Anda di halaman 1dari 7

Nama: Syavina Maura Zahrani

Kelas: XII-2

Resume Harta Warisan


Mukaddimah

‫ف اَأل ْنبِيَا ِء َوالـ ُمرْ َسلِي َْن نَبِيِّنَا‬


ِ ‫صاَل ةُ َوال َّساَل ُم َعلَى َأ ْش َر‬ َّ ‫ َوال‬، ‫هلل َربِّ ال َعالَـ ِمي َْن‬
ِ ‫الـح ْم ُد‬
َ
، ‫ َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم بِِإحْ َسا ٍن ِإلَى يَ ْو ِم ال ِّدي ِْن‬، ‫صحْ بِ ِه َأجْ ـ َم ِعي َْن‬
َ ‫ـح َّم ٍد َو َعلَى آلِ ِه َو‬
َ ‫َو َحبِ ْيبِنَا ُم‬
‫َأ َّما بَ ْع ُد‬
Kata “warisan” diambil dari Bahasa Arab “Al-miirats” yang artinya perpindahan sesuatu
kepada orang atau kaum lain. Bentuk warisan tersebut bisa bermacam-macam, antara lain
pusaka, surat wasiat, dan harta. Biasanya dibuat ketika pemilik masih hidup, lalu dibagikan
ketika ia meninggal dunia.
Dalam istilah fara’id, harta warisan disebut juga tirkah atau peninggalan. Kata ini berarti
segala sesuatu yang diwariskan oleh seseorang setelah meninggal dunia. Sementara tirkah
dimaknai sebagai harta si mayit sebelum digunakan untuk pemakaman, pelunasan utang,
serta wasiatnya. Kalau sudah dikurangi semua itu, artinya harta siap dibagikan (al-irst).
Jika wujud warisan tersebut berupa harta, ada dua jenis yang bisa dibagikan kepada ahli
waris. Pertama adalah harta bergerak—berupa kendaraan, sertifikat deposito, dan logam
mulia. Sebaliknya, kekayaan tidak bergerak berbentuk rumah, tanah, serta utang.

Isi
A. Dasar Hukum Waris
Hukum waris merupakan aturan yang diberlakukan agar proses pembagian harta warisan
berjalan lancar. Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro—ahli hukum Indonesia—definisi
hukum waris adalah peraturan seputar posisi kekayaan seseorang manakala pewaris sudah
meninggal dunia. Pun diartikan sebagai cara beralihnya harta kepada ahli waris.
Penjelasan hukum waris juga dicantumkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
Berdasarkan aturan tersebut, hukum waris difungsikan sebagai aturan yang menetapkan
nama-nama ahli waris, proses pemindahan, serta nominal pembagiannya.
Sementara itu, dasar hukum waris di Indonesia terdiri dari tiga macam yang didasarkan pada
kultur masyarakat, agama, dan ketetapan pemerintah. Pertama adalah hukum waris adat—
berupa norma atau adat di kawasan tertentu. Biasanya, tidak tertulis dan hanya diberlakukan
untuk wilayah khusus.
Secara umum, hukum waris adat menganut empat sistem, yaitu keturunan, kolektif, mayorat,
dan individual. Penetapan sistem tersebut dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan atau pola
kehidupan masyarakat setempat.
Kedua, hukum waris Islam yang diterapkan oleh muslim di Indonesia. Hukum tersebut
tercantum dalam Pasal 171-214 tentang Kompilasi Hukum Indonesia.Di aturan ini, ada 229
pasal yang menulis seputar pewarisan harta menurut Islam.Intinya, Islam
mengimplementasikan sistem waris individual bilateral—berasal dari pihak ibu atau ayah.
Ketiga—hukum waris perdata yang mengacu pada negara barat. Aturan ini berlaku untuk
semua masyarakat Indonesia.Ketetapannya dicantumkan dalam Buku II Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHP) Pasal 830-1130.
B. Rukun Dan Syarat Kewarisan
Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan
sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dan dalam hukum
waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan
berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah swt tanpa digantungkan pada
kehendak pewaris atau ahli waris. Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun
mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan
tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri.
Ada tiga rukun warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
1. Pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara
taqdiri.
2. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
penenggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab), atau ikatan pernikahan,
atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalankan pewaris baik
berupa uang, tanah. Adapun syarat waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan.
Rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:
o Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang, yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia.
Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:
a. Mati Haqiqy (mati sejati). Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang
diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut
disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat
bukti yang jelas dan nyata.
b. Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis). Mati Hukmy (mati
menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas
dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan
hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat
kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah,
apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat
dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim
dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c. Mati Taqdiry (mati menurut dugaan). Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah
sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan
seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya
lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan kuat kematian itu diakibatkan oleh
pemukulan terhadap ibunya.
o Waris (ahli waris) yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan
baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris,
ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah
bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus
dipenuhi, yaitu, antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
o Harta warisan (Al –Mauruts) adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan.
Baik berupa harta atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.
Harta tersebut meliputi semua kekayaan yang dimiliki oleh pemberi warisan sejak
masih hidup sampai dengan meninggal dunia. Namun, harta waris berbeda dengan
harta peninggalan. Hal itu telah disebutkan secara gamblang melalui Pasal 171 KUHP
yang berbunyi sebagai berikut:
      “Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.”
“Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.”

C. Pembagian waris sesuai hukum waris Islam


Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Karena itu, dalam
sistem bagi waris terdapat dua aturan—hukum perdata dan Islam. Perkara waris Islam
mengacu pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
       Adapun aturan pembagian warisnya dilandaskan pada Alquran Surat An-Nisa ayat 11,
ayat 12, dan ayat 176. Terbukanya waris setelah yang bersangkutan meninggal dunia dan
meninggalkan harta, yang dimaksud dengan yang bersangkutan adalah:

1. Suami.

2. Isteri.

3. Bujangan (duda/janda).

1. Suami

Dengan meninggal dunianya suami maka terbukalah waris bagi ahli waris sebagai berikut:

1. Anak laki-laki dan anak perempuan, maka anak laki-laki mendapat bagian dua kali bagian
anak perempuan.
2. Anak perempuan saja dan jumlahlah lebih dari dua orang, maka anak-anak perempuan
tersebut mendapatkan 2/3 bagian.
3. Anak perempuan tunggal mendapatkan ½ bagian.
4. Ibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum mempunyai anak.
5. Bapak mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum memiliki anak.
6. Ibu mendapatkan ½ bagian harta, jika almarhum tidak memiliki anak.
7. Ibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum mempunyai saudara kandung.
8. Isteri mendapatkan ¼ bagian harta, jika almarhum tidak memilki anak.
9. Isteri mendapatkan 1/8, jika almarhum memilki anak.

Surat An-Nisa ayat 11


َ ‫ظ اُأْل ْنثَيَي ِْن ۚ فَِإ ْن ُك َّن نِ َسا ًء فَ ْو‬
‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن‬ ِّ ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َح‬
َّ ِ‫ُوصي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأ ْواَل ِد ُك ْم ۖ ل‬
ِ ‫ي‬
‫ف ۚ َوَأِلبَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما‬ ُ ْ‫اح َدةً فَلَهَا النِّص‬ ِ ‫ت َو‬ ْ َ‫ك ۖ َوِإ ْن َكان‬َ ‫ثُلُثَا َما تَ َر‬
ٌ‫ان لَهُ ِإ ْخ َوة‬
َ ‫ث ۚ فَِإ ْن َك‬ ُ ُ‫ان لَهُ َولَ ٌد ۚ فَِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ َأبَ َواهُ فَُأِل ِّم ِه الثُّل‬
َ ‫ك ِإ ْن َك‬ َ ‫تَ َر‬
‫ُون َأيُّهُ ْم‬
َ ‫ُوصي بِهَا َأ ْو َدي ٍْن ۗ آبَاُؤ ُك ْم َوَأ ْبنَاُؤ ُك ْم اَل تَ ْدر‬ ِ ‫صيَّ ٍة ي‬ ِ ‫فَُأِل ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
‫ان َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ َ ‫َأ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِر‬
َ ‫يضةً ِم َن هَّللا ِ ۗ ِإ َّن هَّللا َ َك‬
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

2. Isteri

Dengan meninggal dunianya isteri maka terbukalah waris bagi ahli waris sebagai berikut: 

1. Suami mendapatkan ½ bagian harta, jika almarhumah tidak mempunyai anak.


2. Suami mendapatkan ¼ bagian harta, jika almarhumah mempunyai anak.

Surat An-Nisa ayat 12


‫ان لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما‬ َ ‫ك َأ ْز َوا ُج ُك ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َولَ ٌد ۚ فَِإ ْن َك‬ َ ‫ف َما تَ َر‬ ُ ْ‫َولَ ُك ْم ِنص‬
‫ين ِبهَا َأ ْو َدي ٍْن ۚ َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم‬ ِ ‫صيَّ ٍة ي‬
َ ‫ُوص‬ ِ ‫تَ َر ْك َن ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
ۗ ‫ُون بِهَا َأ ْو َد ْي ٍن‬ َ ‫صيَّ ٍة تُوص‬ ِ ‫ان لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُم ُن ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬ َ ‫َولَ ٌد ۚ فَِإ ْن َك‬
‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ۚ فَِإ ْن‬ ِ ‫ت فَلِ ُكلِّ َو‬ ٌ ‫ث كَاَل لَةً َأ ِو ا ْم َرَأةٌ َولَهُ َأ ٌخ َأ ْو ُأ ْخ‬ ُ ‫ُور‬ َ ‫ان َر ُج ٌل ي‬ َ ‫َوِإ ْن َك‬
‫ص ٰى بِهَا َأ ْو َد ْي ٍن َغ ْي َر‬ َ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ِ ‫ث ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬ ِ ُ‫ك فَهُ ْم ُش َر َكا ُء فِي الثُّل‬ َ ِ‫َكانُوا َأ ْكثَ َر ِم ْن ٰ َذل‬
‫صيَّةً ِم َن هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬ ِ ‫ضارٍّ ۚ َو‬ َ ‫ُم‬
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

3. Bujangan (duda/janda)

Dengan meninggal dunianya seorang bujangan baik laki-laki maupun perempuan maka
terbukalah waris bagi ahli waris sebagai berikut:

1. Seorang saudara laki-laki seibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika yang meninggal dunia
tidak memiliki ayah dan tidak memilki anak.
2. Seorang saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika yang meninggal dunia
tidak memilki ayah dan tidak memilki anak.
3. Beberapa orang saudara laki-laki seibu mendapatkan 1/3 bagian harta, jika yang meninggal
dunia tidak memilki ayah dan tidak memilki anak. 
4. Beberapa orang saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 bagian harta, jika yang meninggal
dunia tidak memilki ayah dan tidak memilki anak.
5. Saudara perempuan mendapatkan ½ bagian, jika tidak mempunyai anak.
6. Saudara laki-laki mendapatkan seluruh bagian, jika tidak mempunyai anak.
7. Dua saudara perempuan mendapatkan 2/3, jika tidak mempunyai anak.
8. Seorang saudara laki-laki mendapatkan sebanyak bagian dua orang saudara perempuan (2/3),
jika tidak mempunyai anak.

Surat An-Nisa ayat 176


‫ف‬ُ ْ‫ت فَلَهَا نِص‬ ٌ ‫ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ ُأ ْخ‬ َ ‫ك لَي‬ َ َ‫ك قُ ِل هَّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْالكَاَل لَ ِة ۚ ِإ ِن ا ْم ُرٌؤ هَل‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
‫ك ۚ َوِإ ْن‬ َ ‫ك ۚ َوهُ َو يَ ِرثُهَا ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهَا َولَ ٌد ۚ فَِإ ْن َكانَتَا ْاثنَتَي ِْن فَلَهُ َما الثُّلُثَا ِن ِم َّما تَ َر‬ َ ‫َما تَ َر‬
‫ضلُّوا ۗ َوهَّللا ُ بِ ُك ِّل‬ ِ َ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اُأْل ْنثَيَي ِْن ۗ يُبَي ُِّن هَّللا ُ لَ ُك ْم َأ ْن ت‬
َّ ِ‫َكانُوا ِإ ْخ َوةً ِر َجااًل َونِ َسا ًء فَل‬
‫َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan
perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Pengelompokan Ahli Waris

Berdasarkan uraian di atas, maka ahli waris dikelompokan menjadi:

1. Ahli waris yang mendapatkan bagian pasti, adalah ahli waris yang bagiannya sudah
disebutkan dalam Surat An-Nisa ayat 11, ayat, 12, dan ayat 176, adapun bagian dimaksud
adalah 1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, dan 1/8. 
2. Ahli waris yang mendapat bagian sisa/tidak ditentukan, adalah ahli waris yang mendapat
bagian seluruh atau sisa harta, setelah dilakukan perhitungan waris sesuai dengan ketentuan.
Tata Cara Perhitungan Waris

Dalam perhtiungan waris islam dikenal beberapa istilah yang harus diketahui sebelu
melakukan perhitungan waris, yaitu:

1. Asal masalah; yang dimaksud dengan asal masalah adalah bilangan terkecil yang darinya bisa
didapatkan bagian masing-masing ahli waris secara benar tanpa adanya pecahan
(islam.nu.or.id). Asal masalah ini adalah angka yang ditentukan berdasarkan kelipatan
terkecil harus dapat dibagi dengan “penyebut” (istilah matematika) yang sudah ditentukan
bagiannya sebagaimana tertulis dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11, ayat 12 dan ayat 176.
2. ‘Adadur Ru’us; adalah bilangan yang dihitung berdasarkan jumlah kepala (Quantity) karena
jumlah bagian tidak disebutkan dengan pasti, dan hal ini yang dijadikan sebagai pedoman
dalam menetukan asal masalah.
3. Siham; adalah nilai yang diperoleh dari hasil kali antara asal masalah dengan bagian yang
sudah ditentukan dalam Al-Quran.
4. Majmu’ Siham; adalah jumlah keseluruhan siham.

Selanjutnya hal-hal yang harus ditentukan dalam perhitungan waris adalah:

1. Menentukan ahli waris.


2. Menentukan bagiannya berdasarkan bagian yang sudah pasti dan diatur dalam Al-Quran.
3. Menentukan asal masalah.
4. Menentukan siham.

D. Sebab –Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam.


Adapun yang dimaksud sebab hilangnya hak keawarisan adalah hal-hal yang menggugurkan
hak ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris. Ada beberapa sebab yang
mengakibatkan ahli waris kehilangan haknya yaitu:
1. Perbudakan
Seorang yang berstatus sebagai budak tidaklah mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun
dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak menjadi milik tuannya juga.
2. Perbedaan Agama.
Adapun yang dimaksud perbedaan agama ialah keyakinan yang dianut antara ahli waris dan
muaris (orang yang mewarisi) ini menjadi penyebab hilangnya hak kewarisan sebagaimana
ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usama bin Zaid, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibn Majah. Yang telah disebutkan bahwa seorang muslim tidak
bisa menerima warisan dari yang bukan muslim. Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa
hubungan antara kerabat yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya nenyangkut
hubungan sosial saja.
3. Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang
dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rosulullah dari Abu Hurairah yang di riwayatkan oleh Ibn
Majah, bahwa seseorang yang membunuh pewarisannya tidak berhak menerima warisan dari
orang yang dibunuhnya. Dari hadis tersebut menegaskan bahwa pembunuhan menggugurkan
hak kewarisan.
4. Berlainan Negara
Yang dimaksud dengan negara dalam hal ini ialah ibarat suatu daerah yang ditempat tinggali
oleh muarris dan ahli waris, baik daerah itu berbentuk kesultanan, kerajaan, maupun republik.
5. Murtad
Adapun yang dimaksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama Islam, dan tidak dapat
menerima harta pusaka dari keluarganya yang muslim. Begitu pula sebaliknya.
Penutup
Kesimpulan
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing, Dari definisi hukum kewarisan menurut ini, dapat kita simpulkan
bahwa hukum kewarisan merupakan aturan-aturan tentang bagaimana kepemilikan harta
peninggalan di bagikan kepada orang-orang yang berhak atas pembagian itu,serta ketentuan-
ketentuan yang mengatur berapa saja bagian tiap-tiap mereka yang berhak atas harta
peniggalan itu.
Dalam Islam, hukum waris dijelaskan dalam Surat An Nisa ayat 11, ayat 12, dan ayat 176.
Rukun waris ada tiga, di antaranya adalah pewaris, ahli waris, dan harta warisannya.

Anda mungkin juga menyukai