Anda di halaman 1dari 22

NUSYUZ DAN SYIQAQ

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah


Studi kasus Hukum Perkawinan
Dosen Pengampu
Harry Yunardi, M.Ag

Disusun oleh:
Adit Ardiansyah 1213010004
Andiena Shafira Yasmien 1213010016
Denis Ayu Ariya Putri 1213010031
Farhan Abdul Aziz 1213010044

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022
A. Nusyuz
1. Pengertian Nusyuz
Kehidupan rumah tangga, tidak selalu dalam suasana harmonis. Sebagai manusia
biasa, dalam rumah tangga sering terjadi kesalah pahaman antara suami istri, Namun
penyelesaian ini terkadang masih belum memenuhi keadilan bagi masing-masing pihak,
sehingga tak jarang istri “purik” (ngambek) dan keluar dari rumah kediaman bersama.
Tindakan tersebut dalam Islam disebut nusyuz.1 Nusyuz dalam bahasa arab diambil dari
kata al-Isyyan yang berarti menentang, Karena istilah nusyuz sendiri diambil dari kata al-
nasyaz, artinya bangunan bumi yang tertinggi (mairtafa‟a minal ardi). Makna ini sesuai
dengan pengertian yang ada dalam surat al-Mujadalah (58):11, “waiz\a qila unsyuzu”.
Secara terminologis nusyuz berarti sikap tidak tunduk kepada Allah SWT untuk taat
kepada suami.2 Sedangkan menurut Imam Ragib sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali
Engineer dalam bukunya menyatakan bahwa nusyuz merupakan perlawanan terhadap
suami dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan perselingkuhan.3 Secara
terminologi nusyuz diartikan tidak tunduk kepada Allah untuk taat terhadap suami.4
Sedangkan jika nusyuz dihadapkan dengan wanita, yaitu wanita yang melakukan
pemberontakan terhadap suami, membenci suami dan matanya berpaling dari suaminya
ke orang lain.5 Nusyuz memiliki banyak pengertian, diantaranya menurut ulama
madzhab. Menurut Maliki, nusyuz diartikan sebagai perbuatan saling menganiaya antar
suami istri. Menurut ulama Syafi’iyah nusyuz merupakan perselisihan diantara suami
istri. Ulama Hambali berpendapat nusyuz merupakan ketidak senangan antar suami istri
yang disertai dengan hubungan yang tidak harmonis. Sedangkan fuqaha Hanafiyah
mendefinisikan nusyuz merupakan ketidaksenangan antar suami istri.6 Sedangkan
menurut Hussein Bahreisy mengemukakan dalam karyanya “Kuliah Syari’at”, yaitu istri

1
Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam (Bandung:
Mizan, 2001), 182-183.
2
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, cet. III,
(Yogyakarta: Mizan, 2001),hlm. 183.
3
Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan: Menyingkap Megaskandal Doktri dan Lakilaki, Alih bahasa
Akhmad Affandi, cet. I, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 92.
4
Ibid., 183.
5
Muhammad ya’qub Thalib Ubaidi, Nafkah Istri: Hukum Menafkahi Istri dalam Perspektif Islam, terj. M.
Ashim (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007), 47.
6
Mokh. Fadlun, “Nusyuz Menurut Imam Abu Hanifah Dan Imam Asy-Syafi’i” (Skripsi, IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta 2002), 4.
yang menolak ajakan atau perintah suami, membangkang dan marah terhadap suaminya.7
Ibnu Manzur, nusyuz ialah rasa kebencian suami terhadap isteri atau sebaliknya.8
Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan
atau kebencian suami kepada isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi, begitu pun
sebaliknya.9 Isteri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam didifinisikan
sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban
utama berbakti lahir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah
menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-
baiknya.10
Dari beberapa definisi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi hak dan
kewajiban dalam hubungan suami istri. Ternyata para ulama memiliki pandangan yang
tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainya. Sehingga dapat dipahami bahwa
disamping perbuatan nusyuz selain mungkin saja dilakukan oleh seorang isteri, juga
mungkin bila dilakukan oleh seorang suami, jika suami tidak mempergauli isterinya
dengan baik atau ia melakukan tindakan-tindakan yang melebihi batas-batas hak dan
kewenangannya dalam memperlakukan isteri yang nusyuz sebagaimana yang digariskan
oleh ajaran agama.
2. Landasan Hukum Nusyuz
a. Alqur’an
Dalam kehidupan rumah tangga, tidak selalu terjadi keharmonisan, meskipun
jauh dari sebelumnya, sewaktu melaksanakan perkawinan dikhutbahkan agar suami-
isteri bisa saling menjaga untuk dapat terciptanya kehidupan yang mawaddah
warahmah diantara mereka. Akan tetapi, dalam kenyataanya konflik dan kesalah-
pahaman diantara mereka kerap kali terjadi sehingga melunturkan semua yang
diharapkan. Timbulnya konflik dalam rumah tangga tersebut pada akhirnya kerap

7
Hussein Bahreisy, Kuliah Syari’at: Upaya Mempelajari Dasar Syariat Islam Dalam Rangka Mewujudkan
Pengabdian Kepada Allah Secara Sempurna (Surabaya: Tiga Dua, 1999), 175. 6
8
Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, hlm. 1354.
9
Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, hlm. 1354
10
Abdurrahman, “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, Pasal 83
Ayat (1) dan 84 Ayat (1). Hlm. 93
kali mengarah pada apa yang disebut dalam fiqh dengan istilah nusyuz. Hal ini dapat
ditemukan dalam Ayat al-Qur‟an:
‫ض َّو ِّب َما ٓ اَ ْنفَقُ ْوا ِّم ْن اَ ْم َوا ِّل ِّه ْم ۗ فَال ه‬
ُ‫ص ِّلحٰ ت‬ ٍ ‫ع ٰلى بَ ْع‬ َ ‫ض ُه ْم‬
َ ‫ّٰللاُ بَ ْع‬
‫ض َل ه‬ َّ َ‫س ۤا ِّء ِّب َما ف‬
َ ِّ‫علَى الن‬
َ َ‫اَ ِّلر َجا ُل قَ َّوا ُم ْون‬
‫اجع‬
ِِّّ ‫ض‬َ ‫ظ ْوه َُّن َوا ْه ُج ُر ْوه َُّن فِّى ْال َم‬ ُ ُ‫ّٰللاُ َۗوالهتِّ ْي تَخَافُ ْونَ ن‬
ُ ‫ش ْوزَ ه َُّن فَ ِّع‬ ‫ظ ه‬ َ ‫ب ِّب َما َح ِّف‬ِّ ‫ٰقنِّ ٰتتٌ حٰ ِّف ٰظتٌ ِّل ْلغَ ْي‬
‫ع ِّليًّا َك ِّبي اْرا‬ َ ‫س ِّبي اَْل ۗا َِّّن ه‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬ َ ‫علَ ْي ِّه َّن‬ َ َ‫َواض ِّْرب ُْوه َُّن ۚ فَا ِّْن ا‬
َ ‫ط ْعنَ ُك ْم فَ ََل تَ ْبغُ ْوا‬
Terjemah Kemenag 2019
34. Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,155) berilah mereka
nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,)
pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka
menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Sebagai kepala keluarga, suami bertanggung jawab untuk melindungi,
mengayomi, mengurusi, dan mengupayakan kemaslahatan keluarga. Maksud nusyuz
adalah perbuatan seorang istri meninggalkan kewajibannya, seperti meninggalkan
rumah tanpa rida suaminya.
Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa nusyuz merupakan suatu
perbuatan yang dikhawatirkan akan terjadi. Menurut Imam Asy-Sya’rawi, bahwa
ayat tersebut merupakan salah satu cara Allah untuk mendidik dan menambah
kewaspadaan hamba-Nya ketika mengetahui istrinya yang nusyus. Sedangkan
menurut Kompilasi Hukum Islam, istri dianggap nusyuz jika tidak mau berbakti lahir
dan batin terhadap suami dalam batasan-batasan yang dibenarkan dalam syar’i dan
istri mesti menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dan
sebaik-baiknya.
‫ص ْل ُح‬
ُّ ‫ص ْل احا َۗوال‬ ْ ُّ‫علَ ْي ِّه َما ٓ اَ ْن ي‬
ُ ‫ص ِّل َحا َب ْينَ ُه َما‬ َ ‫ضا فَ ََل ُجنَا َح‬ ‫ش ْو ازا اَ ْو اِّع َْرا ا‬ُ ُ‫ت ِّم ْن َب ْع ِّل َها ن‬ ْ َ‫َوا ِِّّن ْام َراَة ٌ خَاف‬
‫ّٰللا َكانَ ِّب َما تَ ْع َملُ ْونَ َخ ِّبي اْرا‬ ۗ ُّ ‫س ال‬ ُ ُ‫ت ْاْلَ ْنف‬ ِّ ْ‫َخي ٌْر َۗواُح‬
َ ‫ش َّح َوا ِّْن تُحْ ِّسنُ ْوا َوتَتَّقُ ْوا فَا َِّّن ه‬ ِّ ‫ض َر‬
Terjemah Kemenag 2019
128. Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz 171) atau
bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. 172)
Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. 173) Jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tidak acuh) sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
171) Lihat arti nusyuz bagi pihak istri dalam catatan kaki surah an-Nisā’/4: 34.
Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau
menggaulinya, dan tidak mau memberikan haknya. 172) Contohnya, istri bersedia
dikurangi beberapa haknya asal suami mau kembali berbaik-baik dengannya. 173)
Sudah menjadi tabiat manusia untuk enggan melepaskan sebagian haknya kepada
orang lain dengan seikhlas hatinya. Kendatipun demikian, jika istri melepaskan
sebagian haknya, suami diperbolehkan menerimanya.
Dilihat dari sisi penyandaran pada kedua ayat di atas, lafadh nusyuz pada ayat
pertama, disandarkan pada (1) kepemimpinan seorang suami dalam lingkup rumah
tangga terhadap istrinya sebab kelebihan yang dianugerahkan kepada suami, dan (2)
sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istrinya berupa nafkah dan mahar. Karena
faktor keduanya ini, lantas hadir tuntutan sebagaimana termaktub dalam lafadh al-
shalihatu qanitatun hafidhatun li al-ghaibi bi ma hafidha allah (perempuan shalihah
itu perempuan yang gemar ber-imadah, menjaga diri saat suaminya tidak ada di
rumah dengan penjagaan sebagaimana yang sudah diperintahkan oleh Allah Ta’ala
kepadanya). Sementara dalam ayat kedua, lafadh ‘nusyuz’, justru berlaku
sebaliknya, yaitu ketakutan seorang istri dari perbuatan nusyuz suami, berpaling atau
bersikap acuh tak acuh. Walhasil, penggunaan lafadh nusyuz di dalam Al-Qur’an,
ternyata juga berlaku bagi suami dan tidak hanya pada istri saja.
Dalam buku Asbabun Nuzul, disebutkan riwayat turunnya kedua ayat tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Surah an-Nisa` ayat 34, dalam satu riwayat dikemukakan bahwa ada seorang
wanita yang mengadu kepada Rasulullah saw karena ditampar oleh suaminya.
Rasulullah saw bersabda: “dia mesti di-qishash (dibalas)”. Tapi kemudian turun
surah an-Nisa` ayat 34 sebagai ketentuan dalam mendidik istri yang
menyeleweng. Setelah mendengar ayat tersebut (an-Nisa; 34), wanita tersebut
pulang dan tidak melaksanakan qishash. Dalam riwayat lain diceritakan bahwa
ada seorang istri yang mengadu kepada Rasulullah saw karena ditampar oleh
suaminya (orang Ansar) dan ia menuntut qishash (balas). Nabi saw mengabulkan
tuntutan itu, maka turunlah surah ath-Thaha ayat 144 (... dan janganlah kamu
tergesa-gesa membaca al-Qur`an sebelum disempurnakan mewahyukannya
kepadamu...) sebagai teguran kepadanya, dan surah an-Nisa` ayat 34 sebagai
ketentuan hak suami dalam mendidik istrinya. Ada juga riwayat lain yang
mengatakan bahwa ada seorang Ansar menghadap Rasulullah saw bersama
istrinya. Istri itu berkata; “Ya Rasulullah, ia telah memukulku hingga berbekas
di mukaku”. Rasulullah saw bersabda; “Ia tidak berhak berbuat demikian”. Lalu
turunlah surah an-Nisa` ayat 34 sebagai ketentuan dalam mendidik istri.
2) Surah an-Nisa` ayat 128, dalam satu riwayat dikemukakan bahwa ketika Saudah
binti Zam‟ah (istri Rasulullah saw) sudah tua dan takut dicerai oleh Rasulullah
saw, ia berkata; “Hari giliranku aku hadiahkan kepada Aisyah”. Lalu turun surah
an-Nisa` ayat 128 yang membolehkan tindakan seperti yang dilakukan Saudah.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa istri Rafi‟ bin Khadij, yaitu putri
Muhammad bin Muslimah, kurang disayangi oleh suaminya, karena sudah tua
atau hal lain, sehingga ia khawatir akan diceraikan. Istri itu berkata; “Janganlah
engkau menceraikan aku, dan kamu boleh datang sekehendak hatimu”. Maka
turunlah surah an-Nisa` ayat 128 sebagai anjuran kepada kedua belah pihak
untuik mengadakan perdamaian dalam rumah tangga. Dalam riwayat lain
diceritakan bahwa turunnya surah an-Nisa ayat 128 berkenaan dengan seorang
laki-laki yang mempunyai seorang istri dan sudah beranak banyak. Ia ingin
menceraikannya dan kawin dengan wanita lain. Akan tetapi istrinya merelakan
diri untuk tidak mendapat giliran, asal tidak diceraikannya. Jadi turunnya surah
an-Nisa ayat 128 sebagai pembenar atas perdamaian hubungan suami-istri. Ada
juga riwayat yang mengatakan bahwa ada seorang wanita berkata kepada
suaminya; “Saya ridha mendapat nafkah saja darimu, dan tidak mendapat giliran,
asal tidak dicerai”. Maka turunlah suran an-Nisa ayat 128 yang membolehkan
perbuatan seperti itu.
b. Hadits
Berbicara tentang nusyuz, ditemukan dua hadis dari Aisyah ra yang membahas
ُ ُ‫ن‬, Kedua hadis tersebut berbicara
secara khusus dengan menggunakan lafadh ‫ش ْوز‬
tentang kekhawatiran istri terhadap suami yang akan mengabaikannya (nusyuz
suami), karena sudah tidak disukai lagi, disebabkan sudah tua atau lainnya, sehingga
istri takut akan ditalaknya. Sedangkan terkait nusyuz istri, tidak ditemukan hadis
ُ ُ‫ن‬, namun para ulama menjadikan beberapa
khusus yang menggunakan lafadh ‫ش ْوز‬
hadis terkait pembangkangan atau pengabaian istri terhadap perintah suami, dan
penolakan terhadap permintaan suami untuk melakukan hubungan seksual, sebagai
dalil hukum tentang nusyuz istri kepada suami. Di antara hadis-hadis tersebut adalah:
1) Hadis pertama yang dari Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Muhammad bin Salam telah menceritakan kepada kami, Abu Mu‟awiyah
telah mengabari kami, dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah ra (dan jika istri
khawatir suaminya nusyuz atau mengabaikannya), Aisyah berkata yaitu
seorang istri yang sudah tidak disukai oleh suaminya, lalu ia mau mentalaknya
dan ingin mengawini perempuan yang lain, maka istrinya berkata: peganglah
aku, jangan engkau talak aku dan engkau boleh kawin dengan perempuan yang
lain, engkau bebas dari memberi nafkah dan menggiliri aku. Yang demikian itu
sesuai dengan firman Allah (maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik) (HR.
Bukhari)
2) Hadits kedua yang juga dari Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Ahmad bin Yunus menceritakan kepada kami, Abdurrahman yaitu Ibnu
Abi Zinad menceritakan kepada kami, dari Hisyam bin „Urwah dari ayahnya,
ia berkata, Aisyah berkata: Hai anak saudaraku, bahwa Rasulullah saw tidak
melebihkan sebagian kita atas sebagian yang lain, dalam pembagian giliran
tinggal bersama kita, Rasulullah saw mengelilingi kepada kita semua, maka
hampir setiap istrinya mendapat giliran, sehingga sampai kepada harinya, maka
Rasulullah saw akan menginap bersamanya, dan sungguh telah berkata Saudah
binti Zam‟ah ketika telah tua dan khawatir ditalak oleh Rasulullah saw, hari
giliranku untuk Aisyah saja, maka diterima hal itu oleh Rasulullah saw. Aisyah
berkata, dalam hal seperti itu Allah berfirman (dan jika istri khawatir suaminya
nusyuz) (HR. Abu Daud).
3) Hadis ketiga dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, Ibnu Abi „Adi
menceritakan kepada kami, dari Syu‟bah dari Sulaiman dari Abi Hazim dari
Abu Hurairah ra. berkata Rasulullah Saw bersabda: “apabila seorang lakilaki
(suami) mengajak istrinya ke tempat tidurnya, kemudian istri tersebut enggan
atau menolak ajakan suami, malaikat melaknatnya sampai shubuh” (HR. Al-
Bukhari).
4) Hadis keempat yang juga dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata Rasulullah Saw bersabda: “apabila seorang
laki-laki (suami) mengajak istrinya ke tempat tidurnya, kemudian istri tersebut
enggan atau menolak ajakan suami, sehingga suami marah karena hal tersebut,
malaikat melaknatnya sampai shubuh” (HR. Muslim).
Hadits pertama dan kedua (hadis dari Aisyah ra) menggambarkan bahwa
kemungkinan nusyuz yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya berbentuk
pengabaian hak istri untuk mendapat giliran malam (hubungan seksual), bukan
pengabaian hak istri mendapat nafkah lahir lainnya, seperti makan, pakaian dan tempat
tinggal. Berbeda dengan bentuk nusyuz yang dilakukan oleh seorang istri kepada
suaminya, sebagaimana tergambar dalam hadits ketiga dan keempat (hadis dari Abu
Hurairah ra) menunjukkan bahwa jika suami meminta untuk berhubungan seksual (wat’i)
kepada istrinya, istri tidak boleh menolaknya, karena sudah menjadi kewajiban seorang
istri melayani suami untuk ber-wat’i sebagai hak suami. Meskipun pada dasarnya
berhubungan seksual ini merupakan kebutuhan bersama, karena keduanya memiliki hak
untuk berhubungan seksual. Apabila istri enggan atau menolaknya maka malaikat
melaknatnya sampai shubuh. Ibnu Abu Jamrah dalam Fathul Bari berpendapat
bahwasanya kata Piraasyi ungkapan pada idza da'a rojulun imroatin ila Piraasyi adalah
bentuk kinayah dari kata jima`. Kemudian pada ungkapan al malaikatu la'natuha hatta
tusbiha Ibn Abu Jamrah menjelaskan bahwa laknat di sini bukan hanya penolakan
berhubungan seksual di malam hari saja, melainkan pada siang hari pula. Lafadz hatta
tusbiha hanya menunjukan bahwa berhubungan biasanya dilakukan pada malam hari.
Jadi jika istri menolak pada siang hari pun bisa termasuk nusyuz. Pada ungkapan Pabaata
godbaana alaiha dijelaskan bahwa keadaan marah suami menjadi penyebab adanya
laknat, karena akibat kemaksiatan istrinya, jika kemarahan ini tidak ada, maka laknat pun
tidak ada.11 Jadi bentuk nusyuz istri kepada suaminya lebih berupa penolakan perintah
suami atau pengabaian hak suami untuk melakukan hubungan seksual dengan istrinya.
3. Nusyuz Wanita dan Nusyuz Laki-laki
a. Nusyuz Wanita/Istri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya, hal ini bisa
terjadi dalam rumah tangga dengan bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal
yang menggangu keharmonisan rumah tangga. Ada banyak perbuatan istri yang dianggap sebagai
nusyuz, perbuatan-perbuatan yang dimaksud akan mengakibatkan dua hal, yakni gugur atau
tidaknya hak istri untuk mendapat nafkah iddah. Di lihat dari akibat tersebut, nusyuz yang
dilakukan istri ada dua macam, pertama: Nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah dan
giliran (jika suaminya poligami). Kedua: Nusyuz yang tidak menggugurkan hak istri untuk
mendapatkan hak iddah.
Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan istri, yang termasuk nusyuz, antara lain
sebagai berikut:

a. Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang telah disediakan
sesuai dengan kemampuan suami.

b. Apabila keduanya tinggal dirumah istri atas seizin istri, kemudian pada suatu ketika
istri melarangnya untuk masuk kerumah itu dan bukan karena hendak pindah rumah yang
disediakan oleh suami

c. Istri pergi meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau berpergian tanpa adanya
muhrim yang mendampinginya.

d. Istri enggan diajak bersetubuh oleh suaminya padahal ia dalam keadaan suci.

e. Pengkhianatan istri terhadap suami terkait dengan kesucian dirinya.

f. Memasukan orang yang tiak disukai oleh suaminya kedalam rumahnya, baik saat suami
sedang dirumah atau saat suami tidak ada dirumah.

11
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, dalam al-Maktabatu Asy-Syamillah
g. Menghambur-hamburkan harta kekayaan milik suami dan menghabiskannya pada hal
yang tidak baik.
h. Menyebarkan rahasia suami dan membeberkan sesuatu yang disembunyikan.
i. Menuduh suami dengan perkataan yang dibuat-buat dengan tujuan untuk mencela dan
menyakiti suami agar diceraikan oleh suaminya.
Adapun mengenai perbuatan yang dilakukan seorang istri yang termasuk perbuatan
nusyuz terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, menurut mazhab Hanafi istri
yang tergolong nusyuz adalah jika ia keluar rumah tanpa alasan yang benar dan tanpa izin
suaminya, mengabaikan kesucian, tidak merias diri, enggan memuaskan suaminya secara
seksual padahal tidak ada alasan yang dapat diterima, menyakiti anak-anak suaminya,
mendo‟akan jelek suaminya, merobek-robek pakaian suaminya, mengeraskan suaranya
ketika berselisih pendapat dengan suaminya agar didengar orang lain dan mencela
suaminya.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyuz itu hanya sebatas pada keengganan istri
melakukan hubungan suami istri, keluar rumah tanpa izin dari suami ke tempat yang tidak
harus didatangi dan tindakan meninggalkan salah satu perintah Allah. Mazhab Syafi‟i
berpendapat bahwa yang termasuk istri nusyuz adalah keluarnya seorang istri dari garis
ketaatan terhadap suami tanpa alasan yang benar, nusyuz juga dapat berupa
menampakkan wajah cemberut setelah sebelumnya menampakkan wajah berseri-seri atau
perlakuan yang kasar terhadap suaminya. Menurut mazhab Hambali yaitu nusyuz istri
dibatasi dengan kecurangan yang dilakukan seorang istri dan penolakannya memberikan
salah satu hak suami misalkan keluar rumah tanpa izin suaminya atau penolakan untuk
memuaskan hasrat seksual suami.
b. Nusyuz yang dilakukan oleh suami
Nusyuz suami ialah ketika seorang suami berdalih dan merasa paling tinggi dan
sombong terhadap istrinya yang telah ditandai dengan berpalingnya suami dari istrinya
sendiri karena sebab tertentu. Nusyuz yang dilakukan oleh mempunyai beberapa bentuk
yang tercakup pada pelarangannya terhadap istrinya untuk memperoleh hak-haknya baik
yang terkait dengan materi maupun dengan hubungan seks seperti zhihar dan „ila.Selain
itu bentuk dari nusyuz seorang suami adalah tidak memberikan nafkah kepada istrinya,
tidak membelikan pakaian yang layak, tidak menyediakan rumah bagi isrinya seperti yang
telah dianjurkan oleh syara‟, memukul istrinya tanpa alasan yang dibolehkan oleh syara‟
dan menghinakannya.Bentuk lainnya suami nusyuz yaitu apabila suami menjauhi
istrinya, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat
tidurnya, atau berbagai beban berat lainnya bagi seorang istri.
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para mazhab fiqih mengenai bentuk nusyuz
suami terhadap istri di antaranya, menurut mazhab Syafi‟I yaitu katagori nusyuz suami
adalah keengganan memberikan salah satu hak istrinya. Misalnya, memberikan nafkah
atau bagian yang seharusnya menjadi milik istrinya, juga bisa perlakuan buruk terhadap
istrinya. Mazhab Hambali berpendapat bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan
perlakuan baik kepada istri, begitu pula apabila menampakkan wajah yang tidak
menyenangkan ketika menunaikan kewajibannya, padahal seharusnya ia melakukannya
dengan wajah yang berseri-seri dan tidak menyakiti hati istrinya. Mazhab Maliki
berpendapat bahwa nusyuz suami itu tersimpul dalam permusuhannya terhadap
istrinya, misalnya dengan memukul atau menyakitinya, baik tindakan menyakiti hati itu
melampaui batas hak suami atau tidak memenuhi hak istrinya. Sedangkan Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa keengganan seorang suami memberikan hak istri merupakan
kezaliman, yang membawa kepada kehinaan atau balasan lainnya, sampai kezaliman itu
ia singkirkan. Nusyuz suami pada hakikatnya tersimpul dalam pelanggaran terhadap
haknya dan ju ga hak istrinya.

4. Akibat Hukum dari Nusyuz


Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan
agama melalui al-Quran dan hadis nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya
mendapat dosa dari Allah dan dalam hubungannya dengan suami dan rumah tangga
merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami istri.
Atas perbuatan itu si pelaku mendapat ancaman di antaranya gugur haknya sebagai
istri dalam masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyus itu tidak dengan sendirinya
memutus ikatan perkawinan. Menurut Imam madzab, istri yang nusyus tidak taat kepada
suami hukumnya adalah haram dan dapat menggugurkan hak nafkah.
Nafkah itu diwajibkan sebagai penunjang kehidupan suami istri. Bila kehidupan
suami istri berada dalam keadaan biasa, dimana suami atau istri sama-sama melaksanakan
kewajiban yang ditetapkan agama tidak ada masalah. Dalam hal istri tidak menjalankan
kewajibannya yang disebut dengan nusyus, menurut jumhur ulama suami tidak wajib
memberi nafaqah dalam masa nusyusnya itu.
Alasan bagi jumhur itu adalah bahwa nafaqah yang diterima istri itu merupakan
imbalan dari ketaatan yang diberikannya kepada suami. Istri yang nusyus hilang
ketaatannya dalam masa itu, oleh karena itu ia tidak berhak atas nafaqah selama masa
nusyus itu dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyus itu berhenti.
Ulama Dhahiriyyah berpendapat bahwa istri yang nusyus tidak gugur haknya dalam
menerima nafaqah. Alasannya ialah nafaqah itu diwajibkan atas dasar akad nikah tidak
pada dasar ketaatan. Bila suatu waktu ia tidak taat kepada suaminya atau nusyus ia hanya
dapat diberi pengajaran, atau pisah tempat tidur atau pukulan yang tidak menyakiti.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa istri yang tidak mendapat nafaqah dari suaminya,
berhak tidak memberikan pelayanan dari suaminya, bahkan boleh memilih untuk
pembatalan perkawinan.
Nusyus menghilangkan nafkah dan seluruh hak- hak istri. Jika istri telah kembali
lagi maka hak haknya juga kembali. Akibat kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri
menerima belanja, pakaian, dan pembagian waktu. Berarti dengan adanya durhaka istri,
ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami, dan istri tidak berhak menuntut.

5. Penyelesaian Masalah Nusyuz


Allah telah menjelaskan permasalahan nusyuz baik yang dilakukan oleh istri
maupun oleh suami, serta cara menyelesaikan nusyuz antara keduanya. Allah berfirman
dalam surat al-Nisa‟: 34 tentang nusyuz.
“…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. al-Nisa 4: 34)
Wanita-wanita salihah yaitu wanita yang taat serta patuh kepada Allah dan
suaminya. Di antara tanda kepatuhan istri terhadap suami ialah menjaga kehormatan diri
dan juga kehormatan suaminya baik ketika bersama suami maupun ketika tidak
bersamanya, karena ia adalah bagian dari suami dan begitu juga sebaliknya suami kepada
istri. Istri yang salihah juga harus merahasiakan segala hal yang terjadi di antara ia dan
suaminya dan tidak menceritakan atau memberitahukan perkara rumah tangganya kepada
siapapun termasuk kepada kerabat.
Pembahasan selanjutnya tentang tindakan yang dianjurkan untuk suami apabila
melihat tanda-tanda nusyuz pada istrinya. Karena tidak semua istri mampu taat kepada
suami, maka Allah memberi tuntunan kepada suami bagaimana menyikapi dan
memperlakukan istri yang nusyuz. Nusyuz yang dipahami sebagai tindakan meninggikan
dan menonjolkan diri seorang suami maupun istri harus segera diredam dan diobati agar
tidak mengakibatkan terpecahnya bangunan rumah tangga. Dalam hal nusyuz istri, suami
sebagai seorang pemimpin, pelindung, sekaligus pendidik harus menjaga sikapnya,
jangan sampai ia berlebihan dalam mengobati prilaku istrinya dan justru memperkeruh
keadaan kemudian menghancurkan rumah tangga.
Tindakan pertama yang harus dilakukan oleh seorang suami saat melihat sikap
nusyuz pada istrinya adalah dengan memberi nasihat yang mendorong istri merasa takut
kepada Allah dan menyadari kekhilafannya. Pemberian nasihat ini adalah tanggung jawab
suami kepada istri sebagai pemimpin untuk mendidik istri menuju jalan yang diridhai oeh
Allah swt.
Jika nasihat suami belum bisa menghentikan keangkuhan istri, maka langkah kedua
meninggalkan atau memisahkan istri di tempat tidur. Perintah yang dimaksud di sini
adalah perintah meninggalkan istri di tempat tidur, bukan dari tempat tidur. Karena jika
yang dimaksud adalah meninggalkan istri dari tempat tidur, maka suami bisa
meninggalkan kamar atau bahkan meninggalkan rumah. Akan tetapi, Allah
memerintahkan suami meninggalkan istri hanya di tempat tidur, karena hal ini dilakukan
dengan tujuan mendidik bukan untuk mempermalukan atau merendahkan derajat seorang
istri. Oleh sebab itu, hendaknya suami tidak meninggalkan rumah atau kamar di mana
biasanya ia tidur bersama istrinya. Karena kejauhan dengan pasangan yang sedang
dilanda perselisihan dapat memperkeruh masalah.
Adakalanya langkah kedua ini juga belum berhasil membuat istri menyadari
kesalahannya. Jika hal tersebut terjadi, maka cara terakhir yang harus ditempuh seorang
suami untuk mengobati nusyuz istri adalah dengan memukul. Anjuran memukul istri yang
nusyuz tidak boleh dilakukan dengan tujuan menjatuhkan kehormatan istri ataupun
menyakitinya. Tindakan ini masih diorientasikan sebagai cara atau langkah mendidik
istri. Oleh sebab itu, suami tidak boleh memukul dengan cara kasar maupun pukulan yang
keras dan menyakitkan. Sebaliknya dikarenakan ini proses pendidikan bagi istri, suami
harus bersikap sebagaimana layaknya pendidik yaitu dengan menyertakan rasa kasih
sayang dan harapan agar istrinya dapat mematuhinya kembali.
Apabila istri-istri yang nusyuz berhasil luluh dan bersedia kembali patuh kepada
ajakan sang suami di salah satu dari ketiga langkah di atas, maka wajib bagi suami untuk
menghentikan langkah selanjutnya dan mencukupkan proses pendidikannya sampai
disitu. Karena tujuan yang diinginkan dari proses tersebut untuk mengembalikan istri
pada ketaatannya kepada Allah dan kepada suami dengan kesadaran dan sukarela, bukan
atas dasar tekanan atau paksaan. Sebaliknya, jika suami tetap melanjutkan langkah
pendidikannya padahal istri sudah taat pada langkah pertama maupun kedua, maka berarti
ia telah melakukan tindakan aniaya dan melampaui batas. Pembicaraan ini diakhiri
dengan peringatan bahwa Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Hal ini agar manusia
menjadi tenang dan tentram dengan segala ketentuan Allah.
Mengenai nusyuz suami, Allah berfirman dalam QS. al-Nisa‟/4: 128:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir
dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Berbeda dengan tahapan penyelesaian pada kasus nusyuz sebelumnya yang
dilakukan oleh istri dengan tiga langkah yang semuanya merupakan tindakan preventiv
untuk menjaga keutuhan dan eksistensi keluarga. Pada kasus ini, jika nusyuz dilakukan
oleh suami, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh.
Pertama, dengan berdamai antara kedua belah pihak. Sebagai solusi atau jalan
keluar, keduanya melakukan perjanjian untuk berdamai. Hal ini bisa dilakukan juga
dengan adanya toleransi dari istri. Seperti kerelaannya sementara waktu untuk tidak
menerima hak-hak yang semestinya dia peroleh, semisal nafkah atau jatah giliran malam
hari, kalau si suami mempunyai istri lain yang lebih diutamakannya.
Kedua, dikala suami enggan melaksanakan kewajibannya, maka istri boleh
melaporkan hal itu kepada hakim. Untuk selanjutnya hakim memberi nasihat dan
memerintahkan suami kembali menunaikan kewajibannya. Tapi bila suami tetap berbuat
tidak baik pada istrinya, bahkan memukul dengan alasan tidak benar, maka hakim pun
berhak melakukan tindakan peringatan sebelum menjatuhkan hukuman takzir. Peringatan
dianggap perlu karena jika hakim lansung mentakzir bisa jadi malah memperkeruh
suasana rumah tangga tersebut. Jadi cukup dengan larangan terlebih dahulu, mungkin
suatu saat nanti kondisi membaik dan tentram kembali. Namun, bila suami tetap dalam
sikapnya, maka hakim boleh melakukan takzir, dengan ukuran selayaknya berdasar pada
tuntutan sang istri.
Bila dibuat perbandingan antara kedua ayat tentang nusyuz ini, terkesan ada
perbedaan pola penyelesaian, yang keduanya menjadikan posisi isteri dalam posisi lemah
dan dianggap sebagai sumber kesalahan belaka, ketika isteri nusyuz maka ditunjuk-ajari,
dipisah tempat tidur dan bahkan boleh dipukul jika tidak ada cara lain, sementara bila
suami yang nusyuz maka isteri dibolehkan atau dianjurkan mengajukan tawaran damai
dengan cara melepas kan sebagian atau seluruh haknya dari suami. Dengan hak thalak
secara mutlak di tangan suami, di satu sisi tidak akan memberikan ketenteraman kepada
isteri sebab kapanpun ia bisa menjadi janda tanpa ada hak untuk mempertahankan
keutuhan rumah tangga. Apalagi di saat umur sudah tua, tidak produktif, tidak menarik
selera syahwat suami, di saat ia butuh pengayoman menghabiskan hari tuanya, justru di
saat itu ia berada dalam posisi tidak aman, terancam akan diceraikan, dikurangi hak-
haknya, ini tentu saja tidak sejalan dengan tujuan pembentukan rumah tangga sakinah,
mawaddah wa rohmah sebagaimana ditegaskan Allah di dalam al-Qur’an surat al-Ruum
ayat 21.
Namun di sisi lain juga tidak bijak mempertentangkan ayat-ayat ini karena
sumbernya satu yaitu Allah SWT. Juga tidak bijak bersikap apriori terhadap ayat-ayat
yang menjelaskan tentang penanganan kasus nusyuz. Yang paling tepat dilakukan adalah
mencari hikmah mengapa Allah memberikan petunjuk penyelesaian sebagaimana telah
diuraikan di atas.
B. Syiqaq
1. Pengertian Syiqaq
Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan kepada suami
istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami istri yang tidak dapat
diselesaikan sendiri oleh keduanya. Syiqaq ini timbul bila suami atau istri atau keduanya
tidak melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya.' Menurut istilah, syiqaq dapat
berarti krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara
suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak
mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.
Sedangkan Menurut bahasa, syiqaq artinya persengketaan, perpecahan. Adapun yang
dimaksud adalah perpecahan, atau perselisihan antara suami istri. Apabila di antara kaum
muslimin melihat atau menyaksikan terjadinya syiqaq di antara suami istri, mereka harus
berusaha merukunkan dan mendamaikannya kembali dengan cara mengangkat seorang
hakkam dari pihak keluarga laki-laki dan seorang hakkam dari pihak keluarga perempuan.
Dalam ilmu fiqih yaitu perselisihan antara suami istri yang pada dasarnya suami
dilarang memukul istri kecuali segala nasehatnya tidak diperhatikan, diperbolehkan
memukul yang bersifat mendidik istri yang membangkan, maka baginya tidak berhak
diberi nafkah dan kemudian dibawa ke meja perdamaian untuk mempertimbangkan,
apakah pernikahan diteruskan atau diputuskan. Sedangkan Menurut Madzhab Syafi'i
syiqaq. Artinya, perselisihan yang terjadi antara dua orang suami istri yang tidak dapat
lagi didamaikan.
Didalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan arti syaiqaq: Syiqaq yaitu perselisihan
(persengketaan) di antara keduanya, antara suami dan istri. Maka utuslah seorang
penengah dari keluarga suami dan seorang penengah dari keluarga istri, untuk
menentukan tindakan yang dipandang oleh keduanya akan bermaslahat.

2. Landasan Hukum Syiqaq

Dasar hukum syiqaq ialah firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 35.

‫َوإِن ِخ ْفت ُ ْم ِشقَاقَ بَ ْي ِه َما فَا ْبعَثُوا َح َك ًما ِم ْن أَ ْه ِل ِه َو َح َك ًما ِم ْن أَ ْه ِل َها إِن‬
‫ترينا إصلحا يوفق هللا بهما إن هللا كان عليها خيرات‬

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakkam dari keluarga laki-laki dan seorang hakkam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakkam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.”

Berdasarkan firman Allah SWT tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami istri,
maka diutus seorang hakkam dari pihak suami dan seorang hakkam dari pihak istri untuk
mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab tentang terjadinya
syiqaq serta berusaha mendamaikannya. Atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan
kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.

Kedua juru penengah tadi hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam mengusahakan


perdamaian dan menghilangkan persengketaan mereka. Kedua juru penengah tersebut
juga hendaklah dari kalangan orang yang jujur dan terpercaya dalam memberikan solusi
terbaik, bahwa mereka juga harus berani memutuskan sesuatu yang tidak diharapkan jika
memang itu adalah solusinya, dan mereka harus tetap bersandarkan pada kebenaran.

3. Proses Mediasi
Beranjak dari uraian di atas, ada dua tujuan penyelesaian persengketaan antara
suami dan istri, yaitu; Pertama, Agar persengketaan tidak berkelanjutan sehingga tidak
berujung kepada perpisahan yang menyebabkan kerusakan hubungan baik antara dua
keluarga besar yang ada di belakang mereka dan gangguan psikologis bagi anak yang
lahir dari pernikahan mereka. Kedua, Seandainya persengketaan tidak akan berhenti
kecuali dengan memisahkan mereka berdua, minimal perpisahan bisa dilakukan secara
damai sehingga tidak menyebabkan timbul rasa dendam dan permusuhan yang
berkelanjutan antara suami dan istri tersebut dan keluarga mereka masing-masing.
Salah satu diantara model penanggulangan dari perkara syiqaq ini adalah dengan
menggunakan metode mediasi, yang mana Allah SWT dengan tegas memberikan solusi
yang bijak untuk mengatasi masalah syiqaq tersebut seperti yang tertera dalam surat
Annisa’ ayat 35 yang menyatakan:
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika
keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami-istri itu.”
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa, mediasi adalah
proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan, yang
kedudukannya hanya sebagai penasihat, dia tidak berwewenang untuk memberi
keputusan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.12 Pandangan Islam, mediasi
dikenal dengan istilah taḥkīm, yaitu upaya damai dengan cara mengutus perwakilan dari
pihak suami dan perwakilan dari pihak istri.
a. Proses Pra Mediasi
▪ Para pihak dalam hal ini penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan
perkara
▪ Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis hakim
▪ Pada hari pertama sidang majelis hakim wajib mengupayakan perdamaian
kepada para pihak melalui proses mediasi.
▪ Para pihak dapat memilih mediator hakim atau non hakim yang telah memiliki
sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari.
▪ Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka majelis menetapkan
mediator dari para hakim.
b. Proses Mediasi
▪ Setelah penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen
yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan dan hal-hal
lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak
▪ Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses
mediasi
▪ Pemanggilan saksi ahli dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana
semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan
▪ Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan para pihak dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik

12
Kamus Pusat Bahasa, Kamus ..., h. 932.
▪ Apabila diperlukan, kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu
pihak tanpa kehadiran pihak lainnya, dapat dilakukan
c. Proses Akhir Mediasi
▪ Jangka waktu proses mediasi di dalam pengadilan paling lama adalah 40 hari
kerja, dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.
▪ Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak wajib merumuskan secara
tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani kedua pihak, dimana hakim
dapat mengukuhkannya sebagai sebuah akta perdamaian
▪ Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan, hakim melanjutkan pemeriksaan
perkara sesuai dengan ketentuan Hukum Acara yang berlaku

4. Kewenangan Hakkam (Mediator)


Secara terminologi, Hakkam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak
keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya
penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. Hakkam juga diartikan sebagai juru damai,
yakni seseorang yang dikirim oleh kedua belah pihak suami isteri apabila terjadi
perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang
salah diantara kedua suami isteri tersebut.
Sementara dalam undang-undang No. 7 tahun 1989 yang di ubah menjadi undang-
undang No. 3 tahun 2006 , dalam penjelasan pada pasal 76 ayat (2) diberikan keterangan
batasan pengertian hakkam dengan kalimat yang jelas: “hakkam adalah orang yang di
terapkan di pengadilan Agama pihak suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk
mencari upaya untuk penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq”13
Pengangkatan hakkam dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq
berlandaskan pada ketentuan pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang peradilan agama yang menyebutkan bahwa : “Peradilan setelah mendengar
keterangan saksi tentang sifat persengketaan suami istri dapat mengangkat seorang atau
lebih dari keluarga masing-masing atau orang lain untuk menjadi hakkam” kalaupun ingin
mengangkat hakkam dari pihak keluarga, maka harus dipertimbangkan faktor wibawa dan
kearifan pribadi, maka tidak ada gunanya memprioritaskan hakkam dari pihak keluarga.

13
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 perubahan atas undang-undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Lebih baik ditunjuk pihak lain yang benar-benar arif dan beriwabawa terhadap suami istri
tersebut.14
Adapun tugas hakkam seperti diamanatkan dalam Pasal 76 ayat 2 U Nomor 7 Tahun
1989 ialah hanya dibatasi menyelidiki dan mencari hakikat permasalahannya, sebab
musabab timbulnya persengketaan, berusaha mencari jalan yang terbaik bagi suami isteri
yang sedang cekcok tersebut apakah dengan didamaikan terlebih dahulu secara
semaksimal atau jika tidak berhasil lalu menurut keinginan mereka jalan terbaik hanya
dengan perceraian15, maka hakkam melapor kepada majlis hakim bahwa perkawinan
mereka memang tidak ada harapan untuk rukun kembali, sehingga pada akhirnya hakim
yang menceraikan mereka16.

Jelas ketentuan tersebut tidak memberikan kewenangan kepada hakkam untuk


menceraikan suami isteri yang tengah bertengkar hebat karena hakekatnya hakkam ialah
sebagai delegasi (wakil) suami isteri bukan sebagai hakim yang dapat memutus.

Dengan demikian pasal 76 ayat 2 tersebut mengambil pendapat dimana hakkam


kewenangannya mencari penyelesaian perselisihan suami istri saja bukan menjelma
menjadi hakim yang dapat memutuskan perceraian.

14
Arne Huzaimah,”Menelaah Pelaksanaan Pengangkatan Hakkam Pada Perkara Syiqaq Di Pengadilan Agama
Indonesia Dan Mahkamah Syari,ah Malaysia”,Jurnal Nurani Vol. 19, No. 1, juni, 2019, Hal 17.
15
Abdurahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.242
16
Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara, h.356.
Daftar Pustaka

Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara, Bandung : Mandar Maju, 2008.
Abdurahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2006
Ali Yusuf Subki, Fiqih Keluarga, Jakarta: Sinar Grafik, 2010.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang
Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana,
Arne Huzaimah, Menelaah Pelaksanaan Pengangkatan Hakkam Pada Perkara Syiqaq Di
Pengadilan Agama Indonesia Dan Mahkamah Syari,ah Malaysia, Jurnal Nurani Vol. 19,
No. 1, juni, 2019,
Khairuddin. 2021. Konsep Nusyuz Menurut Al- Qur'an dan Hadits ( Kajian Hak dan Kewajiban
Suami Istri Berumah Tangga). Jurnal Hukum Keluarga. Vol. 4, No. 1. Januari 2021.
Muhamad bin Abdurrahman ad Dimasyqi, Fiqih Empat Madzab, Bandung: Hasyimi, 2001,
Muhamad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2015,
Muhammad Syamsudin. 2019. Nusyuz dalam Etika Pergaulan Suami Istri Menurut Ulama Tafsir.
https://islam.nu.or.id/tafsir/nusyuz-dalam-etika-pergaulan-suami-istri-menurut-ulama-
tafsir-BsFJB . Diakses tanggal 20 Maret 2023 Pukul 19.00.
Muhammad, Hakam Dan Mediasi Dalam Perkara Syiqaq (Studi Kasus Di Mahkamah Syar’iyah
Bireuen-Aceh), Skripsi, 2021.
Pengadilan Negeri Kabanjahe, Prosedur Mediasi, https://www.pn-kabanjahe.go.id/2015-06-22-
15-03-59/materi-mediasi.html
Saleh bin Ganim al- Saldani. 2004. Nusyuz. Jakarta: Gema Insani Press.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994,
Tihami dan Sohari Sahri, Fikih Munakahat: Kajian Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Rajagrafindo),
Muhammad Nasib AR-RIFA'I Kemudahan dari Allah: ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, 706
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 41
Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Ensiklopedi Fiqih Wanita (Depok: Pustaka Khazanah
Fawa'id, 2016), 326
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
Abdul Rahman Ghazali, Figh Munakahur (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), 241
Al-Quran dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), 163
Absin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Quran Jakarta: Amzah, 2008), 277
Nogarsyah Moede Gayo, Kamus Istilah Agama Islam (Jakarta: Progres, 2004).
Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin Fiqih Madzhab Syafi'i Edisi Lengkap 443 Muamalat, Munakahat.
Finayat (Jakarta: Cv Pustaka Setia, 2000), 336
Muhammad Nasib AR-RIFAI Kemudahan dari Allah: ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta:
GemaInsani, 1999), 706

Anda mungkin juga menyukai