PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan
Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang tinbul
sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang
meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya,
berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.
Aturan tentang waris tesebut ditetapkan oleh Allah melalui firmannya yang
terdapat dalam Al-Quran, terutama surah an-nisa ayat 7,8,11,12, dan 176, pada
dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah
dan tujuannya.
Hukum kewarisan islam atau yang juga dikenal the Islamic law of inheritance
mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya.
Ditinjau dari perspektif sejarah, implementasi hokum kewarisan islam pada
zaman penjajahan belanda ternyata tidak berkembang, bahkan secara politis posisinya
dikalahkan oleh sistem kewarisan hokum adat. Pada masa itu diintrodusir teori
persepsi yang bertujuan untuk mengangkat hokum kewarisan adat dan menyisihkan
penggunaan hokum kewarisan islam[1].
Banyak para sarjana hukum barat menganggap hokum kewarisan islam tidak
mempunyai sistemdan hukum islam itu hanya bersandar pada asas patrilineal.
Sementara itu, diklalangan umat islam sendiri banyak pula yang mengira tidak ada
sistem tertentu dalam hukum kewarisan islam, sehingga menimbulkan sebuah
anggapan seolah-olah hukum kewarisan islam merupakan hokum yang sangat rumit
dan sulit. Kondisi yang demikian itulah yang menyebabkan hukum kewarisan islam
menurut fiqh kebudayaan arab itu sangat sulit diterima masarakat islam di Indonesia.
B. Rumusan masalah
1.
2.
3.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dan hukum-
hukum mawarits. Dalam surat An-nisa: 7-12, 176, dan pada surah lainnya.
b. Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud bahwasanya Nabi Muhammad
SAW, bersabda : Bagilah harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan )
kitab Allah.
c. Ijma dan Ijtihad
Para ulama berperandalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan
dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu mawarits adalah Wajib ( fardhu
kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di antara mereka ada yang
mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu
pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa.
2. Tujuan Ilmu Mawarits
a.
Agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli warits yang berhak
menerimanya sesuai dengan ketentuan syariat Islam
b. Agar dapat di ketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan
dan berapa bagian masing.
c.
Agar dapat menentukan bagian harta warisan secara adil dan benar sehingga tidak
terjadi perselisihan.
3. Syarat pewarisan
a.
Kematian
Orang yang telah meninggal dunia dan mempunyai harta maka akan di
wariskan harta peninggalannya.karna sudah merupakan ketentuan hukumnya.harta
warisan tidak mungkin di bagikan sebelum orang yang mempunyai harta peninggalan
itu di nyatakan meninggal dunia secara hakiki.
a.
Muwaris
Yaitu Orang yang meninggal dunia atau orang yang meninggalkan harta kepada
Hubungan kekeluargaan
yang
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa ayat 7 :
Artinya; Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Hubungan kekeluargaan ini bila di lihat dari penerimaannya ada tiga kelompok:
1. Dzawil Furudh
Yaitu ahli waris yang memperoleh bagian tertentu seperti suami mendapat
seperdua bila orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan mendapat
seperempat bila orang yang meninggal mempunyai anak.
2. Dzawil arham
Yaitu keluarga yang hubungan kekeluargaan nya jauh, mereka tidak termasuk
ahli waris yang mendapat bagian tertentu, tetapi mereka mendapat warisan jika ahli
waris yang dekat tidak ada.
3. Ahlul Ashabah
Yaitu Ahli waris yang mendapat sisa harta atau menghabiskan sisa, setelah
ahli waris yang memperoleh bagian tertentu mengambil bagian masing-masing.
Hubungan perkawinan
Selama perkawinan masih utuh bisa menyebabkan adanya saling waris
mewarisi. Akan tetapi, jika perkawinan sudah putus maka gugurlah saling waris
mewarisi, kecuali istri dalam keadaan masa iddah pada talak raji.
memerdekakan itu meninggal dunia maka budak yang telah di merdekakan itu tidak
berhak mendapatkan apa-apa.
Hubungan Agama
Apabila ada orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, baik dari
hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala, maka harta warisannya itu di berikan
kepada kaum muslimin, yaitu diserahkan ke baitul Mal untuk kemashlahatan umat
islam.
Sebab-sebab Tidak menerima / Hilangnya Hak menerima Harta Warisan:
Perbudakan
Seorang budak tidak dapat menerima warisan dan tidak dapat memberikan warisan
dari dan kepada semua keluarganya (yang mempunyai hubungan nasab) yang
meninggal dunia selama ia masih berstatus budak. Hal ini sesuai dengan firman Allah
Swt. Dalam surat an-Nahl ayat 75. [3]
Pembunuhan
Para ahli hukum islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan
oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya
untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.
Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi kepercayaan
antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Dasar hukum berlainan
agama sebagai mawaniul irsi adalah hadis rasulullah saw yang artinya :
Orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak
dapat mewarisi harta orang muslim.
Berlainan Negara
Ciri-ciri suatu negara adalah memiliki kepala negara sendiri, memiliki
angkatan bersenjata, dan memiliki kedaulatan sendiri. Maka yang dimaksud berlainan
negara adalah yang berlainan ketiga unsur tersebut. Berlainan negara ada tiga
kategori, yaitu berlainan menurut hukumnya, berlainan menurut hakikatnya, dan
a.
1. Istri atau beberapa orang istri bila ada anak atau cucu dari anak laki-laki
d. Yang mendapat dua pertiga (2/3)
1. Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak lak-laki, selama tidak ada anak
perempuan atau saudara laki-laki
3. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada anak perempuan
atau anak perempuan dari anak laki-laki, atau saudara laki-laki mereka.
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tsb dari point
1,2, 3
e.
1. Ibu, jika tidak terhalang, jika tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Atau tidak
pula meninggalkan dua orang saudara baik laki-laki maupun perempuan , baik seibu
seayah atau bukan.
2. Dua orang laki-laki atau lebih, juga saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih,
jika tidak ada pokok dan cabang (ayah atau kakek dan anak atau cucu).itulah yang di
maksud dengan kalalah. Selain itu jumlah mereka harus ada dua orang atau lebih
baik mereka lelaki atau perempuan.
f.
1. Ibu, jika ada anak, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau dua orang atau lebih
dari saudara laki-laki dan perempuan.
zaul arham itu adalah perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan perempuan.
Zul arham terdapat 4 kelompok garis keturunan yaitu:
a. Garis keturunan lurus ke bawah yaitu:
keturunannya.
b. Anak keturunan lurus ke atas
c.
Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah
dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orangorang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
-
1. Mudakhalah, Yaitu Apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada pada
suatu kasus itu saling memasuki, artinya angka pembagi yang kecil dapat di
masukkan kedalam angka pembagi yang besar, dengan kata lain angka pembagi yang
besar dapat habis dengan angka pembagi yang kecil.
2.
3.
Mubayanah, Yaitu Apabila angka-angka pembagian pada bagian yang ada dalam
suatu kasus itu berbeda yang satu dengan lain, maka pembagian yang satu tidak habis
di bagi dengan angka pembagi yang lain serta tidak mempunyai pembagi yang sama
antara angka-angka pembagian yang ada.
4. Muwafaqah, Yaitu apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada dalam
suatu kasus berbeda antara yang satu yang lain, tetapi angka-angka pembagi tersebut
mempunyai pembagian yang sama.
D. Gugurnya Ahli Waris
1. Bagian Untuk nenek perempuan menjadi gugur karena ada ibu, atau datuk laki-laki
2.
a.
b.
c.
d.
3.
a.
b.
c.
4.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Harta seseorang yang telah mati beralih kepada seseorang yang masih hidup
bila diantara keduanya terdapat suatu bentuk hubungan, hubungan kewarisan menurut
islam ada dalam beberapa bentuk :
a) Hubungan kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah
b) Hubungan perkawinan
c) Hubungan pemerdekaan hamba
d) Hubungan sesama islam
Sumber hukum ilmu mawarits Ada Tiga, yaitu:
d. Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dan hukumhukum mawarits. Dalam surat An-nisa: 7-12, 176, dan pada surah lainnya.
e. Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud bahwasanya Nabi Muhammad
SAW, bersabda : Bagilah harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan )
f.
kitab Allah.
Ijma dan Ijtihad
Para ulama berperandalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan
dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu mawarits adalah Wajib ( fardhu
kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di antara mereka ada yang
mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu
pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa.
DAFTAR PUSTAKA
Hafsah, Fiqih, ( Medan : Cita Pustaka Media Perintis, 2011 )
Imran Ali, Fikih, ( Medan : Cita Pustaka Media perintis, 2011 )
Drs. H. Moh. Muhibbin, hukum kewarisan islam, sinar grafika, 2009, Jakarta.
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Prenada Media, 2003, Jakarta.
Dep. Agama, Ilmu Fiqih, Jakarta, 1986.