Kelas: XII-2
Isi
A. Dasar Hukum Waris
Hukum waris merupakan aturan yang diberlakukan agar proses pembagian harta warisan
berjalan lancar. Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro—ahli hukum Indonesia—definisi
hukum waris adalah peraturan seputar posisi kekayaan seseorang manakala pewaris sudah
meninggal dunia. Pun diartikan sebagai cara beralihnya harta kepada ahli waris.
Penjelasan hukum waris juga dicantumkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
Berdasarkan aturan tersebut, hukum waris difungsikan sebagai aturan yang menetapkan
nama-nama ahli waris, proses pemindahan, serta nominal pembagiannya.
Sementara itu, dasar hukum waris di Indonesia terdiri dari tiga macam yang didasarkan pada
kultur masyarakat, agama, dan ketetapan pemerintah. Pertama adalah hukum waris adat—
berupa norma atau adat di kawasan tertentu. Biasanya, tidak tertulis dan hanya diberlakukan
untuk wilayah khusus.
Secara umum, hukum waris adat menganut empat sistem, yaitu keturunan, kolektif, mayorat,
dan individual. Penetapan sistem tersebut dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan atau pola
kehidupan masyarakat setempat.
Kedua, hukum waris Islam yang diterapkan oleh muslim di Indonesia. Hukum tersebut
tercantum dalam Pasal 171-214 tentang Kompilasi Hukum Indonesia.Di aturan ini, ada 229
pasal yang menulis seputar pewarisan harta menurut Islam.Intinya, Islam
mengimplementasikan sistem waris individual bilateral—berasal dari pihak ibu atau ayah.
Ketiga—hukum waris perdata yang mengacu pada negara barat. Aturan ini berlaku untuk
semua masyarakat Indonesia.Ketetapannya dicantumkan dalam Buku II Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHP) Pasal 830-1130.
B. Rukun Dan Syarat Kewarisan
Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan
sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dan dalam hukum
waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan
berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah swt tanpa digantungkan pada
kehendak pewaris atau ahli waris. Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun
mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan
tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri.
Ada tiga rukun warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
1. Pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara
taqdiri.
2. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
penenggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab), atau ikatan pernikahan,
atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalankan pewaris baik
berupa uang, tanah. Adapun syarat waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan.
Rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:
o Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang, yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia.
Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:
a. Mati Haqiqy (mati sejati). Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang
diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut
disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat
bukti yang jelas dan nyata.
b. Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis). Mati Hukmy (mati
menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas
dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan
hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat
kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah,
apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat
dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim
dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c. Mati Taqdiry (mati menurut dugaan). Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah
sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan
seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya
lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan kuat kematian itu diakibatkan oleh
pemukulan terhadap ibunya.
o Waris (ahli waris) yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan
baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris,
ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah
bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus
dipenuhi, yaitu, antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
o Harta warisan (Al –Mauruts) adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan.
Baik berupa harta atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.
Harta tersebut meliputi semua kekayaan yang dimiliki oleh pemberi warisan sejak
masih hidup sampai dengan meninggal dunia. Namun, harta waris berbeda dengan
harta peninggalan. Hal itu telah disebutkan secara gamblang melalui Pasal 171 KUHP
yang berbunyi sebagai berikut:
“Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.”
“Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.”
1. Suami.
2. Isteri.
3. Bujangan (duda/janda).
1. Suami
Dengan meninggal dunianya suami maka terbukalah waris bagi ahli waris sebagai berikut:
1. Anak laki-laki dan anak perempuan, maka anak laki-laki mendapat bagian dua kali bagian
anak perempuan.
2. Anak perempuan saja dan jumlahlah lebih dari dua orang, maka anak-anak perempuan
tersebut mendapatkan 2/3 bagian.
3. Anak perempuan tunggal mendapatkan ½ bagian.
4. Ibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum mempunyai anak.
5. Bapak mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum memiliki anak.
6. Ibu mendapatkan ½ bagian harta, jika almarhum tidak memiliki anak.
7. Ibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum mempunyai saudara kandung.
8. Isteri mendapatkan ¼ bagian harta, jika almarhum tidak memilki anak.
9. Isteri mendapatkan 1/8, jika almarhum memilki anak.
2. Isteri
Dengan meninggal dunianya isteri maka terbukalah waris bagi ahli waris sebagai berikut:
3. Bujangan (duda/janda)
Dengan meninggal dunianya seorang bujangan baik laki-laki maupun perempuan maka
terbukalah waris bagi ahli waris sebagai berikut:
1. Seorang saudara laki-laki seibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika yang meninggal dunia
tidak memiliki ayah dan tidak memilki anak.
2. Seorang saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika yang meninggal dunia
tidak memilki ayah dan tidak memilki anak.
3. Beberapa orang saudara laki-laki seibu mendapatkan 1/3 bagian harta, jika yang meninggal
dunia tidak memilki ayah dan tidak memilki anak.
4. Beberapa orang saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 bagian harta, jika yang meninggal
dunia tidak memilki ayah dan tidak memilki anak.
5. Saudara perempuan mendapatkan ½ bagian, jika tidak mempunyai anak.
6. Saudara laki-laki mendapatkan seluruh bagian, jika tidak mempunyai anak.
7. Dua saudara perempuan mendapatkan 2/3, jika tidak mempunyai anak.
8. Seorang saudara laki-laki mendapatkan sebanyak bagian dua orang saudara perempuan (2/3),
jika tidak mempunyai anak.
1. Ahli waris yang mendapatkan bagian pasti, adalah ahli waris yang bagiannya sudah
disebutkan dalam Surat An-Nisa ayat 11, ayat, 12, dan ayat 176, adapun bagian dimaksud
adalah 1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, dan 1/8.
2. Ahli waris yang mendapat bagian sisa/tidak ditentukan, adalah ahli waris yang mendapat
bagian seluruh atau sisa harta, setelah dilakukan perhitungan waris sesuai dengan ketentuan.
Tata Cara Perhitungan Waris
Dalam perhtiungan waris islam dikenal beberapa istilah yang harus diketahui sebelu
melakukan perhitungan waris, yaitu:
1. Asal masalah; yang dimaksud dengan asal masalah adalah bilangan terkecil yang darinya bisa
didapatkan bagian masing-masing ahli waris secara benar tanpa adanya pecahan
(islam.nu.or.id). Asal masalah ini adalah angka yang ditentukan berdasarkan kelipatan
terkecil harus dapat dibagi dengan “penyebut” (istilah matematika) yang sudah ditentukan
bagiannya sebagaimana tertulis dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11, ayat 12 dan ayat 176.
2. ‘Adadur Ru’us; adalah bilangan yang dihitung berdasarkan jumlah kepala (Quantity) karena
jumlah bagian tidak disebutkan dengan pasti, dan hal ini yang dijadikan sebagai pedoman
dalam menetukan asal masalah.
3. Siham; adalah nilai yang diperoleh dari hasil kali antara asal masalah dengan bagian yang
sudah ditentukan dalam Al-Quran.
4. Majmu’ Siham; adalah jumlah keseluruhan siham.