Dosen Pengampu: Arief Rahman, S.H., M.H. Disusun untuk memenuhi tugas U1 Mata Kuliah Hukum Agraria
Disusun Oleh: I Wayan Pariarsana D1A020225 Hukum Agraria A2
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM 2021 MATERI HUKUM AGRARIA
1. Pengertian Hukum Agraria
Dahulu Agraria berasal dari beberapa istilah, yaitu: a. Berasal dari bahasa yunani, yaitu ager yang berarti tanah/ladang. b. Berasal dari bahasa latin, yaitu agrarius yg berarti hal yg berhububungan dengan tanah. jadi berarti peladangan atau pertanian. c. Berasal dari bahasa Belanda, yaitu akker yang berarti ladang atau tanah pertanian. d. Berasal dari bahasa Inggris, yaitu land yang berarti tanah pertanaian. Sehingga banyak orang yang apabila mendengar perkataan agraria langsung tertuju pikiran kepada pertanian. Pada dasarnya pengertian Hukum Agraria ini memang mencakup tanah, namun dalam perkembangannya pengertian Hukum Agraria tidak hanya terbatas pada tanah melainkan mencakup lebih luas dari tanah. Dalam pasal 33 ayat 3 maupun dalam UUPA, tidak disebutkan secara tegas mengenai pengertian agraria. Namun apabila dilihat dalam pasal 5 UUPA yang menyebutkan bahwa “Hukum Agraria yang atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara….”,sekiranya dapat kita tarik pengertian bahwa yang diatur atau yang merupakan obyek agraria adalah bumi, air dan luar angkasa. Selanjutny bila dilihat pasal 1 ayat 2 UUPA yang menyatakan: “seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.” Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa bumi air, dan ruang angkasa tdk dpt dipisahkan dengan kekayaan alam yg terkandung didalamnya. Kekayaan alam yg terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan dengan bumi, air dan luar angkasa. Sehingga pengertian Agraria sebagai sumber daya alam yang meliputi: 1. Bumi yang terdiri dari: permukaan bumi dan tubuh bumi serta yang berasa di bawah air. 2. Air yang terdiri dari: Air pedalaman dan laut wilayah Indonesia. 3. Ruang Angkasa terdiri dari: Ruang di atas bumi dan ruang di atas air wilayah Indonesia. 4. Kekayaan alam yang terdiri dari tambang, hasil hutan, ikan, binatang, dan sebagainya. Sehingga dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pengertian agraria dengan tanah adalah berbeda, karena tanah adalah hanya bagian kecil dari agraria. Dalamarti luas yang dimaksud dengan agraria adalah bumu,air,dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya, sedangkan dalam arti sempit agraria hanyalah meliputi permukaan yang disebut tanah saja. Dalakehidupan sehari-hari istilah agraria lebih banyak dipergunakan dalam arti sempit. 2. Kedudukan Hukum Agraria Dalam Tata Hukum Indonesia Pada ajaran Hukum Klasik (pada zaman penjajahan Belanda) hukum agraria tidak dibicarakan dalam hukum yang berdiri sendiri, melainkan hukum agraria dikatakan sebagai bagian dari cabang ilmu hukum lainnya. Cabang ilmu hukum yang membahas mengenai agraria pada zaman saat itu adalah Hukum Perdata, Hukum Adat, Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara, ilmu Hukum antar golongan. Dengan demikian kita mengenal empat cabang hukum yang membahas mengenai agraria, yaitu: a. Hukum Agraria Adat adalah keseluruhan adat dan agraria yang bersumber dari hukum adat adan berlaku terhadap tanah-tanah dengan hak-hak yang diatur oleh Hukum Adat, misalnya tanah, ulayat, tanah hak milik perseorangan. b. Hukum Agraria Barat adalah hukum agraria yang bersumber pada hukum perdata barat, khususnya yang bersumber pada Bugerlijk Wetboek (BW), misalnya tanah hak eigendom (hak milik), hak erfoacht (hak guna usaha), hak opstal (hak numpang). c. Hukum Agraria Administratif adalah keselruhan peraturan-peraturan atau putusan- putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria pemerintah dalam kedudukannya sebagai badan penguasa. d. Hukum Agraria Antar Golongan ada karena sistem hukum agraria perdata bersifat dualitas bahkan pluralistis, yaitu dengan berlakunya Hukum Perdata barat untuk golongan Eropa dan Hukum Adat untuk golongan Bumiputera. Sehingga dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1960 maka Indonesia telah memiliki unifikasi hukum di bidang agraria dan memiliki kepastian hukum di bidang agraria, serta kaidah-kaidah hukum agraria sudah dapat dibahas oleh satu cabg ilmu yang berdiri sendiri, yaitu Hukum Agraria. Hukum Agraria dikatakan sebagai cabang ilmu hukum yang sudah berdiri sendiri karena sudah memenuhu persyaratan iliah sebagai cabang ilmu hukum, yaiu memenuhi syarat obyekmateriil dan formil. Syarat obyek materiil, yaitu UUPA telah menyebutkan secara tegas , yaitu bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan yang di samping sebagai pemersatu untuk cabang ilmu hukum agraria sekaligus sebagai pembeda dari cabang- cabang ilmu lainnya. Sedangkan obyek formil hukum agraria, yaitu UUPA sendiri yang merupakan dasar atau pedoman dalam penyususnan Hukum Agraria. 3. Dualisme dan Pluralisme Hukum Agraria Dualisme dan Pluralisme Hukum Agraria terjadi sebelum berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Hukum Agraria sebelum adanya UUPA disebut dengan istilah Hukum agraria lama/kolonial. Pada waktu berlakunya hukum agraria lama belaku dualisme hukum sebagai akibat dari politik hukum pemerintahan Belanda. Dualisme hukum agraria artinya bahwa berlaku dua sistem hukum yang mengatur mengenai hukum agraria, yaitu hukum agraria barat dan hukum agraria adat. Hak-hak atas tanah yang diatur menurut hukum perdata barat disebut dengan “tanah barat” atau “tanah Eropa”, hukum agraria barat sifatnya tertulis oleh sebab itu forulasinya tegas dan mudah untuk dipaksakan berlakunya sebagai hukum positif , serta hukum agraria barat berjiwa Liberal Individualistis. Sedangkan hak-hak atas tanah yang diatur menurut hukum adat disebut dengan “tanah adat” atau “tanah Indonesia”. Hukum Agraria adat sifatnya tidak tertulis, jiwanya gotong royong dan kekeluargaansesuai dengan sifat hukum adat. Namun meskipun sifatnya sama dengan adat tapi tetap saja ada perbedaannya ini dikarenakan daerah/masyarakat tempat berlakunya hukum adat itu, sehingga nampak hukum agraria adat itu isinya beraneka ragam sehingga disebut pluralistis. Namun yg mnjdi masalah pd saat itu jika terjdi hubungan-hubungan atau peristiwa hukum antar orang Indonesia dengan orang eropa khususnya dalam kaitannya dengan tanah, maka digunakan hukum apa untuk menyelesaikan hal tersebut?. Jawabannyaa adalaa hukum agraria antar golongan, di mana dalam asas hukum agraria antar golongan terdapat ketentuan bahwa: "tanah itu mempunyai status & hukum tersendiri yag terlepas & tidak terpengaruhi oleh status atau huku dari subjek yang menghendaki". Asas ini bukan merupakan ketentuan huku yang tertulis, melainkan berasal dari yurisprudensi tetap. Selanjutnya tanah mempunyai “pasaran bebas” artinya orang- orang eropa dapat memiliki tanah adat, begitu sebaliknya. Tapi dalaperkembangannya bagi orang-orang bukan asli Indonesia untuk memperoleh tanah adat (tanah Indonesia) diadakan pembatasan dengan dikeluarkannya peraturan larangan pengasingan tanah (Grond vervreemdingsvervod) yang diundangkan dalam S.1875 No 179. Maksud dari dikeluarkannya peraturan tersebut adalah: 1) Untuk melindungi bangsa Indonesia yang kedudukannya lemah dalam bidang ekonomi apabila dibandingkan dengan bukan bangsa Indonesia asli. Bangsa Indonesia sebagai petani menjadi korban dari pengusaha-pengusaha bukan bangsa Indonesia, 2) Sedangkan untuk kepentingan pemerintah kolonial sendiri yaitu agar kultur kopi Gubermen dapat terlindungi, sebab pemerintah mengangap pengusaha-pengusaha eropa sangat membahayakan. Pengasingan secara langsung yaitu melalui jual beli, penghibahan, pewarisan. Sedangkan secara tidak langsung terjadi dengan penyelundupan yaitu sistem “kedok” atau “stroman”. Akan tetapi tanah hak milik bangsa Indonesia dapat dialihkan dengan cara yaitu: dengan perkawinan campuran, dengan pewarisan ab intestato yaitu pewarisan berdasarkan UU di mana ahli waris menurut UU harus memiliki hubungan darag dengan pewaris, perubahan status kewarganegaraan, dan jalan naturalisasi. 4. Sejarah dan Perkembangan Politik Pertanahan di Indonesia Hukum Agraria sebelumlahirnya UUPA bersufat dualistis, yaitu berlaku hukum agraria barat dan hukum agraria adat. Perjuangan Indonesia untuk dapat menciptakan hukum agraria nasional sudah dimulai sejak sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal ini disebab kan karena politik agraria yang dijalankan kolonial Belanda dengan didasarkan pada prinsip dagang. Adapun menegenai sejarah dan perkembangan politik pertanahan di Indonesia dibedakan menjadi 2, yaitu: a. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Pada zaman VOC, yang di mana tujuan awalnya adalah untuk menghindari persaingan antara sesamapedagang Belanda. Namun pada perjalanannya VOC diberikan kekuasaan lebih untuk dapat mengadakan perjanjian dengan negara-negara dan raja-raja asing, mempunyai tentara, mengangkat Gubernur dan pegawai tinggi lainnya serta mengeluarkan uang. Peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh VOC yang merugikan bangsa Indonesia adalah ”contigenten” yaitu pajak hasil pertanian harus diserahkan kepada peguasa kolonial. Selain itu dikenal juga “verplichte leverantien” yaitu raja diwajibkan menyerahkan seluruh hasil pertaniandengan pembayaran yang telah ditetapkanoleh kolonial Belanda, dan bagi yang tidak memiliki lahan dikenakan kerja rodi. Pada tgl 31 desember 1979 kemudian VOC membubarkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda (bataafse Republiek) dan raja Belanda menunjuk Herman Willem Deandles untuk menjalankan pemerintahan di negara jajahan Belanda. Kebijakan pertanahan yang dikeluarkan oleh Herman willem yaitu mengenai “tanah partikulir” yaitu menjual tanah-tanah kepada pemilik modal besar terutama Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah partikelir adalah tanah milik yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Sifat dan corak istimewa itu maksudnya adalah bahwa pemilik tanah tersebut memiliki hak-hak yang bersifat kenegaraan yang dikenal dengan istilah hak-hak pertuanan. Dengan adanya hak pertuanan tersebut maka seakan-akan tanah partikelir tersebut merupakan negara-negara dalam negara. Willem Deandleas menjalankan pemerinyahan terkenal kejam dan sewenang-wenang maka dia digantikan oleh Jan Willmem Janssens. Pada tanggal 18 september 1811 pemerintahan Belanda jatu ke tangan Inggris dan menujuk Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jendral. Kebijakan Thomas Raffles dalambidang pertanahan yaitu tentnag fiscal yang dikenal dengan istilah “landrent” di mana menurut Raffles bahwa semua tanah adalah milik raja dan karena raja-raja di Hindia Belanda telah takluk kepada pemerintah Inggris maka tanah menjadi milik Inggris. Oleh sebab itu rakyat petani yg mengusahakan tanah itu bukan sebagai pemilik melainkan mereka hanya sebagai penggarap saja dan kepada mereka dibebankan untuk membayar "rent" atau sewa kepada Negara Inggris.Terkait dengan besarnya uang sewa tanah tersebut Inggris menugaskan kepala desa untuk menentukan besarnya uang sewa yang harus disetorkan. Pada tahun1816 pemerintah Inggris menyerahkan kekuasaanya kembali kepada pemerintah Belanda dan menunjuk Johannes Van den Bosch. Pada tahun 1830 diadakan sistem tanam paksa (Culture Stelsel), yang di mana petani diminta menanam salah satu tanaman dan dipaksa menyerahkan hasilnya. Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda mengesahkan undang-undang agraria yang disebut dengan “Agrarische Wet”. Stb 1870 No 55 Undang-undang yang dibuat di negeri Belanda ini tujuannya adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia. Ketentuan-ketentuan dari Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut didalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu diantaranya yang penting ialah yang diatur dalam Koninkjlk Besluit yang kemudian dikenal dengan nama Agrarisch Besluit dan diundangkan dalam S 1870 No 118, yang intinya menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ada buktinya hak eigendom(hak milik) adalah kepunyaan negara. Dalam prakteknya domein varklaring” mempunyai beberapa fungsi: 1) Sebagai landasan hukum bagi kolonial memberikan tanah dengan hak-hak barat. 2) Untuk keperluan pembuktian. Sehingga dengan berlakunya “Domein Varklaring” ini sama artinya dengan memperkosa hak-hak atas tanah rakyat, karena semua tanah yang bukan tanah eigendom & tanah agrarish eigendom seapnjang ada di wilayah pemerintahan langsung adalah domain negara. b. Periode Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Pasca proklamasi kemerdekaan ternyata dualisme hukum agraria masih berlangsung, karena usaha-usaha untuk melakukan perombakan hukum agraria lama memerlukan waktu yang lama dan tidak mudah. Sehingga agar tidak terjadinya kekosongan hukum maka berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 telah mengaturnya: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang menurut UUD 1945. Jadi hukum agraria lama terpaksa berlaku. Oleh sebab itu dengan ditetapkannya UUD 1945 politik pemeritah Belanda terhadap masalah agraria ditinggalkan karena tidak cocok dengan alam dan jiwa kemerdekaan dari bangsa Indonesia yang termuat dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sehingga untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul menyangkut masalah agraria maka pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai peraturan yang meniadakan lembaga feodal dan kolonial serta juga menyempurnakan aturan yang lama samapai menunggu lahirnya UU agraria, misalnya: Penghapusan terhadap tanah partikelir berdasarkan UU No. 1 Tahun 1958, Perjanjian bagi hasil yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1960. 5. Hukum Agraria Nasional Sebagai upaya untuk meletakan dasar bagi pendayagunaan obyek hukum agraria, maka pada tahun 1960 UU No. 5 Tahun 1960 diundangkan dan sejak saat itu menjadi Hukum Agraria Nasional. UUPA dikatakan sebagai Hukum Agraria Naional karena UUPA telah memenuhi 2 kriteria, yaitu secara formal UUPA dibuat oleh lembaga yang berwenang dan secara materiil anatara lain yaitu: a. Isi UUPA merupakan penjelmaan dari sila-sila Pancasila antara lain yaitu, Sila Ketuhan Yang Maha Esa, dapat dilihat dalam pasal 1 ayat 2 UUPA, bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan sebagai karunia Tuhan. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dapat dilihat dalam pasal 2,4,dan 6 UUPA. Sila Persatuan Indonesia dapat dilihat dalam pasal 9 UUPA bahwa warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik atas tanah. Kerakyatan dan Keadilan Sosial dapat dilihat dala pasal 9 ayat 2 UUPA. b. Ketentuan UUPA harus sesuai dengan kesadaran Hukum Masyarakat c. Tujuan UUPA harus sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia dalam UUD 1945 Dengan adanya hukum agraria nasional maka hukum agraria lama tidak berlaku lagi dan dinyatakan dicabut. Pencabutan itu dibagi 2 yaitu: pencabutan secara tegas dan pencabutan secara diam-diam. Pencabutan peraturan tersebut karena beberapa pertimbangan yaitu: agar pencapaian masyarakat yang adil dan makmur tidak terhambat, pruk Brlanda yang isinya bertentangan dengan rakyat dan negara Indonesia, dan hukum agraria bersifat dualistis sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Atas dasar pertimbangan tersebut hukum agraria nasional mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu: a. Meletakan Dasar-dasar Kenasionalan Hukum Agraria Nasional. tujuannya adalah untuk menegaskan bahwa era baru sudah lahir berkaitan dengan agraria dan menegaskan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan mnjadi hak negara, bangsa dan masyarakat Indonesia. b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. c. Meletakkan dasar-dasar untuk kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Kepastian hk ini mengkhendaki kepastian mengenai: hak atas tanahnya, subyek haknya, obyek haknya, hukum yg berlaku. 6. Kedudukan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Agraria Hukum Adat sebagai hukum yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan yang istimewa dalam hukum agraria. Pembangunan hukum agraria ditujukan pada satu sistem hukum, dalam rangka pembangunan tersebut hukum adat dijadikan dasar pembentukan hukum agraria nasional. Dalam UUPA terdapat beberapa tempat penyebutan hukum adat yaitu dalam konsiderannya pasal 5, penjelasan angka III (1), dan penjelasan pasal 16. Sehingga atas dasar beberapa penyebutan dalam UUPA maka hukum adat mempunyai dua kedudukan dalam pembentukan UUPA yaitu: sebagai dasar utama dan sebagai pelengkap hukum agraria nasional. ➢ Sebagai Dasar utama: Dalam pengambilan hukum adat sebagai dasar pembentukan mengalami kesulitan dikarenakan hukum adat bersifat pluralistis. Untuk itu kemudian dicari persamaan-persamaan sehingga dirumuskan asas-asas, lembaga-lembaga hukumnya, dan sistem hukumnya. sehingga hal ini kemudian dijadikan dasar utama dalam pembangunan hukum agraria dan telah dituangkan dalam UUPA. Adapun asas-asas hukum adat yang diambil sebagai dasar yaitu: 1. Hukum adat bersifat religius magis yang artinya bahwa kekayaan alam merupakan kekayaan yang dianugerahkan oleh Tuhan pada masyarakat hukum adat, dan dalam UUPA dituangkan dalam pasal 1 ayat 2. 2. Dalam hukum adat dikenal dengan adanya hak ulayat yaitu hak masyarakat hukum adat yang berisi wewenang dan kewajiban untuk menguasai, menggunakan dan memelihara kekayaan alam yang ada di wilayahnya. Sehingga dalam UUPA dituangkan dalam pasal 3. 3. Azas hak perseorangan atas tanah, yaitu konsep ini digunakan oleh UUPA dan dapat dilihat dalam ketentuan pasal 4 dan 16 UUPA. 4. Dalam hukum adat dikenal asas: di dalam hak-hak individu selalu terdekat hak masyarakat. Hal ini dalam UUPA dapat dilihat pada pasal 6 yang menyatakan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial. 5. Asas gotong royong yaitu setiap usaha yang menyangkut kepentingan individu dan masyarakat selalu dilaksanakan secara gotong royong. Hal ini termuat dalam pasal 12 ayat 1 UUPA. 6. Asas perbedaan antara warga masyarakat dan warga asing dalam kaitannya dengan penguasaan, penggunaan kekayaan alam, asas ini dalam UUPA dijadikan asas ke nasional dan hukum agraria yang dituangkan dalam pasal 9. ➢ Lembaga-lembaga hukum adat yang diambil sebagai dasar utama: Pembangunan hukum agraria nasional adalah susunan macam-macam hak atas tanah. Pada hukum adat dikenal hak atas tanah yaitu hak milik, hak pakai, hak sewa, hak memungut hasil, dan hak membuka tanah. hak-hak tersebut dijadikan dasar dalam penyusunan hak-hak atas tanah dalam UUPA. Usaha penyempurnaan terhadap lembaga hukum adat yaitu: 1. Adanya tambahan hak baru yaitu hak guna usaha dan hak bangunan, 2. adanya keharusan untuk melakukan pendaftaran tanah terhadap hak atas tanah tertentu. ➢ Sistem hukum agraria adat terutama mengenai sistematika hubungan manusia dengan tanah. Semua sistem hukum agraria yang berlaku di Indonesia baik itu hukum barat, hukum feodal, hukum adat berbeda-beda dalam menentukan sistematika hubungan antara manusia dengan tanah. Dalam hukum perdata tanah di seluruh negara dibagi habis dalam 2 macam hak eigedom yaitu hak milik dan hak negara. dalam hukum agraria feodal tanah yang ada dalam wilayah suatu kerajaan adalah milik raja sedangkan perseorangan hanya dapat mempunyai hak menggarap atau mengusahakan saja. Dalam hukum adat tanah dikuasai bersama atau dikenal dengan istilah hak ulayat. Sistematika hubungan manusia dengan tanah berdasarkan hukum adat yang dijadikan dasar pembangunan hukum agraria nasional yang dapat dilihat pada pasal 1 ayat 2 UUPA. ➢ Hukum adat sebagai dasar pelengkap Hukum Adat sebagai pelengkap dapat dilihat dalam pasal 5 UUPA, bahwa hukum adat yang akan diangkat menjadi hukum agraria nasional harus disaring melalui syarat-syarat tertentu sehingga dikatakan sebagai hukum pelengkap. pembangunan hukum agraria nasional diarahkan pada terbentuknya hukum agraria tertulis sehingga memerlukan waktu yang cukup lama, maka untuk mengatasi hal tersebut diperlukan hukum pelengkap yang bersumber dari hukum adat. Adapun syarat-syarat yang ditentukan oleh pasal 5 UUPA sehingga hukum adat dapat dijadikan sebagai hukum pelengkap sebagai berikut:1. ketentuan hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, 2. ketentuan hukum adat tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia, 3. ketentuan hukum adat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUPA, 4. ketentuan hukum adat tidak boleh bertentangandengan peraturan agraria lainnya, 5. pengambilan hukum adat harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama 7. Hubungan Hukum Antara Bangsa Negara Dan Perseorangan Dengan Objek Hukum Agraria
➢ Hubungan Bangsa Indonesia Dengan Objek Agraria
Bangsa adalah rakyat atau orang-orang yang bersatu dan berada dalam suatu masyarakat hukum yang terorganisir. Saat ini masyarakat Indonesia sudah bersatu sebagai bangsa Indonesia maka hukum agraria nasional harus menempatkan hak bangsa sebagai hak tertinggi. Menurut penjelasan umum UUPA angka 3 nomor 1 hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi air ruang angkasa dan kekayaan adalah semacam hubungan hak ulayat yang ditingkatkan pada tingkat tertinggi meliputi seluruh wilayah Indonesia. sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hak bangsa mengandung dua unsur yaitu: unsur kepunyaan artinya bahwa semua atau setiap orang berhak memiliki hak atas tanah. Sedangkan unsur kewenangan artinya berhak untuk mengatur penggunaan dan pemeliharaan bumi air ruang angkasa dan kekayaan. namun demikian tentunya bangsa Indonesia secara keseluruhan tidak mungkin melaksanakan wewenangnya, oleh karena itu kemudian unsur kewenangan dari hak bangsa itu dilimpahkan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat Indonesia. ➢ Hubungan Negara Indonesia Dengan Objek Agraria Ada tiga teori yang membicarakan kemungkinan hubungan antara negara dengan tanah teori 1 yaitu memberikan kedudukan yang sama antara negara dengan perseorangan yang bersifat privat-rechtelijk, teori 2 yaitu bahwa kedudukan negara bukan sebagai perseorangan melainkan sebagai badan yang bersifat publil-rechtelijk, teori 3 yaitu bahwa negara merupakan personifikasi atau penjelmaan dari seluruh rakyat, dari 3 teori tersebut maka hukum agraria nasional mengambil pandangan teori tiga, yaitu negara sebagai penjelmaan dari rakyat. hal ini sesuai dengan kedudukan negara sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat dan hubungan antara negara dengan tanah adalah hubungan menguasai atau hak menguasai. Adapun wewenang negara antara lain: • Wewenang kedalam yaitu: mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan persediaan dan pemeliharaan bumi air ruang angkasa dan kekayaan, menentukan dan mengatur hubungan antara hukum antara orang-orang dengan bumi air ruang angkasa dan kekayaan, mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi air ruang angkasa dan kekayaan • Wewenang keluar yaitu: negara harus menegakkan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi air dan kekayaan dalam wilayah Indonesia bersifat abadi, menegaskan bahwa orang asing tidak dapat mempunyai hubungan penuh dan kuat. Selanjutnya atas dasar menguasai tersebut luas kekuasaan negara atas tanah meliputi: Tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak tertentu oleh perseorangan. Kekuasaan negara atas tanah ini bersifat tidak langsung, tanah-tanah yang belum dipunyai oleh orang perseorangan bersifat langsunng. ➢ Hubungan hukum perseorangan dengan tanah Politik Hukum Agraria nasional mendasarkan pada sifat kodrat secara utuh yaitu makhluk individu dan sosial. Dalam hubungannya makhluk sosial dikenal dengan hak bangsa dan hak menguasai negara sebagai pelaksanaan hak bangsa. Atas dasar hak tersebut kemudian negara memberikan hak perseorangan atas tanah sebagai penjelmaan dari makhluk individu. hak hak perseorangan atas tanah dapat dibagi menjadi dua yaitu satu hak yang pokok berupa hak, dua hak yang sekunder adalah hak-hak yang keberadaannya dibebankan pada hak milik misalnya hak guna bangunan. ➢ Asas-Asas Hukum Agraria Nasional 1) Asas Nasionalisme yang dapat dilihat dalam ketentuan pasal 21 ayat 1 UUPA yang intinya menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak milik atas tanah. 2) Asas Non Diskriminasi artinya bahwa UUPA tidak membeda-bedakan antara sesama warga Indonesia baik dia warga negara Indonesia asli maupun warga negara Indonesia keturunan asing dan juga tidak membedakan antara laki dan perempuan hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 9 dan pasal 21 UUPA 3) Asas Fungsi Sosial Dari Tanah. hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 6 UUPA artinya bahwa tanah itu harus dipergunakan sesuai dengan keadaan tanah dan sifat dari haknya dan tidak dibenarkan pemakaian tanah secara merugikan dan bertentangan dengan kepentingan masyarakat. 4) Asas Dikuasai Negara, asas ini tercantum dalam pasal 33 ayat 2 undang-undang Dasar 1945 dan pasal 2 ayat 2 dan 1 UUPA yang artinya dikuasai bukan dimiliki melainkan negara diberikan wewenang dan kewajiban untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi air ruang angkasa dan kekayaan. 5) Asas Pemilikan Dan Penguasaan Tanah Melampaui Batas Tidak Diperkenankan. Asas ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal UUPA sebagai usaha untuk mewujudkan program land to the tiller yaitu tanah untuk petani. 6) Asas Pemisahan Horizontal yaitu asas yang memisahkan kedudukan benda-benda yang ada di atasnya dan melekat dengan tanah dari tanahnya di mana benda benda itu berada.
8. Hak-Hak Atas Tanah
Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya hak atas tanah terdiri dari hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan. • Hak Milik Dalam pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan hak milik adalah hak turun-temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Ciri-ciri hak milik yaitu: 1. Turun-temurun artinya dapat beralih karena hukum, 2. Terkuat artinya kedudukannya paling kuat dibanding dengan hak-hak atas tanah yang lainnya, 3. Terpenuh artinya penggunaannya tidak terbatas seperti hak atas yang lainnya, 4. Dapat beralih dan dialihkan, 5. Dapat dibebani kredit dengan hak tanggungan, 6. Jangka waktunya tidak terbatas. Subjek Hak Milik dapat dilihat dalam pasal 21 ayat 1 dan ayat 2 UUPA: warga negara Indonesia dan badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 38 tahun 1963. Pejabat Yang Berwenang Memberikan Hak Milik, yaitu 1. BPN kab/kota: untuk perseorangan tanah pertanian Maksimal 50.000M2. Tanah Non Pertanian maksimal 3.000M2. Untuk Badan Hukum Maksimal 50.000M2 merupakan tanah non pertanian. 2. Kanwil BPN/BPN Provinsi: Untuk Orang Perseorangan tanah pertanian lebih dari 50.000M2 dan tidak lebih luas dari batas maksimal, non pertanianlebih dari 3.000M2 sampai dengan 10.000M2. untuk Bdan Hukum, luasnya lebih dari 50.000M2 sampai 150.000M2 (Non Pertanian). Hapusnya Hak Milik. Dapat dilihat dalam ketentuan pasal 27 UUPA: a. Tanahnya jatuh kepada negara: 1. Karena pencabutan hak, 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, 3. Karena ditelantarkan ketentuan pasal 23 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2. b. Tanahnya musnah. • Hak Guna Usaha Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian perkebunan perikanan atau peternakan. Ciri-ciri hak guna usaha: 1. Objeknya adalah tanah yang dikuasai oleh negara, 2. Digunakan untuk usaha pertanian perikanan dan peternakan, 3. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu, 4. Dapat beralih dan dialihkan, 5. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial, 6. Dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani hak tanggungan, 7. Hak yang wajib didaftarkan. Subjek Guna Usaha, yaitu warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pejabat Yang Berwenang Memberikan HGU, berdasarkan Pasal 8 Peraturan Kepala BPN RI No. 2 Tahun 2013 tentang pelempahan wewenang pemeberian hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran tanah, yaitu Kepala Kanwil BPN yang luasnya tidak lebih dari 2.000.000M2/200Ha. Jangka Waktu HGU, yaitu 35 Tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu maksimal 25 Tahun serta dapat diperbaharui maksimal 35 Tahun. Hak Guna Usaha Hapus karena jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu secara tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut untuk kepentingan, ditelantarkan dan tanahnya musnah. • Hak Guna Bangunan Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu. Ciri-ciri hak guna banguna: mendirikan bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, dapat beralih dan dialihkan, dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani hak tanggungan, dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial, haknya mempunyai jangka waktu tertentu, dan hak yang wajib didaftarkan. Menurut pasal 37 Undang-Undang Pokok Agraria hak guna bangunan terjadi pada: 1. Tanah yang dikuasai oleh langsung oleh negara, 2. Tanah milik, karena perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu. Subyek Hak Guna Bangunan dituangkan dalam pasal 36 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah, warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Jangka Waktu Hak Guna Bangunan: 1. Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan jangka waktunya 30 tahun dapat diperpanjang maksimal 20 tahun serta dapat diperbarui maksimal 30 tahun. 2. Hak Guna Bangunan atas tanah hak milik jangka waktunya maksimal 30 tahun dan tidak dapat diperpanjang namun atas kesepakatan dapat diperbaharui dengan pemberian hak guna bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan didaftarkan. Pejabat Yang Berwenang Memeberikan HGB: a. BPN kab/kota: untuk perseorangan luasnya tidak lebih dari 3.000M2 dan untuk Badan Hukum luasnya tidak lebih dari 20.000M2. b. BPN Provinsi: untuk perseorangan luasnya lebih dari 3.000M2 dan untuk Badan Hukum luasnya lebih dari 20.000M2 dan tidaklebih dari 150.000M2. Hapusnya Hak Guna Bangunan karena jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir, dicabut untuk kepentingan umum, ditelantarkan, dan tanahnya musnah. • Hak Pakai Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain ia memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan memberinya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang dalam perjanjian pengelolaan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini. Ciri-ciri hak pakai: 1. hak pakai diberikan untuk mendirikan bangunan atau usaha pertanian, 2. Obyeknya tanah negara atau tanah milik, 3. Hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, 4. Hak pakai dapat diberikan cuma- cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun, 5. Hak pakai haknya dapat dialihkan kepada pihak lain sepanjang dapat izin dari pejabat yang berwenang, 6. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai dengan syarat-syarat yang mengandung pemerasan. Subjek Hak Pakai. Menurut pasal 42 UUPA subyek hak pakai adalah: 1. Warga Negara Indonesia, 2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia, 3. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, 4. Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Sedangkan menurut pasal 39 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 cacak pakai ditambah yaitu: 1. Departemen, 2. Lembaga pemerintah non departemen dan pemerintah daerah, 3. Badan-badan keagamaan dan sosial, 4. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional. sedangkan objek hak pakai menurut peraturan pemerintah nomor 40 tahun 1996 adalah tanah negara tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Pejabat Yang Berwenang Memberikan Hak Pakai, berdasarkan Pasal 5 dan 10 Peraturan Kepala BPN RI No. 2 Tahun 2013 tentang pelempahan wewenang pemberian hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran tanah, yaitu: a. BPN kan/kota, orang perseorangan untuk pertanian luasnya tidak lebih dari 50.000M2, untuk perseorangan non pertanian luasnya tidak lebih dari 3.000M2 dan Badan Hukum untuk tanah non prtanian luasnya tidak lebih dari 20.000M2. b. BPN Provinsi: untuk perseorangan tanah pertanian luasnya lebih dari 50.000 dan tidak lebih dari 100.000M2, perseorangan non pertanian luasnya lebih dari 3.000M2 dan tidaklebih dari 10.000M2 dan Badan Hukum untuk non pertanian luasnya lebih dari 20.000M2 dan tidak lebih dari 150.000M2. Jangka waktu hak pakai, menurut pasal 45 hingga 49 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yaitu 1. hak pakai atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan berjangka waktu 25 tahun dapat diperpanjang maksimal 20 tahun serta dapat diperbaharui selama 20 tahun. 2. hak pakai atas tanah hak milik jangka waktunya maksimal 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang namun berdasarkan kesepakatan bisa diperbarui dengan pemberian hak baru. 3. hak pakai atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan untuk departemen lembaga non departemen pemerintahan daerah badan-badan keagamaan dan sosial perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional diberikan jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu. Hapusnya hak pakai (Pasal 55 PP 40/1996), Jangka waktunya berakhir, dibatalkan oleh pejabat yang berwenang pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktunya berakhir, dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya, dicabut untuk kepentingan umum, ditelantarkan dan tanahnya musnah • Hak Pengelolaan Hak pengelolaan adalah hak penguasaan atas tanah negara dengan maksud di samping untuk dipergunakan sendiri oleh si pemegang hak juga dia dapat memberikan hak kepada pihak ketiga. Ciri-ciri hak pengelolaan: 1. objeknya adalah tanah negara, 2. untuk dipergunakan sendiri oleh si pemegang hak dan sebagian atas tanah dapat diberikan kepada pihak ketiga, 3. pemegang hak dapat diberikan beberapa wewenang yaitu: merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, dan menerima uang pemasukan ganti rugi dan atau wajib tahunan. Subjek Hak Pengelolaan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Pasal 5 dan 7: 1. Departemen-departemen atau instansi pemerintah, 2. Badan Hukum Indonesia yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang bergerak dalam kegiatan usaha perusahaan industri dan pelabuhan.