Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MAKALAH HUKUM

PENGANTAR HUKUM PIDANA


WASIAT

DI SUSUN OLEH :
ELMA APRILIA
1903100

SEKOLAH TINGGI ILMU


AMSIR PAREPARE
2021
KATA PENGANTAR

i
BIODATA MAHASISWA
DATA PERSONAL
Nama : ELMA APRILIA
Tempat/ tgl lahir : TONTONAN, 07 APRIL 2001
Alamat : ENREKANG
No. Tlp / Hp :-
Agama : ISLAM
Jenis kelamin : PEREMPUAN
Status : MAHASISWA
Suku : MASSENREMPULU
Kebangsaan : INDONESIA

PENDIDIKAN
FORMAL
1. MIS GUPPI CENDANA TONTONAN
2. SMP NEGERI ANGGERAJA
3. SMA NEGERI 1 ENREKANG
4. SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM AMSIR PAREPARE
NON FORMAL
1. HPMM KORWIL PAREPARE

KEMAMPUAN
1. ...........

PENGALAMAN ORGANISASI
1. PMR
2. OSIS
3. PRAMUKA

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang
ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang sehat,
artinya bukan ketika menjelang ajal.Wasiat dapat dipandang sebagai
bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang
diberi wasiat.Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta.
[1]Adapula wasiat yang berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan
dijalankan sesudah ia meninggal dunia, misalnya seorang berwasiat
kepada orang lain supaya mendidik anaknya kelak, membayar utangnya ,
atau mengembalikan barang pinjamannya sesudah si pemberi wasiat itu
meninggal dunia. Hak kekuasaan yang diserahkan hendaklah berupa
harta, hak kekuasaan yang bukan berupa harta tidak sah diwasiatkan.
Misalnya menikahkan anak perempuannya karena kekuasaan walisetelah
ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang lain menurut susunan wali
yang sudah di tentukan. [2]
Demi terjaminnya wasiat dikemudian hari, orang yang berwasiat
hendaknya menjadikan sebagai saksi sekurang-kurangnya dua orang
yang adil.
Wasiat sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka
atas kehendak sendiri. Tidak sah wasiat dilakukan anak kecil , orang gila
dan budak sekalipun statusnya makatab tanpa seizing dari tuannya, dan
tidak sah pula dilakukan oleh orang yang dipaksa .
Wasiat termasuk perjanjian yang diperbolehkan, yang di dalamnya
pemberi wasiat boleh mengubah wasiatnya, atau menarik kembali apa
yang dia kehendaki dari wasiatnya, atau menarik kembali apa yang akan
diwasiatkan. Penarikan kembali atau yang dikenal dengan istilah ruju’
dapat berupa ucapan atau perbuatan misalnya dengan menjual objeknya.
[3]

1
2

Apabila dilihat dari pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat


merupakan perbuatan hukum sepihak ( merupakan pernyataan sepihak ),
jadi dapat saja wasiat dilakukan tanpa dihadiri oleh penerima wasiat, dan
bahkan dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis.[4]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wasiat dan bagaiamana hukumnya menurut
para ulama ?
2.      Berapakah jumlah maksimal harta yang boleh diwasiatkan ?

C.    Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan wasiat dan bagaimana hukumnya menurut para ulama
dan juga untuk mengetahui berapakah jumlah maksimal harta yang boleh
diwasiatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian wasiat
Wasiat menurut bahasa artinya menyambungkan, berasal dari
kata washasy syai-a bikadzaa, artinya “ dia menyambungkan’’. Dikatakan
demikian karena seorang yang berwasiat berarti menyambungkan
kebaikan dunianya dengan kebaikan akhirat. Wasiat adalah pesan tentang
suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meningga dunia. [5]
Menurut syara’, wasiat adalah mendermakan suatu hak yang
pelaksanaannya dikaitkan sesudah orang yang bersangkutan meninggal
dunia.
Wasiat adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya
terhadap harta miliknya yang akan diperoleh orang yang menerimanya
setelah terjadinya kematian si pemberi wasiat.
Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari
seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa
yang harus dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta
peninggalannya atau pesan lain diluar harta peninggalan.[6]
Hukum wasiat berdasarkan kesepakatan ( ijma’) adalah sunnat
muakkad. Menurut Zainuddin Abdul Aziz, jika sedekah dilakukan waktu
orang yang bersangkutan dalam keadaan sehat, lalu dia sakit, hal itu jauh
lebih utama..sesudah Allah menerangkan beberapa ketentuan dalam
pembagia harta warisan, diterangkan pula bahwa  pembagian harta
warisan tersebut hendaklah dijalankan setelah melaksanakan wasiat.
Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan islam, yakni al-qur’an
surah al-baqarah ayat 180 dan surah Al-Maidah ayat 106.[7]
Al-Maidah ayat 106 :
‫َد ٍل مِّن ُك ْم َأ ْو‬
ْ ‫نَان َذ َوا ع‬ِ ‫ َّي ِة ْٱث‬Q‫ص‬ ِ ‫ِين ْٱل َو‬
َ ‫تح‬ ُ ‫ض َر َأ َحدَ ُك ُم ْٱل َم ْو‬ َ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱلَّذ‬
۟ ‫ِين َءا َم ُن‬
َ ‫وا َش ٰ َه َدةُ َب ْي ِن ُك ْم ِإ َذا َح‬
‫ت َتحْ ِبسُو َن ُه َما م ِۢن َبعْ ِد‬ َ ٰ ‫ض َفَأ‬
ِ ‫ص َب ْت ُكم مُّصِ ي َب ُة ْٱل َم ْو‬ ِ ْ‫م فِى ٱَأْلر‬Qْ ‫ض َر ْب ُت‬
َ ‫ان مِنْ َغي ِْر ُك ْم ِإنْ َأن ُت ْم‬ َ ‫َء‬
ِ ‫اخ َر‬

4
5

‫ ٰ َهدَ َة ٱهَّلل ِ ِإ َّنآ‬Q‫رْ َب ٰى َواَل َن ْك ُت ُم َش‬Qُ‫كَان َذا ق‬


َ ‫لَو‬ْ ‫ا َو‬Q‫م اَل َن ْش َت ِرى ِبهِۦ َث َم ًن‬Qْ ‫ان ِبٱهَّلل ِ ِإ ِن ٱرْ َت ْب ُت‬
ِ ‫صلَ ٰو ِة َف ُي ْقسِ َم‬
َّ ‫ٱل‬
َ ‫ِإ ًذا لَّم َِن ٱ ْل َءا ِثم‬                                                                                   
‫ِين‬
Terjemahnya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang ia akan berwasiat maka hendaklah (wasiat itu)
disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang
berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi
lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu setelah
sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah
dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(demi Allah) kami tidak akan
membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan
seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami
menyembunyikan persaksian Allah. Sesungguhnya kami kalau demikian
tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.”
Wasiat sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka
atas kehendak sendiri.Tidak sah wasiat yang dilakukan anak kecil, orang
gila dan budak, sekalipun statusnya makatab tanpa seizing dari tuannya
dan tidak sah pula bila dilakukan oleh orang yang di paksa. Dalam
masalah wasiat ini orang yang sdang mabuk disamakan kedudukannya
dengan orang mukallaf ( yakni sah wasiatnya ).
Wasiat dapat ditujukan kepada siapa saja sesuai denga kehendak
orang yang berwasiat, bahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan
pun hukumnya boleh.Hanya jika bayi yang dilahirkan meninggal dunia,
maka wasiatnya tidak dapt dilakukan.
Agar wasiat yang disampaikan oleh pemberi wasiat mudah
diamalkan.Orang yang diberi wasiat harus jelas namanya, ciri-cirinya
bahkan temoat tinggalnya. Karena jika orang yang dimaksudkan  tidak
jelas identitasnya, pelaksanaan wasiat akan menemukan kesulitan unutk
melaksanakan wasiat yang bersangkutan. [8]
Jika wasiat dilakukan untuk ahli waris dan melebihi sepertiga harta
waris, pelaksanannya harus mendapat persetujjuan dari ahli waris lainnya.
6

Artinya, wasiat tersebut dapat digugurkan jika ahli waris yang lain tidak
menyetujuinya. Jika wasiat menyangkut harta yang jumlahnya  melebihi
sepertiga, karena ahli waris tidak menyetujuinya maka wasiat yang
dilaksanakan cukup yang sepertiganya saja. Jika yang menyetujui wasiat
lebih dari sepertiga itu hanya salah seorang dari ahli waris, wasiat
dihukumo sah untuk jumlah kelebihan yang sesuai dengan bagiannya.Jika
seorang ahli waris yang mempunyai hak tasharruf mutlak menyetujui
wasiat lebih dari spertiga, persetujuannya itu merupakan izin untuk
melaksanakan wasiat lebih dari sepertiga.
Mazhab empat sepakat tentang pelarangan wasiat wasiat untuk
ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.
Mazhab imamiyahmengatakan , “wasiat boleh diberikan untuk ahli waris
maupun bukan ahli waris, dan tidak bergantung pada persetujuan para
ahli waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan’’.
Para ulama mazhab berselisih pendapat tentang sahnya wasiat
seorang muslim untuk seorang kafir harbi. Maliki, Hanbali dan mayoritas
syafi’I mangatakan bahwa wasiat seperti itu sah (kafir dzimmi adalah
seorang yang membayar jizyah kepada kaum muslimin, sedangkan kafir
harbi’ adalah orang kafir yang harus diperangi).Menurut mazhab
imamiyah, kafir harbi adalah orang kafir yang tidak membayai, meskipun
tidak memerangi kaum muslimin.

B.     Batasan Wasiat
Wasiat harta tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang
dimiliki.Mewasiatkan harta melebihi sepertiganya hukumnya
makruh.Bahkan hukumnya haram jika wasiat yang lebih dari sepertiga tu
dimaksudkan untuk menghalangi bagian ahli warisnya.[9]
Para ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris
tidak boleh memberikan wasiat lebih dari 1/3 hartanya. Hal itu sesuai
dengan Hadits Rasulullah saw, yang artinya :
7

Bahwa suatu ketika Rasulullah saw dating mengunjungi saya (sa’ad bin
Abi Waqas) pada tahun haji wada’. Kemudian saya bertanya kepada
Rasulullah saw; wahai Rasulullah! Sakitku telah demikian parah,
sebagaimana engkau lihat, sedang saya ini orang yang berada, tetapi
tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan.
Bolehkah aku bersedekah (berwasiat) dengan dua pertiga hartaku (untuk
beramal) ?maka berkatalah Rasulullah saw. Kepadaku : “jangan’’
kemudian Rasulullah berkata pula, “sepertiga” dan sepertiga itu banyak
dean besar. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu
sebagai orang-orang kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan
mereka sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta kepada orang
banyak.(HR.Bukhari dan Muslim)[10]
Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan,
manakala terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam
keadaan sakit ataupun sehat.Adapun jika melebihi sepertiga harta
warisan, menurut kesepakatan seluruh mazhab, dibutuhkan izin dari para
ahli waris.Jika semua mengizinkan, wasiat itu berlaku.Akan tetapi jika
mereka menolak, wasiat itu batal. Jika sebagian dari mereka mengizinkan,
sedang sebagian lainnya tidak, kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan
dari harta yang mnegizinkan, dan izin dari seorang ahli waris baru berlaku
jika ia berakal sehat, baligh dan rasyid.
Mazhab imamiyah mengatakan bahwa jika para ahli waris
telah  memberi izin, mereka tidak berhak menarik kembali izin mereka,
baik izin itu diberikan saat pemberi wasiat masih hidup atau sesudah
meninggal.
Mazhab hanafi, syafi’I dan hanbali mengatakan bahwa penolakan
ataupun izin hanya berlaku sesudah meninggalnya pemberi wasiat.Jika
mereka memberi izin ketika dia masih hidup, kemudian berbalik pikiran
dan menolak melakukannya setelah pemberi wasiat meninggal, mereka
berhak melakukan itu baik izin itu mereka berikan ketika pemberi wasiat
berada dalam keadaan sehat ataupun ketika sakit.
8

Mazhab maliki mengatakan bahwa jika mereka mengizin kanketika


pemberi wasiat berada dalam keadaan sakit, mereka boleh menolak
melakukannya. Akan tetapi, jika mereka memberi izin ketika ia sehat,
kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak waris mereka, dan
mereka tidak boleh menolak.
Mazhab imamiyah, hanafi dan maliki mengatakan bahwa izin yang
diberikan oleh ahli waris bagi kelebihan dari sepertiga harta waris
merupakan persetujuan atas tindakan si pemberi wasiat, bukan sebagai
hibah dari ahli waris kepada sipemberi wasiat. Jadi, ia tidak memerlukan
serah terima. Hukum-hukum hibah tidak berlaku untuk wasiat.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai orang yang mewasiatkan
seluruh hartanya, sedangkan dia tidak mempunyai ahli waris. Imam malik
mengatakan bahwa wasiat hanya boleh maksimal sepertiga hartanya,
sedangkan abu hanifah mengatkan bahwa boleh seluruhnya. Imam syafi’I
dan imam Ahmad mempunyai dua pendapat, sedangkan mazhab
imamiyah juga mempunyai dua pendapat, tetapi yang lebih sahih adalah
boleh.[11]
Beberapa pendapat tentang jumlah harta yang diwasiatkan, yaitu :
1.      Sunni
Para ulama faradiyun dikalangan sunni juga memberikan beberapa
batasan tentang jumlah harta yang diwasiatkan yakni tidak melebihi dari
1/3 dari harta kecuali atas izin para ahli waris sebagaimana yang
disepakati kelompok syafi’iyah dan hanafiyah, dalam keadaan tersebut ,
jika wasiat besarnya separuh harta, sedang para ahli waris tidak
menyetujuinya, maka wasiat yang dilaksanakan hanya sebatas 1/3 harta,
sisanya dikembalikan kepada saldo harta setelah dikurangi berbagai
kewajiban seperti pelunasan utang, penyelenggaraan jenazah atau
kewajiban lainnya. Batas paroan 1/3 harta menurut syafi’I dan abu hanifah
adalah 1/3 dari seluruh harta mayit, tidak dari harta yang akan diwarisi
setelah pelunasan berbagai kewajiban seperti biaya penyelenggaraan
jenazah dan lain-lain, sebagaimana pendapat malik menghitungnya  dari
9

harta waris. Perizinan ahli waris tentang 1/3 harta atau lebih sesuai
dengan izin mereka juga berlaku apabila wasiat ditujukan kepada ahli
waris itu sendiri, wasiat menjadi batal jika tidak disetujui ahli waris lain.
System perhitungan wasiat hanya dapat dimulai setelah pengurangan
harta mayit (tirkah:harta peninggalan) dari penunaian tahjiz,
penyelenggaraan jenazah, pelunasan utang dan penunaian wasiat.
Wasiat dianggap sah apabila  memenuhi ketentuan bagian (f)
walaupun masih berkemungkinan dianggap fasid seperti untuk motif
kejahatan, wasiatnya sah tetapi fasid, atau wasiatnya sah tetapi batil
sebagiannya seperti melebihi 1/3 harta.
Pembunuhan yang sengaja atau yang dipersangkakan cenderung
telah melakukan kesalahan besar sehingga terjadi pembunuhan yang
dilakukan olah si penerima wasiat ( al mushilahu ) terhdapa si pewasiat
( al mushi ) berakibat batalnya wasiat, walaupun ahli waris ingin
melaksanakan wasiat, kecuali pembunuhan tersebut terjadi karena
keadaan yang luar biasa seperti tidak ada maksud pembunuhan, tidak ada
perencanaan pembunuhan dan atau bersengaja dengan kesadaran
dengan syarat disetujui oleh para ahli waris.
2.      Syiah
Pada umumnya menyepakati pendapat kelompok sunni tetapi dengan
sedikit perbedaan. Syiah menetapkan bolehnya wasiat kepada ahli waris
selama tidak melebihi bagian 1/3 harta walaupun tanpa persetujuan para
ahli waris.
Berbeda dengan sunni, menurut syiah, wasiat bagi si penerima wasiat
tetap berlaku walaupun telah membunuh  si pewasiat, baik dengan
sengaja atau tidak.
3.      Hazairin
Menetapkan keharusan wasiat dalam situasi khusus terhadap ahli
waris seperti ahli waris yang lebih memerlukan harta ( karena sakit parah,
biaya pendidikan dan lain sebagainya ) dimana selaian dia akan
menerima harta waris, ia juga dapat menerima wasiat sebesar tidak lebih
10

dari 1/3 harta sebagai tambahan bagi dirinya karena keperluannya lebih
banyak.[12]
4.      KHI
Kompilasi hukum islam Indonesia khususnya dalam ketentuan yang
terdapat dalam Buku II Bab V pasal 194 dan 195 menyebutkan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
pewasiatan tersebut yaitu, a) pewasiat harus orang yang telah berumur 21
tahun, berakal sehat dan didasarkan kepada kesukarelaannya. b) harta
benda yang diwasiatkan harus merupakan hak si pewasiat, c) peralihan
hak terhadap barang/benda yang diwasiatkan adalah setelah si pewasiat
meninggal dunia.[13]
KHI umumnya mengambil pendapat sunni, hanya saja dengan sedikit
perbedaan dan perluasan penambahan.
Batalnya wasiat, sesuai dengan putusan Hakim bahwa si penerima
wasiat : a) dipersalahkna membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewasiat, b) dipersalahakan seccara memfitnah
telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan
yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau atau hukuman
yang lebih berat, c) dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman
mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut mengubah wasiat
untuk kepentingan calon penerima wasiat, d) dipersalahkan telah
menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat
(pasal 197).
Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup maka penyimpanannya
ditempat notaris yang membuatnya atau ditempat lain (pasal 203)
kemudian tentang wasiat yang harus dibuka dihadapan notaris (pasal
204), dalam keadaan perang seseorang dapat berwasiat dihadapan
komandan dan dua saksi (pasal 205) sebagaimana mereka yang melewati
perjalanan laut dihadapan nahkoda atau mualim kapal atau penggantinya
dihadapan dua saksi (pasal 206) dan wasiat tidak diperbolahkan kepada
orang yang melakukan pelayanan perawatan atau kepada orang yang
11

memberi tuntunan kerohanian  sewaktu ia menderita sakit


hingga  meninggalnya kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk
membalas jasanya (pasal 207) wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-
saksi pembuat akta tersebut (pasal 208)
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176-193
sedang orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan anak angkatnya, dan terhadap
anak angkat yang tidak menerima  wasiat diberi wasiat wajibah maksimal
1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya (pasal 209).[14]
5.      KUH Perdata (BW)
Jika pengertian wasiat dalam KUH Perdata tersebut dibandingkan
dengan pengertian wasiat dalam hukum kewarisan islam, ada perbedaan
yang sangat mencolok. Dalam hukum kewarisan islam, tidak dikenal
konsep penunjukan atau pengangkatan ahli waris ( erfstelling ). Yang ada
hanya pemberian dari seseorang kepada orang lain yang berlaku apabila
yang memberikan meninggal dunia. “pemberian’’ dalam keadaan khusus
seperti ini dikenal dengan nama wasiat. Pranata seperti ini adalam hukum
kewarisan KUHPerdata dinamakan dengan hibah wasiat atau lazim
disebut legaat.[15]
Mengenai wasiat di atur dalam pasal 874-1022. (pasal 874) segala
harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan
sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap itu
dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah.
(pasal 875) adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen adalah
suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang appa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya
dapat dicabut kembali lagi. (pasal 876) segala ketetapan dengan surat
wasiat mengenai harta peninggalan adalah untuk diambil secara umum
atau dengan alas hak umum, atau pula dengan alas hak khusus. Tiap-tiap
ketetapan yang demikian baik diambil kiranya dengan nama hibah wasiat
atau dengan nama-nama lain bagaimamnapun juga , harus tunduk pada
12

peraturan termuat dalam bab ini. (pasal 877) suatu ketetapan wasiat untuk
para keluarga sedarah yang terdekat, atau untuk darah terdekat dari si
meninggal, tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap telah diambil
untuk keuntungan para ahli waris menurut undang-undang. (pasal 878)
suatu ketetapan wasiat untuk para miskin tanpa penegasan lebih lanjut,
harus dianggap telah diambil demi kebahagiaan sekalian penderita
sengsara, dengan tak memandang agama, yang diselenggarakan oleh
lembaga-lembaga miskin pada tempat dimana warisan yang bersangkutan
jatuh meluang. (pasal 879) pengangkatan waris atau pemberian hibah
wasiat dengan lompat tangan, atau sebagai fidei-commis adalah terlarang.
Oleh karena itu, pun bagi si yang diangkat atau yang menerima mana
masing-masing mereka diwajibkan menyimpan barang-barang warisan
atau hibahnya untuk kemudian menyerahkannya baik seluruhnya maupun
untuk sebagian kepada orang ketiga.[16]
Batasan jumlah harta wasiat maksimal ½ harta jika pewasiat
mempunyai seorang anak yang sah, 1/3 apabila memiliki dua orang anak
yang sah, dan ¼ jika memiliki tiga orang anak yang sah termasuk dalam
pengertian ini adalah anak turun mereka sebagai pengganti anak dalam
garis turun masing-masing (pasal 914) dan maksimal ½ jika pewasiat
hanya meninggalkan ahli waris garis lurus ke atas, demikian juga terhadap
anak luar kawin yang diakui telah sah (pasal 915-916), kecuali tidak ada
keluarga garis ke atas, pewasiatan tidak dibatasi (pasal 917).
Apabila suatu pewasiatan melebihi dari bagian yang telah ditentukan
pada bagian di atas maka jumlah bagian tersebut harus dipotong sesuai
dengan apa yang seharusnya telah diatur sehingga jumlahnya tidak
melebihi batas waktu yang telah ditentukan (pasal 916a).[17]
6.      KUH Wasiat Mesir
KUHWasiat Mesir tentang wasiat wajibah no.71 tahun 1365 H dan
tahun 1946 M dapat disimpulkan :
Wasiat wajibah berlaku dengan sendirinya walaupun tidak diwasiatkan
sebelumnya oleh pewasiat.Wasiat wajibah dimaksudkan adalah kepada
13

orang yang bukan ahli waris tetapi kepada mereka yang karena tidak
tergolong ahli waris seperti cucu laki-laki atau perempuan pancar
perempuan (anak-anak dari anak perempuan yang meninggal) atau
kepada cucu laki-laki atau perempuan pancar laki-laki (anak-anak dari
anak laki-laki pewaris yang meninggal), mereka terhijab karena adanya
anak laki-laki pewaris langsung (sdr.lelaki ayah mereka/cucu). Maka untuk
mereka berhak menerima wasiat wajibah tanpa harus adanya persetujuan
ahli waris ataupun pewaris sendiri sebelumnya ketika ia hidup.
Batas maksimal wasiat wajibah adalah 1/3 dari harta peninggalan,
apabila pewaris sebelumnya telah mewasiatkan kepada mereka harta
yang kurang 1/3 bagian, maka secara yuris harus dicukupkan 1/3 harta
dan apabila wasiat tersebut melebihi dari batas maksimal 1/3 harta,
selebihnya merupakan wasiat akhtiarah, dimana adanya keharusan
persetujuan ahli waris, apakah ahli waris menyetujuinya berarti mereka
akan mendapatkan kelebihan dari 1/3 harta dan sebaliknya jika kelebihan
tersebut tidak disetujui ahli waris maka kelebihan tersebut diambil untuk
dijadikan tambahan dari harta pewarisan bagi ahli waris.[18]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Wasiat adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya
terhadap harta miliknya yang akan diperoleh orang yang menerimanya
setelah terjadinya kematian si pemberi wasiat. Pendapat lain mengatakan
wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati
kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan
para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain
diluar harta peninggalan.
Hukum wasiat berdasarkan kesepakatan ( ijma’) adalah sunnat
muakkad.  Sementara Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan
islam, yakni al-qur’an surah al-baqarah ayat 180 dan surah Al-Maidah ayat
106.
2.      Para ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak
boleh memberikan wasiat lebih dari 1/3 hartanya. Hal itu sesuai dengan
Hadits Rasulullah saw, yang artinya :Bahwa suatu ketika Rasulullah saw
dating mengunjungi saya (sa’ad bin Abi Waqas) pada tahun haji wada’.
Kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw; wahai Rasulullah!
Sakitku telah demikian parah, sebagaimana engkau lihat, sedang saya ini
orang yang berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain
seorang anak perempuan. Bolehkah aku bersedekah (berwasiat) dengan
dua pertiga hartaku (untuk beramal) ?maka berkatalah Rasulullah saw.
Kepadaku : “jangan’’ kemudian Rasulullah berkata pula, “sepertiga” dan
sepertiga itu banyak dean besar. Sesungguhnya apabila engkau
meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang kaya adalah lebih baik
daripada meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang
meminta-minta kepada orang banyak. (HR.Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa, untuk melindungi
ahli waris supaya mereka tidak dalam keadaan miskin setelah ditinggalkan

14
pewaris, harta yang boleh diwasiatkan (jumlah maksimal) tidak boleh
melebihi dari sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan. Hal ini dalam
15

hukum kewarisan  islam adalah untuk melindungi ahli waris.


Adapun dalam KUHPerdata yang ditekankan adalah jumlah minimal yag
harus diterima oleh ahli waris, atau lazim di sebut dengan bagian mutlak
(legitieme portie)

B.     Saran
Penyusun makalah ini hanya mengandalkan sedikit buku referensi.
Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin
mendalami masalah wasiat agar setelah membaca makalah ini, membaca
sumber-sumber lain yang lebih komplit.
DAFTAR PUSTAKA
Burgerlijk Wetboek ( Kitab Undang-Undang Hukum Perdata )
Lubis, Suhrawardi K dan Simanjuntak, Komis.Hukum waris islam. Jakarta:
Sinar Grafika, 2001
Lubis, Suhrawardi K dan Simanjuntak, Komis.Hukum Waris Islam. Edisi ke-2;
Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Muhibbin, Moh dan Wahid, Abdul.Hukum Kewarisan Islam.Jakarta: Sinar
Grafika, 2009
Sarmadi, Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997
Saebani, Beni Ahmad.Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 2009
Shomad, Abd. Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2010
[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris ( Bandung: Pustaka Setia,
2009 ), h.343
[2] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 344
[3] Abd Shomad, Hukum Islam ( Jakarta: Kencana, 2010 ), h.357
[4]Suhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris
Islam( Edisi ke-2 ; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 47
[5] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 343
[6] Moh Muhibbin dan Abdul Wahis, Hukum Kewarisan
Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009 ), h. 145
[7] Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h.
145
[8] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 345-346
[9] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 345
[10] Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h.
147-148
[11] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 363-366
[12] A Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif ( Jakarta: PT RajagRrafindo persada, 1997 ), h. 254-257
[13] Suhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris
Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2001 ), h.44
[14] A Sukri Sarmadi, Transendendi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif, h. 257-259
[15]Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan
Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009 ), h. 147
[16] Burgerlijk Wetboek ( Kitab Undang-Undang Hukum Perdata )
[17]A Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif, h. 259
[18] A Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif, h. 260

Anda mungkin juga menyukai