa.
Hal ini jelas kelihatan dalam hubungan kekuasaan para bupati atas tanah. Sejak
dahulu kala untuk jasa-jasa mereka para bupati diberikan tanah. Bukan saja tanah yang
mereka peroleh akan tetapi menurut kebiasaan adat mereka maupun pekerjaan rodi dari
penduduk yang tinggal diatas tanah tersebut. Pada masa Raffles kebiasaan ini dihapuskan
dan para bupati mulai diberi gaji dalam bentuk uang dan jasa-jasa mereka pada
pemerintah kolonial.Dengan putusnya hubungan para bupati dan tanah lenyap pula
kewajiban rakyat untuk melakukan penyerahan wajib pekerjaan rodi untuk para bupati.
Dalam menilai keberhasilan perubahan yang diadakan dalam kedudukan para
bupati, dapat dikatakan bahwa secara marginal memang terjadi pembatasan dalam
kekuasaan para bupati. Hal ini misalnya jelas dari beberapa pengaduan yang telah
dilakukan oleh rakyat terhadap kepala-kepala mereka jika mereka mengalami apa yang
mereka rasakan sebagai tindakan sewenang-wenang. Akan tetapi pada umumnya
kebiasaan-kebiasaan yang tradisional maupun penghormatan yang tradisional dari rakyat
terhadap kepala-kepala mereka tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan keputusan-
keputusan orang asing, meskipun orang ini memiliki kekuasaan politik yang efektif. Hal
ini terlihat dari kewajiban rakyat untuk melakukan pekerjaan paksa atau rodi untuk kepla-
kepala mereka, meskipun pemerintah colonial secara resmi telah mengahpus kebiasan ini
namun tetap diteruskan.
Selanjutnya adalah aspek kedua yaitu pelaksanaan pemungutan sewa tanah.
Selama zaman VOC “pajak” berupa beras yang harus dibayar oleh rakyat Jawa kepada
VOC ditetapkan scara kolektif untuk seluruh desa. Dalam mengatur pungutan wajib ini
para kepala desa oleh VOC diberikan kebebasan penuh untuk menetapaka jumlah-jumlah
yang harus di bayar oelh masing-masing petani. Sudah barang tentu kebebasan ini
menyebabkan tindakan-tindakan sewenang-wenang yang sering merugikan rakyat.
Seorang liberal menentang kebiasaan ini. Berdasarkan keyakinana bahwa penduduk Jawa
harus dapat menikmati kepastian Hukum maka ia mempertimbangkan penetapan pajak
secara perorangan. Peraturan mengenai penetapan pajak berupa pajak tanah yanh harus
dibayar oleh perorangan dan bukan lagi oleh desa sebagai keseluruhan dikeluarkan dalam
tahun 1814. Daerah pertama yang terkena peraturan ini adalah Banten.
Akan tetapi tidak lama kemudian ternyata pelaksanaan pemungutan pajak secara
perorangan mengalami banayak kesulitan. Salah satu faktor yang penting dalam hal ini
adalah tidak tersedianya bahan-bahan keterangan yang baik dan dapat dipercayai untuk
penetapan jumlah pajakyang harus dibayar oleh tiap-tiap orang. Oleh karena itu tidak
mengherankan bahwa penetapan pajak tidak dilakukan dengan tepat, sehingga sering
memperberat beban pajak untuk rakyat.dan bukan memperingankan seperti yang
dimaksud oleh Raffles.
Sewaktu kekuasan atas pulau Jawa telah dikembalikan kepada Belanda, Para
Komisaris Jenderal menghapuskan penetapan pajak secara perorangan dan dikembalikan
lagi kepada penetapan pajak kolektif untuk tia-tiap desa secara keseluruhan. Hal ini
menimbulakan kesewenangan-wenangan mulai muncul kembali, walaupun tidak sehebat
pada zaman VOC.
Aspek ketiga sistim sewa tanah adalah promosi penanaman tanaman-tanaman
perdagangan untuk dieksport. Sampai seberapa jauh pelaksanaan system sewa tanah
berhasil memajukan tanaman-tanaman dagang untuk diekspor keluar negeri, pengelaman
menunjukan bahwa eksperimen ini mengalami kegagalan. Penanaman kopi misalnya
pada awal abad kesembilan belas merupana tanaman dagang terpenting di Jawa, dibawah
system sewa tanah mengalami kemunduran yang berarti. penyebab kegagalan ini adlah
kerena kurangnya pengalaman petani dalam menjual tanaman mereka dipasaran bebas ,
sehingga sering penjulan ini diserahkan kepada kepala desa mereka. Hal ini
menyebabkan kepala-kepla menipu petani sendiri atau sipembeli, sehingga pemerintah
kolonial terpaksa ikut campur tangan lagi dengan mengadakan penanaman paksa bagi
tanaman-tanaman perdagangan.
3. Penanam Tanaman Dagang untuk Export
Aspek ketiga dari sistem sewa tanah adalah promosi penanaman tanaman-
tanaman perdagangan untuk eksport. Penanaman kopi merupakan penanaman tanaman
yang sangat penting di Jawa, begitupun gula merupakan komoditi ekspor yang sangat
laku waktu itu. Tanaman gula mengalami kegagalan karena kurang berpengalaman para
petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka ke pasaran bebas. Sering penjualan ini
diserahkan kepada kepala-kepala desa. Hal ini menyebabkan kepala-kepala desa menipu
petani itu sendiri atau sipembeli, sehingga pemerintah kolonial terpaksa campur tangan
lagi dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman-tanaman perdagangan.
4. Akhir Kekuasan dan sumbangan Pada masa pemerintahan Raffles
Pada akhirnya karena mengalami kegagalan untuk mengisi kas pemerintahan
diterapkan kerja rodi dan pemungutan paksa. Ia bertindak konservatif rakyat sama saja
menderita seperti sebelumnya, dengan dibantu dewan penasehat seperti Gransen,
Gillespie dan Montinghe ia melakukan tindakan menjual tanah. Tindakan ini ternyata
diketahui oleh pemerintah Inggris. Kedudukan Raffles kemudian digantikan oleh John
Fendal. Sebenarnya alasan mendasar kejatuhan Raffles adalah karena ia tidak menyetujui
isi konvensi London yang disebut dalam isinya bahwa Indonesia harus dikembalikan
kepada Belanda. Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte akhirnya menyerah kepada
Inggris. Belanda lepas dari kendali Prancis hubungan antara Belanda dan Inggris
sebenarnya akur, dan mereka mengadakan pertemuan di London Inggris. Pertemuan ini
menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam convention of London 1814. Isinya
Belanda memperoleh kembali daerah jajahannya yang dulu direbut Inggris. Status
Indonesia dikembalikan sebagaimana dulu sebelum perang, yaitu dibawah kekuasaan
Belanda.
Raffles menolak kemudian lari ke Bengkulu, Raffles ingin menutup kekalahannya
dibidang politik dengan cara membeli Singapura. Akhirnya disepakati Traktat London
(1824) yang isinya :
1. Singapura diserahkan kepada Inggris
2. Bengkulu diserahkan pada Belanda
3. Kedaulatan Aceh diakui, karena takut Aceh berdagang yang akan mematikan
Singapura.

Selanjutnya penyerahan wilayah Hindia Belanda dari Inggris kepada Belanda


berlangsung di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1816. Inggris diwakili oleh John Fendall
dan Belanda diwakili oleh Mr. Ellout, Van Der Capellan, dan Buyskes.
Thomas Stamford Raffles selama memerintah, memberi sumbangan positif bagi
Indonesia antara lain :
a. Membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan Inggris
b. Menulis buku yang berjudul History od jav
c. Menemukan bunga Rafflesia-Arnoldi
d. Merintis adanya Kebun Raya Bogor
C. Politik dan Ekonomi Masa Gubernur Jenderal Belanda
1. Masa Van der Capellen 1819-1826
Berbeda dengan komisi yang kembali ke Belanda, Vander Capellen ternyata telah
dikuasai oleh semangat reaksioner (konservatif). Van der Capellen sama sekali berbuat
atau memerintah tidak berpedoman kepada UU 1818/1819 yang telah disusun,sebaliknya
setapak demi setapak kembali ke sistem lama. Dengan dalih melindungi petani dari
penghisapan atau eksploitasi, dia tidak menyokong perkebunan swasta, baik mereka
sebagai pengusaha perkebunan ataupun sebagai pedagang. Seperti dinyatakan diatas
dilakukan dengan dalih melindungi petani dari orang-orang asing. Namun dalam
kenyataan, harga yang dibayarkan pemerintah sangat rendah (monopoli), walaupun
kemudian perintah dari Belanda 1821 supaya harga dinaikkan, namun tidak dipatuhi oleh
Van der Capellen.
UU 1823 berakibat lebih parah lagi isinya berupa larangan penyewaan tanah-tanah
dikerajaan Surakarta dan Yogjakarta kepada orang-orang asing (Eropa). Di daerah kerajaan
itu masih berlaku sistem lama dimana pegawai-pegawai dibayar dengan hasil tanah yang
diberikan hak guna pakai bagi mereka. Tanah-tanah itulah yang disewakan para bangsawan
kepada orang Eropa dengan sewa yang lebih besar terhadap bangsawan dan raja Yogja,
sehingga keresahan yang telah ada semenjak Daendels, meletus dalam bentuk perang Jawa.
Di luar Jawa perlawanan terhadap Belanda timbul diberbagai daerah, seperti di
Palembang dan Sumatera Barat. Tentu saja semua usaha memadamkan perlawanan
memerlukan biaya yang banyak. Sedangkan usaha di bidang keuangan dan perkebunan
tidak mendapat kemajuan. Hal tersebut menimbulkan rasa antipati pemerintah Belanda
terhadap Van der Capellen.
Secara umum dapat disimpulkan ketidakpuasan kepada Van der Capellen adalah
sebagai berikut:
a. Utang yang makin besar (pengeluaran 24 juta lebih besar dari pemasukan)
b. Makin berkurangnya hasil tanaman ekspor
c. pemilikan tanah.
d. Sementara itu golongan liberal mengutuk sikapnya yang konservatif.
Sebagai penggantinya diangkat Du Bus de Ghiesignis dengan pangkat Komisaris
Jenderal, yang diberi kuasa mutlak untuk mengadakan penghematan serta menyelidiki
tantang kemungkinan-kemungkinan sumber uang.
2.Masa Du Bus Ghisignes 1826-1830
Du Bus Ghisignes seorang liberal yang secara terang-terangan membela gagasan
Raffles dan Komisaris Jenderal. Di mencabut larangan menyewa tanah oleh raja-raja dan
kaum bangsawan kepada swasta, yang awalnya merupakan kebijakan Van der Capellen.
Selanjutnya de Bus mengemukakan hasil penyelidikannnya yang antara lain: Ekspor Jawa
tidak sebanding dengan kesuburan tanah dan banyaknya tenaga, baru ± 1/5 tanah yang
dikerjakan. Selama ekspor tidak dapat ditingkatkan dengan mengganti milik bersama
menjadi milik perorangan, penambahan modal baru untuk perkebunan disamping yang
telah ada. Tanah-tanah yang diberikan adalah tanah yang belum dibuka terletak dekat desa
yang padat penduduknya, sehingga petani mendapat tambahan penghasilan baru.
Buah pikiran tersebut ditolak oleh raja, ternyata tidak ada orang Eropa yang mau
menamkan modalnya di Indonesia. Sementara itu keuangan Belanda makin morat marit
akibat situasi Eropa serta perang-perang terjadi di Indonesia. Defisit menimbulkan
kekhawatiran kalau budget 1829 ditolak oleh parlemen. Karena itu perlu dicari jalan keluar
untuk menyakinkan perlemen. Jalan tersebut ditunjukan oleh Jenderal Van den Bosch yaitu
melaksanakan sistem baru yang terkenal dengan nama sistem tanam paksa, agar mau
menyetujui budget yang telah disusun.
Komisaris Jenderal Du Bus Des Gisignes (1826-1830) pada masanya menetapkan
kebebasan penanaman bersama dengan meningkatkan produksi untuk ekspor sebagai dasar
guna memajukan perdagangan dan pajak tanah. Pada pelaksanaan ekonomi politiknya ia
mengalami hambatan diantaranya: tanah yang telah digarap di Jawa baru ¼ atau 1/8 dari
luas keseluruhan, pribumi tidak mempunyai hasrat membuka tanah baru karena cukup
hidup dari penanaman padi pada sebidang tanah sekedar untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, De Bus memerlukan tanah dan tenaga rakyat ditambah modal kaum Eropa.
Pada masa pemerintahan mereka pada umumnya meneruskan kebijaksanaan
pemerintah sebelumnya (Raffles). Kebijakan dibidang ekonomi: pada masa ini sumber
keuangan Belanda sampai tahun 1830 adalah perkebunan kopi, monopoli garam, monopoli
rempah-rempah, dan pajak tanah peninggalan Raffles.
Evaluasi:

1. Jelaskanlah Kebijakan Gubernur Raflles dalam Bidang ekonomi ?

2. Jelaskanlah Kebijakan Gubernur Raffles di Bidanga Politik ?

3. Mengapa Kebijakan Gubernur Raffles dalam sistem sewa Tanah mengalami Kegagalan?

Anda mungkin juga menyukai