Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUKUM AGRARIA

Sejarah Hukum Pertanahan Setelah Indonesia Merdeka (1945-sekarang)

Dosen Pengampu : Musleh Herry, S.H. M.Hum.

Kelompok 2 :

Ilham (200203110007)

Putri Emieldatunni’mah Yunianto (200203110017)

Narina Rani Nilam Pratiwi (200203110030)

Muhammad Amir Mahmud (200203110035)

FAKULTAS SYARIAH

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayahnya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Hukum Agrarian yang
berjudul Sejarah Hukum Pertanahan Setelah Indonesia Merdeka (1945-sekarang).

Sholawat serta salam juga hanturkan nabi agung Muhammad SAW yang telah
menuntun umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang.

Dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Musleh Herry, S.H.,
M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Agraria yang telah membimbing serta
mendidik kami dengan baik.

Kami menyadari dan memahami makalah ini masih ada kekurangan dan kesalahan
karena keterbatasan serta kekurangan ilmu pengetahuan dalam hal ini. Sehingga penulis tidak
menutup diri dari kritikan serta saran demi memperbaiki makalah ini dimasa mendatang.
Harapan kami, makalah ini bisa bermanfaat di kemudian hari dan mendapat rahmat dan
anugerah-Nya Allah SWT, Aamiin.

Malang, Oktober 2021


Daftar isi

KATA PENGANTAR......................................................................................................... 2
Daftar isi...............................................................................................................................3
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN............................................................................................................... 4
A. Latar Belakang......................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 4
C. Tujuan....................................................................................................................... 4
BAB II..................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.................................................................................................................. 5
A. Masa Pemerintahan Soewijo................................................................................... 5
B. Masa Pemerintahan Sjamsuridjal.......................................................................... 7
C. Masa Pemerintahan Sudiro..................................................................................... 9
D. Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1953.......................................................... 12
BAB III.............................................................................................................................. 15
KESIMPULAN................................................................................................................. 15
A. Kesimpulan............................................................................................................... 15
B. Saran......................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA 16
BAB I

A. Latar Belakang
Hukum agraria adalah hukum yang menyangkut segala tentang tanah. Dengan
begitu,kalau kita bicara tentang masalah agrarian maka tidak akan lepas dari masalah
hukum, sebab agararia itu sendiri mengandung unsur norma, kaidah atau perilaku
seseorang yang ada hubungannya dengan tanah. Oleh sebab itu, hukum agrarian tidak
berdiri sendiri, akan tetapi pengaturannya merupakan sebagian dari cabang-cabang
ilmu pengetahuan hukum yang lain.
Mengingat hal itu, maka dari makalah ini kelompok kami akan membahas tentang
Hukum Agraria : Sejarah Hukum Pertanahan Setelah Indonesia Merdeka (1945-
sekarang).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berjalannya Hukum Agraria di Indonesia ?
2. Apa yang melatarbelakangi Hukum Agraria di Indonesia ?
3. Apa masih berlaku Hukum Agraria hingga sekarang ?
C. Tujuan
1. Memahami sejarah berjalannya Hukum Agraria
2. Mengerti latar belakang Hukum Agraria
3. Mendeskripsikan sejarah Hukum Agraria
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masa Pemerintahan Soewirjo (1945 - 1947)

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, rakyat Indonesia
mengangkat Soewirjo sebagai walikota pertama pada tanggal 7 September 1945. Nama
pemerintahan yang semulanya adalah ‘Tokobetsu shi’ dirubah menjadi Pemerintah
Nasional Kota Jakarta. Namun pada tanggal 21 Juli 1947, Soewirjo ditangkap. Walaupun
dalam situasi yang yang sulit dan berbahaya, pemerintah tetap mengadakan pengumuman
yang disebar melalui surat kabar tentang pengharusan bagi para penduduk untuk
mencatatkan tanah garapan mereka, di Kantor Urusan Tanah. Dikarnakan pada saat itu
terjadi kekacauan, pelaksanaan ini tidak berjalan dengan sempurna. Ada yang sudah
mendaftarkan tanahnya, namun banyak juga yang belum bisa mendaftarkan tanah mereka.
Dan sampai pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda kembali menduduki Kantor-kantor
Pemerintahan.

Jakarta memasuki babak tersulit antara tahun 1947 sampai dengan 1949, karena
agresi Belanda di Indonesia termasuk Jakarta. Akibatnya pada saat itu Soewirjo tidak
dapat menjalankan tugasnya dengan baik, karena Jakarta sedang dikuasai oleh belanda.
Nama Jakarta diganti menjadi Batavia yang artinya Jakarta Jatuh. Pemerintahan juga
berakhir dan Balai Kota diduduki Belanda.

Pada tanggal 14 Juli 1949, Belanda menghentikan serangan keduanya, dan pada
tanggal 3 Agustus 1949 diadakan gencatan senjata. Kemudian Indonesia dan Belanda
menyelenggarakan Kenferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23 agustus sampai
2 November 1949. Dengan demikian tamatlah peranan militer Belanda di Indonesia,
kecuali di Irian Barat. Sejak awal September 1949telah mulai melakukan repatriasi
tentaranya dari Indonesia. Sedangngkan Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia,
mengalami penjagaan ketat oleh TNI.

Setelah keadaan Jakarta berangsur-angsur mulai aman dari aksi-aksi militer


Belanda. Pada tanggal 30 Maret 1950, Soewirjo diangkat kembali sebagai walikota
Jakarta. Bentuk pemerintahan kota Jakarta waktu itu adalah Kotapraja Jakarta Raya, dan
mulai ditata kembali semua permasalahan yang berkaitan dengan penguasaan dan
kepemilikan tanah. Namun urusan tanah merupakan urusan yang sangat sulit pada saat itu.
Luas wilayah seluruh Kotapraja adalah 531 km, diantaranya termasuk tanah hak milik.

Kotapraja hanya 1765,5 hektar, selebihnya adalah tanah negara, tanah partikelir,
dan tanah hak mutlak perseorangan. Soewirjo menjalankan tugas kepemerintahan kota
Jakarta dengan menggunakan Staadsgemeente Ordonnantie 1926, dan kembali
melanjutkan garis kebijakan yang sempat tertunda mengenai pemecahan masalah-masalah
tanah perkotaan, yakni :

1. Badan Pemerintah Harian sejak tanggal 14 September 1950, di mana persoalan


pemakaian tanah secara liar yang melanggar hukum mendapat perhatian kembali
sepenuhnya dari pihak pemerintah kota.
2. Dalam hal pembuatan rencana dasar perkembangan kota oleh Jawatan Pekerjaan
Umum. Untuk garis kebijakan, diputuskan bahwa Jawatan Pekerjaan Umum harus
membuat sebuar Rencana Dasar Kota (City Basic plan) dimana harus dipikirkan juga
masalah pemindahan orang yang memakai tanah secara tidak sah.
3. Ketetapan-ketetapan cara pemakaian tanah dan okupasi liar. Dalam rapat Badan
Pemerintahan Harian pada akhir tahun 1950 diadakan suatu ketetapan mengenai
masalah pemakaian tanah sebagai berikut,
a. Tanah-tanah perpetakan yang sudah merupakan perpetakan untuk bangunan
yang sudah diokupasi oleh orang yang telah dijanjikan akan diberi hak atas
tanah untuk mendirikan rumah, yang konsep kontraknya belum dibuat dan
rumah belum selesai, sedang dibuat atau akan dibuat, diberikan hak atas tanah
tersebut dengan syarat bahwa pembangunan rumah harus segera diselesaikan.
b. Tanah-tanah yang belum termasuk perpetakan, yang dipakai dengan tidak sah,
sementara pemakaian dapat dilegalisasi dengan perjanjian sewa menyewa yang
sewaktu-waktu dapat dibatalkan, dengan syarat tanah harus diserahkan kembali
kepada kepada Kotapraja atau kepada negara jika rencana kota dilaksanakan dan
memerlukan persil yang dipakai tadi, bilamana okupasi tidak dapat disesuaikan
dengan rencana kota tersebut.
c. Mengenai tanah yang dipakai, tanpa rencana perpetakannya, yang menyalahi
rencana kota atau pemandangan dan atau yang dapat membahayakan, seperti
okupasi dipinggir jalan, dipinggir kali, dan sebagainya harus selekas mungkin
diusahakan pemindahan atau pengusiran pemakai tidak sah.
4. Tindakan-tindakan tertib hukum (law enforcement)
Tindakan-tindakan penertiban, sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang berlaku dilakukan dengan mengkoordinasikan tindakan di bawah
Pimpinan Pemerintah Kota dengan menyusun program antar jawatan Kotapraja,
yakni Jawatan Penerangan, Jawatan Urusan Tanah dan Jawatan Urusan Daerah yang
bekerja sama dengan Kantor Besar Kepolisian dan Kejaksaan, dimana dipandang
perlu, dengan minta bantuan Komandan KMKBDR untuk pelaksanaan ketentuan-
ketentuan Darurat Perang (SOB) yang masih berlaku, untuk mengambil tindakan
bersama melalui proses :
a. Memberi penerangan dan pemberitahuan terlebih dahulu
b. Bila tidak berhasil dan pemberitahuan diabaikan, mengambil tindakan
kepolisisan
c. Mengingat situasi dan kondisi demikian, bila okupasi tanah secara liar dibiarkan
dapat membahayakan kepentingan/keselamatan negara, dengan penerapan
ketentuan-ketentuan Keadaan Darurat Perang (SOB) yang masih berlaku.
5. Perhatian pemerintah pusat dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap masalah
okupasi liar.
6. Kebijaksanaan Penyediaan Tanah Perkotaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa walikota Jakarta
Soewirjo sebagai walikota yang pertama kota Jakarta, upaya-upaya yang dilakukan
dalam penanggulangan masalah tanah perkotaan di wilayah kekuasaannya adalah
bahwa tindakan-tindakan pemerintah kota telah mencerminkan keinginan untuk
menegakkan tertib hukum dalam hal pemakaian tanah.

B. Masa Pemerintahan Sjamsuridjal (1951 – 1953)


Pada tanggal 27 juni 1951 Samsuridjal menjadi walikota Jakarta yang kedua
setelah Soewirjo. Penyelenggara pemerintah daerah kota Jakarta di jalankan oleh
Dewan Perwakilan Kota sementara, Badan Pemerintahan Harian dan Walikota.
Walikota di zaman kemerdekaan mempunyai tugas yang lebih berat, sesuai dengan
kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia. Tugas walikota dalam
melaksanakan pembangunan di segala bidang dalam rangka mengisi kemerdekaan
Indonesia sesuai dengan amanat presiden Soekarno. Dalam menghadapi
pembangunan kota Jakarta, walikota Samsuridjal menekankan tiga masalah pokok
yang sangat urgen yang senantiasa menjadi problem Pemerintahan Kota Praja Jakarta
Raya, yaitu masalah pembagian air minum, pembagian aliran listrik, dan urusan tanah.
Walikota baru yaitu Samsuridjal saat itu masih menghadapi masalah
pertanahan yang cukup pelik. Dalam menghadapi masalah pertanahan tersebut, wali
kota praja yaitu Samsuridjal mengambil kebijakan yang sedikit berbeda dengan
kebijakan walikota sebelumnya, yaitu dengan menata status tanah di Jakarta untuk
memperjelas status hukumnya. Dalam kerangka ini, maka tanah di DKI Jakarta dibagi
kedalam empat macam (status) yaitu: (1) tanah kota praja, (2) tanah negara; (3) tanda
individu; (4) dan tanah partikelir.1
Pada masa pemerintahan walikota sebelumnya yaitu Suwirjo, masalah
pemakaian tanah liar sudah mulai dirintispemecahannya dan masih meminta perhatian
walikota selanjutnya Syamsuridjal. Dalam menghadapi penguasaan tanah secara liar
dan pendirian bangunan tanpa izin walikota, Syamsuridjal tidak bertindak sendiri,
melainkan melibatkan institusi lain yang secara konvensional tidak berada dalam
struktur organisasi pemerintahan kota. Institusi yang dilibatkan dalam masalah ini
adalah kejaksaan, pengadilan, institusi militer, dan kepolisian. Pengumuman
pemerintah tentang penanganan penguasa tanah liat dan bangunan tanpa izin,
dikeluarkan oleh "kejaksaan pengadilan negeri tentara Jakarta nomor 4 tahun 1952
tanggal 17 Mei 1952, yang ditandatangani oleh R. Sunarjo, walikota Sjamsuridjal,
Komandan Militer Kota Besar Djkarta Raya (KMKBDR) mayor Kosasih, kepala
kepolisian Jakarta Raya dan sekitarnya R. Ating Natahandikusumah, yang berbunyi :
kepala kejaksaan pengadilan negeri merangkap kepala jawatan tentara pengadilan
negeri tentara Jakarta c.a.: bersama ini diberitahukan kepada khalayak ramai,
barang siapa yang mendirikan bangunan dengan tidak ada izin yang sah dan karena
itu melanggar undang-undang yang sekarang masih berlaku diwajibkan dalam tempo
1 bulan dari tanggal pengumuman ini membongkar bangunan-bangunan tersebut.
Terhadap mereka yang tidak memenuhi kewajiban tersebut di atas akan diambil
tindakan".
Pada tanggal 15 Februari 1952 didirikan Dewan Ekonomi Indonesia
(Indonesian Chamber of Commerce and Industry), yang intinya bertujuan membantu
pembangunan dan mendorong perekonomian Indonesia. Lembaga perizinan
merupakan satu instrumen pengendali yang terus-menerus digunakan secara konsisten,

1
Dr. B.F Sihombing, S.H., Sejarah Hukum Tanah Indonesia: (Jakarta: Prenada Media Grup, 2018), hlm. 27
oleh pemerintah pemerintah sesudahnya. Namun satu hal yang cukup unik, sekaligus
memperhatikan inkonsistensi adalah eksistensi keterlibatan institusi non-pemerintahan
dalam negeri atau yang secara kelembagaan berada dalam struktur pemerintahan kota
di baw afe otoritas walikota atau gubernur, dikesampingkan seluruh kebijakan
pengendalian pemilikan dan pengadaan tanah sesudahnya.2
C. Masa Pemerintahan Sudiro (1953 – 1960)
Pada masa Sudiro Pengendalian Pemilikan dan Penguasaan Tanah Bertitik
Tolak Pada Rencana Tata Ruang Jakarta, Menertibkan dan Melegalisir Bangunan
Tanpa Ijin dan Pembangunan Rumah Rakyat dan Pegawai Negeri serta Pembangunan
Tugu Monumen Nasional (Monas) merupakan prioritas yang harus dilaksanakan.
Pada masa jabatannya sebagai Kepala Daerah Tingkat I Kotapraja Jakarta Raya,
Jakarta dibagi menjadi 3 wilayah kabupaten administratif, yaitu :
(i) Kabupaten Jakarta Utara
(ii) Kabupaten Jakarta Tengah
(iii) Kabupaten Jakarta Selatan.3

Untuk merealisasikan berbagai pembangunan di wilayah Kotapraja Jakarta-Raya


tentunya tidak lepas dari apa yang tertuang di dalam konsep penataan kota Jakarta.
Oleh karena itu, dalam periode 1953 sampai dengan 1959 telah dirumuskan rencana
pembangunan dalam jangka panjang secara konsepsionil. Perumusan itu dituangkan
dalam bentuk Rencana Pendahuluan (Outline Plan). Rencana Pendahuluan (Outline
Plan) tersebut dilatar belakangi oleh :4

a. Undang-undang Pembentukan Kota No. 168 Tahun 1948, sehingga oleh


Pemerintah Kotapraja Jakarta-Raya dianggap perlu untuk mengadakan
persiapan-persiapan ke arah penyusunan Rencana Induk, yang dikenal juga
dengan nama “Master Plan” untuk perkembangan kota Jakarta. Rencana Induk
meliputi “rencana penggunaan tanah” Secara garis besar substansinya meliputi

Ibid,. hlm 32.


2

3
Sudiro. “Kala Itu”, dalam Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Kenangkenangan Lima
Keoala Daerah Jakarta 1945-1966. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, h. 93.

4
Untuk lebih jelasnya lihat dalam “Kata pengantar” Rentjana Pendahuluan Outline Plan, Pemerintah Daerah
Chusus Ibu Kota Djakarta Raja, 1962, Cetakan ke III, h. IV.
“penetapan tempat-tempat yang akan diperuntukkan bagi perumahan, lokasi
perkantoran, tempat hiburan/wisata (a place for home, work, and recreation).
b. Oleh karena konsep dan cara pendekatan penyusunan Master Plan merupakan
hal yang baru bagi tenaga tehnik Indonesia pada waktu itu, maka Direktur
Jawatan Pekerjaan Umum diberi kesempatan untuk menjalankan studi-tour
selama 6 bulan ke Amerika Serikat untuk mempelajari dan memperdalam ilmu
pengetahuan Rencana Perkembangan "Kota yang baru.
Kemudian pada tahun 1956 bantuan teknik diberikan lagi oleh PBB yang
menugaskan K.A. Watts, untuk membantu Jawatan Pekerjaan Umum DKI Jakarta
membentuk Bagian Master Plan secara khusus, yang bekerja langsung di bawah
pimpinan tenaga ahli tersebut. Kemudian Watts melanjutkan pekerjaan survey
yang meliputi masalah penduduk, kesempatan kerja, perumahan dan lalu lintas,
sejarah perkembangan kota Jakarta, masalah “tata guna tanah,” bangunan
istimewa.
Rencana Pendahuluan ini merupakan bahan pertama dalam rangka
perumusan Laporan Rencana Induk. Maksudnya ialah untuk menyerahkan laporan
berupa Rencana Pendahuluan ini kepada instansi Pemerintah yang berwenang
menentukan kebijaksanaan, dan kepada kelompok-kelompok fungsional yang ada
hubungannya dengan penyusunan Master Plan, yang diharapkan dapat
memberikan evaluasi dan rekomendasi. Bilamana Rencana pendahuluan itu telah
memperoleh penelitian secara intensif barulah dipersiapkan rencana induk dalam
bentuk yang terakhir. Untuk meningkatkan pekerjaan persiapan tentang
penyusunan Master Plan dan pelaksanaan program pembangunan selanjutnya,
diusahakan bantuan tambahan tenaga-tenaga ahli lainnya yang ternyata baru dapat
mulai bekerja pada tahun 1958. Bantuan teknis ini sebenarnya bertujuan agar
dalam penyusunan Master Plan, tenaga-tenaga Indonesia dapat dipersiapkan dan
ditingkatkan pengetahuar. dan kemampuannya untuk mengambil peranannya
secara aktif dalam usaha pembangunan pada umumnya, dan khususnya dalam hal
menyelesaikan persiapan. penyusunan Master Plan.116 Akhirnya Rencana
Pendahuluan dapat dijadikan Rencana Induk yang dapat diselesaikan selama satu
tahun mulai tahun 1956 sampa. dengan 1957.
Dalam menyelesaikan pendudukan tanah secara tidak sah (liar), Walikota
Sudiro merangkul berbagai lapisan masyarakat, organisasi masyarakat dan partai
politik dalam rangka pengambilan keputusan mengenai pemakaian tanah liar di
daerah kekuasaannya.120Ternyata masalah pendudukan tanah secara liar ini
mendapat perhatian yang sangat dalam sehingga menghasilkan “Mosi Tanamas”
yang pada waktu itu cukup terkenal yang intinya berisi pendudukan tanah secara
liar. Mosi tersebut direspons oleh Dewan Perwakilan Kota Sementara Jakarta
Raya dengan rnenerbitkan Keputusannya tanggal 23 Pebruari 1956 No. B 5/D.K.
Terhadap Mosi Tanamas dan keputusan Dewan Pemerintahan Kota
Sementara tersebut, Badan Pemerintahan Harian menindak lanjutinya dengan
beberapa kebijakan, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusannya
tanggal 23 Pebruari 1956 No. B 5/D.K, yang menegaskan antara lain bahwa:
a. Selama pemerintah Kotapraja belum dapat menyediakan tempat lain guna
berjualan, untuk sementara waktu mereka diperbolehkan berjualan di tepi
jalan dengan syarat antara lain bahwa mereka harus turut menjamin
kebersihan dan kesehatan.
b. Dimana oleh B.P.H. telah dapat disediakan tempat seperti yang dimaksud
di atas, maka tempat-tempat tersebut harus dipergunakan untuk berjualan
oleh orang yang bersangkutan.
c. Bangunan tanpa ijin untuk berjualan yang bersifat toko atau kios akan
dibongkar dengan tiada bantuan atau penunjukan tempat lain.
Pada masa pemerintahan Walikota Sudiro, peruntukan tanah
untukpembangunan perumahan rakyat dan pegawai negeri, yang telah dirintis oleh
Sjamsuridjal dengan modal pinjaman dari Pemerintah Pusat, terus dikembangkan.
Dimana pada tahun-tahun terakhir dilakukan pembangunan sistem “rumah
tumbuh” (rumah susun), Walikota Sudiro menyadari akan minimnya tanah untuk
pembangunan perumahan. Oleh karena itu, sejak tahun 1950-an ia
memprogramkan pembangunan perumahan “vertikal” atau rumah susun dan tidak
lagi rumah “horizontal” atau kesamping, khususnya di Krekot Bundar sebagai
Pilot Project.
Untuk memberikan ciri khas kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik,
yang menurut penulis merupakan faktor yang sangat menonjol dibandingkan
dengan faktor lainnya, maka diambil kebijakan untuk memboboti Jakarta dengan
bangunan megah. Dalam kerangka inilah maka direncanakan pembangunan Tugu
Monumen Nasional yang kemudian menjadi Monas, yang ide atau gagasan
awalnya dari Sarwoko. Ia hanyalah masyarakat biasa dari kalangan Organisasi
Angkatan 45. Gagasan ini kemudian disampaikan juga kepada Presiden Soekarno,
dan ternyata Soekarno menyetujuinya, dan kemudian bertindak sebagai pelindung
dalam kepanitiaan pembangunan Monumen Nasional. Sedangkan Sarwoko
bertindak sebagai Ketua dalam Panitia Pembangunan Monumen Nasional. Untuk
menentukan di lokasi mana akan dibangun Monumen Nasional tersebut, pada
tanggal 17 Agustus 1955, sewaktu beliau didampingi Wakil Presiden Moh. Hatta
dalam suatu kendaraan, dari istana Merdeka menuju Pegangsaan Timur 56 (untuk
meletakkan karangan bunga di sana), kedua orang pimpinan Negara berkenan
berhenti sebentar ditengah-tengah Lapangan Merdeka, di mana tugu setinggi 45
meter akan segera mulai dibangun.
Di samping pembangunan Monas, juga direncanakan untuk membangun
Mesjid Istiqlal yang akan ditempatkan di lokasi “Wilhelmina Park” diperkirakan
pelaksanaannya memerlukan waktu kurang lebih 20 tahun, karena pemerintah
tidak memiliki anggaran yang cukup, instalasi pembersih air, pejompongan,
pembangunan jalan raya dari Tanjung Priok ke-Cililitan yang
menghubungkan jalan raya menuju Bogor, yang ketika itu dikenal “Jakarta By
Pass, beberapa program pembangunan lainnya, misalnya pariwisata, kepanduan,
museum sejarah, gedung sekolah, medis, ruangterbuka, perumahan bagi ABRI,
serta pembangunan Polder Pluit (Waduk Pluit), guna penampungan air banjir
sungai Cideng, sungai Krukut, dan cabang-cabangnya, dan pembangunan pompa
air ke laut. Kemudian juga pelebaran sungai terusan.
Fenomena di atas memperlihatkan kebijakan di bidang pertanahan, ditandai,
bahkan menjadi penanda atau ciri paling dominan adalah “pengadaan tanah untuk
kepentingan pemerintah atau umum”. Sungguhpun dapat dimengerti, karena
signifikan dengan maknanya sebagai Ibukota Negara, namun terbukti kemudian,
terabaikannya kebijakan yang berkaitan langsung dengan pemilikan dan atau
penguasaan secara individual pada periode ini, justru menimbulkan akibat yang
cukup pelik dikemudian hari. Fenomena ini bermakna, lemahnya persepsi tentang
urgensi kebijakan dalam penataan pemilikan tanah secara individual, sebagai
suatu masalah yang sama pentingnya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan
pemerintah. Menurut penulis periode-periode awal, mestinya dijadikan sebagai
suatu momentum terbaik untuk mengambil kebijakan penataan pemilikan tanah
secara individual, yang dapat dikembangkan ke dalam strategi penentuan batas
pemilikan minimum dan maksimum. Di samping secara tegas mengklasifikasi
kawasan-kawasan pengembangan secara permanen. Menurut hemat penulis pola
ini akan memudahkan pemerintah kota melakukan pengawasan terhadap
penguasaan tanah secara liar.
D. Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah
Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 L.N. 1953 Nomor 14 Tentang
Penguasaan Tanah-Tanah Negara5, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah
Negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara, kecualai jika penguasaan atas
tanah Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya
Peraturan Pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu Kementerian, Jawatan atau
Daerah Swatantra maka penguasaan atas tanah Negara ada pada Menteri Dalam
Negeri6. Di dalam hal penguasaan tersebut Menteri Dalam Negeri berhak untuk :
a. Menyerahkan penguasaan itu kepada suatu Kementerian, Jawatan atau
Daerah Swatantra untuk keperluan kepentingan tertentu dari Kementerian,
Jawatan atau daerah Swatantra dan;
b. Mengawasi agar supaya tanah Negara diperlukan sesuai dengan peruntukannya
dan bertindak mencabut penguasaan atas tanah Negara apabila penyerahan
penguasaan itu ternyata keliru/tidak tepat lagi, luas tanah yang diserahkan
penguasaannya ternyata sangat melebihi keperluannya dan tanah itu tidahk
dipelihara atau dipergunakan sebagai mana mestinya.7

Dengan berkembangnya Hukum Tanah Nasional lingkup tanah-tanah yang


dalam U.U.P.A. disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang
semula disingkat dengan sebutan Tanah Negara itu mengalami juga perkembangan,
semula pengertiannya mencakup semua tanah yang dikuasai oleh Negara, diluar
apa yang disebut tanah-tanah hak. Sekarang ini, Hukum Tanah Indonesia dari segi
kewenangan penguasaannya ada kecenderungan untuk lebih memperinci status
tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah Negara itu menjadi:

a. Tanah-tanah wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yag sudah diwakafkan

5
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 LN 1953-14, Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, Bab I
Pemakaian istilah-istilah, pasal 1 huruf a.

6
Ibid, Bab II Ketentuan-ketentuan umum, Angka 2

7
Ibid, Bab II Ketentuan-ketentuan umum, Angka 3
b. Tanah-tanah hak pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak
pengelolaan yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagaian
kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya
c. Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masayarakat
Hukum adat tetorial dengan hak Ulayat
d. Tanah-tanah Kaum, yaitu tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat
hukum adat genealogis
e. Tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan
berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan ini pada
hakekatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenanangan Hak
Menguasai dari Negara
f. Tanah-tanah sisanya yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara yang bukan
tanah hak, bukan tanah wakaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah
hak ulayat, bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan
hutan. Tanah-tanah ini tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai
oleh Negara untuk singkatnya dapat disebut tanah Negara.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Soewirjo menjalankan tugas kepemerintahan kota Jakarta dengan menggunakan


Staadsgemeente Ordonnantie 1926, dan kembali melanjutkan garis kebijakan yang
sempat tertunda mengenai pemecahan masalah-masalah tanah perkotaan, yakni :

1. Badan Pemerintah Harian sejak tanggal 14 September 1950, di mana persoalan


pemakaian tanah secara liar yang melanggar hukum mendapat perhatian kembali
sepenuhnya dari pihak pemerintah kota.
2. Dalam hal pembuatan rencana dasar perkembangan kota oleh Jawatan Pekerjaan
Umum. Untuk garis kebijakan, diputuskan bahwa Jawatan Pekerjaan Umum harus
membuat sebuar Rencana Dasar Kota (City Basic plan) dimana harus dipikirkan juga
masalah pemindahan orang yang memakai tanah secara tidak sah.
3. Ketetapan-ketetapan cara pemakaian tanah dan okupasi liar. Dalam rapat Badan
Pemerintahan Harian pada akhir tahun 1950 diadakan suatu ketetapan mengenai
masalah pemakaian tanah

2. Dengan berkembangnya Hukum Tanah Nasional lingkup tanah-tanah yang


dalam U.U.P.A. disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang
semula disingkat dengan sebutan Tanah Negara itu mengalami juga perkembangan,
semula pengertiannya mencakup semua tanah yang dikuasai oleh Negara, diluar
apa yang disebut tanah-tanah hak.

B. Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, kami akan terus
memperbaiki makalah ini dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran tentang pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Sihombing, B.F. (2018). Sejarah Hukum Tanah Indonesia. Jakarta: Prenada Media Grup

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 LN 1953-14, Tentang Penguasaan Tanah-Tanah


Negara

Anda mungkin juga menyukai