Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

RUANG LINGKU HUKUM AGRARIA DAN ASAS-ASAS


HUKUM AGRARIA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 :

 Achmad Slamet. S (1903019)


 Agustina (1903020)
 Darlia (1903022)
 Afduwita Remsa (1903025)
 Jumiana (1903027)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM AMSIR

PAREPARE

2002
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Berkat, Rahmat dan

Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini guna melengkapi

tugas yang dibebankan oleh dosen, yaitu Dosen Pembimbing Hukum Agraria di Sekolah Tinggi

Ilmu Hukum (STIH) Amsir Parepare. Di samping itu, saya juga mengucapkan terimakasih

kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaian makalah ini.

            Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas Hukum Agraria. Di

samping itu juga dapat bermanfaat untuk para pembaca guna mendapatkan wawasan dan

pengetahuan tentang ().

            Dari hati yang terdalam kami mengucapkan permintaan maaf atas kekurangan makalah

ini, karena kami tahu makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, kami berharap kritikan, saran, dan masukan yang membangun dari pembaca guna

penyempurnaannya ke depan.

            Akhir kata kami ucapkan terimakasih dan semoga makalah ini bermanfaat sesuai dengan

fungsinya. Amin.

                                                                     Parepare, 16 februari 2020

                                                                                               

 Penulis
Judul

Kata Pengantar.....................................................................................................................i

Daftar Isi..............................................................................................................................ii

Bab. I. Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................1

C. Tujuan Penulisan ..............................................................................................

Bab. II. Pembahasan

A. Sejarah Hukum Agraria Sebelum dan Sesudah UUPA ....................................3

B. Ruang Lingkup Hukum Agraria........................................................................

Bab. III. Penutup

A. Kesimpulan .......................................................................................................

B. Saran .................................................................................................................

Daftar Pustaka.............................................................................................................
A. Sejarah Hukum Agraria Sebelum Dan Sesudah UUPA

A) Hukum Tanah Sebelum Berlakunya UUPA

a. Hukum Tanah Yang Dualistic Dan Pluralistic

Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, didalam masyarakat adat

telah terdapat penguasaan dan pemilikan tanah yang diatur sesuai dengan ketentuan

hukum adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Ketentuan yang mengatur

mengenai penguasaan atas tanah yang terdapat dalam masyarakat bercirikan “tidak

tertulis”.

Setelah belanda menjajah bangsa Indonesia, belanda mendatangkan peraturan

hukum pertanahan yang berlaku dinegaranya ke Indonesia, yang kemudian

diberlakukan terhadap masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, keberadaaan

hukum agraria yang dibawah dari belanda menggeser kedudukan dari hukum

agraria yang telah diakui dan ditaati oleh masyarakat adat tersebut. Oleh karena itu,

dengan hadirnya pemerintahan belanda, dengan sendirinya tanah-tanah yang

terdapat di Indonesia diatur oleh dua peraturan, yaitu peraturan adat tentang tanah

yang tunduk pada hukum adat dan peraturan tanah yang tunduk pada hukum

belanda, misalnya hak postal, hakerpacht,dan hak eigendom. Dengan adanya kedua

peraturan mengenai pertahanan tersebut, lahirlah “dualisme ” dalam peraturan

hukum pertahanan di Indonesia.

Selain kedua peraturan mengenai hukum tanah yang berada di Indonesia diatas,

pemeerintah belanda menciptakan pula hukum tanah yang seperti

agrarischeigondam. Disamping itu, pemerintah Swapraja menciptakan pula hukum

atad tanah yang berlaku didalamnya, seperti grant Sultan. Dengan adanya tiga
peraturan mengenai hak-hak atas tanah tersebut, timbullah “pluralistik” hak atas

tanah yang terdapat di Indonesia. Menurut Boedi Harsono bahwa dengan adanya

hak-hak tanah adat, hak atas tanah ciptaan Pemerintah Swapraja, hak atas tanah

ciptaan Pemerintah Belanda, bisa kita sebut tanah hak Indonesia, yang cakupan

pengertian lebih luas dari tanah-tanah hak adat.(Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,

Sejarah Perkembangan Undang-Undang Pokok Agraria,hlm.48)

B) Sejarah Pengaturan Hak Atas Tanah di Indonesia

Pembahasan mengenai sejarah penguasaan hak atas tanah Indonesia akan dimulai

dari tonggak sejarah pada tahun 1811 pada waktu Indonesia dipengaruhi oleh pikiran

Raffles dengan teori domeinnya. Namun untuk lebih lengkapnya akan diuraikan secara

rinci dibawah ini.

a. Tonggak Pertama: 1811

Pada zaman ini, penguasaan hak atas tanah lebih diposisikan sebagai alat untuk

menarik pajak bumi demi kepentingan pemerintah jajahan Belanda. Dalam sejarah,

pemerintahan jajahan Belanda gagal melakukan administrasi pertahanan dengan

baik, maka setelah pemerintah Belanda digantikan oleh pemerintahan jajahan

Ingris, administrasi pertahanan mulai ditata. Salah seorang penggagas perbaikan

administrasi pertahanan adalah Raffles.(Wiradi, ) (Prinsip-Prinsip Reforma Agraria, Jalan

penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, hlm. 6)

Setelah Inggris benar-benar menguasai Indonesia, maka dengan erbekal

pengalaman di India tersebut, Raffles lebih hati-hati menerapkan secara penuh

pengalaman di India tersebut, sehingga pada tahun 1811 Raffles membentuk penitia

penyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie (Komisi Mackenzie) dengan tugas

melakukan penyelidikan statistic mengenai keadaan agraria. Berdasrkan hasil


penyelidikan, Raffles menarik kesimpulan bahwa semua tanah adalah milik raja

atau pemerintah. Dengan pegangan ini, dibuatlah system penarikan pajak bumi

(yang dikenal dengan istilah Belanda Landrente). System ini mewajibkan setiap

petani membayar pajak sebesar 2/5 (dua perlima) dari hasil tanah garapannya. Teori

Raffles ini ternyata mempunyai politik agraria selama sebagian besar abad ke-19
(ibid., hlm. 6-7)

b. Tonggak Kedua: 1830

Tonggak sejarah perkembangan hukum agraria, khususnya pengaturan hak atas

tanah pada zaman ini, ditandai dengan kembalinya Indonesia ke tangan pemerintah

jajahan Belanda yang kurang lebih 19 tahun berada ditangan Inggris. Pada tahun

1830 pemerintahan Belanda di Indonesia dipimpin oleh Gubernur Jendral Van den

Bosch yang mempopulerkan sebuah konsep penguasaan tanah Cultuurstelsel atau

yang lazim disebut system Tanam Paksa. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari

diadakannya system tanam paksa ini adalah untuk menolong negeri belanda yang

keadaan keuangangannya dalam keadaan buruk.

Van dan Bosch dalam menjelaskan system tanam paksa ini, tetap mengacu

pada teori yang dilakukan oleh Raffles sebelumnya, yaitu tanah adalah milik

pemerintah, pada kepala desa dianggap menyewa kepada pemerintah , dan

selanjutnya kepada desa dianggap menyewa kepada pemerintah, dan selanjutnya

kepada desa meminjamkan kepada petani. Atas dasar ini, isi pokok Cultuurstelsel

adalah bahwa pemilik tanah tidak usah lagi membayar Landrente tanaman tertentu

yang dikehendaki oleh pemerintahan seperti nilai, kopi, tembakau, the, tebu dan

sebagainya, kemudian harus diserahkan kepada pemerintah (untuk ekspor ke

Eropa). Hasil politik tanam paksa ini ternyata demikian melimpahnya bagi
pemerintahan Belanda sehingga menimbulkan iri hati bagi kaum pemilik modal

swasta. ( Ibid., hlm: 7)

c. Tonggak Ketiga: 1848

Dalam tonggak kedua diatas telah dijelaskan mengenai monopolinya

pemerintahan jajahan Belanda atas tanah dan hasil dari perkebunannya sehingga

menimbulkan kecemburuan dari kaum pemilik modal dari aliran liberal yang ada

diparlemen. Wakil-wakil dalam parlemen mununtut agar bisa turut campur dalam

urusan tanah jajahan yang sampai saat itu hanya dipegang oleh raja dan mentri

tanah jajahan. Terjadilah pergolakan antara mereka dengan golongan konservatif

pendukung cultuurstelsel. Namun demikian, dengan kegigihan dalam

memperjuangkan tuntutannya tersebut, kaum liberal memetik kemenagan pertama

dengan disetujuinya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Belanda, yaitu

dengan adanya ketentuan didalamnya yang menyebutkan bahwa pemerintah ditanah

jajahan harus diatur dengan undang-undang.

Undang-undang yang dimaksud dalam perubahan Undang-Undang Dasar

Belanda tersebut selesai pada tahun 1854, yaitu dengan dikeluarkannya Regerings

Reglement (RR) 1845. Salah satu ayat pada Pasal 62 RR menyebutkan bahwa

Gubernur Jendral boleh menyewakan tanah dengan ketentuan-ketentuan yang akan

ditetapkan dengan ordonasi. Tujuan utama gerakan kaum liberal di bidang agraia

itu adalah (1) agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasa tanah

oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom), untuk memungkinkan penjualan

dan penyewaan. Sebab, tanah-tanah dibawa hak komunal ataupun kekuasaan adat

tidak dapat dijual atau disewakan keluar, dan (2) agar dengan asas domein itu
pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat

menyewa tanah jangka panjang dan murah (yaitu erpacht). (Ibid., hlm: 7-8)

d. Tonggak Keempat: 1870

Jatuhnya mentri jajahan Frans vande Putte, karena dianggap terlalu tergesa-

gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Adapun seluk-beluk agraria di

Indonesia belum diketahui benar-benar. Karena itu pada tahun 1866/1867,

pemerintah lalu mengadakan suatu penelitian tentang hak-hak penduduk Jawa atas

tanah yang dilakukan di 808 desa diseluruh jawa. Laporan penelitian ini terbit

dalam tiga jilid pada tahun 1876, 1880, dan 1896, dengan judul Eindresume van het

Onderzoek naa de Reahten van den Inderlander op de Grond (biasa disingkat

Eindresume).

e. Tonggak Kelima: 1960

Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa peraturan perundang-undangan

dibidang agraria yang dibuat oleh pemerintah jajahan, baik belanda maupun inggris

sangat tidak berpihak kepada rakyat Indonesia. Perhatian pemerintah terhadap

pengaturan mengenai agraria dimulai sejak tahun 1948 dengan dibentuknya

“Panitia Agraria”. Setelah 15 tahun Indonesia merdeka barulah lahir UU Nomor 5

Tahun !960 memulai suatu proses yang panjang, yaitu dimulai panitia Yogya pada

tahun 1948; panitia Jakarta (1951), panitia Soewahjo (1956), rancangan Soenario

(1958), dan akhirnya rancangan Soedjarwo (1960).


C) Hukum Tanah Administratif Pemerintah Jajahan Hindia Belanda

Pembahasan materi ini akan berkisar mengenai berlakunya hukum tanah

pemerintahan belanda yang terdapat di negaranya, kemudian dibawa ke Indonesia.

Kehadiran hukum tanah Belanda menggeser keberadaan hukum tanah adat yang telah

lama bercokol di nusantara. Lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut.

a. Agrarische Wet 1870

Setelah berkuasa di Indonesia, pemerintah Belanda memberlakukan hukum

tanah yang terdapat di Belanda, yaitu Agrarische Wet. Agrarische Wet ini dibuat di

Belanda tahun 1870 dan diundangkan dalam S 1870-55 tahun 1870 sebagai

tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regeling Reglement Hindia Belanda

Tahun1845. Regering Reglement ini semula hanya terdiri atas 3 ayat, kemudian

ditambah dengan 5 ayat, sehingga menjadi 8 ayat. Pasal 62 RR tersebut berbunyi

sebagai berikut.

a) Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.

b) Dalam larangan diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang

diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-

kegiatan usaha.

c) Gubernur jendral dapat menyewakan tanahh menurut ketentuan-ketentuan yang

ditetapkan dengan ordonensi. Tidak termasuk yang boleh disewakan adalah

tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan hutan, kepunyaan

desa.
b. Tujuan Agrarische Wet

Tujuan utama diberlakukannya Agrarische Wet (AW) ini adalah untuk

membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha

swasta untuk dapat berkembang di Hindia Belanda. Bentuk hak yang diberikan oleh

pemerintah Hindia Belanda kepada pengusaha adalah dengan hak erpacht

merupakan hak keberadaan yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada

pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan

pihak lain. Pemegang hak erpacht boleh menggunakan semua kewenangan yang

terkandung dalam eigendom atas tanah.

c. Agrarisce Besluit

Ketentuan yang terdapat dalam Agrarische Wet (AW) pelaksanaannya diatur

lebih lanjut oleh beberapa peraturan dan keputusan, diantaranya adalah agrarische

besluit yang diundangkan dalam S. 1870-118. Dalam Pasal 1 Agrarische Besluit

tersebut dimuat sebuah pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangan

dan pelaksanaan Hukum Tanah Administratif Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai

kurang menghargai, bahkan memerkosa hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber

pada hukum adat. Dalam ketentuan asas tersebut dinyatakan bahwa: “… semua

tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan kebagai hak eigendomnya, adalah

domein (milik) Negara”. Ketentuan yang terdapat dalam asas tersebut lazim disebut

Domein Verklaring (pernyataan Domein).

d. Fungsi Domain Verklaring

Dalam praktik pelaksanaan perundang-undangan pertanahan, domein

verklaring berfungsi:
a) Sebagai landasan hukum bagi pemerintah untuk memberikan tanah dengan hak-

hak berat yang diatur dalam KUH Perdata, seperti erpacht, hak opstal, dan lain-

lainnya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak

eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada

penerima tanah;

b) Dibidang pembuktian pemilikan.

D) HUKUM AGRARIA NASIONAL

a. Upaya Proklamasi Hukum Agraria Nasional

Proklamasi Kemerdekaan RI dinyatakan pada 17 agustu 1945 oleh Soekarno dan

Muhammad Hatta atas nama bangsa Indonesia sebagai tanda terbentuknya Negara

Kesatuan RI sebagai suatu bangsa yang merdeka. Dari segi Yuridis, Proklamasi

kemerdekaan merupakan saat tidak berlakunya hukum kolonial dan saat mulai

berlakunya hukum nasional, sedangkan dari segi politis, Proklamasi Kemerdekaan

mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan bangsa asing dan

memiliki kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri. Proklamasi Kemerdekaan

RI memiliki dua arti penting bagi penyusunan Hukum Agraria nasional, yaitu

pertama, Bangsa Indonesia memutuskan hubungannya dengan Hukum Agraria

Kolonial, dan kedua, bangsa Indonesia sekaligus menyusun Hukum Agraria nasional.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum

Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia Merdeka, yaitu:
a) Menggunakan kebijakan dan Tafsiran baru

Dalam pelaksanaan Hukum Agraria didasarkan atas kebijakan baru

dengan memakai tafsir yang baru pula yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

b) Penghapusan hak-hak konvensi

Berdasarkan UU No.13 tahun 1948 yang mencabut Stb. 1918 No.20, dan

ditambah dengan UU No.5 tahun 1950, yang secara tegas dinyatakan bahwa

lembaga konvensi, begitu juga hak-hak kenvensi serta hypotheek yang

membebani menjadi hapus.

c) Penghapusan tanah partikelir

Berdasarkan UU No.1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah

Partikelir, 24 januari 1958, hak-hak pemilik tanah partikelir atas tanahnya dan

hak-hak pertuanannya hapus dan tanah bekas tanah partikelir itu karena

hukum seluruhnya serentak menjadi tanah negara.

d) Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat

Pasal 8a dan 8b serta pasal 15a dan 15b oleh Undang Undang Darurat

No.6 tahun 1951. Undang Undang Darurat ini kemudian ditetapkan menjadi

Undang Undang No.6 tahun 1952.

e) Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah

Undang Undang No.28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap

pemindahan hak-hak atas tanah perkebunan erfpacht, eigendom,dan lain-lain

hak kebendaan.
f) Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan

Atas dasar undang-undang No.29 tahun 1956, Mentri Agrariadan

pertanian berwenang melakukan tindakan-tindakan agar tanah-tanah

perkebunan yang mempunyai fungsi sangat penting dalam perekonomian

negara diusahakan dengan baik.

g) Kenaikan Canon dan Cijn

Dalam UU No.78 tahun 1957 tentang perubahan canon dan cijn atas hak-

hak erfpacht dan konsesi guna perubahan perkebunan besar ditetapkan bahwa

selambat-lambatnya 5 tahun sekali uang wajib tahunan ini harus ditinjau

kembali.

h) Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa izin

Undang Undang Darurat No.8 tahun 1954 tentang penyelesaian soal

pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat. Undang-Undang Darurat ini diubah

dan ditambahkan dengan Undang Undang No.1 tahun 1956

Ketentuan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak

atau kuasanya diatur oleh Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960. Undang-

undang ini kemudian digantikan oleh undang-undang No.1 tahun 1961.

i) Peraturan perjanjian bagi hasil (tanah pertanian)

UU No.2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Undang-Undang ini

mengharuskan agar pihak-pihak yang memuat perjanjian bagi hasil dibuat

secara tertulis, dengan maksud agar mudah mengawasi dan mengadakan

tindakan-tindakan terhadap perjanjian bagi hasil yang merugikan

penggarapnya.
j) Peralihan tugas dan wewenang agraria

UU No.7 tahun 1958 ditetapkan pengalihan tugas dan wewenang agraria

dan materil dalam negeri kepada mentri agraria, serta pejabat-pejabat

didaerah.

b. Faktor-Faktor Penting Dalam Pembangun Hukum Agraria Nasional

Menurut Notonagoro, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan

hukum agraria nasional, adalah faktor normal, faktor material, faktor ideal, faktor

agraria modern, dan faktor ideologi politik. Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a) Faktor Formal

Keadaan hukum agraria sebelum diundangkannya UUPA merupakan keadaan

peralihan, keadaan sementara waktu oleh karena peratura-peraturan yang sekarang

berlaku berdasarkan pada peraturan-peraturan peralihan yang terdapat dalam pasal

142 Undang-undang Dasar sementara (UUDS) 1950, pasal 192 Konstitusi

Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan pasal 2 aturan Peralihan UUD 1945.

b) Faktor Material

Hukum agararia kolonial mempunyai sifat dualisme hukum. Dualisme hukum

ini dapat meliputi hukum, subjek maupun objeknya. Menurut hukumnya, yaitu

satu pihak yang berlaku Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata

maupun Agrarische Wet, di pihak lain berlaku hukum agraria adat yang diatur

dalam hukum adat tentang tanah masing-masing. Manurut subjeknya hukum


agraria barat berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada hukum barat, menurut

objeknya disatu pihak ada hak-hak atas tanah yang diperuntukkan bagi orang-

orang yang tunduk pada hukum barat, dipihak lain ada hak-hak atas tanah yang

diperuntukkan bagi orang-orang yang tunduk pada hukum adat.

c) Faktor Ideal

Dari faktor ideal (tujuan Negara) sudah tentu tujuan hukum agraria kolonial

tidak cocok dengan tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam alinea IV

Pembukaan UUD 1945 dan tujuan penguasaan bum, air, dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya, seperti yang tercantum dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD

1945

d) Faktor Agraria Modern

Faktor-faktor agraria modern terletak dalam lapangan-lapangan:

 Lapangan Sosial

Masalahnya adalah bagaimana hubungan antara pemilik tanah dan bukan

pemilik tanah itu harus diatur untuk kesejahteraan rakyat.

 Lapangan Ekonomi

Masalnya adalah bagaimana penggunaan tanah itu harus diatur agar dapat

memberikan hasil produksi yang optimal atau mencapai titik optimum.

 Lapangan Etika
Masalahya adalah bagaimana penggunaan tanah itu harus diatur agar

selain bisa memberikan kesejahteraan pada pemiliknya, juga memberikan

kesejahteraan bagi masyarakat dan bangsa

 Lapangan Idiil Undamental

Masalahnya adalah apakah warga Negara Indonesia boleh mempunyai hak

milik atas tanah tanpa batas luas dan jumlahnya di Indonesia.

Hal-hal tersebut di atas mendorong agar buat hukum agraria nasional

e) Faktor Ideologi Politik

Dalam menyusun hukum agraria nasional boleh mengadopsi hukum agraria

Negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila UUD 1945. UUD

1945 dijadikan faktor dasar dalam pembangunan hukum agraria nasional.

c. Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria

Tahapan-tahapan dalam penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Panitia Agraria Yogya

Panitia ini dibentuk dengan penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948 tanggal

21 Mei 1948.

b) Panitia Agraria Jakarta

Panitia Agraria Yogya dibubarkan dengan keputusan Presiden No. 36

Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951,sekaligus dibentuk Panitia Agraria


Jakarta yang kedudukannya dijakarta dan diketahui oleh Singgih

Praptodihardjo,wakil Kepala bagian Agraria Kementrian dalam Negeri.

c) Panitia Soewahjo

Berdasarkan keputusan Presiden No. 1 Tahun 1956 Tanggal 14 Januari

1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria yang berkedudukan di Jakarta

dan diketuai Soewahjo Soemodilogo,Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria.

d) Rancangan Soenarjo

Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika dan

perumusan beberapa pasalnya,maka rancangan Panitia Soewahjo oleh Menteri

Agraria Soenarjo diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret

1858.Dewan Menteri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958 dapat menyetujui

Rancangan Soenarjo dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

melalui amanat Presiden Soekarno tanggal 24 April 1958.

e) Rancangan sadjarwo

Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 kita kembali kepada

UUD 1945. Berhubung rancangan Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR

beberapa waktu yang lalu disusun berdasarkan UUDS 1950,maka dengan surat

Presiden tanggal 23 Maret 1960 Rancangan tersebut ditarik kembali dan

disesuaikan dengan UUD 1945.


d. Undang-Undang Pokok Agraria Sebagai Hukum Agraria Nasional

UUPA merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang

dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA,yaitu “Atas Dasar ketentuan dalam pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal yang dimaksud dalam Pasal

1,bumi,air,dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

itu pada tingkatan tertinggi yang dikuasai oleh Negara,sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat .” Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan landasan konstitusional

bagi pembentukan Politik dan Hukum Agraria Nasional,yang berisi perintah kepada

Negara agar bumi,air,dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang

diletakkan dalam penguasaan Negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-

besarnya kemakmuran seluruh Rakyat Indonesia.

Menurut Muchsin,Kriteria yang digunakan sebagai dasar bahwa UUPA sebagai

Undang-undang pembaharuan yang berkaitan dengan Agraria,yaitu:

a) UUPA mencabut peratutan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dibuat

pada masa Pemerintahan Hndia-Belanda.

b) UUPA menempatkan Negara bukan sebagai pemilik sumber daya Agraria

melainkan sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya

berwenang menguasai sumber daya Agraria.

c) UUPA mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan Hukum Agraria,Yaitu

kesatuan dibidang Hukum,hak atas tanah,hak jaminan atas tanah,dan

pendaftaran tanah serta menempatkan Hukum Adat sebagai dasar

pembentukannya.
d) UUPA menempatkan jaminan kepastian Hukum melalui penyelenggaraan

pendaftaran atas bidang-bidang tanah yang ada diseluruh wilayah Indonsia.

e) UUPA menjabarkan nilai-nilai Pancasila sebagai asas kerohanian bangsa yang

dimuat dalam Konsiderans UUPA dibawa perkataan “Berpendapat” huruf c,

Penjelasan Umum angka 1 UUPA dan pasal-pasal dalam UUPA.

e. Peraturan Dan Keputusan Yang Dicabut Oleh Undang-Undang Pokok Agraria

a) Agrarische Wet Stb. 1870No. 55 sebagai yang termuat dalam pasal 51 IS Stb.1925

No.447.

b) Peraturan-peraturan tentang Domein Verklaring baik yang bersifat umum maupun

khusus

c) Koninklijk Besluit (Keputusan Raja) tanggal 16 April 1872 No. 29 (Stb. 1872 No.

117) dan peraturan pelaksanaannya.

d) Buku II KUH Perdata Indonesia yang sepanjang mengenai bumi,air,serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,kecuali ketentuang-ketentuang

tentang hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA.

f. Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria

a) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusun Hukum Agraria Nasional,yang akan

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,kebahagiaan,dan keadilan

bagi Negara dan Rakyat,terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang

adil dan makmur.

b) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

Hukum pertahanan.
c) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian Hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

g. Asas-ASAS DALAM UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

a) Asas Kenasionalan

b) Asas pada Tingkatan Tertinggi,Bumi,Air,Ruang Angkasa,dan Kekayaan Alam

yang Terkandung di Dalamnya Dikuasai oleh Negara.

c) Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara Berdasarkan atas

Persatuan Bangsa DAripada Kepentingan Perseorangan atau Golongan.

d) Asas Semua Hak atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial.

e) Asas Hanya Warga Negara Indonesia Yang Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

f) Asas persamaan Bagi setiap Warga Negara Indonesia.

g) Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan Secara Aktif Oleh

Pemiliknya Sendiri Dan Mencegah Cara-cara yang Bersifat Pemerasa.

h) Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secarah Berencana.

i) Asas Kesatuan Hukum.

j) Asas Jaminan Kepastian Hukum Dan Perlindungan Hukum.

k) Asas Pemisahan Horizontal

h. Undang-Undang Pokok Agraria Didasarkan Atas Hukum Adat

a) Hukum Adat Sebagai Dasar Utama

b) Hukum Adat sebagai Hukum Pelengkap

B. Ruang Lingkup Hukum Agraria

Berbicara mengenai sifat dan ruang lingkup hukum agraria tidak dapat dilepsakandari

sejarah perkembangan hukum agraria Indonesia,dimana secara garis besar dibedakan ke


dalam dua masa yaitu masa penjajahan dan masa kemerdekaan.Masing-masing masa

berbeda-beda dalam melihat sifat dan ruang lingkup pengaturan hukum agrarian.

Pada masa penjajahan Hindia Belanda politik hukum pertahanan pada jaman HB dengan

asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan pemerintah jajahan dan kaula

Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan

penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan

perlindungan.Menurut Agrarische Wet pemerintah HB bertindak sama kedudukannya

dengan orang,tampak adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agrarian pada

umumnya,sedangkan setelah Indonesia merdeka Pemerintah bertindak selaku penguasa.

Sedangkan setelah Indonesia merdeka hukum agraria Negara RI bertujuan untuk

mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur

berdasarkan pancasila dan UUD 45 (pasal 33 ayat 3,). Hukum agraria oleh pemerintah

dijadikan sebagai alat untuk menciptakan kemakmuran bagi seluruh Rakyat Indonesia

melalui kewenangan yang diberikan kepadanya untuk mengelolah sumber daya alam

nasional. Untuk itu maka pada tanggal 6 september 1960 diundangkanlah Undang-Undang

No.5 Tahun 1960 sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Secara mendasar Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-

pokok Agraria mengatur:

A) Hubungan Hukum antara bangsa Indonesia dengan Bumi,Air,Ruang Angkasa dan

Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya.

B) Hubungan hukum antara Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia

dengan Bumi,Air,Ruang Angkasa dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya .


Atas dasar hak menguasai tersebut maka Negara dapat:

a. Menentukan bermacam-macam hak atas tanah.

b. Mengatur pengembalian kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

c. Membuat perencanaan/planning mengenai penyediaan,peruntukan dan penggunaan

Bumi,Air,Ruang Angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

d. Mencabut hak-hak atas tanah untuk keperluan kepentingan umum.

e. Menerima kembali tanah-tanah yang:

a) Diterlantarkan

b) Dilepaskan

c) Subjek hak tidak memenuhi syarat

f. Mengusahakan agar usaha-usaha dilapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga

meningkatkan produksi dan kemakmuran rakyat.

Tujuan diberikannya hak menguasai kepada Negara ialah: untuk mencapai

sebesar-besar kemakmuran rakyat,dalam arti kebahagiaan,kesejahteraan dan

kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang

merdeka,berdaulat,adil dan makmur.Hakn Negara untuk menguasai pada hakikatnya

member wewenang kepada Negara untuk: mengatur dan menyelenggarakan

peruntukan,penggunaan,persediaan dan pemeliharaan Bumi,Air,Ruang Angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

C) Hubungan antara orang baik sendiri-sendiri dan badan Hukum dengan Bumi,Air,Ruang

Angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Yang dimaksud dengan hak atas tanah ialah: ”Hak yang memberikan wewenang untuk

mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh
bumi dan air serta ruang angkasa yang ada diatasnya,sekedar keperluan untuk keperluan

yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut

UU ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai