Anda di halaman 1dari 24

HUKUM AGRARIA DAN HUKUM TANAH

Oleh:
Abdul Wahid, S.H.I., M.Kn.

PENGERTIAN AGRARIA
Istilah Agraria berasal dri kata Akker ( Bahasa Belanda ), Agros
(Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahas Latin) berarti
tanah atau sebidang tanah,Agrarius (Bahasa Latin) berarti
perladangan,persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti
tanah untuk pertanian.
- Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah dan semua yang ada
di dalam dan diatasnya
- Menurut Subekti dan R Tjitrisoedibio, agraria adalah urusan tanah dan
segala apa yang ada di dalam dan di atasnya, yang di dalam tanah
misalnya batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada diatas tanah
berupa tanaman, bangunan.
Ruang lingkup agraria / sumber daya alam dapat dijelaskan sebagi
berikut :
- Bumi; Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA adalah
permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang
berada dibawah air.
- Air; Pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang
berada diperairan pedalaman maupun air yang berada dilaut diwilayah
Indonesia
- Ruang Angkasa; Penertian ruang angkasa menurut pasal 1 ayat (6)
UUPA adalah ruang diatas bumi wilayah Indonesia dan ruang diatas
air wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut pasal 48
UUPA ruang diatas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur
– unsur yang dapat digunakan untuk usaha – usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
- Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; Kekayaan alam yang
terkandung didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur – unsur kimia,
mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk
batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam.

PENGERTIAN HUKUM AGRARIA


Menurut Soedikno Mertokusumo, hukum Agraria adalah Keseluruhan
kaidah-kaidah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang
mengatur agraria. Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hokum yang
tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk hokum undang-undang dan
peraturan-peraturan tertulis lainnya yang dibuat negara, sedangkan
kaidah hukum yang tidak tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk
hukum Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adapt setempat dan
yang pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh
masyarakat adat yang bersangkutan.
Boedi Hasono menyatakan Hukum Agraria merupakan satu
kelompok berbagai bidang hokum, yang masing-masing mengatur hak-
hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agrarian. Kelompok berbagai bidang hokum tersebut terdiri
atas:
1. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah,
dalam arti permukaan bumi.
2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan
penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh
undang-undang pokok pertambangan.
4. Hukum Perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan
alam yang terkandung dadalam air.
5. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam ruang
Angkasa mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsure-
unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA.
PEMBIDANGAN DAN POKOK BAHASAN HUKUM AGRARIA
Secara garis besar Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi
menjadi dua bidang yaitu:
1. Hukum Agraria Perdata:
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada
hak perseorangan dan badan hukum yang memperbolehkan,
mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang
berhubungan dengan tanah.
2. Hukum Agraria Administrasi:
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi
wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek hukum negara
dan mengambil tindakan dari masalah-masalah agrarian yang timbul.
Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda
(Indonesia) terdiri atas lima perrangkat hukum, yaitu :
1) Hukum Agraria Adat
2) Hukum Agraria Barat
3) Hukum Agraria Administratif
4) Hukum Agraria Swapraja
5) Hukum Agraria Antar Golongan.
Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut setelah negara
Indonesia merdeka, atas dasar pasal II Aturan Peralihan Undang-
undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih berlaku selama belum
diadakan yang baru.,

PENGERTIAN HUKUM TANAH


Dalam ruang lingkup agrarian tanah merupakan bagian dari bumi
yang disebut permukaan bumi, dalam pasal 4 ayat (1) UUPA atas dasar
hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud pasal 2 ditentukan
adanya macam-macamhak atas permukaan bumi yang disebut tanah.
Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi sedangkan
hak atas tanah adalah hak atas sebgian tertentu permukaan bumi yang
berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Objek hukum
tanah adalah hak penguasaan atas tanah maksudnya Hak yang berisi
serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang
haknyauntuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional
adalah:
1) Hak bangsa Indonesia atas tanah
2) Hak menguasai dari negara atas tanah
3) Hak ulayat masyarakat hukum adat
4) Hak perseorangan meliputi;
- Hak-hak atas tanah.
- Wakap tanah hak milik.
- Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan).
- Hak milik atas satuan rumah susun.
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan- ketentuan hukum baik
tertulis maupun tidak tertulis yang semuanya mempunyai ibjek pengaturan
yang sama yaitu hak-hak penguasan atas tanah sebagai lembaga-
lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek
public dan privat yang dap[at disusun dan dipelajari secara sistematis
hingga keseluruhannya menjadi saqtu kesatuan yang merupakan satu
sistem.
Ada dua macam asas dalam Hukum tanah, yaitu :
1. Asas Accessie atau Asas Perlekatan
Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah
merupakan satu kesatuan; bangunan dan tanaman tersebut bagian
daari tanah yang bersangkutan
2. Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal
Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah bukan
merupkan bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak deengan sendirinya
meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
Hukum Agraria Kolonial
Dari segi berlakunya Hukum Agraria di Indonesia dibagi menjadi 2,
yaitu:
a. Hukum Agraria Kolonial, yang berlaku sebelum Indonesia merdeka
bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24
september 1960.
b. Hukum Agraria Nasional, yang berlaku setelah diundangkannya
UUPA, yaitu tanggal 24 september 1960.
Bahwa Hukum Agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka
disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintahan Hindia
Belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut diantaranya :
1) Pada masa pemerintahan dipegang oleh Gubernur Herman Willem
Daendles (1800-1811) telah menetapkan kebijaksanaan yaitu menjual
tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun
bangsa belanda sendiri. Tanah yang dijual itu dikenal dengan sebutan
tanah partikelir
2) Pada masa pemerintahan Gubernur Thomas Stanford Raffles telah
menetapkan Landrent atau Pajak tanah. Pemilikan tanah di daerah
swapraja di jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja,
sementara rakyat hanya sekedar menggarap dan rakyat wajib
membayar pajak kepada raja inggris.
3) Pada masa pemerintahan gubernur Johanes Van den Bosch tahun
1830 telah menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan
system Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel, yaitu petani dipaksa untuk
menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun
tidak langsung dibutuhkan oleh pasr internasiaonal pada waktu itu.
Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintahan colonial
tanpa mendapatkan imbalan apapun.
4) Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb 1870 No. 55 yaitu
berlakunya politik monopoli (politik colonial konservatif) dihapuskan
dan digantikan dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak ikut
mencampuri di bidang usaha pengusaha diberikan kesempatan dan
kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya dibidang pertanian
di Indonesia.
Hukum Agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu
dengan berlakunya hukum agraria yang berdasarkan atas hukum
adat,sifat dualisme tersebut meliputi bidang-bidang :
1) Hukum, yaitu pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum
agraria barat, hokum agrarian adat, hukum agraria swapraja, hukum,
hukum agrarian administrative dan hukum agrarian antar golongan
2) Hak atas tanah yaitu yang tunduk pada hukum agraria barat yang
diatur dalam KUH Perdata, hak atas tanah yang tunduk pada hukum
agraria adat, hak atas tanah yang merupkan ciptaan pemerintah
swapraja, hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah hindia
belanda.
3) Hak Jaminan atas tanah Pendaftaran tanah dilakukan oleh kantor
pendaftaran tanah tanah atas tanah-tanah yang tunduk pada hukum
barat dan pendaftaran tanah ini menghasilkan tanda bukti berupa
sertifikat.
Politik Agraria Kolonial
Politik agraria yang dimaksudkan disini adalah kebijaksanaan
agraria, politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh
negara dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukan,
mengusahakan, mengambil manfaat,mengurus dan membagi tanah dan
sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kesejahteraan rakyat dam
negara.
Ada dua tujuan politik agraria kolonial yang dijelmakan dalam
Agrarische wet yaitu :
1) Tujuan Primer yaitu memberikan kesempatan kepada pihak swasta
mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah pada waktu
yang cukup lama dengan uang sewa yang murah
2) Tujuan Sekunder, melindungi hak penduduk bumi putera atas
tanahnya dalam perjalanan berlakunya agrarische wet terjadi
penyimpangan terhadaptujuan sekundernya, yaitu adanya penjualan
tanah-tanah milik orang Bumi Putera langsung kepada orang-orang
belanda atau Eropa lainnya.
Menurut Imam Soetikno stuktur agraria warisan penjajah sebagai
hasil politik agraria kolonial apabila:
1) Dipandang dari sudut hukumnya, tidak ada kesatuan hukum.
2) Dilihat dari sudut subjeknya, tidak ada kesamaan status subjek.
3) Dilihat dari yang menguasai tanah, tidak ada keseimbangan dalam
hubungan antara manusia dengan tanah.
4) Dilihat dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam
penggunaan tanah.
5) Dilahat dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum

HUKUM AGRARIA NASIONAL


UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria nasional yang dimuat
dalam pasal 33 ayat (3) nya yaitu“Bumi, air, dan kekeyaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini bersifat imperative
yaitu mengandung perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya yang diletakkan dalam penguasaan
negara itu dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh
rakyat Indonesia.
paya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan
Hukum Agraria colonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah
Indonesia merdeka, yaitu
1) Menggunakan kebijaksanaan dan tafsir baru;
2) Penghapusan hak-hak konversi;
3) Penghapusn tanah partikelir;
4) Perubahaan peraturan persewaan tanah rakyat;
5) Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah;
6) Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan;
7) Kenaikan canon dan cijn;
8) Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa ijin;
9) Peraturan perjanjian bagi hasil(tanah pertanian);
10) Pengalihan tugas dan wewenang agrarian.

FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM PEMBANGUNAN HUKUM


AGRARIA NASIONAL
Menurut Notonagoro, Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam
pembangunan Hukum Agraria nasional, adalah :
1) Faktor Formal, yaitu Keadaan hukum agraria di Indonesia sebelum
diundangkannya UUPA merupakan keadaan peralihan, keadaan
sementara waktu, berdasarkan pada peraturan-peraturan yang
sekarang berlaku ini berdasarkan pada peraturan-peraturan peralihan
yang terdapat dalam pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950, pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS)
dan pasal 2 Aturan peralihan UUD 1945.
2) Faktor Material, yaitu Hukum Agraria mempunyai sifat dualisme
hukum yang meliputi hukum subjek maupun objeknya menurut
hukumnya disatu pihak berrlaku Hukum Agraria Barat yang diatur
dalam KUH Perdata, dipihak lain berlaku Hukum Agraria adat yang
diatur dalam hukum adat. Oleh karena itu setelah Indonesia merdeka,
maka sifat dualisme hokum agraria colonial ini harus diganti dengan
sifat unifikasi (kesatuan) hukum yang berlaku secara nasional.
3) Faktor Ideal. Dari factor ideal (tujuan negara) sudah tentu tujuan
Hukum Agraria kolonial tidak cocok dengan tujuan Negara Indonesia
yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dan tujuan
penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya. Hukum Agraria kolonial dibuat untuk kepentingan
pemerintah Hindia Belanda, Eropa, Timur asing, sedangkan Hukum
Agraria nasional dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Untuk itu Hukum
Agraria kolonial harus diganti dengan Hukum Agraria Nasional yang
diarahkan kepada terwujudnya fungsi bumi, air, dan kekayaan
alamyang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia.
4) Faktor Agraria Modern. Faktor-faktor agraria modern terletak dalam
lapangan-lapangan : Lapangan Sosial, ekonomi, etika,idiil
fundamental factor-faktor inilah yang mendorong agar dibuat Hukum
Agraria Nasional.
5) Faktor Ideologi Politik. Indonesia sebagai bangsa dan negara
mempunyai keterkaitan hidup dengan negara-negara lain. Dalam
menyusun Hukum Agraria nasional boleh mengadopsi Hukum Agraria
negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945.

SEJARAH PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG POKOK AGARIA


Upaya Pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria
nasional yang akan menggantikn Hukum Agraria kolonial, yang sesuai
dengan pancasila dan UUD 1945 sudah dimulai pada tahun 1948 dengan
membentuk kepanitian yang diberi tugas menyusun Undang-undang
Agraria. Setelah melalui rangkaian yang cukup panjang maka baru pada
tanggal 24 september 1960 pemerintah berhasil membentuk Hukum
Agraria nasional, yang dituangkan dalam Undang-undang No.5 Tahun
1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih dikenal
dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Tahapan-tahapan dalam penyusunan Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) dapat dijelaskan sebgai berikut :
1) Panitia Agraria Yogya.
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948
tanggal 21 Mei 1948 berkedudukan di yogyakarta diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo, kepala bagian agraria kementrian dalam
negeri.
2) Panitia Agraria Jakarta
Panitia Agraria Yogya dibubarkan dengan Keputusan Presiden No. 36
Tahun 1951 tanggal 19 maret 1951, sekaligus dibentuk Panitia Agraria
Jakarta yang berkedudukan di Jakarta diketuai oleh Singgih
Praptodiharjo
3) Panitia Soewahjo
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1Tahun 1956 tanggal 14 januari
1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria berkedudukan di
Jakarta yang diketuai Soewahjo Soemodilogo,Sekretaris Jendral
Kementrian Agraria
4) Rancangan Soenarjo
Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika dan
perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan Panitia Soewahjo
oleh Menteri Agraria Soenarjo diajukan kepada Dewan Menteri pada
tanggal 14 Maret 1958.
5) Rancangan Sadjarwo
Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 kita kembali kepada
UUD 1945. Berhubung Rancangan Soenarjo yang telah diajukan
kepada DPR beberapa waktu yang lalu disusun berdasarkan UUDS
1950, maka dengan surat Presiden tanggal 23 Maret 1960 rancangan
tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan UUD 1945.

UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA SEBAGAI HUKUM


AGRARIA NASIONAL
UUPA merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (33) UUD 1945
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu Atas
dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-
hal yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara,sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Dengan berlakunya UUPA maka mempunyai dua substansi yaitu pertama
tidak memberlakukannya lagi atau mencabut Hukum Agraria colonial, dan
kedua membangun Hukum Agraria nasional.

UUPA merupakan Undang-undang yang didalamnya memuat


program yang dikenal Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang
meliputi :
1) Pembaruan Hukum Agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi
nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum.
2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah
3) Mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur.
4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-
hubungan hokum yang berhubungan dengan penguasaan tanah
dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan yang
kemudian dikenal dengan Landreform.
5) Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya serta penggunaan secara
terencana.

PERATURAN DAN KEPUTUSAN YANG DICABUT OLEH UNDANG-


UNDANG POKOK AGRARIA
Dalam pembentukan UUPA disertai dengan pencabutan terhadap
peraturan dan keputusan yang dibuat pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda. Adapun peraturan dan keputusan yang dicabut UUPA, yaitu:
1) Agrarische wet Stb. 1870 No. 55 sebagai yang termuat dalam pasal
51 IS Stb. 1925 No. 447.
2) Peraturan-peraturan tentang Domein Verklaring baik yang bersifat
umum maupun khusus
3) Koninklijk Besluit (Keputusan Raja) tanggal 16 april 1872
4) Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air,
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
TUJUAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
Tujuan diundangkannya UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria
nasional dimuat dalam penjelasan umum UUPA, yaitu :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasioanl,
yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan,
dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam
rangka masyarakatyang adil dan makmur.
b. Melatakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

ASAS-ASAS DALAM UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA


Dalam UUPA dimuat 8 asas dari hokum Agraria nasional, asas –
asas ini harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan
pelaksanaannya, 8 asas tersebut temasuk adalah :
1) Asas Kenasionalan, bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah
kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia dan seluruh bumi,air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai karunia tuhan
yang maha esa dan merupakan kekayan nasional.
2) Asas pada tingkatan tertinggi, bumi ,air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang dapat terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.
3) Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa dari pada kepentingan
perseorangan atau golongan.
4) Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi social, hak atas tanah
apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa
tanahnya itu dipergunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat.
5) Asas hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas
tanah, bahwa hak milik tidak dapat dimiliki oleh orang asing dan
pemindahan hak milik kepada orang asing maka batal demi hukum.
6) Asas persamaan bagi seluruh warga negara Indonesia.
7) Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif
oleh pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat
pemerasan.
8) Asas tataguna tanah / penggunaan tanah secara berencana.

UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA DIDASARKAN ATAS HUKUM


ADAT
Dalam rangka mewujudkan unifikasi (kesatuan) hokum maka Hukum
Adat tentang tanah dijadikan dasar pembentukan Hukum Agraria nasional.
Hukum adapt dijadikan dasar dikarenakan hokum tersebut dianut oleh
sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga Hukum Adat tentang tanah
mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum
Agraria nasional.
Asas-asas/konsepsi hukum adapt yang diambil sebagai dasar:
1) Menurut konsepsi Hukum Adat, hubungan manusia dengan kekayaan
alam seperti tanah mempunyai sifat religiomagis, artinya kekayaan
alam itu merupakan kekayaan yang dianugerahkan tuhan kepada
masyarakat hokum adat.
2) Didalam lingkungan masyarakat Hukum Adat dikenal hak ulayat. Hak
ulayat merupakan hak dari masyarakat Hukum Adat yang berisi
wewenang dan kewajiban untuk menguasai, menggunakan dan
memelihara kekayaan alam yang ada dalam lingkungan wilayah hak
ulayat tersebut
3) Didalam konsepsi hokum adat disamping ada hak masyarakat Hukum
Adat yaitu hak ulayat juga ada hak perseorangan atas tanah yang
diakui.
4) Dalam masyarakat Hukum Adat terdapat asas gotong royong, setiap
usaha yang menyangkut kepentingan individu dan masyarakat selalu
dilakukan melalui gotong royong.
5) Asas lain yang terdapat dalam Hukum Adat adalah ada perbedaan
antara warga masyarakat dan warga asing dalam kaitannya dalam
penguasaan, penggunaan kekayaan alam.

HAK PENGUASAAN ATAS TANAH


Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan
tubuh bumi dibawahnya serta yang diberada dibawah air. Pengertian
“Penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga
beraspek privat dan beraspek public. Penguasaan dalam arti yuridis
adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan
pada umumnya memberi kewenangan pada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang dihaki.
Menurut Oloan Sitorus kewenangan negara dalam bidang
pertanahan sebagai mana yang dimaksud pasal 2 ayat (2) UUPA diatas
merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur penguasaan dan
memimpin penggunaan tanah bersama yang merupakan kekayaan
nasioanal. Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat
adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan
wilayahnya.
Menurut Boedi Harsono Hak ulayat hukum adat dinyatakan masi
apabila memenuhi 3 unsur :
1) Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu
persekutuan hukum adat tertentu yang merupakan suatu masyarakat
hukum adat.
2) Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hokum
adat tersebut yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para
warganya sebagai lebensraum-nya.
3) Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui
oleh para warga masyarakat hokum adapt yang bersangkutan
melakukan kegiatanya sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.
Wakaf Tanah hak milik diatur dalam pasal 49 ayat (3) UUPA yaitu
perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan
pemerintah. Menurut pasal 1 ayat (1) PP No. 28 Tahun 1977 yang
dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa
tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran agama islam.
Yang dimaksud dengan rumah susun menurut pasal 1angka 1 UU
No. 16 Tahun 1985, adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun
dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang
terstrukturkan secara fungsioanl dalam arah horizontal maupun vertical
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama benda bersama, dan tanah besama.
Yang dimaksud dengan hak milik atas satuan rumah susun menurut
pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UU No.16 Tahun 1985,adalah Hak milik atas
satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah , meliputi juga hak atas
bagian bersama tanah bersama yang semuanya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkuutan.

HAK-HAK ATAS TANAH


Ruang Lingkup Hak Atas Tanah
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas
tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia
maupun warga negara asing, sekolompok orang bersama-sama, dan
badan hokum baik badan hokum privat maupun badan hokum publik.
Macam-macam hak tanah dimuat dalam pasal 16 jo.pasal 53 UUPA, yang
dikelompokkan menjadi 3 bidang yaitu :
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak-hak atas tanah ini akan
tetapadaselama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan
undang-undang yang baru. Macam-macam hak atass tanah ini adalah
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Sewa untuk bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut
Hasil Hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan oleh undang-undang, yaitu hak
atas tanah yang akan lahirkemudian yang akan ditetapkan undang-
unddang.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak atas tanah ini
sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan
dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat
feudal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam-macam tanah ini
adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak
Sewa Tanah Pertanian.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu :
1) Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang
berasal dari tanah negara seperti: Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Atas Tanah Negara, Hak Pakai Atas Negara.
2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah yang
berasal dari tanah pihak lain, seperti : Hak Guna Bangunan Atas
Tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik,
Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai Atas Tanah Hak
Milik, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Bagi Hasil, Hak
Menumpang, Hak Sewa Tanah Pertanian.

HAK MILIK
Pengerian Hak Milik menurut pasal 20 ayat (1) UUPA adalah Hak
turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah
dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Turun temurun artinya Hak
milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup
dan bila pemiliknya meninggal dunia maka hak miliknya dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.
Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan
dengan hak atas tanah yang lain tidak mempunyai batas waktu tertentu,
mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain dan tidak mudah hapus.
Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada
pemiliknya paling luas bila dibandingkan hak atas tanah yang lain.
Subjek Hak Milik. Yang dapat mempunyai (subjek hak) tanah Hak Milik
menurut UUPA dan peraturan pelaksanaanya adalah:
1) Perseorangan, yaitu Hanya warga negara Indonesia yang dapat
mempunyai hak milik (pasal 21 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini
menentukan perseorangan yang hanya berkewarganegaraan
Indonesia yang dapat mempunyai tanah hak milik.
2) Badan-badan Hukum. Pemerintah menetapkan badan-badan hokum
yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (pasal 21 ayat
(2) UUPA) yaitu Bank-bank yang didirikan oleh negara (bank negara),
Koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial.

HAK GUNA USAHA


Pengertian Hak Guna Usaha menurut pasal 28 ayat (1) UUPA
adalah Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29,guna
perusahaan, pertanian atau peternakan.
Luas Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya
5 hektar dan luas maksimalnya 25 hektar. Sedangkan untuk badan hokum
luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional.
Jangka Waktu Hak Guna Usaha mempunyai jangka waktu untuk
petama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 35 tahun (pasal 29 UUPA) sedangkan pasal 8 PP No.
40 tahun 1996 mengatur jangka waktu 35 tahun diperpanjang 25 tahun
dan diperbaharui paling lama 35 tahun.

HAK GUNA BANGUNAN


Pengertian Hak Guna Bangunan menurut pasal 35 UUPA yaitu Hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.

JANGKA HAK GUNA BANGUNAN


Menurut pasal 26 sampai dengan pasal 29 PP No. 40 Tahun 1996
jangka waktu hak guna bangunan berbeda sesuai dengan asal tanahnya,
yaitu:
1) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara Hak guna bangunan ini
berjangka waktu pertama kali paling lama 30 tahun, dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun, dan dapat perbaharui untuk
jangka waktu paling lama 30 tahun.
2) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak Guna
Bangunan ini berjangka waktu pertama kali paling lama 30 tahun
dapat diperpanjang selama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk
jangka waktu paling lama 30 tahun.
3) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan ini
berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan jangka
waktu. Namun atas kesepakatan pemilik tanah dengan pemegang hak
guna bangunan dapat di perbaharui dengan pemberian hak guna
bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib
didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota setempat.
Hapusnya Hak Guna Bangunan. Berdasarkan pasal 40 UUPA Hak
Guna Bangunan hapus karena:
1) jangka waktunya berakhir;
2) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak dipen uhi;
3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
4) dicabut untuk kepentingan umum;
5) diterlantarkan;
6) tanahnya musnah;
7) ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).

HAK PAKAI
Penertian Hak Pakai. Menurut pasal 41 ayat (1) UUPA yang
dimaksud dengan HP adalah Hak untuk mengguanakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perrjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentengan dengan ketentuan UUPA.
Jangka Waktu Hak Pakai. Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan
secara tegas berapa lama jangka waktu hak pakai. Dalam PP No. 40
Tahun 1996 jangka waktu hak pakai diatur pada pasal 45sampai dengan
49 yaitu:
1) Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak pakai ini berjangka waktu untuk
pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jagka
waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk paling lama
25 tahun.
2) Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak pakai ini berjangka
waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang
untuk paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka
waktu paling lama 25 tahun.
3) Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Hak Pakai ini diberikan untuk paling
lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas
kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang hak pakai dapat
diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang
dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan ke kantor pertanahan
kabupaten.

HAK SEWA UNTUK BANGUNAN


Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan menurut pasal 44 ayat (1)
UUPA adalah Hak yang dimiliki seseorang atau badan hokum untuk
mendirikan dan mempunyai bangungan diatas tanah Hak Milik orang lain
dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu
tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa
untuk bangunan.

HAK ATAS TANAH YANG BERSIFAT SEMENTARA


Ketentuan Umum. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara
disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA yang meliputi Hak
Gadai (gadai tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil),
Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Macam-macam Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara dapat
dijelaskan sebagai berikut:
HAK GADAI
Bahwa Pengertian Hak Gadai menurut Boedi Harsono, adalah
Hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain
yang telah menerima uang gadai daripadanya.
Perbedaan Hak Gadai dengan Gadai dalam Hukum Perdata Barat
adalah Hak gadai merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan
perjanjian pinjam meminjam uang dengan dengan tanah sebagai jaminan,
objek hak gadai adalah tanah. Sedangkan objek perjanjian pinjam
meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan utang adalah uang.
Perbedaan antara hak gadai dengan gadai menurut hokum perrdata barat
adalah pada hak gadai terdapat satu perbuatan hukum yang berupa
perjanjian penggarapan tanahpertanian oleh orang yang memberikan
uang gadai, sedangkan Gadai menurut hokum perdata barat terdapat dua
perbuatan hokum yang berupa perjanjian pinjam meminjam uang sebagai
perjanjian pokok dan penyerahan benda bergerak sebagai jaminan,
sebagai ikutan
Ciri-ciri Hak Gadai menurut hukum adat adalah sebagai berikut :
1) Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa
2) Pemegai gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya
3) Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera di
tebus.
Sifat pemerasan dalam Hak Gadai Hak gadai disamping mempunyai
unsur tolong menolong, namun juga mengandung sifat pemerasan karena
selama pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, tanahnya tetap
dikuasai oleh pemegang gadai.
Sifat pemerasan dalam Hak Gadai adalah :
1) Lamanya gadai tak terbatas
2) Tanah baru dapat kembali ke pemilik tanah apabila sudah dapat
ditebus oleh pemiliknya.

HAK USAHA BAGI HASIL


Menurut Boedi Harsono yang dimaksud Bagi Hasil adalah Hak
seseorang atau badan hukum (yang di sebut penggarap) untuk
menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah kepunyaan pihak lain
(yang disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi
antara kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disetujui
sebelumnya.
Sifat-sifat dan Ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil menurut Boedi Harsono
adalah:
1) Perjanjian bagi hasil waktunya terbatas.
2) Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa izin
pemilik tanahnya.
3) Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas
tanah yang bersangkutan kepada pihak lain.
4) Perjanjian bagi hasil juga tidak hapus jika penggarap meninggal dunia,
tetapi hak itu hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia.
5) Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus.
6) Sebagai lembaga, perjanjian bagi hasil ini pada waktunya akan
dihapus.

HAK MENUMPANG
Pengertian Hak Menumpang menurut Boedi Harsono yaitu Hak yang
memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati
rumah diatas tanah pekarangan milik orang lain
Sifat-sifat dan cirri-ciri Hak Menumpang adalah sebagai berikut:
1) Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu-waktu
dapat dihentikan.
2) Hubungan hukumnya lemah, yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan
oleh pemilik tanah jika ia memerluka tanah tersebut.
3) Pemegang Hak Menumpang tidak wajib membayar sesuatu uang
sewa kepada pemilik tanah.
4) Hanya terjadi pada tanah pekarangan.
5) Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan.
6) Bersifat turun-temurun, artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
7) Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya

HUKUM AGRARIA INDONESIA


Hukum Agraria di Indonesia di atur dalam Undang-undang Pokok
Agraria ( UUPA) No. 5 Tahun 1960. Menurut Pasal 16 ayat (1) dan (2)
bahwa yang dimaksud dengan Hak-hak atas tanah adalah sebagai
berikut:
1) hak milik,
2) hak guna-usaha,
3) hak guna-bangunan,
4) hak pakai,
5) hak sewa,
6) hak membuka tanah,
7) hak memungut hasil hutan,
8) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang sert hak-hak yang sifatnya
sementara.
Sementara di ayat (2) berkaitan dengn air bahwa Hak-hak atas air
dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah:
1) hak guna air
2) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
3) hak guna ruang angkasa.

MENGENAI PENGERTIAN HAK ULAYAT


Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria menetapkan bahwa Hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hokum adapt masih
tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hokum adapt yang
bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataanya masih ada.
Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum
adapt,didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adapt
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat
dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara
lahiriyah dan batiniyah turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak ulayat mengandung 2 unsur :
1) Unsur Hukum Perdata yaitu Sebagai hak kepunyaan bersama para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat
yang dipercayaai berasal mulu-mula sebagai peninggalan nenek
moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan gaib,
sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta
lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat
itu.
2) Unsur Hukum Publik yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan
mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat
tersebut baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri
maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar’.
Subyek hak ulayat adalah Masyarakat hukum adat, baik yang
merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan
tempat tinggal, maupun yang didasarkan pada keturunan yang dikenal
dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan,
misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai