Pendahuluan
Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang.
Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku. (H.R. Ibnu Majah, Ad-
Daruquthuny dan Al-Hakim).
Meskipun masih ada sedikit umat islam yang menjalankan, sayangnya hukum waris yang
dijalankan sudah tidak sejalan dengan cara-cara sebagaimana yang semestinya. Banyak
ditemukan penyimpangan disa sini hukum waris yang dilakukan oleh umat Islam, itulah
kenyataannya suka atau tidak suka. Syariat Islam runtuh bukan karena musuh-musuh Allah
SWT, runtuh karena keawaman dan kebodohan umat Islam terhadap ilmu syariat dalam
agamanya. Dalam tugas ini penulis ingin membahas terkait hadist tidak boleh ada wasiat harta
untuk ahli waris .
1
BAB II
Pembahasan
B. Pembahasan
Wasiat dalam istilah ilmu fiqih adalah pemberian harta berupa benda atau manfaatnya,
bersifat sukarela (tabarru’), akadnya dilakukan selagi masih hidup, dan penerimaannya
dilakukan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Kalau dalam bahasa Arabnya kira-kira
seperti ini:
ان أَ ِْو فِي ْال َمنَاف ِِِع
ِِ َس َواءِ كَانَِ ذَلِكَِ فِي األ َ ْعي ِِ ق التَّبَ ُّر
َ ،ع ِِ ط ِري ِ ضافِ إِلَى َما بَ ْع ِدَ ْال َم ْو
َ ِتِ ب َ تَ ْملِيكِ ُم
Definisi wasiat seperti di atas, nampaknya agak berbeda dengan pengertian wasiat dalam
bahasa Indonesia. Kata wasiat yang sering digunakan orang Indonesia pada umumnya,
mempunyai makna yang lebih luas, tidak hanya berkaitan dengan harta benda, melainkan
semua yang berkaitan dengan pesan seseorang sebelum meninggal. Contohnya, pak Qosim
berpesanِkepadaِanaknya,ِ“Nak,ِkalauِbapakِmeninggalِtolongِkuburannyaِjanganِditembokِ
ya.”
Secara bahasa, apa yang dikatakan Pak Qosim kepada anaknya itu bisa disebut sebagai
wasiat. Tapi itu tidak termasuk dalam pengertian wasiat yang dibahas dalam ilmu fiqih, karena
wasiat dalam istilah ilmu fiqih hanya berkaitan dengan penyerahan harta benda atau
manfaatnya. Contoh, Pak Ucup punya anak namanya Jajang, kemudian Pak Ucup berkata
kepadaِJajang,ِ“Nak,ِkalauِbapakِmati,ِnantiِrumahِiniِbuatِkamuِya.”
Rumah yang disebutkan Pak Ucup itu adalah harta wasiat yang diberikan untuk jajang
dan akan menjadi miliknya setelah Pak Ucup meninggal. Selama Pak Ucup masih hidup, Jajang
belum punya hak atas rumah tersebut.
Ilustrasi di atas hanya sekedar contoh, sebagai gambaran dasar tentang apa itu wasiat.
Karena ada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam berwasiat.
Misalnya berapa jumlah maksimal harta yang boleh diwasiatkan, kepada siapa saja wasiat itu
boleh diberikan, bagaimana cara melakukan akad wasiat yang benar, dan lain-lain.
2
Sebagian kita mungkin masih bingung membedakan antara wasiat dan waris, karena dua-
duanya memang punya persamaan, yaitu harta wasiat dan harta waris sama-sama boleh dimiliki
jika pewasiat dan pewarisnya telah meninggal dunia.
Namun ada bebererapa hal mendasar yang membedakan antara wasiat dan waris, di antaranya:
3
Merujuk pada KHI, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 1
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. 2
Kemudian, seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;
dan dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris melakukan
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Lebih lanjut, berdasarkan KHI, penggolongan ahli waris dapat dikelompokkan menjadi:
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu,
janda atau duda.
1. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau
lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki dua berbanding satu
dengan anak perempuan.
1
Pasal 171 huruf c Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam (“KHI”)
2
Pasal 172 KHI
3
Pasal 176–182 KHI
4
2. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak,
ayah mendapat seperenam bagian.
3. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada
anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat seperenam bagian.
4. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila
bersama-sama dengan ayah.
5. Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
6. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian.
7. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak, maka saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang
atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
8. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu
saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua
orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka
bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
Allah SWT telah menurunkan ayat tentang kewajiban berwasiat lebih dahulu daripada
ayat-ayat tentang kewarisan, oleh karena itu adanya Hadîts larangan wasiat kepada ahli waris
memunculkan perbedaan indikasi penasakhan ayat al-Quran.
Hadîts larangan wasiat adalah otentik sebagai Hadîts karena idhafah kepada Nabi SAW,
dan Hadîts tersebut didiwankan dalam tiga belas kitab mashâdir al- ashliyyah, dan memenuhi
unsur Hadîts, matan yang terdiri dari 136 rawi sanad. Kehujjahan Hadîts Larangan Wasiat
kepada Ahli Waris dari segi jumlah rawi termasuk Mutawatir karena diriwayatkan oleh sahabat
yangِbanyakِtanpaِmelihatِkualitasِmatanِdanِrawinyaِsehinggaِtermasukِQath’iِal-wurûd dan
Qath’iِdilâlah.
Berdasarkan kaidah tashhih kalau dilihat dari sebagian sanad rawi yang matruk maka
termasukِdha’ifِdanِtidakِbisaِnaikِmenjadiِhasanِsehinggaِmardud.ِUntukِsanadِyangِghairِ
matruk,ِ makaِ sebutannyaِ adalahِ hasanِ lighairihiِ yangِ maqbulِ karenaِ terdapatِ mutabi’ِ danِ
5
syahid. Hadîts Larangan Wasiat kepada Ahli Warits adalah mengandung kalimat
Nahyun/larangan, yang menunjukkan Hadîts tersebut bisa mengandung haram untuk
dikerjakan. Permasalahan dengan perbedaan pemahaman antara adanya nasakh Al-Quran
dengan Hadîts, bahwa sebagian ulama menganggap bahwa ketentuan dalam ayat-ayat wasiat
telah dihapus oleh ketentuan dalam ayat-ayat warits yang turun kemudian, sebenarnya antara
wasiat dan warisan tidak berlawanan tapi lebih menspesifikkan pembagiannya.
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu,
jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara
yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
Surat al-Baqarah ayat 180 tentang kewajiban untuk berwasiat dapat dikompromikan
dengan ayat-ayat kewarisan dengan melihatnya sebagai ketentuan yang masing-masing
memliki sasaran yang berbeda. Ayat-ayat tentang kewarisan mengkhususkan ketentuan wasiat
yang bersifat umum dan dalam ayat-ayat kewarisan surat al-Nisa ayat 11-12:
ِن ثُلُثَاِ َما ت ََركَِِۚ َواِنِ كَانَتِ َواحِ دَة َِّ سآءِ فَوقَِ اثنَت َي ِنِ فَلَ ُه َِّ ِن ُك
َ ِن ن ِِ ل َحظِِ اۡلُنثَيَي
ِ نِۚ فَ ِا ِِ ّللاُ فِىِ اَو َۡل ِد ُكمِِِ لِلذَّك
ُِ َر مِ ث ِٰ صي ُك ُِم
ِ يُو
ُِ ُُس مِ َّما ت ََركَِ اِنِ كَانَِ لَهِ َو َلدِِۚ َفاِنِ لَّمِ يَ ُكنِ لَّهِ َو َلدِ َّو َو ِرثَهِ اَبَ ِٰوِهُ َف ِِلُ ِم ِِه الثُّل
ث ُِ سد ُّ ل َواحِ دِ ِمن ُه َما ال ِِ ۡل بَ َوي ِِه ِل ُك ُ ِفَلَ َها النِص
َِ ِ فِِِ َو
ۡل تَد ُرونَِ اَيُّ ُهمِ اَق َربُِ لَـ ُكمِ نَفعا ِ َ ِِۚى ِب َهاِ اَوِ دَينِِِ ٰابَا ٓ ُؤ ُكمِ َواَبنَا ٓ ُؤ ُكمِص ِ صيَّةِ يُّو ِ ُس مِ نِ بَع ِِد َو ُِ سد ُّ َان لَ ِه اِخ َوةِ فَ ِِلُ ِم ِِه ال
َِ ِفَاِنِ ك
علِيما َحكِيما
َ َِّللا كَان َِّ ّللا ِؕ ا
َِٰ ِن َ فَ ِري.
ِِٰ َِضةِ ِمن
menunjukkan sebagian afrad (materi) kewajiban wasiat yang bersifat umum terhadap orang-
orang yang mendapat warisan saja. Karena ada problem dalam pemahaman maka wasiat itu
bisa haram, makruh/mubah. Prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, wasiat itu diperlukan
untuk mendatangkan kebaikan bagi ahli waris yang kemungkinan dalam pembagian warisan
terhijab oleh ahli waris lainnya.
Wasiat merupakan sedekah yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
juga menjadi salah satu cara pemerataan harta peninggalan bagi mereka yang tidak
mendapatkan hak waris sedangkan mereka adalah kerabat dekat.
Setiap ahli waris telah mendapatkan kadar tertentu dari warisan sebagaimana dalam
ilmu hukum waris. Seandainya ada wasiat harta tertentu dari mayit kepada salah satu ahli waris.
6
Maka, ia (ahli waris yang mendapatkan wasiat harta mayit) sangat membutuhkan kerelaan serta
izin dari ahli waris lainnya untuk menjalankan wasiat tersebut Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah:
Artinya,ِ “Rasulullahِ bersabda,ِ ‘Tidakِ (diperbolehkan)ِ wasiatِ (harta)ِ kepadaِ ahliِ warisِ
(tertentu)ِkecualiِatasِizinِahliِwarisِ(lainnya),’”ِ(HR.Bukhari).ِ
Menjalankan wasiat harta tertentu dari mayit untuk salah satu ahli waris harus
dijalankan dengan hati-hati dan harus berdasarkan izin dari para ahli waris yang lain. Banyak
sekali kita jumpai para ahli waris menjadi tidak akur bahkan memutus silaturahmi karena iri
dengki sebab bagian tertentu yang didapatkan kerabatnya sebagai sesama ahli waris.
ألن في إيثار بعض الورثة من غير رضا األخرين ما يؤدي إۡل الشقاق والنزاع وقطع الرحم وإثارة البغضاء والحس ِد
بين الورثة.
Artinya,ِ “Mengutamakanِ sebagianِ ahliِ warisِ (denganِ wasiatِ hartaِ tertentu)ِ tanpaِ
kerelaan ahli waris yang lain dapat mendatangkan perpecahan, permusuhan, memutus tali
silaturahmi, menyebarnya kemarahan serta kedengkian di antara para ahli waris”ِ(Dr.ِWahbahِ
az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu [Damaskus, Dar al-Fikr, 2008] juz.X hal.7476)
Seandainya ahli waris yang lain tidak mengizinkan maka wasiat tidak dapat dijalankan
dan ahli waris yang mendapatkan wasiat tetap mendapatkan kadar bagiannya sesuai dengan
aturan ilmu hukum warisan. Sedangkan, izin hanya bisa didapatkan dari para ahli waris sudah
baligh, berakal, dan dapat memberikan keputusannya sendiri. Maka, izin tidak bisa diambilkan
dari ahli waris yang masih kecil ataupun gila ataupun idiot dikarenakan adanya potensi
menyerobot hak warisan mereka.
وۡل تصح إجازة الورثة إۡل من بالغ عاقل جائز األمر وإن كان فيهمِ صغير أومجنون أومحجور عليه بسفه لم تصح
منه اإلجازة لما في اإلجازة عليه من تضييق حقه
7
BAB III
Kesimpulan
Simpulan yang dapat dipahami disini adalah setiap ahli waris mendapatkan bagian
warisan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam ilmu hukum warisan (ilmu mawarits).
Seandainya ada wasiat harta tertentu kepada salah satu ahli waris maka membutuhkan izin dan
kerelaan dari ahli waris yang lain agar tidak terjadi perseteruan di antara mereka. Terlebih,
seandainya harta yang diwasiatkan melebihi kadar yang telah ditetapkan dalam ilmu hukum
warisan (ilmu mawarits). Misal, mayyit mewasiatkan rumah yang nilainya lebih dari setengah
hartanya kepada salah satu putrinya yang harusnya mendapatkan bagian warisan yang lebih
sedikit dalam ilmu hukum warisan (ilmu mawarits).
8
Daftar Pustaka
Ahmad Sarwat, Lc, MA, 2013, Kitab Hukum Waris, Surabaya, Yayasan Masjidillah Indonesia.
Ahmad Sarwat, Lc. MA, 2018, Penyimpangan Pembagian Waris di Indonesia, Jakarta Selatan,
Rumah Fiqih Publishing.
https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-wasiat-kepada-ahli-waris-tpRgm