Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan
Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang tinbul
sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang
meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya,
berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.
Aturan tentang waris tesebut ditetapkan oleh Allah melalui firmannya yang
terdapat dalam Al-Quran, terutama surah an-nisa ayat 7,8,11,12, dan 176, pada
dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah
dan tujuannya.
Hukum kewarisan islam atau yang juga dikenal the Islamic law of inheritance
mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya.
Ditinjau dari perspektif sejarah, implementasi hokum kewarisan islam pada
zaman penjajahan belanda ternyata tidak berkembang, bahkan secara politis posisinya
dikalahkan oleh sistem kewarisan hokum adat. Pada masa itu diintrodusir teori
persepsi yang bertujuan untuk mengangkat hokum kewarisan adat dan menyisihkan
penggunaan hokum kewarisan islam[1].
Banyak para sarjana hukum barat menganggap hokum kewarisan islam tidak
mempunyai sistemdan hukum islam itu hanya bersandar pada asas patrilineal.
Sementara itu, diklalangan umat islam sendiri banyak pula yang mengira tidak ada
sistem tertentu dalam hukum kewarisan islam, sehingga menimbulkan sebuah
anggapan seolah-olah hukum kewarisan islam merupakan hokum yang sangat rumit
dan sulit. Kondisi yang demikian itulah yang menyebabkan hukum kewarisan islam
menurut fiqh kebudayaan arab itu sangat sulit diterima masarakat islam di Indonesia.

B. Rumusan masalah

1.
2.
3.
4.

Apa itu pengertian mawaris?


Apakah hak masing-masing mawaris?
Apakah penyebab dan penghalang mendapatkan harta warisan?
Ketentuan hukum mawaris?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Mawaris


Ilmu mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pembagian harta
yang telah di tentukan dalam Alquran dan Hadits.cara pembagian menurut ahli
mawarits adalah yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang
ahli waris sekalipun terhadap anak-anak yang masih kecil.
Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu
cara yang sangat efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip
dan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya .
Ilmu mawaris dan ilmu faraidh pada prinsipnya adalah sama yaitu ilmu yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenan dengan harta peninggalan orang
yang meninggal dunia.
Para waris dari golongan laki-laki yang di sepakati pewaris mereka ada 10
orang yang secara garis besar dan Ada 15 orang secara terperinci.
a) Golongan dari laki-laki
Anak laki-laki
Putra dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
Ayah
kakek yang shohih dan seterusnya ke atas.
saudara laki-laki seayah dan seibu
saudara laki-laki seayah
saudara laki-laki seibu
putra saudara laki-laki seayah dan seibu
putra saudara laki-laki seayah
saudara laki-laki ayah yang seayah seibu
saudara laki-laki seayah
putra saudara laki-laki yang seayah seibu
putra saudara laki-laki ayah yang seayah
suami
orang yang laki laki yang membebaskan budak.
b) Golongan dari perempuan
Anak perempuan
Ibu

putri dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah


nenek yang shohih dan seterusnya keatas ( ibu dari ibu )
nenek yang shohih dan seterusnya keatas ( ibu dari ayah )
saudara perempuan seayah dan seibu
saudara perempuan seayah
saudara perempuan seibu
Istri
orang perempuan yang membebaskan budak

1. Sumber hukum iLmu mawarits dan hukum mempelajarinya


Sumber hukum ilmu mawarits Ada Tiga, yaitu:
a.

Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dan hukum-

hukum mawarits. Dalam surat An-nisa: 7-12, 176, dan pada surah lainnya.
b. Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud bahwasanya Nabi Muhammad
SAW, bersabda : Bagilah harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan )
kitab Allah.
c. Ijma dan Ijtihad
Para ulama berperandalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan
dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu mawarits adalah Wajib ( fardhu
kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di antara mereka ada yang
mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu
pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa.
2. Tujuan Ilmu Mawarits
a.

Agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli warits yang berhak
menerimanya sesuai dengan ketentuan syariat Islam

b. Agar dapat di ketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan
dan berapa bagian masing.
c.

Agar dapat menentukan bagian harta warisan secara adil dan benar sehingga tidak
terjadi perselisihan.
3. Syarat pewarisan

a.

Kematian
Orang yang telah meninggal dunia dan mempunyai harta maka akan di
wariskan harta peninggalannya.karna sudah merupakan ketentuan hukumnya.harta
warisan tidak mungkin di bagikan sebelum orang yang mempunyai harta peninggalan
itu di nyatakan meninggal dunia secara hakiki.

b. Ahli waris harus masih hidup


Ahli waris yang akan menerima harta warisan dari orang yang meninggal
dunia harus masih hidup. Artinya Apabila ada ahli waris yang sudah meninggal itu
tidak berhak mendapat harta peninggalan.
c.

Ahli waris harus jelas posisinya


Masing-masing ahli waris harus dapat di ketahui posisinya secara pasti,
supaya bagian-bagian harta warisan itu dapat di peroleh sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Sebab ketentuan hukum pewrisan selalu berubah-ubah sesuai dengan
tingkatan ahli waris.
4. Rukun Pewarisan

a.

Muwaris
Yaitu Orang yang meninggal dunia atau orang yang meninggalkan harta kepada

orang-orang yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam


b. Waris
Yaitu Orang yang berhak menerima harta peninggalan dari Muwarits karena
c.

sebab-sebab tertentu. Waris di sebut juga dengan Ahli Waris.


Miras
Yaitu Harta yang di tinggalkan oleh muwaris yang akan di bagikan kepada orangorang yang berhak menerimanya ( ahli waris ). Miras itu bermacam-macam harta,
misalnya tanah, rumah, uang, kendaraan, dan lain sebagainya.

B. Sebab-sebab Menerima harta warisan dan penghalang mendapatkan warisan.


Dalam Agama islam sebab-sebab menerima harta warisan, adalah sebagai berikut:

Hubungan kekeluargaan

Dalam hubungan kekeluargaan tidak membedakan antara ahli waris laki-laki


dan perempuan, orang tua dan anak-anak, orang yang kuat dan Lemah. Sesuai
ketentuan

yang

berlaku semuanya harta warisan.

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa ayat 7 :






Artinya; Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Hubungan kekeluargaan ini bila di lihat dari penerimaannya ada tiga kelompok:
1. Dzawil Furudh
Yaitu ahli waris yang memperoleh bagian tertentu seperti suami mendapat
seperdua bila orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan mendapat
seperempat bila orang yang meninggal mempunyai anak.
2. Dzawil arham
Yaitu keluarga yang hubungan kekeluargaan nya jauh, mereka tidak termasuk
ahli waris yang mendapat bagian tertentu, tetapi mereka mendapat warisan jika ahli
waris yang dekat tidak ada.
3. Ahlul Ashabah
Yaitu Ahli waris yang mendapat sisa harta atau menghabiskan sisa, setelah
ahli waris yang memperoleh bagian tertentu mengambil bagian masing-masing.

Hubungan perkawinan
Selama perkawinan masih utuh bisa menyebabkan adanya saling waris
mewarisi. Akan tetapi, jika perkawinan sudah putus maka gugurlah saling waris
mewarisi, kecuali istri dalam keadaan masa iddah pada talak raji.

Hubungan wala ( memerdekakan budak )


Seseorang yang telah memerdekakan budak bisa menyebabkan memperoleh
warisan. Jika budak yang di merdekakan itu meninggal dunia, maka orang yang
memerdekakan itu berhak menerima warisan. Akan tetapi, jika orang yang

memerdekakan itu meninggal dunia maka budak yang telah di merdekakan itu tidak
berhak mendapatkan apa-apa.

Hubungan Agama
Apabila ada orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, baik dari
hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala, maka harta warisannya itu di berikan
kepada kaum muslimin, yaitu diserahkan ke baitul Mal untuk kemashlahatan umat
islam.
Sebab-sebab Tidak menerima / Hilangnya Hak menerima Harta Warisan:

Perbudakan
Seorang budak tidak dapat menerima warisan dan tidak dapat memberikan warisan
dari dan kepada semua keluarganya (yang mempunyai hubungan nasab) yang
meninggal dunia selama ia masih berstatus budak. Hal ini sesuai dengan firman Allah
Swt. Dalam surat an-Nahl ayat 75. [3]

Pembunuhan
Para ahli hukum islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan
oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya
untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.

Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi kepercayaan
antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Dasar hukum berlainan
agama sebagai mawaniul irsi adalah hadis rasulullah saw yang artinya :
Orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak
dapat mewarisi harta orang muslim.

Berlainan Negara
Ciri-ciri suatu negara adalah memiliki kepala negara sendiri, memiliki
angkatan bersenjata, dan memiliki kedaulatan sendiri. Maka yang dimaksud berlainan
negara adalah yang berlainan ketiga unsur tersebut. Berlainan negara ada tiga
kategori, yaitu berlainan menurut hukumnya, berlainan menurut hakikatnya, dan

berlainan menurut hakikat sekaligus hukumnya. Berlainan negara antara sesama


muslim, telah disepakati fuqaha bahwa hal ini tidak menjadi penghalang untuk saling
mewarisi, sebab semua negara islam mempunyai kesatuan hukum, meskipun
berlainan politik dan sistem pemerintahannya. Yang diperselisihkan adalah berlainan
negara antara orang-orang yang non muslim.[4]
C. Pengelompokkan ahli waris dan hak masing-masing.
-

Ahli Waris Yang masuk golongan ashabah ialah:


Anak Laki-laki

1. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah


2. Ayah
3. Kakek Laki-laki dan seterusnya keatas
4. Saudara laki-laki seibu
5. Saudara seayah
6. Anak laki-laki dari saudara seibu seayah
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
8. Paman seibu seayah
9. Paman seayah
10. Anak laki-laki dari paman laki-laki seibu seayah
11. Anak laki-laki dari paman saudara seayah
12. Laki-laki yang memerdekakan.
13. Perempuan yang memerdekakan
Ahli waris ashabah ini menerima warisan berdasarkan peringatan di mulai
dari peringkat pertama Bila ada ashabah pada peringkat yang lebih dekat tentu
ashabah yang barada di peringkat berikutnya akan terhijab otomatis.
Mengenal kedudukan ayah dan kakek memang strategis, satu sisi mereka adalah
dzaul furudh tetapi disisi lain mereka juga jadi ashabah, tentu manakala atau cucu
laki-laki tidak ada, ayah dan kakek tetap menjadi dzaul furudh.
-

Bahagian Ahli Waris Dzaul Furudh

a.

Yang menerima setengah (1/2)

1. Anak perempuan apabila hanya seorang


2. Anak perempuan dari anak laki-laki ( cucu perempuan ), Apabila hanya seorang,
selama tidak ada anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Saudara perempuan seayah, jika hanya seorang saja, dan tidak juga tsb pada point 1
dan 2
4. Suami, jika tidak ada anak, dan tidak ada cucu laki-laki dan anak laki-laki
b. Yang menerima seperempat (1/4)
1. Suami, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
2. Istria tau beberapa orang istri, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak lakilaki
c.

Yang menerima seperdelapan (1/8)

1. Istri atau beberapa orang istri bila ada anak atau cucu dari anak laki-laki
d. Yang mendapat dua pertiga (2/3)
1. Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak lak-laki, selama tidak ada anak
perempuan atau saudara laki-laki
3. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada anak perempuan
atau anak perempuan dari anak laki-laki, atau saudara laki-laki mereka.
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tsb dari point
1,2, 3
e.

Yang mendapat (1/3)

1. Ibu, jika tidak terhalang, jika tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Atau tidak
pula meninggalkan dua orang saudara baik laki-laki maupun perempuan , baik seibu
seayah atau bukan.
2. Dua orang laki-laki atau lebih, juga saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih,
jika tidak ada pokok dan cabang (ayah atau kakek dan anak atau cucu).itulah yang di
maksud dengan kalalah. Selain itu jumlah mereka harus ada dua orang atau lebih
baik mereka lelaki atau perempuan.
f.

Yang menerima seperenam (1/6)

1. Ibu, jika ada anak, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau dua orang atau lebih
dari saudara laki-laki dan perempuan.

2. Ayah, jika tidak ada anak atau cucudari anak laki-laki


3. Nenek perempuan jika tidak ada ibu
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama-sma dengan seoranganak
perempuan sekandung.
5. Saudara perempuan seayah, jika bersama-sama dengan seorang saudara perempuan
sekandung ayah.
-

Ahli waris zul arham


Ahli waris zul arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya dalam Al-Quran dan
hadis Nabi sebagai zaul furudh dan tidak pula termasuk dalam kelompok ashabahbila
kerabat yang menjadi ashabah adalah laki-laki dalam garis keturunan laki-laki, maka

zaul arham itu adalah perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan perempuan.
Zul arham terdapat 4 kelompok garis keturunan yaitu:
a. Garis keturunan lurus ke bawah yaitu:

Anak laki-laki atau perempuan dan keturunannya.


Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan dan

keturunannya.
b. Anak keturunan lurus ke atas

Ayah dari ibu dan seterusnya ke atas

Ayah dari ibunya ibu dan seterusnya ke atas

Ayah dari ibunya ayah dan seterusnya ke atas

c.

Garis keturunan kesampig pertama, yaitu:


Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anaknya
Anak laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya ke bawah
d. Garis keturunan kesamping kedua yaitu:
Saudara perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ayah dan anaknya.
Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya ke bawah.
Saudara laki-laki atau perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ibu dan
seterusnya ke bawah[5]
Allah SWT berfirman dalam surah al anfal ayat 75 yaitu:






Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah

dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orangorang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
-

Cara membagi Waris


Sebagaimana di ketahui bahwa pembagian dalam harta warisan telah di
tetapkan bagian masing-masing ahli waris, yaitu ada ahli waris yang menerima
bagian tertentu yang berupa seberapa dari warisan, di sebut furudhul muqaddarah,
dan ahli waris menerima seluruh yang tersisa setelah di ambil oleh bagian ahli waris
yang termasuk alquran-furudhul muqaddarah disebut ashabah.
Ashal masalah ialah angka yang menjadi dasar pembagian harta warisan
dalam sesuatu masalah yakni di bagi menjadi berapa bagiankah keseluruhan harta
pusaka itu, sehingga bagian masing-masing ahli waris dapat di terimakan
sebagaimana mestinya.
Cara menentukan angka ashal masalah ialah dengan memperhatikan angkaangka pemecahan yang terdapat pada bagian-bagian ahli waris dzauL furudh dalam
suatu kasus, yaitu dengan mencari kelipatan persekutuan terkecil dari pada angkaangka pembagi atau angka-angka pemecahan yang ada pada bagian-bagian ahli
waris.
Dilihat dari segi angka-angka pembagian masing-masing bagian ada, maka
penentuan ashal masalah ada 4 macam, sebagai berikut:

1. Mudakhalah, Yaitu Apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada pada
suatu kasus itu saling memasuki, artinya angka pembagi yang kecil dapat di

masukkan kedalam angka pembagi yang besar, dengan kata lain angka pembagi yang
besar dapat habis dengan angka pembagi yang kecil.
2.

Mumatsalah, Yaitu apabila angka-angka pembagian pada bagian-bagian yang ada


dalam satu kasus itu sama besarnya, maka cara menentukan ashal masalah ia dengan
mengambil salah satu di antara angka-angka pembagi yang ada.

3.

Mubayanah, Yaitu Apabila angka-angka pembagian pada bagian yang ada dalam
suatu kasus itu berbeda yang satu dengan lain, maka pembagian yang satu tidak habis
di bagi dengan angka pembagi yang lain serta tidak mempunyai pembagi yang sama
antara angka-angka pembagian yang ada.

4. Muwafaqah, Yaitu apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada dalam
suatu kasus berbeda antara yang satu yang lain, tetapi angka-angka pembagi tersebut
mempunyai pembagian yang sama.
D. Gugurnya Ahli Waris
1. Bagian Untuk nenek perempuan menjadi gugur karena ada ibu, atau datuk laki-laki
2.
a.
b.
c.
d.
3.

terhalang karena ada ayahnya.


Bagian saudara ibu menjadi gugur karena ada salah seorang dari 4 Macam ahli waris:
Anak
Cucu dariAnak laki-laki
Ayah
Datuk laki-laki
Bagian saudara Laki-laki sekandung menjadi gugur, karena ada salah seorang dari

a.
b.
c.
4.

tiga ahli waris yaitu :


Anak Laki-laki
cucu laki-laki dari anak laki-laki
Ayah
Bagian Anak Ayah( Saudara laki-laki atau perempuan seayah ) manjadi gugur, karena
adanya salah seorang tersebut di atas, yakni anak laki-laki, cucu laki- laki dari anak

laki-laki atau ayah.Dan jika ada saudara laki-laki seayah seibu.


5. Empat orang yang dapat menjadi Ashobah kepada saudara-saudara perempuan
mereka Yakni:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki

c. Saudara laki-laki sekandung


d. Saudara laki-laki seAyah
E. AUL DAN RAD
1. Masalah Aul
Ialah keadaan yang berlebihnya saham saham para di pecah-pecah sejumlah
angka asal masalah pasti tidak cukup untuk memenuhi saham-saham dzawil furudh.
Salah satu cara yang di lakukan untuk menyelesaikan Aul adalah :
Setelah di ketahui bagian-bagian ashbul furudh hendaknya di cari asal masalah,
kemudian di cari saham-saham dari masing-masing ashabul furudh itu di jumlah,
maka asal masalah yang semula di benarkan dengan menambahkan angka tertentu
sehingga besarnya sama denganjumlah saham-saham para ahli waris, dengan kata lain
asal masalah yang baru di pakai ialah jumlah saham-saham yang harus di terima oleh
para ahli waris.
2. Masalah Rad
Menurut fuqaha ialah pengambilan apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh
nasabiyah kepada merekasesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada
orang lain yang berhak untuk menerimanya.
Rad tidak akan terjadi kecuali bila ada tiga rukun:
a. Adanya pemilik Fard ( sahibul Fadh )
b. Adanya sisa peninggalan
c. Tidak adanya ahli waris ashabah
Untuk menyelesaikan secara tuntas pembagian harta warisan terdapat sisa
lebih dan di radkan, atau mengandung masalah rad, terlebih dahulu haruslah di teliti
apakah dalam kasus di maksud terdapat ahli waris yang ditolak menerima rad ataukah
tidak.
Jika dari Antara ahli waris ashabul furudh itu tidak terdapat seorang pun yang
ditolak menerima tambahan dari sisa lebih yang diradkan itu.[6]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Harta seseorang yang telah mati beralih kepada seseorang yang masih hidup
bila diantara keduanya terdapat suatu bentuk hubungan, hubungan kewarisan menurut
islam ada dalam beberapa bentuk :
a) Hubungan kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah
b) Hubungan perkawinan
c) Hubungan pemerdekaan hamba
d) Hubungan sesama islam
Sumber hukum ilmu mawarits Ada Tiga, yaitu:
d. Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dan hukumhukum mawarits. Dalam surat An-nisa: 7-12, 176, dan pada surah lainnya.
e. Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud bahwasanya Nabi Muhammad
SAW, bersabda : Bagilah harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan )
f.

kitab Allah.
Ijma dan Ijtihad
Para ulama berperandalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan
dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu mawarits adalah Wajib ( fardhu
kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di antara mereka ada yang
mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu
pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa.

DAFTAR PUSTAKA
Hafsah, Fiqih, ( Medan : Cita Pustaka Media Perintis, 2011 )
Imran Ali, Fikih, ( Medan : Cita Pustaka Media perintis, 2011 )
Drs. H. Moh. Muhibbin, hukum kewarisan islam, sinar grafika, 2009, Jakarta.
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Prenada Media, 2003, Jakarta.
Dep. Agama, Ilmu Fiqih, Jakarta, 1986.

Anda mungkin juga menyukai