Anda di halaman 1dari 14

NAFKAH DAN HAK-HAK ANAK

MAKALAH
“disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan di
Indonesia”

Dosen Pengampu :

Harry Yunardi, M.Ag

Disusun Oleh :

Abdul Muhaimin Kemas 1213010001

Adilla Mutiara Maharani 1213010002

Alrasyid Ariq Muzaki 1213010010

Aqlia Zakiah 1213010018

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
2.1 Pengertian Nafkah
Nafkah berasal dari bahasa Arab yaitu Nufuq yang berarti belanja,
kebutuhan pokok ataupun pengeluaran uang.1 Jika disambungkan dengan
pernikahan, maksud dari nafkah ialah sesuatu yang dikeluarkan dari harta yang
dimilikinya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya
menjadi berkurang.2 Nafkah yang diberikan harus mengenai keperluan batiniah
dan keperluan pokok yaitu sandang, pangan dan papan.
Ensiklopedia Muslim memberikan arti pada nafkah yaitu makanan,
pakaian dan tempat tinggal yang diberikan kepada orang yang wajib (berhak)
atas pemberian itu semua. Dalam pengertian ini, nafkah wajib diberikan kepada
enam orang yaitu istri, wanita yang ditalak, orang tua, anak-anak, pembantu
dan hewan.3
Menurut kesepakatan ulama, pengertian nafkah adalah hak istri atas suami
berupa nafkah hidup dan pakaian. Yaitu belanja mengenai keperluan makan
yang mencakup sandang, pangan dan papan. Hanya saja terdapat beberapa
perselisihan terkait empat perkara yaitu tentang wajib nafkah, kadar nafkah,
orang yang berhak menerima nafkah, dan orang yang wajib mengeluarkan
nafkah.4
2.2 Landasan Hukum Nafkah
Terdapat dalam surat At-Talaq ayat 6.

‫يِّقُوْ ا َعلَ ْي ِه ۗ َّن َواِ ْن ُك َّن‬G‫ض‬ َ ُ‫ ۤارُّ وْ هُ َّن لِت‬G‫ض‬


َ ُ‫ ِد ُك ْم َواَل ت‬Gْ‫ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن ُّوج‬ ُ ‫اَ ْس ِكنُوْ هُ َّن ِم ْن َحي‬
ٰ َ‫ ْعنَ لَ ُك ْم ف‬GG‫ض‬
‫اتُوْ هُ َّن‬GG َ ْ‫ا ِ ْن اَر‬GGَ‫ ْعنَ َح ْملَه ۚ َُّن ف‬GG‫ض‬ َ َ‫ا َ ْنفِقُوْ ا َعلَ ْي ِه َّن َح ٰتّى ي‬GGَ‫ل ف‬GGٍ ‫ت َح ْم‬ ِ ‫اُواَل‬
‫ض ُع لَ ٗ ٓه اُ ْخ ٰر ۗى‬
ِ ْ‫ف َواِ ْن تَ َعا َسرْ تُ ْم فَ َستُر‬ ٍ ۚ ْ‫اُجُوْ َرهُ ۚ َّن َوْأتَ ِمرُوْ ا بَ ْينَ ُك ْم بِ َم ْعرُو‬

1
Imam Muhyiddin An-Nawawi. Al-Majmu ‘Syarh Al-Muhazzhab jilid 22. (Libanon: Darul Kutub
Al-Ilmiyyah, 2011). Hal. 149
2
Muhammad Ya’qub Thalib Ubaidi, Nafkah Istri: Hukum Menafkahi Istri dalam Perspektif Islam.
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007) hlm. 23-24.
3
Amir Syariffudin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana) hlm. 165.
4
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad terjemahan Imam Ghazali. “Bidayatul Mujtahidwa Nihayatul
Muqtashid” (Jakarta: Pustaka Amani, 2007) hlm. 518-519

1
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka
melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka
berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”

At-Talaq ayat 7.

‫لِيُ ْنفِ ْق ُذ ْو َس َع ٍة ِّم ْن َس َعتِ ٖ ۗه َو َم ْن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهٗ فَ ْليُ ْنفِ ْق ِم َّمٓا ٰا ٰتىهُ هّٰللا ُ ۗ اَل‬
‫هّٰللا‬ ۗ ‫يُ َكلِّ ُ هّٰللا‬
ࣖ ‫ْر يُّ ْسرًا‬ ٍ ‫ف ُ نَ ْفسًا اِاَّل َمٓا ٰا ٰتىهَا َسيَجْ َع ُل ُ بَ ْع َد ُعس‬

“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut


kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani
kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.”

2.3 Ketentuan Nafkah


2.4 Ukuran Nafkah Bagi Suami Kaya
Jika istri hidup serumah dengan suami, maka suami wajib menanggung
nafkahnya, isteri mengurus segala kebutuhan seperti makan, minum, pakaian,
tempat tinggal. Dalam hal ini, isteri tidak berhak meminta nafkah dalam jumlah
tertentu, selama suami melaksanakan kewajibannya itu.5
Adapun mengenai dasar menetapkan jumlah nafkah terdapat perbedaan
diantara madzhab mengenai ada atau tidaknya ukuran dalam nafkah, Jumhur
ulama berpendapat untuk meniadakan ukuran nafkah, kecuali dengan istilah
secukupnya. Berkenaan dengan hal ini Syafi‟iyah mengatakan: “Bagi orang
yang miskin dan berada dalam kesulitan adalah satu mud. Sementara bagi
5
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hlm.164

2
orang yang berada dalam kemudahan adalah dua mud, dan yang berada di
antara keduanya adalah satu setengah mud.” Sedangkan menurut Abu Hanifah:
“Bagi orang yang berada dalam kemudahan memberikan tujuh sampai depalan
dirham dalam satu bulannya dan bagi yang berada dalam kesulitan memberikan
empat sampai lima dirham pada setiap bulannya.” Sebagian dari sahabat beliau
(Abu Hanifah) mengemukakan: “Ukuran ini diberikan untuk kebutuhan
makanan dan untuk selain makanan memakai ukuran secukupnya.”6
Dalam kitab Ar-Raudah disebutkan: “Yang benar adalah pendapat yang
menyatakan tidak diperlukan adanya ukuran tertentu.” Hal ini disebabkan
adanya perbedaan waktu, tempat, keadaan, dan kebutuhan dari setiap individu.
Tidak diragukan lagi, bahwa pada waktu tertentu terkadang lebih
mementingkan makanan dari yang lainnya. Demikian halnya dengan tempat,
terkadang ada sebagian keluarga yang membiasakan keluarganya makan dua
kali dalam satu hari. Di lain tempat, ada yang membiasakan tiga kali dalam
satu hari dan ada juga yang sampai empat kali dalam satu hari. Tidak berbeda
halnya dengan kedaan yang terkadang pada masa paceklik lebih memerlukan
adanya penentuan ukuran makanan dibandingkan ketika pada masa subur.
Sedangkan pada individu, ada sebagian orang yang kebutuhan makanannya
satu sha‟ atau lebih, ada juga yang setengah sha‟ dan sebagian lainnya kurang
dari itu. Perbedaan tersebut diketahui melalui penelitian.7
Dengan melihat adanya perbedaan tersebut, maka penetapan ukuran
tertentu bagi kewajiban pemberian nafkah merupakan suatu tindakan yang
zhalim. Selain itu, tidak ada ketentuan syari‟at yang menetapkan ukuran
tertentu terhadap pemberian nafkah. Sebaliknya, Rasulullah SAW
menggunakan istilah secukupnya dengan memberikan syarat dilakukan dengan
cara yang baik sebagaimana yang Beliau sampaikan kepada Hindun:
“Ambillah hartanya sehingga dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan
cara yang baik.” Penggunaan istilah “secukupnya” dalam sabda tersebut
disertai dengan syarat dilakukan dengan cara yang baik. Cara yang baik di sini
6
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, terj. M. Abdul Ghoffar E.M. Fiqih Wanita Edisi Lengkap.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 482.

7
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, terj. M. Abdul Ghoffar E.M. Fiqih Wanita Edisi Lengkap.
482.

3
sama sekali tidak menyebutkan sesuatu pada ukuran atau jumlah tertentu.
Melainkan tertuju pada sesuatu yang dianggap baik sesuai dengan situasi,
kondisi, tempat, dan waktu.8
2.5 Ukuran Nafkah Bagi Suami Miskin
Menurut kalangan Syafi‟i, menetapkan jumlah nafkah tidak diukur dengan
jumlah kebutuhan, tetapi diukur hanya berdasarkan syara‟. Walaupun
pada hakikatnya kalangan Syafi‟i juga sependapat dengan kalangan Hanafi
tentang penetapan kadar nafkah yang memperhatikan kondisi suami.9

Golongan Syafi‟iyah mengatakan bahwa harus dibedakan antara suami


yang kaya dan suami yang miskin. Terhadap masing-masingnya ditentukan
sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an yang tidak menjelaskan jumlah nafkah
tertentu. Jadi untuk menetapkan jumlahnya harus dengan Ijtihad. Sedangkan
untuk menentukan jumlah kadar nafkah yang paling dekat yaitu dengan
memberi makan kafarah. Karena kafarah adalah ukuran memberi makan telah
yang ditentukan oleh agama guna menutup kelaparan.

Yang dijadikan landasan pendapat ini adalah firman Allah SWT, yaitu:

‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
َ  ‫ا‬Gَ‫ا ٰا ٰتٮه‬Gۤ ‫ا اِاَّل َم‬G‫لِيُ ْنفِ ْق ُذوْ َس َع ٍة ِّم ْن َس َعتِ ٖه ۗ  َو َم ْن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهٗ فَ ْليُ ْنفِ ْق ِم َّم ۤا ٰا ٰتٮهُ ُ ۗ اَل يُ َكلِّفُ ُ نَ ْف ًس‬
‫يَجْ َع ُل‬G‫ۗ س‬
‫هّٰللا‬
ٍ ‫د ُعس‬Gَ ‫ُ بَ ْع‬
‫ْر يُّ ْسرًا‬

"Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut


kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani
seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan." (QS. At-Talaq
65: Ayat 7)

Menurut kalangan Syafi‟iyah kemampuan dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Bagi suami yang kaya


Bagi suami yang kaya ukuran maka memberi nafkah kepada
istrinya baik dengan harta asal atau harta hasil usaha sebesar 2 mud

8
Muhammad “„Uwaidah”, 483.
9
Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 3, 62

4
dalam satu hari.
2. Bagi suami yang miskin

Bagi suami yang miskin tidak diukur melalui harta asal atau harta
dari penghasilan, maka hendaklah memberi nafkah kepada istrinya
sebesar 1 mud dalam satu hari.

3. Berbeda dengan suami yang kaya dan suami yang miskin, maka
diwajibkan atas dirinya untuk menyesuaikan dengan keadaannya.

Syafi‟iyah telah menetapkan bahwa setiap hari, suami yang mampu wajib
membayar nafkah sebanyak 2 mudd (1.350 gram gandum/beras), suami yang
kondisinya menengah 1,5 mudd, dan suami yang tidak mampu wajib
membayar nafkah sebanyak 1 mudd (1,5 kg beras). Tolak ukur yang menjadi
standar dalam penetapan kadar nafkah terhadap istri adalah status sosial dan
kemampuan ekonomi suami.10

Beberapa ulama‟ memiliki pandangan yang berbeda dengan


kalangan Syafi‟iyah sebelumnya dan telah dikelompokkan dalam tiga pendapat
yaitu:

 Imam Ahmad

Menurut Imam Ahmad, yang menjadi tolak ukur dalam


menetapkan jumlah nafkah adalah status sosial-ekonomi suami dan istri
secara bersama-sama. Jika secara kebetulan keduanya memiliki status
sosial- ekonomi yang berbeda, maka akan diambil standar menengah di

antara keduanya. Titik pertimbangan dalam pendapat ini adalah bahwa


sebuah keluarga merupakan satu gabungan antara suami dan istri. Oleh
sebab itu maka keduanya sama-sama menjadi pertimbangan dalam

menentukan standar nafkah. Jika keadaan suami dan istri berbeda,


suami kaya dan istri miskin atau sebaliknya, maka besar nafkah yang
ditentukan adalah tengah-tengah antara dua hal itu.11
 Imam Abu Hanifah dan Imam Malik

10
Mathroji, “Majmu‟ S arhu Muhadzab”, 356.
11
Muhammad Jawad Mughniyah, terj. Masykur A.B. Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera,
2013), 422.

5
Kedua ulama‟ ini sepakat bahwa yang menjadi standar penetapan
kadar nafkah bagi istri adalah kebutuhan bagi si istri.

Pandangan Imam Madzhab ini menunjukkan bahwa seorang suami tidak


terpaku dalam ukuran minimal dan dapat menyesuaikan dengan keadaan
ekonominya dalam memberikan nafkah kepada istrinya. Karena apabila
ditentukan jumlah kadarnya maka akan timbul perselisihan mengenai adanya
ukuran nafkah dan peniadaannya.
2.6 Wanita Karier Menafkahi Suami/Keluarga
Dalam meningkatkan taraf ekonomi rumah tangga, meskipun nafkah
rumah tangga merupakan kewajiban suami, tetapi Islam tetap membolehkan
kepada ibu rumah tangga untuk bekerja, baik dirumahnya sendiri maupun di
luar rumahnya. Hal ini bertujuan agar Ibu juga dapat membantu untuk
mendapatkan dana tambahan untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga.
Hal itu merupakan amal yang baik/sedekah bagi istri terhadap keluarganya. Hal
ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:
Yang Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.
Ayat tersebut dengan secara terang benderang memberikan keleluasaan
kepada laki-laki dan perempuan untuk aktif dalam berbagai kegiatan. Bukan
hanya laki-laki saja yang diberi keleluasaan untuk berkarir, tetapi juga
perempuan dituntut untuk aktif bekerja dalam semua lapangan pekerjaan yang
sesuai dengan kodratnya. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam berkarier, yang membedakan hanyalah jenis pekerjaan yang disesuaikan
dengan kodrat masing- masing.12
Menurut ulama Hanafiyah seorang istri diperbolehkan untuk ikut mencari
nafkah dalam keluarga jika ia bekerja dengan ridha suami dan ia akan tetap
mendapatkan nafkah dari suaminya. Berlaku pula sebaliknya karena ridha

12
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010),42.

6
seorang suami pada suatu waktu tidak otomatis menjadi keridhaan di setiap
waktu dan tempat, sehingga baginya boleh mencegah istri. Jika istri tidak
mematuhi suami, maka istri tersebut akan tergolong nusyuz dan gugur
nafkahnya.13
Meskipun demikian, istri hanya berkarier jika suami menuntut istri untuk
ikut memikul dari nafkah, jika suami tidak menuntut maka ia tidak
berkewajiban untuk ikut mencari nafkah. Karena pada hakikatnya pekerjaan
wanita didasarkan pada perhitungan maslahat suami. Tentunya tidak diragukan
lagi bahwa kesibukan bekerja dan segala permasalahannya mengambil banyak
tenaga istri. Ia pulang ke rumah dalam keadaan lelah dan terpecah pikirannya
sehingga ia pasti membutuhkan seseorang untuk membantu menghilangkan
kepayahannya dan menenangkan jiwanya. Sehingga jika kedua pasangan suami
istri ridha bahwa harta mereka harus menyatu maka tidak ada masalah, dan jika
suami membiarkan gajinya dan tetap menanggung nafkahnya maka bagi suami
adalah pahala.14
Adanya persoalan yang muncul dalam fiqih ketika seorang istri harus
bekerja di luar rumah dan meninggalkan keluarganya. Para ahli fiqih sepakat
bahwa apabila itu terjadi, maka istri tersebut haruslah mnedapat izin dari
suaminya. Istri tidak diperbolehkan meninggalkan suami dan keluarganya
begitu saja demi bekerja d luar rumah. Karena apabila istri melanggar, maka
pelanggaran atas kewajiban ini dapat dipandang sebagai nuszyuz.15
Ibnu Qudamah dalam ensiklopedi fiqihnya yang terkenal “ l-
Mughni”, mengatakan: “jika seorang suami, karena kemiskinannya, tidak
dapat memberikan nafkah kepada istrinya, istri boleh memilih dua hal:
bersabar menerima keadaan itu, atau mengajukan fasakh (pembatalan
perkawinan). Inilah pendapat Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu
Hurairah, Ubaid bin al- Musayyab, al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Rabi‟ah,
Hammad, Malik, Yahya al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, asy-Syafi‟I,
Ishaq, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Berbeda dengan mereka adalah pendapat
Atha, az-Zuhri, Ibn Syubrumah, Abu Hanifah, dan dua orang murid utamanya;

13
Hawwas, Fiqh Munakahat, 216.
14
Hawwas, Fiqh Munakahat, 217.
15
Muhammad, Fiqh Perempuan, 171

7
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy- Syaibani. Mereka mengatakan
bahwa istri tidak boleh mengajukan faskh. Tetapi suami harus menyatakan
dengan terus terang atas ketidakmampuannya dan membiarkan istrinya untuk
bekerja. Karena hal itu adalah hak individual istri.”16
Kemudian bagaimana apabila ternyata yang mampu memberikan nafkah
adalah istrinya karena ia lebih kaya, sedangkan suaminya adalah orang miskin.
Para ahli fiqh dalam hal ini berpendapat bahwa istri boleh menafkahi
suaminya, dengan catatan bahwa biaya yang telah dikeluarkan tetap dianggap
sebagai utang suami. Dia wajib membayarnya apabila sudah mampu. Apabila
istri dengan rela memberikannya, tanpa dianggap utang maka hal itu adalah
lebih baik, dan dia akan mendapatkan pula pahala ganda. Akan tetapi pendapat
ini tidak disetujui oleh Ibn Hazm az- Zahiri. Ia mengatakan bahwa istri kaya
wajib menafkahi suaminya yang miskin tanpa harus dianggap sebagai utang,
meski di kemudian hari suami menjadi kaya.17
2.7 Hak Anak Dalam Penyusuan
Sesungguhnya Allah SWT telah memuliakan manusia dan
membedakannya dari segala jenis hewan. Dan sungguh kenikmatan yang allah
berikan tidak terkira bagi manusia, diantara kenikmatan tersebut ialah nikmat
gizi yang Allah berikan ketika kita masih kecil yaitu menyusui. Setiap anak
yang baru dilahirkan memiliki hak atas dirinya yang harus dipenuhi ibunya,
yakni mendapatkan ASI yang cukup. Islam mengajurkan ibu menyusui anak
hingga berusia dua tahun.
Menurut ulama fiqih, anak yang berumur 2 tahun kebawah berhak
menyusu kepada ibunya karena dalam usia itulah susu ibu sangan
mempengaruhi pertumbuhan anak baik secara pshisicologis maupun secara
fisikologis.18 Hal ini terangkum dalam firman Allah SWT dalam surah Al-
Baqarah ayat 233 sebagai berikut :
Gَ GَّG‫ر‬G‫ل‬G‫ ا‬G‫ َّم‬Gِ‫ ت‬Gُ‫ ي‬G‫ن‬Gْ ‫ َأ‬G‫ َد‬G‫ ا‬G‫ر‬Gَ ‫ َأ‬G‫ن‬Gْ G‫ َم‬Gِ‫ ل‬Gۖ G‫ ِن‬G‫ ْي‬Gَ‫ ل‬G‫ ِم‬G‫ ا‬G‫ َك‬G‫ ِن‬G‫ ْي‬Gَ‫ ل‬G‫و‬Gْ G‫ َح‬G‫ َّن‬Gُ‫ ه‬G‫ اَل َد‬G‫و‬Gْ ‫ َأ‬G‫ن‬Gَ G‫ ْع‬G‫ض‬
..... GَG‫ ة‬G‫ َع‬G‫ ا‬G‫ض‬ Gُ G‫ ا‬G‫ َد‬Gِ‫ل‬G‫ ا‬G‫و‬Gَ G‫ ْل‬G‫ ا‬G‫و‬Gَ
ِ G‫ر‬Gْ Gُ‫ ي‬G‫ت‬
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” 19
16
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H), 568.
17
Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz X, (Beirut: Dar ak-Afaq al-Jadidah), 92
18
Abdul aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT Ictiar Baru,1995), 1470
19
Quran Kemenag.go.id

8
Islam sangat menganjurkan agar bayi hanya diberi asupan ASI.
Islam juga memberikan solusi apabila ada ibu yang tidak bisa
menyusui bayinya karena air susu ibu tidak memadai atau karena
bayi itu terpisah tempat dengan ibu kndungnya. Keadaan inilah yang
terjadi pada Rasulullah Muhammad SAW. Beliau tidak hanya
menyusu pada ibu kandungnya sendiri melainkan disusukan pada ibu
susu yaitu seorang wanita arab badui yang bernama Halimah as-
Sa’diyah. Dari hubungan ini, antara ibu yang menyusui dan anak
menjadi mahram yaitu orang yang tidak boleh atau haram dinikahi
selamanya. Kondisi ini berlaku juga pada saudara sepersusuan yang
pernah menyusu pada ibu yang sama, baik anak kandung ibu tersebut
maupun bukan. 20
2.8 Hak Anak Dalam Hadlanah
Hadlanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti memelihara,
mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan atau urusan anak-anak yang
belum mumayyiz (belum dapat membedakan mana yang baik dan buruk
sesuatu atas diriya). Hadlanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu di
dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya
meletakkan anak itu di pangkuannya sehingga hadlanah dijadikan istilah yang
maksudnya pendidikan dan pemeliharaan anak sejak ia lahir sampai sanggup
berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.21
Selanjutnya dalam pendapat lain, hadhanah secara etimologis berarti “di
samping” atau berada “di bawah ketiak”. Sedangkan secara terminologisnya,
hadhanah adalah merawat dan mendidik seorang yang belum mumayyiz atau
yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi
keperluannya sendiri.22
Adapun dasar hukum hadlanah yaitu Q.S. An-Nisa ayat 9 yang berbunyi :

‫ ِديدًا‬GG‫وْ اًل َس‬GGَ‫وا ق‬GGُ‫وا هللاَ َو ْليَقُول‬GGُ‫ فَ ْليَتَّق‬،‫ افُوا َعلَ ْي ِه ْم‬GGَ‫ َعافًا خ‬GG‫ض‬
ِ ً‫وا ِم ْن خ َْلفِ ِه ْم ُذ ِّريَّة‬GG‫وْ ت ََر ُك‬GGَ‫ش الَّ ِذينَ ل‬
َ ‫َو ْليَ ْخ‬
“Dan hendaklah takut kepada Allah Orang-orang yang seandainya
20
Cholil Uman, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Cet. 2 (Surabaya:
Ampel Suci, 1994), 267
21
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), 175.
22
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), 415.

9
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah yang mereka khawatir
terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar.”
Anak-anak yang masih kecil atau hadlanah berhak mendapatkan
pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang yang
mendidiknya. Pendidikan yang paling penting ialah pendidikan anak kecil
dalam pangkuan ibu-bapaknya.
Ketika perpisahan antara Ibu dan bapaknya sedang mereka punya
anak, maka ibulah yang lebih berhak terhadap anak itu dari pada
bapaknya, sebab ibu lebih mampu mengetahui dan lebih mampu
mendidiknya. Juga karena ibu mempunyai kesabaran untuk melakukan
tugas ini yang tidak dipunyai oleh bapak. Ibu juga lebih punya waktu
untuk mengasuh anaknya dari pada bapak, oleh karena itu dalam mengatur
kemaslahatan anak ibu diutamakan. Walaupun sudah bercerai, bapaknya
juga berkewajiban menafkahi anaknya memberikan dia makanan dan
pakaian dan ini tidak akan terhapus sampai anak tersebut dewasa dan
mampu menghidupi dirinya sendiri.
Adapun mengenai masa asuhan hadlanah, beberapa ulama berbeda
pendapat. Adapun pendapatnya sebagai berikut :
1. Hanafi mengatakan bahwa “masa asuhan adalah tujuh tahun untuk
lakilaki dan sembilan tahun untuk wanita”,
2. Syafi’i mengatakan bahwa, “tidak ada batasan tertentu bagi asuhan.
Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan
pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Kalau si anak sudah
sampai pada tingkat ini, dia disuruh memilih apakah tinggal bersama
ibu ataukah dengan ayahnya. Kalau seorang anak laki-laki memilih
tinggal bersama ibunya, maka dia boleh tinggal bersama ibunya pada
malam hari dan dengan ayahnya di siang harinya agar, si ayah bisa
mendidiknya. Sedangkan bila anak itu anak perempuan dan memilih
tinggal bersama ibunya, maka dia boleh tinggal bersama ibunya siang
dan malam. Tetapi bila si anak memilih tinggal bersama ibu dan

10
ayahnya, maka dilakukan undian, bila si anak diam (tidak
memberikan pilihan) dia ikut bersama ibunya”.
3. Maliki mengatakan, bahwa “masa asuh anak laki-laki adalah sejak di
lahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah”.
4. Hambali mengatkan bahwa “masa asuh anak laki-laki perempuan
adalah tujuh tahun dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah
tinggal bersama ibunya atau ayahnya, lalu si anak tinggal bersama
orang yang dipilihnya itu”.
5. Imamiyah mengatakan bahwa “masa asuh anak laki-laki dua tahun,
sedang anak perempuan tujuh thaun. Sesudah itu hak ayahnya, hingga
dia mencapai usia sembilan tahun bila dia perempuan, dan lima belas
tahun bila laki-laki, untuk disuruh memilih dengan siapa dia ingin
tinggal, ibu atau ayahnya.23
2.9 Hak Anak Dalam Perwalian
2.10 Hak Nafkah Anak

BAB III

23
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘alaa al-Madzahib al-Khamzah, diterj.
Masykur A.B dkk, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, (Jakarta :
Lentera, 2007), 417-418.

11
PENUTUP

3.1 Simpulan

3.2 Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki
makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

12
13

Anda mungkin juga menyukai